Revolusi Perancis

advertisement
REVOLUSI PERANCIS
Lahirnya monarkhi absolut
Sistem ekonomi Merkantilisme yang diterapkan di negara-negara Eropa pada abad 16 - 18
memberi kesempatan bagi berkembangnya berbagai monarki absolut di Eropa.
Merkantilisme membuka peluang bagi negara untuk menumpuk kekayaan, memperlebar
pengaruhnya pada rakyat bahkan wilayah-wilayah taklukan.
Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu
negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara
yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volum perdagangan global teramat sangat
penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah
kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh
negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan
mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan
selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus
mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan
mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan
pemberlakuan tarif yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme
seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.
Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal
periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah
mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam
mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai
lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori merkantilisme akhirnya mendorong
terjadinya banyak peperangan dikalangan negara Eropa dan era imperialisme Eropa
akhirnya dimulai.
Pertautan antara sistem ekonomi Merkantilisme, dengan sistem politik monarki absolut
semakin diperkuat dengan adanya ide-ide dari para pemikir yang menandai auflklarung
(pencerahan) di Eropa. Salah satu pemikiran yang dianggap menjadi landasan berpikir
para penguasa monarki-monarki absolut adalah tulisan berjudul Il Principe dari Nicolo
Machiavelli. Machiavelli adalah seorang diplomat yang sangat populer dari Florence
(Italia). Buku Il Principe mengulas usaha-usaha para pejuang di Italia untuk mencapai
kejayaan bagi negaranya. Para pejuang tersebut bagi Machiavelli merupakan tokoh-tokoh
pemimpin masa depan. Ulasan tersebut membuat bukunya juga kemudian diterjemahkan
dalam judul "The Prince". Usaha-usah apara pejuang Italia, dalam pandangan Machiavelli
merupakan cara ideal untuk mewujudkan sebuah negara besar yang bebas dari
penjajahan dan perbudakan. Setelah perjuangan tersebut berhasil menurutnya, sebuah
negara harus diarahkan pada bentuk Machtstaat (negara kekuasaan). Pada sebuah
negara kekuasaan, seorang pemimpin (negara) dalam melakukan "segala tindakan",
asalkan demi kepentingan negara. Ide Machiavelli kemudian digunakan secara luas oleh
para penguasa di Eropa untuk dapat memenangkan dan memegang teguh kekuasaannya.
Pengaruh pemikiran Machiavelli bahkan memiliki dampak yang cukup luas dalam
pemikiran politik. Politik modern juga masih mengadopsi pemikiran tersebut. Tidak jarang
politik diartikan sama seperti yang dikemukakan oleh Machiavelli sebagai "the tools for
leader to win and hold the power". Intrik dan konflik politik sering mewarnai setiap
pergantian kepemimpinan di berbagai belahan dunia. Tidak jarang pula pemikiran politik
yang demikian memunculkan pemimpin-pemimpin besar yang berpengaruh besar bagi
kehidupan banyak bangsa. Pemimpin-pemimpin demikian justru dielu-elukan dan dijunjung
tinggi rakyatnya saat mereka berkuasa, tetapi justru dihujat setelah mereka turun dari
tampuk pemerintahannya. Di luar aspek sentiment negatif rakyat terhadap pemimpin
tersebut, pada dasarnya pemimpin demikian selama berkuasa tidak sedikit menghasilkan
berbagai perubahan radikal dan progresif bagi sistem politik di tingkat nasional maupun
dunia.
1
Selain pemikiran Machiavelli, ide mengenai pemerintahan raja yang begitu luas juga
sebenarnya dipengaruhi oleh konsep kepemimpinan gereja Katolik di masa tersebut,
khususnya yang dikenal dengan "pontifex maximus". Kekuasaan Paus dengan sistem
pontifex maximus, mendorong para pengusung kekuasaan ingin memperoleh kekuasaan
luas seperti yang dimiliki oleh Paus. Di Eropa Timur, terutama Yunani, ide tersebut
dimanifestasikan dalam bentuk sistem pemerintahan kekaisaran yang bercorak sama
dengan sebutan caesaro-papisme. Jabatan kekaisaran adalah sebagai kepala gereja di
negerinya dan sekaligus juga kepala negara. Kesetiaan seorang warga negara terhadap
Tuhan harus ditunjukkan pula dengan sikap taat dan tunduknya kepada Kaisar sebagai
wakil Tuhan.
