REVOLUSI PERANCIS Lahirnya monarkhi absolut Sistem ekonomi Merkantilisme yang diterapkan di negara-negara Eropa pada abad 16 - 18 memberi kesempatan bagi berkembangnya berbagai monarki absolut di Eropa. Merkantilisme membuka peluang bagi negara untuk menumpuk kekayaan, memperlebar pengaruhnya pada rakyat bahkan wilayah-wilayah taklukan. Merkantilisme adalah suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volum perdagangan global teramat sangat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong eksport (dengan banyak insentif) dan mengurangi import (biasanya dengan pemberlakuan tarif yang besar). Kebijakan ekonomi yang bekerja dengan mekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme. Ajaran merkantilisme dominan sekali diajarkan di seluruh sekolah Eropa pada awal periode modern (dari abad ke-16 sampai ke-18, era dimana kesadaran bernegara sudah mulai timbul). Peristiwa ini memicu, untuk pertama kalinya, intervensi suatu negara dalam mengatur perekonomiannya yang akhirnya pada zaman ini pula sistem kapitalisme mulai lahir. Kebutuhan akan pasar yang diajarkan oleh teori merkantilisme akhirnya mendorong terjadinya banyak peperangan dikalangan negara Eropa dan era imperialisme Eropa akhirnya dimulai. Pertautan antara sistem ekonomi Merkantilisme, dengan sistem politik monarki absolut semakin diperkuat dengan adanya ide-ide dari para pemikir yang menandai auflklarung (pencerahan) di Eropa. Salah satu pemikiran yang dianggap menjadi landasan berpikir para penguasa monarki-monarki absolut adalah tulisan berjudul Il Principe dari Nicolo Machiavelli. Machiavelli adalah seorang diplomat yang sangat populer dari Florence (Italia). Buku Il Principe mengulas usaha-usaha para pejuang di Italia untuk mencapai kejayaan bagi negaranya. Para pejuang tersebut bagi Machiavelli merupakan tokoh-tokoh pemimpin masa depan. Ulasan tersebut membuat bukunya juga kemudian diterjemahkan dalam judul "The Prince". Usaha-usah apara pejuang Italia, dalam pandangan Machiavelli merupakan cara ideal untuk mewujudkan sebuah negara besar yang bebas dari penjajahan dan perbudakan. Setelah perjuangan tersebut berhasil menurutnya, sebuah negara harus diarahkan pada bentuk Machtstaat (negara kekuasaan). Pada sebuah negara kekuasaan, seorang pemimpin (negara) dalam melakukan "segala tindakan", asalkan demi kepentingan negara. Ide Machiavelli kemudian digunakan secara luas oleh para penguasa di Eropa untuk dapat memenangkan dan memegang teguh kekuasaannya. Pengaruh pemikiran Machiavelli bahkan memiliki dampak yang cukup luas dalam pemikiran politik. Politik modern juga masih mengadopsi pemikiran tersebut. Tidak jarang politik diartikan sama seperti yang dikemukakan oleh Machiavelli sebagai "the tools for leader to win and hold the power". Intrik dan konflik politik sering mewarnai setiap pergantian kepemimpinan di berbagai belahan dunia. Tidak jarang pula pemikiran politik yang demikian memunculkan pemimpin-pemimpin besar yang berpengaruh besar bagi kehidupan banyak bangsa. Pemimpin-pemimpin demikian justru dielu-elukan dan dijunjung tinggi rakyatnya saat mereka berkuasa, tetapi justru dihujat setelah mereka turun dari tampuk pemerintahannya. Di luar aspek sentiment negatif rakyat terhadap pemimpin tersebut, pada dasarnya pemimpin demikian selama berkuasa tidak sedikit menghasilkan berbagai perubahan radikal dan progresif bagi sistem politik di tingkat nasional maupun dunia. 