PENGEMBANGAN MULTIPLEKS PCR (MPCR) UNTUK MENDETEKSI VIRUS PENYAKIT KERDIL UDANG WINDU DI TAMBAK PADA MUSIM BERBEDA MULTIPLEX PCR DEVELOPMENT FOR DETECTION OF MSGS-RELATED VIRUSES OF TIGER SHRIMP IN GROW-OUT PONDS AT DIFFERENT SEASONS Sriwulan1, Akbar Tahir2, Alexander Rantetondok1, Baharuddin3 1. Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS 2. Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UNHAS 3. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian UNHAS Alamat Korespondensi: Ir. Sriwulan, MP Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10. Tamalanrea Makassar 90245 E-mail: [email protected] HP: 082189087280 Abstrak Penyakit kerdil udang windu telah menyebabkan kerugian pada petani tambak karena ukuran udang tidak mencapai ukuran standar sesuai umur udang. Penelitian ini bertujuan menganalisis virus MSGS (MBV, IHHNV dan HPV) di tambak pada musim hujan dan kemarau menggunakan MPCR. Sampel yang digunakan adalah udang windu berumur 3-4 bulan pemeliharaan, berukuran kerdil (6.97±2.34 – 16.86±1.90 g) dan normal (22.94±4.62 – 40.31±8.22 g). Primer spesifiik pada MPCR untuk MBV, IHHNV dan HPV masing-masing berukuran 261 bp, 302 bp dan 595 bp mampu mengampilifikasi DNA ketiga virus tersebut. Hasil Chisquare, prevalensi virus MSGS pada musim hujan tidak berbeda dengan musim kemarau, baik pada udang normal maupun udang kerdil (P>0.05) juga tidak ada korelasi antara kualitas air dengan prevalensi MBV, IHHNV dan HPV di udang normal dan kerdil (P>0.05). Pada musim kemarau prevalensi tipe infeksi virus MSGS pada udang kerdil lebih tinggi dari udang normal dan prevalensi udang yang tidak terinfeksi virus MSGS lebih tinggi pada udang normal baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sebaliknya prevalensi udang yang terinfeksi virus MSGS lebih tinggi di udang kerdil pada musim kemarau (P<0.05). MPCR dapat mendeteksi virus MSGS dengan cepat dan virus MSGS bertanggungjawab terhadap kekerdilan udang windu di tambak. Kata kunci : multipleks PCR, musim, MSGS, udang windu, virus. Abstract Stunted growth phenomenon of shrimp has caused significant lost due to its undersize. This research was aimed to analyze occurrence of viruses MBV, IHHNV and HPV, in shrimp ponds at dry and rainy seasons. Samples were shrimps cultivated for 3 to 4 months. The samples were designated as stunted, size 6.97±2.34 to 16.86±1.90 g, and Normal, size 22.94±4.62 to 40.31±8.22 g. MPCR Specific primers used for detection of MBV, IHHNV and HPV could amplify the three viruses DNA with PCR products of 261 bp, 302 bp, and 595 bp, respectively. Prevalence of MSGS viruses was not different significantly between rainy and dry season in both normal and stunted samples (P > 0.05). No correlation was found between water quality parameters and the prevalence of infection of MBV, IHHNV and HPV in normal and stunted shrimp (P > 0.05). In dry season, prevalence of infection type MSGS-related viruses was higher in stunted shrimp than normal shrimp, and prevalence of uninfected shrimp was higher in normal shrimp in both seasons. On the other hand, prevalence of infected shrimp was higher in stunted shrimp in dry season (P < 0.05). It was concluded that the MPCR can implementation as a fast detection for MSGS viruses and the viruses were responsible for the shrimp stunted growth phenomenon in shrimp ponds. Key words: Tiger Shrimp, MPCR, MSGS, Seasons, Viruses. PENDAHULUAN Penyakit kerdil udang windu dikenal dengan istilah Monodon Slow Growt Syndrome (MSGS). MSGS di Sulawesi Selatan sebenarnya telah banyak menyebabkan kerugian pada petani tambak karena