kajian histomorfologi otak tikus putih pada kondisi

advertisement
KAJIAN HISTOMORFOLOGI OTAK TIKUS PUTIH
PADA KONDISI HIPERGLIKEMIA
DAN PEMBERIAN VITAMIN E
BAYU AJI WIBOWO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
ABSTRAK
BAYU AJI WIBOWO. Kajian Histomorfologi Otak Tikus Putih Pada Kondisi
Hiperglikemia dan Pemberian Vitamin E. Dimbimbing oleh ADI WINARTO dan
EKOWATI HANDHARYANI.
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran histomorfologis otak tikus
putih dan pengaruh pemberian vitamin E pada kondisi hiperglikemia. Penelitian
ini menggunakan 12 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley yang dibagi
secara acak menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol tanpa perlakuan, kelompok
vitamin E diberi vitamin E 80 IU/ekor per hari selama 19 hari, kelompok STZ
diberi Streptozotosin (STZ) 50 mg/kg BB dosis tunggal intraperitoneal pada awal
perlakuan, kelompok STZ+vit.E diberi STZ 50 mg/kg BB dan vitamin E
80 IU/ekor per hari selama 19 hari. Kadar glukosa darah diukur pada saat
pengambilan sampel histologis organ otak pada akhir penelitian. Pengamatan
histopatologis dan penghitungan jumlah neuron piramidal yang mengalami
nekrosa dilakukan menggunakan mikroskop cahaya. Hasil penelitian ini adalah
vitamin E mampu memperbaiki gambaran mikromorfologis cortex cerebri.
Vitamin E dapat menurunkan kejadian nekrosa neuron dari 15.00 ± 3.61 menjadi
12.00 ± 1.00 pada kelompok nondiabetik, sedangkan pada kelompok diabetik
kejadian nekrosa turun dari 71.33 ± 3.06 menjadi 27.33 ± 2.08. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin E pada tikus model diabetik dapat
memperbaiki gambaran mikromorfologis cortex cerebri secara umum dan
menurunkan secara nyata jumlah neuron yang mengalami nekrosa pada area 4
(primary motor cortex) dan somatosensory cortex area dari cortex cerebri
(p< 0.05).
Kata kunci: Diabetes melitus, Otak, Vitamin E
KAJIAN HISTOMORFOLOGI OTAK TIKUS PUTIH
PADA KONDISI HIPERGLIKEMIA
DAN PEMBERIAN VITAMIN E
BAYU AJI WIBOWO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007
Judul Skripsi : Kajian Histomorfologi Otak Tikus Putih pada Kondisi
Hiperglikemia dan Pemberian Vitamin E
Nama
: Bayu Aji Wibowo
NIM
: B04103048
Disetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
Drh. Adi Winarto, Ph.D
NIP 131 578 835
Drh. Ekowati Handharyani, MS. Ph.D
NIP 131 578 831
Diketahui
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS
NIP 131 129 190
Tanggal Lulus: 4 September 2007
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan hidayah
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini
dilaksanakan sejak bulan Juli 2006 bertempat di laboratorium Histologi
Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi dan laboratorium Patologi
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi. Karya ilmiah ini diberi judul Kajian
Histomorfologi Otak Tikus Putih Pada Kondisi Hiperglikemia dan Pemberian
Vitamin E, dengan tema Diabetes melitus.
Terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada:
1. Allah SWT atas segala kenikmatan tak terbatas yang telah diberikan
pada penulis selama 22 tahun.
2. Keluarga terkasih di Purworejo (Ayah, Ibu, dan Adik) atas kasih
sayang, dukungan, dan doa-doanya.
3. Bapak Drh. Adi Winarto, Ph.D dan Ibu Drh. Ekowati Handharyani,
MS. Ph.D selaku pembimbing atas bimbingan dan kesabaran selama
penelitian hingga terselesainya penulisan karya ilmiah ini.
4. Bapak Drh. Hernomoadi Huminto, MVS selaku penilai dan penguji
yang telah memberi banyak saran dan masukan.
5. Bapak Dr. Drh. Koekoeh Santoso selaku pembimbing akademik atas
bimbingan selama 4 tahun penulis menempuh pendidikan sarjana di
Fakultas Kedokteran Hewan.
6. Reny Agustin dan keluarga atas kebaikan dan cintanya selama harihari penulis di Bogor.
7. Keluarga besar di Temanggung, Ngombol, dan di Jakarta atas
semangat dan bantuannya.
8. Staf Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen
Anatomi
Fisiologi
dan
Farmakologi
dan
Bagian
Patologi,
Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi.
9. Pegawai Laboratorium Histologi (Pak Maman) dan Laboratorium
Patologi (Pak Kasnadi dan Pak Endang).
10. Teman-teman dan sahabat angkatan 40 (gymnolaemata 40)
11. Sahabat-sahabat di Castille d’ Al Fath Babakan Lebak.
12. Sahabat-sahabat di Purworejo (Alumni SMUN 1 Purworejo),
pengurus dan anggota FIM 2004-2006.
13. Komir (sahabat terbaik), Zaldi, Indra, Dompu, Adam, Agung, Vian,
Rhiska, Agustin, Indah, Eka atas waktunya dalam hari-hari penulis.
14. Serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu.
Akhirnya penulis berharap karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan khalayak pada umumnya, sehingga menambah khasanah pengetahuan dan
menjadi inspirasi bagi peneliti-peneliti selanjutnya.
Bogor, September 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Purworejo pada tanggal 18 Juli 1985 dari ayah
Drs. H. Sugeng Haryadi, M.Pd dan ibu Sri Murwani, SE. Penulis merupakan putra
pertama dari dua bersaudara.
Tahun 2003 Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Purworejo dan pada tahun
yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB.
Penulis memilih program studi Kedokteran Hewan Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif dalam Dewan Perwakilan
Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (2003-2004), Anggota Dewan Keluarga
Mushalla An Nahl FKH (2003-2004), Anggota Forum Ilmiah Mahasiswa (20042005), Pengurus Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (2004-2005),
Anggota Himpro Ornithologi dan Unggas (2004-2006) dan Ketua Departemen
Pendidikan Forum Ilmiah Mahasiswa (2005-2006). Pada tahun 2007 penulis
terpilih dalam 10 besar mahasiswa berprestasi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL …………….………………………..……………….…..
ix
DAFTAR GAMBAR …………….………………………..……….………..
DAFTAR LAMPIRAN …………….…...………………..…….…………...
x
xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………….………………….…..….………………..
Rumusan Masalah …………….……………………..………………...
Tujuan …………….…………………………..….…….…..…………..
Hipotesis …………….………………….…..…….…….…….………..
Manfaat …………….………………………..………..………...……..
1
3
3
3
3
TINJAUAN PUSTAKA
Susunan Saraf Pusat ……………………………..……………………..
Diabtes Melitus …………….………………..…..……………………..
Streptozotosin …………….……………………..……………………..
Vitamin E …………….………………...………..…...………………..
4
11
13
14
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian …………….……...………..…………..
Bahan dan Alat ...…….…………………………..……..……………..
Metode Penelitian ...…….………………………..……..……………..
Pengamatan Histopatologis dan Analisa ...……………..……………..
16
16
17
19
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Glukosa Darah …………….…………………...…………...…..
Gambaran Mikromorfologis Otak Tikus …………….………….……..
Pengamatan Histopatologis Neuron Piramidal ……….………………..
20
21
24
KESIMPULAN
Kesimpulan …………….…….…………………..……..……………..
Saran …………….…………………...…..……..……………………..
30
30
DAFTAR PUSTAKA ………..…….……………….…..……….…………..
LAMPIRAN …………….…….………………………..……….…………..
31
34
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Hasil pengukuran kadar glukosa darah
pada akhir penelitian ..……………………………..……………………..
20
2 Populasi neuron piramidal pada cortex cerebri ..………….……………..
25
3 Hasil uji Duncan pada jumlah neuron piramidal
yang mengalami nekrosa …………………………...……………………..
27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Pembagian area pada hemisphere cerebri ..……………...………..……..
6
2 Mekanisme penyebaran impuls pada cortex cerebri …....…..…...…..…..
7
3 Struktur kimia streptozotosin …………...………..………..……………..
14
4 Struktur kimia vitamin E (α-tokoferol) ………...…….…………………..
15
5 Sebaran neuron piramidal cortex cerebri tikus
kelompok nondiabetik ………………………….…….…...……….……..
23
6 Sebaran neuron piramidal cortex cerebri tikus
kelompok diabetik ……………….……………….….....………………..
24
7 Hasil penghitungan 100 neuron piramidal pada
primary motor cortex area dan somatosensory cortex area …..………..
8 Jumlah neuron piramidal nekrosa pada cortex cerebri ..………….……..
25
28
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Tahap-tahap pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) ..……..……………..
35
2 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah dan
analisa secara statistik menggunakan uji ANOVA dan
dilanjutkan uji Duncan ……………….……….…….……….…………..
36
3 Data hasil pengukuran jumlah neuron piramidal
yang mengalami nekrosa dan analisa secara statistik
menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan uji Duncan …….….………..
38
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan dunia kedokteran dewasa ini sangat mendukung terhadap
peningkatan kualitas kesehatan dan daya hidup manusia. Hal ini disebabkan
banyaknya penemuan-penemuan baru cara pengobatan maupun pencegahan
berbagai penyakit, terutama penyakit akibat infeksi bakteri dan virus, sehingga
umur harapan hidup dapat meningkat. Namun seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi terjadi perubahan perilaku hidup. Perilaku hidup yang
kurang sehat, seperti pola makan yang tidak seimbang dan terlalu banyak
mengkonsumsi makanan cepat saji disertai kurang olah raga dapat menimbulkan
timbulnya suatu penyakit meskipun tanpa disertai paparan agen penyakit dari luar.
