Bab 2 Landasan Teori 2.1 Konsep Wabi Sabi Wabi sabi adalah

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Konsep Wabi Sabi
Wabi sabi adalah salah satu konsep estetika Jepang yang berada di bawah
pengaruh nilai-nilai Zen Buddhisme. Wabi sabi banyak mempengaruhi kebudayaan
Jepang seperti upacara minum teh, seni merangkai bunga, haiku, desain taman, dan
teater Noh.
Pramudjo (2002, hal. 19) mengatakan bahwa wabi sabi terdiri dari dua suku kata
yakni wabi dan sabi , keduanya berasal dari kata sifat yang mempunyai pengertian
hampir sama yaitu wabishii yang berarti tidak senang, sepi, sunyi, lengang, suram
dan redup. Sedangkan sabishii mempunyai arti kemelaratan, kesedihan, kemiskinan
dan kesepian.
Itoh dalam Pramudjo (2002, hal. 19) mengatakan bahwa :
Kendatipun kedua kata tersebut mempunyai banyak arti yang hampir sama
tetapi ada dua makna di dalam pengertian tersebut yang secara logika tampak
berlawanan. Makna pertama berarti kemelaratan, kesengsaraan, kekecewaan
Dan makna kedua adalah keserdehanaan hidup dalam keheningan.
Itoh dalam Pramudjo (2002, hal. 19) juga menggambarkan wabi sebagai sesuatu
yang berhubungan dengan kegiatan sehari-hari seperti wabi zumai yang berarti
seseorang yang sepi, mengandung kesedihan dengan tanpa ada kehangatan kasih
sayang dari seorang istri/suami, tetapi di sisi yang lain juga mempunyai kehidupan
wabi yang bermakna positif, yakni hidup yang sederhana, hening, penuh keindahan
dan keanggunan yang mempunyai tujuan mendapatkan kepuasan spiritual dengan
cara mengasingkan diri dari keramaian atau keduniawian.
Sedangkan sabi, yang berasal dari kata sabishii berarti sunyi, sepi, sesuatu yang
rusak akibat dari pengaruh cuaca atau udara, sehingga secara tidak langsung sabi
berkaitan dengan “waktu”. Itoh dalam Pramudjo (2002, hal. 19) mengartikan
keindahan sabi lebih banyak ditentukan oleh faktor waktu atau usia, karena waktu
mempunyai kemampuan untuk menyiratkan esensi suatu benda sesuai dengan
karakteristiknya masing-masing.
Kato dalam Pramudjo (2002, hal. 21) menekankan bahwa wabi sabi identik
dengan kewajaran atau alami. Dan menurutnya, kewajaran tersebut mempunyai
pengertian “tidak sempurna, tidak lengkap dan tidak abadi”. Kriteria dari kewajaran
itu adalah tidak berlebihan, sesuai dengan kebutuhan hidup, sederhana, dan tidak
menentang kodrat. Menurut Kato dalam Pramudjo (2002, hal. 21) :
Nilai-nilai spiritual wabi sabi ini diperoleh dari hasil kontak manusia dengan
alam yang dipadukan dengan pemikiran Tao, yakni mengkaitkan antara benda
dan waktu, keduanya jika dipadukan berakibat tidak abadi, tidak lengkap dan
tidak sempurna. Pemahaman wabi sabi dalam nuansa ketiadaan terhadap benda,
merupakan efek dari bergulirnya waktu yang menimpa benda, sehingga
menyebabkan benda menjadi renta, layu, retak, berlubang, mengelupas, berkerut
dan perubahan wujud suatu benda itu sesuai dengan karakteristik masing
masing benda.
Secara keseluruhan, makna wabi sabi adalah kepasrahan dan ketulusan dalam
menghadapi pergantian waktu, sehingga rasa itu dilukiskan oleh orang Jepang ke
dalam karya seninya yang melukiskan keadaan yang hening, tenang, dan diam.
Menurut Juniper (2003, hal. 1) :
Wabi sabi embodies the Zen nihilist cosmic view and seeks beauty in the
imperfections found as all things, in a constant state of flux, evolve from nothing
and devolve back to nothing.”
Terjemahannya :
Wabi sabi mengandung pandangan ketiadaan Zen yang mencari keindahan dari
ketidaksempurnaan yang ditemukan di semua benda yang terus berubah, yang
berkembang dari ketiadaan menjadi ketiadaan lagi.
