Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. Dasar Biologis Variasi Jenis kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual Myrtati D. Artaria [email protected] (Departemen Antropologi Fisip-Universitas Airlangga, Surabaya) Abstract The terms of sex, gender, and sexual orientation are often confused in the public view. Although maybe they were related to one another, but it is not always like a mathematical formula that sex and gender are aligned, that sexual orientation is always uniform in a particular direction. Human life is quite complex, including sex, gender, and sexual orientation. It has become more interesting to study the biological cause of variation of the sex, gender, and sexual orientation. Furthermore, there is the effeminacy and tomboy phenomenon that is also found in certain people, which is not always related to sexual orientation. However, among cultures around the world there are many different perception of gender, such as in Bugis there are five kinds of gender--woman, calalai, bissu, calabai, and man. Based on the review it can be concluded that sex, gender, and sexual orientation patterns also biological bases which causes them to be varied, and there must be good reasons that the variation occur in nature. Keywords: sex, gender, sexual orientation, sexual variation, sexuality Abstrak Istilah jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual sering dicampuradukkan dalam pandangan masyarakat. Meskipun mungkin mereka ada yang terkait satu sama lain, tetapi tidak selalu seperti rumus matematika bahwa jika jenis kelamin dan gender tidak sejalan, maka orientasi seksualnya selalu seragam ke arah tertentu. Kehidupan manusia cukup kompleks, termasuk terkait tiga hal tersebut di atas. Menjadi semakin menarik ketika dijumpai variasi pola keterkaitan ke tiga hal tersebut di atas. Ditambah lagi fenomena adanya effeminacy dan tomboy yang juga dijumpai pada orang-orang tertentu, yang mana tidak selalu terkait dengan orientasi seksual ke arah tertentu. Lebih menarik adalah menelaah apa sebab terjadinya Jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang tidak selalu berjalan sesuai pola yang dikehendaki. Namun demikian, perlu diketahui bahwa dalam berbagai masyarakat di dunia, didapati berbagai penerimaan yang berbeda tentang adanya jenis kelamin dan masyarakat, seperti misalnya di Bugis ada lima macam gender, yaitu perempuan, calalai, bissu, calabai, dan laki-laki. Lebih menarik lagi ketika menelaah bagaimana secara biologis bagaimana penyebab terjadinya berbagai jenis kelamin yang lebih dari dua, gender yang dimungkinkan lebih dari dua, maupun pola orientasi seksual yang tidak selalu seragam berdasarkan jenis kelaminnya. Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin, gender, serta pola orientasi seksual mempunyai dasar biologis yang menyebabkan mereka menjadi bervariasi, dan alam mempunyai alasan bahwa hal seperti ini dapat terjadi. Kata kunci: jenis kelamin, gender, orientasi seksual, variasi, seksualitas Pendahuluan K lah perbedaan bentuk, sifat, dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang onsep gender berbeda dari seks menentukan perbedaan peran atau jenis kelamin (laki-laki dan dalam perempuan). Jenis Kelamin ada- Istilah gender seringkali tumpang tindih reproduksi (Oakley, mereka 2015). BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 157 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. dengan seks (jenis kelamin), padahal dua Tidak semua masyarakat dapat me- kata itu merujuk pada sesuatu yang nerima gender yang lebih dari dua, yaitu berbeda. pada laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan masyarakat di dunia, didapati berbagai dengan jenis kelamin seseorang dan penerimaan yang berbeda tentang adanya diarahkan atau jenis kelamin dan masyarakat. Di Indone- identitasnya dalam masyarakat (Oakley, sia, sedikitnya ada satu budaya yang 2015). Jenis Kelamin dan Gender tidaklah mempunyai lebih dari dua gender, yaitu