BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia

advertisement
BAB l
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan suatu negara yang menarik untuk menjadi sorotan
bagi para pengamat hubungan Internasional. Negara ini memiliki kerentanan
untuk dijadikan sebagai objek perlombaan penyebaran pengaruh oleh negaranegara besar yang memiliki kepentingan terhadap Indonesia mengingat posisi
geografis Indonesia yang strategis yang berada di persilangan dua samudra dan
dua benua, wilayah yang luas, sumber daya alam yang melimpah dan jumlah
penduduk yang besar. Melalui konsepsi politik luar negeri “bebas aktif” yang
dicetuskan oleh Muhammad Hatta pada 2 September 1948, Indonesia berhasil
menempatkan posisinya sebagai negara yang menjadi subyek ataupun aktor utama
yang mampu dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis berkaitan dengan
kepentingan ataupun konflik dalam kawasan. Melalui politik luar negeri bebas
aktif pula Indonesia dapat memainkan peran yang relatif independen dalam
kancah hubungan Internasional.
Dimulai pada era Soekarno, kebijakan politik luar negeri Indonesia mulai
terlihat dari sikap anti Soekarno terhadap imperialisme Barat, dimana Soekarno
menyerukan negara- negara di dunia untuk tidak tunduk terhadap blok- blok yang
saling berseteru di kala itu sehingga kemudian lahir Gerakan Non-Blok yang
diinisiasi dari Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non Blok di Bandung pada tahun
1955. Pada Fase Selanjutnya kebijakan politik luar negeri Indonesia ditunjukan
Soekarno dengan keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis Indonesia
1
(PKI) yang kemudian membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato penyampaian
pidato manifesto politik (manipol) yang mengidentifikasikan imperialis barat
sebagai musuh nasional.1
Taktik yang konfrontatif ini kemudian digunakan
kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia
akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro
terhadap imperialisme Barat. Hal ini dianggap mengancam keberkembangan
Nefos (New Emerging Forces) oleh Oldefos (Old Established Forces), yakni dua
kategorisasi negara yang dibentuk oleh Soekarno. Berbagai kebijakan luar negeri
kemudian muncul dengan landasan kepentingan nasional yang berorientasi pada
penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos. Salah satu tindakan yang paling
terkenal ialah pembentukan poros Jakarta – Peking dimana Indonesia pada saat itu
menjadi sangat dekat dengan China. Tidak hanya sampai di situ,Jakarta pada era
tersebut digambarkan sebagai pusat pemerintahan yang akrab dengan Moskow,
Beijing dan Hanoi serta garang terhadap Washington dan sekutu Barat.2 Sebagai
dampak, ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi terbatas pada
seputar negar- negara komunis semata. Puncak sikap kontra Soekarno terhadap
Barat ditunjukkan dengan keluarnya Indonesia dari PBB pada tanggal 7 Januari
1965 sebagai bentuk ketidaksukaan Indonesia terhadap pengangkatan Malaysia
yang dinilai pro Barat sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.
Di era Reformasi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih secara
demokratis sebagai Presiden Indonesia pada tahun 2004. Salah satu tugas berat
1
http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-YangOportunis diakses pada 4April 2013 pukul 12:05
2
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-/01/change_and_continuity_in_indonesia_foreign_policy.pdf
diakses pada 4 April 2013 pukul 12:08
2
SBY adalah melakukan revitalisasi peran internasional Indonesia agar dapat
kembali berperan aktif dalam berkontribusi terhadap permasalahan Internasional
maupun pemenuhan kepentingan nasional melalui instrumen politik luar negeri.
