BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Bermain 1. Defenisi Bermain Dunia anak adalah dunia bermain.Melalui bermain anak dapat mengekspresikan pikiran, perasaan, fantasi serta daya kreasi dengan tetap mengembangkan kreatifitasnya dan beradaptasi lebih efektif terhadap berbagai sumber stres. Dengan bermain anak dapat belajar mengungkapkan isi hati melalui kata-kata, anak belajar dan mampu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, obyek bermain, waktu, ruang dan orang (Sujono, 2009). Masa anak-anak sangat identik dengan bermain, karena perkembangan anak mulai diasah sesuai kebutuhannya disaat tumbuh kembang. Bermain merupakan suatu aktivitas dimana anak-anak dapat melalukan atau mempraktekkan keterampilan, memberikan ekspresi terhadap pemikiran, menjadi kreatif, mempersiapkan diri untuk berperan dan berperilaku dewasa (Aziz, 2010). Aktivitas bermain yang dilakukan anak-anak merupakan cerminan kemampuan fisik, intelektual, emosional dan sosial. Bermain juga merupakan media yang baik untuk belajar, karena dengan bermain anak – anakakan, berkata – kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan, melakukan apa yang dapat dilakukannya, dan mengenal waktu, jarak, serta suara (Wong, 2009). Bagi anak-anak, bermain adalah “pekerjaan” mereka. Bermain membantu anak memahami ketegangan dan tekanan, mengembangkan kapasitas mereka, dan menguatkan pertahanan mereka, sehingga bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak baik sehat maupun sakit (Adriana,2011). Bermain membantu anak menguasai kecemasan dan konflik sehingga ketegangan mengendur dan anak tersebut dapat menghadapi masalah kehidupan. Permainan memungkinkan anak menyalurkan kelebihan energi fisik dan melepaskan emosi yang tertahan, 7 8 yang meningkatkan kemampuan anak untuk menghadapi masalah (Adriana, 2011). Perkembangan secara fisik dapat dilihat saat bermain, perkembangan intelektual bisa dilihat dari kemampuannya menggunakan atau memamfaatkan lingkungan, perkembangan emosi dapat dilihat ketika anak merasa senang, tidak senang, marah, menang dan kalah dan perkembangan sosial bisa dilihat dari hubungannya dengan teman sebayanya, menolong dan memperhatikan kepentingan orang lain (Soetjiningsih, 2009). 2. Fungsi Bermain Fungsi utama bermain adalah merangsang perkembangan sensorik-motorik, membantu perkembangan kognitif/intelektual, perkembangan sosial, perkembangan kreativitas, perkembangan kesadaran diri, perkembangan moral, dan bermain sebagai terapi (Soetjiningsih, 2009). 1. Perkembangan Sensorik-Motorik Pada saat melalukan permainan, aktivitas sensorik-motorik merupakan komponen terbesar yang digunakan anak dan bermain aktif sangat penting untuk perkembangan fungsi otot, sehingga kemampuan penginderaan anak mulai meningkat dengan adanya stimulasi-stimulasi yang diterima anak seperti: stimulasi visual (penglihatan), stimulasi audio (pendengaran), stimulasi taktil (sentuhan) dan stimulasi kinetik. 2. Perkembangan Intelektual (Kognitif) Pada saat bermain, anak melakukan eksplorasi dan manipulasi terhadap segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitar, terutama mengenai warna, bentuk, ukuran, tekstur dan membedakan objek. Saat bermin, anak akan mencoba melakukan komunikasi dengan bahasa anak, mampu memahami objek permainan seperti dunia tempat tinggal, mampu membedakan khayalan dengan kenyataan dan berbagai mamfaat benda yang digunakan dalam permainan, sehingga fungsi bermain pada model demikian akan meningkatkan perkembangan kognitif selanjutnya. 9 3. Perkembangan Sosial Perkembangan sosial ditandai dengan anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar memberi dan menerima. Bermain dengan orang lain akan membantu anak mengembangkan hubungan sosial, belajar memecahkan masalah dari hubungan tersebut. Contoh pada anak-anak usia todler yang bermain dengan teman sebayanya dan bentuk permainannya adalah bermain peran seperti menjadi guru, menjadi ayah atau ibu, menjadi anak dan lain-lain. Ini merupakan tahap awal bagi anak usia todler dan prasekolah untuk meluaskan aktivitas sosialnya diluar lingkungan keluarga. 4. Perkembangan Kreativitas Bermain dapat meningkatkan kreativitas yaitu anak mulai menciptakan sesuatu dan mewujudkannya kedalam bentuk objek atau kegiatan yang dilakukannya. Melalui kegiatan bermain, anak akan belajar dan mencoba untuk merealisasikan ide-idenya, misalnya dengan membongkar dan memasang satu alat permainan akan merangsang kreativitasnya untuk semakin berkembang. 