substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan

advertisement
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXX, Nomor 2, 2005 : 19 - 27
ISSN 0216-1877
SUBSTANSI KIMIA UNTUK PERTAHANAN DIRI
DARI HEWAN LAUT TAK BERTULANG BELAKANG
Oleh
Tutik Murniasih
1)
ABSTRACT
CHEMICALS DEFENSE WEAPON DERIVED FROM MARINE INVERTEBRATE.
The Marine invertebrates lack physical defensive structure, it is not surprising that
these marine organisms developed chemicals defenses for ensure survival. The
secondary metabolites were produced by marine invertebrates not only for
competing to the marine environment, but also for protecting them from microbial
infection and predation. Sponge, produced terpenes, polyketides, or alkaloids were
implicated in ecological interactions between corals. Tunicate, together with invertebrates such as soft corals, gorgonians, and bryozoans, all compete with marine
sponges for space and resources and develop chemicals defense to prevent fouling
by larvae or bacteria. Nowadays, many chemicals defense weapon from these
organisms were reported having pharmacological effects such as antivirus,
antitumor, antibiotics e.t.c.
PENDAHULUAN
Metabolit sekunder pada mulanya
diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah
dari organisme sebagai akibat produksi
metabolit primer yang berlebihan. Namun
seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder
diproduksi oleh organisme sebagai respon
terhadap lingkungannya (WILLIAM et al.,
1989). Organisme laut, khususnya yang hidup
di daerah tropis untuk kelangsungan hidupnya
menghadapi berbagai tantangan, harus
berkompetisi untuk mendapatkan ruang
tumbuh, sinar dan makanan. Oleh karena itu,
HARPER et al. (2001), menyimpulkan bahwa
organisme laut dalam mengembangkan berbagai
Proses sintesis substansi kimia dan
degradasi organisme dengan sistem enzimatik
disebut metabolisme. Jalur-jalur biosintetik
(biosintetic pathways) digunakan oleh semua
makhluk hidup dalam memproduksi metabolit
yang essensial untuk kelangsungan hidup dan
pertahanan dirinya. Metabolit primer yang
digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup diantaranya adalah lemak, DNA,
protein dan karbohidrat. Sedangkan metabolit
sekunder atau sering disebut dengan “natural
product” yang diproduksi oleh organisme,
mempunyai fungsi penting dalam ekologi.
1)
Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
19
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sistem mekanisme pertahanan diri, diantaranya
adalah dengan tingkah laku (behavioral
misalnya cryptic, nocturnal), fisik (sclerites,
pengerasan permukaan tubuh) dan substansi
kimia “chemical defense”.
Invertebrata laut yang mempunyai
struktur pergerakan fisik lebih terbatas
dibanding dengan vertebrata laut, mampu
mengembangkan sistem pertahanan diri dengan
memproduksi senyawa kimia (chemical
defense). Senyawa kimia yang dihasilkan oleh
invertebrata laut ini berguna untuk mencegah
dan mempertahankan diri dari serangan predator, media kompetisi, mencegah infeksi bakteri,
membantu proses reproduksi dan mencegah
sengatan sinar ultra violet (HARPER et al.,
2001). Selain itu dilaporkan bahwa senyawa
kimia tersebut dihasilkan oleh invertebrata laut,
sebagai respon terhadap kompetisi dengan
lingkungan. Kegunaan dari senyawa kimia bagi
biota yang memproduksinya adalah sebagai
pengikat reseptor dalam target ekologinya.
HARPER et al. (2001) juga melakukan
pengamatan tentang interaksi spesifik dari
reseptor, dan menyimpulkan adanya pengaruh
dari metabolit sekunder yang dihasilkan oleh
invertebrata laut terhadap reseptor mamalia.
Fenomena tersebut dapat dianalogikan dengan
mekanisme hubungan metabolit sekunder laut
terhadap proses fisiologi manusia. Hal ini
merupakan dasar pemikiran tentang biomedika
dari laut (marine biomedical). Penelitian
interaksi antara produk alam laut dengan
reseptor ekologinya merupakan studi tentang
kimia dari ekologi laut sampai dengan tingkat
molekuler, sehingga diperlukan adanya
kolaborasi peneliti bidang ekologi laut,
farmakologi dan kimia murni. Adanya informasi
interaktif diantara penelitian bidang-bidang
tersebut, akan menyempurnakan pemahaman
tentang peran metabolit sekunder laut terhadap
ekologi dan fungsinya dalam kehidupan
manusia. Pernyataan terakhir ini merupakan citacita para peneliti bidang kimia ekologi laut di
abad 2l .
