Diskriminasi Terhadap Etnis Tionghoa di Indonesia

advertisement
DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS
TIONGHOA DI INDONESIA
MAKALAH INI DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
ILMU SOSIAL DASAR
DOSEN : EMILIANSHAH BANOWO
Disusun Oleh :
CHRISTIAN MARCHEL SAROINSONG
NPM : 11315489
KELAS : 1TA03
PROGRAM STUDI : S1 - TEKNIK SIPIL
FAKULTAS : TEKNIK SIPIL DAN PENCERAHAN
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015
KATA PENGANTAR
Puji Tuhan, Terima Kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
karuniaNya, yang senantiasa menuntun dan memberikan kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah Ilmu Sosial Dasar dengan tema Prasangka,
Diskriminasi dan Etnosentrisme sebagai akar masalah konflik di Indonesia yang
berjudul
“DISKRIMINASI TERHADAP ETNIS TIONGHOA DI INDONESIA”
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya. Dalam makalah ini, penulis ingin memaparkan bagaimana
Diskriminasi yang di alami etnis tionghoa dari masa ke masa. Makalah ini masih
banyak kekuarangan baik dalam segi tulisan maupun materi, karena keterbatasan
pengetahuan maupun pengalaman penulis. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembacanya.
Akhir kata, terima kasih yang sebesar besarnya penulis ucapkan kepada pihakpihak yang telah memberikan bantuan berupa dukungan baik secara moril maupun
material demi tersusunnya makalah ini.
Depok, Desember 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ............................................................................................ i
Daftar Isi ..................................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 3
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3
1.4 Metode Penulisan .................................................................................. 3
BAB II Pembahasan
2.1 Masa Kolonial Belanda .……………………………………………… 4
2.2 Masa Orde Lama ……………………………………………………... 5
2.3 Masa Orde Baru ……………………………………………………… 6
2.4 Era Revormasi ……………………………………………………….. 15
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 18
3.2 Saran ..................................................................................................... 18
Daftar Pustaka ............................................................................................. 20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang dibentuk
berdasarkan asas yang coba dicita-citakan yaitu berbeda namun tetap sama.
Sebuah semboyan yang telah coba disosialisasikan dari sejak dini dan
diperkenalkan sebagai semboyan Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika yang
berasal dari Bahasa Jawa Kuna, yang makna dari pengartian secara harfiahnya
adalah berbeda-beda namun tetap satu kesatuan. Sayangnya, apa boleh dikatakan
bahwa semboyan ini hanyalah tetap sebuah semboyan yang mungkin adalah citacita luhur dari para pendiri negara Indonesia ini dengan mengutip
dari kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular.
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa masyarakat yang dipersatukan dalam
konsep Negara Indonesia ini memiliki heterogenitas yang apabila dikatakan oleh
Koentjaraningrat termasuk kedalam tingkat masyarakat yang sangat
heterogen.Bagaimana tidak, Indonesia memiliki kurang lebih 322 suku yang
tersebar di kurang lebih 17.504 pulau yang ada di gugusan Kepulauan Nusantara.
Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik,
penduduk Indonesia terbagi kedalam komposisi beragam suku yang memiliki
persentase yakni sekitar 41,6% Suku Jawa, 15,4% Suku Sunda, 3,4% Suku
Melayu, 3,3% Suku Madura, 3% Suku Batak, 2,7% Suku Minangkabau Dan Suku
lainnya yang persentasenya mencapai 1%. Berbagai macam suku tersebut
menganut berbagai kepercayaan, mulai dari yang diakui oleh negara sebagai
agama resmi, hingga yang masih menganut kepercayaan tradisional.Heterogenitas
masyarakat tidak berhenti disana, masyarakat Indonesia juga terbagi kembali
kedalam kelas-kelas ekonomi yang bermacam-macam. Belum lagi Indonesia
memiliki latar belakang kolonialisasi yang panjang, hal ini tentu memiliki
pengaruh demografi, salah satunya adalah komposisi suku di Indonesia yang juga
1
dimasuki oleh orang-orang yang berasal dari Asia Selatan dan Timur serta
berbagai negara di Eropa.
