Teknologi DNA Rekombinan

advertisement
Pengertian Teknologi DNA Rekombinan
Secara klasik analisis molekuler protein dan materi lainnya dari kebanyakan
organisme ternyata sangat tidak mudah untuk dilakukan karena adanya kesulitan
untuk memurnikannya dalam jumlah besar. Namun, sejak tahun 1970-an
berkembang suatu teknologi yang dapat diterapkan sebagai pendekatan dalam
mengatasi masalah tersebut melalui isolasi dan manipulasi terhadap gen yang
bertanggung jawab atas ekspresi protein tertentu atau pembentukan suatu produk.
Teknologi yang dikenal sebagai teknologi DNA rekombinan, atau dengan
istilah yang lebih populer rekayasa genetika, ini melibatkan upaya perbanyakan gen
tertentu di dalam suatu sel yang bukan sel alaminya sehingga sering pula dikatakan
sebagai kloning gen. Banyak definisi telah diberikan untuk mendeskripsikan
pengertian teknologi DNA rekombinan. Salah satu di antaranya, yang mungkin
paling representatif, menyebutkan bahwa teknologi DNA rekombinan adalah
pembentukan kombinasi materi genetik yang baru dengan cara penyisipan molekul
DNA ke dalam suatu vektor sehingga memungkinkannya untuk terintegrasi dan
mengalami perbanyakan di dalam suatu sel organisme lain yang berperan sebagai
sel inang.
Teknologi DNA rekombinan mempunyai dua segi manfaat. Pertama, dengan
mengisolasi dan mempelajari masing-masing gen akan diperoleh pengetahuan
tentang fungsi dan mekanisme kontrolnya. Kedua, teknologi ini memungkinkan
diperolehnya produk gen tertentu dalam waktu lebih cepat dan jumlah lebih besar
daripada produksi secara konvensional.
Pada dasarnya upaya untuk mendapatkan suatu produk yang diinginkan
melalui teknologi DNA rekombinan melibatkan beberapa tahapan tertentu. Tahapantahapan tersebut adalah isolasi DNA genomik/kromosom yang akan diklon,
pemotongan molekul DNA menjadi sejumlah fragmen dengan berbagai ukuran,
isolasi DNA vektor, penyisipan fragmen DNA ke dalam vektor untuk menghasilkan
molekul DNA rekombinan, transformasi sel inang menggunakan molekul DNA
rekombinan, reisolasi molekul DNA rekombinan dari sel inang, dan analisis DNA
rekombinan.
a. Isolasi DNA
Isolasi DNA diawali dengan perusakan dan atau pembuangan dinding sel, yang
dapat dilakukan baik dengan cara mekanis seperti sonikasi, tekanan tinggi, bekuleleh maupun dengan cara enzimatis seperti pemberian lisozim. Langkah berikutnya
adalah lisis sel. Bahan-bahan sel yang relatif lunak dapat dengan mudah
diresuspensi di dalam medium bufer nonosmotik, sedangkan bahan-bahan yang
lebih kasar perlu diperlakukan dengan deterjen yang kuat seperti triton X-100 atau
dengan sodium dodesil sulfat (SDS). Pada eukariot langkah ini harus disertai
dengan perusakan membran nukleus. Setelah sel mengalami lisis, remukanremukan sel harus dibuang. Biasanya pembuangan remukan sel dilakukan dengan
sentrifugasi. Protein yang tersisa dipresipitasi menggunakan fenol atau pelarut
organik seperti kloroform untuk kemudian disentrifugasi dan dihancurkan secara
enzimatis dengan proteinase. DNA yang telah dibersihkan dari protein dan remukan
sel masih tercampur dengan RNA sehingga perlu ditambahkan RNAse untuk
membersihkan DNA dari RNA. Molekul DNA yang telah diisolasi tersebut kemudian
dimurnikan dengan penambahan amonium asetat dan alkohol atau dengan
sentrifugasi kerapatan menggunakan CsCl.
