syahrul fauzi (d1a012421)

advertisement
i
I.PENDAHULUAN
Negara Indonesia adalah Negara hukum (recht staat), demikian bunyi Pasal 1
ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ini
menunjukan bahwa Negara Indonesia bukanlah Negara yang berdasarkan atas
kekusaaan semata (macht staat), tentunya konsekuensi Indonesia sebagai Negara
hukum harus mendasarkan segala sesuatunya pada aturan perundang-undangan yang
berlaku demi terciptanya tujuan berbangsa dan bernegara.
Tidak dapat dipungkiri perkembangan zaman menuju era globalisasi seolah
menguji moral dan kepribadian masyarakat bangsa ini, dari fakta yang hampir
disaksikan setiap hari baik melalui media cetak maupun media elektronik, masyarakat
dipertontonkan dengan kondisi masyarakat yang sudah melupakan nilai-nilai
moralitasnya,semakin hari tingkat kejahatan semakin berkembang pesat menunjukan
runtuhnya keberadaan hukum di negeri ini. Salah satu hal yang paling disoroti adalah
pengguna dan peredaraan gelap narkotika yang seolah tidak ada matinya, barang
haram tersebut sudah beredar kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama
dikalangan generasi muda yang sangat diharapkan sebagai generasi penerus bangsa
dalam membangun bangsa di masa yang akan datang.
Negara memerlukan perlindungan hukum yang tepat agar dapat mengurangi
perkembangan peredaran narkotika dan menangani pecandu narkotika secara benar.
Salah satu narkotika jenis baru yaitu metilon yang
pada tahun 2013 ramai
ii
diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus
Raffi Ahmad dan ternyata tidak
terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika. Dalam kasus tersebut Raffi Ahmad tidak diproses kepengadilan dan
hanya sampai ke kejaksaan. Kasus yang sama terjadi di Mataram Nusa Tenggara
Barat, I Wayan Purwa di vonis oleh hakim Pengadilan Negeri Mataram pada bulan
November tahun 2013 atas kasus perantara jual-beli narkotika yaitu metilon dan
sabu.
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
disebutkan pengertian narkotika:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang- Undang ini.”
Keberadaan metilon kian dilematis mengingat Pasal 10 Ayat 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Konsekuensinya, para penegak hukum untuk aktif dan tidak boleh menutup
mata terhadap perkara-perkara yang terjadi dan mengganggu tatanan sosial dalam
masyarakat dengan dalih belum ada hukumnya. Demikian halnya terhadap metilon
yang tidak dimasukkan dalam daftar narkotika pada lampiran Undang-Undang
iii
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metilon yang tidak diatur dalam undang
– undang narkotika tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak diperiksanya perkara
tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaturan penemuan hukum terhadap narkotika
jenis baru (metilon) dalam penegakan hukum di Indonesia ? 2. Apakah dasar
pertimbangan hakim dalam menentukan penemuan hukum berupa memasukkan zat
metilon sebagai narkotika golongan I menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika ?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaturan penemuan hukum
terhadap narkotika jenis baru (metilon) dalam penegakan hukum di Indonesia dan
untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menentukan penemuan hukum
berupa memasukkan zat metilon sebagai narkotika golongan I menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Manfaat penelitian ini terdiri dari
manfaat akademis, teoritis dan manfaat praktis.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif, yakni merupakan penelitian yang mencakup asas-asas hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum dan penelitian terhadap sejarah hukum,
sedangkan metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach),
pendekatan kasus (case approach).
