MILITERISASI SEJARAH INDONESIA: PERAN NASUTION Oleh Asvi Warman Adam Sejarah militer memiliki usia yang sangat panjang. Bukankah salah satu teks sejarah lama Histoire de la guerre du Peloponnese[1] (Sejarah Perang Peloponesos) yang ditulis Thucydide abad ke-5 merupakan sejarah militer. Di Perancis setelah tahun 1870 minat terhadap sejarah militer meningkat pertama, dalam rangka mengenang kemenangan tentara terhadap musuh dan kedua, pentingnya pengkajian strategi militer. Yayasan La Sabretache yang didirikan untuk mengumpulkan benda-benda yang berhubungan kemiliteran menjadi cikal bakal Museum Tentara di Perancis tahun 1896.[2] Tentunya militer tidak berhubungan perang saja tetapi juga berkaitan dengan aspek lain seperti timbulnya sentimen kebangsaan. Eugene Weber mengungkapkan justeru nasionalisme di kalangan petani Perancis berkembang awal abad XX ketika wajib militer diadakan[3]. Mungkin orang beranggapan nasionalisme Perancis sudah berkembang sejak abad ke-18 dengan pecahnya Revolusi Perancis tahun 1789. Pada masyarakat petani Perancis ternyata nasionalisme muncul lebih belakangan. Sejarah militer yang berasal dari “dapur” (foyer) [4]militer tentu menekankan stabilitas dan keamanan negara. Tidak ada masalah kalau sejarah ini ditujukan secara khusus kepada kalangan sendiri. Persoalan baru timbul bila sejarah militer ini dipaksakan untuk diajarkan di sekolah. Dengan kata lain, dilakukan militerisasi sejarah dengan menekankan pentingnya operasi militer dalam penumpasan pemberontakan misalnya. Pada buku pelajaran sekolah semasa Orde Baru, operasi penumpasan PRRI dan pemberontakan lainnya diuraikan secara rinci termasuk mencantumkan nama para komandan yang memimpin masing-masing operasi. Untuk membantah pandangan bahwa gerakan militer yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952 termasuk pemberontakan diberikan penjelasan yang panjang oleh pelaku sejarah yakni Jenderal Nasution. Latar belakang Nasution ? Abdul Haris Nasution lahir di kampung Huta-Pungkut, Mandailing, 3 Desember 1918. Ia menamatkan pendidikan dasar HIS di Kotanopan. Ayahnya adalah pedagang yang semasa mudanya pengikut Sarikat Islam. Di dinding rumah mereka terlihat gambar Kemal Pasha, pemimpin Turki. Tahun 1932, Nasution memasuki sekolah guru yaitu Sekolah Raja (HIK) di Bukittinggi. Semasa kecil, Nasution menyenangi pelajaran ilmu bumi dan sejarah. Ia mendapat nilai tinggi untuk kedua pelajaran tersebut. Pada kelas 6 dan 7 HIS ia boleh meminjam buku dari perpustakaan sekolah yang umumnya berbahasa Belanda. “Saya membaca kisah-kisah para pahlawan Belanda seperti laksamana de Ruyter, pahlawan perang tahun 1880-an. Juga ada buku tentang Napoleon Bonaparte dan Perang Boer di Afrika Selatan. Dari perpustakaan sekolah saya pun menemukan cerita tentang kejayaan tentara Turki pada masa silam”.[5] Pada tahun terakhir di HIS dari seorang temannya ia memperoleh buku mengenai revolusi Perancis dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa lain. “Ketika itulah timbul harapan, walaupun rasanya amat jauh, semoga bangsa Indonesia dapat berperan pula dalam sejarah dunia seperti bangsa-bangsa lain”. Dari buku itu pula –sayang tidak disebutkan judulnya -- ia melihat pentingnya peranan militer untuk melancarkan perjuangan bangsa. Di sekolah Raja, semua gurunya orang Belanda kecuali guru menggambar. Dengan demikian Nasution dapat mengenal cara berpikir, watak dan sikap orang Belanda yang kelak dihadapinya dalam pergerakan kemerdekaan. “Bukankah untuk mengalahkan musuh, kita harus mengenal musuh tersebut dengan baik”, ujarnya. Tahun 1935 sekolah guru di Bukittinggi dibubarkan, yang tinggal hanya di Bandung. Untuk menamatkan sekolah Nasution harus pindah ke kota itu. Guru sejarahnya di sekolah ini bernama Van der Werf yang juga memimpin partai Katholik di Bandung. Gurunya juga banyak bercerita tentang masalah politik. Cita-cita Nasution menjadi guru perlahan-lahan sirna, ia mulai tertarik kepada bidang politik. Suatu ketika ia membeli di toko loak pidato pembelaan Bung Karno, Indonesia Menggugat. Tahun 1937 Nasution tamat sekolah dan ia mengajar di Bengkulu, kota pengasingan Soekarno. Di sinilah Nasution pertama kali secara fisik bertemu dengan Soekarno. Tahun 1938 Nasution pindah ke Tanjung Raja dekat Palembang. Karena untuk mengikuti pendidikan bidang militer harus berijazah AMS bukan sekolah guru, maka Nasution terpaksa belajar sendiri dan lulus ujian AMS. Ketika tahun 1940 Belanda membuka CORO (Corps Opleiding Reserve Officieren) di Bandung, Nasution melamar ke