5. Perkembangan Kesadaran Diri Anak yang bermin akan mengembangkan kemampuannya dalam mengatur tingkah laku.Anak juga akan belajar mengenali kemampuannya dan membandingkannya dengan orang lain dan menguji kemampuannya dengan mencoba peran-peran baru dan mengetahui dampak tingkahlakunya terhadap orang lain. 6. Perkembangan Moral Anak mempelajari nilai benar dan salah dari lingkungannya, terutama dari orang tua dan guru. Anak yang melakukan aktivitas bermain, akan mendapatkan kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut sehingga dapat diterima di lingkungannya dan dapat menyesuaikan diri dengan aturan 10 kelompok yang ada dalam lingkungannya. Bermain juga dapat membantu anak belajar mengenai nilai moral dan etika, belajar membedakan mana yang benar dan mana yang salah serta belajar bertanggungjawab atas segala tindakan yang dilakukannya. Permainan adalah media yang efektif untuk mengembangkan nilai moral dibandingkan dengan memberikan nasehat.Oleh karena itu, penting bagi orangtua untuk mengawasi anak saat anak melakukan aktivitas bermain dengan mengajarkan nilai moral, seperti baik atau buruk, benar atau salah. 7. Bermain Sebagai Terapi Bermain mempunyai nilai terapeutik, bermain dapat menjadikan diri anaklebih senang dan nyaman sehingga adanya stres dan ketegangan yang dapat dihindarkan, mengingat bermain dapat menghibur anak terhadap dunianya. Pada saat dirawat di rumah sakit, anak akan mengalami perasaan yang sangat tidak menyenangkan seperti marah, takut, cemas, sedih dan nyeri. Anak yang melakukan kegiatan bermain akan terlepas dari ketegangan dan stres yang dialaminya akibat dari efek dirawat di rumah sakit. Bermain di rumah sakit membuat normal sesuatu yang asing dan kadang kondisi lingkungan yang tidak ramah dan memberi jalan untuk menurunkan tekanan. Bermain membantu untuk memahami ketegangan dan tekanan, mengembangkan kapasitas mereka, dan menguatkan pertahanan mereka. 3. Tujuan Bermain Supartini (2010) mengemukakan beberapa tujuan dari terapi bermain antara lain: 1. Untuk melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang normal pada saat sakit anak mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangannya, walaupun demikian selama anak dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan masih harus tetap dilanjutkan untuk menjaga keseimbangannya. 11 2. Mengekspresikan perasaan, keinginan dan fantasi, serta ide-idenya pada saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit anak mengalami berbagai perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat mengekspresikannya secara verbal, permainan adalah media yang sangat efektif untuk mengekspresikannya. 3. Mengembangkan kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah, permainan akan menstimulasi daya pikir, imajinasi dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada dalam pikirannya. 4. Dapat beradaptasi secara efektif terhadap stres karena sakit dan dirawat di rumah sakit. 4. Klasifikasi Bermain Sifat bermain pada anak yang kita tahu ada dua yaitu bersifat aktif dan bersifat pasif. Sifat demikian akan memberikan jenis permainan yang berbeda, dikatakan bermain aktif jika anak berperan aktif dalam permainan, selalu memberikan rangsangan dan melaksanakannya, sedangkan bermain pasif adalah anak memberikan respon secara pasif terhadap permainan dan orangatau lingkungan yang memberikan respon secara aktif. Melihat sifat tersebut, kitadapat mengenal macam-macam dari permainan. Ada beberapa jenis permainan, ditinjau dari isi permainan dan karakter sosialnya. Berdasarkan isi permainan dan ada social affective play, sense pleasure play, skill play, games, unoccupied behavior dan darmatic play. Ditinjau dari karakter permainan, terdapat jenis social onlooker play, solitary paly dan parallel play (Aziz, 2010). 