Teknik isolasi DNA tersebut dapat diaplikasikan, baik untuk DNA genomik
maupun DNA vektor, khususnya plasmid. Untuk memilih di antara kedua macam
molekul DNA ini yang akan diisolasi dapat digunakan dua pendekatan.
1. Pertama, plasmid pada umumnya berada dalam struktur tersier yang sangat
kuat atau dikatakan mempunyai bentuk covalently closed circular (CCC),
sedangkan DNA kromosom jauh lebih longgar ikatan kedua untainya dan
mempunyai
nisbah
aksial
yang
sangat
tinggi.
Perbedaan
tersebut
menyebabkan DNA plasmid jauh lebih tahan terhadap denaturasi apabila
dibandingkan dengan DNA kromosom. Oleh karena itu, aplikasi kondisi
denaturasi akan dapat memisahkan DNA plasmid dengan DNA kromosom.
2. Pendekatan kedua didasarkan atas perbedaan daya serap etidium bromid,
zat pewarna DNA yang menyisip atau melakukan interkalasi di sela-sela basa
molekul DNA. DNA plasmid akan menyerap etidium bromid jauh lebih sedikit
daripada jumlah yang diserap oleh DNA kromosom per satuan panjangnya.
Dengan demikian, perlakuan menggunakan etidium bromid akan menjadikan
kerapatan DNA kromosom lebih tinggi daripada kerapatan DNA plasmid
sehingga keduanya dapat dipisahkan melalui sentrifugasi kerapatan.
b. Enzim Restriksi
Tahap kedua dalam kloning gen adalah pemotongan molekul DNA, baik genomik
maupun plasmid. Perkembangan teknik pemotongan DNA berawal dari saat
ditemukannya sistem restriksi dan modifikasi DNA pada bakteri E. coli, yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteriofag lambda (l). Virus l digunakan untuk
menginfeksi dua strain E. coli, yakni strain K dan C. Jika l yang telah menginfeksi
strain C diisolasi dari strain tersebut dan kemudian digunakan untuk mereinfeksi
strain C, maka akan diperoleh l progeni (keturunan) yang lebih kurang sama
banyaknya dengan jumlah yang diperoleh dari infeksi pertama. Dalam hal ini,
dikatakan bahwa efficiency of plating (EOP) dari strain C ke strain C adalah 1.
Namun, jika l yang diisolasi dari strain C digunakan untuk menginfeksi strain K,
maka nilai EOP-nya hanya 10-4. Artinya, hanya ditemukan l progeni sebanyak
1/10.000 kali jumlah yang diinfeksikan. Sementara itu, l yang diisolasi dari strain K
mempunyai nilai EOP sebesar 1, baik ketika direinfeksikan pada strain K maupun
pada strain C. Hal ini terjadi karena adanya sistem restriksi/modifikasi (r/m) pada
strain K.
Pada waktu bakteriofag l yang diisolasi dari strain C diinfeksikan ke strain K,
molekul DNAnya dirusak oleh enzim endonuklease restriksi yang terdapat di dalam
strain K. Di sisi lain, untuk mencegah agar enzim ini tidak merusak DNAnya sendiri,
strain K juga mempunyai sistem modifikasi yang akan menyebabkan metilasi
beberapa basa pada sejumlah urutan tertentu yang merupakan tempat-tempat
pengenalan (recognition sites) bagi enzim restriksi tersebut.
DNA bakteriofag l yang mampu bertahan dari perusakan oleh enzim restriksi
pada siklus infeksi pertama akan mengalami modifikasi dan memperoleh kekebalan
terhadap enzim restrisksi tersebut. Namun, kekebalan ini tidak diwariskan dan harus
dibuat pada setiap akhir putaran replikasi DNA. Dengan demikian, bakteriofag l yang
diinfeksikan dari strain K ke strain C dan dikembalikan lagi ke strain K akan menjadi
rentan terhadap enzim restriksi.
Metilasi hanya terjadi pada salah satu di antara kedua untai molekul DNA.
Berlangsungnya metilasi ini demikian cepatnya pada tiap akhir replikasi hingga
molekul DNA baru hasil replikasi tidak akan sempat terpotong oleh enzim restriksi.