iv
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah
dengan melakukan studi
kepustakaan yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan dengan cara membaca,
menelaah dan mengkaji putusan pengadilan, buku-buku literatur, dokumen dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Jenis
bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah bahan hukum
primer yaitu bahan hukum yang mengikat yaitu Norma atau kaedah dasar, Peraturan
Dasar (Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat), peraturan perundangundangan (Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden , Keputusan
Menteri, Peraturan Daerah), Yurisprudensi dan bahan hukum sekunder yaitu bahan
hukum yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer seperti
rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian atau pendapat pakar hukum. Dalam
proses pengumpulan bahan hukum penyusun menggunakan studi dokumen yaitu
mengadakan penelaahan kepustakaan, menelusuri, membaca, mempelajari serta
mengkaji berbagai literatur berupa peraturan Perundang-Undangan, pendapat para
sarjana, dan para ahli hukum yang berdasarkan pengelompokan yang tepat, berkaitan
dengan pokok permasalahan. Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini adalah
dengan menggunakan penafsiran-penafsiran hukum yaitu Penafsiran
historis, Penafsiran teleologis, dan Penafsiran logis.
v
II.PEMBAHASAN
Pengaturan Penemuan Hukum Terhadap Narkotika Jenis Baru (Metilon)
Dalam Rangka Penegakan Hukum Di Indonesia
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman di tentukan bahwa :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indoneisa.”
Merdeka di sini berarti bebas. Jadi kekuasaan kehakiman adalah bebas untuk
menyelenggarakan peradilan. Kebebasan hakim ini memberi wewenang kepada
hakim untuk melakukan penemuan hukum secara leluasa. Pasal 4 ayat 1 UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman di tentukan bahwa :
“Hakim harus mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang.”
Ini berarti bahwa hakim pada dasarnya harus tetap ada dalam sistem (hukum),
tidak boleh keluar dari hukum, sehingga harus menemukan hukumnya.Tidak boleh
dilupakan Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman bahwa :
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, megadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.”
Ketentuan pasal tersebut memberikan makna kepada hakim sebagai organ
utama dalam suatu pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,
untuk menerima, memeriksa, mengadili suatu perkara dan selanjutnya
menjatuhkan putusan, sehingga dengan demikian wajib hukumnya bagi hakim
vi
untuk menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan
hukumnya tidak jelas ataupun kurang jelas.1
Di samping di dasarkan pada ketentuan-ketentuan tersebut diatas, menemukan
dasar hukumnya dengan jelas dan tegas pada Pasal 5 ayat 1 Undang – Undang
Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi :
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Kata menggali mengasumsikan bahwa hukumnya itu ada, tetapi tersembunyi,
agar sampai pada permukaan masih harus digali. Jadi hukumnya itu ada, teapi
masih harus digali, dicari dan diketemukan, bukannya tidak ada, kemudian
diciptakan. Scholten mengatakan bahwa di dalam perilaku manusia itu
sendirilah terdapat hukumnya. Sedangkan setiap saat manusia dalam
masyarakat berperilaku, berbuat atau berkarya, oleh karena itu hukumnya
sudah ada, tinggal menggali, mencari atau menemukannya.2
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika
disebutkan pengertian narkotika :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaiman terlampir dalm UndangUndang ini.”
Uraian pasal tesebut secara tegas menyatakan bahwa yang tergolong narkotika
hanyalah yang terdaftar dalam undang-undang tersebut dan yang tidak terdaftar
1
Rifai, Ahmad, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,
Sinar Grafika, Cet I, Jakarta, 2010, hlm 15.
2
Sudikno, Mertokusumo. Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet v,
Yogyakarta, 2010,hlm 61.
vii
bukanlah narkotika secara yuridis. Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Narkotika
menjelaskan bahwa Narkotika di bagi menjadi 3 golongan yaitu Narkotika golongan
1, Narkotika golongan 2 dan Narkotika golongan 3.
Sementara dalam Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika menyatakan:
“penggolongan Narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 untuk pertama
kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari Undang-Undang ini.”
Dari uraian jensi-jenis narkotika yang terdapat dalam lampiran undangundang narkotika bahwa zat metilon tidak tercantum dalam lampiran Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Kemudian Pasal 6 ayat 3 Undang-Undang
Narkotika memyebutkan bahwa:
“Ketentuan mengenai perubahan penggolongan sebagaimana dimaksud pada
ayat 2 diatur dengan peraturan Menteri.”