Salah satu penyakit yang ditimbulkan adalah penyakit gangguan metabolisme
(Anonimus 2006).
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit gangguan metabolisme
yang jumlah penderitanya semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Menurut
data WHO yang diacu dalam Anonimus (2006) penderita Diabetes melitus di
dunia pada tahun 2003 mencapai 200 juta orang dan diperkirakan akan meningkat
menjadi 330 juta orang pada tahun 2025. Sedangkan di Indonesia sendiri
penderita Diabetes melitus pada tahun 2003 tercatat sebanyak 13 juta orang dan
diperkirakan akan meningkat menjadi 20 juta penderita pada tahun 2030.
Diabetes melitus adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah (Shills 1994). Diabetes melitus disebabkan oleh penurunan
insulin yang diproduksi oleh kelenjar pankreas secara relatif maupun absolut
(Diabetes melitus tipe 1) atau adanya retensi insulin (Diabetes melitus tipe 2).
Diabetes melitus terjadi secara perlahan-lahan sehingga penderita tidak menyadari
adanya perubahan seperti banyak minum, makan dan kencing. Apabila kondisi
hiperglikemia terjadi secara kronis dan tidak segera mendapatkan pengobatan,
penderita dapat mengalami komplikasi seperti penyakit jantung koroner, diabetic
nephropathy, retinopathy hingga kebutaan, peripheral neuropathy, hingga
kematian akibat trombosis otak (Utami 2003 dan Anonimus 2006). Komplikasi ini
disebabkan adanya peningkatan radikal bebas akibat peningkatan glukoneogenesis
pada penderita diabetes melitus (Fouad 2007) maupun kematian sel akibat
kekurangan nutrisi (Paolissa et al. 1993)
Pengobatan utama penderita Diabetes melitus adalah pengaturan diet yang
tepat, sedangkan obat hanya merupakan pelengkap. Obat perlu diberikan apabila
pengaturan diet tidak berhasil menurunkan kadar glukosa darah. Contoh obat yang
sering digunakan adalah insulin secara parenteral dan golongan sulfonil urea
(tolazomida) dan biguanida (merformin). Namun pengobatan Diabetes melitus
dengan obat-obatan sintetis ini, selain menghabiskan biaya yang besar,
penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya efek-efek samping
yang merugikan. Oleh sebab itu penelitian terhadap obat-obatan alternatif bagi
penderita Diabetes melitus banyak dilakukan. Salah satunya penggunaan vitamin
E pada penderita Diabetes melitus (Manning et al. 2004).
Streptozotosin (STZ) merupakan senyawa hasil sintesis Streptomycetes
achromogenes dan digunakan untuk menginduksi diabetes tergantung insulin
(IDDM) pada hewan coba. Dosis yang digunakan untuk menginduksi IDDM
secara intravena sebanyak 40 mg/ kg BB sampai dengan 60 mg/ kg BB.
Pemberian STZ sebanyak 50 mg/ kg BB secara intraperitoneal pada tikus, dapat
meningkatkan kadar glukosa sampai sekitar 15mM (270 mg/ dl) setelah dua
minggu (Szkudelski 2001).
Vitamin E mempunyai aktivitas antioksidan sehingga dapat mencegah atau
mengurangi kerusakan-kerusakan pada berbagai organ penderita Diabetes melitus.
Manning et al. (2004) menyatakan bahwa vitamin E merupakan faktor penting
penghambat onset Diabetes melitus pada individu yang beresiko, secara khusus
penelitian Paolisso et al. (1993) menyebutkan bahwa pemberian vitamin E pada
penderita diabetes melitus tipe 2 dapat meningkatkan sensitifitas reseptor insulin
dan meningkatkan kontrol kadar glukosa. Penelitian-penelitian lain juga
mempunyai kesimpulan yang sama yaitu orang yang mengkonsumsi dosis sehat
antioksidan, termasuk vitamin E mempunyai resiko lebih rendah menderita
Diabetes melitus dibandingkan orang yang mengkonsumsi dengan dosis lebih
rendah (Manning et al. 2004).
Rumusan Masalah
Meskipun telah terbukti bahwa vitamin E berfungsi sebagai antioksidan
yang dapat melindungi sel dan jaringan dari lesio akibat radikal bebas. Namun
penggunaan vitamin E pada penderita Diabetes mellitus sebagai terapi untuk
mengurangi kerusakan akibat kondisi hiperglikemia belum diketahui.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran histomorfologis otak tikus
putih dan pengaruh pemberian vitamin E pada kondisi hiperglikemia
Hipotesis
H0 =
Pemberian vitamin E tidak dapat mengurangi nekrosa neuron
piramidal otak tikus putih pada kondisi hiperglikemia.
H1 =
Pemberian vitamin E dapat mengurangi nekrosa neuron piramidal
otak tikus putih kondisi hiperglikemia.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan menjadi landasan penggunaan vitamin E pada
penderita Diabetes melitus dan memberikan informasi ilmiah tentang penggunaan
vitamin E pada kondisi hiperglikemia.
TINJAUAN PUSTAKA
Susunan Saraf Pusat
Susunan saraf pusat merupakan organ vital yang menjamin kepekaan hewan
terhadap lingkungan, sehingga mampu sadar akan diri dan lingkungan (Dellmann
dan Brown 1989). Menurut Banks (1993) susunan saraf pusat terdiri atas otak dan
perpanjangannya, dan medulla spinalis. Secara umum terdapat dua daerah pada
susunan saraf pusat yaitu, daerah yang beraspek putih (substansia alba), terdiri
atas berkas-berkas serabut saraf pekat yang dibungkus oleh selubung mielin dan
derah yang beraspek abu-abu (substansia grisea), yang tidak atau sedikit
menunjukkan struktur mielin dan banyak mengandung badan sel saraf
(perikarion), sel-sel glia, dan neuropil. Substansia grisea yang terdapat pada
cerebrum lazim disebut cortex sedangkan substansia alba sering disebut medulla
(Dellmann dan Brown 1989). Pada otak cortex terletak di luar medulla, kondisi
sebaliknya ditemukan pada medulla spinalis dimana substansia grisea terletak
dalam substansia alba (Banks 1993).
Otak
Otak adalah bagian dari susunan saraf pusat yang terletak di dalam cavum
cranii (rongga tengkorak). Menurut Dyce et al. (2002) struktur anatomi otak
dibagi menjadi hindbrain (rhombenchephalon) terdiri atas medulla oblongata,
pons, dan cerebellum; midbrain (mesencephalon); forebrain terdiri atas
diencephalon, telencephalon (cerebrum) dan sumsum punggung (medulla
spinalis). Berdasarkan strukturnya, fungsi otak secara umum berkaitan dengan
fungsi vital somatik, otonomik, reflek, dan suatu fungsi vegetatif agar dapat
bertahan hidup dan memelihara kehidupan (Mardiati 1996).
1. Otak besar (cerebrum)
Cerebrum (otak besar) merupakan bagian dari otak depan (forebrain) yang
terdiri atas sepasang hemisphere (kanan dan kiri) dan lamina terminalis grisea.
Hemisphere dari cerebrum menutupi permukaan dorsolateral dari diencephalon.
Dalam perkembangannya hemisphere akan semakin berkembang ke arah caudal
menutupi medulla oblongata hingga dekat cerebrum, hal ini menjadikan
hemisphere struktur terbesar pada otak. Hemisphere kanan dan kiri dihubungkan
melalui garis tengah oleh substansia alba (corpus calosum) (Dyce et al. 2002).
Permukaan cerebrum diperluas dengan lipatan-lipatan yang terdiri atas
peninggian-peninggian berbentuk bulat yang disebut gyri, yang dipisahkan oleh
suatu alur yang disebut sulci (Junqueira dan Jose 1991; Delmann dan Brown
1989). Menurut Boorman et all. (1990) pada tikus nucleus caudatus dan puramen
tidak dipisahkan oleh internal kapsul tetapi membentuk komplek caudatuspuramen.
Menurut Hartono (1989) secara histologis cerebrum terdiri atas dua lapisan
utama yaitu, substansia grisea dan substansia alba. Substansia grisea pada
cerebrum terletak pada bagian superfisial, langsung di bawah piameter dan lazim
disebut cortex cerebri. Kompleksitas dan luasnya fungsi cerebrum ditunjukkan
oleh komplektisitas cytoarchitecture dari cortex cerebri (Banks 1993). Menurut
Banks (1993) dan Dellmann & Brown (1989) cortex cerebri dapat dibedakan
menjadi enam lapis sel, dari permukaan luar yaitu: (1) Lapisan molekular, lapis ini
terdiri atas neuropil utama yang tersusun atas dendrit apikal dari sel piramid
telodendron dari serbut saraf yang masuk ke cortex; (2) Lapisan granular luar,
sebagian besar terdiri atas neuron kecil; (3) Lapisan piramid luar, mengandung
neuron berukuran medium atau besar; (4) Lapisan granular dalam, merupakan
lapisan reseptif primer untuk masukan khusus ke cortex, terdiri atas neuron stelata
kecil yang membentuk lapis tebal dalam daerah cortex sensori (misalnya daerah
visual); (5) Lapis piramid dalam, terdapat neuron piramid medium dan besar,
membentuk lapis tebal pada daerah cortex motorik di mana rangsangan listrik
membangkitkan gerakan; (6) Lapis polimorf (multiformis), banyak terdapat
neuron berbentuk gelendong substansia alba, terdiri atas serabut saraf yang keluar
dan masuk dari cortex.
Selain dalam cortex akumulasi substansia grisea juga terdapat pada
substansia alba yang biasa disebut nucleus. Nucleus terdiri atas kumpulan badan
sel saraf pada substansia alba yang mampu menerima akson dari satu atau lebih
traktus pada substansia alba (Dellmann dan Brown 1989; Hartono 1989). Nucleus
ini terdapat pada medulla dari susunan saraf pusat, seperti sumsum punggung,
medula oblongata, cortex cerebri dan cortex cerebelli (Dellmann dan Brown
1989).
