analisis zona konduktor pembawa uranium dengan menggunakan

advertisement
IDENTIFIKASI PATAHAN PADA LAPISAN SEDIMEN
MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFLEKSI 2D
DI BARAT SUMATERA
FATHULLAH SYARIF HIDAYATULLAH
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
IDENTIFIKASI PATAHAN PADA LAPISAN SEDIMEN
MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFLEKSI 2D
DI BARAT SUMATERA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh:
FATHULLAH SYARIF HIDAYATULLAH
NIM: 104097003110
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sains di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta,
September 2010
Fathullah Syarif Hidayatullah
i
IDENTIFIKASI PATAHAN PADA LAPISAN SEDIMEN
MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFLEKSI 2D
DI BARAT SUMATERA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Sains dan Teknologi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Oleh
Fathullah Syarif Hidayatullah
NIM: 104097003110
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
DR. Ir. Udrekh, M.Sc
NIP. 19690328 199412 1 001
Faisal Bustami, M.Si
NIP. 19740222 200604 1 003
Mengetahui,
Ketua Program Studi Fisika,
Drs. Sutrisno, M.Si
NIP. 19590202 198203 1 005
ii
PENGESAHAN UJIAN
Skripsi
IDENTIFIKASI
PATAHAN
PADA
LAPISAN
SEDIMEN
MENGGUNAKAN METODE SEISMIK REFLEKSI 2D DI BARAT
SUMATERA telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 8 September 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Sains (S.Si) pada Program Studi Fisika.
Jakarta,
September 2010
Tim Penguji,
Penguji 1
Penguji 2
Drs. Sutrisno, M.Si
Drs. Sutrisno, M.Si
NIP. 19590202 198203 1 005
5
Dr. Agus Budiono, M.Si
Arif Tjahjono, M.Si
NIP. 150 389 715
NIP. 150 389 715
Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi
Ketua Program Studi Fisika
Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis
NIP. 19680117 200112 1 001
Drs. Sutrisno, M.Si
NIP. 19590202 198203 1 005
iii
ABSTRAK
Fathullah Syarif Hidayatullah
Identifikasi Patahan Pada Lapisan Sedimen Menggunakan Metode Seismik
Refleksi 2D di Barat Sumatera
Line 102 merupakan bagian dari lempeng Indo-Australia yang menunjam
terhadap lempeng Eurasia dengan kecepatan pergerakan lempeng mencapai 7
cm/tahun. Akibat dari penunjaman tersebut menyebabkan sering terjadinya
gempa. Sehingga diperkirakan terbentuknya patahan akibat dari pergerakan
lempeng tersebut terutama pada lapisan sedimen. Patahan terbentuk ketika lapisan
batuan mendapatkan stress yang melewati batas elastisitas batuan. Pelepasan
energi tersebutlah menyebabkan gempa.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan
Paradigm Geodepth 8.2. Interpretasi patahan dilakukan pada penampang seismik
hasil migrasi terbaik dari berbagai hasil migrasi yang telah dilakukan. Hasil
migrasi terbaik diperoleh hasil stacking velocity dengan interval 100 CDP. Selain
itu, pada proses migrasi dilakukan pengisian nilai aperture sebesar 1920 CDP atau
12000 m dengan parameter koreksi spherical divergen dan filter anti aliasing.
Patahan dapat diketahui dengan adanya ketidakmenerusan pada lapisan. Patahan
akan diinterpretasi dengan cara menarik garis pada penampang seismik
Kata Kunci: migrasi, seismik, patahan, stacking velocity, aperture. CDP
iv
ABSTRACT
Fathullah Syarif Hidayatullah
Fault Identification on Sediment Layers Using Seismic Reflection 2D
Method in Western Sumatra
Line 102 is part of Indo-Australian Plate which subdues against the
Eurasian plate with the plate velocity 7cm/year. As a result of subduction has
caused frequent occurrence of earthquakes. So that the expected formation of
faults resulting from plate movement, primarily in the sediment layer. Fault is
formed when layers of rock to get past the stress limit of elasticity of rocks. The
energy release causes earthquakes.
Data processing was done using an application Geodepth Paradigm
Focus 5.4 and 8.2. Interpretation of seismic fault performed on the best migration
results from the various results of the migration that has been done. The best
migration results are obtained with the interval stacking velocity 100 CDP. In
addition, the migration process is done by filling the aperture value of GDP in
1920 or 12 000 m with a parameter of a divergent spherical correction and antialiasing filter. Fault can be identified by the discontinuities in the layer. Fault will
be interpreted by drawing lines on the seismic section
Key word: migration, seismic, fault, stacking velocity, aperture. CDP
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) dengan judul
“Identifikasi Patahan Pada Lapisan Sedimen Menggunakan Metode Seismik
Refleksi 2D di Barat Sumatera”.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kapada Nabi
Muhammad saw, para sahabat, para tabiin, tabiut’tabiin dan pengikutnya hingga
akhir zaman.
Segenap rasa terima kasih ingin penulis ucapkan kepada pihak-pihak yang
telah membantu terselesaikannya skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak DR. Syopiansyah Jaya Putra, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi.
2. Bapak Drs. Sutrisno, M.Si selaku Ketua Prodi Fisika
3. Bapak Dr. Ir. Udrekh, M.Sc selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan arahan.
4. Bapak Faisal Bustami, M.Si selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan arahan.
5. Ibu Sumira, S.Si selaku Laboran Laboratorium NeoNet BPPT sekaligus
tutor pengolahan data menggunakan program aplikasi Focus 5.4 dan
Paradigm Geodepth.
6. Ibu Trevi, S.Si selaku Laboran Laboratorium Geofisika BPPT sekaligus
tutor pengolahan data menggunakan program aplikasi ProMax.
vi
7. Orangtua dan kakak yang telah memberikan doa dan dukungan yang besar
kepada penulis.
8. Hendriyana, Rizal, dan Iid yang banyak memberikan motivasi dan rekanrekan Fisika Angkatan 2004.
9. Teman-teman dari jurusan Matematika terutama Nurul, Lina dan Pandam
yang memberikan motivasi.
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.
Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat berguna bagi kita semua.
Jakarta,
September 2010
Fathullah Syarif Hidayatullah
vii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kepulauan Indonesia terletak antara 3 lempeng, yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Terdapat interaksi antara Lempeng
Eurasia dan Lempeng Samudera Hindia di lepas pantai barat Sumatera. Lempeng
Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dengan kecepatan mencapai
7 cm/tahun sedangkan lempeng Eurasia relatif bergerak ke arah tenggara dengan
kecepatan 0,4 cm/tahun Interaksi ini menghasilkan pola penunjaman atau
subduksi. Interaksi kedua lempeng ini menyebabkan sering terjadinya gempa
bumi terutama pada zona subduksi.
Pada tanggal 26 Desember 2004 di sebelah barat Aceh terjadi gempa
dengan magnitude gempa 9,3 SR yang menyebabkan gelombang Tsunami dan
tanggal 28 Maret 2005 dengan magnitude gempa 8,7 SR di Pulau Simeulue.
Kedua gempa merupakan gempa terbesar selama 40 tahun terakhir. Setelah gempa
tersebut sering sekali terjadi gempa susulan (aftershock). Hal ini disebabkan
belum
terlepasnya
semua
energi.
Gempa
susulan
merupakan
tahapan
pengembalian ke bentuk setimbang. Berikut ini adalah peta episenter mainshock
dan aftershock setelah 13 minggu setelah gempa Aceh.
1
2
Gambar 1.1 Peta Episenter Pasca Gempa Aceh
Selain itu Kedua gempa tersebut menyebabkan rekahan (rupture) sepanjang 1300
km.
