MANAJEMEN PEMERINTAH DALAM PENANGANAN BENCANA

advertisement
MANAJEMEN PEMERINTAH DALAM PENANGANAN BENCANA:
“BIROKRATISASI PENYALURAN DANA REKONSTRUKSI”
Salah satu hal yang sering dikeluhkan oleh rakyat yang tertimpa bencana adalah
kekurang-sigapan pemerintah dalam menangani dampak yang ditimbulkan oleh bencana.
Sering kali bencana hanya ditanggapi secara parsial oleh pemerintah. Bahkan bencana
kadang hanya ditanggapi dengan pendekatan tanggap darurat (emergency response).
Kurang adanya kebijakan pemerintah yang integral dan kurangnya koordinasi antar
departemen dianggap sebagai beberapa penyebab yang memungkinkan hal itu dapat
terjadi. Terlalu panjang dan berliku-likunya proses birokrasi juga kadang menjadi
penyebab terasanya kekurang-sigapan pemerintah dalam menangani dampak pasca
bencana.
Sebagai contohnya adalah penyaluran dana rekonstruksi korban gempa Yogyakarta
27 Mei 2006. Butuh waktu hampir lebih dari lima bulan hingga akhirnya kipasan uang dari
dana rekonstruksi itu dapat dirasakan oleh rakyat yang terkena bencana, tapi itupun hanya
merupakan bantuan dana tahap pertama dan hanya sebagian korban gempa yang baru
merasakannya (esai ini ditulis sekitar akhir November 2006). Butuh waktu lebih lama lagi
dan birokrasi yang berbelit-belit lagi untuk mendapatkan bantuan dana rekonstruksi tahap
dua. Sementara waktu itu masih banyak rakyat yang menjalani hidupnya di pengungsian
dan menunggui datangnya dana rekonstruksi yang telah dijanji-janjikan sejak dari dahulu
kala.
Bagaimana hal ini dapat terjadi? Seperti apa sebenarnya manajemen ataupun sistem
penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah? Apa sebenarnya yang menjadi
persoalan disini? Dan bagaimana sebaiknya hal itu dapat ditanggulangi? Esai yang
mungkin terlalu singkat ini akan mencoba mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Tubuh esai ini akan dibagi menjadi beberapa sub-bagian. Sub-bagian pertama
tentang Indonesia dalam konteks kebencanaan dan penyaluran dana rekonstruksi, subbagian kedua tentang birokrasi penanganan dana dan sekelumitnya, dan sub-bagian ketiga
tentang solusi alternatif pemecahannya.
1
Indonesia Dalam Konteks Kebencanaan Dan Penyaluran Dana Rekonstruksi
Posisi geografis Indonesia, yang merupakan negara kepulauan, sangatlah unik
sampai-sampai menyebabkan Indonesia termasuk daerah yang rawan terhadap bencana
alam. Indonesia termasuk dalam wilayah Pacific Ring of Fire (deretan gunung berapi
Pasifik), yang bentuknya melengkung dari utara Pulau Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara
hingga ke Sulawesi Utara. Kepulauan Indonesia juga terletak di pertemuan dua lempeng
tektonik dunia dan dipengaruhi oleh 3 gerakan, yaitu Gerakan Sistem Sunda di bagian
barat, Gerakan Sistem pinggiran Asia Timur dan Gerakan Sirkum Australia. Kedua faktor
tersebut menyebabkan Indonesia rentan terhadap letusan gunung berapi dan gempa bumi
(www.walhi.or.id).
Salah satu bencana gempa bumi yang terjadi di Indonesia adalah gempa bumi
Yogyakarta 27 Mei 2006 yang mengakibatkan tak kurang dari 5000 jiwa meninggal dunia
dan ribuan rakyat kehilangan tempat tinggal akibat gempa yang mengluluh-lantahkan
rumah mereka. Bencana ini kemudian menjadi bencana nasional Indonesia. Kita tidak akan
lupa ketika diperlihatkan bagaimana nasib mereka yang menjadi korban yang masih
selamat. Depresi, shock, sedih, meratapi apa yang baru saja terjadi pada mereka.
