DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ....................................................................................... iv I.PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 II.METODOLOLOGI PENELITIAN ............................................................... 7 III.HASIL DAN ANALISIS HASIL ............................................................... 11 IV.PEMBAHASAN DAN PENDAPAT ............................................................... 15 V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 25 ........................................................................................ 26 DAFTAR PUSTAKA I.PENDAHULUAN Hasil penelitian tahun pertama, dilaporkan bahwa isolat bakteri rizosfer tanaman kangkung dengan kode KNG.RT1 dapat menghasilkan IAA dengan konsentrasi 10.998 ppm, dan isolat bakteri endofit akar mangga dengan kode MEIA3 dapat menghasilkan auksin dengan konsentrasi 7.638 ppm dengan waktu inkubasi 5 hari. Sedangkan isolat bakteri endofit akar jagung dengan kode JGEA7 merupakan bakteri penghasil sitokinin dengan konsentrasi 3.894 ppm dan diduga ada potensi untuk menghasilkan fitohormon auksin. Berdasarkan hasil penelitian tahun pertama maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai produksi fitohormon IAA dari isolat bakteri dengan kode KNG.RT1, MEIA3 dan JGEA7 untuk mengetahui aktivitasnya dalam menghasilkan fitohormon IAA dengan komposisi medium produksi fitohormon yang berbeda. Diharapkan akan diperoleh komposisi medium yang optimal untuk proses produksi fitohormon IAA yang paling optimal dari isolat bakteri tersebut. IAA termasuk fitohormon golongan auksin alami dan berperan sebagai zat pemacu karena dapat meningkatkan sintesis DNA dan RNA, serta pemanjangan sel dengan meningkatnya pertukaran proton (Aslamsyah, 2002). Biosintesis IAA oleh mikroba dapat ditingkatkan dengan penambahan triptofan sebagai prekursor (Arshad et al., 2000 ; dalam Arkhipchenko, 2004). Keunggulan penggunaan bakteri penghasil auksin adalah secara alamiah bakteri tersebut tidak hanya menghasilkan auksin semata tapi juga dapat menghasilkan fitohormon yang lain. Auksin alami lebih efektif dalam merangsang pertumbuhan akar dibanding dengan auksin sintetik. Bahkan beberapa isolat bakteri dapat bersifat multiguna, artinya selain sebagai penghasil fitohormon juga sebagai pelarut fosfat, penambat nitrogen dan pelarut kalium. Penelitian lain menyebutkan bahwa bakteri epifitik (hidup pada permukaan tanamaN tertentu) dapat memproduksi fitohormon IAA dalam jumlah besar. Beberapa strain bakteri dari genus Azospirillum memiliki kemampuan “phytostimulatory”. Hal ini disebabkan bakteri tersebut mampu memproduksi fitohormon, yaitu IAA. Strain bakteri Pseudomonas fluorescens mampu merangsang pertumbuhan akar jagung pada kondisi hidroponik dengan menghasilkan IAA. Spesies dari genus Pseudomonas lainnya yaitu Pseudomonas putida juga dilaporkan mampu mempercepat pertumbuhan tanaman (Nyoman et al., 2004). Di masa mendatang, industri-industri pertanian semakin dituntut untuk menggunakan sistem organik (hayati) dalam setiap aktivitasnya, sehingga produk mikroba penghasil hormon pertumbuhan tanaman yang ramah lingkungan memiliki peluang pasar yang menjanjikan. Identifikasi Masalah: Fitohormon auksin sangat dibutuhkan oleh petani untuk pertumbuhan dan meningkatkan produktivitas tanaman; Saat ini banyak digunakan fitohormon sintetik; Terdapat spesies bakteri rizosfer, bakteri endofit yang dapat menghasilkan fitohormon auksin (IAA); Perlu teknologi untuk memproduksi fitohormon IAA dari sel bakteri; Jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur produksi diduga berpengaruh terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan. Kerangka Pemikiran: Indole-3-Acetic Acid (IAA) merupakan auksin alami yang sangat dibutuhkan petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Penggunaan auksin alami diharapkan akan semakin meningkat untuk menggantikan penggunaan fitohormon auksin sintetik yang kurang efisien karena tidak akan menyatu dengan tanaman dan akan hanyut terbawa arus air jika musim hujan tiba. Auksin sintetik juga kurang efektif dalam merangsang akar dibandingkan dengan auksin alami. Padahal, di alam banyak strain penghasil fitohormon auksin yang dapat bersimbiosis dengan jaringan tanaman. Beberapa isolat bakteri dapat menghasilkan auksin selama tanaman itu hidup sehingga tidak perlu pemberian auksin secara berkala. Bakteri penghasil fitohormon IAA dapat berasal dari isolat-isolat bakteri rizosfer dan endofit. Oleh karena itu pada penelitian ini akan dilakukan kajian produksi fitohormon IAA dengan menggunakan beberapa isolat bakteri dan komposisi medium yang berbeda-beda serta melakukan uji aktivitas terhadap fitohormon IAA yang dihasilkan. Medium yang digunakan untuk produksi fitohormon IAA adalah Minimal Medium, Luria Bertani Glukosa triptofan dan Minimal Salt. Minimal Medium mengandung sumber karbon yang rendah, triptofan dan sumber mineral yang berperan dalam produksi fitohormon IAA (Ahmad et al, 2004). Luria Bertani Glukosa Triptofan mengandung sumber karbon yang rendah, tetapi mengandung sumber nitrogen, triptofan dan sumber mineral yang berfungsi menjaga kekuatan ion (Jinichiro et al, 1990). Minimal Salt mengandung sumber karbon dan nitrogen yang rendah, triptofan dan mengandung sumber mineral yang berfungsi sebagai larutan penyangga, pengatur pH dan sebagai koenzim (Husen, 2003). Tahapan produksi fitohormon IAA dimulai dengan menginokulasikan bakteri ke dalam Minimal