Tulisan ini merupakan hasil studi
perilaku yang mengupas tentang mekanisme
sistem pertahanan diri dari invertebrata laut
secara kimiawi. Selain itu juga dibahas mengenai
sumber penghasil metabolit sekunder untuk
pertahanan diri, serta fungsi dari metabolit ini
untuk lingkungan sekitar dan kehidupan
manusia.
MEKANISME PERTAHANAN DIRI
DENGAN SUBSTANSI KIMIA
DALAM INVERTEBRATA LAUT
Dalam aspek kimia pada ekologi laut,
tidak hanya membahas tentang biota laut yang
memproduksi zat kimia untuk mencegah
serangan predator, tetapi juga mengungkapkan
substansi kimia sebagai media perantara
berbagai interaksi inter dan intra-spesifik dalam
predasi, kompetisi, simbiosis-mutualisme,
proses reproduksi, serta interaksi suatu
organisme dengan lingkungan fisiknya
(STACHOWICZ, 2001). Gambaran peran
metabolit sekunder terhadap interaksi tersebut,
dapat kita pelajari lebih terperinci dalam
invertebrata laut yang bergerak (mobile marine
invertebrate) maupun dalam invertebrata
meroplankton dan holoplankton. Invertebrata
laut yang dapat bergerak diantaranya adalah
ekhinodermata, krustasea dan moluska,
sedangkan yang tergolong invertebrata
meroplankton dan holoplankton adalah
teripang, polychaetes, spons, ascidians,
cnidarians dan lain-lain. Invertebrata laut dalam
sistem rantai makanan merupakan herbivora dan
predator dominan yang merupakan biota
penentu dari sistem piramida makanan. Oleh
karena itu, faktor kimiawi yang menentukan
distribusi, kelimpahan, komunitas dan ekosistem
invertebrata, merupakan topik yang sangat
menarik untuk dikaji.
Metabolit sekunder bagi invertebrata
laut berperan membantu dalam pencarian
makanan, pengenalan dengan populasinya,
penentuan habitat dan pasangan simbiotik yang
20
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
sesuai. Selain fungsi tersebut, STACHOWICZ
(2001) melaporkan bahwa metabolit sekunder
juga berperan dalam pengaturan dan
sinkronisasi siklus reproduksi, serta pemberi
sinyal jika ada predator yang membahayakan.
Sebagian kecil invertebrata laut menghasilkan
sendiri substansi kimia untuk pertahanan diri.
Sebagian besar hewan kelompok ini
memanfaatkan zat kimia yang dihasilkan oleh
organisme lain, atau mengembangkan
hubungan simbiotik dengan organisme
penghasil senyawa aktif (defensive compound).
Paragraf berikut ini akan menjelaskan mekanisme
pertahanan diri dalam invertebrata laut.
Pada prinsipnya cara pendeteksian dan
penghindaran diri dari predator dapat dilakukan
oleh invertebrata laut dengan cara :
dapat diamati zat kimia yang dikeluarkan oleh
mangsa maupun pengaruh dari aroma yang
ditimbulkan oleh predator. Terbukti bahwa
aktivitas gastropoda menurun, karena adanya
aroma yang dipancarkan oleh predator, dalam
eksperimen ini sebagai predator adalah kepiting.
Adapun, mekanisme perolehan substansi kimia yang digunakan untuk pertahanan
diri dapat dijelaskan pada paragraf berikut. Pada
prinsipnya, perolehan substansi kimia dari jenis
invertebrata dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu :
a. “Chemical defense” yang diproduksi dari
sumber makanan invertebrata
Seperti pada sessil invertebrata dan
tumbuhan laut, pada invertebrata laut yang
dapat bergerak (mobile invertebrate), zat kimia
yang digunakan untuk pertahanan diri dapat
dipelajari dengan pendekatan dari makanan atau
produsen yang secara ekologis berhubungan
langsung dengan organisme ini. Cara untuk
mendeteksinya yaitu dengan melarutkan zat
kimia yang dihasilkan oleh hewan atau
tumbuhan mangsa ke dalam air dan mengamati
efeknya terhadap predator (konsumen tingkat
satunya). Dengan cara tersebut dapat dideteksi
pengaruh metabolit sekunder dari ekhinodermata dan moluska terhadap predator.