Gambar 1.2 Peta Rekahan Pasca Gempa Aceh (Ishii, et al, 2005)
3
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan
lembaga lain seperti: Bundesantalt fűr Geowissenchhaten und Rohstoffe (BGR),
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Geologi
Kelautan
(P3GL),
RF
Forschungsschiifahrt GmbH, Research center for Maritime Territories and NoLiving Resource (BRKP-DKP), British Geological Survey (BGS), Institute of
Oceanology, Russian Academy of Sciences (IO-RAS), Japan Agency for marineEarth Science and Technology (JAMSTEC) dan Dinas Hidro Oseanografi TNIAL melakukan penyelidikan akibat dari gempa tersebut dengan melakukan survei
seismik 2D pada tahun tanggal 21 Januari-25 Februari tahun 2006. Penelitian
tersebut bertujuan untuk menentukan mekanisme terjadinya gempa yang
menyebabkan tsunami dan mengidentifikasikan perbedaan gempa pada tanggal 26
Desember 2004 dan 28 Maret 2005.
Seismik refleksi 2D merupakan metode yang biasa digunakan untuk
keperluan eksplorasi minyak bumi. Selain untuk keperluan mengidentifikasi
jebakan minyak, metode ini juga dapat digunakan untuk pemetaan bawah
permukaan.
Penulis tertarik menggunakan metode seismik refleksi 2D untuk meneliti
deformasi fisik berupa patahan akibat dari pergerakan lempeng. Data yang
digunakan merupakan data milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) berupa rekaman seismik 2D. Line yang dipilih adalah Line 102. Line 102
berada di lepas pantai Barat Sumatera, tepatnya pada 4o 09’664’’ LU, 92o
4
44’620’’ BB sampai ke 2o 36’593’’ LU, 91o 10’691’’ BB dengan panjang lintasan
244.57 km.
Line 102 termasuk bagian dari lempeng Indo-Australia yang menunjam
terhadap lempeng Eurasia. Kecepatan pergerakan lempeng Indo-Australia yang
mencapai 7 cm/tahun termasuk tinggi. Akibat dari penunjaman tersebut
menyebabkan sering terjadinya gempa. Sehingga diperkirakan terbentuk patahan
akibat dari pergerakan lempeng terutama pada lapisan sedimen. Patahan terbentuk
ketika lapisan batuan mendapatkan stress yang melewati batas elastisitas batuan.
Pelepasan energi tersebutlah yang menyebabkan gempa.
Gambar 1.3 Peta Survei Seismik 2006 (Seacause Report- BPPT, 2006)
5
1.2 Pembatasan Masalah
Adapun batasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pengolahan data dilakukan pada raw data Line 102.
2. Interpretasi patahan dilakukan pada
penampang seismik yang sudah
dimigrasi dengan metode Kirchoff Migration.
3. Interpretasi patahan lebih ditekankan pada bidang seismik.
4. Pengolahan data seismik menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan Paradigm
Geodepth 8.2.
5. Patahan yang sudah teridentifikasi tidak dikaitkan dengan gempa Aceh
2004 karena tidak ada referensi data seismik Line 102 sebelum gempa
Aceh 2004 sebagai data pembanding.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Parameter migrasi apakah yang menghasilkan penampang seismik terbaik
pada line 102?
2. Bagaimana mengidentifikasi bentuk patahan pada penampang seismik?
3. Bagaimana menginterpretasi patahan pada penampang seismik?
1.4 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian adalah:
1. Menghasilkan penampang seismik terbaik untuk dapat diinterpretasi.
2. Mengidentifikasi patahan pada penampang seismik.
6
3. Menginterpretasi patahan sebagai deformasi fisik pada lapisan sedimen
akibat aktivitas pergerakan lempeng.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
patahan (fault) pada lapisan batuan sedimen yang disebabkan oleh pergerakan
lempeng dan gaya endogen dari inti bumi seperti intrusi magma. Patahan yang
teridentifikasi pada lapisan tersebut dapat menjadi tolok ukur pengukuran dan
perbandingan perubahan lapisan batuan serta dapat digunakan sebagai informasi
awal untuk antisipasi gempa yang disebabkan oleh patahan di masa yang akan
datang.
1.6 Sistematika Penulisan
BAB I
: Pendahuluan
Bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah,
pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
BAB II
: Landasan Teori
Bab ini terdiri dari gelombang seismik, pemantulan gelombang,
sedimentasi, patahan, pengolahan data seismik 2D, noise dalam
seismik, dan multiple.
7
BAB III
: Metode Penelitian
Bab ini terdiri dari waktu dan tempat penelitian, peralatan dan
bahan, peralatan dan parameter akuisisi data, dan prosedur
pengolahan sesimik.
BAB IV
: Hasil dan Pembahasan
Bab ini terdiri dari pengolahan data, Analisa Lanjut, dan
Interpretasi Patahan
BAB V
: Penutup
Bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran.
8
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Gelombang Seismik
Gelombang seismik adalah gelombang mekanis yang muncul akibat
adanya gempa bumi. Sedangkan arti gelombang secara umum adalah fenomena
perambatan gangguan (usikan) \dalam medium sekitarnya. Gangguan ini mulamula terjadi secara lokal yang menyebabkan terjadinya osilasi (pergeseran)
kedudukan partikel-partikel medium, osilasi tekanan maupun osilasi rapat massa.
Karena gangguan merambat dari suatu tempat ke tempat lain, berarti ada
transportasi energi.
Gelombang seismik disebut juga gelombang elastik karena osilasi partikelpartikel medium terjadi akibat interaksi antara gaya gangguan (gradien stress)
malawan gaya-gaya elastik. Dari interaksi ini muncul gelombang longitudinal,
gelombang transversal dan kombinasi di antara keduanya. Apabila medium hanya
memunculkan gelombang longitudinal saja (misalnya di dalam fluida) maka
dalam kondisi ini gelombang seismik sering dianggap sebagai gelombang akustik
2.2 Pemantulan Gelombang
2.2.1 Hukum Snellius
Hukum Snellius yang menyatakan apabila ada sinar datang dari
medium 1 ke medium 2 maka pada bidang batas lapisan sinar tersebut sebagian
akan direfleksikan (dipantulkan), sebagian akan ditransmisikan (diteruskan),
8
9
dan sebagian akan direfraksikan (dibiaskan). V1 dan V2 masing-masing
kecepatan sinar (gelombang) pada medium 1 dan medium 2
Gambar 2.1 Hukum Snellius
Berdasarkan pada prinsip inilah metoda seismik refleksi digunakan
untuk
eksplorasi
bawah
permukaan
bumi.
Caranya
adalah
dengan
menggunakan energi yang menghasilkan gelombang suara yang dipancarkan
ke dalam bumi.
Gelombang ini menjalar melalui media air dan berbagai lapisan sedimen
maupun batuan dan dipantulkan apabila menemui bidang batas lapisan yang
dibedakan oleh impedansi akustik (Vρ). Impedansi akustik merupakan
perkalian antara kecepatan gelombang seismik pada masing-masing lapisan
dengan rapat masa media yang dilalui gelombang tersebut. Respon dari
gelombang pantul ini diterima oleh peralatan (receiver) yang diletakan di atas
atau dekat dengan permukaan bumi dan direkam untuk perhitungan dalam
pengolahan data. (Neonet-BPPT, 2010)
10
Gambar 2.2 Penjalaran Gelombang Seismic
Gambar 2.2 menunjukkan bahwa gelombang seismik menjalar dari Shot
ke Receiver setelah dipantulkan pada bidang batas (reflector). RC adalah
koefisien Refleksi, sedangkan Vρ adalah impedansi akustik.
