sumber:www.oseanografi.lipi.go.id Oseana, Volume XXX, Nomor 2, 2005 : 19 - 27 ISSN 0216-1877 SUBSTANSI KIMIA UNTUK PERTAHANAN DIRI DARI HEWAN LAUT TAK BERTULANG BELAKANG Oleh Tutik Murniasih 1) ABSTRACT CHEMICALS DEFENSE WEAPON DERIVED FROM MARINE INVERTEBRATE. The Marine invertebrates lack physical defensive structure, it is not surprising that these marine organisms developed chemicals defenses for ensure survival. The secondary metabolites were produced by marine invertebrates not only for competing to the marine environment, but also for protecting them from microbial infection and predation. Sponge, produced terpenes, polyketides, or alkaloids were implicated in ecological interactions between corals. Tunicate, together with invertebrates such as soft corals, gorgonians, and bryozoans, all compete with marine sponges for space and resources and develop chemicals defense to prevent fouling by larvae or bacteria. Nowadays, many chemicals defense weapon from these organisms were reported having pharmacological effects such as antivirus, antitumor, antibiotics e.t.c. PENDAHULUAN Metabolit sekunder pada mulanya diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah dari organisme sebagai akibat produksi metabolit primer yang berlebihan. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme sebagai respon terhadap lingkungannya (WILLIAM et al., 1989). Organisme laut, khususnya yang hidup di daerah tropis untuk kelangsungan hidupnya menghadapi berbagai tantangan, harus berkompetisi untuk mendapatkan ruang tumbuh, sinar dan makanan. Oleh karena itu, HARPER et al. (2001), menyimpulkan bahwa organisme laut dalam mengembangkan berbagai Proses sintesis substansi kimia dan degradasi organisme dengan sistem enzimatik disebut metabolisme. Jalur-jalur biosintetik (biosintetic pathways) digunakan oleh semua makhluk hidup dalam memproduksi metabolit yang essensial untuk kelangsungan hidup dan pertahanan dirinya. Metabolit primer yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Sedangkan metabolit sekunder atau sering disebut dengan “natural product” yang diproduksi oleh organisme, mempunyai fungsi penting dalam ekologi. 1) Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta 19 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id sistem mekanisme pertahanan diri, diantaranya adalah dengan tingkah laku (behavioral misalnya cryptic, nocturnal), fisik (sclerites, pengerasan permukaan tubuh) dan substansi kimia “chemical defense”. Invertebrata laut yang mempunyai struktur pergerakan fisik lebih terbatas dibanding dengan vertebrata laut, mampu mengembangkan sistem pertahanan diri dengan memproduksi senyawa kimia (chemical defense). Senyawa kimia yang dihasilkan oleh invertebrata laut ini berguna untuk mencegah dan mempertahankan diri dari serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri, membantu proses reproduksi dan mencegah sengatan sinar ultra violet (HARPER et al., 2001). Selain itu dilaporkan bahwa senyawa kimia tersebut dihasilkan oleh invertebrata laut, sebagai respon terhadap kompetisi dengan lingkungan. Kegunaan dari senyawa kimia bagi biota yang memproduksinya adalah sebagai pengikat reseptor dalam target ekologinya. HARPER et al. (2001) juga melakukan pengamatan tentang interaksi spesifik dari reseptor, dan menyimpulkan adanya pengaruh dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh invertebrata laut terhadap reseptor mamalia. Fenomena tersebut dapat dianalogikan dengan mekanisme hubungan metabolit sekunder laut terhadap proses fisiologi manusia. Hal ini merupakan dasar pemikiran tentang biomedika dari laut (marine biomedical). Penelitian