Sebagian besar invertebrata laut yang
dapat bergerak menggunakan senyawa kimia
dari biota yang dimakannya untuk dimanfaatkan
sebagai senjata melawan predator. Sebagai
contoh, gastropoda tak bercangkang (nudibranch) Hexabranchus sanguineus memakan
spons jenis Halichondria yang memproduksi
senyawa macrolides-oxazole halichondramide.
Menurut PAWLIK et al. (1988) senyawa ini
meskipun dalam jumlah yang kecil, dapat
digunakan sebagai senjata kimia oleh nudibranch untuk menghadapi serangan ikan. Untuk
mencegah keracunan, biasanya senyawa kimia
untuk pertahanan tersebut disimpan oleh nudibranch dalam kelenjar pencernaan, namun
1. Mengeluarkan zat kimia dari tubuhnya
secara aktif sebagai sinyal terhadap adanya
predator yang mendekat.
2. Mengeluarkan zat kimia secara pasif, artinya
zat kimia terpancar jika predator sudah
melukai tubuh invertebrata.
3. Mengenali bau yang secara langsung
ditimbulkan oleh predator.
Studi tentang deteksi dan penghindaran
diri terhadap predator ini dilakukan dengan
mengamati perilaku gastropoda terhadap predator. Cara pertama dilakukan oleh gastropoda
dengan mengeluarkan semacam lumpur atau
semacam tinta warna pekat, supaya predator
kesulitan dalam mengejarnya. Contohnya
adalah jenis, Navanax inermis yang
mengeluarkan zat kimia warna kuning terang
(navenones A-C) yang bercampur dengan cairan
menyerupai tinta (SLEEPER et al., 1980).
Cara kedua dan ketiga telah dipelajari
oleh WEISSBURG & ZIMMER-FAUST (1994)
dengan membuat miniatur laboratorium alam
dan mengkondisikan suatu habitat gastropoda
seperti habitat asalnya. Dengan mengamati efek
kimiawi yang ditimbulkan ketika ada predator
atau dengan melukai bagian tubuhnya, maka
21
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
ketika ada predator, senyawa ini diubah menjadi
senyawa toksik dan dikirim ke jaringan luar
(mantle border). Kemudian, PAWLIK et al.
(1988) juga melaporkan bahwa kandungan
senyawa halichondramide yang terbanyak
terdapat dalam biomassa nudibranch,
sedangkan dalam spons halichondria
ditemukan dalam jumlah yang kecil. Selain itu,
gastropoda tak bercangkang jenis Tambja
abdere memanfaatkan tambjamines yang
dihasilkan oleh salah satu mangsanya yaitu
bryozoa, juga dapat digunakan untuk
menghindarkan diri dari predator ikan. Senyawa
ini oleh Tambja abdere akan digunakan sebagai
“slime trail” atau sistem penghindaran diri
dengan mengeluarkan senyawa yang keruh,
seperti lumpur untuk menyulitkan predator
dalam pengejaran (CARTE & FAULKNER,
1986)
Selain nudibranch, jenis gastropoda
kelompok sacoglossa memanfaatkan kloroplas
dari rumput laut yang dimakannya sebagai
“chemical defense”. Dalam kasus tertentu,
senyawa yang dihasilkan oleh sumber makanan
akan diubah strukturnya oleh invertebrata
pemangsa sebelum digunakan untuk
mempertahankan diri dari predator. Beberapa
sacoglossa merubah rantai karbon kloroplas
untuk digunakan sebagai senjata kimia melawan
predator. Sacoglossa jenis Elysia halimeda
mereduksi gugus aldehid pada senyawa
halimedatetraasetat menjadi gugus alkohol
(Gambar 1). Senyawa ini diperoleh dari sumber
makanannya, yaitu Halimeda macroloba untuk
digunakan sebagai pertahanan dirinya.
(LITTLER et al., 1986).
Gambar 1. Struktur senyawa halimedatetraasetat (a), Reduksi gugus aldehid menjadi alkohol (b).
