II - Bappenas

advertisement
BAB II
HASIL SURVEI DAERAH
1. PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. PENDAHULUAN
Pada dasarnya terdapat beberapa strategi yang dapat diambil untuk mengurangi dampak
merugikan bencana. Strategi pertama adalah dengan sama sekali menghilangkan atau
secara signifikan mengurangi kemungkinan terjadinya bencana. Jika hal ini tidak dapat
dilaksanakan, strategi berikutnya adalah mengurangi besarnya dampak dan keganasan
bencana dengan mengubah karakteristik ancaman, meramalkan atau mendeteksi potensi
bencana (sistem peringatan dini), atau mengurangi kerentanan dengan memperbaiki unsurunsur struktural dan non-struktural masyarakat. Bila bencana tidak dapat terhindarkan lagi,
strategi terakhir adalah mempersiapkan pemerintah dan masyarakat untuk menghindari
atau merespon bencana dengan tepat dan efektif sehingga kerugian dapat dikurangi.
Strategi terakhir ini mencakup upaya meningkatkan kapasitas masyarakat untuk dengan
secepatnya memulihkan diri setelah terjadi bencana dan membangun kembali sembari
menguatkan diri untuk menghadapi kemungkinan terjadinya bencana di masa depan. Jadi
strategi penanggulangan bencana tidak terbatas pada tanggap darurat dan pemulihan pasca
bencana saja, tetapi juga meliputi upaya membangun ketangguhan masyarakat untuk
menghadapi ancaman bahaya.
Penanggulangan bencana merupakan salah satu perwujudan fungsi pemerintah dalam
memberikan perlindungan terhadap rakyat, agar dapat memberikan perlindungan yang
optimal, pemerintah daerah perlu memiliki rencana penanggulangan bencana yang
terstruktur, sistematis dan dapat dilaksanakan dengan efektif. Sebesar apapun skalanya,
kerugian dan dampak negatif bencana dapat diredam dan dikurangi. Fungsi ini tampaknya
mulai disadari secara luas oleh pemerintah daerah di berbagai wilayah di Indonesia,
terutama daerah-daerah yang mengalami bencana yang cukup besar seperti Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta atau lebih dikenal dengan DI Yogyakarta.
Jika ditinjau dari sisi kebencanaan maka Provinsi DI Yogyakarta memiliki kondisi geografis,
geologis, hidrologis, klimatologis dan demografis yang rawan terhadap ancaman bencana.
Sejumlah bencana yang dialami oleh daerah ini telah menimbulkan korban jiwa, membawa
kerugian material yang besar, menghancurkan hasil-hasil pembangunan dan membuat
miskin ratusan ribu bahkan jutaan orang dalam sekejap. Gempa Yogyakarta dan Jawa
Tengah pada Mei 2006 lalu, misalkan saja, menimbulkan kerugian lebih dari 29 triliun rupiah,
belum terhitung kerugian ikutan seperti hilangnya peluang dan mata pencaharian.
Kesadaran akan potensi bencana serta dampak kerugian yang pernah ditimbulkan memacu
pemerintah DI Yogyakarta untuk menyusun berbagai kebijakan, strategi dan sistem
operasional penanggulangan bencana.
6
B. POTENSI DAN KEJADIAN BENCANA PROVINSI DI YOGYAKARTA
1. Deskripsi Wilayah Provinsi DI Yogyakarta
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu provinsi dari 32 provinsi di wilayah Indonesia
dan terletak di Pulau Jawa bagian tengah. DI Yogyakarta di bagian selatan dibatasi oleh
lautan Indonesia, sedangkan di bagian timur, utara dan barat dibatasi oleh wilayah Provinsi
Jawa Tengah. Letak geografis DI Yogyakarta terletak antara 7033’-8015’ lintang Selatan dan
11005’-110050’ Bujur Timur. Luas provinsi DI Yogyakarta 3.185,81 km2 atau 0,17% dari luas
Indonesia. Provinsi DI Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, 75 kecamatan, 438
kelurahan/desa dan 5122 dusun.
Jika ditinjau dari kondisi geofisik maka Provinsi DI Yogyakarta dan sekitarnya terletak pada
jalur tektonik dan vulkanik, pada sisi utara terdapat vulkanik Merapi yang sangat aktif, pada
sisi Selatan (Samudera Hindia) terdapat palung Jawa yang merupakan jalur subduksi
lempeng Indo-Australia-Eurasia. Pertemuan ketiga lempeng ini merupakan penyebab utama
terjadinya gempa tektonik di kawasan ini.