interaksi antara produk alam laut dengan reseptor ekologinya merupakan studi tentang kimia dari ekologi laut sampai dengan tingkat molekuler, sehingga diperlukan adanya kolaborasi peneliti bidang ekologi laut, farmakologi dan kimia murni. Adanya informasi interaktif diantara penelitian bidang-bidang tersebut, akan menyempurnakan pemahaman tentang peran metabolit sekunder laut terhadap ekologi dan fungsinya dalam kehidupan manusia. Pernyataan terakhir ini merupakan citacita para peneliti bidang kimia ekologi laut di abad 2l . Tulisan ini merupakan hasil studi perilaku yang mengupas tentang mekanisme sistem pertahanan diri dari invertebrata laut secara kimiawi. Selain itu juga dibahas mengenai sumber penghasil metabolit sekunder untuk pertahanan diri, serta fungsi dari metabolit ini untuk lingkungan sekitar dan kehidupan manusia. MEKANISME PERTAHANAN DIRI DENGAN SUBSTANSI KIMIA DALAM INVERTEBRATA LAUT Dalam aspek kimia pada ekologi laut, tidak hanya membahas tentang biota laut yang memproduksi zat kimia untuk mencegah serangan predator, tetapi juga mengungkapkan substansi kimia sebagai media perantara berbagai interaksi inter dan intra-spesifik dalam predasi, kompetisi, simbiosis-mutualisme, proses reproduksi, serta interaksi suatu organisme dengan lingkungan fisiknya (STACHOWICZ, 2001). Gambaran peran metabolit sekunder terhadap interaksi tersebut, dapat kita pelajari lebih terperinci dalam invertebrata laut yang bergerak (mobile marine invertebrate) maupun dalam invertebrata meroplankton dan holoplankton. Invertebrata laut yang dapat bergerak diantaranya adalah ekhinodermata, krustasea dan moluska, sedangkan yang tergolong invertebrata meroplankton dan holoplankton adalah teripang, polychaetes, spons, ascidians, cnidarians dan lain-lain. Invertebrata laut dalam sistem rantai makanan merupakan herbivora dan predator dominan yang merupakan biota penentu dari sistem piramida makanan. Oleh karena itu, faktor kimiawi yang menentukan distribusi, kelimpahan, komunitas dan ekosistem invertebrata, merupakan topik yang sangat menarik untuk dikaji. Metabolit sekunder bagi invertebrata laut berperan membantu dalam pencarian makanan, pengenalan dengan populasinya, penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang 20 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id sesuai. Selain fungsi tersebut, STACHOWICZ (2001) melaporkan bahwa metabolit sekunder juga berperan dalam pengaturan dan sinkronisasi siklus reproduksi, serta pemberi sinyal jika ada predator yang membahayakan. Sebagian kecil invertebrata laut menghasilkan sendiri substansi kimia untuk pertahanan diri. Sebagian besar hewan kelompok ini memanfaatkan zat kimia yang dihasilkan oleh organisme lain, atau mengembangkan hubungan simbiotik dengan organisme penghasil senyawa aktif (defensive compound). Paragraf berikut ini akan menjelaskan mekanisme pertahanan diri dalam invertebrata laut. Pada prinsipnya cara pendeteksian dan penghindaran diri dari predator dapat dilakukan oleh invertebrata laut dengan cara : dapat diamati zat kimia yang dikeluarkan oleh mangsa maupun pengaruh dari aroma yang ditimbulkan oleh predator. Terbukti bahwa aktivitas gastropoda menurun, karena adanya aroma yang dipancarkan oleh predator, dalam eksperimen ini sebagai predator adalah kepiting. Adapun, mekanisme perolehan substansi kimia yang digunakan untuk pertahanan diri dapat dijelaskan pada paragraf berikut. Pada prinsipnya, perolehan substansi kimia dari jenis invertebrata dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a. “Chemical defense” yang diproduksi dari sumber makanan invertebrata Seperti pada sessil invertebrata dan