Gereja Orthodox Katolik dan Ajaran-ajarannya

advertisement
Gereja Orthodox Katolik dan Ajaran-ajarannya
Oleh Arkhimandrit Rm. Bambang Dwi Byantoro
Gereja Kristus yang Satu dan untuk Selama-lamanya
Di dunia masakini begitu banyak aliran keagamaan yang menamakan dirinya Kristen
atau Gereja. Namun demikian sering kita jumpai bahwa dalam masalah ajaran, aliran-aliran
yang satu amat berbeda dengan aliran yang lain. Belum lagi bagi banyak orang hanya
mengenal Kekristenan dalam dua bentuk saja yaitu: Katolik Roma dan denominasidenominasi Protestan. Dua bentuk inipun sementara masing-masing menyatakan dirinya
sebagai ajaran Injil yang benar dan sejati atau sebagai Gereja Kristus yang benar, dalam
realitanya banyak praktek dan ajarannya itu saling bertentangan satu dengan yang lain.
Demikian pula dalam apa yang kita sebut dengan denominasi-denominasi Protestan, begitu
banyak aliran yang satu sungguh-sungguh berbeda akidah dan ajarannya dengan yang lain.
Dan semuanya itu mengaku sebagai Gereja yang benar. Kita yang mencintai kebenaran dan
mencari kebenaran dijadikan bingung karenanya. Mungkinkah dengan Kitab Suci yang satu,
Allah yang Satu, Yesus yang satu, Roh Kudus yang Satu, terdapat Iman atau pengajaran dan
Gereja yang bermacam-macam dan saling bertentangan dan kontradiksi satu dengan lainnya
itu? Menurut Kitab Suci, jikalau yang dimaksudkan adalah Gereja Kristus dan ajaran Injil
Kristus yang sejati jelas tidak mungkin, karena Kitab Suci mengatakan :”…….satu
tubuh…..” ( Efesus 4:4), “satu Tuhan, satu Iman….” (Efesus 4:5). Surat Efesus yang sama
ini menegaskan bahwa yang disebut Tubuh Kristus itu adalah Jemaat (Ekklesia, Iglesia,
Igreja, Gereja):”Jemaat (Ekkelsia= Gereja) yang adalah TubuhNya….” ( Efesus 1:23). Jikalau
hanya ada satu tubuh, dan yang dimaksud dengan Tubuh itu adalah Gereja, jadi menurut
Alkitab Gereja itu hanya satu saja. Gereja yang satu itu yang bagaimana, yatu yang memiliki
“satu Iman” karena memiliki “satu Tuhan”. Berarti jikalau imannya tidak satu, ajarannya
tidak satu, pemahamannya tentang Tuhan yang satu itu tidak satu, pastilah itu bukan bagian
dari “satu Tubuh” atau Gereja yag dimaksud itu. Demikianlah kesimpulan yang dapat kita
ambil mengenai adanya macam-macam aliran ajaran yang semuanya mengaku Kristn dan
semuanya mengaku Gereja, tak mungkin semuanya itu benar dan tak mungkin semuanya itu
Gereja Kristus. Sebab jikalau mereka itu adalah bagian dari Gereja Kristus yang hanya satu
pastilah ajarannya itu satu dan sama dimana-mana. Lalu mengapa ada macam-macam aliran
pengajaran seperti itu. Kitab Suci mengajarkan bahwa ada Yesus yang lain, Injil yang lain dan
Roh yang lain ( II Korintus 11:4). Dan Kitab Suci juga mengatakan tentang adanya Injil yang
lain dan yang berbeda dari Injil yang diberitakan oleh Rasul dan yang diterima oleh Gereja (
Galatia 1: 8-9), dan Kitab Suci juga mengajarkan tentang adanya ajaran-ajaran bidat ( Titus
3:10-11). Itulah sebabnya terjadi munculnya ajaran-ajaran-ajaran yang bermacam-macam itu.
Dan menurut Kitab Suci ajaran yang bermacam-macam yang tak sesuai dengan ajaran Rasul
dan Iman Gereja Kristus yang benar itu membawa kutuk ( Galatia 1:8-9), mendatangkan
dosa dan hukuman ( Titus 3:10-11). Padahal mengenai ajaran Imanl yang benar itu Kitab
Suci mengatakan demikian:”…….iman yang sudah sekali bagi sekalian (Yunani:
“apax”)dikaruniakan kepada segala orang suci” ( Yudas 1:3, TL). Sayang terjemahan baru
1
Alkitab bahasa Indonesia tak menterjemahkan kata penting “apax” ini dalam Alkitab
terjemahan sekarang. Padahal kata ini bermakna bahwa Iman Kristen yang benar itu adalah
“sudah sekali” yaitu sekali pada jaman rasul itu saja diberikan kepada segala orang suci
(Gereja), dan iman yang sekali diberikan kepada Gereja itulah, iman “bagi sekalian” orang
dan bagi sekalian jaman. Berarti sampai kapanpun Gereja itu imannya hanya satu itu dan tak
akan pernah berubah. Jadi jika ada ajaran yang selalu berubah-ubah dan berbeda dengan
iman rasuliah sepanjang segala jaman pastilah itu bukan Injil yang satu itu yang diajarkan.
Dan kelompok yang mengaku dirinya Gereja dan mengikuti ajaran yang beurbah-ubah dan
saling kontradiksi itu pastilah bukan Gereja yang benar yaitu Tubuh Kristus yang hanya satu
itu. Tidak ada Wahyu yang bermacam-macam diluar Wahyu di dalam Yesus Kristus yang
satuu itu, dan tak ada ajaran yangbeubah-ubah diluar ajaran yang :sudah sekali bagi sekalian “
itu, serta tak Gereja yang bermacam-macam kecualiu Tubuh Kristus yang hanya satu sejak
jaman Rasul itu.
Padahal mengikuti ajaran yang berbeda dengan ajaran rasul yaitu ajaran
yang diterima dan dipelihara oleh Gereja Kristus yang satu dari jaman purba tanpa
perubahan itu menyebabkan orang tertimpa kutuk, dosa dan hukuman ( Galatia 1:8,9, Titus
3:10-11).
Untuk mengetahui keberadaan Gereja Kristus yang berasal dari jaman para Rasul dan
tetap memelihara Iman Rasuliah tak berubah itu, kita perlu melakukan pelacakan Sejarah
Umat Awal dari jaman permulaan sampai kini, dan kita mengambil kesimpulan dari
pelacakan ini. Banyak orang telah diberi informasi yang keliru mengenai keberadaan Gereja
Kristus yang Rasuliah dan satu itu dengan pemahaman bahwa Gereja Purba selalu dianggap
berada dibawah ketundukan dengan Sri Paus, dan hanya merupakan bagian dari Gereja
Roma Katolik saja, sedangkan dari pihak denominasi-denominasi Protestan memiliki
anggapan yang serupa pula mengenai segala sesuatu sebelum munculnya Protestantisme dan
sesudah zamannya para rasul, karena latar-belakang sejarahnya yang memang merupakan
protes terhadap Gereja Roma Katolik. Dan segala sesuatu sebelum munculnya Reformasi
Protestan dianggap masih termasuk dalam Zaman Kegelapan. Dalam cara pandang yang
demikian ini tentulah orang hanya melihat Kekristenan sebagai termasuk dalam Katolik
Roma atau jika tidak pasti itu termasuk dalam salah satu denominasi-denominasi Protestan.
Itulah sebabnya banyak orang tak dapat meletakkan keberadaan Gereja Rasuliah Purba yang
hanya satu itu secara tepat dalam spektrum Roma Katolik atau Protestan ini. Gereja Kristus
yang Rasuliah dan hanya satu itu bukan bagian dari sejarah Gerakan Reformasi, karena itu
harus berasal dari jaman purba dari awal Kekristenan itu sendiri Itulah sebabnya Gereja
Rasuliah Purba itu bukan termasuk denominasi Protestan. Juga Gereja Purba yang Rasuliah
itu tak pernah merupakan bagian sejarah dan pemikiran yang mempengaruhi benua Eropa
Barat yang sangat besar dipengaruhi oleh ajaran Santo Agustinus, filsafat Skolastikisme
sebagaimana yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas dalam Gereja Roma Katolik, dan
yang kemudian juga dikembangkan oleh Martin Luther dan Calvin dalam sejarah
Protestantisme. Yang juga dipengaruhi oleh pemusatan lembaga kepausan, sejarah
Rennaisance, Pencerahan, Reformasi Protestan dan Kontra-Reformasi Roma Katolik serta
Revolusi Perancis. Dan oleh pengaruh-pengaruh itu munculnya pemahaman-pemahaman
Iman Gereja Barat baik yang berpusat di Roma maupun dalam komunitas Protestan. Karena
Kristus adealah orang Yahudi dan para RasulNya juga orang-orang Yahudi, mereka berasal
dari Timur Tengah, bukan dari Eropa. Maka Gereja yang Rasuliah pastilah berasal dari
Timur Tengah ini juga. Maka Gereja Rasuliah ini tak turut ambil bagian dari sejarah Gereja
Barat itu, sehingga bukan merupakan bagian dari Gereja Roma Katolik ataupun komunitas
Protestan modern. Jadi bukan termasuk kategori Gereja Barat. Apalagi secara geografis yang
2
dimaksud Gereja Barat adalah wilayah Gereja sekitar Eropa Barat, baik sekitar daerah
Mediterania maupun daerah-daerah Skandinavia. Sedangkan secara etnis yang termasuk
dalam lingkup Gereja Barat adalah bangsa-bangsa Latin (Itali, Spanyol, Perancis) dan bangsabangsa Anglo-Saxon (Jerman, Belanda, Inggris) serta bangsa-bangsa Skandinavia (Denmark,
Swedia, Skandinavia). Dan jika kita masukkan aliran-aliran Protestan, maka termasuk pula
bangsa Amerika dan Kanada. Padahal jika kita lihat dalam Perjanjian Baru umat dalam
Gereja Purba itu adalah bangsa Syria, Yahudi, Etiopia, dan Yunani, sehingga Gerejanya
bukan termasuk Gereja Barat baik secara geografis, etnis maupun historis dan aqidahnya.
Gereja Rasuliah Purba inilah yang disebut Gereja Orthodox dan berasal dari zaman awal
munculnya Kekristenan itu sendiri. Gereja Orthodox adalah Gereja Purba yaitu Gereja
Perjanjian Baru itu sendiri yang masih hadir di dunia ini tanpa berubah baik dalam ajaran,
ibadah, maupun ethos dan cara pemerintahan Gerejanya sejak zaman para Rasul itu sendiri.
Sejarah Gereja Orthodox lebih berlatar-belakangkan zaman Patristik Purba, Zaman KonsiliKonsili Ekumenis dalam lingkup Kerajaan Byzantium, Munculnya Islam, Penyebaran ke
Eropa Timur dan Rusia, Penjajahan Turki, Penyerangan Bangsa Tartar, Penjajahan Komunis,
Kemerdekaan negara-negara Balkan, dan sampai kepada zaman modern ini. Yang ikut ambil
bagian dalam latar-belakang sejarah Gereja Orthodox di Timur ini adalah Gereja-Gereja
Timur lainnya yaitu Gereja-Gereja yang disebut Monofisit atau Oriental Orthodox atau NonKalsedon (Koptik, Syria-Yakobit: di Indonesia ini dipromosikan dengan Nama Kanisah
Orthodox Syria oleh “YAYASAN Study Orthodox Syria” pimpinan sdr. Bambang Noorsena
S.H. yang tadinya adalah mantan anggota Gereja Orthodox Indonesia; kemudian Armenia,
Ethiopia, dan Thomas India) serta Gereja yang disebut Nestorian (“Gereja Timur Assyria”,
“Pre-Efesus”). Istilah “Orthodox” bukanlah nama aliran Gereja, karena sebenarnya Gereja
Orthodox tak mempunyai nama. Orthodox berasal dua kata Yunani “orthos = lurus, benar”
dan “doxa = pengajaran, pendapat, kemuliaan.” Jadi “orthodoxa” artinya adalah “ajaran yang
lurus.” Untuk mengetahui Gereja Orthodox ini secara baik kita harus melacak 2000 tahun
sejarah Gereja itu sampai kini. Dengan demikian kita dapat melokasikannya secara benar
dalam spektrum Roma Katolik-Protestan itu.
Agar kita dapat mengetahui lebih jelas dan mendalam tentang Gereja Kristus yang sejati
ini, marilah kita membahas mengenai sejarah Gereja Orthodox selama 2000 tahun itu dalam
bagiannya yang pertama. Namun sebelumnya akan kita bicarakan latar-belakang sejarah
keselamatan yang direncanakan Allah sejak zaman Adam sampai dengan datangNya Yesus
Kristus di dunia itu. Kemudian pembahasan sejarah itu akan kita bagi dalam lima bagian.
Bagian pertama adalah awal perkembangan Iman Kristen sebagai fondasi dari keberadaan
Gereja Orthodox selanjutnya. Bagian kedua akan membahas masa perumusan theologi
Kristen yang Orthodox mengenai dua-kodrat dari Kristus yang satu dalam Konsili-Konsili
Ekumenis Gereja Purba. Bagian Ketiga akan membicarakan situasi Gereja Orthodox sesudah
Konsili-Konsili Ekumenis, sampai jatuhnya Konstantinopel ke tangan Turki. Bagian
Keempat adalah Masa penjajahan Turki atas ummat Orthodox sampai akhir masa penjajahan
Turki itu. Dan Bagian kelima akan membahas situasi Gereja Orthodox di abad kedua puluh
dan kedua puluh satu ini serta munculnya Gereja Orthodox di Indonesia.
Disamping tentang sejarahnya, buku ini dalam bagiannya yang kedua juga akan
membahas tentang aqidah dan keyakinan Iman Gereja Orthodox berdasarkan Syahadat
(Pengakuan Iman ) Nikea, yang dirumuskan pada Konsili Ekumenis Pertama tahun 325 dan
yang diratifikasikan pada Konsili Ekumenis Kedua tahun 381. Rumusan yang mana
mrupakan garis besar dari ajaran Rasuliah sebagaimana yang tercatat dalam Alkitab dan yang
3
selalu dipercayai oleh Gereja Universal yang Orthodox. Dalam bagian tentang aqidah atau
pengajaran dan keyakinan iman itu pembahasan akan dibagi dalam bagian-bagian mengenai
:Allah, karya Allah, Ciptaan: Malaikat, Iblis dan roh-roh jahat, serta penciptaan manusia.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai Yesus Kristus dan karyaNya, makna
keselamatan yang diakibatkan oleh karya Yesus Kristus, serta Roh Kudus dan karyaNya,
termasuk makna Gereja, sakramen-sakramen, kehidupan sesudah mati dan hari kiamat yang
ditandai dengan dengan kedatangan Yesus Kristus yang kedua untuk menegakkan Kerajaan
yang kekal.
Bagian yang ketiga dari pembahasan buku ini adakah mengenai kehidupan Ibadah dari
Gereja Orthodox itu. Termasuk di dalamnya adalah mengenai simbolisme Gedung gereja
Orthodox, simbolisme kedudukan para rohaniwan Orthodox. Makna Sakramen-Sakramen
Gereja Orthodox, Sholat harian tujuh kali sehari, Puasa dalam Gereja Orthodox serta zakat
persepuluhan. Dan tertib-tertib ibadah lainnya, termasuk yang menyangkut kelahiran,
kematian, pengudusan rumah, serta doa-doa yang menyangkut seluruh kebutuhan kehidupan.
Bagian yang keempat atau yang terakhir dari buku ini akan membahas tentang kehidupan
akhlak dan moral Orthodox sebagai akibat suatu praktek kehidupan yang diakibatkan oleh
iman kepada aqidah serta pelaksanaan ibadah dalam kehidupan.
Dengan demikian buku ini akan menjadi timba yangmenolong orang dapat mengambil air
kebenaran yang sulit dan dalam dari Sumur Kitab Suci, agar orang menemukan kebenaran
sejati, dengan demikian diselamatan
SEJARAH GEREJA ORTHODOX
SEJAK ABAD PERTAMA:ZAMAN
RASUL-RASUL, SAMPAI KINI
.A.
I.
Zaman Purba
Masa Pembentukan: Tiga Abad yang pertama : dari
Yesus Kristus s/d Konstantinus Agung
4
Abad 1 s/d Awal Abad 4:
Gereja mulai muncul diatas dunia ini sejak Yesus Kristus diturunkan Allah dari sorga, sebagai
Kalimatullah ( Firman Allah ) yang menjelma menjadi manusia ( Yohanes 1:14, Galtia 4:4).
Selama lebih kurang tiga setengah tahun Beliau mengajar dan berkarya, dan berpuncak pada
peristiwa sengsara, penyaliban, kematian, penguburan, kebangkitanNya secara jasmani dari
antara orang mati, serta kenaikanNya ke sorga. Peristiwa sengsara s/d kebangkitan ini
akhirnya menjadi isi pokok berita (kerygma) dari para murid setiaNya yang disebut Para
Rasul, yang menyebarkannya sesudah peritiwa turunNya Roh Kudus yang dijanjikan Almasih
atas mereka, pada hari Pentakosta ( Kisah 2). Dan kesengsraan s/d kebangkitan Sang Kristus
itulah inti Injil, yang semula diberitakan secara lisan.Karena Kristus tak pernah menulis Kitab
ataupun menerima Kitab dari sorga, maka Dia tak meninggalkan Kitab apapun pada para
rasulNya ini, karena Dia sendiri adalah Firman Allah yang menjadi manusia. Kerygma
Rasuliah secara lisan itu mula-mula disebarkan hanya disekitar daerah Palestina saja, dan
akhirnya menjadi ajaran lisan komunitas yang baru, yang disebut sebagai :Ekklesia, yang dari
sinilah timbul kata Gereja ( berasal dari bahasa Portugis Igreja, sepadan dengan kata Spanyol
:Iglesia, yang jelas berasal dari kata Ekklesia itu). Para Rasul itu akhirnya menyebar kemanamana, mulai dari Yerusalem dan seluruh Palestina, kemudian ke seluruh Siria, dan Asia Kecil
( kini negara Turki) serta Yunani dan Afrika Utara terutama di Alexandria (Mesir) dan
Karthago ( Libia).. Inilah batas sebelah barat dunia Timur pada saat itu. Sedangkan ke Timur
lagi Injil tersebar ke Edesa, Mesopotamia ( Irak, Babilon), dan Persia, yaitu daerah Siria
Timur, karena yang menerima Injil di daerah timur ini adalah suku-suku yang berbahasa Siria,
sampai ke India Selatan. Sedangkan ke Barat lagi Injil diterima di benua Eropa Barat dari
Roma di Itali, Spanyol, dan yang nantinya akan berkembang ke seluruh Eropa. Dengan
demikian kita melihat Injil tersebar dari Timur ke Barat dan di seluruh benua: Asia, Afrika
dan Eropa. Memang Iman Kristen itu pada dasarnya adalah Agama Timur ( Timur Tengah).
Pada saat inilah dokumen-dokumen yang akhirnya menjadi Kitab Suci Perjanjian Baru mulai
dituliskan oleh para rasul sebagai pemimpin Gereja itu kepada Gereja-Gereja ( Roma.
Korintus, Galatia, Efesus, dll.) dan para pemimpin Gereja sebagai murid mereka secara
langsung ( Titus, Timotius, Filemon, dll) yang telah mereka dirikan dan mereka pilih itu.
Gereja ( Ekklesia) telah ada lebih dulu sebelum Kitab Suci ( Perjanjian Baru) dipakemkan.
Pada saat ini orang-orang non-Yahudi mulai diterima sebagai anggota ummat Allah, setelah
penyelesaian masalah penerimaan mereka, dan penyelesaian masalah dogmatis mengenai
kedudukan Taurat, dalam Rapat Agiung (Konsili) para Rasul yang pertama di Yerusalem
(Kisah 15). Konsili segenap Gereja inilah yang menjadi landasan adanya Konsili-Konsili di
sepanjang sejarah Gereja itu. Orang-orang yang berobat itu hanya perlu beriman kepada
Yesus Kristus tanpa harus menjadi Yahudi dengan mengikuti ritus-ritus Taurat, lalu
dibaptiskan serta menjadi anggota Ekklesia yang dipimpin/digembalakan oleh para
“Presbyter” (“Penatua”) dan “Episkop (“Penilik Jemaat”) –Kisah 20:17,28 -, yang mereka ini
menerima pentahbisan dari para Rasul sendiri ( Kisah 14:23), sebagai mata-rantai pelanjutganti pelayanan rasuliah.
Para Rasul sendiri tidak menjadi “Gembala” (
“Episkop/Presbyter”) secara lokal dari Gereja lokal tertentu secara permanen dimanapun.
Masing-masing kelompok ekklesia itu memiliki ciri khasnya dan masalah-masalahnya sendiri,
sebagaimana yang dapat kita baca dalam Perjanjian Baru. Namun seluruh ekklesia diapnggil
untuk memegang doktrin yang sama dan melaksanakan akhlak hidup dan ibadah yang sama
pula. Pada zaman awal ini Gereja harus menghadapi ajaran sesat pen-Taurat-an Injil yang
segera dapat diselesaikan, serta pe-mythologi-an Injil dalam wujud aliran “gnostikisme” yang
5
hendak mencampur-adukkan Injil dengan ajaran kafir Yunani-Romawi. Dengan keras para
Rasul harus melawan ini sebagaimana yang kita lihat dari tulisan-tulisan Rasul Yohanes dan
Rasul Paulus. Dengan kematian para rasul semuanya menjadi martyr (syuhada), kecuali Rasul
Yohanes yang meninggal karena umur tua, Gereja berlanjut dipimpin oleh para murid rasul
itu.
Penganiayaan yang sudah dimulai oleh Nero pada zaman Rasul Paulus dan Petrus berlanjut
sampai abad kedua. Saat ini Iman Kristen dianggap “Agama Tidak Sah “ (“Religio Illicita”) di
seluruh Kekaisaran Roma. Mereka adalah penjahat dimata pemerintah Roma,karena menolak
menyembah kaisar sebagai “tuhan” dan “ilah”. Sedangkan orang Kristen yang berada
disebelah timur Mesopotamia yaitu dibawah Kerajaan Agung Persia, juga mengalami aniaya
karena cemburu dari para pendeta agama Zoroaster, agama resmi negera Persia. Orang
Kristen di Kekaisaran Roma dituduh” memberontak terhadap negera, pembunuh bayi-bayi
dan memakan daging dan minum darah mereka (“ Makan dan Minum Daging dan Darah
Anak Manusia”). Penganiayaan ini bersifat sporadis, mereka tak perlu dikejar-kejar namun
jika ketahuan mereka harus dihukum. Diantara para pemimpin yang menderita dari aniaya
abad ini adalah : Ignatius dari Antiokia, pengganti ketiga dari Rasul Petrus di Antiokia, Syria,
sebagai Episkop ( 110 Masehi), Polykarpus, Episkop dari Smyrna, yang adalah murid Rasul
Yohanes ( 156 Masehi) dan Yustinus Martyr (Syuhada). Yustinus Martyr ini memiliki
seorang murid dari Syria bernama Tatianus. Dia pulang ke Syria setelah kematian Yustinus
dan menterjemahkan Injil dari bahasa asli Yunani ke bahasa Syria, dalam bentuk yang
diurutkan sesuai dengan urutan cerita, bukan empat bentuk terpisah seperti yang kita kita
kenal, dan terjemahan ini terkenal sebagai “Diatessaron”, dan inilah Injil yang digunakan
oleh Gereja Syria untuk waktu yang lama sampai akhirnya diganti dengan keempat Injil
seperti seluruh Gereja lainnya, dalam bentuk terjemahan “Peshitta”, yang menjadi Kitab Suci
Gereja Syria sampai sekarang.. Disamping itu Gereja Syria menggunakan Perjanjian Lama
bukan dari terjemahan Ibrani atau Septuaginta, namun dari Targum Aramia dari Perjanjian
Lama yang berlaku di Babilonia. Ajaran Tatianus ini dipengaruhi oleh aliran gnostik
“enkraitisme” yang menekankan pelajangan, dan asketisisme. Para pemimpin Kristen awal ini
meninggalkan tulisan-tulisan yang bersama dengan “Didakhee”, “Surat Kepada
Diognetus”, “Surat-Surat Klemen dari Roma” , “ Surat Barnabas” (bukan Injil Palsu
Barnabas yang dipromosikan Islam!!!), “ Gembala Hermas”, serta tulisan-tulisan pembelaan
iman (apologetik) dari Athenagoras dari Athena, Melito dari Sardis, serta Theofilus dari
Antiokia serta dari theoloog yang terbesar dari abad kedua Ireneus dari Lyons, semuanya
tadi memberikan gambaran yang jelas sekali mengenai iman dan kehidupan dari Gereja
Perjanjian Baru yang berlanjut sampai abad kedua itu. Perkembangan yang paling penting
pada abad kedua ini adalah munculnya para pembela iman (“apologist”), yang membela
Iman Kristen dari serangan Agama Yahudi, Agama Kafir Berhala, serta Bidat-bidat yang
muncul di sekitar Gereja. Juga berkembangnya Aqidah (Doktrin) Gereja serta permulaan
Theologia sesudah zaman Rasuliah, ditegakkannya pemerintahan Gereja bagi masing-masing
jemaat lokal yang dipimpin oleh Episkop (”Penilik Jemaat” ), Presbyter (“Penatua”) dan
Diakon. Zaman ini pula fondasi pertama dari Ibadah dan Liturgi Kristen serta kehidupan
Sakramental Gereja yang berlandaskan dari Ibadah Israel namun yang sudah terpisah dari
Synagoga (Rumah Ibadah Yahudi) dan mulainya pembentukan Kitab Suci dari Gereja
Perjanjian Baru itu terjadi. Pada akhir abad pertama dan permulaan abad kedua banyak
tulisan palsu mengenai Kristus bermunculan. Tulisan-tulisan ini disebut tulisan-tulisan
‘apokrifa” ( jangan dikacaukan dengan “Anaginoskomena’ dari Perjanjian Lama!!) serta
tulisan-tulisan “pseudopigrafa”. Biasanya tulisan-tulisan memakai nama salah seorang rasul
6
dan memasukkan dongeng-dongeng aneh mengenai masa kecil Yesus Kristus, kehidupan
Perawan Maryam dan kegiatan-kegiatan karya para rasul. Dan sebagaian daripadanya menjadi
kisah dalam Al-Qur’an terutama tentang masa kecil Kristus. Bersama dengan itu, muncul
pula aliran “gnostikisme”, yaitu suatu bidat Kristen yang mengubah iman Kristen menjadi
semacam ajaran kebatinan. Dalam melawan ajaran bidat gnostik inilah Gereja yang Rasuliah
itu menyebut ajaran asli yang rasuliah itu sebagai ajaran (“doxa”) yang “lurus” ( “orthos”) ,
Ortho+ doxa = Orthodox. Sedangkan ajaran “gnostik” itu sebagai ajaran (“doxa”) yang
berbeda atau menyimpang (“heteros”), hetero+ doxa = Heterodox. Akibat dari melawan
ajaran gnostik inilah munculnya theologia dari para “apologis” (“pembela-iman”). Jauh di
sebelah timur di dearah Syria, Bardaisan adalah penulis yang terkenal mengenai masalah
theologi. Namun dia mencampur-adukkan Injil dengan astrology dan mythologi, dan
ajarannya tentang Allah kedengaran sangat aneh. Allah adalah satu yaitu Bapa, Roh Kudus
adalah berjenis wanita sebagai “Bunda Kehidupan”, dan Anak Allah adalah keturunan dari
Bapa dan Roh Kudus, Sang Bunda Kehidupan.Sehingga akhirnya Bardaisan dari Syria inipun
dikucilkan dari Gereja. Akibat dari ajaran Gnostik ini pada para apologis adalah penekanan “
mata-rantai rasuliah” (“suksesi apostolik”, “silislah rasuliah”) sebagai penjamin ajaran yang
benar dan tak terputus dari para rasul, yang diterus-sampaikan secara tak terputus dari gereja
kepada gereja, dari generasi kepada generasi, dari tempat ke tempat, dan penerus-sampaian
tanpa putus dari zaman rasuliah ini disebut sebagai “Paradosis” atau “Traditio”. Dan
penyampaiannya itu dilakukan melalui pentahbisan dari para Episkop yang dapat dilacak dari
mata rantai pentahbisan sejak zaman rasul-rasul. Dan para Episkop ini pengajaran dan
prakteknya itu identik antara satu dengan yang lain, dan secara bersama ajaran mereka itu
identik dengan ajaran para rasul Yesus Kristus sendiri. Sebagai akibat yang lain, Gereja mulai
kokoh dalam keputusannya tulisan-tulisan mana yang menjadi bagian kanon Kitab Suci
berdasarkan : 1.tulisan-tulisan itu harus berasal dari zaman rasul.2. harus ditulis oleh
rasul sendiri atau teman/murid dekat mereka 3. harus sesuai dengan ajaran rasuliah
tanpa putus yang disampaikan sebagai paradosis dalam Gereja 4.harus digunakan
secara merata di seluruh gereja sejak awal 5. harus mengajarkan kesucian dan bukan
dongeng-dongeng gnostik.
Dari kriteria inilah akhirnya tersaring dari tulisan-tulisan rasuliah purba itu 27 kitab yang
akhirnya kita kenal sebagai “Kitab Suci Perjanjian Baru” itu. Dan Kitan Suci Perjanjian Baru
inilah yang berisi “Berita Gembira” (“Evanggelion”, “Evanggel”, “Injil”) tentang Yesus
Kristus, Firman Allah yang menjadi manusia itu. Karena memang Injil itu pada mulanya
bukanlah suatu Kitab macam apapun namun peristiwa dan karya Almasih yang diberitakan
secara lisan oleh para muridNya yang diberi gelar sebagai “apostolos” (“orang yang diutus”
atau “rasul”) itu.
Dalam tulisan-tulisan para apologis, para martyr (syuhada) dan para kudus dari abad
kedua ini kita ketahui bahwa masing-masing jemaat Kristen lokal itu dipimpin oleh seorang
Episkop/Uskup ( Penilik Jemaat) yang dilaksanakan oleh para Presbyter/ Imam ( “Penatua”)
dan dilayani oleh Para Diakon. Terutama dalam tulisan-tulisan Ignatius ( Magnesia 6:1,
Filadelfia 4, Smyrna 8:2). Ignatius juga mulai menggunakan istilah “Katholik” untuk
menyebut sifat Gereja. Ini berasal dari kata “ Kath’ (menurut, sesuai dengan) dan “holon “ (
sepenuhnya, kepenuhan). Ini adalah kwalitas sifat yang menjelaskan bagaimana Gereja itu,
jadi bukan nama suatu agama, misalnya:Roma Katolik, Anglo-Katolik, Katolik Bebas,
Katolik Lama,dll. Dan kata ini (Katholik =Kath + Holon) bermakna kwalitas sifat gereja itu
adalah penuh, sempurna, lengkap, utuh, tanpa kekurangan apapun di dalamnya dari
7
kepenuhan kasih-karunia, kebenaran dan kekudusan Allah. Demikianlah Gereja Rasuliah
Perjanjian Baru pada abad yang kedua itu mulai menyebut dirinya sebagai Gereja yang
“katholik” artinya bukan sekte-sekte yang main comot sana-sini dari kepenuhan dan
keutuhan ajaran Rasuliah itu. Demikian juga Gereja purba itu disebut sebagai “Orthodox”
artinya bukan yang menyimpang dari ajaran Rasul tadi. Dalam “Didakhee” dan “Pembelaan
dari Yustinus Martyr” dan “Ireneus” ditemukan juga penjelasan mengenai bagaimana ibadah
Kristen zaman abad kedua itu dilakukan, terutama ibadah hari Minggu yang berpusat pada
kotbah dan Perjamuan Kudus, dan juga tentang baptisan.
Menginjak pertengahan abad ketiga, yaitu tahun 249 Kaisar Desius naik tahta, dia
mengadakan penganiayaan secara universal, dan penganiayaan itu dilanjutkan sampai zaman
Kaisar Valerianus (253-260). Orang Kristen dipaksa mempersembahkan korban kepada
patung kaisar sebagai “tuhan” dan “ilah”, para rohaniwan Kristen harus dikejar dan dibunuh,
harta milik Gereja harus disita. Baru di zaman Gallenius, anak dari Valerianuslah
penganiayaan dihentikan .Pada saat itu perkembangan yang luar biasa terjadi dalam Gereja.
Namun penganiayaan yang berat itu mengakibatkan suatu krisis besar dalam Gereja. Timbul
pertanyaan dalam Gereja mengenai bagaimana memperlakukan orang-orang yang selama
masa aniaya itu karena diancam rela mempersembahkan korban pada patung kaisar, mereka
ini disebut kaum “lapsi”. Ada yang melarang mereka masuk Gereja lagi, ada yang bersikap
agak lunak. Akibatnya terdapat beberapa kelompok garis-keras yang menganggap Gereja
terlalu lunak akan masalah para “lapsi” itu yang memisahkan diri dari Gereja Rasuliah
Perjanjian Baru yang “Orthodox” dan “Katholik” itu. Diantara mereka yang memisahkan
diri dari Gereja adalah Tertulianus (c. 220 ), penulis agung dan peletak dasar Theologia
Latin di Gereja barat dari Afrika utara. Dia menggabung dengan gerakan bidat yang
didirikan Montanus yang telah mulai pada akhir abad kedua, dan menyatakan diri sebagai
Gereja “Nubuat Baru” dari Roh Kudus yang lebih sempurna dari Gereja ‘Perjanjian Kedua”
( Perjanjian Baru) dari Kristus. Ciri gerakan Montanisme ini adalah penekanan pada “karunia
lidah” dan “nubuat-nubuat” serta penekanan bahwa Kerajaan Seribu Tahun akan segera
datang di pulau Frigia, Asia Kecil. Pembela agung Gereja Rasuliah yang Orthodox dan
Katholik ini pada saat itu adalah Kiprianus dari Karthago (meninggal tahun 258). Dia
meninggal sebagai Martyr setelah membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu
melawan aliran garis keras yang memisah dari Gereja karena masalah kaum “lapsi” tadi.
Aliran yang dilawan dalam tulisan-tulisan Kiprianus ini adalah aliran “Novatianisme” yang
didirikan oleh “Novatianus” yang berada di Roma. Novatianus menyebut alirannya sebagai “
Gereja Murni”. Kiprianus membela Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu dengan
menekankan perlunya “mata-rantai rasuliah” dalam ajaran dan “mata-rantai rasuliah” dalam
pentahbisan para episkop dalam melawan apa yang disebut sebagai gereja-gereja “murni”
yang hanya bersifat rohani yang abstrak dan tak nampak mata dari orang yang merasa dirinya
lebih baik dari Gereja Rasuliah yang Orthodox dan Katholik itu,serta yang mengangkatangkat diri sendiri ini. Dia menekankan bahwa Gereja Kristus itu ada bagi penyembuhan
orang berdosa, dan Kiprianuslah yang mengatakan juga bahwa “extra ekklesia nulla salus
est “ ( diluar Gereja,- yaitu diluar persekutuan kongkrit dari ummat yang percaya secara
pribadi kepada Kristus dibawah pimpinan rohani Episkop dan berlandaskan suksesi rasuliah
disekitar meja perjamuan kudus dan pemberitaan firman oleh presbyter – tidak ada
keselamatan ). Abad ketiga ini menyaksikan juga perkembangan theologi secara formal
dengan didirikannya sekolah theologia di Alexandria, Mesir oleh Pantaenus dan
Klemen dari Alexandria ( meninggal kira-kira tahun 215 ). Yang akhirnya dikepalai oleh
seorang penulis, sarjana, dan theoloog termasyhur: Origenes ( meninggal tahun 253).
8
Theologi Alexandria ini menekankan bahwa filsafat Yunani yang non-Kristen itu dapat
digunakan sebagai alat untuk menjelaskan Injil. Dan ciri khas dari pendekatan Alexandria ini
adalah tafsiran secara alegoris terhadap Kitab Suci, sedangkan dalam tradisi Syria-Antiokhia
yang tak lama kemudian akan berkembang adalah tafsiran harafiah berdasarkan tata-bahasa
dan sejarah penulisan Kitab Suci. Kedua pendekatan ini akhirnya akan bertemu dalam
konflik, pada abad-abad berikutnya. Karya Origenes itu sangat luar biasa dan tak terhitung
jumahnya. Dialah yang pertama kali mengadakan kajian sistimatis dan sastrawi dari bukubuku dalam Alkitab. Karya Origenes ini akan menjadi fondasi karya-karya theologia para
bapa-bapa Gereja Yunani pada abad-abad berikutnya. Namun demikian secara ajaran banyak
pendapat Origenes yang ditolak oleh Gereja, karena tak Alkitabiah dan tak rasuliah, sehingga
pada Konsili Ekumenis V (tahun 553), beberapa ajaran Origenes dinyatakan sesat oleh
Gereja. Diantara pakar-pakar theologia abad ke 3 yang harus disebutkan bersama dengan
Tertulianus, Kiprianus, Klemen dan Origenes adalah Dionysius dari Alexandria ( wafat
265), Hippolytus dari Roma (wafat 235) Gregorius Pelaku Mukjizat di Kappadokia (
wafat 270) dan Methodios dari Olympus ( wafat 311)
Orang-orang ini semuanya
memperkembangkan theologia Kristen Orthodox terutama meletakkan landasan bagi
pembahasan tentang Allah yang Esa dalam hubunganNya dengan Kalimatullah dan Rohullah
sendiri yang terkenal sebagai ajaran Tritunggal Kudus yang dalam abad berikutnya akan
menjadi pembahasan hangat dalam Gereja. Paulus dari Samosata dan Lukianus (Lusian)
dari Antiokia terkenal akan ajaran bidatnya mengenai sifat ke-Tritunggal-an Allah. Mereka
ini hidup pada akhir abad ketiga. Dari abad ketiga ini kita juga mendapatkan tulisan-tulisan
yang menolong kita untuk melihat kehidupan liturgis dan kanonik dari Gereja Rasuliah yang
Orthodox dan Katholik ini pada abad ketiga itu, yaitu: Pengajaran-Pengajaran Para Rasul
dari Siria serta Tradisi Rasuliah karya Hippolytus dari Roma ( wafat tahun 235). Tulisan
yang pertama itu memberikan peraturan-peraturan mengenal jabatan hirarkis serta praktekpraktek sakramental dalam Gereja Syria, serta menjelaskan pertemuan liturgis jemaat. Dan
tulisan kedua menjelaskan hal yang sama yang berlaku di Gereja Roma dengan lebih panjang
dan detail.
Abad keempat dimulai dengan penganiayaan yang paling besar yang diarahkan kepada Gereja
oleh Kaisar Diokletianus. Daftar Syuhada atau Martyr yang paling panjang berasal dari
abad ini. Setelah surutnya Diokletianus, terjadilah perebutan kekuasan dalam Kerajaan
Romawi. Pada tahun 312, Konstantinus menghadapi peperangan melawan Maxentius.
Sebelum peperangan di Jembatan Milvianus di Roma, Konstantinus berdoa, serta mendapat
penglihatan Salib Bersinar di langit dengan tulisan: Dengan Tanda Ini, Kalahkan. Dia
memerintahkan para prajuritnya untuk mengenakan tanda salib ini pada perisai dan jubah
mereka, Konstantinus memenangkan peperangan itu. Konstantinus segera bergerak untuk
memberikan kebebasan kepada orang-orang Kristen, serta menunjukkan kecenderungannya
kepada Iman Kristen. Sebelum kematiannya Konstantinus membangun suatu kota di
Byzantium bagi ibu-kota yang baru dari Kerajaannya itu, dan kota
itu disebut
“Konstantinopel “ (kini:” Istambul”, di Turki) untuk menghormatinya. Konstantinus
sendiri baru dibaptiskan diatas ranjang menjelang kematiannya pada tahun 337. Bersama
dengan ibunya Maharatu Heleni, dia menemukan Salib Asli Kristus di Yerusalem, serta
keduanya diakui sebagai orang suci dalam Gereja Orthodox sampai kini. Iman Kristen diakui
sebagai agama resmi Kerajaan Byzantium pada tahun 380, oleh ketetapan Kaisar
Theodosius. Dengan demikian Kekaisaran Romawi terbagi dalam dua bagian: Romawi Barat
berpusat di Roma dan Romawi Timur berpusat di Konstantinopel. Pembagian Kerajaan
menjadi Barat dan Timur ini, akhirnya membentuk perkembangan wilayah Gereja menjadi
9
Gereja Barat berpusat di Roma dan Gereja Timur yang berpusat di Konstantinopel,
Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem.Sementara itu ummat Kristen Syria yang tinggal di
Kekaisaran Persia, makin mengalami aniaya karena dicurigai sebagai antek musuh Kerajaan
Persia, karena sekarang Kerajaan Romawi musuh bebuyutan Persia, telah menjadi Kristen:
Kerajaan Byzantium.
B. Zaman Konsili
II. Masa Konsili –Konsili Agung Ekumenis Gereja
Rasuliah Yang Satu dan Orthodox : abad ke IV (
tahun 325) s/d abad ke VIII (tahun 787).
Pada saat pemerintahan Konstantinus ini Gereja mendapatkan kembali harta miliknya, serta
terbebas dari aniaya dari luar. Namun ketenteraman Gereja ini segera diganggu oleh
munculnya bidat-bidat yang berasal dari dalam. Pertama adalah munculnya aliran perpecahan
Donatisme di Afrika Utara, yang dipimpin oleh Donatus, yang menolak Episkop terpilih di
Karthago yang dianggap termasuk golongan “lapsi” pada saat penganiayaan zaman
Diokletianus. Bukannya Konstantinus membiarkan Gereja untuk menyelesaikan masalahnya
sendiri, dia menggunakan kekuatan militer untuk memihak, pada pertama kalinya pihak
Donatis, dalam memaksakan keputusannya. Perpecahan Donatisme ini menyebabkan lenyappunahnya Gereja Afrika Utara (Libia, Moroko, Aljazair) yang dulu pernah jaya.
1. Konsili Agung Ekumenis Pertama ( 325 Masehi) di Nikea
dan Kedua (381) di Konstantinopel
Kemudian muncul masalah dari Alexandria, Mesir. Arius seorang presbiter mengajarkan
bahwa Allah yang Esa itu hanya Bapa saja, Anak Allah yang akhirnya menjelma menjadi
manusia Yesus Kristus, adalah makhluk pertama dan yang terluhur yang diciptakan
Allah dalam wujud roh. Dibantu oleh ciptaan pertama ini Allah menciptakan ciptaan yang
lain. Dia bukan Firman Allah (Kalimatullah) yang kekal yang berada satu di dalam
Allah sejak kekal. Ajaran ini jelas bertentangan dengan ke-Esa-an Allah, sebab Allah Yang
Esa, tak pernah dan tak mungkin dibantu oleh makhluk siapapun dalam mencipta, karena
Dia mencipta langsung melalui FirmanNya sendiri yang berada satu di dalam DiriNya.
Ajaran ini jelas mempersekutukan Allah dengan makhluk, inilah ajaran musyrik. Ajaran
Arius yang disebut Arianisme ini ( yang di zaman modern ini dimunculkan kembali oleh
Saksi-Saksi Yehuwah) menimbulkan keresahan dalam Gereja. Akhirnya sebagaimana di
zaman Para Rasul, Gereja Rasuliah Purba yang Orthodox pada abad keempat inipun
menyelesaikan masalah ini dalam Konsili, yang diadakan di kota Nikea pada tahun 325,
dipanggil oleh raja Konstantinus. Seluruh pemimpin Kristen (dihadiri 318 Episkop) dari
segenap “Oikumene” ( “dunia yang beradab”) dari Gereja yang satu dan tidak terpecahpecah itu, berkumpul mengadakan Konsili Agung yang pertama ini. Itulah sebabnya Konsili
ini disebut “Konsili Ekumenis.” Setelah melalui doa dan pembahasan theologis yang
mendalam berdasarkan iman rasuliah, Konsili menemukan rumusan berdasarkan data Kitab
10
Suci bahwa “Kalimatullah” (Logos), Firman, atau Anak Allah itu kekal dan ilahi, Dia
diperanakkan (dikeluarkan dari dalam dzaat-hakekat) dari Bapa sendiri sejak kekal,
bukan dijadikan dan bukan diciptakan. Dia berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa yang
satu itu. Dia adalah”homo-ousios” ( = satu dzat-hakekat, satu essensi) dengan Bapa.
Dengan demikian Dia adalah “Allah Sejati”, karena Dia adalah Firman Allah/Kalimatullah
yang sejati, yang keluar dari “Allah Sejati” (Sang Bapa), yang melaluiNya (sebagai
Firman Allah) segala sesuatu dijadikan oleh Allah. Firman Allah yang kekal dan yang
sama inilah, tanpa meninggalkan kesatuannya dalam Dzat-Hakekat Allah telah diutus turun
ke bumi oleh Allah, mengambil daging kemanusiaan, dan lahir sebagai manusia dari Sang
Perawan Maryam oleh Kuasa Roh Kudus, sebagai manusia Yesus Kristus (Yoshua HaMasiah, Isho de-Mesiha, Isa Almasih): Mesias Israel dan Juru Selamat dunia. Namun
keputusan Konsili ini tidak segera diterima oleh seluruh Gereja sampai masa waktu yang
lama. Pertikaian mengenai pribadi Kristus terus berlanjut, sehingga banyak konsili-konsili
lokal diadakan untuk membahas masalah ini. Pihak Arianisme mendapat dukungan kuat dari
kekuasaan pemerintah, sedangkan para pembela Iman Orthodox sebagaimana yang telah
dinyatakan dalam Konsili Nikea itu sangat dianiaya dan dibunuh oleh pemerintah dan
pendukung-pendukung bidat Arianisme ini. Masalah ini berlanjut sampai tahun 381, ketika
diadakan Konsili Ekumenis yang kedua di Konstantinopel, untuk menyelesaikan masalah
bidat baru yang dimunculkan oleh Makedonius, yang disebut bidat Makedonianisme.
Makedonius mengajarkan bahwa Roh Kudus yang adalah Roh Allah sendiri itu bukan ilahi
dan tidak kekal. Dia hanya daya-aktif Allah saja (seperti yang juga diajarkan Saksi-saksi
Yehuwah). Berdasarkan data-data Kitab Suci dan Iman Rasuliah yang selalu dipelihara
Gereja Orthodox ini, maka Konsili mendeklarasikan bahwa Roh Kudus itu adalah ilahi
(“Tuhan”), yang “keluar dari Bapa” berarti berada satu di dalam Dzat-Hakekat Bapa
bersama Firman Allah sendiri, sehingga “ bersama Bapa dan Putra” artinya sebagaimana
Putra sebagai Firman Allah sendiri itu berada satu dalam Hakekat Bapa, demikianlah Roh
Kudus sebagai Roh Allah sendiripun satu bersama kesatuan Putra dalam Bapa, dalam satu
Hakekat Ilahi yang sama “ disembah dan dimuliakan”. Demikianlah keilahian Firman
Allah/Putra dan Roh Allah/Roh Kudus ditekankan namun ke-Esa-an Allah tak dilanggar.
Karena baik Firman maupun Roh itu berada satu di dalam hakekat Allah (Bapa) yang hanya
satu itu. Pada saat inilah rumusan Konsili Pertama dan Kedua ini baru diteguhkan kembali
menjadi satu rumusan Pengakuan Iman (Syahadat), yang menjadi Pengakuan Iman
Orthodox sampai sekarang dengan nama “Pengakuan Iman (Syahadat) Nikea”.
Para
tokoh spiritual (bapa-bapa Gereja) yang sangat berjasa membela Iman Rasuliah yang
Orthodox, menentang Arianisme dan Makedonianisme pada saat ini adalah Bapa “Aghios
Athanasius Agung” Episkop dari Alexandria,Mesir (meninggal tahun 373) yang banyak
mengalami aniaya dari kelompok Arianisme dan pemerintah, serta tiga Episkop dari
Kappadokia (Asia Kecil) Bapa“ Aghios Basilius Agung” (wafat: 379), saudara laki-lakinya
Bapa“ Aghios Gregorius dari Nyssa” serta sahabat mereka berdua Bapa “Aghios
Gregorius Nazianzus Pakar Theologia” (wafat:389). Mereka ini banyak menderita aniaya
dari pemerintah dan pengikut Arianisme, namun tanpa takut mereka menjelaskan Iman
Kristen yang sejati tentang Keilahian Kristus dan Roh Kudus di dalam kesatuan hakekat dari
Allah yang Esa (Bapa), yang sampai sekarang tetap menjadi standard aqidah ajaran dan
theologia Gereja Orthodox. Pada saat pertikaian Arianisme ini Gereja tidak berhenti dalam
menyebarkan Injil, sehingga seorang rohaniwan yang bernama Ulfilas dikirim dari Gereja
Timur di Konstantinopel untuk menginjili suku-suku bangsa Jerman dan menterjemahkan
Kitab Suci ke dalam bahasa itu. Namun karena yang mendapat dukungan pemerintah saat
ini adalah kelompok Arianisme, yang diajarkan kepada suku-suku Jerman ini adalah
11
theologia Arius mengenai Kristus. Baru kemudian ketika suku-suku yang sudah menjadi
Kristen namun yang mengikuti bidat Arianisme ini mulai menyerang Roma, mereka secara
pelan-pelan mengikuti ajaran Orthodox yang waktu itu dipelihara oleh Gereja Roma juga,
sehingga pada abad-abad kemudian mereka menjadi Roma Katolik. Dalam Konsili Nikea itu
ditetapkan sebagai “Hukum Kanon” bahwa Gereja Roma itu menjadi yang utama untuk
seluruh Gereja Barat di Eropa barat, Gereja Alexandria untuk seluruh Afrika, dan
Gereja Antiokhia untuk Syria dan seluruh daerah Timur, jadi termasuk Gereja di Persia
dan India (Kanon 6), dan keluhuran Gereja Yerusalem sebagai asal-usul munculnya Iman
Kristen diakui (Kanon 7). Sedangkan dalam Konsili kedua di Konstantinopel suatu Hukum
Kanon ditegaskan bahwa:” Episkop Konstantinopel akan memiliki prerogatif
kehormatan sesudah Episkop di Roma, karena Konstantinopel adalah Roma Baru” (
Kanon 3). Masing-masing pusat Kekristen yang berjumlah lima (Pentarkhi) ini dipimpin
oleh Episkop yang bergelar Paus,dari kata Pappas = Bapak (terutama Roma dan Alexandria)
atau Patriarkh, dari kata Pater =Bapak, Arkhi = Pemimpin. Kanon tentang Konstantinopel
ini nantinya menjadi suatu persaingan kedudukan antara Gereja Alexandria yang tadinya
berada di tingkat kedua sesudah Roma, dan sekarang Konstantinopel sebagai Ibukota
Kerajaan yang baru harus menduduki tempat itu. Pada saat ini di Antiokhia juga telah
berkembang tradisi theologia yang berbeda pendekatannya dari Alexandria. Jika Alexandria
menekankan “alegori”, maka Antiokhia lebih menekankan pendekatan “literal, tata-bahasa,
dan kesejarahan” atas Kitab Suci. Sehingga dalam Kristologi Alexandria lebih menekankan
keilahian Kristus, Antiokhia lebih menekankan kemanusiaan Kristus. Sayang Siria dan Mesir
harus konflik nantinya, padahal keduanya seharusnya saling mengisi, dan merupakan dua sisi
yang utuh bagi pendekatan atas Kitab Suci. Pada saat ini Gereja Syria di Persia sedang
mengalami penganiayaan yang hebat di bawah para shah (raja) Persia ( 340-363, 379-401).
Pada abad keempat ini terjadi juga perkembangan liturgis, yaitu dari Liturgi Yakobus yang
awal yang berasal dari Yerusalem danm Siria maka doa-doa telah ditambahkan ke dalamnya
jadilah doa-doa Liturgi Aghios Basilius Agung dan Liturgi Yohanes Krisostomos
(wafat: 407), yang sampai sekarang menjadi Liturgi-Liturgi utama Gereja Orthodox. Dari
kotbah katekisasi dari Aghios Yohanes Krisostomos dan Aghios Kyrillos dari
Yerusalem (wafat: 386) terlihat bahwa Sakramen Baptisan dan Krisma (Pengurapan) yang
dirayakan pada abad keempat itu hampir tak berubah sedikitpun tetap dilaksanakan oleh
Gereja Orthodox masakini. Pada saat ini Puasa Paskah 40 hari (Catur Dasa) dan
Perayaan Paskah seperti yang tetap dirayakan oleh Gereja Orthodox masakini itu sudah
betul-betul mapan. Disamping itu kita juga menyaksikan pada abad keempat ini
perkembangan kehidupan kerahiban yang sedang memekar terjadi di Mesir - dipimpin oleh
Aghios Antonius Agung – dan di Syria (rahib-rahib Syria inilah yang nantinya banyak
dijumpai Nabi Muhammad di padang-padang gurun dalam perjalanan perdagangannya dari
Mekah ke Syria, dan banyak mempengaruhi pendapatnya mengenai Kekristenan dan
keagamaan pada umumnya) serta Eropa Barat. Diantara para rahib suci dari zaman ini yang
berasal dari Timur adalah: Paulus dari Thebes (Mesir), Pakhomius ( Mesir), Hilarion, Sabbas
(Palestina), Makarius dari Mesir, Epiphanius dari Siprus, dan Efraim dari Syria. Sedangkan
rahib suci dari Barat pada saat ini adalah: Yerome, Yohanes Kassianus, serta Martinus dari
Tour. Para Episkop Suci terkenal dari abad keempat ini adalah: dari Timur Aghios Nikholas
dari Myra di Lysia ( yang budaya Barat mengubah dia menjadi tokoh mythologis “Santa
Claus” /Sinter Klaas), Aghios Spyridon, dan dari Barat adalah Santo Ambrosius dari Milano,
Itali.
12
2. Konsili Agung Ekumenis Ketiga (431) di Efesus dan
Keempat (451) di Kalsedonia.
Sejak keputusan Konsili kedua tentang kedudukan Konstantinopel. Alexandria selalu
berusaha untuk menyaingi Konstantinopel. Secara kebetulan pada abad kelima ini yang
menjadi Patriarkh di Konstantinopel adalah seorang Syria dari Antiokhia, bernama:
:Nestorius. Sebagai seorang Syria maka tradisi theologia Antiokhialah yang digunakan untuk
memahami Kristologis, yaitu tradisi yang menekankan kemanusiaan Kristus.Maka Nestorius
lebih menekankan kemanusiaan Kristus, sehingga menolak gelar “Theotokos” ( “Sang
Pemberi Lahir Secara Daging kepada Allah” yaitu Kalimatullah yang menjelma) yang telah
beratus tahun digunakan di Gereja untuk menyebut Maryam. Menurut Nestorius yang
dilahirkan Maryam hanyalah seorang “manusia” yang di dalamnya “Kalimatullah/Firman
Allah” itu bersemayam, jadi bukan Kalimatullah/Firman Allah itu sendiri yang menjadi
manusia, bertentangan dengan apa yang telah diakui dalam kedua konsili sebelumnya.
Kesempatan ini digunakan oleh Gereja Alexandria sekaligus untuk menghantam tradisi
theologia Antiokhia dan kedudukan Konstantinopel yang dianggap menggeser kedudukan
Alexandria itu, melalui Aghios Kyrillos dari Alexandria. Dia ingin menjatuhkan Nestorius
sebagai Patriarkh Konstantinopel, dengan demikian mempermalukan Konstantinopel, serta
melawan pemahaman theologianya dengan demikian menentang pemahaman Syria,
Antiokhia, yang kebetulan kali ini Kristologi Nestorius itu memang tidak Alkitabiah, dan
tidak rasuliah. Dan inilah kesempatan yang baik. Jadi sebenarnya konflik ini adalah adalah
konflik antara Mesir dan Syria (bukan dengan unsur Yunani dalam Gereja Timur itu). Aghios
Kyrillos menegaskan, bahwa memang layak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”,karena
Dia yang dilahirkan olehnya adalah “Firman” yang adalah “Allah”, yang “telah menjadi
manusia” (Yohanes 1:1,14). Jadi Firman Allah itu sendirilah yang dilahirkan dalam
penjelmaanNya sebagai manusia, maka Maryam memang melahirkan Firman Allah dalam
penjelmaanNya sebagai manusia. Jadi Maryam memang “Theotokos”. Para pengikut
Nestorius menolak tunduk dan bertobat pada peringatan Aghios Kyrillos ini. Sehingga
dipimpin oleh Aghios Kyrillos sendiri pada tahun 431, di Efesus, sejumlah kecil Episkop
mengadakan Konsili untuk meneguhkan ajaran Gereja Alexandria serta menolak ajaran
theologia Syria, dari Nestorius ini. , dimana ditegaskan bahwa Maryam adalah Theotokos,
karena yang dilahirkan Maryam tak lain adalah “Firman Allah” yang sama dan yang satu yang
menjelma menjadi manusia. Baru pada tahun 433 sajalah keputusan Konsili ini diterima
oleh segenap Episkop Timur, dan akhirnya diakui sebagai Konsili Ekumenis Ketiga.
Sementara itu Gereja Syria di Persia akibat penganiayaan para shah yang begitu kejam akibat
provokasi dari para Majus atau pemimpin Agama Zoroaster penyembah api itu, karena
dicurigai menjadi antek Byzantium yang beragama Kristen, musuh bebuyutan Persia itu,
memutuskan untuk memiliki Patriarkh sendiri, lepas dari Antiokhia, karena Antiokhia berada
dalam wilayah Byzantium. Dan untuk meyakinkan Shah Persia bahwa mereka bukan antek
Byzantium, maka secara alamiah mereka menerima theologia Syria dari Nestorius, karena
selama ini Gereja Syria, di Persia, memang menghormati tulisan-tulisan Theodoros dari
Mopsuestia, guru dari Nestorius. Demikianlah meskipun Nestorius akhirnya meninggal
sebagai rahib di padang gurun Libia, ajarannya tetap dipertahankan oleh Gereja Syria di
Persia. Maka Gereja Syriapun terpecah menjadi dua, yaitu di Syria Barat yang mengikuti
definisi dari Kyrillos dari Alexandria dan di Syria Timur yang mengikuti definisi Nestorius,
orang Syria itu. Sejak saat itu Gereja Syria Timur ini terkenal dengan nama Gereja Nestorian,
meskipun sebenarnya mereka sendiri tak pernah menyebut diri mereka demikian. Ajaran
13
mereka sebenarnya tak sejauh Nestorianisme yang dituduhkan pada mereka, dan praktekpraktek mereka tak beda dengan praktek-praktek Gereja Orthodox.. Sehingga ada beberapa
sarjana modern yang menyebut mereka sebagai Gereja Orthodox Pre-Kalsedonia. Dan
Gereja Persia yang sebenranya merupakan bagian dari Gereja Orthodox Antiokhia ini
menjadi Gereja yang amat misioner, sehingga sampai mengabarkan Injil di Cina, dan bahkan
pada abad ketujuh di Indonesia : di Pancur dan Barus, Sumatra, bahkan ada berita bahwa
mereka juga ada di Kerajaan Majapahit.
Keputusan dari Konsili Ketiga ini memang tidak langsung diterima oleh semua pihak, karena
masih timbul kontroversi mengenai ajaran Aghios Kyrilos ini. Kebanyakan Episkop di Timur
mengkhawatirkan ajaran Aghios Kyrillos ini tidak secara memadai menyatakan kemanusiaan
Kristus yang sejati. Namun setelah saling berdialog tercapailah pengertian dan persetujuan
bersama mengenai apa yang dimaksud oleh Aghios Kyrillos. Namun sesudah wafatnya,
seorang rahib bernama Eutyches, mengajarkan bahwa yang dimaksud oleh Kyrillos adalah
bahwa Kristus hanya memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) saja, yaitu kodrat Ilahi, sebab
kodrat manusiaNya ditelan oleh kodrat ilahiNya. Ajaran ini menimbulkan kegelisahan
kembali di dalam Gereja. Para pembela ajaran ini mengadakan Konsilinya sendiri bersama
Patriarkh Dioskoros dari Alexandria dan Eutykhes pada tahun 449 di Efesus, dan mereka
menganggap bahwa mereka pengikut ajaran Kyrillos yang setia. Konsili ini diikuti oleh
sejumlah besar Episkop, namun tidak diterima sebagai Konsili yang sah, malah disebut
sebagai “Latrocinium” atau “Konsili Para Perampok”. Ajaran tentang Kristus hanya
memiliki “satu-kodrat” (“mono-physis”) ini akhirnya terkenal sebagai ajaran Monofisitisme,
yang ditolak oleh Gereja dan dinyatakan bidat.
Untuk memecahkan masalah ini maka suatu Konsili yang lain diadakan pada tahun 451, di
kota Kalsedonia, dekat Konstantinopel. Konsili ini dikenal dalam Gereja sebagai Konsili
Ekumenis Keempat, dan berhasil`membela ajaran Aghios Kyrillos dari Alexandria serta
ajaran Konsili Ekumenis Ketiga di Efesus tahun 431. Ini juga memuaskan tuntutan para
Episkop Timur mengenai kemanusiaan Kristus yang sejati yang secara jelas harus diakui.
Definisi dogmatis dari Konsili Kalsedonia ini mengikuti secara dekat ajaran yang dirumuskan
oleh Paus Santo Leo dari Roma, yang tidak turut hadir dalam Konsili itu, namun hanya
mengirim wakil-wakilnya. Menurut definisi Konsili Kalsedonia ini Kristus itu memiliki “satu
hypostasis” ( menegaskan tradisi theologia Alexandria) dalam “dua kodrat” ( menegaskan
tradisi theologia Syria, Antiokhia) – ilahi dan manusiawi. Dia sepenuhnya Ilahi. Dia
sepenuhnya manusia. Dia Allah sempurna dan manusia sempurna. Sebagai Allah
(yaitu:Firman Allah) Dia “satu Dzat-Hakekat/Essensi” dengan Sang Bapa (Allah yang Esa)
dan dengan Roh Allah sendiri. Dan sebagai manusia, Dia satu “hakekat/ esensi” dengan
segenap manusia. Keilahian dan kemanusiaan Kristus itu menyatu/manunggal dalam satu
hypostasis /pribadi namun tidak campur-baur dan tidak kacau-balau dan tidak
terpisah-pisah serta tidak terbagi-bagi. Kristus itu satu pribadi yang sekaligus Allah dan
Manusia.
Para pengikut Kyrillos yang ekstrim menolak definisi Kalsedonia ini karena dianggap berbau
Nestorianisme, suatu tuduhan yang tidak tepat dan tidak fair memang. Mereka menegaskan
bahwa Kristus hanya memiliki “satu kodrat” saja, meskipun kodrat itu telah menjelma,
padahal menurut mereka Konsili ini mengatakan Kristus memiliki “dua kodrat” yang
dianggap sebagai kesesatan Nestorius, namun mereka tidak menggabungkan bahwa “dua
kodrat” itu dalam satu pribadi, atau satu hypostasis, yang jelas tak bersangkutan dengan
14
ajaran Nestorius. Demikianlah mereka ini akhirnya memisahkan diri dari Gereja Orthodox
alur utama. Para pendukung Konsili Kalsedonia akhirnya mengangkat Patriakh Kalsedonia di
Mesir : Proterius (452-457), penentang Kalsedonia memilih Patriarkh tandingan mereka,
yaitu Timotius Si Kucing. Sejak itulah Gereja Mesir terpecah dua, yang Orthodox
Kalsedonia yang tetap bersatu dengan seluruh Gereja universal, dan yang menolak
Kalsedonia, yang kemudian terkenal dengan Gereja Koptik Orthodox, serta mengikuti faham
“satu-kodrat” (monophysis). Demikian juga di pihak Syria, ada yang mengikuti langkah
Gereja Alexandria dalam memeluk faham “satu-kodrat” ini. namun ada yang tetap dengan
Gereja Universal yang menerima Konsili Kalsedonia. Dengan demikian Gereja Syria sebelah
Barat terpecah lagi antara yang “Orthodox” ( kaum Monophysit, menyebut Gereja Syria
yang Orthodox ini sebagai: Malkaya/Melkit, atau para pengikut Raja/Malak) dan yang
“Monophysit”. Pihak Monophysit ini oleh perjuangan Yakub Burdana ( Yakub Baradeus)
berhasil mengorganisasi suatu lembaga kegerajaan Syria Monophysit, yang akhirnya terkenal
dengan nama Gereja Syria Orthodox atau Gereja Yakobit. Gereja Yakobit Syria, inilah yang
di Indonesia dipopulerkan dengan nama “Kanisah Orthodox Syria” oleh Yayasan Study
Orthodox Syria, pimpinan saudara Bambang Noorsena, sesudah ia keluar dari
keanggotaannya, yang pada saat itu bersama dengan Pdt. Yusuf Roni, dalam Gereja
Orthodox Indonesia.
Sedangkan yang Orthodox alur utama tetap melanjutkan
Kepatriarkhan Syria Antiokhia yang memiliki hubungan dengan Gereja-Gereja Aleksandria
Orthodox, Konstantinopel, Yerusalem, dan Roma. Gereja Armenia karena sedang
menghadapi perang dengan Persia sehingga tak terwakili dalam Konsili Kalsedonia, menolak
hasil Konsili itu serta mengikuti faham “satu-kodrat”, demikian pula Gereja Thomas India
yang terkait dengan Gereja Persia dan Gereja Syria, dan Gereja Ethiopia yang terkait dengan
Gereja Koptik. Lima Gereja ( Koptik, Syria-Yakobit, Armenia, Thomas-India, dan Ethiopia)
inilah yang dalam buku-buku sejarah Gereja terkenal dengan nama :Gereja-Gereja Monofisit,
atau pada masakini akibat hubungan-hubungan ekumenis, untuk menghormati mereka
disebut sebagai Gereja-Gereja Oriental Orthodox, atau Gereja-Gereja Timur Alur Kecil, atau
Gereja-Gereja Orthodox Non-Kalsedonia. Sedangkan Gereja Orthodox Alur Utama, disebut
Gereja Orthodox Timur, atau Gereja Orthodox Kalsedonia atau Gereja Orthodox Yunani. (
- Kata “Yunani” itu tak berarti menunjuk etnik Yunani, sama seperti “Roma” Katolik tak
menunjuk pengikutnya sebagai bangsa Roma, namun untuk menunjuk ekspresi karya sastra
theologis utama dari para bapa Gereja Timur adalah menggunakan bahasa Yunani,
meskipun jika mereka itu berkebangsaan Syria misalnya Efraim dari Syria, Yohanes
Khrisostomos, atau berkebangsaan Koptik, misalnya Athanasius dari Alexandria, Kyrilos dari
Alexandria, Klemen dari Alexandria dan lain-lainnya, sebagaimana Gereja Barat
menggunakan bahasa Latin, maka Gereja Baratpun sering disebut “Gereja Latin”.-)
Meskipun sudah berkali-kali ada usaha untuk mempersatukan mereka yang memisah ini baik
di zaman purba maupun pada zaman modern ini, namun mereka masih tetap terpisah dari
Gereja Orthodox.
Konsili Ekumenis yang Ketiga dan yang Keempat ini menetapkan beberapa Kanon yang
bersifat disipliner dan bersifat praktis. Dalam Konsili Ketiga di Efesus, ada larangan
membuat Pengakuan Iman yang lain, atau mengarang “Pengakuan Iman Yang Berbeda”
(Kanon 7) dari apa yang sudah dirumuskan dalam Konsili I dan Konsili II. Kanon ini
digunakan sebagai dasar bagi menentang penambahan atas Pengakuan Iman Nikea oleh
Gereja Barat dengan kata “filioque” (“dan Sang Putra”) ketika berbicara tentang Roh Kudus.
Menurut aslinya Roh Kudus itu keluar dari “Sang Bapa”, tetapi menurut tambahan filioque
dari Gereja Barat ini, Roh Kudus itu keluar dari “ Sang Bapa dan Sang Putra”. Konsili
15
Keempat di Kalsedonia, memberikan Konstantinopel Ibukota yang baru atau Roma Baru itu
“ kehormatan-kehormatan yang sejajar dengan ibukota Roma yang lama” , karena
ibukota yang baru itu dihormati dengan adanya “kaisar dan senat” ( Kanon 28). Pada saat ini
kita menyaksikan kemunduran di Gereja Barat dengan jatuhnya Roma ke tangan bangsa
Barbarian. Masuknya Gereja Barat pada zaman ini ke dalam apa yang disebut “Zaman
Kegelapan” sangat cepat terjadi setelah meninggalnya Agustinus, Episkop dari Hippo (
430). Agustinus menulis banyak buku yang sangat mengundang perdebatan terutama di
Gereja Timur, yang isinya sangat mempengaruhi seluruh sejarah Gereja Barat, baik yang
Roma (Katolik) maupun yang Reformasi (Protestan), namun yang tak diterima oleh Gereja
Timur. Sementara itu Gereja Timur masih sedang dalam zaman keemasan dan kejayaannya.
3. Konsili Agung Ekumenis Kelima ( 553) di Konstantinopel
dan Konsili Agung Ekumenis Keenam (680-681) di
Konstantinopel
Pada abad keenam ini Kaisar Yustinianus menginginkan kesatuan Gereja dan kesatuan
negara sekaligus. Oleh karena itu dia berusaha agar pihak Monofisit dapat disatukan kembali
kepada Gereja Orthodox.
Usahanya ini dengan mengadakan suatu Konsili di
Konstantinopel (553), yang akhirnya diakui sebagai Konsili Kelima, dimana di dalam
Konsili ini suatu tulisan yang disebut sebagai “Tiga Pasal” yang disenangi pendukung
Kalsedonia, namun yang direndahkan oleh mereka yang menolak Kalsedonia, dikutuk
Yustinianus secara resmi. Tulisan ini adalah tulisan dari Theodoret dari Cyrus, Ibas dari
Edessa, serta Theodorus Mopsuestia yang semuanya adalah orang-orang Syria. Tetapi
kutukan itu tak bisa diterima para pendukung Konsili Kalsedonia, sebab meskipun mereka
tidak setuju dengan ajaran-ajaran yang salah dan kabur dari tiga penulis ini, namun tidak ada
alasan untuk mengutuk mereka. Usaha Yustinianus untuk menyatukan pihak Monofisit ini
akhirnya tak berbuah, dan pihak Monofisit sendiri tidak yakin untuk bisa menyatu kembali
dengan Gereja Orthodox. Disamping menolak ajaran yang salah dan kabur dari “Tiga
Pasal”, Konsili ini juga menolak beberapa ajaran Origenes dari Alexandria yang sangat tidak
Orthodox, misalnya bahwa jiwa manusia sudah ada sebelum masuk kedalam tubuh jasmani
untuk lahir di dunia ini, dan lain-lain. Dan Konsili ini menegaskan kembali rumusan Konsili
Kalsedonia bahwa Yesus Kristus adalah “satu dari Tritunggal Kudus” (artinya: Dia Ilahi yang
satu hakekat dengan Allah sendiri dan RohNya yang ada di dalam hakekat Allah). Dan
Hypostasis Kalimatullah yang satu dan yang sama inilah telah memanunggalkan secara
"hypostatik" dalam DiriNya sendiri yang satu itu dua kodrat yang saling berlawanan: Allah
dan Manusia., tanpa campur-baur (Yang Ilahi tidak menjadi Manusia, Yang Manusiawi tidan
menjadi Ilahi) dan tanpa terpisah-pisah ( Yang Ilahi dan Yang Manusia manunggal secara tak
terpisah dalam Satu Hypostasis).. Yustinianus sangat giat menyerang sisa agama kafir
Yunani, serta menutup Universitas Athena dari pengaruh kafir Yunani, serta hanya
mempromosikan ilmu-ilmu Kristen saja. Dia membangun banyak Gereja, terutama di
Betlehem, Yerusalem, dan Gunung Sinai. Karyanya yang terbesar adalah Gereja Aghia
Sophia, yang pernah dijadikan Masjid oleh bangsa Turki sejatuhnya Konstantinopel, dan
sekarang menjadi Museum. Gereja Konstantinopel pada saat ini sudah menggunakan
praktek-praktek liturgis yang telah dilakukan di Palestina dan Syria. Praktek Ibadah Gereja
Konstantinopel saat ini, digabung dengan Ibadah Kristen Yahudi dari abad-abad awal
16
Kekristenan, serta sholat-sholat tujuh waktu yang telah berkembang di biara-biara, dan
praktek-praktek Liturgis di Yerusalem. untuk membentuk suatu synthesis agung pertama kali
dari ibadah Liturgis Gereja Orthodox. Sehingga biarpun Gereja Orthodox itu disebut sebagai
Gereja Orthodox “Yunani”, namun ibadahnya dan aqidahnya adalah ibadah dan aqidah
“Semitik” dari ujung kaki sampai ujung rambut. Di dalam pikiran orang-orang Kristen Timur
pada abad keenam ini, Konstantinopel adalah Tahta Ke-Episkop-an yang pertama dalam
“Sistim Pentarkhi” , yaitu : pertama Konstantinopel, sesudah itu baru
Roma,Aleksandria, Antiokia dan Yerusalem. Sejak saat itu Patriarkh Konstantinopel
memakai gelar “Patriarkh Ekumenis” yang tentu saja seperti yang dapat diduga Episkop
Romalah yang menentang akan hal ini, terutama Paus Santo Gregorius Agung, yang
mengkompilasi ‘Liturgi Pra-Sidikara”, yang tetap digunakan Gereja Orthodox sampai
sekarang pada saat Puasa Catur Dasa, namun yang tak dikenal oleh Gereja Roma Katolik.
Di Gereja Barat pada abad keenam ini, disamping Paus Gregorius Agung, Santo
Benediktus dari Nursia (480-542) dan para muridnya sangat mempengaruhi sejarah
selanjutnya Gereja Barat. Disamping itu Santo Columba dan Santo Agustinus dari
Canterbury adalah misionaris-misionaris Gereja Barat yang bekerja di Inggris dan Irlandia.
Pada tahun 589 di Toledo, Spanyol, Gereja Barat tanpa persetujuan Gereja Timur dan
bertentangan dengan Kanon ketujuh dari Konsili Ekumenis Ketiga, menambah kata
“filioque” pada Pengakuan Iman Nikea untuk menekankan keilahian Kristus dalam
menghadapi Kaum Barbarian yang mengikuti faham Arianisme, karena penginjilan Ulfilas
yang telah kita sebut sebelumnya. Namun tambahan ini mengakibatkan dampak yang sangat
tidak kecil bagi Sejarah Gereja.
Sementara itu di Semenanjung Arabia Sang Bayi
Muhammad yang nantinya akan menjadi Nabi besar bagi agama Islam telah lahir pada abad
keenam ini (tahun 570). Semenanjung yang mana dikelilingi oleh orang-orang Kristen Timur
(Non-Kalsedonia/Monofisit di Mesir maupun Ethiopia yang mempunyai Koloni di Yemen,
serta Monofisit di Syria Barat, dan Pre-Efesus/ Gereja Timur Assyria/ Nestorian di Persia,
serta Orthodox/Kalsedonian yang banyak melakukan perdagangan di Semenanjung Arab)
dan orang-orang Yahudi terutama di Madinah. Ketika lahirnya bayi Muhammad sudah
dalam keadaan sebagai anak-yatim, pada masa kecil dia diasuh oleh kakeknya AbdulMuttalib, setelah kakeknya meninggal diasuh pamannya Abu Thalib yang sering berdangang
ke Syria. Dan kanak-kanak Muhammadpun diajak dalam perjalanan dagang ini. Dalam
pergaulannya berdagang ini Muhammad yang masih muda itu banyak bertemu dengan
orang-orang Kristen Timur, yang biarpun dalam rumusan Kristologinya berbeda antara
Orthodox, Monofisit, dan Nestorian ini, namun praktek ibadahnya dan ethos kehidupannya
tak banyak beda satu sama lain. Mendengar dan memperhatikan dari mereka inilah akhirnya
Muhammad melestarikan banyak hal dari apa yang dijumpai dari agama-agama terdahulu ini
dalam agama Islam, sehingga hal ini menerangkan banyaknya kemiripan-kemiripan antara
praktek-praktek Iman Kristen Orthodox dan agama Islam.
Menginjak abad ketujuh, muncullah tulisan yang mengatas-namakan diri sebagai ditulis oleh
Dionysius dari Areopagus, murid Rasul Paulus. Tulisan ini diterima dengan tangan terbuka
baik oleh mereka yang menolak Konsili Kalsedonia (Monofisit), maupun pembela Konsili
Kalsedonia (Orthodox). Namun dalam tulisan Dionysian ini ada mengandung ajaran yang
bermasalah yaitu bahwa Yesus Kristus, Firman Allah/Anak Allah yang menjelma itu, hanya
memiliki satu kehendak dan tindakan insani -ilahiah atau ilahi-insaniah saja, yang sama
sekali membaurkan dua kegiatan dan tindakan yang berbeda dari kodrat ilahiNya dan kodrat
manusiawiNya. Ajaran ini disebut sebagai monothelitisme ( artinya: Kristus hanya memiliki
17
satu kehendak insani-ilahiah/ilahi -insaniah) atau mononergisme ( artinya: Kristus hanya
memiliki satu tindakan, kegiatan atau energi insani-ilahiah/ilahi-insaniah saja). Banyak yang
berharap bahwa rumusan ini akan mempersatukan kembali perpecahan kaum Monofisit
kepada Gereja Orthodox. Namun harapan itu tak pernah terjadi, karena ajaran ini ditentang
mati-matian oleh Aghios Maximos Sang Pengaku Iman (wafat: 662) dari Konstantinopel,
yang umurnya 10 tahun lebih muda dari Muhammad, serta Paus Santo Martin dari Roma
(wafat: 665). Menurut keduanya ini Kristus memiliki kepenuhan kehendak, energi, tindakan,
dan perbuatan ilahi, yang satu dan sama dengan kehendak Bapa dan RohNya. Namun
Kristus juga memiliki kepenuhan kehendak, energi, tindakan, dan perbuatan manusiawi
yang sama dengan semua manusia lainnya. Keselamatan itu terjadi dalam fakta bahwa Yesus
Kristus sebagai manusia sejati, secara bebas dan secara sukarela menyerahkan kehendak
manusiawinya ( yang persis sama dengan kehendak segenap manusia lainnya) kepada
kehendak ilahiNya ( yang adalah kehendak Allah sendiri). Sehingga Anak Allah yang ilahi ini
menjadi manusia yang nyata dan sejati dengan kehendak manusiawi yang nyata dan sejati,
sehingga sebagai manusia yang nyata Dia dapat memenuhi “seluruh kebenaran Allah” dalam
ketaatan yang sempurna dan sukarela kepada Sang Bapa. Melalui tindakan manusiawiNya
yang nyata itulah Yesus Kristus membebaskan semua manusia dari dosa dan maut sebagai
Adam yang Baru dan yang terakhir. Aghios Maximos dan Santo Martin sangat menderita
sekali dalam penganiayaan pemerintah karena menentang bidat monothelitisme ini. Mereka
dipenjara, disiksa, dan lidah Maximos dipotong agar tidak bisa berkotbah oleh kekuasaan
pemerintah yang sangat ingin menggunakan monothelitisme sebagai jalan menyatukan
kembali kaum Monofisit.
Namun akhirnya ajaran kedua orang suci inilah yang menang. Konsili Ekumenis Keenam
yang diadakan di Konstantinopel tahun 680-681 meneguhkan secara resmi ajaran mereka
dan secara resmi pula menghukumkan Patriarkh Sergius dari Konstantinopel, serta Paus
Honorius dari Roma yang mengajarkan monothelitisme, bersama semua pendukung
mereka. Di kalangan ummat Syria ada yang memegang teguh ajaran ini, terutama yang
dipimpin oleh Rahib Maron, dan memisahkan diri dari Gereja, sehingga mereka disebut
ummat Maronit yang sampai sekarang masih banyak kita jumpai di Libanon, namun yang
sudah menggabung dengan Gereja Roma Katolik sejak zaman Perang Salib. Sehingga, makin
terpecah lagilah Gereja Syria ini. Aghios Maximos menulis buku-buku rohani yang mendalam
pada saat ini, demikian pula Aghios Yohanes Klimakus dari Gunung Sinai menulis
“Tangga Naik ke Yang Ilahi” serta Aghios Andreas dari Kreta mencipta Kidung
Kanon Pertobatan, yang masih tetap dilagukan dalam Gereja Orthodox pada saat Masa
Puasa Agung Catur Dasa.
Nabi Muhammad sedang ditengah-tengah misinya untuk menyebarkan dan menegakkan
agama Islam, ketika Byzantium dibawah Kaisar Heraklius berperang melawan Persia, serta
merebut Salib asli yang dirampas mereka, lalu dibawa ke Konstantinopel. Kedatangan Salib
itu disambut meriah, sehingga dilestarikan dalam pesta Gereja Orthodox sebagai “Pesta
Pengangkatan Salib” setiap tanggal 14 September. Kekaisaran dalam keadaan terkuras
habis tenaganya karena perang melawan Persia ini, sehingga sewafatnya Nabi Muhammad,
ketika daerah-daerah Byzantium di Mesir, Palestina dan Syria direbut Islam tak banyak yang
dapat dilakukan. Disamping itu ummat Monofisit yang sangat banyak di daerah itu memang
membenci Byzantium karena Iman Kalsedonian mereka. Sehingga ketika Islam muncul tak
ada perlawanan dari mereka, sebaliknya mereka yang mengundang tentrana Muslim untuk
bersama-sama melawan Byzantium, karena dianggap dengan berada di bawah Islam mereka
bebas dari tekanan Byzantium. Hal yang terbukti salah di kemudian hari, yang effeknya masih
18
dapat dirasakan sampai sekarang.. Demikian juga sikap ummat Nestorian di Persia. Islam
diharapkan membebaskan mereka dari tekan Shah Persia, dan merekapun ternyata keliru.
Dalam tingkat non-politik Byzantium dan Islam mempunyai hubungan yang baik, misalnya
para pedagang Arab justru dibangunkan Mesjid untuk mereka beribadah di Konstantinopel
dan mereka tak pernah dipaksa menjadi Kristen. Kalifah al-Ma’mun mengadakan hubungan
yang baik dengan Kaisar Byzantium terutama dalam hal mendapatkan nashak-naskah Yunani
dan klasik yang akan diterjemahkan dalam bahasa Arab. Orang-orang Kristen Byzantium
secara tingkat sosial saling mengadakan kontak dengan kaum Muslim. Karena sikap kaum
Monofisit dan Nestorian inilah sebabnya mengapa dengan mudah daerah-daerah Kristen
Orthodox itu ditaklukkan Islam karena memang tidak ada perlawanan dari penduduk
setempat, malah mereka diundang oleh kaum Monofisit di Mesir, Syria, dan Libanon serta
kaum Nestorian di Irak dan Persia.
Karya Konsili Kelima dan Konsili Keenam ini dilanjutkan lagi di Konstantinopel, di
ruangan berkubah (Trullo) dari istana Kerajaan untuk membahas peraturan 102 buah
Hukum Kanon, yang disebut Kanon Konsili Quinisext (Kelima-Keenam). Dalam Hukum
Kanon ini ditegaskan orang menikah boleh ditahbis jadi diaken dan kemudian presbyter,
namun yang sudah ditahbis tak boleh menikah jika tadinya tidak menikah. Dan hanya orang
yang tidak menikah saja yang harus jadi Episkop. Ditetapkan juga batas umur orang yang
akan ditahbis, serta larangan rohaniwan berpartisipasi dalam politik atau dalam
perekonomian. Juga larangan orang awam masuk ke Ruangan Mezbah tanpa perlu, serta
melarang perkawinan campuran, dan masih banyak lagi.
4.Konsili Ekumenis
Konstantinopel
Ketujuh
dan
Terakhir
(787
)
di
Pada saat abad kedelapan ini kekalifahan Islam sudah tersebar di seluruh Timur Tengah, dan
Byzantium telah sering mengalami serangan tentara kaum Muslimin Arab dari arah selatan.
Syria yang berbatasan dengan Byzantiumpun sudah berada dibawah kedaulatan Islam.
Kaum Muslimin tak henti-hentinya menyerang ajaran Tritunggal Kudus, Keilahian Kristus,
Penyaliban, Kebangkitan, dan penggunaan Ikon (gambar-gambar agamawi) dalam Gereja.
Gambar-gambar itu dianggap sebagai berhala, karena Islam memang anti-gambar. Serangan
Islam ini sedikit-banyak mempengaruhi sebagian orang Kristen. Apalagi saat itu di
Byzantium, sedang bangkit diantara kaum intelektual aliran filsafat Neo-Platonisme yang
meremehkan benda jasmani dan menekankan hal yang bersifat “idea”. Ikon adalah benda
jasmani, maka berdasarkan pandangan filsafat kafir ini, maka ikonpun direndahkan dan
diremehkan. Kedua faham ini mempengaruhi Kaisar Leo III dari Isauria ( 717-741) dan
Kaisar Konstantinus V ( 741-775), yang sudah lama ingin menaklukkan Gereja pada
kehendak raja. Masalah ini digunakan sebagai alasan untuk menekan Gereja dan melarang
penggunaan Ikon dalam Gereja. Setelah mengadakan sidang tahun 753 dan disitu dinyatakan
bahwa Allah itu tak kelihatan jadi tak dapat digambar, sebagaimana pula argumentasi kaum
Muslimin (dan beberapa ayat Alkitab yang melarang penggunaan patung, yang juga dilarang
Gereja Orthodox) yang mempengaruhi argumentasi sidang tadi, maka perintah dikeluarkan
bahwa semua gambar harus dihapus dan semua ikon dibakar. Perlawanan terhadap Ikon ini
dikenal sebagai Gerakan Bidat Ikonoklasme. Memang Gereja Timur melarang
penggunaan patung dari zaman purba sampai sekarang, namun sejak zaman katakombe (
19
terowongan bawah tanah tempat persembunyian mereka dan digunakan untuk penguburan
dan ibadah, pada saat zaman aniaya) telah menyatakan iman mereka dalam wujud simbolsimbol dan gambar-gambar, dan itulah permulaan ikon, yang asalnya berasal dari perintah
Allah kepada Musa untuk membuat patung kerubim dan gambar-gambar kerubim di Kemah
Suci, dan juga dilukisnya gambar-gambar semacam itu di Bait Allah yang dibangun Salomo
(Sulaiman). Orang Kristen Orthodox yang mempertahankan penggunaan ikon dibunuh dan
dianiaya oleh Kaisar ini, sehingga terjadi pertumpahan darah yang hebat diantara ummat
Kristen Orthodox oleh aniaya tentara raja. Para Episkop banyak yang ditekan untuk secara
resmi menentang penggunaan Ikon. Sehingga tahun 762 dan 775, terkenal sebagai “ dekade
berdarah” dalam sejarah Gereja Timur ini, karena banyaknya orang Kristen Orthodox,
terutama diantara para rahib yang dipenjara, disiksa, dan dibunuh karena mempertahankan
Ikon itu. Gereja tidak hendak tunduk pada kehendak manusia, karena hanya Kristus, dan
bukan Kaisar, itulah Kepala Gereja. Tuhan tidak berlama-lama membiarkan ummatNya
menderita.
Pada tahun 780 Maharatu Theodora naik tahta ( 780-802). Penganiayaan dihentikan dan
Konsili diadakan di kota Nikea pada tahun 787 untuk membahas mengenai masalah Ikon
ini. Inilah Konsili Ekumenis yang Ketujuh dan Terakhir dari Gereja Rasuliah Perjanjian
Baru yang satu, yang secara tanpa putus berjalan dalam sejarah sampai abad kedelapan itu.
Konsili ini menjelaskan makna Theologia Ikon, mengikuti penjelasan yang dilakukan oleh
Aghios Yohanes Damaskinos (Yuhana Al-Mansyur) dari Damaskus Syria. Yuhana AlMansyur adalah anak seorang pegawai tinggi dari kalifah Islam di Damaskus, Syria. Diapun
akhirnya diangkat menjadi pegawai tinggi dari kalifah Yazid di Syria ini. Entah karena apa dia
tinggalkan karir duniawinya, dan masuk ke biara, serta akhirnya menjadi presbyter. Pada saat
penganiayaan orang-orang Kristen Orthodox di Byzantium, Aghios Yohanes bebas dari
aniaya itu karena dia hidup dalam wilayah Islam. Sehingga dia bebas menulis dan mengkritik
para penentang Ikon tanpa ditangkap tentara raja. Argumentasi yang berdasarkan Alkitab
dan Iman Rasuliah dalam tulisan Aghios Damaskinos inilah yang diikuti dalam Konsili
Ketujuh ini.
Inti terpokok Iman Kristen adalah Yesus Kristus. Dan Dia adalah “Firman yang Menjadi
manusia” (Yohanes 1:14). Dengan demikian Yesus Kristus adalah Firman Allah yang ber
“Inkarnasi” ( “Mendaging”). Maka “Inkarnasi Kristus” sebagai Firman Allah itulah inti iman
Kristen. Allah memang tak dapat dilihat, jadi tak dapat digambar apalagi dipatungkan. Itulah
sebabnya Perjanjian Lama,- dan dalam hal ini sikap Al Qur’an juga - serta Iman Orthodox
sendiri melarang Allah ( Bapa) digambar. Namun dalam Yesus Kristus, Allah melalui
“FirmanNya” telah menjadi nampak, yaitu menjadi daging. Maka kedagingan dari
kemanusiaan Firman itu sekarang dapat digambar untuk membuktikan bahwa Firman betulbetul jadi manusia. Disitulah tempatnya Ikon itu. Menolak Ikon berarti menolak bahwa
betul-betul Yesus Kristus itu manusia, yaitu menolak Inkarnasi Firman Allah. Islam hanya
percaya Firman Allah yang diturunkan menjadi Kitab: “Al-Qur’an” . Oleh karena itu
penegasan makna Wahyu dalam Islam adalah dalam wujud “Kaligrafi” (“Tulis Indah Huruf
Arab”), membuat ikon atau gambar dalam Islam memang akan bertentangan dengan inti
kewahyuan Firman sebagai tulisan. Namun menolak “ikon” dalam Iman Kristen justru
sebaliknya, karena itu berarti menolak kemanusiaan, kewujud-dagingan, dan Inkarnasi dari
Firman Allah yang menjadi manusia itu. “Kaligrafi” (Tulis Indah Huruf Arab) dalam Islam
itulah “Ikonografi” dalam Iman Kristen Orthodox. Karena yang ditekankan pada
“ikonografi” itu justru adalah fakta “inkarnasi” serta fakta “kemanusiaan kongkrit” dari
20
Penjelmaan Firman Allah/Kalimatullah yang menjadi daging, maka Konsili dengan tegas
mengatakan bahwa Allah (Bapa) dilarang diwujudkan dalam gambar apalagi dalam patung.
Demikian juga berlaku bagi Roh Kudus, serta keberadaan Kristus sebelum jadi manusia.
Dengan kata lain larangan hukum Musa untuk tidak menggambarkan Allah dalam bentuk
apapun tetap dijaga dengan keras, namun fakta Inkarnasi dari Firman Allah menjadi
manusiapun dijaga keras dengan ekspresi yang kongkrit dalam wujud “ikonografi”. Jelas ikon
berbeda dari dan bukan merupakan berhala. Sebab berhala adalah penggambaran Allah
secara bentuk makhluk dan diberi bakti dan sembah sebagai ilah, ikon bukan gambarNya
Allah, dan tak diberi bakti seperti Allah sendiri. Dengan Ikon ditegaskan bahwa oleh
Inkarnasi Firman Allah maka segala sesuatu yang jasmani sekarang dikuduskan oleh Kristus,
yang jasmani ini terutama adalah ummat manusia yang telah ditebus dalam Kristus. Itulah
sebabnya isi dari Ikonografi, bukan hanya Kristus saja, namun semua mereka yang menjadi
dampak langsung dari Inkarnasi itu, yaitu para orang-orang yang telah dikuduskan oleh
Kristus dalam Roh Kudus: Theotokos, para Nabi, para Rasul, dan segenap orang suci.
Demikianlah ikonografi menjelaskan bahwa melalui Kristus yang adalah “ikon” (Gambar)
dari Allah yang tak kelihatan (Kolose 1:15), segenap manusia yang ditebus olehNya
dikembalikan kepada kodrat asli (“fitrah”) yang atasnya manusia diciptakan menurut
“gambar (eikon, demuth) dan rupa (omoiousin, tselem) Allah “ ( Kejadian 1:26). Jadi
pertentangan masalah Ikon bukanlah sekedar pertentangan masalah lukisan, dan bukan pula
masalah berhala, namun masalah betulkah Firman Allah telah menjadi manusia, dan betulbetul berwujud jasmani, yang dengan begitu dapat dilukis, tanpa melanggar larangan
penggambaran Allah dan keilahian yang tidak nampak itu.
Pada abad ini Aghios Yohanes Damaskinos mencipta Kidung-Kidung Kanon
Sembahyang Fajar Paskah dan Kidung-Kidung Dukacita untuk upacara penguburan
dalam Gereja Orthodox serta Kidung Hasta-Nada yaitu kumpulan kidung-kidung yang
menggunakan delapan Irama yang berbeda yang dilagukan secara berputar dalam tiap
minggu, Semuanya ini tetap menjadi bagian ibadah Gereja Orthodox sampai sekarang. Juga
dia menulis buku yang disebut “Exposisi Lengkap Iman Orthodox” yang merupakan
pembahasan sistimatis seluruh doktrin Kekristenan Orthodox sejak zaman purba yang dapat
ditemukan dalam bukunya “Sumber Ilmu-Pengetahuan”. Dia juga menulis buku polemik
menyanggah tuduhan Islam.
Pada saat abad kedelapan ini Gereja Barat mengalami banyak pertobatan dari suku-suku
Barbarian. Pemberita Injil terbesar Gereja Barat pada abad ini adalah Santo Bonafasius (
wafat tahun 754). Untuk pertama kalinya pada abad Paus Roma menjadi pemimpinpemimpin duniawi yang menguasai tanah-tanah di Itali, serta mengadakan hubungan dengan
raja-raja yang baru muncul dari keluarga Carolingian yang berasal dari suku-suku Barbar
ini. Dari keluarga inilah Karel Agung muncul, yang pada tanggal 25 Desember 800
dimahkotai untuk mendirikan Kerajaan di Eropa Barat yang telah hilang, dengan nama
Kerajaan Romawi Suci, jadi mengadakan perpecahan politik dengan Kerajaan Byzantium.
Agar dapat mendirikan Kerajaan Baru dengan dukungan Paus Roma ini, maka Karel Agung
menyerang keabsahan Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur. Dia menuduh Gereja Timur
sebagai “penyembah berhala” karena sikapnya terhadap ikon, serta menuduh Gereja
Timurlah yang menghilangkan “filioque” dari Pengakuan Iman yang ditambahkan oleh
Konsili Toledo (tahun 589) dari Gereja Barat ini. Tuduhan-tuduhan ini termaktub dalam
buku “Liber Carolini” yang telah diserahkan lebih dahulu kepada Paus Hadrianus I di
Roma oleh Karel Agung, pada tahun 792. Namun pada tahun 808 Paus Leo III
21
mengadakan reaksi atas tuduhan Karel Agung terhadap Gereja Timur ini, sehingga dia
membuat Pengakuan Iman Nikea tanpa “filioque” diukirkan pada suatu lempeng perak dan
di letakkan di pintu Gereja Santo Petrus.
Sesudah Konsili tahun 787 itu, perlawanan terhadap ikon berlanjut terus di Kerajaan
Byzantium. Ketika Ratu Irini meninggal pada tahun 802, Kaisar Leo dari Armenia menjadi
Kaisar. Pada tahun 812 dia memerintahkan ikon-ikon supaya dijauhkan tempatnya dari
jemaat. Pada saat Mingu Palem tahun 815 Aghios Theodoros, mengadakan arak-arakan
membawa ikon-ikon di Konstantinopel, namun dicegat oleh tentara kerajaan , semua orang
itu dianiaya dan disiksa serta banyak yang mati dibunuh.. Hanya pada sat pemerintahan Ratu
Theodora pada tahun 843, ikon-ikon betul-betul dikembalikan ke Gereja secara resmi, pada
Minggu Pertama Masa Puasa Catur Dasa, dan disebut sebagai “Kemenangan
Orthodoxia” yang sampai sekarang pada Minggu Pertama Puasa Catur Dasa ini masih
diperingati dan dirayakan dalam Gereja Orthodox.. Pengembalian Ikon ini disebut
“Kemenangan Orthodoxia”, karena ini menutup lingkaran pembahasan Kristologi sejak
Nikea (325) sampai pada batasnya yang tertuntas. Pada saat Nikea dituntaskan keyakinan
bahwa Yesus itu betul-betul “Allah sejati yang keluar dari Allah sejati” dan “Satu Dzat
Hakekat dengan Sang Bapa”. Konsili kedua (381) menegaskan kesatuan Keilahian Yesus
Kristus ini dengan Bapa dan Roh Kudus, serta Konsili ketiga ( 431) menegaskan bahwa
keilahian tadi tidak hilang ketika Dia berada dalam rahim Maryam, sehingga Maryam disebut
Theotokos. Sedangkan Konsili Keempat (451) menegaskan sifat hubungan dan kesatuan
antara keilahian dan kemanusiaanNya, dan Konsili Kelima (553) meneguhkan apa yang
dirumuskan oleh Konsili Keempat.. Sedangkan Konsili Keenam menegaskan dan
meneguhkan akan sifat kemanusiaan Kristus yang memiliki kehendak manusia yang
sempurna, sehingga “monothelitisme” ditolak. Integritas kemanusiaan Kristus itu secara
lebih kongkrit dan tak diragukan lagi ditegaskan dalam Konsili Ketujuh dengan bukti bahwa
Dia dapat dilukis dalam Ikon karena Dia betul-betul menjadi manusia yang nampak dan
dapat dilihat. Demikianlah dalam seluruh Konsili yang tujuh buah ditegaskan keilahian penuh
dan kemanusiaan penuh dari Kristus yang satu itu secara tuntas. Dan itulah “inti Iman
Kristen Orthodox:”. Oleh karena itu penegasan secara kongkrit dan tuntas dari kemanusiaan
Kristus dalam Ikon itu menutup dan memeteraikan kebenaran Orhodoxia, sehingga itu
disebut “Kemenangan Orthodoxia” yang telah dibuka dan diawali dengan penegasan secara
kongkrit dan penuh akan keilahian Kristus dalam Konsili Petama.
C.Zaman Penyebaran ke Utara
III. Masa Pasca-Konsili Ekumenis: Dari Penginjilan
Bangsa Slavia (863) sampai jatuhnya Konstantinopel
(1453) ke Tangan Turki
1.Penginjilan Negara-Negara Eropa Timur (863)
22
Meskipun usaha Karel Agung untuk memasukkan Kerajaan Byzantium dan Gereja Timur
dalam Kerajaan Romawi Suci yang didirikannya itu tak berhasil, Paus di Roma makin
memaksakan kuasanya kepada seluruh Gereja di Barat. Paus-paus yang kuat seperti Nikholas
I ( 858-867 ) menekan keras semua pengaruh awam dan memusatkan semua kekuasaan pada
hierarkhi Paus. Usaha sentralisasi pada Paus ini dtunjang oleh dokumen-dokumen palsu
“Dekrit Isidorus Dari Seville” dan “ Donasi Konstantinus” yang ternyata karangan
kaum Frankish dan Jermanik itu sendiri, yang menyatakan bahwa Paus di Roma mempunyai
kekuasaan politis atas seluruh wilayah sekitar Roma, sehingga wilayah itu disebut “negara
kepausan”
Sementara itu yang menjadi Patriarkh di Gereja Timur adalah Photius. Dia mengutus dua
orang kakak-beradik ( Konstantinus dan Methodius ) berbangsa Yunani: untuk
menyebarkan Injil ke Moravia diantara bangsa Slavia. Mereka tiba disana pada tahun 863,
dan mereka telah menciptakan alfabet Slavia yang berdasarkan alfabet Yunani (sekarang
disebut alfabet Slavonik Lama atau Bulgaria Lama) untuk menterjemahkan kitab-kitab
Gerejawi ke dalam bahasa Slavia ini. Karena Gereja Orthodox selalu percaya pasa inkarnasi
Injil pada budaya setempat. Misi dari kedua kakak-beradik itu konflik dengan misi Gereja
Barat yang juga ada di Moravia ini. Gereja Barat memaksakan bahwa hanya bahasa Ibrani,
Yunani dan Latin saja yang boleh digunakan sebagai bahasa keagamaan Gereja. Karena para
misionaris ini dari Gereja Barat kedua kakak-beradik ini melaporkan situasi tadi ke Paus
Hadrianus II (tahun 869), serta mereka mendapatkan restu atas usaha mereka dari Paus
Roma juga. Konstantinus meninggal pada tahun 869, serta menjadi rahib sebelum meninggal
dengan nama Kyrilos, serta diakui sebagai orang suci Gereja. Karena itulah alfabet yang
mereka ciptakan itu terkenal dengan nama huruf “Kyrilik” ( “Cyrillic”) yang digunakan di
banyak negara-negara Eropa Timur dan Rusia sampai sekarang. Methodius diangkat menjadi
Episkop, dan ketika dia kembali kepada karya misinya, dia ditangkap dan dipenjarakan oleh
para misionaris Gereeja Barat tadi dengan pertolongan Raja Louis Orang Jerman. Ketika
Paus Yohanes mengetahui hal itu pada tahun 873, dia menuntut agar Methodius dibebaskan.
Namun ketika Methodius meninggal, semua karyanya musnah, karena para muridnya banyak
yang ditangkap,dibuang atau dijual sebagai budak oleh kekuasaan negara Romawi Suci
Jermanik, yang benci Byzantium, melalui para rohaniwan Gereja Barat itu. Sebagian lagi ada
yang melarikan diri ke Bulgaria dan terjadi banyak pertobatan disana. Dan ummat Bulgaria
ini akhirnya terkait dengan Gereja Konstantinopel. Dari Serbia ini usaha misi Gereja
Orthodox di Timur berkembang ke daerah-derah Serbia, serta pada akhirnya ke Kiev serta
Rusia Utara. Inilah sungguh-sungguh masa gerakan misi yang sangat luar biasa bagi Gereja
Timur.
2. Konflik Terbuka Gereja Timur dan Gereja Barat (861-886)
Ketegangan-ketegangan yang sudah kita lihat antara Gereja Timur dan Gereja Barat ini
menjadi konflik terbuka untuk pertama kalinya antara tahun 861-886. Pada saat itu ada dua
partai yang saling berebut pengaruh di Konstantinopel baik secara politis maupun gerejawi,
yang satu Partai Konservatif dan lainnya Partai Moderat. Untuk mencapai perdamian dalam
Gereja maka Patriarkh Phtoius yang tadinya orang awam itulah yang dijadikan pemimpin
Gereja. Partai Konservatif yang ekstrim tidak puas akan hal ini, lalu meminta bantuan Paus di
Roma, menggunakan nama baik Ignatius, Patriarkh yang sekarang sudah pensiun untuk
23
melawan Photius dan pemerintah yang memilih dia. Kesempatan ini tak disia-siakan oleh
Paus Nikholas untuk ikut campur-tangan pada masalah Gereja Timur ini, karena
perkembangan sentralisai kepausan di Barat itu. Paus Nikholas lalu mengadakan Konsili di
kota Konstantinopel pada tahun 861 untuk menyelesaikan pertikaian kedua partai itu.
Namun ketika para utusan Paus tiba di Konstantinopel Photius memang Patriarkh yang sah,
dan semuanya diselesaikan dengan damai. Namun ketika para utusan itu kembali ke Roma,
Paus Nikholas tidak mau menerima hasil keputusan tadi, lalu mengadakan Konsilinya sendiri
di kota Roma pada tahun 863, dia memecat Photius serta menyatakan bahwa Ignatius yang
sudah pensiun itu harus jadi Patriarkh yang sah. Namun pernyataannya ini tak diperdulikan
oleh siapapun di Gereja Timur.
Pada tahun 866 dan 867 Gereja Bulgaria sesuai dengan situasi politiknya kadang-kadang
memihak Roma , namun kadang-kadang memihak Konstantinopel. Pada tahun 867 Photius
mengadakan Konsili yang dihadiri oleh 500 Episkop yang mengutuk Paus Nikholas karena
ikut campur-tangan masalah internal dari Gereja Bulgaria. Namun pada tahun yang sama itu
terjadi suatu perubahan politik di Konstantinopel, Basilius I menjadi Kaisar dengan
membunuh Kaisar sebelumnya, dan untuk alasan politiknya dia memecat Photius sebagai
Patriarkh dan Ignatius yang pensiun diangkat lagi menggantikannya. Pada tahun 869 Paus
Hadrianius II pengganti Paus Nikholas di Roma, mengutuk Photius lagi atas masalah
Bulgaria. Namun pada tahun 877, situasi menjadi berubah ketika Photius harus menjadi
Patriarkh lagi karena Ignatius yang saleh itu meninggal dunia. Pada tahun 879 suatu Konsili
yang sangat besar diadakan oleh pimpinan Photius dan utusan Paus dari Roma juga diundang
datang. Dalam Konsili yang dipimpin oleh Photius ini sendiri, maka dipilah-jelaskan oleh
Patriarkh Photius mengenai kedudukan Paus di Roma dalam hubungannya dengan Patriarkh
dan Gereja Konstantinopel. Serta hal itu diterima oleh Paus Yohanes VIII yang menjadi
Paus yang baru di Roma. Konsili tahun 863 dan 869 yang mengutuk Photius dinyatakan
batal dan tak berlaku, serta dengan tegas diakui bahwa Konsili tahun 787 tentang “ikon”
diakui sebagai Konsili Ketujuh, serta Pengakuan Iman Nikea “tanpa filioque” diteguhkan
kembali.
Photius secara resmi diakui sebagai orang kudus Gereja. Dia adalah seorang theoloog yang
banyak menulis buku, terutama mengenai masalah “filioque” yang mengajarkan Ke-Esa-an
Allah dengan mengatakan bahwa Roh Kudus itu hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana
Firmanpun diperanakkan dari Sang Bapa yang satu dan yang sama itu. Dia membela Tradisi
Gereja yang otentik dalam menentang pernytaan diri Paus Nikhloas yang berlebih-lebihan
itu, dan akhirnya menjaga kesatuan dengan Gereja Roma serta Paus Yohanes VIII. Dia yang
mensponsori misi besar-besaran kepada bangsa Salvia.
Abad kesembilan ini secara umum dapat dikatakan sebagai abad yang sangat penting bagi
Gereja Timur. Ini adalah abad kebangkitan di Gereja Timur, sedang di Gereja Barat ini
adalah abad sentralisasi yang makin bertambah di sekitar diri Paus. Satu-satunya theoloog
yang dapat disebut dari Gereja Barat pada saat ini adalah John Scotus Erigena (wafat 877)
3. Penginjilan Rusia ( 988)
24
Menginjak abad kesepuluh kita masih berjumpa dengan kebangkitan ilmu di Gereja timur,
dimana ilmu-ilmu dari para penulis non-Kristus Yunani itu mulai dipelajari kembali, tiulisan
para Bapa Gereja mulai dikumpulkan, serta “Kisah Hidup Para Orang Kudus” mulai
dikompilasi untuk menjelaskan sisi kharismatis dari pengalaman Gereja dimana dibuktikan
bahwa sepanjang segala zaman Roh Kudus masih berkarya dengan segala macam
mukjizatnya dan pengudusannya seperti yang nampak dalam kehidupan mereka ini, serta
“Lavra Agung” ( Biara Terbesar di Gunung Athos Yunani) didirikan oleh Aghios
Athanasios dari Gunung Athos (960), Aghios Simeon Neos Theologos menulis sangat
luas dan mendalam mengenai makna pengalaman “Dibaptis dalam Roh Kudus” serta
pengalaman melihat Terang Tak Tercipa serta menyatu tenggelam dalam Terang tadi yang
adalah tenggelam dalam Roh Kudus. Gereja dan negara Byzantium makin saling merembesi,
terutama Gereja makin mengendalikan masalah-masalah perkawinan dan keluarga
Pada tahun 869 Tsar Boris dari Bulgaria dibaptiskan dengan Kaisar Mikhael III dari
Konstantinopel sebagai “ Bapak Baptis” (‘Bapa Selam”, “Papa Serani”). Sehingga dengan
demikian Gereja Bulgaria secara kokoh berada dalam persekutuan dengan Gereja
Konstantinopel, terutama pada saat anaknya Tsar Sumeon Gereja Bulgaria makin
berkembang. Pada akhir abad kesembilan suatu sekte Bidat Bogomil, suatu sekte dualisme
yang menolak keilahian Kristus dan Sakramen-Sakramen Gereja sedang berkembang, namun
ditolak Gereja, mereka berkembang sampai ke Serbia, terutama di Bosnia. Kebanyakan dari
anggota sekte ini menjadi Muslim ketika Turki menguasai daerah Bosnia.
Pada tahun 988 para bawahan dari penguasa wilayah Kiev dibaptis di sungai Dnieper
dibawah pimpinan Pangeran Vladimir yang Agung, dengan demikian memulai sejarah
Gereja Orthodox di Ukraina dan Rusia. Valdimir menerima Iman Kristen Orthodox dari
Konstantinopel, setelah mengadakan penyelidikan dari semua agama yang ada, dia
menemukan tidak ada agama yang keindahannya melebihi Kekristenan Orthodox. Dia
dibaptis di Konstantinopel dengan Kaisar Basilius sebagai Bapak Baptisnya. Akhirnya dia
menikah dengan Puteri Anna dari Konstantinopel, untukmengokohkan pertalian keluarga
Kerajaan. Sesudah baptisannya itu Vladimir mengalami suatu pengalaman pertobatan yang
sungguh-sungguh, sehingga banyak menanamkan prinsip-prisip Kristen dalam kerajaan yang
dipimpinnya, serta dia mengabarkan Iman Kristen Orthodox kepada seluruh bawahannya.
Karena apa yang dilakukan dan kekudusan hidupnya ini ia telah diakui sebagai orang kudus
Gereja bersama dengan neneknya Putri Olga yang telah menjadi Kristen sebelumnya, dan
banyak mempengaruhi dia dalam keputusannya untuk menjadi Kristen.
Pada akhir abad kesembilan sampai masuk abad kesepuluh Gereja Barat mengalami salah
satu periode yang paling gelap dalam sejarah. Gelombang-gelombang baru penyerbuan
menghancurkan keamanan kekaisaran yang diciptkan Karel Agung. Ggereja Barat menderita
dominasi para penguasa-penguasa dari antara kaum awam. Komunikasi dengan Gereja
Timur sama sekali terputus. Namun demikian terjadilah permulaan gerakan pembaruan di
Gereja Barat yang dimulai dari Biara Cluny di Perancis.
D. Zaman Perpecahan
25
4.Perpecahan ( Skisma ) Besar (1054):Gereja Barat (Roma
Katolik) Pecah Dengan Gereja Timur ( Orthodox)
Masuk ke dalam abad kesebelas kita temui peristiwa menyedihkan, yaitu perpecahan besarbesaran antara Gereja Barat (Roma) dan Gereja Timur (Konstantinopel). Peristiwa ini
dimulai dengan larangan penggunaan Liturgi Gereja Timur Yunani di Italia Selatan oleh Paus
Roma, serta sebagai balasannya dilaranglah penggunaan Liturgi Gereja Barat Latin di
Konstantinopel oleh Patriarkh. Pada tahun 1053 Paus di Roma mengirimkan utusannya ke
Konstantinopel untuk bertemu dengan Patriarkh yang sedang menjabat:Mikhael
Kerularios. Tetapi Patriarkh tidak mau menerima mereka, karena dia melihat bahwa tujuan
kedatangan mereka mempunyai motivasi politik. Karena lelah menunggu dan karena jengkel
merasa tidak dihormati,, maka kepala rombongan utusan ini, yaitu: Kardinal Humbert, pada
tanggal 16 Juli 1054, menempatkan dokumen “pengkutukan” (“anathema”) dan
pengkucilan terhadap Patriarkh Mikhael Kerularius dan semua yang bersimpati kepadanya,
diatas mezbah (altar) Gereja Aghia Sophia, namun dia tetap memuji Konstantinopel sebagai
“Kota yang Amat Orthodox”. Kutukan ini landasannya karena Gereja Timur tidak
menggunakan “filioque”, mengijinkan para Presbyter (“Rohaniwan Tertahbis”) menikah,
kesalahan-kesalahan liturgis karena tidak sama dengan yang dipraktekkan dalam Gereja Latin.
Tindakan Kardinal Humbert ini ditanggapi Patriarkh Mikhael Kerularios dengan
mengadakan Konsili Para Patriarkh dan Episkop-Episkop Gereja Timur dengan
menyatakan “anathema” dan “pengkucilan” terhadap semua yang bertanggung jawab atas
peristiwa “16 Juli 1054”. Dia mendaftar semua yang dianggap penyalah-gunaan Gereja Latin.
Sejak saat itu usaha untuk menyatukan kembali antara Gereja Barat yang kemudian dikenal
sebagai Gereja Roma Katolik dengan Gereja Timur yang tetap disebut sebagai Gereja
Orthodox atau Orthodox Yunani menjadi tak mungkin lagi. Maka terjadilah skisma
(perpecahan) yang permanen sampai sekarang. Semua usaha untuk persatuan tak satupun
membuahkan hasil, bahkan pengangkatan secara simbolik “anathema tahun 1054” ini yang
dilakukan di zaman modern pada tahun 1966 oleh Paus Paulus VI dari Gereja Roma Katolik
dan Patriarkh Athenagoras dari Gereja Orthodox itupun tak berdampak apa-apa dalam usaha
kesatuan Gereja ini. Gereja Barat (Roma Katolik) tetap terpisah dari Gereja Timur (
Orthodox) dan tetap berjalan menurut jalannya sendiri sampai kini.
5.Masa Perang Salib
Dengan hampir kebanyakan daerah Kristen Orthodox di sebelah timur di kuasai Islam
terutama Palestina, maka sulit bagi orang-orang Kristen di Barat untuk mengadakan ziarah ke
Tanah Suci. Maka di Gereja Barat timbul suatu gerakan untuk merebut Tanah Suci dari
tangan musuh. Maka oleh kotbah-kotbah beberapa pemimpin Gereja di Barat Perang Salib
merebut Tanah Suci itu dimulai pada tahun 1096. Mereka bergerak maju menuju ke Timur
dari Eropa Barat dengan dipimpin Uskup dan para pastor serta tentara-tentara Katolik Barat.
Gerakan ini tak terpisah dari apa yang terjadi di Gereja Barat. Pada pertengahan abad
kesebelas ini terjadi pembaharuan di Gereja Barat yang berpusat pada diri Paus. Gerekan ini
sering disebut sebagai “Pembaharuan Gregorian” menggunakan nama dari penggerak
utamanya yaitu Paus Gregorius VII atau Hildebrand. Tujuan Gerakan ini adalah untuk
menegakkan Gereja Katolik Roma kokoh terpisah dari ketergantungan kepada kekuasaan
pemerintah manapun. Akibatnya, ini makin amat sangat memperluas pernyataan diri Paus di
26
Roma akan kedudukannya. Sehingga usaha untuk berdamai dengan Gereja Timur makin
sulit. Misalnya pada tahun 1089 untuk mengadakan hubungan yang baik, Gereja Timur
meminta pengakuan iman dari Paus Urbanus II, dia menolak melakukannya, sebab dia
merasa jika memberikan pengakuan iman itu berarti Uskup Roma dapat dihakimi oleh orang
lain di dalam Gereja. Dan pada saat Perang Salib yang pertama tahun 1096 itulah kedudukan
Paus di Roma sebagai penguasa sudah mapan sekali. Pada akhirnya para tentara perang salib
inilah yang memeteraikan skisma (perpecahan ) diantara dua Gereja ini.Para pasukan Salib
itu merebut Yerusalem pada tahun 1099, serta mengusir ummat Islam dari situ, namun juga
mendirikan suatu Hierarkhi Kegerajaan Latin, dan mengusir Patriarkh Timur yang sah baik
di Yerusalem maupun di Antiokhia. Sejak saat itu baik di Palestina maupun di Syria
terbentuk suatu Kepatriarkhan Latin Ritus Timur, sebagai tandingan dari Kepatriarkhan
Timur Orthodox yang sah. Kaum Roma Katolik (Latin) yang menggunakan Ritus Timur,
yaitu Tata Ibadah dan Spiritualitas Gereja Orthodox, baik di Palestina maupun di Syria itu
akhirnya dikenal dengan nama kaum “Melkit”, yaitu nama yang tadinya digunakan oleh
kaum “Monofisit” ( Yakobit) di Syria untuk menyebut Ummat Kristen Syria Orthodox yang
membela rumusan Kalsedonia. Sehingga sekarang Gereja dari Tradisi Syria ini terbagi jadi
lima bagian, yaitu: Syria-Antiokhia Orthodox (Kalsedonia) yang tetap bersatu dengan
segenap Gereja Orthodox alur utama lainnya dan meskipun mereka adalah orang Syria asli
dan Patriarkhnya yang sekarang (1997) Ignatius IV adalah orang Syria mereka disebut
“Orthodox Yunani”, hasil pemaksaan Hirarkhi Latin pada saat Perang Salib: Syria-Roma
Katolik Ritus Timur : “ Maronit” dan “Melkit”, serta kelompok yang memisahkan diri pada
Konsili Kalsedon Syria-Antiokhia Yakobit ( Monofisit, Oriental Orthodox), dan Ummat
Syria di Persia yang memisah dari Gereja Antiokhia dan menerima Nestorius sebagai simbol
theologi mereka: Syria-Kaldea ( Pre-Kalsedonian) yang disebut Gereja “Nestorian” atau
Gereja Persia
Sementara itu di Gereja Barat terjadi pembaharuan-pembaharuan Cistercian dari Ordo
Benediktin ( sekarang terkenal sebagai “trappist” ). Wakil terbesar dari Gerakan ini adalah
Bernard dari Clairvaux. Dia berkotbah kepada para pasukan Salib dan ikut berperang
bersama Abelard. Gerakan Carthusian dari kebiaraan para petapa juga terjadi pada zaman
ini.
Di daerah-daerah yang diduduki Islam terutama di Syria dan Irak, orang-orang Kristen
setempat ( Monofisit, Nestorian, Orthodox) yang menjadi kelompok minoritas yang
dilindungi (ahlul dzimma) diminta untuk menterjemahkan karya sastra, dan ilmu-ilmu
pengetahuan Kristen Timur, maupun Yunani klasik dari bahasa Yunani atau terjemahan
Syria ke dalam bahasa Arab, oleh para kalifah Islam. Hal ini terjadi pada saat pemerintahan
Kalifah Al-Ma’mun yang mendirikan Balai Terjemahan yang disebut sebagai Baitul Hikmat.
Terjemahan keilmuan dari Gereja Timur ke dalam bahasa Arab itu sangat membantu
perkembangan keilmuan dalam Islam. Terjemahan bahasa Arab ini akhirnya juga tersebar
sampai ke kalifahan Islam di Eropa, Cordova, Spanyol. Disana karya terjemahan bahasa
Arab itu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Latin. Dari situlah orang-orang Kristen Barat
yang selama ini terkurung dalam zaman kegelapan menemukan kembali keilmuan Kristen
dari Gereja Timur melalui Islam, dan dengan demikian membantu bangkitnya filsafat
Skolastikisme di Barat yang berpuncak pada tulisan-tulisan Thomas Aquinas.
E. Zaman Kesesakan
27
4. Ancaman Turki, Perkembangan Orthodoxia di luar
Konstantinopel, dan Usaha-usaha Penyatuan Gereja (abad
12 s/d abad 14)
a. Ancaman Turki
Menginjak abad kedua belas kekaisaran Byzantium dibawah wangsa Comnenus, harus
menghadapi tiga musuh sekaligus. Dari Barat harus menghadapi Pasukan Salib, dari selatan
harus menghadapi ancaman kekalifahan Arab, serta musuh baru yang muncul adalah bangsa
Turki yang berasal dari Timur. Mereka adalah suku Tartar, yang telah memeluk agama
Islam ketika mereka menghancurkan Bagdad. Kaisar Alexios Comnenus menetapkan
bahwa Gunung Athos di semenanjung Khalkidiki, Yunani, harus menjadi pusat kerahiban
Gereja Orthodox, dan sampai sekarang menjadi pusat spiritualitas Gereja Orthodox
internasional. Theologia Iman Kristen Orthodox pada saat ini sudah begitu mapan, yang
pada pokoknya merupakan Theologia dari Ketujuh Konsili bersama dengan praktek-praktek
awal Gereja Purba, serta penjelasan-penjelasannya dalm tulisan para Bapa Gereja. Sehingga
theologia Iman Kristen Orthodox bukanlah pendapat perorangan namun Iman segenap
Gereja itu sendiri, sikap yang mana tetap menjadi ciri khas dari Gereja Orthodox masakini
juga. Perorangan boleh menggunakan gaya dan caranya sendiri dalam menyampaikan iman
yang satu dan yang sama irtu, namun isinya adalah iman yang tak berbeda dari Iman yang
sejak zaman purba diimani Gereja sejak awal, dibela dan dijelaskan dalam Ketujuh Konsili,
serta dijabarkan oleh para Bapa Gereja dan dihidupi dalam perayaan-perayaan Ibadah dan
Liturgi Gereja.
Sementara itu di Kiev, Rusia, Kekristenan Orthodox terus berkembang. Pada tahun 1124
dilaporkan terjadi kebakaran 600 buah gedung Gereja, menunjukkan banyaknya gedung
Gereja saat itu, dan sekaligus perkembangan Kekristenan disitu. Rusia mewarisi theologia
dan liturgi yang sudah mapan dari sejarah Kekristenan me;lalui Byzantium dan seluruh iman
Gereja Purba tanpa dikurangi, diubah ataupun ditambah. Sehingga Iman Gereja Orthodox
Rusia ataupun Gereja Orthodox dimanapun adalah satu dan sama. Pada awal abad ini
Pangeran Vladimir Monomakhos menulis buku “Amanat Untuk Anak-Anakku” suatu
nasihat kepada anak-anaknya bagaimana seharusnya menjadi pemimpin Kristen.
Sementara itu Gereja Serbia pada tahun 1217 mendapat restu dari Konstantinopel untuk
menjadi Gereja mandiri melalui usaha Sava, dan pada tahun 1219 Sava sendiri diangkat
menjadi Episkop Agung yang pertama oleh Patriarkh Manuel dari Konstantinopel. Hal ini
terjadi setelah Kaisar Byzantium memberikan ummat Serbia kerajaan bagi mereka di tanah
asli mereka. Ini terjadi atas usaha pemimpin mereka Nemanya ( 1113-1199). Pada saat abad
dimana Gereja Serbia diakui sebagai Gereja mandiri, demikian pula Gereja Bulgaria, dengan
Episkop Agung dari Tvorno sebagai pemimpin Gereja Bulgaria.
Gereja Barat bersama dengan sentralisasi kepausan juga menyaksikan bangkitnya aliran
Victoria dari Theologia Agustinian yang dipimpin oleh Hugo (meninggal 1141) dan Richard
dari Santo Victor. Juga pada saat ini Petrus Lombardus menulis karyanya yang terkenal
“Kalimat-Kalimat”
28
b. Perang Salib Keempat dan Konsili Lyons
Abad ketiga belas diawali dengan apa yang dianggap sebagai peneguhan terakhir dari Skisma
Gereja Barat dengan Gereja Timur, yaitu peristiwa Perang Salib Keempat. Pada tahun 1204
Pasukan Salib Roma Katolik itu gagal menyerang Islam, mereka berbalik menyerbu
Konstantinopel. Kota Kristen itu dirampok habis-habisan. Mereka menghancurkan dan
mencuri benda-benda suci dari gereja-gereja. Mereka memporak-porandakan dan menajiskan
altar-altar (mezbah-mezbah). Banjir darah memenuhi Konstantinopel. Diperkirakan orang
Kristen Orthodox yang mati dalam Perang Salib Keempat di tangan ummat Latin ini jauh
lebih banyak dari ummat Islam yang mati di tangan mereka selama Perang Salib itu. Seorang
Kardinal Latin Thomas Morosini diangkat sebagai Patriarkh Konstantinople, sementara
Patriarkh yang sah diusir dalam pembuangan. Demikian juga seseorang bernama Frank
diangkat jadi kaisar, sementara bersama Patriarkh yang sah, Kaisar Konstantinopel melarikan
diri dari serbuan tadi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, orang-orang Latin Roma Katolik
dari Gereja Barat, menjadi musuh yang terang-terangan di dalam pikiran orang-orang Kristen
Orthodox di Timur. Tulisan-tulisan dari Gereja Orthodox saat ini mulai diarahkan untuk
menyerang Kepausan dan Gereja Latin Roma Katolik itu sendiri. Pemerintahan orang Latin
Roma Katolik di Konstantinopel berakhir sampai tahun 1261, ketika Kaisar Mikhael
Paleologos, berhasil merebut Konstantinopel kembali dari tangan ummat Roma Katolik
Latin itu, serta menempatkan kembali Patriarkh yang sah pada tempatnya.
Kaisar Mikhael III dalam situasi yang tak dapat ditahan karena dari Timur diserang Turki,
dan dia sendiri tak dapat menjamin bahwa Pasukan Salib dari Gereja Barat tidak akan
kembali menyerang lagi. Oleh karenanya, demi alasan politik, dia mengrim utusan para
Episkop menghadiri Konsili dari Gereja Barat di Lyons pada tahun 1274 dengan harapan
mendapatkan sympathy serta bantuan ekonomi dan militer bagi kerajaan yang hampir roboh
itu. Gereja Barat mengusulkan pada utusan-utusan Kaisar asal mau mengakui Paus di Roma
sebagai penguasa tertinggi, mereka boleh menjalankan tata-ibadah Timur milik mereka
sendiri, dan boleh tanpa menggunakan “filioque”, asal doktrin keluarnya Roh Kudus dari
“Bapa dan Putra” diakui, dan tidak disangkal sebagai bidat. Karena dalam keadaan terdesak
maka usulan Konsili itu diterima oleh para utusan Mikhael, yaitu: Paus di Roma adalah
Penguasa Tertingggi, “filioque” harus diterima – untuk yang pertama kalinya hal ini dituntut
dalam sejarah. Namun ternyata janji orang-orang barat itu kosong belaka. Mikhael tak pernah
mendapat bantuan apapun sampai matinya pada tahun 1282. Melihat fakta ini, maka akta
penyatuan Gereja di Lyons ini langsung ditolak oleh semua Episkop dari Timur, segera
setelah Mikhael meninggal. Karena dianggap menyalahi Iman Gereja dengan tindakannya itu,
maka Kaisar Mikhael meninggal tanpa diberikan upacara pemakaman secara Gerejani.
c. Gereja Rusia dan Gereja Barat
Sementara itu pada abad ketiga belas ini Rusia berada dibawah penyerbuan bangsa Mongol
pada tahun 1237 dan dijajah oleh kaum Tartar ini. Negara Kiev runtuh pada tahun 1240.
Pada tahun 1231 Alexander Nevsky menjadi Pangeran di Novgorod dan pada tahun 1240
berhasil memimpin bangsa Rusia memukul mundur orang-orang Roma katolik Swedia yang
menyerang Rusia. Dia juga berhasil mengadakan perundingan dengan Khan Batu, untuk
meringankan beban jajahan mereka atas rakyat Rusia, dia rela membayar upeti kepada orang
29
Mongol asalkan negaranya mendapatkan damai. Dia pulang dari Mongol dengan mendapat
gelar Pangeran Agung Kiev. Dia meninggal pada tahun 1263, dan diakui sebagai orang suci
Gereja karena kekudusan pribadinya, hikmat praktis, dan diplomasinya – yang semuanya itu
didedikasikan demu rakyatnya atas nama Kristus.
Abad ketiga belas ini di Gereja Barat disebut sebagai “abad paling agung.”. Karena Gereja
Barat mulai menemukan lagi keilmuan melalui terjemahan bahasa Latin dari bahasa Arab
karya-karya Kristen Timur yang telah diterjemahkan dari bahasa Yunani dan terjemahan
Syria oleh orang-orang Kristen Timur dalam daulat Islam seperti yang telah kita sebutkan
sebelumnya. Muncullah kegiatan “skolastikisme” yang menetukan arah theologi Gereja
Barat selanjutnya. Diantara tokoh-tokoh skolastis ini adalah Duns Scotus
serta Albertus Magnus dan muridnya Thomas Aquinas yang menulis “Summa
Theologia” yang menggunakan prinsip-prinsip logika dan filsafat daripada prinsip-prinsip
Alkitab, yang mendominasi theologi resmi Gereja Katolik Roma sampai Konsili Vatikan
Kedua pada paruhan terakhir abad keduapuluh. Disinilah yang membedakan cara berteologi
Gereja Orthodox dan Roma Katolik. Karena Gereja Orthodox tetap setia pada prinsip
theologia konsili, serta penjabaran para bapa gereja, yang dialami dalam liturgi, theologia yang
mana adalah iman am Gereja dan berlandaskan Alkitab, bukan filsafat.
d. Gregorios Palamas: Essensi (Dzat Hakekat) Allah dan Energi Allah
Pada abad keempat belas kita jumpai perdebatan theologia yang menarik di Gereja Timur,
sekitar theologia Aghios Gregorios Palamas. Dia adalah seorang rahib di Gunung Athos,
dimana praktek Doa Yesus : ‘Tuhan Yesus Kristus, Anak Allah, kasihanilah hamba orang
berdosa ini” dengan menyatukan pikiran dan hati melalui disiplin tubuh yang ketat. dan
berfokuskan pada “Nama Yesus” itu dilaksanakan. Sehingga mereka mengalami keteduhan
batin (“hesykhia”) tenggelam dalam hadirat Roh Kudus dalam penyatuan dengan Yesus
Kristus. Itulah sebabnya metode doa yang sampai sekarang tetap digunakan oleh ummat
Orthodox ini, disebut sebagai “hesykhasme” Banyak dari para rahib ini maupun ummat
awam Orthodox dalam pengalaman doa mereka secara demikian mengalami persekutuan
dan panunggalan yang nyata dengan Allah, termasuk mendapatkan penglihatan rohani akan
Terang Ilahi yang Tak Tercipta., seperti yang dilihat para murid ketika Yesus dimuliakan
diatas gunung. Pada tahun 1326 pengalaman melihat Terang Ilahi Tak Tercipta dalam
praktek Doa Yesus itu dikecam oleh Barlaam dari Kalabria, Itali. Dia adalah orang Yunani
namun yang mengikuti faham humanisme dari “renaissance” Gereja Barat yang
menggunakan filsafat dan ide theologia Barat dimana kemungkinan bagi manusia untuk
mengalami persekutuan dan pengalaman panunggalan dengan Allah itu disangkal. Kecaman
dari Barlaam ini dihadapi oleh Gregorios Palamas yang membela posisi Iman Kristen
Orthodox bahwa manusia dapat mengalami persekutuan dan panunggalan dengan Allah
secara sungguh-sungguh melalui Kristus dan oleh Roh Kudus di dalam Gereja. Suatu
Konsili padsa tahun 1346 mendukung pengajaran Gregorios Palamas ini. Dalam pengajaran
itu ditegaskan bahwa panunggalan yang dimaksud bukanlah panunggalan secara “pantheistis”
seperti yang diajarkan filsafat kafir, namun panunggalan secara Kristologis, Pnevmatologis
dan Ekklesiologis. Artinya oleh iman melalui baptisan kita manunggal dengan kematian dan
kebangkitan Kristus artinya manunggal dalam kehidupan Kristus sendiri. Hidup Kristus itu
disampaikan kepada manusia oleh Roh Kudus, dan pengalaman hidup Kristus, yang adalah
Hidup Allah sendiri, oleh Roh Kudus itu dialami dalam pengalaman sakramental, ibadah dan
30
doa dalam persekutuan Gereja. Dengan demikian kita mengalami hidup Allah tadi secara
nyata. Menyatu pada hidup Allah bukanlah menyatu pada “Essensi” ( Dzat-Hakekat)
Allah, sebagaimana yang diajarkan oleh filsafat “pantheisme” mistik, karena itu tidak
mungkin. Namun menyatu dengan tindakan, hadirat dan energi Allah yang memang tak
tercipta dan bersifat ilahi.( misalnya yang nampak dalam wujud terang ilahi tadi). Energienergi Ilahi ini disalurkan atau dikaruniakan kepada manusia melalui Rahmat Ilahi atau Kasih
Karunia Allah,dan terbuka bagi partisipasi, ma’rifat dan pengalaman manusia. Pada Konsili
yang diadakan pada tahun 1347 dan 1351 sekali posisi Gregorios Palamas ini diteguhkan
persis seperti yang diajarkan Alkitab dan Tradisi Theologis Gereja Orthodox sepanjang
segala abad. Sejak saat itu perbedaan theologis mengenai “Essensi, Supra-Essensi” (“Adi
Dzat-Hakekat”) dan “Energi-energi” Ilahi menjadi bagian resmi dari Doktrin Gereja
Orthodox.. Banyak orang karena tak mengerti posisi Iman Kristen Orthodox akan
perbedaan essensi dan energi ilahi ini menuduh Gereja Orthodox adalah Gereja Mistik,
dalam arti pantheisme, yang juga amat ditolak oleh Gereja Orthodox. Gereja Orthodox
adalah Gereja yang sangat kharismatis, dengan penekanannnya pada pengalaman Roh Kudus
oleh Energi Ilahi secara nyata, namun dengan corak yang amat berbeda sekali dari
penghayatan Gerakan Kharismatik modern. Sementara itu Kaisar Yohanes V Paleologos
masih mengharapkan bahwa Gereja Barat akan memberikan bantuan dari serangan Turki
yang makin mendesak itu. Dia mengadakan persekutuan dengan Gereja Roma tanpa ada
usaha untuk penyatuan secara resmi. Pada abad keempat belas ini Gereja Barat sendiri
sedang mengalami masalah internal. Pausnya ditawan di Avignon, dan ada tiga orang yang
menyatakan diri sebagai Paus. Inilah yang disebut “Skisma Besar” dalam Gereja Barat.
e. Situasi di Rusia, Serbia dan Bulgaria
Rusia bagian selatan masih dibawah penjajahan Tartar pada abad keempat belas ini, namun
bagian utara merdeka dari penjajahan dan dibawah pimpinan Pangeran Yohanes Kalita
sebagai bupati dan Metropolitan ( Episkop Agung yang Berkedudukan di Ibu Kota ) Alexis
sebagai pimpinan Gereja. Orang yang sangat berjasa bagi pembangunan Rusia utara ini
adalah Aghios Sergios Radonesh, yang lahir tahun 1314 dan menjadi rahib tahun 1334.
Dia hidup dalam segala kesederhanaan, melaksanakan puasa, tinggal dalam hutan, hidup
dalam doa yang mendalam. Akibatnya banyak orang yang menjadi muridnya, Sehingga hutan
itu menjadi perkampungan dan akhirnya berubah menjadi kota. Dia menjadi Bapa Rohani
dari Metropolitan Alexis. Dia dipenuhi karunia-karunia Roh Kudus: kesembuhan ilahi,
penglihatan-penglihatan yang luar biasa, serta mengetahui hati orang. Para pemimpin
nasional selalu mohon nasihatnya. Dan ketika pangeran Dimitri Donskoi akan mengusir
penjajah Tartar, dia diberkati oleh Aghios Sergios ini, sehingga dia mendapat kemenangan
dan membebaskan Rusia sekali dan untuk selamanya dari penjajahan Tartar. Pada saat yang
sama Aghios Stephanos dari Perm mengadakan penginjilan diantara suku-suku Zyria,
menterjemahkan kitab-kitab Gereja ke dalam bahasa mereka dengan menggunakan alfabet
yang diciptakannya untuk mereka. Usaha penginjilan ini akan menjadi fondasi bagi usaha
penginjilan selanjutnya dalam Gereja Orthodox Rusia baik di antara suku-suku Siberia,
Jepang, Alaska, maupun Korea.
Serbia mengalami perkembangan yang pesat dibawah pimpinan rajanya Stefanus Dushan
dan Gereja Serbia menjadi keptriarkhan mandiri pada tahun 1346. Sedangkan Gereja
31
Bulgaria dibawah pimpinan Aghios Klemen dari Ochrid dan pertapaan kerahiban
Zoografou bagi ummat Bulgaria dibangun di gunung Athos, Yunani.
f. Usaha Penyatuan Yang Terakhir: Konsili Ferrara-Florence
Menginjak abad kelima belas Gereja Barat sedang mengalami gejolak mengenai hubungan
antara Paus dan Konsili-Konsili Gereja. Ada yang mengatakan kuasa Paus berada diatas
Konsili-Konsili, ada yang mengatakan Konsili-Konsili diatas Paus. Salah satu Konsili Gereja
Barat pada saat ini, Ferrara –Florence (1438-1439) didukung para paus. Wakil-wakil Gereja
Timur ikut datang demi untuk meminta bantuan lagi dalam perjuangannya melawan Turki.
Yang ikut hadir dari Timur saat itu adalah Kaisar Yohanes VIII, dan Patriarkh Yosef dari
Konstantinopel dan Metropolitan dari Kiev, seorang Yunani bernama Isidoros
yang
diterima dalam “derajat yang sama” dengan kaum Latin. Meskipun dalam Konsili ini
diputuskan suatu doktrin yang sangat keras mengenai kekuasan Paus, “filioque” dan “api
penyucian”, Kaisar Byzantium amat tak perduli dengan ajaran dan theologia, asalkan dia
dibantu Gereja Barat melawan Turki melalui penyatuan dengan Gereja Barat. Semua
Episkop Orthodox mau menandatangani keputusan ini, kecuali Markus Evgenikus,
Episkop dari Efesus. Tiga keputusan doktrinal Konsili ini sangat berlawanan dengan ajaran
Orthodox mengenai kedudukan Paus, mengenai “filioque” dan sekaligus mengenai “api
penyucian” yang memang tak dipercayai adanya oleh Gereja Orthodox. Hasil usaha
penyatuan di Florence ini tidak diumumkan sampai tahun 1452 di Konstantinopel di Gereja
Aghia Sofia.
F. Zaman Penjajahan
IV.Jatuhnya Konstantinopel ke Tangan Turki (1453)
dan Masa Turkokratia (abad 15 s/d abad 19)
1.Orthodoxia di bawah Islam
Serangan pasukan Turki yang terus menerus, serta bantuan Gereja Barat yang selalu
diharapkan namun tak pernah terbukti itu, akhirnya dampaknya tak dapat dibendung lagi.
Dibawah pimpinan Sultan Muhammad II, pada tanggal 29 Mei 1453, pasukan Turki
Muslim berhasil menyerbu Konstantinopel dan menjebolnya. Konstantinopelpun jatuh ke
tangan Turki, dan ini menandai runtuhnya Kekaisaran Byzantium.. Dan Muhammad II
merebut kota itu serta menamakannya “Istanbul” sampai saat ini. Gereja Aghia Sophia
dijadikan Mesjid. Berturut-turut Serbia pada tahun 1459, Yunani pada tahun 1459-60, Bosnia
pada tahun 1463 (dimana banyak kaum “Bogomil” yang keluar dari Gereja itu akhirnya
menjadi Muslim), dan akhirnya Mesir pada tahun 1517, jatuh ke tangan Turki. Selama 400
tahun sesudah itu bangsa Turki Muslim menjajah ummat Kristen Orthodox di seluruh bekas
wilayah Kerajaan Byzantium. Inilah masa yang terkenal dalam sejarah Gereja Orthodox
sebagai masa "Turkokratia" atau masa “Kekuasan Penjajahan Turki”. Pada saat ini Patriarkh
Konstantinopel dalam keadaan yang sangat sulit, karena sekarang harus berada dibawah
kekuasaan Penguasa yang bukan Kristen. Dari waktu ke waktu Sultan yang berbeda-beda
32
memperlakukan para Patriarkh dengan cara yang berbeda-beda juga. Sering mereka dipecat
dan diganti sekendak Sultan, banyak diantaranya yang mati digantung tanpa sebab-sebab
yang jelas.. Tak jarang pula Sultan memperjual-belikan kedudukan Patriarkh ini bagi siapa
yang mau membayar paling mahal kepada Sultan. Patriarkh dijadikan sebagai “Ethnarkh”
yaitu pemimpin masyarakat Kristen Orthodox, yang harus menarik pajak pada ummat
Kristen yang ada di seluruh wilayah Turki. Ummat Kristen Orthodox dilarang menjadi
tentara, namun mereka ditarik pajak untuk hal itu. Mereka tidak diijinkan menjadi saksi
dalam pengadilan, serta tidak diperkenankan untuk mengajukan orang Muslim ke pengadilan.
