Akhirnya, Ahlussunnah wal-Jama`ah (Aswaja) yang dianut

advertisement
Prelude
Yang tersayang,
Peserta MAPABA 22.
Puji Syukur kami sampaikan pada Allah SWT, Tuhan yang dituhankan sebagian
umat manusia, Tuhan mutlak bagi umat Islam. Dalam modul kali ini kami
sertakan beberapa tulisan yang kami rasa cukup merefleksikan semangat kePMII-an. Semoga susunan modul ini dapat memberikan manfaat, walaupun
hanya sedikit. Syukur-syukur kalau dibaca, kalau tidak, setidaknya disimpan
saja kami sudah bahagia. Toh kalau tidak kuat membacanya, setidaknya modul
ini dapat dijadikan bantal sandaran tidur, sehingga berkah dapat diperoleh
dengan variasi yang berbeda, yaitu relaksasi urat leher mahasiswa yang
menuntut ilmu.
Salam hangat,
Tim penyusun
10 November 2016
AHLUSSUNNAH WAL-JAMA’AH
(Oleh : Ahmad Afif Hidayatulloh)
Pendahuluan
Islam adalah wahyu Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan kepada umat manusia, demi kebahagiaan
hidup mereka di dunia dan akhirat. Sebagai risalah yang diperuntukkan kepada
umat manusia, Islam merupakan agama yang sempurna. Islam yang sudah
sempurna tersebut identik dengan al-Qur’an dan al-Hadits sebagaimana sabda
Rasulullah SAW: “Aku tinggalkan (wariskan) bagimu dua hal yang kalau kalian
selalu berpegang teguh padanya, maka tidak akan tersesat selamanya, yaitu
Kalamullah (al-Qur’an) dan Sunnah Rasul (al-Hadits)”. Islam demikianlah yang
dimaksud oleh Rasulullah SAW ketika Beliau menerangkan “Ahlussunnah walJama’ah”, yaitu: ma ana alaihi wa ash-habi, yang artinya “Apa yang aku berada di
atasnya bersama para sahabatku (ajaran yang aku sampaikan dan aku
teladankan serta diamalkan dan ditiru oleh para sahabatku)”.
Menurut K.H. Abdul Muchith Muzadi, kesempurnaan Islam
sebagaimana diterangkan di atas tentunya bukan berarti bahwa segala hal
diterangkan secara terinci dan ketat (baku), tetapi justru kesempurnaan Islam
itu tercermin dari dua cara pemberian pedoman, ada yang terperinci dan ada
yang hanya diajarkan prinsip-prinsipnya saja yang dapat/harus dikembangkan.
Dengan demikian Islam akan selalu dapat memberikan pedoman bagi seluruh
umat manusia sepanjang zaman, “shalihun li kulli zamanin wa makan”. 1
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwasanya Islam yang
dinyatakan sempurna oleh Allah SWT, Islam yang Ma Ana Alaihi wa Ash-habi,
Islam pada zaman Rasulluah SAW yang dilanjutkan oleh generasi para sahabat,
ialah Islam yang dinyatakan oleh Rasulullah SAW sebagai Ahlussunnah walJama’ah (biasa disingkat Aswaja), Islam yang murni atau otentik, dan Islam yang
harus dipegang teguh sepanjang zaman, tidak boleh disempalkan. Selain itu,
Islam yang sempurna dan yang paling terjaga kemurnian atau keotentikannya
tersebut harus dikembangkan secara terkendali agar tetap pada keaslian dan
kelurusannya sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dan dapat
menjawab masalah-masalah baru yang selalu muncul sepanjang zaman.2
Sebagai organisasi dengan corak ke-Islaman, PMII (Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia) sejak awal berdirinya hingga sekarang menegaskan
dirinya sebagai penganut, pengemban, dan pengembang Islam ala Ahlussunah
wal-Jama’ah di atas. Dengan sekuat tenaga, PMII berusaha menempatkan diri
sebagai penebar dan pengamal setia ajaran Aswaja ini. Bagi PMII sendiri, Aswaja
menjadi pemandu gerakannya agar selaras dengan cita-cita perjuangan Islam
sebagaimana yang telah diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW
1
K.H. Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Surabaya: Penerbit
Khalista, 2007), hlm.151.
2
Ibid, hlm. 152.
1
beserta para sahabat. Karena penting dan mendasarnya Islam yang tidak
menyimpang, tidak menyeleweng, dan tidak pula menyempal ini, maka tentunya
diperlukan upaya untuk memahami ajaran Islam yang murni, Islam yang telah
disebutkan oleh Rasulullah SAW sebagai Ahlussunnah wal-Jama’ah, yang akan
diterangkan lebih lanjut pada pembahasan berikut ini.
Sketsa Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah: Timbulnya Firqah dalam Islam
Risalah Islam yang dibawa dan diajarkan oleh Rasulullah SAW
merupakan kesatuan utuh yang sempurna dan paling lengkap dibandingkan
risalah yang dibawa oleh para Rasul sebelum beliau. Adapun risalah tersebut
pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yaitu, Iman, Islam dan Ihsan. 3 Secara
sederhana, dapat dikatakan bahwa Iman berarti akidah/keyakinan, Islam
berarti syari’ah/amalan-amalan, sedangkan Ihsan berarti akhlak dalam
beribadah.
Pada saat Rasulullah SAW masih hidup, ketiga ajaran tersebut
diterapkan/diamalkan oleh para sahabat secara terpadu dan seimbang
berdasarkan petunjuk dan keteladanan beliau. Sehingga di antara ketiga unsur
tersebut, tidak ada yang lebih ditonjolkan atau bahkan dipertentangkan dengan
yang lain. Keutamaan risalah Nabi SAW yang seperti ini menjadikannya sebagai
agama (din) yang paling sempurna, paling lengkap, dan diridhai oleh Allah SWT
sebagaimana firman-Nya, “…..Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu
agamamu, dan telah Ku-penuhi nikmat-Ku padamu, dan telah Ku-ridhai Islam jadi
agama bagimu” (Q.S. al-Maidah: 4). Selama itu, segala hal yang tidak dimengerti
penjelasannya dan tidak diketahui praktik amalannya, maka seluruh persoalan
itu dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Beliaulah yang akan mengajarkan dan
membimbing umatnya sesuai petunjuk Allah SWT. Oleh karenanya, risalah Nabi
SAW tentu terpelihara kemurnian dan keasliaannya.
Di masa Rasulullah SAW sedang sakit, bibit-bibit keretakan/konflik di
antara umat Islam mulai tampak. Konflik tersebut semakin mencuat pada saat
Allah SWT memanggil Nabi SAW kembali ke haribaan-Nya. Adapun
keretakan/konflik pendapat yang terjadi di masa Rasulullah SAW ketika beliau
3
Dalam Kitab Tajrid al-Sharih, keterangan mengenai Iman, Islam, dan Ihsan ini tercantum
dalam hadis sahih riwayat al-Bukhari: “Abu Hurairah R.A. menceritakan: suatu hari
Rasulullah SAW tampil di hadapan umum, lalu seorang laki-laki menghampirinya dan
laki-laki itu bertanya, apa Iman itu? Rasulullah SAW menjawab, bahwa engkau beriman
kepada Allah SWT, malaikat-Nya, beriman akan berjumpa dengan-Nya, beriman pada
para rasul-Nya, dan pada hari kebangkitan. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi, apa
Islam itu? Rasulullah SAW menjawab, Islam yaitu bahwa engkau menyembah Allah SWT
dan tidak menyekutukan-Nya, mendirikan salat, menunaikan zakat wajib, dan berpuasa
ramadhan. Laki-laki itu bertanya lagi, apa Ihsan itu? Rasulullah SAW menjawab, bahwa
engkau menyembah Allah SWT seakan-akan engkau melihat-Nya, namun jika engkau
tidak dapat demikian maka sesungguhnya Ia melihatmu……(setelah semua pertanyaan
dijawab Rasul SAW), kemudian beliau bersabda, inilah malaikat Jibril yang datang untuk
mengajar tentang urusan agama kalian” (Abu al-Abbas Zain al-Din Ahmad ibn Ahmad
ibn Ahmad ibn Abd al-Lathif, Tajrid al-Sharih li Ahadits al-Jami’ ma’a al-Shahih,
[Surabaya: Penerbit al-Hidayah], hlm. 13).
2
sedang sakit dan sesudah wafat tersebut sebenarnya merupakan perbedaan
(ikhtilaf) masalah ijtihad semata, sedangkan perbedaan pendapat tersebut
justru akan melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru dan akan
memperkokoh agama4. Hanya saja, dari sekian banyak perbedaan itu, kemudian
Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu), hlm.14.
Menurut al-Syahrastani, jumlah ikhtilafiyah (perbedaan) tersebut berjumlah sepuluh. Berikut
uraikan kesepuluh macam jenis perbedaan tersebut:
1) Perbedaan di kalangan para sahabat dalam menafsirkan sabda Nabi SAW pada saat beliau
sedang sakit keras. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il
al-Bukhari dari Abdullah ibn Abbas, Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah tinta dan
kertas, kutulis untuk kamu satu kitab yang kamu tidak akan tersesat sesudahku….,” Salah
satu sahabat, Umar ibn Khattab menafsirkan ‘kitab’ yang dimaksud Nabi ialah kitab Allah
SWT, sedangkan sahabat yang lain berbeda pandangan dengan sahabat Umar.
2) Perbedaan pendapat yang terjadi ketika Rasulullah SAW dalam keadaan sakit , yaitu pada
hadis beliau yang berbunyi: “Bergabunglah kalian dengan pasukan Usamah, Allah SWT
mengutuk orang yang tidak menggabungkan diri dengannya.” Sebagian sahabat
berpendapat wajib mengikuti perintah Rasulullah SAW meskipun pasukan Usamah sudah
berada di luar kota. Sebagian sahabat lain berpendapat bahwa dalam keadaan Rasul SAW
sakit keras begini, mereka tidak tega meninggalkannya dan sebaiknya memilih bersabar
sampai jelas bagi mereka keadaan Rasulullah SAW.
3) Perbedaan pendapat ketiga terjadi sesudah Rasul SAW wafat di mana sahabat Umar ibn
Khattab berkata, “Siapa yang mengatakan Muhammad telah tiada akan kupenggal
lehernya dengan pedangku ini. Ia naik ke langit sebagaimana Isa AS diangkat naik ke
langit”. Sahabat Abu Bakar ibn Quhafah menandaskan dan berusaha menyadarkan Umar
dengan membacakan surat Ali Imran ayat 144. Dengan kejujuran dan ketulusan Abu
Bakar, seketika Umar tersadar dari kekalutannya.
4) Perbedaan keempat mengenai tempat pemakaman Rasulullah SAW. Kaum Muhajirin
menghendaki agar dimakamkan di Makkah dengan alasan bahwa beliau lahir dan
dibesarkan di kota itu, dan merupakan tempat permulaan hijrahnya. Kaum Anshar
menghendaki dimakamkan di Madinah dengan alasan tempat itu menjadi tujuan hijrah
Nabi SAW, permulaan kemenangan dalam menyebarkan Islam. Sedangkan yang lain
menginginkan dimakamkan di Bait al-Maqdis karena kebanyakan para Nabi dimakamkan
di sana. Namun pada akhirnya semua sepakat untuk memakamkan jasad Nabi SAW di
Madinah setelah menyimak hadis yang dibacakan Abu Bakar, “Para Nabi dikuburkan di
mana mereka wafat.”
5) Perbedaan kelima yaitu tentang kepemimpinan (imamah). Tidak ada perselisihan yang
tersebar selain dari perselisihan mengenai imamah ini. Sebuah perbedaan pandangan yang
bahkan menjurus pada pertikaian dengan mengangkat senjata. Namun, Allah SWT telah
menyelamatkan umat Islam pertama dari bencana ini, ketika terjadi perbedaan pendapat
antara kelompok Muhajirin dan Anshar di pertemuan Saqifah Bani Sa’adah dalam
memilih kepemimpinan sesudah Rasulullah SAW wafat. Hingga akhirnya seluruh kaum
muslimin sepakat membai’at sahabat Abu Bakar ibn Quhafah sebagai khalifah pertama
penerus perjuangan Nabi SAW.
4
3
6)
7)
8)
9)
Perbedaan keenam menyangkut masalah tanah yang terletak di perkampungan Fadak
yang merupakan peninggalan Rasulullah SAW. Fatimah selaku puteri Nabi SAW
mengatakan tanah itu adalah tanah warisannya dari Rasulullah SAW sehingga ia
berpandangan bahwa tanah itu menjadi haknya. Sebaliknya, Abu Bakar sebagai Khalifah
terpilih menolak permintaan Fatimah dengan mengacu pada hadis Nabi SAW, “Kami para
nabi tidak meninggalkan warisan, apa yang kami tinggalkan adalah sedekah.” Lalu, para
sahabat ingat akan hal itu.
Perbedaan ketujuh mengenai sikap terhadap orang yang enggan mengeluarkan zakat.
Dalam hal ini, Ibn Katsir menceritakan, mereka yang menolak membayar zakat berhujjah
dengan firman Allah SWT surat al-Taubah ayat 103, bahwasanya zakat tidak wajib
ditunaikan kecuali kepada orang (Nabi SAW) yang do’anya membuat mereka tenang.
Umar beserta sebagian sahabat lain berbicara kepada Abu Bakar agar beliau membiarkan
mereka yang tidak mau membayar zakat, dan terus mengasihi mereka sehingga iman
menancap kokoh dalam hati mereka, sampai saatnya nanti mereka mau membayar zakat.
Akan tetapi, Abu Bakar menolak. Sekelompok ulama ahl al-hadits meriwayatkan dalam
kitab-kitab mereka – selain Ibn Majah – dari Abu Hurairah RA. bahwasanya Umar ibn
Khattab berkata pada Abu Bakar, “Atas dasar apa engkau perangi orang-orang itu,
padahal Rasulullah SAW bersabda, Aku diperintahkan memerangi manusia hingga
mereka mengucapkan: Tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad utusan Allah.
Kalau mereka telah mengucapkan kalimat tersebut, niscaya jiwa dan hartanya terjamin,
kecuali dengan haknya.” Lalu Abu Bakar menjawab, “Demi Allah, seandainya mereka
tidak mau menyerahkan seekor anak unta – dan dalam sebuah riwayat: seutas tali – yang
dahulu pernah mereka berikan kepada Rasulullah SAW, niscaya aku akan memerangi
mereka karena itu, sesungguhnya zakat adalah hak harta. Demi Allah, sesungguhnya aku
akan memerangi siapa saja yang membedakan antara salat dan zakat.” Kemudian Umar
berkata, “Demi Allah, telah tampak padaku bahwa Allah telah membukakan hati Abu
Bakar untuk berperang, lalu aku mengetahui bahwa itulah yang benar.”
Perbedaan kedelapan yaitu tentang penunjukan sahabat Umar ibn Khattab sebagai
Khalifah kedua oleh Abu Bakar sebelum wafatnya. Sebagian sahabat berkata Abu Bakar
telah menunjuk orang yang keras dan kasar. Namun, Abu Bakar berkata kalaulah aku
ditanya pada hari kiamat nanti akan kujawab aku telah menunjuk orang yang menjadi
pemimpin adalah orang yang terbaik di antara mereka.
Perbedaan kesembilan yaitu tentang musyawarah dan perbedaan perndapat. Tatkala
Khalifah Umar menderita sakit keras akibat tikaman belati seorang Majusi bernama Abu
Lu’luah, beliau berkata – setelah mengetahui siapa pembunuhnya -, “Segala puji bagi
Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang muslim yang akan menghujatku
di sisi Allah dengan sujud yang dia lakukan.” Kemudian Khalifah Umar dalam sebuah
musyawarah menetapkan tim suksesi yang beranggotakan enam sahabat, yaitu Utsman
ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman
ibn Auf, dan Sa’ad ibn Abi Waqqash. Lalu, Abdurrahman bertanya, “Siapa yang akan
mundur dari pencalonan ini?” Dan ia sendiri mengundurkan diri, kemudian diikuti oleh
tiga orang lainnya sehingga tinggal Ali dan Utsman saja – keduanya menantu Nabi SAW.
Tiga orang yang memilih mundur tersebut beserta dua calon sepakat menyerahkan panitia
pemilihan kepada Abdurrahman ibn Auf. Sebagai ketua panitia, Abdurrahman kemudian
4
melakukan hubungan dengan siapa saja terutama penduduk Madinah, siapa yang pantas
kiranya menjadi khalifah. Ammar ibn Yasir berkata padanya, “Kalau ingin umat Islam
bersatu, tidak pecah belah, hendaknya memilih Ali.” Miqdad ibn al-Aswad menyetujui
pendapat ini. Akan tetapi, Abdullah ibn Abi Sarrah berpendapat, “Jika ingin suku besar
Quraisy utuh, hendaknya memilih Utsman saja.” Pendapat ini disepakati oleh Abdullah
ibn Rabi’ah. Pendapat ini lantas diprotes oleh Ammar dan ia bertanya, “Sejak kapan
engkau menjadi penasihat Islam?” Ibn Abi Sarrah disindir keras karena dulunya memeluk
Islam, tapi kemudian hari ia berpaling kepada pembesar Quraisy dan mengolok-olok Nabi
SAW. Hingga tiba saatnya Nabi mendapatkan kemenangan (peristiwa fath al-makkah)
dan mengumumkan perdamaian kepada penduduk Makkah, kecuali delapan orang yang
harus menjalani hukuman mati, termasuk di antaranya ialah Abdullah ibn Abi Sarrah.
Setelah mengetahui keputusan Nabi SAW tersebut, Ibn Abi Sarrah segera meminta
perlindungan kepada Utsman ibn Affan dimana keduanya masih saudara sesusuan. Berkat
Utsman, akhirnya ia memperoleh ampunan Nabi SAW. Hal inilah yang menjadikan
Ammar ibn Yassir beranggapan bahwa Ibn Abi Sarrah hanya mementingkan suku Quraisy
saja, meskipun setelah pertobatannya itu Ibn Abi Sarrah menjadi komandan pasukan
pimpinan panglima Amr ibn Ash dan ia berjasa dalam penakhlukan Palestina, Syiria, dan
Mesir. Akhirnya, setelah melakukan “lobi” yang lebih luas dengan kaum muslimin,
Abdurrahman ibn Auf menetapkan Utsman ibn Affan sebagai khalifah. Awalnya, Ali
mengkritik keputusan itu, apalagi Abdurrahman adalah ipar Utsman ibn Affan – keduanya
termasuk Bani Umayyah, sedang Ali adalah Bani Hasyim. Akan tetapi, Abdurrahman
menjelaskan bahwa pilihannya itu bukan kepentingan pribadinya, melainkan kepentingan
mayoritas kaum muslimin. Setelah menerima penjelasan tersebut, Ali pun ikut membai’at
Utsman bersama-sama dengan para sahabat lainnya. Pada saat kekhalifahan dijabat
Utsman, keadaan negara di masanya tenteram, dakwah Islamiah tambah meluas dan
banyak daerah baru yang dikuasai umat Islam, keuangan Negara melimpah ruah, semua
orang merasa diperlakukan dengan adil dan masyarakat merasa diayomi dengan baik.
Hanya saja, pemerintahan Utsman berakhir dengan berbagai macam kekacauan dan
pemberontakan yang dipicu oleh tuduhan dan fitnah oknum yang tidak bertanggung
jawab, sehingga pada akhirnya mengakibatkan ia sendiri mati terbunuh.
10) Perbedaan kesepuluh terjadi di masa kekhalifahan Ali ibn Abi Thalib. Peristiwa pertama
yaitu terjadinya pemberontakan terhadap pemerintahan Ali ibn Abi Thalib oleh Thalhah
dan Zubair di Makkah yang mengajak Aisyah bergabung dengan mereka dan berangkat
ke Bashrah untuk mencari dukungan masyarakat. Munculnya pemberontakan di atas pada
dasarnya berawal dari situasi pembai’atan Ali yang masih dipenuhi kekacauan dan
merebaknya tuntutan atas pelaku pembunuhan terhadap Khalifah Utsman. Kelompok
yang dipimpin Aisyah, Zubair, dan Thalhah beralasan bahwa sikap mereka tersebut
didasari sebuah tuntutan keadilan hukum atas pelaku yang membunuh Utsman. Mereka
berpandangan bahwa tindakan qishash (tuntutan balas membunuh) harus segera
dilakukan dan mendesak Khalifah Ali agar tidak membiarkan para pembunuh Utsman
berkeliaran menghirup udara bebas tanpa hukuman qishash atas mereka. Khalifah Ali
sependapat dengan kelompok yang dipimpin Aisyah, bahkan ia mengutuk keras para
pembunuh Utsman. Hanya saja Khalifah Ali meminta mereka bertiga untuk bersabar dulu
dan memberikan dukungan padanya untuk menciptakan kondisi Negara yang solid dan
5
berkembang menjadi perselisihan yang menyebabkan timbulnya firqah-firqah
(sempalan-sempalan) di kalangan umat Islam. Perselisihan tersebut tidak lain
ialah perdebatan mengenai siapa yang tepat menggantikan beliau sebagai
pemimpin umat.
