EKONOMI KERAKYATAN : IDEALISASI EKONOMI DAN KOMODITAS POLITIK YANG UTOPIS ? Pra-opini Term ekonomi kerakyatan seringkali menjadi sangat “seksi” menjelang ajang kontestasi politik level nasional maupun daerah. Bahkan beberapa entitas politik, personal maupun kelembagaan, dengan sangat meyakinkan mengidentikkan dirinya sebagai patriot-patriot ekonomi kerakyatan dan sekaligus berpretensi memposisikan kubu lawan politik sebagai pengusung ideologi ekonomi yang oposan terhadap ekonomi kerakyatan. Selebihnya, ketika suksesi politik telah berlangsung dan kekuasaan telah berada dalam genggaman, ide ekonomi kerakyatan pun perlahan menghilang dalam diskursus politik maupun akademis. Fakta ini membuka lagi ruang berpikir untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan dasar yang sangat jamak terkait ekonomi kerakyatan: benarkah ekonomi kerakyatan adalah ideologi ekonomi yang diamanatkan konstitusi ? kalau memang benar, lantas bagaimana ideologi ini menjiwai dan membentuk perilaku kebijakan ekonomi yang ada ? sudahkah ide tersebut terlaksana? Jika belum, mengapa konsitusi tidak cukup mampu menekan-paksa rezim untuk menjalankannya ? atau sebuah pertanyaan skeptis, masihkah ekonomi kerakyatan relevan diperjuangkan di tengah globalisasi praktik-praktik ekonomi liberal yang bahkan negara seperti Cina pun harus terpaksa melakukan reform dan membuka dirinya terhadap ekonomi pasar ? Mengenali (Kembali) Ekonomi Kerakyatan Batasan definisi tentang ekonomi kerakyatan tampaknya menjadi langkah awal yang penting untuk dibicarakan (kembali). Dalam pandangan penulis, setidaknya ada 3 (tiga) kata kunci yang membentuk pemahaman tentang ekonomi kerakyatan; kedaulatan, kebebasan (demokrasi), dan kerakyatan. Kedaulatan memberi makna bahwa ekonomi kerakyatan adalah wujud eksistensi serta kemandirian negara dan bangsa untuk tidak lagi larut, tunduk, dan tak berdaya tanpa pilihan dalam dominasi atau hegemoni kekuatan negara lain. Ekonomi kerakyatan menunjuk pada upaya ideologis mewujudkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Dalam hal ini, meski kedaulatan dimaksud adalah di bidang ekonomi, tetapi hal tersebut juga menyeret pentingnya kedaulatan politik dalam bidang ekonomi. Artinya, di sini yang dibutuhkan adalah politik ekonomi kerakyatan. Kebebasan atau demokrasi berarti bahwa yang dikehendaki oleh ekonomi kerakyatan pada dasarnya adalah kebebasan, demokratisasi, dan keadilan dalam penguasaan faktor-faktor produksi baik dalam proses produksi nasional maupun pemanfaatan hasil produksi nasional. Tidak ada upaya mengistimewakan orang-perorang (privilege) yang kemudian berimplikasi pada ketidakmampuan orang lain untuk memiliki faktor produksi. Sudah barang tentu, hak dan keadilan yang diinginkan di sini bukanlah keadilan yang sama persis atau sama rata sebagaimana dianut oleh sistem ekonomi komando. Stratifikasi dan differensiasi secara sosial ekonomi diakui akan tetap ada karena pemihakkan secara khusus kepada mereka yang lemah (memiliki akses ekonomi yang minim) tidak ditujukan untuk memberangus mereka yang memiliki akses lebih. Pada kasus ini yang harus dilakukan adalah mempersempit kesenjangan setiap warga negara untuk berperan aktif dalam bidang perekonomian. Kata kunci ketiga yang membentuk pemahaman akan ekonomi kerakyatan adalah kata kerakyatan itu sendiri. Penginjeksian makna esensial kerakyatan ke dalam konsep ekonomi kerakyatan merupakan hal yang sangat penting, bahkan terpenting, yang akan mampu membedakan ciri ekonomi kerakyatan dibanding dengan ideologi dan sistem ekonomi lainnya. Kalau kedaulatan dan demokratisasi pada level tertentu juga dimuat oleh sistem ekonomi lainnya, maka kata kerakyatan inilah yang memberi dasar pemahaman pada dua kata kunci sebelumnya sekaligus mempertegas karakteristik ekonomi kerakyatan. Kedaulatan dan demokrasi yang dianut adalah kerakyatan. Kata kerakyatan menunjuk bahwa orientasi utama penyelenggaraan ekonomi kerakyatan adalah “rakyat” itu sendiri yang merupakan entitas politik, budaya, dan ekonomi. Orientasi, klien, obyek-subyek dalam hal ini bukanlah individu sebagaimana menjadi