Kemudian bantuan berdatangan dari berbagai sumber. Memberikan uluran tangan
kepada para korban. Datang dari pihak pemerintah, pihak swasta, masyarakat yang peduli,
negara lain yang ikut bersimpati, dan dari badan-badan internasional.
Presiden SBY juga menyempatkan diri untuk mengunjungi lokasi bencana terjadi.
Memberikan semangat dan janji bahwa pemerintah akan mengupayakan yang terbaik
untuk para korban bencana. Bahkan wakil presiden Kalla juga berjanji akan memberikan
dana rekonstruksi sebesar 30 juta (yang pada akhirnya jumlahnya semakin menurun) untuk
masing-masing rumah yang rusak dan roboh akibat gempa. Janji ini ditanggapi dengan
penuh rasa terima kasih dari para korban gempa dan berharap akan segera mendapatkan
dana tersebut sehingga mereka dapat sesegera mungkin membangun rumah mereka yang
rusak ataupun roboh sehingga dapat tinggal kembali dengan layak seperti saat sebelum
gempa, dan tidak lagi hidup di pengungsian. Jelas, bantuan dana rekonstruksi ini sangatlah
ditunggu-tunggu kedatangannya oleh para korban gempa.
Tetapi setelah menunggu beberapa bulan, menunggu dengan penuh harapan, dana
tersebut tak kunjung jua mendatangi tangan para korban bencana. Padahal dana tersebut
siap untuk diambil dan dipergunakan. Yang ada malah bermunculan berbagai crash
2
pendapat antara berbagai pihak. Ada yang mengatakan kalau dana itu sudah ada di Jogja
tetapi tidak kunjung diambil oleh pemerintah daerah. Ada yang mengatakan dana tersebut
belum ada di Jogja tetapi masih dipegang oleh pemerintah pusat dan untuk mengambilnya
harus melalui proses yang berkelumit sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama.
Ada yang mengatakan pendataan belum sepenuhnya dilakukan sehingga dana belum dapat
diambil. Dan berbagai hal lain yang kemudian menjadi masalah berkelanjutan sampaisampai
menimbulkan
berbagai
demonstrasi
yang
menuntut
untuk
cepat-cepat
diselesaikannya permasalahan kucuran dana rekonstruksi ini karena rakyat korban gempa
saat itu benar-benar membutuhkannya, ‘mana realisasi janjimu pemerintah?!’, teriak
mereka yang sudah tak sabar lagi.
Birokrasi Penanganan Dana Dan Sekelumitnya
Seperti yang kita tahu, sistem birokrasi di Indonesia terlalu rumit dan panjang.
Misalnya untuk mengurus sesuatu yang berhubungan dengan kepemerintahan maka kita
harus bolak-balik kesana-kemari barulah tujuan kita dapat tercapai (ini merupakan suatu
penyakit struktural yang tak kunjung jua sembuh dikarenakan sistem yang ada secara tidak
langsung mendorong terjadinya hal tersebut). Birokrasi penanganan dana rekonstruksi pun
tak bisa lepas dari hal ini. Sistem birokrasi yang berkelumit dan tersentralisasi ini menjadi
salah satu penyebab kenapa terjadi ketidak-efektifan dan ketidak-efisiensian, dalam hal ini
penanganan dana rekonstruksi, menjadi muncul dan berkembang.