Medium, Luria Bertani Glukosa Triptofan dan Minimal Salt yang mengandung triptofan. Selanjutnya diinkubasi pada incubator shaker selama 48 jam pada suhu 28 0C dalam kondisi gelap. Supernatan dipisahkan dari sel-sel bakteri dengan cara sentrifugasi, kemudian diekstrak dengan etil asetat. Fraksi etil asetat dievaporasi hingga kering dengan rotavapor dan ekstrak yang diperoleh dilarutkan dengan metanol. Ekstrak yang sudah dilarutkan dengan metanol kemudian diuji aktivitasnya secara kualitatif dengan TLC (Thin Layer Chromatography) dan secara kuantitatif dengan HPLC (High Performance Liquid Chromatography) untuk mengetahui perlakuan jenis bakteri dan komposisi medium yang paling baik dalam menghasilkan fitohormon IAA. Maksud dan Tujuan Penelitia: Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengkaji teknologi produksi fitohormon IAA dengan menggunakan beberapa jenis isolat bakteri lokal dan komposisi medium kultur yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan, guna mendapatkan komposisi medium yang paling tepat untuk produksi fitohormon IAA dari isolat bakteri lokal. Hipotesis Penelitian: Hipotesis yang dapat dikemukakan adalah bahwa jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur yang dicoba berpengaruh terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan. II. METODOLOGI PENELITIAN. Bahan dan Peralatan Bahan-bahan Penelitian Isolat murni bakteri penghasil fitohormon IAA sebanyak tiga isolat dengan kode KNG.RT1, MEIA3 dan JGEA7. Isolat bakteri tersebut diperoleh dari hasil penelitian tahun pertama. Medium kultur produksi fitohormon IAA terdiri dari (a). Minimal Medium dengan triptofan 1 g/liter, (b). Minimal Medium dengan triptofan 2 g/liter, (c) Luria Bertani Glukosa Triptofan (LBGT) dan (d) Minimal Salt (MS) yang diperkaya dengan triptofan 2 g/liter. Solvent untuk ekstraksi menggunakan etil asetat teknis. Sebelum di ekstraksi pH supernatan diatur menggunakan NaOH dan HCl 1 N. Bahan-bahan untuk uji TLC dan HPLC. Metanol glacial / metanol HPLC grade. Reagent Ehrlich yang terdiri dari larutan 1 g ρ-dimetil-amino-benzaldehid dan 20 ml HCl pekat dalam 95 ml etanol 96 %. Auksin standar yang digunakan terdiri dari dua jenis, yaitu Indole-3-Acetik-Acid (IAA) dan indole -3-Butryic Acid (IBA). Eluent yang digunakan untuk TLC adalah kloroform : etil asetat :asam format (50 : 40 : 10, v/v). Eluent yang digunakan untuk HPLC adalah metanol : waters (60 : 40, v/v). Peralatan untuk pembuatan starter dan kultur produksi fitohormon IAA: Labu Erlenmeyer, corong pisah dan gelas ukur.Autoclave. Hot plate dan magnetic stirrer.Timbangan, spatula, dan piring kecil.incubator shaker.Centrifuge dan tabung centrifuge.pH meter dan Rotavapor. Tabung reaksi. Laminar air flow. Jarum ose. Peralatan untuk analisis kualitatif dengan menggunakan metode Thin Layer Chromatography (TLC): Plat silica gel GF254. Pipa kapiler.Sprayer TLC. Sinar UV.Peralatan untuk analisis kuantitatif dengan menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC): Sonikator.Vacuum filter dan membrane filter dengan ukuran pori 0,22 µm. Seperangkat alat HPLC seperti injektor, kromatogram, kolom shimpak CLC-ODS C-18 dengan diameter 0,6 mm, pompa, dan reservoir. Pembuatan Medium: Pembuatan Medium Nutrient Agar. Komposisi medium Nutrien Agar dalam 1 liter akuades terdiri dari 3 g beef extract, 5 g peptone, dan 15 g agar yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian disterilkan dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit. Medium Nutrient Agar digunakan untuk peremajaan isolat bakteri dan perhitungan sel bakteri. Pembuatan Minimal Medium. Komposisi Minimal Medium dalam 1 liter akuades terdiri dari 10 g glukosa, 3 g K2HPO4, 0,3 g MgSO4.7H2O, 0,5 g sodium sitrat dengan penambahan 1 g triptofan, yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8 - 7. Kemudian dimasukkan yang masing-masing diisi 20 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan masing-masing diisi 50 ml sebagian larutan medium dimasukkan ke dalam 9 labu Erlenmeyer ukuran 250 ml. Larutan medium selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit (Ahmad et al, 2004). Dibuat juga Minimal medium dengan komposisi yang sama, namun berbeda pada penambahan triptofan yaitu 2 g/1 liter akuades. Pembuatan Medium Luria Bertani Glukosa Triptofan (MLBGT). Komposisi medium Luria Bertani Glukosa Triptofan dalam 1 liter akuades terdiri dari 10 g glukosa, 10 g bacto tryptone, 5 g bacto yeast ekstrak, 5 g NaCl dan 2 g triptofan yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian dimasukkan yang masingmasing diisi 20 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan masing-masing 50 ml sebagian larutan ke dalam 9 labu Erlenmeyer ukuran 250 ml. Larutan medium selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit (Jinichiro et al, 1990). Pembuatan Medium Minimal Salt (MMS). Komposisi medium Minimal Salt dalam 900 ml akuades terdiri dari 1.36 g KH2PO4, 0,2 g MgSO4.7H2O, 2,13 g Na2HPO4, dan 0,5 g sodium sitrat, yang dilarutkan dalam 1 liter aquades, pH diatur 6,8-7. Kemudian dimasukkan yang masing-masing diisi 18 ml ke dalam 3 labu Erlenmeyer ukuran 100 ml dan yang masing-masing 45 ml sebagian larutan medium ke dalam 9 labu Erlenmeyer ukuran 250 ml. Larutan medium selanjutnya disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit. Setelah itu ditambah 10 g glukosa, 0.1 g yeast ekstrak dan 2 g triptofan dalam 100 ml aquades yang telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 121 0C dengan tekanan 1 Atm selama 15 menit pada