BAB III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Antropologi . Pokok Bahasan a. Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi 1. Fase Pertama (Sebelum 1800) Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika selama 4 abad (sejak akhir abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16) membawa pengaruh bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut. Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisan buah tangan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah perjalanan, laporan dan sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Oseania (yaitu kepulauan di lautan teduh) maupun suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Bahan deskripsi itu (disebut „etnografi‟ dari kata ethos = bangsa) sangat menarik karena berbeda bagi bangsa Eropa Barat kala itu. Akan tetapi, deskripsi tersebut seringkali tidak jelas/ kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak aneh bagi mereka. Selain itu, ada pula tulisan yang baik dan teliti (Koentjaraningrat, 2009) Lebih lanjut Koentjaraningrat (2009) menjelaskan bahwa dalam pandangan kalangan terpelajar di Eropa Barat timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsabangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu: Ada yang berpandangan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya, melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Dengan demiian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, untuk menyebut bangsa-bangsa tadi. Ada yang berpandangan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, belum mengenal kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu. Ada yang tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan bendabenda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika 1 pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan pribadi tadi ada yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum, dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa. Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat dan ciri-ciri fisik bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi tadi menjadi satu. 2. Fase Kedua (Kira-kira Pertengahan Abad ke-19) Integrasi yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan abad ke 19. Karangankarangan etnografi tersebut tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka waktu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk masyarakat dan kebudayaan seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu. Semua bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa (oleh orang Eropa disebut primitive) dianggap sebagai contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia zaman dahulu. Berdasarkan cara berpikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbullah ilmu antrolpogi. Kemudian timbul pula beberapa karangan hasil penelitian tentang sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi. Di sini pun kebudayaan bangsabangsa di luar Eropa itu dianggap sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan manusia yang kuno sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang dapat menambah pengetahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan 2 manusia. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dalam fase perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal, dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia. 3. Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20) Pada permulaan abad ke-20, sebagian negara penjajah di Eropa berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai berhadapan langsung dengan bangsabangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Berkaitan erat dengan itu dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsabangsa di luar Eropa itu penting karena bangsa-bangsa itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti masyarakat bangsa-bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tidak kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang kompleks. Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai tadi, terutama berkembang di Inggris sebagai negara penjajah yang utama, dan juga di hampir semua negara kolonial lainnya. Amerika Serikat pun yang bukan negara kolonial, tetapi telah mengalami berbagai masalah yang berhubungan dengan suku-suku bangsa Indian penduduk pribumi benua Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu antropologi yang baru tadi. Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks. 4. Fase Keempat (Sesudah Kira-kira 1930) Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun 3 mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Selain tiu kita lihat adanya dua perubahan di dunia: Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II. Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi ini. Proses-proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, yaitu yang pertama, kedua, ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, tetapi dipakai sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru. Perkembangan itu terutama terjadi di universitasuniversitas di Amerika Serikat, tetapi menjadi umum di negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli antropologi dari berbagai negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan suatu simposium internasional untuk meninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropolgi yang baru itu. Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930, memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitif yang tinggal di benua-benua di luar Eropa saja, tetapi sudah beralih kepada manusia di daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya. Dalam hal itu, perhatian tidak hanya tertuju kepada penduduk daerah pedesaan di luar benua Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti sukusuku bangsa Soami, Flam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk Pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepada penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville dan lain-lain). Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam fase perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan 4 akademisnya adalah mencapai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di dalam praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat sukubangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu. b. Antropologi Masa Kini Uraian mengenai keempat fase perkembangan ilmu antropologi tadi, perlu untuk mendapat suatu pengertian tentang tujuan dan ruang lingkupnya. Karena ilmu antropologi masih tergolong muda yakni baru berumur kira-kira satu abad saja, menyebabkan tujuan dan ruang lingkupnya masih merupakan suatu kompleks masalah yang sampai sekarang masih menjadi pokok perbedaan paham antara berbagai aliran yang ada dalam kalangannya sendiri. Secara kasar aliran-aliran dalam antropologi dapat digolongkan berdasarkan atas berbagai universitas di beberapa negara tempat ilmu antropologi berkembang, yaitu terutama di Amerika Serikat, Inggris, Eropa Tengah, Eropa Utara, Uni Soviet, dan negara-negara yang sedang berkembang. Di Amerika Serikat, ilmu antropologi telah memakai dan mengintegrasikan seluruh warisan bahan dan metode dari ilmu antropologidalam fasenya yang pertama, kedua, dan ketiga, ditambah dengan berbagai spesialisasi yang telah dikembangkan secara khusus untuk mencapai pemahaman tentang dasar-dasar dari keragaman bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tampak pada masa sekarang ini. Artinya, universitas-universitas di Amerika Serikat adalah tempat ilmu antropologi dalam fase keempatnya itu telah berkembang seluas-luasnya. Di Inggris dan negara-negara yang ada di bawah pengaruhnya, seperti Australia, ilmu antropologi dalam fase perkembangannya yang ketiga masih dilakukan, tetapi dengan hilangnya daerah-daerah jajahan Inggris, maka sifat dari ilmu antropologi tentu juga berubah. Para sarjana antropologi bangsa Australia mempelajari suku-suku bangsa asli di Papua Nugini dan Kepulauan Melanesia untuk keperliam pemerintah-pemerintah jajahannya di sana (sekarang bekas jajahan). Di samping menunjukkan antropologi untuk keperluan pemerintah jajahannya, maka setelah daerah-daerah jajahan itu menjadi 5 merdeka, para sarjana Inggris memperhatikan berbagai masalah yang lebih luas mengenai dasar-dasar masyarakat dan kebudayaan manusia pada umumnya. Dalam hal ini metode antropologi yang telah dikembangkan di Amerika Serikat juga sudah mulai mempengaruhi berbagai lapangan penelitian para ahli antropologi di Inggris. Di Eropa Tengah seperti Jerman, Austria, dan Swiss, hingga kira-kira awal tahun 1970an saja ilmu antropologi masih bertujuan mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa untuk memahami tentang sejarah penyebaran kebudayaan seluruh umat manusia di muka bumi ini. Jadi sifat antropologinya masih berada pada fase kedua. Walaupun demikian, akhir-akhir ini pengaruh ilmu antropologi dari Amerika juga sudah mulai tampak pada para ahli antropologi generasi muda di Jerman Barat dan Swiss. Di Eropa Utara, di negara-negara Skandinavia, ilmu antropologi sebagian bersifat akademikal, seperti di Jerman dan Austria. Mereka juga mempelajari banyak daerah di benua-benua di luar Eropa, tetapi keistimewaan mereka terletak dalam hasil-hasil penelitian tentang kebudayaan suku bangsa Eskimo. Di samping itu, para sarjana dari negara-negara Skandinavia juga mempergunakan banyak metode antropologi yang telah dikembangkan di Amerika Serikat. Di Uni Soviet, perkembangan ilmu antropologi di luar tidak banyak dikenal karena Uni Soviet hingga kira-kira sekitar 1960 memang seolah-olah mengisolasikan diri dari dunia lainnya. Sungguh pun demikian, beberapa tulisan tentang perkembangan ilmu antropologi di Uni Soviet menunjukkan bahwa aktivitas penelitian antropologi di sana sangat besar. Ilmu antropologi di Uni Soviet berdasarkan konsep Karl Marx dan Friedrich Engels mengenai tingkat-tingkat evolusi masyarakat. Ilmu hanya dianggap sebagian dari ilmu sejarah, yaitu bagian yang mengkhususkan pada asal mula, evolusi, dan penyebaran kebudayaan bangsa-bangsa di seluruh muka bumi. Lepas dari bidang teori itu, ilmu antropologi di Uni Soviet menunjukkan bidang yang praktis, yakni melakukan kegiatan besar dalam hak mengumpulkan bahan tentang keragaman bentuk masyarakat dan kebudayaan dari suku bangsa yang merupakan penduduk wilayah Uni Soviet yang mahaluas, dan dalam hal memamerkan bahan itu. Dengan demikian ilmu itu dapat dipergunakan sebagai alat untuk mengembangkan saling pengertian antara 6 suku bangsa yang beraneka ragam itu. Di samping itu, para sarjana Uni Soviet ruparupanya juga menaruh perhatian besar terhadap banyak daerah lain di muka bumi. Di negara-negara bekas jajahan Inggris, terutama di India, metode antropologi mendapat pengaruh besar dari aliran-aliran di Inggris, dan ilmu itu mendapat suatu fungsi yang sangat praktis dalam hal mencapai pengertian keragamanan kehidupan masyarakat di India dan guna kepentingan-kepentingan yang praktis dalam hubungan antara golongangolongan penduduk itu. Suatu hal yang sangat menarik adalah bahwa di India antropologi dan sosiologi sudah bukan dua ilmu yang berbeda