Peringatan ke-50 Konferensi Asia-Afrika pada April 2005 dengan menawarkan
kerja sama New Asian-African Strategic Partnership (NAASP) merupakan
manifestasi awal dari keinginan Indonesia dibawah pemerintahan SBY untuk
kembali aktif dalam berintraksi dengan masyarakat internasional.3
Politik luar negeri Indonesia di era Soekarno dapat dikatakan cenderung ke
arah kiri. Jakarta tampak lebih akrab dengan Moskow, Beijing maupun Hanoi, dan
tampak garang terhadap AS dan sekutu Baratnya. Keagresifan Bung Karno antara
lain ditandai dengan pembentukan NEFOS (New Emerging Forces) yang
beranggotakan negara-negara Dunia Ketiga, serta gagasan pembentukan “Poros
Jakarta-Beijing-Pyongyang” yang kesemuanya menunjukkan kedekatan Bung
Karno dengan komunis. Bung Karno melakukan tindakan-tindakan konfrontatif,
di antaranya saat menyatakan perang dengan Malaysia pada tahun 1964
dan setahun kemudian RI keluar dariPerserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun yang
sama. Pertikaian dengan Malaysia tersebut juga memancing reaksi Inggris dan
Australia untuk kontak senjata dengan RI.4
Rumusan bebas-aktif dalam kenyataannya menjadi sebuah bualan utopia
yang hendak dibangun Soekarno dan Hatta. Inkonsistensi mereka dalam
mendefinisikan bebas-aktif menjadi jamuan pengkhianatan atas idealisme yang
mereka bangun. Hal ini ditunjukkan secara gamblang dalam ketidaksukaan
3
http://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/.pdf diakses pada 4 April 2013.
Sinar Harapan, Dari Bung Karno yang Vokal ke Mbak Mega yang Bungkam, diakses dalam
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/07/27/0058.htmlpada 25 Juli 2013
4
3
Soekarno terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer kemudian
diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap
gagal membuat Belanda angkat kaki dari Irian Barat. Dukungan Amerika Serikat
yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi
kedekatan Jakarta dengan Moskow.
Selama beberapa tahun terakhir salah satu prioritas utama diplomasi
Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden SBY adalah membangun kedekatan
hubungan dengan negara-negara mitra kunci, baik negara maju maupun
berkembang, dalam bentuk strategic partnerships ataupun comprehensive
partneships.5 Kemitraan strategis maupun kemitraan komprehensif merupakan
suatu upaya untuk menyusun struktur hubungan, persetujuan berdasarkan prioritas
dan bagaimana untuk mencapai target yang telah ditetapkan sehingga hubungan
kemitraan yang telah terjalin menjadi lebih terukur dan dapat diprediksi. 6 Dalam
pengertian lain, kemitraan strategis menunjukan suatu hubungan kemitraan yang
didasari oleh sebuah persetujuan untuk menempa dan melembagakan kerjasama
berdasarkan seperangkat isu yang telah disepakati bersama dan berjangka
panjang. Kemitraan strategis maupun komprehensif ini menjadi bagian penting
dan tuntutan diplomasi luar negeri Indonesia yang lebih pro-aktif, dimana
Indonesia ingin dilihat sebagai negara yang secara strategis dan politis
mempunyai arti bagi stabilitas dan perdamaian kawasan.
Politik luar negeri indonesia di era SBY berusaha menjalin hubungan
dengan hampir semua negara. Hal ini sesuai dengan jargon politik luar negerinya
5
http://repository.unri.ac.id/bitstream/PLN%20RI%20Era%20Presiden%20SBY%2020092011.pdf diakses pada 4 April 2013.
6
Siswo Pramono, “A Million Friends Diplomacy”, The Jakarta Post Online, 13 Juni 2010.
4
zero enemy, million friendsyang sifatnya lebih terbuka baik itu hubunganya
dengan negara kapitalisme barat dan komunisme sekalipun. Buktinya Ameraka
Serikat sebagai representasi negara barat menjadi partner ekonomi dan militer
Indonesia. Di lain pihak negara China sebagai representasi negara komunis pun
juga turut memiliki hubungan baik dengan Indonesia dalam bidang ekonomi pasar
bebas. Hal ini tentu saja berbeda dengan apa yang di lakukan soekarno dengan
idealismenya.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan
Soekarno dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono dalam kaitannya menjalin hubungan kerjasama
dengan negara-negara komunis dan kapitalisme barat?”
C.