Mereka dilarang membangun Gereja yang baru, hanya kadang-kadang dijinkan membangun
Gereja lama yang telah rusak. Mereka dilarang membangun rumah lebih tinggi dari rumahrumah kaum Muslimin, dilarang naik kuda yang hanya diperuntukkan bagi kaum Musliminm
saja, mereka hanya boleh naik keledai saja. Mereka harus mengenakan pakaian dan topi yang
berbeda dari Kaum muslimin. Dengan berlalunya waktu, anak-anak mereka banyak yang
diambil secara paksa oleh pemerintah untuk di-Islamkan dan dijadikan pasukan pemerintah
yang disebut “Jannisari”. Sering mereka menjadi korban amukan massa tanpa ada
perlindungan hukum, gereja-gereja mereka dirusak, atau rumah-rumah mereka diserbu.
Meskipun tidak selalu terjadi demikian. Ummat Kristen diijinkan murtad ke Islam dan akan
diberi prioritas-prioritas tertentu jika mereka melakukan, namun ummat Islam diancam
hukum mati jika sampai menjadi Kristen. Dan dalam keadaan semacam ini penginjjilan
sangat mustahil dilakukan. Memang ada disana-sini pertobatan dari Islam ke Iman Kristen
Orthodox, namun segera hal itu ketahuan orang tadi pasti akan dibunuh. Demikianlah situasi
Ummat Kristen Orthodox pada zaman Turkokratia Muslim ini.
Sesudah kejatuhan Konstantinopel itu hal yang pertama dilakukan oleh Patriarkh
Gennadios Skholarios adalah menolak akta penyatuan Florence. Dia dibawah tekanan
yang kuat dari Agios Markos dari Efesus dalam tindakannya ini. Aghios Markos adalah
pembela yang amat kokoh dari Iman Orthodox., dan menyebut usaha persatuan di Florence
itu sebagai “penyatuan fasik”. Demikianlah kejatuhan Byzantium tidak berarti kejatuhan
Orthodoxia. Biarpun secara manifestasi kesejarahan Gereja Orthodox mengalami
kegoncangan-kegoncangan, namun iman dan kehidupan Gerejawinya sama sekali tak
tersentuh oleh perubahan-perubahan luar ini. Imannya tetap utuh terlindungi asli dan murni
tanpa ada pengurangan ataupun penambahan, sejak zaman rasul sampai masa abad
keruntuhan Byzantium ini, dan bahkan sampai abad modern inipun.
2.Kerajaan Rusia Orthodox
Dengan jatuhnya Byzantium ke tangan kaum Muslimin, benih terbentuknya kekaisaran Rusia
mulai berakar di Moskow. Ivan III Yang Agung (1462-1505), Pangeran dari Moskow,
dapat mengalahkan Rusia utara dan menyatukan dengan daerah Rusia lainnya. Dia menikah
dengan puteri Sophia Paleologos dari Byzantium pada tahun 1472, serta menerima gelar
Tsar ( bentuk bahasa Slavia untuk kata “Kaisar”) dan mengambil alih lambang Garuda
Berkepala Dua dari Byzantium, serta menyebut Moskow sebagai Roma Ketiga ,
sebagaimana Konstantinopel disebut sebagai Roma Kedua (Roma Baru).
Di Rusia pada abad kelima belas ini terjadi permasalahan mengenai peranan Gereja dalam
kehidupan politik dan sosial dari bangsa itu. Kelompok “bukan pemilik” yang dipimpin
oleh Aghios Nilus dari Sora ( Nil Sorsky) mengajarkan bahwa Gereja terutama biara tak
33
boleh memiliki dan menguasai tanah yang luas, serta harus bebas dari pengaruh dan kendali
langsung dari pemerintah, demi semangat kemiskinan dan kerendahan hati. Sedangkan
kelompok “pemilik” yang dipimpin oleh Aghios Yosef dari Volotsk, sehingga kelompok
ini sering disebut “Yosefit”, mengajarkan bahwa Gereja dan negara harus memiliki
hubungan yang erat, dan bahwa Gereja harus melayani kebutuhan sosial dan politik dari
bangsa Rusia yang sedang muncul ini. Kedua pemimpin ini adalah sama-sama murid dari
Aghios Sergius dari Radonesh. Akhirnya meskipun semangat kaum “bukan pemilik “ itu
yang selalu tinggal dalam Orthodoxia di Rusia, namun cara kaum “pemilik” itulah yang
mendominasi kehidupan kegerejaan serta perkembangan kebangsaan pada abad-abad
berikutnya di Rusia.
Sementara itu di Gereja Barat pada abad kelima belas, penolakan pada kekuasaan Paus makin
keras, dalam wujud: 1. Gerakan Konsiliar dimana ada 3 Paus sekaligus pada saat yang sama.
2.munculnya kesadaran nasional bangsa-bangsa Eropa Barat 3. Munculnya gerakan-gerakan
agamawi yang menjadi awal Gerakan Reformasi Protestan. 4. Munculnya Gerakan
Renaissance, yaitu bangkitnya ketertarikan pada budaya klasik Romawi-Yunani.Tokoh-tokoh
gerakan ini adalah : Erasmus, Lenardo da Vinci, Raphael. Juga harus disebut Yohanes
Huss yang dibakar hidup-hidup karena perlawanannya terhadap Paus dan praktek-praktek
Gereja Roma pada tahun 1415. Demikian juga Savonarolapun dibakar hidup-hidup oleh
perintah paus pada tahun 1498 karena mengecam dan mengutuk kejahatan dan dosa-dosa
dalam Gereja.
3.Gerakan Reformasi Protestan dan Kontra Reformasi Roma
Katolik di Gereja Barat
Masuk ke dalam abad keenam belas di Gereja Barat kita menemukan Gerakan Reformasi
Protestan dan Kontra Reformasi Roma Katolik. Martin Luther, Yohanes Calvin dan
Ulrich Zwingli menyerang penyimpangan-penyimpangan praktek Gerreja Roma serta
pengajaran-pengajaran resminya. Pengaruh reformasi di daratan Eropa ini dibawa ke Inggris
sehingga Raja Henry VIII mendirikan Gereja Anglikan pada tahun 1534, dan John Knox
membawa ajaran Calvinisme ke Skotlandia.
Sebagai reaksinya Gereja Roma Katolik mengadakan Konsili di Trente ( 1561-1563) yang
secara resmi merumuskan doktrin khas Roma Katolik: Api Penyucian, Indulgensia,
Transubstansiasi, dan posisi-posisi lain yang diserang Protestantisme. Ajaran Protestan
berkisar sekitar: Pembenaran oleh Iman saja, Keselamatan oleh rahmat saja, serta dasar iman
dan kehidupan hanya Kitab Suci saja. Sakramen hanya dua saja: Baptisan dan Perjamuan
Kudus, yang utamanya dimegerti hanya sebagai simbol atau kenangan saja. Gereja Katolik
Roma lebih menegaskan lagi Keunggulan Kekuasan Paus serta kekuasaan hierarkhi yang juga
sangat ditentang kelompok Protestan.
Gerakan Kontra-Reformasi Roma Katolik terutama dipimpin oleh Ignatius dari Loyola
yang mendirikan Ordo Yesuit, untuk membela Sri Paus dan doktrin-doktrin yang telah
dirumuskan dalam Konsili Trente, dengan membantah ajaran Protestantisme sekaligus
menarik Ummat Orthodox untuk menyatu dengan Roma.. Demikian juga Fransiscus
Xaverius menyebarkan ajaran Katolik Roma itu sampai ke Asia (Timur Jauh). Pada saat ini
juga terjadi reformasi spiritual di dalam Gereja Roma Katolik yang dipimpim oleh Teresa
dari Avilla
34
Sementara itu Luther ingin mengadakan hubungan dengan Patriarkh Konstantinopel:
Yeremia II. Karena permusuhan yang ada antara pemerintah Turki dan pemerintah Jerman,
surat Luther dan terjemahan Pengakuan Augsburg ke dalam bahasa Yunani, baru sampai
kepada Patriarkh Yeremia di Konstantinopel dua tahun kemudian, ketika Luther sudah
meninggal. Namun korespondensi dilanjutkan antara Patriarkh Yeremia II dengan pakar
theologia Lutheran: Melanchton, Osiander dan beberapa orang yang lain Korespondensi itu
cukup lama dan panjang, namun akhirnya Patriarkh Yeremia meminta agar para pakar
theologia Lutheran itu menghentikan saja korespondensi itu, karena ketika diingatkan oleh
Patriarkh Yeremia bahwa beberapa ide dari Lutheranisme itu bersifat bidaah dan tak sesuai
dengan Iman Rasuliah Orthodox yang Katolik yang tetap dipertahankan oleh Gereja
Orthodox itu, mereka tetap mempertahankan diri. Maka korespondensipun berhenti sampai
disitu. ..
4. Masa Pemerintahan “Ivan Yang Mengerikan” di Rusia
Ivan Yang Mengerikan memerintah Rusia dengan tangan besi. Dia dengan kejam
menyiksa siapa saja yang berani mengecam atau mengkritik tindakannya, termasuk
diantaranya banyak rohaniwan Gereja yang menjadi korban kekejamannya. Dia ingin
membuktikan bahwa Rusia adalah sungguh Roma Ketiga dan berada diatas negera-negara
Orthodox yang lain. Bapak rohaninya sendiri Presbyter Sylvester dibuang dalam tawanan
olehnya. Ketika Ivan yang mengerikan ini turun takhta maka dia digantikan oleh anaknya:
Theodoros. Pada saat inilah Patriarkh dari Konstantinopel Yeremia II mengunjungi Rusia
untuk meminta bantuan karena kondisi tekanan yang dialami Gereja Konstantinopel
dibawah Turki. Pada saat kedatangannya inilah Episkop Ayub dari Moskow Patriarkh
segenap Rusia pada tahun 1589. Kedudukan Rusia sebagai Gereja Patriarkhat diakui oleh
Patriarkh Alexandria, Patriakh Antiokia dan Patriarkh Yerusalem pada tahun 1593.
Sementara itu di perbatasan sebelah barat Rusia Kerajaan Polandia-Lithuania mulai berdiri
dan mengambil banyak wilayah Rusia. Sehingga penduduk di daerah itu kebanyakan
beragama Kristen Orthodox. Sedangkan pemerintahannya sendiri beragama Katolik Roma.
Kaum Yesuit datang ketempat itu dengan membawa ilmu-ilmu dari Barat sehingga akibatnya
terjadilah apa yang disebut sebagai Persatuan Brest-Litovsk dengan menggunakan
persyaratan-persyaratan Konsili Florence sebagai landasannya. Ummat Orthodox yang
masuk dalam persatuan dengan Roma ini boleh menggunakan cara ibadah dan tradisi
Orthodox namun hierarkhinya dan ajarannya sama sekali harus tunduk pada Gereja Latin di
Roma. Mereka inilah yang akhirnya dikenal sebagai Gereja “Katolik Timur”, yaitu Gereja
Roma Katolik yang menggunakan Ritus dari Gereja Orthodox Timur, disamping itu mereka
juga disebut sebagai kaum “Uniat”. Gerakan uniatisme ini tentu saja mendapat perlawanan
sengit dari banyak orang. Perlawanan ini datangnya dari kaum awam yang membentuk
lembaga persaudaraan yang mendapat restu dari Patriarkh Yeremia dari Konstantinopel
untuk membela Iman Katolik yang Orthodox melawan usaha Gereja Roma Katolik ini.
Disamping kesulitan yang dihadapi oleh Gereja Orthodox dari pihak Roma Katolik, ummat
Orthodox juga menghadapi kesulitan dari Islam, dimana banyak ummat Orthodox yang
menjadi martyr bagi mereka yang hidup di wilayah Islam.
5. Masa-Masa Sulit di Rusia
35
a. Skisma Kaum Percaya Lama
Memasuki abad ketujuh belas Tsar Polandia yang baru saja dinobatkan menyerbu Rusia
ketika Rusia baru saja kehilangan pemimpinnya karena meninggal. Banyak pemimpin Rusia
ditawan dan dibunuh oleh pemerintah Polandia, termasuk Patriarkh Germogen
Kesulitan ini diikuti dengan Skisma Kaum Percaya Lama di Rusia sebelah Utara. Patriarkh
Nikon dari Moskow ingin mengadakan keseragaman dalam praktek-praktek Liturgis Gereja
Rusia agar seirama dengan seluruh Gereja Orthodox yang lain, Dia ingin mengkoreksi ulang
terjemahan-terjemahan buku-buku Liturgis yang ada. Dia juga ingin mengkoreksi cara orang
Orthodox Rusia selama ini membuat tanda salib dengan dua jari: ibu jari dan telunjuk saja,
harus dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dan hal-hal serupa itu yang lain.
Menurut ukuran kita saat ini, perubahan semacam itu hanya kecil saja artinya, namun dalam
mentalitas bangsa Rusia waktu itu, menyeragamkan praktek Rusia dengan praktek dari
wilayah-wilayah Patriarkh yang lain, berarti menyangkal kedudukan Rusia sebagai “Roma
Ketiga” karena harus tunduk pada patriarkh-patriarkh lain yang hidup dalam jajahan Islam,
sehingga pembaruan yang sifatnya kecil itu menjadi ledakan besar. Usaha untuk mencari jalan
tengah tidak berhasil, sehingga mereka yang menentang pembaharuan Nikon ini memisahkan
diri dari Gereja Resmi, dan tetap mempertahankan praktek-praktek ritual lama Gereja Rusia,
sehingga mereka disebut “Kaum Percaya Lama” atau “Kaum Ritualis Lama”. Nikon
sendiri dipecat dan dipenjara Kaisar karena berani mengingatkan kesalahan Kaisar di depan
umum, sedangkan pemimpin “Kaum Percaya Lama” dihukum mati oleh Kaisar. Teori
Moskow sebagai Roma Ketiga, serta teori keunggulan Rusia atas Patriarkh-patriakh yang
lainpun digugurkan. Pada tahun 1682 Kaisar Petrus yang Agung sangat ingin
menyeragamkan praktek-praktek Gereja Rusia dengan Gereja Barat, namun untung ada
Kaum Percaya Lama yang mempertahankan praktek-praktek Gereja Orthodox Rusia secara
murni, kalau tidak ada mereka, telah musnahlah ciri khas Gereja Rusia.
b. Gereja
Orthodox
(“Pseudomorphosis”)
Dalam
Tawanan
Pemikiran
Barat
Pada saat ini Seminari theologia di Kiev didirikan. Banyak pengaruh metode dan sistimatik
skolastikisme pemikiran Barat mempengaruhi Rusia pada saat ini akibat karya orang-orang
Yesuit.. Sementara itu di wilayah Islam, para pemimpin Orthodox tidak mempunyai
kesempatan memperkembangkan pemikiran theologisnya, karena mereka tak diijinkan
keluar dari daerah mereka ataupun membuat sekolah theologia mereka sendiri. Sehingga
masa ini Gereja Orhodox mengalami apa yang disebut “ Tawanan Pikiran Barat” atau
“Pseudomorphosis “ selama dua ratus tahun. Artinya Gereja Orthodox tidak dapat berpijak
pada theologia Orthodox yang otentik. Untuk melawan Katolik mereka menggunakan
argumentasi Protestan, misalnya : Patriarkh Kyrillos Lukaris dari Konstantinopel yang
sangat Calvinist, sehingga ajarannya ditolak Gereja sebelum dia meninggal ditenggelamkan
pemerintah Turki ke dalam laut, serta Petrus dari Moghila yang untuk melawan
Protestantisme menggunakan argumentasi Roma Katolik. Pada saat ini pemerintah Turki
menghapuskan kemandirian Gereja-Gereja Orthodox yang lain dan dipaksa tunduk kepada
kepatriarkhan Konstantinopel di Turki agar mudah pengawasannya.
36
Eropa baru saja pulih dari kekacauan agama akibat reformasi-kontra reformasi. Amerika
sudah ditemukan dan banyak pengikut aliran baru akibat Reformasi Protestan mulai
bertempat tinggal disana: Baptis, Quaker, Puritan, Konggregasionalis, dan lain-lain.
Perpecahan dalam denominasi-denominasi terus terjadi dalam tubuh Protestantisme.
6. Masa pemerintahan Petrus Yang Agung di Rusia
a. Di wilayah Turki
Ummat Orthodox yang ada di wilayah Islam pada abad kedelapan belas mengalami banyak
sekali kesulitan. Sehingga dalam waktu 73 tahun di abad ini tahta kepatriarkhan
Konstantinopel digantikan oleh patriarkh-patriarkh sebanyak 48 kali. Ini menunjukkan
kondisi yang mengenaskan dari ummat Kristen yang hidup dibawah pemerintahan Turki. Ini
adalah saat yang paling pekat bagi ummat Kristen Orthodox. Namun ditengah situasi seperti
ini tak berarti Gereja tak memiliki viatalitas dan kebenaranian untukl bersaksi. Muncullah
Aghios Kosmas Aitolos seorang misionari yang sangat berani ditengah situasi yang hampir
mustahil itu. Dia meninggalkan biaranya di Gunung Athos untuk mengajar Injil kepada
ummat yang sedang teraniaya itu. Dia adalah pengkhotbah dan guru serta pelaku mukjizat.
Akhirnya apa yang dilakukan itu harus ditebus dengan nyawanya sendiri dengan dibunuh
sebagai martyr di tangan orang-orang Turki. Aghios Makarios dari Korintus adalah
pengkotbah dan missionari sekaligus, yang diangkat menjadi Episkop di Korintus. Dia
mentobatkan banyak orang yang sedang dalam tekanan pemerintah yang memusuhi agama
mereka itu. Aghios Nikodemas dari Gunung Athos, adalah orang yang bertanggungjawab bagi kebangunan rohani diantara ummat Orthodox ditengah-tengah jajahan Turki itu.
b. Situasi di Rusia: Sinode Suci yang Memerintah
Masa dalam “Tawanan Pikiran Barat” yang sangat skolastis itu masih mendominasi Rusia,
terutama dalam diri Tsar Petrus yang Agung. Dia ingin membuat Gereja Orthodox Rusia itu
menjadi seperti Gereja Lutheran di Jerman, sehingga dia memecat Patriarkh serta
membubarkan sistim kepatriarkhan dan menggantikannya dengan sistim synode, yang
disebutnya :Synode Suci yang memerintah., yang dirancang oleh
Theophan
Prokopovich yang sangat Pro-Protestan. Synode Suci ini terdiri dari dari para Episkop,.
Para Presbyter, serta orang-orang awam yang ditunjuk oleh Kaisar dan harus tunduk kepada
Kaisar sebagai pimpinan duniawinya. Ini adalah masa yang paling sulit bagi Gereja Rusia.
Sistim “Synode Suci” yang sangat tidak Orthodox ini baru dibubarkan pada tahun 1918
(terlalu terlambat karena Revolusi Bolshevik sudah terjadi dan pemerintah Komunis sudah
berkuasa) ketika seorang Patriarkh dipilih lagi untuk Gereja Rusia. Orang yang ditunjuk oleh
Petrus Yang Agung menjadi pemimpin pertama dari Synode Suci ini adalah Stefan
Iavorskii, yang sangat Pro-Roma Katolik. Itulah sebabnya ummat Orthodox baik yang
dibawah Islam atau di Rusia terbagi menjadi Pro-Roma atau Pro-Protestan, dan harus
membela salah satu dari kedua posisi yang asing dari Tradisi Theologia Orthodox sendiri itu.
Tradisi Gereja Orthodox yang hidup hampir tak dikenal oleh situasi sejarah yang demikian
ini. Orthodoxia betul-betul sedang dalam “Tawanan Pikiran Barat” dan theologinya betulbetul sedang mengalami “Pseudomorphosis” (“Perubahan Bentuk yang Palsu”). Namun
suatu gerakan pembaharuan rohani yang otentik Orthodox sudah mulai juga pada abad yang
dekaden bagi Gereja Orthodox ini. Ini mulai dengan ditemukannya lagi untuk pertama kali
37
sumber tradisional Iman dan spiritualitas Orthodox diantara lingkungan kaum rahib. Paisii
Velikovskii (wafat 1794), seorang rahib dari Moldavia, pergi ke Gunung Athos, dan pulang
membawa kitab “Philokalia”, yaitu kumpulan tulisan-tulisan spiritual dan theologis dari
para Bapa Gereja Timur, yang diterjemahkannya ke dalam bahasa Rusia. Dari sinilah secara
pelan-pelan pemikiran yang otentik Orthodox mulai ditemukan kembali oleh Gereja.
Pimpinan Gereja Rusia yang terkenal pada abad kedelapan belas ini Platon dari Moskow ,
pengarang banyak buku theologia, pendukung studi kesejarahan, serta perancang rencana
yang membuat kembalinya Kaum Percaya Lama bersekutu dengan Gereja Orthodox..
Pada abad keselapan belas ini missionari Rusia mulai menyebarang Siberia ke Alaska,
terutama Aghios Herman yang mentobatkan suku-suku Eskimo di Kutub Utara kepada
Iman Kristen Orthodox, yang tetap menjadi iman mereka sampai kini.
c. Gereja Barat
Abad kedelapan belas adalah abad kebangunan rohani dan perluasan misi bagi Gereja Barat.
Yohanes Wesley memulai Gerakan Methodisme di Inggris, dan dibawanya ke Amerika
sampai mempengaruhi “Kebangunan Besar” di Amerika, yang merobohkan tembok-tembok
pemisah diantara kaum Protestan, dan menjadi sumber theologia Evangelikal (Injili)
nantinya. Jonathan Edwards (wafat.1758) dan George Whitefield (wafat 1770) pemimpin
dai Gerakan Kebangunan Rohani Protestan ini. Namun pada saat ini juga semangat
pencerahan dan romantisisme juga telah masuk ke dalam masyarakat Barat yang akan
menjadi sumber bagi theologia liberal dalam kalangan ummat Protestan dan juga Katolik
Roma. David Hume, Immanuel Kant, dan Frederich Schleimacher muncul pada saat
ini pula Gereja Roma Katolik pada abad kedelapan belas mengalami gerakan misioner yang
amat besar namun juga konflik dengan semangat pencerahan.
7. Kebangunan Rohani dan Gerakan Misi Gereja Orthodox
Rusia
a.Kebangunan Rohani
Masuk kedalam abad kesembilan belas, kita masih menjumpai Gereja Rusia tetap dibawah
tekanan pemerintah dengan Synode Suci yang dipaksakan ke dalam Gereja Orthodox itu.
Inilah penyebab kelumpuhan Gereja sehingga tak mampu menghadapi Komunisme ketika
itu muncul di Rusia, serta salah satu penyebab kejatuhan Rusia ke tangan Komunis nantinya.
. Gereja sangat dikendalikan dan disensor dengan ketat oleh pemerintah, dimana Patriarkh
tak dimilikinya, konsili-konsili Gereja tak pernah dilakukannya. Namun benih kebangunan
rohani yang sudah mulai ditanamkan pada abad ke delapan belas itu mulai menghasilkan
buah pada abad kesembilan belas ini. Pada saat ini muncullah seorang tokoh luar biasa
Aghios Serafim dari Sarov ( wafat 1833). Dia adalah seorang rahib yang selama 20 tahun
tinggal tersembunyi dalam hutan tenggelam dalam doa yang mendalam (terutama Doa
Yesus), puasa, dan disiplin-disiplin rohani. Pada tahun 1825 dia keluar dari pertapaannya, dan
disitulah kebangunan rohani di mulai. Ribuan orang datang untuk dijamah olehnya, dan
ribuan orang disembuhkan. Dia mengetahui masalah orang sebelum diberi tahu. Disaksikan
oleh muridnya:Motovilov, badannya mengeluarkan sinar terang yang menyilaukan seperti
38
yang terjadi ketika Yesus dimuliakan diatas gunung. Ini meneguhkan kembali apa yang telah
dibela oleh Aghios Gregorius Palamas mengenai “Pengalaman Energi Ilahi” yang telah
dinyatakan sebagai bagian dari ajaran resmi Gereja Orthodox. Aghios Serafim mengajarkan
bahwa tujuan hidup Kristen adalah untuk mendapatkan Roh Kudus dan tenggelam di
dalamnya, dan kalau Tuhan karuniakan sampai mengalami “Terang Tak Tercipta” seperti
yang dialaminya itu. Disamping Aghios Serafim dari Sarov, tokoh pembaharuan dan
kebangunan rohani Orthodox di Rusia adalah para tetua rohani dari Pertapaan Kerahiban
Optina. Kebangunan rohani dalam Gereja Orthodox selalu terkait dengan kehidupan
penyangkalan diri dan praketk Doa Batin: Doa Yesus. Yang terkait dengan hal ini adalah
pengalaman-pengalaman energi ilahi dalam mukjizat-mukjizat, kesembuhan-kesembuhan,
karunia pembeda-bedaan roh, karunia pemberitahuan hal sebelum terjadi dan terutama
munculnya para “tetua rohani” yang memiliki karunia mengetahui isi hati seseorang (
“staretz” “yeronda”) , serta pengudusan kehidupan. Tokoh lain dalam gerakan kebangunan
rohani Orthodox pada saat ini adalah: Episkop-Rahib Ignatii Brianchaninoff (wafat
1867) serta Theophan Sang Penyendiri (wafat 1867) yang menulis masalah-masalah
rohani yang berjilid-jilid banyaknya. Juga munculnya suatu buku populaer mengenai “Doa
Yesus” oleh seorang penulis Rusia yang tak dikenal namanya : “ Jalan Si Pengembara”
(Di Indonesia telah diterjemahkan oleh Gereja Roma Katolik dari Yayasan Kanisius, dengan
judul “Doa Tak Kunjung Putus”). Tokoh lain dari masa kebangunan rohani abad kesembilan
belas di Rusia ini adalah seorang presbyter yang menikah : Romo Yohanes Sergieff dari
Kronstadt ( wafat.1908). Dengan isterinya sendiri dia membuat rumahnya sebagai pertapaan,
mereka berdua telah berjanji untuk hidup sebagai rahib dan rahibah dan mengubah
kehidupan rumah tangga mereka menjadi kehidupan untuk Kristus. Romo Yohanes ini
sangat terkenal sebagai seorang gembala Gereja. Dia berkhotbah.mengajar, dan
menyembuhkan banyak orang melalui doa-doanya. Dia menekankan perlunya ambil bagian
dalam Perjamuan Kudus sesering mungkin, serta mengikuti Sakramen Pengakuan Dosa
sesering mungkin.Buku bimbingan rohaninya yang amat terkenal adalah :” Hidupku di
dalam Kristus” .
Disamping di bidang rohani, di bidang theologipun Gereja Orthodox pada abad kesembilan
belas ini mengalami kebangunan. Tokoh-tokoh kebangunan theologia pada saat ini adalah
Metropolitan Filaret dari Moskow ( wafat 1867), serta pakar theologia awam : Alexei
Khomiakov (wafat 1860) yang karya-karya tulisnya - misalnya buku yang terkenal “Gereja
Adalah Satu” - aslinya tidak diterbitkan di Rusia karena sensor pemerintah. Dia adalah
salah satu dari tokoh-tokoh pemikir original yang menemukan kembali sumber otentik
theologia Orthodox dari Iman Konsiliar dan Para Bapa Gereja Purba, serta Kehidupan
Sakramental Gereja, dan melepaskan Theologia Orthodox dari “Tawanan Pemikiran Barat”
yang berlandaskan pada kategori theologia Agustinian dan metode Skolastikisme, baik yang
Roma Katolik ( sebagaimana yang dijabarkan oleh Thomas Aquinas) maupun yang Protestan
( sebagaimana yang dijabarkan oleh Luther dan Calvin, yang metode dan kategori
pemikirannya menjadi pijakan semua bentuk aliran dan theologia Protestan selanjutnya ).
Sejak saat itu sampai kini Gereja Orthodox telah menemukan kembali jati dirinya dan
berpijak kembali kepada Ajaran Rasuliah yang Orthodox dan Katolik dari Gereja Purba, dan
lepas dari “Tawanan Pemikiran Barat” dan dari penampakan palsu “Pseudomorphosis” itu.
c. Gerakan Misi
39
Banyak orang Kristen Non-Orthodox menuduh Gereja Orthodox tidak pernah mengadakan
misi keluar, dan hanya terkungkung dalam faham “mistik” dalam lingkup dirinya sendiri saja.
Entah apa pula yang dimaksud mereka dengan “mistik” Gereja Orthodox ini. Namun
mengenai tuduhan Gereja Orthodox tak pernah melakukan misi itu hanyalah karena ketidaktahuan sejarah Gereja Orthodox sejak zaman Purba, zaman Konsili pertama oleh Ulfilas,
pertobatan Eropa Timur dan Rusia, bahkan ditengah-tengah tekanan Islam, serta karya
Gereja Rusia yang sedang kita bahas ini. Sebagaimana di Gereja Barat, abad kesembilan
belas di Rusia adalah juga abad kegiatan misioner. Presbyter Makarii Glukharev (wafat
1847) mendedikasikan dirinya bagi penginjilan suku-suku di Siberia. Dosen awam, Nikolai
Ilminskii ( wafat 1891) menterjemahkan Alkitab dan buku-buku Gereja ke dalam bahasa
suku-suku ini. Akademi Theologia yang didirikan di Kazan menjadi pusat kegiatan misioner
dari Gereja Rusia. Pada saat ini, Episkop Nikolas Kasatkin dari Tokyo (wafat 1912)
mentobatkan beribu-ribu orang Jepang kepada Iman Orthodox, dan pada saat meninggalnya,
dia telah meninggalkan suatu gereja lokal yang mandiri ( sekarang Katedralnya “Nikolai-Do”
ada di Tokyo), dengan Kitab Suci dan buku-buku Gereja dalam bahasa setempat dengan
presbyter-presbyter orang-orang setempat. Aghios Herman yang telah kita sebutkan besama
Romo Yohanes Veniaminoff juga mengabarkan Injil kepada suku Eskimo: Aleut dan
meinggalkan orang-orang Eskimo mayoritasnya adalah pemeluk Iman Orthodox sampai kini.
Pada saat ini pula banyak ummat Orthodox yang pindah dari tanah asli mereka untuk tinggal
di negara-negara yang lebih bebas, terutama Amerika Serikat, Australia, Eropa Barat,
Amerika Latin dan New Zealand. Mereka inilah yang akan menjadi penggerak misi Gereja
Orthodox pada abad kedua puluh nanti.
d. Masa Turkokratia Berakhir
Secara theologia selama dua ratus tahun Gereja Orthodox dalam “Tawanan Pikiran Barat”
dan akhirnya dapat melepaskan diri pada abad kesembilan belas. Demikian pula masa
Turkokratia selama empat ratus tahun itu berakhir pula pada abad kesembilan belas ini. Pada
abad ini sejumlah besar ummat Orthodox dapat merebut kemerdekaan mereka dari jajahan
Turki Muslim. Perjuangan kemerdekaan Yunani pada tahun 1821 menyebabkan Patriarkh
Gregorius dari Konstantinopel mati digantung pemerintah Turki. Sesudah Yunani merdeka
menjadi negara mandiri, maka status mandiri dari Gereja Yunani diproklamasikan pada tahun
1833, dan diteguhkan oleh Konstantinopel pada tahun 1850. Sekolah theologia Halki di
Konstantinopel didirikan, yang darinya, Theologia Otentik Orthodox disebarkan dan
diajarkan kembali, seta banyak para pemimpin Orthodox dihasilkan oleh sekolah ini. Namun
pada tahun 1970an ditutup lagi oleh pemerintah Turki sampai sekarang belum boleh dibuka.
Gereja umania dan Srrbia serta Bulgariapun memperoleh status mendiri pada saat ini.
e. Gereja Barat
Pada abad kesembilan belas kita menemukan Protestantisme sedang mengalami konflik
antara aliran theologia liberal dan Neo-Orthodoxy dengan kaum Konservatif, Evangelikal
dan Fundamentalis. Sedangkan dalam Gereja Roma Katolik, pada awal abad ini dicanangkan
Dogma Roma Katolik “Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal” oleh Paus Pius IX, tahun
1854. Sedangkan pada tahun 1870, Konsili Vatikan I, menegaskan doktrin “Paus Tak dapat
Salah”, suatu doktrin yang makin menjauhkan Gereja Roma Katolik dari Gereja Orthodox.
Pada tahun 1848 menanggapi sindiran-sindiran Paus Pius IX yang ditujukan kepada Gereja
40
Orthodox termasuk kedua doktrin baru yang dicanangkan oleh Gereja Roma Katolik, namun
yang tak dapat diterima oleh Gereja Orthodox itu, maka para Patriarkh dari Timur
mengeluarkan Surat Edaran yang menegaskan Sifat Konsiliar dari Gereja Orthodox.
G. Zaman Modern ( Abad 20-21)
V. Gereja Orthodox Masakini
a.Situasi Gereja Orthodox dalam Diaspora
Ada banyak hal terjadi selama abad kedua puluh dalam Gereja Orthodox. Terutama
perpindahan ummat Orthodox dari negera asli masing-masing ke daerah-daerah yang telah
kita sebutkan diatas. Sehingga terbentuk kelompok-kelompok ummat Orthodox yang
berkumpul atas dasar kebangsaan. Dan mereka ini loyal kepada patriarkhat asal mereka
masing-masing, sehingga terbnentuklah yurisdiksi-yurisdiksi yang bermacam-macam sesuai
dengan asal negara mereka. Situasi ini sangat tidak sesuai dengan hukum Kanon. Namun di
Amerika untuk mengatasi kekacauan yuridiksi ini diadakan persekutuan para Episkop
Orthodox yang disebut “SCOBA” untuk pada akhirnya nanti membentuk satu Gereja
Othodox Amerika. Keepiskopan Orthodox Yunani, membentuk suatu “ Pusat Misi
Orthodox” yang sekarang telah menjadi milik bersama dari semua Gereja Orthodox yang
ada di Amerika. Gereja di Yunani juga telah memiliki beberapa badan misi, dan yang
terutama adalah “Apotosliki Diakonia” ( Pelayanan Apostolik) yang juga merupakan badan
misi Gereja Orthodox.
Pada tahun 1917 Rusia jatuh ke tangan Komunis, dan beribu-ribu pemimpin Orthodox yang
dibunuh, dipenjarakan atau dibuang. Berjuta-juta ummat Orthodox mati dianiaya oleh
propaganda atheisme di Rusia dan Eropa Timur. Namun pada tahun 1988 ketika Presiden
Mikhael Gorbachev mencanangkan glasnots dan peretroiska, komunisme runtuh dan Gereja
mengalami kebangkitan dan vitalitas kembali di Rusia.
Pada tahun 1920 Patriarkh Ekumenis mengeluarkan Surat Edaran untuk segenap ummat
Kristen mengadakan kerjasama. Dari situlah Gereja Orthodox akhirnya bersama GerejaGereja Protestan membentuk Dewan Gereja –Gereja seDunia.
b.Misi Gereja Orthodox
1. Di Benua Afrika
Pada tahun 1960 ada sekelompok orang Kristen kulit hitam Afrika yang membentuk suatu
denominasi baru yang disebut “Gereja Orthodox Afrika.” Dengan berlalunya waktu mereka
mengetahui bahwa Gereja Orthodox yang sebenarnya itu masih ada di Alexandria. Lalu
mereka menemui Patriarkh Alexandria Kalsedon ( bukan Koptik ) dan menginginkan untuk
menggabung dengan Gereja Orthodox. Dari permulaan awal inilah, sampai sekarang misi
Gereja Orthodox mengalami kemajuan pesat di Uganda, Kenya, Tanzania, Kameroon, dan
41
banyak daerah Afrika lainnya termasuk Afrika Selatan. Dua orang Episkop Orthodox Kulit
Hitam telah ditahbiskan sejak saat itu, dan presbyter-presbyter adalah orang lokal dengan
liturgi dalam bahasa lokal.
2. Amerika, Eropa dan Inggris
Perkembangan Gereja Orthodox di wilayah barat ini, tak lepas dari kehadiran ummat
Orthodox Diaspora yang ada di negara-negara itu. Namun baru mulai mengalami kemajuan
pesat ketika 2000 orang mantan pendeta Injili beserta ummatnya menemukan kembali Iman
Orthodox itu, sehingga banyak orang-orang Barat non-etnik Orthodox dari segala macam
latar-belakang yang sekarang mencari Gereja Orthodox dan dengan giat menyebarkan Iman
Orthodox disitu. Tokoh-tokoh terkenal Gerakan ini adalah :Peter Gilquist, Gordon Walker
dan lain-lain di Amerika, Sedangkan di Eropa dan Inggris tokoh terkenal terutama adalah
:Michael Harper, seorang mantan Imam Gereja Anglikan dan tokoh Kharismatik
Internasional.
3. Asia
Gereja Orthodox Jepang sudah kita singgung sejarahnya. Gereja Orthodox Korea, pada
mulanya adalah misi Gereja Rusia juga, namun ketika Rusia berperang dengan Jeang dan
Jepang dikuasai Korea, semua milik Gereja Orthodox disita pemerintah Jepang. Ketika
Korea merdeka milik Jepang jadi milik pemerintah Korea. Banyak ummat Orthodox yang
meninggalkan Gereja, namun masih ada sedikit yang bertahan. Ketika Perang Korea Utara
dan Selatan tahun 1950an, tentara perdamaian PBB dikirim ke Korea. Diantara mereka
adalah tentara Yunani. Ummat Orthodox Korea yang masih sisa itu mendekati pasukan
Yunani inimenceritakan keadaan mereka. Hal itu dilaporkan ke Yunani, dan sejak saat itu
Gereja Orthodox Korea berada dalam wilayah Patriarkh Konstantinopel sampai sekarang.
India disamping memiliki Gereja Syria Monofisit (Oriental Orthodox) di sebelah Barat pantai
India, juga memiliki Misi yang dilakukan oleh Gereja Orthodox Kalsedonia di daerah
Kalkuta. Ini juga berada di bawah Konstantinopel Demikian juga Gereja Orthodox Filipina.
Untuk tujuan perkembangan misi di Asia, Patriarkh Konstantinopel`membagi Keepiskopan
Agung Australia menjadi dua: Keepiskopan Agung New Zealand untuk Asia Pasifik dan
Keepiskopan Agung Australia sendiri untuk benua Australia.
5. Indonesia
a. Masa Sebelum GOI
Sudah kita sebutkan bahwa Gereja Timur dari Persia telah hadir di Indonesia pada abad
ketujuh di Pancur dan Barus, bahkan di Majapahit. Kisah mereka itu tidak ada kelanjutannya.
Sejak zaman Belanda dan terutama pada tahun 1950an terdapat pula Gereja Timur,
meskipun itu adalah Gereja Orthodox Oriental Armenia di Jakarta, namun dari anggotaanggotanya di dalamnya terdapat juga orang-orang Yunani. Mereka memiliki Gereja di Jalan
Thamrin sekarang dan telah dibongkar menjadi Bank Indonesia pada tahun 1960an ketika
zaman penerintahan Orde Lama., dan di Surabaya di Jalan Pacar 6, yang telah dibeli oleh
komunitas Kristen Protestan, etnis Tionghoa.. Namun ketika terjadi pemberontakan G-30-S
42
banyak mereka ini yang meninggalkan Indonesia pindah ke negara lain, dan sejak saat itu
komunitas Armenia ini tak ada lagi di Indonesia.
b.Munculnya GOI (Gereja Orthodox Indonesia)
Gereja Orthodox Indonesia bermula dengan perjumpaan seorang pemuda yang masih
duduk di bangku SMA dengan Kristus pada hampir pertengahan tahun 1970an. Pada saat
pertobatannya dia belum begitu banyak tahu tentang perbedaan macam-macam aliran
Gereja. Pada pertengahan tahun 1970an dia berkecimpung aktif dalam gerakan kharismatik.
Namun dia mulai menyadari perbedaan-perbedaan yang ada antara mereka yang nonkharismatis dan yang kharismatis. Demikian juga perbedaan yang ada antara beberapa
macam aliran Gereja, terutama perbedaan menyolok antara Katolik dan Protestan. Dia mulai
meragukan pilihannya sendiri, disamping mulai rindu akan cara-cara ibadah yang teratur. Dia
ketemukan dalam Alkitab ada puasa, sembahyang dengan sujud dan lain-lain. Dia ingin
mencari Gereja seperti diceritakan dalam Alkitab itu. Dia ingin tahu asal mula Gereja, dan
keberadaan Gereja Purba. Pada tahun 1978 dia pergi ke Korea untuk belajar theologia.
Disana selama kuliah pergumulannya belum selesai, namun pada awal tahun 1982 dia
membaca buku tentang “Gereja Orthodox” dan menemukan jawaban pergumulannya. Dia
mengunjungi Gereja Orthodox Korea. Singkat cerita pada tanggal 6 September 1983 dia
telah diterima menjadi anggota Gereja Orthodox satu-satunya dan yang pertama dari
Indonesia, dengan restu langsung dari Patriarkh Konstantinopel. Dari Korea pergi ke Yunani
terutama banyak di Gunung Athos. Disitu mulai mengadakan korespondensi dengan
saudara-sudara di Indonesia.Sehingga beberapa orang tertarik akan Iman Orthodox. Dari
Yunani pergi ke Amerika melanjutkan kuliah di Holy Cross Greek Orthodox School of
Theology. Dari situ ia melanjutkan kuliah di Ohio State University mengambil bidang study
Anthropology Budaya namun juga pada saat yang bersamaan mengambil doktorat untuk
bidang Religious Study di “Bethany Theological Seminary”, Dothan, Alabama. Setelah
ditahbiskan di Amerika oleh Episkop Maximos dari Pittsburgh, PA, dia kembali ke Indonesia
sebagai Presbyter Daniel Bambang Dwi Byantoro (penulis buku ini)pada tanggal 8 Juni 1988.
Ia mulai pelayanannya di Mojokerto, namun kemudian pindah ke Solo. Di Solo ia
mendirikan Yayasan “Suara Dharma Tuhu” sebagai wadhah pelayannanya, kemudian diubah
menjadi “Yayasan Orthodox Injili.’ Sedangkan ketika di Amerika melalui korespendensi tadi,
orang-orang yang tertarik kepada Iman Kristen Orthodox itu diundang ke Amerika dan
diterima sebagai anggota Gereja Orthodox disana melalui Sakramen Krisma, serta
melanjutkan kuliah theologia dan akhirnya mereka semua ditahbis sebagai presbyter dan
sekarang sudah melayani di Indonesia: Presbyter Yohanes melayani di Surabaya dan Krian,
Presbyter Lazarus melayani daerah Jogya dan Cilacap, Presbyter Matius membantu Romo
Daniel di Jakarta. Disamping itu ada presbyter yang dididik di Korea: prebyter Methodios
melayani daerah Boyolali, Presbyter Alexios melayani daerah Solo, Diaken Panteleimon
melayani daerah Mojokerto. Yayasan Dharma Tuhu, yang kemudian diubah menjadi
Yayasan Orthodox Injili Indonesia di Solo sebagai awal Presbyter Daniel memulai karya
misinya itu,.tugas utamanya adalah menterjemahkan semua buku-buku liturgis Gereja ke
dalam bahasa Indonesia disamping tugas penginjilan. Di Solo Presbyter Daniel dibantu oleh
beberapa orang termasuk yang sekarang menjadi Presbyter Chrysostomos (Manalu), yang
sesudah selesai kuliah di Yunani, dan melayani selama dua tahun di New Zealand, kini
melayani untuk daerah Medan dan Tarutung. Sedangkan di Singaraja dan Denpasar , Bali,
dilayani oleh Romo Stefanus yang juga telah menyelesaikan pendidikannya di Amerika.
Tahun 1989 adalah pembaptisan pertama kepada Iman Orthodox dari orang-orang yang
43
tertarik kepada iman Orthodox ini. Mulai dari saat itulah Gereja berkembang secara pelanpelan di Solo, sampai kini telah memiliki Gedung Gereja yang permanen. Sejak semula usaha
untuk mendaftarkan ke Departemen Agama dilakukan. Pada tahun 1991 secara resmi Gereja
Orthodox Indonesia yang berpusat di Solo telah di daftar di Departemen Agama
Pusat,.dengan Keputusan No: 189/th.1991, dan diperbarui lagi dengan nomor :
F/Dep.Kep./ Hk 005/ 19/637/ 1996 Tanggal 12 Maret 1996. Dari tahun 1989 s/d 1996
Gereja Orthodox Indonesia berada dalam wilayah Keepiskopan Agung New Zealand.
Namun pada bulan Agustus 1996 Patriarkh Bartholomeus I pengganti ke 269 dari Rasul
Andreas, berkunjung ke Hong Kong, dan Keepiskopan New Zealand dibagi dua. New
Zealand hanya untuk Korea, Jepang dan Pasifik, sedangkan Hong Kong untuk Cina Raya
dan Asia Tenggara dan bertanggung jawab untuk Indonesia atas nama Konstantinopel..
Episkop Agung Hong Kong yang sekarang adalah Metropolitan Nikitas Lulias. Gereja
Orthodox Indonesia sekarang (tahun 2000) memiliki 7 presbyter Indonesia asli, dua orang
diaken, seperti yang telah kita sebut diatas. Sedangkan Diaken Gabriel Raul masih sedang
belajar di Amerika. Masih ada empat orang lagi pemuda Orthodox yang sedang belajar di luar
negeri: Timotheos dan Margaretha di Athena, Yunani, Gregorios Eko di Tesalonika serta
Yosua Waluyo Utamo di Amerika Serikat. Gereja Orthodox di Jakarta tadinya mengadakan
pertemuannya sekali sebulan di Kedutaan Yunani. Kemudian ada perkembangan baru
dimana pada tanggal 18 April 1997 diadakan baptisan yang menandai terbentuknya jemaat
Gereja Orthodox di Jakarta. Pada tanggal 5 Oktober 1997 secara resmi Jemaat lokal
(paroikia) Gereja Orthodox ini diberi nama “Aghia Epiphania” suatu nama yang diberikan
oleh Episkop sendiri. Sambil menunggu dibangunnya “Orthodox Christian Center” di tanah
milik Gereja di Cinere, saat ini Gereja Orthodox beribadah tiap minggunya di rumah Bapak
Roy Martin. . Pada tahun 1994 Presbyter Daniel diangkat sebagai “Arkhimandrit” ( gelar
jenjang tertinggi untuk presbyter yang tidak menikah) oleh Metropolitan Dionysios dari
New Zealand, serta ditetapkan sebagai Vikaris (Wakil) Episkop Agung untuk Indonesia,
dan bertanggung jawab kepadanya. Karena perkembangan yang ada di Asia dan karya yang
makin meluas dari Gereja Orthodox di Asia, maka Patriarkh Konstantinopel, Bartholomeus
I, memutuskan untuk mendirikan suatu Ke-Episkopan Agung yang baru untuk Asia. Itulah
sebabnya pada bulan Agustus tahun 1997, maka telah diciptakan suatu wilayah KeMetropolitan-an Hong Kong dan Asia Tenggara yang berkantor pusat di Hong Kong.
Wilayah Gerejawi yang baru ini bertanggung-jawab atas semua Gereja-Gereja Orthodox di
Asia: India, Singapura, Thailand, Filipina, Cina, Taiwan dan Hong Kong. Jepang dan Korea
termasuk dalam wilayah New Zealand. Episkop Agung yang menjabat pada saat ini adalah
Metropolitan Nikitas Lulias berkedudukan di Hong Kong. Dengan demikian Gereja
Orthodox Indonesia ini dibawah penggembalaan rohani dari Metropolitan Nikitas Lulias
tersebut.Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada tahun 2000 ini adalah, untuk pertama
kalinya wakil-wakil rohaniwan dan wakil-wakil pengurus dari Gereja Orthodox Indonesia
secara resmi bersilaturahmi dengan Presiden Republik Indonesia: Bapak K.H. Abdurrahman
Wahid di gedung Bina Graha, Jakarta pada tanggal 13 Maret 2000. Serta diikut-sertakannya
Gereja Orthodox Indonesia secara resmi dalam dialog interaktif dengan Presiden bersamasama dengan tokoh-tokoh agama lain serta tokoh-tokoh masyarakat di Gedung Pola, pada
tanggal 20 Maret 2000. Dan yang tak kalah pentingnya adalah keikut-sertaan Gereja
Orthodox Indonesia dalam Sidang Raya XIII PGI di Palangka Raya, Kalimantan Tengah
pada tanggal 20-31 Maret 2000, yang dengan demikian makin mengokohkan tempat Gereja
Orthodox dalam hubungan kemasyrakatan maupun ke-Gereja-an di bumi Indonesia ini. Ini
penting bagi Gereja Orthodox Indonesia karena PGI itu terkait dengan WCC atau DGD
(Dewan Gereja-Gereja seDunia) yang berpusat di Geneva Swiss. Sedangkan berdirinya WCC
44
itu awal-mulanya berasal dari inisiaytif dari Patriarkh Athenagoras dari Konstantinopel, yiatu
Patriarkh dari Gereja Orthodox melalui Surat Edarannya yang dikeluarkan pada tahun
1920an. Padahal Gereja Orthodox Indonesia adalah bagian dari wilayah Patriarkh Ekumenis
Konstantinopel ini. Dan di WCC Geneva, Gereja Orthodox adalah merupakan bagian yang
integral dari lembaga persekutuan Gereja-Gereja secara internasional itu.
Demikianlah sejarah Gereja Orthodox Indonesia, yang merupakan bagian resmi dari
seluruh Gereja Orthodox di dunia ini.
Kesimpulan
Dari bukti-bukti sejarah yang kita bahas diatas terbuktilah bahwa Gereja Orthodox
mempunyai sejarah yang tak terputus dengan Gereja Purba dan bahkan Gereja Perjanjian
Baru itu sendiri. Gereja Orthodox tetap memelihara ajaran Rasuliah Gereja Purba itu tanpa
tambahan ataupun pengurangan, serta mempraktekkan ibadah yang sama dengan Gereja
Purba, dan tetap memiliki pusat-pusat dimana asal mula Kekristenan itu berada. Bahkan
para patriarkh dan episkop serta presbyternya memiliki mata-rantai pentahbisan yang dapat
dilacak ke belakang langsung kepada para rasul itu sendiri. Gereja Orthodox tak pernah
mengalami dan tak memerlukan Reformasi ataupun Kontra-Reformasi, karena ajarannya tak
ada satupun yang asing dari Injil itu sendiri. Pandangan theologinya bukanlah pandangan
perorangan, misalnya:Agustinus atau yang lain, para sarjana Skolastik dalam Gereja Roma
Katolik, ataupun pandangan perorangan seperti Luther atau Calvin dalam pihak Protestan,
namun pandangannya bersifat konsiliar dari segenap Gereja. Iman Orthodox tidak tunduk
pada negosiasi atau perubahan-perubahan keinginan filsafat manusia. Singkat kata Gereja
Orthodox bukanlah hanya ingin meniru-niru Gereja Perjanjian Baru namun adalah Gereja
Perjanjian Baru itu sendiri yang tetap hadir sepanjang dua puluh abad ini. Biarpun sejarahnya
mengalami jatuh bangun dan derita, namun imannya, ajarannya, ibadahnya, dan ethosnya tak
mengalami perubahan serambutpun. Ini tak berarti Gereja Orthodox tak pernah
berkembang, namun perkembangan Gereja Orthodox selalu berlandaskan dan mengacu
kepada Iman Rasuliah yang satu dan yang sama yang memangtak pernah berubah dalam
hakekat isinya itu. Dengan kata lain dapat dikatakan Gereja Orthodox tetap setia memelihara
kepenuhan dan keutuhan kehidupan dan Iman Perjanjian Baru itu tak terkoyakkan ataupun
tergeserkan. Seutuh-utuhnya dan sepenuh-penuhnya Injil itu dipelihara tak berubah tanpa
pengurangan ataupun penambahan selama 2000 tahun ini oleh Gereja Orthodox.
45
Daftar Pustaka
.
2. Daniel, David ,” The Orthodox Church in India”, Miss Rachel David, New Delhi,
1986
5.Hopko, Thomas Father, “ The Orthodox Faith, Volume III, Bible and Church
History, An Elementary Handbook on the Orthodox Church”, The
Departement of Religious Education, he Orthodox Church in America, 1979
1.Hill, Henry, The Right Reverend, “Light From The East, A symposium On The
Oriental Othodox and Assyrian Churches”, Anglican Book Centre, Toronto, Canada,
1988
3.Moffet , Samuel Hugh, “ History of Christianity in Asia” Harper, San Fransisco, 1992
4..Ruck, Anne Dr., “ Sejarah Gereja Asia”, P.T. BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997
46
Kristen Orthodox Timur dan Kristen Orthodox
Oriental: Kasus “Kenisah Orthodox Syria” di
Indonesia.
Dengan dimuatnya banyak publikasi mengenai apa yang disebut Gereja Orthodox Syria, yang
sebenarnya bukan Gereja namun hanya “Yayasan Study” saja yang ada di Indonesia ini, dan
sebaliknya kurangnya publikasi mengenai Gereja Orthodox Indonesia, terutama seperti yang
termuat dalam artikel mengenai “Kristen Orthodox Syria” yang termuat dalam majalah
Gatra No. 17 Tahun IV, 14 Maret 1998, halaman 84-85, maka banyaklah timbul informasi
yang simpang siur mengenai apa sebenarnya Gereja Orthodox itu. Apalagi secara sengaja dan
secara tendensius Bambang Noorsena menuduh dan mengkaburkan Sejarah dengan
mengatakan bahwa Gereja Orthodox Yunani itu adalah bagian Gereja Barat, suatu hal yang
akan dipertanyakan secara Sejarah maupun secara wacana Internasional. Karena semua
orangpun tahu bahwa Gereja Orthodox, Yunani, Rusia, Serbia, Rumania, Antiokhia,
Alexandria termasuk Gereja Orthodox Indonesia apapun bentuk budayanya adalah “Gereja
Timur” dengan latar-belakang etnis dan budaya, serta aqidah yang berbeda dari Gereja Barat
yaitu Roma Katolik dan denominasi-denominasi Protestan. Untuk menjelaskan keadaan yang
sebenarnya, maka perlu kita bahas masalah itu:
1. Mengenai Asal-Usul Gereja Orthodox
Dalam artikel utama laporan Gatra mengutip pendapat Cak Nur bahwa aliran Kristen
Orthodox Syria ini “lebih murni ketimbang Kristen yang berkembang di Barat” dan disebut sebagai
“Kristen yang paling asli”. Namun di dalam artikel dalam box dikatakan bahwa “paham
Orthodox lahir dari perselisihan antara Gereja Alexandria dan Gereja Roma serta Kaisar
Konstantin” pada tahun 451 Masehi. Yang “murni” dan “asli” bagaimana bisa baru muncul
5 abad kemudian? Lagipula disini terdapat kekacauan sejarah, Konstantin sudah mati
sebelum Konsili ( Majma ) Ekumenis (Sejagad ) yang kedua, tahun 381 diadakan, yaitu pada
tahun 337. Sedangkan pada tahun 431, saat diadakan Konsili ketiga di Efesus, Gereja Timur
di Syria yang tadinya adalah bagian dari Gereja Orthodox universal terpecah menjadi dua
yaitu yang berada di Persia terkenal dalam sejarah sebagai Gereja Nasthuriyah (Nestorian)
karena dianggap mengikuti ajaran Patriarkh berkebangsaan Syria yang menjabat di
Konstantinopel ( Istambul) di Byzantium ( Kerajaan Romawi Timur yang kemudian menjadi
negara Turki) yaitu Patriarkh Nestorius, dan Gereja Orthodox Syria yang berada di sebelah
Barat dari Persia yang saat itu masih menyatu dengan Gereja-Gereja Orthodox yang lain. Jadi
tak mungkin Konstantin masih hidup pada saat Majma Khalkaduniyah (Konsili Kalsedonia)
pada tahun 451 itu diadakan. Gereja Orthodox bukan lahir pada saat Konsili Kalsedonia
tahun 451 itu. Istilah Orthodox sudah digunakan sejak abad kedua ketika Gereja Kristen
yang satu pada saat itu harus melawan ajaran-ajaran bidaah (“heterodox”) terutama
“Gnostikisme” dengan menekankan kemurnian ajaran asli dan murni dari para Hawariyyin
(para rasul Kristus) yang hanya satu dan tak bermacam-macam sebagai ajaran yang lurus
(“Orthodox” dari kata Yunani “Orthos = Lurus, Benar , dan”Doxa” = Pemikiran,
Pengajaran, Kemuliaan). Gereja Othodox yang satu ini juga disebut sebagai “Katolik “ (dari
kata Yunani “Kath’” = menurut, sesuai dengan, dan “Olon” = keseluruhan, keutuhan ). Dan
yang pertama kali menyebut Gereja Orthodox yang satu di zaman purba itu sebagai
“Katolik” adalah Patriarkh ( Episkop, Uskup) Gereja Antiokhia Santo Ignatius pengganti
47
ketiga dari Rasul Petrus, dalam surat-suratnya sebanyak tujuh buah yang sekarang masih ada
dan dihormati oleh Gereja-Gereja Orthodox. Jadi istilah “Katolik” yang digunakan oleh
Gereja Purba yang satu itu tak boleh dikacaukan dengan fenomena keagamaan modern yang
akhirnya disebut agama “Katolik Roma”. Gereja Kristen Purba yang satu yang disebut
“Orthodox” dan “Katolik” itu pada Konsili Ekumenis tahun 325 Masehi menetapkan empat
pusat yang dipimpin masing-masing oleh seorang Patriarkh ( Al-Batrik) yang juga disebut
Paus ( Al-Baba), yaitu :Roma, Alexandria, Antiokhia dan Yerusalem. Pada Konsili kedua di
Efesus tahun 381 ditetapkan lagi pusatnya menjadi lima, dengan urutan: Roma,
Konstantinopel, Aleksandria, Antiokhia dan Yerusalem. Pada saat Konsili ketiga tahun 431
muncul mazhab Nasthuriyah atau Nestorian yang memisahkan diri dari wilayah administrasi
Gereja Syria Antiokhia. Nestorius menekankan bahwa Almasih memiliki dua pribadi dan dua
kodrat yang saling terpisah-pisah yaitu kodrat aslinya sebagai Kalimatullah, serta kodrat
kemanusiaan yang diambil dari Maryam pada saat turun ke bumi. Mazhab Nasthuriyah
(Nestorian) inilah merupakan Gereja Syria Timur yang bermukim di Persia, dan mazhab
inilah yang banyak bersinggungan dengan sejarah munculnya Islam. Pada abad kelima
muncul ajaran “Eutychianisme” yang menekankan bahwa Isa Almasih hanya memiliki
“kodrat tunggal” yaitu kodrat ilahi saja. Artinya Isa itu adalah berkodrat Allah saja, sehingga
ajaran ini disebut “Faham Kodrat Tunggal” atau “Monophysitisme” ( Mono= satu-satunya,
Physis = kodrat). Untuk menyelesaikan masalah ini maka Konsili Kalsedonia (Majma
Khalkadunya) diadakan pada tahun 451. Dalam Konsili itu ditegaskan bahwa Isa berpribadi
tunggal yaitu pribadi Kalimatullah, namun dalam pribadiNya yang tunggal itu terdapat dua
kodrat yaitu kodrat asliNya sebagai Kalimatullah yang kekal dan kodrat baru yang makhluk
yang diambil dari Maryam akibat turunNya ke bumi sebagai manusia. Dua kodrat itu
manunggal dalam satu pribadi Kalimatullah yang hanya tunggal itu secara tak terpisah - pisah,
tak terbagi-bagi, tidak kacau dan tidak berbaur. Atas perumusan ajaran Kitab Suci dalam
Konsili Kalsedonia yang seimbang ini Patriarkh Dioskoros dari Alexandria bersama
“sebagian” ( bukan seluruhnya) ummat dari Gereja Syria yang bukan mazhab Nasthuriyah
(Nestorian) menolak dengan lebih menekankan “kodrat tunggal” Almasih diatas. Dan dalam
Konsili yang disebut sebagai “Konsili Para Perampok” yang dipimpin oleh Dioskoros itu
Eutychus dinyatakan tak bersalah. Sehingga Dioskoros dianggap mengikuti faham
“Monofisit” dari Eutyches ini, demikian pula semua orang yang mengikuti jejak Dioskoros
ini akhirnya entah benar atau salah dikenal sebagai Kaum Monofisit dalam sejarah, termasuk
di dalamnya Gereja Syria yang memisah itu. Karena adanya istilah “dua kodrat” itu ummat
yang oleh sejarah dikenal sebagai kaum Monofisit (entah benar atau salah) ini menganggap
bahwa Konsili Kalsedon itu berbau bida’ah Nestorianisme yang telah dikutuk dalam Konsili
sebelumnya. Namun mereka ini tak dapat melihat bahwa yang ditekankan oleh Kalsedonia
justru adalah “ketunggalan Pribadi Almasih” seperti yang telah dijelaskan diatas. Akhirnya
mereka ini menyempal dari Gereja Orthodox alur besar tadi ( yang termasuk di dalam Gereja
Orthodox alur utama ini adalah Gereja Orthodox Syria Antiokhia yang bukan mazhab
“kodrat tunggal”-). Dan oleh sejarah mereka yang menolak ini dikenal sebagai kaum
“Monophysit”.Jadi Gereja Timur Syria ini memiliki tiga kelompok : Nasthuriyah (Nestorian,
Gereja Timur Assyria, Pre-Efesus), Monophysit ( yang di zaman kemudian disebut sebagai
Gereja Orthodox Syria, atau Gereja Orthodox Oriental,), dan Gereja Orthodox Syria
Antiokhia yang termasuk dalam keluarga besar Gereja Orthodox alur utama yang memiliki
persekutuan dengan Gereja-Gereja Orthodox alur utama lainnya termasuk dengan Gereja
Orthodox Yunani, dengan demikian termasuk bagian dari Gereja Orthodox Indonesia.
Dengan melihat apa yang diajarkan Kitab Suci seperti yang dirumuskan oleh Konsili
Kalsedonia itu, pernyataan dalam artikel Gatra yang mengutip bahwa “ Allah telah mati
48
disalibkan sebagai ganti ummat manusia”, sebagai dinyatakan sebagai ucapan darui sdr.
Bambang Noorsena S.H, jika ini benar maka kelihatan sekali itu sebagai ungkapan yang
merupakan ajaran “Monophysitisme” murni. Padahal menurut Iman Kristen Orthodox yang
benar diajarkan bahwa Allah itu roh yaitu ghaib tak berjisim dan tak bertubuh, bagaimana
bisa disalibkan? Oleh karena istilah Orthodox yang benar dan tepat adalah bahwa
“Kalimatullah yang menjelma disalibkan dalam kemanusiaanNya”. Inilah ajaran
Iman Orthodox yang murni yang bukan diwarnai faham Monophysit itu.
Juga diputuskan dalam keputusan nomor 28 dari Konsili Kalsedon ini bahwa Patriarkh
(Paus) di Konstantinopel mempunyai hak dan kedudukan sejajar dengan Patriarkh (Paus) di
Roma, karena kedua-duanya menjabat di Ibu kota Kerajaan, yang lama (Roma) dan yang
baru (Konstantinopel). Yang menjadi Paus (Patriarkh) di Gereja Roma pada saat Konsili
keempat ini adalah Paus Leo (Al-Baba Laon) sedangkan yang menjadi Patriarkh di
Konstantinopel pada saat ini adalah Patriarkh Flavianus. Gereja Syria yang tetap menyatu
dengan Gereja Orthodox yang lain dalam alur besar yang menjunjung isi rumusan Konsili
Kalsedonia itu masih ada sampai sekarang dan dipimpin oleh Patriarkh Ignatius IV orang
Arab-Syria asli, dan tetap beribadah dalam bahasa Arab sampai kini. Dan Gereja Syria yang
memisah yang oleh sejarah dicap sebagai ummat :”Monophysit” itu akhirnya oleh perjuangan
Uskup Yakub Baradeus, atau Yakub Burdana berhasil membentuk komunitas Gereja Syria
Non-Kalsedon, yang terkenal sebagai Gereja Ya’kubiyyah atau Gereja Yakobit dan sekarang
dipimpin oleh Patriarkh Mar Moran Ignatius Zaka I Iwas. Kelompok Gerejawi yang
terkenal sebagai kelompok “Syria-Yakobit” inilah yang di Indonesia ini - seperti yang telah
kita sebut diatas - membentuk Yayasan Study yang tak berbentuk Gereja bernama :Kanisah
Orthodox Syria.Inilah yang dimuat oleh majalah Gatra itu. Bersama dengan Gereja Koptik,
Armenia, Ethiopia, dan India mereka sekarang disebut sebagai kelompok Orthodox alur
kecil atau Orthodox Non-Kalsedonia atau Orthodox Oriental.Nama Monophysit tak
digunakan lagi bagi mereka karena itu dianggap menghina. Sedangkan Gereja Orthodox alur
besar, atau Gereja Orthodox Kalsedonia, atau Gereja Orthodox Timur itu termasuk
didalamnya :Orthodox Yunani, Orthodox Rusia, Orthodox, Rumania, Orthodox Finlandia,
Orthodox Yugoslavia, Orthodox Syria-Antiokhia, Orthodox Palestina, Orthodox Amerika,
Orthodox Jepang, Orthodox Indonesia, dan lain-lain. Gereja Orthodox yang sebenarnya itu
tak bersifat kesukuan ataupun etnisitas namun merangkul seluruh suku dan bangsa. Jadi tidak
tepat jika mengatakan Gereja Orthodox alur utama itu sebagai “Greek Orthodox”
(“Orthodox Yunani”) jika yang dimaksud adalah menunjuk etnis Yunani, sebab Yunani
hanya salah satu unsur saja yang ada didalamnya. Dan Gereja Orthodox di Indonesia secara
resmi tidak bernama “Orthodox Yunani” (“Greek Orthodox”) namun “Gereja Orthodox
Indonesia”.Yang didalamnya itu Roy Marten, dan isterinya :Anna Maria, serta adiknya Chris
Salam dan isterinya menjadi anggotanya. Ini disebut Gereja Orthodox Indonesia karena
unsur ke-Indonesiaannya yang ditonjolkan, juga unsur ke-Semitik-annya melalui penggunaan
Ibadah Orthodox sebagaimana yang dilakukan oleh Gereja Orthodox Syria Antiokhia, yaitu
dalam bahasa Arab. Jadi memang tidak tepat mengatakan bahwa Gereja Yakobit- yang di
Indonesia ini disebut Kanisah Orthodox Syria dan dipimpin oleh sdr. Bambang Noorsena
S.H.- itu satu-satunya yang Semitik, sebab Gereja Syria Antiokhia yang Orthodoxpun – yang
didalamnya Gereja Orthodox Yunani dan Gereja Orthodox Indonesia termasuk - adalah
Semitik tulen dan termasuk dalam keluarga Gereja-Gereja Orthodox alur utama.Pada abad
ketujuh di Pancur dan Barus, Sumatra Utara, Gereja Timur ini telah datang ke Indonesia.
Demikian juga pada jaman Belanda Gereja Armenia berada di Indonesia memiliki Gereja di
Jakarta yang sekarang menjadi gedung BI di Jalan Thamrin, dan di Surabaya di Jalan Pacar
sekarang menjadi Gereja Tionghoa. Pada tahun 1054 Gereja Alur Besar yang dari zaman
49
purba disebut sebagai Orthodox dan Katolik sekaligus itu, mengalami perpecahan. Gereja
Barat mandiri sendiri disekitar pemimpinnya Patriarkh atau Pausnya sendiri yang berpusat di
Roma itu dan lebih dikenal sebagai Katolik sehingga disebut sebagai Roma Katolik.
Sedangkan Gereja Timur tetap menyatu antara keempat Patriarkhnya yang ada di
Konstantinopel, Aleksandia, Antiokhia dan Yerusalem, dan lebih dikenal sebagai Orthodox,
meskipun sebagai Gereja rasuliah yang asli dan tak berubah-ubah itu dalam syahadatnya tetap
mengakui dirinya sebagai Gereja yang " satu, kudus, Katolik dan Apostolik”. Jadi jelas
Gereja Orthodox bukan aliran baru. Sedangkan Gereja-Gereja Timur yang memisah itu dan
yang kemudian disebut sebagai Gereja-Gereja Monophysit itu di zaman modern ini sesudah
dialog-dilaog ekumenis lebih sering disebut sebagai Gereja-Gereja Orthodox NonKalsedonia, Gereja-Gereja Orthodox Oriental. Sebutan “Monophysit” adalah nama yang
dikenal dalam tulisan-tulisan sejarah. Karena “mono” artinya “satu-satunya” yang adalah
ajaran dari Eutyches yang jelas ditolak oleh Gereja Orthodox alur utama dan ternyata dalam
perkembangannya kemudian Gereja Non-Kalsedoniapun menolaknya. Yang sebenarnya
sekarang dipercayai oleh Gereja-Gereja Non-Kalseonia ini haruslah disebut
“Miaphysit”.Karena “mia” artinya “tunggal”, yaitu Almasih memiliki kodrat tunggal yang
berasal dari dua kodrat: ilahi dan manusia. Jadi ajaran Gereja Non-Kalsedonia masakini
termasuk didalamnya Gereja Orthodox Syria lebih mendekati ajaran Orthodox alur utama.
Oleh alasan-alasan politik, budaya, ekonomi dan ras, yang akhirnya hal-hal theologis itu
dijadikan panji-panji, Gereja Alexandria dengan cabangnya yaitu Gereja Ethiopia beserta
Gereja Syria dengan cabangnya Gereja Thomas-India, serta Gereja Armenia ini menolak
hasil keputusan Konsili Kalsedonia tahun 451 Masehi, karena mereka menganggap hasil
keputusan ini bersifat Nestorianistis, yang tentu saja merupakan anggapan yang tidak benar,
seperti yang telah kita jelaskan.. Dan sejak saat itulah secara pelan-pelan melalui proses yang
panjang Gereja Alexandria dan Gereja Syria yang memisah ini akhirnya dituduh sebagai
“Monofisit” karena meyakini Kristus hanya memiliki “satu kodrat”. Dan tuduhan ini bukan
sama sekali tanpa dasar, karena sampai sekarangpun Gereja Ethiopia yang merupakan cabang
kegerajaan Koptik sangat kokoh dalam menyebut diri mereka sebagai “Monofisit” sehingga
mereka menyebut Gereja mereka Gereja “Tewahido” (“The Ethiopian Tewahido Orthodox
Church”) yang sebanding dengan bahasa Arab “Tawhid” (ke-Esa-an). Jika dalam Islam dan
dalam Iman Kristen Orthodox istilah Tauhid ini digunakan untuk menyebut ke-Esa-aan
Allah yang Maha Tunggal, namun dalam Gereja Ethiopia menggunakannya untuk “kodrat
tunggal’ Kristus. Jadi Gereja Ethiopia sangat bangga jika disebut sebagai “Monofisit”, atau
“faham kodrat tunggal” itu. Gereja Mesir Non-Kalsedonia inilah yang disebut sebagai
Gereja Koptik, artinya Gereja Qypti yaitu orang Mesir, serta Patriarkhnya berkedudukan di
Kairo, sedangkan Gereja Aleksandria yang menerima Rumusan Kalsedonia memiliki
Patriarkhnya sendiri yang tetap berkedudukan di Alexandria, dan merupakan bagian dari
Gereja Orthodox alur utama yang bersekutu dengan Gereja Orthodox internasional alurutama termasuk dengan Gereja Orthodox Yunani, dan bertanggung jawab bagi misi
Orthodox bagi bangsa-bangsa Afrika kulit hitam, dengan bahasa Yunani dan bahasa Arab
dan bahasa-bahasa Negro Afrika,sebagai bahasa ibadah dan bahasa liturgi Gereja. Gereja
Koptik, meskipun sampai sekarang menggunakan bahasa asli Koptik -bahasa pada zaman
Firaun- tetapi menggunakan abjad huruf Yunani dengan pengaruh bahasa Yunani yang
sangat kental di dalamnya, dan ini tetap dipelihara di dalam liturgi dan ibadah Gereja ini,
disamping bahasa Arab. Dalam Gereja Syria, mereka menggunakan bahasa Syria ekspresiekspresi bahasa Yunani yang dipinjam tanpa diterjemahkan dan Arab. Semua Gereja-Gereja
ini juga menggunakan bahasa-bahasa Eropa di tempat ummat mereka tinggal di negaranegara itu, sedangkan yang di India mereka menggunakan bahasa Malayalam. Secara wilayah
50
hukum, Gereja Koptik dan Gereja Syria ini tidak berhubungan dengan Gereja Kalsedonia (
Yunani Orthodox, Rusia Orthodox, Romania Orthodox, Palestina Orthodox, Antiokia
Orthodox. dan lain-lain), namun berhubungan dengan wilayah hukum Gereja-gereja lain
yang Non-Kalsedon (Ethiopia , Syria -Yakobit, Armenia , Gereja Thomas di India) yaitu
mereka yang tidak menerima keputusan Kalsedonia tahun 451. Melalui dialog-dialog dengan
pihak Orthodox alur utama umat Non-Kalsedon ini telah berusaha mengklarifikasikan
ajaran mereka dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan.Mereka mengaku – kecuali
Gereja Ethiopia yang tetap mempertahankan rumusan “Monofisit”- tetap memegang ajaran
Orthodox yang satu dan yang sama, kecuali dalam hal rumusan mengenai “tabiat Kristus.”
yang dimengertinya sebagai “satu kodrat” (“monofisit”) tadi. Dalam forum-forum
internasional mereka selalu dalam satu kelompok, terutama dalam Dewan Gereja Dunia
WCC, kedua tradisi Gereja Timur (Orthodox dan Oriental) itu hanya memiliki satu wadah
Orthodox saja. Bahkan persatuan pemuda Orthodox Internasional :Syndesmos, itu juga
merupakan wadah bersama antara Non-Kalsedonia dan Kalsedonia.Inilah bukti tak
terbantahkan akan pengakuan internasional bahwa Gereja Orthodox Yunani itupun adalah
Gereja Timur bertentangan dengan teori sdr. Bambang Noorsena bahwa Gereja Yunani itu
termasuk Gereja Barat. Gereja-Gereja Orthodox Kalsedonia yaitu Gereja Orthodox alurbesar, sesuai dengan rumusan Kalsedonia menegaskan bahwa Kristus itu memiliki “duakodrat (manusia-ilahi) dalam satu hypostasis” sedangkan Gereja-Gereja Orthodox NonKalsedonia mengatakan Kristus itu memiliki “satu kodrat yang berasal dari dua kodrat, yaitu
:Kodrat menjelma”. “Satu Kodrat” dari rumusan Non-Kalsedonia inilah yang sebenarnya
ditegaskan oleh Konsili Kalsedonia sebagai “satu hypostasis” (“satu Pribadi”), dan “ Yang
Berasal dari Dua Kodrat atau Kodrat Menjelma” itulah apa yang disebut oleh Rumusan
Kalsedon sebagai “Dua Kodrat” karena menjelma berarti “Yang Ilahi telah Menjadi
Manusiawi” berarti ada Kodrat Ilahi dan Kodrat Manusiawi.Baik Kalsedonia maupun NonKalsedonia mengatakan bahwa persatuan dua kodrat itu adalah persatuan “ tanpa kacau,
tanpa campur-baur, tanpa terbagi-bagi, tanpa terpisah-pisah”. Dengan demikian yang ilahi
tetap ilahi tidak menjadi manusia, dan yang manusiawi tetap manusia tidak menjadi ilahi,
namun keduanya telah manunggal dalam kesatuan yang dalam rumusan Kalsedonia adalah
kesatuan dalam “SATU HYPOSTASIS” sedangkan menurut Non-Kalsedonia kesatuan
dalam “SATU KODRAT MENJELMA”. Jadi menurut Rumusan Kalsedonia obyek
kesatuan dari “Dua Kodrat” yang tak terpisah dan tak terbagi itu adalah “hypostasis” atau
‘Pribadi” dari Firman Allah, sedangkan
menurut penghayatan Non-Kalsedonia obyek
kesatuan dari “Dua Kodrat” yang telah manunggal secara tak terpisah dan tak terbagi itu
adalah “kesatuannya itu sendiri”. Itulah sebabnya Rumusan Kalsedonia itu sebenarnya
menegaskan dan lebih menjelaskan apa yang dimaksud oleh Non-Kalsedonia secara lebih
tegas dan lebih matang, dan merupakan suatu kesimpulan logis daripadanya.Inilah satusatunya perbedaan yang ada antara Gereja-Gereja Non Kalsedonia (- yang disebut sebagai
“Monofisit”-) dengan Gereja-Gereja Kalsedonia, selebihnya ajaran kedua tradisi Gereja
Timur (Orthodox Non-Kalsedonia dan Oriental Non-Kalsedonia ) sangat mirip sekali. Iman
Orthodox itu bukan aliran namun Iman Rasuliah atau Iman Perjanjian Baru itu sendiri.
Seluruh awal sejarah Kekristenan dimulai di daerah Timur Tengah dan Timur Dekat. Dan
rumusan-rumusan theologis yang menjadi landasan Iman Kristen sejak Nikea tahun 325
Masehi, Konstantinopel tahun 381 Masehi, Efesus tahun 431 Masehi, Kalsedonia tahun 451
Masehi
sampai dengan Konstantinopel tahun 787, dilakukan di daerah Timur
Tengah/Timur Jauh ini, yaitu di pusat Kerajaan Kekristenan Orthodox Purba: Byzantium.
51
Pada zaman Purba ini Kekristenan memiliki ajaran yang satu dan tunggal, serta lima kota
menjadi pusat Kekristenan waktu itu: Yerusalem di Palestina, Antiokia di Syria, Alexandria di
Mesir yang pada mulanya didirikan dan diinjili oleh Markus penulis Injil, Konstantinopel
(Istambul) di Byzantium (Turki), dan Roma di Italia. Kelima pusat ini masing-masing
dipimpin oleh seorang Patriarkh (Paus). Patriarkh artinya Bapa (Patri = pater) Pemimpin
(Arkhi), sedangkan Paus berasal dari kata ‘Papa” artinya :Bapa. Roma dan Konstantinopel
ditetapkan (-terutama oleh Konsili Kalsedonia tahun 451 Masehi-) sebagai yang
berkedudukan sama, meskipun Paus di Roma dianggap yang dihormati karena letaknya di
Ibukota Kerajaan yang lama, dan Konstantinopel berkedudukan sesudah Roma dalam
penghormatan, karena Konstantinopel adalah Ibukota Kerajaan yang baru dan disebut
sebagai : Nea Romee ( Roma baru ). Namun masing-masing dari antara kelima Paus
(Patriarkh) itu mempunyai kedudukan yang sejajar. Alexandria adalah pusat intelektualitas
yang tinggi saat itu bersama dengan Antiokia di Syria. Banyak dari tokoh-tokoh Alexandria
yang sangat berjasa dalam membela Iman Kristen misalnya, Athanasios dan Kyrilos masingmasing dalam Konsili Nikea (325) melawan Arianisme dan Efesus (431) melawan ajaran
Nestorius. Gereja Orthodox Kalsedonia disebelah Barat yang berpusat di Roma pada tahun
1054 memisah dari kesatuan dengan Gereja-Gereja Timur, dan sesudah perpisahan mereka
ini lalu disebut sebagai Gereja Roma Katolik, dan pada tahun 1517 Gereja Barat ini terpecah
menjadi dua antara Katolik Roma dan Protestan, serta dari Protestan inilah munculnya
bermacam-macam aliran yang berbeda-beda. Berbeda dengan terpisahnya Roma Katolik dari
Orthodoxia, yang bukan dikarenakan adanya ajaran Orthodox yang diprotes oleh Roma
Katolik, namun karena perkembangan di Barat sendiri yang berkembang secara berbeda dari
ajaran Rasuliah dan Gereja Orthodox justru memperingatkan dan memberikan sanggahansanggahan terhadapnya, keluarnya Protestan dari Roma Katolik itu memang merupakan
Gerakan Protes terhadap apa yang dianggap penyimpangan Roma Katolik, yang
menyebabkan mereka lebih tak berhubungan lagi dari Orthodoxia itu. Setelah 1500 tahun
terpisah antara Gereja-Gereja Non-Kalsedonia ini dengan Gereja Kalsedonia ternyata dari
segi ibadah keduanya masih setia mertahankan tradisi ibadah dari zaman purba. Semua
Gereja Timur baik yang Orthodox atau yang bukan (Oriental Orthodox/Monofisit dan
Assyria/Nestorian), memiliki sholat tujuh waktu, dengan berbahasa Arab dan tilawat Kitab
Sucinya sekaligus, dan juga dilakukan di Indonesia. Karena di Gereja Orthodox Indonesia
juga dikunjungi umat Orthodox dari Timur Tengah yang ikut berbakti disitu, baik dari Mesir
(Koptik) maupun dari Libanon. Jadi biarpun orang bukan Kalsedon tak dilarang berbakti
dalam Gereja Kalsedon dan ambil Perjamuan Kudus di dalamnya, terutama untuk
ummatnya.. Selain sholat tujuh waktu ada juga sholat tiga kali sehari sebagai sholat harian
sedangkan Hari Minggu itu semacam sholat Jum’atan dalam Islam jadi bukan pengganti
sholat harian tadi. Semua Gereja Timur mengenal puasa selama empat puluh hari menjelang
Paskah.. Diluar puasa pada bulan puasa ini dalam seminggu ada dua kali puasa yaitu Hari
Rabu dan Jum’at sebanding puasa sunnah Senin dan Kamis dalam Islam. Semua wanita
Orthodox di Indonesia ini tetap menggunakan kerudung pada saat sholat harian di rumah
maupun pada saat ke Gereja. Ummat Orthodox beribadah di Gereja tanpa menggunakan
kursi seperti di Mesjid dan melepas sepatu, dan anak-anak laki-lakipun dikhitan jika
dikehendaki. Imam-Imam atau Presbiter-Prebiter (Gereja Orthodox tak menggunakan istilah
Pendeta) semua mengenakan jenggot meskipun semua adalah orang asli Indonesia. Jadi ciriciri yang demikian yang oleh Gatra disebut sebagai ciri Gereja Orthodox Syria, jelas bukan
monopoli Kristen Orthodox Syria, namun ciri semua Gereja Orthodox. Kelihatannya Gatra
lebih menonjolkan pada sisi ke-Syria-annya daripada ke –Orthodox-annya, karena selalu
menyebut ini ciri Kristen Orthodox Syria. Saya khawatir ini menghilangkan makna
52
“katolisitas” (ke-universalan Gereja) dan menjadi suatu sikap parokialisme dan sektarianisme.
Dari segi aqidah baik Kalsedon maupun non-Kalsedon memegang aqidah rasuliah yang tak
jauh perbedaannya, hanya masalah pemahaman tentang Almasih saja yang berbeda
termonologinya. Gereja Orthodox Indonesia sebagai bagian Gereja Orthodox yang
menerima rumusan Konsili Kalsedon tahhun 451 sangat menekankan Tauhid, sehingga
bahkan kemanusiaan Almasih itu ditegaskan bedanya dari keilahianNya sebagai kalimatullah.
Rumusan Kalsedon mengatakan Almasih itu memiliki “satu pribadi dalam dua kodrat, yang
manunggal secara tak terbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak berbaur dan tak kacau-balau”.
Disinilah perbedaan terminologi itu muncul dengan Gereja Non-Kalsedon, termasuk
Kanisah Orthodox Syria pimpinan Bambang Noorsena S.H., dimana mereka mengatakan
Almasih itu memiliki “ satu kodrat yang berasal dari dua kodrat , yang manunggal secara tak
ternbagi-bagi, tak terpisah-pisah, tak berbaur dan tak kacau balau”. Kesatuan dalam Almasih
itu oleh pihak Non-Kalsedon disebut “satu kodrat” (“Miaphysis”).. Sedangkan pihak
Orthodox menyebut “satu pribadi” (“ Mia hypostasis “) seperti yang dirumuskan dalam
Konsili Kalsedon. Pihak Orthodox menyebut dua realita yang manusiawi dan yang ilahi
dalam Almasih dengan istilah “dalam dua kodrat”. Sedangkan oleh pihak Non- Kalsedon
dimengerti sebagai “dari dua kodrat” Dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh
kedua belah pihak keluarga Gereja Timur: Orthodox dan Gereja Oriental: Non-Kalsedonia
pada tahun 1964 di Aarhus, Den Mark, pada bulan Juli 1967 di Bristol, Inggris, pada bulan
Agustus 1970 di Geneva, Switzerland, serta pada bulan Januari 1971, di Addis Ababa,
Ethiopia, dicapai saling pengertian bahwa ajaran pihak Non-Kalsedon itu ternyata tak
mengikuti ajaran “Monopysitisme” model Eutyches, dan bahwa pihak Orthodox jelas tak
pernah mengajarkan dua kodrat yang terpisah-pisah seperti ajaran Nestorius, seperti yang
dituduhkan oleh pihak Non-Kalsedon selama ini sebagai panji-panji pemisahan meeka dari
Gereja Orthodox.. Baik Kalsedon maupun Non-Kalsedon kedua-duanya menolak faham
Eutyches maupun Nestorius. Berarti pihak Non-Kalsedon, dan tentu saja tak dapat
diragukan bagi pihak pihak Orthodox, berusaha mempertahankan iman rasuliah yang sama
terminologi yang berbeda: “satu hypostasis” (Orthodox: Kalsedon) dan “satu physis”
(Oriental: Non-Kalsedon), serta “ dalam dua kodrat” (Orthodox:Kalsedon) dan “dari dua
kodrat” (Oriental: Non-Kalsedon). Jadi Gereja Non-Kalsedonia itu tak seharusnya disebut
Monophysit kalau yang dimaksud adalah ajaran “Eutychianisme”, namun “Monophysit”
dalam pengertian” Miaphysit ex dyo physeoos”. Kemiripan Iman dan ethos serta
peribadahan jelas menonjol sekali dalam kedua keluarga Gereja Timur: Otrthodox dan NonKalsedonia ini. Hanya masalahnya adalah mengenai sikap masing-masing terhadap Konsili
Gereja. Pihak Non-Kalsedon hanya mengakui 3 Konsili yaitu Nikea tahun 325,
Konstantinopel tahun 381, dan Efesus tahun 431. Sedangkan pihak Orthodox disamping
menerima tanpa reserve ketiga Konsili purba yang semuanya notabene dilaksanakan dalam
wilayah administrasi pihak Kalsedonia di Byzantium juga menjabarkan lebih detil ajaran
ketiga Konsili dalam Konsili Kalsedon tahun 451, dan Konsili kelima tahun 553, Konsili ke
VI tahun 680-681, dan Konsili ke VII tahun 787, tanpa mengubah maupun mengurangi
ataupun menambah dari Iman Rasuliah Othodox purba yang asli dan murni itu. Juga
mengenai tokoh-tokoh yang dianggap suci puhak lain ternyata dianggap bidaah oleh pihak
lainnya. Dioskoros, Severus, Yohanes dari Antiokhia adalah tokoh suci untuk pihak NonKalsedon (Oriental), namun dianggap tokoh bidaah bagi pihak Kalsedonia (Orthodox
Timur). Paus Leo dari Roma adalah tokoh suci bagi pihak ORTHODOX namun dianggap
bidaah bagi pihak Non-Kalsedon.
2. Mengenai Helenisasi dan Westernisasi
53
Mengutip Bambang Noorsena ( yang pada tahun 1996 bersama Pdt. Yusuf Roni mulai
berkenalan dengan Iman Kristen Orthodox melalui Romo Presbyter Daniel Bambang Dwi
Byantoro, dan pada tahun 1997 bersama-sama dibaptiskan oleh Episkop Agung Dionysios
dari New Zealand di Gereja Orthodox Seoul, Korea Selatan serta adalah anggota Gereja
Orthodox Indonesia, namun yang memisahkan diri serta mencetuskan Gereja Syria Yakobit
ini, setelah bersama Romo Daniel Bambang D.B diperkenalkan kepada Patriarkh Syria
Yakobit ini serta diperkenalkan dengan Gereja Syria cabang India di Singapura, sedangkan
Pdt. Yusuf Roni kembali ke Gereja asalnya) Gatra menulis bahwa setelah Petrus bertugas ke
Roma sejak saat itu ajaran Kristen mengalami Helenisasi. Jika yang dimaksud Helenisasi
adalah penggunaan bahasa Yunani, memang bahasa Yunani adalah bahasa internasional di
kala itu, bahkan bahasa asli Perjanjian Barupun adalah bahasa Yunani ini. Maka Gereja
Syriapun tak lepas dari pengaruh Yunani ini. Misalnya penggunaan kata “Kurielayson” yang
berasal dari bahasa Yunani “Kyrie Eleison” ( Tuhan kasinilah), “Stomen kalos” (“mari
berdiri dengan tegak ) dan kata-kata Yunani yang lain telah masuk dalam naskah sastra
Kristiani dan liturgis dari Gereja Syria ini juga. Bahkan Gereja Koptikpun menggunakan
huruf Yunani dan kata-kata dan frasa-frasa Yunani yang jauh lebih kental dan lebih banyak
ke dalam text Liturgis mereka yang notabene berbahasa Koptik. Inikah yang dimaksud
Helenisasi? Kalau betul, Gereja Syriapun sudah tak murni Semitik lagi. Namun jika
Helenisasi yang dimaksud adalah penggunaan analisa dan konsep-konsep filsafat Yunani
sebagai landasan ajaran Kristen, maka yang disebut Gereja "Orthodox Yunanipun” tak
tersentuh oleh Helenissasi ini. Sebab kategori pemikiran theologis dari Gereja Orthodox
Yunani adalah ajaran Konsili Gereja dan penjabaran para bapa gereja Timur, istilah-istilah
konsep filsafat Yunani yang dipaki dalam ekspresi theologispun telah direvisi dan
ditundukkan pada keberanan Wahyu Injiliah Kristiani. Itulah sebabnya Gereja Orthodox
Yunanipun termasuk dalam lingkup Timur yaitu Semitik dalam landasan aqidahnya dan
itulah pula sebabnya mengapa ajaran Gereja Orthodox Kalsedonia dan Non-Kalsedonia itu
memiliki banyak persamaan.. Jadi jangan sampai untuk tujuan tertentu yang tendensius orang
sampai mengkaburkan fakta sejarah yang tak bisa dibantah, bahwa Gereja yang dinyatakan
sebagai yang murni Semitik (“Koptik atau Syria”) itupun landasan aqidahnya adalah
berdasarkan apa yang berasal dari Yunani ini. Yaitu landasan aqidah dari rumusan-rumusan
Konsili. Karena meskipun Gereja Syria-Yakobit dan Koptik ini menolak Konsili keempat
(451) sampai ketujuh (787), dan hanya menerima tiga Konsili pertama (Nikea 325,
Konstantinopel 381, dan Efesus 431), namun harus diingat betul-betul bahwa ketiga Konsili
itu dilakukan didaerah Byzantium dan dilakukan dalam bahasa Yunani (bukan bahasa Syria
atau Koptik) bersama-sama orang-orang Yunani dan etnis lain, yang menghasilkan rumusan
Pengakuan Iman Nikea dalam bahasa Yunani (baru kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Syria dan Koptik), serta menggunakan istilah-istilah Yunani , misalnya “prosopon”
(menjadi kosa-kata Syria”prasopa”). Dan para pembela aqidah yang dirumuskan disini adalah
dua orang Koptik terkenal “Athanasius dari Alexandria” serta “Kyrillos dari Alexandria”,
yang menulis dan berteologi dalam bahasa Yunani (bukan bahasa Koptik atau bahasa Syria).
Dari segi aqidah tak dapat orang membuat mengadakan tuduhan dan dakwaan atau garusbatas murahan bahwa yang ini Yunani dan yang itu Semitik, dengan Yunani dikonotasikan
Barat. Sebab yang Yunanipun tunduk pada Wahyu Injiliah yang bersifat Semitik, sedang
yang Semitikpun tunduk pada perumusan aqidah yang menggunakan bahasa Yunani serta
meminjam istilah-istilah Yunani. Semua debat theologi di zaman itu baik yang Syria, Koptik,
maupun Yunani sendiri berlangsung dalam bahasa Yunani. Dan dalam perdebatan itu tak
pernah terbersit bahwa mereka ini telah termasuk dalam dunia Barat. Sebab pada waktu itu
yang disebut Barat adalah theologia Agustinian dengan ekspresi bahasa Latin. Hanya sesudah
54
memisah dari kesatuan dari Gereja alur besar sajalah, terutama sesudah Konsili Ekumenis
Keempat Kalsedonia (451), baik orang-orang Syria Yakobit maupun umat Koptik ini
menuduh yang Yunani ini termasuk bagian Gereja Barat Barat bersama dengan Gereja Latin.
Ini disebabkan rumusan Kalsedonia yang memang dirumuskan oleh Paus Leo dari Roma,
yang diterima oleh orang-orang Yunani juga. Tuduhan yang sama dilakukan oleh saudara
Bambang Noorsena juga. Yang tak pernah disadari oleh Gereja-Gereja Oriental ini adalah
bahwa antara umat Yunani dan umat Latin ini terdapat perbedaan pemahaman mengenai
makna rumusan Kalsedon ini. Sementara Latin sering mendekati Nestorianisme dalam
pemahamannya akan rumusan Konsili Kalsedon ini, yang Orthodox Yunani bersama dengan
Orthodox Timur yang lain melihat rumusan Konsili Kalsedonia ini dalam kacamata ajaran
Kyrillos dari Alexandria, sebagaimana yang ditegaskan dalam Konsili Ekumenis ke V (553).
Oleh karena itu Konsili ke IV harus dilihat dalam kacamata Konsili ke V, dan bahkan ke VI
dan ke VII juga. Karena semuanya itu merupakan satu kesatuan, dan dalam semua Konsili ini
-termasuk mereka yang ikut hadir dari Gereja Barat Latin - pembahasannya menggunakan
bahasa Yunani.
Bahkan ilmu kalam dalam Islampun muncul setelah daulat Islam
menterjemahkan sastra Yunani ke dalam bahasa Arab, jadi dipengaruhi oleh
Helenisme.Sedangkan yang meletakkan landasan Westernasi dalam Gereja Purba justru di
Barat yaitu Tertulianus, dimatangkan oleh Agustinus, serta dijabarkan oleh Thomas Aquinas
dan semua pemikir-pemikir “Skolastik” dari Gereja Barat yang betul-betul mendasarkan
pemikirannya dari kategori pemikiran para ahli filsafat Yunani terutama Aristoteles. Itulah
yang memunculkan Rennaissance, Pencerahan, Revolusi Perancis dan semua fenomena
negara Barat lainnya, yang bangsa Yunani dan seluruh bangsa Orthodox tidak ikut
berpartisipasi di dalamnya. Dan latar-belakang sejarah yang demikian di dunia Barat inilah
yang akhirnya melahirkan konsep-konsep khas Barat Gereja Roma Katolik, serta dari sini
keluarnya Gereja-Gereja Protestan. Jadi tak pernah terjadi Helenisasi ataupun Westernisasi
dalam Gereja Orthodox, termasuk orang Helen atau Yunaninya sendiri.
3. Bahasa Asli Kitab Suci
Gatra juga menulis bahwa Orthodox Syria mengklaim punya bukti sejarah bahwa Injil yang
pertama berbahasa Syria dan Al-Masih berbicara dengan bahasa Syria. Semua sarjana Kitab
Suci tahu bahwa Kristus memang berbicara bahasa Syria (Aramia), namun bahwa Kitab Suci
yang asli berbahasa Yunani. Dan Kristus sendiripun tahu bahasa Yunani, karena Dia harus
juga berbicara dengan orang Yunani dalam pelayananNya, yaitu dengan perempuan Yunani
dari Siro-Fenisia ( Markus 7:26), dengan beberapa orang Yunani yang ingin bertemu
denganNya ( Yohanes 12:20). Gereja Purba di Yerusalempun penuh dengan orang-orang
Yunani atau orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani ( Kisah 6: 1) disamping mereka
yang berbahasa Ibrani yaitu Aramia (Syria) . Dan di Antiokhia pusat Gereja Syria itupun
mula-mula penginjilan dilakukan kepada orang-orang Yunani ( Kisah 11: 20). Berarti sejak
jaman Kristus sendiri dan jaman Gereja Perdana bahasa Yunani juga menjadi bahasa asli
Gereja disamping bahasa Aramia. Maka sungguh terlalu sempit kalau menjadikan bahasa
Syria sebagai bahasa asli Kekristenan. Apalagi bahasa Yunani adalah bahasa kaum terdidik
dan bahasa Internasional di kala itu, maka jelas bahwa Perjanjian Baru memang
menggunakan bahasa Yunani dari awalnya, kecuali mungkin Injil Matius yang kemungkinan
awalnya ditulis dalam bahasa Aramia baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.
Ini terbukti bahwa setiap kali ada kata-kata Aramia langsung diterjemahkan maknanya,
membuktikan pembacanya tak mengerti bahasa Aramia atau Syria itu ( misal, Yohanes 1:41,
42 20:16, Markus 7:34, dll.), dan membuktikan bahwa Perjanjian Baru tak ditulis dalam
55
bahasa Aramia aslinya, namun sesuai dengan peninggalan manuskrip tertua yang ada,
memang aslinya bahasa Yunani.
4. Mengenai Tidak Ada Izin dari Depag
Gereja Orthodox Alur Utama yang hadir di Indonesia yang dikenal sebagai “Gereja
Orthodox Indonesia” sudah ada sejak tahun 1988 ketika Romo Arkhimandrit Daneil
Bambang kembali ke Indonesia dan sudah mendapat izinnya secara resmi dari pemerintah
sejak tahun 1991 dan diperbaharui lagi pada tahun 1996 oleh Bimas Kristen (Protestan)
karena memang tidak ada Bimas Orthodox sendiri di Indonesia. Jikalau Pak Yan kawatu
menyatakan bahwa “Tidak ada Izin bagi Aliran Baru” kami dapat mengerti karena memang
Gereja Orthodox sudah ada, mengapa ada Gereja Orthodox lagi, jika akidahnya sudah sama.
Kecuali kalau masih mau disebut “Monophysit’ barulah itu namanya Gereja yang berbeda
yang mungkin memang memerlukan izin tersendiri. Sekarang Gereja Orhodox yang ada ini
telah memiliki 7 imam, 2 diaken, dan umatnya tersebar di beberapa tempat di Jawa, Bali,
Sulawesi dan Sumatera. Imam-imam tersebut adalah Romo Yohanes Bambang C.W. yang
melayani untuk daerah Surabaya dan Krian, serta memiliki cabang Pos P.I di Malang dan
Jember, Romo Chrysostomos Parluhutan Manalu yang melayani untuk daerah Medan,
Tarutung dan Kabanjahe, Romo Lazarus Bambang Sucanto yang melayani untuk daerah
Yogyakarta dan Cilacap dan sekitarnya, Romo Alexios S.Cahyadi melayani di Solo dan
sekitarnya, Romo Methodios S. Gunarjo melayani di daerah Boyolali dan sekitarnya. Romo
Stephanus Boik Nino melayani daerah Bali dan sekitarnya, Romo Diaken Panteleimon
melayani di daerah Mojokerto. Romo Daniel Bambang D.B, dibantu oleh Romo Matius
Bambang W. Budiharjo melayani di daerah Jakarta dan sekitarnya, meskipun Romo Daniel
harus bertanggung-jawab bagi perkembangan wilayah-wilayah yang lain.
56
AQIDAH DAN AJARAN KEIMANAN GEREJA
ORTHODOX
57
B.Ajaran Iman Gereja Orthodox.
I Sumber Ajaran Keimanan
Iman Kristen Orthodox adalah suatu kebenaran yang diwahyukan oleh Allah. Pewahyuan itu
pertama kali diberikan kepada Adam sendiri dengan janji akan datangnya “Keturunan
Perempuan/Maryam”, yaitu Almasih, yang akan “meremukkan kepala Ular/Iblis” (Kejadian
3:15). Dilanjutkan dengan janji Allah kepada Nuh tentang akan dipujinya nama “Allah” dari
keturunan Nabi Nuh ini melalui jalur keturunan Sem ( Kejadian 9:25-27) Dan dari keturunan
Sem ini ternyata Allah dipuji melalui pemilihan Abraham/Ibrahim, melalui jalur Ishak dan Yakub
yang kepada mereka dijanjikan akan adanya “keturunan” ( Kejadian 12:3, 22:18, 17:19, 26:4,
35:11), dan keturunan yang dimaksud untuk menjadi berkat bagi seluruh manusia dimuka bumi
melalui jalur Ibrahim/Abraham, Ishak dan Yakub ini adalah “Almasih” (“Kristus”) – (Galatia
3:16). Dari jalur Yakub ini munculnya Bani Israel, dari situ Nabi Musa menubuatkan bahwa dari
“tengah-tengahmu” yaitu dari tengah-tengah Israel akan muncul Nabi Besar seperti Musa, dan
Nabi ini tak lain adalah Almasih (Ulangan 18:15. Kisah 3: 21-24). Sehingga dengan datangnya
Kristus maka segenap nubuat dan wahyu tentang kedatangan Almasih itui sudah tergenapi. Maka
Almasih adalah puncak segala wahyu dan akjhir dari segala risalah kenabian sebagaimana yang
telah dijanjikan Allah melalui nabi-nabiNya terdahulu. Keberadaan Almasih sebagai “Firman
Allah yang menjadi daging “ ini ( Yohanes 1:14) disaksikan oleh para rasul yaitu murid-murid dan
utusan-utusan Almasih. Dan kepada mereka inilah diserahkan wibawa untuk mengajar dan
menyebarkan ajaran kebenaran Wahyu yang sudah genap dan paripurna itu di dalam Almasih:
Yesus Kristus. Sehingga pada jaman purba itu sumber Ajaran Keimanan itu adalah ajaran para
Rasul sendiri (Kisah 2:42, Lukas 1:2, Ibrani 2:3), baik yang bersifat lisan maupun yang kemudian
bersifat tulisan dalam surat-surat (II Tesalonika 2:15, II Tesalonika 2:2). Surat-Surat Rasuliah ini
akhirnya terkumpul dalam kanon Perjanjian Baru, sedangkan yang ajaran lisan tetap dihidupi
Gereja dalam wujud Paradosis Kudus. Paradosis Kudus ini akhirnya berkembang dalam
bentuk kongkrit dalam: Tertib Ibadah, Sakramen-Sakramen, Teks-teks Liturgis,
Pengakuan Iman Gereja, Tulisan Para Bapa Gereja, Hukum Kanon Gereja, bentuk seni
Gereja, Hirarki Gereja, Kehidupan Para Orang Kudus Gereja, Tradisi Dogmatis Gereja,
Rumusan-Rumusan Konsili-Konsili Gereja. Paradosis Kudus adalah lingkup yang
didalamnya Perjanjian baru itu dapat dimengeri dan ditafsirkan secara benar dan tidak
menyimpang.
Ajaran Rasuliah ini dengan berlalunya waktu dirumuskan dengan rumusan pendek-pendek,
misalnya: I Korintus 8:6, Kolose 1:15-16, Roma 10:9-10, I Korintus 15:3-5, dll. Rumusan
pendek-pendek ini biasanya diucapkan pada saat seorang dibaptiskan, dan mulai dikumpulkan
dalam bentuk Pengakuan Iman (Shahadat atau Kredo). Shahadat yang pertama kali mempunyai
bentuk baku adalah Shahadat dari Gereja Orthodox Lokal di Roma, yang sekarang kita sebut
58
sebagai: Pengakuan Iman Rasuli. Jadi Pengakuan Rasuli adalah rumusan dari Pengakuan Iman
Gereja Barat, yang tak bersifat Universal, namun lokal saja. Gereja-gereja Protestan yang pada
dasarnya produk Gereja Barat mewarisi Iman Rasuli yang didapatkannya dari Gereja Roma itu.
Di Gereja Timur pun muncul rumusan-rumusan pendek seperti itu namun tak segera menjadi
baku. Pada saat Konsili Universal dari Gereja Orthodox Purba yang mengikut sertakan Timur
dan Barat yang dilakukan di pusat Gereja Timur; Nikea - Konstantinopel (325, 381 Masehi)
Rumusan Universal dari Iman Rasuli itupun dihasilkan. Dan inilah yang disebut sebagai
Pengakuan Iman Nikea atau Syahadat Nikea. Karena Syahadat ini isinya lebih rinci dari pada
Syahadat Rasuli, serta menyangkut keseluruhan yang ada dalam Syahadat Rasuli, maka Syahadat
inilah yang menjadi standart pengakuan Gereja. Lagi pula ini dirumuskan oleh Gereja Universal
yang esa, yang belum terpecah-pecah, dan bukan produk Gereja Lokal, maka Iman ini adalah
Iman yang Universal dari Gereja yang esa itu. Inilah Iman Rasuliah Gereja Purba, bukan ide
sektarian dari suatu aliran keagamaan tertentu. Inilah simbol Iman Kristen sejati. Dan atas dasar
Pengakuan Iman Nikea inilah kita akan membicarakan segenap kebenaran wahyu Ilahi itu dalam
pembicaraan kita tentang Aqidah ini, karena Pengakuan Iman ini adalah ringkasan dari seluruh
ajaran Rasuliah yang termaktub dalam Kitab Suci.
1. Perlunya Ajaran Rasuliah.
a.Sesudah kebangkitanNya Kristus memerintahkan kepada kesebelas Rasul (karena Yudas
Iskariot telah mati bunuh diri).”...... pergilah jadikanlah semua bangsa muridKu dan
baptislah dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang Kuperintahkan kepadamu “( Matius 28:19-20). Perintah ini
mengandung beberapa hal: Para Rasul itu adalah pelanjut misi Kristus, para Rasul itu adalah
pelaksana Sakramen, para Rasul itu adalah pengajar. Serta isi ajaran rasul itu adalah “Segala
sesuatu” yang diperintahkan Kristus kepada para rasul tadi. Dengan demikian isi ajaran rasul
adalah ajaran Kristus sendiri. Karena Kristuslah yang memerintah dan menetapkan rasul-rasul ini
untuk mengajar berarti ajaran rasul itu haruslah menjadi standart bagi siapapun yang ingin
mengenal ajaran Kristus yang benar, karena isi ajaran rasuliah itu tak lain adalah “segala sesuatu
yang Kuperintahkan kepadamu.”
b.Hal ini menjadi sangat penting lagi karena adanya nabi-nabi palsu dan pengajar-pengajar palsu
yang memutar balikkan ajaran Kristus (Matius 7:15-20), bahkan mengatas-namakan dirinya
sebagai Kristus sendiri dan mengatasnamakan ajaran mereka sebagai ajaran Kristus sendiri
(Matius 24:24, I Yohanes 2:18-19). Dan Alkitab menyatakan bahwa banyak dari antara pengajar
palsu itu datangnya berasal dari antara komunitas Kristen sendiri.”........... sekarang telah
bangkit banyak antikristus.... Memang mereka berasal dari antara kita; tetapi mereka
tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita............ “(I Yohanes 2:18-19), juga :”Sebab
ternyata ada orang tertentu yang telah menyelusup ditengah-tengah kamu......... Mereka
adalah orang-orang kafir, yang menyalah gunakan kasih karunia Allah .......... (Yudas 1:4),
serta “ sebagaimana nabi-nabi palsu dahulu tampil di tengah-tengah ummat Allah,
demikian pula di antara kamu akan ada guru-guru palsu. Mereka akan memasukkan
pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan ... “ (II Petrus 2:1). Jika peringatan
diberikan oleh para rasul ketika mereka masih hidup, apalagi sekarang dengan membanjirnya
ajaran-ajaran dan dengan banyaknya “rupa-rupa angin pengajaran “ (Efesus 4:14), adalah
lebih diperlukan lagi kita harus kembali kepada ajaran rasuliah ini, karena merekalah yang telah
ditetapkan oleh Kristus untuk menjadi pengajar-pengajar, jadi bukan guru-guru atau pengajarpengajar yang mengangkat diri mereka sendiri itu, biarpun seandainya mereka mengaku dirinya
59
Kristen. Karena justru dari antara kalangan Kristen sendirilah pengajar-pengajar palsu itu
muncul. Ada orang yang mengatakan:”Yang pentingkan Yesus! Saya tak perlu Gereja, saya tak
perlu sejarah, saya tak perlu ajaran rasuliah?“ jawaban kita:”Memang yang penting itu Yesus, dan
itu harus menjadi pusatnya, namun Alkitab juga mengatakan adanya “Yesus yang lain”, “Injil
yang lain”, “roh yang lain” (II Korintus 11:4, Galatia 1:8-9), bagaimana jika Yesus yang kita
mengerti dari para pengajar tadi ternyata Yesus yang lain? Bukankah ini membahayakan
keselamatan kita ?
c. Lagi pula kita tak akan tahu Yesus tanpa Alkitab, dan Alkitab tak akan ada jika tak ada rasul
yang menuliskannya, dan Alkitab (terutama Perjanjian Baru) tak akan terbentuk sebagai kanon
jika tak ada Gereja sebagai alat Allah untuk mengkanonkannya. Bukankah jelas bahwa kita tetap
tergantung pada rasul juga. Sebab baik tulisan-tulisan dalam Alkitab maupun Gereja (yaitu Gereja
rasuliah) itu semua berasal dari karya rasul oleh bimbingan Roh Allah. Adalah hanya suatu
kebodohan dan ketidak-terdidikan atau bahkan kecongkakkan dan kepongahan saja mengatakan
bahwa kita tidak perlu rasul. Yang lebih penting lagi Alkitab dengan tegas mengatakan yang
dibawah ini mengenai ajaran palsu dan para penganutnya.”
“Seorang bidat yang sudah satu dua kali kaunasehati, hendaklah engkau jauhi. Engkau
tahu bahwa orang semacam itu benar-benar sesat dan dengan dosanya menghukum
dirinya sendiri” (Titus 3:10-11), juga: “tetapi sekalipun kami (rasul-rasul sendiri, pen.) atau
seorang malaikat dari sorga yangmemberitakan kepada kamu suatu Injil yang berbeda
...terkutuklah dia” (Garatia 1:8-9). Mengenai guru palsu diantara ummat Kristen itu Rasul
Petrus mengatakan: “Mereka adalah orang-orang yang terkutuk. Oleh karena mereka
telah meninggakan jalan yang benar, maka tersesatlah mereka...” (II Petrus 2:14-15). Tak
kurang keras dan tegasnya Rasul Yohanes dalam hal ini:”Jika seorang datang kepadamu dan
Ia tidak membawa ajaran ini (yaitu: ajaran rasul), janganlah kamu menerima dia di dalam
rumahmu dan janganlah memberi salam kepadanya. Sebab barang siapa memberi
salam keadanya, ia mendapat bagian dalam perbuatannya yang jahat “ (II Yohanes
10:11). Ayat-ayat datas dengan tegas memberikan kita perigatan mengenai beberapa hal, yaitu
bahwa bidat, yaitu pengikut ajaran non rasuliah yang sesat adalah sesat dan kesesatannya itu
menyebabkan dia akan terhukum. Demikian juga Injil yang berbeda, dengan demikian “Yesus
yang lain” dan “Roh yang lain” yang diikuti dan diajarkan orang menyebabkan orang yang
mengajar dan yang mengikutinya menjadi TERKUTUK. Guru-guru palsu yang yang
mengajarkan kesesatan yang tak sesuai dengan ajaran Petrus (ajaran rasuli) itu juga disebut
TERKUTUK, menurut Surat kiriman Petrus. Orang yang tak mengajarkan Ajaran Ini yaitu
ajaran seperti yang diajarkan rasul Yohanes yaitu ajaran Rasuliah dilarang diterima rumah orang
beriman oleh Yohanes dan bahkan dilarang memberi salam kepada orang semacam itu. Dan
Yohanes mengatakan apa yang dilakukan oleh para pengajar sesat ini adalah “perbuatan jahat”
yaitu karena hal itu menyebabkan kebinasaan kekal. Disinilah perlunya kita merenungkan sejenak
akan sikap kita yang terlalu tak peduli akan kebenaran ajaran rasuliah ini. Karena kutuk,
hukuman, kesesatan, kejahatanlah yang akan kita terima jika kita salah dalam meyakini ajaran
Kristus itu. Jadi tidak cukup hanya mengatakan:”Pokoknya Yesus.” Harus ditegaskan: Yesus
yang bagaimana? Yang rasuliah atau bukan ?!! Jadi ajaran rasuliah itu bukan hanya ajaran Petrus
semata, namun segenap ajaran rasul secara serempak dan bersama yang satu isinya dan satu
kebenarannya. Dan kepada ajaran yang satu dan yang sama dari para rasul inilah kita harus
kembali dan berpegang, sebab hanya itulah satu-satunya ajaran Kristus yang menjamin kita tak
terkutuk, tak terhukum dan tak dianggap berbuat kejahatan.
60
d.Jadi standard dan ukuran ajaran itu benar atau tidak, bukanlah “pendapatku dan tafsiranku”
lawan “pendapatmu dan tafsiranmu”, bukan pula karena dikutip dari ayat-ayat Alkitab yang
dipenggal-penggal dari beberapa bagian pasal dan ayat tertentu dari kitab-kitab dalam Alkitab,
namun seluruh kepenuhan dari kebenaran ajaran rasuliah yang tetap dipelihara oleh Gereja Purba
yang sampai sekarang berlanjut di dalam Gereja Orthodox. Oleh sebab itu Alkitab menegaskan
tentang standard atau ukuran menyimpang atu tidaknya suatu ajaran itu demikian:”Tetapi aku
takut , kalau pikiranmu disesatkan dari kesetiaanmu yang sejatikepada Kristus.... Sebab
kamu sabar saja, jika ada orang datang memberitakan Yesus yang lain dari pada yang
telah kami beritakan, atau memberitakan kepada kamu roh yang lain dari pada yang
telah kamu terima atau Injil yang lain daripada yang kamu terima “ (II Korintus 11:3-4),
juga:”Tetapi sekalipun kami atau seorang malaikat dari sorga yang memberitakan
kepada kamu suatu Injil yang berbeda dengan Injil yang telah ami beritakan kepadamu,
terkutuklah dia. Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi:
jikalau ada orang memberitakan kepadamu suatu Injil, yang berbeda dengan apa yang
telah kamu terima, terkutuklah dia” (Galatia 1:8-9), lagi:”....Allah, sesuai dengan Injil
yang kuberitakan, akan menghakimi sagala sesuatu yang tersembunyi dalam hari
manusia, oleh Kristus Yesus” (Roma 2:16) dan masih ada beberapa ayat lagi yang lain. Dari
ayat-ayat ini jelas bahwa menilai suatu ajaran sebagai “Yesus yang lain”, sebagai “roh yang lain”
dan sebagai “Injil yang lain” atau “Injil yang berbeda” atau ringkasannya sebagai ajaran yang
salah, bukanlah dengan apa yang diilhamkan oleh roh secara pribadi kepada perorangan, atau
tafsiran pribadi perorangan biarpun kalau itu dikutip dari ayat-ayat Alkitab sekalipun, namun
“lain” dan “berbeda”nya tadi harus diukur “dengan Injil yang telah kami beritakan kepadamu,”
“dengan apa yang telah kamu terima” “dari pada yang telahkami beritakan”, “dari pada yang
telah kamu terima,” yaitu “Injil yang kuberitakan”. Jadi standardnya adalah pemberitaan rasuliah
yang dterima oleh dan diberitakan kepada Gereja. Artinya ajaran itu harus sesuai dengan iman
dan ajaran Gereja Purba (Gereja Orthodox) sebagaimana yang tanpa dikurangi atau ditambahi –
tanpa diubah-ubah atau diselewengkan - tetap merupakan ajaran Rasuliah yang utuh.
e.Jadi kebenaran itu bukan bersifat individualistik namun bersifat mata-rantai dari rasul dan
bersifat komunal dari pihak yang menerima yaitu Gereja. Ajaran rasuliah yang sekali dan untuk
selamanya diserahkan kepada Gereja rasuliah sepanjang segala abad itu yang harus menjadi kaca
mata kita dalam mengerti Alkitab, sebab dari situlah konteks dan lingkup Alkitab itu mula-mula
ditulis berasal. Membaca Alkitab lepas dari konteks dan lingkupnya akan menuju kepada
kesalah-fahaman dan kesesatan saja. Karena tanpa kacamata ajaran rasuliah maka Alkitab yang
notabene Kitab Rasuliah tak akan berbicara menurut yang dikehendaki rasul. Contohnya: Jika
kaca mata Islam yang dgunakan membaca Alkitab, pasti Alkitab akan dibaca sebagai
sasmita/isyarat atau petunjuk datangnya Muhammad sebagai Nabi Islam diserta penolakan atas
keilahian Kristus yang terdapat didalamnya, ini yang banyak digunakan oleh para polemikus
Islam. Jika kacamata Protestan Injili yang digunakan, maka hal-hal mengenai Sakramen, Maria,
Gereja dan Hierarkhi itu pasti akan dilewatkan begitu saja. Jika kacamata Calvinistik yang
digunakan, maka ajaran tenmtang Predstinasi ala Calvinlah yang dtemukan dalam Alkitab. Jika
kacamata Kharismatik dan aliran Pantekosta yang digunakan , maka yang ditonjolkan dari
Alkitab hanyalah hal-hal mengenai karunia-karunia Roh Kudus serta dalam kacamata ini Alkitab
akan dimengerti, sedangkan hal-hal yang lain akan diabaikan. Demikianlah seterusnya. Namun
jika kacamata ajaran rasuliah yang kita gunakan, maka segenap kepenuhan ajaran rasuliah dengan
segala kepenuhannya yang akan kita temukan dalam Kitab yang rasuliah ini. Untuk itulah dalam
pelajaran kita ini, kita akan menggunakan rumusan Iman Rasuliah dalam pengakuan Iman Nikea
itu sebagai landasan berangkat dalam pembahasan kita , serta keseluruhan ajaran rasuliah yang
61
dipelihara dalam Gereja itulah yang akan menjadi kacamatanya di dalam kita membaca Alkitab
sebagai sumber utama Iman kita ini. Untuk ini marilah kita perhatikan bunyi Pengakuan Iman
Nikea itu sebagai yang tertera dibawah ini:
2.
Bunyi “Pengakuan Iman Nikea”
1. Aku percaya pada satu Allah, Sang Bapa, Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan
Bumi, dan Segala Sesuatu yang Kelihatan maupun Tak Kelihatan.
2
Dan kepada Satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Tunggal Allah, yang diperanakkan
dari Sang Bapa sebelum segala zaman. Terang yang keluar dari Terang; Allah
Sejati yang keluar dari Allah sejati; Yang Diperanakkan dan bukan diciptakan,
satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa; yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan.
3
Yang untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita, telah turun dari Sorga, dan
menjelma oleh Sang Roh Kudus dan dari Sang Perawan Maryam serta menjadi
Manusia.
4
Telah disalibkan bagi keselamatan kita dibawah pemerintahan Pontius Pilatus,
Dia menderita sengsara dan dikuburkan.
5
Dan telah bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci.
6
Dan telah naik ke Sorga, serta duduk disebelah kanan Sang Bapa.
7
Serta Dia akan datang lagi dalam kemuliaan untuk menghakimi orang yang hidup
maupun orang mati, yang KerajaaNya tidak ada akhirnya.
8
Dan aku percaya pada Sang Roh Kudus, Tuhan Sang Pemberi Hidup, yang
keluar dari Sang Bapa, yang bersama dengan Sang Bapa dan Sang Putra disembah
dan dimuliakan, yang berbicara melalui para Nabi.
9
Aku percaya pada Gereja Yang Satu, Kudus, Katolik, dan Apostolik.
10 Aku mengakui Satu Baptisan bagi Pengampunan dosa-dosa
11. Aku menunggu akan kebangkitan Orang-Orang mati .
12 Serta Kehidupan Zaman yang akan datang. Amin.
Dari Pengakuan Iman diatas kita lihat unsur-unsur Aqidah Iman itu secara garis besar. Atas
landasan isi yang sudah secara garis besar dikandung dalam Pengakuan Iman ini pula kita akan
memperdalam makna Aqidah Iman Rasuliah atau Dogma Orthodoxia Kristen itu secara rinci.
Untuk itulah mari kita bahas rincian kandungan dan tema-tema aqidah yang ada dalam
Pengakuan Iman (Syahadat) Kristiani itu.
II.Bentuk Tema Pengakuan Iman
Rumusan ini disebut Pengakuan karena berbentuk suatu pernyataan “Aku” dan disebut
Pengakuan Iman karena si “Aku” ini menyatakan “Percaya” (Beriman). Dalam Bahas Arab
disebut “Syahadat” dari kata “Asyhadu” artinya “Aku mengaku” atau “Aku Bersaksi”. Dan orang
yang bersaksi atau mengaku ini disebut “Syahid”.
62
Bentuk dari Pengakuan Iman ini dapat kita katakan sebagai bentuk pengakuan yang ber-pola-kan
Tritunggal, yaitu: butir 1, mengenai Allah, Bapa dan KaryaNya; butir 2-7 mengenai Yesus Kristus
(Firman Allah) dan KaryaNya, butir 8-12 mengenai Roh Kudus (Roh Allah) dan KaryaNya.
Dengan demikian Pengakuan Iman ini adalah Pengakuan kepada: Allah Yang Esa (Bapa),
FirmanNya yang kekal (Putra), dan RohNya sendiri yang berada di dalam Diri Allah ( Roh
Kudus). Keyakinan akan Tritunggal Maha Kudus (Allah Yang Esa yang memiliki Firman dan
Roh Yang Kekal) itu menjadi kesimpulan dari semua aqidah Iman Kristen, salah mengerti makna
Tritunggal Maha Kudus itu akan mengacaukan pengertian kita akan Aqidah kebenaran itu
sendiri.
Dari kedua belas butir Pengakuan Iman ini, butir-butir mengenai Yesus Kristus jauh lebih
banyak dibanding dengan butir-butir yang lain, yaitu ada 6 butir (dari butir 2 s/d butir 7), disusul
oleh butir-butir mengenai Roh Kudus: 5 butir (dari butir 8 s/d 12). Ini menunjukkan sentralitas
Yesus Kristus dalam Iman Kristen, dan pentingnya Roh Kudus dalam pengalaman kehidupan
Kristen. Dikatakan pengalaman, karena karya Roh Kudus bertalian langsung dengan eksistensi
Kristen yaitu: Sakramen (Baptisan), Gereja dan Kebangkitan serta kehidupan kekal.
Dalam Yesus Kristuslah secara obyektif manusia diselamatkan: Turun dari Sorga, Menjelma,
Disalibkan, Dikuburkan, Bangkit, Naik ke Sorga dan Datang untuk kali yang ke dua.
Namun dalam Roh Kuduslah keselamatan yang bersifat historis (dibawah pemerintahan Pontius
Pilatus) dan realistis (telah turun, telah disalibkan, telah bangkit, telah naik ke sorga) itu menjadi
pengalaman subyektif manusia melalui menyatu dengan kematian dan kebangkitan Kristus dalam
Baptisan dan menghayati makna kehidupan baru itu di dalam Gereja. Sehingga oleh Roh Kudus
yang sama itu, manusia manunggal dengan kehidupan kebangkitan Kristus (“kebangkitan orangorang mati”) untuk akhirnya masuk dalam kehidupan Ilahi yang dinyatakan dalam langit baru
dan bumi baru (“Kehidupan zaman yang akan datang”)
Rangkuman waktu yang dibahas oleh Pengakuan Iman ini adalah sejak diciptakannya langit dan
bumi sampai dengan zaman yang akan datang. Artinya Pengakuan Iman ini merangkum segenap
aqidah bagi kehidupan Kristen yang menembus dari asal mula (Sangkan) sampai dengan tujuan
akhir (Paran) Ciptaan (Dumadi). Dan semuanya terjadi karena Allah melalui Yesus Kristus Di
dalam Roh Kudus.
63
III.Rincian Isi Pengakuan Iman
I. Aqidah tentang Allah
1. Ke-Esa-an Allah (Tauhid)
Pengakuan Iman ini dilandasi dan dimulai dengan Pengakuan yang amat penting yaitu percaya
“kepada...Allah”, yang berarti Iman Kristen Orthodox memulai segala sesuatunya dengan
Allah. Dialah yang menjadi asal mula dari segala sesuatu. Allah yang bagaimana yang dipercayai
oleh Iman Kristen Orthodox ini? Yang dipercayai tak lain adalah “ SATU Allah”. Itulah
landasan iman Kristen yang lurus dan benar. Allah itu hanya satu saja dan bukan dua atau lebih.
Dan Allah yang Satu ini adalah Allah yang hidup, dan menyapa manusia sebagai anak-anakNya
secara rohani, sehingga Dia disebut Bapa, meskipun Allah itu tak berjenis kelamin: bukan lakilaki, bukan perempuan, bukan banci. Dengan demikian Iman Kristen Orthodox tidak
mempercayai suatu ide tentang Yang Ilahi yang bersifat abstrak dan jauh dari manusia, namun
Allah yang hidup yang berkenan untuk berhubungan dalam kasih dengan manusia sebagai Bapa.
Menurut Iman Kristen Orthodox pangkal awal dari keyakinan yang benar tentang Allah harus
dimulai dengan dasar tentang Ke-Esa-an Allah. Junjungan Agung kita Yesus Kristus
mengajarkan:” …Hukum yang terutama ialah:’….Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa” (
Markus 12:29). Jadi pengakuan akan Tauhid menurut Sang Kristus adalah merupakan hukum
yang terutama, yaitu awal dari segala-galanya. Dan itulah fondasi dari segala dogma dan aqidah
Iman Kristen Orthodox lainnya. Itulah sebabnya Syahadat atau Pengakuan Iman Gereja dimulia
dengan kata-kata :” Aku percaya pada SATU ALLAH” Dengan demikian iman akan Tauhid
atau Ke-Esa-an Allah adalah suatu keharusan yang tak dapat ditawar lagi dalam Iman Kristen
Orthodox di dalam menghayati kebenaran tentang keberadaan Ilahi. Ini adalah kebenaran mutlak
yang harus diyakini sepenuhnya. Keharusan akan Ke-Esa-an Allah ini memiliki dua landasan,
yaitu landasan Kitabi sebagaimana yang dijelaskan dalam Alkitab sebagaimana yang akan kita
bahas dibawah ini. Juga landasan pertimbangan akal. Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja
menegaskan bahwa Allah itu memang satu, dan pertimbangan akal menyungguhkan bahwa Ia
memang harus satu. Pertimbangan akal yang mengharuskan ke-Esa-an Allah itu adalah demikian:
Alam semesta yang ada ini bergerak sesuai dengan hukum alam yang ada. Satu sama lainnya tak
ada yang saling berbenturan. Ini berarti bahwa memang ada suatu “Akal-Budi Agung” yang
mengatur jalan dan gerak yang ada dalam alam semesta. Adnaya gerak yang harmonis itu
menunjukkan adanya hanya “Satu Kehendak” dan demikian adanya hanya satu “Akal-BudiAgung” yang demikian yang mengatur segala yang ada dalam alam ini. Sebab jika ada lebih dari
satu kehendak tak mungkin ada harmoni dalam alam ini. Masing-masing kehendak itu pasti
mempunyai caranya sendiri-sendiri dalam ,mengatur alam ini. Adanya banyak kehendak pasti ada
banyak akal-budi, dan adanya banyak akal-budi pasti adanya banyak ilah. Namun faktanya
kehendak yang banyak yang sedemikian itu tak kita jumpai dalam fenomena keharmonisan alam
ini. Dengan demikian itu mengharuskan hanya ada Satu Kehendak, Satu Akal-Budi-Agung,
berarti Satu Allah. Meskipun agama yang menyembah banyak Dewapun pada analisa terakhir
harus mengakui bahwa yang sebenarnya hanya ada satu Allah saja. Karena banyaknya Dewa tak
akan memuaskan manusia akan rasa manunggal pada Yang Esa, dan yang Mutlak. Sebab jika ada
64
banyak Dewa berarti tidak ada yang Mutlak. Itulah sebabnya pengalaman batin manusia
menghendaki adanya yang mutlak dan absolut, yang hal itu menuntut adanya Allah yang hanya
satu. Sifat-sifat Allah dalam bahasa keagamaan yang lazim di Indonesia selalu menggunakan
istilah “Maha” yang artinya “paling dan “tak ada duanya”. Maka jika seorang Pencipta itu
serba”Maha”: Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Agung , Maha Kasih
dan lain-lain, haruslah Dia itu Esa tidak ada duanya. Sebab apa yang ada tandingannya itu sudah
bukan serba”Maha” lagi, namun sudah menjadi relatif dan nisbi. Dewa yang ini “lebih kuasa”
dari Dewa yang itu. Ilah yang ini “Kurang Kasih” dibanding dengan Ilah yang itu, dan
sebagainya. Pula keteraturan dunia ini mengharuskan adanya Allah yang hanya satu saja. Sebab
jika ada Allah lebih dari satu, dunia ini akan hancur berantakan, sebab Ilah yang satu akan
menghendaki dunia diatur menurut caranya, sedangkan ilah yang lain menghendaki cara yang
lain, sehingga hancurlah tatanan alam ini. Maka haruslah Allah itu hanya satu, tak boleh lebih.
Allah adalah Maha Tak Terbatas, jika ada lebih dari satu Allah maka ilah yang satu akan dibatasi
keberadaannya oleh ilah yang lain itu, dan itu mustahil bagi sifatnya yang Maha Tak Terbatas iitu.
Demikianlah maka segala alasan mengharuskan kita menegaskan dan menyakini bahwa yang
sebenar-benarnya itu hanya ada satu Allah saja yang tak ada sekutu bagiNya, sebagaimana yang
diterangkan oleh ayat-ayat dibawah ini.
a.Bukti-Bukti Tauhid
Bersama dengan agama sebelumnya: Yahudi, dan agama sesudahnya : Islam, Iman Kristen
Orthodox adalah keyakinan yang berlandaskan Tauhid ( Keesaan Allah ). Berdasarkan
kebenaran yang paling mendasar dari pengakuan Kristiani tentang Tauhid inilah segenap ajaran
Kristen berpangkal. Mengenai keyakinan akan Tauhid ini Alkitab tanpa ragu ragu lagi
menyuarakan suara serentak dengan lantang. Sebagaimana dikatakan dalam ayat-ayat berikut ini :
Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah
kita, Tuhan itu esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan
hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak
ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat
itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain
kecuali Dia. ( Markus 12:29-32 )
Pernyataan Yesus yang tegas tentang keesaan Allah ini, diambil dari Syahadat Yahudi yang
disebut “ shema “, untuk menunjukkan bahwa Yesus datang bukan untuk menggantikan atau
menyingkirkan pengajaran Taurat ( Torah ) dan para Nabi sebelumnya, namun untuk
meneguhkan dan menegaskannya. Dengan demikian pengakuan akan Tauhid ini adalah
merupakan ajaran pokok atau “ Hukum yang terutama” menurut Yesus kristus, baik dalam
Taurat dan kitab para Nabi ataupun dalam ajaran Isa Almasih ( Yesus Kristus ) sendiri.
Seiring dengan ajaran Almasih mengenai Tauhid ini, Alkitab secara keseluruhan memang
memberitakan fakta keesaan Allah ini.
“ Dengarlah, hai orang Israel TUHAN Allah kita, TUHAN itu Esa” ( Ulangan 6:4)
Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah
mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari
65
terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah
Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. ( Yesaya 45:5-6 )
Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus
menyembah Tuhan Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius
4:10 )
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah
yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” ( Yohanes 17:3 )
“Artinya, kalau ada Satu Allah, yang akan membenarkan baik orang-orang bersunat
karena iman, maupun orang-orang tak bersunat juga karena iman.” ( Roma 3:10 )
“………. kita tahu; tidak ada berhala dalam dunia dan tidak ada Allah lain dari pada
Allah yang esa.” ( I Korintus 8:4 ).
“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari padaNya berasal
segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup kita hidup,…. “ ( I Korintus 8:6 )
“Seorang pengantara bukan hanya mewakili satu orang saja , sedangkan Allah adalah
satu “( Galatia 3:20 ).
“satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang diatas semua dan oleh semua dan di dalam
semua” ( Efesus 4:6 ).
“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan
manusia, yaitu manusia Yesus Kristus,” ( I Timotius 2:5 ).
“Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun
juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19 ).
“Allah yang esa , juru selamat kita oleh Yesus Kristus, Tuhan kita .bagi Dia kemuliaan,
kebesaran, kekuatan dan kuasa sebelum segala abad dan sekarang dan sampai selamalamanya. Amin.” ( Yudas 25 )
Ayat-ayat Alkitab baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru yang kita kutip
diatas menjelaskan secara lugas tanpa keraguan bahwa Iman Kristen itu adalah iman yang
bersendikan Tauhid ( Keesaan Allah ) sebagai landasan imannya. Adalah suatu kekeliruan yang
besar jika ada orang yang menganggap bahwa Tauhid itu dalam Agama Kristen telah berubah
menjadi musyrik ( menyekutukan Allah atau berilah lebih dari satu ).Pengakuan akan keesaan
Allah adalah landasan yang pokok dan haruslah merupakan hakekat yang terdalam dari setiap
agama dan pengakuan manusia akan Sang Pencipta.
b. Tuntutan Tauhid.
Pengakuan akan keesaan Allah meskipun merupakan landasan fundamental bagi agama dan iman
yang benar, belumlah cukup pada dirinya sendiri, sebelum kita mengerti secara benar tuntutan
apa yang diminta dari pengakuan semacam ini. Sebab Iblispun mengakui akan Tauhid, namun
66
dia tak bersikap me-Tauhid-kan Allah, sehingga Tauhidnya Iblis itu tak membawa dia ke dalam
pengampunan Ilahi, sebagaimana yang dikatakan :
“Engkau percaya , bahwa hanya ada satu Allah saja ? itu baik ! Tetapi setan-setanpun
juga percaya akan hal itu dan mereka gemetar.” ( Yakobus 2:19 ).
Yang hendak ditegaskan oleh ayat ini adalah bahwa,memang pengakuan akan Tauhid itu baik
pada dirinya sendiri, namun setan-setanpun percaya akan kebenaran fundamental ini dan mereka
takut, tetapi kepercayaan mereka akan tauhid ini tidak membawa setan-setan itu kepada
pengampunan ilahi dan keselamatan kekal. Berarti ada pengakuan yang salah dan tidak tepat
akan Tauhid ini. Jadi ada tuntutan kongkrit agar Tauhid itu bersifat murni dan tak terkotori oleh
yang musyrik ( menyekutukan Allah, Polytheisme ). Mengakui, percaya bahwa Allah itu Esa
belumlah cukup sebelum kita berniat untuk meng-Esa-kan atau me-Tauhid-kan Allah dalam
sikap hidup kita. Bagaimana tuntutan me-Tauhid-kan atau meng-Esa-kan Allah harus kita
mengerti, dijelaskan oleh Alkitab secara sangat tuntas dan gamblang.
- Tauhid Keilahian (Tauhid Ilahiyah) .
Tauhid Keilahian ini adalah pengakuan tentang keesaan Allah yang menyangkut Dzat dan
Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Nama Allah dan Keberadaan Allah. Ini menyangkut cara pikir
dan cara pandang kita tentang Allah. Alkitab menegaskan dalam Injil Markus demikian:
“Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah
kita, Tuhan itu esa.Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Dan
hukum yang kedua ialah : kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Tidak
ada Hukum lain yang lebih utama dari pada kedua hukum ini.” Lalu kata ahli Taurat
itu kepada Yesus:”Tepat sekali ,Guru, benar kataMu itu, bahwa tidak ada yang lain
kecuali Dia.” ( Markus 12:29-32 )
Karena Allah itu Esa maka kasih kita kepada Allah itu haruslah utuh dan bulat serta satu
(“segenap”). Dalam kaitannya dengan cara pikir dan cara pandang kita tentang keesaan Ilahiah
ini maka “segenap akal-budi” kita, bukan hanya sebagian saja dari akal-budi itu, haruslah sematamata diarahkan kepada Allah yang satu itu. Berarti akal-budi itu harus mengerti makna dari
pada dan bertumpu pada tauhid, sehingga tak ada tempat bagi yang bukan Allah dan bagi
kemusyrikan. Agar akal budi itu bertumpu pada tauhid maka akal-budi harus menganalisa
bagaimana kemurnian tauhid itu harus dimengerti. Dan Alkitab memberikan kepada kita ajaran
yang jelas mengenai Tauhid Keilahian ini :
“Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain;kecuali Aku tidak ada Allah. Aku telah
mempersenjatai engkau, sekalipun engkau tidak mengenal Aku,supaya Orang tahu dari
terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang lain diluar Aku, Akulah
Tuhan dan tidak ada lagi yang lain. “ ( Yesaya 45:5-6 ).
“Bukankah Aku, Tuhan?, tidak ada yang lain, tidak ada Allah selain dari padaKu. Allah
yang adil dan Juruselamat tidak ada yang lain kecuali Aku!” ( Yesaya 45:21 ).
67
Ayat-ayat ini dengan tegas mengajarkan kepada kita bahwa Allah itu Tunggal tanpa ada sekutu
dalam keberadaanNya. Dialah satu-satunya Allah yang tiada tandingan bagiNya. Dzat
HakekatNya tak tertandingi, serta hanya Dia saja yang memiliki Dzat-Hakekat keilahian yang
semacam itu. Tiada sekutu dalam Dzat Hakekat maupun WujudNya. Dialah satu-satuNya yang
memiliki keberadaan Dzat-Hakekat semacam itu. Karena Allah itu satu maka satu pula DzatHakekat Allah itu.Tidak ada yang disebut Ilah atau Allah sekalipun selain Dia yang satu dan Esa
itu. Karena Dia itu Esa dalam keberadaanNya maka Esa pula dalam segala sifat-sifatNya
sehingga tak ada satupun yang dapat dibandingkan denganNya.
“Kepada siapakah kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan
mengumpamakan Aku,sehingga kami sama?” ( Yesaya 46:5 )
Allah tak ada persamaan dalam sifat-sifatNya. Allah itu unik dan terpisah dari makhlukNya. Jika
Dia mempunyai sifat sama dengan lainnya berarti Dia bukan unik dan bukan Esa lagi. Itulah
sebabnya bagi Allah semua ilah yang disembah manusia itu tak mempunyai sifat ilahi sedikitpun
namun malah hanya sekedar gambaran yang rusak tentang keilahian yang dibuat makhluk
sendiri. Dibandingkan dengan semuanya itu Allah itu tidak dapat diserupakan oleh apapun
dalam segala sifat-sifatNya.
“Supaya orang tahu dari terbitnya matahari sampai terbenamnya, bahwa tidak ada yang
lain diluar Aku, Akulah Tuhan dan tidak ada lagi yang lain, yang menjadikan terang dan
yang menciptakan gelap, yang menjadikan nasib mujur dan menciptakan nasib malang;
Akulah Tuhan yang membuat semuanya ini.Hai langit, teteskanlah keadilan dari atas,
dan baiklah awan-awan mencurahkannya ! Baiklah bumi membuka diri dan
bertunaskan keselamatan, dan baiklah ditumbuhkannya keadilan! Akulah Tuhan yang
menciptakan semuanya ini.” ( Yesaya 45:6-8 )
Itulah sebabnya semua Nama Allah yang menunjukkan karya dan sifat-sifatNya selalu diberi
tambahan kata ”Maha” atau “All” dan “Most” atau “Omni” dalam ekspresi Liturgis dan
Teologi Gereja yang berbahasa Inggris misalnya : Maha Kuasa ( Almighty ), Maha Melihat (
Omniscience, Allseeing ), Maha Besar ( Most Great ), Maha Hadir ( Omnipresence ),
Maha Suci ( All-Holy, Most Holy ) dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa hanya Allah saja
dan tidak ada yang lain yang memiliki sifat yang menunjukkan karyaNya sebagai Nama yang
dimilikiNya sendiri, serta tak ada yang lain yang berhak di beri gelar semacam itu. Nama-nama
dan sifat-sifat yang paling unggul dan paling indah ini hanya dimiliki oleh Allah saja, karena
hanya Dia yang memiliki kuasa dan kemampuan serta sifat-sifat yang disebut dalam Namanama tadi. Memberi sifat yang bukan Allah dengan sifat-sifat Allah adalah suatu hujatan
terhadap kesucian dan keesaan Allah ini. Dan pensifatan semacam itu adalah dusta sebab apa
yang bukan Allah tak mungkin memiliki sifat dan kuasa yang dimiliki oleh Allah, yang sifat dan
kuasa tadi dinyatakan dalam gelar Nama Allah tadi. Itulah sebabnya Nama Allah itu haruslah
hanya milik Allah sendiri. Namun itu haruslah Esa sebagai hak dari Allah yang Esa tadi, itulah
nama yang unik bagi Allah. Makhluk tak berhak ikut mengambil bagian dalam Nama Allah yang
Esa ini secara hakiki.