sesederhana yang diperkirakan masyara- Bugis. Dalam budaya Bugis, terdapat lima kat. Tidak seperti anggapan umum, bahwa macam gender, yaitu perempuan, calalai, jenis kelamin itu tidak hanya ada dua (la- bissu, calabai, dan laki-laki (Davies, 2007). ki-laki dan perempuan), demikian pula Terlepas dari pandangan budaya, bagai- fenomena laki-laki yang dianggap berperi- mana dasar biologis dari fenomena ini laku feminin, dan perempuan berperilaku adalah menarik untuk ditelaah. Gender pada mengacu peran sosial “tomboy”, sering dianggap karena pengaruh lingkungan atau tontonan di TV, sehingga mereka menjadi seperti itu. Jenis Kelamin Manusia Istilah jenis kelaminsering dikaitkan Jenis kelamin--yang ternyata tidak dengan perilaku individunya, apakah pe- sederhana, rupanya tidak banyak yang rilaku tersebut feminin (untuk perem- menyadari. Mengapa dikatakan tidak se- puan), dan maskulin (untuk laki-laki). Ser- derhana? Karena secara alami, populasi ing, laki-laki yang berperilaku feminin manusia ternyata terdiri dari lebih ba- menjadi bahan percakapan orang, demi- nyak dari pada dua macam jenis kelamin. kian pula perempuan “tomboy” sering Secara statistik memang yang banyak mendapatkan pandangan aneh. Demikian adalah jenis kelamin laki-laki dan perem- pula, orientasi seksual sering menjadi puan. Masalahnya, manusia tidak sese- pembicaraan di media akhir-akhir ini, derhana statistik. Ketika hanya satu saja yang disingkat LGBTQ. Perlu diingat bah- ditemukan jenis yang lain di populasi, te- wa jenis kelamin (yang terkait dengan tap harus diingat, bahwa dia juga manusia anatomi organ reproduksi), orientasi yang hidup dan punya perasaan. seksual, dan perilaku seksual adalah tiga hal berbeda. Jenis kelamin manusia terbentuk ketika minggu ke delapan di dalam kandun- BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 158 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. gan (Moore et al., 2015). “By default”, pa- yang mempunyai hanya satu kromosom, da awal kehamilan semua janin adalah yaitu X. Maka, untuk menjadi perempuan, serupa, yaitu perempuan (Moore et al., dia masih kekurangan satu kromosom X, 2015). Janin mulai membentuk menjadi dan karenanya individu tersebut tidak jenis kelamin laki-laki pada minggu ke de- dapat disebut sebagai jenis kelamin pe- lapan, jika ada unsur Y di dalam kromo- rempuan. Jika mempunyai kromosom XXY som. Di ujung kromosom Y ini terdapat maka di dunia kesehatan disebut Klinefel- yang bernama SRY, yang kemudian memi- ter. Di Inggris, terdapat satu dari 650 ke- cu dilepasnya hormon laki-laki atau tes- lahiran yang mempunyai kromosom XXY, tosteron (Pask, 2016). Sejak saat itu ter- dan di Amerika terdapat satu orang dari jadi proses maskulinisasi dan defeminisa- 100 kelahiran yang mempunyai kromo- si. Ada kalanya, proses ini tidak terjadi som XXY (Glinka, t.t.). Demikian pula XXX, secara sempurna. Misalnya proses masku- frekuensinya diperkirakan satu orang dari linisasi untuk membentuk alat reproduksi 1000 kelahiran (Liu et al., 2016 ). laki-laki terjadi, tapi defeminisasi tidak Lalu, apakah XXY nampak normal terjadi dengan baik. Kesalahan-kesalahan seperti layaknya dua jenis kelamin lain? dalam alam seperti ini dapat terjadi di Menurut Aksglaede et al. (2013) mereka berbagai level, dari level genetis, level berbeda, karena dari sisi kromosom me- hormonal, sampai dengan level morfolo- mang berbeda dari dua jenis kelamin yang gis. Karenanya, kelelakian atau keperem- lain. Pada umumnya, mereka lebih aktif puanan makhluk hidup manusia kadang dari anak-anak kebanyakan, dan menga- tidak sesederhana yang dibayangkan. lami keterlambatan kematangan mental. Bagaimana penjelasannya suatu je- Secara fisik bisa jadi kelihatan normal di nis kelamin adalah “bukan perempuan” bagian morfologi luar, dan tingkat dan “bukan laki-laki”? Bagaimana tidak, kecerdasannya berada dalam kisaran jika perempuan terdiri dari kromosom XX normal. Akan tetapi, karena masalah ter- dan laki-laki mempunyai kromosom