Data yang direkam dari satu tembakan (shot) penghasil gelombang
suara sampai diterima oleh receiver disebut sebagai seismic trace, dan direkam
sebagai fungsi waktu.
Gambar 2.3. Seismic trace
Gambar 2.3 Menggambarkan waktu tempuh gelombang pada masingmasing reflektor dalam TWT. Waktu ini merupakan waktu yang dibutuhkan
oleh gelombang seismik yang menjalar di dalam bumi, direfleksikan dan
kembali ke permukaan disebut sebagai Two Way Travel Time (TWT). TWT ini
11
biasanya berada dalam satuan detik atau milidetik. Tampilan dari deretan
seismic trace ini disebut sebagai seismic section atau seismic profile yang
menggambarkan struktur perlapisan bawah permukaan bumi.
Waktu tempuh (t) dapat dirumuskan sebagai berikut:
√
……………………………………….(2.1)
Pada kasus normal incidence (zero offset) waktu tempuhnya adalah:
……………………………………………….(2.2)
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa hubungan antara waktu tempuh dan
offset menggambarkan kurva hiperbola. Dalam kenyataannya bumi berlapis banyak,
dengan ketebalan dan kecepatan berbeda untuk setiap lapisan. Untuk suatu reflektor
pada model banyak lapisan tersebut waktu tempuhnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
…………………………(2.3)
Dimana e1 adalah fungsi dari ketebalan dan kecepatan dari n lapisan tersebut
(umumnya kecil). Vrms adalah kecepatan akar kuadrat rata-rata (root mean square)
sepanjang sepanjang trajektori zero offset yang didefinisikan sebagai:
∑
………………………………….………….(2.4)
Dimana Vk dan tk adalah kecepatan interval dan waktu tempuh bulak balik (two
way time, TWT) pada lapisan ke-k (Toner and Koehler, 1969). Dalam analisis
data seismik, biasanya persamaan didekati dengan :
………………..……………………………….(2.5)
12
dimana to sedikit berbeda dengan t0 dan v adalah kecepatan stacking yang
sedikit berbeda dengan Vrms. Pada kasus reflektor miring dengan kecepatan
konstan dapat diperlihatkan (Levin, 1991) bahwa:
………………..……………………….(2.6)
dimana α adalah kemiringan reflektor sepanjang profil
Gambar 2.4 Geometri Seismik Refleksi Single Channel
Seismik refleksi dibagi menjadi dua yaitu seismik refleksi saluran
tunggal (single channel) seperti ditunjukkan dalam gambar 2.4 dan seismik
refleksi multichannel dalam Gambar 2.5. Perbedaannya adalah pada seismik
refleksi single channel, satu titik refleksi hanya diliput satu kali sedangkan
pada seismik refleksi multichannel satu titik refleksi diliput berkali-kali
tergantung jumlah channel yang digunakan. Sehingga hasil yang diperoleh dari
metoda seismik refleksi multichannel tentunya jauh lebih akurat. (NeonetBPPT, 2010)
13
Gambar 2.5 Geometri Seismik Refleksi Multichannel
2.2.2 Prinsip Huygens
Huygens Principle (Prinsip Huygens) menyatakan bahwa setiap titik-titik
pengganggu yang berada didepan muka gelombang utama akan menjadi sumber
bagi terbentuknya deretan gelombang yang baru.
Gambar 2.6 Prinsip Huygen
Jumlah energi total deretan gelombang baru tersebut sama dengan energi
utama. Di dalam eksplorasi seismik titik-titik diatas dapat berupa patahan,rekahan,
pembajian, antiklin, dan lain-lain. Sedangkan deretan gelombang baru berupa
gelombang difraksi.
14
2.2.3 Prinsip Fermat
Prinsip Fermat menyatakan bahwa jika sebuah gelombang merambat dari
satu titik ke titik yang lain maka gelombang tersebut akan memilih jejak yang
tercepat. Adapun rumusan prinsip fermat sebagai berikut:
Gambar 2.7 Prinsip Fremat
Panjang gelombang L dari A ke B adalah:
√
√
√
√
√
√
...................................... (2.7)
hal ini menunjukan bahwa
.................................................................... (2.8)
2.3 Sedimentasi
Lapisan sediman pada cekungan terbentuk jutaan tahun lalu dari
perpindahan materi yang tererosi, perubahan kimia pada batuan dan materi
organik di laut. Dalam jangka waktu yang lama, materi-materi tersebut
mengendap dan membentuk lapisan. Sedimen terkumpul di dasar laut dan akibat
dari beban lapisan itu menyebabkan subsiden (amblas). Material yang berbeda
15
terkumpul dalam waktu yang berbeda sehingga terbentuk lapisan-lapisan yang
berbeda dalam cekungan tersebut
Gambar 2.8 Proses Terjadinya Pengendapan
Aktivitas vulkanik dan pergerakan lempeng menyebabkan patahan pada lapisan.
Gaya ini juga dapat merotasi lapisan tersebut sehingga membentuk pegunungan
baru.
Gambar 2.9 Patahan Pada Lapisan Sedimen
16
Erosi dapat lapisan yang teratas dan tambahan lapisan paling rendah yang belum
terbentuk akan terisi oleh air laut.
Gambar 2.10 Erosi Pada Lapisan Sedimen
Kemudian terjadi pengendapan atau sedimentasi pada lapisan atasnya yang
menyebabkan ketidakseragaman lapisan di bawahnya.
Gambar 2.11 Penambahan Lapisan Sedimen
17
Akibat pergerakan lempeng terjadilah pelipatan dan distorsi pada cekungan
Gambar 2.12 Proses Pelipatan Akibat Pergerakan Lempeng
(Robertson, 1998)
2.4 Patahan
Patahan adalah gejala retaknya kulit bumi akibat pengaruh tenaga horizontal
dan tenaga vertikal. Di daerah pertemuan lempeng akan timbul suatu tegangan yang
diakibatkan oleh tumbukan dan geseran antar lempeng serta sifat-sifat elastik batuan.
Tegangan pada batuan akan terkumpul terus menerus sehingga sesuai dengan
karakteristik batuan yang akan sampai pada titik patah, dimana pada saat tersebut
energy yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan, pada waktu
itulah gempa bumi terjadi. Daerah retakan seringkali mempunyai bagian-bagian yang
terangkat atau tenggelam. Jadi, selalu mengalami perubahan dari keadaan semula,
kadang bergeser dengan arah mendatar, bahkan mungkin setelah terjadi retakan,
bagian-bagiannya tetap berada di tempatnya. (Gunawan Ibrahim, 2001)
18
Berdasarkan gerakan atau pergeseran kulit bumi terdapat tiga macam
sesar (Mulfinger & Snyder, 1979), yaitu:
a. Dip slip fault, yaitu sesar yang tergeser arahnya vertikal (sesar vertikal),
sehingga salah satu dari blok terangkat dan membentuk bidang patahan.
b. Strike slip fault, yaitu sesar yang pergeserannya ke arah horisontal (sesar
mendatar), sehingga hasil dari aktivitas ini kadangkala dicirikan oleh
kenampakan aliran air sungai yang membelok patah-patah.
c. Oblique slip fault, yaitu sesar yang pergeseran vertikal sama dengan
pergeseran mendatar, yang sering disebut sesar miring (oblique).
Pergeseran kulit bumi pada tipe ini membentuk celah yang memanjang,
kalau terjadi di dasar laut/samudera terbentuk palung laut, dan bila di
daratan bisa berupa ngarai.
