LAPORAN KASUS PANJANG GAGAL JANTUNG PADA SEORANG ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG REMATIK KRONIK Dwinanda Aidina Fitrani Evaluasi Nasional Terpusat Bali, November 2014 KOLEGIUM ILMU KESEHATAN ANAK INDONESIA 0 STATUS PASIEN EVALUASI NASIONAL November 2014 Nama peserta ujian: Dwinanda Aidina Fitrani Identitas Pasien Nama Jenis kelamin Usia Tanggal lahir Alamat Rekam medis Tanggal masuk Lama rawat : : : : : An. AT Lelaki 15 tahun 5 bulan 14 Mei 1999 Pasaman Barat, Sumatera Barat : 398.49.XX : 26 September 2014 : 24 hari Nama ayah Usia ayah Pendidikan Pekerjaan : : : : Tn. T 57 tahun SMP Petani Nama ibu Usia ibu Pendidikan Pekerjaan : : : : Ny. J 53 tahun SD Ibu rumah tangga Pasien diterima oleh peserta tanggal 13 Oktober 2014 ANAMNESIS (autoanamnesis dan alloanamnesis dengan orangtua pasien) Keluhan Utama Sesak yang memberat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit. (Rujukan dari RS A dengan diagnosis regurgitasi aorta et dan mitral berat et causa (e.c.) penyakit jantung rematik (PJR) pro operasi katup jantung Riwayat Penyakit Sekarang Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa cepat lelah dan sesak ketika berjalan jauh kurang lebih 500 meter atau ketika beraktivitas berat, sesak membaik dengan beristirahat. Keluhan biru di bibir dan jari-jari tangan/kaki disangkal. Sesak tidak memberat pada malam hari dan tidak disertai mengi. Pasien masih bisa tidur dengan satu bantal. Keluhan sesak sebelumnya disangkal.. Keluhan demam, batuk dan pilek tidak ada. Keluhan nyeri dada, dada berdebar, nyeri sendi, gerakan tidak terkontrol, gangguan emosi, ruam kemerahan, atau benjolan pada kulit sebelumnya disangkal. Pasien masih dapat beraktivitas. Tidak ada gangguan BAB dan BAK. Nafsu makan pasien mulai berkurang, namun tidak ada keluhan mual dan muntah serta tersedak saat makan. Saat itu pasien belum dibawa berobat. Satu setengah bulan sebelum masuk rumah sakit, sesak makin memberat, pasien semakin sulit berjalan dan beraktivitas, dan tidak bisa tidur terlentang. Pasien harus tidur dalam posisi setengah duduk. Terdapat keluhan dada berdebar-debar hilang timbul. Keluhan nyeri dada tidak ada. Keluhan biru di bibir dan jari-jari tangan/kaki disangkal. Tidak ada keluhan demam, batuk dan pilek. Tidak ada gangguan BAB dan BAK. Pasien kemudian dibawa ke puskesmas, dan dikatakan menderita gangguan jantung. Pasien lalu dirujuk ke RS A, di sana pasien menjalani beberapa pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan protein C reaktif (CRP), pemeriksaan fungsi hati dan titer anti streptolisin O (ASTO), Rontgen toraks, dan 1 ekokardiografi. Dari hasil pemeriksaan darah didapatkan anemia normositik normokrom dan leukositosis, peningkatan kadar transaminase serum, CRP (+) dan ASTO (-). Hasil pemeriksaan Rontgen toraks menunjukkan gambaran pembesaran jantung. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan gangguan katup jantung berupa regurgitasi aorta dan mitral berat. Pasien didiagnosis dengan regurgitasi mitral dan aorta berat e.c PJR. Pasien dirawat selama 3 minggu. Selama perawatan keluhan sesak bertambah berat, kedua kaki pasien bertambah bengkak dan perut membesar. Pasien kemudian dirujuk ke RS X untuk operasi. Pasien tampak lebih kurus dalam waktu 2 bulan terakhir. Hari masuk rumah sakit, pasien datang ke instalasi gawat darurat (IGD) RS X dalam keadaan sesak, tidak terdapat demam, kedua kaki dan perut membengkak. Tidak ada gangguan BAB dan BAK. Pasien dirujuk dari RS A dengan keterangan AR severe ec aorta bicuspid dan MR severe (RHD) pro repair katup jantung. Pasien telah mendapatkan terapi injeksi penisilin prokain 1,2 juta unit intramuskular (IM) selama 14 hari, injeksi furosemid 1 x 20 mg intravena (IV), spironolakton 1 x 25 mg peroral (PO), dan ramipril 1 x 2,5 mg PO selama perawatan di RS A. Riwayat penyakit dahulu Riwayat batuk pilek dan sakit tenggorokan saat kecil, namun tidak tahu/ingat berapa kali dalam setahun. Riwayat luka/bisul pada kulit disangkal. Riwayat gerakan tidak terkontrol, gangguan emosi, ruam kemerahan, atau benjolan pada kulit disangkal. Riwayat sesak dan kebiruan pada bibir dan jari-jari tangan/kaki saat beraktivitas disangkal. Riwayat alergi obat atau makanan tidak ada. Riwayat sakit berat sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit dalam keluarga Riwayat sakit serupa dalam keluarga disangkal. Riwayat asma dalam keluarga disangkal. Riwayat kontak TB atau batuk lama dalam keluarga disangkal. Enam orang saudaranya meninggal di usia muda - Anak pertama meninggal mendadak saat usia 3,5 tahun - Anak kedua meninggal karena demam lama saat usia 5 tahun - Anak ke-3 dan ke-7 meninggal karena demam saat usia 2 dan 1 tahun - Anak ke 8 meninggal karena sakit lama saat usia 3 tahun - Anak ke 9 meninggal karena muntah dan diare saat usia 4 tahun Riwayat kehamilan dan persalinan Pasien adalah anak ke 5 dari 10 bersaudara. Riwayat menderita sakit atau minum obat-obatan selama kehamilan disangkal. Ibu tidak pernah kontrol saat kehamilan. Pasien lahir spontan, cukup bulan, ditolong oleh dukun, berat lahir dan panjang lahir 2 tidak diukur. Saat lahir langsung menangis, tidak biru maupun sesak. Riwayat kuning saat lahir disangkal. Kesan: riwayat kehamilan tidak diketahui dengan baik, riwayat kelahiran dan persalinan dalam batas normal Riwayat nutrisi Sebelum sakit pasien makan 3 kali sehari dengan lauk nabati dan hewani bergantian. Sejak sakit (2 bulan sebelum masuk rumah sakit), nafsu makan pasien menurun. Pasien makan tiga kali sehari, dan setiap kali makan pasien hanya menghabiskan ½ ¾ porsi. Kesan: kualitas dan kuantitas asupan makanan tidak adekuat Riwayat tumbuh kembang Pertumbuhan Sebelum dirawat pasien tidak pernah ditimbang berat badannya, namun ayah pasien merasa pasien menjadi lebih kurus sejak dua bulan yang lalu. Tinggi badan pasien sesuai dengan teman sebayanya. Perkembangan Orangtua pasien lupa pada usia berapa pasien dapat tengkurap, duduk, berdiri, dan berjalan, namun menurut ibu pasien kesan perkembangan motor kasar pasien tidak terlambat. Pasien saat ini duduk di kelas 2 SMP. Saat kelas 1 SD pasien sempat mengulang selama 1 tahun, setelah itu pasien selalu naik kelas, prestasi di sekolah rata-rata. Pasien telah mengalami mimpi basah saat usia 13 tahun. Ayah pasien mengalami mimpi basah saat duduk di kelas 2 SMP, dan ibu pasien mengalami menstruasi saat duduk di kelas 6 SD. Pasien memiliki cukup banyak teman di lingkungan tempat tinggal dan mudah bergaul. Kesan: pertumbuhan dan perkembangan normal sesuai usia Riwayat imunisasi Tidak dilakukan imunisasi Kesan: imunisasi tidak lengkap Riwayat kebutuhan dasar Pasien diasuh oleh kedua orangtua sejak kecil, dan cukup mendapatkan kasih sayang. Hubungan antar anggota keluarga cukup harmonis. Pasien mendapat ASI eksklusif selama 4 bulan dan mulai mendapat makanan pendamping ASI sejak usia 4 bulan. Pasien tidak pernah mendapatkan imunisasi karena tidak ada fasilitas kesehatan seperti posyandu atau puskesmas di lingkungan rumah pasien, dan puskesmas baru dibangun 5 tahun lalu. Sejak kecil pasien telah mendapat pendidikan sesuai dengan usianya. Kesan: kebutuhan dasar tidak terpenuhi dengan baik 3 Riwayat sosial ekonomi & kondisi lingkungan Keluarga pasien berasal dari golongan ekonomi rendah. Ayah pasien adalah seorang petani dan memiliki perkebunan sawit. Pendapatan ayah sebesar Rp. 2.000.000 per bulan. Ibu pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan keempat saudaranya di rumah permanen dengan ukuran 11 x 10 m2 di Pasaman Barat. Lokasi perumahan cukup padat, dengan jarak antar rumah sekitar 2 meter. Ventilasi dan pencahayaan rumah kurang baik. Sumber listrik berasal dari perusahaan listrik negara (PLN), sumber air berasal dari sumur. Sarana kesehatan puskesmas baru ada sejak 5 tahun lalu yang berjarak 15 menit dari rumah pasien, dan jarak ke RSUD sekitar 4 jam dengan menggunakan bus. Saat ini pembiayaan pengobatan pasien dengan jaminan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kesan: sosioekonomi menengah ke bawah dengan lingkungan tempat tinggal yang padat Ringkasan perawatan di RS X sebelum pasien diterima (26 September-12 Oktober 2014) Pasien masuk perawatan di RS X pada tanggal 26 September 2014 dengan diagnosis kerja gagal jantung kelas fungsional New York Heart Association (NYHA ) IV et causa (e.c.) regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, e.c penyakit jantung reumatik (PJR) kronik, dan gizi buruk marasmik. Saat itu berat badan (BB) pasien 