1 Selain pemikiran Machiavelli, ide mengenai pemerintahan raja yang begitu luas juga sebenarnya dipengaruhi oleh konsep kepemimpinan gereja Katolik di masa tersebut, khususnya yang dikenal dengan "pontifex maximus". Kekuasaan Paus dengan sistem pontifex maximus, mendorong para pengusung kekuasaan ingin memperoleh kekuasaan luas seperti yang dimiliki oleh Paus. Di Eropa Timur, terutama Yunani, ide tersebut dimanifestasikan dalam bentuk sistem pemerintahan kekaisaran yang bercorak sama dengan sebutan caesaro-papisme. Jabatan kekaisaran adalah sebagai kepala gereja di negerinya dan sekaligus juga kepala negara. Kesetiaan seorang warga negara terhadap Tuhan harus ditunjukkan pula dengan sikap taat dan tunduknya kepada Kaisar sebagai wakil Tuhan. Caesaro papisme atau pontifex maximus yang bergandengan dengan monarki absolutisme memunculkan begitu banyak penguasa-penguasa besar yang berkuasa secara mutlak. Raja-raja atau penguasa-penguasa absolut tersebut dijuluki sebagai despot atau tiran. Sistem kekuasaannya disebut despotisme atau tirani. Ciri-ciri dari penguasaan mutlak dari despot-despot tersebut antara lain: (1) memerintah tanpa adanya konstitusi; (2) memerintah tanpa adanya parlemen; (3) memerintah tanpa adanya kepastian hukum; (4) memerintah tanpa adanya anggaran belanja negara. Intinya raja-raja absolut memerintah tanpa dibatasi oleh apapun juga. Seperti telah ditegaskan bahwa kepemimpinan dalam negara monarki abslutisme juga membawa kejayaan bagi beberapa negara. Prusia (1740- 1786) pada masa Raja Frederick II berhasil mewujudkan kejayaan Prusia di Jerman dan puncaknya ketika tercapai persatuan wilayah Jerman pada masa Perdana Menteri Bismarck yang terkenal dengan gagasannya yang berbunyi "durch blut und eisen" (dengan darah dan tangan besi). Rusia pada masa pemerintahan Czar Peter (1689 - 1725) berhasil memiliki kekuasaan luas dengan menjalankan "politik air hangat". Kaisar Joseph II dari Austria (1780 - 1790) berhasil menarik simpati rakyat dengan program penghapusan sistem budak tani dan pajak yang memebebani rakyatnya. Tidak semua usaha untuk membentuk kekuasaan absolut berhasil. Di Inggris usaha tersebut justru mengalami kegagalan. Inggris memang sempat menjalani masa absolutisme pada masa pemerintahan Charles I (1625 - 1649). Kekuasaan tersebut mendapatkan perlawanan. The civil war yang dipimpin oleh Oliver Cromwell (1642 - 1649) pada akhirnya meruntuhkan kekuasaan tersebut. Inggris kemudian membentuk parlemen dan menjadi negara Republik yang dipimpin oleh Cromwell dengan gelar Lord Protector. Ambisi Cromwell yang besar pada akhirnya juga mengantarkan Inggris kembali menjadi sebuah negara kerajaan. Namun kekuasaan parlemen yang besar berhasil mencegah tumbuhnya kembali absolutisme. Sepeninggalan Cromwell, parlemen Inggris berhasil memaksa Ratu Mary untuk menandatangani Bill of Rights 1689. Penandatanganan Bill of Right di Inggris merupakan suatu lambang kejayan besar rakyat atas pemerintahan. Bill of Right ditandatangani dalam suasana tanpa perseteruan dan pertumbahan darah, sehingga revolusi tersebut sering juga disebut sebagai Glorious Revolution. Bill of Right 1689 memuat berbagai jaminan pokok bagi masyarakat Inggris yang dapat diidentikkan sebagai sebuah Piagam Hak Asasi Manusia. Isi pokok dari piagam tersebut adalah: 1) 2) 3) 4) 5) kekuasaan parlemen berada di atas kekuasaan raja; raja harus memberikan jaminan toleransi dalam beragama; raja menjamin kebebasan pers; anggota parlemen dipilih melalui general election; pungutan pajak apapun yang akan dilakukan oleh kerajaan harus atas dasar persetujuan parlemen; 6) tidak ada pengerahan kekuatan militer tanpa persetujuan parlemen. Jika di Inggris, absolutisme mengalami kegagalan, justru hal yang sama berlaku 2 sebaliknya di Perancis. Perancis merupakan sebuah negara yang paling sukses dalam menjalankan monarki absolutisme. Benih-benih absolutisme di perancis sebenarnya telah ada sejak masa kekuasaan Richelieu (1624 - 1643) dan Mazarin (1643 - 1661). Absolutisme menjadi sebuah kenyataan setelah Raja Louis XIII berkuasa (1610 - 1643). Pada masa kekuasaan Raja Louis XIII, parlemen Perancis dibekukan dan raja mengambil alih seluruh tugas parlemen dan menjalankan