ukuran udang yang tidak bisa mencapai ukuran standar sesuai umur udang. Di Thailand udang yang dipelihara di tambak selama 4 bulan memperlihatkan pertumbuhan yang kerdil dengan laju pertumbuhan harian sekitar 0.07 sampai 0.15 g/hari atau hanya mencapai berat sekitar 16.8 g/ekor, jika dibandingkan dengan pertumbuhan udang normal yang laju pertumbuhan hariannya sekitar 0.2 g/hari dengan berat badan sekitar 24 g/ekor setelah dipelihara selama 4 bulan (Chayaburakul et al., 2004). Penyakit kerdil udang windu (MSGS) disebabkan oleh beberapa asosiasi agen penyakit yaitu beberapa jenis virus DNA seperti IHHNV, MBV, HPV dan virus RNA yaitu LSNV (Chayaburakul et al., 2004; Sritunyalucksana et al., 2006) serta parasit seperti gregarine pada usus udang (Poulpanich and Withyachumnarnkul, 2009). Virus merupakan agen penyakit udang yang sangat berbahaya karena transmisinya secara vertikal melalui induk udang ke anaknya dan horizontal melalui lingkungan dengan reservoir inang adalah semua jenis krustase air laut dan krustase air tawar (Catap and Travina, 2005). Selain itu, infeksi virus tidak bisa diobati karena virus merupakan organisme intraselluler yang tidak dapat dijangkau oleh sistem peredaran darah udang sehingga penggunaan antibiotik untuk virus adalah tidak cocok. Perkembangan virus sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi lingkungan dan kondisi inang/udang. Kondisi lingkungan seperti suhu, salinitas dan pH sangat dipengaruhi oleh musim sehingga kondisi ini dapat mempengaruhi perkembangan virus dan kondisi udang sebagai inang. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perkembangan virus lebih cepat pada pada musim hujan karena salinitas dan suhu rendah dibanding musim kemarau (MontgomeryBrock et al., 2007; Montgomery-Brock et al., 2004; Karunasagar and Karunsagar, 1997). Deteksi dini agen penyakit sangat dibutuhkan dalam pencegahan dan pengendalian penyakit. Multipleks PCR (MPCR) sebagai metode deteksi molekuler dapat digunakan sebagai metode deteksi dini karena dapat mendeteksi beberapa jenis agen penyakit secara bersamaan dalam satu reaksi atau secara simultan. Virus MSGS (MBV, IHHNV dan HPV) dapat dideteksi bersamaan dengan MPCR sehingga tindakan pencegahan seperti anjuran penggunaan/penebaran benur bebas virus MSGS dapat dilakukan untuk mencegah peledakan populasi virus MSGS di tambak serta untuk tindakan pengendalian seperti penggunaan probitoik dan immunostimulan yang sesuai dapat dilakukan. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis virus MSGS yaitu MBV, IHHNV dan HPV di tambak pada musim hujan dan kemarau dengan MPCR. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilakukan pada bulan Pebruari 2011 sampai bulan Januari 2012. Lokasi sampling adalah tambak di Kabupaten Takalar dan Pinrang pada musim hujan dan kemarau. Analisis sampel dengan MPCR dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Ikan FIKP UNHAS. Populasi dan Sampel Sampel pada penelitian ini adalah udang windu yang berumur 3-4 bulan pemeliharaan di tambak yang terdiri atas dua ukuran yaitu ukuran normal dan kerdil (Tabel 1. Udang ukuran normal adalah udang yang berukuran 0.2 - 0.3 g/hari dan kerdil adalah 0.007- 0.15 g/hari (Chayaburakul et al., 2004). Jumlah sampel adalah masing-masing 10 ekor udang kerdil dan normal pada setiap tambak per musim. Ekstraksi dan Amplifikasi DNA Organ udang windu seperti karapaks, insang, segmen terakhir tubuh udang serta hepatopankreas dihaluskan dengan tissue grinder dan mortar. Hasil gerusan ini yang digunakan pada proses ekstraksi DNA menggunakan kit QiaAmp DNA Mini Kit. DNA