Makalah Demam Tifoid

advertisement
DEMAM TIFOID (TIFUS ABDOMINALIS)
Makalah
(Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Mahasiswa Peminatan Epidemiologi)
Disusun Oleh:
Dina Adlina Amu
1111101000036
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2013
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit infeksi adalah salah satu masalah kesehatan di dunia termasuk
Indonesia yang kasus penyakit infeksinya tinggi . Penyakit infeksi emerging
adalah penyakit infeksi baru yang sebelumnya belum pernah dikenal, sedangkan
penyakit infeksi re-emerging adalah penyakit infeksi sebelumnya pernah dikenal,
kemudian hilang tetapi muncul kembali dengan tampilan lebih virulen dan pola
epidemilogik.1
Di United State, tifoid merupakan ancaman yang sangat nyata dari reemerging disease, sangat dibutuhkan ahli kesehatan yang dengan pengetahuannya
kemudian dapat mengidentifikasi penyakit, pengobatan segera, dan pelaopran
kasus. 2 Sedangkan di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik
(penyakit yang selalu ada di masyarakat sepanjang waktu walaupun dengan angka
kejadian kecil) dan termasuk penyakit menular yang tercantum dalam UndangUndang Nomor 6, tahun 1962, tentang wabah. 3 Selain itu, secara global tifoid
merupakan masalah kesehatan global penting dan penyebab mayor dari kesakitan
di dunia yang sedang berkembang ini.4
Oleh karena itu, tindakan pemantauan, pengawasan, identifikasi, pencegahan,
penanggulangan, dan pengendalian yang cepat dan tepat mengenai penyakit ini
sangat diharapkan untuk dilakukan oleh para tenaga ahli kesehatan.
B. Identifikasi Penyakit
Sejarah awal demam tifoid menjadi terkenal adalah karena Typhoid Mary.
Hal ini karena Mary Mallon, petugas bagian pelayaan makanan, diidentifikasi
Widodo, Djoko, “Penyakit Infeksi Emerging dan Re-emerging dan Dampaknya terhadap
Masalah Kesehatan di Indonesia”, diakses tanggal
9 Maret 2013 dari
http://perpus.yarsi.ac.id/baru1/common.php?page=tampil_majalah_all&kode=10219&session=
2
Amesh A. Adalja, “Typhoid Fever”, (Center for Biosecurity of UPMC, 2010), diakses
tanggal
14
Maret
2013
dari
http://www.upmccbn.org/report_archive/2010/cbnreport_09032010.html
3
Suharjo B. Cahyono, Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi, (Yogyakarta:
Kanisius 2010), h. 92
4
Geoffrey C. Buckle, Typhoid Fever and Paratyphoid Fever: Systemic Review to Estimate
Global Morbidity and Mortality for 2010, (Journal of Global Health), h. 2
1
2
sebagai sumber epidemi tifoid karena hasil pemeriksaan bakteriologis pada
tinjanya menunjukkan bahwa ia merupakan carrier tifoid kronis sehingga
menyebabkan terjadinya banyak kematian dan sejumlah KLB tifoid di New York
di awal tahun 1900-an.5
Tifoid merupakan penyakit demam akut dan mengancam jiwa yang
disebabkan oleh infeksi sistemik dari bakteri Salmonella enteric dengan serotype
masing-masing typhi dan paratyphi. 6 Gejala klasik penyakit ini adalah onset
bertahap demam berkelanjutan setinggi 103˚F-104˚F (30˚C-40˚C) 7 , menggigil,
dan sakit perut.8 Selain itu, gejala lainnya adalah sakit kepala yang berat, badan
lemah, anoreksia, bradikardi relatif, splenomegali, pada penderita kulit putih 25%
diantaranya menunjukkan adanya “rose spot” pada tubuhnya, batuk tidak
produktif pada awal penyakit, pada penderita dewsa lebih banyak terjadi
konstipasi dibandingkan dengan diare. 9 Masa inkubasi demam tifoid tergantung
dari jumlah bakteri yang menginfeksi, masa inkubasi dapat berlangsung dari tiga
hari sampai dengan satu bulan dengan rata-rata antara 8-14 hari.10
Penyakit demam tifoid ini awalnya akan menyerang selaput lendir usus. Jika
penyakit ini tidak diiboati maka secara progresif menyerbu jaringan di seluruh
tubuh. 11 Keterlambatan pengobatan demam tifoid (terutama 2-3 minggu tanpa
pengobatan) dapat menyebabkan komplikasi, seperti: perdarahan usus, kebocoran
usus, kelumpuhan usus, atau radang pankreas.12
C. Daerah Endemis
Di beberapa negara penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan,
termasuk di Indonesia. Indonesia dan sebagian besar Asia Selatan merupakan
daerah endemik Demam Tifoid. Anak-anak prasekolah dan yang berusia 5-19
5
Thomas Timmreck, Epidemiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC), h. 419
6
Geoffrey, Loc.Cit.
