Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi MEMBANGUN BUDAYA TOLERANSI DI TENGAH PLURALITAS AGAMA DI INDONESIA Oleh: Abd. Rahim Yunus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar Jalan Sultan Alauddin No. 36 Samata-Gowa Email: [email protected]. Abstract This paper offers the efforts to build tolerance in creating inter-religious harmony in the country of religious plurality. The effort was not enough simply through top-down policy with structural formalistic approach alone, but required tolerance that is bottom-up with a cultural approach. Tolerance for religious plurality nation can be implanted through a spirit of guidance and awareness of pluralism, nationalism, inclusivism, secularism, and the spirit and consciousness of human rights. With the spirit and consciousness, every believer would think about the substance of religion that is universal, not at the pariatif partial and relative level. Beside having a universal value, Religion also has karakrteristik ritual and practice of worship or "sharia" are governed by their respective religions. When the issue is released by the state and given to each religion in its implementation charged to each individual will manifest the unity in diversity. Keywords: Tolerance, plurality, religion. A. Pendahuluan ndonesia seperti halnya banyak Negara di dunia merupakan Negara yang dihuni oleh masyarakat dengan latar belakang budaya dan agama yang beragam. Bangsa Indonesia menganut banyak agama dan enam agama diakui oleh Negara yaitu yaitu: Budha, Confusius, Hindu, Islam, Katolik, dan Kristen1 (Penyebutan diurut sesuai abjad huruf awal nama agama). Perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan masa lalu melibatkan semua etnis dengan latar belakan agama yang beragam, yang menghuni kepulauan Nusantara ini dari Papua sampai Aceh (dari Sabang sampai Merauke). Bangsa yang terebentuk menjadi bangsa Indonesia dipersatukan oleh perjuangan bersama, menentang penjajahan untuk mewujudkan cita-cita bersama sesuai nilai luhur bersama yang dianut. Nilai luhur inilah nantinya yang menjadi perekat bangsa yang dikristalisasikan I 1 Baca Penjelasan atas Penetapan Presiden R.I. Nomor 1 tahun 1965, Pasal 1. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 1 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus dalam Pancasila sebagai dasar Negara dan ideologi kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah arti dan makna “Bhinneka Tunggal Ika”. Berdasarkan realita sejarah itulah maka telah menjadi komitmen bangsa Indonesia untuk menjadikan NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia) sebagai bentuk final Negara ini, dan merupakan tugas dan tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa untuk mempertahankan Negara NKRI ini. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah menjaga dan memelihara kerukunan hidup antara sesama warga bangsa, sehingga tidak terjadi konflik antara kelompok termasuk kelompok agama. Perjalanan sejarah bangsa ini sejak merdeka pada tahun 1945 hingga kini banyak diwarnai konflik atas nama agama. Agama memang dengan mudah dapat dijadikan pemicu bagi penganutnya untuk bertindak memusuhi kelompok penganut agama lain untuk kepentingan pribadi atau keelompok. Dalam persaingan kepentingan politik atau perebutan kekuasaan, persaingan ekonomi/bisnis atau persaingan kepentingan lainnya, agama biasa dijadikan alat pemicu bagi penganut agama untuk menyeret sesamanya terlibat dalam konflik. Padahal agama pada prinsipnya mengajarkan hidup damai dan rukun dengan sesama manusia, baik yang seagama maupun yang tidak seagama. Agama dapat menjadi perekat persaudaraan umat manusia seluruhnya tanpa memandang latar belakang bangsa, suku, etnis, dan aliran politik dan kepentingan. Di satu sisi, bangsa Indonesia yang beragam agamanya memiliki kewajiban untuk memelihara eksistensi dan keberlangsungan negara ini, dan di sisi lain negara memberikan tempat yang sangat terhormat akan keberagamaan warganya, memberikan pengakuan adanya agama-agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, bahkan melindungi semua warganya untuk menjalankan dan menganut agamanya menurut agama dan kepercayaannya. Dalam kehidupan bernegara dalam NKRI ini, Negara tidak akan pernah membedakan warganya karena perbedaan agama dan kepercayaanya. Hal itu telah menjadi kenyataan historis dan kehendak Tuahan Yang Maha Kuasa sebagi Sunnatullah, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, memiliki keanekaragaman suku, agama, ras, dan budaya yang berbeda-beda tetapi tetap satu sebagaimana somboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Apabila hubungan Negara dengan warganya yang berlatar agama yang berbeda itu terbangun dan terpelihara sebagaimana disebutkan itu, maka dengan kehendak dan kuasa Sang Pemberi anugrah, negara yang kaya ini akan menjadi bangsa yang kuat, maju, makmur, dan sejahtera sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainya di dunia ini. Indonesia memiliiki potensi untuk tampil sebagai negara maju sejajar dengan negara maju lainnya dengan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya. Namun kenyataan dewasa ini posisinya masih berada di belakang negara-negara maju. Salah satu kuncinya untuk mengejar kemajuan itu adalah membangun kerukunan dan kebersamaan antar sesama warga bangsa yang pluralis agama, suku, etnis, dan ras, dalam upaya menghindari menghindari konflik dan permusuhan. 