Dari sisi geologi wilayah, maka wilayah DI Yogyakarta termasuk cukup kompleks, karena
secara struktur terdiri dari lipatan dan patahan. Lipatan terdiri dari antiklinal dan sinklinal
terdapat pada formasi Semilir dan Kepek di sisi Timur, sedang patahan berupa sesar turun
berpola anthitetic fault block membentuk Graben Bantul. Formasi geologi dominan di
wilayah DI Yogyakarta adalah endapan gunung merapi muda di bagian tengah (Graben
Bantul) dan bagian kecil berupa formasi Sentolo di bagian barat, formasi Aluvium, Andesit
(Baturagung), Formasi Semilir, Kepek dan Nglarangdi sisi timur.
Secara fisiografis/bentang lahan didominasi bentang lahan dataran jaju fluvio vulkanik
Merapi pada Graben Bantul, pada beberapa bagian wilayah menjadi bagian dari bentang
lahan pegunungan Baturagung, Perbukitan Sentolo, Dataran sungai Progo dan dataran
pantai.
2. Potensi Bencana Alam Provinsi DI Yogyakarta
Dari kondisi geografis, geologidan geofisik wilayah DI Yogyakarta, maka dapat disimpulkan
bahwa beberapa wilayah di dalam Provinsi DI Yogyakarta merupakan daerah rawan bencana.
Dari hasil identifikasi yang dilakukan maka terdapat beberapa potensi bencana dan kejadian
bencana yang ada di wilayah ini:
2.1. Gempa Bumi
Seperti telah dijelaskan sebelumnya di atas, bahwa wilayah DI Yogyakarta merupakan jalur
subduksi lempeng Indo-Australia-Eurasia. Pertemuan ketiga lempeng ini menyebabkan
wilayah ini sangat rentan terhadap gempa bumi. Dari data yang ada, DI Yogyakarta sudah
mengalami beberapa kali gempa dan gempa dengan kekuatan di atas 5 skala Richter di DI
Yogyakarta dan sekitarnya terjadi di tahun 1867, 1937, 1943, 1976, 1981, 2001 dan terakhir
tahun 2006. Namun gempa dengan kerusakan dan korban jiwa yang besar terjadi tahun
1867, 1943 dan 2006. Gempa tahun 1867 menyebabkan runtuhnya Tugu Keraton
7
Yogyakarta, sebagian Gedung Agung dan Taman Sari. Sementara gempa tahun 1943
mengakibatkan 2800 rumah hancur dan 213 orang meninggal dunia dan 2096 lainnya lukaluka. Dan gempa yang terjadi di tahun 2006 menewaskan 5.048 jiwa dan melukai 27.808
jiwa. Korban terbanyak berada di wilayah Bantul dengan jumlah meninggal sebanyak 4.143
orang, luka berat 8.673 orang serta luka ringan sebanyak 3.353 orang. Sementara jumah
rumah yang rusak sebanyak 240.396 buah.
2.2. Tsunami
Jika ditinjau dari sisi defenisinya maka tsunami merupakan rangkaian gelombang laut yang
menjalar dengan kecepatan tinggi. Di laut dengan kedalaman 7.000 meter, kecepatannya
dapat mencapai 942,9 km/jam dengan panjang gelombang mencapai lebih dari 100 m, tinggi
tidak lebih dari 60 m dan selisih waktu antar puncak antara 10 menit hingga 1 jam. Saat
mencapai pantai yang dangkal, teluk, atau muara sungai, panjang gelombang menurun
kecepatannya namun tinggi gelombang meningkat hingga puluhan meter dan bersifat
merusak. Sebagian besar tsunami disebabkan oleh gempa bumi di dasar laut dengan
kedalaman kurang dari 60 km dan magnitude lebih dari 6 SR. Namun demikian, tsunami juga
dapat diakibatkan oleh tanah longsor dasar laut, letusan gunung berapi dasar laut, atau
jatuhnya meteor ke laut.
Untuk wilayah DI Yogyakarta, potensi tsunami terdapat di wilayah daerah pantai selatan
rawan tsunami. Daerah ini telah mengalami sejumlah tsunami kecil yang merusak kapal
nelayan dan sejumlah infrastruktur yang terdapat di tepi pantai di wilayah pantai selatan.