tumbuhan laut, pada invertebrata laut yang dapat bergerak (mobile invertebrate), zat kimia yang digunakan untuk pertahanan diri dapat dipelajari dengan pendekatan dari makanan atau produsen yang secara ekologis berhubungan langsung dengan organisme ini. Cara untuk mendeteksinya yaitu dengan melarutkan zat kimia yang dihasilkan oleh hewan atau tumbuhan mangsa ke dalam air dan mengamati efeknya terhadap predator (konsumen tingkat satunya). Dengan cara tersebut dapat dideteksi pengaruh metabolit sekunder dari ekhinodermata dan moluska terhadap predator. Sebagian besar invertebrata laut yang dapat bergerak menggunakan senyawa kimia dari biota yang dimakannya untuk dimanfaatkan sebagai senjata melawan predator. Sebagai contoh, gastropoda tak bercangkang (nudibranch) Hexabranchus sanguineus memakan spons jenis Halichondria yang memproduksi senyawa macrolides-oxazole halichondramide. Menurut PAWLIK et al. (1988) senyawa ini meskipun dalam jumlah yang kecil, dapat digunakan sebagai senjata kimia oleh nudibranch untuk menghadapi serangan ikan. Untuk mencegah keracunan, biasanya senyawa kimia untuk pertahanan tersebut disimpan oleh nudibranch dalam kelenjar pencernaan, namun 1. Mengeluarkan zat kimia dari tubuhnya secara aktif sebagai sinyal terhadap adanya predator yang mendekat. 2. Mengeluarkan zat kimia secara pasif, artinya zat kimia terpancar jika predator sudah melukai tubuh invertebrata. 3. Mengenali bau yang secara langsung ditimbulkan oleh predator. Studi tentang deteksi dan penghindaran diri terhadap predator ini dilakukan dengan mengamati perilaku gastropoda terhadap predator. Cara pertama dilakukan oleh gastropoda dengan mengeluarkan semacam lumpur atau semacam tinta warna pekat, supaya predator kesulitan dalam mengejarnya. Contohnya adalah jenis, Navanax inermis yang mengeluarkan zat kimia warna kuning terang (navenones A-C) yang bercampur dengan cairan menyerupai tinta (SLEEPER et al., 1980). Cara kedua dan ketiga telah dipelajari oleh WEISSBURG & ZIMMER-FAUST (1994) dengan membuat miniatur laboratorium alam dan mengkondisikan suatu habitat gastropoda seperti habitat asalnya. Dengan mengamati efek kimiawi yang ditimbulkan ketika ada predator atau dengan melukai bagian tubuhnya, maka 21 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id ketika ada predator, senyawa ini diubah menjadi senyawa toksik dan dikirim ke jaringan luar (mantle border). Kemudian, PAWLIK et al. (1988) juga melaporkan bahwa kandungan senyawa halichondramide yang terbanyak terdapat dalam biomassa nudibranch, sedangkan dalam spons halichondria ditemukan dalam jumlah yang kecil. Selain itu, gastropoda tak bercangkang jenis Tambja abdere memanfaatkan tambjamines yang dihasilkan oleh salah satu mangsanya yaitu bryozoa, juga dapat digunakan untuk menghindarkan diri dari predator ikan. Senyawa ini oleh Tambja abdere akan digunakan sebagai “slime trail” atau sistem penghindaran diri dengan mengeluarkan senyawa yang keruh, seperti lumpur untuk menyulitkan predator dalam pengejaran (CARTE & FAULKNER, 1986) Selain nudibranch, jenis gastropoda kelompok sacoglossa memanfaatkan kloroplas dari rumput laut yang dimakannya sebagai “chemical defense”. Dalam kasus tertentu, senyawa yang dihasilkan oleh sumber makanan akan diubah strukturnya oleh invertebrata pemangsa sebelum digunakan untuk mempertahankan diri dari predator. Beberapa sacoglossa merubah rantai karbon kloroplas untuk digunakan sebagai senjata kimia melawan predator. Sacoglossa jenis Elysia halimeda mereduksi gugus aldehid pada senyawa halimedatetraasetat menjadi gugus alkohol (Gambar 1). Senyawa ini diperoleh dari sumber makanannya, yaitu Halimeda macroloba untuk digunakan sebagai pertahanan dirinya. (LITTLER et al., 1986). Gambar 1. Struktur senyawa halimedatetraasetat (a), Reduksi gugus aldehid menjadi alkohol (b). 