Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan 2014 Analisis Kategorisasi Trade Facillitation Indonesia 2 DAFTAR ISI BAB I ..................................................................................................................................................... 4 PENDAHULUAN............................................................................................................................... 4 A. Latar Belakang ................................................................................................................... 4 B. Perumusan Masalah ........................................................................................................ 10 C. Tujuan Penelitian............................................................................................................. 10 D. Metode Penelitian........................................................................................................... 11 E. Sistematika Penulisan ...................................................................................................... 12 BAB II .................................................................................................................................................13 KESEPAKATAN FASILITASI PERDAGANGAN .................................................................13 A. Konsep Dasar Fasilitasi Perdagangan .............................................................................. 13 B. Gambaran Fasilitasi Perdagangan Indonesia .................................................................. 23 C. Penerapan Fasilitasi Perdagangan bagi Kelancaran Arus Barang.................................... 31 BAB III ...............................................................................................................................................38 KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN AGREEMENT ON TRADE FACILITATION ................................................................................................................................38 Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 38 Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 42 Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 44 Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 45 Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 51 Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 54 Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 59 Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 73 Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation............................................................................. 75 Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 78 3 Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 87 Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation........................................................................... 89 Pasal 12.7-12.12 Agreement on Trade Facilitation ............................................................. 93 BAB IV ................................................................................................................................................99 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .....................................................................................99 A. Kesimpulan ...................................................................................................................... 99 B. Rekomendasi ................................................................................................................. 108 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 110 4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada bulan Desember 2013 lalu, Indonesia telah menjadi tuan rumah pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri World Trade Organization (WTO) IX yang diselenggarakan di Bali. Pada pelaksanaan Konferensi Tingkat Menteri WTO 2013 ini, disepakati ‘Bali Package’ (Paket Bali). Bali Package merupakan kelanjutan negosiasi Putaran Doha 1 yang lebih luas. 2 Bali Package terdiri dari sejumlah kesepakatan yang diharapkan dapat menjadi pendorong kemajuan semua negara anggota, khususnya negara berkembang dan negara miskin. Sebagai perjanjian besar pertama di antara anggota WTO, 3 Bali Package bertujuan untuk merampingkan perdagangan, memungkinkan negara- negara berkembang lebih banyak pilihan untuk menyediakan ketahanan pangan dan meningkatkan perdagangan negara-negara terbelakang. 4 Hasil kesepakatan tersebut dituangkan menjadi tiga paket. Ketiga paket tersebut adalah perjanjian untuk argokultural atau paket pertanian (agreement on agriculture), paket untuk 1 Tujuan awal Putaran Doha atau yang disebut agenda pembangunan Doha adalah untuk terciptanya aturan perdagangan internasional bagi negara-negara anggota WTO dalam rangka meminimalisir hambatan-hambatan yang mendistorsi perdagangan, misalnya aturan penurunan pajak impor, aturan pengurangan subsidi pertanian, serta aturan prosedur kepabeanan. Lihat Harianto, Paket Bali WTO dan Relevansinya bagi Pertanian Indonesia, http://www.setkab.go.id/ artikel-11423-paket-bali-wto-dan-relevansinya-bagi-pertanian-indonesia.html, diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. WTO, Annual Report 2014, hal.24. Perjanjian-perjanjian lama dinilai perlu disempurnakan dan perjanjian baru perlu dirundingkan agar sejalan dengan kemajuan teknologi, aspirasi negara berkembang untuk menaiki matarantai nilai perdagangan dunia, tekanan jumlah penduduk yang meningkat dan perkembangan lainnya yang tidak diantisipasi sebelumnya. Lihat http://ditjenkpi.kemendag.go.id/ situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id= 1386&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 2 3 4 WTO, Annual Report 2014, hal.26. WTO, Annual Report 2014, hal.24. 5 negara terbelakang atau Least Development Countries (LDCs), dan perjanjian fasilitasi perdagangan (trade facilitation agreement). Sebagai suatu reformasi terbesar WTO sejak pendiriannya, akhirnya Agreement on Trade Facilitation 5 (Perjanjian Fasilitasi Perdagangan) disepakati setelah negosiasi bertahun-tahun. 6 Permasalahan tentang fasilitasi perdagangan, pada hakekatnya, sudah mulai dibahas sejak tahun 1996. Pembahasan ini dilakukan dalam Deklarasi Para Menteri 1996 di Singapura. Hasil Deklarasi ini meletakkan kerangka dasar lahirnya Agreement on Trade Facilitation. 7 Selain itu, WTO Council on Trade in Goods menilai bahwa penting untuk mengklarifikasi Pasal V, VIII, X the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994. Kemudian, pembahasan fasilitasi perdagangan baru kembali ditindaklanjuti pada Doha Round yang diselenggarakan pada tahun 2001. 8 Paragraf 27 Doha Ministerial Declaration menegaskan pentingnya pembahasan fasilitasi perdagangan lebih lanjut. Selain itu, Doha Development Agenda 9 Juli 2004, berdasarkan Annex D, menegaskan implementasi fasilitasi perdagangan oleh Teks Agreement on Trade Facilitation yang diadopsi di Bali terus disempurnakan guna memastikan bahasa yang dipergunakan tepat secara hukum. 5 Ibid. Agreement on Trade Facilitation dinilai sebagai reformasi terbesar sebab Perjanjian ini merupakan penjanjian multilateral pertama dihasilkan WTO. Lihat http://ditjenkpi.kemendag.go.id/situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=13 86&detail=true, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 6 Kerangka dasar tersebut sebagai berikut: Pertama, negara-negara anggota WTO menilai pentingnya dibuat aturan khusus tentang fasilitasi perdagangan. Kedua, negara-negara anggota WTO mulai mempertimbangkan hal hal apa saja yang perlu diatur dalam perjanjian fasilitasi perdagangan. Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation, http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. 7 J. Michael Finger dan John S. Wilson, “Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation: What Makes Sense?” (World Bank Policy Research Working Paper 3971, Agustus 2006), hal.7-8. Pada Doha Round tahun 2001, disepakati 37 hal untuk negara-nagara berkembang dalam rangka mengimplementasikan Perjanjian GATT 1994. 8 9 Doha Development Agenda atau DDA adalah salah satu objek fundamental dalam Doha Round dengan tujuan untuk meningkatkan prospek perdagangan negara negara berkembang. Program kerja yang dihasilkan dalam Doha Round mencakup sekitar 20 bidang perdagangan. WTO, The Doha Round, http://www.wto.org/english/tratop_e/dda_e/dda_e.htm, diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. 6 negara-negara berkembang disesuaikan dengan kapasitas Negara yang bersangkutan dan mendapatkan pendampingan dalam proses implementasi fasilitasi perdagangan. 10 Lalu, perkembangan besar terjadi pada saat Hong Kong Ministerial Declaration Desember 2005. Pada Pasal 33 Hong Kong Ministerial Declaration ditegaskan untuk merancang perjanjian fasilitasi perdagangan. 11 Selanjutnya, dalam July Package 2004, negara-negara anggota WTO kembali menegaskan pentingnya memperjelas Pasal V, VIII dan X the General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Negosiasi ini menegaskan perlakuan khusus dan berbeda untuk negara- negara berkembang dan kurang berkembang, yaitu dalam bentuk pemberian bantuan teknis dan dukungan untuk peningkatan kapasitas negara-negara berkembang serta peningkatan kerjasama yang efektif antarnegara anggota. 12 Berdasarkan paparan di atas, tampak bahwa fasilitasi perdagangan, adalah hasil kegiatan negosiasi perdagangan internasional yang bermanfaat untuk mengurangi hambatan tarif dan non tarif. Selain itu, hasil negosiasi perdagangan internasional juga dinilai mampu meminimalisir terjadinya konflik dalam perdagangan internasional. 13 Inisiatif fasilitasi perdagangan berasal dari negara-negara maju. Fasilitasi perdagangan ditujukan untuk menciptakan suatu sistem yang kondusif terkait pengeluaran produk-produk dari daerah kepabeanan. Pasal V, VIII dan X the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 dinilai tidak memadai dalam 10 WTO, Doha Work Program No.WT/L/579, Paragraf 1g. 11 WTO, Hong Kong Ministerial Declaration, http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/ min05_e/final_text_e.htm#tradfa, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014. 12 WTO, Negotiating an Agreement on Trade Facilitation, http://www.wto.org/english/tratop_e/tradfa_e/tradfa_negoti_e.htm, diakses pada tanggal 12 Agustus 2014. Ade Maman Suherman, Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), hal.17. 13 7 menjawab berbagai persoalan kegiatan perdagangan internasional. Pasal V the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, tentang Kebebasan Transit, kurang mampu memberi jawaban terhadap permasalahan terkait transit barang, seperti misalnya: proses transit barang yang terlalu panjang, biaya administrasi yang tinggi, proses perpindahan barang yang lambat. Pasal VIII the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, tentang Biaya dan Formalitas Impor Ekspor, juga kurang memadai menjawab permasalahan berkenaan dengan tarif dan kewajiban biaya dalam proses kepabeanan. Terakhir, sehubungan dengan Pasal X the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, Publikasi dan Administrasi Peraturan Perdagangan, yang dinilai perlu diatur lebih lanjut adalah mengenai keterbukaan informasi. Tidak jelas jenis informasi yang dapat diberitahukan dan jenis informasi yang tidak dapat diberitahukan. Selain itu, kurangnya informasi tentang perubahan peraturan perundang-undangan. 14 Agreement on Trade Facilitation bertujuan untuk menyederhanakan prosedur kepabeanan dan dapat memberikan manfaat yang signifikan untuk ekonomi global-dengan perkiraan keuntungan dikalkulasikan berkisar hingga US$1 triliun per tahun, 15 akibat peningkatan arus perdagangan. Selain itu, Agreement on Trade Facilitation juga diperkirakan dapat mengurangi biaya perdagangan sebesar 10-15 persen. Agreement on Trade Facilitation terdiri atas dua bagian. Bagian Pertama berisikan ketentuan tentang percepatan pergerakan, pelepasan dan perizinan barang-barang. Ketentuan ini menyempurnakan Pasal V, VIII dan X the General Agreement on Tariffs and Trade 1994. Secara khusus, bagian Pertama Agreement on Trade Facilitation ditujukan untuk mempercepat prosedur kepabeanan; membuat perdagangan lebih mudah, lebih cepat dan lebih murah; memberikan 14 Carolin Eva Bolhofer, “Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in Goods”, (World Costum Journal, Vol.2, No.1, 2008), hal.35-37. 15 WTO Annual Report 2014, hal.36. 8 kejelasan, efisiensi dan transparansi; mengurangi birokrasi dan korupsi; dan menggunakan kemajuan teknologi. Bagian Pertama ini juga mengatur tentang barang transit, suatu masalah utama yang menarik bagi negara-negara yang terkurung daratan yang ingin berdagang melalui pelabuhan negara-negara tetangga. Bagian Kedua berisi ketentuan tentang perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang. Bagian Kedua ini ditujukan untuk membantu negara-negara berkembang dan terbelakang melaksanakan Bagian Pertama Agreement on Trade Facilitation. 16 Bagian Kedua Agreement on Trade Facilitation mencakup bantuan bagi negara-negara berkembang dan terbelakang untuk memperbarui infrastruktur, melatih petugas bea dan cukai, atau hal lain terkait dengan pelaksanaan Perjanjian. 17 Hal yang penting untuk diperhatikan ialah bahwa pertemuan Preparatory Committee on Trade Facility (PrepCom) pada tanggal 28 April-02 Mei 2014 melakukan legal-review atas Agreement on Trade Facilitation. Hasilnya, penambahan Bagian Ketiga yang merupakan penggabungan Pasal 13 18 Bagian 16 17 18 Pembukaan Agreement on Trade Facilitation. WTO Annual Report 2014, hal.37. Pasal 13 Agreement on Trade Facilitation berbunyi: 1. The provisions contained in Articles 1 to 12 of this Agreement shall be implemented by developing and least-developed country Members in accordance with this Section, which is based on the modalities agreed in Annex D of the July 2004 Framework Agreement and in paragraph 33 of and Annex E to the Hong Kong Ministerial Declaration. 2. Assistance and support for capacity building16 should be provided to help developing and least-developed country Members implement the provisions of this Agreement, in accordance with their nature and scope. The extent and the timing of implementation of the provisions of this Agreement shall be related to the implementation capacities of developing and leastdeveloped country Members. Where a developing or least-developed country Member continues to lack the necessary capacity, implementation of the provision(s) concerned will not be required until implementation capacity has been acquired. 3. Least-developed country Members will only be required to undertake commitments to the extent consistent with their individual development, financial and trade needs or their administrative and institutional capabilities. 4. These principles shall be applied through the provisions set out in Section II. 9 Pertama dan Ketentuan Penutup Bagian Kedua. 19 Pasal 13 disepakati untuk tercakup dalam Bagian Ketiga. Hal ini mengakibatkan beberapa konsekwensi hukum. Pertama, Pasal 13 tidak perlu dinotifikasikan. Kedua, bantuan bagi negara-negara berkembang dan terbelakang sebagaimana diatur dalam Bagian Kedua tidak dapat dimintakan untuk implementasi Pasal 13.2. Ketiga, pembentukan National Committee pada Bagian Pertama tidak memiliki batasan jangka waktu. Dalam rangka menindaklanjuti Bagian Kedua Agreement on Trade Facilitation, Indonesia sebagai negara berkembang diminta komitmennya untuk melakukan notifikasi atas kesiapan penerapan Agreement on Trade Facilitation. Notifikasi Kategorisasi A disampaikan paling lambat pada tanggal 31 Juli 2014. Sementara itu, notifikasi kategorisasi B dan C disampaikan pada saat berlakunya Agreement on Trade Facilitation. 20 Penetapan kategorisasi implementasi aturan Agreement on Trade Facilitation perlu pertimbangan matang mengingat hal tersebut berdampak pada fasilitasi impor. Pangsa pasar Indonesia sangat besar. Akibatnya, Indonesia merupakan sasaran eksportir. Bagi para negara eksportir anggota WTO, komitmen Indonesia atas implementasi Agreement on Trade Facilitation sangat penting. Besar Berdasarkan teks Agreement on Trade Facilitation yang disepakati di Bali, perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang hanya diberikan untuk “Pasal 1-12 Bagian Pertama”. Mayoritas anggota baru menyadari bahwa Teks Agreement on Trade Facilitation yang disepakati di Bali berbeda dengan yang disepakati di Jenewa bahwa perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara berkembang dan terbelakang berlaku untuk seluruh Bagian Pertama (Pasal 1-13). 19 Agreement on Trade Facilitation direncanakan pada tanggal 31 Juli 2015 apabila 2/3 anggota WTO meratifikasi perjanjian dimaksud (Berdasarkan Pasal X.3 WTO Agreement). 20Keberlakuan 10 kemungkinan, tekanan kuat akan dihadapi Indonesia untuk mengategorikan sebagian besar ketentuan Agreement on Trade Facilitation dalam Kategori A. 21 Melalui koordinasi dengan berbagai pihak terkait, Indonesia telah melakukan kategorisasi pasal-pasal dalam Agreement on Trade Facilitation ke dalam kategori A, B, dan C. Guna mendukung keputusan Indonesia dalam menetapkan posisi tersebut, maka diperlukan suatu analisis atas keputusan penetapan posisi tersebut. Untuk itu, dilakukan kajian Analisis Kesiapan Indonesia dalam Menerapkan Ketentuan Agreement on Trade Facilitation. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut di atas, kajian ini disusun untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. 2. 3. Bagaimanakah kebijakan terkait trade facilitation yang ada di Indonesia? Bagaimanakah kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan dalam Agreement on Trade Facilitation? Apakah usulan rekomendasi Agreement on Trade Facilitation? kebijakan pemerintah terkait dengan C. Tujuan Penelitian Tujuan dari Kajian ini terdiri atas: 1. Mengidentifikasi kebijakan terkait trade facilitation yang ada di Indonesia. Direktorat Kerja Sama Multilateral, Direktorat Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional, “Perkembangan Terakhir Persiapan Implementasi Agreement on Trade Facilitation di WTO”. Fasilitasi perdagangan merupakan salah satu pilar strategi pembangunan Indonesia, yang terefleksikan dari komitmen-komitmen Indonesia terkait fasilitasi perdagangan baik secara nasional, bilateral, regional, dan internasional. Salah satu dari komitmen-komitmen tersebut adalah UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yang kemudian mengalami perubahan menjadi UU No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan, yang mana secara eksplisit mencantumkan rujukan mengenai aspek fasilitasi perdagangan internasional, (lihat http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014) tetap harus disadari bahwa Indonesia merupakan tujuan para eksportir sebagai akibat besarnya pasang pasar. 21 11 2. Menganalisis kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan dalam Agreement on Trade Facilitation. 3. Merumuskan usulan rekomendasi kebijakan pemerintah terkait dengan Agreement on Trade Facilitation. D. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang bersifat kualitatif. Metode yuridis normatif disebut juga metode doktrinal. 22 Penelitian hukum doktrinal bertujuan untuk ”systematise, rectify and clarify the law on any particular topic by a distinctive mode of analysis to authoritative texts that consist of primary and secondary sources.” 23 Dengan pertimbangan bahwa penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, penelitian ini menjadikan norma-norma hukum sebagai bahan utama. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan pendekatan konseptual dan sistematis untuk membedah ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Trade Facilitation. Adapun sifat penelitiannya adalah diagnostik atau evaluatif yaitu untuk mengetahui kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dalam Agreement on Trade Facilitation. Dalam penelitian ini, data utama yang dikaji adalah berbagai peraturan terkait perdagangan yang telah ada (existing regulations). Data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder ini didapatkan melalui library research atau studi kepustakaan. Data sekunder dikumpulkan baik melalui penelusuran internet maupun mendapatkan secara langsung di beberapa 22 Bernard Arief Sidharta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Penelitian Filosofikal dan Dogmatikal dalam Sulistyowati dan Sidharta (eds), Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal.143. E.L. Rubin, “Law and the Methodology of Law” (1997) Winconsin Law Review, hal.525 dikutip dari Mike McConville dan Wing Hong Chui (eds), Research Methods for Law, (Edinburgh: Edinburgh University Press Ltd, 1988), hal.3-4. 23 12 kementerian/lembaga terkait khususnya Kementerian Perdagangan, dan untuk melengkapinya dilakukan pula wawancara melalui media telekomunikasi dan surat elektronik. Setelah semua data sekunder terkumpul, data tersebut dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan pemahaman kesiapan Indonesia dalam menerapkan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Agreement on Trade Facilitation. E. Sistematika Penulisan Kajian ini terdiri atas beberapa bagian. Bagian Pertama, sebagai pendahuluan, menguraikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan, dan sistematika penulisan. Bagian Kedua, membahas tentang definisi mengenai fasilitasi perdagangan, gambaran umum, dan peran fasilitasi perdagangan dalam meningkatkan arus barang (ekspor dan impor). Bagian ketiga akan berisi tentang hasil analisis dan bagian terakhir merupakan simpulan dan rekomendasi. 13 BAB II KESEPAKATAN FASILITASI PERDAGANGAN A. Konsep Dasar Fasilitasi Perdagangan Konsep sederhana tentang fasilitasi perdagangan, pada hakekatnya, telah dikenal dan dilaksanakan sejak abad pertengahan. Pada abad pertengahan, banyak kota- kota pasar Eropa menginformasikan bagi publik unit dan ukuran yang digunakan dalam penjualan barang. Tradisi ini masih dilanjutkan di beberapa kota di Eropa. Salah satu kota yang masih melakukan tradisi ini ialah kota Bern di Swiss. Di kota Bern, informasi tersebut masih diumumkan pada layar. Konsep fasilitasi perdagangan semakin dipertegas pada rezim perdagangan internasional. 24 Meskipun demikian, tidak ada definisi tunggal mengenai fasilitasi perdagangan. Agreement on Trade Facilitation tidak mengatur pengertian fasilitasi perdagangan, baik secara eksplisit maupun secara implisit. Hakekatnya, fasilitasi perdagangan merupakan upaya memfasilitasi prosedur kepabeanan, yaitu perpindahan, pelepasan dan perizinan barang-barang. WTO hanya menjelaskan bahwa fasilitasi perdagangan sebagai simplifikasi dan harmonisasi dari prosedur perdagangan internasional, 25 yang meliputi “the activities, practices and formalities involved in collecting, presenting, communications and processing data required for the movements of goods in international trade”. 26 24 Andrew Grainger, “Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations”, World Customs Journal Volume 2 No.1, hal.17. 25 WTO, “Ministerial Declaration, No.WT/MIN(01)/DEC/1”, Diadopsi sejak tanggal 14 Nopember 2001. http://www.unece.org/trade/ctied9/policy_segment/partI_zoran_jolevski.ppt., diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 26 14 United Nations Centre for Trade Facilitation and Electronic Business pun menegaskan fasilitasi perdagangan sebagai “the simplification, standardization and harmonization of procedures and associated information flows required to move goods from seller to buyer and to make payment”. 27 Efesiensi proses atau prosedur pada pengertian fasilitasi perdagangan juga ditekankan oleh International Chamber of Commerce (ICC). Menurut ICC, pengertian fasilitasi perdagangan berfokus pada peningkatan efisiensi proses yang terkait dengan pendekatan yang komprehensif dan terintegrasi untuk menyederhanakan dan mengurangi biaya transaksi perdagangan internasional, dan memastikan bahwa semua kegiatan yang relevan dilakukan dalam suatu secara efisien, transparan, dan dapat diprediksi, berdasarkan norma-norma yang diterima secara internasional, standar dan praktik terbaik. 28 Dalam perkembangannya, pengertian fasilitasi perdagangan telah mengalami perluasan. Fasilitasi perdagangan diartikan sebagai penurunan atau pengurangan hambatan non tarif. Pengertian fasilitasi perdagangan mencakup transaksi perdagangan, transparansi dan profesionalisme bea dan cukai, dan lingkungan pengaturan sebagaimana harmonisasi dari standarisasi dan dikonversikan terhadap ketentuan internasional atau ketentuan regional. Fokus perluasan pengertian ini adalah pada kebijakan domestik dan struktur institusional dimana peranan penting juga berada pada capacity building (pembangunan kemampuan). Pemahaman luas atas fasilitasi perdagangan semakin jelas dengan mencakupkan secara relatif elemen “batas” yang konkret seperti efisiensi pelabuhan dan administrasi bea dan cukai dan elemen “di dalam batas” seperti lingkup keberpihakan domestik dan infrastruktur yang memungkinkan penggunaan teknologi informasi yang baik. 29 Dengan perkataan 27 http://www.kommers.se/SWEPRO/In-English/What-is-trade-facilitation/, tanggal 25 Juli 2014. 28 diakses pada http://www.iccindiaonline.org/policy_state/duty.pdf, diakses pada tanggal 2 September 2014. 15 lain, fasilitasi perdagangan merupakan “segala macam tindakan dan kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi biaya transaksi yang mempengaruhi arus barang, jasa, dan investasi, termasuk segala bentuk kebijakan non-tarif, regulasiregulasi domestik, serta segala isu infrastruktur, konektivitas, dan logistik". 30 Selanjutnya, pada G20 Trade Ministers Meeting, di Puerto Vallarta, Mexico, April 2012, fasilitasi perdagangan ditempatkan sebagai permasalahan penting melalui peningkatan aspirasi dalam mata rantai perdagangan; 31 negara tidak hanya sekedar menjadi penyedia bahan baku, tetapi juga menjadi pengolah bahan antara dan produk akhir. Akibatnya, nilai tambah dalam mata rantai perdagangan dapat turut dinikmati oleh negara berkembang seperti Indonesia. 32 Terkait dengan fasilitasi perdagangan, ada 4 (empat) hal yang dijadikan indikator. Keempat indikator tersebut antara lain: efisiensi pelabuhan; lingkungan kepabeanan; lingkungan kebijakan; dan penggunaan perangkat transaksi elektronik. 