Bukan merupakan sebuah rahasia apabila heterogenitas yang terbentuk baik secara
struktural atau horizontal ini memberikan efek yang cukup berbahaya bagi
integrasi nasional dan sosial Indonesia.Konflik-konflik yang berkaitan dengan
perbedaan dan keberagaman bukanlah suatu yang asing lagi terdengar di
telinga.Apabila kita membuka arsip sejarah yang berkaitan dengan konflik
struktural ataupun horizontal yang terkait dengan heterogenitas demografis, hal
tersebut tentu saja memiliki porsi sendiri dan selalu diperbincangkan sebagai
catatan kelam sejarah Indonesia.Salah satu kejadian yang mungkin dapat
dikatakan sebagai bagian paling gelap dari sejarah Indonesia terkait dengan isu
diskriminasi etnis dan selalu menimbulkan pertanyaan serta kebingungan
mengapa hal tersebut dapat terjadi adalah peristiwa kerusuhan Mei 1998. Kejadian
yang sekaligus menjadi tonggak perubahan pada hampir seluruh aspek sosialpolitik di Indonesia ini, bukan rahasia lagi, meninggalkan suatu fakta bahwa
terdapat suatu friksi dalam masyarakat Indonesia yang terkait dengan
heterogenitas.
2
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa
permasalahan dalam beberapa bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia dari masa ke
masa?
2. Apa yang mendasari terjadinya diskriminasi terhadap etnis Tionghoa
di Indonesia?
1.3
Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan agar pembaca mengetahui:
1. Perkembangan etnis Tionghoa di Indonesia
2. Sebagian dari sejarah kelam pemerintahan di indonesia
Dan juga agar pembaca memahami pentingnya Toleransi dan Tenggang
rasa, juga Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan dan cita-cita luhur para
pendiri bangsa
1.4
Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam pembuatan makalah ini adalah dengan
pengumpulan data dari berbagai sumber di internet. Kemudian penulis
menganalisis setiap sumber dengan membandingkan antara sumber yang
satu dengan sumber yang lain sehingga di peroleh data yang otentik, lalu
menyusunnya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masa Kolonial Belanda
Diskriminasi dan kekerasan terhadap orang-orang
keturunan Tionghoa di Indonesia telah dicatat setidaknya sejak tahun 1740,
ketika Pemerintah Kolonial Belanda membunuh sampai dengan 10.000 orang
keturunan Tionghoa di Batavia selama peristiwa Geger Pacinan dan pembantaian
masa perang Jawa 1825-1830. Pembantaian yang dilakukanBelanda secara besarbesaran terhadap orang Tionghoa dimaksudkan agar kalangan bisnis etnis
Tionghoa ini betul-betul tunduk terhadap Belanda. Pembantaian di Batavia
tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di
beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa. Pada gilirannya
ini mengakibatkan pecahnya kerajaan Mataram. Orang Tionghoa tidak lagi
diperbolehkan bermukim di sembarang tempat. Aturan Wijkenstelsel ini
menciptakan pemukiman etnis Tionghoa atau pecinan di sejumlah kota besar di
Hindia Belanda..
Secara umum perusahaan Belanda dan pihak swasta asing dominan dalam
sektor ekonomi utama, seperti manufacture, perkebunan, industri tekstil dan lainlainnya. Muncul perubahan peran ekonomi etnis Cina, yang saat itu sedikit demi
sedikit memasuki usaha grosir dan ekspor impor yang waktu itu masih didominasi
Belanda. Kemudian diikuti oleh tumbuhnya bank-bank swasta kecil yang dimiliki
oleh etnis Cina, dan muncul juga dalam industri pertekstilan (Mackie, 1991:322323).
Bidang pelayaran menjadi sektor utama yang secara luas dipegang oleh etnis Cina
masa itu, tetapi pada akhirnya mendapat saingan dari perusahaan negara dan
swasta pribumi. Pada bidang jasa dan profesipun secara kuantitatif meningkat,
tetapi untuk dinas pemerintahan dan angkatan bersenjata, secara kuantitas hampir
tidak ada.