- Tauhid Kepenguasaan ( Tauhid Rububiyah).
68
Iman akan Tauhid keilahian itu belum cukup jika tidak pula disertai dengan iman akan keesaan
Karya dan Penguasaan Allah serta pengaturan dan pemilikanNya atas alam ini. Mengenai
keesaan karya Allah dalam menciptakan dunia ini dikatakan demikian.:
“Beginilah Firman Tuhan, penebusmu, yang membentuk eangkau sejak dari
kandungan;
“Akulah Tuhan, yang menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan
langit, yang menghamparkan bumi-siapakah yang mendampingi Aku ?” ( Yesaya 44:24 )
Karena “seorang diri” Allah menciptakan alam semesta ini, maka mensifatkan penolong atau
pembantu bagi Allah, yang mendampingiNya dalam proses penciptaan ini adalah merupakan
pelanggaran dan hujatan atas Tauhid akan Penguasaan Allah ini. Di dalam sekte aliran Saksi
Yehuwah dipercayai bahwa Allah menciptakan seorang makhluk awal yang disebut ”Firman”
atau “Anak Allah” yaitu “Malaikat Mikael” sebagai makhluk roh pertama yang dijadikan
sebelum adanya alam-semesta ini dan melalui bantuan makhluk pertama yang berwujud roh “
Malaikat Mikael” inilah Allah menjadikan alam-semesta ini. Ajaran ini secara terang-terangan
bertentangan dengan konsep Tauhid kepenguasaan atau Tauhid Rububiyah ini. Sebab Allah
menciptakan tanpa ada seorangpun yang mendampinginya, seorang diri saja Dia menciptakan,
serta tak ada makhluk yang dapat menciptakan makhluk lain apalagi mendampingi Allah demi
membantu karyaNya. Ini jelas ajaran yang mempersekutukan Allah dengan makhlukNya, yang
ditentang oleh Alkitab. Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun dalam menjadikan alam ini.
Dia ada dengan sendiriNya dan Dia unik dalam kuasaNya. Tak seorang makhlukpun yang
memiliki sifat sebagai Pencipta, Allah sendirilah Pencipta itu.
Karena Allah itu seorang diri saja dalam menciptakan maka Dia saja pemilik segala sesuatu yang
sebenarnya dalam alam-semesta ini.
Tuhanlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di
dalamnya. (Mazmur 24:1 ).
Sebagai pemilik atau yang empunya alam semesta satu-satunya, Dialah pemelihara satu-satunya
atas alam-semesta dan semua yang hidup di dalamnya :
“Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah-lembah, mengalir diantara
gunung-gunung memberi minum segala binatang di pandang, memuaskan haus keledai
keledai hutan, di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul diantara daun-daunan,
Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar-kamar lotengmu, bumi
kenyang dari buah pekerjaanMu Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan
tmbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan makanan dari dalam
tanah yang ... dan makanan yang menyegarkan hati manusia.... Engkau yang telah
membuat bulan menjadi penentu waktu, matahari yang tahu akan saat
terbenamnya...singa-singa muda mengaum-aum akan mangsa, dan menuntut
makanannya dari Allah.... lihatlah laut itu.... disitu tidak terbilang banyaknya binatangbinatang kecil dan besar... Semuanya menantikan Engkau, supaya diberikan makanan
pada waktunya” ( Mazmur 104:10-27 ).
Pemeliharaan dan kepenguasaan Allah itu demikian luasnya mencakup segala sesuatu yang ada di
dalam alam ini. Baik bagi alam-semesta itu sendiri, bagi berjalannya planet di Antariksa: bulan,
matahari, maupun bagi tumbuhnya tanam-tanaman dan kehidupan hewan dan manusia, baik
69
yang berada di darat, laut maupun udara. Tidak ada ilah-ilah yang terpisah-pisah yang menguasai
dan memelihara itu semuanya, namun semuanya di bawah penguasaan Allah yang hanya satu itu.
Allahlah pemilik semuanya itu, dan tak ada yang lain. Kita tak mengenal ilah atau Dewa yang
menguasau air, Dewa penguasa laut, dewa penguasa matahari, atau bulan, dewa pemberi rejeki.
Tidak!!!. Semuanya itu tidak ada. Hanya ada Allah yang Esa yang menguasai semuanya itu. Dan
hanya kepadaNya saja semua makhluk berhajat dan berharap. : “SEMUANYA
MENANTIKAN ENGKAU “ ( Mazmur 104: 27 )
Menyadari bahwa segenap hidup dan segala prosesnya itu berada dan tunduk dibawah
kepenguasaan Allah yang satu itu, maka sudah seharusnya manusia harus mengarahkan baktisyukur dan ibadahnya kepada Allah semata, untuk itulah kita membahas bentuk Tauhid yang
selanjutnya.
- Tauhid Ibadah ( Tauhid Ubudiyah).
Tauhid Ibadah ini juga yang disebut sebagai “Tauhid Ubudiyah”. Makna dari Tauhid
ubudiyah ini adalah bahwa hanya Allah yang Esa itu saja yang patut di ibadahi manusia, serta
tak ada yang lain yang patut disembah oleh manusia kecuali Allah yang Esa itu. Almasi
mengatakan :
Maka berkatalah Yesus kepadanya : “ Enyahlah, Iblis ! sebab ada tertulis: Engkau harus
menyembah Tuhan Allahmu dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti” ( Matius
4:10 )
“Hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti !! “ demikian penegasan Almasih yang tak
dapat diragukan lagi. Dan ajaran Almasih ini adalah merupakan penegasan dari apa yang
diajarkan oleh Nabi Musa di dalam Taurat.
Engkau harus takut akan Tuhan, Allahmu; kepada Dialah engkau haruslah beribadah
dan demi namaNya haruslah engkau bersumpah.
Janganlah kamu mengikuti allah lain, dari antara allah bangsa-bangsa sekelilingmu, (
Ulangan 6: 13-14 ).
“Kepada Dia haruslah engkau beribadah” dan “ Janganlah engkau mengikuti ilah lain”
adalah suatu penyataan yang tegas mengenai Tauhid atau keesaan dalam penyembahan atau
ibadah kepada Allah ini. Bukan hanya kita harus beribadah kepada Allah semata ( Tauhid
Ubudiyah ) namun juga kita harus menolak secara aktif eksistensi dari penyembahan atau ibadah
kepada ilah yang bukan Allah itu. Jadi tak bisa secara praktek kita memang hanya menyembah
kepada Allah saja, namum dalam hati atau secara tersembunyi mengakui keberadaan ilah yang
lain. Kita harus dengan tegas mengatakan bahwa “ tidak ada ilah lain selain dari Allah yang
esa”. ( I Korintus 8:4 ). Tak mungkin pula dimulut kita mengaku bahwa Allah itu esa dan tidak
ada ilah lain dari pada Allah yang esa namun di pihak lain, kita mengakui kuasa dari sesama
makhluk sebagai yang mempunyai kuasa sama dengan Allah serta kita melakukan penyembahan
kepadanya. Ibadah kita haruslah sama sekali utuh dan satu khusus kepada Allah semata
sebagaimana yang diajarkan Almasih :
Jawab Yesus:” Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah
kita, Tuhan itu esa. Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
70
segenap jiwamu dan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu”. ( Markus
12:29-30 ).
Wujud manusia mengasihi Tuhan Allah adalah dalam Ibadah. Dan Ibadah itu menyangkut
keutuhan keberadaan Si manusia secara lengkap: hati, jiwa, akal-budi dan kekuatan. Jadi berarti
tidak ada satupun dalam unsur keberadaan manusia itu tidak ikut terlibat secara langsung dengan
sikap mengasihi Allah dalam ibadah. Manusia itu harus utuh dan satu dalam penyembahan
kepada Allah. Itulah sebabnya unsur kemanusiaan yang terlibat dalam penyembahan yang utuh
haruslah satu juga, yaitu harus “segenap” artinya tiada ruang dan tempat yang kosong atau
terluang untuk tidak mengasihi Allah, yang bukan Allah tidak boleh menempati tempat Allah,
haruslah segenap kemanusiaan itu secara utuh dan satu menyembah dan beribadah kepada Allah,
karena Allah itu hanya satu saja.
“...Takutlah akan Tuhan dan beribadahlah kepadaNya dengan tulus iklas dan setia.
Jauhkanlah ilah yang kepadanya nenek-moyangmu telah beribadah...Kamipun akan
beribadah kepada Tuhan, Allah kita... Apabila kamu meninggalkan Tuhan dan
beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari padamu dan melakukan yang
tidak baik kepada kamu serta membinasakan kamu... jauhkanlah ilah asing ... dan
condongkanlah hatimu kepada Tuhan..kepada Tuhan, Allah kita, kami akan beribadah,
dan firmanNya akan kami dengarkan “ ( Yosua 24:14-24 ).
c. “Tauhid” Lawan “Musyrik”.
Musyrik adalah keyakinan serta sikap hati dan ibadah yang membuat sekutu dan tandingan bagi
Allah, sehingga dengan demikian keesaan Allah dalam keilahianNya ( Tauhid Ilahiah ), dalam
kepenguasaanNya (Tauhid Rububiyah ), dan dalam Ibadah kepadaNya ( Tauhid Ubudiyah )
mengalami pengrusakan dan perongrongan. Sikap musyrik ini sangat membahayakan bagi
keselamatan manusia sehingga diancam:
Apabila kamu... beribadah kepada ilah asing, maka Ia akan berbalik dari
padamu......serta membinasakan kamu...” ( Yosua 24:20 ).
Juga tertulis :
“ Perbuatan daging telah nyata, yaitu....penyembahan berhala...barangsiapa melakukan
hal-hal yang demikian, ia tidak akan mendapat bagian dalam kerajaan Allah.” ( Galatia
5:19-20 ).
Karena demikian beratnya ancaman yang diberikan bagi para Musyrikin ( orang-orang yang
melakukan tindakan musyrik ), adalah sangat penting bagi kita mengerti apa-apa yang dapat
dikatakan sebagai musyrik itu, dan dengan mengetahuinya kita dapat menjauhkan diri
daripadanya serta memurnikan diri kita dari kemusyrikan untuk menegakkan serta memurnikan
tauhid itu dalam hidup kita.
Bentuk kemusyrikan yang paling cepat diketahui dan paling kasar adalah penyembahan kepada
benda wadhag, terutama yang berbentuk ukir-ukiran. Inilah bentuk berhala yang paling umum
dan paling kuno dalam ibadah agama kafir :
71
“Akulah Tuhan, Allahmu,.... Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan
membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit... di bumi... atau
...di dalam air. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab
Aku, Tuhan, Allahmu...” ( Keluaran 20:2-5 ).
Perjanjian Baru mengajarkan hal yang sama :
“Sebab sekalipun mereka mengenal Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah
atau mengucap syukur kepadaNya. Sebaliknya pikiran mereka menjadi sia-sia dan hati
mereka yang bodoh menjadi gelap. Mereka berbuat seolah-olah mereka penuh hikmat,
tetapi mereka telah menjadi bodoh. Mereka yang mengantikan kemuliaan Allah yang
tidak fana dengan gambaran yang mirip dengan manusia yang fana, burung-burung,
binatang-binatang, yang berkaki empat atau binatang-binatang yang menjalar.” (
Roma 1:21-23 ).
Penyembahan kepada berhala jenis patung ukir-ukiran seperti ini dianggap sebagai kebodohan (
jahil), karena dalam Zabur / Mazmur diterangkan :
“Berhala-berhala mereka adalah perak dan emas buatan tangan manusia, mempunyai
mulut tetapi tidak dapat berkata-kata, menyerupai mata tetapi tidak dapat melihat,
menyerupai telinga tetapi tidak dapat mendengar, mempunyai hidung tetapi tidak dapat
mencium, mempunyai tangan tetapi tidak dapat meraba-raba, mempunyai kaki tetapi
tidak dapat berjalan, dan tidak dapat memberi suara dengan kerongkongannya. Seperti
itulah jadinya orang-orang yang membuatnya, dan semua orang yang percaya
kepadanya.” ( Mazmur 115:4-8 )
Karena berhala itu tak lain hanyalah benda mati yang tak mempunyai kemampuan apa-apa maka
Zabur melanjutkanlagi :
“Semua orang yang beribadah kepada patung akan mendapat malu, orang yang
memegahkan diri karena berhala-berhala; segala ilah ( jika ada kenyataanya !!!) sujud
menyembah kepada-Nya ( Allah Yang Esa ) “ ( Mazmur 97:7 ).
Atas dasar kehampaan dan ketiadaan kuasa serta dusta yang nyata dari patung-patung berhala
inilah para nabi dengan penuh sarkasme menghardik dan mencela berhala-berhala dan para
penyembahnya itu sebagai berikut :
“Orang-orang yang membentuk patung, semuanya adalah sia-sia, dan barang-barang
kesayangan mereka itu tidak memberi faedah. Penyembah-penyembah patung itu tidak
melihat dan tidaklah mengetahui apa-apa, oleh karena itu mereka akan mendapat malu.
Siapakah yang membentuk ilah dan menuang patung yang tidak memberi faedah ?
Sesungguhnya semua pengikutnya akan mendapat malu, dan tukang-tukangnya adalah
manusia belaka. Biarlah mereka semua berkumpul dan bangkit berdiri ? Mereka akan
gentar dan mendapat malu bersama-sama. Tukang besi membuatnya dalam bara api
dan menempanya dengan palu, ia mengerjakan dengan segala tenaga yang ada
ditangannya. Bahkan ia menahan lapar sehingga habislah tenaganya, dan ia tidak
minum air sehingga ia letih lesu. Tukang kayu merentangkan tali pengukur dan
72
membuat bagan sebuah patung dengan kapur merah; ia mengerjakannya dengan pahat
dan menggarisinya dengan jangka, lalu ia membentuk seorang laki-laki kepadanya,
seperti seorang manusia yang tampan, dan selanjutnya ditempatkannya dalam kuil.
Mungkin ia menebang pohon-pohon aras atau ia memilih pohon saru atau pohon
tarbantin, lalu membiarkannya tumbuh menjadi pohon besar diantara pohon-pohon di
hutan, atau ia menanam pohon salam, lalu hujan membuatnya besar, dan kayunya
menjadi kayu api bagi manusia, yang memakainya untuk memanaskan diri; lagi pula ia
menyalakannya untuk membakar roti. Tetapi ia juga membuatnya menjadi “allah” (
ilah ), lalu menyembah kepadanya; ia mengerjakan menjadi patung lalu sujud
kepadanya. Setengahnya dibakarnya dalam api dan diatasnya dipanggangnya daging.
Lalu ia memakan daging yang dipanggang itu sampai kenyang; ia memanaskan diri
sambil berkata: “ Ha, aku sudah menjadi panas, aku telah merasakan kepanasan api.”
Dan sisa kayu itu dikerjakannya menjadi “allah”(ilah), menjadi patung sembahannya; ia
sujud kepadanya, ia menyembah dan berdoa kepadanya, katanya :” Tolonglah
aku,sebab engkaulah allahku.” Orang seperti itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak
mengerti apa-apa, sebab matanya melekat tertutup, sehingga tidak dapat melihat, dan
hatinya tertutup juga, sehingga tidak dapat memahami. Tidak ada yang
mempertimbangkannya, tidak ada cukup pengetahuan dan pengertian untuk
mengatakan:”Setengahnya sudah kubakar dalam api dan di atas baranya juga sudah
kubakar roti, sudah kupanggang daging, lalu kumakan. Masakan sisanya kubuat
menjadi dewa kekejian ? Masakan aku menyembah kayu kering ? Orang yang sibuk
dengan abu belaka, disesatkan oleh hatinya yang tertipu; ia tidak dapat menyelamatkan
jiwanya atau mengatakan: “bukankah dusta yang menjadi pengakuanku ?” ( Yesaya
44;9-20 ).
Dan masih banyak lagi kecaman yang tajam dan hardikan yang pedas dalam Kitab Suci atas
penyembahan patung-berhala semacam itu. Namun kutipan-kutipan ayat-ayat di atas sudah
cukup menjelaskan kepada kita betapa jijik para Nabi terhadap penyembahan berhala patungukiran yang dianggap sebagai ilah itu. Dan betapa berat ancaman yang dijatuhkan bagi orang
yang menyembah ilah dalam bentuk patung-ukiran berhala dewa-dewa itu.
Berkaitan dalam penyembahan berhala yang berwujud patung dan arca dipergunakannya segala
macam ilmu tenung, ilmu sihir, ilmu gaib dan ilmu ramal yang dianggap sebagai sarana
berkomunikasi dengan dan mengetahui kehendak dari dunia gaib dimana para Dewa atau para
makhluk roh dianggap lebih tinggi di dalam praktek ibadah dan keyakinan agama semacam itu.
Di atas telah kita bahas bahwa patung berhala dan arca pada dirinya sendiri memang hampa dan
tidak ada realitanya, namun karena itu penyembahan kepada yang dusta, maka ”bapa segala
dusta” ( Yohanes 8:44 ) yaitu: Iblis dan segala roh jahatnya. ( I Korintus 10:19-20 )
menggunakan kesempatan itu untuk makin menipu dan menyesatkan manusia. Sehingga melalui
kerja-samanya segala macam ilmu sihir, ilmu tenung, ilmu gaib, ilmu mistik dam klenik serta ilmu
ramal mereka berusaha untuk menyakinkan manusia bahwa para ilah dan para dewa yang adalah
roh-roh jahat itu sendiri memang ada realitanya. Sehingga memalingkan manusia dari
penyembahan dan ketergantungan yang utuh kepada Allah yang Esa, serta menjadikan manusia
sebagai orang orang yang musyrik. Alkitab mengajarkan :
“Apabila engkau sudah masuk ke negeri yang telah diberikan kepadamu oleh Tuhan,
Allahmu, maka Janganlah engkau belajar berlaku sesuai dengan kekejian yang
dilakukan oleh bangsa-bangsa itu. Diantaramu janganlah didapati seorangpun yang
mempersembahkan anaknya laki-laki dan anaknya perempuan sebagai korban dalam
73
api, ataupun seorang yang menjadi petenung, seorang peramal, seorang penelaah,
seorang penyihir, seoreng pemantera, ataupun seorang yang bertanya kepada arwah
atau kepada roh peramal atau yang meminta petunjuk kepada orang-orang mati. Sebab
setiap orang yang melakukan hal-hal ini adalah kekejian bagi Tuhan, dan oleh karena
kekejian-kekejian inilah Tuhan mengahalau mereka dari hadapanmu.” ( Ulangan 18:9-12
).
“Jangan kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; jangan kamu
mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena mereka, Akulah Tuhan
Allahmu” ( Imamat 19:31 ).
“Orang yang berpaling kepada arwah atau roh-roh peramal...Aku sendiri akan
menentang orang itu dan melenyapkan dia dari tengah-tengah bangsanya.”
(
Imamat 20:6 ).
Bentuk berhala lainnya yang ditentang Kitab Suci adalah:
Memuja Malaikat.
Malaikat adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah, sama dengan manusia. Hanya Malaikat
berwujud roh yang tidak memiliki jasad yang kasar seperti tubuh manusia, sebagaimana yang
dikatakan :
“... kepada siapakah diantara para Malaikat itu pernah berkata:’ Duduklah disebelah
kananKu...’ bukankan mereka semua adalah roh-roh yang melayani, yang diutus untuk
melayani..?” ( Ibrani 1:13-14 ).
Meskipun Malaikat itu berwujud roh, mereka tetaplah hamba Allah yang melayani kehendak
Allah. Dan sebagai makhluk roh mereka kadang-kadang dikacaukan oleh manusia sebagai yang
Ilahi sendiri, apalagi para Malaikat itu disebutkan oleh Kitab Suci demikian:
“...malaikat-malaikat...lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada mereka( manusia )...” ( II
Petrus 2:11 ).
Melihat makhluk roh yang lebih kuat dan lebih berkuasa dari pada dirinya sendiri, manusia
menjadi terperangah dan terpesona, sehingga oleh dorongan kodrat manusia yang memang ingin
menyembah itu
terjadi suatu kekeliruan di pihak manusia, sehingga menyampaikan
penyembahan itu langsung kepada para Malaikat itu sendiri.
Penyembahan pada Malaikat itu bukanlah sesuatu yang tak pernah ada, karena Kitab Suci
mensinyalir adanya suatu praktek yang demikian, pada zaman awal munculnya Iman Kristen,
yang oleh ajaran Tauhid dari Injil praktek yang demikian itu telah punah dan musnah,
sebagaimana yang dikatakan :
“Jangan kamu biarkan kemenanganmu digagalkan oleh orang yang pura-pura
merendahkan diri dan beribadah kepada malaikat...” ( Kolose 2 :18 )
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang adanya orang yang beribadah kepada Malaikat dan
dengan demikian malakuakan puja-bakti kepada para Malaikat seolah-olah mereka itu adalah
yang Ilahi sendiri. Memang gangguan untuk menyembah makhluk Allah yang bercahaya atau
74
malaikat terang, yang sering Iblis menyamar seperti mereka itu sangat mudah terjadi. Contohnya
dalam agama tertentu yang dulunya menyembah para Dewa yang memang dalam perlakuan
ibadahnya dianggap sebagai ilah-ilah, namun oleh pengaruh agama Tauhid Kristen dan Islam,
para Dewa tak lagi dianggap sebagai ilah, namun diakui sebagai malaikat-malaikat. Dan agamaagama itu mulai pula menekankan keesaan Allah, namun toh sisa kemusyrikan itu tak begitu
mudah disingkirkan, karena biarpun para Dewa itu dianggap sebagai Malaikat, tetapi tetap juga
disembah sebagai ilah. Jadi memang mudah sekali penyembahan kepada malaikat itu dilakukan
manusia. Apalagi jika masyarakat yang melakukan itu belum dijamah oleh ajaran Tauhid dari
Injil. Namun tentu saja Malaikat yang mau menerima penyembahan seperti itu bukanlah
malaikat yang benar, namun mereka adalah makhluk roh yang lain, yaitu : Iblis, yang dulunya
adalah juga seorang malaikat, yang menyamar sebagai malaikat terang itu, sebagaimana yang
diajarkan Kitab Suci :
“Sebab orang-orang itu adalah rasul-rasul palsu, pekerja-pekerja curang, yang
menyamar sebagai rasul-rasul Kristus. Hal itu tidak usah mengherankan, sebab
Iblispun menyamar sebagai malaikat terang.” ( II Korintus 11:13-14 )
Dan adalah memang keinginan Iblis itu untuk disembah manusia, bahkan diapun mencoba-coba
kalau Almasih dalam keadaanNya sebagai manusia itupun dapat ditundukkan untuk menyembah
kepadanya :
“dan ia ( Iblis ) berkata kepadaNya ( Almasih ) :”Semua itu akan kuberikan kepadaMu,
jika engkau sujud menyembah aku.” Maka berkatalah Yesus kepadanya :”Enyahlah
Iblis ! Sebab ada tertulis : Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya
kepada Dia sajalah engkau berbakti !” ( Matius 4:9-10 ).
Berlawanan dengan keinginan malaikat yang telah jatuh : Iblis ini, Malaikat yang sesungguhnya
tak mungkin mempunyai keinginan jahat seperti itu. Pernah terjadi bahwa karena begitu luar
biasanya pengalaman perjumpaannya dengan Malaikat yang memberikan wahyu kepadanya,
hampir-hampir Yohanes lupa diri, sehingga hampir saja menyembah malaikat, namun justru
ditolak oleh malaikat tersebut, dan malaikat itu mengingatkan Yohanes bahwa dia adalah samasama hamba Allah seperti manusia.
“Dan aku Yohanes, akulah yang telah mendengar dan melihat semuanya itu. Dan
setelah aku mendengar dan melihatnya, aku tersungkur didepan kaki Malaikat, yang
telah menunjukkan semuanya itu, untuk menyembahnya. Tetapi ia berkata kepadaku
;”Jangan berbuat demikian ! Aku adalah hamba, sama seperti engkau dan saudarasaudaramu, para nabi dan semua mereka yang menuruti segala perkataan Kitab ini.
Sembahlah Allah ! ( Wahyu 22;8-9 )
Sungguh berbeda sikap Iblis dan Malaikat Allah yang benar ini. Iblis menyesatkan dam
menjerumuskan manusia kepada musyrik, Malaikat yang benar menuntun dan mengajar manusia
kepada Tauhid. Malaikat yang benar tak rela untuk disembah, dan mengakui bahwa ia hanyalah
sekedar hamba Allah sama dengan para Nabi dan kaum saleh. Dia tak berhak menerima
sembah. Hanya Allah yang wajib disembah. Iblis perlu diingatkan Almasih akan kebenaran
mendasar ini, namun malaikat yang benar justru mengingatkan manusia akan arah penyembahan
yang benar itu :” Jangan berbuat demikian ! Sembahlah Allah!”. Iman Kristen Orthodox
melarang pengikutnya menyembah Malaikat, biar bagaimanapun mulianya Malaikat itu, hanya
75
Allah dan Allah saja yang wajib disembah. Untuk itulah jika dalam Gereja Orthodox ada
penghormatan kepada Malaikat, janganlah penghormatan itu dikacaukan dengan penyembahan
kepada mereka, sama seperti penghormatan kepada orang kuduspun bukan dan tidak boleh
dikacaukan dengan penyembahan kepada mereka. Malaikat-malaikat dan orang-orang kudus (
roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna ) telah berada dalam realita rohani yang
sama, dimana bersama-sama mereka menyembah Allah. Oleh Iman kepada Yesus, orang kristen
telah menjadikan sahabat dengan mereka, sehingga penghormatan kepada mereka ini adalah
bukti kebenaran kesatuan antara yang sorga dan yang bumi di dalam Kristus ( Efesus 1:10 ),
sehingga dengan penghormatan itu orang kristen selalu diingatkan bahwa dalam mereka
menyembah Allah, mereka itu dikelilingi oleh para Malaikat dan para orang kudus, yang bersama
dengan mereka semua itu orang kristen serempak menyembah Allah yang satu dan Esa,
sebagaimana yang dikatakan :
“Tetapi kamu sudah datang ( perhatikan;bukannya ‘akan datang’dimasa depan !! )
ke...Yerusalem Sorgawi dan kepada beribu-ribu malaikat, suatu kumpulan yang
meriah...dan kepada roh-roh orang benar yang telah menjadi sempurna” ( Ibrani 12:2223 ).
Bersama dengan kumpulan para Malaikat serta para roh orang-orang benar yang telah menjadi
sempurna ( para orang kudus ) dalam penyembahan yang meriah kepada Allah yang Esa itulah
orang kristen telah datang. Itulah sebabnya menghormati yaitu memperingati mereka, itu bukan
tindakan kemusyrikan, karena justru dengan itu kita diingatkan bahwa mereka juga menyembah
Allah yang Esa sama seperti kita, bahwa kebenaran Tauhit itu bukan hanya ditegaskan di bumi
ini saja, namun di sorga juga. Dengan demikian kita tolak segala bentuk penyembahan kepada
Malaikat, karena justru para Malaikatlah yang bersama ibadah kita, menegaskan dan
mengingatkan kita untuk hanya beribadah kepada Allah yang Esa.
Bentuk kemusyrikan selanjutnya yang ditentang oleh Kitab Suci adalah: Memuja
Pemimpin Agama.
Keterpesonaan akan hal-hal yang luar biasa memang mudah membuat mereka untuk jatuh
kepada penyembahan terhadap apa yang membuat dia menjadi terpesona itu, jika iman
Tauhidnya di dalam dada tidak kuat. Termasuk juga keterpesonaan kepada Pemimpin Agama
yang mengajarkan sesuatu yang hebat disertai oleh perbuatan yang ajaib dan yang mengherankan.
Hal ini terjadi di kota Samaria, sebelum dijamah oleh ajaran Tauhid dari Injil :
“ Seorang yang bernama Simon telah sejak dulu melakukan sihir di kota itu dan
mentakjubkan rakyat Samaria, serta berlagak seolah-olah ia seorang yang penting.
Semua orang, besar-kecil mengikuti dia, dan berkata : “ Orang ini adalah kuasa Allah
yang terkenal sebagai Kuasa Besar” ( Kisah Rasul 8:9-10 ).
Dalam Sejarah Gereja Simon ini terkenal sebagai “Simon Magus” atau Simon Si Tukang
Sihir, dan secara tradisional dianggap sebagai musuh bebuyutan Rasul Petrus. Dialah yang
dianggap oleh para Bapa Gereja sebagai penyebab munculnya Ajaran Gnostikisme, yang
hendak mencampur-adukkan ajaran Tauhid Injil dengan kemusyrikan kafir Yunani. Dalam ayatayat diatas terlihat bahwa Simon telah membuat orang-orang Samaria takjub karena sihir yang
dilakukannya itu. Sebagai akibatnya dia yang manusia biasa itu rela disebut sebagai “Kuasa
Allah“ manifestasi dari sifat Allah sendiri. Namun bukan hanya manifestasi dari sifat Allah saja,
76
malah dia sendiri dianggap sebagai Allah. Gelar yang dipakainya untuk mengelabuhi rakyat
Samaria itu adalah gelar Ilahi sendiri : “Kuasa Besar”. Dalam bahasa aslinya kata ini berbunyi
”Meghalee” yang artinya:”Yang Maha Besar” yang gelar ini tak lain adalah Nama dari Sang
Pencipta: Allah sendiri. Demikianlah kita jumpai kasus dimana ketakjuban manusia rela
mengangkat seorang manusia biasa, yang malahan seorang pengikut Iblis ( tukang sihir ) sebagai
“Yang Maha Besar” sebagai “Allah”. Bagi kita yang telah diterangi oleh Tauhid Injil mungkin
hal itu tidak masuk akal, namun hal yang demikian ini banyak terjadi di sekeliling kita. Di India
ada seorang yang juga melakukan perbuatan ajaib, bernama:”Sai Baba” yang juga memiliki
pengikut di Indonesia, oleh pengikutnya, diapun dianggap sebagai Allah sendiri. Kasus Simon
Magus ini akan terulang terus dalam sejarah, selama manusia tidak berakar dalam Tauhid,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Alkitab. Demikianlah dari zaman ke zaman ada manusiamanusia tertentu oleh kharisma luar biasa yang ada padanya, menyalah-gunakan pengaruhnya itu
untuk menyelewengkan manusia dari penyembahan kepada Allah yang benar kepada
penyembahan dirinya sendiri. Pemimpin-pemimpin agama yang disembah secara demikian, tidak
selalu dalam wujud pengangkatan sebagai Allah saja. Namun juga jika ada seorang Pemimpin
Agama yang dianggap “mutlak” dan “tanpa salah”, siapapun orangnya, sudah mengarah
kepada pengilahian, dan dengan demikian menjadi kemusyrikan. Sebab tak seorangpun yang
mutlak dan tak seorangpun yang tanpa salah. Hanya Allah saja yang Mutlak dan Allah saja yang
tanpa salah. Puncak dari pengilahian diri ini akan terjadi jika “Si Dajjal” ( Anti Kristus ) datang
dan mengaku sebagai Allah dan menghendaki disembah sebagai Allah, sebagaimana dikatakan :
“Sebab sebelum hari itu ( Hari Kiamat ) haruslah datang dahulu murtad dan haruslah
dinyatakan dahulu manusia durhaka ( Dajjal, Antikristus )...yaitu lawan yang
meninggikan diri diatas yang disebut dan disembah sebagai Allah. Bahkan
ia duduk di Bait Allah dan mau menyatakan diri sebagai Allah” ( II Tesalonika 2:3-4 ).
Dalam kaitannya dengan masalah ini, perlu kita bahas juga tuduhan Agama Islam terhadap Iman
Kristen sebagai pelaku musyrik, karena adanya ulama-ulama yang dihormati dan orang kudus
yang diperingati, terutama dengan penyembahan kepada Almasih yang dalam kaca mata Islam
dianggap bertentangan dengan Tauhid.
Mengenai masalah penghormatan kepada orang kudus sudah kita jelaskan masalahnya.
Mengenai ulama-ulama yang dihormati, hal ini harus dilihat dalam proporsinya. Sebab semua
agama menghormati ulamanya, termasuk Islam sendiri. Ketika umat tawaddu’ kepada syekh atau
guru rohaninya, terutama dalam tradisi tassawuf, dan ajaran guru rohani serta fatwanya didengar
tanpa syarat dan secara mutlak oleh para pengikutnya, tak akan terbersit sedikitpun dalam benak
pengikutnya bahwa mereka mengilahikan sang guru rohani tadi. Demikian pula penghormatan
orang Kristen terhadap ulamanya, adalah sejalan dan sejajar dengan penghormatan Islam kepada
ulamanya. Jadi tak bisa menuduh penghormatan ini sebagai kemusyrikan, sebab hal inipun akan
mengenai agama Islam juga.
Sekarang mengenai penyembahan terhadap Almasih. Kaca mata ajaran Islam tak bisa untuk
menilai agama Kristen. Agama Kristen harus dimengerti menurut kaca mata ajaran Kristen itu
sendiri. Dalam ajaran Iman Kristen, Almasih bukanlah sekedar Nabi yang menerima Kitab
bernama Injil. Sebab Kitab semacam itu tak pernah ada dalam sejarah Kristen, dan sejarah
manapun juga, selain dalam ajaran Dogma Islam saja. Injil itu bukan Kitab, namun “Berita
Gembira” tentang Iso Mesiha, Yoshua Ha-Masiah, Isa Almasih, Yesus Kristus. Yang
berita itu akhirnya dituliskan dan dikumpulkan dalam Kitab Yang bernama Perjanijian Baru. Jadi
memang tak pernah ada suatu Kitab yang bernama Injil yang diturunkan Allah sebagai sabda
77
Allah yang diwahyukan. Bagi Iman Kristen Almasih adalah “Firman Allah “ atau “Sabda
Allah” yang diturunkan dalam bentuk jasmani”Manusia yang terdiri dari daging dan
tulang”, sama seperti pengertian Islam mengenai Al-qur’an sebagai”Firman Allah” yang
diturunkan dalam bentuk wadhag”Buku yang terbuat dari kertas”.
Pada mulanya adalah Firman... Firman itu telah menjadi manusia” ( Yohanes 1:1,14 ).
Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya Ulumudin” yang diterjemahkan sebagai “Bimbingan Untuk
Mencapai Tingkat Mu’min” menjelaskan : “ Bahwasanya Al-Qur’an itu adalah Firman Allah
yang bukan makhluk, sebab kalau makhluk tentu akan rusak dan sirna, bukan pula sifat
dari makhluk, sebab kalau demikian tentu punah” ( Penerbit C.V Diponegoro, Bandung, 1975,
hal27-28 ).
Jika Al-Qur’an bukan makhluk dan berwujud buku, bukankah ada dua yang bukan makhluk ?
Bukankah ini musyrik tersembunyi ? Pertanyaan ini tak usah dipertentangkan. Maka hal yang
sama berlaku bagi Almasih dalam penghayatan Iman Kristen. Almasih adalah Firman Allah, jadi
bukan makhluk, itulah sebabnya Alkitab menjelaskan” Firman itu adalah Allah” ( Yohanes 1:1
) sebab yang bukan makhluk itu hanya Allah saja. Karena bukan makhluk itulah Almasih tak
takluk pada maut, bangkit dari kematian, maka Dia itu “tak rusak dan tidak sirna”, dan karena
Almasih adalah Firman Allah yang telah diturunkan maka Dia “bukan pula sifat dari makhluk”
itulah sebabnya Dia”tak punah” karena Dia hidup kekal tak berubah di sisi Allah, yaitu disebelah
kanan Allah. Jika hal-hal yang demikian dapat dikenakan kepada Al-Qur’an tanpa umat Islam
merasa kompromi dengan Tauhid, serta tak merasa hal itu sebagai musyrik, mengapa pemikiran
yang tepat dan persis sama dengan Iman Kristen mengenai Almasih sebagai “Firman Allah”
yang turun menjadi jasad itu dianggap sebagai musyrik ? Jika Anggapan tentang Al-Qur’an yang
demikian itu tidak ada dalam Islam, barulah berhak mengecam Kekristenan sebagai musyrik.
Sama dengan pengakuan “kebukan makhlukan Al-Qur’an” sebagai “Firman Allah” yang
diturunkan tidak merusak Tauhid dalam Islam, maka “kebukan-makhlukan Almasih” sebagai
“Firman Allah” yang diturunkan itupun tak merusak Tauhid dalam Iman Kristen. Iman
Kristen adalah Iman Tauhid, dulu, sekarang, dan selamanya.
Kemusyrikan yang tak kalah pentingnya yang ditentang Kitab selanjutnya adalah:. Memuja
Harta Benda.
Dalam bentuk kemusyrikan yang telah kita bahas sebelumnya, penekanan diletakkan pada bentuk
keyakinan yang salah arah akan hal-hal yang bersifat Adi-Kodrati. Sedangkan apa yang kita
bahas sekarang ini adalah tumpuan harap yang salah arah dalam sifat akhlak manusia. Manusia
sebagai makhluk yang diciptakan, selalu mengharapkan untuk memuja sesuatu. Jika bukan Allah
yang benar yang disembah, maka makhluk akan menjadi gantinya disembah manusia,
sebagaimana dikatakan :
“Sebab mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta dan memuja dan
menyembah makhluk dengan melupakan Penciptanya, yang harus dipuji selamalamanya, amin “ ( Roma 1:25 ).
Diantara benda ciptaan ( makhluk ) yang mudah menjadi tumpuan harap atau pemujaan manusia
adalah harta benda. Almasih mengajarkan :
78
“Jangan kamu mengumpulkan harta di bumi... Karena hartamu berada, disitu juga
hatimu berada... Tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan... Kamu tak dapat
mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. ( harta benda, kekayaan, uang )” ( Matius
6:19,21,24 ).
“Dan jikalau kamu tidak setia pada harta orang lain, siapakah yang akan menyerahkan
hartamu sendiri ? Seorang hamba tidak dapat mengabdi kepada dua tuan.. Kamu tidak
dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon. Semuanya itu didengar oleh orangorang Farisi, hamba-hamba uang itu...” ( Lukas 16:12-14 ).
Dari pengajaran Almasih ini, jelas dinyatakan bahwa mengumpulkan harta sebagai tumpuan
harap dan sebagai pujaan adalah merupakan perbuatan musyrik, karena merupakan
penyembahan kepada makhluk, sehingga harta benda itu menjadi tuan atau sesembahan
disamping Allah, dan manusia menjadi hamba dari harta, atau hamba dari uang. Mamon atau
harta benda menjadi tandingan Allah dalam hidup manusia yang seperti itu. Manusia yang
seharusnya hanya bertuankan Allah dan menjadi abdi dan hambaNya, sekarang bertuankan
Mamon ( harta ) dan menjadi hamba dari harta dan uang itu. Itulah sebabnya Kitab Suci
memberi peringatan sebagai berikut :
“Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari Iman...” ( I
Timotius 6:10 ), itulah sebabnya,
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya di dunia ini agar mereka jangan tinggi hati
dan jangan berharap pada sesuatu yang tak tentu seperti kekayaan, melainkan pada
Allah...” ( I Timotius 6:17 ).
Harta dapat membuat orang menyimpang dari iman, dan harta serta kekayaan dapat menjadi
tumpuan harap sebagai tandingan Allah, atau bahkan pengganti Allah. Itulah sebabnya tamak
akan harta atau keserakahan itu dikatagorikan sama dengan penyembahan berhala :
“Karena itu matikanlah dalam dirimu... keserakahan, yang sama dengan penyembahan
berhala, semuanya itu mendatangkan murka Allah...” ( Kolose 3:5-6 ).
Dan karena terlekat-cinta pada harta itu disamakan dengan penyembahan berhala, maka kepada
seorang muda yang kaya yang merasa dirinya cukup beragama, namun hatinya terlekat pada
hartanya Yesus Kristus mengatakan :
“...Jikalau kamu hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu
kepada orang-orang miskin. maka engkau akan beroleh harta di sorga... mendengar
perkataan itu pergilah ia dengan sedih, sebab banyak hartanya...sukar sekali bagi orang
kaya untuk masuk dalam Kerajaan Sorga...” ( Matius 19:21-23 ).
Hidup beragama menjadi bubar hanya karena sayangnya pada harta, lebih dari pada sayang
kepada orang miskin maupun harta di Sorga. Dia merasa sedih kehilangan harta, sebab harta itu
menjadi ilah baginya. Itulah sebabnya orang kaya seperti ini memang dikatakan sukar masuk ke
dalam Kerajaan Sorga, karena sesembahannya bukanlah Allah, namun berhala harta yaitu
keserakahannya sendiri. Maka murka Allahlah yang akan diterimanya, bukan KerajaanNya.
79
Untuk itulah dengan tegas Almasih memberi peringatan yang sangat tajam akan ketamakan itu :
“Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun orang
berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak tergantung dari pada kekayaannya itu.” (
Lukas 12:15 ).
Demikianlah sebenarnya, masih banyak lagi bukti-bukti dari Kitab Suci yang menunjukkan
bahwa harta-benda dan kekayaan itu dapat menyimpangkan iman manusia kepada kemusyrikan,
dengan menjadikannya sebagai tumpuan harap dan sebagai tandingan atau pengganti Allah
sendiri.
Namun Kitab Suci juga memberi pemecahan dan pengajaran bagaimana kita dapat
menyukikan harta milik kekayaan kita itu agar bukan menjadi tandingan dan pengganti Allah
serta tak menuntun kita kepada kemusyrikan yang mendatangkan murka Allah itu.
“Muliakanlah Tuhan dengan hartamu dan dengan hasil pertama dari segala penghasilanmu” (
Amsal 3:9 ).
Karena harta itu juga benda ciptaan milik Allah, maka itupun harus tunduk kepada Allah, maka
satu-satunya jalan agar manusia tidak jatuh dalam kemusyrikan melalui harta miliknya, adalah
mengabdi dan menghambakan harta tadi kepada Allah dengan menggunakannya untuk
kemuliaan Allah. Dengan cara itu sajalah harta iitu menjadi suci dari beban kemusyrikan dan
noda pemberhalaan. Sedangkan bagaimana kita memuliakan Allah dengan harta dan
menghambakan harta kepada Allah itu dijelaskan demikian :
“Ikatlah persahabatan ( lakukan perbuatan-perbuatan baik, saleh dan bajik semacam
persahabatan itu )dengan mempergunakan Mamon ( melalui harta kekayaan yang
engakau miliki )yang tidak jujur ( yang tidak tetap dan selalu berubah keadaannya ),
supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong ( supaya jika harta kekayaan itu sudah
tidak berfungsi dan tak kau butuhkan lagi, terutama pada saat kau mati ) kamu diterima
dalam kemah abadi ( Sorgalah sebagai ganti kekayaan itu )” ( Lukas 16:9 ).
Beberapa cara “mengikat persahabatan dengan menggunakan Mamon” ( berbuat kesalehan,
kebajikan, dan kebaikan dengan menggunakan harta kekayaan ) itu dijelaskan oleh Almasih
demikian :
“Juallah segala milikmu ( terutama bagi mereka yang terpanggil untuk hidup seratus-persen bagi
mengabdi kepada Allah di dalam Kristus, yang dalam praktek Iman Kristen Orthodox sekarang menjadi rahib
) dan berikanlah sedekah ! Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua,
suatu harta di Sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang
tidak dirusakkan ngengat. Karena dimana hartamu, disitu juga hatimu berada” ( Lukas
12:33-34 ). Juga dijelaskan lagi oleh Kitab Suci :
“Peringatkanlah kepada orang-orang kaya ... agar mereka itu berbuat baik, menjadi
kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian
mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya diwaktu yang akan
datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.”
( I Timotius 6:17-18 ).
80
Sedangkan kesukaan memberi dan membagi yaitu bersedekah itu dapat dinyatakan dalam banyak
hal, yang oleh Almasih dinyatakan demikian :
“Sebab ketika Aku ( Sang Raja dan Hakim Kekal: Almasih ) lapar, kamu memberi Aku
makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu
memberi aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika
Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku dalam penjara, kamu mengunjungi Aku...Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudaraku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku”
(
Matius 25:-40 ).
Maka dengan cara memberi makan orang yang kelaparan, memberi minum pada orang yang
kehausan, memberi tumpangan orang yang terasing, memberi pakaian orang yang telanjang,
melawat orang yang sakit, mengunjungi orang yang terpenjara, singkat kata segala perbuatan yang
bajik untuk kemanusiaan demi mengangkat dan menolong kehinaan si papa dengan
menggunakan harta milik kita yang dilandasi iman kepada Kristus. Itu adalah cara kita
mengabdikan dan menghambakan harta kita atau milik kita kepada Allah dan memuliakanNya.
Karena segala sesuatu yang kita lakukan itu dikatakan oleh Almasih sebagai melakukan untuk Dia
sendiri.
Kitab Suci juga mengajarkan bahwa disamping bersedekah dan berbuat baik secara umum
kepada “saudara yang paling hina” ( segenap manusia papa dan sengsara di dunia ini )
terutama juga kita harus memperhatikan saudara-saudara kita sesama kita orang Kristen
(“Orthodox”) yang seiman dengan kita, sebagaimana dikatakan :
“...selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua
orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman” ( Galatia 6:10 ).
Memang ada skala prioritas ( jenjang yang lebih diutamakan ) dalam kita membagikan apa yang
kita miliki sebagai bakti kita kepada Allah. Dan sesama kaum beriman itulah prioritas utama, dan
kepada kaum berimanpun ada beberapa cara di mana kita dapat mengabdikan harta milik itu
kepada Allah.
Almasih merujuk kepada praktek-praktek keagamaan yang tak pernah dikecamnya pada
dirinya sendiri, namun penyalah-gunaan akan praktek tadi oleh para pelakunya itu mendapat
kecaman pedas, yaitu praktek zakat ( perpuluhan), sebagaimana dikatakan :
“Celakalah kamu hai ahli-ahli Taurat dan orang Farisi, hai kamu orang orang munafik,
sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang
terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan yaitu : keadilah dan belas-kasihan dan
kesetiaan. Yang satu ( persepuluhan )harus dilakukan dan yang lain ( keadilan, belas-kasihan dan
kesetiaan ) jangan diabaikan.” ( Matius 23:23 ).
Orang Farisi dan ahli Taurat dikecam karena kemunafikan sikap dalam ibadah mereka dalam hal
menegakkan zakat ( persepuluhan ). Namun Sistem Ibadah itu sendiri dijunjung tinggi oleh
Almasih. Dia mengatakan bahwa yang satu yaitu :persepuluhan itu harus dilakukan, namun itu
harus disertai dengan semangat yang lain: keadilan, belas-kasihan dan kesetiaan. Disinilah
letak keharusan persepuluhan menurut ajaran Almasih yang berbeda dengan praktek-praktek
para ahli Taurat dan orang Farisi itu.
81
Kecaman terhadap sikap munafik orang Farisi ini dilanjutkan oleh Almasih dengan
memberikan perumpamaan tentang dua orang yang berdoa kepada Allah, yang satu orang Farisi
yang membanggakan ketaatan ibadahnya :
”...aku berpuasa dua kali seminggu ( yaitu: menurut kebiasaan Yahudi, hari Senin dan hari Kamis ),
aku memberikan persepuluhan dari segala pengahasilanku” ( Lukas 18:12 ).
Dan yang lain pemungut Cukai yang berdosa dan tak dapat berdoa karena malu dan rasa tak
berartinya dihadapan Allah, kecuali mengatakan:”Ya Allah kasihanilah aku orang berdosa
ini.” ( Lukas 18:13 )
Dari kedua orang ini Almasih mengatakan ibadah si pemungut Cukai ini yang diterima Allah,
sedangkan si orang Farisi tidak diterima. Yang tak diterima itu bukan Sistem Ibadahnya : Puasa
dan Zakat sepersepuluhan itu, namun sikap pamer, mendabik dada, dan tinggi hatinya, sebagaimana
dijelaskan lebih lanjut oleh Almasih:
“Sebab barang siapa meninggikan diri ( seperti si orang Farisi itu ) ia akan direndahkan, dan
barangsiapa merendahkan diri ( seperti si pemungut Cukai itu ), ia akan ditinggikan.” ( Lukas
18:14 ).
Jelas kepada kita bahwa Almasih tidak mengecam puasa maupun zakat sepersepuluhan, namun
memberikan penjelasan bagaimana puasa maupun zakat sepersepuluhan itu harus dilakukan,
yaitu dengan kerendahan hati.
Demikianlah kita mendapat pelajaran bahwa, menurut Almasih zakat dari sepersepuluhan dari
penghasilan kita itu adalah sesuatu yang harus dilakukan, namun harus dilakukan dengan segala
kerendahan hati, keadilan, belas-kasihan, dan kesetiaan. Demikianlah dengan kita memberi zakat
sepersepuluhan dari penghasilan kita, kita telah menyucikan harta milik kita itu dari noda
kemusrikan, ketamakan, dan keserakahan. Jadilah harta milik itu suatu berkat yang memuliakan
Allah.
Dan tak kalah pentingnya dari bentuk kemusyrikan yang ditentang Kitab Suci ini adalah
:Memuja Hawa Nafsu. Hal ini dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:”…banyak orang yang
hidup sebagai seteru salib Kristus …Tuhan mereka ialah perut mereka, kemuliaan
mereka adalah aib mereka, pikiran mereka semata-mata tertuju kepada perkara
duniawi” ( Filipi 3:18:19). Yang dimaksud sebagai “seteru Salib Kristus” adalah seteru terhadap
segala praktek kehidupan yang rela mengendalikan, melawan, dan memerangi hawa nafsu sampai
matinya hawa nafsu tadi,sebagai penerapan makna salib itu bagi kehidupan, sebagaimana
dikatakan:” Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging
dengan segala hawa nafsu dan keinginannya” – Galatia 5:24-. Karena menolak memerangi
hawa nafsu maka orang yang demikian menjadikan keinginan perut, aib dan segala perkara
duniawi itu sebagai “Tuhan” mereka. Inilah bentuk pemberhalaan hawa-nafsu dan egoisme
pribadi manusia. Dan inipun termasuk kemusryikan yang harus dilawan.
Dengan memahami semuanya itu maka umat Kristen Orthodox diajar untuk betulbetul`memiliki jiwa Tauhid yang murni dan dalam, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab
:”…..TIDAK ADA ALLAH YANG LAIN DARIPADA ALLAH YANG ESA” (I Kor. 8:4).
2.Mengenai Wujud Allah
82
Setelah kita meneguhkan tentang Ke-Esa-an Allah, maka mengenai keberadaan Allah itu
sendiri, kita bahas sebagai berikut. Dalam Iman Kristen Orthodox kata “Allah” itu dilihat
sebagai berasal dari bahasa Arab “Al-Ilah” artinya “Sang Ilah” yaitu Ilah satu-satunya dan
tiada duanya. Kata ini serumpun dengan kata Ibrani “Eloah” atau “Elohim” dan serumpun
pula dengan kata Syria / Aramia “Alaha”. Kata Allah ini sudah dikenal oleh orang Arab
yang penyembah berhala maupun yang Yahudi dan Kristen sebelum kedatangan agama
Islam.Sampai sekarangpun umat Yahudi maupun Kristen yang berbahasa Arab, dalam
Alkitab mereka yang berbahasa Arab, nama Allah itu adalah yang digunakan sebagai padanan
kata dari bahasa Ibrani Eloah atau bahasa Aramia Alaha itu. Sedangkan kata Eloah atau
Alaha ini dalam bahasa Yunaninya yaitu bahasa asli Perjanjian Baru digunakan kata Yunani
“Ho Theos”. Berarti menurut pandangan Iman Kristen Orthodox ini bukan merupakan
nama diri dari Sang Pencipta, namun lebih merupakan penyebutan keberadaan dari Sang
Pencipta itu sendiri. Untuk mengerti keberadaan Allah ini secara lebih rinci sebagaimana
yang dinyatakan oleh Iman Gereja yang berlandaskan Kitab Suci, maka kita perlu mengerti
tentang Dzat-Hakekat Allah, Sifat-Sifat Allah, Daya Kuasa (Energi) Allah, dan lain-lainnya.
Untuk itu marilah kita bahas hal itu secara berurutan dibawah ini.
A. Essensi Ilahi (Hakekat Allah, Dzatullah)
Dari awalnya saat kita mulai membicarakan esensi atau hakekat Allah, hal yang pertama
disadari sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci dan Iman Gereja adalah bahwa pada
dzat-hakekatNya Allah itu tak dapat difahami akal dan diluar pemahaman manusia. Manusia
tidak mungkin akan tahu akan dzat-hakekat Allah itu dalam keadaan yang sebenarnya. DzatHakekat ( “Kejaten”, Jw., “Ousia”, bah. Yunani, “essensi”) Allah ini tak akan pernah
dapat diketahui oleh siapapun. Sehingga dalam berbicara mengenai “dzatullah” atau “esensi
Allah” adalah perlu kita mengerti kata “Dzat” yang digunakan dalam pembahasan theologia.
“Dzat” adalah suatu kata yang digunakan dalam pembahasan ilmu ketuhanan yang artinya
hakekat /kodrat atau essensi. Ini harus dibedakan dengan “zat” dari ilmu fisika. Sebab zat
dalam ilmu fisika yang dimaksud adalah : padat; cair dan gas. Sedangkan yang kita maksud
dengan “dzat” bagi Allah ( dzatullah ) adalah realita dan keberadaan yang ada di dalam diri
Allah yang terdalam yang menunjukkan DiriNya itu adalah Allah, dan yang berbeda dari yang
bukan Allah. Ini adalah berbicara tentang hakekat atau essensi di dalam Diri Allah itu
sendiri. Kata ini dijumpai dalam Yohanes 5:26 dalam terjemahan bahasa Arab sebagai berikut
:” Liannahu kama ‘anna ul-aaba lahu khayaatu fiy dzaatihi kadzaalika ‘athay ul-ibna
‘aydhon ‘an takuwna lahu khayaatu fi dzaatihi” (“Karena sebagaimana Sang Bapa
memiliki hidup di dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri, demikianlah juga diberikan
Sang Putera mempunyai hidup dalam “dzaat”Nya sendiri/diriNya sendiri). Dengan demikian
yang dimaksud “dzaat” disini adalah “hakekat diri” atau “essensi” keberadaan dari yang
memiliki Pribadi itu, dalam hal ini adalah Allah. Allah memang bukan hanya sekedar “dzaat”
namun terlebih lagi Ia adalah Pribadi, dan dalam Pribadi Allah inilah terdapat “dzaat” atau
“essensi Allah” itu, dan dalam “dzaat” inilah bersemayamNya Pribadi Allah. Jadi memang
“dzaat” Allah dan “Pribadi” Allah sama sekali tak dapat dipisahkan. Agar kita dapat
mengerti lebih baik mengenai masalah ini, maka baiklah kita bahas masalah itu demikian.
Membicarakan tentang Essensi atau Dzatullah itu adalah mempertanyakan mengenai
“Apakah Allah itu ?” Padahal mempertanyakan mengenai “Apa” dalam keberadaan Allah
83
itu berarti kita mempertanyakan hakekat atau “Dzat Allah,” dan bukan mempertanyakan
tentang PribadiNya. Jika kita mempertanyakan tentang “Pribadi Allah” maka kata “Siapa”,
itulah yang kita gunakan. Dan mengenai pertanyaan tentang Pribadi Allah ini akan kita
bahas pada saatnya. Disamping mempertanyakan “apa” (“dzaatullah”) dan “siapa” (“Pribadi”
Allah), dalam pembahasan kita tentang Sang Pencipta itu, kita juga akan mempertanyakan
tentang “Bagaimana” tentang Allah itu, artinya kita membahas tentang cara kerja Allah,
kehadiran Allah di dalam dunia, dan hubungannya dengan alam ciptaan. Mengenai
pertanyaan “bagaimana” tentang Allah ini, kita akan membahas tentang yang Allah hadir di
dalam sinar kemuliaanNya dimana tersembunyi kekuatan atau daya kuasaNya. Disitulah kita
akan berbicara tentang daya kuasa (energi ilahi) yang dapat menampakkan diri sebagai sinar
kemuliaan yang keluar dari esensi Allah sendiri. Membahas masalah-masalah Dzatullah
adalah membahas masalah keghaiban Allah yang paling dalam dan tak terjangkau oleh akal.
Karena akal ini diciptakan oleh Allah, sehingga akal tak dapat menembus misteri terdahsyat
dari Diri Allah tersebut. Ini bukan karena Dzatullah itu “tak masuk akal”, namun karena
Dzatullah itu sendiri memang Adi-Akali, melampaui akal dan indra manusia. Sebab Essensi
Ilahi atau Dzatullah itu adalah keberadaan terdalam dari Allah yang hanya dapat dimengerti
oleh Allah sendiri saja, melalui RohNya sendiri sebagaimana yang dikatakan :”….tidak ada
orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah, selain Roh Allah” ( I Kor.
2:11).
Perbedaan antara “Dzaat” (“Hakekat”, “Kejaten”, “Essensi”, “Ousia”) Allah dan “Pribadi”
Allah ini mungkin bagi sebagian orang masih sulit untuk membedakan, untuk itu marilah kita
jelaskan sebagai berikut. Demi memudahkan penjelasan ini sebaiknya kita ambil contoh
sebagai berikut: Penulis buku ini, sebagai seorang manusia, mempunyai essensi kemanusiaan
yang sama dengan para pembaca buku ini.. Sifat kemanusiaan yang dimiliki pembaca, itu
juga dimiliki oleh si penulis ini. Jadi segenap manusia hanya mempunyai essensi yang satu
saja. Hakekat kemanusiaan yang satu dan dimiliki oleh setiap orang itu jelas berbeda dari
hakekat atau dzat atau esensi dari pada lembu. Karena lembu memiliki hakekat “kelembuan”
yang dimiliki secara bersama oleh segenap lembu di seluruh alam ini. Dan hakekat
kelembuan itu jelas berbeda dari hakekat kemanusiaan. Demikianlah hakekat kemanusiaan
yang hanya satu itu hanya dimiliki oleh manusia siapapun diatas bumi ini. Tak perduli warna
kulitnya baik ia itu berkulit hitam, berkulit kuning, berkulit coklat maupun berkulit merah;
sebagai manusia dia mempunyai ciri-ciri kemanusiaan yang sama, yang menunjukkan bahwa
dia itu manusia dan ciri tersebut yang menyebabkan dia disebut manusia. Jadi manusia yang
satu dan manusia yang lain tidak berbeda di dalam essensi kemanusiaannya, yang
membedakan satu orang dengan lainnya adalah Pribadi. Pribadi Si Tono bukanlah pribadi Si
Toni, masing-masing orang mempunyai “pribadi unik dan khas” yang membedakannya
dengan pribadi yang lain. Pemahaman yang sama berlaku ketika berbicara mengenai dzat /
hakekat / essensi / kejaten di dalam Allah yang hanya satu dan tidak dapat dimengerti
makhlukNya itu.. Hakekat Allah itu ialah essensi yang ada di dalam Allah, yang
menyebabkan Allah itu adalah Allah, bukan manusia dan bukan termasuk ciptaan apapun.
Hakekat Allah itu tidak dapat dimengerti, tidak dapat dilihat oleh mata manusia., tak dapat
direka-reka akal. Keadaan hakekat Allah yang demikian inilah yang dalam bahasa Jawa
dikatakan sebagai ”Tan Keno Kinoyo Ngopo” ( “Tak Dapat Dikatakan Bagaimana”, “Bi la
kayf”.)
Bahwa hakekat ( “kejaten”, “dzat/jawhar”, “essensi” atau ”ousia”) Allah itu tidak dapat
diumpamakan dengan segala sesuatu apapun, jelas dinyatakan oleh II Samuel 7:22 demikian:
84
“Sebab itu Engkau besar, ya Tuhan ALLAH, sebab tidak ada yang sama seperti
Engkau dan tidak ada Allah selain Engkau menurut segala yang kami tangkap
dengan telinga kami.”
Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang sama seperti Engkau ini bermakna tak ada
satupun yang dapat kita samakan dengan Allah. Segala rekaan atau khayalan ataupun
gambaran kita tentang Allah itu jelas tidak dapat menangkap atau menggambarkan Allah itu
dengan sebenarnya, dengan demikian manusia memang tidak dapat mengetahui apa-apa
tentang Allah itu. Hal ini juga diterangkan di dalam ayat lain yang berbunyi demikian:
“Tidak ada yang mengetahui Anak kecuali Bapa demikian juga tidak ada yang
mengetahui Bapa kecuali Anak.” ( Matius 11:27 ).
“...dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak
mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam
di dalam kamu.” ( Yohanes 14:17 ).
Jelas bahwa Allah yang Esa itu sama sekali tidak dimengerti oleh manusia di dalam
hakekatNya. Oleh karena itu dalam bagian Alkitab yang lain dikatakan demikian:
“Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang
tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang manusia tidak
dapat melihat Dia “ (I Timotius 6:16).
Maksud dari kata-kata memang manusia tidak dapat melihat Dia disini bukan hanya Allah itu
tak dapat dilihat oleh mata jasmani saja, namun juga bahwa Allah itu tak dapat dilihat oleh mata
akal-kepandaian manusia juga. Selanjutnya Allah yang Maha Esa itu dinyatakan sebagai yang
bersemayam dalam terang yang tak terhampiri.
Ini menunjukkan bahwa jika tempat
bersemayamNya Allah itu saja tidak dapat dihampiri, maka terlebih lagilah “Dia” yang
bersemayam di dalam Terang itu pastilah sama sekali tidak dapat dihampiri. Demikianlah memang
Allah itu Maha Ghaib, dan Mysteri Maha Agung. Jarak “hakekat” antara manusia dan Allah itu
tak akan pernah terseberangi karena tanpa ada batas, sehingga pengertian kita tak dapat mencapai
Dia. Karena Allah itu bukan hanya Maha Tinggi, namun Dia berda diluar ketinggian. Dan jika kita
katakan Allah memiliki “dzaat”, namun sebenarnya Iapun mengatasi segala “dzaat”. Pendek kata Ia
secara mutlak tak dapat dibandingkan dengan apapun.Dengan demikian kita tidak mampu,
meskipun sedikit saja, menurut akal-kepandaian kita, untuk mengerti hakekat atau essensi Allah itu.
Oleh karena itu Allah bersabda kepada Nabi Musa demikian:
““Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada orang
yang memandangku dapat hidup” ( Keluaran 33:20 ).
Karena mustahilnya manusia dapat mengerti hakekat Allah ini maka Kitab Suci mengatakan tidak
ada seorangpun yang pernah (atau dapat) mengerti / melihat Allah :
“Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; ……..”( Yohanes 1:18 ).
85
Ini disebabkan meskipun Allah itu bersemayam dalam Terang, namun terang itu tak terhampiri,
dan meskipun Allah itu bersifat terang dan di dalamNya tidak ada kegelapan ( I Yohanes 1:5 ),
namun karena karena begitu jauhnya dan dalamnya rahasia Hakekat/Esensi Allah itu, sehingga
yang dapat dilihat oleh manusia itu hanyalah merupakan jurang dalam yang gelap gulita. Seperti
yang dialami oleh Nabi Musa ketika bertemu dengan Allah diatas gunung Sinai, sebagaimana yang
tertulis:
“Adapun bangsa itu berdiri jauh-jauh, tetapi Musa pergi mendekati embun yang kelam
dimana Allah ada.” ( Keluaran 20:21 ).
Embun kelam yang menjadi tempat Allah berada ini adalah simbol bagaimana Allah itu begitu
gelap dan tertutup oleh misteri keagungan dan kemuliaanNya sendiri, bagi manusia berdosa yang
ingin mendekati Allah itu. Demikianlah kitapun tidak usah heran, jika pemazmur juga
memazmurkan Allah itu demikian:
“Ia menekukkan langit, lalu turun, kekelaman ada dibawah kakiNya……. Ia membuat
kegelapan disekelilingNya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondokNya: air
hujan yang gelap, awan yang tebal…..” ( Mazmur 18:10-12 ).
“Tuhan adalah Raja….. Awan dan kekelaman ada sekeliling Dia….” ( Mazmur 97:1-2 ).
Dengan gelap-gulitanya dzat –hakekat Allah itu bagi akal-budi manusia, maka hanya satu saja yang
dapat kita mengerti tentang Allah itu, yakni bahwa sebenarnya manusia tidak tahu dan tidak
mengerti apa-apa mengenai keadaan dzat, hakekat, kejaten dari Allah itu. Hakekat Allah yang
menjadi kerajaan Allah itu sendiri, hanya bisa dimengerti oleh Allah yang Esa itu sendiri beserta
FirmanNya yang kekal dan RohNya yang kekal yang berada melekat dalam DiriNya Yang Esa itu..
Di dalam dzat-hakekat Allah yang satu, serta yang tidak dapat dimengerti oleh pikiran manusia
itulah Allah yang Esa berada dalam keheningan total, kasih absolut, kesucian mutlak, terang penuh
gemilang, kebahagiaan sepenuh, kemurnian tanpa cacat, keutuhan sempurna, dari kekal azali
sampai kekal abadi. Karena Allah itu adalah Dia yang tidak dapat dimengerti, sudah selayaknya
jika manusia menerima kenyataan bahwa Allah itu tidak dapat direka atau digambarkan dengan
cara apapun karena Ia tidak dapat dicapai oleh pikiran, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab
dibawah ini:
“O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak
terselidiki keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya!” ( Roma
11:33 ).
“Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( dzatKu, EssensiKu ), sebab tidak ada
orang yang memandangku dapat hidup” (Keluaran 33:20).
Ia membuat kegelapan di sekellingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi
pondok-Nya: Air hujan yang gelap, awan yang tebal.”(Mazmur 18:10-12).
Sesuai dengan data-data Alkitab yang sudah kita bahas ini Iman Kristen Orthodox mengajarkan
bahwa Hakekat (Essensi, Dzat) Allah itu - sebagaimana yang sudah berulang-kali kita katakan tidak dapat dimengerti ataupun dilihat oleh manusia. Artinya bukan hanya tak dapat dilihat secara
86
mata jasmani saja, namun juga mata akal, mata batin atau mata hati. Kenyataan Adi-Kodrati yang
demikian ini ditandaskan lebih jauh oleh Alkitab sebagai berikut:
”Hormat dan kemuliaan sampai selama-lamanya bagi Raja segala zaman, Allah yang kekal,
yang tak nampak, yang Esa.( 1 Timotius 1:17 ).
Allah yang Esa sebagai Raja kekal atas segala zaman Yang Maha Ghaib itu, juga tak dapat
dimengerti oleh para Malaikat di sorga dalam essensi/ hakekat/ dzatNya yang sebenarnya. Allah
memang tidak mempunyai kegelapan di dalam Diri-Nya, sebab Ia adalah Nur (Terang, I
Yoh.1:5), namun karena mustahil dapat dihampiri oleh makhluk, baik manusia maupun malaikat,
maka Allah yang Terang itu menjadi gelap gulita bagi makhlukNya.. Bagi makhluk, manusia
maupun malaikat, Nur Ilahi itu menjadi terang yang membutakan serta menjadi Terang yang
Gulita. Suatu paduan kata yang aneh memang, tetapi demikianlah keadaan Allah. Hal itu nyata
dari peristiwa yang terjadi di Gunung Sinai. Pada waktu Musa mendekati Allah, Allah
menampakkan Diri di dalam terang serta dalam cahaya yang berkiau-kilauan ( Keluaran 19: 18,
24: 10), namun pada waktu Musa naik untuk menghadap hadirat Allah justru kegelapanlah yang
dimasukinya; sebagaimana yang tertera dalam ayat-ayat berikut ini:
“Lalu Musa membawa bangsa itu keluar dari perkemahan untuk menjumpai Allah dan
berdirilah mereka pada kaki gunung.Gunung Sinai ditutupi seluruhnya dengan asap,
karena Tuhan turun ke atasnya dengan api; asapnya membubung seperti asap dari dapur,
dan seluruh gunung itu gemetar dengan sangat.Bunyi sangkakala kian lama kian keras.
Berbicaralah Musa, lalu Allah menjawabnya dalam guruh. Lalu turunlah Tuhan ke atas
puncak gunung itu, dan naiklah Musa ke atasnya.(Keluaran 19:17-20 ).
“Masuklah Musa ke tengah-tengah awan itu dengan mendaki gunung itu. Lalu tinggallah
ia di atas gunung itu empat puluh hari empat puluh malam lamanya.”( Keluaran 24:18 ).
“Ia menekukkan langit lalu turun, kekelaman ada di bawah kakiNya. Ia mengendarai
kerub, lalu terbang dan melayang di atas sayap angin. Ia membuat kegelapan di
sekelilingnya menjadi persembunyianNya, ya, menjadi pondok-Nya: air hujan yang gelap,
awan yang tebal.”( Mazmur 18:10-12 ).
Menurut ayat-ayat diatas Allah yang terang itu bersembunyi dalam kegelapan yaitu misteri
diriNya sendiri yang tak dapat ditembus oleh makhluk, yang digambarkan sebagai awan gelap,
kekelaman, kegelapan. Hal inilah yang dimaksud dengan ayat dibawah ini:
“....tidak ada orang yang tahu, apa yang terdapat di dalam Diri Allah...” ( I Kor. 2:11)
Karena dzat-hakekat Allah itu memang begitu ghaib dan dahsyatnya. Sehingga “wajah” yaitu
essensi/hakekat/dzat Allah ini dapat membuat makhluk hancur lebur jika mungkin melihatnya, yang memang pasti tidak mungkin - sebagaimana yang dikatakan:
“Engkau tidak tahan memandang wajahKu ( hakekatKu, essensiKu, dzatKu), sebab
tidak ada orang yang memandang Aku dapat hidup...” ( Keluaran 33: 20)
87
Allah itu merupakan suatu “misteri”, satu rahasia yang tidak dapat terpecahkan oleh akal manusia.
Sehingga dengan demikian dalam keputusan-keputusan kehendakNya dan jalan kodratNya ini
memang Allah tak terselidiki dan tak terselami :
“O ,alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah ! sungguh tak terselidiki
keputusan-keputusanNya dan sungguh tak terselami jalan-jalanNya !” ( Roma 11:33 ).
Allah sendiri sajalah yang mengerti dengan sebenarnya mengenai DzatNya (EssensiNya,
HakikatNya)) yang Maha Ghaib, Maha tak terselidiki dan Maha tak terselami itu. DzatNya
(EssensiNya/HakikatNya) adalah Rahasia diatas segala rahasia ,dan Misteri diatas misteri. Itulah
sebabnya hanya dengan rasa takut dan gentar disertai hormat dan kasih yang amat mendalam kita
harus mendekati Allah yang demikian ini.
Allah yang tanpa kegelapan itu, menjadi suatu rahasia dan misteri yang gelap-pekat dalam
dzat-hakekatNya karena tidak dapat dihampiri manusia, serta tak dapat dicapai oleh manusia dalam
keadaan alamiah dan keberdosaannya itu.
B. Pendekatan Pem”bukan”an.
.
Karena dzat-hakekat Allah adalah misteri maka kategori yang kita kenakan pada makhluk tak
akan berlaku bagi Allah. Itulah sebabnya di dalam Iman Kristen Orthodox terdapat suatu
pendekatan theologis yang disebut pendekatan “pembukanan“ atau pendekatan “apopathika” di
dalam membicarakan keberadaan Allah itu.
Artinya kita tidak bisa mengatakan mengenai dzat-hakekat Allah itu secara pasti begini atau begitu,
sebab kategori dan bahasa yang kita gunakan untuk mengatakan dzat-hakekat Allah yang sebenarnya
itu, berasal dari apa yang kita dapatkan dan kita alami di dalam dunia ini, padahal Allah bukan dari
dunia, bukan makhluk (ciptaan), serta mengatasi segala ciptaanNya.. Dengan demikian apa-apa yang
kita sifatkan kepada Allah terutama mengenai dzat-hakekatNya itu tidak akan persis sama
keadaannya dengan apa yang sebenarnya ada pada Allah. Karena Allah itu lebih tinggi dan lebih
mulia dibanding dengan sebutan atau segala istilah yang kita tahu di dalam dunia ini. Sehingga jika
dalam alam makhluk itu ada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maka Allah itu bukan laki-laki dan
bukan perempuan dan bukan juga banci dan Ia bukan keadaan yang dibatasi oleh jenis kelamin itu.
Pada pokoknya apa yang ada di dalam sifat alam itu kita tidak dapat mempergunakan kepada sifat
Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang ada di dalam alam ciptaan ini kala ia hendak kita kenakan
kepada Allah itu haruslah kita tambahi dengan kata ”bukan”. Inilah yang disebut Teologi
“Pem’bukan’an”. Jadi Allah itu bukan kuning, bukan putih, bukan besar, bukan kecil, bukan tua,
bukan muda, dan lain-lain. Sifat-sifat dari hakekat Allah itu tidak mungkin kita katakan secara bahasa
positif karena dari kekal azali sampai kekal abadi dzat-hakekat Allah itu akan tetap demikian dan
tetap akan menjadi rahasia bagi manusia. Karena Allah itu dalam hakekatNya bersifat misteri, maka
aqidah Iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam
membahas kodrat serta dzat-hakekat Allah yang tak terselami dan tak terselidiki haruslah dengan
pendekatan “via negativa” atau “apopathic approach” yaitu “pendekatan pem-bukan-an” yang kita
sebut diatas tadi. Artinya kita hanya dapat berbicara menganai “yang bukan” dari dzat-hakekat Allah
itu, sebab apa yang sebenarnya dari dzatullah itu sungguh kita sama sekali tak mengertinya. Misalnya
: Allah itu bukan laki-laki, bukan perempuan dan bukan banci - jadi Allah itu adalah Allah; Allah itu
bukan seperti malaikat, bukan seperti manusia, bukan seperti binatang, bukan seperti tumbuhtumbuhan dan bukan seperti fenomena tercipta apapun- jadi Allah itu adalah seperti DiriNya sendiri;
Allah itu bukan tempat ( bukan maqam ), bukan waktu ( bukan zaman ), jadi Allah itu adalah
88
DiriNya sendiri dan seterusnya. Dengan demikian kita tidak akan bersalah dan berdosa mensifatkan
secara jasad atau yang mirip dengan makhluk mengenai Allah, yang pasti hal itu tidak akan tepat
dengan realita dzatullah ( essensi ilahi) itu sendiri. Sebab jika kita salah mensifatkan bisa jadi
malahan kita menghujat dan bukan meluhurkan Allah Yang Maha Kudus itu. Begitu pula dengan
pendekatan pem-bukan-an ( via negativa, apopathic approach ) ini kita tidak akan terjebak dalam
usaha menurunkan Allah dalam derajat makhluk melalui pensifatan dengan katagori-katagori
manusia dengan sifat-sifat manusia yang tidak layak bagi essensi dan hakekat Allah yang Maha
Agung itu. Selanjutnya melalui membiarkan Allah sebagaimana adanya akan mengangkat kita masuk
dan tenggelam dalam misteri Ilahi itu sendiri serta mengangkat kita dari keterbatasan kemakhlukan
kita untuk menyelam dalam ketidak terbatasan Ilahi, sehingga kita dilepaskan dari ikatan-ikatan yang
mempersempit pandangan kita akan realita, untuk memperluas diri dalam keluasan dzatullah ( essesi
ilahi) yang tak terbatas itu.
Maka Pendekatan Pem”bukan”an atau Theologia Apopathika adalah suatu pendekatan yang
menjelaskan tentang sifat-sifat Allah dari sisi “bukan”nya daripada “ya”nya. Dengan mendekati Allah
secara Pem”bukan”an ini kita dihindarkan dari kesalahan untuk mereka-reka Allah menurut apa yang
kita mengerti dengan akal kita. Karena Allah yang dapat kita mengerti dengan akal kita, berarti
bukan Allah. Mengkhayalkan Allah menurut sifat-sifat yang kita ada-adakan bagi Dia itu adalah
suatu “Dewa” ciptaan dari pikiran kita. Karena Allah itu yang menciptakan pikiran kita,
menciptakan angan-angan kita, menciptakan pengertian kita, oleh karena itu Dia harus lebih tinggi
dari pada apa yang dapat kita mengerti.
Gereja Barat terbiasa mendekati Allah itu dengan pendekatan “via positiva” atau”pendekatan
affirmatif” yaitu “cataphatic approach”. Artinya secara akademis-filosofis mereka memberikan
katagori kepada Allah berdasarkan analisa-analisa akali dari kumpulan data-data yang dibahas secara
filsafati. Sehingga pendekatan lebih bersifat analisis rasionalistis dari pada bersifat mistik ( rohani ).
Tempat misteri banyak dikorbankan demi menekankan yang rasionalistis. Sedangkan Gereja
Orthodox meskipun menekankan pengertian yang masuk akal dan logis namun masih membuka
lebar bagi misteri ilahi, sehingga pendekatan apophatic itulah yang dilaluinya. Meskipun digunakan
juga bahasa-bahasa positif meneganai Allahj dalam Gereja Orthodox, namun harus tetap disadari itu
hanya simbol sajka dari realita sebenarnya, yang pada hakekatnya tak kita ketahui itu.
Jadi dalam pembicaraan kita tentang dzat/hakekat/essensi Allah yang dalam bahasa
Yunani disebut sebagai “ousia” hanya misteri yang tak terpecahkan yang kita jumpai..
.
C.Keberadaan ( Wujud) Allah
Memang kita tak dapat membayangkan atau mereka-reka bagaimana keberadaan wujud atau
keberadaan Allah itu yang sebenarnya, karena keberadaanNya yang ghaib itu. Dan juga memang
dalam essensi yang sebenarnya kita tak dapat mengerti tentang Allah itu. Ini tak berarti kita tak dapat
mengerti sama sekali tentang keberadaan Allah, seolah-olah tak ada keterangan sedikitpun. Syukur
kepada Allah, bahwa melaui wayuNya sebagaimana yang dicatat oleh Alkitab, kita mendapatkan
keterangan serba sedikit mengenai Allah itu, sejauh apa yang dinyatakan oleh Kitab Suci. Dengan
demikian kita dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang bagaimana keberadaan ( Wujud )
Allah itu dapat kita fahami. Beberapa ayat Kitab Suci dibawah ini akan memberikan keterangan
kepada kita mengenai hal itu:
89
“...... Sebab Aku ini Allah dan bukan manusia....” ( Hosea 11:9 ).
“..... Allah adalah Terang ( Cahaya, Nur ) dan di dalam Dia sama sekali tidak ada kegelapan
( I Yohanes 1:5 )
“Dialah satu-satunya yang tidak takluk pada maut, bersemayam dalam terang yang tak
terhampiri...” ( I Timotius 6:16 ).
“Allah itu Roh...” ( Yohanes 4:24 ) , dan sifat Roh itu adalah :” ...hantu ( spirit = roh ) tidak
ada daging dan tidak ada tulangnya....” ( Lukas 24:39 ).
Dari beberapa ayat diatas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan bahwa Allah itu bukan
manusia. Dia adalah Roh artinya ghaib, dengan keberadaan ghaib itu maka Dia itu tidak memiliki
tubuh jasmani yang terdiri dari tulang dan daging. Allah itu bukan jisim bukan pula benda, biarpun
benda yang paling halus sekalipun. Dia bukan Zat (cair, padat, gas). Dia bersifat Nur atau Cahaya
sehingga tempat bersemayamNya atau kemuliaan yang mengelilingi DiriNya itu adalah berupa
“Terang yang tak dapat dihampiri” yaitu Nur tak tercipta. Dia pula disebut “ tak takluk pada maut”
artinya essensi DiriNya itu adalah hidup murni yang tidak pernah mengalami pertumbuhan atau
penyusutan, yang tidak pernah mengalami kelahiran ataupun kematian. Sebab yang ghaib dan yang
roh bagaimana mengalami penyusutan dan kematian, serta bagaimana memiliki permulaan secara
dilahirkan. Allah adalah hidup murni yang berdiri sendiri. Itulah sebabnya Dia itu kekal tak berawal
akhir, hadir dimana-mana ( Mazmur 139:7-12 ) tak dibatasi tempat, pengetahuannya menembus
segala sesuatu tak dibatasi oleh kebodohan atau ketidak-tahuan ( Mazmur 139 ;1-6 ), Dia merembesi
segala sesuatu tanpa jadi identik dengan yang dirembesi ( Kisah Rasul 17:27-28 ). Dia kekal tanpa
dibatasi waktu ( Mazmur 90:1-2 ), serta Dia itu pribadi yang mandiri dan berdiri pada DiriNya sendiri
dengan menyatakan DiriNya sebagai “ Akulah Aku “ ( Keluaran 3:14 ). Demikianlah beberapa
indikasi Alkitab mengenai bagaimana Wujud ( Keberadaan ) Allah yang dapat kita mengerti,
meskipun pada akhirnya kita masih tetap tidak mengerti realita yang sebenarnya. Kita bersyukur
bahwa kita memiliki Allah yang mengatasi pemahaman kita ini. Karena itu menunjukkan bahwa Dia
itu bukan buah karangan otak manusia namun sebagai realita yang mandiri dan tak tercipta namun
yang menciptakan segala sesuatu, Dia ada tanpa diadakan meskipun Dia mengadakan segala sesuatu.
Itulah keberadaan Allah itu.
D.Sifat-Sifat Allah
Dalam pembicaraan kita mengenai dzat-hakekat/ essensi/ousia Allah yang kita jumpai hanya
kegelapan misteri dari keghaiban ilahi, serta dalam pembicaraan kita mengenai wujud (keberadaan)
Allah, kita diperhadapkan kepada keluhuran dan kemuliaan keberadaan Allah yang sebenarbenarnya yang diluar jangkauan makhluk (ciptaan). Disitu kita menjumpai betapa terbatasnya
pemahaman kita untuk dapat menjangkau kedahsyat-luhuran Allah itu. Dan jika dzat-hakekat dan
wujudNya saja yang kita renungkan pastilah kita tak akan dapat mengerti apapun tenatang Allah.
Namun syukurlah bahwa Allah bukan hanya Allah yang menyembunyikan Diri dalam keghaibanNya
namun juga Allah yang menyatakan Diri dalam pewahyuan DiriNya. Melalui penyataan Diri Allah ini
meskipun hakekat-wujud Allah yang sebenarnya masih merupakan misteri bagi kita, namun dari
pernyataan sabdaNya, tindakan-tindakan mukjizatNya, penyataan pemeliharaan dan
penghukumanNya atas umatNya kita dapat mengerti Allah itu melalui sifat-sifatNya . Melalui sifatsifat Allah yang dinyatakan melalui penyataan DiriNya itulah kita dapat mengerti keberadaan Allah
90
itu terutama dalam hubunganNya dengan makhlukNya, terlebih-lebih kepada manusia dan lebih
khusus lagi kepada ummat yang beriman kepadaNya.
E.Energi Allah
Jika dalam dzat/hakekatNya Allah itu tak dapat dimengerti manusia, dan melalui sifat-sifatNya saja
manusia dapat mengerti tentang keberadaan Allah itu, maka dalam energiNya manusia dapat
mengalami hadirat Allah itu. Mengenai Energi Ilahi itu diajarkan demikian oleh Alkitab :Alkitab
sbagaimana telah kita bahas diatas, mengatakan :” Tak seorangpun pernah melihat Allah…” (
Yohanes 1:18)., “…tidak seorangpun mengenal Bapa…” ( Matius 11:27), “ O , alangkah
dalamnya kekayaan hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusankeputusanNya dan tak terselami jalan-jalanNya”( Roma 11:33), “….tidak ada orang yang
tahu, apa yang terdapat di dalam diri Allah…” ( I Korintus 2:11) “…..bersemayam dalam
terang yang terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia, dan memang manusia tak
dapat melihat Dia” ( I Timotius 6:16 ).Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa Allah tak pernah
dikenal, tak pernah dilihat, tak terselidiki, tak terselami, tak diketahui apa yang ada didalam diriNya,
tak terhampiri, serta tak dapat dilihat manusia. Pendek kata ayat-ayat diatas menunjukkan Allah itu
tak dimengerti sama sekali keadaanNya oleh manusia. Allah itu begitu ghaib dan misteriusNya
sehingga dijelaskan dengan kata-kata seperti itu. Namun demikian ada ayat-ayat lain dalam Alkitab
yang mengatakan demikian :“…..Ia tidak jauh dari kita masing-masing. Sebab di dalam Dia
kita hidup, kita bergerak,kita ada….” ( Kisah Rasul 17: 27-28) “…apa yang dapat mereka
ketahui tentang Allah nyata bagi mereka…..apa yang tidak nampak daripadanya, yaitu
kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya, dapat nampak….dari karyaNya….” ( Roma
1:19-20), “ Kudus, kudus kuduslah TUHAN semesta alam, SELURUH BUMI PENUH
KEMULIAANNYA” (Yesaya 6:3). Dan masih banyak ayat-ayat lain yang serupa.Bertentangan
dengan ayat-ayat diatas dimana dijelaskan bahwa Allah tak dikenal, tak dimengerti, tak terselami, tak
nampak dan tak dapat dihampiri, ayat-ayat yang kita kutip ini menunjukkan justru sebaliknya. Disini
Allah disebutkan sebagai yang tak jauh dari manusia masing-masing, manusia seolah-olah berenang
di dalam hadirat Allah sendiri, Allah nampak dari karyaNya, dan kemuliaan Allah itu memenuhi
seluruh bumi, yang berarti bumi itu dipenuhi dengan hadirat Allah. Mengapa ada keberadaan yang
seolah-olah kontradiksi ini mengenai Allah? Ini bukan kontradiksi, namun dua cara hadirat Allah
yang berbeda. Yang diatas menjelaskan Allah dalam kehadiranNya pada DiriNya sendiri, yaitu pada
Esensi, Hakikat, atau Dzat Ke-Allah-anNya sendiri, yaitu keilahian dan kekuatanNya yang kekal. Ini
memang tak dimengerti oleh manusia. Sedangkan kelompok kutipan yang kedua menjelaskan cara
kehadiran Allah diantara makhlukNya (hidup, gerak dan adanya manusia, karyaNya pada alam, serta
seluruh bumi), dan kehadiran itu berwujud “KEMULIAAN” yang memenuhi bumi, sehingga
manusia dapat hidup, bergerak dan ada, dan kemuliaan itu nampak pada karya-karya Allah itu,
artinya pada hasil aktivitas perbuatan Allah. Karena hasil aktivitas perbuatan Allah itu pada
penciptaan alam semesta, dan di alam semesta itu pula hadir :”kemuliaan” itu,maka “kemuliaan” dan
“aktivitas perbuatan Allah” itu identik adanya. Demikianlah ayat-ayat yang menyatakan tentang
keghaiban Allah diatas itu menunjukkan keberadaan Allah pada DiriNya sendiri yang memang tak
dapat dimengerti manusia yaitu “Esensi, Hakekat” (Dzat!!!, bukan “Zat” yang terdiri dari : padat, cair
dan gas) Allah sendiri, dan ayat-ayat yang menyatakan tentang kehadiran Allah di dunia yang dapat
dialami manusia itu menunjuk kepada “aktivitas perbuatan Allah” atau “kemuliaan Allah” yaitu
“Energi Allah” atau “Energi Ilahi” sendiri. Demikianlah Iman Kristen Orthodox memang
membedakan antara “Esensi Ilahi” dan “Energi Ilahi”. “Esensi Ilahi” adalah kehadiran Allah pada
diriNya sendiri, atau hakekat Allah itu sendiri, dan “Energi Ilahi” adalah kehadiran Allah ditengahtengah ciptaanNya, yaitu aktivitas perbuatanNya diluar “Esensi”Nya. Namun kedua-duanya adalah
91
kehadiran yang nyata dari Allah itu sendiri. “Energi Ilahi” bukanlah sesuatu yang diciptakan Allah,
namun “energi tak tercipta” yang mengalir keluar dari dalam esensi itu sendiri. Manusia tak dapat
mengalami Allah dalam EsensiNya sebab itu mustahil, namun dapat mengalamiNya melalui
“Energi” atau ‘kemuliaan”Nya ini, seperti yang telah kita lihat dari ayat-ayat Alkitab diatas.
Bahwa “kemuliaan Allah” itu adalah “Energi Allah” yang dilaksanakan oleh Firman/Anak dan
RohNya/Roh Kudus itu diajarkan Alkitab demikian, terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan
Yesus Kristus, karena pengalaman kita akan Energi Ilahi ini terkait dengan pengalaman penebusan
dalam Kristus, sedangkan yang kita kutip diatas adalah Energi Ilahi dalam kaitannya dengan
pemeliharaan ciptaan secara umum:
“…..Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh KEMULIAAN BAPA…” (Roma
6:4)
Ayat ini menjelaskan dengan tegas bahwa “Kemuliaan Bapa” itu bukan sekedar konsep yang abstrak,
namun betul-betul kekuatan atau daya-kuasa, yaitu “Energi” yang dapat mengalahkan kematian dan
menyatakan hidup kekal, yaitu hidup yang tak berkematian. Padahal “kekekalan” itu sesuatu yang tak
tercipta, berarti “kemuliaan” yang mempunyai kuasa untuk mengalahkan kematian dan memberikan
hidup yang kekal ini pasti kekal pula. Berarti “kemuliaan Bapa” ini adalah sesuatu yang Tak Tercipta,
namun kekal berasal keluar dari dalam Diri Bapa sendiri.
“….Roh Dia,
yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati….akan
menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu “
(Roma 8:11).
Ayat ini menjelaskan bahwa kebangkitan yang tadinya dikatakan dilakukan oleh “Kemuliaan Bapa”
itu ternyata sekarang dilakukan oleh “Roh Allah”. Namun Roh Allah itu jelas tidak identik dengan
“Daya-Kuasa” atau “Daya-Aktif” yaitu “Kemuliaan Bapa” itu. Ajaran Saksi Yehuwan yang menolak
Tritunggal Kudus, mengatakan bahwa Roh Kudus itu adalah “Daya Aktif” Allah atau menurut
bahasa Alkitab, yang dibawah nanti akan kita buktikan disebut sebagai “Energi Ilahi” atau “Energi
AIlah”. Mereka kacau antara “Energi Ilahi” yang menjadi milik dari Bapa, oleh FirmanNya di dalam
RohNya, itu dengan Roh Allah sendiri ini. Roh Allah memang “keluar” dari Allah (Yohanes 15:26)
namun bukan Daya Aktif Allah, sebab Firman Allah/Anak Allahpun “keluar” dari Allah (Yohanes
8:42), namun Dia juga bukan disebut sebagai “Daya Aktif” Allah bahkan oleh Bidat Saksi
Yehuwahpun. Sebab “Daya Aktif” itu menunjukkan pada “aktivitas perbuatan” sedangkan Roh
Allah karena Ia itu ber-hypostasis maka Ia adalah pribadi yang dapat “berdoa” ( Roma 8:26),
“menyelidiki Diri Allah “ ( I Kor. 2:10), “mencegah” dan “tidak mengizinkan” ( Kisah Rasul 16: 67), “dibohongi “ ( Kisah Rasul 5:3), “didukakan” ( Efesus 4:30). Sifat-sifat pribadi yang mana tak
dimiliki oleh “kemuliaan” atau “energi” atau “daya aktif” Allah itu. Jadi Roh Allah itu berbeda
dengan daya aktif Allah atau “kemuliaan Bapa” ini. Namun Roh Allah inilah yang melaksanakan
gerak dari energi Ilahi itu, sebagaimana yang dikatakan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam
I Korintus 12. Karunia-karunia Roh Kudus itu dinyatakan sebagai “kharismatoon” ( I Kor. 12:4)
sebagai pemberian dari Roh Kudus, namun dinyatakan sebagai “diakonioon” ( I Kor. 12:5) dalam
dampak yang dilakukannya di dalam Gereja, sedangkan dalam dirinya sendiri yang berasal dari Allah
disebut sebagai “energheematoon” serta Allah sendiri disebut sebagai “Ho Energhoon” atau ‘Yang
Meng-Energi-kan /mengerjakan” ( I Kor. 12: 6). Berarti ‘Kharisma Roh Kudus” itu adalah
“Energhima” atau “Hasil dari Energi” yang berasal dari Allah, dilayankan (diakonia) untuk dan atas
Nama Tuhan Yesus Kristus, serta dikaruniakan (kharisma) oleh Roh Kudus. Sebab mengenai fungsi
92
Roh Kudus itu dinyatakan;” Tetapi semuanya ini ( yaitu:kharisma-kharisma Roh Kudus, sebagai
“energhima” Allah) dikerjakan ( energhei ) kai to auto pneuma (oleh Roh yang satu dan yang sama
itu juga)….. “ ( I Kor.12:11). Ayat-ayat ini jelas mengatakan bahwa “energhima Allah” atau
“kharisma Roh Kudus”, itu di “energikan” oleh Roh Kudus. Berarti Roh Kudus berbeda dengan
“Energi Ilahi”. Roh Kudus adalah yang menjalankan atau melaksanakan atau mengerjakan Energi
Ilahi itu di dalam kehidupan makhluk. Oleh karena itu “Kemuliaan Bapa” yang membangkitkan
Yesus itupun, “dienergikan” oleh Roh Kudus, sehingga Roh Kudus dikatakan sebagai yang
membangkitkan Yesus Kristus.
Kristus mengatakan ;” Bapa mengasihi Aku, oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk
menerimanya kembali. Tidak seorangpun yang mengambilnya daripadaKu (artinya, Yesus
tidak mati karena terpaksa atau karena keharusan mati seperti layaknya manusia lainnya), melainkan
Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri ( artinya, Dia bebas dan berkuasa untuk
menghendaki kapan Dia mati, atau juga kapan untuk tidak mati sama sekali) . Aku berkuasa
memberikannya ( artinya, Dia mempunyai kedaulatan untuk dapat mati atau untuk tidak dapat
mati), dan berkuasa mengambilnya kembali ( artinya, jika Dia matipun Dia punya kuasa dan
kedaulatan untuk membangkitkan DiriNya sendiri lagi)” ( Yohanes 10:17-18). Ayat-ayat ini
menjelaskan bahwa Yesus itu yang memiliki kuasa untuk membangkitkan DiriNya sendiri. “Kuasa”
apa ini? Inilah kuasa yang sama, seperti “kemuliaan Bapa” dan kuasa kebangkitan yang dilakukan
oleh Roh Kudus juga. Berarti Allah (Bapa), Firman ( Anak, Yesus Kristus), dan Roh Kudus ( Roh
Allah) itulah yang membangkitkan kemanusiaan Yesus Kristus ( Firman Menjelma) dari kematian
oleh “Kemuliaan Bapa” yaitu “Energi Allah” yang satu dan yang sama, yang dilakukan oleh
Tritunggal Maha Kudus. Jadi Energi Ilahi adalah milik Allah dan FirmanNya serta RohNya sekaligus.
“Energi Allah” itu keluar dari Bapa, melalui Firman /Anak di dalam Roh Kudus datang kepada
makhluk terutama manusia.
Bahwa “kemuliaan Bapa” yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Energi Allah” dikatakan
demikian oleh Alkitab:
“…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai dengan
kekuatan kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut energi dari
kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan) di dalam
Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20). Menurut ayat
ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja dalam
membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut energi dari
kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan” Kebangkitan
Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita. Berarti kita
mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama Yesus Kristus.
Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun juga “Menurut
Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah” sendiri. Disamping
“kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan perbuatan-perbuatan
mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai “kemuliaan” yaitu
“cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :” …Yesus berubah rupa…wajahNya
bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar seperti terang…” (
Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan pakaiannya sangat putih
berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa wajahNya berubah dan
pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan pengalaman perubah-rupaan
Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai “kehormatan dan kemuliaan
93
dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti pada waktu kedatanganNya ( II
Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam “kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak
lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti
matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan berkilau-kilauan itu tak lain adalah
wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain adalah penampakan dari “Terang Tak
Tercipta” atau ‘Energi Ilahi’. Dan “Terang tak Tercipta” inilah yang nanti akan menampakkan Diri
pada kerajaan Bapa atas orang-orang beriman, yang akan bercahaya seperti matahari. ( Matius 13:43).
Inilah yang disebut pemuliaan atau dalam ImanKristen Orthodox disebut sebagai “Theosis” atau
pengilahian yaitu “ikut ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II Petris 1:4). Namun juga yang dapat
dialami sekarang oleh para orang kudus, sebagai “Pengalaman Terang Tak Tercipta” namun yang
bukan “Theosis” itu sendiri baik sebagai sinar yang dilihat sebagai kemuliaan ilahi ( Kisah 7: 55-56,
9:3-6, Wahyu 1:12-16, dan beberapa pengalaman Theofani Perjanjian Lama maupun cahaya yang
bersinar dari dalam tubuh mereka sendiri seperti halnya pemuliaan Yesus diatas gunung itu ( Kisah
Rasul 7: 15, Keluaran 33: 33). Inilah yang dialami oleh para kudus dalam Gereja itu. Jadi energi ilahi
ini adalah “kasih-karunia” (kharis) dari Allah sendiri, yang mengalir keluar dari Essensi Ilahi, yang
disalurkan kepada kita oleh Karya Kalimatullah di dalam Roh Kudus sendiri
Jadi “kasih karunia” dalam Gereja Orthodox adalah “energi ilahi” yangg bekerja di dalam diri orang
beriman akibat manunggal dalam iman kepada kemanusiaan Yesus Kristus yang telah dimuliakan di
sorga itu. Jadi dalam Iman Kristen Orthodox “kasih karunia” itu dimengerti secara dinamis. Dari
luar “kasih karunia” adalah hadiah cuma-cuma dari Allah yang menerima manusia berdosa menjadi
orang-orang kudus akibat karya korban dan kebangkitan Yesus Kristus, tanpa memperhitungkan
pelanggaran-pelanggaran mereka di masa lalu. Namun “kasih karunia” itu juga “energi ilahi” yang
bekerja di dalam manusia percaya akibat karya Roh Kudus untuk secara fakta menjadikan manusia
berdosa itu betul mengalami pengudusan sehingga ia menjadi orang kudus bukan hanya dalam status
dan posisi saja, namun juga dalam realita, sehingga ia mencapai “theosis” tadi. Jadi manunggal
kepada Allah itu bukan berarti melebur ke dalam ”essensi” ilahi secara “pantheistis” sebagaimana
yang dimengerti agama Hindhu atau Kebatinan Jawa, namun manunggal dalam kemuliaan atau
energi Allah. Dalam “energi Allah” inilah manusia betul-betul mengalami panunggalan dengan Allah
itu melalui iman kepada Yesus Kristus di dalam Roh Kudus.
F. Anthropomorfisme/Mutajasimah ( Pengumpamaan Allah Seperti Insan)
Di dalam pemikiran theologis yang monotheistis, misalnya: dalam pemikiran Yahudi, Islam dan
Kristen (khususnya Kristen Orthodox), kadang-kadang timbul sikap ekstrim dalam mengesakan
Allah ini. Di dalam Kekristenan misalnya pernah muncul keyakinan bahwa “Firman Allah” itu
bukan merupakan keberadaan dalam wujud Allah yang kekal, karena jika ada Firman Allah yang
kekal ditakutkan adanya dua Ilah, yaitu :Allah sendiri dan FirmanNya, oleh karena itu Firman
Allah yang dalam bahasa theologia Kristen disebut “Anak Allah” adalah tercipta. Inilah pendapat
dari ajaran Arianisme, yang dijaman modern ini dilanjutkan oleh kelompok Saksi-Saksi Yehuwah.
Fenomena yang sejajar muncul pula dalam agama Islam, dalam bentuk aliran pemikiran theologis
dari aliran Mu’tazilah yang menyatakan bahwa Allah itu tidak mempunyai sifat-sifat. Oleh karena
itu aliran ini meyakini bahwa Allah mendengar dengan DzatNya (hakekatNya), Allah mengetahui
dengan DzatNya ( hakekatNya), Allah berbicara dengan DzatNya ( hakekatNya), Allah
mendengar dengan DzatNya ( hakekatNya) dan seterusnya. Dengan mengatakan bahwa semua
sifat Allah itu dikembalikan kepada Dzatullah, maka kaum Mu’tazillah yakin bahwa mereka telah
memurnikan Ke-Esa-aan Allah secara konsekwen. Karena jika Allah itu memiliki sifat-sifat
berarti ada dua Ilah yaitu Dzat dan Sifat. Ini sudah merupakan penyangkalan terhadap Ke-Esa-an
Allah. Demikian faham Mu’tazilah. Faham yang tidak jauh beda dengan Arianisme dalam sejarah
94
Kristen Orthodox, yang juga meyakini bahwa “Firman Allah” itu bukan satu dalam hakekat (
“homoousios”) Diri Allah. Dengan demikian Allah tak memiliki “Firman” berarti tak memiliki
sifat “Kalam” di dalam DiriNya sendiri. Sebagaimana dalam Agama Islam Kaum Asy’ariyah yang merupakan mayoritas di Indonesia ini - menolak ajaran Mu’tazila ini, demikianlah Iman
Kristen Orthodox menolak ajaran Arianisme dan Saksi-saksi Yehuwah. Sanggahan Kaum
Asy’ariyah dalam Agama Islam terhadap ajaran kaum Mu’tazilah itu, berwujud penegasan bahwa
Allah itu memiliki banyak sifat, bukan hanya satu atau dua sifat saja. Bagi kaum Asy’ariyah Allah
itu mendengar dengan PendengaranNya, Allah mengetahui dengan PengetahuanNya, Allah
melihat dengan PenglihatanNya, Allah berfirman dengan Firman/KalimatNya, Allah hidup
dengan KehidupanNya, dan seterusnya. Dalam hal ini Iman Kristen Orthodox segaris dengan
pemikiran Asy’ariyah ini. Karena iman Kristen Orthodox menegaskan bahwa Allah itu memang
memiliki Firman, Hidup, Pengetahuan, Hikmat, Pendengaran, Penglihatan, dan sebagainya.
Meskipun Firman Allah, HidupNya Allah, Pengetahuan Allah, Hikmat Allah, Pendengaran Allah,
serta Penglihatan Allah ini berbeda hakekatNya dari sebutan yang sama yang dikenakan pada
makhluk (ciptaan) Nya terutama manusia. Oleh karena itu ungkapan-ungkapan Alkitabiah yang
seolah-olah menggambarkan Allah mempunyai sifat-sifat dan keberadaan jasmani itu harus
dimengerti sebagai ungkapan "anthropomorfisme” yaitu ungkapan-ungkapan pengandaian yang
menggunakan bahasa manusia dengan mengumpamakan jasmani manusia untuk
menggambarkan keberadaan Allah, namun bukan makna secara literal. Ini dibuktikan bahwa
dalam beberapa ayat yang mengandaikan Allah seperti manusia diberi penjelasan kata “seperti”
dan “menyerupai” (Keluaran 24:10, Yehezkiel 1:26-28). Itu membuktikan bahwa
penggambaran itu tak boleh dimengerti secara literal. Sebab jika itu dimengerti secara literal akan
bertentangan dengan pernyataan Alkitab yang mengatakan tentang Allah:” Kepada siapakah
kamu hendak menyamakan Aku, hendak membandingkan dan mengumpamakan Aku,
sehingga kami ( Allah dan yang dibandingkan denganNya tadi) sama ? “ ( Yesaya 46: 5).
Artinya Allah itu tidak sama bila dibandingkan ataupun diumpamakan dengan apapun.
Termasuk pengumpamaan secara bentuk jasmani (“anthropomorfisme”) tadi. Dalam makna
inilah kita dapat berbicara mengenai Allah, bahwa Allah punya “wajah” ( “….dan mereka (ahli
syurga) akan melihat wajahNya….”,Wahyu 22:4) artinya punya “essensi, dzat-hakekat”, Allah
punya “tangan” ( “ Sesungguhnya tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk
menyelamatkan……” , Yesaya 59: 1), artinya punya kuasa untuk menolong, Allah punya
“kaki” (“ Lalu mereka melihat Allah Israel, kakiNya berjejak pada sesuatu yang
buatannya seperti lantai dari batu nilam,……”, Keluaran 24: 10) artinya punya cara untuk
menghadirkan DiriNya pada makhlukNya, Allah punya “tubuh” (“…..kelihatan seperti rupa
manusia. Dari yang menyerupai pinggangnya sampai keatas…..dari yang menyerupai
pinggangnya sampai kebawah….Begitulah kelihatan gambar kemuliaan TUHAN…,”
Yehezkiel 1: 26-28), artinya punya keberadaan nyata dalam kekekalan ilahi, Allah “duduk di atas
takhta” (“…..aku melihat TUHAN duduk diatas takhta yang tinggi dan menjulang….”
Yesaya 6:1) artinya memerintah sebagai raja dan menguasai seluruh alam, Allah “berjalan-jalan”
( “ Ketika mereka mendengar bunyi langkah TUHAN, yang berjalan-jalan di taman
itu….” Kejadian 3:8) artinya Allah selalu hadir dimana-mana memperhatikan makhlukNya,
punya “sayap” (“ Dengan kepakNya Ia akan menudungi engkau, dibawah sayapNya
engkau akan berlindung….” , Mazmur 91: 4) artinya penjagaan dan perlindungan Allah,
bahkan Allah “menyesal” (“ maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan
manusia di bumi…..” Kejadian 6:9) artinya Allah tidak membiarkan dosa manusia tanpa
hukuman. Sehingga dari kasih atas ummat beriman berubah kepada penghukuman atas kekafiran
mereka itu digambarkan sebagai penyesalan Allah. Dan masih banyak lagi.
95
3. Allah Yang Esa, FirmanNya dan RohNya.
(Allah Yang Esa Sebagai Tritunggal Maha Kudus)
Landasan Pemahaman Berdasarkan Pengakuan Iman Nikea
Mengenai keberadaan Allah Yang Esa itu Pengakuan Iman Nikea selanjutnya mengatakan bahwa
.Allah yang hanya satu dan diberi gelar “Sang Bapa, Yang Mahakuasa” ini memiliki
keberadaan yang sangat unik, karena di dalam kesatuan diriNya itu Dia memiliki “Anak
Tunggal” yang bukan berasal dari luar kodrat Allah namun “ yang diperanakkan dari Sang
Bapa” bukan dengan suatu permulaan waktu tetapi “sebelum segala zaman” yaitu dari dalam
kekekalan. Berarti dalam kekekalan itulah Allah ini dalam kodratnya sendiri “memperanakkan
Anak Tunggal” sebagai pancaran atau pantulan diriNya sendiri yang adalah Terang (Nur) itu.
Sehingga Anak Tunggal Allah yang berada kekal dalam kodrat Allah ini disebut “Terang yang
keluar dari Terang”. Sebagai pancaran dari Nur yang adalah Allah, maka jelas yang terpancar
atau terpantul berwujud Nur pula. Karena hanya ada satu Allah yang bersifat Nur, maka Allah
yang Satu ini pastilah Allah yang Sejati. Pancaran Diri Allah yang sejati yang berasal dari kodrat
diriNya yang berwujud “Nur yang keluar dari Nur (Allah)” ini, jelaslah memiliki sifat yang sama
dengan Allah yaitu “Allah Sejati yang keluar dari Allah sejati”. Dengan demikian pancaran
Nur Ilahi yang berkodrat Allah sejati itu bukan mahluk, yaitu Dia “bukan diciptakan” namun
“diperanakkan” yaitu dikeluarkan secara kodrati dari kodrat Ilahi sendiri di dalam kekekalan,
sehingga kodratNya sama dengan asal-usulNya: Allah yang Esa. Berarti Nur yang keluar dari Nur
ini berada dalam “Satu dzat hakekat dengan Sang Bapa” karena Allah itu memang hanya
satu yang “Dzat hakekatNya” satu pula. Mengikuti rincian makna Pengakuan Iman ini kita
melihat sekarang bahwa yang disebut “Anak Allah” ini bukan makna kata jasmaniah. Sebab
meskipun ada kata-kata “diperanakkan” dan “Anak Tunggal”, tetapi kita tak menjumpai kata
“Ibu” atau yang “wanita pengandung Anak Allah”. Tak pula kita jumpai kata kapan saat Anak
Allah itu dilahirkan. Dia diperanakkan di luar waktu, “sebelum segala zaman”, berarti Dia
diperanakkan terus menerus di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Karena arti
“memperanakkan” disini adalah mengeluarkan, atau juga memantulkan, berarti Allah selalu
memantulkan Cahaya DiriNya dalam DiriNya sejak kekal, dan itulah makna diperanakkan itu.
Siapakah yang disebut Anak Allah yang berasal dari dalam Diri Allah Yang Esa ini? Dijelaskan
oleh Pengakuan Iman itu “Yang MelaluiNya segala sesuatu diciptakan” Dan kita tahu
menurut Alkitab bahwa Allah menciptakan segala sesuatu melalui “FirmanNya” atau
“SabdaNya”. Jika demikian jelas yang dimaksud Anak Tunggal disini bukanlah makhluk atau
ciptaan yang diadakan oleh Allah, namun Ia adalah Firman Allah yang kekal, yang melaluiNya
Allah mengadakan sekalian makhluk atau segenap ciptaan. Itulah sebabnya Ia satu dzat-hakekat
dengan Allah, dan memiliki sifat Ilahi, dan keluarNya dari Allah sendiri, karena Ia berada satu di
dalam Allah Yang Esa itu sendiri. Karena Allah yang Esa itu disapa dengan gelar kias sebagai
“Bapa”, maka “Firman Allah” yang berasal dari kandungan dzat Allah dan yang keluar dari Allah
Yang Esa itu disebut dengan gelar kias “Anak”. Karena Allah itu Esa,, maka FirmanNya juga
hanya ada satu saja. Padahal Firman Allah ini diberi gelar kias sebagai “Anak”, maka jelas Firman
yang hanya satu itu, disebut dengan gelar kias “Anak Tunggal Allah”, karena Allah memang tak
96
beranak maupun diperanakkan dalam pengertian jasmani yang kita kenal. Firman Allah yang
kekal itu disebut “Anak Yang Tunggal” (“Firman itu….sebagai Anak Tunggal Bapa…”,
Yohanes 1:14), serta “Anak Tunggal Allah/Bapa” yaitu Firman Yang Kekal itu dinyatakan
sebagai yang “ ada di pangkuan Sang Bapa” (Yohanes 1:18), dan ”pangkuan Bapa” adalah
“Dzat-Hakekat Bapa/Allah”. Dengan demikian Firman Allah yang dikiaskan sebagai “Anak
Tunggal Allah” itu memang berada dalam “Dzat Hakekat Allah” yang Esa itu. Sedangkan
mengenai Roh Allah yang kekal dikatakan:: “…Roh …menyelidiki…hal-hal yang
tersembunyi dalam diri Allah…..yang tahu, apa yang terdapat dalam diri manusia, …roh
manusia sendiri yang ada di dalam dia……..yang tahu, apa yang terdapat dalam diri
Allah…Roh Allah” ( I Korintus 2:10-11). Roh Allah berada dalam Diri Allah, sebagaimana roh
manusia ada dalam diri manusia. Firman Allah ada di “pangkuan Bapa” yaitu dalam hakekat
Bapa yang satu. Dengan demikian dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu berdiamlah FirmanNya
yang kekal dan RohNya yang kekal. Sehingga hanya Allah Yang Esa (Bapa) itu sendiri, beserta
Firman serta RohNya yang ada di dalam Diri dan Dzat-HakekatNya Yang Esa itu saja yang
mengerti dzat-hakekat dari pada Allah tersebut.
Jadi disamping FirmanNya sendiri itu, Allah yang Esa ini juga memiliki Roh Kudus, yaitu Roh
yang “Keluar dari Sang Bapa”, yang berarti Roh ini asalnya juga dari Sang Bapa (Allah Yang
Esa) itu dan berdiam di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Dengan demikian Allah yang Esa itu
merupakan pokok dan sumber yang dariNya Anak Tunggal Allah (”Firman Allah yang hanya
satu-satunya”) diperanakkan sejak kekal (“Diperanakkan dari Sang Bapa”) dan dariNya pula Roh
Kudus itu dikeluarkan dari kekal (“Keluar dari Sang Bapa”). Melalui Anak Tunggal
(“FirmanNya yang hanya Satu”) ini Allah menciptakan (Allah..Pencipta...) segala sesuatu
(“yang melaluiNya segala sesuatu diciptakan”). Padahal dalam Kitab Suci yang menjadi sarana
penciptaan dalam diri Allah adalah “Firman Allah” berarti yang dimaksud dengan Anak Allah itu,
sebagaimana yang telah kita katakan diatas, tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. Itulah
sebabnya Ia satu dalam dzat-hakekat Allah. Tetapi dalam memberikan hidup dan kehidupan
kepada segala sesuatu yang telah diciptakan melalui “Firman”Nya yaitu “Anak Tunggal” Nya itu
Allah menggunakan RohNya yang disebut Roh Kudus (“Roh Kudus...Sang Pemberi
Hidup....”). Demikianlah maka Roh Kudus sebagaimana Anak Allah yang melaluiNya Allah
menciptakan segala sesuatu itu, menjadi “Tuhan” (Penguasa) bagi segenap mahluk. Maka
jelaslah Allah itu memang satu, sehingga Roh Kudus itu “bersama dengan Sang Bapa” artinya
dari dalam hakekat Allahlah Roh Allah berasal, “dan Sang Putra” karena Anak Allah yang
adalah “Firman Allah” beradanya dalam dzat hakekat Allah yang Esa bersama dengan Roh Allah
sendiri, “disembah dan dimuliakan”. Demikianlah penyembahan ummat Kristen kepada
Allah Yang Esa itu penyembahan yang bersifat hidup dan intim, karena Dia menyembah Allah
melalui Firman Allah yang mengantar manusia kepada Allah, dan melalui Roh Allah yang
memberikan terang dan hidup untuk menyatu dengan Allah yang Esa itu. Dan fakta keberadaan
Allah yang Esa yang demikian inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai “Tritunggal
Mahakudus”.
Hal-hal yang keliru dalam Pemahaman Tritunggal Maha Kudus
Istilah “Tritunggal Maha Kudus” untuk menyebut Allah yang Esa yang sejak kekal memiliki
Firman dan Roh dalam diri dan dzatNya yang serba esa ini sering dimengerti secara salah oleh
orang diluar Iman Orthodox. Kata ini memang tak terdapat dalam Kitab Suci dan pertama kali
digunakan oleh Theophilus dari Antiokhia di Gereja Timur dalam bahasa Yunani “Triados” dan
Tertulianus dari Gereja Barat dengan istilah bahasa Latin “Trinitas” dalam usaha untuk
menjelaskan tentang fakta yang terdapat dalam Kitab Suci mengenai Allah Yang Esa yang
97
disebut Bapa, yang memiliki Firman yang disebut Putra/Anak dan Roh yang disebut Roh Kudus
yang bersifat Kekal, dan hubungan Firman Allah dan Roh Allah itu dengan Allah Yang Esa itu
sendiri.
Jadi yang dimaksud dengan Tritunggal bukanlah mengenai ajaran bahwa ada Tiga Ilah yang
terpisah-pisah yang disebut Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus seperti yang kita
jumpai dalam ajaran Mormon. Bukan pula terdiri dari Isa, Maryam dan Allah, sebagai tiga tuhan
bersatu. Malah bukan pula sebagai Isa dan Jibril ( karena istilah Kristen “Roh Kudus” itu
disamakan dengan ajaran dalam Islam dimana nama lain dari malaikat Jibril adalah “Rohul
Qudus”) yang dipersekutukan dengan Allah, seperti yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan
polemik beberapa penulis Muslim dalam serangannya terhadap faham Tritunggal ini. Bukan pula
Tritunggal ini tiga Nama yang berbeda dari satu Tuhan Yesus Kristus. dimana “Bapa” disamakan
dengan gelar :”Tuhan”, dan “Anak” disamakan dengan gelar “Yesus” serta “Roh Kudus”
disamakan dengan gelar “Kristus”, namun wujudnya adalah satu yaitu “Tuhan Yesus Krisus”
yang dilahirkan Maryam itu. Jadi menurut faham ini Allah yang Esa itulah Tuhan Yesus Kristus.
Faham ini banyak kita jumpai dalam beberapa kelompok denominasi Protestan non-klasik di
Inondonesia ini. Memang faham ini sangat bertentangan dengan data Kitab Suci yang telah kita
bahas diatas. Tak pula Tritunggal itu berarti hanya tiga fungsi dari Allah yang Esa, semisal orang
satu yang dapat berfungsi sebagai bapak, anak dan suami tergantung pada situasinya.
Sebagaimana yang difahami oleh beberapa kelompok tertentu dalam denominasi Protestan
klasik. Dan bukan pula Tritunggal itu sebagai suatu “keluarga ilahi” yang terdiri dari Bapa, Ibu
(“Roh Allah” sering dianggap bersifat feminin oleh kelompok tertentu) dan AnakNya. Tidak
pula ini suatu keluarga ilahi yang terdiri dari Bapak dan Anak yang diikat oleh kasih yang disebut
Roh Kudus. Sebagaimana yang difahami oleh kelompok Protestan sempalan tertentu. Dan
Tritunggal itu bukan juga semacam gambaran psykhologis dalam Allah Bapa itu kehendak, Anak
itu kata-kata atau akal-budinya serta Roh Kudus itu adalah semacam emosi ilahi yang bernama
kasih, seperti yang diajarkan oleh Santo Agustinus dari Gereja Barat. Dan bukan pula Tritunggal
itu adalah proses dan tahap yang dilalui Allah dalam sejarah: dalam Perjanjian Lama Allah yang
Esa itu disebut Bapa, dalam Perjanjian Baru Allah yang tadinya disebut Bapa itu sekarang disebut
Anak, dan dalam Gereja Allah Yang Esa yang tadinya disebut Bapa dan Anak itu sekarang
disebut Roh Kudus, seperti yang diajarkan oleh aliran dispensasionalis tertentu dari kelompok
Protestan sayap kiri. Dan ajaran Tritunggal Mahakudus ini berbeda sama sekali dengan faham
“Trimurti” dalam Agama Hindhu. Karena Brahma, Wisnu dan Shiwa dalam agama Hindhu
adalah dewa yang terpisah-tepisah yang memiliki keluarga masing-masing lengkap dengan anakanak dan isteri-isteri mereka masing-masing. Meskipun jika masing-masing dianggap sebagai
manifestasi-manifestasi dari “Brahman” (Sang Hyang Widhi) yang satu. Karena masing-masing
manifestasi itu berdiri sendiri-sendiri dengan karya-karya yang saling tak terkait satu sama lain.
Tidak pula Tritunggal Mahakudus itu dapat disamakan dengan ajaran Kebatinan “Pangestu”
tentang “Tri Purusa”, dimana dimengerti bahwa Tuhan yang satu itu berada dalam tiga “faset” :
Sang Suksma Kawekas yang diparalelkan dengan Sang Bapa, Suksma Sejati yang disamakan
sebagai Sang Putra dan Roh Suci yang adalah inti terdalam dari roh manusia sendiri (kelihatan
faham “pantheisme” disini, suatu faham yang ditolak Gereja Orthodox: Roh Suci dalam Gereja
Orthodox adalah Roh yang ada di dalam Diri Allah, dan bukan inti terdalam dari roh manusia ).
Dimana Suksma Kawekas digambarkan sebagai Omnipotensi (jadi bukan pribadi atau hypostasis
seperti yang diajarkan oleh Iman kristen Orthodox) atau Samudera keilahian yang diam tak
bergerak, sedangkan Suksma Sejati digambarkan sebagai samudera keilahian yangt mulai
bergerak, dan Roh Suci adalah uap samudera yang keluar akibat gerak samudera keilahian tadi
(inilah faham “emanasi” yang juga ditolak Gereja Orthodox). Berarti terdapat dua kali
98
pemunculan baru di dalam Allah, yaitu munculnya gerakan samudera keilahian : Sang Suksma
Sejati, serta munculnya uap air samudera keilahian: “Roh Suci” dari “gerak samudera keilahian”:
Suksma Sejati (sesuatu yang baru muncul bukanlah sesuatu yang kekal, dalam Allah tak ada yang
baru semuanya “qodim” dan “azali” menurut Iman Kristen Orthodox).. Semuanya itu tidak ada
sangkut pautnya dengan ajaran Tritunggal Maha Kudus dalam Iman Kristen Orthodox. Namun
yang disebut Tritunggal dalam ajaran Iman Kristen Orthodox sebagaimana yang jelas diajarkan
Kitab Suci adalah penjelasan akan keberadaan yang ada di dalam diri Allah yang Esa yang sejak
kekal memiliki “Firman” dan “Roh” yang berada satu di dalam Dzat-Hakekat Allah yang Esa itu.
Tritunggal Maha Kudus adalah Allah Yang Esa itu
Dengan panjang lebar diatas telah kita bahas bahwa Iman Kristen Orthodox adalah
suatu Iman yang menekankan Tauhid (Ke-Esa-an Allah) sebagaimana yang nyata dalam ayat-ayat
Alkitab berikut ini, yang juga telah kita kutip diatas:”Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu
Allah kita, TUHAN itu Esa! ( Ulangan 6:4), Akulah yang terdahulu ( berarti: tak ada Ilah
lebih tua dari Allah Yang Esa ini, berarti Allah tak berorang-tua, atau tak diperanakkan) dan
Akulah yang terkemudian ( berarti: tak ada Ilah baru yang lebih muda atau lebih kemudian dari
Allah yang Esa ini, atau Allah itu tak beranak melalui kelahiran dari seorang isteri); tidak ada
Allah selain daripadaKu ( berarti: Allah tak memiliki tandingan atau sekutu” ( Yesaya 44:6), “
Akulah TUHAN dan tidak ada yang lain; kecuali Aku tidak ada Allah” ( Yesaya 45:6).”
Jawab Yesus: Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah
kita, Tuhan itu esa” ( Markus 12:28). Dan Allah Yang Esa itu diidentikkan dengan “Bapa”
:”Demikianlah kata Yesus……:Bapa….Engkau, satu-satunya Allah yang benar…” (
Yohanes 17:1-3), “ Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu:Bapa…” ( I Kor.8:6).
Dan kebenaran ayat-ayat Kitab Suci ini diringkas dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox (
Pengakuan Iman Nikea):” Aku percaya pada Satu Allah, Sang Bapa, Yang Mahakuasa…”
Allah yang Esa yang disebut Bapa ini – bukan karena jenis kelamin, tetapi sebagai kata kias karena
Dia adalah asal-usul dari segala sesuatu, pemelihara segala sesuatu, pemberi segala sesuatu, dan
pembimbing segala sesuatu – adalah pencipta segala sesuatu. Dia menciptakan segala sesuatu itu
melalui “FirmanNya” ( Kejadian 1, Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3), dan memberi hidup kepada
segala sesuatu melalui “RohNya” ( Ayub 33:4), FirmanNya Allah itu selalu “bersama-sama”
dengan Allah, artinya berada di dalam kodrat dan Hakikat Allah sendiri ( Yohanes 1:1-3),
sedangkan Roh Allah itu “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26), berarti asalnya ada di dalam Bapa
yaitu Allah yang Esa itu ( I Kor.2:10-11). “Firman Allah” yang melaluiNya Allah menjadikan alam
semesta ini juga disebut “Anak” ( Yohanes 1:3, Ibrani 1:2) karena FirmanNya Allah, yaitu
IlmuNya Allah atau Akal-Budi Allah itu pasti “dikandung “ dalam Dzat Hakekat Allah sendiri
sehingga jika Firman itu dinyatakan atau diucapkan keluar dari Allah maka “seolah-olah”
dilahirkan atau diperanakkan, dan dalam pengalaman manusia apa yang dilahirkan itu pastilah
disebut sebagai “Anak”, jadi “Firman Allah” adalah “Anak” yang diperanakkan dari dalam
Pikiran Allah tadi, itulah sebabnya Firman Allah disebut Anak Allah, meskipun Allah itu secara
biologis tak beranak maupun diperanakkan..Ini disebabkan, karena Allah sebagai asal-usul dan
tempat beradanya Firman itu disebut Bapa. Karena Allah itu Esa maka FirmanNya juga cuma
satu, dan Firman Allah itu disebut “Anak”, maka “Firman Allah” yang cuma satu, atau “Anak
yang satu-satuNya” ini jelas disebut “Anak Tunggal”, itulah sebabnya “Firman Allah” disebut
“Anak Tuggal Allah” dalam Kitab Suci (Yohanes 1:18, 3:16).
Sedangkan Roh Allah (yaitu prinsip kehidupan dan kuasa Allah) yang ada di dalam
hakekat Allah yang satu bersama “Firman” itu disebut Roh Kudus .Dengan demikian dalam Iman
Kristen Orthodox Roh Kudus bukanlah nama Malaikat Jibril, namun Roh Allah sendiri. Malaikat
Jibril adalah ciptaan dari Roh Kudus ini juga, sebab Malaikat Jibril itu diberi hidup oleh Allah
99
melalui RohNya ini juga sebagaimana makhluk-makhluk lainnya. Karena Allah itu Esa, yaitu Bapa
tadi, maka haruslah memang FirmanNya (Anak) itu berasal dari dan berdiam di dalam Allah yang
Esa yaitu Bapa ini, demikian pula RohNyapun harus keluar dari dan berdiam dalam Bapa yang
Esa ini, dengan demikian Keesaan Allah terjaga. Karena memang Allah itu Satu, Esa, tiada
tandingan atau sekutu bagiNya. Jadi Tritunggal Maha Kudus adalah Allah yang Esa (Sang Bapa)
yang memiliki dalam dzat-hakekatNya yang Esa Firman yang kekal ( Anak) dan Roh yang kekal (
Roh Kudus) yang berada dan melekat satu di dalam DiriNya yang Esa itu. Jadi istilah “Tritunggal
Mahakudus” itu bukan berbicara mengenai jumlah Allah, namun mengenai keberadaan di dalam
diri Allah yang Esa tiada berbilang dan satu tiada bandingan itu. Iman Kristen Orthodox tidak
percaya adanya Allah yang lebih dari satu karena Allah itu Esa menurut Alkitab. Jadi Tritunggal
bukanlah “Tiga” Ilah seperti yang dikatakan dalam An-Nissa 171:’ Hai ahlil Kitab! Janganlah
kamu melampaui batas dalam agamamu….dan janganlah kamu katakan:Tuhan itu
tiga!….” . Tritunggal bukanlah “Tiga Tuhan yang terpisah-pisah” atau “Tiga Tuhan yang
digabungkan” atau “Tiga Tuhan yang dipersatukan” , namun itu adalah sebutan bagi Allah Yang
Esa itu sendiri yang dalam dzatNya memiliki Kalimat dan Ruh yang kekal tanpa awal maupun
akhir. Bukan pula Allah dalam pemahaman Tritunggal itu sebagai “yang ketiga daripada yang
tiga” seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 72 karena Allah itu hanya satu-satunya dan yang
pertama dalam DiriNya yang Esa yang memiliki Kalimat dan Ruh kekal itu. Serta lebih bukan lagi
jika Allah itu adalah “Isa dan ibunya” sebagai tuhan-tuhan/ilah-ilah “disamping Allah”
seperti yang dikatakan dalam Al-Maidah 116, sebab Tritunggal itu bukan terdiri dari unsur-unsur
makhluk, karena Allah itu tak terdiri dari unsur-unsur, namun Dzat azali dari Allah sendiri yang
memiliki Kalimat dan Roh yang kekal itu. Maryam tak pernah disebut sebagai IsteriNya Allah,
sebagai tandingan atau pasangan dari Allah Bapa. Jika sampai ada pemikiran yang demikian
jelaslah itu pemikiran yang amat sesat, dusta dan terkutuk. Maryam adalah “hamba Allah” (Lukas
1:38), sama seperti “Isa”pun adalah “Hamba Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia (
Filipi 2: 5-7).
Makna Hypostasis
Bagi Iman Kristen Orthodox Allah itu Esa karena Bapa itu Esa, sebagaimana dinyatakan
oleh Kitab Suci :” …bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu :Bapa…” ( I Kor. 8:6), dan
yang juga diteguhkan oleh Pengakuan Iman Gereja :”..Satu Allah, Sang Bapa…”. Sehingga
Sang Bapa itu pokok dan sumber di dalam diri Allah yang Esa.. Karena Bapa itu adalah Allah
yang hidup maka Bapa itu bukan sekedar suatu keberadaan ilahi tak berpribadi, namun Ia adalah
Allah yang berpribadi, atau berhypostasis. Sedangkan “Firman” atau “Kalimatullah” di dalam
Alkitab ditegaskan bahwa Firman Allah itu bukan hanya sekedar serangkaian bunyi dan suara
yang memiliki makna dalam wujud kata dan kalimat, sebagaimana “firman/kata-kata” yang
dimiliki manusia. Allah tidak sama dengan manusia,oleh karena itu FirmanNyapun tak sama
dengan kata-kata manusia. Sementara kata-kata manusia adalah sesuatu yang tercipta dan benda
mati namun Firman Allah itu disebut sebagai “Firman yang Hidup”(I Yohanes 1:1), karena
memang “Dalam Dia/Firman itu ada hidup” ( Yohanes 1:4), sebab “…Anak/Firman
mempunyai hidup dalam diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Itulah sebabnya Ia dapat menjadi
sarana Theophania (“tajjali, penampakan Ilahi”) dan akhirnya dapat menjelma manusia yang
hidup.Karena Firman itu hidup maka Ia mempunyai kesadaran, dan karena mempunyai kesadaran
Ia dapat dikasihi Allah ( Yohanes 17:24). Keberadaan Firman Allah yang semacam inilah yang
dikatakan bahwa Firman itu memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”). Demikian juga Roh Allah
meskipun itu adalah prinsip hidup dan kuasa di dalam diri Allah sendiri, namun karena Roh Allah
ini mempunyai ciri sebagai “Roh yang memberi hidup” (Roma 8:1), sebagaimana juga yang
ditegaskan oleh Pengakuan Iman Gereja Orthodox, bahwa “Roh Kudus” itu adalah “Sang
100
Pemberi Hidup”, maka ini berarti bahwa “Roh Allah”pun memiliki hidup itu sama seperti yang
dimiliki Firman. Karena Roh itu sama seperti Firman Allah berada di dalam Diri Allah Yang Esa,
dan Roh itu sama-sama memiliki Hidup seperti Firman, maka pastilah Hidup yang ada dalam Roh
itu adalah Hidup yang sama, yaitu HidupNya Bapa seperti yang ada di dalam Firman juga. Jadi
jelas dalam Allah itu hanya ada “Satu Hidup” saja yang Bapa itulah sumberNya hidup tadi. Ini
makin menegaskan EsaNya Allah itu. Demikianlah sebagaimana Firman yang hidup itu memiliki
“hypostasis” (“realitas kongkrit”) karena memiliki hidup, maka Rohpun untuk alasan yang sama
juga memiliki “hypostasis” (“realitas kongkrit”). Sehingga di dalam diri Allah Yang Esa itu
terdapat tiga hypostasis. Tiga hypostasis ini sama sekali tidak bisa dipisahkan karena melekat satu
dalam diri Bapa, dan dalam dzat-hakekat Allah yang Esa, namun ciri-ciriNya dapat dibedakan.
Ciri-Ciri Khas Hypostasis
Ciri-ciri khas yang membedakan dari ketiga hypostasis (realitas kongkrit) di dalam diri
Allah yang Satu itu adalah demikian: Hypostasis Bapa sebagai wujud dari Allah Yang Esa
mempunyai ciri khas dari kekal-azali sampai kekal-abadi tak berpermulaaan serta tak
berpenghabisan. Ciri khas yang lain dari Wujud Allah atau hypostasis “Bapa” adalah tidak
diperanakkan oleh siapapun, namun ada dengan sendirinya. Namun karena dalam diri Bapa ini
terdapat “FirmanNya”, maka dari kekal-azali sampai kekal-abadi “hypostasis Bapa” atau “Wujud
Allah” itu selalu mewahyukan “FirmanNya” di dalam DiriNya Yang Esa itu, dan proses
“pewahyuan Firman Allah” (“tajjali Allah dalam sifat “Firman”Nya) di dalam hakekat Allah yang
Esa inilah yang disebut bahwa “Bapa memperanakkan hypostasis Putra” Ini bermakna bahwa
tidak ada waktunya dimana Bapa ini tidak mengenal diriNya melalui “pewahyuan FirmanNya”
dalam diriNya yang Esa, atau dengan kata lain tak ada waktunya “Bapa tidak memperanakkan
Sang Putra”. Tanpa awal dan tanpa akhir Allah Yang Esa selalu mengenal diriNya di dalam
FirmanNya (Matius 11:27) atau “Sang Bapa ini selalu memperanakkan hypostasis Putra” didalam
dzaat-hakekatNya yang Esa.Selanjutnya ciri khas dari “hypostasis Bapa” atau “Wujud Allah” itu
adalah memiliki RohNya sendiri atau “Roh Kudus” yang sejak kekal-azali sampai kekal-abadi
berada satu dan melekat dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu ( I Kor. 2:11), serta keluar dari
Allah ini (Yohanes 15:26).KeluarNya Roh Kudus dari Allah di dalam dzat-hakekatNya Yang Esa
berlangsung dari kekal-azali sampai kekal-abadi, tanpa awal dan tanpa akhir. Dengan demikian ciri
khas hypostasis Bapa adalah Ia adalah prinsip ke-Esa-an di dalam Diri Allah, Ia adalah Pokok dan
Sumber dari FirmanNya dan RohNya, karena Firman Allah dan Roh Allah itu berada satu di
dalam dzat-hakekat Allah yang satu, dan dariNya Firman Allah “diperanakkan” serta dariNya Roh
Allah “keluar”.
Sedangkan ciri khas dari hypostasis Anak atau Firman Allah/Kalimatullah adalah Ia
bersemayam dalam Allah Yang Esa sebagai Kalimatullah yang kekal. Namun melalui Firman ini
juga keberadaan Allah yang tersembunyi itu dinyatakan., karena Allah mengenal diriNya atau
ber”tajjali” di dalam FirmanNya ini. Sehingga Firman Allah ini dinyatakan sebagai “cahaya
kemuliaan Allah dan gambar Wujud Allah” ( Ibrani 1:3), karena sebagai yang dinyatakan atau
diperanakkan Bapa Ia jelas memiliki keberadaan sebagai “Gambar Allah” itu sendiri (Kolose
1:15). “Diwahyukan”atau sebagai “tajjali” Allah itulah ciri khas dari hypostasis Firman Allah itu.
Inilah yang disebut dengan bahasa theologis sebagai yang “diperanakkan dari Sang Bapa” sebelum
segala zaman itu. Jadi Ciri khas dari Firman Allah atau hypostasis Sang Putra itu adalah
“diperanakkan dari Sang Bapa” ini. Karena Ia bukan Wujud Allah namun Firman Allah maka Ia
tidak menjadi sumber keluarNya Roh Kudus, hanya Bapa atau hypostasis Wujud Allah saja yang
menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Firman Allah ada sejak kekal karena Sang Bapa ada sejak
kekal.
101
Sedangkan ciri khas daripada Roh Kudus sebagai hypostasis dari prinsip hidup dan
kuasa di dalam Allah Yang Esa itu, adalah bahwa Ia bersemayam di dalam Diri Allah ( I Kor.
2:10-11). Karena Roh Allah juga disebut “nafas Allah” ( Mazmur 33: 6), maka sebagai nafas Allah
jelas Ia keluar dari Allah. Itulah sebabnya ciri khas Roh Kudus adalah bahwa Ia “keluar dari
Bapa”, sesuai dengan pernyataan Alkitab“…Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa…” (
Yohanes 15:26), sebagaimana yang juga ditegaskan dalam Pengakuan Iman Gereja Orthodox
:”…Roh Kudus….yang keluar dari Sang Bapa….” “KeluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini
tidak disebut “diperanakkan” sebagaimana keluarNya Firman Allah dari Bapa. Karena “Firman
Allah” keluar dari Allah sebagai sarana “tajjali” Allah sehingga Allah mengenal diriNya melalui
FirmanNya ini, karena itulah Firman Allah disebut “Gambar Allah”, dan sekaligus Anak Allah,
karena seorang anak adalah gambaran dari bapanya, dengan demikian keluarNya ini disebut
sebagai “diperanakkan”. Sedangkan Roh Kudus keluar dari Allah bukan menjadi sarana “tajjali”
atau sarana penyataan diri Allah, namun sebagai lingkup yang didalamNya “tajjali” Allah dalam
FirmanNya itu dapat difahami, dimengerti, serta terlaksana. Jadi seolah-olah Roh Kudus adalah
sebagai “tempat” yang memungkinkan terjadinya tajjali atau penyataan diri Allah di dalam
FirmanNya kepada DiriNya sendiri itu.
Demikianlah ciri-ciri khusus dari masing-masing hypostasis dalam diri Allah Yang Esa,
dan masing-masing ciri khas itu tidak dipunyai oleh hypostasis yang lain, dan tak boleh
dikacaukan. Hypostasis Bapa itu tak diperanakkan juga tak memperanakkan secara biologis.
Namun hypostasis Bapa itu “mewahyukan FirmanNya” dalam dan kepada diriNya dalam arti ini
Bapa dikatakan “memperanakkan Sang Putra, dan karena Bapa itu memiliki nafasNya atau
prinsip hidupNya, maka sebagai nafas atau prinsip hidup itulah Bapa dikatakan sebagai sumber
“keluarNya Roh Kudus”. Sedangkan hypostasis Putra atau Firman Allah itu berciri diperanakkan
yaitu diwahyukan atau sebagai sarana “tajjali” oleh Bapa. Dan hypostasis Roh Allah, atau Sang
Roh Kudus itu bercirikan “keluar dari Sang Bapa”. Keadaan Allah yang demikian ini kekal
adanya.
Dinamika di dalam diri Allah Yang Esa
Allah yang dipercayai oleh Iman Kristen Orthodox berdasarkan Wahyu Alkitabiah adalah
Allah yang hidup. Sebagai Allah yang hidup Ia bukan keberadaan statis yang mandheg, Ia
bukanlah “Unmoved Mover “ (“Penggerak yang Tak Bergerak”) dari filsafat Aristoteles. Namun
Ia adalah Allah Abraham, Ishak dan Yakub. Itulah sebabnya di dalam dzat dan hakekatNya Yang
Esa itu Allah memiliki gerak hidup terutama dalam hubungan antara hypostasis-hypostasis
“Wujud Allah” (“Bapa”), “Firman Allah” (“Putra”), dan “Roh Allah” (“Roh Kudus”) di dalam
diri Allah itu sendiri. Karena adanya data-data Alkitabiah tentang “Gambar Allah” (Kolose 1:15,
II Kor. 4:6, Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah” ( Filipi 2: 6) dalam menyebut Yesus Kristus sebagai
“Firman Allah” yang menjadi manusia, maka dimengerti bahwa ada hubungan kekal timbal-balik
antara Allah dan FirmanNya ini. Hubungan timbal-balik itu adalah antara “Gambar Allah”
dengan “Wujud Keberadaan” Allah. Beberapa Bapa Gereja Orthodox memahami hal itu sebagai
sudah terkandung dalam makna kata bahasa asli Perjanjian Baru (bahasa Yunani): “Allah“ yang
bahasa Yunaninya adalah “HoTheos”, itu sendiri. Kata Ho Theos ini dimengerti oleh mereka
sebagai berasal dari kata “thea” atau “thein “ yang berarti “memandang” dalam arti
“bertafakur” .