hasil ekstraksi digunakan sebagai templat DNA pada MPCR. Primer spesifik untuk mengamplifikasi templat DNA adalah: HPV 2F/2R 5′-GGAAGCCTGTGTTCCTGACT-3′ 5′-CGTCTCCGGATTGCTCTGAT-3′ (595 bp) (Tang et al., 2008) MBV 261F/R 5′-AATCCTAGGCGATCTTACCA-3′ 5′-CGTTCGTTGATGAACATCTC-3′ (261bp) (Surachetpong et al., 2005) IHHNV F/R 5′-ATTTCTCCAAGCCTTCTCACC-3′ 5′-TGATGTAAGTAATTCCTCTCTGT-3′ (302bp) (Khawsak et al., 2008). Amplifikasi DNA virus MBV, IHHNV dan HPV dengan MPCR dilakukan pada kondisi MPCR yaitu predenaturasi 95oC selama 15 menit, denaturasi 94oC selama 30 detik, annealing 59oC selama 1 menit 30 detik, ekstension 72oC selama 1 menit 30 detik dan final ekstension 72oC selama 10 menit, dengan 35 siklus. Komposisi MPCR (25 µL): Master Mix 12.5 µL, primer mix 2.5 µL, Q-solution 2.5 µL, RNA-ase free water 5.5 µL dan template 2.0 µL. Untuk mengetahui keberhasilan MPCR mengamplifikasi DNA virus MSGS, hasil MPCR dirunning pada agaros 1.5% pada alat elektroforesis selama 45 menit atau sampai ¾ DNA jalan dari gel. Hasil running direndam pada larutan ETBR sebagai pewarna DNA sekitar 10-20 menit kemudian dipindahkan ke akuades sekitar 10 menit. Pita DNA pada gel divisualisasikan menggunakan transilluminator ultra violet. Variabel Penelitian Variabel yang ingin diketahui adalah jenis virus hasil amplifikasi MPCR, prevalensi virus MSGS, prevalensi tipe infeksi virus MSGS serta data kualitas air sebagai penunjang dalam pembahasan prevalensi virus MSGS berdasakan musim. Data prevalensi virus MSGS pada udang windu dari tambak merupakan persentase udang yang terinfeksi setiap jenis virus MSGS di dalam suatu populasi udang windu atau di dalam jumlah sampel setiap tambak pada musim hujan dan kemarau. Tipe infeksi pada penelitian ini adalah model kombinasi virus menginfeksi udang yaitu tipe infeksi tunggal (MBV, IHHNV atau HPV), ganda (MBV+IHHNV, MBV+HPV atau IHHNV+HPV) dan tripel (MBV+IHHNV+HPV) serta tidak terinfeksi dan terinfeksi virus. Parameter kualitas air berupa suhu, salinitas dan pH sebagai data penunjang diukur secara in situ untuk membantu dalam menganalisis prevalensi virus karena perbedaan musim. Analisis Data Analisis perbedaan prevalensi virus MBV, IHHNV dan HPV dan tipe infeksi virus (tunggal, ganda, tripel) antara udang normal dan kerdil pada musim hujan dan kemarau menggunakan analisis statistik non parametrik yaitu Chisquare dan untuk melihat hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi virus MSGS dilakukan analisis korelasi Spearman dengan bantuan program SPSS versi 16.0. HASIL PENELITIAN Jenis Virus MSGS Hasil Amplifikasi dengan MPCR Hasil amplifikasi DNA virus MSGS dengan MPCR memperlihatkan bahwa MPCR dengan primer spesifik dapat mengamplifikasi DNA virus MBV, IHHNV dan HPV secara simultan (Gambar 1). Prevalensi Virus MSGS Di Tambak pada Musim Hujan dan Kemarau Prevalensi virus MSGS pada udang normal dan kerdil di tambak baik pada musim hujan maupun musim kemarau pada penelitian ini diperoleh dari data prevalensi virus Kabupaten Takalar dan Pinrang. Hasil analisis menunjukkan bahwa prevalensi virus MSGS pada musim hujan tidak berbeda dengan prevalensi pada musim kemarau, baik pada udang normal maupun udang kerdil (P>0.05) (Gambar 2 dan 3). Hasil analisis korelasi juga menunjukkan tidak ada korelasi antara suhu, salinitas dan pH dengan prevalensi MBV, IHHNV dan HPV pada udang normal dan kerdil di musim hujan dan kemarau (P>0.05). Prevalensi Tipe Infeksi Virus MSGS Di Tambak pada Musim Hujan dan Kemarau Prevalensi tipe infeksi virus di musim hujan pada udang normal dan udang kerdil tidak berbeda nyata (P>0.05), tetapi