sana dan diterima bersama dengan T.B.Simatupang dan Alex Kawilarang. Semasa mengikuti pendidikan militer ini Nasution juga sempat berhubungan aktivis pergerakan di tanah Pasundan termasuk Uyeng Suwargana (yang kemudian juga menulis buku sejarah). CORO Bandung Sejauh mana pendidikan militer yang diperolehnya di Bandung mempengaruhi pemikiran Nasution? Keterangan tentang hal ini lebih banyak diberikan oleh T.B.Simatupang[6]. Belanda memiliki KMA (Koninklijke Militaire Academie) di Breda, yang terletak di bagian selatan negeri itu. Karena Belanda diduduki Jerman, maka akademi serupa diadakan di Bandung untuk menghadapi kemungkinan serangan Jepang. Di Breda landasan teoritis diberikan tahun pertama dan kedua, sedangkan praktek di tahun ketiga. Namun di Bandung sejak pertama diberikan sekaligus teori dan praktek agar setiap saat bisa terjun ke medan perang. Belanda sudah lama tidak menghadapi peperangan sehingga ilmu perang yang diajarkan di Breda terutama berdasarkan pemikiran dan pengalaman dua negara besar Eropa yaitu Jerman dan Perancis. Landasan teoritis banyak berorientasi kepada Clausewitz dan pengalaman kemenangan Perancis dalam perang dunia I. Di antara buku pelajaran terpenting terdapat tulisan Kapten S.Spoor mengenai strategi dan taktik. Spoor ketika itu sudah berpangkat kolonel, menjadi salah satu instruktur di Bandung. Landasan teoritis bagi tugas KNIL tercermin dalam VPTL (Voorschrift Politiek-Politionele Taak van het Leger) atau Pedoman bagi Pelaksanaan Tugas Politik-Polisional bagi Tentara. Selain itu juga diajarkan ilmu hukum yang menjadi landasan bagi hukum militer dan peraturan disiplin militer maupun untuk memahami kedudukan tentara dalam ketatanegaraan, demikian pula yang berkenaan dengan hukum internasional mengenai perang. Etnologi atau ilmu bangsa-bangsa Hindia Belanda juga diajarkan selain bahasa Melayu. Menurut Nasution ia dipinjami buku Clausewitz oleh T.B. Simatupang[7] yang telah lebih dahulu membacanya. Sebelumnya Nasution sudah membaca buku-buku yang lebih tipis karangan Von Hindenburg dan Charles de Gaulle. Militerisasi sejarah Upaya rekayasa sejarah yang dilakukan pemerintah Orde Baru telah berlangsung sejak awal berdirinya rezim sampai jatuhnya Soeharto. Dalam hal ini Nugroho Notosusanto (dan Pusat Sejarah ABRI) berperan besar. Aspek ini sudah pernah disinggung antara lain dalam disertasi dan artikel[8] Katharine E. McGregor. Menurut McGregor, terdapat tiga proyek utama Nugroho Notosusanto yaitu 1) Sejarah percobaan kudeta 1965, 2) De-Soekarnoisasi antara lain melalui teori tentang lahirnya Pancasila, 3) Mengangkat citra sejarah militer misalnya melalui Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Untuk keperluan itu selain dari penulisan Sejarah Nasional Indonesia, juga dibangun beberapa museum dan monumen bersejarah beserta dioramanya di samping pembuatan berbagai film. Ada beberapa catatan yang dapat ditambahkan terhadap tulisan McGregor. Pertama, mengenai sejarah percobaan kudeta 1965, Kate mengatakan bahwa buku 40 Hari Kegagalan ‘G30S’ “mungkin proyek sejarah yang penting yang dibuat oleh Nugroho Notosusanto”. Menurut hemat saya, meskipun tim yang diketuai Nugroho mengerjakan penelitian kilat tersebut, inisiator atau penanggungjawab buku itu adalah Jenderal AH Nasution. Kedua, mengenai de-Soekarnoisasi[9] saya sering mengutip sejarawan Perancis Jacques Leclerc bahwa Soekarno telah dibunuh dua kali (21 Juni 1970 ia wafat setelah sakit dan tidak memperoleh perawatan sebagaimana semestinya serta sejak 1 Juni 1970, peringatan hari lahir Pancasila dilarang oleh Kopkamtib). Ketiga, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa adalah proyek nasional dalam bidang pendidikan yang bermula dari apa yang terjadi di kalangan ABRI. Jenderal Jusuf selaku Panglima ABRI melaporkan kepada Presiden Soeharto bahwa banyak taruna AKABRI yang tidak kenal dengan pahlawan bangsa. Bahkan dapat ditambahkan pula bahwa buku pedoman (text book) sejarah ABRI merupakan model atau dilanjutkan dengan buku pedoman sejarah nasional yang kemudian dikenal sebagai SNI (Sejarah Nasional Indonesia)[10]. Tulisan ini mencoba mengkaji peran Nasution yang kurang dibahas dalam penulisan sejarah nasional[11]. Buku-bukunya memang banyak dikutip tetapi sampai seberapa jauh perannya dalam historiografi Indonesia kelihatannya belum cukup disorot. Bagaimana peran Jenderal Nasution sebagai sejarawan ? Periode 1960-an Pada tahun 1960-an, penulisan sejarah di Indonesia diwarnai suasana “revolusi belum selesai”. M. Ali[12] menyatakan