33 Menurut the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), fasilitasi perdagangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: 34 29 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, Assessing the Potential Benefit of Trade Facilitation: A Global Perspective, World Bank Policy Research Working Paper No.3224, hal.3. http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 30 Konsep global value chains ditekankan oleh para Menteri Perdagangan G20. Peran setiap negara meliputi penyedia bahan baku, produk antara, dan produk akhir. 31 32 http://kemlu.go.id/Pages/PressRelease.aspx?IDP=1351&l=id, diakses pada tanggal 25 Juli 2014 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, “Trade Facilitation and Economic Development: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic Review, Vol.17 No.3, 2003), hal.368. 33 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecdtrade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014. 34 16 a. ketersediaan informasi, baik berupa publikasi data melalui internet atau melalui media lainnya; b. partisipasi dalam komunitas perdagangan; c. advance rulings, yakni ketentuan untuk menentukan persyaratan terhadap para pedagang, baik mengenai klasifikasi maupun orisinalitas produk; d. appeal procedures, yakni proses yang dapat ditempuh untuk mengajukan keberatan terhadap kebijakan administratif petugas perbatasan; e. fees and charges (biaya dan ongkos) yang diberlakukan terhadap kegiatan ekspor impor; f. dokumen-dokumen formalitas, sebagai bentuk dari harmonisasi terhadap kelengkapan administratif sesuai standar internasional; g. formalities-automation (formalitas-terotomatisasi): pertukaran data secara elektronik; automated border procedures terotomatisasi); dan penggunaan manajemen risiko; (prosedur perbatasan h. formalities-procedures (formalitas-prosedur): streamlining of border controls (penyederhaan pengawasan perbatasan); pelayanan terpadu satu pintu untuk penyerahan seluruh dokumen persyaratan; pemeriksaan post- i. j. clearance; dan operator ekonomi yang terotorisasi; kerjasama internal, yakni kerjasama antara pihak berwenang yang satu dengan pihak berwenang yang lain dalam rangka pengawasan sistem perpajakan; kerjasama eksternal, yaitu kerjasama kepabeanaan negara dengan negaranegara tetangga dan negara ketiga; k. governance dan impartiality (pemerintahan dan imparsialitas), terkait struktur dan fungsi kepabeanan. Dalam Bali Ministerial Declaration & WTO Agreement on Trade Facilitation, tujuan dari fasilitasi perdagangan adalah: 1. Menciptakan kerjasama yang efektif dan harmonis antarnegara anggota WTO dibidang fasilitasi perdagangan; 17 2. 3. Mengurangi hambatan disektor arus lalu lintas ekspor impor, sehingga memperlancar arus barang, mempercepat release and clearance barang, dan mengurangi biaya perdagangan; Meningkatkan dukungan bantuan teknis dan capacity building 35, termasuk keuangan, bagi negara berkembang dan LDC’s melalui Special and Differential Treatment (S&DT). Hal-hal yang terkait dengan fasilitasi perdagangan yang diatur dalam Agreement on Trade Facilitation adalah: Consultations, Detention, General Disciplines on Fees and Charges Imposed on or in Connection with Importation and Exportation, Specific Disciplines on Fees and Charges Imposed on or in Connection with Importation and Exportation, Penalty Disciplines, Separation of Release from Final Determination of Customs Duties, Taxes, Fees and Charges, Risk Management, PostClearance Audit, Expedited Shipments, Movement of Goods under Customs Control intended for Import, Formalities and Documentation Requirements, Use of International Standards, Single Window, Use of Customs Brokers, Common Border Procedures and Uniform Documentation Requirements, Rejected Goods, Temporary Admission of Goods/Inward and Outward Processing,Pre-shipment Inspection, Customs cooperation, dan National Committee on Trade Facilitation. Berdasarkan Section II pada Agreement on Trade Facilitation, tingkat kesiapan suatu negara dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kategori A, Kategori B, dan Tidak dijelaskan definisi capacity building dalam Agreement on Trade Facilitation. Capacity building dapat didefinisikan sebagai proses peningkatan kemampuan menjalankan fungsi utama dalam menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan secara berkelanjutan. Lihat Publication of International Institute for Educational Planning, 2006, http://www.iiep.unesco.org/fileadmin/ user_upload/Research_Highlights_Emergencies/chapter3.pdf, hal 1, diakses pada tanggal 27 Agustus 2014. Capacity Building dalam arti luas mencakup beberapa hal, antara lain: a) Human Resource Developtment: proses peningkatan kemampuan manusia untuk dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan standar b) Organizational Developtment: proses peningkatan struktur manajemen dan prosedur baik dalam organisasi maupun hubungan dengan organisasi lain (publik dan privat) c) Institutional and Legal Framework Development: perubahan peraturan dalam rangka peningkatan kapasitas perusahaan dan institusi. Lihat Anneli Milèn Advisor Department of Health Service Provision, “What do we know about capacity building? An overview of existing knowledge and good practice”, World Health Organization, World Health Report 2001. 35 18 Kategori C. Agreement on Trade Facilitation memberikan kesempatan kepada seluruh negara anggota WTO untuk melakukan self-assessment dalam penerapan Agreement on Trade Facilitation. Penilaian terhadap diri sendiri ini dilatarbelakangi kemampuan berbeda dari tiap negara anggota WTO. Self- assessment penting bagi negara berkembang dan negara terbelakang sebab pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation sesuai dengan kemampuan masing- masing negara anggota WTO berdasarkan kategorisasi A, B, dan C. Setiap negara anggota WTO dapat memutuskan kapan dapat melaksanakan setiap komitmen dalam Agreement on Trade Facilitation. Lebih lanjut, negara anggota diberi kesempatan untuk menentukan bentuk bantuan teknis dan capacity building yang dibutuhkan. Hasil dari penggolongan komitmen dan penentuan bantuan yang dibutuhkan diharuskan untuk dinotifikasi. Selain itu, hasil ini menentukan pelaksanaan kewajiban. 36 Penentuan batas waktu pelaksanaan komitmen sangat penting untuk diperhatikan. Batas waktu pelaksanaan merupakan titik penentu suatu negara anggota WTO dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pemenuhan suatu komitmen/kewajiban ke Dispute Settlement Body WTO. Oleh karena itu, ada beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam penentuan kategorisasi. Beberapa faktor penting tersebut antara lain: keterlibatan seluruh pemangku kepentingan; konsekuensi hukum baik pada tataran nasional, regional dan multilateral; kemampuan pendanaan; dan integrasi Agreement on Trade Facilitation dalam program pembangunan nasional. 37 Agreement on Trade Facilitation memberikan perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara anggota WTO yang tergolong dalam negara berkembang dan terbelakang. Perlakuan khusus dan berbeda diikuti dengan adanya jaminan 36 http://www.wto.org/english/tratop_e/tradfa_e/intro_tf_negos_e.pdf, diakses pada tanggal 26 Agustus 2014. Kedutaan Besar LBBP/Watapri, Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, 1-3 Juli 2014, hal.3. 37 19 berupa bantuan teknis dan capacity building bagi negara berkembang dan negara terbelakang atas komitmen-komitmen yang termasuk dalam kategori C. Bantuan ini dimaksudkan untuk pencapaian kemampuan terbaik dalam pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara berkembang dan negara terbelakang ialah notifikasi terperinci atas ketiga pengkategorian komitmen dan bantuan yang dibutuhkan, baik dalam bentuk bantuan teknis maupun dukungan capacity building. .Persyaratan lain ialah informasi terperinci bagi negara-negara donor tentang bantuan teknis dan dukungan capacity building yang telah diberikan selama satu tahun sebelumnya. Jika diperlukan, notifikasi kepada negara-negara donor termasuk tentang kebutuhan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk satu tahun berikutnya. 38. Jaminan diberikan bantuan teknis dan dukungan capacity building sangat menentukan keputusan negara berkembang dan negara terbelakang melakukan notifikasi dan ratifikasi terhadap Agreement on Trade Facilitation. Berdasarkan kajian UNCTAD 2012-2013, implementasi satu aturan dalam perjanjian fasilitasi perdagangan membutuhkan waktu 3-10 tahun dengan biaya sebesar US$300 ribu sampai dengan US$3 juta. Pelaksanaan perjanjian fasilitasi perdagangan membutuhkan pembiayan yang terdiri atas: initial investment cost, maintenance cost, dan structural adjustment cost. Reformasi fasilitasi perdagangan membutuhkan biaya terbesar untuk pengembangan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, dan pengadaan peralatan. 39 Ketiga kategori berdasarkan Section II Agreement on Trade Facilitation antara lain: 38 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation. Kedutaan Besar LBBP/Watapri, Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, 1-3 Juli 2014, hal.3. 39 20 a. Kategori A Kategori ini diperuntukkan untuk ketentuan yang telah siap dilaksanakan dan/atau telah dilaksanakan oleh suatu negara pada saat ini, serta tidak membutuhkan tambahan waktu atau bantuan dari negara/donor. 40 Bagi negara berkembang, penerapan komitmen yang termasuk dalam kategori A harus segera dilaksanakan setelah keberlakuan Agreement on Trade Facilitation. Negara berkembang tidak perlu menotifikasi Komite tentang komitmen kategori A. Sementara itu, bagi negara terbelakang, penggolongan komitmen kategori A harus dinotifikasi kepada Komite. Selain itu, komitmen kategori A harus dilaksanakan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun setelah keberlakuan Agreement on Trade Facilitation 41. Notifikasi komitmen kategori A kepada Komite harus dilaksanakan paling lama pada tanggal 31 Juli 2014. Notifikasi tersebut dilampirkan sebagai bagian tidak terpisahkan dari Agreement on Trade Facilitation oleh General Council. 42. Preparatory Committee ialah Komite yang dimaksud dalam penerapan kategori A. 43 Preparatory Committee memiliki fungsi umum dan fungsi khusus. 1. 40 Fungsi umum dari Preparatory Committee antara lain: 44 a. memastikan keberlakuan Agreement on Trade Facilitation dalam waktu sesegera mungkin; dan Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation. http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc9_e/desci36_e.htm, diakses pada tanggal 26 Agustus 2014. 41 Paragraph 3 Bali Ministerial Decision: “The General Council shall meet no later than 31 July 2014 to annex to the Agreement notifications of Category A commitments, to adopt the Protocol drawn up by the Preparatory Committee, and to open the Protocol for acceptance until 31 July 2015. The Protocol shall enter into force in accordance with Article X:3 of the WTO Agreement.” 42 43http://www.twnside.org.sg/title2/wto.info/2014/ti140301.htm, diakses pada tanggal 26 Agustus 2014 Bali Ministerial Decision: “ We hereby establish a Preparatory Committee on Trade Facilitation (the "Preparatory Committee") under the General Council, open to all Members, to perform such functions as may be necessary to ensure the expeditious entry into force of the Agreement and to prepare for the efficient operation of the Agreement upon its entry into force…” 44Paragraph2 21 b. 2. mempersiapkan pelaksanaan Agreement on Trade Facilitation yang efisien. Fungsi khusus dari Preparatory Committee sebagai berikut: 45 a. b. c. Melakukan legal review terhadap Agreement on Trade Facilitation (perbaikan tata bahasa secara hukum tanpa mengubah substansi hukum); Menerima notifikasi komitmen Kategori A dari negara Menyusun Protocol of Amandment) yang akan menjadi instrumen hukum ratifikasi Agreement on Trade Facilitation, yaitu memasukkan Agreement on Trade Facilitation sebagai Lampiran 1A Perjanjian WTO. b. Kategori B Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih membutuhkan waktu untuk menerapkannya. 46 Bagi negara berkembang, komitmen Kategori B dan tanggal corresponding indicative (indikatif korespondensi) komitmen tersebut harus dinotifikasi kepada Komite pada saat keberlakuan Agreement on Trade Facilitation. Dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara berkembang harus menotifikasi corresponding indicative dates (tanggal indikatif korespondensi) implementasi komitmen Kategori B kepada Komite. Jika negara berkembang membutuhkan waktu tambahan untuk melakukan notifikasi ini, negara berkembang tersebut dapat memohon Komite untuk memperpanjang jangka waktu notifikasi. 47 45Paragraph2 Bali Ministerial Decision: “…In particular, the Preparatory Committee shall conduct the legal review of the Agreement referred to in paragraph 1 above, receive notifications of Category A commitments, and draw up a Protocol of Amendment (the "Protocol") to insert the Agreement into Annex 1A of the WTO Agreement.” 46 47 Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation. Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation. 22 Bagi negara terbelakang, komitmen Kategori B dan tanggal corresponding indicative komitmen tersebut harus dinotifikasi kepada Komite dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade Facilitation. Dalam jangka waktu dua tahun sejak tanggal notifikasi, negara terbelakang harus menotifikasi tanggal implementasi. Jika negara terbelakang membutuhkan waktu tambahan untuk melakukan notifikasi tanggal definitif ini, negara tersebut dapat memohon Komite untuk memperpanjang jangka waktu notifikasi. 48 c. Kategori C Kategori ini diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih membutuhkan waktu dan membutuhkan bantuan dari negara/donor untuk menerapkannya. Bantuan dapat berbentuk technical assisstance, capacity building, dan financial assisstance. 49 Pada saat keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara berkembang berkewajiban untuk melakukan notifikasi komitmen Kategori C dan tanggal corresponding indicative kepada Komite. Untuk tujuan tranparansi, notifikasi dimaksud haruslah mencakup informasi mengenai bantuan teknis dan dukungan capacity building yang dibutuhkan. Dalam jangka waktu satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara berkembang dan negara donor menginformasikan Komite tentang kesepakatan pemberian bantuan teknis atau dukungan capacity building. Negara non anggota WTO dimungkinkan untuk menjadi negara donor. Selanjutnya, negara berkembang harus melakukan notifikasi definitive dates (tanggal definitif) implementasi kategori C dalam jangka waktu 18 bulan sejak tanggal penginformasian kesepakatan. Notifikasi ini juga mencakup informasi perkembangan pemberian bantuan dan dukungan. 50 48 49 50 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation. Pasal 14 Agreement on Trade Facilitation. Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation. 23 Dalam jangka waktu satu tahun sejak keberlakuan Agreement on Trade Facilitation, negara terbelakang harus menotifikasi komitmen Kategori C dan tanggal corresponding indicative kepada Komite. Selanjutnya, notifikasi informasi bantuan dan dukungan capacity building yang dibutuhkan harus diserahkan dalam jangka waktu paling satu tahun sejak notifikasi komitmen Kategori C. Dalam jangka waktu dua tahun sejak notifikasi informasi, negara terbelakang harus menotifikasi indicative dates komitmen Kategori C. Notifikasi ini mencakup informasi tentang kesepakatan bantuan teknis dan dukungan capacity building. Dalam kurun waktu 18 bulan sejak notifikasi indicative dates komitmen Kategori C, negara terbelakang harus menotifikasi definitive dates implementasi kepada Komite. Notifikasi ini mencakup perkembangan pemberian bantuan teknis dan dukungan capacity building. 51 B. Gambaran Fasilitasi Perdagangan Indonesia Berkenaan dengan fasilitasi perdagangan, Indonesia sebenarnya telah memulai proses ini sejak tahun 1977. Pada tahun 1977, Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN bersepakat tentang Preferential Trading Agreement. Kemudian, pada tahun 1992, ASEAN Free Trade Area disepakati. ASEAN Free Trade Area akan berakhir pada tahun 2015 dengan terbentuknya ASEAN Economic Community 52 atau Masyarakat Ekonomi ASEAN. 53 Aliran bebas barang (free flow of goods) merupakan salah satu pilar utama Masyarakat Ekonomi ASEAN. Cetak biru aliran bebas barang Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 54 ini dikenal sebagai ASEAN Trade Facilitation. Kebijakan 51 Pasal 16 Agreement on Trade Facilitation. 52 ASEAN Economic Community merupakan realisasi dari integrasi ekonomi yang termuat dalam visi ASEAN 2020. 53 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008, Jakarta), hal.71. Cetak biru Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mencakup kerangka aliran bebas barang yang meliputi: penghapusan hambatan tariff, penghapusan hambatan non-tarif, dan fasilitas perdagangan lainnya. 54 24 tentang ASEAN Trade Facilitation dimaksudkan untuk memacu perekonomian di kawasan Asia Tenggara, khususnya anggota-anggota ASEAN, dengan cara memberikan berbagai kemudahan perdagangan di kawasan ASEAN. Diharapkan, pada tahun 2015, perdagangan barang di kawasan ASEAN akan bebas hambatan. 55 Selain itu, sejak tahun 1988, Indonesia secara implisit telah mengakui pentingnya fasilitasi perdagangan. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara 1988, 56 Indonesia menetapkan kebijakan pembangunan perdagangan luar negeri Indonesia harus diarahkan untuk peningkatan efisiensi perdagangan dalam dan luar negeri. Hal ini berarti, pada hakekatnya, isu fasilitasi perdagangan telah diatur secara tertulis dalam hukum nasional Indonesia sejak tahun 1988. Sebagaimana telah dijelaskan, Indonesia telah memulai proses fasilitasi perdagangan sejak tahun 1977 dan memuat pengaturan fasilitasi perdagangan dalam ketentuan nasional sejak tahun 1988. Bahkan, komitmen Indonesia sebagai salah satu pendiri Negara APEC ditunjukkan. Indonesia telah melaksanakan 30 komitmen dari 39 komitmen terkait prosedur perdagangan. 57 Selain itu, berdasarkan penilaian Bank Dunia, Indonesia telah mengalami kemajuan yang mantap dalam penerapan reformasi perdagangan pada beberapa tahun terakhir. 58 Namun, Bank Dunia dalam survei Doing Business 2013 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008, Jakarta), hal.71-72. 55 TAP MPR RI No. II/MPR/1988 Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No. I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10 Juli 2014. 56 57 Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7. 58 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 25 menempatkan Indonesia dalam rangking 54 dari 184 negara. 59 Untuk dokumentasi ekspor/impor, indikator yang digunakan adalah jumlah dokumen untuk ekspor/impor yaitu banyaknya dokumen yang diperlukan per pengiriman untuk ekspor/impor barang dokumen yang diperlukan untuk clearance oleh kementerian terkait, otoritas bea dan cukai, otoritas pelabuhan dan terminal, kesehatan, lembaga teknis dan perbankan. Waktu ekspor/impor adalah waktu yang diperlukan dalam memenuhi semua prosedur yang diperlukan untuk mengekspor barang-barang. Apabila prosedur dapat dipercepat dengan biaya tambahan, prosedur hukum legal tercepat yang dipilih. Adapun biaya ekspor/impor adalah biaya dalam mengurus semua prosedur yang diperlukan untuk mengekspor barang-barang. Termasuk biaya untuk dokumen, biaya administrasi untuk bea dan cukai dan pengawasan teknis, biaya broker bea dan cukai, biaya penanganan terminal dan transportasi darat. Perbandingan Dokumen, Waktu dan Biaya Perdagangan Antar Negara Jumlah Negara/ Rangki Dokum Grup ng en Negara 2013 Untuk Ekspor Biaya Waktu Ekspor Jumlah Waktu Biaya Untuk (US$ Dokumen Untuk Impor (US$ Ekspor per Untuk Impor per (hari) Kontain Impor (hari) Kontainer) er) Singapore 1 3 6 460 3 4 440 Thailand 24 5 14 595 5 13 760 Malaysia Brunei Darus59 5 39 4 5 11 19 450 705 4 5 http://www.doingbusiness.org/rankings, diakses pada tanggal 5 Juli 2014. 8 15 485 770 26 Salam Philippines 42 6 15 585 7 14 660 Vietnam 65 5 21 610 8 21 600 Indonesia Lao PDR East Asia & 54 161 4 10 17 23 615 1.950 8 10 23 26 660 1.910 Pacific .. 6 21 856 7 22 884 income .. 4 11 1.070 4 10 1.090 OECD high Sumber: Doing Business 2013. 60 Dari tabel diatas, Indonesia berada dalam rangking 54 dari 184 negara yang disurvei. Apabila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia relatif tertinggal dari Singapura, Malaysia dan Thailand; sedangkan, bersama Brunei, Filipina dan Vietnam relatif berada dalam level yang kurang lebih sama. Peningkatan ekspor produk-produk manufaktur dan terproses Indonesia mengalami kemajuan terbatas di tengah pertumbuhan ekspor komoditas berbasis sumber daya meningkat tajam. Daya saing produsen-produsen Indonesia sungguh memprihatinkan dibandingkan produsen berbiaya rendah, baik di dalam negeri maupun di pasar asing. Timbullah pertanyaan berkenaan dengan daya saing sektor manufaktur Indonesia mengingat menurunnya pertumbuhan bidang manufaktur dan menyurutnya pangsa ekspor sektor manufaktur. 61 60 http://www.doingbusiness.org/~/media/giawb/doing%20business/documents/profiles /country/idn.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 61 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 27 Sistem logistik yang buruk mengakibatkan tingkat hubungan perdagangan Indonesia 62 rendah. Hal ini berdampak pada daya saing produk-produk Indonesia yang turun dan beratnya perdagangan. Selain itu, biaya transportasi produk tinggi, baik biaya transportasi antarpulau dari Indonesia bagian timur ke pulau Jawa, maupun biaya transportasi darat. Akibatnya, harga produk yang hendak dijual melambung tinggi. Lebih murah mengimpor jeruk dari Cina daripada mengirim buah jeruk dari Sulawesi Utara ke pulau Jawa. 63 Tidak hanya itu, kinerja pelabuhan Jakarta dan pelabuhan Surabaya menjadi yang terburuk. Padahal, pelabuhan-pelabuhan tersebut merupakan pelabuhanpelabuhan utama Indonesia. Beberapa faktor yang menyebabkan keterpurukan kinerja kedua pelabuhan utama tersebut yaitu: biaya logistik inter pulau yang tinggi, kemacetan parah di pulau Jawa, dan kualitas buruk jalan di luar pulau Jawa. 64 Selain kinerja yang terburuk, faktor lain yang perlu diperhatikan sehubungan pelabuhan Jakarta ialah pelabuhan Jakarta belum berstatus sebagai pelabuhan internasional. 65 Hal ini sungguh memprihatinkan mengingat pelabuhan Jakarta atau pelabuhan Tanjung Priuk merupakan pelabuhan utama dan tersibuk Indonesia. 66 Meskipun kemajuan telah dicapai Indonesia dalam meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan dan bea dan cukai, akan tetapi Indonesia masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Sebagai contoh, rata-rata jangka waktu yang diperlukan untuk waktu tunggu kontainer impor di terminal utama Hubungan perdagangan adalah masalah yang memberikan tantangan yang berbeda bergantung pada apakah hambatannya mempengaruhi hubungan perdagangan internasional, antar pulau atau dalam pulau. 62 63 64 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 65http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki-pelabuhan -internasional, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. 66 http://www.indonesiaport.co.id/read/tanjung-priok.html, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 28 kontainer ialah lima hari. Jangka waktu ini lebih lama dibandingkan sebagian besar waktu tunggu yang dibutuhkan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut, yaitu sekitar kurang dari tiga hari. Waktu yang dibutuhkan bagi penyelesaian impor kontainer kosong ialah setengah dari waktu yang dibutuhkan kontainer penuh. Hal ini mengindikasikan bahwa bukan karena prasarana yang tidak memadai yang menyebabkan sebagian besar penundaan tetapi pengawas perbatasan dan prosedur pemeriksaanlah yang menyebabkan sebagian besar penundaan. Meskipun ekonomi Indonesia sangat terbuka dalam hal tarif, namun hambatan non-tarif semakin mengalami peningkatan yang mencemaskan. 67 Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai juga yang menjadi penyebab rendahnya peringkat logistik Indonesia di dunia. 68 Pada hakekatnya, Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penyederhanaan prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perdagangan. Namun, pengeluaran sejumlah kebijakan tersebut tidak cukup memadai sebab pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan. Upaya yang lebih besar dibutuhkan Indonesia untuk berhasil. Sebagai contoh, Indonesia menciptakan single window bagi perdagangan (NSW) untuk menggantikan sistem manual dengan sistem online. Meskipun demikian, para pelaku perdagangan masih harus mengunjungi setiap lembaga satu-per- satu. Bahkan, sistem elektronis bukannya menghilangkan sistem manual, sistem elektronis justru tampaknya dilakukan bersamaan dengan sistem manual, sehingga berakibat pada dua kali penyerahan dan dua kali pemeriksaan. 69 67 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 68 Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5). Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43, tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73. Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjenbea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014. 69 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 29 Penguatan institusi perdagangan dan investasi utama Indonesia juga telah diupayakan Bank Dunia melalui pendanaan dari Fasilitas Multi Donor untuk Perdagangan dan Iklim Investasi (Multi-Donor Facility for Trade and Investment Climate - MDFTIC), agar sektor perdagangan Indonesia lebih kompetitif serta memperbaiki iklim investasi. Multi-Donor Facility for Trade and Investment Climate ini didirikan pada bulan Nopember 2008 atas permintaan Kementrian Perdagangan dan Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Multi-Donor Facility for Trade and Investment Climate berlangsung sampai dengan tahun 2013. 