22
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
METABOLISME SEKUNDER YANG
DIHASILKAN OLEH INVERTEBRATA
DAN FUNGSI FARMAKOLOGINYA
b. “Chemical defense” yang diproduksi oleh
invertebrata sendiri (de novo)
Selain dari sumber makanan, ada
beberapa invertebrata bergerak yang
menghasilkan zat kimia untuk pertahanan
sendiri, sebagai contoh adalah nudibranch
Dendrodoris limbata yang memproduksi
polygodial untuk mempertahankan diri dari
serangan predator. Senyawa tersebut tidak
ditemukan dalam spons yang merupakan salah
satu mangsa dari nudibranch ini. Dendrodis
limbata mampu melakukan sintesa metabolit
sekunder sendiri seperti sesquiterpenoid,
diterpenoid dan sesterpen yang digunakan
untuk pertahanan diri (defensive compound)
secara de novo (CIMINO & GHISELIN, 1999).
Jenis invertebrata laut lain yang
memproduksi metabolit sekunder sendiri adalah
spons. Spons merupakan sumber penghasil
senyawa bioaktif terbesar diantara invertebrata
laut lainnya. Menurut HARPER et al. (2001),
dalam dekade terakhir, dilaporkan bahwa
sebanyak 50% senyawa bioaktif yang
ditemukan dalam invertebrata laut, berasal dari
filum porifera. Produksi metabolit sekunder dari
spons merupakan kompensasi akibat interaksi
dengan lingkungan biotik, abiotik dan sebagai
senjata kimia terhadap predator. Salah satu
pemicu produksi senyawa terpene, poliketida
dan alkaloid oleh spons adalah adanya
kompetisi dengan koral dan untuk mencegah
infeksi bakteri patogen. Substansi kimia yang
dihasilkan oleh spons sebagai efek kompetisi
dengan lingkungannya diantaranya adalah
terpen 7-deacetoxyolepupuane dari jenis
Dysidea sp. HARPER et al. (2001) juga
melaporkan bahwa senyawa ini dapat
menyebabkan kematian terhadap jenis spons
Cacospongia sp. dan sebagai senjata kimia
terhadap predator ikan Promacanthus
imperator.
Selain sebagai pertahanan diri, fungsi
lain dari metabolit sekunder bagi invertebrata
laut adalah :
a. Sebagai media interaksi dengan organisme
lain
Para ahli ekologi telah mempelajari
beberapa interaksi antar organisme sehubungan
dengan populasi dan komunitasnya. Interaksi
itu tidak hanya menyangkut hubungan antara
mangsa, predator maupun kompetitor, tetapi
juga hubungan interaksi positif yang
menyangkut fasilitas, komensalisme dan
mutualisme. Salah satu bukti keterlibatan
metabolit sekunder dalam interaksi
komensalisme adalah seperti yang terjadi pada
kepiting hermit (Dardanus venosus dan Pagurus
pollicaris) dengan anemon. Jenis kepiting ini,
menempatkan anemon dari jenis (Calliactis tricolor) ke dalam cangkangnya untuk pertahanan
diri. Dengan rangsangan fisik dari kepiting,
Calliactis akan mengeluarkan substrat yang
dapat mengusir predator, seperti bintang laut
maupun cacing laut.
b. Mencegah terjadinya infeksi dari
mikroorganisme (antifouling)
Udang Palaemon macrodactylus
dilaporkan resisten terhadap jamur patogen
Lagenidium callinectes. Hasil eksperimen
membuktikan bahwa resistansi dari udang
tersebut disebabkan oleh adanya senyawa
antijamur 2,3-indolinedione (istatin) yang
dihasilkan oleh bakteri Alteromonas sp. yang
hidup berasosiasi dengan udang Palaemon
macrodactylus (GIL TURNES et al., 1989).
23
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
c. Sebagai media dalam proses reproduksi
Invertebrata laut merupakan produksi
senyawa bioaktif terbesar diantara biota
lainnya. Biota yang kaya dengan senyawa
bioaktif adalah spons, cnidarians, bryozoa,
tunicates dan algae (IRELAND et al., 1988).
Produksi senyawa bioaktif dari invertebrata laut
yang secara klinis dapat digunakan sebagai
bahan farmasi merupakan masalah krusial,
karena eksploitasi biota yang ada di alam sangat
tidak ekonomis dan merusak keseimbangan
ekologinya. Untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku obat maka langkah yang diambil
diantaranya adalah melakukan kultur jaringan
dari invertebrata penghasil atau melakukan
fermentasi dari mikroorganisme yang berasosiasi
dengan invertebrata laut.