1. Berdasarkan Isi Permainan a. Social Affective Play (Bermain Afektif Sosial) Bermain ini menunjukkan adanya perasaan senang dalam berhubungan dengan orang lain. Sifat dari bermain ini adalah orang lain yang berperan aktif dan anak hanya berespon terhadap stimulasi sehingga akan memberikan kesenangan dan kepuasan bagi anak. Permainan yang biasa 12 dilakukan adalah “ciluk ba”, berbicara dan memberitangan untuk digenggam oleh bayi sambil tersenyum/tertawa. Bayi akan mencoba berespon terhadap tingkah laku orang tuanya dengan tersenyum, tertawa atau mengoceh. b. Sense of Pleasure Play (Bermain Bersenang-senang) Bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak melalui objek yang ada, sehingga anak merasa senang dan bergembira tanpa adanya kehadiran orang lain. Sifat bermain ini adalah bergantung pada stimulasi yang diberikan pada anak, mengingat sifat dari bermain ini hanya memberikan kesenangan pada anak tanpa mempedulikan aspek kehadiran orang lain, misalnya dengan menggunakan pasir, anak akan membuat gunung-gunung atau benda apa saja yang dapat dibentuknya dengan pasir. c. Skiil Play (Bermain Keteranpilan) Permainan iniakan meningkatkan keterampilan anak khususnya motorik kasar dan halus, misaklnya bayi akan terampil memegang benda-benda kecil, memindahkan benda dari satu tempat ke tempat lain, dan anak akan terampil naik sepeda. Keterampilan tersebut diperoleh dari pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan. Semakin sering melakukan latihan, anak akan semakin terampil. Sifat permainan ini adalah bersifat aktif dimana anak selalu ingin mencoba kemampuan dalam keterampilan tertentu seperti bermain dalam bongkar pasang gambar. d. Games atau Permainan Games atau permainan adalah jenis permainan yang menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan oleh anak sendiri atau dengan teman sebayanya. Banyak sekali jenis permainan ini mulai 13 dari yang tradisional maupun yang modern misalnya ular tangga, congklak, puzzle dan lain-lain. e. Dramatic Play (Bermain Dramatik) Dramatic play dapat dilakukan anak dengan mencoba melakukan berpura-pura dalam perilaku seperti anak memperankan sebagai seorang dewasa, seorang ibu dan guru dalam kehidupan sehari-hari.Sifat dari permainan Dramatic play ini adalah anak dituntut aktif dalam memerankan sesuatu. Permainan dramatic ini dapat dilakukan apabila anak sudah mampu berkomunikasi dan mengenal kehidupan sosial. Permainan ini penting untuk proses identifikasi terhadap peran orang tertentu. f. Unoccupied Behavior Unoccupied behavior bukanlah permainan yang umumnya kita pahami. Pada saat tertentu, anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum, tertawa, memainkan kursi, meja atau apa saja yang ada disekelilingnya, jadi sebenarnya anak tidak memainkan alat permainan tertentu. Situasi dan objek disekelilingnya yang digunakan sebagai alat permainan. Anak tampak senang, gembira, dan asyik dengan situasi serta lingkungan tersebut. 2. Berdasarkan Karakter Sosial Berdasarkan karakter sosialnya, ada lima jenis permainan, yaitu onlooker Play, solitary play, paralel play, assosiative play dan cooperative play. a. Onlooker play Jenis permainan ini adalah dengan melihat apa yang dilakukan oleh anak lain yang sedang bermain tetapi tidak berusaha untuk bermain. Anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya. 14 b. Solitary Play Solitary play merupakan jenis permainan yang dilakukan secara mandiri dan berpusat pada permainannya sendiri tanpa memperdulikan orang lain. Pada permainan ini anak tampak berada dalam kelompok permainannya, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang dimilikinya,dan alat permainan tersebut berbeda dengan alat permainan yang digunakan temannya, tidak ada kerja sama ataupun komunikasi dengan teman sepermainan. c. Parallel Play Pada permainan ini, anak dapa menggunakan alat permainan yang sama, tetapi antara satu anak dengan anak lain tidak terjadi kontak satu sama lain sehingga tidak ada sosialisasi satu sama lain. Sifat dari permainan ini adalah anak aktif secara mandiri tetapi masih dalam satu kelompok. d. Assosiative Play Associative play Smelibatkan interaksi sosial dengan sedikit atau tanpa pengaturan. Tipe permainan ini adalah anak-anak kelihatan lebih tertarik pada satu sama lain dibanding pada permainan yang mereka mainkan. Bermain ini akan menumbuhkan kreativitas anak karena stimulasi dari anak lain ada, akan tetapi belum dilatih dalam mengikuti peraturan dalam kelompok. Contohnya bermain boneka-bonekaan, hujan-hujanan, dan bermain masak-masakan. e. Cooperative Play Cooperative play merupakan bermain secara bersama dengan adanya aturan yang jelas sehingga adanya perasaan dalam kebersamaan sehingga berbentuk hubungan pemimpin dan pengikut. Sifat dari bermain ini adalah aktif, anak akan selalu menumbuhkan kreativitasnya dan melatih anak pada peraturan kelompok sehingga anak dituntut selalu mengikuti peraturan. Contohnya pada permainan sepak bola, ada anak yang 15 memimpin permainan, aturan main harus dijalankan oleh anak dan mereka harus dapat mencapai tujuan bersama, yaitu memenangkan permainan dengan memasukkan bola ke gawang lawan mainnya. 