2.3. Letusan Gunung Berapi
Proses terjadinya letusan gunung berapi berawal dari magma yang mengalami tekanan dan
menjadi lebih renggang dibanding lapisan di bawah kerak sehingga secara bertahap magma
bergerak naik, seringkali mencapai celah atau retakan yang terdapat pada kerak. Banyak gas
dihasilkan dan pada akhirnya tekanan yang terbentuk sedemikan besar sehingga
menyebabkan suatu letusan ke permukaan (gempa). Pada tahapan ini gunung berapi
menyemburkan bermacam gas, debudan pecahan batuan. Lava yang mengalir dari suatu
celah di daerah yang datar akan membentuk plateau. Lava yang menumpuk di sekitar mulut
(lubang) membentuk gunung dengan bentuk kerucut seperti umumnya.
Kategori bahaya letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.
Bahaya Primer adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung.
Misalnya, awanpanas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awan panasdan lontaran
material berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara
tidak langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan
lahan pertanian/perkebunan atau rumah.
Gunung Merapi yang masuk dalam wilayah Kabupaten Sleman merupakan gunung api aktif,
bahkan teraktif di dunia karena periodisitas letusannya relatif pendek (3-7 tahun). Dalam
kegiatannya, Gunung Merapi menunjukkan terjadinya guguran kubah lava yang terjadi
setiap hari. Jumlah serta letusannya bertambah sesuai tingkat kegiatannya. Volume guguran
kubah lava biasa oleh orang setempat disebut “wedhus gembel” atau glowing
cloud/nueeardente atau awan panas. Geofisik Gunung Merapi memiliki tipe khas
8
stratolandesit dan punya bentuk lereng yang konkaf, Merapi juga merupakan pertemuan
persilangan dua buah sesar transversal yang membentengi wilayah tengah Provinsi Jawa
Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta dan sesar longitudinal yang melewati Pulau Jawa. Bahaya
letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder. Bahaya primer adalah
bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya, awan
panas, udara panas (surger) sebagai akibat samping awan panasdan lontaran material
berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak
langsung dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan
pertanian/perkebunan atau rumah.
Sejak tahun 1548, gunung ini telah meletus sebanyak 68 kali. Letusan kecil terjadi tiap 2-3
tahun dan letusan yang lebih besar sekitar 10-15 tahun sekali. Dampak letusan Merapi yang
besar terjadi pada tahun1006, 1786, 1822, 1872dan 1930. Letusan tahun 1006
mengakibatkan tertutupnya bagian tengah Pulau Jawa oleh abu. Tabel berikut menunjukkan
aktivitas gunung Merapi yang cukup berbahaya.
Tabel L1.1
Aktivitas Gunung Merapi
No
Tahun
Peristiwa
Korban
1
1930
Erupsi
Hancurnya 13 desa dan
hilangnya 1400 jiwa
Hancurnya beberapa desa dan
hilangnya puluhan jiwa
Tidak ada korban jiwa
2
1994
Erupsi
3
4
1998
2001-2003
5
2006
Erupsi vertrikal
Peningkatan
aktivitas
dengan
periode yang lama
Peningkatan
aktivitas
dengan Dua orang relawan meninggal
periode yang lama yang disertai dunia
dengan luncuran awan panas
Sumber: Hasil Analisis
2.4. Banjir
Banjir terjadi disamping karena faktor alam juga karena ulah tangan manusia, diantaranya
karena banyaknya sampah yang dibuang sembarangan ke dalam saluran air (selokan) dan
sungai yang menyebabkan selokan dan sungai menjadi dangkal sehingga aliran air
terhambat dan menjadi meluap dan menggenang. Yang kedua, kurangnya daya serap tanah
terhadap air karena tanah telah tertutup oleh aspal jalan raya dan bangunan-bangunan yang
jelas tidak tembus air, sehingga air tidak mengalir dan hanya menggenang. Bisa jadi daya
serap tanah disebabkan ulah penebang-penebang pohon di hutan yang tidak menerapkan
sistem reboisasi (penanaman pohon kembali) pada lahan yang gundul, sehingga daerah
resapan air sudah sangat sedikit. Faktor alam lainnya adalah karena curah hujan yang tinggi
dan tanah tidak mampu meresap air, sehingga luncuran air sangat deras.