Sahabat Anshar (kaum muslim Madinah) memandang bahwa jabatan
Khalifah harus dari kalangan mereka, karena merekalah yang telah menyambut,
menolong dan melindungi dakwah Nabi SAW, sehingga Islam bisa berkembang
pesat. Pada saat itu, mereka (sahabat Anshar) berkumpul di sebuah rumah
kondusif, sehingga hukuman had (tuntutan balas) itu memungkinkan diberlakukan dalam
iklim yang tertib dan aman terkendali, jauh dari perpecahan. Akhirnya upaya Khalifah Ali
pun menuai hasil berkat seorang sahabat genius, al-Qa’qa’ ibn Amr al-Tamimi yang
berhasil melobi Aisyah dan kelompoknya untuk berdamai dan membuat kesepakatan atas
rencana Sang Khalifah. Demikianlah, upaya rekonsiliasi di atas berhasil mendamaikan
kedua kelompok dan Aisyah beserta Thalhah dan Zubair menyadari kekeliruannya. Kirakira dua hari semenjak perdamaian tersebut, para pembunuh Utsman yang merasa
terancam dengan perdamaian kelompok Ali dan Aisyah berupaya menyulut kembali api
peperangan, terutama ditujukan pada sejumlah pendukung Aisyah yang tidak senang atas
perdamaian tersebut. Hingga akhirnya muncullah kekacauan antara kedua kelompok
tersebut di mana masing-masing pihak menuduh telah mengkhianati janji yang telah
mereka sepakati. Perang pun tak dapat dielakkan (sejarah menyebutnya sebagai perang
jamal) dengan sepuluh ribu korban jiwa dari kedua belah pihak, termasuk Thalhah dan
Zubair gugur sebagai syuhada’ di tangan para pengendali kekacauan dari kedua belah
pihak. Aisyah sendiri beruntung masih selamat, sehingga ketika ditawan pasukan Ali, ia
menyadari kesalahannya dan Khalifah Ali membebaskannya.
Perbedaan pendapat juga terjadi antara Khalifah Ali dengan Muawiyah (Gubernur
Damaskus, Syam). Sikap Muawiyah yang tidak berkenan dengan permintaan Sang
Khalifah akhirnya menyebabkan terjadinya peperangan yang dalam sejarah dikenal
dengan nama perang Shiffin. Pada saat pasukan Ali hampir menuai kemenangan, pasukan
Muawiyah yang dipimpin Amr ibn Ash mengangkat mushaf pada ujung tombak sebagai
isyarat meminta perundingan sebagaimana ajaran menurut al-Qur’an. Dengan adanya
perundingan ini, sejumlah kalangan yang awalnya mendukung Khalifah Ali akhirnya
memilih keluar dari kelompok Khalifah. Mereka berpandangan kelompok Muawiyah
yang diwakili Amr ibn Ash sebenarnya memiliki niat jahat di balik maksud ajakan tahkim
(gencatan senjata) tersebut. Sehingga Khalifah Ali yang menerima perundingan tersebut
dianggap tidak memenuhi perintah Allah SWT untuk menumpas para pembangkang
(kelompok Muawiyah) yang mereka anggap telah kafir, keluar dari ajaran islam. Mereka
ini yang keluar dari kelompok Ali kemudian dinamai sebagai kelompok Khawarij. Pada
perkembangan selanjutnya, kelompok Khawarij semakin kuat dan solid ketika proses
perundingan menuai kegagalan dan berakhir tanpa membawa kesuksesan. Khalifah Ali
memutuskan untuk menumpas kelompok Khawarij ini, meskipun beliau masih membuka
pintu bagi orang-orang Khawarij yang mau bertobat. Pada episode akhir peperangan
dengan kaum Khawarij ini, dengan dalih untuk membebaskan umat Islam dari tiga orang
yang mereka tuduh kafir (Ali, Muawiyyah, dan Amr ibn Ash), mereka (kelompok
Khawarij) melakukan konspirasi untuk membunuh ketiga orang di atas. Akan tetapi
rencana mereka hanya berhasil membunuh Khalifah Ali melalui tangan Abdurrahman ibn
Muljam al-Muradi.
6
‘Saqifah Bani Sa’adah’ (suatu keluarga terhormat dan terkemuka dari Suku
Khajraj) untuk bermusyawarah. Mereka mengajukan seorang sahabat Anshar
bernama Sa’ad ibn Ubadah untuk menggantikan Nabi SAW sebagai pemimpin
umat Islam. 5
Sementara di pihak lain, kaum Muhajirin (kaum muslimin suku
Quraisy) – setelah mendengar kabar berkumpulnya kaum Anshar di atas –
berpandangan bahwa khalifah harus dari kalangan mereka dengan alasan
bahwa mereka lebih dahulu memeluk Islam, lebih dekat dengan Nabi (paling
banyak merasakan susah-duka berjuang bersama Nabi SAW), di samping Nabi
SAW pada kenyataannya berasal dari suku mereka. Kemudian, kaum Muhajirin
memutuskan untuk menemui kaum Anshar yang berkumpul di Saqifah Bani
Sa’adah melalui perwakilan mereka yang terdiri dari tiga orang, yaitu Abu Bakar
ibn Quhafah, Umar ibn Khattab, dan Abu Ubaidah ibn Jarrah. Kemudian,
terjadilah dialog yang diiringi perdebatan antara kedua pihak (kelompok
Anshar dan Muhajirin), hingga akhirnya perdebatan tentang masalah khilafah
ini dapat diatasi dengan tampilnya Abu Bakar, yaitu pada saat beliau berpidato6
untuk mendamaikan kedua belah pihak. Meskipun keputusan mengenai
khilafah sudah disepakati menjadi hak kaum Quraisy, mulanya Abu Bakar
mengajukan Umar ibn Khattab sebagai Khalifah. Namun, Umar merasa
keberatan dengan permintaan beliau. Malahan, Umar meminta Abu Bakar
sendiri yang menjadi khalifah. Selanjutnya, Umar segera membai’at Abu Bakar
dan perbuatannya ini diikuti oleh sahabat yang lain, seperti Abu Ubaidah
(Muhajirin), Basyir ibn Sa’ad (Anshar). Pada akhirnya, semuanya membai’at Abu
Bakar.
Al-Thabari menceritakan dalam Tarikh-nya: Seorang Anshar yang mendukung Sa’ad ibn
Ubadah berkata, “Orang-orang Arab telah tunduk pada beliau (Nabi SAW) adalah karena
pedang-pedang kalian. Allah telah mewafatkan beliau dan beliau ridha terhadap kalian,
dan beliau merasa senang terhadap kalian. Maka raihlah kekuasaan ini. Sesungguhnya
kekuasaan ini untuk kalian, bukan orang lain. Lalu serentak yang lain berkata, “Kamu
tepat dengan pendapat ini dan kamu benar” (Ibn al-Arabi, Gejolak Api Permusuhan
Syi’ah-Khawarij dan Orientalist terhadap Nabi SAW: al-Awashim min al-Qawashim fi
Tahqiqi Muwatifi al-Shahabah ba’da Wafati al-Nabiy, [Penerbit Akbarmedia, 2010], hlm.
8).
6
Ibn al-Arabi menceritakan: Abu Bakar membacakan hadis Nabi SAW (riwayat Imam Ahmad),
“Para pemimpin itu dari Quraisy, sesungguhnya mereka memiliki hak yang harus kalian
tunaikan.” Kemudian, beliau melanjutkan pidatonya, “Aku wasiatkan pada kalian agar
berbuat baik pada kaum Anshar. Yaitu agar kalian menerima dengan baik orang yang
baik dari kalangan mereka dan memaafkan orang yang bersalah dari mereka”. Setelah itu
beliau menuturkan, “Sesungguhnya Allah menamai kami gelar al-shadiqin (orang-orang
yang benar) dan menamai kalian orang-orang al-muflihin (orang-orang yang beruntung).
Allah memerintahkan kalian agar selalu bersama kami di manapun kami berada.”
Kemudian beliau membaca surat at-Taubah ayat 119, “Hai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah SWT, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Dan perkataan-perkataan lain yang benar dan argumen yang kuat. Semua itu membuat
kaum Anshar tersadar dan patuh kepada Abu Bakar dan mereka pun bersedia
membai’atnya (Ibid, hlm. 9).
5
7
Ketika Abu Bakar sedang sakit7, beliau merasa ajalnya telah dekat.
Dalam kondisi demikian, beliau merenung-renung lama tentang siapa yang akan
menjadi penggantinya. Meskipun dalam hatinya Abu Bakar cenderung kepada
Umar, tapi ia ingin tahu bagaimana pendirian para sahabat-sahabat yang lain.
Akhirnya setelah melibatkan perundingan dengan banyak sahabat,
diputuskanlah Umar ibn Khattab sebagai khalifah pengganti Abu Bakar.
Khalifah Umar menjabat selama kurang lebih 10 tahun. Pada akhir masa
kekhalifahannya dalam kondisi sakit payah, ia menetapkan penggantinya
berdasarkan musyawarah8. Akhirnya, musyawarah yang dipimpin oleh
Abdurrahman ibn Auf tersebut menghasilkan kesepakatan Utsman ibn Affan
sebagai khalifah pengganti Umar ibn Khattab. Akan tetapi, pada masa
kekhalifahan Utsman ibn Affan, khususnya pada masa-masa akhir
pemerintahannya, perselisihan masalah khilafah ini muncul kembali (salah
satunya dipelopori oleh Abdullah ibn Saba’ dari Yaman), sehingga memicu
timbulnya perpecahan dan firqah di kalangan umat Islam secara lebih serius.
Kira-kira setelah 6 tahun pertama dari masa kepemimpinan Khalifah Utsman
7
8
Ketika Abu Bakar sedang sakit, merasa ajalnya telah dekat, ia pun merenung-renung lama
tentang siapa yang akan jadi penggantinya. Akhirnya, ia pun memilih Umar. Itu di dalam
hatinya. Akan tetapi, Abu Bakar pun ingin tahu bagaimana pendirian sahabat-sahabatnya.
Dipanggilnya Abdurrahman ibn Auf. Sahabat ini menjawab, “Memang Umar lebih utama
dari siapa pun. Tetapi ia keras.” Kata Abu Bakar, “Itulah yang tepat. Sebab, saya lemah
terhadap seseorang, dan apabila saya keras kepada seseorang, ia malah membela.” Abu
Bakar juga memberi alasan bahwa nanti kalau Umar memimpin, ia akan berubah
karakternya. Kemudian Utsman ibn Affan dihubungi, dan ia menjawab, “Umar adalah
orang yang baik meski ia keras, dan yang pasti tak seorang pun serupa dia.” Abu Bakar
lalu meminta Abdurrahman ibn Auf dan juga Utsman untuk merahasiakan semua
pembicaraan itu. Lalu dihubungilah Tolhah bin Ubaidillah. Kata Tolhah, “Sebaiknya
tanyakan kepada orang-orang.” Pada hari berikutnya, setelah dibantu didudukkan oleh
istrinya, Asma’ binti Umais, dan berada di pelukannya, Abu Bakar bertanya kepada orangorang, “Bagaimana pendapat kalian apabila aku menunjuk Umar sebagai Khalifah
penggantiku? Ia bukan keluargaku dan aku telah berpikir sungguh-sungguh.” Para hadirin
menjawab, “Sami’na wa atha’na”. Dalam al-Maghazy, Abu Abdillah Muhammad alWakidi mengatakan bahwa ia (Abu Bakar) mengundang Umar dan menyampaikan
amanatnya, antara lain: “Jangan engkau mengangkat keluargamu demi memperbudak
umat. Aku sendiri tidak mengangkat keluargaku” (Samsul Munir Amin, Percik Pemikiran
Para Kyai: Pustaka Pesantren, 2009, hlm. 135).
Ibn al-Arabi menjelaskan bahwasanya yang dimaksud yaitu dalam urusan kekhalifahan.
Menjelang Khalifah Umar mati syahid di tangan Abu Lu’luah (seorang majusi), yang telah
menusuknya tatkala Umar beliau sedang menunaikan ibadah shalat subuh bersama kaum
muslimin. Khalifah berkata – setelah mengetahui siapa pembunuhnya, “Segala puji bagi
Allah SWT yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang muslim yang akan
menghujatku di sisi Allah SWT dengan sujud yang ia lakukan.” Dalam musyawarah itu,
Khalifah menetapkan enam orang anggota, yaitu Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib,
Thalhah ibn Ubaidillah, Zubair ibn Awwam, Abdurrahman ibn Auf, dan Sa’ad ibn Abi
Waqqash (Ibn al-Arabi, Gejolak Api Permusuhan Syi’ah-Khawarij dan Orientalist
terhadap Nabi SAW: al-Awashim min al-Qawashim fi Tahqiqi Muwatifi al-Shahabah
ba’da Wafati al-Nabiy, [Penerbit Akbarmedia, 2010], hlm. 20).
8
ini, badai fitnah9 semakin mengguncang dengan hebat dan kuat, yang pada
akhirnya mengantarkan pada terbunuhnya Khalifah Utsman oleh Sudan bin
Hamran setelah dirobohkan terlebih dahulu oleh al-Ghafiki. 10
Kemudian jabatan khilafah berpindah ke tangan Ali ibn Abi Thalib.
Namun, beragam kekacauan yang terjadi pada masa Khalifah Utsman sangat
berpengaruh terhadap pemerintahan Khalifah Ali. Pada masa pemerintahan
Khalifah Ali, terjadi perang besar-besaran antara kelompok Khalifah Ali dengan
kelompok Thalhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari Aisyah. Perang ini
dalam sejarah Islam selanjutnya dikenal dengan sebutan perang Jamal.
Kemudian terjadi perang Shiffin dengan kelompok Muawiyah ibn Abi Sufyan
(Gubernur Syam pada masa khalifah Umar dan Utsman). Ketika pasukan
Muawiyah semakin terdesak sedangkan di pihak lain pasukan Khalifah Ali
hampir mendapatkan kemenangannya, Amr ibn ‘Ash yang ditunjuk Muawiyah
menawarkan gencatan senjata dan perundingan (tahkim). Abu Musa al-Asy’ari
ditunjuk Khalifah Ali untuk menyelesaikan masalah ini melalui perundingan
tersebut. Namun, sebagian kelompok Khalifah Ali tidak dapat menerima
keputusan tersebut dan akhirnya memutuskan keluar dari kelompok sang
Ibnul ‘Arabi (Ibid, hlm. 31) menceritakan terjadinya fitnah atas Khalifah Utsman dan
keluarganya, di antaranya: (a) Dia memukul Ammar hingga robek ususnya, (b) Memukul
Ibnu Mas’ud hingga tulang rusuknya patah, dan bahwa Utsman tidak mau memberi
haknya (dalam penulisan mushaf al-Qur’an), (c) Melakukan bid’ah dengan menghimpun
al-Qur’an dan menulisnya serta membakar mushaf-mushaf yang lain, (d), menentukan
batas wilayah terlarang , (e) Mengusir Abu Dzar ke Rabdzah, (f) Mengusir Abu Darda’
dari Syam, (g) Mengembalikan Al-Hakam setelah Rasulullah SAW mendeportasinya, (h)
Menggugurkan shalat qashar ketika safar (dalam perjalanan), (i) Mengangkat Mu’awiyah
sebagai penguasa, (j) Mengangkat Abdullah ibn Amir ibn Kuraiz sebagai penguasa, (k)
Mengangkat Marwan sebagai penguasa, (l) Mengangkat Walid al-Uqbah sebagai
penguasa. Padahal ia orang fasik dan tidak kompeten menjadi seorang pemimpin, (m)
Memberi Marwan seperlima dari hasil rampasan perang Afrika, (n) Dahulu Umar
memukul dengan tongkat kecil yang dibawa seorang raja. Sedangkan Utsman memukul
dengan tongkat besar, (o) Melampui derajat Rasulullah SAW, padahal Abu Bakar dan
Umar tidak berani melangkahinya, (p) Tidak ikut dalam perang Badar, kalah dalam perang
Uhud, dan tidak dating ke Bai’atur Ridhwan, (q) Tidak menghukum mati Ubaidillah ibn
Umar sebagai balasan atas Hurmuzan (orang yang memberikan pisau kepada Abu Lu’luah
dan mendorongnya untuk memusuhi Umar hingga membunuhnya), (r) Mengirimkan surat
bersama budaknya di atas untanya kepada Ibnu Sarh untuk membunuh orang-orang
tersebut dalam surat itu. Dalam semua tuduhan/fitnah atas Utsman ini, Ibnul ‘Arabi
mengatakan bahwa semua tuduhan itu batil (bohong), baik dari segi sanad (riwayat) atau
matan (teks). Keterangan selengkapnya mengenai bantahan Ibnul ‘Arabi tersebut, bisa
dibaca lebih lanjut pada buku berjudul “Gejolak Api Permusuhan Syi’ah-Khawarij dan
Orientalist terhadap Nabi SAW” yang merupakan terjemahan dari kitabnya “al-Awashim
min al-Qawashim fi Tahqiqi Muwatifi ash-Shahabah ba’da Wafati an-Nabiy”. Adapun
bantahan lain mengenai fitnah atas Khalifah Utsman ini dijelaskan oleh Muhammad Idrus
Ramli dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Sejarah Ahlussunah wal-Jama’ah”
(Surabaya: Penerbit Khalista, 2011, hlm. 26-47).
10
Samsul Munir Amin, Percik Pemikiran Para Kyai, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009),
hlm. 138.
9
9
Khalifah. Mereka inilah yang kemudian dinamakan kelompok Khawarij11.
Kelompok Khawarij (seperti Asy’ari ibn Qais, Mas’ud ibn Fudali al-Tamimi, Zaid
ibn Hushain al-Thai) dengan tegas menolak tunduk di bawah kepemimpinan
Khalifah Ali, sehingga timbullah perselisihan yang diikuti pertempuran antara
kedua belah pihak. Sebagai reaksi dari kelompok Khawarij di atas, maka pada
masa Khalifah Ali muncul juga kelompok pimpinan Abdullah ibn Saba’.
Kelompok ini sangat fanatik terhadap Khalifah Ali dan bahkan berani
mengkultuskan Ali sebagai Tuhan. Mereka yang fanatik dan berlebihan terhadap
Khalifah Ali ini dinamakan kelompok Rafidhah (Syi’ah)12.
Setelah Khalifah Ali ibn Thalib terbunuh, perpecahan di atas
berkembang menjadi dua bentuk, yaitu perpecahan dalam masalah
kepemimpinan (imamah) dan kedua perpecahan dalam akidah.
Perpecahan dalam masalah kepemimpinan yang paling menonjol
dimulai dari pertikaian antara kelompok Khawarij dengan Syi’ah yang masingmasing saling mengklaim diri mereka paling benar. Kemudian di tengah-tengah
konflik yang tidak berkesudahan ini, muncul satu kelompok lagi yang
merasakan kejenuhan sehingga mereka enggan mempersoalkan konflik yang
sedang terjadi. Kelompok baru ini memutuskan untuk tidak memihak kelompok
yang terlibat dalam pertikaian tersebut. Kelompok ini berpandangan
bahwasanya ketika kita tidak dapat menentukan mana pihak yang salah dan
mana yang benar, maka kita harus mengembalikan persoalan itu kepada Allah
11
12
Dalam kitabnya Tabsith al-Aqaid al-Islamiyah, Hasan Ayyub menyatakan bahwa aliran
Khawarij pada awalnya memerankan politik yang radikal. Hanya saja, persoalan politik
ini mengalami dinamika dan berubah menjadi persoalan ideologis. Kelompok Khawarij
berpandangan bahwa seorang khalifah harus dipilih secara bebas oleh kaum muslimin.
Seorang khalifah tidak harus seorang yang berasal dari kalangan suku Quraisy saja.
Khalifah tidak boleh mengundurkan diri atau melakukan atau melakukan tahkim. Mereka
mendefinisikan iman dengan keyakinan yang disertai pengamalan, sehingga keyakinan
tidaklah berguna ketika tidak disertai pengamalan. Oleh karena itu, kelompok Khawarij
mengkafirkan perilaku dosa. Berangkat dari pandangan politik mereka yang radikal ini,
mereka berpandangan bahwa Utsman, Ali, Aisyah, Thalhah, Zubair, Muawiyah dan
pengikut mereka di perang Jamal dan Shiffin adalah kafir. Mereka hanya mengakui
Khalifah Abu Bakar dan Umar (Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah
wal-Jama’ah, [Surabaya: Penerbit Khalista, 2011], hlm. 65).
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menyatakan ciri-ciri kelompok Rafidhah ialah menghujat
Khalifah Abu Bakar dan Umar, termasuk para sahabat yang membela mereka. Sebaliknya,
mereka sangat berlebihan mengagung-agungkan Khalifah Ali dan para kerabatnya dari
Bani Hasyim. Beliau mengutip pandangan Sayid Muhammad bahwa kelompok Rafidhah
yang berlebihan di atas pada hakikatnya sudah kufur dan zindiq (mengingkari Allah dan
Rasulullah). Beliau menyebutkan sebuah hadits riwayat Abdullah ibn Mighfal bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, “Takutlah kalian pada Allah, takutlah kalian pada Allah untuk
mencaci-maki para sahabatku. Janganlah engkau menimpakan kesalahan pada
mereka…..Barang siapa menyakiti mereka, maka sungguh ia juga menyakitiku. Barang
siapa menyakitiku maka sungguh ia menyakiti Allah. Barang siapa menyakiti Allah maka
Allah akan mendatangkan siksa padanya” (K.H. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-Sunnah
wa al-Jama’ah: fi Hadits al Mawta wa Asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa
al-Bid’ah, [Jombang: Maktabah Turats al-Islami Tebuireng, 1418 H], hlm.10-11).
10
SWT. Dengan pandangan ini, kelompok tersebut akhirnya dinamakan kelompok
Murji’ah (kelompok yang mengembalikan persoalan kepada Allah SWT).
Seiring berjalannya waktu, kelompok Murji’ah kemudian
mengembangkan pandangan mereka hingga memasuki soal-soal keagamaan,
seperti mendefinisikan iman dengan mengetahui Allah SWT dan rasul-Nya.
Kajian mereka kemudian semakin ekstrem dengan berpandangan bahwa iman
itu hanyalah keyakinan saja, sedangkan amaliah tidak memiliki peran sama
sekali dalam iman. Mereka mengeluarkan pernyataan yang sangat populer “la
tadhurru ma’a al-iman ma’shiyatun kama la tanfa’u ma’a al-kufri tha’atun”
(kemaksiatan tidak akan membahayakan seseorang selama ia masih beriman
sebagaimana amal baik tidak akan bermanfaat selama dia masih kafir). Aliran
Murji’ah ini dalam perjalanannya mendapatkan perlindungan dari para
penguasa Bani Umayyah dan Abbasiyah karena sikap pengikutnya yang netral
(tidak anti dan tidak pro penguasa) dianggap menguntungkan pihak penguasa.