22 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id METABOLISME SEKUNDER YANG DIHASILKAN OLEH INVERTEBRATA DAN FUNGSI FARMAKOLOGINYA b. “Chemical defense” yang diproduksi oleh invertebrata sendiri (de novo) Selain dari sumber makanan, ada beberapa invertebrata bergerak yang menghasilkan zat kimia untuk pertahanan sendiri, sebagai contoh adalah nudibranch Dendrodoris limbata yang memproduksi polygodial untuk mempertahankan diri dari serangan predator. Senyawa tersebut tidak ditemukan dalam spons yang merupakan salah satu mangsa dari nudibranch ini. Dendrodis limbata mampu melakukan sintesa metabolit sekunder sendiri seperti sesquiterpenoid, diterpenoid dan sesterpen yang digunakan untuk pertahanan diri (defensive compound) secara de novo (CIMINO & GHISELIN, 1999). Jenis invertebrata laut lain yang memproduksi metabolit sekunder sendiri adalah spons. Spons merupakan sumber penghasil senyawa bioaktif terbesar diantara invertebrata laut lainnya. Menurut HARPER et al. (2001), dalam dekade terakhir, dilaporkan bahwa sebanyak 50% senyawa bioaktif yang ditemukan dalam invertebrata laut, berasal dari filum porifera. Produksi metabolit sekunder dari spons merupakan kompensasi akibat interaksi dengan lingkungan biotik, abiotik dan sebagai senjata kimia terhadap predator. Salah satu pemicu produksi senyawa terpene, poliketida dan alkaloid oleh spons adalah adanya kompetisi dengan koral dan untuk mencegah infeksi bakteri patogen. Substansi kimia yang dihasilkan oleh spons sebagai efek kompetisi dengan lingkungannya diantaranya adalah terpen 7-deacetoxyolepupuane dari jenis Dysidea sp. HARPER et al. (2001) juga melaporkan bahwa senyawa ini dapat menyebabkan kematian terhadap jenis spons Cacospongia sp. dan sebagai senjata kimia terhadap predator ikan Promacanthus imperator. Selain sebagai pertahanan diri, fungsi lain dari metabolit sekunder bagi invertebrata laut adalah : a. Sebagai media interaksi dengan organisme lain Para ahli ekologi telah mempelajari beberapa interaksi antar organisme sehubungan dengan populasi dan komunitasnya. Interaksi itu tidak hanya menyangkut hubungan antara mangsa, predator maupun kompetitor, tetapi juga hubungan interaksi positif yang menyangkut fasilitas, komensalisme dan mutualisme. Salah satu bukti keterlibatan metabolit sekunder dalam interaksi komensalisme adalah seperti yang terjadi pada kepiting hermit (Dardanus venosus dan Pagurus pollicaris) dengan anemon. Jenis kepiting ini, menempatkan anemon dari jenis (Calliactis tricolor) ke dalam cangkangnya untuk pertahanan diri. Dengan rangsangan fisik dari kepiting, Calliactis akan mengeluarkan substrat yang dapat mengusir predator, seperti bintang laut maupun cacing laut. b. Mencegah terjadinya infeksi dari mikroorganisme (antifouling) Udang Palaemon macrodactylus dilaporkan resisten terhadap jamur patogen Lagenidium callinectes. Hasil eksperimen membuktikan bahwa resistansi dari udang tersebut disebabkan oleh adanya senyawa antijamur 2,3-indolinedione (istatin) yang dihasilkan oleh bakteri Alteromonas sp. yang hidup berasosiasi dengan udang Palaemon macrodactylus (GIL TURNES et al., 1989). 