Koreksi Hukum Kewarisan Bilateral menurut Hazairin terhadap

advertisement
Koreksi Hukum Kewarisan Bilateral menurut Hazairin terhadap
Ajaran Hukum Kewarisan Patrilineal Ahlussunnah Waljamaah
Andi Nuzul *
Abstrak
Hukum kewarisan Islam lahir dan berkembang di Timur Tengah menurut
Hazairin dipengaruhi oleh sistem kekeluargaan patrilineal. Implikasi dari sistem
kekeluargaan patrilineal adalah hasil interaksi ahli hukum (ulama) Arab terhadap
lingkungan sosial menghasilkan produk hukum Islam Islam yang diwarnai oleh
budaya masyarakat Arab, atau tampilan hukumnya bercorak patriachat. Dalam
perkembangannya, produk hukum kewarisan Islam yang demikian itu akan
berbenturan jika diterapkan dalam struktur dan susunan masyarakat yang berbeda
(non patriachat).
Benturan terjadi karena tidak dijadikannya sistem kekerabatan yang bersifat
netral yaitu sistem kekerabatan parental sebagai landasan hukum kewarisan Islam
yang kemudian melahirkan sistem hukum kewarisan bilateral. Padahal menurut
Hazairin, al-Qur’an pada Surat an-Nisa' ayat 7, 11 dan 12 telah menunjukan
bahwa sistem hukum kewarisan yang dituju dalam Islam adalah sistem hukum
kewarisan bilateral. Teori Hazairin ini relevan untuk menengahi sistem hukum
kewarisan unilateral bagi masyarakat patrilineal dan masyarakat matrilineal yang
dianggapnya berat sebelah.
Kata kunci: hukum, kewarisan, bilateral, Hazairin, ahlussunnah waljamaah.
A. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri, masalah kewarisan merupakan salah satu
masalah penting dalam kehidupan manusia. Pewarisan timbul karena
adanya tiga hal,1 pertama adanya orang yang meninggal dunia, yang
disebut dengan pewaris (eflater); kedua, adanya harta peninggalan (erfenis),
yang merupakan harta kekayaan si pewaris; dan yang ketiga, adanya orang
yang menerima harta warisan tadi, yang disebut dengan ahli waris
(erfgenaam). Pewarisan berarti adanya perpindahan saham, berupa harta
benda dari pewaris kepada ahli waris.
Indonesia, negeri yang mayoritas penduduknya muslim, namun
memiliki tiga sistem hukum kewarisan yang merupakan hukum positif
*
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Watampone, Sulawesi Selatan.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di Indonesia, Cet. VII, (Bandung: Sumur
Bandung, 1983), p. 14.
1
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
722
dalam masyarakatnya.2 Sistem kewarisan menurut hukum adat juga
berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, yakni ada
sistem kewarisan individual dan ada sistem kewarisan yang kolektif. 3
Pada sistem kewarisan kolektif terbagi dua yaitu sistem kewarisan
kolektif murni dan sistem kewarisan mayorat. Sistim kewarisan individual
dapat ditemui pada masyarakat yang tidak ber-klan seperti masyarakat
Jawa, masyarakat Sulawesi, dan masyarakat Kalimantan, sedangkan sistem
kewarisan kolektif dapat ditemukan pada masyarakat ber-klan misalnya
pada masyarakat Minangkabau, masyarakat Batak, masyarakat Lampung.,
dan masyarakat Ambon.
Sistem hukum kewarisan kedua yang berlaku adalah sistem hukum
kewarisan Islam, dan sistem hukum kewarisan ini muncul seiring
masuknya agama Islam di Indonesia. Sistem hukum kewarisan Islam
merupakan salah satu elemen penting dari syariat Islam, mulai
berkembang dan diterima di Indonesia dengan perantaraan para mubaligh
dan ulama (da’i) yang senantiasa menyebarkan agama Islam. Sistem
hukum kewarisan Islam pun memiliki banyak aliran, yakni ajaran
kewarisan Islam menurut Ahlus Sunnah Waljamaah dan ajaran kewarisan
Islam menurut Syi’ah.
Ajaran kewarisan menurut Ahlus Sunnah Waljamaah terdapat empat
mazhab atau aliran yaitu, mazhab Syafi'i, mazhab Hanafi, mazhab Hanbali,
dan mazhab Maliki4. Untuk di Indonesia, hukum kewarisan Islam yang
paling dominan dianut masyarakat muslim adalah ajaran hukum kewarisan
menurut Ahlus Sunnah Waljama’ah, terutama ajaran hukum kewarisan
dari mazhab Syafi'i.
Bentuk kekerabatan dalam hukum Islam menentukan asas yang
berlaku dalam hukum kewarisan. al-Qur’an maupun Sunnah memang
tidak menjelaskan struktur atau susunan kekerabatan yang dikehendaki
dalam hukum Islam. Namun di satu sisi, dalam realitasnya kita dihadapkan
berbagai macam bentuk susunan kekerabatan, meliputi: patrilineal,
matrilineal, dan bilateral, yang masing-masing memiliki implikasi terhadap
hukum waris Islam.