Dengan munculnya kelompok Murji’ah di atas, maka semakin nyatalah
perpecahan dalam masalah akidah. Terbukti setelah itu banyak aliran-aliran
baru mulai bermunculan. Aliran-aliran tersebut antara lain seperti: Jahmiyah13
yang dipelopori oleh Jahm ibn Shafwan dan Dhirariyah14 yang dipimpin oleh
13
14
Jahmiyah merupakan nama madzhab teologi (kalam) Islam yang dinisbatkan kepada nama
pendirinya, Jahm ibn Shafwan (124 H). Al-Syahrastani memasukkan aliran ini ke dalam
aliran Jabariyah (Jabariah: secara bahasa berarti paksaan/terpaksa). Aliran ini (Jahmiyah)
tersebar di daerah Tirmiz, dan pendirinya (Jahm) mati dibunuh Muslim ibn Ahwas alMazini di akhir masa Khalifah Malik ibn Marwan (Bani Umayyah). Beberapa inti ajaran
Jahmiyah antara lain sebagai berikut: a) Makhluk tidak boleh memiliki sifat yang sama
dengan sifat Allah. Apabila makhluk bersifat sama dengan Khalik (Allah), maka akan
terjadi tasybih (penyerupaan hamba kepada Khalik) dan ini adalah mustahil. Secara
khusus, aliran ini menolak keadaan Allah Maha Hidup dan Maha Mengetahui, namun
mengakui keadaan Allah Maha Kuasa. Oleh karena itu, Allah Yang Maha Kuasa itulah
yang berbuat dan menciptakan, sehingga semua perbuatan makhluk itu hanya majbur
(terpaksa/di luar kemauan dan kemampuannya). Semuanya sudah digariskan secara rinci
oleh Allah SWT sejak zaman azali. Makhluk tinggal menerima apa adanya di dalam
pengendalian Allah; b) Manusia akan kekal, baik dalam surga maupun neraka berdasarkan
takwil mereka pada Q.S. Hud: 108; c) Siapa yang sudah memiliki pengetahuan dan
ma’rifah (pengenalan) kepada Allah kemudian ia mengingkariNya dengan lisannya, maka
ia tidak dapat dikatakan kafir. Untuk mendukung pendapat di atas, aliran ini
mengungkapkan bahwa iman tidak terdiri dari tashdiq (pembenaran atas keesaan Allah)
dan perbuatan. Selain itu, dikatakan juga bahwa iman bentuknya sama, baik iman para
nabi maupun iman umatnya (iman tidak ada tingkatan-tingkatannya) (Muhammad ibn
‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-Aliran Teologi dalam Sejarah
Umat Manusia, [Surabaya: PT. Bina Ilmu], hlm. 71).
Dhirariyah merupakan nama madzhab teologi Islam yang dinisbatkan kepada nama
pendirinya, Dhirar ibn ‘Amr dan Hafshul al-Fard. al-Syahrastani memasukkan aliran ini
ke dalam aliran Jabariyah karena aliran ini juga memandang bahwasanya perbuatan
manusia sudah ditentukan Allah (manusia tidak berkuasa apa-apa atas perbuatan yang ia
lakukan). Beberapa ajaran aliran ini antara lain sebagai berikut: a) Allah memiliki sifat, di
antaranya yaitu Maha Mengetahui, Maha Kuasa. Adapun Zat Allah tidak diketahui
hakikatnya kecuali Allah sendiri yang mengetahui; b) Manusia memiliki indera keenam
11
Dhirar ibn Amr al-Kufi (keduanya termasuk aliran Jabariyah), Qadariyah15 di
bawah pimpinan Ma’bad al-Juhani, Ghailan al-Dimasyqi, dan Ja’ad ibn Dirham,
Mu’tazilah16 yang dipelopori oleh Washil ibn Atha’ al-Ghazzal, Najjariyah17 di
yang akan digunakannya untuk melihat Allah pada hari pembalasan segala amal kebajikan
di dalam surga; c) Perbuatan manusia adalah ciptaan Allah pada hakikatnya, namun
manusia yang mempergunakannya, sehingga memungkinkan satu perbuatan dari dua
pelaku (perbuatan Allah = hakiki, perbuatan manusia = majazi); d) Sumber ajaran Islam
sesudah masa Rasulullah SAW hanya ijma’ dan bahwasanya qiraat Ibn Mas’ud dan Ubay
ibn Ka’ab harus ditolak karena tidak pernah diturunkan Allah; e) Sebelum wahyu
diturunkan Allah melalui rasulNya, akal manusia tidak wajib dalam ketentuan syara’
(agama); f) Dalam masalah imamah (kepemimpinan), boleh mengangkat seorang
pemimpin dari suku selain Quraisy, namun apabila ada keturunan Rasulullah yang lebih
pantas, maka diutamakan keturunan Rasulullah dengan alasan bahwa jumlah keturunan itu
sedikit (Ibid, hlm. 74-76).
15
Secara harfiah, Qadariyah berarti kuasa. Ibn al-Ibri sebagaimana dikutip Hitti menyatakan
bahwa Qadariyah merupakan madzhab filsafat Islam paling awal, dan besarnya pengaruh
pemikiran mereka bisa disimpulkan dari kenyataan bahwa dua Khalifah Umayyah
(Muawiyah II dan Yazid III) merupakan pengikut Qadariyah (History of The Arabs:
Penerbit PT Serambi Ilmu Semesta, 2006, hlm. 306).
Ajaran Qadariyah mengenai perbuatan bebas manusia di atas bermula dari penafsiran firman
Allah SWT (Q.S. al-Ra’du: 11) yang artinya, “Sesungguhnya Allah SWT tidak merubah
keadaan apa saja (yang ada) pada suatu kaum hingga kaum itu sendiri yang merubahnya.
Maka tatkala Allah SWT menghendaki pada kaum itu bencana/petaka, maka tak ada
(siapapun) yang dapat menolaknya. Dan tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Dengan ayat ini, aliran Qadariyah mengajarkan bahwa Allah tidak merubah keadaan suatu
kaum (seseorang) dari yang buruk (miskin, bodoh, lemah) hingga kaum itu mau berusaha
(merubah). Dengan demikian, aliran ini sebenarnya mencoba menawarkan sebuah
pemikiran bahwasanya masalah miskin, bodoh, lemah secara teknis diserahkan kepada
manusia itu sendiri (tidak ada campur tangan Allah). Lebih jauh aliran ini berpendapat
bahwa semua perbuatan manusia adalah karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak
Allah. Manusia dengan kemampuan dan kemauannya dapat berbuat baik dan buruk tanpa
ada kekuatan dan kekuasaan lain yang memaksanya.
16
Mu’tazilah adalah sebuah aliran teologi Islam yang muncul di Bashrah pada abad ke2Hijriyah/ ke-8 Masehi. Nama Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang secara harfiah
berarti memisahkan diri, yaitu keluarnya seorang bernama Washil ibn Atha’ dari majlis
pengajian gurunya Hasan al-Bashri. Adapun nama lain yang disebutkan untuk aliran ini
adalah Mu’tathilah (berasal dari kata atthala = mengosongkan) karena golongan ini tidak
mengakui sifat-sifat Allah. Aliran Mu’tazilah mengalami masa kejayaannya pada masa
Dinasti Abbasiyah, terutama pada masa Khalifah al-Ma’mun (813-833 M) (Hitti, 2006:
307). Aliran ini mengajarkan tentang kebebasan berfikir dan kebebasan berkehendak.
Selain itu, aliran ini juga menolak terhadap kesatuan antara Allah dan sifat-sifatNya
(seperti Berkuasa, Bijaksana, dan Maha Hidup) dengan argumen bahwa konsep semacam
itu akan merusak keesaan Allah. Oleh karena itu, julukan yang sangat disukai kaum
Mu’tazilah adalah Ahl al-Adl wa at-Tauhid (pendukung keadilan dan kekuasaan) (Hitti,
2006: 307). Beberapa ajaran Mu’tazilah ini antara lain, yaitu: a) Menolak sifat-sifat Allah
seperti Ilmu, Qudrat, Iradat, dan Hayat. Hal ini dikarenakan apabila Allah bersifat, dan
sifat itu baru (huduts), maka Allah bukan Dzat yang Qadim (tidak berpermulaan),
sedangkan apabila sifat itu Qadim, maka ada sesuatu yang menyamai Allah. Begitu juga
al-Qur’an itu apabila bukan makhluk tapi qadim, maka ada sesuatu yang menyamai Allah.
Prinsip yang demikian oleh kaum Mu’tazilah dinamakan prinsip al-Tauhid (Allah Maha
12
17
Esa dan tidak bersifat). Menurut al-Syahrastani (hlm. 40), pendapat seperti ini merupakan
hasil pengaruh dari pemikiran-pemikiran filsafat (Madzhab Elea, Permeneides: catatan
penulis). Agaknya, kaum Mu’tazilah menjumpai dua kesimpulan tentang sifat yang samasama rancu/absurd, sehingga mereka memilih pertimbangan akal (rasio), yaitu sifat-sifat
yang telah disebutkan itu tidak lain adalah Dzat Allah sendiri. Penyebutan sifat hanyalah
ungkapan bahasa (‘itibariah) semata yang tidak berimplikasi pada dualitas sifat-dzat; b)
Dalam hal takdir, kaum Mu’tazilah sependapat dengan Ma’bad al-Juhani, Ghailan alDimasyqi. Menurut Mu’tazilah, Allah adalah Hakim yang adil. Karena keadilan-Nya,
Allah memberikan kekuasaan kepada manusia untuk menentukan baik dan buruk,
sehingga manusia bisa mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apabila tidak demikian –
sedangkan Allah memberikan taklif (beban aturan syari’ah) kepada manusia, maka Allah
tidak adil. Bagi mereka, siapa yang menolak pendapat ini sama artinya menolak sesuatu
yang diterima menurut akal yang definitif (prinsip al-adl/keadilan); c) al-Manzilah baina
al-Manzilatain, artinya adanya tempat di antara dua tempat surga dan neraka. Tempat ini
diperuntukkan bagi seorang Mukmin yang berbuat dosa besar dan belum bertaubat
sebelum mati, serta anak-anak kecil yang belum pernah berbuat kebaikan. Kaitannya
dengan masalah ini, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Iman terdiri dari unsur-unsur
kebaikan. Apabila semuanya lengkap dinamakan seorang Mukmin yang terpuji,
sedangkan orang munafik yang unsur imannya kurang, maka ia bukanlah mukmin yang
terpuji tapi juga tidak dapat dikatakan orang yang celaka dan kafir; d) Tentang orang yang
terlibat dalam peperangan Jamal dan Shiffin, kaum Mu’tazilah berpendapat salah satu
kelompok memang bersalah. Misalnya, kasus saling mengutuk (li’an) antara Khalifah Ali,
Zubair, dan Thalhah maka salah satu kelompok – entah kelompok siapa – jelas berbuat
fasik. Karena tidak diketahui dengan jelas siapa yang bersalah, maka minimal hukuman
dikenakan kepada kedua kelompok.
Sebenarnya, pendiri aliran ini al Husain ibn Muhammad an-Najjar (230 H) termasuk tokoh
Mu’tazilah yang banyak menggunakan rasio. Hanya saja al-Syahrastani memasukkan
kelompok ini ke dalam aliran Jabariyah karena ajarannya mengenai tawallud (perbuatan
tidak langsung/tidak mempunyai pelaku) pada perbuatan makhluk. Beberapa ajaran
Najariyah yaitu: a) Allah Maha Berkehendak dengan dzat-Nya, juga Allah mengetahui
dengan dzat-Nya. Karena itu dapat disimpulkan berlaku taalluq (keterkaitan) secara
menyeluruh. Sehingga dikatakan Allah Maha Berkehendak berarti Allah tidak dipaksa dan
tidak terpaksa dan Allah menciptakan semua perbuatan makhluk, yang baik dan yang
buruk. Dalam hal kasab dan istitha’ah (usaha dan kemampuan manusia) Najariyah
sependapat dengan al-Asy’ari, yaitu bahwasanya manusia sebatas merencanakan; b)
Mengenai ru’yah (melihat Allah di akhirat), Najariyah menolak kemungkinan ru’yah ini
kecuali jika Allah memindahkan pengenalan (makrifat) hati ke kepala; c) Kalam Allah
adalah makhluk apabila ditulis menjadi huruf, dan lebih aneh lagi Kalam Allah tersebut
bukan dzat dan bukan pula sifat sehingga setiap yang bukan dzat dan bukan sifat Allah
adalah makhluk. Meskipun Najariyah mengatakan Kalam Allah sebagai makhluk, tapi
yang mengatakan al-Qur’an makhluk adalah kafir; d) Sebelum diturunkan wahyu, maka
wajib mengenal Allah dengan akal sehingga bagi yang tidak menggunakan akalnya maka
akan dikenai siksaNya; e) Iman hanya terdiri dari tashdiq (pembenaran dengan hati),
karena itu seorang mukmin yang meninggal setelah meninggal tanpa sempat bertobat,
maka ia dihukum dalam neraka. Namun, setelah hukuman tersebut dituntaskan secara adil,
ia akan dikeluarkan juga (tidak seperti orang kafir yang kekal dalam neraka). Pada intinya,
aliran ini termasuk ke dalam Jabariyah karena pendapatnya yang menyatakan bahwa Allah
berkehendak terhadap segala yang diketahui seperti baik dan buruk, iman dan kafir, taat
dan maksiyat. Berbeda dengan Mu’tazilah yang dengan tegas menolak pandangan
demikian (Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-
13
bawah pimpinan Husain ibn Muhammad al-Najjar, Karramiyah18 di bawah
pimpinan Muhammad ibn Karram al-Sijistani, Bayaniyah19 di bawah pimpinan
Bayyan ibn Sam’an al-Tamimi, Mughiriyah20 di bawah pimpinan Mughirah ibn
aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, [Surabaya: PT. Bina Ilmu], hlm. 71).
Al-Syahrastani (hlm. 97) menyebutkan bahwa aliran Karamiyah ini pada dasarnya termasuk
ke dalam kelompok Shifatiyah karena mereka mengakui bahwa Allah memiliki sifat,
namun mereka terlalu berlebihan yang akhirnya menyamakan Allah dengan makhluk
(tasybih) dan mengakui Allah mempunyai anggota tubuh seperti manusia (tajsim).
Berikut ajaran-ajaran Karamiyah sebagaimana dikemukakan oleh pendirinya Abu
Abdullah Muhammad ibn Karam, yaitu: a) Allah bersemayam di atas Arasy, Dia berada di
atas semua benda (jauhar). Allah bersentuhan dengan Arasy dari arah atas, Dia dapat
berpindah-pindah, bergerak, turun; b) Allah memiliki tangan, muka, dan sifat-sifat lain
yang ada pada dzat-Nya, namun menurut aliran ini tangan Allah tidak sama dengan tangan
manusia, muka Allah tidak sama dengan makhluk-Nya. Dalam hal ini, Ibn Haitsam
sebagaimana dikutip al-Syahrastani (hlm. 100) menyatakan bahwa tindakan tasybih
mereka kepada Allah seperti mempunyai bentuk rupa (wajah), rongga, lari, dapat dijabat
dengan tangan, dapat dipeluk dan sebagainya tidak sama dengan apa yang diyakini
kelompok Qaramithah. Karamiyah tidak membenarkan penyerupaan semua itu karena
tidak sesuai dengan arti dan makna anggota tubuh seperti Arasy sebagai tempat duduk dan
Allah dating ke suatu tempat. Karamiyah hanya berpendapat sesuai dengan yang
disebutkan al-Qur’an tanpa menentukan cara dan kesamaannya dengan makhluk. Mereka
dengan tegas menyatakan apa yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits tidak
diakuinya sebagaimana tindakan mempersamakan dan personifikasi; c) Kebaikan dan
keburukan dari Allah. Allah pula yang menimpakan kebaikan dan keburukan kepada
makhluk-Nya, selain itu Allah pula yang menciptakan kekuatan yang terbatas pada
makhluk (kasab). Terbatas maksudnya ialah hanya untuk mencapai hikmah ciptaan-Nya.
Dengan adanya kasab ini, makhluk dibebani (taklif) yang akan mendatangkan pahala dan
dosa; d) Akal dapat menentukan baik dan buruk, hanya saja Karamiyah menolak pendapat
Mu’tazilah bahwa wajib bagi Allah mewujudkan kebaikan dan yang lebih baik; e) Sahnya
iman hanya dengan tuturan lisan, sementara tashdiq hati dan perbuatan bukanlah rukun
iman. Seorang mukmin yang benar ialah yang melaksanakan hukum lahiriah dan taklif
serta hukum-hukum akhirat dan ketentuannya; f) Imamah ditentukan berdasarkan
kesepakatan umat, bukan ditunjuk dan bukan pula ditetapkan nash. Lebih jauh lagi
Karamiyah memperbolehkan tindakan membaiat dua orang imam pada dua daerah yang
berbeda, seperti mengakui Muawiyah sebagai pemimpin yang sah di Syam dengan adanya
kesepakatan sahabat di sana, dan pengakuan terhadap Khalifah Ali di Madinah dan Irak
dengan adanya kesepakatan para sahabatnya (Ibid).
19
Kelompok Bayaniyah termasuk kelompok Syi’ah ekstrem yang mengakui Ali ibn Abi Thalib
adalah Tuhan (al-Syahrastani: 129). Menurut aliran ini, Tuhan telah masuk ke dalam tubuh
Ali dan bersatu dengan Ali, karenanya Ali mengetahui hal-hal yang ghaib. Pendirinya,
Bayan ibn Sam’an al-Tamimi mengaku bahwa dirinya adalah bagian dari roh Tuhan yang
masuk ke dalam tubuhnya melalui inkarnasi (tanasukh), sehingga ia berhak menjadi imam
dan khalifah. Selanjutnya, ia (Bayan) mengatakan bahwa tubuh Adam mengandung ruh
Tuhan, maka Allah memerintahkan agar para malaikat bersujud kepada Adam. Selain itu,
ia juga mengatakan Tuhan yang disembah itu berbentuk manusia yang mempunyai
anggota tubuh, semua bagian tubuh Tuhan akan binasa kecuali wajah-Nya. Hal ini
didasarkan atas takwil mereka pada firman Allah (Q.S. al-Qashash: 88) yang artinya,
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya” (Ibid).
20
Kelompok Mughiriyah termasuk aliran syi’ah al-Ghaliyah (ekstrem). Pendirinya, Mughirah
ibn Sa’id al-Jilli mengatakan imamah sesudah Muhammad ibn Ali ibn Husain adalah
18
14
Sa’id al-Jilli, Manshuriyah21 di bawah pimpinan Abu Manshur al-Ijli, aliran-aliran
lain seperti Ibahiyun22, Tanasukhiyah23, Hululiyah24 dan Ittihadiyah25, dan masih
Muhammad ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn al-Hasan dan dia berada di luar kota Madinah dan
haidup sampai sekarang. Selanjutnya, ia (Mughirah) mengaku dirinya menjadi Nabi yang
menghalalkan yang haram, melebihkan Ali dariyang lain, dan menyamakan Allah dengan
makhluk-Nya. Beberapa ajaran yang disampaikan Mughirah antara lain sebagai berikut: a)
Menurutnya, Allah mempunyai bentuk, terdiri dari tubuh dan mempunyai anggota tubuh seperti
huruf alphabet. Bentuknya seperti seorang lelaki yang terdiri dari cahaya, di atas kepalanya
mahkota yang terdiri dari cahaya, mempunyai hati yang keluar darinya hikmah; b) Ketika Allah
berkehendak menciptakan alam ini, Ia menyebut Asmau al-A’dham (nama-nama yang luhur),
maka beterbangan dan berjatuhanlah ke atas kepalanya mahkota. Mughirah menafsirkan firman
Allah (Q.S. al-A’la: 1-2) yang artinya, “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Paling Tinggi. Yang
menciptakan dan menyempurnakan (penciptaan-Nya).”; c) Allah menciptakan makhluknya dari
air keringat-Nya. Air keringat itu berkumpul menjadi dua lautan, yang airnya keruh asin dan
yang airnya tawar jernih. Orang mukmin diciptakan dari air laut yang tawar jernih, sedangkan
orang kafir diciptakan dari air laut yang keruh asin; d) Bayang-bayang yang diciptakan Allah
pertama kali ialah bayang-bayang Muhammad kemudian bayang-bayang Ali, baru setelah itu
diciptakanlah bayang-bayang seluruh makhluk. Karenanya, setelah Muhammad wafat, Ali yang
paling pantas dan berhak untuk menggantikannya. Mughirah tidak menaruh respek pada
Khalifah Abu Bakar dan Umar karena dianggapnya sebagai orang dzalim yang merebut
khilafah dari tangan Ali. Untuk mendukung pendapatnya demikian, ia menafsirkan firman
Allah (Q.S. al-Ahzab: 72) yang artinya, “…dan dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat dzalim lagi amat bodoh.” Menurutnya lagi, firman Allah (Q.S.
al-Hasyr: 16) diturunkan berkaitan dengan perbuatan Umar, di mana ayat itu berbunyi,
“(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan, ketika ia berkata kepada
manusia, ‘kafirlah kamu’. Maka tatkala manusia telah kafir ia berkata, sesungguhnya aku
berlepas diri dari kamu….”; e) Mengakui imamah Abu Ja’far ibn Ali, dan bahkan memujimujinya sampai-sampai mengatakannya sebagai Tuhan. Setelah mati, Abu Ja’far akan hidup
kembali. Jibril dan Mikail akan membaiatnya di Multazam. Menurutnya juga, Abu Ja’far dapat
menghidupkan orang mati (Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa alNihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, [Surabaya: PT. Bina Ilmu]).
