Konsep Moralitas Sosial Emile Durkheim BAB I PENDAHULUAN A

advertisement
Konsep Moralitas Sosial Emile Durkheim
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah.
Manusia pada eksistensinya di dunia, sebagai khalifah untuk menjaga, memelihara dan mengelola alam
beserta isinya, utamanya manusia dengan manusia lainnya. Hal inilah manusia diberikan akal budi untuk
berpikir mencari kepuasan dari perbuatannya atau mencari mana yang baik dan buruk dan sekaligus
menunjukkan bahwa manusia sangat erat hubungannya dengan moralitas.
Dari awal sampai sekarang dalam perkembangan ke-hidupan bumi, manusia telah banyak mengalami
per-kembangan, evolusi pemikiran dan perubahan tatanan kehidupan, sehingga timbul berbagai
pergolakan baik di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, utamanya integrasi manusia dengan
sesamanya. Hal ini perlu dicermati dan dikaji, persoalan yang satu (individu) membantai yang lainnya,
atau sebaliknya sekelompok gerakan (kolektif) membantai kelompok yang lainnya, hal ini menjadi
pergolakan egoistis, yang tidak melihat kebenaran, pentingnya solidaritas dalam kehidupan, keselarasan
diantara keduanya termasuk keselarasan seluruh umat manusia.
Pada prinsipnya, manusia dalam perbuatan dan kehendaknya mengarah pada suatu titik (tujuan) yang
tinggi (esensi), Aristoteles menandaskan bahwa perbuatan manusia bagaimanapun mengejar sesuatu
yang baik. Baik adalah sesuatu yang menjadi arah semua hal, sesuatu yang dikejar atau dituju, dan
tujuan adalah sesuatu yang untuknya sesuatu itu dikerjakan.[1]
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup tanpa ketergantungan dengan orang lain, hidup
berbagai rahasia yang banyak ragam dan misteri, maka manusia perlu persatuan dan saling tolong
menolong. Gabriel Marcel (1889-1973), menjelaskan dan keterikatan antara sesama manusia adalah:
“Aku hanya mungkin mencapai kesempurnaan, kalau ia mengarahkan dirinya kepada orang lain,
sehingga tanpa menghayati itu hidupnya mustahil memadai bagi panggilannya yang paling inti. Aku dan
Engkau saling menghidupi, sehingga pada hakikatnya mereka tidak dapat dicairkan satu dari yang lain.
Mereka dapat memberi wujud kongkrit kepada saling terjalinan mereka dan kesetiaan dan cinta.
Menurut Marcel, kesatuan antara Aku dan Engkau dapat menghasilkan kepenuhan hidup sebagai
manusia yang merupakan penyinaran intinya yang paling dalam, yang pada gilirannya memantulkan
keterjalinan Aku dan Engkau yaitu Allah ”.[2]
Manusia (individual) hidup berkumpul dalam lingkungan masyarakat (kolektif), yang dalam sejarah
dikatakan bahwa mulai dari zaman Yunani Kuno (dimana masa ini persoalan kemasyarakatan sudah
menjadi perhatian, namun belum menjadi pusat perhatian sepenuhnya),[3] sampai sekarang abad
moderen, persoalan kemasyarakatan menjadi ciri khas para filusuf, utamanya persoalan moralitas yang
menjadi bagian dari persoalan etika sebagai bagian yang sangat penting, mengingat kehidupan
masyarakat yang serba pluralistik, membutuhkan perhatian yang serius dan perlu penyelesaian.
Demikian halnya di Perancis, persoalan-persoalan sosial bergejolak. Bahkan perubahan-perubahan
sosial[4] menjadi bahan pikiran. Maka persoalan–persoalan yang timbul dan solusi yang diberikannya
tidak dapat mengatasinya.
Revolusi Perancis dicanangkan untuk mengubah tatanan sosial yang terjadi pada abad ke-17 dan 18,
mulai dari faham Feodalisme diterapkan, sehingga masyarakat buruh dan tani menjadi kaum yang tidak
dapat menikmati kehidupan bebas, demikian lagi sistem pemerintahan yang menganut Absolutisme
menjadi pedoman raja-raja, persoalan perbedaan kelas yaitu, atas, menengah dan bawah tidak hentihentinya menjadi pertentangan. Maka lahirlah perlawanan-perlawanan yang mengakibatkan
peperangan dan saling menumpahkan darah. Tapi gerakan revolusi tidak dapat dikuasai lagi dan tidak
dapat merubah tatanan sosial, sampai pada tahun 1792 di Perancis “Republik” di Proklamasikan dan
tahun 1799 Napoleon melakukan gerakan perebutan kekuasaan sebagai orang yang sukses untuk
Republik dan menobatkan dirinya sebagai kaisar pada tahun 1807, hingga abad ke-19 sistem Liberlisme
dan sosialisme menjadi faham masyarakat Eropa menuju masyarakat yang demokratis moderen.[5]
Emile Durkheim merupakan salah seorang dari tiga tokoh yang dikenal sebagai pendiri dan peletak dasar
sosiologi bersama Karl Marx dan Max Weber dalam berbagai penelitian aspek-aspek sosial. Namun tidak
perlu disangkal, dalam konseptual pemikirannya tidak banyak persamaan, bahkan Durkheim banyak
menentang sosialisme yang “Revolusioner” dari Marx
Karl Marx menempatkan kerja dalam konteks keseluruhan hidup manusia, sehingga ia berpendapat
bahwa pada hakikatnya manusia adalah “pekerja”, mengingat bahwa pada dasarnya segala-galanya
berakar pada materi, jadi kerja tidak hanya merupakan inti dari individual, tetapi menerangkan dia
dengan kolektifitas besar yaitu umat manusia beserta sejarahnya.[6] Atau dengan kata lain, Marx
cenderung melihat masyarakat sebagai wahana dan sekaligus mekanisme penyangga dari berbagai
konflik.
Durkheim sangsi akan teori Marx di atas (revolusioner) sebagai cara pemecahan yang tepat dalam
mengatasi masalah-masalah sosial yang bergejolak. Menurutnya masyarakat memerlukan peneguhan
dasar “moralitas” yang baru,[7] Konsensus yang dimaksud adalah “persepakatan” atau kesepakatan
kehendak antara dua orang atau lebih untuk melakukan suatu tindakan tertentu.
Demikian halnya dalam persoalan “perilaku sosial” Max Weber memandang lain dari Durkheim, bagi
Weber adalah:
“Prilaku sosial bukanlah struktur-struktur sosial yang pertama-tama menghubungkan orang atau
menentukan isi corak kelakuan mereka, melainkan arti-arti yang dikenakan orang-orang kepada
kelakuan mereka.”[8]
Durkheim dengan sosialismenya dalam sosiologi moderen, menjelaskan pola-pola interaksi sosial antara
seseorang dengan yang lain, melainkan berdasar pada tugas-tugas, kewajiban-kewajiban dan laranganlarangan yang dikenakan oleh kolektifitas yang berlaku pada anggotanya (individu).
Dari berbagai paparan singkat di atas, nampak kepada kita, akan perjuangan Durkheim dalam merintis
moralitas, khususnya di Perancis sebagai bagian Eropa yang mengalami situasi transpormasi sosial yang
juga dialaminya pada masa itu.
Dalam konsep pemikiran Durkheim ada hal yang unik untuk dicermati, persoalan-persoalan
ketimpangan sosial memerlukan moralitas, yang arah pemikirannya yaitu dengan jalan Positivisme yang
murni, Ilmiah Rasionalis dan Sekuler, sehingga memandang tentang “Ilmu Moralitas” sebagai:
“Ketentuan moral dan hukum, pada dasarnya me-mantulkan keperluan sosial yang hanya bisa dimasukkan oleh masyarakat itu sendiri-sesuatu yang berdasarkan pada pandangan “kolektif”, maka
bukanlah tugas kita untuk mendapatkan (ketentuan) etik dari ilmu pengetahuan, melainkan membentuk
suatu ilmu tentang etika”.[9]
Demikian pula moralitas baginya, bukanlah saja sesuatu yang deduktif, melainkan sesuatu yang
berangkat dari kenyataan empiris dan ilmiah serta bercorak pasca pengalaman.
Dengan gagasan filosofisnya ini, Ia nampak sebagai seorang yang konservatif, yang ingin ketentuan sosial
berdasarkan ketentuan kolektif (kesadaran), dan tidak ingin kembali pada ketentuan sosial yan lama dan
juga sebagai orang yang progresif yang mencari dasar baru dari solidaritas sosial.
Persoalan moral dalam Islam, yang lebih dikenal dengan istilah “akhlak”, dalam hal ini menganut suatu
tata aturan (ajaran moral) tersendiri (moral keagamaan Islam), yang dengan pasti tidak akan lepas dari
pedoman ajarannya yaitu Alqur’an dan Hadis, karena diyakini bahwa Alqur’an diturunkan kepada Nabi
pilihan Tuhan Yang Maha Muliah, untuk memberikan petunjuk kehidupan bumi, termasuk persoalan
prilaku kehidupan manusia (sosial), sebagaimana dalam sabdanya:
‫ق ال و س لم ع ل يه هللا صل هللا ر سول إن ب ل غه إن ه ؛ مال ك عن ث نى حد‬: ‫[األخ الق ح سن ألت مم ب ع ثت‬10]
Artinya:
“Telah sampai kepadaku kabar; “Bahwa sesungguhnya Rasullah saw. menyampaikan: Bahwa diutusnya
beliau untuk menyempurnakan akhlak yang muliah”.
Secara teoritis dan konseptual, umat Islam yakin akan eksistensinya itu, sebagai rambu, jalur yang
menuju pada hakikat manusia, yang namun tidak perlu dipungkiri dalam ajaran ini, wahyu, akaliah dan
kekuatannya tetap diakui eksisitensinya serta kapasitasnya dalam melihat fakta realitas yang bergejolak
sebagai fenomena kehidupan yang dinamis dialam semesta.
B. Rumusan dan Batasan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah di-kemukakan, lahirlah suatu permasalahan, yang penulis
mencoba mengemukakan rumusan permasalahan yang selanjut-nya akan dibahas dalam skripsi ini,
sebagai berikut:
Bagaimana corak moralitas sosial yang ditawarkan Emile Durkheim?
Bagaimana pandangan etika Islam tentang moralitas Durkheim?
C. Hipotesis.
Dari rumusan masalah tersebut di atas, maka penulis mencoba memberikan jawaban sementara,
sebagai berikut:
Moralitas sosial yang ditawarkan oleh Durkheim adalah suatu moral yang bersifat atau bercorak
positivisme, rasionalis dan sekularis dan objektif dalam melihat sesuatu, dimana ketentuan moral lahir
dari konsensus secara kolektif. Sehingga moralitas sosial bukan hanya sebagai “kewajiban” (ketentuan),
melainkan kebaikan ketika manusia telah dihadapkan pada realitas sosial, serta “ketentuan-ketentuan”
itu berada diluar diri “sipelaku”, sehingga misalnya sesuatu yang salah tidak harus menderita, sehingga
ia sadar dan menghayati aturan-aturan moral dari sudut kemasyarakatan.
Islam memiliki konsep etika yang lebih dikenal dengan istilah ahklak, dalam mengarungi berbagai
fenomena dan keaneka ragaman realitas, untuk mengatur integritas sesama manusia, etika Islam yang
berakar pada ketentuan ilahiah dalam Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw., yang menjadi pedoman pokok
umat Islam dalam prilaku kehidupannya. Etika Islam mengakui moralitas bukan hanya menyangkut
persoalan baik dan buruk, tetapi sesuatu yang terkait dari keseluruhan komponen dalam dunia, namun
berbeda karena Durkheim yang sekularis, sedangkan etika Islam mengakui dua kekuatan yang ada dalam
diri manusia, demikian pula etika islam memiliki konsep moral tersendiri yang termuat dalam “wahyu”
dan “hadis” yang meliputi segala zaman manusia (pra, sedang berlangsung dan pasca pengalaman)
tercantum dan tersirat di dalamnya.
D. Pengertiaan Judul.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai judul skripsi ini, maka perlu diberikan kata
yang dianggap kurang jelas, untuk memberikan batasan pemikiran agar tidak menyulitkan dalam
pembahasan. Judul skripsi ini adalah suatu upaya untuk menyelidiki dan mempelajari bagaimana konsep
moralitas sosial Emile Durkheim, maka penulis menganggap perlu memberikan pengertian, sebagai
berikut:
Moralitas; pola-pola, kaidah tingka laku, budi bahasa yang dipandang baik dan luhur dalam suatu
masyarakat tertentu.[11] Moralitas adalah kualitas perbuatan manusia yang dengan itu ia berkata
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruknya perbuatan manusia.[12] Keseluruhan normanorma, nilai-nilai dan sikap moral seseorang atau sebuah masyarakat.[13] Dan kerangka yang rasional,
tidak memihak, bebas dan objektif.[14]
Sosial; Perkenaan dengan masyarakat, perlu adanya komunikasi, suka memperatikan kepentingan
umum.[15]
Studi; kajian, telaah, penelitian, penyelidikan ilmiah.[16]
Analisis; Penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya
atau menguraikan suatu pokok atas bagiannya atau penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar
bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman dari arti keseluruhan.[17]
Filsafat; pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi tentang hakikat segala yang ada, sebab, asal
dan teori-teori yang mendasari alam pikiran secara mendalam.[18] Dan filsafat atau pemikiran kritis
normatif tentang moralitas.[19]
Akhlak; Hal-hal berkaitan dengan sikap, prilaku dan sifat-sifat manusia dalam berinteraksi dengan
dirinya, sasarannya, makhluk-makhluk lain dan dengan Tuhan, atau berarti tabiat, perangai dan adat
kebiasaan.[20]
Emile Durkheim; sosiolog Perancis, lahir di Epinal tahun 1858-1917, beliau mengajar sosiologi di
Universitas Bordeaux dan Sarbonne. Beliau menentang para ahli sosiologi tahun 1980-an yang
menganggap individu sebagai dasar terbentuknya tatanan sosial.[21]
Dari pengertian kata judul di atas, dapat diberikan kesimpulan adalah suatu penelitian ilmiah mengenai
kerangka pemikiran Emile Durkheim tentang moralitas yang ingin memperbaiki tatanan kehidupan,
kemudian akan dikaji lebih lanjut dalam sudut pandang Filsafat Akhlak.
E. Tinjauan Pustaka.
Dalam tinjauan pustaka ini, penulis perlu memberikan sedikit gambaran tentang relevansi antara
masalah pokok yang akan dikaji dengan sejumlah teori dalam berbagai referensi yang penulis gunakan.
Setelah penulis menelitih secara saksama tentang masalah yang akan dibahas dalam judul skripsi ini,
maka penulis berkesimpulan bahwa judul ini telah ada yang membahasnya dalam judul “Durkheim dan
Pengantar Sosiologi Moralitas” karangan Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, namun berbeda
dengan sudut tinjauan (analisis) yang penulis kaji, dan sangat menarik untuk dikaji.