2 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi B. Implementasi Islam dalam Membangun Budaya Toleransi Dengan meminjam teori kebudayaan, agama dapat dipahami memiliki tiga system, yaitu system nilai, system pengetahuan, dan system makna. Sebagai system nilai agama merupakan pedoman atau dalam bahasa al-Qur’an hudan bagi penganutnya baik secra individu maupun bermasyarakat dalam tindakannya. Sebagai system pengetahuan atau kognitif, agama berisi perangkat dengannya manusia memiliki kemampuan untuk melakukan interpretasi terhadap tindakannya, dan sebagai system makna, agama mengandung arti apa yang dipahami oleh penganut agama di dalam kehidupannya. Agar dapat dipahami, agama memiliki system simbol yang menghubungkan antara dunia makna dan dunia “nilai” dan dunia “kognitf”. Melalui system simbol kehidupan dunia dapat dipahami. Dengan demikian, agama memiliki dua pola yaitu pertama “agama sebagai pola bagi tindakan” (pattern or model for behaviour) dan kedua “agama sebagai pola dari tindakan” (pattern or model of behaviour). Sebagai “pola bagi tindakan”, agama berisi seperangkat pedoman yang dijadikan sebagai sandaran untuk melakukan sesuatu, sedangka sebagai pola dari tindakan, agama adalah wujud dari tindakan yang dilakukan oleh manusia dalam hubunganya dengan dunia sekelilingnya. Sumber pokok ajaran Islam adalah al-Qur’an yang diwahyukan Tuhan kepada Muhammad saw, seperti halnya wahyu yang pernah disampaikan kepada hamba-hamba pilihan-Nya sebelum Muhammad. Banyak Nabi dan Rasul yang pernah menerima wahyu, dan umat Islam wajib mempercayainya.Tidak sah imannya jika tidak mempercayainya. Menurut alQur`an, ada Nabi yang terungkap namanya dan ada yang tidak terungkap dalam Al-Qur`an, sebagaimana maksud Surah al-Mukmin: 78, yang artinya: “Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan diantaranya ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu…”2 Karena itu, Al-Quran dan rasul pembawanya, demikian pula KitabKitab terdahulu (seperti Injil, Taurat, dan sabda para utusan Tuhan pembawanya, termasuk yang tidak disebutkan namanya dalam al-Qur’an (seperti utusan Tuhan kepada umat Hindu, umat Budha) menjadi “pola bagi tindakan atau perbuatan (model or pattern for behaviour). Sebagai wahyu Tuhan, Al-Qur’an, Zabur, Taurat, Injil, serta Kitabkitab sucil yang lain, merupakan ajaran orisinil yang mengandung nilai orisnil, absolut, dan universal. Karena itu system nilai semua agama memiliki kesamaan satu dengan yang lain karena berasal dari sumber yang sama dan berlaku sepanjang zaman (shalihun likulli zaman wa makan). Oleh karena itu, sistem nilai akhlakul karimah (perilaku yang mulia) berupa kejujuran, keadilan, kemanusiaan, kasih sayang, persaudaran, perdamaian, yang menjadi 2 Departemen Agama RI, Quran dan Terjemahannya (Jakarta: Cahaya Intan Cemerlang, 2006), h. 476. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 3 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus visi utama dalam misi Rasulullah Muhammad saw, juga menjadi ajaran semua agama. Sehubungan dengan itu beliau mengatakan bahwa, “saya hanya diutus untuk menyempurnakan akhlakul karimah” (innama bu`istu li utammima makarim al-akhlaq) Al-Qur’an datang di tengah-tengah masyarakat Arab yang telah memiliki budaya dengan system nilai lokal, demikian juga masyarakat luar Arab termasuk masyarakat Nusantara. Seperti halnya Al-Qur’an dengan rasul pembawanya, Kitab-kitab terdahulu besama dengan utusan Tuhan pembawanya juga datang pada masyarakat dengan kondisi sosial cultural, budaya masing-masing. Pemahman masyakat terhadap sitem nilai untuk diimplementasikan dalam bentuk prilaku dan tindakan sarat dengan system buadaya local yang dimililki masing-masing masyarakat. Kendatipun tujuannya untuk menyesuaikan dengan system nilai sebagai model for behaviour (yakni kitab suci sebagai pedoman atau hudan). Dengan demkian, system pengetahuan yang kemudian juga menjadi ajaran agama menjadi tidak seragam di setiap masyarakat beragama meskipun dalam satu agama, apalagi berbeda agama dalam mengimplementasikan system nilai yang universal itu. Dalam Islam, pengetahuan mengenai system hukum, system politik, system social, bahkan system akidah menjadi tidak seragam bagi seluruh umat Islam. Pengamalan ajaran agama dari sisetem pengetahuan dalam bentuk symbol-symbol, dalam bentuk syariat menjadi sangat kondisional, pariativ, intepretativ, atau nisbi, yang dapat mengikuti perkembangan zaman dan waktu. Karena itu, agama sebagai “pola dari prilaku” (model or pattern of