Beragamnya bentuk kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat,
maka bentuk kekerabatan bagaimana yang sesuai dengan hukum
2
Pertama, Sistem hukum kewarisan Islam; kedua sistem hukum kewarisan adat;
dan ketiga sistem hukum KUHPerdata; Idris Ramulyo, Perbandingan Hukum Kewarisan
Islam,(Edisi Revisi), Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), pp. 1-2; lihat R. Wirjono
Prodjodikoro, Ibid., p. 58.
3 Hilman Hadikusuma, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Cet. I, (Bandung: Mandar
Maju. 1992), pp. 212-213.
4Idris Ramulyo, Perbandingan, p. 1.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
723
kewarisan Islam?. Bagi masyarakat Indonesia sistem bilateral dipandang
lebih cocok, selain lebih mencerminkan keadilan, juga lebih sesuai dengan
semangat al-Qur’an. Hukum kewarisan yang berlaku selama ini adalah
patrilineal, berasal dari kalangan Sunni yang banyak dipengaruhi oleh
kultur Arab, sehingga banyak ditemukan kendala ketika menerapkan pada
kultur yang berbeda, seperti dalam masyarakat Indonesia.
Sistem kewarisan yang ketiga adalah sistem kewarisan menurut
Hukum Perdata Barat, pada sistem hukum kewarisan ini berpedoman
pada Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata semula hanya
berlaku bagi golongan masyarakat Eropa yang bertempat tinggal di
Indonesia dan yang dipersamakan dengan mereka melalui
asas
konkordansi (Concordantie Beginsel) yang dinyatakan dalam Pasal 131 Indische
Staatsregeling (IS) ayat (2) Sub a.5 Pada ketentuan pasal tersebut disebutkan
bahwa terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia dan yang
dipersamakan dengan mereka diberlakukan hukum perdata Eropa.
Namun, pada perkembangan berikutnya dengan melalui ketentuan Pasal
131 IS jo S. 1917 No.129 jo S. 1924 No.556, jo S. 1924 No. 556, dan jo S.
1925 No. 92, maka Hukum Kewarisan menurut KUHPerdata tersebut
berlaku juga bagi golongan:
1) Orang-orang Timur asing Tionghoa.
2) Orang-orang Timur asing bukan Tionghoa, namun hanya untuk
pewarisan berdasarkan testamen, sedangkan pewarisan berdasarkan
Undang-undang (ab-intestato) tidak berlaku6.
3) Bahkan berdasarkan perkembangan lebih lanjut sistem hukum
kewarisan KUHPerdata juga berlaku pada orang-orang pribumi
berdasarkan dengan cara penundukan diri secara sukarela, melalui
peraturan yang dinamakan Regeling op de vrijwillige onderwerping aan het
Europesch privaatrecht sebagaimana yang diatur dalam Staatblad 1917
no.12, kemudian Staatblad ini drubah dengan Staatblad 1926 no. 36.7
Dalam sejarah pertumbuhan hukum kewarisan di Indonesia, sejak
tahun 1950an telah berkembang satu aliran atau ajaran hukum kewarisan
hasil ijtihad Hazairin yang popular dengan sebutan ajaran hukum
kewarisan bilateral8. Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin yang
5
Suriani Ahlan Syarif, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1993), p. 10.
6 Ibid.
7 Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, (Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1997), p. 124 ; lihat Juga Asis Safioedin, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk
Boek, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), p. 9.
8 Idris Ramulyo, Perbandingan, p. 2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
724
menjadi fokus kajian pada penelitian ini, membawa pengaruh dalam
perjalanan pembaruan hukum kewarisan di Indonesia, bahkan turut
mempengaruhi perkembangan jurisprudensi Mahkamah Agung dan
rancangan perundang-undangan di bidang hukum kewarisan nasional
sejak dari tahun 1960, terutama dalm menuju upaya pembentukan hukum
kewarisan nasional.