Adapun rujukan literatur yang penulis gunakan adalah literatur yang termuat dalam berbagai buku hasil
terjemahan kedalam bahasa Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
“Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas” karangan Taufik Abdullah dan A.C. Van der Leeden yang
diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, yang didalamnya termuat ulasan-ulasan mengenai pemikiran
Durkheim dalam hal moralitas, selanjutnya buku “Realitas Sosial” Refleksi Filsafat atas Hubungan
Individu – Masyarakat dalam Cakrawala Sosiologi, karangan KJ. Veeger yang diterbitkan oleh Gramedia,
yang memuat pembahasan metodologi dan kasus-kasus prilaku individu dalam masyarakat, kemudian
buku “Tata, Perubahas dan Ke-timpangan” Suatu Pengantar Sejarah Sosiologi, karangan L. Laeyendecker
diterbitkan oleh Gramedia, yang didalamnya memuat tentang moral dan bentuk-bentuknya, metodologi
dan prilaku individu dalam masyarakat, selanjutnya buku “Pendidikan Moral; Suatu Study Teori dan
Aplikasi Sosiologi Pendidikan” Karangan Emile Durkheim yang dialih bahasakan oleh Drs. Lukas Ginting
dari judul “Moral Education” yang di dalamnya memuat masalah pemikiran Durkheim mengenai Moral
yang diajarkan di Sarbonne, penerbit Erlangga pada tahun 1990, kemudian buku “Emile Durkheim
Aturan-aturan Metode Sosiologis” karangan Prof. DR. Soerjono Soekanto S.H, M.A, diterbitkan oleh
Rajawali Perss tahun 1985, yang memuat tentang metode sosiologinya, serta berbagai literatur yang
banyak menjadi kutipan dan berkaitan dengan judul pembahasan ini, semoga kita semua memperoleh
tambahan wawasan intelektual dan kritis dalam melihat realitas dengan positif dari karya tulis ilmiah
ini.
F. Metode Penelitian.
Dalam penulisan karya tulis ilmiah, diperlukan suatu metode sebagai petunjuk jalan penelitian yang
sisitimatis dan dapat dipertanggung jawabkan. Maka penulis dalam penulisan ini, menggunakan
beberapa metode, yakni sebagai berikut:
1.Metode Pengumpulan Data.
Dalam penulisan skripsi ini, data diperoleh secara keseluruhan adalah data yang dihimpun dari data
kepustakaan, baik secara pribadi maupun yang bersifat umum, maka penulis menggunakan metode
penelitian pustaka atau Library Research yakni dengan jalan membaca atau mengutip berbagai buku
literatur yang ada kaitanya dengan objek yang dibahas pada skripsi ini.
2.Metode Pendekatan.
Pendekatan Sosiologis yaitu membahas suatu permasalahan berdasarkan pada studi mengenai
hubungan
kelompok manusia dengan melihat bahwa hukum kemajuan adalah tindakan
kehidupannya.[22]
Pendekatan Historis yaitu membahas suatu permasalahan berdasarkan data masa lalu (sejarah) atau
yang berlangsung pada masa lalu yang merupakan rangkaian peristiwa masa sekarang maupun tidak.
Pendekatan Filosofis yaitu membahas suatu permasalahan dengan jalan melakukan perenungan yang
mendalam, rasional, terarah, untuk mencapai atau sampai pada hakikat sesuatu, baik yang menyentuh
sesuatu yang ada sekarang maupun yang mungkin ada.[23]
3.Metode Pengolahan Data.
Dalam metode ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
Metode Induktif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan jalan meninjau beberapa hal yang
bersifat khusus kemudian diterapkan atau dialihkan kepada sesuatu yang bersifat umum.
Metode Deduktif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan jalan meninjau beberapa hal yang
bersifat umum, kemudian diterapkan kepada yang bersifat khusus atau kebalikan dari Induktif.[24]
Metode Komperatif yaitu suatu metode yang penulis gunakan dengan menggunakan atau melihat
beberapa pendapat kemudian membandingkan dan mengambil yang kuat atau dengan jalan
mengkompromikan beberapa pendapat tersebut.
G. Tujuan dan Kegunaan.
Adapun maksud dan dan tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan dan penelitian terhadap suatu
masalah yang sedang dikaji adalah sebagai berikut:
Menguji kebenaran suatu teori moralitas sebagai Ide yang ditawarkan oleh Durkheim di Prancis untuk
mengubah tatanan yang dianggap ambruk pada masa itu.
Mencoba mengangkat permasalahan moralitas, yang penulis anggap relevansi dengan kondisi Indonesia,
terutama perubahan tatanan sosial yang mengalami transpormasi.
Mengkaji teori moralitas Durkheim, dimana beliau dikenal sebagai peletak dasar dan pejuang untuk
memperbaiki masyarakat, yang sampai sekarang dikenang oleh masyarakat Prancis.
Adapun kegunaan penelitian skripsi ini yang dimaksud adalah sebagai berikut;
Kegunaan ilmiah yang berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu
keislaman pada khususnya.
Kegunaan praktis yang berkaitan dengan pembangunan masyarakat dengan jalan memberikan
tambahan wawasan dan loncatan berpikir demi terwujudnya pembangunan bangsa, negara dan agama.
H. Garis-garis Besar Isi Skripsi.
Skripsi ini terdiri dari lima Bab, mengawali pembahasan dalam tulisan ini, dikemukakan
Bab I sebagai Bab pendahuluan yang memuat; tentang latar belakang sebagai gambaran tentang
permasalahan yang dibahas, dari situlah timbul beberapa permasalahan atau rumusan masalah yang
menjadi kajian pokok isi skripsi, yang dilanjutkan dengan hipotesa sebagai jawaban sementara dari
permasalahan yang ada, kemudian dilanjutkan dengan pengertian judul sebagai gambaran untuk
menghindari terjadinya interpretasi yang luas dalam judul skripsi ini, kemudian mengetengahkan
metode penelitian dan tujuan dan kegunaan penelitian serta diakhiri dengan garis-garis besar isi skripsi.
Pada Bab II, dikemukakan tentang biografi Emile Durkheim yang memuat; latar belakang kehidupannya,
karya-karyanya, dan metodologi pemikiran sosiologinya.
Pada Bab III, sebagai pembahasan inti skripsi ini, yang mengemukakan tentang corak moralitas sosial
Emile Durkheim yang memuat; pengertian moralitas, dilanjutkan dengan unsur-unsur moralitas dan
beberapa persoalan prilaku moralitas sosial yang dianggap suatu permasalahan yang banyak terjadi
pada masanya (lingkungannya).
Pada Bab IV, sebagai Bab pembahasan tentang tanggapan etika Islam (akhlak) mengenai pemikiran
Durkheim yang meliputi; persoalan manusia dan moralitas perbuatannya, dilanjutkan dengan tanggapan
etika Islam tentang unsur-unsur moralitas dan etika Islam dan prilaku moral kehidupan.
Pada Bab V, sebagai Bab penutup dalam penulisan skripsi ini, dimana penulis mengemukakan beberapa
kesimpulan yang dapat dijadikan landasan berpikir dan penelitian serta saran-saran sebagai rangkaian
dalam skripsi ini.
[1]Lihat W. Poespoprodjo, L.HP, Filsafat Moral; Kesusialaan Dalam Teori dan Praktek (Cet. II; Bandung:
Komadja Karya, 1988), h. 19
[2] P. Leenhouwers, Men Zijn Een Opgave! Op Weg Mec Zichzelf, diterjemahkan oleh K,J. Veeger dengan
judul “Manusia dalam lingkungannya; Refleksi Filsafat tentang manusia (Jakarata : Gramedia,1988), h. i
[3]Lihat K. Bertens, Panorama Filsafat Moderen (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 186-187
[4]Lihat L. Laeyerdecker, Tata, Perubahan dan Ketimpangan ;Suatu Pengantar Sejarah Sosiaologi (Cet. II;
Jakarta: Gramedia,1991), h. 1-32
[5]Lihat Ibid., h. 38-43
[6]Lihat P. Leenhouwers, op.cit., h. 260-260
[7]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), h. 7
[8]K.J. Veeger, Realitas Soaial; Refleksi Filsafat Atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala
Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1990), h. 175
[9]Tufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 3 disadur dari buku Durkheim, The Division in
Society, h. 33
[10]Imam Malik Ibnu Anas ra., Al-Muwaththa’ (Bairut: Darul Al-Kabil, 1414 H), h. 789
[11]Ensiklopedia Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Ichtiar Baru – Van Houve, 1983), h. 2288
[12]Lihat W. Poespoprodjo L. PH., op.cit., h. 102
[13]Franz Magnis Suseno, et.all., Etika Sosial; Buku Panduan Mahasiswa PBI-PBVI (Cet. III; Jakarta:
Gramedia, 1993),h. 9
[14]Lihat Robert C. Solomon, Ethics; a Brief Intrrudaction, dialih Bahasakan oleh R. Andre Karo-karo
dengan judul “Etika; Suatu Pengantar” (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 78
[15]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 855
[16]Ibid., h. 860
[17]Lihat ibid., h. 32
[18]Lihat ibid., h. 242. Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata philo berarti
“cinta” dan sophia berarti “ilmu pengetahuan”, sehingga kedua kata tersebut dirangkai menjadi
philosophia yang bermakna “cinta ilmu pengetahuan”. Lihat Louis O. Kattsoff, Elements of Philosophy,
dialih bahasakan oleh Soejono Soemargono dengan judul “Pengantar Filsafat” (Cet. V; Yokyakarta: Tiara
Wacana Yokya, 1992), h. i lebih lanjut Filsafat bermakna berpikir secara mendalam tentang hakikat
segala sesuatu sampai pada akar-akarnya. Ibid., h. 3-16
[19]Franz Magnis Suseno, et.all., loc.cit.
[20]Depaetemen Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jilid I (Jakarta: CV. Anda Utama, 1992), h.
104
[21]Lihat Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid IV (Cet. I; Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), h.430-431
[22]Lihat Ridwan Tang, Metodologi Research; Suatu Himpunan Kuliah (Ujungpandang: Fak. Ushuluddin
IAIN Alauddin UP., 1993), h. 20
[23]Lihat H. Hadari Nawawi dan H. M. Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosiologi (Cet. II;
Yokyakarta: Gaja Mada University, 1995), h. 66
[24]Lihat Sutrisno Hadi, Metodologi Resesarch, Jilid I (Cet XXVII; Yokyakarta: Andi Offset, 1994), h. 36-49
BAB II
BIOGRAFI EMILE DURKHEIM
A. Latar Belakang Kehidupannya.
Pergolakan revolusi Eropa membawa dampak yang sangat menyensarakan tatanan kehidupan,
utamanya persoalan sosial menjadi ambruk saat itu, melihat hal ini, muncul berbagai tokoh-tokoh
sosiologi yang menentang berbagai konsep, utamanya konsep yang beranggapan bahwa individu
sebagai dasar terbentuknya tatanan kehidupan sosial.[1] Dari realitas pergolakan jalannya kehidupan
dari hari-kehari, justru konsep yang demikian itu membawa masyarakat terpecah-pecah, persatuan dan
keutuhan masyarakat terancam hancur, karena konsep individualis yang semuanya mengandalkan dirisendiri dan yang paling diutamakannya, serta sifat toleransi semakin menipis.
Kondisi semacam ini, tampillah salah seorang tokoh yang bernama Emile Durkheim, dilahirkan 15 April di
Epinal[2] tahun 1858, anak dari seorang Rabbi.[3] Daerah tersebut lebih dikenal dengan kota kecil
Lorraine, mereka adalah keluarga besar Yahudi Perancis.[4]
Pada awal perkembangannya, dalam studinya Ia mula-mula belajar teologi, karena Ia berkeinginan
menjadi seorang pendeta Yahudi (rabbi), karena pengaruh seorang guru wanita Katolik, Ia cenderung
kearah bentuk mistik Katolisme, tetapi akhirnya Ia menjadi penganut agnotisisme. Pada umur 18 tahun,
Ia pergi ke Paris guna mempersiapkan diri untuk masuk Ecole Normale Supereriure. Tahun 1878, Ia
mengikuti ujian bersama dengan Bergson, tetapi Ia ditolak, setelah setahun kemudian Ia lulus dan
belajar selama 4 tahun di lembaga tersebut, tapi Ia tidak merasa bahagia di tempat itu, karena beberapa
pengajar yang menurutnya dibawah standar dan bergaya literer dan kurang eksakta, tiga tahun
kemudian ia lulus pada urutan ke-2 dari belakang.[5]
Pada tahun 1882 setelah lulus, Ia menjadi guru sekolah menengah, kemudian Ia belajar filsafat di Jerman
walaupun tidak jelas kapan Ia mulai, dan di mana, namun Ia tertarik pada karya-karya ahli-ahli filsafat
seperti Auguste Comte, F. de Coulenges, C.H. Smint Simon, Ia juga belajar karya-karya psikologi Wundt
dan Herbert Spencer, dalam tahun 1887, Ia menjadi Dosen ilmu sosiologi di Universitas Bordeaux[6] dan
mencapai gelar Professor dalam ilmu sosial dan pedagogi.[7] Dan pada tahun 1889, Ia bersama
beberapa muridnya membina kelompok stady dan menerbitkan majalah I’Annee Sociologique dan
pimpinannya beliau sendiri, sampai pada tahun 1902, Ia berangkat ke Paris untuk mengganti gelar guru
besar dalam ilmu pedagogi di Sarbonne dan diangkat sebagai guru besar di perguruan tinggi I’Ecole
Normale Superieure.[8]
Kelompok studi yang dibimbingnya tetap aktif dan sampai tahun 1912, Ia menulis karya-karya penting
yang menyangkut unsur-unsur elementer dari kehidupan ke-agamaan, yang banyak mempengaruhi
pemikiran-pemikiran para sarjana sosiologi dan sarjana antropologi pada masa itu.[9]
Pada tahun berikutnya (1913), untuk pertama kalinya ke Eropa dan dalam surat tugas mengajarnya
disertai dengan kata sosiologi[10] untuk memberikan keterangan bahwa beliau adalah geru besar yang
menangani mata kuliah sosiologi di Universitas di Eropa, sampai pecahnya perang dunia ke-1. Ia
menghentikan aktivitas kelompok studinya, dikarenakan banyak anggota kelompok studi tersebut
dipanggil masuk dinas militer (tentara), dan banyak di antara mereka gugur di medan perang, termasuk
anak Durkheim yang bernama Andre Durkheim, akibat peristiwa kematian putranya, Durkheim sangat
shock mendengar kabar tersebut dan sangat mempengaruhi kesehatannya, kepedihan hatinya tidak
dapat Ia atasi, sehingga sampai tahun 1917 Ia meninggal dunia dikarenakan serangan jantung.[11]
Demikian perjalanan hidupnya, beliau dikenal sebagai tokoh sosiologi Perancis yang ke-2 setelah
Auguste Comte,[12] bahkan Durkheim sendiri menyatakan bahwa Comte adalah guru sosiologinya,
namun perlu diklarifikasi bahwa Comte banyak dihadapkan pada implikasi sosial revolusi Perancis yang
amat luas, maka Durkheim dihadapkan pada akibat-akibat yang ditimbulkan perang tahun 1870 antara
negaranya dengan Prusia, yaitu pada saat Republik ke-3 Perancis membutuhkan kembali konsilidasi
sosial.[13]
Dalam pemikiran Durkheim dapat kita lihat atas pengaruh Comte dalam analisis fungsional dan analisis
historis yang tidak lain dari pada pembagian Auguste Comte tentang statika dan dinamika sosial, hal ini
dapat disinyalir bahwa pengaruh Comte dalam konsep filsafat positivisme terhadap Durkheim, demikian
juga mengenai “masyarakat” dapat kita lihat sebagai berikut:
“Banyak kaitan antara pandangan Auguste Comte dengan pandangan Durkheim mengenai masyarakat,
baik yang mengenai segi-segi teoritis maupun praktis. Sebagaimana yang dirintis Auguste Comte, juga
Durkheim memandang masyarakat itu sebagai kenyataan tersendiri. Masyarakat bukanlah sekedar
perjumlahan para individu, meskipun masyarakat tadi tidak dapat dilepaskan dari para individu yang
merupakan unsur-unsur dari padanya. Masyarakat bukanlah sesuatu yang transendent, juga bukan
sesuatu yang metafisik, melainkan “natur” dan tempat di mana kebudayaan berkembang. Melalui mata
simbol-simbol, norma-norma moral, bahasa dan lain sebagainya”.[14]
Pada awal karirnya, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Herbert Spencer, misalnya: Ia memakai
istilah protoplasma sosial, tetapi segera Ia sampai kepada suatu pengertian hidup bermasyarakat yang
lebih seimbang, di mana ia melihat masyarakat dalam kehidupan, membutuhan suatu tatanan yang baik
dari suatu tatanan masyarakat (kolektifitas) dan masyarakat dimengerti sebagai “realitas sui generis”
(memiliki corak tersendiri).[15]
Dalam berbagai referensi belum didapatkan informasi yang lengkap mengenai tokoh-tokoh yang banyak
mempengaruhi pemikirannya, namun dapat kita mengerti bahwa ketertarikan seseorang atas suatu
pemikiran belum tentu konsep tersebut mempengaruhi intelektual seseorang, karena perkembangan
intelektual seseorang dipengaruhi oleh perkembangan analisisnya terhadap sesuatu yang ada.