behaviour) tidak mesti seragam. Dapat diinterpretasikan sesuai dengan konteks tempat dan waktu. Terjadinya perbedaan antara Islam dengan yang lainnya dalam bentuk system pengetahuan dan makna adalah hal yang dibenarkan al-Qur`an, sebagaimana disebutkan dalam Surah al-Maidah:48, yang artinya: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur`an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran yang membenarkan kitabkitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba lombalah berbuat kebajikan….3 Ketidak seragaman system hukum dan social dalam Islam melahirkan perbedaan sistem pengetahuan dan pengamalan hukum mazahib al-arba`ah dan yang tidak bermazhab, system politik yang berbeda antara Sunni dan Syiah, antara kerajaan dan republic; bahkan system teology yang berbeda antara Asyariah, Mu`tazilah, modernis, post modernis, dsb. Namun demikian 3 Ibid. h. 116. 4 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi pada intinya semua berpedoman pada system nilai yang universal dan absolute yaitu terciptanya kehidupan akhlakul karimah. Karena itu, dalam melaksanakan ajaran masing-masing agama oleh penganutnya, di negara yang berpenduduk pluralitas agama dan multi etnis prinsip pluralisme dalam pluralitas harus ditegakkan, yaitu dengan mencari titik temu, sebagaimana ajakan Al-Quran Surah Ali Imran/3: 64, yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Marilah (kita) menuju kepada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dan bahwa kita tidak menjadikan satu sama lain tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa kami adalah orang muslim.”4 Titik temu adalah Tuhan sebagai sumber nilai semua agama yang memiliki system nilai akhlakul karimah yang sama, yakni kemanusian, kejujuran keadilan, prsaudaraan / kerukunan, saling mengasihi dan menyayangi, serta nilai nilai terpuji lainnya. Mencontoh kepada prilaku para utusan Tuhan, para penganjur agama semuanya memiliki missi yang sama yakni terwujudnya system nilai tersebut. Karena waktu dan lingkungan masyarakat, social, budaya dan cultural serta masa yang berbeda maka implementasi dalam bentuk pemaknaan dalam symbol-symbol kegiatan keagamaan menjadi beragam bahkan kadang bertentangan satu dengan yang lain. Dari nilai kemanusiaan, penganut semua agama terdorong membangun lembaga-lembaga, organisasi organisasi social kemasyarakat-an, seperti panti asuhan, rumah sakit, panti jompo, dan institusi pendidikan dan pelatihan. Semua agama menyukai perbuatan tersebut dan memberikan penghargaan dan tempat yang mulia. Al Quran meminta agar umat Islam berlomba dengan yang lain untuk berbuat baik dalam kehidupan social (fastabiqul khaerat). Dan kepada semuanya Allah akan memberikan pahala. Dari nilai persaudaraan dan kasih sayang, hendaknya penganut semua agama terdorong menghargai dan menghormati penganut agama lain, meskipun berbeda dalam tataran system pengetahuan dan system syariat sebagai symbol masing-masing agama. Perbedaan adalah nisbi karena merupakan system yang dibangun oleh masing masing dengan kondisi dan waktu yang melatarbelakanginya. Konflik antar umat beragama terjadi bukan karena system nilai masing-masing agama yang berbeda, akan tetapi factor system pemahaman yang dipengaruhi oleh kondisi duniawi yang dimiliki masing-masing. Oleh karena itu untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama semua penganut agama dalam berinteraksi social dan dalam melaksanakan system pengetahuan dan makna khidupannya yang berbeda, hendaknya system nilai yang menjadi pedoman yaitu ukhuwah dan kasih. 4 Ibid. h. 58. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 5 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus Menyalahi nilai ukhuwah dan kasih sudah pasti akan tercipta sikap dan prilaku intoleransi, dan ketidakrukunan. Dan hal itu bertentangan dengan nilai agama yang absolute dan universal. C. Budaya Toleransi dalam Konteks Keindonesiaan yang Pluralitas Agama Secara historis kultural, bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, agamis. Hal itu tidak terlepas dari kehadiran dan perkembangan agama-agama besar Dunia, di negeri ini sebagaimana disebutkan terdahulu. Hal itulah menjadikan Indonesia sebagai negara yang pluralitas agama atau multi agama. Manusia Indonesia baik sebagai bangsa maupun sebagai penganut agama, semuanya seharusnya mendambakkan perdamaian. Sebagai bangsa, karena Negara menghormati semua agama yang hidup tanpa membedakan satu dengan yang lainnya. Sila Pertama Pancsila sebagai dasar Negara yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa” memberi peluang yang sama kepada seluruh penganut agama untuk hidup melaksanakan agamanya di bumi Indonesaia. Pasal 28 dan 29 UUD 45 R.I. juga menyatakan bahwa semua penganut agama berhak melaksanakan ajaran agamanya sebagai hak asasinya yang dijamin kemerdekaanya oleh negara. Pancasia dan UUD 45 dirancang seperti itu oleh para pendiri republik karena mereka sadar bahwa hanya dengan saling menghargai antara