40 kg dengan kondisi edema, tinggi badan (TB) 157 cm, lingkar lengan atas (LLA) 17 cm, secara klinis dan antopometris didapatkan kesan gizi buruk marasmik. Pada pemeriksaan fisis saat masuk pasien tampak sakit berat, sadar, tidak terdapat sianosis pada mukosa mulut dan lidah, tampak sesak dengan laju napas 38 kali per menit, dangkal, dengan terdapat retraksi sela iga dan suprasternal. Laju nadi 120 kali per menit, teratur, isi cukup. Tekanan darah 124/57 mmHg dan aturasi O2 perifer 99% (tanpa oksigen). Tekanan vena jugularis (jugular vein pressure/JVP) saat masuk adalah 5+4 cmH2O. Pada pemeriksaan dada bentuk dada pectus carinatum, tampak prekordium hiperdinamik di suprasternal dan terdapat iga gambang. Pada auskultasi paru terdengar ronki basah halus di kedua lapang paru, tidak terdapat mengi. Pada pemeriksaan fisis jantung tampak thrill dengan iktus kordis teraba di sela iga V, 1 cm dari garis midklavikularis kiri, bunyi jantung I dan II normal, terdapat bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum maksimum di apeks, menjalar ke aksila kiri, kasar, dan murmur diastolik awal derajat III/6 dengan punktum maksimum di sela iga II di garis parasternalis kanan, tidak menjalar, halus, serta tidak didapatkan irama derap. Abdomen buncit, lemas, terdapat hepatomegali dengan ukuran 6 cm di bawah arkus kosta dan 6 cm di bawah prosesus sifoideus dengan tepi tumpul dan permukaan rata. Terdapat edema pitting pretibial dan dorsum pedis, serta edema skrotum. Akral hangat dan perfusi perifer baik. Pada pemeriksaan darah tepi rutin normal. Pada pemeriksaan kimia darah terdapat peningkatan SGOT dan SGPT, peningkatan ureum dan hipoalbuminemia. Hasil pemeriksaan elektrolit terdapat hiponatremia dan hipokloremia. Terdapat peningkatan CRP dan hasil pemeriksaan ASTO dalam batas normal (Tabel 1 tanggal 26/9/2014). Foto toraks menunjukkan adanya kardiomegali 4 dan edema di kedua lapang paru. Pada elektrokardiografi (EKG) terdapat hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri dan kanan. Pada ekokardiografi di IGD tampak kardiomiopati dilatasi, regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang. Saat itu pasien diharuskan tirah baring, diberikan terapi oksigen 2 L/menit nasal, diet makanan biasa 1800 kkal dan F100 6x100 ml, benzatin penisilin G (BPG) 1,2 juta IU IM tiap 21 hari, digoksin 2 x 0,125 mg PO, furosemid 2x 40 mg IV, spironolakton 1 x 25 mg PO, kaptopril 2 x 12,5 mg PO, kapsul NaCL 6 x 2 kapsul, KSR® 3 x 1 tablet dan asam folat 1 x 5 mg PO hari pertama, selanjutnya 1 x 1 mg PO. Direncanakan pemantauan gejala klinis, balans diuresis, pemantauan elektrolit, dan ekokardiografi ulang di Poli Kardiologi. Pada minggu pertama perawatan, masih terdapat sesak namun perbaikan, sudah tidak memerlukan suplementasi oksigen, namun tidur masih harus setengah duduk. Toleransi makan baik, tidak terdapat gangguan BAB dan BAK, bengkak di kaki berkurang sedikit, balans cairan cenderung negatif dengan diuresis berkisar 1-3 ml/kg/jam. Pemeriksaan tekanan darah berkisar antara 95-120 tekanan sistolik dan 5060 tekanan diastolik, laju nadi berkisar antara 105-120 x/menit, reguler, isi cukup, laju napas berkisar 28-30x/menit, reguler, dangkal, JVP berkurang menjadi 5+3 cmH2O, masih terdapat edema pretibial dan skrotum. Pada pemeriksaan elektrolit ulang terdapat hiponatremia, hipokalemia dan hipokloremia (Tabel 1 tanggal 30/9/2014). Pada ekokardiografi tampak regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang, dengan penurunan fungsi ejeksi sebesar 26,6%. Pasien mendapatkan terapi kapsul NaCl 6 x 3 kapsul, KSR® 3 x 1 tablet, dan terapi digoksin diganti menjadi dopamin drip IV 5 mcg/kg/menit. Pada minggu kedua perawatan, keluhan sesak perbaikan, batuk kadang-kadang terutama malam hari, tidur sudah bisa dengan dua bantal, bengkak berkurang. Toleransi makan baik. Tidak terdapat gangguan BAB, BAK kadang berwarna seperti teh. Berat badan turun 6 kg karena bengkak berkurang. Kedua mata mulai tampak kuning. Pemeriksaan tanda vital status quo, tampak sklera ikterik, tekanan JVP berkurang 5+2 cmH2O, hepatomegali berkurang menjadi 4 cm di bawah arkus kosta dan 4 cm di bawah prosesus sifoideus, edema pretibial dan skrotum minimal. Balans cairan cenderung negatif dengan diuresis berkisar 1-3 ml/kg/jam. Pada pemeriksaan evaluasi darah, didapatkan anemia normositik normokrom, hiponatremia, hipokalemia, hipokloremia, kolestasis dan peningkatan gamma GT (Tabel 1 tanggal 5/10/2014). Pada pemeriksaan elektrolit ulang selanjutnya, didapatkan hasil normal. serta Pasien juga dilakukan pemeriksaan serologi hepatitis, herpes simplex virus (HSV) dan sitomegalovirus (CMV) untuk mengevaluasi penyebab kolestasis dan didapatkan hasil dalam batas normal (Tabel 1 tanggal 8/10/2014). Hasil evaluasi ekokardiografi menunjukkan regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang, dengan penurunan fungsi ejeksi sebesar 26,9%. Terapi dopamin diganti menjadi dobutamin 5mcg/kg/menit. Pasien juga mendapat asam ursodeoksikolat 3 x 250 mg PO untuk terapi kolestasis. Terapi NaCl kapsul dan KSR® dihentikan. Pasien direncanakan pemeriksaan fungsi hati dan kolestasis ulang, ekokardiografi transesofageal dan operasi perbaikan katup. 5 PEMERIKSAAN FISIS (Ruang Rawat Non-Infeksi, 13 Oktober 2014, saat pasien diterima oleh peserta ujian) Keadaan umum: tampak sakit sedang, tampak sesak, tidak sianosis Tanda vital Kesadaran Laju nadi Laju napas : kompos mentis : 120x/menit, teratur, isi cukup : 28x/menit, teratur, kedalaman cukup, tidak ada napas cuping hidung, tidak ada retraksi Suhu : 36,2oC Tekanan darah: 122/60 mmHg (P95 126/81 mmHg, P99 134/89 mmHg)) Saturasi O2 : 98% (tanpa oksigen) Status gizi & antropometri BB = 34 kg (< P3 kurva CDC 2000) BB/U = 34/57 = 62% BB ideal = 44 kg LLA = 17 cm (<P5 tabel Frisancho) LLA/U = 17/26,4 = 64% Lingkar kepala = 53 cm (normosefali, kurva Nellhaus) TB = 157 cm (P3-P10 kurva CDC 2000) Height age = 13 tahun TB/U = 154/170 = 90,6% BB/TB = 34/44 =77% TB ayah: 160 cm TB ibu : 150 cm Tinggi potensi genetik (TPG): 153-170 cm Midparental height : 155 cm Kesan: klinis gizi buruk marasmik, perawakan normal, normosefal Pemeriksaan fisis tanggal 13 Oktober 2014 Sistem Deskripsi Kulit Kepala Rambut Wajah Mata Sawo matang, eritema marginatum (-), nodul subkutan (-) Deformitas (-), normosefal Hitam, tidak mudah dicabut Tidak tampak dismorfik,tidak tampak paresis saraf kranial Konjungtiva tidak pucat, sklera ikterik,tidak terdapat injeksi konjungtiva dan injeksi sklera.Tidak terdapat edema palpebra bilateral. Pupil bulat isokor dengan diameter3 mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung baik, gerak bola mata baik ke segala arah. Tidak tampak tanda radang. Tidak ditemukan sekret. Tidak terdapat serumen di kedua telinga, tidak terdapat sekret, membran timpani intak dengan refleks cahaya baik. Mukosa bukal, faring, dan palatum lembab. Karies dentis (-) Tonsil ukuran T1-T1, tidak ada detritus atau hiperemis, faring tidak hiperemis. Tidak terdapat kaku kuduk. Kelenjar getah bening tidak membesar. JVP 5+2 cmH2O, pulsasi (+) Bentuk dada pectus carinatum. Prekordium hiperdinamik daerah suprasternal (+). Bentuk & pergerakan simetris saat statis maupun dinamis. Terdapat Iga gambang. Pergerakan simetris, perkusi sonor, suara napas vesikular di kedua lapang paru, Hidung Telinga Mulut Tenggorok Leher Dada Paru 6 Jantung Abdomen Punggung Bokong Genitalia Ekstremitas KGB Status pubertas ronki basah di kedua lapang paru, tidak ada mengi. Inspeksi: iktus kordis tampak di sela iga V, 1 cm di kiri garis midklavikularis sinistra, tampak prekordium hiperdinamik daerah apeks Palpasi: iktus kordis teraba di sela iga V, 1 cm di kiri garis midklavikularis sinistra, teraba thrill di apeks Perkusi: batas kanan pada garis midklavikularis kanan, batas kiri di garis aksilaris sinistra Auskultasi: bunyi jantung I dan II normal, bising pansistolik derajat IV/6 dengan punktum maksimum di apeks, menjalar ke aksila kiri, kasar, dan murmur diastolik awal derajat III/6 dengan punktum maksimum di sela iga 2 di garis parasternalis kanan, tidak menjalar, halus, dan tidak ada irama derap. Datar, lemas,nyeri tekan (+) di ulu hati, hepar teraba 4 cm bawah arkus kosta dan 4 cm bawah prosesus sifoideus, tepi tumpul. Limpa tidak teraba. Perkusi timpani, bising usus normal. Tidak tampak deformitas. Tidak terdapat lesi, baggy pants tidak ada Lelaki, sudah sirkumsisi, fimosis (-), testis +/+ volume 6/6 ml, tidak ada edema skrotum Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler kurang dari 2 detik. Wasting. Tidak terdapat edema. Tidak tampak jari tabuh. Tidak terdapat paresis. Refleks fisiologis normal, tidak ditemukan refleks patologis. Tonus otot normal di keempat ekstremitas. Kekuatan motorik ekstremitas baik. Tidak ada bengkak dan nyeri sendi di ekstremitas Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening G3P3A2 PEMERIKSAAN PENUNJANG Tabel 1. Hasil laboratorium Tanggal Darah Hb (g/dL) Ht (%) MCV (fL) MCH (pg) MCHC (g/dL) Leukosit (/µL) Hitung jenis (%)* Trombosit (/µL) LED (mm/jam) ASTO (IU/mL) CRP (mg/L) Na (mEq/L) K (mEq/L) Cl (mEq/L) Bilirubin total (mg/dl) Bilirubin direk (mg/dl) Nilai Normal 20/9/2014 (RS A) 26/9/2014 (RS X) 12,6-16,1 36-47 78-95 26-32 32-36 4000-10.500 10,7 32 12,4 34,1 86,5 31,4 36,3 9420 150-400.000 0-14 < 200 <5 132-147 3,5-5,4 94-111 0-0,99 0-0,29 16.800 177.000 + 129 3,1 80 30/9/2014 (RS X) 8/10/2014 RS X 11,2 27,3 85,9 35,4 41,2 9790 0/0/2/76/16/6 150.000 251.000 3 122 2,8 85 5/10/2014 RS X 125 2,8 87 136 4,15 87,3 129 3,1 90 5,73 4,16 1,57 7 Bilirubin indirek (mg/dl) SGOT (U/L) SGPT (U/L) Albumin (g/dL) Gamma GT(U/L) Fosfatase alkali (U/L) Ureum (mg/dL) Kreatinin (mg/dL) Laju filtrasi glomerolus (LFG) (mL/1,73m2/menit) Ig M anti HAV HbsAg Anti HCV IgM anti HSV I 0,1-0,7 0-26 0-27 3,4-4,8 <45 <312 348 962 258 209 3,02 107,5 0-49 0,6-1,2 89-128 0,87 97,4 ≤0,9 IgG anti HSV I ≤0,9 IgM anti HSV II ≤0,9 IgG anti HSV II ≤0,9 IgM anti CMV ≤1 IgG anti CMV < 0,5 Nonreaktif Nonreaktif Nonreaktif 0,71 (nonreaktif) 2,16 (reaktif) 0,68 (nonreaktif) 2,17 (reaktif) 0,7 (nonreaktif) 453,7 (reaktif) *hitung jenis: basofil/eosinofil/netrofil batang/netrofil segmen/limfosit/monosit Tabel 2. Hasil ekokardiografi dan pencitraan Foto Rontgen AP – lateral Inspirasi cukup, intensitas cukup, simetris 26 September 2014 Jantung kesan membesar Aorta dan mediastinum superior melebar Trakea di tengah, kedua hilus tidak menebal Tampak infiltrat di kedua lapang paru. Corakan vaskular paru meningkat Kedua hemidiafragma licin, kedua kostofrenikus lancip Jaringan lunak dinding dada terlihat baik Apeks tertanam di diafragma Kesan: Kardiomegali Edema paru EKG Frekuensi denyut jantung 115 kali/menit, irama sinus 29 September 2014 Posisi jantung: intermediat Interval PR dan QoTC memanjang Hipertrofi ventrikel kiri P mitral dan P pulmonal (dilatasi atrium kanan dan kiri) Ekokardiografi Dilatasi seluruh atrium dan ventrikel 29 September 2014 Regurgitasi mitral (mitral regurgitation, MR) berat, penebalan leaflet, retraksi PMVL (posterior mitral valve leaflet), poor coaptation, prolaps AVML (anterior mitral valve leaflet) Regurgitasi aorta berat Regurgitasi trikuspid sedang (PG/pressure gradient 57 mmHg) Kontraktilitas miokard buruk, tidak terlihat gerakan paradoks. Fungsi sistolik LV (left venricle/ventrikel kiri): EF (ejection fraction/fraksi ejeksi) 26,6%, FS (fraction shortening/fraksi pemendekan) 13% Kesan: Regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang, 8 Ekokardiografi 7 Oktober 2014 penurunan fungsi LV Dilatasi seluruh atrium dan ventrikel Regurgitasi mitral (mitral regurgitation, MR) berat, penebalan leaflet, retraksi PMVL (posterior mitral valve leaflet), poor coaptation, prolaps AVML (anterior mitral valve leaflet) Regurgitasi aorta berat Regurgitasi trikuspid sedang (PG/pressure gradient 42 mmHg) Kontraktilitas miokard buruk, tidak terlihat gerakan paradoks. Fungsi sistolik LV: EF 26,9%, FS 13% Kesan: Regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang, penurunan fungsi LV RESUME Pasien, anak lelaki usia 15 tahun, datang ke IGD RS X dengan keluhan sesak yang makin memberat sejak dua bulan sebelum masuk rumah sakit. Sesak terutama bila berjalan jauh dan beraktivitas berat. Sesak membaik dengan istirahat. Tidak ada keluhan biru di bibir dan jari-jari tangan/kaki. Keluhan demam, batuk dan pilek tidak ada. Keluhan nyeri dada, dada berdebar, nyeri sendi, gerakan tidak terkontrol, gangguan emosi, ruam kemerahan, atau benjolan pada kulit sebelumnya disangkal. Dua minggu kemudian, sesak makin memberat sehingga pasien sulit berjalan dan beraktivitas. Terdapat dada berdebar-debar hilang timbul. Pasien dibawa ke RS A dan dilakukan berbagai pemeriksaan penunjang. Pasien dikatakan menderita gangguan fungsi jantung dan harus dirawat. Selama perawatan di RS A keluhan sesak bertambah, kedua kaki bengkak dan perut membesar, nafus makan berkurang, berat badan turun dalam 2 bulan terakhir. Hasil pemeriksaan darah didapatkan anemia, leukositosis, peningkatan kadar transaminase serum, CRP (+), ASTO (-). Hasil pemeriksaan Rontgen toraks menunjukkan gambaran pembesaran jantung. Pemeriksaan ekokardiografi menunjukkan regurgitasi mitral dan aorta berat e.c RHD dan pasien dirujuk ke RS X untuk operasi. Pasien lalu dibawa ke IGD RS X dalam keadaan sesak. Pada pemeriksaan fisis didapatkan, takikardia, peningkatan JVP, terdengar ronki basah halus di kedua lapang paru, terdapat bising jantung diastolik di sela iga II garis parasternalis kiri dan pansistolik di apeks, hepatomegali, edema pretibial, dorsum pedis dan skrotum. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan peningkatan transaminase serum dan ureum, hiponatremia, peningkatan CRP, serta kadar ASTO normal. Pada pemeriksaan Rontgen toraks didapatkan kardiomegali dan edema paru. Hasil ekokardiografi menunjukkan regurgitasi mitral dan aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang. Pasien didiagnosis awal sebagai gagal jantung kelas fungsional NYHA IV e.c. regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang e.c. lesi katup kronik pada penyakit jantung reumatik (PJR), dan gizi buruk marasmik. Direncanakan pemantauan gejala klinis, balans diuresis, pemantauan elektrolit, dan ekokardiografi ulang. Selama perawatan klinis sesak dan edema perbaikan, terdapat ikterik pada mata. Pada pemeriksaan penunjang terdapat anemia normositik normokrom, kolestasis, peningkatan gamma GT, gangguan elektrolit yang teratasi serta penurunan fraksi ejeksi sebesar 26,9%. 9 DAFTAR MASALAH 1. Gagal jantung kelas fungsional NYHA IV ( I50.4) 2. Regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada PJR kronik ( I08.3) 3. Kolestasis et causa (e.c) gagal jantung (K71.0) 4. Uremia e.c gagal jantung (R29.2) 5. Anemia normositik normokrom e.c. penyakit kronik (D63.8) 6. Gizi buruk marasmik (E41) 7. Imunisasi tidak lengkap (Z28.20) DIAGNOSIS KERJA 1. Gagal jantung kelas fungsional NYHA IV e.c. regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada PJR kronik 2. Kolestasis e.c. gagal jantung 3. Uremia e.c. gagal jantung 4. Anemia normositik normokrom e.c. penyakit kronik 5. Gizi buruk marasmik 6. Imunisasi tidak lengkap TATA LAKSANA Rawat inap 1. Gagal jantung kelas IV (NYHA) e.c. regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada PJR kronik Diagnostik Ekokardiografi berkala Pemeriksaan ulang elektrolit untuk pemantauan terapi Rencana ekokardiografi transesofageal Terapi: Benzatin penisilin G 1.200.000 unit IM tiap 3 minggu Furosemid 2 x 40 mg IV Spironolakton 1 x 25 mg PO Kaptopril 2 x 12,5 mg PO Dobutamin 5 mcg/kg/menit IV Rencana operasi perbaikan katup mitral dan aorta Suportif: o Tirah baring total o Pemantauan balans cairan dan diuresis Edukasi: Mengenai penyakit, rencana pemeriksaan dan pengobatan, efek samping pengobatan, serta prognosis Pentingnya ketaatan minum obat Keharusan tirah baring total; boleh beraktivitas ringan sambil duduk di tempat tidur 10 2. 3. 4. 5. 