Dalam berbagai karya Durkheim memonopoli di Perancis, yang setelah perang dunia ke-2, pengaruhnya
di Amerika Serikat juga semakin meningkat,[16] demikian halnya di Jerman, pada masa hidupnya karyakaryanya hampir tidak perna dipelajari, pengaruhnya mulai tampak setelah Anglo Saxon karya-karyanya
tersedia dalam terjemahan-terjemahan dan ini terjadi menjelang akhir tahun tiga puluhan.[17] Dan
bahkan sampai sekarang di negara kita (Indonesia) kata Drijarkara S.J, juga mempunyai pengaruh,
meskipun dengan tidak sengaja.[18]
Karya-karya Emile Durkheim.
Manusia diciptakan di permukaan bumi ini, karena manusia memiliki potensi untuk berkarya dengan
bekal utama yang diberikan Tuhan adalah akal untuk mengelola dan memelihara alam di sekitarnya,
dengan demikian cipta, rasa dan karya serta karsa bergejolak dalam pandangan akal yang sehat,
sehingga lahirlah berbagai karya.
Demikian halnya dengan Durkheim, sepanjang hidupnya selama kurang lebih 59 tahun, telah
menghasilkan beberapa karya yang mampu memberikan sumbangan wawasan intelektual yang cukup
besar dalam ilmu sosiologi, demikian karya-karyanya sebagai berikut:
Tahun 1893 membuat karya yang berjudul “De la Division du Travail Social: Edute Des Societes
uperieurs” pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1933 dengan judul The Division of
Labor in Society terjemahan George Simpson, New York: The Free Press.[19] First Published as De la
Division du Travail Sicial.[20] (Tentang Pembagian Kerja Sosial).
Tahun 1895 Ia menulis buku tentang “Peraturan Metodologi Sosiologi” [21] dengan judul “Les Regles
de la Methode Socioloqique”. Pertama kali terbit dalam bahasa Inggris tahun 1938 dengan judul “The
Rulles of Sociological Method” diterjemahkan oleh Sarah A. Solovay and John M. Meuller, New York:
Free Press.[22]Tahun 1958 “The Rules of Socilogical Method” 8 th. Ed. Edited by Ge George E.G. Caltin.
Glencoe, III; Free Press – First Published in French.[23]
Tahun 1887[24] tahun 1877[25] menghasilkan karya tentang “bunuh diri” dengan judul “Le Suicide de la
Methode Sociologigue”, pertama terbit dalam bahasa Inggris tahun 1951. Suicide: A Study in Sociology,
terjemahan John a. Spaulding and George Simpson, Glencoe: Free Press, sedangkan dilain buku
diterbitkan pada tahun 1897.[26]
Tahun 1896 menerbitkan majalah I’Annee Sociologigue di mana Ia menulis berbagai resensi buku dan
artikel.[27]
Tahun 1898 menghasilkan karya tentang sosiologi dan filsafat dalam salah satu buku yang berjudul
Sociologigue et Philosophie yang tahun 1953 diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Sociology
and Philosophy” Glencoe, III: Free Press–Written Between 1898-191. First Published in French in
1924.[28]
Tahun 1899 Ia menghasilkan buku yang diterbitkan tahun 1960 “Prefaces to L’ annee Sociologigue:
Prefuce to Volume 2” Pages 347-353 M Kart H. Wolff (Editor), Emile Durkheim, 1858-1917; A Collection
of Essays With Translation and a Biography. Columbus, Ohio State Univ.Perss.[29]
Tahun 1902 Ia menghasilkan buku I’Education Morale (pendidikan Moral),[30] yang tahun 1961 dengan
buku “moral education: A Study in The Ory and Application of The Sociology of Education. New York:
Free Press – Lectures First Published in Franch.[31]
Tahun 1902[32] menulis buku tentang “Bentuk-bentuk Primitif Klasifikasi” bersama muridnya M. Mauss
dan tahun 1903[33] yang diterbitkan dalam bahasa Inggris pada tahun 1963 “Durkheim and Mauss,
Marcel., Primitive Classification. Translaed and Edited by Rodney Needham. Univ. of Chicago Pres – First
Published as “De Guelgues Formes Primitivesde Classification” in L’Annee Sociologigue.
Tahun 1906 menghasilkan karya, yang tahun 1953 diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “The
Determination of MoralFacts” Glencoe, III; Fre Press – First Published in Franch.[34]
Tahun 1911 menghasilkan karya yang tahun 1953 diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul “Value
Judgments and Judgments of Reality”. Pages 80-97 in Emile Durkheim Sociology and Philosophy.
Glancoe, III; Free Press – First Published in Franch.
Tahun 1912 menghasilkan karya tentang bentuk-bentuk elementer kehidupan religius dengan judul “Les
Formes Elementaires de la Vio Religieuse”,[35] yang diterbitkan tahun 1954 dalam bahasa Inggris
dengan judul “ The Elementary Forms of The Religions Life”, Allen and Unwin: Macmillan - First
Published as Les Formes Elementaires de La Vie Religieuse, le Systeme Totenigue en Australie. A
Paperbeck Edition Was Published in 1961 by Coller.[36]
Demikian pula karya-karyanya yang dihasilkan selama hidupnya yang tidak jelas data yang penulis
temukan sebagai berikut:
Education et Sociologigue (Pendidikan dan Sosiologi)
I‘Evolution Pedagogigue en France (Evolusi Pedagogi di Prancis)
La Socialisme et Saint – Simon (Sosialisme dan Saint – Simon)
Lecons de Sociologie (Pelajaran Sosiologi)
Monstesguieu et Roysseau
Pragmatisme et Sociologie (Pragmatisme dan Sosiologi)
Quia a Voulu la Guerre (Siapa menghendaki Perang)
I’Allemague au Dessus de Tout (Jerman diatas Segalahnya)[37]
Demikian berbagai karya-karya Durkheim yang dihasilkannya sepanjang masa hidupnya namun berbagai
karyanya tidak dapat dihasilkan (diterbitkan) semasa Ia hidup, namun demikian karya-karyanya setelah
beliau meninggal tidak menghalangi pengikut-pengikutnya untuk mengangkat di permukaan perdebatan
ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang sosiologi untuk dijadikan bahan penambah wawasan para
intelektual semasanya maupun sesudahnya.
B. Metode Pemikiran Sosiologinya.
Berbagai akibat-akibat yang ditimbulkan oleh revousi Perancis, benar-benar membawa situasi
keterpurukan tatanan sosial di Perancis dan perdebetan-perdebatan dalam persoalan sosial semakin
semarak, utamanya perdebatan persoalan kekacauan dan ketidakberesan masyarakat disebabkan oleh
konsep individualisme, membawa Durkheim melihat kenyataan yang terjadi, sehingga Ia cenderung
pada suatu filsafat sosial, di mana keseluruhan berkuasa atas bagian-bagiannya dan masyarakat atas
anggota-anggota individual.
Pendirian Durkheim nampak nyata dan jelas sekali dalam salah satu kutipan buku karangannya:
“Kalau kita menerima kenyataan bahwa keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek sosial disampaikan
kepada kita dari luar…kita tidak boleh menarik kesimpulan bahwa kita menerima mereka dengan pasif
saja dan tanpa modifikasi. Waktu kita diperkenalkan dengan pranata-pranata kolektif dan membuktikan
mereka, kita mengindividualisir mereka dengan mengisi mereka dengan ciri-ciri yang kurang bersifat
pribadi…Dari itu dapat dikatakan bahwa kita masing-masing menghasilkan moralitas, agama dan cara
hidup kita sendiri. Tidak ada orang yang menyesuaikan diri seluruhnya kepada suatu tata sosial dengan
tidak memasukkan sejumlah pariasi-pariasi individu.[38]
Dengan membicarakan metodologi, maka terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah mengetahui
objek sosiologi Durkheim yang sangat paling penting, agar kita tidak keliru dalam melihat apa yang
disampaikan dalam pembahasan ini. Durkheim dalam upayahnya berusaha agar sosiologi di tempatkan
pada ilmu pengetahuan yang mandiri, tidak tergantung pada ilmu biologi dan psikologi maupun filsafat.
Dalam usaha tersebut, objek sosiologi yang di-maksudkan adalah “fakta sosial” ialah cara-cara bertindak,
berpikir, dan merasa apa yang ada di luar individu dan yang memiliki daya paksa atas dirinya,[39]
(perilaku sosial), hal ini dimaksudkan agar sosiologi memiliki kapasitas sebagai ilmu yang mandiri,
karena pada awalnya fakta sosial kadang diartikan dalam arti umum, sehingga sosiologi tampak
tercampur adukkan dengan psikologi, biologi dan ilmu-ilmu lainnya. Durkheim menyarankan agar cara
berpikir, hendaknya tidak rancu dengan gejala-gejala psikologi yang hanya ada dalam kesadaran pribadi
tetapi sosiologi ada pada kesadaran sosial. Fakta sosial adalah penggambaran dan perbuatan-perbuatan,
tapi fakta-fakta ini bukan fakta fsikis, karena fakta psikis hanya ada dalam individu sedangkan fakta
sosial berada pada di luar individu secara terpisah, sekalipun hal itu tidak dapat dilepaskan dari individu
secara bersama-sama, tetapi Durkheim merumuskannya sebagai otonom yaitu sebagai realitas yang
merupakan jenis tersendiri.[40]
Untuk lebih jelasnya Durkheim memberikan gambaran agar kita mudah memisahkan diantaranya
sebagai berikut:
“Fakta fsikis mempunyai subtratum material, ialah sel-sel otak dan proses-proses psikologis, tetapi
fakta-fakta itu tidak identik dengan subtratum itu. Fakta-fakta fsikis itu tidak sama sekali otonom, sebab
tanpa proses-proses di dalam subtansi otak, maka berpikir tidak mungkin sama sekali. Hal yang sama
sebagai perbandingan, berlaku pada fakta sosial. Fakta sosial mempunyai subtratum, yaitu individuindividu dalam hubungannya satu sama lain. Tanpa kembali kepada subtratum itu, pikiran yang ada di
belakang semua ini ialah bahwa keseluruhan adalah lebih dari pada jumlah bagian-bagiannya.[41]
Kemudian persoalan metodologi, dari berbagai tokoh yang hidup dalam suatu lingkungan intelektualnya,
mereka menggunakan metode dalam sistimatika pemikirannya, hal yang sama dengan Durkheim, dalam
menganalisa suatu realitas dalam hubungannya dengan sosiologi (fakta sosial) memiliki metode sosiologi
yang khusus, dalam hal ini dirumuskannya agar sosiologi dapat dianggap sebagai ilmu pengetahuan
tersendiri seperti ilmu alam lainnya.
Sepanjang waktu, perhatian utama yang Ia curahkan adalah bagaimana membuat suatu rumusan
metode dalam sosiologi, dan sampai pada kesimpulannya Ia telah menetapkan rumusan yang akhirnya
menjadi acuan bagi murid-muridnya, rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
Sosiologi harus bersifat ilmiah.
Dalam metode ini, Durkheim sepenuhnya memisahkan sosiologi dari ketergantungan filsafat, dengan
alasan bahwa sosiologi lahir dalam lingkungan ajaran filsafat, maka terdapat kecenderungan untuk
mengandalkan beberapa sistem filsafat, sehingga larut dalam sistem tersebut. Olehnya itu, sosiologi
harus bersifat ilmiah dalam arti bersifat positivisme, evolusioner, dan idealistis,[42] sehingga cukup
memenuhi syarat sebagai suatu metode sosiologi.
Sebagaimana yang penulis telah uraikan sedikit pada bab I, dalam pendekatan metodelogi positivisme,
Durkheim mirip dengan Auguste Comte dalam hal ini, Comte dalam positivisme yang dirintisnya dapat
kita ketahui dengan berdasar pada filsafat positif, di mana ia berangkat dari apa yang kita telah ketahui,
faktual yang positif. Hal ini nyata bahwa apa yang ada di luar apa yang ada, sebagai fakta atau
kenyataan harus dikesampingkan, olehnya persoalan metafisik ditolaknya.
Demikian positivisme diuraikan untuk mendapatkan pengertian yang jelas, maka akan nampak kepada
kita hal di bawah ini, suatu uraian tentang positivisme, sebagai berikut:
“Apa yang diketahui secara positif adalah segala yang tanpak, segala gejala. Demikianlah positivisme
membatasi filsafat dan ilmu pengetahuan pada bidang gejala-gejala saja. Apa yang dapat kita lakukan
adalah segala fakta, yang menyajikan diri kepada kita sebagai pemampakan atau gejala, kita terima
seperti apa adanya. Sesudah itu kita berusaha mengatur fakta-fakta tadi, kita mencoba melihat kemasa
depan, apa yang akan tanpak sebagai gejala dan menyesuaikan diri dengannya. Artinya segala ilmu
pengetahuan ialah mengetahui untuk dapat melihat kemasa depan.[43]
Jadi dapat dipahami bahwa kita hanya mengkonstatir fakta-faktanya dan menyelidiki hubunganhubungannya yang satu dengan yang lainnya, hal ini bertitik tolak pada pengalaman yang objektif, tidak
seperti empirisme yang juga menerima pengalaman-pengalaman batiniah (subjektif).
Demikian halnya dengan Comte memberikan kejelasan mengenai cara kerja positivisme, yang dijelaskan
dalam batasan-batasan pengertian positif dalam karyanya “Discours Sur Lesprit Positif” sebagai berikut:
Sebagai lawan atau kebalikan yang bersifat khayalan, sehingga postivisme dalam menyelidiki
sasarannya, didasarkan pada kemampuan akal.
Sebagai lawan dari sesuatu yang tidak bermafaat, sehingga segala sesuatu harus diarahkan kepada
pencapaian kemajuan dan bermafaat bagi kepentingan orang banyak.
Sebagai lawan sesuatu yang meragukan, artinya positif adalah pensifatan sesuatu yang sudah pasti,
sehingga harus sampai pada keseimbangan yang logis dan membawa kebaikan bagi setiap individu dan
masyarakat.
Sebagai lawan dari sesuatu yang kabur, jadi positif adalah sesuatu yang jelas dan tepat, sehingga positif
harus memberikan pengertian yang jelas mengenai gejala yang nampak dan mengenai apa yang
sebenarnya.
Sebagai lawan dari yang negatif, jadi positif adalah sesuatu yang pasti (positif), dipergunakan untuk
menunjukkan sifat-sifat pandangan filsafat yang selalu mengarah pada penataan atau penertiban.[44]
Dari pengertian di atas, Auguste Comte ingin memperlihatkan ciri khas positivisme dan metode dalam
kerangka kerjanya yang berbeda dengan filsafat lama yang bercorak teologis dan metafisis, demikian
halnya dengan Durkheim yang memiliki unsur pikiran yang banyak mempengaruhi sistimatika kerangka
rasionalnya dalam menjelaskan fakta yang dijumpainya atau dipecahkannya.
