©Abdullahi Ahmed An-Na`im 4. Negosiasi Kontekstual Sekularisme dalam Perspektif Komparatif Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme tidak selalu bermakna menyisihkan agama dari ruang publik masyarakat karena pengertian sekularisme yang seperti inilah yang justru cenderung dimusuhi ummat Islam. Tentu boleh-boleh saja mendefinisikan sekularisme secara hipotetik sebagai pemisahan semua aspek hubungan agama dan negara secara ketat dan sistematis dan kemudian menggunakan definisi yang sempit dan realisitis itu untuk menolak semua regulasi yang berkaitan dengan hubungan tersebut. Namun, definisi yang polemis dan hanya bersifat teoritis tersebut ternyata tidak valid bahkan untuk diterapkan pada negaranegara Barat yang biasa dianggap sekuler. Penelitian Rajeev Bhargava di India membuktikan bahwa penting untuk mulai menepis miskonsepsi mengenai adanya model pemisahan negara dan agama yang unik dan tidak kompleks di seluruh negaranegara Barat.1 Daripada mencari-cari konsep-konsep yang ilusif seperti itu, nampaknya lebih produktif bila kita mendiskusikan sekularisme sebagaimana difahami dan dipraktikkan oleh berbagai masyarakat dalam konteksnya masing-masing. Ketika kita menguji pengalaman berbagai masyarakat dengan perspektif ini, jelaslah bahwa semua masyarakat sebetulnya selalu berada dalam kondisi menegosiasikan hubungan antara negara dan agama, daripada sedang menerapkan definisi sekularisme yang rigid dan spesifik. Pertanyaan yang saya ajukan dalam bab ini adalah bagaimana memahami proses negosiasi tersebut melalui analisis komparatif sehingga setiap masyarakat bisa mengambil manfaat dari pengalaman masyarakat lain tanpa perlu berusaha menjiplak atau menirunya karena memang hal yang demikian itu tidak perlu dan tidak pula diinginkan. Saya akan mulai dengan review singkat pengalaman sejarah beberapa negara Barat untuk memperlihatkan bahwa teori dan praktik sekularisme itu berubahubah, sarat perdebatan dan sangat kontekstual. Review ini akan memperlihatkan bahwa hubungan antara agama dan negara bukan hasil akhir pergumulan sejarah dan budaya 1 Rajeev Bhargava, “Introduction,” dalam Rajeev Bhargava (ed.), Secularism and Its Critics (New Delhi, Oxford University Press, 1999), hlm. 2-3. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im sebuah masyarakat, tetapi juga harus terus terbuka terhadap proses reformulasi dan revisi. Pada bagian dua bab ini, saya akan mengutamakan pemahaman terhadap pengalaman negara-negara Barat tersebut dalam kerangka posisi masing-masing negara terhadap berbagai isu, bukan mengklasifikasikan mereka ke dalam kategori-kategori tertentu yang sudah jelas. setiap negara, memang, mengambil sikap yang berbeda dalam merespon aspek-aspek tertentu dalam hubungan agama dan negara dan tidak ada satupun yang mengikuti satu pemahaman sekularisme dalam menyikapi semua isu. Lagipula, selalu ada saja perdebatan mengenai bagaimana aspek tertentu dalam sekularisme harus diperlakukan sehingga kebijakan apapun yang diambil oleh negara akan selalu mendapatkan perlawanan dari pihak yang lain. Misalnya apakah negara boleh membiayai pendidikan agama, atau menyediakan fasilitas keuangan atau lainnya kepada institusi keagamaan, atau bahkan mengatur pilihan moral rakyatnya seperti yang terlihat dalam debat mengenai aborsi, kontrol kelahiran dan perceraian. Namun demikian, masalah terpenting dalam buku ini sebetulnya adalah bagaimana proses negosiasi itu diorganisasi dan difasilitasi melalui kerangka yang akan saya diskusikan pada bagian tiga bab ini. Pada bagian tersebut, saya menjelaskan bahwa ketegangan permanen dalam hubungan antara agama dan negara harus dimediasi melalui kerangka “public reason’ yang sudah diungkapkan dalam bab 1. Kerangka public reason ini juga harus diamankan dengan prinsip-prinsip dan institusi-institusi konstitusionalisme, HAM, dan kewarganegaraan seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 3. Dengan demikian, pada bagian ini saya akan menggunakan review dan diskusi mengenai pengalaman Barat pada bagian satu guna mengklarifikasi kerangka yang diperlukan untuk melakukan negosiasi makna dan implikasi sekularisme dalam konteks masyarakat Islam. Saya akan melanjutkan perbincangan ini pada 3 bab berikutnya untuk melihat penerapan kerangka tersebut di India, Turki dan Indonesia. Dengan memahami sekularisme melalui pengalaman negosiasi kontekstual masingmasing masyarakat bukan berarti bahwa tidak ada prinsip-prinsip yang menyatukan ©Abdullahi Ahmed An-Na`im pengalaman yang berbeda itu, atau makna dan implikasi konsep itu akan selalu relatif bagi setiap masyarakat. Malah sebaliknya, mengembangkan pemahaman spesifik mengenai makna sekularisme dan implikasinya melalui analisis komparatif merupakan hal yang mungkin dan perlu. Namun, kita tidak boleh memaksakan satu definisi atau meneguhkan satu implikasi hanya melalui perspektif teoritis yang abstrak belaka. Dengan demikian, pertanyaan utama bab ini adalah bagaimana pengalaman Barat bisa berguna untuk menegosiasikan hubungan antara agama dan negara dalam masyarakat Islam? I. Pengalaman Negeri-Negeri Barat Saya tidak mungkin menjelaskan pengalaman semua negeri Barat atau menawarkan sebuah diskusi komprehensif mengenai situasi mereka dalam bab ini. Saya memutuskan untuk memilih beberapa di antara mereka untuk mendiskusikan pengalaman sekularisme di beberapa negara yang memiliki kondisi, tradisi keagamaan dan rezim politik atau konstitusi yang berbeda. Meskipun demikian, beberapa negara di Eropa maupun di Amerika Utara bisa juga didiskusikan dengan cara yang sama untuk menunjukkan bahwa posisi Agama dalam konsepsi dan pengalaman Barat tidak identik ataupun ekslusif dari domain kebijakan publik dan undang-undang. Inggris Karena Inggris hanya sedikit dari negara yang tetap mempertahankan lembaga Gereja resmi (nasional), penting kiranya untuk membicarakan pengalaman mereka dalam bab ini, meskipun diskusi dalam bagian ini juga tidak berpretensi untuk membahas semua daerah yang ada di Inggris. Istilah gereja resmi (established church), dan sejumlah istilah yang berkaitan dengannya, digunakan dalam bab ini untuk menunjukkan adanya agama atau sekte (denomination) tertentu yang diakui atau diresmikan sebagai agama resmi negara. Meskipun kedekatan hubungan antara Gereja Inggris (The Curch of England) dengan negara semakin berkurang, namun hubungan itu masih tetap kukuh.2 Dimulainya sistem hubungan gereja-negara yang modern di Inggris bisa ditelusuri dari asal-usul lahirnya Gereja Inggris (The Curch of England) pada abad ke-16 di masa 2 S. V. Monsma and J.C. Soper, “England: Partial Establishment.” The Challenge of Pluralism: Church and State in Five Democracies (Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 1997), hlm. 121. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im pemerintahan Henry VIII. Henry memutuskan untuk mengambil alih kontrol terhadap gereja-gereja di Inggris dari kekuasaan Paus, karena Paus menolak untuk merestui pernikahannya dengan Catherine dari Aragon.3 Dengan mengeluarkan “Act of Supremacy” tahun 1534, Gereja Inggris memisahkan diri dari otoritas Paus.4 Henry VIII juga mengambil alih kontrol Paus terhadap kekayaan, tanah dan kuil milik gereja. Karena keputusan ini, lembaga biara menjadi tidak ada dan para biarawan tidak lagi menjadi anggota lembaga the House of Lord (satu dari 2 lembaga parlemen Inggris). Hanya sebagian kecil uskup dan beberapa pendeta yang menjadi anggota lembaga itu.5 Setelah Henry meninggal, penduduk Inggris terbagi menjadi simpatisan Katolik dan Protestan, sampai akhirnya Elizabeth I memutuskan untuk menetapkan gereja Protestan sebagai gereja resmi negara pada tahun 1959 dengan mengeluarkan “Act of Supremacy” kedua yang sekaligus mengukuhkan posisi gereja di bawah otoritas kerajaan. Meskipun gereja resmi memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan politik Inggris, namun keputusan Henry VIII untuk memisahkan gereja Inggris dengan Roma merupakan satu proses sekularisasi kultural. Selama kekuasaan Edward VI dan Elizabeth I, kebiasaan ummat Katolik memproduksi benda-benda dan karya seni suci menurun. Para seniman menemukan tema-tema non religius untuk mereka tampilkan; dan bentuk lukisan barupun berkembang, seperti lukisan benda dan potret. Dan ketika negara mulai mengawasi dan melarang pertunjukan drama religius, termasuk dramadrama misteri abad pertengahan, drama Elizabethan yang sekuler pun berkembang menggantikan posisi tradisi lama.6 Selama berabad-abad, gereja resmi di Inggris telah memperkuat sekaligus diperkuat oleh kekuasaan negara. Hubungan gereja Inggris dan negara menguat pada abad ke-17, ketika mazhab Kristen Inggris (Anglican) disponsori dan diperkuat oleh negara sementara Katolik Roma dan mazhab lainnya ditindas. “The Corporation Act” tahun 1661 3 Monsma and Soper, hlm. 124 David McClean, “State and Church in the United Kingdom” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 310. 5 C. John Sommerville, The Secularization of Early Modern England: From Religious Culture to Religious Faith (Oxford: Oxford University Press, 1992), hlm. 13-14 6 Sommerville, hlm. 87, 93-94 4 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im dan “The Test Act” tahun 1673 melarang orang-orang yang tidak mengikuti Kristen Anglikan untuk berpartisipasi dalam arena politik dan masuk universitas. Baru pada abad ke-18-lah, posisi istimewa gereja resmi ini mulai menurun. Penganut Protestan yang tidak tunduk pada negara diberikan hak untuk melakukan ibadah pada tahun 1689, namun mereka tetap tidak diberikan hak-hak politik kecuali sampai 1824. orangorang Katolik dan Yahudi mulai diperbolehkan berpartisipasi dalam politik beberapa dekade setelah itu. Tahun 1871, pemerintah Inggris menetapkan tes agama untuk masuk universitas. Namun di akhir abad 19, bibit-bibit toleransi mulai tumbuh.7 Pemberian hak politik kepada penduduk yang tidak menganut kristen Anglikan merupakan sebuah pengakuan bahwa negara tidak bisa memaksakan keseragaman agama pada warga negaranya. Selama abad 19, beberapa kelompok diorganisasi untuk memisahkan gereja dari negara, namun mereka tidak mendapatkan dukungan politik yang memadai. Pada awal abad ke-20, pengaruh kelompok-kelompok separatis itu mulai menurun, mungkin karena secara politis, kekuasaan gereja juga tidak lagi penting. Gereja Inggris tetap menjadi Gereja resmi negara, namun ikatan formalnya kepada negara berangsur-angsur mengendur dan lebih bersifar seremonial. Di akhir abad ke-20 atau permulaan abad ke-21, gereja Inggris mulai berusaha mempromosikan sikap yang lebih toleran dan mempertahankan fungsi ekumenisnya dengan mendukung pengakuan pemerintah terhadap sekte lain. Pada saat ini, negara juga tidak lagi mempromosikan gereja Anglikan secara agresif dan membatasi kegiatan kelompokkelompok agama lain. Kebijakan negara semakin mengarah pada pemberian dukungan kepada semua agama, daripada hanya kepada satu kelompok.8 Meskipun sikap negara terhadap agama semakin plural, beberapa implikasi legal dan kultural model negara tradisional masih terlihat. Sebagai contoh, kerajaan, dengan saran dari Perdana Menteri, menunjuk para uskup dari calon yang dinominasikan oleh gereja. Sementara itu, Uskup Agung serta anggota senior lembaga keuskupan tetap menjadi anggota The House of Lords. Hukum negara yang mengatur penghinaan agama (blasphemy) merupakan upaya untuk melindungi doktrin-doktrin gereja Anglikan, tapi 7 8 Monsma and Soper, hlm. 124 Monsma and Soper, hlm. 124-132 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im tidak untuk doktrin agama lain.9 Hukum Gereja Anglikan (eclesiastical law atau canon law) masih menjadi bagian Hukum Inggris dan memiliki kekuatan yang sama dengan common law di pengadilan. Parlemen mempunyai kekuasaan untuk membuat hukum yang berkaitan dengan gereja, meskipun akhirnya kekuasaan ini diberikan kepada Majelis Umum Gereja-Gereja (the General Synod of the Church) pada abad ke-20. Gereja Inggris masih mempunyai hak istimewa untuk mengeluarkan aturan-aturan yang berkaitan dengan gereja-gereja lain, aturan ini kemudian diajukan ke parlemen untuk mendapatkan persetujuan sehingga memiliki kekuatan hukum seperti ketetapan parlemen lainnya. Namun dalam praktiknya, parlemen jarang menolak aturan-aturan itu dan bahkan mungkin tidak mengamandemen teksnya.10 Posisi Gereja Inggris saat ini merefleksikan apa yang disebut partial establishment sebagai bentuk kerjasama antara negara dan gereja untuk melindungi peran publik agama. Adanya otoritas keagamaan ini merupakan pengakuan negara terhadap peran publik sebuah kepercayaan agama”.11 Meskipun mendapatkan dukungan yang luas, sistem “partial establishment” ini menghadapi beberapa tantangan dalam masyarakat kontemporer, seperti dalam kasus pendidikan agama. Negara mempertahankan sikap setengah netral dalam persoalan agama dengan, misalnya, dengan memasukkan pendidikan agama sekte lain dalam kurikulum nasional. Namun, Gereja Inggris tetap memiliki hak veto untuk merubah silabus pelajaran yang penyusunannya melibatkan komite lokal meskipun Education Reform Act (Undang-Undang Reformasi Pendidikan) tahun 1988 melarang komite tersebut untuk membuat kurikulum yang memperlihatkan kecenderungan pada salah satu sekte keagamaan.12 Selain itu, dana fasilitas pendidikan juga lebih diutamakan untuk diberikan kepada sekolah-sekolah Anglikan atau Katolik, meskipun sekolahsekolah Protestan dan Yahudi juga mendapatkan sejumlah dana.13 Pihak yang tidak setuju terhadap kebijakan pemberian dana untuk sekolah-sekolah agama mengklaim 9 Monsma and Soper, hlm. 129-130 McClean, hlm. 311-312 11 Monsma and Soper, hlm. 148 12 McClean, hlm. 316 13 Monsma and Soper, hlm. 137 10 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im bahwa lembaga-lembaga seperti itu memecah belah kohesi sosial, karena memisahkan anak-anak berdasarkan agama.14 Kesulitan yang muncul dalam kebijakan pendidikan agama di atas memperlihatkan keterbatasan sistem “partial establishment” yang berlaku Inggris. Karena Inggris tidak mempunyai bill of rights tertulis, maka tidak ada jaminan formal untuk kebebasan beragama atau harapan bagi terciptanya kesetaraan beragama. Negara, dengan demikian, hanya mengakomodasi kepentingan minoritas jika kepentingan itu masih dalam batasan yang bisa diterima.15 Meskipun kombinasi kebijakan “partial establishment” dan toleransi terhadap minoritas secara umum bisa diterima oleh rakyat Inggris, namun nampaknya kebijakan ini mulai mendapatkan tekanan dari kalangan minoritas yang menuntut adanya pernyataan yang lebih jelas tentang kesamaan status mereka. Sementara di pihak lain, kalangan tradisionalis Inggris masih ingin mempertahankan hak sosial dan politik istimewa yang dimiliki oleh Gereja Anglikan. Swedia Sejarah pemberlakuan agama resmi di Swedia dimulai sejak abad ke-16 ketika desakan untuk menyatukan negara di bawah kepercayaan Lutheran semakin menguat dan bisa dicapai melalui kepemimpinan para pendeta dan dukungan massa terhadap adanya gereja Protestan. Tahun 1953, untuk mengantisipasi gerakan kontra reformasi, yang juga berkompetisi untuk mendapatkan tahta kerajaan, Majelis Gereja Lutheran pun dilantik di Uppsala. Lebih dari 300 lembaga kependataan Lutheran hadir dan Gereja Evangelis Lutheran ditetapkan menjadi Gereja Nasional Swedia dengan deklarasi bahwa Swedia telah disatukan dengan Satu Raja dan Satu Tuhan.16 Abad-abad berikutnya, kebijakan penyeragaman identitas keagamaan ini juga diberlakukan untuk menyatukan perbedaan etnik dan bahasa di Swedia yang muncul kemudian. Tahun 1634 “the Instrument of Government” (peraturan pemerintah) 14 Monsma and Soper, hlm. 139 McClean, hlm. 311, dan Monsma and Soper, hlm. 148-149 16 Jonas Alwall, “Religious Liberty in Sweden: An Overview.” Journal of Church and State. Ed. Davis, D. 42:1 (2000), hlm. 147, 148. 15 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menyatakan dengan jelas bahwa Kristen Lutheran adalah agama resmi negara sekaligus mengungkapkan prinsip kesatuan dalam beragama bagi rakyat Swedia.17 Pada tahun 1686, ketetapan gereja menyebutkan bahwa Swedia adalah negara Evangelis dan dengan demikian rakyat Swedia harus menganut Agama Evangelis”, sehingga jika ada orang Swedia meninggalkan Gereja resminya, ia kehilangan status warga negaranya.18 Sekitar tahun 1800, sejumlah provinsi di Swedia mulai hilang dan Swedia menjadi negara yang lebih homogen secara etnik dan budaya. Namun, toleransi terhadap praktik agama lain tidak pernah muncul sampai akhir abad 18. itupun hanya berlaku bagi para imigran, tidak bagi orang Swedia asli. Perubahan mulai terjadi selama abad 19 bersamaan dengan meningkatnya industrialisasi, urbanisasi dan tumbuhnya pengaruh gerakan kaum sosialis dan liberal. Peraturan pemerintah tahun 1809 akhirnya mengakui hak rakyat Swedia untuk meninggalkan gereja dan membentuk jemaah ibadah sendiri, namun kebijakan ini baru berlaku setelah the Dissenter Act (undang-undang tentang sekte gereja) dikeluarkan tahun 1860. Selain itu, jemaah ibadah yang didirikan pun harus tetap berdasarkan agama Kristen dan mendapatkan persetujuan kerajaan.19 Langkah lebih maju menuju pluralisme (untuk tidak menyebut semakin goyahnya kekuatan Gereja Nasional) muncul pada abad 20. Religious Liberty Act (undang-undang tentang kemerdekaan beragama) tahun 1951 yang mengatur kebebasan praktik beragama melarang seseorang untuk menganggu kedamaian atau menganggu ketentraman publik. Peraturan Pemerintah tahun 1974 memasukkan kebebasan beragama dalam Undang-Undang Dasar Swedia sedangkan Amandemen Konstitusi tahun 1974 menegaskan bahwa tidak boleh ada perbuatan yang dilarang atau dibatasi oleh hukum hanya karena alasan-alasan keagamaan.20 Tahun 1996, keanggotaan gereja didefinisikan ulang sehingga setiap bayi yang baru harus dibaptis meskipun orangtuanya anggota Gereja Nasional Swedia, karena mereka tidak bisa serta merta menjadi anggota hanya karena orangtuanya.21 17 Alwall, hlm. 148 Robert Schött, “State and Church in Sweden.” State and Church in the European Union. Ed. Gerhard Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 298. 19 Alwall, hlm. 149, 151 20 Alwall, hlm. 152 21 Alwall, hlm. 168 18 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Sampai akhir abad 20, sebagai gereja resmi negara, Gereja Swedia berhubungan sangat erat dengan negara. Raja menjadi kepala Gereja Swedia yang menunjuk Uskup Agung dan para uskup. Pajak yang dikumpulkan negara juga digunakan untuk membayar gaji para pendeta, hingga kontribusi rakyat secara langsung kepada gereja hampir tidak ada. Sebagai pegawai negara, pendeta menempati statistik yang cukup vital dalam negara dan berfungsi seperti pegawai pemerintahan yang lain. Parlemen Swedia yang mempunyai otoritas membuat hukum, juga merumuskan dan menetapkan hukum yang berlaku bagi Gereja Swedia. Hubungan ini memang membuat Gereja Lutheran mempunyai pengaruh besar di Swedia, tetapi juga membuat otonominya terbatas. tidak seperti di Itali atau Spanyol dimana negara tunduk pada Gereja, di Swedia, gereja nampaknya lebih tunduk pada negara.22 Berbagai usulan perubahan hubungan agama dan negara diajukan pada tahun 1970-an, tapi tak satupun yang diadopsi. Baru pada tahun 1990-an, perubahan besar dimulai. Pada tahun 1991, sistem registrasi nasional dialihkan dari gereja ke otoritas pajak.23 Komisi yang dibentuk tahun 1994 untuk mengevaluasi hubungan gereja dan negara menyimpulkan bahwa meskipun agama mempunyai fungsi sosial yang amat berguna, namun negara harus tetap bersikap netral terhadap seluruh sekte dengan tidak memperlihatkan kecondongan pada salah satu diantaranya. Rekomendasi yang dibuat oleh komisi menghasilkan perubahan besar dalam tata hubungan gereja dan negara di Swedia, yang puncaknya terjadi pada tanggal 1 Januari 2000. 