Enzim restriksi dari strain K telah diisolasi dan banyak dipelajari. Selanjutnya,
enzim ini dimasukkan ke dalam suatu kelompok enzim yang dinamakan enzim
restriksi tipe I. Banyak enzim serupa yang ditemukan kemudian pada berbagai
spesies bakteri lainnya.
Pada tahun 1970 T.J. Kelly menemukan enzim pertama yang kemudian
dimasukkan ke dalam kelompok enzim restriksi lainnya, yaitu enzim restriksi tipe II.
Ia mengisolasi enzim tersebut dari bakteri Haemophilus influenzae strain Rd, dan
sejak saat itu ditemukan lebih dari 475 enzim restriksi tipe II dari berbagai spesies
dan strain bakteri. Semuanya sekarang telah menjadi salah satu komponen utama
dalam tata kerja rekayasa genetika.
Enzim restriksi tipe II antara lain mempunyai sifat-sifat umum yang penting sebagai
berikut:
1.
mengenali urutan tertentu sepanjang empat hingga tujuh pasang basa di
dalam molekul DNA
2.
memotong kedua untai molekul DNA di tempat tertentu pada atau di dekat
tempat pengenalannya
3.
menghasilkan fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran dan urutan
basa.
Sebagian besar enzim restriksi tipe II akan mengenali dan memotong urutan
pengenal yang mempunyai sumbu simetri rotasi.
Pemberian nama kepada enzim restriksi mengikuti aturan sebagai berikut.
Huruf pertama adalah huruf pertama nama genus bakteri sumber isolasi enzim,
sedangkan huruf kedua dan ketiga masing-masing adalah huruf pertama dan kedua
nama petunjuk spesies bakteri sumber tersebut. Huruf-huruf tambahan, jika ada,
berasal dari nama strain bakteri, dan angka romawi digunakan untuk membedakan
enzim yang berbeda tetapi diisolasi dari spesies yang sama.
Tempat pemotongan pada kedua untai DNA sering kali terpisah sejauh
beberapa pasang basa. Pemotongan DNA dengan tempat pemotongan semacam ini
akan menghasilkan fragmen-fragmen dengan ujung 5’ yang runcing karena masingmasing untai tunggalnya menjadi tidak sama panjang. Dua fragmen DNA dengan
ujung yang runcing akan mudah disambungkan satu sama lain sehingga ujung
runcing sering pula disebut sebagai ujung lengket (sticky end) atau ujung
kohesif.
DNA tersusun atas empat basa nukleotoda yaitu A (adenine), G (guanine), C
(cytosine) dan T (thymine). Enzim restriksi (dalam hal ini adalah Restriction
Endonuclease Type II) alias ‘gunting’ DNA hanya akan memotong DNA pada tempat
tertentu saja, yaitu jika ia menemukan susunan palindrom, urutan basa yang jika
dibaca dari kedua utas DNA akan tetap sama. Perhatikan contoh sekuen berikut ini:
5'-GATATC-3'
::::::
3'-CTATAG-5'
Baik di utas atas maupun bawah memiliki sekuen yang sama bukan (dibaca dari 5′
ke 3′) di sekuen palindrom seperti itulah enzim restriksi akan bekerja.
Setiap enzim restriksi hanya dapat memotong pada susunan palindrom
tertentu. Misalnya enzim EcoRI akan bekerja jika menemukan urutan GAATTC,
enzim SmaI pada urutan CCCGGG, enzim AluI pada urutan AGCT, dan seterusnya.
Cara pemotongan DNA pun tidak sembarangan, masing-masing enzim punya
titik pemotongan tertentu yang khas. Misalnya BamHI yang mengenali situ GGATCC
akan memotong pada posisi antara dua G membentuk fragmen yang ujungnya ada
yang tidak berpasangan (cohesive atau sticky ends).
5'- G
:
3'- CCTAG
GATCC - 3'
:
G - 5'
Sedangkan enzim PovII yang mengenali situs CAGCTG akan memotong di tengah
situs pemotongan membentuk fragment yang semua ujungnya berpasangan (blunt
ends):
5' - GGA
: : :
3' - CCT
TCC - 3'
: : :
AGG - 5'
Ada sekitar 600 enzim restriksi yang tersedia secara komersial saat ini. Berikut ini
beberapa contoh enzim restriksi beserta situs pemotongannya.