Struktur fungsional dari cortex cerebri berupa kolumna vertikalis, menjulur
dari substansia alba hingga permukaan cortex. Basis anatomi dari kolumna
vertikalis adalah neuron piramid yang memiliki dendrit basal tersusun radial
dalam kolumna perfisial dan akson mengarah ke dalam (Dellmann dan Brown
1989). Menurut Hartono (1989) otak besar (cerebrum) berfungsi sebagai pusat
kesadaran dan kemauan.
Gambar 1 Pembagian area pada hemisphere cerebri (Anonimus 2007a)
Motor cortex
Secara anatomis motor cortex terletak caudal dari lobus frontalis, tepat
sebelum sulcus centralis yang memisahkan lobus frontalis dengan lobus parietalis.
Motor cortex area merupakan suatu daerah besar yang terdapat pada area motoris
cortex cerebri, namun istilah motor cortex biasanya mengacu pada area 4 dan area
6 motor cortex. Area 4 disebut primary motor cortex, sedangkan area 6 (rostral
dari area 4) dibagi menjadi premotor area dan suplementary motor area. Fungsi
primary motor cortex adalah mengatur kontraksi otot alat gerak pada gerakan
yang disadari (voluntary movement), premotor area berfungsi mengatur gerakan
otot-otot yang paling dekat dengan sumbu tubuh sehingga memungkinkan
terbentuk optimal postur, sedangkan suplementary motor area berfungsi
merencanakan dan menginisiasi gerakan berdasarkan memori pengalaman
(Anonimus 2007a)
Somatosensory cortex area
Somatosensory cortex area adalah akhir dari jalur somatosensori (Anonimus
2007a). Fungsi dari area ini adalah menerima dan memproses impuls (informasi
sensoris) dari reseptor perifer (Anonimus 2003). Informasi sensoris yang diterima
area ini berupa sentuhan ringan, rasa sakit, tekanan, temperatur, dan propioseptif
(Anonimus 2007a). Menurut Anonimus (2007a) fungsi somatosensori dibagi
menjadi tiga berdasarkan jalur dan target organ pada otak yaitu: (1)
Discriminative touch, termasuk sentuhan, getaran, dan tekanan. Fungsi ini
memungkinkan kita menggambarkan bentuk dan tekstur dengan tanpa melihatnya;
(2) Rasa sakit dan temperatur, termasuk rasa gatal dan geli; (3) Propioseptif,
termasuk reseptor di bawah kulit sehingga kita mengetahui posisi sendi, tarikan
otot, dan kekuatan tendo.
Gambar 2 Mekanisme penyebaran impuls pada cortex cerebri
(Anonimus 2007a)
2. Otak kecil (cerebellum)
Cerebellum merupakan materi globular kasar dengan banyak lipatan.
Cerebellum terletak pada dorsal pons dan medulla oblongata, dihubungkan
dengan batang otak dengan tiga pedunculi pada tiap sisinya. Secara anatomis
cerebellum dipisahkan dari hemisphere cerebri oleh fissura transversal.
Cerebellum terdiri atas lateral hemisphere yang luas (hemisphere cerebelli) dan
tepi median yang sempit yang biasa disebut vermis (Dyce et al. 2002). Bagian
anterior cerebellum menghadap ke arah dorso-anterior, sedangkan permukaan
posteriornya menghadap ke ventral (Junqueira dan Jose 1991).
Secara mikroskopis permukaan cerebellum terlihat struktur mirip daun
(folia) yang dipisah oleh alur (sulcus) dan dibalut oleh cortex. Substansia alba
terletak di dalam cortex (substansia grisea) (Dellmann dan Brown 1989). Cortex
cerbelli lebih tipis bila dibandingkan cortex cerebrum. Cortex cerbelli terdiri atas
tiga lapisan, yaitu: (1) Lapisan molekular, terutama terdiri atas neuropil, terletak
paling superfisial; (2) Lapisan piriformis, terdiri atas badan sel saraf berukuran
besar; (3) Lapisan granular, berbatasan dengan substansia alba, terdiri atas neuron
kecil dengan inti heterokromatik (Banks 1993).
Menurut Fletcher (1995) cerebellum berfungsi mengatur tonus otot skelet
serta gerakan, sehingga pola koordinasi menjadi wajar, sedangkan menurut
Dyce et al. (2002) cerebellum berfungsi mengontrol keseimbangan dan koordinasi
postur dan aktivitas lokomotor.
3. Sumsum punggung (medulla spinalis)
Menurut Banks (1993) morfologi medulla spinalis bervariasi pada berbagai
tempat dalam tubuh seperti, cervicalis, thoracalis, lumbalis, hingga sacralis.
Secara umum medulla spinalis berbentuk bulat hingga oval terletak pada columna
vertebralis dan dilindungi oleh meningens (Dyce et al. 2002).
Secara mikroskopis gambaran melintang medulla spinalis memperlihatkan
canalis centralis yang diliputi oleh substansia grisea yang berbentuk huruf H
(kupu-kupu), terdiri atas badan sel saraf, serabut tidak bermyelin, protoplasmik
astrosit, oligodendrosit, mikroglia dan pembuluh darah. Di bagian luar substansia
grisea dibungkus oleh substansia alba yang terdiri atas serabut bermielin dan
tidak bermielin serta pembuluh darah (Dellmann dan Brown 1989; Banks 1993)
Jaringan saraf
Jaringan saraf merupakan alat komunikasi tubuh. Jaringan saraf bertugas
menerima stimuli, memproses, dan membawa impuls efferen menuju alat gerak
dan jaringan sekretif (Trautmann dan Fiebiger 1957). Menurut Dellmann dan
Brown (1989) parenkim jaringan saraf terdiri atas neuron yang didukung oleh
neuroglia. Neuron merupakan satuan morfologis serta fungsional dari jaringan
saraf.
1. Neuron
Secara mikroskopis neuron berbentuk sel, memiliki membran plasma
(neurolema), sitoplasma (neuroplasma), dan mengandung inti. Diameter badan
selnya bervariasi, luas antara 4-150 μm. Ciri khas yang terlihat pada mikroskop
cahaya adalah intinya besar dan pucat (karena miskin khromatin) dan
nukleolusnya besar (Hartono 1989).
Neuron mempunyai sifat khusus dalam menerima, mengubah, dan
meneruskan rangsang yang diterimanya. Dalam menerima, mengubah dan
meneruskan ransangan memerlukan alur protein yang berbeda, sehingga neuron
memiliki daerah khusus, yaitu: 1) daerah dendrit, tempat eksitasi berasal; 2)
daerah telodendron, dimana eksitasi diteruskan ke neuron lain; 3) akson,
menyalurkan rangsangan; dan 4) badan sel (perikarion) yang mengatur sel
(Dellmann dan Brown 1989).
Neuron diklasifikasikan menurut jumlah penjuluran yang keluar dari badan
sel saraf (Dellmann dan Brown 1989). Menurut Hartono (1989) ada tiga tipe
neuron, yaitu: 1) tipe unipoler, memiliki satu penjuluran yang keluar dari badan
sel, kemudian pecah menjadi dendrit dan neurit. Tipe ini biasanya bersifat
sensoris, terdapat pada ganglion cerebrospinal; 2) tipe bipoler, ada 2 penjuluran
yang keluar dari badan sel saraf secara terpisah, berbentuk dendrit dan neurit. Tipe
ini terdapat pada retina mata, ganglion vestibular, dan ganglion spiral pada saraf
pendengar; 3) tipe multipoler, penjuluran yang keluar dari badan sel saraf banyak,
namun hanya satu yang berfungsi sebagai neurit, selebihnya dendrit. Tipe ini
banyak dijumpai pada susunan saraf pusat, misalnya neuron piramidal (cerebrum),
sel purkinje (cerebellum), dan neuron motorik (medulla spinalis).
2. Neuroglia
Neuroglia atau sel glia adalah sel saraf penunjang neuron. Ciri khas
neuroglia adalah diameternya lebih kecil dari neuron, inti tidak memiliki
nukleolus, dan penjuluran selnya banyak (Hartono 1989). Menurut Dellmann dan
Brown (1989) neuroglia pada susunan saraf pusat mencakup ependim, astrosit,
oligodendrosit, dan mikroglia.
Sel-sel ependim membalut ventrikel otak dan kanalis centralis sumsum
punggung. Permukaan bebas tiap sel memiliki banyak mikrovili dan banyak silia
aktif (Dellmann dan Brown 1989). Astrosit adalah sel yang memiliki banyak
penjuluran sitoplasma. Astrosit dibagi menjadi 2, yaitu: astrosit protoplasmik dan
astrosit fibrosa. Astrosit fibrosa dianggap sebagai sel parut (scarring cells) yang
akan mengisi rongga atau jaringan yang hilang. Oligodendrosit berperan dalam
proses satelitosis (Hartono 1989). Mikroglia merupakan sel yang mampu
berproliferasi dan menjadi fagositik bila terjadi perlukaan jaringan atau sebagai
makrofag dalam mengeluarkan sel debris (Mardiati 1996).
Meningens
Meningen merupakan selaput yang menutupi dan melindungi otak. Fungsi
meningen sebagi pembatas (barrier) fisik dan fagositik terhadap pengaruh trauma
(Fletcher 1995). Menurut Nabib (1987) selain sebagai pelindung meningen juga
berfungsi sebagai penyuplai cairan otak. Secara umum meningen terdiri atas tiga
lapis utama, yaitu:
Durameter merupakan lapisan meningen paling luar yang terdiri atas
jaringan ikat kolagen padat, bersifat keras, tebal, padat dan tidak elastis. Lapisan
ini berhubungan dengan periosteum tulang tengkorak. Adanya durameter
menyebabkan terbentuknya ruang epidural yang berisi lemak, pembuluh darah,
dan jaringan ikat (Dyce et al. 2002).