pada musim kemarau terdapat perbedaan prevalensi tipe infeksi virus antara udang normal dengan udang kerdil, dimana prevalensi tipe infeksi virus MSGS pada udang kerdil lebih tinggi dari udang normal (Gambar 4 dan 5). Namun, prevalensi udang yang tidak terinfeksi virus MSGS lebih tinggi pada udang normal baik pada musim hujan maupun musim kemarau, sebaliknya prevalensi udang yang terinfeksi virus MSGS lebih tinggi di udang kerdil pada musim kemarau (P<0.05) (Gambar 6). Hal ini menunjukkan infeksi virus MSGS berpengaruh terhadap kekerdilan udang windu di tambak dan keberadaan infeksi virus MSGS di tambak dipengaruhi oleh musim. PEMBAHASAN Multipleks PCR dengan primer spesifik pada penelitian ini dapat digunakan sebagai metode deteksi dini dan cepat, baik untuk benih yang akan ditebar maupun untuk monitoring kesehatan udang windu di tambak sehingga tindakan pengendaliannya dapat dilakukan secara tepat. Hasil ini memperlihatkan bahwa primer spesifik untuk virus IHHNV, MBV dan HPV dapat mengamplifikasi ketiga virus tersebut secara simultan. Prevalensi ketiga jenis virus MSGS tersebut sama tinggi antara udang kerdil dengan normal pada musim hujan dan kemarau sehingga infeksi oleh ketiga virus tersebut diduga bukan satu-satunya penyebab terhadap kekerdilan udang windu. Prevalensi adalah suatu indikator tingkat infeksi patogen yaitu persentase keberadaan patogen dalam suatu populasi. Nilai prevalensi yang tinggi pada penelitian ini mengindikasikan suatu kondisi yang sangat riskan bagi budidaya udang windu di Sulawesi Selatan, karena keberadaan virus pada udang windu walaupun pada tingkat prevalensi yang rendah sudah sangat membahayakan. Hal ini karena virus yang menginfeksi krustase termasuk udang windu mempunyai transmisi atau tingkat penyebaran yang sangat luas yaitu secara vertikal dari induk ke anaknya melalui infeksi embrio dan secara horizontal melalui lingkungan seperti pemangsaan udang atau krustase yang terinfeksi, melalui vektor dan kotoran krustase yang terinfeksi. Selain transmisi yang sangat luas, virus pada krustase juga mempunyai rentang inang yang sangat luas yaitu dapat menginfeksi semua jenis krustase baik krustase air tawar maupun air laut (Peng et al., 1990; Lo et al., 1997; Rajan et al., 2000). Selain itu, ketiga virus MSGS tersebut memiliki tingkat patogenitas yang tinggi yang dapat menyebabkan mortalitas tinggi dan/atau penurunan pertumbuhan pada inang. Virus MBV menyebabkan kematian mencapai 90% terhadap larva udang windu (Ramasamy et al., 1995; Manivannan, 2002). Lightner et al. (1983), IHHNV pada tahun 1981 telah menyebabkan mortalitas lebih dari 90% pada budidaya P. stylirostris di Hawai dan pada P.vannamei dan P. monodon menyebabkan pertumbuhan menurun dan cacat yang dikenal dengan runt deformity syndrome (RDS). Sementara virus HPV menyebabkan larva udang mati dan ukuran udang windu yang terinfeksi virus HPV signifikan lebih pendek dari pada yang tidak terinfeksi (Flegel et al., 1999), sebagian besar udang yang terinfeksi HPV tumbuh sangat lambat dan pertumbuhan berhenti pada panjang sekitar 6 cm dengan berat sekitar 5 g (200 ekor per kg) (Flegel, 2006). Prevalensi virus MSGS di tambak memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan antara udang normal dan kerdil, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau. Hal ini mengindikasikan bahwa virus IHHNV, MBV dan HPV di tambak bukanlah satu-satunya penyebab kekerdilan udang windu, namun diduga ada faktor lain, antara lain kondisi dasar tanah tambak yang umumnya kurang diperhatikan oleh petambak di Sulawesi Selatan dan berbagai