-Allah dan Firman Allah
Karena Allah itu Kekal, berarti sifat memandang itupun kekal. Apa yang dipandang atau
lebih tepatnya: Siapakah yang dipandang dan siapakah yang ditafakuri Allah ini ? Karena tak ada
102
yang lain diluar Allah, karena Allah itu hanya sendiri pada DiriNya saja, maka Allah memandang
diriNya Sendiri. Mengikuti pemikiran ini maka dimengerti bahwa dari kekal-azali sampai kekalabadi “ Ho Theos”, Yang Maha Memandang, tak henti-hentinya memandang diriNya karena
itulah sifat-kekalNya sebagaimana yang terkandung dalam makna sebutanNya “Ho Theos” itu.
Akibat memandang diri secara kekal inilah terjadinya “penampakan diri” atau “tajjali”, sehingga
Allah melihat “Citra DiriNya,” itulah sebabnya di dalam diri Allah terdapat “Gambar Allah”
(Kolose 1:15, II Kor. 4:6), “Gambar Wujud Allah “ ( Ibrani 1:3) serta “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6)
sendiri. Keberadaan kekal Allah yang tanpa awal dan akhir yang demikian ini adalah “pewahyuan
diri Allah” secara kekal di dalam diriNya yang serba Esa itu. Dalam alam-ciptaan, manusia
mengenal dan mengerti Allah karena Allah yang menyatakan DiriNya kepada manusia. Padahal
sifat-sifat Allah itu semuanya berada kekal dalam Diri Allah, termasuk sifat menyatakan diri ini.
Ini berarti Allah tidak hanya mewahyukan diri sesudah ada manusia. Allah selalu mewahyukan
diri, sebelum ada dunia ciptaan, sebelum ada malaikat, dan sebelum ada segala sesuatu. Karena itu
Allah mewahyukan diri kepada DiriNya sendiri sejak kekekalan. Dalam pewahyuan diriNya
kepada DiriNya dalam dzat-hakekatNya yang Esa dan kekal inilah Allah memandang “Citra” atau
“GambarNya” sendiri (Kolose 1:15, Ibrani 1:3, II Kor. 4:6). Maka terkandung dalam makna kata
“Ho Theos” atau “Dia yang Memandang ” itulah dimengerti bahwa Allah itu selalu ada dalam
dzat-hakekatNya Yang Esa bersama dengan obyek pandangan kekalNya yaitu “GambarNya”
yang tak lain adalah “Firman Allah” sendiri. “Gambar Allah” sebagai obyek yang dipandang
Allah sejak kekal dalam dzatNya yang Esa itu keluar dari dalam Diri Allah, berarti itu memiliki
hakekat yang identik dengan Allah sebab kalau tidak identik berarti itu bukan “Gambar Allah”
dengan demikian tidak bisa menjadi obyek Allah untuk “memandang diriNya” sendiri. Itulah
sebabnya “Gambar Allah” atau “Firman Allah” (“Logos”) haruslah identik dzatNya dengan Allah
yaitu Iapun berhakekat Allah, “Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1). Karena Firman Allah
(“Anak Tunggal Allah”) yang “ada dipangkuan Bapa” (“ yang ada di dalam dzaat-hakekat
Allah”) itulah “…yang menyatakan…” Allah (Yohanes 1:18), baik kepada manusia setelah
adanya waktu, maupun kepada DiriNya sendiri secara kekal. “Pewahyuan Diri Allah” kepada
DiriNya sendiri secara kekal inilah yang disebut sebagai “Allah memperanakkan” FirmanNya itu.
Itulah sebabnya Wahyu Diri Allah dalam Dzat-hakekatNya yang Esa yang tak lain adalah “Firman
Allah” itu sendiri disebut “ Anak Allah”, karena lahir secara kekal tanpa awal dan tanpa akhir di
dalam diri dan dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Oleh karena itu Ia tidak berbeda dalam hakekat
ilahiNya dengan Allah sendiri dan tidak dapat dipisahkan dari Allah, karena itu merupakan
proyeksi dari pada Allah sendiri dan beradanyapun didalam Diri dan Dzat-Hakekat Allah yang
Esa itu. Hal ini dikatakan Injil Yohanes demikian:
“ En arkhee (Pada mulanya) heen Ho Logos ( adalah Firman), kai Ho Logos (dan Friman
itu) heen pros ton Theon (menuju kepada Allah, bersama-sama dengan Allah) kai Theos
heen Ho Logos. (dan Allah-lah Firman itu)” (Yohanes 1:1).
Menurut ayat ini Firman itu “bersama-sama” dengan Allah (“pros ton Theon”), yaitu
melekat satu di dalam dzat-hakekatNya yang Esa. Namun “pros ton Theon” itu juga berarti
“menuju kepada Allah” yaitu Firman ini berhadap-hadapan dengan Allah atau berorientasi
kepada Allah, meskipun Firman itu berada satu di dalam Allah, atau “bersama-sama dengan
Allah”. Ini berarti Allah memandang FirmanNya yaitu memandang Wahyu DiriNya sendiri,
memandang CitraNya, memandang AnakNya yang berada di dalam diriNya sendiri. Demikian
pula sebaliknya Firman itu memandang kembali kepada Allah (Bapa) yang merupakan asalusulNya. Allah itu dari kekal disebut “Allah” (“ Ho Theos”) berarti dari kekal Dia selalu
memandang Diri dalam “tajjali”Nya melalui Firman, padahal Firman itu “pros ton Theon”
103
(“menuju kepada Allah”), maka dalam kedalaman dzaat-hakekat Allah yang satu dan kekal itu
terdapat keberadaan saling pandang-memandang. Allah memandang wahyuNya sendiri dan
Wahyu itu juga memandang Allah kembali, dan itu terjadinya di dalam dzat-hakekat Allah yang
hanya satu itu sendiri, bukan diluarnya. Inilah kebenaran yang terkandung dalam kata “pros ton
Theon” itu. Sebab Alkitab mencatat doa dari “Firman Allah” ketika telah menjadi manusia
Yesus Kristus, demikian:
”Oleh sebab itu, ya Bapa, permuliakan Aku padaMu sendiri dengan kemuliaan yang
Kumiliki di hadiratMu (“para soi”) sebelum dunia ada.”(Yohanes 17:5).
Ayat ini menjelaskan bahwa “sebelum dunia ada”, jadi sebelum Yesus Kristus menjelma
menjadi manusia, Ia telah berada “di hadirat” Allah, atau berada dalam lingkup sekitar Allah
(“para soi”). Di lingkup sekitar Allah sebelum adanya dunia ini “Firman Allah” sebelum
menjelma manusia itu memiliki kemuliaan, dan kemuliaan itu pastilah identik dengan kemuliaan
Bapa sendiri. Disinilah kita melihat hubungan timbal balik yang kekal antara “Allah” dan
“FirmanNya” secara kekal, dimana dengan berada di hadirat Allah menunjuk Sang Putra
(“Firman Allah”) ini selalu berhadapan dengan Sang Bapa (“Allah yang Esa”), dan pastilah
sebaliknya Sang Bapa (“Allah Yang Esa”) itu berhadapan dengan Sang Putra (“Firman Allah”)
sendiri. Sebagaimana dikatakan :”…tidak seorangpun mengenal Anak (Firman) kecuali
Bapa (Allah Yang Esa), dan tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain Anak
(Firman), dan orang yang kepadanya Anak (Firman) itu berkenan menyatakannya ( dalam
pewahyuan kepada manusia setelah adanya dunia ini)” (Matius 11:27). Ayat ini menjelaskan
bahwa terdapat saling-kenal yang eksklusif dalam relasi Bapa dan Anak itu, yang tidak dimiliki
sesuatu yang berada diluar relasi dari Bapa (Allah Yang Esa) dan Anak (FirmanNya) itu. Inilah
saling pandang-memandang yang kekal itu, karena disitu terdapat saling kenal kekal yang
eksklusif. Karena Firman Allah itu mengatakan diriNya “…keluar…dari Bapa..” ( Yohanes
8:42), berarti Ia berada di dalam diri Bapa itu di kekekalan azali sebelum dunia ada ini. Ini
bermakna bahwa “Firman Allah” (Sang Putra) berada dalam diri Allah yang Esa (Sang Bapa) itu
sendiri. Jadi pandang memandang kekal antara Allah dan FirmanNya itu berlangsungnya didalam
dzat-hakekat Allah yang satu. Karena Firman Allah adalah “pantulan”, “refleksi” dan “gambar”
dari Diri Allah sendiri, maka keberadaan Allah ini jelas tergambar dan terkandung dalam
FirmanNya, padahal Firman itu berada di dalam Allah sendiri. Dengan demikian jelas bahwa
“Firman berada di dalam Allah, namun Allah juga berada di dalam “Firman” itu. Sebagaimana
dikatakan sendiri oleh Firman Allah itu setelah penjelmaanNya sebagai manusia :”…Aku
didalam Bapa dan Bapa di dalam Aku” ( Yohanes 14:10). Allah memang tak dapat dipisahkan
dari FirmanNya atau Bapa memang tak dapat dipisahkan dari Putra, karena sebagai “Ho Theos”
yang berarti “Dia yang memandang” sejak kekal azali; maka haruslah secara kekal dalam Allah
terdapat obyek pandangNya mengenai DiriNya sendiri, yaitu selalu ada GambarNya (CitraNya)
yaitu AnakNya yang adalah FirmanNya. Ini berarti bahwa jika ada Allah maka Ia selalu ada
dengan FirmanNya yang merupakan sifat dzaat-Nya yang kekal. Tidak ada Allah tanpa Firman
itu, atau tidak ada Bapa tanpa Putra. Dan tidak ada Firman Allah (Anak) tanpa adanya Allah
(Bapa) sebagai sumberNya. Berlangsungnya pewahyuan Diri Allah terhadap DiriNya sendiri yang
berwujud Citra Allah yang tak lain adalah Firman Allah ini dikatakan Alkitab demikian:
“Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan Gambar Wujud Allah dan menopang segala yang
ada dengan FirmanNya yang penuh kekuasaan.”( Ibrani 1:3 ).
104
Dalam bahasa asli Yunani kata ”Gambar Wujud Allah” adalah “Kharakteer tees
Dengan demikian “Anak Allah” atau “Firman Allah” adalah
“kharaktir” yang arti sebenarnya adalah: stempel / cap dari Allah. Gambar dari stempel yang
dicapkan pada kertas , itu wujud dan sifatnya adalah tepat dan tidak ada bedanya sama sekali
dengan gambar yang ada pada stempelnya itu sendiri. Dengan demikian “Anak Allah” atau
“Firman Allah” yang menjadi “Gambar Allah” adalah “GAMBAR TINDASAN” tepat, persis
tidak ada bedanya sedikitpun dari Wujud Allah ( Bapa ) sendiri. Itulah sebabnya apa saja yang
yang menjadi milik Allah (Bapa), itu juga tanpa beda sedikitpun adalah milik Firman Allah ( Putra
) juga, karena “Firman Allah” adalah “cahaya kemuliaan” atau “pancaran kemuliaan” Allah.
Firman Allah yang menjadi “gambar wujud Allah” ini disebut “cahaya kemuliaan” karena Allah
itu bersifat “Terang” atau “Nur” kemuliaan (I Yoh.1:5), maka demikian juga FirmanNya yang
keluar dari Allah itupun disebut “cahaya kemuliaan” atau “terang” (Yohanes 8:12), sebagaimana
yang diteguhkan dalam pengakuan Iman juga , dimana Firman Allah atau Anak Tunggal Allah ini
disebut sebagai “…Terang yang keluar dari Terang…”, yaitu yang keluar dari Allah sendiri
dan yang tetap melekat di dalam diri Allah, serta yang memiliki realita dan jati-diri yang kongkrit
yang ciriNya dapat dibedakan dari Bapa. Sehingga memandang terang dari Firman ini maka
manusia mengenal Allah yang digambarkan melalui FirmanNya, sebagaimana Allah mengenal
diriNya dalam FirmanNya itu. Bahwa milik Allah adalah juga milik FirmanNya ini dikatakan
demikian:
Hypostaseoos Autou,.”
“Dan segala milikKu adalah milikMu dan milikKu adalah milikMu, dan aku telah
dipermuliakan di dalam mereka.” ( Yohanes 17:10 ).
Dalam ayat ini dikatakan oleh Firman Allah yang menjelma itu bahwa “milik Bapa
adalah milikNya, milikNya adalah milik Bapa”. Memang konteks pembicaraan dalam ayatayat disini adalah mengenai murid-murid Kristus sebagai milik Allah, namun karena Allah adalah
“Pemilik Segala yang Ada” termasuk pemilik dzaat-hakekat dan sifat-sifatNya sendiri, maka
berarti segala sesuatu yang ada pada Bapa (Allah Yang Esa) baik dzaat-hakekat ilahiah maupun
sifat-sifatNya itu ada secara tak berbeda pada Firman Allah. Dalam makna inilah Pengakuan Iman
Nikea mengatakan “Anak Tunggal Allah” (“Firman Allah yang satu-satuNya”) itu “satu DzatHakekat dengan Bapa (Allah Yang Esa).” Hakekat Allah yang Esa (Bapa) itu sepenuhnya tinggal
di dalam Firman Allah (Putra). Kemuliaan Allah yang Esa (Bapa) sepenuhnya berdiam di dalam
Firman Allah (Putra), berarti dalam Allah yang Esa bersama FirmanNya itu hanya ada satu
kemuliaan Ilahi saja, ini membuktikan bahwa memang Allah itu Esa. Dzat-Hakekat Allah (Bapa)
yang satu itu, berdiam secara sempurna dan sepenuhnya didalam Firman (Putra) juga, sehingga
dalam Allah Yang Esa bersama FirmanNya itu hanya terdapat satu dzat-hakekat ilahiah saja, ini
makin menegaskan lagi bahwa Allah itu hanya satu sebab yang dalam Allah hanya satu dzathakekat saja. Bukan hanya dzat-hakekat Allah berada di dalam Firman , namun Firman itu juga
berada didalam diri dan dzat-hakekat Allah Yang Esa itu. Kebenaran akan hal ini dikatakan oleh
Alkitab demikian:
“Karena seluruh kepenuhan ke-Allah-an (Hakekat/Dzat Allah) berkenan diam di dalam
Dia (Firman Allah, Anak Allah yang Tunggal) .” (Kolose 1:19).
Jadi tak ada yang lebih Allah atau yang kurang Allah, serta tak ada yang lebih besar atau
yang lebih kecil dari segi ke-Allah-an antara Allah dan FirmanNya, karena ke-Allah-an itu hanya
satu yang berada dalam dzat-hakekat Bapa, sedangkan Firman Allah berada di dalam dzaathakekat Bapa yang satu ini, maka Firmanpun memiliki dzaat-hakekat “Allah” yang sama dan satu
105
ini dengan Bapa. Seluruh kepenuhan Ke-Allah-an atau seluruh kepenuhan Sang Bapa, Hakekat
Sang Bapa secara sempurna diam di dalam Sang Putra. Sehingga dapat dikatakan bahwa Bapa
berada “di dalam Putra”,namun karena sebagai Firman Allah, Putra itu melekat satu dalam DzatHakekat Allah yang sama dan satu itu, maka dapat dikatakan bahwa Putra berada “di dalam
Bapa”, sebagaimana yang dikatakan :”…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku”
(Yohanes 14:10) . Ke-Allah-an yang ada pada Bapa itulah yang ada dalam Sang Putra. Bahkan
ketika Firman Allah (Putra) itu telah nuzul (“turun menjelma”) menjadi manusiapun, hakekat
Sang Bapa (“kepenuhan ke-Allah-an”) itupun tetap diam di dalam Sang Putra, yang dengan
demikian kesatuan hakekat antara Allah dan FirmanNya yang telah nuzul tak pernah dapat
dihapuskan, seperti yang dinyatakan demikian:
“Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” (
Kolose 2:9 ).
Jadi ke-Allah-an dari Bapa yang satu itu berdiam secara penuh di dalam Putra. Maka
jelas tidak ada dua “Ilah”, karena ada satu ke-Allah-an yang berdiam baik dalam Bapa (Allah yang
Esa) maupun dalam Putra (FirmanNya yang berada di dalam Diri Allah”). Karena hanya ada satu
“kepenuhan ke-Allah-an” baik dalam Allah yang Esa maupun dalam FirmanNya, berarti hanya
ada satu kemuliaan ilahiah, yang berdiam juga di dalam Bapa (Allah Yang Esa) maupun Putra
(Firman Allah yang berada di dalam diri Allah). Secara otomatis hanya ada satu kekekalan, karena
Firman Allah (Sang Putra) itu sejak kekal-azali sampai kekal-abadi berada di dalam serta
diwahyukan kepada atau diperanakkan oleh Bapa di dalam dzaat-hakekatNya yang Esa itu.
Karena Bapa (Allah yang Esa) berada di dalam “FirmanNya” (“Putra”), maka hanya satu
kehendak ilahi saja yang terdapat, karena kehendak Sang Bapa itulah yang menjadi kehendak Sang
Putra. Sebagaimana yang dikatakan oleh “Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi
manusia:”… Aku tidak menuruti kehendakKu sendiri (yaitu kehendak kemanusiaan setelah
menjelma di bumi ini), melainkan kehendak Dia (Allah yang Esa) yang mengutus Aku (untuk
menjelma menjadi manusia di bumi ini) ” (Yohanes 5:30). Pernyataan Firman yang menjelma ini
diteguhkan oleh pernyataan Allah sendiri:”….firmanKu yang keluar dari mulutKu….akan
melaksanakan apa yang Kukehendaki….” ( Yesaya 55:11). Jadi kehendak Allah yang satu dan
tunggal itu berada dalam, serta dituruti dan dilaksanakan oleh “Firman Allah” sendiri, baik
sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya. Karena kehendak Allah itu adalah
kehendak yang berkuasa yang dilaksanakan melalui dan oleh FirmanNya, berarti ada satu kuasa
ilahiah, yang berasal dari Allah, namun berdiam dalam dan dilaksanakan oleh FirmanNya (Sang
Putra). Hal ini dikatakan Kitab Suci demikian:”…Anak (Firman) tidak dapat mengerjakan
sesuatu dari DiriNya sendiri (karena Firman Allah bukan ilah lain yang mandiri dan yang
terpisah dari Allah yang Esa sehingga memiliki kuasa yang mandiri dan berbeda dari kuasa Allah
Yang Esa itu)….apa yang dikerjakan Bapa , itu juga dikerjakan Anak (karya kuasa Anak itu
adalah karya kuasa Bapa, karena memang ada satu kuasa ilahi yang dikerjakan oleh Allah di dalam
dan melalui FirmanNya)” (Yohanes 5:19). Jika yang ada hanya satu kepenuhan ke-Allah-an, satu
kehendak ilahiah, satu kemuliaan ilahiah, satu kuasa ilahiah, berarti memang tidak ada dua ilah,
yang ada hanya Allah yang Esa. Dimana kepenuhan ke-Allah-an, kehendak ilahi, kemuliaan ilahi,
serta kuasa ilahi yang hanya satu dari Allah yang Esa itu, berdiam juga dalam FirmanNya serta
dilaksanakan oleh Firman itu, karena Firman itu berada di dalam dzaat-hakekat Allah yang satu
itu. Memanglah Putra (Firman Allah) ini tidak dapat dipisahkan sedikitpun dari Bapa (Allah Yang
Esa), karena Allah tak pernah ada tanpa FirmanNya yang berada serta melekat satu di dalam
dzaat-hakekatNya Yang Serba Esa itu. Semua sifat-sifat yang ada pada Allah itu juga berada dalam
FirmanNya, karena hanya ada sifat-sfat yang bersifat tunggal di dalam Allah. Karena yang
106
dimaksud dengan Anak atau Putra di dalam Allah itu adalah Firman Allah sendiri, berarti
sebenarnya di dalam Diri Allah itu tidak ada Bapa, tidak ada Putra, dalam arti jasmaniah dan
biologis. Gelar-gelar ini adalah kata-kata kias yang diberikan kepada Allah supaya manusia
mengerti hubungan antara Allah dengan WahyuNya ( Gambar atau CitraNya ) sendiri,yaitu
Firman Allah/Kalimatullah yang berada satu di dalam diri Allah itu. Makin jelas bagi kita bahwa
“pewahyuan Diri Allah” inilah yang disebut kelahiran atau diperanakkanNya: Anak Tunggal Allah
(“Firman Allah yang hanya satu-satuNya”) dari Allah itu. Karena Allah mengeluarkan
GambarNya dari dalam DiriNya sendiri, jadi dari situlah Ia disebut memperanakkan “Anak
TunggalNya” atau “FirmanNya yang Satu” itu. Karena Allah itu tidak bertubuh jasmani, Anak
Tunggal Allah itupun juga bukan berwujud jasmani, karena Ia adalah Firman dari Allah yang
adalah roh (ghoib), maka Ia bersifat ghoib atau roh pula di dalam Diri Allah Yang Esa itu.. Oleh
karena itu, Wahyu Allah / Citra Allah itu kekal. Karena Gambar Wujud Allah atau Firman Allah
itu bukan hanya sekedar suara yang keluar dari mulut Allah saja, namun betul-betul`memiliki
“hypostasis” (“realita jati diri yang kongkrit”) dengan sifat-sifat Nya yang bertindih tepat dan satu
serta sama dengan sifat-sifat Bapa (Allah Yang Esa) sendiri, itulah sebabnya Ia disebut Anak
untuk menegaskan kekongkritan “hypostasis”Nya ini. Karena bertindih tepatnya dan satunya
antara dzaat-hakekat Firman Allah dengan dzaat-hakekat dan sifat-sifat Allah sendiri, maka
dapatlah kita mengerti pernyataan Firman Allah ketika menjelma menjadi manusia yang demikian
ini:”…..Barang siapa telah melihat Aku, Ia telah melihat Bapa…” (Yohanes 14:9), karena Ia
itu memang Gambar Allah yang azali, sehakekat dengan Allah dan kekal, dan pernyataan yang
lain: “…Aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku….“ (Yohanes 14:10), karena Ia itu
adalah Firman Allah yang melekat satu dan berada di dalam Diri Allah, dan seluruh kepenuhan
ke-Allah-anpun diam di dalam Dia. Dengan demikian jelas bahwa Bapa dan Putra itu sama sekali
tidak bisa dipisahkan, karena Allah memang tak terpisah dari FirmanNya, dan Firman Allah itu
bukan berada di luar Allah. Makin jelaslah bahwa Allah itu Esa dan tidak ada dua “Ilah” yang
saling berbeda dan terpisah serta mandiri dalam penyebutan akan “Bapa” dan “Putra” mengenai
Allah itu.
- Allah dan Roh Allah
Setelah kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan FirmanNya sendiri, maka
selanjutnya haruslah kita bahas dinamika hubungan antara Allah dengan RohNya sendiri. Roh Allah
itu disebut oleh Kitab Suci sebagai Roh Kudus. Dan Roh Kudus ini juga dikatakan sebagai “Roh
Kebenaran”, serta dinyatakan sebagai “yang keluar dari Bapa” (Yohanes 15:26). Berarti Ia berasal
tinggal di dalam Bapa sendiri. Mengenai hal ini Alkitab mengatakan:
“Karena kepada kita Allah menyatakanNya oleh Roh, sebab Roh menyelidiki segala
sesuatu, bahkan hal-hal yang tersembunyi dalam diri Allah. Siapa gerangan yang
diantara manusia yang tahu, apa yang tersembunyi dalam diri manusia selain roh
manusia sendiri yang ada di dalam dia? Demikian pulalah tidak ada orang yang tahu,apa
yang terdapat di dalam diri Allah selain Roh Allah.” (I Korintus 2 :10-11).
Dalam ayat ini hubungan antara Roh Allah dengan Allah dianalogikan seperti hubungan
antara manusia dengan rohnya sendiri. Sebagaimana roh manusia ada dalam diri manusia, dan
mengetahui apa yang ada di dalam diri manusia, demikianlah Roh Allah itu berada di dalam diri
Allah dan mengetahui kedalaman batiniah Allah, yaitu menyelidiki hal-hal yang tersembunyi
dalam diri Allah (“bathi tou Theou”). “Bathi tou Theou” artinya “kedalaman Allah”, itulah dzathakekat Allah Sebagaimana roh manusia berada dalam diri manusia, dan satu dengan manusia
itu secara tak terpisahkan, demikianlah Roh Allah yang ada di dalam “bathi tou Theou” atau
107
kedalaman dzaat-hakekat Allah adalah satu secara tak terpisahkan di dalam diri Allah sendiri.
Karena Ia memang RohNya Allah, sebab Allah itu hidup sehingga RohNya sebagai prinsip hidup
dan kuasa di dalam Allah itu berada di dalam Allah. Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis
Roh Allah itu disamping bersama Firman Allah berada di dalam dzaat-hakekat Allah, Ia juga
“keluar dari Bapa”, sebagaimana yang nyata dari pernyataan Sang Kristus yang demikian ini:
“……. Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, …..” (Yohanes 15:26).
Sang Kristus mengatakan mengenai Roh Allah itu bahwa“Roh Kebenaran yang keluar
dari Bapa” (“to Pneuma tees aleetheias o para tou Patros ekporeuetai”), ini. artinya bahwa
Roh Allah itu asalnya dari dalam Bapa (I Kor. 2:10-11), namun pada saat yang bersamaan juga
“keluar pergi dari” (“ekpreuetai”) Bapa. Dengan demikian jelaslah bahwa Roh itu mempunyai
asal-usul dari esensi /dzat-hakekat Allah Allah sendiri, karena Dia itu memang berada dalam
kedalaman Diri Allah sebagai RohNya Allah. Roh Suci ini dikatakan “keluar” dari Bapa, namun
terjadinya bukan diluar diri Allah, karena pada saat Ia keluar ini Ia juga dikatakan berada dalam
Diri Allah. Berarti Ia keluar dari Allah untuk mencapai suatu tujuan yang juga ada di dalam Diri
Allah itu.. TujuanNya adalah Firman Allah, karena Firman Allah inilah obyek-pandang dan obyek
kasih Allah secara kekal. Sebagaimana yang dikatakan oleh Firman Allah itu sendiri setelah
penjelmaanNya sebagai manusia:” ….Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia
dijadikan” ( Yohanes 17:24). Dengan demikian ini lebih merupakan gerak-hidup di dalam diri
Allah sendiri. Gerak hidup ini adalah kasih yang tercurah dari Allah kepada “FirmanNya” sendiri,
dan terjadinya secara kekal serta diluar waktu (“…sebelum dunia dijadikan…”). Padahal yang
berfungsi untuk mencurahkan kasih Allah, baik sesudah ada manusia, maupun dalam kekekalan
adalah Roh Allah sendiri, karena Roh Allah itu adalah “Roh yang kekal” ( Ibrani 9:14),
sebagaimana dikatakan:” kasih Allah telah dicurahkan ….. oleh Roh Kudus “ ( Roma 5:5).
Maka keluarNya Roh Allah dari Bapa, yang berlangsungnya di dalam Diri Allah Yang Esa itu
sendiri, adalah untuk berdiam di dalam Putra (Firman) sebagai “pencurah kasih Allah” yang
ditujukan kepada “Firman” itu, secara kekal. Pencurahan kasih oleh Roh Allah dalam “keluarNya
Roh Kudus dari Bapa” secara kekal dan diluar waktu ini bertindih tepat dengan
“diperanakkanNya Firman Allah dari Bapa “ sebagaimana yang telah kita bahas diatas.
KeluarNya Roh Kudus dari Bapa dari kekal azali sampai kekal abadi itu ada sangkut-pautnya
dengan diperanakkanNya Firman, karena bersamaan dengan diperanakkanNya Firman secara
kekal itu pula maka “kasih Allah” itu dicurahkan secara kekal atau “sebelum dunia dijadikan”
kepada Firman oleh Roh Kudus. Karena “Allah memandang DiriNya” di dalam FirmanNya itu
dalam kasih. Sehingga keluarNya Roh Kudus dari Bapa itu ada hubungannya dengan pernyataan
kasih Allah kepada Firman Allah. Jadi ada suatu lingkaran kasih dari Allah kepada FirmanNya,
dan dari Firman kepada Allah melalui Roh yang sama itu karena Firman itu “pros ton Theon”
(“menuju kepada Allah”) -Yohanes 1:1. Hal ini berlangsung secara kekal. Maka dapatlah kita
mengerti bahwa keberadaan Allah itu adalah hidup yang dinamis, dan hidup dinamis Allah dalam
“FirmanNya” melalui “RohNya” itu adalah kasih yang timbal balik antara Allah dan FirmanNya
di dalam RohNya sendiri. Sehingga keberadaan Allah yang hidup itu adalah keberadaan "kasih"”
Itulah sebabnya Kitab Suci mengatakan bahwa “Allah adalah kasih” ( I Yohanes 4:8), bukan
hanya yang “mengasihi” tetapi “kasih “ itu sendiri. Maka tidak bisa tidak, Allah pasti mengasihi,
karena “kasih” itulah keberadaan Allah.
- Interaksi Antara Allah, Firman Allah, dan Roh Allah
108
Dari sinilah kita dapat mengerti bahwa hubungan antara Bapa (Allah Yang Esa), Putra
(Firman Allah yang berada secara kekal melekat satu dalam Diri Allah itu), dan Roh Kudus (Roh
Allah yang juga berada secara kekal melekat satu bersama Firman Allah dalam Diri Allah itu) itu
adalah hubungan yang kekal. Dan hubungan kekal dimana Roh Kudus keluar dari Bapa (Allah
Yang Esa) dan tinggal di dalam Putra (Firman Allah) itu bahkan dinyatakan dengan jelas pada
manusia ketika Putra (Firman Allah) itu menjelma menjadi manusia: yaitu saat Sang Kristus
dibaptiskan.
Dinyatakan Kitab Suci demikian: “ Sesudah dibaptis Yesus segera keluar dari air
dan pada waktu itu juga langit terbuka dan Ia melihat Roh Allah seperti burung merpati
turun keatas-Nya, lalu terdengarlah suara dari sorga yang mengatakan:Inilah Anakku
yang Kukasihi, kepadaNya-lah Aku berkenan.” (Matius :16-17, Markus 1:9-10).
Data Alkitab diatas mengatakan bahwa “langit terbuka”, sebagai simbol dari terbukanya misteri
sorgawi, inilah pewahyuan atau penyataan Ilahi. Dan dari langit itu terdengar suara Bapa (Allah)
yang dinyatakan sebagai suara dari sorga. Dan dari langit atau dari sorga yang terbuka itulah
“Roh Allah seperti burung merpati turun”. Ini jelas menunjukkan pewahyuan bahwa Roh
Allah itu memang berasal dari Bapa, atau keluar dari Bapa, karena langit atau sorga itu simbol
dimana Bapa berada. Dan berasal dari situ Roh Kudus keluar dan turun.. Serta tujuan sasaran
keluarNya atau turunNya Roh Allah dari Bapa adalah “keatas-Nya” yaitu kepada “Firman Allah
“ yang menjelma :Yesus Kristus ini. Bersamaan dengan turunNya Roh Kudus inilah maka
dinyatakan suara Bapa “ Inilah Anakku yang Kukasihi”. Itulah sebabnya peristiwa baptisan
Kristus ini dirayakan dalam Gereja Orthodox sebagai salah pesta besar Gereja setiap tanggal 6
Januari, sebagai perayaan “Epiphani” atau “Penampakan Ilahi”, karena misteri hubungan dalam
diri Allah itu untuk pertama kalinya dinyatakan pada manusia dalam bentuk yang begitu amat jelas
dan kongkritnya. Dengan demikian data Alkitab ini makin menegaskan apa yang sejauh ini kita
bahas bahwa memang Roh Allah itu keluarNya dari Allah (Bapa) saja, namun juga Ia tetap tinggal
di dalam Allah, dan bahwa Anak Allah (“Firman Allah”) itulah sasaran “kasih Allah” (“Yang
Kukasihi”). Dan bahwa penyataan kasih Allah kepada FirmanNya itu bertindih tepat dengan
keluarNya Roh Allah dari Allah untuk tinggal pada FirmanNya, sebagai pencurah kasih Allah tadi.
Jadi Roh Allah itu bukan keluar dari Firman Allah, namun tinggal dalam Firman Allah, sedangkan
keluarNya hanya dari Bapa saja. Meskipun kelihatannya Firman Allah yang menjelma itu terpisah
dari Allah, karena Ia berada di dalam air sungai Yordan sedangkan Allah berada di sorga, namun
sebenarnya Ia tak terpisah, karena Ia mengatakan ketika Ia berada diatas bumi ini:” Aku dan
Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30) “…Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan Aku di dalam
Engkau….Kita adalah satu” ( Yohanes 17:21b, 22c), serta pernyataan Alkitab yang lain
“Sebab di dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allah-an.” (
Kolose 2:9 ).
Kelihatannya memang Firman Allah terpisah dari Allah, dan Roh Allah. Ini disebabkan
Ia menampakkan diri dalam wujud penjelmaanNya, sedangkan keilahianNya tak dapat dilihat
mata. Namun dapat kita bayangkan jika Roh Allah berwujud “seperti” (jadi bukan sungguhsungguh demikian wujudNya) burung merpati, lalu hinggap pada Yesus Kristus: Firman
Menjelma itu, maka dapat kita lihat bahwa tanpa terpisah dari Allah (buktinya Allahmasih hidup
dan menyatakan FirmanNya kepada manusia, dan tetap berkuasa buktinya dunia tidak lebur) yang
di sorga, Ia juga tinggal pada Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma) ( karena Ia nampak
hinggap diatasNya untuk tinggal padaNya), dengan demikian Roh Allah itu tinggal pada Bapa
namun juga pada Firman yang menjelma. Dengan demikian Firman Allah tetap satu dalam Allah,
melalui RohNya ini. Sedangkan secara jasmaniah yaitu dalam wujud kemanusiaan yang nampak
109
sedang dibaptis itu, sebenarnya seluruh kepenuhan ke-Allah-an yang jelas tak dapat dilihat
oleh mata itu, berdiam atau bersemayam dan berada di dalam Dia yaitu didalam diri yang
terdalam dari wujud penjelmaan Firman Allah:Yesus Kristus, sebagai manusia yang nampak mata
itu. Dengan demikian seluruh kepenuhan ke-Allah-an yang ada di sorga itu ternyata berada di
dalam FirmanNya juga bahkan secara jasmaniah dalam wujud penjelmaanNya itu. Dengan
demikian Firman Allah tetap satu dalam diri Allah bahkan ketika menjelma menjadi manusia. Jadi
Allah tetap tak terpisahkan dari FirmanNya dan Firmanpun tetap satu dengan Allah, atau tinggal
dalam Bapa.Padahal tinggalNya pada Bapa itu pada dzaat-hakekatNya yang Esa, berarti Yesus
Kristus baik secara kepenuhan ke-Allah-an, maupun melalui tinggalNya Roh Allah dalam Bapa
dan dalam DiriNya tetap satu didalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu. Hanya hal itu tak terlihat
mata, karena peristiwa disini adalah peristiwa "penampakan" oleh karena itu memang yang
nampak mata yang harus diketahui manusia, sedangkan yang ghoib atau yang tak nampak mata
tetap tak diketahui manusia. Keberadaan kekal itulah yang dinyatakan dalam “epiphani” ini agar
manusia dapat belajar dan mengerti rahasia mengenai kebenaran hubungan antara hypostasishypostasis yang ada dalam Allah Yang Satu itu. Yaitu “Firman” itu adalah Anak Allah yang
menjadi sasaran “kasih” dan “perkenan Allah” dan bahwa Roh Kudus itu keluar hanya dari
Allah (Bapa) untuk tinggal di dalam “Firman“ bagi mencurahkan kasih Allah kepadaNya. Oleh
karena itu mengenai hal ini dikatakan oleh Yohanes Pembaptis sebagai saksi mata peristiwa
itu,demikian:
“Dan Yohanes memberi kesaksian katanya:“Aku telah melihat Roh turun dari langit
seperti merpati, dan Ia tinggal diatasNya.” ( Yohanes 1: 32 ).
Kesaksian Yohanes ini menegaskan bahwa “Roh Allah” turun dari langit, yaitu keluar dari
Bapa”, serta “Ia tinggal” diatas Putra, dan tentunya langsung juga kedalamNya. Karena Allah
“..mengaruniakan RohNya dengan tidak terbatas (kepada FirmanNya ini)” ( Yohanes 3:34)
Berarti Roh Allah itu tinggal dalam Allah namun juga sekaligus tinggal dalam Firman Allah,
padahal Firman itu juga tinggal di dalam Allah, sebagaimana Allah juga tinggal di dalam
FimanNya, otomatis Firman juga tinggal dalam Roh Allah dan Allahpun tinggal dalam RohNya
sendiri. Demikianlah ketika dibicarakan tiga hypostsis ternyata ketiganya itu adalah satu, karena
saling mendiami secara tak terpisahkan. Ketika dibicarakan yang satu, ternyata terdapat di dalam
yang satu ini hypostasis Firman Allah dan hypostasis Roh Allah, karena memang Allah itu Esa.
Oleh karena itu di dalam Gereja Orthodox penyatan perayaan pembaptisan Kristus ini dinyatakan
sebagai penyataan Ilahi mengenai Tritunggal Maha Kudus, yaitu penyataan ilahi dari hubungan
yang ada diantara Allah, FirmanNya sendiri, dan RohNya yang kekal di dalam DiriNya Yang Esa
itu.
Karena “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa sejak kekal itu berfungsi sebagai pencurah
kasih Allah kepada Firman Allah, dan bertindih tepat dengan berlangsungnya Bapa menyatakan
diriNya di dalam FirmanNya, maka disinilah Roh Kudus mencurahkan kasih Bapa sepenuhnya
kepada Putra (Firman) dan sekaligus Roh Kudus memantulkan balik kasih Anak kepada Bapa.
Demikianlah Roh Kudus berfungsi ganda dalam gerak hidup ilahi Yang Esa itu, sebagai pencurah
kasih Allah kepada Putra (Firman) dan sebagai pemantulkan kasih itu dari Putra (Firman) kepada
Bapa (Allah Yang Esa), sebagaimana yang terkandung dalam makna kata“ O Logos pros ton
Theon” (Yohanes 1:1) “ O Logos = Fiman itu, pros ton Theon = menuju kepada Allah” yang
bermakna berhadap-hadapan dengan Allah”, inilah keberadaan saling memandang secara kekal
itu. Bapa melihat CitraNya sendiri dan mengasihi CitraNya itu, yang mana kasih itu dicurahkan
110
oleh Roh Kudus kepadaNya. Dan Putra (Firman Allah) itu memantulkan kembali kasih Bapa,
sehingga di dalam Allah Yang Esa terdapat satu gerakan kasih yang kekal.
Maka fungsi Roh Kudus itu bukanlah untuk menyatakan diriNya sendiri namun untuk
menyatakan Putra (Firman Allah), yaitu menjadi lingkup Allah sendiri untuk mengenal diriNya di
dalam FirmanNya itu, atau sebagai lingkup penyataan diri Allah melalui FirmanNya. Itulah yang
dimaksud oleh Sang Kristus mengenai Roh Kudus, yang berikut ini:
“Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan menuntun kamu dalam seluruh
kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dalam diriNya sendiri, tetapi segala sesuatu
yang di dengarNya itulah yang akan dikatakanNya dan Ia akan memberitakan
kepadamua hal-hal yang akan datang.Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan
memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu.Segala sesuatu yang Bapa
punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata:Ia akan memberitakan kepadamu apa
yang diterimaNya dari padaKu.”( Yohanes 16:13-15 ).
Memang ayat ini berbicara mengenai pekerjaan Roh Kudus di dalam dunia ini kepada manusia.
Namun karena aktivitas hubungan dari setiap hypostasis di dalam Allah itu adalah kekal, maka
demikian pula apa yang dikatakan dalam ayat ini mengenai karya Roh Kudus itu itupun bersifat
kekal. Aktivitas Roh Kudus menurut ayat ini ialah “ memuliakan Aku” serta “akan
memberitakan kepadamu apa yang diterimaNya dari padaKu”. Roh Kudus memuliakan
Kristus karena Ia menerima isi berita dari Kristus. Berarti isi berita yang disampaikan oleh Roh
Kudus adalah Kristus, karena Ia memuliakan Kristus, namun sumbernya juga dari Kristus. Maka
jelas Kristuslah yang dinyatakan Roh Kudus dan bukan diriNya sendiri, Roh Kudus tidak
mengambil dari diriNya sendiri tetapi dari Kristus, karena bukan diriNya yang dinyatakan tetapi
Kristus.. Maka Roh Kudus adalah sarana dan lingkup dimana Kristus dimengerti dan difahami
yaitu diwahyukan. Lebih jauh dikatakan “diterimaNya dari padaKu, sebab segala sesuatu
yang Bapa punya adalah Aku punya.” Ini bermakna bahwa Roh Kudus menyampaikan
kebenaran tentang Kristus, namun Kristus menerimanya dari Bapa. Karena “ segala yang Bapa
punya adalah Aku punya” atau dengan kata lain ”Apa yang menjadi milikMu adalah
milikKu, milikKu adalah milikMu.” (Yohanes 17:10), sehingga ketika Roh Kudus berkarya
maka “Friman Allah” yang dinampakkan, namun karena milik dan punya Bapa adalah juga milik
atau punyaNya Firman, jelas dengan Firman dinampakkan atau diwahyukan Roh Kudus, maka
sekaligus Bapa yang diwahyukan. Itulah sebabnya melalui FirmanNya di dalam RohNya ini Bapa
dapat memandang DiriNya. Demikian juga dengan mengenal Kristus manusia mengenal Allah.
Serta dengan melihat Kristus orang telah melihat Allah. Karena melalui Roh Kudus itu punya
Kristus dinyatakan pada manusia, dan punya Kristus adalah punya Bapa. Demikianlah berarti
punya dan milik Roh Kudus, adalah punya dan milik Firman, dan punya dan milik Firman adalah
punya dan milik Bapa. Sehingga dalam hypostasis Roh Allah, Firman Allah dan Allah sendiri
dimana kedua hypostasis itu bersemayam terdapat satu milik dan satu kepunyaan. Yaitu hanya
terdapat satu esensi / dzat- hakekat, satu sifat-sifat ilahi, satu kemuliaan, satu kekekalan, satu
kuasa. Yang semuanya itu bersumber dari Allah yang Esa dan dimiliki oleh Firman dan RohNya
sekaligus, karena kedua hypostasis ini berdiam dalam hakekat diri Allah yang satu itu. Dengan
demikian makin menegaskan bahwa Allah itu esa, dengan memiliki hypostasis Firman dan Roh
Allah di dalam hakekat diriNya yang Esa itu. Dilihat secara bersama ketiga hypostasis itu adalah
satu Allah,karena berada dalam satu hakekat dengan sifat-sifat yang tuggal. Dilihat pada masingmasingnya Bapa itu Allah, karena Ialah sumber ke-Allah-an dimana hakekat ke-Allah-an yang satu
itu berada, Firman (Anak) itu Allah karena Ia berada dalam hakekat ke-Allah-an yang satu dan
111
yang sama di dalam Bapa serta seluruh kepenuhan ke-Allah-an berdiam di dalamNya, Roh Allah
(Roh Kudus) itu Allah karena alasan yang sama seperti halnya keilahian Firman Allah. Namun
bukan berarti ada tiga Allah, sebab keAllahan yang dimiliki masing-masing hypostasis itu adalah
ke-Allah-an yang satu dan yang sama yang berada dalam diri Allah yang Esa, karena baik Firman
maupun Roh itu tinggalnya di dalam hakekat Allah yang satu itu, dan didalam Firman dan Roh
Allah ini hakekat ke-Allah-an yang satu yang dimilik Bapa (Allah Yang Esa) itu juga tinggal.
Karena yang dinyatakan oleh Roh Kudus itu diambil dari Firman (Putra), dan pada hakekatNya
itu milik Bapa (Allah) karena Roh Kudus itu mencurahkan kasih dan segala kepenuhan Bapa
kepada Firman, serta milik Bapa yang telah dicurahkan pada Firman itu oleh Putra (Firman) ini di
dalam Roh yang sama dipantulkan kembali kepada Bapa, maka jelaslah bahwa ketiga hypostasis
dalam Allah yang Esa itu meskipun bisa dibedakan ciri-ciri khas masing-masing tetapi tidak bisa
dipisahkan. Dari interaksi yang ada antara ketiga hypostasis di dalam diri Allah yang Esa ini
terlihat lingkaran gerakan kasih dan kemuliaan yang kekal di dalam Allah. Bersamaan
dicurahkanNya kasih Allah dicurahkan pula kemuliaan dan kepenuhan Allah itu kepada Firman
Allah (Putra) melalui Roh Kudus. Sehingga oleh interaksi yang demikian ini disamping Roh
Kudus itu sepenuhnya didalam Bapa (I Korintus 2:10-11) Ia juga berdiam sepenuhnya didalam
Putra. Karena memang “Allah mengaruniakan RohNya dengan tidak terbatas” (Yohanes
3:34), kepada FirmanNya ini. Secara sempurna Roh itu berada dalam dzat-hakekat Bapa yang Esa
itu, namun sepenuhnya Ia berdiam juga pada Firman Allah yang juga berada dalam dzat-hakekat
Allah Yang Esa yang sama itu. Sehingga Firman yang secara sempurna diam di dalam Bapa
karena Dia adalah FirmanNya Bapa, itu juga sepenuhnya diam di dalam Roh Kudus karena Roh
Kudus itu tidak menyatakan diriNya sendiri tetapi menyatakan, memuliakan, dan membuat relita
kongkrit dari jatidiri Firman (Putra) dinyatakan pada Bapa, dalam saling-pandang yang kekal itu.
Selanjutnya Bapa (Allah Yang Esa)-pun diam didalam Roh Kudus karena Roh Kudus itu
memantulkan atau mencurahkan kepenuhan keAllahan Bapa kepada Firman (Putra), sekaligus
juga diam dalam FirmanNya karena FirmanNya merupakan “tajjali” dan “GambarNya” sendiri.
Ketiga hypostasis ilahi ini jelas bukan Tiga Allah karena masing-masingnya saling diammendiami satu di dalam yang lain dan berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu dengan sifatsifat ilahi yang tunggal dan sama bertindih tepat itu. Ciri khas masing-masing memang dapat
dibedakan namun jelas tak dapat dipisahkan. Karena hypostasis-hypostasis ini bukan ilah-ilah
yang saling terpisah dan saling mandiri, namun realita-realita kongkrit dari keberadaan kekal
didalam diri Allah Yang Esa itu, dengan satu hypostasis berada di dalam hypostasis yang lain
secara tak terpisahkan. Bahwa ketiga hypostasis ilahi ini tak dipisahkan itu adalah jelas karena
Bapa tinggal di dalam Firman sepenuhnya dan FirmanNya tinggal di dalam Bapa. Bapa tinggal di
dalam RohNya, RohNya sepenuhnya tinggal di dalam Bapa. Roh tinggal dalam Firman, dan
Firmanpun tinggal dalam Roh seperti yang telah kita bahas diatas.
Karena sifat mewahyukan Diri melalui Firman atau SabdaNya secara kekal di dalam Roh
Kudus inilah, maka Allah itu menyatakan diriNya kepada manusia melalui FirmanNya dalam Roh
Kudus yang sama ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Kitab Suci demikian::
“Jikalau Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang
keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku.”( Yohanes 15:26 ).
“Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang
diterimanya dari padaKu.” ( Yohanes 16:14 ).
112
Roh Kudus “keluar dari Bapa” untuk “bersaksi tentang Firman”, yaitu untuk menyatakan Firman
itu, dalam proses penyataan itu kepada Bapa, maka Roh Kudus oleh Firman dikembalikan
kepada Bapa, yaitu “diutus oleh Firman” sehingga kepada Bapa Firman itu disaksikan atau
dinyatakan. Sehingga Bapa melihat DiriNya melalaui Firman di dalam Roh Kudus. Namun
“pengutusan Roh Kudus” oleh Firman bagi bersaksi tentang Firman itu berlanjut setelah adanya
ciptaan. Karena sumber pewahyuan Firman kepada manusia itu berlandaskan kodrat kekal yang
ada di dalam Allah, dimana memang Firman itu sarana penyataan diri Allah di dalam Roh Kudus,
sebagaimana dikatakan :"”..tidak seorangpun mengenal Bapa (Allah yang Esa) selain Anak
(Firman Allah; karena Ia berada satu dan kekal di dalam Bapa, serta Ia yang secara kekal
memandang Bapa)) dan orang yang kepadanya Anak itu (Firman Allah itu) berkenan
menyatakanNya” ( Matius 11:27). Ayat ini menjelaskan bahwa manusia mengenal Allah hanya
karena perkenan Firman itu untuk menyatakanNya, berarti Firman memang sarana penyataan
Diri Allah. Namun penyataan Diri Allah kepada manusia oleh Firman ini disebabkan karena
Firman itu telah mengenal Bapa, yaitu mengenal sejak kekal dalam hakekat Allah yang Esa itu
sendiri. Berarti apapun karya Firman Allah dalam hubungannya dengan Allah di dunia ini, pada
hakekatnya disebabkan oleh hubungan kekal yang sudah ada dalam kekekalan azali, dan
karyaNya di dunia ini hanya penyataan dan manifestasi dari keberadaan kodrat hubungan kekal
yang sudah ada itu. Dan cara Firman itu menyatakan Bapa (Allah yang Esa) adalah melalui Roh
Kudus yang diutusNya, atau yang dipantulkan kembali setelah Ia menerimaNya dari Bapa. Melalui
pemantulan Diri Firman itulah dikatakan Roh itu “memberitakan… ..apa yang diterima
daripadaKu/Firman”. Roh Kudus menyatakan Firman (“memberitakan”, “memuliakan”,
“bersaksi” tentang Firman), karena Ia menerima dari Firman, artinya didalam Roh itu Firman
tinggal sebagai yang dipantulkan olehNya, meskipun Roh itu keluarNya hanya dari Bapa saja. Jadi
Allah mengenal diriNya melalui FirmanNya di dalam RohNya yang keluar dari diri Allah sendiri
sebagai satu-satunya sumber keberadaan kekal dari Roh itu. Karena Roh itu yang memantulkan
Firman Allah (- Firman yang diperanakkan dari dalam Allah sejak kekal itu-) kepada Allah sendiri.
Dengan tercurahNya Roh itu kepada Firman., dan menerima apa yang ada dalam Firman itu.
Dan keberadaan ini yang dinyatakan kepada manusia, sehingga dikatakan:
“Jikalau Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka,
yang akan binasa, yaitu orang orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan
oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan
Kristus, yang adalah gambaran Allah Sebab Allah telah berfirman: Dari dalam gelap akan
terbit terang ! Ia juga membuat terangNya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita
beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah
Kristus”. ( II Korintus 4:3-4,dan 6 )
Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Kristus (Firman Allah yang menjadi Manusia), adalah gambaran
Allah, karena itulah kemuliaan Allah ….. nampak pada wajah Kristus”. Bagi orang yang akan
binasa, yaitu orang kafir, yang pikirannya dibutakan oleh Iblis yaitu ilah zaman ini, mereka tak dapat
melihat kemuliaan Kristus ini, sehingga mereka dapat mengenal kemuliaan Allah yang nampak pada
wajah Kristus, sebagai Firman Allah yang menjelma itu. Ini disebabkan hanya Roh Kudus saja yang
dapat menyatakan kemuliaan Kristus atau ke-Tuhan-an Kristus itu sebagaimana dikatakan:
“……tidak ada seorangpun , yang dapat mengaku: “ Yesus adalah Tuhan” selain oleh
Roh Kudus.” ( I Korintus 12:3 ).
Roh Kudus adalah lingkup dimana kemuliaan Kristus dapat dimengerti, dan kebaradaan
ini memang keberadaan kekal di dalam Diri Allah yang Esa itu. Jika Roh Kudus menyatakan diri
113
yang dinyatakan adalah kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus. Manifestasi Roh
Kudus adalah untuk “memberitakan” dan “memuliakan” serta “bersaksi” tentang Sabda Allah /
Firman Allah / Anak Allah. Jadi bukan untuk diriNya sendiri Roh Kudus itu menyatakan diri itu.
Maka jika ada yang mengatakan bahwa dengan Gereja Orthodox menolak sisipan “Filioque” pada
Pengakuan Iman Nikea yang asli – yang akan kita bahas dibawah -, lalu menyebabkan adanya
Teologi Mistik yang tidak Kristosentrik (berpusat pada Kristus), itu adalah suatu kekeliruan dan
kesalah-fahaman bahkan ketidak-tahuan yang serius terhadap Iman Kristen Orthodox ini.
Karena dalam pengajaran Iman Orthodox, Roh Kudus keluar dari Bapa saja, namun langsung
tinggal dalam Putra, dan oleh Putra langsung diutus kepada Bapa yaitu dipantulkan sehingga
Putera itu diberitakan, disaksikan dan dimuliakan atau dinyatakan kepada Bapa, dan selanjutnya
juga kepada umat manusia. Dengan demikian pengakuan bahwa keluarNya Roh Kudus dari
Bapa saja itu tak menyebabkan mistik yang tidak Kristosentris, karena Roh Kudus yang keluar
dari Bapa dan diam di dalam Firman /Putra ini untuk memuliakan dan menyaksikan tentang
Putra/ Firman ini. Sehingga tanpa Roh Kudus, tidak ada penyataan Diri Allah di dalam
FirmanNya kepada Allah sendiri, dan dengan demikian juga dalam tingkat ciptaan, manusia tidak
bisa mengaku atau mengerti tentang keIlahian Yesus Kristus tanpa Roh Kudus ini, akibatnya
manusia tak dapat mengenal Allah secara benar.
Firman Allah “Diperanakkan dari Bapa” serta Roh Allah “Keluar dari Bapa”
Sudah kita bahas bahwa ciri khas hypostasis dari Firman Allah adalah”diperanakkan dari
Bapa”. Maksud “diperanakkan dari Bapa” adalah Firman Allah itu “diwahyukan oleh Bapa”
dengan maksud supaya Bapa melihat diriNya sendiri. Dengan demikian Bapa melihat gambarNya
sendiri, karena Firman Allah adalah “Gambar Allah yang tak kelihatan “ ( Kolose 1:15), serta “
Gambar Wujud/ kharakteer” yaitu “Tindasan Tepat” dari keberadaan Allah sendiri (Ibrani 1:3)
Melalui “pewahyuan diri Allah” inilah “Gambar Allah” itu terlahir secara kekal, itulah sebabnya
keberadaan pewahyuan kekal di dalam diri Allah ini disebut sebagai “diperanakkan” Nya Firman
Allah dari Bapa, dan dengan demikian Firman itu sendiri mendapat julukan sebagai “Anak Allah”,
meskipun Allah itu secara bilogis tak beranak dan tak diperanakkan, karena Allah itu memang tak
memiliki sifat biologis. .
Sedangkan ciri khas dari hypostasis Roh Allah adalah bahwa Roh Kudus itu ”keluar” dari
Bapa. Dan sudah kita bahas bahwa “keluarNya” Roh Kudus dari Bapa ini bukan dimaksudkan
sebagai penyataan diri Allah, namun untuk memantulkan Firman Allah/Putra ini kembali kepada
Bapa. Jadi Roh Kudus bukanlah sebagai yang menyatakan Diri Allah untuk menjadi Gambar
Allah, sehingga karenanya Ia bukan disebut Anak, tetapi Ia adalah Roh sebagai lingkup untuk
memantulkan Firman Allah/Putra kepada Bapa. Itulah sebabnya “keluarNya” Roh Kudus dari
Bapa itu tidak disebut sebagai “diperanakkan” namun hanya “keluar” saja.
Oleh sebab itu
meskipun Firman Allah dan Roh Allah sama-sama keluar dari Allah, namun karena perbedaan ciri
khas dan “hubungan yang ada” dengan dan di dalam Allah ini maka kata “diperanakkan” bagi ciri
khas Firman Allah ini dengan kata “keluar” bagi ciri khas Roh Allah harus dibedakan dan harus
dimengerti perbedaannya.
Roh Kudus sebagai Roh Allah, Roh Bapa, Roh Anak Allah, Roh Kristus, serta Roh Yesus.
Roh Kudus adalah Roh yang “bersemayam didalam diri Allah” ( I Kor. 2:10-11) dan
yang :”keluar dari Bapa“ ( Yohanes 15: 26), sebagai hypostasis dari prinsip kuasa dan hidup
Allah. Karena asal dan tempat bersemayamNya secara kekal di dalam Allah inilah maka Roh
Kudus itu disebut sebagai “Roh Allah” atau “Roh Bapa”, sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab
Suci demikian:” ….Roh Allah turun seperti burung merpati….” ( Matius 3: 16). Sebutan
114
“Roh Allah” bagi Roh Kudus ini dapat kita jumpai dalam banyak sekali ayat-ayat Perjanjian Baru
( Matius 12:28 , Roma 8:9, 14, I Kor:11,12,14, 3:16, 6:11, 7:40, 12:3, dll.). Sedangkan sebutan
Roh Kudus sebagai Roh Bapa dapat kita jumpai misalnya dalam pernyataan Kitab Suci yang
demikian:” Karena bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Bapamu;….di dalam
kamu” ( Matius 10:20).
Disamping itu, dalam kekekalan azali Roh Kudus selalu “memuliakan, bersaksi, dan
memberitakan” yaitu menyatakan dan memantulkan kemuliaan Firman Allah/Putra, kembali
kepada Bapa. Ini bermakna Roh Kudus itu secara penuh bersemayam dan tinggal dalam Firman
Allah, atau Anak Allah. Karena hubunganNya dengan Anak Allah atau Firman Allah yang
demikian inilah maka Roh Kudus disebut sebagai Roh Anak Allah, karena Dialah yang
memuliakan dan yang menyaksikan Sang Putra ini. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kitab Suci
demikian:”….Allah telah menyuruh Roh AnakNya….” (Galatia 4:6).Dan karena itu pula Ia
disebut sebagai “Roh Kristus” ( Roma 8:11) “Roh Yesus “ ( Kisah 16:7). Dengan demikian
yang dimaksud sebagai Roh Anak, Roh Yesus, Roh Allah dan Roh Bapa itu tak lain adalah Roh
Kudus.
Dengan terdapatnya data Kitab Suci yang menyatakan Roh Allah sebagai Roh Anak,
Roh Yesus, dan Roh Kristus, Gereja Barat (Roma Katolik, yang kemudian juga diikuti Protestan)
mentafsirkan bahwa Roh Kudus juga “keluar” dari Anak, disamping Ia keluar dari “Bapa”.
Sehingga Roh Kudus dinyatakan “keluar dari Bapa dan Anak”, dan muncullah “sisipan Filioque”
pada Pengakuan Iman Nikea yang asli. Pembahasannya akan kita lihat secara khusus dibawah
nanti. Karena Roh Kudus yang bersemayam dalam Allah yang Esa (Bapa) itu juga keluar dari
Bapa untuk tinggal dan bersemayam pada Firman (Putra), serta memantulkan Firman itu kepada
Bapa dan menyatakan Firman tadi, maka jelaslah bahwa Roh Kudus itu memang hanya “keluar”
dari Bapa, namun bersemayam dalam Firman, sehingga Ia disebut juga sebagai Roh Anak, atau
Roh Kristus. Namun Ia tidak keluar dari “Bapa dan Anak”. Disamping itu sebutan tersebut
disebabkan oleh hubungannya dengan manusia dimana Roh Kudus yang “keluar dari Allah” itu
dicurahkan kepada manusia melalui Kristus yang sudah bangkit itu, sehingga menyebabkan Roh
Kudus itu disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus“, atau “Roh Kristus” itu, namun sejak kekal
Roh Kudus hanya keluar dari Bapa saja, sebagaimana yang dikatakan:” Yesus inilah yang
dibangkitkan Allah,….dan sesudah Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah ( yaitu:
diangkat ke sorga serta duduk di sebelah kanan Allah) dan menerima Roh Kudus (yaitu:dari
Allah yang telah membangkitkan dan meninggikanNya itu; berarti Roh Kudus itu sejak kekal
memenag hanya keluar dari Allah saja) yang dijanjikan itu, maka dicurahkan-Nya (yaitu: Roh
Kudus yang hanya keluar dari Allah yang telah dikaruniakan kepada Yesus sesudah
peninggianNya itu, oleh Yesus dicurahkan kepada manusia. Sehingga manusia menerima Roh
Kudus yang sejak kekal hanya keluar dari Allah/Bapa itu melalui Yesus Kristus. Karena turunNya
dan dicurahkanNya kepada manusia terkait dengan Yesus itulah maka Roh Allah yang sejak kekal
hanya keluar dari Allah/Bapa saja itu, juga disebut sebagai “Roh Anak”, “Roh Yesus”, dan “Roh
Kristus”) apa yang kamu lihat dan dengar disini” ( Kisah Rasul 2:32-33). Dalam makna inilah
maka Kitab Suci menyebut Roh Allah itu secara silih berganti dengan sebutan sebagai Roh
Kristus, bahkan sebagai Kristus sendiri. Hal itu dapat kita lihat dalam kutipan Kitab Suci dibawah
ini:
“Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah
diam di dalam kamu.Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus ia bukan milik
Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa,
tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.Dan jika Roh Dia, yang telah
membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia yang telah
115
membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga
tubuhmu yang fana itu oleh RohNya, yang diam di dalam kamu.” ( Roma 8:9-11 ).
Kutipan ayat-ayat ditas ini menunjukkan kesilih-bergantian nama yang digunakan untuk Roh
Allah itu. Ia disebut “ Roh” saja untuk menunjukkan hypotasisNya pada diriNya sendiri tanpa
hubunganNya dengan Bapa dan FirmanNya.. Namun Ia disebut sebagai “Roh Allah diam di
dalam kamu” untuk hubunganNya dengan Allah, sebagai yang keluar dan bersemayam dalam
Diri Allah karena Dia adalah RohNya Allah. Selanjutnya Roh itu juga disebut sebagai “Roh
Kristus”: “…tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus,…” untuk menunjukkan
“keluarNya” Roh itu dari Allah adalah untuk bersemayam kepada Firman baik secara kekal
maupun setelah penjelmaanNya sebagai manusia yang bergelar sebagai “Kristus”. Sehingga Roh
itu juga adalah Roh Kristus, karena bersemayam di dalam Kristus. Selanjutnya Roh Kristus juga
disamakan dengan Kristus sendiri, sebagaimana yang dikatakan :”…. jika orang tidak memiliki
Roh Kristus ia bukan milik Kristus.Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu…..” . Menurut
ayat ini “memiliki Roh Kristus” berarti “Kristus di dalam kamu”, yang berarti Roh Kristus
itu identik dengan Kristus sendiri. Makna ayat ini adalah bersemayamNya Roh Kudus di dalam
manusia maupun dipantulkanNya kepada Bapa dari Firman, itu bukanlah untuk menyatakan
diriNya sendiri tetapi menyatakan Kristus. Baik itu dalam kekekalan azali dalam hubungan
interaksi yang ada antara Allah, FirmanNya dan RohNya dalam DiriNya yang Esa, maupun pada
saat menyatakan Kristus kepada manusia. Sehingga jika Roh Allah yang hadir, otomatis Roh itu
menghadirkan Kristus, sehingga Kristus sendiri yang hadir melalui Roh tadi.
Selanjutnya dikatakan “Dan jika Roh Dia yang telah membangkitkan Yesus dari antara
orang mati” Dalam kalimat ini Roh Kristus itu disebut sebagai “Roh Dia yang membangkitkan
Yesus”, padahal yang membangkitkan Yesus adalah Bapa, berarti Roh Kristus disini disebut
sebagai Roh Bapa sendiri. Selanjutnya Bapa atau Allah yang telah membangkitkan Yesus dari
antara orang mati itu dinyatakan sebagai yang “… akan membangkitkan tubuhmu yang fana
itu oleh RohNya yang diam di dalam kamu…” Berarti yang diam di dalam manusia beriman
itu adalah RohNya Allah, tetapi juga RohNya Kristus, dan Kristus sendiri. Dengan demikian
dalam kutipan kita diatas ada sebutan yang saling bertindih antara “Roh”, “Roh Allah/Bapa”,
“Roh Kristus, dan “Kristus”sendiri. “Roh Kudus“ itu disebut “Roh” demikian saja, jika yang
dimaksud adalah keberadaan hypostasisNya sendiri tanpa melihat hubungannya di dalam Allah
dengan Firman Allah itu yang sedang dibahas. Namun dalam ayat-ayat lain dalam Kitab Suci Roh
ini pada diriNya sendiri juga diberi sebutan sebagai “Roh Kudus” untuk menunjukkan sifatNya
yang kudus dan karyaNya yang menguduskan (Roma 5:5, I Kor. 6:11). Disamping itu sebagai
yang menyampaikan Kristus “Sang kebenaran” itu ( Yohanes 14:6), maka Roh Allah itu pada
diriNya sendiri juga disebut sebagai “Roh Kebenaran” ( Yohanes 14:17,15:26). Namun jika
dilihat dalam hubungannya dengan Allah sebagai yang “diam di dalam diri” Allah (I Kor. 2:1011), dan yang “keluar dari Bapa “ ( Yohanes 15:26) maka Roh itu disebut sebagai “Roh Allah”
atau “Roh Bapa”. Sedangkan dalam hubungannya dengan Kristus (Anak Allah, Firman Allah
yang menjadi manusia) sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa serta sebagai yang dimuliakan,
disaksikan, dinyatakan serta dihadirkan oleh Roh itu maka Ia disebut sebagai “Roh Anak”,
serta“Roh Kristus” atau disebut “Kristus” sendiri. Demikian juga dalam hubunganNya dengan
Allah, Roh Kudus pada saat yang bersamaan disebut sebagai “Roh Allah” dan “Allah”
sekaligus. Hal ini dinyatakan demikian:
“Tidak tahukah kamu bahwa kamu adalah Bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di
dalam kamu ?” ( I Korintus 3:16 ).
116
Ayat ini menjelaskan bahwa umat Korintus (“kamu”) adalah “Bait Allah” atau “Rumah Allah”.
Ini bermakna bahwa Allah berada dalam komunitas umat Korintus, seolah-olah sebagai
rumahNya, yang berarti Allah itu diam di dalam umat itu. Namun selanjutnya dinyatakan bahwa
“Roh Allah” itu yang diam di dalam “kamu”. Dengan demikian komunitas umat Korintus itu
dikatakan sebagai “Bait Allah” atau “ Rumah Allah”, karena Roh Allah diam di dalam mereka.
Berarti Allah diam pada umat itu di dalam “Roh Allah”. Dengan demikian “Roh Allah” itu juga
disebut “Allah” sendiri. Sebab Allah menghadirkan diri melalui Roh itu, di dalam Kristus. Jika
Kristus hadir maka Allah yang dinyatakan, dan cara Kristus hadir adalah melalui Roh Allah. Itulah
sebabnya dikatakan:
“Di dalam Dia (Kristus) kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah,
di dalam Roh” ( Efesus 2:22 ).
Allah hadir dalam umatNya sebagai “tempat kediaman Allah” oleh Kristus, di dalam Roh.
HadirNya Roh Allah berarti sekaligus hadirNya Allah sendiri. Dari beberapa bagian Kitab Suci
yang telah kita kutip diatas dapatlah kita ambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut. Jika Roh
Allah hadir, maka Roh Kristus itulah yang hadir, dan sekaligus Kristus itulah yang hadir. Jika Roh
Kristus itu hadir maka Roh “Dia yang membangkitkan Kristus” atau “Roh Bapa/Allah” itulah
yang hadir. Jika Roh Allah hadir maka Allah itu sendiri yang hadir. Jika Kristus hadir maka Allah
itulah yang hadir, karena “kemuliaan Allah…nampak pada wajah Kristus”, dan “..Aku di
dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku..”. Sehingga jika Roh Allah hadir maka “Bapa dan
Anak” itu sekaligus hadir. Sebagaimana yang dikatakan demikian:” “Aku akan meminta kepada
Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia
menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima
Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. tetapi kamu mengenal Dia
sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.Aku tidak akan meninggalkan
kamu sebagai yatim piatu. Aku akan datang kembali kepadamu. Tinggal sesaat lagi
dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan
kamupun akan hidup. Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam BapaKu
dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Barangsiapa memegang perintahKu
dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia
akan dikasihi oleh BapaKu dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan
diriKu kepadanya. Yudas yang bukan Iskariot, berkata kepadaNya: “Tuhan, apakah
sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diriMu kepada kami, dan bukan kepada
dunia ?” Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firmanKu dan
BapaKu akan mengasihi dia dan KAMI (“Bapa dan Anak” = “Allah dan FirmanNya”) akan
datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.” (Yohanes 14: 16-23). Menurut
ayat-ayat ini Roh Kebenaranlah yang akan diam di dalam manusia, namun juga jika manusia
mengasihi Kristus, maka Bapa dan Putra itu yang akan diam bersama-sama dengan orang itu. Ini
berarti yang hadir dalam manusia adalah Roh Allah, namun sekaligus melalui kehadiran Roh Allah
ini, Allah dan FirmanNya sendiri yang hadir di dalam manusia. Demikianlah memang Tritunggal
Maha Kudus itu Esa adanya, karena kehadiran hypostasis yang satu itu juga adalah kehadiran
hypostasis yang lain secara tak terpisahkan. Melalui Roh Kudus yang tinggal di dalam manusia,
maka seluruh keberadaan Allah “Bapa dan Anak” ( “Allah dan Firman”), dan sekaligus “Roh
Allah” itu sendiri yang tinggal; pada manusia. Maka dapat dikatakan bahwa keseluruhan
keberadaan Tritunggal Mahakudus itu yang diam di dalam manusia. Karena Tritunggal
Mahakudus itu bukan tiga ilah atau tiga tuhan yang berbeda-beda dan terpisah-pisah, namun
117
keberadaan realita kongkrit (hypostasis) di dalam Diri Allah yang Esa itu sendiri. Sebab hadirNya
Roh Kudus itu untuk menyatakan Anak Allah/Firman Allah, dengan demikian Firman Allah
berada di dalam Roh Kudus. Padahal Firman Allah/ Anak Allah itu menyatakan Bapa, berarti
Bapa ada di dalam Firman Allah/Anak Allah. Sebaliknya baik Roh Allah maupun Anak Allah itu
berada di dalam Allah, berarti memang ketiga hypostasis itu memang Esa tak terpisahkan.
Sehingga kehadiran hypostasis yang satu adalah kehadiran keseluruhan hypostasis dalam Allah
yang Esa itu. Karena dalam ketiga hypostasis itu hanya terdapat satu dzat-hakekat Allah, dan di
dalam masing-masing hypostasispun dzat-hakekat Allah yang satu dan yang sama itu yang hadir,
sedangkan ketiga hypostasis itu juga berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu.
Maka sebagai Roh Allah yang bersemayam di dalam dzat-hakekat Allah yang satu bersama
Firman Allah, maka Roh Kudus mempunyai sifat yang satu dengan “Bapa dan Putra” itu, yaitu
sifat “dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia”, yang artinya manusia tak dapat
mengerti Dia tanpa pewahyuan DiriNya. Hal yang sama berlaku bagi sifat “Bapa dan Anak”,
sebagaimana yang dikatakan:
“….tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dam tidak seorangpun mengenal
Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (
Matius 11:27 ).
Kebenaran ini menunjukkan bahwa sifat-sifat Allah itu adalah tunggal. Sifat Allah, yang dalam hal
pembahasan kita ini adalah sifat “tak dapat diketahui” itu, karena Allah mempunyai sifat dzathakekat atau (essensi) yang hanya satu, karena Allah itu Esa. Sehingga jika Bapa (Allah yang Esa)
tidak dimengerti manusia, maka Anak (Firman Allah) dan Roh Kudus (Roh Allah) pun tidak
dapat dimengerti oleh manusia. Roh Allah dan Firman Allah itu memang satu dengan Bapa dan
di dalam Bapa. Hanya melalui penyataan Anak (Firman Allah) oleh Roh Kudus itu saja, sifat
ketak-dapat dimengertian Allah ini dapat tersingkap. Karena Roh Kudus itulah yang menyatakan
Kristus. Anak berkenan menyatakan Diri kepada manusia melalui Roh Kudus, dan melalui
penyataan diri Anak di dalam Roh Kudus ini Bapa dinyatakan kepada manusia..
Karena sifatnya yang saling bersemayam diantara hypostasis-hypostasis di dalam Diri Allah Yang
Esa itu, maka hadirNya Roh Kudus adalah hadirNya Kristus, dan hadirNya Kristus dalam Roh
Kudus ini adalah hadirNya Allah sendiri. Dengan demikian Roh Kudus tidak menyatakan
apapun, selain wahyu Allah yang satu-satunya itu yaitu: Yesus Kristus . Roh Kudus bukanlah roh
liar yang lepas dari Firman Allah, namun Ia adalah Roh Allah yang terkait dengan Firman Allah
baik Firman itu sebelum menjelma menjadi manusia maupun sesudahnya, sehingga Ia disebut
Roh Yesus dan sekaligus Roh Allah. Bersama dengan Firman Allah, Roh Allah ini berada satu di
dalam diri Allah yang Esa. Karena Allah itu memang Esa dan tidak ada Allah lain selain Yang Esa
ini (I Kor. 8:4), yang sejak kekal berada dalam diriNya FirmanNya sendiri dan RohNya.
4.Kasus Sisipan “Filioque”
Telah kita singgung diatas mengenai masalah “filioque” dalam hal “keluarNya” Roh Kudus dari
Bapa. Marilah kita bahas masalah ini. Masalah Roh Kudus yang “keluar dari Sang Bapa” ini telah
terjadi permasalahan yang berkepanjangan antara Gereja Orthodox dengan Gereja Barat (baik
Roma Katolik maupun Protestan), dimana Gereja Barat dalam Konsili Toledo tahun 589
memberi tambahan kata “filioque” (dan “Sang Anak”) pada kata anak kalimat itu, sehingga
118
Pengakuan Iman yang sudah ditambah itu menjadi berbunyi “yang keluar dari Sang Bapa dan
Sang Anak/Putra”. Tambahan ini ditolak Gereja Orthodox dengan alasan sebagai berikut:
Landasan dari Pengakuan Iman Nikea akan hubungan Roh Kudus dengan Allah (Sang Bapa) itu
adalah:“Jikalau Penghibur yang akan kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang
keluar dari Bapa, ia akan bersaksi tentang Aku.” ( Yohanes 15:26 ).Penambahan “ FILIOQUE
” dilihat berbahaya oleh Gereja Timur. Bahaya-bahaya yang dilihat oleh Gereja Timur adalah
bahwa penambahan ini akan mengkaburkan makna ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang
seimbang antara Allah, Firman dan RohNya dalam dzat-hakekatNya yang serba Esa itu. Dalam
Iman Kristen Orthodox dijelaskan bahwa Allah Yang Esa itu identik dengan Sang Bapa (Wujud
Allah) sendiri, sebagaimana yang tertulis:“Namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu
Bapa, yang dari padaNya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup,…...”( I
Korintus 8:6 ).Karena “satu Allah” itulah Bapa, ini berarti bahwa ke-Esa-an Allah itu terletak
pada Esanya Pribadi Bapa. Karena Bapa itulah “satu Allah” tersebut, serta “dari padaNya berasal
segala sesuatu”, maka Bapa itu menjadi sumber, pokok, pusat, serta asal dari ke-Allah-anNya
sendiri. Dengan demikian Ia juga menjadi sumber, pokok, pusat, dan asal dari Firman dan
RohNya sendiri yang kekal itu. Berarti baik “Firman Allah” (“Anak Allah”), maupun “Roh
Allah” ( Roh Kudus”) sendiri, dari zaman azali yang silam sampai zaman abadi yang akan datang
tetap berada pada dan melekat satu di dalam dzat-hakekat Allah yang serba Esa itu. Dengan
demikian berarti baik Firman Allah maupun Roh Allah itu memang haruslah keluar dari sumber
yang satu ini, Sang Bapa. Untuk keluarnya “Firman Allah” dari Bapa ini disebut sebagai
“diperanakkan” yang makna kata ini adalah bahwa Firman Allah yang terkandung dalam diri
Allah yang Esa itu dinyatakan dalam diri Allah sendiri sehingga Allahmengenal diriNya itu
melalui FirmanNya itu sejak kekal, dan untuk “Roh Allah” diistilahkan dengan “keluar dari
Bapa”. Meskipun “Firman Allah” itu bukan Allah (Bapa) sendiri, serta “Roh Allah”pun, bukan
pula Allah (Bapa) itu, juga “Firman Allah” itu jelas bukan “Roh Allah”, dan sebaliknya, sehingga
ciri-ciri masing-masing hypostasis tetap terjaga, namun baik Firman Allah maupun Roh Allah itu
berada dalam dzat-hakekat Allah yang serba satu ini. Maka dzat-hakekat Bapa itulah juga dzathakekat Firman dan RohNya tadi. Sehingga baik Firman Allah maupun Roh Allah berada dalam
satu kemuliaan, satu kehendak, satu kekekalan, satu kuasa dan satu dalam segala keberadaan ilahi
yang lain yang dimiliki oleh Bapa (Wujud Allah Yang Esa itu). Namun “Firman” tetap berciri
sebagai Firman tak menjadi prinsip “Wujud Allah”, dan tak pula berubah menjadi ciri “Roh
Allah”, juga “Roh Allah” tetap berciri sebagai “Roh Allah” tak berubah mengambil ciri “Firman
Allah” (“Anak”), maupun ciri dari prinsip “Wujud Allah yang Esa” (“Bapa”). Sehingga ciri
hypostasis yang satu tak boleh dikacaukan dengan ciri hypostasis yang lain dalam diri Allah Yang
Esa itu. Ciri-ciri khas dari masing-masing hypostasis dalam Diri Allah Yang Esa itu adalah:
1.Sang Bapa (“Wujud Allah yang Esa”), sebagai asal-usul dan sumber serta beradanya secara
kekal dari “Firman Allah” dan “Roh Allah” yang dariNya baik “Firman Allah” itu
“diperanakkan” maupun “Roh Allah” itu “keluar”. Juga Sang Bapa ini bersifat berasal dari
DiriNya sendiri serta berdiri pada diriNya sendiri, tanpa diperanakkan dan tanpa awal, dari kekal
sampai kekal. Sang Bapa pula yang menjadi prinsip dari Ke-Esa-an Allah itu. 2. Sang Putra (
“Firman Allah”), adalah Akal-Budi Allah, Ilmu Allah yang kekal yang selalu berada melekat
dalam Dzat-Hakekat Allah yang kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi sampai
selamanya, yang melaluiNya Allah menciptakan dunia, dan juga menyatakan diriNya, sebagai
Wahyu Ilahi. Dengan demikian “Sang Putra” ini ciri khasnya adalah sebagai yang keluar dari
Bapa untuk menyatakan diri Bapa, dengan kata lain “diperanakkan” dari Sang Bapa.3. Roh
Kudus ( “Roh Allah”), adalah prinsip Hidup dan Kuasa Allah yang kekal yang selalu berada
melekat dalam Dzat-Hakekat Allah kekal itu tanpa awal sejak zaman azali dan selalu abadi
sampai selamanya, bersama dengan “Firman Allah”. Melalui Roh Allah ini, Sang Bapa,
119
menyempurnakan dan membentuk segala ciptaan serta memberikan kehidupan terhadap segala
ciptaan yang telah Ia jadikan melalui “Firman Allah” (“Sang Putra”) yang kekal. Berarti
bersamaan “Firman Allah” yang menjadikan itu “Roh Allah” membentuk dan menghidupi apa
yang telah dijadikan itu. Jadi Roh Allah berkarya sekaligus –tanpa ada tenggang waktu - ketika
Firman Allah berkarya, oleh kehendak tunggal dari Allah Yang Esa (Bapa) itu. “Roh Allah” itu
mengiringi, melengkapi, dan menyempurnakan serta menyatu- tanpa urutan waktu, serempak
dan serentak- dengan karya yang dilakukan Allah melalui “Firman”Nya itu. Memang hanya ada
“satu karya” oleh “satu ke-Mahakuasa-an” yang berasal dari kehendak tunggal Allah Yang Esa
itu melalui Firman dan didalam RohNya tadi. Jadi Roh Allah itu bukan untuk mewahyukan Diri
Allah, sebagaimana karya dari “Firman Allah” ( Yohanes 1:18) sehingga “Firman Allah” itu
disebut “Gambar Allah” (Kolose 1:15) namun sebagai “Terang” untuk dapat mengerti “Wahyu
Allah” itu, dengan demikian Roh Allah bukan merupakan “Gambar Allah”namun “Terang”
untuk dapat memahami “Gambar Allah”, yaitu “ Anak Allah yang Tunggal….yang menyatakan”
Bapa yang Esa itu (Yohanes 1:18, I Kor.12:3, II Kor. 4:6), oleh sebab itu Roh Allah tak disebut
“Anak Allah”, dan itulah sebabnya Ia tak dikatakan “diperanakkan dari Sang Bapa”, namun
“keluar dari Sang Bapa”. “Keluar dari Sang Bapa” inilah ciri khas Roh Allah (“Roh Kudus”) itu.
Untuk menjaga utuh ke-Esa-an Allah serta keseimbangan yang ada antara hypostasis-hypostasis
dalam Allah Yang Esa inilah, maka ciri-khas hypostasis-hypostasis itu harus dijaga tak boleh
dilanggar.
Disamping itu, perlu pula ditegaskan bahwa Allah itu memiliki dua bentuk
hubungan: 1. Hubungan kekal di dalam dirinya sendiri, dengan “FirmanNya” dan “RohNya”. 2.
Hubungan dengan makhlukNya yang telah diciptakan melalui “FirmanNya” dan disempurnakan
serta dihidupi oleh “RohNya” itu, dengan sarana “FirmanNya” yang sama itu: yang kemudian
menjelma menjadi manusia, dan melalui “RohNya” yang sama itu juga, yang dicurahkan kepada
manusia melalui “Firman” setelah karyaNya selesai diatas bumi itu. Jadi mengenai Roh Allah
(“Roh Kudus”) ini ada dua bentuk hubungan dengan Allah, yaitu yang pertama adalah hubungan
kekal di dalam diri Allah Yang Esa itu, serta masalah filioque itu adalah berkaitan dengan
hubungan yang pertama ini, dan yang kedua adalah hubunganNya dengan makhluk, sesudah
penjelmaan “Firman” itu menjadi manusia, dan pihak non-Orthodox salah-faham bahwa filioque
yang ditolak Gereja Orthodox itu berkaitan dengan hubungan kedua ini. Mengenai dua bentuk
hubungan Allah ini marilah kita lihat data-data Alkitab. Yaitu mengenai hubungan Allah dalam
diriNya sendiri sejak zaman azali dan hubungannya dengan dunia setelah ada waktu dan setelah
selesai karya penjelmaan FirmanNya, dan terutama mengenai dari mana asal RohNya di zaman
kekal-azali dan sesudah karya Sang Firman tadi:”……Roh yang kekal….” (Ibrani 9:14),”….Roh
menyelidiki…..hal-hal yang tersembunyi DALAM DIRI ALLAH…roh manusia sendiri yang ada didalam
dia….Demikian pulalah…..yang terdapat di dalam DIRI ALLAH….Roh Allah” ( I Kor. 2:10-11).
“….Allah (Bapa) mengaruniakan RohNya…..” ( Yohanes 3:34, berarti Roh Allah berasal dari
Allah/Bapa,pent.).” Aku (“Anak Allah”, “Firman Allah Menjelma”) akan minta kepada Bapa (
sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent)…seorang Penolong yang lain….yaitu Roh Kebenaran …( ini
berarti Roh itu sejak kekal-azali berasal dari Bapa, karena untuk datangNya pada para murid
setelah karya Sang Putra itu selesai, harus diminta kepada Bapa oleh Sang Putra ini,pent.) “
…..Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa (berarti Roh Kudus itu keluar dari Bapa
dari kekal-azali karena dari Bapalah Roh itu diutus,pent) dalam namaKu (Yoh.14:25-26, “…akan
diutus …dalam NamaKu”, yaitu Nama Sang Putra, itu terjadi setelah karya Putra di dunia itu
selesai, pent.) “ “Jikalau Penghibur yang akan Kuutus ( sesudah selesai karyaNya di bumi ini, pent.),
yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa (Yoh.15:26,“keluar dari Bapa” sejak kekal-azali, karena Ia
memang berada dalam Diri Allah/Bapa sejak kekal, pent), “Yesus inilah…..sesudah Ia ditinggikan
oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus (artinya, sesudah kebangkitanNya Yesus menerima
Roh Kudus, karena Ia “menerima” Roh tadi, berarti Roh itu berasal dari “yang memberi” yaitu
120
Allah/Bapa, dengan demikian jelas Roh itu keluar dari Allah/Bapa,pent) yang dijanjikan itu, maka
dicurahkanNya…. ( Roh yang diterima dari Bapa, yaitu yang keluar dari Bapa sejak kekal-azali itu,
oleh Yesus dicurahkan pada manusia sesudah kebangkitan dan naikNya ke sorga itu, pen, Kisah
Para Rasul 2:32-33). Dari ayat-ayat ini jelas bahwa Roh Allah itu sejak kekal berada di dalam Diri
Allah, dan berasal “keluar” dari Allah ini sejak kekal itu, -meskipun Ia bersemayam pada Putra
sebagai sasaran akhir keluarNya dari Bapa itu-, namun Roh yang sama ini sesudah selesainya
karya Sang Putra yang menjelma itu dikirim kepada manusia “atas permintaan dari” “dalam
Nama” ,” diutus oleh”, serta “dicurahkan oleh” Sang Putra. Dengan demikian dari kekal dalam
Diri Allah sendiri Roh Kudus itu diam dan keluar dari Allah saja, serta dicurahkan pada Firman
untuk memantulkan Firman itu pada Bapa, namun dalam hubungannya dengan manusia setelah
selesai karya Sang Putra ini maka Roh Kudus yang sejak kekal keluar dari Bapa, ini diutus dari
Bapa “melalui dan oleh” Sang Putra. Jadi Roh Kudus itu hanya “keluar dari Bapa” saja serta
bersemayam pada Putra jika keberadaan Allah yang kekal itu yang kita maksud, namun Roh
Kudus yang sama itu “keluar dari Bapa melalui/dan Putra” jika pengutusanNya ke bumi ini yang
kita maksud. Dalam kaitanNya dengan bersemayamNya pada Putra untuk memantulkan Putra
itu pada Bapa dalam kekekalan hakekat Allah yang satu, serta pengutusanNya ke bumi setelah
selesai karya Sang Putra, dari “Bapa melalui./ dan Putra” inilah maka Roh Kudus itu disebut
sebagai “Roh Allah” dan sekaligus“Roh Kristus” (Roma 8:9), “Roh AnakNya” (Galatia 4:6),
“Roh Yesus” (Kisah Rasul 16: 7), dan lain-lain, yang menunjukkan keterkaitan yang tak terpisah
antara Roh Kudus dan Kristus dalam karyaNya di bumi ini. Jadi Roh Kudus datang ke bumi
bukan langsung dari Allah begitu saja, namun Ia datang dari Allah melalui Kristus, bagi
menterapkan Karya Kristus yang sudah selesai itu kepada manusia. Roh Kudus datang bukan
untuk menyatakan DiriNya sendiri, dan Ia datang bukan untuk menyatakan “segala macam
kebenaran” namun untuk menyatakan “Kebenaran” yang Tunggal, yaitu “Firman Yang
Menjelma Manusia” : Yesus Kristus itu. Inilah posisi Iman Orthodox yang lugas, jelas, dan tegas
serta tanpa keraguan sedikitpun itu. Sedangkan terkaitNya “Roh Allah” dengan “Firman Allah”
yang nampak dalam karyaNya sesudah Penjelmaan Firman Allah itu memang berasal dari kekal.
Hal ini dapat dijelaskan demikian: Menurut Ibrani 9:14, Roh Kudus itu disebut “Roh yang
kekal”, berarti Ia bukan makhluk, dan azali bukan tercipta. “Roh yang kekal” itu menurut I Kor.
2:10-11 berada di dalam Diri Allah, yaitu melekat satu dalam Dzat-Hakekat Allah. Pada saat
dicurahkan ke bumi oleh Allah melalui Yesus Kritus, salah satu diantara fungsi-fungsi dan karyakarya Roh Kudus di bumi ini adalah , sebagaimana yang dikatakan:”…..kasih Allah telah
dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus….” ( Roma 5:5). Jadi fungsi Roh Kudus adalah
mencurahkan kasih Allah kepada “sasaran” dan “obyek” dari yang dikasihi Allah. Karena Roh
Kudus itu kekal, berarti fungsi yang demikian ini adalah kekal juga. Jadi sejak zaman azali sampai
dengan keabadian Roh Kudus memang berfungsi untuk “mencurahkan kasih Allah kepada
sasaran dan obyek yang dikasihi Allah” itu. Pada saat manusia sudah diciptakan dan karya Kristus
sudah selesai, kasih tadi sasarannya adalah “kita” yaitu manusia. Namun dalam alam azali nan
abadi itu, dimana tidak ada makhluk dan ciptaan yang ada hanya Allah sendiri, maka sasaran dan
obyek kasih Allah adalah Ia yang mengatakan :”…..Engkau (Bapa/Allah) telah mengasihi Aku
(Putra/Firman) sebelum dunia dijadikan” ( Yohanes 17:24). Jadi sasaran kasih Allah secara azali
yang kekal-abadi itu adalah FirmanNya sendiri yang ada di dalam DiriNya yang Esa itu. Karena
dimana kasih Allah tercurah, ini selalu terlaksana melalui Roh Kudus, berarti ketika di zaman
azali yang kekal-abadi itu kasih Allah tersebut tercurah pada FirmanNya maka “kasih Allah itu
telah dicurahkan ke dalam Sang Firman itu oleh Roh Kudus”. Berarti dalam proses kasih ini,
Roh Kudus “yang keluar dari Bapa” itu, karena dari Bapa Ia mencurahkan kasih itu, juga
bersemayam dalam Firman untuk menyampaikan “kasih Bapa” tadi ke dalam hakekat Firman itu.
Demikianlah Roh Kudus yang bersemayam dan “keluar” dari Bapa untuk mencurahkan kasih
121
Bapa, itu juga akhirnya bersemayam dalam Firman. Sehingga Roh Kudus itu bersemayam dalam
Bapa dan Firman. Namun di zaman azali yang kekal tersebut"keluarNya” itu tetap dari Bapa
sebagai “sumberNya”. Padahal baik Firman maupun Roh itu sama-sama berada di dalam Diri
Allah /Bapa Yang Esa itu. Dengan demikian Roh yang “keluar dari Bapa” itu bersemayam dalam
Bapa sekaligus dalam Firman /Putra yang ada pada Bapa, serta baik Firman dimana Roh
bersemayam maupun Roh yang “keluar dari Bapa” itu, bersemayam, yaitu melekat satu di dalam
dzat-hakekat Bapa. Sebagai “pencurah Kasih” Allah, berarti hakekat Bapa juga berada dalam Roh
“pembawa Kasih”itu, sebagai yang dituju dan didiami oleh Kasih tadi, berarti hakekat Bapa itu
juga berada dalam Firman itu. Dengan demikian jelas meskipun dalam zaman azali yang abadi itu
“Roh Kudus” hanya keluar dari Bapa sebagai “sumberNya”, namun dalam kasih abadi tadi, Bapa
bersemayam dalam RohNya dan FirmanNya, dan Firman bersemayam dalam Bapa dan RohNya,
dan Roh bersemayam dalam Bapa dan Firman, karena memang Allah itu hanya satu secara tak
terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah, meskipun ciri khas masing-masing hypostasisnya dapat
dilihat perbedaannya. Itulah sebabnya dalam arti ini juga Roh Kudus, dapat disebut Roh Allah,
Roh Bapa, Roh Yehuwah, sekaligus Roh AnakNya, Roh Anak Allah, Roh Yesus, Roh Kristus,
Roh Yesus Kristus, karena keberadaan Allah itu tak terbagi-bagi, dan tak tersusun-susun. Ia itu
Esa secara sederhana, tanpa terdiri dan tersusun dari bagian-bagian. Namun bagaimanapun juga
jelas bahwa “Roh Kudus” itu “keluar dari Bapa” sebagai sumberNya, di alam azali itu, meskipun
terkait erat dengan Firman Allah/Anak Allah di dalam dzat-hakekat Allah yang Esa dan satu
tersebut. Setelah mengerti posisi Iman Kristen Orthodox dengan lebih rinci ini, marilah kita
melihat keberatan theologis Iman Kristen Orthodox atas faham yang diakibatkan oleh sisipan
“filioque” itu. Sisipan “filioque” mengimplikasikan bahwa Roh Kudus itu keluar bukan hanya
dari Bapa tapi juga dari Putra. Jika demikian maka Roh Kudus memiliki dua sumber asal-usul:
Bapa dan Putra. Padahal sudah kita lihat bahwa Allah itu Esa yaitu Bapa ( I Kor. 8:6). Bapa itu
hanya satu dan menjadi “asal segala sesuatu”, berarti hanya ada satu sumber dan hanya ada satu
pokok di dalam Diri Allah Yang Esa itu. Jika pengertian sisipan filioque ini kita ikuti, maka
sumber dalam Allah itu bukan hanya satu saja, namun dua, karena Bapa/Allah dan
Putra/Firman menjadi sumber dari Roh Kudus, disebabkan Roh Kudus keluar dari Sang Bapa
dan juga Sang Putra. Faham ini dilihat oleh Iman Orthodox sebagai merusak akidah Tauhid (KeEsa-an Allah) menjadikan adanya Dua Ilah yang menjadi asal-usul keilahian. Juga faham ini
melanggar ciri khas masing-masing hypostasis dalam Diri Allah yang Esa itu. Karena hanya Bapa
saja yang ciri khasNya “memperanakkan” FirmanNya dan sekaligus “mengeluarkan” RohNya,
meskipun Bapa itu tak diperanakkan dan berdiri pada DiriNya sendiri tanpa ada yang
mengadakan. Putra/Firman Allah tidak ikut dalam ciri khas Bapa/Allah untuk “mengeluarkan”
Roh ini, sebab Putra/Firman bukan sumber Ke-Esa-an dalam Diri Allah. Ia adalah “Firman”
dari Allah ini. Dengan demikian keseimbangan pemahaman tentang hubungan yang ada antara
Allah, Firman dan RohNya itu menjadi goyah. Gereja Orthodox melihat “kemusyrikan” dalam
faham semacam ini. Ketika Gereja Barat melihat keberatan Gereja Timur tentang impplikasi
adanya “dua Allah”, dengan adanya “dua sumber” dari Roh Allah ini, sangkalan Gereja Barat
adalah bahwa” Roh Kudus itu keluar dari Bapa/ Allah yang Esa dan Putra/Firman Allah
seolah-olah berasal dari satu sumber.” Pemahaman Gereja Barat yang demikian itu belum dapat
meyakinkan Gereja Timur, sebab dalam pandangan Gereja Orthodox, jika Roh Kudus keluar
baik dari Bapa/Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah seolah-olah dari satu sumber, realita
yang berbeda antara Bapa/ Allah Yang Esa dan Putra/Firman Allah itu jadi kacau. Jadi realita
ciri khas Bapa/Allah Yang Esa itu tak berbeda dengan realitas dan ciri khas dari Putra/Firman
Allah karena kedua-duanya dianggap sebagai satu sumber. Jika betul demikian yang dimaksud,
Gereja Orthodox khawatir bahwa itu memunculkan kembali ajaran Sabelianisme, yang baik
Gereja Barat maupun Gereja Timur sama-sama mengutuknya dizaman purba yang telah lalu.
122
Sabelius mengatakan bahwa sebenarnya Allah/Bapa, Firman/Putra dan RohNya di dalam
DiriNya Yang Esa itu tak memiliki realita dan ciri khas yang berbeda-beda yang memang dapat
dibedakan ciri-ciri dan realitanya tadi, meskipun tak dapat dipisahkan dalam Ke-Esa-an DzatHakekat Allah yang Tunggal itu. Namun Bapa/Allah, Anak/Firman Allah, Roh Kudus/Roh
Allah itu adalah sekedar “topeng-topeng” dalam cara Allah menyatakan diriNya saja.Menurut
Sabelius, di dalam Perjanjian Lama Allah yang satu itu menyatakan diriNya sebagai Bapa, dalam
Perjanjian Baru Allah yang sama itu menyatakan diri sebagai Putra. Sesudah Putra naik ke Sorga,
Allah yang sama yang sebelumnya menyatakan diri sebagai Bapa dan akhirnya menyatakan diri
sebagai Putra itu, juga menyatakan diri sebagai Roh Kudus. Jadi Bapa, Putra dan Roh Kudus itu
sebenarnya hanyalah Allah yang satu itu, namun yang memakai topeng secara berganti-ganti. Itu
hanyalah fungsi-fungsi saja dari Allah yang Esa. Dengan mengatakan bahwa Roh Kudus itu
“keluar dari Bapa dan Putra” seolah-olah dari satu sumber, berarti Gereja Orthodox melihat
bahwa hypostasis dan ciri-ciri khas Bapa serta hypostasis dan ciri-ciri khas Putra itu tidak dapat
dibedakan dan sekaligus dikacaukan. Dari situlah mengapa Gereja Orthodox melihat
argumentasi itu sebagai bersifat Sabelianisme, meskipun jika bukan sepenuhnya, namun setidaktidaknya bersifat semi Sabelianisme. Selanjutnya jika betul bahwa Putra/Firman Allah yang
diperanakkan oleh Bapa itu juga menjadi sumber Roh Kudus sebagaimana halnya Bapa itu,
dengan demikian juga memiliki ciri khas hypostasis Bapa, maka Ia juga haruslah memiliki fungsi
dari ciri khas sumber keilahian yaitu “memperanakkan” Firman dan “mengeluarkan” Roh
Allah.Dengan demikian tidakkah ini akan membuat Putra/Firman Allah itu bukan hanya
“mengeluarkan Roh Kudus” tetapi juga “memperanakkan Firman”? Bukankah ini akan berarti
akan muncul Firman yang lain dari Firman ini? Dan Firman yang lain ini juga akhirnya memiliki
sifat yang sama dengan sifat “Firman” yang telah memperanakkanNya, yaitu menjadi sumber
Roh Kudus dan sekaligus memperanakkan Firman yang lain juga, demikian seterusnya ad
infinitum. Jika demikian hal itu akan mengakibatkan terjadinya bukan hanya satu sumber, atau
dua sumber, tetapi dapat terjadi beribu-ribu sumber atau pokok di dalam diri Allah , karena
Firman yang diperanakkan Allah itu ikut serta sebagai sumber atau pokok. Maka jika faham
sisipan filioque ini secara konsisten difahami dan dipertahankan, Gereja Orthodox melihat bahawa
ajaran satu Allah (Tauhid) itu akan rusak menjadi ajaran polytheisme (banyak Ilah), musyrik,
karena terjadi banyak sumber keilahian yang dapat memperanakkan, yaitu dari Firman yang satu,
ke Firman yang lain secara terus-menerus. Itulah sebabnya sumber keilahian itu harus hanya satu
saja yaitu “Sang Bapa” bukan dua :”Sang Bapa dan Sang Putra” Karena memang menurut
Alkitab Roh Kudus di zaman azali yang abadi itu hanya “keluar dari Bapa” saja, bukan dari
“Bapa dan Putra”
Keberatan theologis selanjutnya dari Gereja Orthodox atas faham yang
diakibatkan oleh sisipan filioque ini adalah sifat dari ke-Esa-an Allah itu sendiri. Jika dalam Allah
itu ada dua sumber sebagaimana yang diimplikasikan dalam faham Roh Kudus “keluar dari Bapa
dan Putra” itu, pertanyaannya adalah dimana dasar ke-Esa-an Allah, yang menurut Alkitab adalah
dalam Diri Bapa, “satu Allah, yaitu Bapa” ( I Kor. 8:6). Karena sumber ke-ilahi-an dari Allah itu
difahami ada dua “Bapa dan Putra”, maka Gereja Barat tidak dapat melihat bahwa Allah yang
Esa itu identik dengan Hypostasis Bapa. Sebab Bapa itu bukan menjadi sumber satu-satunya
dalam keilahian, karena Bapa menjadi sumber bersama dengan Putra :” Bapa dan Putra”, maka
tak mungkin Bapa itu dianggap sebagai prinsip dan sumber ke-Esa-an sebagaimana yang
diajarkan Alkitab. Ini nampak dalam pemahaman Gereja Barat dimana ke-Esa-aan Allah lebih
dilihat pada “Essensi” atau “Dzat-Hakekat” Allah., seperti di depan telah kita bahas. Secara
tradisionil dalam beberapa tulisan Katolik Roma, ini digambarkan sebagai satu payung (“satuessensi”) yang menaungi tiga orang (“ Bapa, Anak,Roh Kudus”), atau satu rumah (“ satu –
esensi”) yang dihuni tiga orang (“ Bapa, Anak, Roh Kudus”), sedangkan di pihak Protestan
sering digambarkan sebagai satu bidang segitiga (“satu esensi”) yang memiliki tiga sudut A,B,C
123
(“Bapa, Anak, Roh Kudus”), atau satu Zat Cair :H2O ( “satu-essensi”) yang memiliki tiga
bentuk: cair, padat/es, gas/uap (“Bapa, Anak, Roh Kudus), dan lain-lain. Dari semua
penggambaran ini jelas ke-Esa-an Allah sebagai akibat faham yang dimunculkan oleh sisipan
filioque itu tidak identik dengan Hypostasis Sang Bapa, namun pada Essensi atau Substansi atau
Dzat-Hakekat Allah yang satu. Jadi Ke-Esa-an Allah bukan lagi ke-Esa-an Pribadi, namun keEsa-an Esensi yang tak berpribadi. Disinilah letak masalahnya. Sedangkan Gereja Orthodox
sesuai dengan yang dikatakan Alkitab menegaskan Allah itu satu, karena Bapa itu satu. Maka KeEsa-aan Allah dalam ajaran Orthodox adalah ke-Esa-an yang bersifat pribadi. Allah yang Esa itu
adalah Pribadi Allah yang Satu, itulah ajaran Alkitab dan itulah ajaran Iman Orthodox.
Sedangkan dalam Gereja Barat ke-Esa-an Allah itu adalah Essensi Allah yang satu. Itulah ajaran
Filsafat Yunani, dan itulah bukti Helenisasi yang terjadi dalam Gereja Barat. Essensi itu bukan
Pribadi, namun hakekat dari keberadaan. Dengan penekanan bahwa dasar ke-Esa-an Allah itu
pada essensi ilahi dan bukan pada pribadi Bapa akan terjadi suatu kontradiksi antara pemahaman
theologis tentang ke-Esa-an Allah dan data Alkitab mengenai hal yang sama tadi. Allah yang
diajarkkan Alkitab adalah Pribadi dan bukan keberadaan mutlak (essensi) yang tanpa pribadi.
Sebab ajaran yang demikian akan mengubah Berita Alkitab menjadi ajaran Filsafat Yunani, dan
akan lebih mirip dengan ajaran Hindu yang mengajarkan bahwa Brahman adalah “Keberadaan
Mutlak yang Tak Bersifat dan Tak Berpribadi” (“ Impersonal Absolute, Nirguna.”), bukannya
Allah Abraham, Ishak, Yakub yang bertindak dan menyatakan diri serta mengatakan kepada
Musa ”Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14). Selanjutnya pemahaman tentang ke-Esa-an Allah
pada EssensiNya ini terkait dengan tujuan keselamatan manusia. Iman Orthodox mengajarkan
bahwa keselamatan itu telah terjadi akibat manunggalnya yang Manusiawi dengan Yang Ilahi di
dalam Pribadi Kristus yang satu itu, oleh Inkarnasi. Jadi manusia dipanggil untuk “ikut ambil
bagian dalam kodrat ilahi” ( II Pet. 1:4). Ambil bagian dalam kodrat ilahi atau “theosis” ini terjadi
karena persekutuan antara pribadi manusia dengan Pribadi Allah melalui karya Yesus Kristus itu.
Jika ke-Esa-an Allah adalah Essensi, persekutuan manusia dan panunggalannya dengan Allah itu
bukan lagi bersekutu antara pribadi dengan pribadi, namun bersekutu atau manunggal dengan
Essensi Allah, bersekutu dengan Dzat-Hakekat Allah. Disini letak permasalahannya: karena jika
manusia bersekutu dengan Essensi atau Dzat-Hakekat Allah, maka dia akan berhenti sebagai
manusia, serta akan melebur dalam Dzat-Hakekat Ilahi dan dengan demikian menjadi Allah.
Karena hanya Allah sendiri yang memiliki Dzat-Hakekat Allah atau Essensi Allah, maka dengan
manusia bersekutu atau manunggal dengan Allah yang satu yang adalah Essensi, maka manusia
bersekutu dengan Essensi Allah. Itu berakibat manusia memiliki Essensi Allah dan itu berarti
manusia menjadi Allah sendiri. Inilah ajaran “pentheisme” murni, mistikisme dalam bentuk yang
sama sekali tak dapat diterima oleh Iman Orthodox. Ini lebih sesuai dengan faham Hindu
daripada ajaran Alkitab maupun Iman Kristen Orthodox., dimana dalam agama Hindhu diyakini
bahwa roh manusia (Atman) itu sebenarnya tak berbeda secara hakiki dengan Essensi Allah (
Brahman).Maka tujuan akhir manusia menurut agama Hindhu memang agar, jika manusia mati,
rohnya kembali kepada Brahman, kembali kepada Essensi Allah, mencapai Moksha. Memang
posisi Orthodox ini sering disalah-fahami oleh Gereja Barat (baik Roma Katolik maupun
Protestan) seperti yang nyata dalam buku penulis Protestan dari Belanda:Dr.Boland dan Dr.
Niftrik dalam buku “Dogmatika Masa Kini”. Dr. Boland dan Dr.Niftrik menuduh Gereja
Orthodox sebagai mengajarkan mistikisme panteheistis, akibat dari penolakan sisipan filioque
dalam Pengakuan Nikea, dimana Essensi Allah dan essensi manusia lebur menjadi satu.. Kita
tidak tahu darimana Dr. Boland dan Dr. Niftrik mengambil kesimpulan semacam ini, barangkali
ini hanya salah faham, atau memang betul-betul tidak mengerti ajaran Iman Kristen Orthodox.
Karena dalam Gereja Orthodox justru mistik semacam itu sama sekali tidak memilki
tempat,bahkan ditolak, dan dinyatakan sesat, seperti nyata dalam pengucilannya terhadap sekte
124
Bogomil di Serbia-Bulgaria. Namun anehnya justru mistik yang semacam ini, yaitu mengacaukan
Essensi Allah dengan essensi manusia itu, bukannya terjadi di Gereja Orthodox tetapi di Gereja
Barat. Misalnya dalam kasus Meister Eckhard, kelompok Anabaptis, kelompok Quaker, dan lainlain. Dan dari kacamata Orthodox memang itu akibat logis dari faham yang konsisten terhadap
akibat sisipan filioque. Jadi penolakan kata filioque dalam Pengakuan Iman Nikea oleh Gereja
Orthodox justru untuk menghalangi masuknya spiritualisme mistik yang palsu seperti yang kita
bahas diatas.. Salah faham theologia Protestan itu dilanjutkan oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik
demikian: “Bahkan pun diskusi-diskusi dogmatika seperti persoalan, apakah Roh Kudus hanya keluar dari
Allah Bapa atau juga dari Anak ( filioque ) mempunyai arti serta akibat yang praktis bagi kehidupan Gereja”
Gereja Orthodox sangat membenarkan hal ini. Itulah sebabnya Gereja Orhodox menganggap
sisipan filioque itu bukanlah masalah remeh yang dapat dilupakan begitu saja. Karena salah
mengenai ajaran Roh Kudus dalam hubunganNya dengan Allah/Bapa dan FirmanNya/Putra
(Tritunggal Maha Kudus) akan menimbulkan kesalahan dalam mengerti keselamatan, sakramen,
karunia-karunia Roh Kudus, Gereja, Kristologi, dan lain-lain ajaran. Sebab semuanya itu
sumbernya dari pengertian yang benar mengenai Tritunggal Maha Kudus ini. Dikatakan
selanjutnya:”Dengan ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat telah menekankan bahwa hanya satu
saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus. Roh Kudus tidak menghasilkan
kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan membimbing manusia kepada
kebenaran yang bernama Yesus Kristus. Kotbah Petrus pada hari Pantakosta pertama adalah merupakan
contoh dan patokan. Isi pemberitaan itu kongkrit sekali yaitu Yesus Kristus yang telah disalibkan dan yang
bangkit pula:”Hai orang-orang Israel, dengarlah perkataan ini: Yang aku maksudkan, ialah
Yesus dari Nazaret, seorang yang telah ditentukan Allah dan yang dinyatakan
kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan tanda-tanda yang
dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah kamu seperti yang
kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan rencanaNya, telah kamu
salibkan dan telah kamu bunuh oleh tangan bangsa bangsa durhaka.Tetapi Allah
membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut, karena tidak mungkin
Ia tetap berada dalam kuasa maut itu.Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti,
bahwa Allah telah membuat Yesus, yang kamu salibkan itu, menjadi Tuhan dan
Kristus.” ( Kisah Para Rasul 2:22-24,36 ).Justru filioque itu menjadi pernyataan bagi kita, bahwa juga
pembicaraan kita tentang Roh Kudus harus bercorak Kristosentris. Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang
membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh Kristus.” Boland dan Niftrik
melanjutkan:”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah
antara manusia dengan Allah. Apakah hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari Allah Bapa yang
Khalik, maka nisbah manusia Allah terutama dipandang sebagai nisbah makhluk Khalik. Lagi pula
bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di dalam
kosmos atau alam Khalik. Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox (
Gereja Yunani Katolik ) yang tak pernah menerima filioque itu. Maka kehidupan Gereja ini ditentukan oleh
pemujaan ( Worship ) tetapi kegiatan Gereja keluar tidak dapat berkembang.”. Demikian pemahaman
Protestan, yang juga mendukung filioque itu, tentang Gereja Orthodox mengenai penolakan
sisipan filioque itu.. Untuk meluruskan masalah ini kita hanya perlu membandingkan dengan
posisi Orthodox diatas tadi akan hal ini. Dr. Boland dan Dr, Niftrik sama seperti seluruh
pemahaman Gereja Barat semuanya, mengacaukan filioque yang ditolak Gereja Orthodox dalam
kaitannya dengan hubungan yang ada di dalam Diri Allah sendiri sejak zaman azali nan abadi,
dengan karya Roh Kudus yang diturunkan kepada manusia dari Allah melalui Yesus Kristus itu.
Kedua penulis ini menuduh bahwa seolah-olah Roh Kudus itu tak terkait sama sekali dengan
Kristus. Dan “keluarNya” Roh Allah dari Sang Bapa ini, dianggapnya keluar secara liar tanpa
tujuan atau berdiam di dalam alam semesta ini secara mengambang ( berarti keluar ke alam dan
125
berakitan dengan makhluk, padahal yang dimaksud Iman Orthodox adalah hubungan dalam diri
Allah sendiri), dan bukan pula tak terkait dengan Sang Putra ( Kalimatullah).Padahal Iman
Orthodox yang benar mengajarkan bahwa meskipun Roh Kudus itu keluar dari Bapa saja dalam
ke-Esa-an Diri Allah itu, namun Ia juga bersemayam dalam Putra sejak zaman azali sampai kekal
abadi. Dan ini jelas dari bunyi Pengakuan Iman Nikea itu sendiri:”…..Roh Kudus yang keluar
dari Sang Bapa……yang bersama Sang Bapa dan Sang Putra disembah dan dimuliakan…..”
Jadi meskipun Roh Kudus itu keluarNya dari Bapa namun bukan tak terkait dengan Sang Putra,
karena Pengakuan Iman jelas mengatakan “yang bersama…..Sang Putra “ . Jadi tak pernah
penolakan akan “filioque” oleh Gereja Orthodox itu, membuat Iman Orthodox menganggap
Roh Kudus terpisah dari Sang Putra/Firman Allah, seperti yang dengan seriusnya disalah-fahami
oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik. Dan jika hubungannya dengan makhluk itu yang dimaksud
maka Roh Kudus itu diutus dari Bapa melalui Putra. Jadi tak ada ajaran Orthodox yang berbicara
tentang Roh Kudus tanpa terkait dengan Kristus itu. Kritik Iman Orthodox terhadap
pemahaman Dr. Boland dan Dr. Niftrik yang keliru itu adalah demikian: Memang perlu kita
memberikan kehormatan yang tinggi atas keinginan kedua penulis membela kebenaran Kristus
itu, dimana mereka ingin menegaskan bahwa tujuan penambahan filioque yang dibela oleh Dr.
Boland dan Dr. Niftrik itu adalah untuk memberi corak Kristologis dalam pengertian akan Roh
Kudus. Hal ini jelas dari apa yang dikatakannya:”…..ditambahkannya kata filioque maka Gereja Barat
telah menekankan bahwa hanya satu saja penyataan Allah yakni penyataanNya di dalam Yesus Kristus Roh
Kudus tidak menghasilkan kekacauan. Roh Kudus memberikan kebenaran yang sesungguhnya dan
membimbing manusia kepada kebenaran yang bernama Yesus Kristus…”. Namun karena Iman Orthodox
itu sangat Kristosentris sebagaimana yang sudah kita lihat sejauh ini, penambahan “filioque” itu
justru menjadikan penyimpangan terhadap Kristosentrisisme, yang dimaksud. Dengan
ditambahkannya “filioque” maka Anak itu bersama Bapa menjadi sejajar sebagai sumber, dengan
Roh Kudus yang keluar dari keduanya menjadi berada dibawah Bapa dan Anak. Dengan
demikian Roh Kudus berada dibawah Sang Putra. Karena Roh Kudus keluar dan berada
dibawah Sang Putra, maka Sang Putra tidak bersemayam dalam Roh Kudus, sehingga
pneumatologi terpisah dari Kristologi. Jadi tak bersifat Kristologis lagi. Inilah akibatnya
membuat yang sudah bersifat Kristologis ingin dijadikan lebih Kristologis melalui tambahan yang
tak diperlukan itu. Akibatnya pembicaraan theologis tentang Putra hanya akan bersifat spekulatif
intelektual – sampai memunculkan theologia liberal, yang menolak kebenaran kelahiran Kristus
dari Perawan, menolak Kebangkitan dan mukjizat-mukjizat Kristus, dan bahkan
mempertanyakan existensi Kristus itu sendiri dalam wacana theologia Jerman dan Eropa Barat -,
bukan pemahaman sekaligus pengalaman akan Kristus dalam panunggalan oleh akibat karya Roh
Kudus, sebagaimana yang dihayati dalam Gereja Orthodox. Itulah sebabnya sering dikatakan
oleh para theologiawan Gereja Barat bahwa Gerakan Kharismatik dan Gerakan Pantekosta
adalah hutang Gereja yang belum terbayar. Kata-kata yang mana tak akan mungkin keluar dari
mulut seorang theologiawan Gereja Timur. Ini diakibatkan karena selama ini theologia, atau
pemahaman tentang Kristus hanya bersifat logika, tak dibarengi dengan kuasa-kuasa dan
pengalaman energi Roh Kudus yang memanunggalkan manusia kepada Kristus. Pengalaman
mistika dalam Gereja Orthodox adalah pengalaman dalam Roh Kudus, yang menuntun manusia
hanya kepada satu kebanaran yaitu Kristus, karena untuk manunggal dengan Kristus itulah
tujuan hidup dalam Roh Kudus itu. Disinilah terjadinya kekeringan agamawi dalam Gereja Barat.
Reaksi terhadap hal ini adalah munculnya “Gerakan Kharismatik” dan “Pantekosta” yang
merupakan reaksi keras yang berbalikan arah, dimana Gerakan ini sering dicirikan sebagai
Gerakan anti-intelektual, anti-theologia, anti-keilmuan. Kata yang sering muncul dalam Gerakan
ini adalah :” Tidak perlu theologia yang penting adalah Roh Kudus”. Akibat dari sikap ini justru
apa yang dituduhkan oleh kedua penulis itu tentang Gereja Timur, yang malah tidak terjadi
126
disitu:” Roh Kudus bukanlah merupakan Roh yang membuat kita bersemangat tetapi Roh Kudus adalah Roh
Kristus.” Bukankah justru Gereja Orthodox yang menolak “filioque” itu yang menegaskan dalam
mengalami Roh Kudus sebagai “Roh Kristus” dan bukan “Roh yang membuat kita
bersemangat” yang justru itu ciri dari Gereja Barat dalam bentuk Gerakan Kharismatiknya?
Dalam bentuknya yang paling ekstrim Gerakan ini juga mempunyai ciri-ciri pantheisme dan
bahkan animisme,sehingga ketakutan lain dari kedua penulis itu justru menjadi kenyataan disitu
bukan dalam Gereja Orthodox: Lagi pula bahayanya ialah bahwa Roh kudus dianggap menjadi sesuatu
atau suatu kekuatan”..Disinilah bedanya dengan pendekatan Orthodox, karena Kristus dan Roh
Kudus itu terkait karena saling bersemayam, dan sama-sama memiliki hakekat keilahian yang satu
dan yang sama di dalam Allah yang Esa, maka menghayati Kristus itu selalu dalam pengalaman
Roh Kudus, dan menghayati Roh Kudus itu selalu dalam landasan Kristologis.Sehingga kritik
berikutnya ini sungguh jauh dari kenyataan ajaran maupun praktek Gereja Orthodox:” bahwa Roh
kudus dianggap menjadi sesuatu atau suatu kekuatan yang ada terdapat di dalam kosmos atau alam Khalik.
Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik di dalam Gereja Orthodox ( Gereja Yunani Katolik ) yang
tak pernah menerima filioque itu” Ini makin menunjukkan bahwa kedua penulis ini memang tidak
tahu Iman Orthodox. Tak pernah dalam Iman Kristen Orthodox “Roh Kudus” itu dianggap
sebagai “ sesuatu atau sesuatu kekuatan yang terdapat di dalam Kosmos”. Apalagi setiap hari
umat Orthodox tak pernah lupa mengucapkan Iman Nikea yang mengatakan bahwa “Aku
percaya pada Roh Kudus, Tuhan, Sang Pemberi Hidup”. Bagaimana yang “Tuhan” dan “Sang
Pemberi Hidup” itu dapat dianggap umat Orthodox sebagai sesuatu atau suatu kekuatan di
dalam kosmos? Bukankah justru ide ini yang ditentang dalam Konsili Ekumenis pada tahun 381
dalam Gereja Orthodox.Selanjutnya “Disitulah letaknya sumber bagi tumbuhnya Mistik dalam Gereja
Orthodox”, suatu salah faham yang amat serius memang. Mistika yang dimaksud dalam Gereja
Orthodox bukanlah karena Roh Kudus dianggap sesuatu atau suatu kekuatan dalam kosmos atau
alam khalikah, sebab tidak ada ajaran Iman Kristen Orthodox yang benar yang mengajarkan itu.
Dan tak pula theologia mistika Orthodox itu berasal dari ajaran tentang “Roh sebagai kekuatan
dalam Kosmos” yang betul-betul bersifat pantehistis dan pagan serta bertentangan dengan Iman
Kristen Orthodox ini. Theologia Mistika dalam Gereja Orthodox adalah Theologia persekutuan
atau panunggalan dengan Allah melalui Kristus di dalam Roh Kudus, yang dialami melalui
GerejaNya dalam Sakramen-Sakramen serta pemberitaan Sabda Allah. Jadi tidak ada theologia
pantheisme ataupun animisme dalam Gereja Orthodox. Jadi theologia mistika itu tak bersangkut
paut dengan penolakan “filioque” namun bersangkut erat dengan perumusan Kristologis tentang
manunggalnya dua kodrat dalam satu hypostasis Kristus. Jadi ini theologia yang bersifat
Kristosentris. Selanjutnya dikatakan:” :”Pembicaraan tentang Roh Kudus menentukan dan mencirikan
pembicaraan tentang nisbah antara manusia dengan Allah” Dr. Boland dan Dr.Niftrik tidak
membedakan akan hubungan Roh Kudus di zaman azali yang abadi di dalam diri Allah, dan
hubungan Roh Kudus sesudah ada dunia dengan manusia. “Filioque” disisipkan oleh Gereja
Barat bukan untuk menegaskan hubungan atau nisbah “antara manusia dengan Allah” ini namun
nisbah antara Roh Kudus dengan Allah dan FirmanNya, sebab itu disisipkan dalam usaha untuk
membendung pengaruh Arianisme yang menolak keilahian Kristus, dalam Gereja Barat. Supaya
Kristus itu sama ilahiNya dengan Sang Bapa, demikian kira-kira pemikiran orang-orang yang
menyisipkanitu itu, maka Ia harus pula menjadi sumber keluarNya Roh Kudus. Itulah asal
mulanya “filioque” itu disisipkan secara sepihak oleh Gereja Barat. Seandainya saja para penyisip
dari Gereja Barat di zaman purba dan kedua penulis Protestan modern itu memperhatikan anakkalimat berikutnya dalam Pengakuan Iman Nikea “…Roh Kudus…yang bersama Sang Bapa dan
Sang Putra disembah” itu, pastilah tak akan khilaf menuduh bahwa penolakan “filioque”
menjadikan seolah-olah Kristus tidak ilahi seperti yang diyakini Arianisme dan seolah-olah
menjadi pemahaman Roh Kudus yang tidak Kristosentris. Jadi pembicaraan tentang Roh Kudus
127
itu bukan hanya “menentukan dan mencirikan” hubungan manusia Allah tadi, namun juga
menentukan sifat ke-Esa-an Allah, dan hubungan yang ada antara Allah, FirmanNya dan
RohNya. Masalah “filioque” adalah masalah hubungan yang ada di dalam Diri Allah itu, bukan
nisbah antara Allah dan manusia, karena untuk menjelaskan hubungan antara Roh Kudus
dengan Allah dan FirmanNya/Sang Putra itulah sisipan itu dilakukan. .Salah faham selanjutnya
dinyatakan dengan jelas oleh Dr. Boland dan Dr. Niftrik diatas dalam kata-kata:“Pembicaraan
tentang Roh Suci menentukan dan mencirikan pembicaraan tentang nisbah manusia dan Allah. Apabila
hanya dikatakan bahwa Roh itu keluar dari Allah Bapa yang Khalik maka nisbah manusia - Allah terutama
dipandang sebagai nisbah makhluk-Khalik.” Pernyataan ini menunjukkan anggapan bahwa penolakan
sisipan filioque menyebabkan Gereja Orthodox mempercayai bahwa Roh Kudus itu keluar dari
Allah (Sang Bapa) liar tanpa ada sangkut pautnya dengan Sang Putra, karena tidak juga keluar dari
Sang Putra. Akibatnya Roh Kudus itu tidak menyatakan Sang Putra (Firman Allah) kepada
manusia tetapi menyatakan diriNya sendiri.Jika demikian hubungan manusia dengan Allah itu
bukan lagi seorang anak ketebusan Allah, namun sebagai makhluk biasa, karena Roh Suci tidak
menyatakan Sang Putra yang menjadi penebus yang menyebabkan manusia diangkat menjadi
anak Allah, demikian kritik itu berlanjut. Kesalahan kritik dan kekeliruan pendapat ini kiranya tak
perlu dibahas lagi, karena sudah jelas posisi Orthodox akan masalah ini. Dikatakan pula oleh
Niftrik dan Boland “Lagi pula bahwa bahayanya ialah bahwa Roh Kudus dianggap sebagai sesuatu
kekuatan yang terdapat di alam Kosmos atau Alam Khalik.” Memang jika keluarnya Roh Kudus dari
Sang Bapa itu secara liar, dan tanpa ada sangkut-pautnya dengan Sang Putra (Kalimatullah),
padahal tak ada ajaran Orthodox yang demikian, maka itu akan menjadi seolah-olah Roh Allah
terlepas bebas dari Sang Putra (Kalimatullah), Roh yang berdiri sendiri. Ini akan memunculkan
anggapan Roh Allah itu hanya sekedar kekuatan tanpa pribadi, seperti yang diajarkan sekte Saksi
Yehuwah, atau beberapa segmen tertentu dalam Gerakan Kharismatik yang mengidentikkan Roh
Kudus dengan salah satu “karuniaNya”, bahasa lidah misalnya, yang justru keduanya itu
termasuk dalam lingkup Gereja Barat, yang bukan ajaran Iman Orthodox. Karena Roh Kudus
itu hanya dikirim keluar dari Bapa untuk menyatakan Yesus Kristus kepada manusia Maka Roh
Suci tidak menyatakan diri pribadiNya, sehingga menekankan Roh Suci yang tak bersifat
Kristologis akan mengidentikkan Roh Suci dengan semangat-semangat atau ilham-ilham, serta
tanda-tanda heran tertentu. Akhirnya bermacam-macam ajaran dan macam kebenaran muncul,
yang ditandai dengan munculnya begitu banyak aliran pengajaran yang berbeda satu dengan
lainnya. Bukankah justru yang ditakutkan Dr. Boland dan Niftrik itu tak terjadi dalam Gereja
Orthodox yang menolak “filioque”
karena dimana-manapun ajaran Orthodox yang
Kristosentris itu satu dan sama meskipun memiliki macam-macam Yuridiksi atau wilayah
Hukum Gerejawi, malah terjadinya dalam Gereja Barat yang memaksakan “filioque” itu?.
Selanjutnya Dr. Boland dan Dr. Niftrik menyatakan lagi:”Kehidupan Gereja Orthodox ditentukan oleh
pemujaan atau worship tapi kegiatan keluar tidak dapat berkembang”. Memang Gereja Orthodox
terkenal dengan penyembahannya karena memang untuk itulah kita dipanggil oleh Allah, untuk
menyembah Dia. Penyembahan dalam Gereja Orthodox adalah sarana panunggalan dengan
Kristus dalam Roh Kudus, bukan karena akibat percaya pada “Roh sebagai sesuatu atau suatu
kekuatan dalam kosmos, atau alam Khalikah” seperti yang dipahami kedua penulis secara amat
keliru itu. Sedangkan tuduhan bahwa Gereja Orthodox itu “kegiatan keluar tidak dapat
berkembang,” ini hanya pendapat orang yang mengetahui sejarah Gereja Orthodox lebih
mendalam saja.. Jadi dalam pandangan Iman Kristen Orthodox penambahan “filioque” itu
sangat serius sekali karena mengubah makna ke-Esa-an Allah, sifat ke-Esa-an Allah, hubungan
Allah dengan Firman dan RohNya secara azali, juga makna keselamatan serta panunggalan
manusia dengan Allah itu. Filioque telah mengubah ajaran Injil menjadi ajaran filsafat Yunani,
dan menjadikan ajaran Injil menjadi sesuatu yang lain daripada apa yang diajarkan Kitab Suci
128
5.Kasus Ayat-Ayat Yang Menyatakan Yesus Lebih Rendah dari
Allah
Dari pembahasan kita diatas telah kita buktikan bahwa sebagai Firman Allah yang berada satu di
dalam diri Allah yang Esa dan memiliki dzat-hakekat ke-ilahi-an yang satu dan yang sama di
dalam diri Allah yang satu itu, maka dalam hakekat keilahianNya yang kekal Yesus Kristus adalah
“setara dengan Allah” sebagaimana yang dikatakan :”…Yesus Kristus, yang walaupun
DALAM RUPA ALLAH,tidak menganggap ke-SETARA-an DENGAN ALLAH itu
sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya
sendiri, dan MENGAMBIL RUPA SEORANG HAMBA…” ( Filipi 2:5-7). Ayat-ayat ini
menjelaskan bahwa Yesus Kristus adalah “setara dengan Allah”, yaitu dalam keberadaanNya
sebagai “rupa Allah” atau “Gambar Allah”, yaitu Firman Allah yang kekal. Namun dalam
keberadaan “mengosongkan diriNya” Ia telah “mengambil rupa seorang Hamba” berarti Ia
adalah Hamba Allah. Sebagai “Hamba Allah” tentunya Ia tidak setara dengan Allah, lebih rendah
dari Allah, dan adalah makhluk ciptaan Allah.Karena itulah dalam Kitab Suci disamping terdapat
ayat-ayat yang menunjukkan ke-setara-an Yesus Kristus dengan Allah, dan berada satu di dalam
diri Allah itu, terdapat juga ayat-ayat yang menunjukkan bahwa Ia sama sekali berbeda dari Allah,
lebih rendah dari Allah dan adalah makhluk Allah. Para penulis Muslim biasanya menggunakan
ayat-ayat jenis kedua ini untuk membuktikan bahwa Yesus Kristus hanya sekedar Rasul dan
manusia biasa saja, dalam polemiknya menentang keyakinan Kristen akan ke-ilahi-an Yesus
Kristus itu.. Sedangkan kaum “Saksi Yehuwah” juga menggunakan ayat-ayat yang sama untuk
membuktikan bahwa Yersus Kristus meskipun telah ada sebelum dunia dijadikan namun Ia
hanya sekedar makhluk pertama yang diciptakan Allah untuk membantu Allah Yehuwah dalam
menciptakan makhluk-makhluk yang lain.
Ayat-ayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
“…Engkau (Bapa) satu-satunya Allah yang benar, dan…Yesus Kristus yang telah
Engkau utus….Oleh sebab itu ya Bapa, permuliakanlah Aku pada-Mu sendiri dengan
kemuliaan yang Ku-miliki di hadiratMu sebelum dunia ada” (Yohanes 17:3,5)
Baik pengikut Saksi Yehuwah maupun polemikus Islam, sering mengutip Yohanes 17:3 untuk
membuktikan bahwa Yesus itu tak lebih dari seorang utsuan (Rasul) dari Allah yang Esa. Bagi
pengikut Saksi Yehuwah Ia hanyalah penjelmaan Ciptaan Pertama yang sudah ada sebelum dunia
dijadikan, bagi kaum Muslimin, ini bukti bahwa Yesus adalah manusia biasa yang diutus Allah,
tak lebih dari itu. Tanpa menyangkal bahwa Yesuws memang Utusan Allah dan bahkan “Rasul
..yang kita akui” ( Ibrani 3:1), kita harus melihat ayat ini dengan kaitannya dengan Yohanes 17:5
sebagai konteksnya. Dalam Yohanes 17:5, Yesus mengatakan bahwa Ia telah memiliki kemuliaan
di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan. Pengakuan Yesus dalam doanya itu telah
menggugurkan tafsiran bahwa Yesus hanya sekedar manusia biasa tak lebih dari itu. Sebab
manusia biasa tak mungkin sudah ada sebelum dunia dijadikan. Namun itu belum menjawab
sanggahan Saksi Yehuwah, sebab mereka juga percaya bahwa Yesus memang sudah ada sebelum
dunia dijadikan, sebagai makhluk pertama yang membantu Allah dalam menciptakan. Faham ini
tersanggah oleh Yesaya 44:24 yang mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tanpa
pendamping ketika menciptakan dunia. Juga faham ini tersanggah oleh ajaran “Tauhid
Rububiyah” yaitu bahwa Allah sendirian saja dalam memiliki kuasa dan menciptakan dunia.
Kalau dewmikian dimana Yesus sebelum dunia dijadikan itu dalam “hadirat” Allah itu? Yohanes
129
8:42, menegaskan “….Aku KELUAR….dari Allah…” Yesus menyatakan diri “keluar dari
Allah”, berarti sebelumnya Ia berada dalam diri Allah. Tentu saja keberadaanNya di dalam Diri
Allah (“hadirat”) Allah, itu bukan wujud jasadNya yang keluar dari rahim Maryam itu, namun
dalam keberadaan “ruh/ghoib” sebelum menjadi manusia. Jika Ia nberada di dalam diri Allah,
berarti Ia itu satu dalam dzat-hakekat Allah. Sebagai apa Yesus dalam keberadaan non-manusiawi
itu berada dalam diri Allah? Sebagai hypostasis yang melaluiNya Allah menciptakan dunia ini (
Ibrani 1:2-3). Padahal Allah menciptakan dunia ini melalui “Firman” ( Yohanes 1:1-3, Kejadian
1, Mazmur 33:6), berarti Ia berada dalam diri Allah sebagai “Firman Allah” yang melekat dan
berada satu di dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu. Dalam arti ini Firman memang menjadi
“asal-usul dari segenap ciptaan Allah” atau sebagai “awal-mula dari ciptaan Allah” atau sebagai
“permulaan (mula-asalnya) dari ciptaan Allah” m( Wahyu 3:12). Jadi Yesus bukan “permualan
dari ciptaan Allah” sebagai “ciptaan Allah yang pertama sekali” seperti yang ditafsirkan kaum
Saksi Yehuwah,, namun sebagai “permulaan asal dari segenap ciptaan Allah”, sumber asalnya
darimana ciptaan Allah itu dijadikan oleh Allah.
Dengan demikian ke-Esa-an Allah tak
terlanggar, seperti yang dilakukan oleh Saksi-Saksi Yehuwah, dan ke-ilahi-an Yesus dan
kesatuanNya dalam dzat-hakekat Allah sebagai “Kalimatullah” tidak disangkal, seperti yang
dilakukan baik oleh Islam maupun oleh Saksi-Saksi Yehuwah. Dan karena “Firman itu telah
menjadi manusia” (Yoh. 1:124), maka Ia telah hadir ke dunia, dan turun dari sorga (Yohanes
6:38), Dan turunNya dari sorga serta menjelma menjadi manusia ini adalah kehendak Allah,
berarti Yesus memang diutus Allah untuk turun dari sorga ke bumi sebagai “Firman yang
menjadi manusia”. Jadi memang Yesus adalah “Utusan Allah” atau “Firman yang diutus ke bumi
oleh Allah”. Dengan demikian tidak ada kontradiksi antara ke-ilahi-an Yesus sebagai Firman
yang menjelma, dengan keberadaanNya sebagai “utusan” itu. Makna utusan disini bukan hanya
sekedar Rasul yang diangkat Allah untuk menyebarkan firman Allah saja, namun Ia adalah
memang Firman itu yuang diutus turun ke bumi, tanpa meninggalkan kesatuanNya dengan Allah.
“Bapa-Ku , yang memberikan mereka kepada-Ku, lebih besar dari siapapun (berarti
termasuk Yesus Kristus sendiri)….Aku dan Bapa adalah satu…..Engkau, sekalipun hanya
seorang manusia saja, menyamakan diriMu dengan Allah” ( Yohanes 10:30-31)
“…Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku” (Yohanes 14:28)
Kedua ayat diatas menegaskan bahwa “Bapa” (“Allah”), lebih besar dari Yesus. Dengan
demikian Yesus tidak sama dengan Allah, maka Yesus adalah sekedar makhluk saja: entahkah itu
makhluk pertama yang membantu Allah mencipta dunia seperti ajaran Saksi Yehuwah, ataukah
hanya sekedar manusia biasa yang diangkat menjadi rasul seperti yang ditekankan oleh Islam.
Pernyataan Yesus ini tidak boleh dikutip secara terpisah dari konteksnya. Dalam Yohanes 10:29
ketika Yesus menyatakan bahwa “Bapa lebih besar dari siapapun” termasuk diriNya itu,:
ditegaskan lagi bahwa “Aku dan Bapa adalah satu”, yang reaksi orang Yahudi langsung jelas
mengerti bahwa Yesus “menyamakan diri dengan Allah”.
Jikalau dalam konteksnya Yesus jelas dimengerti sebagai menyamakan diri dengan Allah, karena
pernytaaNya akan satuNya dengan Allah itu, mengapa Ia mengatakan bahwa Bapa lebih besar
dari diriNya? Jawabanya ada dua :1) dari titik pandang kekal, dimana hypostasis Bapa memang
menjadi sumber dari asal FirmanNya sendiri. Artinya “Firman Allah” itu
dikeluarkan/diperanakkan dari Allah, dan Firman itu ada karena Allah itu ada. Dalam arti inilah
Allah dapat dikatakan sebagai Kepala Kristus, karena Allah adalah sumber dan asal-usul dari
130
keberadaan FirmanNya sendiri: “…Kepala dari tiap-tiap laki-laki ialah Kristus, kepala dari
perempuan adalah laki-laki dan Kepala dari Kristus ialah Allah” ( I Korintus 11:3). Sebagai
hypostasis yang daripadaNya Firman itu berasal sejak kekal abadi, dengan demikian Allah adalah
Kepala dari Firman ini, maka dalam makna ini saja dapat dikatakan Bapa lebih besar dari Anak.