Caesaro papisme atau pontifex maximus yang bergandengan dengan monarki
absolutisme memunculkan begitu banyak penguasa-penguasa besar yang berkuasa
secara mutlak. Raja-raja atau penguasa-penguasa absolut tersebut dijuluki sebagai despot
atau tiran. Sistem kekuasaannya disebut despotisme atau tirani.
Ciri-ciri dari penguasaan mutlak dari despot-despot tersebut antara lain:
(1) memerintah tanpa adanya konstitusi;
(2) memerintah tanpa adanya parlemen;
(3) memerintah tanpa adanya kepastian hukum;
(4) memerintah tanpa adanya anggaran belanja negara.
Intinya raja-raja absolut memerintah tanpa dibatasi oleh apapun juga. Seperti telah
ditegaskan bahwa kepemimpinan dalam negara monarki abslutisme juga membawa
kejayaan bagi beberapa negara. Prusia (1740- 1786) pada masa Raja Frederick II berhasil
mewujudkan kejayaan Prusia di Jerman dan puncaknya ketika tercapai persatuan wilayah
Jerman pada masa Perdana Menteri Bismarck yang terkenal dengan gagasannya yang
berbunyi "durch blut und eisen" (dengan darah dan tangan besi). Rusia pada masa
pemerintahan Czar Peter (1689 - 1725) berhasil memiliki kekuasaan luas dengan
menjalankan "politik air hangat". Kaisar Joseph II dari Austria (1780 - 1790) berhasil
menarik simpati rakyat dengan program penghapusan sistem budak tani dan pajak yang
memebebani rakyatnya.
Tidak semua usaha untuk membentuk kekuasaan absolut berhasil. Di Inggris usaha
tersebut justru mengalami kegagalan. Inggris memang sempat menjalani masa
absolutisme pada masa pemerintahan Charles I (1625 - 1649). Kekuasaan tersebut
mendapatkan perlawanan. The civil war yang dipimpin oleh Oliver Cromwell (1642 - 1649)
pada akhirnya meruntuhkan kekuasaan tersebut. Inggris kemudian membentuk parlemen
dan menjadi negara Republik yang dipimpin oleh Cromwell dengan gelar Lord Protector.
Ambisi Cromwell yang besar pada akhirnya juga mengantarkan Inggris kembali menjadi
sebuah negara kerajaan. Namun kekuasaan parlemen yang besar berhasil mencegah
tumbuhnya kembali absolutisme. Sepeninggalan Cromwell, parlemen Inggris berhasil
memaksa Ratu Mary untuk menandatangani Bill of Rights 1689. Penandatanganan Bill of
Right di Inggris merupakan suatu lambang kejayan besar rakyat atas pemerintahan. Bill of
Right ditandatangani dalam suasana tanpa perseteruan dan pertumbahan darah, sehingga
revolusi tersebut sering juga disebut sebagai Glorious Revolution.
Bill of Right 1689 memuat berbagai jaminan pokok bagi masyarakat Inggris yang dapat
diidentikkan sebagai sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Isi pokok dari piagam tersebut
adalah:
1)
2)
3)
4)
5)
kekuasaan parlemen berada di atas kekuasaan raja;
raja harus memberikan jaminan toleransi dalam beragama;
raja menjamin kebebasan pers;
anggota parlemen dipilih melalui general election;
pungutan pajak apapun yang akan dilakukan oleh kerajaan harus atas dasar
persetujuan parlemen;
6) tidak ada pengerahan kekuatan militer tanpa persetujuan parlemen.
Jika di Inggris, absolutisme mengalami kegagalan, justru hal yang sama berlaku
2
sebaliknya di Perancis. Perancis merupakan sebuah negara yang paling sukses dalam
menjalankan monarki absolutisme. Benih-benih absolutisme di perancis sebenarnya telah
ada sejak masa kekuasaan Richelieu (1624 - 1643) dan Mazarin (1643 - 1661).
Absolutisme menjadi sebuah kenyataan setelah Raja Louis XIII berkuasa (1610 - 1643).