6. Rencana ekokardiografi transesofageal Rencana operasi perbaikan katup jantung Kolestasis e.c. gagal jantung Diagnostik Pemeriksaan fungsi hati ulang (bilirubin total, bilirubin direk, bilirubin indirek, SGOT, SGPT, albumin, gamma GT, alkali fosfatase) Terapi: Asam ursodeoksikolat 3 x 250 mg PO Mengatasi penyakit dasar pasien (gagal jantung) Edukasi: Mengenai penyakit, rencana pemeriksaan fungsi hati ulang dan USG abdomen Uremia e.c. gagal jantung Diagnostik Pemeriksaan ureum dan kreatinin berkala Terapi Mengatasi penyakit dasar pasien (gagal jantung dan PJR) Edukasi Mengenai penyakit dan tatalaksana Anemia normositik normokrom e.c. penyakit kronik Diagnostik Pemeriksaan gambaran darah tepi dan retikulosit Terapi Mengatasi penyakit dasar pasien (PJR) Edukasi Mengenai penyakit dan tatalaksana Gizi buruk marasmik Diagnostik: analisis diet Terapeutik: Diet makan biasa 2000 kkal dan F100 4 x 175 ml Asam folat 1 x 1 mg PO Terapi penyakit yang mendasari Pemantauan akseptabilitas, toleransi dan efek samping nutrisi Pemantauan antropometri berkala (berat badan, tinggi badan, LILA) Edukasi: penjelasan mengenai jumlah makanan yang sebaiknya dikonsumsi setiap hari Imunisasi tidak lengkap Diagnostik: Terapeutik: Imunisasi kejar: hepatitis B, Td, polio, MMR, PCV pasca-operasi Edukasi: edukasi pasien dan orangtua mengenai pentingnya imunisasi kejar serta jadwal imunisasi kejar 11 PEMANTAUAN Pemantauan hari rawat ke 18-19 (13-14 Oktober 2014) S Pasien masih tirah baring, keluhan sesak perbaikan. Pasien bisa tidur dengan satu bantal, tidak ada batuk dan demam. Tidak terdapat bengkak pada tungkai ataupun skrotum. Obat diminum sesuai jadwal, asupan makan baik habis, BAK lancar kadang-kadang berwarna teh, BAB lancar, berwarna coklat dengan konsistensi padat-lunak. O Anak kompos mentis, sesak, tidak sianosis. Berat badan 34 kg. Laju nadi 120 kali per menit, laju nafas 28 kali per menit, retraksi (+), napas cuping hidung (-),tekanan darah 122/60 mmHg. Konjungtiva pucat (-), ikterik (+). Leher: JVP 5+2 mmHg. Hepar teraba 3 cm di bawah arkus kosta dan 3 cm di bawah prosesus sifoideus, tepi tumpul. Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya. Balans cairan -824 mL, diuresis 2,7 mL/kg/jam. A P Ronde Divisi Kardiologi IKA RS X Naikkan dosis furosemid menjadi 3 x 40 mg IV 1. Gagal jantung kelas fungsional NYHA IV ec regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada lesi katup kronik pada penyakit jantung reumatik (PJR) 2. Anemia normositik normokrom ec penyakit kronik 3. Kolestasis ec gagal jantung kanan 4. Gizi buruk marasmik 5. Imunisasi tidak lengkap Furosemid 3 x 40 mg IV, tata laksana lain seperti sebelumnya Pemantauan hari ke 20-21 (15-16 Oktober 2014) S Tidak ada sesak, tidak demam. Batuk berdahak jarang terutama malam hari. Pasien tidur dengan satu bantal. O Anak kompos mentis, tidak sesak maupun sianosis. Berat badan 34 kg. Laju nadi 108-115 kali per menit, laju nafas 20-24 kali per menit, retraksi (+), napas cuping hidung (-), tekanan darah 107- 116/44-55 mmHg. Konjungtiva pucat (-), ikterik (+). Leher: JVP 5+1 mmHg. Paru: tidak terdengar ronki. Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya. Balans cairan -482 mL s/d -328 mL, diuresis 1,7 s/d 2,4 mL/kg/jam. Hasil pemeriksaan laboratorium (14 Oktober 2014): Hb= 10,2 g/dL Ht= 28,2% MCV= 85,7 fL MCH= 30,4 pg MCHC= 35,5 g/dL Leukosi t= 9.710/µL Trombosit= 366.000/µL LED= 3 mm Na= 133 mEq/L K= 3,16 mEq/L Cl= 84,1 mEq/L Ureum= 61 mg/dL Kreatinin= 0,6 mg/dL LFG= 141 ml/min/1,73m2 Bilirubin total= 2,45 mg/dl Bilirubin direk= 2,41 mg/dl Bilirubin indirek= 0,04 mg/dl SGOT= 49 U/L SGPT= 48 U/L Gamma GT= 92 U/L Alkali fosfatase= 102 U/L Albumin= 3,22 g/dl PT= 12,1 detik (kontrol 11,8 detik) APTT= 32 detik (kontrol 32,3 detik) 12 A P Ronde Divisi Kardiologi IKA RS X Kolestasis disebabkan karena gagal jantung perbaikan, tidak perlu USG abdomen Anemia pada pasien disebabkan karena penyakit kronik Berikan terapi KSR 3 x 1 tablet Follow up jadwal ekokardiografi transesofageal Terapi lain lanjut Gagal jantung kelas fungsional NYHA III ec regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada lesi katup kronik pada penyakit jantung reumatik (PJR) Hipokalemia ec efek samping diuretik Lain-lain sama seperti sebelumnya KSR® 3 x 1 tablet Tata laksana lain seperti sebelumnya Pemantauan hari ke 22-24 (17-19 Oktober 2014) S Pasien masih tirah baring, tidak sesak, tidak demam, tidak batuk Pasien bisa tidur terlentang, sudah dapat berjalan ke kamar mandi. Pasien mulai bosan dirawat di rumah sakit O Anak kompos mentis, tidak sesak maupun sianosis. Berat badan 35 kg. Laju nadi 100-110 kali per menit, laju nafas 20-22 kali per menit, retraksi (+), napas cuping hidung, tekanan darah 103-116/55-66 mmHg. Konjungtiva pucat (-), ikterik (-). Leher: JVP 5+0 mmHg. Paru: tidak terdengar ronki. Hepar teraba 2 cm di bawah arkus kosta dan 2 cm di bawah prosesus sifoideus, tepi tumpul. Pemeriksaan lain sama seperti sebelumnya. Balans cairan -135 mL s/d +228 mL, diuresis 2,2 s/d 3,1 mL/kg/jam. Hasil skrining PedsQL: Skor (laporan orang tua) = 65 (rendah) Skor (laporan anak) = 69 (rendah) A P Ronde Divisi Kardiologi IKA RS X Follow up jadwal ekokardiografi transesofageal dan persiapan perbaikan katup Terapi lain lanjut Gagal jantung kelas fungsional NYHA III ec regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang pada lesi katup kronik pada penyakit jantung reumatik (PJR) Potensi penurunan kualitas hidup Lain-lain sama seperti sebelumnya Terapi lanjut PROGNOSIS 1. Quo ad vitam: dubia ad malam. 2. Quo ad functionam: dubia ad malam. 3. Quo ad sanationam: dubia ad malam. 13 SKEMA PERJALANAN PENYAKIT 2 bulan sebelum masuk rumah sakit Mudah lelah dan sesak ketika berjalan jauh dan beraktivitas berat, membaik dengan istirahat. Tidak ada keluhan biru di bibir dan jari-jari tangan/kaki. Keluhan demam, batuk dan pilek tidak ada. Keluhan nyeri dada, dada berdebar, nyeri sendi, gerakan tidak terkontrol, gangguan emosi, ruam kemerahan, atau benjolan pada kulit sebelumnya disangkal. Nafsu makan berkurang Tidak berobat 4 – 12 Oktober 2014 Ruang perawatan RS X Klinis gagal jantung perbaikan, terdapat kolestasis --> asam ursodeoksikolat Balans cairan negatif, diuresis 1-3 ml/kg/jam Elektrolit normal --> terapi stop Ekokardiografi: fungsi ejeksi sebesar 26,9% --> terapi dopamin --> dobutamin 1,5 bulan sebelum masuk rumah sakit Sesak memberat bila beraktivitas, tidur posisi setengah duduk, dada berdebar-debar. RS A --> diagnosis: regurgitasi aorta dan mitral berat e.c PJR Dirawat di RS A selama 3 minggu, sesak bertambah, kedua kaki bengkak dan perut membesar. Berat badan turun Pasien dirujuk ke RS X untuk operasi katup jantung 13-14 Oktober 2014 Pemeriksaan pertama oleh peserta ujian dan pemantauan dimulai Masih terdapat sesak, sklera ikterik, edema tidak ada. Prekordium hiperdinamik masih jelas -> dosis furosemid dinaikkan Rencana pemeriksaan fungsi hati dan ekokardiografi transesofageal 26 September – 3 Oktober 2014 IGD RS X Pasien datang ke IGD RS X, sesak, edema anasarka. Diagnosis: gagal jantung kelas fungsional NYHA IV e.c. regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, regurgitasi trikuspid sedang e.c. PJR kronik dan gizi buruk marasmik. Terapi: furosemid, spironolakton, digoksin, asam folat, kaptopril,injeksi BGP tiap 3 minggu 1 minggu perawatan: klinis gagal jantung belum perbaikan, terdapat gangguan elektrolit ec diuretik --> terapi NaCl dan KCl per oral Ekokardiografi: fungsi ejeksi sebesar 26,6%. --> terapi digoksin --> dopamin. 15-19 Oktober 2014 Akhir pemantauan Klinis gagal jantung perbaikan Evaluasi fungsi hati:anemia normositik normokrom, kolestasis dan fungsi hati perbaikan Gangguan elektrolit (hipokalemia) --> terapi KSR® oral Skrining kualitas hidup --> rendah Rencana ekokardiografi transesofageal dan operasi perbaikan katup jantung Rencana imunisasi kejar 14 SKEMA ANALISIS KASUS Pasien lelaki, 15 tahun Faringitis e.c Streptokokus beta hemolitikus grup A Tata laksana tidak adekuat Demam rematik akut (DRA) (DRA) Sosioekonomi rendah Pendidikan rendah Pemukiman kumuh dan padat Fasilitas kesehatan tidak memadai Subklinis Tata laksana tidak adekuat Penyakit Jantung Rematik (PJR) Suportif : tirah baring, atasi gagal jantung Profilaksis benzatin penisilin G (BMC Cardiovasc Disord. 