Telah tergambar persoalan Durkheim dalam berilmiah mengenai metode sosiologinya, hal ke-2 dalam
berilmiah Ia juga memakai pemikiran evolusioner, karena Ia sangat menolak teori revolusi yang
dianggapnya tidak membawa mamfaat yang justru memperburuk keadaan kehidupan masyarakat,
dapat dipahami bahwa evolusioner akan kembali pada pembahasan di atas, di mana manusia dalam
kehidupannya berjalan secara alami, karena proses alamiah yang berlaku, sesuatu yang tidak dapat kita
hindari, maka manusia akan belajar dari historis yang mereka lihat, dengarkan atau yang mereka alami,
maka pengalaman sangatlah berpengaruh, olehnya dapat dijelaskan dalam positivisme yang telah kita
singgung di atas dan sangat jelas tampak kepada kita hal ini seperti halnya moral terlibat dalam proses
historis yang bersifat evolusi, artinya berubah sesuai dengan struktur sosial.[45]
Lebih lanjut akan evolusi, kita teringat Charles Darwin yang dikenal dengan teori evolusinya dalam kanca
intelektualitas, menurutnya, evolusi adalah proses peningkatan yang mengarak tercapainya keadaan
yang lebih sempurna, Hobhouse menjelaskan bahwa dalam indikator objektif pada suatu masyarakat
yaitu antara lain: 1) Besarnya masyarakat, 2) Efesiensi masyarakat, 3) Besarnya kebebasan yang
diberikan kepada anggota masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan lain-lain.
Lebih lanjut Hobhouse mengatakan, proses evolusi masyarakat berjalan sejajar dan seiring dengan
proses prasionalisasi kehidupan yang makin besar.
Darwin menguaraikannya sebagai berikut:
Pada permulaan bumi, segala makhluk organis tidak dengan serentak dijadikan menurut jenis mereka
masing-masing. Mereka adalah hasil proses adaptasi, perubahan, dan evolusi.
Evolusi tidak terjadi dengan mengarah pada suatu tujuan (causa finalis) yang telah dirancang sejak
semula. Melainkan adaptasi pada lingkungannya. Kondisi lingkungan faktor-faktor kebetulan material
telah menentukan arah evolusi dan hasil yang dicapainya.
Proses evolusi berlangsung dalam empat sistem yaitu:
Struggle for life yaitu persaingan yang ketat untuk saling mengalahkan demi untuk hidup.
Survival Sof the fittest yaitu organisme-organisme yang lemah akan mati sebelum mampu
mempergandakan diri.
Natural selection yaitu pilihan alam atau alam mengadakan seleksi.
Progress yaitu peningkatan mutu semua organisme.[46]
Spencer mengamalkan teori Darwin (evolusi), masyarakat disamakan dengan suatu organisme yang
menurutnya:
“Masyarakat adalah organisme! Semua gejala sosial diterangkan berdasarkan suatu penentuan oleh
hukum alam. Hukum yang memerintah atas proses evolusi sosial. Manusia tidak bebas dalam hal ini, ia
memainkan suatu peranan bebas dalam mengembangkan masyarakat.[47]
Dari beberapa komparatif pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemikiran evolusionistik (proses
alam), yang terjadi dalam kehidupan tidaklah berbeda dengan apa yang ada pada Durkheim, yang
menganggap salah satu bentuk evolusi adalah proses masyarakat dari suatu sistem mekanik kepada
masyarakat organik. Namun perlu dicatat, pemikiran Durkheim dalam hal ini, memang banyak melihat
dari tokoh-tokoh tersebut, walaupun penulis tidak mengatakan bahwa pemikiran Durkheim dipengaruhi
olehnya secara seratus persen, karena pemikiran seseorang juga mengalami proses evolusi yang sangat
erat kaitannya dengan lingkungan yang memberikan sumbangan terhadap diri sendiri.
Metode sosiologi harus bersifat objektif.
Dalam menganalisa beberapa fakta realitas, seorang sosiolog perlu kiranya tidak terpengaruh oleh
berbagai pemikiran yang cendrung pada suatu kepentingan kelompok atau masyarakat tertentu,
hendaknya ia dapat melihat secara murni, demikian Durkeim melihat bahwa ia memasuki alam gejala
sosial, suatu wilayah yang belum dikenal, sehingga Ia harus bersifat polos, tidak berperasangka atau
beranggapan dan tidak terpengaruh oleh berbagai pemikiran yang menyimpang, ia harus mempunyai
“one certaine attitude mentar” yang hanya menyambung pada pengalamannya.[48] Sehingga dalam
melihat gejala sosial, dicirikhaskan oleh dua hal, yaitu exteriority (sifat luaran) dan constraint (paksaan),
hal ini membawa pendirian dalam menganalisa suatu fakta (objek) sama dengan mengamati objek-objek
yang lain dari alam benda-benda.
Hal yang dimaksudkan adalah sifat luaran dan sifat memaksa dari realitas sosial, sebagai hal yang
menarik perhatian, sehingga kedua sifat tersebut dapat dipakai sebagai definisi sementara dan titik
tolak metodologis untuk penelitian selanjutnya. Lebih lanjut Durkjheim dalam hal ini mengatakan:
“Para sosiolog, harus mengesampingkan segala prakonsepsi mengenai fakta, sehingga dapat
menghadapi fakta itu secara langsung. Juga telah ditunjukkan bagaimana para sosiolog harus dapat
membedakan unsur-unsur fakta menurut klasifikasi fakta yang normal dan patologis. Para sosiolog harus
memiliki prinsip yang sama dalam menjelaskan fakata yang ditelitinya dan bagaimana menguji
penjelasan-penjelasan itu. mereka hendaknya tidak lagi terpengaruh oleh pemikiran yang bersifat
ulitarium atau melakukan penalaran silogistis dan meyadari adanya kesenjangan antara sebab dan
akibat. suatu hal merupakan suatu kekuatan yang hanya dapat di kembangkan oleh kekuatan yang lain.
Dengan demikian dalam mengadakan penelitian terhadap fakta sosial, yang harus diungkapkan adalah
energi yang memproduksi fakta sosial itu.oleh karena itu penjelasan yang diberikan harus bersifat khas,
hal mana juga belaku bagaimana caranya mengadakan verifikasi. Kalau gejala sosiologi hanya
merupakan suatu sisitim gagasan yang diobjektifkan, maka dalam mejelaskannya diperlukan pemikiran
kembali mengenai tertib logisnya, dan penjelasan itu sendiri merupakan bukti, walaupun dalam hal
tertentu diperlukan contoh-contoh untuk memperkuatnya.[49]
Comte sependapat dalam hal ini, sebagaimana telah disinggung terdahulu dalam corak positivisme,
objektifitas dalam melihat fakta yang ada, hanya kita klarifikasi apa yang tampak secara nyata dan pasti,
itulah yang dapat kita ambil dan hal yang subjektif hendaklah kita kesampingkan. Jadi fakta sosial harus
dilihat dari sebelah luar, dan diterangkan secara kausal.
Lebih lanjut Durkheim menjelaskan, fakta sosial dirumuskannya sebagaimana yang diuraikan oleh L.
Laeyendecker sebagai berikut:
“Fakta sosial harus diperlakukan sebagai benda, Durkheim tidak bermaksud mengatakan bahwa faktafakta sosial itu benda, walaupun rumusan seperti itu perna ditulisnya, menurut Durkheim, fakta sosial
harus dipandang dalam kwalitasnya seperti yang diberikan dalam pengamatan dan bukannya sebagai
sesuatu yang dapat dikejar dengan intropeksi, selain itu fakta sosial tidak dapat diubah dengan kemauan
semata-mata. Fakta sosial ini memberikan perlawanan seperti yang dilakukan oleh benda-benda, hal
mana berbeda dengan gambaran-gambaran dalam batin yang dapat diubah-ubah sekehendak hati. Jadi
misalnya, fakta-fakata sosial dapat dihitung dan dinyatakan dalam statistik.[50]
Hal di atas dimaksudkan oleh Durkheim adalah perlakuan yang demikian, agar orang dapat mengambil
jarak emosional, berbeda kita memahami manusia (masayarakat), lebih baik kita mendekatinya dengan
simpati untuk mengetahui apa yang menyibukkannya. Tetapi fakta sosial harus dengan cara
memberikan pengertian-pengertian yang tepat yang tidak selalu tersedia secara langsung, perlu
pemikiran klasifikasi berulang-ulang kita melihatnya dari luar dan kita dapat lepas dari manifestasimanifestasi individualnya.
3. Metode sosiologi harus ekslusif bersifat sosiologis.
Sosiologi dalam memperlihatkan kematangan dan kemandiriannya, maka sebagai suatu ilmu
pengetahuan, hendaknya Ia terpisah dan tidak tercampur adukkan dengan ilmu pengetahun lain, seperti
yang telah diterangkan terdahulu. Sosiologi hendaknya tidak bercampur dengan psikologi, filsafat atau
dengan yang lainnya, agar memperlihatkan kematangannya yang menjadi ciri khasnya serta dipandang
matang untuk disebut sebagai salah satu disiplin ilmu.
Demikianlah yang telah dirintis oleh Comte dan lebih diperjelas (diperluas) oleh Durkheim dalam
membentuk sosiologi menjadi suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai metode tersendiri dalam
mengungkapkan kasus-kasus sosial, maka dari itu ia membuat suatu batasan metode yang telah
tersebut di atas, lebih lanjut Durkheim menjelaskan bahwa:
“Fakta sosial hanya dapat dijelaskan oleh fakta sosial lainnya, hal mana dimungkinkan dengan cara
menonjolkan fakta pokok dalam evolusi kolektif, pada lingkungan sosial internal. Dengan demikian,
maka sosiologi merupakan suatu ilmu yang mandiri. Perasaan adanya kekhususan relaitas sosial,
sedemikian pentingnya bagi orang sosiolog, sehingga hanya latihan-latihan keterampilan sosiologis yang
akan dapat mempersiapkannya untuk dapat menelaah fakta sosial secara intelektual”.[51]
Sebenarnya dapat kita cermati bahwa pada gagasan pertama dan yang kedua merupakan penampakan
ciri khas sosiologi yang dirintis oleh Durkheim, maka terlihatlah apa yang dimaksud metode sosiologi
yang diperjuangkan oleh Durkheim pada masa itu, dan ini sangatlah penting karena sisitimatika
pemikiran Durkheim berakar pada konseptual yang dibuatnya.
Itulah metode sosiologi Durkheim, yang mungkin akan nampak lebih rumit sedikit dari metode yang
telah ada terdahulu dan sudah berakar dikalangan sosiolog, namun hal ini rumit karena belum berakar
pada intelektual seseorang. Tidaklah menutup kemungkinan terjadi suatu perbedaan dan kritikan pada
konsep Durkheim, seperti yang terjadi setelah Durkheim memperkenalkan gagasannya di dalam
percaturan ilmu pengetahuan dan intelektualitas pada masanya, tetapi perlu dipikirkan bahwa suatu
ilmu tidak akan mapan tanpa kritikan dari yang lainnya, dan itulah usaha Durkheim yang memang patut
kita syukuri, dimana banyak memberikan tambahan wawasan intelektual pada para penganut sosiolog.
BAB III
CORAK MORALITAS SOSIAL EMILE DURKHEIM
A. Pengertian Moralitas.
1.Pengertian menurut bahasa.
Moralitas berasal dari kata dasar “moral” berasal dari kata “mos” yang berarti kebiasaan, kata
jumlahnya “mores” yang berarti kesusilaan, dari “mos”, “mores” adalah kesusilaan, kebiasaan.[52]
Sedangkan “moral” adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban dan lain-lain; akhlak budi pekerti; dan susila.[53] Kondisi mental yang membuat orang tetap
berani; bersemangat; bergairah; berdisiplin dan sebagainya.
Moral secara etimologi diartikan: a) Keseluruhan kaidah-kaidah kesusilaan dan kebiasaan yang berlaku
pada kelompok tertentu, b) Ajaran kesusilaan, dengan kata lain ajaran tentang azas dan kaidah
kesusilaan yang dipelajari secara sistimatika dalam etika.[54] Dalam bahasa Yunani disebut “etos”
menjadi istilah yang berarti norma, aturan-aturan yang menyangkut persoalan baik dan buruk dalam
hubungannya dengan tindakan manusia itu sendiri, unsur kepribadian dan motif, maksud dan watak
manusia.[55] kemudian “etika” yang berarti kesusilaan yang memantulkan bagaimana sebenarnya
tindakan hidup dalam masyarakat, apa yang baik dan yang buruk.[56]
Moralitas yang secara leksikal dapat dipahami sebagai suatu tata aturan yang mengatur pengertian baik
atau buruk perbuatan kemanusiaan, yang mana manusia dapat membedakan baik dan buruknya yang
boleh dilakukan dan larangan sekalipun dapat mewujudkannya, atau suatu azas dan kaidah kesusilaan
dalam hidup bermasyarakat.
2. Pengertian menurut istilah.
Secara terminologi moralitas diartikan oleh berbagai tokoh dan aliran-aliran yang memiliki sudut
pandang yang berbeda, namun kenyataannya dapat kita lihat di bawah ini, sebagai berikut:
Franz Magnis Suseno menguraikan moralitas adalah keseluruhan norma-norma, nilai-nilai dan sikap
seseorang atau sebuah masyarakat.[57]
W. Poespoprodjo,[58] moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata
bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk atau dengan kata lain moralitas mencakup
pengertian tentang baik buruknya perbuatan manusia.
Lebih lanjut Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa moralitas adalah sikap hati yang terungkap dalam
perbuatan lahiriah (mengingat bahwa tindakan merupakan ungkapan sepenuhnya dari hati), moralitas
terdapat apabila orang mengambil sikap yang baik karena Ia sadar akan kewajiban dan tanggung
jawabnya dan bukan ia mencari keuntungan. Moralitas sebagai sikap dan perbuatan baik yang betulbetul tanpa pamrih.[59]
Immanul Kant, sebagaimana yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa moralitas itu
menyangkut hal baik dan buruk, yang dalam bahasa Kant, apa yang baik pada diri sendiri, yang baik pada
tiap pembatasan sama sekali. Kebaikan moral adalah yang baik dari segala segi, tanpa pembatasan, jadi
yang baik bukan hanya dari beberapa segi, melainkan baik begitu saja atau baik secara mutlak.[60]
Emile Durkheim mengatakan moralitas adalah suatu sistem kaidah atau norma mengenai kaidah yang
menentukan tingka laku kita. Kaidah-kaidah tersebut menyatakan bagaimana kita harus bertindak pada
situasi tertentu. Dan bertindak secara tepat tidak lain adalah taat secara tepat terhadap kaidah yang
telah ditetapkan.[61]
Dari pengertian tersebut di atas, dapat kita uraikan bahwa moralitas adalah suatu ketentuan-ketentuan
kesusilaan yang mengikat perilaku sosial manusia untuk terwujudnya dinamisasi kehidupan di dunia,
kaidah (norma-norma) itu ditetapkan berdasarkan konsensus kolektif, yang pada dasarnya moral
diterangkan berdasarkan akal sehat yang objektif.
Durkheim menyangga dari pengertian moralitas yang bersifat individualitik, dan hal-hal yang darinya
secara subjektif. Olehnya, Ia menyangga bahwa moralitas yang demikian berlawanan sama sekali
dengan keadaan sebenarnya, maka apabila kita meninjau moralitas dengan apapun adanya, kita akan
melihat moralitas mencakup kaidah-kaidah khusus, tertentu dan pasti tidak terbilang jumlahnya, kaidahkaidah tersebut, mengatur tingka laku manuisa dalam berbagai situasi yang paling sering dihadapinya.