tugas pemerintahan secara tak terbatas. Puncak kejayaan absolutisme di Perancis tercapai pada masa pemerintahan Raja Louis XIV (1643 - 1715). Pada masa pemerintahan tersebut ditandai dengan beberapa tindakan militer yang cukup berhasil meneguhkan pemerintahan absolutisme, misalnya: 1) mendesak dan mematahkan kekuatan Kaum Calvinis; 2) mengurangi dan akhirnya mencabut kekuasaan para raja-raja vazal yang berkuasa selama diterapkannya sistem ekonomi feodalisme; 3) Louis XIV mengukuhkan diri sebagai yang paling utama di negaranya dengan menobatkan diri sebagai L'etat cest moi (negara adalah saya), membangun istana sang surya (le roi soleil) dan menuunjukkan seluruh kekuasaannya dengan tindakan sewenang-wenang. Masa kekuasaan Raja Louis XIV diilustrasikan oleh Charles Dickens dalam buku Oliver Twist sebagai sesuatu kebiadaban golongan aristokrat ( bangsawan) terhadap rakyat jelata. Golongan aristokrat memeras rakyat dengan pajak yang tinggi, hidup mewah dan berpesta pora dengan kekayaan tersebut, dan membiarkan rakyat jelata hidup dalam kemiskinan dan kelaparan. Rakyat dijerat dengan hukuman yang keras. Penjara Bastile dibangun sebagai lambang absolutisme raja. Orang-orang yang menentang kekuasaan raja dan golongan aristokrat akan dipenjarakan dan disiksa selama berada dalam penjara Bastile. Pada akhirnya mereka juga akan berahir di ujung pisau guloitine. Revolusi Perancis Tindakan semena-mena raja dan golongan aristokrat akhirnya menuai protes dari banyak kalangan. Para pemikir yang sempat mengalami sendiri Perang Kemerdekaan Amerika (1776) dan Glorious Revolution di Inggris berusaha menggalang kekuatan rakyat melalui protes yang disampaikan dalam pemikiranpemikirannya. John Locke (1632 - 1704) melancarkan protesnya terhadap absolutisme Perancis dengan mengemukakan ide-ide mengenai hak asasi manusia (hak milik, hak kemerdekaan, dan hak kebebasan); stated rule by law; dan perlunya pemisahan kekuasaanMontesquieu (1689 - 1755) dalam tulisan berjudul L'esprit des Lois mengemukakan teori Trias Politica sebagai landasan kenegaraan. Jean Jacques Rouseau (1712 - 1778) dalam bukunya du contract Social mengusulkan tentang perlunya perjanjian masyarakat, kesamaan, dan kemerdekaan dalam sebuah pemerintahan. Voltaire (1684 - 1778) memprotes cara hidup para bangsawan yang menindas rakyat jelata dan mengusulkan tentang perlunya pendidikan secara meluas. Ide Voltaire dikembangkan kemudian oleh Diderot dan D'Alembert dengan menerbitkan 35 jilid Ensiklopedia yang dihimpun dari karya-karya Voltaire. Revolusi Perancis terjadi karena, rakyat sudah tidak tahan lagi terhadap tindakan semena-mena dari kalangan bangsawan. Kekuasaan raja yang absolut dan penarikan 3 pajak yang memberatkan menjadi faktor utama pendorong Revolusi Perancis. Sementara faktor-faktor yang turut mendorong revolusi tersebut adalah: merosotnya perekonomian Perancis akibat pemborosan kaum bangsawan; tidak adanya kepastian hukum; perbedaan yang menyolok antar golongan dalam masyarakat; Revolusi Amerika; Glorious Revolution (1689) dan pemikiran-pemikiran para ilmuwan besar seperti John Locke dan kawankawan. Meletusnya Revolusi Perancis ditandai dengan diserangnya Penjara Bastile oleh rakyat Perancis pada tanggal 14 Juli 1789. Penyerangan atas penjara tersebut di dasarkan paling tidak pada 3 alasan, yaitu: 1) penjara Bastile merupakan gudang persenjataan dan makanan; 2) membebaskan tawanan politik yang dapat mendukung gerakan revolusi; 3) membebaskan orang-orang tidak berdosa yang telah ditangkap dan dipenjarakan secara semena-mena ke dalam penjara Bastile. Keburukan perekonomian Perancis yang mendorong penindasan terhadap rakyat, selain disebabkan oleh pemborosan dari kalangan kerajaan juga diakibatkan oleh keperluan besar yang harus dikeluarkan oleh Perancis untuk mendanai peperangan. Ketika