B. Sifat Sistem Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin
Hazairin yang memiliki gelar kebangsawanan Datuk Pangeran, lahir
di Bukit Tinggi pada 28 November 1906 dan meninggal pada 11
Desember tahun 1975,9 sebagai pencetus bentuk hukum kewarisan
bilateral. Pengetahuan Hazairin dalam hukum adat, dan hukum Islam
begitu mendalam, maka dari itu melalui keahliannya dalam bidang hukum
adat dan hukum Islam inilah, senat guru besar Universitas Indonesia
mengukuhkan dirinya sebagai guru besar hukum adat dan hukum Islam
pada fakultas hukum pada tahun 1952.10 Menurut Hazairin, teori Receptie
yang dicetuskan oleh Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX telah
menjadikan hukum Islam tersingkir oleh hukum adat. Oleh karena itu,
Hazairin tidak segan-segan untuk menyebut teori ini sebagai “Teori Iblis”,
dan sebagai sanggahan atas teori Hurgronje, ia kemudian mengemukakan
satu teori bantahan yang ia namakan teori Receptie Exit, yang kemudian
ditindaklanjuti oleh muridnya, Sajuti Thalib, dengan teori Receptie a
Contrario.11
Pemikirannya tentang hukum kewarisan yang terkenal dengan teori
hukum kewarisan bilateral menurut al-Qur’an telah dipresentasikan pada
tahun 1957. Dalam teorinya, Hazairin mempertanyakan kebenaran hukum
kewarisan yang dianut kalangan Sunni yang bercorak patrilineal bila
dihadapkan dengan al-Qur’an dan Hadis. Dengan keahliannya dalam
bidang hukum adat dan antropologi sosial, Hazairin mengkaji ayat-ayat
tentang perkawinan dan kewarisan. Menurutnya, al-Qur’an dan Hadis
Nabi hanya menghendaki sistem sosial atau sistem kekerabatan yang
parental, dan hukum kewarisan yang digariskan di dalamnya adalah
bercorak bilateral, bukan patrilineal seperti yang dikenal selama ini.12
9
Hassan Shadily dan John M. Echols, Ensiklopedia Indonesia, (Jakarta: PT
Gramedia, 1982), p. 1273.
10 Nurul Huda, "Keberadaan Mawali Hukum Kewarisan Bilateral", SUHUF,
Jurnal Fakultas Agama Islam, Vol. XVIII No.2, 2006, pp. 18-29.
11 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Konsep Hukum Kewarisan
Bilateral Hazairin, Cet. I (Yogyakarta: UII Press, 2005), p. 192.
12 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Qur’an dan Hadis, (Jakarta:
Tintamas, 1982), p. 2.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
725
Hazairin telah memberikan pemahaman yang baru terhadap hukum
kewarisan dalam Islam secara total dan komprehensif dengan asumsi dasar
sistem bilateral yang dikehendaki al-Qur’an. Tentu saja sistem ini
mempunyai dampak sosial yang luas bila dapat diterapkan dalam
kehidupan. Menariknya, teori ini agaknya lebih dekat dengan rasa keadilan
dalam masyarakat kita, bila dibandingkan dengan sistem kewarisan
bercorak patrilineal.
Sistem hukum kewarisan patrilineal yang dianut kalangan Sunni
sebenarnya terbentuk dari struktur budaya Arab yang bersendikan sistem
kekeluargaan yang bercorak patriachat. Pada masa awal terbentuknya fiqh,
ilmu pengetahuan mengenai bentuk-bentuk masyarakat belumlah
berkembang, sehingga para fuqaha dalam berbagai mazhab fiqh belum
memperoleh perbandingan mengenai berbagai sistem kewarisan dalam
berbagai bentuk masyarakat.13 Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila
hukum kewarisan yang kemudian disusun bercorak patrilineal. Penelitian
Hazairin terhadap sistem hukum kewarisan menurut al-Qur’an tiba pada
kesimpulan bahwa al-Qur’an hanya meridhai masyarakat yang bilateral,
dan al-Qur’an menuju kepada pembentukan dan penyempurnaan
masyarakat yang bilateral, sehingga dengan demikian sistem hukum
kewarisan yang dikehendaki pula hanyalah sistem kewarisan bilateral.
Hazairin mengkritik pendirian mazhab Ahlussunnah Waljama’ah
dengan mengatakan bahwa fiqh mawaris Ahlussunnah Waljama’ah yang
terbentuk dalam masyarakat kebudayaan Arab yang bersendikan sistem
kekeluargaan yang patrilineal yang difatwakan para mujtahid di masa itu
adalah fatwa yang lahir ketika belum memperoleh bahan-bahan
perbandingan mengenai berbagai sistem hukum kewarisan yang dijumpai
dalam kelompok masyarakat, sehingga menurutnya dengan fatwa tersebut
ada kesan telah terjadi konflik antara fiqh mawaris Ahlussunnah Waljama’ah
dengan hukum adat.14
Hukum kewarisan Islam lahir dan berkembang di Timur Tengah, di
mata Hazairin struktur masyarakat Timur Tengah (Arab) penganut sistem
kekeluargaan patrilineal.15 Implikasi dari sistem kekeluargaan patrilineal
adalah hasil interaksi ahli hukum (ulama) Arab terhadap lingkungan sosial
akan menghasilkan produk hukum Islam yang diwarnai oleh budaya
masyarakat Arab, dan tampilan hukumnya bercorak patriachat. Dalam
perkembangannya, produk hukum Islam yang demikian itu akan
berbenturan jika diterapkan dalam struktur dan susunan masyarakat yang
berbeda (non patriachat). Dampak benturan tersebut adalah tidak
13
Ibid.
Ibid., pp. 1-2.
15 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, p. 196.