Wabi sabi menawarkan keindahan ideal yang berfokus pada nilai keindahan yang
terdapat dalam ketidakabadian yang bisa ditemukan dalam semua benda yang tidak
sempurna. Ekspresi keindahan yang berada di antara kehidupan dan kematian,
kebahagian dan penderitaan yang merupakan takdir kita sebagai manusia.
Itoh (1993, hal. 7) menyatakan bahwa :
Wabi may describe beauty in nature untouched by human hands, or it may
emerge from human attempts to draw out instinctive beauty of materials. To
discover wabi, one must have an eye for the beautiful, yet it is not an aesthetic
understood only by the Japanese of old, but a quality that can be recognized by
anyone, anywhere who is discriminating and sensitive beauty.”
Terjemahannya :
Wabi bisa diartikan sebagai keindahan alam yang tidak pernah disentuh oleh
tangan manusia, atau bisa muncul dari manusia yang melukiskan keindahan dari
material. Untuk menemukan wabi, seseorang harus mempunyai penglihatan
akan keindahan, yang bukan sesuatu yang hanya dimengerti oleh orang Jepang
dahulu saja, tetapi juga sesuatu yang bisa dilihat oleh siapa saja, dimana saja
yang bisa membedakan dan peka terhadap keindahan.”
Kemudian sabi (Itoh, 1993, hal. 7) jika sebuah hal atau benda berusia semakin tua,
nilai atau keberadaannya tidak akan hilang dimakan waktu. Sebuah jam tangan baru
tentu saja terlihat bagus. Namun, seiring dengan waktu, jam tangan itu bukan lagi
jam tangan baru melainkan sebuah jam tangan yang tua, kusam dan kemungkinan
memiliki banyak goresan. Jika dilihat dari sudut pandang konsep sabi, jam tangan
tua itu terlihat semakin indah, karena jam tangan tersebut memiliki ‘sejarah’ yang
dimilikinya seiring dengan perjalanan hidup pemiliknya.
2.1.1 Wabi Sabi dalam Zen
Suzuki (2005, hal. 30)
menyatakan bahwa, jika wabi dipraktekkan dalam
kehidupan sehari-hari, maka seseorang merasakan kepuasan dalam hidupnya hanya
dengan tinggal di sebuah gubuk kecil dengan ruangan berukuran dua tatami dan
memakan sayur-mayur yang dipetik dari kebun pribadi. Karena wabi adalah bagian
dari Zen, maka wabi bertujuan untuk menyadarkan manusia bahwa alam dan
sekitarnya juga penting dalam kehidupan ini. Sampai saat ini, alam dan sekitarnyalah
yang telah membantu kelangsungan hidup manusia. Keindahan yang tidak sempurna
adalah keindahan yang antik dan primitif, yang disebut juga dengan sabi. Jika sebuah
benda kesenian memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi, maka di dalamnya pastilah
terdapat unsur sabi. Sabi memiliki unsur ketidaksempurnaan yang kampungan dan
kolot (Suzuki, 2005, hal. 32).
Berikut ini menurut Hisamatsu (1997, hal. 29-37) Zen memiliki tujuh karakteristik
yang secara tidak langsung berhubungan dengan konsep wabi sabi :
1. Fukinsei 「不均整」、‘asimetris’
Berarti ketidakteraturan atau asimetri. Hisamatsu mencontohkan fukinsei dalam hal
seperti geometris, hal jumlah, seni ikebana dan kaligrafi, dan kedalaman atau
ketinggian
dari
suatu
permukaan.
Dalam
geometris,
fukinsei
adalah
ketidaksempurnaan atau ketidakseimbangan apabila dicontohkan sebagai lingkaran
penyok atau miring. Dalam hal jumlah, fukinsei dapat diartikan sebagai jumlah ganjil.
Jumlah yang genap dapat dibagi menjadi dua bagian yang sama banyak, yang dapat
dianalogikan sebagai simetris. Sebagai latar belakang kebudayaan Zen, asimetri
fukinsei mempunyai makna membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja
berorientasi pada kesempurnaan tetapi juga pada ketidaksempurnaan, karena sesuatu
kesempurnaan yang sempurna adalah sesuatu yang tidak sempurna.
2. Kanso 「簡素」、‘kesederhanaan’
Karakteristik yang kedua memiliki arti kesederhanaan, tidak adanya kekacauan atau
tidak adanya kecampuradukkan. Kesederhanaan yang paling tinggi adalah sesuatu
yang dapat mewakili atau mencerminkan sifat dari suatu benda secara utuh yang
diekspresikan melalui garis, warna, bentuk dan unsur-unsur lainnya.