23 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id c. Sebagai media dalam proses reproduksi Invertebrata laut merupakan produksi senyawa bioaktif terbesar diantara biota lainnya. Biota yang kaya dengan senyawa bioaktif adalah spons, cnidarians, bryozoa, tunicates dan algae (IRELAND et al., 1988). Produksi senyawa bioaktif dari invertebrata laut yang secara klinis dapat digunakan sebagai bahan farmasi merupakan masalah krusial, karena eksploitasi biota yang ada di alam sangat tidak ekonomis dan merusak keseimbangan ekologinya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku obat maka langkah yang diambil diantaranya adalah melakukan kultur jaringan dari invertebrata penghasil atau melakukan fermentasi dari mikroorganisme yang berasosiasi dengan invertebrata laut. Beberapa metabolit sekunder yang diproduksi oleh invertebrata laut dan mikroorganisme simbion, mempunyai prospek sebagai zat aktif dalam obat dari berbagai penyakit seperti infeksi, neurologi (parkinsons, alzheimer’s), penyakit jantung, immunologi, anti-inflammatory, antivirus dan antikanker. Dalam studi tentang pencarian obat baru, hal yang penting untuk diketahui adalah adanya target molekul. Target atau molekul target adalah molekul yang digunakan untuk mendeteksi aktivitas dan toksisitas suatu senyawa bioaktif secara in vitro. Berikut di bawah ini adalah beberapa metabolit yang diisolasi dari invertebrata laut maupun mikroorganisme simbion, yang saat ini sedang dalam tahap uji klinis sebagai bahan obat. Senyawa-senyawa yang dimaksud adalah : Feromon adalah sebutan substansi kimia yang digunakan untuk membantu proses reproduksi. Sebuah penelitian melaporkan bahwa amphipod Microdeutopus gryllotalpa jantan tertarik dengan betina karena adanya suatu senyawa yang menimbulkan aroma. Senyawa tersebut, ternyata tidak dihasilkan oleh amphipod jantan maupun betina, tetapi diproduksi oleh alga hijau Ulva sp. (BOROWSKY, 1984). Selain fungsi-fungsi tersebut, terbukti pula bahwa metabolit sekunder dari berbagai invertebrata laut dapat dimanfaatkan dalam kehidupan manusia sebagai bahan obat-obatan. Pemanfaatan metabolit sekunder dari laut sebagai zat aktif dalam obat mulai berkembang sejak ditemukannya arabinosyl nucleosides spongothymidine dan spongouridine dalam spons Crytpotethya crypta pada tahun 1951 oleh BERGMANN & FEENEY. Kedua senyawa tersebut digunakan sebagai model struktur kimia dalam produksi obat antiviral dan antikanker Ara A dan Ara C. Sejak itu penelitian bahan bioaktif dari laut berkembang dengan pesat. Beranekaragam senyawa baru yang diisolasi dari organisme laut sebagian besar mempunyai potensi sebagai bahan biomedika. Tingkat keragaman yang tinggi dan keunikan senyawa baru yang ditemukan dalam organisme laut merupakan pengaruh dari tingginya biodiversitas organisme laut. Selain itu, pengaruh lingkungan laut seperti kadar garam, rendahnya intensitas cahaya, adanya arus maupun kompetisi yang kuat mendorong organisme laut menghasilkan metabolit sekunder yang mempunyai struktur kimia relative berbeda dengan organisme darat. Lingkungan laut sangat mempengaruhi keaktifan dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh biotanya. Hubungan ekologi dengan keaktifan senyawa yang dihasilkannya dapat dibuktikan dengan melihat kecenderungan bahwa sumber terbesar substansi bioaktif berasal dari organisme laut di daerah tropik, khususnya daerah Indo Pasifik (PAUL, 1992). 1. Briostatin 1 (Gambar 2) diisolasi dari bryozoa Bugula neritina, saat ini sedang berada pada Fase II uji klinis sebagai antikanker melanoma, non-hodgkins lymphoma, dan kanker ginjal. Senyawa makrolide siklik ini menghambat protein kinase C, yang merupakan pemicu tumbuhnya tumor (PETTIT et al., 1982). 24 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id O R1 CH3O O H H O H O H HO O R1 H O OH H OH H H O O OH R2 OCH3 O O R2 H Bryostatin 1 Gambar 2. Sruktur kimia briostatin 1 2. Dolastatin 10 (Gambar 3) diisolasi dari kelinci laut jenis Dolabella auricularia. Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai antimitosis, yang saat ini sedang dalam uji klinis tahap I sebagai obat kanker hati, kanker payudara, tumor dan leukemia (PONCET, 1999). Gambar 4. Struktur kimia ecteinascidin 743 4. Aplidine atau dehydrodideminin B (Gambar 5), merupakan senyawa antikanker penghambat protein sintesis yang diisolasi dari tunicate jenis Aplidium albicans. PharmaMar adalah perusahaan obat asal Spanyol yang mendanai penelitian tersebut yang saat ini sedang dalam tahap I uji klinis sebagai model struktur kimia (lead compound) antikanker. Gambar 3. Struktur kimia dolastatin 10 3. Ecteinascidin 743 (Gambar 4) merupakan senyawa alkaloid tetrahidroisoquinoline yang diisolasi dari tunikata Ecteinascidia turbinata. Senyawa ini mempunyai keaktifan sebagai antimitosis dan saat ini sedang dalam uji klinis tahap I yang akan diperuntukkan sebagai obat anti kanker (RINEHART et al., 1990). Gambar 5. Struktur kimia dehydrodideminin B 25 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id alam laut yang potensial. Peranan ilmu ekologi kelautan, tidak kalah pentingnya untuk mempelajari perunutan senyawa dalam sistem kehidupan di laut. Dengan diketahuinya manfaat metabolit sekunder baik bagi biota laut itu sendiri maupun manfaatnya bagi lingkungan dan kehidupan manusia, dapat diartikan bahwa satu rahasia telah terungkap, sebagai salah satu wujud kebesaranNya, maka diciptakanNya biota-biota yang ada di alam ini, adalah untuk kemaslahatan manusia. Semoga tulisan ini dapat memberikan paradigma baru, bahwa tak satupun mahluk di dunia ini yang diciptakan tanpa guna. Selain senyawa tersebut di atas, ada beberapa senyawa bioaktif yang diisolasi dari invertebrata laut yang saat ini sedang dalam uji praklinis untuk menjadi bahan obat. Senyawa tersebut diantaranya adalah discodermolide dari spons jenis Discodermia dissolute, senyawa antimitosis microtubule yang akan dikembangkan untuk obat antikanker (GUNASEKERA et al., 1990). Senyawa Halicondrin B yang diisolasi dari spons jenis Lissodendoryx, saat ini sedang diuji praklinis oleh perusahaan NCI sebagai obat melanoma dan leukemia (LITAUDON et al., 1997). Kahalalide F diisolasi dari moluska jenis Elysia rubefescens, sedang diuji sebagai antikanker usus dan prostat (HAMMAN et al., 1996). Metabolit sekunder yang pada saat ini sudah beredar di pasaran adalah pseudopterosins. Senyawa antiinflamatory yang diisolasi dari gorgonia jenis Pseudopterogorgia elisabethae ini oleh perusahan Estee Lauder’s Resilience digunakan sebagai salah satu komponen produk kosmetik atau skin care product (MESTEL, 1999). Pengembangan obat baru yang berasal dari biota laut, saat ini menjadi perhatian seluruh peneliti kimia bahan alam. Tingginya keanekaragaman hayati laut dan uniknya struktur metabolit sekunder yang dihasilkannya, merupakan dua hal yang menjadi daya tarik para ilmuan. Untuk mendapatkan obat-obat baru dari laut diperlukan adanya kerjasama antara berbagai bidang ilmu, yaitu bidang farmasi, kimia organik, biologi dan kedokteran. Peneliti bidang farmasi memberikan informasi mengenai mekanisme aktivitas metabolit sekunder di dalam tubuh mamalia. Kemudian bidang kimia organik berperan mengisolasi dan mendapatkan struktur model zat aktif dari bahan laut. Sedangkan bidang biologi, memberikan informasi jenis biota sumber penghasil substansi aktif dan pengembangan kearah kultur jaringan untuk konservasi dan penggunaan secara berkelanjutan dari produk DAFTAR PUSTAKA BERGMANN, W. and R.J. FEENEY 1951. Contributions to the study of marine products XXXII. The nucleosides of sponges. I. J. Org. Chem.16 : 981. BOROWSKY, B. 