Dinamika Kepribadian Perempuan Biseksual: Studi Kasus pada Seorang Perempuan Biseksual yang Mengalami Pelecehan Seksual Siti Mu’allafah Psikologi, Universitas Negeri Malang ABSTRAK: Fenomena biseksualitas merupakan orientasi seksual yang tidak lazim dan cenderung dikategorikan negatif oleh sebagian orang. Definisi masyarakat akan apa yang normal, layak, benar dan alami memiliki pengaruh besar atas bagaimana perasaan orang biseksual tentang orientasi seksual mereka. Stereotip sosial yang semacam itu tidak sejalan dengan fakta bahwa di sekitar kita terdapat individu-individu dengan orientasi seks yang berbeda. Orientasi seks yang berbeda ini seringkali mendapatkan kritik yang negatif dari lingkungan tanpa memperhitungkan bahwa stigma negatif yang diberikan ini juga melukai mereka. Biseksual bisa terbentuk karena adanya faktor pendorong dari luar individu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keturunan, bisa jadi karena lingkungan tempat tinggal, pola asuh, pengalaman masa lalu yang dalam hal ini pelecehan seksual. Hasil penelitian terhadap dinamika kepribadian perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual ini menghubungkan satu kesimpulan yang sama dengan penelitian terdahulunya, bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak (dengan dinamika kepribadian yang berbeda-beda) dapat menjadi salah satu faktor pembentuk perilaku seksual yang abnormal, yang dalam hal ini adalah biseksualitas. Kata kunci: dinamika kepribadian, biseksual, pelecehan seksual Dalam tatanan masyarakat Indonesia, fenomena biseksualitas merupakan orientasi seksual yang tidak lazim dan cenderung dikategorikan negatif oleh sebagian besar orang. Vitasandy dan Zulkaida (2010: 189-190) menyatakan bahwa definisi masyarakat akan apa yang normal, layak, benar dan alami memiliki pengaruh besar atas bagaimana perasaan orang biseksual tentang orientasi seksual mereka. Pandangan negatif terhadap biseksualitas tersebut menyebabkan seseorang dengan kecenderungan biseksual merasa terasing dari dan ditekan oleh masyarakat. Stereotip sosial mengenai apa yang normal, layak, benar, dan alami untuk dilakukan oleh laki-laki dan perempuan itu tidak sejalan dengan fakta bahwa di sekitar kita terdapat individu-individu dengan orientasi seks yang berbeda. Orientasi seks yang berbeda ini seringkali mendapatkan kritik yang negatif dari lingkungan tanpa memperhitungkan bahwa stigma negatif yang diberikan ini juga melukai mereka (Nugraha, 2007). Keberadaan kaum biseksual tidak dapat dikenali dengan mudah seperti halnya homoseksual dan transeksual. Kelompok biseksual memang tidak menampakkan diri secara fisik, sehingga tidak mudah dikenali. Seseorang yang tampak sebagai laki-laki tulen, bahagia dan harmonis dengan istri, misalnya ternyata juga berhubungan dengan laki-laki. Seorang laki-laki yang diketahui playboy dengan banyak pacar perempuan, juga dapat memiliki kecenderungan untuk berhubungan seks dengan sesama laki-laki juga (Darmawan, 2008). Sigmund Freud (dalam Darmawan, 2008) menyatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki sifat biseksual bawaan. Ini berarti setiap orang memiliki dasar dan peluang menjadi biseks. Merujuk pada teori hormonal bahwa setiap manusia sebenarnya memiliki unsur hormon laki-laki maupun perempuan, tarik menarik unsur tersebut sebagai hal yang biasa dan mudah terjadi. Wiener dan Breslin (1995: 154-155) menyatakan bahwa terbentuknya orientasi seksual seseorang dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain sistem hormonal, neurofisiologi, sosiokultural (termasuk budaya, keluarga, perbedaan sosioekonomi, dan pendekatan religiusnya), serta faktor psikologis lainnya (seperti pengalaman seksual dan juga trauma seksual individu). Pernyataan Wiener dan Breslin didukung oleh hasil penelitian The Kinsey Institute for Research in Sex, Gender, and Reproduction (dalam Darmawan, 2008) yang menunjukkan bahwa proses pembentukan orientasi seksual tidak semata karena keturunan, tapi bisa juga karena faktor-faktor lain seperti lingkungan, situasi dan juga psikososial. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pendapat Nugraha (2008) yang menyatakan bahwa biseksual bisa terbentuk karena adanya faktor pendorong dari luar individu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keturunan, bisa jadi karena lingkungan tempat tinggal, pola asuh, pengalaman masa lalu yang dalam hal ini pelecehan seksual. Sebuah studi di Amerika (dalam RHO, 2011) menunjukkan bahwa sebagian besar kaum biseksual memiliki pengalaman dilecehkan, diperkosa, dan menjadi korban kekerasan di masa kanak-kanaknya. Katy (2009) juga menjabarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh The National Health and Social Life Survey (NHSLS) yang menunjukkan bahwa 1,51% dari populasi orang Amerika yang diidentifikasi sebagai gay, lesbi, dan biseksual pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kanak-kanaknya. Nevid, dkk (2005: 227) menyebutkan bahwa pengaruh dari luar itu berlangsung perlahan dan tidak terasa namun memiliki dampak yang parah dalam jangka panjang. Konsekuensi penganiayaan secara seksual terhadap anak dapat berdampak parah dan berjangka panjang, menyebabkan masalah-masalah emosional dan kesulitan dalam mengembangkan hubungan intim dalam jangka panjang pada masa depan anak. Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas memberikan pengertian bahwa orientasi seksual seseorang tidak hanya ditentukan oleh faktor genetik saja, melainkan ada banyak faktor yang juga menentukan misalnya saja lingkungan, pola asuh, kondisi sosioekonomi, dan juga pendekatan religiusnya. Begitupula dengan orientasi seksual pada kaum biseksual yang juga ditentukan oleh beberapa faktor pemicu. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Menurut Banister, dkk (1994: 2), penelitian kualitatif adalah studi interpretatif terhadap suatu masalah atau isu khusus dimana peneliti menjadi pusat dalam konteks tersebut. Sementara itu, Wiseman (dalam Hanurawan, 2001: 11) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang memiliki tujuan dokumentasi, identifikasi dan interpretasi mendalam terhadap pandangan dunia, nilai, makna, keyakinan, pikiran dan karakteristik umum seseorang atau sekelompok orang atau sekelompok masyarakat tentang peristiwa-peristiwa kehidupan, situasi kehidupan, kegiatan-kegiatan ritual dan gejala-gejala khusus kemanusiaan lainnya. Model atau rancangan dalam penelitian ini adalah penelitian studi kasus (case study). Faisal (2008: 22) mendefinisikan studi kasus sebagai pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif. Pada penelitian model studi kasus, berbagai variabel ditelaah dan ditelusuri, termasuk juga kemungkinan hubungan antar variabel yang ada. Hubungan antara peneliti dan realitas penelitian dalam penelitian studi kasus bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan karena ada dalam kondisi independent a dualism (dalam Hasan, 2002) dimana peneliti bertindak sebagai observer dan juga interviewer untuk mengungkap tujuan awal penelitian yaitu mengungkap semua pola yang saling berkaitan dalam menjelaskan dinamika kepribadian perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual. Berdasarkan teknik purposive sampling, dipilih satu orang untuk menjadi subjek penelitian, dengan kriteria: (1) Perempuan, hal ini terkait dengan fakta penelitian yang menyebutkan bahwa wanita lebih rentan mengalami kasus pelecehan seksual. (2) Perempuan biseksual, sesuai dengan konstruk psikologi yang ingin diungkap dalam penelitian ini. (3) Perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual di masa lalunya. (4) Bersedia menjadi partisipan penelitian. Penelitian ini dilakukan selama selama kurang lebih 7 bulan, yaitu sejak awal September 2011 sampai akhir Maret 2012 dalam setting kehidupan seharihari partisipan yang bertempat di desa Kelampok, Kecamatan Klojen, Malang. Lokasi lain yang mendukung penelitian ini adalah food court Matos, daerah Kasin-Malang, dan daerah Pulungan, Pandaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipan pasif dan wawancara mendalam. Observasi merupakan pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian (dalam Satori & Komariah, 2009: 105). Sedangkan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu (dalam Sugiono, 2010: 72). Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis secara constant comparative method, yaitu dengan reduksi data, kategorisasi, sintesisasi, dan penyusunan hipotesis kerja (Moleong, 2008: 288) Teknik pengecekan keabsahan temuan yang digunakan dalam penelitian ini adalahadalah validitas deskriptif, validitas interpretif, dan validitas teoritis (dalam Hanurawan, 2012: 76-78). HASIL Dinamika kepribadian subjek penelitian didominasi oleh id (konsep Freud) dan tak sadar kolektif (konsep Jung) yang tinggi sehingga ego (kesadaran) dan superego (nilai-nilai moralnya) lemah. Keinginan untuk selalu memenuhi insting seksnya membuat Mothy tidak lagi menganggap aktivitas seksualnya sebagai bentuk pelecehan, tetapi kenikmatan seksuallah yang mengendalikan dirinya secara tidak disadari untuk terus melakukan pengulangan (disebut Jung sebagai kompleks). Perilaku seksual subjek dipelajari dari kasus-kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Kasus-kasus tersebut dipelajari subjek sebagai suatu kondisioning (konsep behaviorisme). Aktivitas seksual yang diakuisisikan dengan otoritas ayah akan memunculkan respon kesediaan anak untuk patuh. Sehingga lama-kelamaan ketika stimulus seksual tidak lagi dihadirkan bersamaan dengan otoritas ayahnya, Mothy akan tetap melakukannya. Ucapan terima kasih ayahnya menjadi reinforcement positif bagi Mothy untuk terus mengulangi perilaku seksualnya itu. Pelecehan seksual yang terjadi berulang-ulang membuat Mothy melekatkan persepsi subjektif (konsep Adler) sebagai “tumbal seksual” dan konsep diri ideal (konsep Horney) bahwa aktivitas seksual sebagai sesuatu yang harus dia lakukan jika dia ingin mendapatkan kasih sayang (id). Persepsi subjektif dan konsep diri ideal inilah yang menyebabkan Mothy menciptakan tujuan final fiktif tentang pelecehan seksual sebagai jalan hidupnya dan seperti itulah dia harus menjalaninya. Secara perlahan tujuan final fiktif ini berkembang menjadi gaya hidup yang sulit dirubah. Gaya hidup yang didominasi oleh seksualitas ini membuat Mothy mencari aktivitas yang paling berpeluang sukses untuk memenuhi kebutuhan instingtifnya, yaitu dengan menjadi wanita panggilan (baik dengan laki-laki maupun perempuan). Kepuasan dan