Pandangan Saya Tentang Pendidikan Dibuat oleh: Gema Ramadhan Aria Wibisana Mahasiswa FTUI 2011 Oktober 2011 Pendahuluan Nama saya Gema Ramadhan Aria Wibisana (Wibi), saat ini saya berkuliah di Jurusan Teknik Mesin UI semester 1. Selain saya diterima di FTUI, saya pun mendapatkan kesempatan beasiswa untuk berkuliah di Turki. Aktifitas saya selain berkuliah, juga menjalankan perusahaan yang baru saya rintis di bidang IT bersama beberapa teman. Banyak yang beranggapan saya mendapatkan berbagai hal tersebut dengan pengorbanan yang sangat luar biasa, seperti harus belajar hingga larut malam. Padahal pada kenyataannya tidak demikian. Saya tetap dapat menikmati hari-hari saya di SMA, menyalurkan minat di bulu tangkis, membaca banyak buku fiksi kegemaran saya dan yang terpenting mengikuti beberapa organisasi. Berbeda dengan kebanyakan siswa, saya tidak mengikuti program bimbingan belajar saat bersekolah. Tulisan berikut merupakan hasil refleksi dari perjalanan hari-hari saya di SMA, yang tidak lama lagi segera berakhir. Guna mendapatkan pemahaman menyeluruh mengenai tulisan ini, ada baiknya sebelumnya saya terangkan terlebih dahulu mengenai latar belakang dari tulisan ini. Sebelumnya saya sama seperti kebanyakan siswa SMA lainnya, tidak memiliki pemahaman mengenai esensi dari persekolahan yang dijalani. Masa persekolahan saya jalani dengan kebingungan akan rutinitas yang dijalani, yang sering kali memakan banyak waktu dan tenaga. Tidak jarang saya berangkat sekolah dalam kondisi yang masih mengantuk karena kurang istirahat di malam sebelumnya. Tidak jarang pula saya pulang sekolah di petang hari, dengan kelelahan yang sangat. Sejujurnya saya sangat merindukan siang hari di rumah, melakukan hal lain yang saya senangi selain melakukan rutinitas yang membebani tanpa esensi ini. Saya benar-benar kelelahan dengan berbagai rutinitas yang luar biasa ini. Jangankan merasa bangga bisa bersekolah, saya justru tidak jarang membayangkan betapa nikmatnya jika saya tidak perlu bersekolah. Kejenuhan saya terindikasi dengan sangat mudah. Hingga kelas XII, jika saya ditanya mau melanjutkan kemana setelah SMA, saya tidak bisa menjawab. Jika tujuan saya saja masih tidak jelas, tentu bisa dibayangkan dengan proses belajar yang saya jalani di sekolah dan di rumah. Menurut saya perkelahian remaja yang sering kali ditayangkan di media massa, bukan mengindikasikan kenakalan remaja semata. Melainkan juga perlu dilihat sebagai tekanan yang sangat depresif dan tanpa ada mekanisme penyaluran yang optimal. Saya masih bersyukur, saya tidak sampai berada di sana. Semuanya berubah ketika saya bertemu program yang menginpirasi saya, Total Mind Learning (TML) di awal semester 2 kelas XII. Tulisan ini bukan ditulis sebagai iklan mengenai TML, karena saya sendiri bukan bagian dan tidak diuntungkan secara finansial dari padanya. Saya sudah sangat bersyukur, mampu mengetahui dan memperbaiki berbagai pemborosan yang terjadi selama ini terkait dengan proses pembelajaran saya. Kini saya bisa melihat dengan perspektif yang berbeda mengenai sekolah. Saya ingin membagikan pemandangan baru ini kepada sesama rekan pelajar, sehingga setelahnya mereka dapat merasakan apa yang saya rasakan. Tulisan ini merupakan ungkapan dari rasa syukur saya. Tulisan ini juga merupakan ungkapan terima kasih saya kepada para coach yang memperkenalkan saya pada program yang luar biasa ini. Setelah diperkenalkan dengan TML, saya mampu berefleksi mengenai esensi dari rutinitas yang saya lakukan. Tidak lagi sematamata hanya menjalaninya saja, tanpa tahu apakah efektif atau tidak. Saya yakin TML tidak perlu diiklankan, karena programnya akan berbicara mengenai kualitasnya sendiri. Fakta