XY sebut di atas maka banyak yang menim- (Moore et al., 2015), sementara ada indi- bulkan masalah di sekolah sehingga perlu vidu yang mempunyai kromosom XXX dan pendampingan khusus. Individu yang XXY(Lee et al., 2015). Tentu individu ter- mempunyai kromosom XXX biasanya sebut tidak dapat disebut dengan laki-laki mengalami kelainan organ reproduksi se- maupun perempuan. Ada pula individu hingga tidak mengalami pubertas seperti BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 159 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. layaknya perempuan , mandul, mempu- (Hughes et al., 2012). Namun, di dalam nyai postur tubuh lebih pendek dari pe- tubuhnya terjadi kelainan di mana dia ti- rempuan lain (Lee et al., 2015), dan sering dak sensitif terhadap keberadaan hormon mengalami kesulitan menyesuaikan diri maskulin, sehingga akhirnya terbentuklah dengan lingkungan. alat reproduksi luar seperti perempuan. Apakah hanya itu, jenis kelamin selain la- Dengan kata lain, secara kromosom dia ki-laki dan perempuan? Banyak jenis ke- seperti laki-laki, secara alat reproduksi lamin yang lain. Beberapa contoh dapat luar dia seperti perempuan, karena mem- disebutkan misalnya hipospadia punyai vagina dan payudara. Apakah dia genitalia laki-laki? Tentu bukan laki-laki seperti (Rodrigues, 2015), dan AIS (Androgen In- yang lain. Apakah dia perempuan? Juga sensitive Syndrome) (Hughes et al., 2012). bukan, karena kromosomnya XY, dan juga Ada pula yang tiba-tiba berubah dari tak dapat melakukan reproduksi secara perempuan ke laki-laki pada masa puber normal atau mengandung anak seperti (seperti banyak kasus di suatu desa di perempuan karena tidak mempunyai ute- Dominican Republic) (Russell, & Wilson, rus maupun ovarium seperti perempuan 2014), yang disebabkan karena kelainan lain. (Vikawati, yaitu 2015), ketidakadaan ambigous enzym 5-alpha- Contoh satu lagi adalah ambiguous reductase. Meskipun diasuh sebagai pe- genitalia (Rodrigues, 2015). Yang satu ini rempuan sampai dengan masa puber, ditandai dengan genitalia atau karakteris- anak-anak ini ketika dewasa dan menjadi tik seksual yang tidak jelas apakah dia la- laki-laki, tetap mempunyai orientasi sek- ki-laki atau perempuan. Hal ini secara sual normal (yaitu seperti laki-laki nor- genetis dapat terjadi pada manusia, dan mal). Artinya, asuhan lingkungan yang tentu bukan kesalahan dia untuk terlahir memperlakukan mereka sebagai perem- seperti itu. Contoh lain adalah Kallman puan, tidak mengubah orientasi seksual Syndrome (Yürekli et al., 2015). Ini juga mereka. Mereka tetap seperti laki-laki lain kelainan genetis yang menyebabkan fung- yang menyukai perempuan. si hormon seksual tidak normal, dan me- Apa yang terjadi pada individu yang mengalami AIS? Secara kromosomal, individu tersebut mempunyai kromosom XY, seperti layaknya laki-laki pada umumnya nyebabkan adanya kekurangan hormon maskulin. Karena masyarakat tidak memiliki pemahaman yang cukup, manusia- BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 160 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. manusia yang mempunyai perbedaan dari meskipun, jika dibandingkan dengan jum- kebanyakan seperti diceritakan di atas lah yang lebih memilih heteroseksual ada- umumnya cenderung dipinggirkan secara lah lebih banyak. Tentu, hal ini terkait sosial. dengan kecenderung untuk mempertahankan keberlangsungan species, bahwa ketertarikan pada lawan jenis seharusnya Orientasi Seksual lebih banyak daripada ketertarikan pada Lalu, bagaimana dengan hal yang sesama jenis. Dengan kata lain, jika terjadi akhir-akhir ini dibicarakan secara luas, ketertarikan sesama jenis, secara statistik misalnya tentang perbincangan mengenai jumlahnya dapat dikatakan sebagai keti- LGBTQ? Apakah hal yang kita bahas di daknormalan, karena normal secara sta- atas terkait dengan orientasi seksual? tistik adalah rata-rata dalam populasi. Kelainan genetis semacam yang dibahas Jumlah yang bukan merupakan rata-rata di sama dengan populasi ini