Strike slip fault
Gambar 2.13 Bentuk dan Jenis Sesar
Dip slip fault dapat dibagi lagi menjadi dua bagian berdasarkan bagian
yang tergeser, (Lobeck , 1939) yaitu:
a. Kalau batuan yang terletak di atas bidang sesar yang relatif turun, maka
disebut sesar turun, normal atau gravity fault.
19
b. Kalau batuan yang terletak di atas bidang sesar yang relatif naik, maka
dinamakan sesar naik atau thrust fault. Sesar naik digolongkan pula
menjadi dua bagian, yaitu: Reverse fault, kalau bidang sesarnya
mempunyai kemiringan lebih dari 45o dan Thrust fault atau kelopak, jika
kemiringan bidang sesar kurang daru 45o.
Strike slip fault disebut juga lateral fault yang terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu:
a. Dextral atau right lateral fault adalah sesar yang bergerak relatif ke kanan.
b. Sinistral atau left lateral fault merupakan pergerakan sesar yang relatif ke
kiri
Guna lebih mudah mengingat mengenai pembagian fault atau patahan
berikut ini disajikan dalam bentuk sistematis tentang fault tersebut (Sudardja dan
Akub, 1977) dengan modifikasi.
Gambar 2.14 Klasifikasi Patahan
20
Lobeck (1939) mengemukakan ada beberapa jenis struktur patahan, yaitu:
a. Patahan Normal (normal fault)
b. Patahan bertingkat (step fault)
c. Patahan terserpih (fault splinter)
d. Patahan membalik (reverse fault)
e. Patahan kelopak (thrust fault)
f. Patahan kelopak majemuk (multi thrust fault)
g. Patahan mendatar (foult with horizontal movement)
h. Patahan lipatan (fault passing in to a fold).
Gambar 2.15 Jenis Patahan
21
2.5 Pengolahan Data Seismik Refleksi 2D
2.5.1 Field Tape
Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format
tertentu yang dikenal sebagai field tape. Standardisasi format ini dilakukan
oleh SEG (Society of Exploration Geophysics). Magnetik tape yang digunakan
biasanya adalah sembilan track tape dengan format: SEG-A, SEG-B, SEG-C,
SEG-D dan SEG-Y. Format data terdiri dari header dan amplitudo. Header
berisi informasi mengenai survei, project dan parameter yang digunakan dan
informasi mengenai data itu sendiri. Perekaman data dilakukan dalam bentuk
diskrit dengan data analog yang sudah disampel pada interval tertentu, lalu
disimpan dalam pita magnetik. Multiplex adalah salah satu format
penyimpanan data dalam tape dengan data yang tersusun berdasarkan urutan
pencuplikan dari gabungan beberapa channel.
Akuisi dan pengolahan data metoda Common Reflection Point pertama
kali diperkenalkan oleh Mayne (1962). Aplikasi pertamanya digunakan untuk
pengolahan data dengan
menggunakan redundancy atau perulangan data
seismik. Dengan penjumlahan konstruktif dari inkoheren noise, rasio sinyal
terhadap noise dapat ditingkatkan. Model kecepatan untuk melakukan stacking
ini didapatkan dari data CMP gather.
Konsep CMP dan CRP pada dasarnya berbeda. CMP dan CRP akan
bermakna sama pada kasus lapisan horizontal. Sedangkan pada kasus lapisan
miring kedua konsep ini berbeda. Dalam tulisan ini konsep yang dipergunakan
adalah konsep CMP, dimana CMP gather diurutkan dari data yang berbeda
22
pada titik tengah source dan receiver. Dengan terminologi ini, CMP gather
tidak dapat diasosiasikan dengan titik reflector di bawah permukaan.
Pada akuisisi data seismik 2D, source dan receiver ditempatkan dalam
satu garis lurus. CMP merupakan posisi yang didefinisikan sebagai titik tengah
antara source dan receiver. Posisi midpoint Xm di lintasan seismik ihitung dari
posisi xs dan receiver xg dengan persamaan:
.......................................................... (2.9)
Pasangan sorce dan receiver dari posisi CMP yang sama dikumpulkna
dalam satu CMP Gather, jarak antara source dan receiver disebut offset. Titik
tengah antara jarak tersebut didapat dari persamaan:
............................................................ (2.10)
Pada medium dengan lapisan horizontal dan kecepatan konstan, CMP
Gather merupakan kumpulan ray yang berasal dari satu titik reflector. Ray
dikumpulkan dalam satu CMP gather seperti yang diilustrasikan gambar
berikut.
Gambar 2.16 CDP Gather
Gambar di atas memperlihatkan data diurutkan dalam CMP gather
sehingga CMP mengandung data yang berulang dari beberapa pasangan source
23
dan receiver. Hal ini merupakan dasar proses stack selama data yang berulang
itu mengandung informasi dari satu titik refleksi yang sama untuk selanjutnya
dijumlahkan secara konstruktif sehingga didapatkan data dari satu titik refleksi
dengan kualitas rasio sinyal terhadap noise yang lebih baik.
2.5.2 Geometri
Pembangunan model geometri perlu dilakukan untuk memberikan
konfigurasi dan label pada header data seismik yang dimiliki sehingga dapat
memudahkan dalam processing data, seperti dalam sorting data. Sorting data
sangat penting peranannya dalam processing data, karena untuk beberapa
process, data harus disorting dalam parameter tertentu. Oleh sebab itu,
parameter pembangun geometri haruslah sesuai dengan data yang dimiliki agar
data yang digunakan dalam processing tidak keliru.
2.5.3 Filtering
Filtering adalah suatu proses pemilihan frekuensi yang dikehendaki dan
membuang frekuensi yang tidak dikehendaki dari data seismik. Terdapat
beberapa macam filtering antara lain : band pass, low pass (high cut), dan high
pass (low cut). Dalam pengolahan data seismik, filter band pass lebih umum
digunakan karena pada umumnya gelombang seismik akan terkontaminasi
noise frekuensi rendah (seperti ground roll) dan noise frekuensi tinggi
(ambinent noise). Berikut macam-macam filtering baik dalam time domain
maupun frequency domain.
24
Gambar 2.17 Filtering
2.5.4 Edit dan Mute
Edit adalah untuk menghilangkan trace yang menyimpang pada saat
akuisisi data. Mute adalah proses pemotongan sebagian data rekaman seismik
yang dianggap sebagai noise (ground roll. direct wave, air blast, dll).
2.5.5 True Amplitudo Recovery
True Amplitudo Recovery atau Real Amplitudo Recovery adalah upaya
untuk memperoleh amplitudo gelombang seismik yang seharusnya dimiliki.
Saat perekaman, variasi amplitudo terjadi akibat geometrical spreading,
atenuasi, variasi jarak sumber-penerima dan noise.
Variasi amplitudo di atas terbagi menjadi empat kategori:
1.
Variasi amplitudo secara vertikal atau travel-time dependent. Variasi ini
terjadi akibat geometrical spreading dan atenuasi.
25
2.
Variasi lateral yang terjadi akibat: geologi bawah permukaan, efek
coupling sumber dan penerima, serta perbedaan jarak sumber-penerima.
3.
Variasi amplitudo yang muncul karena noise
4.
Bad shots atau perekam yang mati/rusak.
2.5.6 Velocity Analisys
Analisa kecepatan sangat erat hubungannya dengan koreksi NMO.
Koreksi NMO dilakukan dengan menggunakan kecepatan NMO hasil dari
analisa kecepatan yang dilakukan pada CMP gather. Analisa kecepatan
dilakukan dengan analisa koherensi dari tes hyperbola yang dikorelasikan
dengan data pengukuran. Pada umumnya analisa kecepatan dilakukan secara
interventif dengan memilih pasangan waktu zero offet dan kecepatan NMO
yang memiliki koherensi paling tinggi. Berikut ilustrasi analisa kecepatan.
