PERLUASAN NATO CEMASKAN RUSIA Oleh: Yanyan Mochamad Yani Perselisihan diantara AS dan Rusia sebagai dua negara besar (major powers) makin membara. Beberapa waktu lalu kedua negara terlibat dalam perang retorika berkenaan dengan dukungan penuh Amerika Serikat (AS) untuk membantu negara Ukraina bergabung menjadi anggota NATO (North Atlantic Treaty Organization). Dalam kunjungannya ke Ukraina, Presiden AS, George Walker Bush Jr. berjanji kepada Presiden Ukraina, Viktor Yuschencko, bahwa persetujuan AS terhadap rencana Ukraina bergabung dengan aliansi militer transatlantik itu akan disampaikannya dalam pertemuan puncak NATO di Bucharest, Romania, 2-4- April 2008. Tentu saja, Rusia geram dan berang terhadap pernyataan tersebut. Kita mafhum bahwa sejak pertengahan tahun lalu kedua negara pun telah bersitegang keras. Saat itu fokus perdebatan yakni tentang prakarsa AS untuk menempatkan pertahanan nuklir nasional di negara Chekolowaskia dan Polandia yang notabene pada saat era Perang Dingin merupakan basis pangkalan nuklir jarak menengah SS-20 Pakta Warsawa. Padahal, sebelumnya AS sudah lama menempatkan rudal jarak menengah dan rudal jelajah darat Pershing dan Cruise (Grounded-Launched Cruise Missile, GLCM) di lima negara Eropa yakni Italia, Jerman, Inggris, Belgia, dan Belanda. Dari kalkulasi perimbangan strategis, tampaknya penggelaran dan penyebaran pelurupeluru kendali mutakhir AS di beberapa negara Eropa termasuk nantinya di Ukraina dan Georgia ini diperlukan guna mengimbangi senjata konvensional Rusia yang kabarnya jauh lebih unggul daripada persenjataan NATO. Ketimpangan dalam segi kuantitas senjata konvensional ini diperhitungkan AS, sangat membahayakan keamanan sekutu-sekutunya di Eropa, khususnya negara-negara Eropa mantan satelit Uni Soviet. Kini dengan adanya rencana AS memasukan Ukraina dan Georgia ke dalam pakta militer NATO, itu berarti bahwa kekuatan besar militer Barat dengan senjata nuklir jarak pendek dan menengahnya sudah siap mengepung persis di depan wilayah perbatasan Rusia. Maka itu tidak mengherankan apabila Rusia secara eksplisit menyatakan bahwa eskpansi NATO ke wilayah perbatasan Rusia sebagai hal yang tidak bisa diterima. Menururt Rusia, sikap Barat tersebut akan berdampak negatif bagi keamanan Eropa dan menciptakan krisis terparah dalam hubungan Moskow dengan Kiev. Dengan kata lain, Rusia akan berbuat apa pun untuk 1 menjaga wibawa keberadaanya di mandala Eropa, yang saat ini diusik oleh AS dan sekutunya. Mandala Eropa bagi Rusia Berdasarkan kedudukan geostrateginya Rusia memiliki rasa terancam yang kuat atas bangsa-bangsa lain. Rusia tidak mirip Amerika serikat. Rusia mempunyai benteng alami berupa dua samudera di pantai Timur dan Baratnya, memiliki perbatasan darat langsung paling panjang di dunia dengan banyak negara. Dengan kedudukan “land locked position” ini Rusia sangat bergantung pada situasi seberang perimeternya. Untuk itu perlu dilakukan upaya dan strategi pengamanan wilayah di sekitar perbatasannya. Itu dapat dilakukan melalui pembentukan daerah penyangga (bufferzone) yang bukan hanya berfungsi sebagai benteng pengaman tetapi juga sebagai alas pijak untuk memproyeksikan kekuatan militernya. Karena itu, perluasan keanggotaan NATO ke wilayah negara-negara satelit eks Uni Soviet yakni Ukraina dan Georgia, sudah barang tentu akan dipersepsikan sebagai ancaman yang sangat potensial bagi kedaulatan territorial Rusia. Jadi, adalah suatu kewajiban Rusia untuk menjawab tantangan Amerika Serikat pada setiap konflik yang mungkin timbul di mandala Eropa, dengan senjata konvensional maupun nuklir. . Hal itu bukan hanya mencerminkan pengalaman historis dan persepsi ancaman dari Barat, tetapi juga karena tampaknya paska Perang Dingin wilayah Eropa merupakan batu sudut (corner stone) strategi global Rusia. Terlepas dari adanya bantuan ekonomi dari AS, investasi dari para pengusaha Eropa Barat dan para konglomerat eks Uni Soviet yang tinggal di Eropa Barat telah menjadi ut mpuan utama pemerintahan Rusia dalam memulihkan perekonomian nasionalnya. Upaya ini menunjukkan