Dari ketentuan Pasal 6 ayat 3 tersebut dapat dianalisis bahwa narkotika jenis
baru yang bermunculan di Indonesia harus dicantumkan dalam lampiran Undangundang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, dengan dilakukan perubahan
penggolongan narkotika melalui Peraturan Menteri, yang dimaksud menteri disini
adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang kesehatan.
Mengenai narkotika jenis baru yang tidak tercantum dalam lampiran UndangUndang Narkotika, pada tahun 2014 telah diadakan perubahan sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Penggolongan Narkotika. Dimana
dalam Peraturan Menteri tersebut
viii
dilakukan penambahan sebanyak 18 jenis narkotika baru yang digolongkan dalam
golongan Narkotika I, termasuk di dalamnya zat metilon yang semula tidak tercantum
dalam lampiran Undang-Undang Narkotika dan sekarang zat metilon tersebut
digolongkan sebagai Narkotika Golongan 1.
Dasar
Pertimbangan
Hakim
Dalam
Menentukan
Penemuan
Hukum
Memasukkan Zat Metilon Sebagai Narkotika Golongan I Menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Belakangan ini nama metilon sering disebut-sebut oleh kalangan akademisi
maupun praktisi karena metilon merupakan narkotika jenis baru yang merupakan
turunan dari katinon. Katinon menjadi perbincangan setelah tujuh orang ditahan
seusai penggerebekan di rumah seorang artis di Jakarta Selatan. Dua orang di
antaranya terindikasi mengonsumsi turunan dari katinon, yakni 3,4 methylondioxy-Nmethylcathinone (MDMC). Zat sintesis itu juga dikenal sebagai metilon. Di dalam
Lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, katinon
merupakan jenis narkotika golongan 1 bukan tanaman nomor urut 35, namun turunan
katinon tidak disebutkan secara jelas.
Dengan nama kimia 3,4 methylenedioxy methcathinone, metilon termasuk ke
dalam turunan (derivate) cathinone atau katinon yang dibentuk secara sintesis
dimana metilon diciptakan dengan cara menggabungkan suatu senyawa
dengan senyawa lain. Cara menggunakannya yaitu dicampur dengan minuman
misalnya minuman berkarbonasi. Efek yang ditimbulkannya antara lain rasa
segar, eufhoria (gembira berlebihan), dan mencegah kantuk, rasa haus
berlebihan dan insomnia. Orang yang mengkonsumsi metilon juga
mempunyai energi yang berlebihan, selalu ingin berbicara, rasa mengambang
ix
dan santai akan tetapi pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
halusinasi dan sakit jiwa.3
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
menyebutkan :
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintesis maupun semisintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir di dalam
undang-undang ini”.