Banjir genangan dan banjir bandang, keduanya bersifat merusak. Aliran arus air yang tidak
terlalu dalam tetapi cepat dan bergolak (turbulent) dapat menghanyutkan manusia dan
binatang. Aliran air yang membawa material tanah yang halus akan mampu menyeret
material berupa batuan yang lebih berat sehingga daya rusaknya akan semakin tinggi. Banjir
air pekat ini akan mampu merusakan pondasi bangunan yang dilewatinya terutama pondasi
9
jembatan sehingga menyebabkan kerusakan yang parah pada bangunan tersebut, bahkan
mampu merobohkan bangunan dan menghanyutkannya. Pada saat air banjir telah surut,
material yang terbawa banjir akan diendapkan ditempat tersebut yang mengakibatkan
kerusakan pada tanaman, perumahan serta timbulnya wabah penyakit.
Bencana banjir di DI Yogyakarta memang dirasakan oleh sebagian masyarakat pada wilayahwilayah tertentu walaupun prosentasinya kecil, namun tetap potensial mengingat terdapat
sejumlah sungai besar di wilayah DI Yogyakarta dan terdapatnya kecenderung penyempitan
aliran sungai dan menimbulkan kerentanan yang cukup tinggi terjadinya genangan air.
Untuk wilayah DI Yogyakarta, potensi banjir terdapat di wilayah bagian selatan dan sejumlah
wilayah lain yang dialiri oleh sungai-sungai besar.
2.5. Tanah Longsor
Gerakan tanah atau tanah longsor akibat kondisi tanah yang tidak stabil yang disebabkan
oleh beberapa faktor, yaitu karena tekanan atau beban tanah menahan benda/bangunan di
atasnya, kemiringan tanah yang curam hingga sangat curam sehingga mendukung longsoran
tanah dan curah hujan yang tinggi serta tidak ada vegetasi yang menahan luncuran air
sehingga air mengalir membawa material tanah bisa terjadi longsoran dan banjir bandang.
Bencana tanah longsor di wilayah DI Yogyakarta terjadi pada beberapa titik rawan dengan
kondisi tanah curam yang biasanya berada pada dinding sungai dan di sepanjang kawasan
pegunungan Menoreh yang berpotensi longsor terutama di musim penghujan. Salah satu
contoh bencana akibat tanah longsor yang pernah terjadi adalah musibah banjir dan tanah
longsor di sungai Belik dan sungai Gajah Wong tanggal 13 Desember 2006, dikarenakan oleh
kondisi tanah yang labil, kelerengan yang curam, beban peruntukan lahan dan hujan lebat.
C. EVALUASI
YOGYAKARTA
SISTEM
PENANGGULANGAN
BENCANA
PROVINSI
DI
Dari sebaran kejadian dan potensi bencana yang sudah diuraikan pada bagian sebelumnya
maka bisa disimpulkan bahwa meskipun Provinsi DI Yogyakarta tergolong provinsi yang kecil,
namun memiliki potensi bencana yang beragam seperti telah diuraikan di atas dan kejadian
bencana gempa bumi tahun 2006 membuat pemerintah serta masyarakat memandang
bencana dengan perspektif berbeda.
1. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI DI YOGYAKARTA
Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi yaitu dari sisi berbagai
peraturan yang secara khusus mengatur tentang bencana itu sendiri, kebijakan lain yang
memiliki kaitan erat dengan penanggulangan bencana, sistem kelembagaan dalam
penanggulangan bencana serta kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang
kebencanaan. Untuk selanjutnya akan dideskripsikan kebijakan penanggulangan bencana
yang disusun dan diterapkan di Provinsi DI Yogyakarta.
10
1.1. Peraturan tentang Penanggulangan Bencana
Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap peraturan yang terkait dengan penanggulangan
bencana, maka sama seperti Provinsi Jawa Tengah, Provinsi DI Yogyakarta juga belum ada
peraturan setingkat Perda yang mengatur tentang Penanggulangan Bencana. Wacana
tentang pentingnya peraturan setingkat Perda yang mengatur tentang bencana memang
sudah menjadi pembahasan yang cukup lama di kalangan pemerintah dan legislatif setelah
terjadinya gempa bumi yang melanda Provinsi DI Yogyakarta dan menjadi salah satu
rekomendasi yang diusulkan dalam laporan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca
gempa bumi. Namun hingga survei dilakukan rekomendasi ini masih belum dapat
diwujudkan.