5. Jenis Permainan Untuk Anak Prasekolah Usia 4-5 Tahun Usia anak prasekolah dapat dikatakan sebagai masa bermain, karena setiap waktunya diisi dengan kegiatan bermain. Kegiatan bermain yang dimaksud disini adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan kebebasan batin untuk memperoleh kesenangan. Terdapat beberapa macam permainan anak usia prasekolah menurut Adriana (2011) yaitu sebagai berikut: a. Permainan fungsi (permainan gerak) seperti meloncat-loncat, naik turun tangga, berlari-lari, bermain tali, dan bermain bola. b. Permainan fiksi, seperti menjadikan kursi seperti kuda, main sekolahsekolahan, dagang-dagangan, perang-perangan, dokter-dokteran, robotrobotan, tembak-tembakan dan masak-masakan. c. Permainan reseptip atau apresiatif, seperti mendengarkan cerita atau dongeng, melihat gambar, membaca buku cerita, melihat orang melukis, menceritakan kisahnya. d. Permainan membentuk (konstruksi), seperti membuat kue dari tanah liat, membuat gunung pasir, membuat kapal kapalan dari kertas, membuat gerobak dari kulit jeruk, membentuk bangunan rumah-rumahan dari potongan kayu-kayu, puzzle. e. Permainan prestasi seperti sepak bola, bola voli, tenis meja dan bola basket. 6. Bermain Untuk Anak yang Dirawat Di Rumah Sakit Tujuan utama asuhan keperawatan bagi anak yang dirawat di rumah sakit adalah meminimalkan munculnya masalah pada perkembangan anak, perawat yang memberi kesempatan pada anak untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan tingkat perkembangan akan lebih menormalkan lingkungan anak. Anak-anak perlu bermain untuk mengeluarkan rasa takut dan cemas yang mereka alami sebagai alat koping dalam menghadapi stres akibat sakit dan dirawat di rumah sakit. 16 1. Manfaat Bermain di Rumah Sakit Adapun manfaat bermain di rumah sakit menurut Wong (2009), yaitu sebagai berikut: a. Memberikan pengalihan dan menyebabkan relaksasi b. Membantu anak merasa lebih aman di lingkungan yang asing c. Membantu mengurangi stres akibat perpisahan dan perasaan rindu rumah d. Alat untuk melepaskan ketegangan dan ungkapan perasaan e. Meningkatkan interaksi dan perkembangan sikap yang positif terhadap orang lain f. Sebagai alat ekspresi ide-ide dan minat g. Sebagai alat untuk mencapai tujuan terapeutik h. Menempatkan anak pada peran aktif dan memberi kesempatan pada anak untuk menentukan pilihan dan merasa mengendalikan. 2. Terapi bermain yang dilaksanakan di rumah sakit tetap harus memperhatikan kondisi kesehatan anak. Beberapa prinsip bermain pada anak di rumah sakit (Supartini, 2010) : a. Permainan tidak boleh bertentangan dengan pengobatan yang sedang dijalankan pada anak. Apabila anak harus tirah baring, harus dipilih permainan yang dapat dilakukan di tempat tidur, dan anak tidak boleh diajak bermain dengan kelompoknya di tempat bermain khusus yang ada diruang rawat. b. Permainan yang tidak membutuhkan banyak energi, singkat dan sederhana. Pilih permainan yang tidak melelahkan anak, menggunakan alat permainan yang ada pada anak atau yang tersedia diruangan. Walaupun akan membuat suatu alat permainan, pilih yang sederhana supaya tidak melelahkan anak. 17 c. Permainan harus mempertimbangkan keamanan anak. Pilih alat permainan yang aman untuk anak, tidak tajam, tidak merangsang anak untuk berlari-lari dan bergerak secara berlebihan. d. Melibatkan orang tua saat anak bermain merupakan suatu hal yang harus diingat. Orang tua mempunyai kewajiban untuk tetap melangsungkan upaya stimulasi tumbuh kembang pada anak walaupun sedang dirawat di rumah sakit, termasuk dalam aktivitas bermain anaknya. Perawat hanya bertindak sebagai fasilitator sehingga apabila permainan diinisiasi oleh perawat, orangtua harus terlibat secara aktif dan mendampingi anak. Peneliti melihat bahwa macam permainan anak yang dapat dilakukan anak di rumah sakit menurut Adrian (2011) adalah permainan fiksi seperti dokter-dokteran, robot-robotan, tembak-tembakan. Permainan reseptif atau apresiatif seperti mendengarkan cerita melihat gambar, melihat orang melukis atau dongeng, dan permainan membentuk (konstruksi) seperti puzzle. Bentuk permainan ini dapat dilakukan oleh anak-anak yang sakit karena sesuai dengan keterbatasan fisik. B. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau ansietas adalah reaksi yang normal terhadap stres dan ancaman bahaya. Ansietas merupakan reaksi emosional terhadap persepsi adanya bahaya,baik yang nyata maupun yang hanya dibayangkan. Ansietas dan ketakutan sering digunakan dengan arti yang sama; tetapi, ketakutan biasanya merujuk akan adanya ancaman yang spesifik; sedangkan ansietas merujuk akan adanya ancaman yang tidak spesifik (Sacharin,2010). Kecemasan merupakan suatu respon emosi atau perasaan yang timbul dari penyebab yang tidak pasti dan tidak spesifik yang dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman dan merasa terancam. Kecemasan terjadi sebagai akibat dari 18 adanya ancaman terhadap diri, harga diri atau identitas seseorang, selain itu kecemasan bisa berhubungan dengan ketakutan akan hukuman, penolakan, kurang kasih sayang, rusaknya hubungan atau kehilangan fungsi tubuh. Kecemasan juga berkaitan dengan tingkat perkembangan, jenis kelamin, sosial budaya dan pengalaman. Manifestasi yang khas pada ansietas tergantung pada masing-masing individu dan dapat meliputi menerik diri, membisu, hiperaktif, mengumpat, berbicara atau bercanda secara berlebihan, menyerang dengan katakata atau secara fisik, berkhayal, mengeluh dan menangis (Stuart& Sundden, 2009). Riwayat kecemasan yang berkembang secara normal pada awalnya Nampak pada usia7-8 bulan, ketika bayi mulai membandingkan dengan pengasuh primernya, pada diri mereka sering berkembang rasa was-was dan perubahan suasana hati yang sebelumnya tidak ada apabila bersama orang asing. Anak prasekolah secara khas mengembangan ketakutan spesifik akibat gelap, binatang, situasi khayalan. Anak usia sekolah berhenti mengkhayalkan ketakutan secara perlahan dan menggantinya dengan takut bahaya badaniah dan juga kekhawatiran lain yang secara potensial nyata (Stuart& Sudden 2009). a. Kecemasan Ketika Proses Perawatan Di Rumah Sakit Dirawat di rumah sakit atau perawatan di rumah sakit merupakan suatu proses yang karena suatu alasan yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah sakit, untuk menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangan kembali ke rumah. Penyakit dan dirawat di rumah sakit seringkali menjadi krisis pertama yang harus dihadapi anak, untuk anak-anak penyakit dan dirawat di rumah sakit merupakan pengalaman yang penuh tekanan. Anak-anak, terutama selama tahun-tahun awal, sangat rentang terhadap krisis penyakit dan dirawat di rumah sakit karena stres akibat perubahan dari keadaan sehat biasa dan rutinitas lingkungan, dan anak memiliki jumlah mekanisme koping yang terbatas untuk menyelesaikan stressor (kejadian-kejadian yang menimbulkan stres). 19 Stressor utama dari dirawatdi rumah sakit antara lain adalah perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri. Reaksi anak terhadap krisis tersebut dipengaruhi oleh usia perkembangan mereka, pengalaman mereka sebelumnya dengan penyakit, perpisahan atau dirawatdi rumah sakit, keterampilan koping yang mereka miliki dan dapatkan, keparahan diagnosis dan sistem pendukung yang ada. Perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri bisa membuat anak menjadi cemas. Rasa cemas yang ditunjukkan setiap anak berbeda-beda sesuai usianya, namun yang menjadi pokok pembahasan dalam skripsi ini yaitu pada anak usia 4-5 tahun yang masuk dalam usia prasekolah. Berikut ini adalah kecemasan ketika proses dirawat di rumah sakit pada anak usia 4-5 tahun menurut (Wong, 2009). b. Cemas Akibat Perpisahan Kecemasan akibat perpisahan merupakan stres terbesar yang timbul selama perawatan di rumah sakit selama masa bayi dan masa kanak-kanak awal atau prasekolah. Respon terhadap stressor ini selama masa bayi dan kanak-kanak awal atau prasekolah ditunjukkan melalui 3 fase yaitu fase protes, fase putus asa dan fase pelepasan (Wong, 2009). 1. Fase Protes Selama fase protes, anak-anak bereaksi secara agresif terhadap perpisahan dengan orang tua yang mereka tunjukkan dengan cara mereka menangis dan berteriak memanggil orang tua mereka, menolak perhatian dari orang lain dan kedukaan mereka tidak dapat ditenangkan. Perilaku lain yang diobservasi selama masa todler sampai prasekolah yaitu: menyerang orang asing secara verbal (mis:“pergi”), menyerang orang lain secara fisik (mis: menendang, menggigit, memukul, mencubit), mencoba kabur untuk mencari orang tua, mencoba menahan orang tua secara fisik agar tetap tinggal bila ada perawat yang akan melakukan tindakan berupa infus, suntik. Perilaku-perilaku tersebut dapat berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. Protes 20 seperti menangis dapat terus berlangsung, hanya berhenti bila lelah. Pendekatan orang asing dapat mencetuskan peningkatan stres. 