4
Pada tahun 1816 sekolah Belanda telah didirikan, tetapi hanya untuk anakanak Belanda. Pada akhir abad XIX anakanakTionghoa kaya diijinkan masuk sekolah
Belanda, tetapikesempatan masuk sekolah Belanda amat kecil. Maka pada tahun
1901 masyarakat Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa dengannama Tionghoa
Hwee Koan (THHK). Pada tahun 1908 THHK ini sudah didirikan di berbagai
kota di Hindia Belanda.
Perhatian Pemerintah Tiongkok terhadap sekolah THHK ini mulai besar, banyak
guru yang dikirim ke Tiongkok untuk dididik. Melihat perkembangan baru ini
pemerintah kolonial Belanda khawatir kalau tidak dapat menguasai gerak orang
Tionghoa maka didirikan sekolah Belanda untuk orang Tionghoa. Namun biaya di
sekolah Belanda untuk anak Tionghoa ini sangat mahal, kecuali untuk mereka
yang kaya, maka anak Tionghoa yang sekolah diTHHK lebih banyak. Dalam
perkembangan berikutnya Sekolah Belanda lebih dipilih karena lulusan dari
sekolah Belanda gajinya lebih besar dan lebih mudah mencari pekerjaan di kantorkantor besar. Banyak orang meramalkan bahwa THHK akan bubar, tetapi
kenyataannya tidak. Para pengelola eTHHK ini ternyata lebih tanggap terhadap
perubahan jaman sehingga masih tetap dipercaya oleh sebagian orang Tionghoa,
bahkan hingga kini masih ada dan dikenal sebagai salah satu skolah nasional.
Diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak berhenti hanya pada masa Kolonial
Belanda, namun terus berlanjut hingga Orde Lama dan OrdeBaru.
2.2
Masa Orde Lama
Pemerintahan Presiden Soekarno pada era 1959-1960 adalah masa dimana etnis
Tionghoa sungguh terdiskriminasi dalam wajah yang sangat rasialis.Pengejaran
terhadap orang-orang Tionghoa ketika itu merupakan bagian dari pelaksanaan
serta pengembangan politik anti Tionghoa pada 1956. Konsep pemikiran dari
pemerintah mengenai nasionalisasi perusahaan telah sangat meminggirkan usaha
milik orang-orang etnis Tionghoa.
5
Pada 14 Mei 1959 pemerintah mengeluarkan PP No. 10/1959 yang isinya
menetapkan bahwa semua usaha dagang kecil milik orang asing di tingkat desa
tidak diberi izin lagi setelah 31 desember 1959. Peraturan ini terutama ditujukan
pada pedagang kecil Tionghoa yang merupakan bagian terbesar orang-orang asing
yang melakukan usaha ditingkat desa. Alhasil, semakin mengeraslah perlakuan
rasis terhadap orang Tionghoa di Indonesia.Bahkan sebagai akibatdari PP No.
10/1959 itu, selama tahun 1960-1961 tercatat lebih dari 100.000 orang Tionghoa
meninggalkan Indonesia dan secara tipikal mereka mengalami banyak
kesengsaraan. Disatu pihak karena intrik-intrik politik negara Indonesia dan
Tiongkok dan di lain pihak meningkatnya terror dalam perbatasan-perbatasan
Indonesia sendiri.
Sebutan orang ‘Cina‘ oleh sebagian besar Rakyat Indonesia dan perlakuan aparat
militer yang menjadi alat Negara telah mampu mendiskreditkan etnis Tionghoa
sebagai kaum pendatang yang harus tunduk pada masyarakat yang punya tanah
kelahiran (pribumi). Namun kenyataan menjadi paradoks ketika lobi-lobi
penguasa tempo itu tidak bias menghindar dari sebagian elit etnis Cina. Rasa
dendam terhadap etnis Cina semakin member kekuatan baru bagi perjuangan
meminggirkan etnis Cina. Disisi yang lain, bangkitnya semangat nasionalisme
yang cenderung mengacu pada sentimen primordial adalah faktor lain yang
menunjukkan betapa suramnya rasialisme itu di wajah Negara Republik
Indonesia.