Perang Kemerdekaan berkobar di Amerika, Perancis mengirim pasukannya yang dipimpin oleh Lafayette untuk membantu perjuangan rakyat Amerika Utara antara tahun 1776 - 1783. Bagi perekonomian Perancis, upaya politis demi kejayaan ini justru turut menyedot anggaran besar yang harus ditanggung rakyat. Pengalaman perjuangan para prajurit selama mendukung perang tersebut justru menjadi bumerang bagi pemerintah, karena semangan dan cita-cita kemerdekaan tersebut turut mendorong mereka juga ingin mendapatkan kebebasan yang sama di negaranya. Pengalaman Perang Kemerdekaan Amerika dalam hal ini dapat turut diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang juga mempengaruhi proses Revolusi Perancis. Meskipun penyerangan terhadap Bastile dimulai dari rakyat biasa yang merasa tertindas dan terbebani oleh pajak tanah (taille), pajak garam (gabelle), dan juga pajak anggur (aide); namun jika tidak didukung oleh para prajurit dan pejuang, tentu Revolusi tersebut tidak akan dengan mudah berhasil. Semboyan Revolusi Perancis yang diserukan selama masamasa pergerakan terinsipirasi oleh pengalaman-pengalaman para prajurit Lafayette semasa mendukung perang kemerdekaan Amerika. Tindakan yang diambil oleh Louis XVI juga sekaligus merupakan langkah bunuh diri paling buruk dalam pemerintahan Perancis. Louis XVI yang terkenal dengan kepribadiannya yang polos dan lemah tidak berdaya menghadapi tuntutan pemenuhan kebutuhan anggaran belanja negara yang terlalu besar. Ia sudah tidak mampu lagi menghadapi kekosongan kas negara. Dalam keadaan tertekan dan bingung, Louis XVI mengaktifkan kembali Etats Generaux yang telah dibekukan pada masa pemerintahan Louis XIII berdasarkan saran dua Menteri kepercayaannya, yaitu Turgot dan Necker. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh anggota-anggota parlemen untuk menyerang pemerintahan dan berusaha untuk menancapkan kekuasaan baru di Perancis. Tujuan Louis XVI ketika mengaktifkan kembali Etats Generaux pada tanggal 5 Mei 1789 adalah agar dewan rakyat bersidang dan membantu dirinya untuk mengatasi masalah kekosongan kas negara. Sidang Etats Generaux tidak dapat menjalankan tugas dengan baik dan tidak memberikan solusi yang berarti. Justru terjadi perbedaan pendapat tajam diantara anggota-anggota Etats Generaux itu sendiri. Sidang Etats Generaux pada akhirnya dibubarkan tanpa pengambilan keputusan apapun. Kegagalan sidang Etats Generaux tidak menyurutkan langkah maju para pendukung perubahan. Kesempatan bagi Dewan Rakyat untuk bersidang yang disetujui oleh raja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh golongan III. Golongan III di negeri Perancis yang terdiri dari para pedagang dan rakyat mengambil inisiatif untuk membentuk Assemble Nationale (Dewan Nasional). Golongan III didukung oleh para bangsawan, terutama Mirebeau, Lafayette, dan Sieyes yang sejak lama telah berambisi untuk mampu berkuasa dan melengserkan kekuasaan raja Perancis. Golongan III melakukan sidang pada tanggal 17 Juni 1789 sebagai langkah pengukuhan posisi politik. Dalam sidang tersebut golongan lain juga diberi kesempatan untuk mengambil bagian, dengan ketentuan bahwa tidak ada 4 pembedaan golongan di dalam pembuatan keputusan. Penggalangan kekuatan ini ternyata berhasil. Dengan bergabungnya pendukung dari golongan lain ke dalam Assemble Nationale, pada tanggal 20 Juni 1789, dewan tersebut menyelenggarakan sidang pertama dan mengganti nama menjadi Assemble Nationale Constituante. (Dewan Konstitusi Nasional). Proklamasi pembentukan Assemble Nationale Constituante merupakan langkah awal rakyat melalui parlemen untuk mengambil kembali mandatnya dari raja. Dewan Konstitusi Nasional memiliki cita-cita tunggal, yaitu mengubah Perancis menjadi sebuah negara yang berdasarkan konstitusi. Anggota dewan mengucapkan sumpah setia