Arachnoid merupakan lapisan yang berhubungan dengan durameter.
Karena wujudnya menyerupai jaring laba-laba maka diberi nama arachnoid.
Menurut Dyce et al. (2002) lapisan ini merupkan selaput membran tipis yang
terdiri atas sel-sel endotel. Antara arachnoid dan piameter terdapat ruang
subarachnoid yang berisi cairan cerebrospinal, terdapat pula pembuluh darah,
saraf dan makkrofag.
Piameter merupakan lapisan yang paling dalam. Lapisan ini memiliki
membran yang sangat halus dan berhubungan erat dengan otak. Lapisan ini
menutupi mengikuti bentuk sulci dan gyri otak. Menurut Junqueira dan Jose
(1991) piameter banyak mengandung pembuluh darah terletak sangat dekat
dengan jaringan saraf tetapi tidak berhubungan langsung dengan sel atau serabut
saraf.
Diabetes Melitus (DM)
Menurut Aiella (1998) Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit
degeneratif dan bersifat kronis yang menyebabkan gangguan metabolisme
karbohidrat dengan gejala yang khas yaitu adanya hiperglikemia dan glukosuria.
Sedangkan menurut American Diabetes Associaton (ADA) (2004) Diabetes
melitus adalah kelompok penyakit metabolisme yang dicirikan dengan kondisi
hiprglikemia akibat adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin atau
keduanya.
Hormon insulin diproduksi oleh sel-β pulau Langerhans kelenjar endokrin
pankreas. Defesiensi hormon insulin disebabkan oleh kerusakan sebagian kecil
atau sebagian besar sel-sel β pualu langerhans dalam kelenjar pankreas. Hal ini
menyebabkan kadar gula tubuh melebihi batas normal (hiperglikemia) dan adanya
gula dalam air seni (glukosuria), sehingga dalam dunia kedokteran sering disebut
panyakit kencing manis (Utami 2003).
Menurut Utami (2003) terdapat beberapa faktor yang menyebabkan diabetes
melitus, yaitu:
a. Genetik dan faktor keturunan
Penderita diabetes melitus dewasa lebih dari 50% berasal dari
keluarga yang menderita diabetes melitus. Kelompok penderita lainnya
hanya 15% yang tidak memiliki riwayat keluarga penderita diabetes
melitus.
b. Virus dan bakteri
Hasil penelitian menyebutkan bahwa virus menyebabkan Diabetes
melitus akibat mekanisme infeksi sitolitik pada sel β yang menyebabkan
kerusakan sel. Virus yang diduga menyebabkan Diabetes melitus adalah
rubela, mumps dan human coxsackievirus B4.
c. Bahan toksik
Ada beberapa zat yang dapat merusak sel β secara langsung, seperti
alloxan, pyrinuron, dan streptozotosin.
d. Nutrisi
Diabetes melitus adalah penyakit yang berhubungan dengan nutrisi,
sebagai penyebab maupun pengobatan. Ketidakseimbangan nutrisi
menjadi predisposisi terjadinya diabetes melitus.
Menurut Aiella (1998) gejala umum yang dirasakan pada penderita diabetes
melitus adalah poliuria (sering kencing), polifagia (sering lapar), dan polidipsia
(sering haus). Defesiensi insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat diserap
sempurna oleh sel, sehingga metabolisme sel terganggu. Hal ini menyebabkan
penderita diabetes mudah lelah dan kehilangan berat badan secara drastis.
Menurut Utami (2003) gejala lain yang dapat terjadi bisa bervariasi seperti (1)
kelainan ginekologi, seperti keputihan; (2)kelainan kulit seperti gatal dan bisul (3)
kesemutan dan mati rasa; (4) Luka yang tidak kunjung sembuh meskipun hanya
luka kecil (lecet); (5) infeksi saluran kemih; (5) impotensi; (6) katarak dan
gangguan refraksi
Kondisi hiperglikemia bila terjadi dalam waktu yang lama akan
menyebabkan terjadinya komplikasi, diantaranya: 1) retinopathy, berpotensial
kehilangan penglihatan; 2) nephropathy, menyebabkan terjadinya gagal ginjal; 3)
neuropathy perifer, berisiko terjadi ulcer kaki, amputasi, dan chorchot joints; dan
4) autonomik neuropathy, menyebabkan gastrointestinal, genitourinary, and gejala
cardiovascular and disfungsi seksual (ADA 2004)
Menurut Shils (1994) Spontaneus Diabetes Melitus ada dua macam yaitu:
Diabetes Melitus tipe I (Insulin-Dependent Diabetes Melitus)
Diabetes melitus tipe ini atau Insulin-Dependent Diabetes Melitus (IDDM),
di mana sebagian besar sel β pulau Langerhans yang memproduksi insulin dalam
pankreas mengalami kerusakan. Akibatnya kadar insulin yang diproduksi sangat
sedikit atau sama sekali tidak diproduksi. Oleh karena itu penderita memerlukan
suntikan insulin dalam persembuhannya. Gejala biasanya timbul pada masa anakanak dan mencapai puncaknya pada saat usia dewasa.
Diabetes Melitus tipe II (Noninsulin-Dependent Diabetes Melitus)
Diabetes melitus tipe ini atau Noninsulin-Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM), dimana pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin tetapi
insulin yang ada bekerja kurang sempurna karena adanya retensi insulin. Pada tipe
ini kebanyakan timbul pada penderita yang berusia di atas 40 tahun dan umumnya
disertai kegemukan.
Diabetes sekunder
Terjadinya kondisi hiperglikemia pada diabetes tipe ini disebabkan adanya
gangguan atau kerusakan organ lain (bukan pada sel β pulau Langerhans)
sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan diabetes melitus tipe ini antara lain: diabetes yang
berhubungan dengan malnutrisi, penyakit pada pankreas, penyakit hormonal,
rangsangan bahan kimia atau obat-obatan, abnormalitas reseptor insulin, sindrom
genetik tertentu
Streptozotosin
Streptozotosin (STZ, Zanosar, 1-methyl-1-nitroso-3-[2,4,5-trihydroxy-6(hydroxymethyl)oxan-3-yl]-urea)
merupakan
senyawa
hasil
sintesis
Streptomycetes achromogenes (Szkudelski 2001; Cooperstein dan Watkins 1981).
Streptozotosin secara selektif merusak sel-β pulau Langerhans secara cepat
sehingga digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan coba (diabetes tipe
1) (Cooperstein dan Watkins 1981). Dosis yang digunakan untuk menginduksi
IDDM secara intravena sebanyak 40 mg/kg BB sampai dengan 60 mg/kg BB,
sedangkan pemberian STZ sebanyak 50 mg/kg BB secara intraperitoneal pada
tikus, dapat meningkatkan kadar glukosa sampai sekitar 15mM (270 mg/dl)
setelah dua minggu (Szkudelski 2001).
Menurut Cooperstein dan Watkins (1981) streptozotosin masuk ke dalam
sel-β pankreas melalui GLUT 2 (Glucose Transport 2) . Dalam sel streptozotosin
akan mengalami metabolisme yang akhirnya terbentuk ion karbonium reaktif atau
radikal metil yang dapat menyisipkan gugus alkil pada berbagai komponen selular
seperti DNA. STZ adalah donor nitrit oksida yang ditemukan sebagai penyebab
kerusakan sel pulau Langerhans pankreas, dengan cara meningkatkan aktivitas
guanilil siklase. Pembentukan anion superoksida dalam mitokondria dapat terjadi
disebabkan oleh kerja STZ, disamping terjadi juga peningkatan aktifitas xantin
oksidase. Telah dilaporkan juga bahwa STZ dapat menghambat siklus Krebs, dan
akibatnya konsumsi oksigen berkurang. Sehingga terjadi pembatasan produksi
ATP dalam mitokondria yang menyebabkan deplesi nukleotida dalam sel-β.
Gambar 3 Struktur kimia streptozotosin (1-methyl-1-nitroso-3-[2,4,5trihydroxy 6-(hydroxymethyl)oxan-3-yl]-urea) (Wikipedia 2006)
Vitamin E
Menurut Laidlaw dan Swendseid (1991) istilah vitamin E biasanya mengacu
pada tokoferol, vitamin larut lemak, terdiri atas sebuah cincin aromatik dan 16
rantai samping karbon phytyl yang merupakan molekul hidrofobik. Vitamin E
ditemukan sebagai suatu komponen minyak nabati essensial untuk reproduksi
tikus betina yang diberi lemak babi pada tahun 1922 yang diberi nama tokoferol
oleh Evans dan Bishop (Linder 1992). Ada 8 bentuk vitamin E yang terdapat pada
tanaman. Bentuk yang paling aktif dan paling banyak dalam bahan makanan
adalah α-tokoferol. Hal ini disebabkan adanya gugus metil substitusi dan gugus
hidroksil yang penting untuk fungsi biologis vitamin E (Laidlaw dan Swendseid
1991). Vitamin E yang terdapat dalam bahan makanan berhubungan erat dengan
minyak tanaman yang terkandung yang bersifat polyunsaturated. Vitamin E dapat
melindungi minyak (terutama asam lemak yang tidak stabil) dari proses oksidasi.
Bahan makanan yang mengandung banyak vitamin E diantaranya adalah minyak
safflower, kacang almond, gandum, wortel, mentega, dan telur.