apa sebabnya? Di dunia bina- homoseksualitas. Orientasi seksual atau tang orientasi seksual pada sesama jenis ketertarikan terhadap lawan atau sesama tentu bukan disebabkan oleh kesalahan jenis mempunyai penyebab yang berbeda. pergaulan. Dalam ilmu biologi, hal sema- Apakah selalu lingkungan penyebabnya? cam ini merupakan varian yang dapat ter- Hal ini ternyata juga tidak sesederhana jadi. atas tidak itu. Dalam bukunya Sexual Behavior in Apakah benar orientasi seksual ter- the Human Male, Alfred Kinsey (1948) hadap sesama jenis selalu disebabkan mengejutkan umat manusia dengan me- oleh kesalahan lingkungan dan kesalahan nulis bahwa 10 persen dari laki-laki ada- pergaulan? Telah diketahui bahwa terda- lah homoseksual. Tahun 2000, ada sema- pat kecenderungan pada makhluk hidup cam Task Force di AS, yang mengeluarkan yang bukan manusia adanya ketertarikan angka bahwa 2-3 persen laki-laki di AS pada sesama jenis juga dijumpai. Apakah dan 2 persen perempuan di AS adalah disebabkan karena kesalahan pergaulan? homoseksual (Cahill, & Makadon, 2014). Beberapa bukti dari penelitianmenjumpai Lalu, apakah selalu kesalahan pergaulan bahwa sekitar 1500 jenis species yang yang menyebabkan terjadinya hal ini, pernah diteliti mempunyai ketertarikan ataukah mirip dengan populasi di dunia pada binatang, bahwa hal seperti ini secara sesama jenis (Driscoll, 2016), BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 161 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. alami dapat terjadi? Seperti diketahui gian dari otak yang bernama Hipotalamus, bahwa manusia menurut Linneaus (Hux- dan menemukan bahwa di sana sel yang ley, 1875) termasuk ke dalam golongan bernama INAH3 pada laki-laki homosek- “Animal Kingdom”, bukan termasuk ke sual mengalami perbedaan ukuran (lebih dalam kerajaan tumbuh-tumbuhan. kecil) dari pada laki-laki yang heterosek- Memang dalam dunia manusia ada yang sual. Pada laki-laki homoseksual, ukuran- bernama “peer group”. Kelompok perte- nya lebih menyerupai INAH3 pada pe- manan dapat mempengaruhi individu di rempuan. Bahkan sebelumnya, telah di- dalam kelompok tersebut. Apalagi, jika itu publikasi oleh Mc Cormick dan Witelson merupakan kelompok ABG (anak baru (1991) di jurnal Psichoneuroendocrinolo- gede) yang masih mencari identitas. Ka- gy, bahwa hormon yang menyelimuti ja- renanya sering dikatakan agar manusia nin selama dalam kandungan dapat mem- yang telah dewasa pun, seyogyanya pan- pengaruhi perilaki seksual manusia. Seca- dai memilih teman agar mendapat penga- ra prenatal (ketika janin masih dalam ruh yang baik. Namun demikian, terkait kandungan) dapat terjadi bahwa si janin dengan LGBT, kembali lagi pertanyaan- terekspos terhadap hormon misalnya ka- nya, apakah selalu lingkungan yang men- rena jadi penyebabnya? (contohnya congenital adrenal hyperpla- Penelitian pernah dilakukan oleh sekelompok lima peneliti yang melakukan studi tentang penyebab orientasi seksual terhadap sesama jenis pada laki-laki. Telah ditemukan yang namanya marker Xq28 pada area subtelomeric di kromosom X yang merupakan penentu orientasi meminum obat-obatan tertentu sia (CAH) atau diethylstilbestrol (DES)). Seperti dikatakan oleh Ehrhardt (2013) bahwa “fetal androgens” atau lingkungan janin yang mengandung hormon laki-laki sewaktu bayi di dalam kandungan dapat mempengaruhi diferensiasi genitalia eksternal pada mammalia. seksual pada laki-laki (Sanders et al., Pada perempuan, suatu kondisi yang 2015). Jadi pada laki-laki, karena mempu- dapat terjadi adalah yang disebut dengan nyai satu kromosom X, maka hal ini dapat Adrenogenital Syndrome (AGS). Penyebab diturunkan dari garis keturunan ibu. Le- AGS adalah kelainan produksi hormon bih lanjut tulisan Le Vay dan Hamer pada bayi perempuan, di mana kelenjar (1994) yang dimuat di Scientific American adrenalin tidak cukup memproduksi kor- melaporkan bahwa mereka meneliti ba- tisol (Vukina et al., 2015). Kelenjar pitui- BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 