uang yang dia peroleh dari ativitas tersebut menjadi reward yang menyebabkan aktivitas seksual dipandang sebagai sesuatu yang berharga. Dibalik kepuasan dan uang yang dia peroleh, subjek juga mengalami kecemasan moral (kemungkinan disalahkan oleh masyarakat) dan kecemasan neurotik (hukuman dari masyarakat) atas perilaku seksualnya tersebut. Kecemasan-kecemasan ini membuat Mothy mengembangkan inferiorita kompleks (konsep Adler) untuk memanipulasi perilaku atau respon orang lain atas perilaku seksualnya. Mothy berharap orang yang mendengarnya menjadi simpati dan tidak meyalahkannya tetapi menganggapnya sebagai korban denga menimpakan kesalahan tersebut pada pelaku (disebut Freud sebagai proyeksi). Kecemasankecemasan ini juga ditutupi dengan sesalan (excuses), pengakuan dosa (undoing), dan menarik diri (withdrawal). Memilih menarik diri dari lingkungan orang-orang baru dan tetap tinggal dengan orang-orang lama yang sebagian besar pernah melecehkannya dianggap sebagai upaya untuk menghindari kasus-kasus pelecehan lainnya. Padahal para pelaku sebenarnya melakukan pelecehan seksual pada dirinya karena cue stimulus (konsep Miller dan Dollard) yang ditunjukkan subjek. Orang lain (pelaku) memiliki keinginan untuk melakukan aktivitas dengan subjek mungkin karena cue stimulus subjek melalui bahasa tubuhnya dibaca oleh pelaku sebagai ajakan untuk melakukan hubungan seksual. Sehingga dalam hal ini subjek dan pelaku saling membaca cue (pertanda) masing-masing yang menunjukkan keinginan seksual yang sama untuk memenuhi hasrat seksual yang akan berakhir pada suatu aktivitas seksual. PEMBAHASAN 1. Dari Perspektif Teori Psikoanalisis Klasik (Sigmund Freud) Menurut Freud (dalam Alwisol, 2005: 24-25), dinamika kepribadian ditentukan oleh cara energi psikis didistribusi dan dipakai oleh id-ego-superego. Jumlah energi psikis yang tersedia jumlahnya terbatas, sementara ketiga unsur struktur kepribadian itu bersaing untuk mendapatkannya. Kalau salah satu unsur menjadi lebih kuat, maka dua unsur yang lainnya menjadi lemah. Struktur kepribadian yang paling menonjol dalam diri Mothy adalah unsur id-nya. Hal ini ditunjukkan dengan 11 kehamilan yang pernah dia alami, yaitu 2 kehamilan yang dilahirkan dan 9 kehamilan yang digugurkan. Kehamilan yang terjadi sampai berkali-kali ini menunjukkan bahwa Mothy terlalu menuruti insting seksualnya tanpa memperhatikan akibat apa yang akan dia terima dari kehidupan seksualnya yang “liar” tersebut. Kekuatan id yang besar tentu berbanding terbalik dengan superego Mothy yang sangat lemah. Pembentukan superego seseorang terkait dengan nilai-nilai kehidupan yang ditanamkan oleh orang tua pada anak. Kehidupan religius yang hampir sama sekali tidak pernah disinggung subjek dalam penelitian ini mungkin menjadi satu petunjuk penting bahwa Mothy dan keluarganya tidak memiliki kehidupan religius yang baik. Penanaman nilai-nilai moral terkait dengan seksualitas juga tertanam secara tidak benar. Dalam hal ini ayah Mothy mengajarkan konsep “seksual” sebagai sesuatu yang benar untuk dilakukan, yang diajarkan melalui kasus pelecehan pertama yang dialami subjek dengan pelaku ayahnya sendiri. Menjadi anak ke-enam dari tujuh bersaudara tentu saja membuat Mothy dan saudara-saudaranya saling berebut kasih sayang dari orang tua mereka. Mendapatkan kasih sayang dari orang tua merupakan salah satu kebutuhan dasar yang sudah pasti dimiliki oleh setiap anak. Kalimat “ayah sayang sekali sama adek, sama kakak-kakak juga. Kakak semuanya juga pernah ayah gituin dek. Sakit ya? Tapi adek harus mau ya nanti kalo ayah suruh lagi?” yang diungkapkan oleh ayah Mothy setelah melakukan pelecehan terhadap Mothy diartikan bahwa “aktivitas seksual” dengan ayah merupakan syarat untuk mendapatkan kasih sayang dari ayahnya. Sehingga dalam hal ini ego-nya menerima pelecehan seksual tersebut sebagai upaya untuk memperoleh kasih sayang dari ayah, apalagi saudara-saudaranya yang menjadi rival dalam perebutan kasih sayang juga mendapatkan perlakuan “seksual” yang sama. Tentu saja dalam kasus ini Mothy menerima aktivitas seksual sebagai ego ideal atau sebagai sesuatu yang memang seharusnya dilakukan, dan pelecehan seksual yang dilakukan ayah diinterpretasikan sebagai standar sosial yang ditetapkan oleh ayahnya sebagai bentuk kasih sayang orang tua dan anak. Pelecehan seksual yang terjadi berkali-kali membentuk pola seksualitas dalam diri Mothy (dibahas dalam perspektif behaviorisme), sehingga lamakelamaan secara tidak sadar Mothy menikmati semua aktivitas seksual tersebut (dibahas dalam perspektif psikologi analitikal Jung). Alasan-alasan untuk tidak lagi menghindari pelecehan seksual yang dialaminya (seperti tidak ada gunanya menghindar karena pelaku akan tetap menyetubuhinya, kekerasan yang akan dilakukan oleh pelaku jika Mothy menolak, dan anggapan bahwa tubuhnya tidak lagi berharga) merupakan bentuk representasi dari kecemasan moralnya. Mothy sebenarnya juga memiliki kecemasan tentang kemungkinan masyarakat akan menyalahkan perilaku seksualnya yang menyimpang, sehingga dalam hal ini alasan-alasan tersebut digunakan sebagai bentuk mekanisme pertahanan ego dalam wujud proyeksi. Alasan-alasan yang dia ungkapkan tersebut adalah upaya untuk menutupi kenyataan bahwa sebenarnya