bahwa fungsi utama sejarah Indonesia adalah untuk memperlihatkan bangsa Indonesia: a) bangsa yang sama kedudukannya dengan bangsa kulit putih, b) bangsa yang pernah menduduki tempat terhormat dalam jaman keemasan, c) puncak kejayaan itu sama dengan bangsa lain, d) kejatuhan sebagai bangsa yang tangguh adalah akibat dari kecurangan, kelicikan, tipu muslihat Belanda dengan politik devide et impera mereka. Seperti telah disebutkan sebelumnya pada era demokrasi terpimpin itu nasionalisme diarahkan untuk menentang kolonialisme dan menjadikan bangsa Indonesia duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Menjelang tahun 1965, kursus revolusi semakin gencar. Disusunlah buku Sejarah Pergerakan Nasional (1908-1964) Berdasarkan kuliah-kuliah Sejarah Pergerakan Nasional. Kursus Kader Revolusi, Angkatan Dwikora oleh Tim Pembantu Sejarah Pergerakan Nasional, Pengurus Besar Front Nasional, Jakarta (1964) yang dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo. Tim pelaksananya dikoordinatori Anwar Sanusi dari PKI. Pada halaman 7 disebutkan bahwa “Sejarah Pergerakan Nasional adalah sebagian dari sejarah pergerakan rakyat sedunia. Sejarah pergerakan nasional merupakan alat revolusi dalam rangka penyelesaian revolusi Indonesia”[13]. Sebelumnya Sutjipto Wirjopranoto diangkat sebagai guru besar di UI tahun 1961 dan menyampaikan pidato pengukuhan berjudul “Pancasila Manipol USDEK sebagai dasar pentafsiran sejarah”, 1961. Menurut dia “kajian sejarah tidak boleh hanya demi pengetahuan ilmiah semata-mata, tetapi harus mengabdi cita-cita Revolusi Indonesia; tidak boleh hanya mempelajari masa lampau, tetapi harus bisa menunjukkan arah menuju ‘Negara Sosialisme Indonesia’ di masa depan”. Kedekatan antara PKI dengan Sukarno antara lain melalui salah seorang penulis pidato Presiden (Njoto) menyebabkan beberapa gagasan kelompok kiri dapat terserap dalam pidato kenegaraan. Menurut Ruth Mc Vey “From the viewpoint of communist leaders, history become too important to be left to the historians”[14]. Tokoh PKI yang memikirkan sejarah dan pengajaran sejarah secara khusus sulit untuk disebut dengan pasti, tetapi PKI mempunyai lembaga sejarah -- walaupun tentu saja yang diteliti sejarah partai. Selain itu CC PKI juga membuka Akademi Sejarah untuk umum yang dinamai Akademi "Ranggawarsita". Dari kalangan PKI juga terdapat guru sejarah dan penulis buku pelajaran sejarah seperti Supardo dan Ir Rutgers. Sementara itu Sumardjo, menteri PDK dalam "kabinet 100 menteri" anggota HSI, lulusan B2 Sejarah di Yogya.[15] Untuk mengantisipasi atau menghadapi buku dan pengajaran sejarah yang memakai perspektif kiri, maka tahun 1964 Nasution membentuk tim yang terdiri dari pengajar sejarah di Fakultas Sastra UI yaitu Nugroho Notosusanto dkk untuk menyusun Sejarah Singkat Perjuangan Bersenjata Bangsa Indonesia (SSPBBI). Tujuannya antara lain memperlihatkan bahwa Peristiwa Madiun itu merupakan pemberontakan komunis. Tahun 1964 itu dibentuk Biro Chusus Sejarah Staf Angkatan Bersenjata yang kemudian menjadi Pusat Sejarah ABRI. Kerjasama formal yang dijalin Nasution dengan UI bukan saja dalam bidang sejarah melainkan juga dalam latihan kemiliteran sebagaimana diungkapkan oleh Juwono Sudarsono[16]. “Latihan kemiliteran Dosen (LKD) diselenggarakan Pusat Pertahanan Sipil, tak jauh dari kampus UI Salemba 4. Sekitar 20 dosen UI di bawah pembantu Rektor III Drs Nugroho Notosusanto dilantik Pak Nas kurang lebih dua bulan sebelum peristiwa G30S…” Tanggal 30 September 1965 terjadi sebuah percobaan kudeta. Dalam tempo sangat singkat telah dikeluarkan versi militer mengenai peristiwa tersebut yang diterbitkan Staf Pertahanan Keamanan, Lembaga Sedjarah—Th 1966, 40 Hari Kegagalan “G.30.S”, 1 Oktober-10 November 1965, (yang kami baca cetakan kedua, 1966, 181 hal). Cetakan pertama buku ini terbit 27 Desember 1965 setelah dipersiapkan dalam tempo sebulan. Dua minggu oleh para penulis dan dua minggu untuk diperiksa oleh Menko Hankam/KASAB Nasution. Buku ini dianggap oleh penulisnya sebagai ‘first draft”[17] karena harus memburu deadline akhir tahun 1965. Tim penyusun buku ini antara lain, Letkol Moch Sukandar, Drs Saleh As’ad Djamhari, Drs Amrin Imran dan para sarjana muda sejarah Zainabun Harahap, Rochmani Santoso, Emilia Baki Musin dan Lybia Soedjono. Dalam waktu kurang setahun, cetakan pertama buku ini sebanyak 10.000 eks terjual habis. Bulan Februari 1966 Staf Angkatan Bersenjata dihapuskan Presiden dan Jenderal Nasution dibebas tugaskan. April 1966 dibentuk Staf Hankam yang dalam kenyataan