tentang kondisi pendidikan Kondisi pendidikan saat ini sangat memprihatinkan. Berikut disajikan beberapa fakta yang mendukung kesimpulan tersebut : 1. Waktu belajar siswa di sekolah semakin panjang Pada salah satu sesi coach saya bercerita, pada tahun 1996 aktifitas persekolahan SMA diawali pada pukul 07.00 hingga pukul 12.30. Secara keseluruhan durasi sekolah siswa SMA pada masa itu adalah 5½ jam. Dengan kondisi lalu lintas yang padat paling telat siswa sampai di rumah pukul 13.30 dan masih banyak waktu yang tersedia untuk melakukan banyak hal, salah satunya tidur siang (napping) yang baik untuk proses pengendapan informasi di pikiran. Pada tahun 2011 aktifitas persekolahan SMA diawali pada pukul 06.30 hingga pukul 16.00. Secara keseluruhan durasi sekolah siswa SMA pada masa ini adalah 10½ jam. Terdapat peningkatan jam belajar di sekolah sebesar 5 jam dalam kurun waktu 15 tahun (1996 s/d 2011). Kondisi ini masih dipersulit dengan situasi lalu lintas yang padat, sehingga paling cepat siswa sampai rumah pukul 17.00. Kedua kondisi tersebut mendatangkan tiga konsekuensi berikut: - Saat ini siswa SMA tidak dimungkinkan untuk tidur siang, yang dibutuhkan untuk pengendapan informasi (bagian terpenting dalam pembelajaran optimal) - Dengan semakin terbatasnya waktu dalam menjalankan aktifitas, wajar saja jika semakin banyak siswa yang merasa jenuh bahkan tertekan dengan proses pembelajaran yang dijalankan. Hal ini berujung pada prestasi yang buruk atau bahkan penolakan dalam belajar - Dalam kurun waktu 15 tahun terdapat penambahan durasi belajar di sekolah sebanyak 5 jam. Jika kita tinjau durasi sekolah siswa SMA 15 tahun mendatang (2026), bagi siswa SMA pada masa tersebut sekolah dimulai pukul 06.30 dan berakhir pukul 22.00 (total durasi sekolah 15½ jam) setiap harinya. Durasi tersebut merupakan durasi yang buruk dalam dunia pendidikan. Dapatkah anda membayangkan sekiranya siswa mengikuti tambahan pembelajaran lainnya, berapa lama total jam aktifitas mereka? Durasi sekolah SMA 1996 Total waktu 24 Jam Durasi Sekolah 5½ Jam Dursi Bebas 18½ Jam Durasi sekolah SMA 2011 Total waktu 24 Jam Durasi Sekolah 10½ Jam Durasi Bebas 13½ Jam Durasi sekolah SMA 2026 Total waktu 24 Jam Durasi Sekolah 15½ Jam Durasi Bebas 8½ Jam Gambar 1. Ilustrasi Pertambahan durasi belajar sekolah 2. Durasi belajar siswa lebih banyak dibandingkan orang yang bekerja Jika aktifitas persekolahan SMA diawali pada pukul 06.30 hingga 16.00. Maka Secara keseluruhan durasi belajar di sekolah bagi siswa SMA adalah 10½ jam. Data tersebut menunjukkan langsung kepada kita bahwa ternyata durasi waktu belajar siswa lebih besar dibandingkan dengan durasi orang bekerja pada umumnya yaitu 8 jam (09.00 – 17.00). Perhitungan tersebut belum termasuk aktivitas tambahan lain yang biasa diikuti di luar jam sekolah seperti pendalaman materi yang diadakan sekolah, bimbel atau kursus. Dengan lamanya durasi belajar tersebut tentunya membuat semakin besarnya beban kerja siswa. Alhasil, banyak siswa yang merasa kelelahan dalam mengikuti proses belajar yang menyebabkan tidak fokus dan bahkan tertekan. Durasi Orang Bekerja Total durasi 8 Jam Durasi 8 Jam 09.00 17.00 Durasi Siswa Bersekolah Sekolah 10½ Jam 06.30 Bimbel 3 Jam Total durasi 13½ Jam 16.00 Gambar 2. Ilustrasi perbandingan durasi belajar dengan orang yang bekerja. 