21
Awalnya, Manshuriyah yang berasal dari ajaran Abu Manshur al-Ajali menyatakan
kesetiaannya pada Abu Ja’far Muhammad ibn Ali al-Baqir, tapi hal itu ditolak oleh alBaqir. Ketika al-Baqir meninggal, imamah berpindah kepada Abu Manshur dengan
dukungan dari Bani Kindah di Kufah. Ajaran ini bertahan hingga pada akhirnya Abu
Manshur ditangkap dan dijatuhi hukuman mati pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam
ibn Abd al-Malik. Beberapa ajaran Manshuriyah antara lain sebagai berikut: a)
Pendapatnya bahwa Ali ibn Abi Thalib adalah al-Kusuf (gerhana) yang jatuh dari langit.
Dikatakan ‘gerhana’ karena pada saat menjadi imam, Ali dimi’rajkan ke langit dan melihat
Tuhan. Tuhan mengusap kepalanya dengan tangan-Nya seraya berfirman, “Anakku,
turunlah dan sampaikanlah dari-Ku. Kemudian, diturunkanlah ke bumi karena itu
dinamakan gerhana jatuh dari langit; b) Kerasulan tidak pernah terputus. Surga adalah
nama orang (imam) yang memerintahkan untuk menaatinya, sedangkan neraka adalah
nama bagi orang yang memerintahkan untuk memusuhi imam; c) Pertama kali yang
diciptakan Allah adalah Isa ibn Maryam dan sesudah itu diciptakanlah Ali ibn Abi Thalib
(Ibid).
22
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari menjelaskan Ibahiyun sebagai kelompok yang berpendapat
bahwa ketika seorang hamba mencapai puncak kecintaan, sementara hatinya suci dari
unsur kelalaian dan dipenuhi keimanan, maka telah gugur darinya segala perintah dan
larangan agama. Karenanya Allah tidak memasukkannya ke dalam neraka. Sebagian dari
15
banyak aliran-aliran lain yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa akar persoalan yang
melatarbelakangi timbulnya firqah-firqah di kalangan umat Islam adalah
23
24
kelompok ini mengatakan, “telah gugur segala kewajiban ibadah lahiriah dan sebagai
gantinya yaitu ibadah berupa tafakkur dan memperbaiki akhlak batin”. Sayid Muhammad
dalam Syarah Kitab Ihya’ menjelaskan ajaran Ibahiyun ini sesat dan dipenuhi unsur-unsur
zindiq (kekufuran) karena mengabaikan ilmu syari’ah (K.H. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl
al-sunnah wa al-Jama’ah: fi hadits al Mawta wa asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum alSunnah wa al-Bid’ah, [Jombang: Maktabah Turats al-Islami Tebuireng, 1418 H], hlm.1011), hlm. 11).
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari (ibid, hlm. 12) menyatakan ciri utama aliran Tanasukhiyah
yaitu pendapatnya mengenai reinkarnasi ruh dan perpindahannya dari satu badan ke badan
lain (tanasukh). Al-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal (hlm. 234) menyebutkan
pendapat aliran ini, yaitu bahwasanya apa yang dialami semasa hidup ini seperti rasa
tenang, capek, penat adalah berasal dari tubuh sebelumnya, karena tubuh yang baru
menjadi bagian dari tubuh dahulu. Apa yang terjadi dalam diri manusia mungkin
merupakan balasan atas perbuatannya sendiri atau perbuatan orang lain, surga dan neraka
berada di tubuh ini. Dengan demikian dapat disimpulkan, yang dimaksud tanasukh adalah
kelahiran berulang kali atau periodisasi dan proses yang terus-menerus. Apa yang ada
pada suatu periode akan lahir kembali pada periode berikutnya. Siksa (ta’dzib) dan
ganjaran (tan’im) terjadi di dunia ini menurut kadar kebersihan dan kekeruhan dosa-dosa
yang pernah dilakukan. Pendapat tanasukh ini oleh Syihab al-Khafaji sebagaimana dikutip
Hasyim Asy’ari (hlm. 12) dikatakan telah menyimpang dari syari’ah karena telah
mendustakan sendi-sendi keimanan pada Allah, rasul, dan kitab-kitab-Nya.
Dalam masalah Hululiyah dan Ittihadiyah ini, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari (hlm. 12)
menunjuk secara khusus pada kelompok tasawuf yang diliputi kebodohan dari
pengetahuan syari’ah. Kelompok ini mengatakan bahwa Allah adalah wujud al-muthlaq,
sedangkan makhluk sama sekali tidak memiliki sifat wujud ini. Selanjutnya, apabila
dikatakan ‘manusia maujud (ada)’ maka yang dimaksud ialah sifat wujud itu berta’alluq
(berkaitan) dengan wujud al-muthlaq (Allah SWT). Dalam hal ini, Syekh al-‘Allamah
Amir sebagaimana dikutip Hasyim Asy’ari menghukuminya sebagai perbuatan kufur
sharih/nyata (karena ungkapan ini mengandung makna penuhanan pada diri manusia:
catatan penulis). Selain kedua aliran di atas, Hadratus Syekh menyebutkan aliran lain yang
membahayakan akidah seorang mukmin, yaitu aliran wahdatul wujud dengan pernyataan
populernya “Ma fi al-Jubbah illa Allah” (Di balik jubah ini tiada maujud apapun
melainkan wujud Allah). Pada dasarnya, masalah yang terdapat pada ajaran hulul, ittihad
maupun wahdatul wujud ialah pandanganya tentang kesatuan manusia dengan Allah yang
dianggap melampaui batas syara’. Dalam hal ini, Hadratus Syekh mengutip pandangan
kitab Lawaqih al-Anwar bahwa irfan (makrifat) yang sempurna terjadi manakala terjadi
syuhud (persaksian hati) seorang hamba bersama Rabb-nya, sehingga apa yang dikatakan
hulul, ittihad, dan wahdah di atas berlaku dalam batasan kesatuan antara syuhud
(kesaksian mata hati) hamba bersama Rabb-nya, bukan wujudnya. Jika dalam suatu
kesempatan dijumpai seorang arif (ahli makrifat) mengingkari adanya syuhud
sebagaimana dijelaskan di atas, maka menurut kaidah yang benar ialah ia tidak bisa
dikatakan sebagai seorang arif. Sebenarnya, orang yang menafikan syuhud itu berada
dalam kondisi kasuistik (shahibu al-hal), yang berarti dalam kondisi mabuk ilahi/jadzab
(keluar dari batas kesadaran manusiawi), dan menurut kaidahnya orang yang jadzab tidak
dapat disebut ahlu tahqiq, yaitu segala ucapan dan perilakunya tidak dapat dijadikan
sebagai dalil/pijakan syara’ (ibid, hlm. 12).
25
16
masalah Khilafah atau masalah politik. Dari akar permasalahan ini, kemudian
timbul usaha membentengi ajaran dengan rumusan-rumusan hujjah
(argumentasi). Maka lahirlah firqah-firqah yang selanjutnya ditopang madzhabmadzhab, baik di bidang akidah, fikih, maupun akhlak/tasawuf. Adapun salah
satu firqah yang belakangan muncul ialah aliran Wahabi26 yang dirintis oleh
Muhammad ibn Abdul Wahhab al-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M). Aliran
Wahabi ini mengadopsi ajaran-ajaran Ibn Taimiyah al-Harrani (661-728
H/1263-1328 M) yang banyak di antaranya keluar dari mainstream, seperti
larangan ziarah ke makam Nabi SAW, larangan tawassul dengan para nabi dan
wali, dan lain-lain. Di samping itu, aliran ini juga mengadopsi radikalisme aliran
Khawarij pada masa awal Islam.
Hakikat dan Pengertian Ahlussunah wal-Jama’ah
Pada hakikatnya, Ahlussunnah wal-Jama’ah adalah ajaran Islam yang
murni sebagaimana diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama
para sahabatnya. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda: “Akan terpecah
umatku menjadi 73 golongan, yang selamat dari padanya hanya satu dan yang
lainnya binasa. Nabi SAW ditanya: siapa yang selamat? Nabi SAW menjawab:
Ahlussunnah wal-Jama’ah. Nabi SAW ditanya (lagi): apa itu Ahlussunnah walJama’ah? Nabi SAW menjawab: apa yang aku berada di atasnya bersama para
sahabatku”.27 Hadis inilah yang kemudian dijadikan pegangan banyak kalangan
26
Ajaran-ajaran Wahhabi dapat disimpulkan ke dalam dua bidang, bidang tauhid dan bidang
ibadah. Dalam bidang tauhid, Wahhabiyah berpendirian sebagai berikut: a) Penyembahan
dan permohonan kepada selain Allah adalah salah dan barang siapa yang berbuat demikian
wajib dibunuh; b) Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan
orang-orang saleh termasuk golongan musyrikin; c) Termasuk kufur adalah memberikan
suatu ilmu yang tidak didasarkan atas al-Qur’an dan as-Sunnah, yaitu ilmu yang
bersumber kepada akal pikiran semata; d) Termasuk kufur adalah mengingkari qadar
dalam semua perbuatan dan penafsiran al-Qur’an dengan jalan takwil; e) Memberikan
tambahan kata ‘sayidina’ kepada nabi pada waktu salat dihukumi syirik; f) Larangan
memakai tasbih sebagai alat penghitung pada saat melakukan dzikir; g) Sumber syari’ah
Islam dalam hal halal-haram hanyalah al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga perkataan para
ulama tentang halal-haram selama tidak didasarkan atas kedua sumber itu tidak dapat
dijadikan pegangan; h) pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun dapat melakukannya.
Adapun masalah ibadah yang dipandang bid’ah dan harus diberantas oleh aliran Wahhabi
antara lain sebagai berikut: a) wanita ikut serta mengiringi ziarah; b) Mengadakan
perkumpulan dan pertemuan untuk berdzikir; c) Berdo’a dengan tawassul; d) Membangun
kubah di atas kuburan; e) Berziarah ke kubur/makam; f) Kebiasaan sehari-hari, seperti
merokok, berfoto, minum kopi, memakai cincin, dan lain-lain (Tim Penyusun Ma’arif,
Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an, [Surabaya: PW. LP. Ma’arif NU Jatim, 2003], hlm. 910).
27
K.H. Husein Muhammad mengutip pandangan Abd al-Qahir al-Baghdadi yang menyebutkan
bahwasanya paling tidak terdapat tiga versi mengenai hadits di atas, yaitu: a) Versi
pertama menyebutkan redaksi “Ma ana alaihi wa ash-habi” (apa yang aku berada di
atasnya bersama para sahabatku); b) Versi kedua menyebutkan redaksi “Hiya al-Jama’ah”
(ia adalah Jama’ah); c) Versi ketiga tidak menyebutkan sebuah redaksi mengenai golongan
yang selamat. Abd al-Qahir mengatakan bahwa hadis ini mempunyai banyak sanad
17
untuk menapaki golongan Islam yang benar “Ahlussunnah wal-Jama’ah”, yaitu
orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi dan para sahabatnya.
Ahlussunnah wal-Jama’ah bukanlah suatu hal yang baru timbul sebagai reaksi
dari timbulnya beberapa aliran yang menyimpang dari ajaran yang murni,
seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, dsb. Oleh karena itulah, pendapat yang
mengatakan bahwa nama Ahlussunnah wal-Jama’ah muncul pada masa imam
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) adalah pendapat yang keliru
dan tidak memiliki landasan ilmiah maupun historis yang kuat. Begitu juga tidak
dapat dibenarkan, yaitu pendapat lain yang mengatakan munculnya nama ini
pada masa Imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dan pendapat lain yang menyatakan
muncul pada sekitar abad ke-7 Hijiriyah.
Dengan demikian, dapat disimpulkan Ahlussunnah wal-Jama’ah sudah
ada sebelum semuanya itu muncul. Aliran-aliran sempalan itulah yang
merupakan gangguan terhadap kemurnian Ahlussunnnah wal-Jama’ah. Pada
saat gangguan ini muncul secara bertubi-tubi, segera dirasakan perlunya istilah
Ahlussunnah wal-Jama’ah ini dipopulerkan kembali oleh kaum muslimin yang
tetap teguh pada ajaran-ajaran (sunnah) sebagaimana yang diajarkan,
dipraktekkan, dan dicontohkan oleh Nabi SAW yang diikuti oleh para
sahabatnya.
Pentingnya untuk mempopulerkan ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah
(aswaja) ini tentunya membutuhkan penjelasan secara distingtif, karena kalau
tidak demikian maka akan semakin membingungkan kita untuk menentukan
mana yang Aswaja dan mana yang bukan. Sehubungan dengan hal ini, alSyahrastani28 menyatakan dua proposisi yang kontradiktif tidak mungkin benar
keduanya. Demikian pula dalam ajaran agama, yakni dua ajaran yang
bertentangan tentu yang satunya benar dan yang satunya lagi salah. Tidak
mungkin ajaran dua golongan yang bertentangan dapat dikatakan bahwa
keduanya benar karena kebenaran itu satu. Maka, kesimpulannya kebenaran
hanya pada satu golongan dari sekian golongan, yaitu golongan Ahlussunnah
wal-Jama’ah. Di sini mungkin ada yang bertanya, lantas apakah yang dimaksud
dengan Ahlussunnah wal-Jama’ah tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini,
maka diperlukan penjelasan yang distingtif seputar Ahlussunnah wal-Jama’ah
sehingga pertanyaan di atas dapat dijawab dengan argumen yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengertian Ahlussunnah wal-Jama’ah dapat dijelaskan dengan terlebih
dahulu memilahnya menjadi tiga kata. Pertama, kata Ahl yang berarti keluarga,
pengikut, golongan29. Kedua, kata al-Sunnah secara etimologis memiliki arti al(transmisi/jalur periwayatan). Oleh karena itu, beberapa ulama menilai hadis ini sahih atas
dasar bahwa ia diriwayatkan dari banyak jalan. Banyak sahabat Nabi SAW yang
menyampaikan hadits ini (K.H. Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme, [Bandung:
Penerbit al-Mizan, 2011], hlm. 186).
28
Muhammad ibn ‘Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi
dalam Sejarah Umat Manusia, (Surabaya: PT. Bina Ilmu), hlm. 2-3.
29
Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Surabaya: Penerbit
Khalista, 2011), hlm. 53.
18
Thariqah (jalan dan perilaku), baik jalan dan perilaku tersebut benar atau
keliru. Sedangkan secara terminologis (syara’) al-Sunnah adalah nama bagi jalan
dan perilaku yang diridhai dan menjadi praktik agama yang sah, yang ditempuh
oleh Rasulullah SAW atau orang-orang yang dapat menjadi teladan dalam
beragama, seperti para sahabat, berdasarkan hadis Nabi SAW: “Ikutilah
sunnahku dan sunnah Khulafa’ al-Rasyidin sesudahku.” Adapun pengertian
sunnah secara kebiasaan (‘Urf) yaitu segala macam perbuatan yang ditradisikan
oleh orang-orang yang menjadi teladan, baik itu nabi ataupun wali30. Ketiga,
kata al-Jama’ah secara etimologis berarti orang-orang yang memelihara
kebersamaan dan kolektifitas dalam mencapai satu tujuan, sebagai kebalikan
dari firqah, yaitu orang-orang yang bercerai-berai dan memisahkan diri dari
golongannya. Sedangkan secara terminologis, kata al-Jama’ah ialah mayoritas
kaum muslimin (al-sawad al-a’dham) sebagaimana sabda Nabi SAW:
“Sesungguhnya umatku tidak bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila
kalian melihat terjadinya perselisihan maka ikutilah kelompok mayoritas (alsawad al-a’dham).”31
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Ahlussunnah wal-Jama’ah ialah golongan yang
menerapkan ajaran agama yang sah sebagaimana telah diajarkan oleh
Rasulullah SAW yang memiliki wewenang tasyri’ (membentuk dan mengadakan
hukum) dan para sahabat yang hanya memiliki wewenang tathbiq (menerapkan
prinsip-prinsip pada perumusan sikap dan perbuatan konkret). Adapun ciri
golongan tersebut adalah upayanya untuk senantiasa menjaga kolektifitas dan
menjauhi segala bentuk perpecahan (iftiraq) yang dilakukan para kelompok
sempalan (firqah) Islam. Maka, dalam hal ini istilah Ahlussunnah wal Jama’ah
diartikan sebagai nama bagi setiap Muslim yang bukan pengikut aliran
Khawarij, Rafidhah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah, Mu’tazilah,
Karamiyah, Wahabiah, dan kelompok (firqah) lain yang menyimpang dari ajaran
Nabi SAW dan para sahabat. Dalam konteks ini, al-Imam al-Hafidh al-Zabidi
mengatakan:
“Apabila dikatakan Ahlussunnah wal-Jama’ah, maka yang dimaksud adalah
pengikut madzhab al-Asy’ari dan al-Maturidi.”32
30
31
32
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah: fi hadits al Mawta
wa asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, (Jombang: Maktabah
Turats al-Islami Tebuireng, 1418 H), hlm. 5.
Muhammad Idrus Ramli, Madzhab al-Asy’ari: Benarkah Ahlussunnah wal-Jama’ah
(Surabaya: Penerbit Khalista, 2009), hlm. 176-177.
Ibid, hlm. 233. Adapun pokok-pokok ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah yang disarikan dari
pemikiran al-Asy’ari dan al-Maturidi antara lain: a) Iman adalah mengikrarkan lisan, dan
membenarkan hati. Bila ditambah dengan perbuatan, maka iman menjadi sempurna; b)
Allah SWT memiliki sifat Jalal (Kebesaran), Jamal (Keindahan), dan Kamal
(Kesempurnaan). Sifat Allah SWT yang wajib diketahui setiap mukmin berjumlah 41,
yaitu 20 sifat wajib Allah SWT, 20 sifat mustahil Allah SWT, dan 1 sifat jaiz Allah SWT;
c) Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala di surga; d) al-Qur’an sebagai
perwujudan Kalamullah yang bersifat qadim ialah qadim. Sedangkan al-Qur’an yang
19
Ahlussunnah wal-Jama’ah: Upaya Memelihara Kemurnian Islam
Ketika Rasulullah SAW masih hidup, segala macam urusan agama yang
belum dimengerti dapat ditanyakan langsung kepada beliau, sehingga segala
persoalan agama dapat dipecahkan dengan jelas dan tidak dijumpai perbedaan.
Hal ini mengingat kedudukan beliau sebagai utusan Allah SWT yang diberikan
wewenang tasyri’.
Akan tetapi berbeda halnya ketika Rasulullah SAW telah wafat.
Sebagaimana dijelaskan di atas, persoalan yang pertama kali merebak di
kalangan para sahabat ialah tentang pengganti beliau sebagai pemimpin umat.
Pada
perjalanan
selanjutnya,
timbullah
firqah-firqah
(Khawarij,
Saba’iyah/Syi’ah, dsb) yang saling memperebutkan pengaruh untuk menarik
simpati umat dalam rangka mengejar kepentingan politik kekuasaan masingmasing. Dari akar permasalahan ini kemudian timbul berbagai macam ajaran
dengan rumusan-rumusan hujjah/argumentasi tertentu, sehingga seringkali
bahkan ajaran-ajaran tersebut digunakan untuk melegitimasi kebenaran firqahnya dan juga untuk menyerang kelompok yang lain.
Oleh karena itulah, Ahlussunnah wal-Jama’ah meskipun sebenarnya
sudah ada semenjak zaman Nabi SAW, tapi istilah ini mulai diperbincangkan dan
dipopulerkan sebagai nama bagi kaum muslimin yang masih setia kepada ajaran
Islam yang murni dan tidak terpengaruh dengan ajaran-ajaran baru yang keluar
dari mainstream. Sehubungan dengan hal ini, menarik kiranya kita cermati
firman Allah SWT, “Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat
yang memberi petunjuk dengan yang haq (benar) dan dengan yang haq itu
mereka menjalankan keadilan” (Q.S. al-A’raf: 181). Di ayat yang lain, Allah SWT
juga berfirman, “Hendaknya orang-orang yang dianugerahi ilmu mengerti
bahwasanya al-Qur’an itulah yang haq (benar) di sisi Tuhanmu, lalu mereka
beriman karenanya (kebenaran al-Qur’an) hingga kemudian hati mereka
tenteram. Sesungguhnya Allah pasti memberi orang-orang yang beriman hidayah
menuju jalan yang lurus” (Q.S. al-Hajj: 53).
Dari kutipan ayat di atas, kita jumpai Allah SWT menekankan
pentingnya sebuah “ilmu” yang akan memandu jalan kaum muslim untuk
mencapai kebenaran (haq), yaitu kebenaran berupa tegaknya Islam yang lurus
dan murni dari segala penyimpangan yang merusak sendi-sendi pokok ajaran
agama. Kaitannya dengan Ahlussunnah wal-Jama’ah, ilmu memiliki kedudukan
yang tidak dapat diabaikan. Begitu eratnya hubungan Ahlussunnah wal-Jama’ah
dengan ilmu ini, Ibnu Abbas sahabat Nabi SAW yang terkenal alim dan pakar
dalam tafsir Al-Qur’an menjelaskan maksud firman Allah SWT pada surat Ali-
berupa huruf dan suara adalah baru; e) Allah tidak berkewajiban membuat yang baik dan
yang terbaik, memberi pahala pada yang ta’at, dan menjatuhkan siksa pada yang durhaka;
f) Kebaikan dan keburukan tidak dapat diketahui melalui akal semata; g) Allah SWT
menciptakan perbuatan manusia; h) Pertanyaan malaikat Munkar & Nakir, siksa kubur,
rahmat kubur, kebangkitan di akhirat, hari mahsyar, timbangan amal (al-mizan), shirat
(jembatan akhirat) adalah benar semuanya; i) Surga dan neraka adalah ciptaan Allah SWT
dan tidak ada tempat di antara keduanya (manzilah baina al-manzilatain), dsb.