Mothy mulai menikmati semua aktivitas seksual tersebut, namun Mothy menyatakan alasan-alasan tersebut untuk menimbulkan kesan bahwa dia adalah korban. Dengan alasan-alasan tersebut, Mothy berharap orang yang mendengar alasan tersebut tidak akan menyalahkan perilaku seksual Mothy yang menyimpang tersebut karena Mothy adalah korban, dan tentu saja orang-orang akan menyalahkan pelaku yang menjadi tokoh kunci dalam pelecehan tersebut. Proyeksi yang lainnya ditunjukkan dalam pengalaman peneliti saat terkunci di kamar mandi dengan Mothy. Pada saat itu Mothy memeluk peneliti di kamar mandi dengan alasan takut tetapi Mothy tidak berusaha membuka pintu kamar mandi dan justru menyandarkan dirinya pada pintu kamar mandi sehingga peneliti tidak bisa keluar dari kamar mandi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan yang sangat kuat untuk melakukan hubungan seksual dengan peneliti tetapi ada ketakutan dalam dirinya kalau peneliti menolak dan menyalahkan dia atas perilaku tersebut, sehingga seolah-olah peneliti yang mendorong dia ke arah pintu kamar mandi. Pemilihan jalan hidup dengan menjadi wanita panggilan adalah salah satu bukti bahwa Mothy hanya mementingkan dorongan instingtifnya. Padahal jika Mothy memiliki ego yang baik tentunya dia bisa menyesuaikan upaya pemenuhan kebutuhan seksualnya dengan cara-cara yang sesuai dengan realita (misalnya dengan menikah) sebagai pemecahan masalah yang paling masuk akal dan benar secara sosial. Superego yang lemah juga tidak bisa mengendalikan dorongan instingtifnya, Mothy tidak lagi memperdulikan pandangan orang lain tentang dirinya. Yang terpenting baginya adalah kebutuhan seksualnya dapat terpuaskan. Mekanisme pertahanan ego lain yang juga digunakan oleh Mothy adalah intelektualisasi yang diwujudkan dalam bentuk undoing. Mekanisme ini ditunjukkan Mothy dengan berkali-kali melakukan pengakuan dosa di gereja, maksudnya adalah untuk menyembunyikan kecemasan moral terhadap ketakutan akan dosa-dosa yang selama ini dia lakukan. Undoing biasanya berwujud perbuatan positif dalam bentuk “tingkah laku ritual” yang digunakan untuk menutupi atau menghilangkan kecemasan dan dosa akibat kegiatan negatif yang telah dilakukan. 2. Dari Perspektif Teori Psikologi Analitik (Carl Gustav Jung) Menurut Jung (dalam Alwisol, 2005: 61-62), berfungsinya kepribadian tergantung pada bagaimana energi dipakai. Jung mengajukan struktur kepribadian meliputi kesadaran (consciusness) dan ego, taksadar personal (personal unsconcious) dan kompleks (complexes), serta taksadar kolektif (collective unconscious) yang berisi arsetip-arsetip. Kesemua struktur pembentuk kepribadian itu menjadi predisposisi bagaimana orang menerima dan merespon dunianya (dalam Alwisol, 2005: 47). Bahasan dinamika kepribadian Mothy dari perspektif Jung hampir sama dengan yang dijelaskan dalam teori Freud. Berdasarkan sudut pandang Jung, dinamika kepribadian Mothy didominasi oleh taksadar kolektif (mirip dengan konsep id dari Freud) yang berisi arsetip-arsetip. Arsetip yang paling menonjol dalam diri Mothy adalah arsetip shadow yang berwujud dalam insting kebinatangan yang mendalam dalam kepribadian manusia. Arsetip ini disembunyikan dibalik persona agar tidak muncul ke kesadaran dan menimbulkan celaan dari masyarakat. Namun, kelemahan dari ego dalam menahan insting kebinatangan dalam diri Mothy menyebabkan shadow dalam bentuk perilaku seksual yang secara terus menerus dilakukan oleh Mothy. Pada awalnya, aktivitas seksual Mothy memang diperoleh dari kasus pelecehan seksual yang dialaminya. Secara berkala sakit yang dia peroleh dari kasus-kasus pelecehan seksual tersebut menumbuhkan kenikmatan yang tidak disadari oleh Mothy. Kejenuhan terhadap kasus pelecehan seksual yang terjadi secara berulang-ulang inilah yang akhirnya menimbulkan kompleks seksual, yang lama kelamaan akan menguasai diri Mothy. Kasus-kasus pelecehan seksual yang berkali-kali diterimanya ini berusaha ditekan dan dilupakan di daerah taksadar pribadi sebagai kompleks seksual. Dalam keadaan jenuh, Jung mengatakan bahwa bukan orang itu yang memiliki kompleks tetapi komplek-lah yang menguasai orang itu. Implementasinya dalam kasus ini adalah pada akhirnya bukan sekedar kenikmatan yang dirasakan oleh Mothy, tetapi kenikmatan itulah yang akhirnya menguasai diri Mothy. Mungkin hal inilah yang menjadi alasan mengapa akhirnya Mothy bertahan dalam kondisi pelecehan-pelecehan seksual tersebut, bukan lagi untuk mendapatkan kasih sayang ayah semata tetapi juga peran kompleks seksual yang mengendalikan dirinya namun tidak pernah ia sadari. Kenikmatan yang secara tidak sadar ia rasakan inilah yang membuat hampir seluruh perilakunya diorientasikan dalam hubungan seksual, baik dengan laki-laki maupun perempuan. 