Semblance teringgi
Gambar 2.18 Analisis Koherensi Semblance
2.5.7 Stacking
Stacking trace merupakan tahapan pengolahan data seismik dimana
seluruh data trace seismik dikoreksi NMO kemudian di-stack (stacking).
26
Dalam proses stacking trace kecepatan yang digunakan ialah kecepatan stack.
Kecepatan stacking dapat diperoleh dari hasil analisis kecepatan sebelumnya
dengan melihat amplitudo stack yang paling optimum. Kecepatan ini seringkali
disebut juga kecepatan NMO saja. Untuk jarak offset yang kecil, kecepatan
stacking sama dengan kecepatan RMS.
Gambar 2.19 Ilustrasi Stacking
2.5.8 Migrasi
Migrasi merupakan proses pada pengolahan data seismik yang bertujuan
untuk memindahkan reflektor miring ke posisi yang sebenarnya pada
penampang seismik. Migrasi dapat dipandang suatu proses yang dapat
meningkatkan resolusi spasial penampang seismik. Posisi data seismik hasil
proses stacking belum berada posisi yang sebenarnya. Migrasi juga dapat
menghilangkan efek difraksi yang masih tersisa. Proses migrasi berada dalam
kawasan offset dan waktu.
27
Gambar 2.20 Ilustrasi Migrasi (Paul C.H. Veeken, 2007)
Metode migrasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode
penjumlahan Kirchoff (Kirchoff Summation). Migrasi ini dilakukan setelah proses
stack. Kecepatan yang digunakan adalah kecepatan stack. Keuntungan metode ini
dapat meresolusi struktur dengan kemiringan yang curam, Kelemahannya adalah
tidak bisa dilakukan pada data dengan ratio sinyal-noise yang rendah atau data
yang buruk.
Gambar 2.21 Kirchoff Migration Principle (Paul C.H. Veeken, 2007)
28
2.6 Noise Dalam Seismik
Noise tidak dapat dipisahkan dari pengambilan data geofisika lapangan
termasuk metode seismik. Dalam seismik noise dibagi menjadi dua yaitu
coherrent noise dan ambient noise. Seluruh noise tidak akan pernah dapat
dieliminasi dalam pengolahan data seismik. Tetapi, merujuk pada objektifitas dari
data prosesing adalah menambah rasio Signal to Noise (S/N) sebaik-baiknya.
Contoh-contoh yang akan dilampirkan berikut ini akan menolong mengenai
pemahaman tersebut.
Table 2.1
Coherren Noise dan Ambient Noise
Coherrent Noise
Ground Roll
Gelombang langsung
Reverberasi
Noise dari kapal
Difraksi dari Rig
Jalur tiang listrik
Ambient Noise
Peralatan Perekaman
Sambungan Geophone yang buruk
Spike
Cuaca/Angin
Noise dari well
Kendaraan bermotor
Binatang-binatang
Karakteristik coherrent noise biasanya berbasis trace per trace
membentuk suatu keteraturan. Difraksi akibat dari rig, contohnya, dapat dilihat
pada tiap trace dan memungkinkan untuk memprediksi bagaimana noise tersebut
hadir dalam trace berikutnya. Ambient noise, dengan kata lain, bersifat acak dan
tidak terprediksi. Maka di sini terdapat perbedaan cara pengolahan untuk dua
kelas noise tersebut. Perangkat ini akan didiskusikan dalam dua subbab berikut
ini. Salah satu perangkat untuk mengurangi ambient noise dalam data seismik
29
adalah dengan stacking. Stacking merupakan salah satu perangkat yang paling
efektif untuk menghilangkan random noise.
2.7 Multiple
Multiple adalah pengulangan refleksi akibat ’terperangkapnya’ gelombang
seismik dalam air laut atau terperangkap dalam lapisan batuan lunak.
Dalam rekaman seismik, masing-masing multiple akan menunjukkan “morfologi“
reflektor yang sama dengan reflektor primernya akan tetapi waktunya berbeda.
2.7.1 Klasifikasi Multiple Berdasarkan Lintasan
Berdasarkan lintasannya, multiple dapat diklasifikasikan menjadi 2, yaitu
multiple lintasan pendek (short-path multiple) dan multiple lintasan panjang (long
path multiple).
a. Multiple Lintasan Pendek (short-path multiple)
Multiple lintasan pendek merupakan multiple yang memiliki beda
waktu tempuh yang kecil dengan waktu tempuh pantulan primer, karena
multiple ini terjadi pada suatu lapisan yang tidak terlalu tebal. Multiple ini
sering kali berinterferensi dengan pantulan primer sehingga dapat merubah
bentuk gelombang tersebut.
a. Ghost
Ghost diakibatkan oleh bidang batas air dan udara yang
memiliki koefisien refleksi mendekati -1. hal ini berarti bahwa
hampir semua energi yang bergerak ke atas (up going energi) akan
direfleksikan kembali ke bawah.
30
b. Near Surface Multiple
Near Surface Multiple tidak dapat dipengaruhi oleh teknik
lapangan. lintasan multiple ini mengalami penambahan pemantulan
pada lapisan permukaan terdekat dari sumber atau penerima.
c. Intrabed Multiple dan Peg-Leg Multiple
Intrabed Multiple dan Peg-Leg Multiple melibatkan satu
lapisan batuan, seringkali terjadi antara dua lapisan yang berbeda tipe
akustiknya. ketebalan dan impedansi akustik dari lapisan menentukan
bagimana multiple mempengaruhi pantulan primer.
d. Reverberasi
Reverberasi merupakan multiple lintasan pendek yang
terjadi secara berulang, sering disebut dengan multiple water bottom.
b. Multiple Lintasan Panjang (Long-Parth Multiple)
a. Peg-leg Multiple
Peg-leg multiple disebabkan oleh refleksi berulang baik
lintasan yang bergerak ke bawah (down-going path) maupun lintasan
yang naik ke atas (up-going path).
b.
Intrabed Multiple
Intrabed Multiple disebabkan atau terjadi antara 2 pemantul
batas atas dan batas bawah dari lapisan batuan tunggal
c.
Interbed Multiple
Interbed Multiple terjadi anatar 2 pemantul yang terpisahkan
oleh satu atau lebih pemantul lainnya. Multiple ini melibatkan satu
atau lebih lapisan batuan.
31
Gambar 2.21 Ilustrsi Multiple
2.7.2 Multiple Supression
Teknik multiple suppression berdasarkan salah satu dari karakteristik
multiple, (Yilmaz, 2001) yaitu:
1. Perbedaan moveout antara gelombang primer dan multiple (velocity
discrimination).
2. Perbedaan dip antara gelombang primer dan multiple pada CMP Stack
3. Perbedaan frekuensi antara gelombang primer dan multiple.
4. Periode multiple
32
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian identifikasi rekahan pada lapisan sedimen di Barat Sumatera
menggunakan data sekunder yang dimiliki oleh Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Pengolahan dan interpretasi data sekunder ini dilakukan di
Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) dan Nusantara Earth Observation
Network (NeoNet) BPPT, Jakarta pada bulan September 2009 sampai bulan Juni
2010.