tempat yang berbeda.Cara penambahannya diambil 2 ml ke dalam Erlenmeyer ukuran 100 ml yang telah berisi larutan 18 ml dan dan diambil 5 ml ke dalam beberapa Erlenmeyer ukuran 250 ml yang telah berisi larutan 45 ml ( Husen, 2003). Pembuatan Kultur Starter: Sebanyak 1 ose isolat murni masing-masing bakteri dari media agar miring NA diinokulasikan ke dalam 20 ml masing-masing medium dalam Erlenmeyer 100 ml, kemudian diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar selama 24 jam. Perhitungan Sel Bakteri dalam Larutan Kultur Starter: Perhitungan sel bakteri bertujuan untuk mengetahui jumlah bakteri yang ada dalam kultur starter. Perhitungan sel bakteri dilakukan dengan metode Total Plate Count (TPC) dengan cara sebagai berikut: diambil larutan starter sebanyak 1 ml, kemudian dilarutkan dalam 9 ml aquades steril maka diperoleh larutan dengan pengenceran 10- 1 kemudian dilakukan pengenceran sampai 10-5. Dari pengenceran 10-3, 10-4 dan 10-5 diambil 100 µl kemudian diinokulasikan secara pour plate pada medium NA. Setelah diinkubasi pada suhu 28 0C selama 48 jam jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan syarat jumlah koloni yang tumbuh antara 30-300. Jumlah sel bakteri dihitung dengan cara mengalikan jumlah koloni yang terhitung dengan faktor pengencaran. Inokulasi dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA: Sebanyak 3 ml kultur starter dengan kepadatan sel 106 masing-masing diinokulasikan ke dalam 50 ml medium produksi dalam Erlenmeyer 250 ml dan diinkubasi dalam incubator shaker dengan kecepatan 150 rpm pada suhu kamar selama 48 jam. Recovery Produk Fitohormon IAA: Kultur bakteri yang telah diinkubasi selama 48 jam disentrifugasi dengan kecepatan 7.000 rpm selama 25 menit. Fitohormon IAA dari supernatan bakteri diekstrak dengan etil asetat yang dilakukan sebanyak 4 kali dengan volume etil asetat sama dengan volume supernatan bakteri. Fraksi etil asetat dievaporasi hingga kering dengan rotavapor. Ekstrak yang diperoleh dilarutkan dalam 300 µl metanol glacial. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA. Secara Kualitatif Menggunakan TLC.: Prosedur pengujian aktivitas fitohormon IAA dengan metode TLC dilakukan dengan cara sebagai berikut : Plat silica gel GF254 dipotong dengan panjang 6 cm dan lebarnya sama dengan jumlah senyawa yang akan ditotol dikalikan 0,5 cm. Kedua ujung plat diberi garis dengan pensil dengan jarak 0,5 cm untuk menentukan batas atas dan batas bawah. Plat TLC diberi tanda sesuai dengan senyawa auksin standar dan kode sampel pada batas bawah dengan jarak 0,5 cm. Sampel, auksin standar IAA dan kontrol ditotolkan pada titik sesuai dengan nama pada batas bawah plat silica gel GF254.Plat silica gel kemudian di elusidasi dari batas bawah dengan eluen kloroform : etil asetat : asam format (50 : 40 : 10, v/v). Setelah dielusidasi, plat silica gel kemudian di angin-anginkan hingga kering. Plat silica gel disinari dengan sinar UV pada panjang gelombang 254 nm. Spot-spot auksin dilingkari dengan pensil. Setelah kering, plat silica gel di semprot dengan reagent Ehrlich. Reagent Ehrlich dibuat dengan melarutkan 1 g ρ-dimetil-amino-benzaldehid dan 20 ml HCl pekat dalam 95 ml etanol 96 %. Plat silica gel di panaskan di atas penangas air hingga spot-spot auksin terlihat jelas. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Secara Kuantitatif Menggunakan HPLC.: Prosedur pengujian aktivitas fitohormon IAA dengan metode HPLC dilakukan dengan cara sebagai berikut : Eluen dibuat dari metanol : waters dengan perbandingan 60: 40 v/v kemudian disaring dengan membran selulosa asetat dengan porositas 0,2 µm. Sebanyak 0,0025 g IAA standar dilarutkan dalam 20 ml metanol glacial dan diencerkan secara bertahap dengan metanol glacial dengan perbandingan 1 : 1. Sampel, eluen, dan IAA standar disonikasi selama 15 menit. Kemudian eluen di running dalam kolom HPLC shimpak CLCODS C-18 dengan diameter 0,6 mm dan tunggu 10 menit. Sebanyak 10 µl IAA standar dengan berbagai konsentrasi disuntikan kedalam kolom HPLC. Sampel dengan berbagai pengenceran mulai dari 3,5,10,20 kali pengenceran disuntikan sebanyak 10 µl ke dalam kolom HPLC. Hasil yang positif ditunjukkan dengan waktu retensi kromatogram sampel relatif sama dengan waktu retensi kromatogram auksin standar. Konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan dapat dihitung dengan menggunakan variabel area IAA standar dan area sampel serta faktor pengenceran. Rancangan Percobaan: Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan pola Faktorial (Torrie et al., 1991). Terdapat perlakuan yang merupakan kombinasi dua faktor, masing-masing faktor tersebut adalah : Jenis isolat bakteri terdiri atas tiga taraf : B1 = isolat bakteri rizosfer dari tanaman kangkung (KNG.RT1), B2 = isolat bakteri endofit dari tanaman mangga (ME1A3) , B3 = isolat bakteri endofit dari tanaman jagung (JGEA7). Komposisi medium kultur produksi fitohormon IAA terdiri atas empat taraf: M1 = Minimal Medium dengan penambahan triptofan 1 g/liter, M2 = Minimal Medium dengan penambahan triptofan 2 g/liter, M3= Luria Bertani Glukosa Triptofan dengan penambahan triptofan 2 g/liter, M4 = Minimal Salt dengan penambahan triptofan 2 g/liter Analisa Data: Data berdasarkan yang diperoleh dianalisis dengan analisis Sidik Ragam uji F menggunakan program SPSS 17 (Uyanto, 2009). Apabila hasilnya menunjukkan perbedaan yang nyata, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT). III.HASIL DAN ANALISIS HASIL Pembuatan Starter Pembuatan starter berfungsi untuk