kekuatan ekonomi liberal, melainkan rakyat. Harapannya adalah partisipasi setiap anggota masyarakat sebagai rakyat yang melakukan usaha bersama, bukan persaingan bebas individu. Sekalipun aktor individual tidak menjadi sesuatu yang tabu, namun negara harus memiliki mekanisme yang mampu memaksa aktor individual ekonomi tersebut untuk tidak memangsa kelompok-kelompok ekonomi yang memang tidak pada level dan kekuatan yang sama untuk bersaing. Sebaliknya, keberadaan pemodal besar ekonomi dituntut berkontribusi meningkakan kapasitas negara dalam rangka pemanfaatan sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui instrumen pajak. Relasi normatif dan ideologis ekonomi kerakyatan dengan konstitusi selalu mengerucut setidaknya pada tiga pasal dalam UUD 1945, yakni Pasal 27 (ayat 2), Pasal 33, dan Pasal 34. Dengan rangkaian pasal ini, tampak bahwa cakupan material konstitusi terkait ekonomi kerakyatan pada dasarnya tidak menempatkan persoalan perekonomian sebagai sebuah bidang persoalan yang parsial dan berdiri sendiri (karena perekonomian tidak digerakkan sekedar oleh motif ekonomi, melainkan juga rangsangan sosial-budaya dan politik). Pasal 27 (ayat 2) memberi landasan normatif bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, karena pekerjaan dan penghidupan dimaksud merupakan penopang kehidupan ekonomi. Meski setiap warga negara berhak, tetapi tidak semua warga negara mampu mengakses dan memperoleh penghidupan yang layak tersebut, misalnya karena faktor produksi yang dimiliki sangat minim. Dalam kasus tersebut, negara memiliki peran untuk menggaransi keadilan (bukan pemerataan) kepemilikkan faktor-faktor produksi khusus bagi mereka yang tidak mampu. Artinya, negara memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas “rakyat miskin” untuk memperoleh faktor-faktor produksi. Pasal 33 menunjuk secara langsung pada orientasi perekonomian, di mana perekonomian adalah sebagai usaha bersama dengan peran negara untuk menguasai cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dan sekaligus memastikan bahwa semua sumber dan faktor produksi dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Beberapa nilai dasar yang termuat dalam pasal ini adalah kebersamaan, kekeluargaan, demokrasi, keadilan, keseimbangan. Pasal 34, sekalipun tidak bersangkut paut secara langsung dengan pola aktivitas ekonomi nasional, tetapi keberadaan pasal ini diberlakukan untuk memberi jaminan perlindungan kepada rakyat yang tidak mampu dan lemah dalam sistem dan struktur ekonomi yang ada. Demikian sebaliknya, jaminan sosial kepada yang lemah dan tidak mampu ini diberikan dalam rangka menjaga dan meningkatkan kelangsungan akses ekonomi. Urat-akar gagasan filosofi berikut perdebatan mengenai ekonomi kerakyatan sebenarnya telah muncul jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Salah satunya, napak tilas terkait hal tersebut dapat ditelusuri dari ide Muhammad Hatta (Bung Hatta) termasuk ketika Ia terlibat dalam perbincangan sengit dan menarik dengan Tan Malaka yang mengusung konsep diktatur proletariat. Singkat kata, konsistensi, komitmen, dan orientasi kebangsaan tentang ekonomi kerakyatan inilah yang kemudian secara konstitutif dituangkan ke dalam UUD 1945. Dengan kata lain, ide dasar ekonomi kerakyatan bukanlah bualan politis, bukanlah kehendak utopis, atau ide yang tidak realistis. Ekonomi kerakyatan adalah keniscayaan konsep dan gerakan politik dalam bidang ekonomi yang itu sudah menjadi pilihan para pendiri bangsa. Persoalannya sekarang, apakah itu akan tetap menjadi pilihan kita? Positioning Ekonomi Kerakyatan dalam peta ideologi sistem ekonomi Ekonomi Kerakyatan yang semestinya sudah menjadi pilihan politik tampaknya masih berhadapan dengan tembok raksasa yang tidak saja meragukan dan mengkerdilkannya, tetapi secara nyata juga menentangnya. Terlebih dengan realitas global economic governance yang menunjukkan kecenderungan mengarah pada bandul kapitalisme-liberalisme dengan dominasi mekanisme pasar. Tidak hanya itu, banyak tudingan miring yang mengasosiasikan ekonomi kerakyatan dengan ekonomi sosialis yang mengarah pada