162 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. tari mengetahui hal ini dan kemudian Penelitian lain memberikan hasil mensekresi banyak hormon corticotropin bahwa apa yang terjadi ketika individu agar kortisol meningkat. Hormon ini ke- masih di dalam perut, dapat menyebab- mudian menyebabkan kelenjar adrenalin kan kelainan pada individu setelah dia memproduksi terlalu banyak hormon in- lahir. Diduga, eksposur terhadap bahan termediari, sehingga ini menyebabkan kimia untuk melembutkan plastik, ber- terjadinya virilisasi. Bayi perempuan da- nama phthalates dapat menyebabkan be- lam kandungan yang mempunyai AGS berapa hal, seperti dimuat di International akan mempunyai eksternal genitalia, atau Journal of Andrology (Moore et al., 2001). alat kelamin luar, yang menyerupai alat Hal ini akan menyebabkan produksi tes- kelamin luar laki-laki, dan juga berpenga- tosteron yang rendah, dan kemudian me- ruh pada perilaku; yaitu aktifitas yang nyebabkan perkembangan alat reproduk- lebih kelelakian, sikap yang agresif, peran si yang tidak normal, dan juga diduga da- gender yang lebih ke arah lelaki, penam- pat mempengaruhi perilaku bermain ke- pilan yang kelelakian, dan ketertarikan tika masih anak-anak di mana dia akan pada perempuan (Hines et al., 2002). lebih menyukai permainan anak perempuan. Akan tetapi, perlu diteliti lebih lan- Maskulinitas dan Femininitas jut tentang hal itu, dengan sampel lebih banyak. Yang pasti, effeminacy tidak sela- Ada suatu istilah tentang tindak- lu terkait dengan orientasi seksual . Laki- tanduk laki-laki yang dikenal dengan ef- laki yang mempunyai perilaku tidak terla- feminacy . Effeminacy adalah suatu istilah lu maskulin banyak dijumpai, dan seba- yang merujuk pada sifat feminin, perilaku, gian besar mempunyai orientasi seksual atau peran gender pada laki-laki yang di- terhadap lawan jenisnya. anggap “ke-perempuan-perempuan-an” Karenanya dapat disimpulkan bah- (Sinfield, 1994). Di usia kehamilan 8 wa pada masyarakat manusia, jenis kela- minggu terjadi polarisasi oleh kromosom min dan gender tidaklah sesederhana Y, yang dimiliki oleh individu laki-laki. Ek- yang diperkirakan. Khususnya tentang spresi gen ini bisa terjadi ekstrem, seten- gender dan orientasi seksual, ternyata ti- gah, atau juga seperempat. Manusia itu dak melulu karena salah pergaulan. Ada sendiri tidak bisa memilih. Jika hanya se- faktor-faktor lain yang dapat menjadi pe- perempat misalnya, maka dia akan men- nyebab seseorang berbeda dari orang ke- jadi lebih feminin dari pada laki-laki lain. BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 163 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. banyakan. Dan ini menjadi bahan pemikiran untuk bertindak lebih bijak, sebagaimana arti “Homo sapiens”, yaitu manusia yang bijak. Daftar Pustaka Aksglaede, L., Link, K., Giwercman, A., Jørgensen, N., Skakkebaek, N. E., & Juul, A. (2013). 47, XXY Klinefelter syndrome: Clinical characteristics and ageāspecific recommendations for medical management. In American Journal of Medical Genetics Part C: Seminars in Medical Genetics (Vol. 163, No. 1, pp. 55-63). Wiley Subscription Services, Inc., A Wiley Company. Cahill, S., & Makadon, H. (2014). Sexual orientation and gender identity data collection in clinical settings and in electronic health records: A key to ending LGBT health disparities. LGBT health, 1(1), 34-41. Davies, S. G. (2007). Challenging gender norms: Five genders among Bugis in Indonesia. Wadsworth Publishing Company. Diamond, M. (2002). Sex and gender are different: Sexual identity and gender identity are different. Clinical child psychology and psychiatry, 7(3), 320334. Driscoll, E. V. (2016). Bisexual Species. Scientific American, 25, 50-55. Ehrhardt, A. A. (2013). Androgens in prenatal development: behavior changes in nonhuman primates and men. Hormones and Embryonic Development: Advances in The Biosciences, 13, 153. Glinka, J. (t.t.) Handout Antropologi Ragawi. Unpublished. Hines M, Golombok