memperbanyak jumlah sel bakteri, mengaktifkan sel bakteri dan untuk mengadaptasikan sel bakteri. Waktu inkubasi starter selama 24 jam. Hasil perhitungan jumlah sel bakteri yang terkandung dalam larutan starter diinkubasi 24 jam dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Sel Bakteri dalam Starter Perlakuan Jumlah sel Isolat Bakteri Medium bakteri/ml B1 M1 1,3 x 106 B2 B3 Kombinasi Perlakuan Hasil Pengamatan B1M1 merah keruh M2 B1M2 merah keruh M3 B1M3 kuning keruh M4 B1M4 merah keruh B2M1 merah keruh M2 B2M2 merah keruh M3 B2M3 kuning keruh M4 B2M4 merah keruh B3M1 merah keruh M2 B3M2 merah keruh M3 B3M3 kuning keruh M4 B3M4 kuning keruh M1 M1 1,5 x 106 2, 7 x 106 setelah Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA secara Kualitatif Menggunakan TLC Hasil pengujian aktivitas fitohormon IAA secara kualitatif dengan TLC menunjukkan bahwa kombinasi dari tiga isolat bakteri dan empat komposisi medium produksi yang dicoba semuanya positif menghasilkan IAA. Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA secara Kuantitatif Menggunakan HPLC Hasil pengujian aktivitas fitohormon IAA secara kuantitatif dengan metode HPLC terhadap larutan ekstrak kultur bakteri pada perlakuan yang dicoba dapat dilihat pada Tabel 4 sebagai berikut: Tabel 4. Hasil Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan HPLC Perlakuan Isolat Bakteri Komposisi Medium B1 M1 M2 M3 M4 B2 M1 M2 Pengulangan Konsentrasi IAA (ppm) Rata-rata (ppm) 1 3,680 3,680 2 - 3 - 1 8,795 2 8,250 3 6,038 1 9,329 2 9,271 3 8,459 1 12,333 2 4,480 3 12,554 1 5,192 2 3,427 3 6,006 1 5,626 2 5,466 3 5,757 7,694 9,019 9,789 4,875 5,616 M3 M4 B3 M1 M2 M3 M4 1 3,435 2 3,559 3 3,457 1 0,810 2 0,674 3 0,728 1 2 1,216 1,899 3 2,182 1 1,737 2 3,292 3 1,833 1 2,527 2 - 3 - 1 1,118 2 1,027 3 1,393 3,484 0,737 1,766 2,287 2,527 1,179 Hasil Uji Duncan Multipe Range Test (DMRT) Tabel 5. Nilai Rata-rata Konsentrasi Fitohormon IAA oleh Perlakuan Isolat Bakteri Berdasarkan Uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) Duncana,,b Rata-rata Isolat Bakteri N 1 B3 B2 B1 P>F. Error = 27,48 a. N= 12. b. Alpha = 0,05. 12 12 12 1,939 2 3 3,678 1 7,546 1 1 Hasil uji DMRT menunjukkan bahwa nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang paling tinggi dihasilkan oleh perlakuan komposisi medium kultur M2 yaitu 5,199 ppm, seperti dapat dilihat pada Tabel 6. abe Duncana,,b Rata-rata Komposisi Medium M1 M4 M3 M2 P>F Error = 27,48 a. N= 9 b. Alpha = 0,05. N 1 9 9 9 9 3,440 3,902 0,115 2 3,902 4,449 5.199 0,129 IV.PEMBAHASAN DAN PENDAPAT A. Pembuatan Kultur Starter dan Inokulasi ke Medium Produksi Fitohormon IAA Pembuatan kultur starter bertujuan untuk memperbanyak jumlah sel bakteri, mengaktifkan sel bakteri dan untuk mengadaptasikan sel bakteri dengan medium yang akan digunakan untuk produksi fitohormon IAA. Hasil perhitungan metode Total Plate Count (TPC) jumlah sel bakteri dalam larutan starter masing-masing adalah 1,3 x 106 sel bakteri / ml, 1,5 x 106 bakteri / ml dan 2,7 x 106 sel bakteri / ml. Hasil tersebut menunjukkan kandungan jumlah sel bakteri yang hampir sama pada masing-masing isolat bakteri dan medium yang digunakan. Proses pembuatan starter inkubasi dilakukan pada rotary shaker dalam kondisi gelap. Hal ini bertujuan untuk menghindari degradasi IAA yang dihasilkan bakteri akibat intensitas cahaya yang tinggi. Seperti pada peristiwa fototropisme dimana IAA selalu terkonsentrasi pada jaringan tanaman yang tidak terkena cahaya matahari secara langsung. Selain itu juga bukti yang dijumpai pada petunjuk penggunaan hormon IAA komersial yang menyatakan produknya harus di simpan pada suhu 2-6 0C dalam kondisi gelap. B. Inokulasi Starter dan Inkubasi Kultur Produksi Fitohormon IAA Isolat bekteri diinokulasikan pada medium M1, M2, M3 dan M4. Medium kultur produksi dapat dilihat pada Gambar 6. Berbagai komposisi medium kultur yang dicoba diharapkan dapat mengetahui komposisi medium kultur yang paling tepat untuk produksi fitohormon IAA dari isolat bakteri tesebut. Gambar 6. Medium Kultur Produksi IAA Kandungan glukosa pada ke empat medium yang digunakan hanya di buat 10 g/liter. Hal ini bertujuan untuk membatasi pertumbuhan populasi bakteri, memperpendek fase logaritmik dan memperpanjang fase stasioner. Apabila kadar glukosa lebih banyak dari 10 g, maka sel-sel bakteri akan terus berkembang biak, sehingga kerapatan sel bakteri dalam kultur cair pada medium M1, M2, M3 dan M4 akan sangat tinggi. Kadar glukosa 10 g diharapkan populasi bakteri tidak terlalu tinggi, sehingga jika glukosa habis, maka bakteri akan menggunakan triptofan sebagai sumber energi dan bakteri tersebut akan mengkonversi triptofan menjadi IAA. Komponen K2HPO4, dan MgSO.7H2O pada medium M1 dan M2 dan komponen KH2PO4 dan MgSO.7H2O pada medium M4 berfungsi sebagai sumber fosfor dan magnesium, selain itu juga berperan sebagai buffer fosfat yang berfungsi untuk menjaga agar ion H+ pada kultur cair tidak berubah. Komponen Na2HPO4 pada medium M4 berfungsi sebagai pengatur pH dan medium M4 juga mengandung yeast ekstrak sebagai sumber protein dengan konsentreasi yang rendah. Medium M3 yang mengandung bacto trypyone, yeast ekstrak berfungsi sebagai sumber protein dan juga vitamin untuk bakteri, sedangkan NaCl pada medium M3 berfungsi dalam menjaga kekuatan ion. Komponen sodium sitrat pada medium M1, M2 dan M4 berperan sebagai koenzim Tryptophan-mono-oxygenase dan Indole-3-asetalamid hydrolase yang di hasilkan bakteri penghasil auksin. Fitohormon IAA merupakan produk transformasi dihasilkan