7
CDC,
“Typhoid
Fever”,
diakses
tanggal
14
Maret
2013
dari
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
8
Geoffrey, Loc.Cit.
9
James Chin, Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Penerjemah: I Nyoman Kandun,
(Jakarta: CV.Informatika, 2012), h. 653
10
Ibid. h. 655
11
Jan Tambayong, Patofisiologi untuk Keperawatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC, 2000), h. 143
12
Suharjo B. Cahyono, Op.Cit., h, 93
3
tahun seringkali menjadi penderita penyakit ini akibat perilaku jajan sembarangan
yang makanan maupun minuman yang dikonsumsi tidak tejamin kebersihannya.
Demam tifoid terjadi pada 16-33 juta manusia setiap tahunnya, dengan meninggal
sebanyak 500.000.13
Sedangkan, dalam referensi lain mengatakan bahwa diperkirakan angka
kejadian penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka
kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Daerah endemiknya tersebar di
berbagai benua, mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga
Oceania. 80% kasus ditemukan di negara-negara berkembang, seperti Bangladesh,
LAOS, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Di Indonesia, mayoritas
penderitanya adalah kelompok umur 3-19 tahun (91%) (WHO, 2003).14
Di Indonesia, Kabupaten Sumba Barat Daya adalah salah satu daerah
endemic tifoid dengan angka kesakitan diperkirakan mencapai 725/100.000
penduduk per tahun. Angka tersebut melebihi angka kesakitan rata-rata kejadian
demam tifoid di daerah pedesaan Indonesia (385/100.000 penduduk) bahkan
mendekati angka kesakitan untuk penduduk perkotaan (810/100.000 penduduk).15
II. PENYEBAB DAN FAKTOR RESIKO
A. Penyebab Penyakit
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, Bacil typhoid. Kuman S.
typhi ini merupakan parasit intraseluler fakultatif yang hidup dalam makrofag
dapat bertahan hidup selama beberapa hari di air tanah, air permukaan laut atau air
laut dan beberapa bulan pada telur dan tiram beku yang terkontaminasi. Kuman
Kiddieadm,
“Demam Tifoid”, diakses tanggal
9 Maret 2013 dari
http://www.kiddiecarecentre.com/saluran-cerna/demam-tifoid.html
14
Anonim,
“Demam
Tifoid”,
diakses
tanggal
7
Maret
2013
dari
http://pendidikankedokteran.net/index.php?option=com_content&view=article&id=114:demamtifoid&catid=54:berita&Itemid=108
15
Charis Amarantini, Epidemiologi Molekular Salmonella Typhi, Penyebab Demam Tifoid
Asal WILAYAH Endemik Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa Tenggara Timur, (Yogyakarta,
2010) diakses tanggal 7 Maret 2013 dari http://pasca.ugm.ac.id/v2.1/promotion/id/83
13
4
Salmonela kemudian menjadi patogenik akibat endotoksin yang dihasilkannya.16
Dosis penularannya antara 103 sampai 106 juta kuman yang ditularkan melalui
makanan dan air yang tercemar oleh tinja penderita atau carrier (Shulman et al.,
1994).17
B. Faktor Resiko
Faktor resiko demam tifoid18 antara lain:
1.
Sanitasi lingkungan yang buruk
Sanitasi lingkungan yang buruk meliputi sumber air bersih yang tercemar, kondisi
lingkungan sekitar rumah maupun di dalam rumah yang kotor (sampah bertebaran
di mana-mana), kotoran hewan di jalan umum yang tidak dibersihkan (dibiarkan
begitu saja), dan sebagainya.