2.3
Masa Orde Baru
Pada tahun 1965 terjadi pergolakan politik yang maha dasyat di Indonesia,
yaitu pergantian orde, dari orde lama ke orde baru. Orde lama yang memberi
ruang adanya partai Komunis di Indonesia dan Orde baru yang membasmi
keberadaan Komunis di Indonesia. Bersamaan dengan perubahan politik itu rezim
Orde Baru melarang segala sesuatu yang berbau Cina. Segala kegiatan
keagamaan, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina tidak boleh dilakukan lagi. Hal
6
ini dituangkan ke dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.14 tahun 1967. Di
samping itu, masyarakat keturunan Cina dicurigai masih memiliki ikatan yang
kuat dengan tanah leluhurnya dan rasa nasionalisme mereka terhadap Negara
Indonesia diragukan. Akibatnya, keluarlah kebijakan yang sangat diskriminatif
terhadap masyarakat keturunan Cina baik dalam bidang politik maupun sosial
budaya. Di samping Inpres No.14tahun 1967 tersebut, juga dikeluarkan Surat
Edaran No.06/Preskab/6/67 yang memuat tentang perubahan nama. Dalam surat
itu disebutkan bahwa masyarakat keturunan Cina harus mengubah nama Cinanya
menjadi nama yang berbau Indonesia, misalnya Liem Sioe Liong menjadi Sudono
Salim. Selain itu, penggunaan bahasa Cinapun dilarang. Hal ini dituangkan ke
dalam Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 286/KP/XII/1978.
Tidak hanya itu saja, gerak-gerik masyarakat Cinapun diawasi oleh sebuah badan
yang bernama Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian
dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Ada beberapa peraturan yang mengatur eksistensi etnis Cina di Indonesia yaitu,
1. Mengeluarkan kebijakan penandaan khusus pada Kartu Tanda Penduduk
2. Tidak bolehnya warga etnis Tionghoa menjadi pegawai negeri serta tentara
3. Pelarangan warga etnis Tionghoa untuk memiliki tanah di pedesaan
Dan masih banyak lagi pembatasan-pembatasan yang dilakukan terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia yang bersifat begitu mendiskreditkan serta
mendiskriminasi.
Kebijakan-kebijakan ini pun tentu saja secara otomatis merenggut hak asasi
mereka sebagai warga negara Indonesia dan sebagai manusia.
Pada tanggal 7 juni 1967, Soeharto mengeluarkan surat edaran ‘Kebijakan Pokok
Penyelesaian Masalah Cina’ yang isinya menyatakan bahwa etnisTionghoa WNA
yang beritikad baik akan mendapat jaminan keamanan dan perlindungan atas
kehidupan, kepemilikan, dan usahanya. Surat edaran ini kemudian di tindaklanjuti
dengan Keputusan Presiden pada Desember 1967 yang isinya menyatakan bahwa
Pemerintah tidak membedakan antara Tionghoa WNA dan Tionghoa WNI.Untuk
7
menghindari eksklusifismerasial maka pemerintah memilih
untuk mengasimilasikan orang-orang etnis Tionghoa itu dan melakukan berbagai
usaha untuk memutuskan hubungan mereka dengan leluhur mereka. Proses
asimilasi ini terlihat dalam :
1. Aturan penggantian nama
2. Melarang segala bentuk penerbitan dengan bahasa serta aksara Cina
3. Membatasi kegiatan-kegiatan keagamaan hanya dalam keluarga
4. Tidak mengizinkan pagelaran dalam perayaan hari raya tradisional
Tionghoa di muka umum
5. Melarang sekolah-sekolah Tionghoa dan menganjurkan anak-anak
Tionghoa untuk masuk kesekolah umum negeri atau swasta
Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga
keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya
berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hakhak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak
saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima
pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional.Bahkan pada
jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa
untuk toko atau perusahaan, bahasaTionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan
dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama
30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaan
mereka sendiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan
pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh
komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa
tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang
mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi
hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu
memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak
8
menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan
Indonesia.
Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian
Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini
dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski
beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional
Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan
pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang
populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat
Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan.