untuk tidak membubarkan diri sampai dengan terbentuknya konstitusi atau undang-undang. Pihak kerajaan berekasi keras terhadap tindakan tersebut. Dewan Konstitusi Nasional dianggap sebagai suatu usaha untuk merebut kekuasaan. Raja memerintahkan agar sidang dewan dibubarkan. Anggota dewan dan rakyat menolak, bentrokanpun terjadi antara pasukan keamanan kerajaan dengan anggota dewan. Kemampuan dewan menggerakkan rakyat pada akhirnya mengarahkan massa dalam jumlah besar ke penjara Bastile pada tanggal 14 Juli 1789. Revolusi Perancis tidak hanya diarahkan kepada kalangan kerajaan saja. Ketidakpuasan rakyat terhadap kalangan agama dan bangsawan yang dianggap menindasnya juga turut dilampiaskan. Rakyat yang mengamuk secara membabi buta menyerang ke rumah-rumah para bangsawan dan biarawan. Mereka merampas, membunuh, dan mengusir orangorang kaya tersebut dari rumahnya. Kemudian rumah-rumah mereka dibakar. Menurut Charles Dickens dalam Oliver Twins, sejak saat itu banyak kaun bangsawan dan kalangan gereja yang selamat melarikan diri ke luar Perancis. Mereka kemudian menjadi emigran dan tidak berani kembali ke Perancis. Sementara itu, para penggerak Revolusi membentuk pemerintahan Revolusi dan melakukan beberapa tindakan sebagai penguasa baru di Perancis. Lafayette membentuk garde nationale (pasukan keamanan). Anggota Dewan Konstitusi Nasional membentuk Majelis Konstituante yang kemudian menyusun Konstitusi Perancis. Konstitusi ini berhasil dibuat pada tahun 1791 dan ditandatangani oleh Seiyes, Mirebeau, dan Lafayette. Pemerintahan legislatif juga menghapuskan hak-hak istimewa golongan bangsawan dan golongan gereja. Hak-hak milik mereka yang tersisa dari rampasan rakyat disita. Seluruh gelar kebangsawanan juga dihapuskan dan diganti dengan gelar baru yang lebih memperhatikan hak persamaan, demokrasi, dan persaudaraan. Pemerintah juga mengumumkan pernyataan hak-hak manusia dan warga yang telah disepakati tanggal 26 Agustus 1789 oleh Dewan Nasional. Pernyataan tersebut didasarkan pada semboyan Revolusi Perancis, yaitu liberte, egalite, dan fraternite. Untuk mengabadikan pernyataan tersebut digunakan bendera nasional yang berwarna merah, biru, dan putih (vertikal) dan lagu kebangsaan Marseillaise. Sejak saat itu pula Perancis memperingati hari Nasionalnya, yaitu setiap 14 Juli. Raja Louis XVI dan istrinya berusaha melarikan diri ketika Revolusi terjadi dengan bantuan pasukan Austria. Namun pada tahun 1792, anggota-anggota kerajaan berhasil ditangkap. Pada tahun tersebut juga, Dewan legislatif membuat dua keputusan penting, yaitu menghapuskan bentuk pemerintahan kerjaan dan mengubah Perancis menjadi Republik serta menjatuhkan hukuman mati dengan guillotin terhadap Louis XVI, Maria Antoinette, dan para bangsawan istana lainnya yang tertangkap. Eksekusi terhadap 2000 orang dilakukan pada September 1792. . Perebutan kekuasaan dialami Perancis pasca revolusi. Sistem pemerintahan silih berganti dan saling tumbang menumbangkan. Setelah menjadi Republik, Perancis dipimpin oleh Robespiere, namun huru hara terus saja berlanjut. Tahun 1793 - 1794 terbentuk pemerintahan teror yang dipimpin oleh Marat, Danton dan Robespiere. Golongan borjuis akhirnya berhasil menggulingkan kekuasaan Robespiere pada tahun 1795, mereka kemudian membentuk pemerintahan Direktorat yang dijalankan oleh 5 direktur, yaitu Barra, Mouli, Gobier, Roger Ducas, dan Seiyes yang berkuasa sampai dengan 1799. Kehilangan kepercayaan rakyat kepada pemerintahan Direktorat memberi kesempatan 5 kepada Napoleon Bonaparte untuk mengambil alih pemerintahan. Pada awalnya ia membentuk pemerintahan Konsulat (1799) yang beranggotakan dirinya sendiri bersama Seiyes dan Roger Ducas. Perbedaan pendapat diantara ketiga konsul tersebut menyebabkan kedua anggota lainnya pada akhirnya mengundurkan diri