20
Imran ayat 106 sebagai berikut:
“Adapun yang dimaksud firman Allah SWT mengenai orang-orang yang wajahnya
putih berseri adalah pengikut Ahlussunnah wal Jama’ah dan orang-orang yang
berilmu, sedangkan orang-orang yang wajahnya hitam muram, adalah pengikut
bid’ah dan sesat.”33
Ahlussunnah wal-Jama’ah yang dipopulerkan oleh orang-orang yang
berilmu (para sahabat, tabi’in, tabi’ al-tabi’in, dan ulama saleh) sebagai gerakan
untuk memurnikan ajaran Islam tentunya sama sekali berbeda dengan para
pengikut bid’ah. Hal ini mengingat tindakan bid’ah menjerumuskan pada
kesesatan dan pasti bertentangan dengan ajaran Islam yang benar, sebagaimana
sabda Rasulullah SAW, “Barang siapa membuat perkara baru dalam urusan
(agama) kita, sedangkan perkara tersebut sama sekali bukan dari (ketentuan
agama), maka perkara tersebut ditolak (keabsahannya).” Begitu pula hadis Nabi
SAW yang berbunyi, “Semua tindakan membuat perkara baru (dalam agama)
adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat”. Dengan memperhatikan
pernyataan Nabi SAW mengenai bid’ah yang memiliki konsekuensi menyangkut
identitas sesat-tidaknya seorang muslim, maka diperlukan pemahaman yang
lebih gamblang mengenai konsepsi bid’ah ini. Dengan upaya ini, diharapkan kita
dapat mengetahui kebenaran ajaran Ahlussunnah wal-Jama’ah yang terbebas
dari unsur-unsur bid’ah yang menyesatkan.
Menurut Syaikh Marzuq sebagaimana dikutip oleh Kiai Hasyim Asy’ari,
bid’ah yaitu upaya membuat perkara baru dalam urusan agama sehingga
perkara baru tersebut seolah-olah merupakan bagian dari ketentuan agama,
namun pada dasarnya perkara tersebut bukanlah bagian agama, baik dalam
bentuk maupun substansinya34. Bid’ah pada prinsipnya sangat berbeda dari
ajaran Islam yang benar, sehingga dapat dipastikan Islam bukanlah bid’ah atau
sebaliknya bid’ah bukanlah Islam. Hal ini dikarenakan dua hal yang saling
bertentangan tidak mungkin keduanya benar atau keduanya salah, bahwa
kebenaran pasti salah satu di antara keduanya sedangkan kebenaran itu tidak
lain adalah al-sunnah (Islam yang diajarkan Nabi SAW).
Kendatipun sudah diketahui bid’ah pasti sesat, namun kondisi
sekarang telah mengalami perubahan dari pada kondisi di saat Nabi SAW masih
hidup, sedangkan Nabi SAW sendiri telah mengatakan semua perkara baru
(bid’ah) adalah sesat. Dalam konteks demikian, para ulama menjelaskan
mengenai maksud hadits Nabi di atas. Menurut jumhur ulama’ (mayoritas
ulama’), bid’ah yang disebutkan dalam hadis Nabi SAW tersebut sebenarnya
mengacu pada ada tidaknya perubahan status hukum pada hal-hal yang profan
(non-agama), yaitu ketika hal yang profan itu dirubah menjadi suatu hal yang
memiliki ketentuan agama. Jadi, hadis tersebut bukan untuk mem-bid’ah-kan
33
34
Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah, (Surabaya: Penerbit
Khalista, 2011), hlm. 69-70.
Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl al-sunnah wa al-Jama’ah: fi hadits al Mawta
wa asyrath al-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah, (Jombang: Maktabah
Turats al-Islami Tebuireng, 1418 H), hlm. 6.
21
semua perkara baru. Aturan yang dipakai adalah: jika perkara yang
dipersoalkan itu ditemukan ketentuan jelas syari’ahnya (Al-Qur’an & Al-Hadits)
maka harus dihukumi sesuai aturan syari’ah, namun jika perkara tersebut tidak
ditemukan secara jelas rujukan syari’ahnya tapi secara prinsip ada
kesamaannya maka harus disimpulkan status hukumnya berdasarkan
qiyas/analogi. 35 Adapun parameter yang digunakan dalam rangka mengukur
bid’ah tidaknya sebuah perkara ada tiga macam.36
Pertama, apabila tindakan membuat perkara baru (inovasi) tersebut
lebih dominan dimensi syari’ahnya, maka hal itu tidak bisa dikatakan bid’ah.
Adapun jika terjadi sebaliknya, yaitu dimensi tindakan membuat perkara baru
tersebut lebih dominan dibandingkan dimensi syari’ahnya, maka hal itu
merupakan suatu kebatilan.
Kedua, yaitu menggunakan acuan kaidah para imam yang tidak
diragukan kesunnahannya. Apabila tindakan membuat perkara baru tersebut
mengacu pada kaidah-kaidah tersebut, maka hal itu bukanlah bid’ah. Jika yang
terjadi sebaliknya, maka hal itu berarti bid’ah. Misalnya, ijtihad para ulama NU
yang menerima keabsahan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Bagi
para ulama NU, eksistensi Negara ini sudah tidak terbantahkan lagi
sebagaimana realitas historis perjuangan bangsa ini hingga mencapai
kemerdekaannya. Oleh karena itulah, tidak diperlukan lagi sebuah keberadaan
Negara Islam yang ditawarkan sebagai alternatif untuk sistem yang sudah ada.
Mengingat Negara ini telah ada terlebih dahulu, maka harus ada seorang
pemimpin yang memiliki wewenang penuh dalam rangka mengatur
pelaksanaan sebuah pemerintahan. Para Ulama NU akhirnya merujuk pada
kaidah fiqih “al-dharuratu tubihu al-mahdhurat” (keadaan yang terpaksa
memperbolehkan sesuatu yang dilarang). Dengan demikian, akhirnya para
Ulama NU menyepakati keabsahan Presiden Soekarno sebagai pemimpin
Negara dengan sebutan Wali al-Amri al-Dharuri bi al-Syaukah (pemegang
pemerintahan sementara dengan kekuasaan penuh). Meskipun Presiden
Soekarno tidak dipilih dengan mekanisme ahl al-halli wa al-aqdi (mekanisme
pemilihan imamah sebagaimana yang dilakukan para sahabat Nabi SAW) di
mana itu berarti tidak sepenuhnya memiliki keabsahan di mata hukum fiqih,
tapi kekuasaannya harus efektif karena eksistensi Negara yang terlanjur ada ini
membutuhkan kuasa penuh pemimpinnya.
Ketiga, yaitu menggunakan parameter hukum syari’ah yang berjumlah
5, yaitu wajib (al-wujub), sunah (al-nadb), haram (al-tahrim), makruh (alkarahah), dan mubah (al-ibahah). Maksudnya yaitu sejauh mana perkara baru
tersebut diputuskan berdasarkan parameter lima di atas. Dengan mengacu pada
lima parameter ini, maka bid’ah dapat dibagi dalam lima hal, yaitu: 1) Bid’ah
yang bersifat wajib, yaitu bid’ah yang tidak dilaksanakan di zaman Rasul SAW,
tapi hukumnya wajib dilakukan. Misalnya, mempelajari hal-hal yang berkaitan
dengan al-Qur’an dan al-Hadits, seperti ilmu nahwu, sharaf, balaghah, mantiq,
35
36
Ibid, hlm. 6.
Ibid. hlm. 6-7.
22
dsb. Bid’ah jenis ini tidak bisa dikatakan sebagai bid’ah dhalalah (bid’ah sesat);
2) Bid’ah yang bersifat mandub, yaitu apabila dikerjakan mendapat pahala dan
bila ditinggalkan tidak apa-apa. Misalnya, membangun sekolah, mengamalkan
tahlil, istighotsah dan berbagai kebajikan lain yang tidak ada pada zaman
Rasulullah SAW. Bid’ah jenis kedua ini juga sama dengan bid’ah jenis pertama;
3) Bid’ah yang bersifat haram. Misalnya, bid’ah yang dilakukan kelompok
beberapa kelompok dalam Islam (Qadariyah, Jabariyah, Tanasukhiah, Ibahiyun,
dsb). Inilah yang dimaksud bid’ah dhalalah; 4) Bid’ah yang bersifat makruh,
yaitu apabila dikerjakan tidak apa-apa namun bila ditinggalkan mendapat
pahala. Misalnya, menghiasi masjid, memperindah mushaf, merokok, dsb. Bid’ah
jenis keempat ini mendekati bid’ah jenis ketiga, meskipun secara hukum masih
diperbolehkan untuk dikerjakan; 5) Bid’ah yang bersifat mubah, yaitu boleh
dilakukan dan tidak. Misalnya, berjabat tangan sehabis salat, memakai kopyah,
dsb.
Berdasarkan tiga parameter ini, maka Kiai Hasyim Asy’ari membagi
bid’ah tiga macam.37 Pertama, bid’ah sharih yaitu bid’ah yang jelas
kebatilan/keharamannya. Misalnya, mengikuti ajaran jabariah, qadariah, dan
kelompok sempalan Islam yang lain. Kedua, bid’ah idhafiyah, yaitu bid’ah yang
disandarkan pada sebuah perkara agama. Apabila bid’ah tersebut menunjang
perkara agama tersebut, maka tidak bisa dihukumi bid’ah. Misalnya,
mempelajari ilmu mantiq (ilmu logika) untuk mendalami pengetahuan Islam.
Ketiga, bid’ah khilafiyah, yaitu bid’ah yang sama-sama memiliki rujukan pokok
agama yang jelas dan kuat sehingga menimbulkan perbedaan (ikhtilaf) di antara
para ulama’. Misalnya, para ulama’ berbeda pendapat dalam menyikapi hukum
bunga bank, sebagian ada yang mengatakan haram dan yang lain mengatakan
mubah dan syubhat (samar).
Meskipun terlihat masih belum lengkap, konsepsi bid’ah yang
dipaparkan di atas dirasa cukup untuk menunjukkan pemahaman keagamaan
ala Ahlussunnah wal-Jama’ah yang terbukti mampu mempertahankan
kemurniannya tanpa harus kehilangan nuansa kekinian. Dengan demikian Islam
tidak akan lekang oleh perubahan zaman. Di tangan paham Ahlussunnah walJama’ah, Islam tetap menjadi agama yang rahmatan li al-alamin, sesuai di setiap
situasi dan kondisi (shalihun li kulli zaman wa makan), tidak seperti pahampaham lain yang telah mengalami kepunahan, seperti Khawarij, Mu’tazilah,
Qadariyah, Jabariyah.
Ahlussunnah wal-Jamaa’ah: Metode Bermadzhab
Sebagaimana dijelaskan di atas, yaitu ketika Rasulullah SAW masih
hidup, para sahabat tidaklah sulit mendapatkan kemurnian ajaran Islam karena
jarak waktu dan jarak fisik yang sangat dekat dengan beliau. Segala persoalan
yang tidak diketahui para sahabat, maka satu-satunya cara ialah menanyakan
langsung kepada beliau. Dalam menghadapi pertanyaan para sahabat itu,
Rasulullah SAW menjawab berdasarkan wahyu yang diturunkan Allah SWT
kepadanya, dan itulah yang dinamakan Al-Qur’an. Terhadap keterangan Al37
Ibid, hlm. 7-8.
23
Qur’an yang tidak sepenuhnya menjelaskan persoalan secara detail, Rasulullah
SAW menjelaskan persoalan tersebut tentunya dengan petunjuk Allah SWT
secara lebih terperinci lagi, dan itulah yang dinamakan al-Hadits. Oleh karena
itulah, para sahabat merupakan generasi Islam paling awal dan paling
memahami dan menghayati ajaran Islam. Sesudah generasi sahabat, selanjutnya
datanglah generasi baru secara silih berganti, berkesinambungan mewarisi
ajaran Nabi SAW, yakni para tabi’in (pengikut sahabat Nabi SAW), tabi’ al-tabi’in
(pengikut tabi’in), hingga tiba pada masa generasi sekarang. Dengan
mengetahui posisi spasio-temporal kita yang terpaut amat jauh dari zaman Nabi
SAW, maka itu artinya makin sulit pula mendapatkan kemurnian ajaran tentang
Islam. Apalagi, dalam sejarahnya Islam tidak hanya mengalami perbedaan
(ikhtilaf) saja, tapi lebih parah lagi yaitu mengalami perpecahan (iftiraq) yang
melahirkan banyak firqah-firqah.
Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh kemurnian Islam yang jauh
dari pengaruh firqah-firqah di atas, maka jalan satu-satunya adalah kembali
pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehubungan dengan ini, Nabi SAW bersabda: “Aku
wariskan kepadamu dua perkara yang mana jika engkau berpegang teguh
padanya maka engkau tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitabullah (AlQur’an) dan sunnah rasulNya.”
Secara prinsipnya, memang al-Qur’an dan al-Hadist adalah sumber
utama dalam memecahkan segala persoalan agama. Namun, yang harus disadari
adalah Al-Qur’an itu sendiri nyatanya tidaklah sesederhana yang kita bayangkan,
tapi justru al-Qur’an tersebut terdiri dari berbagai macam unsur yang sangat
kompleks. Di dalamnya terdapat ayat muhkamat, mutasyabihat, nasikh,
mansukh, al-‘am, khas, takhsis, dan berbagai macam ketentuan yang lain.
Kenyataannya, al-Qur’an tidaklah sekedar dipahami arti tekstualnya saja, tapi
banyak ilmu yang harus dikuasai untuk memahami isi kandungan al-Qur’an,
seperti: nahwu & sharaf (ilmu tata bahasa arab), balaghah (sastra), mantiq
(logika), ushul al-fiqih, qawaid al-fiqhiyah, asbab al-nuzul, tafsir, ‘ulum al-qur’an,
dan masih banyak ilmu-ilmu yang lain. Sedangkan al-Hadits, meskipun lebih
terperinci isinya, tapi disampaikan oleh Rasulullah SAW secara sebagian
sehingga untuk menganalisa satu masalah saja (umpamanya salat) mungkin
membutuhkan beratus-ratus hadis yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Sebagaimana al-Qur’an, memahami al-Hadits tidaklah cukup dengan
mengetahui maknanya saja, tapi harus memiliki pengetahuan juga apakah hadis
tersebut shahih (benar), hasan (baik), dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), apakah
hadist itu mutawatir, masyhur, aziz, mudallas, mu’an’an, dsb. Selain itu, kita juga
dituntut mengetahui latar belakang sejarah (asbab al-wurud) disampaikannya
hadis oleh Nabi SAW.
Demikian mengingat rumitnya memahami al-Qur’an dan al-Hadits,
maka dapat dipastikan tidak banyak orang yang mampu memahami sendiri dan
menggali sebuah persoalan secara langsung pada al-Qur’an dan al-Hadits. Dari
kenyataan ini, maka terdapat dua kemungkinan bagi seorang muslim yang perlu
memiliki pendapat atau perlu melakukan suatu hal mengenai Islam: 1) Bagi
yang memenuhi syarat dan sarana untuk mengambil kesimpulan pendapat
24
(istinbath) sendiri, maka dapat menggunakan metode ijtihad. Untuk
kemungkinan yang pertama ini, kita bisa melihat tokoh-tokoh Islam yang dapat
disebut sebagai mujtahid, seperti: Abu Hanifah al-Nu’man bin Tsabit (80-150
H/699-767 M), Malik ibn Anas al-Anshari (93-179 H/712-795 M), Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H/ 767-820 M), Ahmad ibn Hanbal al-Syaibani
(164-241 H/780-855 M), Abu al-Hasan al-Asy’ari (260-330 H/873-947 M), Abu
Manshur al-Maturidi, dsb; 2) Bagi yang tidak memenuhi syarat atau yang
kemampuannya diragukan, maka tidak ada jalan lain kecuali mengikuti hasil
ijtihad atau istinbath para ulama’ yang sudah tidak diragukan lagi kapasitas
keilmuannya. Metode demikian dinamakan metode taqlid (bermadzhab).
Dengan memperhatikan penjelasan di atas, maka pemahaman dan
pengamalan Islam yang murni yang dikatakan Alussunnah wal-Jama’ah itu
tidaklah mudah ditempuh dengan melakukan ijtihad dan istinbat langsung
kepada
sumber
pokoknya
(al-Qur’an
dan
al-Hadits).
Dengan
mempertimbangkan bahwasanya jarak yang begitu jauh dengan Rasul, begitu
pula ijtihad dan istinbath yang tidak boleh dilakukan sembarang orang, maka
Ahlussunnah wal-Jama’ah harus dimaknai sebagai upaya bermadzhab. Dengan
kata lain, jika dengan jujur kita mengakui bahwa perkara ijtihad dan istinbath
bukanlah hal yang mudah dilakukan, maka konsekuensi logis dari pernyataan
tersebut adalah keharusan bermadzhab. Hal ini dikarenakan hanya dengan
upaya bermadzhablah, sehingga Ahlussunnah wal-Jama’ah itu sendiri menjadi
mungkin.
Ahlussunnah wal-Jama’ah dengan metode bermadzhab berarti
menggunakan produk-produk hukum para ulama yang sudah mempunyai
kapasitas pemahaman yang bersifat otoritatif (mujtahid). Inilah pengertian
Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagaimana yang dirumuskan Hadratus Syekh
Hasyim Asy’ari dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dijadikan pedoman
Nahdhadul Ulama (NU), salah satu organisasi social keagamaan yang memiliki
pengikut terbesar di Indonesia. Dalam Qanun Asasi tersebut, dinyatakan bahwa
Ahlussunnah wal-Jama’ah merupakan sebuah paham keagamaan di mana dalam
bidang aqidah menganut pendapat Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur alMaturidi, dalam bidang fikih mengikuti pendapat dari salah satu madzhab
empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali) dan dalam
bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Abu Qasim Junaid al-Baghdadi dan Abu
Hamid al-Ghazali.
Upaya memahami dan mengamalkan Ahlussunnah wal-Jama’ah dengan
pendekatan bermadzhab merupakan keniscayaan intelektual38 yang tidak dapat
dibantah. Hal ini sebagaimana dijelaskan Kiai Hasyim Asy’ari, khususnya ketika
beliau memberikan alasan tentang pentingnya berpegang teguh pada empat
imam madzhab dalam fikih. Pertama: mengacu para ulama salaf merupakan
konsensus (ijma’) para ulama. Paham keagamaan, khususnya hukum Islam
merupakan mata rantai yang tidak terputus. Para tabi’in mendasari
38
Hal ini mengacu Firman Allah SWT, “Maka bertanyalah kepada orang-orang cerdik-cendekia
(ahl al-dzikr) jika kalian tidak mengetahui” (Q.S. al-Nahl: 43).
25
pandangannya pada para sahabat Nabi SAW. Begitu pula para tabi’ al-tabi’in juga
mengikuti para generasi tabi’in, dan seterusnya. Hal itu semakin meneguhkan
bahwa seseorang tidak bisa langsung memahami al-Qur’an dan al-Hadits. Oleh
karenanya, diperlukan sebuah kearifan dan keseriusan untuk mempelajari
pandangan para ulama terdahulu. Kedua: hadis Nabi SAW39 yang menegaskan
pentingnya mengikuti pandangan orang-orang yang mulia dan cerdas, mereka
adalah kelompok alternatif (al-sawad al-a’dham), di mana pemahaman mereka
terhadap syari’at tidak diragukan lagi. Mereka adalah para ulama yang dikenal
sepanjang masa sebagai ahli waris para nabi karena kedalaman ilmu dan
kemuliaan hati mereka. Ketiga: menghindari adanya klaim-klaim kebenaran
yang dilakukan beberapa orang yang mengaku-ngaku ahli agama. Dalam hal ini
Kiai Hasyim Asy’ari sangat mewanti-wanti adanya fatwa yang dikeluarkan oleh
ulama buruk moral, yang kerap kali mengeluarkan fatwa berdasarkan hawa
nafsu. Sebab itu, mengikuti para imam madzhab fikih yang sangat diakui
integritas keilmuannya, kejujurannya, dan keadilannya akan memberikan
manfaat yang lebih besar dari pada mengambil dari fatwa yang tidak otoritatif.
Sehubungan dengan ini, sahabat Umar ibn Khattab berkata, “Islam akan hancur
karena perdebatan orang-orang yang munafik terhadap Al-Qur’an.” Ungkapan ini
dapat dipahami jika dalam memahami teks keagamaan tidak digunakan rujukan
yang jelas dari para ulama otoritatif40.
Revitalisasi Ahlussunnah wal-Jama’ah
Pemahaman Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam bingkai madzhab
sebagaimana digambarkan Kiai Hasyim Asy’ari mendapat respons luar biasa
dari para kalangan, terutama warga NU dan sebagian besar masyarakat muslim
senusantara bahkan penjuru dunia. Sebagaimana dilaporkan Zuhairi Misrawi
yang pernah belajar di Perguruan Tinggi Islam al-Azhar (Mesir), rumusan
Ahlussunnah wal-Jama’ah Kiai Hasyim tersebut ternyata menjadi bahasan utama
di perguruan tinggi tertua di dunia tersebut. Ia merasakan betul betapa
pandangan teologis Abu al-Hasan al-Asy’ari menjadi rujukan primer. Begitu pula
dalam bidang fikih, yaitu mengacu pada madzhab empat. Adapun tasawuf di
antaranya mengacu pada Imam al-Ghazali. 41
Meskipun demikian, oleh karena zaman terus berkembang, maka
dapat dipastikan terjadi perubahan juga pada segala sendi kehidupan, baik
ranah sosial, politik, ekonomi, budaya, dan agama. Dalam konteks demikian,
maka muncullah gagasan mengenai revitalisasi42 terhadap paham Ahlussunnah
39
Dari Anas ibn Malik R.A. berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda:
‘Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila
kalian melihat terjadinya perselisihan, maka ikutilah kelompok mayoritas (al-sawad ala’dzham)” (H.R. Ibn Majah) (Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunnah
wal-Jama’ah, [Surabaya: Penerbit Khalista, 2011], hlm. 56).