melanjutkan tugas SAB. Dalam kalangan SHK (Staf Hankam) itu dibentuk Ladjarah (Lembaga Sedjarah) yang pada hakekatnya merupakan kelanjutan dari Pussedjab (Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata). Kepala Lembaga Sejarah Staf Hankam ini Drs Nugroho Notosusanto. Tonggak sejarah militer Tanggal 17 Oktober 1952 merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting bagi kehidupan dan karier Nasution maupun bagi sejarah militer Indonesia. Ketika itu meriam tertuju ke istana. Militer meminta kepada Presiden Sukarno untuk membubarkan parlemen. Setelah peristiwa ini Nasution sebagai KASAD dinonaktifkan sampai tahun 1955. Selama tiga tahun digunakannya untuk menulis sejarah dan merenungkan posisi yang pas bagi ABRI. Periode ini bisa dilihat sebagai moratorium[18], masa yang penting untuk pematangan identitas, ia keluar dari era ini dengan persepsi tentang politik, konstitusi dan cara menghadapi Bung Karno yang berbeda. Dalam tiga tahun itu, ia menulis beberapa buku Pokok-Pokok Perang Gerilya, Catatan tentang TNI dan outline Sekitar Perang Kemerdekaan yang 11 jilid itu. Nasution sangat terpukul oleh laporan BISAP (Biro Informasi Staf Angkatan Perang, Zulkifli Lubis) yang mengisahkan dialog antara Sukarno dengan Nasution “Kalau parlemen itu dibubarkan berarti saya jadi diktator”, kata Bung Karno. “Kami akan dukung”, jawab Nasution. “Kalau saya jadi diktator akan saya pecat kalian”, ujar Bung Karno. Menurut Nasution pembicaraan itu tidak ada. Dengan kata lain ini suatu fitnah yang menjatuhkan dirinya. Jadi kalau tahun 1965 Nasution mengatakan bahwa “fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan”, maka saya kira ia antara lain mengacu kepada peristiwa 1952 juga. Bagaimana cara Nasution menulis buku Sekitar Perang Kemerdekaan yang 11 jilid itu[19]. Ia mula-mula menulis pada bagian belakang halaman kalender yang besar, ada 11 kolom secara vertical yang bersifat kronologi. Sedangkan ke samping ia membuat kolom sebanyak 11 pula berisi aspek politik, diplomasi, sosial dll. Dari outline ini Nasution dengan bantuan KASAD penggantinya menyurati ratusan komando militer di seluruh Indonesia (komandan kodam, korem dst). Sekitar 2/3 memberikan jawaban bahkan ada yang meminta wawancara khusus. Dengan demikian terkumpul sejarah perjuangan militer dari seluruh wilayah di Indonesia. Baru tahun 1970-an buku itu ditulis kembali oleh staf Pusat Sejarah ABRI dengan dibantu oleh sfaf Nasution dari UI yaitu Drs Mula Marbun. Jadi dengan inisiator Jenderal Nasution, sebetulnya Sekitar Perang Kemerdekaan itu karya kolektif ABRI. Buku itu sendiri banyak dikutip termasuk oleh kalangan di luar tentara. Tahun 1952[20] Nasution berpikir bahwa ia tidak mampu menentang Sukarno secara frontal. Oleh sebab ia mengatur strategi tersendiri. Setelah dicopot Nasution berubah strategi. Ia ikut arus dan berpidato tentang revolusi belum selesai. Bahkan dalam kampanye partai IPKI tahun 1955 ia juga berpidato tentang ini. Nasution mendirikan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia untuk memberikan kesempatan kepada tentara berpolitik. Namun upaya ini kurang membuahkan hasil, hanya beberapa calon mereka yang terpilih sebagai anggota DPR selain Nasution yang lolos sebagai anggota Konstituante. Kegagalan partai tentara ini menyebabkan Nasution beralih strategi. Bulan September 1955 ia diundang Bung Karno ke istana dan diminta untuk menulis perintah Panglima Tertinggi tanggal 5 Oktober 1955. Menurut Susan McKemmish, Maladi juga berperan membujuk dan meyakinkan Soeharto bahwa Nasution loyal kepada Soekarno. Dikatakannya bahwa Nasution bukan orang PSI sedangkan T.B. Simatupang lebih dekat kepada partai ini. Akhirnya, Nasution kembali menjabat sebagai KSAD tanggal 28 Oktober 1955. Tanggal ini menandai “warna baru”[21] perjuangan politik militer yang selanjutnya ditandai dengan “wajah baru” pola hubungan sipil-militer di Indonesia, menuju diberlakukan “peran baru” yang berganda dari pihak militer dalam negara (dwifungsi). Pada tahun 1950-an Presiden Soekarno dan tentara sama-sama menganggap sebagai kekuatan yang telah berjuang dalam revolusi kemerdekaan namun saat itu tanpa peranan riel yang cukup. Presiden meskipun mempunyai kedudukan yang kuat tidak diberi kekuasaan pemerintahan. Sementara itu militer, bukan saja tidak memiliki peranan politik yang berarti, bahkan sekedar alat dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Presiden dan militer samasama merasa memiliki peran yang terbatas. Maka berlangsung