24 Secara umum rekomendasi yang diajukan oleh komite adalah Gereja Nasional Swedia harus diberikan status independen dari pemerintah lokal maupun nasional, dan seluruh sekte harus diperlakukan sama. Komisi ini juga merekomendasikan agar setiap sekte mendapatkan hak yang sama untuk mempunyai status hukum, sedangkan pajak yang diberikan 22 R. Stark and L. R. Iannaccone. “A Supply-Side Reinterpretation of the ‘Secularization’ of Europe.” Journal for the Scientific Study of Religion. 33:3, 1994: 238. 23 Alwall, hlm. 167 24 Lars Friedner, “Church and State in Sweden in 2000.” European Journal of Church State Research. Ed. R. Torfs. v.8 (2001), hlm. 255. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im kepada keuskupan diganti dengan biaya pelayanan yang harus dibayarkan oleh anggota sekte kepada sektenya.25 Rencana yang dirancang oleh komisi tetap mempertahankan perlakuan khusus bagi gereja nasional Swedia, tetapi perlakukan khusus ini diberikan dalam posisinya sebagai salah satu institusi keagamaan dalam masyarakat yang plural. Salah satu perlakuan istimewa yang dinikmati oleh gereja nasional Swedia adalah pemberian dana pemerintah untuk pemeliharaan bangunan gereja yang dianggap sebagai salah satu khazanah budaya penting di Swedia. Selain itu, Gereja Swedia masih diberikan tanggung jawab untuk mengurus layanan pengebumian dan pemakaman umum. Meskipun ada beberapa keberatan mengenai hal ini, namun baik Gereja maupun negara dapat menerimanya.26 Pemisahan Gereja Swedia dari Negara secara hukum dilaksanakan melalui dihilangkannya Hukum gereja dari Hukum Negara Swedia dan dihapuskannya Church of Sweden Act (ketetapan Gereja Swedia) yang menetapkan struktur gereja dan Majelis Umum Lutheran sebagai otoritas hukum utama.27 Ketetapan inilah yang memberikan Gereja Swedia status hukum istimewa yang diperkuat dengan aturan undang-undang khusus.28 Setelah proses ini, Gereja membuat Ordinansi Gereja sendiri sebagai kerangka hukum yang terpisah dari hukum nasional. Ordinansi ini memuat Hukum Gereja yang dulu. Karena perubahan ini, Uskup tidak lagi dipilih dari 3 orang kandidat yang diajukan gereja kepada pemerintah melainkan melalui pemilihan langsung dalam Gereja.29 Penting untuk dicatat, meskipun dilakukan dengan cara dan perangkat yang berbeda, Inggris dan Swedia telah menempuh pola yang sama untuk meningkatkan pengakuan mereka atas pluralisme agama. Inggris masih mempertahankan status Gerejanya sebagai gereja resmi, namun hanya memberikan peran moderat bagi mereka. Sedangkan 25 Schött, hlm. 301 Friedner, hlm. 257; Alwall, hlm. 168, 169 27 Friedner, hlm. 256 28 Alwall, hlm. 169 29 Friedner, hlm. 257 26 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Swedia telah melangkah lebih jauh dengan pemisahan legal antara negara dan agama. Meskipun demikian, kedua negara ini dianggap negara sekuler yang secara subtstansial menjaga netralitas agama sebagaimana yang saya ajukan dalam proposal saya untuk masyarakat Islam. Rusia Sejarah hubungan gereja dan negara di Rusia telah berubah sejak abad lalu. Selagi masih dalam kekuasaan monarki, Gereja Kristen Ortodoks Rusia adalah agama resmi negara yang diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan, pencatatan nikah dan kematian. Sedangkan agama-agama Rusia lain dibatasi hak-hak dan fasilitas istimewanya. Namun sejak revolusi 1917, Dewan Rakyat (the Council of People’s Commisars) mengambil alih semua hak milik gereja dan tempat ibadah agama lain serta mencabut status hukum seluruh organisasi keagamaan. Pada beberapa saat di masa Perang Dunia II, Gereja Ortodoks Rusia pernah muncul kembali dan gereja-gereja kembali dibuka untuk menumbuhkan semangat patriotisme. Namun, satu dekade setelah perang pecah, gereja-geraja yang pernah dibuka lagi itu ditutup kembali dan praktik-praktik keagamaan mulai menurun.30 Ketika federasi Rusia terbentuk setelah jatuhnya Uni Soviet, hubungan antara negara dan agama ditata ulang baik melalui undang-undang dasar maupun undang-undang. Pasal 14 Undang-Undang Dasar Federasi menyatakan Rusia sebagai negara sekuler sehingga tidak akan ada negara yang dibangun berdasarkan satu agama tertentu. Undang-Undang dasar juga menyebutkan bahwa semua asosiasi keagamaan memiliki posisi setara di depan hukum. Sementara itu, bebas dari diskriminasi atas nama agama dijamin oleh Pasal 19 dan hak untuk bebas dari wajib militer karena alasan moral atau keagamaan untuk kemudian melakukan pelayanan publik lain sebagai alternatif dijamin oleh pasal 59. Bahkan, pasal 28 undang-undang dasar juga dengan jelas melindungi hak untuk tidak menganut satu agama pun. 30 Lev Simkin, “Church and State in Russia” dalam Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters 2003), hlm. 261, 262. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Perubahan-perubahan undang-undang dasar ini sudah dielaborasi, diklarifikasi bahkan mungkin dibatasi oleh undang-undang yang mengatur hubungan antara gereja dan negara. Setelah kebijakan “Perestroika” Gorbachev, hubungan antara negara dan sektesekte keagamaan dinormalisasikan kembali oleh Undang-Undang (law) tahun 1990 tentang “kebebasan beragama”. Pada dekade inilah, jumlah organisasi agama yang terdaftar naik sampai 20.000. Hanya setengah diantara organisasi-organisasi tersebut yang merupakan organisasi Kristen Ortodoks Rusia, yang berarti bahwa jumlah agama minoritas telah berkembang selama masa itu. Organisasi-organisasi tersebut kini diperbolehkan untuk mengorganisasi massa, dan boleh terlibat dalam kegiatan missi keagamaan dan sosial. Kepercayaan terhadap agama naik, dari kira-kira 20% pada tahun 1980 menjadi 48% pada akhir tahun 90-an.31 Pada tahun 1997, negara membatasi kebijakan liberal ini dengan menetapkan UndangUndang tentang “Kebebasan memeluk kepercayaan dan mendirikan asosiasi keagamaan” untuk mengatur hubungan gereja dan negara. Di bawah ketentuan UU ini, organisasi keagamaan harus mendaftarkan diri mereka kembali sebelum tahun 2000, namun hanya mereka yang sudah berdiri di Rusia selama 13 tahun yang berhak menyandang status sebagai organisasi keagamaan. Ketentuan ini dengan demikian hanya memberikan hak-hak yang tersebut diatas kepada organisasi keagamaan yang terdaftar dan tidak pada mereka yang tidak terdaftar. Artikel 11, 18, dan 23 UU ini menyatakan bahwa “hanya organisasi keagamaanlah yang bisa “mendirikan dan memelihara bangunan-bangunan keagamaan, memiliki akses terhadap rumah sakit dan penjara, menyelenggarakan pelajaran tambahan di sekolah-sekolah negeri, mendirikan struktur organisasi sosial, dan terlibat dalam kegiatan bisnis”.32 Organisasi keagamaan juga dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penghasilan yang didapatnya dari aktivitas keagamaan atau penjualan barang-barang keagamaan. Jika bangunan ibadah yang mereka miliki dilindungi sebagai monumen budaya dan sejarah, maka mereka betul-betul dibebaskan dari kewajiban membayar pajak tanah.33 31 Simkin, hlm. 263 Vsevolod Chaplin, “Law and Church-State Relations in Russia: Position of the Orthodox Church, Public Discussion and the Impact of Foreign Experience.” Law and Religion in Post-Communist Europe. Eds. Silvio Ferrari, W. C. Durham, Jr. (Leuven, Belgium: Peeters, 2003), hlm. 282 33 Simkin, hlm. 278, 279 32 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Pembukaan Undang-Undang tahun 1997 mengakui pentingnya peran sejarah Gereja Ortodoks di Rusia, namun ia tidak memberikan gereja ini status hukum khusus. Namun demikian, motif utama pembuatan UU ini sebetulnya adalah untuk melindungi Gereja Ortodoks. Beberapa pembuat UU memperlihatkan keinginan mereka untuk melindungi Gereja ini dari invasi sekte-sekte keagamaan lain. Salah satu efek penting disahkannya UU 1997 ini adalah pengalihan kepemilikan properti dan bangunan yang digunakan untuk tujuan-tujuan keagamaan dari negara ke gereja. Pengalihan ini merupakan usaha untuk menebus pengambilalihan yang pernah dilakukan oleh negara pada permulaan era komunis terhadap properti milik gereja.34 Meskipun UU 1997 dan perundang-undangan yang lain mengenai pendidikan, militer dan pajak jelas-jelas melindungi status Gereja Ortodoks Rusia, namun UU itu juga berisi mengindikasikan karakter negara sekuler. Secara keseluruhan, UU ini meminta negara untuk tidak mempercayakan fungsinya pada asosiasi keagamaan, begitupun negara dan otoritas lokal tidak boleh memasukkan perayaan keagamaan apapun dalam aktivitasnya. Negara tidak boleh mencampuri urusan agama dalam mengasuh anak dan tetap harus menjamin bahwa pendidikan negeri tetap bersifat sekuler. Hanya sertifikat pernikahan yang disahkan oleh catatan sipil yang dianggap sah, sedangkan perayaan pernikahan yang dilaksanakan di gereja tidak memiliki efek hukum apapun. Asosiasi keagamaan diperbolehkan untuk menjalankan urusannya sesuai dengan aturannya sendiri, tetapi mereka tidak bisa berpartisipasi dalam pemilihan, gerakan dan aktivitas partai politik, atau memberikan bantuan material kepada mereka.35 Bertingkatnya UU yang dikeluarkan oleh pemerintah Rusia mengenai hubungan antara agama dan negara berakhir pada banyaknya kontradiksi. Misalnya UU 1996 tentang pendidikan melarang aktivitas lembaga keagamaan di sekolah, tetapi UU 1997 mengizinkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Kontradiksi ini kemudian diselesaikan dengan cara-cara berikut ini: administrasi sekolah memang tidak diperbolehkan untuk memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum standar, 34 35 Simkin, hlm. 261-277 Simkin, hlm. 269 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im tetapi mereka dapat menyetujui permintaan orang tua atau keinginan anak untuk mengizinkan organisasi keagamaan mengajarkan agama kepada mereka diluar kurikulum. Setelah umur 14, anak-anak boleh memilih sendiri apakah mereka ingin menerima pendidikan agama atau tidak, namun izin orangtua tetap disyaratkan sampai anak mencapai umur ini.36 Kontradiksi ini menunjukkan adanya ketidasepakatan di Rusia mengenai karakter dan tingkat hubungan antara gereja dan negara yang tepat. Misalnya, pemisahan antara agama dan negara dibatasi dengan perundang-undangan yang memperbolehkan negara untuk membatasi kebebasan beragama jika dibutuhkan untuk melindungi struktur konstitusi, moralitas, kesehatan, hak asasi manusia, dan kepentingan hukum seseorang dan untuk menjamin pertahanan dan kemanan negara”.37 Perundang-undangan lain yang dianggap memihak Gereja Ortodoks Rusia adalah UU yang memperbolehkan hak kepada otoritas lokal untuk mengeluarkan organisasi keagamaan yang tidak diterima dari daerahnya.38 Kebangkitan kesadaran keagamaan di Rusia sejak jatuhya Uni Soviet berakhir pada lahirnya sejumlah pendapat berbeda mengenai hubungan agama dan negara. Meskipun sulit untuk mengidentifikasi model spesifik yang bisa langsung diterapkan dalam konteks Rusia sekarang, pandangan tradisional Eropa yang lebih memberikan ruang bagi terjadinya kerjasama yang lebih dekat antara agama dan negara nampaknya lebih mungkin diterima disana daripada model Amerika atau Perancis yang cenderung mendukung pemisahan yang lebih besar dan menuntut adanya “buffer zone” antara keduanya.39 Namun, pengalaman masyarakat Rusia juga berbeda dengan masyarakat Eropa seperti Inggris dan Swedia yang sudah berusaha untuk mengendurkan ikatan mereka dengan Gereja resmi. Rusia, yang secara hukum dan sosial sudah lama menjadi negara sekuler, belakangan ini malah mengizinkan, bahkan mendorong, pengakuan Gereja Ortodoks Rusia sebagai geraja negara, meskipun tidak melalui instrumen hukum. 36 Simkin, hlm. 275 Simkin, hlm. 266 38 Simkin, hlm. 267 39 Chaplin, hlm. 292 37 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Perancis Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang mengalami dominasi Gereja Katolik, Perancis memiliki tradisi pemisahan antara negara dan gereja yang cukup tua yaitu sejak masa Revolusi Perancis. Pendekatan perancis terhadap sekulerarisme ditandai dengan adanya istilah laicite. Sebuah kata yang tidak hanya bermakna netralitas negara terhadap agama, tetapi juga menandakan adanya komitmen yang kuat untuk menyebarluaskan seperangkat nilai-nilai sipil dan nasional. Pasal 10 Declaration of the Rights of Man and Citizen (Deklarasi Hak-Hak Manusia dan Warga Negara) tahun 1789 memproklamirkan kebebasan untuk menganut kepercayaan, dan Bab I Undang-Undang Dasar 1791 menjamin kebebasan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Meskipun para pembuat dokumen itu pada awalnya hanya bermaksud mensubordinasikan posisi gereja dari kekuasaan sipil, kebijakan ini, terutama pada masa teror, kemudian beralih menjadi kebijakan yang secara sistematis berusaha untuk memerangi agama Kristen.40 Keputusan pemerintah tahun 1795 menjadi landasan bagi pemisahan ketat antara gereja dan agama dan melarang negara membiayai agama ataupun mengakui keberadaan kementrian agama. Concordat tahun 1801, keputusan unilateral yang dibuat oleh Perancis namun tidak diterima oleh Vatican, dibuat untuk meredakan ketegangan dan mengklarifikasi hubungan antara negara dan agama di Perancis. Dokumen ini memungkinkan otoritas sipil untuk mengontrol kementrian agama dan kehidupan keagamaan di sana. Beberapa waktu kemudian, instrumen hukum yang sama diberlakukan untuk memberikan kekuasaan kepada negara untuk mengontrol Gereja Protestan Lutheran, Gereja Reformasi dan Agama Yahudi. Namun demikian, empat lembaga keagamaan yang diakui ini bisa mempertahankan status istimewa seperti jaminan hukum atas posisi menteri agama, gaji dan status hukum properti, selama abad 19. Tetapi, selama abad ini pula, banyak perdebatan mengenai hubungan antara agama dan negara yang muncul. Ada pihak yang berusaha menghidupkan kembali “rezim lama” dan mendukung 40 Brigitte Basdevant-Gaudemet, “State and Church in France.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 120 Concordat adalah kesepakatan yang dibuat oleh Vatikan dan salah satu Negara sekuler (catatan dari pen.) ©Abdullahi Ahmed An-Na`im kekuasaan pemuka agama, tetapi ada pula pihak yang mendukung perubahan yang telah dibuat sejak tahun 1789 dan menentang gereja Katolik.41 Dalam konteks antagonisme politik seperti itulah, dua pandangan mengenai laicite lazim berlaku, yang satu anti pemuka agama sementara yang lain mendukung adanya pemisahan antara agama dan negara yang menguntungkan kedua belah pihak dan menghormati semua kepercayaan agama. pada akhir abad 19, pemahaman yang pertama dan radikal memenangkan perdebatan. Pada tahun 1905, setelah partai politik mendukung gerakan anti-pemuka agama berkuasa selama dua dekade dan setelah timbulnya perdebatan hangat tentang hubungan agama dan negara di Perancis, pemerintah memutuskan hubungan dengan Paus dan mengeluarkan Undang-Undang yang menegaskan pemisahan antara gereja dan negara, yang ternyata masih berlaku sampai sekarang. Di bawah aturan baru ini, negara menjamin kebebasan publik untuk beribadah namun mengakhiri keberadaan “Agama yang Diakui”. Gereja bukan lagi institusi publik dan menjadi bagian dari sektor privat. Sesuai dengan pasal 4 UU tahun 1905, kelompok keagamaan (religious assocaition) lama bisa membentuk “asosiasi kultural” (cultural association) yang menerima pengalihan kepemilikan tanah gereja. Meskipun sektor privat bisa mendapatkan dana dari negara, tetapi gereja tidak bisa mendapatkan dana tersebut kecuali untuk membiayai bangunan-bangunan keagamaan yang dianggap monumen.42 Paus mengutuk Undang-Undang tahun 1905 itu dan Gereja Katolik Perancis menolak untuk menerima perubahan statusnya karena takut kehilangan otoritas kepausan yang dimilikinya atas gereja-gereja katolik lain di Perancis. Gereja-gereja Katolik menolak untuk mendaftarkan diri sebagai “asosiasi kultural” dan lebih suka mengorganisasi diri dengan aturan mengenai kebebasan untuk membuat majelis publik atau kebebasan untuk membuat asosiasi. Di bawah aturan UU tahun 1905, negara tetap memiliki kewajiban untuk melindungi kebebasan menganut kepercayaan dan melakukan ibadah serta tetap berkomitmen untuk menyediakan kemungkinan bagi para penganut agama untuk menghadiri 41 42 Basdevant-Gaudemet, hlm. 121-122 Basdevant-Gaudemet, hlm. 122-125 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im perayaan keagamaan dan menerima instruksi keagamaan. Ini berarti bahwa negara tetap membolehkan adanya asistensi spiritual di tempat-tempat yang dibutuhkan orang seperti rumah sakit, penjara, militer, dan bahkan sekolah, dalam tahap tertentu.43 Meskipun pada prinsipnya undang-undang tidak memberikan status istimewa pada agama apapun, namun negara bisa mengeluarkan peraturan-peraturan lain yang memberikan keuntungan pada salah satu agama. Setelah Perang Dunia I, hubungan diplomatik antara Perancis dan Paus dibangun kembali. Pada tahun 1924 disepakati bahwa Gereja Katolik bisa mendirikan asosiasi keagamaan mereka menurut aturan khusus. Asosiasi-asosiasi itu akan bekerja di bawah otoritas uskup yang berada dalam komuni Paus dan harus sesuai dengan UndangUndang Gereja Katolik.44 Kelompok keagamaan lain memiliki hak implisit yang tertera dalam “kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan”, namun hak-hak tersebut tidak diberikan kepada kelompok-kelompok yang memiliki tujuan terlarang yang bertentangan dengan hukum dan moral”. Kelompok-kelompok yang termasuk dalam kategori terakhir ini tidak bisa menerima dana dari pemerintah kecuali dari donasi individu. 