3. Siswa lebih percaya bahwa bimbel lebih baik dari pada sekolah Sekolah tempat yang ditujukan untuk mencerdaskan siswa, untuk itu sejatinya sekolah merupakan learning center. Pada kenyataannya sekolah dianggap tidak mampu mewujudkan hal tersebut karena siswa lebih percaya bahwa dia akan paham materi pelajaran jika mengikuti bimbel walaupun sebenarnya sifatnya hanya mengulang saja karena materi yang diajarkan oleh bimbel sama seperti yang disampaikan di sekolah. Coba kita mau sedikit berpikir, pasti kita akan menyadari bahwa hal tersebut merupakan pemborosan. Jika kondisi tersebut terus saja terjadi maka kenapa tidak dibuat saja peraturan yang menyebutkan bahwa siswa hanya perlu bersekolah jika ada ujian saja, sedangkan materi pelajaran silahkan pelajari dari bimbel. Sehingga siswa tidak dirugikan baik secara waktu, tenaga dan pendanaan. 4. Ketergantungan terhadap bimbel Pada saat ini hampir semua siswa mengikuti bimbel di luar jam sekolahnya. Jika dari SD, SMP hingga SMA saja sudah ada bimbelnya, akankah saat perkuliahan juga tersedia bimbel? Kira-kira mau sampai kapan siswa terus mengikuti bimbel. Kondisi ini semula ditujukan untuk membantu siswa belajar, namun secara tanpa disadari telah mengajari mereka untuk tidak mampu mandiri, selalu membutuhkan arahan saat pembelajaran. Ketika arahan tersebut tidak tersedia, sering kali didapati siswa menjadi tidak percaya diri, yang mana merupakan sifat mental yang buruk untuk pembelajaran. 5. Remedial gagal meningkatkan semangat belajar siswa Ujian remedial semula ditujukan untuk meningkatkan moral siswa. Ketika siswa gagal saat ujian, maka dia bisa memperbaikinya agar mendapat nilai yang lebih bagus, tanpa merusak kepercayaan dirinya. Namun pada pelaksanaannya justru hal tersebut tidaklah terjadi. Ternyata siswa lebih mengandalkan ujian remedial dibanding ujian sesungguhnya. Mereka baru belajar dengan sungguh-sungguh justru pada saat pelaksanaan ujian remedial. Sehingga strategi awal yang ditujukan untuk memperbaiki kondisi, justru semakin memperparah. 6. Tidak bisa konsentrasi Ketika mengikuti proses belajar siswa dituntut agar selalu berkonsentrasi untuk memahami materi pelajaran. Tapi sayangnya tidak ada kurikulum di sekolah manapun yang mengajarkan bagaimana caranya untuk dapat berkonsentrasi. Sehingga siswa tidak pernah tahu kapan dirinya tahu telah berkonsentrasi. Kalaupun tetap dipaksakan maka bukan pemahaman yang akan muncul, melainkan rasa jenuh, bosan bahkan rasa kesal karena seberapa pun besarnya usaha yang dilakukan untuk berkonsentrasi, tetap tidak tidak bisa sehingga tidak memahami materi yang disampaikan. 7. Hilangnya rasa penasaran untuk mengetahui sesuatu Kita tahu bahwa semua balita mempunyai rasa penasaran yang tinggi. Apapun yang ada di hadapannya selalu dia coba pegang, lempar atau memakannya. Sejatinya seiring bertambahnya usia seseorang, maka seharusnya semakin tinggi pula rasa penasaran di dalam dirinya. Pada kenyataannya banyak sekali ditemui siswa SD yang malas dan tidak termotivasi untuk belajar, padahal awalnya mereka penuh dengan rasa ingin tahu. Sangat disayangkan kondisi ini tidak mendapatkan penanganan yang komprehensif sehingga berlanjut hingga ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. 8. Lautan informasi yang tidak terbendung Saat ini informasi sangatlah mudah didapatkan karena tersedia dari berbagai sumber baik dari media cetak, elektronik maupun media yang lainnya. Internet telah memudahkan proses pembelajaran yang tidka pernah didapatkan pada masa sebelumnya. Kondisi yang sebenarnya merupakan faktor pengungkit pembelajaran, justru menjadi pemangsa sumber daya siswa. Ketika siswa terjebak dengan internet, bukan untuk menunjang proses pembelajarannya, melainkan melakukan berbagai aktifitas yang tidak berkontribusi pada peningkatan prestasi. Contohnya siswa yang menggunakan internet dengan tujuan ingin mengecek e-mailnya. Ketika dibuka ternyata e-mailnya terhubung dengan banyak link lain diantaranya misal berita tentang kecelakaan mobil Saiful Jamil. Selanjutnya ia coba klik untuk melihatnya dan ternyata berita tersebut terhubung juga dengan link lain juga yang menjelaskan berapa kali mobilnya terbolak balik. Setelahnya dia mengklik lagi karena masih merasa penasaran. Sementara waktu terus berjalan, dia lupa dengan tujuan awalnya yaitu hanya ingin mengecek e-mail. Sehingga akhirnya waktu habis hanya untuk mengetahui informasi yang tidak ada gunanya. 