Kerangka Pemikiran
1. Konsep Politik Luar Negeri
Politik luar negeri merupakan rangkaian kebijakan otoritatif dari suatu
negara terhadap dunia luar, dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai faktor internal
dan eksternal yang saling berinteraksi. Politik luar negeri menggambarkan suatu
tindakan negara yang mengarah pada situasi tertentu yang dipengaruhi oleh
kondisi, ruang dan waktu, baik dipengaruhi oleh kondisi domestik maupun
kondisi internasional. Pollitik (kebijakan) luar negeri adalah strategi yang
5
dirumuskan oleh elit politik suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain
untuk
memperoleh,
memperjuangkan,
dan
mempertahankan
kepentingan
nasionalnya (national interest) melalui jalan (instrumen) diplomasi ataupun
perang. 7
Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan mendasar serta
faktor paling menentukan yang menmandu para pembuat keputusan dalam
merumuskan politik luar negerinya. kepentingan nasional merupakan konsepsi
sangat umun tetapi merupakan unsur yang menjadi kebutuhan sangat vital bagi
negara. unsur tersebut mencakup kelangsungan hidup bangsa dan negara,
kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer, dan kesejahteraan ekonomi.
karena tidak ada interest secara tunggal mendominasi fungsi pembuatan
keputusan suatu pemerintahan, maka konsepsi ini dapat menjadi lebih akurat jika
dianggap sebagai “national interest”. manakala sebuah negara mendasarkan
politik luar negeri sepenuhnya pada kepentingan nasional secara kukuh denga
sedikit atau tidak hirau sama sekali terhadap prinsip-prinsip moral universal maka
negara tersebut dapat diungkapkan sebagai kebijaksanaan realistis, berlawanan
dengan kebijakan idealis yang memperhatikan prinsip moral internasional.8
Kepentingan nasional (national interest) merupakan pilar utama bagi
teorinya tentang politik luar negeri dan politik internasional yang realis.
Pendekatan morgenthau ini begitu terkenal sehingga telah menjadi suatu
paradigma dominan dalam studi politik internasional sesudah Perang Dunia II. hal
Ganewati Wuryandari, ‘Enam Dekade Politik Luar Negeri Indonesia’, dalam Ganewati
Wuryandari (ed), Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal 17-18.
8
Jack C Plano. Roy Olton,. Kamus Hubungan Internasioanal. Putra Bardin. Hal. 7.
7
6
ini didasarkan pada premis bahwa strategi diplomasi harus didasarkan pada
kepentingan nasional, bukan pada alasan-alasan moral, legal dan ideologi yang
dianggapnya utopis dan bahkan berbahaya. kepentingan nasional setiap negara
adalah mengejar kekuasaan, yaitu apa saja yang bisa membentuk dan
mempertahankan pengendalian suatu negara atas negara lain. Hubungan
kekuasaan atau pengendalian ini bisa diciptakan melalui teknik-teknik paksaan
maupun kerjasama. Demikianlan Morgenthau membangun konsep abstrak yang
artinya tidak mudah di definisikan, yaitu kekuasaan (power) dan kepentingan
(interest), yang dianggapnya sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari tindakan
politik internasional.
K.J.Holsti memberikan pandangan yang menarik tentang sudut pandang
analisa politik luar negeri. Dalam pandanganya kajian politik internasional dan
kebijakan luar negeri akan memusatkan perhatian kepada tindak-tanduk dan
perilaku pribadi para negarawan. Ini adalah pendekatan yang biasa digunakan para
ahli sejarah diplomasi, dengan anggapan yang benar bahwa perilaku “negara”
sesungguhnya dimanifestasikan dalam aktor pengambilan kebijakan yang
merumuskan tujuan, memilih di antara serangkaian tindakan dan memanfaatkan
kemampuan nasional untuk mencapai tujuan atas nama negara. Tingkat analisis
ini memofuskan pada ideologi, motifasi, cita-cita, persepsi, nilai-nilai atau
keistimewaan mereka yang diberi wewenang untuk mengambil berbagai
keputusan bagi negara.9
9
K.J.Holsti, Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisis, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1988, hal.
17.
7
Politik internasional abad kesembilan belas, secara unik dipengaruhi oleh
pertumbuhan isu-isu ideologi, peningkatan kerusakan akibat perang, dan
kebangkitan nasionalisme serta keterlibatan rakyat dalam hubungan luar negeri.