Jadi secara terminologis, dalam moralitas kita tidak mengatur perilaku kita berdasarkan pandangan
teoritis dan kaidah-kaidah umum, melainkan berdasarkan pada kaidah khusus yang diterapkan secara
khusus pada situasi tertentu yang mencakup di dalamnya, sekalipun pada posisi penting, kita tidak
berpaling dari kaidah-kaidah umum moralitas untuk menemukan bagaimana menerapkannya dalam
kasus-kasus tertentu, maka akan mengetahui apa yang kita lakukan.
B.Unsur-unsur Moralitas.
Dalam pembahasan moralitas, perlu diketahui bahwa penulis tidak memberikan atau
mempermasalahkan bahasa antara moral dan etika, namun yang sangat perlu diklarifikasi bahwa
moralitas bukan keseluruhan etika, tetapi merupakan persoalan pokok dalam etika.[62] Sekalipun
banyak yang mempersoalkannya, seperti salah satu dari berbagai di antaranya adalah ulasan O. Kattsoff,
bahwa etika yaitu analisa mengenai makna apakah yang dikandung oleh predikat-predikat
kesusilaan.[63] Dan masih banyak yang lainnya. Tetapi Durkheim tidak banyak mempersoalkan
permasalahan ini.
Durkheim dalam pemikiran moralitas yang ditawarkannya, dengan konsepsi pemecahan kondisi zaman
yang melanda negerinya, dalam hal ini penulis memberikan kejelasan tentang klarifikasi persoalan
moralitas yang akan diuraikan, yakni persoalan mengenai “norma-norma” moral dalam kategori undangundang atau hukum aturan yang. Tetapi secara teoritis yang ditampilkan sebagai tawaran moral untuk
mengubah tradisi masyarakat, untuk membawa masyarakat pada kondisi yang lebih menyenangkan
dengan pandangan kolektifitas kesadaran sosial.
Di sini Durkheim menjelaskan raison d’etre (alasan untuk berada), bagi teori-teori tersebut terletak pada
tindakan seseorang, oleh sifat dualisme inilah yang sedang ia coba mengungkapkannya sebagai teoritis
praktis. Mamfaatnya yang dapat diharapkan adalah ditentukan oleh sifat ambivalent.[64] Baginya
tindakan itu bukanlah yang karenanya sendiri dapat menggantikan tindakan, tetapi dapat memberikan
wawasan kedalam tindakan. Durkheim banyak melihat kebanyakan moralis beranggapan bahwa
moralitas seakan-akan terdapat dalam hati nurani masing-masing orang, dan yang memahaminya cukup
kita sendiri, sehingga persoalan yang demikian diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda. Seperti
Kantianisme berbeda dengan Utilitarisme dan memiliki kaidah-kaidah tersendiri, konsep tersebut
mengungkapkan perbedaan klasik antara moralitas teoritis dengan moralitas terapan.[65]
Demikian lagi perlu diperjelas sebelum kita menguraikan unsur-unsur moralitas dalam kenyataan dan
prakteknya, kita tidak mengatur prilaku kita berdasarkan pandangan-pandangan teoritis atau kaidahkaidah umum, melainkan kita harus berdasar pada kaidah-kaidah khusus dan menganggap moralitas
sebagai suatu totalitas dari kaidah-kaidah yang pasti dan jelas, ia dapat di umpamakan berbagai macam
cara atau cetakan dengan batas-batas yang jelas, demikian yang diungkapkan oleh Durkheim dapat
tergambar dalam tulisannya :
“Kita melihat adanya gejala yang tidak hanya nyata, tetapi juga tregantung pada situasi yang dihadapi.
Dengan demikian yang kita saksikan bukan semata-mata aspek dan prinsip umum yang satu dan yang
mencakup semua makna dan realitas. Justru sebaliknya, terlepas dari apa pun hakikatnya dan
pemahaman orang ter-hadapnya. Kaidah umum tidaklah membentuk realitas itu sendiri, melainkan
hanya merupakan abstraksi yang berlaku. Tidak ada kaidah dan aturan sosial yang diakui atau
memperoleh sanksi dari imperatif moral Kant atau hukum kegunaan seperti dikemukakan oleh Bentham
Mill atau Spencer. Semua itu hanya merupakan generalisasi buatan para filsuf belaka, sekedar hipotesis
buatan teoritis. Apa yang dianggap oleh kebanyak orang sebagai hukum umum moralitas…..Hukum
moraitas hanya sekedar ringkasan, yang kurang lebih memuaskan, dari ciri-ciri yang biasa terdapat pada
semua kaidah moral, jadi bukan kaidah yang nyata, pasti dan efektif. Bagi realitas morali ini, hipotesis
para filsuf yang dimaksudkan untuk menunjukkan kesatuan dari sifat dasar, yang merupakan besar itu
sendiri. Dan ini termasuk kedalam susunan ilmu pengetahuan, bukan tatanan kehidupan”.[66]
Olehnya itu, kita harus memahami moralitas seperti apa adanya tanpa adanya pengaruh dari berbagai
simbol dalam mencari wujud rasionalitas moral dan mengetahui kekuatan-kekuatan moral, menyelidiki
bagaimana kekuatan tersebut bisa di kembangkan, tetapi hal yang pertama merupakan suatu yang
terpenting dengan jalan, kita harus menemukan unsur-unsur dasar moralitas sebelum
memperhitungkan perubahan-perubahan yang mungkn terjadi.
Mempertanyakan unsur-unsur moralitas bukanlah berarti mencari susunan daftar lengkap mengenai
semua keutamaannya, atau beberapa bagian yang terpenting, tetapi kita mencari disposisi dasar,
keadaan (seseorang) secara mental.[67] Ide konsepsionalnya berhasil disimpulkan dalam berbagai
ceramahnya, persoalan moralitas harus dipecahkan dengan melihat tiga hal sebagai unsur-unsur
moralitas, sebagai berikut:
Unsur pertama moralitas : Semangat Disiplin.
Dalam tindakan manusia, hendaknya melihat sifat dasar moralitas yang sungguh-sungguh, bukan dalam
kesempatan-kesempatan tertentu, melainkan secara umum dalam hubungannya antara sesama
manusia. jika kita perhatikan sekilas dalam segi-seginya yang formal dan eksternal, tampak tidak begitu
penting, tetapi moralitas bukan hanya yang kita peraktekkan setiap hari, melainkan juga yang kita
saksikan dalam sejarah, terdiri dari seperangkat kaidah-kaidah tertentu dan khusus yang menetapkan
secara tegas bagi prilaku manusia.
Dari realitas di atas Durkheim menjelaskan bahwa ada dua konsekuensi logis, yaitu:
“Pertama, karena moralitas menetapkan dan mengatur prilaku, maka moralitas mengandaikan sikap
batin tertentu dalam diri seseorang untuk hidup secara teratur, atau sikap yang lebih menyukai
keteraturan. Kewajiban selalu bersifat teratur. Oleh karena itu, orang yang lebih menyukai perubahan
dan perbedaan mendesak dilakukannya perubahan terhadap segala bentuk keseragaman adalah orang
yang secara moral tidak lengkap. Keteraturan adalah analogi moral dari keteraturan gerak dan
organisme. Kedua, karena kaidah moral bukan hanya sekedar nama lain untuk kebiasaan pribadi, karena
kaidah moral menentukan tingka laku secara imperatif dari sumber-sumber luar diri kita agar bisa
memenuhi kewajiban dan agar bisa bertindak secara moral, kita harus menghormati otoritas “sui
generis” yang memberikan informasi tentang moralitas.[68]
Pada langka awal, kita harus mengetahui juga moralitas secara jelas yakni pertama-tama adalah
menentukan tingka laku, menetapkannya, membatasi unsur yang bersifat semau-maunya, yang dimasud
tentu kaidah moral yakni hakikat dari tingka laku yang diharuskan dan juga yang memiliki nilai moral, di
sini kita akan melihat bahwa moralitas pada dasarnya adalah sesuatu yang bersifat tetap, dan sejauh
kita tidak membicarakan tentang jangka waktu yang panjang, moralitas tetap akan sama, tidak berubah.
Dengan demikian moralitas mengandaikan kemampuan tertentu untuk bertindak secara sama dalam
keadaan yang sama, dan dengan sendirinya juga mencakup kemampuan untuk mengembangkan
kebiasaan dan kebutuhan akan adanya keteraturan.[69] Dan untuk menjamin keteraturan hanya
diperlukan kebiasaan[70] yang tertanam kokoh.
Benar, jika kita mengatakan kita sendiri yang menentukan garis kehidupan kita sendiri, di mana tindakan
kita susun sendiri yang selalu dapat kita rubah, hal ini, bagi Durkheim bukanlah kaidah, melainkan
rancangan; maka kita harus membenarkan tindakan kita pada otoritas ilmiah, karena prilaku kita
menyandarkan diri pada ilmu pengetahuan bukan pada dasar diri kita. Dari sini tergambar bahwa
otoritas menjadi pendamping keteraturan, karena otoritas adalah pengaruh yang memaksa kepada kita
semua, kekuatan moral yang kita akui sebagai sesuatu yang mengatasi kita. Untuk melakukan hal yang
demikian, perlu dipahami bahwa semakin banyak campur tangan unsur-unsur lain, maka semakin sedikit
sifat moralitasnya.[71]
Lebih lanjut dijelaskan bahwa keteraturan dan otoritas tidak lain merupakan dua aspek dari satu
kenyataan kompleks dari disiplin, kerana Durkheim menjelaskan:
“Disiplin moral adalah suatu yang baik yang ada dalam diri sendiri, sebab kita harus mentaati semua
perintahnya, bukan karena tindakan-tindakan itu wajib dilaksanakan atau karena penting, melainkan
semata-mata karena diperintahkan”.[72]
Persoalan disiplin sangat erat kaitannya masalah pembatasan dan paksaan, maka hal ini, memang
banyak diperbincangkan oleh para intelektual mengenai kebebasan, di mana manusia harus hidup bebas
dalam perbuatannya dan pemikirannya untuk merasakan kebahagiaan di dalam kehidupan dunia.
Seperti halnya dengan konsep kebebasan Hobbes dan Locke, yang banyak dijadikan konsep baku tradisi
liberal Barat di mana Ia beranggapan bahwa kebebasan ialah bebas dari campur tangan, paksaan dan
hambatan dari kungkungan atau dengan kata lain bebas dari penahanan oleh pihak yang berwajib ketika
kita menyatakan pendapat kita. Lain lagi dengan konsep Hegel dan idealisme kebebasan yang di bimbing
oleh rasio, bukan hawa nafsu, yakni bebas melakukan apa yang perlu kita lakukan, dan kedua konsep
menjadi kajian dan diperkenalkan oleh Berlin menjadi komperatif pemikiran. Gerald Mac Callum
menambahkan bahwa kebebasan ialah tiada hambatan dari luar.[73]
Pendapat tersebut di atas, tidak lepas dari kajian Dukheim, sehingga ia menyangga konsep yang
demikian itu, dengan alasan bahwa orang sering mempermasalahkan paksaan sebagai salah satu
ketidakadilan, dan kebebasanlah yang dapat memberikan keadilan, keadilan sebagai cirinya adalah ia
tidak berpangkal pada hakikat sesuatu hal yang tidak berakses dari akal budi. Perspektif kebebasan
menjadi pemujaan intelektual pada abad ke-19 seperti halnya dengan Bertham menganggap hukum
sebagai suatu kejahatan, Saint Simon menambahkan bahwa diharapkan adanya suatu masyarakat yang
tidak ada suatu peraturan sama sekali. Bagi Durkheim, hal inilah yang menyebabkan terjadinya banyak
macam komplik egoistis individualis merajalela dan tidak ada aturan sosial yang menjamin, sehingga
orang selalu menyombongkan dirinya melebihi kemampuan. Olehnya itu, sangat diperlukan disiplin,
karena manusia hidup cenderung kepada hubungannya dengan orang lain dan menelaah fungsi disiplin
memiliki kegunaan sosial dalam dan pada dirinya sendiri, terlepas dari perbuatan yang
diperintahkannya.[74]
Durkheim menjelaskan bahwa manusia jika ingin hidup, harus manghadapi tuntutan hidup yang sarak
dengan kekonflikan dengan cadangan tenaga yang terbatas. Jadi hidup adalah suatu keseimbangan yang
kompleks, di mana berbagai unsur saling membatasi satu sama lain. Olehnya, keseimbangan tidak boleh
diganggu begitu saja, karena dapat mengakibatkan kekecewaan dan penderitaan bagi orang yang
melakukannya berdasarkan alasan yang sama. Lebih lanjut Durkheim memaparkan:
“Agar suatu tindakan dapat membawa kesenangan bagi diri kita, kita harus bisa merasakan bahwa
tindakan tersebut mempunyai tujuan, dan membawa kita semakin dekat dengan sasaran yang dituju…
agar dapat memahami realisasi sepenuhnya, manusia sama sekali tidak perlu melihat cakrawala tanpa
batas di depannya, karena dalam kenyataan ia tidak akan mendapat sesuatu yang mengecewakan dari
sasaran yang tidak mengenal batas dari keinginan seperti itu. manusia bisa bahagia bila terlibat dalam
tugas-tugas yang pasti dan jelas, bukannya untuk merasakan bahwa ia sedang menghadapi tatangan
karir tanpa suatu batasan yang jelas”.[75]
Otoritas sangatlah penting dalam hal ini, karena kekuatan yang ada di dalamnya menjadi kekuatan yang
asli mencegah keinginan dan hasrat kita, kekuatan tersebut jelas sebagai suatu material, meskipun tidak
mempengaruhi tubuh secara langsung tetapi dapat menggerakkan jiwa. Moralitas adalah sebagai suatu
disiplin (memerintah), kepada kita tidak sesuai dengan kecenderungan kodrat kita masing-masing. Dari
pembatasan tersebut, sebagai tujuan dari pencegahan kekuatan nafsu yang hanya mementingkan
pribadi dan kekuatan terkendali dengan baik.
Disiplin pada dirinya merupakan faktor “sui generis”, di mana terdapat unsur hakiki tertentu dari prilaku
moral sebagai ciri disiplin, karena hanya disiplin yang dapat mengendalikan keinginan. Menetapkan
sasaran aktifitas kehidupan, pembatasan itu jelas berbeda-beda, sesuai dengan waktu dan tempatnya
serta berbeda pula pada setiap tahap dalam kehidupan dan hal ini (kemampuan) untuk mengendalikan
diri sendiri sangatlah dituntut, olehnya peranan pendidikan sangat pula diharapkan, sekalipun menurut
Durkheim sangat sulit, tetapi tidak ada jalan lain,[76] kita harus berusaha. Maka jelaslah bahwa disiplin
moral tidak hanya menunjang hidup moral, melainkan pengaruhnya berlangsung terus, yang secara
realistis kita kihat bahwa unsur paling hakiki dari watak adalah mengendalikan diri yang memungkinkan
kita mengendalikan nafsu, keinginan dan kebiasaan kita serta mengaturnya menurut kaidah-kaidah yang
berlaku.
Unsur kedua moralitas: Ikatan pada Kelompok Sosial.
Dari unsur pertama yang telah kita sebut di atas, telah menunjukkan arti yang paling formal dari
kehidupan moral, sebagai suatu absrtaksi yang bisa diuji kebenarannya. Dalam kenyataan, moralitas
kandungan yang memiliki makna moral, semua tingka laku termasuk dalam kategori yang sama, maka
tingka laku akan menampakkan ciri umum yang merupakan unsur hakiki lain dari moralitas, karena itu
terdapat dari semua tingka laku moral, dan itulah yang harus ditemukan, di mana hal tersebut, sebagai
hal pendorong seseorang untuk bertindak sejauh dengan ketentuan.