45 Kebijakan laicite pemerintah Perancis telah menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan pendidikan, pekerjaan dan hukum keluarga. Contohnya, kebebasan untuk mendapatkan pendidikan di Perancis adalah prinsip konstitusi yang telah dibentuk dan diterapkan melalui berbagai hukum pada abad 19. padahal, mayoritas siswa yang belajar di sekolah swasta masuk di sekolah Katolik. Sekolah Negeri menerima siswa tanpa mementingkan persoalan agama dan tidak menjadikan instruksi keagamaan sebagai kewajiban yang harus dilakukan oleh siswa. Pada pendidikan tingkat dasar, orang tua boleh mengatur pendidikan agama di luar sekolah semingu sekali untuk anak-anaknya. Sekolah tingkat menengah, dulu boleh menunjuk seorang guru dari gereja untuk mengajar para siswa, namun penunjukkan ini harus berdasarkan permintaan orang tua dan harus dibiayai sepenuhnya oleh mereka, meskipun bisa jadi 43 Basdevant-Gaudemet, hlm. 140 Basdevant-Gaudemet, hlm. 126 45 Basdevant-Gaudemet, hlm. 129 44 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im sebagian biayanya juga ditanggung oleh pihak gereja. Kelompok keagamaan yang diminta oleh sekolah bisa menominasikan kandidatnya yang kemudian akan ditunjuk oleh kepala sekolah.46 Dalam bidang pekerjaan, Undang-Undang Dasar Perancis melarang diskriminasi dalam pekerjaan karena alasan latar belakang suku, pendapat, atau kepercayaan. Klausul ini memiliki efek berbeda dalam konteks keagamaan tergantung bagaimana seseorang diperlakukan di tempat pekerjaannya; sebagai pemuka agama atau orang biasa. Mempekerjakan seorang menteri untuk memegang jabatan pastoral, dan ia digaji untuk pekerjaannya itu, tidak bisa mempergunakan undang-undang sekuler karena tidak ada kontrak kerja resmi. Pengadilan negeri tidak akan mereview keputusan uskup untuk mengangkat atau memecat seorang pastur. Menteri-menteri yang bekerja di penjara, rumah sakit, atau sekolah swasta yang memiliki hubungan kontrak dengan negara seperti yang diatur oleh UU tahun 1959 digaji oleh negara. Uang diberikan oleh negara untuk pembangunan tempat peribadatan baru, dan orang yang memberikan sumbangan untuk organisasi keagamaan mendapatkan keringanan untuk membayar pajak sampai jumlah tertentu. Pendeta protestan dan Rabi Yahudi memperoleh asuransi sosial dari negara sejak 1945. Pastor-Pastor Katolik berada di bawah sistem yang lebih kecil selama beberapa dekade, tetapi sejak tahun 1978, mereka telah berada di bawah otoritas asuransi sosial meskipun masih berada dalam rezim yang terbatas. Aturan bagi orang biasa (bukan pemuka agama) yang bekerja di gereja lebih kompleks lagi, apalagi karena gereja lokal memang tidak mendapatkan tempat dalam aturan hukum Perancis, sehingga hanya mereka yang bekerja pada organisasi-organisasi keagamaan besar yang dianggap valid. Pengecualian menarik lain yang dikeluarkan oleh pengadilanpengadilan Perancis sebagai bentuk ketundukkan pada aturan gereja adalah memberikan keputusan sah pada pemecatan guru-guru Katolik yang bercerai dan menikah lagi.47 Tantangan yang dihadapi konsep laicite di Perancis adalah desakan pluralisme keagamaan di negera itu. Ada sejumlah 750.000 orang penganut Protestan di Perancis 46 47 Basdevant-Gaudemet, hlm. 132-133 Basdevant-Gaudemet, hlm. 136-140 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im dan mereka mengorganisasi diri di bawah Federation Protestante de France sejak tahun 1901. Penganut Yahudi juga memiliki pemikiran yang sama. Mereka memiliki majelis Sinagog pusat yang menghimpun semua badan keagamaan Yahudi di Perancis dan memilih Pimpinan Rabi sebagai wakil mereka untuk negara. Jumlah orang Islam di Perancis juga terus bertambah (diperkirakan ada sekitar 4 juta muslim saat ini) dan saat ini mereka adalah kelompok agama terbesar kedua di Perancis setelah Katolik. Namun demikian, sampai saat ini umat Islam di Perancis tidak memiliki organisasi yang terpusat di Perancis dan kegiatan ibadah lebih banyak dilakukan di masjid-masjid sementara.48 Tidak seperti negara-negara Eropa lain yang berusaha memberlakukan kebijakan ekumenikalisme dan pluralisme, negara Perancis merespon ketegangan hubungan agama dan negara dengan memberlakukan sekularisme yang sungguh-sungguh memisahkan agama dan negara secara ketat. Namun penting untuk dicatat, sepanjang sejarah Perancis, pemahaman mengenai konsep sekularisme selalu berbeda-beda sehingga memberikan kemungkinan bagi terjadinya perubahan di masa yang akan datang. Bahkan, perbedaan pemahaman terhadap konsep sekularisme ini terus berperan dalam pembuatan keputusan politik di Perancis hingga saat ini.49 Untuk tujuan pembicaraan kita dalam buku ini, saya menyimpulkan bahwa pandangan Perancis tentang sekularisme bukanlah satu-satunya pandangan yang muncul di Eropa Barat, namun ide ini pun tetap diperdebatkan dan berkembang dalam konteks Perancis sendiri. Italia Model hubungan gereja dan negara di Italia yang berlaku saat ini bisa dirunut permulaannya pada proses unifikasi negara pada tahun 1870 yang ditandai dengan aneksasi Gereja Romawi dan penyerahan tanah kepausan kepada negara Italia baru. Akibat dari kejadian itu dan hilangnya kekuasaan sekuler Paus, proses unifikasi Itali menimbulkan krisis dalam hubungan antara negara dan gereja Katolik di sana. Kovenan Lateran tahun 1929 berusaha untuk membangun rekonsiliasi antara keduanya dengan 48 49 Basdevant-Gaudemet, hlm. 120 Troper, Michel, “French Secularism, or Laicité,” Cardoza Law Review, 21 (1999-2000), hlm. 1276-1281 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menjawab persoalan-pesoalan seputar kepemilikan teritori Gereja Katolik Roma di Itali, posisi Vatican City di kota Roma dan peran Gereja Katolik di Italia secara umum. UU No. 1159 juga dikeluarkan pada saat yang sama untuk memberikan kesempatan kepada kelompok-kelompok keagamaan untuk mendapatkan kapasitas hukum. Di bawah aturan UU tersebut, kelompok-kelompok tersebut memperoleh pembebasan pajak dan hak-hak lain yang berkaitan dengan lembaga-lembaga pendidikan dan kesejahteraan sosial yang dimilikinya. Namun, UU ini juga memberikan batasan tertentu pada mereka. Kesepakatan tahun 1929 menegaskan Kristen Katolik Roma sebagai satu-satunya agama yang diakui di Italia, sebuah posisi yang secara prinsipil bertentangan dengan, namun tak pernah dihapus oleh, Undang-Undang Dasar tahun 1948 yang berisi prinsip-prinsip negara sekuler, kesetaraan warga negara di hadapan hukum, dan kebebasan memeluk agama dan kepercayaan.50 Beberapa aturan hukum gereja yang, ternyata, ditemukan dalam Undang-Undang Dasar dimaksudkan sebaga upaya untuk menyeimbangkan perlindungan kebebasan dan persamaan hak individu dan jaminan sistem kerjasama negara dan sekte-sekte keagamaan. Undang-Undang Dasar juga menjamin kesamaan status sekte-sekte tersebut di hadapan hukum. Tapi, Pasal 7 Undang-Undang Dasar tahun 1948 memberikan ketentuan khusus pada Gereja Katolik Roma dengan menegaskan “Negara dan Gereja Katolik Roma adalah dua institusi yang independen dan berdaulat. Hubungan mereka diatur oleh Perjanjian Lateran. Amandemen apapun yang dilakukan atas perjanjian itu harus disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak harus mengikuti prosedur yang harus dilalui oleh lazimnya amendemen konstitusi yang lain”.51 Pada tahun 1984, pemerintah Itali dan Vatikan menandatangani revisi kesepakatan tahun 1929 yang kemudian menjadi undang-undang Itali setelah diratifikasi oleh parlemen Itali pada Maret 1985. Amandemen undang-undang tahun 1985 meneguhkan prinsip pemisahan negara dan agama (gereja yang bebas di negara yang bebas pula) dan 50 Mauro Giovannelli, “The 1984 Covenant between the Republic of Italy and the Vatican: A Retrospective Analysis after Fifteen Years.” Journal of Church and State (2000), hlm. 531. 51 Silvio Ferrari, “State and Church in Italy.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 172. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im memberikan preseden akan kemungkinan penandatanganan kesepakatan istimewa antara negara dengan, tidak hanya dengan Gereja Katolik Roma, tetapi juga dengan komunitas keagamaan apapun di Itali. Sejak saat itu, negara telah menandatangani sejumlah kesepakatan dengan berbagai komunitas agama untuk mengatur status hukum mereka, sekaligus mengakui pernikahan agama dan aktivitas sosial yang dilakukannya.52 Sistem kesepakatan negara Itali dengan sejumlah sekte keagamaan membentuk tiga level sistem. Posisi hukum paling tinggi dinikmati oleh Gereja Katolik Roma yang diperlakukan seperti negara berdaulat di bawah aturan hukum Itali. Komunitas agama lain yang memiliki kesepakatan dengan negara seperti beberapa sekte Kristen Protestan dan Yahudi menempati posisi kedua. Karena kelompok-kelompok ini telah menandatangani kesepakatan dengan negara Itali, keberadaan mereka tidak lagi diatur oleh UU tahun 1929. Kesepakatan yang mereka tandatangani memberikan mereka fasilitas-fasilitas istimewa berkaitan dengan keuangan, pendidikan agama dan pelayanan lembaga pastoral yang tidak dimiliki oleh komunitas agama level ketiga. Komunitas keagamaan ketiga ini adalah komunitas agama yang relatif baru berdiri di Perancis seperti umat Islam dan saksi Yehovah. Mereka diatur oleh UU No. 1159 tahun 1929 dan undang-undang umum tentang asosiasi yang berarti mereka tidak mendapatkan hak-hak istimewa seperti yang diperoleh dua level komunitas lainnya.53 Karena keberadaan sistem tiga level inilah, tidak ada ketentuan dalam hukum Itali yang berlaku bagi semua komunitas keagamaan untuk hal-hal seperti posisi lembaga pastoral, pembiayaan lembaga keagamaan, pelayanan pastoral, pendidikan agama dan hukum perkawinan.54 Selain itu, hukum gereja Itali memberikan wewenang besar kepada otoritas publik untuk menerima atau menolak permohonan negosiasi sekte agama apapun untuk menghentikan kesepakatan dengan negara; dan tidak ada kriteria objektif yang mengatur keputusan itu. Situasi hukum yang ad hoc ini telah melahirkan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara. Status istimewa pastur di Itali 52 Giovannelli, hlm. 531 Ferrari, hlm. 172-176 54 Ferrari, hlm. 174 53 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menyebabkan lahirnya perlakuan khusus pada mereka, misalnya tindak kejahatan yang menimpa mereka diperlakukan lebih serius. Sementara itu, undang-undang menganggap pastor tidak memiliki kapasitas hukum sehingga mereka dilarang untuk memegang jabatan publik seperti walikota, hakim, notaris, pengacara atau petugas pajak.55 Isu kontoversi lain berkaitan dengan pengajaran agama Katolik di sekolah-sekolah Negeri Itali. Pasal 9 kesepakatan tahun 1985 mengharuskan pemerintah untuk menjamin adanya pengajaran agama Katolik dalam sistem pendidikan sekolah-sekolah negeri selain universitas. Komunitas keagamaan lain yang memiliki kesepakatan dengan pemerintah bisa mengirim guru mereka ke sekolah, bila murid atau orang tuanya telah mendaftarkan diri untuk mendapatkan pengajaran agama. Tapi pembiayaannya dibebankan kepada institusi agama bersangkutan dan bukan menjadi tanggung jawab negara. Masalahnya kemudian, apakah kelas pendidikan agama diselenggarakan pada jam-jam sekolah atau diluarnya. Pengadilan konstitusi berkeyakinan bahwa kelas tidak bisa diselenggarakan bila jadwalnya bertabrakan dengan mata pelajaran wajib dan siswa yang tidak mengikuti kelas pelajaran agama bisa datang ke sekolah lebih awal atau lebih akhir.56 Tapi peraturan ini tidak berlaku bagi kelompok-kelompok agama yang tidak memiliki kesepakatan dengan pemerintah seperti umat Islam. Mereka tidak mempunyai hak untuk mengirimkan guru agama mereka ke sekolah. Setelah kesepakatan tahun 1985, sistem pembiayaan dan perpajakan untuk gereja dan lembaga keagamaan lain juga berubah. Masalah perpajakan muncul karena pemerintah mengakui kerja-kerja sosial yang dilakukan oleh pihak gereja. Keinginan pemerintah Itali untuk mendukung kontribusi sosial gereja Katolik ini harus diharmonisasikan dengan aturan undang-undang dasar yang mengakui kesetaraan posisi semua agama dan individu, tak peduli apapun agamanya.57 Keinginan ini kemudian mewujud dalam dua sistem pembiayaan bagi organisasi keagamaan. Pertama, berasal dari kuota pajak 55 Ferrari, hlm. 186 Giovannelli, hlm. 532 57 Giovannelli, hlm. 536 56 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im penghasilan. Di Itali, orang bisa memberikan sebagian penghasilannya kepada salah satu dari 3 lembaga ini: kegiatan sosial yang difungsikan oleh negara, Gereja Katolik Roma, atau sekte-sekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara. Kedua berasal dari potongan langsung penghasilan para anggota Gereja Katolik atau sekte yang mempunyai kesepakatan dengan negara.58 Kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk mempertahankan tradisi hukum dan sejarah negara Italia yang memang harus memenuhi kebutuhan gereja. Kebijakan kompromistis ini juga bisa dilihat sebagai bentuk pengembalian aset gereja yang pernah diambil negara pada abad ke-18 dan 19.59 Selain sistem pajak, hubungan keuangan negara dan gereja juga berlaku untuk masalah pelayanan pastoral. Kesepakatan tahun 1985 menyatakan bahwa pelayanan pastoral untuk para tentara, tahanan dan pasien rumah sakit dan klinik merupakan tanggung jawab pemuka agama Katolik yang ditunjuk oleh otoritas negara yang kompeten namun berdasarkan ajuan dari otoritas gereja. Pastor-pastor katolik yang memberikan pelayanan pastoral di institusi-institusi negara mendapatkan gaji dari negara. Sektesekte keagamaan yang menjalin kesepakatan dengan negara telah menegosiasikan hak mereka untuk memberikan pelayanan keagamaan yang sama di penjara, lembaga militer dan rumah sakit, namun gaji pemuka agama yang mereka utus menjadi tanggung jawab komunitas agamanya.60 Sekte-sekte agama yang tidak memiliki kesepakatan dengan negara tetapi diikat oleh UU No. 1159 juga bisa mendapatkan akses yang sama ke penjara, lembaga militer dan rumah sakit.61 Spanyol Seperti Itali, hubungan negara Spanyol dengan Gereja Katolik diatur oleh berbagai perjanjian atau kesepakatan. Pasca terjadinya gerakan reformasi dan kontra reformasi, banyak terjadi fusi antara kekuasaan politik dan agama di negara ini. Namun tak seperti di negara-negara Eropa yang Protestan, Kerajaan Spanyol tidak mengklaim kekuasaan keagamaan untuk dirinya sendiri, karena otoritas itu terletak pada kekuasaan Paus. Sebagai 58 gantinya, Kerajaan Ferrari, hlm. 182, 183 Giovannelli, hlm. 536, 537 60 Ferrari, hlm. 184, 185 61 Giovannelli, hlm. 537 59 mengembangkan dan menggunakan teknik-teknik ©Abdullahi Ahmed An-Na`im intervensi untuk memperlihatkan pengaruhnya pada urusan-urusan Gereja Katolik di sana.62 Hubungan intim antara negara dan kerajaan serta meluasnya asumsi bahwa Spanyol adalah negara Katolik akhirnya berakhir pada masa dikeluarkannya UndangUndang Dasar Republik Kedua tahun 1931 yang menyatakan bahwa Spanyol tidak memiliki agama resmi. Namun setelah Perang Sipil (1936-1939), fusi gereja dan negara ini dipulihkan kembali oleh Franco dan berpuncak pada kesepakatan tahun 1953. Di tahun meningalnya Franco (1975), Gereja Katolik mendapatkan fasilitas hukum dan keuangan yang luar biasa. Gereja mendapatkan dana dari negara untuk menggaji pastor, memberikan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri dan menerima dana dari sekolah yang dikelolanya. Selain itu, perundang-undangan yang berkaitan dengan moralitas publik merefleksikan pengaruh gereja.63 Namun, pandangan ini semakin sulit untuk dipertahankan karena dukungan massa terhadapnya semakin menurun ketika pesatnya perkembangan ekonomi di tahun 60-an mempromosikan masyarakat sekuler yang tidak lagi rela untuk menerima ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam kesepakatan tahun 1953 antara negara dan Gereja Katolik.64 Kebutuhan akan reformasi ini juga disadari oleh para petinggi gereja Katolik Spanyol. Kardinal Tarancon, Uskup Agung Madrid dan Ketua Konferensi Keuskupan Spanyol, dalam pentahbisan Raja Juan Carlos I pada November 1975, misalnya menyatakan bahwa Gereja Katolik mendukung perubahan politik yang akan memberikan kesempatan kepada warga negara untuk berpartisipasi secara bebas dan aktif dalam kehidupan negara. Ia juga mengatakan bahwa Gereja hanya ingin mempertahankan haknya untuk menyampaikan pesan-pesan keagamaan. Sikap kompromis gereja ini bukan merupakan persetujuan atas pemisahan ketat antara negara dan gereja, tetapi merupakan sebuah usaha untuk menghindari penyelesaian unilateral yang dipaksakan negara kepada gereja.65 62 Ivan C. Ibán, “State and Church in Spain.” State and Church in the European Union. Ed. G. Robbers (Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996), hlm. 94. 63 William J. Callahan, “Church and State in Spain, 1976-1991.” Journal of Church and State 34.3 (1992): 504. 64 Ibán 96 65 Callahan 503, 505 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Periode transisi antara kematian Franco pada tahun 1975 dan terbentuknya demokrasi sekuler pada tahun 1978 mendorong pemilihan umum dan pembuatan undang-undang dasar oleh konsensus partai politik saat itu. Perubahan yang terjadi, termasuk menghentikan fasilitas-fasilitas yang dinikmati oleh gereja sebagai cara untuk memperjelas hak-haknya. Sampai saat itu, sejumlah perjanjian dilakukan pemerintah Spanyol dengan Vatikan untuk mengganti kesepakatan tahun 1953. Negara mengakhiri “hak patronase tradisionalnya terhadap keputusan sidang para uskup dan mengakui hak Gereja Katolik untuk menyelenggarakan urusan-urusan keagamaan dan administratifnya, bebas dari intervensi negara. Sebaliknya, gereja juga mengakui pluralitas masyarakat Spanyol termasuk hak warga negara untuk mendapat kebebasan agama penuh”.66 Undang-undang dasar ini diperkuat oleh sejumlah undang-undang yang dibuat secara unilateral oleh negara termasuk undang-undang tahun 1980 tentang kebebasan beragama dan UU tahun 1981 tentang kebolehan perceraian.67 Kesuksesan partai sosialis (PSOE) pada pemilihan tahun 1982 menghasilkan pemerintahan mayoritas dan perdana menteri yang sosialis. Kepemimpinan PSOE yang sebelumnya dikenal sangat anti-pemuka agama, berusaha untuk tapi memberikan rasa aman kepada Gereja Katolik ketika mereka menjalankan pemerintahan pada pemilihan 1982. Pemerintahan saat itu menerima sejumlah perjanjian yang dibuat dengan Vatikan dan statusnya sebagai perjanjian internasional termasuk kesepakatan mengenai kewajiban negara untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja. Namun, pemerintahan sosialis ini juga berbeda pendapat dalam beberapa hal dengan pihak Gereja, seperti dalam masalah moralitas publik. Meskipun para pemuka gereja mendukung perubahan konstitusi yang mempromosikan demokrasi dan pluralisme, mereka masih mengungkapkan pandangan tentang harusnya konstitusi memasukkan beberapa nilai kepercayaan Katolik dalam hal-hal semisal pernikahan, pendidikan, dan penghormatan kepada sesama manusia.68 66 Callahan 506 (quoting “Textos oficiales,” Acuerdos entre la Iglesia y Espana, 778-81, 785-90) Ibán 97 68 Callahan 512 67 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Masalah yang nampaknya paling sering diperdebatkan dalam konteks hubungan agama dan negara adalah masalah pendidikan. Undang-Undang Dasar dan undang-undang lainnya mengungkapkan bahwa negara menghormati hak orang tua untuk menentukan pendidikan moral dan agama anak-anaknya, dan menjamin tetapnya penghormatan terhadap nilai-nilai Kristen dalam proses pengajaran di sekolah-sekolah negeri. Negara juga sepakat bahwa pendidikan agama harus tetap dilanjutkan di sekolah-sekolah negeri meskipun menghadirinya bukan lagi merupakan satu kewajiban. Hak untuk mendirikan lembaga pendidikan swasta dan hak orang tua untuk memilih sekolah swasta diberlakukan. Negara juga setuju untuk tetap membiayai sekolah-sekolah gereja sampai gereja itu dapat mengembangkan sistem pendanaan sendiri. Pada Februari tahun 1983, pemerintah mengumumkan rencana reformasi organisasi pendidikan dan keuangannya. Kontroversi yang muncul seputar rencana tersebut adalah seberapa banyak dan besar kontrol pemerintah pada sekolah-sekolah gereja. Pemerintah ingin memaksakan suatu kondisi agar ia dapat terus membiayai sekolah-sekolah gereja seperti dengan mengharuskan sekolah untuk menerima kesepakatan kontrak dengan pemerintah, dan menyerahkan seluruh aspek administrasi pada majelis yang sudah dipilih. Selain itu, sekolah juga diharuskan untuk mengakui kebebasan akademik guru dan kebebasan staf dan siswa untuk mengikuti keyakinan yang dipercayainya dan untuk tidak mengharuskan orang untuk menghadiri pelayanan-pelayanan keagamaan.69 Pemerintah juga mengusulkan agar karakter institusi-institusi keagamaan harus disetujui oleh otoritas publik, namun usulan ini dianggap inkonstitusional oleh Pengadilan Konstitusi berdasarkan kesepakatan antara gereja dan negara yang sudah dibuat lebih dulu. Usulan ini menimbulkan ketakutan akan terancamnya identitas sekolah-sekolah Katolik yang akhirnya memicu protes sekitar 250.000 orang pada saat pemutusan suara terakhir. Perundang-undangan lain mengenai pendidikan yang memicu ketegangan adalah Rancangan Undang-Undang mengenai kurikulum yang menganggap kurang pentingnya pelajaran agama dan menghapusnya dari daftar bidang studi yang menentukan penerimaan seseorang di universitas. Selain itu, pada tahun 1988 pemerintah juga memutuskan untuk mulai menerapkan skema aturan swa- 69 Callahan 507-515 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im pembiayaan gereja yang sudah dirancang dalam kesepakatan tahun 1979. Meskipun ketegangan mengenai masalah pendidikan ini terus muncul, namun pemerintah tetap menjalankan kewajibannya kepada gereja dan menggaji para pemuka agama.70 Selama dekade 80-an, sayap konservatif Gereja Katolik memperparah pemisahan moral antara negara dan gereja. Dalam Surat Pastor tahun 1990 tentang “kondisi moral bangsa”, para uskup berpendapat bahwa mental moral masyarakat Spanyol lemah dan mereka menyalahkan negara atas hal ini. Surat tersebut menyatakan keberatan atas bebasnya propaganda ideologi yang kerap bertentangan dengan agama dan banyak digunakan untuk meniadakan atau mengolok-olok “apa yang dimaksud dengan Katolik”. Partai Sosialis menganggap surat tersebut bertentangan dengan demokrasi, sedangkan pemerintah menolaknya karena menganggap surat itu keliru sekaligus menolak pernyataan dalam surat itu tentang keinginan negara untuk mengeliminasi agama Kristen dari Spanyol. 