Pada masa kekuasaan Raja Louis XIII, parlemen Perancis dibekukan dan raja mengambil
alih seluruh tugas parlemen dan menjalankan tugas pemerintahan secara tak terbatas.
Puncak kejayaan absolutisme di Perancis tercapai pada masa pemerintahan Raja Louis
XIV (1643 - 1715). Pada masa pemerintahan tersebut ditandai dengan beberapa tindakan
militer yang cukup berhasil meneguhkan pemerintahan absolutisme, misalnya:
1) mendesak dan mematahkan kekuatan Kaum Calvinis;
2) mengurangi dan akhirnya mencabut kekuasaan para raja-raja vazal yang
berkuasa selama diterapkannya sistem ekonomi feodalisme;
3) Louis XIV mengukuhkan diri sebagai yang paling utama di negaranya
dengan menobatkan diri sebagai L'etat cest moi (negara adalah saya),
membangun istana sang surya (le roi soleil) dan menuunjukkan seluruh
kekuasaannya dengan tindakan sewenang-wenang.
Masa kekuasaan Raja Louis XIV diilustrasikan oleh Charles Dickens dalam buku Oliver
Twist sebagai sesuatu kebiadaban golongan aristokrat ( bangsawan) terhadap rakyat
jelata. Golongan aristokrat memeras rakyat dengan pajak yang tinggi, hidup mewah dan
berpesta pora dengan kekayaan tersebut, dan membiarkan rakyat jelata hidup dalam
kemiskinan dan kelaparan. Rakyat dijerat dengan hukuman yang keras. Penjara Bastile
dibangun sebagai lambang absolutisme raja. Orang-orang yang menentang kekuasaan
raja dan golongan aristokrat akan dipenjarakan dan disiksa selama berada dalam penjara
Bastile. Pada akhirnya mereka juga akan berahir di ujung pisau guloitine.
Revolusi Perancis
Tindakan semena-mena raja
dan
golongan
aristokrat
akhirnya menuai protes dari
banyak kalangan. Para pemikir
yang
sempat
mengalami
sendiri Perang Kemerdekaan
Amerika (1776) dan Glorious
Revolution di Inggris berusaha
menggalang kekuatan rakyat
melalui
protes
yang
disampaikan dalam pemikiranpemikirannya.
John Locke (1632 - 1704) melancarkan protesnya terhadap absolutisme Perancis dengan
mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan, dan
hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaanMontesquieu (1689 - 1755) dalam tulisan berjudul L'esprit des Lois mengemukakan teori
Trias Politica sebagai landasan kenegaraan. Jean Jacques Rouseau (1712 - 1778) dalam
bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat,
kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Voltaire (1684 - 1778)
memprotes cara hidup para bangsawan yang menindas rakyat jelata dan mengusulkan
tentang perlunya pendidikan secara meluas. Ide Voltaire dikembangkan kemudian oleh
Diderot dan D'Alembert dengan menerbitkan 35 jilid Ensiklopedia yang dihimpun dari
karya-karya Voltaire.
Revolusi Perancis terjadi karena, rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan
semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan
3
pajak yang memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara
faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian
Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan
yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution
(1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawankawan. Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan diserangnya Penjara Bastile oleh
rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789. Penyerangan atas penjara tersebut di
dasarkan paling tidak pada 3 alasan, yaitu:
1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan;
2) membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi;
3) membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan
dipenjarakan secara semena-mena ke dalam penjara Bastile.
Keburukan perekonomian Perancis yang mendorong penindasan terhadap rakyat, selain
disebabkan oleh pemborosan dari kalangan kerajaan juga diakibatkan oleh keperluan
besar yang harus dikeluarkan oleh Perancis untuk mendanai peperangan. Ketika Perang
Kemerdekaan berkobar di Amerika, Perancis mengirim pasukannya yang dipimpin oleh
Lafayette untuk membantu perjuangan rakyat Amerika Utara antara tahun 1776 - 1783.
Bagi perekonomian Perancis, upaya politis demi kejayaan ini justru turut menyedot
anggaran besar yang harus ditanggung rakyat. Pengalaman perjuangan para prajurit
selama mendukung perang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena
semangan dan cita-cita kemerdekaan tersebut turut mendorong mereka juga ingin
mendapatkan kebebasan yang sama di negaranya.