2. Fase Putus Asa Perilaku yang diobservasi pada usia prasekolah pada fase putus asa yaitu: anak menjadi tidak aktif, anak menarik diri dari orang lain, anak terlihat depresi atau sedih, anak menjadi tidak tertarik dengan lingkungan, misalnya hanya ingin tidur terus, tidak komunikatif, mundur keperilaku awal (mis: mengisap ibu jari, mengompol, menggunakan dot, menggunakan botol). Lamanya perilaku tersebut berlangsung bervariasi dan kondisi fisik anak dapat memburuk karena menolak untuk makan, minum atau bergerak. 3. Fase Pelepasan Fase pelepasan disebut juga fase penyangkalan. Pada fase ini, secara superficial tampak bahwa anak akhirnya menyesuaikan diri terhadap lingkungan.Anak tersebut menjadi tertarik terhadap lingkungan sekitar, bermain dengan orang lain, dan tampak membentuk hubungan baru, akan tetapi perilaku ini merupakan hasil dari kepasrahan dan bukan merupakan tanda-tanda kesenangan. Anak memisahkan diri dari orang tua sebagai upaya menghilangkan nyeri emosional karena menginginkan kehadiran orang tua dan mengatasinya dengan membentuk hubungan yang dangkal dengan orang lain, menjadi makin berpusat dengan diri sendiri. Tahap ini merupakan tahap yang paling serius karena pemutar balikkan reaksi yang merugikan cenderung terjadi setelah sikap memisahkan diri sendiri. Perkembangan ketahap pelepasan jarang terjadi. Perilaku yang diobservasi pada fase pelepasan yaitu: menunjukkan peningkatan minat terhadap lingkungan sekitar, berinteraksi dengan orang asing atau 21 pemberi asuhan yang dikenalnya, membentuk hubungan baru namun dangkal, tampak bahagia. c. Kehilangan Kendali Satu faktor yang mempengaruhi jumlah stres akibat dirawat di rumah sakit adalah jumlah kendali yang orang tersebut rasakan.Wong (2009) mengatakan bahwa perasaan kehilangan kendali terjadi akibat perpisahan, retriksi fisik, perubahan rutinitas, pemaksaan ketergantungan dan pemikiran magis. Kurangnya kendali akan meningkatkan persepsi ancaman dan dapat mempengaruhi keterampilan koping anak-anak. Kehilangan kendali dalam konteks kekuasaan diri mereka merupakan faktor yang mempengaruhi secara krisis persepsi dan reaksi mereka terhadap perpisahan, nyeri, sakit dan dirawat di rumah sakit. Egosentris dan pemikiran magis anak prasekolah membatasi kemampuan mereka untuk memehami berbagai peristiwa karena mereka memandang semua pengalaman dari sudut pandang mereka sendiri (egosentrik). Tanpa persiapan yang adekuat terhadap lingkungan yang tidak dikenal atau pengalaman, penjelasan fantasi anak prasekolah untuk peristiwa-peristiwa semacam itu biasanya lebih berlebihan, aneh dan lebih menakutkan dari kejadian sebenarnya. Respon terhadap pemikiran semacam itu membuat anak biasanya merasa malu, bersalah dan takut. Anak prasekolah juga menyimpulkan dari sesuatu yang khusus ke sesuatu yang khusus lagi, bukan dari spesifik ke umum atau sebaliknya, misalnya jika konsep anak prasekolah tentang perawat adalah mereka yang menyebabkan nyeri, maka anak prasekolah akan berpikir bahwa setiap perawat atau setiap orang yang memakai seragam yang sama juga akan menyebabkan nyeri. 22 d. Cedera Tubuh dan Nyeri Takut akancedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak. Konsekwensi rasa takut ini dapat sangat mendalam. Konflik psikososial anak ada kelompok usia prasekolah membuatnya sangat rentan terhadap ancaman cedera tubuh. Prosedur intrusif baik yang menimbulkan nyeri maupun yang tidak, merupakan ancaman bagi anak prasekolah yang konsep integritas tubuhnya belum berkembang baik. Anak prasekolah dapat bereaksi terhadap injeksi sama khawatirnya dengan nyeri saat jarum dicabut, mereka takut intrusif atau pungsi fena atau pungsi lumbal pada tubuh tidak akan menutup kembali dan “isi tubuh” mereka akan bocor keluar. Reaksi terhadap nyeri cenderung sama dengan yang terlihat pada masa todler, meskipun bebarapa perbedaan menjadi jelas, misalnya, respon anak prasekolah terhadap intervensi persiapan dalam hal penjelasan dan distraksi lebih baik bila dibandingkan dengan respon anak yang lebih kecil. Agresi fisik dan verbal lebih spesifik dan mengarah pada tujuan bukan menunjukkan resistensi tubuh total,anak prasekolah malah akan mendorong orang yang akan melakukan prosedur agar menjauh, mencoba mengamankan peralatan atau berusaha mengunci diri di tempat yang aman. Anak prasekolah juga bisa menyerang atau melarikan diri. Ekspresi verbal mereka bisa ditunjukkan dengan mengatakan pada perawat secara verbal “pergi dari sini” atau “saya benci kamu”. Respon anak prasekolah saat mengalami cedera tubuh dan nyeri yaitu: menangis keras, berteriak, ekspresi verbal seperti “aduh”, “auw”, “sakit”, memukul-mukulkan lengan dan kaki, berusaha mendorong stimulus menjauh sebelum nyeri terjadi, tidak kooperatif, memerlukan restrein fisik, meminta agar prosedur dihentikan, bergelayut pada orang tua atau orang bermakna 23 lainnya, meminta dukungan emosional seperti pelukan, dapat menjadi gelisah dan peka terhadap nyeri yang berkelanjutan. 