2.
Personal Hygiene yang buruk
Personal hygiene yang buruk ini dapat berupa perilaku tidak bersih dan sehat oleh
anggota masyarakat, seperti tidak mencuci tangan sebelum maupun sesudah
makan, menggunakan peralatan makan yang sudah dipakai sebelumnya (belum
dicuci langsung dipakai kembali, atau kalaupun dicuci tetapi tidak bersih), tidak
menggunakan jamban atau toilet untuk buang air besar maupun buang air kecil.
3.
Menjadikan sungai sebagai sapiteng rumah tangga
Hal ini dapat mencemari sungai sehingga bakteri S. typhi dapat menyebar di
dalam sungai. Jika, sungai tersebut dimanfaatkan sebagai tempat untuk mandi,
cuci, kakus maka bakteri S. typhi akan sangat mudah menginfeksi manusia.
4.
Mengkonsumsi makanan (khususnya sayuran) dalamm kondisi mentah dan
minum air yang tidak direbus
16
Thomas Timmreck, Op.Cit.
Arif Rakhman, Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Demam
Tifoid pada Orang Dewasa, (Yogyakarta, 2009), h. 8
18
Okky P. Pramitasari, Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada Penderita yang
Dirawat di RSUD Ungaran, (Semarang, 2013), h. 2
17
5
Makanan atau minuman yang tidak dimasak hingga matang atau mendidih
(untuk air) akan menyebabkan bakteri yang berada pada sayur dan yang
berada di dalam air tidak mati sehingga akan dengan mudah termakan dan
masuk ke dalam tubuh.
5.
Pasteurisasi susu yang tidak baik
Pasteurisasi susu yang menggunakan suhu yang tidak sesuai maka dapat
memicu berkembangnya bakteri-bakteri termasuk bakteri S. typhi, apabila
terminum oleh manusia maka akan masuk ke dalam tubuh dan menginfeksi
manusia tersebut
6.
Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak baik
Cara pengolahan dan penyajian makanan dan minuman yang tidak sesuai
standar kebersihan, seperti tidak mencuci tangan sebelum mengolah makanan
dan minuman, menggunakan wadah yang tidak bersih, makanan atau
minuman dibiarkan terbuka begitu saja, dan sebagainya. Hal tersebut dapat
menyebabkan bakteri mudah berpindah ke dalam makanan dan minuman
kemudian termakan dan menginfeksi manusia
III. CARA PENULARAN
Kontak langsung atau tidak langsung dengan orang yang terinfeksi (pengidap
sakit atau kronis) diperlukan untuk infeksi. Penularan dapat berupa ledakan
serangan yang disebarkan air karena sanitasi yang buruk dan penyebaran fekaloral akibat personal hygiene yang buruk, 19 dapat juga melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi oleh tinja dan urin dari penderita atau carrier. Di
beberapa negara penularan terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang
berasal dari air yang tercemar, buah-buahan, sayur-sayuran mentah yang dipupuk
dengan kotoran manusia, susu, dan produk susu yang terkontaminasi oleh carrier
atau penderita yang teridentifikasi.20 Penyebaran demam tifoid kongenital dapat
19
Behrman, dkk., Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab, (Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC, 2000), h. 970
20
James Chin, Op.Cit.
6
terjadi melalui infeksi transplasenta dari ibu bakteremia pada janinnya.
Penyebaran intrapartum juga mungkin terjadi, yaitu dengan jalan fekal-oral dari
ibu pengidap.21
Selain itu, penularan demam tifoid juga bisa melalui vektor berupa lalat,
kecoa maupun tikus dengan cara membawa bakteri yang terdapat dalam urin
ataupun tinja yang kemudian masuk kedalam makanan.22 Oleh karena itu, sangat
penting untuk menjaga kebersihan lingkungan sekitar sehingga bebas dari vektorvektor tersebut.