14
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
726
dijadikannya sistem kekerabatan yang bersifat netral yaitu antara patrilineal
dan matrilineal sebagai landasan hukum kewarisan Islam, pada hal
menurur Hazairin, al-Qur’an telah mengisyaratkan bahwa sistem
kekerabatan yang tepat menjadi landasan hukum kewarisan Islam adalah
bilateral16.
Atas dasar analisis di atas, maka teori hukum kewarisan bilateral
Hazairin, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Ghofur Anshori,17 sangat
memperhatikan adanya kekuatan ‘Maha’ di luar kekuatan manusia dan
seluruh dunia ciptaan-Nya. Aturan yang berasal dari kekuatan ‘Maha’
tersebut tertuang dalam al-Qur’an dan Hadis yang mengikat setiap muslim
dalam menjalankan, termasuk dalam menentukan hukum.
Namun demikian, al-Qur’an dan Hadis sendiri memerlukan
penafsiran untuk dapat diopersionalkan dalam tindakan nyata. Penafsiran
itu kemudian menimbulkan silang pendapat sebagai akibat dari perbedaan
cara pandang dan latar belakang sosial mufasir di kala itu. Misalnya antara
Hazairin dan Syafi'i terjadi perbedaan frame of reference dalam menyelami alQur'an dan Hadis untuk menemukan hukum kewarisan.
Perbedaan yang lahir itu berimplikasi pada perbedaan penampilan
masing-masing hukum kewarisan yang dihasilkan. Sebagai sebuah contoh
yang dihasilkan dari perbedaan dalam menyelami al-Qur’an dan Hadis
antara Hazairin dan Syafi'i, adalah perbedaan yang signifikan yang terlihat
antara hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin di satu sisi, dengan
hukum kewarisan patrilineal yang ditampilkan Syafi'i,18 yaitu:
a. Sistem hukum kewarisan bilateral menyamakan kedudukan leluhur dan
keturunan, sedangkan sistem hukum kewarisan patrilineal membedakan
kedudukan antara ahli waris laki-laki dengan ahli waris perempuan.
b. Sistem hukum kewarisan bilateral memandang saudara secara mutlak
tanpa membedakan antara saudara kandung, seayah, atau seibu saja,
sedangkan sistem hukum kewarisan patrilineal memberikan garis tegas
perbedaan di antara ketiga saudara tersebut.
c. Kalalah dalam sistem hukum kewarisan bilateral diartikan sebagai mati
punah tidak meninggalkan keturunan ”ke bawah”, implikasinya
keturunan secara mutlak meng-hijab saudara. Sementara sistem hukum
kewarisan patrilineal memahami kalalah sebagai mati tidak
meninggalkan keturuan laki-laki atau ayah, maka saudara dapat mewaris
bersama anak perempuan.
Konsep sistem hukum kewarisan bilateral ajaran Hazairin adalah
sebuah konsep hukum kewarisan Islam yang membicarakan persoalan
16
Ibid.
Ibid.
18 Ibid.
17
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
727
pembagian harta warisan, karena hukum kewarisan termasuk dalam
kategori hukum, maka tujuan akhir yang akan dicapai adalah keadilan.
Keadilan menurut konsep Hazairin adalah idealisme, sedangkan idealisime
memerlukan rangkaian proses untuk menjadi aktual, dan hukum walaupun
bukan satu-satunya, tetapi merupakan sarana berprosesnya idealisme
keadilan tersebut.19
C. Tiga Prinsip Dasar Hukum Kewarisan Bilateral Hazaririn
Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin mengandung tiga prinsip
pokok sebagai inti ajarannya, yaitu:20
1. Ahli Waris laki-laki sama kedudukannya dengan ahli waris perempuan.
Ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli
waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Selama masih ada anak,
baik laki-laki maupun perempuan, maka datuk ataupun saudara baik lakilaki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Implikasi dari penetapan
kedudukan yang sama antara keturunan atau anak laki-laki sama dengan
anak perempuan adalah istilah kalalah menurut konsep Hazairin berarti
mati punah ke bawah, artinya mati tanpa meninggalkan keturunan (lakilaki dan perempuan). Sepanjang masih ada keturunan (laki-laki maupun
perempuan) maka secara mutkak meng-hijab saudara. Berbeda pengertian
kalalah menurut sistem hukum patrilineal seperti pandangan mazhab
Ahlussunnah waljamaah, memahami kalalah sebagai mati tidak meninggalkan
keturunan laki-laki atau ayah, dan akibatnya saudara dapat mewaris
bersama anak perempuan.
Sistem hukum kewarisan bilateral hasil ijtihad Hazairin tidak
membedakam garis keturunan laki-laki dan perempuan, kedua-duanya
memiliki kekuatan yang sama, mereka sama hak untuk mendaptkan harta
warisan dari ke dua orang tuanya dan kerabatnya. Untuk prinsip yang
pertama ini, Hazairin menyandarkan pendapatnya pada al-Qur’an Surat
an-Nisa’ ayat 7.