Berdasarkan pasal tersebut, maka dapat diuraikan unsur-unsur yang harus
dipenuhi agar suatu zat atau obat dapat dikualifikasikan sebagai narkotika. 1. Zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun
semisintesis. Methylone merupakan zat yang dibentuk dari chatinone yang
merupakan jenis Narkotika Golongan 1 sebagai molekul dasar.4 2. Efek yang di
timbulkan ( penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.53. Dapat
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UndangUndang Narkotika. Upaya mempermudah dalam melakukan identidikasi terhadap
obat atau zat tertentu, Undang-Undang Narkotika dilengkapi dengan lampiran yang
berisi penggolongan jenis-jenis narkotika. Dalam lampiran tersebut narkotika terbagi
3
Bayu Wijanarko, Implementasi Asas Legalitas Terhadap Penetapan Raffi Ahmad Sebagai
Tersangka Sebagai Pengguna Zat Metilon Oleh Badan Narkotika Nasional.Skripsi Tahun 2013
Fakultas Hukum, Universitas Surabaya. Hlm 55
4
Candra Wibawa, Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika yang berkaitan dengan Methylone. Jurnal Tahun 2013 Fakultas Ilmu sosial, Universitas
Negeri Surabaya. Hlm 5
5
Ibid hlm 6
x
dalam 3 golongan narkotika. Chatinone merupakan salah satu jenis zat atau obat yang
termasuk dalam daftar Narkotika Golongan 1 dengan nomor urut 35. Methylone
adalah salah satu turunan dari Chatinone yang dibentuk secara sintesis, namun
beradarkan efek yang dimiliki, Methylone tidak terlmapir dalam Lampiran UndangUndang Narkotika Golongan I, II, maupun III bukan dikarenakan tidak tergolong
sebagai narkotika, melainkan karena Methylone hanya salah satu zat atau obat lain
yang mungkin diciptakan dan dibentuk dengan cara menggabungkan suatu senyawa
dengan senyawa lain atau bahkan derivat atau turunan dari narkotika yang terlampir
dalam lampiran Undang-Undang Narkotika.6
Berdasarkan uraian unsur-unsur narkotika diatas mengenai zat metilon
memberikan pengetahuan bahwa metilon merupakan salah satu turunan dari katinon.
Metilon merupakan turunan dari katinon yang diproduksi secara sintesis dan memiliki
efek yang berbahaya sesuai dengan unsur yang ada dalam Undang-Undang
Narkotika. Beradasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa metilon
merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun
semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
Jika dikaitkan dengan asas legalitas dimana disebutkan bahwa tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang telah ada,
6
Ibid hlm 7
xi
maka metilon tidak dapat dikategorikan sebagai narkotika menurut Undang-Undang
Narkotika karena dalam lampiran Undang-Undang Narkotika tersebut tidak
dicantumkan metilon sebagai daftar dari jenis nerkotika dan bagi para pengguna
metilon bisa dengan bebas menggunakannya tanpa takut diancam pidana.
Untuk mengisi kekosongan hukum zat metilon tersebut yang dikarenakan
belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai zat metilon
maka dikenal istilah hukum yaitu penemuan hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya
yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum
yang konkret. Ini merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkret.7
Penemuan hukum pada khususnya merupakan kegiatan hakim dalam
melaksanakan undang-undang bila terjadi peristiwa konkrit. Undang-Undang
memang harus jelas dan lengkap agar dapat berjalan dengan efektif, namun karena
banyaknya kegiatan manusia dan terbatasnya kemampuan manusia mengatur seluruh
kehidupannya membuat undang-undang itu tidak lengkap dan jelas. Undang-undang
tidak dapat diterapkan begitu saja ke dalam peristiwa konkrit. Untuk dapat
menerapkan undang-undang yang sifatnya abstrak ke dalam peristiwa konkrit,
undang-undang tersebut harus diberi arti, dijelaskan atau ditafsirkan agar sesuai
dengan peristiwanya.
7
Sudikno, Mertokusumo. Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Cet v,
Yogyakarta, 2010,hlm 49.