Beberapa metabolit sekunder yang
diproduksi oleh invertebrata laut dan
mikroorganisme simbion, mempunyai prospek
sebagai zat aktif dalam obat dari berbagai
penyakit seperti infeksi, neurologi (parkinsons,
alzheimer’s), penyakit jantung, immunologi,
anti-inflammatory, antivirus dan antikanker.
Dalam studi tentang pencarian obat baru, hal
yang penting untuk diketahui adalah adanya
target molekul. Target atau molekul target adalah
molekul yang digunakan untuk mendeteksi
aktivitas dan toksisitas suatu senyawa bioaktif
secara in vitro. Berikut di bawah ini adalah
beberapa metabolit yang diisolasi dari
invertebrata laut maupun mikroorganisme
simbion, yang saat ini sedang dalam tahap uji
klinis sebagai bahan obat. Senyawa-senyawa
yang dimaksud adalah :
Feromon adalah sebutan substansi kimia
yang digunakan untuk membantu proses
reproduksi. Sebuah penelitian melaporkan
bahwa amphipod Microdeutopus gryllotalpa
jantan tertarik dengan betina karena adanya
suatu senyawa yang menimbulkan aroma.
Senyawa tersebut, ternyata tidak dihasilkan oleh
amphipod jantan maupun betina, tetapi
diproduksi oleh alga hijau Ulva sp.
(BOROWSKY, 1984).
Selain fungsi-fungsi tersebut, terbukti
pula bahwa metabolit sekunder dari berbagai
invertebrata laut dapat dimanfaatkan dalam
kehidupan manusia sebagai bahan obat-obatan.
Pemanfaatan metabolit sekunder dari laut
sebagai zat aktif dalam obat mulai berkembang
sejak ditemukannya arabinosyl nucleosides
spongothymidine dan spongouridine dalam
spons Crytpotethya crypta pada tahun 1951
oleh BERGMANN & FEENEY. Kedua senyawa
tersebut digunakan sebagai model struktur kimia
dalam produksi obat antiviral dan antikanker Ara
A dan Ara C. Sejak itu penelitian bahan bioaktif
dari laut berkembang dengan pesat. Beranekaragam senyawa baru yang diisolasi dari
organisme laut sebagian besar mempunyai
potensi sebagai bahan biomedika.
Tingkat keragaman yang tinggi dan
keunikan senyawa baru yang ditemukan dalam
organisme laut merupakan pengaruh dari
tingginya biodiversitas organisme laut. Selain
itu, pengaruh lingkungan laut seperti kadar
garam, rendahnya intensitas cahaya, adanya
arus maupun kompetisi yang kuat mendorong
organisme laut menghasilkan metabolit
sekunder yang mempunyai struktur kimia relative berbeda dengan organisme darat.
Lingkungan laut sangat mempengaruhi
keaktifan dari metabolit sekunder yang
dihasilkan oleh biotanya. Hubungan ekologi
dengan keaktifan senyawa yang dihasilkannya
dapat dibuktikan dengan melihat kecenderungan bahwa sumber terbesar substansi
bioaktif berasal dari organisme laut di daerah
tropik, khususnya daerah Indo Pasifik (PAUL,
1992).
1. Briostatin 1 (Gambar 2) diisolasi dari bryozoa
Bugula neritina, saat ini sedang berada
pada Fase II uji klinis sebagai antikanker
melanoma, non-hodgkins lymphoma, dan
kanker ginjal. Senyawa makrolide siklik ini
menghambat protein kinase C, yang
merupakan pemicu tumbuhnya tumor
(PETTIT et al., 1982).
24
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
O
R1
CH3O
O
H
H
O
H
O
H
HO
O
R1
H
O
OH
H
OH
H
H
O
O
OH
R2
OCH3
O
O
R2
H
Bryostatin 1
Gambar 2. Sruktur kimia briostatin 1
2. Dolastatin 10 (Gambar 3) diisolasi dari kelinci
laut jenis Dolabella auricularia. Senyawa
ini mempunyai keaktifan sebagai
antimitosis, yang saat ini sedang dalam uji
klinis tahap I sebagai obat kanker hati,
kanker payudara, tumor dan leukemia
(PONCET, 1999).
Gambar 4. Struktur kimia ecteinascidin 743
4. Aplidine atau dehydrodideminin B (Gambar
5), merupakan senyawa antikanker penghambat protein sintesis yang diisolasi dari
tunicate jenis Aplidium albicans.