71 Meski terjadi ketegangan antara negara dan gereja mengenai masalah pendidikan dan moral, ide hubungan antara keduanya di Spanyol masih bisa dideskripsikan sebagai ide yang melindungi kebebasan beragama dan mendukung praktik-praktik agama yang sudah terlembagakan dan tetap melindungi mereka yang tidak beragama atau mereka yang cenderung mengikuti pandangan keagamaan yang tidak konvensional, termasuk mereka yang meremehkan agama. Fasilitas istimewa yang diberikan pemerintah kepada Gereja Katolik sangat jelas dalam masalah pemberian dana dan pajak. Gereja Katoliklah satu-satunya kelompok agama yang mendapatkan dana dari pemerintah. Seperti di Itali, meskipun sistem ini mengatur agar Gereja Katolik mendapatkan uang seperti dalam sistem pajak gereja, sebenarnya sistem ini merupakan bagian dari sistem perpajakan negara secara keseluruhan. Pembayar pajak bisa mengalihkan prosentase pajak penghasilan mereka kepada Gereja Katolik atau untuk tujuan-tujuan sosial lain. Jumlah ini mengurangi atau menambah beban pajak yang harus dibayar, tapi merupakan pengurangan dari pajak yang seharusnya dibayar. Pengurangan pajak seperti ini hanya berlaku bagi donasi kepada Gereja Katolik atau kepada sekte keagamaan yang memiliki 70 71 Callahan 515, 517 Callahan 517,518 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im perjanjian dengan negara. Selain pemasukan dari pajak, negara masih membayar gaji untuk guru-guru agama, pastur yang bekerja di militer dan penjara, bantuan keuangan untuk institusi sosial dan kesehatan milik Katolik. Sayangnya, semua fasilitas ini tidak berlaku bagi komunitas agama lain.72 Amerika Serikat Usaha untuk memperjelas hubungan antara gereja dan negara di Amerika Serikat terjadi dalam kerangka konsensus yang dicapai pada masa Revolusi Amerika. Walaupun para pemimpin revolusi memiliki beragam kepercayaan, mereka hampir sepenuhnya sepakat pada sejumlah prinsip termasuk hak individu untuk memeluk suatu agama dan melaksanakan kewajibannya tanpa paksaan dari negara. Mereka percaya bahwa tidak boleh ada gereja resmi, tidak ada test keagamaan untuk pegawai negeri, dan pentingnya kebebasan untuk mempraktikkan agama. Ide-ide ini diungkapkan melalui Konstitusi dan Bill of Rights Amerika terutama dalam Amandemen Pertama (First Amandemen) yang menjamin dua elemen penting dalam apa yang disebut “Model Amerika” (The American Model) yaitu pemisahan gereja dan negara, di satu pihak, dan kebebasan untuk beragama, di pihak lain. Dokumen-dokumen dasar itu berusaha untuk melindungi pemerintah dari agama dan melindungi agama dari pemerintah secara simultan.73 Keputusan untuk memisahkan agama dari negara, dengan demikian, disertai dengan penghargaan yang sama kepada agama sebagai sumber yang penting bagi kehidupan etis yang mendukung bentuk pemerintahan republik.74 Agama jelas berperan besar dalam Revolusi Amerika, karena bahasa dan simbol keagamaan digunakan oleh para patriot revolusi untuk memperoleh dukungan dari masyarakat dalam meraih kemerdekaan. Selain Puritanisme yang lazim dianut oleh koloni Amerika awal, kebangkitan kesadaran keagamaan yang dikenal sebagai “Great Awakening” dan doktrin agama rasional ikut berperan besar dalam membangun alasan keagamaan Revolusi dan 72 Ibán 102-109 Susan Jacoby. Freethinkers: A History of American Secularism (New York: Metropolitan Books, 2004), hlm. 26-28. 74 Corbett, M. and J. Mitchell. Politics and Religion in the United States. New York: Garland Publishing, Inc., 1999, hlm. 83 – 84 73 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im kemudian mempengaruhi perkembangan politik pada masa berikutnya.75 De Tocqueville, pengamat masa pembentukan Amerika Serikat dari Perancis, mengatakan bahwa “Kristen di Amerika adalah sebuah institusi politik yang benar-benar berperan besar dalam mempertahankan bentuk pemerintahan republik di Amerika” dengan menyediakan konsensus moral yang kuat di tengah perubahan politik yang terus menerus terjadi.76 Tidak adanya gereja resmi dan kesamaan status semua agama melahirkan konsekuensi penting bagi kehidupan politik dan keagamaan di negara ini. Karena tidak ada dukungan resmi dari negara, gereja-gereja harus tergantung pada keanggotaan dan dukungan keuangan yang bersifat sukarela. Namun kondisi seperti ini membuat gerejagereja di Amerika tidak terlalu formal dalam menjalankan peribadatan, lebih demokratis, bersifat lokal dan lebih praktis dalam menetapkan tujuan-tujuan organisasinya. Para komentator masalah Agama Amerika selalu menggarisbawahi tendensi pragmatisme politik dan ekonomi yang cenderung bersifat duniawi sejak awal abad 19, “…lebih aktif, moralis, dan sosial daripada kontemplatif, teologis dan spiritual”.77 Beragamnya sekte keagamaan di Amerika dan adanya prinsip konstitusional tentang pemisahan agama dan negara menjadikan pluralisme agama sebagai nilai politik dan budaya yang dianut luas disana dan membuka kemungkinan bagi berkembangnya gereja-gereja yang independen.78 Pandangan terhadap agama Kristen yang inklusif seperti ini dan patriotisme yang menyertai perkembangan gereja-gereja independen pasca periode Revolusi telah membukakan jalan bagi lahirnya apa yang disebut sebagai “Agama Sipil Amerika” (American Civil Religion). Tidak seperti Revolusi Perancis yang berusaha membangun agama sipil untuk menggantikan posisi gereja, agama sipil Amerika tidak pernah bersikap keras kepada pemuka agama atau pada pendukung sekularisme. Malah, agama sipil Amerika meminjam berbagai tradisi agama dengan cara tertentu hingga rata-rata orang Amerika tidak melihat adanya konflik antara agama 75 Corbett and Mitchell, hlm. 48 Robert N. Bellah, “Civil Religion in America.” Daedalus 96 (1967), hlm. 12 77 Bellah, hlm. 12 78 Corbett and Mitchell, hlm. 106 – 107 76 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im dan negara. Bentuk agama sipil Amerika “mampu membangun solidaritas nasional, tanpa perlu bersaing keras dengan simbol gereja, dan memobilisasi motivasi personal yang kuat untuk meraih tujuan-tujuan nasional”.79 Bentuk ini direfleksikan dengan memasukkan referensi keagaman dalam dokumen-dokumen negara, lagu kebangsaan, deklarasi dan proses pelantikan presiden serta pengakuan negara terhadap hari libur keagamaan. Kesatuan agama dan nasionalisme, yang tetap menjadi kekuatan potensial dalam kehidupan politik dan sipil Amerika hingga hari ini, menyebabkan terbangunnya hegemoni agama Kristen Protestan di negara itu. Kemampuan pengadilan-pengadilan untuk menentang pembentukan agama resmi di Amerika, sebagiannya, karena kehadiran hegemoni informal satu agama. Gereja-gereja besar hanya membutuhkan sedikit dukungan karena mereka memiliki telah kekuasaan dan pengaruh informal.80 Selain terbentuknya agama sipil Amerika, Protestan Evangelis tetap menjadi kekuatan inspiratif dalam kehidupan politik Amerika. Ia telah menjadi faktor yang signifikan untuk menumbuhkan semangat anti perbudakan di bagian utara Amerika menjelang pecahnya perang Sipil, namun ironisnya juga memperkuat komitmen penduduk di bagian selatan untuk mempertahankan ekonomi perbudakan.81 Para periode antara Perang Sipil dan Perang Dunia I, Protestan Evangelis memberikan dukungan yang berarti kepada sejumlah gerakan yang menginginkan adanya purifikasi moral dan budaya dalam kehidupan sipil dan politik di Amerika, termasuk larangan mengkonsumsi alkohol dan memberikan hak politik pada perempuan.82 Gereja-gereja juga telah menjadi partisipan aktif dalam pembuatan kebijakan publik mengenai isu-isu yang lebih luas seperti reformasi mata uang, kompensasi dari pelanggaran perusahaan, arbitrasi konflik internasional, dan berpartisipasi dalam proses demokrasi langsung melalui proses pemilihan inisiatif, referendum dan pemilihan ulang. 79 Bellah, hlm. 13 N. J Demerath and R. H. Williams. “A Mythical Past and Uncertain Future.” Society 21.4 (1984), hlm. 5. 81 Kenneth Wald, Religion and Politics in the United States. (New York: St. Martin’s Press, 1987), hlm. 183. 82 Wald, hlm. 142 80 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Kekuasaan informal agama resmi ini mulai terancam setelah Perang Dunia I ketika materialisme, ilmu pengetahuan dan sejumlah doktrin sekuler lain mulai melemahkan peran agama Kristen, khususnya protestan Evangelis, sebagai “prinsip nasional de facto”.83 Dalam debat-debat yang muncul seperti dalam pengajaran teori evolusi di sekolah, tradisi berfikir bebas yang sudah ada pada mayoritas penganut Protestan menemukan kembali kebaruannya. Meskipun terdapat sejumlah pandangan politik yang berbeda, “ada satu pandangan politik yang menyatukan semua pemikir bebas itu yaitu dukungan mereka pada pemisahan absolut negara dan agama yang diterjemahkan ke dalam tindakan menentang pemberian dukungan keuangan untuk lembaga-lembaga keagamaan khususnya sekolah-sekolah paroki”.84 Sejak Perang Dunia II, hubungan agama dan negara terus diwarnai ketidaksepakatan mengenai peran dan wilayah agama dalam kehidupan publik dan politik. Dalam banyak hal, keputusan Mahkamah Agung selama paruh kedua abad 20 telah memperdalam pemisahan antara agama dan gereja dengan tidak memasukkan aktivitas agama dalam ruang, waktu dan anggaran publik terutama dalam masalah pendidikan dan sekolah negeri, seperti yang tercermin dalam keputusan mengenai misa sekolah.85 Kalangan Kristen konservatif merespon kecendrungan ini dengan melakukan banding di pengadilan dan kampanye untuk mempengaruhi politik. Kampanye banyak dilakukan untuk mendukung adanya misa di sekolah, program voucher yang memberikan kebebasan pada orang tua untuk memilih sekolah untuk anak-anaknya dan kebebasan sekolah Kristen untuk beroperasi dengan intervensi yang kecil dari pemerintah. Kristen konservatif juga berusaha untuk mempertahankan ikatan keluarga tradisional, agama ortodoks, dan pendekatan puritan terhadap moral yang menekankan kelurusan moral individu. Seperti yang sudah diperkirakan, trend tersebut juga tercermin dalam sejumlah pandangan partai politik dan kampanye mereka tentang beberapa isu. Kampanye untuk menentang buku-buku sekolah yang “cabul”, hak-hak kaum gay, dan kesetaraan hak 83 Demerath and Williams, hlm. 4 Jacoby, hlm. 153 85 Demerath and Williams, hlm. 4, 5 84 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im perempuan, mampu menarik banyak pendukung terutama dari kalangan penganut Protestan Evangelis yang memahami keterlibatan mereka dalam isu-isu tersebut sebagai jihad untuk membela nilai-nilai dan lembaga Kristen tradisional.86 Namun, aktivisme politik yang terorganisir semacam itu tidak hanya terjadi kalangan Protestan. Gerejagereja yang berasal dari politik sayap kiri juga memiliki sejarah lobi politik yang sama baik mengatasnamakan isu hubungan etnis, perang terhadap kemiskinan, atau mengakhiri perang Vietnam. Mereka juga berusaha untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika sesuai dengan pandangan mereka. Aktivisme sosial dari sayap kiri biasanya muncul dari sekte-sekte utama Kristen Protestan, gereja Afrika Amerika, dan Yahudi. Gereja Katolik juga ikut terlibat dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri, masalah-masalah ekonomi dan mempertanyakan kebijakan seperti aborsi dan homoseks.87 Komitmen negara Amerika untuk tidak cenderung pada salah satu sekte keagamaan telah teruji dalam beberapa dekade ini dalam kasus-kasus yang melibatkan kelompokkelompok seperti Gereja Scientology, International Society untuk Krishna, dan Gereja Unifikasi yang menuntut kesamaan status di hadapan hukum. Larangan konstitusi untuk memihak pada salah satu komunitas agama diperkuat lagi oleh Mahkamah Agung sebagai prinsip yang penting untuk menjaga vitalitas konsep kebebasan beragama.88 Namun isu-isu tertentu masih terus berdatangan ke pengadilan seperti isu yang berkaitan dengan bahasa agama yang digunakan dalam sumpah kesetiaan, dan keberadaan monumen-monumen keagamaan di ruang-ruang publik. Bagaimana lembaga ini menyelesaikan isu-isu tersebut secara legal maupun politik, akan kita lihat nanti. Dengan demikian, jelas bahwa pemisahan hukum antara agama dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah status agama dalam kehidupan politik dan publik negara ini secara permanen melalui formula yang sederhana dan ketat.89 Sebagai kesimpulan atas review ini, jelaslah bahwa konsepsi dan pengalaman sekularisme Barat itu tidak mengidentikkan ataupun menarik agama dari ruang 86 Wald, hlm. 188 Corbett and Mitchell, hlm. 124-6 88 James Wood, “Abridging the Free Exercise Clause.” Journal of Church & State 32 (1990), hlm. 742 89 Corbett and Mitchell, hlm. 23 87 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im kebijakan publik dan undang-undang. Perkembangan kontekstual sejarah sekularisme dan kontroversi mengenai makna dan implikasinya dalam praktik terus bergulir sampai hari ini di semua negara Barat. Kesimpulan ini juga muncul ketika kita mereview pengalaman negara lain yang relevan seperti Jerman90 dan Belanda91. Namun yang terpenting bagi bagi saya adalah bagaimana review pengalaman ini relevan untuk kondisi masyarakat Islam saat ini. Selain itu, pengalaman sekularisme masyarakat Barat dan implikasinya juga sangat berguna untuk memahami proses-proses yang terjadi berikutnya di tengah-tengah masyarakat mereka. II. Upaya Kontekstual untuk Memediasi Ketegangan Karena setiap masyarakat perlu menegosiasikan hubungan antara agama dan negara dalam konteksnya sendiri, maka tidaklah mungkin dan tidak pula diperlukan untuk memprediksi hasil kebijakan berdasarkan sebuah pra-konsepsi tentang hubungan ini. Malah, kita harus mencoba untuk mengidentifikasi faktor dan aktor yang relevan dalam proses ini dan mengatur proses interaksi mereka untuk meningkatkan prospek netralitas negara yang genuine dan berkelanjutan. “Netralitas negara tidak boleh dilihat sebagai cara yang abstrak, melainkan sebuah proses dialog yang berkelanjutan dengan identitas dan kebebasan beragama individu”.92 Di Amerika misalnya debat politik dan tuntutan hukum seputar peran agama dan kebijakan publik terjadi dalam konteks debat politik dan budaya yang lebih luas mengenai masalah-masalah seperti makna nilai-nilai tradisional dan nilai-nilai keluarga, kebebasan beragama, otonomi personal dan kebebasan untuk memilih. Dengan demikian, dalam kontroversi mengenai aborsi, contohnya, mereka yang setuju bisa mengklaim bahwa aborsi adalah persoalan otonomi perempuan, namun mereka yang tidak setuju juga bisa menyatakan bahwa negara harus melindungi kehidupan sebuah janin. Keduanya bisa menggunakan justifikasi keagamaan untuk memperkuat posisinya, baik argumen itu diungkapkan dengan jelas atau tidak. Negara harus menyelesaikan kontroversi ini dengan mengambil salah satu 90 Richard Puza “The Development of the Relationship between the Church and State in Germany in 2001.” European Journal for Church and State Research 2002 (9): 11. 91 Sohpie Van Bijsterveld, “State and Church in the Netherlands.” State and Church in the European Union, Ed. G. Robbers. Baden-Baden: Nomos Verlagsgesellschaft, 1996, hlm. 209. 92 Rik Torfs, “New Liberties and Church-State Relationships: Synthesis.” “New Liberties” and Church and State Relationships in Europe (European Consortium for Church-State Research, Milan: Dott A Giuffre Editore, 1998), hlm. 10. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im pendapat sebagai kebijakan atau undang-undang resmi. Tapi, pilihan apapun yang diambil, pilihan tersebut pasti ditentang oleh pilihan lain yang tidak diadopsi oleh negara. Saya akan mendiskusikan proses ini lebih lanjut dalam bagian lain, namun berikut beberapa refleksi mengenai bagaimana memahami sesuatu di balik ketegangan permanen ini. Ketegangan yang mendasari negosisasi itu adalah mengenai bagaimana dan seberapa besar otonomi otoritas keagamaan dari otoritas hukum dan politik negara. Di satu sisi, negara harus mengontrol institusi kegamaan untuk memenuhi kewajibannya dalam menjaga perdamaian, mempertahankan stabilitas politik, dan mencapai perkembangan ekonomi dan sosial. Seperti yang sudah dicatat tadi, negara harus bisa memiliki kontrol atas teritori dan warga negaranya agar bisa memediasi dan menyelesaikan pilihanpilihan kebijakan publik yang berlawanan. Paradoksnya, negara tidak bisa mempertahankan netralitasnya terhadap agama tanpa melakukan kontrol terhadap aktivitas keagamaan warga negaranya. Di pihak lain, institusi-institusi keagamaan harus mempertahankan otonomi mereka dari kekuasaan kursif negara guna menjaga legitimasi doktrin dan praktik keagamaan mereka. Hal-hal seperti itu harus diatur sesuai dengan kerangka referensi internal dan otoritas institusi keagamaan yang independen tanpa campur tangan pejabat pemerintah yang akan cenderung memaksakan pandangan mereka. Dengan demikian saya akan memfokuskan diri pada cara untuk memediasi ketegangan hubungan antara negara dan agama yang inheren dan permanen ini. Breyy Scharffs, misalnya, menyarankan agar hubungan ini difahami dengan istilah independen, interdependen dan inter-independen.93 Menurutnya, otonomi independen antara negara dan agama berarti menerapkan sistem pemisahan antara keduanya, sedangkan otonomi interdependen bisa menjadi dasar yang digunakan untuk mengatur kerjasama antara keduanya, dan otonomi inter-independen (yang nanti akan saya sebut sebagai “intermediate” untuk memudahkan pengistilahan) menghasilkan sistem yang 93 Brett Scharffs, “The Autonomy of Church and State.” Brigham Young University Law Review (2004), hlm. 1248. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im mengatur akomodasi mereka.94 Ditinjau dari berbagai hal, pendekatan ini bisa konsisten dengan ide mengenai sekularisme sebagai proses negosisasi yang konstan, karena pendekatan ini bisa memotret sisi yang berbeda dalam satu rangkaian yang sama, bukan menganggapnya sebagai kategori-kategori yang berbeda. Negara apapun dapat mengadopsi posisi yang berbeda untuk menyelesaikan isu yang berbeda. Dalam beberapa isu, negara bisa mengadopsi posisi yang lebih dekat pada independen, tapi dalam isu yang lain posisinya bisa lebih dekat ke interdependen atau dalam posisi di antara keduanya. Bahkan ketika kita hanya menyebut sebuah posisi lebih dekat pada posisi ini atau itu, kita harus mengakui bahwa ada posisi yang tidak bisa masuk pada deksripsi umum. Dengan demikian, pilihan posisi negara bukan cuma satu, tetapi beragam dan pilihan-pilihan lain masih sangat terbuka dan bisa menjadi pilihan kebijakan pada masa yang akan datang. Inilah yang saya maksud dengan mengatakan bahwa sekulerisme sangat tergantung kondisi dan selalu diperdebatkan dimana pun. Paparan mengenai pilihan kebijakan yang akan dikemukakan berikut ini saya tempatkan dalam konteks 3 rangkaian kemungkinan ini, bukan dalam kerangka klasifikasi yang ketat. 1. Pandangan Independen Salah satu ujung rangkaian ini adalah ketika negara menerima independensi otoritas dan praktik keagamaan dengan tidak mendukung atau mencampuri urusannya. Dengan demikian, negara tidak akan menyediakan pendanaan langsung atau tidak langsung pada badan-badan keagamaan, dan tidak akan mencampuri urusan pengurus gereja, pendidikan agama, atau hukum dan undang-undang keagamaan. Tidak ada satu negara pun yang bisa dikategorikan memenuhi posisi ini, namun beberapa negara telah mengambil posisi seperti ini pada beberapa waktu untuk menyelesaikan beberapa persoalan. Ini bisa dilihat dari beberapa pengalaman Perancis, Amerika dan Swedia. Seperti yang sudah dicatat tadi, beberapa pandangan mengenai laicite yang berkaitan dengan interaksi antara negara dan agama, bermunculan di Perancis sejak Revolusi 94 Scharffs, hlm. 1220 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Perancis terjadi. Karena ketegangan antara Gereja Katolik dengan pemerintah dalam beberapa isu seperti pendidikan dan bahasa pengantar pelajaran agama terus memuncak, interpretasi yang ketat terhadap sekularisme pun diadopsi oleh Perancis pada akhir abad ke-19. Kebijakan ini terrefleksikan dalam Undang-Undag 1902 yang secara resmi memisahkan agama dan negara. Undang-undang ini menyatakan ketiadaan hubungan antara negara dan institusi-institusi keagamaan, dan agama dianggap telah kehilangan fungsinya dalam sosialisasi kenegaraan. Undang-undang dan konstitusi setelahnya berusaha untuk membuat agama dan negara semakin independen satu dari yang lain. Realitas pemisahan agama dan negara di Perancis ternyata tidak seketat dalam teori, karena negara sering memberikan dukungan kepada gereja. Sejak 1959, pemerintah Perancis selalu membayar gaji guru-guru yang mengajar di sekolah swasta, yang kebanyakan adalah sekolah-sekolah agama, dan memberikan ketentuan-ketentuan tertentu kepada mereka. Gereja, kuil dan sinagog yang dibangun di Perancis sebelum 1905 adalah milik negara dan diurus oleh negara, tetapi digunakan gratis oleh para pemuka agama.95 Kebijakan negara untuk membiayai Masjid Paris nampaknya merefleksikan fleksibilitas pemerintah Perancis dalam menginterpretasikan konsep pemisahan antara agama dan negara. Beberapa peristiwa dalam sejarah Perancis yang memperlihatkan baik penolakan dan kerelaan negara untuk mendukung pendidikan dan institusi agama telah diterima sebagai sebuah penafsiran yang cocok dengan konsep laicite.96 Pandangan terhadap sekularisme yang pragmatis itu baru-baru ini telah diuji kelayakannya dalam kasus ‘jilbab”. Pemerintah Perancis melarang siswi muslim menggunakan jilbab di sekolah-sekolah negeri, bahkan sebagian dari mereka dikeluarkan dari sekolah karenanya. Setelah debat publik yang intens terjadi selama berminggu-minggu, parlemen memutuskan untuk melarang penggunaan semua simbol keagamaan yang mudah dikenali di sekolah-sekolah negeri. Aturan ini harus diterapkan 95 Dominique Decherf, “French Views of Religious Freedom.” US-France Analysis. (http://www.brookings.edu/fp/cuse/analysis/relfreedom.htm), 2. 96 Troper, hlm. 1277 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im pada semua agama, seperti kopiah Yahudi dan turban penganut Sikh, hingga memenuhi aturan kesetaraan formal yang dianut konstitusi Perancis. Tah peduli apapun yang orang fikirkan tentang hal itu. Penentang kebijakan ini berargumen bahwa mentolerir ekspresi keagamaan para siswa tidak bertentangan dengan laicite, malah merupakan satu hal yang harus dipenuhi oleh negara sebagai tanda komitmennya terhadap netralitas dan kebebasan beragama.97 Tapi sebaliknya, pemerintah menyatakan bahwa tanggung jawabnya untuk menjaga netralitas agama dalam ruang publik harus diperlihatkan dengan menjaga pemisahan yang ketat antara agama dan negara.98 Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa kontroversi mengenai jilbab sebetulnya lebih mewakili persoalan integrasi imigran pada budaya dan kewarganegaraan Perancis yang menekankan loyalitas individu terhadap negara daripada persoalan pemisahan antara agama dan negara. Namun, negara Perancis terus mempertahankan dukungan pragmatisnya terhadap agama seperti dalam pendidikan dan masalah keuangan, meskipun tetap mempertahankan pemisahan yang ketat dalam masalah lain. Pembuatan klausul dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika bisa dipahami dalam kerangka pemisahan antara negara dan agama yang independen. Namun, meski posisi ini yang diambil, ketegangan antara keduanya masih tetap ada karena pilihan untuk menghapus agama dari pemerintahan dianggap penting “meskipun ada keyakinan yang luas bahwa ajaran dan praktik agama merupakan komponen yang krusial dalam ruang publik”.99 Ide pemisahan negara dan agama biasanya diekspresikan dalam makna dan implikasi yang disebut oleh Thomas Jefferson sebagai “wall of separation”. Dari pandangan ini, wilayah agama dan negara dipisahkan sehingga masing-masing tidak dapat mencampuri urusan yang lainnya, karena prinsip otonomi negara dan otonomi gereja mengharuskan adanya independensi masing-masing dari yang lain.100 97 Troper, hlm. 1280 Jonathan Laurence, “Islam in France: A Contest between the Wind and the Sun.” New Europe Review (2004), 13. 99 Kent Greenawalt, “Comment: Separation and Schools.” Cardozo Law Review 21 (1999), 1289. 100 Scharffs 1234-1235 98 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Pengaruh dan ketegangan yang muncul dari sikap independen ini bisa dilihat dari sejumlah keputusan pengadilan berkaitan dengan hubungan agama dan negara. Contohnya, perbedaan pendapat mengenai pemasangan monumen keagamaan di ruang publik seperti di ruang pengadilan mencerminkan interpretasi yang berbeda terhadap Amendemen Pertama Konstitusi Amerika. Ketegangan tercermin dari dua kelompok yang memiliki pendapat berbeda mengenai masalah tersebut. Kelompok yang disebut sebagai “kelompok Steven” (Hakim Steven, Souter dan Ginsberg) yang mendukung ide pemisahan menganggap pemasangan itu sebagai inkonstitusional. “Bagi mereka, pemerintah harus tetap jauh dari pesan-pesan apapun yang akan mendorongnya untuk menganut satu agama”.101 Dari sudut pandang ini, kegagalan untuk melaksanakan pemisahan yang ketat antara negara dan agama merupakan hal berbahaya bagi pemerintah dan agama. Sebaliknya, kelompok Rehnquist (hakim Rehnquist, Kennedy, Scalia, dan Thomas) berpendapat bahwa pengakuan pentingnya agama dalam kehidupan Amerika tetap sah secara konstitusional. Bagi kelompok ini, batas pelanggaran aparatur pemerintah adalah “ketika mereka menekan individu untuk menerima atau menolak satu agama atau memberikan dukungan berlebih pada agama tertentu sehingga pemerintah bisa dituduh mempromosikan kepercayaan agama ini”.102 Perbedaan pendapat juga terlihat dalam keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat baru-baru ini mengenai dua kasus yaitu Van Orden v. Perry dan McCreary v. American Civil Liberties Union of Kentucky, yang mempermasalahkan pameran “Ten Commandements” yang disponsori oleh pemerintah. Mereka yang menentang pameran itu berpendapat bahwa pemerintah mengakui pesan-pesan keagamaan Ten Commandement, yang berarti melanggar Klausul Amendemen Pertama. Sebaliknya mereka yang mendukung pameran Ten Commendement berpendapat bahwa penayangan itu merupakan bukti pengakuan resmi pemerintah terhadap signifikannya peran Ten Commandement dalam pengembangan hukum dan pemerintahan di Amerika. 101 The Pew Forum on Religion & Public Life, A Monumental Decision: Supreme Court Considers Constitutionality of Ten Commandments Display on Public Property, www.pewforum.org (2005), 6. 102 Pew Forum, 7 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Pada tanggal 27 juni 2005, suara Mahkamah Agung yang terpecah ini akhirnya mengeluarkan dua keputusan mengenai legalitas pameran Ten Commandements di bangunan atau benda-benda publik. Mahkamah Agung menganggap pemasangan monumen Ten Commandements di halaman gedung pemerintah di Texas sebagai konstitusional, tetapi tidak di dua ruang sidang di Kentucky. Dua keputusan itu nampaknya membenarkan strategi Mahkamah Agung untuk membuat keputusan mengenai isu ini berdasarkan kasus per kasus. Yang penting untuk pembicaraan kita saat ini adalah bahwa isu-isu yang berkaitan dengan makna dan implikasi pemisahan gereja dan negara atau netralitas negara terhadap agama ternyata masih menjadi bahan kontroversi dalam negosiasi politik dan hukum di Amerika. Seperti yang sudah dijelaskan secara singkat tadi, hubungan agama dan negara di Swedia terus berkembang pesat, karena dalam dua dua abad terakhir ini negara tersebut telah mengubah pandangannya yang kuat mengenai pentingnya keberadaan gereja resmi.103 Trend terbaru seperti imigrasi dan sekularisasi kultural telah menggerakkan pemisahan gereja dan negara selama tahun 90-an, seperti yang terlihat dalam pemindahan registrasi penduduk dari gereja ke otoritas pajak dan reformasi administratif lainnya. Perubahan-perubahan tersebut mencapai puncaknya pada pemisahan resmi negara dan agama pada tahun 2000, yang bisa difahami sebagai model hubungan negara dan agama yang independen. Namun, kenyataan bahwa Swedia tetap memberikan dana kepada organisasi-organisasi keagamaan, baik secara langsung maupun tidak, mengindikasikan bahwa ada usaha yang terus menerus untuk menegosiasikan makna dan istilah pemisahan ini. Swedia mungkin merupakan contoh peralihan menuju model independen yang paling nyata dan baru, meskipun pendekatan ini juga bisa dilihat dalam debat dan perkembangan negara-negara Eropa lain. Sat ini kampanye untuk menuntut pemisahan yang lebih jelas sedang berlangsung di Inggris, pun kampanye mengenai hubungan agama dan negara di Spanyol selama masa republik kedua, atau hubungan resmi antara agama dan negara di Rusia. Hal yang penting untuk kita catat adalah proses 103 Alwall, hlm. 391 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im yang terus berlanjut adalah negosiasi sekularisme, bukan penerapan sebuah model yang tetap di sebuah tempat. Berdasarkan perspektif inilah, saya akan melihat kemungkinan hubungan negara dan agama di negara-negara Barat di masa yang akan datang berdasarkan pengalaman mereka saat ini. 2. Pandangan Interdependen Ujung lain dari rangkaian posisi hubungan negara dan agama yang umum berlaku di negara-negara Eropa adalah otonomi yang berdasarkan interdependensi atau kooperasi.104 Pada posisi ini, berarti ada kerjasama dan interaksi tertentu antara negara dan agama, walaupun agama tidak menjadi bagian resmi dari negara. Contoh posisi interdependen ini termasuk pembiayaan negara terhadap asosiasi-asosiasi keagamaan baik secara langsung atau tidak langsung, kerjasama dalam pendidikan agama, negara yang bertindak atas nama gereja, atau campur tangan negara terhadap urusan-urusan gereja. Kenyataan bahwa negara menyetujui, mendukung dan memberikan perlakuan khusus kepada gereja tertentu nampaknya tidak konsisten atau mendukung prinsip otonomi negara dan gereja.105 Karena itulah logika untuk memahaminya adalah kita tidak harus menyetujui atau menolak model seperti itu karena merupakan proses negosiasi yang terjadi terus menerus dalam sebuah masyarakat. Menjelang revolusi periode modern yang demokratis, hubungan antara gereja dan negara di beberapa negara Eropa merefleksikan adanya hubungan yang intim antara kerajaan dan agama mayoritas. Pada masa pra-Revolusi Perancis dan pasca-Reformasi Spanyol, misalnya, kerajaan dan gereja Katolik bekerja sama untuk melegitimasi kekuasaan negara dan menjaga agama Katolik dari serangan Kristen Protestan. Model kerjasama seperti ini menyebabkan hubungan antara keduanya stabil dan saling menguntungkan dalam konteks historis saat itu, sampai kemudian lambat-laun terus berubah. Hubungan dekat semacam itu juga terjadi di negara-negara Kristen Protestan seperti Inggris dan Swedia, yang pada tingkat tertentu masih berlanjut sampai sekarang. 104 Roland Minnerath, “Church Autonomy in Europe.” Church Autonomy: A Comparative Survey. Ed. Gerhard Robbers (Frankfurt: Peter Lang, 2001), hlm. 381. 105 Scharffs, hlm. 1260 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Contohnya, di bawah Act of Supremacy tahun 1558, yang masih menjadi bagian undang-undang Inggris, penguasa kerajaan adalah “supreme governor” bagi Gereja Anglikan dan mengucapkan janji suci untuk mempertahankannya.106 Seperti yang dicatat di bagian lalu, kerajaan menunjuk Uskup Agung dan pejabat gereja lain dan memberikan kursi kepada Lords of Spiritual di House of Lords. Selain itu, hukum gereja juga masih menjadi bagian dari Common Law Inggris, dan aturan-aturan yang dibuat gereja harus diproses, disetujui dan diberikan status hukum resmi oleh Parlemen. Kontekstualitas proses ini terlihat dari “tetap dipertahankannya bentuk lahiriah konstitusi Inggris, namun pelaksanaannya terus berkembang sesuai dengan konvensi— dalam kasus ini berarti menuju gereja yang benar-benar lebih independen”.107 Dengan demikian, pengakuan negara atas Gereja Anglikan sebagai gereja resmi terus berlangsung meskipun keduanya memiliki tingkat independensi tertentu dari yang lain dan masih bekerja sama dan saling mendukung dalam hal-hal yang menguntungkan kedua belah pihak. Fleksibitas seperti ini bertujuan untuk memperkuat penerimaan sosial dan legal terhadap sekularisme dan pluralisme agama dengan tetap mempertahankan peran tradisional Gereja Anglikan sebagai rekan spiritual dan moral pemerintah. Rancangan interdependen ini juga dapat ditemukan di negara-negara Eropa lain, tapi saya akan mengulang secara singkat pengalaman negara-negara yang sudah saya kemukakan tadi. Model interdependen lebih jelas terlihat dari pengalaman-pengalaman negara yang berbasis Katolik seperti Spanyol dan Itali. Pada beberapa penggal sejarah mereka, hubungan negara dan gereja di kedua negara itu mengalami fluktuasi antara pemisahan yang kuat dan hubungan interdependen antara gereja dan negara. Sistem kesepakatan yang dibuat oleh negara dan gereja mengakui keberadaan keduanya sebagai pihak yang otonom, meskipun kesepakatan itu tetap memberikan kesempatan kepada gereja untuk mencampuri urusan-urusan negara, dan memberikan gereja fasilitas-fasilitas istimewa. Secara umum di Eropa, baik di negara-negara Katolik maupun Protestan, keberadaan gereja resmi telah direkonsiliasikan dengan pengakuan 106 Vernon Bogdanor, The Monarchy and the Constitution (Oxford, Oxford University Press, 1995), hlm. 216. 107 Cheryl Saunders, “Comment: Religion and the State.” Cardozo Law Review 21 (1999). ©Abdullahi Ahmed An-Na`im terhadap keragaman agama dan hadir bersamaan dengan sekularisasi kehidupan sosial dan budaya yang sedang meluas. Model otonomi interdependen seperti ini juga bisa dilihat di Rusia yang secara resmi mengakui pemisahan agama dan negara tetapi masih membangun kooperasi dengan gereja ortodoks. Setelah perubahan drastis yang terjadi pada tahun 90-an dan runtuhnya Uni Soviet, ada interdependensi yang terus tumbuh antara negara dan gereja; dimana kekuasaan simbolis gereja dikendalikan oleh negara sebagai kompensasi atas perlindungan dan keuntungan yang diberikan negara kepadanya. Pengalaman Rusia yang terbaru menunjukkan bagaimana masyarakat yang telah tersekulerkan selama masa berdirinya Uni Soviet, sekarang nampak mulai kembali menganut pandangan Eropa yang tradisional mengenai hubungan agama dan gereja. Model interdependen ini bisa juga tumbuh di negara yang lebih dekat ke model independen. Contohnya, daerah Alsace Lorraine di Perancis yang digabungkan ke Jerman setelah kekalahan Perancis pada tahun 1871 dan masih berada di bawah kontrol Jerman ketika undang-undang 1905 tentang pemisahan negara dan gereja diberlakukan di Perancis. Setelah PD I, ketika daerah itu dikembalikan ke Perancis, sistem kesepakatan gereja dan negara masih dipertahankan. Di Alsace Lorraine pemuka agama menerima gaji dari negara dan Uskup ditunjuk oleh Presiden, padahal di daerah Perancis lain, hal itu tidak terjadi.108 Dengan demikian model interdependensi antara gereja dan negara Perancis masih berlanjut di daerah tertentu, meskipun tidak di daerah lain. Begitupun di Jerman, ukuran interdependensi antara negara dan gereja berbedabeda di beberapa daerah. Di daerah daerah bekas Jerman Timur dan di negara seperti Berlin, pemisahan antara gereja dan negara merupakan hal substansial dalam beberapa hal, seperti dalam masalah pendidikan. Sementara di daerah lain seperti di daerah yang dikuasai oleh Katolik Bavaria, hubungan antara gereja dan negara terlihat lebih kuat. 3. Level Intermediate 108 Troper 1278-9 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Di antara posisi independen dan interdependen, terdapat kemungkinan yang amat luas bagi terjadinya kombinasi antara dua posisi itu, dimana negara dan gereja dapat mempertahankan independensinya masing-masing, namun negara diharapkan untuk membuat aturan-aturan tertentu untuk memberdayakan gereja dan memfasilitasi perannya dalam masyarakat. Berlawanan dengan asumsi yang kaku mengenai independensi dua lembaga ini, posisi intermediate mengakui keberadaan manusia sebagai makhluk yang lahir dan tumbuh dalam konteks sosial tertentu sebagai anggota keluarga dan komunitas.109 Pada saat yang sama, posisi ini juga mengakui bahwa otonomi merupakan hal yang tidak mungkin, jika negara memberi perlakuan khusus kepada agama tertentu atau berusaha memaksa individu untuk mempraktikkan ajaran agama tertentu. Komitmen untuk menghargai ruang dimana individu memiliki kebebasan untuk mengarahkan kehidupan mereka tanpa paksaan atau manipulasi, mengandaikan adanya pembedaan antara kehidupan publik dan privat, walaupun dengan tetap menyadari kemungkinan akan terjadinya persinggungan dan pengaruh yang saling menguntungkan keduanya”.110 Mengakomodasi agama untuk memainkan peran aktif dalam kehidupan politik dan sosial sebuah komunitas harus diupayakan menjadi sebuah usaha untuk menyeimbangkan realitas interdependensi dan sikap saling menghormati di kalangan agen otonom.111 Posisi Rehnquist, salah seorang hakim Mahkamah Agung AS yang sudah saya sebutkan tadi bisa menjadi contoh pendekatan intermediate. Posisi ini bisa difahami sebagai sebuah interpretasi terhadap prinsip pemisahan antara negara dan agama yang berpijak pada adanya hubungan moral dan sejarah yang mendalam antara keduanya. Untuk mempertahankan netralitas negara terhadap agama, hakim-hakim ini tidak akan mengharuskan proses peminggiran agama dari seluruh aspek kehidupan publik. Melalui perspektif ini, negara masih tetap bisa memberikan bantuan kepada institusiinstitusi keagamaan, yang memang sudah dilakukan, tanpa diskriminasi. Belanda bisa menjadi contoh untuk memperlihatkan hubungan agama dan negara model ini, dimana negara tidak memberlakukan pemisahan yang ketat dan memberikan dukungan 109 Scharffs, hlm. 1254 Scharffs hlm. 1255 111 Scharffs hlm. 1256 110 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im keuangan dan dukungan lain kepada komunitas-komunitas keagamaan utama tanpa mengistimewakan salah satunya.112 Pada saat yang sama, nampaknya pemerintah Belanda tidak tergantung pada agama untuk mendapatkan legitimasi bagi pemerintahannya seperti negara-negara yang memiliki gereja resmi. Posisi tengah ini bisa diterapkan saat ini, di negara-negara seperti Itali dan Spanyol yang secara resmi sekuler, tetapi tetap mendukung peran gereja sebagai agen sosial yang penting. 