2. Garis Kerabat Laki-Laki Sama Kuatnya Dengan Garis Kerabat
Perempuan Dalam Pewarisan
Hubungan kewarisan melalui garis kerabat laki-laki sama kuatnya
dengan garis kerabat perempuan, dengan kata lain hubungan garis bapak
dan garis ibu dalam pewarisan sama kuatnya. Karenanya penggolongan
ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham dalam konsep mazhab
Ahlussunnah tidak diakui dalam teori Hazairin. Dengan demikian,
19
Hazairin, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), p. 75.
Nurul Huda, "Keberadaan Mawali, p. 2; Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum,
pp. 194-195.
20
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
728
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
Hazairin menolak ashabah dan zawu al-arham karena adanya hak anak
perempuan sama dengan anak laki-laki untuk meng-hijab kerabat garis ke
samping.
3. Kedudukan Mawali
Konsep Mawali dalam al-Qur’an menurut Hazairin diartikan
sebabagi ahli waris pengganti. Menurut Hazairin Mawali selalu mewaris,
tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (ahli waris utama). Cucu dapat
mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih
dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya
dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup).
Keberadaan Mawali ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam
ilmu faraid (waris) dan lebih mencerminkan keadilan.
Kehadiran Mawali menyebabkan peng-hijab-an hanya akan terjadi
antarkelompok keutamaan, namun tidak terjadi antarderajat sebagaimana
yang dikenal dalam sistem hukum kewarisan patrilineal yang
dikembangkan para imam mazhab Ahlussunnah Waljamaah. Peng-hijab-an
tidak akan terjadi karena adanya ahli waris pengganti, dan sandarannya
pada al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 33.
Ketentuan bagian Mawali adalah mengikuti pada jumlah yang
ditetapkan bagi orang yang digantikan kedudukannya. Dengan kata lain,
bagian yang diterima ahli waris pengganti adalah sebanyak bagian yang
seharusnya diterima ahli waris yang digantikan kedudukannya.
Menurut sistem hukum kewarisan bilateral, posisi dari garis ayah
dan garis ibu sama kuatnya sebagai jalur yang menghubungkan dengan ahli
waris. Begitu pula sama kuatnya posisi anak laki-laki dan anak perempuan
sebagai ahli waris, juga mengenai ahli waris pengganti, tidak pernah
tertutup karena keberadaan ahli waris utama yang lain, karena cucu yang
orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya, akan mewaris
bersama dengan anak-anak pewaris (paman) yang masih hidup, dan
memperoleh bagian sama besarnya dengan bagian yang diterima oleh
orang tuanya seandainya orag tuanya tersebut masih hidup.
Hazairin melalui ajaran hukum kewarisan bilateralnya tersebut,
membagi ahli waris menjadi dua cara, yaitu:
a) Berdasarkan hubungan darah. Kelompok ini dibagi menjadi empat
kelompok keutamaan secara berurutan sebagai berikut: (1) Orang tua,
anak dan ahli waris pengganti anak, (2) Orang tua, saudara dan ahli
waris pengganti saudara, (3) Orang tua, dan (4) Ahli waris pengganti
orang tua.
b) Berdasar pada perolehan saham dibedakan kepada orang yang
mendapatkan bagian pasti yaitu dzawil al-furudi, dan ahli waris yang
mendapat bagian sisa (bagian terbuka) yang disebut dzawil al-qarabat,
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
729
dan Mawali. Berbeda mazhab Ahlussunnah yang membedakan ahli
waris yang berdasar pada pasti tidaknya jumlah saham yang mereka
terima menjadi tiga yaitu, dzawil al-furud, ashabah, dan dzawil al-arham.21
Zawu al-faraid adalah ahli waris yang telah ditetapkan bagiannya
dalam al-Qur’an. Dalam hal ini hampir seluruh mazhab fiqh
menyepakatinya, baik Sunni maupun Syiah. Bagian mereka dikeluarkan
dari sisa harta setelah harta peninggalan dibayarkan untuk wasiat, hutang,
dan biaya kematian dan lain-lain. Zawu al-qarabat adalah ahli waris yang
tidak termasuk zawu al-faraid menurut sistem bilateral. Bagian mereka
dikeluarkan dari sisa harta peninggalan setelah dibayar wasiat, hutang,
onkos kematian, dan bagian untuk zawu al-faraid.
Mawali merupakan ahli waris yang menggantikan seseorang untuk
memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh orang yang akan
digantikan tersebut. Hal ini terjadi karena orang yang digantikan tersebut
telah meninggal lebih dulu daripada si pewaris. Orang yang digantikan ini
merupakan penghubung antara yang menggantikan dengan pewaris (yang
meninggalkan harta warisan). Adapun yang dapat menjadi Mawali yaitu
keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris. Kelompok Mawali,
kelompok ahli waris ini merupakan konsep yang benar-benar baru dalam
ilmu faraid (waris).