PharmaMar adalah perusahaan obat asal
Spanyol yang mendanai penelitian tersebut
yang saat ini sedang dalam tahap I uji klinis
sebagai model struktur kimia (lead compound) antikanker.
Gambar 3. Struktur kimia dolastatin 10
3. Ecteinascidin 743 (Gambar 4) merupakan
senyawa alkaloid tetrahidroisoquinoline
yang diisolasi dari tunikata Ecteinascidia
turbinata. Senyawa ini mempunyai keaktifan
sebagai antimitosis dan saat ini sedang
dalam uji klinis tahap I yang akan
diperuntukkan sebagai obat anti kanker
(RINEHART et al., 1990).
Gambar 5. Struktur kimia dehydrodideminin B
25
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
alam laut yang potensial. Peranan ilmu ekologi
kelautan, tidak kalah pentingnya untuk
mempelajari perunutan senyawa dalam sistem
kehidupan di laut.
Dengan diketahuinya manfaat metabolit
sekunder baik bagi biota laut itu sendiri maupun
manfaatnya bagi lingkungan dan kehidupan
manusia, dapat diartikan bahwa satu rahasia
telah terungkap, sebagai salah satu wujud
kebesaranNya, maka diciptakanNya biota-biota
yang ada di alam ini, adalah untuk kemaslahatan
manusia. Semoga tulisan ini dapat memberikan
paradigma baru, bahwa tak satupun mahluk di
dunia ini yang diciptakan tanpa guna.
Selain senyawa tersebut di atas, ada
beberapa senyawa bioaktif yang diisolasi dari
invertebrata laut yang saat ini sedang dalam uji
praklinis untuk menjadi bahan obat. Senyawa
tersebut diantaranya adalah discodermolide dari
spons jenis Discodermia dissolute, senyawa
antimitosis microtubule yang akan dikembangkan untuk obat antikanker (GUNASEKERA et al., 1990). Senyawa Halicondrin B
yang diisolasi dari spons jenis Lissodendoryx,
saat ini sedang diuji praklinis oleh perusahaan
NCI sebagai obat melanoma dan leukemia
(LITAUDON et al., 1997). Kahalalide F diisolasi
dari moluska jenis Elysia rubefescens, sedang
diuji sebagai antikanker usus dan prostat
(HAMMAN et al., 1996). Metabolit sekunder
yang pada saat ini sudah beredar di pasaran
adalah pseudopterosins. Senyawa antiinflamatory yang diisolasi dari gorgonia jenis
Pseudopterogorgia elisabethae ini oleh
perusahan Estee Lauder’s Resilience digunakan
sebagai salah satu komponen produk kosmetik
atau skin care product (MESTEL, 1999).
Pengembangan obat baru yang berasal
dari biota laut, saat ini menjadi perhatian seluruh
peneliti kimia bahan alam. Tingginya
keanekaragaman hayati laut dan uniknya
struktur metabolit sekunder yang dihasilkannya,
merupakan dua hal yang menjadi daya tarik para
ilmuan. Untuk mendapatkan obat-obat baru dari
laut diperlukan adanya kerjasama antara
berbagai bidang ilmu, yaitu bidang farmasi,
kimia organik, biologi dan kedokteran. Peneliti
bidang farmasi memberikan informasi mengenai
mekanisme aktivitas metabolit sekunder di
dalam tubuh mamalia. Kemudian bidang kimia
organik berperan mengisolasi dan mendapatkan
struktur model zat aktif dari bahan laut.
Sedangkan bidang biologi, memberikan
informasi jenis biota sumber penghasil
substansi aktif dan pengembangan kearah
kultur jaringan untuk konservasi dan
penggunaan secara berkelanjutan dari produk
DAFTAR PUSTAKA
BERGMANN, W. and R.J. FEENEY 1951. Contributions to the study of marine
products XXXII. The nucleosides of
sponges. I. J. Org. Chem.16 : 981.
BOROWSKY, B. 1984. Effects of receptive
females secretions on some male reproductive behavior in the amphipod crustacean Microdeutopus gryllotalpa.
Mar. Biol. 84 : 183.
CARTE, B. and D.J. FAULKNER 1986. Role of
secondary metabolites in feeding associations between a predatory nudibranch, two grazing nudibranchs, and a
bryozoan. J. Chem. Ecol., 12 : 795.