4. Hubungan Faktor Internal dan Eksternal Di samping peran historis dan kontemporer faktor-faktor internal dan eksternal, negosiasi sekularisme di negara-negara Eropa Barat juga dipengaruhi oleh kerangka pikir Uni-Eropa dan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa. Semua anggota Uni-Eropa adalah anggota Dewan Eropa, namun beberapa anggota Dewan, seperti Turki, bukanlah anggota Uni Eropa. Tugas utama Dewan Eropa adalah untuk melindungi Hak Asasi Manusia di Eropa sementara Uni Eropa yang awalnya hanya organisasi ekonomi berkembang menjadi organisasi yang juga mengurusi persoalan politik dan sosial. Kedua sistem ini mempengaruhi hubungan negara dan agama di negara-negara anggotanya.113 Kebijakan dan peraturan regional mengenai agama berusaha untuk menyeimbangkan pluralisme dan kebebasan beragama dengan tetap mengakui keberadaan gereja resmi dan pandangan yang berbeda mengenai hubungan agama dan di kalangan negara-negara anggotanya. Negosiasi mengenai makna dan implikasi netralitas negara terhadap otonomi gereja di dalam negeri kini dipengaruhi oleh perkembangan regional. Salah satu aspek utama faktor regional ini adalah Keputusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang berada di bawah aturan Konvensi HAM Eropa. Keputusan pengadilan itu merefleksikan penerimaannya yang sudah lama terhadap keberadaan gereja resmi negara. Dengan demikian, berdasarkan deksripsi di bagian lalu, pengadilan ini mengadopsi pandangan interdependen. Pandangan ini terbukti dalam kasus Darby melawan pemerintah Swedia (1990). Pengadilan bependapat bahwa gereja resmi boleh saja berdiri, tetapi ia tidak bisa memaksa orang untuk menjadi anggotanya atau 112 113 Van Bijsterveld, hlm. 220-24 Rivers, hlm. 45 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menghalangi mereka meninggalkan gereja. Pengadilan juga menyatakan bahwa negara boleh-boleh saja bekerjasama, mendukung atau memberi perlakuan istimewa pada gereja tertentu. Di samping itu, pengadilan juga berkeyakinan bahwa negara boleh menarik pajak secara langsung untuk kepentingan gereja resmi, dan mereka yang bukan penganut kristen bisa diminta untuk membayar pajak gereja, jika gereja itu melakukan fungsi-fungsi sekular seperti memberikan layanan pernikahan, menyediakan TK, dan lain sebagainya (kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan gereja-gereja di Eropa).114 Dalam kasus Kustannus, misalnya, pengadilan berkeyakinan bahwa perusahaan ateis yang menentang keberadaan gereja resmi, juga bisa diminta untuk membayar pajak gereja. Pengadilan juga menyetujui pajak yang hanya memberikan keuntungan pada satu atau beberapa gereja saja. Dalam kasus Iglesia Bautista El salvador dan Ortega Mortilla melawan Pemerintah Spanyol, Komisi Eropa (yang biasanya memiliki otoritas untuk menyelesaikan perselisihan di bawah wewenang Konvensi HAM Eropa) berkeyakinan bahwa praktik negara menarik pajak atas nama satu gereja tertentu dan tidak atas nama gereja lain tidak melanggar konvensi. 115 Berkenaan dengan masalah pendidikan, Pengadilan HAM Eropa secara umum berpendapat bahwa orang tua bisa meminta negara untuk tidak mendidik anakanaknya dengan cara tertentu, dan negara tidak mempunyai tugas atau kewajiban untuk membiayai pendidikan moral atau agama dalam bentuk apapun.116 Bila kurikulum pendidikan agama dari negara memperhatikan hal-hal semacam itu, pengadilan memutuskan bahwa negara tidak perlu menghindari penyajian bahanbahan agama atau filsafat, tetapi harus menjamin konteks penyajiannya tetap objektif, kritis dan pluralis”.117 Dalam kasus Angelini melawan Pemerintah Swedia, penuntut, yang kebetulan seorang ateis, mengklaim bahwa negara telah melanggar kebebasan beragama dengan memaksa anaknya untuk mengikuti pelajaran agama yang hanya berfokus pada pengajaran agama Kristen. Pengadilan memutuskan bahwa pengajaran agama di sekolah hanya berusaha memberikan informasi bukan mendoktrinasi satu 114 Scharffs, hlm. 1261, 1262 Carolyn Evans, Freedom of Religion under the European Convention on Human Rights (Oxford University Press, 2001), hlm. 82. 116 Carolyn Evans 88 117 Carolyn Evans 92 115 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im ajaran agama, dan memberikan informasi bukan merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama. lagipula pendidikan agama dilakukan dengan cara yang umum dan netral.118 Instruksi-instruksi Uni Eropa memiliki pengaruh signifikan terhadap administrasi beberapa gereja. Dalam kasus Serif melawan Pemerintah Yunani, pengadilan menekankan independensi gereja, terutama gereja atau lembaga agama yang bukan merupakan agama resmi, dari campur tangan negara, namun pengadilan juga tetap mempertahankan hak negara untuk membuat beberapa peraturan tentang perilaku aktivis gereja.119 Dari pembahasan mengenai hubungan agama dan negara di atas, jika kita melihat secara lebih detail pada perbedaan pola-pola lokal hubungan tersebut, serta status badan-badan keagamaan, organisasi internal gereja dan keuangannya jelaslah bahwa variasi model hubungan itu terus meningkat.120 Namun tujuan kita yang paling penting adalah hanya ingin menekankan bahwa keragaman itu adalah produk sebuah proses negosiasi makna dan implikasi sekularisme dalam berbagai kondisi yang berbeda. Tiga model independen, interdependen dan intermediate yang kita bicarakan diatas akan berguna karena mereka merepresentasikan point yang berbeda dalam spektrum yang sama, daripada berusaha untuk mencocokkan satu negara pada satu atau lain kategori yang terpisah. Bentuk dan substansi hubungan antara agama dan negara bisa berbeda tergantung waktu dan situasi yang dihadapinya, bisa jadi hubungan itu berupa pemisahan ketat maupun peleburan. Sebuah negara mungkin bisa berusaha mengambil jarak dengan institusi-institusi dan praktik-praktik keagamaan pada satu waktu, atau menerima dan bahkan bekerja sama dengan erat pada saat yang lain. Negara juga bisa bekerja sama dengan agama dalam masalah pendidikan agama atau dukungan keuangan bagi institusi-institusi keagamaan, tapi tetap memberlakukan pemisahan yang ketat dalam persoalan administrasi atau personilnya. 118 Malcolm Evans, “Religion, Law and Human Rights: Locating the Debate” Law and Religion in Contemporary Society: Communities, Individualism and the State. Eds. Peter Edge, Graham Harvey (England: Ashgate, 2000). 119 Carolyn Evans, hlm. 130 120 Grace Davie, Religion in Modern Europe: A Memory Mutates (Oxford: Oxford University Press 2000), hlm. 15. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im III. Agama, Negara dan Politik Public Reason Proses negosiasi yang telah dikemukakan tadi bisa diperjelas dengan mengulang kembali perbincangan mengenai public reason dan bagaimana ia beroperasi melalui pembedaan negara dan politik seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 1 dan 3. Sekarang saya akan merefleksikan pentingnya peran sekularisme dalam kaitannya dengan pentingnya sebuah kerangka untuk public reason yang akan berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan memfasilitasi hubungan antara negara, politik dan agama. Setelah membahas secara singkat diskusi kita mengenai pembedaan antara negara dan politik, saya akan menjelaskan bagaimana arena public reason bisa menjadi kerangka untuk memediasi hubungan antara negara dan politik. Pada bagian akhir bagian bab ini, saya akan menguji kemungkinan peran agama dalam mempengaruhi kebijakan publik dan akan memperkirakan bagaimana agama dan sekularisme bisa saling mendukung. 1. Pembedaan antara Negara dan Politik Seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab I, saya menyarankan pemisahan institusional antara Islam dan negara sambil tetap mengakui dan mengatur keterhubungan yang tak terhindarkan antara Islam dan Politik. Ini tidak berarti bahwa Islam dan politik harus dipisahkan karena prinsip-prinsip Islam bisa diimplementasikan melalui kebijakan dan undang-undang resmi dengan tetap tunduk pada jaring-jaring pengaman yang sudah dijelaskan dalam bab 1 dan 3. Ide ini mengandaikan adanya pembedaan antara negara dan politik meskipun keduanya jelas-jelas berhubungan. Negara harus lebih stabil dan memiliki swa-pemerintahan operasional yang terrencana, sementara politik adalah sebuah proses dinamis pembuatan pilihan kebijakan dari sejumlah pilihan yang saling bertentangan. Negara dan politik mungkin seperti dua sisi mata uang, tapi mereka tidak mungkin dan bahkan tidak bisa dilebur menjadi satu. Penting untuk menjamin keberadaan negara tidak hanya sebagai cerminan politik harian, tetapi juga menjaganya untuk tetap relatif independen dari kekuatan politik yang berbeda yang ada di masyarakat karena negara harus bisa memediasi dan memutuskan satu dari sekian banyak pilihan kebijakan. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Namun, membedakan negara dan politik secara sempurna juga tidak mungkin karena mereka yang mengontrol negara bisa meraih dan mempertahankan kekuasaannya melalui proses politik, entah itu demokratis atau tidak. Dengan kata lain pegawai negara akan selalu bertindak secara politis untuk mengimplementasikan agenda mereka dan mempertahankan loyalitas orang-orang yang mendukungnya. Relitas keterhubungan ini membuat pemisahan antara keduanya menjadi penting. Sehingga mereka yang terpinggirkan dalam proses politik saat ini masih bisa menuntut organ atau institusi negara untuk melindungi mereka dari pengaruh dan penyalahgunaan kekuasaan penyelenggara negara. Hubungan yang paradoks ini bisa difahami dengan merujuk pada suatu model dimana negara tetap mengakar dalam kehidupan politik masyarakatnya, tetapi juga tetap mempertahankan otonominya dari proses tersebut. Negara modern merupakan organisasi yang terpusat, birokratis, dan hirarkis yang terdiri dari institusi, organ, pegawai yang seharusnya bisa melaksanakan fungsi yang spesial dan berbeda-beda melalui aturan penerapan yang sudah ditentukan.121 Malah, secara teroritis negara merupakan organisasi yang berbeda dengan organisasi atau asosiasi sosial apapun, meskipun tetap berhubungan erat dengan mereka dalam konteks praksis untuk mendapatkan legitimasi dan kerja yang efektif. Sebagai contoh, negara harus berjuang dan bekerja sama dengan berbagai konstituen dan organisasi dalam melaksanakan fungsinya, seperti menegakkan hukum dan aturan, menyediakan layanan pendidikan, kesehatan dan transportasi. Dengan demikian, institusi dan pegawai negara tidak bisa menghindar dari keharusan membangun hubungan dengan berbagai konstituen dan kelompok yang memiliki ide yang berbeda dan bertentangan mengenai kebijakan publik dan efeknya bagi kehidupan masyarakat. Konstituen tersebut termasuk organisasi non-pemerintah, kalangan bisnis, partai politik, dan grup penekan lainnya yang berbasis keagamaan atau lainnya. Hubungan tersebut tidak hanya penting untuk membantu negara melaksanakan kewajibannya, tetapi juga sebuah persyaratan bagi terpenuhinya hak untuk menentukan diri sendiri (self-determination). Karakter otonom 121 Graeme Gill. The Nature and Development of the Modern State (New York: Palgrave Macmillan, 2003), hlm. 2-4. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im dan berbedanya negara merupakan alat untuk membuat warga negara bisa berpartisipasi dalam pemerintahannya dan bukan merupakan tujuan akhir. Negara dapat mengizinkan partisipasi aktor-aktor non-negara melalui mekanisme negosiasi dan representasi yang formal atau melalui komunikasi dan pengaruh yang informal.122 Interaksi dinamis antara aktor negara dan non-negara berrresiko menimbulkan konflik dan kompetisi, namun bisa memberikan otonomi bagi aktor negara karena aktor non-negara terus berusaha untuk memaksimalkan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan dan administrasi. Resiko yang realistis ini harus dikurangi dan dikelola melalui pengembangan institusi negara yang lebih kuat yang bisa mempertahankan otonomi relatifnya, ketika berhubungan dengan kelompok yang memiliki tuntunan yang beragam dan saling bertentangan itu. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana aktor negara bisa tetap responsif terhadap keinginan organisasi-organisasi masyarakat sipil, kelompok bisnis, dan yang lainnya tanpa harus dikontrol sepenuhnya oleh mereka. Proses penyeimbangan yang lembut namun dinamis dan terus berubah ini selalu dideksripsikan sebagai “proses penggabungan negara dengan konstituen kebijakan tertentu dan masyarakat secara umum dengan tetap mempertahankan otonominya.”123 Proses ini dapat difahami secara lebih konkrit dengan mempertimbangkan hubungan antara gereja dan negara dalam masyarakat Barat, seperti yang sudah kita bahas tadi, sebagai contoh untuk menegosiasikan perimbangan antara penggabungan keduanya atau otonomi masing-masing. Di setiap masyarakat, dalam praktiknya, kelompokkelompok keagamaan adalah konstituen kebijakan publik penting yang berkaitan dengan hal-hal fundamental dalam kehidupan sosial, dari pendidikan hingga pajak, dan dari isu publik dan moralitas individu sampai fungsi sosial karitas. Negosiasi antara gereja dan negara dalam masalah-masalah tersebut bisa dilihat sebagai sebuah desain untuk memberikan tempat kepada kelompok agama agar negara bisa mengakui mereka sebagai konstituen politik yang penting yang tidak bisa dikuasai sepenuhnya oleh negara atau dizinkan untuk mengambil alih negara dan institusinya. Sekularisme 122 123 Gill 17 Gill 19 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im sebagai prinsip-prinsip pemisahan agama dan negara membantu kita untuk meraih keseimbangan yang indah dengan menyediakan kerangka untuk mengamankan legitimasi negara di tengah komunitas agama, sambil tetap mengatur bagaimana perhatian yang mereka dedikasikan pada kebijakan publik tidak menyinggung perhatian dan kepentingan komunitas lain dan warga negara secara umum. Seperti komunitas keagamaan, warga negara yang tidak beragama atau tidak mengorganisasi diri untuk melobi negara, pun berhak untuk mendapatkan penghargaan atas pandangan dan kepentingannya yang sama. Karena itulah, negara dan organnya tidak boleh dikontrol oleh satu komunitas keagamaan apapun, seberapapun besarnya komunitas itu. Malah, netralitas negara terhadap perspektif keagamaan maupun nonkeagamaan lebih penting, terutama, dalam hubungannya dengan kelompok dominan, karena resiko berpihaknya negara kepada kelompok ini lebih besar daripada keberpihakannya kepada kelompok minoritas. Harus pula dicatat, bahwa persepsi orang tentang masalah tersebut juga sama pentingnya dengan realitasnya, karena bias keberpihakan seperti ini cenderung memperlemah kepercayaan publik pada netralitas negara terhadap agama meskipun dalam faktanya persepsi orang itu ternyata tidak benar. Sekularisme menyediakan struktur dasar dimana negara bukan menjadi bagian atau dianggap menjadi bagian satu kelompok agama atau non-agama apapun. Tapi sekularisme juga memberikan kemungkinan kepada negara untuk tetap memperhatikan semua pendapat yang relevan dan sah dalam memformulasikan dan mengimplementasikan kebijakan publik. Selayang pandang pengalaman Barat yang telah lalu juga memberikan pelajaran bahwa keseimbangan ini bisa dicapai melalui negosiasi langsung maupun tidak langsung. Di satu sisi, negosiasi dan kesepakatan yang langsung atau agak langsung antara negara dan tradisi keagamaan yang dominan (dan tradisi keagamaan lain pada beberapa tingkatan tertentu) mencerminkan preseden historis, pentingnya tradisi keagamaan tertentu sebagai bagian dari peninggalan budaya atau peran sosial penting insitusiinstitusi keagamaan tersebut. Benar bahwa negara tidak mungkin sepenuhnya lepas dari kegiatan dukung mendukung, namun bila kegiatan ini meluas pada agama lain dan kebijakan negara yang lain tentu akan bertentangan dengan nilai-nilai netralitas negara ©Abdullahi Ahmed An-Na`im terhadap agama. Dalam negosiasi seperti itu, prinsip umum pemisahan antara agama dan negara mungkin diakui, meskipun nilai dan peran agama mayoritas dalam kehidupan publik juga tetap diakui. Dengan demikian, meskipun rencana yang diajukan oleh Komisi tahun 1994 di Swedia mengistimewakan Gereja Resmi Swedia pada tingkat tertentu, rencana ini jelas mencerminkan pemahaman bahwa gereja merupakan satu dari sekian banyak badan keagamaan dalam masyarakat yang plural.124 Negara Inggris tidak sepenuhnya mempertahankan netralitasnya dalam membiayai sekolah-sekolah agama, namun ia tidak mempromosikan secara aktif gereja Anglikan atau memaksakan pembatasan kepada anggota kelompok agama non-anglikan. Meskipun Inggis tetap mempertahankan status formal gereja Anglikan sebagai gereja resmi Inggris, kebijakan negara di Inggris sangat mendukung agama lain secara umum namun tidak mendukung salah satu di antaranya.125 Prinsip sekularisme juga beroperasi dalam kerangka jaring pengaman konstitusionalisme dan HAM agar negosiasi tidak langsung bisa terjadi dan aktor religius atau aktor non-religius bisa memiliki peran dalam pembentukan kebijakan publik. Kemungkinan ini dijamin oleh perlindungan negara terhadap kebebasan untuk berorganisasi dan kebebasan untuk berekspresi, hak untuk mengorganisasi diri dan melakukan protes, hak atas mendapatkan ganti rugi secara hukum serta penggunaan instrumen komersil, media, komunikasi yang bisa membuat warga negara untuk mengemukakan padangan mereka atau untuk memobilisasi sumber dan dukungan publik dari perspektif mereka. Kebebasan dan hak yang mengatur dan meregulasi proses-proses mempengaruhi kebijakan negara secara langsung atau tidak tersebut ditempatkan sebagai prinsip sekuler dan dilindungi oleh kerangka politik dan hukum yang sekuler. Budaya politik Amerika Serikat mencerminkan