xii
Untuk melakukan penemuan hukum tersebut terdapat beberapa metode yaitu
metode interpretasi dan metode konstruksi hukum. 1) Metode Interpretasi :
Interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum dalam hal peraturannya
ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya. Dalam hukum pidana
interpretasi atau penafsiran ini dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu
secara:8 a) Interpretasi menurut bahasa/ gramatikal ; b) Interpretasi Sistematis atau
Logis ; c) Interpretasi Historis ; d) Interpretasi teleologis atau sosiologis ; e)
Interpretasi futuristis ; f) Interpretasi Ekstensif ; g) Interpretasi Autentik ; i)
Interpretasi Interdisipliner ; j) Interpretasi Multidispiliner. 2. Metode Konstruksi
Hukum. Selain metode interpretasi, dalam penemuan hukum juga dikenal dengan
metode argumentasi atau lebih dikenal dengan konstruksi hukum, berbeda dengan
metode interpretasi,metode konstruksi hukum ini digunakan ketika dihadapkan
kepada situasi adanya kekosongan hukum ( rechtsvacuum) sedangkan pada metode
interpretasi peristiwa sudah di atur di dalam undang-undang hanya saja
pengaturannya masih belum jelas. Berdasarkan asas ius curia novit (hakim tidak
boleh menolak suatu perkara dengan dalih hukumnya tidak ada atau belum
mengaturnya). Maka metode konstruksi hukum ini sangat penting demi menjamin
keadilan. Metode –metode konstruksi hukum itu dapat dibagi sebagai berikut :9 a)
Metode Argumentum per Analogium (Analogi) ; b) Metode Argumentum a contrario
; c) Metode Pengkonretan atau Penyempitan Hukum ; d) Fiksi hukum.
8
9
Sudikno Mertokusumo, opcit, hlm 74.
Ibid hlm 75.
xiii
Berdasarkan uraian diatas, penulis menemukan bahwa ditinjau dari unsurunsur narkotika maka metilon sudah dapat dikatakan suatu zat atau obat yang
diciptakan secara sintesis dan berpotensi menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi)
dapat dikategorikan sebagai narkotika.
Untuk mengisi kekosongan hukum yang dikarenakan belum adanya peraturan
perundang-undangan, hakim diperbolehkan menggunakan penemuan hukum yaitu
konstruksi hukum. Konstruksi hukum dapat digunakan hakim sebagai metode
penemuan hukum apabila dalam dalam menyelidiki perkara tidak ada peraturan yang
mengatur secara khusus mengenai peristiwa yang terjadi.
Hakim menggunakan dasar konstruksi hukum sebagai metode penemuan
hukum, maka zat baru yang bernama 3,4-methyldioxy-methylcathinone atau
Methylone (MDMC) yang merupakan turunan atau derivate dari zat katinon dan
menurut penjelasan unsur – unsur narkotika, maka zat metilon dapat dimasukkan
sebagai narkotika golongan 1 bukan tanaman menurut Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
xiv
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan
dalam
jurnal
ini
maka
penyusun
dapat
menyimpulkan bahwa : 1. Pengaturan penemuan hukum terdapat dalam Pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, khusus
metilon di atur oleh Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2014 Tentang Perubahan Penggolongan Narkotika sebagai aturan pelaksana
Undang–Undang Narkotika, amanah ini di dasarkan atas Pasal 5 ayat 1 UndangUndang Kekuasaan Kehakiman. 2. Dasar pertimbangan hakim menentukan
penemuan memasukkan metilon sebagai narkotika golongan 1 menurut UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah dengan melihat
pertimbangan yuridis seperti Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Perubahan
Penggolongan Narkotika dan pertimbangan non yuridis seperti pendapat ahli dan
hasil uji laboratorium yang menyatakan bahwa metilon merupakan turunan dari
katinon yang terdapat dalam Undang-Undang Narkotika dan mempunyai efek yang
jauh lebih berbahaya dari jenis narkotika lainnya.
Saran
1. Pembentuk Undang-Undang perlu merevisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika yang menguraikan secara jelas jenis-jenis zat beserta
turunannya yang tergolong sebagai narkotika. Hal ini dibutuhkan untuk
menghindari terjadinya kekosongan hukum apabila dikemudian hari ditemukan
adanya penyalahgunaan zat-zat baru di Indoneisa. 2. Diharapkan penemuan hukum
xv
oleh hakim ini bisa dijadikan patokan atau yurisprudensi untuk kasus-kasus yang
berkaitan dengan jenis narkotika baru dan agar para penyidik kepolisian lebih jeli
dalam memeriksa narkotika jenis baru dengan memanggil ahli dalam bidang
narkotika dan melihat turunan dari narkotika yang ada dalam Undang-Undang
Narkotika.
Download