9. Kecepatan informasi Banyaknya informasi yang muncul saat ini terjadi karena kecepatan informasi yang datang silih berganti sangatlah cepat. Sering kali informasi yang datang hari ini sudah menjadi usang pada esok hari. Konsekuensi atas kecepatan informasi yang terjadi adalah cepatnya perubahan kondisi di berbagai bidang. Mengkutip statistik dari bidang information theory yang diberikan oleh George Anderla, kuantitas informasi berlipat dua kali selama periode 1500 tahun semenjak era Jesus hingga Leonardo da Vinci, menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu 250 tahun semenjak Leonardo hingga wafatnya Bach, menjadi dua kali lipat kembali hingga awal 1900 dan hal yang sama kembali terjadi dalam kurun waktu 1967 hingga 1973. Jacques Vallee, Ph.D memprediksi bahwa kuantitas informasi menjadi dua kali lipat dalam kurun waktu 18 bulan. Indikasi ke arah itu kini kian nampak mulai seperti semakin singkatnya usia teknologi informasi dan komunikasi. Pada tahun 2012 diestimasi kuantitas informasi menjadi dua kali lipat dalam setiap hari. Fakta tersebut memberikan kesimpulan bahwa di masa depan, siswa dituntut untuk mampu mengolah informasi dengan standar yang lebih cepat. Ketidakmampuan melakukan hal ini mengakibatkan siswa akan selalu tertinggal dengan perubahan yang ada. Sampah belajar Tentu saja dalam proses pemahaman tersebut , siswa terkadang memiliki suatu aktivitas diluar dan kontraproduktif dari proses belajar mengajar, yang disebut dengan ‘sampah belajar’. ‘Sampah belajar’ merupakan segala aktivitas yang dilakukan oleh siswa di luar dari kegiatan proses belajar mengajar. ‘Sampah belajar’ ini merupakan lemak jahat yang harus dihilangkan, karena dengan adanya ‘sampah belajar’ ini, siswa tidak mampu menerima pemahaman belajar ideal secara utuh. Banyak sekali contoh ‘sampah belajar’, hal-hal berikut merupakan beberapa contohnya: ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ ‐ Mengobrol saat guru sedang menerangkan Bermain Handphone Menuliskan statusnya dalam facebook atau twitter Menggunakan internet yang tidak berdasarkan kebutuhan Memikirkan hal lain saat sedang belajar Bermain game online yang berlebihan Membalas SMS yang tidak penting Mengantuk di dalam kelas Proses Belajar Ideal Pemahaman Ideal Kondisi 1 Durasi Ideal Kondisi 2 Proses Belajar Ideal Sampah belajar Sampah belajar Durasi Ideal Sampah belajar Sampah belajar Sampah belajar Durasi Bimbel Gambar 3. Ilustrasi keberadaan sampah belajar Dari ilustrasi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa keberadaan ‘sampah belajar’ hanya menambah ketidakefisienan proses belajar. Setelah siswa belajar dengan durasi yang lebih lama, namun pemahamannya tetap lebih sedikit dibandingkan proses belajar ideal. Hal ini dapat disimak dengan membandingkan luas daerah yang diarsir pada kondisi 1 dan kondisi 2. Di sini terlihat betapa besar pemborosan yang dilakukan siswa saat belajar. Sebelumnya saya hanya menjalani proses belajar seperti apa adanya, dari hari ke hari. Setelah mengetahui hal ini, mendorong saya untuk mencari tahu bagaimana caranya untuk membuat proses belajar lebih efisien. Untuk meningkatkan pemahaman kita tentang ‘sampah belajar’, perhatikan ilustrasi berikut: Gambar 4. Ilustrasi sampah belajar Botol kosong yang penuh dengan lubang dan kemudian di isikan oleh