3. Kokou 「枯高」、‘kekeringan yang agung’
Kokou punya arti menjadi kering dan agung, yang secara singkat berarti menjadi
berpengalaman dalam hidup selama bertahun-tahun. Kasarnya dapat dianalogikan
sebagai hilangnya indera pada kulit dan daging dan menjadi kering. Analogi ini
menunjukkan telah dicapainya sesuatu yang terdalam, hilangnya sensualitas dari
kulit luar dan menyisakan sesuatu yang paling esensial. Seringkali terdapat kalimat
“menjadi kering” digunakan untuk mengungkapkan karakteristik yang penting dalam
keindahan pada Zen, yaitu keistimewaan sebuah keindahan Oriental. Konsep
keindahan menurut Zen, “menjadi kering” berarti puncak dari sebuah seni,
penembusan sebuah intisari oleh seorang ahli dimana hal tersebut melewati batas
seseorang dan ketidakdewasaan.
4. Shizen 「自然」、‘kealamian’
Karakteristik ini memiliki arti alami, natural, wajar atau bukan buatan. Karekteristik
fukinsei juga harus mempunyai shizen. Meskipun asimetris, tapi juga harus terlihat
wajar. Natural juga berarti tanpa berpikir. Dengan kata lain adalah menjadi diri yang
sesungguhnya, tanpa adanya tujuan terhadap sesuatu hal, tanpa dipikirkan terlebih
dahulu. Alami dan natural bukanlah artifisial, dalam makna bukan dibuat-buat.
Dalam hal ini adalah ekspresi yang tidak dibuat-buat, apa adanya, atau tanpa berpikir.
Bukan artifisial adalah menjadi diri kita yang sesungguhnya.
5. Yuugen 「幽玄」、‘kedalaman esensi’
Karakteristik ini mempunyai arti kedalaman esensi atau makna yang mendalam.
Dalam ekspresi, makna yuugen lebih kepada ‘esensi’ atau ‘maksud’ daripada
‘pengungkapan langsung secara keseluruhan’. Yuugen juga dapat diungkapkan
sebagai sesuatu yang tidak berdasar atau tidak berakhir, yang dapat digambarkan
dengan sumber yang dalam atau gaung tak berakhir. Hanya dari sesuatu yang
sederhana, dapat digali sesuatu yang tak terbatas. Yuugen adalah kesederhanaan yang
memungkinkan kita untuk membayangkan kedalaman isinya, seakan merasakan
‘gema’ yang tak terbatas, merasakan sesuatu yang tak mungkin didapat dari karya
yang jelas dan mendetail. Yuugen juga punya makna kegelapan atau kesuraman.
Kegelapan di sini bukanlah kegelapan yang berarti menakutkan, mencekam, ataupun
kesuraman yang bermakna sengsara atau menyedihkan. Kegelapan di sini adalah
kesuraman yang menenangkan.
6. Datsuzoku 「脱俗」、‘bebas dari ikatan’
Berarti bebas dari kebiasaan, aturan, rumusan dll. Bagi Zen, peraturan atau
kebiasaaan tersebut akan menjadi penghalang atas aktivitas dan kreativitas.
Kebebasan dalam Zen bukan berarti menjadi bebas secara akal sehat dan kemauan
menurut peraturan-peraturan tapi merupakan perasaan untuk tidak berada di bawah
peraturan.
7. Seijaku 「静寂」、‘ketenangan’
Adalah keheningan atau ketenangan. Tenang dapat diartikan sebagai tidak terganggu.
Dalam konsep Zen, ketenangan itu diekspresikan dalam keadaan yang diam tapi
punya bentuk bergerak. Oleh karena itu, bernyanyi, membuat suara, dan sebagainya,
pada saat bersamaan juga membawa ketenangan, merupakan salah satu keistimewaan
dari budaya pengungkapan Zen.
2.2 Konsep Haiku
Hori (2004, hal. 10) menyatakan bahwa dahulu haiku sebelum zaman Masaoka
Shiki (1867-1902) dikenal oleh banyak orang sebagai hokku . Menurut Hori (2004,
hal. 10) :
発句とは、「連歌」の発端の句という意味である。五七五の長句と七七
の短句とを交互に鎖のように連ねる鎖連歌は、中世を通じて発達普及し、
社交の格好のアイテムとして愛好された。五七五の長句であること、当
座の季を重んじ、一句で意味が完結するよう言い切ると(切れ字を入れ
る)、巻頭の句らしく長高く幽玄に句作りするなどが、その主たるもの
である。
Terjemahannya :
Hokku adalah bagian permulaan dari renga. Renga yang diselingi oleh 5-7-5
dan 7-7 silabel (kusari renga 鎖連歌) seperti rantai ini telah digemari oleh
orang-orang sejak peredarannya di masa pertengahan. Dalam 5-7-5 silabelnya,
hal yang paling utama adalah kata yang mengindikasikan musim pada saat
haiku itu ditulis, kata yang menjadi hal yang ditekankan oleh pengarang yang
diberi kireji, dan sifat misterius yang ada diawal sebuah haiku.”