3.2 Peralatan dan Data Penunjang
Penelitian ini menggunakan data sekunder sehingga peralatan yang
digunakan adalah seperangkat komputer dengan OS Linux Ubuntu dengan Focus
5.4. dan Paradigm Geodepth 8.2
3.3 Peralatan dan Parameter Akuisisi Data
3.3.1 Peralatan
Adapun peralatan yang digunakan di lapangan sebagai berikut:
a. Vessel
e. GPS
b. Streamer
f. Bird
c. Air gun
g.
d. Perlengkapan navigasi
32
Perangkat komputer
33
3.3.2 Parameter Akuisisi Data
a. Recording Parameters
Parameter perekaman data yang digunakan adalah:
1) Recording System
: Sercel Seal
2) Number of Traces
: 240 ms
3) Record Length
: 14000 ms
4) Sample rate
: 2ms
5) Analog Lo-Cut
: 3 Hz @ 6db/Octave
6) Digital Lo-Cut
: 3 Hz
7) Hi-Cut
: 200 Hz @ 370 dB/octave
Linear Phase
8) Start of record
: -50 ms 9100 ms prior to FTB)
9) Digital Filter Delay
: None
10) Fluid Sections (ALSI)
: 17.4 V/bar Nominal Sensitivity
11) Recording Media
: IBM359 / 256 tracks
12) Tape Format
: SEGD 8058 rev 2 32 bits IEEE
13) Tape Blocking
: Disable
b. Streamer
1) Length
: 3000
2) Depth
: 9m+ 1m
3) Shotpoint interval
: 50
4) Group interval
: 12.5 m
34
c. Source Parameters
1) SOL volume
: 640 Cu in
2) EOL volume
: 600 Cu in
3) Depth
: 6m
4) Pressure
: 2100 psi
5) Source to first Near
: 150 m
Hydrophone
3.4. Prosedur Pengolahan Data
Prosedur Pengolahan data seismik menggunakan aplikasi Focus 5.4 dan
Paradigm Geodepth 8.2 . Pada proses pengolahan data ini akan terbagi menjadi 3
tahap pengolahan data yang berbeda.
Pengolahan data 1, proses input data hingga picking velocity menggunakan
program focus 5.4. Interval CDP yang digunakan untuk picking adalah 1000.
Sedangkan migrasi menggunakan program Paradigm Geodepth 8.2 dengan nilai
aperture 300 CDP atau 1200 meter.
Pengolahan data 2, proses input data hingga stacking menggunakan
program focus 5.4. Sedangkan picking velocity dan migrasi menggunakan
program Paradigm Geodepth. 8.2. Interval CDP yang digunakan untuk picking
adalah 100 CDP dan nilai aperture untuk migrasi adalah 1000 CDP atau 6500
meter.
Pengolahan data 3, proses pengolahan data sama dengan pengolahan data
2 dengan Interval CDP yang digunakan untuk picking adalah 100 CDP. Namun
nilai aperture untuk migrasi adalah 1920 CDP atau 12000 meter.
35
Adapun alur pengolahan data dapat dilihat pada bagan berikut:
INPUT DATA
GEOMETRI
SORT and PROFILE
FILTER
VELOCITY ANALISIS
NMO CORRECTION
STACKING
MIGRASI
3.4.1 Geometri
Geometri pada dasarnya berusaha mencocokan antara file number
(terdapat di observer report) dengan data seismik yang direkam dalam 1 shot
(dalam pita magnetic atau media penyimpanan yang lain). Koreksi akibat
geometri dilakukan untuk mendapatkan informasi lengkap tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan dimensi fisik survei lapangan, pada dasarnya adalah
berupa penentuan posisi tiap-tiap trace dan titik tembak antara satu dengan yang
lain.
36
Dengan melakukan koreksi geometri diharapkan mendapatkan informasi
yang benar tentang geometri daerah survei. Sehingga apabila kita memakai data
CDP akan berasal dari titik refleksi yang sama. Parameter yang diisi dalam
geometri aplikasi Focus adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Parameter Geometri
Parameter
Sample rate
Record length
Jumlah
2 ms
14000 s
Jumlah shot
4900
Shot interval
50
Interval Hidrophone
No hidrophone terdekat
Jarak hidrophone terdekat dengan sumber
Jumlah hidrophone
12.5
1
150 m
240
38
Kemudian membuat output dengan nama 102
Gambar 3.3 Label Output Raw Data
3.4.3 Profile dan Sort
Setelah input data selesai, kemudian dari data tersebut dibuat profil dan
sort. Sort merupakan flow untuk menentukan header entry suatu data.
39
Gambar 3.4 Profile and Short
3.4.4 Filter
Data yang terekam biasanya mengandung noise. Noise bisa mengganggu
dan perlu ditekan keberadannya. Berikut adalah data sebelum difilter.
Gambar 3.5 Data Sebelum Difilter (Header Shot)
40
Gambar 3.6 Data Sebelum Difilter (Header CDP)
Dari kedua gambar di atas menunjukkan bahwa data tersebut sulit untuk
dibaca. Oleh karena itu harus dilakukan filter. Filter yang digunakan adalah filter
banpass.
.
41
Gambar 3.7 Filter
42
3.4.5 Analisa Kecepatan
Setelah melakukan stacking akan dilakukan picking velocity. Informasi
perubahan kecepatan pada tiap lapisan sangatlah penting. Proses ini untuk
mendapatkan kecepatan yang tepat untuk melakukan migrasi. Semakin baik
picking velocity maka akan semakin baik pula penampang seismik yang
dihasilkan. Berikut ini adalah gambar input data untuk melakukan picking.
Gambar 3.8 Input Picking Velocity
Setelah menginput data dari hasil stacking kemudian muncul semblance untuk
dilakukan picking.
43
Gambar 3.9 Proses Picking Pada Semblance Kecepatan
3.4.6 Stacking
Stacking merupakan penjumlahan trace-trace menjadi satu. Input stacking
merupakan data hasil dari filter yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil stacking
mirip atau hampir serupa dengan hasil migrasi. Hanya pada stacking masih
terdapat difraksi yang disebabkan oleh patahan, rekahan atau pembajian.
44
Gambar 3.10 Proses Stacking
45
3.4.7 Migrasi
Setelah melakukan stacking akan diperoleh kecepatan yang akan
digunakan dalam proses migrasi. Proses migrasi merupakan proses untuk
mengembalikan reflektor pada posisi sebenarnya sekaligus menghilangkan efek
difraksi yang disebabkan patahan. Adapun proses migrasi dilakukan dengan
menggunakan aplikasi Paradigm Geodepth 8.2.
Data hasil stack tidak bisa langsung digunakan untuk migrasi karena
diolah dengan program focus 5.4. oleh karena itu data hasil stacking harus
membuat output dalam format *.sgy agar bisa diolah oleh Paradigm Geodepth
8.2.
Gambar 3.11 Proses Eksport Hasil Stacking ke Geodepth
46
Selain data stacking terdapat kecepatan stacking yang harus diimport dari focus
5.4 dengan nama file kecepatan VEL102_D. Setelah format *.sgy terbentuk
kemudian data tersebut bisa diproses oleh Paradigm Geodepth 8.2
Setelah data stacking dan kecepatan stacking diimport, migrasi dapat
diproses. Berikut ini adalah tahap migrasi menggunakan paradigm geodepth 8.2.
pada jendela 3D Tommography & Imaging pilih 2D Kirchoff Pre-stack Time
Migration→P Wave→ Travel Time by Curve Fittingn (2nd or 4th order)
Gambar 3.12 Tahap Migrasi menggunakan Paradigm Geodepth 8.2
Kemudian akan muncul tahap-tahap yang harus diisi, seperti line dan parameter
yang digunakan dalam migrasi. Options yang digunakan dalam tahap migrasi
pertama yang digunakan adalah default dari Paradigm Geodepth 8.2.
48
Gambar 3.14 Output Migrasi
3.4.8 Mute
Mute adalah proses membuang data yang tidak diinginkan. Proses muting
biasanya dilakukan sebelum migrasi. Namun penulis menggunakannya setelah
migrasi untuk menghilangkan efek yang diakibatkan oleh penguatan amplitude.