Benang merah yang menjadi latarbelakang terjadinya diskriminasirasial di
Indonesia sendiriadalah kepentingan politik ekonomi pemerintah di masingmasing masa. Di masa OrdeBaru ini kata diskriminasirasial nyaris tidak terdengar,
dan memang tidakdisebutkan, bahkan dilarang untuk diperbincangkan. Rasisme
diperhalus dengan istilah SARA (Suku, Agama, Ras, dan
Antargolongan).Implikasinya adalah segala hal yang berbau rasisme dikatakan
SARA, yang berarti tidak boleh diributkan dan semua dibiarkan begitu saja, tanpa
adanya tindak lanjut berarti dari pemerintah.Ini merupakan suatu kesengajaan
yang dibuat pemerintah sekaligus bentuk rasisme yang paling kejam.
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada 8 buah produk perundang – undangan yang
sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yaitu :
1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan
Pokok Penyelesaian Masalah Cina
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang
Masalah Cina
9
3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat
istiadat Cina
4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan
Cina
5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah
Cina
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan
Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan
Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina
Sudah sejak lama terdapat suatu sentimen negatif dari masyarakat yang
mengaku asli Indonesia terhadap etnis pendatang dari Cina, etnis Tionghoa. Sejak
era kolonialisasi Belanda yang melampaui 300 tahun, etnis pendatang ini seakan
diberikan posisi yang lebih tinggi derajatnya ketimbang inderlandsendiri.Bahkan
para imperialis ini memberi istilah pribumi dan non-pribumi.Setelah merdeka,
masyarakat pun masih terkontaminasi pemikiran tersebut, pemerintah Soekarno
yang dikenal anti-Cina pun masih meninggalkan pemikiran yang ditanamkan oleh
mantan pemegang kekuasaan.Sentimen ini pun disinyalir semakin menguat di
masa orde baru, karena etnis Tionghoa kebanyakan menduduki posisi yang dapat
dikatakan kelas ekonomi atas. Letupan dari sentimen ini secara masif pun
akhirnya tercermin pada kerusuhan Mei 1998, dimana terjadi suatu kejahatan yang
dilakukan oleh massa yang brutal terhadap etnis Tionghoa. Korban utamanya
adalah mereka dan yang paling menderita adalah perempuan.
Kerusuhan Mei 1998
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi
Trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh
dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Dan penurunan jabatan Presiden Soeharto.
10
Pada kerusuhan ini banyak tokodan perusahaan dihancurkan oleh amuk masa,
terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan
terbesar terjadi di Jakarta, Medan dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita
keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam
kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara
sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyakwarga Indonesia
keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis
relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita
Martadinata Haryono, yang masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga
diperkosa, disiksa, dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi
bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis,
takhanya sporadis.
Amuk masa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan
menulisi muka took mereka dengan tulisan "Milikpribumi" atau "Pro-reformasi".
Jika ditarik lebih jauh lagi maka sedikit banyak akan menyinggung 2
tokoh elite politik yang saat ini masih aktif dalam dunia perpolitikan; dimana pada
waktu itu masing-masing memegang posisi tertinggi dalam jajaran militer
(memegang tongkat komando tentara). Anehnya sebagai aparat keamanan (apalagi
tentara yang harusnya lebih keras), mereka seperti terlihat melongo dan pasrah
saja melihat rakyatnya di zolimi seperti itu, serta hanya sibuk mengawal gedung
DPR/MPR. Sampai saat ini, beberapa pertanyaan seputar tragedi kerusuhan Mei
1998 masih menjadi misteri, diantaranya adalah :

Kemana aparat keamanan militer pada waktu kerusuhan itu (menurut
sumber, kerusuhan yang terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara
sempat menghilang di sejumlah daerah) ?

Mengapa sampai terjadi pembiaran (penjarahan dan pembakaran
rumah,toko dan perusahaan milik etnis Tionghoa, serta yang paling
parah adalah pemerkosaan, penganiayaan dan pelecehan terhadap
wanita etnis Tionghoa (disertai pengrusakan alat kelamin dan bagian
11
tubuh lainnya, dimutilasi, bahkan dibakar hidup-hidup), yang
mengakibatkan gangguan psikis (gangguan kejiwaan) yang sangat luar
biasa bagi para korban hingga saat ini; bahkan banyak yang berujung
pada aksi bunuh diri atas rasa keputus asaan?