air dari botol yang sama dengan air yang penuh sebagai pemahaman, akan tetapi setelah secara perlahan botol itu terisi airnya akan terus tumpah dan yang tersisa hanya sebagian kecil dari kapasitas air yang mampu ditampung. Hal tersebut selaras dengan keberadaan ‘sampah belajar’ di dalam kelas maka akan mempengaruhi pemahaman siswa dalam belajar, karena seberapapun kerasnya siswa belajar, jika masih memiliki ‘sampah belajar’ maka hasilnya akan tetap sama saja tidak optimal, oleh karena itu sampah belajar merupakan kerugian luar biasa yang harus dihilangkan. ‘Sampah belajar’ menyebabkan banyak pemborosan sumber daya, seperti waktu, tenaga, biaya, pemikiran dan lainnya. Dilain pihak siswa akan memperoleh manfaat jika ‘sampah belajar’ dihilangkan, seperti halnya: ‐ Atensi lebih terfokus berdasarkan tujuan ‐ Tidak terjadi pemborosan waktu ‐ Tujuan dapat tercapai dengan mudah ‐ Waktu belajar menjadi optimal ‐ Hasil yang didapatkan dalam pembelajaran menjadi maksimal ‐ Unggul dalam prestasi ‐ Segala kegiatan yang dilakukan berdasarkan produktifitas yang terencana sehingga cita-cita tercapai Logika keliru Sering kali dalam rangka menjawab permasalahan terkait dengan pemahaman yang kurang, siswa dan orang tua tidak jarang menggunakan logika yang mudah terpikir atau berjangka pendek. Salah satunya adalah dengan memberikan tambahan pembelajaran, baik yang sifatnya internal sekolah (pendalaman materi) maupun eksternal sekolah (bimbingan belajar). Sekilas hal ini memang sepertinya menjawab. Namun jika dianalisa lebih mendalam sebenarnya hal ini hanyalah kesia-siaan semata. Jika proses di sekolah yang berlangsung dari pagi hingga siang hari saja menimbulkan banyak sampah belajar, bukankah pada periode setelahnya (sore hingga malam) sampah belajar berpotensi lebih banyak. Sehingga tentu jika di sekolah ada sampah belajar, maka saat siswa mengikuti proses tambahan pembelajaran setelah sekolah, sampah belajarnya akan jauh lebih banyak lagi. Proses bimbingan belajar sesungguhnya berpondasikan pada logika ‘more’, ketika sesuatu kurang / tidak mendatangkan hasil yang diinginkan, maka tambahkan intensitas prosesnya. Dengan demikian jika jalanan macet, tambahkan jalannya, dan bukan perbaiki kesadaran pengguna jalan. Jika siswa kurang paham, tambahkan jam belajarnya, dan bukan perbaiki daya dan praktek belajarnya. Tentu tidak dibutuhkan proses berpikir yang rumit untuk mengetahui bahwa cara berpikir seperti ini adalah keliru. Sehingga akibatnya, dengan menggunakan logika ‘more’, setelah siswa belajar dengan durasi lebih lama dari durasi ideal, pemahamannya tetap kurang dibandingkan pemahaman ideal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada ilustrasi berikut: Tuntutan zaman Jika disimak dari ilustrasi di atas, tentu semua siswa akan memilih kondisi nomor satu. Namun sayangnya nomor satu bukanlah pilihan yang terbaik. Bahkan pilihan nomor satu hanya akan membuat siswa menjadi siswa rata-rata. Seiring bertambahnya usia, jumlah aktifitas individu semakin bertambah. Berbagai aktifitas yang sebelumnya tidak ada pada jenjang pendidikan sebelumnya, setelahnya bermunculan. Sehingga siring siswa beranjak dari SD, SMP hingga ke SMA, jumlah aktiftasnya juga semakin banyak. Sayangnya hal tersebut tidak disertai dengan pertambahan waktu. Jumlah waktu perhari adalah tetap 24 jam, baik bagi siswa SD, maupun bagi siswa SMA. Kondisi ini memunculkan situasi unik dimana ketersediaan waktu tidak proporsional dengan jumlah aktifitas. Untuk lebih jelasnya dapat disimak pada diagram berikut: Gambar 5. Grafik perbandingan jumlah aktivitas dengan ketersediaan waktu Dari grafik tersebut dapat disimak terdapat dua daerah yaitu A dan B. Pada daerah