i I.PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah Negara hukum (recht staat), demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ini menunjukan bahwa Negara Indonesia bukanlah Negara yang berdasarkan atas kekusaaan semata (macht staat), tentunya konsekuensi Indonesia sebagai Negara hukum harus mendasarkan segala sesuatunya pada aturan perundang-undangan yang berlaku demi terciptanya tujuan berbangsa dan bernegara. Tidak dapat dipungkiri perkembangan zaman menuju era globalisasi seolah menguji moral dan kepribadian masyarakat bangsa ini, dari fakta yang hampir disaksikan setiap hari baik melalui media cetak maupun media elektronik, masyarakat dipertontonkan dengan kondisi masyarakat yang sudah melupakan nilai-nilai moralitasnya,semakin hari tingkat kejahatan semakin berkembang pesat menunjukan runtuhnya keberadaan hukum di negeri ini. Salah satu hal yang paling disoroti adalah pengguna dan peredaraan gelap narkotika yang seolah tidak ada matinya, barang haram tersebut sudah beredar kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama dikalangan generasi muda yang sangat diharapkan sebagai generasi penerus bangsa dalam membangun bangsa di masa yang akan datang. Negara memerlukan perlindungan hukum yang tepat agar dapat mengurangi perkembangan peredaran narkotika dan menangani pecandu narkotika secara benar. Salah satu narkotika jenis baru yaitu metilon yang pada tahun 2013 ramai ii diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Dalam kasus tersebut Raffi Ahmad tidak diproses kepengadilan dan hanya sampai ke kejaksaan. Kasus yang sama terjadi di Mataram Nusa Tenggara Barat, I Wayan Purwa di vonis oleh hakim Pengadilan Negeri Mataram pada bulan November tahun 2013 atas kasus perantara jual-beli narkotika yaitu metilon dan sabu. Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan pengertian narkotika: “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang- Undang ini.” Keberadaan metilon kian dilematis mengingat Pasal 10 Ayat 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Konsekuensinya, para penegak hukum untuk aktif dan tidak boleh menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi dan mengganggu tatanan sosial dalam masyarakat dengan dalih belum ada hukumnya. Demikian halnya terhadap metilon yang tidak dimasukkan dalam daftar narkotika pada lampiran Undang-Undang iii Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metilon yang tidak diatur dalam undang – undang narkotika tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak diperiksanya perkara tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaturan penemuan hukum terhadap narkotika jenis baru (metilon) dalam penegakan hukum di Indonesia ? 2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menentukan penemuan hukum berupa memasukkan zat metilon sebagai narkotika golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan penemuan hukum terhadap narkotika jenis baru (metilon) dalam penegakan hukum di Indonesia dan untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menentukan penemuan hukum berupa memasukkan zat metilon sebagai narkotika golongan I menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Manfaat penelitian ini terdiri dari manfaat akademis, teoritis dan manfaat praktis. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yakni merupakan penelitian yang mencakup asas-asas hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dan penelitian terhadap sejarah hukum, sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach). iv Sumber bahan hukum yang digunakan adalah dengan melakukan studi kepustakaan yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan dengan cara membaca, menelaah dan mengkaji putusan pengadilan, buku-buku literatur, dokumen dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat yaitu Norma atau kaedah dasar, Peraturan Dasar (Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat), peraturan perundangundangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden , Keputusan Menteri, Peraturan Daerah), Yurisprudensi dan bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. Dalam proses pengumpulan bahan hukum penyusun menggunakan studi dokumen yaitu mengadakan penelaahan kepustakaan, menelusuri, membaca, mempelajari serta mengkaji berbagai literatur berupa peraturan Perundang-Undangan, pendapat para sarjana, dan para ahli hukum yang berdasarkan pengelompokan yang tepat, berkaitan dengan pokok permasalahan. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan penafsiran-penafsiran hukum yaitu Penafsiran historis, Penafsiran teleologis, dan Penafsiran logis. v II.PEMBAHASAN Pengaturan Penemuan Hukum Terhadap Narkotika Jenis Baru (Metilon) Dalam Rangka Penegakan Hukum Di Indonesia Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman di tentukan bahwa : “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indoneisa.” Merdeka di sini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk menyelenggarakan peradilan. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa. Pasal 4 ayat 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman di tentukan bahwa : “Hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.” Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada dalam sistem (hukum), tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.Tidak boleh dilupakan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa : “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, megadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Ketentuan pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai organ utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara dan selanjutnya menjatuhkan putusan, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim vi untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas.1 Di samping di dasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menemukan dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi : “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi, agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada, teapi masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.2 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika disebutkan pengertian narkotika : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaiman terlampir dalm UndangUndang ini.” Uraian pasal tesebut secara tegas menyatakan bahwa yang tergolong narkotika hanyalah yang terdaftar dalam undang-undang tersebut dan yang tidak terdaftar 1 Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Cet I, Jakarta, 2010, hlm 15. 