setelah fase stasioner. Produk transformasi terjadi melalui modifikasi suatu senyawa yang ditambahkan kedalam medium kultur produksi untuk menghasilkan senyawa lain, yaitu triptofan yang dikonversi menjadi fitohormon IAA. Medium kultur produksi fitohormon IAA di perkaya dengan triptofan yang berperan sebagai prekursor (bahan baku) auksin. Bakteri penghasil auksin mempunyai gen Tms 1 dan Tms 2 yang mengkodekan enzim-enzim untuk mengkonversi triptofan menjadi IAA. Gen Tms 1 mensisntesis enzim Trypthophan-mono-oxygenase yang mengkorvesi triptofan menjadi Indole-3-acetamid, sedangkan gen Tms 2 mensintesis enzim Indole-3-acetamid hydrolase yang mengkonversi Indole-3-acetamid menjadi indole-3-Acetic Acid (IAA). Menurut Jinichiro et al. (1990) secara keseluruhan metabolisme triptofan dapat dilihat pada Gambar 7. Tryptophan (Trp) Tryptamine Indole-3-acetamide (IAAm) Indole-3-pyruvic acid (IPyA) (ILA) Indole-3-acetaldehyde (IAAld) Indole-3-lactic acid Trytophol (tol) Indole-3-acetic acid (IAA) Gambar 7. Biosintesis Triptofan oleh Bakteri (Jinichiro et al., 1990) Agitasi pada kecepatan 150 rpm bertujuan untuk meratakan dispersi larutan sel-sel mikroba dan nutrisi-nutrisi yang terkandung dalam medium kultur, agar ketersediaan nutrisi untuk sel bakteri tetap terjaga. Agitasi membantu bekteri untuk menbuang gas-gas dan produk samping hasil proses katabolisme. Agitasi juga membantu penyediaan O2 untuk sel bakteri, apalagi pada kultur bakteri yang kepadatan populasi yang tinggi. Asimilasi glukosa biasanya meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan agitasi. C. Recovery Produksi Fitohormon IAA Supernatan dipisahkan dari sel-sel bakteri dengan cara sentrifugasi pada suhu 4 0C, kecepatan 7000 rpm selama 25 menit setelah diinkubasi 48 jam. Suhu harus tetap dijaga dingin agar auksin tidak rusak. Sebelum diekstraksi supernatan diasamkan sampai pH 2,5-3, kemudian diekstrak dengan etil asetat sebanyak empat kali volume supernatan. Senyawa indole yang bersifat asam seperti IAA dapat terekstraksi dengan supernatant pada pH 2,5-3 menggunakan etil asetat (Ahmad et al. 2004). Menggunakan pelarut etil asetat karena etil asetat mempunyai kepolaran yang relatif sama dengan auksin, mudah di evaporasi yaitu cepat menguap pada suhu 400 C dalam evaporator, tidak bercampur dan mempunyai massa jenis yang berbeda dengan supernatan mikroba sehingga mudah untuk dipisahkan dari supernatan mikroba pada waktu ekstraksi. IAA yang terkandung dalam supernatan akan diikat oleh etil asetat pada saat ekstraksi. Proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 9. Pada Gambar 8 terlihat 2 lapisan yaitu lapisan atas dan bawah. Lapisan atas merupakan etil asetat karena massa jenis etil asetat lebih kecil dibanding massa jenis air, sehingga etil asetat berada di atas dan etil asetat akan manarik fitohormon IAA yang terkandung pada lapisan bawah. Gambar 8. Proses Ekstraksi Ekstrak yang dihasilkan berupa etil asetat yang berisi IAA dan senyawa-senyawa lain. Sebelum diuji TLC dan HPLC, etil asetat harus diuapkan hingga kering pada suhu 40 0C dan segera dilarutkan dengan 300 µl methanol. Makin pekat konsentrasi ekstraknya akan semakin baik juga hasil pengujian TLC dan HPLC. Ekstrak supernatant isolat-isolat bakteri yang telah dipekatkan dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9. Ekstrak Sampel yang telah Dipekatkan C. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan TLC Sampel yang menghasilkan IAA dapat diketahui dengan membandingkan warna dan jarak spot sampel dari batas bawah plat silika gel dengan warna dan jarak dari spot IAA standar. Jika warna dan jarak spotnya sama, maka di pastikan sampel tersebut menghasilkan IAA secara kualitatif. Gambar 10 tampak spot dan jarak yang sejajar dan warnanya mirip dengan IAA standar. Oleh karena itu, semua sampel dipastikan positif mengandung IAA. Hasil uji kualitatif dengan menggunakan metode TLC menunjukkan semua isolat bakteri dengan medium M1, M2, M3 dan M4 positif mengandung IAA, sedangkan kontrol (hanya medium saja tanpa diinokulasi dengan bakteri) tidak ada jarak dan warna spot-spot isolat yang sejajar, hal ini menunjukan bahwa tidak adanya aktivitas bakteri dan tidak mengandung fitohormon IAA. Gambar 10. Plat TLC yang telah Disemprot dangan Reagent Ehrlich dan setelah Dipanaskan. D. Pengujian Aktivitas Fitohormon IAA Menggunakan HPLC Semua sampel yang telah diuji aktivitas fitohormonnya dengan TLC dan menunjukkan hasil yang positif mengandung fitohormon IAA secara kualitatif, selanjutnya dilakukan pengujian dengan HPLC untuk mengetahui berapa konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan. Kromatrogam auksin standar dengan wakru retensi 1.777 ppm dapat dilihat pada Gambar 11. Waktu retensi ini menjadi patokan untuk menentukan kandungan IAA pada sampel. 2.50 2.00 AU 1.00 0.50 1.777 1.50 1 Name Retention Time Area Heig ht IAA 200 ppm 1.777 35545 69 3206 83 0.00 -0.50 -1.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 Minutes Gambar 11. Kromatrogam Fitohormon IAA Standar Kromatrogam HPLC berupa peak-peak dari IAA sampel yaitu bakteri yang berasal rizosfer kangkung pada perlakuan B1M4 ulangan ke 3 dapat dilihat pada Gambar 12. Bakteri rizosfer kangkung tersebut ternyata mengandung IAA dengan konsenterasi 12,554 ppm, dapat diketahui menghasilkan IAA yaitu dengan cara membandingkan waktu retensi yang terdapat di ujung peak-peak kromatogram sampel dengan kromatrogram IAA standar. Waktu retensi IAA standar 1,777 dan waktu retensi IAA sampel 1,786, karena waktu retensi IAA standar dengan waktu retensi IAA sampel relatif sama maka dapat dinyatakan IAA sampel tersebut mengandung auksin. 