Pengalaman Perang Kemerdekaan Amerika dalam hal ini dapat turut diperhitungkan
sebagai salah satu faktor yang juga mempengaruhi proses Revolusi Perancis. Meskipun
penyerangan terhadap Bastile dimulai dari rakyat biasa yang merasa tertindas dan
terbebani oleh pajak tanah (taille), pajak garam (gabelle), dan juga pajak anggur (aide);
namun jika tidak didukung oleh para prajurit dan pejuang, tentu Revolusi tersebut tidak
akan dengan mudah berhasil. Semboyan Revolusi Perancis yang diserukan selama masamasa pergerakan terinsipirasi oleh pengalaman-pengalaman para prajurit Lafayette
semasa mendukung perang kemerdekaan Amerika.
Tindakan yang diambil oleh Louis XVI juga sekaligus merupakan langkah bunuh diri paling
buruk dalam pemerintahan Perancis. Louis XVI yang terkenal dengan kepribadiannya yang
polos dan lemah tidak berdaya menghadapi tuntutan pemenuhan kebutuhan anggaran
belanja negara yang terlalu besar. Ia sudah tidak mampu lagi menghadapi kekosongan
kas negara. Dalam keadaan tertekan dan bingung, Louis XVI mengaktifkan kembali Etats
Generaux yang telah dibekukan pada masa pemerintahan Louis XIII berdasarkan saran
dua Menteri kepercayaannya, yaitu Turgot dan Necker. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh
anggota-anggota parlemen untuk menyerang pemerintahan dan berusaha untuk
menancapkan kekuasaan baru di Perancis. Tujuan Louis XVI ketika mengaktifkan kembali
Etats Generaux pada tanggal 5 Mei 1789 adalah agar dewan rakyat bersidang dan
membantu dirinya untuk mengatasi masalah kekosongan kas negara. Sidang Etats
Generaux tidak dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak memberikan solusi yang
berarti. Justru terjadi perbedaan pendapat tajam diantara anggota-anggota Etats Generaux
itu sendiri. Sidang Etats Generaux pada akhirnya dibubarkan tanpa pengambilan
keputusan apapun.
Kegagalan sidang Etats Generaux tidak menyurutkan langkah maju para pendukung
perubahan. Kesempatan bagi Dewan Rakyat untuk bersidang yang disetujui oleh raja
dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh golongan III. Golongan III di negeri Perancis yang terdiri
dari para pedagang dan rakyat mengambil inisiatif untuk membentuk Assemble Nationale
(Dewan Nasional). Golongan III didukung oleh para bangsawan, terutama Mirebeau,
Lafayette, dan Sieyes yang sejak lama telah berambisi untuk mampu berkuasa dan
melengserkan kekuasaan raja Perancis. Golongan III melakukan sidang pada tanggal 17
Juni 1789 sebagai langkah pengukuhan posisi politik. Dalam sidang tersebut golongan lain
juga diberi kesempatan untuk mengambil bagian, dengan ketentuan bahwa tidak ada
4
pembedaan golongan di dalam pembuatan keputusan. Penggalangan kekuatan ini
ternyata berhasil. Dengan bergabungnya pendukung dari golongan lain ke dalam
Assemble Nationale, pada tanggal 20 Juni 1789, dewan tersebut menyelenggarakan
sidang pertama dan mengganti nama menjadi Assemble Nationale Constituante. (Dewan
Konstitusi Nasional).
Proklamasi pembentukan Assemble Nationale Constituante merupakan langkah awal
rakyat melalui parlemen untuk mengambil kembali mandatnya dari raja. Dewan Konstitusi
Nasional memiliki cita-cita tunggal, yaitu mengubah Perancis menjadi sebuah negara yang
berdasarkan konstitusi. Anggota dewan mengucapkan sumpah setia untuk tidak
membubarkan diri sampai dengan terbentuknya konstitusi atau undang-undang. Pihak
kerajaan berekasi keras terhadap tindakan tersebut. Dewan Konstitusi Nasional dianggap
sebagai suatu usaha untuk merebut kekuasaan. Raja memerintahkan agar sidang dewan
dibubarkan. Anggota dewan dan rakyat menolak, bentrokanpun terjadi antara pasukan
keamanan kerajaan dengan anggota dewan. Kemampuan dewan menggerakkan rakyat
pada akhirnya mengarahkan massa dalam jumlah besar ke penjara Bastile pada tanggal