A, kondisi dimana individu memiliki keberlimpahan waktu. Sementara pada daerah B adalah sebaliknya. Sehingga ada suatu saat dimana individu kekurangan waktu untuk melakukan aktifitas yang ingin dilakukan. Jika fakta ini digabungkan dengan fakta pada bagian sebelumnya, maka hal ini memunculkan pilihan ketiga. Siswa dituntut untuk mampu mendapatkan pemahaman ideal dengan waktu yang lebih singkat. Hal ini merupakan keharusan dalam menghadapi masa depan. Hal ini merupakan pilihan ketiga. Jika digambarkan, sebagai berikut: Proses Belajar Ideal Pemahaman Ideal Kondisi 1 Durasi Ideal Proses Belajar TML Pemahaman Ideal Kondisi 3 Durasi lebih singkat Gambar 6. Ilustrasi perbandingan proses belajar ideal dengan proses belajar TML Solusi Tentu kini permasalahannya semakin jelas bahwa siswa harus mampu memenuhi tuntutan masa kini, belajar dengan durasi lebih singkat dengan pemahaman optimal. Hal ini hanya dapat dicapai ketika seluruh ‘sampah belajar’ telah dihilangkan. Dan disinilah saya merasa sangat terbantu, TML memberikan saya tidak hanya kemampuan namun juga strategi untuk memenuhi tuntutan tersebut. Kemudian, bagaimana cara menghilangkan ‘sampah belajar’ ? Siswa yang memiliki tujuan personal yang jelas terkait apa yang ingin diraih, menguasai learning skill dengan baik, serta disiplin dan konsisten berorientasi pada tujuan akan membuat dirinya menjadi individu produktif karena segala yang dijalankan berdasarkan perencanaan, sehingga dengan sendirinya segala aktivitasnya tanpa sampah belajar. Sedikitnya terdapat beberapa hal yang harus dilakukan guna mampu menjawab tuntutan tersebut, diantaranya: ‐ Ketahui faktor motivasi Yang dimaksud dengan motivasi bukanlah mengenai berbagai cerita yang membuat orang gregetan saat mendengarnya, menyesali dan membuat orang menjadi sangat bersemangat, namun setelah beberapa saat lupa dan kembali lagi ke kebiasaan lama. Motivasi juga bukan sebatas jalinan kata-kata indah yang menginspirasi. Motivasi menurut TML merupakan suatu rumusan yang menghubungkan antara values dan expectancy, dalam rumusan sebagai berikut; Motivation = values X expectancy Values merupakan seperangkat keuntungan konkrit yang didapatkan setelah melakukan satu hal. Berbagai manfaat tersebut perlu datang dari dalam diri siswa sendiri dan bukan datang dari orang lain. Hal yang sangat menarik untuk diperhatikan kenyataan bahwa kebanyakan siswa tidak mengetahui keuntungan dari aktifitas aktifitas persekolahan yang dilakukannya. Dengan mengetahui keuntungan konkrit dari hal yang dilakukan, hal ini membuat kita ingin melakukannya tanpa memperhatikan berbagai hambatan. Serupa saat melakukan hobbi, kita tenggelam pada manfaat / kesenangannya sehingga lupa dengan berbagai permasalahan yang datang ketika melakukan hobbi tersebut. Expectancy adalah seberapa yakinnya siswa pada kemampuannya sendiri. Kebanyakan siswa tidak menyakini bahwa dirinya mampu, atau percaya pada kemampuan dirinya. Sehingga hal ini sering kali menghambat dirinya dari dalam. Kebanyakan siswa yang juara kelas, adalah individu yang yakin bahwa dirinya mampu untuk memberikan performa yang dibutuhkan untuk berhasil sebagai pemenang. Hal yang menarik adalah kedua besaran tersebut, values dan expectancy terhubung dalam perkalian. Maksudnya adalah keberadaan yang satu cenderung mendongkrak yang lain. Misalnya walupun siswa tahu hanya sedikit manfaat konkrit dari proses belajarnya, namun karena ia sangat yakin dengan kemampuannya maka hal ini cenderung membuatnya menjadi sangat termotivasi untuk melakukannya. ‐ Tanamkan kebiasaan produktif Untuk melakukan berbagai hal kita membutuhkan sumber daya; waktu, tenaga, uang, atensi dan lainnya. Namun sayangnya banyak sekali