2005; level of evidence 1),;tiap 3 minggu (Cochrane, 2013; level of evidence 1); seumur hidup Rencana operasi koreksi katup mitral dan aorta (DRA) Gizi buruk Imunisasi tidak lengkap (J Thorac Cardiovasc Surg 2014; level of evidence 2) Edukasi pasien dan keluarga Regurgitasi mitral dan aorta berat Regurgitasi trikuspid sedang Gagal jantung Ortopnea Dyspnea d’effort Anemia normositik normokrom Peningkatan JVP Hepatomegali Kolestasis Edema tungkai Edema skrotum Uremia Preload: Diuretik:furosemid, spironolakton Afterload: ACE inhibitor: Ramipril, Kaptopril (J Am Coll Cardiol, 2000; level of evidence 2) Inotropik: digoksin, dopamin, dobutamin Penurunan kualitas hidup Prognosis ad vitam, functionam, sanationam: dubia ad malam 15 DISKUSI Pasien seorang anak lelaki berusia 15 tahun yang datang dengan keluhan sesak sejak 2 bulan sebelum dirawat, yang memberat sejak satu setengah bulan sebelum dirawat. Sesak atau dispnea dapat didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman saat bernapas atau kesulitan bernapas yang dirasakan oleh pasien.1 Pada dasarnya, dispnea terjadi akibat adanya ketidaksesuaian (mismatch) antara ventilasi dan perfusi.1,2 Karakteristik dispnea yang dialami pasien, yaitu timbul atau diperberat dengan aktivitas fisis (dyspnea d’effort), memberat pada posisi tubuh terlentang (ortopnea), riwayat kelainan jantung pada pasien. Selain itu terdapat gejala dan tanda penyerta berupa peningkatan tekanan vena jugularis, hepatomegali, edema tibia dan skrotum, mengarah pada gagal jantung sebagai penyebabnya. Gangguan pada sistem kardiovaskular seperti gagal jantung dan syok akan menyebabkan gangguan perfusi dan menimbulkan gejala dispnea.3 Gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang terjadi apabila jantung tidak mampu memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, mengeluarkan pengembalian darah vena (venous return) secara adekuat, atau gabungan keduanya.3 Kemampuan jantung untuk memompa darah dinyatakan sebagai curah jantung (cardiac output), yang merupakan fungsi dari isi sekuncup (stroke volume) dan laju nadi (heart rate). Isi sekuncup terdiri atas komponen preload (isi diastolik akhir), afterload (tahanan yang dialami ejeksi ventrikel), dan kontraktilitas miokardium.4,5 Secara klinis, gagal jantung ditandai dengan adanya gejala kompensasi (takikardi, irama derap, berkeringat, kardiomegali), gejala kongesti vena pulmonalis (takipnea, dispnea, ortopnea, wheezing, ronki) dan gejala kongesti vena sistemik (hepatomegali, sembab kelopak mata, edema skrotum, splenomegali, distensi vena leher dan edema tungkai). Gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan beratnya gejala oleh New York Heart Association (NYHA) pada anak besar dan dewasa. Pada pasien dengan usia remaja, digunakan klasifikasi gagal jantung NYHA. Berdasarkan klasifikasi NYHA, pasien termasuk dalam kelas IV, karena didapatkan sesak pada keadaan beraktivitas maupun istirahat yang menyebabkan pasien harus tidur dengan setengah duduk. Kelainan katup yang terdapat pada pasien menjadi penyebab gagal jantung pada pasien. Regurgitasi mitral menyebabkan aliran darah balik dari ventrikel kiri ke atrium kiri. Volume pengisian ventrikel kiri menjadi berkurang, sehingga curah jantung berkurang, menimbulkan tanda dan gejala forward failure akibat gangguan oksigenasi jaringan; pada pasien bermanifestasi sebagai gejala mudah lelah dan sesak saat beraktivitas.3,6 Pada saat yang sama, jantung berupaya meningkatkan curah jantung dengan cara meningkatkan laju jantung, sehingga terjadi takikardia, serta meningkatkan kontraktilitas. Dalam jangka panjang, kontraktilitas yang meningkat tampak sebagai pembesaran ventrikel kiri dengan hipertrofi, hal ini juga terlihat pada pemeriksaan Rontgen toraks dan EKG pasien.3,6 Pada regurgitasi aorta kronik terdapat kombinasi preload dan afterload yang berlebih. Preload yang berlebih menggambarkan beban volume yang berlebih yang berkaitan langsung dengan keparahan regurgitasi aorta. Afterload dari ventrikel kiri juga meningkat karena penambahan volume akhir diastolik meningkatkan stres pada 16 dinding ventrikel kiri. Kombinasi dari preload dan afterload yang berlebih pada regurgitasi aorta berat pada akhirnya akan mengakibatkan dilatasi ventrikel kiri progresif dengan disfungsi sistolik. Pada regurgitasi aorta berat juga terjadi perbedaan tekanan sistolik dan diastolik yang melebar akibat peningkatan stroke volume saat kontraksi dan ketidakmampuan katup aorta membuat tekanan diastolik dalam aorta sehingga menurun sangat drastis. Tekanan diastolik umumnya lebih rendah dari 60 mmHg.6 Selama perawatan, pada pasien juga didapatkan perbedaan tekanan darah sistolik dan diastolik pasien yang melebar, yaitu sekitar 50-80 mmHg, dengan tekanan diastolik antara 44-60 mmHg. Akibat adanya aliran darah balik ke atrium kiri, volume atrium kiri bertambah, yang berakibat pooling darah di vena pulmonalis dan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru. Jika hal tersebut berlangsung lama, peningkatan tekanan vaskular paru menyebabkan ventrikel kiri sulit memompa darah venous return ke arteri pulmonalis, sehingga terjadi pooling darah pula di ventrikel dan atrium kanan. Stasis aliran venous return menyebabkan pooling darah di vena-vena sistemik, menghasilkan gejala-gejala kongesti vena sistemik misalnya edema perifer, hepatomegali, dan peningkatan tekanan vena jugularis, seperti yang dialami oleh pasien. Regurgitasi trikuspid menyebabkan aliran darah balik ke atrium kanan dan berkurangnya perfusi paru melalui arteri pulmonalis. Adanya aliran darah balik ke atrium kanan juga berujung pada pooling darah di vena-vena sistemik.3 Tubuh memiliki berbagai mekanisme kompensasi pada gagal jantung, salah satunya adalah peningkatan tonus simpatis berupa peningkatan laju jantung dan kontraktilitas miokard, serta vasokonstriksi perifer. Kendati dalam jangka pendek mekanisme kompensasi tersebut dapat life-saving, jika berlangsung lama dapat membawa efek yang merugikan, antara lain hipermetabolisme, peningkatan afterload, peningkatan kebutuhan oksigen miokardium, serta berkurangnya perfusi ginjal, hati, dan saluran cerna akibat vasokonstriksi perifer.5,7 Efek mekanisme kompensasi gagal jantung terhadap hati juga terjadi pada pasien. Pada pasien terdapat kolestasis dan peningkatan kadar transaminase serum. Kolestasis pada gagal jantung kronik disebabkan oleh kongesti hati pasif akibat peningkatan tekanan vena sentral dan vena hepatika, sehingga fungsi hepatosit terganggu dan terjadi peningkatan bilirubin direk dan indirek (hepatopati kongestif). Peningkatan kadar transaminase serum hanya terjadi pada gagal jantung dengan hipotensi atau hipoperfusi yang berat, dikarenakan penurunan curah jantung sehingga mengakibatkan nekrosis hepatoselular akut (iskemia hepatik).8,9 Pada pasien didapatkan tekanan darah diastolik yang rendah (< P95) serta fungsi ventrikel yang buruk yang ditandai dengan penurunan fraksi ejeksi hingga 26,6%. Hal ini dapat menjelaskan kolestasis dan nilai transaminase serum yang meningkat pada pasien. Hasil pemeriksaan anti HAV, HbsAG, CMV dan anti HCV pasien dalam batas normal, tersebut menguatkan gagal jantung sebagai penyebab kolestasis pada pasien. Untuk mengevaluasi kelainan hati, dapat dikerjakan pemeriksaan USG abdomen, namun tidak dilakukan pada pasien karena setelah gagal jantung teratasi dan dengan pemberian asam ursodeoksikolat, kadar bilirubin direk dan indirek pasien serta kadar transaminase serum perbaikan. 17 Pada pasien juga terdapat peningkatan kadar ureum atau uremia. Uremia dapat disebabkan karena faktor prarenal, renal maupun postrenal. Uremia prarenal disebabkan akibat penurunan aliran darah ke ginjal seperti syok, gagal jantung, dehidrasi, atau akibat asupan tinggi protein, atau peningkatan katabolisme protein akibat infeksi, penyakit berat, perdarahan saluran cerna dan steroid.10 Pada pasien, fungsi ginjal berdasarkan LFG masih normal (prarenal akibat penurunan aliran darah ke ginjal dan renal), dan pada pasien tidak terdapat obstruksi aliran urin (postrenal). Uremia yang terjadi pada pasien dapat disebabkan karena peningkatan katabolisme protein akibat hipoperfusi jaringan yang terjadi pada kondisi gagal jantung.11 Setelah gagal jantung teratasi, terdapat perbaikan nilai ureum. Tata laksana gagal jantung ditujukan untuk mengurangi beban kerja jantung dengan cara menurunkan preload, afterload, dan kebutuhan oksigen jaringan serta memperbaiki kontraktilitas miokard. Upaya menurunkan kebutuhan oksigen jaringan dilakukan dengan tirah baring total. Suplementasi oksigen juga dapat menurunkan kebutuhan oksigen relatif jaringan dengan meningkatkan oxygen content dalam darah, sehingga perfusi tetap terjamin dengan volume sirkulasi yang relatif lebih kecil.4,7 Pada pasien, preload diturunkan dengan pemberian diuretik furosemid dan spironolakton. Furosemid bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan air di ginjal. Furosemid merupakan diuretik yang paling aman digunakan untuk anak dan digunakan untuk mengatasi kondisi beban volume berlebih dan mengurangi kongesti pada paru sehinga mengurangi gejala sesak. Spironolakton merupakan suatu antagonis aldosteron yang bekerja dengan mencegah reabsorpsi cairan di tubulus distal dan menahan kalium.12 Kombinasi furosemid dan spironolakton diberikan untuk memberikan efek diuretik yang kuat dengan memperkecil kemungkinan hipokalemia. Dosis furosemid yang diberikan pada pasien adalah 2 x 40 mg IV, yaitu 2 mg/kg/hari sesuai BB aktual pasien. Dosis ini kemudian dinaikkan menjadi 3 x 40 mg IV oleh karena belum terdapat perbaikan klinis yang signifikan Dosis spironolakton yang diberikan adalah 1 x 25 mg PO, atau 0,6 