BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perancangan ini menjawab permasalahan yang muncul dari isu yang timbul di masyarakat mengenai pandangan anak tunalaras dengan sebelah mata. Mereka masih menganggap bahwa anak tersebut tidak mampu mandiri dan tidak akan sembuh. Namun studi preseden dan teori menunjukkan bahwa anak tunalaras dapat dilatih agar menjadi orang yang lebih baik, salah satunya dengan lingkungan sehari-hari. Desain tesis ini memiliki hasil akhir berupa kriteria serta perancangan Sekolah Luar Biasa yang dapat menahan aktivitas berlebih dari anak aktif dan menarik minat komunikasi dari anak tunalaras pasif dengan meninjau perilaku dari anak tunalaras. Perancangan Sekolah Luar Biasa ini tersusun dari beberapa perancangan, antara lain perancangan bentuk massa, perancangan tempat menyendiri, dan perancangan ruang kelas. Anak tunalaras aktif memiliki perilaku sering berlarian dan bermain bola. Secara sosial, mereka tidak ada masalah dalam bergaul, namun mereka sering mengintimidasi anak pasif. Untuk mencegah hal tersebut, bentuk massa pada Sekolah Luar Biasa ini didesain berorientasi ke dalam dan bentuk massa mengelilingi pusat orientasi. Hal ini juga bertujuan agar anak tunalaras aktif tidak pergi sesuka mereka. Selain itu, orientasi di tengah dibentuk agar terjadi komunikasi antara para siswa, sehingga anak pasif dapat terlatih dalam hal sosialisasi dan komunikasi. Masing-masing fungsi dalam setiap massa dibedakan dengan menggunakan warna dan tekstur pada material, sehingga dapat membantu anak tunalaras dalam menerjemahkan fungsi dari suatu ruangan. Perbedaan warna ini diterapkan pada perbedaan zona, seperti zona siswa yang terdiri dari ruang kelas, serta zona guru yang mencakup ruang guru dan ruang tata usaha. Pada zona guru memanfaatkan material bata ekspos, karena material ini diindikasikan dapat memberikan persepsi berbeda baik tekstur maupun warna. Perbedaan warna pada sekolah ini juga dipilih berdasarkan context effect atau efek suasana yang dihasilkan oleh sebuah warna, sehingga penggunaan 1 warna pada interior bangunan ini dapat membantu menekan emosi berlebih yang dimiliki oleh anak tunalaras aktif. Anak tunalaras pasif cenderung pemalu, dan membutuhkan tempat privasi untuk mereka menyendiri dan terlindung dari gangguan anak aktif. Desain tempat menyendiri memiliki 2 alternatif, yaitu untuk sekolah dominan anak aktif, anak pasif, dan jumlah anak aktif dan pasif yang seimbang. Tempat menyendiri untuk anak aktif dan pasif yang seimbang didesain berada di tengah koridor, namun tetap mempertahankan privasi mereka dengan desain yang agak tertutup namun masih dapat melihat aktivitas di sekitarnya. Sedangkan untuk dominan anak pasif, tempat menyendiri didesain pada sepanjang koridor, sehingga privasi yang tercipta berasal dari jarak yang diatur oleh anak pasif itu sendiri. Perilaku yang diamati pada sekolah Prayuwana, bahwa anak pasif juga memanfaatkan koridor untuk menyendiri. Hal ini berdampak negatif, karena selain menghalangi akses sirkulasi, anak pasif juga memiliki kemungkinan untuk terkena tendangan bola yang dilakukan oleh anak aktif. Untuk menghindari anak tunalaras pasif menyendiri di koridor, maka koridor dirancang khusus dengan memberikan efek pengulangan atau hukum continuity pada hukum Gestalt yang diterapkan pada plafon. Selain itu, desain koridor yang memiliki jarak yang jauh antara dinding dan lantai, sehingga tidak memungkinkan anak pasif untuk bersandar. Perilaku yang terlihat di ruang kelas tidak berbeda dengan di lapangan dan koridor. Anak pasif terlalu malu untuk dapat menjawab pertanyaan guru, sedangkan anak aktif terlalu aktif untuk mengikuti pelajaran, sehingga mereka ingin terus bermain yang disebabkan oleh banyaknya ruang kosong seperti bawah meja. Oleh karena itu, interior kelas harus didesain tidak ada ruang kosong, terutama terhadap desain meja yang tidak menimbulkan ruang kosong. Selain meja, desain kelas juga harus dibuat polos dan tidak ada benda mononjol untuk meredam keaktifan anak tunalaras. Karena sering kali perhatian anak tunalaras terpecah karena adanya bidang yang menonjol. Agar dapat memaksimalkan interaksi antara guru dan murid serta melatih keberanian anak pasif dalam berpendapat, maka terdapat 2 alternatif pola 2 peletakkan meja pada kelas. Untuk alternatif pada dominan anak pasif, peletakkan meja berpola diskusi, sedangkan untuk alternatif pada dominan anak aktif, kelas tidak akan menggunakan meja, atau lebih sering disebut lesehan. Desain tata massa menggunakan random method yang dilakukan Sou Fujimoto diindikasikan dapat menyelesaikan masalah perilaku anak tunalaras aktif yang sering mengganggu anak pasif dan keaktifan mereka yang berlebihan, melalui penataan massa, orientasi massa, serta desain interior yang baik bagi anak tunalaras. Namun pada perancangan ini menemukan bahwa ada beberapa hal lain yang dapat membantu menyelesaikan masalah tersebut dalam perancangan kelas, melalui penataan pola meja yang dapat mendukung interaksi anak pasif. Perancangan ini juga memanfaatkan warna pada material untuk membedakan fungsi dari sebuah ruangan, sebagai salah satu saluran kreativitas yang digunakan pada perancangan Sekolah Luar Biasa agar dapat membantu anak tunalaras dalam menerjemahkan fungsi dalam sebuah ruangan. 5.2 Saran Hasil penelitian dan perancangan ini direkomendasikan kepada para akademisi dan para arsitek, dimana perancangan ini mampu memberikan pengetahuan mengenai rancangan Sekolah Luar Biasa tipe E khusus anak tunalaras dengan menggunakan pendekatan perilaku. Perancangan ini diakui memiliki kelemahan dalam proses merancang maupun hasil perancangannya. Pada proses perancangan ditemukan kurang jitunya dalam pemilihan misi, goal, serta performance requirement terhadap masalah psikologi yang dialami oleh anak tunalaras. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa ada beberapa aspek yang dapat menyelesaikan masalah psikologi anak tunalaras selain komunikasi yang menjadi solusi utama dari permasalahan psikologi tunalaras dalam penelitian ini. Meninjau hal tersebut menjadikan penelitian ini menghasilkan kriteria perancangan serta konsep perancangan yang hanya menyelesaikan permasalah dari segi komunikasi. 3 Hasil perancangan ini dapat digunakan sebagai masukan bagi pemerintah, serta instansi pendidikan yang ingin mendirikan Sekolah Luar Biasa tipe E, bahwa perancangan Sekolah Luar Biasa yang mendukung anak tunalaras dipengaruhi oleh adanya tempat privasi, serta penggunaan warna dalam interior bangunan, seperti ruang kelas. 4