2. Teori Kecemasan Ada beberapa teori yang menjelaskan predisposisi dari cemas menurut Stuart & Sundeen (2009), antara lain: 1. Teori Psikoanalitik Teori ini berasumsi penyebab utama dari kecemasan adalah konflik internal dan faktor lain yang tidak diketahui. Freud membedakannya antara kecemasan objektif, respon yang timbul terjadi akibat seseorang berada dalam situasi yang mengancam sedangkan pada kecemasan neurotik, respon yang terjadi bukan karena seseorang berada dalam situasi mengancam yang nyata. Hal ini terjadi lebih karena adanya konflik individu antara id dan superego, karena konflik antara id dan super ego merupakan hal yang tidak nyata, maka seseorang cenderung tidak mengetahui mengapa mereka merasakan ketakutan. 2. Teori Perilaku Menurut teori ini kecemasan lebih dipicu oleh kejadian eksternal yang spesifik dari pada konflik internal. Kecemasan dirasakan bila seseorang tidak dapat berhadapan dengan banyak situasi dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini menimbulkan cemas sepanjang waktu. 3. Teori Kognitif Teori ini berfokus pada bagaimana seseorang berpikir tentang kecemasan pada situasi tertentu dan potensi bahaya yang mungkin dihadapi. Seseorang yang cemas biasanya cenderung membuat penilaian yang tidak realistis. 4. Teori Biologi Kecemasan dapat ditemui dalam satu keluarga. Lima belas persen orangtua dan saudara kandung yang mengalami kecemasan akan mempengaruhi anggota keluarga yang lain. 24 3. Tingkat Kecemasan Kemampuan individu untuk merespon terhadap suatau ancaman berbeda satu sama lain. Perbedaan kemampuan ini berimplikasi terhadap perbedaan tingkat kecemasan yang dialaminya. Menurut Stuart & Suden (2009) tingkat kecemasan dibagi menjadi 4, yaitu ringan, sedang, berat dan panik. 1. Kecemasan Ringan Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan seharihari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi. 2. Kecemasan Sedang Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernafasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi menurun, perhatian selektif dan berfokus pada rangsangan yang tidak menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis. 3. Kecemasan Berat Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering BAK, diare, palpitasi, 25 lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi. 4. Panik Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali.Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernafas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan incoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan delusi. C. Anak Usia Prasekolah 1. Definisi Anak Usia Prasekolah Menurut Adriana (2011) anak usia prasekolah merupakan fase perkembangan individu sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buangair (toilettraining), dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakandirinya). Menurut Wong (2009): periode prasekolah yaitu anak usia 4-5 tahun.Pada pertumbuhan masa prasekolah, perkembangan psikososial pada anak sudah menunjukkan adanya rasa inisiatif, konsep diri yang positif serta mampu mengidentifikasi dirinya. Perkembangan adaptasi social dapat bermain dengan permainan sederhana, menangis jika dimarahi, membuat perintah sederhana dengan gaya tubuh, menunjukkan peningkatan kecemasan terhadap perpisahan, mengenali anggota keluarga (Aziz, 2010). 2. Teori-Teori Perkembangan Anak Teori perkembangan manusia bermacam-macam. Beberapa teori melihat perkembangan sebagai proses yang berlangsung terus, berpindah dari hal-hal yang sederhana kearah yang lebih kompleks, teori lain melihat bahwa proses 26 tersebut tidak berlangsung terus, dengan pilihan periode hubungan keseimbangan dan ketidakseimbangan. Berikut teori perkembangan menurut Gunarsa (2009). 