Siapa yang menggerakkan massa (melakukan provokasi) yang
menyebabkan kerusuhan SERENTAK di beberapa kota besar
Indonesia (diantaranya Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dsb) ?
Akibat kasus ini, banyak Negara yang pada waktu itu ikut mengecam keras
Pemerintahan Indonesia yang dianggap gagal dalam melindungi warga
negaranya, diantaranya negara Singapura, Taiwan, Amerika Serikat, Malaysia dan
Thailand. Berikut beberapa aksi simpatik Negara-Negara tersebut :

Pemerintah Singapura, Menyatakan Bandara Internasional Changi
terbuka 1×24 jam dan sewaktu-waktu siap menerima kedatangan
korban kerusuhan.

Pemerintah Taiwan, Menyampaikan protes keras kepada pemerintah
Indonesia, bersamaan dengan itu mengirim pesawat penumpang untuk
mengangkut para korban kerusuhan.

Pemerintah Amerika, Mengizinkan “permohonan perlindungan” para
korban keturunan Tionghoa, bersamaan itu mengirim kapal perangnya
ke Indonesia untuk mengangkut sejumlah besar korban kerusuhan.

Pemerintah Malaysia, Meminta Komite HAM PBB menyelidiki
peristiwa pembunuhan dan pemerkosaan bergilir ditengah kerusuhan
yang dialami oleh kaum perempuan keturunan Tionghoa di Indonesia,
serta menyerahkan hasil penyelidikan kepada Pengadilan Kejahatan
Internasional untuk diadili.
Tetapi sungguh ironis, Pemerintah komunis Republik Rakyat Tiongkok
(China) malah mengambil sikap tidak melaporkan, tidak mengecam dan tidak
mencampuri segala urusan dalam negeri Indonesia. Menurut pemerintah China
pada saat itu mengatakan, orang Tionghoa di Indonesia telah menjadi Warga
12
Negara Indonesia, maka apa yang terjadi di Indonesia segalanya adalah urusan
dalam negeri Indonesia. Padahal jika dilihat dari sisi keterikatan emosional dan
kedekatan suku bangsa, Negara China lah yang seharusnya menjadi pembela
nomor satu.
Sejumlah masyarakat etnis Tionghoa pada waktu itu berada dalam situasi keadaan
yang genting dan mencekam dikabarkan pernah mencoba mengadu ke Kedubes
China, yang atas dasar perikemanusiaan memohon bantuan. Namun ditolak
mentah-mentah oleh kedubes China dengan alasan yang melapor bukan warga
negaranya. Sudah tentu kabar ini membuat Pemerintahan Orde Baru yang kala itu
sangat ketakutan merasa telah memperoleh dukungan semangat yang kuat,
termasuk para pelaku kerusuhan yang menganggap aksi mereka sebagai suatu
pembenaran.
Pengusutan dan Penyelidikan
Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah
laporan yang dikenal dengan "Laporan TGPF"
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual,
TGPF menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya
diduga berlatar belakang militer.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Lembar Fakta dan Temuan dari Tim
Gabungan Pencari Fakta 13-15 Mei 1998 yang dibentuk oleh pemerintah
Indonesia pimpinan presiden B.J. Habibie, dipastikan bahwa terdapat 85
perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang berlangsung dalam
rangkaian kerusuhan Mei 1998. Dengan rincian 52 korban perkosaan, 14 korban
perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual,
dan 9 orang korban pelecehan seksual. Tim juga menemukan fakta bahwa
sebagian besar dari korban adalah perempuan yang memiliki etnis Tionghoa, dan
13
hampir semuanya adalah korban dari gang rape, dimana korban diperkosa oleh
sejumlah orang secara bergantian dalam waktu yang bersamaan. Bahkan
kebanyakan kasus juga dilakukan didepan orang lain. Tim juga mengakui bahwa
terdapat keterbatasan dalam pencatatan dan verifikasi keseluruhan korban ini
karena adanya pendekatan hukum positif yang mengisyaratkan harus ada laporan
dan tanda-tanda kekerasan yang dialami.