hubungan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal Nasution yang dalam jangka panjang terlihat sebagaimana digambarkan Roeslan Abdulgani “love and hate relationship”, saling membutuhkan tetapi sebetulnya juga tidak saling menyukai. Nasution melihat bahwa peran militer dalam perpolitikan nasional harus memiliki dasar hukum yang kuat dan ia melihat bahwa itu terdapat dalam konstitusi yaitu dengan diakuinya golongan fungsional. Militer termasuk golongan fungsional tersebut pada Undang-Undang Dasar 1945. Oleh sebab itu Nasution paling gigih mengusahakan agar dapat dilakukan pemberlakuan konstitusi tersebut yang akhirnya memang diputuskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Nasution juga melakukan serangkaian tindakan strategis lainnya seperti merumuskan konsep politik tentara yang disebutnya sebagai Konsep Jalan Tengah. Tentara tidak melakukan kudeta junta militer dan kemudian memerintah seperti di Amerika Latin tetapi juga tidak seperti di Eropa Barat, tentara tinggal di barak sebagai alat kekuasaan pemerintah sipil. Konsep Jalan Tengah ini yang kemudian menjadi inti dari Dwifungsi ABRI. Nasution juga mendukung Dewan Nasional, memberlakukan keadaan darurat perang (SOB) dan dalam nasionalisasi perusahaan asing memasukkan personil militer pada manajemen perusahaan tersebut. Sementara itu pecah pemberontakan di daerah-daerah. Setelah pemberontakan itu berhasil diatasi, maka militer menjadi terkonsolidasi, “secara politis” lebih homogen dan menjadi kekuatan yang diperhitungkan dalam politik nasional. Saat itu peran Nasution sangat penting. Antara tahun 1958 sampai tahun 1960 boleh dikatakan Nasution menjadi orang kedua setelah Soekarno. Namun tahun 1962 Nasution mencoba melakukan perombakan pada pimpinan ABRI sekitar tahun 1962 yang memusatkan kekuasaan kepada dirinya.[22] Soekarno mengganti Nasution dengan Jani dan selanjut Nasution memperoleh kedudukan yang tidak memimpin pasukan di militer. Meskipun demikian, Nasution masih menulis dan berceramah tentang Nasakom dan aspek pertahanan/keamanan. Buku ceramah itu terbit April 1966 masih tentang revolusi belum selesai dan banting stir revolusi dan banting stir dalam bidang strategi.[23] Kemudian Nasution menjadi Ketua MPRS yang memakzulkan Soekarno tahun 1967 setelah Pidato Pertanggungjawaban Nawaksara yang dibacakannya ditolak lembaga ini.[24] Penutup Nasution telah mengawali pekerjaan yang kemudian dilaksanakan oleh Nugroho Notosusanto. [25] Walaupun pekerjaan Nugroho lebih sistematis dalam melakukan militerisasi pendidikan sejarah di sekolah pada masa Orde baru, namun dasar-dasarnya sebetulnya telah diletakkan oleh Jenderal Nasution. Bukan hanya sekedar merumuskan legitimasi historis peran militer tetapi Nasution juga berhasil merumuskan dan mewujudkan konsep yang merupakan legitimasi konstusional tentara dalam politik nasional. Bagi Nasution, sejarah merupakan bagian tak terpisahkan atau paket dari “desain besar” militer dalam meraih kekuasaan. Menurut Nugroho Notosusanto, “lahirnya Orde Baru dianggap bertepatan dengan dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 kepada Pak Harto oleh Bung Karno. Mulai tanggal 11 Maret 1966 itulah kita mengambil langkah-langkah untuk menegakkan Orde Baru yakni tatanan seluruh peri kehidupan Rakyat, Bangsa dan Negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan kemurnian Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.” [26] Kemudian muncul pandangan lain bahwa Orde Baru sudah ada sejak 1 Oktober 1965 dengan alasan, bahwa sejak itu telah terjadi pembangkangan (insubordinasi) dari Suharto terhadap Presiden Sukarno dengan kata lain “kudeta merangkak” telah diawali pada tanggal tersebut. Pertimbangan lain, kalau 11 Maret 1996 dijadikan awal Orde Baru, berarti rezim ini tidak bertanggungjawab atas pembunuhan misal yang terjadi akhir sejak Oktober 1965/awal 1966. Namun pemeriksaan yang lebih jauh terhadap pemikiran Nasution memperlihatkan bahwa konsep Orde Baru telah diletakkan oleh Nasution sejak tahun 1950-an. Jadi embrio Orde Baru itu telah ada sebelum tahun 1965. *** [1] Thycydude, Histoire de la guerre du Peloponnese, Paris: Garnier-Flammarion, 1966 [2] Andre Burguiere, Dictionnaire des Sciences Historiques, Paris; Presses Universitaires de France, 1986 [3] Eugene Weber, Peasant into Frenchmen. The modernization of rural France, 1870-1914, Stanford California: California University Press, 1976. Menurut Weber, nasionalisme petani itu muncul karena tiga hal, wajib belajar, unifikasi bahasa nasional dan wajib militer. [4] Istilah ini