Namun dalam dzat-hakekat keilahian, tidak ada yang lebih besar atau lebih kecil antara Allah dan
FirmanNya, antara Bapa dan Anak..Sebab Firman Allah berada dalam dzat-hakekat Allah yang
satu dan yang sama, - serta tak ada duanya -, yang berada di dalam diri Allah yang Esa itu. Maka
Bapa tidak lebih Allah dari-pada Firman. “Kepenuhan Allah” yang ada pada Bapa itu
sepenuhnya bersemayam dalam Anak (Kolose 1:19- 2:9), karena Anak berada satu dalam diri
Bapa. Jadi tidak ada “Allah kedua”, tidak pula ada “Allah Yehuwah” dan “allah” Ciptaan
Pertama, atau “seorang allah” sebagai Ciptaan yang dijadikan lebih dahulu, seperti ajaran saksi
Yehuwah. Ajaran Saksi Yehuwah ini adalah ajaran berhala, dan politheisme (musyrik) pada
dasarnya. 2) dari titik pandang Inkarnasi (“Firman itu telah menjadi manusia”’). Sebagai yang
telah mengambil “Rupa Hamba”, Yesus jelas lebih rendah dari Allah, jadi Allah memang lebih
besar dari Yesus, dari titik pandang karya Inkarnasi ini. Dengan demikian dalam arti ini Allah
memang AllahNya Yesus:“Kata Yesus kepadanya:’…..Aku akan pergi kepada Bapa-Ku
dan Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu “ ( Yohanes 20:17, Wahyu 3:12). Dan dalam arti sebagai
Hamba Allah ini Ia dapat mengatakan :”“Tetapi tentang hari atau saat itu tidak seorangpun
tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anakpun tidak, hanya Bapa saja” ( Markus
`13: 32). Meskipun ini tak berarti bahwa dalam ke-ilahi-anNya sebagai Firman Allah yang kekal
Ia tak tahu kapan datangnya kiamat. Sebab jikalau Ia mengetahui tanda-tanda akan datangtNya
kiamat, dan tanda-tanda akan kedatanganNya yang kedua kali, sertra apa yang akan terjadi
menjelang kliamat dan kedatanganNya yang begitu rinci dan mendalam itu, apakah sulitnya Ia
untuk mengetahui kapan datangnya Hari itu ( Matius 24). Perkataan diatas hanya diucapkan
untuk memuliakan Sang Bapa, karena untuk tujuan itu Ia datang ke dalam dunia. Dan karena
Inkarnasi Kristus akan bersifat kekal, maka dari siri kodrat kemanusianNya ini maka di Hari
Kiamat nanti:”…..Anak akan menaklukkan diri-Nya dibawah Dia, yang telah
menaklukkan segala sesuatu dibawahNya, supaya Allah menjadi semua di dalam
semua” ( I Kor. 15:29). Dan semua ayat manapun dalam seluruh Alkitab yang menunjukkan
seolah-olah Yesus itu berbeda dan lebih rendah dari Allah, harus dilihat dari dua titik pandang
ini. Entahkah dalam titik pandang kekal, sebagai “hypostasis Firman yang diperanakkan oleh
Bapa” dimana Allah itu menjadi sumber dan asal-usulNya. Ataukah dari tiik pandang Inkarnasi,
dimana sebagai yang teklah mengambil “Rupa Hamba” Ia memang makhluk Allah dan tidak
sama serta lebih rendah dari Allah. Namun dalam keberadaanNya sebagai “Firman Allah”: (
Yohanes 1:1), “Gambar Allah” ( Kolose 1:15, Ibrani 1:3). “Rupa Allah” ( Filipi 2:5-6), “Anak
Allah yang tunggal” ( Yohanes 1:18), Ia itu “setara dengan Allah”, artimnya melekat satu di
dalam diri Allah, yang memiliki dzat0hakekat keilahian yang identik satui dan sama di dalam diri
Allah itu. Jadi semua mukjizat-mukjizat Yesus itu bukan enyebab” Ia dianggap dan diper-ilah
sebagai Allah oleh orang Kristen, namun justru sebaliknya, mukjizat-mukjizat itu bukti ke-ilahianNya. Para polemikus Mulsim sering mempermaslahkan bahwa jika Adam lahir tanpa BapakIbu padahal Yesus hanya lahir tanpa Ibu saja mengapa Adam tidak dianggap Tuhan? Jika Musa
bebuat mukjizat dan Yesus juga berbuat mukjizat mengapa Musa tidak dianggap Tuhan? Jika
Elia naik ke siorga dan Yesus juga naik ke siorga mengapa Elia tidak dianggap Tuhan? Dan
pertanyaan lain yang senada dengan itu,. Jawabannya: 1) Jika masalah mukijzat yang dijadikan
acuan: tak satupun dari Nabi-Nabi yang disebutkan tadi dapat melakukan mukjizat seperti Yesus:
Adam lahir tanpa bapak-ibu, namun Ia tak berbuat mukjizat,. Musa dan Elia berbuat mukjizat,
namun mereka tidak bangkit dari anatara orang mati, dan tidak dilahirkan tanpa bapak-ibu,
masing-masing ini hanya melakukan mukjizat-mukjizat sebagain saja, sedangkan tak satupun
131
yang dapat mengalahkan mukjizat Yesus. Lahirnya secara mukjizat, pelayanannya seluruhnya
bersifat mukjizat, dalam kematianNya Ia bangkit secara mukjizat, dan naik ke sorgaNya diberi
segala kuasa di sorga dan diatas bumi . Tak seorang Nabipun yang memiliki syarat-syata mukjizat
seperti ini. Ini disebabkan karena para Nabi itu memang bukan Tuhan Karena umat Kristen
mengakui Yesus sebagai Tuhan bukan disebabkan oleh “mukjizat-mukjizat “ itu. Mukjizatmukjizat Yesus adalah bukti keberadaan kekalNya sebagai “Firman Allah” jadi bukan –
“penyebab” Ia diangkat menjadi Tuhan..2). Dari pengakuan-pengakuan Yesus sendiri. Ia
megakui sudah ada sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5,24, 8: 56-58), Ia menyatakan sudah
berada di hadirat Allah sebelum dunia dijadikan ( Yohanes 17:5), Ia menyatakan “keluar dari
Allah” ( Yohanes 8:42), Ia menyatakan diri telah turun dari sorga ( Yohanes 6:38), Ia menyatakan
diri bukan berasal dari dunia ini ( Yohanes 17: 15) dan masih banyak lagi. Tak seorang Nabipun
yang mengaku demikian ini. Dan pengakuan-pengakuan tadi dibuktikan oleh mukjizat-mukjizat
tadi, yang berpuncak pada mukjizat kebangkitanNya dari antara orang mati. Tak ada seorangpun
bangkit dari maut dan hidup terus, apalagi bangkit dari kekuatan kuasaNya sendiri seperti yang
dilakukan Yesus (Yohanes 10:17-18).. Peristiwa-peristiwa orang yang dihidupkan dari kematian
baik oleh Nabi Elia, Elisa, maupun oleh Yesus Kristus itu hanya bersifat sementara, dan akhirnya
orang itu mati lagi, jadi sama sekali tak dapat disamakan dengan kebangkitan Yesus Kristus. Juga
kasus Elia (II Raja 1:9-12) dan Henokh (Kejadian 5: 24, Ibrani 11: 5) yang diangkat ke sorga tak
dapat disamakan dengan kasus kenaikan Kristus ke sorga. Karena mereka tidak bangkit dari
kematian, namun hanya sekedar diangkat ke sorga, untuk nantinya turun lagi ke bumi agar
mengalami kematian di tangan Anti-Kristus ( Maleakhi 4:5-6, Wahyu 11: 3-12), lalu dibangkitkan
oleh kuasa Allah, naik ke sorga. Jadi prosesnya sama dengan manusia lain yang akan dibangkitkan
diakhir jaman nanti, namun berbeda dengan kenaikan Yesus ke sorga yang diangkat dalam
kemuliaan, diberikan segala kuasa baik di sorga maupun di bumi, serta yang duduk di sebelah
kanan Allah. Semua “kelemahan-kelemahan” Yesus: sebagai bayi kecil yang lemah, merasa lapar,
merasa haus, bersedih, takut, berteriak “Eli,Eli Lama Sabakhtani” ketuika disalibkan, mengalami
kematian, dan segenap ciri-ciri kemanusiaan yang lain, adalah bukti bahwa Yesus benar-benar
manusia sejati. Jika Ia tidak memiliki itu semua Ia justrui bukan manusia, dan ini bertentangan
dengan ajaran Alkitab bahwa Firman itu “TELAH MENJADI MANUSIA” (Yohanes), dan
bahwa :”…DALAM SEGALA HAL IA HARUS DISAMAKAN DENGAN SAUDARASAUDARANYA (:Manusia)…” ( Ibrani 2:17). Data-data “kelemahan-kelemahan” Yesus secara
manusia itu adalah bukti kebenaran Alkitab yang menytakan bahwa dalam segala hal Yesus sama
dengan manusia. Dan sering data-data kemanusiaan ini yang digunakan oleh para polemikus
Islam untuk menyangkal ke-ilahi-an Yesus. Kita juga akan menyangkal ke-ilahi-an Yesus dari
data kemanusiaan itu, karena iman kita mengatakan yang manusia dalam Yesus itu tak berbaur
dengan yang ilahi. Yang Ilahi adalah inti pribadi terdalam dari manusia Yesus yang adalah
“Firman Allah” ( yang meskipun sedang nuzul sebagai manusia, pada saat yang bersamaan tetap
hadir satu di dalam dzat-hakekat Allah), dan itulah yang kita sembah, bukan makhluk
manusiaNya. Kita tak menyembah makhluk namun menyembah Allah dalam FirmanNya..
Dalam jubah “daging kemanusiaanNya” itu pandangan iman orang Kristen tidak berhenti hanya
disitu saja, namun dapat menembus jauh ke dalam, yaitu melihat Firman yang menjadi inti
pribadi Yesus sebagai Firman Allah. KemanusiaanNya adalah jubah ke-ilahi-anNya dalam
nuzulNya atau turunNya serta penampakanNya kepada manusia. Kita tidak menyembah
jubahNya, namun inti pribadi yang ada di dalam jubah itu, yaitu “Firman Allah”, namun karena
jubah itu tak dapat dilepaskan dari Sang Pemakai Jubah, maka penyembahan kita harus melalui
dan melewati jubah itu untuk sampai kepada Sang Pemakai Jubah itu, yaitu Firman Allah sendiri,
karena Ia berada dalam jubah itu, dan tak dipisah dari Jubah itu, karena Jubah itu berwujud suatu
kemanusiaan yang hidup dan berakal-pikiran secara sempurna... Itulah sebabnya mukjizat132
mukjizat Yesus memang tak dapat disamakan dengan mukjizat siapapun dari antara para Nabi,
maka jelas tak mungkin seorang Kristen dapat mengakui siapapun diantara para Nabi sebagai
Tuhan dikarenakan mukjizat-mukjizat mereka, karena mereka memang bukan Allah. Sedangkan
Yesus menyatakan diri sebagai Tuhan ( Yohanes 13:13), karena Ia memang adalah Firman Allah
yang adalah “Allah” (Yohanes 1:1)
II. Aqidah Tentang Malaikat, Iblis dan Manusia.
1. Allah Sebagai Pencipta Segala Sesuatu.
Sumber Ciptaan Sifat Kasih dan Kehendak Allah
.
Setelah kita bahas diatas mengenai keberadaan Allah yang Esa itu, selanjutnya Pengakuan Iman
Nikea menjelaskan bahwa Allah yang Esa itu adalah “Pencipta Langit dan Bumi”, dan dari
jenis ciptaan yang diciptakan baik di “Langit” maupun di “Bumi” terdapat dua macam jenis
133
makhluk yaitu “Yang Kelihatan”, dan “Yang Tak Kelihatan”. Untuk itu marilah kita bahas
beberapa masalah sekitar terjadinya ciptaan dan alam-semesta ini.
Telah kita bahas bahwa di dalam kekekalan azali dalam diri Allah, terdapat suatu gerakan
kasih dan kebahagiaan abadi di dalam kedalaman essensi / dzat-hakekat Allah yang satu itu.
Karena Allah mengasihi diriNya dalam FirmanNya oleh RohNya, dalam DiriNya sendiri yang
tunggal itu. Dengan demikian Allah itu berdiri sendiri, mampu mengasihi, dapat dikasihi, mampu
menyatakan kemuliaanNya, dan melihat penyatan kemuliaanNya itu melalui FirmanNya di dalam
RohNya dalam dzat-hakekat diriNya yang Esa itu. Sehingga terdapat hubungan kekal dalam Allah
itu, karena itu di dalam Allah itu terdapat FirmanNya yang saling-pandang secara kekal dengan
Bapa di dalam RohNya. Di dalam kasih yang kekal-azali inilah Allah merencanakan untuk
menciptakan makhlukNya dengan manusia sebagai puncaknya. Hal ini terjadi akibat gerak kasih
Bapa kepada Putra secara kekal itu. Sifat kasih adalah ingin membagikan kasih tadi kepada
seseorang diluar dirinya. Padahal kasih kekal Allah terhadap FirmanNya itu terjadiNya bukan
diluar diri Allah, namun dalam dzat-hakekat Allah yang Esa itu sendiri. Itulah sebabnya sejak
kekal agar ada sesuatu diluar Allah yang kepadanya kasih itu dapat dicurahkan, ciptaan itu sudah
ada dalam rencana Allah dalam bentuk kemungkinan yang belum direalisasikan. Karena dimana
ada kasih disitu ada gerak untuk memberikan sesuatu diluar dari diri yang mengasihi itu. Karena
dalam kekekalan azali itu tidak ada lain diluar diri Allah, maka Allah merancangkan adanya
sesuatu diluar diriNya. Dan sesuatu diluar diriNya yang dirancang secara kekal itulah nantinya
akan menjadi ciptaan. Dengan demikian penciptaan manusia itu juga akibat dari “kehendak
Allah” yang timbul dari kasihNya itu. Sebagaimana yang dikatakan:” Dalam KASIH Ia telah
menentukan kita dari semula…” ( Efesus 1:5) Sehingga tujuan Allah menciptakan manusia,
adalah agar manusia ikut serta ambil bagian di dalam kebahagiaan dan kasih yang kekal yang ada
dalam Allah ini,supaya manusia dapat juga mengambil bagian di dalam sifat-sifat Allah, yaitu “
…supaya kita kudus dan tak bercacat dihadapanNya” (Efesus 1:4) sehingga kita menjadi
seperti Allah yaitu:”…menjadi anak-anakNya…” ( Efesus 1:5). Karena manusialah yang
menjadi sasaran puncak dari diciptakannya alam –semesta ini, maka tujuan diadakannya alamsemesta adalah untuk keperluan manusia tadi
Rencana kekal untuk menciptakan itu akhirnya direalisasikan semata-mata oleh kehendak
Allah yang bebas meredeka tanpa didorong oleh kebutuhan ataupun keharusan baik dari luar
maupun dari dalam diri Allah sendiri. Allah melakukan segala sesuatu dalam mencipta ini hanya
berdasarkan “kerelaan kehendakNya” berlandaskan pola rancangan yang sudah ditetapkan.
Kitab Suci mengatakan mengenai hal ini demikian:” …Engkau telah menciptakan segala
sesuatu; dan oleh karena KEHENDAKMU semuanya itu ada dan diciptakan"”( Wahyu
4:11). Kehendak Allah dalam mencipta yang kekal yang semata-mata sesuai dengan rencana Allah
itulah, yang oleh Kitab Suci disebut sebagai “rencana kerelaanNya” yaitu “rencana kerelaan
yang dari semula telah ditetapkanNya” ( Efesus 1:9). Dengan demikian Allah menciptakan
dan kemudian menebus ciptaan itu, bukanlah dipaksa oleh suatu keharusan atau kebutuhan,
karena Allah tidak memiliki keharusan atau kebutuhan yang memaksaNya, semuanya adalah
karena Ia memiliki kerelaan dalam merencanakan. Sehingga berdasarkan dan sesuai dengan apa
yang jadi rencana yang dari semua telah ditetapkan itulah Ia mencipta, sebagaimanna yang
dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”….Allah, yang dalam segala sesuatu bekerja menurut
keputusan kehendakNya” (Efesus 1:11). Dan “keputusan kehendak” ini dilakukan “sesuai
dengan rencana kerelaanNya” ( Efesus 1:9). Demikianlah maka rencana kerelaan Allah untuk
menciptakan makhluk (-dan kemudian menebusnya-) itu terjadi karena “gerak kasih” kekal yang
ada di dalam diri Allah. Dan “gerak kasih” kekal ini mengakibatkan “rencana kerelaan” Allah, dan
“rencana kerelaan” itu dilaksanakan segala karya dan kerja Allah menurut “keputusan
kehendakNya”. Dengan demikian kehendak Allah itulah yang menyebabkan terjadinya dan
134
adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Karena semuanya terjadi oleh kehendak Allah akibat
dari kasihNya tadi, maka jelas alam semesta itu berbeda dari Allah sendiri. Ia tak memiliki kodrat
yang se-esensi dengan Allah. Ia tidak kekal dalam realitanya dengan Allah, alam-semesta ada
secara kekal dalam “rancangan “ Allah hanya dalam wujud angan-angan, potensi dan
kemungkinan dan bukan realita yang memiliki substansi atau kenyataan. Oleh karena itu alamsemesta itu tidak sama kekalnya dengan Allah. Ia baru ada setelah kehendak Allah diputuskan
untuk merealisasikan apa yang telah dirancang sebagai kemungkinan dan potensi itu. Jadi alam
semesta tidak dijadikan dari bahan kekal yang sudah ada. Namun tanpa bahan serta tiba-tiba
dimunculkan Allah setelah “keputusan kehendak “ Allah itu mulai bekerja. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Kitab Suci, demikian:”…alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah,
sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat dilihat” ( Ibrani 11: 3).
Terjadinya “apa yang kita lihat” ini yaitu alam-semesta dengan aneka-ragam bentuk dan namanya
ini, bukanlah dari bahan kekal yang sudah ada, namun “dari apa yang tidak dapat dilihat.”
“Apa yang tidak dapat dilihat” itu adalah rencana kekal dan kehendak Allah yang menjadikan,
yang secara kekal berada di dalam diri Allah itu. Berarti alam-semesta itu bukan bagian dari diri
Allah, tidak sehakekat dengan Allah, serta tidak memiliki sifat ilahi. Alam-semesta itu tak bersifat
kekal, namun baru, dan ini terjadi semata-mata karena kehendak dan kerelaan Allah, bukan karena
adanya paksaan kebutuhan maupun keharusan di dalam diri Allah. Inilah yang disebut sebagai
“creatio ex-nihilo” (“penciptaan dari ketiadaan”). Dengan demikian alam-semesta itu bukan
menjadi sasaran pemujaan, namun sebagai sarana untuk merenungkan kebesaran karya Allah,
serta manifestasi dari keluhuran, keagungan dan kemuliaanNya.
“Logoi” dari Ciptaan
Dengan demikian alam-ciptaan ini bukan hanya sekedar suatu realita materi yang tak memiliki
makna rohani sama sekali. Karena Alkitab mengajarkan demikian:’ Langit menceritakan
kemuliaan Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tanganNya “ ( Mazmur 19 :1).
Dan juga :” Sebab apa yang tidak nampak daripadaNya, yaitu kekuatan-Nya yang kekal
dan keilahianNya, dapat nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia
diciptakan…” ( Roma 1:20), serta :” Kudus, kudus, kuduslah, TUHAN semesta alam,,
seluruh bumi bumi penuh kemuliaanNya.” ( Yesaya 6:3) . Menurut ayat-ayat ini alam-semesta
hasil ciptaan Allah itu ternyata tidak ditimnggalkan dalam keadaan “alami-murni”, tanpa
kaitanNya dengan Penciptanya, setelah awal diciptakannya. Dalam alam-semesta “kemuliaan
Allah”, “pekerjaan tanganNya”, “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” diceritakan ,
diberitakan oleh alam-semesta, karena itu hadir dalam ciptaan itu serta memenuhi alam-semesta
tersebut. Kehadiran “kemuliaan Allah”, “pekerjaan tanganNya,” serta “kekuatanNya yang kekal
dan keilahianNya” yang memenuhi cakrawala, langit dan bumi ini, disebabkan bumi ini tidak
ditinggalkan tanpa campur tangan Allah dalam perjalanan sejarahnya. Karena Kristus. sebagai
Firman Allah yang menjelma itu mengatakan:” Bapa-Ku bekerja sampai sekarang, maka
Akupun bekerja juga” ( Yohanes 5:17). Ini berarti bahwa setelah Allah selesai menciptakan
pada awalnya, Ia terus memelihara ciptaanNya itu sampai kini. Sehingga dalam alam-semesta ini
terdapat pemeliharan dan penyelenggaraan Ilahi.Sehingga alam-semesta ini dapat maujud terus
karena ditopang oleh kuasa Firman Allah, melalui hypostasis dari SabdaNya sendiri, sebagaimana
yang dikatakan oleh Almasih diatas. Hal ini diteguhkan oleh ayat yang lain, demikian :”…Oleh
Dia (Anak Allah, Firman Allah) Allah telah menjadikan alam-semesta. Ia (Anak Allah, SabdaFirman Allah) adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan MENOPANG
135
SEGALA YANG ADA DENGAN FIRMANNYA YANG PENUH KEKUASAAN…”
(Ibrani 1:2-3). Dengan demikian tetap lestarinya alam-semesta sesudah ciptaan awalnya, adalah
karena ditopang oleh Allah, melalui firman yang penuh kekuasaan dari hypostasis SabdaNya
sendiri Oleh karena itulah alam-semesta itu itu tetap tegak berdiri dan ada karena :”…di dalam
Dialah (Anak Allah, Firman Allah) telah diciptakan segala sesuatu….Ia (Firman Allah) ada
terlebih dahulu dan segala sesuatu ada di dalam Dia (“ en autoo synesthiken” = tegak
bersama dalam Dia)” ( Kolose 1:17). Ayat ini menjelaskan bahwa Firman Allah (Yesus Kristus)
itu menjadi penopang dan poros dari berdiri tegaknya alam-semesta ini. Sehingga jika tanpa
topangan dari kuasa Allah melalui FirmanNya ini alam-semesta sudah pasti hancur lebur. Padahal
kita tahu bahwa cara Allah berkarya melalui FirmanNya di dalam dunia ini adalah melalui
“EnergiNya”. Dan sudah kita bahas bahwa Energi Ilahi itulah yang disebut sebagai “kemuliaan
Allah”. Untuk lebih jelasnya, baiklah kita ulang kembali hubungan anatara “kemuliaan Allah” dan
“Energi Allah ini”. Kita telah berbicara bahwa Yesus Kristus telah dibangkitkan oleh “kemuliaan
Bapa” (Roma 6:4). Dan bahwa “kemuliaan Bapa” itu adalah “Energi Allah” sebagaimana telah
kita bahas sebelumnya, dikatakan demikian oleh Alkitab:
“…dan betapa hebat kuasaNya (tees dynameoos autou) bagi kita yang percaya, sesuai
dengan kekuatan kuasaNya ( kata teen energheian tou kratos tees iskhyos autou = menurut
energi dari kuasa kekuatanNya), yang dikerjakanNya ( heen eneergheesen = yang dienergikan)
di dalam Kristus dengan membangkitkan Dia dari antara orang mati…” ( Efesus 1:19-20).
Menurut ayat ini kuasa yang bekerja di dalam kita, adalah kuasa yang sama yang pernah bekerja
dalam membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati. Dan kuasa itu bekerja “menurut
energi dari kuasa kekuatanNya”. Berarti “Energi Ilahi” lah yang bekerja dalam “meng-energi-kan”
Kebangkitan Yesus Kristus, dan Energi Ilahi yang sama ini yang sekarang bekerja di dalam kita.
Berarti kita mengalami Allah melalui “Energi Ilahi” ini oleh karya Roh Kudus, di dalam Nama
Yesus Kristus. Karena yang membangkitkan Yesus Kristus itu adalah “Kemuliaan Bapa” , namun
juga “Menurut Energi” Allah, berarti “Kemuliaan Bapa” itu tak lain adalah “Energi Allah”
sendiri. Disamping “kemuliaan Bapa” atau “Energi Ilahi” tak tercipta ini dapat melakukan
perbuatan-perbuatan mukjizat, energi ilahi ini juga menampakkan diri dalam nama aslinya sebagai
“kemuliaan” yaitu “cahaya yang bersinar” sebagaimana yang dikatakan :” …Yesus berubah
rupa…wajahNya bercahaya seperti matahari dan pakaianNya menjadi putih bersinar
seperti terang…” ( Matius 17:2 ) “….Yesus berubah rupa di depan mata mereka, dan
pakaiannya sangat putih berkilat-kilat…” ( Markus 9:2-3) “ Ketika Ia sedang berdoa, rupa
wajahNya berubah dan pakaianNya menjadi putih berkilau-kilauan…” ( Lukas 9:29). Dan
pengalaman perubah-rupaan Yesus ini dinyatakan oleh Petrus yang melihatnya sendiri sebagai
“kehormatan dan kemuliaan dari Allah” ( II Petrus 1: 17-18), yang akan nampak juga nanti
pada waktu kedatanganNya ( II Petrus 1: 16). Padahal kedatangan itu adalah kedatangan dalam
“kemuliaan” ( Kolose 3:4), yang tak lain adalah berwujud cahaya atau api yang menyala-nyala ( II
Tes. 1: 7). Berarti cahaya seperti matahari, yang putih bersinar seperti terang berkilat-kilat dan
berkilau-kilauan itu tak lain adalah wujud penampakan dari kemuliaan Allah sendiri yang tak lain
adalah penampakan dari “Terang Tak Tercipta” atau ‘Energi Ilahi. Dari sini jelaslah bahwa
“kemuliaan Allah”. “pekerjaan tanganNya”. “kekuatanNya yang kekal dan keilahianNya” yang
nampak pada ciptaanNya, serta yang memenuhi langit, cakrawala dan bumi itu, tak lain adalah
“Energi Ilahi” ini. Dengan demikian dalam alam-semesta ini dihadiri dan dibanjiri oleh “energi
ilahi” itu. Energi Ilahi yang hadir dalam alam-semesta inilah yang nanti akan mengubah alam
semesta itu menjadi langit baru dan bumi baru ( II Pet. 3:13), setelah alam-semesta itu “
…dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemerdekaan
136
KEMULIAAN ANAK-ANAK ALLAH” ( Roma 8:21) Karena “energi ilahi” itu hadir dalam
alam-semesta, maka alam-semesta it jelas memiliki makna rohani yang hanya manusia yang telah
mengalami pembaharuan budi dapat melihat hadirat energi ilahi dalam benda-benda tercipta ini.
Masing-,masing benda ciptaan itu dihadiri oleh “energi ilahi” sesuai dengan tujuan masing-masing
diciptakan Allah. Kehadiran energi ilahi sesuai dengan tujuan masing-masing dalam alam-ciptaan
inilah yang dalam theologia Orthodox disebut sebagai “logos” (reason: alasan, tujuan) atau
“logoi” dari masing-masing ciptaan itu.Itulah sebabnya Iman Orthodox memiliki sikap hormat
mendalam terhadap alam-ciptaan, dan menentang segala exploitasi terhadap alam-semesta secara
tak bertanggung-jawab. Sebab alam-semesta ini mempunyai tujuan penciptaan yang mulia, yaitu
kemuliaan eskhatologis, sebagai akibat karya Sang Kristus di bumi ini. Mereka akan mendapat
bagian dalam kemuliaan manusia di akhir zaman nanti. Namun pada saat yang bersamaan Iman
Orthodox menolak penyembahan terhadap alam, serta menolak pantehisme, karena yang hadir
dalam alam it bukanlah essensi ilahi, namun hanyalah energi ilahi. Berarti hadirat ilahi dalam alamsemesta itu bukan secara esensi, yang berarti hakekat alam-semesta itu tetap berbeda dari hakekat
Allah, karena meskipn Allah berada dimana-mana dalam alam-semesta ini, beradanya adalah
berada dalam energi. Mengidentikkan alam-semesta sebagai bersifat ilahi secara hakiki, adalah
mengkacaukan Pencipta dengan CiptaanNya. Inilah kemusyrikan dan esensi dari penyembahan
berhala. Demikianlah orang-orang yang hatinya sudah diterangi akan dapat melihat hadirat Allah
dimana-mana dalam alam- semesta ini tanpa jatuh pada menganggap alam-semesta itu sendiri
sebagai Allah atau benda yang diper-ilah.
.
Pola Rencana Ciptaan Allah sebagai Hikmat Allah
Karena ciptaan ini terjadi akibat “gerak kasih” kekal dalam diri Allah, yang dimungkinkan
terjadi karena adanya interaksi dari hypostasis-hypostasis di dalam diri Allah Yang Esa ini. Dan
itu hanya mungkin karena Allah Yang Esa itu adalah memiliki sifat Tritunggal dalam diriNya
Yang Esa itu. “Gerak kasih” di dalam Allah inilah yang mengakibatkan “rencana kerelaan”
Allah, dan sesuai dengan “rencana kerelaan” Allah itulah dilaksanakan segala karya dan kerja
Allah menurut “keputusan kehendakNya”. Dengan demikian kehendak Allah itulah yang
menyebabkan terjadinya dan adanya segala sesuatu dalam alam ciptaan ini. Oleh karena itu
rancangan kekal Allah itu bersifat kekal, dan terkait erat dengan “Firman Allah”, karena akibat
kasihNya kepada “FirmanNya” sendiri itulah menyebabkan adanya “rancangan” atau “pola
rencana” bagi segenap ciptaan itu. Dan “sesuai dengan” rencana itulah segenap alam semesta
diciptakan.
Menurut Ayub 28:25-27, “Ketika Ia (Allah) menetapkan kekuatan angin, dan mengatur
banyaknya air…membuat ketetapan bagi hujan, dan jalan bagi kilat guruh” yaitu ketika
Allah memutuskan untuk merealisasikan terwujudnya ciptaan dengan unsur-unsurnya yang telah
ditetapkan: “kekuatan angin”, “banyaknya air”, “ketetapan bagi hujan” serta “jalan bagi kilat
guruh”, “ketika itulah Ia (Allah) MELIHAT HIKMAT “. Maka “Hikmat” yang dilihat Allah
itu tak lain adalah “pola rencana” atau “cetak biru” yang sesuai dengannya alam-semesta ini
diciptakan. Dan hal ini pula yang dikatakan dalam Amsal 8: 27-30 :” Ketika Ia (Allah)
mempersiapkan langit, aku (“hikmat”) di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada
permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan awan-awan di atas, dan mata air
samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada laut, supaya
air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku
(“hikmat”) ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi
kesenanganNya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya…” Ayat-ayat ini
menjelaskan bahwa ketika Allah merealisasikan terjadinya alam semesta, “hikmat” Allah ada
beserta Allah sebagai “anak kesayangan”, sebagai “kesenangan” Allah, serta “senantiasa bermain137
main di hadapan “Allah. Makna ayat-ayat ini harus dimengerti dalam terang Ayub 28: 25-27
diatas, karena keduanya membicarakan hal yang sama, yaitu hubungan Allah dengan hikmatNya
dalam penciptaan. Menurut Ayub 28: 27 Allah “melihat Hikmat” waktu menciptakan, artinya
“hikmat” itu cetak biru yang sesuai dengannya dunia diciptakan. Itulah sebabnya apapun yang
diciptakan Allah itu pasti sesuai dengan apa yang telah terkandung dalam hikmat itu. Sehingga
hikmat itu digambarkan sebagai “anak kesayangan” atau “kesenangan “Allah, karena dalam
menciptakan Allah terus-menerus “melihat” yaitu merealisasikan secara konsisten ciptaan yang
sedang dikerjakanNya itu sesuai dengan pola rancangan atau “hikmat” tadi, seolah-olah
“berkonsultasi” dengan hikmatNya sendiri. Dan sebagaimana seorang arsitek selalu melihat pada
cetak-biru dari rancangan bangunan yang telah dibuatnya, sehingga cetak-biru itu selalu ada
bersama si arsitek itu serta ada di hadapannya, demikianlah hikmat Allah atau “pola rancangan”
Allah itu selalu ada serta Allah, dan dihadapanNya “untuk bermain-main” artinya “hikmat” Allah
itu tidak ikut berkarya bersama Allah. Ia hanya “bermain-main” saja di hadapan Allah, artinya Ia
hadir dalam sukacita Allah, yaitu sukacita dalam mencipta tadi, sebagai “pola” dimana Allah
sedang berkarya untuk menciptakan itu. Dengan demikian ayat ini tidak berbicara tentang
“Firman” sebagai “ciptaan Allah pertama” (sebab “Firman Allah” dan “Hikmat Allah” itu
berbeda) yang membantu Allah dalam menciptakan makhluk yang lain. “Hikmat” itu tidak ikut
mencipta, dan tidak ikut berkarya pada saat Allah menciptakan alam-semesta itu. Jadi jelas keliru
sekali ajaran “Arius” di zaman purba, dan ajaran “Saksi Yehuwah” dizaman modern yang
mengatakan bahwa Firman Allah adalah makhluk pertama yang diciptakan Allah sebelum ada
alam-semesta, dan dengan dibantu makhluk pertama ini Allah menjadikan ciptaan-ciptaan lainnya,
berdasarkan Amsal 28 ini. Sebab hikmat Allah itu berbeda dari Firman Allah, dan hikmat Allah
dalam Amsal 28:30 ini tidak ikut berkarya dalam penciptaan itu, hikmat hanya hadir dan bermainmain saja. Lagipula Alkitab mengatakan bahwa Allah itu mencipta dunia seorang diri saja, tanpa
dibantu oleh makhluk siapapun, sebagaimana yang dikatakan:”…Akulah. TUHAN, yang
menjadikan segala sesuatu, yang seorang diri membentangkan langit , yang
menghamparkan bumi – SIAPAKAH YANG MENDAMPINGI AKU?…” ( Yesaya 44:24).
Jadi yang dimaksud Amsal 8:22-23, itu bukanlah bahwa Firman Allah (Yesus Kristus) itu ciptaan
pertama dan dibantu ciptaan pertama ini Allah menciptakan alam-semesta, ajaran demiikian ini
bertentangan dengan ke-Esa-an Allah, karena ini tidak sesuai dengan Tauhid Rububiyah. Lagipula
untuk alasan apa Allah dalam menciptakan makhluk yang lain perlu bantuan Makhluk pertama ini.
Bukankah Ia berkuasa untuk menjadikan semuanya itu hanya dengan sekedar mengucapkan
FirmanNya saja.Jika betul “Firman Allah” yang disebut “Anak Allah” itu diciptakan, dengan
Firman yang mana lagi Allah menciptakan FirmanNya ini, karena Alkitab mengajar bahwa Allah
menciptalan segala sesuatu selalu melalui Firman Nya yang hanya satu. Jika demikian adakah
Allah memiliki dua Firman, yang satu yak diciptakan dan yang satunya lagi diciptakan oleh Firman
yang tak diciptakan ini? Alangkah kacaunya ajaran semacam ini. .Ajaran Arius dan Saksi Yehuwah
adalah ajaran musyrik, yang bertentangan dengan Tauhid. Karena pertama mensifatkan Allah
berbagi kuasa dengan makhlukNya untuk menciptakan semesta, yang Yesaya 44:24 diatas
mengatakan bahwa Allah hanya seorang diri dan tak didampingi siapapun ketika mencipta alamsemesta. Kedua sementara mengajarkan bahwa Anak Allah itu hanya makhluk namun mereka tak
dapat menghindar sebutan “Allah” ( Yohaneas 1:1) bagi Yesus, meskipun dimengerti sebagai
“allah” atau “seorang allah”. Dengan demikian mereka mempercayai adanya dua “allah” (“ilah”):
yang satu “Allah” yaitu :Yehuwah, dan yang satu “allah” yaitu Firman Allah, yang dimengerti
sebagai “Juru Bicara Allah”, bukan dalam arti Akal-Budi Ilahi, yang sejak kekal berada di dalam
diri Allah.Untuk mengerti makna dari Amsal 8:22-23 itu secara benar, sebaiknya kita kutip saja,
demikian:
138
” TUHAN telah menciptakan aku, sebagai permulaan pekerjaanNya, sebagai
perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah pada zaman purbakala aku
dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada”
Dalam ayat-ayat diatas terdapat kata-kata “permulaan pekerjaanNya” dan “sebagai
perbuatanNya yang pertama-tama”. Tanpa melihat konteks pasal dalam mana ayat-ayat ini
terletak, kaum Saksi Yesuwah langsung menggabungkan ayat ini dengan Wahyu 3:14, dimana
disana Yesus Kristus disebut sebagai :”permulaan dari ciptaan Allah” yang secara tepat
maknanya diterjemahkan oleh Alkitab Dalam Bahasa Indonesia Sehari-hari sebagai “sumber
segala sesuatu yang diciptakan Allah”, karena Yesus Kristus adalah Firman Allah yang
“olehNya Allah menjadikan alam-semesta” (Yohanes 1:1-3, Ibrani 1:2-3). Dari hasil
penggabungan dari kedua ayat yang saling tidak terkait inilah maka kaum Saksi Yehuwah
menyimpulkan bahwa Yesus Kristus adalah “permulaan pekerjaanNya” dalam arti ”perbuatanNya
yang pertama-tama dahulu kala”, “dibentuk, pada mula pertama sebelum bumi ada”, yaitu
makhluk pertama sebelum adanya alam-semesta.
Untuk menentukan benar atau kelirunya tafsiran kaum Saksi Yehuwan mengenai ayat-ayat
diatas itu marilah kita melihat seluruh konteks dari Amsal 8, agar dapat memastikan apakah
memang itu Yesus Kristus yang dimaksud oleh pasal dimaksud:.
Amsal 8:1 mengatakan :”Bukankah hikmat berseru-seru, dan kepandaian
memperdengarkan suaranya” Pembukaan Amsal 8 ini menjelaskan bahwa “hikmat” itu yang
berseru-seru, dan “kepandaian” itu yang memperdengarkan suaranya. Berarti “hikmat “
disamakan dengan “kepandaian”. Jadi pokok pembahasan dari Amsal 8 ini bukan mengenai
Yesus Kristus, namun mengenai “personikasi” hikmat atau kepandaian. Di dalam Amsal 8:12,
hikmat yang disebut juga kepandaian itu dipersonifikasikan sebagai berkata demikian:” Aku,
hikmat, tinggal bersama-sama dengan kecerdasan, dan aku mendapat pengetahuan dan
kebijaksanaan” Jika hikmat yang dimaksud disini adalah Yesus Kristus, lalu siapakah
“KECERDASAN” yang bersama-sama dengannya itu Hikmat tersebut tinggal?. Dan siapa pula
“Pengetahuan” dan “Kecerdasan” yang di dapat oleh hikmat yang tinggal bersama-sama dengan
“Kebijaksanaan” itu? Selanjutnya Amsal 9:1 mengatakan “ Hikmat telah mendirikan
rumahnya, menegakkan ketujuh tiangnya”. Apakah rumah dari hikmat yang ditegakkan itu?
Dimana pula tempatnya? Kapan pula itu dilakukan? Lalu apa maknanya ketujuh tiang dari rumah
hikmat itu? Semua pertanyaan ini harus dijawab lebih dahulu sebelum menentukan bahwa yang
dimaksud dengan hikmat dalam Amsal 8 ini adalah Yesus Kristus. Dan jika Hikat disini yang
dimaksud lamngsung Yesus Kristus, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas memang tidak
ada. Karena memang ini tidak berbicara tentang Yesus Kristus. Lalu apa yang dibicarakan disini?
Marilah kita lihat lebih dekat lagi.
Jika kita lihat apa adanya mengenai dikaitkannya hikmat itu dengan kepandaian, kecerdasan,
pengetahuan dan kebijaksanaan, jelaslah ini tak menunjuk kepada pribadi makhluk siapapun,
apalagi menunjuk Yesus Kristus. Sebab dalam seluruh pasal dari Amsal 8 ini sama sekali tidak
yang mengindikasikan ataupun yang merujuk ke arah Yesus Kristus. Ini hanya hanya menunjuk
oerangkat-perangkat akal-budi batiniah seseorang, sebaba hikmat itu disebut kepandaian, yang
keduanya itu adalah fungsi dari akal. Dan hikmat yang disebut kepandaian itu tinggal bersamasama dengan kkecerdasan inipun merupakan fungsi dari akal juga. Yang didapat oleh hikmat atau
kepandaian yang tinggal bersama dengan kecerdasan itu adalah pengetahuan dan kebijaksanaan,
inipun adalah fungsi dan kemampuan dan pikiran manusia. Jadi jelaslah yang dibicarakan oleh
Amsal 8 ini bukanlah mengenai makhluk siaipapun namun mengenai fungsi dan kemampuan
akal-budi dan pikiran dengan segala fungsi dan perangkatnya: hikmat, kepandaian, kecerdasan,
pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam gambaranb puitis yang dipersonifikasikan hikmat fungsi
139
dari hikmat itu dijelaskan. Namun hikmat sipakah yang dimaksud dalam personifikasi ini? Dari
pernyataan Amsal 8:23 kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud disini adalah “Hikmat
Allah” sendiri, karena Ia dibentuk Allah “ sebelum bumi ada”, berarti sebelum ada manusia dan
makhluk lain. Yang memiliki hikmat, kepandaian, kecerdasan, pengetahuan, dan kebijaksanaan
sebelum adanya makhluk itu jelas hanya Allah saja. Berarti hikmat yang dipersonifikasikan disini
adalah hikmat ilahi sebagai fungsi perangkat pikir yang terpantul dari akal-budi Allah sendiri.
Karena “Hikmat Allah” adalah “Pola Rencana” Allah, atau “Cetak-Biru” bagi terjadinya alamsemesta, maka jelas sebelum alam semesta ini ada “Cetak Biru” atau “Pola Rancangan” yaitu
“Hikmat” itu harus diadakan atau menggunakan bahasa Amasal 8 ini “diciptakan” terlebih
dahulu, sebagaimana yang dikatakan :”TUHAN telah menciptakan aku (“Hikmat”) sebagai
permulaan pekerjaanNya” (Amsal 8:22), dan yang dimaksud pekerjaanNya disini adalah
pekerjaan penciptaan sebagaimana yang diterangkan dalam Amsal 8: 24-31. Hikmat adalah
“permulaan pekerjaan “Allah, sebab sebelum pekerjaan penciptaan dilakukan maka Pola
Rancangan itu yang menjadi permulaan yang harus dikerjakan Allah terlebih dahulu, yaitu
“sebagai perbuatanNya yang pertama-tama dahulu kala”. Karena kita tidak tahu kapan waktunya
dunia ini diciptakan, maka jelaslah pembentukan Pola Rancangan Ciptaan atau “Hikmat “ itupun
jauh lebih tak diketahui, sebagaimana yang dikatakan :” Sudah pada zaman purbakala aku
(“Hikmat”) dibentuk” ( Amasal 8:23) . Karena “Pola Rancang” suatu hal yang akan dibentuk itu
harus mendahului dibentuknya hal yang dibentuk itu, dalam hal ini adalah ciptaan , maka
dikatakan:”….pada mula pertama, sebelum bumi ada.Sebelum air samudera raya ada, aku
(“Hikmat”) telah lahir ( yaitu:”lahir” dalam akal-budi dan angan-angan ilahi yang berwujud
rencana dan pola rancangan itu)….” ( Amsal 8:23b- 24a).Demikianlah jelas bahwa Hikmat itu
bukan Logos atau Yesus Kristus itu sendiri, namun pola rancangan Allah yang nanti akan
direalisasikan melalui “ Logos” atau Firman Allah sendiri. Karena semua ciptaan itu terjadi
berlandaskan Pola Rancangan yang sudah terlebih dahulu ada, maka itulah sebabnya Mazmur 104
24 “ Betapa banyak perbuatanMu, ya TUHAN, sekaliannya Kaujadikan dengan
kebijaksanaan (“wisdom,hokmah =hikmat”: sekaliannya Kaujadikan sesuai dengan
Hikmat/Pola Rancangan), bumi penuh dengan ciptaanMu.”
Cara Allah Menciptakan Alam-Semesta
Alkitab mengajarkan bahwa Allah yang Esa menciptakan segala sesuatu melalui Firman
dan di dalam RohNya. Dengan demikian alam-semesta ini tak akan ada jika Allah tidak
menjadikan. Segala sesuatu ini ada karena diadakan atau diciptakan oleh Allah. Dan ciptaan ini
dibagi dalam dua bagian yaitu; “Segala sesuatu yang kelihatan” yaitu ciptaan yang bersifat jasmani
serta alam-wadhag: bumi dan segala planet, serta dunia non organik maupun organik termasuk
pohon-pohonan, binatang dan manusia; dan “yang tak kelihatan” yaitu dunia roh termasuk para
malaikat dan roh-roh jahat. Pengakuan Iman ini tidak memberikan rincian bagaimana keberadaan
dunia roh itu, karena ini hanya berupa ringkasan saja yang tujuannya untuk memfokuskan pada
Kristus.
2. Alam Malaikat
Karena makhluk roh (Malaikat dan Iblis) diciptakan sama di dalam sifat. Jadi dalam
membicarakan Iblis atau malaikat, kita melihat bahwa sifat mereka sama kecuali bahwa malaikat
masih hidup dalam terang, Iblis telah hidup dalam kegelapan. Oleh karena itu, kalau
140
membicarakan sifat-sifat malaikat, kadang-kadangayatnya diambil bersamaan dengan ayat-ayat
yang membicarakan Iblis.
Malaikat adalah makhluk yang tak kelihatan. Karena mereka itu makhluk, berarti mereka
bukan dewa, bukan pula anak Allah, artinya keturunan Allah. Mereka adalah hamba-hamba Allah,
seperti makhluk yang lain (Wahyu 19:10). Oleh karena itu mereka tidak boleh disembah. (Wahyu
19:20; Kolose 2:18). Mereka ada di sorga. (Kolose 1:20-21). Tentang penciptaannya, Alkitab tak
begitu jelas memberikan catatan, namun dalam Ayub menyebutkan tentang anak-anak Allah yang
disebut juga bintang-bintang bersorak-sorak pada waktu Allah menciptakan dunia. (Ayub 38:7).
Anak-anak Allah yangdisebut bintang-bintang ini adalah para malaikat. Jadi menurut Ayub 38:7,
malaikat sudah ada pada waktu Allah menciptakan dunia ini. Hal ini menunjukkan bahwa
malaikat diciptakan sebelum adanya dunia ini.
Malaikat itu diciptakan dari cahaya kemuliaan Allah sendiri, sehingga dapat dikatakan
bahwa malaikat itu adalah makhluk roh yang bercahaya (Ibrani 1:4; II Korintus 11:14). Jadi wujud
sebenarnya malaikat itu tidak bisa dimengerti sebagai makhluk roh atau makhluk cahaya. Di
dalam Alkitab ada penampakan-penampakan malaikat saja tetapi bukan wujud yang sebenarnya.
Umpamanya menampakkan diri bersayap enam (Yesaya 6:2), Bersayap empat ( Yehezkiel 1:6),
menampakan diri sebagai orangmuda (Markus 16:5), menampakkan diri dengan baju putih (Kisah
Rasul 1:10) dan bentuk yangmenakutkan (Wahyu 10:1-2) dan lain-lain. Itu semua bukan bentuk
yang asli, itu hanya penampakannya. Kita harus tahu wujud malaikat itu nanti, kalau sudah akhir
zaman.
Karena malaikat itu roh, maka malaikat tidak berbadan jasmani. Mereka bukan laki-laki
bukan pula perempuan. Kita tidak tahu bagaimana keadaan roh itu(Lukas 20:34-36). Karena
mereka itu bukan laki-laki dan bukan perempuan berarti mereka itu tidak beranak-pinak, tidak
kawin-mengawin. Oleh karena itu pada waktu Allah menciptakan malaikat, jumlahnya sudah
tetap, tidak dapat dihitung jumlahnya ( Daniel 7:10). Jadi malaikat itu tidak kurang dan tidak
tambah. Sejak diciptakan sudah itu keadaan mereka. Dalam keadaan yang terjatuh, manusia
memang lebih rendah dari malaikat, tetapi sebenarnya manusia itu keberadaannya lebih tinggi dari
malaikat (Ibrani 2:6-7).
Tujuan malaikat diciptakan adalah untuk melayani Allah dan untuk melayani manusia
yang diselamatkan (Wahyu 19:10; Ibrani 1:4). Karena malaikat itu tidak mempunyai tubuh jasmani
dan kerjanya hanya untuk memandang Allah (Matius 18:10, artinya merdoa kepada Allah dan
bersekutu denganNya), malaikat itu mempunyai kecerdasan (hikmat) yang melebihi manusia
(Yehezkiel 28:3). Meskipun malaikat itu mempunyai pengetahuan yang melebihi manusia, namun
mereka bukan Mahatahu. Buktinya mereka tidah tahu mengenai akhir zaman (Matius 24:36).
Malaikat itu sangat kuat melebihi manusia (II Petrus 2:11) tetapi bukan Mahakuasa. Malaikat tak
dapat mejalankan kuasanya tanpa izin Allah (Ayub 1:12; 2:6). Malaikat dapat hadir dimana-mana
dalam waktu yang sangat cepat, tetapi bukan Mahahadir seperti Allah. (Ayub 2:1-2).
Malaikat itu digolong-golongkan dalam beberapa jenis golongan, seperti dalam Kejadian
3:24 (Kerubim), Serafim (Yehezkiel 10:1), Yesaya 6:2; Efesus 1:21;Kolose 1:16; Roma 8:38;
Efesus 3:10; I Tesalonika 4:16; Yudas 9; I Petrus 3:22. Ternyata kalau dibaca ayat ayat diatas ada 9
Jenis malaikat. Nama nama malaikat yang diketahui dalam Alkitab ialah : Gabriel (Daniel 8:16;
9:21; Lukas 1:19), Mikael (Daniel 10:13; Yudas 9; Wahyu 12:7-8). Pekerjaan Gabriel adalah
menyampaikan kehendak Allah. Pekerjaan Mikael adalah membela umat Allah untuk melawan
Iblis (Daniel 10:13). Meskipun dalam Alkitab tidak disebut nama-nama lain tentang malaikat
kecuali nama dua ini, namun di dalam Tradisi Suci (KitabAnasginoskomena 10 Kitab dari
Septuaginta yang tak ada dalam kanon Ibrani), kita mengenal malaikat yang bernama Uriel (Tobid
3:17; 12:15), Apokripa II Ezra 4:36. Kita melihat malaikat Yermiel, Solatiel, Malaikat Palatiel, ada
141
yang disebut Yahudiel, Barakhel, itu nama-nama yang diajarkan oleh tradisi mengenai malaikat
tersebut, tetapi itu tidak terlalu penting hanya untuk pengetahuan saja.
Karena malaikat ini diciptakan untuk melayani Allah, yang melayani bagi pemeliharaan
dunia ini diberi tugas masing-masingmasing. Umpamanya (Wahyu 16:5), malaikat yang menguasai
api (Wahyu 14:18). Daniel 10:12 ada malaikat yang menjaga sejarah bangsa-bangsa. Maat 18:10
ada malaikat pelindung anak-anak. Kisah Rasul 12:15 ada maaikat Petrus(Malaikat pelindung
manusia biasa). Lukas 16:12 ada malaikat yang mengantar jiwa waktu kematiannya. Lukas 15:10,
malaikat itu bersukaria atas orangyang bertobat. Inilah beberapa hal yang diterangkan dalam
Alkitab mengenai pekerjaan malaikat itu. Jadi karena malaikat itu ditugaskan untuk melayani
orang percaya, jadi kalau ada orang yang bertobat tentu saja malaikat akan bersuka ria. Walaupun
Malaikat itu tidak termasuk bangsa manusia , namun mereka sama-sama menyembah Yesus
(Efesus 1:20-21; I Petrus 3:22). Dengan demikian malaikat itu menjadi sahabat orang percaya,
yaitu menjadi anggota Gereja (Efesus 1:10). Hal ini menunjukkan bahwa dunia yang diatas yaitu
dunia para malaikat dan dunia yang ada di bawah yaitu dunia manusia dalam Gereja itu sudah
dipersatukan menjadi satu. Oleh karena itu dalam Ibrani 12:22-23, kita melihat bahwa Gereja
yaitu orang percaya yang datang dalam Gereja itu, datang kedalam kumpulan beribu-ribu para
malaikat yang menunjukkan bahwa malaikatpun adalah anggota Gereja yang mendoakan
orangpercaya dan juga melindunginya. Dengan demikian malaikat dapat menolong manusia,
terutama orang percaya. Umpamanya Kisah Rasul 5:17-21 malaikat menolong para rasul yang
lain. I Raja-raja 19:1-7, malaikat memberi Elia makan. Matius 2:13-15, malaikat menampakkan diri
kepada Yusuf untuk mengingatkan Yusuf untuk pergi ke Mesir.
Tetapi meskipun dikatakan bahwa malaikat itu adalah anggota Gereja, karena malaikat itu
tidak ernah jatuh dalam dosa, dan menjadi anggota Gereja bukan melalui karya penebusantetapi
melalui ketaatan dan pengakuan mereka akan Ketuhanan atau Kepenguasaan Yesus yang duduk
disebelah kanan Allah (Efesus 1:20-21; I Petrus 3:22), maka malaikat itu tidakmengerti arti
penebusan. Mereka ingin tahu tetapi mereka tidak bisa mengerti karena mereka tidak mengalami
dosa. Jadi mereka tidakmengalami penebusan itu. (I Petrus 1:10-12). Dengan demikian Gereja lah
yang memberitahu kepada mereka tentang hikmah Allah di dalam penebuan itu (Efesus 3:10).
Pada akhir zaman nanti, kalau manusia telah mengalami realita penebusan yang sempurna,
maka manusia itu ternyata lebih tinggi daripada malaikat. Nanti manusia itu sendirilah yang akan
mengadili malaikat (I Korintus 6:3). Tugas malaikat pada akhir zaman nanti, kalau Tuhan Yesus
mau datang yaitu sebelum kedatangan Yesus , malaikat itu akan meniiup Nafiri (sangkakala) dan
mnegumpulkan orang-orangorang milik Kristus dari segala penjuru dunia (Matius 24:31; I
Tesalonika 4:16). Karena kalau Kristus datang, malaikat itu akan datangmengiring Yesus turun ke
dunia. Kristus melaksanakan pengadilanNya (II Tesalonika 1:7; Yudas 14).
Itulah hal yang mengenai malaikat, yang ditekankan ialah bahwa kita yang hidup di dunia
ini tidak sendirian , Allah selalu memberikan malaikat untuk menjaga dan melindungi orang-orang
yang percaya.
3. Alam Iblis dan Roh-Roh Jahat
Allah adalah sumber kebaikan ( Yakobus 1:17). Ia bukan pencipta kejahatan, Dengan
demiian Allah tidak menciptakan Iblis. Kejahatan timbul karena makhluk Allah menyahgunakan
kehendak bebasnya untuk tidak taat kepada Allah . inilah yang terjadi dengan Iblis dan pengikutpengikutnya. Terselubung dalam nubut mengenai Babel (Yesaya 14; Yehezkiel 27 dan 28), adalah
mengisahkan tentang pemberontakan malaikat yang jatuh.
142
Kalau kita lihat dalam Kejadian 3 ternyata kejadian kejatuhan malaikat ini jauh sebelum
diciptakannya dunia dan manusia. Jadi setelah ada manusia, Iblis sudah menyamar sebagai Ular
kepada untuk membujuk Adam dan Hawa. Kalau tadi dikatakan dalam Yesaya 14 dan Yehezkiel
28 adalah merupakan kisah terselubungmengenai kejatuhan malaikat, dikarenakan di dalam
Daniel 10:13; Iblis disebut sebagai penghulu kerajaan Persia, maka Babel dan Tirus adalah
menunjuk kepada sang penghlu yang tidak nampak itu.
Sifat-sifat malaikat yang jatuh ini, pertama dalan Yesaya 14:12, Malaikat yang jatuh itu
disebut Bintang Timur atau Putra Fajar yang dalam bahasa Latin disebut “Luciferus” atau
“Lucifer”. Lucifer artinya “Pengemban Terang”, jadi sama dengan Putra Fajar; yang
menunjukkan keindahan dan kemuliaan tentang gemerlapnya malaikat ini dengan terangnya yang
luar biasa. Keindahannya yang luar biasa ini dicatat oleh Alkitab ( Yehezkiel 27:3-4), Ia disebut
juga “Gambar dari kesempurnaan”, maha indah dan penuh hikmat (Yehezkiel 28:3,11).
Keindahannya dilambangkan dengan gemerlapnya dengan batu-batu permata yang dipakainya
(Yehezkiel 28:13-14) pada waktu masih di sorga atau taman Eden.
Taman eden ini bukanlah tempat dimana Adam dan Hawa tinggal , karena dalam
Yehezkiel 28:14, Lucifer dikatakan bertempat bersama dengan kerup yang berada di gunung udus
Allah artinya ditempat ketinggian kesucian Allah, dan yang berjalan-jalan ditengah batu yang
bercahaya. Keadaan yang demikian itu tidak ada dimana Adam dan Hawa tinggal. Oleh
gemerlapan cahaya kemuliaannya itulah dia disebut Lucifer. Malaikat ini diciptakan bukan hanya
sangat baik tetapi sudah sempurna. Karena Luciferdan para pengikutnya itu dulunya adalah
malaikat yang diciptakan sempurna, maka karena dia telah jatuh dari kesempurnaannya yang telah
dicapainya itu, maka sudah tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bertobat, tak ada
penebusan bagi mereka. Meskipun mereka tetap percaya akan adanya satu Allah, dan mereka
takut akan hal ini , namun mereka sudah tidak dapat berbalik kepada Allah ( Yakobus 2:19).
Lucifer adalah penghulu para kerup ( Yehezkiel 28:14) Ketika diciptakan Lucifer itu tanpa
cela, murni dankudus seperti malaikat-malaikat lainnya (Yehezkiel 28:15). Karena keindahannya
yang luar biasa, serta duduknya sebagai penghulu kerup itu, Lucifer lupa diri dan ingin menjadi
Allah. ( Yesaya 14:13; Yehezkiel 28:1,6-9). Karena itu dihukum dan dibuang oleh Allah dalam
kegelapan (Yehezkiel 28:16-17; Yesaya 14:15), sehingga sifat terangnya pun lenyapdan terantai
oleh sifat kekelaman kekal (Yudas 6; I Petrus 2:4). Dalam pemberontakannya itu, sepertiga
bintang dilangit (sepertiga jumlah Malaikat) disorga terseret oleh hasutannya (Wahyu 12:14). Kita
tidak tahu jumlah sebenarnya dari sepertiga jumlah malaikat yag asli itu. Inilah para malaikat itu
yang jatuh yang disebut dalam II Petrus 2:4.
Oleh Perlawanan Mikael, Lucifer dan pengikut-pengikutnya dibuang dari Sorga ke bumi
(Wahyu 12:7-10), yang dimaksud dengan bumi disini yaitu tempat yang bersifat tak Sorgawi yang
ada diatas (Efesus 6:12; 2:2), yang disebut juga Tartarus (II Petrus 2:4) atau dunia orang mati
(Yesaya 14:15) karena dialah yang menjadi penguasa maut dan sumber maut (Ibrani 2:14-15;
Yohanes 8:44). Di angkasa itulah dia mendirikan kerajaan kegelapan, dan dia sendiri sebagai Rajaraja kegelapan (Efesus 6:12; 2:2) atau disebut juga penghulu dunia yang gelap ini (Yohanes 16:11),
dan bahkan mengangkat diri sebagai Allah zaman ini (II Korintus 4:4).Jatuhnya Lucifer seperti
inilah yang dikatakan Tuhan Yesus dalam Lukas 10:11. Dalam kerajaan angkasa itu Licifer
mengatur tata pemerintakannya seperti di sorga dengan tata pangkat dan derajat masingmasingmasing roh kegelapan tadi (Efesus 6:12; Yudas 8; II Petrus 2:10-11), menunjukkan kuasa
malaikat gelap ini tak pernah hilang daripada mereka meskipun mereka sudah menjadi gelap
sifatnya. Itulah sebabnya dia dapat memberikan kekayaan bagi orang yang menyembahnya (Lukas
4:6-7), kesaktian, kuasa dan pengaruh (Wahyu 13:2; II Tesalonika 2:9) melalui segala jenis upacara,
sesajian yang ditujukan kepadanya (I Korintus 10:20). Iblis juga menjadi sumber aliran-aliran
pengajaran sesat (I Timotius 4:1) dan berpura-pura menjadi malaikat terang yang membawa
143
kebenaran (II Korintus 11:14). Ia selalu berjalan kesana kemari (Ayub 2:2), seperti singa yang
mengaum untuk menerkam siapa saja yang dapat diterkam oleh tipun sesatnya ( I Petrus 5:8).
Hati-hati dengan klenik , dengan mistik yang palsu dan penglihatan-penglihatan (Kolose 2:18).
Oleh karena itu jangan kita mudah percaya kepada orang yang mengatakan bahwa rohnya
sudahkeluar, sudah mengalami pergi ke sorga dan lain-lain, karena di angkasa (awang-awang) itu
ada satu kerajaan yang diatur mirip seperti sorga dengan rajanya yaitu Lucifer yang mengaku Allah
sendiri. Oleh karena itu jangan sampai tersesat dalam halyang demikian, karena Lucifer ini
mampu menampakkan dirinya dalam wujud apapun yang kelihatannya adalah benar dalam wujud.
Dewa atau dalam wujud apa yang disembah oleh orang itu sehingga makin menyesatkan orang
yang menyembah ilah-ilah yang palsu itu, karena dibelakang Allah yan palsu itu berdiri Lucifer
yang mengaku sebagai Allah(II Korintus 4:4). Memang itulah tujuannya, tujuan Lucifer itu ialah
untuk merintangi manusia supaya tidak percaya kepada Injil, untuk membutakan mata mereka.
Demikian juga pekerjaan Lucifer ialah untk membuat orang mengikuti perbuatan-perbuatan dosa.
Jadi manusia oleh bujukan Lucifer dengan segala pengikutnya diarahkan untuk mengikuti
perbuatan dosa , diberikan roh-roh kenajisan tentu untuk membawa manusia kepada erbuatanperbuatan yang tidak senonoh. Juga diberikan penyakit yang bermacam-macam oleh Lucifer
kepada manusia untuk merusak manusia. Bahkan hamba-hamba Allah juga sering diganggu oleh
Lucifer ini seperti II Korintus 12, dimana Paulus mengatakan ada utusan setan yang sudah
memukuli dia sehingga dia sakit.
Karena tindakannya yang kotor ini, maka Lucifer disebut dalam Matius 12:24 sebagai
“Bealsebul”. Beal artinya “Tuhan” atau penguasa Zebul artinya kotoran atau tinja. Jadi bealzebul
adalah penguasa segala yang kotor , yang membuat orang berbuat tidak senonoh. Jadi manusia
yang sudah dikuasai olehLucifer ini menurit II Timotius 2:26 dikatakan terjerat oleh Iblis, supaya
ia melakukan kehendaknya si Iblis itu. Oleh karena itu orang demikian harus dilepaskan. Karena
Lucifer itu menurut Paulus melalui manusia melalui pikirannya sehingga menimbulkan
keangkuhan dan kubu-kubu pemikiran yang membentengi mereka dari pengenalan akan Injil,
yang oleh Paulus dikatakan harus dilawan dengan kuasa Allah (II Korintus 10:4-6). Jadi jelaslah
bahwa yang menjadi kancah atau medan pengaruh dari Lucifer itu aalah di dalam pikiran
manusia. Oleh karena itu Lucifer dapat menguasai manusia sedemikian rupa sehingga
menimbulkan suatu ide-ide yang gila sama sekali, yang membahayakan bagi manusiadan
membahayakan bagi orang yang mempunyai ide itu sendiri. Karena memang itulah tujuan Lucifer
supaya manusia pada akhirnya hancur.
Jadi di dalam jiwa (pikiran) kita harus berperang, kita harus menggunakan kekuatan
seperti yang dikatakan oleh Paulus itu untuk melawan kuasa kegelapan. Oleh karena itu
dikatakan:”Kita berperang bukan berperang melawan daging dan darah tetapi berperang melawan roh-roh jahat
di udara” (Efesus 6:10-12). Yang menjadi sasaran utama yang menjadi perlawanan setan ini adalah
: Gereja (Matius 16:16-18), dikatakan oleh penulis disana, bahwa Yesus akan
mendirikanGerejaNya dan alam maut (kuasa Lucifer) tidak akan dapat mengalahkannya, yang
berarti Lucifer akan terus berusaha mengadakan peperangan melawan, menghancurkan Gereja ,
menghalangi Injil, menghalangi orang percaya yag makin mendekat kepada Allah.
Perlawana lucifer terhadap Gereja dapat dilihat di dalam Wahyu 12:4-6, 13-17 dikatakan
bagaimana naga yaitu Lucifer itu sendiri sebagai Ular Besar, melawan wanita yang melahirkan
Sang Mesias . Wanita yang disebut disini dapat juga dikatakan Maryam, tapi bisa juga Gereja,
karena gerejalah yang selalu memberitakan Mesias kepada manusia . Dan bisa juga Israel , karena
melalui Israellah Mesias itu datang. Namun yang jelas ialah, segala sesuatu yang berhubungan
dengan Kristus yaitu umat Kristus akan menjadi sasaran daripada serangan Lucifer ini. Jadi dalam
dunia yang tetap berpegang pada Kristus (Gereja ) inilah yang menjadi sasarannya. Inilah yang
dikatakan oleh Yesus bahwa kekuasaan kerajaan maut /alam maut tidak dapat mengalahkan
144
Gereja. Ini berarti selalu terjadi peperangan antara Gereja dan Lucifer. Lucifer akan menghalangi
Gereja dengan segala usahanya, dengan segala macam bidat, kekacauan dan perpecahan yang
diakibatkan oleh tindakan Lucifer tersebut.
Perlawanan Lucifer terhadap Gereja itu akan menjadi-jadi dengan makin dekatnya
kedatangan Kristus . Dengan makin banyak munculnya pengajaran-pengajaran baru yang palsu
yang lain seperti yang dikatakan I Timotius 4:1-2. Karena yang dimusuhi adalah Gereja, maka
Lucifer (Iblis atau Diabolos) akan selalu menjadi pendakwa/penggugat manusia dihadapan Allah
(Wahyu 12:10). Namun sebenarnya Lucifer itu kekuasaannya sudah dihancurkan oleh Kristus
ketika Ia mati dan bangkit dari kematian ( Kolose 2:15; Brani 2:14-15). Tetapisecara prinsip,
meskipun dia sudah dikalahkan, dia tidak akan rela untuk mengakuainya oleh karena itu ia tetap
berperang melawan manusia, melawan orang Kristen (Efesus 6:11-12). Tetapi kalau kita sungguh
melawan kuasa kegelapan dengan kehidupan yang layak dihadapan Tuhan, dengan berdoa, orang
Kristen akan mendapatkan keunggulan (Yakobus 4:7-8), menginjak kuasa kegelapan ini.(Roma
16:20).
Oleh karena itu kita bersyukur karena Lucifer telah dikalahkan, dan pada akhirnya Lucifer
akan menumpahkan seluruk kekuasaannya sehingga usaha yang terakhir karena dia merasa kesiasian kekuasaannya itu pada diri seorang yang bernama : Antikristus , dan sampai Kristus sendiri
datang untuk menghancurkan antikristus dan sekaligus menghancurkan Lucifer untuk
dimasukkan ke dalam neraka. Orang-orangorang yangmengikuti Lucifer ini juga akan dimasukkan
dalam neraka bersama-sama. Oleh karena itu orang Kristen patut berjaga-jaga melawan tipu
.
muslihat dari Lucifer ini
Patut pula dicatat bahwa keadaan Lucifer dimana membentuk tata kekuasaannya seperti
didalam Sorga, sehingga dia mempunyai utusan untuk dapat menganggu kehidupan manusia
ditempat-tempat tertentu untuk menguasai. Umpamanya di Persia , Dia menjadi penguasa kerajaan
Persia atau Penghulu kerajaaan Persia dan lain-lain. Misalnya di Indonesia ia
mengirimkanutusannya dalam wujud Nyi Roro Kidul, dayang-danyang dan lain-lain. Hal-hal ini
perlu diterangkan terutama dalam lingkup kita di Indonesia dimana orang masih banyak yang
mempercayai roh-roh itu, supaya mereka jelas bahwa apa yang mereka anggap sebagai dayang dan
sebagainya, nenek moyang sebagai apa ? adalah tipuan dari Lucifer.
4.Kodrat Manusia
Kejadian 1:26-27 mengatakan:” Berfirmanlah Allah: Baiklah Kita menjadikan manusia menurut
gambar dan rupa Kita…..Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah
diciptakannya dia……..”. Ayat ini sangat penting bagi Gereja Purba, terutama yang di Timur,
dalam usaha untuk mengerti makna kodrat dan hakekat manusia. Karena penyataan Alkitab
mengenai keputusan Allah untuk menciptakan manusia “MENURUT” Gambar dan RupaNya
itu akan menjadi landasan untuk mengerti mengenai kodat dan tujuan diciptakannya manusia dan
dengan demikian akan berkaitan dengan makna keselamatan manusia. Alkitab tak pernah
mengatakan bahwa manusia itulah “Gambar dan Rupa”Allah. Namun yang dikatakan Alkitab
adalah bahwa manusia itu diciptakan “MENURUT” (yaitu: “sesuai dengan”, “mengikuti pola”)
“Gambar dan Rupa” Allah itu. Alkitab menyebutkan bahwa “Gambar Allah” (Kol.1:16) itu tak
lain adalah “Anak Allah” yaitu “Firman Allah”sendiri (Yohanes 1:14), juga “Rupa Allah” adalah
“Anak Allah” atau “Firman Allah” yang sama tadi (Fil.2:5-6), yang dalam penjelmaanNya sebagai
manusia bernama:Yesus Kristus. Dengan demikian “pola asli” yang “menurutNya” manusia
diciptakan Allah adalah “Gambar Allah” dan “Rupa Allah” yang tak lain adalah “Firman Allah”
145
sendiri yang disebut juga “Anak Allah”. Itulah sebabnya Tertulianus, seorang penulis Kristen
purba dari Gereja Barat pernah mengatakan bahwa pada dasarnya kodrat jiwa manusia itu bersifat
“Kristen”. Karena manusia diciptakan dengan pola asli (“menurut” ) Anak Allah atau Firman
Allah tadi, yaitu “Kristus” sendiri. Dosa dan kuasa kegelapan serta pengaruh-pengaruh jahat
disekitarnyalah yang membuat manusia itu tersesat dari kebenaran, sehingga tak percaya kepada
Kristus, yaitu tak mau kembali kepada “kodrat asal” atau “pola asli”nya tadi. Karena manusia itu
diciptakan dengan “Firman Allah” itu sebagai pola aslinya, maka tujuan panggilan manusia
diciptakan adalah untuk merealisasikan potensi kodratnya tadi, yaitu secara nyata kodat tadi
“menyatu” atau “manunggal” dalam kemuliaan Allah melalui “Sabda” atau “Firman Allah” tadi.
Ini berarti bahwa manusia itu diberi anugerah (rahmat, kasih-karunia) oleh Allah pada saat
penciptaannya, memiliki kemampuan moral pada dirinya, yang merupakan refleksi atau “gambar”
dari sifat-sifat Allah sendiri. Sehingga dengan anugerah kekuatan moral dalam ketaatan pada
kehendak ilahi dan iman kepada Allah, manusia dapat mencapai “penyatuan” (“panunggalan”)
dengan “Firman Allah”. Dengan demikian manusia boleh “ambil bagian dalam kodrat ilahi” (II
Petrus 1:4), yaitu menjadi mulia seperti kemuliaan ilahi itu sendiri. . Manusia dipanggil untuk
mengambil bagian dalam kasih Allah yang kekal, di dalam hubungan-kasih yang kekal seperti
yang terdapat di dalam diri Allah. Alkitab mencatat doa Kristus kepada Bapa demikian:
“Dan Aku tidak ada lagi di dalam dunia, tetapi mereka masih ada di dalam dunia dan
Aku datang kepadaMu. Ya Bapa yang kudus, peliharalah mereka dalam namaMu yaitu
namaMu yang telah Engkau berikan kepadaKu, supaya mereka menjadi satu sama
seperti Kita.” ( Yohanes 17:11 ).
Dalam doa ini Almasih memohon supaya manusia boleh menjadi satu, sama seperti satunya
“Kita” (“Bapa dan Anak”, kesatuan antara Allah dan FirmanNya dalam kasih yang kekal),
sehingga mengalami kehidupan kesatuan seperti yang ada di dalam Allajh sendiri, yaitu kesatuan
dalam hidup ilahi, dan dengan demikian mengambil bagian dalam sifat-sifat Ilahi.
Alkitab menjelaskan lebih lanjut dalam mencatat doa Almasih ini:
“Dan Aku telah memberikan kepada mereka kemuliaan, yang Engkau berikan
kepadaKu, supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu.” ( Yohanes 17: 22
).
Kepada manusia milikNya Almasih telah “memberikan kemuliaan”, yaitu kemuliaan “ yang
Engkau berikan kepadaKu”. Kemuliaan yang diberikan Allah kepada Almasih itu tak lain adalah
“energi” dan “hidup Allah” sendiri, sebagaimana yang dikatakan :”…Bapa mempunyai hidup
dalam diriNya sendiri, demikian juga diberikanNya Anak mempunyai hidup dalam
diriNya sendiri” (Yohanes 5:26). Bapa memberikan hidupNya sendiri pada Anak. Itulah artinya
Bapa memberikan kemuliaan pada Anak. Sehingga segala sifat Bapa ada pada Anak. Kristus
memberikan kemuliaan ilahi tu kepada manusia, sehingga manusia menjadi satu dalam sifat-sifat
keilahian, meskipun bukan dalam dzat-hakekat keilahian. Jadi memanglah kehendak Allah ketika
merencanakan untuk menciptakan alam-semesta dengan manusia sebagai sasaran puncaknya, agar
manusia boleh ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi, dan menjadi satu dengan Allah.
. Ini bermakna bahwa tujuan manusia diciptakan adalah dipanggil untuk ambil bagian dalam
kodrat Ilahi, sebagaimana dikatakan demikian:
146
“Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan
yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat Ilahi,
dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia ini.” ( II Petrus 1:4 )
Dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan Allah itulah tujuan manusia diciptakan.
Dengan demikian inilah pula takdir Allah bagi kodrat manusia. Inilah ketetapan kekal dalam
rencana Allah dalam menciptakan manusia agar dengan demikian manusia menjadi “anak-anak
Allah” dan dalam keberadaan “tanpa cacat cela serta kudus”. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab
demikian:
“Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita
kudus dan tak bercacat dihadapanNya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari
semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anakNya,sesuai dengan kerelaan
kehendakNya.” (Efesus 1:4-5 ).
Ayat-ayat dalam Efesus 1:4,5 diatas dan ayat-ayat Perjanjian Baru yang lain yang senada dengan
itu tak pernah dimengerti dalam Gereja Orthodox sejak jaman Purba, sebagai dasar ajaran
tentang “Takdir” bagi diselamatkan atau tidaknya seseorang atau “Takdir” dipilih atau tidaknya
seseorang dalam keselamatan, seperti yang dihayati oleh ajaran Calvinisme, yang dikenal dengan
nama ajaran “Predestinasi”. Efesus 1:4 mengatakan:” Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita
sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercela di hadapannya”. Ini tidak dimengerti sebagai
pemilihan individu perorangan, namun sebagai pemilihan kemanusiaan secara kolektif (yaitu:
memilih “KITA”), dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, misalnya
para malaikat, alam ciptaan dan binatang, karena mereka itu tidak dipilih untuk menjadi “seperti
Allah”. Dan tujuan pemilihan manusia itu adalah agar manusia itu “kudus” dan “tak bercela”
melalui anugerah Allah, yaitu menjadi “seperti Allah” yang memang “Maha Kudus” dan “Tak
Bercela “ menurut kodratNya itu. Jadi ini adalah “pemilihan kodrat kemanusiaan”. Demikian juga
Efesus 1:5:” Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anakanakNya, sesuai dengan kerelaan kehendakNya”. Kata “menentukan kita dari semula” inipun tak
dimengerti sebagai ketentuan dari semula (“predestinasi” atau “takdir”) bagi perorangan oleh
Gereja Purba di Timur ini. Pengertian demikian ini menimbulkan ajaran bahwa ada orang yang
memang sudah ditakdir masuk neraka dan ada yang ditakdir masuk sorga. Ajaran ini terkenal
dengan nama ajaran “Double-Predestination ” (“Takdir-Ganda”), yang juga pernah diajarkan
Calvin. Gereja Purba di Timur mengerti “penentuan dari semula” ini adalah secara kolektif
(menentukan “kita” dari semula), dan inipun bukan penentuan dari semula bagi masuk sorga atau
tidaknya seseorang. Namun penentuan dari semula dari kemanusiaan (“kita”) yaitu kodrat
kemanusiaan untuk menjadi “anak-anakNya” yaitu untuk menjadi seperti Allah, - sebagaimana
anak-anak itu pasti memiliki kodrat dan mengambil bagian kodrat dari bapanya -, yang
berlandaskan anugerah Allah atau “kerelaan kehendakNya”, dalam kasihNya oleh Yesus Kristus
atau Firman Allah yang hidup. Demikianlah “takdir “ atau “predestinasi” yang dimaksud dalam
Alkitab itu tidak pernah dimengerti oleh Gereja Orthodox Purba sebagai predestinasi perorangan
bagi keselamatannya, namun “predestinasi” (“penentuan dari semula”) dari kodrat
kemanusiaannya agar mengambil bagian dalam kodrat ilahi sebagai “anak-anak Allah” dan
mengambil bagian dalam sifat-sifat ilahi sebagai yang “kudus” dan “tak bercela” itu
.Ini terjadi oleh kuasa anugerah (“rahmat”, “kasih-karunia”) yang bekerja dalam dirinya..
Itulah sebabnya manusia oleh anugerah Allah masih memiliki kehendak bebas sebagai kasih-
147
karunia (anugerah, rahmat) Allah kepadanya akibat diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah. Sehingga dengan demikian “kehendak bebas” manusia itu tak dimengerti sebagai
sesuatu yang bertentangan dengan dan terpisah dari anugerah (“rahmat” “kasih-karunia”)
sebagaimana yang diajarkan oleh ajaran “Pelagianisme” yang dianggap menjadi ciri aliran
“Arminianisme” musuh-bebuyutan Calvinisme itu. Demikianlah penghayatan Calvinisme
klasik tentang “Unconditional Election “ (“Pemilihan Tanpa Syarat”) yang terkait dengan
ajaran “Takdir” itu tak dapat muncul dalam ajaran Gereja Purba di Timur itu. Ajaran Gereja
Purba di Timur menegaskan sebagaimana keselamatan cuma-cuma itu dari Allah datangnya,
demikianlah kehendak bebas itupun berasal dari karunia Allah yang sama itu. Sehingga
dengan demikian makna kodrat manusia sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah untuk mencapai kemuliaan ilahi itu akhirnya tidak terkaburkan maknanya. Tujuan
penciptaan manusia untuk mencapai keselamatan oleh anugerah yang bekerja dalam
kehendak-bebas manusia maupun di dalam karya keselamatan Kristus bagi ambil bagian
dalam kodrat ilahi sendiri ini adalah merupakan ajaran seluruh Bapa Gereja Timur di zaman
purba, sebagaimana yang secara jelas diungkapkan oleh Episkop Maximos Aghiorgoussis dari
Pittsburgh, Pa, Amerika Serikat, demikian: “Menurut para Bapa Gereja Yunani (misal: Ignatius
dari Antiokhia, Ireneus dari Lyons, Athanasius dari Alexandria,Gregorius dari Nazianzus,
Gregorius dari Nyssa, Yohanes Khrisostomos, Basilius Agung, Yohanes dari Damaskus, dan
lain-lain, pen.) sejak zaman purba: Manusia diciptakan menurut gambar Allah dengan panggilan
khusus untuk menjadi seperti Allah. Para Bapa Gereja menjelaskan dengan rinci ajaran dari Kitab
Kejadian ini.Keberadaan manusia “menurut gambar Allah” ini berarti bahwa manusia memiliki jiwa
rohani yang memantulkan Allah (Bapa) sebagai seorang pribadi. Manusia mampu untuk mengenal Allah
dan dalam persekutuan (“panunggalan”) denganNya. Manusia itu milik Allah, karena dalam keadaan
sebagai anak Allah dan menurut gambar Allah itu, maka manusia mempunyai kaitan-hubungan dengan
Allah……Para Bapa Gereja itu juga membuat perbedaan antara “gambar Allah” dalam manusia, dan
“rupa Allah” dalam manusia tadi:”gambar” adalah kemampuan (“potensi”) yang dikaruniakan
(“rahmat” “anugerah”) pada manusia, yang melaluinya manusia dapat mencapai kehidupan “theosis”
(panunggalan dengan Allah, ambil bagian dalam kodrat ilahi).Sedangkan “rupa” adalah realisasi
(aktualisasi) dari “potensi” ini; yakni makin seperti “gambar Allah” dan makin seperti “rupa Allah”.
Dengan kata lain perbedaan antara “gambar” dan “rupa” itu adalah perbedaan antara “apa adanya” dan
“apa yang akan jadi”…juga berarti ketak-dapat-matian Allah itu terpantul pada manusia, sejauh
manusia tetap bersekutu (“manunggal”) dengan Allah melalui gambar Allah yang ada pada
dirinya…Karena manusia gagal untuk mencapai panunggalan (theosis) ini, “Adam yang Baru”: Kristus
(“sebagai pola asli manusia yang menurutNya kodrat manusia diciptakan”), mengambil bagi DiriNya
sendiri tanggung-jawab untuk menggenapi panggilan asli dari manusia dari manusia pertama (Adam) ini”
(Aghiorgousssis, Maximos Bishop, dalam “Salvation in Christ”,, Augsburg, Minneapolis, 1992,
hal. 37-38).
5.Kejatuhan Manusia Kedalam Dosa
Beberapa hal mengenai manusia dinyatakan oleh Pengakuan Iman ini, yaitu kedatangan
Kristus itu “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita” serta bahwa Kristus itu
“disalibkan bagi keselamatan kita” dan bahwa Kristus akan datang lagi untuk
“menghakimi orang hidup dan orang mati” serta kita dibaptiskan “bagi pengampunan
dosa-dosa”. Dengan demikian manusia itu dalam keberadaan tidak selamat, yaitu dalam
keberadaan berdosa yang memerlukan pengampunan, yang dosa itu sendiri jika tidak
mendapat pengampunan akan mengalami penghakiman di masa mendatang. Karena orang
148
Kristen menunggu kebangkitan orang-orang mati, berarti dosa itu ada hubungannya dengan
Kematian. Itulah sebabnya Yesus datang mengalahkan kematian, dengan mati disalibkan,
dikuburkan, bangkit dan naik ke sorga. b.Kejatuhan Manusia dan Akibat-Akibatnya.
Panggilan manusia untuk mencapai “theosis” pada saat diciptakan itu harus dilalui manusia
melalui ujian iman yang dinyatakan dalam ketaatan terhadap perintah-perintahNya. Dengan
demikian manifestasi moral manusia yang bersumber dari anugerah (rahmat, kasih karunia) akan
nampak kelihatan dan berkembang, serta bergerak menuju kepada tujuan akhirnya. Dan ujian itu
dinyatakan dalam larangan Allah agar manusia tak memakan “buah pohon pengetahuan yang
baik dan yang jahat “ ( Kejadian 2:16-17). Ujian ini menentukan nasib manusia, jika gagal untuk
taat pada larangan itu manusia akan untuh dalam maut dan kebinasaan. Dia akan mengalami
disintegrasi dari tujuan akhir kodrat penciptaannya. Namun jika berhasil, hidup kekal (“theosis”
= “pengilahian”, yaitu ambil bagian dalam hidup dan kemuliaan ilahi, namun bukan melebur
dalam hakekat Allah sebagaimana yang diajarkan Agama Hindhu dan Kebatinan Jawa) itulah
yang didapatkannya. Allah mengetahui dilema dan resiko yang dihadapi oleh kehendak bebas
manusia sebagai wujud diciptakan menurut gambar dan rupaNya itu. Oleh karena itu Allah
memperingatkan manusia sebelumnya, mengenai akibat pelanggaran dan ketidak-taatan terhadap
perintah itu jika dilakukan manusia, dan akibat ketaatan jika dijalankan. :” …..pohon pengetahuan
tentang yang baik dan yang jahat itu jangan kau makan buahnya, sebab PADA HARI engkau
memakannya pastilah engkau mati” ( Kejadian 2:17). PADA HARI manusia melanggar perintah
Allah dengan memakan buah terlarang itu sajalah “mati” itu diancamkan pada manusia. Sehingga
jika manusia taat dan tak pernah memakan buah itu, berarti manusia tidak akan pernah mati. Jadi
manusia pertama itu masih dalam keadaan “potensial” yaitu potensial untuk hidup kekal atau
potensial untuk binasa. Dai harus memilih persimpangan jalan yang harus dihadapi oleh
kodratnya. Manusia masih dapat bertumbuh ke dalam “theosis” atau jatuh ke dalam “lapuk,
binasa, dosa, dan kematian”. Kodrat manusia itu memang diciptakan “sangat baik” ( Kejadian
1:31) namun belum sempurna. Allah telah memperingatkan akibat-akibat pelanggaran atau
ketaatan manusia. Jadi ketika manusia melanggar perintah Allah, manusialah yang salah, dan
Allah bebas dari kesalahan. Kejatuhan manusia itu bukan direncanakan Allah, meskipun sudah
diketahui Allah sebelumnya, karena Allah Maha Tahu, sebagai resiko diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah yang memiliki kehendak bebas. Jadi tujuan “theosis” sebagai hasil akhir
keselamatan bukan baru didakan karena adanya dosa, namun memang dari semula “theosis”
itulah tujuan manusia diciptakan. Demikianlah kaena pelanggarannya, kodrat manusia berjalan
menukik ke bawah ke dalam dosa dan kematian. Sehingga manusia sekarang dalam keadaan dosa
=“hamartia” (“meleset dari sasaran”), baik sasaran kodrat keterciptaannya maupun sasaran
moral. Ke “ melesetan dari sasaran” kodrat itu berwujud kematian fisik yang bersumber dari
kematian roh (Efesus 2:1). Karena “tubuh tanpa roh itu mati “ (Yak.2:26), berarti roh itu sumber
kehidupan tubuh. Padahal tubuh itu sebelumnya dimaksudkan untuk hidup kekal jika manusia
tidak jatuh, yang berarti roh itu seharusnya mempunyai kuasa hidup yang dapat menghidupkan
tubuh itu secara terus-menerus. Namun fakta bahwa tubuh jasmani itu sekarang dapat mati,
berarti roh tak sanggup lagi memberikan hidup yang sedemikian itu. Ini menunjukkan bahwa itu
sendiri sekarang sedang sekarat, yaitu tak mempunyai daya hidup meskipun roh itu sendiri tak
dapat punah atau binasa seperti halnya tubuh (Mat.10:28). Karena daya hidup roh yang
memberikan kekekalan itu sumbernya dari Hidup Ilahi, maka sesudah jatuh itu berarti roh
manusia itu terputus dari Hidup Ilahi itu sendiri. Manusia sekarang enjadi lapuk dan fana, serta
takluk kepada kebinasaan, dan maut serta membusuk jadi tanah. Derita, duka, dan kematian
itulah yang menjadi nasib manusia sejak saat itu, karena “upah dosa/hamartia itu adalah maut”
(Roma 6:23). Keadaan ini kita warisi dari nenek-moyang kita, oleh karena itu keadaan ini dikenal
149
dalam Gereja Purba di Timur sebagai “ Dosa (hamartia=kemelesetan) nenek-moyang” dan
Gereja di Barat menyebutnya sebagai “ Dosa Waris/Dosa Asal”. Jadi dosa asal itu tak berarti kita
menanggung “salahnya Adam” seperti yang pernah difahami di Gereja Barat terutama pada abad
pertengahan. “Salahnya Adam” itu ditanggung oleh Adam sendiri, karena:”Anak tak akan
menanggung dosa bapaknya” (Yehezkiel 18:20), meskipun dikatakan :”….dalam kesalahan aku
diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku” (Mazmur 51:7). Yang dimaksud dengan ayat dalam
Mazmur ini adalah, pada saat Daud dikandung ibunya, kodrat manusia itu sudah dalam keadaan
dikuasai oleh kesalahan-kesalahan yang dilakukannya terhadap Allah, dan dosa, yaitu kemelesetan
kodrat itu sudah menjadi milik manusia, sehingga dalam keadaan kodrat manusia yang seperti
itulah keberadaan manusia ketika Daud dikandung dan diperanakkan. Berarti ini tak bermakna
bahwa Daud telah menanggung “kesalahan” dan “dosa” Adam ketika berada dalam kandungan.
Yang diwarisi manusia dari Adam adalah “akibat” dari dosa dan kesalahan Adam itu, yaitu:
kelapukan, kefanaan,kebinasaan, kehilangan hidup kekal yaitu terpisah dari Allah, derita, duka,
kesakitan, dan kematian. Hal ini diwarisi oleh segenap manusia, tak perduli apapun bangsa atau
agamanya.Sedangkan “kemelesetan sasaran” moral itu berwujud kecenderungan manusia untuk
lebih mudah berbuat yang jahat dan tidak kudus, serta sukarnya melakukan yang baik. Sehingga
manusia berada dibawah permainan kehendak Iblis. Demikianlah akibat kejatuhan manusia ini,
segenap manusia sekarang berada dibawah kuasa:”Iblis, Dosa, dan Maut” itu. Dan darinya tak
seorangpun yang dapat melepaskan diri, sehingga tujuan mencapai “theosis” itu tergelapkaburkan dan terhalang realisasinnya. Maka “Iblis, Dosa, Maut” inilah yang harus disirnakan dulu
sehingga manusia kembali kepada tujuan panggilan semua mencapai “theosis” itu. Bagaimana
proses dan cara penyirnaan “Iblis, Dosa dan Maut” itu, inilah yang menjadi pembahasan
mengenai keselamatan dalam Kristus.
III. Aqidah Tentang Wahyu Terpuncak: Pribadi Yesus
Kristus
Sebagaimana yang kita lihat dari butir 3 Yesus Kristus disebut “telah turun dari sorga”,
yang berarti Dia berasal dari luar ciptaan ini. Dan di atas telah kita pelajari bahwa ternyata
Yesus Kristus adalah kekal di dalam Allah sebagai FirmanNya. Berarti datangNya ke dalam
dunia ini memang “turun dari sorga”. Karena Allah bersifat ghaib (“terang”), oleh
karenanya turunNya itu harus melalui “menjelma” dari “Sang Perawan Maryam” ini
adalah “oleh Roh Kudus” artinya kemanusiaan Yesus Kristus yang diperoleh dari Perawan
Maryam itu diciptakan oleh Roh Kudus dalam rahim Maryam sehingga Firman itu “menjadi
manusia”. Demikianlah Yesus Kristus itu sungguh Firman Allah yang adalah “Allah Sejati”
yang keluar dari Allah Sejati, namun juga sungguh manusia karena “telah menjelma...dari
Sang Perawan Maryam, serta menjadi manusia.” Pemahaman Gereja Orthodox
mengenai Pribadi Kristus itu sangat kokoh berpegang erat pada rumusan Konsili Kalsedon
tahun 451. Kaum Monofisit di zaman purba sampai kini menolak rumusan Kalsedon ini
serta menganggapnya itu bersifat Nestorianisme, terutama sebagaimana yang ditafsirkan oleh
Gereja barat Roma Katolik dan kemudian Protestantisme. Namun Gereja Orthodox
mengertinya secara berbeda. Ini penting ditegaskan karena umat Roma Katolik merasa
bahwa Kalsedonia adalah kemenangan theologia Latin Roma Katolik, terutama kemenangan
dari Paus Leo Agung dari Roma. Dan Umat Monofisit dalam penolakannya terhadap
Rumusan Kalsedonia justru pandangan Gereja Barat ini yang digunakan sebagai acuannya.
Karena menurut Paus Leo memang kelihatannya ada pemisah-misahan dua kodrat itu,
150
sehingga bahaya mendekati kembali Nestorianisme itu tak terelakkan. Sehingga sebenarnya
yang dimusuhi umat Monofisit ( Koptik-Ethiopia, Syria Orthodox- Thomas India, Armenia)
adalah pemimpin Gereja Barat Latin: Paus Leo itu, namun bukan pemimpin dari
Konstantinopel atau Patriarkh Timur lainnya. Umat Monofisit menyangka bahwa Gereja
Orthodox mengerti Rumusan Kalsedonia sama dengan pemahaman Gereja Barat: Roma
Katolik. Rumusan Kalsedonia dalam Gereja Orthodox itu bukan dilihat dari titik pandang
Paus Leo dari Roma, namun dari titik-pandang Kyrilos dari Alexandria, sebagaimana yang
dijelaskan dalam Konsili Ekumenis yang kelima tahun 553 sesudah Konsili IV di Kalsedon
tahun 451 itu. Sering dalam pemahaman Gereja Barat, jika Kristus lahir, tumbuh dewasa,
menderita, disalibkan, mati, kesakitan, lapar, merasa tidak tahu dan lain-lain sifat
kemanusiaan yang terlihat, itu dianggap hanya kodrat kemanusiaanNya saja yang melakukan
dan mengalami hal itu semua. Sedangkan jikalau Ia berbuat mukjizat, bangkit dari antara
orang mati menunjukkan otoritas dan lain-lain, itulah kodrat ilahiNya yang bekerja. Pemisahpilahan seperti ini memang sangat bersifat Nestorianistis, itulah sebabnya ditolak umat
Monofisit. Disangka Umat Orthodoxpun menerima pemahaman seperti itu. Itu adalah salah
paham dari pihak Monofisit. Iman Orthodox dalam Konsili kelima ini menegaskan bahwa
yang menjadi “subyek” dalam diri Yesus Kristus adalah Firman Allah yang kekal itu. Jadi
waktu Ia lahir dari Maryam, sakit, lapar, merasa tidak tahu, disalibkan dan mati, itu adalah
Firman Allah sendiri sebagai “subyek” yang mengalami melalui tubuh kemanusiaanNya,
namun pada saat yang bersamaan Firman Allah itu tetap tak terlahirkan, tak dapat sakit, tak
dapat lapar, selalu maha-tahu, tak bisa kesakitan ketika disalib, tak bisa mati meskipun Ia
sedang mati. Dan yang berbuat mukjizat itupun bukan hanya kodrat ilahiNya saja, namun
Firman Allah yang sama dalam tubuh manusiaNya itu yang melakukan. Jadi Gereja
Orthodox berani mengatakan bahwa dalam Yesus Kristus, Allah (yaitu, Firman) itu telah
disalibkan, namun juga tak disalibkan, telah dilahirkan namun toh juga tanpa awal, telah
menderita sakit namun juga tak merasa kesakitan, telah mati namun toh tetap hidup kekal.
Karena baik kodrat ilahiNya maupun kodrat manusiaNya itu tak dapat dipisah-pisahkan
ataupun dibagi-bagi dan hanya memiliki subyek tunggal yaitu pribadi atau hypostasis dari
Firman Allah yang kekal itu. Jadi tuduhan Monofisit terhadap Gereja Orthodox Timur dan
penolakannya atas Kalsedonia sebagaimana yang dimengerti oleh Gereja Orthodox Timur –
sebagai bercorak Nestorianisme - itu jelas salah arah. Karena Kristus itu Firman Allah dan
bersifat Allah, maka peristiwa turunNya Kristus menjadi manusia itu sering disebut “Allah
menjadi manusia”. Penyataan “Allah jadi manusia” lalu “disalibkan, mati, dikuburkan,bangkit
dari antara orang mati, ” dan seterusnya itu dapat menjadi salah pengertian yang besar juga
jika jargon Kristen ini tak diterjemahkan dengan bahasa umum. Untuk sekedar perbandingan
agar kita mengerti permasalahannya baiklah kita gunakan cara pemikiran theologia Islam.
Dalam Ilmu Theologia (Ilmu Kalam) Agama Islam Allah tak dapat difahami dalam dzatNya,
namun dapat dimengerti melalui sifat-sifatNya. Sifat-sifat Allah itu “ bukan Allah namun tak
berbeda dari Allah”. “Firman Allah” atau “Kalimatullah” adalah salah satu dari sifat Allah
dalam Islam, dan “Kuasa” serta “Hidup “ Allah adalah juga sifat Allah yang melekat
(“qaimah”) atau berdiri atas Dzatullah.Demikianlah Sifatullah itu “bukan Allah namun bukan
ciptaan”. Bedanya, dalam Islam “Firman Allah” ( dalam Kristen Orthodox “Logos”) dan
“Kuasa” serta “Hidup” Allah ( dalam iman Kristen dimengerti sebagai Roh Allah atau Roh
Kudus) itu tak difahami sebagai mempunyai realita entitas jatidiri, sedangkan dalam iman
Kristen kedua-duanya yaitu baik Firman Allah maupun Roh Allah yang melekat satu
(“qaimah”) di dalam diri Allah itu dimengerti sebagai memiliki “hypostasis” (realita yang
menggaris-bawahi jatidiri). Jadi dalam mengerti satunya Firman Allah dan Roh Allah (sebagai
sifat-sifat dzat dalam diri Allah) dengan Allah yang esa dalam pemahaman Iman Kristen
151
Orthodox itu, haruslah kita bandingkan pemahamannya dengan pengertian mengenai
satunya Dzatullah dan Sifat-Sifat Allah dalam Islam. Dimana jika ada kertas putih, putih
sebagai sifat berdiri atau melekat pada kertas yang menyandang warna tadi. Kertas adalah
gembaran dzat (esensi, hakekat) sedangkan putih adalah gambaran sifat. Meskipun putih
bukan kertas, namun tak dapat dipisah dari kertas, dan tak beda dari kertas putih itu.
Demikianlah “Firman Allah “ itu memang bukan Bapa (Allah) , namun Ia adalah Allah
(karena Ia bersifat abadi dan tak berbeda dari Allah), “Firman itu adalah Allah” (Yohanes
1:1). Bahwa “Firman Allah” itu berbeda dengan Allah (Sang Bapa), ini dijelaskan sendiri oleh
“Firman Allah” itu sendiri ketika menjelma menjadi manusia :Yesus Kristus, dalam ayat-ayat,
berikut ini :”….Engkau (Yesus Kristus= Firman yang menjelma) …guru yang diutus
Allah….” ( Yohanes 3:2), “….Allah….mengaruniakan AnakNya yang tunggal (“FirmanNya
yang Satu-satunya = Yesus Kristus), “….Allah mengutus AnakNya ( FirmanNya) ke dalam
dunia…” ( Yohanes 3:17),”Bapa (Allah) mengasihi Anak (Firman)….” ( Yohanes
3:35),”…..percaya kepada Dia ( Allah =Sang Bapa) yang mengutus Aku ( Yesus Kristus =
Firman yang menjadi manusia)…( Yohanes 5:24), “…mengenal Engkau (Bapa =Allah) satusatunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus (Firman Allah yang menjelma) yang
telah Engkau (Allah = Bapa) utus “ ( Yohanes 17:3), …Aku (Yesus = Firman Menjelma)
akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada ALLAHKU dan Allahmu” ( Yohanes
20:17), “… Bapa (Allah) lebih besar dari pada Aku (Yesus Kristus = Firman Allah yang
Menjelma) “ ( Yohanes 14:28), dan masih banyak lagi ayat-ayat seperti itu. Memang ada
sebagian sekte yang mengaku Kristen yang mengatakan bahwa Anak itu adalah Bapa, yang
bagi ajaran Orthodox ini tak lain adalah faham Sabelianisme yang telah lama dinyatakan sesat
oleh Gereja di jaman purba. Landasan mereka adalah beberapa ayat berikut ini:” Aku dan
Bapa adalah satu” (Yohanes 10:30). Ayat ini jelas tidak mengatakan bahwa Anak dan Bapa
itu sama saja, namun Anak dan Bapa itu adalah satu, yaitu dalam hal dzat/hakekat keilahian,
namun tetap Anak itu bukan Bapa, sebab disitu masih dibedakan “Aku DAN Bapa” yang
menunjukkan adanya dua ciri khas yang berbeda antara keduanya, namun keduanya itu satu,
bukan dalam arti identik atau sama saja, namun satu dalam hakekat-keilahiannya, yang
dibawah nanti akan kita bahas hal itu. Ayat lain yang digunakan oleh sekte ini adalah
:”….Barangsiapa telah melihat Aku ia telah melihat Bapa….Aku di dalam Bapa dan Bapa di
dalam Aku….” ( Yohanes 14:9-10). Melihat Anak berarti melihat Bapa, itu tak berarti bahwa
Anak itu adalah Bapa. Karena jelas dinyatakan dalam ayat berikutnya bahwa hal itu mungkin
terjadi karena Anak (Firman) berada di dalam Bapa, berarti Anak dan Bapa itu dapat
dibedakan realitanya, dan Bapa di dalam Anak, yang berarti Bapa itu berbeda dari Anak,
namun keduanya saling bersemayam (saling mendiami) satu sama lain. Karena memang
Firman Allah itu bersemayam dan beradaNya di dalam Allah sendiri, dan Allah menyatakan
DiriNya adalah di dalam atau melalui FirmanNya itu sendiri. Jadi jelas ayat ini tidak
mengajarkan bahwa Anak itu adalah Bapa, atau Firman Allah adalah Sang Bapa itu sendiri,
namun ini hanya menyatakan ketak-terpisahan antara Allah dan FirmanNya, dan “qoimah”
(melekat satunya) Firman itu dalam Bapa, dan pemanifestasian atau pewahyuan Diri Allah
melalui Firman itu. Dan yang terakhir adalah Yesaya 9:5 :” ….seorang anak telah
lahir…seorang putra telah diberikan…namanya disebutkan orang:…..Allah yang perkasa,
Bapa yang kekal….” Dari ayat ini mereka mengambil kesimpulan bahwa Anak atau Putra itu
tak lain bernama Allah yang Perkasa dan Bapa yang Kekal, maka jelas Anak itu tak lain
adalah Bapa. Argumentasi ini secara theologis tak dapat dibenarkan, sebab yang disebut
“Anak” dalam pemahaman tentang Tritunggal Maha Kudus adalah “Firman Allah” yang
kekal, yang sejak azali berada di dalam diri Allah. Padahal ayat diatas berbicara tentang
seorang “Anak yang telah lahir” dan “seorang Putra yang telah diberikan untuk kita”. Jadi ini
152
tak berbicara mengenai keberadaan kekal dari Sang Anak tadi. Ini berbicara mengenai anak
yang lahir di dunia, berarti ini berbicara tentang “Inkarnasi”, ketika “Firman itu telah menjadi
manusia” ( Yohanes 1:14). Dengan demikian ayat ini hanya menjelaskan bahwa Anak yang
lahir sebagai manusia itu ternyata tak lain adalah Ia yang bersifat Ilahi : Allah yang Perkasa.
Namun wujud kelahiranNya sebagai manusia itu menjadi “Adam yang akhir” ( I Kor. 15: 45)
yang menjadi “roh yang menghidupkan” yaitu yang menjadi sumber dan prinsip dari
kehidupan yang kekal, akibat kebangkitanNya. Sebagai Adam yang akhir maka Ia adalah
Bapa segenap umat yang baru, dan Bapa ini adalah Bapa yang menjadi sumber kekekalan.
Maka jelas Anak yang lahir itu disebut “Bapa yang kekal”, bukan menunjuk bahwa Bapa dan
Anak itu adalah identik dalam arti rumusan Tritunggal, namun dalam makna SoteriologisKristologis, bahwa sebagai yang telah lahir menjadi daging Ia itu adalah Bapa yang baru bagi
manusia dan yang memberi kekekalan kepada manusia. Sama seperti Adam adalah Bapa yang
lama, yang mewariskan kebinasaan dan kematian kepada manusia ( Roma 5:12), dengan kata
lain Adam adalah “Bapa Kematian” demikianlah Kristus adalah “Bapa Kekekalan”. Jelaslah
bahwa Anak dan Bapa itu tidak identik dan tidak disamakan begitu saja, karena memang
Firman Allah itu bukan Sang Bapa itu. Namun bahwa Firman Allah itu tak beda sifatnya
hakikiNya dari Allah, dikatakan demikian oleh ayat-ayat berikut: “….Firman itu adalah
Allah” ( Yohanes 1:1), “Aku ( Firman Allah yang menjelma) dan Bapa ( Allah) adalah
satu…..Jawab orang Yahudi:…..Engkau ( Yesus Kristus =Firman Allah menjelma)
….menyamakan diriMu dengan Allah ( bukan :” mengidentikkan pribadi dengan Bapa”,
menyamakan disini dalam arti sama hakekatNya dengan Allah sebagai Firman Allah)” (
Yohanes 10:30,33), Tomas menjawab Dia (Yesus Kristus = Firman Allah Menjelma) “ Ya
Tuhanku dan Allahku” ( Yohanes 20:28), “….Mesias dalam keadaanNya sebagai
manusia….Ia adalah Allah yang harus dipuji sampai selama-lamanya.Amin “ ( Roma 9:5),
“….Yesus, dalam rupa Allah…kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik….” ( Filipi 2:5-6),
“…AnakNya Yesus Kristus. Dia adalah Allah yang benar…..” (I Yohanes 5:20). Fakta bahwa
Anak (Firnan Allah) itu bukan Bapa (Allah), namun tak beda dari Bapa (Allah, sebab Ia
disebut juga Allah) ini sebanding dan sejajar dengan pemahaman dalam Islam bahwa Sifat
Allah itu bukan Allah namun tak beda dari Allah, atau Sifat-sifat Allah itu bukan Allah
namun bukan makhluk, atau bukan diciptakan. Demikianlah meskipun Firman Allah itu
bukan Allah artinya bukan Sang Bapa (Ho Theos) dalam pemahaman Iman Kristen
Orthodox, namun Ia bukan makhuk juga dan tak berbeda dari Allah (dalam bahasa
Orthodox:satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) Karena Firman Allah bukan makhluk dan
tak beda dari Allah ( yaitu: satu dzat-hakekat dengan Sang Bapa) inilah maka dalam bahasa
Iman Kristen “Firman” itu disebut Allah. Perhatikanlah Injil Yohanes 1:1 ini, untuk Allah
yang Esa (Sang Bapa) Ia disebut Ho Theos (pelengkap penderita “ton Theon” berasal dari
subyek “Ho Theos”), dengan kata sandang tertentu “Ho” namun untuk Firman hanya
disebut “Theos” tanpa kata sandang “Ho”, untuk menunjuk bahwa “Ia bukan, namun tak
berbeda” dengan Allah ( Sang Bapa ) itu. Sedangkan mengenai realita “Firman Allah” yang
memiliki hypostasis itu, kita harus membandingkan dengan faham Tassawuf mengenai “Nur
Muhammad.” Menurut faham Tassawuf Allah yang ghoib itu ingin diriNya dikenal., lalu
mengadakan “tajjali” (theophany) yaitu penampakan Diri. Penampakan Diri ini dilakukan
melalui Nama dan Sifat-sifatNya. Nama dan sifat Allah ini menampakkan diri dalam realita
”Nur Muhammad” . Dan melalui Nur Muhammad ini semua makhluk yang lain berasal.
Sehingga Nur Muhammad adalah cermin Allah, dan Allah adalah cermin Nur-Muhammad.
Jadi Nur Muhammad adalah semacam “Logos” dalam ajaran Kristen Orthodox. Nur
Muhammad ini meskipun ia bukan Allah, namun bukan makhluk juga, karena ia bersifat azali
atau abadi. Demikianlah “Firman Allah” dalam ajaran Iman Kristen Orthodox itu disebut
153
Logos, dan melalui Logos ini Allah menciptakan segala sesuatu, seperti halnya melalui Nur
Muhammad segala sesuatu berasal, menurut Tassawuf Islam.. Allah yang ghoib itu mengenal
DiriNya dalam “Logos” ini ( Mat.11:27)., sehingga Logos adalah “Gambar Allah yang tak
kelihatan” ( Kolose 1:15) dengan menggunakan bahasa Tassawuf “Logos” adalah “Cermin
Allah”, sehingga barangsiapa melihat “Logos” (“Anak”) Ia telah melihat Allah (“Bapa”) (
Yohanes 14: 9).Sebagaimana dalam Tassawuf “Cermin Allah” ini disebut NUR (Cahaya)
Muhammad, demikianlah “Gambar Allah “ atau Logos itu disebut sebagai “ Cahaya
Kemuliaan Allah” dan “Gambar Wujud Allah” ( Ibrani 1:3). Dengan demikian dapat
dimengerti jika Nur Muhammad itu memiliki hakekat jati-diri yang secara sempurna nantinya
akan menampakkan diri dalam diri Nabi Muhammad, menurut Tassawuf, maka Logos
itupun dalam Iman Kristen Orthodox dimengerti memiliki hypostasis ( realita yang
menggaris-bawahi jati diri) yang secara sempurna menampakkan diri atau menjadi daging di
dalam diri manusia Yesus Kristus (Isa Almasih). Bedanya, dalam Islam Sifat “Kalimat” dan
realita “Nur Muhammad” itu dua hal yang terpisah sedangkan dalam Iman Kristen
Orthodox, “Firman “ sebagai sifat Allah itu juga adalah “Cahaya (Nur) kemuliaan” Allah
sendiri, yaitu Logos tadi. Jadi “Kalimat” (Firman) itu bukan hanya sekedar aspek sifatullah
saja, namun realita Logos yang ada di dalam diri Allah. Dalam Islam Allah memberikan
komunikasi kehendakNya melalui Kitab yang diturunkan: Al-Qur’an, yang adalah “Firman
Allah” yang “Nuzul” ( diturunkan). Karena Al-Qur’an itu diyakini sebagai “Firman Allah”
maka Qur’an itu memiliki dua sifat “tercipta” dalam bentuk tulisan dan kertas, dan “tak
tercipta” atau azali sebagai realita “Firman Allah”. Hal yang sama difahami oleh Iman
Kristen Orthodox. Allah memberikan komunikasi kehendak dan rencanaNya juga melalui
“Firman”. Hanya bedanya karena dalam Iman Kristen Orthodox Firman itu bukan hanya
sekedar aspek dari sifat-sifat Allah, namun memiliki hypostasis, ketika diturunkan Ia tak
hanya berwujud suara dan tulisan yaitu wujud Kitab, namun “Firman itu telah menjadi
manusia “ ( Yohanes 1:14). Sebagaimana “Nur Muhammad” menampakkan diri secara
sempurna di dalam diri Kanjeng Nabi, demikianlah dalam Iman Kristen Orthodox “Logos”
yang adalah sekaligus “Kalimat” dan “Nur” itu telah secara sempurna “menjadi manusia” di
dalam Diri Manusia Yesus Kristus (Isa Almasih). Jadi Yesus Kristus adalah “Firman Allah”
yang “Nuzul” dalam bentuk manusia. Oleh karena ini sebanding dengan faham Islam dimana
Al-Qur’an sebagai Firman Allah memiliki sifat tercipta dan tak tercipta, demikianlah dalam
Iman Kristen Orthodox Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang menjadi daging memiliki
sifat “tercipta” yaitu “Manusia Sejati”, dan “tak tercipta” yaitu sifat kekal, dan azali. Padahal
hanya Allah saja yang kekal dan tak tercipta, dan telah kita bahas bahwa Firman Allah itu
bukan Allah (yaitu bukan Sang Bapa) namun tak berbeda dari Allah (yaitu satu dzat-hakekat
dengan Sang Bapa), maka keadaan Yesus sebagai Firman yang azali ini disebut “Allah”, yang
artinya , Dia sudah ada sejak kekal dan melekat (“qoimah”) satu di dalam hakekat Allah yang
Esa (Sang Bapa) itu. Jadi yang dimaksud “Allah jadi manusia” dalam Iman Kristen Orthodox
adalah, “Firman Allah” yang ber-hypostasis, yang memiliki sifat ilahi yaitu kekekalan, telah
“nuzul” (“turun”) sebagai manusia, yaitu Yesus Kristus. Jadi bukan Allah yang Maha Esa
(Sang Bapa) itu yang menjadi manusia, namun “FirmanNya” (yang disapa dalam bahasa
theologis: “Anak”) itu yang dinuzulkan keatas bumi. Jadi jika dalam Islam faham tentang sifat
dzatullah: “Kalimat”, serta “Nur-Muhammad” dan “Al-Qur’an” adalah tiga realita yang
berbeda-beda, namun dalam Iman Kristen Orthodox fungsi dari ketiganya tadi telah
terangkum dalam satu wujud yaitu "Logos"” yang akhirnya menjadi manusia Yesus Kristus.
Demikianlah pemahaman Iman Kristen Orthodox yang sebenarnya. Karena Alkitab
mengatakan “….Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1:1), dan “…Firman itu telah menjadi
manusia” (Yohanes 1:14), maka untuk mempersingkat orang Kristen sering mengucapkan
154
“Allah telah menjadi manusia”, padahal yang dimaksud adalah “Firman Allah” itu telah nuzul
(“turun”) sebagai “daging” atau manusia: Yesus Kristus. Dan karena daging itu dalam bahasa
Latin adalah “carnus”, maka menjadi daging adalah “incarnatio” atau “INKARNASI”.
Namun jangan dikacaukan dengan “re-inkarnasi” yang merupakan ajaran Hindhu-Budha
tentang tumimbal-lahir, yaitu orang yang lahir menjadi manusia kembali setelah kematian,
ajaran re-inkarnasi ini tidak diterima oleh Iman Kristen Orthodox..
Sebagai dampak dari penghayatan dari ajaran tentang Inkarnasi yang sangat khas Orthodox
adalah terdapatnya “ikon-ikon” sebagai bagian integral dari theologia Orthodox. Gereja
Orthodox tidak menggunakan patung, dan dilarang menggunakan patung. Namun memiliki
ikon-ikon atau gambar-gambar simbol theologis yang mengekspresikan iman dan dogmanya.
Sehingga ikon-ikon ini disebut sebagai “theologia dalam warna”. Ikon ini berasal dari
Alkitab itu sendiri. Memang pada saat Allah menyatakan Diri kepada Musa dan memberikan
Dasa Titah, dikatakan: “ Jangan ada padamu ilah lain dihadapanKu. Jangan membuat
bagimu patung yang menyerupai apapun…Jangan sujud menyembahnya atau beribadah
kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu…” ( Keluaran 20: 3-5). Disini larangannya adalah
jangan ada “ilah lain” dihadapan Allah yang Esa itu, sehingga ilah lain itu diekpresikan
sebagai “patung yang menyerupai apapun” untuk “disujud-sembahi” dan untuk “diibadahi”
sebagai tandingan Allah. Larangan ini disebabkan TUHAN itulah Allah bukan patung-patung
tadi. Jadi yang dilarang disini adalah “patung ilah” atau “patung dewa” yang diibadahi sebagai
tandingan Allah, bukan asal patung saja. Allah yang Esa tak dapat dipatungkan karena pada
waktu Dia menyatakan Diri itu tanpa wujud dan bentuk yang kelihatan, sebagaimana yang
dikatakan:” Lalu berfirmanlah TUHAN kepadamu dari tengah-tengah api; SUARA KATAKATA KAMU DENGAR, TETAPI SUATU RUPA TIDAK KAMU LIHAT, hanya ada
suara….Hati-hatilah sekali – sebab KAMU TIDAK MELIHAT SESUATU RUPA pada hari
TUHAN berfirman kepadamu di Horeb dari tengah-tengah api – supaya JANGAN KAMU
BERLAKU BUSUK DENGAN MEMBUAT BAGIMU PATUNG YANG
MENYERUPAI BERHALA APAPUN…..” ( Ulangan 4:12,15-16 ). Menurut ayat-ayat ini
pembuatan patung berhala atau patung ilah yang menggambarkan Allah dilarang, karena
Allah menyatakan Diri hanya berwujud suara saja, tanpa rupa yang kelihatan. Karena tanpa
rupa yang kelihatan, berarti membuat gambaran tentang Allah dalam patung adalah dusta
sebab patung yang sedemikian hanyalah reka-rekaan manusia yang bukan menggambarkan
realita yang sebenarnya, oleh karena itu dilarang. Namun jika patung itu bukan patungnya
Allah, ilah atau Dewa, bukan saja tak dilarang malah diperintahkan, contohnya: patung
Kerubim dalam Ruangan Maha Kudus ( Keluaran 25: 18-20), dan patung-patung serta
gambar-gambar (ikon-ikon) yang ada di dalam Bait Allah yang dibangun oleh Salomo
(Sulaiman) ( I Raja-raja 6:23-35). Demikianlah larangan membuat patung itu mutlak sifatnya
jika yang dipatungkan adalah Allah sendiri, ilah, atau Dewa. Namun jika itu patung atau
gambar makhluk Allah dan tidak dianggap ilah serta tidak diibadahi sebagai ilah, bahkan
sebagai alat ibadah dan ditempatkan rumah ibadahpun tidak dilarang, seperti yang kita lihat
dalam bukti-bukti diatas. Jika larangan membuat patung dalam Perjanjian Lama itu hanya
dibatasi pada patungNya Allah, ilah, atau Dewa saja karena terkait dengan cara Allah
menyatakan Diri, bagaimanakah dengan Perjanjian Baru? Dalam Perjanjian Baru Allah
menyatakan diri dengan cara yang lain. Dia menyatakan diri dalam “Wujud yang Nampak”
bukan tanpa rupa yang tak kelihatan yaitu dengan jalan :” Firman itu telah menjadi
MANUSIA…. Dan kita TELAH MELIHAT kemuliaanNya….” ( Yohanes 1:14 ). Jadi
penampakan diri Allah dalam Perjanjian Baru melalui FirmanNya itu dengan Wujud Yang
Nampak :Manusia yang Dapat Dilihat. Wujud Penampakan Allah dalam FirmanNya yang
155
Menjelma yang dapat dilihat itu begitu nyatanya, sehingga dikatakan:” Apa yang telah ada
sejak semula, yang telah KAMI DENGAR, yang telah KAMI LIHAT DENGAN MATA
KAMI, yang telah KAMI SAKSIKAN dan yang telah KAMI RABA DENGAN TANGAN
KAMI tentang FIRMAN HIDUP- itulah yang kami tuliskan kepada kamu ( I Yohanes 1:1 ).
Firman itu disebut “Firman Hidup”: karena Dia menyatakan Diri sebagai makhluk hidup:
Manusia, bukan buku mati yang berwujud tulisan. Begitu hidupnya penampakan ini sehingga,
Ia telah: di dengar, dilihat dengan mata, disaksikan, diraba dengan tangan. Jika larangan
Perjanjian Lama tentang pembuatan patung Allah itu terkait dengan penampakannya yang
tanpa rupa, sekarang Dia nampak “Dengan Rupa”, masihkah larangan itu berlaku? Jelas
tidak. Keberadaan Allah yang azali dan ghaib itu tetap tak dapat digambarkan, namun
keberadaan penampakanNya sebagai manusia yang telah di dengar, dilihat, disaksikan dan
diraba dengan tangan itu jelas dapat dan harus digambarkan untuk menegaskan bahwa Allah
sekarang sudah menampakkan Diri bukan tanpa rupa lagi, namun “DENGAN RUPA”.
Karena pada saat membuat patung Allah dalam Perjanjian Lama masih dilarang saja, patung
yang bukan Allah malah diperintahkan untuk membuat untuk tujuan ibadah, apalagi
sekarang. Itulah sebabnya ada Ikon. Ikon menegaskan makna Inkarnasi Kristus. Yang
digambarkan bukan keilahianNya yang tak nampak, namun pribadiNya yang menyatakan
Diri dalam penampakan Manusia itu. Jadi Ikon punya fungsi Dogmatis dan Theologis, bukan
hanya sekedar hiasan. Oleh karena itu bentuknya bersifat simbolis bukan menggambarkan
bentuk manusia natural, namun bentuk simbol dogmatis. Mengapa tidak membuat patung
saja kalau begitu? Karena yang digambarkan adalah fungsi theologis dan dogmatisNya, bukan
hanya sekedar keindahan estetika naturalnya, maka penmggambaran itu harus sesuai dengan
julukan theologia bagi penampakan Kristus itu. Ketika Kristus menampakkan Diri, Dia tak
disebut sebagai “PatungNya Allah”, namun sebagai “Gambar Allah” (Kolose 1:15, II
Korintus 4:4, Ibrani 1:3), itulah sebabnya rekaman inkarnasiNya bukan berwujud patung
namun “Gambar,” yang bahasa Yunaninya berbunyi “Ikon”. Konsisten dengan makna
theologis bagi Inkarnasi Kristus inilah Gereja Orthodox tak pernah menggunakan patung,
meskipun Perjanjian Lama mengijinkan pembuatan patung, sebab tolok-ukurnya adalah
Inkarnasi (Penjelmaan) Firman Allah sebagai manusia. Mengapa ada juga Ikon orang kudus,
bukan Kristus saja? Karena orang-orang kudus itu adalah yang “ditentukan dari semula
untuk menjadi serupa dengan Gambaran AnakNya” ( Roma 8:29). Jadi mereka adalah
“keserupaan Gambar Kristus”, sebagai dampak langsung dari Inkarnasi, itulah sebabnya
mereka juga digambarkan. Jika dibandingkan apa yang terdapat di dalam Agama Islam,
Ikonografi dalam pemahaman Gereja Orthodox itu sejajar dengan Kaligrafi dalam
pemahaman Islam. Dalam Islam, terlebih-lebih kaum Wahabi, segala bentuk gambaran
manusia suci, terutama Nabi, apalagi Allah itu haram hukumnya. Ini konsisten dengan ajaran
Islam bahwa Allah itu ghaib dan berbeda sama sekali dengan makhluknya, serta larangan
yang keras dalam Islam akan syirik( menyekutukan Allah). Allah yang ghaib itu, menurut
Islam, sebagaimana juga menurut Iman Orthodox, telah memberikan Wahyu kepada
manusia melalui “FirmanNya” yang diturunkan. Dalam Islam turunNya Firman Allah itu
berwujud Kitab Al-Qur’an kepada Baginda Nabi, sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox
turunnya Firman itu berwujud manusia Sang Junjungan Agung Yesus Kristus melalui
kelahiranNya oleh Maryam. Jadi paralelnya antara Islam dan Kristen Orthodox adalah: AlQur’an sebagai Firman Allah yang Nuzul, dengan Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang
Menjadi Manusia, Nabi Muhammad sebagai Sang Penerima dan Pelahir Firman Allah melalui
ucapan-ucapan Kalam Suci itu dari mulutnya, dengan Siti Maryam yang menerima Firman
Allah dalam kandungannya dan melahirkannya. Kebuta-hurufan Nabi Muhammad agar
kalimat-kalimat Al-Qur’an yang diucapkan itu bukan berasal dari kepandaiannya sendiri
156
namun murni dari Allah, dengan Keperawanan Siti Maryam agar Bayi yang dilahirkan itu
bukan karena perbuatan manusia namun semata-mata mukjizat dari Allah. Karena Firman
dalam Islam itu menjadi Al-Qur’an yang berbahasa Arab, maka seni agamawi atau seni
Tauhid Islam itu yang terutama sekali adalah berwujud kandungan Kitab Suci Al-Qur’an
yaitu ayat-ayatNya yang berbahasa Arab: Kaligrafi. Sedangkan dalam Iman Kristen Orthodox
karena Firman itu diturunkan dalam wujud manusia Yesus Kristus, maka seni keimanan atau
seni theologia dari iman Kristen Orthodox adalah wujud kemanusiaan Kristus, yaitu gambar
(ikon): Ikonografi. Hormat orang Kristen Orthodox terhadap Ikon adalah sebanding dengan
hormat umat Muslimin terhadap huruf dari ayat-ayat suci Al-Qur’an. Sebagaimana umat
Muslimin mencium Al-Qur’an sebagai tanda hormat atas isinya, demikianlah orang
Orthodox mencium ikon sebagai tanda hormat akan isi ajaran yang digambarkan disitu.
Mengenai mencium Ikon-ikon bagi orang luar mungkin akan dianggap sebagai menyembah
berhala, namun posisi Orthodox adalah demikian. Mencium ikon itu juga salah satu bentuk
hormat dan persekutuan kasih. Karena umat Kristen Orthodox percaya bahwa orang yang
percaya kepada Kristus, apalagi yang sudah mencapai kekudusan, biarpun sudah mati mereka
masih hidup (Yohanes 11:28) karena mereka sudah pindah dari maut kepada hidup ( Yohanes
5:24). Dan yang digambar dalam ikon adalah orang-orang semacam itu. Berarti mereka adalah
sesama saudara seiman. Padahal antar saudara seiman harus ada hubungan persekutuan dan
kasih. Dan salah satu bentuk persekutuan dan kasih itu adalah dengan saling bersalaman dengan
“Cium Kudus” ( Roma 16:16, II Kor. 13:12, I Pet. 5:14). Salam “Cium Kudus” dengan saling
menempelkan kiri dari kanan-kiri-kanan ini dilakukan pada saat berjumpa dan terutama pada saat
tertentu dalam Liturgi Suci antara mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama. Karena orangorang kudus yang digambar dalam ikon itu masih hidup, dan merupakan anggota dalam satu
Gereja yang sudah mendapatkan kemenangan atas dosa, maka ummat Orthodox mengasihi
mereka dan sekaligus menghormati mereka, agar meneladani iman mereka dan selalu mengingat
mereka ( Ibrani 13:7). Karena secara fisik jasmani mereka tak dapat lagi diberi salam, maka
simbol kehadiran mereka, yaitu ikon-ikon itulah yang diberi salam dengan “Cium Kudus” itu.
Sekali lagi tak ada penyembahan berhala sedikitpun dalam hal ini. Semuanya adalah aplikasi rinci
dari data Kitab Suci, bukan sesuatu yang diambil dari paganisme
Akan lebih mengejutkan lagi jika orang luar kadang-kadang melihat orang-orang Orthodox
kadang-kadang bersujud, dimana didepannya terdapat suatu ikon. Dan orang yang tidak
melihat Alkitab dengan teliti akan langsung menuduh tingkah laku umat Kristen Orthodox
ini sebagai penyembahan berhala yang tidak mempunyai landasan dalam Alkitab. Dan pasti
ini dianggap sebagai pengaruh agama kafir Yunani atau agama-agama pagan lain yang ada di
sekitar Timur Tengah di zaman itu. Namun orang Kristen Orthodox justru melakukan sujud
seperti itu karena taat pada data Alkitab secara apa adanya dan secara harafiah. Dan melihat
orang yang mengaku Kristen tetapi menolak sujud, sebagai orang yang tak sungguh-sungguh
taat pada teladan yang diberikan Kitab Suci yang dibacanya. Di dalam Kitab Suci tidak semua
gambar atau patung itu adalah berhala, bahkan ada patung yang diperintahkan oleh Allah
untuk dibuat, misalnya patung malaikat Kerubim dari emas atau dari kayu berukuran besar
dalam Kemah Ibadah bangsa Israel baik di zaman Musa maupun Sulaiman (Salomo) (
Keluaran 25, 18-20, 37:7-9, I Raja-Raja 6: 23-28), juga gambar-gambar disekitar dinding
ruangan tempat ibadah itu ( I Raja-Raja 6:29-35). Jika bukan setiap gambar atau patung itu
dianggap berhala, lalu apakah berhala itu? Definisi tentang berhala itu diberikan oleh Kitab
Suci demikian: 1) …..Memuja dan Menyembah makhluk dengan melupakan (sebagai ganti dari ,
Yun.) Penciptanya ( Roma 1:25), 2)……Ada padamu Ilah lain….yang menyerupai apapun
157
yang ada di langit….di bumi….di bawah bumi….sujud beribadah kepadanya atau beribadah
kepadanya…..( Keluaran 20: 3-5). Yang termasuk jenis berhala pertama adalah
memprioritaskan yang benda sebagai hal yang utama dan menempatkan ditempat yang
seharusnya milik Allah dalam hidup manusia, misalnya cinta akan Mamon (Harta-benda,
kekayaan, materi) ( Matius 6:24), membiarkan diri dikuasai hawa-nafsu dan keingin perut (
Fil. 3:19), keserakahan (Kolose 3:5), dan lain-lain. Yang termasuk jenis berhala kedua adalah
mempercayai ada ‘ ilah lain” selain Allah yang Esa, yaitu percaya adanya kuasa-kuasa yang
lain yang dapat menolong manusia selain Allah yang Esa itu, misalnya ilmu sihir, mantra,
ilmu klenik, tenaga dalam, atau keyakinan kepada dewa-dewi ( Ulangan 18: 9-12, I Kor. 8:4),
entah itu dipatungkan, digambar atau tidak. Jadi tidak semua patung atau gambar itu pasti
berhala, dan tidak semua berhala itu berwujud patung atau gambar. Ikon adalah gambar,
namun itu bukan berhala, karena tidak dianggap ilah atau dewa-dewi, tidak menggantikan
tempatnya Allah, juga tidak dianggap sebagai tandingan atau saingan Allah, dan tak pula
diibadahi sebagai Allah. Ikon adalah simbol theologia mengenai karya Allah pada
makhlukNya melalui penebusan Yesus Kristus. Pertanyaan yang kedua, kalau bukan berhala
mengapa orang Orthodox kadang-kadang sujud di depannya? Dalam Kitab Suci sujud itu
juga mempunyai beberapa makna: 1) Sujud mutlak dan wajib, hanya boleh kepada Allah
sebagai suatu ibadah dan penyembahan (Kejadian 24:26, 52, 17:3, Matius 26: 39, Wahyu
4:10). 2) Sujud haram yang dilarang, yaitu sujud kepada berhala-berhala dan ilah-ilah (
Keluaran 20:3-5), sujud kepada malaikat-malaikat atau kepada manusia sebagai makhluk yang
disembah dan diper-ilah atau dengan sikap menyembah seperti kepada Allah (Kolose 2: 18,
Wahyu 19:10, 22:8-9) 3) Sujud kepada sesama manusia sebagai tanda hormat yang tak
diwajibkan namun juga tak dilarang , misalnya sujudnya Abraham kepada penduduk negeri
Hebron (Kejadian 23:12), sujudnya Yakub kepada Esau abangnya ( Kejadian 33: 3), sujudnya
ayah-ibu Yusuf kepadanya, dalam mimpi (Kejadian 37: 10), dan lain-lain. Sujud orang
Orthodox adalah sujud jenis ketiga ini. Karena orang Orthodox tidak menyembah gambar
waktu melakukan itu, namun menghormati makna theologia yang terlukis padanya, dan
menghormati orang yang digambarkan padanya, tanpa sedikitpun terpikir bahwa mereka itu
dewa., ilah, atau makhluk yang berkuasa. Orang Orthodox melihat para orang kudus yang
digambar disitu adalah teladan yang harus dihormati, dan menurut Alkitab sujud jenis ketiga
itu adalah bentuk penghormatan mendalam itu. Jadi tak ada penyembahan berhala dalam
Iman Krsten Orthodox, yang ada adalah taat pada ajaran Kitab Suci sampai detailnya
b. Gelar-gelar Yesus Kristus
Dalam Pengakuan Iman ini beberapa gelar Yesus Kristus disebutkan, diantaranya adalah nama
manusiaNya: Yesus, dan gelar pengangkatanNya sebagai Mesias: Kristus (Almasih). Gelar
yang lain adalah: Tuhan, Anak Allah, Terang dan Allah Sejati. Karena Pengakuan Iman ini tidak
menjelaskan secara rinci, karena sifatnya yang berupa ringkasan saja, dari arti gelar-gelar itu,
marilah kita bahas makna gelar-gelar ini terutama gelar “Tuhan” karena justru itulah yang
sering menjadi masalah. Sebagai Firman yang tekah menjadi manusia, dan sebagai yang telah
dibangkitkan Allah, Kristus disapa dengan gelar “Tuhan” baik oleh Perjanjian Baru itu
sendiri, maupun oleh Pengakuan Iman Gereja ini. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari kata
“Tuhan” langsung dimengerti sebagai “Allah”. Sehingga menyebut Yesus sebagai “Tuhan”
langsung membuat kesan bahwa Allah yang Esa itu adalah Yesus itu. Apalagi jika itu
158
dikaitkan dengan pengakuan Islam”Tiada Tuhan, selain Allah”, menyebut Yesus sebagai
Tuhan berarti akan difahami umat Kristen berbuat syirik (mempersekutukan Allah), karena
ada Tuhan lain disamping Allah, yaitu Tuhan Yesus. Padahal bukan demikian ajaran
Perjanjian Baru maupun Iman Kristen Orthodox. Kata “Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan
kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3 latar-belakang:
1. Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh) sebagai
Nama Allah sendiri dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini sangat suci
sekali sehingga takut untuk mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata “YHWH”
ini mereka baca dengan bunyi “Adonay” (“Tuhanku”). Pada waktu Akitab Ibrani
diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka setiap
kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah yang
ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri. Dan dengan
mengikuti tradisi ini maka terjemahan Perjanjian Lama bahasa Indonesia selalu menulis
“TUHAN” ( dengan huruf besar semua untuk terjemahan bahasa Ibrani YHWH tadi).
2. Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan,
kepenguasaan atau kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini
kata “Kyrios” yang digunakan orang-orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu
seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:” Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan
memanglah demikian maknanya.
Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini
mempunyai makna sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan” (Kyrios)
disini tak langsung menunjuk kepada makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya sebutan
“Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan penggunaanya dengan sebutan “Kyrios”
(“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya bukan “Allah Yesus”
namun “Sang Penguasa Yesus”. Hal ini dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-ayat
berikut ini :”…Yesus adalah Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang
mati…” (Roma 10:9-10), “ Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu
Allah saja, yaitu Bapa,…..satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih
banyak yang lain lagi. Ayat-ayat diatas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan
“Tuhan” yaitu Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan
Yesus menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari
antara orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan
(berarti: ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan
mutlak: Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” ( Matius 28: 18). Dengan demikian karena
Allah yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang telah
bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau
“Tuhan” atas sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh
kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu
salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios”
(“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Adam yang
terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena kejatuhan.
b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh Kalimatullah yang
menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan kepenguasaanNya atas alam
melalui kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau keTuhanan Allah yang sama dan hanya
satu itu, dilaksanakan melalui manusia Yesus Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan
demikian Yesus tetaplah Kalimatullah yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah
itu Allah melaksanakan kuasa KetuhananNya sendiri. Dengan demikian baik Allah maupun
159
KalimatNya tak berubah, baik dalam hakekatNya maupun dalam hubunganNya, meskipun
Kalimat itu telah nuzul sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia, karena dengan
kuasa mutlak sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh
manusia yang hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari
Kebangkitan nanti (Filipi 3:20-21). Jadi gelar “Tuhan” bagi Yesus bukanlah dalam makna
“Ilah” yang diangkat sebagai sekutu Allah, sebagaimana yang sering kita dengar ketika
saudara-saudara Muslim mengucapkan “La Ilaha illallah “ , “Tiada Ilah/Tuhan selain Allah”.
Sebab Ilah artinya makhluk yang didewakan dan disejajarkan dengan Allah, padahal, Tuhan
bagi Yesus adalah gelar yang dikaruniakan Allah sendiri, terhadap “FirmanNya” sendiri yang
dimuliakan setelah menjelma menjadi manusia.
3.c. Karya Kristus
Penjelmaan (inkarnasi, dari Bahasa Latin: “in + carnus/daging + tio” [incarnatio] = menjadi
daging) adalah permulaan Karya Kristus sesudah turun dari sorga. Dan tujuan semua karya
itu adalah “untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita”. Dengan demikian Dia
turunkan Kristus karena ingin kita menjadi selamat. tetapi keselamatan tak terjadi begitu
saja, namun melalui “disalibkan bagi keselamatan”kita, dan penyaliban ini bukanlah suatu
peristiwa khayal dan dongeng namun peristiwa menyejarah yang terjadi “dibawah
pemerintahan Pontius Pilatus” dan dalam peristiwa itu Yesus Kristus benar-benar
“menderita sengsara” dan akhirnya “dikuburkan”. Karena turunNya dari dari sorga,
penjelmaanNya dan penyaliban serta penguburanNya itu “untuk kita manusia dan untuk
keselamatan kita”, dan di atas telah kita lihat bahwa manusia itu dalam keadaan tidak
selamat dan berdosa yang ditandai dengan kematian, maka agar manusia dilepaskan dari
keberadaan kematian itu maka “pada hari ketiga Dia telah bangkit”. Dengan bangkitNya
itu Dia mengalahkan kuasa maut. Dan setelah bangkit “Dia telah naik ke Sorga “agar
manusiapun boleh lepas dari kuasa maut dan akhirnya juga boleh naik ke sorga seperti
Kristus, karena semua karya Kristus itu untuk “kita manusia”. Namun bukan hanya naik ke
sorga saja, setelah naik ke sorga, Kristus “duduk di sebelah kanan Sang Bapa” artinya
masuk dalam kemuliaan dan kuasa Allah sendiri, sehingga manusiapun pada akhirnya ikut
manunggal dalam Kuasa dan Kemuliaan Allah yang sama.
Di zaman purba ada kelompok-kelompok sekte gnostik yang tidak percaya penyaliban Kristus.
Alasannya bukan berdasarkan fakta sejarah, namun berdasarkan ide sektarian mereka. Menurut
mereka yang jasmani ini buruk, hanya yang roh itu yang baik. Maka jika Kristus adalah Logos tak
mungkin Ia betul-betul jadi manusia, karena tak mungkin Logos bersentuhan dengan benda
jasmani. Jadi kalau memang Ia kelihatannya disalib itu hanya kelihatannya saja begitu, yang
sebenarnya Kristus mentertawakan orang-orang yang menyalibkannya itu. Oleh karena itu aliran
sektarian ini disebut sebagai “doketisme” (dari kata “dokein” = kelihatan). Namun agama-agama
Semitik: Yahudi, Kristen dan Islam menolak faham tentang buruknya yang jasmani. Khususnya
dalam Iman Kristen Ortodox bukti dari baiknya yang jasmani adalah Firman itu telah mengambil
daging jasmani dan telah mensucikan yang jasmani yang dimengerti dalam wujud ikon-ikon. Jadi
penolakan penyaliban dari ide penolakan yang jasmani itu, secara doktrinal tak bisa diterima dan
secara sejarah tak punya dasar. Saudara-saudara Muslimin biasanya menolak Penyaliban Isa
Almasih berlandaskan Surah An-Nissa 157:” Dan perkataan mereka (umat Yahudi):
Sesungguhnya kami telah membunuh Isa Anak Maryam, Utusan Allah. Dan sebenarnya mereka
tidak membunuhnya dan tidak menyalibkannya, tetapi diserupakan kepada mereka ( “syubiha
lahum”)……” Kebanyakan umat Muslimin mentafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa
160
Isa tidak disalib, namun orang lain yang diserupakan seperti Isa oleh Allah –biasanya Yudas
Iskariot yang ditunjuk—sebagai ganti Isa. Sedangkan Isa sendiri diangkat oleh Allah ke sorga.
Namun tidak semua pemikir Muslim mengajarkan demikian: Yusuf Syueib mengatakan bahwa
Isa memang disalib, tetapi hanya pingsan saja, lalu setelah siuman melarikan diri ke Qumran
hidup dengan ibunya bersama sekte Esseni dan wafat disana, Drs. Hasbullah Bakry mengatakan
yang sama seperti Yusuf Syuaib, namun tidak tahu kemana akhir hidup Isa. Umat Ahmadiyyah
juga mengatakan yang sama, bahwa Isa memang disalib dan pingsan, namun setelah sadar ia
melarikan diri ke Kashmir India, dimana kuburannya masih ada sampai sekarang. Kelihatannya
sarjana-sarjana Muslim dan umat Ahmadiyyah yang mengakui penyaliban Isa itu disebabkan
adanya ayat-ayat yang mengatakan :” Dan keselamatan untuk aku, di hari aku dilahirkan, di hari
aku wafat….” ( Surah Maryam 33),”Ketika Allah mengatakan: Hai Isa! Sesungguhnya Aku akan
mematikanmu…..” ( Surah Ali Imran 55) “…..Dan setelah Engkau (Allah) mewafatkan aku (Isa),
Engkaulah Pengawas mereka…..” (Al-Maidah 117). Dan ayat-ayat ini diambil secara literal,
bahwa Isa memang akan mati, oleh karena itu yakin bahwa yang disalib memang Isa. Sedangkan
yang tak percaya pada penyalibannya biasanya mengambil ayat dari An-Nisa 157 diatas
:”….mereka tidak membunuhnya dan menyalibkannya…”. Dan kelompok ini yang mengakui Isa
diangkat ke sorga, karena memang ada ayat :”Tetapi, Allah telah mengangkat Isa kepadaNya….”
( An-Nisa 158), “…..Hai Isa sesungguhnya Aku akan mematikanmu dan mengangkatmu
kepadaKU….” ( Al Imran 55). Bagaimana sesudah mati ini lalu diangkat, ada ayat lain :”…..di
hari aku dibangkitkan hidup kembali” (Maryam 33). Sebagai orang Kristen, kalau diizinkan untuk
memahami An-Nisa 157 itu, pertama penulis perlu menegaskan bahwa tidak ada bukti dari AlQur’an maupun Hadits yang mengatakan bahwa orang bernama Yudas Iskariot (Yahudza) yang
disalib setelah diubah rupa. Bahkan kalau menurut Injil Yudas itu mati bunuh diri dengan mati
gantung (Matius 27 :5), dan kemudian ketika terjadinya gempa bumi hebat akibat kematian Yesus
(Matius 27:51),Yudas tubuhnya jatuh tertelungkup -- dari gantungannya -- sehingga isi perutnya
tumpah keluar ( Kisah Para Rasul 1: 18). Yang kedua, yang dikritik oleh An-Nisa 157 itu adalah
pengakuan orang Yahudi bahwa “kami telah membunuh Isa Anak Maryam”. Padahal menurut
faktanya yang membunuh Isa adalah Pontius Pilatus (Gubernur Romawi) :” Kata Pilatus kepada
mereka:” Ambillah Dia dan hakimilah Dia menurut Tauratmu.” Kata orang Yahudi itu:” Kami
tidak diperkenankan membunuh seseorang” ( Yohanes 18: 31) Kata Pilatus kepada mereka :”
Ambil Dia dan salibkan Dia……” ( Yohanes 19:6). Jadi berdasarkan fakta ini jika orang Yahudi
memaksakan diri mengatakan “ kami telah membunuh Isa Anak Maryam” jelas tidak demikian
faktanya, dengan singkat ditolak oleh data Injil dan secara tepat dikatakan Al-Qur’an “mereka
tidak membunuhnya” sebab yang membunuh adalah Pontius Pilatus. Juga pada waktu
penyaliban dikatakan oleh Injil :” Kemudian serdadu-serdadu wali negeri membawa
Yesus…..berjalan keluar kota…di suatu tempat bernama Golgota…..Sesudah menyalibkan Dia
mereka membagi-bagi pakaianNya….” ( Matius 27:27-35). Data Injil ini menunjukkan bahwa
orang Yahudi, tepat seperti yang dikatakan Al-Qur’an: “tidak menyalibkannya”, sebab memang
yang menyalib adalah serdadu-serdadu Romawi. Jika orang-orang Yahudi memaksakan diri
mengatakan merekalah yang membunuh dan menyalibkan Isa, yang faktanya tidak demikian,
jelas itu adalah “syubiha lahum”, “diserupakan bagi mereka”, artinya itu hanya khayalan mereka
saja, sebab mereka tak pernah melakukan hal itu secara langsung dengan tangan mereka. Bahwa
memang Isa tak pernah dibunuh maupun disalib orang Yahudi sebab ia dibunuh oleh perintah
Gubernur Romawi serta disalib oleh serdadu-serdadunya, dan tak bisa dibunuh oleh mereka
secara tuntas karena ia “dibangkitkan hidup kembali” dan Allah telah mengangkat Ia ke sorga,
kepada Allah sendiri. Inilah suatu usaha pemahaman Kristen akan masalah ini, berdasarkan data
yang ia lihat dari Al-Qur’an, dengan keterangan data sejarah dari Injil.