1984. Effects of receptive females secretions on some male reproductive behavior in the amphipod crustacean Microdeutopus gryllotalpa. Mar. Biol. 84 : 183. CARTE, B. and D.J. FAULKNER 1986. Role of secondary metabolites in feeding associations between a predatory nudibranch, two grazing nudibranchs, and a bryozoan. J. Chem. Ecol., 12 : 795. CIMINO, G. and M.T. GHISELIN 1999. Chemical defense and evolutionary trends in biosynthetic capacity among dorid nudibranchs, Chemoecology 9 : 187. GIL-TURNES, M.S.; M.E. HAY and W. FENICAL 1989. Symbiotic marine bacteria chemically defend crustacean embryos from a pathogenic fungus. Science, 246 : 116. GUNASEKERA, S. P.; M. GUANSEKERA ; R.E. LONGLEY and G.K. SCHULTE 1990. A new bioactive polyhydroxylated lactone from the marine sponge, Discodermia dissoluta. J. Org. Chem., 55 : 4912. 26 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005 sumber:www.oseanografi.lipi.go.id HAMMAN, M.T.; C.S. OTTO; P.J. SCHEUER and D.C. DUNBAR 1996. Kahalalides : bioactive peptides from marine mollusk Elysia rufescens and its algal diet Bryopsis sp. J. Org. Chem., 61 : 6594. HARPER, M.K.; T.S. BUGNI; B.R. COPP; R.D. JAMES; B.S. LINDSAY; A.D. RICHARDSON; P.C. SCHNABEL; D. TASDEMIR; R.M. VAN WAGONER; S.M. VERBITSKI and C.M. IRELAND 2001. Introduction to the chemical ecology of marine natural products. In : Marine Chemical Ecology (James B. McClintock & Bill J. Baker Eds.) CRC Press USA. pp. 3-29. IRELAND, C.M.; D.M. ROLL; T.F. MOLINSKI; T.C. MCKEE; T.M. ZABRISKIE and J.C. SWERSY 1988. Uniquenness of the marine chemical environment: categories of marine natural products from invertebrates. In : Biomedical Importance of Marine Organisms (Memoirs of California Academy of Sciences Number 13), Fautin, D. G., Ed., California Academy of Sciences, San Francisco, CA. p. 41. LITAUDON, M.; S.J.H. HICKFORD and R.E. LILL 1997. Antitumor polyether macrolides : new and hemisynthetic halicondrins from New Zealand Deepwater sponge Lissodendoryx sp. J. Org. Chem. 62 : 18 LITTLER, M.M.; P.R. TAYLOR and D.S. LITTRE 1986. Plant defense associations. in the marine environment. Coral Reefs, 5 : 63. MESTEL, R. 1999. Drugs from the sea, Discovery, 20, 70. PAUL,V.J., 1992. Chemical defenses of benthic marine invertebrate. In : Ecological Roles of Marine Natural Products (Paul, V.J. Ed.) Comstock Press, Ithaca, NY, p. 51. PAWLIK, J.R.; M.R. KERNAN; T.F. MOLINSKI; M.K. HARPER and D.J., FAULKNER 1988. Defensive chemicals of the Spanish dancer nudibranch Hexabranchus sanguineus and its egg ribbons : Macrolides derived from a sponge diet, J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 99 : 119 PETTIT, G.R.; C.L. HERALD; D.L. DOUBEK and D.L. HERALD 1982. Isolation and structure of bryostatin 1. J. Am. Chem. Soc., 104 : 6846. PONCET, J. 1999. The dolastatins, a family of promising antineoplastic agents. Curr. Pharm. Des., 5 : 139. RINEHART, K.L.; T.G. HOLT; N.L. FREGEAU; J.G. STROH; P.A. KEIFER; F. SUN; L.H. LI and D.G. MARTIN 1990. Ecteinascidins 729, 743, 745, 759B, and 770 : potent antitumor agents from the Caribbean tunicate, Ecteinascidia turbinate. J. Org.Chem. 55 : 4512. SLEEPER, H.L.; V.J. PAUL and W. FENICAL 1980. Alarm pheromones from the marine opisthobranch Navanax inermis. J. Chem. Ecol., 6 : 57. STACHOWICZ, J.J. 2001. Chemical ecology of mobile benthic invertebrates: predator and prey, allies and competitor. In : Marine Chemical Ecology (James B. Mc Clintock & Bill J. Baker Eds.) CRC Press USA.: 157-194. WEISSBURG, M.J. and R.K. ZIMMER-FAUST 1994. Odor plumes and how blue crabs use them in finding prey. J. Exp. Biol., 197 : 349 27 Oseana, Volume XXX No. 2, 2005