1. Perkembangan Kognitif Perkembangan pikiran sebagai kejadian melalui adaptasi terhadap lingkungan. Anak menyesuaikan (mengisi) informasi yang baru kedalam struktur pemikiran yang sudah ada (skema) dan mengakomodasi (mengubah) skema tersebut untuk menerima informasi yang baru. Usaha untuk keseimbangan (ekuilibrasi) terjadi melalui dua proses ini. Gunarsa (2009) juga menyatukan prinsip epigenetic kedalam teorinya. Prinsip ini menyebutkan bahwa perkembangan bergantung pada program genetik seseorang dan bahwa setiap aspek atau bagian memiliki waktunya sendiri untuk berpengaruh. Sesuai dengan tahap perkembangan anak, anak usia 4-5 tahun masuk dalam tahap praoperasional (2-7) yaitu anak mengembangkan sistem perwakilan menggunakan simbol seperti kata untuk mewakili manusia, tempat dan benda. Konsep praoperasional dibatasi oleh kemampuan berfokus hanya pada satu aspek pada satu waktu, dan pemikiran sering terlihat tidak logis karena alasan anak dari satu hal yang spesifik ke yang lainnya. Prekonseptual (2-4 tahun) anak sangat egosentris. Batasan persepsi dan pemikiran transduktif mulai; anak menjadi animistik dan tahap intuitif (4-7 tahun) yaitu anak mulai membentuk sesuatu tetapi tidak dapat menjelaskan hal tersebut secara rasional. Anak tidak mampu untuk menyadari bagian dari sesuatu secara keseluruhan. 2. Perkembangan Psikosexual Anak Pada perkembangan psikososial anak pertama kali dikemukakan oleh sigmun Freud yang merupakan proses dalam perkembangan anak dengan pertambahan pematangan fungsi struktur serta kejiwaan yang dapat menimbul kandorongan untuk mencari rangsangan dan kesenangan secara 27 umum untuk menjadikan diri anak menjadi orang dewasa. Tahapan perkembangan anak usia 4-5 tahun atau prasekolah masuk dalam tahap oedipal / phalik yaitu perkembangan anak dengan kepuasan pada anak terletak pada rangsangan autoerotik yaitu meraba-raba, merasakan kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, suka pada lain jenis. Anak lakilaki cenderung suka pada ibunya dari pada ayahnya demikian sebaliknya anak perempuan senang pada ayahnya. Anak mulai mempelajari adanya perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki. 3. Perkembangan Psikososial Anak Merupakan perkembangan anak yang ditinjau dari aspek sosial. Perkembangan ini dikemukakan oleh Gunarsa (2011) bahwa anak dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Teori ini menunjukkan pentingnya hereditas dan lingkungan yang memiliki dasar epigenetik, perkembangan ditentukan oleh prinsip genetik dan berlangsung terus-menerus sepanjang tahapan usia. Setiap tahap memiliki krisis personal yang melibatkan konflik utama yang kritis pada saat itu. Perkembangan ego sangat dipengaruhi oleh pengaruh sosial dan kultural,dan kesuksesan hasil dari setiap krisis melibatkan perkembangan dari kebaikan yang khusus. Kesuksesan penguasaan terhadapsetiap konflik dibangun pada keberhasilan penyelesaian pusat konflik sebelumnya. Sesuai dengan tahap perkembangan anak usia 4-5 tahun atau prasekolah masuk dalam tahap inisiatif vs rasa bersalah, yaitu anak mengembangkan inisiatif pada saat merencanakan dan mencoba hal-hal baru. Perilaku anak ditandai dengan sesuatu yang kuat, imajinatif, dan intusif. Terjadi perkembangan perasaan bersalah dan identifikasi dengan orang tua yang sama jenis kelamin. 28 Pembatasan dari orang tua bisa mencegah anak dari perkembangan inisiatif, rasa bersalah mungkin muncul pada saat melakukan aktivitas yang berlawanan dengan orang tua. Anak harus belajar untuk memulai aktivitas tanpa merusak hak-hak orang lain. 4. Perkembangan Kognitif Anak Mengemukakan bahwa perkembangan kognitif mendasari kemajuan moral seseorang dari tingkat ke tingkat. Tahap ini terjadi dalam urutan yang sama, berdasarkan kultur. Individu berbeda dalam seberapa cepat dan seberapa jauh mereka maju melalui tahapan ini. Sesuai dengan tahap perkembangan anak usia prasekolah masuk dalam tingkat premoral (lahir sampai 9 tahun) yaitu terdapat sedikit kewaspadaan mengenai apa yang dimaksud dengan perilaku moral yang bisa diterima secara sosial, kontrol didapatkan dari luar. Anak menyerah pada kekuatan dan kepemilikan. Anak usia prasekolah juga masuk dalam orientasi hokum dan kepatuhan yaitu peraturan dari orang lain diikuti untuk menghindari hukuman. Anak menggabungkan label dari baik dan buruk dan benar dan salah dalam perilaku dalam bentuk konsekwensi dari tindakan-tindakan. D. Kerangka Konsep Penelitian Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Variabel Independen Intervensi Terapi Bermain Puzzle Variabel Dependen Tingkat Kecemasan E. Hipotesis Ada pengaruh antara pemberian terapi bermain terhadap tingkat kecemasan anak usia 4-5 tahun selama tindakan keperawatan di ruang Vincensius Rumah Sakit Harapan Pematangsiantar.