contoh yang bagus tentang bagaimana negosiasi tak langsung terjadi antara negara dan agama dalam masalah kebijakan publik yang krusial. Meskipun pemisahan negara dan agama adalah nilai sosial dan politik yang telah mapan dalam budaya politik publik Amerika, namun kalangan konservatif 124 125 Alwall, hlm. 168 Monsma and Soper, hlm. 131,132 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im dan Kristen Liberal selalu melakukan kampanye dan berusaha menggunakan pengadilan untuk menangani beberapa isu seperti dukungan terhadap pelaksanaan misa di sekolah. Gereja-gereja Kristen Liberal telah melakukan lobi-lobi politik berkaitan dengan isu-isu seperti hubungan ras, kemiskinan, dan mengakhiri perang Vietnam. Kedua faksi dan aktor religius maupun non-religious sangat terlibat dalam debat mengenai penunjukkan hakim, terutama untuk tingkat Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi, untuk menjamin adanya representasi ide-ide mereka dalam penerapan dan pengembangan hukum sekuler di negaranya. Proses dan dinamika yang sama bisa ditemukan di negara-negara Barat lain. proses tersebut tercermin dalam beberapa peristiwa seperti protes terhadap reformasi pendidikan di Spanyol tahun 1983 yang memperlihatkan kekhawatiran sebagian masyarakat terhadap hilangnya identitas katolik di sekolah-sekolah gereja maupun referendum yang akan dilaksanakan pada Juni tahun 2006 di Itali untuk memutuskan perubahan khusus dalam civil code negara itu yang semula ditentang keras oleh Gereja Katolik sebagai kekuatan politik yang kuat dan memaksa disana. Pada semua kasus ini, prinsip fundamental pemisahan agama dan negara tidak langsung ditentang oleh aktor religius. Mereka hanya mempergunakan hak mereka untuk berusaha mempengaruhi kebijakan negara, tetapi dengan tetap menghormati hak kelompok lain, baik aktor religius maupun non-religius, untuk melakukan hal yang sama. 2. Public Reason sebagai Kerangka untuk Memediasi Negara dan Relasi Politik Dalam negosiasi langsung dan tak langsung antara aktor negara dan agama, semua pihak harus dengan jelas menerima pembedaan antara agama-negara dengan agamapolitik dalam praktik. Namun seperti ide negosiasi itu sendiri, akan terdapat ketegangan antara aktor negara dan agama dalam berinteraksi dan memahami hubungan antara agama dan negara serta dalam asumsi dan implikasi posisi yang mereka ambil. Adanya ketegangan seperti itu dan kebutuhan untuk mempertahankan otonomi negara dan agama membuat sebuah kerangka yang memungkinkan semua aktor, baik individu maupun kelompok, untuk menegur negara dalam pembuatan kebijakan publik tanpa harus mengkompromikan pemisahan negara dan agama, ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menjadi penting. Kerangka ini akan memberikan kemungkinan kepada sebanyak dan seluas mungkin aktor sosial untuk bisa bersaing secara bebas dan adil dengan yang lain untuk memaparkan pandangan mereka tentang kebijakan publik. Meskipun ada banyak persyaratan dan aspek yang terdapat dalam proses tersebut, sekarang saya akan menggarisbawahi dimensi public reason dan bagaimana ia beroperasi dalam kerangka ini. Sebagaimana sudah saya tekankan, pentingnya memisahkan negara dan agama sambil tetap mengatur keterhubungan permanen antara agama dan politik mengharuskan proses ajuan kebijakan dan undang-undang dilaksanakan melalui public reason yang berisi dua elemen. Pertama, logika dan tujuan sebuah kebijakan publik atau undang-undang harus berdasar pada sebuah penalaran yang bisa diterima, ditolak, atau ditandingi oleh warga negara melalui debat publik tanpa harus berresiko dituduh tidak percaya, murtad atau membangkang. Kedua, reason atau penalaran itu harus diperdebatkan secara umum dan terbuka daripada mengikuti kepercayaan atau motivasi seorang warga negara atau pegawai pemerintahan. Mengontrol motivasi dan maksud tingkah laku politik orang memang tidak mungkin, tetapi tujuan public reason adalah untuk mempromosikan dan mendorong nalar dan penalaran publik, dengan terus menerus menghilangkan pengaruh ekslusif kepercayaan agama seseorang. Keharusan adanya public reason yang diperdebatkan secara umum menjadi sangat penting karena orang yang akan mengontrol negara tidak bisa dipastikan akan selalu netral. Malah sebaliknya, keharusan adanya public reason ini harus menjadi tujuan kerja negara, karena orang akan terus bertindak berdasarkan kepercayaan dan justifikasinya sendiri. Keharusan ini juga diinginkan karena mendorong dan memfasilitasi pengembangan konsensus yang lebih luas di kalangan rakyat secara umum, untuk mengatasai sempitnya pandangan keagamaan individu dan kelompok. Karena istilah public reason telah digunakan oleh sarjana-sarjana Barat, saya akan mengulang kembali diskusi kita pada Bab 3 mengenai bagaimana cara saya menggunakan istilah ini. Ide Jhon Rawls mengenai public reason bisa difahami sebagai ©Abdullahi Ahmed An-Na`im argumen bagi pentingnya memberikan kerangka nilai-nilai fundamental politik masyarakat bagi tindakan dan kebijakan pemerintah, untuk membedakannya dari doktrin komprehensif atau pandangan dunia warga negara yang berdasarkan agama, moral atau filsafat.126 Perintah untuk tunduk pada public reason diterapkan sangat ketat pada lembaga kehakiman, pemerintah, penyelenggara negara dan partai politik.127 Tetapi, bagi Rawls, civil society secara keseluruhan tidak tunduk pada public reason.128 Ia juga membatasi jangkauan public reason pada masalah-masalah yang berkaitan dengan esensi konstitusi seperti masalah kemerdekaan fundamental, dan masalah keadilan dasar.129 Berbeda dengan Rawls yang membatasi public reason pada aktor dan isu tertentu saja, Habermas memiliki pandangan yang lebih luas tentang prosedur debat dalam public reason dan pentingnya pengakuan terhadap pluralisme dan pandangan dari pihak luar.130 Bagi Habermas, ruang yang independen dan non-pemerintah seperti asosiasi-asosiasi sukarela, gerakan-gerakan sosial, serta jaringan dan proses komunikasi lain dalam civil society termasuk media massa merupakan arena yang penting bagi pengembangan dan pengungkapan public reason.131 Konsep yang saya gunakan lebih dekat pada konsep Habermas. Saya memahami public reason sebagai sebuah ruang diskusi dan debat yang benar-benar berakar pada civil society dan ditandai dengan adanya proses kontestasi sejumlah aktor yang berbeda. Apapun dasar dan motivasi pandangan seseorang, apakah itu konsepsi politik atau doktrin komprehensif, untuk mengajukan sebuah kebijakan publik dan undangundang, pandangannya harus dijustifikasi oleh alasan-alasan yang bisa difahami oleh warga negara lain dan diperdebatkan di ruang publik. Aturan ini bukan untuk mengontrol motivasi terdalam seseorang untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu karena hal itu mungkin masih berlanjut dalam perbincangan dan refleksi privat, tetapi 126 John Rawls, Political Liberalism, (expanded edition, New York: Columbia University Press, 2003), hlm. 441. 127 Rawls, hlm. 442 128 Rawls, hlm. 443-444 129 Rawls, hlm. 442 130 Jurgen Habermas, “Reconciliation Through the Public Use of Reason: Remarks on John Rawls’ Political Liberalism.” The Journal of Philosophy, 92 (March 1995), hlm. 118-119. 131 Thomas McCarthy, “Kantian Constructivism and Reconstructivism: Rawls and Habermas in Dialogue.” Ethics 105: 1 (October 1994), hlm. 49. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im untuk mendorong terciptanya konsensus publik seputar kebijakan publik dan undangundang. Seperti yang sudah didiskusikan dalam bab 3, kinerja public reason dalam menegosiasikan peran agama dalam kebijakan publik dan negara harus dilindungi oleh prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan. Penerapan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten dan terlembagakan bisa menjamin kemampuan seluruh warga negara untuk berpartisipasi secara sejajar dan bebas dalam proses politik, dan melindungi mereka dari diskriminasi berdasarkan agama, kepercayaan atau alasan lainnya. Dengan perlindungan yang disediakan oleh jaring pengaman itu, warga negara akan lebih mungkin memberikan kontribusi dalam memformulasikan kebijakan publik dan undang-undang termasuk menolak proposal kebijakan yang diajukan orang lain sesuai dengan persyaratan-persyaratan public reason. Umat Islam dan umat agama lain bisa membuat proposal kebijakan yang muncul dari kepercayaan yang mereka anut dan diajukan kepada orang lain dengan menggunakan alasan-alasan yang bisa diterima atau ditolak oleh mereka. Karena muslim bisa mengekspresikan kepercayaan agamanya dalam proses politik dengan tetap tunduk pada jaring pengaman tersebut melalui cara ini, mereka akan lebih rela untuk mendukung pembedaan antara negara dan politik yang memungkinkan kontribusi seperti itu menjadi mungkin. Pada saat yang sama, realitas dan kredibilitas pembedaan ini membuat upaya untuk memfasilitasi ekspresi politik pandangan Islam menjadi mungkin tanpa harus berresiko menciptakan negara teokratis yang totalitarian dengan sepenuhnya melebur negara pada kehendak politik mayoritas penganut suatu agama atau elit penguasa. Refleksi teoritis tentang bagaimana public reason beroperasi bukan berarti bahwa konsep itu selalu jelas dan dapat dengan mudah diterapkan dalam praktik. Kejelasan teoritis dan komitmen terhadap prinsip tersebut penting untuk mengoreksi problem apapun yang muncul dalam praktiknya. Akses warga negara terhadap debat public reason akan bervariasi; tergantung pada status sosial dan ekonomi, pengalaman politik, dan kemampuan mereka untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya, membangun ©Abdullahi Ahmed An-Na`im aliansi dan melakukan hal lainnya. Namun faktor-faktor tersebut lebih baik dianggap sebagai alasan untuk menerapkan prinsip tersebut secara adil dan inklusif, daripada untuk mengabaikannya. Aktor-aktor yang termarginalisasikan dapat menggunakan berbagai strategi untuk mengamankan pengaruh mereka dalam proses pengambilan kebijakan. Sebagai contoh, kelompok yang mendapatkan sumber daya atau pengaruh politik yang lebih besar bisa mengambil posisi moderat atau selalu terbuka untuk melakukan kompromi dalam mengakses public reason. Sebagai alternatif, kelompokkelompok tersebut bisa mendapatkan asistensi dari pengadilan atau institusi-institusi negara yang lain untuk menjamin akses mereka pada prinsip-prinsip konstitusi atau hak asasi manusia guna melengkapi terbatasnya sumber daya atau pengaruh mereka. Dalam kasus kebijakan mengenai aborsi di Amerika Serikat misalnya, organisasi-organisasi yang moderat bisa mempunyai akses yang lebih besar pada kelompok pembuat kebijakan, namun kelompok yang mempertahankan hak perempuan untuk memutuskan aborasi akhirnya memenangkan keputusan pengadilan dalam kasus Roe melawan Wade pada tahun 1973. Namun ini tidak berarti bahwa penentang klaim ini menyerah dan mengabaikan posisi mereka begitu saja. Malah, kelompok-kelompok tersebut menggunakan strategi-strategi yang berbeda termasuk berusaha merubah pembuatan kebijakan di level negara, daripada di tingkat pemerintah federal karena mereka berharap bisa memberikan pengaruh yang lebih besar pada level itu. Pertukaran strategi seperti itu akan mungkin terjadi di masa yang akan datang selama orang masih berkepentingan terhadap isu-isu tersebut. Sekedar menyimpulkan, kontestasi dalam ruang public reason bisa dilihat sebagai indikasi adanya keragamaan sosial dan keragaman pendapat dalam masyarakat. Kontestasi seperti itu bisa juga mencerminkan semakin tingginya akses individu dan kelompok terhadap public reason melalui proses-proses demokratisasi, pengembangan komunikasi dan lain sebagainya. Ketika akses terhadap public reason semakin terbuka dan adil, pilihan-pilihan kebijakan publik lebih mungkin untuk diperdebatkan dan dinegosiasikan daripada dipaksakan pelaksanaannya oleh mayoritas atau elit penguasa. Konsensus terhadap pilihan-pilihan kebijakan publik yang bisa dicapai melalui proses ini, lebih mungkin untuk mempromosikan legitimasi negara di kalangan ©Abdullahi Ahmed An-Na`im masyarakatnya, sehingga stabilitas politik di negeri itu terus meningkat. Dengan memberikan apreasasi yang lebih besar terhadap proses public reason, penganut agama bisa memiliki kesempatan untuk mempromosikan kepercayaan agama mereka melaui proses-proses politik reguler tanpa mengancam keberadaan kelompok penganut agama lain. Keseimbangan ini sangat mungkin bisa dicapai karena pandangan-pandangan keagamaan tidak akan langsung diberlakukan melalui kekuasaan kursif negara, melainkan harus melalui proses kontestasi politik yang transparan, adil dan tunduk pada prinsip-prinsip hak asasi manusia dan konstitusionalisme yang sudah dibicarakan di muka. Sebagai analisis final, kepercayaan agama tidak boleh diistimewakan maupun ditindas, karena dengan cara ini hubungan antara negara dan agama akan menjadi lebih dinamis dan hasilnya lebih bisa diidentifikasi. 3. Peran aksidental negara dalam mempengaruhi kebijakan publik Agama (baik digunakan sebagai istilah untuk menyebut kelompok-kelompok terorganisir, komunitas iman dan ritual, atau domain pandangan dan kepercayaan individu) merupakan kekuatan yang penting yang bisa bersaing dalam ruang public reason untuk mempengaruhi sebuah kebijakan. Dalam perkembangan dan perubahan sosial dan kebudayaan di negara-negara Barat dalam beberapa dekade terakhir ini, perhatian individu terhadap isu-isu kualitas hidup, kebijakan pendidikan, aborsi dan kebijakan lain mengenai keluarga, kebebasan beragama, imigrasi, dan kebijakan naturalisasi, sama besarnya dengan perhatian mereka terhadap kebijakan publik.132 Dengan kata lain, public reason sebagai logika dan proses semakin meniadakan dikotomi antara ruang eksistensi sosial yang publik dan privat, sehingga pemisahan agama dan politik pun semakin sulit. Namun peran agama dalam ruang public reason yang kompetitif tidak bisa dilihat sebagai sudah ditentukan dan tetap, karena hasil kebijakan seperti ini tergantung pada berbagai faktor. Kemampuan aktor keagamaan untuk mempengaruhi kebijakan publik dipengaruhi oleh hubungan historis antara negara dan agama serta kondisi aktual seperti urbanisasi, perubahan demografis, tingkat religiusitas dalam masyarakat serta hubungan antara 132 Michael Minkenberg, “The Policy Impact of Church-State Relations: Family Policy and Abortion in Britain, France and Germany.” West European Politics, 26: 3 (2003), 205. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im komunitas keagamaan. Lagipula, karena faktor-faktor tersebut cenderung untuk beralih dan berubah terus, akibat dan pengaruh agama terhadap kebijakan publik cenderung beradaptasi dengan perubahan-perubahan tersebut. Contohnya, pada paruh kedua abad ke-20, Gereja Katolik Perancis tidak menolak reformasi inovatif kebijakan mengenai keluarga walaupun ia memiliki pandangan yang lebih tradisional terhadap nilai-nilai sosial dan peran gender daripada kelompok masyarakat lain yang memiliki tingkat religiusitas yang lebih rendah. Komitmen kuat negara tersebut terhadap konsep laicite cenderung menghambat kemampuan Gereja Katolik untuk melakukan manuver sebagai sebuah kelompok kepentingan. Keterlibatan Gereja dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keluarga juga dibatasi di Jerman dan Inggris karena adanya kombinasi antara otoritas tak penuh (partial establishment)agama resmi dan tingkat religiusitas masyarakatnya yang moderat. Sehingga, gereja cenderung bertindak sebagai institusi daripada sebagai sebuah kelompok kepentingan dalam persoalan-persoalan yang menyangkut keluarga. Tetapi, meskipun gereja tidak dianggap sebagai agama resmi negara, aktor-aktor keagamaan mempunyai lebih banyak ruang untuk melakukan manuver dalam politik sehingga kemampuan mereka untuk mempengaruhi kebijakan publik semakin meningkat seperti yang terlihat dalam kasus Amerika Serikat.133 Peristiwa-peristiwa baru yang terjadi di Amerika juga mengindikasikan peran orientasi ideologis pemerintahan Amerika saat ini dalam mengalihkan atau bahkan mentransformasikan istilah dan dinamika peran agama dalam public reason. Sebagai contoh, kebijakan-kebijakan pemerintahan Presiden George W. Bush mengenai “inisiatif sosial berbasis keagamaan” bisa dilihat sebagai rekonfigurasi ruang public reason dengan mengizinkan agama, atau lebih tepatnya, kelompok agama tertentu untuk memberikan pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan publik dengan mendapatkan kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pendanaan dari negara. Segara setelah menjabat presiden untuk pertama kalinya, George W. Bush mengeluarkan beberapa kebijakan eksekutif untuk mendirikan Kantor Negara khusus (White House Office) yang menangani “inisiatif sosial berbasis agama dan komunitas” sebagai salah satu usaha untuk menghilangkan hambatan-hambatan pendanaan berbasis agama. Tapi 133 Minkenberg 209-210 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im inisiatif-inisiatif tersebut mendapatkan respon serius dari komunitas masyarakat asli Amerika yang mempertanyakan apakah mereka akan mendapatkan manfaat dari kebijakan-kebijakan tersebut.134 Ini jelas mengindikasikan bahwa istilah “agama” dalam kebijakan itu juga didefinsikan dalam pengertian yang terbatas, dan merefleksikan pemahaman dan kepercayaan personal sang presiden terhadap agama. Daftar agama yang dimiliki oleh pemerintahan Bush hanya terbatas pada agama-agama monotheis yang cukup familiar keberadaannya dalam budaya sekuler dan Agama Kristen di Amerika. Kelompok-kelompok tertentu seperti The Nation of Islam tidak termasuk dalam daftar.135 Meskipun faktor-faktor tersebut cenderung untuk menegaskan domain public reason dan partisipasi beberapa kelompok di dalamnya, namun prosesnya akan terkoreksi dengan sendirinya bila diaplikasikan dalam kerangka jaring pengaman yang sudah disebutkan diatas. Negara memang mempunyai potensi untuk beroperasi sebagai diskursus yang hegemonik dalam public reason, tapi kekuatan-kekuatan non-agama atau ideologi sebetulnya juga memiliki potensi yang sama. Pemisahan antara agama dan negara bisa dikompromikan bila ajaran-ajaran agama tertentu, seperti yang sudah diinterpretasikan oleh otoritas keagamaan atau elit penguasa, dibuat sebagai kondisi awal untuk meciptakan partisipasi publik dalam public reason. Hal yang sama bisa dilakukan dari perspektif nasionalis atau sekular. Hal seperti ini terlihat dalam kontroversi yang barubaru ini terjadi di Perancis mengenai larangan pemakaian jilbab pada siswi-siswi muslim di sekolah. Keputusan untuk melarang pemakaian jilbab atas nama sekularisme mencerminkan kecendrungan pemerintah Perancis untuk memberikan prioritas pada proses asimiliasi imigran ke dalam kerangka budaya kewarganegaraan Perancis. Keputusan ini merupakan kebijakan yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai identitas kultural dan etnis ke dalam satu kerangka multikulturalisme nasional yang lazim berlaku di negara-negara Eropa Utara dan Kanada. Konsep sekularisme Perancis yang diperkenalkan disini berfungsi sebagai instrumen untuk memberlakukan 134 Mary C. Churchill, “In Bad Faith? Possibilities and Perils in the Age of Faith- Based Initiatives.” Journal of the American Academy of Religion, 70:4 (2002), 844, 845. 