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioksidan, terutama untuk asam
lemak tidak jenuh pada fosfolipid dalam membran sel (Linder 1992). Antioksidan
adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir radikal bebas dan
mencegah kerusakan yang ditimbulkannya. Antioksidan menstabilkan radikal
bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas dan
menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas (Fouad
2007). Pada membran sel vitamin E mengumpulkan radikal bebas sehingga
melindungi polyunsaturated fatty acid (PUFA), protein, dan sitoskeleton selular
dari oxidant injury (Laidlaw dan Swendseid 1991).
Defisiensi vitamin E dapat terlihat pada individu yang tidak mampu
menyerap lemak secara baik dimana dapat menimbulkan pankreatitis dan cystic
fibrosis. Gejala defisiensi vitamin E adalah kelemahan otot, gerakan mata yang
abnormal, penurunan fungsi mata, serta cara berjalan yang tidak seimbang.
Defisiensi vitamin E pun dapat menimbulkan kelahiran prematur (Hart 2004).
Gambar 4 Struktur kimia vitamin E (α-tokoferol) (Anonimus 2007)
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2006 hingga bulan Februari
2007, bertempat di Laboratorium Histologi bagian Anatomi, Histologi, dan
Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi (AFF) dan
Laboratorium Patologi Bagian Patologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan
Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Bahan dan Alat
Bahan
Hewan coba
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah tikus putih
(Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley, dengan jenis kelamin jantan,
berat badan 250 gram, berumur 2 bulan, sebanyak 12 ekor, diadaptasikan
selama 1 minggu.
Streptozotosin
Sediaan yang digunakan berupa streptozotosin dalam larutan. Dosis
streptozotosin yang digunakan dalam penelitian ini adalah 50 mg/kg BB
per ekor (Szkudelski 2001). Diaplikasikan secara injeksi intraperitoneal
pada hari pertama perlakuan.
Vitamin E
Vitamin E yang digunakan pada penelitian ini dalam emulsi corn oil
dengan dosis 80 IU/ekor (Effendi I Juli 2006, komunikasi pribadi)
Diaplikasikan per oral setiap hari selama 19 hari berturut-turut mulai hari
pertama setelah adaptasi.
Alat
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini berupa spoit untuk
menginjeksikan sediaan streptozotosin, sonde lambung untuk mengaplikasikan
vitamin E secara oral, peralatan bedah minor digunakan pada sampling organ,
digital blood glucosemeter, kandang tikus sebagai tempat tikus selama perlakuan,
gelas ukur dan pipet tetes.
Metode Penelitian
Sebelum penelitian dilaksanakan, dilakukan adaptasi terhadap tikus yang
digunakan dalam penelitian dengan cara 12 tikus yang digunakan dipelihara
selama satu minggu setelah kedatangan. Kemudian tikus yang akan digunakan
dalam penelitian ditimbang dan dipilih yang memiliki berat badan seragam yaitu
250 gram. Setelah itu tikus secara acak dibagi dalam empat kelompok, dengan
perlakuan pada masing-masing kelompok sebagai berikut:
1. Kelompok kontrol, tikus dipelihara tanpa perlakuan.
2. Kelompok vitamin E, diberikan vitamin E 80 IU/ekor.
3. Kelompok STZ, diinjeksi Streptozotosin (STZ) 50 mg/kg BB
intraperitoneal.
4. Kelompok STZ+ vit. E, diberikan STZ dan vitamin E.
Setelah melalui tahap persiapan tikus diberikan perlakuan sesuai dengan
masing-masing kelompok selama 19 hari. Kelompok tikus yang diberikan
perlakuan streptozotosin diberikan dalam dosis tunggal 50 mg/kg BB pada hari
pertama, sedangkan kelompok tikus yang diberi perlakuan vitamin E diberikan 80
IU/ekor selama 19 hari. Kelompok tikus yang diberi suntikan streptozotosin
diharapkan terjadi hiperglikemik.
Setelah l9 hari, tikus diperiksa kadar glukosa darahnya. Kemudian tikus
dimatikan setelah dibius menggunakan eter dan dilakukan prosedur nekropsi.
Organ otak diambil dan difiksasi menggunakan Buffered Neutral Formalin (BNF)
10%. Kemudian organ tersebut dibuat sediaan histopatologi dengan pewarnaan
HE.
Prosedur pembuatan preparat histologi sebagai berikut :
a. Sampling
Sampling diawali dengan pemeriksaan kadar gula darah dan
dilanjutkan pengambilan organ. Organ yang diambil adalah otak
(cerebrum dan cerebellum)
b. Fiksasi
Seluruh otak dimasukkan dalam cairan fiksatif Buffered Neutral
Formalin (BNF) 10%, setelah dua hari organ otak mengeras. Potongan
jaringan berukuran 2x2x1 cm dimasukkan kembali ke dalam BNF 10%
selama 3x24 jam, kemudian dipotong lebih tipis dengan ketebalan sama,
lalu dimasukkan ke dalam kaset dan siap diproses dalam Tissue
Processor.
c. Pencetakan jaringan
Setelah organ terfiksasi dilanjutkan dengan dehidrasi dengan
mengunakan alkohol konsentrasi bertingkat dengan cara organ otak
dalam alkohol 70% selama 2 jam. Selanjutnya sampel dipotong kecil dan
dimasukkan ke dalam tissue basket serta diberi label. Potongan jaringan
dalam tissue basket selanjutnya diproses dalam tissue processor untuk
didehidrasi dengan alkohol bertingkat (80%, 90%, dan 95%) selama 6
jam kemudian direndam dalam alkohol absolut I, II, dan III masingmasing selama 2 jam. Selanjutnya Potongan jaringan dijernihkan dalam
xylol I dan II selama masing-masing 2 jam. Potongan jaringan kemudian
diinfiltrasi dengan parafin yang terdapat pada tissue processor,
dilanjutkan dengan pencetakan organ dengan memasukkan potongan
jaringan dengan media parafin.
d. Embedding
Parafin cair dimasukkan dalam cetakan (setengah dari volume
cetakan), kemudian dimasukkan potongan jaringan sampai menyentuh
dasar cetakan, lalu cetakan dipenuhi dengan parafin cair.
e. Pemotongan
Setelah cetakan jaringan dalam parafin beku, blok jaringan dapat
dipotong dengan menggunakan rotary microtom dengan ketebalan 4-5 μ.
Hasil pemotongan diletakkan di atas permukaan air hangat (40°C)
hingga kerutan-kerutannya hilang. Setelah itu dilekatkan pada gelas
objek lalu disimpan dalam inkubator selama satu malam dengan suhu
56°C.
f. Pewarnaan Hematoksilin Eosin
Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) diawali dengan: deparafinasi
dari jaringan ke dalam larutan xylol III, II, I, alkohol absolut I, II, III,
95%, 90%, 80%, 70%, lalu dimasukkan ke dalam air kran selama 10
menit dan dibilas aquades selama 5 menit. Jaringan diwarnai dengan
Hematoksilin selama 1 menit kemudian direndam kembali dalam air kran
selama 10 menit dan aquades selama 30-60 detik. Jaringan kemudian
diwarnai Eosin selama 2 menit dan direndam dalam aquades selama 5
menit. Setelah diwarnai dilakukan dehidrasi dengan alkohol bertingkat,
alkohol 70%, 80%, 90%, 95%, absolut I, II dan III dilanjutkan clearing
dengan xylol I, II, III, dan di-mounting dengan entelan dan ditutup
dengan cover glass.
Pengamatan Histopatologik dan Analisa
Pengamatan histopatologis dilakukan menggunakan mikroskop cahaya.
Pengamatan dilakukan terhadap derajat perubahan neuron pada cortex cerebri,
area 4 (primary motor cortex area) dan somatosensory cortex area (Anonimus
2007a), kemudian diuraikan secara deskriptif. Data kuantitatif kerusakan neuron
diperoleh dengan cara menghitung perubahan neuron dalam 100 neuron secara
acak. Data kuantitatif kerusakan neuron dan kadar glukosa darah dianalisa secara
statistik menggunakan uji ANOVA dan uji lanjutan metode Duncan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Glukosa Darah
Pengukuran kadar glukosa darah pada akhir penelitian menunjukkan
perbedaan nilai yang nyata antara kelompok nondiabetik dan kelompok diabetik
(p<0.05). Pada kelompok nondiabetik kadar glukosa darah berkisar antara 84.3384.67 mg/dl sedangkan pada kelompok diabetik kadar glukosa darah mencapai
443.33 mg/dl. Hasil pengukuran kadar glukosa darah secara lengkap ditampilkan
pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pengukuran kadar glukosa darah pada akhir penelitian
Kelompok
Rataan kadar glukosa
(mg/dl)
84.33a
84.67a
202.00b
443.33c
50-135
Kontrol
Vit. E
STZ
STZ+Vit. E
Kisaran normal*
Keterangan: superskrip berbeda pada kolom yang sama menunjukkan nilai
yang berbeda nyata (p<0.05); * menurut Szkudelski (2001);
STZ: Streptozotosin; Vit E: vitamin E
Pada Tabel 1 pengukuran kadar glukosa darah setelah 19 hari perlakuan
memperlihatkan keadaan hiperglikemia pada kelompok diabetik (kelompok STZ
dan kelompok STZ+vitamin E). Hal ini menunjukkan pembuatan hewan model
diabetik berhasil dengan baik. Hiperglikemia adalah peningkatan kadar glukosa
dalam plasma. Kondisi ini sesuai tulisan Szkudelski (2001) hiperglikemia pada
pemberian streptozotosin disebabkan kerusakan sel β pulau Langerhans akibat
peningkatan guanilil siklase dan xantin oksidase, serta pembentukan anion reaktif
(NO
dan
superoksida).
Peningkatan
kadar
glukosa
setelah
pemberian
streptozotosin selama dua minggu dapat mencapai 270 mg/dl.