digunakan oleh Marc Ferro, Histoire sous Surveillance, Paris: [5] Stanley Adi Prasetyo dan Toriq Hadad (editor), Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H.Nasution, Jakarta: Grafitipers, 2002 (cetakan kedua) [6] T.B.Simatupang, Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1981. Simatupang juga menulis buku Laporan dari Banaran, yang dianggap indah oleh Satyagraha Hoerip meskipun bukan ditulis oleh sejarawan. Peristiwa 17 Oktober 1952 juga yang menjadi pemicu akhir karier militer Simatupang. Ia mengatakan Presiden Soekarno melakukan kesalahan besar mengganti Nasution asal Kolonel Bambang Supeno dapat mengumpulkan tanda tangan dari para Panglima bahwa mereka menyetujui penggantian Kepala Staf Angkatan Darat. Soekarno sangat marah dan berkata “Ik heb je al gezegd je hebt de specialiteit om iemand in de hoek te druckken” (“Saya sudah bilang kami mempunyai kemampuan khusus untuk memojokkan seseorang” ). Bahkan kemudian kepada A.K.Pringgodigdo, Soekarno mengungkapkan kemarahannya terhadap Simatupang “Hij poept op mij” (“Dia memberaki saya”) T.B. Simatupang kemudian memang berkarya dalam bidang teologi. Ia pernah menjadi Ketua DGI (Dewan Gereja Indonesia), Dewan Gereja Asia dan Dewan Gereja Dunia. [7] A.H.Nasution, “Rekan Simatupang 70 Tahun” dalam Samuel Pardede (editor), 70 Tahun T.B.Simatupang, Saya Adalah Orang Yang Berhutang, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990. [8] “Nugroho Notosusanto, “The Legacy of a Historian in the Service of an Authorian Regime”, in Mary S.Zurbuchen (ed), Beginning to Remember, The Past In the Indonesian Present, Singapore: Singapore University Press, 2005. [9] Tahun 1984 terbit buku yang disunting oleh Nugroho Notosusanto, Pejuang dan Prajurit. Yang menarik pada buku yang diterbitkan oleh Sinar Harapan itu adalah tidak tampaknya wajah proklamator Sukarno pada waktu pengibaran bendera Merah Putih 17 Agustus 1945 (hal 94). Yang kelihatannya hanya wajah Hatta. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo menelpon penerbit dan menyampaikan protes terhadap hal ini. Menurut Abdurrachman, ini “pemalsuan sejarah”. Pada cetakan berikutnya (buku yang kami miliki adalah cetakan pertama dan ketiga), wajah Sukarno sudah tampak pada foto tersebut. Upaya semacam ini yakni menghilangkan seorang tokoh yang tidak disukai pada foto yang dimuat dalam buku sejarah adalah sesuatu yang lumrah dalam sejarah Rusia semasa Stalin. Tahun 2002 saya membicarakan hal ini dengan Max Riberu, redaktur Penerbit Sinar Harapan yang ikut dalam proses penerbitan buku tersebut pada tahun 1984. Menurut Max ia bersama Aristides Katoppo dan beberapa orang lainnya menghadap Nugroho Notosusanto yang waktu itu jadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Karena sang Menteri yang punya hajat menerbitkan buku, maka penerbitlah yang datang ke kantor Menteri untuk membicarakan hal ini. Mereka membawa beberapa foto yang akan digunakan sebagai ilustrasi buku tersebut dan meminta Pak Menteri untuk memilihnya. Karena foto pengibaran bendera merah putih tanggal 17 Agustus 1945 itu berukuran kecil, maka Nugroho Notosusanto meminta agar foto itu diperbesar. Karena diperbesar itu maka wajah Sukarno terpotong, demikian penuturan Max Riberu. Entah mana yang benar, Abdurrachman Surjomihardjo atau Max Riberu, wallahualam. Senada dengan ilustrasi di atas terdapat kisah menarik dari Cekoslavia yang ditulis Milan Kundera (The Book of Laughter and Forgetting, Great Britain: Penguin, 1980). Bulan Februari 1948, pemimpin komunis Klement Gottwald keluar di balkon Istananya di Praha untuk berpidato di depan ratusan ribu warga yang berdesak-desak sampai Old Town Square. Gottwald didampingi oleh kamerad Clementis. Ketika itu salju turun dan udara sangat dingin, kepala Gottwald basah. Clementis membuka topinya dan memasangkan ke kepala Gottwald. Bagian propaganda Partai segera membagikan ratusan ribu foto bersejarah itu ke seluruh negeri. Gottwald yang memakai topi didampingi seorang kamerad di balkon Istana berbicara kepada bangsa. Di atas balkon itu lahir sejarah Partai Komunis Cekoslovakia. Setiap murid tentu mengetahui foto tersebut melalui poster, museum dan buku-buku pelajaran sekolah. Empat tahun kemudian, Clementis dituduh berkhianat kepada negara dan dihukum gantung. Partai segera menghapus namanya dari sejarah termasuk foto-fotonya. Sejak itu dalam foto resmi hanya Gottwald yang berdiri di atas balkon Istana. Di tempat Clementis berdiri hanya terlihat dinding Istana. Namun yang tetap tinggal adalah topi Clementis