Berdasarkan ideologi aktor K.J .Holsti membagi peran aktor sebagai
berikut:
1. Benteng Revolusi, Pembebas. Beberapa pemerintah berpendapat
bahwa mereka wajib mengorganisasikan atau memimpin berbagai tipe
gerakan revolusioner di luar negeri. Menurut mereka salah satu tugas
negara mereka adalah membebaskan negara lainnya atau bertindak
sebagai kubu gerakan revolusioner luar negeri-yaitu, menyediakan
suatu kawasan yang dapat dipandang oleh para pemimpin revolusioner
asing sebagai sumber dukungan fisik dan moral, dan juga sebagai
pemberi ilham ideologi. Pengumuman kebijakan luar negeri cina pada
tahun 1950-an dan 1960-an penuh dengan sindiran terhadap peran
internasional. Sindiran semacam itu terdapat pula dalam peryataan
politik para pemimpin negara-negara yang baru merdeka.
2. Pemimpin Regional. Tema konsepsi peran ini mengacu pada
kewajiban atau tanggung jawab khusus yang dirasakan oleh suatu
pemerintahan terhadap suatu wilayah atau kawasan. Tema ini sangat
menonjol dalam pernyataan politik pemerintah Libya mengenai
posisinya di Timur Tengah dan kadang-kadang dalam konsepsi
Amerika mengenai tugas-tugas internasionalnya.
8
3. Bebas Aktif. Kebanyakan pernyataan politik pemerintah yang
mendukung strategi nonblok tidak lebih dari pada afirmasi peran
“merdeka” dalam kebijakan luar negeri. Akan tetapi, beberapa negara
berpendapat bahwa kemerdekaan tidak harus berarti isolasi atau
ketidakterlibatan. Tema konsepsi peran menekankan pentingnya
meningkatkan ketirlibatan melalui pembinaan hubungan diplomatik
dengan sebanyak mungkin negara, dan kadang-kadang melibatkan diri
sebagai mediator dalam konflik blok. Konsepsi peran bebas aktif
sering dijumpai dalam pernyataan kebijakan luar negeri para pejabat
tinggi Yugoslavia, India, Malaysia, Rumania, dan Indonesia.
4. Pendukung pembebasan. Berbeda dengan konsepsi peran kubu
rovolusi, peran pendukung pembebasan tidak menunjukan tanggung
jawab formal untuk mengorganisasikan, memimpin, atau secara fisik
mendukung gerakan pembebasan di luar negeri. Kebanyakan bangsa
yang sedang membangun melihat diri mereka sendiri sebagai
pendukung yang sederhana pembebasan nasional atau gerakan anti
kolonial. Oleh karena itu, kita dapat meramalkan misalnya, bahwa
mengenai isu kolonial di perserikan bangsa-bangsa, pemerintah ini
akan selalu bersikap antikolonial.
5. Agen Antiimperialis. Di mana imperialisme dirasakan sebagai suatu
ancaman, banyak pemerintah yang menyatakan dirinya sebagai agen
dalam “perjuangan” menentang ancaman ini. Pemerintah Uni Sovyet,
9
Vietnam, dan Libya, antara lain, adalah agen-agen antiimperialis yang
menonjol.
6. Pembela Kepercayaan. Beberapa pemerintah memandang bahwa
tugas kebijakan luar negerinya adalah untuk membela nilai-nilai
tertentu dari serangan. Misalnya, Presiden Kennedy, dalam pidato
pelantikanya, menyatakan bahwa Amerika Serikat akan “membayar
setiap negara, memikul setiap kewajiban, memecahkan setiap
kesulitan, membantu setiap sahabat, atau menentang setiap musuh
untuk menjamin kelangsungan dan suksesnya kebebasan. Dengan nada
yang sama Walter Ulbricht, bekas kepala pemerintahan Jerman Timur,
melihat tanggung jawab utama negaranya adalah “membela tradisi
kemanusiaan eropa melawan Amerikanisme dan militerisme Jerman
yang kejam.”
7. Mediator
–
Pemersatu.
Sejumlah
pemerintah
kontemporer
memandang diri mereka sendiri mampu atau bertanggung jawab, untuk
memenuhi
atau
menjalankan
tugas
mediasi
khusus
untuk
mendamaikan negara lain atau kelompok negara. Mereka melihat diri
mereka sebagai “pemersatu” regional atau global. Tema semacam ini
sering muncul dalam pernyataan kebijakan luar negeri Kanada,
Perancis, Rumania, Amerika Serikat, dan Yugoslavia.