dari sumber daya kita terbuang percuma. Hal ini disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tidak terdefinisi secara sempurna. Faktor lain yang menyebabkan pemborosan sumber daya adalah pengendalian sumber daya oleh orang lain (selain kita). Contoh yang paling gampang adalah ketika siswa tengah belajar dan mendapatkan sms dari temannya. Bukannya ia mengabaikan, justru malah meladeni dengan membaca dan membalas sms tersebut. Setelahnya teman kembali membalas, dan tidak lama kemudian ia terjebak dalam aktifitas saling berbalas sms. Sementara waktu berjalan, tanpa disadari ia belum belajar sama sekali dan hanya terjebak dalam aktifitas saling berbalas sms. Terkait dengan produktifitas, TML mengajarkan saya untuk melakukan systematic ignorance (strategi #68). Terkadang pengabaian dapat membantu kita untuk fokus pada aktifitas yang sedang dilakukan. Termasuk dalam lingkup produktifitas adalah dengan mengetahui apa yang harus dilakukan dan apa yang harus ditinggalkan. Menjadi produktif tidak selamanya melakukan segala seuatu dengan cepat. Melainkan di TML sering kali diajarkan sebelum mempercepat langkah, pastikan bahwa kita tidak melakukan hal yang mempelambat. Sering kali siswa melakukan satu hal yang mempercepat langkah namun pada saat yang bersamaan melakukan tiga hal lain yang memperlambat langkah. Terkait dengan mempercepat langkah, di TML diajarkan pula strategi yang dapat mempercepat langkah, salah satunya adalah strategi effective multitasking (strategi #78). Pembahasan mengenai strategi ini cukup panjang sehingga membutuhkan tulisan tersendiri. ‐ Tingkatkan daya belajar Setelah berbagai hal tersebut telah dilakukan, maka tiba saatnya untuk meningkatkan daya belajar. Karena pada akhirnya yang mempercepat proses belajar adalah daya atau kemampuan belajar. Dengan TML saya mampu meningkatkan daya ingat, konsentrasi, daya baca dan daya matematis, sedikitnya hingga 500%. Kepemilikan daya belajar yang tinggi ini sangat menunjang kecepatan proses pembelajaran saya dalam keseharian. Akhirnya keseluruhan hal tersebut saling berpadu membentuk dukungan yang sangat luar biasa pada proses belajar saya. Motivasi yang baik memberikan saya ‘bahan bakar’ untuk terus bergerak, daya belajar yang optimal membuat gerak saya lebih cepat dan strategi produktifitas memastikan gerak yang saya lakukan tidak ada yang terbuang percuma. Maka sebagai konsekuensinya saya mampu melakukan berbagai aktifitas pembelajaran dalam durasi lebih cepat dengan hasil yang sangat optimal. Penutup Demikianlah pandangan saya tentang sekolah dan persekolahan. Semua itu membuat saya bersukur bahwa saya bisa menjadi siswa yang lebih baik lagi. Saya menjadi lebih yakin dalam menatap berbagai kesempatan di masa depan. Walaupun saya juga memiliki penyesalan mengapa saya tidak mengetahui berbagai hal ini dari awal. Namun lebih baik telat dari pada tidak sama sekali. Semoga tulisan ini dapat membantu semua siswa dalam meraih prestasi optimal. Ucapan terima kasih terdalam juga saya haturkan kepada seluruh coach yang telah mengarahkan saya untuk memahami esensi TML. Kembali lagi saya tekankan bahwa saya tidak berbicara untuk kepentingan TML melainkan saya berbicara dari apa yang saya alami. Namun sekiranya rekan-rekan siswa tertarik untuk mengetahui lebih lanjut, silahkan langsung berhubungan dengan Total Mind Learning (Indonesia). Semoga kita semua dapat maju tanpa harus sangat berkorban untuk mendapatkan kemajuan tersebut. Informasi mengenai PRIMASTUDY (Total Mind Learning - Indonesia) dapat dilihat langsung pada: www.primastudy.com www.totalmindlearning.com [email protected] call : 0816954484 v : 021-78888952 F : 021-78888952 SMS : 0812 1995 645 ***