3. Dari Perspektif Teori Psikologi Individual (Alfred Adler) Menurut Adler (dalam Alwisol, 2005: 77-78), masalah hidup selalu bersifat sosial. Fungsi hidup sehat bukan hanya mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan mempedulikan kesejahteraan mereka. Manusia dimotivasi oleh dorongan sosial, bukan dorongan seksual. Cara orang memuaskan kebutuhan seksual ditentukan oleh gaya hidupnya, bukan sebaliknya dorongan seks yang mengatur tingkah laku. Pokok-pokok penting dalam teori Adler mencakup enam hal, yaitu: (a) bahwa satu-satunya kekuatan dinamik yang melatarbelakangi aktivitas manusia adalah perjuangan untuk sukses dan menjadi superior , (b) persepsi subjektif individu membentuk tingkah laku dan kepribadian, (c) semua fenomena psikologis disatukan di dalam diri individu dalam bentuk self, (d) manfaat dari aktivitas manusia harus dilihat dari sudut pandang interes sosial, (e) semua potensi manusia dikembangkan sesuai dengan gaya hidup dari self, dan (f) gaya hidup dikembangkan melalui kekuatan kreatif individu. Perilaku yang menonjol dalam diri Mothy bukanlah bagaimana bangkit dari keadaan inferiornya untuk menuju superiorita. Sebaliknya yang banyak dia tampakkan adalah kompleks inferiorita (inferiority komplex). Mothy menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya yang tragis sebagai upaya untuk mendapatkan pelayanan khusus dari orang lain, dalam hal ini Mothy memiliki perasaan superior yang tersembunyi dengan keyakinan bahwa kesulitannya bukanlah karena kesalahannya dan dengan begitu dia akan mendapatkan perlakuan istimewah dari orang lain. Seperti dalam 3 kasus aborsi yang membuat D dan WW menolongnya untuk membantu biaya kuretnya. Mothy menggunakan pengalaman pelecehan-pelecehan seksual yang dia alami sebagai upaya untuk menarik simpati dari orang lain. Dia berharap dengan pengalaman-pengalaman tragis tersebut orang lain tidak akan menyalahkan dirinya tetapi menganggap bahwa dirinya adalah korban dari “kekejaman hidup” yang mungkin bisa menimpa siapa saja. Pengalaman-pengalaman tragis yang terus menerus dia ungkapkan inilah yang akhirnya menyebabkan D dan WW merasa kasihan dan ingin menolong Mothy keluar dari kehidupannya yang berantakan. Tentu saja dalam hal ini D dan WW tidak memahami bahwa dalam cerita-cerita tragis itu Mothy menyelipkan perasaan superiorita untuk memanipulasi perilaku orang lain agar mau memperlakukannya secara spesial. Penemuan lainnya yang bisa dijelaskan dengan perspektif Adler adalah alasan Mothy untuk tetap bertahan dalam kondisi pelecehan seksual yang terus berulang adalah karena dia memiliki persepsi subjektif dengan melabeli dirinya sebagai “tumbal seksual” dalam praktik paranormal ayahnya. Persepsi subjektif ini sedikit banyak memberikan kontribusi terhadap alasan Mothy untuk bertahan dalam kondisi rumahnya yang “tidak sehat” tersebut. Persepsi subjektif Mothy ini dikembangkan menjadi tujuan final fiktif yang akan membimbing gaya hidupnya. Tujuan final fiktif yang ia ciptakan adalah bahwa setiap perilaku seksualnya pada akhirnya merupakan tujuan yang harus dia lakukan untuk mendapatkan kasih sayang orang tua (terutama ayah, yang telah dijelaskan dalam teori Freud). Interpretasi terhadap pengalaman pelecehan seksual selalu disesuaikan dengan makna yang telah ditetapkan. Makna aktivitas seksual sebagai bentuk kasih sayang anak terhadap ayah selalu disesuaikan dengan aktivitas seksual yang dia jalani. Dalam hal ini aktivitas seksual telah menjadi gaya hidup yang tidak mudah berubah, bahkan ketika diketahui bahwa itu salah. Anak yang diperlakukan salah dan disiksa mengembangkan minat sosial yang kecil, mempunyai rasa percaya diri yang rendah dan cenderung membesarbesarkan kesulitan yang dihadapinya. Perlakuan seksual yang salah dari ayahnya menyebabkan Mothy memiliki rasa percaya diri yang rendah untuk dapat menerima kehadiran orang-orang baru dalam hidupnya. Mothy menganggap orang-orang baru tersebut akan melakukan pelecehan seksual juga terhadap dirinya. Ketidakpercayaan Mothy terhadap dunia luar membuat Mothy cenderung melindungi dirinya dengan beberapa cara. Cara pertama disebut sesalan (excuses) oleh Adler. Sesalan yang paling banyak digunakan oleh Mothy dinyatakan dalam kalimat “if-only” atau “sesungguhnya kalau”, misalnya saja dengan pernyataan “sesungguhnya kalau waktu itu ayahku tidak melecehkanku, aku pasti akan lebih baik dari ini”. Kalimat sesalan ini terus-menerus dia ungkapkan sehingga dia terpuruk dalam perasaan inferior dan tidak berkembang. Selain dengan sesalan, bentuk perlindungan diri lain yang juga digunakan oleh Mothy adalah menarik diri (withdrawal). Bentuk menarik diri yang paling menonjol dilakukan oleh Mothy adalah diam di tempat (standing still). Dalam menyikapi pengalaman hidup yang buruk ini, Mothy menarik diri dari segala ancaman yang bisa berpotensi kegagalan sehingga dia lebih memilih diam di tempat. Bertemu dengan orang-orang baru mungkin menjadi ancaman tersendiri bagi Mothy tentang kekhawatiran untuk dilecehkan lagi oleh orang-orang baru tersebut. Ketakutan gagal dalam membina hubungan dengan orang baru ini membuat Mothy memilih untuk diam di tempat dan membiarkan dirinya dikelilingi oleh orang-orang lama yang sebagian besar adalah pelaku pelecehan seksual yang dialaminya. Konsep lain dari Adler yang penting dalam menjelaskan perilaku manusia adalah mengenai fungsi hidup sehat yang bukan hanya meliputi mencintai dan berkarya, tetapi juga merasakan kebersamaan dengan orang lain dan mempedulikan kesejahteraan mereka. Melihat ibunya disiksa oleh ayahnya setiap kali ingin membebaskan anak-anaknya dari perlakuan seksual yang salah dari ayahnya menimbulkan konflik bathin tersendiri bagi Mothy. Jika dia bisa bertahan dalam aktivitas seksual untuk