Menurut sumber yang secara langsung diwawancarai oleh jurnalis dari media
Tempo, Ita F. Nadia selaku Koordinator Divisi Pendampingan Korban Perempuan
dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan dapat memastikan bahwa keseluruhan dari
para korban perempuan yang melaporkan pengalaman mengerikan ini berasal dari
etnis Tionghoa.Ia mengatakan bahwa temuan yang ia dapatkan di lapangan dapat
dipastikan lebih mengerikan, karena ia mengaku bahwa berdasarkan pengalaman
para korban yang sungguh menderita akibat kekerasan seksual yang mereka alami
banyak yang mengalami shock dan trauma berkepanjangan, bahkan banyak yang
memilih untuk meninggalkan Indonesia. Lebih miris lagi, ia mengatakan bahwa
beberapa memilih untuk langsung mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri setelah
mendapatkan perlakuan yang begitu keji tersebut.
Menurut pemahaman dari Psikolog, Universitas Gajah mada, Prof. Dr.
Djamaludin Ancok, ia mengatakan bahwa kejadian yang begitu mengerikan ini
sebenarnya dapat terjadi karena ada sebuah sistem, yang meskipun samar dimata
para awam tapi cukup dapat dibuktikan oleh para ahli sosial politik. Meskipun
fenomena amuk masa memang bukan tidak mungkin dapat menimbulkan sikap
brutal, yang biasanya tidak muncul ketika individu sendiri, tapi pihak yang
dijadikan sasaran disini jelas terkait dengan suatu etnis dan ciri tertentu.Ia menilai
bahwa ini adalah sebuah proses ketika memang masyarakat yang sedari dulu
dikenalkan dengan kebijakan pribumi-non-pribumi oleh pemerintah yang
merupakan warisan dari Belanda, sentimennya meletus dikarenakan berbagai hal
yang mungkin terjadi seperti kecemburuan ekonomi atau dendam-dendam yang
tidak logis karena ditanamkan sejak kecil.
14
Berdasarkan temuan data lain yang dihimpun oleh tim investigasi Komnas HAM
pada masa itu, Charles Himawan yang tergabung dalam tim tersebut mengatakan
kepada jurnalis Tempo bahwa kekerasan yang menimpa satu golongan etnis yaitu
Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998 ini sudah jelas diprovokasi dan awalnya
diinisiasi oleh suatu golongan yang terorganisir. Berdasarkan pengakuan berbagai
saksi, para pelaku tidak pernah sebelumnya terlihat di area tempat kejadian
kerusuhan atau kekerasan.Beberapa dari mereka berpakaian sekolah, namun
perawakannya sudah begitu tua dengan badan yang begitu tegap seperti layaknya
preman-preman bayaran.
Komnas Perempuan yang terbentuk karena kejadian mengerikan ini juga membuat
sebuah laporan sepuluh tahun dari kejadian ini.Mereka mengatakan bahwa
korban-korban yang berasal dari etnis Tionghoa ini, sampai sekarang masih
mengalami trauma. Banyak dari mereka yang sampai sekarang tidak ingin
mengakui adanya kejadian tersebut, meninggalkan Indonesia, ataupun menghilang
dari masyarakat sama sekali. Ancaman yang sempat diterima mereka apabila
melapor, tidak adanya inisiatif dan pengabaian dari sistem peradilan pidana untuk
menyelesaikan kasus ini, serta tekanan dari industri media pada saat dan setelah
kejadian mengerikan itu, seakan-akan menjadi sebuah reviktimisasi bagi para
korban ataupun keluarga korban yang memiliki pengalaman yang sangat
menyakitkan terkait posisi mereka yang sangat rentan pada saat itu. Terlebih lagi,
mereka seakan dijadikan sebagai kompensasi dari adanya reformasi yang selalu
diagung-agungkan dan dijadikan cita-cita luhur para kalangan revolusioner saat
itu.
2.4
Era Revormasi
Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan
perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya
memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan
pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis,
15
walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan
birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil nonTionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah
menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi
terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya,
ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah
menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara,
misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa
Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu,
pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid
Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk
menarik minat warga Tionghoa
Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin
masa sebelumnya. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi
Presiden No. 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan
Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak
lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk
keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun
ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman
etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya.