hasil yang memuaskan dengan mulai makin membaiknya ekonomi Rusia, terutama di bawah kepemimpinan Vladimir Putin. Kondisi ekonomi Rusia yang membaik ini telah membuat kepercayaan diri Rusia kembali muncul. Misalnya saja, di masa kepemimpinannya pemerintahan Putin kerap berani dengan lantang menentang kebijakan-kebijakan AS di seantero dunia. Secara demikian, dapat diasumsikan bahwa selama ini jalur politik yang ditempuh Rusia terhadap Amerika Serikat Paska Perang Dingin bertolak dari prinsip peredaan bercabang (differential détente). Artinya, Rusia mau menanggung resiko memiliki hubungan lebih buruk dengan Amerika Serikat, apabila hal itu diimbangi dengan hubungan yang lebih baik dengan Eropa Barat. Dengan kata lain, dalam politik global kontemporer mandala Eropa memiliki arti sangat penting dalam perhitungan strategi Rusia. 2 Pada titik ini mucul pertanyaan, secara hipotetik mungkinkah akan terjadi konflik bersenjata (baca: perang terbatas) di Eropa apabila ternyata Amerika Serikat berhasil menjadikan Ukarina dan Georgia sebagai anggota NATO? Mungkinkah Konflik bersenjata? Dari aspek strategi perang, kedudukan Rusia tampaknya akan sulit. Dengan kombinasi antara sistem persenjataan strategis dan sistem pertahanan depan (forward defense system) di mandala Eropa, kedudukan Amerika Serikat jauh lebih menguntungkan. Sistem pertahanan depan merupakan faktor destabilisasi yang sangat memainkan peran penting dalam perhitungan perimbangan kekuatan strategis antara kedua negara. Masalah ini berpangkal pada perbedaan struktur ancaman. Pada satu pihak Amerika Serikat mempunyai komitmen untuk melindungi keamanan negara-negara Eropa yang tergabung dalam NATO. Sedangkan, di pihak lain, Rusia harus menghadapi negara-negara Barat secara keseluruhan. Lalu, bagaimana strategi Rusia mengantisipasi ketidakseimbangan tersebut?. Strategi untuk memenangkan konflik bersenjata (baca: perang) adalah sebuah metoda strategi klasik dan telah dipergunakan jauh sebelum senjata nuklir muncul. Pada hakikatnya strategi memenangkan perang merupakan perpaduan maksimasi keuntungan dan minimasi resiko kehancuran. Maksimasi keuntungan akan tercapai jika suatu serangan pertama sekaligus dapat mencegah resiko yang mungkin harus ditebus dari serangan pihak lawan. Pemikiran di atas kiranya dianut oleh para pakar strategi Rusia. Kesiagaan Rusia dalam menghadapi perang nuklir terlihat dari dianutnya strategi preemptive, yang berarti bahwa serangan pertama terhadap pihak lawan hanya akan dilakukan apabila Rusia telah merasa yakin bahwa pihak lawan akan segera melancarkan serangan pertama nuklirnya. Maka itu, setiap peningkatan dalam kekuatan serangan pertama pihak lawan akan dipandang sebagai eskalasi ancaman terhadap efektivitas kekuatan counterforce dari Rusia. Hadirnya rudal-rudal Pershing II milik Amerika Serikat di mandala Eropa, khususnya di negara-negara Eropa mantan satelit Uni Soviet adalah salah satu contoh yang dianggap Rusia sebagai ancaman itu. Padahal, berpijak pada kondisi domestik Amerika Serikat yang menjelang peralihan rejim pemerintahannya, tampaknya retorika Presiden Bush kali ini mengenai pembangunan kekuatan militer NATO di sekitar perbatasan wilayah Rusia hanyalah merupakan suatu bentuk gun-boat policy semata dari pihak AS dan sekutunya seperti di era krisis Teluk Kuba tahun 1960an. Kemudian Rusia juga tidak akan gegabah menekan tombol perangnya karena kemungkinan tidak adanya serangan pertama dari pihak AS dan sekutu-sekutunya. Dengan 3 kata lain, dapat dimaknakan bahwa eskalasi konflik bersenjata berperang secara militer besarbesaran menjadi sesuatu yang mustahil terwujud dalam waktu dekat ini. Namun, kondisi percikan-percikan api permusuhan diantara Rusia dengan AS dan sekutunya di Eropa secara laten tapi pasti tidak menutup kemungkinan meningkat menjadi perang terbatas, dan bahkan perang nuklir habis-habisan (all out nuclear war).*** ================================================================== Penulis adalah Dosen Jurusan Hubungan Internasional dan Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. 4