Untuk menemukan ciri-ciri umum tersebut, Durkheim memberikan petunjuk dalam tulisannya, sebagai
berikut:
“kita tidak akan mulai pertanyaan apa sebaiknya suatu moralitas itu, atau sebaiknya bentuk apriori dari
suatu moralitas. Kita tidak akan bertanya apa sebaiknya tindakan moral itu supaya benar-benar dapat di
sebut dengan “moral”, dengan menetapkan beberapa pengertian tentang moralitas sesuai dengan
kemajuan penyelidikan atau semacamnya. Sebaliknya kita akan membahas jenis tindakan mana yang
disebut tindakan moral. Bagaimana cara-cara bertindak yang diakui bersifat moral dan apa ciri-ciri khas
dari cara bertindak tersebut? tugas kita untuk membentuk anak berdasarkan konsep-konsep moral
yang berlaku dan sepatutnya diberlakukan.[77]
Pada dasarnya unsur ke-2 ini, merupakan proposisi dasar sebagai manipestasi dari fakta empiris yang
dapat diverifikasi, fakta menunjukkan bahwa tindakan moral bukanlah dihadapkan pada kepentingan
pribadi, melainkan dikatakan tindakan moral, jika prilaku tersebut dihadapkan pada kesatuan sosial atau
berhubungan dengan kepentingan publik (orang banyak). Untuk itu, unsur ini perlu diklasifikasi dalam
tiga hal, yakni: Disiplin dalam hubungannya dengan keterikatan sosial, masyarakat pada prilaku moral
dan masyarakat dengan otoritas moral, ketiga hal di atas, menjadi konsep komparatif intelektual bagi
pemikiran Durkheim.
Disiplin dalam Ikatan Kelompok Sosial.
Sebelumnya perlu kita tegaskan, bahwa kita tidak mempermasalahkan pembatasan sebagai hal
pemerkosaan atas kodrat manusia dan telah kita bahas pada pembahasan terdahulu, karena disiplin
berguna bukan hanya kepentingan masyarakat dan sebagai syarat mutlak bagi kerja sama yang terakhir,
melainkan juga untuk kepentingan individu sendiri, karena tanpa demikian kita tidak mencapai
kebahagiaan. Dari sini, proposisi menjadi dasar pemikiran untuk pembahasan selanjutnya.
Disiplin merupakan sarana manusia untuk mewujudkan kodratnya, maka disiplin harus berubah sesuai
dengan zaman, berhubungan dengan perkembangan historis dari peradaban, maka diperlukan
pengungkapan fakta realitas, bukan hanya itu tetapi cara menanamkan disiplin perlu juga kita rubah dan
kekuatan-kekuatan yang membatasinya pun selalu kita samakan berbagai kurung waktu dalam
perjalanan sejarah. Demikian kompleksnya suatu masyarakat, maka semakin sulit moralitas secara
otomatis, jadi perlu pemecahan intelektual untuk memungkinkan diterapkannya kaidah-kaidah moral.
Moralitas harus kita tumbuhkan secara fleksibel untuk dapat berubah jika kita perlukan.
Tingka laku manusia dapat kita bedakan atas tujuan, yakni ada tiga yang menyangkut individu
(personal) dan tujuan yang menyangkut lain dari individu yaitu impersonal,[78] kategori ke-2 mencakup
berbagai tindakan, sesuai dengan apa yang ingin dicapai dan tujuan impersonal inilah yang memiliki
makna moralitas, karena tindakan moral mengejar tujuan impersonal serta perlu dipahami bahwa
tindakan yang dimaksud tidak dilakukan demi kepentingan orang lain yang bukan pelakunya, juga bukan
kepentingan orang banyak, tetapi tujuan itu harus melibatkan sesuatu yang lain dari individu-individu
yang bersifat adiindividual.
Memang banyak yang berpendapat bahwa disiplin (tindakan moral) dalam kelompok sosial
(masyarakat), mempunyai ciri-ciri dari individu yang ada di dalamnya, namun anggapan seperti itu,
Durkheim menyangkal bahwa secara fakta kita lihat dari penggabungan beberapa unsur elemen seperti
Timah dan Tembaga, kedua unsur tersebut sebagai unsur dasar yang lemah, yang kita gabungkan, akan
menghasilkan elemen baru (ciri element yang berbeda), yakni menghasilkan perunggu yang keras,[79]
jadi dapat dipahami bahwa penggabungan ciri-ciri individu dalam kelompok sosial akan melahirkan ciriciri tersendiri, lain dari dua unsur yang tergabung di dalamnya, namun perlu dibedakan kedua
kepentingan di mana sebagai mahluk individu dan sekaligus sebagai mahluk sosial.[80]
Tampak secara jelas dari ungkapan di atas, bahwa disiplin dalam ikatan kelompok sosial sangatlah
penting fungsinya, karena dalam suatu kelompok terdapat banyak tuntutan yang masing-masing
komponen berbeda dan tentunya sangat sulit bagi kita, sehingga kelompok-kelompok sosial hendaklah
membuat suatu konsensus, sebagai hukum moral dan rambu bagi anggota-anggotanya dalam
pencapaian tujuan kolektif, di sini perlu adanya otoritas disiplin dan keteraturan, sebagaimana yang
telah kita ungkapkan. Durkheim memberikan ketegasan bahwa disiplin dan kelompok sosial saling
memperkuat sebagai dua hal yang berbeda tapi kedua kebutuhan itu sangat penting dan itulah yang
menyebabkan keduanya bersatu, karena tanpa masyarakat disiplin tidak ada artinya, karena
masyarakatlah yang menganggap disiplin harus dipatuhi. Masyarakat sebagai sesuatu yang menarik kita
yang tampak sebagai pelindung yang penuh kebaikan, karena memiliki aspek dan peranan ganda,
terbentuknya ciri khas yang unik, sehingga ia melebihi individu dan masyarakat memerintah kita sebagai
otoritas yang imperatif.[81]
Masyarakat dengan Tindakan Moral.
Durkheim dalam masa perjalanan hidupnya, mempertanyakan persoalan apa yang dapat
mempersatukan masyarakat dengan kondisi pada waktu itu, manusia tak lagi memegang arti persatuan,
olehnya Ia mendapatkan konsep itu dan dinamakannya “moralitas”. Masyarakat sekalipun dibentuk oleh
manusia, tetapi memiliki bentuk hidup sendiri, masyarakat berada di luar perorangan yang memiliki
hidup dan eksistensi tersendiri.[82] Perkembangan moral dikaitkan kerelaan para anggota sistem itu
tanpa memandang kepentingan individu dan orang lain juga patuh pada pensyaratan “moral”.[83]
Wewenang kehidupan moral mempunyai ruang lingkup seluas lingkup kehidupan kolektif, dan dapat
dipahami, bahwa kita sebagai mahluk moral sejauh kita menjadi mahluk sosial, sehingga masyarakatlah
menjadi tujuan tingka laku moral, dan kita tidak perlu menyangkal bahwa individu dan masyarakat yang
pada hakikatnya berbeda, tetapi keduanya bukanlah terdapat semacan antagonistik yang sulit
diungkapkan. Manusia pada dasarnya adalah produk masyarakat dan masyarakatlah asal segala sesuatu
yang paling baik dalam diri kita serta segala bentuk tingka laku kita yang luhur.
Masyarakat berada di luar kita dan melingkupi kita, sekaligus berada dalam diri kita dan merupakan
salah satu kodrat kita, dan terdapat di dalamnya seperti halnya dengan organisme fisik yang mendapat
makanan dari luar dirinya, demikian pula dengan organisme mental mendapat ide, pikiran dan
kebiasaan-kebiasaan yang berasal dari masyarakat, antara kita dengan masyarakat terdapat ikatan yang
sangat erat, karena masyarakat merupakan unsur paling baik dalam diri. Olehnya untuk hidup sebagai
seorang egois murni kita harus mendekati batas-batas abstrak tersebut.
Durkheim menjelaskan keterikatan masyarakat dengan tindakan moral, sangatlah penting yang sulit
dipisahkan sebagaimana apa yang dikatakannya:
“Untuk menjadi manusia sejati, kita harus segera mengaitkan diri kita dengan sumber utama kehidupan
moral dan mental yang menjadi ciri pokok umat manusia. Sumber itu tidak berada dalam diri kita
melainkan dalam masyarakat. Dan masyarakat merupakan penghasil serta penyimpang semua kekayaan
peradaban. Tanpa kekayaan tersebut, manusia tidak ada bedanya dengan binatang.[84]
Sebagaimana manusia hidup dalam tiga kekuatan, yakni keluarga, bangsa atau kelompok politik dan
umat manusia, yang ketiganya tidak perlu kita mengabaikan salah satunya dan pertentangan di antara
ketiganya macam loyalitas tersebut, seakan-akan seseorang mengasingkan diri dari keluarga untuk
memenuhi kewajiban-kewajiban sebagai warga negara atau umat manusia. Karena masyarakat menyatu
dengan individu, ia menancapkan akarnya yang kuat dan dalam diri kita di mana terbaik dalam diri
hanya emanasi dari masyarakat.
Manusia hanya bisa lengkap secara moral, bila dikuasai oleh tiga kekuatan tersebut. dan ketiganya dapat
berdampingan, merupakan tujuan yang layak kita kejar, tujuan keluarga berada di bawah tujuan bangsa,
karena bangsa sebagai kelompok sosial yang lebih luas (tinggi), sedangkan keluarga sebagai kelompok
yang lebih dekat dengan individu, yang lebih mengarah pada kepentingan pribadi. Masyarakat semakin
maju dan tersentralisasinya semua anggotanya yang bermula dan berakhir dalam kelompok politik,
bangsa-bangsa bertumbuh dari kelompok sampai bergabungnya organisasi sosial yang lebih besar lagi,
dengan demikian tujuan moral semakin meluas. Beda dengan bangsa umat manusia sebagai ikatan
kelompok sosial yang tidak memiliki unsur struktur dan sifat dan kelompok yang pasti dan jelas. Olehnya
tidak mengarah kesana, hanya negara merupakan bentuk yang paling teratur organisasi manusiawi yang
ada.[85] Karena suatu perbuatan moral apabila tujuannya adalah kepentingan masyarakat yang memiliki
struktur dan sifat tersendiri untuk merealisasikan cita-cita umat manusia yang hanya melalui kelompok
paling maju dan paling dekat dengan umat manusia secara keseluruhan, tanpa mencampur adukkan
kedua tersebut. Hal ini berarti melalui usaha negara tertentu, usaha-usahanya tidak berpikir “perluasan”
atau menyakiti negara-negara tetangganya, hendaklah negara tersebut merealisasikan kepentingan
umat dikalangan warga negaranya, menegakkan keadilan, mencapai moralitas yang lebih tinggi,
mengatur dirinya sedemikian rupa hingga tercapai hubungan yang lebih erat, hal ini dimaksudkan untuk
pencegahan pertikaian antar berbagai negara.
Masyarakat dengan Otoritas Moral.
Masyarakat sebagai kesatuan sosial menjadi suatu kekuatan yang memiliki sifat dan ciri khas tersendiri
yang memaksa individu dalam gerak tingka lakunya, kekuatan dan kesatuan nasional yang menjadi
kekuatan penentu disebut “normatif” yaitu kekuatan yang isinya menjadi aturan atau norma[86] yang
menjadi aturan sosial. Karena moralitas dalam salah satu fungsinya menghubungkan individu dengan
beberapa kelompok, jadi tidak secara apriori bahwa moralitas di buat oleh masyarakat. Demikian
masyarakat secara umum memilki kesadaran sendiri untuk mewujudkan masyarakat itu sendiri.
Pada kenyataannya, moralitas berbeda antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya, ini
pertanda secara realitas bahwa moralitas merupakan suatu produk kesatuan sosial, setiap sistem moral
dibangun oleh masyarakat yang strukturnya dipantulkan secara sempurna di dalamnya. Masyarakat
yang membentuk dan menetukan kewajiban terhadap diri kita, dan menuntut pengembangan suatu
bentuk ideal karena terdapat kepentingan yang sangat vital, oleh masyarakat tidak memiliki eksistensi
jika semua anggotanya cukup serupa satu sama lainnya, yakni semuanya mencerminkan ciri-ciri hakikat
cita-cita tertentu (kolektif), jadi moralitas berbeda-beda sesuai dengan bentuk masyarakat dan
negaranya.
Otoritas berada dalam pikiran bukan dalam realitas dan otoritas dapat terpenuhi tuntutannya hanya
dengan kolektifitas, sebab hanya dengan konsekuensi dari masyarakat secara tidak terbatas mengatasi
individu bukan dalam hal material, melainkan juga dalam kekuatan moral. Sangat logis kita berpikir
bahwa betapa kuatnya moralitas yang dilengkapi dengan otoritas pada kesatuan sosial, itulah sebabnya
otoritas mencapai pengaruhnya yang maksimun, utamanya dalam religius.[87] Kesadaran moral adalah
produk masyarakat sebagai masyarakat yang nada bicaranya (tentunya) sebagai refleksi adanya otoritas
yang luar biasa, masyarakat bukan hanya merupakan suatu moralitas moral melainkan sebagai sumber
semua otoritas moral, hal ini berarti, kekuatan seperti ini bukanlah kekuatan fisik, karena kekuatan fisik
tidak memberikan otoritas moral, otoritas tidak terletak pada fakta ekstern dan objektif, yang secara
logis menyimpulkan penghasilan moralitas, otoritas terdiri dari konsep yang dimiliki oleh semua manusia
yang merupakan masalah opini yang bersikap kolektif serta otoritas sebagai penilaian kelompok dan
kualitas seseorang dianggap lebih tinggi (super). Namun dipahami bahwa apa yang digelarkannya tetap
orang itu sebagai manusia biasa hanya perbedaannya adalah tingkat belaka, untuk itu, masyarakat
melengkapi kualitas manusiawi dengan sifat “sui generis”, mereka menjadi manusia super karena
mereka bagian dari superioritas, dalam transendensi masyarakat berhadapan dengan anggotaanggotanya.[88]
Secara jelas dapat dipahami bahwa moralitas terdiri dari dua yaitu moralitas yang hanya terdiri dari
perintah dan larangan (moralitas kaku) dan yang paling baik adalah moralitas yang tampak layak kita
inginkan termasuk dan yang paling baik adalah moralitas yang tampak layak kita inginkan termasuk citacita yang kita semua dambakan dengan sepenuh hati. Dan segala bentuk kehidupan betapa akan
berawang-awang, maka tidak akan dapat menyentuh hati dan budi anak-anak, serta rasionalitas
melibatkan dorongan moralitas karena hal itu, penting sebagai daya penggerak tingka laku.
3.Unsur Ketiga Moralitas: Otonomi.
Banyak ahli pemikir yang merasakan dua kata yang saling berbeda yaitu “kebaikan” dan “kewajiban”, hal
mana kewajiban sebagai suatu moralitas yang diperintahkan sebagai suatu otoritas yang harus dipatuhi
sedangkan kebaikan adalah suatu moralitas yang dianggap hal yang di inginkan, menarik perhatian
secara suka rela dan memperkuat diri kita terhadapnya. Dari sini tampak jelas bahwa keduanya sebagai
suatu realitas yang sama, kewajiban adalah masyarakat dalam penetapan aturan-aturan dan kebaikan
juga masyarakat dalam pembentukan realitas yang lebih kaya dari pribadi kita sendiri. Secara sepihak
banyak yang menyatakan hal itu berbeda, tapi unsur moralitas tersebut dalam kenyataan berkaitan, di
mana kebaikan merupakan pengertian dasar dari pada kewajiban berasal, dan kewajiban merupakan
persesuaian dari suatu kaidah karena perbuatan yang diperintahkan adalah suatu kebaikan.