2 Sudikno, Mertokusumo. Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet v, Yogyakarta, 2010,hlm 61. vii bukanlah narkotika secara yuridis. Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Narkotika menjelaskan bahwa Narkotika di bagi menjadi 3 golongan yaitu Narkotika golongan 1, Narkotika golongan 2 dan Narkotika golongan 3. Sementara dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyatakan: “penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.” Dari uraian jensi-jenis narkotika yang terdapat dalam lampiran undangundang narkotika bahwa zat metilon tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Kemudian Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang Narkotika memyebutkan bahwa: “Ketentuan mengenai perubahan penggolongan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan peraturan Menteri.” Dari ketentuan Pasal 6 ayat 3 tersebut dapat dianalisis bahwa narkotika jenis baru yang bermunculan di Indonesia harus dicantumkan dalam lampiran Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dengan dilakukan perubahan penggolongan narkotika melalui Peraturan Menteri, yang dimaksud menteri disini adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan. Mengenai narkotika jenis baru yang tidak tercantum dalam lampiran UndangUndang Narkotika, pada tahun 2014 telah diadakan perubahan sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Dimana dalam Peraturan Menteri tersebut viii dilakukan penambahan sebanyak 18 jenis narkotika baru yang digolongkan dalam golongan Narkotika I, termasuk di dalamnya zat metilon yang semula tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang Narkotika dan sekarang zat metilon tersebut digolongkan sebagai Narkotika Golongan 1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menentukan Penemuan Hukum Memasukkan Zat Metilon Sebagai Narkotika Golongan I Menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Belakangan ini nama metilon sering disebut-sebut oleh kalangan akademisi maupun praktisi karena metilon merupakan narkotika jenis baru yang merupakan turunan dari katinon. Katinon menjadi perbincangan setelah tujuh orang ditahan seusai penggerebekan di rumah seorang artis di Jakarta Selatan. Dua orang di antaranya terindikasi mengonsumsi turunan dari katinon, yakni 3,4 methylondioxy-Nmethylcathinone (MDMC). Zat sintesis itu juga dikenal sebagai metilon. Di dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, katinon merupakan jenis narkotika golongan 1 bukan tanaman nomor urut 35, namun turunan katinon tidak disebutkan secara jelas. Dengan nama kimia 3,4 methylenedioxy methcathinone, metilon termasuk ke dalam turunan (derivate) cathinone atau katinon yang dibentuk secara sintesis dimana metilon diciptakan dengan cara menggabungkan suatu senyawa dengan senyawa lain. Cara menggunakannya yaitu dicampur dengan minuman misalnya minuman berkarbonasi. Efek yang ditimbulkannya antara lain rasa segar, eufhoria (gembira berlebihan), dan mencegah kantuk, rasa haus berlebihan dan insomnia. Orang yang mengkonsumsi metilon juga mempunyai energi yang berlebihan, selalu ingin berbicara, rasa mengambang ix dan santai akan tetapi pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan halusinasi dan sakit jiwa.3 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika menyebutkan : “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir di dalam undang-undang ini”. Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu zat atau obat dapat dikualifikasikan sebagai narkotika. 1. Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis. Methylone merupakan zat yang dibentuk dari chatinone yang merupakan jenis Narkotika Golongan 1 sebagai molekul dasar.4 2. Efek yang di timbulkan ( penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.53. Dapat dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UndangUndang Narkotika. Upaya mempermudah dalam melakukan identidikasi terhadap obat atau zat tertentu, Undang-Undang Narkotika dilengkapi dengan lampiran yang berisi penggolongan jenis-jenis narkotika. Dalam lampiran tersebut narkotika terbagi 3 Bayu Wijanarko, Implementasi Asas Legalitas Terhadap Penetapan Raffi Ahmad Sebagai Tersangka Sebagai Pengguna Zat Metilon Oleh Badan Narkotika Nasional.Skripsi Tahun 2013 Fakultas Hukum, Universitas Surabaya. Hlm 55 4 Candra Wibawa, Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang berkaitan dengan Methylone. Jurnal Tahun 2013 Fakultas Ilmu sosial, Universitas Negeri Surabaya. Hlm 5 5 Ibid hlm 6 x dalam 3 golongan narkotika. Chatinone merupakan salah satu jenis zat atau obat yang termasuk dalam daftar Narkotika Golongan 1 dengan nomor urut 35. Methylone adalah salah satu turunan dari Chatinone yang dibentuk secara sintesis, namun beradarkan efek yang dimiliki, Methylone tidak terlmapir dalam Lampiran UndangUndang Narkotika Golongan I, II, maupun III bukan dikarenakan tidak tergolong sebagai narkotika, melainkan karena Methylone hanya salah satu zat atau obat lain yang mungkin diciptakan dan dibentuk dengan cara menggabungkan suatu senyawa dengan senyawa lain atau bahkan derivat atau turunan dari narkotika yang terlampir dalam lampiran Undang-Undang Narkotika.6 Berdasarkan uraian unsur-unsur narkotika diatas mengenai zat metilon memberikan