mendapatkan “kasih sayang” dari ayahnya, tentu saja seharusnya dia juga bisa melakukan hal lain yang serupa untuk membuat ibunya aman dari penyiksaan ayahnya. Menerima pelecehan-pelecehan seksual tersebut, mungkin juga Mothy artikan sebagai upaya untuk menyelamatkan ibunya dari kekejaman ayahnya. Artinya adalah Mothy memiliki pertimbangan bahwa mungkin dengan menerima pelecehan-pelecehan seksual tersebut ayahnya tidak akan lagi menyiksa ibunya. Dalam hal ini Mothy membiarkan dirinya dijadikan “tumbal seksual” oleh ayahnya, selain untuk mendapatkan kasih sayang ayah juga untuk menyelamatkan ibunya dari kekejaman ayahnya tanpa memikirkan apa yang terjadi pada dirinya. Hal inilah yang disebut oleh Adler bentuk mensejahterakan masyarakat atau orang lain di sekitarnya tanpa memikirkan kepentingan peribadinya. 4. Dari Perspektif Teori Psikoanalisis Sosial (Karen Horney) Menurut Horney (dalam Alwisol, 2005: 165), kecenderungan neurotik yang timbul dari kecemasan dasar berkembang dari hubungan anak dengan orang lain. Dinamika kejiwaan yang terjadi menekankan pada konflik budaya dan hubungan antar pribadi. Proses intrapsikis pada awalnya berasal dari pengalaman hubungan antar pribadi, yang kemudian setelah menjadi bagian dari sistem keyakinan mengembangkan eksistensi dirinya terpisah dari konflik interpersonal. Untuk dapat memahami konflik intrapsikis yang sarat dengan dinamika diri, Horney mengajukan empat gambaran konsep diri yang meliputi tiga konsep yang subjektif dan satu konsep yang objektif. Konsep yang subjektif berupa pandangan diri rendah, pandangan diri yang sebenarnya, dan pandangan diri yang seharusnya. Sedangkan konsep yang objektif adalah pandangan diri yang apa adanya. Kecenderungan neurotik yang tumbuh dalam diri Mothy karena perlakuan yang salah dari ayahnya menyebabkan adanya konflik intrapsikis dalam diri Mothy. Konsep intrapsikis ini dipahami Mothy melalui empat konsep dari Horney. Konsep-konsep subjektifnya meliputi: (a) Konsep diri rendah (Despised Real Self) yang diwujudkan dalam evaluasi negatif yang dia lekatkan pada dirinya seperti rasa bersalah yang berlarut karena ketidakmampuan untuk menolak semua kasus pelecehan seksual yang dialaminya, perasaan bahwa tubuhnya tidak lagi berharga dengan pelecehan seksual yang selama ini dia terima. Anggapananggapan inilah yang akhirnya menyebabkan dirinya merasa tidak berdaya dan tenggelam dalam “kehidupan seksual liar” yang sudah terlanjur melekat dalam dirinya. (b) Konsep diri nyata (Real Self) yang hampir sama sekali tidak ditunjukkan dalam perilaku Mothy. Hal ini terjadi karena yang paling menonjol dalam diri Mothy adalah kebutuhan instingtifnya sehingga egonya tidak mampu menyesuaikan tuntutan id dengan realita yang ada. (c) Konsep diri ideal (Ideal Self) yang merupakan pandangan diri yang seharusnya. Tingginya konsep diri rendah pada Mothy menyebabkan Mothy menetapkan ideal bahwa memang seharusnya seperti inilah dirinya, menyikapi semua pelecehan seksual sebagai sesuatu yang memang harus dijalaninya. (d) Konsep diri aktual (Actual Self) yang tidak ditunjukkan oleh Mothy karena tertutupi oleh tingginya konsep diri rendah dan konsep diri seharusnya. Hal ini menyebabkan Mothy tidak mampu melihat dirinya sebagai kualitas yang apa adanya dan justru didominasi oleh tentang bagaimana diri yang seharusnya. Konsep diri ideal yang tinggi dalam menyikapi pelecehan seksual yang dialaminya menyebabkan Mothy mencari keagungan neurotik dari perilaku seksualnya. Konsep diri ideal itu dimasukkan secara komprehensif ke dalam keseluruhan hidupnya, meliputi tujuan, konsep diri dan hubungannya dengan orang lain. Orang semacam Mothy ini membutuhkan kesempurnaan (need for perfection), mempunyai ambisi yang neurotik (neurotic ambition), dan dorongan untuk menang dalam balas dendam (drive toward a vindivtive triumph). Kebutuhan “keharusan” dan kesempurnaan diraih “ketidakharusan” dengan yang membangun kompleks. Untuk seperangkat mencapai kesempurnaan diri ideal yang khayal ini, Mothy secara tidak sadar mengatakan pada dirinya sendiri: “Lupakan bahwa kamu itu makhluk yang memalukan karena sering dilecehkan, inilah bagaimana kamu yang seharusnya”. Ketidaksadaran inilah yang membuat dia merasa bahwa memang seperti inilah hidupnya dan dengan cara inilah dia harus menjalaninya (dengan dominasi aktivitas seksual). Pencarian keagungan diri melalui dorongan menjadi superior yang kompulsif. Hal ini seperti yang telah dijelaskan dalam konsep inferiorita kompleks milik Jung, bahwa Mothy menggunakan alasan-alasan yang menyedihkan untuk menarik simpati orang lain demi memuaskan instingnya yang kompulsif. Untuk memenuhi ini, Mothy secara teratur menyalurkan energinya ke aktivitas yang paling berpeluang sukses. Pemilihan wanita sebagai partner seksual setelah laki-laki mungkin merupakan alternatif pilihan yang paling berpeluang untuk dapat dipuaskan dengan mudah. Mungkin saja perilaku seksual yang dia lakukan dengan saudara-saudaranya yang sejenis merupakan akses termudah untuk mendapatkan kepuasan seksual ketika tidak ada objek laki-laki yang bisa menjadi pemuasnya. Cara lain yang digunakan untuk memperoleh keagungan neurotik adalah dorongan untuk balas dendam. Perasaan kecewa karena dilecehkan oleh ayah yang seharusnya menjadi pelindungnya mungkin saja menyebabkan Mothy dan saudara-saudaranya melakukan hal yang sama (pelecehan) dengan saudarasaudaranya sendiri untuk membalaskan dendam atas kekecewaan terdalam karena telah disakiti (secara seksual) oleh orang-orang yang disayanginya. 