yang dipasang di kepala Gottwald. [10] Surat Keputusan Menhankam/Pangab yang ditandatangani Kepala Staf Hankam Letjen Soemitro, 10 Juli 1969 tentang pengesahan “Pedoman Kurikulum Sedjarah Hankam/ABRI jang integral” dan penugasan kepada Kol Drs Nugroho Notosusanto untuk Membentuk Team Pelaksana Penulisan Text-book Sejarah Hankam/ABRI dengan tugas pokok merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penulisan text-book Sejarah Hankam/ABRI. (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Pedoman Kurikulum Sedjarah Hankam/ABRI Jang Integral, 1969) Kolonel Nugroho Notosusanto, Ichtisar Sedjarah R.I (1945-Sekarang), Seri Text-Book Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan, Pusat Sedjarah ABRI, 1971 (dicetak baru tahun 1975) “Gagasan untuk penyusunan seri text-book sejarah Hankam/ABRI pertama kali diajukan 20 April 1968. Ini dibuat karena sedang terjadi pergantian generasi di dalam ABRI dari generasi 1945 kepada generasi baru. Untuk memperkuat semangat integrasi ABRI dan meneruskan nilai-nilai yang berharga dari perjuangan 1945, kami anggap Sejarah merupakan wahana yang paling efektif. Proyek text book sejarah Hankam/ABRI tidak dimaksudkan sebagai usaha rutin belaka, melainkan sebagai suatu usaha historis-kreatif yang dapat menentukan wajah ABRI untuk masa-masa yang mendatang”. (hal vi) “Proyek text book sejarah yang disusun secara konsepsionil dan integral ini baru untuk pertama kalinya dalam kehidupan RI. Baru dua tahun sesudah dilancarkan proyek text book sejarah Hankam.ABRI kami mengusulkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri untuk mengadakan penulisan text book sejarah nasional bagi pendidikan umum dari SD sampai pergurunan tinggi. Usul ini diterima baik dan akhir 1970 telah dilaksanakan oleh Panitia Penyusunan Buku Standard Sejarah Nasional Indonesia”. [11] Walau MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia) tahun 1996 mengangkat Nasution –selain dari Resink, Anak Agung Gde Agung, Ali Hasymi dan Rusli Amran—sebagai anggota kehormatan, maksudnya tokoh yang tidak berprofesi sehari-hari sebagai sejarawan namun dianggap berjasa dalam penulisan sejarah Indonesia. [12] Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia, Jakarta, Bhratara, 1963, hal 114-115 [13] Bab-bab yang pada buku tersebut juga menggambarkan trimatra jaya-sengsara-cerah yaitu bab III Indonesia sebelum abad XX. Masa Kejayaan Nasional, Bab IV Imperialisme di Indonesia, Bab V Sejarah pergerakan Nasional dan Bab VI Menuju Dunia Baru yang berisi Masyarakat Adil dan Makmur [14] Ruth Mc Vey “The Enchantement of the Revolution: History and Action in an Indonesian Communist text” in Anthony Reid and David Marr (eds), Perceptions of the Past in Southeast Asia, Heinemann, Kuala Lumpur, 1979. [15] Paragraf ini berasal dari keterangan melalui email oleh Hersri Setiawan. [16] Juwosono Sudarsono, “A.H.Nasution, Perwira Teladan”, dalam Solichin Salam, A.H.Nasution, Prajurit, Pejuang dan Pemikir, 1990, Jakarta: Penerbit Kuning Mas (hal 210-214) . [17] Kasus serupa terulang lagi dalam penulisan buku SNI (Sejarah Nasional Indonesia) jilid VI yang disunting oleh Nugroho Notosusanto. Sejarawan yang lain seperti Sartono Kartodirdjo dan Abdurrachman Surjomihardjo menganggap bahwa naskah yang diterbitkan Nugroho itu belum final tetapi ternyata sudah dicetak. . [18] Tulisan ini banyak mengutip Hendri Supriyatmono, Nasution, Dwifungsi ABRI dan Kontribusi ke Arah Reformasi Politik, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994 [19] A.H.Nasution, Proses Menyusun Naskah Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, ceramah untuk Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jakarta, 30 Oktober 1976 (buku tipis ini diterbitkan oleh Dinas Sejarah AD dan penerbit Angkasa Bandung tahun 1979). [20] Tampaknya tahun 1952, 1962 dan 1972 tahun sial bagi Nasution. Tahun 1952 ia dicopot dari KSAD, tahun 1962 ia kembali diganti dari KSAD oleh Yani dan tahun 1972 ia berhenti dari Ketua MPRS. Setahun setelah ia berhenti dari ketua MPRS, diwawancarai oleh Susan McKemmish untuk penulisan tesis di Universitas Monash. [21] Hendri Supriyatmono, Nasution, Dwifungsi ABRI dan Kontribusi ke Arah Reformasi Politik, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 1994 [22] Kesan ini yang timbul dari membaca tesis Susan McKemmish, A Political biography of Nasution, yang ditulis berdasarkan wawancara dengan Nasution. Walaupun masalah ini bisa dilihat perspektif lain seperti menguatnya kedudukan PKI sebagai pendukung Bung Karno dan