sesama warga bangsa tanpa membedakan agama, perdamaian di negeri ini dapat dibina dan dipelihara. Dalam upaya mewujudkan perdamaian itu, maka pemerintah dalam hal ini Departemen Agama yang bertanggung jawab atas terwujudnya kehidupan harmonis sesama penganut agama sejak awal mengembangkan strategi pembinaan “kerukunan hidup umat beragama”. Pada awalnya upaya pembinaan yang dilakukan adalah dengan memakai pendekatan “agree in disagreement”. Lalu kemudian menempuh jalur pendekatan yang bersifat pragmatis yakni pembinaan “trilogi kerukunan” yakni kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antara penganut agama dan pemerintah. Gagasan trilogi itu sendiri lahir sebagai solusi menghidari ketegangan yang sering terjadi antar penganut agama yang berbeda, yang dimulai dengan pertemuan pertama antar umat beragama 30 Nopember 1967. Dalam menyikapi pembinaan hubungan antar umat beragama itu maka pemerintah melalui Menag dan Mendagri mengeluarkan Keputusan Bersama Nomor I tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan Ibadah dan Pengembangan Agama oleh pemeluk-pemeluknya, diikuti Keputusan Bersama Nomor I tahun 1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia. Sebagai tindak lanjut gagasan Trilogi Kerukunan, dan pertemuan pertemuan yang terjadi di kalangan umat beragma, maka secara formal wadah pembinaan kerukunan antar umat beragama dibentuk oleh pemerintahyang bernama “Wadah Musyawarah Antar Umat Beragma (WAMAUB)”,yang terbentuk berdasarkan SK Menag No. 35, tahun1980. Menyikapi kondisi 6 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi hubungan beragama yang masih sering dipicu gesekan dan konflik di berbagai daerah akibat kesalahpahaman antara penganut agama yang berbeda, maka pemerintah melalui Menag dan Mendagri, mengeluarkan Peraturan Bersama Nomor 9 dan 8 tahun 2006 yang berisi Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadah. Kalau secara politik, bangsa Indonesia yang berbeda agama mestinya harus mewujudkan toleransi untuk perdamaian sebagai mana kehendak ideology Negara, maka demikian juga sebagi bangsa yang beragama. Hal itu, karena semua ajaran agama yang hidup di Indonesia memiliki tujuan yang sama dalam hal menciptakan kehidupan yang damai. Semua agama mempunyai dasar filosofi yang sama bahwa “kehidupan yang menjanjikan surga adalah kehidupan manusia yang kasih dan bertaqwa kepada Tuhan, menyayangi sesama dan menghargai orang lain.” Atau dengan kata lain, bahwa “inti ajaran semua agama adalah mewujudkan cinta kasih menuju damai di dunia sebagai jembatan menemukan sorga.” Islam dikenal dengan “hukum kerahmatan lil alamin-nya” sebagaimana maksud ayat Al-Quran: “kami tidak mengutus Engkau Muhammad melainkan sebagai rahmatan lil alamin”.5 Kristen dengan hukum Kasih-nya, yang bersumber dari Sabda Yesus: “Kasihilah Allah dengan bulat hatimu dengan segenap manusia seperti dirimu sendiri”.6 Dalam Surat Roma 12:10 disebutkan: “Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.”7 Budha juga demikian mendambakkan agar pemeluknya mewujudkan cinta kasih, sebagai mana sabda Sang Budha: “Kebencian akan berakhir jika dibalas dengan cintakasih”.8 Disebutkan pula dalam Sanghiang Kamahayanikam ayat 79: “Rasa belas kasihan yang ada pada dirinya sendiri, (bila) dipergunakan untuk mencintai semua makhluk yang mengalami penderitaan, dicurahkan untuk melakukan sesama rasa kasihan itu, setelah melaksanakan rasa kasih sayang sebagai mana halnya ia mencintai sesama manusia, inilah yang diebut Satwalambana-Karunia.”9 Dalam Agama Hindu juga terkandung ajaran luhur yang menjadi pegangan umat Hindu dalam mewujudkan cintah kasih sesama umat manusia. Mahatma Gandi, tokoh Hindu dan pemimpin India yang terkenal dengan ahimsa-nya mengatakan: “Agama bukanlah diturunkan untuk memisahkan manusia satu dari yang lain melainkan untuk mempersatukan umat manusia; Malang sekali Wamā arsalnāka illā rahmatan lil âlamīn , (Surah al-Anbiya : 107), ibid. h. 331. Abd Rahim Yunus, “Pendidikan Toleransi dalam Konteks Indonesia” dalam Teaching for Tolerance in the Indonesian Contects (Makassar, UIN Alauddin Press,) h. 3. 7 Baca Lembaga al-Kitab Indonesia, Perjanjian Baru (Jakarta, 2004), h. 52. 8 Ibid., h.3. 9 Departemen Agama RI, Sanghyang Kamahayanikam, (Jakarta: Proyek 15 Penerjemahan Kitab Suci Hindu dan Budha, 1973), h. 117. 