mg/kg/hari. Dosis furosemid yang dianjurkan untuk mengatasi gagal jantung berat adalah 1-2 mg/kg/kali, sedangkan dosis spironolakton yang dianjurkan adalah 2-3 mg/kg/hari.7 Walau dosis yang diberikan di bawah anjuran, pada pasien terjadi perbaikan klinis. Hal tersebut mungkin dikarenakan pasien mengalami edema dan hepatomegali pada awal perawatan, sehingga BB pasien sebenarnya lebih rendah. Penurunan afterload dapat dilakukan dengan pemberian obat golongan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor). Obat golongan ini berperan pada gagal jantung dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II sehingga kadar renin plasma dan aldosteron meningkat dan menimbulkan efek vasodilatasi jantung. Pada pasien anak, golongan ini terbukti bermanfaat pada kelainan regurgitasi katup. (J Am Coll Cardiol, 2000; level of evidence 2).13 Pasien awalnya diberikan ramipril di perawatan RS sebelumnya kemudian pada diganti menjadi kaptopril di RS X. Dosis terapi ramipril adalah 2,5 mg per kali 1-2 kali per hari dan dosis terapi kaptopril adalah 12,5 mg sampai 25 mg per kali, 2-3 kali per hari. Ramipril memiliki masa kerja lebih panjang dibandingkan kaptopril yang 18 bersifat short acting. Pada anak dengan gagal jantung, kaptopril merupakan golongan ACE inhibitor yang paling sering dipelajari sehingga pada perawatan di RS X ramipril diganti menjadi kaptopril. Kaptopril dapat menurunkan LFG dan harus diberikan secara hati-hati, sehingga fungsi ginjal harsu dipantau. 3 Pada pasien setelah gagal jantung teratasi terdapat perbaikan nilai ureum dan kreatinin serta LFG dalam batas normal, sehingga terapi kaptopril dilanjutkan. Pada awal perawatan pasien, perbaikan kontraktilitas miokard dilakukan dengan oksigenasi yang adekuat dan pemberian inotropik digoksin per oral. Digoksin adalah obat inotropik yang meningkatkan kadar ion Ca2+ intrasel dengan cara menghambat enzim Na/K ATPase dan lewat pertukaran Na-Ca.7,14 Pemberian digoksin per oral membutuhkan waktu lama untuk memberikan efek kerja. Batas keamanan digoksin sempit sehingga perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap efek samping. Efek samping yang dapat timbul antara lain aritmia dan gangguan elektrolit. Digoksin pada pasien diberikan dengan dosis 2 x 0,125 mg PO, sesuai dengan dosis rumatan 5-10 µg/kg/hari Pada pasien dilakukan pemantauan kadar elektrolit berkala untuk mengantisipasi terjadinya efek samping obat. Terdapat gangguan elektrolit berupa hiponatremia dan hipokalemia berulang akibat efek samping diuretik dan digoksin yang teratasi dengan pemberian terapi kapsul NaCl dan KSR® per oral. Di tengah perawatan, terapi digoksin diganti menjadi dopamin kemudian dobutamin. Pada awalnya dopamin diberikan karena masih terdapat klinis sesak dan edema, selain itu pada hasil ekokardiografi didapatkan fraksi ejeksi yang sangat rendah yaitu sebesar 26,6%, untuk lebih meningkatkan kontraktilitas miokard. Pada klinis gagal jantung berat seperti pada pasien, seharusnya diberikan inotropik secara intravena terlebih dahulu karena bekerja cepat secara sistemik dan lama kerja yang singkat. Dopamin merupakan prekursor norepinefrin dan mempunyai efek vasodilatasi renal yang bermanfaat untuk mempertahankan fungsi ginjal yang baik pada penderita gagal jantung. Dosis sebagai inotropik adalah 5-8 µg/kg/menit. Dosis dopamin yang diberikan pada pasien adalah 5 µg/kg/menit. Efek sampingnya antara lain takikardia, aritmia, hipertensi dan hipotensi.5 Selama pemberian dopamin gejala gagal jantung perbaikan yang ditandai dengan keluhan sesak dan edema yang berkurang, namun masih terdapat takikardia serta pada hasil evaluasi ekokardiografi tidak terjadi peningkatan fraksi ejeksi, sehingga dopamin diganti dengan dobutamin. Dobutamin meningkatkan kontraktilitas miokardium dan laju jantung dengan menurunkan tahanan sistemik. Dobutamin meningkatkan perfusi/oksigenasi mukosa pada endotoksemia dan iskemia mesenterik.5 Dosis inotropik dobutamin adalah 2-8 µg/kg/menit, pada pasien diberikan dosis 5 µg/kg/menit. Dobutamin lebih sedikit menyebabkan takikardia dibandingkan dopamin dan dipakai sebagai obat tunggal. Setelah pemberian dobutamin, klinis gagal jantung perbaikan yang ditandai dengan keluhan sesak tidak ada, takikardia perbaikan, penurunan JVP, perubahan ukuran hepar, serta pasien sudah dapat berjalan jarak dekat. Penyebab gagal jantung tersering pada usia remaja adalah demam rematik yang disertai karditis atau penyakit jantung reumatik akibat beban volume karena insufisiensi mitral dan atau insufisiensi aorta. Demam reumatik merupakan kelainan 19 imunologik akibat reaksi lambat terhadap infeksi faring oleh Streptococcus ßhemolyticus grup A (SGA).15 Prevalensnya di Indonesia diperkirakan sebesar 0,30,8% pada anak sekolah usia 5-15 tahun.16 Diagnosis DR ditegakkan berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) 2003. Yang termasuk kriteria mayor adalah karditis, artritis, nodul subkutan, eritema marginatum, dan korea. Kriteria minor mencakup pemanjangan interval PR, artralgia, demam, leukositosis, peningkatan LED, dan peningkatan CRP. Riwayat DR atau PJR sebelumnya serta bukti infeksi streptokokus yang recent merupakan pertimbangan khusus. Lebih dari sepertiga anak dengan DR akan mengalami karditis, yang akan berkembang menjadi lesi katup yang progresif dan permanen bertahun-tahun kemudian, atau dikenal sebagai PJR. Penyakit jantung reumatik merupakan penyakit jantung yang didapat tersering pada anak dengan insidens mencapai 200 per 100.000 penduduk di negara berkembang. Penyakit jantung reumatik (PJR) adalah kelainan katup jantung menetap akibat demam reumatik yang terjadi sebelumnya.17 Penyakit jantung reumatik paling banyak terjadi pada anak usia 6 - 15 tahun dengan angka kejadian secara global dilaporkan berkisar 0,3 sampai 3%. Faktor sosial ekonomi dan lingkungan berpengaruh dalam transmisi penyakit ini.18 Pasien seorang remaja usia 15 tahun, datang pertama kali dengan gagal jantung yang disebabkan lesi katup kronik dengan kelainan pada tiga katup yaitu regurgitasi mitral berat, regurgitasi aorta berat, dan regurgitasi trikuspid sedang. Gejala DR akut seperti artritis, karditis, eritema marginatum, nodul subkutan serta korea pada riwayat penyakit sebelumnya disangkal oleh pasien. Pasien memiliki riwayat batuk dan sakit tenggorokan saat kecil, yang mungkin disebabkan oleh infeksi Streptokokus namun tidak diterapi dengan baik sehingga berkembang menjadi DR. Hampir 50% penderita dengan gejala fisik PJR menyatakan tidak pernah ada riwayat serangan DR.19 Kondisi sosial ekonomi keluarga dan pendidikan yang rendah serta tidak tersedianya fasilitas kesehatan di lingkungan rumah menyebabkan pasien mungkin tidak menyadari gejala-gejala klinis DR, sehingga pasien tidak terdiagnosis sebagai DR sebelumnya dan tidak diterapi dengan adekuat. Perlu dipikirkan juga penyebab lain seperti infeksi virus atau kelainan kongenital, bila pada pasien ditemukan klinis PJR namun tanpa riwayat klinis DR. Pada pasien tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sebelumnya serta tidak ada gejala yang mengarah terhadap kelainan penyakit jantung bawaan seperti biru saat menyusui dan saat beraktivitas, menyusu dengan terputus-putus, riwayat sesak dan biru sebelumnya juga tidak ada. Lesi katup yang berat disertai titer ASTO yang rendah pada saat ini menunjukkan bahwa pasien tidak dalam onset akut DR dan termasuk kriteria PJR. Peningkatan kadar CRP yang terjadi pada pasien dipikirkan karena adanya proses inflamasi kronik serta kerusakan jaringan pada PJR, selain itu CRP bukan sebagai marker infeksi akut yang spesifik. Keterlibatan katup mitral pada PJR terdapat pada ¾ kasus, sedangkan sisanya melibatkan katup aorta. Katup pulmonal dan trikuspid jarang terlibat pada PJR.21,22 Regurgitasi trikuspid biasanya terjadi sekunder akibat dilatasi ventrikel kanan akibat lesi jantung kiri yang tidak dikoreksi. Insufisiensi katup yang multipel 20 dan berat memperkuat dugaan bahwa sebelumnya telah ada kelainan katup akibat PJR.20 Tatalaksana DR disesuaikan dengan rekomendasi WHO. Tata laksana tersebut terdiri atas tirah baring, eradikasi streptokokus, pemberian obat antiinflamasi, serta tata laksana kelainan lain yang menyertai, termasuk gagal jantung. Lama tirah baring yang direkomendasikan minimal 4 minggu, namun pada karditis berat seperti pasien, dapat hingga 2-4 bulan, dilanjutkan dengan aktivitas di dalam rumah selama 2-3 bulan.15,21 Pada pasien saat ini tidak terdapat episode DR baru, sehingga tatalaksana yang diberikan pada pasien adalah terapi profilaksis dan gagal jantung. Profilaksis ditujukan untuk mencegah rekurensi DR dengan pemberian antibiotik antara lain benzatin penisilin G (BPG), penisilin V, sulfonamid, atau eritromisin. Benzatil penisilin G intramuskular merupakan pilihan pertama regimen eradikasi maupun profilaksis menurut rekomendasi American Heart Association (AHA).22 Golongan penisilin dipilih karena dalam sebuah meta-analisis, penisilin intramuskular lebih efektif dibandingkan makrolid (aureomisin) oral untuk mencegah rekurensi DR (BMC Cardiovasc Disord. 