pengetahuan bahwa metilon merupakan salah satu turunan dari katinon. Metilon merupakan turunan dari katinon yang diproduksi secara sintesis dan memiliki efek yang berbahaya sesuai dengan unsur yang ada dalam Undang-Undang Narkotika. Beradasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa metilon merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Jika dikaitkan dengan asas legalitas dimana disebutkan bahwa tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada, 6 Ibid hlm 7 xi maka metilon tidak dapat dikategorikan sebagai narkotika menurut Undang-Undang Narkotika karena dalam lampiran Undang-Undang Narkotika tersebut tidak dicantumkan metilon sebagai daftar dari jenis nerkotika dan bagi para pengguna metilon bisa dengan bebas menggunakannya tanpa takut diancam pidana. Untuk mengisi kekosongan hukum zat metilon tersebut yang dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai zat metilon maka dikenal istilah hukum yaitu penemuan hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret.7 Penemuan hukum pada khususnya merupakan kegiatan hakim dalam melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Undang-Undang memang harus jelas dan lengkap agar dapat berjalan dengan efektif, namun karena banyaknya kegiatan manusia dan terbatasnya kemampuan manusia mengatur seluruh kehidupannya membuat undang-undang itu tidak lengkap dan jelas. Undang-undang tidak dapat diterapkan begitu saja ke dalam peristiwa konkrit. Untuk dapat menerapkan undang-undang yang sifatnya abstrak ke dalam peristiwa konkrit, undang-undang tersebut harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan agar sesuai dengan peristiwanya. 7 Sudikno, Mertokusumo. Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet v, Yogyakarta, 2010,hlm 49. xii Untuk melakukan penemuan hukum tersebut terdapat beberapa metode yaitu metode interpretasi dan metode konstruksi hukum. 1) Metode Interpretasi : Interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Dalam hukum pidana interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu secara:8 a) Interpretasi menurut bahasa/ gramatikal ; b) Interpretasi Sistematis atau Logis ; c) Interpretasi Historis ; d) Interpretasi teleologis atau sosiologis ; e) Interpretasi futuristis ; f) Interpretasi Ekstensif ; g) Interpretasi Autentik ; i) Interpretasi Interdisipliner ; j) Interpretasi Multidispiliner. 2. Metode Konstruksi Hukum. Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal dengan metode argumentasi atau lebih dikenal dengan konstruksi hukum, berbeda dengan metode interpretasi,metode konstruksi hukum ini digunakan ketika dihadapkan kepada situasi adanya kekosongan hukum ( rechtsvacuum) sedangkan pada metode interpretasi peristiwa sudah di atur di dalam undang-undang hanya saja pengaturannya masih belum jelas. Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum mengaturnya). Maka metode konstruksi hukum ini sangat penting demi menjamin keadilan. Metode –metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai berikut :9 a) Metode Argumentum per Analogium (Analogi) ; b) Metode Argumentum a contrario ; c) Metode Pengkonretan atau Penyempitan Hukum ; d) Fiksi hukum. 8 9 Sudikno Mertokusumo, opcit, hlm 74. Ibid hlm 75. xiii Berdasarkan uraian diatas, penulis menemukan bahwa ditinjau dari unsurunsur narkotika maka metilon sudah dapat dikatakan suatu zat atau obat yang diciptakan secara sintesis dan berpotensi menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) dapat dikategorikan sebagai narkotika. Untuk mengisi kekosongan hukum yang dikarenakan belum adanya peraturan perundang-undangan, hakim diperbolehkan menggunakan penemuan hukum yaitu konstruksi hukum. Konstruksi hukum dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam dalam menyelidiki perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi. Hakim menggunakan dasar konstruksi hukum sebagai metode penemuan hukum, maka zat baru yang bernama 3,4-methyldioxy-methylcathinone atau Methylone (MDMC) yang merupakan turunan atau derivate dari zat katinon dan menurut penjelasan unsur – unsur narkotika, maka zat metilon dapat dimasukkan sebagai narkotika golongan 1 bukan tanaman menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. xiv PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dalam jurnal ini maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa : 1. Pengaturan penemuan hukum terdapat dalam Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, khusus metilon di atur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika sebagai aturan pelaksana Undang–Undang Narkotika, amanah ini di dasarkan atas Pasal 5 ayat 1 UndangUndang Kekuasaan Kehakiman. 2. Dasar pertimbangan hakim menentukan penemuan memasukkan metilon sebagai narkotika golongan 1 menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah dengan melihat pertimbangan yuridis seperti Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika dan pertimbangan non yuridis seperti pendapat ahli dan hasil uji laboratorium yang menyatakan bahwa metilon merupakan turunan dari katinon yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dan mempunyai efek yang jauh lebih berbahaya dari jenis narkotika lainnya. Saran 1. Pembentuk Undang-Undang perlu merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang menguraikan secara jelas jenis-jenis zat beserta turunannya yang tergolong sebagai narkotika. Hal ini dibutuhkan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum apabila dikemudian hari ditemukan adanya penyalahgunaan zat-zat baru di Indoneisa. 2. Diharapkan penemuan hukum xv oleh hakim ini bisa dijadikan patokan atau yurisprudensi untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan jenis narkotika baru dan agar para penyidik kepolisian lebih jeli dalam memeriksa narkotika jenis baru dengan memanggil ahli dalam bidang narkotika dan melihat turunan dari narkotika yang ada dalam Undang-Undang Narkotika.