Muting dilakukan pada hasil migrasi yang sudah final.
49
Gambar 3.15 Proses Muting
50
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengolahan Data
4.1.1 Geometri
Data lapangan 102 mempunyai dua file 2 raw data. Kedua data tersebut
sebenarnya sama, namun memiliki nomor CDP yang berbeda. Raw data
pertama memiliki no CDP 255-39685 sedangkan raw data kedua memilikii no
CDP 9749-49051. Penulis mengolah raw data pertama pada proses pengolahan
awal sebagai perbandingan. Sedangkan raw data kedua digunakan pada tahap
untuk mendapatkan resolusi yang lebih baik dengan parameter yang sama pada
tahap preprocessing namun berbeda pada processing yaitu pada proses
stacking dan migrasi.
Data navigasi line 102 adalah 4o 09’664’’ LU, 92o 44’620’’ BB sampai
ke 2o 36’593’’ LU, 91o 10’691’’ BB dengan arah navigasi 225o atau mengarah
timur laut. Data lapangan 102 merupakan rekaman seismik 2D sehingga
memiliki dua variabel koordinat (x dan y) dengan mengasumsikan kapal
bergerak lurus saat akuisisi dilakukan, maka koordinat source dan receiver
menjadi fungsi satu variabel saja yaitu variabel jarak x, sedangkan variabel y
dianggap konstan.
50
51
Adapun hasil dari geometri sebagai berikut:
Informasi Station
Gambar 4.1 Output Geometri Berdasarkan Station
Gambar 4.1 yang ditunjukkan oleh kursor di atas memberikan informasi
bahwa jumlah station secara keseluruhan adalah 196254, interval station 12 m,
jumlah minimum station 1 dan maksimal station adalah 196254. Nomor station
yang ditunjukkan oleh kursor adalah nomor 74625 dengan koordinat x yaitu
932775. Koordinat y adalah nol karena station dianggap konstan.
52
Informasi Shot
Gambar 4.2 Output Geometri Berdasarkan Shot
Gambar 4.2 memberikan informasi penembakan. Jumlah penembakan
adalah 49000 dimulai dengan nomor 1 hingga 49000. Station penembakan terkecil
253 sedangkan station penembakan terbesar 196249. Nomor penembakan yang
ditunjukkan oleh kursor adalah 13885 pada station penembakan 55789 dengan
koordinat x 697350.
53
Informasi
CDP
Gambar 4.3 Output Geometri Berdasarkan CDP
Gambar 4.3 memberikan informasi geometri berdasarkan CDP. Nomor
terkecil CDP pada line tersebut adalah 1 sedangkan nomor CDP terbesar adalah
392508. Nomor CDP yang ditunjukkan oleh kursor adalah 237787 dengan
koordinat x 1486162.
Informasi kabel
Gambar 4.4 Output Geometri Berdasarkan Kabel
54
Informasi kabel yang ditunjukkan oleh Gambar 4.4 adalah corak
penembakan 1 jenis, yaitu end off. Jumlah jumlah chanel pada kabel tersebut
adalah 240 dengan nomor chanel terdekat dengan source adalah 1. Nomor
penembakan pada kabel yang ditunjukkan oleh kursor adalah 27851 denga station
penembakan 111653.
4.1.2 Filter
Untuk menentukan nilai pada filter bandpass dilakukan dengan cara
melihat frekuensi yang dimiliki oleh data tersebut. Hal tersebut bisa dilakukan
dengan cara analisis spektrum. Penulis mengambil sampel CDP untuk dianalisis
frekuensinya pada CDP 1010
Gambar 4.5 Frekuensi Analisis
Berdasarkan analisis frekuensi Gambar 4.5 penulis memilih parameter
untuk filter banpass adalah frekuensi 15-95 Hz. Frekuensi ini dipilih karena sudah
mewakili frekuensi yang dimiliki oleh data yang diolah. Berikut ini adalah data
yang sudah difilter dengan filter bandpass dengan frekuensi 15-95 Hz.
55
Gambar 4.6 Hasil Filter
4.1.3 Analisa Kecepatan
Setelah picking selesai akan terbentuk suatu daftar kecepatan picking. Dari
kecepatan ini migrasi dapat dilakukan. Hasil picking berupa RMS velocity,
interval velocity, dan average velocity. Berikut adalah hasil picking yang telah
dilakukan
56
Gambar 4.7 Daftar Kecepatan Hasil Picking
Dari daftar di atas akan menghasilkan display kecepatan picking velocity
dan average velocity. Picking velocity dalam program Focus 5.4 dianggap sama
dengan RMS velocity.
Gambar 4.8 Average Velocity
57
Gambar 4.9 RMS Velocity
Gambar 4.10 RMS Velocity
Menggunakan Aplikasi Paradigm Geodepth 8.2
58
4.1.4 Stacking
Gambar 4.11 Hasil Penampang Stacking
59
Pada proses stacking terlihat adanya gelombang difraksi. Berikut ini adalah
sampel difraksi yang diambil pada penampang stacking dengan mode warna
grayscale.
Gambar 4.12 Difraksi
Efek difraksi di atas terjadi karena adanya ketidakmenerusan pada lapisan. Efek
difraksi dapat ditekan dengan cara migrasi.
60
4.1.5 Migrasi
Efek Smile
Patahan
Gambar 4.13 Hasil Migrasi
62
Gambar 4.15 Smile Effect
Gambar di atas menunjukkan adanya Smile Effect yang disebabkan oleh
penentuan nilai aperture yang tidak tepat. Sehingga dengan nilai aperture 300
CDP menyebabkan Smile Effect.
4.2 Analisa Lanjut
Untuk memperbaiki kualitas data akan dilakukan beberapa perubahan
dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Raw data yang diolah adalah raw data kedua. Raw data pertama CDP
255-39685 sedangkan raw data kedua memilikii nomor CDP 9749-49051.
Walaupun nomor CDP berbeda tetapi isi data adalah sama.
2. Parameter filter yang digunakan tetap seperti pengolahan data sebelumnya.
3. Memperbaiki kecepatan stacking. Hal ini dilakukan dengan cara merubah
interval CDP dari 1000 menjadi 100 agar presisi lebih baik. Selain itu
memperhatikan interval velocity agar tidak ada yang negatif.
4. Merubah parameter ketika melakukan migrasi, seperti aperture, filter, dan
koreksi spherical divergen.
63
4.2.1 Stacking Velocity
Dalam proses stacking ini program yang digunakan adalah Paradigm
Geodepth 8.2. kelebihan menggunakan program ini adalah terdapat jendelajendela kontrol picking yang menunjukkan pengolahan yang sedang dilakukan.
Interval CDP yang digunakan adalah 100 CDP atau 650 meter.
Semblance
kecepatan
CMP gather
Garis yang
menunjukkan
posisi picking
Titik picking
Gambar 4.16 Jendela Interaktif Picking Paradigm Geodepth 8.2
64
Gambar di atas menunjukkan bahwa picking yang sedang dilakukan pada CMP
10500. Semblance kecepatan CMP 10500 ditunjukkan oleh jendela Picking
Velocity. Untuk melihat picking yang dilakukan sudah tepat atau belum dapat
dilihat pada jendela QC time gate. Jika amplitude terlihat sejajar maka posisi hasil
picking sudah tepat.