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan,
(Jakarta, Penerbit: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 111-113.
41
Ibid, hlm. 133.
42
Dalam hal ini, revitalisasi tersebut harus dibingkai dalam tiga fundamen sebagaimana yang
40
26
wal Jama’ah ini. Menurut Zuhairi Misrawi, revitalisasi yang dimaksud ialah
upaya untuk memaksimalkan fungsionalisasi paham Ahlussunnah wal-Jama’ah
rintisan Kiai Hasyim di atas. Di samping itu, ia menambahkan ada alasan yang
lebih penting, yaitu dalam rangka melakukan distingsi dengan pihak-pihak lain
yang selama ini mengklaim dirinya berpaham Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Padahal, dalam praktiknya, mereka tidak konsisten dengan parameter
sebagaimana yang dijelaskan para ulama Ahlussunnah wal-Jama’ah seperti Kiai
Hasyim. Bahkan, kerapkali terjadi klaim bahwa model pemahaman bermadzhab
demikian menyebabkan Ahlussunnah wal-Jama’ah mengalami pereduksian
makna.43
Sosok yang menonjol dalam melakukan revitalisasi terhadap paham
Ahlussunnah wal-Jama’ah antara lain K.H. Said Aqil Siradj44. Dunia Islam
terutama kalangan Muslim Ahlussunnah sedang dihadapkan pada krisis yang
melanda hampir seluruh sektor kehidupan umat. Keadaan demikian tercermin
pada realita menjamurnya tindakan ekstrimisme (fanatik) dan radikalisme
diungkapkan Gus Dur. Pertama, pandangan bahwa keseluruhan hidup adalah ibadah (al-hayatu
‘ibadatun kulluha). Prinsip ini berarti bahwa apa yang dilakukan setiap muslim pada
hakikatnya merupakan sebuah upaya untuk kemuliaan dan memaksimalkan peran manusia
sebagai khalifah, yaitu makhluk yang bertanggung-jawab untuk memakmurkan alam beserta
isinya yang diciptakan Allah SWT. Prinsip setiap tindak tanduk seorang Muslim adalah ibadah
merupakan manifestasi dari paham Ahlussunnah wal-Jama’ah, di mana dalam setiap ikhtiar
manusia di dalamnya terdapat kuasa Allah SWT yang akan menjadikan amalnya bermakna.
Kuasa Allah SWT meniscayakan seorang Muslim harus meyakini bahwa setiap hal yang
dilakukan merupakan manifestasi dari peribadatan yang akan mempunyai nilai plus sebagai
tanda ketundukan dan penyerahan diri secara total kepada-Nya. Kedua, perlunya kejujuran
dalam hidup bermasyarakat. Kejujuran dimulai dari kelapangdadaan untuk menerima pendapat
ulama yang sudah mempunyai kapasitas pemahaman yang bersifat otoritatif. Dalam sikap
seperti itu akan muncul sebuah sikap toleransi dalam menerima perbedaan pendapat. Dengan
demikian, pandangan ulama yang beragam menunjukkan bahwa yang paling penting adalah
kejujuran untuk menerima perbedaan dan keragaman pendapat, di mana kejujuran dilandasi
sebuah pemahaman yang komprehensif dan argumentatif. Sikap ini harus diimplementasikan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga kalangan Muslim dapat memberikan
kontribusi yang bersifat konstruktif. Ketiga, perlunya moralitas yang utuh dan kuat. Dalam
rangka membangun kehidupan yang bersih dan transparan, selain diperlukan sistem yang baik,
juga diperlukan pola hidup yang asketis, sederhana, dan mengedepankan kepentingan umum.
Moralitas yang seperti ini merupakan sebuah cerminan dari penghayatan nilai-nilai
Ahlussunnah wal-Jama’ah karena pada hakikatnya para ulama di masa lalu adalah teladan
moralitas yang paling paripurna. Sehubungan dengan hal ini, para ulama memandang
keteladanan merupakan moralitas yang mencerminkan sebuah pemahaman yang paripurna
terhadap agama, yang diterjemahkan dalam kehidupan nyata. Mereka membangun umat
melalui pembangunan mental dan penajaman hati nurani untuk kemaslahatan umat. Ketiga hal
inilah yang sejatinya dapat melandasi pemikiran Islam, khususnya Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Sebab, jika tidak tercermin dengan baik, akan membuat semua pemikiran yang cemerlang itu
hanya menjadi dokumen yang normatif yang tidak mempunyai makna fungsional (Ibid,
hlm.133-137).
43
Ibid, hlm. 133.
44
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal-Jama’ah: Sebuah Kritis Historis, (Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda, 2008)
27
(tindak kekerasan), kemiskinan, keterbelakangan (anti kemajuan), kebodohan
(irasionalitas), dan berbagai macam ketidakmampuan untuk bangkit dari
keterpurukan. Oleh karena itu, diperlukan kerja keras untuk menjadikan paham
ini menjadi lebih kompatibel dengan realitas kekinian. Hal ini mengingat Islam
adalah agama yang mengajarkan perdamaian45, keadilan46, dan kemajuan47.
Sehingga harus diupayakan agar Islam bersifat fungsional, inovatif, dan solutif
dalam ikhtiar menjawab segala persoalan dan tantangan zaman. Jadi, penting
untuk diketahui bahwa langkah ini bukanlah untuk menegasikan makna paham
Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagaimana dilontarkan Kiai Hasyim.
Dalam hal ini, Kiai Said Aqil mengacu pada definisi yang dikembangkan
oleh Muhammad ibn Muhammad ibn Abdurrazaq al-Husaini al-Zabadi Abul
Faridl, seorang ulama asal India. Ahlussunnah wal-Jama’ah, menurutnya ialah
orang-orang yang mempunyai paham keagamaan dalam seluruh sektor
kehidupan yang dibangun di atas prinsip al-tawassuth (moderasi), al-tawazzun
(keseimbangan), al-i’tidal (keadilan), al-tasamuh (toleransi). 48 Melalui
pandangan demikian, maka Ahlussunnah wal-Jama’ah bukan dimaknai lagi
sebagai metode bermadzhab seperti dijelaskan sebelumnya, tapi dimaknai
sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) yang berpegang pada prinsip empat
tersebut (al-tawassuth, al-tawazzun, al-il’tidal, al-tasamuh). Berikut penjelasan
Ahlussunnah wal-Jama’ah sebagai manhaj al-fikr.
Prinsip al-Tawassuth
Kata al-tawasuth yang secara bahasa berarti pertengahan diambil dari
kata wasathan berdasarkan firman Allah SWT: “Dan demikian, Kami telah
jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat wasathan (pertengahan/pilihan) agar
kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia
umumnya dan supaya Rasulullah SAW menjadi saksi (ukuran penilaian) atas
(sikap dan perbuatan) kamu sekalian…” (Q.S. Al-Baqarah: 143).
Ukuran penilaian pada ayat di atas dimaksudkan bahwa Rasulullah SAW sebagai
pengukur umat Islam, sedang umat Islam menjadi pengukur manusia pada
Firman Allah SWT: “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada
surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang
bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (Q.S. Ali ‘Imran: 133-134).
46
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. AlMaidah: 8).
47
Firman Allah SWT: “….Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu
dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan derajat (yang berlipat-lipat)” (Q.S. AlMujadilah: 11).
48
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan,
(Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 140.
45
28
umumnya.49 Sebagai tolak ukur atas umat manusia pada umumnya, maka kaum
Muslim dituntut berpandangan objektif. Dengan pikiran yang objektif ini, maka
setiap penilaian tersebut dilandasi hujjah/argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan, tidak dilandasi sikap sentimen dan apriori. Tentunya
pandangan yang objektif ini disertai pula dengan kadar integritas pada diri
seseorang. Sehingga, segala perbedaan akan disikapi dengan jujur dan lapang
dada.
Adapun implementasi prinsip al-tawasuth ini oleh Kiai Said Aqil
dijelaskan sebagai penerapan metode pengambilan hukum yang
menghubungkan nash (dalil naqli) dan akal (dalil aqli). Sedangkan dalam
metode berpikir secara umum mampu untuk merekonsiliasikan50 antara wahyu
dan rasio. Sikap al-tawasuth yang seperti ini mampu meredam dua ekstrimisme
sekaligus, yaitu ekstrimisme tekstual dan ekstrimisme akal. Rekonsiliasi antara
teks dan rasio telah menyebabkan diskursus hukum Islam mengalami
pengayaan yang amat luar biasa.51
Prinsip al-Tawazzun
Pengertian al-tawazzun secara bahasa berarti keseimbangan, tidak
berat sebelah, tidak berlebihan sesuatu unsur atau kekurangan unsur lain. Kata
ini diambil dari al-waznu atau al-mizan yang berarti timbangan/penimbang. Hal
ini seperti pada firman Allah SWT, “Supaya kamu jangan melampui batas tentang
neraca (al-mizan) itu. Dan tegakkanlah timbangan itu (al-waznu) itu dengan adil
dan janganlah kamu mengurangi neraca (al-mizan) itu” (Q.S. Al-Rahman: 8-9).
Menurut Kiai Said Aqil, prinsip al-tawazzun diekspresikan dalam sikap
politik, yaitu sikap tidak membenarkan berbagai tindakan ekstrem yang sering
kali menggunakan kekerasan dalam tindakannya dan mengembangkan kontrol
49
K.H. Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Surabaya: Penerbit
Khalista, 2007), hlm. 69.
50
Rekonsiliasi antara wahyu (teks) dan akal ini dijelaskan oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi (w.
606H/1210 M), ulama ahli tafsir, teolog, dan ahli fikih madzhab Syafi’i dalam kitabnya
“Al-Mathalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahiy”. Beliau menjelaskan: “Manakala terjadi
kontradiksi (al-ta’arudh) antara makna tekstual dan akal yang definitif, maka keduanya
tidak bisa dinyatakan benar secara bersama-sama. Karena kalau begitu, sama artinya
dengan pembenaran dua hal yang bertentangan. Tetapi, tidak bisa juga dikatakan keliru
semua. Karena kalau begitu, sama artinya dengan meniadakan pertentangan dua hal
tersebut. Makna tekstual tidak dapat mengungguli temuan akal yang definitif, sebab
kebenaran makna teks tidak bisa lepas dari dalil (argumen) akal. Berdasarkan ketentuan
ini, maka mengunggulkan teks atas akal sama halnya dengan menyangkal teks. Mengingat
akal adalah dasar memahami teks, maka penyangkalan atas akal membawa konsekuensi
penyangkalan terhadap akal dan teks sekaligus. Ini sesuatu yang tidak mungkin. Yang
tersisa adalah kemungkinan yang keempat, yakni keharusan memenuhi dalil (argumen)
akal dan makna harfiah teks harus ditakwil. Kesimpulannya adalah bahwa dalil
(argumen) teks tergantung pada argumen yang tidak bertentangan dengan akal” (K.H.
Hussein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, [Bandung:
Penerbit al-Mizan, 2011], hlm. 33-34).
51
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan,
(Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 140.
29
terhadap kekuasaan yang lalim. Keseimbangan ini mengacu pada upaya untuk
mewujudkan ketentraman dan kesejahteraan bagi segenap warga masyarakat. 52
Adapun cara yang bisa ditempuh untuk mengimplementasikan prinsip ini di
tengah-tengah kehidupan bangsa adalah dengan menjunjung konstitusi Negara
dan menegakkan supremasi hukum untuk menyelesaikan segala persoalan. Jadi,
bukan dengan cara-cara kekerasan, karena cara ini tidak akan menyelesaikan
masalah. Karena itu, cara yang dipilih ialah memperkuat sistem hukum yang
dapat melindungi segenap warga dan konsisten dalam menegakkannya. Semua
ini dilakukan sebagai upaya untuk memainkan peran kontrol/penyeimbang53
yang kuat sehingga tidak ada penyelewengan terhadap hak-hak warga Negara.
Sebuah perjuangan demi menegakkan keseimbangan tata politik sebuah Negara
berdasarkan prinsip musyawarah (al-syura)54, keadilan (al-adl)55, kebebasan
(al-hurriyah)56, dan persamaan (al-musawah)57. Jika prinsip-prinsip ini
52
Ibid, hlm. 141.
Sehubungan dengan implementasi prinsip al-tawazzun sebagai penyeimbang dalam konteks
kenegaraan ini menarik kiranya untuk menyimak pemikiran Gus Dur. Dalam sebuah
subbab tulisannya yang diberi judul “Fikih dan keabsahan Negara”, beliau mengutarakan
sebagai berikut:
“Upaya menampilkan Islam sebagai ‘jalan hidup alternatif’ yang membentuk sistem
kemasyarakatan baru (Negara Islam) di luar yang telah ada (NKRI), jelas sulit diterima oleh
para ulama NU, kecuali jika ia telah menjadi bentuk kenegaraan yang memiliki wujud penuh
dan mampu mempertahankan diri, seperti Libya, Iran, Saudi Arabia dewasa ini. Landasan
penolakan sistem alternatif ‘Islam’ itu adalah keabsahan bentuk Negara yang telah ada. Akan
tetapi, itu tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendala
keagamaan. Bahkan, oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan pemerintah senantiasa
disesuaikan pada ketetntuan-ketentuan fikih, sehingga sikap itu sendiri sering diterima oleh
kalangan pemerintah sebagai ‘hambatan’ di kala melaksanakan wewenang mereka. Untuk
kepentingan penilaian apakah jalannya pemerintahan tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan fikih, digunakan tolok ukur berupa sejumlah kaidah fikih, seperti ‘Kebijaksanaan
kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat’ (tasharruf al-imam ala al-ra’iyyah
manuthun bi al-mashlahah). Bentuk formal pemerintahan, dengan demikian, tidaklah menjadi
permasalahan bagi NU selama masih diikuti pola perilaku formal Negara yang tidak
bertentangan dengan hokum fikih. Kasus-kasus penyimpangan dari “pola umum” perilaku
formal Negara ini tidaklah sampai pada penolakan bentuk kenegaraan dan proses
pemerintahan yang sudah ada…..Kasus-kasus penyimpangan haruslah ditangani secara
kasuistik, bukannya dengan menolak kehadiran Negara dan mengubah bentuk pemerintahan”
(Samsul Munir Amin, Percikan Pemikiran Para Kiai, [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009],
hlm. 209-210).
54
Firman Allah SWT, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirian salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka, dan mereka menafkahkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka”
(Q.S. al-Syura: 38).
55
Firman Allah SWT, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara
manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (Q.S. al-Nisai’: 58).
56
Prinsip kebebasan manusia dalam syari’ah termaktub dalam al-maqashid al-syari’ah
53
30
ditegakkan dengan baik, maka Negara akan mampu menjalankan amanat dan
mandatnya untuk melayani rakyat.
Prinsip al-tawazzun di atas, selain diekspresikan di bidang politik juga
dapat diekspresikan sebagai bentuk apresiasi yang seimbang di bidang
keilmuan. Ahlussunnah wal-Jama’ah harus senantiasa dikembangkan supaya
tidak sempit. Sikap mayoritas kaum Muslimin yang hanya mencukupkan pada
apa yang telah diketahui dan dipelajari serta tidak mau berdialog dengan para
ilmuwan yang lain, jelas akan merugikan pengembangan wawasannya. Karena
itulah, paham Ahlussunnah wal-Jama’ah ini harus dikembangkan secara
mendalam dari sudut pandang berbagai ilmu, baik ilmu pengetahuan alam
(sains) ataupun ilmu pengetahuan sosial. Hal ini bertujuan agar paham
Ahlussunnah wal Jama’ah ini bisa diintrodusasi secara rasional, sistematis, dan
kontekstual sesuai dengan transformasi kultural yang berlandaskan iptek (ilmu
pengetahuan dan teknologi).
Harus diakui, upaya mengapresiasi di bidang keilmuan ini (terutama
ilmu non-agama) pernah menjadi kontroversi hebat di kalangan ulama masa
lalu. Sebagian ulama Islam mengharamkan kaum Muslimin mempelajari ilmu
tersebut, seperti ilmu filsafat dan logika58. Sementara sebagian yang lain
membolehkannya bahkan menganjurkannya59. Sebagian yang lain lagi
sebagaimana dicetuskan al-Syatibi. Prinsip tersebut berjumlah lima, yaitu: 1) Hifdhu alNafs (menjaga jiwa), kebebasan untuk hidup; 2) Hifdhu al-Din (menjaga agama),
kebebasan untuk memeluk, meyakini, dan menjalankan agama dan kepercayaan; 3)
Hifdhu al-Mal (menjaga harta benda), hak untuk mendapat jaminan keamanan harta
benda; 4) Hifdhu al-Nasl (menjaga keturunan), jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis
keturunan, etnis setiap warga negara; 5) Hifdhu al-Irdh (menjaga kehormatan), jaminan
terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan, atau pun kedudukan setiap warga
negara.
57
Firman Allah SWT, “…..sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT
ialah orang yang paling takwa…” (Q.S. al-Hujurat: 13).
58
Salah satu ulama yang mengharamkan ilmu filsafat dan logika adalah Ibn Shalah, ahli hadis
klasik terkemuka. Beliau berfatwa, “Belajar dan mengajarkan logika Aristotelian adalah
haram. Ia sumber segala keburukan. Belajar dan mengajarkan ilmu mantiq bukan hal
yang dibolehkan oleh agama dan tidak pula oleh seorang pun dari kalangan sahabat
Nabi, tabi’in, dan para imam mujtahid serta ulama yang saleh” (K.H. Husein
Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, [Bandung: Penerbit alMizan, 2011], hlm. 92).
59
Bertolak belakang dengan ulama golongan pertama yang mengharamkan ilmu filsafat dan
logika, golongan kedua ini merupakan para ulama yang menganjurkan filsafat, salah
satunya adalah Ibn Rusyd. Ibn Rusyd sangat mengagumi logika Aristoteles dengan
mengatakan, “Tanpanya, orang tidak bisa bahagia dan sungguh kasihan bahwa Plato dan
Socrates telah menyia-nyiakannya.” Karena penghormatannya yang sangat tinggi terhadap
Aristoteles ini, Ibn Rusyd harus membayarnya mahal. Dia diserang oleh kaum ortodoks
karena usahanya untuk menyejajarkan ajaran Aristoteles dengan Islam. Para Teolog
merasa bahwa Ibn Rusyd, dalam rangka untuk merekonsiliasi dogma Islam dengan filsafat
Aristoteles telah menodai ajaran Islam. Mereka sangat murka terhadap Ibn Rusyd dan
menuduhnya telah murtad (Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim: Pembuka Pintu
Gerbang Filsafat Barat Modern, [Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004], hlm. 195-196).
31
membolehkannya, namun dengan syarat hanya dibolehkan bagi orang-orang
yang sudah memahami ilmu-ilmu agama secara mendalam60.
Terlepas dari kontroversi tersebut, sejarah peradaban Islam abad
pertengahan memperlihatkan kepada kita bagaimana para khalifah Islam
memberikan respons dan penghargaan tinggi terhadap berbagai macam ilmu
pengetahuan. Kemajuan dunia keilmuan dalam sejarah peradaban Islam
tersebut di antaranya terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mun dari Dinasti
Abasiyah. Bahkan pada masa khalifah inilah, dunia keilmuan Islam mencapai
puncak kejayaannya. Hal ini terbukti dalam catatan sejarah yaitu pada tahun
830 M, al-Ma’mun membangun Bayt al-Hikmah (rumah kebijaksanaan), sebuah
perpustakaan, akademi, sekaligus biro penerjemahan yang dalam berbagai hal
merupakan lembaga pendidikan paling penting sejak berdirinya museum
Iskandariyah pada paruh pertama abad ke-3 S.M. Dimulai pada masa al-Ma’mun,
dan berlanjut pada masa penerusnya, aktivitas intelektual berpusat di akademi
yang baru didirikan tersebut (Bayt al-Hikmah).61
Dari upaya penerjemahan yang dilakukan pada zaman peradaban
Islam tersebut, kemudian lahir para sarjana, ilmuwan, dan filsuf Muslim dengan
reputasi fenomenal dan dikenal sepanjang masa, seperti Abu Abdillah
Muhammad ibn Musa al Khawarizmi seorang ahli matematika, falak, geografi,
dan sejarah (w. 846 M); Abu Bakar al-Razi seorang ahli filsafat metafisika &
logika, teologi, psikologi, fisika, geografi, optik, kimia, kedokteran, geometri,
musik, dan politik (864/925 M); Abu Nashr al-Farabi seorang ahli filsafat, fisika,
geometri, musik, dan kedokteran (874 /950M); Abu Ali Muhammad ibn Haitsam
seorang ahli filsafat, geometri, ahli falak, sastra (965/1039 M); Abu Ali al
Husayn ibn Abdullah ibn Sina ahli filsafat, kedokteran, geometri, aritmatika,
bahasa, teologi, dan musik (980-1037 M). Abu Bakar ibn Thufail al-Qaisi
60
Ulama golongan ketiga ini yang lebih moderat dibanding kedua jenis ulama sebelumnya,
salah satunya yaitu Abu Hamid al-Ghazali. Meskipun status moderat yang dialamatkan
pada sosok al-Ghazali ini masih menimbulkan perdebatan yang alot, tapi hal ini bisa
dilihat dari pandangan beberapa tokoh mengenai pemikirannya yang terkenal
kontroversial tersebut. Menurut Zainul Hamdi (2004: 126), tuduhan antirasio yang
dialamatkan pada al-Ghazali terkait kecamannya terhadap para filsuf (tertuang dalam kitab
Tahafuth al-Falasifah) pada dasarnya tidak memiliki alasan yang kuat dan merupakan
simplifikasi masalah yang tidak proposional. Yang dilakukan al-Ghazali hanyalah
mendudukkan rasio manusia dalam batas-batas wilayahnya(limits of human mind). Senada
dengan Zainul Hamdi, K.H. Husein Muhammad (2011: 95) dalam memahami pikiranpikiran al-Ghazali yang dianggap inkonsisten/ambigu tersebut, ia membayangkan
kapasitas intelektual al-Ghazali yang beragam dan hampir menyeluruh itu tentunya
menyebabkan al-Ghazali memilih pendekatan yang beragam dalam membahas persoalan
umat. Sebagaimana al-Ghazali membagi tiga kelompok manusia (awam/orang umum,
khawash/terpelajar, khawas al-khawas/para sufi), maka sudah barang tentu al-Ghazali
akan menyampaikannya dengan cara berbeda, sesuai dengan kadar pikiran masingmasing. Misalnya, al-Ghazali akan menyampaikan kepada orang awam sebatas apa yang
dapat mereka pahami, karena jika disampaikan terlalu rumit/filosofis maka dikhawatirkan
akan menggoyahkan akidah mereka.