factor fisika-kimia lainnya, yang dapat menyebabkan stress pada udang serta keberadaan vektor sebagai inang penampung dan penyebar virus. Withyachumnarnkul et al. (2006) juga mendapatkan tingkat infeksi IHHNV tidak berbeda berdasakan ukuran udang dan untuk melihat pengaruh nyata infeksi IHHNV terhadap ukuran udang disarankan sebaiknya jumlah sampel dan lokasi sampling ditingkatkan. Sementara Tang and Lightner (2011), dengan dupleks real-time PCR mereka juga menemukan perbedaan yang tidak nyata tentang muatan virus MBV dan HPV antara udang windu normal dibanding kerdil sehingga berkesimpulan bahwa meskipun MBV dan HPV telah dilaporkan sebagai penyebab kerdil udang windu, namun terdapat indikasi faktor lain selain infeksi virus yang juga bertanggungjawab terhadap pertumbuhan kerdil pada sampel. Data prevalensi tipe infeksi virus MSGS di tambak ditujukan untuk melihat kombinasi ketiga virus MSGS tersebut dalam menginfeksi individu udang windu di tambak. Hal ini bermanfaat dalam menganalisis sifat interfer atau sifat ko-infeksi suatu virus pada satu individu udang. Khawsak et al. (2008), satu individu udang windu dapat terinfeksi oleh beberapa jenis virus dalam bentuk infeksi tunggal, ganda, tripel atau multiinfeksi. Data tipe infeksi virus MSGS di tambak Sulawesi Selatan pada penelitian ini menunjukkan hal yang menarik yaitu ketiga virus MSGS tersebut dapat menginfeksi secara bersama atau ko-infeksi pada satu individu udang windu di tambak tanpa saling menghalangi/interfere. Menurut Tang and Lightner (2011), MBV dan HPV adalah dua virus yang melakukan replikasi secara independen pada satu individu udang. HPV lebih menyukai menginfeksi sel E (Embryonalzellen) hepatopankreas, juga tidak mengkode DNA polymerase sehingga replikasinya tergantung pada aktifitas replikasi sel inang. MBV adalah baculovirus yang memiliki DNA polymerase dan dapat bereplikasi di dalam sel B (Blasenzellen), F (Fibrenzellen) dan R (Restzellen). Hal tersebut membuktikan bahwa kedua virus tersebut kemungkinan tidak berinteraksi satu sama lain. Begitupula dengan virus IHHNV, walaupun IHHNV juga adalah Parpovirus seperti HPV yang tidak mengkode suatu DNA polymerase yang tergantung pada sel inang dalam menyediakan mesin replikasi DNA serta secara structural sama, namun jaringan target infeksi berbeda. HPV menginfeksi sel-sel epithelial hepatopankreas sedangkan IHHNV pada dasarnya menginfeksi semua jaringan nonenterik (Lightner et al., 1983; Lightner & Redman, 1985). Selain adanya ko-infeksi ketiga virus MSGS, juga terlihat bahwa virus HPV sebagai penginfeksi tunggal tidak pernah muncul pada udang kerdil dan udang normal baik pada musim hujan maupun musim kemarau. Fenomena ini pernah ditemukan oleh Lightner (1996), HPV jarang ditemukan dalam kondisi infeksi tunggal sehingga gross sign untuk HPV sulit ditentukan dan serangan HPV dengan agen-agen penyakit lainnya menyebabkan kematian tinggi pada tahap juvenil dan dalam 4 minggu dapat mencapai 50-100%. Hal ini juga ditemukan oleh Umesha et al. (2006), HPV tidak pernah ditemukan sebagai penginfeksi tunggal selalu menginfeksi dalam bentuk tipe infeksi ganda (MBV+HPV dan HPV+WSSV) atau infeksi tripel (HPV+MBV+WSSV). Secara umum, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa prevalensi virus MBV, IHHNV dan HPV tidak berbeda pada udang normal dan kerdil baik pada musim hujan dan kemarau, namun prevalensi tipe terinfeksi virus lebih tinggi pada udang kerdil dan prevalensi tidak terinfeksi virus lebih tinggi pada udang normal sehingga dapat dikatakan bahwa virus MBV, IHHNV dan HPV yang menginfeksi udang windu di tambak bertanggungjawab terhadap kekerdilan udang windu. Selain itu, prevalensi virus MSGS di tambak pada musim hujan tidak berbeda antara udang normal dan kerdil. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim hujan baik udang normal dan kerdil tingkat kerentanan dan sensitifitas terhadap virus meningkat. Pada musim hujan kualitas air menjadi tidak optimal bagi kehidupan udang sehingga menyebabkan stress. Pada kondisi stress, Total Haemocyte Count (THC) krustase menurun, aktifitas enzim yang berhubungan dengan resinstensi terhadap penyakit menurun dan sensitifitas terhadap pathogen meningkat (Truscott & White, 1990; Vargas-Albores et al., 1998; Le Moullac & Haffner, 2000). Reaksi imun udang M.japonicus pada suhu yang lebih tinggi (31oC) aktifitas Phenoloksidase (PO) dan THC lebih tinggi dibandingkan pada suhu lingkungan (27oC). THC dan PO yang tinggi dapat mengurangi replikasi virus pada udang (You et al., 2010). Hal ini dibuktikan oleh Montgomery-Brock et al. (2007) bahwa replikasi IHHNV pada udang L. vannamei yang dipelihara pada suhu panas 32.8±1.0oC lebih rendah dari pada suhu dingin 24.4±0.5oC. Sementara Pan dan Jiang (2002), perubahan singkat salinitas 10 jam dari 30‰ ke 15‰, begitupula dengan fluktuasi pH dari 8,5 ke 7.0 atau ke 9.5 aktifitas bakteriolitik dan aktifitas antibakteri dari dua udang (Fenneropenaeus chinensis dan Litopenaeus vannamei) secara bertahap berkurang, sementara aktivitas PO meningkat. Perubahan salinitas dapat menyebabkan penurunan immunokompetens udang dan diikuti dengan suatu pemulihan secara bertahap. Pan et al. (2005), perubahan salinitas sebaiknya tidak lebih dari 5‰ begitupula dengan perubahan pH tidak lebih dari 5 skala dari optimal. Hasil penelitian terdahulu di atas sesuai dengan penelitian kami ini, dimana suhu, salinitas dan pH pada musim kemarau lebih tinggi dari musim hujan (Tabel 2) sehingga udang windu terhindar dari pengaruh stress yang akan menurunkan sistem imunnya dalam melawan virus dan kemampuan virus untuk bereplikasi menjadi rendah. KESIMPULAN DAN SARAN Metode deteksi molekuler dengan MPCR dapat digunakan sebagai metode deteksi dini dan cepat. Virus MBV, IHHNV dan HPV sebagai virus MSGS di tambak dapat dideteksi secara simultan dengan MPCR menggunakan primer spesifik untuk MBV, IHHNV dan HPV yang berukuran masing-masing 261 bp, 302 bp dan 595 bp. Virus MSGS pada penelitian ini bertanggungjawab terhadap kekerdilan udang windu di tambak karena walaupun prevalensi virus MSGS pada udang di tambak tidak berbeda berdasarkan ukuran udang dan musim, namun prevalensi tipe teriinfeksi virus MSGS lebih tinggi pada udang kerdil baik pada musim hujan (78%) maupun musim kemarau (65%) daripada udang normal pada musim hujan (60%) dan musim kemarau (43%). Virus MBV, IHHNV dan HPV dapat menginfeksi udang secara bersamaan pada satu individu udang (ko-infeksi). Penelitian lanjutan tentang epidemiologi virus IHHNV, MBP dan HPV perlu dilakukan untuk menentukan langkah pengendalian virus tersebut. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih dihaturkan kepada PROGRAM MITRA BAHARI – COREMAP II dan DIKTI melalui LPPM UNHAS yang telah membantu pada penelitian ini masing-masing dalam bentuk Beasiswa Penulisan Disertasi dan Hibah Disertasi Doktor. DAFTAR PUSTAKA Catap, E.S. and Travina, R.D. (2005). Experimental transmission of Hepatopancreatic Parvovirus (HPV) infection in Penaeus monodon postlarvae. In P. Walker, R. Lester and M.G. Bondad-Reantaso (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila. Diseases in Asian Aquaculture. 