5 6 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 7 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus bahwa dewasa ini agama sudah terlalu jauh didistorsi sehingga dijadikan sebagai dalih paling kuat untuk berselisih dan berbunuh-bunuhan.”10 Pengikut gama-agama di Indonesia, masih terkadang belum menempatkan agama mereka secara baik sebagai perekat bangsa, sebagaimana yang diamanatkan ideology negara ataupun amanah substansi ajaran agama itu sendiri. Ini tercermin dari kenyataan yang masih sering terjadi di mana agama justru terkadang berperan sebaliknya. Agama terkadang berperan sebagai pemicu dan pemacu terjadinya konflik atau memperbesar konflik antar kelompok-kelompok yang berbeda agama. Sebutlah berbagai peristiwa konflik yang terjadi antara dua kelompok yang berbeda agama di Sampit (Kalimantan Tengah), di Ambon (Maluku), dan Poso (Sulawesi Tengah). Tidak dapat dipungkiri peran agama dalam memicu dan memperbesar konlik-konflik tersebut kendatipun faktor non agama juga ada bahkan mungkin merupakan yang utama, seperti faktor ekonomi, kecemburuan sosial, etnis, ras, budaya, politik kekuasaan dll. Indikasi faktor agama sebagai pemicu konflik tersebut tercermin dari realitas sosial bahwa kelompok yang terlibat konflik adalah penganut agama yang berbeda, dan masing-masing kelompok menggunakan slogan atau simbol-simbol agama masing dalam upaya memenangkan perseteruan,sebut saja “Jihad fi sabilillah”, atau “perang salib”. Agama memang memiliki potensi pemicu konflik di Indonsia, jika tidak disadari dan ditanggulangi oleh masing-masing umat beragama. Dalam berbagai konflik besar, tidak dapat dipungkiri, agama memiliki andil sebagai faktor pemicunya meskipun pemicu utamanya adalah faktor non agama. Disamping itu juga, sejumlah praktek kehidupan beragama yang rawan menimbulkan konflik antar umat beragama di negeri ini seperti: persoalan pendirian rumah ibadah; persoalan penyebaran agama; persoalan bantuan sosial yang didorong oleh semangat kemanusiaan dan keyakinan agama; praktek ritual keagamaan yang mengganggu lingkungan yang berbeda agama,dll. Praktek pelaksanaan ajaran agama tersebut juga sering menjadi penyebab terjadinya ketidak harmonisan dan munculnya kecurigaan satu sama lain dalam masyarakat pluralitas agama di negeri ini. Meskipun masingmasing pemeluk agama menyadari bahwa negara tidak membedakan satu agama dengan yang lain, dan menyadari pula bahwa agama yang dianutnya adalah agama rahmatan lil alamin atau “penuh cinta kasih”. Untuk menanggulangi terjadinnya gesekan yang menimbulkan konflik antar penganut agama perlu upaya sungguh sungguh dibangun budaya toleransi dalam konteks Indonesia yang pluralitas agama. Membangun budaya toleransi dengan pendekatan politik/kekuasaan yang bersifat top down nampaknya tidak efektif dalam mewujudkan toleransi Dikutip dari Harifuddin Cawidu, “Mengembangkan Wawasan Keagamaan Multi Kultural Melalui Dialog Pemuka Agama Pusat dan Daerah” makalah disajikan dalam Temu Nasional Pemuka Agama se Indonesia di Makassar pada 15-16 Januari 2003, h. 4. 10 8 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi sejati. Oleh karena itu diperlukan pendekatan bersifat bottom up (dari bawah ke atas), yaitu dengan cara pembudayaan sikap toleransi bagi masyarakat. Untuk menciptakan budaya toleransi, perlu ditanamkan pandangan, sikap dan perilaku toleransi kepada setiap individu penganut agama sejak dini, dengan pembiasaan melalui pendidikan. Inti toleransi adalah “menghargai penganut agama lain dengan menghilangkan kecurigaan dan kebencian satu sama lain, karena hal itu mengakibatkan ketidakharmonisan. Toleransi menginginkan hidup rukun dan damai antar umat beragama yang berbeda. ”Pandangan, sikap, dan perilaku toleran harus lahir dari sebuah kesadaran, bukan dipaksakan. Oleh karena itu, secara teoritis toleransi memerlukan prasyarat yaitu kesadaran diri. Kesadaran seperti itu akan tercapai apabila bangsa yang pluralitas agama telah memiliki kecerdasan untuk memilih dan memilah yang baik dari yang tidak baik. Pendidikan merupakan mesin pencetak yang dapat mencetak warga bangsa, penganut agama dari generasi kegenerasi menjadi bangsa yang cerdas untuk memiliki kesadaran diri dalam bertoleransi. Budaya toleransi dapat dibangun melalui pendidikan toleransi, yaitu penanaman kesadaran pada setiap penganut agama untuk hidup toleransi. Untuk itu, beberapa kesadaran yang ditawarkan sebagai bagian dari upaya membangun pendidikan toleransi, sebagaimana disebutkan di bawah ini: 1. Kesadaran Pluralitas Agama Ketika mengeluarkan fatwa tentang haramnya “Pluralisme”, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendapat tantangan, protes bahkan cacian dari berbagai pihak baik dari kalangan agamawan, maupun teknokrat dan intelektual. Namun, setelah beberapa kali pertemuan lintas agama, terjadilah saling pengertiaan antara kalangan pro dan kontra fatwa. Pertentangan terjadi nampaknya lebih disebabkan karena perbedaan penggunaan istilah “pluralisme”. Fatwa MUI memakai istilah pluralisme sebagai paham yang apabila seoran dalam dirinya meyakini bahwa semua kepercayaan atau keyakinan agama benar. Paham ini sebenarnya juga tidak dapat diterima oleh semua agama, karena bertentangan dengan ajaran masing-masing agama. Yang bisa disepakati dan diterima oleh semua agama adalah hidup berdampingan, tidak saling mengganggu meskipun berbeda agama, dan masing-masing penganut agama meyakini agamanyalah yang benar. Bagi MUI, itulah arti dari istilah “pluralitas”, namun yang lainnya menyebutnya “pluralisme”. Dari polemik yang terjadi mengenai fatwa pluralisme itu paling tidak kita dapat memahami bahwa: a. Hidup berdampingan antar beda agama dapat diterima oleh semua agama tanpa mempersoalkan perbedaan yag ada baik dalam keyakinan ataupun dalam pengamalan ajaran. Sikap ini tentunya dapat menjadi materi pendidikan toleransi untuk terciptanya budaya toleransi di Indonesia. Pandangan dan sikap budaya tolernsi seperti ini hendaknya dtanamkan dan dibudayakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di negeri yang pluralitas agama ini. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 9 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus b. Agar kesadaran pluraltas agama dapat dibangun secara baik maka dibutuhkan sosialisasi sampai ke masyarakat akar rumput. Karena itu perlu dibangun kesadaran berdialog, diskusi atau pertemuan-pertemuan lintas agama mulai dari kalangan elitis sampai pada kalangan populis atau masyarakat “akar rumput.” Mengamati perkembangan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir, nampaknya upaya menciptakan budaya toleransi melalui kesadaran pluralisme bukan tidak menemui tantangan. Karena selain fatwa MUI yang mengharamkan Pluralisme itu, terdapat indikasi lainnya adanya konsep atau paham atau pandangan yang didasarkan pada pemahaman agama yang menolak keras pluralitas itu. Indikasi itu tercermin dari pemikiran dan pandangan yang menginginkan berlakunya hukum agama tertentu di negeri ini, dan Islam adalah dasar bernegara. Apabila konsep ini berlaku dalam negara pluralitas agama maka dengan sendirinya, agama tertentu memiliki kedudukan istimewa dalam system bernegara, sebagaimana yang terjadi di negara-negara Islam seperti Malaysia, Saudi Arabiah, Iran, dll. Di Negara-negara ini, kendatipun non Islam bebas hidup menjalankan agamanya, namun terdapat diskiriminasi antar umat Islam yang memiliki kedudukan istimewa dengan umat non Islam. Kondisi kehidupan agama seperti ini tentunya tidak akan melahirkan budaya toleransi yang sejati. Oleh karena itu, untuk mewujudkan budaya toleransi , di mana semua agama merasa sama kedudukannya dalam hidup bernegara, maka kesadaran pluralitas agama hendaknya ditopan dengan kesadaran nasionalisme, kesadaran memiliki hak azasi atau HAM, kesadaran inklusivisme, dan kesadaran sekularisme. 2. Kesadaran Nasionalisme Untuk membangun budaya toleransi, maka perlu ditanamkan kesadaran nasionalisme kepada setiap warga bangsa. Perlu ditanamkan keasadran bahwa bahwa Indonesia lahir dan terbentuk bukan atas perjuangan dari penganut satu agama saja. Akan tetapi negara ini lahir dan terbentuk atas perjuangan bersama yang melibatkan penganut semua agama. Sejarah terbentuknya Negara dan bangsa Indonesia berbeda dengan negaranegara Islam seperti Malaysia, Saudi Arabiah, dan Iran. Indonesia berdiri atas hasil perjuangan secara bersama-sama dari semua penganut agama dari seluruh wilayah jajahan Belanda saat itu. Karena itu lahirlah Negara yang tidak membedakan penduduknya atas dasar agama, meskipun ada yang mayoritas dan ada minoritas. Beda dengan Indonesia, lahir dan terbentuknya Malaysia dilatarbelakangi oleh persekutuan sultan-sultan atau raja-raja Melayu (Melayu identik Islam). Itulah sebabnya di negeri ini Islam menjadi agama resmi Negara persekutuan. Umat Islam memiliki kedudukan dan hak istimewa dalam kehidupan bernegara yang berberda dengan umat lainnya. Hal serupa juga yang melatarbelakangi lahirnya Kerajaan Saudi Arabiah yang menadikan hukum Islam sebagai hukum beregara. Negara ini dibangun dan dibentuk oleh Muhammad bi Saud, kepala sebuah suku di Najed dengan 10 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi dukungan Muhammad bin Abdul Wahhab dengan paham Islam wahabiyahnya. 3. Kesadaran Hak Azasi Manusia (HAM) Kebebasan beragama dan tidak beragama merupakan salah satu hak azasi manusia yang disepakati dalam deklarasi Hak Azasi Manusia (HAM). Setiap orang menurut deklarasi HAM bebas beragama atau tidak beragama. Di Indonesia, kebabasan memilih agama dapat diterima, tetapi kebebasan tidak beragama tidak diterima karenaideology negara mengharuskan setiap warga negara harus ber-KetuhananYang Maha Esa, atau harus beragama atau berkepercayaan. Sebenarnya dalam semua agama-agama memiliki ajaran yangmembenarkan kebabasan beragama. Dalam Islam terdapat ayat AI-Quran yang menyatakan tdak ada paksaan dalam agama. Dalam Kristen, KonsiliVatikan II membenarkan bahwa “Di luar gereja ada keselamatan”. Dalam Budha, Sang Budha pernah berkata kepada pengikutnya, “Kami terima anda sebagai umatku, sebagai muridku dengan harapan anda tetap menghargai bekas agama anda dan menghormati mantan guru besar anda itu, serta membantunya.” Kendala dalam penerapan kebebasan beragama menuju toleransi umat beragama yang biasa terjadi di Indonesia adalah karena adanya tuntutan pengembangan agama oleh penganutnya. Kepentingan pengembangan agama agama ini melalui dakwah / jihad atau misi sering mengalami benturan antara agama yang satu dengan yang lainnya. Persoalan pengembangan agama yang banyak menyita waktu penyelesaiannya adalah pendirian rumah ibadah sebagai sarana dakwah ataumisi serta pemberian bantuan kemanusiaan. Karena kegiatan tersebut mengesankan pemaksaan agama secara terselubung, di satu sisi, dan di sisi lain juga merupakan kebebasan melaksanakan perintah agama. Untuk menanggulangi hal tersebut, maka dialog antar umat beragama dari kalangan elitis maupun populis perlu diintensifkan. 