14 Juli 1789.
Revolusi Perancis tidak hanya diarahkan kepada kalangan kerajaan saja. Ketidakpuasan
rakyat terhadap kalangan agama dan bangsawan yang dianggap menindasnya juga turut
dilampiaskan. Rakyat yang mengamuk secara membabi buta menyerang ke rumah-rumah
para bangsawan dan biarawan. Mereka merampas, membunuh, dan mengusir orangorang kaya tersebut dari rumahnya. Kemudian rumah-rumah mereka dibakar. Menurut
Charles Dickens dalam Oliver Twins, sejak saat itu banyak kaun bangsawan dan kalangan
gereja yang selamat melarikan diri ke luar Perancis. Mereka kemudian menjadi emigran
dan tidak berani kembali ke Perancis.
Sementara itu, para penggerak Revolusi membentuk pemerintahan Revolusi dan
melakukan beberapa tindakan sebagai penguasa baru di Perancis. Lafayette membentuk
garde nationale (pasukan keamanan). Anggota Dewan Konstitusi Nasional membentuk
Majelis Konstituante yang kemudian menyusun Konstitusi Perancis. Konstitusi ini berhasil
dibuat pada tahun 1791 dan ditandatangani oleh Seiyes, Mirebeau, dan Lafayette.
Pemerintahan legislatif juga menghapuskan hak-hak istimewa golongan bangsawan dan
golongan gereja. Hak-hak milik mereka yang tersisa dari rampasan rakyat disita. Seluruh
gelar kebangsawanan juga dihapuskan dan diganti dengan gelar baru yang lebih
memperhatikan hak persamaan, demokrasi, dan persaudaraan.
Pemerintah juga mengumumkan pernyataan hak-hak manusia dan warga yang telah
disepakati tanggal 26 Agustus 1789 oleh Dewan Nasional. Pernyataan tersebut didasarkan
pada semboyan Revolusi Perancis, yaitu liberte, egalite, dan fraternite. Untuk
mengabadikan pernyataan tersebut digunakan bendera nasional yang berwarna merah,
biru, dan putih (vertikal) dan lagu kebangsaan Marseillaise. Sejak saat itu pula Perancis
memperingati hari Nasionalnya, yaitu setiap 14 Juli.
Raja Louis XVI dan istrinya berusaha melarikan diri ketika Revolusi terjadi dengan bantuan
pasukan Austria. Namun pada tahun 1792, anggota-anggota kerajaan berhasil ditangkap.
Pada tahun tersebut juga, Dewan legislatif membuat dua keputusan penting, yaitu
menghapuskan bentuk pemerintahan kerjaan dan mengubah Perancis menjadi Republik
serta menjatuhkan hukuman mati dengan guillotin terhadap Louis XVI, Maria Antoinette,
dan para bangsawan istana lainnya yang tertangkap. Eksekusi terhadap 2000 orang
dilakukan pada September 1792.
.
Perebutan kekuasaan dialami Perancis pasca revolusi. Sistem pemerintahan silih berganti
dan saling tumbang menumbangkan. Setelah menjadi Republik, Perancis dipimpin oleh
Robespiere, namun huru hara terus saja berlanjut. Tahun 1793 - 1794 terbentuk
pemerintahan teror yang dipimpin oleh Marat, Danton dan Robespiere. Golongan borjuis
akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Robespiere pada tahun 1795, mereka
kemudian membentuk pemerintahan Direktorat yang dijalankan oleh 5 direktur, yaitu
Barra, Mouli, Gobier, Roger Ducas, dan Seiyes yang berkuasa sampai dengan 1799.
Kehilangan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Direktorat memberi kesempatan
5
kepada Napoleon Bonaparte untuk mengambil alih pemerintahan. Pada awalnya ia
membentuk pemerintahan Konsulat (1799) yang beranggotakan dirinya sendiri bersama
Seiyes dan Roger Ducas. Perbedaan pendapat diantara ketiga konsul tersebut
menyebabkan kedua anggota lainnya pada akhirnya mengundurkan diri darijabatan. Sejak
itu Napoleon Bonaparte kemudian mengambil alih seluruh kekuasaan dan menobatkan diri
menjadi Kaisar Perancis pada tahun 1804. Penobatan tersebut dimintakan
pengukuhannya kepada Paus Pius VII.