terciptanya ekonomi komando sebagaimana pernah dianut negara berhaluan komunis. Bagaimana sesungguhnya posisi ekonomi kerakyatan dalam peta ideologi ekonomi yang ada, benarkah Ia bertentangan atau anti pasar ? benarkah Ia menjadikan komando ekonomi menjadi terpusat dalam hegemoni negara ? Prinsip dasar ekonomi kerakyatan sangat berbeda dengan ekonomi pasar. Orientasi utama ekonomi pasar untuk “menggeber” penuh kebebasan individu (tanpa memandang seberapa besar faktor produksi yang dimiliki) agar mampu bersaing secara bebas dan sempurna dalam pasar yang juga dikehendaki sempurna, jelas berbeda dengan misi utama ekonomi kerakyatan yang menghendaki dibangunnya sebuah sistem perekonomian dan struktur dunia usaha sebagai usaha bersama. Setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam proses produksi nasional dan pemanfaatan hasil-hasilnya. Derajat kualitas partisipasi itu sendiri ditentukan seberapa besar modal atau faktor-faktor produksi yang dimiliki. Di sinilah peran penting negara untuk memastikan bahwa kepemilikkan faktor-faktor produksi juga dapat dijangkau oleh mereka yang tidak beruntung dan marginal. Mereka yang marginal tentu tidak adil dan demokratis ketika begitu saja dilepas di pasar dan harus bersaing dengan kekuatan konglomerasi. Meski masing-masing pelaku memiliki segmen pasar yang berbeda, tetapi bukan mustahil pemilik modal besar dengan mudah mampu “mengakuisisi” pasar usaha kecil. Dalam hal pengelolaan sumber daya tidak dapat dilakukan secara langsung oleh usaha bersama masyarakat, maka negara wajib secara langsung mengelolanya untuk sekaligus memastikan bahwa cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya benar-benar diperoleh kemanfaatannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Keberadaan korporasi besar juga diharuskan untuk memberi kontribusi bagi kemakmuran masyarakat luas bukan justru mematikan. Banyak instrumen yang bisa dijajaki untuk itu, misal Corporate Social Responsibility, Partnership Programe lainnya. Ekonomi kelembagaan yang menempakan posisi institusi negara yang mengatur dan memastikan agar basis kerakyatan tetap terjaga adalah langkah penting dalam hal ini. Di sini, sebenarnya dapat dikatakan secara tegas bahwa ekonomi kerakyatan sama sekali bukan dan sama sekali berbeda dengan ekonomi komando. Kehadiran negara bukanlah mengambil alih semua ruang sektor privat. Penutup : Agenda ke Depan Apa yang harus dilakukan ke depan ? tentu saja hal ini bagi mereka yang memang meyakini bahwa ekonomi kerakyatan adalah pilihan. Pertama, mengidentifikasi semua simpul persoalan dan kebijakan yang memiliki implikasi langsung maupun tidak langsung terhadap tujuan utama ekonomi kerakyatan, yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat (miskin) dengan demokratisasi kepemilikkan faktor-faktor produksi dan pengelolaan cabang-cabang produksi. Perlu dipahami bahwa untuk kepemilikkan dan kapasitas pengelolaan faktor-faktor produksi sudah pasti membutuhkan modal. Modal dimaksud bukan material (finansial) semata melainkan juga modal knowledge atau modal intelektual, dan modal kelembagaan; Kedua, memastikan bahwa simpul atau jejaring ekonomi kerakyatan memiliki sinkronisasi dan harmonisasi gerak dengan mereformulasi kebijakan-kebijakan yang dipandang banyak memproduksi ketidakadilan dan kemiskinan rakyat; Ketiga, mempertegas dan memperkuat kapasitas negara untuk mampu berperan sebagai institusi yang memastikan pemihakkan kepada ekonomi rakyat tanpa membunuh korporasi besar. Hal yang harus diperhatikan adalah negara (pemerintah) juga tidak dimaksudkan agar mengayuh (rowing) semua urusan secara langsung, tetapi bisa berkolaborasi dengan economic governance actors, koperasi misalnya; Keempat, memastikan tampuk kepemimpinan nasional dipegang oleh orang-orang yang memiliki wawasan, orientasi, dan spirit untuk memihak ekonomi rakyat; kelima, dari sisi akademis, membongkar stigma yang mengopinikan ekonomi kerakyatan adalah bualan, jargon, yang tidak memiliki textbook. Kelemahan dan keterbatasan rangka teoritis dalam textbook justru adalah kelemahan komitmen politik seorang akademisi.