5. Dari Perspektif Teori Behaviorisme (B.F. Skinner) Pendekatan behaviorisme menekankan bahwa satu-satunya aspek yang nyata dan relevan dengan psikologi adalah tingkah laku yang teramati, dan satusatunya cara mengontrol serta meramalkan tingkah laku adalah mengaitkan perilaku tersebut dengan kejadian yang mengawalinya (event-antesedent) yang ada di lingkungan. Pendekatan behaviorisme ini memandang bahwa perbedaan yang terdapat pada tingkah laku orang, semuanya disebabkan oleh perbedaan event yang menyebabkannya sehingga setiap perilaku yang ada pada diri seseorang sangat tergantung pada pengalaman masa lalu yang menyebabkan perilaku tersebut. Perilaku seksual Mothy baik dengan laki-laki maupun perempuan diperoleh melalui proses belajar dari pengalaman yang panjang. Kasus-kasus pelecehan yang dilakukan oleh ayahnya dan klien-kliennya merupakan bentuk kondisioning terhadap perilaku seksual Mothy. Pada awalnya, konsep seksual merupakan sesuatu yang netral bagi seseorang. Sementara otoritas ayah sebagai unconditioning stimulus yang secara otomatis akan direspon dengan kepatuhan anak. Lalu ketika otoritas ayah sebagai unconditioning stimulus diakuisisikan dengan perilaku seksual yang telah disetting sebagai conditioning stimulus diharapkan akan menimbulkan respon alami yaitu kepatuhan anak. Secara berkala, kasus pelecehan seksual yang terus-menerus dialami subjek menjadikan “aktivitas seksual” sebagai sesuatu yang sudah dikondisikan. Sehingga kehadiran “aktivitas seksual” akan tetap direspon dengan kepatuhan anak (kesediaan untuk melakukan aktivitas seksual) baik dengan ataupun tanpa otoritas dari ayah. Dari sinilah perilaku seksual Mothy terbentuk menjadi kebiasaan. Pengalaman Mothy dijual oleh kakak-kakaknya untuk menemani perempuan-perempuan lesbi dari luar negeri mungkin pada awalnya dianggap sebagai suatu pelecehan seksual. Namun ketika Mothy mengetahui bahwa ada uang yang menjadi hadiah dibalik aktivitas seksualnya bersama orang-orang tersebut, pada akhirnya Mothy menilai “uang” sebagai penguat bagi perilaku seksualnya. Apalagi kasus-kasus pelecehan seksual yang secara beruntun terus dialami subjek menyebabkan dia secara tidak sadar dikendalikan oleh kompleks seksualnya, sehingga kepuasan juga merupakan penguat utama yang dia cari dari aktivitas seksual yang dijalaninya ketika sudah menjadi wanita panggilan. Dengan kebutuhan seks yang luar biasa besar (disebut Mothy dengan istilah hiperseks), dia bisa memenuhi kebutuhan seksualnya dengan mudah serta dikuatkan pula oleh kepuasan dan uang yang dia peroleh dari aktivitas seksual tersebut. Alasan yang paling mendasar lainnya adalah ucapan terima kasih dari sang ayah setelah memuaskan nafsunya terhadap anak-anaknya diinterpretasikan sebagai reinforcement positif yang memberikan gambaran bagi Mothy bahwa apa yang telah dia lakukan untuk ayahnya adalah hal yang benar dan baik untuk dilakukan. Proses kondisioning, reinforcement positif, dan reward yang dia peroleh dari aktivitas seksualnya itulah yang menyebabkan Mothy nyaman menjadi biseksual. 6. Dari Perspektif Teori Stimulus-Respon (Neal E. Miller dan John Dollard) Menurut Dollard dan Miller (dalam Alwisol, 2005: 401-402), bentuk sederhana dari teori belajar adalah mempelajari keadaan dimana terjadi hubungan antara respon dan cue-stimulusnya. Kebiasaan (habit) adalah satu-satunya elemen dalam teori ini yang memiliki sifat struktural. Habit adalah ikatan atau asosiasi antara stimulus dengan respon, yang relatif stabil dan bertahan lama dalam kepribadian. Untuk bisa belajar, orang harus menginginkan sesuatu (want something), mengenali sesuatu (notice something), mengerjakan sesuatu (do something), dan mendapat sesuatu (get something). Hal inilah yang kemudian berkembang menjadi empat komponen utama belajar, salah satunya adalah cue yang merupakan stimulus yang pemberi petunjuk perlunya dilakukan respon yang sesungguhnya. Banyaknya pelaku pelecehan seksual yang dialami Mothy dan melibatkan pelaku dari orang-orang terdekatnya patut menjadi pertanyaan. Teori Dollard dan Miller ini menyebutkan bahwa adanya respon perilaku tertentu biasanya ditentukan oleh cue stimulus yang menjadi ciri khas dari stimulus itu sendiri. Pelaku mungkin saja melakukan pelecehan seksual terhadap Mothy karena Mothy sendiri menunjukkan perilaku yang menarik seseorang untuk melakukan pelecehan terhadap dirinya. Bagi orang dengan kecenderungan seksual serupa, tentu sudah bisa membaca kekhasan dari seorang biseksual. Kerelaan Mothy untuk dipegang tangannya misalnya, dapat menjadi cue tersendiri bagi orang lain untuk menyimpulkan bahwa Mothy mau dipegang-pegang. Cue inilah yang kemudian dikembangkan menjadi respon yang lebih nyata. Sehingga ketika Mothy menunjukkan gelagat yang menggoda mungkin, bisa menyebabkan pelaku memberikan respon yang senada yaitu mau melakukan hubungan seksual dengan Mothy. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan bahwa terbentuknya orientasi seksual Mothy bukanlah karena keturunan melainkan oleh kecenderungan yang salah dalam menginternalisasi nilai “pelecehan seksual”. Banyak anak lain yang juga mengalami pelecehan seksual, namun tidak semua dari mereka menjadi biseksual. Tentunya tingkat pelecehan yang dialami juga menjadi penentu kecenderungan anak ke arah abnormalitas. Terlepas dari perbedaan dinamika kepribadian Mothy sebagai perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual dengan anak-anak lain yang juga mengalami pelecehan seksual, penelitian ini membenarkan bahwa perlakuan yang salah pada masa anak-anak (pelecehan seksual) menimbulkan banyak dampak yang merusak jika tidak ditangani dengan benar, termasuk gangguan psikologis seperti kecemasan, depresi, perilaku agresif, self-esteem yang buruk, perilaku seksual prematur atau persetubuan dengan siapa saja (promiscuity), pikiranpikiran bunuh diri, dan penyalahgunaan obat-obat terlarang. Masalah-masalah psikologis ini dapat berlanjut hingga dewasa dalam bentuk PTSD, depresi, dan masalah-masalah relasional. Berdasarkan hasil penelitian terhadap dinamika kepribadian perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual pada subjek Mothy ini dapat ditarik benang merah untuk menghubungkan satu kesimpulan yang sama dengan penelitian terdahulunya, bahwa kasus pelecehan seksual terhadap anak (dengan dinamika kepribadian yang berbeda-beda) dapat menjadi salah satu faktor pembentuk perilaku seksual yang abnormal, yang dalam hal ini adalah biseksualitas. Saran Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tentang dinamika kepribadian perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual, peneliti mengajukan saran sebagai berikut: Bagi Subjek Penelitian Subjek penelitian bisa melakukan konsultasi lebih lanjut dengan para ahli seperti psikiater, psikolog, seksolog, atau LSM pemberdayaan perempuan untuk mendapatkan pengetahuan baru tentang bagaimana cara melepaskan diri dari biseksualitasnya. Kemampuan dalam bidang lainnya yang dimiliki subjek penelitian dapat dikembangkan secara maksimal sebagai langkah pertama yang bisa dilakukan untuk menyibukkan diri dan menghindari kemungkinan munculnya perilaku biseksual itu kembali. Bagi Masyarakat Luas Masyarakat hendaknya bisa mempelajari atau setidaknya mengetahui apa yang terjadi dibalik terbentuknya biseksualitas pada diri seseorang. Harapannya adalah agar masyarakat tidak memberikan penilaian negatif ataupun penolakan terhadap keberadaan kaum biseksual karena kondisi tersebut sebenarnya juga tidak diharapkan oleh mereka. Selain itu masyarakat hendaknya bisa mengambil pelajaran penting dari penelitian ini, yaitu mengenai peran keluarga sebagai lingkungan terdekat dengan anak yang menjadi potensi terbesar dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak. Oleh karena itu, setiap orang tua harus benar-benar memantau perkembangan anaknya dengan teliti agar anak tidak berkembang menjadi pribadi yang menyimpang di masa depannya. Bagi Peneliti Selanjutnya Topik dinamika kepribadian perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual merupakan bahan sosial dan abnormal yang perlu dikaji lebih lanjut. Keterbatasan dalam penelitian ini yang hanya menggunakan satu subjek penelitian mungkin bisa dikembangkan dengan menambahkan beberapa subjek lagi untuk memperoleh temuan yang beragam mengenai dinamika kepribadian perempuan-perempuan biseksual yang mengalami pelecehan seksual. DAFTAR RUJUKAN Alwisol. 2005. Psikologi Kepribadian Edisi Revisi. Malang: UMM Press. Banister, P., dkk. 1994. Qualitative Methods In Psychology: A Research Guide. London: Open University Press. Darmawan, A. 2008. Jangan Panik Menjadi Biseksual, (Online). (http: //cyberman.cbn. net. id/detil.asp?kategori=Sex&newsno=216), diakses 26 September 2011. Faisal, S. 2008. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hanurawan, F. 2012. Metode Penelitian Kualitatif dalam Ilmu Psikologi. Malang: Universitas Negeri Malang. Hanurawan, F., dkk. 2001. Kontroversi Pendekatan Kuantitatif dan Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologis. Malang: Univrsitas Negeri Malang. Hasan, M. T., dkk. 2002. Metode Penelitian Kualitatif Tinjauan Teoritis dan Praktis. Malang: Lembaga Penelitian Universitas Negeri Malang. Katy. 2009. The Problem with The Belief that Child Sexual Abuse Causes Homosexuality/Bisexuality, (Online), (http://www.PandorasProject.org), diakses 11 Oktober 2011. Moleong, L. J. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nevid, J.S., dkk. 2005. Psikologi Abnormal. (Penerjemah: Tim Psikologi Universitas Indonesia). Jakarta: Erlangga. Fakultas Nugraha, B. D. 16 Desember 2007. Mengenali Biseksualitas. Nurani, hlm. 16. Nugraha, B. D. 30 Januari 2008. Biseksual Bukan Penyakit Menular. Nurani, hlm. 18. RHO. 2011. RHO Fact Sheet: Bisexual Health, (Online), (http://www.RainbowHealthOntario.ca), diakses 27 September 2011. Satori, D. Dan Komariah, A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Sugiono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Vitasandy, T. D. & Zulkaida, A. 2010. Konsep Diri Pria Biseksual. Jurnal Psikologi, 3 (2): 189-190. Wiener, J. M. & Breslin, N. A. 1995. The Behavioral Science in Psychiatry. USA: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.