Untuk tahap tanggap darurat, terdapat sejumlah kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahdan sebagian besar kebijakan ini dikeluarkan untuk mengatasi bencana gempa
bumi yang terjadi tahun 2006. Kebijakan dan peraturan tersebut antara lain:
 Surat pernyataan Gubernur DI Yogyakarta tentang pernyataan bencana alam
gempa bumi,
 Keputusan Gubernur DI Yogyakarta No.68 Tahun 2006 tentang pembentukan dan
penunjukkan tim penanganan bencana gempa bumi di Provinsi DI Yogyakarta,
 3 buah instruksi Satkorlak DI Yogyakarta tentang Satgas Pramuka, Satlak
Kecamatan dan tanda pengenal relawan,
 Instruksi Gubernur DI Yogyakarta tentang mobilisasi tenaga PNS.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa Gubernur DI Yogyakarta telah berupaya
mengambil langkah-langkah kebijakan dengan memperpendek jalur birokrasi dalam rangka
kelancaran dan ketepatan distribusi bantuan kepada korban bencan, mengeluarkan
berbagai instruksi, pengumuman dan seruan serta memberi peran pad pemerintah,
masyarakat dan pihak lain seperti swasta, NGO dan lembaga donor untuk berperan serta.
Instruksi, seruang dan pengumuman yang dikeluarkan oleh Gubernur DI Yogyakarta pada
intinya adalah untuk memberikan ketenangan bagi masyarakat, serta instruksi kepada PNS
agar segera kembali bekerja untuk memulihkan kembali pelayanan publik.
Kebijakan Gubernur dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat dalam masa tanggap
darurat ini cukup berhasil bahkan mendapat respon positif dari para stakeholder.
Sementara tentang Pedoman Umum Bantuan Tanggap Darurat masih dikeluarkan oleh
Kepala Bakornas PB berupa Surat Bakornas PB yang ditujukan kepada Satkorlak PB Provinsi
DI Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah.
Untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, terdapat sejumlah kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintah Provinsi DI Yogyakarta, yaitu:
 Keputusan Gubernur DI Yogyakarta tentang Tim Pelaksana Rehabilitasi dan
Rekonstruksi,
 Keputusan Gubernur DI Yogyakarta tentang Kegiatan Rencana aksi pasca Gempa
Bumi di Provinsi DI Yogyakarta,
11





Keputusan Gubernur DI Yogyakarta tentang Penetapan Satuan Kerja, Struktur
organisasi pelaksana kegiatan, pejabat pengelola kegiatan serta uraian tugas dan
tanggung jawab pengelola kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa
bumi di provinsi DI Yogyakarta,
Keputusan Gubernur DI Yogyakarta tentang pembentukan tim pengarah kegiatan
rehabilitsi terpadu bidang kesehatan pasca gempa bumi di Provinsi DIY
Pergub No.38/2006 tentang mekanisme pencairan, penyaluran dan
pertanggungjawaban sisa dana penyelesaian rehabilitasi dan rekonstruksi rumah
pasca gempa di Provinsi DI Yogyakarta yang dibiayai melalui DIPA TA 2006
Keputusan Gubernur DI Yogyakarta tentang pembentukan tim monitoring dalam
rangka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi rumah pasca gempa bumi di
Provinsi DIY
Pergub No.47 Tahun 2006 tentang petunjuk operasional rehabilitasi dan
rekonstruksi pasca gempa bumi di Provinsi DI Yogyakarta.
Pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi perumahan dilaksanakan dengan pendekatan
partisipatif yang justru berhasil mendorong masyarakat untuk bangkit bergotong royong.
Dari hasil wawancara di ketahui bahwa masalah yang muncul pada tahap
rehabilitasi/rekonstruksi rumah bukan pada kebijakan tetapi lebih pada keakuratan data
karena banyak ditemukan data yang tidak valid.
1.2. Kebijakan Terkait Lainnya
Pada dasarnya terdapat berbagai kebijakan yang terkait erat serta mempengaruhi kebijakan
penanggulangan bencana. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan tata ruang. Untuk
Provinsi DI Yogyakarta, seiring dengan habisnya masa berlaku Perda RTRW lama, maka
pemerintah telah menyusun rencana tata ruang wilayah berbasis pengurangan risiko
bencana. Disamping itu pengembangan tata ruang juga sudah dimulai dengan pengkajian
mikrozonasi untuk beberapa wilayah. Bappeda Provinsi DI Yogyakarta juga sudah
mengembangkan peta risiko berbasis GIS yang dapat mengkonfirmasikan kondisi suatu
wilayah khususnya dalam batasan wilayah kecamatan terkait dengan potensi/ancaman,
kerentanan dan kapasitas dalam menghadapi bencana.