Selama masa kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali menjadi sebuah negara
yang terkenal. Napoleon menjalankan pemerintahan dengan sistem militer. Sumbangan
Napoleon Bonaparte bagi Perancis dan dunia juga sangat besar. Bagi Perancis, semasa
kekuasaannya ia berusaha membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat. Napoleon juga
mengeluarkan 3 undang-undang pending, yaitu
 code civil,
 code penal, dan
 code commerce.
Pengembangan politik ke luar negeri dilakukan dengan cara membentuk Perancis menjadi
negara yang jaya di Eropa. Ia juga berusaha membentuk federasi Eropa di bawah
kekuasaan Perancis. Cita-cita Napoleon Bonaparte menimbulkan reaksi keras dari rakyat
Eropa. Koalisi bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya berhasil menangkap dan
mengasingkan Napoleon Bonaparte ke Elba pada tahun 1814.Semangat dan cita-citanya
yang besar membawa ia melarikan diri dan berhasil kembali ke Perancis. Pada tahun 1815
ia kembali ditangkap dan kali ini ia diasingkan ke Pulau Saint Helena.
Setelah keruntuhan kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali masuk ke dalam
era kegelapan. Absolutisme kembali berkembang di bawah pemerintahan Raja Louis XVIII
(1815 - 1824) dan dilanjutkan oleh Karel X (1824 - 1830). Pada tahun 1830 revolusi
kembali terjadi di Perancis dan sejak saat itu sampai dengan tahun 1848 terjadi vacuum of
Power. Pada tahun 1848, rakyat akhirnya menyelenggarakan pemilu dan mengangkat
Louis Napoleon (Napoleon IV) sebagai pemimpin negara republik. Kekuasaan dan ambisi
kembali mengantarkan Napoleon IV mengakat diri menjadi Kaisar pada tahun 1861. Pada
tahun 1872, Napoleon IV berhasil diturunkan dari tahtanya dan oleh rakyat disepakati
untuk mengesahkan pemerintahan Republik yang bertahan hingga masa sekarang.
Revolusi Perancis memiliki pengaruh besar bagi masyarakat dunia. Semboyan dan asasasas yang diperjuangkan selama revolusi memberikan sumbangan besar bagi
pembentukan Piagam Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948.
Meskipun sedikit berbeda dengan Glorious Revolution di Inggris yang menghasilkan Bill of
Right. Perancis juga berhasil membentuk pernyataan hak-hak kemanusian melalui
Revolusi. Piagam yang disepakati pada tanggal 27 Agustus 1789 tersebut antara lain
berisikan pernyataan bahwa: (1) manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak yang
sama; (2) hak-hak itu adalah kemerdekaan, hak milik, hak perlindungan diri, dan hak untuk
menentang penindasan; (3) rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan.
Perancis pernah menjajah Belanda dan selama proses tersebut Belanda berkuasa pula di
Indonesia. Tindakan dan kebijaksanaan politik Perancis turut masuk ke Indonesia melalui
Belanda. Pengaruh Revolusi Perancis terhadap Indonesia antara lain:
1) dihapuiskannya sistem tanam paksa atas desakan kaum liberal;
2) ditanamkannya modal swasta asing di Indonesia, terutama di perkebunan;
3) pembangunan sarana dan prasarana produksi untuk memperlancar
pengolahan hasil bumi;
4) menjadikan Indonesia sebagai produsen tanaman perkebunan.
Tindakan penjajahan Belanda dan praktek liberalisme di satu sisi memang menimbulkan
penindasan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Namun liberalisme dan keterbukaan
sekaligus membuka kesempatan kepada sebagian rakyat Indonesia untuk memperoleh
pencerdasan dan pelajaran berharga. Indonesia memperoleh pengetahuan baru dan
sekaligus mendapatkan semangat untuk menggalang persatuan yang pada akhirnya
mendorong terjadinya pergerakan nasional. Pergerakan nasional inilah yang selanjutnya
6
mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaan dari Belanda dan penjajah asing lainnya.
7
Download