Konsepsi moral yang banyak diyakini oleh para kaum agamaisme, menganggap bahwa tujuan dari
moralitas adalah Tuhan sebagai sesuatu yang mengusai kita sebagai mahluk Adikodrati, hal ini Durkheim
memahami konsepsi tersebut, tetapi hanya dalam alur pemikirannya saja, namun Durkheim mengganti
Tuhan dengan suatu istilah masyarakat atau dengan kata lain, masyarakat sebagai suatu kekuatan
realitas dalam persoalan kehidupan individu dengan hubungannya dengan lingkungan yang
mengelilinginya.[89] Banyak juga yang sangsi akan konsep ini, karena moral keagamaan dengan balasanbalasan di alam baqa’, sebagai jaminan otoritasnya, sangksi sosial yang demikian, dalam pelaksanaannya
mudah keliru dan tidak pasti. Durkheim menganggap bahwa sangksi seperti itu bukan landasan moral
keagamaan seperti dalam sejarah agama Yahudi. Karena kenapa banyak orang yang tidak mau
membahas persoalan moralitas, hal itu disebabkan oleh adanya premis-premis dalam paradigma
intelektual bahwa memasuki alam moralitas berarti kita memasuki alam misteri yang sangat abstrak,
sehingga dalam usahanya (Durkheim) ingin menjelaskan moralitas sebagai suatu realitas yang rasional.
Demikian lagi Kant, sebagai seorang moralis yang peka merasakan persoalan seperti itu, ia merasakan
sifat imperatif dari hukum moral; ia menjadikannya sebagai kaidah sejati yang harus ditaati dengan
pasif. Hubungan antara kehendak manusia dengan hukum adalah hubungan ketergantungan, sekaligus
menolak kehendak sepenuhnya akan bersifat moral jika tidak otonomi. Jadi rasionalitas (nalar murni)
hanya tergantung pada dirinya sendiri (otonomi), sebagai produk kehendak yang dituntut oleh nalar
sedangkan heteronomi merupakan produk perasaan.[90]
Durkheim menyangkal bahwa, kita tidak perlu membahas persoalan metafisika, karena itu akan
menyesatkan pikiran kita, hendaknya kita beralih pada konsep kenyataan sebagai fakta kenyataan yang
ada dalam dihadapan kita. Kadang kita lihat terjadi kontradiksi diantara unsur-unsur moralitas yaitu:
kebaikan dan kewajiban, individi dengan masyarakat, moral merupakan hal yang kompleks dan sekaligus
kesatuan yang utuh. Kesatuan ini berasal dari mahkluk yang kongkrit dan kodratnya yaitu masyarakat. Di
sini Kant, memperlihatkan otonomi merupakan prinsip moralitas yang dalam kenyataan mewujudkan
impian impersonal dan umum, Durkheim menyatakan bahwa seluruh kodrat kita mempunyai kebutuhan
untuk dipaksa dan diikat serta dibatasi baik kodrat intelektualnya maupun kodrat emosionalnya, karena
dalam kenyataan nalar bukan kekuatan transendent, melainkan bagian dari alam dan tunduk pada
hukum alam.[91] Karena alam itu terbatas, dan semua pembatasan mengisyaratkan kekuatan yang
membatasi, sehingga tampak bahwa otonomi kehendak harus kita tolak dan buang jauh-jauh dari
pikiran.
Manusia memilki ilmu pengetahuan sebagai alat dalam fisik dan segala yang dapat diamati, akan
tersimpan dalam otak sebagai ide-ide yang bersifat ilmiah, sehingga dunia tidak lagi berada di luar diri
kita dalam mempelajari hubungan kita dengan dunia, kita hanya menyadari apa yang ada dalam diri kita
yaitu otonomi tingkat pertama, kemudian kita mengetahui hukum dari segala sesuatu dan mengetahui
alasan sehingga kita mengetahui tatanan universal tadi. Dan kita menyesuaikan diri dengannya, bukan
karena paksaan, tidak dapat berbuat lain, tetapi kita berbuat karena menganggap baik dan tidak tidak
ada pilihan yang lebih baik.
Faitac Compli merupakan suatu balasan ideal yang kita dekati, dan dalam hubungan kita dengan dunia
fisik, kita cenderung bertumpu pada diri sendiri dan membebaskan diri dari paksaan dengan ilmu
pengetahuan sebagai sumber otonomi kita, yang dalam moralitas terdapat tempat semacam itu.[92]
Bukan hal-hal (otonomi dalam arti lain), karena moralitas merupakan pengungkapan kodrat masyarakat
yang pemahaman kita tidak dapat lebih dari pengetahuan dunia fisik. Ilmu moralitas sebagai fakta
realitas yang ada dalam diri kita, sehingga kita dapat menyesuaikan diri dengannya secara suka rela.
Komfromitas semacam ini bagi Durkheim, tidak mempunyai unsur pemaksaan dan inilah yang akan
menjadi aspirasi umum untuk otonomi moral yang lebih besar.
Olehnya, pada saat kita mengetahui “raison d’etre” dan kaidak-kaidah moral, yang kita secara suka rela
menyesuaikan diri dengannya, maka kaidah-kaiadah tersebut tidak akan kehilangan sifat imperatifnya
yang merupakan ciri khas yang menonjol, karena dalam kenyataan bahwa sesuatu tidak berhenti
menjadi dirinya sendiri, hanya karena kita mengetahui sebabnya, ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa
sebab-sebab sifat imperatif yang inheren pada kaidah moral, ini tidak memberatkan eksistensi dan
kehilangan sifat impertifnya, bahkan kita taat secara suka rela. Dengan demikian kita tetap mahkluk
yang pasif bila kita melihat kaidah-kaidah perintah, dan sekaligus aktif dan bebas menghendaki serta
mengetahui alasannya.
Moralitas bukanlah karya pribadi, tetapi sesuatu yang kita inginkan bersama, yang olehnya kita memiliki
kesadaran yang memberi otonomi pada tingka laku. Ketiga unsur moralitas di atas, merupakan ciri khas
moralitas sekuler yang semuanya dianggap sebagai Human science berdasarkan ilmu pengetahuan yang
mengarah pada sesuatu yang dapat diverifikasi. Kita telah melihat akan disiplin sebagai aspek moralitas
dan moralitas kebaikan karena ia memberikan tujuan yang baik, serta juga moralitas rasional sebagai
unsur “sui generis” demikian juga pentingnya mengikatkan diri pada kelompok sosial sebagai suatu
kodrat alam, yang bila kita melanggarnya (mengasingka diri) darinya sama halnya dengan memperkosa
kodratnya sendiri, serta dari kesemuanya lahirlah suatu kesepakatan kesadaran sosial akan suatu aturan
yang merupakan tuntutan kita juga di dalamnya, sehingga tidak hanya tanpak paksaan dalam perintah
tersebut, melainkan dalam kewajiban itu kita mengetahui alasan-alasan kebaikan yang dikandungnya,
sehingga kita mengikuti dengan suka rela.
C.Beberapa Persoalan Prilaku Moralitas Sosial.
Agama.
Kekuatan-kekuatan yang sangat berpengaruh dalam masyarakat adalah agama yang memiliki
konseptualitas moral yang banyak dianut oleh anggota masyarakat, bahkan memasuki segala sendi
kehidupan manusia sehari-hari. Hal ini pertanda bahwa agama merupakan kekuatan moral yang sangat
berpengaruh dalam menginterpensi penganutnya. Manusia terkontrol oleh tekanan-tekanan moral yang
mengikatnya, segala gerak gerik prilaku sosialnya, terkait dalam aturan yang dipakai, dapat
mengantarkan kepada kebahagian bersama.
Durkheim memandang agama sebagai fakta sosial,[93] dan agama harus memiliki fungsi, sebab agama
bukan ilusi tetapi merupakan fakta yang dapat di indifikasi dan mempunyai kepentingan sosial, segala
konsep dasar yang dihubungkan dengan agama, seperti Dewa, Jiwa dan Totem berasal dari pengalaman
manusia terhadap golongan sosial.[94] Olehnya, masyarakat membentuk individu sesuai dengan wajah
serta gambaran masyarakat sebagaimana ditunjukkan dalam injil bahwa Tuhan menciptakan manusia
sesuai dengan wajah dan gambaran dirinya. Masyarakat memiliki sifat keagamaan dan pantas
memperoleh penghormatan melampaui individu secara terpisah, dan merupakan objek sesungguhnya
dari semua ritual keagamaan.
Dalam penelitiannya (mencari ciri-ciri umum agama), ia tidak mendapatkan pada “supra alami” sebab
kategori ini bukan ciri universal semua agama dan Tuhan tidak dijadikan “kriterium”, jadi semua agama
dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1) Keyakinan keagamaan, yakni keyakinan yang mengasumsikan
penggolongan semua hal, baik yang nyata maupun yang bersifat gagasan, suci maupun duniawi, karena
yang suci berada tersendiri dan terlarang, 2) Upacara-upacara keagamaan yaitu aturan-aturan yang
mengenai terhadap objek yang suci. Semua agama memiliki komonitas yang mengikuti upacara-upacara
yang sama. Dari itu, benda-benda suci tidak disebabkan oleh sifat intrinsiknya, melainkan oleh
kenyataan bahwa benda-benda itu melambangkan sesuatu.
Durkheim mempertegas bahwa sumber kekuatan keagamaan adalah masyarakat dan tidak dapat
diragukan bahwa masyarakat memiliki segalanya untuk membangkitkan pengalaman ketuhanan dalam
diri manusia.[95] Hal ini terjadi dalam perayaan-perayaan kolektifitas seperti: kelahiran, pemburuan dan
kematian, perasaan kolektif dieratkan, di mana individu terjerat olehnya, di sini terungkap kekuasaan
kolektifitas yang merupakan kekuasaan keagamaan dan lebih lagi dijelaskan dalam kutipan di bawah ini:
“Mengingat bahwa kekuatan keagamaan tidak lain dari pada kekuatan kolektif dan anomi dari warga,
dan mengingat bahwa warga ini hanya diwakili jiwanya dalam bentuk Totem, maka lambang Totem itu
ialah tubuh Dewa yang tanpak, dan Dewa sesungguhnya tidak lain dari pada kolektifitas”.[96]
Dalam acara seperti itu, dimaksudkan untuk meningkatkan kesatuan kolektif dan mempertajam ide-ide
kolektif untuk dapat menghadapi krisis. Masyarakat harus dapat mengukur kelakuan dan
membentuknya melainkan sebagai sumber dan objek semua kegiatan keagamaan.
Durkheim menganggap semua itu sebagai kategori yang merupakan produk kehidupan sosial, karena
kekuatan keagamaan di alami dalam perayaan kolektif dan masyarakat memberikan sarana yang
digunakan manusia untuk mengatur dan mengenal kenyataan yang mengelilinginya. Jadi masyarakat
sebagai tujuan semua tindakan moral dan salah satu ikatan memilki kekuatan moral adalah agama.
Demikian pula agama merupakan suatu “hal sosial” yang utama (pur exellence), agama memberikan
penganutnya “kesan-kesan” nyaman,[97] dan semua ini kata “person” konsepsi Durkheim mengenai
agama dengan masyarakat, dibuatlah pola-pola yang diberikan sangksi moral sebagai milik bersama
anggota masyarakat.[98]
Pembagian Kerja.
Masyarakat merupakan kekuatan moral yang memiliki kekuatan otoritas yang dalam fungsionalnya
menyatakan individu dalam suatu kebersamaan yang utuh, tanpa melihat perbedaan sekalipun, tetapi
memandang sesuatu dengan jalan kepentingan orang banyak (publik). Masyarakat dalam hal ini dibagi
dua, yaitu: 1) Masyarakat modern dengan ciri pluralistik, dan 2) Masyarakat kuno dengan ciri khasnya
“solidaritas mekanis”, mempunyai sumber kesadaran kolektif yang satu dan sama di sebut “alami” yang
dihayati sebagai Dewa, Totem dan Masyarakat sendiri. Masyarakat mengatur keberagamaan yang
memukul rata fungsi-fungsi anggotanya dengan meniadakan pembagian kerja para anggotanya, karena
dianggap sebagai hal yang dapat mengurangi solidaritas dan integritas. Lain lagi dengan masyarakat
pluralistik dimana penghargaan terhadap kebebasan, bakat dan prestasi serta karier individu sebagai
dasarnya. Penghargaan itu berasal masyarakat, hal ini terlihat suatu pergeseran nilai-nilai, dari
kepentingan individu mendahului kesadaran individu, yang pada akhirnya menyebabkan disperensiasi
sosial.[99]
Durkheim menggunakan istilah “organis” karena menurutnya, beraneka ragamnya dalam anggota
masyarakat itulah yang saling membutuhkan dan ketergantungan, tindakan sosial yang berlainan
menyangga masyarakat pada tingkat perkembangannya rendah, hampir seluruh hukum bersifat pidana
dan tidak berubah, hukum agama mengekang dan tampak konserpatif (hakikatnya).[100] Sebagaimana
yang telah diuraikan terdahulu perlu kiranya bahwa keterikatan antara individu dengan masyarakat
adalah suatu hubungan yang saling melengkapi dan erat kaitannya yang tak dapat dipisah-pisahkan,
olehnya itu, kita tidak boleh terjebak berbagai uraian yang dapat mengelirukan.
Dalam masyarakat kolektifitas, kedudukan dan pekerjaan semua anggota ditentukan oleh kolektifitas,
sehingga mendefinisikan hidup sebagai kategori sosial, pembagian kerja menurut klasifikasinya dan
sebagai ciri masyarakat pluralistik membahayakan kolektif. karena kebebasan individu merupakan alat
dan penghormatan baginya, sehingga kolektifitas tidak lagi dapat membatasinya. Kepadatan moral
menjadi hal yang sangat terancam,[101] dan meningkat. Olehnya dalam masyarakat mekanis, hukuman
yang ditetapkan mengarah pada hukum pidana sebagai suatu solusi yang dapat menyangga otoritas
suatu hukum yang dilahirkan berdasarkan konsensus publik. Keadaan yang demikian itu bagi Durkheim,
dimaksudkan agar kesadaran moral masyarakat dapat dijaga keutuhannya dan berkembang sesuai
dengan tuntutan masyarakat dalam ruang dan waktu perputarannya. Dengan demikian pembagian kerja
bukanlah solusi yang tepat dalam pemikiran kekuatan-kekuatan moral pada masa seperti itu.
Solidaritas.
Secara spesifikasi kita akan membicarakan tentang hubungan (integritas) antara individu dengan
masyarakat atau selebihnya, persatuan dan kesatuan antara satu dengan yang lain sangatlah penting
adanya. Berbagai kontradiktif yang sering terjadi di tengah masyarakat yaitu persoalan moralitas yang
dimaksudkan untuk memperbaiki dan mengatur masyarakat ke arah yang lebih baik untuk kebahagiaan
bersama. Olehnya, untuk mencapai maksud tersebut, perlu kiranya dilihat subtansi dari hubungan itu,
yang bagi Durkheim dikatakan dalam permasalahan atau hukum sebagai pelengkap dari tindakan
“depersonalisasi” dari individu, yang harus konsisten agar stabilitas dari sistem sosial tetap terjaga
(solidaritas antara satu dengan yang lainnya terjalin dengan baik dan kuat).[102]
Pembahasan ini erat kaitannya dengan pembagian kerja, Durkheim pernah berpendapat bahwa
kelihatannya untuk meningkatkan solidaritas,[103] di sini nampak kontradiksi antara pemikiran
Durkheim, tapi hal ini dipahami bahwa solidaritas dan pembagian kerja yang dimaksud adalah
pembagian kerja seperti yang ada dalam keluarga sangatlah penting, karena dalam suatu keluarga perlu
manajemen dan pembagian kerja yang merata, seperti Ayah mencari nafkah, Ibu mengurus dapur atau
yang lainnya, dalam individu (kelompok keluarga) ini terjadi konflik yang dapat merusak solidaritas atau
terjadi diskomunikasi di dalamnya.[104]
Dari kenyataan yang ada, baik yang dilukiskan oleh maupun tidak, bahwa disintegritas dari suatu
kelompok atau lainnya, banyak menimbulkan dampak negatif seperti: peperangan, permusuhan yang
kesemuanya itu salah satu bagian moral yang rusak akibat putusnya rasa solidaritas dalam suatu
masyarakat, olehnya dalam unsur moralitas dijelaskan bahwa kesadaran kolektif harus ditumbuhkan
dan hal ini dilandasi rasa solidaritas terhadap kolektifitas, karena jika tidak demikian, mustahil
kolektifitas yang dimaksud akan tercapai, yang sampai pada disiplin dengan otoritasnya itu sebagai
responsibility pemecahan tidak dapat diterapkan dan kontradiksi terus dan semakin meluas yang pada
akhirnya hanya menghasilkan kesengsaraan umat.