2.041 5.00 4.00 Retention 5.141 4.762 2.534 3.442 1.00 Area Height Time 3.048 2.00 1.607 1.786 AU 3.00 1 1.607 2518198 1515738 0 0.00 2 1.786 1213287 1296742 -1.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 5.50 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 8.50 9.00 9.50 10.00 Minutes 3 2.041 0 7591714 3680191 7 4 2.534 1992241 1103139 6 5 3.048 1068716 575854 3 6 3.442 1966227 438047 1 7 4.762 1881176 115656 8 5.141 4613205 140261 Gambar 12. Kromatrogam Fitohormon IAA Sampel pada Perlakuan B1M4 Ulangan 3 Hasil analisis HPLC dari bakteri rizosfer tanaman kangkung dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B1M1 dengan konsentrasi rata-rata 3,680 ppm, perlakuan B1M2 dengan konsentrasi rata-rata 7,694 ppm, perlakuan B1M3 dengan konsentrasi rata-rata 9,019 ppm dan pada perlakuan B1M4 dengan konsentrasi rata-rata 9,789 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri rizosfer tanaman kangkung konsentrasi ratarata tertinggi yaitu pada perlakuan B1M4 yaitu sebesar 9,879 ppm. Konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan oleh bakteri B1 sangat di pengaruhi oleh triptofan dan medium M4 yang dapat menghasilkan konsentrasi rata-rata tertinggi Hasil analisa HPLC dari bakteri endofit akar mangga fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B2M1 dengan dalam menghasilkan konsentrasi rata-rata 4,875 ppm, perlakuan B2M2 dengan konsentrasi rata-rata 5,616 ppm, perlakuan B2M3 dengan konsentrasi rata-rata 3,484 ppm dan pada perlakuan B2M4 dengan konsentrasi rata-rata 0,737 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri endofit tanaman mangga konsentrasi ratarata tertinggi yaitu pada perlakuan B2M2 adalah sebesar 5,616 ppm. Isolat bakteri dengan kode B2 dengan komposisi medium kultur yang berbeda-beda sangat mempengaruhi konsentrasi fitohormon IAA walaupun dengan konsentrasi triptofan 2 g/liter. Interaksi antara B2 dan M2 dapat menghasilkan fitohormon IAA yang tinggi dibandingkan dengan M1, M3 dan M4 Hasil analisa HPLC dari bakteri endofit tanaman jagung dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu pada perlakuan B3M1 dengan konsentrasi rata-rata 1,766 ppm, perlakuan B3M2 dengan konsentrasi rata-rata 2,287 ppm, perlakuan B3M3 dengan konsentrasi rata-rata 2,527 ppm dan pada perlakuan B3M4 dengan konsentrasi rata-rata 1,179 ppm. Dari hasil perhitungan HPLC bakteri endofit tanaman jagung konsentrasi ratarata tertinggi yaitu pada perlakuan B3M2 yaitu sebesar 2,287 ppm. Isolat bakteri dengan kode B3 dengan komposisi medium kultur yang berbeda-beda sangat mempengaruhi fitohormon IAA walaupun dengan konsentrasi trriptofan 2 g/liter. Interaksi anatara B2 dan M3 dapat menghasilkan konsentrasi fitohormon IAA yang tinggi di bandingkan dengan dengan M1, M2 dan M4. Hal ini menunjukkan isolat bakteri dengan kode B3 dalam menghasilkan fitohormon IAA sangat di pengaruhi oleh sumber nitrogen dan NaCl yang berfungsi menjaga kekuatan ion yang terkandung dalam medium M3, medium M4 juga mengandumng sumber nitrogen tetapi lebih rendah dibanding dengan medium M3 Penelitian tahun pertama, isolat bakteri dengan kode KNGRT1 dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi 10,998 ppm, sedangkan pada penelitian ini isolat bakteri dengan kode KNGRT1 (B1) dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi 12,333 ppm, 4,480 ppm (konsentrasi kecil karena pada uji HPLC kurang sempurna) dan 12,554 ppm. Konsentrasi fitohormon IAA pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada penelitian sebelumya, karena penelitaian ini menggunakan medium Minimal Salt (M4) yang ada kandungan sumber nitrogen sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan medium Minimal Medium yang tidak mengandung sumber nitrogen. Isolat bakteri dengan kode ME1A3 (B2) dengan M2 dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi tetinggi 5,616 ppm. Konsentrasi tersebut lebih kecil dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di tahun pertama, isolat bakteri dengan kode ME1A3 dengan Minimal Medium (M1) dapat menghasilkan fitohormon IAA dengan konsentrasi 7,638 ppm. Penelitian ini dengan isolat bakteri dan medium kultur yang sama juga menghasilkan konsentrasi fitohormon IAA lebih kecil di bandingkan dengan penelitian yang dilakukan di tahun pertama, karena penelitian ini menggunakan waktu inkubasi 48 jam sedangkan penelitian sebelumnya dengan waktu 120 jam Isolat bakteri dengan kode JGEA7 (B3) dengan medium kultur M3 dapat menghasilkan fitohormon IAA tertinggi dengan konsentrasi rata-rata 2,527 ppm. Konsentrasi tersebut lebih kecil di banding isolat bakteti B1 dan B2, karena isolat bakteri B3 selain dapat menghasilkan fitohormon IAA dapat juga menghasilkan fitohormon sitokinin. Penelitian yang dilakukan oleh Wirastuti (2004), yang memproduksi fitohormon IAA dengan konsentrasi 2,79 µg/ml (ppm) yang lebih kecil dibandingkan dengan hasil konsentrasi fitohormon IAA dengan isolat bakteri B1 dan B2, tetapi lebih tinggi jika dan dibandingkan dengan isolat bakteri B3. Hal ini terjadi karena peneltian yang dilakukan oleh Wirastuti (2004) menggunakan medium Nutrient Broth yang banyak mengandung sumber nitrogen tanpa adanya sumber karbon dan sumber mineral. Komposisi triptofan yang digunakan sebanyak 2 g/liter berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad et al (2004) yang memproduksi fitohormon IAA yang terbaik dilakukan dengan triptofan 2 g/liter