Menurut data di atas vitamin E tidak memperlihatkan efek penurunan kadar
glukosa baik pada kelompok nondiabetik (kontrol dan vitamin E) maupun
kelompok diabetik (STZ dan STZ+vitamin E). Kemungkinan hal ini disebabkan
vitamin E tidak merangsang peningkatan insulin sehingga tidak terjadi
peningkatan penggunaan glukosa oleh sel sehingga glukosa tetap berada dalam
peredaran darah. Ini diperkuat tulisan Paolissa et al. (1993) yang menyatakan
bahwa vitamin E pada penderita Diabetes Melitus tipe 2 dapat meningkatkan
kontrol metabolisme tetapi tidak merangsang sekresi insulin. Perbaikan kondisi
penderita diabetes melitus yang diberi vitamin E lebih disebabkan perbaikan
sensitifitas reseptor insulin, penurunan lipid peroxidation dan oxidative stress.
Selain itu kemungkinan lain adalah vitamin E tidak memperbaiki kerusakan
yang terjadi pada sel β pulau Langerhans pankreas akibat induksi Streptozotosin.
Walaupun vitamin E dapat melindungi epitel dari aktivitas zat-zat perusak
sehingga mencegah kerusakan pulau Langerhans akibat aktivitas ion superoksida
dan NO yang langsung menyerang epitel sel β. Seperti pada tulisan Bursell et al.
(1999) yang menyatakan vitamin E dapat melindungi sel dari zat tosik dan polutan
serta mengurangi kerusakan yang ditimbulkan zat-zat tersebut. Namun vitamin E
tidak dapat mencegah aktivitas guanilil siklase dan xantin oksidase di dalam sel β,
karena vitamin E yang larut lemak tidak diabsorbsi oleh membran semi permiabel
sel β.
Kemungkinan lain yang dapat dilaporkan yaitu lama pemberian vitamin E
yang tidak mencukupi. Menurut Manning et al. (2004) penurunan kadar glukosa
darah tertinggi pada penderita diabetes melitus tercapai setelah tiga bulan
pemberian vitamin E. Pada penelitian ini vitamin E hanya diberikan selama 19
hari sehingga belum mencukupi untuk menurunkan kadar glukosa darah.
Gambaran Mikromorfologis Otak Tikus
Pengamatan pada morfologi organ otak secara mikroskopis pada semua
kelompok memperlihatkan bahwa batas lapisan-lapisan cortex cerebri tidak jelas.
Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada batas antar lapisan
cortex cerebri bukan karena pengaruh perlakuan. Gambaran lain yang ditemukan
adalah hiperemi ringan pembuluh darah cortex yang juga terlihat pada semua
kelompok. Hal ini dapat dipahami bahwa perubahan yang terjadi pada pembuluh
darah cortex mungkin karena pengaruh pembiusan dengan menggunakan eter.
Pembiusan menggunakan eter dapat menyebabkan perluasan hingga pecahnya
pembuluh darah (Ganiswarna 1995).
Perubahan disekitar jaringan yang dapat diamati adalah edema vasogenik
pada kelompok diabetik (kelompok STZ dan STZ+vitamin E) dan tidak
ditemukan pada kelompok nondiabetik. Sebagai tambahan informasi, edema
vasogenik juga sering menyertai kasus stroke yang juga menyebabkan iskhemia
(Rick et al. 2003). Perubahan lain di sekitar jaringan yang dapat diamati adalah
perbedaan keteraturan serabut saraf. Pada kelompok yang diberi vitamin E
menunjukkan gambaran yang lebih baik dibandingkan kelompok yang tidak diberi
vitamin E. Pada kelompok nondiabetik perubahan yang terjadi tidak teramati
dengan jelas, sedangkan pada kelompok diabetik serabut saraf yang lebih teratur
dapat diamati pada kelompok yang diberi vitamin E. Hal ini menunjukkan efek
neuroprotektif vitamin E yang menyebabkan peningkatan daya hidup neuron
(Pace et al. 2003). Perubahan keteraturan disebabkan fibrolisis jaringan saraf
(Ressang 1983).
Pengamatan pada neuron mengindikasikan adanya penurunan kepadatan
neuron pada area yang dievaluasi. Penurunan kepadatan yang terjadi dalam
jumlah yang cukup tinggi disebabkan oleh adanya neuron-neuron yang mengalami
nekrosa terutama pada kelompok STZ. Neuron yang mengalami nekrosa akan
segera difagosit oleh mikroglia sedangkan serabut-serabut sarafnya akan
mengalami fibrolisis (Ressang 1983). Pada cerebrum dan sistem saraf pada
umumnya kematian atau nekrosa neuron tidak dapat digantikan oleh neuron lain,
sehingga meninggalkan ruang pada tempat neuron yang mengalami nekrosa dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kepadatan.
Pengamatan perubahan neuron bervariasi mulai dari karioreksis hingga
nekrosa. Jumlah neuron yang mengalami nekrosa bervariasi pada tiap kelompok.
Tingkat keajdian nekrosa neuron dari yang terbanyak ditemukan mulai dari
kelompok STZ, kelompok STZ + vit. E, kelompok kontrol dan kelompok vitamin
E. Sedangkan kejadian karioreksis tertinggi ditemukan pada kelompok STZ.
Gambaran histologis cortex cerebri kelompok nondiabetik dapat dilihat
pada Gambar 5.
Hi
S
Ne
Gambar 5 Sebaran neuron piramidal cortex cerebri tikus kelompok nondiabetik.
A: kelompok kontrol; B: kelompok vitamin E; Sa: satelitosis; Ne:
nekrosa neuron piramidal; Hi: hiperemi; pewarnaan HE (perbesaran
objektif 40X)
Pada gambar A (kontrol) dapat dilihat adanya sebaran neuron piramidal
yang mengalami gangguan seperti, neuron piramidal yang hilang sitoplasmanya,
satelitosis neuron oleh sel glia, hingga nekrosa neuron piramidal. Satelitosis
neuron oleh sel glia (oligodendroglia) mengindikasikan adanya gangguan pada
neuron tersebut (Ressang 1983). Pada gambar A dan B dapat dilihat adanya
gambaran hipremi. Gambaran hipremi merupakan gambaran umum yang sering
didapatkan pada hewan yang dibius menggunakan eter (Ganiswarna 1995). Pada
gambar A juga dapat dilihat sel-sel glia yang strukturnya kurang baik (mengalami
degenerasi). Sedangkan pada gambar B (vitamin E) terlihat gambaran yang lebih
baik, ditandai sebaran neuron piramidal normal lebih baik banyak dan sel-sel glia
dengan struktur jelas. Hal ini menandakan vitamin E mencegah kerusakan pada
sel-sel saraf akibat zat toksik maupun polutan yang mungkin terdapat pada otak
(Bursell et al. 1999).
Gambaran histologis cortex cerebri kelompok diabetik dapat dilihat pada
Gambar 6.
Ne
Ne
Gambar 6 Sebaran neuron piramidal cortex cerebri tikus kelompok diabetik.
C: kelompok STZ; D: kelompok STZ+vit. E; Ne: nekrosa neuron
piramidal; pewarnaan HE (perbesaran objektif 40X)
Pada gambar C (STZ) terlihat populasi neuron piramidal yang mengalami
nekrosa dalam satu lapang pandang sangat tinggi dan terdapat ruang kosong di
sekitar neuron piramidal yang juga merupakan indikasi adanya gagguan pada
neuron tersebut. Pada gambar C juga terlihat jalur-jalur serabut saraf yang tidak
teratur hingga tidak terindetifikasi. Sedangkan pada gambar D (STZ+vit.E)
terlihat gambaran yang lebih baik, ditandai dengan populasi neuron piramidal
normal dalam satu lapang pandang lebih banyak dan jalur-jalur serabut saraf yang
jelas dan lebih teratur. Hal ini disebabkan efek neuroprotektif vitamin E terhadap
radikal bebas dan zat-zat toksik lainnya (Pace et al. 2003).