Di masa pemerintahan Gusdur, Instruksi Presiden (Inpres) No 14/1967 yang
melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf
China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden
Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya
kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden
Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono,
agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis
Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi
WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan
16
yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin
memperbaharui paspor dan KTP.
Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan sosial, aktif
dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di pelbagai sekolah
sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani
memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka diri dan
memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dst. Filsafat
kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah: ‘berakar di bumi tempat berpijak’,
artinya: (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya.
17
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Peristiwa dari masa ke masa ini bukanlah merupakan lembaran
sejarah yang baik bagi negara Indonesia. Akan tetapi, tidak mungkin juga hal
tersebut dilupakan begitu saja, terlebih lagi banyak diluar sana korban yang
berasal dari etnis Tionghoa masih belum mendapatkan keadilan yang semestinya
mereka dapatkan. Meskipun secara pemahaman teori ataupun faktual, kasus ini
merupakan kasus yang sangat kompleks dan penuh dengan konspirasi, seharusnya
negara dan masyarakat sendiri dapat sadar dan menjadikan ini sebagai pelajaran
yang berarti.
3.2
Saran
Keberagaman yang memang selalu muncul, pro dan kontra, rasa curiga
dan ketidakadilan memang kerap kali menjadi permasalahan yang dapat
memercikan konflik kecil yang dipendam dan menjadi besar sehingga meletus
dengan sangat mengerikan.Akan tetapi, hal itu sebenarnya dapat ditanggulangi
dengan nilai-nilai yang mungkin sudah dilupakan saat ini seperti toleransi dan
tenggang rasa.
Meskipun nampaknya hal tersebut hanya sebatas internalisasi dari era orde baru,
setidaknya dapat diambil pemaknaan yang terbaik bahwa memang nilai-nilai
tersebut perlu kita sadari dan kita tanamkan sedari awal.Kedewasaan dalam
menyikapi perbedaan dan keadilan tanpa membeda-bedakan satu nilai-nilai pun
yang ada di dalam masyarakat.
18
Apabila masyarakat dapat melakukan hal tersebut, perlu juga ditunggu apakah
lembaga-lembaga struktural pemerintah dapat pula melakukan hal
demikian.Tanpa adanya celah dan prasangka terhadap golongan tertentu dan
perbedaan tertentu.Alangkah lebih baik jika pemerintah yang telah melakukan
beragam ratifikasi internasional tentang keadilan mampu mengimplementasikan
kualitas kerja sejalan dengan kuantitas ratifikasi tersebut. Dengan begitu, ketika
konflik mulai terjadi, pemerintah dapat menjadi pihak yang paling bijak dalam
menyikapinya, bukan justru diam dan duduk manis menonton dengan urusanurusan birokratis mereka.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ramadhan, T. 2013. Kekerasan Kepada Perempuan Etnis Tionghoa di Indonesia:
Studi Kasus, Korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998
https://tubagusramadhan.wordpress.com/2013/05/14/kekerasan-kepadaperempuan-etnis-tionghoa-di-indonesia-studi-kasus-korban-kerusuhan-1314-mei-1998/ -diakses desember 2015
Kakarisah. 2010. Perkembangan etnis tionghoa di Indonesia dari masa ke masa
https://kakarisah.wordpress.com/2010/03/09/perkembangan-etnistionghoa-di-indonesia-dari-masa-ke-masa/ -diakses desember 2015
Avalokitesvari, N. 2012. Diskriminasi etnis tionghoa di Indonesia pada masa
Orde Lama dan Orde Baru
http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-padamasa-orde-lama-dan-orde-baru/ -diakses desember 2015
Anonim. Diskriminasi terhadap Tionghoa-Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/Diskriminasi_terhadap_TionghoaIndonesia#cite_note-FOOTNOTETan2008239-3 –diakses desember 2015
Anonim. Kerusuhan Mei 1998
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998 -diakses desember
2015
Anonim. 2014. Kerusuhan Mei 1998,Harga yang harus di bayar oleh etnis
Tionghoa
http://www.tionghoa.info/kerusuhan-mei-1998-harga-yang-harus-dibayaroleh-etnis-tionghoa/ -diakses desember 2015
20
Download