161
Penegasan tentang fakta kesejarahan dari peristiwa Penyaliban, Kematian, Penguburan dan
Kebangkitan Yesus Kristus itu sangat sentral sekali dalam pemahaman Iman Kristen Orthodox
karena melalui peristiwa inilah keslamatan datang ke dalam dunia. Kristus Sebagai Landasan
Keselamatan: Dalam Alkitab dan Dalam Gereja
Pusat keyakinan Iman Kristen adalah Yesus Kristus sendiri sebagai pribadi, dan bukan sekedar
suatu ide tentang moralitas atau ide keagamaan yang bersifat abstrak. Yesus Kristus dimengerti
oleh Iman Kristen sesuai dengan yang diajarkan Alkitab sebagai “Firman Allah” (Yohanes 1:1),
yang “olehNya /melaluiNya segala sesuatu diciptakan” Allah (Yohanes 1:3 ), dan yang “telah
menjadi manusia” ( Yohanes 1:14 ). Berarti Yesus Kristus adalah “Firman Allah” yang diutus
Allah turun ke bumi (Galatia 4:4 ) dengan menjelma serta mengenakan sifat-sifat kemanusiaan
yang jasmani secara kongkrit. Tujuan kedatangan Yesus Kristus sebagai Firman Allah yang
menjadi manusia adalah agar “ barangsiapa yang percaya akan Dai tidak binasa, melainkan
beroleh hidup yang kekal” ( Yohanes 3:16 ). Dengan demikian menurut Alkitab, keselamatan
bukanlah “sesuatu” yang diberikan oleh Allah melalui Yesus Kristus, namun Yesus Kristus itu
sendirilah “wujud” keselamatan itu. Serta “diluar Yesus Kristus” ini tidak ada keselamatan
(Kisah 4:12 ). Berarti berbicara tentang keselamatan itulah berbicara tentang Kristus, dan
berbicara tentang Kristus itulah berbicara tentang keselamatan. Kristologi ( Ajaran Tentang
Kristus ) itulah Soteriologi ( Ajaran Tentang Keselamatan), dan Soteriologi itulah Kristologi.
Itulah sebabnya mengapa dalam Gereja Purba di sebelah Timur : Gereja Orthodox perumusan
dogmatis itu hanya berkisar sekitar Pribadi Yesus Kristus dalam hubunganNya dengan Allah dan
manusia, karena disitulah terkandung secara langsung makna keselamatan itu.Sebagaimana yang
telah kita bahas dalam bagian mengenai Sejarah dalam buku ini. Dan perumusan-perumusan
Konsili-Konsili Purba ini akhirnya diterima sebagai standard bagi ajaran dan Iman Gereja Am
yang benar dan tidak bersifat sektarian, terutama sekali dari Konsili I di Nikea (325) sampai
dengan Konsili IV di Kalsedonia (451). Sehingga rumusan-rumusan kebenaran Alkitab dalam
Konsili-Konsili itu tak lagi hanya menjadi milik dan standard bagi Iman Gereja Orthodox saja,
namun juga milik semua ummat Kristen yang benar baik dari kalangan Roma Katolik maupun
dalam kalangan denominasi-denominasi Protestan klasik.. Dalam Konsili I di Nikea pada tahun
325, Gereja Orthodox Purba ini di dalam melawan bidat Arianisme, menegaskan bahwa Kristus
itu satu essensi dengan Allah (Bapa), sehingga Dia adalah “Allah Sejati” yang “keluar dari Allah
Sejati”, karena Dia adalah Firman Allah sendiri, yang sifat hakekatNya adalah “Allah” adanya
(Yohanes 1:1). Hanya jika Kristus adalah Allah sejati saja, maka penjelmaanNya sebagai manusia
itu bermakna mendamaikan manusia berdosa kepada Allah yang Maha Kudus. Dan hanya
penyaliban dari kemanusiaan Penjelmaan Allah (Sang Firman) saja, maka kematian dan derita
Kristus itu merupakan pelenyapan kuasa maut oleh KebangkitanNya, dengan demikian sekaligus
merupakan pelenyapan kuasa dosa, karena upah dosa adalah maut. (Roma 6:23). Dalam Konsili
III di Efesus tahun 431, Gereja Orthodox Purba yang sama ini dalam melawan bidat
Nestorianisme, menegaskan bahwa Kristus tak memiliki “Dua Pribadi dan Dua Kodrat yang
terpisah-pisah”, namun memiliki “Satu Kodrat (Satu Pribadi) Firman Allah yang telah
Menjelma”, sehingga Maria harus disebut “Theotokos” (Yang Memberi Kelahiran - secara
daging - kepada Allah, - yaitu: Sang Firman -) karena hanya jika Kristus memiliki Kodrat yang
manunggal secara tak terpisah-pisahkan saja, maka kemanusianNya itu dapat menjadi saluran
bagi rahmat keilahianNya, sehingga rahmat ilahi itu dimungkinkan untuk dikaruniakan kepada
manusia bagi keselamatannya, karena kemanusiaan yang telah dikenakan oleh Firman Allah
dalam penjelmaanNya ini adalah satu dan sama secara kodrat dan hakekat dengan kemanusiaan
segenap ummat manusia (Ibrani 2:14,17). Dan apa yang ditegaskan dalam Konsili III di Efesus
162
ini, ditegaskan lagi oleh Gereja Orthodox Purba itu dalam Konsili IV tahun 451 di Kalsedonia,
dalam melawan bidat Monophysitisme, bahwa “ Kristus itu bukan hanya memiliki satu kodrat
ilahi saja “ namun memiliki “Dua Kodrat (ilahi sejati dan manusia sejati) yang menyatu dalam
Satu Pribadi (hypostasis)” dari Firman Allah yang kekal, namun yang telah menjadi manusia itu,
secara tak terpisah - pisahkan dan tak terbagi-bagi, namun tak terkacau-balaukan dan tak
campur-baur. Sebab jika Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, seperti yang diyakini oleh
ajaran Monophysitisme ini, berarti penjelmanNya sebagai manusia jadi tak bermakna, dan
dampak dari penjelmaannya terutama penyaliban, kematian dan kebangkitanNya bagi
keselamatan manusia yang terjadi dalam kemanusianNya itupun lenyap. Karena kodrat
manusiaNya itu, menurut ajaran Monophystisme ini, sudah tak ada lagi, lenyap ditelan
keilahianNya. Dengan demikian keselamatan manusiapun lenyap pula, karena keselamatan itu
dilaksanakan dalam wujud kemanusiaanNya yaitu penyaliban, kematian dan kebangkitanNya dari
kematian.. Sehingga jika Kristus hanya memiliki kodrat ilahi saja, maka manunggal dengan
Kristus itu berarti langsung melebur dalam keilahianNya, sebab menurut ajaran Monophysitisme
ini Kodrat Kristus hanya satu saja yaitu : Kodrat Ilahi dan kodrat kemanusianNya sudah lenyap,
sehingga jika betul demikian, kitapun akan menjadi satu dengan kodrat Allah itu sendiri, serta
menjadi sama dengan Allah secara kodrat. Jelas ini akan menuntun pada ajaran pantheisme, yang
diajarkan agama-agama Timur non-Kristen (Hindhu, Buddha, Kebatinan Jawa), namun yang
ditolak Alkitab dan bertentangan dengan Iman Kristen yang benar. Demikianlah selanjutnya
dalam Konsili V tahun 553, Konsili VI tahun 680-681 dalam melawan bidat Monothelitisme,
serta Konsili VII tahun 787 dalam melawan bidat Ikonoklasme, yang ditegaskan adalah
integritas Kristus sebagai “Allah Sejati” dan “Manusia Sejati” dalam “Satu Pribadi” dalam hal
“kehendakNya” (“Monothelitisme”) dan dalam hal “kejasmanianNya” (“Ikonoklasme’), sebagai
penjamin mungkinNya karya keselamatanNya itu dikaruniakan kepada manusia. Rumusanrumusan Konsili tentang Kristus (Kristologi) itu bukan semata- mata demi spekulasi filsafat,
namun langsung terkait dengan makna keselamatan manusia (Soteriologi), dan demi menjaga
kebenaran akan keselamatan di dalam Kristus itu.
Beberapa Makna Keselamatan dalam Alkitab
Dalam Matius 1:21, keselamatan dimengerti sebagai “bebas dari dosa” atau sebagai
“Immanuel, Allah beserta kita” ( Matius 1:23). Rasul Paulus mengajarkan “ Yesus Kristus
datang ke dunia untuk menyelamatkan orang-orang berdosa” ( I Tim. 1:15). Juga dijelaskan
bahwa “ Anak Manusia datang untuk mencari dan menyelamatkan yang terhilang” (Lukas
19:10); untuk menyembuhkan orang sakit (Lukas 5:31) dan untuk memamnggil bukannya
orang benar tetapi “orang berdosa supaya bertobat” ( Lukas 5:32). Kristus tidak datang
untuk menghukum dunia, “ namun agar supaya dunia boleh diselamatkan melalui Dia”
(Yohanes 1:17). Demikian juga dikatakan dalam Kolose 1:13-14, bahwa melalui Kristus
Allah telah “ melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam
Kerajaan AnakNya yang kekasih”, sehingga dengan kedatangan Kristus kita “telah pindah
dari maut ke dalam hidup” (I Yohanes 3:14), serta “jika kita mengaku bahwa Yesus adalah
Tuhan, dan bahwa Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati, maka kita akan
diselamatkan “ ( Roma 10:9-10), dan “jika Kristus tidak dibangkitkan,…maka sia-sialah
iman kamu “ ( I Kor.15:14). Dari data-data Alkitab yang demikian itulah maka Pengakuan
Gereja Purba yang dirumuskan di Nikea dalam Konsili I tahun 325 dan Konstantinopel
dalam Konsili II tahun 381 mendeklarasikan bahwa Kristus “….untuk keselamatan kita, telah
turun dari sorga, dan menjelma oleh Roh Kudus, dan dari Perawan Maryam “ yang menunjuk pada
163
fakta “Inkarnasi” (Penjelmaan sebagai Manusia), serta yang untuk keselamatan kita “ telah
disalibkan….dibawah pemerintahan Pontius Pilatus, Dia menderita sengsara dan dikuburkan.Dan telah
bangkit lagi pada hari ketiga sesuai dengan Kitab Suci. Dan telah naik ke sorga, serta duduk disebelah
kanan Sang Bapa”
yang menunjuk pada karya penderitaan, penyaliban,
kematian/penguburan, kebangkitan serta kenaikanNya ke sorga.
Dengan demikian berdasarkan data-data Kitab Suci dan Pengakuan Iman Gereja Orthodox
Purba, yang adalah “Pengakuan Gereja Yang Am dan Rasuliah” yang disebut “Pengakuan
Iman Nikea” ini, dapat kita simpulkan bahwa keselamatan di dalam Kristus itu diberikan
kepada manusia melalui “Inkarnasi” ( Penjelmaan Firman Allah sebagai manusia melalui
Perawan Maryam oleh kuasa Roh Kudus), serta seluruh karya dan kehidupan Kristus,
teristimewa penderitaan, penyaliban, kematian, kebangkitanNya dari antara orang mati, serta
kenaikanNya ke sorga. Keselamatan dalam Kristus adalah kebebasan dari dosa, kebebasan
dari kematian, dan kebebasan dari kuasa kegelapan (Iblis) serta penyembuh-pulihan dari
kodrat kemanusiaan kita kepada kemuliaan Allah serta kehidupan kekal, yang adalah hidup
milik Allah sendiri itu. Jadi puncak keselamatan di dalam Kristus adalah pemulihan hidup
ilahi ke dalam manusia serta penyatuan kembali manusia berdosa dalam pengampunan
dosa-dosanya kepada kemuliaan hidup Allah itu sendiri.
Unsur-Unsur Ajaran Keselamatan (Soteriologi)
Dalam terang makna keselamatan yang telah kita bahas diatas, maka ajaran tentang
keselamatan yang terdapat dalam Alkitab sebagaimana yang dipercayai oleh Gereja Am sejak
zaman purba itu, memiliki unsur-unsur berikut ini yang harus dibahas: 1. Manusia sebagai
Obyek Karya Keselamatan: Kodrat Manusia, Kejatuhan dan Akibat-Akibatnya. 2.Karya Keselamatan
Kristus: Pribadi dan Karya Kristus. 3. Keselamatan Sebagai Pengalaman Subyektif: Pribadi dan Karya
Roh Kudus. 4. Gereja Sebagai Bahtera Keselamatan dan Persekutuan Orang Kudus 5. Penggenapan
Keselamatan di Akhir Zaman..
2.Karya Keselamatan Kristus: Pribadi dan Karya Kristus.
a.Pribadi Kristus
Sebagaimana yang telah kita bahas diatas, pribadi Yesus Kristus sebagai “Firman Allah” yang
menjelma menjadi manusia adalah pusat dari Iman Kristen, dan menjadi landasan
keselamatan manusia.Karena Dia adalah “pola asli “ kodrat manusia itu sendiri. Dan karena
“pola asli” kodrat manusia adalah “Firman Allah” yang melalui Firman yang sama ini segala
sesuatu diciptakan Allah (Kej.1, Mazmur 33:6, Yohanes 1:1-3, I Kor. 8:6, Ibrani 1:2-3,
Kolose 1:15-16), maka untuk mengembalikan manusia kepada hidup kekal itu maka Firman
Allah:” Pola Asli” kodrat manusia itu telah menjadi daging (Yohanes 1:14). Artinya Ia telah
mengambil “ rupa….manusia” ( Filipi 2:7, Yohanes 1:14) “menjadi sama dengan mereka dan
164
mendapat bagian dalam keadaan mereka” ( Ibrani 2:14). Serta “…dalam segala hal Ia harus
disamakan…” dengan manusia ( Ibrani 2:17), termasuk tubuh, jiwa, roh, pikiran, hati, emosi
dan segala sesuatunya kecuali dosa, tanpa mengalami perubahan dari kodrat asliNya Yang
Ilahi yang satu dalam KeAllahan dengan Sang Bapa itu. Demikianlah “Firman Allah” yang
menjadi daging itu dalam kodrat asli ilahiNya berada satu hakekat dengan Allah serta tak
terpisah dariNya sebagai Logos (Kalimatullah) sehingga Ia tetaplah “Allah Sejati”, namun
sebagai yang telah “mengambil rupa manusia, sama, dan mendapat bagian dalam segala hal
dengan keadaan manusia" tadi, Ia berada dalam satu hakekat dengan manusia, sehingga Ia
benar-benar “Manusia Sejati”. Maka jadilah Ia satu-satunya “Pengantara” antara “Kodrat
Ilahi” (Allah =Bapa), dan “Kodrat Manusiawi” (Manusia) – I Tim.2:5. Di dalam “Firman
Menjelma” : Yesus Kristus ini, panunggalan antara Allah dan manusia, sorga dan bumi,
rohani dan jasmani, ilahi dan manusiawi, yang tak tercipta dan yang tercipta, baka dan fana,
Tuhan dan hamba, “kawulo lan Gusti” telah terjadi. Disinilah terlihat jelas apa kaitan Pribadi
Kristus yang satu namun memiliki “Dua Kodrat” : Allah Sejati dan Manusia Sejati, itu terkait
erat dengan keselamatan manusia. Dan dalam keadaan “Satu Pribadi” dalam “Dua Kodrat”
atau “Dua Kodrat” dalam “Satu Pribadi” ini Ia menjalankan karya keselamatan itu. Dan
karya keselamatan itu dijalankan sebagaimana yang kita bahas dibawah ini.
b.Karya Kristus
Karena “ tubuh jasmani” dimana maut, kelapukan dan kefanaan itu tinggal telah diambil dan
dikenakan oleh “ Firman” (Logos/Kalimatullah) sebagai sumber dan asal-usul ciptaan,
kehidupan, dan kekekalan ( karena Yang Ilahi itu adalah Hidup dan Kekal), maka terhisaplah
kefanaan, kelapukan, dan kematian yang tinggal dalam Tubuh Kemanusiaan yang telah
dikenakan Sang Firman dalam PenjelmaanNya itu, ke dalam kehidupan dan kekekalan Ilahi
milik Allah itu sendiri, yang dibuktikan oleh Kebangkitan dari Tubuh kemanusiaanNya yang
sama tadi dari antara orang mati. Salib adalah pintu gerbang bagi Sang Firman Menjelma
untuk masuk ke dalam kerajaan maut, agar Kerajaan Maut itu dikalahkan. Sang Firman
Menjelma:Yesus Kristus ini disalibkan karena ketaatanNya kepada kehendak Bapa,
sebagaimana yang dikatakan Alkitab:” Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan
diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:8) . Dan kehendak Bapa
yang kepadanya Kristus taat sampai mati di kayu itu adalah kehendakNya untuk melepaskan
manusia dari kuasa Iblis, Dosa, dan Maut agar manusia memperoleh hidup kekal (“mencapai
theosis”) yang telah kita bicarakan. Berarti kehendak Allah ini adalah perwujudan dan
manifestasi Kasih Allah atas dunia ini, sebagaimana yang dikatakan oleh Alkitab:” Karena
begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang Tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa (yaitu: tidak berada dibawah kuasa :Dosa,
Iblis dan Maut) melainkan beroleh hidup yang kekal (yaitu: manunggal dengan kehidupan dan
kemuliaan Allah sendiri, atau dengan kata lain “mencapai theosis”) ( Yohanes 3:16). Karena
kasih Allah mengaruniakan AnakNya dengan turun ke dalam dunia, dan karena taat kepada
kasih tadi, Anak Allah sampai mati di kayu salib. Berdasarkan data Alkitab ini maka kematian
Kristus itu tak dimengerti dalam bahasa hukum sebagaimana yang sudah sejak lama
mendominasi pemikiran theologia Barat. Menurut bahasa hukum yang digunakan Gereja
Barat dalam bertheologia, dosa manusia itu dimengerti sebagai melanggar keadilan Allah,
sehingga Allah itu murka. Murka Allah dan keadilan Allah itu “harus dipuaskan” dengan
suatu kurban. Maka Kristus telah mati sebagai korban diatas kayu salib untuk “memuaskan
165
keadilan” Allah, sehingga dengan demikian korban Kristus tadi menjadi sarana “memuaskan
murka Allah” atas dosa manusia, yang berakibat manusia dilepaskan dari murka Allah dan
mendapatkan keselamatan. Darah Kristus itu telah memuaskan hati Allah. Bahasa hukum
yang demikian ini tak pernah dikenal oleh mayoritas para Bapa Gereja terutama di Gereja
Timur. Berdasarkan data Alkitab diatas kematian Kristus diatas salib adalah manifestasi
“philanthropia” (“kepengasihan Allah atas manusia”) melalui ketaatan (kepasrahan) Kristus
yang mutlak terhadap kehendak kasih Allah tadi. Berarti diatas salib ini oleh ketaatanNya
yang mutlak Kristus telah mengimpas ketidak-taatan Adam dalam kemanusiaan yang
dikenakan. Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu sekarang sudah
“dibenarkan” dihadapan Allah, karena tak ada lagi noda ketidak-taatan Adam sebagai intihakekat dari dosanya, dalam kemanusiaan yang dikenakan Kristus itu.. Dengan demikian
kemanusiaan itu telah mengalami “pembenaran” ( Roma 4:25) Demikianlah dosa dikalahkan
diatas Salib. Dan sesudah masuk ke dalam alam maut melalui pintu Gerbang Salib itu,
Kerajaan maut diporak-porandakan karena maut tak dapat menahan Tubuh Kristus yang
mati dalam kuasa kelapukannya, maut dikalahkan melalui bangkitNya dari mati dan Iblis
dilucuti karena Iblis yang berkuasa atas maut (Ibrani 2:14) tak dapat mencegah Kristus untuk
lepas dari cengkeraman maut melalui kebangkitanNya.. Akhirnya tubuh kemanusiaan Kristus
itu mencapai kemenangan dari kematian dan mengalami kebangkitan serta menyatu dengan
kekekalan kodrat asli Firman yaitu kodrat ilahiNya yang sejak penjelmaanNya hadir pula
dalam tubuh. Dengan demikian tubuh kemanusiaan Kristus itu telah dilepaskan yaitu
“ditebus” dari kuasa “dosa, iblis, dan maut” (Markus 10:45 ). Demikianlah kemanusiaan itu
sekarang telah mengalami “penebusan”. Maka tubuh kemuliaan Kristus yang telah bangkit
dan dimuliakan dalam kehidupan dan kekekalan itu sekarang menjadi sumber hidup kekal
manusia. Akibat kematian dan kebangkitan Kristus itu kemanusiaan sudah menyatu dengan
hidup ilahi, berarti manusia telah menerima“pendamaian” dengan Allah (Roma 5:10). Itulah
sebabnya agar manusia yang bertubuh itu dapat ambil bagian dalam hidup kekal yang
menampakkan diri dalam tubuh kebangkitan Kristus tadi, sampai kini di sorgapun Kristus
masih memiliki “Tubuh Jasmani” yang telah dibangkitkan dan dimuliakan itu. Dan Tubuh
Jasmani Kristus yang Mulia itu menyatu dengan kemuliaan Ilahi yang Maha Kudus, sehingga
kemanusiaan itu sekarang dalam Tubuh Kemanusiaan Kristus yang mulia telah menerima
“pengudusan” Dan Tubuh Mulia yang sama ini pula yang menjadi landasan manusia yang
menyatu denganNya itu ikut pula dimuliakan. Hal ini dijelaskan dalam ayat Alkitab yang
demikian :” …di dalam sorga…dari situ kita menantikan Tuhan Yesus …yang akan mengubah tubuh
kita….sehingga serupa dengan TUBUH-Nya yang Mulia….” ( Filipi 3:20-21).Sampai kapanpun
Yesus tetap “Logos” atau “Kalimatullah” yang memiliki hakekat Allah Sejati di dalam
kesatuan hakekat dengan Bapa, dan juga memiliki hakekat Manusia Sejati karena Tubuh yang
dikenakan dan dibangkitkanNya itu dibawa naik ke sorga dan Tubuh itu sekarang berada
disana dalam keadaan mulia, serta menjadi landasan pemuliaan tubuh kita melalui
kebangkitan tubuh kita diakhir jaman. Jadi Diri Yesus itulah Keselamatan. Kristologi itulah
Soteriologi. Soteriologi itulah Kristologi. Jika Yesus itu hanya ilahi saja, manunggal dengan
Kristus berarti melebur dalam keilahian, faham demikian ini adalah faham kafir
“pantheisme” yang tak dapat diterima oleh iman Kristen yang benar dan Alkitabiah. Jika
Yesus itu hanya manusia saja, manunggal denganNya tak akan membawa panunggalan
kepada hidup yang kekal, sebab manusia biasa pada dirinya sendiri tak memiliki hidup kekal.
Jika Yesus itu setengah Allah dan setengah manusia, kita tak mungkin dapat manunggal
dengan yang setengah manusia karena kita adalah manusia yang utuh dan sejati, dan tak akan
mendapatkan kemuliaan hidup ilahi sebab yang memiliki hidup ilahi adalah Allah yang Sejati
dan sempurna. Jika Yesus sekarang tak memiliki Tubuh Manusia lagi, meskipun telkah
166
mulia, namun hanya berwujud roh saja, maka keselamatan itu akan hilang karena wujud
keselamatan itu adalah dilenyapkan maut oleh Tubuh yang telah dibangkitkan tadi, maka
binasalah kita jika kita percaya Yesus tak memiliki Tubuh lagi dan hanya berwujud roh
seperti itu. Jika memang demikian, kemana hilangnya Tubuh yang telah dibangkitkan itu?
Apakah menguap menjadi gas ketika Ia harus melewati atmosfeer pada saat kenaikanNya
sebagaimana yang diajarkan orang-orang Saksi Yehuwah? Maka jelas bahwa Yesus Kristus itu
sampai kapanpun tetap “Firman Yang Menjelma” artinya “Allah Sempurna sebagai Firman”,
namun “Insan Sempurna sebagai Yang Telah Menjelma”. Hanya dengan menjaga makna
kebenaran dari Kristus yang “Satu Pribadi dengan Dua Kodrat” yang tak pernah berubah,
tak berbaur, tak kacau-balau, maupun tak terpisah-pisah yang demikian itu sajalah
keselamatan itu mungkin bagi manusia. Inilah ajaran Gereja Am yang Rasuliah dan
Alkitabiah, yang telah dibela dan dirumuskan oleh Gereja Purba dan tetap tetap
dipertahankan sampai sekarang oleh Gereja Orthodox, pada Konsili Kalsedonia pada tahun
451. Dengan demikian kemanusiaan yang dikenakan oleh Firman Allah dalam
penjelmaanNya: Yesus Kristus, itu adalah merupakan kemanusiaan yang baru. Suatu
kemanusiaan yang seharysnya dicapai oleh Adam seandainya Adam tidak jatuh di dalam
dosa. Itulahy kemanusiaan yang sekarang harus menjadi tujuan akhir kita dalam mencapai
“theosis”. Sekarang karena “theosis”`manusia itu sudah terjadi dalam Adam yang akhir dan
baru: Yesus Kristus, maka hanya dengan menyatu dan manunggal dengan Yesus Kristus
sajalah “theosis” itu mungkin bagi kita. Perbuatan baik dan amal manusia pada dirinya
sendiri tanpa menyatu dengan Kristus ini tak akan membawa keselamatan. Tak ada
perbuatan baik satupun yang dapat memuliakan manusia, sebab sumber pemuliaan itu adalah
Tubuh Kebangkitan Kristus yang telah dimuliakan itu. Keselamatan tak akan di dapat melalui
perbuatan baik dan amal-jasa manusia saja. Dengan demikian mulai dari Ireneus dan seluruh
abad sejarah Kekristenan para Bapa Gereja di Timur yang menggunakan bahasa Yunani,
selalu menegaskan “ Anak Allah menjadi manusia, agar manusia boleh menjadi anak-anak
Allah”, “ Allah menjadi manusia, agar manusia boleh menjadi seperti Allah”, “Yang Roh
menjadi Yang Daging, agar yang daging ini boleh ambil bagian di dalam sifat dan kodrat
Yang Roh”, “Apa yang dimiliki Allah secara kodratNya, itu diberikan kepada manusia
melalui anugerah (rahmat, kasih-karunia) Nya.” Keselamatan itu bukan hanya sekedar status
yang diberikan saja, (misalnya: “Orang berdosa yang dibenarkan” sebagaimana pernah
dihayati Luther) namun kodrat kemanusiaan yang benar-benar dipulihkan secara realita, dan
bukan hanya sekedar secara posisi dan status. Keselamatan itu bukan “sesuatu yang
dituangkan” dari luar, namun penyembuhan yang dimulai dari dalam. Keselamatan itu bukan
hanya sekedar masuk sorga lepas dari neraka, namun manunggal dalam hidup ilahi itu sendiri,
dan menyatu dalam kemuliaan kodratNya di dalam Kristus (“ambil bagian dalam kodrat
ilahi” II Pet.1:4). Keselamatan adalah pelepasan dari kuasa Iblis, Dosa, Kelapukan Tubuh,
Kefanaan Hidup, dan Kematian serta dimanunggalkan dengan Tubuh Kebangkitan Kristus
dan dengan demikian manunggal dengan hidup ilahi, menyatu dalam kemuliaan serta
mencapai “theosis”.
d. Sang Perawan Maryam
Dalam penjelmaanNya sebagai manusia Firman Allah yang turun dari sorga, menjelma “dari
Sang Perawan Maryam”. Dan dengan menjelma “dari Sang Perawan Maryam” ini, Ia “menjadi
manusia”. Dengan demikian maka “kemanusiaan” yang diambil dan dikenakan oleh Firman
167
Allah “dalam penjelmaanNya” itu pastilah berasal dari “Sang Perawan Maryam” ini. Karena
sebagai “Firman Allah” yang adalah “Anak Allah yang Tunggal” sejak “sebelum segala
zaman” dan bersifat “Allah sejati” karena Ia itu “keluar dari Allah sejati” serta dalam wujud
“Terang” - jadi bukan berwujud jasmani - karena Ia “ keluar dari Terang” karena Allah
memang bersifat terang, maka jelas Ia tak memiliki wujud kemanusiaan dan bukan manusia.
Sebagai yang bukan manusia itu Ia “turun dari sorga”, dan setelah “menjelma…dari Sang Perawan
Maryam” itu Ia “menjadi manusia”. Berarti Maryam telah ikut berpartisipasi dalam memberikan
kemanusiaan kepada Firman Allah, agar Ia dapat “disalibkan, mati, dikuburkan serta bangkit
dari antara orang mati”, dan tubuh yang telah diambil dari Maryam dan dibangkitkan itu
akhirnya dibawa “naik ke sorga” serta “didudukkan di sebelah kanan Allah” dan dengan
“tubuh yang telah dimuliakan” yang asalnya “dari Sang Perawan Maryam” itulah nantinya
Kristus “akan datang lagi dalam kemuliaan”. Itulah sebabnya andil Maryam bagi keselamatan
manusia itu besar sekali, meskipun yang menjalankan keselamatan dengan mengalahkan
kematian itu bukan pribadi Maryam, namun pribadi Anak Allah yang telah mengambil
kemanusiaan dari Maryam itu sendiri.Jadi Maryam itu bukan juruselamat, dan tak pula ikut
ambil bagian sebagai penebus disamping Kristus, bukan pula ia itu pengantara keselamatan
kepada Allah. Ia adalah yang mengandung “Anak Allah yang Tunggal…Terang…Allah
Sejati….Satu Dzat Hakekat dengan Sang Bapa” ketika Ia menjelma “dari Sang Perawan
Maryam”. Jadi yang tinggal dalam rahim Maryam saat Ia mengandung itu bukan manusia
biasa namun “Allah sejati” yaitu “Anak Allah Yang Tunggal” yaitu “Firman Allah” sendiri
yang sedang “menjelma”. Oleh karena itu “Pribadi” anak yang sedang dikandung oleh
Maryam ini bukanlah hanya sekedar pribadi manusia biasa namun pribadi “Allah Sejati” yang
sedang menjelma. Dengan demikian Maryam tidak sekedar menjadi Ibu seorang manusia
biasa, namun Ibu dan Bunda dari “Allah Sejati” yang sedang menjelma dan menjadi manusia
ini. Demikianlah maka Gereja menyebut Maryam sebagai “Theotokos” yaitu ia yang
“Memberi Kelahiran - dalam penjelmaanNya secara jasmani- kepada Allah –Firman Allah –
“. Dan kejadian bayi dari kemanusiaan Maryam ini adalah semata-mata mukjizat “dari Sang
Roh Kudus” yang menjadikan “indung telur” dari rahim Maryam tanpa dibuahi pria
“menjadi manusia”. Fungsi Roh Kudus kepada Maryam adalah untuk “menyucikan Maryam”
agar layak menjadi sarana menjelmaNya Firman Allah di dalam dirinya. Itulah sebabnya
Gereja Orthodox tidak mengajarkan bahwa : “Maria Terkandung Tanpa Dosa Asal”.
Maryam adalah orang berdosa sama seperti kita semua namun yang disucikan oleh Roh
Kudus saat ia menerima panggilan menjadi Ibu Sang Penebus. Atas dasar semua alasan inilah
Maryam memiliki tempat dalam Pengakuan Iman, dalam theologia Gereja, dalam ekspresi
ibadah Gereja, dan dalam ikonografi Gereja. Jadi Maryamologi (Mariologi) dalam Iman
Orthodox hanya perpanjangan dari Kristologi saja, bukan sesuatu pembahasan yang berdiri
sendiri terlepas darri Kristus. Sebagian orang yang tak mengerti Iman Orthodox secara
benar, atau karena mungkin sebagai reaksi terhadap Mariologi dari Gereja Roma Katolik,
bahkan dikalangan umat Kristen sendiri, serta tanpa merenungkan implikasi theologis dan
landasan Alkitabiah mengenai gelar “Theotokos” bagi Maryam Sang Perawan ini sering
mengejek gelar ini dengan mengatakan;” Allah tidak punya Ibu. Allah tidak dilahirkan oleh
siapapun. Maria hanya melahirkan manusia biasa saja. Jadi dia itu bukan Bunda Allah, hanya
Bunda Yesus saja”. Persis seperti yang dikatakan Nestorius itu. Atas pernyataan semacam itu,
kita bertanya:” Betulkah orang-orang yang mengaku Kristen ini percaya pada ke-Allah-an
Yesus sebagai “Firman Allah” atau tidak? Kalau memang percaya, apakah ke-Allah-an Yesus
sebagai “Firman Allah” itu kekal atau tidak? Jika memang kekal, ketika berada di dalam
rahim Maryam, Dia masih memiliki ke-Allah-an, yaitu tetap sebagai “Firman Allah” atau
tidak? Jika masih memiliki, maka Maryam itu hanya sekedar melahirkan manusia biasa saja,
168
ataukah melahirkan “Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia? Jika dia melahirkan
“Allah” yaitu “Firman Allah” yang menjadi manusia, maka kemanusiaan dari Anak yang
dilahirkannya itu miliknya Allah yaitu “Firman Allah” ini atau bukan? Jika kemanusiaan bayi
yang dilahirkan Maria memang milikNya Allah yang menjelma ini, berarti Maryam menjadi
“IbuNya Allah” yang menjelma ini dalam kemanusiaanNya atau bukan? Jika demikian,
bukankah Maria adalah “Bunda Allah” dalam penjelmaanNya sebagai manusia? “. Jadi
memang Maryam bukan “Bunda Allah” Bapa (Allah yang Esa) yang tak pernah menjelma
menjadi manusia, sebab Sang Bapa itu kekal tanpa awal maupun akhir, dan tak diperanakkan
ataupun beranak. Bukan pula gelar “Bunda Allah” berarti Maryam itu “isterinya” Allah
(‘naudzubillah min dzalik!!!) sebagai pasangan dari Allah Sang Bapa. Sebab Allah yang bukan
laki-laki, bukan perempuan, bukan banci serta tak berjenis kelamin itu bagaimana memiliki
isteri? Lagipula Allah yang ghoib, tak bertubuh jasmani, bersifat Roh murni, bagaimana dapat
memiliki pasangan yang kasat-mata, bertubuh jasmani, hanya sekedar makhluk saja? Itulah
sebabnya Maria bukan disebut sebagai “Allah Sang Ibu” karena dia bukan pasangan ataupun
isteri “Allah Sang Bapa”. Namun Maria adalah “Bunda Allah”, yaitu Bunda “Firman Allah”
dalam penjelmaanNya sebagai manusia, karena “Firman itu adalah Allah” ( Yohanes
1:1).Yesus disebut Anak Allah bukan karena Dia lahir tanpa Bapa manusia, seolah-olah Allah
itu menjadi suami Maryam dan melahirkan Anak Allah, dengan Maryam sebagai Bunda Allah
Anak ini. Yesus disebut “Anak Allah” bukanlah dalam wujud kemanusiaanNya, namun
dalam keberadaanNya sebagai Firman (Yohanes 1;14,18). Anak Allah yaitu Firman Allah
sudah ada sebelum bayi Yesus lahir dari Perawan Maryam ( Yohanes 17:5, 8:56-58). Firman
Allah disebut “Anak Allah” karena sejak kekal Dia dikandung di dalam Diri Allah sendiri,
sebagai Akal-Budi atau Ilmu Ilahi dan selalu bersama Allah ( Yohanes 1:1) yaitu melekat satu
dalam Hakekat (Dzat, Essensi) Allah itu. Jadi Allah “mengandung” FirmanNya sendiri. Dan
dari kandungan Hakekat Allah inilah Firman itu “keluar” dari Allah (Yohanes 8:42) ketika
diwahyukan dalam diri Allah sendiri dalam kekekalan sebagai “Gambar Allah” (“Cermin
Allah” menurut bahasa Tassawuf), ketika diucapkan sebagai Sabda “Kun Faya kun” (“Jadilah
maka jadi”, “yehi wa yehi”) saat penciptaan dunia, ketika diturunkan ke dunia menjadi
manusia Yesus Kristus saat Inkarnasi. Jadi seolah-olah Firman yang dikandung Allah itu
dikeluarkan atau “dilahirkan” oleh Allah di dalam DiriNya sendiri. Itulah sebabnya Firman
Allah itu secara kata kias disebut sebagai “Anak Allah”. Demikianlah jelas bahwa Allah itu
tak diperanakkan maupun beranak apalagi beristeri, sebab yang dimaksud “Anak Allah”
adalah “Kalimatullah” sendiri yang sejak kekal dikandung dan dikeluarkan oleh Allah sendiri,
dan akhirnya diturunkan (“nuzul”) dalam wujud manusia Yesus Kristus. Dengan demikian
bukan karena lahirnya tanpa bapa manusia itu, yang menyebabkan Yesus Kristus disebut
“Anak Allah”. Kelahiran Yesus oleh Maryam itu bukan permulaan keberadaanNya, itu hanya
permulaan nuzulNya diatas bumi ini saja. Itulah sebabnya jika Maryam hanya disebut Bunda
Yesus saja, berarti Yesus itu hanya manusia biasa, dan tak memiliki ke-Allah-an sebagai
Kalimatullah yang kekal dan sekarang telah nuzul. Jika begitu sejak kapan Yesus menjadi
Allah, sebab ketika lahir dari Maria Dia bukan Allah, buktinya Maria tak boleh disebut
“Bunda Allah” untuk menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkannya itu adalah Allah dalam
hakekat pribadi kekalNya? Jika hanya baru kemudian saja manusia Yesus anak Maryam ini
menjadi Allah, apa bedanya dengan agama kafir yang membuat manusia biasa menjadi ilah?
Bukankah kalau begitu orang sedemikian ini percaya pada kemungkinan manusia biasa Anak
Maryam bisa berkembang menjadi Allah? Apakah bukan berhala dan kemusyrikan ajaran
yang sedemikian ini? Dengan demikian Yesus bukan betul-betul Allah namun manusia yang
baru kemudian jadi Dewa, karena waktu dalam kandungan Maria dan waktu dilahirkan Dia
bukan Allah, dan tak boleh disebut Allah, sebab Ibunya tak boleh disebut Bunda dari “Allah”
169
yang sedang menjelma menjadi manusia Yesus ini? Atau jika bukan demikian, apakah keAllah-an Yesus itu terpisah-pisah dari kemanusiaanNya, dimana waktu Dia dikandung serta
dilahirkan Maryam, ke-Allah-an itu dalam keadaan terpisah? Jika betul demikian justru inilah
bidat “Nestorianisme” yang ditentang Gereja Orhodox di jaman purba, melalui Konsilinya
yang ketiga di Efesus tahun 431 Masehi, dan justru gelar “Theotokos” ini yang setidaktidaknya pada abad kedua dan ketiga sudah digunakan di dalam Gereja Purba, dan dalam
Konsili itu disahkan secara resmi penggunaannya karena memang konsisten dengan Ajaran
Alkitab, untuk dijadikan pagar bagi menjaga ketak-terpisahan Dua-Kodrat Yesus di dalam
satu Pribadi itu. Inilah implikasi yang sangat menyesatkan dari penolakan gelar Bunda Allah
bagi Maria itu. Jadi Gereja Orthodox tetap konsisten pada Tauhid, gelar ‘Theotokos’ bagi
Maria justru untuk menjaga Tauhid tadi, yaitu menjaga agar tak ada anggapan bahwa manusia
dapat berkembang menjadi Allah, dan untuk menjaga agar tak ada anggapan bahwa
Kalimatullah dapat berubah dari keilahian dan kesatuanNya dengan Allah ketika Nuzul
sebagai manusia.. Gelar ini bukan untuk meninggikan Maria sebagaimana kemudian yang
disalah-artikan atau dibesar-besarkan dalam tradisi Roma Katolik, namun gelar ini untuk
menjaga integritas ke-Dua-Kodrat-an dalam Kesatuan Pribadi dari Firman Allah yang
menjelma: Yesus Kristus. “Theotokos’ lebih bersifat Kristologis daripada Mariologis dalam
ajaran Gereja Orthodox. Jika begitu marilah kita selidiki ajaran Alkitab, terutama Perjanjian
Baru mengenai gelar ‘Theotokos” ( Bunda Allah) bagi Maryam Sang Perawan ini.
Perjanjian Baru tidak banyak memuat kisah Maria, karena Maria memang bukan fokus
pemberitaan Perjanjian Baru. Berita Perjanjian Baru adalah tentang Kristus, dan pembahasan
kita tentang Maria adalah sebagai “dampak” langsung dari Inkarnasi ( Penjelmaan sebagai
Manusia), dan bukan inti dari Inkarnasi itu sendiri. Maria harus ada agar Inkarnasi Firman
Allah ke dalam dunia ini terjadi. Jika tak ada Maria Inkarnasi itu tak terjadi, sebab wanita yang
harus menjadi sarana kelahiran Firman dalam penjelmaanNya sebagai manusia itu itu
sosoknya sudah dinubuatkan (Kejadian 3:15), pribadinya sudah ditentukan (dari keturunan
Abraham, dari jalur Daud, berasal dari Betlehem), dan semuanya itu hanya tergenapi dalam
Maria saja, bukan wanita yang lain. Itulah sebabnya sosok Maria itu bukan suatu kebetulan,
namun pribadi yang sudah direncanakan oleh kerelaan kehendak Allah dan ditetapkan oleh
Allah di dalam ke-Maha-Berdaulatan dan ke-Maha-TahuanNya. Meskipun pembahasan
tentang Maria itu sebagai “dampak” dan bukan inti dari peristiwa Inkarnasi, namun ini
merupakan suatu dampak yang sangat penting, karena ini akan merupakan pagar yang sangat
penting dalam kita menjaga iman kita kepada Kristus agar tak terbelokkan kepada pengajaran
yang salah. Dalam Matius 1:23, bayi yang dilahirkan oleh Maryam itu disebut sebagai
“Immanuel” yang artinya “Allah menyertai kita”. Ini berarti bahwa yang berwujud manusia
itu ternyata bersifat dan berhakekat Allah, sebab jika tidak demikian pastilah Dia tak disebut
sebagai “Allah menyertai”. Serta ini bermakna pula bahwa dalam keadaan sebagai bayi
manusia itupun Pribadi bayi ini adalah Pribadi Allah. Jadi ini menegaskan apa yang dikatakan
oleh Yohanes bahwa “Firman” yang adalah “Allah” ( Yohanes 1:1) telah “menjadi manusia”
( Yohanes 1: 14) tanpa berubah dari sifat ke-Allah-anNya, sebab Allah itu tak mungkin
berubah, sehingga setelah lahir dalam wujud manusiapun Dia tetap disebut “Allah”
menyertai kita. Jadi “Subyek” yang menjadi Pribadi dari bayi manusia Anak Maryam ini
adalah Firman Allah (“Anak Allah”) yang kekal dan pra-ada sebelum lahir jadi bayi. Hal ini
dikatakan oleh Alkitab demikian:’…Allah mengutus AnakNya ( yaitu: FirmanNya yang praada itu) yang lahir ( dalam nuzulNya ke bumi dalam pengutusan itu) dari seorang perempuan
(Maryam)” ( Galatia 4:4). Jadi ke-ilahi-an yang pra-ada dari Firman Allah (Yohanes 1:1) atau
Anak Allah (Galatia 4:4) itu tak hilang dan tak berubah ketika Dia nuzul sebagai bayi, karena
Allah ataupun KalimatNya memang tak pernah berubah. Demikianlah Firman Allah itu tetap
170
Allah sebelum turun, ketika dikandung, dan setelah dilahirkan oleh Maryam Sang Perawan
dalam wujud baru yang dikenakanNya itu karena Dia “telah mengambil rupa…menjadi
sama dengan manusia “ (Filipi 2:7).Karena manusia itu dikenal melalui hakekat pribadinya
dan bukan hanya melalui bentuk-raganya,demikianlah Maria itu tidak hanya mengandung
raga seorang bayi manusia saja, namun mengandung bayi yang memiliki hakekat Pribadi
Firman Allah yang bersifat Allah yang mengenakan dan mengambil raga bayi dari ovum
Maria. Ovum ini tanpa sperma laki-laki telah diciptakan oleh Kuasa Allah sendiri menjadi
bayi dan disatukan serta dimanunggalkan dengan kodrat ilahi Kalimatullah sendiri serta diberi
kehidupan manusiawi oleh Roh Kudus atau Roh Allah yang berada melekat satu di dalam
Hakekat (Essensi, Dzar) Allah sendiri. Dengan demikian Firman Allah yang kekal dan yang
sama itulah yang menjadi subyek Pribadi si bayi Anak Maryam itu. Sehingga Maryam
memang betul-betul melahirkan seorang bayi manusia yang subyek PribadiNya adalah Allah
yaitu Kalimatullah sendiri. Demikianlah Maria itu benar-benar “Theotokos” (Tokos = Sang
Pemberi lahir secara jasmani karena nuzulNya Theos = kepada Allah yaitu
Kalimatullah/Firman Allah yang secara kekal tak berjasmani itu”). Jadi sebutan
“Theotokos” bagi Maryam itu justru keilahian Kristus yang tak pernah berubah sebagai
Kalimatullah itulah yang ditekankan, bukan diri Maria sendiri. Itulah sebabnya ketika
Maryam mengunjungi Elisabet, oleh ilham Roh Kudus dalam suatu nubuat wanita tua yang
saleh ini menyapa Maryam dengan sebutan “Ibu Tuhan” ku (Lukas 1:43). Kata
“Tuhan”(“Kyrios”) yang digunakan kepada Yesus dalam Perjanjian Baru itu mempunyai 3
latar-belakang, sebagaimana yang telah kita bahas diatas, dan sebaiknya kita ulang lagi:
1. 1.Kata ini menterjemahkan kata “YHWH” (sering dibaca Yehuwah atau Yahweh)
sebagai Nama Allah sendiri dalam Alkitab Ibrani. Orang Yahudi menganggap kata ini
sangat suci sekali sehingga takut untuk mengucapkannya, sebagai gantinya setiap ada kata
“YHWH” ini mereka baca dengan bunyi “Adonay” (“Tuhanku”). Pada waktu Akitab
Ibrani diterjemahkan oleh ummat Yahudi ke dalam bahasa Yunani (Septuaginta), maka
setiap kali ada kata “YHWH” bunyi bacaannya “Adonay” (Yunaninya: Kyrios) itulah
yang ditulis dalam terjemahan. Maka “Kyrios” bermakna Nama Allah sendiri.
2. 2.Kata Kyrios dalam makna harafiahnya menunjuk kepada sebutan penghormatan,
kepenguasaan atau kepada sesuatu yang dipertuan. Pada saat Yesus hidup diatas dunia ini
kata “Kyrios” yang digunakan orang-orang sezamanNya untuk menyapa Dia itu
seyogyanya dimengerti sebagai sebutan penghormatan saja:” Tuan, Pak, Mister, Sir”, dan
memanglah demikian maknanya.
3. 3.Namun ketika Yesus telah dimuliakan, sebutan “Kyrios” (“Tuhan”) untuk Yesus ini
mempunyai makna sebagai “Penguasa” atau “Yang Dipertuan”. Jadi kata “Tuhan”
(Kyrios) disini tak langsung menunjuk kepada makna “Allah” (“Theos”). Itulah sebabnya
sebutan “Allah” (“Theos”) bagi Sang Bapa, itu dibedakan penggunaanya dengan sebutan
“Kyrios” (“Tuhan”) bagi Yesus Kristus. Sehingga “Tuhan Yesus” maknanya bukan
“Allah Yesus” namun “Sang Penguasa Yesus”, “Sang Junjujngan Yesus”. Hal ini
dibuktikan dalam penggunaannya dalam ayat-ayat berikut ini :”…Yesus adalah
Tuhan….Allah telah membangkitkan Dia dari antara orang mati…” (Roma 10:9-10), “
Allah, yang membangkitkan Tuhan….” ( I Kor.6:14) “…satu Allah saja, yaitu
Bapa,…..satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus…” ( I Kor.8:6), dan masih banyak yang
lain lagi. Ayat-ayat diatas jelas membedakan “Allah” yaitu “Bapa” dengan “Tuhan” yaitu
Yesus Kristus, yang dibangkitkan oleh “Allah” atau “Bapa” ini. Sejak kapan Yesus
menerima gelar “Tuhan” ini? Sejak kebangkitanNya. Karena sesudah bangkit dari antara
orang mati Dia mengatakan kepada para muridNya:” KepadaKu telah diberikan (berarti:
171
ada yang “memberikan”, yaitu Allah sendiri) SEGALA KUASA (Kepenguasaan mutlak:
Jabatan Tuhan) di sorga dan di bumi” ( Matius 28: 18). Dengan demikian karena Allah
yang memberikan “SEGALA KUASA” di sorga dan di bumi kepada Yesus yang telah
bangkit ini, maka Allah pulalah yang mengangkat Yesus menjadi “Penguasa Mutlak” atau
“Tuhan” atas sorga dan bumi ini. Inilah yang dikatakan dalam Kisah 2:36:” Jadi seluruh
kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus, yang telah kamu
salibkan itu, menjadi Tuhan…”. Yesus diangkat sebagai Penguasa Mutlak atau “Kyrios”
(“Tuhan”) ini memiliki tiga tujuan: a. Untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Adam yang
terakhir yang telah memulihkan kepenguasaan Adam atas alam, yang hilang karena
kejatuhan. b.Untuk menunjukkan bahwa Yesus yang manusia itu sungguh-sungguh
Kalimatullah yang menjelma sebagai manusia. Karena Allah selalu melaksanakan
kepenguasaanNya atas alam melalui kalimatNya, sekarang kuasa yang sama atau
keTuhanan Allah yang sama dan hanya satu itu, dilaksanakan melalui manusia Yesus
Kristus, sehingga Yesus disebut Tuhan, dengan demikian Yesus tetaplah Kalimatullah
yang satu dan yang sama, karena melalui Kalimtullah itu Allah melaksanakan kuasa
KetuhananNya sendiri. Dengan demikian baik Allah maupun KalimatNya tak berubah,
baik dalam hakekatNya maupun dalam hubunganNya, meskipun Kalimat itu telah nuzul
sebagai manusia.c. Untuk tujuan keselamatan manusia, karena dengan kuasa mutlak
sebagai “Penguasa” atau “Tuhan” ini Yesus Kristus akan mengubah tubuh manusia yang
hina ini sehingga menjadi serupa dengan TubuhNya yang mulia pada Hari Kebangkitan
nati (Filipi 3:20-21).
Setelah mengerti makna kata “Tuhan” yang dikenakan kepada Yesus Kristus, maka jelas jika
kita sekarang menyebut “Tuhan Yesus Kristus” maka makna ketiga itulah yang kita maksud.
Sedangkan ketika para Malaikat (Lukas 2: 11) menyebut Kristus sebagai Tuhan, dan terutama
sekali ketika Elisabet menyebut Maria sebagai “Ibu Tuhan” ( Lukas 1:43), jelas yang
dimaksud bukan makna ketiga ini, karena Yesus baru atau belum lahir, belum bangkit, dan
belum dimuliakan. Bukan pula makna kedua, karena seorang bayi tak akan disebut “Pak”
atau “Tuan”, namun itu menunjuk makna pertama “Kyrios” (“YHWH”), yaitu sebagai Nama
Allah sendiri, untuk menunjuk bahwa bayi yang sedang lahir itu adalah “YHWH” yaitu
“Firman YHWH” sendiri yang sedang menjelma sebagai manusia. Dengan demikian “Ibu
Tuhan” bagi Maria ini identik dengan “Bunda Allah” atau “Theotokos”. Jadi Maria memang
“Ibu dari Yang Ilahi” sendiri, yaitu “Bunda Allah” Sang Sabda dalam keberadaan nuzulNya,
bukan dalam keadaan azali atau kekalNya. Karena keberadaan Sabda Allah yang azali dan
kekal itu tak berbadan jasmani, tak beribu serta tak dilahirkan wanita, dan tanpa awal
maupun akhir. Melalui gelar “Theotokos”` bagi Maria inilah justru keilahian Yesus Kristus
sebagai Kalimatullah dijaga dan dipagari. Maka kita tak akan lupa bahwa bayi yang dilahirkan
Maria itu ternyata tetap Allah yang sama, dan tak pernah berubah meskipun telah turun
sebagai manusia, sehingga Ibu manusiaNya berhak disebut “Bunda Allah” (“Theotokos”).
Sisi lain dari gelar “Theotokos” ini adalah untuk menegaskan kemanusiaan Yesus Kristus.
Karena tanpa menegaskan kemanusiaanNya, kita akan jatuh pada ajaran bidat Monofisitisme
yang hanya menekankan keilahian Yesus Kristus dan menghilangkan kemanusiaanNya serta
dengan demikian mensifatkan wujud kemanusiaaNya itu sebagai Yang Ilahi sendiri. Jika
yang demikian ini yang terjadi akhirnya kita bukan menyembah Allah yang benar dan ghaib,
namun menyenmbah makhluk manusia Anak Maryam : “ Dewa Yesus”.
172
Alkitab mengajarkan bahwa ketika Firman Allah “mengambil rupa ….menjadi sama dengan
manusia” ( Filipi 2:7) atau “lahir dari seorang perempuan” ( Galayia 4:4) yaitu “ menjadi
manusia” ( Yohanes 1:14), dia mengambil ini dengan “menjadi sama dengan mereka dan
mendapat bagian dalam keadaan mereka” (Ibrani 2:14) artinya “ dalam segala hal (yaitu: termasuk
tubuh, jiwa, roh, akal-budi, emosi, kehendak, dan segenap sifat-sifat kemanusiaan) Ia harus
disamakan dengan” manusia ( Ibarni 2:17). Ini berarti bahwa Yesus Kristus adalah manusia
sempurna. Dalam segala hal Dia memiliki kodrat yang sama persis dengan segenap manusia
lainnya. Karena kodrat kemanusiaan yang diambilNya itu tak berbeda dalam segala hal dari
segenap manusia di alam ini, maka Dia betul-betul Anak Maryam ( Markus 6:3). Karena Yesus
dalam kemanusiaanNya itu disebut “Anak Abraham” dan “Anak Daud “ ( Matius 1:1), maka
haruslah dalam jasad daging kemanusiaanNya itu mengalir “gen” dari Abraham dan Daud bapabapa leluhurNya secara manusia itu. Padahal “gen” tadi harus didapat dari manusia yang
merupakan keturunan Abraham dan Daud, dan kita tahu satu-satunya manusia yang
mempersembahkan kemanusiaan dengan cara melahirkan Firman Allah yang menjelma ini
sebagai bayi adalah Maryam, berarti Yesus memang harus mengambil “gen” Abraham dan Daud
itu melalui Maryam. Artinya Maryam harus sungguh-sungguh dalam arti literal adalah Ibu
kemanusiaan dari Penjelmaan Kalimatullah ini. Maryam tidak hanya sekedar dilalui atau dilewati
oleh kelahiran Yesus saja, namun kemanusiaan Yesus itu berasal dari ovum kemanusiaan
Maryam. Itulah sebabnya Yesus disebut sebagai “buah rahim” Maryam ( Lukas 1: 42). Ini berarti
Maryam adalah pohon dari kemanusiaan Yesus, dan rahim atau ovum Maryam itu menjadi asalusul dimana “BUAH” yaitu tubuh kemanusiaan bayi Yesus itu diproses. Jadi Maryam bukan
hanya sebagai saluran saja, dalam arti tak menyumbangkan apapun kepada kodrat kemanusiaan
dari Kalimatullah yang menjelma, seperti layaknya pipa kraan yang dialiri air. Analogi ini tak
masuk akal, karena air dari pipa kraan itu bukan “buah” dari pipa tadi, padahal Yesus adalah
“buah rahim” Maryam. Jadi memanglah kemanusiaan Yesus itu semata-mata berasal dari ovum
Maryam yang tanpa sperma laki-laki oleh Kuasa Firman Allah itu sendiri dijadikan bentuk Bayi
dan oleh Roh Allah sendiri diberikan kehidupan. Dengan demikian Yesus itulah ‘Keturunan
Perempuan’ ( Kejadian 3:15) karena terjadi tanpa sperma pria sama sekali namun langsung oleh
Kuasa Yang Maha Tinggi sebagai mukjizat luar biasa, dan sekaligus “keturunan Abraham dan
Daud”, karena Maryam adalah keturunan mereka dan melalui ovumnya “gen” Abraham dan
Daud menjadi kemanusiaan dari Firman Allah yang menjelma. Itulah sebabnya Galatia 4:4
mengatakan bahwa Anak Allah yang pra-ada itu ketika lahir menjadi manusia dikatakan
“genomenon ek gunaikos” = “lahir keluar dari” atau “berasal dari” perempuan “. Jadi “berasal
dari” atau “keluar dari” Maryam inilah kemanusiaan Yesus itu dilahirkan ke dunia. Maryam
bukan hanya dilalui saja, namun betul-betul menjadi Ibu Yesus Kalimatullah itu, yang darinya
kalimatullah yang tak berjasad jasmani itu mendapatkan jasad-jasmani kemanusiaanNya. Itulah
sebabnya Maryam disebut “Theo-“ yang menekankan ke “Allah” an si Bayi sebagai kalimatullah,
dan “-tokos” yang menekankan sungguh-sungguh si Bayi itu terlahir dari Maryam, berarti Ia
manusia sejati yang memiliki permulaan dari kelahiran Jadi memang Maryam yang harus memiliki
gelar ini, untuk menandaskan secara tegas bahwa kemanusiaan dari Bayi yang terlahir itu
memang berasal dari Ibu yang melahirkan itu yang adalah betul-betul manusia. Sehingga si Bayi
itu adalah manusia sejati dan sempurna, karena Ibu yang melahirkan adalah manusia sejati.
Demikianlah gelar “Theotokos” bagi Maryam itu merupakan ringkasan theologis tentang makna
Inkarnasi Kristus, serta menjadi pagar dan penjaga kokoh bagi “keilahian” dan “kemanusiaan”
Kristus, yang tidak saling berbaur, tidak saling kacau, namun tak-terpisah-pisahkan dan tak
terbagi-bagi dalam kesatuan Pribadi Firman Allah yang hanya satu itu. Gereja Orthodox pada
tahun 431 di Efesus mengutuk “Nestorius” yang menolak gelar ini, karena penolakan itu berarti
pemisah-misahan Pribadi Kristus yang satu itu menjadi dua. Jika Maryam hanya melahirkan
173
kemanusiaanNya saja, berarti si Bayi yang lahir itu tak memiliki Pribadi Ilahi, dengan demikian
sudahlah terpisah antara Pribadi Ilahi dan Pribadi Manusianya, sehingga ada dua Pribadi yang
berbeda. Dengan demikian Yesus Kristus itu bukan Firman Allah yang menjelma, namun hanya
manusia biasa Anak Maryam, yang baru kemudian kesurupan Firman Allah, seperti layaknya
kalau orang kesurupan setan. Dalam pengertian semacam ini maka Pribadi Firman Allah dan
Pribadi Anak Maryam memang beda, berarti ada dua pribadi dalam Yesus, dan bukan Satu
Pribadi yang berkodrat dua secara tak terpisah. Jikalau begitu yang disalib itu hanya sekedar
manusia biasa, bukan kematian dari kodrat kemanusiaan Firman Allah yang menjelma, sebab
kodrat ilahiNya memang tak dapat disalib dan tak dapat mati. Jika yang mati itu hanya manusia
biasa Anak Maryam saja, maka keselamatan tak akan terjadi oleh kematian semacam itu. Sampai
sekarangpun Gereja Orthodox akan tetap menyangkal “Nestorius-Nestorius “ modern yang
menolak menyebut Maryam sebagai “Theotokos”. Jelaslah gelar Theotokos bukanlah untuk
memberhalakan atau mendewakan Maryam seperti yang sering disalah-mengerti serta seperti
yang telah dialih-maknakan dalam Gereja Roma Katolik. Namun gelar itu untuk menjaga
keutuhan dan kesatuan “dua-kodrat” Kristus dalam “satu Pribadi”. Sedangkan Maryam sendiri
sebagai pribadi sampai kapanpun dia adalah “hamba Tuhan” yang suci, saleh, serta taat. (Lukas
1:38).
3 a. Pribadi Roh Kudus
3.Keselamatan Sebagai Pengalaman Subyektif : Pribadi dan Karya Roh Kudus.
a.Pribadi Roh Kudus.
Keselamatan itu secara obyektif-historis telah terjadi dalam pribadi dan karya penjelmaan
Yesus di masa lalu, terutama dalam penderitaan, penyaliban, kemtian dan kebangkitanNya.
Dalam makna ini kemanusiaan kita secara prinsip sudah diselamatkan. Tetapi karena
peristiwa itu sudah terjadi di masa lampau, kira-kira 2000 tahun yang lalu, keselamatan itu
masih dapat tetap berlaku bagi kita, dan dialami manusia secara subyektif pada masa kini - di
abad kedua puluh yang hampir menginjak abad dua puluh satu ini -, melalui karya Roh
Kudus. Sebelum penderitaanNya Kristus menjanjikan:” Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia
akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya,
yaitu Roh Kebenaran…” (Yohanes 14:16-17), “ …Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus
Bapa dalam NamaKu, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu, dan akan mengingatkan
kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu “ (Yohanes 14:26) “ Jikalau Penghibur yang akan
Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku “
(Yohanes 15:26). Janji-janji Kristus tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Roh Kudus yaitu
RohNya Allah sendiri, yang pada saat Perjanjian Lama selalu bekerja pada orang-orang
tertentu, dan selalu hadir untuk menopang kehidupan alam semesta ini, akan secara khusus
dikirimkan oleh Allah “ atas Nama Yesus” untuk menjadi “Penolong yang lain” dan
“Penghibur” yang tugasnya adalah “menyertai kamu (orang-orang milik Kristus) selamalamanya” “mengajarkan segala sesuatu” dan “mengingatkan akan semua apa yang telah
Yesus katakan” serta “ bersaksi tentang Yesus”. Ini berarti tugas Roh Kudus adalah untuk
menghadirkan Kristus sendiri kepada orang beriman. Sebagaimana Yesus itulah
“Parakleetos” (“Penolong” - I Yoh.2:1), maka Roh Kudus akan menjadi “Penolong yang
lain”. Karena itu Roh Kudus tak akan berbicara mengenai ajaranNya sendiri, namun
174
mengungkapkan segala sesuatu yang Yesus historis itu pernah ajarkan. Roh Kudus tak akan
menyaksikan DiriNya sendiri, namun Yesus yang telah dimuliakan itu yang akan disaksikan.
Demikianlah dalam Roh Kudus itu Yesus yang telah melaksanakan karyaNya secara historis
hadir secara rohani dan ghaib melintas waktu dan tempat, sehingga tetap dapat secara relevan
dialami manusia sampai kapanpun. Tugas Roh Kudus yang demikian inilah yang
mengharuskan bahwa Roh Kudus itu harus ilahi. Sebab Kristus yang dihadirkan dan diwakili
kehadiranNya oleh Roh Kudus itu adalah ilahi. Maka hanya yang ilahi dapat menghadirkan
yang ilahi secara nyata dan kongkrit Apalagi kehadiran Kristus adalah untuk memberikan
hidup ilahi kepada manusia, maka hanya Roh yang Ilahi saja yang dapat memberikan hidup
ilahi yang telah dinyatakan melalui kebangkitan Yesus itu. Itulah sebabnya dalam Konsili II di
Konstantinopel, Gereja Purba yang Orthodox itu dalam penolakannya terhadap ajaran
“Makedonianisme” yang menyangkal bahwa Roh Kudus itu Ilahi dan Pribadi, menegaskan
dalam Pengakuan Iman Nikea bahwa Roh Kudus itu adalah “Tuhan” , yang “Keluar dari
Bapa”, “ Yang Memberi Hidup” “Yang Bersama Bapa dan Putra disembah dan dimuliakan”
serta “Yang Berbicara melalui Para Nabi”. Roh Kudus adalah Tuhan (II Kor. 3:18), karena
Dia yang menghadirkan Kristus yang adalah “Tuhan” dalam hidup manusia, dengan
demikian Roh Kudus itu bersifat Allah, sama seperti Firman Allah itu adalah Allah, karena
berada satu di dalam Diri dan Hakekat Allah yang Esa (Bapa) itu sendiri. Roh Kudus itu
Allah karena “keluar dari Bapa” yang berarti Ia berasal dari dalam diri Bapa (Allah Yang Esa)
sebagai RohNya Allah sendiri, sama seperti roh manusia itu berada di dalam diri manusia ( I
Kor. 2:10-11). Dan Roh Kudus inilah prinsip hidup di dalam Diri Allah yang Esa, serta
melaluiNya Allah memberikan kehidupan kepada segenap makhluk, terutama menyalurkan
hidup kekal Allah yang telah dinyatakan melalui kebangkitan Kristus, sehingga Roh Kudus
ini disebut sebagai “Sang Pemberi Hidup” ( Roma 8:2 ). Demikianlah maka Roh Allah dan
Firman Allah itu berada satu di dalam Diri Allah yang Esa:Bapa itu. Sehingga memuliakan
“Allah” berarti memuliakan Allah ( Bapa) sekaligus bersama Firman ( Anak, Putra) dan
RohNya ( Roh Kudus). Karena Allah yang Esa itu sejak kekal memiliki FirmanNya sendiri
(Anak) dan RohNya sendiri (Roh Kudus) di dalam hakekat diriNya yang hanya satu itu. Atau
dengan kata lain menurut bunyi Pengakuan Iman Nikea “Roh Kudus” itu “ bersama Bapa
(Allah Yang Esa) dan Putra (Firman Allah yang berada dalam diri Allah) disembah dan
dimuliakan” Dan melalui RohNya yang berada dalam Diri dan HakekatNya itulah Allah
menyatakan kebenaran tentang diri dan kehendakNya melalui para Nabi. Oleh karena
demikianlah sifat Roh Allah itu, maka sudah jelas hanya Roh Allah ini yang dapat
menghadirkan Kristus, Firman Allah, yang menjelma ke dalam dunia kepada manusia. Roh
Kudus dikirim atas nama Kristus, karena hanya Kristuslah yang akan dinyatakan oleh Roh
Kudus yaitu Roh Allah ini.
b.Karya Roh Kudus.
Pada saat Yesus menjanjikan akan kedatangan Roh Kudus itu atas namaNya sebagai suatu
kehadiran khusus, dikatakan Alkitab bahwa “kehadiran khusus” Roh Allah “atas Nama
Yesus” ini terkait dengan pemuliaan Yesus sesudah bangkit dari antara orang mati.
Sebagaimana yang tertulis: “….sebab Roh itu belum datang, karena Yesus belum dimuliakan” (
Yohanes 7:39). Sesudah Yesus dimuliakan barulah Roh Allah yang berasal dari dalam Diri
Allah dan yang dijanjikan itu, dikirim secara khusus oleh Allah pada manusia pada Hari
Pantekosta. Berarti Pantekosta adalah penggenapan Paskah. Karya Roh Kudus adalah
kelanjutan dan penggenapan Karya keselamatan Yesus. Hal ini dinyatakan demikian:” Yesus
175
inilah yang dibangkitkan Allah……dan sesudah Ia ditinggikan ( yaitu : sesudah bangkit dan
dimuliakan Allah,pen.) oleh tangan kanan Allah, dan menerima Roh Kudus (“ yang keluar dari
Allah (Bapa), Yoh.15:26. pen.) maka dicurahkanNya ( Roh Kudus yang sama itu tadi oleh
Yesus kepada manusia, pen.) apa yang kamu lihat dan dengar disini ( pada saat Hari Pantekosta
di Yerusalem, pen,)“ ( Kisah 2:32-33 ). Roh Allah yang keluar dari Allah (Bapa) itu
sampainya kepada manusia harus melalui pribadi Yesus Kristus, sebagai Yang Mengutus dan
Mencurahkan, karena untuk menghadirkan Karya Keselamatan yang ada pada Tubuh
Kemanusiaan Yesus yang telah dimuliakan itu tujuannya Roh tersebut dikirim. Demikianlah
di dalam Roh Kudus, kita menerima karya pemulihan kodrat kita yang ada dalam Tubuh
Kemanusiaan Yesus itu. Untuk mengalami keselamatan di dalam Diri Manusia Yesus yang
telah dimuliakan itu berarti harus mengalaminya di dalam Roh Kudus, dan mengalami Roh
Kudus berarti, mengalami kodrat kemuliaan manusia Yesus Kristus yang telah mengalami
pemuliaan (“theosis”) itu. Roh Kudus tidak mewahyukan yang lain kepada kita, namun hanya
menghadirkan Wahyu yang tuntas dan paripurna: Firman yang telah menjadi manusia, Yesus
Kristus. Dengan menyalurkan kemanusiaan mulia dari Yesus yang telah bangkit itu, maka
kehidupan kebangkitan, yaitu kehidupan yang telah menang atas maut dan tak dikuasai
olehnya, yang tak lain adalah hidup kekal, yang hadir dalam Tubuh Kemanusiaan Yesus,
maka Roh Kudus menyalurkan hidup kekal kepada kita. Dan itulah hidup kebangkitan dan
pemuliaan serta pengudusan kodrat kemanusiaan (“theosis’) yang kita terima karena iman
kepada Kristus. Penyaluran “hidup kekal” itulah “Energi Ilahi” yang bekerja di dalam kita.
Dan Energi Ilahi yang dikerjakan oleh Roh Kudus di dalam kita itulah “rahmat” ( “anugerah,
kasih karunia”). Jadi kita diselamatkan oleh “kasih-karunia” (“rahmat, anugerah”) Allah yang
bekerja di dalam kita. Para Bapa Gereja Yunani Purba mengajarkan bahwa yang disebut
sebagai kasih-karunia yang menyelamatkan itu bukanlah hanya sekedar konsep abstrak
mengenai “sikap Allah yang membenarkan” orang berdosa saja (seperti yang ditekankan
dalam ajaran “pembenaran oleh iman” yang dihayati oleh Martin Luther), namun kasihkarunia juga berarti “kuasa Allah” (Roma 1:16: “ Injil itu kuasa Allah”), yaitu “energi ilahi”
yang bekerja untuk memampukan manusia berdosa yang telah dibenarkan secara posisi itu
untuk berubah dari hidup yang dikuasai oleh dosa menuju kepada kekudusan yang akan
berakhir pada “theosis”. Jadi pembenaran dan pengudusan dalam visi Para Bapa Gereja
Yunani Purba bukan hanya sekedar perubahan status dari keadaan dosa “dianggap benar”,
dalam pengertian bahasa hukum (yuridis) saja, namun lebih merupakan suatu proses
pemulihan kodrat akibat menyatunya manusia dengan kodrat riil dari kemanusiaan Kristus
yang telah dimuliakan itu karena kuasa “energi ilahi” yang dikerjakan oleh Roh Kudus.
Itulah sebabnya keselamatan itu sepenuh-penuhnya merupakan “kasih-karunia”Allah
(Efesus 2:8-9), yaitu energi ilahi yang bekerja untuk mengubah manusia mencapai “theosis”.
Kasih-karunia Allah itu tidak memaksa kehendak bebas manusia. Karena Alkitab sering
mengatakan “barangsiapa mendengar perkataanKu dan percaya” ( Yohanes 5:24 ) “ jikalau ada orang
yang mendengar suaraKu dan membukakan pintu” ( Wahyu 3:20) “ barangsiapa haus hendaklah ia
datang….dan barangsiapa yang mau…” ( Wahyu 22: 17), dan banyak ayat-ayat yang lain, maka
jelas bahwa panggilan ke dalam keselamatan itu juga “ditawarkan” kepada segenap manusia,
yang menunjuk bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menolak atau menerima,
berarti memiliki kehendak bebas. Dengan demikian pendamaian Kristus itu tidak hanya
terbatas bagi orang-orang yang telah ditakdirkan untuk selamat, sebagaimana yang dihayati
dalam ajaran “Limited Atonement” (“pendamaian yang terbatas”) dari faham Calvinisme
klasik, karena takdir yang demikian itu bukanlah yang dimaksud oleh Alkitab menurut
pengajaran Gereja Purba di Timur sebagaimana yang telah kita bahas diatas. Manusia harus
dengan rela membuka diri untuk mau menerima keselamatan itu dalam iman. Dalam visi
176
Alkitabiah dari Gereja Purba yang demikian ini maka ajaran “Irresistable Grace” ( “Rahmat
yang tak dapat ditolak”) seperti yang dihayati oleh faham Calvinisme klasik ataupun ajaran
Lutheranisme klasik tentang “the bondage of the will” (“ keterbelenggguan kehendak”)
memang terlihat bertitik-pijak dari cara pemahaman yang amat berbeda.dan sedikit sekali
terdapat titik temu dengan ajaran para Bapa Gereja Purba di Timur ini. Karena faham kasihkarunia/rahmat yang tak dapat ditolak atau keterbelengguan kehendak manusia itu
mengesampingkan karya “kasih-karunia” yang memampukan manusia untuk memiliki
kehendak bebas yang diberikan Allah sebagai yang diciptakan menurut gambar dan rupa
Allah. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian :”…kerjakan keselamatanmu dengan takut dan
gentar….karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut
kerelaanNya” ( Filipi 2:12-13). Lagi pula telah kita buktikan bahwa waktu manusia diciptakan
dia belum mencapai keadaan “sempurna” meskipun “amat baik”, sehingga kejatuhan
manusia dari dosa itu bukan menyebabkan “kebejatan total “ (“Total Depravity”) seperti
yang juga difahami oleh Calvinisme klasik diatas tadi. Dengan demikian kejatuhan itu
dimengerti sebagai kemelesetan kodrat (“hamartia nenek-moyang”, hamartia yang
diterjemahkan sebagai “dosa” aslinya bermakna meleset dari sasaran), serta kekaburan
gambar Allah pada manusia, tanpa hilangnya gambar Allah itu dari manusia. Dengan
demikian manusia mengalami rusak namun bukan “bejat total”. Itulah sebabnya manusia
oleh kasih karunia Allah yang diberikan dalam penciptaan mampu untuk membuka dirinya
bagi iman kepada panggilan Allah ini. Jadi kehendak bebas manusia itu bukan “kemampuan
alamiah”`manusia seperti yang diajarkan oleh Pelagius yang ditentang oleh Agustinus dan
dikhawatirkan oleh Luther dan Calvin dan ditolak oleh Gereja Purba di Timur. Ajaran ini
bukan pula merupakan “usaha patungan” dari kemampuan manusia sendiri yang dibantu
oleh kasih-karunia yang merupakan ajaran setengah-Pelagius (“Semi-Pelagianisme”) yang
juga ditolak secara serentak dalam pemahaman Gereja Purba di Timur sebagaimana itu
ditolak oleh pemahaman Calvinisme dan Lutheranisme klasik . Calvin dan terutama Luther
menolak keras ajaran “usaha patungan” seperti itu, akibat reaksinya terhadap ajaran Gereja
Barat Roma Katolik pada saat itu yang mempercayai bahwa amal dan jasa manusia dapat
menyumbangkan bagi keselamatan manusia, terutama perbuatan-perbuatan baik yang
berpuncak pada penjualan surat indulgensia atau surat pengampunan dosa. Inilah pemicu
munculnya Gerakan Reformasi Protestan di Gereja Barat itu. Namun ajaran Gereja Timur
tentang “kehendak bebas” ini menegaskan bahwa “kehendak bebas” itu sepenuh-penuhnya
merupakan kasih-karunia Allah, sebagai akibat penghembusan “nafas Allah” pada manusia
(Kejadian 2:7) dan “Allah yang mengerjakan kemauan dan pekerjaan oleh kerelaanNya” di
dalam manusia (Filipi 2:13), yaitu sebagai akibat karya “energi ilahi” / “kuasa hidup” yang
diberikan.Demikianlah “kehendak bebas“ itu juga akibat anugerah Allah sebagai sarana untuk
menerima anugerah keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma. Pada saat penciptaan
tidak ada apa yang disebut sebagai “kodrat alami murni” (“pure nature”) yang tanpa disertai
kasih-karunia seperti yang dihayati dalam theologia di Gereja Barat abad pertengahan.
Karena “nafas hidup” yaitu “energi ilahi” atau “kasih-karunia” itu sudah hadir sejak awal,
dan manusia ada karena kasih-karunia ini, meskipun sepenuh-penuhnya kasih-karunia itu
dipulihkan kembali sesudah kebangkitan Yesus oleh Roh Kudus. Keterbukaan manusia
dalam iman untuk menerima “kasih-karunia” Allah itulah yang dalam theologia para bapa
Gereja Purba di Timur disebut sebagai “synergia”, bukan dalam pengertian “usaha
patungan” atau “kerjasama” yang sama derajatnya, namun sebagai suatu “pemberian Allah
cuma-cuma” dan “respons manusia yang diterangi Roh Kudus” atas pemberian cuma-cuma
tadi. Karena iman itu merupakan “synergia”, maka jelaslah bahwa iman yang hidup itu harus
dinyatakan dalam “perbuatan baik” sebagai bukti iman tadi :”…iman tanpa perbuatan adalah
177
mati” (Yakobus 2:26), “…kamu telah dipanggil untuk merdeka….jangan mempergunakan
kemerdekaan itu untuk kehidupan dalam dosa…melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”
(Galatia 5:13) “ sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu,
tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu…..karena kita ….diciptakan dalam Kristus Yesus
untuk melakukan pekerjaan yang baik….” ( Efesus 2:8-10) “…karena itu tetaplah kerjakan
keselamatanmu dengan takut dan gentar…..karena Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu kemauan
maupun pekerjaan.….” (Filipi 2:12-13), dan masih banyak lagi. Oleh karena itu dalam
pemahaman theologia Gereja Purba di Timur tidak ada dikhotomi antara “Iman dan
Perbuatan”, seperti yang pernah membingungkan Luther sehingga ia menyebut Surat
Yakobus sebagai “Surat Jerami” atau “Surat Sampah” yang hampir-hampir saja dibuangnya
dari Kitab Suci, karena penekanan akan perbuatan baik dalam surat itu. Iman itu akibat
“kasih-karunia”Allah, perbuatanpun karena “Allah yang mengerjakan di dalam kamu baik
kemauan maupun pekerjaan”. Jadi iman itu menyatakan dii dalam perbuatan baik, dan
perbuatan baik itu bersumber dari iman, serta kedua-duanya berasal dari “energi ilahi” yang
bekerja dalam manusia, yaitu “kasih- karunia” yang bekerja oleh Roh Allah. Dalam melatih
iman untuk selalu menampakkan buah perbuatan baik itulah pengudusan dalam realita,
bukan hanya dalam posisi atau status yang abstrak, yaitu pemulihan kodrat dalam
pembersihan dari hawa-nafsu dan dari watak serta sikap lama. Dan ini nampak nyata dalam
kehidupan suci, yang semuanya ini merupakan proses pembaharuan yang terus-menerus yang
tak akan pernah berhenti (Kolose 3:10, II Kor. 3:18, 7:1). Inilah proses pengudusan itu.
Disinilah peranan “disiplin spiritual” dan “kerelaan menyangkal diri” ( misalnya dalam
bentuk : puasa, kekhusyukan dalam hidup doa, bahkan hidup sebagai rahib bagi yang
terpanggil, pengendalian hawa-nafsu melalui usaha-usaha pengekangan gejolak tubuh, dan
lain-lain) itu memiliki tempat dalam kehidupan Iman Kristen Gereja Purba yang Am dan
Alkitabiah. “Disiplin spiritual” dan “kerelaan menyangkal diri “ itulah buah iman, dan
merupakan pendalaman dari “kasih-karunia” untuk mencapai kasih akan Allah yang lebih
dalam, sebagai bentuk sikap hidup pertobatan yang terus-menerus. Jadi tindakan-tindakan ini
tak boleh dimengerti sebagai suatu usaha mencari pembenaran melalui perbuatan yang
berasal dari kekuatan sendiri. Sebab tidak ada noda Pelagianisme ataupun Semi-Pelagianisme
dalam visi Iman Kristen dari Para Bapa Gereja Yunani Purba ini. Segala sesuatu adalah kasihkarunia yang bekerja. Maka dengan demikian jelaslah bahwa tak ada perbuatan baik atau
amal-jasa macam apapun pada dirinya sendiri yang dapat menyelamatkan manusia, sebab
keselamatan itu bukan hanya sekedar masuk sorga serta lepas dari neraka, sebagai akibat
banyak sedikitnya “pahala” dari perbuatan baik. Namun keselamatan itu adalah dilepaskan
dari kuasa Iblis, Dosa, Kelapukan, Kefanaan, dan Maut. Inilah yang disebut “pembenaran” .
Dari pelepasan tadi manusia dipulihkan ke dalam kekekalan, hidup, kemuliaan, dan terutama
“ambil bagian dalam kodrat ilahi”, dan inilah yang disebut “pengudusan”. Dan semua karya
pelepasan Kristus bagi manusia dari kuasa Iblis, Dosa, dan Maut itulah yang disebut sebagai
“penebusan”. Dari “kemelesetan kodrat” oleh Adam lalu menyatu dalam kemanusiaanm
yang telah dipulihkan di dalam Kristus itulah yang disebut "kelahiran kembali"”( Yohanes
3:3-5). Ini semua hanya mungkin terjadi melalui penyatuan atau panunggalan kita dengan
Tubuh Kemuliaan Kristus yang oleh Kebangkitan tekah menghancurkan Maut, Kelapukan,
Kefanaan, Dosa dan Iblis, serta sekaligus menyatkan Kehidupan Kekal, Kemuliaan, dan
Kodrat Ilahi itu sendiri. Mencapai titik pemuliaan, manunggal dalam kodrat ilahi (“theosis”)
itulah yang disebut sebagai “pemuliaan” (Roma 8:29). Jelaslah tidak ada keselamatan diluar
Kristus. Adalah suatu salah-faham besar menyangka praktek-praktek kerahiban, kebiaraan,
puasa, dan penyangkalan diri dalam Gereja Purba terutama yang di Timur, dan yang tetap
menjadi salah satu ciri Gereja Orthodox masakini, sebagai menukar “kasih-karunia”Allah
178
dengan usaha kebaikan sendiri di hadapan Allah untuk mendapatkan kebenaran. “Disiplin
spiritual” suatu bukti tindakan pendalaman iman yang dikuatkan oleh kasih-karunia Allah di
dalam Kristus. Inilah pendalaman dan penyelaman ke dalam kasih-karunia tadi secara serius
dan konsekwen. Jadi yang disebut sebagai pemilihan, pembenaran, pengudusan, penebusan,
pendamaian, kelahiran baru, pemuliaan (“theosis”), dan lain-lain dari segi “ordo salutis”
(“urut-urutan ide keselamatan”) dalam perspektif Alkitabiah menurut penghayatan Gereja
Purba di Timur, tidak dimengerti sebagai karya Allah yang terpisah-pisah dan berbeda-beda,
namun hanya sebagai aspek-aspek yang kaya dari karya keselamatan Allah yang tunggal dan
berkesinambungan di dalam kematian dan kebangkitan Kristus, yang disalurkan oleh Roh
Kudus.
Pengakuan Iman ini dengan tegas menjelaskan bahwa Roh Kudus itu memiliki hakikat ilahi
sebagai yang berada satu di dalam diri Allah yang Esa , karena Ia adalah Roh Allah sendiri,
sehingga Ia disebut “Tuhan” (Sang Penguasa”). Jadi Dia bukan hanya sekedar Kuasa atau Daya
Pengaruh yang keluar dari Allah namun juga memiliki hakikat ilahi sehingga dalam penyembahan
kita kepada Allah yang Esa itu otomatis dan sekaligus Roh Allah yang bersifat dan berhakikat
ilahi yang berada satu di dalam Dzat-hakekat Allah yang Esa itu disembah dan dimuliakan.
Dengan demikian jelas bahwa dalam Iman Kristen Orthodox Roh Kudus bukanlah Malaikat
Jibril seperti diajarkan Agama Islam, namun Dia adalah “Yang Keluar dari Sang Bapa” sendiri,
dan yang berada dalam dzat-hakekat Allah yang satu itu bersama dengan dengan Firman Allah,
karena Roh Allah itu adalah Prinsip Hidup di dalam Allah sendiri, maka Roh Kudus itu
mempunyai fungsi utama sebagai “Sang Pemberi Hidup” baik itu hidup sementara dalam alam
wadhag ini maupun “kehidupan zaman yang akan datang”. Yaitu hidup kekal” yang sudah
dinyatakan oleh Allah melalui kemenangan SabdaNya yang telah nuzul sebagai manusia atas
maut dan kematian melalui Kebangkitan, sesudah kematianNya sebagai syuhada bagi kebenaran
ilahi diatas Salib. Dengan demikian fungsi dan karya Roh Allah yang terutama adalah
menyalurkan karya Allah yang telah dilakukan FirmanNya yang menjelma itu kepada manusia.
Sebagaimana yang dikatakan oleh “Sang Firman” itu sendiri ketika berada dalam keadaan
nuzulNya sebagai manusia itu: :”…Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam
seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi segala
sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan
kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku…” ( Yohanes 16:13-14)
),serta Ia yang “mengajar kan segala sesuatu” dan “mengingatkan semua yang telah
Kristus katakan” (Yohanes 14:26) kepada Gereja-Nya. Karena memang Kristus mengutus Roh
Kudus adalah untuk bersaksi tentang DiriNya, bersama dengan kesaksian Gereja (murid-murid
Kristus), sebagaimana yang dikatakan:’…Roh Kebenaran…Ia akan bersaksi tentang
Aku…kamu juga harus bersaksi…” (Yohanes 15:26-27). Oleh karena itu karya Almasih itu
dilanjutkan dan disalurkan oleh karya Roh Allah itu diantara umatNya yaitu Gereja. Untuk itu
marilah kita bahas mengenai karya Roh Allah atau Roh Kudus ini.
b. Karya Roh Kudus
Sesudah pengakuan akan Roh Kudus, Pengakuan Iman ini menunjuk kepada : Gereja,
Baptisan, kebangkitan orang mati dan kehidupan zaman yang akan datang. Dengan
demikian Roh Kuduslah yang menciptakan Gereja pada saat Hari Pantekosta. Roh Kudus
pula yang menghidupi Gereja sebagai Baitnya sendiri. Dan di dalam menghidupi Gereja ini
Roh Kudus menyampaikan rahmat hidupNya melalui Sakramen yang dimulai dengan
179
Baptisan. Melalui Baptisan inilah Gereja mengalami Kristus di dalam Roh Kudus melalui
sakramen dan kehidupan rahmat selanjutnya di dalam Gereja. Sebagai “Mesias” Kristus telah
diurapi oleh Allah dengan Roh Kudus, sebagaimana dikatakan :”…Yesus dari Nasaret:
bagaimana Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus….” ( Kisah Rasul 10:38), “…Yesus
segera keluar dari air…..Roh Allah seperti burung merpati turun keatasNya” ( Matius 3:16),
“….Roh turun dari langit seperti merpati, dan Ia tinggal di atas-Nya” ( Yohanes 1:35), serta
:”…siapa yang diutus Allah (yaitu:Yesus), Dialah yang menyampaikan firman Allah, karena
Allah mengaruniakan Roh-Nya (yaitu: kepada Yesus) dengan tidak terbatas” (Yohanes 3:34).
Tujuan dari pengurapan atau pencurahan kepada Yesus “dengan tidak terbatas” ini adalah
agar Ia boleh mengaruniakan Roh yang sama itu kepada manusia, sebagaimana yang
dikatakan:”…Jikalau engkau melihat Roh itu turun keatas seseorang dan tinggal diatasNya,
Dialah itu yang akan membaptis dengan Roh Kudus” ( Yohanes 1:33), serta:” Dan sesudah
Ia ditinggikan oleh tangan kanan Allah dan menerima Roh Kudus….maka dicurahkanNya….” ( Kisah 2:33). Demikianlah melalui Mesias atau Kristus yang disemayami Roh
Kudus dan tinggal diatas-Nya secara tak terbatas, maka manusia ditenggelamkan seolah-olah
ke dalam air, yaitu dibaptiskan, oleh Kristus ke dalam Roh Kudus itu serta dicurahi dengan
Roh yang sama tadi. Sehingga setiap orang beriman dalam panunggalannya dengan Kristus
akan menerima Roh Kudus. Karena panunggalan dengan Kristus itu adalah melalui
sakramen-sakramen oleh iman di dalam Gereja, dan karena Gereja itu adalah Tubuh Kristus
serta perpanjangan Inkarnasi Kristus, maka berarti di dalam Gereja itulah Roh Kudus tinggal,
dikaruniakan, dicurahkan serta dialami oleh manusia. Roh Kudus menjadi hidup dan jiwa
Gereja itu sendiri. Hal ini dikatakan demikian:”Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan
(Gereja), rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam
Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh”
(Efesus 2:21-22). Menurut ayat-ayat ini, seluruh bangunan yaitu Gereja Rasuliah Universal
(Katolik) itu selalu bertumbuh dalam susunan yang rapih, menjadi “Bait Allah yang Kudus”.
Dengan demikian Gereja Rasuliah secara Keseluruhan (Katolik) itu adalah “Bait Allah yang
Kudus”. Sedangkan masing-masing anggotanya secara pribadi maupun secara komunitas
lokal (“kamu”) ikut ambil-bagian (“turut”) dibangunkan sebagai “Tempat Kediaman Allah”
atau “Bait Allah” tadi. Sedangkan Allah diam dalam Gereja sebagai BaitNya itu adalah
melalui Roh Kudus, berarti Gereja adalah Bait Allah yang adalah Bait Roh Kudus. Allah
melalui RohNya bersemayam dalam Gereja tadi. Dan masing-masing komunitas lokal
(paroikia) sebagai ekspresi lokal dari Gereja Keseluruhan yang Rasuliah (Katolik) itu juga
menjadi Bait Roh Kudus yang sama tadi. Sehingga masing-masing anggotanya sejauh ia
adalah bagian dari Gereja tadi, juga menjadi Bait Allah atau Bait Roh Kudus itu. Hal itu
dikatakan demikian :”…kamu (Gereja di Korintus) adalah Bait Allah dan bahwa Roh
Allah diam di dalam kamu (Gereja)” ( I Korintus 3:16), serta :” …tubuhmu (masingmasing pribadi dalam Gereja) adalah Bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu
(pribadi-pribadi dalam Gereja), Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah…” ( I Kor.
6:19). Demikianlah jelas bahwa Roh Kudus itu memang diam dalam Gereja, dan masingmasing anggotanya karena berada dalam Bait Roh Kudus atau Bait Allah yaitu Gereja ini,
juga sekaligus menjadi Bait Roh Kudus atau Bait Allah, karena Roh Kudus diam dan
bersemayam di dalam hati roh dan jiwa mereka. Dengan demikian Gereja sebagai Bait Roh
Kudus itu menegaskan kebhinekaan serta keberbagai-bagaian dari pribadi-pribadi secara
orang per orang dalam Gereja, karena kepada pribadi satu per satulah Roh Kudus itu juga
bersemayam. Dengan demikian dalam pengertian Gereja sebagai Tubuh Kristus, kesatuan
secara tak terpisah dan panunggalan yang tak terbagi-bagi dari banyaknya anggota dalam
Gereja itulah yang ditekankan, sedangkan di dalam pemahaman Gereja sebagai Bait Allah
180
atau Bait Roh Kudus, justru keunikan ke-diri-an dari masing-masing anggota itu yang
ditekankan dalam Gereja yang satu itu.Artinya masing-masing anggota di dalam Gereja itu
tidak cukup mereka hanya merasa menjadi anggota suatu paguyuban saja tanpa komitmen
iman secara pribadi, namun masing-masing anggota haruslah “secara pribadI’ memiliki
hubungan dengan Kristus dengan penuh kesadaran, dan memiliki komitmen “ secara
pribadi” yang tinggi kepada Kristus dalam konteks kehidupan bersama dengan pribadipribadi yang lain dalam persekutuan Gereja. Demikianlah melalui pemahaman Gereja sebagai
Tubuh Kristus dan sekaligus Bait Roh Kudus/Bait Allah ini kita melihat suatu panunggalan
tanpa peleburan, dan suatu kesatuan tanpa kehilangan identitas pribadi masing-masing.
Sebagaimana menurut Rumusan Konsili Kalsedonia, masing-masing kodrat dalam Kristus itu
dijaga keunikan dan ke-khas-an ciri-cirinya, meskipun keduanya manunggal secara tak
terpisahkan dalam satu hypostasis, demikianlah dalam Gereja yang satu itu, ke-unik-an dan
ke-khas-an identitas dari masing-masing pribadi itu tetap dijaga keutuhannya (oleh Roh
Kudus dalam Gereja:bait Roh Kudus) meskipun mereka menyatu dalam panunggalan yang
tak terbagi-bagi dan tak terpisah-pisah di dalam Gereja yang satu:Tubuh Kristus itu.
Karena Gereja itu adalah Bait Roh Kudus dan Roh Kudus itu diam dalam Gereja, maka
seluruh gerak pertumbuhan dan kehidupan dalam Gereja ini dibimbing serta diilhami dan
dituntun oleh Roh Kudus, pendek kata semua karya Gereja yang adalah Tubuh Kristus
adalah karya Roh Kudus, - sebagaimana semua karya Kristus ketika berada di bumi adalah di
dalam dan oleh Roh Kudus -, sebagaimana dikatakan:”. Di dalam Dia tumbuh seluruh
bangunan…. di dalam Roh” (Efesus 2:21-22). Karya-karya Roh Kudus di dalam Gereja
itu dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu karya Roh Kudus dalam perjalanan sejarah Gereja
itu, karya Roh Kudus dalam kehidupan di dalam Gereja itu, serta karya Roh Kudus pada
anggota-anggota yang ada di dalam Gereja itu. Untuk itu marilah kita bahas satu persatu:
a.Karya Roh Kudus dalam perjalanan sejarah Gereja:
Dalam sejarahnya Roh Kuduslah yang menyatakan kelahiran Gereja ke dalam dunia ini, yaitu
pada saat Hari Raya Pentakosta, sebagaimana yang dikatakan dalam Kitab Suci
demikian:”Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul di satu
tempat. Tiba-tiba turunlah dari langit suatu bunyi seperti tiupan angin keras yang
memenuhi seluruh rumah…dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala
api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. Maka penuhlah
mereka dengan Roh Kudus….” (Kisah Rasul 2:1-4). Akibat dari peristiwa ini adalah
bahwa setelah orang-orang yang menyaksikan hal itu dan mendengarkan kotbah Petrus oleh
dorongan Roh Kudus ini, menerima perkataannya itu:” Orang-orang yang menerima
perkataannya itu memberi diri dibaptis dan pada hari itu jumlah mereka bertambah
kira-kira tiga ribu jiwa. Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam
persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa “ (
Kisah 2:41-42). Dan disitulah Gereja mulai lahir dan terbentuk.
Gereja sebagai paguyuban umat yang memberitakan Mesias terutama melalui karya
para rasul, terus menerus memberitakan berita tentang Penyaliban, Kematian dan
Kebangkitan Kristus dan keselamatan yang diakibatkan olehnya, dan pemberitaan Rasuliah
inilah merupakan firman Allah yang menjadi sumber kekuatan dan iman Gereja.Pemberitaan
ini bukanlah hanya sekedar ide dan pendapat manusia saja, namun merupakan kebenaran
Allah yang disaksikan oleh para rasul itu di dalam kuasa Roh Kudus, sebagaimana yang
dikatakan:”Allah nenek-moyang kita telah membangkitkan Yesus, yang kamu
gantungkan pada kayu salib dan kamu bunuh. Dialah yang telah ditinggikan oleh
181
Allah sendiri dengan tangan kananNya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya
Israel dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari
segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua
orang yang menataati Dia” (Kisah Rasul 5:30-32). Dengan demikian melalui pemberitaan
akan kebenaran rasuliah di dalam Gereja ini Roh Kudus berkarya di dalam Gereja, serta Ia
yang “mengajar kan segala sesuatu” dan “mengingatkan semua yang telah Kristus
katakan” (Yohanes 14:26) kepada Gereja-Nya, terutama sebagaimana itu telah dinyatakan
kepada para Rasul itu. Karena Kristus mengutus Roh Kudus adalah untuk bersaksi tentang
DiriNya, bersama dengan kesaksian Gereja (murid-murid Kristus), sebagaimana yang
dikatakan:’…Roh Kebenaran…Ia akan bersaksi tentang Aku…kamu juga harus
bersaksi…” (Yohanes 15:26-27).
Dari pemberitaan Rasuliah inilah terbentuknya
“paradosis” Gereja. Ini berarti bahwa paradosis itu bersumber dari Roh Kudus, dan
paradosis itu tak lain adalah hidup Roh Kudus dalam Gereja. Karena paradosis itu berbentuk
“lisan” dan “surat-surat kiriman “ (“tertulis”) –II Tes. 2:15, dan yang bentuk “tertulis” itu
akhirnya terkumpul dalam Kitab Perjanjian Baru, maka jelas Kitab Perjanjian Baru itu
memang terjadi akibat karya Roh Kudus dalam gereja. Itulah sebabnya tulisan-tulisan dari
salah satu rasul yang masuk dalam Perjanjian Baru, yaitu Rasul Paulus, diberi kesaksian oleh
Rasul lainnya : Petrus, demikian:” …..Paulus…telah menulis kepadamu menurut
hikmat (“hikmat” adalah salah satu kharisma Roh Kudus, I Kor. 12: 8) yang dikaruniakan
kepadanya….dalam semua suratnya…..Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang
sukar difahami………sama …dengan tulisan-tulisan yang lain.” ( II Petrus 3:15b-16).
Menurut ayat-ayat ini tulisan-tulisan Paulus itu terjadi akibat karunia hikmat dari Roh Kudus
yang dikaruniakan kepada paulus. Jadi surat-surat Paulus yang menjadi bagian dalam Kitab
Suci Perjanjian Baru itu adalah merupakan ilham dari karunia himat dari Roh Kudus. Dan
tulisan-tulisan Paulus itu disamakan dengan “tulisan-tulisan” lain, yaitu Kitab Suci sebelum
ada Perjanjian Baru, yang adalah Perjanjian Lama. Padahal kita tahu bahwa Perjanjian Lama
itu dinyatakan sebagai “Kitab Suci” ( II Tim. 3:15) yang telah dikenal Timotius sejak kecil,
serta sebagai “Segala Tulisan yang DIILHAMKAN Allah…” ( II Tim/ 3:16), berarti
tulisan-tulisan Perjanjian lama itu bukan hanya sekedar kehendak manusia yang
menghasilkan, namun “oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama
Allah” ( II Petrus 1:21). Demikianlah Roh Kudus yang sama yang mengilhami dan
mendorong para nabi dalam Perjanjian Lama bagi terbentuknya Kitab Suci Perjanjian Lama
itu, telah juga mengilhami atau memberikan karunia hikmat kepada para Rasul di dalam
Gereja, bagi terbentuknya tulisan-tulisan Rasuliah, yang akhirnya oleh Roh Kudus yang sama
dalam Konsili Gereja diakui dan ditetapkan sebagai Kanon (Patokan) Kebenaran. Berarti
dalam Gereja sebagai BaitNya itulah Roh Kudus menuntun bagi terbentuknya Kanon
Perjanjian Baru itu. Itulah karya yang amat sangat penting dari Roh Kudus dalam sejarah
Gereja yang adalah baitNya itu.
Bukan saja Roh Kudus itu mengajar serta mengingatkan Gereja akan apa yang pernah
Kristus katakan, dan membantu dalam kesaksiannya tentang Kristus, namun Roh Kudus juga
akan memimpin kepada seluruh kebenaran serta memberitakan hal-hal-hal yang akan datang
sebagaimana yang dikatakan:”…Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam
seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diriNya sendiri, tetapi
segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan
memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang. Ia akan memuliakan Aku…” (
Yohanes 16:13-14) Bagaimanakah Roh Kudus akan memimpin Gereja ( memimpin kamu)
sampai masuk ke dalam seluruh kebenaran? Meskipun kebenaran Wahyu Injil itu secara
182
penuh telah dinyatakan kepada Gereja melalui Para rasul, namun pemahamannya, atau tafsir
makna ajaran Rasuliah itu tidak sepenuhnya dimengerti oleh umat dalam Gereja itu.
Sebagaimana yang dikatakan Petrus mengenai surat-surat Paulus bahwa “Dalam suratsuratnya itu ada hal-hal yang sukar difahami” (II Petrus 3:16). Akibatnya “orang-orang
yang tidak memahaminya dan yang tidak teguh imannya, memutar-balikkannya” ( II
Pet. 3:16) maka timbullah bidat-bidat dan kesesatan. Untuk mencegah terjadinya kesesatan
dan ajaran bidat-bidat yang diakibatkan oleh“orang-orang yang tidak memahaminya
dan yang tidak teguh imannya, memutar-balikkan” data Kitab Suci baik Perjanjian
Lama maupun tulisan-tulisan Rasuliah dalam Perjanjian Baru, inilah Roh Kudus menuntun
atau memimpin Gereja dalam perjalanan sejarahnya “ke dalam seluruh kebenaran”. Dari data
Alkitab kita tahu jika suatu ajaran bidat muncul ( Kisah 15:1), cara mengatasinya tidak cukup
hanya dengan perlawanan pribadi dengan menggunakan pendapat atau tafsiran pribadi saja (
Kisah 15:12). Karena kesesatan itu membengkokkan iman Gereja secara keseluruhan, maka
Gereja itulah secara keseluruhan yang harus menangkalnya, melalui khasanah iman yang
sekali dan untuk selamanya telah diberikan kepada orang-orang kudus, yaitu, Gereja itu (
Yudas 1:3). Itulah sebabnya untuk mencari kehendak dan pimpinan Roh Kudus mengenai
masalah kebenaran yang sedang diserang oleh ajaran sesat atau ajaran bidat ini maka
”bersidanglah rasul-rasul dan penatua-penatua untuk membicarakan masalah itu” (
Kisah 15:6), dengan “beberapa waktu lamanya berlangsung pertukaran mengenai soal
itu” ( Kisah 15:7). Dan sesudah itu “seluruh jemaat (Gereja) itu mengambil keputusan
“ ( Kisah 15:22). Proses sidang untuk mencari kebenaran Roh Kudus dalam suatu
“pertukaran pikiran bersama” serta “diputuskan oleh Gereja secara bersama” semacam
inilah, yang disebut “Konsili”. Dan hasil Konsili semacam ini dinyatakan sebagai
“keputusan Roh Kudus dan keputusan kami” ( Kisah 15:28). Dari fakta ini jelas bahwa
kebenaran Injil secara keseluruhan itu dinyatakan oleh Roh Kudus melalui Gereja, yang
dinyatakan oleh pimpinanNya dalam Konsili. Dan sudah kita tahu bahwa Gereja Orthodox
telah dipimpin oleh Roh Kudus kepada seluruh kebenaran tentang Kristus yang makin jelas
dan mendalam melalui ke Tujuh Konsili Ekumenis yang terjadi sejak tahun 325- tahun 787.
Dan disamping Ke Tujuh Konsili Ekumenis itu terdapat juga Konsili-Konsili lokal yang
telah dilakukan Gereja sesudah tahun 787 itu sampai dengan Konsili lokal yang terakhir pada
tahun 1950 yang dilakukan dibawah kepemimpinan Patriarkh Athenagoras almarhum, yang
menghimbau dibentuknya wadah pergaulan ekumenis: Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
Dengan demikian semua keputusan Konsili baik yang bersifat dogmatis maupun yang
bersifat administratif praktis itu adalah keputusan Roh Kudus yag harus ditaati oleh segenap
umat dan para pemimpinnya yang ada di dalam Gereja itu. Keputusan yang bersifat
administratif praktis serta yang bersifat ketetapan-ketetapan Hukum itu akhirnya
dikumpulkan dalam Kitab Hukum Kanon yang disebut “Kitab Kemudi” (“Pedalion”).
Sedangkan ketetapan yang bersifat dogmatis itu diabadikan dalam wujud Pengakuan Iman,
terutama “Pengakuan Iman Nikea” (Konsili I dan Konsili ke II) , serta rumusan-rumusan
theologis terutama yang mengenai Kristus dalam Konsili-Konsili selanjutnya. Namun bukan
hanya Konsili-Konsili itu saja yang dituntun oleh Roh Kudus, dalam perjalanan sejarah
Gereja terdapat juga “pemimpin-pemimpin….yang telah menyampaikan firman
Allah” yang “akhir hidup mereka” (berarti mereka sudah mati) Gereja diperintahkan
“Ingatlah…” agar Gereja dapat “contoh iman mereka” ( Ibrani 13:7). Mereka inilah para
Bapa Suci yang hidupnya patut dicontoh, yang menyampaikan firman Allah kepada Gereja,
sehingga Gereja makin mengenal kebenaran Kristus dan dituntun serta dipimpin menuju
seluruh kebenaran Kristus, dalam ajaran-ajaran dan tulisan-tulisan mereka. Ajaran dan
tulisan-tulisan para Bapa Gereja yang menjelaskan Kebenaran Iman Wahyu Ilahi yang
183
diterima Gereja, dan menyanggah serta menangkal ajaran-ajaran sesat dan bidat-bidat yang
hendak memutar-balikkan ajaran Rasuliah, itulah juga cara Roh Kudus memimpin Gereja
kedalam seluruh kebenaran itu. Selanjutnya Roh Kudus juga dikatakan bahwa :”Ia akan
memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang”. Serta bahwa “ Ia akan
memuliakan Aku…” . Bagaimana pula ini terlaksana dalam perjalanan sejarah Gereja?
Yang dimaksud dengan “hal-hal yang akan datang” adalah tujuan akhir dari keselamatan yang
dilakukan Kristus bagi manusia pada saat akhir zaman nanti. Dan tujuan akhir dari
keselamatan itu adalah untuk mencapai “theosis”, yaitu: “ikut ambil bagian dalam kodrat
ilahi” ( II Pet.1:4), serta menjadi “sama seperti Kristus” ( I Yoh. 3:2), dan “menyatakan
diri bersama dengan Dia dalam kemuliaan” ( Kolose 3:4), yaitu keberadaan akhir dimana
Kristus akan “mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuhNya yang mulia “ ( Filipi 3:21) yang bentuk kongkritnya adalah bahwa orang-orang benar
itu “ akan bercahaya seperti matahari dalam Kerajaan Bapa mereka” ( Matius 13:43)
sesudah kebangkitan manusia dari kuburan, ketika Kristus datang yang kedua kali pada akhir
zaman nanti, seperti ketika Kristus dimuliakan diatas Gunung Tabor (Matius 17:1-3).
Pengalaman akan “hal-hal yang akan datang”, yaitu, ikut mengalami kuasa Kerajaan yang
akan datang, dalam wujud menjadi “bercahaya seperti matahari” ini telah diberitakan oleh
Roh Kudus dalam sejarah Gereja melalui pengalaman para orang kudus, dimana mereka
mengalami kemuliaan Kerajaan Allah itu bahkan pada saat mereka masih hidup di dalam
dunia ini. Orang-orang yang telah mengalami seperti itu adalah diantaranya: Symeoan Sang
Theologiawan Baru, Seraphim dari Sarov, Papa Nikholas Planas, dan lain-lain lagi. Dan
pengalaman-pengalaman mereka di dalam Roh Kudus akan “hal-hal yang akan datang itu”
akhir dituliskan dalam buku-buku yang ditinggalkan bagi Gereja.Sehingga melalui
pengalaman-pengalaman para orang kudus di dalam Roh Kudus, itu kita diberitahu mengenai
apa yang sebenar-benarnya akan terjadi kepada manusia pada saat yang akan datang itu.
Dengan demikian melalui pengalaman Roh Kudus yang terjadi dalam kehidupan para orang
kudus Gereja ini, Roh Kudus memberitakan kepada Gereja mengenai hal-hal yang akan
datang itu. Selanjutnya Roh Kudus dikatakan bahwa “ Ia akan memuliakan Aku…”. Di
dalam sejarah Gereja Roh Kudus akan memuliakan Kristus. Hal ini terjadi melalui Ibadah
dan karya pekabaran Gereja. Karena Kristus mengatakan bahwa bertentangan dengan ibadah
umat Yahudi, yang melakukan ibadah hanya demi untuk menggenapi aturan Hukum Taurat
saja, maka Kristus menjanjikan bahwa:”Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba
sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam Roh
dan kebenaran, sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah
itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan
Kebenaran” (Yohanes 4:23-24). Yang dimaksud dengan penyembah-penyembah benar
disini adalah Israel Baru: Gereja, yang menyembah Allah bukan karena hanya mengikuti
hukum tertulis, namun menurut bimbingan dan tuntunan Roh Kudus yang bersemayam di
dalam Gereja itu. Dengan demikian melalui ibadahnya, Gereja dituntun Roh Kudus, baik itu
ibadah Sakramen-Sakramen, ibadah-ibadah non-Sakramen, Ibadah Liturgi Suci, Ibadah
Sembahyang Harian, Ibadah Perayaan-perayaan Gereja, dan sebagainya. Semuanya itu adalah
penyembahan di dalam Roh Kudus. Dan melalui Ibadah-ibadah itu Kristus dimuliakan,
karena isi ibadah-ibadah Gereja itu tak lain adalah pengahayatan akan dogma tentang Kristus
dalam wujud puja-bakti. Demikianlah semua ritus dan kidung dalam ibadah itu adalah
bimbingan dari Roh Kudus, dan untuk memuliakan Kristus. Selanjutnya Roh Kudus juga
yang menuntun dan memutuskan dhasil Konsili, termasuk, Konsili Ekumenis yang ketujuh.
Dalam Konsili yang ketujuh ini yang diputuskan oleh Gereja dan Roh Kudus adalah
mengenai penggunaan ikon-ikon dalam Gereja. Karena Konsili Ketujuh itu juga berasal dari
184
Roh Kudus, maka pembuatan ikon-ikon dan semua seni ibadah yang ada di dalam Gereja
itupun dituntun, diilhami serta diurapi oleh Roh Kudus. Hal ini bahkan sudah terjadi pada
zaman Perjanjian Lama, sebagaimana yang tertulis:” Berkatalah Musa kepada orang
Israel:’ Lihatlah, TUHAN telah menunjuk Bezaleel bin Uri bin Hur, dari suku
Yehuda, dan telah memenuhinya dengan Roh Allah, dengan keahlian, pengertian
dan pengetahuan, dalam segala macam pekerjaan, yakni untuk membuat berbagai
macam rancangan supaya dikerjakan dari emas, perak dan tembaga; untuk
mengasah batu permata supaya ditatah; untuk mengukir kayu dan untuk bekerja
dalam segala macam pekerjaan yang dirancang itu” ( Keluaran 35:30-33). Jadi dalam
seni ikonografi dan semua seni gerejawi itu terjadioleh pimpinan Roh Kudus. Itulah
sebabnya sering terjadi bahwa ikon-ikon itu mengeluarkan mukijizat, misalnya: mengalirkan
minyak mur yang tak diketahui zat kimianya, namun ketika dioleskan pada orang sakit,
orangnya sembuh. Atau ikon-ikon yang berumur ratusan tahun dan kusam tiba-tiba
memperbaharui dirinya sehingga menjjadi cemerlang kembali seperti baru dibuat. Atau
pribadi yang digambar dalam ikon :Kristus, atau Bunda Maria misalnya, menampakkan diri
seolah-olah keluar dari gambar ikon itu, serta melakukan mukjizat bagi orang yang dikaruniai
Allah, dan lain-lain. Karena seni ikonografi Gereja itu adalah berada dalam urapan dan kuasa
Roh Kudus. Demikianlah melalui sejarahnya yang sedemikian itu kehidupan dan keberadaan
Gereja itu telah dituntun oleh Roh Kudus. Dan tuntunan atau bimbingan Roh Kudus dalam
Gereja sepanjang sejarahnya itu ternyata identik dengan Paradosis Kudus (Tradisi Suci).
Dengan demikian kehidupan dan karya Roh Kudus dalam Gereja itulah Paradosis Kudus
tersebut.
b.Karya Roh Kudus dalam kehidupan Gereja
Setelah kita bahas karya Roh Kudus dalam sejarah Gereja, yaitu karya Roh Kudus dalam
Gereja sebagai lembaga yang nampak di bumi ini, maka haruslah kita bahas mengenai karya
Roh Kudus di dalam kehidupan dan aktivitas yang ada di dalam Gereja itu. Karya-karya Roh
Kudus itu terdiri dari karya dalam Marilah kita bahas satu per satu karya-karya Roh Kudus
dalam kehidupan Gereja ini:
-Sakramen-Sakramen,
Karena yang kita bicarakan disini bukanlah masalah Sakramen itu sendiri, namun masalah
Roh Kudus yang bekerja di dalam Sakramen-Sakramen itu, maka kita tak membicarakan
makna dan jenis, serta sifat Sakramen-Sakramen itu. Hal ini dibicarakan secara tersendiri
dalam pelajaran mengenai Sakramen-Sakramen. Bahwa Roh Kudus itu bekerja di dalam
Gereja melalui Sakramen-Sakramen dinyatakan oleh Kitab Suci sebagai berikut:
-Baptisan : “ Sebab dalam satu Roh kita semua…telah dibaptis menjadi satu tubuh…”(I Kor.
12:13). Dalam baptisan seseorang dimanunggalkan dengan Tubuh Kristus yang mulia itu.
Padahal dalam kemanusiaanNya yang mulia itu Roh Kudus secara tanpa baptis telah
dicurahkan ( Yohanes 3:34), dan pada “Dia” Roh Kudus itu turun dan tinggal itulah
“Orang” yang akan membaptis dengan Roh Kudus, maka jelas Baptisan untuk menyatu
dengan Tubuh Kemuliaan Kristus, yaitu, Baptisan menjadi Satu Tubuh itu terjadi di dalam
Roh Kudus. Jadi Baptisan itu bukan hanya sekedar upacara , namun itulah peristiwa
Sakramental “kelahiran baru” oleh “air” dan “Roh” ( Yohanes 3:5-6)
-Krisma :” Ketika rasul-rasul di Yerusalem mendengar, bahwa tanah Samaria telah menerima firman
Allah, mereka mengutus Petrus dan Yohanes ke situ. Stibanya disitu kedua rasul itu berdoa, supaya
185
orang-orang Samaria beroleh Roh Kudus. Sebab Roh Kudus belum turun diatas seorangpun diantara
mereka, karena mereka hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus. Kemudian keduanya menumpangkan
tangan di atas mereka, lalu mereka menerima Roh Kudus ( Kisah 8:14-17). Baptisan memang harus
dilengkapi dengan Krisma, sebagai “meterai karunia Roh Kudus “ ( Efesus 1:13). Karena
baptisan tanpa Krisma, yaitu “penumpangan tangan” dan “pengurapan”( I Yoh.2:27),
dikatakan oleh ayat diatas sebagai “ Roh Kudus belum turun diatas seorangpun …… karena mereka
hanya dibaptis dalam nama Tuhan Yesus”. Dan pengurapan itu sendiri dalam prakteknya,
mengikuti tradisi perjanjian Lama dilakukan seperti yang dilakukan oleh Samuel kepada
Daud;” Samuel mengambil tabung tanduk berisi minyak itu dan mengurapi Daud….Sejak hari itu dan
seterusnya berkuasalah Roh TUHAN atas Daud.” ( I Samuel 16:13). Hal yang sama juga terjadi
dalam “pengurapan” dalam Perjanjian Baru, yaitu bahwa “..di dalam diri kamu tetap ada
PENGURAPAN yang telah kamu terima dari padaNya” Oleh karena karena itu dalam Gereja
Orthodox langsung sesudah baptisan, orang harus menerima Sakramen Krisma yaitu
“penumpangan tangan” dan “pengurapan”, sebagai penggenap dan pemeterai Sakramen
Baptisan itu, yaitu lahir dari “air” (Baptisan) dan “Roh” ( Krisma). Dengan demikian :”..Dia
yang telah meneguhkan … adalah Allah yang telah mengurapi, memeteraikan tanda miliknya atas kita
dan yang memberikan Roh Kudus di dalam hati kita… “ ( II Kor.1:21-22 ). Melalui Sakramen
Krisma kita telah “diteguhkan”, “diurapi” serta “dimeteraikan” dan dengan dengan begitu
“diberi Roh Kudus di dalam hati kita”. Melalui Sakramen Baptisan dan Krisma inilah orang
diperbolehkan dan dilayakkan untuk ambil bagian dalam Sakramen Perjamuan Kudus, agar
menerima pertumbuhan dalam Roh Kudus lebih jauh, dan mengalami kedewasaan di dalam
Kristus oleh Roh Kudus.
Perjamuan Kudus : “…Cawan ini adalah Perjanjian Baru….”( Lukas 22: 20 ), padahal
“….Perjanjian Baru,…tidak terdiri dari hukum yang tertulis, tetapi dari Roh…” ( II Korintus 3:6),
sehingga :”…dalam satu Roh kita semua….diberi minum (yaitu: dari Cawan Perjamuan) dari satu
Roh” ( I Korintus 12:13). Dengan demikian dalam ikut-ambil-bagian dalam Perjamuan Kudus
kita tetap menerima energi Roh Kudus terus menerus. Itulah sebabnya “Perjamuan Kudus”
itu mustahil ditafsir hanya sebagai lambang belaka. Dalam prakteknya di dalam Gereja
Orthodox, hal ini jelas dengan adanya “doa epiklesis” yaitu “doa mohon turunNya Roh
Kudus atas Roti dan Anggur yang telah disiapkan diatas altar (mezbah) :”….Turunkanlah
RohMu yang Kudus itu kepada kami semua dan keatas benda-benda anugerah yang kami persembahkan
ini. Serta jadikanlah roti ini menjadi Tubuh KristusMu yang mulia. Amin. Serta apa yang ada dalam
Cawan ini Darah KristusMu yang amat mulia. Amin. Ubahkanlah mereka dengan RohMu yang
Kudus.Amin.Amin.Amin.” Dengan demikian dalam perjamuan Kudus kita bukan hanya
menerima Tubuh Dan Darah Kristus secara sakramental saja, namun juga kita menerima
energi Roh Kudus secara baru, sehingga setiap kali Liturgi Suci Perjamuan Kudus hampir
usai kita menyanyikan “ Kita t’lah melihat terang benar, t’lah TERIMA SANG ROH YANG
DARI SORGA…”. Karena memang sungguhlah dalam Perjamuan Kudus itu kita menerima
energi Roh Kudus terus menerus dan secara baru. Itulah sebabnya setiap Ibadah Minggu itu
dirayakan Perjamuan Kudus, serta adalah harus merupakan kerinduan setiap umat Orthodox
untuk datang ke Gereja bukan hanya untuk mendengar kotbah namun terutama sekali untuk
berkeinginan yang mendalam manunggal dengan Kristus, dan memperbaharui energi Roh
Kudus melalui Perjamuan Kudus. Itulah tujuan utama kita datang ke Gereja.
Pengakuan dosa : Dosa-dosa yang dilakukan sesudah orang dibaptiskan perlu disucikan dalam
sakramen Pengakuan Dosa. Dan Kristus sendirilah yang menetapkan Sakramen ini, agar
orang setelah jatuh ke dalam dosa dibukakan kembali pintu Kerajaan sorga, melalui kunci
186
pengakuan dosa dan pertobatan ini: “Kepadamu (Petrus, sebagai wakil para rasul, yang
dilanjutkan dalam pelayanan para episkop dan para presbiter) akan Kuberikan kunci Kerajaan
Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan
terlepas di sorga” (Matius 16:19). Dan janji yang sama kepada Petrus ini dulang kembali oleh
Kristus kepada para rasul lainnya:”Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kauikat di
dunia ini akan terikat di sorga, dan apa yang kaulepaskan di dunia akan terlepas di sorga” (Matius
18:18). Janji ini direalisasikan san diteguhkan ulang setelah Kristus bangkit dari antara orang
mati demikian :” Dan sesudah berkata demikian Ia mengembusi mereka dan berkata:’ Terimalah Roh
Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa
orang tetap ada, dosanya tetap ada” (Yohanes 20:22-23). Dengan sabda ini Kristus menunjukkan
kepada kita bahwa Roh Kuduslah yang bekerkja dalam Sakramen Pengakuan Dosa, sehingga
pengampunan itu datang dari Roh Kudus, bukan dari manusia yang melayaninya, yaitu rasul
atau para episkop dan prebiter pengganti mereka. Dengan demikian dalam Sakamen
pengakuan Dosa, Roh Kudus yang bekerja untuk memulihkan kita kembali dari sakitnya roh
dan jiwa kita melalui dosa yang telah kita lakukan. Kita disembuhkan dari penyakit roh itu
oleh Roh Kudus dalam Sakramen Pengakuan Dosa. Jadi Roh Kudus berkarya dalam
Sakramen Pengakuan Dosa itu. Baru sesudah inilah kita diperkenankan untuk mengambil
Perjamuan Kudus kembali, untuk memperbaharui lebih lanjut energi Roh Kudus di dalam
Roh kita, untuk menuju kesembuhan dari roh kita yang lebih dalam lagi.
Perminyakan bagi kesembuhan : Jika roh dan jiwanya dapat sakit melalui jatuh ke dalam
dosa, dan sakramen Pengakuan Dosa itu sarana kesembuhannya. Demikianlah tubuh
manusiapun sering sakit, dan menjadi lemah dan sakit itulah tandanya. Untuk itu agar tubuh
itu dipulihkan kembali serta dapat pergi ke Gereja untuk mengambil Perjamuan Kudus,
Kristus menetapkan “Sakramen Perminyakan” atau “Sakramen Kesembuhan” bagi
pemulihan tubuh yang sakit itu, sebagai perpanjangan karya kesembuhan dan mukjizat yang
Ia telah lakukan pada saat Ia berada diatas bumi ini, baik yang dilakukanNya sendiri secara
langsung, maupun yang dilakukan oleh para rasul-rasulNya:”Lalu pergilah mereka (para rasul)
memberitakan bahwa orang harus bertobat, dan mereka mengusir banyak setan, dan mengoles banyak
orang sakit dengan minyak dan menyembuhkan mereka” (Markus 6: 12-13) Praktek yang
dilakukan oleh para rasul atas perintah Yesus ini dilanjutkan terus dalam kehidupan gereja
purba dan oleh Gereja Orthodox sampai kini, sebagaimana yang diperintahkan :” Kalau ada
seorang diantaramu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua jemaat (para presbiter
Gereja/romo paroikia), supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak
dalam nama Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan Tuhan
akan membangunkan dia; dan jika ia berbuat dosa, maka dosanya itu akan diampuni.” ( Yakobus
5:14-15). Dan kita tahu bahwa mukjizat kesembuhan ini adalah salah satu karya Roh Kudus
di dalam gereja sebagaimana yang dikatakan;”Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan
penyataan Roh untuk kepentingan bersama….Kepada yang seorang Roh yang sama memberikan iman,
dan kepada yang lain Ia memberikan karunia untuk menyembuhkan” ( I Kor. 12:7,9). Dengan
demikian yang berkarya dalam Sakramen penyembuhan atau Sakramen Perminyakan ini
adalah Roh Kudus sendiri. Demikianlah Roh Kudus berkarya melalui Sakramen
Kesembuhan untuk membawa pemulihan kepada orang yang sakit, agar dengan demikian ia
manunggal dalam kuasa mukjizat Kristus, yang menyembuhkan bukan hanya tubuhnya
namun juga roh/jiwanya , melalui “jika ia berbuat dosa, maka dosanya akan diampuni”, sehingga
sesudah mengalami kesembuhan ini ia dimampukan untuk ambil bagian dalam Perjamuan
Kudus kembali.
187
Pentahbisan:
Semua Sakramen diatas hanya mungkin berjalan jika ada orang yang
melaksanakan dan memiliki jabatan sah untuk melaksanakan itu. Alkitab mengajarkan
demikian mengenai hal ini. . Sesudah kebangkitanNya Kristus telah menetapkan para rasul
itu sebagai pengajar-pemberita Injil serta sekaligus pelaksana sakramen baptisan ( Matius
28:16-19), mereka juga ditubjuk untuk melaksanakan perjamuan kudus ( Lukas 22: 14,19, ) ,
serta diberi kuasa untuk menjalankan sakramen pengakuan dosa ( Matius 16:19, 18:18,
Yohanes 20:22-23), disamping melaksanakan krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II
Kor.1:21-22 ), serta perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan
semua sakramen lainnya. Sejak zaman purba itu para rasul yang diwakili oleh Petrus
menyebut dirinya sebagai “teman-penatua” (“sympresbyteros” = sesama presbyter) (I Petrus
5:1 ), dengan demikian sebagai gembala Gereja para Rasuul itu juga para presbiter bersama
dengan presbiter-presbiter non-rasul lainnya. Dan juga eejak jaman awal para rasul sudah
mulai mentahbiskan para prebiter, sebagaimana yang tertulis:” Ditiap-tiap jemaat (“ekklesia”:
Gereja) rasul-rasul itu menetapkan (“kheirotoneesantes” : mentahbiskan) penatua-penatua
(“presbyterous” : para presbyter) bagi jemaat itu…” (Kisah Rasul 14:23 ), yang berarti para
presbiter ini nanti akan menggantikan kedudukan rasul-rasul sebagai gembala jemaat (Kisah
20:17, 28), dan sekaligus “penilik” (“episkopous” para episkop), jabatan yang mana juga
disebut sebagai jabatan rasul juga (Kisah 1:20). Para “penatua” (“presbyter”) inilah yang
berada di sekitar rasul pada saat Konsili Rasuliah yang pertama di Yerusalem (Kisah 15:4,6
22), dan berada dibawah kepemimpinan Yakobus di Yerusalem ketika Paulus “sowan”
kepada Yakobus sebagai pimpinan Gereja Yerusalem (Kisah 21:17-18, Galatia 2:9). Presbyter
dan Episkop pada saat itu masih merupakan jabatan yang sama, sebagaimana para presbyter
(penatua) di Kisah 20:17 itu disebut juga episkop (penilik) yang menggembalakan Gereja di
Kisah 20:28. (Titus 1:8-9) Dan Episkop (Penilik Jemaat) inilah yang menjadi Gembala Gereja
di dampingi oleh Diaken ( Filipi 1:1). Sehingga menjelang masa tua Rasul Paulus, kedudukan
Episkop (Penilik Jemaat ) ( I Tim. 1-7), kedudukan Presbyter (Penatua) ( I Tim. 5:17-22) dan
kedudukan Diaken (I Tim 3: 8-13), adalah merupakan jenjang Hirarkhi dalam Gereja yang
telah mapan dan ditetapkan para rasul sendiri ( Kisah 20:28). Sebagai pengganti para rasul
berarti para prebyter/episkop ini juga memiliki tugas para rasul, melalui pentahbisan secara
mata-rantai pentahbisan tadi. Dengan demikian tugas presbiter/episkop itu juga adalah untuk
menjadi gembala dan pengajar-pemberita Injil serta sekaligus pelaksana sakramen baptisan (
Matius 28:16-19), mereka juga ditubjuk untuk melaksanakan perjamuan kudus ( Lukas 22:
14,19, ) , serta diberi kuasa untuk menjalankan sakramen pengakuan dosa ( Matius 16:19,
18:18, Yohanes 20:22-23), disamping melaksanakan krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II
Kor.1:21-22 ), serta perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan
semua sakramen lainnya. Dan mereka mempunyai hak atas semua tugas pelayanan rasuliah
ini karena mata-rantai pentahbisan yang dilakukan sejak zaman para rasul itu sendiri.
Mengenai jabatan menjadi episkop atau presbiter melalui pentahbisan ini dikatakan oleh
Alkitab demikian “ ..ia ( Paulus) menyuruh seorang dari Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para
penatua jemaat (presbiter Gereja) datang ke Miletus. Sesudah mereka datang, berkatalah ia kepada
mereka:”……kamulah yang DITETAPKAN ROH KUDUS menjadi penilik (episkopous =
episkop-episkop) untuk menggembalakan jemaat Allah…”( Kisah 20: 17,18a, 28). Menurut ayatayat diatas presbiter atau episkop itu menjadi gembala bagi jemaat Allah karena “ditetapkan
oleh Roh Kudus”, padahal penetapan mereka menjadi “presbiter” (“penatua”) atau
“episkop” (“penilik”) itu adalah melalui “penumpangan tangan” dalam pentahbisan ( Kisah
Rasul 14:23). Dengan demikian Roh Kudus berkarya juga dalam “Sakramen pentahbisan”
ini. Ini makin diteguhkan lagi dalam tahbisan Timotius yang dikatakan oleh Rasul Paulus
demikian:”Karena itulah kuperungatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu
188
oleh penumpangan tanganku atasmu” (II Tim. 1:6), dan “ Janganlah lalai mempergunakan karunia yang
ada padamu, yang telah diberikan kepadamu oleh nubuat dan dengan penumpangan tangan sidang penatua
(sidang presbiter)” ( I Tim.4: 14). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Timotius telah memiliki
“karunia Allah” atau “karunia” yang didapatnya melalui “penumpangan tanganku (Paulus)”
dan “penumpangan tangan sidang penatua”. Penumpangan tangan yang dilakukan oleh rasul
dan sidangf para presbiter ini jelas menunjuk kepada :”Sakramen Pentahbisan”, sebab sampai
kinipun dalam Gereja Orthodox jika seseorang ditahbiskan menjadi episkop, itu selalu
dilakukan oleh lebih dari seorang episkop melalui penumpangan tangan, dan melalui sejarah
kita tahu bahwa Timotius memang seorang episkop muda (25 tahun) di Efesus. Jadi melalui
“Sakramen pentahbisan” sebagai episkop, Timotius menerima “karunia Allah”. Dan Paulus
juga menerangkan demikian:”Peliharalah harta yang indah, yang telah dipercayakanNya kepada kita,
oleh Roh Kudus yang diam di dalam kita” ( II Tim. 1:14). “Harta yang Indah” itu adalah Misteri
kebenaran Injil. Paulus sebagai Rasul berbicara kepada Timotius sebagai Episkop, bahwa
“Misteri Kebenaran Injil” ( “Harta yang Indah”) itu telah dipercayakan oleh Allah kepada
Rasul dan Episkop itu. Tentu cara Allah mempercayakan hal itu kepada Paulus adalah
melalui panggilannya sebagai Rasul, sedangkan kepada Timotius melalui “pentabisannya”
sebagai Episkop. Dan cara mempercayakan Injil itu dilakukan oleh “Roh Kudus”, berarti
baik panggilan Paulus atau pentahbisan Timotius itu terlaksana melalui Roh Kudus, dengan
demikian jelas bahwa apa yang dikatakan sebagai “karunia Allah” ketika Timotius ditahbis,
itu tak lain adalah “Roh Kudus” yang menetapkan para episkop/presbiter di dalam
Sakramen Pentahbisan itu. Demikianlah jelas bahwa dalam Sakramen Pentahbisan Roh
Kudus itu berkarya dalam Gereja.
Pernikahan Kudus
Sakramen Pernikahan Kudus disebut sebagai “Sakramen Cinta-Kasih”. Karena Pernikahan di
dalam Gereja Orthodox dilihat sebagai “Citra Kehidupan Dalam Tritunggal Maha Kudus”.
Sebagaimana di dalam Allah yang Esa, Bapa adalah sumber ke-Allah-an dan ke- Esa-an, serta
dari Bapa yang Esa ini “Firman” itu “keluar” ( Yohanes 8:42). Demikianlah laki-laki itu
adalah kepala dari perempuan, dan dari laki-laki (“Adam”) itulah perempuan (“Hawa”) itu
keluar dan diciptakan ( Kejadian 2: 21-13, I Kor. 11: 3, 8-9). Dan secara kekal “Firman”
yang “keluar” dari Bapa itu juga “bersama-sama” (“berada satu di dalam”) Allah ( Yohanes
1:1), dan antara Allah dan FirmanNya yang satu di dalam diriNya itu terdapat hubungan
“kasih” yang timbal-balik dari kekekalan azali sampai kepada kekekalan abadi ( Yohanes
17:24). Padahal Allah mencurahkan “kasihNya” itu selalu melalui karya RohNya yang kudus (
Roma 5:5). Berarti kasih timbal-balik yang ada antara “Allah” dan “FirmanNya” di dalam
diriNya Yang Esa itu terjadi secara kekal tanpa henti melalui Roh Kudus. Demikianlah Allah
terikat oleh “FirmanNya” melalui “RohNya” di dalam kasih. Demikian pula “laki-laki”
sebagai gambaran “Bapa” (“Allah”) dan “perempuan” sebagai gambaran dari “Firman yang
keluar dari Bapa” itupun terikat dalam kasih “menjadi satu daging” ( Kejadian 2:24),
sebagaimana Allah dan FirmanNya itu adalah Esa adanya. Keberadaan “satu daging” antara
laki-laki dan perempuan dalam pernikahan itu terjadi oleh “ikatan kasih”, sebagaimana Allah
dan FirmanNya itu diikatkan oleh kasih dalam Roh Kudus. Demikianlah karena kasih yang
sejati itu adalah juga sebagai buah dari Roh Kudus :”Tetapi buah Roh ialah: kasih….” (
Galatia 5:22), maka hubungan kasih dalam pernikahan itu juga dilihat sebagai karya Roh
Kudus oleh Gereja Orthodox.. Itulah sebabnya pernikahan itu dimasukkan dalam lingkup
Sakramen dalam Gereja Orthodox, karena perkawinan Orthodox itu berbeda dari
perkawinan non-Orthodox, dimana dalam perkawinan non-Orthodox itu dilihat hanya
sebagai aktivitas sosial kemasyarakatan, sedangkan Gereja Orthodox melihat itu sebagai
189
tanda hadirnya kerajaan Allah, karena itu dilakukan dalam hadirat kerajaan Allah di dalam
Gereja. karena perkawinan dilihat sebagai Citra Tritunggal Mahakudus, dan kasih yang ada
antara suami dan isteri dilihat sebagai buah Roh Kudus, dan juga dicurahkan oleh Roh
Kudus ( Roma 5:5). Demikianlah jelas dalam Sakramen Penikahan Kudus itu Roh Kudus
berkarya dengan nyata dan jelas. Sehingga Pernikahan Orthodox mempunyai ciri rohani yang
amat dalam.
-Ibadah-Ibadah
Bukan hanya dalam Sakramen-Sakramen saja Roh Kudus bekerja, dalam ibadah-ibadah nonSakramental lainnyapun Roh Kudus itu juga bekerja dalam Gereja Rasuliah yang Orthodox
itu. Di dalam Kisah Rasul kita baca demikian:”Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada
Tuhan…berkatalah Roh Kudus….” ( Kisah 13:2). Dalam ayat dibuktikan bahwa ketika
Gereja “beribadah” maka “Roh Kudus” pun hadir sehingga Ia “berkata” ditengah-tengah
ibadah itu. Ini jelas menunjukkan bahwa Roh Kudus itu hadir di dalam Ibadah-ibadah
Gereja. Dalam Gereja ada beberapa kegiatan dalam kehidupan paguyuban Gereja yaitu
:”Mereka bertekun dalam ajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul
untuk memecahkan roti dan berdoa” ( Kisah Rasul 2:42) Jadi kegiatan utama dari paguyuban
Gereja adalah: mempelajari ajaran rasuliah dengan tekun, mengadakan persekutuan,
memacahkan roti atau melakukan Sakramen Perjamuan Kudus, dan “berdoa”, kata yang
diterjemahkan dengan “berdoa” disini adalah “tais prosevkhais” (“doa-doa”), berarti umat
Kristen melakukan beberapa bentuk macam doa yaitu beberapa macam bentuk
“Sembahyang” yaitu “Ibadah-Ibadah Non-Sakramental”.Sebagai umat Yahudi yang telah
diajar dari “Synagoga” maka orang-orang Kristen purba itu melakukan sembahyang tak jauh
beda dari orang-orang Yahudi yang lain, sehingga perkumpulan merekapun disebut
“Synagoga” sebagaimana dikatakan dalam Yakobus 2:2 :” Sebab, jika ada seorang masuk ke
dalam kumpulanmu ( eis synaghogheen heemoon = ke dalam synagogamu)….”. Jika
kumpulan Kristen purba ini disebut Synagoge maka kegiatan ibadah yang ada di dalamnya itu
tak beda dengan yang dilakukan dalam synagoga Yahudi, kecuali bahwa Synagoga Kristen ini
percaya bahwa Mesias telah datang di dalam diri Yesus Kristus, sedangkan Synagoga Yahudi
itu tidak percaya bahwa Mesias itu telah datang. Cara-cara ibadah synagoga itu berasal dari
ibadah di luar Bait Allah yang berasal dari zaman Ezra. Sebagaimana
dikatakan:”….berkumpullah seluruh rakyat di halaman di depan pintu Gerbang
Air……imam Ezra membawa kitab Taurat itu ke hadapan jemaah…Ia membacakan
beberapa bagian daripada kitab itu…dari pagi sampai tengah hari….Ezra, ahli kitab
itu, berdiri diatas mimbar kayu…Ezra membuka kitab itu di depan mata seluruh
umat…Pada waktu ia membuka kitab itu semua orang bangkit berdiri. Lalu Ezra
memuji TUHAN, Allah yang mahabesar, dan semua orang menyambut dengan
:”Amin,Amin!”, sambil mengangkat tangan. Kemudian mereka berlutut dan sujud
menyembah kepada TUHAN dengan muka sampai ke tanah…Bagian-bagian dari
pada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi
keterangan-keterangan, sehingga pembacaan dimengerti” ( Nehemia 8:2-9). Dari
keterangan ini kita dapat mengerti cara sembahyang di luar Bait Allah (di depan Pintu
Gerbang Air) dimana terdapat jemaah yang hadir. Inilah asal-mula sembahyang jemaah di
Synagoge Yahudi itu. Di depan jemaah ada yang memimpin, yaitu Imam Ezra, yang adalah
seorang Ahli Kitab. Pusat ibadah itu adalah pembacaan Kitab. Kitabnya dibaca menurut
bagian-bagian yang telah dipilih, lalu diberi keterangan, inilah kotbah. Pembacaan dilakukan
dari atas mimbar, dan saat kitab dibaca umat berdiri. Kemudian Ezra memimpin puji dan
doa kepada Allah, umat menyambut “Amin,Amin”, mereka mengangkat tangan, berlutut dan
190
bersujud, menyembah TUHAN. Dengan berlalunya waktu, tata-tertib Sembahyang Synagoge
itu makin baku, dimana pembacaan bagian-bagian Kitab Suci, terutama Taurat dan kitabkitab Nabi itu yang menjadi pusat, lalu disertai dengan kotbah. Hal ini dapat kita lihat dalam
kisah kunjungan Paulus ke Synagoge di Antiokhia:Pisidia:" ”..Pada hari Sabat mereka
pergi ke rumah ibadat (synagoga), lalu duduk disitu. Setelah selesai pembacaan dari
hukum Taurat dan kitab nabi-nabi, pejabat-pejabat rumah ibadat menyuruh
bertanya kepada mereka:" Saudara-saudara, jikalau saudara-saudara ada pesan
untuk membangun dan menghibur umat ini, silakan!” Maka bangkitlah Paulus. Ia
memberi isyarat dengan tangannya, lalu berkata:…..” ( Kisah Rasul 13: 14-15) Ayat ini
menjelaskan bahwa dalam Synagoga ada pejabatnya, yaitu pelanjut dari Imam Ezra. Ibadah
dilakukan dengan teratur, karena dikatakan “Setelah selesai pembacaan…” Ini
menunjukkan adanya urutan tata-tertib ibadah sesudah pembacaan ini, dan ternyata itu
adalah kotbah. Dengan demikian sebelum pembacaan kitab-kitab ini pasti ada urutan tatatertib yang mendahului, demikian juga sesudah kotbah, meskipun tak diceritakan disini.