Pengamatan Histopatologik Neuron Piramidal
Hasil yang diperoleh pada penghitungan sebanyak 100 neuron piramidal
pada area 4 (primary motor cortex) dan somatosensory cortex pada kelompok
yang diberi vitamin E 80 IU/ekor selama 19 hari, jumlah neuron yang mengalami
nekrosa berkisar 27,33 ± 2,08 sedangkan pada kelompok yang tidak diberi vitamin
E jumlah neuron yang mengalami nekrosa mencapai 71,33 ± 3,06. Hasil
perhitungan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Populasi neuron piramidal pada cortex cerebri
Kelompok
Kontrol
Vit. E
STZ
STZ + Vit. E
Neuron
Nekrosa
15.00 ± 3.61
12.00 ± 1.00
71.33 ± 3.06
27.33 ± 2.08
Normal
85.00 ± 3.61
88.00 ± 1.00
28.67 ± 3.06
72.67 ± 2.08
Keterangan: Angka yang diperlihatkan merupakan rataan ± standar deviasi; STZ: Streptozotosin;
Vit. E: vitamin E
Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa terjadi perbaikan pada kelompok yang
diberi vitamin E, ditandai dengan berkurangnya jumlah neuron yang mengalami
nekrosa baik pada kelompok nondiabetik maupun pada kelompok diabetik. Pada
kelompok nondiabetik jumlah neuron yang mengalami nekrosa turun dari 15.00 ±
3.61 (kontrol) menjadi 12.00 ± 1.00 (vitamin E) sedangkan pada kelompok
diabetik neuron yang mengalami nekrosa turun dari 71.33 ± 3.06 (STZ) menjadi
27.33 ± 2.08 (STZ+Vit. E). Gambaran lebih jelas hasil penghitungan neuron
piramidal dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Hasil penghitungan 100 neuron piramidal pada primary motor
cortex area dan somatosensory cortex area
Peningkatan jumlah neuron yang mengalami nekrosa pada kondisi
hiperglikemia disebabkan peningkatan glukoneogenesis. Hal ini sebagai akibat sel
tidak dapat menggunakan glukosa (Fouad 2007). Menurut Halliwell (2002)
radikal bebas secara normal diproduksi sebagai hasil metabolisme tubuh (seperti
oksidasi adrenalin, dopamine, dan tetrahidrofolat) dan berbagai reaksi pertahanan
tubuh (fagositosis oleh makrofag dan monosit), namun pada kondisi hiperglikemia
terjadi peningkatan produksi radikal bebas karena peningkatan proses pemecahan
lemak (glukoneogenesis), sehingga menyebabkan terjadinya kondisi oxidative
stress, yaitu kondisi dimana kadar radikal bebas lebih tinggi dibandingkan kadar
antioksidan endogenous (Fouad 2007). Apabila radikal bebas menyerang
membran sel (lipoprotein) akan menyebabkan terjadinya reaksi berantai lipid
peroksidasi (Halliwell 2002 dan Fouad 2007). Kondisi hiperglikemia juga dapat
menyebabkan terjadinya atherosklerosis yang kemudian akan mengarah oxidative
damage, yaitu perusakan jaringan oleh biomolekul oksigen reaktif (Halliwell
2002). Kondisi atherosklerosis juga menyebabkan iskhemia pada jaringan atau
organ yang mendapatkan suplai. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan
terjadinya kerusakan jaringan atau organ secara umum pada kondisi
hiperglikemia, terutama jaringan atau organ yang memiliki kandungan lemak
tinggi sebab lemak sangat rentan terhadap serangan radikal bebas dibandingkan
jaringan lain dalam tubuh (Fouad 2007). Otak merupakan salah satu organ dengan
kandungan lemak sangat tinggi (±80%) sehingga otak sangat rentan terhadap
serangan radikal bebas. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan kejadian
nekrosa neuron piramidal pada kelompok diabetik. Namun peningkatan kejadian
nekrosa pada kelompok diabetik mungkin juga disebabkan komplikasi akibat
kondisi hiperglikemia. Kondsi
hiperglikemia yang berlangsung dalam waktu
lama akan menyebabkan kematian sel akibat kekurangan nutrisi (Utami 2003).
Pada kelompok yang diberi vitamin E terjadi penurunan jumlah neuron yang
mengalami nekrosa, baik pada kelompok nondiabetik (sebesar 20%) dan
kelompok diabetik (sebesar 60%). Penurunan jumlah sel yang mengalami nekrosa
disebabkan efek neuroprotektif vitamin E terhadap radikal bebas (Pace et al. 2003
dan Argyriou et al. 2005). Vitamin E yang merupakan vitamin larut lemak, juga
dapat mencegah terjadinya oxidative damage pada jaringan lemak otak dan
menghambat terjadinya reaksi berantai lipid peroksidasi pada membran neuron
(Halliwel 2002). Selain itu vitamin E juga dapat memperbaiki metabolisme dan
meningkatkan kontrol kadar glukosa sehingga resiko atherosklerosis dapat
dikurangi. Bursell et al. (1999) juga menyatakan bahwa vitamin E dapat
melindungi membran sel dari berbagai zat toksik dan polutan, sehingga neuron
terlindungi dari zat perusak yang mungkin terdapat pada otak. Kondisi-kondisi
tersebut menyebabkan meningkatnya daya hidup neuron, baik pada kelompok
nondiabetik maupun kelompok diabetik.
Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah neuron
yang mengalami nekrosa dilakukan uji statistik. Hasil yang diperoleh dari analisa
menggunakan uji statistik memperlihatkan penurunan jumlah neuron yang
mengalami nekrosa pada kelompok nondiabetik tidak berbeda nyata (p<0.05),
sedangkan penurunan jumlah neuron yang mengalami nekrosa pada kelompok
diabetik berbeda nyata (p<0.05). Hasil analisa secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3 Hasil uji Duncan pada jumlah neuron piramidal yang mengalami
nekrosa
Kelompok
N
Vit. E
Kontrol
STZ + Vit. E
STZ
3
3
3
3
1
12.0000
15.0000
Subset untuk p = 0.05
2
3
27.3333
71.3333
Keterangan: Nilai yang diperlihatkan merupakan rataan dengan keragaman sampel=3.00;
Nilai pada kolom yang berbeda menunjukkan bahwa nilai tersebut berbeda
nyata (p<0.05).
Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa pemberian vitamin E pada penelitian ini
dapat menurunkan secara nyata jumlah neuron yang mengalami nekrosa (p<0.05)
pada kelompok diabetik sebesar 62%. Namun penurunan jumlah nekrosa sebesar
62% tersebut belum menyamai nilai nekrosa kelompok kontrol, hal ini
ditunjukkan nilai nekrosa kelompok STZ + Vit.E masih berbeda secara nyata
terhadap kelompok nondiabetik (p<0.05). Sedangkan pada kelompok nondiabetik
dapat diketahui adanya penurunan jumlah neuron yang mengalami nekrosa
sebesar 20%. Penurunan jumlah neuron yang mengalami nekrosa pada kelompok
ini tidak berbeda secara nyata (p<0.05) .
Ada beberapa kemungkinan yang dapat diajukan, yaitu dosis penggunaan
vitamin E yang tidak sesuai. Pada penelitian ini dosis yang digunakan 80 IU/ekor
per hari tanpa disertai pemberian antioksidan eksogen lain. Menurut Tambunan
(2003) pemberian vitamin E pada penderita diabetes melitus harus dikombinasi
dengan antioksidan yang lain, khususnya vitamin C. Hal ini disebabkan setelah
vitamin E menangkap radikal bebas vitamin E akan berubah menjadi radikal
bebas sehingga dibutuhkan vitamin C untuk membuat vitamin E stabil kembali.
Selain itu kemungkinan waktu pemberian belum mencukupi untuk menurunkan
jumlah neuron piramidal yang mengalami nekrosa. Karena menurut Manning et
al. (2004) vitamin E memberikan efek penurunan kadar glukosa tertinggi setelah
pemberian selama 3 bulan.
Gambaran nilai penurunan neuron yang mengalami nekrosa berdasarkan
pengelompokan uji Duncan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Jumlah neuron piramidal nekrosa pada cortex cerebri
Pada penelitan ini daerah yang dievaluasi terdapat pada area 4 (primary
motor cortex area = M1) dan pada somatosensory cortex area (Anonimus 2007a).
Kedua area tersebut berada pada regio motor cortex yang bertugas mengendalikan
alat gerak sehingga memiliki proporsi dan presisi yang tepat. Menurut Anonimus
(2007b) primary motor cortex berperan dalam pengendalian gerakan yang
disadari, sedangkan somatosensory cortex area berfungsi menerima informasi dari
saraf perifer. Fungsi somatomotory cortex dibagi dalam tiga grup yaitu
discriminative touch, rasa sakit dan temperatur, serta propioseptif (Anonimus
2003).
Lesio yang terjadi pada neuron tikus penderita diabates melitus bervariasi
dari degenerasi hingga nekrosa, selain itu ditemukan juga adanya gambaran
gliosis dan satelitosis yang juga merupakan indikasi adanya lesio pada neuron
(Daniaty 2004). Terjadinya lesio neuron pada primary motor cortex area dapat
menyebabkan inkoordinasi gerakan, seperti tidak dapat menentukan kontraksi otot
pada alat gerak, pada tahap selanjutnya penderita diabetes melitus dapat terjadi
kelumpuhan. Kondisi ini terjadi karena perluasan kerusakan otak akibat oxidative
stress (Bloomgarden 2005). Sedangkan lesio neuron pada somatosensory cortex
area menyebabkan penurunan sensitifitas reseptor di luar tubuh, seperti pada
ujung jari, bibir, lidah, ujung hidung dan lain sebagainya pada tahap selanjutnya
dapat menyebabkan keadaan aesthesia (mati rasa) baik sementara maupun
permanen. Hal ini sesuai dengan tulisan Anonimus (2007b) penderita diabetes
melitus dapat mengalami neurophaty saraf perifer yang gejalanya sering terjadi
pada kaki, rasa sakit hingga mati rasa pada kaki. Hal ini menyebabkan komplikasi
pada kaki akibat luka yang tidak terdeteksi, sehingga 70% penderita diabetes
melitus memerlukan prosedur pembedahan dan lebih dari 40% harus mengalami
amputasi (Tobing 2006).
Menurut Masharani (2007) salah satu bentuk neuropathy pada penderita
diabetes melitus adalah distal simmetrical polyneuropathy yang biasa terjadi pada
motor cortex dan sensory cortex yang menginervasi alat gerak bagian distal.
Bentuk neuropathy ini dapat dicegah dengan memeriksa kadar glukosa darah
secara teratur (Anonimus 2007b). Sedangkan untuk penderita diabetes melitus
yang mengalami komplikasi pada kaki dilakukan terapi antibiotik selama 8-10
minggu tergantung persembuhan luka. Setelah persembuhan luka terjadi,
diberikan
platelet-derived
growth
factor
(Regnarex)
untuk
membantu
pertumbuhan serabut saraf perifer dan selalu menggunakan alas kaki untuk
mencegah terjadinya luka (Masharani 2007).
KESIMPULAN
Kesimpulan
1. Pemberian vitamin E 80 IU per hari selama 19 hari pada tikus model diabetik
(kondisi hiperglikemia) yang diinduksi STZ tidak menurunkan kadar glukosa
darah.
2. Vitamin E dapat memperbaiki gambaran mikromorfologis cortex cerebri
tikus pada kondisi hiperglikemia.
3. Vitamin E dapat menurunkan kejadian nekrosa neuron piramidal pada area 4
(primary motor cortex area) dan somatosensory cortex area secara nyata
(p<0.05) pada tikus model diabetik (kondisi hiperglikemia).