S, Rust J, Johnston KJ, Golding J (2002) Avon Longitudinal Study of Parents and Children Study Team. Testosterone during pregnancy and gender role behavior of preschool children: a longitudinal, population study. Child Development 73: 1678–1687. Hughes, I. A., Werner, R., Bunch, T., & Hiort, O. (2012, October). Androgen insensitivity syndrome. In Seminars in reproductive medicine (Vol. 30, No. 05, pp. 432-442). Thieme Medical Publishers. Huxley, T. H. (1875). On the classification of the animal kingdom. The American Naturalist, 9(2), 65-70. Lee, N. R., Anand, P., Will, E., Adeyemi, E. I., Clasen, L. S., Blumenthal, J. D., ... & Edgin, J. O. (2015). Everyday executive functions in Down syndrome from early childhood to young adulthood: evidence for both unique and shared characteristics compared to youth with sex chromosome trisomy (XXX and XXY). Frontiers in behavioral neuroscience, 9. Lee, N. R., Anand, P., Will, E., Adeyemi, E. I., Clasen, L. S., Blumenthal, J. D., ... & Edgin, J. O. (2015). Everyday executive functions in Down syndrome from early childhood to young adulthood: evidence for both unique and shared characteristics compared to youth with sex chromosome trisomy (XXX and XXY). Frontiers in behavioral neuroscience, 9. BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 164 Myrtati D. Artaria. “Dasar Biologis Variasi Jenis Kelamin, Gender, dan Orientasi Seksual” hal. 157-165. LeVay, S., & Hamer, D. H. (1994). Evidence for a biological influence in male homosexuality. Scientific American, 270(5), 19. Liu, K., Kurien, B. T., Zimmerman, S. L., Kaufman, K. M., Taft, D. H., Kottyan, L. C., ... & Chodosh, J. (2016). X Chromosome Dose and Sex Bias in Autoimmune Diseases: Increased Prevalence of 47, XXX in Systemic Lupus Erythematosus and Sjögren's Syndrome. Arthritis & Rheumatology, 68(5), 1290-1300. Moore, K. L., Persaud, T. V. N., & Torchia, M. G. (2015). The developing human: clinically oriented embryology. Elsevier Health Sciences. Moore, R. W., Rudy, T. A., Lin, T. M., Ko, K., & Peterson, R. E. (2001). Abnormalities of sexual development in male rats with in utero and lactational exposure to the antiandrogenic plasticizer Di (2-ethylhexyl) phthalate. Environmental Health Perspectives, 109(3), 229. Oakley, A. (2015). Sex, gender and society. Ashgate Publishing, Ltd.. Parker, D. A. (2014). Sex, cells, and samesex desire: The biology of sexual preference. Routledge. Pask, A. (2016). The Reproductive System. In Non-coding RNA and the Reproductive System (pp. 1-12). Springer Netherlands. Rodrigues, A. D. S., Machado, A. Z., Nishi, M. Y., Cunha, F. S., Silva, R. B., Costa, E. M., ... & Domenice, S. (2015). SAT087: Heterozygous AR Gene Mutations Identified in Patients with Ambiguous Genitalia. Russell, D. W., & Wilson, J. roid 5α-Reductase In Genetic Steroid 199-214). Academic ego. D. (2014). Ste2 Deficiency. Disorders (pp. Press San Di- Sanders, A. R., Martin, E. R., Beecham, G. W., Guo, S., Dawood, K., Rieger, G., ... & Duan, J. (2015). Genome-wide scan demonstrates significant linkage for male sexual orientation. Psychological medicine, 45(07), 1379-1388. Sinfield, A. (1994). The Wilde Century: effeminacy, Oscar Wilde, and the queer movement. Cassell. Vikawati, N. E. (2015). Analisis Polimorfisme V89L Gen SRD5A2 dan Mikroselesi Gen AZF dan SRY pada Pasien Hipospadia Isolated (Doctoral dissertation, Master Program of Biomedical Science). Vukina, J., Chism, D. D., Sharpless, J. L., Raynor, M. C., Milowsky, M. I., & Funkhouser, W. K. (2015). Metachronous bilateral testicular Leydiglike tumors leading to the diagnosis of congenital adrenal hyperplasia (adrenogenital syndrome). Case reports in pathology, 2015. Yürekli, B. S., Kutbay, N. Ö., Karaca, E., Erdogan, M., Çetinkalp, S., Kitis, Ö., ... & Saygili, L. F. (2015). Olfactory Sulcus Hypoplasia Images in a Case of Kallmann Syndrome. Journal of Clinical Research in Pediatric Endocrinology, 7(2). BioKultur, Vol.V/No.2/Juli-Desember 2016, hal. 165