5:415-420. Chayaburakul, K., Nash, G., Pratanpipat, P., Sriurairatana, S. and Withyachumnarnkul, B. (2004). Multiple pathogens found in growth-retarded black tiger shrimp Penaeus monodon cultivated in Thailand. Dis Aquat Org., 60: 89–96. Flegel, T.W. (2006). The special danger of viral pathogens in shrimp translocated for aquaculture. Science Asia, 32: 215 – 221. Flegel, T.W., Thamavit, V., Pasharawipas, T. and Alday-Sanz, V. (1999). Statistical correlation between severity of hepatopancreatic parvovirus (HPV) infection and stunting of farmed black tiger shrimp (Penaeus monodon). Aquaculture. 174: 197–206. Karunasagar, I., Otta, S.K. and Karunasagar, I. (1998). Monodo Baculovirus and bacterial septicemia associated with mass mortality of cultivated shrimp (P. monodon) from the east coast of India. Indian J. Virol. 14: 27-20. Khawsak, P., Deesukon, W., Chaivisuthangkura, P. and Sukhumsirichart, W. (2008). Multiplex RT- PCR assay for simultaneous detection of six viruses of penaeid shrimp. Molecular and Cellular Probes. 22:177-183. Le Moullac, G. and P. Haffner. (2000). Environmental factors affecting immune responses in Crustacea. Aquaculture. 191:121–131. Lightner, D.V., Redman, R.M. and Bell, T.A. (1983). Infectious hypodermal and hematopoietic necrosis, a newly recognized virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr. Pathol. 42, 62– 80. Lightner, D.V. and Redman, R.M. (1985). A parvo-like virus disease of penaeid shrimp. J. Invertebr. Pathol. 45: 47–53. Lightner, D.V. (1996). Epizootiology, distribution and the impact on international trade of two penaeid shrimp viruses in the Americas. Rev. Sci. Tech. - Off. Int. Epizoot. 15: 579–601. Lo, C.-F., dkk. (1996). Detection of baculovirus associated with white spot syndrome (WSBV) in penaeid shrimps using polymerase chain reaction. Dis. Aquat. Organ. 25: 133–141. Manivannan, S., Otta, S.K., Karunasagar, I. and Karunasagar, I. (2002). Multiple viral infection in Penaeus monodon shrimp postlarvae in an Indian hatchery. Dis Aquat Org. 48:233–236. Montgomery-Brock, D.R., Tacon, A.G.J., Poulos, B. and Lightner, D.V. (2007). Reduced replication of infectious hypodermal and hematopietic necrosis virus (IHHNV) in Litopnennaeus vannamei held in warm water. Aquaculture, 265:41-48. Montgomery-Brock, D.R., dkk. (2004). Significant reduction in the replication rate of Taura Syndrome Virus in Litopenaeus vannamei held in hyperthermic conditions. World Aquaculture Society, Honolulu, Hawaii, USA. Pan, L. Q. and. Jiang, L. X. (2002). Effect of sudden changes in salinity and pH on the immune activity of two species of shrimp. Journal of Ocean University of Qingdao. 32:903–910. Pan, L. Q., Jiang, L. X. and Miao, J. J. (2005). Effects of salinity and pH on immune parameters of the white shrimp Litopenaeus vannamei. Journal of Shellfish Research. 24:1223– 1227. Peng, S.E., Lo, C.F., Ho, C.H., Chang, C.F. and Kou, G.H. (1998). Detection of White Spot Baculovirus (WSBV) in Giant Freshwater Prawn, Macrobranchium rosenbergii, Using Polymerase Chain Reaction. Aquaculture. 164: 253-262. Poulpanich, N., and Withyachumnarnkul, B. (2009). Fine structure of a septate gregarine trophozoite in the black tiger shrimp Penaeus monodon. Dis Aquat Org, 86: 57–63. Ramasamy, P., Brennan, G. P. and Jayakumar, R. (1995). A record and prevalence of Monodon baculovirus from post-larval Penaeus monodon in Madras, India. Aquaculture. 130: 129135. Ramasamy, P., Rajan, P. R., Purushothaman, V. and Brennan, G.P. (2000). Ultrastructure and pathogenesis of Monodon baculovirus (Pm SNPV) in cultured larvae and natural brooders of Penaeus monodon. Aquaculture. 