8. Pembangun. Tema dalam konsepsi peran ini menunjukkan suatu tugas
atau kewajiban khusus untuk membantu negara-negara yang sedang
membangun. Acuan pada kecakapan atau keunggulan khusus untuk
10
melaksanakan tugas berkesinambungan semacam ini juga tampak
sering. Kebanyakan negara industri, baik timur maupun barat melihat
hal ini sebagai salah satu peran internasional atau regional mereka.
9. Sekutu Yang Setia. Para pembuat kebijakan memandang kebanyakan
aliansi dewasa ini sebagai usulan satu pihak. Banyak negara manerima
jaminan aliansi dari negara lain, tetapi harus mengikatkan diri mereka
untuk mendukung tujuan-tujuan politik luar negeri negara yang
memberikan jaminan itu. Konsepsi peran sekutu yang setia adalah
salah satu konsepsi yang digunakan oleh para pembuat kebijakan
untuk menyatakan bahwa mereka akan mendukung, dengan segala cara
yang mungkin, para sekutu-saudara mereka. Perhatian mereka
umumnya lebih tertuju pada pemberian bantuan yang sudah dijanjikan
kepada negara lain ketimbang pada penerimaan bantuan dari negara
lain. Jerman Timur dan Inggeris sering menekankan komitmen aliansi
mereka dengan cara ini.
10. Teladan. Konsepsi peran ini menekankan pentingnya peningkatan
prestise dan memperoleh pengaruh dalam sistem internasional dengan
mengejar kebijakan dalam negeri tertentu.
Dibawah kepemimpinan Presiden SBY, Indonesia semakin outward
looking, karena ada masa dimana setelah reformasi, indonesia dipandang oleh
negara-negara kawasan sebagai negara yang inward looking, jadi terlalu dibebani
oleh masalah-masalah dalam negeri. Dalam sebuah pidato menyambut HUT ke-65
11
kemerdekaan RI, disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono, tantangan Indonesia
sekarang dan ke depan adalah bagaimana kita beradaptasi dengan perubahan
jaman.
“Dulu, Bung Hatta pernah melukiskan tantangan politik luar negeri
sebagai “mendayung di antaradua karang”dalam arti antara Blok Barat
dan Blok Timur. Kini, saat persaingan Blok Barat dan Blok Timur sudah
hilang. Diplomasi Indonesia di Abad ke-21 menghadapi dunia yang jauh
lebih kompleks, ibarat “mengarungi samudera yang penuh gejolak”. Kita
kini dapat menempuh “all directions foreign policy”.Kita dapat
mempunyai “a million friends, zero enemy”.”10
a million friends, zero enemymerupakan jargon politik luar negeri
indonesia di era SBY yang menunjukan bahwa indonesia terbuka untuk menjalin
hubungan dengan negara manapun. Bagi sebagian pengamat SBY cendrung
liberal dan pragmatis karna tidak melibatkan ideoligi negara mitra sebagai
pertimbangan menjalin hubungan diplomatik. SBY tetap menjalankan hubungan
baik dengan negara-negara komunis baik itu china maupun rusia.
Periode Orde Lama dimulai ketika Presiden Soekarno menyatakan dekrit
1959 yang berisi tentang pemberlakuan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi
negara dan menghapus UUD RIS. Akan tetapi secara teknis, Presiden Soekarno
memimpin era ini semenjak kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Meskipun
demikian, sejarah perjuangan Soekarno dalam merebut kemerdekaan Indonesia
dari kolonialisme Barat telah membentuk pandangan Soekarno menjadi anti
terhadap Barat. Sehingga secara sikap politik pun, Soekarno nampak cenderung
pro terhadap ideologi kiri atau timur. Kedekatan ini ditunjukan dengan
10
Presiden: Ini Saatnya Indonesia Mendunia, diakses dari http://log.viva.co.id/news/read/171307presiden-sby--ini-saatnya-indonesia-mendunia, pada 1 Agustus 2013
12
keberpihakan Soekarno terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang kemudian
membawa Soekarno terhadap peristiwa pidato penyampaian pidato manifesto
politik (manipol) yang mengidentifikasikan imperialis barat sebagai musuh
nasional.11
2. Teori Pengambilan Keputusan Politik Luar Negeri
Sebagai besar studi mengenai “politik dunia” atau politik inetrnasional pada
kenyataan telah menjadi studi mengenai kebijakan luar negeri. Studi itu
memusatkan perhatian pada deskripsi kepentingan, tindakan dan unsur kekuatan
adikuasa. Kebijakan luar negeri menjadi politik internasional? Perbedaan antara
kedua istilah itu mungkin lebih besifat akademik dari pada riil, tetapi secara kasar
perbedaan itu adalah mengenai tujuan dan tindakan (keputusan dan kebijakan)
satu atau beberapa negara dan interaksi antara dua negara atau lebih.