dengan konsentrasi 24,80 µg/ml. Komposisi M2 dengan penambahan triptofan 2 g /liter lebih baik dalam menghasilkan fitohormon IAA di bandingkan dengan komposisi M1 dengan penambahan triptofan 1 g/liter. Interaksi antara bakteri B1 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 7,694 ppm lebih tinggi dari interaksi antara bakteri B1 dan medium M1 yaitu 3,680 ppm. Interaksi antara bakteri B2 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 5,616 ppm lebih tinggi dari interaksi antara bakteri B2 dan medium M1 yaitu 4,875 ppm. Interaksi antara bakteri B3 dan medium M2 dalam menghasilkan fitohormon IAA yaitu 2,287 ppm lebih tinggi dari interaksi antara bakteri B3 dan medium M1 yaitu 1,766 ppm. Hasil analisis ragam pengaruh isolat bakteri dan komposisi medium serta interaksi terhadap konsentrasi fitohormon IAA dapat dilihat pada Lampiran 45. Perlakuan isolat bakteri berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan (P<0,05). Perlakuan komposisi medium kultur yang dicoba berpengaruyh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan (P<0,05). Interaksi perlakuan antara isolat bakteri dan komposisi medium kultur yang dicoba berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan (P<0,05). Perlakuan jenis isolat bakteri yang dicoba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bakteri mempunyai kemampuan yang berbeda yang berbeda dalam menghasilkan fitohormon IAA. Menggunakan Duncan’s multiple range test dapat dilihat bahwa isolat bakteri menghasilkan nilai rata-rata tertinggi pada isolat bakteri dengan kode B1 yaitu 7,546 ppm (Tabel 5). Hasil tersebut berbeda sangat nyata dengan nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan isolat bakteri dengan kode B2 (3,678 ppm) dan isolat bakteri dengan kode B3 (1,939 ppm). Isolat bakteri tersebut memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghasilkan fitohormon IAA. Isolat bakteri B1 dapat menghasilkan konsentrasi fitohormon tertinggi karena isolat bakteri B1 merupakan bakteri rizosfer. Bakteri rizosfer dapat memanfaatkan eksudat akar yang mengandung asam amino, asam-asam organik, vitamin, enzim, karbohidrat dan lain-lain yang berfungsi sebagai sumber nutrisi. Sehingga bakteri tersebut dapat menghasilkan senyawa-senyawa aktif yaitu Indole-3- Acetic Acid (IAA) yang digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Perlakuan komposisi medium kultur yang dicoba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA. Hal ini menunjukkan bahwa ke empat medium kultur yang dicoba mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam memproduksi fitohormon IAA. Menggunakan Duncan’s multiple range test dapat dilihat bahwa komposisi medium menghasilkan nilai rata-rata tertinggi pada komposisi medium M2 yaitu 5,199 ppm (Tabel 6). Hasil tersebut berbeda sangat nyata dengan nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan oleh komposisi medium M1 (3,440 ppm), M3 (4,449 ppm) dan M4 (3,902 ppm). Komposisi medium M2 mengandung K2HPO4 dan MgSO4.7H2O yang berfungsi sumber fosfor dan magnesium, selain itu juga berfungsi sebagai buffer fosfat untuk menjaga ion H+ pada kultur cair tidak berubah yang tidak dimiliki oleh medium M3, dengan sumber karbon yang rendah dan tidak mengandung sumber nitrogen seperti pada medium M3 dan M4. Medium M2 mengandung triptofan sebagai prekursor dan juga mengandung sodium sitrat yang berfungsi sebagai koenzim Triptophan-mono-oxygenase dan Indole-3-asetalamid hydrolase. Perlakuan isolat bakteri dengan komposisi medium kultur yang dicoba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA Konsentrasi fitohormon IAA. Hal ini menunjukkan bahwa antara isolat bakteri dan komposisi medium kultur terjadi interaksi dalam menghasilkan dan memproduksi fitohormon IAA. Interaksi perlakuan antara isolat bakteri dan komposisi medium kultur menghasilkan nilai rata-rata tertinggi pada B1M4 yaitu 9,789 ppm. Hal tersebut berbeda nyata dengan nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan oleh interaksi perlakuan antara isolat bakteri dan komposisi medium B1M3 (9,019 ppm), B1M2 ( 7,694 ppm), B2M4 (5,616 ppm), B2M1 (4,875 ppm), B1M1 (3,680 ppm), B2M3 (3,484 ppm), B3M3 (2,527 ppm), B3M2 (2,287 ppm), B3M1 (1,767 ppm), B3M4 (1,179 ppm), dan B2M4 (0,737 ppm). Interaksi perlakuan antara isolat bakteri B1 dan medium M4 dapat menghasilkan nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA tertinggi, karena medium M4 mengandung KH2PO4 dan MgSO.7H2O berfungsi sebagai sumber fosfor dan magnesium selain itu juga berperan sebagai buffer fosfat yang berfungsi untuk menjaga agar ion H+ pada kultur cair tidak berubah. Yeast ekstrak yang berfungsi sebagai protein, triptofan sebagai prekursor dan juga komponen sodium sitrat yang berfungsi sebagai koenzim Tryptophan-mono-oxygenase dan Indole-3-asetalamid hydrolase yang di hasilkan bakteri penghasil auksin. Selain itu pada medium M4 juga terdapat Na2HPO4 yang berbeda dengan medium lain yaitu berfungsi sebagai pengatur pH. V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan 1. Jenis isolat bakteri (B1, B2, B3) dan komposisi medium kultur (M1, M2, M3, M4) berpengaruh sangat nyata terhadap konsentrasi fitohormon IAA yang dihasilkan. 