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan variasi dosis dan waktu
pemberian vitamin E untuk mendapatkan dosis yang tepat dalam menurunkan
kadar glukosa darah dan jumlah neuron piramidal yang mengalami nekrosa secara
optimal. Selain itu diperlukan juga penelitian tentang efek akumulasi vitamin E
dengan pemberian dalam jangka waktu yang lama.
DAFTAR PUSTAKA
[ADA] American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of
Diabetes Mellitus. Diabetes Care. Vol 27:S5-S10.
Anonimus. 2003. Somatosensory Pathway. http://thalamus.wustl.edu/course.html
[14 Juli 2003]
Anonimus. 2006. Perawatan Basal dan Perawatan Basal Plus Untuk Diabetes.
http://www.hanyawanita.com/_health/article.php [2 Juli 2007]
Anonimus. 2007a. Motor Cortex. http://thebrain.mcgill.ca/flash.html [1 Juli 2007]
Anonimus. 2007b. Diabetes Monitor. http://www.biomedcentral.com/14726793/6/4 [9 Juli 2007]
Aiella SE 1998. Merck Veterinary Manual. Edisi ke-8. USA: Publishing Merck &
Co Company Inc.
Argyriou AA et al. 2005. Vitamin E for prophylaxis against chemotherapyinduced neuropathy. Neurology Vol 64: 24-31
Banks WJ. 1993. Applied Veterinary Histology. Edisi ke-3. Missouri: Mosby Inc.
Boorman GA et al. 1990. Pathology of the Fischer Rat. New York: Academic
Press Inc.
Bursell S et al. 1999. High-dose vitamin E supplementation normalizes retinal
blood flow and creatinine clearance in patients with type 1 diabetes.
Diabetes Care.Vol 22 No.8:1245-1251
.
Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. The Islets of Langerhans: Biochemistry,
Physiology, and Pathology. New York: Academic Press Inc.
Dellman HD, Brown EM. 1989. Buku Teks Histologi Veteriner. Edisi ke-3.
Jakarta: Universitas Indonesia Press
Daniaty R. Dina. 2004. Gambaran Histopatologis Organ Otak Tikus Penderita
Diabetes Melitus yang Diberi Infus Batang Brotowali (Tinospora
tuberculata L.) sebagai Bahan Antidiabetik. [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Dyce RD et al. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. Edisi ke-3. Philadelphia:
Saunders.
Halliwell B. 2002. Vitamin E and The Treatment and Prevention of Diabetes
Melitus: A Case for Clinical Control. Singapore Medical Journal. Vol
43(9): 479-484.
Hartono R. 1989. Histologi Veteriner. Bogor: Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat
Institut Pertanian Bogor.
Hart JA et al. 2004. Vitamin E. http://www.umm.edu/altmed/ConsSupplements/
VitaminEcs.html [16 Februari 2007]
Fletcher TF 1995. Histologi Dasar Jaringan Saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Fouad T. 2007. Free Radical Source, Type, and Damging Reaction.
Http://www.doctorslouge.com [7 Juli 2007]
Junqueira LC, Jose C. 1991. Histologi Jaringan Saraf. Jakarta: Gramedia.
Laidlaw SA dan Swendseid ME. 1991. Vitamin and Cancer Prevention. New
York: Wiley-Liss.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Manning PJ et al. 2004. Effect of High-Dose Vitamin E on Insulin Resistance and
Associated Parameters in Overweight Subjects. Diabetes Care Journal.
Vol 27:2166-271.
Mardiati R. 1996. Buku Kuliah Sistem Otak Manusia. Edisi ke-1. Jakarta: CV
Agung Seto.
Masharani U. 2007. Diabetic Neuropathy. http://www.health.am/db/diabetescomplications-diabetic-neuropathy/. [ 1 Juli 2007]
Nabib, R. 1987. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Institut Pertanian
Bogor Press.
Pace A et al. 2003. Neuroprotective Effect of Vitamin E Supplementation in
Patients Treated With Cisplatin Chemotherapy. Journal of Clinical
Oncologi. Vol 5. No 5:927-931.
Paolissa A et al. 1993. Daily vitamin E supplements improve metabolic control
but not insulin secretion in elderly type II diabetic patients. Diabetes Care
Journal. Vol.16 No.11:1433-1437
Ressang AA. 1983. Patologi Khusus Veteriner. Edisi ke-2. Bogor: Institut
Pertanian Bogor Press.
Rick MD et al. 2003. Correlation between Brain Reorganization, Ischemic
Damage, and Neurologic Status after Transient Focal Cerebral Ischemia in
Rats: A Functional Magnetic Resonance Imaging Study. The Journal of
Neuroscience. Vol 23 No.8:510-517
Tambunan V. 2003. Antioksidan, Radikal Bebas, dan Penuaan.
http://www.sinarharapan.co.id/iptek/kesehatan.html. [11 Mei 2003]
Trautmann A dan Fiebiger J. 1957. Fundamental of Histology of Domestic
Animals. Edisi ke-2. New York: Compstock Publishing Associates
Tobing D. 2006. Paling Ditakuti, Tetapi Bisa Dihindari. http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnews.cgi. [6 Juli 2006]
Shils ME et al. 1994. Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi ke-8. USA:
Lea and Febiger.
Skudelski T. 2001. The Mechanism of Alloxan and Streptozotocin action in B
Cells of Rat Pancreas. Physiol. Vol 50: 536-546.
Utami P. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Diabetes Melitus. Jakarta:
Agromedia Pustaka.
[Wikipedia].
2006.
Vitamin
[ 7 Desember 2006]
E.http://www.wikipedia.org/explain.html
LAMPIRAN
Lampiran 1 Tahap-tahap pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Pewarnaan menggunakan Haematoxylin eosin (HE) sebagai berikut :
• Xylol I
2 menit
• Xylol II
2 menit
• Alkohol absolut
2 menit
• Alkohol 95%
1 menit
• Alkohol 80%
1 menit
• Cuci dalam air kran
10 menit
• Mayers Haematoxylin
1 menit
• Cuci dalam air kran
10 menit
• Lithium Carbonat
15-30 detik
• Cuci dalam air kran
2 menit
• Eosin
2 menit
• Cuci dalam air kran
30-60 detik
• Alkohol 95%
10 celupan
• Alkohol absolut I
10 celupan
• Alkohol absolut II
10 celupan
• Xylol I
1 menit
• Xylol II
2 menit
• Tutup dengan cover glass
Data hasil pengukuran kadar glukosa darah dan analisa secara
statistik menggunakan uji ANOVA dan dilanjutkan uji Duncan
Lampiran 2
Kadar gula darah kelompok-kelompok tikus yang diukur akhir perlakuan
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
Vit E
STZ
STZ+Vit E
Hasil (mg/dL)
1
80
2
83
3
90
1
88
2
82
3
84
1
229
2
99
3
278
1
456
2
438
3
436
Descriptives
95% Confidence Interval for Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
Kontrol
3
84,3333
5,13160
2,96273
71,5857
97,0809
80,00
Vit.E
3
84,6667
3,05505
1,76383
77,0775
92,2558
82,00
88,00
STZ
3
202,0000
92,50405
53,40724
-27,7928
431,7928
99,00
278,00
3
443,3333
11,01514
6,35959
415,9702
470,6965
436,00
456,00
12
203,5833
158,10265
45,64030
103,1297
304,0370
80,00
456,00
STZ+Vit.E
Total
Test of Homogeneity of Variances
VAR00002
Levene
Statistic
8,180
df1
df2
3
8
Sig.
,008
90,00
ANOVA
Sum of
Squares
257532,91
7
17428,000
274960,91
7
Between Groups
Within Groups
Total
df
Mean Square
3
85844,306
8
2178,500
11
Duncan
Subset for alpha = .05
VAR00001
Kontrol
N
1
2
3
84,3333
Vit.E
3
84,6667
STZ
3
STZ+Vit.E
3
Sig.
3
202,0000
443,3333
,993
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1,000
F
39,405
Sig.
,000
Lampiran 3 Data hasil pengukuran jumlah neuron piramidal yang mengalami
nekrosa dan analisa secara statistik menggunakan uji ANOVA dan
dilanjutkan uji Duncan
Perubahan pada neuron cerebrum pada tiap kelompok perlakuan
Kelompok
Nekrosa/ degenerasi
Normal
Perlakuan
Kontrol
Vit E
STZ
STZ+Vit E
1
18
82
2
16
84
3
11
89
1
11
89
2
13
87
3
12
88
1
72
28
2
68
32
3
74
26
1
29
71
2
28
72
3
25
75
Descriptives
Jumlah Neuron Nekrosa
95% Confidence Interval for
Mean
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error
Lower Bound
Upper Bound
Minimum
Maximum
Kontrol
3
15,0000
3,60555
2,08167
6,0433
23,9567
11,00
18,00
Vit E
3
12,0000
1,00000
,57735
9,5159
14,4841
11,00
13,00
STZ
3
71,3333
3,05505
1,76383
63,7442
78,9225
68,00
74,00
STZ+Vit E
3
27,3333
2,08167
1,20185
22,1622
32,5045
25,00
29,00
12
31,4167
24,90877
7,19054
15,5904
47,2429
11,00
74,00
Total
Test of Homogeneity of Variances
Jumlah Neuron Nekrosa
Levene
Statistic
1,716
df1
df2
3
8
Sig.
,241
ANOVA
Jumlah Neuron Nekrosa
Sum of
Squares
Between Groups
Mean Square
6769,583
3
2256,528
55,333
8
6,917
6824,917
11
Within Groups
Total
df
Jumlah Neuron Nekrosa
Duncan
Subset for alpha = .05
Kelompok
Vit E
N
1
2
3
12,0000
Kontrol
3
15,0000
STZ+Vit E
3
STZ
3
Sig.
3
27,3333
71,3333
,200
1,000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000.
1,000
F
326,245
Sig.
,000
Download