Hal yang sama dikemukakan oleh Beilenson (2008, hal. 1) yang menyatakan
bahwa hokku (atau lebih sering disebut dengan haiku) adalah salah satu bagian dari
puisi Jepang yang sudah berkembang ratusan tahun lamanya. Yang merupakan
bagian awal dari tanka, puisi lima baris yang sering ditulis oleh dua orang sebagai
permainan literatur. Menurut Beilenson (2008, hal. 2), biasanya haiku sangat sulit
diterjemahkan secara harafiah dengan mempertahankan bentuk 17 silabelnya. Haiku
berisikan banyak kutipan dan kiasan yang hanya dimengerti oleh orang Jepang.
Menurut Beilenson (2008, hal. 2):
The hokku – or more properly haiku – is a tiny verse-form in which Japanese
poets have been working for hundreds of years. Originally it was the first part
of the tanka, a five-line poem, often written by two peolple as a literary game.”
Terjemahannya :
Hokku, atau lebih dikenal sekarang sebagai haiku, adalah bagian kecil dari puisi
Jepang yang telah dikerjakan selama ratusan tahun lamanya. Awalnya
merupakan bagian pertama dari tanka, puisi lima baris yang sering ditulis oleh
dua orang sebagai permainan literatur.
Menurut Ueda (1995, hal 1) hokku, atau sekarang dikenal dengan haiku, terdiri
dari tiga baris atau larik dalam bentuk 5-7-5 silabel. Berdasarkan sejarahnya, hokku
adalah perkembangan dari renga, bentuk utama puisi Jepang yang berkembang pada
abad keempat belas dan kelima belas. Biasanya mengandung suatu kata yang
mengindikasikan musim pada saat haiku itu ditulis.
Sedangkan menurut Katoku (2008, hal 8) :
俳句とは形式の面からいえば、俳句は五音、七音、五音の計十七から成
る最短詩型で、その中にはかならず季語一つを含んでいなければならな
いものとされている。
Terjemahannya :
Haiku, bila dilihat dari bentuknya, tersusun atas 5-7-5 bunyi atau 17 silabel
yang didalamnya mengandung satu kigo.
Menurut Reichhold (2002, hal 24) haiku Jepang terbagi menjadi tiga bagian yang
tersusun atas lima on, tujuh on, dan lima on lagi pada baris terakhir. Susunan 5-7-5
on ini adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh para leluhur orang Jepang, yang
tidak pernah lelah untuk meneliti hitungan pada on atau satuan suara dalam haiku
yang mereka buat, hingga menemukan hitungan yang tepat, yaitu 5-7-5 on atau 17
silabel.
Tanka atau haiku tidak hanya dibacakan seperti sedang membaca puisi, melainkan
juga dinyanyikan seperti nyanyian yang dibawakan oleh penganut agama Budha
kuno. Dalam puisi Jepang, selalu ada kata yang berfungsi sebagai pemberhenti, yang
disebut dengan kireji, yang terletak diantara bait kedua dan ketiga. Contoh kireji
yang sering digunakan oleh para penulis haiku adalah ya dan kana (Reichhold, 2002,
hal. 29). Selain kireji, ada pula hal penting yang selalu ada dalam puisi Jepang. Hal
penting itu adalah unsur kigo yang pasti selalu ada dalam haiku. Fungsi dari unsur
kigo adalah untuk memberi informasi kepada pembaca haiku mengenai kapan puisi
tersebut dibuat atau untuk menunjukkan kapan terjadinya suatu masalah yang
terdapat dalam puisi tersebut (Reichhold, 2002, hal. 24-25).
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ross (2002, hal. 12-13) menjelaskan :
The essence of traditional haiku consists of two things. First, there is an
association with nature through one of the seasons either by naming the season
(kigo). The second essential part of traditional haiku is setting up a relationship
between two images and separating those images with a punctuation mark
(kireji). The kireji is thus an emotional and linguistic break that creats an
‘internal comparison’. This internal comparison supplied the dynamic feeling
for many haiku.”