135 Rita Nakashima Brock, “The Fiction of Church and State Separation: A Proposal for Greater Freedom of Religion”, Journal of the American Academy of Religion, 70: 4 (December 2002), 856. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im keseragaman kultural di kalangan warga negara Perancis, terutama di kalangan imigran. Debat mengenai jilbab dan sekularisme di Perancis harus ditempatkan dalam kerangka hubungan post-kolonial yang lebih luas, termasuk hubungan antara Perancis dan koloninya yang masih ambivalen, dan juga dalam konteks persepsi stereotype dan ketakutan mereka terhadap Islam dan muslim.136 Seringkali muslim yang menjadi korban rasisme dan diskriminasi, dianggap dan diperlakukan sebagai orang luar dalam masyarakat Perancis, padahal banyak dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Perancis.137 Kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai seberapa besar representasi dan akses muslim dalam public reason di institusi negara dan non-negara Perancis. Kasus Perancis juga mengilustrasikan bagaimana sekularisme bisa dimunculkan sebagai ide mengenai budaya nasional yang hegemonik untuk meminggirkan identitas-identitas budaya lain, sehingga sebetulnya melanggar persyaratan public reason itu sendiri. Peminggiran individu atau kelompok tertentu dari cakupan public reason karena alasan nasionalisme, ideologi sekuler atau agama selalu tidak memuaskan. Dengan kata lain, kasus Perancis menggambarkan bahwa bahwa prinsip-prinsip sekularisme itu bisa dilanggar dengan alasan untuk melindunginya. Kesimpulan ini tentu saja bisa diperdebatkan lagi, namun penting untuk dicatat, public reason tidak akan terlaksana tanpa perlindungan terhadap prinsip-prinsip jaring pengaman yang dibutuhkannya. Sebagaimana yang sudah dicatat tadi, sekularisme sebagai pemisahan antara agama dan negara adalah dasar atau kondisi minimal bagi terciptanya partisipasi publik dalam ruang public reason. Namun hubungan antara sekularisme dan agama bisa menjadi lebih signifikan dalam domain public reason itu sendiri. Agama mungkin menyediakan kerangka yang penting bagi beberapa aktor sosial untuk mengemukakan klaimklaimnya, selama kerangka tersebut diformulasikan dalam argumentasi yang bisa diakses secara publik. Hubungan antara agama dan sekularisme bisa juga saling menguatkan dalam batasan berikut ini. Sekularisme membutuhkan agama untuk 136 Jane Freedman, “Secularism as a Barrier to Integration? The French Dilemma.” International Migration, 42: 3 (2004), 6. 137 Freedman 8 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im menyediakan sumber panduan moral yang bisa diterima secara luas oleh sebuah komunitas politik dan juga untuk memenuhi dan mengatur kebutuhan-kebutuhan non politis ummat beragama yang ada dalam komunitas tersebut. Sebaliknya, agama juga membutuhkan sekularisme untuk memediasi hubungan antara komunitas yang berbeda (baik komunitas agama, komunitas anti agama atau non-agama) yang memiliki ruang politik atau ruang public reason yang sama. Sinergi yang saling menguntungkan ini bisa dijelaskan dengan merujuk pada karakter penting sekularisme. Sekularisme sebagai pemisahan agama dan negara dicirikan dengan satu batasan, yaitu ia harus membatasi isi normatifnya pada batas minimum bila ingin mencapai tujuannya untuk melindungi pluralisme politik dalam masyarakat yang heterogen dan menjamin keberadaan ruang public reason yang menjadi tempat untuk tumbuhnya pluralisme semacam itu. Dengan kata lain sekularisme bisa menyatukan berbagai komunitas iman dan ritual yang berbeda menjadi satu komunitas politik bila klaim ia membuat klaim moral yang minimal. Benar bahwa semua variasi sekularisme mengharuskan adanya etos sipil (civic ethos) yang berdasarkan pemahaman tertentu mengenai hubungan individu dengan komunitasnya. Etos tersebut bisa sangat kompleks dan mengakar untuk menyelesaikan beberapa isu moral yang dihadapi oleh masyarakat. Namun kemampuan sekularisme untuk mencapai tingkat konsensus tertentu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan dan mempertahankan stabilitas politik dalam masyarakat yang beragama majemuk berarti bahwa sekularisme tidak selalu dapat menangani masalahmasalah etis dan moral yang fundamental yang sering tidak disepakati di kalangan komunitas yang berbeda tersebut. Tak ada varian sekularisme, yang diketahui masyarakat manusia saat ini, yang mampu untuk menempati posisi agama atau menyediakan pondasi lintas-budaya yang berlaku sebagai norma universal hak asasi manusia. Bahkan, umat beragama membutuhkan justifikasi agama untuk sekularisme itu sendiri. Saya tidak hendak mengatakan bahwa keterlibatan agama selalu penting bagi sekularisme untuk bisa diterima dimana dan kapanpun, namun agama dibutuhkan untuk meraih perhatian umatnya, yang saat ini ternyata menjadi mayoritas penduduk dunia ini. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah bahwa sekularisme tidak mampu untuk menyelesaikan tuntutan dan penolakan yang mungkin dimiliki oleh umat beragama terhadap salah satu prinsip pemerintahan sekular. Diskursus sekuler murni bisa menghormati agama secara umum, namun kemampuannya untuk membantah justifikasi keagamaan untuk beberapa kebijakan nampaknya tidak mungkin bisa meyakinkan ymat beragama. Pengakuan terhadap kesetaraan status warga negara nonmuslim tidak menarik bagi umat Islam tanpa adanya justifikasi ajaran agama Islam terhadap salah satu prinsipnya. Dengan kata lain, agar sekularisme kondusif bagi terciptanya pengertian lintas agama, pluralisme dan mendukung ruang public reason, maka ia harus mengurangi kapasitasnya untuk melegitimasi dirinya sendiri sebagai prinsip universal yang bisa berlaku tanpa merujuk pada sumber moral apapun. Sekularisme bisa menghalangi pemberlakukan langsung pemahaman doktrin agama sebagai kebijakan negara, namun ia tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan umat beragama dalam mengekspresikan implikasi moral kepercayaannya dalam ruang publik. Karena itulah, kenapa saya menekankan bahwa sekularisme sebagai pemisahan negara dan agama tetap diperlukan, namun tidak memadai jika tidak mengakui dan mengatur peran politik agama. Kedua elemen besar dalam definisi sekularisme ini bisa ditingkatkan dengan mengakui adanya pemahaman kontekstual terhadap tujuan dan fungsi pemerintahan sekuler di setiap tempat. Disinilah agama dapat memainkan peranan yang amat penting. Sekularisme bisa hanya dianggap sebagai sesuatu yang berlaku temporer oleh umat beragama kecuali jika mereka juga bisa meyakini bahwa sekularisme itu konsisten dengan (atau paling tidak diungkapkan secara implisit dan ditetapkan dalam) doktrin-doktrin agama. Persyaratan ini tidak sesulit yang terlihat, dikotomi untuk memilih salah satu di antara agama dan sekularisme sudah gagal, karena konsep sekuler tidak bisa berfungsi tanpa adanya ide agama.138 Politik dan agama tidak bisa beroperasi dalam realitas yang berbeda, salah satunya akan terus memberikan informasi atau diberikan informasi oleh 138 Talal Asad, “Religion, Nation-State, Secularism,” in Nation and Religion, ed. Peter van der Veer and Hartmut Lehmann (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), 192. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im yang lain. Kekuatan konsep sekuler untuk memotivasi ummat beragama secara langsung amat terbatas karena mereka dipenuhi oleh dalam konsep agama yang memiliki kekuatan untuk melakukan proses cek and balance. Seperti yang diungkapkan oleh Harold Berman bahwa “orang tidak akan memberikan dukungan mereka pada sistem politik dan ekonomi atau bahkan pada filsafat, kecuali jika sistem-sistem itu mencerminkan kebenaran yang lebih tinggi dan suci. Orang akan mengabaikan institusi yang tampak tidak berkaitan dengan realitas transenden yang mereka percayai berhubungan dengan seluruh keberadaan mereka, bukan hanya apa yang mereka percayai dalam benak mereka.”139 Sebagai analisis final, saya nyatakan bahwa sekularisme tidak bisa memotivasi umat beragama untuk memegang salah satu prinsipnya tanpa melibatkan ajaran agamanya. Namun agama juga membutuhkan sekularisme untuk menjamin keberadaan ruang yang aman dan valid bagi praktik dan kepercayaannya. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan, hubungan antara agama dan sekularisme dengan demikian harus sinergis dan saling mendukung, bukan saling bermusuhan dan konfrontatif.140 Penutup Kilas balik pengalaman sekularisme Barat yang dikemukakan dalam bab ini ditujukan untuk menghalau persepsi umum bahwa sekularisme berarti peminggiran agama dari kehidupan publik dan politik. Baik negara maupun otoritas atau lembaga keagamaan bisa mengambil pendekatan ekslusif yang pasti pada yang lain. padahal, keduanya saling membutuhkan dalam menghadapi berbagai isu yang sama dalam konteks sosial yang sama pula. Nikki Kaddie menyimpulkan relevansi pengalaman Barat ini untuk masyarakat Islam saat ini, “sekularisme di wilayah Barat manapun adalah sesuatu yang sederhana dan sudah demikian adanya. Merebaknya praktik dan kepercayaan sekular di Eropa dan Amerika Serikat telah menimbulkan perubahan yang lambat dan debat yang kadang tajam namun berkelanjutan. Akibatnya, merupakan sebuah kecerobohan untuk mengharapkan bahwa reformasi kalangan sekuler bisa dilaksanakan lebih mudah 139 Harold Berman, The Interaction of Law and Religion (Nashville, TN: Abingdon, 1974), 73. Abdullahi Ahmed An-Na`im, “The Interdependence of Religion, Secularism, and Human Rights,” Common Knowledge, 11:1 (Winter 2005). 140 ©Abdullahi Ahmed An-Na`im di Timur Tengah atau Asia Selatan.”141 Meskipun pengalaman setiap negara dan masyarakat pasti sangat kontekstual, bahkan terlihat ambigu dan berubah-ubah di negara-negara Barat dan di tempat-tempat lain, namun refleksi komparatif tetap relevan dan berguna untuk masyarakat Islam saat ini untuk berjuang menghadapi isu yang sama. Masalah lain yang berkaitan dengan hubungan agama dan negara yang harus dihadapi oleh masyarakat manapun saat ini adalah masalah status konstitusi dan hukum agama. Seperti yang sudah kita lihat, sekularisme memungkinkan adanya berbagai macam variasi pilihan status agama dalam undang-undang dasar. Salah satunya dengan mengizinkan para pemuka agama berpartisipasi dalam institusi-institusi negara atau badan legisalatif dan membiarkan mereka berusaha untuk mempromosikan nilai-nilai agama mereka seperti anggota legislatif terpilih lain. Kemungkinan lain yang ditawarkan oleh pengalaman negara-negara Eropa adalah sistem kesepakatan bilateral khusus antara negara dan entitas-entitas keagamaan seperti di Spanyol dan Itali saat ini. Ide ini bisa menjadi alternatif ketiga dari sistem teokrasi atau netralitas negara yang ketat. Sistem ini memungkinkan adanya fleksibilitas dalam merekonsiliasikan klaimklaim yang saling bertentangan dan menjamin keberadaan kelompok minoritas atau sekte dalam Islam. Realitas kemajemukan agama yang dihadapi masyarakat Islam bisa juga dihadapi dengan berbagai mekanisme yang mempromosikan pluralisme yang genuine dan penerimaan terhadap perbedaan agama. Bisa juga dilakukan dengan memberikan ketentuan yang berbeda untuk beberapa daerah di sebuah negara seperti yang tampak dalam kasus daerah Alsace Lorraine di Perancis atau dengan menyamakan aturan bagi seluruh daerah di sebuah negara. Ketegangan yang terjadi saat ini antara pengalaman masyarakat Islam pra-kolonial dan tuntutan untuk mendapatkan kedaulatan teritorial bisa diselesaikan melalui pemberlakukan aturan yang berbeda untuk beberapa daerah di satu negara, agar kerjasama atau akomodasi antara institusi agama dan negara dapat berlangsung lebih dekat di beberapa daerah. Namun skema seperti itu pasti tidak konsisten dengan persyaratan prinsip-prinsip konstitusionalisme, HAM dan kesetaraan warga negara yang sudah kita diskusikan dalam bab 3. 141 Nikki Keddie, “Secularism and its discontents.” Daedalus 2003 (3), 20. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Kesulitan dihadapi oleh negara-negara Barat dalam mengatur hubungan antara agama dan negara dalam bidang pendidikan telah memunculkan berbagai macam pilihan kebijakan dan mekanisme yang mungkin bisa berguna bagi masyarakat Islam. Kesamaan dan perbedaan antara tradisi Katolik dan Islam, serta antara masyarakat Barat dan Islam bisa berguna dalam konteks perbicangan ini. Sebagai contoh, Amerika dan Perancis mengambil pendekatan yang berbeda dalam menerapkan doktrin pemisahan agama dan negara di negaranya. Pendanaan negara bagi pendidikan agama atau lembaga pendidikan agama masih menjadi isu kontriversial di kedua negara itu. Materi pendidikan dan kontrol terhadapnya juga masih menjadi bahan persaingan antara pihak pemerintah yang liberal dan sekuler dengan gereja Katolik. Masalah ini juga bisa merupakan tantangan bagi semua masyarakat Islam dan bisa menimbulkan berbagai masalah krusial. Sebagai contoh masalah status pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, diperbolehkan saja atau diharuskan? Bagaimana design pendidikan untuk siswa non-muslim atau siswa syai’ah yang belajar di lingkungan mayoritas sunni atau sebaliknya? Bila pendidikan agama diperolehkan di sekolah-sekolah negeri, haruskah negara membayar gaji guru-guru dari komunitas agama yang berbeda dan dengan demikian mempunyai hak untuk memberikan pendapat dalam soal materi dan metode pendidikan agama? apa prinsip yang mengatur peran negara dalam pendidikan swasta? Terlepas dari kenyataan apakah negara memberikan subsidi biaya pendidikan di sekolah swasta atau komunitas agama sendirilah yang menanggung seluruh pembiayaan, haruskah negara memiliki kekuasaan untuk menjamin keberadaan nilai-nilai sipil seperti kesetaraan dan non diskriminasi dalam kurikulum sekolah tersebut? Bisakah aparatur negara tetap bersikap netral dan tidak memaksakan kepercayaan yang dianutnya atau kepercayaan kelompok mayoritas dalam melakukan pengawasan seperti itu? Sebagai contoh, sekolah-sekolah tradisional Islam sering memiliki peran penting dalam pendidikan dan sosial terutama di daerah-daerah yang kesempatan pendidikannya terbatas atau bagi siswa yang kurang memiliki akses terhadap pendidikan. Namun otonomi sekolah semacam itu juga bisa menimbulkan masalah serius, karena kadang-kadang kurikulum ©Abdullahi Ahmed An-Na`im yang mereka miliki cenderung menganggap enteng prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kesetaraan warga negara. Masalah hubungan agama dan negara juga berlaku pada persoalan keuangan dan organisasi keagamaan. Jika ajaran-ajaran Islam tidak dibatasi penerapannya hanya pada persoalan-pesoalan privat, apa kewajiban yang harus negara penuhi menyangkut gaji ulama dan ilmuwan Islam, biaya pengurusan masjid dan bangunan keagamaan lain serta pajak? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu juga harus dipertimbangkan dalam konteks perbincangan mengenai peran pemimpin dan institusi agama yang kuat dalam pentas politik dan kemampuan mereka untuk menentang kebijakan negara tentang masalah moral dan sosial. Dengan demikian masyarakat Islam harus menemukan cara sendiri untuk menegosiasikan potensi konflik yang mungkin muncul di antara jaminan kebebasan mendirikan asosiasi keagamaan dan mengekspresikan keberagamaan dengan perlindungan dan promosi nilai-nilai hak asasi manusia seperti hak-hak perempuan dan masyarakat agama minoritas. Akhirnya saya menyimpulkan bahwa ada paradoks permanen dalam persaingan antara peran otonomi dan otoritas agama di satu sisi dengan otoritas politik, kekuasaan hukum dan negara di pihak lain. Paradoks ini dipicu oleh karakter dasar kedua institusi ini. di satu sisi, komunitas-komunitas agama membutuhkan kerjasama negara untuk melaksanakan misinya. Namun betapapun kaya dan terorganisirnya sebuah komunitas agama, ia tidak bisa menghindari konflik dengan negara karena keduanya berusaha untuk mempengaruhi, bila tidak mengontrol, perilaku warga negara yang tinggal di satu wilayah yang sama. Di pihak lain, negara harus sedikitnya mengontrol institusiinstitusi keagamaan untuk membatasi cara-cara mereka mempengaruhi dan membentuk perilaku publik penganutnya. Dengan kata lain, bahkan jika negara tidak diharuskan atau diperbolehkan untuk memberikan dukungan material dan administratif bagi komunitas-komunitas agama yang kaya dan teroganisir, ia tetap bisa memberikan mereka kebebasan untuk menyebarkan ajarannya atau terlibat dalam aktvitas yang mereka lakukan dalam kerangka kebebasan beragama dan memeluk kepercayaan. ©Abdullahi Ahmed An-Na`im Pendekatan yang saya coba klarifikasi dan perdalam dalam buku ini dimaksudkan untuk mengenali paradoks permanen ini dan kemudian mencari cara untuk memediasi konsekuensinya melalui seperangkat mekanisme, daripada memaksakan sebuah solusi akhir yang jelas. Sebagai permulaan, paradoks ini mesti dikenali melalui komitmen yang konsisten dan jelas terhadap kemungkinan untuk memadukan netralitas negara terhadap agama dengan tetap menerima peran agama dalam kehidupan publik masyarakat. Sebagaimana yang sudah saya coba jelaskan dalam bab 2, pemaduan seperti ini lebih mungkin cocok dengan sejarah masyarakat Islam dan lebih konsisten dengan karakter dasar syari’ah daripada ide postkolonial mengenai negara Islam yang memberlakukan syari’ah sebagai hukum dan kebijakan resmi negara. Namun, kombinasi yang sulit ini tidak bisa dipertahankan dalam konteks negara modern tanpa adanya kerangka politik dan hukum yang jelas untuk memediasi ketegangan dan konflik yang pasti muncul. Karena itulah, saya mengajukan prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia, dan kesetaraan status warga negara yang hanya bisa berfungsi jika ada legitimasi religius dan kultural yang bisa memberikan inspirasi bagi orang-orang untuk berpartisipasi dalam aksi politik dan hukum yang berkelanjutan. Dengan demikian, kita membutuhkan diskursus keislaman untuk melegitimasi dan mengefektifkan strategi yang diperlukan untuk mengatur peran publik Islam. Pada saat yang sama, diskursus itu juga tidak bisa muncul atau efektif tanpa pengamanan dan stabilitas yang disediakan oleh negara. Kesimpulannya, jelas bahwa hubungan antara agama dan negara merefleksikan sebuah paradoks yang permanen, hingga memisahkan keduanya jelas diperlukan meskipun dengan tetap mengakui hubungan organik antara agama dan politik. Saya bisa terus melanjutkan perbincangan mengenai paradoks yang beragam ini, tapi tujuannya harus untuk membangun sebuah teori yang bagus yang bisa memfasilitasi dan memungkinkan terwujudnya aksi yang efektif. Kita harus mulai dengan apa yang kita punya baik pada para level teoritis maupun level praksis agar bisa berkembang menuju mediasi yang berkelanjutan. Nah, untuk mengklarifikasi dan mengembangkan teori ini, saya akan mempertimbangkan pengalaman masyarakat- ©Abdullahi Ahmed An-Na`im masyarakat Islam di tiga negara: India, Turki dan Indonesia untuk menggaris bawahi betapa sulitnya mempertahankan dan mengembangkan kombinasi antara netralitas negara terhadap agama di satu sisi dengan peran publik agama di pihak lain. Situasisituasi tersebut perlu dipertimbangkan untuk melihat apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dilakukan untuk menjamin masa depan syar’ah yang lebih baik dalam masyarakat dan komunitas Islam di seluruh dunia.