lagi, melainkan telah menjadi ilmu sosial yang baru. Dalam suatu masyarakat negara seperti India, masalah nasional dan masalah kota-kota sangat erat berkaitan dengan masalah-masalah pedesaan. Di Indonesia, baru mulai dikembangkan suatu ilmu antropologi khas Indonesia. Beruntunglah kita bahwa dalam hal menentukan dasar-dasar dari antropologi Indonesia belum terikat oleh suatu tradisi sehingga kita masih merdeka untuk memilih dan mengombinasikan unsur-unsur dari berbagai aliran antropologi yang paling cocok atau yang dapat diselaraskan dengan masalah kemasyarakatan di Indonesia. Konsepsi mengenai luas dari batas-batas lapangan penelitian antropologi dan seluruh integrasi luas dari metode-metode antropologi, dapat kita contoh dari Amerika. Penggunaan antropologi sebagai suatu ilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kehidupan masyarakat dan kebudayaan dari berbagai suku bangsa yang berbeda-beda yang kemudian kita pamerkan sehingga dengan demikian timbul saling pengertian antara berbagai suku bangsa itu, dapat kita contoh dari Uni Soviet, penggunaan antropologi sebagai suatunilmu praktis untuk mengumpulkan data tentang kebudayaan-kebudayaan daerah dan masyarakat pedesaan sehingga dengan demikian dapat ditemukan dasardasar bagi suatu kebudayaan nasional yang mempunyai suatu kepribadian khusus dan dapat dibangun suatu masyarakat desa yang modern, dapat kita contoh dari Meksiko. Penggunaan antropologi bersama sosiologi sebagai suatu ilmu praktis bersama dapat memberi bantuan dalam hal memecahkan masalah-masalah kemasyarakatan di Indonesia sekarang, dan dalam hal perencanaan pembangunan nasional, dapat kita 7 contoh dari India. Sampai sekarang di berbagai negara masih dipakai bebagai istilah, sehingga ada perlunya diterangkan di manakah istilah-istilah tersebut lazim dipakai dan apakah arti istilah-istilah seperti ethnography, ethnology, volkerkunde, kulturkunde, anthropology, cultural anthropology, dan social anthropology? Ethnography berarti “pelukisan tentang bangsa-bangsa”. Istilah ini dipakai umum di Eropa Barat untuk menyebut bahan keterangan yang termaktub dalam karangankarangan tentang masyarakat dan kebudayaan suku bangsa di luar Eropa, serta segala metode untuk mengumpulkan dan mengumumkan bahan itu. Sampai sekarang istilah itu masih lazim dipakai untuk menyebut bagian dari ilmu antropologi yang bersifat deskriptif. Ethnology yang berarti “ilmu bangsa-bangsa”, adalah juga suatu istilah yang telah lama dipakai sejak permulaan masa terjadinya antropologi. Sekarang di banyak negara istilah itu mulai ditinggalkan, hanya di Amerika dan Inggris masih dipakai untuk menyebut suatu bagian dari antropologi yang khusus mempelajari masalah-masalah yang berhubungan dengan sejarah perkembangan kebudayaan manusia. Volkerkunde (Volkenkunde) berarti “ilmu bangsa-bangsa”. Istilah itu dipergunakan terutama di Eropa Tengah sampai sekarang. Kulturkunde berarti “ilmu kebudayaan”. Istilah ini pernah dipakai oleh seorang sarjana antropologi dari Jerman, L. Frobenius, dalam arti yang sama dengan pemakaian ethnology di Amerika. Pernah juga dipakai oleh seorang guru besar Universitas Indonesia, G.J. Held. Dalam bahasa Indonesia istilah itu menjadi “ilmu kebudayaan”. Anthropology berarti “ilmu tentang manusia”, dan adalah suatu istilah yang sangat tua. Dahulu istilah itu digunakan dalam arti yang lain, yaitu “ilmu tentang ciri-ciri tubuh manusia” (malahan pernah juga dalam arti “ilmu anatomi”). Dalam perkembangan fase ketiga sejarah perkembangan antropologi, istilah itu mulai dipakai terutama di Inggris dan Amerika dalam arti yang sama dengan ethnology pada awalnya. Di Inggris kemudian istilah anthropology malahan mendesak istilah ethnology, dan di Amerika istilah anthropology dipakai dalam arti yang amat luas, karena meliputi baik bagian8 bagian fisik maupun sosial dari “ilmu tentang manusia”. Di Eropa Barat dan Tengah istilah anthropology dipakai dalam arti khusus, yaitu ilmu tentang ras-ras manusia dipandang dari ciri-ciri fisiknya. Istilah cultural anthropology akhir-akhir ini terutama dipakai di Amerika, tetapi kemudian juga di negara-negara lain sebagai istilah untuk menyebut bagian dari ilmu antropologi dalam arti luas yang tidak mempelajari manusia dari sudut fisiknya, jadi sebagai lawan daripada physical anthropology. Sekarang dipakai secara resmi oleh Universitas Indonesia menjadi “antropologi budaya”, untuk menggantikan istilah G.J. Held “ilmu kebudayaan”. Istilah social anthropology dipakai di Inggris untuk menyebut antropologi dalam fase ketiganya, sebagai lawan ethnology, yang di sana dipakai untuk menyebut antropologi dari fase-fase sebelumnya. Di Amerika di mana segala macam metode yang saling bertentangan diselaraskan menjadi satu, social anthropology dan ethnology merupakan dua subbagian dalam ilmu antropologi. Hasil Pembelajaran (1) Mampu memahami, menjelaskan tahap perkembangan ilmu antropologi (2) Mampu menjelaskan dan memberikan contoh penerapan ilmu antropologi di kehutanan. Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Diskusi dan menjawab kuis Kuis dan latihan - Jelaskan mengapa rimbawan perlu membekali diri dengan ilmu antropologi ! - Terangkan perkembangan ilmu antropologi dan konsekuensinya dalam konteks objek studi dan dampaknya dalam bidang akademis dan praktis ! 9 DAFTAR PUSTAKA Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MRUnited Press. Jakarta. Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta. Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta 10 Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta 11