Akibat pengelompokan ahli waris menurut konsep Hazairin di atas,
melahirkan kelompok keutamaan secara hirarkhis,22 seperti berikut ini:
1) Keutamaan pertama: anak, Mawali anak, orang tua, dan duda atau
janda.
2) Keutamaan kedua: saudara, Mawali saudara, orang tua, dan duda atau
janda.
3) Keutamaan ketiga: orang tua, dan duda atau janda.
4) Keutamaan keempat: janda atau duda, Mawali untuk ibu dan Mawali
untuk ayah.
Berdasarkan dengan kelompok keutamaan di atas, ditemukan bahwa
masing-masing ahli waris dalam keutamaan berbeda-beda statusnya, ada
yang sebagai zawu al faraid dan ada pula yang sebagai zawu al qarabat.
Degan pengertian lain bahwa setiap kelompok keutamaan di atas
dirumuskan secara komplit, artinya kelompok keutamaan yang lebih
rendah tidak dapat mewaris bersama-sama dengan kelompok keutamaan
yang lebih tinggi. Karena kelompok keutamaan yang lebih rendah tertutup
oleh kelompok keutamaan yang lebih tinggi. Inti dari kelompok
keutamaan pertama adalah adanya anak dan atau Mawali-nya. Dengan
21
22
Ibid.
Ibid., p. 6.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
730
demikian, jika tidak ada anak dan atau Mawali-nya berarti bukan kelompok
keutamaan pertama. Inti kelompok keutamaan kedua adalah adanya
saudara dan atau Mawali-nya, sedangkan inti dari kelompok keutamaan
ketiga adalah adanya ibu dan bapak. Adapun janda atau duda meskipun
selalu ada dalam setiap kelompok keutamaan, namun ia menjadi penentu
bagi kelompok keutamaan keempat. Demikianlah cara hukum kewarisan
bilateral dalam menyelesaikan persoalan waris jika terdapat ahli waris yang
cukup banyak dan lengkap.
Saudara pewaris dapat mewaris bersama dengan orang tua (bapak
ataupun ibu), suatu hal yang tidak mungkin terjadi pada hukum kewarisan
Sunni yang bercorak patrilineal. Di samping itu, ayah dari ayah atau ibu
dari ayah tidak mungkin menjadi sebagai zawu al-faraid, demikian pula
terhadap cucu perempuan, seperti dalam sistem hukum kewarisan
kalangan Sunni. Masalah kasus hukum kewarisan yang dianggap rumit,
seperti ahli waris kakek bersama saudara yang banyak memunculkan
variasi pendapat dalam sistem Sunni tidak akan pernah terjadi dalam
sistem hukum kewarisan bilateral.23
Ketiga prinsip pokok ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin
sebagaimana yang telah disebutkan di atas, sekaligus menunjukkan
perbedaannya dengan hukum kewarisan menurut fiqh Sunni, sebab
ketiga prinsip tersebut tidak ditemukan dalam hukum kewarisan menurut
fiqh Sunni, malahan dalam sistem hukum kewarisan menurut faham sunni
berlaku ketentuan,24 yaitu:
1. Ahli waris perempuan tidak dapat meng-hijab (menghalangi) ahli waris
laki-laki yang lebih jauh. Contohnya, ahli waris anak perempuan tidak
dapat menghalangi saudara laki-laki.
2. Hubungan kewarisan melalui garis laki-laki lebih diutamakan daripada
garis perempuan. Adanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan
zawu al-arham merupakan contoh yang jelas. Ashabah merupakan ahli
waris menurut sistem patrilineal murni, sedangkan zawu al-arham adalah
perempuan-perempuan yang bukan zawu al-faraid dan bukan pula
ashabah.
3. Tidak mengenal ahli waris pengganti, semua mewaris karena dirinya
sendiri. Cucu yang orang tuanya meninggal lebih dulu daripada
kakeknya, tidak akan mendapat warisan ketika kakeknya meninggal.
Sementara saudara-saudara dari orang tua sang cucu tetap menerima
warisan.
23
24
Hazairin, Hukum Kewarisan, pp. 20-21.
Nurul Huda, "Keberadaan Mawali, p. 6.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
731
Menurut pengamatan Hazairin, sistem hukum kewarisan sunni yang
bercorak patrilineal dengan prinsip seperti di atas, kurang sesuai dengan
rasa keadilan masyarakat di Indonesia yang umumnya bercorak bilateral.
Bagi masyarakat patrilineal pun seperti dalam masyarakat Batak, dan
masyarakat Bali bukan berarti tidak ada konflik dengan sistem kewarisan
kalangan sunni apalagi bagi masyarakat matrilineal seperti Minangkabau,
tentu lebih berat lagi untuk menerima sistem kewarisan ini. Hal inilah
yang menggugah Hazairin untuk memikirkan sistem bagaimanakah yang
dikehendaki oleh al-Qur’an. Menurutnya, tidak mungkin al-Qur’an
memberikan ketentuan yang tidak adil. Berdasarkan pengamatannya
terhadap beberapa ayat tentang perkawinan dan kewarisan akhirnya dia
mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an menghendaki sistem kekeluargaan
yang bilateral.