70 Kerjasama antara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Perdagangan, Kamar Dagang dan Industri Indonesia dan Bank Dunia dijalin dalam rangka mendukung perdagangan masuk, keluar dan di dalam Indonesia. Upaya Pemerintah untuk mendorong upaya fasilitasi perdagangan, seperti National Single Window Indonesia dan pengembangan Cetak Biru Logistik Nasional, mendapat dukungan Bank Dunia. Dukungan Bank Dunia tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: 71 a. Memberi rekomendasi praktik terbaik dalam mengatur kelembagaan dan b. Pelatihan pengelolaan risiko bagi lembaga-lembaga pemerintah yang terlibat c. d. e. 70 71 pemrosesan reformasi kebijakan pendukung perdagangan. di dalam NSW. Memperkuat kapasitas kelembagaan Kementerian Perdagangan agar dapat mengambil keputusan kebijakan dengan dasar informasi yang mencukupi. Mendukung pembangunan kapasitas Kementerian Perdagangan untuk lebih memahami sifat dan dampak dari hambatan non-tarif. Memperkuat kapasitas lembaga-lembaga pemerintah dan organisasi sektor swasta untuk melakukan dialog tentang layanan dan hubungan perdagangan. http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 30 Pada tahun 2013, the Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) telah melakukan penelitian terhadap gambaran fasilitasi perdagangan Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk membantu Pemerintah mengetahui kondisi kesiapan Indonesia dalam pelaksanaan perjanjian fasilitasi perdagangan. The Organisation for Economic Co-Operation and Development menganalisis sektor-sektor mana yang berpotensi dan sektor-sektor mana yang perlu perbaikan. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan seperangkat indikator yang dibentuk. Dengan memperoleh gambaran fasilitasi perdagangan yang ada, Pemerintah Indonesia diharapkan dapat menentukan prioritas tindakan untuk meningkatkan sistem dalam fasilitasi perdagangan tersebut. 72 Dalam laporan dengan judul OECD Trade Facilitation-Indonesia, The Organisation for Economic Co-Operation and Development memaparkan tentang peninjauan performa Indonesia dalam fasilitasi perdagangan. Indonesia dinilai cukup baik dalam melaksanakan fasilitasi perdagangan, yakni berada di atas rata-rata negara-negara ASEAN dan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, pada beberapa hal atau sektor. Beberapa hal atau sektor tersebut antara lain: biaya dan ongkos, harmonisasi dan simplifikasi dokumen, automation and internal border agency co-operation (kerjasama petugas perbatasan dalam negeri dan terotomatisasi). Namun, pada sektor ketersediaan informasi dan streamlining procedures (penyederhanaan birokrasi), Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara di Asia dan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. 73 72OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecdtrade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014. OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecdtrade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014. 73 31 C. Penerapan Fasilitasi Perdagangan bagi Kelancaran Arus Barang Hasil analisis secara statistik menunjukkan bahwa Fasilitasi Perdagangan, sebagai salah satu variabel pembentuk arus perdagangan memberikan kontribusi dalam peningkatan nilai arus perdagangan internasional. 74 Penerapan fasilitasi perdagangan secara efisien akan meningkatkan arus barang baik ekspor maupun impor. Bahkan, Indonesia telah menegaskan beberapa manfaat fasilitasi perdagangan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara 1988. Beberapa manfaat tersebut antara lain: memperlancar arus barang dan jasa; mendorong pembentukan harga yang layak dalam iklim persaingan yang sehat; menunjang efisiensi produksi; meningkatkan ekspor; memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; meningkatkan dan memeratakan pendapatan rakyat serta memantapkan stabilitas ekonomi. Beberapa studi yang bertujuan untuk melihat peran fasilitasi perdagangan terhadap kelancaran arus barang telah banyak dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Milner C, Morrissey O dan Zgovu E, pada tahun 2005 memaparkan dampak penerapan fasilitasi perdagangan terhadap perdagangan. Selain itu, studi yang telah dilakukan oleh APEC pada tahun 2004 menunjukkan bahwa dengan menggunakan model gravitasi, peningkatan prosedur bea dan cukai sebesar 10% akan mendorong impor intra-APEC sebesar 0,5%. 75 Sementara studi yang dilakukan oleh Wilson et al pada tahun 2003, dengan menggunakan model gravitasi menunjukkan hasil bahwa peningkatan efisiensi kepelabuhan memiliki efek positif yang lebih besar terhadap perdagangan dibandingkan kemajuan di bea dan cukai. 76 74 Sjamsul Arifin, dkk,, Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, (Alex Media Komputindo: 2008, Jakarta), hal.71-72. 75 Chris Milner, Oliver Morrissey and Evious Zgovu, Trade Facilitation in Developing Countries, http://www.nottingham.ac.uk/credit/documents/papers/08-05.pdf, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. John S. Wilson, Catherine L. Mann and Tsunehiro Otsuki, Trade Facilitation and Economic Development: Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988, March 2003, 76 32 Studi dengan metode grativitasi yang dilakukan APEC menunjukkan bahwa baik negara ekspor dan negara impor sama-sama akan mendapatkan efisiensi keuntungan. Sebagai contoh, dalam perdagangan Chili dan New Zealand, kedua Negara mendapatkan keuntungan. Chili meningkatkan kemajuan pelabuhan; sedangkan, New Zealand memiliki kemampuan teknologi informasi yang tinggi. New Zealand akan menerima manfaat kemajuan pelabuhannya Chili; sementara itu, Chili akan menikmati kemajuan teknologi informasinya New Zealand. Efisiensi yang tercipta dengan mengurangi hambatan dapat menumbuhkan transaksi ekonomi suatu Negara. 77 Faktor kunci integrasi ekonomi dunia ialah negara-negara mampu mengirimkan barang dan jasa tepat waktu dengan biaya terendah. Volume perdagangan yang mengalami ekspansi mengakibatkan pembentukan kebijakan yang meminimalisir hambatan non-tarif dan percepatan pergerakan barang dan jasa melewati batas Negara, yakni fasilitasi perdagangan. Tujuan dari fasilitasi perdagangan ialah efisiensi prosedur perdagangan melalui simplifikasi dan harmonisasi dokumentasi, prosedur dan aliran informasi. 78 Peran fasilitasi perdagangan dalam perdagangan internasional sangatlah penting. Bahkan, fasilitasi perdagangan dinilai sebagai ‘plumbing of international trade’ (pipa saluran bagi perdagangan internasional). 79 Hal ini mengindikasikan pentingnya peranan fasilitasi perdagangan dalam memastikan kelancaran arus barang. http://elibrary.worldbank.org/doi/pdf/10.1596/1813-9450-2988, diakses pada tanggal 20 Juli 2014. 77 John S. Wilson, Catherine L. Mann, dan Tsunehiro Otsuki, op. cit., hal.382-383. 79 Andrew Grainger, Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40. 78 Jayanata Roy dan Shweta Bagai, Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703, hal.18. 33 Pelaksanaan fasilitasi perdagangan memberikan beberapa manfaat, antara lain: 80 (1) Manfaat dari segi alur perdagangan Salah satu manfaat yang akan diperoleh negara berkembang dengan keberlakuan fasilitasi perdagangan adalah keuntungan dari alur perdagangan. Hal ini disebabkan, dengan fasilitasi perdagangan, transit barang di negara berkembang tersebut menjadi lebih mudah. Akibatnya, alur perdagangan di negara yang bersangkutan akan meningkat dan menarik minat para eksportir importer. (2) Manfaat dari segi pendapatan negara Perbaikan infrastruktur bea dan cukai merupakan salah satu syarat penting dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan. Perbaikan ini membutuhkan dana besar. Akan tetapi, dengan perbaikan infrastruktur ini, negara tersebut akan mendapatkan manfaat yang jauh lebih besar, antara lain: meningkatkan efektivitas petugas bea dan cukai dalam menarik bea masuk dan meminimalisir terjadinya penyelundupan barang 81. Akibatnya, pendapatan negara jauh lebih besar sebab bea dan cukai yang diterima negara akan jauh lebih banyak dan penerimaan pajak dari penjualan barang-barang pun juga meningkat. (3) Manfaat dari segi terjadinya penanaman modal asing Salah satu alasan investor asing bersedia menanamkan modalnya di suatu negara adalah upah tenaga kerja yang murah. Negara berkembang dapat memenuhi kriteria ini. Minat para investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia akan semakin besar jika fasilitasi perdagangan dilaksanakan. Hal ini disebabkan fasilitasi perdagangan mempermudah para investor asing Brent Layton, “Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic Community Blueprint”, ERIA Research Project Report, (Januari 2007), hal.87. 80 Tingkat risiko negara dijadikan sebagai tempat penjualan barang tidak sehat atau barang terlarang semakin dapat dihilangkan. 81 34 dalam melakukan investasi, misalnya dalam mengimpor barang dari luar negeri dan mengekspor hasil produk mereka ke luar negeri. Prosedur administrasi dalam perdagangan internasional yang tidak jelas dapat mengakibatkan terpuruknya nilai impor dan memperbesar terjadinya korupsi. Akibatnya, daya saing industri-industri yang menggunakan komponen impor menurun. Reformasi fasilitasi perdagangan tidak hanya akan membantu meningkatkan kesempatan kerja pada industri-industri yang bernilai tinggi, akan tetapi juga meningkatkan perdagangan domestik dan internasional. 82 Berdasarkan analisis the Organisation for Economic Co-operation and Development terhadap negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, faktor-faktor penting yang mempengaruhi peningkatan arus perdagangan bilateral dan penurunan biaya perdagangan adalah dokumen formalitas, prosedur terotomatisasi, pemerintahan, serta ketersediaan informasi. 83 Pelaksanaan fasilitasi perdagangan sangat berpengaruh terhadap peningkatan daya saing perdagangan negara-negara berkembang. Akses ke jaringan logistik regional maupun internasional yang cepat dan handal sangat dibutuhkan dalam perdagangan internasional. Akibatnya, pelaksanaan ekspor, impor dan prosedur bea masuk akan lebih efisien. 84 Dalam perkembangan dewasa ini, banyak Regional Trade Agreement mencakup banyak aspek fasilitasi perdagangan. Hal ini mengakibatkan harmonisasi prosedur fasilitasi perdagangan menghadapi tantangan yang tak terduga. Walaupun demikian, pelaksanaan fasilitasi perdagangan dalam ketentuan Regional Trade Agreement memberikan dampak sangat positif. Salah satunya 82 http://go.worldbank.org/Y0GTJ72Y90, diakses pada tanggal 25 Juli 2014. 83 OECD, OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia, hasil publikasi the Organisation for Economic Co-operation and Development, http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecdtrade-facilitation-indicators-april-2014.pdf diakses pada tanggal 27 Juli 2014. Unites Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements, No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1. 84 35 ialah perubahan positif birokrasi dan perbaikan standar atas fasilitasi perdagangan di level internasional. Selain itu, fasilitasi perdagangan menaikkan minat penanaman modal di tingkat nasional, regional dan multilateral. 85 Fasilitasi perdagangan juga sangat memberikan pengaruh positif terhadap produksi barang dalam hal kecepatan dan kualitas barang. Hal ini dimungkinkan sebab dengan pelaksanaan fasilitasi perdagangan, para produsen atau pedagang dapat melakukan proses jual beli dengan mekanisme yang lebih mudah. Mekanisme yang demikian membuat bea masuk yang semakin rendah. Kondisi ini jelas menyebabkan kecepatan dan kualitas barang yang diproduksi dapat semakin diperhatikan oleh industri manufaktur. 86 Beberapa pertimbangan pelaksanaan fasilitasi perdagangan yaitu, antara lain: 87 a. Pemenuhan perdagangan permohonan yang dinilai produsen tidak terkait syarat-syarat mendukung proses formalitas perdagangan internasional. Syarat-syarat formalitas yang transparan dan efesien mempermudah prediksi produsen dalam menjalankan jual beli lintas batas negara; b. Pentingnya peningkatan efisiensi dan efektivitas administrasi untuk meningkatkan pengawasan penuh pihak yang berwenang atas perdagangan internasional. Ketika pengawasan penuh dimiliki pihak berwenang, maka lalu lintas perdagangan illegal akan semakin terlacak, sehingga keselamatan dan keamanan publik akan semakin terjaga. Selain itu, pendapatan negara juga dapat semakin meningkat sebab pengawasan penuh pihak berwenang meminimalisir pemberian keterangan palsu dalam laporan impor barang. 85 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements, No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 2. 86 United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements, No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 6. United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements, No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 6. 87 36 c. Pelaksanaan fasilitasi perdagangan berarti mereformasi pembangunan. Untuk dapat menerapkan fasilitasi perdagangan dengan baik, dibutuhkan investasi pada sumber daya manusia dan kerjasama kelembagaan sebagai sarana meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik. Akibatnya, kontribusi secara langsung dapat diberikan untuk pembangunan jangka panjang suatu negara. Biaya perdagangan terkait erat dengan penerapan fasilitasi perdagangan. Pelaksanaan fasilitasi perdagangan dapat meningkatkan Export Gross Domestic Product dan Import Gross Domestic Product yang menekankan pada rasio globalisasi ekspor dan impor suatu negara berdasarkan kemampuan ekonomi atau output dari ekonomi negara dimaksud dalam arus dan produksi barang. 88 The Organisation for Economic Cooperation and Development menganalisis perkiraan penurunan perdagangan. biaya perdagangan akibat penerapan fasilitasi Berdasarkan hasil analisis The Organisation for Economic Cooperation and Development, fasilitasi perdagangan akan mengurangi biaya perdagangan sebesar: 14,1 persen di negara-negara berpenghasilan rendah; 15,1 persen di negara-negara berpenghasilan rendah-menengah; dan 12,9 persen di negara- negara berpenghasilan menengah-atas. Pada tingkatan dunia, pengurangan biaya perdagangan global sebesar satu persen berarti peningkatan pendapatan dunia sebesar US$40 miliar (empat puluh milyar US Dollar). Negara berkembang dan negara kurang berkembanglah yang akan menikmati manfaat sebagian besar peningkatan pendapatan ini. 89 T.M. Joseph, New Governance Paradigm: Issues in Development, (Delhi: Kalpaz Production, 2008), hal.59. 88 OECD, Trade Facilitation Agreement would add billions to global economy says OECD, tanggal 03 Mei 2013, http://www.oecd.org/trade-trade-facilitation-agreement-would-add-billions-toglobal-economy-says-oecd.htm, diakses pada tanggal 27 Juli 2014. 89 37 Potensi peningkatan pendapatan negara berkembang sebagai akibat reformasi fasilitasi perdagangan juga dikemukakan oleh studi ekonometrik dengan menggunakan bukti empiris. Bahkan, tidak hanya keuntungan ekonomi dalam bentuk peningkatan pendapatan riil yang akan diperoleh negara berkembang, tetapi juga keuntungan ekonomi dalam bentuk peningkatan perdagangan. Ekspor negara berkembang diperkirakan akan mengalami peningkatan. Studi ekonometrik itu menegaskan potensi keuntungan reformasi fasilitasi perdagangan sebagaimana dipaparkan di atas juga akan dinikmati negara maju. Ada pendapat yang mengatakan bahwa fasilitasi perdagangan dapat membawa dampak negatif bagi negara berkembang. Dampak negatif tersebut ialah terjadinya ketidakseimbangan neraca pembayaran sebagai akibat peningkatan impor yang lebih cepat daripada peningkatan ekspor. 90 Kebenaran pendapat ini masih harus diperdebatkan. Kekuatan ekonomi makrolah yang menentukan keseimbangan necara pembayaran suatu negara. Indikator mendasar kekuatan ekonomi makro yaitu rasio tabungan untuk investasi. Dalam penentuan neraca pembayaran, fasilitasi perdagangan hampir tidak berperan, kecuali dalam jangka sangat pendek. Sebagai contoh, variabel ekonomi makro seperti nilai tukar sedang mengalami penyesuaian. 91 90 Ekspor dari negara berkembang ke negara maju semakin sulit dilaksanakan tidak didasarkan pada system kepabeanan. Namun, kesulitan ekspor tersebut didasarkan pada alas an kesehatan, lingkungan hidup, hak asasi manusia, maupun kualitas standar barang yang tidak dapat dipenuhi karena keterbatasan kapasitas teknologi. B Hoekman dan B Shepperd, Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI Working Paper RSCAS 2013/49, San Domenico di Fiesole, 2013. 91 38 BAB III KESIAPAN INDONESIA DALAM PENERAPAN AGREEMENT ON TRADE FACILITATION Sebagaimana dipaparkan di atas, Agreement on Trade Facilitation terdiri atas tiga bagian. Section I berisikan pasal-pasal yang memuat kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara WTO, termasuk Indonesia jika Indonesia meratifikasi Agreement on Trade Facilitation. Berikut ialah kesiapan Indonesia terhadap setiap ketentuan Agreement on Trade Facilitation: Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation Ketentuan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation mengenai publikasi merupakan tindak lanjut Pasal X GATT mengenai Publication dan Administration of Trade Regulations. Di Indonesia, informasi yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation yakni informasi tentang ekspor, impor, transit, prosedur, tarif, pajak, permohonan, peraturan perundang-undangan, prosedur administrasi dan lainnya termasuk dalam kategori informasi publik menurut Pasal 1 angka 2 dan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 92 Definisi informasi publik menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik adalah “Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim , dan/ atau diterima oleh suatu Badan Publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/ atau penyelenggara dan penyelenggaraan Badan Publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik” 92 Dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang keterbukaan informasi publik dijelaskan mengenai informasi publik yang wajib disediakan yakni a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; 39 Pelaksanaan Pasal 1 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation dengan demikian sudah dilakukan oleh Indonesia. Berbagai badan publik dan lembaga Pemerintah juga telah memiliki situs yang menyediakan informasi terkait, contohnya situs Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kementrian Perdagangan. Indonesia juga telah memiliki Indonesia National Single Window (INSW) 93 untuk mengurus masalah perizinan. Indonesia National Single Window tersebut terintegrasi dengan ASEAN Single Window. Indonesia National Single Window diatur dalam Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Indonesia sudah memiliki beberapa situs terkait perlaksanaan perdagangan internasional. Meskipun demikian, kemampuan untuk menjaga keamanan situs masih belum memadai. Beberapa situs resmi kementerian rentan untuk diretas. 94 Hal ini tentu berbahaya dalam pelaksanaan fasilitasi perdagangan. Misalnya, apabila pelaku transaksi perdagangan internasional melakukan tindakan hukum dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana diinformasikan pada situs resmi Pemerintahan, namun yang bersangkutan mengalami kerugian disebabkan informasi ketentuan yang diperoleh melalui c. d. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 93Definisi INSW Menrurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 35 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs clearance and release of cargoes)”. 94http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Dire tas, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. 40 situs resmi tidak akurat. Akibatnya, pelaku bisnis transaksi perdagangan tersebut bisa mengajukan gugatan terhadap Pemerintah. Lebih lanjut, belum ada tim yang dibentuk Pemerintah untuk memperbaharui informasi yang ada pada situs tersebut, sehingga, pencapaian publikasi sebagaimana ketentuan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation masih membutuhkan waktu. Seharusnya dibentuk sebuah tim yang terdiri dari beberapa instansi terkait yang dikoordinir salah satu instansi agar publikasi lebih terintegrasi dan lebih cepat diperbaharui. Selain itu, sampai dengan saat ini, belum ada tim khusus Pemerintah yang bertugas menerjemahkan peraturan perundang-undangan serta informasi lainnya ke dalam Bahasa Inggris. Jumlah terjemahan Bahasa Inggris dari peraturan yang dipublikasikan melalui situs resmi Pemerintah saat ini masih belum memadai dan jarang yang berbentuk terjemahan Bahasa Inggris resmi. Terkait dengan Pusat Informasi, sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki pusat informasi yang terintegrasi mengenai ekspor, impor, transit, bea dan juga pajak sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation. Indonesia National Single Window hanya memberikan informasi mengenai perizinan dan pengguna juga tidak dapat mengajukan pertanyaan pada situs ini. Oleh karena itu, pendirian Pusat Informasi termasuk dalam hal dimana Indonesia membutuhkan technical assistance dalam peningkatan kapasitas. Pasal 88 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur mengenai sistem informasi perdagangan untuk kebijakan dan pengendalian perdagangan. 95 Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa “Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga Pemerintah nonkementerian. Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 95 41 tentang Perdagangan, sistem informasi perdagangan tersebut mencakup perdagangan nasional maupun internasional. 96 Dalam sistem informasi perdagangan, Menteri Perdagangan dapat meminta data dan informasi dibidang Perdagangan kepada instansi lainnya. Hal ini diatur dalam Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 97 Meskipun telah diatur mengenai sistem informasi perdagangan, namun belum diatur mengenai pusat informasi yang dapat menjawab pertanyaan perdagangan secara komprehensif dalam waktu cepat. Sistem informasi yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan baru bersifat satu arah saja. 98 Untuk membentuk sebuah pusat informasi yang dapat menjawab pertanyaan pengguna dibutuhkan banyak tenaga kerja yang handal yang mengerti tentang teknologi informasi serta perdagangan baik nasional maupun internasional agar dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Indonesia masih memiliki kendala yang besar dalam penyediaan informasi dalam Bahasa Inggris serta dalam hal mengurus situs-situs instansi terkait. Situs yang ada belum dapat memperbaharui informasinya secara cepat dan belum ada layanan untuk menjawab pertanyaan. Berdasarkan penjelasan di atas, Indonesia belum siap dalam hal publikasi dan ketersediaan informasi dan dapat digolongkan dalam kategori C. Dibutuhkan tentang Perdagangan menyebutkan bahwa Sistem informasi perdagangan digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan”. Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri. 96 97 Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan menyebutkan bahwa “Menteri dalam menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan dapat meminta data dan informasi di bidang Perdagangan kepadakementerian, lembaga Pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah, termasuk penyelenggara urusan pemerintahan di bidang bea dan cukai, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Badan Pusat Statistik, dan badan/lembaga lainnya”. Pasal 89 ayat (1) menyebutkan bahwa “Sistem Informasi Perdagangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penyampaian, pengelolaan, dan penyebarluasan data dan/atau informasi Perdagangan”. 98 42 waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kerjasama yang baik antara beberapa instansi/kementerian terkait serta untuk memperbaiki teknologi informasi. Terlebih lagi, dibutuhkan dana yang besar untuk perbaikan teknologi informasi. Selain itu, untuk pendirian Pusat Informasi yang memadai juga dibutuhkan pendirian infrastruktur kantor dan mendesain sistem manajemen yang efektif dan efisien. Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation Pada hakekatnya, Indonesia telah memiliki aturan mengenai kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan komentar terhadap rancangan peraturan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 96 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bahkan, Pasal 96 ayat (4) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses rancangan peraturan. menjamin Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 99 mengatur bahwa pemberian komentar dimungkinkan sejak rancangan peraturan masih dalam pembahasan Program Legislasi Nasional di lingkungan DPR. Lebih lanjut, Pasal 96 ayat (3) Undang- Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan 100 menegaskan bahwa pihak yang berkepentingan berhak Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi “Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat”. 99 Pasal 96 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan berbunyi “(1) Masyarakat berhak memberikan masukkan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. (2) Masukkan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau 100 43 memberikan komentar atau masukkan. Hal ini berarti terhadap rancangan atau amandemen ketentuan fasilitasi perdagangan, produsen dan pedagang berhak memberikan komentar. Komentar atau masukkan yang diberikan dapat secara lisan maupun tertulis. 101 Cara penyampaian komentar pun dapat melalui berbagai macam kesempatan. 102 Yang menjadi perdebatan ialah efektivitas pemberian komentar pihak terkait terhadap rancangan peraturan. Hal ini disebabkan publikasi rancangan peraturan belum dapat dinilai memadai. Meskipun sosialisasi rancangan peraturan dilaksanakan, namun sosialisasi belum tersistematis dengan baik untuk menjangkau mayoritas pihak terkait. Transaksi perdagangan internasional merupakan transaksi yang berisiko besar sebab mempertautkan sistem hukum dua negara. Perubahan aturan tanpa pemberitahuan dalam jangka waktu yang memadai dapat menimbulkan konflik dalam pelaksanaan transaksi dimaksud. Ketentuan Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation menegaskan bahwa publikasi secara aktif haruslah dilakukan Pemerintah sesegera mungkin. Jika dikaitkan dengan Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation, salah satu cara publikasi informasi ialah publikasi melalui internet atau secara elektronik. Meskipun Indonesia telah mempublikasikan peraturan melalui internet, namun belum pernah publikasi rancangan peraturan dilakukan secara elektronik, terlebih melalui situs resmi kementerian atau badan/lembaga pemerintahan. (3) d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan”. Ditegaskan dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 101 Berdasarkan Pasal 96 ayat (2) Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, komentar tersebut dapat dilakukan melalui: rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya maupun diskusi. 