1.3. Sistem Kelembagaan
Sistem kelembagaan merupakan salah satu faktor yang sangat penting serta memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan pelaksanaan sistem penanggulangan
bencana di suatu wilayah. Jika sebelumnya pemerintah daerah membentuk Satkorlak
sebagai organisasi yang bertugas untuk mengatasi bencana, maka dengan dikeluarkannya
UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, maka terjadi perubahan lembaga
dari Satkorlak menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Pasal 18).
Ternyata amanat UU No.24/2007 ini belum diimplementasikan oleh Pemerintah Provinsi DI
Yogyakarta karena terbukti dari evaluasi terhadap SOTK yang baru disahkan oleh DPRD,
peran ini masih diberikan kepada Satkorlak dan masih bersandar pada kebijakan yang lama.
Dari hasil wawancara diketahui bahwa Provinsi DI Yogyakarta memilih untuk menunggu
12
pedoman teknis pembentukan BPBD untuk menghindari kesalahan implementasi dan masih
efektifnya kebijakan yang lama untuk diterapkan.
Untuk fungsi penanggulangan bencana, terutama untuk tahap tanggap darurat dan pasca
bencana masih tetap diemban oleh sejumlah SKPD seperti Dinas Kesehatan, Dinas Sosialdan
Dinas Pekerjaan Umum dan masih menerapkan pola koordinasi yang telah diterapkan
sebelumnya.
Dalam membangun landasan yang kokoh bagi pengurangan risiko bencana di DI Yogyakarta,
telah ada inisiasi untuk membentuk suatu forum atau platform pemangku kepentingan PRB
di Provinsi DI Yogyakarta. Forum ini bernama forum PRB yang diharapkan dapat membantu
memperbaiki jalur koordinasi antar institusi baik pemerintah, lembaga non pemerintah, LSM
dan perguruan tinggi serta pihak lainnya dengan tujuan menghindari inefisiensi program
kegiatan, menghindari tumpang tindih para pemangku kepentingan PRB di masa yang akan
datang.
1.4. Kebijakan di Bidang Penganggaran
Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta tidak memiliki kebijakan tertentu yang secara khusus
mengatur tentang alokasi anggaran atau sistem anggaran di tahapan mitigasi bencana.
Sementara untuk tahap tanggap darurat dan tahap rehabilitasi dan rekonstruksi,
pemerintah Provinsi DI Yogyakarta telah mengeluarkan sejumlah kebijakan, seperti:
 Keputusan gubernur tentang ijin perubahan penbayaran beban tetap menjadi
pengisian kas belanja tidak tersangka tahun anggaran 2006
 SE Gubernur DI Yogyakarta tentang sisa anggaran belanja tak tersangka tahun
anggaran 2006 untuk pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi
 Sejumlah surat keputusan gubernur terkait dengan kuasa pengguna anggaran
 Pergub No. 38 Tahun 2008 tentang Mekanisme Pencairan, Penyaluran dan
Pertanggung Jawaban Sisa Dana Penyelesaian Rehabilitasi Dan Rekonstruksi
Rumah Pasca Gempa,
 Surat keputusan gubenur tentang alokasi anggaran 147 milyar rupiah untuk
penanggulangan bencana tahun 2006
2. STRATEGI PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI DI YOGYAKARTA
Untuk melaksanakan kebijakan penanggulangan bencana, maka perlu disusun sejumlah
strategi. Dalam kegiatan kajian ini, maka strategi yang dimaksud adalah menjadikan
penanggulangan bencana sebagai bagian dari rencana dan sistem perencanaan
pembangunan di daerah, karena dengan cara seperti ini maka keberlangsungan program
dan kegiatan akan terwujud, disamping juga alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan.
2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan berbagai pihak maka diperoleh informasi
bahwa penanggulangan bencana saat ini sudah dibahas dan akan menjadi bagian dari
program pembangunan jangka panjang untuk DI Yogyakarta, sehingga diharapkan program-
13
program penanggulangan bencana akan tetap mendapat perhatian dari berbagai kalangan
terutama dari pemerintah dan legislatif.