D. Sumber Acuan Hukum Kewarisan Bilateral Ajaran Hazairin
Sumber acuan hukum kewarisan bilateral ajaran Hazairin serta
pengelompokannya adalah berdasarkan ayat-ayat hukum kewarisan (Q.S.
an-Nisa' ayat 11,12, 22, 23, 24 33, dan 176.
1. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 22-24 memberi petunjuk bahwa semua
bentuk perkawinan sepupu tidaklah dilarang, baik cross-cousins maupun
parallel cousins. pembolehkan perkawinan sepupu ini berarti tanggallah
syarat exogami yang menjadi benteng bagi sistem klan dalam masyarakat
yang patrilineal dan matrilineal. Jika klan telah tumbang, maka timbullah
masyarakat yang bercorak bilateral.
2. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 11 memberi petunjuk bahwa semua anak,
baik laki-laki maupun perempuan sebagai ahli waris bagi ayah dan ibu.
Hal ini merupakan bentuk sistem bilateral, karena dalam masyarakat
patrilineal ketentuan hukumnya hanya anak laki-laki yang berhak
mewaris, begitu halnya dalam sistem masyarakat matrilineal anak-anak
hanya mewaris dari ibunya, tidak dari bapaknya.
3. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 12 dan 176 juga mendukung sistem
bilateral, yaitu dengan menjadikan saudaranya ahli waris bagi
saudaranya yang mati punah (tidak berketurunan), tidak dibedakan
apakah saudara itu laki-laki atau perempuan.
4. al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 7, 8, 11, 12, dan 176 menyatakan bahwa
sistem kewarisan yang dikehendaki oleh al-Qur’an di samping bilateral
adalah individual. Maksudnya, masing-masing ahli waris berhak atas
bagian yang pasti dan bagian-bagian tersebut wajib diberikan kepada
mereka dengan istilah nasiban mafrudan, fa atuhum nasibuhum, al-qismah, di
samping terdapat bagian-bagian tertentu (furud al-muqaddarah). Sistem
kewarisan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah individual bilateral.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
732
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
Hazairin ingin mengajak umat Islam untuk memperbarui
pemahaman terhadap ayat-ayat tentang kewarisan. Lebih jauh dengan
ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin dikatakan sebagai sarana
pembaruan hukum masyarakat, sesuai teori hukum Roscoe Pound yang
mengatakan law as a tool of social engineering.25 Berdasarkan pada teorinya
tersebut, Roscoe Pound mengatakan:
Melihat hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat
disempurnakan melalui usaha manusia yang dilakukan secara
cendekia, dan menganggap sebagai kewajiban mereka untuk
menemukan cara-cara yang paling baik bagi memajukan serta
mengarahkan usaha itu.26
Sistem hukum kewarisan bilateral yang dicetuskan Hazairin memang
pada awalnya, bahkan sampai saat ini masih mendapat tanggapan pro dan
kontra di kalangan umat Islam Indonesia. Fenomena ini merupakan hal
yang wajar apabila ada yang masih belum dapat menerima ide pembaruan,
apalagi dengan mengkaji ulang sesuatu yang telah lama mapan, akan sulit
diterima meskipun hal yang baru ini cukup rasional dan argumentatif.
Namun, bukan berarti mereka yang menolak termasuk tidak rasional.
Mereka yang menolak di samping didasarkan pada pengetahuan tentang
sistem hukum kewarisan yang selama ini mereka ketahui, juga tidak sedikit
pula yang mensikapi dengan penuh curiga terhadap sesuatu yang dianggap
baru.
Meskipun pada awalnya banyak terjadi penolakan, namun tidak
sedikit pula yang bersimpati dan mendukung ide kewarisan bilateral ini.
Bahkan dewasa ini hampir setiap kali membahas tentang hukum kewarisan
hampir tidak melepaskan pemikiran Hazairin. Barangkali penolakan yang
terjadi terhadap sistem kewarisan bilateral lambat laun berkurang seiring
dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan terbukanya
masyarakat untuk menerima perubahan.
Dukungan terhadap pendapat Hazairin telah banyak dikemukakan
dalam berbagai kajian ilmiah. Keberatan terhadap teori ini agaknya lebih
disebabkan ketidakberanian mereka mengoreksi cara tafsir mazhab Sunni
yang lebih condong kepada sistem patrilineal dan terlanjur disakralkan.
Untuk itu, agar pemikiran Hazairin dapat diterima di kalangan Sunni yang
konservatif ini manakala dia mampu memahami bahwa sistem kewarisan
25 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. I, (Jakarta: Akademika Pressindo,
1992), p. 19; lihat pula Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam
Masyarakat, cet. I, (Jakarta: Rajawali, 1980), p. 51.