Ligasi Molekul – molekul DNA
c.
Pemotongan DNA genomik dan DNA vektor menggunakan enzim restriksi
harus menghasilkan ujung-ujung potongan yang kompatibel. Artinya, fragmenfragmen DNA genomik nantinya harus dapat disambungkan (diligasi) dengan DNA
vektor yang sudah berbentuk linier.
Ada dua cara yang dapat digunakan untuk meligasi fragmen-fragmen DNA secara in
vitro.
1. Pertama, ligasi menggunakan enzim DNA ligase dari bakteri.
2. Kedua, ligasi menggunakan DNA ligase dari sel-sel E. coli yang telah diinfeksi
dengan bakteriofag T4 atau lazim disebut sebagai enzim T4 ligase. Jika cara
yang pertama hanya dapat digunakan untuk meligasi ujung-ujung lengket.
3. ketiga dapat digunakan yaitu pemberian enzim deoksinukleotidil transferase
untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik 3’. Dengan untai tunggal
semacam ini akan diperoleh ujung lengket buatan, yang selanjutnya dapat
diligasi menggunakan DNA ligase.
Suhu optimum bagi aktivitas DNA ligase sebenarnya 37ºC. Akan tetapi, pada
suhu ini ikatan hidrogen yang secara alami terbentuk di antara ujung-ujung lengket
akan menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat panas akan terjadi pada tempat
ikatan tersebut. Oleh karena itu, ligasi biasanya dilakukan pada suhu antara 4 dan
15ºC dengan waktu inkubasi (reaksi) yang diperpanjang (sering kali hingga
semalam).
Pada reaksi ligasi antara fragmen-fragmen DNA genomik dan DNA vektor,
khususnya plasmid, dapat terjadi peristiwa religasi atau ligasi sendiri sehingga
plasmid yang telah dilinierkan dengan enzim restriksi akan menjadi plasmid sirkuler
kembali. Hal ini jelas akan menurunkan efisiensi ligasi. Untuk meningkatkan efisiensi
ligasi dapat dilakukan beberapa cara, antara lain penggunaan DNA dengan
konsentrasi tinggi (lebih dari 100µg/ml), perlakuan dengan enzim alkalin fosfatase
untuk menghilangkan gugus fosfat dari ujung 5’ pada molekul DNA yang telah
terpotong, serta pemberian molekul linker, molekul adaptor, atau penambahan
enzim deoksinukleotidil transferase untuk menyintesis untai tunggal homopolimerik
3’ seperti telah disebutkan di atas.
Enzim DNA ligase bekerja dengan menyambungkan utas DNA yang memiliki
ujung 5′-PO4 dengan ujung 3′-OH pada utas lain. Mekanismenya bisa bermacammacam, misalnya:

Menyambungkan utas-utas DNA yang sama-sama memiliki ujung overhang
hasil pemotongan enzim restriksi. Ujung overhang ini harus saling komplemen
agar dapat menempel dengan baik. Ujung overhang pada utas sense akan
berpasangan dengan ujung overhang utas antisense. Lalu DNA Ligase
tinggal membentuk ikatan phosphodiester sehingga kedua utas kini sudah
menjadi satu dengan ikatan yang sangat kuat. Mekanisme ini cenderung lebih
mudah karena kedua ujung overhang dapat menempel lebih dulu karena
memiliki sekuen yang saling komplemen.

Menyambungkan utas-utas DNA yang sama-sama memiliki ujung blunt hasil
pemotongan enzim restriksi atau hasil blunt PCR. DNA dengan ujung blunt
lebih sulit untuk ‘dilem’ dengan enzim DNA Ligase karena tidak ada ujung
overhang yang membantu kedua utas untuk saling menempel terlebih dulu
sebelum ‘dilem’.
d. Transformasi Sel Inang
Tahap berikutnya setelah ligasi adalah analisis terhadap hasil pemotongan DNA
genomik dan DNA vektor serta analisis hasil ligasi molekul-molekul DNA tersebut.
dengan menggunakan teknik elektroforesis.