CIMINO, G. and M.T. GHISELIN 1999. Chemical
defense and evolutionary trends in biosynthetic capacity among dorid nudibranchs, Chemoecology 9 : 187.
GIL-TURNES, M.S.; M.E. HAY and W. FENICAL
1989. Symbiotic marine bacteria chemically defend crustacean embryos from a
pathogenic fungus. Science, 246 : 116.
GUNASEKERA, S. P.; M. GUANSEKERA ; R.E.
LONGLEY and G.K. SCHULTE 1990. A
new bioactive polyhydroxylated lactone
from the marine sponge, Discodermia
dissoluta. J. Org. Chem., 55 : 4912.
26
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
HAMMAN, M.T.; C.S. OTTO; P.J. SCHEUER
and D.C. DUNBAR 1996. Kahalalides :
bioactive peptides from marine mollusk
Elysia rufescens and its algal diet
Bryopsis sp. J. Org. Chem., 61 : 6594.
HARPER, M.K.; T.S. BUGNI; B.R. COPP; R.D.
JAMES; B.S. LINDSAY; A.D.
RICHARDSON; P.C. SCHNABEL; D.
TASDEMIR; R.M. VAN WAGONER;
S.M. VERBITSKI and C.M. IRELAND
2001. Introduction to the chemical
ecology of marine natural products. In :
Marine Chemical Ecology (James B.
McClintock & Bill J. Baker Eds.) CRC
Press USA. pp. 3-29.
IRELAND, C.M.; D.M. ROLL; T.F. MOLINSKI;
T.C. MCKEE; T.M. ZABRISKIE and J.C.
SWERSY 1988. Uniquenness of the
marine chemical environment: categories
of marine natural products from invertebrates. In : Biomedical Importance of
Marine Organisms (Memoirs of California Academy of Sciences Number 13),
Fautin, D. G., Ed., California Academy of
Sciences, San Francisco, CA. p. 41.
LITAUDON, M.; S.J.H. HICKFORD and R.E.
LILL 1997. Antitumor polyether
macrolides : new and hemisynthetic
halicondrins from New Zealand Deepwater sponge Lissodendoryx sp. J. Org.
Chem. 62 : 18
LITTLER, M.M.; P.R. TAYLOR and D.S. LITTRE
1986. Plant defense associations. in the
marine environment. Coral Reefs, 5 : 63.
MESTEL, R. 1999. Drugs from the sea, Discovery, 20, 70.
PAUL,V.J., 1992. Chemical defenses of benthic
marine invertebrate. In : Ecological
Roles of Marine Natural Products
(Paul, V.J. Ed.) Comstock Press, Ithaca,
NY, p. 51.
PAWLIK, J.R.; M.R. KERNAN; T.F. MOLINSKI;
M.K. HARPER and D.J., FAULKNER
1988. Defensive chemicals of the Spanish dancer nudibranch Hexabranchus
sanguineus and its egg ribbons :
Macrolides derived from a sponge diet,
J. Exp. Mar. Biol. Ecol., 99 : 119
PETTIT, G.R.; C.L. HERALD; D.L. DOUBEK and
D.L. HERALD 1982. Isolation and structure of bryostatin 1. J. Am. Chem. Soc.,
104 : 6846.
PONCET, J. 1999. The dolastatins, a family of
promising antineoplastic agents. Curr.
Pharm. Des., 5 : 139.
RINEHART, K.L.; T.G. HOLT; N.L. FREGEAU;
J.G. STROH; P.A. KEIFER; F. SUN; L.H.
LI and D.G. MARTIN 1990.
Ecteinascidins 729, 743, 745, 759B, and
770 : potent antitumor agents from the
Caribbean tunicate, Ecteinascidia turbinate. J. Org.Chem. 55 : 4512.
SLEEPER, H.L.; V.J. PAUL and W. FENICAL
1980. Alarm pheromones from the marine opisthobranch Navanax inermis.
J. Chem. Ecol., 6 : 57.
STACHOWICZ, J.J. 2001. Chemical ecology of
mobile benthic invertebrates: predator
and prey, allies and competitor. In :
Marine Chemical Ecology (James B.
Mc Clintock & Bill J. Baker Eds.) CRC
Press USA.: 157-194.
WEISSBURG, M.J. and R.K. ZIMMER-FAUST
1994. Odor plumes and how blue crabs
use them in finding prey. J. Exp. Biol.,
197 : 349
27
Oseana, Volume XXX No. 2, 2005
Download