NAWANGNINGRUM, DINA. Karir perwira wanita di Angkatan Darat Republik Indonesia dalam fungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan: faktor penghambat dan peluang. Jakarta: Program Studi Kajian Wanita, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995 ABSTRAK: Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan wanita di dunia militer bukanlah sesuatu yang baru. Namun setelah perang kemerdekaan selesai dan diadakan reorganisasi laskar-laskar pejuang bersenjata, terjadi demobilisasi tentara wanita. Wanita yang tergabung dalam laskar wanita kembali ke pekerjaan masing-masing. Orang tua pun berkeberatan jika anak-anak perempuan mereka tetap bergiat dalam dunia militer. Wanita kembali terlibat dalam dunia militer pada tahun 1960, tepatnya setelah keluarnya Surat Keputusan KASAD nomor KPTS 1056/XII/1960. Angkatan Darat merupakan angkatan pertama dari tiga angkatan perang yang memberi kesempatan kepada wanita. Gagasan untuk membentuk Korps Wanita AD dicetuskan oleh dr. Sumarno dan disepakati oleh Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) dengan syarat wanita tidak ditugaskan untuk bertempur dan tetap diperhatikan sifat-sifat kewanitaannya. Syarat ini ditetapkan dengan alasan bahwa tugas bertempur (menumpas lawan) tidak sejalan dengan kodrat wanita untuk melahirkan, memelihara dan merawat. Terbukanya kesempatan wanita untuk berkarir di lingkungan angkatan bersenjata khususnya Angkatan Darat menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana peran Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD) dalam fungsi ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan. Tepatnya, bagaimana karir perwira KOWAD dalam fungsi ABRI, serta faktor apa saja yang memberi peluang dan penghambat mereka berkarir? Subyek penelitian ini adalah Perwira Menengah Korps Wanita Angkatan Darat (KOWAD), sebagai Korps Wanita tertua di jajaran ABRI. Pembatasan subyek pada kalangan Perwira Menengah adalah karena kelompok ini telah memiliki kualifikasi untuk penugasan staf dan komando. Dengan kualifikasi tersebut, Perwira Menengah dianggap mampu menganalisis keadaan, mengelola, membina dan menelaah dalam lingkup tugas militernya serta sebagai pembuat dan pengambil keputusan. Karena sebagian besar Perwira Menengah bertugas di Jakarta, maka pengumpulan data dilakukan di Jakarta, melalui wawancara mendalam, telaah dokumentasi ABRI dan penyebaran angket. Peran gender atau peran jenis kelamin merupakan peran pria dan wanita di dalam keluarga dan masyarakat, yang diakui, diterima dan diharapkan oleh lingkungan sosial budaya dimana ia berada, sebagai hasil interpretasi masyarakat terhadap perbedaan fisiologis laki-laki dan perempuan (Hurlock, 1978). Pembagian peran antara pria dan wanita di Indonesia pada umumnya berdasarkan peran gender tradisional. Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai organisasi yang merupakan bagian dari negara, demikian juga Angkatan Darat (AD) sebagai bagian dari ABRI, juga tidak luput dari pengaruh budaya Jawa yang mengandung stereotipe peran gender. Pengaruh tersebut khusunya berkenaan dengan subordinasi gender yang terjadi melalui proses intersifying, decomposing dan recomposing (Elson & Pearson, dalam Kate Young dkk., 1984). Intensifying adalah pengokohan nilai-nilai budaya lama yang dominan, decomposing adalah penguasaan nilai-nilai lama tersebut, sedangkan recomposing adalah pembentukan kembali nilai-nilai lama tersebut. Dalam hal ini yang dimaksud dengan nilai-nilai lama yang dominan adalah subordinasi gender. Konsep ini semula diperkenalkan Elson dan Pearson dalam hubungan antara wanita dan dunia kerja, khususnya dunia industri. Syarat dan sikap para pimpinan AD dan KOWANI dalam menentukan lingkup tugas wanita militer merupakan salah satu contoh proses intensifying. Nampak bahwa penugasan wanita militer tidak lepas dari peran mereka sebagai ibu dan istri. Proses decomposing dalam tubuh AD terlihat sewaktu AD membuka kesempatan bagi wanita untuk berkair di bidang militer, anggota KOWAD memperoleh materi pendidikan militer tingkat dasar, jenjang maupun pendukung, tanpa dibedakan dari anggota pria. Pada proses ini terkesan anggota KOWAD telah lepas dari subordinasi gender. Namun demikian, sejalan dengan proses decomposing, terjadi pula proses recomposing. Sejak awal, pemegang komando pada struktur organisasi KOWAD adalah pria. Hal ini disebabkan karena ABRI mengembangkan struktur organisasi berdasarkan penugasan di bidang tempur. Dengan kata lain, mayoritas personilnya adalah pria yang telah diarahkan untuk tugas tempur, sedangkan wanita tidak dapat memegang jabatan-jabatan penting. Beberapa faktor penghambat karir yang dikemukakan subyek antara lain adalah: (a) ketentuan pembatasan jumlah anak; (b) masalah pembagian waktu antara tugas dan keluarga; (c) masalah budaya yang kadang membatasi kegiatan yang dinilai pantas atau tidak pantas dilakukan oleh wanita; (d) mendahulukan karir suami; (e) kurangnya kejelasan standar penilaian prestasi di bagian staf, dibandingkan dengan di bagian tempur. Faktor-faktor peluang atau pendukung karir yang dikemukakan oleh subyek antara lain adalah: (a) adanya peraturan atau perjanjian yang cukup mendukung karir, misalnya himbauan bagi suami untuk mendukung penugasan istri sekalipun harus meninggalkan keluarga; (b) dukungan keluarga; (c) adanya peraturan non-combat, yang memungkinkan KOWAD bebas menangani masalah-masalah di belakang kancah pertempuran.