Karena ayat ini hanya menceritakan bagaimana dampak kunjungan para Rasul ini ke
Synagoga bagi penyebaran Injil.Dan sebagaimana dalam zaman Ezra, pembacaan dari Taurat
dan para Nabi itu telah ditentukan bagian-bagiannya, sebagaimana dikatakan;”….menurut
kebiasaanNya (Yesus) pada hari Sabbat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri
hendak membaca dari Alkitab. Kepadanya diberikan kitab Nabi Yesaya dan setelah
dibukanya, Ia menemukan nas, dimana ada tertulis:…….Kemudian Ia menutup
kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua
orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepadaNya. Lalu Ia mulai mengajar
mereka:…..” ( Lukas 4:16-17,20). Diatas tata-tertib ibadah synagoga inilah, ibadah jemaah
Kristen purba itu diperkembangkan, dengan keyakinan bahwa Mesias yang diharapharapkan orang Yahudi itu sudah datang dalam diri Yesus Orang Nazaret itu.. Jadi
mengangkat tangan, berlutut, bersujud, mengucapkan Amin sebagai jawaban doa dan pujian
dari imam yang memipin ibadah, dan tentunya dengan doa-doa lain, misalnya bacan-bacaan
dari Mazmur, itu jelaslah menjadi bagian dari tata-tertib ibadah itu. Dan jikalau kita melihat
ibadah Synagoga Yahudi masakini, memang demikianlah halnya. Kemiripan Ibadah Synagoga
masakini, dengan Ibadah Gereja Orthodox itu amatlah mengesankan, dan ini bercerita
banyak tentang asal-usul Ibadah Kristen Orthodox dalam kaitannya dengan Ibadah Synagoga
di zaman purba itu. Bahwa Ibadah Gereja Purba itu adalah kelanjutan dari Ibadah Synagoga,
ini terbukti bagaimana Rasul Paulus mengingatkan Timotius, sang episkop muda itu,
demikian:”Sementara itu , sampai aku datang bertekunlah dalam membaca KitabKitab Suci (yaitu: membacakan pada umat dalam koteks Ibadah, seperti halnya yang
dilakukan dalam Synagoga), dalam membangun dan dalam mengajar ( yaitu: berdasarkan
bacaan yang diambil dari Kitab-Kitab Suci yang telah dibaca tadi)” ( I Tim. 4:13). Pada saat
perintah ini diberikan pada Timotius bacaan itu diambil dari Kitab Suci Perjanjian Lama,
namun dengan sudah dituliskannya dokumen-dokumen Perjanjian Baru, sejarah mencatat,
bahwa Gereja Purba itupun segera memperlakukan Injil-Injol dan Surat-Surat Rasul (Epistel)
sebagaimana Taurat dan Para Nabi digunakan dalam Synagoga. Demikianlah yang
membedakan Ibadah Yahudi dari Ibadah Gereja Purba, yang tetap dipelihara Gereja
Orthodox, adalah sifat Kristologis dari Ibadah Orthodox ini. Semua tertib-ibadah yang
diwarisi dari agama Yahudi: baik sembahyang tujuh waktu ( Mazmur 119:164), sembahyang
tiga waktu (Daniel 6:11), sembahyang pembakaran ukupan pagi dan sembahyang
pembakaran ukupan senja (Keluaran 29:38-39, 30:7-8, Lukas 1:9-11), dan perayaan-perayaan
:Paskah, Pentakosta, maupun perayaan-perayaan lainnya, tetap dipelihara dalam Gereja
Purba, yaitu Gereja Orthodox, dengan mengalami transformasi radikal, yaitu isinya yang
191
sama sekali bersifat Kristologis, dan sebagai wahana pemberitaan tentang Kristus. Ini
disebabkan karena ibadah-ibadah Yahudi yang telah ditransformasi itu sekarang dikaitkan
dengan ibadah utama yang ditetapkan Sang Kristus sendiri, yaitu Perjamuan Kudus. Ibadahibadah itu tak berdiri sendiri. Padahal mengenai Ibadah perjamuan Kudus (Liturgi Suci) itu
dikatakan :”Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, KAMU
MEMBERITAKAN KEMATIAN TUHAN SAMPAI IA DATANG” ( I Kor. 11:26).
Jadi Liturgi Suci adalah berita yang didramakan secara liturgis dari “sejarah keselamatan” (“
Kematian Tuhan sampai Ia datang”). Demikianlah Ibadah terutama Liturgi Suci, bukanlah
sekedar cara saja, namun itulah juga berita Injil. Karena semua ibadah lainnya itu adalah
sarana untuk mempersiapkan diri bagi, dan sarana memelihara rahmat yang telah diterima
dari Perjamuan Kudus, maka jelas Ibadah-ibadah lainnya tadi harus bersifat Kristologis.
Padahal Kitab Suci mengatakan bahwa :”….tidak seorangpun , yang dapat mengaku :”
Yesus adalah Tuhan”, selain oleh Roh Kudus “ ( I Kor. 12:3). Karena sifat
Kristologisnya yang amat kental dari ibadah-ibadah Orthodox lainnya itu, maka tak mungkin
itu bukan dari yang lain kecuali dari Roh Kudus. Dan dalam pendalaman yang sungguhsungguh atas ibadah-ibadah tadi, maka orang akan menyelam kepada kesaksian Roh Kudus
akan “ke-Tuhan-an” Kristus itu, dengan demikian menyelam dalam Roh Kudus itu sendiri.
Bahwa ibadah-ibadah non-sakramental itu juga di dalam Roh Kudus, dinyatakan oleh Alkitab
demikian:’…Bilamana kamu berkumpul (yaitu:untuk beribadah), hendaklah tiap-tiap
orang mempersembahkan sesuatu: yang seorang mazmur (dalam Gereja Purba ini,
mazmur itu bukan lagu ucapan-ucapan tanpa aturan yang dilagukan secara beramai-ramai
dengan diiringi gitar yang tanpa irama tertentu, namun mazmur itu dibaca oleh "seorang",
yaitu secara bergantian membaca dari doa-doa yang diilhami Roh Suci dari Mazmur Daud,
sebab Mazmur itu sebagai bagian Kitab Suci adalah “Ilham Roh Kudus”, sebagaimana yang
dilakukan dalam Gereja Orthodox sampai kini), yang lain pengajaran (yaitu: yang
dilakukan oleh imam sesudah pembacaan dari Kitab Suci), atau penyataan Allah ( yang bisa
disampaikan oleh imam pada saat berkotbah, atau diberitahukan sesudah pengajaran itu
selesai atau sesudah doa-doa selesai, atau seperti yang terjadi dalam Kisah 13:2:”Pada suatu
hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan…berkatalah Roh Kudus….” ), atau karunia
bahasa roh, atau karunia untuk menafsirkan bahasa roh (mengenai penggunaan bahasa
roh dan keharusan atau ketidak-harusannya kita bahas dibawah )……” ( I Kor. 14:26). Jadi
beribadah secara Kristen terutama dalam ibadah-ibadah Orthodox itulah orang menyembah
dalam “Roh”, karena pendalamannya akan Kristus itu. Jadi menyembah dalam roh itu tak
terkait dengan bahasa lidah, apalagi penggunaan manipulasi atas emosi yang begitu kuat.
Menyembah dalam Roh itu berbeda dari peledakan emosi yang luar biasa. Untuk itu marilah
kita bahas apa yang dikatakan oleh Alkitab mengenai bahasa lidah dalam kaitannya dengan
“menyembah dalam Roh”, yang sekarang banyak disalah-tafsirkan orang itu.
Karunia Bahasa Roh dan menyembah dalam Roh
Di dalam Yohanes 4: 23-24 Yesus mengajarkan demikian:”Tetapi saatnya akan datang DAN
SUDAH TIBA SEKARANG, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam
Roh dan Kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan
barangsiapa menyembah Dia, harus menyembahNya dalam Roh dan Kebenaran”. Di sekitar kita ada
banyak sekali orang yang mentafsirkan hal ini dengan bahasa roh, yaitu berdoa menggunakan
bahasa roh dengan emosi yang meledak-ledak. Bahwa bahasa roh itu tak ada kaitannya
dengan “menyembah dalam Roh dan Kebenaran” itu dapat dijelaskan demikian. Pertama,
bahasa roh itu baru muncul sesudah Yesus naik ke sorga, dan Roh Kudus pertama kali
dicurahkan pada Hari Pentakosta ( Kisah 2:1-4). Padahal menurut Yesus “menyembah Allah
192
dalam Roh dan Kebenaran” itu bukan hanya “akan datang” saatnya namun juga “sudah tiba
sekarang” ( Yohanes 4:23). Berarti menyembah dalam “Roh dan Kebenaran” itu sudah tiba
saatnya “sekarang”, yaitu ketika Yesus sedang berbicara dengan wanita Samaria itu. Padahal
saat itu belum ada bahasa roh. Dan konteksnya Yohanes 4 itu tidak sedang membicarakan
karunia-karunia Roh apalagi bahasa-roh. Kedua, jika menyembah dalam “Roh dan
Kebenaran” itu dikaitkan dengan I Kor. 14:14:”…jika aku berdoa dengan bahasa roh, maka
rohkulah yang berdoa…..Aku akan berdoa dengan rohku, tetapi aku juga akan berdoa dengan akalbudiku” , itupun tidak tepat. Sebab pada waktu Yesus mengatakan menyembah dalam Roh itu
kontrasnya menyembah menurut tulisan hukum Taurat di Gunung Gerizim atau di
Yerusalem ( Yohanes 4:21). Dan jikalau Alkitab mengkontraskan Taurat dengan Roh, itu
pasti yang dimaksud adalah “Roh Kudus “ ( II Kor. 3: 6). Padahal menurut I Kor. 14:14-15
itu berdoa dengan bahasa roh maka ‘rohKU’ yang berdoa, yaitu roh manusia. Yesus
memerintah menyembah Allah bukan dalam roh manusia, namun dalam Roh Kudus.
Padahal menurut I Kor. 14:14 bahasa roh itu doanya roh manusia. Roh manusia itu beda
dengan Roh Kudus ( I Kor. 2:11, Roma 8:16). Jadi I Kor. 14:14-15 itu tak terkait dengan
Yohanes 4:23-24 dalam muatan isinya. Dengan demikian menyembah dalam Roh itu artinya
bukan berdoa dengan bahasa-roh, apalagi kalau dilakukan beramai-ramai, yang oleh Kitab
Suci dikatakan jangan sampai nanti dikatakan orang luar atau orang yang tak percaya sebagai
“gila” itu ( I Kor. 14:23). Menyembah dalam Roh dan Kebenaran adalah menyembah dalam
tuntunan Roh, dalam kekudusan, dalam kerendahan hati, dalam keteduhan, dalam
kekhusyukan dan dalam takut dan gentar akan Allah, serta dalam panunggalan dengan
Kristus: Sang Kebenaran itu sendiri ( Yohanes 14:6), melalui tertib-terib ibadah yang telah
diilhami Roh Kudus itu, selama dua ribu tahun ini dalam GerejaNya yang Rasuliah itu.
Untuk itu marilah kita selidiki apa sebenarnya menurut Alkitab glosolalia (bahasa lidah,
bahasa roh) itu. Menurut keyakinan para penghayat pentafsiran akan kharismata, bahasa roh
terjadi apabila Roh Kudus mengambil alih lidah orang yang menerima “bahasa roh.”
Meskipun orang itu tak mengerti apa yang dikatakan. Hal itu didefinisikan bahwa bahasa roh
adalah bentuk doa yang lebih sempurna dimana melalui bahasa itu Roh Kudus berbicara
kepada Sang Bapa (I Kor 14:2) melalui bahasa glosolali yang tidak dimengerti (Roma 8:26).
Ada yang mengajarkan bahwa ada dua bentuk bahasa lidah. Dalam bentuk yang paling
umum, seseorang berdoa dalam bahasa doanya secara pribadi melalui dorongan dari Roh
Kudus. Bahkan sampai ada yang mengatakan, meskipun tanpa bukti Alkitab, bahwa doa
dalam bahasa-roh ini adalah doa yang begitu rahasia sampai setan-setanpun takut dan tak
mengerti artinya. Sebagian orang membuat bahasa lidah menjadi hal yang sangat diagungkan,
dan hampir mendekati pendewaan. Dan bentuk yang sangat ekstrim mengatakan bahwa
tanpa bahasa lidah orang tak memiliki Roh Kudus, dan akibatnya orang tak bisa
diselamatkan. Tentu saja ini ajaran yang tak berdasar, sebab Alkitab tak pernah mengatakan
demikian. Bahasa lidah itu hanya salah satu saja dari karunia-karunia Roh Kudus, jadi bukan
Roh Kudus itu sendiri. Dan keselamatan terjadi bukan karena salah satu karunia Roh Kudus,
apalagi bahasa lidah, karena keselamatan itu terjadi oleh karya penyaliban, kematian dan
kebangkitan Kristus. Bentuk yang kedua dari bahasa lidah ini menurut mereka yang percaya
pentafsiran yang demikian tadi adalah Roh Kudus menggunakan seseorang untuk
menyampaikan suatu berita pada umat percaya melalui orang kedua yang memiliki karunia
untuk mentafsirkan bahasa roh tadi. Ada lagi orang yang memperkembangkan teori lain,
entah atas dasar apa, bahwa bahasa roh itu mempunyai dua bentuk. Bentuk yang satu bahasa
roh sebagai “karunia” dan satunya lagi bahasa roh sebagai “tanda”. Suatu perbedaan yang
dasar Alkitabnya tak jelas. Karena dengan namanya sebagai karunia bahasa roh yang
dipercayai dari Roh Suci itu saja sudah cukup menunjukkan bahwa itu adalah karunia,
193
meskipun seandainya bahasa roh itu betul berfungsi sebagai tanda, seperti yang dikatakan
itu, namun itu tanda yang diberikan oleh Roh Kudus, berarti itu masih karunia juga. Jadi
pembedaan seperti itu memang tak dapat dipertahankan secara Alkitab. I Kor 14:22 hanya
menyebut bahasa-bahasa roh tanda untuk orang-orang tak beriman bukan untuk orang
beriman.
Para pengajar mereka mendasarkan penekanan pada glosolalia atas beberapa
nats Perjanjian Baru yang menunjukkan disebutnya “bahasa roh”. Di dalam Kisah Rasul
dinyatakan ada 4 peristiwa bahasa roh ini, jika Kisah Rasul 8:14-18 dimasukkan didalamnya
meskipun kata dan peristiwa bahasa roh itu tak disebut disana. Sedangkan nats-nats yang lain
adalah Kis. 2:1-4, 10:44-46, 19:1-6. Dalam nats pertama yang paling terkenal (Kis.2:1-4), Roh
Kudus turun keatas para rasul pada hari Pentekosta dan mereka “mulai berkata dalam
bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk
mengatakannya.” (Kis.2:4). Sebagai akibatnya banyak orang dari berbagai bangsa, yang telah
berkumpul di Yerusalem “mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka
sendiri.” (Kis.2:6). Mujizat yang ada disini bukanlah bahasa roh yang “tidak seorangpun yang
mengerti bahasanya” I Kor 14:2), karena jelas diterangkan bahwa “mereka berkata-kata
dalam bahasa (Yun. dialektoo = dialek, logat) kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di
negeri asal kita.” (Kis 2:8). Bahasa ini bukanlah bahasa yang tidak dimengerti seperti yang
diajarkan oleh para pentafsir yang demikian itu, dan ini berbeda dengan apa yang disebutkan
Paulus dalam I Kor 14:2. Mujizat disini adalah mujizat dialek atau logat, bukan mujizat
bahasa yang tidak diketahui. Jadi mendasarkan penekanan bahasa roh atas pasal ini justru
bukan ditunjang malah ditolak oleh data nats itu sendiri. Menurut tradisi rasuliah yang
diberitakan Gereja sebagaimana yang terpancar dari kidung-kidung pesta perayaan hari
Pentakosta, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta (yang jelas bukan bahasa roh, namun logat
atau dialek) adalah pernyataan dari universalitas Injil dan kesatuan manusia melalui Roh
Kudus. Dosa di Menara Babel telah membuat perpecahan melalui kekacauan bahasa-bahasa,
tetapi Roh Kudus membawa semua manusia bersama kedalam kesatuan melalui Injil Kristus
pada hari Pentakosta. Jadi, jelaslah apapun yang hendak dipertahankan oleh sebagian orang
mengenai Kis. 2:1-4 ini, menurut Alkitab itu sendiri, bahasa-bahasa pada hari Pentakosta itu
adalah bahasa manusia yang nyata diberikan kepada para rasul dengan maksud untuk
menyampaikan Injil, bukan “bahasa yang tak diketahui” dari glosolali. Di dalam nats-nats
yang lain dalam Kisah Rasul kita melihat bukannya suatu pengajaran mengenai pentingnya
bahasa roh yang diketengahkan, namun masing-masing itu adalah suatu penyataanpenyebaran Gereja oleh kuasa Roh Kudus,kepada bermacam-macam kelompok manusia
(Samaria: setengah Yahudi dan setengah kafir dalam Kisah 8:14-18, Kafir Romawi; keluarga
Kornelius orang Itali dalam Kisah 10, dan murid-murid Yohanes : setengah Yahudi dan
hampir Kristen dalam Kisah 19:1-5) serta merupakan refleksi dari Pentakosta yang asli di
Yerusalem untuk menunjukkan bahwa keselamatan itu untuk semua bangsa. Itulah sebabnya
Petrus mengatakan bahwa pengalaman di rumah Kornelius itu adalah “sama seperti dahulu
ke atas kita” dan bahwa “Allah memberikan karuniaNya kepada mereka sama seperti kepada
kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus “ ( Kisah 11:15, 17), yaitu peristiwa
Pentakosta di Yerusalem. Tujuan dari semua ini adalah merupakan campur tangan Allah
untuk mendobrak kesempitan cara pandang bangsa Yahudi biarpun yang sudah Kristen yang
menganggap bahwa keselamatan itu hanya bagi mereka saja, karena orang -orang Kristen
Yahudi itu sendiri mengakui “betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul
dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka” ( Kis 10:28) sehingga
ketika Petrus memaksakan diri oleh perintah Roh Kudus “orang-orang dari golongan
bersunat berselisih pendapat dengan dia. Kata mereka : “Engkau masuk ke rumah orangorang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama mereka” (Kisah 11:2). Hanya oleh
194
campur tangan Allah secara langsung dengan mengirimkan karunianya yang sama seperti
pada orang Yahudi sajalah maka mereka dapat sadar bahwa “Allah tidak membedakan orang,
setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran
berkenan kepadaNya” ( Kisah 10:34-35), sehingga dengan itu mereka dapat menerima orangorang yang bukan Yahudi ke dalam Gereja dengan “menyuruh mereka dibaptis dalan Nama
Yesus Kristus “ ( Kisah 10:48). Maka oleh kuasa Roh Kudus tersebarlah dan berdirilah
Gereja non-Yahudi yang pertama, sebagaimana oleh kuasa Roh Kudus yang sama Gereja
Yahudi telah didirikan di Yerusalem. Demikian juga untuk murid-murid Yohanes yang belum
Kristen dalam Kisah 19:1-5. Karena mereka belum dibaptis secara Kristen yaitu dibaptis
dalam Nama Tuhan Yesus, maka mereka belum menerima Roh Kudus. Maka mereka
dibaptiskan dalam Nama Tuhan Yesus yaitu dibaptiskan secara Kristen, bukan baptisan
Yahudi yang mereka terima dari Yohanes, sehingga mereka dimasukkan dalam pelukan
Gereja dan menerima Roh Kudus. Jadi jelaslah kalau begitu peristiwa yang terjadi dalan
Kisah Rasul itu sama sekali bukan perintah agar orang mendapatkan bahasa roh dan bukan
pula suatu contoh berkat-berkat pribadi bahasa roh, namun lebih benar lagi sebagai
penegakkan Gereja di luar dunia Yahudi. Dan patut dicatat bahwa dalam banyak contoh
Alkitab, orang-orang yang dipenuhi Roh Kudus tidak selalu berbicara dalam bahasa roh (
Kisah 8:14-18, 4:8, 31; 7:55-56).Di balik penekanan yang begitu dipentingkan pada glosolali
yang dilakukan oleh para pentafsir yang menekankan kharismata itu, fenomena ini tidak
dapat dijumpai dimanapun dalam seluruh Alkitab, kecuali apa yang dikatakan oleh rasul
Paulus mengenai bahasa roh yang ada dalam I Korintus 12:10, 28-30, dan terutama dalam I
Korintus 14. Itupun harus diingat dan ditegaskan bahwa berbeda dengan Kisah Rasul
dimana bahasanya dapat dimengerti serta dikaitkan dengan berdirinya Gereja, dalam I
Korintus ini bahasa-bahasa itu tidak dapat dimengerti serta bukan dikaitkan dengan
berdirinya Gereja namun sebagai karunia dalam Gereja dan hanya diberikan kepada
“beberapa orang” saja dalam Gereja atau jemaat ( I Kor 12:28). Jadi menggabungkan dan
mengacaukan data Kisah rasul dan I Korintus 12 dan 14 seolah-olah keduanya itu hal yang
sama adalah suatu kesalahan yang besar yang bertentangan dengan berita Alkitab itu
sendiri.Beberapa orang mengutip janji Kristus dalam Markus 16:17, bahwa mereka yang
percaya akan “berbicara dalam bahasa yang baru,” sebagai suatu dukungan dari pandangan
mereka akan bahasa roh. Namun demikian, nats ini sebenarnya tidak berbicara mengenai
glosolali sebagaimana yang dipraktekkan masakini. Didalam konteks Alkitabiah yang
semestinya, ayat ini menunjukkan kepada tugas para rasul untuk mengabarkan Injil kepada
semua manusia dari segala bangsa, budaya dan bahasa. Orang-orang Kristen mula-mula itu
berbicara dalam bahasa Aramia atau Yunani. Dalam ayat 15 dan 16 v Kristus memerintahkan
agar para muridNya mengabarkan Injil kepada segala makhluk dan menjadikan orang yang
percaya dan dibaptis itulah yang akan diselamatkan. Untuk mencapai tujuan dari perintah tadi
Kristus menjanjikan penyertaanNya (Matius 28:20), yang ditandai dengan kuasa dan sarana
untuk mencapai para bangsa tadi. Kuasa-kuasa tadi diberikan dalam bentuk : kuasa mengusir
setan, memegang ular tanpa bahaya, minum racun maut tanpa mengalami kecelakaan,
menyembuhkan orang dengan jalan meletakkan tangan pada orang sakit.
Inilah tanda yang menyertai orang percaya dalam konteks pengutusanNya tadi
sebagai bukti Tuhan menyertai pengutusanNya. Sedangkan sarana untuk mencapai segala
bangsa ( segala makhluk) yang berbudaya dan berbahasa macam-macam itu adalah
kemampuan yang akan diberikan mengunakan bahasa-bahasa baru bagi mereka, yaitu bahasa
yang bukan bahasa Arami atau pun bahasa Yunani. Sejak saat itulah seperti yang telah
dimulai oleh para rasul pada hari Pentakosta dimana mereka berbicara dalam dialek dan logat
yang bermacam-macam yang merupakan bahasa baru bagi orang-orang Galilea ini, Gereja
195
telah menyebarkan Injil dalam sarana bahasa yang baru yang bukan termasuk bahasa asli
mereka : Aramia dan Yunani. Kini orang Kristen (orang percaya) berbicara, berkotbah,
berdoa dan menyembah dengan menggunakan banyak bahasa yang tak diketahui oleh orangorang Kristen mula-mula, dan inilah bahasa-bahasa yang baru tadi. Sungguhlah orang-orang
percaya ( orang-orang Kristen) telah berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru yang bukan
bahasa Aramia dan Yunani seperti orang Kristen mula-mula. Itulah tanda bagi orang percaya
sebagai pemenuhan dari janji universalitas Injil untuk segala makhluk, yang diperintahkan
Kristus untuk disebarkan tadi. Disamping itu praktek penggunaan bahasa roh tadi, sudah
melanggar dari apa yang dijelaskan oleh Kitab Suci. Menurut Kitab Suci bahasa roh itu tak
boleh digunakan secara beramai-ramai karena nanti akan dikatakan sebagai orang “gila” ( I
Kor. 14: 23) oleh orang luar. Demikian juga Paulus di dalam ibadah Gereja tidak mau
menggunakan bahasa-roh itu, meskipun ia berkata-kata dengan bahasa roh lebih dari semua
orang Kristen lain. Namun dalam pertemuan jemaat lebih baik ia menggunakan hanya lima
kata yang dimengerti bagi orang lain. ( I Kor. 14:18-19). Penggunaan bahasa roh itu juga
dibatasi “ dua atau sebanyak-banyaknya tiga orang” bukan satu Gereja ribuan orang beramairamai, itupun harus “seorang demi seorang” bukan berbarengan seperti suara lebah seribu,
dan “harus ada orang lain yang mentafsirkan” bukan asal dibunyikan”. Jika tak ada yang
mentafsir harus “berdiam diri” dalam Gereja (I Kor. 14:27-28). Jadi ibadah menurut I
Korintus 14 itu adalah ibadah yang teduh, khusyuk, bukan ribut dan penuh teriakan ataupun
sorakan. Sorak-sorai yang dikatakan dalam Mazmur-Mazmur itu dilakukan di luar Bait Allah
bukan pada saat ibadah dalam Bait Allah itu sendiri. Dan kata “bersoraklah bagi Tuhan”
dalam Efesus 5:19, itu bahasa aslinya adalah “bersenandunglah”. Jadi umat Orthodox
memang diizinkan bersorak, bertepuk tangan, menari untuk memuji Tuhan namun itu bukan
dalam konteks tertib ibadah itu sendiri. Itu dilakukan disekitar Gereja pada saat perayaanperayaan tertentu. Dengan demikian tak ada perintah untuk menyembah dalam roh dengan
berteriak ataupun berbahasa roh dalam Kitab Suci, yang ada malah larangannya.
-Karunia-karunia Roh Kudus,
Sebagai Bait Roh Kudus, Iman Orthodox menegaskan, bahwa Gereja adalah peristiwa
Pentakosta yang berkesinambungan terus-menerus. Oleh karena itu ajaran mengenai karuniakarunia Roh Kudus, menempati tempat yang sangat penting dalam Gereja Orthodox sejak
zaman purba sampai kini.Serta mukjizat-mukjizat dan tanda-tanda heran dari Roh Kudus tak
pernah berhenti berkarya dalam Gereja Orthodox selama dua ribu tahun ini. Namun
dikarenakan fenomena yang disebut kebangunan/pencurahan baru Roh Kudus yang pertama
muncul pada tahun 1960 di Universitas Duquesne, Pittsburgh, dan juga Universitas Katolik
Notre Dame, New York, U.S.A. , yang didahului oleh kejadian yang serupa di Topeka,
Kansas, USA tahun 1901 di zaman modern ini, yang sering amat berbeda dengan ajaran dan
praktek spiritualitas Orthodox ada baiknya kita jelaskan masalah itu sebagai berikut. Di
balik macam-macam doktrin yang berbeda-beda dari satu aliran ke aliran yang lain dalam
fenomena pencurahan baru Roh Kudus ini, semua penghayat “karunia-karunia Roh Kudus”
mempunyai seperangkat keyakinan dan praktek-praktek yang sama. Gerakan ini sangat
menekankan pentingnya “Kharismata” atau “karunia-karunia” Roh Kudus, serta pusat
perhatiannya adalah pada ajaran tentang karunia-karunia Roh Kudus yang dijelaskan Rasul
Paulus kepada Gereja Korintus. Dari situ ditafsirkan bahwa qari semua “karunia-karunia
Roh Kudus” itu telah terbukti adanya 9 macam karunia-karunia Roh Kudus : hikmat,
makrifat (pengetahuan), iman, mukjizat, penyembuhan, nubuat, menbeda-bedakan roh,
glosolali, dan mentafsirkan glosolali ( I Korintus 12:8-10).
Untuk mengerti pemahaman
akan karunia-karunia Roh Kudus ini, bagi umat Orthodox, semua fenomena tentang karya
196
Roh Kudus sangat perlu hal itu diuji dengan pengajaran Rasuliah sebagaimana yang
dipelihara dan dihidupi dalam Gereja Orthodox . Pakar-pakar theologia Orthodox terkenal
seperti Florovsky dan Vladimir Lossky menekankan bahwa satu-satunya pembimbing kepada
spiritualitas yang benar dan pengertian akan Alkitab yang benar adalah kesaksian para bapa
Gereja dan Pengajaran Rasuliah yang diajarkan Gereja. Perbedaan yang ada antara doktrin
dari para pentafsir yang memfokuskan pada “karunia-karunia Roh Kudus” mengenai
karunia-karunia Roh Kudus itu dengan ajaran Gereja Purba sebagaimana yang ditekankan
sepanjang segala abad oleh Gereja Orthodox adalah dalam hal apa yang disebut karunia Roh
Kudus itu, Iman Orthodox banyak menekankan apa yang dikatakan oleh nabi Yesaya., yang
mendaftar 7 karunia Roh Kudus atau Roh Allah: hikmat, pengertian, nasehat, keperkasaan,
pengenalan, kesalehan (lihat terjemahan Inggris), dan takut akan Allah (Yesaya 11:2) yang
akan ada pada Mesias, dan melalui Mesias kepada para orang milikNya juga. Jadi Iman
Orthodox lebih menekankan pada karunia moral dan sikap spiritualitas, bukan pada sisi
emosional atau hal-hal yang dianggap spektakular. Dan karunia-karunia Roh Kudus dari I
Korintus 12 dan 14 itu harus dikaji ulang berdasarkan kacamata karunia moral ini. Rasul
Paulus sendiri tidak pernah membuat: glosolali (bahasa roh, karuna lidah) sebagai karunia
paling penting, ia memberikan beberapa daftar yang lain mengenai karunia-karunia Roh
Kudus ini, disamping apa yang dapat ditemukan dalam I Korintus 12:8-10 itu. Dalam I
Korintus 12:28-30 kita jumpai daftar: rasul, nabi, pengajar, melayani, dan memimpin. Di
dalam Roma 12:6-8, Rasul kepada orang-orang non-Yahudi ini mendaftar karunia-karunia
Roh Kudus itu sebagai : nubuat, melayani, mengajar, menasehati, membagi-bagikan sesuatu,
membari pimpinan dan kemurahan. Demikian juga dalam Efesus 4:11-12 otoritas yang sama
itu mengatakan bahwa karunia Roh itu adalah “rasul-rasul, nabi-nabi, pemberita-pembarita
Injil, gembala-gembala, pengajar-pengajar.” Dia melanjutkan bahwa tujuan dari karuniakarunia Roh Kudus ini adalah “untuk melengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan
pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.” Di dalam I Korintus 12:7 sebelum mendaftar
karunia-karunia Roh Kudus --nats yang menjadi dasar otoritas Para pentafsir yang
menekankan kharismata itu -- Rasul Paulus menuliskan :”Tetapi kepada tiap-tiap orang
dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama.” Demikian
juga
Paulus
mengajarkan bahwa nubuat itu lebih berharga dari bahasa lidah karena nubuat itu
“membangun jemaat (Gereja)” I Korintus 14:5, dan kalau toh ada bahasa lidah itupun harus
diterjemahkan “sehingga jemaat (Gereja) dapat dibangun” (I Korintus 14:5). Lagi dikatakan
oleh rasul Paulus: “Kamu memang berusaha untuk memperoleh karunia-karunia Roh, tetapi
lebih dari pada itu hendaklah kamu berusaha mempergunakannya untuk membangun tubuh
jemaat (Gereja)” I Korintus 14:12 . Dan bahasa roh atau bahasa lidah tanpa tafsir itu
membuat orang lain tidak dibangun olehnya. (I Korintus 14:17), karena bahasa lidah itu
fungsinya hanyalah “membangun diri sendiri.” ( I Korintus 14:4). Jadi fungsi ini
bertentangan dengan fungsi dan maksud dari karunia-karunia itu diberikan, yaitu
membangun orang lain, atau membangun Gereja, jika hanya digunakan untuk kesenangan
dan kebanggaan sendiri saja. Membangun diri bukan berarti orang akan kuat imannya
karena bahasa lidah, namun membangun diri bahwa emosinya terasa terpuaskan dan dia
merasa mengalami sesuatu yang mistik. Jika ini yang dicari dan ditekankan ini menjadi
sesuatu yang egois. Jadi penekanan bahasa lidah sebagai sarana untuk menguatkan diri
sendiri itu bukanlah maksud yang dikehendaki dalam kaitan dan konteks ayat-ayat dalam I
Korintus 14 ini. Karena dengan serempak seluruh pasal ini menekankan kebersamaan
jemaat, -- bukan pada individu--, tujuan dari karunia-karunia itu diberikan.Dalam ayat-ayat
diatas Rasul Paulus, mengajarkan bahwa fungsi yang sebenarnya dari karunia-karunia Roh
Kudus itu bukanlah pembangunan orang secara individu tetapi pembangunan seluruh tubuh
197
Kristus, jemaat (Gereja). Adanya kedudukan administratif dalam Gereja: Rasul-Rasul, Nabinabi, atau pengkotbah-pengkotbah, gembala-gembala dan pengajar-pengajar sebagai karuniakarunia Roh Kudus meneguhkan pengajaran Gereja Orthodox bahwa Roh Kudus berkarya
melalui Gereja dan pelayan-pelayannya yang ditahbis, bukan asal orang –secara terisolasi dari
persekutuan segenap Gereja – yang menyatakan diri digerakkan Roh begitu saja.
.
Tentu saja, Roh Kudus memang memberikan karunia-karunia atau rahmat-rahmat
pada orang percaya. Dan tak pernah karunia-karunia itu berhenti diberikan. Serta tak pernah
ada masanya di dalam Gereja Orthodox dimana karunia-karunia itu tidak berkarya. Jadi
zaman Roh Kudus itu bukan baru terjadi pada abad kedua puluh ini saja, sejak hari
Pentakosta sampai datangNya Kristus yang kedua nanti itulah zaman Roh Kudus. Namun
demikian, tidak setiap orang Kristen harus menerima karunia yang sama, karena seperti yang
dikatakan oleh rasul Paulus, “ada macam-macam karunia” ( I Korintus 12:28). Karuniakarunia apa saja yang diberikan misalnya; menyembuhkan, mengusir setan, mengajar,
menyanyi, memimpin Gereja, menasehati, dan berkotbah itu selalu diberikan bagi kegunaan
Gereja, bukan untuk kemuliaan atau kepuasan individu dari pribadi. Karena sebagaimana
yang diberitakan oleh rasul Paulus : “kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh
untuk kepentingan bersama.” (I Korintus 12:7). Namun demikian, seperti yang diperingatkan
oleh Theophanes sang Penyendiri, bahkan karunia-karunia Roh Kudus yang benar pun atau
juga ”kebajikan-kebajikan, boleh jadi lebih membahayakan dari pada penolakan secara
terang-terangan atas mereka yang membuat hal-hal tadi sebagai satu-satunya dasar harapan
dan hidup mereka….” Oleh karena itu penekanan pada karunia-karunia Roh Kudus sebagai
pusat dari hidup Kristen akan merupakan suatu bahaya yang sangat besar bagi kehidupan
rohani. Sering orang-orang yang mengajar supaya orang mendapatkan dan mempraktekkan
apa yang mereka anggap sebagai karunia-karunia Roh Kudus itu, gagal memberikan
bimbingan penggunaannya secara tepat serta secara terintegrasi dalam segi-segi hakiki yang
lain bagi suatu spiritualitas yang sehat. Pengalaman-pengalaman emosi tertentu yang mereka
anggap karunia-karunia Roh Kudus, khususnya bahasa lidah, dibuat sebagai pusat kesalehan,
dengan mengabaikan segi-segi hakiki iman yang lain yang bertindak untuk membimbing
penggunaan dari karunia-karunia Roh Kudus, baik yang sungguh atau yang hanya khayalan
saja, di sepanjang saluran yang seharusnya..Orang-orang Kristen yang hendak tumbuh secara
rohani harus selalu berhati-hati untuk tidak mengijinkan berkat-berkat atau karunia-karunia
dari Allah, baik yang nyata atau yang dikhayalkan saja, itu menjadi akibat timbulnya
kesombongan rohani. Sebagaimana Patriarkh Kallistos dan Ignatius Xanthopoulos menulis
dalam “Philokalia” yang barangkali merupakan bimbingan yang teragung bagi kerohanian
(spiritualitas) Orthodox “ apabila pikiran kita mulai merasakan penghiburan berkat dari Roh
Kudus, kemudian Iblis pun menyusupkan penghiburannya sendiri kedalam jiwa….”
Penghiburan (rasa damai sejahtera) yang palsu ini akan menuntun seorang untuk
mempercayai bahwa mereka memiliki karunia-karunia khusus dan mulai
memperkembangkan suatu kesombongan rohani sebagai akibatnya. Sungguhlah,
kesombongan rohani adalah musuh dari semua pertumbuhan rahani, karena sebagaimana
yang ditulis oleh Abba Evagrios, “setan kesombongan adalah penyebab dari semua kejatuhan
yang ngeri dari jiwa.” Tentu saja, setiap guru spiritualitas Orthodox, misalnya Aghios
Yohanes Klimakus, memperingatkan bahwa kesombongan adalah “kejahatan tertinggi yang
secara penuh mengambil alih tempat semua kejahatan yang lain.” Kesombongan rohani
dapat dengan mudahnya menuntun seseorang kepada penyakit rohani yang bahkan lebih
serius, tipuan rohani atau prelest (planee).
Prelest, suatu keberadaan yang dianggap
secara potensi sangat fatal bagi kehidupan rohani oleh semua yang berwibawa dalam bidang
spiritualitas Iman Kristen Orthodox, diakibatkan jika seseorang ingin berusaha untuk
198
mengejar dan menjadi berlebih dalam pertumbuhan rohani tanpa kerendahan hati yang
seharusnya. Jika seseorang mencari pengalaman-pengalaman mistika yang luar biasa, misalnya
penglihatan-penglihatan atau pesan-pesan dari Allah, atau karunia-karunia khusus dari Roh
Kudus, dia dapat membuka dirinya sendiri kepada prelest dengan memusatkan diri pada
keinginan akan manifestasi-manifestasi Allah yang luar biasa bukannya pada keberadaannya
sendiri yang berdosa dan kebutuhan untuk makin bertumbuh.
Kesombongan
yang
dalam dan bersandar pada diri sendiri dalam hal-hal rohani ini dapat menyebabkan seseorang
merasa bahwa dorongan dan keinginan pribadinya sebagai ilham dari Roh Kudus, orang
seperti itu melihat tak ada gunanya bimbingan dari Gereja atau bapa rohani (staretz)nya
sendiri, dan bahkan merasa tak perlu diajar oleh orang lain siapapun, yang dengan salahnya
mengutip I Yohanes 2:27 sebagai dasarnya. Singkatnya saja, seseorang yang menderita prelest
dapat menjadi sangat sombong sekali, sehingga dia sesungguhnya memberontak melawan
Gereja dan menanggapi dengan rasa marah, apabila dihimbau untuk bertobat dan untuk
tunduk pada bimbingan dan tuntunan Gereja melalui bapa rohani (staretz)nya.
Sebagaimana I Yohanes 4:1 mengatakan: “Saudara-saudaraku yang kekasih janganlah
percaya akan setiap roh, tetapi ujilah roh-roh itu, apakah mereka berasal dari Allah.”
Pengujian ini terjadi menurut kesaksian secara serentak dari para bapa Gereja dan guru-guru
spiritualitas dari Gereja Kristen Timur, melalui konsultasi yang sering dan jujur dengan bapa
rohani (staretz) orang tersebut. Jadi bimbingan ini sangat menentukan dan penting sekali,
jangan-jangan orang akhirnya berakhir hanya pada dirinya sendiri, jatuh pada penyembahan
berhala yang sangat nyata.” Bimbingan ini perlu karena seperti yang dikatakan oleh
Theophanes Sang Penyendiri, si jahat berusaha untuk mengacaukan seseorang yang sudah
berniat untuk berjalan di jalan yang benar untuk menuju kepada pertumbuhan rohani dengan
meyakinkan dia bahwa dia dapat mencapai kesempurnaan dengan caranya sendiri tanpa
bimbingan seorang bara rohani. Malahan, orang yang berwibawa besar dalam spiritualitas
Orthodox ini mengingatkan seseorang untuk menyelidiki “semua tindakan-tindakannya, baik
jasmani maupun batiniah, melalui bimbingan dan pertimbangan-pertimbangan yang baik dari
guru-gurunya – para Presbiter Gerejanya/ para staretznya – dalam hal kalau orang itu adalah
seorang awam….” Sebagaimana yang diajarkan oleh para bapa Gereja, seseorang tak dapat
menentukan bagi dirinya sendiri apa yang berguna bagi kerohaniannya. Seharusnya setiap
seorang Kristen mencari bimbingan dari tradisi-tradisi rasuliah yang diberitakan Gereja dan
bapa rohaninya sendiri. Melalui pembahasan-pembahasan yang sering dengan bapa rohani
orang itu, orang dapat mengenal dosa-dosa dan kekurangannya dan menyatukan dirinya
dengan tradisi spiritualitas yang agung dari Gereja, dengan menyangkal dan menolak
keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek kerohanian yang palsu dan salah. Dengan cara ini
orang dapat menguji setiap roh dan bertumbuh secara rohani dengan cara yang demikian
sehingga dapat menghindar dari kejatuhan kedalam kesombongan rohani atau prelest.
Memang orang yang merasa mendapatkan karunia-karunia Roh Kudus itu sering
memiliki semangat yang menggebu-gebu, namun sayang, mereka gagal untuk
mempertimbangkan segi pertumbuhan rohani yang hakiki ini. Malahan, pengalaman mereka
itu justru menunjukkan sifatnya yang pada hakekatnya bersifat individualistik dengan
menekankan pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dan suatu pendekatan kepada
spiritualitas yang luar biasa individualistiknya. Kebanyakan mereka ini menolak konsep
bimbingan oleh bapa rohani ini serta sering mengabaikan dan menolak untuk mengakui
sumber yang penting bagi bimbingan rohani. Malah ada yang menasehatkan para rohaniwan
Orthodox untuk menerima kepemimpinan dari orang-orang awam yang telah dianggap
menerima karunia-karunia ini dan percaya bahwa orang-orang seperti itulah yang memiliki
pengalaman rohani yang lebih tinggi dibanding para Presbiter yang belum “dibaptis oleh Roh
199
Kudus .” Ada juga yang mengatakan bahwa kebanyakan kaum rohaniwan Orthodox
“mengetahui Roh Kudus hanya dengan otaknya saja, bukan dengan hatinya.” Tuduhan yang
sama yang masih sering dilemparkan oleh orang-orang yang demikian itu sampai sekarang,
meskipun kalau bukan dengan kata-kata tetapi dengan sikap. Mereka menyatakan diri
bahwa pengalaman pencurahan Roh yang baru ini membuat orang memiliki Roh Kudus
dalam ukuran yang lebih besar daripada mereka yang berada diluar pengalaman itu, dan
menuduh bahwa gereja-gereja yang ada sebagai Gereja “yang tak memiliki Roh Kudus.” Di
telinga umat Orthodox kedengarannya congkak dan gegabah memang. Namun demikian,
sebagaimana para bapa Gereja mengajarkan, Roh Kudus berkarya melalui Gereja dan
membimbing para rohaniwannya untuk memberitakan kepenuhan kebenaran. Oleh karena
itu, tak seorang Kristen Orthodox yang benar satupun dapat percaya bahwa Gereja itu “tak
memiliki Roh Kudus.” Bagi umat Orthodox peryataan ini adalah suatu hujatan pada tubuh
Kristus yang adalah Bait Roh Kudus itu. Staretz Silouan bahkan mengajarkan bahwa orang
harus tunduk kepada bimbingan seorang Bapa Pengaku Dosa yang tak berpengalaman dan
berdosa sekalipun karena “ anugerah yang menyelamatkan dari Roh Kudus itu bekerja dalam
Sakramen Pengakuan Dosa.” Pengajaran yang ingin membatasi karya Roh Kudus dengan
menghubungkan keabsahan Sakramen dan bimbingan rohani, dengan status kerohanian atau
kekudusan dari Presbiter adalah bentuk modern dari Donatisme, suatu bidat yang dikutuk
oleh Gereja pada abad ke IV. Sayangnya, merebaknya pengalaman yang disebut pencurahan
Roh secara baru yang awalnya di tahun 1960an itu, telah sering menuntun kepada gejalagejala yang menunjukkan adanya kesombongan rohani dan bahkan prelest, barangkali sebagai
akibat langsung dari kegagalannya untuk mempertimbangkan pentingnya mengikuti
bimbingan Gereja atau bapa rohani seseorang. Cerita-cerita perpecahan dalam jemaat-jemaat
setempat sebagai akibat hal ini berlimpah disetiap denominasi (aliran Gereja) yang telah
mengalami pengaruhnya. Pengkajian-pengkajian para sarjana mengenai fenomena ini telah
hampir tanpa perkecualian menemukan suatu kecenderungan pada orang-orang yang
demikian itu, dimana mereka menganggap diri mereka sendiri lebih tinggi secara rohani
dibanding orang-orang lain yang tidak ikut serta dalam pengalaman mereka atau yang tidak
berbicara dalam bahasa lidah. Salah satu karya penyelidikan sarjana Protestan mengenai
gerakan ini telah telah mengobservasi bahwa beberapa orang yang telah mempraktekkan
glosolali “merasa bahwa mereka yang tidak memiliki karunia ini adalah orang-orang Kristen
kelas dua.” Fenomena gerakan ini memiliki ciri sebagai dorongan yang “menciptakan elitisme
(kelompok khusus yang berkelas tinggi) rohani yang mengangkat diri sendiri dan merasa diri
sendiri benar.” Patut dicatat, sebagaimana setiap siswa Perjanjian Baru mengetahui, Gereja
Korintus, yang menunjukkan begitu banyak penyataan-penyataan karunia-karunia Roh
Kudus, menunjukkan semua tanda kesombongan rohani yang ditemukan di banyak orang
yang menekankan pengalaman dan fenomena ini. Adalah sangat berkesan sekali bahwa rasul
Paulus menyisipkan permohonannya yang terkenal akan kasih (I Korintus 13) sebagai
karunia yang tertinggi dari Roh Kudus didalam pembahasannya mengenai keadaan rohani
dari orang-orang Kristen di Korintus. Dari konteks pembahasannya, sangat jelas sekali
bahwa elitisme rohani adalah merupakan persoalan yang sangat serius di Gereja Korintus.
Dan ini telah menjadi begitu serius pada akhir abad pertama sehingga Santo Klemen dari
Roma telah menulis surat peringatannya yang sangat terkenal kepada mereka agar mereka
mengormati para rohaniwan (Episkop dan Presbiter) yang ditahbis. Jadi, baik Kitab Suci
maupun pengalaman Gereja rasuliah meneguhkan pengajaran para bapa Gereja bahwa
pengumpulan dan usaha untuk mendapatkan karunia-karunia Roh itu, baik karunia yang
nyata atau yang khayalan, bukanlah hakekat Iman Kristen. Benarlah, bahwa tanpa bimbingan
yang semestinya serta tanpa kerendahan hati yang seharusnya orang dapat dengan mudah
200
menyalah-gunakan karunia-karunia Roh Kudus dan menjadi merasa benar sendiri.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Kristus, “Dari buahnyalah engkau mengetahui
mereka” (Matius 7:16). Orang Kristen Orthodox mendekati fenomena dan pengalaman ini
dengan sangat hati-hati, jikalau dia ingin mendekatinya, disebabkan oleh penekanan yang
tidak seimbang pada pengalaman-pengalaman rohani pribadi sebagai akhir pada dirinya
sendiri. (Misalnya; bahasa lidah sebagai alat untuk memperkuat iman, sehingga harus terus
digunakan, sehingga karunia ini menjadi pusat keagamaan dan akhir pada dirinya sendiri, dan
berfungsi sebagai pengganti Sakramen yang adalah sarana sumber kekuatan rohani, karena
melaluinya Roh Kudus bekerja), tetapi juga sebagai akibat penekanan yang individualistik
tanpa memperdulikan keterlibatan Gereja dari gerakan itu.
Secara sejarah , ini dapat
dilacak sejak Gerakan Reformasi Protestan yang mengajarkan bahwa masing-masing orang
dapat mentafsirkan Alkitab bagi dirinya sendiri serta mengalami pengalaman rohani dengan
caranya sendiri, suatu akibat dari protes dari para Reformer melawan kediktatoran dan sikap
otoriter dari Gereja Katolik Roma pada zaman pertengahan. Dan itu berpengaruh dalam cara
penghayatan rohani seseorang.. Demikianlah pengajaran yang tak berubah dari Iman
Rasuliah Orthodox, mengenai karunia-karunia Roh Kudus.
-Pemberitaan Firman baik dalam wujud Pengajaran, Kotbah maupun Penginjilan,
Sebelum kenaikanNya ke sorga Kristus mengatakan demikian kepada para
RasulNya:”Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas
kamu, dan kamu akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan
Samara dan sampai ke ujung bumi” ( Kisah 1:8). Ayat ini menjelaskan bahwa tugas
kesaksian para Rasul ini terjadi karena kuasa Roh Kudus yang mendorong dan memberikan
kemampuan kuasa untuk melakukannya. Dan bentuk dari kesaksian tentang Kristus itu
dinyatakan demikian :”…Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati
pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam namaNya berita tentang pertobatan dan
pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa mulai dari Yerusalem.
Kamu adalah sakasi dari semuanya ini” ( Lukas 24:46-48). Jadi bentuk kesaksian yang
diilhami Roh Kudus tadi adalah pemberitaan tentang kematian dan kebangkitan Kristus
serta dampak pertobatan dan pengampunan dosa yang diakibatkan olehnya, yang dimulai
dari Yerusalem. Berarti kesaksian adalah pemberitaan tentang Kristus dan karyanya. Inilah
yang disebut pemberitaan Firman itu. Dalam pemberitaan firman semacam inilah Roh
Kudus itu menjadi pendorong dan pemberi kemampuan serta pemberi effektifitas untuk
bertobat dan beriman kepada Kristus kepada yang mendengar pemberitaan orang yang di
ilhami Roh Kudus tadi, sebagaimana dikatakan :”Dialah yang telah ditinggikan Allah
sendiri dengan tangan kananNya menjadi Pemimpin dan Juruselamat, supaya Israel
dapat bertobat dan menerima pengampunan dosa. Dan kami adalah saksi dari
segala sesuatu itu, kami dan Roh Kudus, yang dikaruniakan Allah kepada semua
orang yang mentaati Dia” (Kisah 5:31-32) . Apa yang dikatakan oleh para rasul ini
sebenarnya adalah penggenapan dari janji Sang Kristus sendiri, ketika Ia mengatakan:’Jikalau
Penghibur yang akan Kuutus dari Bapa datang, yaitu Roh Kebenaran yang keluar
dari Bapa, Ia akan bersaksi tentang Aku. Tetapi kamu (para rasul) juga harus
bersaksi….” ( Yohanes 15:26-27). Dengan demikian segenap karya pemberitaan Gereja,
termasuk berkotbah, mengajar, ,mengadakan penginjilan, pembacaan Kitab-Kitab Suci ( I
Tim. 4:11-13:” Beritakanlah dan ajarkanlah semuanya itu……Sementara itu, sampai
aku datang bertekunlah dalam membaca Kitab-Kitab Suci, dalam membangun dan
dalam mengajar”) Karena karya pemberitaan ini berasal dari tuntunan dan ilham Roh
Kudus, maka sering rahasia hati manusia dinyatakan melalui kotbah yang penuh kuasa, dan
201
“penyataan-penyataan Allah:” di beritakan melalui kotbah semacam ini. Sehingga yang
mendengar merasa mendapat tegoran, peringatan, himabauan, hiburan, atau pernyataan akan
kesalahan yang ia sedang lakukan, ataupun bimbingan serta petunjuk akan apa yang harus ia
lakukan, dan koreksi akan hal-hal yang selama ini dianggapnya benar. Itulah salah satu dari
yang dimaksud dengan dalam pertemuan ibadah atau perkumpulan itu harus ada seorang
yang meyampaikan “penyataan Allah” ( I Kor.14:26). Dan bahwa penyebaran Injil itu
disertai oleh Roh Kudus itu jelas menurut janji Kristus dari Kisah Rasul 1:8 itu, dimana
kesaksian atau pemberitaan tentang Kristus dari Yerusalem sampai ke ujung bumi itu hanya
terjadi setelah Roh Kudus itu turun keatas para rasul itu. Demikian pula jelas dari janji
Kristus yang demikian:” Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa
muridKu…..dan ajarlah mereka….segala sesuatu yang telah Kuperintahkan
kepadamu. Dan ketahuliah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir
jaman” ( Matius 28:19-20). Dalam ayat ini para rasul mendapat perintah untuk menjadikan
sekalian bangsa murid Kristus. Dan untuk meaksud ini mereka harus menginjil dan
menyebarkan berita kesukaan. Dan ketika mereka sudah menjadi percaya dan dibaptiskan,
maka mereka harus diajar tentang perintah-perintah Kristus. Dan pengajaran ini dapat
dilakukan melalui kotbah, melalui katekisasi, melaui Pendalaman Alkitab, atau pendalaman
iman dengan berbagai macam media. Dan untuk karya dan kegiatan rasuliah, yang kemudian
juga menjadi kegiatan Gereja, yang demikian ini Kristus berjanji:”…. Aku menyertai kamu
senantiasa sampai kepada akhir jaman”. Dan cara Kristus menyertai para rasul, dan
GerejaNya, samapai akhir jaman dalam tugas pemberitaan dan pengajaran ini adalah di dalam
Roh Kudus. Hal ini dinyatakan oleh Alkitab demikian:"….Roh Kebenaran….menyertai
kamu dan diam di dalam kamu…..mengasihi Aku ……dan BapaKu akan mengasihi
dia……dan KAMI AKAN DATANG KEPADANYA DAN DIAM BERSAMA-SAMA
DENGAN DIA” (Yohanes 14:17,23). Menurut ayat-ayat diatas Roh Kuduslah yang akan
diam dan menyertai manusia. Namun Kristus mengatakan bahwa bahwa bagi orang yang
mengasihi Kristus maka “Kami” ( yaitu : Bapa dan Kristus) akan diam dan menyertai orang
yang sedemikian. Berarti Kristus dan Bapa diam di dalam manusia melalui Roh Kudus.
Dengan demikian jika Kristus menyertai manusia maka Ia menyertainya melalui Roh Kudus.
Jadi Roh Kudus akan tetap menyertai Gereja sampai pada akhir jaman, dalam karya
pemberitaan dan pengajaran Firman itu. Itulah sebabnya para Bapa Gereja yang
memberitakan dan mengajarkan Firman ( Ibrani 13:7) itu juga diilhami Roh Kudus, dan
tulisan-tulisan serta ajaran-ajaran mereka patut kita pelajari dan kita perhatikan karena
mereka adalah merupakan instrumen dan alat dari Roh Kudus. Dengan demikian Roh Kudus
memang tak pernah meninggalkan Gereja. Karena juistru Gereja itulah Bait Roh Kudus tadi,
yang pemberitaan Firman secara setia dan benar oleh Gereja itu merupakan bukti dari
kehadiran dan karyaNya.
-Karya administratif dan sosial-kasih Gereja,
Sementara orang tertarik pada karya-karya Roh Kudus yang bersifat luar biasa dan
spektakular, kita tak boleh melupakan akan karya-karya Roh Kudus yang bersifat sosial kasih
di dalam Gereja. Sebagaimana dikatakan:”…kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam
Kristus….Demikianlah kita mempunyai KARUNIA yang barlain-lainan menurut kasih karunia
(“KHARIS”) yang dianugerahkan kepada kita: ”Jika karunia itu adalah untuk bernubuat…Jika
karunia itu untuk melayani….jika karunia itu untuk mengajar…….jika karunia itu untuk
menasihati…..yang membagi-bagikan sesuatu….yang memberi pimpinan….yang menunjukkan
kemurahan….” ( Roma 12:5-8). Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa dalam Tubuh Kristus itu
disamping terdapat karunia nubuat, terdapat juga karunia yang bersifat pendidikan
202
(“mengajar”), administratif (“melayani, memberi pimpinan”) dan sosial-kasih (“membagi-bagikan
sesuatu, menasihati, menunjukkan kemurahan”). Karya Gereja yang kelihatannya tidak spektakular
ini ternyata juga merupakan karunia sebagai akibat kasih-karunia (“grace,rahmat,kharis”),
yaitu karya dari energi Roh Kudus. Dengan demikian karya pendidikan, administratif dan
sosial-kasih di dalam Gereja itupun tidak kalah pentingnya dengan karya-karya yang dianggap
spektakular dan supernatural itu. Oleh karena itu adalah penting bagi Gereja untuk
meperkembangkan karya pendidikannya, baik itu untuk orang dewa, pemuda, remaja
maupun anak-anak sekolah minggu, karena dalam karya mengajar ini kahrisma dari Roh
Kudus itu bekerja di dalam Gereja, dan sebagai bukti dari karya Roh Kudus di dalam Gereja
itu. Demikian pula di dalam “melayani”, entah itu melayani dalam pengertian ikut aktifitas
penginjilan, menjadi anggota dewan pengurus paroikia (“memberi pimpinan”), hal-hal yang
bersifat peribadahan, ataupun itu melayani dalam hal yang bersifat kerja-bakti,:
membersihkan gedung gereja, mengatur ruangan gereja, renovasi gedung, menghiasi gedung,
ikut masak-memasak dalam pesta-pesta gereja, semuanya itu termasuk dalam kategori
melayani. Dan ternyata inipun merupakan karya dari karunia Roh Kudus juga. Pelayanan lain
yang bersifat sosial-kasih juga merupakan karya Roh Kudus di dalam Gereja. Karya-karya itu
adalah membagi-bagikan: misalnya membagi sembako, memberi pertolongan pada orangorang miskin, membantu bea-siswa untuk anak-anak yang tak mampu, dan lain-lain.
Demikian juga, karya pelayanan menasihati: termasuk di dalamnya adalah konseling,
memberikan hiburan bagi yang susah, menguatkan yang sedang lemah, menunjukkan jalan
pada yang sedang kebingungan, memberikan nasihat kepada para remaja, dan lain-lain.
Semuanya ini adalah manifestasi dari karya Roh Kudus di dalam Gereja. Begitu juga karya
“menunjukkan kemurahan”, misalnya menolong orang-orang jompo, menolong orang-orang
yatim piatu, mengunjungi orang-orang sakit, membantu mereka yang sedang mengalami
musibah, mengunjungi janda-janda dalam kesuasahan mereka, mengunjungi orang yang
dipenjara, memberi tumpangan orang yang sedang terlantar, memberi makan orang yang
kelaparan, memberi pakaian orang yang telanjang dan lain-lain. Semuanya ini adalah bentukbentuk dari manifestasi karya Roh Kudus di dalam Gereja. Demikianlah Gereja sebagai bait
Roh Kudus, tak mungkin berhenti melakukan semua karya-karya ini, sebab itulah bentuk dari
manifestasi karunia belas-kasih Allah dalam Roh Kudus, yang dilakukan melalui GerejaNya.
Dengan demikian karya Roh Kudus itu tidak identik dengan ledakan emosi ataupun
emosionalisme yang menggebu-gebu. Karena ternyata kegiatan pendidikan, administratif dan
sosial-kasih itu tak lain juga merupakan karunia Roh Kudus di dalam Gereja. Sehingga dalam
Gereja tidak ada semacam “elitisme” dimana hanya orang-orang yang merasa mendapat
karunia-karunia yang dianggap spektakular (“misalnya: kesembuhan, bahasa lidah, nubuat,
atau mengusir setan”) saja itu yang dianggap termasuk orang yang mempunyai kelas rohani
tertinggi. Inilah “prelest” (“tipu-daya rohani”) yang telah kita sebut diatas. Semua karya-karya
yang baik apapun, yang dipersembahkan kepada Kristus di dalam Gereja adalah dituntun dan
diilhami oleh Roh Kudus, jika dilakukan secara benar dan dengan motivasi yang sungguhsungguh untuk Allah.
- Karunia-karunia Roh Kudus yang lain: monakhisme dan ka-martir-an.
Disamping karunia-karunia yang dianggap bersifat “mukjizat” atau supernatural, Roh Kudus
juga memberikan karunia pelayanan yang mungkin dianggap orang kurang menarik. Hal itu
dikatakan oleh Kitab Suci demikian:”….Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin, tetapi
mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan
mempunyai suaminya sendiri…..Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku
(yaitu: tidak memiliki isteri); tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang
203
seorang karunia ini (yaitu:karunia menikah), yang lain karunia itu (yaitu:karunia tak menikah)…”
( I Kor. 7:1-2,7). Konteks ayat-ayat ini adalah pembahasan tentang pertanyaan jamaah di
Korintus mengenai status pernikahan. Dikatakan bahwa memang baik jikalau orang tak
menikah, jikalau mampu, namun jika tidak masing-masing orang harus menikah. Inilah
peraturan umum untuk setiap`manusia. Namun demikian jikalau memang harus memilih
“alangkah baiknya” jika memang ia mampu “kalau semua orang seperti aku”. Bagaimana status
pernikahan Paulus ketika ia mengatakan agar semua orang seperti dirinya itu? Hal itu
dijelaskan dalam I Korintus 9: 5-6 :” Tidakkah kami mempunyai hak untuk membawa seorang isteri
Kristen, dalam perjalanan kami, seperti yang dilakukan rasul-rasul lain dan saudara-saudara Tuhan
(Yesus ) dan Kefas? Atau hanya aku dan Barnabas sajakah…..?” Ayat ini menjelaskan bahwa
semua rasul lainnya, termasuk saudara-saudara Sang Kristus dan Kefas itu memiliki isteri
Kristen, dan membawa isteri-isteri mereka itu dalam perjalanan penginjilan itu. Hanya Paulus
dan Barnabas saja yang dinyatakan sebagai tak memiliki isteri. Kita tak membicarakan apakah
memang ia seorang duda, atau seorang yang selibat ( wadat = hidup tanpa nikah) sejak awal.
Namun yang jelas ia tak memiliki isteri waktu menulis surat Korintus ini. Dan Paulus
meminta agar semua orang seperti dirinya, yaitu hidup tanpa isteri, atau tanpa suami. Namun
demikian Paulus juga menjelaskan bahwa pernikahan atau selibat itu tergantung bagaimana ”
setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas”. Berarti baik hidup menikah ataupun
selibat itu adalah merupakan karunia dari Allah. Padahal Allah memberikan karuniaNya itu
selalu melalui Roh Kudus. Dan karunia Roh Kudus ini dimiliki orang dengan berbagai
macam bentuk “yang seorang karunia ini” yaitu:karunia menikah, dan “yang lain karunia
itu”yaitu:karunia tak menikah. Demikianlah jelas bahwa dalam Gereja, meskipun pernikahan
itu sebagai perintah dan karunia umum untuk setiap manusia, dan sangat dihormati dan
dimuliakan sampai dinyatakan sebagai suatu Sakramen, namun ada orang-orang tertentu
dalam Gereja yang menerima karunia khas untuk tidak menikah, yang juga dalam bentuknya
yang layak dan seharusnya juga dihormati oleh Gereja. Apa yang dikatakan oleh Rasul Paulus
disini sebenarnya menegaskan apa yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 19: 12 :” Ada
orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan orang yang
dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya
sendiri oleh karena Kerajaan Sorga…”
Dalam ayat ini Sang Kristus menjelaskan tentang
berbagai macam status manusia yang tidak kawin. Yang pertama adalah “ orang yang tidak
dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya”. Ini adalah jenis manusia yang
tidak dapat kawin karena bakat bawaan sejak ia lahir. Bakat bawaan itu mungkin saja
berbentuk kelainan kejiwaan sejak lahir, ataupun cacat jasmani sejak lahir yang
mengakibatkan ia tidak mampu menjalankan fungsinyqa dalam perkawinan. Atau macammacam penyebab lain baik psikis maupun biologis bawaan sejak lahir, apapun bentuknya,
yang menghalangi seseorang menjalankan fungsi dalam perkawinan. Jenis kedua dari manusia
yang tak menikah adalah “ orang yang dijadikan demikian oleh orang lain “ Ini adalah jenis orang
yang karena akibat-akibat luar, misalnya dikebiri, kecelakaan, atau hal-hal luar lain yang
menimpa atau ditimpakan atas dirinya, yang menyebabkan ia kehilangan kemampuan untuk
menjalankan fungsi dalam kehidupan pernikahan. Ini bisa saja perlakuan pihak luar secara
jasmani ataupun secara kejiwaan.Pendek kata segala sesuatu yang datang dari pihak luar yang
didapat seseorang sesudah ia lahir ke dunia ini, yang menyebabkan ia tak dapat menikah,
tidak mau menikah, atau memang sekedar tak menikah begitu saja, itu termasuk dalam
kategori yang kedua ini. Sedangkan yang ketiga “ ada orang yang membuat dirinya demikian karena
kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga” Dalam jenis yang pertama dan kedua itu dapat
kita katakan bahwa orang-orang diatas itu “tidak menikah” karena terpaksa oleh keadaan
yang diluar kemampuannya sendiri. Itu adalah suatu musibah dan suatu kecelakaan. Namun
204
dalam jenis yang ketiga ini adalah merupakan suatu karunia khas dari Allah oleh Roh Kudus.
Karena Roh Kudus memampukan orang untuk memiliki keputusan “ karena kemauannya
sendiri “ - jadi bukan karena dipaksa, ditipu, diharuskan oleh lembaga keagamaan atau diluar
kemauan dirinya -, sehingga menjadikan “ada orang yang membuat dirinya demikian”, yaitu
membuat dirinya untuk hidup “tanpa nikah”. Namun “hidup tanpa nikah” ini baru dikatakan
sebagai karunia Roh Kudus jika motivasinya adalah “oleh karena Kerajaan Sorga”. Dengan
demikian orang yang hidup tanpa nikah karena Kerajaan Allah itu memang harus memiliki
gaya hidup yang berbeda dari mereka yang hanya hidup secara duniawi biasa saja. Karena
Gereja Purba memiliki suatu lembaga untuk membentuk suatu paguyuban para janda,
sebagaimana yang dikatakan:” Yang didaftarkan sebagai janda, hanyalah mereka yang tidak kurang
dari enam puluh tahun, yang hanya satu kali bersuami….Tolaklah pendaftaran janda-janda yang lebih
muda…” ( I Tim. 5:9,11). Dan para janda ini adalah :” …seorang yang benar-benar janda, yang
ditinggalkan seorang diri, menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa
siang malam” ( I Tim. 5:5). Jadi ciri paguyuban para janda dalam Gereja Purba itu adalah
ditinggalkan seorang diri. Maka hal yang demikian ini pula yang mencirikan kehidupan dari
mereka yang tak menikah demi kerajaan Allah itu. Dan kata seorang diri itu dalam bahasa
Yunaninya adalah “memonoomenee” yang berasal dari kata “monos” : sendirian, atau satusatunya. Sehingga orang yang hidup menyendiri seperti itu, bukan hanya para janda saja,
disebut sebagai “monakhos” artinya “ia yang hidup seorang diri”. Karena para orang yang
“memonoomenee”itu, sejak zaman purba telah didaftar di dalam Gereja, dan mendapatkan
tempat yang sah di dalam Gereja, maka demikianlah para “monakhos” itu juga merupakan
bagain yang sah, resmi dan khas dalam Gereja, sebagai manifestasi karunia Roh Kudus dalam
Gereja itu. Ciri dari para monakhos sebagaimana juga ciri dari para“memonoomenee” itu adalah
“menaruh harapannya kepada Allah dan bertekun dalam permohonan dan doa siang malam”, yaitu
memusatkan pada kehidupan batin dan rohani yang mendalam yang disertai hidup doa yang
tanpa henti. Doa tanpa henti yang telah membuktikan manifestasi Roh Kudus yang luar biasa
itu adalah “Doa Puja Yesus”. Ini pula yang dilakukan nabiah Hana, yang juga menantikan
datangnya Kerajaan Allah, sebagaimana yang dikatakan:” Lagipula di situ ada Hana, seorang nabi
perempuan, anak Fanuel dari suku Asyer. Ia sudah sangat lanjut umurnya. Sesudah kawin ia hidup tujuh
puluh lamanya bersama suaminya, dan sekarang ia janda dan berumur delapan puluh empat tahun. Ia
tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” (Lukas
2: 36-37). Disini Hana juga seorang janda berarti juga seorang “memonoomenee”, dan “ Ia
tidak pernah meninggalkan Bait Allah” serta “siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” .
Berdasarkan teladan para “memonoomenee” inilah para monakhos juga karena motivasi
hidupnya oleh karena Kerajaan Allah, “tidak pernah meninggalkan Bait Allah” artinya hidup
disekitar dimana “Bait Allah” atau ‘Rumah Ibadah” itu ada. Dan Gereja telah mengakui
kebutuhan akan “Rumah Ibadah” secara khusus bagi para ‘monakhos” ini, dan itulah
“monasteri” (“rumah pertapaan, rumah kerahiban”). Kitab Suci menjelaskan selanjutnya
mengenai karunia Roh Kudus yang berwujud kehidupan “wadat” atau “selibat” atau
“melajang sepanjang hidup” ini, demikian:”…..Dan kalau seorang gadis kawin, ia tidak berbuat
dosa. Tetapi orang-orang yang demikian akan ditimpa kesusahan badani dan aku mau menghindarkan
kamu dari kesusahan itu” (I Kor. 7:28b), serta :”Aku ingin, supaya kamu hidup tanpa kekuatiran.
Orang yang tidak beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan
kepadanya. Orang beristeri memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat
menyenangkan isterinya, dan dengan demikian perhatiannya terbagi-bagi. Perempuan yang tidak bersuami
dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa
mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi,
bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” ( I Kor. 32-34). Menurut ayat-ayat diatas menikah
205
memang tidak berdosa, namun kesusahan badaninya banyak, perhatiannya lebih kepada
perkara duniawi, agar dapat menyenangkan isterinya atau suaminya. Sehingga kehidupan
pernikahan itu meskipun mulia dan tak berdosa pada dirinya sendiri, namun itu membuat
perhatian orang terbagi-bagi, jikalau ia betul-betul hendak mencari Kerajaan Allah. Itulah
sebabnya para monakhos, yaitu mereka yang tidak menikah demi kerajaan Allah, sebagai
“Orang yang tidak beristeri” seluruh hidupnya adalah untuk “memusatkan perhatiannya pada
perkara Tuhan, bagaimana Tuhan berkenan kepadanya”. Menjadi monakhos ini ternyata bukan
hanya monopoli kaum pria karena ternyata ada juga “ Perempuan yang tidak bersuami dan anakanak gadis” yang seluruh hidupnya dibaktikan dan dipersembahkan untuk “memusatkan
perhatian mereka pada perkara Tuhan”. Tujuan utama dari hidup mereka untuk memusatkan
perhatian mereka pada perkara Tuhan agar berkenan kepadaNya, melalui hidup sembahyan,
doa, puasa dan berharap pada Tuhan melalui sikap tobat dan penyangkalan diri yang terusmenerus itu adalah “supaya tubuh dan jiwa mereka kudus”.
Jadi para monakhos dan para
monakhee ini karena hidupnya dipersembahkan untuk Kerajaan Allah, maka pengudusan
diri secara total :”tubuh dan jiwa” itulah yang dicari. Oleh karena itu kita tak usah heran
bahwa dari antara para monakhos dan para monakhee inilah munculnya banyak orang-orang
kudus dalam Gereja Orthodox. Dan para orang diluar monasteri yang menghidupi gaya
hidup monakhisme itu tak sedikit yang juga ternyata menjadi orang-orang kudus. Dan
kekudusan itu bukan hanya pada jiwa mereka, bahkan nampak pada tubuh mereka. Karena
Roh Kudus menguduskan keseluruhan keberadaan mereka.. Sehingga di banyak monasteri
terutama di Gunung Athos dan Meteora, dua pusat monakhisme utama dalam Gereja
Orthodox, terdapat banyak leipsana-leipsana suci (peninggalan-peninggalan suci) dari para
suci ini. Bentuknya macam-macam; biasanya tulang-belulang mereka yang berbau harum, dan
mengeluarkan minyak mur yang sangat wangi, tubuh mereka yang utuh sesudah mati dan
berbau wangi, dan lain-lainnya. Ini untuk menunjukkan bahwa keselamatan itu juga
menyangkut tubuh manusia, dan oleh kuasa Roh Kudus tubuh yang sama itu juga nanti akan
ikut dibangkitkan dan dimuliakan pada saat Kristus datang yang kedua kalinya. Itulah
sebabnya kebenaran mengenai mulianya tubuh, dan pengudusan tubuh manusia oleh Roh
Kudus itu sudah dinyatakan melalui orang-orang suci tertentu. Dan semua kita oleh Roh
Kudus dipanggil untuk mencapai hal yang sama. Memang untuk mencapai yang demikian itu
harus melalui proses, dimana di dalam monasteri itu para monakhos yang hidup untuk
Kerajaan Allah itu disamping menaruh harapannya pada Allah,- itulah sikap batinnya yang
terdalam, dan dalam harap akan Allah inilah para monakhos melawan segala hawa-nafsu yang
ada di dalam dirinya dengan penuh ketegaran bagi pemurnian “nous” (“akal-budi roh”) dan
batinnya -, juga bertekun dalam permohonan dan doa siang malam dan siang malam beribadah dengan
berpuasa dan berdoa, bagi memberikan tempat yang luas kepada Roh Kudus sepenuhpenuhnya. Doa dan permohonan yang mereka lakukan itu disamping SembahyangSembahyang yang sudah tetap tata-tertibnya seperti yang telah kita bahas diatas, juga doabatin yang disebut “Puja Yesus”, dimana melalui doa ini orang mencapai kemurnian dan
keheningan batin. Suatu praktek yang dalam tradisi Orthodox disebut sebagai “hesykhia” ( =
keheningan, keteduhan). Amalan ibadah sembahyang dan doa ini disertai dengan
penyangkalan kehendak hawa-nafsu melalui puasa. Sedangkan puasa Orthodox itu sendiri,
sudah memiliki ketentuannya sendiri, yang secara rinci dibahas dalam bab mengenai ibadahibadah Orthodox. Sehingga spiritualitas untuk mencapai “hesykhia” dalam Iman Orthodox
yang demikian ini disebut sebagai “hesykhasme” dan para pelakunya disebut sebagai
“hesykhastis”. Melalui amalan-amalan ibadah seperti itulah mereka mengalami kesadaran dan
pemurnian batin yang mendalam, dan visi akan “Terang Tak Tercipta” yaitu Terang dari
Gunung Tabor yang dilihat para Rasul ketika Yesus dimuliakan diatas Gunung (Matius 17:1206
4), sehingga “nous”nya mengalami penerangan atau iluminasi oleh rahmat Roh Kudus.
Praktek kerohanian seperti inilah yang disebut spiritualitas “nepsis”, dan pada pada dasarnya
theologia Orthodox itu adalah “theologia nepsis” seperti ini. Yaitu suatu theologia yang
berdasarkan terang Roh Kudus yang berasal dari kehidupan “nepsis” (“watchfulness,
keberjaga-jagaan rohani”) seperti ini. Jadi theologia itu bukan theori dari buku atau dari
kategori filsafat, namun iluminasi (“penerangan”) dari Roh Kudus, akibat kehidupan yang
“nepsis”. Dari para “hesykhastis” inilah munculnya para “geronda” atau para “staretz” yang
telah kita bicarakan diatas. Dari pengalaman kehidupan “nepsis” dari para “hesykhastis”
inilah munculnya penulisan buku kehidupan “hesykhasme” yang amat dalam isinya, yang
dikumpulkan dengan nama “Philokalia”. Dan buku “Philokalia” itu merupakan suatu
tuntunan yang utuh dan komprehensif tentang theologia nepsis Orthodox, serta kehidupan
hesykhia dan pemurnian nous dari kotoran dosa dan kecemaran. Dan dalam Philokalia inilah
kita melihat banyak sekali dicatat perjuangan para monakhos terhadap dosa dan roh-roh
jahat serta kebinalan angan-angan manusia yang perlu dikendalikan, dan manifestasi Roh
Kudus yang luar biasa, dengan segala mukjizatNya. Sehingga bagi umat Orthodox dengan
tuntunan dari pengalaman para hesykhastis melalui pengalaman mereka yang telah dicatat
dalam Philokalia itu ia dapat menguji fenomena karunia-karunia Roh Kudus itu, agar tidak
jatuh kepada “planee” atau “prelest” (“tipu daya rohani”) yang telah kita bicarakan didepan
itu. Inilah corak kehidupan para monakhos yang tidak menikah demi Kerajaan Allah itu.
Karena kehidupan tak menikah untuk Kaerajaan Allah itu adalah karunia Roh Kudus, dan
atas kehendak sendiri, bukan atas paksaan siapapun, maka sesuai dengan ajaran Kitab Suci ini
Gereja Orthodox tidak mengharuskan siapapun untuk hidup selibat, termasuk para
rohaniwannya. Sebab Petrus dan rasul-rasul lainnya itu membawa isteri-isteri mereka dalam
pelayanan mereka, tetapi Paulus dan Barnabas itu tak memiliki isteri. Sesuai dengan data
Kitab Suci ini, maka rohaniwan Orthodoxpun diijinkan menikah sebelum ditahbis, dan akan
tetap tinggal tak menikah selamanya, jikalau memang waktu ditahbis tak menikah. Namun
itupun harus atas kemauan sendiri, dan oleh karena Kerajaan Allah. Jadi memang berbeda
dengan praktek Gereja Roma Katolik dimana semua rohaniwan harus tidak menikah. Dan
berbeda pula dengan praktek kalangan Protestan dimana kehidupan monakhisme tidak
memiliki kelembagaan yang sah, dan tak ada tempat yang resmi dalam pemahaman theologia
Protestan, bagi rohaniwan yang selibat. Demikian juga dalam Gereja Orthodox tidak semua
monakhos itu adalah seorang rohaniwan tertahbis, sebagaimana juga tidak semua rohaniwan
tertahbis itu monakhos. Semua itu karunia khas Roh Kudus, yang dikaruniakan menurut
kehendakNya. Dalam tradisi Orthodox para rohaniwan yang tidak menikah disebut para
rohaniwan “hitam”, karena hitam itu warna kematian, dan orang yang tidak menikah ini
dipanggil untuk mati bagi dosa dan hawa nafsu mereka. Sedang para rohaniwan tertahbis
yang menikah disebut sebagai para rohaniwan “putih”, kaqrena mereka tetap hidup seperti
orang yang lain.
Corak hidup tidak menikah dalam ketekunan doa, puasa, dan
penyangkalan diri yang mendalam seperti inilah yang disebut “monakhisme” atau “cara
hidup para monakhos”. Para monakhos serta hidup monakhisme itu tak lain adalah suatu
usaha untuk hidup secara konsisten dengan tuntutan Injil yang lebih serius, tak lain dan tak
bukan. Corak hidup semacam ini adalah semacam mati-sahid, kemartiran, mati bagi dosa
agar dapat hidup di dalam Allah. Itulah sebabnya terkait erat dengan karunia monakhisme ini
adalah karunia ke-martir-an.
Kitab Suci mengatakan demikian:” Sekalipun aku dapat berkata-kata dengan semua bahasa
manusia dan bahasa malaikat, ……Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku
mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan;….. dan sekalipun aku memiliki iman yang
sempurna untuk memindahkan gunung….Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada
207
padaku,……. BAHKAN MENYERAHKAN TUBUHKU UNTUK DIBAKAR, tetapi jika
kau tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku.” ( I Kor. 13:1-3). Pasal 13 dari
Surat Korintus ini membahas mengenai keunggulan kasih dibanding segala “kharismata”
yang diberikan Roh Kudus. Dan jika ada kharismata yang terjadi itu harus dilakukan dalam
kasih, sebab tanpa kasih segala “kharismata” itu tak ada faedahnya. Diantara kharismata Roh
Kudus itu adalah: berkata-kata dengan bahasa manusia dan malaikat, bernubuat, mengetahui
segala rahasia dan pengetahuan, iman untuk memindahkan gunung, membagi-bagikan segala
sesuatu, serta MENYERAHKAN TUBUH UNTUK DIBAKAR, yaitu ke-martir-an.
Dengan demikian ke-martir-an adalah salah satu dari karunia-karunia Roh Kudus,
sebagaimana halnya hikmat, pengetahuan, bahasa asing, nubuat, iman, dan kedermawanan
atau kemurahan itu. Karunia-karunia yang lain itu telah kita bahas diatas. Marilah kita bahas
mengenai karunia “kemartiran” ini. Sebelum penyalibanNya Kristus mengingatkan kepada
para pengikutNya:”Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu
difitnahkan segala yang jahat” ( Matius 5: 11), “Dan karena Aku, kamu akan digiring ke muka
penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah” (
Matius 10:18), “Orang akan menyerahkan saudaranya untuk dibunuh, demikian juga seorang ayah
akan anaknya. Dan anak-anak akan memberontak terhadap orang tuanya dan akan membunuh mereka.
Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena NamaKu….” ( Matius 10:21-22a).” Dan janganlah
kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa…”
( Matius 10:28). “ Pada waktu itu kamu akan diserahkan supaya disiksa, dan kamu akan dibunuh dan
akan dibenci semua bangsa oleh karena namaKu, dan banyak orang akan murtad dan mereka akan saling
menyerahkan dan saling membenci” ( Matius 24:9-10) “Semuanya ini Kukatakan kepadamu supaya
kamu jangan kecewa dan menolak Aku. Kamu akan dikucilkan, bahkan akan datang saatnya bahwa
setiap orang yang membunuh kamu akan menyangka bahwa ia berbuat bakti bagi Allah. Mereka akan
berbuat demikian, karena mereka tidak mengenal baik Bapa maupun Aku. Tetapi semuanya ini
Kukatakan kepadamu, supaya apabila datang saatnya kamu ingat, bahwa Aku telah mengatakannya
kepadamu.” ( Yohanes 16:1-4a). Cukuplah bagi kita untuk melihat bahwa Yesus sendiri
mengajarkan bahwa kemungkinan terjadinya ke-martir-an itu bukan sesuatu yang mustahil.
Dan ajaran Yesus ini memang sudah terbukti kebenarannya. Pertama ajaran itu menghantam
Yesus sendiri, yang dibunuh dan mati disalibkan sebagai martir bagi kebenaran dan rencana
keselamatan Allah untuk manusia. Kemudian itu menimpa para pengikutnya, yang pertama
sekali menerima karunia ke-martir-an ini adalah Diaken Stefanus, yang dalam Gereja
Orthodox dikenal sebagai “Protomartyr” (Syuhada Pertama), yang mati dibunuh dengan
dirajam oleh orang-orang Yahudi dibawah persetujuan Paulus ( Kisah Rasul 7: 54-8:1).
Kemudian aniaya menerima para anggota Gereja secara umum ( Kisah 8:1b-3), yang oleh
Paulus sendiri dikatakan sebagai “tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha
membinasakannya” ( Galatia 1:13). Yang selanjutnya pembunuhan terjadi atas rasul Yakobus
oleh Herodes ( Kisah 12:1-3). Bahkan Kristus menubuatkan tentang Petrus bahwa “jika
engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu (untuk dirantai) dan orang lain akan
mengikat engkau (sebagai tawanan) dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki (yaitu
mati digantung terbalik diatas salib di Roma) . Dan hal ini dikatkannyNya untuk menyatakan
bagaimana Petrus akan mati dan memuliakan Allah ….” (Yohanes 21:18-19). Pauluspun
menjelang masa tuanya ketika dipenjara mengatakan demikian:”Mengenai diriku, darahku sudah
mulai sebagi persembahan dan saat kematianku sudah dekat dicurahkan (nantinya Paulus mati
dipancung di Roma)… “ ( I Tim. 4:6). Dan dalam sejarah ternyata semua rasul itu mati
syahide kecuali Yohanes saja, yang mati karena tua. Demikianlah selanjutnya selama 300
tahun yang pertama Gereja selalu dianiaya oleh para penguasa Roma, demikian juga setelah
Islam muncul Gereja Orthodox juga mengalami karunia mati syahid ini, tak luput pula pada
208
waktu kekuasaan tentara Perang Salib dari Gereja Barat di Yerusalem, dan penyerbuan
mereka ke Konstantinopel pada saat Perang Salib Keempat, dan yang paling modern adalah
aniaya dibawah rezim Komunis di Rusia dan Eropa Timur, sampai tumbangnya pada tahun
1988 yang lalu. Demikianlah ka-martir-an itu bukan suatu kisah romantis masa lalu namun
merupakan karunia Roh Kudus pada Gereja pada saat-saat Gereja harus menghadapi
serangan yang hebat dan dahsyat dari “pintu gerbang maut” yang ingin “menguasainya” (
Matius 16:18). Dan bahwa para martir itu mendapat karunia untuk apa yang mereka alami
itu dinyatakan oleh Kitab Suci demikian:’…janganlah kamu heran akan nyala api siksaan yang
datang kepadamu sebagai ujian seolah-olah ada sesuatu yang luar biasa terjadi atas kamu. Sebaliknya
bersukacitalah, sesuai dengan bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus, supaya kamu juga boleh
bergembira dan bersukacita pada waktu Ia menyatakan kemuliaanNya. Berbahagialah kamu, jika dinista
karena nama Kristus, sebab Roh Kemuliaan, yaitu Roh Allah ada padamu.” (I Petrus 4:12-14). Ayatayat ini menjelaskan bahwa siksaan adalah suatu ujian. Dan penderitaan serta siksaan itu
adalah merupakan “bagian yang kamu dapat dalam penderitaan Kristus”, artinya kita ikut ambil
bagian dalam penderitaan Kristus, yaitu manunggal dengan deritaNya, agar juga manunggal
dalam kemuliaanNya. Berarti kemartiran dan penderitaan Kristen adalah sarana panunggalan
dengan Kristus. Oleh karena itu orang yang mendapat karunia ini adalah orang yang “Roh
Kemuliaan, yaitu Roh Allah ada pada” nya. Berarti karunai derita dan kemartiran itu memang
berasal dari Roh Kudus asalnya, untuk menguji dan memanu7nggalkan manusia dengan
Kristus. Itulah sebabnya setalh Gereja diterima sebagai agama negera dan kemartiran secara
riil tidak terjadi, para orang Kristen yang serius pada meninggalkan Gereja-Gereja kota ke
padang belantara untuk menjadi martir bagi Kristus dalam melawan Iblis dan dosa, sebagai
para monakhos. Itulah sebabnya dalam Gereja Orthodox ada dikenal tiga macam kemartiran,
yaitu "martir merah"” orang yang betul-betul tercurah darahnya oleh aniaya demi Kristus,
“martir hijau” yaitu orang yang melalui puasa berusaha mematikan kehendak dosa dan
dagingnya. Dan “martir putih” yaitu orang yang meninggalkan kehidupan duniawi untuk
hidup sebagai monakhos di monasteri ataupun di padang belantara. Dan semuanya ini oleh
Gereja diterima dan diakui secara resmi dan sah sebagai bagian dari manifestasi karunia Roh
Kudus.
c.Karya Roh Kudus pada anggota-anggota yang ada di dalam Gereja
Apa yang sudah kita bahas diatas adalah mengenai karya Roh Kudus dalam kehidupan
Gereja sebagai organisme persekutuan yang saling terkait, dalam arti kehidupan umat secar
kolektif. Namun Roh Kudus bukan hanya berkarya dalam Gereja sebagai organisme
persekutuan secara kolektif saja, Ia juga bekerja di dalam hati dan kehidupan orang beriman
secara pribadi satu per satu.. Karena oleh iman di dalam panunggalan mereka dengan Kristus
melalui sakramen baptisan masing-masing pribadi di dalam Gereja itu telah menanggalkan
manusia lama, dan mengenakan manusia baru (Kolse 3:9-10), dan manusia baru ini terus
menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terjadi di dalam Roh Kudus. Itulah sebabnya maka
Roh Kudus juga berkarya di dalam pribadi masing-masing orang beriman juga, agar mereka
mencapai tujuan pembaharuan yang terus-menerus tadi, yaitu mencapai “theosis”. Itulah
sebanya dalam spiritualitas Iman Kristen Orthodox tradisional, yang menjadi penekanan
bukanlah karunia-karunia Roh Kudus, namun kepada Roh Kudus itu sendiri sebagai karunia
dari Allah buat kita, serta pada buah-buah yang dihasilkan olehNya, sebagai bukti
pembaharuan yang makin meningkat itu, sebelum pada akhirnya mencapai puncaknya yaitu
“theosis” tadi.. Iman Orthodox menegaskan bahwa “apa yang kita cari bukanlah
pengalaman, tetapi Allah sendiri.” Pada saat Sakramen Krisma (Pengurapan) orang Kristen
209
Orthodox menerima Roh Kudus sebagai karunia (karunia Roh Kudus), “yang memenuhi dia
dan mulai mengubahnya kedalam makhluk baru di dalam Kristus.” Sungguhlah, perubahan
ini, atau “kasih karunia Ilahi yang selalu menyembuhkan apa saja yang lemah dan
melengkapi apa saja yang kurang” ini, adalah karya Roh Kudus yang paling penting. Oleh
alasan inilah spiritualitas Iman Kristen Orthodox sebagaimana yang dinyatakan oleh otoritasotoritas seperti Nikholas Kabasilas melihat tak ada perbedaan yang nyata antara karuniakarunia Roh Kudus dan buah-buah Roh Kudus, akibat-akibat dari proses pengubahan itu.
Diilhami oleh kesaksian II Petrus 1:3-4 bahwa Roh Allah itu mengerjakan suatu
perubahan yang demikian besarnya sehingga orang dapat “ikut ambil bagian dalam kodrat
Ilahi,” Gereja memberitahukan bahwa tujuan akhir yang benar dari semua spiritualitas adalah
pengubahan secara total dari orang percaya kedalam rupa dan gambar Allah. Dan ilnilah
“theosis” itu. Gereja mengajarkan bahwa Roh Kudus itu sesungguhnya membuat seseorang
itu menjadi Ilahi, dengan mengatakan , “ sesungguhnya melalui Roh Kudus setiap orang
dijadikan Ilahi.” Bapa Gereja Yohanes dari Damaskus menyatakan bahwa Roh Kudus
mengilahikan, memenuhi dan menguduskan orang-orang Kristen yang benar. Jadi,
perubahan manusia oleh Roh Kudus adalah kesimpulan puncak dari kehidupan Kristen yang
sehat. Tujuan akhir dari setiap orang Kristen itu bukanlah pada pengumpulan karuniakarunia dari Roh Kudus, namun bertumbuh menjadi makhluk baru yang diilahikan dalam
gambar dan rupa Allah. Kebenaran ini, akhir dari kehidupan Kristen yang sukses dan berhasil
ini, digambarkan oleh Vladimir Lossky sebagai suatu “kodrat yang baru, suatu makhluk yang
dipulihkan yang menampakkan diri di dunia. Ini adalah suatu tubuh baru yang murni dari
semua noda….” Jika yang ditekankan adalah karunia-karunia Roh Kudus, baik yang sungguh
maupun yang hanya bayangan saja, sebagai akhir dari dirinya sendiri, bukannya sebagai
akibat-akibat pertumbuhan rohani, akan muncullah bahaya memusatkan diri pada
pengalaman-pengalaman emosi bukanya pada karya Roh Kudus yang paling penting, yaitu
“pengilahian” (“pemuliaan”) dari orang-orang Kristen yang setia. Untuk itulah maka perlu
dalam mendapatkan Roh Kudus agar mencapai theosis ini harus disertai dengan ketaatan
kepada Hukum Kristus, perjuangan melawan dosa-dosa, dan tingkah-laku manusia lama,
serta keikut-sertaan dalam segenap sakramen-sakramen dan ibadah-ibadah Gereja, dengan
memegang teguh ajaran Iman yang Orthodox, serta diterapkan dan diamalkan secara pribadi
dengan penuh ketaatan, kesadaran, iman, kasih dan kerendahan hati sehingga akan
membuahkan kekudusan. . Melalui semuanya inilah Roh Kudus akan berkarya untuk
mengubah manusia kepada kemuliaan yang semakin basar dalam perjalanan menuju
“theosis” ini (II Kor. 3:18). Inilah hal yang akan berlanjut sampai kepada kekekalan,
sedangkan mengenai karunia-karunia Roh Kudus dalam organisme persekutuan kolektif
Gereja dikatakan Alkitab:”….nubuat akan berakhir; bahasa roh akan berhenti,
pengetahuan akan lenyap….” (I Kor. 13: 8). Dengan demikian sebagai pribadi, demi
mencapai keselamatan kekal itu, bukan karunia-karunia Roh Kudus itu yang harus dikejar,
namun bagaimana mencapai “theosis” oleh Roh Kudus itulah yang menjadi tujuan utama.
Sedangkan sebagai anggota Tubuh Kristus yang memang harus ikut ambil bagian dalam
pembangunan Tubuh Kristus, dan bagi tugas pelayanan di dalamnya, maka karunia-karunia
Roh Kudus itu yang diperlukan. Karena karunia-karunia Roh kudus itu diberikan kepada
Gereja, bagi mem-fasilitasi anggota-anggota yang ada di dalamnya untuk mencapai tujuan
akhir “theosis”. Jadi karunia-karunia Roh Kudus, bukanlah tujuan akhir hidup Kristen. Itu
disediakan bagi pembangunan dan tugas pelayanan Gereja.
c. Kitab Suci
210
Roh Kudus dinyatakan oleh Pengakuan Iman ini sebagai yang “berbicara melalui para Nabi”.
Sedangkan Kebangkitan Kristus pada hari ke tiga itu dinyatakan sebagai “sesuai dengan Kitab
Suci”. Berarti Kitab Suci yang kepadanya karya Kristus yang Ilahi itu harus dirujukkan
mempunyai sifat yang berasal dari yang Ilahi. Kitab Suci itu sabda para Nabi, dan Roh Kuduslah
yang berbicara melalui Para Nabi, dengan demikian Pengakuan Iman ini mengakui keterilhaman
Kitab Suci sebagai yang dinyatakan oleh Roh Kudus, dengan perantaraan Para Nabi. Yang isinya
adalah sesuai dan bertindih tepat dengan “peristiwa Yesus” (disalibkan, dikuburkan, bangkit dan
naik ke sorga). Kitab Suci adalah “kesaksian terilham” mengenai Kristus yang adalah “Firman
yang Menjadi manusia”. Oleh sebab itu Kitab Suci disebut sebagai “firman Allah”, karena
kandungan isinya adalah mengenai “Sang Firman yang hidup” itu, juga karena proses terjadinya
melalui pengilhamannya, baik melalui para Nabi atau melalui surat-surat dan tulisan-tulisan para
Rasul, maupun pengumpulannya sebagai kanon adalah oleh karena kuasa Roh Allah yang kudus
4. a. Gereja
Meskipun Gereja itu sebagai hasil karya Kristus dan karya Roh Kudus, sebagai tubuh Kristus
dan Bait Roh Kudus, dan di dalam Gereja itu Roh Kudus berkarya, namun Gereja juga
merupakan suatu obyek iman yang keberadaan aqidah tersendiri seperti pengakuan-pengakuan
yang lain. Sifat Gereja dinyatakan sebagai Satu, karena Allah itu satu dan Kristus SabdaNya juga
satu berarti TubuhNya (Gereja) itu harus satu. Dan Gereja juga bersifat Kudus, karena Kristus
itu Kudus dan Roh Kudus yang bersemayam dalam Gereja itu Kudus, sehingga Gereja itu
menguduskan anggota-anggotanya melalui pemberitaan sabda dan sakramen disertai kehidupan
ketaatan dan pertobatan. Gereja disebut Katolik, karena keselamatan di dalam Kristus yang
diberitakan dalam Gereja itu “untuk kita manusia” artinya untuk segenap ummat, dan karena
Karya Kristus itu “sesuai dengan Kitab Suci” artinya seluruh kebenaran Ilahi yang dilakukan
Kristus itu berada secara penuh dalam Gereja. berarti mengaku Yesus tanpa mengaku Gereja
adalah pengakuan yang tidak lengkap., tidak penuh dan mengapung.Gereja juga bersifat
Apostolik artinya imannya haruslah iman Rasuliah dan sejarah karya dan kuasanya haruslah
berasal dan sehakikat dengan apa yang ada pada saat para Rasul.
4. Gereja Sebagai Bahtera Keselamatan dan Persekutuan Orang Kudus
Keselamatan yang secara obyektif historis telah dinyatakan dalanm Pribadi dan karya historis
Yesus Kristus ( InkarnasiNya, terutama dalam Penderitaan, Penyaliban, Kematian dan
KebangkitanNya) serta yang secara subyektif empiris dikomunikasikan oleh Roh Kudus
yang diterima manusia oleh iman dan menyatakan diri dalam perbuatan itu, secara kongkrit
dialami dalam Sakramen-Sakramen Gereja. Mengenai Sakramen Baptisan dikatakan
demikian:” Sebab dalam satu Roh kita semua….telah dibaptis telah menjadi satu Tubuh…” ( I Kor.
12:13). Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Sakramen Baptisan bukanlah hanya sekedar
ritus dan upacara, namun suatu karunia dimana Roh Kudus bekerja untuk menjadikan kita
manunggal dalam Satu Tubuh, yaitu menjadi bagian dan anggota dari Tubuh Kristus yang
Satu: Gereja. Inilah titik mula dimana kita dilahirkan dari atas oleh “Air” (Sakramen Baptisan
: Roma 6:3-11, Kolose 2:11-12) dan “Roh” (Roh Kudus, melalui Sakramen Krisma atau
Pengurapan: Kisah 8: 14-17, 2;1-4, Ef. 1: 13, II Kor, 1: 21-22, I Yoh. 2:27) yang diberikan
pada saat Baptisan itu juga, sebagai Sakramen Kelahiran Kembali (Yohanes 3: 5-6), dan
sekaligus sebagai titik mula seseorang menerima karunia Roh Kudus (Kisah 2:38) dimana
karunia Roh Kudus itu akan berkembang menjadi karunia-karunia yang lebih besar dalam
pengalaman orang beriman itu.. Gereja Barat (Roma Katolik), memisahkan Sakramen Baptis
dan Sakramen Krisma ini pada abad pertengahan, dan disebut juga sebagai Sakramen
Konfirmasi (Peneguhan), yang dilakukan beberapa tahun kemudian sesudah baptisan bayi..
211
Dan Theologia Reformasi menghilangkan makna Sakramental dari Sakramen Krisma yang
telah dipisah dari Sakramen Baptisan ini, menjadi suatu upacara yang disebut “Sidhi”.
Sedangkan denominasi-denominasi Pantekosta menjadikan Sakramen ini menjadi praktek
“Baptisan Roh Kudus dengan tanda berkata-kata dalam bahasa-roh”. Dan aliran-aliran Injili
serta aliran-aliran Baptis menjadikan Sakramen ini sebagai praktek “Menerima Kristus
Sebagai Juru Selamat Pribadi” yang dimengerti sebagai saat orang “Lahir Kembali”. Melalui
Baptisan itulah kita dijadikan “Satu Tubuh” yaitu “Tubuh Kristus” yang adalah Gereja
(Ekklesia) ( Efesus 1:23 ). Logika dari baptisan yang menjadikan kita “Tubuh Kristus”
(“Gereja”) itu adalah demikian: “….kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis
(ditenggelamkan) dalam (“eis” = masuk kedalam) kematianNya…dengan demikian kita telah
dikuburkan bersama-sama (“syn-etapheemen” = kita telah sepenguburan) dengan Dia oleh
baptisan dalam (“eis” = masuk ke dalam) kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan
dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru
(yaitu: hidup ilahi yang berasal dari kebangkitan Kristus yang sama tadi,pen.) ( Roma 6:3-4).
Ayat diatas itu menjelaskan bahwa dalam baptisan terjadi suatu “mistery mukjizat” dimana
orang yang dibaptis tadi disatukan, baik dengan kematian, penguburan, maupun kebangkitan
Kristus.Orang itu dimanunggalkan oleh peristiwa baptisan itu ke dalam karya keselamatan
Kristus sendiri, yaitu “masuk kedalam” “Tubuh Kristus” yang dulu pernah mengalami
kematian, penguburan, maupun kebangkitan, yang sekarang dimuliakan di sorga.
Demikianlah melalui peristiwa baptisan “misteri panunggalan” dengan Tubuh Kristus yang
mulia dan menyelamatkan itu telah terjadi. Ini terjadi karena kuasa Roh Kudus yang selalu
melakukan mukjizat dalam hidup orang yang beriman kepada Kristus. Itulah sebabnya semua
Sakramen itu di Gereja Purba di Timur disebut sebagai “mysteerion”, karena terjadinya
“misteri panunggalan” dengan Tubuh Kristus yang mulia di sorga melalui kuasa Roh Kudus,
dan yang hanya bisa dimengerti oleh iman itu saja. Demikianlah melalui “misteri” baptisan,
semua manusia yang percaya dimanunggalkan dengan Tubuh Kristus yang sama di sorga itu.
Sehingga mereka menjadi anggota Tubuh Kristus yang satu dan yang sama tadi. Dengan
demikian mereka membentuk komunitas (pasamuan, paguyuban) dari orang-orang yang
sudah menyatu dengan Tubuh Kristus tadi. Jadilah mereka ini secara mysteri “Satu Tubuh”,
yaitu “Tubuh Mistika Kristus” diatas bumi ini: Gereja (Ekklesia). Demikianlah setiap
baptisan selalu menjadikan orang manunggal dengan Tubuh Kristus yang mulia tadi, maka
terbentuklah Tubuh Mistika Kristus diatas bumi, yang adalah Gereja itu. Maka “Gereja” kini
menjadi lokasi atau “lokus” (“lahan”) dimana peristiwa keselamatan itu dialami. Gereja telah
menjadi bahtera bagi keselamatan itu sendiri melalui pelayanan Sakramen-Sakramennya, dan
pemberitaan serta Perayaan karya keselamatan Kristus di dalamnya, sekaligus diakonia
kepada dunia melalui bermacam-macam segi “perbuatan cinta-kasih” sebagai manifestasi
cinta-kasih Kristus atas dunia. Itulah sebabnya dalam Kekristenan Purba. Iman itu bukan
hanya suatu pengalaman emosi yang individualistis, namun iman itu adalah keyakinan dan
ketaatan dalam kebersamaan hidup “pasamuan, paguyuban” dalam persekutuan kasih
disekitar pemberitaan firman, dan perayaan Sakramen, serta diakonia kepada masyarakat luas.
Sebagai Tubuh Kristus, akibat dari misteri panunggalan dengan Kristus dalam Sakramen,
maka Gereja itupun menjadi persekutuan para kudus, dimana pengudusan berlangsung terusmenerus melalui tindakan-tindakan ibadah (sakramen-sakramen, sembahyang dan doa,
persembahan persepuluhan, puasa, pelayanan kasih, menjalankan perintah-perintah Allah,
pewartaan Injil dan lain-lain) serta pemberitaan firman, dimana Roh Kudus menyatakan
kuasaNya. Dari tindakan-tindakan ibadah dan perayaan-perayaan Sakramen Gereja ini,
“Perjamuan Kudus” adalah yang terutama. I Kor. 12:13 mengatakan:” Sebab dalam satu Roh
kita semua….telah dibaptis dalam satu tubuh, dan kita semua diberi minum (yaitu: minum dari
212
Cawan Perjamuan, pen.) dari satu Roh” Ayat ini menjelaskan bahwa bukan hanya dalam
baptisan saja Roh Kudus berkarya, namun dalam Perjamuan Kuduspun Roh yang sama itu
memberikan kuasaNya kepada kita. Sebagaimana oleh Roh Kudus baptisan itu
memanunggalkan kita dengan Tubuh Kristus yang sama sehingga terbentuklah Tubuh
Mistika Kristus: Gereja, demikian pula oleh Roh Kudus yang sama ini juga, maka Perjamuan
Kudus menjadikan panunngalan kita dengan Tubuh Kristus yang mulia di sorga itu menjadi
pengalaman yang terus-menerus, sehingga dalam mengambil anggur dalam cawan kita
manunggal (bersekutu) dengan Darah Kristus yang mulia itu, dan dengan mengambil roti
yang dipecah-pecahkan kita manunggal (bersekutu) dengan Tubuh Kristus yang mulia di
sorga itu pula. Dengan demikian dalam Sakramen Perjamuan Kudus ini, kesatuan Gereja dan
eksistensinya menemukan makna. Ini dijelaskan dalam I Kor. 10: 16-17:” Bukankah Cawan
Pengucapan Syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur adalah persekutuan dengan Darah Kristus?
Bukankah Roti yang kita pecah- pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh Kristus ? Karena Roti
adalah satu maka kita sekalipun banyak adalah Satu Tubuh, karena kita semua mendapat bagian
dalam Roti yang satu itu “. Oleh Perjamuan Kuduslah Gereja itu ada. Tanpa Perjamuan Kudus
kumpulan orang yang mengaku Kristen tak dapat disebut Gereja, namun hanya sekedar
kumpulan keagamaan saja yang bukan “Tubuh Kristus”. Karena Roti yang Satu itulah maka
orang banyak yang telah dibaptiskan itu tetap membentuk Tubuh yang satu, karena orang
yang banyak itu mendapatkan bagian dari Roti yang satu dan yang sama. Jadi kesatuan
Gereja terikat erat dengan kesatuan Perjamuan Kudus yaitu kesatuan Sakramen. Sakramen
Perjamuan Kudus itu yang menjadi sumber eksistensi dan kesatuan Gereja. Jadi Perjamuan
Kudus adalah Sakramen sentral menurut Alkitab dan dalam praktek segenap Gereja Purba,
baik yang di Timur maupun yang di Barat. Dan sampai sekarang dipertahankan tak berubah
dalam Gereja Orthodox. Semua Sakramen lain bermuaranya pada Sakramen Perjamuan
Kudus ini. Misalnya: Baptisan dan Krisma memungkinkan orang untuk mengambil
Perjamuan Kudus, Pentahbisan memungkinkan orang merayakan dan melaksanakan
Perjamuan Kudus ( dalam pemahaman Protestan Pentahbisan tak dianggap Sakramen),
Pengakuan Dosa memungkinkan orang mengambil Perjamuan Kudus kembali sesudah dosa
yang dilakukan sesudah baptisan (dalam pemahaman Protestan ini juga bukan Sakramen dan
cukup dilakukan secara pribadi saja, kecuali jika terkena siasat Gereja harus mengakui di
depan umum), Penyembuhan memungkinkan orang pergi ke Gereja lagi untuk mengambil
Perjamuan Kudus setelah sembuh dari sakit, (dalam Gereja Katolik menjadi sakramen
perminyakan untuk mempercepat kematian orang yang sakit keras, dalam faham Protestan
klasik tak mendapat tempat yang memadai dan dianggap bukan Sakramen, dalam aliran-aliran
Pantekosta menjadi praktek Doa Kesembuhan atau Kesembuhan Ilahi),
Nikah Kudus
memungkinkan keluarga baru dibentuk di sekitar partisipasi kehidupan Gereja dalam
Perjamuan Kudus (dalam faham Protestan ini tak dianggap sebagai Sakramen meskipun
disebut sebagai “Daup Suci” /Nikah Kudus). Karena menyatu dalam Darah dan Tubuh
Sakramental Kristus inilah maka kita tetap dijaga sebagai Tubuh Kristus. Tubuh Kristus yang
mana telah kita masuki pada saat kita dibaptiskan. Karena terjadinya Tubuh Mistika Kristus :
Gereja disebabkan oleh terjadinya panunggalan manusia pada kematian, penguburan dan
kebangkitan Kristus dalam baptisan, serta panunggalan dengan Tubuh dan Darah Kristus
yang sekarang ada di sorga dalam Perjamuan Kudus, itulah sebabnya maka Sakramen
Petahbisan bagi terlaksananya Dua Sakramen utama ini penting sekali. Sebab tanpa ada orang
yang ditahbiskan (presbyter/ episkop = penatua/penilik jemaat) kedua sakramen itu tak
dapat dilaksanakan. Tanpa pelaksanaan kedua sakramen itu, Gereja dalam makna Tubuh
Mistika Kristus tak akan mempunyai eksistensi. Mengenai Sakramen Pentahbisan dari “para
penatua “ (presbyter/episkop) itu dikatakan demikian:” Karena itu ia menyuruh seorang dari
213
Miletus ke Efesus dengan pesan supaya para penatua (tous presbyterous = para Presbyter ) jemaat (
tees ekklesias = …nya Gereja ) datang ke Miletus. Setelah mereka ( para Presbyter) datang,
berkatalah ia pada mereka:……Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan (yaitu:
Gereja,.pen.), karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi Penilik (episkopous = para
Episkop) untuk menggembalakan jemaat Allah ( teen ekklesian tou Theou = GerejaNya Allah)……”
(Kisah 20:17,28). Ayat-ayat ini menjelaskan kepada kita beberapa hal, bahwa para
Presbyter/Episkop itu adalah Gembala Gereja Allah, bahwa mereka berkewajiban menjaga
seluruh kawanan yaitu Gereja, dan bahwa kedudukan mereka sebagai Presbyter/Episkop itu
ditetapkan oleh Roh Kudus, yaitu melalui Pentahbisan (Kisah 14:23). Demikianlah Gereja
Allah itu bukanlah merupakan kumpulan yang longgar tanpa jenjang kepemimpinan, karena
Gereja Allah itu punya penjaga dan punya gembala. Dengan demikian Gereja itu mempunyai
hirarkhi dari para Presbyter dan para Episkop :” ….semua orang kudus dalam Kristus Yesus
(yaitu: Gereja) di Filipi, dengan para penilik jemaat (episkopois = para episkop) dan diaken
(diakonois = para diaken) “ (Filipi 1:1 ). Dalam Gereja Purba, seperti halnya dalam Gereja
Orthodox masakini, diaken adalah pembantu presbyter/episkop, dan itu adalah jenjang
rohaniwan tertahbis yang berhak melayani liturgis sebagai asisten presbyter/episkop. Karena
Sakramen Baptisan dan Sakramen Perjamuan Kudus itu adalah Sakramen dari eksistensi
Gereja, yang diperintahkan oleh Kristus kepada para rasul dua belas minus Yudas Iskariot
untuk dilaksanakan (Mat. 28:16, 19, Lukas 22: 14,19), maka para presbyter/episkop sebagai
pelaksana Sakramen ini adalah pengganti- lanjut para rasul, karena ditahbiskan para rasul
(Kisah 14:23 ). Itulah sebabnya dalam Sakramen Pentahbisan ini, sejak zaman Ireneus (abad
kedua) Gereja Purba, yang juga tetap dipelihara dalam Gereja Orthodox masakini, melihat
pentingnya ajaran “Pengganti-Lanjut Rasuliah” (“Suksesi Apostolik”) sebagai jaminan
keabsahan ajaran dan sakramen Gereja. Sebab yang mendapat perintah untuk membaptis,
mengajar, dan melaksanakan Perjamuan Kudus adalah kedua belas rasul`minus Yudas, yang
diganti-lanjut oleh para Presbyter yang memiliki mata-rantai dan rahmat rasuliah melalui
pentahbisan itu. Dengan demikian hirarkhi para Presbyter/Episkop dalam Gereja itu adalah
bagian yang penting dari kharisma Roh Kudus, untuk menjaga dan memelihara kesatuan
Gereja disekitar Sakramen (terutama Perjamuan Kudus) dan pemberitaan firman. Demikian
juga kita perhatikan bahwa Roh Kuduslah yang bekerja dalam Sakramen Pengakuan Dosa.
Karena setelah Kristus mengatakan “Terimalah Roh Kudus” dan menghembus pada para
muridNya, langsung Dia memberi kuasa pengampunan dan penetapan dosa atas manusia
kepada para rasul itu ( Yohanes 20: 22-23 ). Dengan demikian Roh Kuduslah yang
memampukan para rasul, dan pengganti-lanjut mereka: para episkop dan para presbyter,
untuk menyampaikan kuasa pelepasan dan pengampunan Kristus atas dosa-dosa yang
dilakukan sesudah orang dibaptiskan, melalui doa dan permohonan serta penumpangan
tangan yang dilakukan presbyter/episkop atas nama Kristus dan dalam kuasa Roh Kudus
(Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23). Sama halnya dengan Sakramen Kesembuhan oleh
pengusapan minyak dan penumpangan tangan demi Nama Kristus itu juga dilakukan dalam
kuasa Roh Kudus ( Mat. 12:28, Markus 6:13, Yakobus 5:14). Ini semua adalah karya Roh
Kudus bagi penyembuhan manusia secara jasmani maupun rohani sebagai tanda hadirnya
Kerajaan Allah di dalam Gereja. Dan dari Sakramen Kesembuhan oleh Roh Kudus ini kita
melihat karunia-karunia atau kharisma Roh Kudus yang lain yang bekerja dalam Gereja, baik
karunia-karunia mukjizat maupun karunia-karunia pelayanan (diakonia) yang bermacammacam bentuknya itu yang dikaruniakan baik pada hirarkhi Gereja maupun segenap ummat
dalam Gereja ( I Kor. 12:7-11, Roma 12: 3-8,dll.). Jadi Gereja itu memang bersifat
“kharismatis” dan sekaligus “hirarkhis”. Jadi seluruh Sakramen itu adalah karunia Roh
Kudus. Sebab di dalam semuanya itu Roh Kudus berkarya. Melalui Sakramen-Sakramen
214
dimana Roh Kudus berkarya inilah maka kuasa pengudusan yang dilakukan Roh Kudus itu
bekerja. Dalam Sakramen-Sakramen ini kita mengalami kuasa Roh Kudus dan
dimanunggalkan secara misteri dengan karya keselamatan Kristus. Itulah sebabnya Gereja
disebut sebagai Bait Roh Kudus ( I Kor.3:16, Efesus 2: 18-22 ), disamping sebagai Tubuh
Kristus. Dengan demikian Gereja dan Sakramen itu saling terkait secara tak terpisahkan, yang
melaluinya orang beriman mengalami pertumbuhan imannya dalam keselamatan oleh
Kristus di dalam Roh Kudus tadi. Dengan demikian jelas bahwa Gereja itu adalah Bahtera
Keselamatan yang membawa manusia menuju kepada titik akhir dari rahmat keselamatan
yang telah diterimanya dalam Kristus. Keselamatan itu harus dialami dalam komunitas
(pasamuan, paguyuban) dibawah penggembalaan hirarkhi, bukan dalam emosi pribadi yang
terisolasi. Jadi iman terkait dengan sakramen, sakramen terkait dengan persekutuan, dan
persekutuan itu dalam Gereja. Maka Gereja itulah persekutuan para kudus, yaitu orang-orang
yang telah dikuduskan dalam Kristus oleh Roh Kudus, sebagai yang menerima karunia
sulung Roh (Roma 8:23), melalui sakramen-sakramen, sebagai karunia Allah yang diterima
melalui iman. Dan dari Gereja yaitu persekutuan “anak-anak Allah” atau “orang-orang
kudus” inilah segenap ciptaan atau segenap makhluk di segenap alam semesta ini akan
menemukan makna keterciptaannya. Mereka akan juga mengalami penebusan ikut “masuk
dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah” (Roma 8: 21), sehingga merekapun akan
dibebaskan dari effek dan dampak “kesia-siaan” dan “perbudakan kebinasaan” (Roma 8: 2021) I akhir zaman nanti. Demikianlah manusia yang telah menyatu dalam penebusan Kristus
itu menjadi harapan bagi segenap “kosmos” ( Roma 8:19). Dengan demikian keselamatan itu
bersifat kosmis dan universal, bukan hanya masalah egoistis dan individual. Ini bukan
perkara privaat, antara perorangan dan Kristus saja, namun perkara seluruh alam semesta.
Karena melalui penebusan dan dimuliakannya manusialah alam semesta akan ikut ditebus
dalam kemuliaan, menjadi langit yang baru dan bumi yang baru pada akhir zaman ( II Pet.
3:12). Persekutuan dan kasih dalam Gereja itu dinyatakan dalam Ummat beriman itu
mengalami interaksi dalam saling mengasihi dan saling melayani, serta dalam saling berusaha
untuk saling melebarkan Kerajaan Allah dibawah bimbingan “penjaga” dan “gembala”
Gereja (hirarkhi): para episkop dan presbyter. Dengan secara bersama dan serempak oleh
bimbingan “penjaga” dan “gembala” Gerekja (hirarkhi) Gereja mempunyai tanggung jawab
terhadap lingkungan hidupnya baik manusia maupun non-manusia, karena Gereja itu
menjadi harapan segenap “makhluk”.Disinilah keutuhan dari kesatuan Gereja dijaga, dan
disini pula pengalaman keselamatan itu menemukan tempat bagi pertumbuhannya yang
semakin mendalam dan nyata yang tak tak hanya tergantung pada emosi sesaat ataupun
kharisma pribadi seseorang. Namun pengalaman yang menyatu dengan segenap pengalaman
Gereja Rasuliah sepanjang segala abad. Dalam konteks hidup dalam persekutuan Gereja
melalui pengalaman Roh Kudus di dalam sakramen-sakramen inilah pengudusan itu
berlangsung terus-menerus. Dan pengudusan manusia tertebus itu harus merembes keluar ke
dalam kosmos melalui pelayanan nyata Gereja terhadap alam lingkungan diluar batasan
dirinya sendiri, terhadap segala sesuatu yang menyangkut kemanusiaan dan keterciptaan
dalam alam ini, karena mereka juga akan menjadi obyek keselamatan di akhir zaman karena
partisipasi mereka dalam kemuliaan Gereja, yaitu kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah
itu. Sehingga dalam kaitan ini keselamatan itu merupakan suatu proses yang “sedang”
berjalan, meskipun secara fakta panunggalan dengan kematian Kristus itu manusia “telah”
menerima keselamatan itu ketika Kristus disalibkan dan manusia disatukan dengannya oleh
baptisan.. Dan keselamatan yang “sedang” dalam proses pertumbuhan ini “akan” menemui
penggenapannya pada saat akhir zaman, dan akhir kematian seseorang. Sehingga Gereja itu
selalu mengarah pada harapan eskhatologis (akhir zaman) sementara masih berada dalam
215
masakini. Dalam proses “sedang” inilah kita semua hidup sebagai orang Kristen pada
masakini ini. Sehingga kita tak henti-hentinya berjuang untuk menghidupi pengudusan yang
dilakukan Roh Kudus dalam konteks kehidupan Gereja. Dan pengudusan ini bukan hanya
pengudusan secara pribadi saja, namun juga dengan melalui pengudusan pribadi masingmasing anggota di dalam Gereja ini, maka Gereja melalui anggota-anggotanya itu ikut
menyalurkan pengudusan itu ke dalam alam semesta dan segenap lingkungan hidup dimana
angggota Gereja itu berada. Dengan demikian masing-masing anggota Gereja menjadi “
garam dunia” dan “terang dunia” ( Matius 5:13,14) untuk mengubah sekitarnya oleh kuasa
pengudusan Injil. Demikianlah maka masing-masing anggota Gereja itu mempunyai
tanggung-jawab untuk memerangi dengan kasih setiap penampakan kuasa “Iblis” (kejahatan,
exploitasi, ketidak-adilan, kekerasan, keserakahan, dan lain-lain) , “dosa” ( kebodohan,
kemiskinan, keterbelakangan, ketidak-merataan sosial, diskriminasi, dan lain-lain) serta
“maut” (sakit penyakit, kekurangan sarana kesehatan, kekurangan pangan, paceklik,
peperangan, penebangan hutan-hutan lingkungan hidup secara tanpa tanggung-jawab,
pembuatan senjata-senjata berat penghancur manusia, dan lain-lain) melalui suatu usaha yang
nyata, sebagai manifestasi dampak hidup keselamatan dalam lingkungan hidup yang nyata.
Dengan demikian keselamatan itu bukan hanya masalah individual secara egois dan sebagai
sesuatu sesuatu “sudah” terjadi saja, sehingga orang menjadi pongah dengan mengatakan:”
Aku sudah selamat, tak perduli apapun yang kulakukan, aku akan tetap masuk sorga.” .
Sikap demikian ini dapat muncul jika dari ajaran Calvinisme klasik tentang “The
Perseverance of the Saints” (“kebertahanan orang-orang kudus”), yang dimengerti sebagai
jaminan bahwa orang-orang kudus yang telah ditakdir untuk selamat itu pasti tetap bertahan
untuk tetap selamat apapun jadinya ini, ditarik kesimpulan yang ekstrim melupakan datadata Alkitab yang mengharuskan manusia untuk melakukan perbuatan baik (Efesus 2:10),
tetap mengerjakan keselamatan dengan takut dan gentar (Fil.2:12), dan sebagainya.Tak pula
keselamatan itu hanya yang “akan” terjadi saja, sehingga orang tak pernah yakin akan
keselamatannya di dalam Kristus, dengan mengatakan :” Entahlah aku tak tahu. Masuk sorga
atau tidak, semua tergantung pada jumlah kebaikanku nanti dihadapan Allah”. Namun
keselamatan itu juga memiliki sisi yang “sedang” dalam proses, tanpa melupakan bahwa
Kristus :telah “menyelamatkan” kita. Dengan demikian orang tetap berjuang untuk makin
memperdalam makna keselamatannya dalam ketaatan dan kesalehan yang nyata untuk
membuat tujuannya mencapai “theosis” itu makin menjadi realita. Untuk itu marilah kita
bicarakan bagaimana peristiwa keselamatan itu tergenapi sebagai karunia yang “akan” kita
terima di akhir jaman, pada saat kita mengalami kebangkitan dan mencapai pemuliaan
menjadi “sama seperti Kristus” ( I Yohanes 3:2 ).
b. Sakramen
Karena sakramen itu membutuhkan validitas Gereja sebagai tubuh Kristus, dan sebagai tugas
utama Gereja, maka sakramen itu membutuhkan pengakuan Gereja atas keabsahannya “ Aku
Mengakui”. Dan sakramen yang diakui Gereja hanyalah satu saja, yaitu sakramen yang sah
sesuai dengan Paradosis Rasuliah. Sakramen Baptisan adalah permulaan dari seluruh kehidupan
sakrammental dan ibadah serta kerohanian Gereja, oleh karena itu tidak senua sakramen
disebutkan dalam pengakuan iman ini. Pengakuan iman ini juga menyatakan bahwa sakramen itu
bukan sekedar ritual atau upacara saja namun memberikan efek yang menyalurkan rahmat
keselamatan Kristus di dalam Roh Kudus yaitu “Baptisan Bagi Pengampunan Dosa.” Dan
Pengakuan Iman ini mengatakan bahwa Baptisan itu “Satu”, dalam pengertian bahwa baptisan
Orthodox itu tidak dapat diulang serta tak dapat dilakukan selain daripada apa yang telah
ditetapkan oleh Para Rasul dan tetap dijalankan oleh Gereja Orthodox selama dua ribu tahun ini,
216
yaitu : harus diselamkan, harus tiga kali penyelaman berturut-turut, harus dalam Nama Tritunggal
Maha Kudus, harus dilakukan oleh Imam yang memiliki mata-rantai Rasuliah oleh pentahbisan
dari seoran Episkop yang sah, harus mengikuti syarat dan aturan yang sudah ditetapkan.
c. Hidup Baru di Dalam Kristus
Sesudah seseorang dibaptiskan dia mengalami “pengampunan dosa”. Ini berarti bahwa sebelum
itu manusia hidup dalam kuasa dosa. Sekarang dengan mengalami “pengampunan dosa” manusia
hidup dalam keberadaan baru, yaitu ciptaan baru di dalam Kristus. Maka dengan demikian
manusia terbaptis (manusia Kristen) haruslah hidup secara baru, dan ketaatannnya kepada iman
Gereja, kepada ajaran Kitab Suci rajin dalam partisipasi hidup bergereja dan dalam kehidupan
ibadah serta sakramen-sakramen, serta hidup menjauhi yang dosa serta mengusahakan yang
benar dan kudus. Demikianlah iman itu akhirnya menuntun kepada perbuatan. Iman bukan
hanya pengakuan secara intelektual tetapi juga kesiap-siagaan hati dan kerelaan kehendak.
4. Akhir zaman.
Kesimpulan akhir dari segenap pengalaman dan proses keselamatan dalam Kristus melalui kuasa
Roh Kudus dalam Gereja ini akan dialami manusia sepenuhnya pada akhir jaman dimana
manusia akan dibangkitkan dan menjadi “sama seperti Kristus” (I Yoh.3:2), dan menjadi “serupa
dengan TubuhNya yang mulia “ ( Fil.3:21) serta “mengambil bagian dalam kodrat ilahi “ ( II
Petrus 1:4). Oleh kaena itu ajaran tentang Akhir Zaman (Eskhatologi) itu merupakan tujun dari
serta terkait erat dengan ajaran keselamatan ( Soteriologi). Dalam Eskhatologia Gereja Purba di
Timur, yang tetap dipelihara dan dijaga oleh Gereja Orthodox masakini, dikenali adanya dua
tahap peristiwa yang berbeda : 1.Penghakiman Sebagian, yaitu Eskhatologi Kecil yang dialami
semua manusia sesudah kematiannya. Inilah kiamat atas masing-masing pribadi kita, dimana kita
“menunggu kebangkitan orang-orang mati” tadi. Karena kita sendiri akan mati dan akan
menunggu saat kebangkitan tadi, untuk akhirnya akan mengalami. “kehidupan zaman yang
akan datang”. Itulah yang menjadi dorongan kita untuk tetap hidup di dalam Iman dan harap
serta kasih akan Allah. Mengenai Eskhatologia Kecil (Kiamat As-Sughro) ini dapat kita mengerti
demikian: Eskhatologi kecil artinya bahwa langsung sesudah mati orang akan mengalami
penghakiman sebagian yaitu telah mencicipi sengsara bagi mereka yang nantinya akan masuk
dalam siksa kekal, serta telah mengalami sukacita firdaus bagi mereka yang nantinya akan
mengalami pemuliaan di dalam Kristus. Ajaran Gereja Timur tak dapat menerima Ajaran Gereja
Barat (Roma Katolik ) tentang adanya “Api Penyucian”. Menurut keyakinan ini diajarkan bahwa
dosa-dosa yang belum sempat ditobati oleh manusia yang tak pernah menyangkal Kristus harus
ditebus dengan siksa dalam “Api Penyucian”. Namun Gereja Purba di Timur, yang juga menjadi
keyakinan Gereja Orthodox masakini, bersandarkan pada janji Kristus bahwa :”….jika ia
menentang Roh Kudus, ia tidak akan diampuni, di dunia ini tidak, dan di dunia yang akan datangpun tidak”
( Matius 12:32). Ayat ini mengajarkan bahwa hanya dosa menentang/menghujat Roh Kudus saja
yang tak dapat diampuni. Dengan demikian dosa selain itu masih dapat diampuni. Dan
pengampunan itu memiliki dua bentuk “ di dunia ini” dan “di dunia yang akan datang”, berarti
kesempatan pengampunan di dunia yang akan datang bagi mereka yang tak menghujat Roh
Kudus masih memiliki kemungkinan, sejauh itu belum penghakiman akhir. Berarti oleh belaskasihan Allah yang kita tidak tahu bagaimana, namun jelas tidak melalui “Api Penyucian” sebab ajaran yang demikian tak pernah dijumpai dalam Alkitab, dalam rumusan Konsili-Konsili
Gereja Purba ataupun dalam Konsensus para bapa Gereja di Timur- perubahan status seseorang
di dunia sana masih mungkin menurut ayat ini. Oleh karena harapan akan belas-kasihan Allah di
dalam Kristus inilah, Gereja Purba di Timur, dan Gereja Orthodox masakini, selalu
217
memperingati dalam Liturgi atas mereka yang meninggal di dalam Kristus tetapi belum sempat
hidup secara Kristen dalam arti yang sebenarnya – namun bukan yang diluar Kristus -, dengan
bersandar sepenuhnya pada belas-kasihan Allah yang tak mengenal batas itu. Jiwa mereka ini
berada di tempat penantian sebagai “roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna” (
Ibrani 12: 22-23) “hidup” di hadirat Allah (Yohanes 5:24, 11:25 ) menunggu sampai saatnya
mereka dipersatukan kembali dengan tubuh mereka yang akan bangkit dari kuburan ( Yohanes
5:29) untuk hidup dalam zaman yang akan datang, pada saat munculnya langit baru dan bumi
baru.. Hal ini dinyatakan dalam Pengakuan Gereja Am (Iman Nikea) :” Aku menunggu akan
kebangkitan orang-orang mati. Serta Kehidupan Zaman yang akan datang”.
Mengenai Eskatologi Besar ( Kiamat Al-Kubro) sebagai tujuan dari semua karya yang dilakukan
oleh Allah di dalam Kristus melalui Roh Kudus itu bagi keselamatan atau pemulihan manusia
dan dunia tempat ia tinggal itu, akan mencapai puncaknya yaitu dalam dua peristiwa Kiamat atas
segala alam ini. Hal itu sebagaimana yang dikatkan oleh Pengakuan Iman bahwa Kristus “akan
datang lagi dalam kemuliaan”. Kedatangan Kristus ini akan ditandai dengan: 1) Penyebaran
Injil ke seluruh dunia ( Matius 24:14 ) 2) Orang Yahudi secara nasional akan bertobat kepada
Kristus ( Roma 11:25-26) 3) Elia dan Henokh akan kembali ke bumi ( Markus 9:11, Wahyu 11:
1-12 ) 4) Munculnya Anti Kristus ( Matius 24 : 15, I Yohanes 2;18, II Tes. 2: 3-9, Wahyu 13 ).
5) Kekacauan dalam alam, dalam politik, dalam moral, penderitaan manusia yang luar biasa (
Matius 24, Markus 13, Lukas 21). 6) Dunia akan dihancurkan oleh api (II Pet. 3:5). Hal ini akan
disusul dengan : 7) Kedatangan Kristus yang Kedua dan Kebangkitan orang mati ( I Tes. 1417, I Kor. 15: 51 dst) 8) Penghakiman segenap manusia oleh Kristus berdasarkan perbuatan
masing-masing dalam kasih sebagai buah iman di dalam Kristus, atau kejahatan sebagai akibat
ketiadaan iman ( Matius 25: 31-46, II Kor. 5:10, dll.) sebagaimana yang dikatakan oleh
Pengakuan Iman bahwa Kristus “akan menghakimi orang hidup dan orang mati”. Sehingga
terjadilah: 9) Perpisahan kekal antara mereka yang terhilang dalam siksa neraka, dan mereka
mereka yang mengalami pemuliaan dalam panunggalan dengan kemuliaan Allah (“theosis”).
Serta akhir dari semuanya itu adalah Kristus akan mendirikan “KerajaanNya” yang “tak akan
ada akhirnya” yaitu Kerajaan mulia dan kekal, 10) Munculnya langit baru dan bumi baru yang
penuh kemuliaan sebanding dengan kemuliaan mereka yang telah mencapai “theosis”, karena
bumi baru dan langit baru itu akan menjadi tempat tinggal mereka ( II Pet. 3:12, Wahyu 21: 1-22
) dimana Kristus akan memerintah sebagai raja kekal selama-lamanya serta Allah menjadi semua
di dalam semua ( I Kor. 15:28).
Kasus Ajaran Kerajaan Seribu Tahun..
Ajaran tentang Kerajaan Seribu Tahun atau “Khiliasme” ini adalah suatu ajaran yang mengatakan
bahwa setelah dihancurkannya Anti-Kristus dan berbaliknya seluruh bangsa Yahudi kepada
Kristus, maka Kristus akan datang lagi mendirikan Kerajaan duniawi dengan pusatnya di
Yerusalem selama seribu tahun lamanya, di atas bumi ini. Sesudah pemberontakan Iblis yang
terakhir maka dunia akan mengalami kiamat, dan barulah terjadinya langit baru dan bumi baru
serta terbabarnya Kerajaan kekal. Ajaran Saksi Yehuwah dapat kita golongkan dalam kelompok
“khiliasme” ini. Gereja Orthodox di zaman purba dalam Konsili Ke II (381) dan Konsili Ke V
(553) telah menetapkan dan menghakimi bahwa Ajaran Kaerajaan Seribu Tahun (“Khiliasme”)
ini sebagai ajaran yang menyimpang yang tak sesuai dengan Iman Rasuliah. Memang di zaman
purba ada beberapa penulis Kristen yang mempercayai ajaran ini, misalnya: Papias dari
Hierapolis dan Ireneus dari Lyons, namun Gereja melihat bahwa pendapat mereka itu adalah
218
sekedar “theologoumena” (“opini pribadi’) yang bukan iman universal Gereja. Ajaran ini
sekarang banyak dipromosikan oleh kalangan Protestan Injili. Sikap Gereja Orthodox mengenai
Ajaran ini adalah demikian: 1. Dari kalangan Protestan sendiri ternyata tidak semuanya
mempercayai ajaran tentang Kerajaan Seribu Tahun ini. Sudah diketahui oleh para pakar bahwa
Luther dan Calvin dengan tegas menolak ajaran ini. Demikian juga aliran-aliran yang
melandaskan diri pada ajaran mereka. Kaum Anabaptislah yang mempercayai adanya Kerajaan
Seribu tahun ini. Dan di Indonesia ini kebanyakan kelompok Protestan yang mengikuti ajaran ini
adalah kaum Injili terutama yang dipelopori oleh STTI Yogyakarta yang merupakan cabang
Dallas Theological Seminary, Dallas, Texas, USA., yang memang mengkhususkan diri pada
theologia semacam ini, juga Kaum Pentakosta dan Kharismatik. Kaum Injili yang mendasarkan
ajarannya pada Calvin menolak ajaran ini, demikian juga kebanyakan Gereja-Gereja Protestan
Klasik menolak ajaran ini pula. Jadi apapun yang dikatakan oleh kalangan pendukungnya
mengenai ajaran ini, namun itu tetap bukan iman universal bahkan di kalangan umat Protestan
sendiri.
2. Diantara kaum Protestan terdapat tiga sikap mengenai ajaran ini yaitu “A-Millenialist” yaitu
mereka yang menolak adanya Kerajaan Seribu Tahun secara hurufiah, “Post-Millenialist” yaitu
mereka yang mengatakan bahwa Kerajaan Seribu tahun adalah masa sekarang ini dimana melalui
Injil masyarakat pelan-pelan akan diubah menjadi baik baru Kristus akan datang, dan “PreMillenialist” yaitu mereka yang percaya adanya Kerajaan Seribu Tahun itu. 3. Selanjutnya,
diantara para pengikut pandangan “Pre-Millenium” inipun dibagi lagi antara aliran “PreTribulation” yaitu mereka yang mengajarkan bahwa Kristus akan datang sebelum masa aniaya
besar oleh Anti-Kristus, “Mid-Tribulation” yaitu mereka yang percaya Kristus akan datang
ditengah-tengah masa aniaya besar oleh Anti-Kristus, serta ‘post-Tribulation” yaitu mereka yang
percaya bahwa Kristus akan datang sesudah masa aniaya besar oleh Anti-Kristus.
4. Juga diantara mereka ini masih dibagi lagi antara aliran yang “Dispensationalist” yaitu yang
percaya masa sejarah keselamatan itu dibagi-bagi dalam masa-masa dan tahap-tahap, yang
masing-masing tahapan masa itu diperlakukan oleh Allah secara berbeda-beda dalam
hubungannya denganNya, dan yang “non-Dispensstionalist” yaitu yang tak percaya adanya
pentahapan semacam itu.. Pendek kata tidak ada satu pandangan yang bersifat “universal”
tentang Kerajaan Seribu Tahun. Yang universal adalah bahwa “Kristus akan datang lagi untuk
menghakimi orang hidup dan orang mati”, dan inilah Iman Gereja purba, yang tak seorang
Kristen yang benar satupun yang meragukannya. Namun Kerajaan Seribu Tahun itu terlalu
banyak masalah dan kontroversi, berarti itu bukan ajaran inti dari Injil. Sebagiaimana yang telah
kita katakan diatas, bahwa memang ada beberapa penulis Kristen purba yang mengikuti faham
ini misalnya;Ireneus dan Papias. Namun tidak semua pendapat penulis Kristen purba itu
merupakan ajaran resmi Gereja atau ajaran Rasuliah yang bersifat Universal. Gereja Orthodox
membedakan dalam isi tulisan para penulis Kristen Purba antara apa yang hanya bersifat
“theologoumena” yaitu pendapat pribadi, seperti yang telah kita sebut diatas, dan apa yang
bersifat “Paradosis Rasuliah”. Yang bersifat “Paradosis Rasuliah” itulah yang dipegang sebagai
ajaran Universal Gereja, sedangkan yang bersifat “theologoumena” itu tak dapat dipegang
sebagai kebenaran. Dan pendapat Ireneus dan Papias mengenai Kerajaan Seribu tahun itu adalah
sekedar “theologoumena” dalam Gereja Orthodox, dan hal ini memang diijinkan oleh Gereja
Orthodox, asal tidak dipaksakan kepada seluruh Gereja untuk mengakui sebagai ajaran rasuliah.
Kalau pendapat pribadi sudah dipaksakan kepada seluruh Gereja, jadilah itu bidat. Itulah
sebabnya ketika hal ini dipaksakan dalam Gereja, pada Konsili kelima dari Gereja Purba,
pandangan tentang Kerajaan Seribu Tahun ini dikutuk sebagai sesat oleh Gereja Purba itu.
219
5. Selanjutnya dasar Alkitabiah dari tafsiran mengenai ajaran Kerajaan Seribu Tahun itu hanya
terdapat dalam enam ayat saja dari Kitab Wahyu. Bagaimana mungkin enam ayat dari Wahyu 20
ini dijadikan lansdasan untuk melihat seluruh Alkitab, sehingga seluruh Alkitab diusahakan untuk
setuju mengenai kerajaan Seribu Tahun secara literal semacam itu. Apalagi kita tahu bahwa Kitab
Wahyu itu sangat bersifat apokaliptik-simbolik, dimana isinya tidak selalu bersifat literal. Jadi
pendekatan literal bukan cara yang mutlak terhadap Kitab Wahyu.
6. Pemahaman Iman Orthodox mengenai ayat-ayat dari Wahyu 20:1-6, satu-satunya nats dalam
Alkitab yang berbicara mengenai Kerajaan Seribu Tahun itu adalah demikian:
1. Jenis Sastra Kitab Wahyu adalah bersifat Apokaliptik, dengan mengenai bahasa-bahasa
simbolis yang tidak selalu boleh dimengerti secara literal. Termasuk pula Wahyu 20:1-6
itu.
2. Sehingga pemahaman Iman Kristen Orthodox atas Wahyu 20:1-6 adalah demikian:
a. Wahyu 20:1`mengatakan tentang malaikat yang memegang “anak kunci jurang maut”
dan “rantai besar”. Tentu saja ini tak boleh diartikan bahwa ank-kunci maupun rantai
itu terbuat besi atau tembaga, yang mengimplikasikan bahwa di sorga ada pandai besi
yang membuat rantai tembaga itu.
b. Wahyu 20:2 mengatakan bahwa “Iblis atau Satan” itu diikat selama 1000 tahun.
Implikasinya adalah tetntu diikat dengan rantai tadi. Jika betul demikian, apa
mungkin Iblis yang bukan “darah dan daging” ( Efesus 6:12) itu dapat diikat dengan
rantai, karena ia tak memiliki tubuh jasmani. Berarti ikatannya inipun bukan dalam
makna literal karena rantainyapun tak bermaknsa literal sedangkan iblisnyapun tak
memiliki tubuh jasmani yang dapat diikat dengan rantai besi. Ini maknanya bahwa
daya pengaruh dan kuasa Iblis itu amat sangat dibatasi sehingga Iblis terikat oleh
batasan-batasan tadi, yaitu batasan-batasan dari ajaran Injil dan kuasa Roh Kudus
yang menjadi rantai bagi Iblis untuk secara bebas bergerak menyesatkan manusia,
karena Injil meng-expose dusta dan tipuan Iblis itu. Inilah yang dikatakan oleh Yesus
bahwa “orang kuat “itu diikat dahulu ( Matius 12:29), agar hartanya, yaitu “jiwa-jiwa
yang ditawannya” itu dapat dirampas oleh kuasa Roh Kudus dan berita Injil. Jika
demikian halnya maka angka “seribu tahun” itu tak bermakna literal, sehingga dengan
demikian konsisten dalam metode pentafsirannya. Maka anga “seribu tahun”
dimengerti sebagai berikut: tahun dimengerti sebagai “periode” atau “masa”.