2005; level of evidence 1).23 Secara umum AHA merekomendasikan pemberian BPG setiap 4 minggu; namun interval dapat diperpendek menjadi 3 minggu pada populasi yang memiliki insidens DR tinggi.22 Sebuah studi meta analisis melaporkan bahwa angka rekurensi DR lebih kecil pada pemberian BPG yang lebih sering (setiap 2 atau 3 minggu) (Cochrane 2013; level of evidence 1).24 Pada pasien pemberian BPG direncanakan setiap 3 minggu selain untuk mengurangi angka rekurensi DR, agar pasien juga memiliki compliance yang baik. Untuk pasien dengan kelainan katup persisten, baik WHO maupun AHA dan AAP merekomendasikan pemberian profilaksis selama 10 tahun setelah episode DR akut terakhir atau hingga usia 40 tahun, dipilih durasi terpanjang. Setelah kurun waktu tersebut, dilanjutkan atau dihentikannya profilaksis bergantung pada peluang paparan pasien terhadap infeksi streptokokus.21,22 Pada kelainan katup berat dan/atau kelainan katup pascakoreksi, WHO merekomendasikan pemberian profilaksis seumur hidup.21 Pada pasien didapatkan kelainan katup berat, sehingga profilaksis perlu diberikan seumur hidup. Indikasi tindakan bedah koreksi katup pada PJR dengan regurgitasi mitral dan regurgitasi aorta adalah gagal jantung kelas II, III, IV (NYHA) dengan atau tanpa disfungsi ventrikel kiri.21,25 Pada pasien didapat regurgitasi mitral dan aorta yang berat, penurunan fungsi ventrikel kiri serta gagal jantung kelas IV (NYHA) sehingga terindikasi untuk dilakukan operasi (J Thorac Cardiovasc Surg 2014; level of evidence 2).25 Perawatan saat ini, pasien sedang dipersiapkan untuk ekokardiografi transesofageal untuk mengevaluasi kelainan katup serta rencana operasi perbaikan katup mitral dan aorta. Data mengenai perbandingan luaran antara operasi perbaikan dan penggantian katup terbatas pada studi observasional. Meskipun demikian, data yang ada menunjukkan bahwa luaran setelah operasi perbaikan katup sama baik dengan operasi penggantian katup. Selain itu, meskipun operasi perbaikan katup memiliki risiko tinggi untuk dilakukan reoperasi, angka mortalitas setelah dilakukan reoperasi lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang menjalani 21 penggantian katup. Dengan operasi perbaikan katup juga dapat menghindari pemakaian antikoagulan seumur hidup.26 Pada pasien ini ditemukan anemia normositik normokrom. Kondisi ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu anemia akibat perdarahan, penyakit kronik, dan hemolisis. Pada pasien anemia terjadi akibat penyakit kronik karena pada pasien tidak terdapat riwayat perdarahan serta tanda hemolisis berupa peningkatan bilirubin indirek. Anemia pada penyakit kronik (APK) terjadi melalui beberapa mekanisme antara lain akibat pemendekan masa hidup eritrosit, gangguan respons sumsum tulang terhadap eritropoiesis, dan perubahan pada homeostasis besi.27,28 Keadaan APK lebih disebabkan oleh penurunan produksi sel darah merah (SDM) dan bukan peningkatan destruksi SDM.28 Kondisi anemia pada pasien perlu dipastikan dengan pemeriksaan gambaran darah tepi dan retikulosit namun tidak dilakukan pada pasien. karena jumlah sampel darah tidak mencukupi sehingga direncanakan pada pemeriksaan darah berikutnya. Tata laksana selanjutnya adalah pengobatan penyakit dasar serta pemberian diet yang sesuai dengan kebutuhan kalori pasien, dengan demikian diharapkan keadaan anemia pasien tidak mengalami perburukan. Masalah nutrisi pada penyakit kronik dapat menjadi penyebab meningkatnya morbiditas, mortalitas, serta konsekuensi psikososial akibat kegagalan pertumbuhan. Secara klinis dan antopometris pasien tergolong gizi buruk marasmik. Gangguan pertumbuhan sering terjadi pada anak dengan PJR, terlebih bila terdapat gagal jantung kongestif. Hal ini terjadi karena pemakaian energi total (total energy expenditure) yang lebih tinggi daripada anak normal, karena peningkatan kebutuhan energi untuk kerja otot jantung dan respirasi. Selain itu, pada anak dengan gagal jantung juga terdapat insufisiensi hantaran nutrien ke jaringan serta penurunan asupan makanan akibat gangguan respirasi.11,29 Gizi buruk pada pasien terjadi akibat asupan nutrisi yang kurang dari segi kualitas dan kuantitas serta akibat penyakit kronik. Sebelum pemberian nutrisi, kegawatdaruratan pada gizi buruk seperti dehidrasi, hipoglikemia dan gangguan elektrolit harus ditangani. Saat awal datang terdapat gangguan elektrolit berupa hiponatremia dan hipokloremia pada pasien yang dapat disebabkan karena efek samping pemberian diuretik dari RS sebelumnya dan juga kondisi gizi buruk pasien. Untuk mengatasi gangguan elektrolit tersebut diberikan terapi kapsul NaCl per oral karena hiponatremia dan hipokloremia yang dialami pasien ringan dan tidak menunjukkan gejala klinis. Setelah itu kebutuhan nutrisi pada pasien diberikan sesuai dengan kebutuhan pada fase stabilisasi menurut recommended dietary allowance (RDA) yaitu sebesar 50-70 kkal/kgBB/hari sesuai berat badan ideal. Kalori yang diberikan selama perawatan dinaikkan bertahap sesuai dengan kebutuhan kalori pasien yaitu 2000 kalori dan F100 4 x 175 ml. Dilakukan evaluasi pemberian nutrisi berdasarkan daya terima (akseptansi) makanan, toleransi serta efek samping saluran cerna dan pemantauan berat badan dan tinggi badan berkala.30,31 Selama perawatan, tidak ada masalah dalam pemberian nutrisi pasien. Anak dengan penyakit kronik dan pengobatan jangka panjang mempunyai risiko besar untuk mengalami gangguan perilaku dan gangguan mental emosional, yang akan berpengaruh terhadap prestasi sekolah dan relasi sosial. Oleh karena itu diperlukan suatu perangkat skrining perkembangan untuk menilai gangguan 22 perkembangan pada populasi yang berisiko. Pasien dengan PJR membutuhkan profilaksis sekunder sampai usia dewasa bahkan seumur hidupnya, sehingga mempunyai risiko untuk mengalami gangguan psikologis dan kualitas hidup.32 Skrining perilaku pasien dengan pediatric symptom quality of life (PedsQL) menunjukkan nilai rendah baik menurut orangtua (65) maupun anak (69). Hasil skrining ini dapat digunakan sebagai data dasar pasien karena terapi profilaksis sekunder pada pasien baru dimulai dan diperlukan evaluasi perilaku dan emosi secara berkala. Edukasi pasien dan orangtua sangat penting untuk dilakukan. Penyakit yang diderita pasien membutuhkan perhatian dan kesabaran dari orangtua maupun pasien sendiri, karena penanganan penyakit pasien membutuhkan jangka waktu yang relatif lama dan berkesinambungan. Selain diberikan edukasi mengenai penyakit dasar pasien, orangtua juga harus diberikan edukasi mengenai pentingnya imunisasi. Pada pasien tidak pernah dilakukan imunisasi oleh karena fasilitas kesehatan yang tidak tersedia di lingkungan rumah pasien. Hal ini memerlukan perhatian khusus, mengingat pasien tinggal di lingkungan kumuh yang berisiko tinggi terjadinya penularan penyakit. Pasien direncanakan imunisasi kejar hepatitis B, polio, MMR, Td, dan PCV, namun karena pasien dari golongan sosiookenomi menengah ke bawah, pasien dianjutan imunisasi dengan vaksin-vaksin yang diprogramkan oleh pemerintah, yaitu hepatitis B, polio, campak, dan Td bila kondisi penyakit dasar sudah teratasi.33 Meskipun angka kematian akibat DR/PJR kecil, yaitu sekitar 0,4% dalam 10 tahun pertama, namun potensi rekurensi tetap menjadi masalah. Faktor-faktor yang berperan terhadap berulangnya serangan DR yaitu usia saat serangan pertama, adanya PJR, interval serangan ulang dari serangan sebelumnya, jumlah serangan sebelumnya, higiene dan sanitasi keluarga, riwayat DR/PJR dalam keluarga, faktor sosial dan pendidikan pasien, risiko infeksi streptokokus di lingkungan empat tinggal, dan penerimaan penderita terhadap pengobatan yang diberikan.21 Karditis sedang atau berat, rekurensi DR akut, dan tingkat pendidikan ibu rendah merupakan faktor prognostik buruk untuk timbulnya kelainan katup berat yang menetap. 