Gambar Perbandingan Kebijakan Luar Negeri dan Politik Internasional:
KEBIJAKAN LUAR NEGERI
Negara A
Kemampuan,
pembuatan
kebijakan,
kebutuhan, aspirasi,
dsb.
POLITIK INTERNASIONAL
Negara lain
(lingkungan)
Negara A
Yang menghasilkan
sasaran
dan tindakan
Tangga
pan
Negara B
sasaran
tindakan
tindakan
sasaran
Tangga
pan
Sumber: Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis Fourth Edition, edisi Bahasa
Indonesia Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis Edisi Keempat Jilid 2. Diterjemahkan oleh
M. Tahir Azhary. Jakarta: Erlangga, 1988, hal. 22
11
http://www.scribd.com/doc/24673774/Politik-Luar-Negeri-Indonesia-Kebebasaktifan-YangOportunis diakses pada 30 Desember 2012 pukul 21:17
13
Pembahasan mengenai tujuan negara, variabel-variabel yang mempengaruhi
pemilikan tujuan tersebut dan berbeda teknik yang digunakan untuk mencapai hal
itu berkaitan erat dengan studi kebijakan luar negeri, sementara pertimbangan
mengenai sistem penolakan dan perilaku internasional dalam situasi konflik lebih
dekat dengan gagasan interaksi antara negara.
Menurut Willian D. Coplin dalam membuat kebijakan politik luar negeri
para pengambil keputusan tidak bertindak tanpa pertimbangan. Tetapi sebaliknya,
kebijakan politik luar negeri tersebut dipandang sebagai akibat dari tiga hal yang
mempengaruhi para pengambil kebijakan dalam mengambil kebijakan politik
dalam negeri, yaitu kondisi politikdalam negeri, kemampuan ekonomi dan militer
dan yang terakhir adalah konteks internasional.12Jika digambarkan maka hasilnya
adalah sebagai berikut :
Gambar Proses Pengambilan Kebijakan Politik Luar Negeri
Politik dalam
negeri
Pengambil
keputusan
Kebijakan politik
luar negeri
Kontek internasional
(suatu produk
tindakan politik luar
negeri seluruh negara
pada masa lampau,
sekarang, dan masa
mendatang yang
mungkin atau yang
diantisipasi)
Kondisi ekonomi
dan militer
12
Willian D Coplin dan Marsedes Marbun.2003.Pengantar Politik Internasional. Bandung: Sinar
Baru.
14
Sumber : William D. Coplin dan Marsedes Marbun “Pengantar Politik
Internasional”, Bandung, 2003, hal. 30
Coplin menekankan bahwa yang menjadi pusat perhatian adalah orangorang yang memegang peran dalam pengambilan kebijakan politik luar negeri,
yaitu orang-orang yang memiliki tanggungjawab resmi dan pengaruh dalam
mengambil kebijakan-kebijakan yang menyangkut keterlibatan negaranya dalam
hubungan dengan aktor lain. Pengambil kebijakan luar negeri sebenarnya lebih
merupakan sebuah proses yang melibatkan banyak pertimbangan dan sangat
kompleks.
D.
Hipotesa
Kebijakan politik luar negeri Indonesia di era Soekarno cenderung anti
Barat, dan lebih condong ke negara-negara komunis, seperti Uni Soviet dan
China, sedangkan politik luar negeri Indonesia di era Susilo Bambang Yudhoyono
politik luar negeri cenderung terbuka yakni Indonesia menjalin hubungan baik
dengan negara-negara komunis seperti China dan juga kapitalisme barat seperti
Amerika Serikat.