102 44 Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia diwajibkan untuk menyelenggarakan konsultasi berkala antara otoritas kepabeanan dengan pedagang atau pihak terkait. Sayangnya, konsultasi berkala dimaksud belum pernah dilaksanakan Indonesia. Terlebih lagi, belum ada pengaturan berkenaan dengan konsultasi berkala tersebut. Dengan demikan, instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation dan faktor penunjang pelaksanaan pasal ini belum memadai. Pelaksanaan pasal ini membutuhkan sumber daya manusia kompeten dan teknologi informasi yang memadai. Hal ini disebabkan publikasi rancangan peraturan fasilitasi perdagangan perlu dilakukan melalui internet baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan pasal ini dapat digolongkan ke dalam kategori C sebab Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan untuk capacity building. Dibutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kerjasama yang baik antara beberapa instansi/kementerian terkait serta untuk memperbaiki teknologi informasi. Terlebih lagi, dibutuhkan dana yang besar untuk perbaikan teknologi informasi. Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation Di Indonesia, advance ruling merupakan suatu surat penegasan (ruling) atas suatu transaksi (umum atau spesifik) yang dikelarkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada wajib pajak. Sebagai salah satu instrumen penting, 103 advance ruling berperan untuk membantu wajib pajak dalam pemenuhan kewajiban pajak dengan benar. Advance ruling ialah suatu surat tentang perlakuan perpajakan atas suatu transaksi yang spesifik yang akan dilakukan atau dihadapi 103 dalam sistem perpajakan modern. advance ruling berperan penting dalam negara dengan self assessment system. Self assessment system ialah sistem perpajakan yang memberikan kepercayaan penuh kepada wajib pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan kewajiban pajaknya. 45 oleh wajib pajak tersebut. 104 Advance ruling diberikan sebelum wajib pajak melakukan suatu transaksi atau sebelum melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Dengan adanya advance ruling akan mempermudah wajib pajak dalam memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya. 105 Advance ruling di Indonesia baru mengatur mengenai rules of origin. Mengenai rules of origin antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No.17/M-Dag/Per/9/2005 tentang Penerbitan Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) untuk Barang Ekspor Indonesia serta Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-55/Bc/2011. Instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation belum memadai. Pelaksanaan pasal ini juga membutuhkan sumber daya manusia kompeten. Selain itu, diperlukan kajian mendalam tentang advance rulings berkenaan dengan perdagangan internasional itu sendiri dan pelaksanaannya di beberapa negara lain. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C. Setidaknya Indonesia membutuhkan waktu 15 tahun untuk mempersiapkan diri melaksanakan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation. Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation Ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a Agreement in Trade Facilitation diakomodir dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yakni pada BAB XIII mengenai keberatan atau banding. Pada BAB XIII Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 104 Darussalam dan Danny Septriadi, dalam tulisannya di majalah Inside Tax, Desember 2007. Edisi 02. Jakarta, hal.19. Thuronyi, Victor, Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund, 1996), hal 61. 105 46 mengatur bahwa pihak-pihak yang keberatan dengan penetapan pejabat bea dan cukai dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Pengajuan ini diatur dalam Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 106 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 107 dan Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 108 Ketentuan lainnya terdapat pada Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Jika dilihat dari ketentuan pada Pasal 4 ayat (1) huruf a Agreement on Trade Facilitation, maka ketentuan perundang-undangan yang ada di Indonesia telah memenuhi Pasal tersebut. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Bea dan Cukai memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pejabat Direktorat Bea dan Cukai yang mengeluarkan penetapan yang dimintai keberatan tersebut. Jadi ketentuan perundang-undangan di Indonesia telah memenuhi Pasal ini 4 ayat (1) huruf a Agreement on Trade Facilitation. Dalam hal ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation, Indonesia juga telah memenuhi ketentuan ini. Setelah upaya keberatan telah Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai mengenai tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar”. 106 Pasal 93A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan pejabat bea dan cukai selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan”. 107 108 Pasal 94 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang dikenai sanksi administrasi berupa denda dapat mengajukan keberatan secara tertulis hanya kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak tanggal penetapan dengan menyerahkan jaminan sebesar sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan”. 47 dilakukan dan Direktur Jenderal Bea dan Cukai telah mengeluarkan penetapan ataupun keputusan terkait keberatan yang diajukan padanya, maka orang yang berkeberatan dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak atas. Hal ini disebutkan dalam Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 109 serta Pasal 31 ayat (1) 110 jo Pasal 1 angka 5 111 jo Pasal 1 angka 2 112 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. Upaya banding tersebut merupakan proses litigasi yang berarti sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf b Agreement on Trade Facilitation. Apabila dilihat dari Pasal 4 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia juga mengatur hal ini meskipun hal ini bukan suatu kewajiban. Untuk melakukan upaya banding ke Pengadilan Pajak, maka yang harus dilakukan ialah melalui upaya keberatan terlebih dahulu kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Setelah adanya Penetapan atau Keputusan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai, maka pihak yang merasa keberatan dengan Penetapan atau Keputusan dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai tersebut dapat mengajukan banding ke 109 Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi”. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Pengadilan Pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus Sengketa Pajak”. 110 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Sengketa Pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk Gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undangundang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa”. 111 112 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Pajak adalah semua jenis Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 48 pengadilan pajak menurut Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 113 Ketentuan Pasal 4 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, mengatur bahwa setiap anggota WTO diharuskan untuk bisa memastikan bahwa prosedur ini dijalankan dengan perlakuan non diskriminasi. Maksud penggunaan kata nondiscriminatory manner ini adalah karena para anggota WTO ini bermaksud menggabungkan dua prinsip WTO yaitu Most Favoured Nation dan National Treatment. Dalam ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut, tidak diberikan perlakuan yang berbeda antara pihak asing yang satu dengan pihak asing yang lain, maupun antara pihak asing dan pihak lokal. Setiap pihak memiliki hak sama untuk mengajukan keberatan atau banding mengenai sengketa dalam kepabeanan. Dengan demikian, Indonesia telah memenuhi ketentuan dari Pasal 4 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation. Ketentuan Pasal 4 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengatur tentang masalah jangka waktu penyelesaian sengketa di bidang kepabeanan. Di Indonesia, mengenai jangka waktu diputusnya suatu keberatan diatur dalam Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 114 93A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 115 dan Pasal 94 ayat (2) Undang- Pasal 95 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal atas tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2), Pasal 93A ayat (4), atau Pasal 94 ayat (2) dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan atau tanggal keputusan, setelah pungutan yang terutang dilunasi”. 113 114 Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan”. Pasal 93A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya pengajuan keberatan”. 115 49 Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 116 Jangka waktu diputusnya banding atas keberatan keputusan atau penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak 117 dan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. 118 Dengan demikian, Indonesia telah mengatur secara jelas mengenai waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa dalam masalah kepabeanan. Pasal 4 ayat (5) dan (6) Agreement on Trade Facilitation lebih menekankan mengenai transparansi atas putusan yang dibuat. Berdasarkan Pasal 3 UndangUndang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, 119 pemberian alasan wajib dilakukan sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Kewajiban memberikan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan juga merupakan kewajiban menurut Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan 116 Pasal 94 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya pengajuan keberatan. Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima”. 117 Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak berbunyi “Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperpanjang paling lama 3(tiga) bulan”. 118 Pasal 3 Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berbunyi “Asas-asas umum penyelenggaraan negara meliputi: a) Asas Kepastian Hukum; b) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; c) Asas Kepentingan Umum; d) Asas Keterbukaan; e) Asas Proporsionalitas; f) Asas Profesionalitas; dan g) Asas Akuntabilitas”. 119 50 Umum 120 dan Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. 121 Indonesia telah mengakomodir Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dengan dalam peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan serta Undang-Undang No.14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak telah mengatur hal tersebut secara rinci serta telah menentukan jangka waktu agar upaya keberatan dan banding dapat berjalan tidak berlarut-larut dan ada kepastian kapan suatu kasus tersebut selesai. Dari segi transparansi, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme untuk menjamin penyelenggaraan negara tetap transparan dan Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum untuk menjamin penegakan hukum. Yang penting untuk dikaji mendalam adalah praktek yang terjadi di lapangan. Hal ini dengan pertimbangan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai. 122 Selain itu, praktek mafia peradilan masih kerap kali diduga terjadi dalam berbagai kasus yang melibatkan tidak hanya pegawai pengadilan tetapi Pasal 68A ayat (1) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim harus bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya”. 120 121 Pasal 68A ayat (2) Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum berbunyi “Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar”. Tahun 2012, nilai pelayanan bea dan cukai Indonesia mendapat nilai 2,53 (skala 0-5). Meskipun nilai ini meningkat dari nilai pelayanan tahun 2010 yang hanya mendapat nilai 2,43, tetapi masih lebih rendah dibandingkan nilai pelayanan tahun 2007 yang mendapat nilai 2,73. Lihat http://www.sindoweekly-magz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjenbea-cukai, diakses pada tanggal 20 Agustus 2014. 122 51 juga aparat penegak hukum. 123 Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima belas) tahun. Indonesia membutuhkan dukungan capacity building, dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia baik sumber daya manusia di lingkungan bea dan cukai maupun sumber daya manusia di lingkungan pengadilan pajak. Selain itu, Indonesia juga harus meningkatkan kesejahteraan para pegawai terkait serta memperkuat mekanisme pengawasan terhadap para pegawai tersebut dalam pelaksanaan tugas mereka. Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation mengatur mengenai sanitary dan phytosanitary sebagaimana diatur dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement. Sanitary and Phytosanitary Agreement tersebut melaksanakan ketentuan Pasal 20 huruf b General Agreement on Tariffs and Trade. Larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa yang berbahaya yang berkaitan dengan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf d Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 124 Dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang- undang Perdagangan, 125 Pemerintah juga memberikan pembatasan berkaitan dengan lingkungan hidup. Mengenai perlakuan terhadap barang yang dilarang atau dibatasi, diatur dalam Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 123 http://www.ibanet.org/Article/Detail.aspx?ArticleUid=744f59c1-b745-49a3-830c-47e5ca7e5756, diakses pada tanggal 2 September 2014. 124 Pasal 35 ayat (1) huruf d Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Pemerintah menetapkan larangan atau pembatasan Perdagangan Barang dan/atau Jasa untuk kepentingan nasional dengan alasan melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup”. 125Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Pemerintah melarang Impor atau Ekspor Barang untuk kepentingan nasional dengan alasan untuk melindungi kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan ingkungan hidup”. 52 tentang Perubahan Kepabeanan. 126 atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Di Indonesia, aturan mengenai pemeriksaan barang terdapat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 127 dan pada Pasal 3 ayat (2) Undang- Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 128 Peraturan teknis mengenai pemeriksaan fisik tersebut diatur lebih spesifik dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor. Definisi dari pemeriksaan fisik sendiri dijelaskan pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor. 129 Dalam hal aturan mengenai pembedaan besaran bea masuk diatur dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 130 Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan importir atau eksportir dapat dibatalkan ekspornya, diekspor kembali, atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai. Kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 126 127 Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Terhadap barang impor dilakukan pemeriksaan pabean. Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pemeriksaan pabean sebagaimana meliputi enelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang”. 128 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor berbunyi “Pemeriksaan fisik sebagai kegiatan yang dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Barang untuk mengetahui jumlah dan jenis barang impor yang diperiksa guna keperluan pengklasifikasian dan penetapan nilai pabean”. 129 130 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; atau b. barang impor bawaan penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, atau barang kiriman melalui pos atau jasa titipan”. 53 Pasal 5 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation sangat terkait dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan karena Badan Pengawas Obat dan Makanan merupakan lembaga yang mengawasi peredaran obat dan makanan menurut Pasal 73 Keputusan Presiden No.166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen. 131 Saat ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan masih memerlukan capacity building sehubungan dengan teknis pelaksanaan dan manajemen rapid alert. Capacity building tersebut dilakukan dengan meningkatkan sumber daya manusia dan peningkatan fasilitas. Selain terkait dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan, Pasal ini erat kaitannya dengan kepabeanan karena pemeriksaan dilakukan oleh kepabeanan. Jadi, diperlukan integrasi antara Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Pasal 5 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation mengenai pemberitahuan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Ketentuan tersebut terdapat pada Pasal 5A Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 132 Aturan mengenai hal ini juga terdapat dalam Pasal 1 angka 24 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep- 07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. 133 Pasal 73 Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata KerjaLembaga Pemerintah Non Departemen berbunyi Badan Pengawas Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat danmakanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. 131 132 Pasal 5A Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pemberitahuan pabean sebagaimana dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik”. 133 Pasal 1 angka 24 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep- 07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor berbunyi “Nota Pemberitahuan adalah nota yang dibuat oleh Pejabat tentang adanya pelanggaran ketentuan larangan/pembatasan impor”. 54 Pada prakteknya di Indonesia, prosedur penahanan sudah dilaksanakan namun permasalahannya sering kali penahanan dilakukan secara berbelit-belit atau kurang transparan. Selain itu, importir meminta kepada pihak ketiga untuk mengurus masalah importasi. Hal tersebut tentu merugikan importir karena mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak perlu. Perlu adanya sosialisasi pada importir mengenai pengurusan importasi. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian mendalam berkenaan dengan pelaksanaannya di lapangan Tentang prosedur tes kedua yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation belum diatur di Indonesia. Perlu adanya regulasi dan pembangunan sarana dan teknologi yang berkaitan dengan prosedur tes kedua seperti membentuk sistem informasi terkait laboratorium serta pengawasan laboratorium tersebut secara berkala. Oleh karena itu, untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation, Indonesia tergolong Kategori C. Hal ini dikarenakan masih banyak kekurangan dalam bidang infrastruktur dan regulasi. Badan Pengawas Obat dan Makanan dan pabean masih perlu bantuan teknis dalam bidang infrastruktur, sumber daya manusia serta regulasi. Regulasi yang ada juga belum mengatur mengenai prosedur tes kedua. Importasi di Indonesia juga sering dilakukan oleh pihak ketiga, padahal salah satu hal utama dalam pemenuhan fasilitas perdagangan ialah penyederhanaan proses administrasi agar dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha. Indonesia setidaknya membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation. Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki fungsi implementasi yaitu: 134 “Gambaran Umum Kepabeanan Dan Cukai, Hubungan Pajak Bea Masuk/Bea Keluar Dan Cukai,” http://elearning.upnjatim.ac.id/courses/HKK6004/document/Gambaran_umum_ kepabeanan_dan_cukai.pdf?cidReq=HKK6004 diakses pada tanggal 21 Agustus 2014. 134 55 a. Trade Facilitator adalah memberi fasilitas perdagangan (antara lain peningkatan kelancaran arus barang dan perdagangan) sehingga dapat menekan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya akan menciptakan iklim perdagangan yang kondusif. b. Industrial Assintance adalah memberi dukungan kepada industri dalam negeri sehingga memiliki keunggulan kompetitif dalam pasar internasional. c. Revenue Collector adalah mengoptimalkan penerimaan negara melalui penerimaan bea masuk dan cukai. d. Community Protector adalah melindungi masyarakat dari masuknya barangbarang yang dilarang atau dibatasi yang dapat menggangu kesehatan dan keamanan serta moralitas Biaya dan tarif yang dimaksud dalam Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation sama dengan bea masuk 135 dan bea keluar 136 yang diatur dalam pada Undang- Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Tujuan pengenaan bea keluar dijelaskan pada penjelasan Pasal 2A ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 137 Tata cara penghitungan bea masuk dijelaskan dalam Pasal 15 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, yakni: (1) Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk adalah nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. 135 Definisi bea masuk menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor Definisi bea keluar menurut Pasal angka 15 Undang-undang Kepabeanan adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang ekspor 136 Pasal 2 A ayat (2) menyatakan bahwa tujuan bea keluar adalah:menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; melindungi kelestarian sumber daya alam; mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional; atau menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri. 137 56 (2) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi barang dari barang identik. (3) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan nilai transaksi dari barang serupa. (3a) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) nilai pabean untuk penghitungan bea masuk itentukan berdasarkan ketentuan pada ayat (4) dan ayat (5) secara berurutan, kecuali atas permintaan importir, urutan penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat digunakan mendahului ayat (4). (4) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode deduksi. (5) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan berdasarkan metode komputasi. (6) Dalam hal nilai pabean untuk penghitungan bea masuk tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi aebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), metode deduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atau metode komputasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), nilai pabean untuk penghitungan bea masuk ditentukan dengan menggunakan tata cara yang wajar dan konsisten dengan prinsip dan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) atau ayat (5) berdasarkan data yang tersedia di daerah pabean dengan pembatasan tertentu. 57 (7) Ketentuan mengenai nilai pabean untuk penghitungan bea masuk diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri. Adapun publikasi mengenai tarif yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam Agreement on Trade facilitation dapat diakses melalui situs bea dan cukai, yaitu http://www.beacukai.go.id/. Dalam situs tersebut, dicantumkan ketentuan mengenai tarif meskipun terdapat beberapa kekurangan. Mengenai jangka waktu yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) dalam Agreement on Trade Facilitation diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 138 Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 139 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 140 Pasal 16 ayat (5) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 141 dan Pasal 16 ayat (6) Undang- Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 142 Mengenai peninjauan tarif secara berkala 138 Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”. Pasal 16 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean”. 139 Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal penetapan tarif mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk kecuali importir mengajukan keberatan , importir wajib melunasi bea masuk yang kurang dibayar sesuai dengan penetapan”. 141 Pasal 16 ayat (5) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Pembayaran bea masuk, pengembalian bea masuk dibayar sebesar kelebihannya”. 140 142Pasal 16 ayat (6) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Ketentuan mengenai penetapan diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan peraturan menteri”. 58 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation belum dilaksanakan di Indonesia. Selain Undang-undang Kepabeanan, juga terdapat Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan, Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.011/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan No.75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, serta Peraturan Menteri Keuangan No.PMK-137.1/PMK.011/2014 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan terhadap Impor Produk Canai Lantaian dari Besi atau Baja Bukan Paduan. Mengenai implementasi Pasal 6 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, perlu dikaji dalam pelaksanaan di lapangan. Apakah biaya yang dibebankan kepada para pelaku usaha sebatas biaya yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan atau para pelaku usaha turut dibebankan biaya-biaya ‘tambahan’. Jika dikaitkan dengan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai sebagaimana dipaparkan di atas, ada dugaan kuat bahwa pelaku usaha dibebankan biaya-biaya ‘tambahan’. Di Indonesia, Ketentuan sanksi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation dapat dijumpai dalam Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 143 mengenai sanksi bagi importir serta pada Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 144 Pengaturan mengenai sanksi juga 143 Pasal 16 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Importir yang salah memberitahukan nilai pabean untuk penghitungan bea masuk sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar”. 59 terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi berupa Denda di Bidang Kepabeanan, Peraturan Pemerintah No.22 Tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Kepabeanan serta dalam Peraturan Menteri Keuangan No.147/PMK.04/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi. Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia belum siap karena belum ada pengaturan tentang peninjauan secara berkala dan rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai. Dengan demikian, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Untuk membuat aturan, sosialisasi dan implementasi yang baik, Indonesia membutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun, dan biaya besar. Selain itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis berupa pembelajaran pembentukan mekanisme pelayanan bea dan cukai yang efisien dan dukungan capacity building dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia para pegawai bea dan cukai. Sementara itu, dalam hal sanksi, Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, sehingga, kesiapan Indonesia bisa dikategorikan dalam Kategori A. Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation merupakan salah satu bentuk penerapan dari World Customs Organization, terutama dalam Revisi Konvensi Kyoto. Proses pra-kedatangan diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Dalam melakukan impor, suatu Perusahaan harus memiliki Angka Pengenal Importir (API) yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.59/M- 144 Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar”. 60 DAG/PER/9/2012 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No.27/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Angka Pengenal Impor (API). Apabila perusahaan belum mempunyai Angka Pengenal Importir dan berniat melakukan importasi harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan impor tanpa Angka Pengenal Importir. Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir terbagi dua, yaitu Angka Pengenal Importir Umum dan Angka Pengenal Importir Produsen. 145 Definisi dari Angka Pengenal Importir Umum dan Angka Pengenal Importir Produsen diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir 146 dan Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir. 147 Izin importasi sendiri diberikan bagi importir yang telah memiliki nomor identitas yang disebutkan dalam Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 148 Nomor identitas tersebut dinamakan Nomor Identitas Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi ”API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas: a. API Umum (API-U); dan b. API Produsen (API-P). 145 Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi “API-U sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain”. 146 147 Pasal 3 ayat (3) Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir, Angka Pengenal Importir berbunyi “API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain”. Pasal 6A ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Orang yang akan melakukan pemenuhan 148 61 Kepabeanan (NIK) yang disampaikan melalui Surat Pemberitahuan Registrasi (SPR). Untuk mendapatkan Nomor Identitas Kepabeanan atau Surat Pemberitahuan Registrasi, perusahaan terlebih dahulu harus mengajukan permohonan ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Mengenai proses impor diatur juga dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 453/KMK.04/2002 tentang Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Impor sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 548/KMK.04/2002. Prosedur pemberian izin kepabeanan serta pelepasan barang saat ini dilakukan dengan sistem Indonesia National Single Window. Indonesia National Single Window diatur dalam Peraturan presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Dengan adanya Indonesia National Single Window, maka proses pelepasan barang dapat dilakukan dengan lebih efisien dan hemat biaya. Adapun penjelasan prosedur umum proses impor di Indonesia melalui portal Indonesia National Single Window adalah sebagai berikut: 149 1. 2. Importir mencari supplier barang sesuai dengan yang akan diimpor. Setelah terjadi kesepakatan harga, importir membuka Letter of Credit di bank devisa dengan melampirkan PO mengenai barang-barang yang mau diimpor; kemudian antar bank ke bank luar negeri untuk menghubungi Supplier dan terjadi perjanjian sesuai dengan perjanjian Letter of Credit yang 3. disepakati kedua belah pihak. Barang–barang dari supplier siap untuk dikirim ke pelabuhan pemuatan untuk diajukan. kewajiban pabean wajib melakukan registrasi ke Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mendapat No. identitas dalam rangka akses kepabeanan”. Titik Farida, Prosedur dan Dokumen Impor, (Jakarta: Balai Besar Pendidikan Pelatihan Ekspor Indonesia (BBPPEI), 2013), diakses melalui http://djpen.kemendag.go.id/app_frontend/ accepted_rsses/view/50f4f70d-633c-4b88-a2e2-01510a1e1e48 pada tanggal 21 Agustus 2014. 149 62 4. 5. 6. Supplier mengirim faks ke Importer document yakni Bill of Lading, Invoice, Packing List dan beberapa dokumen lain jika disyaratkan (Serifikat karantina, Form E, Form D, dsb) Dokumen asli dikirim via Bank/original kedua ke importir Pembuatan/pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang. Jika importir mempunyai Modul Pengajuan Impor Barang dan EDI System sendiri maka importir bisa melakukan penginputan dan pengiriman Pengajuan Impor Barang sendiri. Akan tetapi jika tidak mempunyai, importir bisa menghubungi pihak Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan untuk proses 7. input dan pengiriman Pengajuan Impor Barang nya. Dari Pengajuan Impor Barang yang telah dibuat, akan diketahui berapa Bea masuk, pajak penghasilan dan pajak yang lain yang akan dibayar. Selain itu Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang diperlukan di dalam Pengajuan Impor Barang. 8. Importir membayar ke bank devisa sebesar pajak yang akan dibayar 9. Bank melakukan pengiriman data ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan ditambah biaya PNBP Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik. 10. Importir mengirimkan data Pemberitahuan Impor Barang. ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik. 11. Data Pengajuan Impor Barang terlebih dahulu akan diproses di Portal Indonesia National Single Window untuk proses validasi kebenaran pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang dan proses verifikasi perijinan (Analizing Point) terkait Lartas. 12. Jika ada kesalahan maka Pengajuan Impor Barang akan direject dan importir harus melakukan pembetulan Pengajuan Impor Barang dan mengirimkan ulang kembali data Pengajuan Impor Barang. 13. Setelah proses di portal Indonesia National Single Window selesai maka data Pengajuan Impor Barang secara otomatis akan dikirim ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai. 63 14. Kembali dokumen Pengajuan Impor Barang akan dilakukan validasi kebenaran pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang dan Analizing Point di Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai. 15. Jika data benar akan dibuat penjaluran: a. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur hijau maka akan langsung keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang b. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur merah maka akan dilakukan proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika hasilnya benar maka akan keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang dan jika tidak benar maka akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku. 16. Setelah Surat Persetujuan Pengeluaran Barang keluar, importir akan mendapatkan respon dan melakukan pencetakan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang melalui modul Pengajuan Impor Barang 17. Barang bisa dikeluarkan dari pelabuhan dengan mencantumkan dokumen asli dan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Pembayaran secara online yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation sudah diatur di Indonesia meskipun belum sempurna. Menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam Negeri. 150 Pembayaran secara online saat ini telah dapat dilakukan dengan e- banking. Pada lampiran peraturan menteri tersebut sudah terdapat mengenai teknis pembayaran serta format isian. 151 Jadi pembayaran secara online sudah 150 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam Negeri berbunyi “Penyetoran Penerimaan Negara dilakukan melalui loket atau e-banking”. 64 memiliki regulasi meskipun teknisnya masih belum sepenuhnya lengkap yakni mengenai daerah-daerah yang ada pedalaman atau jauh dari kota besar serta teknis yang lebih detail. Saat ini, pembayaran secara online belum dapat di lakukan di daerah pedalaman Indonesia karena akses online masih sulit. Jadi untuk daerah pedalaman masih digunakan sistem manual. Dalam Pasal 7 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation diatur mengenai jaminan impor. Di Indonesia, hal tersebut diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 152 Sementara itu, bentuk jaminan impor diatur dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 153 Aturan mengenai jaminan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.259/PMK.04/2010 tentang Jaminan dalam Rangka Kepabeanan Untuk implementasi Pasal 7 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia dapat dikategorikan dalam kategori A karena Indonesia telah memiliki regulasi dan sarana yang memadai. Namun, terkait Pasal 7 ayat (2) dan (3) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena Indonesia tidak siap dan butuh waktu, setidaknya 15 (lima belas) tahun, untuk membuat regulasi lebih khusus tentang jaminan impor dan pembayaran online. Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk pembangunan teknologi informasi dan peningkatan sumber daya manusia, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No. 145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam Negeri berbunyi “Tatalaksana pembayaran dan penyetoran dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini”. 151 152 Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan yang disyaratkan dapat dipergunakan sekali atau terus-menerus”. Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Jaminan dapat berbentuk uang tunai, jaminan bank, jaminan dari perusahaan asuransi, atau jaminan lainnya”. 153 65 termasuk koordinasi antarinstansi Pemerintah. Selain itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dalam hal perancangan peraturan terkait. Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengenai manajemen risiko, Indonesia telah membuat aturan mengenai manajemen risiko. Pihak yang bertanggung jawab atas Manajemen Risiko adalah Subdirektorat Manajemen Risiko menurut Pasal 798 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. 154 Menurut Pasal 799 Peraturan Menteri Keuangan tersebut, Subdirektorat Manajemen Risiko menyelenggarakan fungsi terkait manajemen risiko. 155 Penetapan tingkat risiko dibagi menjadi tiga, yaitu 156: 1. Hi Risk, atau importasi yang dilakukan oleh importir umum dan importir lain 2. Medium Risk, barang-barang yang diimpor masih mempunyai potensi risiko 3. yang mempunyai tingkat risiko tinggi (High-Risk Importir). yang memungkinkan dapat merugikan negara Low Risk, didasarkan pada jenis barang yang diimpor, adanya pelanggaran dan pertimbangan lain berdasarkan profil importir 154 Pasal 798 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan berbunyi “Subdirektorat Manajemen Risiko menyelenggarakan fungsi terkait manajemen risiko Subdirektorat Manajemen Risiko mempunyai tugas melaksanakan penyiapan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan di bidang manajemen risiko kepabeanan dan cukai”. 155 Pasal 799 Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan berbunyi “Dalam melaksanakan tugasnya, Subdirektorat Manajemen Risiko menyelenggarakan fungsi : a. penyiapan bahan penyusunan rumusan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, dan evaluasi pelaksanaan penerapan manajemen risiko di bidang kepabeanan dan cukai; b. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi, dan pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka penentuan konteks dan identifikasi risiko di bidang kepabeanan dan cukai; dan c. penyiapan bahan pelaksanaan kebijakan, standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi, dan pelaksanaan pengumpulan dan pengolahan data dalam rangka pengendalian risiko di bidang kepabeanan dan cukai”. Ali Purwanto dalam Makalah yang berjudul Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian Kepatuhan Melalui Penetapan Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43 156 66 Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengenai percepatan pelepasan barang berisiko rendah, Indonesia sendiri telah memiliki ketentuan mengenai hal tersebut dengan melakukan penetapan jalur. Menurut Pasal 17 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Kep- 07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor, berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh Dirjen Bea dan Cukai, ditetapkanlah jalur pengeluaran barang impor yang terdiri atas: 1. Jalur Merah adalah mekanisme pelayanan kepabeanan di bidang impor terhadap suatu importasi yang dilakukan melalui penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang. Kriteria penetapan jalur merah adalah: a. Importir baru; b. Importir yang termasuk dalam kategori risiko tinggi; d. Barang Operasional Perminyakan (BOP) golongan II; c. e. f. g. Barang impor sementara; Barang re-impor; Terkena pemeriksaan acak; Barang impor tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah; h. Barang impor yang termasuk dalam komoditi berisiko tinggi 2. dan/atau berasal dari negara yang berisiko tinggi. Jalur Hijau adalah mekanisme pelayanan kepabeanan di bidang impor yang diberikan kepada Importir yang mempunyai reputasi baik dan memenuhi persyaratan/kriteria yang ditentukan, sehingga terhadap importasinya hanya dilakukan penelitian dokumen. Kriteria penetapan jalur hijau adalah 3. Importir dan importasi yang tidak termasuk dalam kriteria jalur merah Jalur Prioritas adalah fasilitas dalam mekanisme pelayanan kepabeanan di bidang impor yang diberikan kepada importir yang mempunyai reputasi sangat baik dan memenuhi persyaratan/kriteria yang ditentukan untuk mendapatkan pelayanan khusus, sehingga penyelesaian importasinya dapat dilakukan dengan lebih sederhana dan cepat. Kriteria penetapan Importir adalah yang ditetapkan sebagai Importir Jalur Prioritas. 67 Meskipun telah diatur bahwa manajemen risiko di Indonesia dilakukan berdasarkan profil importir, namun Badan Karantina Pertanian (BARANTAN) melakukan manajemen risiko berdasarkan risiko penyakit komoditi. Ironisnya, tidak ada mekanisme yang mengakomodir perbedaan pola manajemen berbasis risiko. Peraturan perundang-undangan yang terkait Pasal 7 ayat (5) Agreement on Trade Facilitation tentang audit kepabeanan ialah Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Jika menilik definisi Audit Kepabeanan pada Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai 157 tersebut, maka audit kepabeanan yang diselenggarakan di Indonesia telah sesuai dengan maksud dari audit kepabeanan yang ada dalam Pasal 7 ayat (5) Agreement on Trade Facilitation. Di Indonesia, program audit tersebut harus berdasarkan standar yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per7/BC/2012 tentang Standar Audit Kepabeanan dan Audit Cukai dan pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per- 9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, terhadap Hasil Audit Kepabeanan dapat dilakukan audit khusus jika terdapat keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai. 158 Hal tersebut merupakan Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur Jendal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundangundangan di bidang kepabeanan”. 157 Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai berbunyi “Audit Khusus dilakukan secara sewaktu-waktu dan dapat berupa Audit khusus dalam rangka keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai”. 158 68 salah satu hal yang guna meningkatkan transparansi yang dibahas dalam Pasal 7 ayat (5) Agreement on Trade Facilitation. Mengenai pelepasan barang diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Kep-07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan diBidang Impor serta perubahan-perubahannya dan Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Mengenai waktu pelepasan barang di Indonesia dengan adanya Indonesia National Single Window menjadi lebih cepat karena proses perizinan juga lebih cepat meskipun belum terintegrasi sepenuhnya. Mengenai aturan mengenai rata-rata waktu pelepasan barang belum diatur secara jelas di Indonesia Untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena belum ada penyeragaman manajemen risiko. Indonesia membutuhkan bantuan teknis dalam hal penciptaan mekanisme yang dapat mengakomodir perbedaan pola manajemen risiko. Waktu yang dibutuhkan Indonesia setidaknya 10 tahun. Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) Agreement on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah ada regulasi, namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan membutuhkan perbaikan baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan. Untuk Indonesia National Single Window, perbaikan yang dibutuhkan telah dipaparkan pada Bab II di atas. Setidaknya, Indonesia membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk penyempurnaan regulasi dan perbaikan pelaksanaan regulasi. Peraturan yang terkait dengan Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation adalah Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. Definisi dari Authorized 69 Economic Operator diatur dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. 159 Pihak-pihak yang dapat menjadi Operator Ekonomi ialah pihak-pihak yang mendapat pengakuan sebagai Authorized Economic Operator sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.PER-32/BC/2013 tentang Tata Cara Validasi terhadap Perusahaan Piloting dalam Rangka Pengakuan Eksportir. Pihak-pihak yang dapat diangkat sebagai Authorized Economic Operator adalah importir, eksportir, pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan; atau pengusaha Tempat Penimbunan Berikat. Yang perlu diperhatikan dalam ketentuan ini ialah tidak semua operator ekonomi dapat menjadi Authorized Economic Operator. Hanya operator ekonomi yang memenuhi standar Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade (SAFE FoS) saja yang dapat menjadi Authorized Economic Operator. Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade adalah standar World Customs Organization yang terkait dengan prinsip keamanan dan fasilitas pada rantai pasokan global. Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized Economic Operator, menurut Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator, permohonan diajukan kepada Direktur Jenderal. 160 Tata cara untuk menjadi Authorized Economic Operator diatur secara rinci dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.PER-32/BC/2013 tentang Tata Cara Validasi terhadap Perusahaan Piloting dalam Rangka Pengakuan Eksportir. 159 Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator berbunyi adalah Authorized Economic Operator adalah “Operator Ekonomi yang mendapat pengakuan oleh danatas nama administrasi kepabeanan nasional bahwa yang bersangkutan telah memenuhi standar Framework of Standards to Secure and Facilitate Global Trade”. Pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa Untuk mendapatkan pengakuan sebagai Authorized Economic Operator, Operator Ekonomi harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal. 160 70 Di Indonesia, Authorized Economic Operator merupakan suatu hal yang baru, belum banyak kajian yang membahas mengenai hal ini sehingga perlu kajian mendalam mengenai hal ini. Dalam regulasi Authorized Economic Operator di Indonesia juga belum diatur mengenai pertukaran informasi antar Authorized Economic Operator di berbagai negara. Saat ini baru terdapat beberapa Authorized Economic Operator di Indonesia karena untuk menjadi Authorized Economic Operator Perusahaan tersebut harus taat pajak dan memiliki risk management yang rendah. Beberapa perusahan tersebut antara lain PT Asahimas Chemical, PT Unilever Indonesia, PT Phillips Indonesia, PT Smart Tbk, PT LG Electronic Indonesia, PT Nestle Indonesia, PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT Aspex Kumbong, serta PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia. Percepatan pengiriman yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation mencakup percepatan proses pengurusan perizinan. Dalam hal masalah perizinan Indonesia telah menerapkan perizinan cepat dengan adanya Indonesia National Single Window yang diatur dalam Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang Perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Indonesia sudah mulai mengintegrasikan perizinan melalui Indonesia National Single Window meskipun belum sepenuhnya perizinan di Indonesia dapat diurus melalui Indonesia National Single Window. Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation juga menjelaskan bahwa negara dapat melakukan pembatasan dalam percepatan perizinan namun perlu adanya infrastruktur yang memadai. Peningkatan fasilitas, sarana, dan prasarana perdagangan sendiri merupakan salah satu tujuan pengaturan perdagangan menurut Pasal 3 huruf e Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Jika mencermati persyaratan tersebut, Indonesia masih harus meningkatkan fasilitas pelabuhan dan fasilitas pembayaran secara online. Aturan mengenai pelabuhan sendiri telah diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran serta Peraturan 71 Pemerintah No.61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan. Peningkatan infrastruktur pelabuhan perlu ditingkatkan, hal ini terbukti dengan fakta bahwa pelabuhan Jakarta belum berstatus sebagai pelabuhan internasional. 161 Dalam hal pemeriksaan barang juga perlu dibangun infrastruktur lebih modern agar pemeriksaan barang dapat lebih cepat sehingga pelepasan barang juga dapat dipercepat. Selain itu, dalam penyediaan informasi Indonesia juga masih terbilang kurang karena seringkali situs lembaga pemerintahan tidak dapat diakses atau terkadang jarang diperbaharui informasi dalam situs tersebut. Jadi dalam hal ini Indonesia sudah memiliki modal dalam menjalankan ketentuan Pasal 7 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation, namun masih perlu perbaikan terutama di bidang admnistrasi dan pelabuhan. Di Indonesia, pengaturan mengenai Pasal 7 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation mengenai impor barang yang tidak tahan lama atau cepat rusak, diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.148/PMK.04/2007 tentang Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai dengan Pelayanan Segera (Rush Handling). Yang termasuk dalam cakupan pelayanan segera diatur dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 148/PMK.04/2007 tentang Pengeluaran Barang Impor untuk Dipakai dengan Pelayanan Segera (Rush Handling), yakni: a. Organ tubuh manusia antara lain ginjal, kornea mata, atau darah c. Barang yang dapat merusak lingkungan antara lain bahan yang mengandung d. Binatang hidup b. Jenazah dan abu jenazah radiasi e. Tumbuhan hidup g. Dokumen (surat); dan/atau f. Surat kabar dan majalah yang peka waktu 161http://dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesia-belum-memiliki- pelabuhan-internasional, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. 72 h. Barang lain yang karena karakteristiknya perlu mendapat pelayanan segera (rush handling) setelah mendapat izin kepala kantor pabean. Barang yang tidak tahan lama banyak yang merupakan makanan, hal ini tentu membutuhkan perizinan juga dari Badan Pengawas Obat dan Makanan, dalam hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan impor obat dan makanan yang terintegrasi dengan Indonesia National Single Window, yakni Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.05.23.4416 Tahun 2008 tentang Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) Di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Pada lampiran keputusan tersebut terdapat teknis mengenai proses perizinan. Akan tetapi, dalam aturan tersebut masih diperlukan sistem manual jadi aturan ini masih memiliki kekurangan. Meskipun sudah ada beberapa regulasi terkait hal barang tidak tahan lama, namun masalah kepastian waktu masih belum diatur secara jelas. Mengenai penyimpaan juga belum diatur secara jelas. Dalam hal ini Indonesia masih terkendala pada masalah fasilitas dan infrastruktur. Aturan lain yang terkait dengan barang yang tidak tahan lama antara lain Pasal 60 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, 162 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan 163 dan Pasal 69 Pasal 60 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam keadaan tertentu, importir, eksportir, atau pemilik barang impor atau ekspor dapat mengajukan permintaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memerintahkan secara tertulis kepada Pejabat Bea dan Cukai agar mengakhiri penangguhan dengan menyerahkan jaminan yang sama. Keadaan tertentu menurut penjelasan Pasal 60 misalnya kondisi atau sifat barang yang cepat rusak”. 162 Pasal 66 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Dalam hal barang yang dinyatakan tidak dikuasai merupakan barang cepat rusak, maka dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya”. 163 73 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. 164 Untuk implementasi Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena Authorized Economic Operator merupakan suatu yang baru dan belum ada kajian mendalam Indonesia setidaknya membutuhkan 15 (lima belas) tahun untuk persiapan yang matang. Untuk pelaksanaan Pasal 7 ayat (8) dan (9) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia tergolong dalam kategori C. Hal ini disebabkan, walaupun Indonesia telah memiliki aturan untuk menjalankan hal ini, namun Indonesia masih butuh waktu dan masih membutuhkan bantuan teknis dan dukungan building capacity untuk memperbaiki infrastuktur dan mempercepat masalah administrasi. Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation Pasal 8 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation belum sepenuhnya dijalankan oleh Indonesia. Koordinasi antarlembaga yang berkaitan dengan perbatasan memerlukan koordinasi antarlembaga. Masalah perbatasan juga terkait dengan pembangunan daerah perbatasan dalam rangka meningkatkan fasilitas perdagangan. Dalam konteks perdagangan, maka lembaga atau pihak terkait adalah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berada dibawah Kementerian Keuangan, selain itu juga Kementerian Perdagangan Indonesia secara khususnya bagian Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri atau Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional dan bisa juga Badan Pengkajian & Pengembangan Kebijakan Perdagangan. Dikarenakan berkaitan dengan hubungan antar negara, koordinasi tersebut juga harus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri. Selain itu, koordinasi tersebut juga dapat melibatkan Kementerian Perhubungan sebab fasilitas untuk menjalankan kerja sama Pasal 69 Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan berbunyi “Barang yang dikuasai negara maka dapat segera dilelang dengan memberitahukan secara tertulis kepada pemiliknya”. 