184: 45-66. Rajan, P.R., Ramasamy, P., Purushothaman, V., Brennan, G.P. (2000). White Spot Baculovirus Syndrome in Indian Shrimp Penaeus monodon and P. indicus. Aquaculture. 184:31-44. Sritunyalucksana, K., Apisawetakan, S., Boon-nat, A., Withyachumnarnkul, B., and Flegel, T.W. (2006). A new RNA virus found in black tiger shrimp Penaeus monodon from Thailand. Virus Research. 118: 31–38. Surachetpong, W., Poulos, B.T., Tang, K.F.J. and Lightner, D.V. (2005). Improvement of PCR method for the detection of monodon baculovirus (MBV) in penaeid shrimp. Aquaculture. 249:69–75 Tang, K.F.J. and Lightner, D.V. (2011). Duplex real-time PCR for detection and quantification of monodon baculo virus (MBV) and hepatopancreatic parvovirus (HPV) in Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org. 93: 191–198. Tang, K.F.J., Pantoja, C.R. and Lightner, D.V. (2008). Nucleotide sequence of a Madagascar hepatopancreatic parvovirus (HPV) and comparison of genetic variation among geographic isolates. Dis. Aquat. Organ. 80: 105–112. Truscott, R. and. White, K. N. (1990). The influence of metal and temperature stress on the immune system of crabs. Funct. Ecol. 4:455–461. Umesha, K.R., Dass, B. K. M., Manjanaik, B., Venugopal, M.N., Karunasagar, I. and Karunasagar, I. (2006). High prevalence of dual and triple viral infections in black tiger shrimp ponds in India. Aquaculture. 258 : 91–96. Vargas-Albores, F., Hinojosa-Baltazar, P. and Portillo-Clark, G. (1998). Influence of temperature and salinity on the yellow leg shrimp, Penaeus californiensis Holmes, prophenoloxidase system. Aquaculture Research. 29:549–553. Withyachumnarnkul, B, Chayaburakul, K., Lao-Aroon, S., Plodpai, P., Sritunyalucksana, K. and Nash, G. (2006). Low impact of infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus (IHHNV) on growth and reproductive performance of Penaeus monodon. Dis Aquat Org. 69: 129–136. You, X.X., Su, Y.Q., Mao,Y., Liu , M., Wang, J., Zhang,M., and Wu, C. (2010). Effect of high water temperature on mortality, immune response and viral replication of WSSV-infected Marsupenaeus japonicus juveniles and adults. Aquaculture. 305:133–137. Tabel 1. Jumlah dan ukuran sampel udang windu dari tambak Musim Hujan Lokasi Tambak Jumlah (ekor) Takalar Normal Ukuran (g)±SD 30 22.94±4.62 Maros Pangkep Musim Kemarau Jumlah (ekor) Kerdil Ukuran (g)±SD 30 6.97±2.34 39 4.12±3.22 10 35.42±7.22 3 10.58±3.36 Pinrang 33 27.10±6.50 32 16.86±1.90 Total 73 Jumlah (ekor) Normal Ukuran (g)±SD 20 23.01±2.73 22 40.31±8.22 Barru 104 42 Jumlah (ekor) Kerdil Ukuran (g)±SD 20 11.28±4.28 20 11.59±2.66 20 13.67±3.50 60 SD*: Standar Deviasi Tabel 2. Kisaran nilai parameter kualitas air tambak pada musim hujan dan kemarau Gambar 1. Hasil MPCR sampel udang windu dari tambak. M adalah marker 100 bp, lane 1 (IHHNV+HPV)), lane 3 (IHHNV), lane 9, 14 (MBV), lane 8, 15, 16 (MBV+IHHNV), Lane 11, 13, 17 (MBV+IHHNV+HPV). Gambar 2. Prevalensi virus MBV, IHHNV dan HPV di Sulawesi Selatan (Takalar dan Pinrang) untuk udang normal dan kerdil pada musim hujan (P>0.05) Gambar 3. Prevalensi virus MBV, IHHNV dan HPV di Sulawesi Selatan (Takalar dan Pinrang) untuk udang normal dan kerdil pada musim kemarau (P>0.05). Gambar 4. Prevalensi tipe infeksi virus MSGS di tambak Sulawesi Selatan (Takalar dan Pinrang) pada musim hujan (P>0.05). Gambar 5. Prevalensi tipe infeksi virus MSGS di tambak Sulawesi Selatan (Takalar dan Pinrang) pada musim kemarau (P<0.05). Gambar 6. Prevalensi tipe infeksi tidak terinfeksi dengan terinfeksi pada udang normal dan kerdil di musim hujan dan kemarau (P<0.05).