darijabatan. Sejak itu Napoleon Bonaparte kemudian mengambil alih seluruh kekuasaan dan menobatkan diri menjadi Kaisar Perancis pada tahun 1804. Penobatan tersebut dimintakan pengukuhannya kepada Paus Pius VII. Selama masa kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali menjadi sebuah negara yang terkenal. Napoleon menjalankan pemerintahan dengan sistem militer. Sumbangan Napoleon Bonaparte bagi Perancis dan dunia juga sangat besar. Bagi Perancis, semasa kekuasaannya ia berusaha membentuk pemerintahan yang stabil dan kuat. Napoleon juga mengeluarkan 3 undang-undang pending, yaitu code civil, code penal, dan code commerce. Pengembangan politik ke luar negeri dilakukan dengan cara membentuk Perancis menjadi negara yang jaya di Eropa. Ia juga berusaha membentuk federasi Eropa di bawah kekuasaan Perancis. Cita-cita Napoleon Bonaparte menimbulkan reaksi keras dari rakyat Eropa. Koalisi bangsa-bangsa Eropa pada akhirnya berhasil menangkap dan mengasingkan Napoleon Bonaparte ke Elba pada tahun 1814.Semangat dan cita-citanya yang besar membawa ia melarikan diri dan berhasil kembali ke Perancis. Pada tahun 1815 ia kembali ditangkap dan kali ini ia diasingkan ke Pulau Saint Helena. Setelah keruntuhan kekaisaran Napoleon Bonaparte, Perancis kembali masuk ke dalam era kegelapan. Absolutisme kembali berkembang di bawah pemerintahan Raja Louis XVIII (1815 - 1824) dan dilanjutkan oleh Karel X (1824 - 1830). Pada tahun 1830 revolusi kembali terjadi di Perancis dan sejak saat itu sampai dengan tahun 1848 terjadi vacuum of Power. Pada tahun 1848, rakyat akhirnya menyelenggarakan pemilu dan mengangkat Louis Napoleon (Napoleon IV) sebagai pemimpin negara republik. Kekuasaan dan ambisi kembali mengantarkan Napoleon IV mengakat diri menjadi Kaisar pada tahun 1861. Pada tahun 1872, Napoleon IV berhasil diturunkan dari tahtanya dan oleh rakyat disepakati untuk mengesahkan pemerintahan Republik yang bertahan hingga masa sekarang. Revolusi Perancis memiliki pengaruh besar bagi masyarakat dunia. Semboyan dan asasasas yang diperjuangkan selama revolusi memberikan sumbangan besar bagi pembentukan Piagam Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh PBB 10 desember 1948. Meskipun sedikit berbeda dengan Glorious Revolution di Inggris yang menghasilkan Bill of Right. Perancis juga berhasil membentuk pernyataan hak-hak kemanusian melalui Revolusi. Piagam yang disepakati pada tanggal 27 Agustus 1789 tersebut antara lain berisikan pernyataan bahwa: (1) manusia dilahirkan bebas dan memiliki hak-hak yang sama; (2) hak-hak itu adalah kemerdekaan, hak milik, hak perlindungan diri, dan hak untuk menentang penindasan; (3) rakyat adalah sumber dari segala kedaulatan. Perancis pernah menjajah Belanda dan selama proses tersebut Belanda berkuasa pula di Indonesia. Tindakan dan kebijaksanaan politik Perancis turut masuk ke Indonesia melalui Belanda. Pengaruh Revolusi Perancis terhadap Indonesia antara lain: 1) dihapuiskannya sistem tanam paksa atas desakan kaum liberal; 2) ditanamkannya modal swasta asing di Indonesia, terutama di perkebunan; 3) pembangunan sarana dan prasarana produksi untuk memperlancar pengolahan hasil bumi; 4) menjadikan Indonesia sebagai produsen tanaman perkebunan. Tindakan penjajahan Belanda dan praktek liberalisme di satu sisi memang menimbulkan penindasan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia. Namun liberalisme dan keterbukaan sekaligus membuka kesempatan kepada sebagian rakyat Indonesia untuk memperoleh pencerdasan dan pelajaran berharga. Indonesia memperoleh pengetahuan baru dan sekaligus mendapatkan semangat untuk menggalang persatuan yang pada akhirnya mendorong terjadinya pergerakan nasional. Pergerakan nasional inilah yang selanjutnya 6 mengantarkan Indonesia mencapai kemerdekaan dari Belanda dan penjajah asing lainnya. 7