4. Kesadaran Inklusivisme Semua agama, di samping memiliki perbedaan juga persamaan.Untuk membangun budaya toleransi, semangat memiliki persamaan danperbedaan merupakan sikap yang harus dibangun oleh penganut masing masing agama. Apa yang sama diimplementasikan dalam bentuk kerjasama sosial dengan tidak menonjolkan atau memunculkan simbol-simbol agama yang bersifat parsial, karena yang parsial itulah yang memiliki perbadaan yang tajam bahkan terkadang bertolak belakang. Merangkul semua penganut agama yang berbeda dalam satu pandangan, pemikiran, program aksi dan kegiatan serta dalam tatanan sosial yang serupa inilah melahirkan semangat inklusivisme. Untuk membudayakan semangat inklusivisme ini, maka pemuka agama hendaknya mengkaji dan merumuskan nilai-nilai ajaran agama yang sama bagi semua agama. Nilai-nilai dasar ajaran agama yang sama terdapat pada nilai-nilai dasar yang bersifat universal. Nilai universalitas suatu agama pasti diakui juga oleh agama-agama lainnya. Untuk itu nilai dasar ajaran agama Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 11 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus yang bersifat universal mengenai kemanusiaan, kesejahteraan, kedamaian, cinta kasih, dan lain-lain perlu ditumbuh kembangkan dalam bentuk tradisi budaya dengan lebih menekankan pada substansi ajaran, bukan pada symbol yang lebih bersifat tekstual semata. Oleh karenanya, untuk menciptakan budaya toleransi pada bangsa yang plural agama, penggunaan symbol-simbol agama harus dihindari untuk memelihara universalitas ajaran agama dalam implemantasinya dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Membangun negara, misalnya adalah inplementasi substansi ajaran agama yang bersifat universal yaitu ajaran perdamaian, kesejahteraan, cinta kasih sesama manusia. Tanpa label atau simbol agama pada negara maka toleransi antar umat beragama dapat dibudayakan. Sebaliknya, bila negara diberi label atau simbol agama tertentu, maka agama lain menjadi kelas dua. Meninggalkan simbol dan label agama nampaknya merupakan pekerjaan yang tidak gampang di negara plural aguma, seperti Indonesia. Di berbagai aktifitas dan sarana sosial yang dibangun oleh dan atas nama kelompok agama, simbol dan label agama digunakan untuk maksud kesemarakan beragama. Karena itu, ada rumah sakit Islam, rumah sakit kristen, rumah sakit katolik, dll, mekipun cara pengobatan di dalamnya sama saja dengan rumah sakit yang tidak berlebel agama, dan semuanya didirikan untuk kemanusiaan, dan ajaran kemanusiaan adalah ajaran semua agama. Lembaga atau institusi resmi Negara, demikian juga swasta juga banyak menggunakan label dan simbol agama, seperti lembaga pendidikan Islam Kristen, Katolik, Hindi dan Budha, mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Budaya toleransi dapat dibangun apabila bangsa Indonesia dibiasakan berpikir dalam persamaan universal, bukan pada perbeda anparsial, terutama dalam konteks kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Karena pada substansinya semua agama samatujuannya dalam membangun sarana sosial, yaitu untuk mensejahterakan masyarakat. 5. Kesadaran Sekularisme Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama, artinya agama dan negara tidak terpisah secara menyeluruh dan juga tidak menyatu secara utuh. Ada ajaran agama yang digunakan dalam system bernegara seperti system perkawinan yang berdasarkan hukum Islam, sistem ekonomi syariat dll. Sebaliknya banyak pula ajaran agama yang tidak masuk dalam urusan negara, seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, dll. Konsep penyatuan negara dan agama secara utuh menjadi issu perjuangan kelompok tertentu sejak awal berdirinya negara, seperti konsep mendirikan Negara Islam, begitu pula dasar negara berdasarkan Islam. Pengalaman sejarah bangsa Indonesia menunjukkan bahwa persoalan pro / kontra mengenai dasar Negara inilah telah menyita banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan korban jiwa yang tidak sedikit jumlahnya pada masa lalu. Memang penyatuan system bernegara dengan doktrin agama tertentu artinya pendiktean atau pemaksaan kepentingan dan kebenaran agama atau umat tertentu ke dalam negara atau bangsa yang berbeda agama. Masuk 12 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi kategori ini adalah konsep dan gerakan mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), sudah tentu tidak dapat mewujudkan budaya tolernsi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralitas agama. Termasuk dalam kategori ini adalah wacana otonomi khusus atas dasar agama, seperti Sulawesi-Selatan dengan otonomi