IV. RESERVOIR
Manusia merupakan satu-satunya reservoir alamiah S.typhi.23 Dalam hal ini,
manusia bisa menjadi carrier sementara maupun permanen. Status carrier dapat
terjadi setelah serangan akut atau pada penderita subklinis.24 Sekitar 2% sampai
5% pasien akan menjadi carrier kronis. Jika pasien merupakan carrier persisten,
secara hukum ia harus dilaporkan pada departemen kesehatan masyarakat dan
dilarang untuk menangani makanan.
V. PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN
Pada dasarnya ada empat tingkatan pencegahan penyakit secara umum,
yakni: Pencegahan tingkat dasar (primordial prevention), pencegahan primer
(primary prevention), pencegahan sekunder (secondary prevention), dan
pencegahan tersier (tertiary prevention). 25 Berikut ini akan dijelaskan langkahlangkah atau tingkatan pencegahan (level of prevention) dari demam tifoid:
A. Primordial Prevention
21
Behrman, Op.Cit.
James Chin, Op.Cit
23
Behrman , Op.Cit
24
James Chin, Op.Cit.
25
Nur N. Noor, Epidemiologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), h. 128
22
7
Pencegahan tingkat dasar merupakan upaya pencegahan dini terhadap
penyakit secara umum oleh masyarakat. Hal ini terkait dengan usaha memelihara
atau mempertahankan gaya hidup sehat masyarakat. Selain itu, pencegahan dapat
dilakukan agar kebiasaan buruk atau tidak sehat masyarakat kemudian tidak
diikuti oleh generasi selanjutnya.
Oleh karena pencegahan ini masih bersifat umum (tidak untuk penyakit
tertentu) sehingga bisa digunakan tidak hanya untuk penyakit demam tifoid saja
tetapi juga untuk penyakit lainnya. Contoh primordial prevention, yaitu menjaga
pola makan sehat, sanitasi personal maupun lingkungan, dan sebagainya.
B. Primary Prevention
Pencegahan ini merupakan pencegahan terhadap suatu penyakit tertentu
dengan mengontrol atau mengawasi faktor resiko, faktor penyebab yang
dilakukan sebelum penyakit masuk kedalam tubuh (periode prepatogenesis).
Pencegahan primer ini terbagi dua yaitu:
1. Health Promotion (Promosi Kesehatan)
 Penyuluhan dan edukasi terkait penyakit demam tifoid (gejala, penyebab
langsung, faktor resiko, bahaya dan sebagainya)
 Sosialisai melalui media massa (poster, iklan, brosur, pamflet, dsb.)
2. General and Specific Protection (Perlindungan Umum dan Khusus)
 Mengajak masyarakat untuk gotong-royong melakukan sanitasi lingkungan
(bersih-bersih pekarangan rumah, fasilitas umum seperti bak sampah, dsb.)
 Memperhatikan sarana dan sumber air bersih
 Mengajak masyarakat untuk melakukan personal hygiene (mencuci tangan
setelah buang air besar, dan sesudah maupun sebelum makan)
 Mengadakan pelatihan cara mengolah dan menyajikan makanan yang baik,
sehat, dan bersih kepada para Ibu rumah tangga
 Mengajak masyarakat untuk selalu memanfaatkan toilet ketika (maaf) buang
air besar maupun buang air kecil.
 Pasteurisasi susu yang tepat
 Imunisasi/vaksinasi, terutama kepada para tenaga medis, anggota keluarga
penderita, dan turis asing yang mendatangi daerah endemis
8
C. Secondary Prevention
Pencegahan ini disasarkan kepada orang-orang yang setelah diagnosis,
mereka dianggap menderita maupun yang terancam menderita. Sehingga,
pencegahan ini berguna untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut,
mencegah perluasan penyakit, serta dapat dilakukan pengobatan yang cepat dan
tepat.
1. Early Diagnosis and Promt Treatment (Diagnosis Dini dan Pengobatan
Segera)
 Screening
 Pengobatan yang cepat dan tepat, seperti pemberian antibiotika yang tepat
 Pencarian dan pelaporan kasus demam tifoid yang rutin dan sigap
D. Tertiary Prevention
Pencegahan ini dilakukan terhadap pasien atau penderita penyakit tertentu
sehingga diharapkan dapat mencegah bertambah parahnya penyakit yang diderita
dan mencegah terjadinya kecacatan mapun kematian.