Hasil dari stacking dapat dilihat pada vertical function sebagai berikut:
Gambar 4.17 Vertical Function
65
Hal yang perlu diperhatikan adalah interval velocity. Asumsi yang
digunakan adalah semakin dalam suatu lapisan maka kecepatannya semakin
meningkat. Oleh karena itu penentuan picking tidak boleh ada penurunan
kecepatan kecuali jika ditemukan keberadaan suatu anomali seperti gas.
Kesalahan picking dapat terlihat pada jendela interval velocity dalam bentuk
penurunan grafik kecepatan.
Berikut ini adalah display hasil picking yang telah dilakukan dengan
interval CDP 100 dalam bentuk section.
Gambar 4.18 Stacking Velocity Section
Jika sudah tidak ditemukan adanya dalam penentuan kecepatan stacking maka
proses migrasi selanjutnya dapat dilakukan.
4.2.2 Migrasi
Penulis akan melakukan 2 migrasi yang berbeda dengan ketentuan sebagai
berikut:
66
1. Migrasi 1
Nilai aperture yang digunakan adalah 1000. Option yang dipilih pada
migrasi adalah anti aliasing yang digunakan frequency band dengan
strength 3 (medium). Koreksi amplitude geometrical spreading tidak
dilakukan pada tahap ini.
Gambar 4.19 Options Migrasi 1
2. Migrasi 2
Nilai aperture yang digunakan adalah 1920 CDP atau 12000 meter.
Options yang dipilih pada migrasi adalah anti aliasing yang digunakan
triangular (precise) dengan strength 5 (storng). Koreksi amplitude akibat
geometrical spreading dilakukan pada tahap ini.
Gambar 4.20 Options Migrasi 2
67
Gambar 4.21 Hasil Migrasi 2
Gambar 4.21 merupakan hasil migrasi 2. Secara garis besar hasil dari migrasi 1 dengan hasil migrasi 2 berbeda jika berdasarkan
resolusi yang dihasilkan walaupun patahan dapat terlihat dengan jelas. Namun penulis akan menunjukkan perbedaan yang terjadi
antara penampang stacking, hasil migrasi 1 dan hasil migrasi 2.
71
Dari perbandingan 2 gambar tersebut terlihat perbedaan yang sangat
signifikan. Pada Gambar 4.26 Penampang Migrasi Awal patahan sudah bisa
diidentifikasi namun resolusi yang dihasilkan masih rendah atau penampang
migrasi tersebut masih blur. Sedangkan pada Gambar 4.27 Hasil Migrasi Final
patahan terlihat sangat jelas bahkan yang tidak teridentifikasi pada migrasi awal
dapat diidentifikasi.
4.3 Interpretasi Patahan
Interpretasi patahan dilakukan pada penampang migrasi yang sudah final.
Interpretasi dilakukan dengan cara menarik garis pada patahan tersebut. Patahan
dapat diketahui dengan cara melihat ketidakmenerusan pada penampang seismik.
Selain itu, patahan akan dicirikan dengan terbentuknya foot wall dan hanging
wall. Kemudian akan dilakukan penarikan garis pada seabed dan basement.
Penulis akan menginterpretasi patahan dengan sampel gambar 4.27 Penampang
Migrasi Final.
Hanging wall
Foot wall
ketidaakmenerusan
Gambar 2.2s8 Ketidakmenerusan Pada Penampanng Seismik
72
Gambar 4.29 Interpretasi Patahan
Dengan cara yang sama dilakukan interpretasi patahan secara keseluruhan
pada Line 102. Adapun hasilnya sebagai berikut:
73
Gambar 4.30 Patahan Pada Line 102
74
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Parameter migrasi terbaik yang menghasilkan penampang seismik dengan
resolusi tinggi untuk mengidentifikasi patahan adalah dengan memilih
options anti aliasing yamg digunakan triangular (precise) dengan strength
5 (strong) dan melakukan koreksi geometrical spreading serta penarikan
nilai aperture untuk menghilangkan efek difraksi dengan nilai 1920 CDP
atau 12000 meter.
2. Keberadaan patahan pada penampang seismik dapat diidentifikasi dengan
cara melihat kemenerusan suatu lapisan. Ketidakmenerusan yang ditandai
oleh keberadaan hanging wall dan foot wall menunjukkan suatu patahan.
3. Interpretasi patahan dilakukan dengan cara menarik garis sepanjang
ketidakmenerusan pada lapisan di penampang seismik.
5.2 Saran
Dalam proses pengolahan data ini harus cermat dalam menentukan
parameter seperti filter untuk menghasilkan kualitas penampang seismik yang
baik. Selain itu penentuan kecepatan stacking sangatlah penting karena akan
mempengaruhi hasil migrasi. Penentuan parameter yang telah dilakukan tidaklah
mutlak. Dengan nilai parameter yang berbeda akan menghasilkan penampang
seismik yang berbeda. Hal ini dimaksudkan sebagai pembanding.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Agus. 2007. Ensiklopedi Seismik. Tp.
Bradshaw, A. and Ng, M. 1987. Multiple Attenuation By Parabolic Stack Radon
Transform: Geo-X Systems internal paper.
Dibyosaputro, Suprapto. 1997. Geomorfologi Dasar. Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM.
Giancoli. Douglas C. 2001. Fisika-Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga
Hampson, D, 1986, Inverse Velocity Stacking for Multiple Elimination. Canadian
Journal Of Exploration Geophysics.
Ibrahim, Gunawan, dkk. 2001. Pengetahuan Seismologi. Jakarta: Badan
Meteorologi dan geofisika.
Jusri, Tomi A. 2005. Panduan Pengolahan Data Seismik Menggunakan ProMax.
Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi ITB.
Lobeck. 1939. Geomorphology: An Introduction to the Study of Landscapes. New
York: MgGraw-Hill.
Mayne. 1962. Common Reflection Point Horizontal Data Stacking Techniques.
Geophysic.27, 927-938.
Mulfinger & Snyder. 1979. Earth Science. Greenville, South Carolina: Bob Jones
University
Paul C.H. Veeken. 2007. Seismic Stratigraphy, Basin Analysis And Reservoir
Characterization. France: Elseiver.
Prakoso, Pandhu., 2009, Pengolahan data seismik 2D Line 007 Lapangan X
Mengguakan Software Focus 5.4 dan Geodept 8.2, Fakultas MIPA
Universitas Indonesia, Depok.
Priyono, Awali. 2001, Buku Ajar Seismik Eksplorasi untuk Bidang Ilmu
Kebumia., Bandung: Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas
Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung.
74
75
Rastogi, Richa., Yerneni, Sudhakar., dan Phadke, Suhas. 1997, Aperture Width
Selection Criterion In Kirchhoff Migration. India: Center for
Development of Advanced Computing, Pune University Campus,
Ganesh Khind, Pune 411007.
Sacchi, M. and Ulrych, T. 1995. High-Resolution Velocity Gathers and Offset.
Sudarja, Adiwikarta dan Akub Tisnasomantri. 1977. Geomorfologi Jilid I,
Bandung: IKIP Bandung.
Sukmono, S. 2007. Post And Pre Stack Seismic Inversionfor Hidrocarbon
Reservoir Caracterization. Bandung: Departement Of Geofisical
Engineering ITB.
Sun, Shuang., dan Bancroft, John C., 2001, The Migration Aperture Actually
Contribute To The Migration Result.
Taner, M. T. and Koehler, F. 1969, Velocity spectra - Digital computer derivation
and applications of velocity functions : Geophysics, Soc. of Expl. Geophys
Yilmaz, O. 2001. Seismic Data Analisis, volume I. SEG.
Lampiran 2
SPREADSHEET MODE STATION
Lampiran 3
SPREADSHEET MODE SHOT
Lampiran 4
SPREADSHEET MODE CDP
Lampiran 1
HASIL MIGRASI FINAL
Download