Elektroforesis gel merupakan salah satu teknik utama dalam biologi molekular.
Prinsip dasar teknik ini adalah bahwa DNA, RNA, atau protein dapat dipisahkan oleh
medan listrik. Dalam hal ini, molekul-molekul tersebut dipisahkan berdasarkan laju
perpindahannya oleh gaya gerak listrik di dalam matriks gel. Laju perpindahan
tersebut bergantung pada ukuran molekul bersangkutan. Elektroforesis gel biasanya
dilakukan untuk tujuan analisis, namun dapat pula digunakan sebagai teknik
preparatif untuk memurnikan molekul sebelum digunakan dalam metode-metode lain
seperti spektrometri massa, PCR, kloning, sekuensing DNA, atau immuno-blotting
yang merupakan metode-metode karakterisasi lebih lanjut.
Gel yang digunakan biasanya merupakan polimer bertautan silang (crosslinked)
yang porositasnya dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Untuk memisahkan
protein atau asam nukleat berukuran kecil (DNA, RNA, atau oligonukleotida), gel
yang digunakan biasanya merupakan gel poliakrilamida, dibuat dengan konsentrasi
berbeda-beda antara akrilamida dan zat yang memungkinkan pertautan silang
(cross-linker), menghasilkan jaringan poliakrilamida dengan ukuran rongga berbedabeda. Untuk memisahkan asam nukleat yang lebih besar (lebih besar dari beberapa
ratus basa), gel yang digunakan adalah agarosa (dari ekstrak rumput laut) yang
sudah dimurnikan.
Dalam proses elektroforesis, sampel molekul ditempatkan ke dalam sumur (well)
pada gel yang ditempatkan di dalam larutan penyangga, dan listrik dialirkan
kepadanya. Molekul-molekul sampel tersebut akan bergerak di dalam matriks gel ke
arah salah satu kutub listrik sesuai dengan muatannya. Dalam hal asam nukleat,
arah pergerakan adalah menuju elektrode positif, disebabkan oleh muatan negatif
alami pada rangka gula-fosfat yang dimilikinya. Untuk menjaga agar laju
perpindahan
asam
nukleat
benar-benar
hanya
berdasarkan
ukuran
(yaitu
panjangnya), zat seperti natrium hidroksida atau formamida digunakan untuk
menjaga agar asam nukleat berbentuk lurus. Sementara itu, protein didenaturasi
dengan deterjen (misalnya natrium dodesil sulfat, SDS) untuk membuat protein
tersebut berbentuk lurus dan bermuatan negatif.
Setelah proses elektroforesis selesai, dilakukan proses pewarnaan (staining)
agar molekul sampel yang telah terpisah dapat dilihat. Etidium bromida, perak, atau
pewarna "biru Coomassie" (Coomassie blue) dapat digunakan untuk keperluan ini.
Jika molekul sampel berpendar dalam sinar ultraviolet (misalnya setelah "diwarnai"
dengan etidium bromida), gel difoto di bawah sinar ultraviolet. Jika molekul sampel
mengandung atom radioaktif, autoradiogram gel tersebut dibuat.
Pita-pita (band) pada lajur-lajur (lane) yang berbeda pada gel akan tampak
setelah proses pewarnaan; satu lajur merupakan arah pergerakan sampel dari
"sumur" gel. Pita-pita yang berjarak sama dari sumur gel pada akhir elektroforesis
mengandung molekul-molekul yang bergerak di dalam gel selama elektroforesis
dengan kecepatan yang sama, yang biasanya berarti bahwa molekul-molekul
tersebut berukuran sama. "Marka" atau penanda (marker) yang merupakan
campuran
molekul
dengan
ukuran
berbeda-beda
dapat
digunakan
untuk
menentukan ukuran molekul dalam pita sampel dengan meng-elektroforesis marka
tersebut pada lajur di gel yang paralel dengan sampel. Pita-pita pada lajur marka
tersebut dapat dibandingkan dengan pita sampel untuk menentukan ukurannya.