Ketika SK dari presiden SBY perihal pemberian dana rekonstruksi gempa Jogja
dikeluarkan (yang disambut dengan gembira dan suka-cita para korban gempa), tidak sertamerta dana tersebut dapat langsung diambil mak clumut—begitu saja. SK dari presiden
tersebut ternyata hanyalah salah satu syarat untuk mendapatkan dana rekonstruksi dari
pemerintah pusat. Masih ada syarat-syarat lain yang harus dipenuhi agar dana rekonstruksi
dapat diambil seperti surat dari Menteri Keuangan, data-data lengkap korban gempa yang
akan menerima bantuan dana rekonstruksi, dan berbagai dokumen lain yang dibutuhkan,
yang tentu saja untuk mendapatkannya memerlukan waktu yang cukup lama. Baru setelah
itu dana rekonstruksi dapat dicairkan. ¹
¹) Dicairkan (tentu saja) artinya dana tersebut diambil dari bank, jadi sebenarnya semua dana
rekonstruksi itu telah berada di bank tetapi banyak pihak yang bingung dimana sebenarnya uang
dana rekonstruksi itu berada, apakah masih di Jakarta atau telah sampai di Jogja.
3
Terlihat bagaimana rumit dan berkelumitnya penanganan dana rekonstruksi ini.
Birokrasilah yang menyebabkan perihal lamanya dana rekonstruksi untuk sampai ke
tangan para korban bencana gempa Jogja (dan mungkin hal ini tidak hanya terjadi di Jogja
saja, karena hal ini adalah masalah birokrasi dan sistem yang dijalankan pemerintah, yang
tentu saja dimanapun di wilayah Indonesia yang terkena bencana hal seperti ini mungkin
sekali untuk dapat terjadi).
Bagan berikut mungkin memperjelas bagaimana alur birokrasi keuangan yang
terjadi (dimana alur keluarnya dana bantuan rekonstruksi juga melewati alur ini):
presiden
Menteri/ Ketua
Lembaga Negara
Sekjen
Menteri Keuangan
Dirjen
Anggaran
Kepala Biro
Keuangan
Panglima
TNI
KPKN
Bendahara Umum
Bendahara Khusus
Bendahara Barang
Sumber: “Buku: Akuntansi Pemerintahan Indonesia, Revrisond Baswir”
4
Terlihat betapa rumitnya mekanisme yang ada. Ketika Jogja telah menerima SK
dana rekonstruksi dari Presiden, maka ia harus mendapatkan juga SK dari Menteri
Keuangan. Kemudian, SK tersebut akan ditindak-lanjuti oleh Dirjen Anggaran untuk
dimasukkan ke dalam anggaran. Sementara, data-data penerima dana bantuan harus dibuat
sebagai salah satu syarat mendapatkan dana, juga syarat-syarat yang lain harus juga
didapatkan. Di tempat lain, setelah perihal dana dimasukkan ke anggaran maka cek untuk
mengambil uangnya diserahkan ke KPKN. Cek ada di KPKN, uang ada di bank yang
bersangkutan, syarat-syarat pengambilan cek ada (dan harus lengkap) di tangan
pemerintah. Syarat-syarat diberikan ke KPKN, cek diserahkan ke pemerintah (dalam hal
ini bendahara umum), cek dibawa ke bank, uang dana ditransfer dari rekening pemerintah
pusat ke pemerintah daerah. Kemudian bukti pertanggung jawaban harus diserahkan ke
bagian birokrasi yang lebih tinggi hingga nantinya sampai lagi ke presiden perihal telah
diambilnya dana rekonstruksi (sampai tahap ini pun uang dana rekonstruksi belum sampai
di tangan korban gempa, masih ada berbagai tahapan lagi yang harus ditempuh agar dana
tersebut samapai di tangan yang benar).
Betapa ribet dan betapa lamanya waktu yang dibutuhkan kan...
Solusi Alternatif Pemecahannya
Penyebab terjadinya hal ini kemungkinan besar adalah sistem yang tersentralisasi
dan birokratisasi yang berlebih pada sistem tatanan pemerintahan Indonesia. Sistem
sentralisasi dan birokratisasi yang berlebih seakan telah mendarah daging (dan telah
mengalami
apa
yang namanya
proses
internalisasi) di
Indonesia. Sentralisasi
menyebabkan, perihal dana rekonstruksi tadi, pengurusannya harus melalui berbagai
lembaga yang berkantor di Jakarta. Sehingga untuk pengurusannya harus membutuhkan
waktu yang cukup lama dan ribet untuk bisa sampai ke Jogja (yang hal ini memungkinkan
terjadinya ‘kebocoran’—tentu, dan hal tersebut terjadi dikarenakan yang menjadi obyek
disini adalah uang, dimana kita tahu bahwa uang merupakan suatu hal yang mempunyai
resiko inherent yang tinggi, apalagi jika uang tersebut berkumpul dengan jumlah yang
besar, dan uang tadi harus melalui berbagai ‘tangan’ sebelum sampai ke para korban
gempa).