E.
Tujuan Penelitian
Penilitian ini bertujuan untuk
1. mengetahui perkembangan arah politik luar negeri Indonesia.
2. Mengetahui gaya kepemimpinan Soekarno dan SBY dalam mengarahkan
politik luar negeri indonesia.
15
F.
Metode Penilitian
Penelitian ini merupakan hasil dari studi pustaka penulis dengan
mengunakan beberapa sumber baik dari buku, jurnal, majalah, surat kabar, artikel
online dan sumber pustaka lainnya. Metode kualitatif ini berusaha memfokuskan
pada analisa deskriptif yang mengacu pada landasan teori yang telah dibangun
oleh penulis.
G.
Jangkauan Penelitian
Untuk mempermudah penulisan, penulis akan membatasi ruang lingkup
kajian agar penulis tidak menyimpang dari tema atau tujuan yang diinginkan.
Fokus utama dari penulisan ini adalah membahas Bagaimana perbandingan politik
luar negeri Indonesia di Era Soekarno dan SBY. Penulis akan mulai
membandingkan arah politik luar negeri kedua presiden tersebut dengan melihat
arah kerjasama atau aliansi yang dibentuk oleh Indonesia di era presiden tersebut.
Penulis akan mendeskripsikan ke arah mana Indonesia menjalin hubungan kerja
sama dengan negara-negara di dunia, serta mengemukan alasan masing-masing
presiden menjalin hubungan atau aliansi dengan negara-negara tersebut.
Namun demikian tidak menutup kemungkinan apabila penulis akan
menjelaskan diluar batasan tersebut. Menengok kembali peristiwa – peristiwa
sebelumnya untuk memperkuat dan dapat dijadikan data pendukung penulisan,
dengan catatan diperhatikan relevansinya.
16
H.
Sistematika Penulisan
BAB I : Pendahuluan.
Pada bab ini penulis memaparkan konstruksi dasar penelitian yang terdiri
dari Latar belakang, Rumusan masalah, Kerangka pemikiran, Hipotea, Tujuan
penelitian, Metode penelitian.
BAB II : Politik Luar Negeri Indonesia Di Era Soekarno
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan arah politik luar negeri
Indonesia dengan negara-negara komunis secara umum. Penulis berusaha
mendeskripsikan hubungan Indonesia dengan negara komunis baik itu dari
beberapa bidang diplomasi seperti ekonomi, pendidikan, militer, dan kedekatan
emosional dan ideoligis Indonesia dengan negara komunis.
BAB III : Politik Luar Negeri Indonesia Di Era SBY
Pada bab ini penulis akan mendeskripsikan secara umum hubungan
politik luar negeri Indonesia dengan negara-negara kapitalis barat. Pertimbangan
ekonomi militer, pendidikan, dan dimensi lain diplomasi menjadi pertimbanagn
analisa penulis dalam mendeskripsikan hubungan keduanya. Peluang kerja sama
dilihat sebagai wujud hubungan baik masing-masing nagara baik itu di tinjau dari
keuntungan dan kerugian yang dihadapi.
17
BAB IV : Komparasi Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Dalam
kerjasama Dengan negara Komunis Dan Kapitalisme Barat Di Era Soekarno
(Orde Lama) Dengan Di Era Susilo Bambang Yudhoyono (Reformasi)
Bab ini merupakan pembahasan analisa penulis terhadap arah politik luara
negeri indonesia di era Soekarno dan SBY. Perbandingan keduanya akan
dideskripsakan penulis melalui beberapa indikator perbandingan yakni bentuk
politik luar negeri, ideoligi kedua aktor tersebut kekuatan dan pengaruh
internasional, kiblat politik luar negeri yang di lihat dari hubunga kerja sama, dan
pencapaiaan serta kesuksesan keduanya di dunia internasional. Ruang analisa
akan mengerucut pada hubungan indonesia dengan negara-negara komunis dan
kapitalisme barat semasa kedua presiden itu menjabat.
BAB V : Penutup.
Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh hasil pembahasan penelitian
penulis sekaligus sebagai deskripsi pembuktian atas hipotesa yang telah dibangun
pada awal penelitian.
18
Download