26 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Alumni, 1979), p.
150
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
733
Sunni merupakan salah satu hasil penalaran intelektual sebagaimana halnya
yang dilakukan Hazairin.
Terlepas adanya sikap pro dan kontra di atas, perlu diketahui bahwa
pemikiran Hazairin ini telah turut memperkaya khasanah perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada umumnya, dan hukum kewarisan pada
khususnya. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991 sebagai bentuk
kodifikasi hukum Islam di Indonesia salah satu wujud nyata pengaruh
ajaran hukum kewarisan Hazairin, seperti telah diaturnya ketentuan
tentang ahli waris pengganti pada Pasal 185 KHI. Bahkan, pemikiran
Hazairin dalam lapangan hukum perkawinan cukup memiliki titik taut
dengan sistem hukum perkawinan berdasarkan Undang-undang nomor 1
tahun 1974, terutama ketentuan mengenai kedudukan suami isteri dalam
rumah tangga dan dalam masyarakat, serta ketentuan mengenai harta
benda dalam perkawinan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 s/d
Pasal 37 UU no. 1974.
C. Penutup
Ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin membawa perubahan
dalam bidang hukum kewarisan bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya, dan masyarakat muslim pada khususnya, sehingga tidak sedikit
dari ahli hukum Indonesia di bidang ini mengikuti pandangan dan
pemikiran Hazairin, seperti Sajuti Thalib, termasuk mengikuti dan
menganut teorinya mengenai eksistensi hukum Islam di Indonesia.
Hukum kewarisan yang terdapat dalam KHI berdasarkan INPRES
No. 1 tahun 1991 yang berlaku internal bagi umat Islam Indonesia saat ini,
selain dengan kompromistis beberapa ketentuan dalam hukum waris adat
dan KUHPerdata serta dengan hukum kewarisan Islam sendiri hasil
pemikiran para imam mazhab, terdapat kecenderungan kuat terdapat
pengaruh dari ajaran hukum kewarisan bilateral Hazairin. Misalnya, KHI
juga mengatur mengenai penggantian tempat (Plaatsvervulling) yaitu Pasal
185 KHI. Penggantian tempat dikenal baik dalam KUHPerdata juga
dalam Hukum Adat, dan penggantian tempat menurut Hazairin disebut
dengan Mawali.
Hazairin mengkaji hukum kewarisan Islam dengan mengaitkan
sistem kekerabatan yang berlaku dalam masyarakat, karena menurutnya
“dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisan yang
menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam
masyarakat”. Hazairin mengemukakan teori yang berbeda dengan yang
dipunyai mazhab hukum kewarisan Islam sebelumnya seperti dalam ajaran
atau Mazhab Ahlus Sunnah Waljamaah, sehingga dapat dikatakan hukum
kewarsan bilateral Hazairin merupakan suatu mazhab baru dalam lapangan
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
734
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
hukum kewarisan di Indonesia. Dengan demikian, kehadiran hukum
kewarisan bilateral yang dibangun atas ijtihad Hazairin, disatu sisi diyakini
Hazairin sebagai sistem hukum kewarisan yang sesuai dengan al-Qur’an
dan hadis, dan sekaligus merupakan pembaruan hukum kewarisan di
Indonesia.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, cet. I, Jakarta: Akademika
Pressindo, 1992.
Anshori, Abdul Ghofur, Filsafat Hukum Kewarisan Islam, Cet. I, Yogyakarta:
UII Press, 2005.
Hadikusuma, Hilman, Pengantar Hukum Adat Indonesia. Cet. I. Bandung:
Mandar Maju, 1992.
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Cet. VI,
Jakarta: Tintamas, 1982.
_______, Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Jakarta: Bina Aksara, 1981.
Huda, Nurul, "Keberadaan Mawali Hukum Kewarisan Bilateral", SUHUF,
Jurnal Fakultas Agama Islam, Vol.XVIII (No.2). pp. 18-29. ISSN
0852-368X,
hlm:
Abstract,
http://library.ums.ac.id/jurnal/agama/suhuf, Diakses pada Senin, 1
April 2008.
Instruksi Presiden, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika
Presindo, 1992.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Waris Di Indonesia, Cet. II, Bandung:
Sumur Bandung, 1983.
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.
Ramulyo, Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan
Kewarisan Menurut KUH Perdata (BW). Cet. I (ed. Revisi), Jakarta:
Sinar Grafika, 2004.
Safioedin, Asis, Beberapa Hal Tentang Burgerlijk Boek, Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1990.
Soepomo, Sistem Hukum Di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta: PT.
Pradnya Paramita, 1997.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Andi Nuzul: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Hazairin…
735
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet.
XXVIII, Jakarta: Pradnya Paramita, 1996.
Syarif, Ahlan Suriani, Intisari Hukum Waris Menurut Burgerlijk Wetboek,
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.
SOSIO-RELIGIA, Vol. 9, No. 3, Mei 2010
Download