Sedang birokratisasi yang berlebih, yang terjadi akibat sentralisasi, menyebabkan
perihal tersebut menjadi semakin ribet. Birokratisasi berlebih dapat dilihat dari panjangnya
5
alur yang harus ditempuh, mulai dari bagian ke bagian, sampai departemen ke departemen.
Berbagai birokrasi harus dilewati agar dana rekonstruksi tersebut segera mengucur ke
Jogja. Kesana dan kemari harus dijalani. Dana tak kunjung jua datang dan rakyat Indonesia
yang menjadi korban bencana harus merasakan akibatnya dengan harus menunggu lama
dan harus terpaksa tetap tingga di tempat pengungsian.
Tak lain, solusi alternatif pemecahan masalah ini (dan juga masalah-masalah lain
berkait dengan keuangan dimana terjadi juga permasalahan sentralisasi dan birokratisasi
berlebih dengan akar permasalahan pada sesuatu yang bernama anggaran—tetapi hal
tersebut merupakan cerita yang lain yang masih ada sangkut-pautnya dengan apa yang
sedang di-esai-kan pada tulisan ini) adalah desentralisasi dan debirokratisasi.
Dengan desentralisasi—dalam hal ini—pemerintah daerah tak perlu bersusahpayah lagi dalam mendapatkan dana untuk rekonstruksi, tak perlu lagi terlalu banyak—
istilahnya—‘terlalu banyak pulang-pergi ke Jakarta mengurus ini itu kesana kemari’,
ketika terjadi bencana alam dan diperlukan dana yang cukup besar untuk menangani
berbagai masalah pasca bencana. Diharapkan penanganan pasca bencana dapat
dilaksanakan dengan cepat dan sigap.
Kemudian dengan debirokratisasi, diharapkan lajur kepemerintahan tak perlu lagi
terlalu panjang dan berliku—dijadikan semakin flat— sehingga dapat dicapai keefektifan
dan keefisiensian ketika dana penanggulangan bencana diperlukan sehingga rakyat yang
menjadi korban bencana tak berlu lagi berlama-lama untuk mengalami kesusahannya.
Simpulan
Beberapa simpulan yang dapat diambil dari uraian singkat diatas adalah, pertama,
manajemen pemerintah dalam penanganan [pasca] bencana—tentu saja—perlu diperbaiki.
Dan karena salah satu sumber permasalahan tersebut adalah lamanya dan rumitnya
pencairan dana rekonstruksi korban bencana maka, kedua, diperlukan perbaikan dan
pembetulan dalam sistem birokrasi Indonesia dengan debirokratisasi, mengurangi sistem
kepemerintahan yang terlalu sentralistis dengan mendesentralisasikannya sehingga
otonomi daerah yang benar-benar otonomi dapat segera tercapai, dan evaluasi kinerja
perihal yang bersangkutan dengan keuangan negara Indonesia sehingga dapat dikuranginya
penyakit struktural yang terjadi di negara ini.
6
Lampiran
Daftar Bacaan:
1. Buku Akuntansi Pemerintahan Indonesia oleh Revrisond Baswir
2. http://www.walhi.or.id
Data Diri Penulis:
Nama
: Bagas Megantoro
NIM
: 04/180932/EK/15692 ; Universitas Gadjah Mada
Fakultas
: Ekonomi
Jurusan
: Akuntansi
No HP
: 085643264164
No telp.
: (0274) 380065
Email
: [email protected] atau [email protected]
Alamat
: Glagah Sari UH 4 / 564 Yogyakarta 55164
7
Download