Durkheim mengakui bahwa masyarakat mengalami evolusi solidaritas, yakni solidaritas mekanis menjadi
solidaritas organis sebagai ciri khas masyarakat modern yang ciri-cirinya telah kita bahas terdahulu
(pembagian kerja).[105] Hal ini disadari akan pentingnya moral dan solidaritas untuk mengantisipasi halhal yang dapat merusak sendi-sendi persatuan kehidupan, yang justru akan membawa masyarakat pada
kesengsaraan. Hukum membawa masyarakat pada peradaban untuk lebih baik. Pergeseran ini
diakibatkan oleh kesadaran kolektifitas, egoistis indivdidu mengikat dan kepadatan moral tidak
terpecahkan.
Bunuh Diri.
Durkheim melihat bahwa, pluralisme dan pembagian kerja mengakibatkan melemahnya kesadaran
kolektif, kekangan atau paksaan masyarakat atas individu berkurang, dan individualisme meningkat. Hal
inilah yang dapat membahayakan solidaritas organis yang merupakan syarat utama bagi kehidupan
masyarakat modern, olehnya, masyarakat harus dapat mengambil tindakan periventif supaya tidak
menjadi kacau balau.[106] Dalam hal ini Dukheim menguji sejauhmana ketergantungan individu dari
masyarakat, apakah tindakan ditentukannya sendiri atau pengaruh masyarakat (sosial). Kemudian
perbuatannya yang nampak paling individualistik, yaitu bunuh diri atau mengakhiri hidupnya sendiri
sebagai individu, yang akhirnya di simpulkan bahwa bunuh diri adalah “gejala sosial” sebagai
fenomenannya.[107] Dari sinilah dapat dilihat dalam tiga bentuk bunuh diri, yaitu: bunuh diri egoistis,
bunuh diri altruistis dan bunuh diri anomis (kehilangan pegangan hidup).
Bunuh diri egoistis.
Sikap seseorang yang tidak berintegrasi dengan orang lain (egoisme), yang tidak memilki tujuan hidup
bagi lingkungan sekitarnya. Keadaan yang demikian itu disebabkan oleh egoisme yang berlebihan yang
dapat mengakibatkan seseorang bunuh diri.
Bunuh diri altruistis.
Bunuh diri semacam ini, sebagai lawan bunuh diri egoistis yang merupakan akibat ikatan pada kelompok
sosial (masyarakat) yang kuat.[108] Adanya suatu tuntutan ikatan yang demikian kuat, maka ia harus
menyesuaikan diri dengannya untuk kepentingan bersama, hal ini sering terjadi dikalangan militer
(contoh Durkheim) karena prajurit lebih berintegrasi dengan kesatuan militer, Durkheim menunjukkan
dalam statistik, bahwa semakin lama seseorang menjadi militer (profesional), maka semakin besar
kemungkinan untuk bunuh diri, seperti halnya jika ia lebih merelakan nyawanya melayang demi masalah
bangsa dan negara.
c. Bunuh diri alkibat anomi.
Bunuh diri keadaan moral, di manusia seseorang kehilangan cita-cita, tujuan dan norma kehidupan.
Segala bentuk optimisme dan kreativitasnya musnah dan tak berbadaya, bunuh diri yang demikian bagi
Durkheim bahwa manusia tidak dapat bertahan dengan tidak adanya apa yang disebut “summer”
sebagai folkways.[109]
Dari kesemuanya itu, Durkheim sampai pada kesimpulan bahwa setiap kelompok sosial mempunyai
kecenderungan untuk bunuh diri sebagai sumbernya (kecenderungan kolektif yang mengadakan
paksaan terhadap prilaku manusia). Dari sinilah tampak kepada kita bahwa bunuh diri merupakan suatu
tindakan yang menyalahi ketentuan-ketentuan moral sosial, yang jika seseorang menyimpang darinya
akan seperti itulah akibatnya. Maka bunu diri tindakan yang menyalahi ketentuan-ketentuan moral.
[1]Lihat Ensiklopedia Nasional Indonesia, Jilid IV (Cet. I; Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1989), h. 430
[2]Ensiklopedia Indonesia, Jilid II (Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve, 1980), h. 872
[3]Lihat J. Van Baal, Sejarah Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Hingga Dekade 1970,
diterjemahkan oleh J. Piry, Pengantar Selo Soemardjan, Jilid I (Jakarta: Gramedia, 1987), h. 201
[4]Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi (Cet. II; Jakarta: UI-Press. 1982), h. 85
[5]Lihat L. Laeyendecker, Orde, Verandering, Ongelijkheid Een Inleiding in de Geschiedenis Van de
Sociologie, dialih bahasakan oleh Samekto, dengan judul: “Tata, Perubahan dan ketimpangan; Suatu
Pengantar Sejarah Sosiologi” (Cet. II; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 280-281
[6]Lihat Koentjaraningrat, loc.cit.
[7]Lihat L. Laeyendecker, loc.cit.
[8]Lihat Koentjaraningrat, op.cit., h. 87
[9]Lihat Ibid.
[10]Lihat L. Laeyendecker, loc.cit.
[11]Lihat Koentjaraningrat, loc.cit.
[12]Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jilid II, loc.cit.
[13]Lihat Koento Wibisono, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, (Cet. II;
Yokyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), h. 74 disadur dari buku Emile Durkheim, Over
Moraliteit terjemahan berbagai teks dari “Determination du Fait Moral” oleh K. L. Van Der Leeuw,
(Boom Mappel, 1977), h. 7-9
[14]Ibid., h. 75
[15]Lihat K. J. Veeger, Realitas sosial; Refleksi Filsafat Sosial Ats Hubungan Individu-Masyarakat Dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia, 1990), h. 166
[16]Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jilid II loc.cit.
[17]Lihat Prof. DR. L. Laeyendecker, op.cit., h. 306
[18]Lihat Prof DR. N. Drijarkara S.J., Percikan Filsafat; Filsafat Kesusilaan, (Cet. III; Jakarta: PT.
Pembangunan, 1978), h. 24
[19]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), ck., h. 2 dan 5
[20]David L. Sills, Internasional Encyclopedia of the Social Sciences, Volume III (New York: The
Macmillan Company and The Free Press, 1968), h. 319
[21]J. Van Baal, op.cit., h. 202
[22]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, ck., loc.cit.
[23]David L. Sills, loc.cit.
[24]J. Van Baal, loc.cit.
[25]Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, ck., loc.cit.
[26]David L. Sills, loc.cit.
[27]L. Laeyendecker, loc.cit.
[28]David L. Sills, loc.cit.
[29]Ibid.
[30]L. Laeyendecker, loc.cit.
[31]David L. Sills, loc.cit..
[32]J. Van Baal, loc.cit.
[33]David L. Sills, loc.cit.
[34]Ibid.
[35]J. Van Baal, loc.cit.
[36]David L. Sills, loc.cit.
[37]L. Laeyendecker, loc.cit.
[38]K. J. Veeger, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat atas Hubungan Individu-Masyarakat Dalam Cakrawala
Ssejarah Sosiologi, op.cit., h. 140 disadur dari buku Emile Durkheim “Les Regles De la Methode
Sociologigue” (1950), h. 56-57
[39]L. Laeyendecker, op.cit., h. 282
[40]Lihat Ibid., h. 283
[41]Ibid.
[42]Lihat Soerjono Soekanto, Emile Durkheim; Aturan-aturan Metode Sosiologi (Cet. I; Jakarta: Rajawali
Press, 1985), h. 137
[43]Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Cet. IX; Yokyakarta: Kanisius, 1993), h. 109-110
[44]Lihat Koento Wibisono, op.cit., h. 37-38
[45]Lihat Taufik Abdullah dan A. C. Van Der Leeden, op.cit., h. 11
[46]Lihat K.J. Veeger, op.cit., h. 47-48
[47]Ibid., h. 39
[48]Lihat Ibid., h. 143
[49]Soerjono Soekanto, Emile Durkheim, op.cit., h. 140
[50]L. Laeyendecker, op.cit., h. 284
[51]Soerjono Soekanto, op.cit., h. 141
[52]Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jilid IV (Jakarta: Ikhtiar Baru-Van Houve, 1989), h. 2288
[53]Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta:
Balai Pustaka, 1989), h. 592
[54]Lihat Ensiklopedia Indonesia, Jilid IV, loc.cit.
[55]Lihat Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika; Suatu Pengantar (Bandung: Yayasan Piara,
1997), h. 42
[56]Lihat Ensiklopedia Indonesia, op.cit., h. 973
[57]Franz Magnis Suseno, dkk., Etika Sosial; Buku Panduan Mahasiswa PBI-PBVI (Cet. III; Jakarta:
Gramedia, 1993), h. 9
[58]W. Poespoprdjo, Filsafat Moral; Kesusilaan dalam Teori dan Praktek (Cet. II; Bandung: Remadja
Karya, 1988), h. 102
[59]Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika; Sejak Zaman Yunani Sampai Abad Ke-19 (Yokyakarta: Kanisius,
1997), h. 143
[60]Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, Durkheim dan Pengantar Sosiologi Moralitas, Edisi I
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), h. 157
[61]Robert C. Solomon, Ethics, A Brief Introduction, diterjemahkan oleh R. Anre Karo-Karo, ”Etika; Suatu
Pengantar” (jakarta: Erlangga, 1987), h. 7
[62]Baca Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, diterjemahkan oleh Soejono Margono dari judul
“Elements of Philosophy (Cet. V; Yokyakarta: Tiara Wacana Yokya, 1992), h. 353
[63]Ibid.
[64]Sikap atau peranan seseorang yang bertentangan dalam waktu yang bersamaan terhadap orang lain,
misalnya: rasa benci dan cinta; kelakuan-kelakuan yang tidak tepat, karena perubahan-perubahan
disebabkan oleh suatu pembatasan, lihat, Sudarsono, Kamus Filsafat dan Psikologi (cet. I; Jakarta: Rineka
Cipta, 1993), h. 10
[65]Tujuan moralitas teoritis adalah menyusun hukum umum moralitas, sedangkan moralitas terapan
bertujuan menyelidiki bagaimana hukum tersebut diterapkan pada situasi umum yang bermacam
ragam, dan ditemukan dalam hidup. Durkheim menyatakan bahwa kaidah khusus yang disimpulkan
dengan cara seperti itu bukan merupakan realitas yang berdiri sendiri, tetapi hanya merupakan
perluasan atau akibat wajar dari prinsip umum sebagaimana yang tercermin dalam rangkaian
pengalaman hidup, Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 157-158
[66]Emile Durkheim, Pendidikan Moral; Suatu studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, dialih
bahasakan oleh Lukas Ginting, dari judul “Moral Education” (Jakarta: Erlangga, 1990), h. 19
[67]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 154
[68] Emile Durkheim, Pendidikan Moral, op.cit., h. 24-25
[69]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 161
[70]Kebiasaan adalah daya-daya yang di internalisasikan dalam pribadi seseorang, semacam kumpulan
pengalaman dalam diri kita yang mekar dari dirinya sendiri yang diaktifkan secara spontan, Lihat Ibid.
[71]Lihat Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 22
[72]Lihat Ibid., h. 25
[73]Vurgina Held, Rights and Goods, Instifying Social Action, dialih bahasakan oleh Y. Andry Handoko
dengan judul “Etika Moral; Pembenaran Tindakan Sosial” (Jakarta: Erlangga, 1989), h. 125-128
[74]Lihat Taufik Abdullah dan Van Der Leeden, op.cit., h. 153-169
[75]Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 28-29
[76]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 177-178
[77]Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 40-41
[78]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 188
[79]Ibid., h. 193-194
[80]Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 67
[81]Lihat J.Van Baal, Syarat dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya, Jilid I (Jakarta: Gramedia,
1987), h. 201-203
[82]Lihat Doyle Paul Johnson, Sociological Theory; Classical Faunders and Contemporery Perpectives,
dialih bahasakan oleh Robert M.Z. Lawang denha judul “Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid II (Cet. I;
Jakarta: Gramedia, 1986), h.58
[83]Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 52-53
[84]Taufik Abdullahdan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 206
[85]A. Lysen, Individu En Gemeenschap, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul “Individu
dan Masyarakat” (Cet. IX; Bandung: Sumur Bandung, 1981), h. 21
[86]Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 218-219
[87]Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 218-219
[88]Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 65-66
[89]Lihat Ibid., h. 75
[90]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 239
[91]Lihat, Emile Durkheim, Pendidikan Moral…, op.cit., h. 81
[92]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 245
[93]K.J. Veeger, Realitas Sosial; Refleksi Filsafat Sosial Atas Hubungan Individu-Masyarakat dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi (Cet. III; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), h. 157
[94]Syamsuddin Abdullah, Agama dan Masyarakat; Pendekatan Sosiologi Agama (Cet. I; Jakarta: Logos
Wacana Ilmu, 1997), h. 31
[95]L. Laeyendecker, Orde, Verandering, Ongeljkheid; Een Inleiding In de Geschendenis um de
Socilkogie, dialih bahasakan oleh Samekto dengan judul “Tata, Perubahan dan ketimpangan ; Suatu
Pengantar Sosiologi” (Cet. II; Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991), h.298
[96]Totem adalah benda suci, sejenis hewan atau tanaman sebagai komponen struktur sosial dan marga
adalah kelompok orang-orang suci yang memakai simbol Totem, Lihat Ibid., h. 297
[97]Lihat Thomas F. O’dea, Sosiologi agama; Suatu Pengantar Awal (Cet. V; Jakarta: Raja Grafindi
Persada, 1994), h. 21-23, disadur dari Dukheim, The Elemtary Froms of The Religions Life, h. 387
[98]Ibid., h. 25, disadur dari Parsons, “Essays in Sociological Theory” (Glencoe, III; The Free Press, 1958),
h. 208-209
[99]Lihat K.J. Veeger, op.cit., h. 146-148
[100]Lihat Taufik Abdullah dan A.C. Van Der Leeden, op.cit., h. 146-157
[101]Lihat K.J. Veeger, op.cit., h. 149-150
[102]Lihat Adam Podgorecki dan Chriestopher J. Whelan (ed.), Sociological Approaches to law, yang
diterjemahkan oleh Rac. Widyaningsih dan G. Kartasa Poetra dengan Judul “Pendekatan Sosiologi
Terhadap Hukum” (Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara, 1987), h. 104-105
[103]L. Laeyendecker, op.cit., h. 290
[104]Lihat Ibid.
[105]Lihat Ibid., h. 292
[106]lihat K.J. Veeger, op.cit., h. 150
[107]Lihat Ibid., h. 151
[108]Lihat L/ Laeyendecker, op.cit., h. 288
[109]Lihat K.J. Veeger, op.cit., h. 154-157
Download