61
Philip K. Hitti, History of The Arabs, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 386.
32
seorang ahli filsafat, kedokteran, dan sastra (1106M/1185M), Abu al-Walid
Muhammad ibn Ahmad Ibn Rusyd seorang ahli filsafat, kedokteran, teologi,
falak, fikih, dan nahwu (1126/1198 M), Waliyuddin Abdurrahman ibn
Muhammad atau dikenal sebagai Ibn Khaldun seorang ahli filsafat, sosiologi,
sejarah, al-hisab, politik, ekonomi, dan sastra (1332/1406 M), dan ribuan
sarjana yang lain. Tidak disangsikan lagi, berkat merekalah ilmu pengetahuan
dan peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya (al ‘ashr al-dzahabiy).
Dengan begitu, jelaslah bahwa Islam sangat menghargai ilmu
pengetahuan, bukan hanya ilmu agama saja (al-ulum al-diniyyah), tapi juga
ilmu-ilmu pengetahuan umum (al-ulum al-awa’il). Para ulama Islam generasi
terdahulu tidak pernah membeda-bedakan kedua jenis ilmu tersebut. Sepanjang
ilmu tersebut berguna bagi kemanusiaan, maka Islam akan memberikan
apresiasinya, dari manapun sumbernya, Islam maupun non Islam. Jadi tak ada
dikotomisasi, malahan Islam sangat menekankan keseimbangan (al-tawazzun)
terhadap penguasaan dua jenis ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan dan filsafat
dalam banyak pandangan ditafsirkan juga sebagai al-hikmah (kebijaksanaan).
Dalam hal ini, Nabi SAW bersabda: “Hikmah adalah barang hilang orang
mukmin, di mana saja dia menemukannya hendaklah dia mengumpulkannya
kembali (al-hikmah dhallah al mu’min haitsuma wajada al mu’min dhallah
falyajma’ha ilaihi)”. Selain itu Allah SWT juga berfirman, “Allah menganugerahi
hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang dianugerahi
hikmah, maka sesungguhnya dia dianugerahi kebaikan yang berlimpah” (Q.S. alBaqarah: 269).62
Prinsip al-I’tidal
Secara bahasa, kata al-I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke
kanan atau ke kiri. Kata ini diambil dari kata al-adlu yang berarti keadilan atau
í’dilu yang artinya bersikap adillah, sebagaimana firman Allah SWT: “Hai orangorang yang beriman, hendaklah kamu sekalian menjadi orang yang tegak
membela kebenaran karena Allah SWT, menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong
kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah! Keadilan itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah itu Maha Melihat terhadap
apa yang kamu kerjakan” (Q.S. al-Maidah: 8).63
Menurut Kiai Said Aqil, prinsip al-i’tidal mengacu pada kehidupan
masyarakat yang berkeadilan, antara kelompok yang kaya (the have) dan
kelompok miskin (the have not). Begitu pula keadilan dalam konteks
kebudayaan dan politik, yang di dalamnya mencerminkan dimensi kesetaraan
bagi segala kelompok, baik mayoritas maupun minoritas.64
62
63
64
K.H. Husein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung:
Penerbit al-Mizan, 2011), hlm. 50-51.
K.H. Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah & Ajaran (Surabaya: Penerbit
Khalista, 2007), hlm. 70.
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan, dan Kebangsaan,
(Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010), 141.
33
Tak perlu diragukan lagi, keadilan merupakan inti dari ajaran Islam,
sebagaimana firman Allah SWT, “Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan
ada umat yang memberi petunjuk dengan yang haq (benar) dan dengan yang haq
itu mereka menjalankan keadilan” (Q.S. al-A’raf: 181). Kiranya ayat tersebut
menegaskan perintah berlaku adil dalam kehidupan umat manusia, sebab
dengan cara yang demikian solidaritas di antara sesama muslim akan
terbangun.
Sehubungan dengan prinsip al-i’tidal ini, menarik kiranya untuk
melihat upaya rekonstruksi yang dilakukan K.H. Sahal Mahfudh melalui
paradigma fikih sosialnya65. Dalam upaya untuk mengatasi masalah
kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin, beliau melakukan
terobosan mengenai konsep dakwah dan zakat. Dakwah yang selama ini lebih
diartikan sebagai pengajaran masalah-masalah rohani diperluas maknanya
menjadi suatu upaya mengubah keadaan menjadi lebih baik; dari kegelapan
menuju cahaya, dari kebodohan menuju keterdidikan, dari kemiskinan menuju
kecukupan, dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan semua itu ditujukan
untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi sesuai ajaran agama Islam
(din al-islam)66.
65
Kiai Sahal selalu menjelaskan secara detail definisi fikih untuk dijadikan titik acuan gagasan
fikih sosialnya. Definisi fikih adalah ilmu hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang
digali dari dalil-dalil terperinci. Pada dasarnya definisi tersebut mengandung tiga substansi
dasar yang sangat krusial. Pertama, ilmu fikih adalah ilmu yang paling dinamis karena ia
menjadi petunjuk moral bagi dinamika sosial (af’al al-mukallifin) yang selalu mengalami
perubahan. Kedua, ilmu fikih sangat rasional, mengingat ia adalah ilmu iktisab (ilmu hasil
kajian, analisis, penelitian, generalisasi, konklusi). Di sini terjadi kontak sinergis antara
sumber transedental (nash) dan akal (ijtihad). Ketiga, fikih adalah ilmu yang menekankan
pada aktualisasi (amaliah). Di sini kelihatan paradigm berpikir Kiai Sahal yang rasional,
analitis, dan filosofis. Beliau mampu menangkap spirit/ruh transformatif dalam fikih.
Karena itulah, kajian fikih harus menggunakan optimalisasi rasio dan kemampuan
analisis, sehingga fikih tidak menjadi ajaran yang bersifat dogmatik, rigit, dan eksklusif.
Fikih harus berhubungan secara erat dan sinergis dengan problematika manusia, karena
fungsi fikih adalah mengarahkan, mendorong, dan meningkatkan perilaku manusia agar
sesuai dengan tuntutan agama. Perilaku manusia tentu tidak terbatas pada ibadah mahdhah
(ritual-formal) yang sangat terbatas, namun juga mencakup ekonomi, pendidikan,
kesehatan, lingkungan hidup, kependudukan, dan kebudayaan. Dengan itulah fikih
menjadi actual dan relevan dengan kebutuhan dan tantangan zaman (Jamal Ma’mur
Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudh: Antara Konsep dan Implementasi, [Surabaya:
Penerbit Khalista, 2007], hlm. 55-56).
66
Kiai Sahal selalu menekankan kajian mendalam tentang pengertian din (agama), yaitu:
“Ketentuan Ketuhanan yang mendorong orang berakal sehat untuk mencapai sesuatu
yang lebih baik dalam kehidupan dunia dan akhirat”. Dari definisi ini Kiai Sahal
menyimpulkan bahwa syari’at/agama tidak hanya berkutat dalam masalah hubungan
vertical-transedental (hablun min allah) ansich, seperti salat, zakat, puasa, haji, dsb, tapi
juga mengembang dalam wilayah profan-transedental (hablun min al-nas), seperti
ekonomi, pendidikan, kesehatan, SDM, dsb. Bergulat dalam wilayah itu tidak ada yang
lebih diutamakan. Keduanya sama-sama penting, saling melengkapi, sinergis, dan
kombinatif. Sehingga tidak ada yang namanya dikotomi, demarkasi, polarisasi, segmentasi
34
Dalam mengatasi kemiskinan, dakwah Islam bisa ditempuh dengan
dua cara. Pertama, memberi motivasi kepada kaum muslimin yang mampu
untuk menumbuhkan solidaritas sosial. Sebab akhir-akhir ini, di kalangan umat
Islam ada kecenderungan menurunnya solidaritas sosial itu. Tentu saja hal itu
jangan dilihat sebatas hal yang verbalis67 saja karena ia akan sangat tergantung
kepada pendekatan yang dipergunakan. Kedua, yang paling mendesak adalah
dakwah dalam bentuk aksi-aksi nyata dan program-program yang langsung
menyentuh kebutuhan. Ini disebut dakwah bi al-hal. Menurut Kiai Sahal,
dakwah dalam bentuk kedua ini sebenarnya sudah banyak dilaksanakan
kelompok-kelompok Islam, namun mereka masih melaksanakannya secara
sporadis dan tidak dilembagakan sehingga menimbulkan efek kurang baik,
misalnya dalam membagikan zakat68. Akibatnya, menjadikan kaum fakir miskin
dalam menerima zakat tersebut berkecenderungan menjadi orang yang tamak.
Hal itu dikarenakan teknis pembagian zakat yang tidak dikelola dengan baik. 69
Prinsip al-Tasamuh
Prinsip-prinsip al-tawassuth, al-tawazzun, al-i’tidal sebagaimana
diuraikan di atas, pada gilirannya meniscayaan sebuah keterbukaan pikiran
antara wilayah agama dan non-agama. Semua masuk wilayah agama secara komprehensif
(kaffah) (ibid, hlm. 53-54).
67
Sehubungan dengan hal ini, terdapat kaidah fikih yang berbunyi, “memfungsikan perkataan
lebih utama dari pada membiarkannya (I’mal al-kalam aula min ihmalihi).” Kalau orang
yang berilmu diam terus, khawatir pada hal-hal yang membawa dosa, lantas bagaimana
dengan misi memberantas kebodohan, mengentaskan kemiskinan, tentu tidak bisa hanya
dengan berucap saja tanpa tindakan nyata. Ucapan harus diiringi dengan tindakan
kongkret untuk hal-hal yang positif-konstruktif, dan berhati-hati agar terhindar dari hal-hal
negative-destruktif.
68
Menurut Kiai Sahal, zakat harus dijadikan senjata ampuh bagi pengentasan kemiskinan.
Caranya adalah dengan mengelola harta zakat secara produktif melalui sebuah lembaga
yang tentunya harus handal, professional, dan beorientasi pada pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Harus ada monitoring dan evaluasi agar tujuan zakat terealisir secara
maksimal. Dalam praktiknya, Kiai Sahal telah menerapkan model zakat di atas pada tiga
desa di lingkungan tempat beliau tinggal. Memang, ketentuan zakat secara formal (fikih
klasik) mengharuskan agar diberikan langsung kepada mustahiq (penerima zakat) dan
tidak boleh ditukar dengan bentuk yang lain. Untuk menyiasatinya – di samping juga
harus hati-hati pula agar tidak bertentangan dengan ketentuan agama, beliau tetap
memberikan harta zakat kepada mustahiq. Langkah ini dilakukan agar akad zakat tetap
terpenuhi. Kemudian beliau menariknya kembali sebagai modal yang akan dikelola
lembaga koperasi rintisannya. Setelah modal tersebut dirasa cukup bertambah, kemudian
dirupakan sesuatu yang lebih produktif. Kalau si mustahiq membutuhkan becak, maka
diberilah becak; kalau mustahiq mempunyai keterampilan menjahit maka diberilah mesin
jahit. Dengan demikian, meskipun masalah kemiskinan tidak dapat dihapuskan atau
dilenyapkan sama sekali, paling tidak ada upaya untuk menguranginya. Rupanya, ikhtiar
Kiai Sahal dalam mengentaskan kemiskinan melalui zakat tersebut diilhami oleh sebuah
kaidah fikih yang berbunyi, “Sesuatu yang tidak dapat dicapai/diupayakan semuanya,
bukan berarti semuanya itu harus ditinggalkan (ma la yudraku kulluhu la yutraku
kulluhu).
69
Samsul Munir Amin, Percikan Pemikiran Para Kiai, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2009),
hlm. 151.
35
(broadmindedness). Dengan demikian, pernyataan tersebut tentunya membawa
implikasi logis bahwa manusia, siapapun dia dan apa latar belakangnya, selalu
dituntut untuk saling menghargai sesamanya, bekerja bersama-sama, dan
berkontestasi untuk menegakkan kebaikan, kebenaran, keadilan bagi dirinya
sendiri maupun bagi masyarakat secara lebih luas.
Sayangnya, dewasa ini terdapat banyak kasus intoleransi antara umat
beragama dan kekerasan terhadap yang lain, yaitu terkait dengan kehendak
untuk memaksakan pikiran, ideologi, agama, tindakan, dan sebagainya. Ini
sering kali muncul karena masing-masing individu/kelompok menganggap
bahwa pikiran dirinyalah sebagai satu-satunya kebenaran. Sementara pikiran,
ideologi, agama, keyakinan, budaya, persepsi, pandangan, dan perasaan liyan
(the other) tidak masuk dalam kesadarannya sebagai subjek yang juga berpikir
dan memiliki hak atas kebenaran yang diperolehnya. Cara pandang seperti ini
telah menafikan eksistensi manusia sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan
harus dihargai atau dihormati.70
Dengan demikian, kebenaran hanya dimonopoli oleh kelompok
tertentu, dan akibatnya kelompok lain menjadi tereksklusi dari kebenaran. Cara
pandang seperti ini sungguh bertentangan dengan pesan dan visi Islam sendiri,
sebagaimana firman Allah SWT, “Tidak (boleh) ada paksaan dalam agama” (Q.S.
al-Baqarah: 256). Di ayat lain Allah SWT juga berfirman, “Dan sekiranya Allah
SWT tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain,
tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah
ibadah (sinagog) kaum Yahudi, dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak
disebut nama Allah SWT. Sesungguhnya Allah SWT pasti menolong orang yang
menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha
Perkasa” (Q.S. al-Hajj: 40).
Islam sebagai agama rahmatan li al-alamin mengajarkan kepada
umatnya untuk bersikap toleran (al-tasamuh) demi terciptanya kehidupan yang
damai dan rukun di tengah-tengah realitas kehidupan yang plural. Meskipun
kehidupan ini dipenuhi keragaman suku, ras, budaya, agama, namun semua
adalah ciptaan Allah SWT. Prinsip Tauhid ini pada gilirannya meniscayakan
pandangan dunia (weltanschauung) seorang Muslim bahwasanya manusia
adalah sederajat dan setara, hanya bentuk ketakwaanlah yang membedakan
satu dengan yang lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di
sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu” (Q.S. al-Hujurat: 13).
Dengan menyimak uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa revitalisasi paham
Ahlussunnah wal-jama’ah yang menghasilkan rumusan manhaj al-fikr tersebut
merupakan sebuah fase lompatan yang sangat luar biasa, terutama dalam
menegaskan Islam sebagai sumber segala inspirasi, spirit, pengetahuan, dan
70
K.H. Hussein Muhammad, Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, (Bandung:
Penerbit al-Mizan, 2011), hlm. 17.
36
praksis yang mendorong umatnya semakin kreatif, inovatif, dan progresif dalam
menghadapi segala tantangan perubahan zaman. Definisi Ahlussunnah walJama’ah yang paling mutakhir ini (sebagai manhaj al-fikr) akan memberikan
corak pemahaman baru yang tidak hanya dapat mengapresiasi khazanah klasik
ke dalam dengan sangat baik, tapi juga ke luar, misalnya hal-hal yang terkait
dengan persoalan-persoalan urusan sosial-kemasyarakatan.
Penutup
Demikianlah, pokok-pokok pikiran mengenai Ahlussunnah wal-Jama’ah
yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, maupun diskursus
untuk mengembangkan wacana keagamaan. Pembahasan pertama diawali
dengan uraian sejarah Ahlussunnah wal-Jama’ah. Topik ini dirasa penting
mengingat setiap pemikiran apapun bentuknya tidak pernah lepas dari kondisi
sosial-budaya yang melingkupinya. Karena ia adalah respons terhadap kondisi
ri’il yang terjadi. Demikian pula, paham Ahlussunnah wal-Jama’ah merupakan
hasil dari pada akumulasi respon atas berbagai macam kasus sesuai lika-liku
gerak sejarah, yaitu dimulai dari masa awal kemunculannya (risalah Nabi SAW)
hingga tiba masa generasi sekarang. Dalam menyikapi hal ini, maka tidak ada
pilihan lain kecuali mempelajari paham Ahlussunnah wal-Jama’ah tersebut
dengan disertai pijakan yang kuat pada akar historis. Pemahaman yang tidak
berpijak pada akar sejarah bisa dipastikan akan mengakibatkan pada
keterputusan historis yang pada akhirnya akan membentuk suatu generasi yang
latah, pongah, dan sok islami. Inilah kenyataan yang sedang menjangkiti
generasi kita sekarang di mana kebanyakan orang lebih mementingkan simbolsimbol agama, namun kering dari substansinya yang jauh lebih penting.
Kemudian, pembahasan dilanjutkan dengan uraian mengenai hakikat
dan pengertian Ahlussunnah wal-Jama’ah. Hakikat Ahlussunnah wal-Jama’ah
ialah Islam sebagaimana yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW
beserta para sahabatnya. Dengan demikian, maka dapat dihindari
kesalahpahaman dari praduga untuk mengalamatkan tuduhan-tuduhan yang
tidak pantas pada para sahabat Rasulullah SAW yang terlibat konflik. Karena
perbuatan ini jelas menyalahi hadis Nabi SAW. Selain itu, hal yang tidak kalah
penting adalah untuk menghindari klaim “paling benar sendiri” yang
dilontarkan sejumlah pihak hanya karena merasa sudah Ahlussunnah walJama’ah. Dengan mempertimbangkan posisi spasio-temporal kita yang terpaut
jauh dari Rasulullah SAW, maka konsekuensi logisnya ialah bahwa kondisi
keaswajaan kita ini tidak mesti seratus persen. Karena itu, segala penyikapan
atas perbedaan harus bertumpu pada landasan etika deskriptif. Artinya, kita
menyikapi perbedaan itu demikianlah adanya, apa adanya. Mengingat sesat
tidaknya seseorang bukanlah urusan kita, tapi hal itu seluruhnya bergantung
pada keputusan Allah SWT.
Adapun uraian mengenai pengertian Ahlussunnah wal-Jama’ah
(Aswaja) dimaksudkan untuk memberikan sebuah kerangka pemahaman
tentang terminologi Aswaja dalam rumusan dan batasan yang jelas. Dengan cara
ini, maka tindakan serba kompromistis dengan mencampuradukkan semua
unsur (sinkretisme) dapat dihindari. Jika hal ini dibiarkan, dikhawatirkan
37
tindakan yang serba kompromistis itu akan semakin mengaburkan Islam yang
direpresentasikan oleh Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Memang, upaya untuk merumuskan pengertian Aswaja itu tidak dapat
dilepaskan dari hakikat Aswaja itu sendiri. Adapun yang menghubungkan dua
hal tersebut adalah laku mengetahui (mengerti). Dalam hal ini, terdapat dua
macam penyikapan, secara positif atau negatif. Penyikapan secara negatif harus
dihilangkan. Kalau ini dibenarkan, maka segala upaya untuk membangun
pengertian Aswaja ini akan terus-menerus dicurigai sebagai reduksi Aswaja
dalam arti hakikatnya. Akan tetapi, bukankah satu-satunya cara untuk mencapai
(baca: mendekati) hakikat Aswaja itu adalah dengan memberikan rumusan
pengertian yang baku atasnya? Bukankah Socrates telah mengajarkan kepada
kita bahwa ucapan yang dimengerti berbeda dari ucapan biasa, bahwa budi
ialah mengerti? Karena yakin akan perbedaan itu, maka harus ada ikhtiar tiada
henti untuk memperjuangkan kebenaran melalui laku mengerti tersebut.
Kalaupun memang kebenaran yang kita upayakan melalui laku mengerti itu
tidak sepenuhnya dapat kita capai, maka kita anggap saja ia hanya berperan
dalam proses penemuan, bukan dalam proses pembenaran.
Adapun bagian ketiga merupakan upaya penajaman paham
Ahlussunnah wal-Jama’ah yang sudah dibakukan dalam rangka untuk
mengidentifikasi segala unsur-unsur yang menyalahi aturan pokok yang sudah
ditetapkan. Proses identifikasi tersebut menghasilkan konsepsi mengenai
bid’ah. Konsep ini perlu dielaborasi sedetail mungkin agar semakin mudah
dilakukan pemetaan antara perkara yang benar dan yang telah menyimpang.
Jika hal ini diabaikan, maka akan berakibat fatal mengingat konsep ini
menyangkut identitas (sesat tidaknya) seorang Muslim. Hal ini dikarenakan
term bid’ah merupakan lawan dari term sunnah. Keduanya memiliki perbedaan
yang jelas, sehingga makna keduanya tidak bisa saling bertumpang tindih.
Pada bagian selanjutnya, pembahasan diarahkan pada pendekatan
Ahlussunnah wal-Jama’ah melalui metode bermadzhab. Seringkali, pandangan
bermadzhab ini dianggap sebagai cara yang sudah usang dan tidak akomodatif
terhadap tuntutan dan perubahan zaman. Agaknya anggapan demikian
merupakan sebuah simplifikasi masalah yang tidak proposional dan tidak
berdasar. Upaya bermadzhab merupakan keniscayaan intelektual karena realita
sekarang sangat sulit untuk menemukan para ulama yang memiliki kapasitas
pemahaman yang otoritatif. Bahkan, ketentuan ulama tersebut tidak cukup
hanya mumpuni secara intelektual saja, tapi juga harus memiliki integritas,
kepribadian yang paripurna, sikap hidup yang bersahaja, kepeduliaan sosial
yang tinggi, di mana semua itu termanifestasikan dalam kehidupan nyata.