2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
Seiring dengan proses integrasi aspek pengurangan risiko bencana ke dalam RPJP, maka
integrasi aspek pengurangan risiko bencana ke dalam RPJMD dan proses ini masih dalam
proses dan belum selesai.
2.3. Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB)
Meskipun dalam tatanan sistem perencanaan pembangunan daerah tidak dikenal sebuah
tatanan yang disebut rencana aksi, namun teryata rencana aksi ini cukup efektif sebagai
wadah untuk mengintegrasikan program-program di bidang penanggulangan bencana dan
menjadi pedoman bagi SKPD dalam menyusun rencana kerja tahunan SKPD. Untuk Provinsi
DI Yogyakarta, RAD PRB sudah disusun dan dibahas beberapa kali namun rencana aksi ini
belum mencapai kata final dan masih terus dalam proses pembahasan.
2.4. Rencana Kerja Tahunan SKPD
Kegiatan penanggulangan bencana sudah menjadi bagian dari Renja SKPD meskipun
rencana tersebut masih bersifat sektoral dan lebih mengarah pada upaya antisipatif. Dari
sebagian besar program dan kegiatan yang ada di SKPD, sebagian besar diarahkan pada
rehabilitasi dan rekonstruksi akibat gempa tahun 2006.
2.5. Alokasi Anggaran
Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana secara reguler tersebar di seluruh SKPD
terkait, sesuai dengan TUPOKSI-nya. Besaran anggran masih terbatas untuk kegiatan rutin
yang mendukung TUPOKSI dan sebagian besar diarahkan pada kegiatan rehabilitasi dan
rekonstruksi.
3. SISTEM OPERASIONAL PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI DI YOGYAKARTA
Dalam kajian ini yang dimaksud dengan sistem operasional penanggulangan bencana adalah
prosedur-prosedur tetap yang digunakan pemerintah dalam penanggulangan bencana, serta
tata komando serta tata komunikasi dan aspek-aspek operasional lainnya.
3.1. Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana
Dari hasil evaluasi dan wawancara dengan berbagai pihak di Provinsi DI Yogyakarta,
prosedur penangulangan bencana masih mengacu pada pedoman pemerintah pusat. Untuk
prosedur penanggulangan bencana, pemerintah provinsi DI Yogyakarta masih mengacu
pada Surat Bakornas tanggal 2 Juni 2006 tentang pedoman umum bantuan tanggap darurat
dan beberapa aturan lain yang dikeluarkan untuk mengatasi kondisi tanggap darurat pasca
gempa 2006 serta tahap rehabilitasi dan rekonstruksi.
14
Semua prosedur yang dihasilkan pada saat tanggap darurat akibat peristiwa gempa yang ada
bersifat sementara dan bukan aturan baku untuk mengantisipasi bencana selanjutnya.
3.2. Tata Komando dan Komunikasi Penanggulangan Bencana
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, saat ini lembaga yang mengemban tugas
penanggulangan bencana di provinsi DI Yogyakarta adalah Satkorlak dan Kesbanglinmas dan
ini tentu saja mempengaruhi tata komando dan komunikasi penanggulangan bencana.
Saat ini tata komando jika terjadi bencana ada pada Ketua Satkorlak dengan, Kesbanglinmas
sebagai leading sektor. Sebagai pelaksana lansung adalah SKPD terkait sesuai dengan bidang
keahliannya. Komunikasi inter dan intra SKPD relatif lancar dan bersifat koordinatif Masingmasing SKPD akan mengambil peran sesuai dengan TUPOKSI-nya.
D. EVALUASI IMPLEMENTASI
PROVINSI DI YOGYAKARTA
SISTEM
PENANGGULANGAN
BENCANA
Untuk melihat efesiensi dan efektifitas dari suatu sistem maka perlu dilakukan evaluasi
terhadap implementasi dari sistem tersebut. Dalam kajian ini terdapat sejumlah aspek yang
digunakan dan hasil dari evaluasi atas implementasi tersebut dapat dilihat dalam
serangkaian tabel di bawah ini.
1. EVALUASI KEBIJAKAN
Evaluasi dari aspek kebijakan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
1
2
Aspek
Hasil Evaluasi
Efektifitas kebijakan dalam
mengurangi risiko bencana
dan saat bencana terjadi
 Selama ini kebijakan penanggulangan bencana masih
Hambatan
dalam
penyusunan kebijakan di
bidang
penangulangan
bencana (pusat maupun
daerah)
 Masih banyak terjadi ketidak sesuaian antara desain
bersifat antisipatif belum kebijakan yang bersifat
preventif.
 Kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Provinsi DI
Yogyakarta selama tahap tanggap darurat dan
rehabilitasi
serta
rekonstruksi menggunakan
pendekatan partisipatif yang dibuktikan dengan
tingkat partisipasi masyarakat dan berbagai pihak
yang sangat tinggi
 Saat ini pemerintah sedang dalam proses perubahan
kebijakan dari antisipatif ke arah preventif dengan
disusunnya berbagai instrumen kebijakan yang
mengarah pada tindakan preventif
yang diharapkan oleh pusat dengan realitas
pelaksanaan di daerah.
 Perbedaan cara pandang ini membuat pemerintah
daerah bersifat menunggu kebijakan lanjutan yang
dikeluarkan oleh pemerintah
 Masalah yang dihadapi dan kebutuhan yang
15
No
Aspek
Hasil Evaluasi
diperlukan oleh masing-masing daerah tidak selalu
sama
3
4
5
Sinergi implementasi antar
peraturan (adakah yang
saling kontraproduktif)
 Masih ada kontraproduktif antara peraturan yang
Tingkat dukungan politik
terkait
kebijakan
penanggulangan bencana
 Dukungan politik dari berbagai fihak (Legeslatif,
Hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
kebijakan penanggulangan
bencana
 Masih adanya ketidak sesuaian antara kebijakan yang
dikeluarkan oleh masing-masing instansi/lembaga
dan departemen.
Perguruan Tinggi dan LSM) sangat baik.
dikeluarkan pusat (antara lembaga/instansi dan
departemen) berdampak pada lemahnya komitmen
dan kepercayaan dari daerah
Sumber: Hasil Analisis
2. EVALUASI STRATEGI
Evaluasi dari aspek strategi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
1
2
3
4
5
Aspek
Hasil Evaluasi
Proses
penyusunan
rencana-rencana di bidang
penanggulangan bencana
 Rencana khusus untuk penanggulanagn bencana
Mekanisme
integrasi
rencana strategis ke dalam
renja SKPD
 Masih belum ditemukan mekanisme yang pasti
Hambatan
dalam
penyusunan rencana dan
implementasi
rencana
penanggulangan bencana
 Karena kegiatan diusulkan secara sektoral oleh SKPD,
Hambatan dalam alokasi
anggaran terkait dengan
penanggulangan bencana
 Alokasi anggaran untuk kebencanaan tersebar di SKPD
Hambatan dalam meraih
komitmen
SKPD
dan
 Masih ada hambatan klasik mengenai eselonisasi (jika
belum disusun. SKPD menyusun kegiatan sebatas
untuk mendukung TUPOKSI. Sehingga kegiatan
penanggulanagn bencana yang disusun masih sangat
dasar.
 Program dan kegiatan direncanakan/diusulkan oleh
masing-masing SKPD sesuai dengan TUPOKSI-nya
 Usulan dari SKPD akan diverifikasi oleh Bapeda dan
Tim Anggaran Daerah
bagaimana mengintegrasikan rencana strategis ke
dalam renja SKPD
maka masih ditemui adanya tumpang tindih kegiatan
yang serupa (hanya beda obyek).
terkait. Selama ini SKPD merasakan terbatasnya
anggaran untuk kegiatan penanggulangan bencana.
yang mengkoordinir, eselonnya lebih rendah dari yang
16
mekanisme
koordinasi
dalam
melaksanakan
rencana-rencana
penanggulangan bencana
dikoordinir, maka akan mengalami beberapa kendala)
Sumber: Hasil Analisis
3. EVALUASI OPERASIONAL
Evaluasi dari aspek operasional dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
Aspek
1
Hambatan
implementasi
lapangan
2
Hambatan
implementasi
komando
dan
komunikasi.
Hasil Evaluasi
dalam
protap di
dalam
tata
tata
 Protap yang ada dapat dilaksanakan dengan baik,
namun untuk tahap selanjutnya perlu disusun prosedur
baku yang akan menjadi pedoman dalam
penanggulangan bencana
 Secara umum tata komando dan komunikasi sudah
berjalan dengan baik karena sistem pemerintah di DI
Yogyakarta
yang
masih
sangat
menghargai
kepemimpinan sultan selaku gubernur.
Sumber: Hasil Analisis
17
Download