Jarak pita dari sumur gel berbanding terbalik terhadap logaritma ukuran molekul.
Berikut ini gambar citra elektroforesis gel.
Jika hasil elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen-fragmen DNA genomik
telah terligasi dengan baik pada DNA vektor sehingga terbentuk molekul DNA
rekombinan, campuran reaksi ligasi dimasukkan ke dalam sel inang agar dapat
diperbanyak dengan cepat. Dengan sendirinya, di dalam campuran reaksi tersebut
selain terdapat molekul DNA rekombinan, juga ada sejumlah fragmen DNA genomik
dan DNA plasmid yang tidak terligasi satu sama lain. Tahap memasukkan campuran
reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi karena sel inang
diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul DNA
rekombinan.
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M.
Mandel dan A. Higa, yang melakukan transformasi bakteri E. coli. Sebelumnya,
transformasi pada beberapa spesies bakteri lainnya yang mempunyai sistem
transformasi alami seperti Bacillus subtilis telah dapat dilakukan. Kemampuan
transformasi B. subtilis pada waktu itu telah dimanfaatkan untuk mengubah strainstrain auksotrof (tidak dapat tumbuh pada medium minimal) menjadi prototrof (dapat
tumbuh pada medium minimal) dengan menggunakan preparasi DNA genomik utuh.
Baru beberapa waktu kemudian transformasi dilakukan menggunakan perantara
vektor, yang selanjutnya juga dikembangkan pada transformasi E.coli.
Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan Higa adalah perlakuan kalsium
klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk mengambil DNA dari
bakteriofag l. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya menemukan
bahwa sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid.
Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di
dalam larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan
45ºC selama lebih kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA
dengan larutan CaCl2 tersebut dapat meningkatkan frekuensi transformasi tetapi
tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar lebih rendah efisiensi
transformasinya daripada molekul DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidaktidaknya transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan
menyebabkan sel-sel bakteri membengkak dan membentuk sferoplas yang
kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding sel menjadi bocor. DNA yang
ditambahkan ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks resisten DNase
dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian
diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan.
e. Seleksi Transforman dan Seleksi Rekombinan
Oleh karena DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya DNA
rekombinan, maka kita harus melakukan seleksi untuk memilih sel inang
transforman yang membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, di antara sel-sel
transforman yang membawa DNA rekombinan masih harus dilakukan seleksi untuk
mendapatkan sel yang DNA rekombinannya membawa fragmen sisipan atau gen
yang diinginkan.
Cara seleksi sel transforman akan diuraikan lebih rinci pada penjelasan tentang
plasmid. Pada dasarnya ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi setelah
transformasi dilakukan, yaitu :
(1) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi gagal,
(2) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal, dan
(3) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan/tanpa fragmen sisipan atau
gen yang diinginkan. Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan
kedua dilihat perubahan sifat yang terjadi pada sel inang.
Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat dipastikan
bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara
kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel
inang. Jika sel inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker
vektor, maka dapat dipastikan bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Seleksi sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan dilakukan
dengan mencari fragmen tersebut menggunakan fragmen pelacak (probe), yang
pembuatannya dilakukan secara in vitro menggunakan teknik reaksi polimerisasi
berantai atau polymerase chain reaction (PCR). Pelacakan fragmen yang
diinginkan antara lain dapat dilakukan melalui cara yang dinamakan hibridisasi
koloni. Koloni-koloni sel rekombinan ditransfer ke membran nilon, dilisis agar isi
selnya keluar, dibersihkan protein dan remukan sel lainnya hingga tinggal tersisa
DNAnya saja. Selanjutnya, dilakukan fiksasi DNA dan perendaman di dalam larutan
pelacak. Posisi-posisi DNA yang terhibridisasi oleh fragmen pelacak dicocokkan
dengan posisi koloni pada kultur awal (master plate). Dengan demikian, kita bisa
menentukan koloni-koloni sel rekombinan yang membawa fragmen yang diinginkan.
Download