Sepertinya sulit – untuk tidak mengatakan mustahil – menjumpai ulama yang
memiliki kriteria komplet di atas. Jika dengan jujur kita mau mengakui segala
keterbatasan ini, maka kita mau tidak mau harus ber-taqlid (bermadzhab)
mengikuti ajaran para imam madzhab.
Selain metode bermadzhab, Ahlussunnah wal-Jama’ah juga
diperlakukan sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr). Ini merupakan buah dari
revitalisasi paham Ahlussunnah wal-Jama’ah dalam menghadapi segala
38
perubahan dan tantangan zaman. Dengan demikian, diharapkan paham ini
senantiasa kompatibel terhadap persoalan kekinian. Melalui pendekatan
manhaj al-fikr ini, Ahlussunnah wal-Jama’ah menjadi sesuatu yang fleksibel,
inovatif, solutif, sehingga jauh dari kesan kejumudan/kemandegan dalam
beragama. Penting untuk diketahui, pendekatan ini (manhaj al-fikr) bukanlah
untuk menegasikan makna paham Ahlussunnah wal-Jama’ah dengan metode
bermadzhab. Justru keduanya bersifat sinergis dan saling melengkapi,
sebagaimana kaidah fikih yang berbunyi “al-Muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih
wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (memelihara nilai-nilai lama yang baik dan
mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik).
Seringkali penggunaan istilah ‘metode’ pada Aswaja ini dianggap
sebagai kerancuan yang berdampak fatal. Dinamakan metode (al-manhaj),
berarti Aswaja itu hanya sebatas alat/cara (tools/instruments). Konsekuensinya,
apakah ia bisa diganti dengan yang lain? Bukankah ia merupakan agama (Islam)
itu sendiri yang tidak boleh diganti?
Sebagai metode bermahdzab dan metode berpikir, tentu saja ia
memungkinkan dirubah/diganti dengan yang lain. Namun, yang perlu
diperhatikan bahwa perubahan itu bukanlah mengarah pada Ahlussunnah walJama’ah dalam arti hakikatnya, yaitu Islam yang diajarkan dan dipraktikkan
Rasulullah SAW bersama para sahabat. Jadi, perlu ditegaskan kembali
bahwasanya perubahan hanya mungkin terjadi pada konsepsi Ahlussunnah walJama’ah sejauh yang dipahami, baik melalui metode bermadzhab maupun
metode berpikir (manhaj al-fikr). Apalagi, segala bentuk pemahaman mengenai
Ahlussunnah wal-Jama’ah – baik melalui upaya bermadzhab ataupun manhaj alfikr – senantiasa mengandaikan keterbatasan pada laku mengetahui manusia.
Hal ini mengingat posisi spasio-temporal kita yang terpaut jauh dari masa
kehidupan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, berbicara mengenai Ahlussunnah
wal-Jama’ah dalam konteks kemurniannya senantiasa mensyaratkan upaya
pendekatan yang paling mungkin diterapkan kepadanya. Sehubungan dengan
hal ini, para ulama Islam sepakat bahwa pendekatan apapun yang digunakan,
sungguh tidak menjadi masalah sepanjang makna yang terkandung di dalamnya
tidak bertentangan dengan prinsip, norma-norma, atau nilai-nilai universal
Islam. Ada ungkapan yang berbunyi “Fa ma wafaq al-syar’a fa huwa shahih”,
artinya apa yang sejalan dengan agama adalah benar (shahih).
Ringkasnya, pemahaman Ahlussunnah wal-Jama’ah yang dirumuskan
melalui pendekatan bermadzhab dan manhaj al-fikr di atas merupakan model
pendekatan yang dilakukan secara tepat dan cermat. Dikatakan tepat, karena
mengacu pada hasil ijtihad para ulama yang sudah cukup teruji melalui
mekanisme ijma’ (kesepatakan para ulama’), dan dikatakan cermat karena
mengacu pada sejumlah parameter penting (al-tawassuth, al-tawazzun, ali’tidal, dan al-tasamuh) dalam mendeduksikan persoalan partikular kekinian
yang tidak cukup memadai bila hanya mengacu pada produk-produk pemikiran
ulama madzhab.
Terakhir, penting untuk ditekankan bahwa Aswaja bukanlah sebuah
ideologi sebagaimana anggapan beberapa kalangan. Ideologi merupakan hasil
39
serangkaian penyikapan terhadap berbagai macam pengalaman hingga
akhirnya membentuk suatu sistem nilai dan keyakinan yang diterima sebagai
fakta atau kebenaran. Dengan mengacu pada pengertian ini, maka ia
mengandung tiga karakteristik fundamen. Pertama, ideologi bersifat subyektif
karena ia berupa akumulasi pengalaman. Kedua, ideologi dihasilkan dari
simplifikasi untuk mengatasi kompleksitas sesuatu yang sulit dipahami. Ketiga,
ideologi berkonotasi ketidak-berubahan hingga pada taraf tertentu
mensugestikan sebuah kecenderungan ke arah ‘pemberhalaan’ dan propaganda.
Dengan demikian, ideologi hanyalah sesuatu yang dipenuhi ilusi (kesemuan),
bersifat kaku, dan manipulatif. Ia yang sepenuhnya dilahirkan dari kehidupan
duniawiah, sehingga wujudnya pasti bersifat fana’ (lekang zaman).
Sedangkan Ahlussunnah wal-Jama’ah hakikatnya ialah Islam, berupa
wahyu Ilahi, kalamullah yang qadim (tidak terbingkai ruang-waktu).
Kebenarannya pasti mutlak (haq) sebagaimana cerminan dari Sang Pemilik
Kebenaran (Allah SWT). Maka, bagaimana mungkin dua hal yang berbeda ini
bisa disatukan, antara yang haqiqi dan yang berupa bayang-bayang semu?
Apalagi watak ‘penyeragaman’ yang intrinsik dalam ideologi itu akan
berdampak pada pemberhalaan dirinya. Islam sebagai agama tauhid tentunya
menolak penuhanan terhadap semua ciptaan yang disamakan dengan
Penciptanya.
Akhirnya, Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja) yang dianut PMII
(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) adalah model Aswaja yang
memadukan dua pendekatan, yaitu metode bermahdzab dan metode berpikir
(manhaj al-fikr). Aswaja yang dianut PMII tidak bisa dikatakan sebagai ideologi.
Selain bertentangan dengan prinsip ketauhidan, ideologisasi Aswaja juga tidak
sesuai diterapkan dalam konteks ke-Indonesia-an yang terdiri dari berbagai
macam suku, agama, ras, etnik, dan budaya. Sejak awal berdirinya negara ini,
Pancasila telah diterima semua kalangan sebagai asas bernegara yang
mempersatukan segala perbedaan tersebut. Dengan demikian, semua elemen
masyarakat yang tergabung dalam Negara Republik Indonesia harus menerima
Pancasila ini sebagai satu-satunya asas/ideologi. Apakah PMII akan menolak
ketentuan pemerintah tentang asas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi?
Di sinilah, kemampuan Aswaja sebagai metode bermadzhab dan metode
berpikir (manhaj al-fikr) terlihat keluwesannya dalam menghadapi tuntutan
akan penerimaan asas Pancasila tersebut.
Dengan mengacu pada ketentuan fikih (mahdzab) yang disertai
penerapan prinsip-prinsip ke-Aswaja-an (manhaj al-fikr), asas Pancasila itu
diterima PMII sebagai asas organisasinya. Hal ini dikarenakan asas Pancasila
adalah salah satu persyaratan bagi keabsahan Negara Republik Indonesia.
Karena eksistensi Negara ini sudah diterima keabsahannya sejak awal ia berdiri,
maka secara fikih hukum untuk menerima asas Pancasila itu adalah wajib. Hal
ini sesuai dengan kaidah, “Apabila sesuatu yang wajib tidak bisa sempurna
kecuali dengan sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu juga hukumnya
wajib (ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib).” Dasar inilah yang
menjadikan PMII tidak memiliki alasan apapun untuk menolak Pancasila
40
sebagai asas organisasinya. Apalagi, asas Pancasila tersebut tidak berfungsi
untuk menggantikan kedudukan agama (Aswaja) dalam organisasi yang
bersangkutan. Dalam konteks demikian, Islam (Aswaja) dapat saja diletakkan
dalam kedudukan dan waktu yang berlainan dalam kehidupan organisasi PMII
ini. Sehingga pada perkembanganya nanti akan terlihat, Islam dijadikan asas
keorganisasian (AD/ART dan NDP), pada saat lain dijadikan landasan keimanan
(akidah).
41
HISTORISITAS PMII DAN GENEOLOGI GERAKAN MAHASISWA
Nur Sayyid Santoso Kristeva., M.A.
SEKILAS HISTORISITAS PMII
Secara historis PMII berdiri pada tahun 1960. Kondisi sosial politik
waktu itu sedang terjadi rebutan kekuasaan antara kaum Islam modernis
dengan kalangan NASAKOM (NasionaIis, Agarna dan Komunis). Pada waktu itu
kekuasaan yang dekat adalah PKI dengan orang-orang tradisionalis dan
nasionalis. Karena ketiga kelompok ini meiliki titik temu dalam garis
perjuangan maupun pandangan politiknya. Pada pemilu tahun 1955 PKI dan NU
memiliki suara yang sangat signifikan dibangding dengan partai yang lainnya.
Semua partai politik mempunyai sayap poIitik ditingkat mahasiswa, antara lain;
Masyumi-HMI, PKI-CGMNI, PMI-GMNI. Saat itu terjadi konflik ditingkat HMI
yang saat itu merupakan satu-satunya organisasi mahasiswa Islam. Kebetulan
dalam organisasi ini banyak pula kader-kader NU, yang merasa tidak cocok
dengan strategi dan kebijakan organisasi. Sehingga akhimya Mahbub Junaidi,
dkk, keluar dari HMI dan membentuk PMII untuk mewadahi mahasiwa
tradisionalis di Surabaya pada tanggal16 April 1960. Pada awalnya PMII juga
merupakan Under-Bow NU, yang kemudian melepaskan diri dari cengkeraman
partai pada tahun 1972 dengan deklarasi Munarjati. Pasca kudeta militer tahun
1966 kondisi sosial politik berubah total. Semua pos-pos penting diisi oleh
tentara. Kekuatan Islam akomodatif dan konfrontatif dengan negara pada masa
ORLA ditimbulkan karena keduanya tidak bisa diajak untuk menciptakan
stabilitas keamanan. Dengan ideologi developmentaIisme negara korporasi
ORBA menrapkan kebijakan pembangunan sebagai pangIima untuk mengontrol
kesejahteraan kelas menengah, hutang besar-besaran dan WorId Bank
digunakan untuk membangun berbagai proyek yang menguntungkan pemilik
modal dan orang kota. Pada dataran inilah PMII dengan semangat kerakyatan
dan kebangsaan berada di garis perjuangan membela rakyat tertindas.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu
elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan
menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang
situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam
mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh
kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya
Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari
lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE
(seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris).
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi
suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat
para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi
Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat
dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII:
1. Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 19501959.
42
2. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada.
3. Pisahnya NU dari Masyumi.
Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang
kuat di kalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi
sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi
mahasiswa-mahasiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang
kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang
berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Organisasi-organisasi Pendahulu
Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa
Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits
Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa
Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan
kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh
Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua
tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya
kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU.
Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada
Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali
ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah
kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di
Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU
yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya
antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam
pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara
pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi
pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam
melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.
Konferensi Besar IPNU
Oleh karena itu gagasan legalisasi organisasi mahasiswa NU senantisa
muncul dan mencapai puncaknya pada konferensi besar (KONBES) IPNU I di
Kaliurang pada tanggal 14-17 Maret 1960. Dari forum ini kemudian kemudian
muncul keputusan perlunya mendirikan organisasi mahasiswa NU secara
khusus di perguruan tinggi. Selain merumuskan pendirian organ mahasiswa,
KONBES Kaliurang juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus
pendirian organisasi yang terdiri dari 13 tokoh mahasiswa NU. Mereka adalah:
1. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
43
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)
Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M.
Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu,
KH. Idham Kholid.
Deklarasi
Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU
yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta
musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung,
Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Makassar, serta
perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu
diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta
mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari
Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang
menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari
‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P"
merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan
sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai
wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang
tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan
kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal
17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379
Hijriyah. SEMUA itu berkat IPNU.
Independensi PMII
Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU.
PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan organisasi induknya, NU. PMII
merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional.
Selanjuttnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai
mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai
politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi
profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka
PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di
Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun
(terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di
Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII.
Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham
Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara
kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal
Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII
membedakan diri dengan organisasi lain.
Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih
44
tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya,
keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk
direnggangkan.
Dari namanya PMII disusun dari empat kata yaitu “Pergerakan”, “Mahasiswa”,
“Islam”, dan “Indonesia”. Makna “Pergerakan” yang dikandung dalam PMII
adalah dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju
tujuan idealnya memberikan kontribusi positif pada alam sekitarnya.
“Pergerakan” dalam hubungannya dengan organisasi mahasiswa menuntut
upaya sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan
kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam
kualitas kekhalifahannya.
Pengertian “Mahasiswa” adalah golongan generasi muda yang
menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri
mahasiswa terbangun oleh citra diri sebagai insan religius, insan dimnamis,
insan sosial, dan insan mandiri. Dari identitas mahasiswa tersebut terpantul
tanggung jawab keagamaan, intelektual, sosial kemasyarakatan, dan tanggung
jawab individual baik sebagai hamba Tuhan maupun sebagai warga bangsa dan
negara.
“Islam” yang terkandung dalam PMII adalah Islam sebagai agama yang
dipahami dengan haluan/paradigma ahlussunah wal jama’ah yaitu konsep
pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional antara iman,
islam, dan ikhsan yang di dalam pola pikir, pola sikap, dan pola perilakunya
tercermin sikap-sikap selektif, akomodatif, dan integratif. Islam terbuka,
progresif, dan transformatif demikian platform PMII, yaitu Islam yang terbuka,
menerima dan menghargai segala bentuk perbedaan. Keberbedaan adalah
sebuah rahmat, karena dengan perbedaan itulah kita dapat saling berdialog
antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan tatanan yang demokratis
dan beradab (civilized).
Sedangkan pengertian “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa, dan
negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa (Pancasila)
serta UUD 45.
Pelacakan Gerakan Mahasiswa Level Makro
Kecenderungan menguatnya neo-Iiberalisme terjadi dimana-mana,
terutama di negara berkembang atau negara dunia ketiga. Kecenderungan itu
ditunjukkan oleh peran membesar yang dipermainkan oleh berbagai intitusi
perekonomian dunia, seperti; International Monetary fund (IMF), International
Bank for Recontruction of Development (IBRD), World Trade Organization
(WTO). Institusi yang didukung penuh oleh negara-negara maju begitu ganas
mempromosikan struktur perekonomian dunia yang leizes-fair (membiarkan
sesuai mekanisme pasar) dan meminimalisir campur tangan negara yang
dihegemoni. Neo-liberalisme temyata menjadi gurita panas yang mengecam
kekuatan ekonomi di negara berkembang. Pandangan bebasa ini menjadi
paradoks dengan sedemikian rupa mengatur mekanisme perekonomian dunia.
Dengan melihat struktur perekomian negara-negara pheriphery bisa
disimpu1kan bahwa kecenderungan neoliberalisme ini sangat mempengaruhi
45
perekonomian di tingkat akar rumput. Mainstream kapitalisme global dengan
wajah baru telah merasuk dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang
kebijakan di masing-masing negara berkembang. Menghadapi konsekuensi
buruk kapitalisme global dan neoIiberalisme itu menjadi tesis runtuhnya negara
berkembang. Perkembangan global kontemporer dipicu oleh perkembangan
teknologi produksi, informasi, telekomunikasi, dan globalisasi. Kekuatan negara
menjadi sernakin rapuh untuk mengontrol fluktuasi ekonomi politik.
Keterpurukan negara berkembang setelah tidak bisa mengembalikan tatanan
ekonomi ditambah lagi dengan pengabaian Human Right (HAM), komflik etnis,
pelecehan seksual, eksploitasi buruh, konflik atas nama agama, inkonsistensi
para birokrat, dan sekian rnasalah yang menjadi entitas problem.
Dalam hal perekonomian ciri-ciri struktur keterbelakangan negara
indonesia diindikasikan dalam bemagai faktor kehidupan. Salah satu yang
menjadi momok besar atau kesulitan menjadi negara maju adalah bahwa
Indonesia tidak sanggup untuk bergabung dengan kapitalisme global, teritama
sejak ORBA berkuasa tahun 60-an. Indonesia temyata msuk dalam kungkungan
anak kandung kapitalisme yaitu developmentalisme (pembangunanisme).
Ideologi developmentalisme temyata memaksa Indonesia untuk larut dalam
gaya pembangunan kapitalis yang direpresentasikan melauli kebijakan negara
yaitu REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun), kebijakan ini berdampak
pada jaminan kesestabilan politik untuk menarik investor asing. Kestabilan
politik ORBA ini dicapai dengan melakukan tindakan yang sangat dominatif dan
bersifat Otoritarian-Birokratik terhadap kedaulatan rakyat. Indikasi dari gaya
pemerintahan Otoritarian-Birokratik adalah berkuasanya militer secara
institusional, penyingkaran dari partisipasi, kooptasi terhadap organisasi massa.
Gaya pemerintahan yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi
berdasarkan filsafat trickle down effek mengisaratkan bahwa pertumbuhan
ekonomi yang Iebih tinggi harus dicapai terlebih dahulu sebelum dibagikan
secara m.erata kepada seluruh masyaraka - harus dibayar dengan
diberangusnya hak-hak politik rakyat. Akibatnya pertumbuhan ekonomi tinggi
ini hanya dinikmati oleh minoritas-hal ini berdampak terjadinya kesenjangan
antara si kaya dengan si miskin.
Strategi Gerakan Sosial
Empat landasan dalam menyusun strategi gerakan sosial, yaitu:
Pertama, Ideologi, dasar filosofi gerakan merupakan nilai-nilai yang menjadi
landasan pergerakan mahasiswa. Sebuah institusi kemahasiswaan yang
mengemban idealisme yang tinggi harus memakai filsafat gerakan pembebasan
(liberasi) dan kemandirian (interdependensi). Liberasi adalah sebuah metode
alternatif untuk mencapai kebebasan individu, sehingga individu tersebut
mempunyai kualitas dan mental yang kuat untuk mendobrak dan menggeser
kekuasaan negara yang represif dan totaliter dan melakukan perlawaman atas
ekspansi hegemoni negara, untuk mengembalikan kekuasaan tersebut kepada
otoritas dan kedaulatan rakyat. Liberasi ini juga memberikan kebebasan
berekspresi dan kebebasan berfikir tanpa dipasung oleh sebuah rezim.
lnterdependensi adalah kemandirian dalam mengembangkan kreatifitas,
46
keterbukaan, rasa tanggungjawab dalam dinamika pergerakan untuk
membangun moralitas dan intelektualitas sebagai senjata dan tameng dalam
setiap aksi. Aksi yang diiringi dengan interdependensi akan mewujudkan
kesadaran mahasiswa dalam menjaga jarak dan hubungan dengan kekuasaan,
sehingga aksi mahasiwa merupakan kekuatan murni untuk membela
kepentingan rakyat dan melakukan transformasi sosial tanpa terkooptasi oleh
kepentingan politik kelompok manapun.
Kedua, Falsafah Gerakan, strategi ini lebih kepada falsafah bertindak
dengan model pendekatan (appoach methode). Dalam pendekatan ini gerakan
mahasiswa berupaya mengambil jarak dengan negara tanpa menafikan
keberadaan dan legitirnasinya, sehingga kekuatan negara dapat diimbangi oleh
kekuatan masyarakat. Model pendekatan ini adalah proses; (a) transformasi
dari orientasi massa ke individu, (b) transformasi dari struktur ke kultur, (c)
transfornzasi dari elitisme ke populisme, (d) transformasi dari negara ke
masyarakat.
Ketiga, Segmenting, strategi ini merupakan pilihan wilayah gerak. Yang
harus dipahami bahwa terbentuknya Student Government adalah sebagai upaya
taktis untuk melakukan proses transformasi sosial, berangkat dari student
movement menuju ke social movement. Transformasi sosial merupakan wahana
yang paling kondusif untuk membebaskan kaum tertindas menuju masyarakat
mandiri (civil society). Gerakan mahasiswa juga harus mengarah pada advokasi
akan hak-hak kaum bawah, sehingga posisi mahasiswa merupakan penyambung
lidah dan jerit kaum yang termarginalkan oleh penguasa. Kebijakan pemerintah
yang sentralistik tanpa melibatkan rakyat dalam mengambil keputusan yang
menyangkut kepentingan publik, serta konstalasi politik yang carut marut
merupakan lahan garapan mahasiswa baik yang ada di intra parlemen yaitu
BEM atau organisasi ektra perlementer atau luar kampus seperti PMII, HMI
MPO, HMI DIPO, IMM, KAMMI, FPPI, LMND dan organisasi ekstra palementer
lainnya.
Keempat, Positioning, artinya adalah bahwa lembaga eksekutif
tersebut harus meletakkan dasar organisasi sebagai institusi profit atau nonprofit. Idealnya menurut hemat penulis bahwa lembaga eksekutif ini yang
berada pada jalur intra parlementer lembaga kemahasiswaan ini menggeser
paradigrna yang tadinya dari gerakan student movement menjadi social
movement. Sehingga aras gerak yang dilakukan lebuih kepada pemberdayaan
rakyat keeil yang tertindas dan terhegemoni oleh kekuasaan yang represif.
47
Download