34 Dengan demikian, prognosis pasien quo ad vitam dan ad functionam adalah dubia ad malam, karena pasien telah mengalami kelainan katup berat dengan gangguan fungsi jantung. Prognosis quo ad sanationam juga dubia ad malam, karena lingkungan tempat tinggal pasien yang memungkinkan terjadinya infeksi ulangan, fasilitas kesehatan yang tidak memadai, serta kepatuhan pasien untuk menjalani profilaksis sekunder secara rutin belum dapat dinilai. 23 DAFTAR PUSTAKA 1. Manning HL, Schwartzstein RM. Pathophysiology of dyspnea. New Engl J Med. 1995;333:1547-53. 2. Setyanto DB. Sesak pada anak: suatu pendekatan klinis. Dalam: Kumpulan naskah Seminar dan Pelatihan Manajemen Kasus Respiratorik Anak dalam Praktek Sehari-hari. 2007 September 9; Jakarta, Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia Suddhaprana; 2007. h. 25-38. 3. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi ke-3. St Louis: Mosby; 1996. Chapter 30, Congestive heart failure; h. 401-11. 4. Hsu DR, Pearson GD. Heart failure in children. Part I: history, etiology, and pathophysiology. Circ Heart Fail. 2009;2:63-70. 5. Advani N. Diagnosis dan tata laksana gagal jantung pada anak. Dalam: Trihono PP, Windiastuti E, Gayatri P, Sekartini R, Indawati W, Idris NS, penyunting. Kegawatan pada bayi dan anak, Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXI. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2012. h. 110-28. 6. Maganti K, Rigolin VH, Sarano ME, Bonow RO. Valvular heart disease: diagnosis and management. Mayo Clin Proc. 2010;85:483-500. 7. Bernstein D. Heart failure. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007. h. 1976-82. 8. Van Lingen R, Warshow U, Dalton HR, Hussaini SH. Jaundice as a presentation of heart failure. J R Soc Med. 2005;98:357-359. 9. Allen LA, Felker GM, Pocock S, McMurray JJV, Pfeffer MA, Swedberg K dkk. Liver function abnormalities and outcome in patients with chronic heart failure: data from the Candesartan in Heart Failure: Assessment of Reduction in Mortality and Morbidity (CHARM) program. Eur J Heart Fail. 2009;11:170-177. 10. Alatas H. Pemeriksaan laboratorium pada pemeriksaan ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2009.h.51-72. 11. Berry C, Clark AL, Catabolism in chronic heart failure. Eur Heart J. 2000;21:52132. 12. Hsu DR, Pearson GD. Heart failure in children. Part II: diagnosis, treatment, and future directions. Circ Heart Fail. 2009;2:490-8. 13. Mori Y, Nakazawa M, Tomimatsu H, Momma K. Long-term effect of angiotensin-converting enzyme inhibitor in volume overloaded heart during growth: a controlled pilot study. J Am Coll Cardiol. 2000;36:270 –5. 14. Suyatna FD. Rational use of drugs in pediatric cardiology. Dalam: Putra ST, Djer MM, Roeslani RD, Endaryani B, Yuniar I, penyunting. Management of pediatric heart disease for practitioners: from early detection to intervention. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2009.h.115-40. 15. Madiyono B, Rahayuningsih SE, Sukardi R. Penanganan penyakit jantung pada bayi dan anak. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2005. 16. Kisworo B. Demam rematik. Cermin Dunia Kedokt. 1997;116:25-8. 17. Ontoseno T. Rheumatic fever and rheumatic heart disease: an update. Dalam: Pediatric Cardiology Update 2012. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2012. h. 60-103. 18. Carpetis JR. Rheumatic heart disease in developing countries. N Engl J Med. 2007;357:439-42. 19. Madiyono B, Sukardi R, Kuswiyanto RB. Demam reumatik dan penyakit jantung reumatik pada anak. Dalam: Putra ST, Djer MM, Roeslani RD, Endyarni B, Yuniar I, penyunting. Management of pediatric heart disease for practitioners: 24 from early detection to intervention. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI RS X, 2009. h. 95-114. 20. Park MK. Pediatric cardiology for practitioners. Edisi 5. St. Louis: Mosby. 2008. h. 303-9. 21. World Health Organization. Rheumatic fever and rheumatic heart disease. Report of a WHO expert consultation. Geneva: World Health Organzation; 2004. 22. Gerber MA, Baltimore RS, Eaton CB, Gewitz M, Rowley AH, Shulman ST et al. Prevention of rheumatic fever and diagnosis and treatment of acute streptococcal pharyngitis. A scientific statement from the American Heart Association; Rheumatic fever, endocarditis, and kawasaki disease committee of the Council on Functional Genomics and Translational Biology, and the Interdisciplinary Council on Quality of Care and Outcomes Research. Circulation. 2009;119:1541-51. 23. Robertson KA,Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord. 2005;5:1-9. 24. Manyemba J, Mayosi BM. Penicillin for secondary prevention of rheumatic fever (review). Cochrane Database Syst Rev. 2013. 25. Nishimura RA, Catherine MO, Robert OB, Blase AC, John PE, Jonathan LH, et al. 2014 AHA/ACC guideline for the management of patients with valvular heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg. 2014;148:43-54. 26. Kim JB, Kim HJ, Moon DH, dkk. Long-term outcomes after surgery for rheumatic mitral valve disease: valve repair versus mechanical valve replacement. Eur J Cardiothorac Surg 2010; 37:1039. 27. Windiastuti E. Klasifikasi anemia pada anak dan bayi. Dalam: Abdulsalam M, Trihono PP, Kaswandani N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat: masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RS X; 2007. h. 14-9. 28. Hadinegoro SRS. Anemia pada beberapa penyakit infeksi. Dalam: Abdulsalam M, Trihono PP,Kaswandani N, Endyarni B, penyunting. Pendekatan praktis pucat: Masalah kesehatan yang terabaikan pada bayi dan anak. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RS X; 2007. h. 41-8. 29. Soliman AT, El Nawawy A, El Azzoni O, El Ashmawy H, Marzook S, Amer E. Growth parameters and endocrine function in relation to echocardiographic parameters in children and adolescents with compensated rheumatic heart disease. J Trop Pediatr. 1997;43:4-9. 30. World Health Organization. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health workers. Edisi ke-1. Geneva: WHO; 1999. (29) 31. Sjarif DR. Prinsip asuhan nutrisi pada anak. Dalam: Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, penyunting. Buku ajar nutrisi pediatrik dan penyakit metabolik. Jilid ke-1. Jakarta: Balai Penerbit IDAI. 2011. h.36-48. 32. Vessey JA, Swanson MN. Chronic conditions and child development. Dalam: Jackson PL, Vessey JA, penyunting. Primary Care of The Child With A Chronic Condition. Edisi ke-2. St Louis: Mosby. 1996. h. 16-9. 33. Ranuh IGN. Imunisasi anak sekolah, remaja dan dewasa. Dalam: Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. h.90-9. 34. Meira ZMA, Goulart EMA, Colosimo EA, Mota CCC. Long term follow up of rheumatic fever and predictors of severe rheumatic valvar disease in Brazilian children and adolescents. Heart. 2005;91:1019-22. 25 DAFTAR JURNAL EBP 1. Mori Y, Nakazawa M, Tomimatsu H, Momma K. Long-term effect of angiotensin-converting enzyme inhibitor in volume overloaded heart during growth: a controlled pilot study. J Am Coll Cardiol. 2000;36:270 –5. 2. Robertson KA,Volmink JA, Mayosi BM. Antibiotics for the primary prevention of acute rheumatic fever: a meta-analysis. BMC Cardiovasc Disord. 2005;5:1-9. 3. Manyemba J, Mayosi BM. Penicillin for secondary prevention of rheumatic fever (review). Cochrane Database Syst Rev. 2013. 4. Nishimura RA, Catherine MO, Robert OB, Blase AC, John PE, Jonathan LH, et al. 2014 AHA/ACC guideline for the management of patients with valvular heart disease. J Thorac Cardiovasc Surg. 2014;148:43-54. DAFTAR SINGKATAN AMVL APK AR ASD ASTO BPG BPJS CDC CMV CRP DR EF FS HAV HbSAg HCV HSV LFG MR NYHA PDA PedsQL PG PJR PMVL RDA RHD RS X SGA TPG VSD Anterior mitral valve leaflet Anemia pada penyakit kronik Atrial regurgitation Atrial septal defect Anti streptolisin O Benzatin penisilin G Badan Pelaksana Jaminan Sosial Centers for disease control and prevention Cytomegalo virus C reactive protein Demam rematik Ejection fraction Fraction shortening Hepatitis A virus Hepatitis B surface antigen Hepatitis C virus Herpes simplex virus Laju filtrasi glomerulus Mitral regurgutation New York Heart Association Patent ductus arteriosus Pediatric symptom quality of life Pressure gradient Penyakit jantung rematik Posterior mitral valve leaflet Recommended dietary allowance Rheumatic heart disease Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Streptococcus ß-hemolyticus grup A Tinggi potensi genetik Ventricle septal defect 26 Lampiran 1. Grafik pertumbuhan pasien TPG 27 Lampiran 2. Grafik lingkar kepala 28 29