Sedangkan seribu dimengerti sebagai 10 x 10 x10. Sepuluh adalah angka “genap”
dalam pengertian semua hitungan selalu berakhir dengan angka sepuluh dan
kelipatannya. Dengan demikian 10 berarti “kegenapan”. Dan “3 x “ menunjuk angka
ilahi dari “Tritunggal Maha Kudus” . Sehingga 10 x 3 artinya “kegenapan rencana
ilahi”.. Maka “Seribu Tahun” artinya “ Periode/Masa dari Kegenapan Rencana
Ilahi”. Jadi Iblis diikat selama seribu tahun artinya: Sejak Periode atau Masa dari
Kegenapan Rencana Ilahi yang sudah terjadi ketika Yesus datang sebagai saat
“Genapnya Waktu” ( Galatia 4:4). Iblis kuasanya sudah dibatasi dan tak lagi bersifat
mutlak.
c. Wahyu 20:3 mengatakan Iblis dilemparkan ke jurang maut “ supaya jangan lagi
menyesatkan bangsa-bangsa, sebelum berakhir masa seribu tahun”. Ini bermakna
selama “Periode /Masa kegenapan Rencana Ilahi” yaitu sejak kedatangan Yesus yang
220
pertama sampai dengan kedatangan Yesus yang kedua, Iblis tak dapat bergerak secara
mutlak untuk menyesatkan manusia akibat Berita Injil yang sudah dikumandangkan
di seluruh dunia. Kuasanya terbatas kepada bangsa-bangsa yang diluar “seribu tahun”
yaitu diluar “masa kegenapan rencana ilahi” atau yang berada diluar jangkauan dan
pengaruh Berita Injil saja. “Kemudian Iblis akan dilepaskan untuk sedikit waktu
lamanya” yaitu menjelang pada saat muncunya Anti_kristus dan dengan
menggunakan Anti-Kristus itu Iblis menyebabkan banyak orang murtad ( II Tes. 2:
3), dan Anti-Kristus memiliki kuasa atas segenap bangsa-bangsa yang tak mau
menerima Kristus.
d. Wahyu 20:4 mengatakan adanya takhta-takhta dimana orang-orang yang duduk
diatasnya diberi kuasa untuk menghakimi. Inilah adalah takhta para Episkop Gereja
yang dalam Konsili-Konsili berkuasa oleh rahmat Roh Kudus untuk menyatakan
penghakiman atas ajaran-ajaran sesat yang menerpa Gereja, dan akhirnya
penghakiman atas ajaran sesat itu dirumuskan dalam Pengakuan Iman Gereja. Juga
“jiwa-jiwa” para martirpun dilihat. Perhatikan yang dilihat bukanlah “tubuh yang
sudah bangkit” yang merupakan tujuan kedatangan Yesus, yaitu memberikan
Kebangkitan Tubuh”, namun hanya “jiwa-jiwa”. Ini berarti sesuatu yang belum
bersifat letral namun bersifat rohani. Semua orang yang percaya kepada Kristus
adalah yang menolak segenap bentuk penyembahan berhala dan telah mati bagi
manusia lama sebagai martir, dan “jiwa-jiwa” ini yang hidup kembali ( Efesus 2:4-5).
Jiwa-jiwa yang sudah dibangkitkan itu “memerintah sebagai raja bersama-sama
dengan Kristus selama seribu tahun. ” Mereka yang sudah hidup kembali yaitu
dihidupkan kembali melalui Kristus dalam jiwa mereka, menerima kuasa baru,
sehingga bersama Kristus mereka memerintah sebagai raja atas dosa, Iblis dan maut.
Artinya jiwa tadi tak berada lagi di dalam kekuasaan dosa,Iblis, dan maut itu namun
memiliki otoritas, wibawa, dan kuasa atasnya, sehingga oleh kuasa Kristus selama
masa dan periode kegenapan rencana Allah di dalam GerejaNya ini ia menjadi raja
atas ketiga kekuatan jahat itu. Ia bukan bawahan dosa, iblis dan maut lagi. Ia meraja
bersama Kristus.
e. Wahyu 20:5 mengatakan “Orang-orang mati yang lain” yaitu orang-orang tak
beriman yang masih mati secara roh ( Efesus 2:1-2), tidak bangkit, yaitu mereka
belum menerima kebankitan dalam rohnya karena belum menyatu dengan
Kebangkitan Kristus. Mereka baru kebangkitan tubuh nanti saja pada akhir zaman
(Yohanes 5:28-29) untuk mengalami penghakiman, sesudah seselai masa seribu
tahun, yaitu sesudah selesai periode kegenapan rencana Allah, zaman Gereja ini.
Orang yang mengalami kebangkitan “dalam roh/jiwa” inilah kebangkitan yang
pertama yaitu kebangkitan :di dalam roh/jiwa” oleh kuasa Roh Kudus. Sehingga ia
tidak mengalami kematian kedua yaitu kematian dalam neraka. Dan orang-orang yang
sudah bangkit dalam jiwanya inilah yang SUDAH , bukan AKAN menjadi imamimam Allah danKristus serta menjadi raja. Perhatikan bahwa ini sudah terjadi
sebagaimana yang dikatakan dalam Wahyu 1:6, dan I Petrus 2:9. Jadi Kerajaan Seribu
tahun bukanlah kerajaan politik di masa depan, namun Kerajaan rohani dalam Roh
Kudus, yang sudah terjadi di dalam Gereja.
Demikianlah jelas Iman Kristen Orthodox meyakini betul bahwa memang Kristus harus
datang yang persiapannya sudah dilakukan dalam GerejaNya. Kiranya Tuhan menolong kita
untuk memiliki harapan yang sungguh akan kedatangan Kristus ini. Amin
221
Demikianlah unsur-unsur keyakinan dan aqidah Iman Kristen atau Theologia Dogmatika
Orthodox yang secara garis besar dinyatakan dalam Pengakuan Iman Gereja. Inilah yang
merupakan pagar dan kaca mata yang melaluinya kita menyelidiki ajaran Kitab Suci lebih dalam
lagi. Untuk mengetahui lebih rinci ajaran Iman Kristen Orthodox ini perlu kita belajar lebih
dalam lagi tentang pembahasan yang lebih luas mengenai Iman Rasuliah yang utuh dan murni ini.
C. Kehidupan Gereja Orthodox
Gedung Gereja Orthodox
Gereja Orthodox melihat bahwa semua yang ada dalam struktur Bait Allah/ Kemah Suci sudah
digenapi dalam Kristus, dan bahwa pada mulanya umat Kristen memang beribadah di rumahrumah pribadi, maka pada zaman yang amat dini sekali umat Kristen tidak membangun
bangunan rumah ibadah. Namun karena para Rasul perdana itu masih beribadah di Bait Allah
(Kisah 3:1), maka jelas Gereja Purba tidak sama sekali membuang makna penting dari Bait Allah
itu. Karena Gereja Orthodox melihat bahwa Kristus datang bukan untuk “merombak” Taurat,
namun “mengenapinya” ( Matius 5:17-19), maka bentuk-bentuk yang berasal dari praktekpraktek dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu tidak sama sekali dibuang, namun diartikan secara
baru dan secara ajaran Injil. “Menggenapi” berarti memberi isi dari wadah yang lama, bukan
membuang atau menghilangkan. Artinya sejauh data Alkitab (dan bagi Gereja Perdana Alkitab
adalah :Perjanjian Lama) itu yang menjad bukti, ibadah-ibadah di Bait Allah itulah satu-satunya
cara ibadah yang diperintahkan Allah dan yang dilakukan oleh umatNya sejak zaman Musa
sampai pada zaman rasul-rasul Kristus. Kerangka ibadah yang diperintahkan Allah inilah yang
dipertahankan oleh Gereja awal meskipun isinya memang berbeda, karena sifatnya yang
Kristologis.. Ini terbukti bahwa di wilayah Dura-Europos di Syria, ditemukan suatu bangunan
Gereja yang berasal dari abad kedua hampir 200 tahun sebelum pertobatan Konstantinus Agung
pada abad keempat . Bentuknya secara garis besar mirip dengan struktur Bait Allah, lengkap
dengan gambar-gambar, sama seperti Bait Allah/Kemah Suci itu dipenuhi dengan gambar
Kerubim. Bentuk bangunan Gereja yang demikian itu selalu menjadi ciri Gereja Orthodox
sampai kini. Dengan meneladani struktur bangunan Bait Allah ini, maka bentuk bangunan
Gerekja Orthodox masakini adalah sebagai berikut: Penggenapan yang diajarkan oleh Kristus itu
menunjukkan adanya suatu kesinambungan sekaligus ketaksinambungan antara Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru. Khususnya dalam kasus bangunan Gedung Gereja Orthodox itu unsur
kesinambungan dan unsur ketaksinambungan itu tampak jelas. Hal itu akan dirasakan ketika
orang masuk pertama kali kedalam bangunan Gedung Gereja Orthodox. Ia akan merasakan
dunia Alkitab yang digambarkan dalam Perjanjian Lama itu hidup kembali dengan cara yang
baru. yaitu dengan cara yang diilhami berita Injil Gereja Orthodox menerapkan secara konsisten
222
fakta kesinambungan dan ketaksinambungan yang ada didalam Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru itu.
Itulah sebabnya bagi orang-orang yang baru mengenal bangunan Gereja Orthodox, merasakan
adanya sesuatu yang kudus dan khusyuk ketika ia masuk kedalamnya. Ini dikarenakan Gereja
Orthodox menerapkan semua struktur bangunan ibadah yang ada dalam Kemah Suci atau Bait
Allah didalam Perjanjian Lama, dengan disemangati dan dengan tafsir yang sama sekali berbeda
dari apa yang dimengerti oleh orang-orang Yahudi non-Kristen, yaitu dengan cara pandang
Inkarnasi. Jadi yang mengilhaminya adalah berita Injil. Secara apa yang nampak mata orang
masih mengenali unsur-unsur simbolisme Perjanjian Lama tetapi dalam isinya, berita Injil itulah
yang diberitakan dalam simbolisme itu. Dengan ibadah dan praktek-praktek liturgisnya berakar
dan berkesinambungan dengan praktek-praktek liturgis dan ibadah dalam Perjanjian Lama
meskipun secara
mendalam dan secara konsisten diilhami dan disemangati oleh berita Injil,
maka didalam bangunan Gereja Orthodoxpun, secara konsistenan dibangun dan dibentuk
berpolakan struktur bangunan Gedung Bait Allah/Kemah Suci dalam Parjanjian Lama. Sudah
kita pelajari bahwa struktur Bait Allah/Kemah Suci Perjanjian Lama itu, memiliki tiga bagian
yaitu: Pelataran, Ruangan Kudus (Bahtera) dan Ruangan Mahakudus. Sesuai dengan pola
struktur bangunan Bait Allah/Kemah Suci ini, maka Gereja Orthodox pun membagi
bangunannya menurut tiga bagian juga, yaitu bagian yang pertama disebut RUANG PRATAMA,
bagian kedua disebut: RUANG BAHTERA, dan bagian ketiga disebut: RUANG MEZBAH.
Arti simbolis dari ketiga bagian bangunan Gereja Orthodox ini sebagai berikut:
RUANG PRATAMA:
Bagian ini adalah lambang zaman Perjanjian Lama. Artinya seseorang dari dunia luar yang tidak
mengenal Wahyu Allah secara khusus dan benar, mulai dapat mengenal Allah secara benar
melalui Wahyu Allah yang ada didalam Perjanjian Lama. Jadi sebelum Kristus datang, Perjanjian
Lama ini yang datang lebih dahulu sebagai persiapan. Di Ruang Pratama ini terdapat terdapat
banyak lilin yang menyala, yang meneladani penggunaan kandil-kandil dari Kemah Suci. Umat
Orthodox menyalakan lilin-lilin disana. Disamping lilin digunakan untuk lampu-lampu tugur,
yang biasanya terbuat dari gelas berwarna-warni, juga ada lampu-lampu kandil yang dinyalakan
oleh minyak zaitun. Ini adalah kesinambungan dengan lampu-lampu kandil dari Bait
Allah/Kemah Suci. Dan biasanya lampu ini digantung di depan ikon-ikon di kiri-kanan
Gereja.Pembakaran lilin dan lampu-lampu minyak (kandil) di depan Ikon adalah kelanjutan dari
praktek pembakaran kandil-kandil dari “Menorah” (Kaki Dian Dari Emas) dalam Ibadah
Perjanjian Lama (Keluaran 25: 31-40). Dan Kristus yang menampakkan diri itupun berada
ditengah-tengah Kaki Dian Emas ini ( Wahyu 1:12-13), dan dihadapan Takhta Allah di sorgapun
ada Obor-Obor sebagai manifestasi dari kehadiran Tujuh Roh Allah ( Tujuh Manifestasi Energi
Ilahi) ( Wahyu 4:5). Karena dalam Ibadah Perjanjian Lama Kandil itu dipasang di depan
Gambar/Patung Kerub, dan Kandil itu ditengah-tengahnya ada Kristus yang dimuliakan, an
obor-obor itu tepat di depan Takhta Allah, maka taat pada perlambangan Kitab Suci ini Gereja
Orthodox menaruh lilin dan menyalakannya, sebagai lambang kandil dan obor sorgawi,
ditempatkan di depan Ikon, sebagaimana yang terjadi dalam Kemah Suci, dan Penampakan
Kristus, serta Takhta Sorgawi itu. Ini adalah lambang bahwa Kristus adalah “Terang Dunia”
(Yohanes 8:12, 1:9), bahwa kita rela dilepaslkan dari gelap ke dalam terang ( Kolose 1:13), serta
kita memohon hati kita untuk diterangi oleh Terang dari Roh Kudus agar mengerti kebenaran
Sabda Ilahi ( II Kor. 4:6). Jadi lilin dan kandil itu berfungsi sebagai lambang doa. Jadi memang
berbeda dengan unsur api yang digunakan juga dalam Agama Hindu atau agama-agama nonKristen lainnya, dimana api memang merupakan persembahan kepada Dewa. Bagi Iman Kristen
223
Orthodox api itu bukan untuk Allah, namun perlambangan untuk kita manusia ini. Allah itu tak
butuh persembahan api, namun kita butuh lambang tentang makna terang kebenaran yang kita
percayai. Sekali lagi bukan penyembahan berhala yang kita jumpai disini, namun perlambangan
Kitab Suci yang ditaati secara detail tanpa mempertanyakan lagi.Ini melambangkan kebenaran
Allah, terang Allah yang tak terpadamkan sepanjang segala abad.Makna simbolis pemasangan lilin
menyala ini adalah ketika orang mulai masuk kedalam Perjanjian Lama, ia mulai mendapat terang
tentang Kristus yang dinubuatkan dalam Perjanjian Lama. Ia mulai siap untuk masuk kedalam
terang yang sesungguhnya, yaitu: Kristus yang diberitakan didalam Perjanjian Baru. Dengan
memasang lilin yang menandakan ia siap untuk diterangi dengan terang yang lebih jelas lagi
didalam Perjanjian Baru, maka ia membuat tanda salib, lambang bahwa Terang Kebenaran Allah
hanya ditemukan didalam Kristus. Terang Kebenaran Allah dalam Kristus dan segala karyaNya
itu akan dialami seseorang secara pribadi, jika diterima secara pribadi. Sesudah itu, ia masuk
kedalam RUANG BAHTERA.
Karena RUANG PRATAMA ini adalah merupakan simbol zaman Perjanjian Lama, maka di kirikanan temboknya, terlukislah Ikon-Ikon dari tokoh-tokoh atau kisah-kisah kudus yang ada
didalam Perjanjian Lama. Dimulai dari kisah penciptaan dunia sampai kepada kisah-kisah yang
lain sejauh tembok itu cukup untuk dilukisi. Kita telah tahu bahwa di dalam Bait Allah/Kemah
Suci terdapat lukisan-lukisan Kerubim dan bahkan patung Kerubim dari emas. Ini adalah simbol
dan ekspresi theologis dari cara penyampaian firman atau wahyu dalam Perjanjian Lama. Dalam
Perjanjian Lama Allah menyatakan wahyuNya melalui para Malaikat, itulah sebabnya Kerubim
yang digambarkan. Sebab merekalah makhluk-makhluk sorgawi yang pernah menampakkan diri
dan dilihat manusia di bumi dalam saat Perjanjian Lama. Gambar-Gambar Kerubim dalam Bait
Allah/Kemah Suci dilihat Gereja Orthodox sebagai persiapan akan adanya ikon-ikon –
meskipun patung-patung tetap dilarang penggunaannya dalam Gereja Orthodox - didalam
Gereja Perjanjian Baru : Gereja Rasuliah Orthodox. Ikon-ikon (gambar-gambar theologis
simbolis, lihat gambar sampul buku ini sebagai contoh) adalah menggambarkan Sang Kristus
Yesus: Sabda Allah Menjelma, karena menjelma maka sekarang dapat digambar. Dan juga tokohtokoh yang terkait dengan peristiwa penjelmaan itu Maria, Yohanes Pembaptis. Serta tokohtokoh yang menubuatkan dan memberitakan penjelmaan itu Para Nabi dan Para Rasul Mereka
semua ini adalah saksi-saksi iman mengenai berita keselamatan yang mula-mula diberitakan
Tuhan itu. Dengan demikian mengekspresikan secara simbolis-theologis bagaimana Injil itu
disampaikan. Injil disampaikan bukan melalui Malaikat lagi, tetapi secara kongkrit melalui
penjelmaan Firman Allah menjadi manusia (Yohans 1:1,14, I Yoh.1:1). Firman Allah yang
menjelma menjadi manusia itu sendiri yang mula-mula memberitakan Keselamatan itu,
kemudian keselamatan itu disampaikan kepada kita melalui Para rasulNya , para NabiNya, Para
orang kudusNya. Dengan demikian Ikon-ikon ini , secara simbolis theologis telah memberikan
kepada kita suatu pengertian yang mendalam tentang kekongkritan dari pada berita Injil itu, yang
secara kongkrit pula diberitakan melalui manusia-manusia yang nyata.
Oleh karena itu ikon-ikon tersebut bukan hanya sekedar hiasan agamawi. Dengan
bentuknya yang tidak naturalistik dan tidak realistik, melainkan simbolik, ikon-ikon itu
merupakan simbol Iman, lambang ekspresi theologis iman Gereja. Dalam meletakkannya di
dalam bangunan gerejapun, diatur sedemikian rupa sehingga merupakan suatu ekspresi
pemberitaan dari pada Injil tersebut. Untuk itu kita perlu mengerti susunan daripada peraga
visual yang mempunyai makna religius dalam bangunan Gereja Orthodox ini, agar dapat
mengerti artinya secara mendalam.
RUANG BAHTERA
224
Bagian kedua ini adalah tempat umat melakukan ibadah-ibadahnya. Dalam Ruangan Bahtera,
lambang zaman Perjanjian Baru itu sendiri, ini terdapat langit-langit yang selalu memiliki satu
kubah besar seperti dalam masjid. Ini adalah simbol theologis. yang menggambarkan sesuatu
yang merangkul dan merangkum, dengan puncaknya yang bulat dan membesar, akhirnya
kebawah membulat lagi. Ini melambangkan bahwa keselamatan itu bukan dari manusia, tetapi
semata-mata dari Allah yang rela datang untuk merangkul, memeluk dan merangkum manusia
berdosa. Keselamatan itu bukan usaha manusia pribadi, namun kasih karunia Allah dalam Yesus
Kristus Oleh karena itu gambar yang ada di bagian dalam kubah yang menaungi umat yang ada
dibawahnya adalah Kristus sebagai Yang Maha Kuasa (Pantokrator), lambang dari kerelaan yang
Mahatinggi melalui Penjelmaan FirmanNya itu untuk datang melingkari manusia, merangkul
manusia. Karena didalam penjelmaan Yesus Kritus itu Allah yang mencari manusia, maka
puncak atap bangunan Gereja bukanlah suatu struktur yang mencuat keatas, seperti suatu tugu
atau seperti bangunan yang memanjang keatas, karena itu melambangkan usaha manusia untuk
mencari Allah, namun kubah yang bulat merangkul ini. Jadi kubah ini adalah lambang yang
paling tepat dari keberadaan Allah Yang Mahatinggi yang melalui FirmanNya yang menjelma itu
yang telah turun untuk menaungi, melindungi, merangkul dan mengambil manusia didalam
diriNya sendiri. Dengan di langit-langit dari kubah bagian dalam ini terdapat Ikon Kristus yang
sangat besar, yaitu Ikon Pantokrator tadi, yang dilihat dari bawah oleh yang sedang beribadah,
menunjukkan bahwa persekutuan orang percaya itu adalah : Persekutuan dengan Kristus yang
merangkul mereka dan manunggal dengan mereka, sebagai Kepala Gereja. Karena
Ruang
Bahtera melambangkan zaman Perjanjian Baru, maka Ikon-ikon yang ada disekitar temboknya
adalah gambar-gambar dari peristiwa-peristiwa Perjanjian Baru, mulai dari Kelahiran Kristus,
bahkan kelahiran Maria yang meskipun tidak dituliskan didalam Perjanjian Baru, itu
digambarkan disana. Namun itu itu tak hanya terbatas pada kisah dalam kitab Perjanjian Baru
saja, tetapi juga peristiwa yang terjadi didalam Gereja Perjanjian Baru, yaitu Gereja Rasuliah
Orthodox sejak zaman semula, mulai dari sejarah awal sampai dengan konsili-konsili, kisah
orang-orang kudus , dan semua saksi-saksi Kristus juga digambarkan disana. Ini untuk
mengingatkan bahwa umat Kristen itu tidak sendirian, namun merupakan kesatuan yang utuh
dengan Gereja sepanjang segala abad. Disitulah orang-orang Kristen dipersatukan didalam
penyembahan dengan orang Kristen yang sudah mendahului mereka di zaman yang lalu, yang
semuanya itu akhirnya dipersatukan dengan Kristus yang ada di Sorga, yang ada diketinggian.
Dalam gedung Gereja itu digambarkan didalam kubah itu sendiri. Inilah ekspresi-theologis
kesatuan Gereja sebagai: Tubuh Kristus itu secara lengkap. Dengan demikian didalam batasan
tembok-tembok gedung Gereja Orthodox, ada satu simbol kosmos (dunia) yang baru. Dunia
yang dipenuhi dengan kekudusan dari orang-orang kudus Kristus,dunia yang dipenuhi dengan
kehadiran Kristus, yaitu dunia yang baru dimana tidak ada lagi kesengsaraan dan kematian, yang
ada hanya kekekalan dan sukacita serta kebahagiaan. Sesuatu yang kita harapkan secara
eskatologis, secara simbolis-simbolis dinyatakan didalam batasan gedung Gereja Orthodox,
karena disitu simbol-sibol tentang masa eskatologis, masa panunggalan antara seluruh umat
manusia , Gereja sepanjang segala abad dengan Kristus diwartakan secara simbolis. Kerajaan
Allah yang sedang dinanti-nanti itu sudah hadir didalam pengalaman orang percaya pada waktu
ia ikut ambil bagian didalam persekutuan umat percaya yang menyembah Kristus didalam
persekutuan darah dan tubuhnya dalam Perjamuan Kudus, di dalam bangunan Gedung Gereja
tadi.
RUANG MEZBAH
Sebagaimana dalam Kemah Suci/Bait Allah terdapat Tabir, maka antara Ruang Bahtera dan
Ruang Mezbah (bagian ketiga) ini juga terdapat satu tabir kayu atau benda keras yang disebut
225
dengan Ikonostasion, yang melambangkan tabir dari pada Bait Allah di dalam Perjanjian Lama.
Bedanya adalah di dalam Ikonostasion ini kita melihat tabir yang menutupi pandangan antara
umat yang ada di Ruang Bahtera dengan apa yang ada di dalam Ruang Mezbah ini ada pintu
besar yang disebut : Pintu Indah (Gerbang Indah ) - disitulah terdapat tirai yang berwarna
kirmizi seperti warna tabir Kemah Suci, ditutup pada saat tidak ada ibadah dan dibuka pada saat
ada ibadah-, tepat di tengah-tengah Ikonostasion, sering disebut sebagai Pintu Gerbang Raja.
Karena di situ Sang Raja : Yesus Kristus keluar dan masuk, yang diekspresikan dengan masuk
dan keluarnya Kitab Injil sebagai lambang kehadiran Kristus: Firman Allah yang mengajar dan
Perjamuan Kudus (Roti dan Anggur) sebagai ekspresi Kristus Sang Imam Besar yang
mempersembahkan Tubuh dan Darah Kristus sendiri yang diarak melalui Pintu Gerbang
tengah ini, pada saat arak-arakan Liturgi Suci. .Ini menunjukkan bahwa tabir yang menghalangi
manusia masuk kehadirat Allah itu telah dikoyakkan dan tak menghalangi manusia lagi, karena
Kristus telah mengoyakkannya pada waktu ia disalib.Disamping itu dikiri-kanan Gerbang
Indah ini yaitu di sebelah Utara dan Selatan, ada dua pintu, karena Gereja Orthodox selalu
membujur dari timur ke barat dan pintu depan menghadap ke barat serta gedung Gereja itu
mengarah ke timur. Ini sesuatu yang simbolik diambil dari Alkitab dimana Timur
melambangkan: Taman Eden berada (Kejadian 2:8). Dengan gedung Gereja diarahkan ke timur
menunjukkan bahwa umat percaya ialah menghadap kepada Eden, karena kewarga-negaraan
kita adalah di dalam sorga (Filipi 3:20-21). Ini juga simbol bahwa Sang Yesus Kristus akan
datang seperti kilat yang memancar “dari Timur ke Barat” ( Matius 24:27). Ini untuk
mengingatkan akan kehadiran masa eskatologis itu tetap merupakan suatu harapan bagi Gereja
di dalam penyembahannya. Timur secara realita jasmani adalah tempat terbitnya terang, ini
berarti adalah bahwa Gereja mengarahkan dirinya kepada Sang terang Sejati (Yohanes 8:12),
yaitu Tuhan Yesus Kristus , Sang Surya pagi dari tempat tinggi ( Lukas 1:78). Dengan demikian
Gereja selalu menyadari bahwa masa eskatologis itu sudah hadir di tengah-tengah mereka
karena Kristus sudah datang. Namun masa eskatologis itu masih merupakan suatu yang harus
diharapkan pemenuhannya segera Yesus datang lagi yang kedua kali. Jadi di dalam
penyembahan itu , Gereja selalu disadarkan akan kesegeraan kedatangan Kristus . Adanya
ikonostasion ini merupakan kesinambungan dengan tabir yang ada Kemah Suci di dalam
Perjanjian Lama, namun terdapatnya pintu-pintu pada Ikonostasion`menunjukkan ketidaksinambungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.Di pusat Ruang Mezbah tepat di arah
Pintu Gerbang Raja itu dipasang Mezbah yang dari luar melalui Pintu Gerbang Raja umat dapat
melihat, ini adalah: Meja Perjamuan Kudus. Dengan demikian arah atau kiblat dari
penyembahan Gereja adalah kepada Mezbah, yaitu arah Persekutuan dan Panunggalan dengan
Kristus melalui Darah dan TubuhNya di dalam Perjamuan Kudus ini (I Kor. 10:16,17,
Yohanes 6:53-58). Di Ikonostasion terdapat Ikon-Ikon yang dipasang secara beraturan sesuai
dengan makna simbolis-theologisnya, karena memang didalam Gereja Orthodox , ikon-ikon ini
disebut sebagai theologia dalam warna atau theologia dalam lukisan. Di sebelah kiri tepat di
sisi Pintu Gerbang Raja itu dipasang Ikon Sang Kristus sendirian, sedangkan di sebelah
kanannya tepat di sisi yang lain dari Pintu Gerbang Raja dipasang Ikon Sang Perawan Maryam
menggendong Bayi Yesus Di sebelah kiri Ikon Kristus, ditempatkan Ikon Nabi Yohanes
Pembaptis, sedang disebelah kanan Ikon Sang Perawan Maryam diletakkan Ikon Tokoh Suci
tertentu yang atasnya Gereja itu dinamakan. Misalnya: Jika Komunitas Gereja itu bernama
Paroikia Rasul Petrus, maka Ikon Petruslah yang dipasang disitu adalah, jika namanya Paroikia
Roh Kudus, maka Ikon Peristiwa Patekosta. yang dipasang disitu; jika namanya Paroikia Kristus
Juruselamat, maka Ikon Kristus yang dipasang, dan seterusnya. Demikianlah bentuk baku
pemasangan Ikon-Ikon pada Ikonostasion. Jika Ikonostasion itu berukuran panjang, ikon-ikon
lain yang dapat merefleksikan simbol-simbol theologis dari ajaran Gereja bisa dipasang. Dan
226
hal ini terserah kepada kehendak jemaat setempat. Selanjutnya di Pintu Utara dan Pintu Selatan,
selalu dipasang Ikon Malaikat Mikael dan Malaikat Gabriel. Disamping adanya Mezbah di dalam
Ruang Mezbah pada sudut sebelah kiri arah utara terdapat Meja Proskomidi bagi
mempersiapkan Roti dan Anggur bagi Perjamuan Kudus, ini berkesinambungan dengan
Mezbah Korban Bakaran pada Kemah Suci, namun tak berkesinambungan karena tempatnya
justru dalam Ruang Mezbah dan bukan untuk menyembelih Kambing namun untuk
memotong-motong Anak Domba Allah dan mencurahkan DarahNya: Roti dan Anggur untuk
Perjamuan Kudus. Alat-alat yang terdapat diatas Meja Proskomidi adalah Cawan tempat
Anggur dan Piring Suci tempat Roti. Tombak Suci lambang tombak yang digunakan menusuk
lambung Kristus, berfungsi sebagai Pisau pemotong Roti. Lalu Penutup Cawan dan Penutup
Piring Suci. Supaya Piring Suci datar ini dapat ditutup dengan Penutup yang terbuat dari kain
itu, maka ada penyengkang dari logam yang berbentuk Salib melengkung dibawahnya,
membentuk empat kaki, yang disebut Bintang Suci, lambang dari Bintang yang ada diatas Bayi
Yesus di Betlehem. Kemudian Cawan dan Piring Suci yang masing-masing dengan penutupnya
sendiri-sendiri itu, diturup secara bersama oleh kain empat persegi yang lebar disebut :Aera
(Tudung Suci). Demikianlah setelah ditutup dengan Tudung Suci ini, maka Roti dalam Piring
Suci, dan Anggur dalam Cawan itu secara bersama melambangkan kelahiran Kristus di
Betlehem. Dari Meja Proskomidi inilah Roti dan Anggur diarak keluar melalui Pintu Gerbang
Utara oleh Presbiter melewati Jemaat di Ruang Bahtera sampai masuk ke Pintu Gerbang Raja,
untuk diletakkan diatas Mezbah yang ada di tengah. Mezbah itu sendiri adalah lambang Takhta
Kristus namun sekaligus KuburanNya. Karena disitulah Injil selalu ditahtakan, dan disitu pula
Roti dan Anggur itu dikonsekrasi sebagai Tubuh dan Darah Kristus. Di dalam Ruang ezbah
juga terdapat Ukupan yang merupakan kesinambungan dengan Korban Ukupan Perjanjian
Lama, yang dari waktu ke waktu Presbiter akan mendupai ruangan dan benda-benda serta orang
yang hadir di Gereja. Dupa adalah lambang doa-doa orang-orang kudus yang dipersembahkan
kepada Allah ( Wahyu 5:8,8:3-4), dan yang membubung secara berkenan kepada Allah. Karena
Iman Orthodox meyakini akan kesatuan Gereja yang di Firdaus dan yang dibumi, yang ikonikon itulah lambang kehadiran umat beriman yang di Firdaus, maka setiap kali Gereja beribadah
mereka yang di Firdaus itupun ikut beribadah. Demikianlah yang didupai pada saat ibadah itu
bukan hanya ikon-ikon saja namun juga masing-masing anggota jemaat yang hadir. Dan jika
mereka didupai lalu mereka membuat gerakan tanda salib. Ini berarti ketika mereka berdoa, doa
mereka itu disatukan dengan doa-doa orang kudus dan dengan dupa lambang doa yang
membubung ke hadirat Allah yang berkenan dan berbau harum. Dupa ini digunakan dalam
seluruh ibadah Perjanjian Lama ( Keluaran 30:7-8), ketika sudah masuk zaman Perjanjian Baru
(Lukas 1:9-10), pada saat kelahiran Kristus ( Matius 2:11), serta merupakan praktek ibadah yang
konstan di sorga ( Wahyu 5:8, 8:3-4). Karena orang kuduspun ikut berdoa, dan doa mereka
disatukan dengan doa umat yang sedang beribadah, maka pada saat umat didupai maka orangorang kudus sebagai saudara-saudara seiman yang tetap masih hidup yang dilambangkan dalam
kehadiran ikon-ikon mereka itupun didupai. Ini menunjukkan keyakinan akan “Gereja yang
Satu” baik yang di Firdaus maupun yang dibumi.Sedangkan prosesi (arak-arakan) adalah meniru
Israel jika mereka mengarak Peti/Tabut Perjanjian (Tabernakel) seperti halnya yang dilakukan
Raja Daud ( II Samuel 6: 15), dan mendramakan secara Liturgis arak-arakan atau prosesi yang
dilakukan oleh Yesus ketika memasuki Yerusalem pada masa sengsaraNya ( Matius 21:1-11,
Markus 11:1-10, Lukas 19:28-38, Yohanes 12:12-19) dengan lambang ikon-ikon Kristus, dan
diperluas dengan ikon-ikon lainnya. Jadi ini bukan penyembahan ataupun ibadah kepada orang
kudus maupun kepada gambar, sebab kalau itu dianggap ibadah dan penyembahan, jemaat yang
didupai itupun berarti disembah dan diibadahi, berarti masing-masing anggota jemaat saling
menyembah dan mengibadahi satu sama lain, sebab mereka juga didupai. Ini sungguh
227
pengertian yang absurd. Jadi dalam pendupaan inipun implikasi ajaran Kitab Suci secara rinci itu
dipraktekkan secara apa adanya, tak diubah, tak dikurangi, tak ditambah ataupun dibuang. Disisi
belakang Mezbah terdapat Tabernakel (Artoforion =Penyimpanan Roti Perjamuan Kudus yang
sudah dikonsekrasi) sebagai kesinambungan dari Peti Perjanjian dari Kemah Suci yang berisi
Manna. Tepat di belakangnya terdapat Salib Besar dengan Ikon Kristus tersalib dilekatkan
padanya, dan diantara Tabernakel dan Salib ini sering juga dipasang Menorah, Kaki Dian yang
bercabang Tujuh, untuk menggambarkan Kristus yang berjalan-jalan diantara Kaki Dian
(Wahyu 2:1) dan juga simbol Gereja harus selalu memiliki Tujuh Kaki Dian yaitu Tujuh
manifestasi energi ilahi. Di kiri dan kanan Salib terdapat relief Kerubim terbuat dari logam bulat
yang disebut “Exapteriga = Si Enam Sayap” yang melambangkan bahwa Kristus itu selalu
diiringi Malaikat, namun juga merupakan kesinambungan dengan Patung Kerubim diatas Peti
Perjanjian. Dan ditembok belakang diatas dekat dengan langit-langit terdapat Ikon “Platitera
Toon Ouranoon” (“Lebih Luas dari Sorga”), yaitu Ikon Sang Perawan Maryam yang sedang
berdoa dengan Ikon Kanak-Kanak Yesus yang menempel tepat ditengah dadanya. Ini adalah
simbol bahwa kehidupan Umat Kristen Orthodox itu harus selalu berpusatkan pada ajaran
Kitab Suci sebagai bimbingan dan aturan kehidupannya, karena Injil ditakhtakan di Mezbah.
Namun untuk mendapatkan kekuatan menjalankan perintah-perintah Kitab Suci itu, ia harus
diberi kekuatan melalui kuasa Roh Kudus di dalam Sakramen, itulah sebabnya Artoforion
terletak tepat sesudah Injil. Cara menjalankan perintah-perintah Allah ini adalah dengan rela
memikul Salib Kristus dalam Energi Roh Kudus, itulah sebabnya Menorah dan Salib Kristus
terletak tepat dibelakang Artoforion. Tujuan akhir dari semua itu adalah menjadi seperti Ikon
Platitera yang ada diatas itu. Yaitu keterbukaan kepada Allah, karena dalam Ikon ini tangan
Perawan Maryam terbuka dalam sikap doa, dan kerelaan menempatkan Kristus sebagai pusat
hidupnya, karena Ikon Kana-kanak Kristus berada tepat di dada Maryam. Serta mencapai
panunggalan dengan Kristus, sebagaimana Ikon Kanak-Kanak Yesus itu menempel dan melekat
pada Maryam. Jadi Ikon Maryam itu adalah simbol panggilan Gereja untuk manunggal dengan
Kristus sendiri. Ini dapat juga kita lihat keluar ke Pintu Gerbang Raja. Itu merupakan pintu
keluar-masuk arak-arakan Injil dan arak-arakan Perjamuan Kudus. Artinya Umat secara bersama
diarakkan kepada panunggalan dengan Kristus sendiri. Itulah merupakan arah akhir dari pada
orang Kristen: Manunggal dengan Kristus. Ke arah Mesbah yang di tembok timur yang paling
ujung sendiri menghadap kepada jemaat, telah kita Ikon Platitera, yang juga disebut: Ikon
Maryam Sang Tanda. Ini adalah ekspresi nubuat Nabi Yesaya : “Sebab itu Tuhan sendiri
yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya , seorang perempuan
muda (seorang dara) akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki,
dan ia akan menamakan Dia Imanuel.” (Yesaya 7:14).
Karena Anak Dara yang akan
melahirkan seorang Anak Laki-Laki yang disebut Imanuel itu sebagai pertanda , maka ikon
Maryam dengan Kanak-Kanak Yesus yang ada diatas mezbah itu disebut Maryam Sang Tanda.
Adalah menarik bahwa dalam Al-Qur’an Maryam dan Isa itu disebut sebagai “Tanda” atau
“Ayat”:” Dan perempuan yang menjaga kesuciannya (Maryam), lalu Kami hembuskan
kepadanya Ruh Kami. Dia (Maryam) dan anaknya (Isa,Yesus), Kami jadikan tanda (wa
aj’lnaaha wa aabnahaa aayatan = dan kami jadikan ia dan anaknya tanda) untuk semesta
alam” ( Al Anbia 91).Ini semua bermakna bahwa tujuan akhir dari panunggalan orang percaya
melalui panunggalan Sakramental di dalam Tubuh dan Darah Kristus adalah untuk manunggal
dengan Kristus secara nyata. Panunggalan ini sudah terlebih dulu terjadi melalui masuknya Sang
Sabda Allah ke dalam rahim Maryam, mengambil dari Maryam sel telurnya. Sang Sabda telah
menjadi “Buah Rahim” Maryam (Lukas 1:41-43). Melalui pengambilan kemanusiaan oleh
Firman Allah melalui Maryam, kemanusiaan kita sudah manunggal dengan Sang Sabda, berarti
manunggal dengan Allah.. Maka di dalam diri Maryam, panunggalan antara Khalik-Makhluk itu
228
telah terjadi. Sebagaimana Maryam telah manunggal dengan Penciptanya – karena Allah
mencipta segala sesuatu melalui Firman itu - yang telah menjadi Anaknya, maka setiap orang
melalui persekutuannya dengan Kristus yang diekspresikan dengan persekutuan (ikut ambil
bagian) di dalam Tubuh dan DarahNya melalui Perjamuan Kudus mempunyai tujuan akhir bagi
manunggal dengan Kristus sebagaimana Maryam sudah manunggal denganNya. Selanjutnya,
Ikon Kristus di sebelah kiri pintu Gerbang Raja, adalah lambang kehadiranNya. Kristus selalu
hadir ditengah-tengah Gereja, namun kehadiranNya ini akan menjadi permanen pada waktu
“Parousia” (Masa Esktologis:Yesus datang kedua kali), sehingga mata iman kita selalu diarahkan
pada Masa Eskatologis, saat Sang Kristus akan datang untuk kali yang kedua di akhir zaman.
Masa Eskatologis itu sudah mulai masuk ke dalam dunia melalui Penjelmaan Sang Sabda,
ketika Ia menjelma menjadi manusia melalui kelahiranNya oleh Sang Perawan Maryam. Ini
disimbolkan dengan Ikon Maria yang menggendong bayi Yesus disebelah kanan pintu Gerbang
Raja tersebut. Dalam Gereja Orthodox Ikon Maria jarang dilukiskan berdiri sendiri. Ia selalu
bersama Kristus, karena Maryam mempunyai nilai dan dihormati dalam theologi Gereja
Orthodox hanya karena hubungannya dengan Inkarnsi Sang Kristus. Tanpa itu ia sama dengan
wanita yang lain yang tidak mempunyai arti secara khusus. Jadi semua Ikon Maryam dalam
Geereja Orthodox selalu dimengerti sebagai simbol Inkarnasi Sabda Allah.Ikon Maryam yang
ada di sebelah kanan Pintu Gerbang Raja ini menggambarkan sudah datangnya keselamatan itu
di dalam penjelmaan Sang Sabda. Masa Eskatologis itu sudah mulai menampakkan diri dengan
masuknya Sang Sabda (mengenakan daging kemanusiaan kita) melalui rahim Maryam. Dengan
demikian, terdapat suatu ke-tegang-an rohani di dalam umat Allah menuju kepada panunggalan
- yang dilambangkan menghadap kepada mezbah - , yaitu panunggalan dengan Kristus yang
dilambangkan dengan ikon Maria Sang Tanda. Ke-tegang-an rohani ini adalah ke-tegang-an
antara “Masa Sudah”, karena Sang Sabda telah datang - dilambangkan dengan ikon Maria
menggendong Bayi Yesus- berarti keselamatan itu “Sudah terjadi” , dengan “Masa Belum”,
karena kehadiran Sang Sabda secara permanen dalam panunggalan dengan UmatNya pada
Masa Eskatologis itu –dilambangkan dengan ikon Kristus di sebelah kiri pintu Gerbang Rajamasih belum terjadi, masih menunggu saat yang akan datang. Dengan demikian Gereja selalu
diingatkan , bahwa keselamatan itu adalah suatu proses. Keselamatan itu sudah terjadi , karena
Sag Sabda sudah datang di dalam kelahiranNya melalui Maryam, namun keselamatan itu
merupakan suatu yang akan dinyatakan pada akhir zaman yaitu pada masa eskatologis dikala
Sang Sabda datang.
Diantara ke-tegang-an yang sudah dan yang belum - yang disimbolkan oleh Ikon
Maryam menggendong Bayi Yesus dan Ikon Kristus tersebut -, Gereja selalu dipanggil untuk
menghadapkan dirinya kepada panunggalan yang terus-menerus dengan iman (menuju Sang
Sabda),
digambarkan Umat menghadap kepada Mezbah dimana Presbiter membacakan
Kitab Suci dan menyampaikan Kotbah serta membagikan Tubuh dan Darah Kristus. Dengan
disimbolkan Presbiter keluar membawa Roti dan Anggur Perjamuan dari dalam Mezbah, inilah
simbol bahwa dengan menghadap Mezbah umat selalu dipanggil untuk mencapai Panunggalan
dengan Kristus. Sehingga kaum beriman selalu diingatkan bahwa diantara masa yang sudah
(“Saya sudah diselamatkan”), dengan masa yang belum (“Saya masih akan diselamatkan”) dalam penggenapan keselamatan itu akan terjadi pada akhir zaman -, mereka selalu dipanggil
untuk memperbaharui dirinya di dalam ketaatannya akan Firman Allah dan di dalam
panunggalan dengan Kristus melalui iman dalam partisipasi dengan Sakramen.Dengan demikian
Ikon Maryam bersama Bayi Yesus dan Ikon Kristus yang ada di kiri dan kanan Pintu Gerbang
Raja adalah ekspresi theologis dari proses keselamatan yang bersifat tiga ganda: “sudah
diselamatkan” (Kristus sudah datang dalam Inkarnasi: Ikon Maryam bersama Bayi Yesus),
“sedang diselamatkan” (Umat masih harus selalu mengarahkan diri pada panunggalan: Pintu
229
Gerbang Raja, Mezbah) dan “akan diselamatkan” (Kristus akan menyempurnakan keselamatan
itu diakhir zaman: Ikon Kristus). Ikon Yohanes Pembaptis di sebelah kiri Ikon Kristus, adalah
lambang sebagaimana yang pertama kali mengenal dan menyodorkan Firman menjadi Daging
sesudah Maryam itu, adalah Yohanes Pembaptis, demikianlah Gereja selalu dipanggil untuk
memberitakan Firman itu selama masih ada dunia ini. Dunia harus selalu memiliki semangat
Yohanes Pembaptis ditengah-tengah sejarahnya dalam dunia ini. Ikon Nama Gereja setempat,
mengingatkan Gereja itu didedikasikan bagi melayani manusia, sesuai dengan teladan
kehidupan Orang Kudus yang atasnya Gereja itu dinamakan, atau sesuai dengan hikmat dan
makna dari peristiwa yang atasnya Gereja itu dinamakan. Ikon Para Malaikat: Mikhael dan
Gabriel di pintu Utara dan Selatan melambangkan masuk dan keluarNya Kristus itu selalu
diiringi oleh para Malaikat, tanpa terlihat oleh mata manusia, dengan demikian para Malaikat
selalu hadir dalam setiap Ibadah Gereja.
.
Makna simbolis theologis dari struktur bangunan Gereja Orthodox ini sudah bersifat
baku. Sehingga dengan simbol-simbol itu – serta beberpa praktek simbolis theologis lainnya theologia Orthodox dapat bertahan untuk mempertahankan Iman Rasuliah tersebut didalam
keutuhan dan kemurniannya tanpa berubah sedikitpun secara hakiki, walaupun ditengah-tengah
penyiksaan-penyiksaan yang terjadi. Gereja Orthodox mentafsirkan Alkitab selalu diilhami oleh
segala sesuatu apa yang dilihat dan apa yang dialami didalam kehidupan Gereja. Peraga-peraga
Visual yang mempunyai arti simbolis-theologis tersebut menjadi penjaga dan pegangan bagi
Umat Orthodox untuk tidak lari dalam pentafsirannya terhadap Alkitab dan Ajaran Rasuliah, dari
kebenaran yang dimaksud oleh Alkitab dan Ajaran Rasuliah itu sendiri. Kemurnian makna
Alkitab dijaga agar tidak jatuh ajara-ajaran yang menyimpang.. Melalui semuanya itu, berita
Alkitab dijaga keutuhannya, serta semangat kehidupan Gereja mula-mula , tetap dijaga
kelangsungannya.
Imamat Dalam Gereja Orthodox
Theologia Protestan mengajarkan bahwa semua orang percaya adalah imam-imam – tak ada
perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Theologia Roma Katolik mengajarkan bahwa hanya
para pastor, Uskup atau Paus itulah Imam,, malahan Paus disebut “Pontifex Maximus” ( Imam
Agung), sedangkan umat hanyalah kaum awam saja. Dalam theologia Potestan jabatan “pendeta”
bukanlah dimengerti sebagai jabatan imam namun hanyalah jabatan seorang pelayan, seorang
gembala atau seorang Guru. Dia bukanlah imam yang memiliki kuasa menjalankan Sakramen
Gereja, apalagi Sakramennya hanya dianggap simbol atau lambang saja, dan tidak memiliki kuasa
pada dirinya sendiri.
Karena theologia Protestan tidak percaya pada imamat, itu juga tidak percaya pada hirarki
kepemimpinan imam. Theologia Protestan percaya bahwa Gereja adalah satu tubuh yang
memiliki satu Kepala, yaitu Yesus Kristus saja. Tidak ada kepala manusiawi, Ke-Kepala-an
Kristus atas Gereja tidak mengijinkan adanya kekepalaan manusiawi. Oleh karena itu tak percaya
adanya wibawa hirarkhi Gereja apapun.
Orang-orang Anglikan adalah perkecualian dalam hal ini, karena meskipun mereka Protestan,
mereka memiliki Imamat Kudus dalam Gereja mereka yang berbentuk jabatan: Episkop (Bishop,
Uskup), Imam (Pastor), dan Diaken. Mereka juga memiliki Uskup Agung (Archbishop), misalnya
Uskup Agung (Archbishop) dari Canterbury dan Uskup Agung dari York dan lain-lainnya.
230
Namun demikian, mereka mengijinkan Uskup mereka menikah, dan bahkan mereka
mentahbiskan pastor wanita dan uskup-uskup wanita.
Sedangkan mengenai Imamat ini sikap Gereja Orthodox adalah demikian, memang Kristus
adalah satu-satunya Imam Agung sebagaimana yang telah kita bahas diatas, namun setelah
pengakuannya akan Ke-Mesias-anNya, Kristus mengatakan kepada Petrus: ‘ Engkau adalah Petrus
(“Batu-Karang”), dan diatas Batu Karang ini (“Pengakuan Petrus dan Diri Petrus sebagai wakil RasulRasul”) Aku akan mendirikan jemaat (Gereja)Ku…” ( Matius 16:18). Bahwa Gereja itu didirikan atas
dasar para Rasul dijelaskan dalam Efesus 2:20, dengan Kristus sebagai batu-penjurunya. Dengan
demikian para rasul adalah cikal-bakal Gereja. Itulah sebabnya ketika Yesus masih hidup di dunia,
Dia telah mempersiapkan adanya organisasi dari hirarki Gereja ini: Petrus sebagai yang pertama
(Matius 10: 2), namun dia pertama dalam kesatuan dan kesejajaran dengan segenap rasul lainnya
(Matius 10: 2-4). Dan diantara kedua belas rasul itu disamping Petrus sebagai yang pertama ada,
satu kelompok yang terdiri dari tiga orang yang lebih dekat kepada Yesus: Petrus, Yakobus,
Yohanes (Markus 5: 37, Matius 17:1, Matius 26:37), serta satu diantara mereka yang diangkat jadi
bendahara: Yudas Iskariot ( Yohanes 12:6). Baru kelompok para wanita yang membiayai
kebutuhan dari rombongan ini (Lukas 8:3), dan kelompok Tujuh Puluh Utusan ( Lukas 10:1).
Sesudah Kristus bangkit dan naik ke sorga, organisasi yang telah dimulai Yesus ini mulai
dimantapkan dengan diadakannya rapat pertama yang dipimpin Petrus ( Kisah 1:15-26) untuk
menggantikan kedudukan Yudas Iskariot yang telah mati bunuh diri. Jabatan Yudas ini disebut
dalam bahasa asli Yunani sebagai “ teen episkoopeen autou” (Kisah 1:20), yaitu “episkopnya”.
Berarti sejak masa awal ini jabatan rasul sudah dimengerti sebagai jabatan “Episkop” yang dalam
bahasa Arab menjadi “Al-Uskuf” dan bahasa Indonesia Katolik Roma “Uskup”. Sejak jaman
awal para rasul sudah mulai mentahbiskan, sebagaimana yang tertulis:” Ditiap-tiap jemaat
(“ekklesia”: Gereja) rasul-rasul itu menetapkan (“kheirotoneesantes” : mentahbiskan) penatuapenatua (“presbyterous” : para presbyter) bagi jemaat itu…” (Kisah Rasul 14:23 ).Dan Petrus
menyebut dirinya sebagai “teman-penatua” (“sympresbyteros” = sesama presbyter) (I Petrus 5:1
), yang berarti para presbyter ini nanti akan menggantikan kedudukan rasul-rasul sebagai gembala
jemaat (Kisah 20:17, 28), dan sekaligus “penilik” (“episkopous” para episkop), jabatan yang mana
juga disebut sebagai jabatan rasul juga (Kisah 1:20). Para “penatua” (“presbyter”) inilah yang
berada di sekitar rasul pada saat Konsili Rasuliah yang pertama di Yerusalem (Kisah 15:4,6 22),
dan berada dibawah kepemimpinan Yakobus di Yerusalem ketika Paulus “sowan” kepada
Yakobus sebagai pimpinan Gereja Yerusalem (Kisah 21:17-18, Galatia 2:9). Presbyter dan
Episkop pada saat itu masih merupakan jabatan yang sama, sebagaimana para presbyter (penatua)
di Kisah 20:17 itu disebut juga episkop (penilik) yang menggembalakan Gereja di Kisah 20:28.
(Titus 1:8-9) Dan Episkop (Penilik Jemaat) inilah yang menjadi Gembala Gereja di dampingi oleh
Diaken ( Filipi 1:1). Sehingga menjelang masa tua Rasul Paulus, kedudukan Episkop (Penilik
Jemaat ) ( I Tim. 1-7), kedudukan Presbyter (Penatua) ( I Tim. 5:17-22) dan kedudukan Diaken (I
Tim 3: 8-13), adalah merupakan jenjang Hirarkhi dalam Gereja yang telah mapan dan ditetapkan
para rasul sendiri. Dan jenjang jabatan dalam Perjanjian Baru dari zaman rasuliah diteruskan
tanpa putus secara mata-rantai dalam Gereja Orthodox, bahkan Gereja Roma Katolik juga, serta
segenap Gereja yang berasal dari zaman rasuliah Purba, yaitu zaman Perjanjian Baru sendiri:
Non-Kalsedonia (Monofisit), dan Pre-Kalsedonia Assyria (Nestorian). Berarti bentuk Gereja yang
ada dalam Perjanjian Baru, itu tak pernah tanpa organisasi, dan tak pernah tanpa hirarkhi, serta
tak pernah tanpa ada pimpinan manusia, meskipun Yesus adalah Kepala Gereja. Bahkan sejak
Yesus masih hidup di dunia, jenjang itu sudah ada, organisasi itu sudah terbentuk, disekitar Yesus
sendiri sebagai Kepala Tunggal mereka ini.Dan ketika Yesus akan mendirikan GerejaNyapun,
landasannya adalah mereka ini sebagai batu-karangnya. Dan patut dicatat dari semua jenjang
231
hirarkhi yang ada dalam Alkitab itu sebutan “pendeta”, “pendeta muda” itu memang tidak ada,
karena itu adalah istilah pinjaman dari Agama Hindhu-Buddha, bukan istilah Alkitab. Jenjang
hirarkhi episkop, presbyter dan diaken ini adalah jenjang hirarkhi keimaman sebab mereka adalah
penerus dan pengganti lanjut para rasul. Padahal para rasul ini yang ditetapkan sebagai pengajar (
Matius 28:16-19) sekaligus pelaksana sakramen baptisan, perjamuan kudus ( Lukas 22: 14,19, ) ,
pengakuan dosa ( Matius 16:19, 18:18, Yohanes 20:22-23), krisma ( Kisah 8:14-17, I Yoh.2:27, II
Kor.1:21-22 ), perminyakan bagi kesembuhan (Markus 6:13, Yakobus 5:14-15), dan semua
sakramen lainnya. Bahwa I Petrus 2: 9 mengatakan bahwa kita semua adalah “bangsa terpilih,
imamat yang rajani, bangsa yang kudus” tak berarti bahwa semua individu itu adalah imam
(Wahyu 1:6), namun Gereja secara kolektif itu adalah imam bagi dunia ini, karena Gerejalah yang
mengantarai berkat Allah bagi dunia melalui berita Injilnya serta rahmat sakramen yang dilakukan
di dalamnya. Ide ini diambil dari Perjanjian Lama dimana Israel sebagai bangsa secara kolektif
disebut “kerajaan imam dan bangsa yang kudus” ( Keluaran 19:5) yang secara tepat dikutip dalam
I Petrus 2:9 sebagai imamat yang rajani atau kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Dan dalam
konteks aslinya bagi Israel itu sama sekali tak menunjuk bahwa semua orang Israel itu adalah
imam. Namun menunjuk bahwa Israel sebagai bangsa itu adalah pengantara berkat Allah kepada
dunia, dan fungsi ini sekarang diambil alih Gereja. Dan karena fungsinya inilah Israel memiliki
sakramen-sakramen yaitu korban-korban dan upacara-upacara dan imam-imam yang
menjalankannya. Jika I Petrus 2:9 itu dikutip secara harafiah dari Keluaran 19:5, mengapa
maknanya harus dimengerti secara berbeda dalam Iman Kristen? Jika demikian halnya, jelaslah
bahwa bukan orang per orang dalam Gereja itu imam-imam secara mandiri sama seperti halnya
dalam Israel juga, namun Gereja sebagai Tubuh Kristus secara kolektif itulah imam dan kerajaan
bagi Allah ( Wahyu 1:6). Sama dengan keimaman Israel itu ditunjukkan adanya fungsi keimaman
dari mereka yang telah ditunjuk dari antara keturunan Harun dan orang-orang Lewi, demikianlah
dalam Gereja fungsi keimaman ini dijalankan oleh para episkop, presbyter dan diaken. Mereka
inilah yang menjalankan fungsi keimaman kolektif dari Gereja. Dan Rasul Paulus menyejajarkan
fungsi para pemberita Injil yaitu para rasul dan penerusnya itu dengan imam-imam Perjanjian
Lama dalam kata-kata seperti ini:”Tidak tahukah kamu bahwa mereka yang melayani dalam tempat kudus
( Imam Agung, imam- imam dan orang-orang Lewi) mendapat penghidupannya dalam tempat kudus itu
dan bahwa mereka yang melayani mezbah (Imam Agung dan imam-imam) mendapat bagian mereka dari
mezbah itu?. Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil ( para rasul
dan penerusnya: episkop, presbyter dan diaken) harus hidup dari pemberitaan Injil itu. ( pengajaran
Injil dan praktek-praktek sakramennya)” – I Kor.9:13-14 – Ayat ini jelas menyejajarkan fungsi
imam-imam Perjanjian Lama dengan para pelayan Perjanjian Baru. Gereja secara kolektif adalah
Tubuh Kristus, dan Kristus adalah Imam Besar ( Ibrani 3:1), maka Gereja sebagai “kepenuhan
Kristus” ( Efesus 1:23) pastilah memiliki sifat keimaman ini. Itulah sebabnya Gereja disebut
“imamat yang rajani”. Dan para episkop, presbyter dan diaken adalah ikon-ikon yang hidup dari
kehadiran keimaman Kristus dalam Gereja itu. Mereka bukan menggantikan keimaman Kristus,
namun mereka menyatakan dan memanifestasikan keimaman Kristus yang tunggal itu sebagai
ikon-ikon atau gambar-gambar Kristus yang hidup. Bahwa keimaman mereka terkait dengan
keimaman kolektif Jemaat atas Gereja, terbukti dalam praktek Perjamuan Kudus, imam tak dapat
melaksanakan Perjamuan Kudus jika tak dihadiri setidak-tidaknya dua atau tiga anggauta awam,
sebab keimaman seorang presbyter terkait dengan imamat rajani dari seluruh Gereja. Dan
kesejajaran keimaman Perjanjian Lama dengan keimaman Perjanjian Baru sebagai manifestasi
Keimaman Kristus yang tunggal itu terlihat pada jenjang hirarkhisnnya. Dalam Perjanjian Lama
terdapat Imam Agung dalam Perjanjian Baru ada Episkop. Dalam Perjanjian Lama ada imamimam dalam Perjanjian Baru ada Presbyter. Serta dalam Perjanjian Lama ada orang-orang Lewi
yang membantu para Imam dalam Perjanjian Baru ada para Diaken yang membantu para
232
presbyter atau Episkop:”….semua orang kudus ….di Filipi, dengan Para Penilik Jemaat
(Episkop) dan Diaken (sebagai pembantu mereka)” ( Filipi 1:1). Dan ajaran Perjanjian Baru inilah
yang tetap dipelihara tanpa berubah dalam Gereja Orthodox, karena Gereja Orthodox adalah
Gereja Perjanjian Baru itu sendiri yang masih tetap tegar hadir di dunia selama 2000 tahun ini.
Diantara para Episkop ini ada yang diangkat sebagai yang mengepalai beberapa Episkop lainnya
dengan jabatan Episkop Agung, ada yang ditempatkan di Ibukota dengan jabatan Metropolitan.
Ada yang mengepalai suatu wilayah negera tertentu yang disebut Katholikos. Ada yang
mengepalai Lima Pusat Gereja Purba : Yerusalem. Antiokia, Aleksandria, Konstantinopel dan
Roma, dengan gelar “Patriarkh” atau “Paus”. Patriarkh pertama di Yerusalem adalah Petrus
sebagai Ketua Kolega para Rasul, dan ketika Petrus masih hidup di Yerusalem telah bergeser
kepemimpinan Yerusalem kepada Yakobus saudara Sang Kristus sehingga dia yang akhirnya
disebut Patriarkh Yerusalem yang pertam. Patriarkh pertama di Antiokia adalah Petrus yang
menjabat selama tujuh tahun setalah pindah dari Yerusalem dan sebelum pindah ke Roma.
Kemudian digantikan oleh Evodius dan dilanjutkan oleh Ignatius Sang Martir. Yang mendirikan
kePatriarkhan Aleksandria adalah Markus Sang Penulis Injil murid kesayangan Rasul Petrus.
Yang mendirikan Kepatriarkhan Konstantinopel adalah Andreas saudara Rasul Petrus. Dan dari
Antiokhia Rasul Petrus pergi ke Roma dan di Roma ini akhirnya Rasul Petrus meninggal. Namun
sebelumnya dia telah mentahbiskan Linus sebagai Patriarkh Pertama Gereja Roma, kemudian
digantikan oleh Aneklitus, serta dilanjutkan oleh Klemen yang ditahbiskan bukan oleh Rasul
Petrus namun oleh Rasul Paulus. Para Episkop, Presbyter, Diaken ini adalah merupakan
pengganti lanjut atau pewaris mata-rantai rasuliah yang mereka semua adalah pria meskipun
diantara para murid Yesus itu yang wanita namun tak pernah satupun diangkat jadi rasul. Para
Rasul itu juga merupakan lambang simbolis dari para bapa bangsa, sebagai bapa dari Israel yang
baru ( 12 RASUL) sebagaimna Israel yang lama itu memiliki 12 bapa leluhur. Mereka juga
merupakan ikon yang hidup dari keimaman Kristus sebagai Pengantin Pria dan Jemaat sebagai
Pengantin wanita. Atas landasan data-data Alkitab itulah sebabnya Gereja Orthodox tidak
mentahbiskan wanita dalam derajat kepresbyteran apalagi keepiskopan. Mereka boleh menjadi
Diaken wanita (Diakonisa), namun bukan Diaken Sakramental, hanya membantu tugas
Presbiter.Ini bukan merupakan diskriminasi terhadap wanita, namun merupakan kesetiaan
terhadap ajaran Alkitab dan praktek Rasuliah dari sejak semula sampai kini dengan simbolisme
yang ada . Secara kodrat kemanusiaan perempuan dan lelaki adalah sama derajatnya (Galatia
3:26-28) . Namun secara pembagian tugas dan fungsinya berbeda. Keimaman adalah fungsi lakilaki, sebagai ikon Pengantin Pria :Kristus, dan pengganti Rasul yang adalah bapa bangsa bagi
ummat yang baru.Perempuan mempunyai tugas lain yang amat banyak di Gereja: Dosen
Theologia, Pengajar, Pengkhotbah, Guru Sekolah Minggu, dan lain-lain.
b.Busana Liturgis Imamat Dalam Gereja Orthodox
Sebagai kesinambungan dan penggenapan dari sistim Imamat Perjanjian Lama yang telah
digenapi oleh Kristus, para Imam dalam Gereja Orthodox, sama seperti para Imam Perjanjian
Lama, juga memiliki busana-busana Liturgis. Dengan busana-busana Liturgis itu di dalam diri
Presbiter yang melayani kita temukan ada simbolisme yang melambangkan kehadiran Kristus
ditengah-tengah GerejaNya.. Presbiter menjadi Ikon yang hidup dari kehadiran Kristus, tetapi
bukan menjadi wakil Kristus –seperti yang disalah-fahami oleh Gereja Roma Katolik -, sebagai
seorang imam yang memiliki wibawa mandiri, karena ke-Imam-an Kristus itu tak terwakili oleh
siapapun. Maka jubah atau busana Liturgis Presbiter yang berwarna-warni juga mempunyai arti
simbolis theologis. Pakaian Liturgis Episkop, Presbiter dan Diaken dan makna simbolis
theologisnya adalah sebagai berikut:
233
Jubah Gamis (Stikharion).
Jubah ini adalah jubah yang pertama dan merupakan kesinambungan dengan “Gamis” dari para
Imam Perjanjian Lama. Jubah ini dikenakan baik oleh Diaken, Presbiter maupun Episkop. Pada
saat mengenakan Jubah Gamis atau Stikharion ini, rohaniwan mengucapkan doa :”Jiwaku akan
bersukacita di dalam Tuhan. Karena Ia telah mengenakan kepadaku pakaian
keselamatan dan telah menjubahiku dengan jubah sukacita.Ia telah meletakkan
mahkota diatas kepalaku seperti mempelai pria, seperti mempelai wanita. ia
menghiasiku dengan keindahan.” Doa ini menjelaskan makna simbolis theologis dari Jubah
Gamis ini. Jubah ini disebut sebagai jubah keselamatan dan jubah sukacita. Episkop, Presbiter,
Diaken yang mengenakan dinyatakan sebagai mempelai pria dan mempelai wanita sekaligus. Ini
bermakna bahwa seorang dapat melayani Kristus hanya jika pertama kali dirinya sendiri adalah
orang yang sudah diselamatkan, menerima keselamatan Kristus melalui iman dan ketaatan
kepadaNya. Orang itu harus sudah berjubahkan keselamatan, dan mengerti keselamatannya di
dalam Kristus. Dengan demikian ia memiliki sukacita keselamatan dan sukacita melayani. Karena
ketika Ia melayani ia adalah “seperti mempelai pria” yaitu menjadi “ikon Kristus” sendiri: Sang
Pengantin Pria itu. Namun sebenarnya ia adalah “Mempelai Wanita” yaitu bagian dari Gereja, dan
tak beda dari anggota Gereja lainnya dalam perlunya akan keselamatan dari Allah: Sang Mempelai
Wanita itu. Ia bukanlah wakil Kristus yang mandiri, namun ia adalah Ikon Kristus dan masih
tetap bagian dari Umat, yang keimaman mereka itulah yang ia jalankan. Itulah sebabnya ia adalah
“Mempelai Pria” dan sekaligus”Mempelai Wanita”
.
Selendang Tutup Dada (Epitrakhelion, Sampur Jangga)
Selendang ini merupakan kesinambungan “Tutup Dada” dari Imam Perjanjian Lama. Selendang
ini berukuran lebar 15 sentimeter melilit sekitar leher dan turun ke bawah, lalu dibawah leher
dikaitkan tenganya antara lembaran kiri dan lembaran kanan yang terjuntai dari leher tadi dengan
kancing-kancing. Dalam bahasa Yunani ini disebut EPITRAKHELION Sehingga luas
seluruhnya menjadi ½ meter luarnya. Panjangnya terjuntai sampai dibawah lutut pemakainya. Di
ujung bawah terdapat dua rumbai-rumbai yang dipasang melintang lebar masing-masing luas sisi
kanan dan kiri dari selendang itu. Rumbai-rumbai itu di susun dua jenjang atas dan bawah. Ketika
mengenakan Selendang Tutup Dada ini, Episkop atau Presbiter yang mengenakan –Diaken
belum berhak mengenakan ini, ia mempunyai selendangnya sendiri yang disebut Selendang Doa (
ORARION ) – mengucapkan doa ini:”Terberkatilah Allah yang telah mencurahkan
rahmatNya kepada para imamNya, seperti minyak urap yang turun keatas kepala, yang
meleleh turun keatas jangut, bahkan janggut Harun, yang turun sampai ke leher
jubahnya” Ini melambangkan anugerah Roh Kudus yang turun mengurapi seluruh keberadaan
rohaniwan melayani Kristus . Ini berarti pula bahwa orang yang dipanggil melayani Kristus
pertama harus mengalami keselamatan dan dalam pelayanannya harus menerima pengurapan Roh
Kudus dan panggilan dari pada Roh Kudus untuk layak bagi pelayanan tersebut. Namun itu juga
menunjukkan bahwa kedatangan Kristus yang menyelamatkan itu untuk memberikan Roh Kudus
kepada kita agar kita mendapat kehidupan yang dari Roh yaitu kehidupan kekal. Rumbai-rumbai
yang dua jajar –atas dan bawah – itu adalah kesinambungan dari dua belas batu permata yang dua
jajar yang terletad di dada imam. Jika dua belas batu permata itu lambang umat Israel yang
diperadapkan kepada Allah, rumbai-rumbai adalah lambang umat yang digembalakan oleh
Presbiter itu. Karena Ibrani 13: 14 mengatakan :”…pemimpin-pemimpin kamu….berjaga-
jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang harus bertanggung-jawab atasnya….”.
Tanggung jawab atas jiwa umat itu ada pada pundak pemimpin Gereja. Itulah sebabnya rumbairumbai itu menjuntai dari pundak rohaniwan melalui Selendang Tutup Dada (Epitrakhelion,
234
Sampur Jangga). Jajaran rumbai yang atas adalah jiwa-jiwa mereka yang sudah bersama Kristus di
Firdaus, yang tanggung jawab Presbiter adalah mengingat mereka dalam Liturgi dan Doa
Peringatan, dan jajaran dibawahnya adalah jiwa mereka yang sedang dilayani di dunia ini.
Presbiter atau Episkop selalu melayani, mendoakan, menasihati, dan mengajar mereka. Bagi
Episkop ada tambahan Selendang Lebar yang bernama “OMOFORION” lambang dari
wewenang dan wibawa kegembalaannya. Disamping itu ia memiliki Tongkat Kegembalaan yang
terbuat dari logam, untuk menunjukkan bahwa Ia adalah Ikon Kristus yang menggembalakan
GerejaNya.
Gelang Penutup Tangan (Penutup pergelangan tangan)
Pada kedua pergelangan tangan Episkop, Presbiter dan Diaken terdapat semacam gelang penutup
tangan pendek (seperti yang ada ditangan polisi lalu lintas), yang dalam bahasa Yunani disebut
EPIMANIKON. Pada waktu mengenakan Gelang Penutup Tangan sebelah kanan, doanya
adalah :”Tangan kananMu ya TUHAN, dimuliakan dalam kekuatan. Tangan kananMu
ya TUHAN telah memporak-porandakan sekalian musuh, dan melalui kelimpahan
kemuliaanMu Engkau telah meremuk segenap lawan” . Dari doa ini kita melihat
Epimanikon sebelah kanan melambangkan Kekuatan dan Kemuliaan Allah yang menghancurkan
sekalian musuh dan lawan, yaitu segenap kekuatan roh-roh jahat dan kejahatan Iblis. Karena
seseorang yang menjadi pelayan Injili akan selalu menghadapi kuasa kegelapan; dan untuk
melawan kuasa kegelapan itu ia memerlukan kuasa Allah. Hal ini mengingatkan para rohaniwan
untuk selalu waspada, namun juga untuk menunjukkan bahwa Kristus Sang Imam Besar itu
memiliki kuasa atas segala kuasa kejahatan yang dapat menjadi perlindungan bagi segenap umat
beriman. Ketika mengenakan Gelang Penutup Tangan sebelah kiri doanya adalah :”TanganMu
telah menciptakanku dan membentukku. Terangilah pikiranku, dan aku akan belajar
perintah-perintahMu”. Dengan doa ini maka kita diajar bahwa epimanikion sebelah kiri
melambangkan kuasa Allah yang menjadikan dan membentuk manusia baru agar oleh terang
ilahi, manusia itu boleh hidup dan belajar perintah-perintah Allah. Jadi keimaman Kristus yang
dilayankan oleh para Rohaniwan itu disamping untuk melepaskan manusia dari kuasa jahat, dan
kegelapan oleh nashat, pengajaran dan doa-doa namun juga itu merupakan pelayanan penciptaan
baru, agar manusia boleh belajar kebenaran dan perintah-perintah Allah dan hidup dalam
ketaatan kepadaNya, melalui sakaramen-sakramen dan pemberitaan serta pengajaran Firman.Ini
juga bermakna bahw Rohaniwan itu sendiri juga adalah orang yang harus rela dibentuk oleh Allah
dan berani melewati peperangan rohani agar ia dapat mengalahkan yang jahat mencapai terang
ilahi, serta belajar akan perintah-perintah Allah melalui semuanya itu. Ini semua terjadi karena ia
terlebih dahulu telah menerima pengurapan Roh Kudus yang dilambangkan oleh Selendang
Tutup Dada (Sampur Jangga).
Ikat Pinggang
Ikat pinggang yang terbuat dari kain yang dijahit ini memiliki kesinambungan dengan ikat
pinggang imam dari Perjanjian Lama. Dalam bahasa Yunani ikat pinggang ini disebut: “ZONI”
Pada waktu mengenakan Ikat Pinggang ini Presbiter atau Episkop berdoa: “Terberkatilah Allah
kita, yang telah mengikat pinggangku dengan kekuatan, dan telah membuat jalanku tak
bercacat, serta telah memberikan kakiku seperti kaki kijang, dan telah menempatkanku
ditempat tinggi” Ini adalah lambang dari kuasa Allah yang mengendalikan hidup Rohaniwan,
dan akan memberikan keberhasilan dalam hidup ketatan kepada Allah, sehingga jalan hidupnya
tanpa cacat. Sehingga gerak pelayanannya akan sukses berlari seperti “kijang”, sehingga pada
akhirnya ia dapat mengatasi semua kesulitan-kesulitan dalam pelayanannya, karena Allah akan
menempatkannya “ditempat tinggi”.
235
.Jubah Badhongan (Jubah Efod)
Jubah Badhongan ini memiliki kesinambungan dengan “Baju Efod” dari para imam Perjanjian
Lama, oleh karena itu jubah ini mempunyai warna-warni yang beraneka ragam.. Untuk Presbiter
bentuknya adalah panjang di belakang, namun dibagian depan hanya sepanjang perut, sedangkan
untuk Episkop panjang seluruhnya sampai ke kaki, dengan terbuka dari ujung tangan bagian
bawah sepanjang lengan sampai ketiak langung ke sisi kiri dan kanan pinggang sampai ke bawah,
namun diberi kancing-kancing yang berwujud giring-giring kecil, yang berbunyi gemerincing
waktu dikenakan.Inipun kesinambungan dari giring-giring Imam Besar Perjanjian Lama. Untuk
Presbiter jubahnya disebut “FELONION” dan untuk Episkop disebut “SAKKOS”. Untuk
Episkop ditambah dengan Mahkota (“MITRA”) yang berwarna emas, dan merupakan
kesinambungan dari Serban dan Patam Emas yang dikenakan Harun. Pakaian Episkop yang
demikian itu melambangkan Episkop sebagai Ikon Kristus: Sang Imam Besar yang sekaligus
Raja ditengah-tengah GerejaNya. Kristus adalah Imam menurut peraturan Melkisedek, padahal
Melkisedek itu adalah Imam dan sekaligus Raja. Demikianlah Episkop sebagai Ikon Kristus
melambangkan jabatan Kristus sebagai Imam Besar dan sekaligus Raja, itulah sebabnya Episkop
mengenakan mahkota, dan pada waktu melayani di Gereja duduk diatas takhta yang khusus
disediakan didepan Ikonsostasion bagian Selatan. Jubah Efod ini melambangkan jubah
kebenaran. Dimaksudkan untuk mengajar bahwa untuk dapat melaksanakan pelayanan kepada
Allah, Presbiter atau Episkop harus hidup di dalam kebenaran. Hal ini juga membuktikan bahwa
kedatangan Kristus hendak menutup kita dengan kebenaranNya sendiri.Dengan melihat jubahjubah yang ada di dalam Episkop atau Presbiter ini, maka kita diperingatkan akan arti keselamatan
yang ada di dalam Kristus , akan arti karya Kristus di tengah-tengah kita melalui peragaan visual
yang terdapat pada pakaian Presbiter tersebut.
Demikianlah jelas bahwa semua simbolisme
yang ada dalam praktek liturgis Gereja Orthodox ini , dimaksudkan untuk mewartakan ajaran
Alkitab, dogma Gereja, dan penyataan wahyu Allah yang ada di dalam Kristus, dengan demikian
dogma itu dapat dialami di dalam pengalaman penyembahan kita kepada Allah. Dan kebenaran
Iman Rasuliah itu tidak akan mudah diubah-ubah sekehendak hati manusia, sebab ini tak pernah
diubah dalam Gereja Orthodox..
Perayaan-Perayaan Gereja Orthodox
Sebagaimana dalam Perjanjian Lama perayaan-perayaan itu dilakukan untuk memperingati halhal disekitar peristiwa penting di sekitar karya Allah dalam melaksanakan pelepasan Israel dari
Mesir, dan selama perjalanan mereka di padang gurun. Dan semuanya itu telah secara sempurna
digenapi dalam Kristus Yesus. Demikianlah dalam Gereja Orthodox perayaan-perayaannya
dilakukan disekitar penting peristiwa dari penggenapan perayaan-perayaan Israel: Peristiwa dan
Karya Yesus Kristus bagi pelepasan manusia dari dosa, Iblis dan maut.. Karena semua perayaanperayaan Israel itu sudah digenapi di dalam Yesus Kristus. Sebagaimana Israel belajar tentang
imannya melalui perayaan-perayaan yang menceritakan peristiwa-peristiwa karya Allah di dalam
Israel, demikianlah Gereja Orthodoxpun bertheologi dengan bersumber dari perayaan-perayaan,
ibadah, dan sakramen-sakramennya yang menceritakan peristiwa-peristiwa karya Allah yang
sudah dilakukan dalam Kristus Yesus oleh kuasa Roh Kudus. Dengan demikian terdapat
kesinambungan semangat dan metode cara penyampaian iman antara umat Israel Purba dan
Gereja Orthodox. Oleh kedatangan Yesus inilah yang kekal itu sudah menerobos ke bumi,
sehingga “ sang waktu” dirembesi oleh kekekalan dalam kaitannya dengan peristiwa Yesus
Kristus. Perembesan waktu oleh kekekalan dalam Kristus Yesus itu ditunjukkan didalam
dibaginya waktu dalam lingkaran-lingkaran waktu dalam bentuk Penanggalan Gereja, yang
236
memperingati peristiwa Sejarah Keselamatan itu sendiri. Pembagian waktu-waktu Penanggalan
Gereja dalam lingkaran itu adalah dalam bentuk perayaan-perayaan yang dilakukan bagi
memperingati Sejarah Keselamatan dalam bentuk Ibadah dan Liturgi. Pembagian lingkaran
waktu dalam perayaan-perayaan tadi adalah sebagai berikut:
Lingkaran Peringatan dalam Jam
Sebagaimana pada zaman Alkitab dari Israel purba setiap hari memiliki waktu-waktu
Sembahyang itu sebanyak dua kali sehari, demikian juga Gereja Orrthodox juga meiliki waktu
hariannya ntk Ibadah. . Nabi Musa diperintahkan. Allah untuk memberitahu Imam Harun agar
mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada ( Keluaran 29:38-39, 30:7-8) setiap
hari, sehingga dalam sehario ada dua kali peringatan dalam ibadah itu. Dalam Gereja Orthodox
juga ada lingkaran peringatan dalam jam pada setiap harinya. Untuk peringatan dalam Gedung
Gereja “Waktu Pagi” dan “Waktu Senja” itu tetap dipertahankan setiap harinya dalam wujud
Ibadah “Sembahyang Singsing Fajar” dan Ibadah “Sembahyang Senja”, yang juga inti utamanya
adalah persembahan dupa. Sedangkan lingkaran peringatan dalam jam itu adalah lingkaran
paling kecil yang dilakukan dalam sehari dalam bentuk sembahyang harian. Sembahyang Harian
itu dilakukan sebagai berikut:.
Sembahyang Tujuh dan Tiga Waktu serta Doa spontan
Bagi Ummat Kristen di Indonesia Sembahyang (Sholat) Tujuh Waktu atau Tiga Waktu itu
memang dianggap aneh, meskipun ini merupakan praktek Gereja sejak Zaman Purba.
Dalam Gereja Orthodox memang dibedakan antara Sembahyang, sebagai suatu ibadah
dan penyembahan kepada Allah yang disertai waktu tertentu, gerak tubuh tertentu, serta
isi doa-doa tertentu, dengan urutan yang telah tertentu pula, dan Doa dengan kata-kata
spontan langsung yang diucapkan dalam permohonan kepada Allah, seperti satu-satunya
cara yang dilakukan oleh Gereja-Gereja Protestan. Dalam Gereja Orthodox ada dua
bentuk Sembahyang Harian yang mengikuti aturan tertentu ini, yaitu yang mengikuti
cara Nabi Daniel :Tiga Kali sehari ( Daniel 6:11-12, Mazmur 55:18), atau juga mengikuti
pola yang dikatakan oleh Nabi Daud:”Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji
ENGKAU…” ( Mazmur 119:164). Sembahyang tiga kali itu terdiri dari: Pagi, TengahHari, dan Sore Hari ( Mazmur 55:18). Waktu-waktu Sembahyang itu sendiri sudah
dimulai sejak zaman Nabi Musa. Allah memerintahkan agar Imam Harun
mempersembahkan korban binatang dan korban dupa pada “Waktu Pagi” dan “Waktu
Senja” ( Keluaran 29:38-39, 30:7-8) Pada zaman Perjanjian Baru, rumah-ibadah rumahibadah Yahudi (synagoga-synagoga) melakukan ibadah pagi dan ibadah senjanya
bersamaan waktu-waktu korban dan pembakaran ukupan di Bait Allah ini. Dan para rasul
Kristus mengikuti pola “waktu sembahyang” ini, seperti yang tertulis :” Pada suatu hari
menjelang WAKTU SEMBAHYANG, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan
Yohanes ke Bait Allah” ( Kisah 3:1). Beberapa waktu sembahyang lagi yang dicatat dalam
Perjanjian Baru adalah :”Ketika tiba hari Pentakosta, semua orang percaya berkumpul
pada suatu tempat” ( Kisah 2:1), tentunya untuk berdoa. Dan dalam doa atau
sembahyang itulah peristiwa Pantekosta itu terjadi, dan Petrus menerangkan jam saat
mereka sembahyang itu dengan mengatakan:”Orang-orang ini tidak mabuk seperti yang
kamu sangka (karena mereka berbahasa asing itu,pent.), karena hari baru PUKUL
SEMBILAN “ ( Kisah 2:15), yaitu pukul sembilan pagi. Dari sini kita sudah melihat
empat waktu sembahyang: Pagi, Jam Sembilan, Jam Tiga Petang, dan Senja. Waktu
237
Sembahyang yang dicatat lagi oleh Perjanjian Baru adalah:” Jawab Kornelius:’ Empat hari
yang lalu, kira-kira pada waktu yang sama seperti sekarang, yaitu jam tiga petang, aku
sedang berdoa di rumah…” ( Kisah 10:30), yaitu waktu yang sama yang disebut dalam
Kisah 3:1 diatas. Disamping itu ada lagi catatan:” …kira-kira pukul dua belas tengah hari,
naiklah Petrus ke atas rumah untuk berdoa” ( Kisah 10:9), inilah waktu sembahyang
Siang. Dan yang terakhir :”Tetapi kira-kira tengah malam Paulus dan Silas berdoa dan
menyanyikan puji-pujian kepada Allah…” Kisah 16:25). Dari sini kita melihat ada dua
waktu sembahyang lagi: Waktu Tengah Hari dan Waktu Tengah Malam. Jadi kalau
digabungkan dengan data diatas sudah ada 6 waktu Sembahyang menurut Kitab Suci,
yaitu: Waktu Pagi sebanding Sholat Subuh dalam Islam yang dalam Gereja Orthodox
merupakan peringatan kelahiran dan kebangkitan Kristus Sang Terang Dunia itu yang
merupakan Natal dan Paskah Harian, Waktu Jam Sembilan Sebanding Sholat Dhuha
dalam Islam tetapi bukan sholat wajib dalam Islam dan ini dalam Gereja Orthodox
sebagai peringatan TurunNya Roh Kudus atau Pentakosta Harian, Waktu Tengah Hari
Sebanding Sholat Dzuhur dalam Islam dan ini dalam Gereja Orthodox merupakan
peringatan saat Yesus disalibkan : Jum’at Agung Harian, Waktu Jam Tiga Siang sebanding
Sholat Asyar dalam Islam, ini adalah merupakan peristiwa saat Yesus menghembuskan
nafasnya: Masih Peringatan Jum’at Agung Harian, Waktu Senja sebanding Sholat
Maghrib dalam Islam yang dalam Gereja Orthodox ini adalah Peringatan Penguburan
Yesus Harian: Sabtu Kudus Pagi Harian, dan waktu Tengah Malam sebanding sholat
Tahajjud dalam Islam namun yang juga bukan sholat wajib bagi Islam, dalam Gereja
Orthodox ini adalah Peringatan akan Kedatangan Kristus seperti Pencuri di waktu
Malam. Yang terakhir adalah sholat sesudah senja yaitu sholat akan tidur :”….Kasihanilah
aku dan dengarkanlah doaku….Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera
tidur…” ( Mazmur 4:1-9), ini sebanding dengan sholat Isya’ dalam Islam. Dengan
mengetahui sembahyang-sembahyang Gereja Purba yang tetap dipelihara Gereja Timur
Orthodox ini, kita melihat korelasi Ibadah Orthodox dengan sholat-sholat Islam itu,
sebab Gereja Orthodox telah lebih dahulu ada sebelum Islam lahir. Sedangkan sikapsikap dalam sholat itu dikatakan oleh Perjanjian Baru sebagai “berdiri” (Markus 11:25),
“berlutut dan bersujud” atau “membungkuk dan tersungkur” (Matius 26:39, 14:35, Lukas
22:41,Kisah Rasul 20:36, Wahyu 4:10),” mata terbuka menengadah kelangit” ( Yohanes
17:!), serta “menadahkan tangan” (I Timotius 2:8), dan membuat tanda salib dalam saat
urutan-urutan tertentu dalam doa itu. Sembahyang ini dimulai dengan doa yang bernama
Trisagion, diikuti dengan beberapa Mazmur yang sudah tertentu pada masing-masing
waktu, lalu doa-doa tertentu yang sesuai dengan tema dari saatnya, dan diakhiri dengan
salam terakhir. Sedangkan Doa spontan dapat dilakukan kapan saja, dimana saja, dengan
cara apa saja asal hormat dan sopan, menggunakan bahasa spontan, dan menghadap
kemana saja, sedangkan untuk Sembahyang yang beraturan itu menghadapnya adalah
kearah Timur. .
Lingkaran Peringatan Harian
Dalam seminggu ada tujuh hari. Inipun dibagi dalam peringatan-peringatan masingmasing, dan pembagiannya adalah sebagai berikut:
1.Hari Senin adalah hari memperingati para Malaikat dan semua makhluk-makhluk roh
yang diciptakan Allah yang sekarang ada di Sorga.
2.Hari Selasa memperingati para Nabi dalam Perjanjian lama dan juga untuk
memperingati Yohanes Pembaptis.
238
3.Hari Rabu adalah hari untuk memperingati Sang Perawan Maryami dan kesengsaraan
Kristus, hari dimana Yudas mengkianatiNya, untuk memperingati penghianatan inilah
maka setiap hari Rabu adalah puasa wajib bagi umat Orthodox.
4. Hari Kamis adalah hari untuk memperingati Para Rasul dan semua bapa-bapa Gereja .
5. Hari Jumat hari untuk memperingati Penyaliban Kristus dan ini juga hari puasa wajib.
6.Hari Sabtu adalah untuk memperingati para syhada dan para orang Kristen yang sudah
meninggalkan dunia ini, yang masuk didalam masa istirahatnya. Inilah hari Sabbat, hari
dimana Yesus berhenti dari semua pekerjaanNya untuk keselamatan manusia yang Ia
sudah lakukan selama 6 Hari masa sengsara itu,yaitu pada waktu Ia didalam KuburanNya.
Dengan demikian terkait dengan hari Sabat dimana Allah berhenti dari pekerjaanNya pada
penciptaan yang lama. Sabbat ini diperingati dengan Sembahyang Senja Sabbat untuk
mempersiapkan diri bagi Liturgi Suci pada Hari Tuhan (Hari Minggu)..
Lingkaran Peringatan Mingguan
Lingkaran mingguan ini berpusat pada Hari Tuhan (Hari Minggu) itu sendiri, dimana
pada saat ini Liturgi Suci (Perjamuan Kudus) dirayakan.Hari Minggu adalah Perayaan
Paskah kecil yang mengingatkan kita pada Kebangkitan Kristus. Sedangkan dari Senin
sampai Sabtu, itu adalah merupakan perpanjangan dari hari Minggu. Inilah perpanjangan
dari Paskah, sehingga bersumber dari peristiwa Paskah Kecil ini kita mendapatkan Ilham
untuk hidup selama seminggu.
Lingkaran Peringatan Bulanan Gereja
Lingkaran Peringatan Bulanan ini berkisar sekitar “Duabelas Perayaan-Perayaan”
(“Dodeka Eortees”) besar Gereja, yang berhubungan dengan Peristiwa Inkarnasi dan
Kehidupan Sang Kristus di bumi ini, dan didalam Kehidupan IbuNya, sarana lingkup
Inkarnasi itu terjadi.Ini disebut sebagai Perayaan Tak Bergerak sebab tanggalnya sudah
tetap. Perayaan yang berhubungan dengan Kehidupan Sang Kristus adalah: :
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1. Pengangkatan Salib
14 September
Natal
25 Desember
Pembaptisan Yesus (Epiphani)
6 Januari
Minggu Palem. Merayakan masuknya Yesus ke Yerusalem sebelum Ia disalibkan (Satu
minggu sebelum Paskah).
Perayaan Kenaikan Kristus (40 hari setelah Paskah).
Pantekosta ( 50 hari setelah Paskah).
Pengubah-muliaan Sang Kristu diatas Gunung
6 Agustus.
Perayaan yang berhubungan dengan Sang Perawan Maryam
2.
3.
4.
5.
1. Kelahiran Theotokos (Perawan Maryam) 8 September.
Masuknya Theotokos ke Bait Allah
21 November.
Pemberitaan Malaikat Gabriel kepada Maryam pada waktu ia akan mengandung
Maret
Pertemuan Kristus dengan Simeon
2 Pebruari
Wafat Sang Thetokos
21 November.
25
Perayaan-perayaan di dalam Gereja merupakan suatu lingkaran kehidupan Gereja
yang mengingatkan kita akan peristiwa keselamatan yang terjadi. Dengan demikian
kita berhadap-hadapan secara langsung dengan peristiwa keselamatan itu, bukan
239
sebagai sejarah masa lampau, tetapi sebagai suatu pertemuan dengan Kristus dan
karyaNya secara kekal didalam kekinian yang dialami dalam liturgi Gereja.
.Lingkaran Peringatan Tahunan Gereja
Lingkaran Tahunan yang terbesar adalah : Perayaan Paskah. Paskah adalah engsel yang
disekitarnya segenap perayaan Gereja itu berputar. Tahun Gereja dihitung dari Paskah ke
Paskah. Perayaan-perayaan yang bergantung kepada jatuhnya tanggal Paskah itu disebut
sebagai Perayaan yangt bergerak. Misalnya Pentakosta itu tergantung pada jatuhnya
tanggal Paskah, karena itu harus dirayakan lima puluh hari sesudah Paskah. Demikian
juga Perayaan Minggu Palem atau Sabtu Lazarus, itu tergantung pada Paskah karena itu
mendahului Perayaan Pekan Kudus, yang bergantung pada tanggal Paskah, sebab Pekan
Kudus itu rentetan dari Perayaan Paskah. Penentuan tanggal Paskah dalam Gereja
Orthodox adalah demikian:
1. Harus jatuh seminggu sesudah Paskah Yahudi, tidak boleh bersamaan.
2. Cuaca di Palestina, tempat peristiwa kebangkitan Yesus itu terjadi, harus musim semi,
dimana jumlah jam di siang hari dan malam hari sama.
Deengan perhitungan ini jatuhnya hari Paskah tidak selalu sama, dan dengan demikian
sering tidak sama dengan tanggal Paskah Roma Katolik dan Protestan.
.
b.Puasa Dalam Gereja Orthodox
Sebagaimana pada Hari Raya Pendamaian dan Hari Raya Tiupan Sangkakala Allah
memerintahkan puasa kepada umat Israel, dalam kesinambungannya dengan Perjanjian
Lama ini Gereja Orthodox juga mengenal puasa. Puasa dalam Gereja Orthodox bukanlah
sebagai sarana menumpuk amal atau jasa untuk mendapatkan keselamatan. Puasa adalah
disiplin rohani agar rahmat keselamatan di dalam Roh Kudus yang telah diterima secara
cuma-cuma dalam iman kepada Kristus itu menjadi realita yang menuntun kepada
pengudusan dan perendahan diri di hadirat Allah. Puasa adalah saat menguji iman dan
kasih seseorang akan Allah di dalam Kristus. Puasa bukan untuk mencari pahala, karena
keselamatan itu kasih karunia dan bukan karena amal-baik manusia. Keselamatan dalam
ajaran Iman Kristen Orthodox itu tak berarti sekedar naik sorga demikian saja, namun
lebih dari itu adalah untuk manunggal dalam kehidupan Allah sendiri, yang panunggalan
itu tak dapat dicapai oleh perbuatan manusia sendiri, namun melalui NuzulNya
Kalimatullah yang menghancurkan kuasa maut dan menyatakan hidup kekal. Berarti
keselamatan itu bukan hasil usaha manusia namun semata-mata karena kasih-karunia
Allah di dalam KalimatNya yang Nuzul sebagai daging ( Efesus 2:8-10). Dan karya
kematian Kalimatullah yang menghancurkan maut serta kebangkitanNya yang
menyatakan hidup kekal itu di Rayakan terutama dalam Ibadah Perjamuan Kudus sebagai
ibadah inti Iman Kristen Orthodox. Dalam Perjamuan Kudus inilah ummat menerima
kasih-karunia penyatuan dengan hidup kekal yang telah dinyatakan oleh kebangkitan
Kristus itu. Untuk memperdalam dan memelihara makna penyatuan dengan Kristus serta
kasih-karunia yang diterima dalam Perjamuan Kudus ini, maka ibadah-ibadah yang lain
dilaksanakan: Sembahyang Tujuh Kali Sehari yang masing-masingnya mempunyai makna
Perayaan dari segenap Kehidupan Kristus, Puasa ( sebagai disiplin dalam praktek
panunggalan dengan kematian Kristus untuk mematikan hawa-nafsu, serta manunggal
dengan kebangkitan Kristus guna memunculkan sifat-sifat manusia baru), Taffakur-Dzikir
‘’Doa Yesus’’ sebagai penyatuan Batin dengan Pribadi Yesus Kristus, Membaca Kitab
Suci untuk mendapatkan Bimbingan Ilahi mengenal Kristus lebih dalam lagi, dan lain-lain.
Maka teranglah bahwa iman Kristen Orthodox tak pernah berbicara mengenai ‘’pahala’’
240
sebagai upah dari ibadah semacam itu. Karenanya ibadah-ibadah itu tak dimengerti
sebagai amal yang mendatangkan ‘pahala’, namun sebagai disiplin rohani dalam
memperdalam panunggalan manusia dengan Kristus oleh iman. Dan iman yang demikian
inilah iman yang hidup karena ‘’iman tanpa perbuatan itu pada dasarnya mati’’ ( Yakobus
2:26). Iman Kristen Orthodox tak mempercayai bahwa perbuatan kesalehan itu yang
menyelamatkan manusia. Karena keselamatan itu berarti menyatu dengan Kristus, bukan
sebagai upah atau pahala berbuat baik ataupun melaksanakan ibadah. Kristus yang
menjadi landasannya dan Kristus pula yang menjadi tujuan akhir dari semua ibadah ini,
bukan pada tata-aturan ibadahnya sendiri meskipun sebagai disiplin rohani tata-aturan itu
penting, jadi memang jauh berbeda dengan perbuatan kesalehan Taurat yang dimengerti
oleh ummat Yahudi, atau ketaatan pada hukum syariat dalam pemaham Islam.
Demikianlah maka dalam kaitan dengan makna hubungan akidah dan ibadah ini puasa
harus dimengerti dalam memahami makna puasa dalam penghayatan Iman Kristen
Orthodox. Puasa tak boleh dimengerti dalam dirinya sendiri, namun dalam kaitannya
dengan tujuan akhir hidup Kristen: Manunggal dengan Kristus..
Puasa Dalam Perjanjian Lama
Dalam Perjanjian Lama kita menjumpai banyak sekali ajaran tentang puasa ini. Puasa
dalam bahasa Ibrani disebut sebagai ‘’sum’’ (sebanding dengan kata ‘’shoum’’ dalam
bahasa Arab). Kata ‘’sum’’ (puasa) ini sering digabungkan dengan kata ‘’innah nefesy’’
(‘’merendahkan diri’’) - Imamat 16:29, 31. 23:27, 32, Bilangan 29:7; Yesaya 58:3, Mazmur
35:13- Namun sering juga hanya disebut sebagai ‘’ tidak makan roti dan tidak minum
air’’ saja ( Keluaran 34:28). Bentuk dan tujuan puasa itu banyak macamnya. Puasa itu
dijalankan oleh ummat Israel dalam persiapan mereka untuk perjumpaan dengan Allah (
Keluaran 34:28; Ulangan 9:9. Daniel 9:3). Puasa dijalankan oleh perorangan kalau
mendapatkan masalah yang berat ( II Samuel 12: 16-23; I Raja-raja 21:27; Mazmur 35:13;
69:10). Namun itu juga dilaksanakan oleh seluruh bangsa secara bersama jika menghadapi
bahaya peperangan dan penghancuran ( Hakim-hakim 20:26; II Tawarikh 20:3; Ester
4:16; Yunus 3:4-10); pada saat ancaman bencana belalang (Yoel 1 dan 2); untuk
mendapatkan keamanan perjalanan para tawanan kembali ke Yerusalem ( Ezra 8:21-23)
dan sebagai upacara pendamaian dengan Allah ( Nehemia 9:1); dan akhirnya berkaitan
dengan upacara dukacita kematian ( II Samuel 1:12 ). Puasa selalu dilakukan bersamasama dengan doa ( Yeremia 14:11-12, Nehemia 1:4; Ezra 8:21,23). Puasa biasanya
dimulai dari pagi dan berakhir pada sore hari ( Hakim-hakim 20:26; I Samuel 14:24; II
Samuel 1:12), meskipun ada kalanya dilakukan puasa total 3 hari 3 malam ( Ester 4:16).
Dalam Mazmur 109:24 kesulitan jasmani karena puasa merupakan refleksi kesulitan batin
yang dialami oleh yang menjalankan puasa itu. Ada satu puasa yang diwajibkan bagi
segenap bangsa Israel yaitu pada saat Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) - Imamat
16:29-31; 23:27-32; Bilangan 29:7) . Dan sesudah penghancuran Yerusalem (587
ses.Mas.) puasa empat-buah hari-hari puasa ditetapkan sebagai peringatan ( Zakharia 7:35; 8:19).
Sering makna puasa yang terdalam sebagai perendahan diri di hadapan Allah ini menjadi
tak dimengerti serta diperdangkal oleh manusia , sehingga dianggap hanya sebagai usaha
mencari pahala dari amal kesalehan saja. Para nabi berusaha keras menentang
pendangkalan makna puasa ini ( Yesaya 58:3-7; Yeremia 14:12), namun sering tak
digubris. Pada zaman Yesus Kristus orang-orang yang ingin lebih mendalam dalam
keagamaannya, terutama kaum Farisi, menjalankan puasa dua kali seminggi (Senin-Kamis)
( Lukas 18: 12), demikian juga murid-murid Yohanes menjalankan peraturan yang sama.
241
Puasa Dalam Perjanjian Baru
Kata ‘’sum’’ dalam bahasa Ibrani Perjanjian Lama ini berbunyi ‘’neestia/ nistia’’ dalam
bahasa Yunani Perjanjian Baru. Karena praktek yang sudah umum dinatara bangsa
Yahudi mengenai puasa ini, Yesus tidak memberikan rincian mengenai bagaimana harus
berpuasa. Dia hanya mengandaikan bahwa orang beriman itu pasti berpuasa, yang disertai
dengan sembahyang serta shodaqoh (tsedeqa, Ibrani) (Matius 6: 1-18). Yesus mengatakan
:’’ Dan apabila kamu berpuasa...’’ ( Matius 6: 16). Menunjukkan ada saatnya orang
beriman berpuasa (‘’apabila’’), sebagai suatu kemestian ibadah. Dia tak mengatakan :’’
Jikalau kamu berpuasa ...’’, seolah-olah orang beriman punya pilihan untuk melaksanakan
kalau mau, atau tidak melakukan kalau tidak mau. Konteks kepada siapa Dia mengatakan
ajaran ini tidak memungkinkan tafsiran yang demikian ini. Memang untuk murid-mridNya
Yesus menunjukkan kapan saatnya mereka menjalankan puasa itu, pada saat Dia ditanya
oleh orang-orang saat murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi
berpuasa:’’Mengapa murid-murid murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi
berpuasa, tetapi murid-muridMu tidak?’’ ( Markus 2:18). Yesus menjelaskan bahwa saat
berpuasa bagi murid-muridNya adalah nanti bila ‘’mempelai (Kristus) itu diambil dari
mereka (naik ke Sorga)’’ ( Markus 2: 20): ‘’PADA SAAT ITULAH MEREKA AKAN
BERPUASA’’ Berarti puasa bagi murid Yesus barulah akan dijalankan sesudah Yesus
naik ke sorga, oleh karena itu para murid tak diberi rincian aturan bagaimana berpuasa
karena aturan puasa itu terkait dengan paripurnanya Karya Keselamatan Yesus yaitu
naikNya ke Sorga. Dengan demikian puasa yang akan dilakukan ummat beriman itu
berbeda dengan puasa ummat Yahudi, puasa ini akan bersifat Kristus-sentris, sehingga
oleh Yesus dikatakan bahwa puasa Kristen itu sebagai ‘’ kain yang belum susut’’ serta ‘’
anggur yang baru’’. Oleh sebab itu tak boleh ditambalkan pada ‘’baju yang tua’’ atau
dmasukkan ke dalam ‘’kantong kulit yang tua ‘’ ( Markus 2:21-22). Baju tua dan kantong
kulit tua ini sistim keagamaan orang Yahudi. Sedangkan ‘’ kantong kulit yang baru’’ itu
adalah kehidupan yang berpusatkan pada Kristus. Maka dalam konteks hidup dalam
Kristus dan berlandaskan Kristus inilah puasa Kristen itu harus dilakukan. Namun Yesus
sendiri juga memberi teladan bagaimana Dia sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40
malam ( Matius 4:2). Yesus juga mengajarkan bahwa pada saat mengusir roh-jahat orang
perlu berpuasa dan berdoa ( Matius 17:21). Dan akhirnya kita melihat bahwa sesuai
dengan ajaran Yesus Kristus, Sesudah KenaikanNya ke sorga para murid Yesus Kristus
zaman perdana yaitu Gereja Kristus melaksnakan puasa ini ( Kisah 13:3, 14:23).
Demikianlah data-data Alkitab mengenai bagaimana puasa itu dilaksanakan. Dan apa yang
sudah dimulai dalam masa Perjanjian Baru ini dilanjutkan secara berkesinambungan dalam
kehidupan Gereja sepanjang abad sebagaimana yang masih tetap dipelihara dalam Gereja
Orthodox selama hampir 2000 tahun ini.
Puasa Dalam Gereja Perdana dan Gereja Orthodox Masakini
Praktek ibadah puasa dalam Gereja Perdana dapat kita jumpai dalam suatu dokumen purba
yang bernama ‘’Didakhee Toon Apostoloon’’ (‘’Pengajaran Rasul-Rasul’’) dalam kaitannya
dengan persiapan baptisan dan puasa harian. Mengenai persiapan baptisan dikatakan
demikian:’’ Dan sebelum baptisan, baik yang membaptis maupun yang akan dibaptis haruslah
berpuasa, bersama dengan orang-orang lain yang dapat ikut serta. Dan harus dipastikan bahwa
242
orang yang kan dibaptis berpuasa selama satu atau dua hari sebelumnya ‘’ ( 7:4), praktek yang
mana tetap dijalankan dalam Gereja Orthodox masakini. Dan mengenai puasa harian
dikatakan:’’ Tetapi janganlah sampai puasamu itu jatuh pada hari-hari yang sama dengan kaum
munafik (‘’kaum Farisi, lih.Mat.6:16,pen.), yang berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Namun
hendaknya engkau berpuasa pada hari Rabu dan Jum’at’’ ( 8: 1), praktek puasa harian :Rabu
(sebagai peringatan hari Yesus Kristus dikhianati Yudas) dan Jum’at (sebagai peringatan hari
Penyaliban Yesus Kristus) inipun tetap dipraktekkan oleh Gereja Orthodox masakini..
Puasa Agung Catur Dasa
Jika Allah mewajibkan bangsa Israel untuk berpuasa pada hari Raya Pendamaian dimana
korban penghapus dosa disembelih, ummat Kristen perdana mengerti bahwa :’’ Anak Domba
Paskah kita juga telah disembelih ‘’ ( I Kor.5:7), karena Kristus itulah ‘’ Anak Domba Allah
yang mengangkut/menghapus dosa-dosa dunia’’ ( Yohanes 1:29) sebagaimana domba
sembelihan pada Hari Raya Pendamaian itu juga menghapus/ mengangkut dosa-dosa ummat
Israel. Demikianlah sejak zaman Perdana Hari Pengorbanan Anak Domba Allah yaitu Hari
Paskah itu telah menjadi Hari Raya terbesar bagi Ummat Kristen Perdana. Terutama pada saat
Masa Sengsara Yesus selama satu minggu penuh sampai Hari Paskah itu sendiri, ummat
Kristen Perdana melakukan Puasa. Karena pada saat Paskah itu ummat Kristen mengalami
perjumpaan dengan Yang Ilahi oleh Kebangkitan Kristus, maka sebagaimana Musa ketika
akan berjumpa dengan Yang Ilahi itu menjalankan puasa 40 hari 40 malam ( Keluaran 34:28),
dan Yesus Kristus sendiri sebelum menjelankan tugas ke-MesiasanNya untuk menyatakan
Yang Ilahi pada UmmatNya juga telah berpuasa 40 hari 40 malam ( Matius 4:2), maka puasa
40 hari itupun telah menjadi praktek Gereja sejak zaman purba untuk menyongsong Paskah,
perjumpaan dengan Yang Ilahi melalui Kebangkitan Kristus.
Dalam prakteknya masa Puasa 40 hari sebelum Paskah ini dalam Gereja Orthodox ini
disebut sebagai : ‘’Tessarakosti’’ (Empat puluh) dan dalam bahasa Inggris ‘’Lent’’ yang di
dalam Gereja Orthodox di Indonesia disebut sebagai ‘’Puasa Agung Catur Dasa’’. Gereja
Roma Katolik di Indonesia menyebutnya sebagai Puasa Pra-Paskah, meskipun tanggal
pelaksanaannya berbeda, karena perbedaan kalender yang digunakan. Gereja Orthodox
menggunakan Kalender yang lebih tua yaitu Kalender Yulian, sedangkan Gereja Roma Katolik
dan Protestan menggunakan Kalender Gregorian atau Kalender umum yang sekarang kita
pakai di Indonesia ini
Praktek Puasa Agung Catur Dasa
Puasa Agung Catur Dasa itu sendiri dibagi dalam tiga bagian:
A. Minggu Persiapan yang terdiri dari :1. Minggu Orang Farisi dan Pemungut Cukai untuk
mengingatkan bahwa Puasa yang akan dijalankan itu bukanlah usaha mencari pembenaran
tetapi sebagai perendahan diri di hadapan Allah. 2.Minggu Anak Hilang untuk mengingatkan
bahwa puasa yang akan dijalankan itu adalah untuk menyadari dosa-dosa dan kembali kepada
Allah. 3. Minggu Penghakiman Akhir untuk mengingatkan bahwa puasa ini adalah sebagai
usaha untuk sadar bahwa setiap perbuatan manusia itu akan dipertanggung-jawabkan serta
untuk mempertajam rasa tanggung jawab sosial kepada sesama. 4. Minggu Pengampunan dosa
untuk mengingat bahwa oleh dosa-dosa kita telah terbuang dari hadirat Allah dan puasa kali
ini adalah untuk menyadarkan diri untuk kembali kepada Ilahi. Pada hari inilah diadakan saling
maaf-memaafkan yang sering disertai dengan isakan tangisan mengharukan. Karena hatinya
ingin suci dari benci sebelum menjalankan puasa esok pagi hari Seninnya.
243
B. Puasa Catur Dasa yang terdiri dari :1. Minggu Orthodoxia memperingati kemenangan atas
Gerakan Ikonoklasme untuk mengingatkan bahwa puasa yang sudah berjalan selama satu
minggu ini adalah untuk mengembalikan fitrah manusia yaitu ikon (gambar) Allah yang kabur
karena dosa dengan menyatu dengan kebangkitan Kristus di Hari Paskah. 2.Minggu Gregorius
Palamas mengingat kemenangan Hesykhasme yang menegaskan bahwa kembali kepada Fitrah
Gambar Allah itu tak mungkin terjadi tanpa rahmat ilahi, yaitu Energi Ilahi yang memuliakan
manusia. 3.Minggu Salib untuk mengingatkan bahwa dalam puasa ini rahmat atau kasihkarunia pemulihan Kodrat itu tak mungkin terjadi tanpa kerelaan menyalibkan kehendak hawa
nafsu dosa. 4. Minggu Yohanes Klimakus untuk mengingatkan bahwa melalui penyaliban
dirinuntuk mencapi pemulihan gambar di dalam Kristus itu tak dapat dilakukan sekaligus
namun melalui tahapan-tahapan seperti tangga (klimaks).5. Minggu Maryam dari Mesir untuk
memngingatkan bahwa dosa yang bagaimanapun yang telah dilakukan melalui kasih-karunia
Allah dalam Kristus akan mendapatkan pengudusan.Selama masa puasa ini didakan
Sembahyang sore setiap hari sebanding dengan Sholat Tarawih dalam Agama Islam. Dselama
puasa ini ummat tidak makan apapun, kecuali pada hari berbuka sekali saja sore hari, Dan
makanannya adalah vegetarian artinya tanpa makanan dari binatang, kecuali hari Sabtu dan
Minggu diijinkan makan ikan, untuk mengingatkan bahwa tujuan puasa ini adalah menuju
kepada fitrah seperti Adam sebelum jatuh dalam dosa, dimana pada saat itu dia hanya diberi
makanan dari sayur-sayuran dan buah-0buahan saja ( Kejadian 1:29), dan hubungan suamiisteri tidak dilakukan selama masa puasa ini.( I Kor. 7:5).
C. Pekan Kudus yang terdiri dari Sabtu Lazarus. peringatan kebangkitan Lazarus, Minggu
Palem, Senin Kudus . Selasa Kudus, Rabu Kudus dimana diadakan Pengurapan bagi
Kesembuhan Orang Sakit, Kamis Kudus peringatan pembasuhan Kaki murid-murid, ulangtahun penetapan Perjamuan Kudus. Sorenya diadakan Arak-arakan Salib sebagai peruingatan
penyaliban Kristus, Jum’at Agungdibacakan 12 bacaan Injil mengenai sengsara Kristus, arakarakan replika Kernda penguburan Kristus, dan Sabtu Kudus Ibadah Kidung dukacita di
depan Keranda Krisytus, malam harinya peringatan Kebangkitan Kristus dimana seluruh
Gereja dipergelap dan akhirnya lilin dipasang pada segenap jemaat. Lalu dilanjutkan Liturgi
Paskah sampai pagi hari. Demikianlah Hari raya Paskah pagi itu merupakan hari Kemenagan
Kristus atas Dosa, Maut dan Iblis, dan pada saat itulah sering didakan Baptisan untuk menyatu
dengan kemenangan Kristus, serta dipulihkan kembali kepada Fitrah melalui kebangkitan.
Disamping puasa agung, ini masih ada beberapa puasa lain dalam Gereja Orthodox disamping
puasa harian Rabu dan Jum’at:: sore hari sebelum tanggal 6 Januari peringatan pembaptisan
Kristus, menjelang Natal dari 15 November sampai dengan 24 Desember yang bersifat tarak
artinya tak berpuasa penuh hanya pantang makanan yang berasal dari binatang hidup, dan lainlain. Disamping itu ada hari-hari dilarang puasa karena sifat pesta dan gembira pada hari itu,
misalnya dari masa Natal sampai Theofani, Seminggu sesudah Paskah. dan lain-lain.
Demikianlah melalui puasa ini makna Karya Kristus dihayati lebih mendalam lagi, sebagai
disiplin untuk makin manunggal dengan kasih-karunia Kematian dan Kebangkitan Kristus.
Demikianlah makna Ibadah Puasa itu dimengerti dan dilaksanakan dalam Gereja
Orthodox.
Sakramen Perjamuan Kudus Gereja Orthodox
244
Sudah kita bahas diatas bahwa seluruh sistim korban dalam Taurat itu sudah secara
sempurna digenapi oleh Korban Kristus diatas Kayu Salib, Kebangkitan, dan
KenaikanNya ke sorga. Sehingga kita tak memrlukan lagi korban kambing, domba
ataupun lembu. Korban kita sudah sekali dan untuk selamanya terjadi tanpa terulangulang kembali, yaitu Kristus itu sendiri. Namun Korban Kristus yang sekali dan untuk
selamanya, yaitu Tubuh/Daging dan Darah Kristus, itu kita alami secara Sakramental
terus-menerus di dalam Perjamuan Kudus. Dalam pasal keenam dari Injil Yohanes Sang
Kristus bersabda:
“Aku berkata kepadamu, sesungguhnya bukan Musa yang memberikan kamu roti dari sorga ,
melainkan BapaKu yang memberikan kamu roti yang benar dari sorga. Karena roti yang dari Allah
ialah roti yang turun dari sorga dan yang memberikan hidup kepada dunia……..Akulah roti hidup.
Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun
dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun
dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang
Kuberikan itu ialah dagingKu, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.” (Yohanes 6: 32-33, 4851). Kemudian para murid berbalik kepada Yesus dan berkata, ; ” Tuhan, berikanlah kami
roti itu senantiasa.” ( Yohanes 6:34). Dan Yesus mengabulkan permohonan mereka itu.
Dia memberikan kepada kita Roti Kehidupan, DiriNya Sendiri, yang kita alami melalui
Peristiwa Sakramen Perjamuan Kudus:
“Sebab dagingKu adalah benar-benar makanan dan darahKu adalah benar-benar minuman.
Barangsiapa makan dagingKu dan minum darahKu, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia”
( Yohanes 6:55-56). Dalam Perjamuan Kudus itu kita manunggal dengan Kristus, karena
tubuh dan darahNya secara sakramental masuk kedalam diri kita, dengan demikian secara
sakramental kita telah manunggal denganNya, sebab itu dikatakan oleh Alkitab:”
Bukankah Cawan Pengucapan Syukur, yang atasnya kita ucapkan syukur, adalah persekutuan
dengan darah Kristus? Bukankah Roti yang kita pecah-pecahkan adalah persekutuan dengan Tubuh
Kristus?” ( I Korintus 10:16). Kita tidak tahu bagaimana roti dan anggur itu menjadi sarana
panunggalan kita dengan darah dan tubuh Kristus, itulah sebabnya peristiwa ini disebut
sebagai “Mystirion”. Prinsip yang terjadi dalam peristiwa ini adalah sama dengan peristiwa
“TurunNya Kalimat Allah Menjadi Daging” (Yohanes 1:14), dimana dalam wujudNya
yang jasmani manusia itu “berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan keAllahan” (
Kolose 2:9), demikian pula dalam wujudnya yang roti dan anggur itu berdiam secara
sakramental seluruh kepenuhan Daya Inkarnasi Kristus, yaitu seluruh keberadaan tubuh
dan darahNya yang sekarang mulia di sorga itu. Jadi yang ada dalam Sakramen itu
bukanlah tubuh Kristus yang masih tunduk pada maut, namun Tubuh yang sekarang
mulia di sorga itu ( Filipi 3:20-21). Sehingga dalam Perjamuan Kudus kita bukan “makan
daging busuk” ataupun “minum darah anyir” dari suatu mayat, namun manunggal dalam
Tubuh kemanusiaan Kristus yang sekarang telah dimuliakan, agar kita juga menyatu
dalam kemuliaan Kristus. Jadi tuduhan kaum rasionalis maupun orang kafir kuno
terhadap orang Kristen yang mengatakan bahwa keyakinan Alkitabiah ini sebagai suatu
bentuk “kanibalisme” adalah sangat tidak relevan. Dengan panunggalan kita dengan
tubuh dan darah kemuliaan Kristus secara Sakramental ini kita diangkat ke dalam realita
sorgawi dimana Kristus ada, bukannya kita menurunkan Kristus untuk masuk ke dalam
Roti dan Anggur. Jadi kita yang diangkat keatas manunggal dengan Kristus, bukan Kristus
yang kita turunkan ke atas altar dalam peristiwa Perjamuan Kudus ini, sebagaimana yang
dihayati dalam Gereja Roma Katolik. Demikianlah maka Perjamuan Kudus itu adalah
245
merupakan perjumpaan kita secara pribadi dengan Allah melalui KalimatNya yang
menjadi manusia:Yesus Kristus. Disinilah tempat dimana kita bertemu denganNya serta
mengundang Dia untuk memasuki jiwa kita.
Inilah pengajaran seluruh Gereja Purba, sebagaimana yang dinyatakan oleh para bapa
Gereja. Oleh mereka ini Perjamuan Kudus sering disebut sebagai perjumpaan perkawinan
antara jiwa dan Tuhannya, suatu persatuan pernikahan antara Allah melalui KalimatNya
yang menjelma:Kristus dengan jiwa manusia. Suatu Sakramen “Manunggalnya Hamba
dan Tuhannya, serta Tuhan dan HambaNya.” Bapa Suci Kyrillos dari Yerusalem
mengatakan demikian:” Kristus telah memberikan kepada anak-anak kamar pengantin,
asyik menikmati tubuh dan darahNya”. Penulis Kristen purba lainnya, Theodoret,
menulis:" Di dalam makan benda unsur-unsur Sang Pengantin Pria dan minum darahNya,
kita telah menjalankan persatuan pernikahan.” Maka, Perjamuan Kudus itu, menjadi suatu
hubungan pernikahan yang melaluinya, Sang Pengantin Pria, Kristus Sang Kalimatullah,
mempertunang Gereja sebagai Pengantin WanitaNya, dengan demikian mengubahkan
suatu masyarakat manusia menjadi Gereja milik Allah. Jadi Perjamuan Kudus adalah
merupakan sumber eksistensi Gereja dan landasan kesatuan Gereja sekaligus,
sebagaimana yang dikatakan:” Karena roti (dalam Perjamuan Kudus) adalah satu, maka kita
sekalipun banyak (sebagai masyarakat manusia), adalah satu tubuh ( Gereja), karena kita mendapat
bagian dalam roti yang satu” ( I Kor.10:17). Perjamuan Kudus adalah semacam tranfusi
darah kemanusiaan yang telah diilahikan atau dimuliakan ke dalam kemanusiaan kita yang
fana. Allah melalui Darah kemanusiaan dari Penjelmaan KalimatNya telah
mentranfusikan kepada kita “DarahNya” sendiri yaitu kehidupan ilahi yang mulia, suci,
dan memberi-kekekalan ke dalam aliran darah kita serta memberikan kita hidup yang
baru. Kekuatan yang baru dan derajat anak-kerajaan. Perjanjian Lama mengatakan darah
sebagai kehidupan ( Imamat 17:11-14). Dalam Perjanjian Baru, Perjamuan Kudus menjadi
cara yang olehnya kita menerima kehidupan Allah sendiri melalui Darah yang Mulia dari
Penjelmaan KalimatNya itu. Suatu saat ada orang berkata demikian:” Saya telah diajar di
Sekolah Minggu bahwa Allah itu berada dimana-mana. Namun ajaran ini justru yang
membuat saya jengkel. Karena berada dimana-mana itu terlalu kabur buat saya.Saya ingin
Allah itu berada di suatu tempat tertentu.” Allah yang hadir dimana-mana itu dapat
dialami di suatu tempat tertentu secara khas, yaitu di dalam Perjamuan Kudus. Karena
dalam Perjamuan Kudus itu hadirat Allah melalui penjelmaan KalimatNya menjadi daging
itu menjadi nyata. Karena dalam Perjamuan Kudus ini Kristus mengatakan :” Inilah
TubuhKu….Inilah darahKu.” Dia tak mengatakan “Roti ini adalah lambang TubuhKu”
ataupun “Anggur ini adalah lambang DarahKu’, namun yang dikatakan itu adalah “ inilah
(yaitu: roti inilah) tubuhKu” dan “ inilah (yaitu: anggur inilah) darahKu”.Ada orang yang
menyangkal keyakinan Gereja sepanjang segala abad sejak zaman rasuliah purba dan
ajaran Alkitab yang jelas ini dengan mengatakan bahwa tak mungkin yang dimaksud dan
darah disini bermakna secara hurufiah, karena Kristus juga sering mengatakan “ Akulah
jalan” ( Yohanes 14: 6), “Akulah pintu” ( Yohanes 10:9), “Akulah Gembala yang baik” (
Yohanes 10:11), “Akulah Pokok Anggur yang benar “ ( Yohanes 15: 1), dan lain-lain.
Jelas kata-kata ini menunjukkan lambang saja bukan arti sebenarnya. Karena Kristus
bukan pintu terbuat dari kayu, bukan gembala yang menggembalakan binatang kambing,
bukan tanaman pokok anggur. Semuanya tadi hanyalah kata-kata kiasan saja. Berarti
“roti” dan “anggur” dalam Perjamuan Kudus itu adalah juga lambang saja. Sepintas lalu
argumentasi ini meyakinkan, namun jika kita perhatikan akan terlihat perbedaan antara
kias-kias Yesus mengenai diriNya itu, dengan apa yang dikatakan mengenai Perjamuan
Kudus. Meskipun Kristus mengatakan “Akulah Pintu”, namun Dia tak pernah
246
mengatakan “Pintu inilah Aku”, juga “Akulah Gembala yang Baik” namun tak pernah
“Gembala yang Baik inilah Aku”, serta “Akulah Pokok Anggur yang Benar”, namun
bukan “`Pokok Anggur yang benar adalah Aku”. Demikianlah dalam penetapan
Perjamuan Kudus, Kristus tidak mengatakan “TubuhKu adalah Roti” atau “DarahKu”
adalah Anggur”sebab jika itu yang dikatakan kita dapat mengerti bahwa maknanya adalah
seperti kias-kias yang lain itu. Yang dikatakan Kristus adalah “inilah (yaitu :roti inilah)
TubuhKu” dan “inilah (yaitu: Anggur inilah) DarahKu”, jelas jika begitu Roti dan Anggur
dalam Perjamuan Kudus adalah betul-betul Tubuh dan Darah Sakramental Kristus, bukan
Tubuh dan Darah mayat yang telah mati itu, namun Tubuh dan Darah yang sekarang
mulia di sorga itu, sebagai dampak langsung makna “Firman itu telah menjadi daging “
tadi ( Yohanes 1:14). Bahwa Roti dan Anggur itu bukan lambang dijelaskan oleh Alkitab
mengenai effeknya yang dahsyat bagi orang yang meremehkannya. Ketika ummat Kristen
di Korintus melakukan Perjamuan Kudus dengan cara yang tanpa aturan dan tanpa
hormat terhadapnya, Rasul Paulus memperingatkan mereka dengan sangat keras :” Jadi
barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia
berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan” (I Korintus 11: 27). Ayat ini menjelaskan
bahwa ketidak layakan makan roti dan minum cawan itu menimbulkan dosa, dan dosa itu
bukan hanya sekedar pada roti atau anggur namun kepada Tubuh dan Darah Tuhan
sendiri. Dengan demikian Roti dan Anggur itu memang sungguh-sungguh Tubuh dan
darah Kristus, yang ketidak-layakan atas pengambilannya menyebabkan dosa.
Pertanyaannya:” Mungkinkan orang dapat berdosa terhadap sekedar roti dan anggur
saja?” Jelas tidak mungkin. “ Mungkinkah orang dapat berdosa terhadap hanya sekedar
lambang saja?” Juga tidak mungkin. “Mungkinkah tidak layak mengambil roti dan anggur,
langsung disebut sebagai berdosa terhadap Tubuh dan Darah Tuhan, jika roti dan anggur
itu bukan Tubuh dan Darah Tuhan?” Juga tidak. Berarti memang Roti dan Anggur dalam
Perjamuan Kudus itu bukan hanya sekedar lambang, karena jika tidak layak
mengambilnya orang dapat berdosa terhadapnya. Selanjutnya dikatakan:” Karena
barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman
atas dirinya sendiri” ( I Korintus 11: 29). Hukuman dijatuhkan atas orang yang memakan
dan meminum Roti dan Anggur “tanpa mengakui Tubuh Tuhan”. Pertanyaannya:” Jika
hanya sekedar lambang bagaimana dapat mendatangkan hukuman? Dan jika hanya
sekedar lambang mengapa perlu orang harus mengakui “tubuh Tuhan” agar tak
mendapatkan hukuman? Mengapa “tanpa mengakui Tubuh Tuhan” atas makan dan
minum dari Perjamuan Kudus itu mendatangkan hukuman, jika roti dan anggur itu bukan
sungguh-sungguh Tubuh dan darah Kristus?” Dan akibat dari hukuman atas orang yang
“tidak layak” serta “tanpa mengakui Tubuh Tuhan” tadi adalah sebagaimana yang
ditulis:”Sebab itu banyak diantara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang
meninggal” ( I Korintus 11:30). Mungkinkah suatu lambang dapat menyebabkan
kelemahan, sakit dan kematian? Lambang macam apakah yang sedahsyat ini effeknya?
Mungkinkah hanya sekedar roti dan anggur saja menyebabkan lemah, sakit dan mati? Jelas
tidak. Dari semuanya ini jelaslah bahwa logika tak mengijinkan, pengalaman batin orang
yang sudah mengalaminya menolak, serta bukti Alkitab tak membenarkan bahwa Roti dan
Anggur dalam Perjamuan Kudus itu hanya sekedar lambang saja. Sungguhlah itu Tubuh
dan Darah Kristus. Meskipun Iman Kristen Orthodox tidak berusaha menjelaskannnya
secara filsafat. Misalnya: faham “Transsubtansiasi” artinya: Bentuk dan Wujud tetap Roti
dan Anggur, namun hakikat- inti kerotian dan hakikat-inti keangguran telah “berubah”
menjadi Tubuh dan Darah Kristus ( Roma Katolik). Lagi, faham “Consubstansiasi” yang
berarti: Tubuh Kristus yang Mulia di sorga hadir bersama (con) dan dibawah wujud inti247
kerotian dan inti-keangguran (Luther). Faham “Peristiwa dalam Iman dan Meterai atas
Iman “ yang dimengerti bahwa: Roti dan Anggur tak berubah apa-apa pada dirinya
sendiri, namun bagi yang punya iman itu memberi dampak persekutuan dengan Tubuh
dan Darah Kristus sehingga Perjamuan Kudus itu menjadi meterai dari iman yang sudah
ada terhadap berita Injil ( Calvin). Dan juga faham “Hanya Sekedar lambang” yang
diteorikan bahwa: Tidak terjadi perubahan apa-apa baik pada roti dan anggur maupun
pada orang yang menerimanya., karena itu hanya lambang untuk mengenang peristiwa
pengorbanan Kristus dimasa lalu saja ( Zwingli). Gereja Orthodox mengakui bahwa itu
adalah “Mystirion” sama seperti Penjelmaan Firman Allah menjadi manusia itupun suatu
“Mystirion” yang hanya bisa dimengerti oleh iman. Paul Evdokimov menulis;”Gereja
Timur memiliki rasa mysteri yang begitu kuat, sehingga tak hendak berusaha
menerangkan Perjamuan Kudus itu.”Dan bahwa Roh Kuduslah yang membuat mukjizat
terjadinya peristiwa Sakramental dalam Roti dan Anggur ini. Hal ini dinyatakan dengan
“Doa Epiklesis” (“Doa Mohon TurunNya Roh Kudus”) dalam setiap Liturgi Suci,
dimana presbiter berdoa:”….Turunkanlah RohMu yang Kudus itu kepada kami semua dan
keatas benda-benda anugerah yang kami persembahkan ini. Serta jadikanlah roti ini menjadi Tubuh
KristusMu yang mulia. Amin. Serta apa yang ada dalam Cawan ini Darah KristusMu yang amat
mulia. Amin. Ubahkanlah mereka dengan RohMu yang Kudus.Amin.Amin.Amin.” Sama
sebagaimana Roh Kudus turun ke dalam rahim Maryam serta membuat tubuh
kemanusiaan Yesus darinya, demikianlah juga Roh Kudus turun ke atas roti dan anggur
diatas mezbah, dan menjadikannya berubah dari roti dan anggur biasa, menjadi sarana
penghadiran Tubuh dan Darah Kristus secara nyata, serta menjadi sarana kita
dimanunggalkan Tubuh Kemuliaan Kristus yang sekarang ada di sorga itu. Aghios
Yohanes Damaskinos menulis:” Dan sekarang engkau bertanya, ‘Bagaimanakah roti bisa menjadi
tubuh Kristus, serta anggur dan air bisa menjadi Darah?’ Baiklah kuberitahu, Roh Kuduslah yang
datang dan membuat Mysteri-mysteri suci ini ….menjadi Tubuh dan Darah Kristus.”
Karena Perjamuan Kudus itu suatu Mystirion, jadi bukan hanya Roti dan Anggurnya
saja yang sungguh-sungguh Tubuh dan Darah Kristus, bahkan kitapun berada di Kamar
Loteng yang sama dengan para Rasul ketika Kristus pertama kali menetapkan Perjamuan
Kudus itu, ketika kita di dalam Liturgi Suci merayakan Perjamuan Kudus tadi. Tuhan
yang sama hadir disitu. Roti yang sama hadir di situ. Anggur yang sama hadir disitu.
Korban Kristus yang sama dihadirkan disitu. Perjamuan Malam yang sama hadir disitu.
Menurut kata-kata dari Nikolai Gogol, Perjamuan Kudus adalah “ penghadiran yang terus
menerus secara kekal dari karya agung yang telah terjadi diatas Golgota.”
Perjamuan Kudus adalah “menghadirkan lagi” Korban Kristus secara misteri.
Korban Kristus dijelaskan oleh Perjanjian Baru sebagai suatu peristiwa yang terjadi sekali
dan untuk selamanya, serta yang tak dapat diulang kembali dan yang tak pernah dapat
ditambahkan apapun keatasnya. Namun apa yang tak bisa diulang dan tak bisa ditambah
ini, di “hadirkan kembali” oleh Roh Kudus secara misteri. Inilah makna dari kata
“anamnesis” (“peringatan”) dalam kata-kata Kristus:”….perbuatlah ini menjadi peringatan
(“anamnesis”) akan Aku” ( I Kor.11:24, Lukas 22:19). Jadi “anamnesis” bukan hanya
sekedar mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu, sehingga Perjamuan Kudus hanya
dianggap sebagai “memorial” atau “upacara peringatan” saja sedangkan peristiwanya
sendiri sekarang telah tidak ada. Namun anamnesis berarti mengingat dengan cara
menghadirkan lagi apa yang diingat itu dihadapan yang mengingatnya. Karena Kristus itu
kekal tak berubah maka korbanNyapun kekal juga dan tak berubah. Kristus yang kekal itu
hadir dalam Gereja oleh Roh Kudus, maka dalam Roh Kudus itu Ia menghadirkan
korbanNya yang tak terulang-ulang itu menjadi suatu pengalaman yang terus menerus
248
bagi GerejaNya. Jadi memang korban Kristus tak pernah terulang, dan presbiterpun tak
mengulang-ulang korban Kristus tak pula mengorbankan Kristus lagi diatas altar
sebagaimana yang dihayati oleh Gereja Roma Katolik, namun korban yang satu dan yang
sama serta yang sekali untuk selamanya itu dihadirkan kembali oleh Kristus dalam Roh
Kudus secara Sakramental (bukan secara peristiwa sejarah) di dalam Perayaan Perjamuan
Kudus. Korban Kristus dihadirkan oleh Roh Kudus agar kita menerima manfaat korban
itu, namun tetap korban yang sekali dan untuk selamanya itu yang dialami. Ini bukan
suatu korban baru. Itulah sebabnya Perjamuan Kudus itu disebut “korban tanpa
tercurahnya darah”. Dalam Ibadah Gereja Orthodox, Perjamuan Kudus, bukan hanya
peringatan akan kematian Kristus saja, namun juga penguburanNya, KebangkitanNya,
KenaikanNya, maupun KenaikanNya ke sorga. Oleh karena itu tak pernah ada pertanyaan
dalam Gereja Orthodox, pada waktu kapan Roti dan Anggur itu “berubah” menjadi
Tubuh dan Darah Kristus? Gereja Katolik mengajarkan bahwa pada saat Imam
mengucapkan kata-kata Kristus bagi Penetapan Perjamuan Kudus atau pada saat
“Konsekrasi” itulah saatnya perubahan tadi, ajaran ini mendapat reaksi dari Gerakan
Reformasi Protestan,sehingga munculnya teori “consubstansiasi”, “peristiwa dan meterai
iman” serta “hanya sekedar lambang saja” itu. Dalam Gereja Orthodox, di dalam seluruh
Liturgi Suci sejak persiapan sampai pembagian Roti dan Anggur itulah Kristus telah hadir,
dan Roti dan Anggur itu dinyatakan sebagai Tubuh dan DarahNya, artinya seluruh Karya
Kristus dihadirkan oleh Roh Kudus dalam seluruh peristiwa Liturgi Suci itu. Karena
Liturgi Suci merupakan pendramaan dari seluruh kehidupan Kristus, yang keterangan
akan hal ini dapat dibaca dalam buku-buku pengenalan tentang iman Kristen Orthodox
yang lain. Jadi fokusnya bukan pada roti dan anggur atau pada saat “konsekrasi”, namun
pada seluruh peristiwa Liturgi Suci. Itulah sebabnya teori semacam “Transsubtansiasi”,
“Consubtansiasi”, “Peristiwa dan meterai Iman” serta “Hanya Sekedar Lambang” itu tak
dapat muncul dalam penghayatan Iman Kristen Orthodox. Sebab semua teori ini titikberangkatnya adalah dari ajaran Transsubtansiasi dan reaksi terhadapnya, yang semuanya
hanya berfokus pada “Roti dan Anggur” serta pada “peristiwa Konsekrasi” saja. Titik
berangkat Gereja Orthodox memang lain. Bahwa Perjamuan Kudus itu suatu “korban”
dalam pengertian yang telah kita bahas itu dijelaskan oleh Alkitab demikian:” Perhatikanlah
bangsa Israel menurut daging: bukankah mereka yang makan apa yang dipersembahkan mendapat
bagian dalam pelayanan mezbah Apakah yang kumaksudkan dengan perkataan ini? Bahwa
persembahan mereka (yaitu: para penyembah berhala) adalah sesuatu? Atau bahwa berhala adalah
sesuatu? Bukan! Apa yang kumaksudkan ialah, bahwa persembahan mereka adalah persembahan
kepada roh-roh jahat, bukan kepada Allah. Dan aku tidak mau, bahwa kamu bersekutu dengan rohroh jahat. Kamu tidak dapat minum dari cawan Tuhan dan juga dari cawan roh-roh jahat. Kamu
tidak dapat mendapat bagian dalam perjamuan Tuhan dan juga dalam perjamuan roh-roh jahat” ( I
Kor.10:18-21). Dalam ayat-ayat ini untuk mengingatkan ummat Korintus agar tidak jatuh
pada penyembahan berhala dan ikut-ikutan dalam upacara mereka Rasul Paulus
membandingkan tiga bentuk ibadah dari tiga agama yang berbeda, Israel, berhala, dan
Kristen. Penyembahan Israel dikaitkan dengan mezbah, berarti itu menunjukkan kepada
korban, mereka yang makan apa yang dipersembahkan, yaitu korban, mendapat bagian
dalam pelayanan mezbah, yaitu tempat korban di lakukan. Demikian pula korban orang
kafir itu mempersatukan orang kafir dengan roh-roh jahat yang kepadanya mereka
mempersembahkan korban. Jadi menyatunya atau manunggalnya orang yang makan
korban dengan mezbah, dan manunggalnya orang yang makan korban berhala dengan
roh-roh jahat itu adalah suatu fakta rohani. Menyatu dengan korban berhala dan ikut
memakan darinya berarti “bersekutu dengan roh-roh jahat”. Akhirnya korban berhala ini
249
diparalelkan dengan “Cawan Tuhan” dan “Perjamuan Tuhan”. Berarti Cawan Tuhan atau
Perjamuan Tuhan itu dimengerti mempunyai kedudukan sejajar dengan “korban” baik
korban Israel yang mempersatukan dengan mezbah maupun korban berhala yang
mempersatukan dengan roh-roh jahat. Melalui Perjamuan Tuhan atau Cawan Tuhan itu
berarti orang menyatu dengan Tuhan, menyatu dengan korban berhala berarti menyatu
dengan roh-roh jahat. Orang Kristen harus memilih satu diantara dua korban ini. Bahwa
korban itu disejajarkan dengan perjamuan Tuhan, terlihat pada fakta bahwa korban
berhala itu disebut juga sebagai “cawan roh-roh jahat” dan “perjamuan roh-roh jahat”.
Maka jika korban kafir bisa disebut “cawan” dan “perjamuan“, maka sebaliknya jelas
“Perjamuan Kudus” pun bisa disebut “korban”. Hanya memang korban disini maknanya
bukan Imam mengorbankan Kristus diatas mezbah, namun korban Kristus yang sekali
dan untuk selamanya itu oleh Roh Kudus dihadirkan kembali melalui peristiwa
sakramental di dalam Perjamuan Kudus seperti yang sudah kita bahas diatas. Itulah
sebabnya dalam Gereja-Gereja Purba Perjamuan Kudus ini sering disebut “Qorbana deQeddhisa” atau “Haghia Thysia” (Korban Kudus). Karena penghayatan Gereja Roma
Katolik tentang Perjamuan Kudus sebagai “ Korban Misa” dalam pengertian “Kristus
berulang-ulang dipersembahkan oleh Imam di atas altar” itulah yang menyebabkan
Luther, Calvin dan Zwingli bereaksi keras, dan berakibat membuang semua bahasa
“korban” dari penghayatan Perjamuan Kudus dalam Gerakan Reformasi Protestan
sampai sekarang.Jadi memang Perjamuan Kudus itu sangat penting sekali bagi kehidupan
Kristen itu, karena di situlah kita mengadakan persekutuan secara langsung dengan dayaguna danmanfaat dari apa yang dikerjakan Kristus bagi keselamatan kita. Menulis tentang
pentingnya Perjamuan Kudus ini, Nikolas Kabasilas mengatakan:”Perjamuan Kudus ini
adalah merupakan penggenapan dari seluruh sakramen dan bukan hanya sekedar salah
satu dari sakramen-sakramen tadi…Semua usaha manusia mencapai tujuan akhirnya pada
Perjamuan Kudus ini.Karena di dalam Sakramen ini kita manunggal dengan Allah itu
sendiri, dan Allah sendiri dijadikan manunggal dengan kita dalam suatu panunggalan yang
paling sempurna….Inilah mysteri yang terakhir: lebih jauh dari ini tidak mungkin kita
pergi lagi, dan tak ada satupun yang dapat ditambahkan padanya.”
Aghios Nilus
menulis: “ Tak mungkinlah bagi orang beriman untuk diselamatkan, untuk menerima
pengampunan dosa-dosa dan untuk diijinkan masuk ke sorga, jika tidak dengan rasa
gentar, dengan iman, dan dengan kasih ia menerima Perjamuan dari Mysteri murni dari
Tubuh dan Darah Yesus.”
250
Download