1. Disability Limitation (Pembatasan Kecacatan)
 Ahli medis melakukan pengobatan secara intensif
 Perencanaan
pengobatan
yang
spesifik,
sperti
pada
orang
dewasa
menggunakan ciprofloxacin dan untuk anak-anak ada TMP-SMX yang masih
efektif untuk penderita akut
2. Rehabilitation (Rehabilitasi)
 Penderita disarankan untuk menjaga personal hygiene, sanitasi lingkungan dan
makanan, sarana air bersih, dan sebagainya.
 Manajemen stress, karena kemungkinan penyakit yang diderita membuat
penderita merasa tidak produktif dan merasa bosan, sehingga pasien bisa
produktif kembali
Program-program pelayanan kesehatan terkait sanitasi dan personal hygiene
sangat membantu dalam penanggulangan penyakit ini. Pemeriksaan seperti uji
9
widal, IDL TUBEX, Typidot, dan Typidot M akan membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid. Namun untuk memastikan adanya demam tifoid, perlu
dilakukan pemeriksaan biakan darah, feses, dan urin. Selain itu ada juga
pemberian dua jenis vaksin yaitu, vaksin hidup yang dilemahkan (Ty21A) dan
vaksin polisakarida Vi.26
VI. KESIMPULAN
Demam tifoid merupakan salah satu jenis re-emerging disease yang masih
menjadi endemik di Indonesia. Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhi,
basil tifoid. Penularannya dapat melalui tinja, urin, susu yang terkontaminasi
kuman S. typhi. Selain itu, dapat juga ditularkan melalui perantara vektor seperti
lalat, tikus, dan kecoak yang membawa bakteri dalam tinja sehingga masuk
kedalam makanan. Pembuatan program pelayanan kesehatan untuk pencegahan
yang baik, sesuai level of prevention, dan rutin, dapat menanggulangi penyakit
demam tifoid ini.
VII. DAFTAR PUSTAKA
Adalja, Amesh A. 2010. “Typhoid Fever”. Center for Biosecurity of UPMC.
Diakses
tanggal
14
Maret
2013
dari
http://www.upmccbn.org/report_archive/2010/cbnreport_09032010.html
Anonim. “Demam Tifoid”. diakses tanggal 7 Maret 2013 dari
http://pendidikankedokteran.net/index.php?option=com_content&view=articl
e&id=114:demam-tifoid&catid=54:berita&Itemid=108
Amarantini, Charis. 2010. “Epidemiologi Molekular Salmonella Typhi, Penyebab
Demam Tifoid Asal Wilayah Endemik Kabupaten Sumba Barat Daya Nusa
Tenggara Timur”. Yogyakarta. Diakses tanggal 7 Maret 2013 dari
http://pasca.ugm.ac.id/v2.1/promotion/id/83
Behrman, dkk. 2000 Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
Buckle, Geoffrey C. Typhoid Fever and Paratyphoid Fever: Systemic Review to
Estimate Global Morbidity and Mortality for 2010. Journal of Global Health
26
Suharjo B. Cahyono, Op.Cit., h. 94-95
10
CDC. “Typhoid Fever”. Diakses tanggal 14 Maret 2013
http://www.cdc.gov/nczved/divisions/dfbmd/diseases/typhoid_fever/
dari
Chin, James. 2012. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Penerjemah: I
Nyoman Kandun. Jakarta: CV.Informatika
Cahyono, Suharjo B. 2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius
Kiddieadm. “Demam Tifoid”. Diakses tanggal 9 Maret 2013 dari
http://www.kiddiecarecentre.com/saluran-cerna/demam-tifoid.html
Noor, Nur N. 2008 Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
Pramitasari, Okky P. 2013. Journal Faktor Resiko Kejadian Penyakit Demam
Tifoid pada Penderita yang Dirawat di RSUD Ungaran. Semarang.
Rakhman, Arif. 2009. Tesis Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Yogyakarta.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Timmreck, Thomas. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Widodo, Djoko. “Penyakit Infeksi Emerging dan Re-emerging dan Dampaknya
terhadap Masalah Kesehatan di Indonesia”. Diakses tanggal 9 Maret 2013
dari
http://perpus.yarsi.ac.id/baru1/common.php?page=tampil_majalah_all&kode
=10219&session
11
Download