khusus penegakan syariat Islam, Papua dengan otonomi khusus penegakanSyariat Kristen, dan Bali dengan otonomi khusus penegakan Hindu. Sudah pasti penganut agama minoritas merasa terkelasduakan di tengah penganut agama yang diotonomi khususkan. Dan juga sudah pasti bahwa politisasi agama tidak terhindari dan hal ini menjadi ancaman terhadap kesucian agama itu sendiri. Akibatnya, toleransi sejati antara penganut agama minoritas dan mayoritas terganggu. Untuk menghindari gangguan dan ancaman retaknya solidaritas bangsa yang pluralitas agama, hubungan agama-agama dan negara perlu dijalankan secara proporsional. Agama dalam proporsinya diatur oleh wahyu yang teansendental, sementara negara aturannya dibuat oleh rakyat secara keseluruhan. Tidak berarti bahwa pemisahan atau sekularisme ini, agamawan tidak boleh berpolitik dan mengatur negara; atau politisi tidak boleh beragama. Justru yang harus dipelihara dan dibina dalam diri setiap politisi dan penyelenggara negara agar patuh mengimplementasikan nilai-nilai universal agamanya dalam menjalankan kebijakan politiknya,sebutlah kejujuran, keadilan, kemanusiaan dalam mengurus negara itu lebih penting dari pada menggunakan symbol agama tetapi tidak mengimplementasikan nilai agama dalam mengurus negara, sebutlah korupsi,manipulasi, anarkhis, dll. Semangat sekularisme kayak inilah yang perlu dibangun di negeri yang pluralitas agama untuk mewujudkan toleransi kehidupan beragamayang sejati. D. Kesimpulan Dari pemikiran, pandangan dan pengalaman tersebut di atas, disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Membangun budaya toleransi dalam menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama di negara pluralitas agama seperti Indonesia tidak cukup hanya melalui kebijakan politik top down dengan pendekatan struktural formalistis saja, tetapi diperlukan penanaman budaya toleransi yang bersifat bottom up dengan pendekatan cultural. 2. Budaya toleransi bagi bangsa yang pluralitas agama dapat ditanamkan melalui pembinaan semangat dan kesadaran pluralisme, nasionalisme, Inklusivisme, sekularisme, serta semangat dan kesadaran hak azasi manusia (HAM). Karena dengan semangat dan kesadaran itu, setiap penganut agama akan berpikir substansial agama yang bersifat universal, tidak pada tataran parsialn yang pariativ dan nisbi. Dan ini penting dalam mencari titik temu dalam system kehidupan berbangsa. 3. Agama selain memiliki nilai universal, tidak dapat dipungkiri memiliki karakrteristik yang bersifat ritual dan praktek pengamalan ibadah atau Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 13 Membangun Budaya Toleransi Abd. Rahim Yunus “syariat”. Persoalan ini telah diatur oleh masing-masing agama menurut petunjuk wahyu dan bimbingan para nabi-nabi, dan rasul, utusan Tuhan. Tanggung jawab pelaksanaannya pula telah dibebankan kepada individu masing-rnasing dalam hubungannnya dengan Allah. Oleh karena itu, akan terjadi kebersamaan dalam perbedaan apabila persoalan ini dilepaskan oleh negara dan diberikan kepada masing-masing agama dalam pelaksanaannya. 4. Model pendidikan sekolah di Indonesia belum maksimal memberikan kontribusinya dalam membangun budaya toleransi. Kalau ada baru pada tahap penanaman semangat dan kesadaran nasionalisme, dan sedikit tentang kesadaran HAM. Pendidikan bercorak agama terkadang menjadi penyubur lahirnya budaya eksklusifisme dan fanatisme yang berlebihan. Hal itu, karena pola pendidikan agama yang kurang bernuansa pluralisme, inklusivisme, dan sekulerisme yang masih dianggap sangat tabu. 14 Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 Abd. Rahim Yunus Membangun Budaya Toleransi Daftar Pustaka Abdullah, Irwan dkk. (edt). Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global. Yogyakarta: UGM, 2008. Basyuni, Muhammad, M. Kebijakan dan Strategi Kerukunan Umat Beragama. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Dep.Agama RI, 2006. Cawidu, Harifuddin.“Mengembangkan wawasan Keagamaan Multikultural Melalui Dialog Pemuka Agama Pusat dan Daerah.”Makalah disampaikan dalam Temu Nasional Pemuka Agama se Indonesia, di Makassar pada 15-16 Januari 2003. Departemen Agama RI. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Jakarta: Cahaya Intang Cemerlang, 2006. Departemen Agama RI. Sanghyang Kamahayanikan. Jakarta: Proyek 15 Penerjemahan Kitab Suci Hindu dan Budha, 1973. Haikal, Muhammad Husain. Hayat Muhammad. diterjemahkan oleh Ali Audah, Jakarta: Pustaka Jaya, 1979. Haq, Hamka (edt). Damai Ajaran Semua Agama.Makassar: al-Ahkam, 2004. Ibn Hisyam. al-Sirah al-Nabawiyyah. Bairut: al-Maktaabah al-`Ilmiyyah, tth. Lembaga al-Kitab Indonesia. Perjanjian Baru. Jakarta: 2004. Yunus, Abd. Rahim.”Teaching for Tolerance in the Indonesian Context (the Contribution of School Education)”, makalah dalam International Seminar and Workshop, organized by UIN Alauddin with The Oslo Coalition on Freedom of Religion of Belief, pada 19-21 Januari 2007 di Makassar. Jurnal Rihlah Vol. 1 Nomor 1/2013 15