Terjemahannya :
Haiku tradisional terdiri atas dua esensi. Yang pertama, adanya asosiasi dengan
alam melalui salah satu musim yang disebut dengan kigo. Esensi yang kedua
adalah mendirikan hubungan antara dua gambaran yang dipisahkan
menggunakan tanda baca yang disebut dengan kireji. Kireji merupakan jeda
yang bersifat emosional dan linguistik yang menciptakan perbandingan yang
ada di dalam haiku. Perbandingan tersebut memberikan perasaan yang dinamik
dalam banyak haiku.”
2.3 Teori Pengkajian Puisi
Mengenai macam-macam aspek yang dapat dikaji dari puisi, menurut Pradopo
( 2005, hal. 3) :
Puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam
aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa
puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan saranasarana kepuitisan. Dapat pula puisi dikaji jenis-jenis atau ragam-ragamnya,
mengingat bahwa ada beragam-ragam puisi.”
Menurut Pradopo (2005, hal. 13), “puisi sebagai karya seni itu puitis. Kata puitis
sudah mengandung nilai keindahan yang khusus untuk puisi.” Pradopo (2005, hal. 3)
berpendapat bahwa orang tidak akan dapat memahami puisi secara sepenuhnya tanpa
mengetahui dan menyadari bahwa puisi itu karya estetis yang bermakna, yang
mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Selain itu, Wellek
dalam Pradopo mengemukakan analisis seorang filsuf asal Polandia yang
mengatakan bahwa lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata,
kata, frase, dan kalimat. Semua itu merupakan satuan-satuan arti. Rangkaian kalimat
menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita ataupun keseluruhan sajak. Rangkaian
satuan-satuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objekobjek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan.
(Pradopo, 2005, hal. 15).
Wellek dan Warren dalam Pradopo (2005, hal. 14) menyatakan bahwa :
Puisi (sajak) merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk
memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta
jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dichotomis, yaitu pembagian dua
bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak
memuaskan.
Wellek dalam Pradopo (2005, hal. 14) juga menambahkan, puisi merupakan
sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman. Hal ini berhubungan dengan
pernyataan Altenbernd dalam Pradopo (2005, hal. 5), “puisi adalah pendramaan
pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama
(bermetrum)”.
Selain itu, menurut Pradopo (2005, hal. 14), karya sastra bukan hanya merupakan
satu sistem norma saja, melainkan juga terdiri dari beberapa lapis norma. Masingmasing dari norma tersebut akan menimbulkan lapis norma di bawahnya.
Lalu, Riffaterre dalam Pradopo ( 2005, hal. 279) menyatakan bahwa :
Puisi itu dari waktu ke waktu selalu berubah karena evolusi selera dan konsep
estetik yang berubah. Akan tetapi, ada suatu esensi yang tetap, yaitu puisi itu
menyatakan suatu hal dengan arti yang lain atau puisi itu menyatakan sesuatu
secara tidak langsung.
Waluyo (1995, hal. 2) menyatakan bahwa dalam proses penulisan puisi, seorang
penyair akan memilih kata dan memadatkan bahasa. Penyair akan memilih kata-kata
yang memiliki keindahan dan arti yang paling tepat untuk mewakili maksud dari
sang penulis syair. Sedangkan memadatkan bahasa berarti kata-kata yang
diungkapkan haruslah memiliki banyak pengertian. Biasanya puisi diciptakan saat
suasana perasaan penyair yang sedang peka, dimana suasana tersebut menuntut
seorang penyair untuk membuat puisi tersebut secara spontan dan memiliki arti yang
padat.
Pradopo (2005, hal. 117) menambahkan analisis puisi tidak cukup hanya dengan
menganalisis unsur-unsur sajak yang sengaja dipisah-pisah saja. Analisis puisi juga
dapat dijelaskan secara keseluruhan dari sajak tersebut, karena sebuah sajak
merupakan kesatuan yang utuh dan norma-norma yang terdapat dalam sajak itu
saling berhubungan erat satu sama lainnya. Melalui analisis secara menyeluruh dan
memiliki kaitan yang erat, makna sajak dapat dimengerti seutuh sajak tersebut.
Untuk mendapatkan makna utuh dari sebuah sajak, diperlukan analisis secara
struktural
(susunan
unsur-unsur
bersistem),
semiotik
(simbol-simbol)
dan
intertekstual (hubungan antar teks dengan sajak-sajak yang terbit sebelumnya yang
menunjukkan adanya hubungan antar teks dengannya).
Download