pengimbang kekuatan militer. [23] Djenderal Dr AH Nasution, Banting Stir, Politik Pertahanan/Keamanan, Jakarta: Matoa, April 1966, 55 hal. Buku ini merupakan ceramah Nasution pada peserta Pendidikan Kilat Kader Nasakom. Banting Stir secara revolusi adalah kembali ke UUD 1945. Banting Stir secara strategi, mensukseskan konfrontasi terhadap proyek nekolim Malaysia, menggalang persatuan di antara The New Emerging Forces melalui Conefo dan melanjutkan perjuangan setelah kita keluar dari PBB. (hal 13-18) [24] Tahun ini nama Nasution kembali disebut oleh Lambert Giebels dalam hubungannya dengan Bung Karno. Sebagaimana diketahui buku-buku yang memberatkan Soekarno sebagai dalang G30S terutama bersumber dari kesaksian Widjanarko di depan pemeriksa Teperpu Kopkamtib yang selanjutnya diterbitkan – dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris -- dengan kata pengantar dari Antonie Dake tahun 1974 di Belanda dengan judul The Devious Dalang. Yang menarik, Dake mengaku menerima laporan pemeriksaan itu di hotelnya di Jakarta melalui pos dengan tanpa alamat pengirim. Siapa yang mengirim dokumen itu ? Dalam buku Lambert Giebels, Pembantaian yang ditutup-tutupi, Peristiwa Fatal di Sekitar Kejatuhan Bung Karno (2005 halaman 151) disebutkan “Hampir pasti bahwa seseorang yang dekat dengan Nasution… yang menaruh bungkusan itu dalam kotak surat hotel” Mengapa Giebels berkesimpulan demikian ? Tahun 1972 dalam sebuah acara televisi Nasution menuduh Bung Karno terlibat dalam kup Gestapu dengan menunjuk kepada interogasi Widjanarko. Kalau interogasi tersebut dianggap palsu atau telah “diolah”, maka Giebels lagi-lagi menuduh bahwa itu berasal dari Nasution (hal 152). Pernyataan Giebels itu perlu dicek ulang. Namun hal ini memperlihatkan bahwa hubungan “benci tapi rindu” antara Soekarno dengan Nasution memang mendalam dan berkepanjangan. Sungguhpun di seputar tahun 1965, terdapat hubungan lain yang juga sangat menentukan yaitu hubungan antara Soekarno dengan Soeharto dan antara Nasution dengan Soeharto (yang pecah tahun 1972 dengan tersingkirnya Nasution dari kursi Ketua MPRS). Ini terlihat dalam ilustrasi berikut. Pertengahan Juli 1967 dalam suatu pertemuan di Ankara, Turki, seorang perwira tinggi NATO menunjukkan tiga buah potret dari guntingan surat kabar. Yang mana dari tiga orang ini yang benar, yang mana yang sedang memegang kekuasaan dan yang mana yang sebenarnya melakukan kudeta ? Ketiga potret itu adalah Sukarno, Nasution dan Suharto. “Apakah ada kemungkinan semacam rival antara Suharto dan Nasution”. Demikian pertanyaan yang dijukan kepada wartawan Bachtiar Djamily( Bachtiar Djamily, Meneropong Kepemimpinan Suharto & Nasution, Singapura: Purnama Publication, 1968, pp 1-3). Sejarah Indonesia di sekitar tahun 1965 sangat ditentukan oleh tiga tokoh ini dan saling-hubungan yang terjadi di antara mereka di samping struktur dan konyungtur peristiwa yang berkembang saat itu. [25] Tentunya pekerjaan sejarah ini bukan hanya dilakukan mereka berdua dan berhenti setelah mereka pensiun atau tiada. Di atas langit masih ada langit. Setelah Nugroho Notosusanto meninggal tahun 1985, maka tahun 1987 didirikanlah Museum Waspada Purwawisesa yang mengantisipasi bahaya EKA (ekstrem kanan) oleh Jenderal Benny Murdani dan 1990 berdiri pula Museum Pengkhianatan PKI untuk mencegah bahaya EKI (ekstrem kiri) oleh Jenderal Soeharto. Perlu dicatat pula di luar mainstream penulisan militer seperti yang dibuat oleh Nasution dan Nugroho Notosusanto, dapat disebut pula seorang penulis yang berbeda perspektifnya yaitu Drs Moehkardi (terima kasih kepada William Frederick yang mengingatkan aspek ini). Moehkardi lahir tahun 1930 adalah pensiunan dosen sejarah di AKABRI Magelang. Ia lulus B1 sejarah di Jakarta tahun 1958 dan sarjana pada Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga tahun 1968. Dalam sayembara mengarang tahun 1975, tulisannya berjudul “Pertempuran Lima Hari di Semarang” memenangkan juara pertama tingkat nasional dan mendapat penghargaan dari Jenderal Soeharto. Ia diangkat kemudian menjadi dosen di AKABRI. Bila Henk Schult Nordholt mengatakan bahwa salah satu ciri penulisan militer di Indonesia tidak mengutarakan kekejaman, tetapi hanya sekedar narasi tentang keberhasilan memadamkan pemberontakan, dalam “Pertempuran Lima Hari di Semarang”, dikisahkan kekejaman yang terjadi di penjara Bulu Semarang, di mana darah menggenang sekian senti meter. [26] Nugroho Notosusanto, Surat Perintah 11 Maret 1966, Garis Awal Orde Baru, Jakarta: UI Press, 1983, 13 hal.