2. Isolat bakteri B1 dan komposisi medium kultur M2 menghasilkan nilai rata-rata konsentrasi fitohormon IAA yang paling tinggi. Kombinasi antara jenis isolat bakteri dan komposisi medium kultur yang baik untuk produksi fitohormon IAA adalah B1 dengan M4 yang menghasilkan konsentrasi sebesar 9,789 ppm. 3. Beberapa komposisi medium dapat digunakan sebagai medium kultur produksi fitohormon IAA. Penambahan triptofan sebanyak 2 g/liter dapat menghasilkan fitohormon IAA yang lebih tinggi dibanding dengan penambahan triptofan 1 g/liter. B.Saran Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya, yaitu dilakukan produksi fitohormon IAA dalam skala besar menggunakan isolat bakteri B1 dan menggunakan medium M4. DAFTAR PUSTAKA Abidin, Z. 1982. Dasar-dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa. Bandung. Ahmad F, I. Ahmad and M. S. Khan. 2004. Indole Ecetic Acid Produktion by the Indigenous Isolates of Azotobacter and Pseudomonas in the Presence and Absence of triptofan. Departement of Agricultural Microbiology, Faculty of Agricultural Sciences, Aligarh Muslim University, Aligarh. Arkhipchenko, I. A., A. I Shaposhnikou, L. V and Kravchen,. 2006. Triptophan Concertation of Animal Waste and Organic Fertilizer. Http://www.science.direct.com (2 Agustus 2009) Aslamsyah, S. 2002. Peranan Hormon Tumbuh dalam Memacu Pertumbuhan Alga. Http://tumoutou.net/702_05123/Siti Aslamsyah.htm (15 Juli 2009). Barbieri, P. and E. Galli. 1993. Effect on Wheat Root Development of Inoculation with an Azospirillum brasilense Mutant with Altered Indole-3-Acetic Acid Production. Res. Microbiol. 144:69-75. Barbieri, P., T. Zanelli, E. Galli, and G. Zanetti. 1986. Inoculation with Azospirillum brasilense Sp6 and some Mutants Altered in Nitrogen Fixation and indole-3-acetic acid Production. FEMS Microbiol. Lett. 36:87-90. Cappuyuns A., I. Smets, K Bernaerts, O. Ona, J Somers, E. Prinsen and J. Van Impe. 2004. Forward a Model for Indole-3-Acetic Acid (IAA) Production by Azospirilium brasilense Sp245. Croylaan 46, B-3001 Leuven. Clark Jim. 2007. Thin Layer Chromatografi, Whasington D.C Connor, P.R. 1982. Chemistry, Experiment and Principle, 4th.ed. Healt and Company, London Cook T. J., D. B. Poli, A.E. Sztein and Jerry D. Cohen. 2002. Evolutionary Patterns in Auxin Action. Department of Cell Biology and Molecular Genetics, University of Maryland, College Park . Dascaliuc. 2002. Hormones and Synthetic Plant Growth Regulators in Agriculture. Institute of Genetic and Plant Psysiology, Academy of Sciences of Maldova, 20 Padurri str., Chisinau, Maldova. Day R.A dan A.L Underwood. 1986. Analisa Kimia Kuantitatif. Edisi VII. Erlangga, Jakarta. Dobbelaere, S., A. Croonenborghs, A. Thys, A.Vande Broek, and J. Vanderleyden. 1999. Phytostimulatory effect of Azospirillum brasilense wild type and Mutant Strains Altered in IAA Production on Wheat. Plant Soil 212:155-164. Gardner dan Franklin, P. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Hallmann, J. 2001. Plant Interaction With Endophytic Bacteria. Biotic Interactions in PlantPhatogen Association., 87-119. Harjadi S. S. 2009. Zat Pengatur Tumbuh. Penebar Swadaya, Jakarta. Hartman, H.T and D.E. Ketser. 1975. Plan Propagation. Prentince Hall International, London. Hindersah, R, M. R. Setiawati dan B.N. Fitriatin, 2003. Inokulasi Azotobacter sp Melalui Filosofir dan Rizosfer pada Pembibitan Selada (Laciuca sativa L). Loporan Penelitian. Lrembaga Penelitian Universilas Padjadjaran, Bandung. Husen Edi. 2003. Screening of Soil Bacteria for Plant Growth Promotion Activities Invitro. Indonesian Soil Research Institute, Bogor. Jinichiro K, T. Adachi and H. Hidaka. 1990 IAA Biosynthetic Pathway from Tryptophan via Indole-3-pyruvic Acid in Enterobacter cloacae. Bio Science Laboratories, Meiji Seika Kaisha, Ltd., Chiyoda. Nyoman I. P., A.D.P. Lestari dan Dwi P. 2004. Mikroba Penghasil Fitohormon. Departemen Biologi. ITB, Bandung. Razie, F dan I. Anas. 2005. Potensi Azotobacter spp. (dari Lahan Pasang Surut Kalimantan Selatan) dalam Menghasilkan Indole Acetic Acid (IAA). Jurnal Tanah dan Lingkungan. 7:35-39. Sridevi M. and K. V. Mallaiah. 2007. Production of Indole-3-Acetic Acid by Rhizobium isolates from Sesbania species. Department of Microbiology, Acharya Nagarjuna University, Nagarjuna Nagar-522 510, Andhra Pradesh. Somers, E. D. Ptacek, P. Gysegom, M. Srinivasan, and J. Vanderleyden. 2004. Azospirillum brasilense Produces the Auxin-Like Phenylacetic Acid by Using the Key Enzyme for Indole-3-Acetic Acid BiosynthesCentre of Microbial and Plant Genetics, Katholieke Universiteit Leuven, B-3001 Heverlee. Teale W. D., A. P. Ivan and P. Klaus. 2006. Auxin in Action : Signaling, Transport and the Control of Plan Growth and Development. Institut fur Biologie II/ Botanik, Schanzlestrase, 79104 Freiburg. Tien T. M., M. H. Gaskin and D. H. Hubbel. 1979. Plant Growth Substances Produced by Azospirillum brasilense and Their Effect on the Growth of Pearl Millet (Pennisetum americanum L.). U.S. Department of Agriculture Institute of Food and Agricultural Sciences, Gainesville. Tjitrosomo, S.S. 1985. Botani Umum 2. Angkasa, Bandung. Torrie James H. Steel dan G.D. Roberth. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Uyanto, S. S. 2009. Pedoman Analisis Data dengan SPSS. Graha Ilmu, Yogyakarta Waluyo Lud. 2008. Teknik Metode Dasar Mikrobiologi. UMM Press, Malang. Wedhastri, S. 2002. Isolasi dan seleksi Azotobacter spp. Penghasil Faktor Tumbuh dan Penambat Nitrogen dari Tanah Masam. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 3:45-51. Wilson, D. 1995. Endophyte – the Evolution of a Term, and Clarification of its use and Definition. Oikos 73, 274-276. Wirastuti, B. E. 2004. Produksi Hormon Tumbuh IAA oleh Isolat Bakteri Rizosfer pada Beberapa Variasi Waktu Inkubasi. Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, ITB, Bandung.