164 74 tersebut tentu akan berkaitan erat dengan masalah perhubungan seperti pelabuhan atau bandara. Selain kementerian-kementerian tersebut, Direktorat Bea dan Cukai juga harus berkoordinasi dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Melalui Undang- Undang No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dimandatkan untuk membentuk Badan Pengelola Perbatasan di tingkat pusat dan daerah dalam rangka mengelola kawasan perbatasan. Berdasarkan amanat Undang-Undnag tersebut, Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 membentuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Ruang lingkup tugas utama Badan Nasional Pengelola Perbatasan adalah mengelola Batas Wilayah Negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan perbatasan yang merupakan kristalisasi dari amanat Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara 165 dan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 166 Jadi, diperlukan koordinasi dengan Badan Nasional Pengelola Perbatasan karena Badan Nasional Pengelola Perbatasan merupakan lembaga yang mengawasi wilayah. Selain koordinasi antar kementrian dan lembaga dalam negeri, Indonesia juga perlu koordinasi dengan negara lain yang berbatasan dengan Indonesia. Dalam Pasal 8 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation dijelaskan mengenai kerjasama antar negara. Di Indonesia, hal ini diatur dalam Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, yakni pada Bab II Undang-Undang Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara berbunyi “Badan Pengelola bertugas: a) Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan; b) Menetapkan rencana kebutuhan anggaran; c) Mengoordinasikan pelaksanaan; dan d) Melaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. 165 Pasal 3 Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan berbunyi “Badan Nasional Pengelola Perbatasan mempunyai tugas menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan, menetapkan rencana kebutuhan anggaran, mengoordinasikan pelaksanaan, dan pelaksanakan evaluasi dan pengawasan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan”. 166 75 No.24 Tahun 2000 tentang Pembuatan Perjanjian Internasional. Cara-cara yang diatur adalah: 1. Lembaga Negara atau Kementrian yang memiliki rencana untuk membuat perjanjian internasional menjadi pemrakarsa. 2. Lembaga Pemrakarsa ini diharuskan untuk melakukan konsultasi dan koordinasi dengan Menteri Luar Negeri yang dalam hal ini diwakili oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional dan/atau unit regional atau multilateral di Kementrian Luar Negeri 3. Hasil konsultasi ini kemudian akan menghasilkan draft suatu perjanjian internasional yang kemudian akan menjadi pedoman delegasi Indonesia untuk melakukan tahap selanjutnya dari perjanjian internasional 4. Tahap selanjutnya dari perjanjian internasional tersebut mencakup: tahap penjajakan, tahap perundingan, tahap perumusan naskah, tahap penerimaan dan tahap penandatanganan. Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation karena terkendala masalah koordinasi antarlembaga. Berkenaan dengan perbatasan, ada beberapa instansi bertugas. Masalah pembangunan fasilitas dibidang perbatasan juga masih perlu dipertanyakan. Masalah kepabeanan memang merupakan urusan Direktorat Bea dan Cukai, namun, ada beberapa instansi/lembaga yang bertugas terkait dengan wilayah perbatasan, kawasan pelabuhan, dan keamanan nasional. Dengan demikian, kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation termasuk dalam Kategori C sebab Indonesia masih sangat perlu untuk melakukan perbaikan koordinasi antarlembaga/instansi agar proses penyederhanaan administrasi dapat dilakukan. Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation Di Indonesia, telah ada aturan tentang prosedur pelepasan barang impor dari wilayah kepabeanan. Untuk mekanisme impor barang dari kantor kepabeanan dan, kemudian, dilanjutkan dengan pemeriksaan administratif dan fisik barang 76 serta proses pelepasan barang impor diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.453/KMK.04/2002 yang diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No.112/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Kepabeanan diBidang Impor dan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.KEP-07/BC/2003 yang telah diubah dengan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.P-06/BC/2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. Terdapat mekanisme berjenjang pada sistem impor di Indonesia, yang apabila dijabarkan secara singkat adalah sebagai berikut: 167 1. 2. Pembuatan dokumen Pengajuan Impor Barang. Dari Pengajuan Impor Barang yang telah dibuat tersebut, akan dikalkulasikan berapa tarif bea masuk dan pajak lain yang akan dibayar. Selain itu Importir juga harus mencantumkan dokumen kelengkapan yang 3. 4. 5. diperlukan di dalam PIB. Importir membayar pajak di bank devisa. Bank melakukan pengiriman data ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik Importir mengirimkan data Pemberitahuan Impor Barang ke Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai secara online melalui media Pertukaran Data Elektronik, kemudian data PIB terlebih dahulu akan diproses di Portal Indonesia National Single Window untuk proses validasi kebenaran pengisian dokumen Pengajuan Impor Barang dan proses verifikasi perijinan (Analizing Point) terkait Impor tersebut. Jika ada kesalahan, importir harus melakukan pembetulan Pengajuan Impor Barang dan mengirimkan ulang kembali data 6. Pengajuan Impor Barang dan dilakukan validasi. Setelah rangkaian administratif selesai, akan dibuat penjaluran. Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur hijau maka akan langsung keluar Direktorat Bea dan http://bctjmas.beacukai.go.id/index.php/ importasi, diakses pada 18 Agustus 2014 167 cukai, Prosedur Umum Importasi, media-center/artikel-terkait/54-prosedur-umum- 77 Surat Persetujuan Pengeluaran Barang, sehingga barang tersebut dapat dikeluarkan dari kantor kepabeanan untuk kemudian diproses pelepasannya 7. di kantor kepabeanan dimana dilepaskan/dikeluarkannya barang tersebut Jika Pengajuan Impor Barang terkena jalur merah maka akan dilakukan proses cek fisik terhadap barang impor oleh petugas Bea dan Cukai. Jika hasilnya benar maka akan keluar Surat Persetujuan Pengeluaran Barang dan jika tidak benar maka akan dikenakan sanksi sesuai undang-undang yang berlaku. Apabila dilihat dari peraturan Indonesia, dapat dilihat bahwa ketentuan dan peraturan yang mengatur tata cara impor tersebut masih dapat dibilang berlarut-larut karena ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum akhirnya barang impor tersebut dilepaskan. Dengan adanya Peraturan presiden No.10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan presiden No.35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window, sebenarnya Indonesia telah membuat suatu sistem yang mudah untuk melalui proses perizinan. Akan tetapi, dalam hal ini mengenai proses impor juga terkait dengan lembaga lain seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan serta Badan Standardisasi Nasional. Jadi meskipun telah memenuhi proses impor barang di bea dan cukai, pengusaha juga memerlukan izin lain dari lembaga yang berhubungan dengan barang yang diimpornya. Integrasi antara perizinan Badan Pengawas Obat dan Makanan dengan Indonesia National Single Window, dalam hal ini terdapat peraturan mengenai perizinan impor obat dan makanan yang terintegrasi dengan Indonesia National Single Window, yakni Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia No.HK.00.05.23.4416 Tahun 2008 Tentang Penetapan Tingkat Layanan (Service Level Arrangement) Di Lingkungan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Pada lampiran 78 keputusan tersebut terdapat teknis mengenai proses perizinan, namun dalam aturan tersebut masih diperlukan sistem manual jadi aturan ini masih memiliki kekurangan. Kerjasama antara Indonesia National Single Window dengan Badan standardisasi Nasional juga belum sepenuhnya berjalan, belum ada tata cara yang baku mengenai proses perizinan Standar Nasional Indonesia di Indonesia National Single Window. Jika dilihat secara keseluruhan, Indonesia masih memiliki kekurangan dalam hal integrasi perizinan dalam Indonesia National Single Window dengan lembaga lainnya yang terkait Indonesia masih memiliki kekurangn di bidang integrasi antarlembaga dalam hal perizinan. Dengan adanya Indonesia National Single Window seharusnya dibarengi dengan penyederhanaan proses perizinan lainnya yang terkait. Mengintegrasikan peraturan perdagangan nasional agar tercipta kesederhanaan dalam proses administrasi merupakan cara untuk memenuhi Pasal ini. Jadi Indonesia dalam hal ini masih belum dapat memenuhi Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation ini karena belum ada aturan yang mengatur secara keseluruhan mengenai proses perpindahan barang secara sederhana dan cepat. Dengan demikian, kesiapan Indonesia mengimplementasikan Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation tergolong Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima belas) tahun. Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation Secara umum, ketentuan ketentuan mengenai formalitas dan persyaratan dokumen diatur dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Selain itu, ketentuan tentang formalitas dan persyaratan dokumen juga diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan No.453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan diBidang Impor serta Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai 79 No.Kep-07/Bc/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan diBidang Impor serta perubahannya. Mengenai usaha pernyederhanaan formalitas dan persyaratan dokumen telah dilakukan Indonesia dengan Indonesia National Single Window 168 yang diatur Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Indonesia telah melakukan penyederhanaan dalam formalitas dan persyaratan dokumen. Meskipun demikian, Indonesia National Single Window tersebut masih memiliki kekurangan, antara lain dalam pelaksanaannya, Indonesia masih memerlukan perbaikan infrastruktur, dan dalam hal regulasi, Indonesia masih belum mengatur secara lengkap mengenai barang mudah rusak dan aturan mengenai kepastian jangka waktu perizinan. Ketentuan mengenai penerimaan salinan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation belum diatur secara jelas. Dalam praktek di Indonesia, penerimaan salinan yang dilegalisir sudah dapat dilakukan dengan men-scan salinan yang telah dilegalisir tersebut. Akan tetapi, tidak semua daerah dapat melakukan hal ini karena belum tersedia fasilitas yang memadai terutama bagi daerah terpencil. Legalisir salinan juga seharusnya dilakukan oleh pihak pertama yang mengeluarkan dokumen tersebut sehingga proses legalisir hanya perlu dilakukan satu kali. Proses legalisir menjadi suatu hal yang rumit di 168 Definisi National Single Window menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window adalah “Sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs clearance and release of cargoes)” 80 Indonesia, hal ini dapat dilihat dari banyaknya calo yang menerima pengurusan mengenai legalisir impor. Mengenai standar internasional, terdapat beberapa standar internasional yang digunakan, antara lain CODEX dalam hal keamanan makanan, OIE dalam hal kesehatan hewan, dan IPPC dalam hal perlindungan tanaman. Mengenai hal ini. Selain penggunaan standar internasional, di Indonesia juga terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI). 169 Pengaturan mengenai SNI diatur dalam Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Ruang lingkup Ruang lingkup standardisasi nasional mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan metrologi teknis, standar, pengujian dan mutu. Lembaga yang melakukan standardisasi menurut Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional adalah Badan Standardisasi Nasional. 170 Standar Nasional Indonesia bukanlah suatu kewajiban, namun menjadi suatu yang wajib pada hal-hal tertentu yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. 171 Standar Nasional Indonesia wajib tersebut diberlakukan bagi barang impor menurut Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. 172 Berdasarkan ketentuan Standar Nasional Indonesia tersebut, yang perlu diperhatikan ialah jangan sampai Standar Nasional Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan, “Standar Nasional Indonesia adalah Standar yang ditetapkan oleh lembaga yangmenyelenggarakan pengembangan dan pembinaan di bidang Standardisasi”. 169 Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional berbunyi “Badan Standardisasi Nasional Penyelenggaraan pengembangan dan pembinaan di bidang standaridasi dilakukan oleh Badan Standardisasi Nasional”. 170 Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Dalam hal standar Nasional Indonesia berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan masyarakat atau pelestarian fungsi lingkungan hidup dan atau pertimbangan sekonomis, instansi teknis dapat memberlakukan secara wajib sebagian atau seluruh spesifikasi teknis dan atau parameter dalam Standar nasional Indonesia”. 171 Pasal 19 ayat (1) Peraturan Pemerintah No.102 Tahun 2000 berbunyi “Standardisasi Nasional Indonesia yang diberlakukan secara wajib dikenakansama, baik terhadap barang dan atau jasa produksi dalam negeri maupunterhadap barang dan atau jasa impor”. 172 81 Indonesia bertentangan dengan standar internasional. Dalam hal ini diperlukan perbaikan bidang infrastruktur di Indonesia agar sesuai dengna standar internasional. Di Indonesia sendiri, sistem single window yang disebut Indonesia National Single Window. 173 INSW ini telah ada dan diatur dalam Peraturan Presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No.35 Tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No.10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia National Single Window. Indonesia National Single Window dilatarbelakangi oleh adanya kepentingan nasional untuk meningkatkan kelancaran arus barang dan kinerja pelayanan ekspor-impor serta sebagai wujud nyata komitmen Indonesia untuk menjalankan kesepakatan di tingkat Regional Association of Southeast Asian Nations. 174 Indonesia National Single Window tersebut diintegrasikan dalam ASEAN Single Window. Akan tetapi, meskipun telah memiliki Indonesia National Single Window, Indonesia National Single Window di Indonesia masih perlu perbaikan dan seringkali tidak sesuai dengan ASEAN Single Window. Indonesia National Single Window juga belum terintegrasi sepenuhnya dalam hal perizinan dengan lembaga lain seperti dengan Badan Standardisasi Nasional dan Badan Pengawas Obat dan Makanan. Jadi dalam hal single window Indonesia masih perlu perbaikan dalam rangka pemenuhan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation. Menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan presiden No. 35 tahun 2012 tentang perubahan Peraturan presiden No. 10 tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window, INSW adalah “Sistem nasional Indonesia yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal (single submission of data and information), pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron (single and synchronous processing of data and information), dan pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang (single decision making for customs clearance and release of cargoes)” 173 http://www.insw.go.id/home?page=1/about/about.html diakses pada tanggal 11 Agustus 2014. 174 82 Aturan mengenai pra-pengapalan diatur dalam Agreement on Preshipment Inspection WTO. Di Indonesia terdapat dalam beberapa peraturan, mengenai pra-pengapalan. Salah satunya ialah Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M- DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan. Ketentuan pra-pengapalan diatur dalam Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan PraPengapalan. 175 Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M- DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan, 176 dan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan. 177 Ketentuan mengenai pra-pengapalan juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1991 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perseroan Terbatas dalam Bidang Jasa Pemeriksaan Pra-Pengapalan Barang-Barang Impor Indonesia di Luar Negeri. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1991 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perseroan Terbatas dalam Bidang Jasa Pemeriksaan Pra-Pengapalan Barang-Barang Impor Indonesia di Luar Negeri mengatur bahwa Pemerintah melakukan penyertaan modal dalam pendirian Perseroan Terbatas dalam bidang 175Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi “Perlakuan pra pengapalan dengan metil bromida adalah tindakan fumigasi untuk produk yang diekspor yang dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 21 hari sebelum diekspor untuk memenuhi ketentuan dan atau permintaan resmi dari negara pengimpor”. 176 Dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi “Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) hanya dapat diimpor untuk keperluanfumigasi dalam rangka perlakuan karantina dan pra pengapalan”. 177 Dalam Pasal 4 ayat (1) Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan berbunyi “Setiap pelaksanaan impor metil bromida wajib disertai label tambahan yang bertuliskan "Hanya untuk karantina dan Pra Pengapalan" atau "For Quarantine and Pre-Ship-ment Only" dari negara produsen”. 83 jasa pemeriksaan pra-pengapalan barang-barang impor Indonesia di luar negeri. Dalam prakteknya di Indonesia dalam hal pra-pengapalan, jika tidak ada permasalahan terkait klasifikasi dan tarif, maka hal ini masih bisa ditolerir Di Indonesia, pengurus jasa kepabenan dikenal sebagai Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. 178 Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Untuk menjadi Pengurusan Jasa Kepabeanan diperlukan perizinan khusus yakni memiliki nomor identitas berupa Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dalam rangka akses kepabeanan sebagimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan 179 dan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. 180 Dalam hal pengurusan jasa kepabeanan, Indonesia tidak memiliki masalah, sehingga, telah siap mengimplementasikan ketentuan Pasal 10 ayat (6) Agreement on Trade Facilitation tersebut. Penyeragaman persyaratan dokumentasi diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.P-21/BC/2008 tentang Pedoman Penyusunan, Penetapan, dan Pelaksanaan, serta Monitor dan Evaluasi Standard Prosedur Operasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai. Dalam hal ini perlu pengkajian lebih dalam karena dalam hal penyeragaman tidak hanya terkait Definisi Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan menurut Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Keuangan No.: 65/PMK.04/2007 Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan adalah “Badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa importir atau eksportir. 178 179 Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan berbunyi “Untuk dapat melakukan pengurusan jasa kepabeanan, Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan wajib memiliki No. identitas berupa No. Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dalam rangka akses kepabeanan”. 180Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan No.65/PMK.04/2007 tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan berbunyi “Nomor Pokok Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan dikeluarkan oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya”. 84 dengan Dirjen Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang mengeluarkan perizinan. Mengenai barang reject diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No.176/Pmk.04/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No.254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor. Dalam ketentuan tersebut, terdapat ketentuan mengenai re- impor barang reject. Perijinan re-impor dapat dilakukan di kantor pelayanan utama bea dan cukai Tanjung Priok. Namun mengenai prosedur re-ekspor belum diatur di Indonesia. Di Indonesia, dalam hal barang yang di-reject adalah produk pertanian atau hewan, maka dilakukan Karantina. 181 Hal ini diatur dalam Undang Undang No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Menurut Pasal 10 Undang Undang No.16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan, tindakan karantina tersebut dapat berupa pemeriksaan, pengasingan, pengamatan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan pembebasan. Prosedur Karantina ini dilakukan oleh Badan Karantina Pertanian (BARANTAN). Berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, barang reject karena tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia wajib ditarik dari peredaran. 182 Menurut Pasal 1 angka 1 Undang Undang No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan Dan Tumbuhan, Definisi karantina adalah “Tempat pengasingan dan/atau tindakan sebagai upaya pencegahan masuk dan tersebarnya hama dan penyakit atau organisme pengganggu dari luar negeri dan dari suatu area ke area lain di dalam negeri, atau keluarnya dari dalam wilayah negara Republik Indonesia”. 181 Pasal 54 Undang-Undang No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian berbunyi “Setiap barang dan/atau Jasa Industri yang tidak memenuhi SNI, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib, pelaku usaha atau pemilik barang dan/atau Jasa Industri wajib menarik barang dan/atau menghentikan kegiatan Jasa Industri”. 182 85 Mengenai Temporary Admission of Goods and Inward and Outward Processing diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-5/Bc/2011 tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut dalam Rangka Pengangkutan Barang Impor dan Barang Ekspor Ke dan Dari Kawasan Pabean di Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu. Peraturan tersebut mengatur mengenai Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu 183 dan Kawasan berikat. Kawasan berikat diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat. 184 Berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation tentang Formalitas dan Persyaratan Dokumen, kesiapan Indonesia termasuk dalam Kategori C dengan jangka waktu 15 (lima belas) tahun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan integrasi dalam proses perizinan, dalam hal regulasi Indonesia juga masih butuh perbaikan. Dalam hal Penerimaan Salinan dalam Pasal 10 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan selama 15 (lima belas) tahun karena belum memadai regulasi mengenai penerimaan Salinan secara online dan perlu dilakukan perbaikan infrastruktur agar penerimaan Salinan dapat dilakukan secara online di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal standardisasi nasional yang ada pada Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan ialah selama 15 (lima belas) tahun. Hal ini Definisi Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.Per-5/Bc/2011 tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut dalam Rangka Pengangkutan Barang Impor dan Barang Ekspor Ke dan Dari Kawasan Pabean di Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu, adalah “Kawasan tempat pemusatan kegiatan pelayanan kepabeanan dan cukai yang berupa Tempat Penimbunan Sementara, Tempat Penimbunan Berikat dan Tempat Konsolidasi Barang Ekspor, dan dapat dilengkapi dengan tempat usaha lainnya dalam rangka mendukung kelancaran lalu lintas barang impor dan ekspor”. 183 Definisi Kawasan Berikat Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat ialah “Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor”. 184 86 disebabkan untuk implementasi Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation memerlukan perbaikan di bidang regulasi dan serta bantuan infrastruktur agar sesuai dengan standar internasional. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengenai single window, Indonesia dikategorikan dalam kategori C karena masih memerlukan waktu untuk memperbaiki sistem Indonesia National Single Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Setidaknya, waktu 15 (lima belas) tahun dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki sistem Indonesia National Single Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Dalam upaya memperbaiki kerjasama antarinstansi/lembaga, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (5) Agreement on Trade Facilitation mengenai pra-pengapalan, kesiapan Indonesia dapat dikategorikan dalam Kategori A karena telah memiliki kesiapan dalam pra- pengapalan yani dengan tidak adanya masalah yang berarti dalam prapengapalan serta regulasi yang ada sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam bidang pra-pengapalan. Demikian pula halnya dnegan Pasal 10 ayat (6) Agreement on Trade Facilitation mengenai Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, Indonesia telah dapat dikategorikan dalam kategori A karena telah memadai dari segi regulasi maupun infrastruktur yang ada. PPJK yang ada sudah mencukupi dan dapat memenuhi pelayanan dalam bidang kepabean. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation mengenai Prosedur Perbatasan umum dan Penyeragaman Persyaratan Dokumentasi, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam kategori C. Hal ini dikarenakan perlu kajian mendalam berkenaan dengan penyeragaman tidak hanya terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang mengeluarkan perizinan. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun. 87 Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena belum ada ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan bantuan teknis untuk pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia membutuhkan paling tidak 15 (lima belas) tahun untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation. Dengan demikian, untuk ketentuan Temporary Admission of Goods and Inward and Outward Processing yang diatur dalam Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Hal ini karena terdapat beberapa peraturan yang perlu diubah dan perlu dilakukan perbaikan infrastruktur. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun. Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation Bebas Transit merupakan prinsip bagi sebuah negara yang tertutup oleh daratan untuk mengintegrasikan negara tersebut terhadap ekonomi internasional dan pembangunan ekonomi. Sulitnya akses ke perairan membuat biaya untuk melakukan aktivitas perdagangan menjadi tinggi. Kemampuan dalam menerapkan prinsip kebebasan dalam melakukan transit sering disebut sebagai “land-linked”. 185 Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan freedom of transit adalah Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut). Dalam konvensi ini, freedom of transit diatur dalam Bab X mengenai hak negara tak berpantai untuk akses ke dan dari laut serta kebebasan bertransit. Dalam bab ini diatur mengenai bentukbentuk penerapan dari prinsip freedom of transit yang diantaranya adalah: Landlocked Developing Countries Series, No. 1, “Transit Transport Issues in Landlocked and Transit Developing Countries” http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/ Resources/WBI-Training/UN-Landlocked.pdf, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. 185 88 a. Pasal 128 mengatur tentang zona bebas dan kemudahan bea dan cukai b. Pasal 129 mengatur tentang kerjasama dalam pembangunan dan perbaikan c. d. e. lainnya alat pengangkutan Pasal 130 mengatur tentang tindakan untuk mencegah atau meniadakan kelambatan atau kesulitan lain yang bersifat teknis dalam lalu lintas transit Pasal 131 mengatur tentang perlakuan sama di pelabuhan-belabuhan Pasal 132 mengatur tentang pemberian kemudahan transit yang lebih besar Tampak bahwa Pasal 128-132 United Nations Convention on the Law of the Sea merupakan implementasi dari prinsip freedom of transit, sehingga dapat disimpulkan bahwa sebelum adanya Agreement on Trade Facilitation, Indonesia telah menerapkan prinsip freedom of transit. Selain United Nations Convention on the Law of the Sea, konvensi lain yang berkaitan dengan transit adalah Protocol 1 Designation of Transit Transport Routes and Facilities (Protokol 1 Penetapan Rute-Rute Dan Fasilitas Angkutan Transit) yang disahkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia No.70 Tahun 2011. Protokol tersebut berisi ketentuan transit di Penetapan Rute-Rute dan Fasilitas Angkutan Transit Association of Southeast Asian Nations. Pada hakekatnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bertentangan dengan freedom of transit. Akan tetapi ada beberapa perbedaan pengaturan mengenai ketentuan terhadap suatu negara kepulauan. Perbedaan ini terletak pada pokok utama pengaturan tentang hak lintas alur laut kepulauan yang menyatakan bahwa lintasan yang dimaksud adalah lintasan dalam bentuk lintas pelayaran atau penerbangan yang berlangsung secara terus menerus, langsung, dan secepat mungkin. Apabila diperhatikan lebih lanjut, pengertian yang diberikan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea terhadap hal transit, terdapat perbedaan pembebanan syarat-syarat bagi pelaksanaan kedua macam lintasan bagi kapal asing tersebut. 186 89 Menilik ketentuan yang ada, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai transit dan freedom of transit. Selain itu infrastruktur di Indonesia belum memadai dan harus diperbaiki agar proses transit dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih kurang. Dibutuhkan waktu paling tidak 15 (lima belas) tahun agar pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dapat memenuhi standar infrastruktur pelabuhan internasional. Perbaikan infrastruktur tersebut memerlukan bantuan dana dari pihak lain agar dapat terlaksana. Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation, cara untuk mendorong kepatuhan adalah dengan cara menciptakan iklim ekonomi yang kondusif. Dalam hal kerjasama perdagangan internasional 187 antar negara diatur dalam Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang perdagangan pada Bab XIII tentang kerjasama perdagangan Internasional. Kerja sama Perdagangan internasional tersebut dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional. 188 Tata cara mengenai kerjasama perdagangan internasional tersebut diuraikan dalam Pasal 83 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan 189 dan Pasal 84 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. 190 Wulandari Retno, Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensikonvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31. 186 Definisi Kerja Sama Perdagangan Internasional menurut Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan adalah “kegiatan Pemerintah untuk memperjuangkan dan mengamankan kepentingan nasional melalui hubungan Perdagangan dengan negara lain dan/atau lembaga/organisasi internasional”. 187 Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Kerja sama Perdagangan dapat dilakukan melalui perjanjian Perdagangan internasional”. 188 Pasal 83 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Pemerintah dalam melakukan perundingan perjanjian Perdagangan internasional dapat berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat”. 189 90 Mengenai pertukaran informasi, sampai dengan saat ini, belum diatur secara rinci, walaupun demikian Pasal 88 Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan mengatur mengenai sistem informasi perdagangan untuk kebijakan dan pengendalian perdagangan. 191 Menurut Pasal 89 ayat (2) Undang- Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, 192 sistem informasi perdagangan tersebut mencakup perdagangan nasional maupun internasional. Sistem Informasi Perdagangan tersebut sebaiknya dikembangkan lebih lanjut agar pertukaran informasi dapat dilakukan. 190 Pasal 84 Undang-Undang No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi: (1) “Setiap perjanjian Perdagangan internasional disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 90 hari kerja setelah penandatanganan perjanjian. (2) Perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan Pemerintah dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Keputusan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap perjanjian Perdagangan internasional yang disampaikan oleh Pemerintah dilakukan paling lama 60 hari kerja pada masa sidang dengan ketentuan sebagai berikut: a. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi ikehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, pengesahannya dilakukan dengan undang-undang. b. Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional tidak menimbulkan dampak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pengesahannya dilakukan dengan Peraturan Presiden. (4) Apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, Pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” (5) Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan atau penolakan terhadap perjanjian Perdagangan paling lama 1 kali masa sidang berikutnya. (6) Dalam hal perjanjian Perdagangan internasional dapat membahayakan kepentingan nasional, Dewan Perwakilan Rakyat menolak persetujuan perjanjian Perdagangan internasional. (7) Peraturan Presiden mengenai pengesahan perjanjian Perdagangan internasional diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Menteri, gubernur, dan bupati/walikota berkewajiban menyelenggarakan Sistem Informasi Perdagangan yang terintegrasi dengan sistem informasi yang dikembangkan oleh kementerian atau lembaga Pemerintah nonkementerian”. Pasal 88 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Sistem informasi perdagangan digunakan untuk kebijakan dan pengendalian Perdagangan. 192 Pasal 89 ayat (2) Undang-Undang No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan berbunyi “Data dan/atau informasi Perdagangan sebagaimana dimaksud paling sedikit memuat data dan/atau informasi Perdagangan Dalam Negeri dan Perdagangan Luar Negeri”. 191 91 Mengenai mekanisme perolehan informasi di Indonesia diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik, yakni: 1. 2. 3. Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan permintaan untuk memperoleh Informasi Publik kepada Badan Publik terkait secara tertulis atau tidak tertulis. Badan Publik wajib mencatat nama dan alamat Pemohon Informasi Publik, subjek dan format informasi serta cara penyampaian informasi yang diminta oleh Pemohon Informasi Publik. Badan Publik yang bersangkutan wajib mencatat permintaan Informasi Publik yang diajukan secara tidak tertulis. 4. Badan Publik terkait wajib memberikan tanda bukti penerimaan permintaan 5. Dalam hal permintaan disampaikan secara langsung atau melalui surat 6. 7. a. Informasi Publik berupa nomor pendaftaran pada saat permintaan diterima. elektronik, nomor pendaftaran diberikan saat penerimaan permintaan. Dalam hal permintaan disampaikan melalui surat pengiriman, nomor pendaftaran dapat diberikan bersam aan dengan pengiriman informasi. Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, Badan Publik yang bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan : informasi yang diminta berada di bawah penguasaannya ataupun tidak; b. Badan Publik wajib memberitahukan Badan Publik yang menguasai informasi yang diminta apabila informasi yang diminta tidak berada di bawah penguasaannya dan Badan Publik yang menerima permintaan mengetahui keberadaan informasi yang diminta; c. penerimaan atau penolakan permintaan dengan alasan dalam hal perm intaan diterim a seluruhnya atau sebagian dicantumkan materi informasi yang akan diberikan; d. dalam hal suatu dokumen mengandung materi yang dikecualikan maka informasi yang dikecualikan tersebut dapat dihitamkan dengan disertai alasan dan materinya; 92 e. alat penyampai dan format informasi yang akan diberikan;dan/ atau f. biaya serta cara pem bayaran untuk memperoleh informasi yang diminta Menurut Pasal 21 Undang-Undang Keterbukaan Informasi publik, mekanisme untuk memperoleh Informasi Publik didasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan. Dalam hal perlindungan dan kerahasiaan, informasi yang dikecualikan tersebut diatur dalam Pasal 17-Pasal 20 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Menurut Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi, Informasi Publik yang dikecualikan merupakan informasi yang bersifat rahasia. 193 Akan tetapi, dalam hal perlindungan, belum ada regulasi jelas. Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dalam hal penyediaan informasi, maka tiap badan publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi. Jadi penyediaan informasi tersebut dilakukan masing-masing oleh badan publik tersebut. 194 Meskipun demikian, dengan adanya sistem informasi perdagangan, penyediaan informasi perdagangan dilakukan secara terintegrasi dalam suatu sistem informasi. Dalam hal ini, belum terdapat regulasi mengenai bagaimana mekanisme sistem informasi perdagangan dan sejauh mana informasi yang Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya”. 193 194 Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik: a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi; b. dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik yang berlaku secara nasional”. 93 seharusnya tersedia dalam sistem informasi perdagangan tersebut. Infrastruktur dalam hal sistem informasi perdagangan juga belum ada hingga saat ini Implementasi ketentuan Pasal 12 ayat (1) sampai dengan Pasal 12 ayat (6) Agreement on Trade Facilitation menghadapi permasalahan yang sama, yakni belum adanya regulasi yang mengatur mengenai hal ini secara terperinci. Regulasi tersebut sangatlah penting mengingat pertukaran informasi tersebut dilkukan dalam lintas negara jadi perlu diperhatikan pula mengenai mekanisme, kerahasiaan dan keamanannya. Selain itu, infrastruktur berupa sistem online yang memadai juga belum dimiliki Indonesia, padahal pelaksanaan ketentuanketentuan tersebut rata-rata dilaksanakan dengan sistem online. Pasal 12.7-12.12 Agreement on Trade Facilitation Di Indonesia, ketentuan Pasal 12 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation tentang penolakan pemberian informasi kepada negara anggota WTO lainnya diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Penolakan tersebut merupakan hak badan publik menurut Pasal 6 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 195 Mengenai prosedur penundaan belum diatur secara jelas mekanisme dan tenggang waktunya. Dalam hal penolakan, juga belum diatur bagaimana Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan”. 195 Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Badan Publik berhak menolak memberikan Informasi Publik apabila tidak sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan”. Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Informasi Publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik, sebagaimana dimaksud pada ayat (1)adalah: a. informasi yang dapat membahayakan negara; b. informasi yang berkaitan dengan kepentinganperlindungan usaha dari persaingan usaha tidaksehat; c. informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi; d. informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan;dan/atau e. Informasi Publik yang diminta belum dikuasai ataudidokumentasikan”. 94 mekanisme dan tenggang waktunya. Permasalahan mengenai waktu menjadi hal yang penting untuk menjamin agar pemberian informasi tersebut dapat dilakukan secara cepat dan efisien. Hal yang perlu dipikirkan ialah jika informasi yang diberikan kepada pemohon merupakan informasi yang tidak boleh disebarluaskan, perlu adanya ketentuan yang jelas mengenai siapa yang wajib menjaga informasi yang telah diberikan tersebut. Dari segi infrastruktur, Indonesia masih perlu perbaikan dalam masalah sistem online terutama keamanannya karena Indonesia seringkali diretas. Jangan sampai saat Indonesia mendapatkan informasi yang tidak boleh disebarluaskan, namun informasi tersebut justru beredar karena sistem online Indonesia diretas. Pasal 12 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation mengatur mengenai timbal balik. Jika suatu negara meminta informasi kepada suatu negara, maka negara yang meminta tersebut harus menyanggupi jika negara yang diminta tersebut meminta informasi yang serupa. Dalam Pasal 12 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation dijelaskan bahwa dalam permasalahan kepabenanan, negara-negara anggota WTO dapat saling meminta informasi mengenai isu-isu terkait dengan jumlah barang-barang produk yang dapat diimpor dan diekspor dalam suatu negara anggota WTO, pihak-pihak yang terkait dengan dokumen dan informasi berkaitan dengan ekspor dan impor suatu barang, dan juga referensi mengenai peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh pemerintah terkait dengan kebijakan ekspor dan impor suatu barang. Adapun pihak yang memohon hal informasi tersebut harus juga memikirkan tentang biaya yang perlu dikeluarkan guna penyediaan informasi. Ketentuan mengenai biaya dalam rangka penyediaan informasi haruslah dilakukan dengan biaya ringan dan hal ini menjadi asas dalam penyelenggaraan keterbukaan informasi publik. Hal ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Undang- 95 Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 196 Dalam Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dijelaskan bahwa untuk mendapatkan informasi harus dilakukan dengan biaya yang murah. 197 Menurut Pasal 22 ayat (7) huruf g Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 198 Besaran biaya yang diperlukan dalam penyediaan informasi diputuskan oleh badan publik yang mengeluarkan informasi tersebut. Menurut Pasal 35 ayat (1) huruf f Undang- Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, 199 pemohon informasi dapat mengajukan keberatan kepada Komisi Informasi dalam hal pengenaan biaya pengadaan informasi yang tidak wajar Negara yang dimintai informasi tidak perlu melakukan hal-hal sebagai berikut: 1. Mengubah format pemberitahuan ekspor atau impor serta prosedurnya 2. Meminta persyaratan dokumen dalam pemberitahuan ekspor atau impor selain yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c 3. Berinisiatif secara sendiri untuk mendapatkan informasi 4. Mengubah jangka waktu penangguhan informasi 5. Memberikan dokumentasi tertulis di kertas ketika sistem online saat ini mulai dikenal 6. Menerjemahkan informasi 7. Memverifikasi keabsahan informasi tersebut Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepatwaktu, biaya ringan, dan cara sederhana”. 196 197Pasal 21 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Mekanisme untuk memperoleh Informasi Publikdidasarkan pada prinsip cepat, tepat waktu, dan biaya ringan”. 198Pasal 22 ayat (7) huruf Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejakditerimanya permintaan, Badan Publik yangbersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis yang berisikan biaya serta cara pembayaran untuk memperoleh informasi yang diminta”. 199Pasal 35 ayat (1) huruf f Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukankeberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi mengenai pengenaan biaya yang tidak wajar”. 96 8. Memberikan informasi yang memberikan prasangka tertentu terhadap kepentingan bisnis tertentu dari suatu badan usaha secara public maupun privat. Dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur mengenai pembatasan diatas dan secara umum, kebijakan dalam penyediaan informasi diatur dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Dalam hal terdapat penggunaan tidak sah atau pengungkapan informasi belum terdapat regulasi khusus mengenai penggunaan informasi yang tidak sah atau pengungkapan informasi. Di Indonesia, penggunaan informasi yang tidak sah atau pengungkapan informasi dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. Bagi pihak yang menggunakan informasi secara melawan hukum, dikenakan sanksi Pasal 51 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 200 Sementara itu, jika ada pihak yang dengan tanpa hak mengakses dan/atau memperoleh dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikan dikenakan Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik 201 atau Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 202 Bagi pihak-pihak yang menyebarkan informasi Pasal 51 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakanInformasi Publik secara melawan dihukum dipidana denganpidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ataupidana denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima jutarupiah)”. 200 Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh dan/ataumemberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf a, huruf b,huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, dan huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)tahun dan pidana denda paling banyakRp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)”. 201 202 Pasal 54 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmengakses dan/atau memperoleh dan/atau memberikan informasi yang dikecualikansebagaimana diatur dalam Pasal 17 huruf c dan hurufe, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)tahun dan pidana denda paling banyakRp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah)”. 97 publik yang menyesatkan dikenakan Pasal 55 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. 203 Sebelum adanya Agreement on Trade Facilitation terdapat perjanjian sejenis, yakni ASEAN Trade Facilitation. Secara umum ASEANTrade Facilitation sejenis dengan Agreement on Trade Facilitation WTO, perbedaan spesifiknya dilihat dari wilayah berlaku, serta mengenai perlakuan khusus bagi negara berkembang dan negara terbelakang. Selain ASEAN Trade Facilitation juga terdapat The AsiaPacific Economic Cooperation Trade Facilitation Action Plan. Fasilitasi perdagangan tersebut merupakan salah satu dari tiga pilar utama Asia-Pacific Economic Cooperation untuk mencapai tujuan Bogor goals of free and open trade and investment. Asia-Pacific Economic Cooperation dalam fasilitasi perdagangan akan membantu meningkatkan ekonomi, terutama negara berkembang, yang juga menguntungkan para pengusaha. Berdasarkan Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation, maka ASEAN Trade Facilitation serta The Asia-Pacific Economic Cooperation Trade Facilitation Action Plan tetap diperbolehkan. Agreement on Trade Facilitation tidak menghalangi negara anggota untuk melakukan perjanjian serta terikat dengan perjanjian lain. Permasalahan utama ketentuan Pasal 12 ayat (7) sampai dengan Pasal 12 ayat (11) Agreement on Trade Facilitation ialah masalah infrastruktur. Dalam hal ini Indonesia belum memiliki infrastruktur yang memadai dalam sistem online. Sebagaimana telah dijelaskan, keamanan situs milik Pemerintah masih sangat rawan dan rentan untuk diretas. Penyediaan sistem online juga belum sepenuhnya dapat dilakukan karena terdapat beberapa hal yang masih menggunakan sistem manual yakni daerah yang terpencil. Pasal 55 Undang-Undang No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengaja membuat InformasiPublik yang tidak benar atau menyesatkan danmengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana denganpidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau dendapaling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah)”. 203 98 Oleh karena itu, kesiapan Indonesia melaksanakan ketentuan Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation dapat digolong dalam Kategori C. Hal ini disebabkan Indonesia perlu memperjelas regulasi yang ada dan melakukan perbaikan teknologi informasi serta pengembangan sumber daya manusia. Setidaknya dibutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk melakukan semua perbaikan tersebut. 99 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN Berdasarkan pemaparan di atas, simpulan yang bisa diambil antara lain: 1. Pada hakekatnya, fasilitasi perdagangan telah dikenal sejak abad pertengahan. Tidak ada definisi tunggal atas terminologi fasilitasi perdagangan. Bahkan, Agreement on Trade Facilitation tidak memberikan definisi fasilitasi perdagangan. Dalam perkembangannya, pengertian fasilitasi perdagangan telah mengalami perluasan. Fasilitasi perdagangan diartikan sebagai penurunan atau pengurangan hambatan non tarif. Terkait dengan fasilitasi perdagangan, ada 4 (empat) hal yang dijadikan indikator, antara lain: efisiensi pelabuhan; lingkungan kepabeanan; lingkungan kebijakan; dan penggunaan perangkat transaksi elektronik. Menurut the Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), fasilitasi perdagangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: ketersediaan informasi; partisipasi dalam komunitas perdagangan; advance rulings; appeal procedures; fees and charges (biaya dan ongkos); dokumen-dokumen formalitas; formalities-automation (formalitas-terotomatisasi); streamlining of border controls (penyederhaan pengawasan perbatasan); pelayanan terpadu satu pintu untuk penyerahan seluruh dokumen persyaratan; pemeriksaan post-clearance; dan operator ekonomi yang terotorisasi; kerjasama internal; kerjasama eksternal; governance dan impartiality (pemerintahan dan kenetralan). Agreement on Trade Facilitation memberikan kesempatan kepada seluruh negara anggota WTO untuk melakukan self-assessment dalam penerapan Agreement on Trade Facilitation. Tingkat kesiapan suatu negara dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Kategori A, Kategori B, dan Kategori C. Kategori A berarti ketentuan telah siap dilaksanakan dan/atau telah dilaksanakan suatu negara pada saat ini, serta tidak membutuhkan tambahan waktu atau bantuan dari negara/donor. 100 Kategori B diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih membutuhkan waktu untuk menerapkannya. Kategori C diperuntukkan bagi ketentuan dimana suatu negara masih membutuhkan waktu dan membutuhkan bantuan dari negara/donor untuk menerapkannya. Bantuan dapat berbentuk technical assisstance, capacity building, dan financial assisstance. 2. Indonesia telah memulai proses fasilitasi perdagangan sejak tahun 1977, yakni sebagai salah satu negara anggota ASEAN bersepakat tentang Preferential Trading Agreement. Indonesia, dinilai Bank Dunia, telah mengalami kemajuan dalam penerapan reformasi perdagangan beberapa tahun terakhir. Namun, Bank Dunia menempatkan Indonesia dalam rangking 54 dari 184 negara. Sistem logistik yang buruk mengakibatkan tingkat hubungan perdagangan Indonesia rendah. Hal ini berdampak pada daya saing produk-produk Indonesia. Kemajuan telah dicapai Indonesia dalam meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan dan bea dan cukai, akan tetapi Indonesia masih membutuhkan peningkatan lebih lanjut. Meskipun ekonomi Indonesia sangat terbuka dalam hal tarif, namun hambatan non-tarif semakin mengalami peningkatan yang mencemaskan. Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai juga yang menjadi penyebab rendahnya peringkat logistik Indonesia di dunia. Pada hakekatnya, Indonesia telah mengeluarkan sejumlah kebijakan penyederhanaan prosedur-prosedur yang berhubungan dengan perdagangan. Namun, pengeluaran sejumlah kebijakan tersebut tidak cukup memadai sebab pelaksanaan kebijakan-kebijakan tersebut belum mencapai hasil yang diharapkan. Upaya yang lebih besar dibutuhkan Indonesia untuk berhasil. Sebagai contoh, pelaksanaan National Single Window justru mengakibatkan dua kali penyerahan dan dua kali pemeriksaan. Berdasarkan laporan OECD Trade Facilitation-Indonesia, The Indonesia dinilai cukup baik dalam melaksanakan fasilitasi perdagangan, yakni berada di atas rata-rata negara-negara ASEAN dan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah, pada beberapa hal atau sektor. 101 Beberapa hal atau sektor tersebut antara lain: biaya dan ongkos, harmonisasi dan simplifikasi dokumen, automation and internal border agency co-operation (kerjasama petugas perbatasan dalam negeri dan terotomatisasi). Namun, pada sektor ketersediaan informasi dan streamlining procedures (penyederhanaan birokrasi), Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara di Asia dan negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah. 3. Kesiapan Indonesia terhadap tiap pasal Agreement on Trade Facilitation a. Pasal 1 Agreement on Trade Facilitation Indonesia belum siap dalam hal publikasi dan ketersediaan informasi dan dapat digolongkan dalam kategori C. Dibutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kerjasama yang baik antara beberapa instansi/kementerian terkait serta untuk memperbaiki teknologi informasiSelain itu, untuk pendirian Pusat Informasi yang memadai juga dibutuhkan pendirian infrastruktur kantor dan mendesain sistem manajemen yang efektif dan efisien. b. Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation Dengan demikan, instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation dan faktor penunjang pelaksanaan pasal ini belum memadai. Pelaksanaan pasal ini membutuhkan sumber daya manusia kompeten dan teknologi informasi yang memadai. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan pasal ini dapat digolongkan ke dalam kategori C sebab Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan untuk capacity building. Dibutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun untuk mempersiapkan Indonesia melaksanakan Pasal 2 Agreement on Trade Facilitation. c. Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation Instrumen hukum untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation belum memadai. Pelaksanaan pasal ini juga membutuhkan 102 sumber daya manusia kompeten. Selain itu, diperlukan kajian mendalam tentang advance rulings berkenaan dengan perdagangan internasional itu sendiri. Oleh karena itu, kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C. Setidaknya Indonesia membutuhkan waktu 15 tahun untuk mempersiapkan diri melaksanakan Pasal 3 Agreement on Trade Facilitation. d. Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation Rendahnya nilai efisiensi pelayanan bea dan cukai dan dugaan terjadinya praktek mafia peradilan mengakibatkan kesiapan Indonesia untuk pelaksanaan Pasal 4 Agreement on Trade Facilitation dapat digolongkan ke dalam kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima belas) tahun. Indonesia membutuhkan dukungan capacity building, dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia di lingkungan bea dan cukai maupun di lingkungan pengadilan pajak. e. Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation Untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation, Indonesia tergolong Kategori C. Hal ini dikarenakan masih banyak kekurangan dalam bidang infrastruktur dan regulasi. Badan Pengawas Obat dan Makanan dan pabean masih perlu bantuan teknis dalam bidang infrastruktur, sumber daya manusia serta regulasi. Regulasi yang ada juga belum mengatur mengenai prosedur tes kedua. Importasi di Indonesia juga sering dilakukan oleh pihak ketiga. Indonesia setidaknya membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk implementasi Pasal 5 Agreement on Trade Facilitation. f. Pasal 6 Agreement on Trade Facilitation Berkaitan dengan pelaksanaan Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia belum siap. Kesiapan Indonesia 103 dikategorikan dalam Kategori C. Untuk membuat aturan, sosialisasi dan implementasi yang baik, Indonesia membutuhkan waktu setidaknya 15 (lima belas) tahun, dan biaya besar. Selain itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis berupa pembelajaran pembentukan mekanisme pelayanan bea dan cukai yang efisien dan dukungan capacity building dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya manusia para pegawai bea dan cukai. Sementara itu, dalam hal sanksi, Indonesia telah memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, sehingga, kesiapan Indonesia bisa dikategorikan dalam Kategori A. g. Pasal 7 Agreement on Trade Facilitation Untuk implementasi Pasal 7 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia dapat dikategorikan dalam kategori A karena Indonesia telah memiliki regulasi dan sarana yang memadai. Namun, terkait Pasal 7 ayat (2) dan (3) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena Indonesia tidak siap dan butuh waktu, setidaknya 15 (lima belas) tahun, untuk membuat regulasi lebih khusus tentang jaminan impor dan pembayaran online. Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building untuk pembangunan teknologi informasi dan peningkatan sumber daya manusia, termasuk koordinasi antarinstansi Pemerintah. Selain itu, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dalam hal perancangan peraturan terkait. Untuk pelaksanaan ketentuan Pasal 7 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia digolongkan dalam Kategori C karena belum ada penyeragaman manajemen risiko. Indonesia membutuhkan bantuan teknis mengakomodir dalam hal perbedaan penciptaan pola mekanisme manajemen dibutuhkan Indonesia setidaknya 10 tahun. risiko. yang Waktu dapat yang 104 Kesiapan Indonesia untuk implementasi Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6) Agreement on Trade Facilitation tergolong dalam kategori B karena telah ada regulasi, namun, regulasi yang ada masih belum memadai dan membutuhkan perbaikan baik dalam hal substabsi maupun pelaksanaan. Untuk Indonesia National Single Window, perbaikan yang dibutuhkan telah dipaparkan pada Bab II di atas. Setidaknya, Indonesia membutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk penyempurnaan regulasi dan perbaikan pelaksanaan regulasi. Untuk implementasi Pasal 7 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena Authorized Economic Operator merupakan suatu yang baru dan belum ada kajian mendalam Indonesia setidaknya membutuhkan 15 (lima belas) tahun untuk persiapan yang matang. Untuk pelaksanaan Pasal 7 ayat (8) dan (9) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia tergolong dalam kategori C. Hal ini disebabkan, walaupun Indonesia telah memiliki aturan untuk menjalankan hal ini, namun Indonesia masih butuh waktu dan masih membutuhkan bantuan teknis dan dukungan building capacity untuk memperbaiki infrastuktur dan mempercepat masalah administrasi. h. Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation Indonesia masih menghadapi kesulitan untuk memenuhi Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation karena terkendala masalah koordinasi antarlembaga. Berkenaan dengan perbatasan, ada beberapa instansi bertugas. Masalah pembangunan fasilitas dibidang perbatasan juga masih perlu dipertanyakan. Masalah kepabeanan memang merupakan urusan Direktorat Bea dan Cukai, namun, ada beberapa instansi/lembaga yang bertugas terkait dengan wilayah perbatasan, kawasan pelabuhan, dan keamanan nasional. Dengan demikian, kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan Pasal 8 Agreement on Trade Facilitation termasuk dalam Kategori C sebab Indonesia masih sangat perlu untuk melakukan 105 perbaikan koordinasi antarlembaga/instansi agar proses penyederhanaan administrasi dapat dilakukan dengan waktu yang i. dibutuhkan ialah 15 (lima belas) tahun. Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation Indonesia masih memiliki kekurangn di bidang integrasi antarlembaga dalam hal perizinan. Dengan adanya Indonesia National Single Window seharusnya diikuti dengan penyederhanaan proses perizinan lainnya yang terkait. Mengintegrasikan peraturan perdagangan nasional agar tercipta kesederhanaan dalam proses administrasi merupakan cara untuk memenuhi Pasal ini. Jadi Indonesia dalam hal ini masih belum dapat memenuhi Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation ini karena belum ada aturan yang mengatur secara keseluruhan mengenai proses perpindahan barang secara sederhana dan cepat. Dengan demikian, kesiapan Indonesia mengimplementasikan Pasal 9 Agreement on Trade Facilitation tergolong Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan setidaknya 15 (lima belas) tahun. j. Pasal 10 Agreement on Trade Facilitation Berkenaan dengan pelaksanaan Pasal 10 ayat (1) Agreement on Trade Facilitation tentang Formalitas dan Persyaratan Dokumen, kesiapan Indonesia termasuk dalam Kategori C dengan jangka waktu 15 (lima belas) tahun. Hal ini disebabkan Indonesia belum memiliki fasilitas yang memadai untuk melakukan integrasi dalam proses perizinan, dalam hal regulasi Indonesia juga masih butuh perbaikan. Dalam hal Penerimaan Salinan dalam Pasal 10 ayat (2) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan jangka waktu yang dibutuhkan selama 15 (lima belas) tahun karena belum memadai regulasi mengenai penerimaan Salinan secara online dan perlu dilakukan perbaikan infrastruktur agar penerimaan Salinan dapat dilakukan secara online di seluruh wilayah Indonesia. Dalam hal standardisasi nasional 106 yang ada pada Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia digolongkan dalam Kategori C dengan waktu yang dibutuhkan ialah selama 15 (lima belas) tahun. Hal ini disebabkan untuk implementasi Pasal 10 ayat (3) Agreement on Trade Facilitation memerlukan perbaikan di bidang regulasi dan infrastruktur agar sesuai dengan standar internasional. serta bantuan Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (4) Agreement on Trade Facilitation mengenai single window, Indonesia dikategorikan dalam kategori C karena masih memerlukan waktu untuk memperbaiki sistem Indonesia National Single Window dan integrasi antarlembaga/instansi. Setidaknya, waktu 15 (lima belas) tahun dibutuhkan Indonesia untuk memperbaiki sistem Indonesia antarlembaga/instansi. National Dalam Single upaya Window dan memperbaiki integrasi kerjasama antarinstansi/lembaga, Indonesia membutuhkan bantuan teknis dan dukungan capacity building. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (5) Agreement on Trade Facilitation mengenai pra-pengapalan, kesiapan Indonesia dapat dikategorikan dalam Kategori A karena telah memiliki kesiapan dalam pra-pengapalan yani dengan tidak adanya masalah yang berarti dalam pra-pengapalan serta regulasi yang ada sudah cukup memenuhi kebutuhan dalam bidang pra-pengapalan. Demikian pula halnya dnegan Pasal 10 ayat (6) Agreement on Trade Facilitation mengenai Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, Indonesia telah dapat dikategorikan dalam kategori A karena telah memadai dari segi regulasi maupun infrastruktur yang ada. PPJK yang ada sudah mencukupi dan dapat memenuhi pelayanan dalam bidang kepabean. Untuk ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation mengenai Prosedur Perbatasan umum dan Penyeragaman Persyaratan Dokumentasi, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam kategori C. Hal ini dikarenakan perlu kajian mendalam berkenaan dengan penyeragaman 107 tidak hanya terkait dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai saja, namun terkait dengan lembaga lain yang mengeluarkan perizinan. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (7) Agreement on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun. Dalam hal barang reject yang diatur dalam Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation, kesiapan Indonesia termasuk dalam kategori C karena belum ada ketentuan mengenai re-ekspor. Indonesia membutukan bantuan teknis untuk pembuatan aturan tentang re-ekspor. Indonesia membutuhkan paling tidak 15 (lima belas) tahun untuk dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (8) Agreement on Trade Facilitation. Dengan demikian, untuk ketentuan Temporary Admission of Goods and Inward and Outward Processing yang diatur dalam Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation, Indonesia dikategorikan dalam Kategori C. Hal ini karena terdapat beberapa peraturan yang perlu diubah dan perlu dilakukan perbaikan infrastruktur. Indonesia dapat memenuhi ketentuan Pasal 10 ayat (9) Agreement on Trade Facilitation dalam jangka waktu 15 (lima belas) tahun. k. Pasal 11 Agreement on Trade Facilitation Pada hakekatnya, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang bertentangan dengan freedom of transit. Menilik ketentuan yang ada, Indonesia belum memiliki regulasi yang jelas mengenai transit dan freedom of transit. Selain itu infrastruktur di Indonesia belum memadai dan harus diperbaiki agar proses transit dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini, kesiapan Indonesia dikategorikan dalam Kategori C karena infrastruktur pelabuhan di Indonesia masih kurang. Dibutuhkan waktu paling tidak 15 (lima belas) tahun agar pelabuhan-pelabuhan utama di Indonesia dapat memenuhi standar infrastruktur pelabuhan 108 internasional. Perbaikan infrastruktur tersebut memerlukan bantuan dana dari pihak lain agar dapat terlaksana. l. Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation Kesiapan Indonesia melaksanakan ketentuan Pasal 12 Agreement on Trade Facilitation dapat digolong dalam Kategori C. Hal ini disebabkan Indonesia perlu memperjelas regulasi yang ada dan melakukan perbaikan teknologi informasi serta pengembangan sumber daya manusia. Setidaknya dibutuhkan waktu 15 (lima belas) tahun untuk melakukan semua perbaikan tersebut. B. Rekomendasi Sehubungan dengan simpulan di atas, tindakan yang sebaiknya dilakukan Pemerintah Indonesia ialah: 1. Pemerintah Indonesia sebaiknya tidak meratifikasi Agreement on Trade 2. Apabila Indonesia hendak meratifikasi Agreement on Trade Facilitation, Facilitation sebab kesiapan Indonesia terhadap hampir seluruh ketentuan dalam Agreement on Trade Facilitation digolongkan dalam kategori C. sebaiknya: a. Pemerintah Indonesia segera membentuk komite persiapan Agreement on Trade Facilitation yang mencakup perwakilan dari seluruh kementerian maupun instansi Pemerintah terkait, akademisi, dan para b. c. praktisi. Indonesia harus menotifikasi kesiapan Indonesia dalam kategori yang sesungguhnya mencerminkan kesiapan Indonesia; Untuk ketepatan jangka waktu yang dibutuhkan untuk meningkatkan kesiapan Indonesia, Pemerintah harus melakukan kajian lapangan yang mendalam dan perhitungan dana yang tepat dan matang. Akan lebih baik apabila ternyata persiapan Indonesia lebih cepat dari jangka waktu yang dinotifikasi daripada sebaliknya. Jika Indonesia tidak siap dalam jangka waktu yang dinotifikasi, Indonesia dapat digugat negara 109 lain ke Dispute Settlement Body WTO dan dikenakan sanksi. Jelas, hal d. ini akan sangat merugikan keuangan negara. Dalam hal membuat proposal permohonan bantuan technical assistance maupun dukungan capacity building, Pemerintah Indonesia harus mempertimbangkan dengan seksama kedaulatan negara terkait pelaksanaan perdagangan internasional. 110 DAFTAR PUSTAKA Bolhofer, C.E. (2008). Trade Facilitation-WTO Law and Its Revision to Facilitate Global Trade in Goods, World Costum Journal, Vol.2, No.1, hal.35-37. Darussalam dan Septriadi, D. (2007). Majalah Inside Tax, Edisi 02, hal.19. Dewan Perwakilan Rakyat. (2014). Indonesia Belum Memiliki Pelabuhan Internasional. Diakses 22 Agustus 2014 dari http://www. dpr.go.id/id/berita/komisi5/2012/des/19/4808/indonesiabelum-memiliki-pelabuhan -internasional Direktorat Bea dan cukai. Prosedur Umum Importasi. http://bctjmas.beacukai.go.id/index.php/ media-center/artikel-terkait/54-prosedur-umum-importasi, diakses pada 18 Agustus 2014 Doing Business. (2014). Country Profiles. Diakses 20 Juli 2014 http://www.doingbusiness.org/~/media/giawb/doing%20business/documents/profiles /country/idn.pdf, Doing Business. (2014). Rangking of http://www.doingbusiness.org/rankings,. Economies. Diakses 5 Juli 2014 dari dari E.L. Rubin. (1997). Law and the Methodology of Law, Winconsin Law Review, hal.525 Finger, J.M dan Wilson, S. (2006). Implementing A WTO Agreement on Trade Facilitation: What Makes Sense? World Bank Policy Research Working Paper 3971, hal. 7-8. Grainger, A. Customs and Trade Facilitation: From Concepts to Implementations, World Customs Journal, Vol. 2, No.1, hal.17. Grainger, A.. Trade Facilitation: A Conceptual Review, Journal of World Trade, 45:1, hal.40. Hoekman, B dan Shepperd, B. (2013). Who Profits from Trade Facilitation Initiatives? EUI Working Paper RSCAS 2013/49. Ibid. (2014). Agreement on Trade Facilitation. Diakses Agustus 2014 dari http://ditjenkpi.kemendag.go.id/situs_kpi/index.php?module=news_detail&news_content_id=13 86&detail=true. ICC Policy Statement. (2014). ICC Recommendations For Trade Facilitation through Effective Customs Duty Relief Programmes. Diakses 2 September 2014 dari http://www.iccindiaonline.org/policy_state/duty.pdf. Indoesia Port. (2014). Pelabuhan Tanjung Priok. http://www.indonesiaport.co.id/read/tanjung-priok.html,. Diakses 20 Juli 2014 dari Indonesia National Single Window. (2014). Indonesia National Single Window. Diakses 11 Agustus 2014 dari http://www.insw.go.id/home?page=1/about/about.html. Jolevski, Z. (2014). Trade Facilitation in the WTO Context. Diakses 25 Juli 2014 dari http://www.unece.org/trade/ctied9/policy_segment/partI_zoran_jolevski.ppt. Kedutaan Besar LBBP/Watapri. (2014). Laporan UNCTAD’s Multi-Year Expert Meeting (MYEM) on Transport, Trade Logistics and Trade Facilitation: Jenewa, hal.3. 111 Kompas. (2014). Mengapa Situs Pemerintah RI Kerap Diretas. Diakses 22 Agustus 2014 dari http://tekno.kompas.com/read/2013/14/10095691/Mengapa.Situs.Pemerintah.RI.Kerap.Direta s. Landlocked Developing Countries Series, No. 1. (2014). “Transit Transport Issues in Landlocked and Transit Developing Countries”. Diakses 22 Agustus 2014 dari http://siteresources.worldbank.org/INTRANETTRADE/ Resources/WBI-Training/UNLandlocked.pdf. Layton, Brent. (2007). Trade Facilitation: A Studi in the Context of the ASEAN Economic Community Blueprint”, ERIA Research Project Report, hal.87. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (1988). TAP MPR RI No. II/MPR/1988 Tentang Perubahan dan Tambahan atas TAP MPR RI No. I/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, http://www.tatanusa.co.id/tapmpr/88TAPMPR-II.pdf, diakses pada tanggal 10 Juli 2014. Milner, C., Morrissey, C dan Zgovu,E. (2007). Trade Facilitation in Developing Countries. Organisation Economic Co-Operation and Development. (2013). Trade Facilitation Agreement would add billions to global economy. Diakses 27 Juli 2014 dari http://www.oecd.org/tradetrade-facilitation-agreement-would-add-billions-to-global-economy-says-oecd.htm. Organisation Economic Co-Operation and Development. (2014). OECD Trade Facilitation Indicators-Indonesia. Diakses pada 27 Juli 2014 dari http://www.oecd.org/tad/facilitation/indonesia-oecd-trade-facilitation-indicators-april2014.pdf Purwanto, Ali. Sistem Pemeriksaan Dalam Rangka Pengujian Kepatuhan Melalui Penetapan Kembali dan Audit Kepabeanan, hal.42-43. Repbulik Indonesia. (2003). Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-07/BC/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2003. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta. Republik Indonesia. (1992). Undang - Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1992 Tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 No. 56. Sekretariat Negara RI. Jakarta Republik Indonesia. (2002). Undang - Undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 No.27. Sekretariat Negara RI. Jakarta Republik Indonesia. (2006). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang - Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia. (2007). Peraturan Menteri Keuangan No.: 65/Pmk.04/2007 tahun 2007 Tentang Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan. Berita Negara Republik Indonesia. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Republik Indonesia. (2008). Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 61. Sekretariat Negara RI. Jakarta. 112 Republik Indonesia. (2010). Peraturan Menteri Keuangan No.219/PMK.04/2010 tentang Perlakuan Kepabeanan terhadap Authorized Economic Operator. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2010. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Republik Indonesia. (2011). Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.147/Pmk.04/2011 tentang Kawasan Berikat. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 558. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Republik Indonesia. (2012). Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 35 Tahun 2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Penggunaan Sistem Elektronik dalam Kerangka Indonesia Single Window. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 84. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia. (2014). Undang - Undang Republik Indonesia No.7 tahun 2014 tentang Perdagangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 45. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia.(1999). Undang-Undang Republik Indonesia No.28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme . Sekretariat Negara RI. Jakarta Republik Indonesia.(2000). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 No.1999. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2006). Peraturan Menteri Keuangan No.145/PMK.04/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No.84/KMK.04/2003 tentang Tata Laksana Pembayaran dan Penyetoran Penerimaan Negara dalam Rangka Impor dan Penerimaan Negara atas Barang Kena Cukai Buatan dalam Negeri. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2006. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2006). Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 No.93. Sekretariat Negara RI. Jakarta Republik Indonesia.(2007). Peraturan Menteri Perdagangan No.51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida untuk Keperluan Karantina dan Pra-Pengapalan. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2007. Sekretariat Jenderal Departemen Perdagangan RI. Jakarta Republik Indonesia.(2007).Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No.P-07/Bc/2007 tentang Pemeriksaan Fisik Barang Impor. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2007. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2008). Undang-Undang Republik Indonesia No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 No.177. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2009). Peraturan Menteri Perdagangan No.45/M-DAG/PER/9/2009 Tahun 2009 tentang Angka Pengenal Importir (API). Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009. Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan. Jakarta. Republik Indonesia.(2009).Undang-Undang Republik Indonesia No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 158. Sekretariat Negara RI. Jakarta. 113 Republik Indonesia.(2010). Peraturan Menteri Keuangan No.184/PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2010 No.498. Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2010). Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2011). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Per-5/BC/2011 tentang Tata Laksana Pemberitahuan Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut Dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut Dalam Rangka Pengangkutan Barang Impor Dan Barang Ekspor Ke Dan Dari Kawasan Pabean Di Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu. Tahun 2011, Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Jakarta. Republik Indonesia.(2011). Undang-Undang Republik Indonesia No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No.82. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Republik Indonesia.(2012). Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No.Per-9/BC/2012 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. Berita Negara Republik Indonesia tahun 2012. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai RI. Jakarta Republik Indonesia.(2014).Undang-Undang Republik Indonesia No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 No. 4. Sekretariat Negara RI. Jakarta. Richardson, F. (2014). The e-Justice Revolution. Diakses 2 September http://www.ibanet.org/Article/Detail.aspx?ArticleUid=744f59c1-b745-49a3-830c47e5ca7e5756 2014 dari Roy, Jayanata dan Bagai, S. (2004). Key Issue in Trade Facilitation: Summary of World Bank/EU Workshop in Dhaka and Shanghai in 2004, World Bank Policy Research Working Paper No.3703, hal.18. Sindo. (2013). Aib Ditjen Bea Cukai. Diakses 20 Agustus 2014 dari http://www.sindoweeklymagz.com/36/ii/7-13-november-2013/crime/130/aib-ditjen-bea-cukai Sjamsul Arifin, dkk. (2008). Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015, hal.71. Suherman, Ade Maman. (2014). Hukum Perdagangan Internasional: Lembaga Penyelesaian Sengketa WTO dan Negara Berkembang, hal.17. Sulistyowati dan Sidharta. (2009). Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi, hal.143. SWEPRO. (2014). General Aspects of Trade Facilitation. Diakses 25 Juli 2014 dari http://www.kommers.se/SWEPRO/In-English/What-is-trade-facilitation/. T.M. Joseph. (2008). New Governance Paradigm: Issues in Development, hal.59. Third World Network. (2014). Work Plan Presented at Trade Facilitation Committee. Diakses 26 Agustus 2014 dari http://www.twnside.org.sg/title2/wto.info/2014/ti140301.htm 114 Thuronyi, Victor. (1996). Tax Law Design and Drafting , (New York:International Monetary Fund, 1996), hal 61. UNECE. (2014). Trade Facilitation and Implementation Guide, Hisoty of the Negotiation. http://tfig.unece.org/contents/Scope-of-TF-at-WTO.html, diakses pada tanggal 22 Agustus 2014. United Nations, Trade Facilitation Rules as A Trade Enabler: Options and Requirements, No.TD/B/C.I/MEM.7/5, tanggal 22 April 2014, paragraph 1,2,6 Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Assessing the Potential Benefit of Trade. Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development: Measuring the Impact, World Bank Policy Research Working Paper 2988. Wilson, J.S, Mann, C.L dan Otsuki, T. (2003). Trade Facilitation and Economic Development: Measuring the Impact: A New Approach to Quantifying the Impact”, (The World Bank Economic Review, Vol.17 No.3, 2003), hal.368. World Bank Policy Research. Trade Facilitation: A Global Perspective, No.3224, hal.3. World Trade Organization. (2013). Agreement on Trade Facilitation. Diakses 26 Agustus 2014 dari http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/mc9_e/desci36_e.htm. World Trade Organization. (2013). Bali Ministerial Declaration and Decisions. Agreement on Trade Facilitation. World Trade Organization. (2014).WTO Annual Report 2014, hal.24,26,36. Wulandari Retno.(2009). Hukum Laut, Zona-zona Maritim Sesuai UNCLOS 1982 dan Konvensikonvensi bidang maritim, (Jakarta: Badan Koordinasi Keamanan Laut,2009), hal.31. Yose Rizal Damuri, “An Evaluation of the Need for Selected Trade Facilitation Measures in Indonesia: Implications for the WTO Negotiations on Trade Facilitation”, Asia-Pacific Research and Training Network on Trade Working Paper Series No.10 (April 2006), hal.7.