5. Bab IV : Keuangan Negara, Perkembangan Moneter dan

advertisement
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER
DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
BAB IV
KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN
LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN
A. PENDAHULUAN
Sebagai kelanjutan dari upaya pada tahap-tahap pembangunan sebelumnya maka pokok-pokok kebijaksanaan yang telah
dilaksanakan selama periode 1983/84-1987/88 (sampai dengan
Desember 1987), termasuk pelaksanaan empat tahun pertama Re pelita IV, tetap berpegang pada prinsip anggaran berimbang
dan dinamis dan pencapaian keseimbangan moneter, dalam ra ngka
pencapaian Trilogi Pembangunan. Dalam hubungan ini terus di giatkan langkah-langkah untuk memperbesar sumber-sumber pembiayaan pembangunan dari dalam negeri, melalui peningkatan
tabungan pemerintah maupun penggalakan mobilisasi tabungan
masyarakat. Dana bantuan luar negeri tetap digunakan dengan
mengupayakannya agar tetap berfungsi sebagai pelengkap, se mentara itu kesinambungan pembangunan dapat diupayakan ter pelihara secara realistis.
Kebijaksanaan di bidang keuangan negara dan moneter,
termasuk upaya pembinaan lembaga-lembaga keuangan selama
periode empat tahun pertama pelaksanaan Repelita IV telah
diserasikan dengan arah, tujuan serta sasaran tahap pembangu nan terencana guna terciptanya landasan pembangunan yang kuat
untuk kemudian terus dikokohkan menjelang tahap tinggal
landas. Berbagai kebijaksanaan selama periode ini juga telah
menyangkut rangkaian upaya untuk dapat mengatasi beberapa
ujian berat melalui berbagai langkah penyesuaian terhadap
perubahan-perubahan struktural yang terjadi pada perekonomian
dunia.
Pelaksanaan pembangunan selama
telah dipengaruhi oleh perkembangan
periode 1983/84-1987/88
yang serba tidak pasti
173
pada perekonomian dunia, yang meliputi masa terjadinya rese si, merosotnya harga-harga komoditi primer terutama minyak
mentah di pasaran dunia serta perubahan-perubahan yang cukup
besar sejak akhir tahun 1985 dalam nilai-tukar antara beberapa mata-uang utama dunia. Dibandingkan dengan perkembangan di
banyak negara lain, maka berbagai gejolak tersebut telah da pat kita atasi secara memadai berkat serangkaian langkah yang
telah ditempuh sejak bulan Juni 1983 di bidang moneter dan
sejak Januari 1984 di bidang penerimaan keuangan negara, di
samping serangkaian paket kebijaksanaan penyesuaian lainnya.
Sesuai dengan perkembangan di atas, maka di bidang keuangan negara, realisasi penerimaan dalam negeri telah dapat
ditingkatkan dari Rp 12.418,3 milyar pada tahun 1982/83 men jadi Rp.15.905,5 milyar dan Rp.19.252,8 milyar pada masing masing tahun 1984/85 dan 1985/86. Peningkatan ini terutama
berhasil dicapai oleh upaya yang lebih besar dalam mobilisasi
penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas. Pada tahun
1986/87, ketika penerimaan dalam negeri menurun menjadi
Rp.16.140,6 milyar, maka penerimaan di luar migas tetap dapat
ditingkatkan menjadi Rp.9.803,0 milyar dibandingkan dengan
realisasi penerimaannya yang masih sebesar Rp.4.247,9 milyar
dan Rp.5.475,6 milyar, masing-masing pada tahun 1982/83 dan
1984/85. Pada tahun 1987/88, jumlah penerimaan dalam negeri
yang direncanakan di dalam APBN adalah sebesar Rp.17.236,1
milyar, dan realisasinya dalam semester I telah mencapai
jumlah sebesar Rp.9.023,2 milyar karena membaiknya harga
ekspor minyak mentah menjadi sekitar US$ 17,40/barrel dari
tingkat US$ 15,00/barrel yang diperkirakan di dalam APBN.
Dana pembangunan yang terdiri dari tabungan pemerintah
dan dana bantuan luar negeri, dalam tahun 1982/83 berjumlah
Rp.7.362,0 milyar sedangkan pada tahun 1985/86 jumlahnya
telah mencapai Rp.10.873,9 milyar karena adanya penyempurnaan
yang terus menerus diadakan di bidang penerimaan dalam negeri
nonmigas, upaya penghematan yang lebih ketat serta prioritas
yang lebih dipertajam lagi di bidang pengeluaran rutin. Pada
realisasi tahun 1986/87 serta APBN tahun 1987/88 dana pem bangunan menurun menjadi masing-masing Rp.8.333,5 milyar dan
Rp.7.756,6 milyar. Hal ini terutama disebabkan oleh jatuh
temponya sejumlah hutang-hutang luar negeri bersamaan dengan
perubahan nilai tukar yang telah memperbesar jumlah penge luaran rutin pada pos pembayaran kembali pinjaman. Sebagai
akibatnya pengeluaran rutin menjadi sebesar Rp.13.559,3 mil yar dan Rp.15.026,5 milyar pada masing-masing dua tahun ter-
174
akhir tersebut. Perkembangan ini selanjutnya mengakibatkan
menurunnya jumlah tabungan pemerintah dalam komponen dana
pembangunan menjadi Rp.2.581,3 milyar pada realisasi tahun
1986/87 dan Rp.2.209,6 milyar pada APBN 1987/88 dibandingkan
dengan realisasinya sebesar Rp.5.422,0 milyar pada tahun
1982/83 dan Rp.7.301,3 milyar pada tahun kedua pelaksanaan
Repelita IV. Di lain pihak, dengan tetap mempertahankan prinsip anggaran berimbang dan dinamis, telah dapat diupayakan
peningkatan realisasi pengeluaran pembangunan sehingga mencapai Rp.10.873,1 milyar pada tahun 1985/86 dibandingkan dengan
jumlahnya sebesar Rp.7.359,6 milyar pada tahun 1982/83. Pada
tahun 1966/87 dan 1987/88 telah diupayakan jumlah pengeluaran
pembangunan yang menurunnya tidak terlalu berarti dengan lebih
mempertajam prioritas pembangunan.
Ringkasan realisasi anggaran pendapatan dan belanja ne gara selama periode 1983/84 - 1987/88 termasuk keadaan pada
tahun 1982/83, dapat diikuti pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1.
Di bidang moneter, telah diadakan langkah-langkah deregulasi sejak bulan Juni 1983 dalam rangka upaya untuk lebih
menggalakkan mobilisasi tabungan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan perbankan menyalurkan dana yang terhimpun
secara efektif. Sejak itu kebijaksanaan moneter menekankan
pada pengurangan campur tangan secara langsung, yang tercer min pada langkah-langkah penghapusan pagu kredit, pemberian
kebebasan dalam penentuan tingkat suku bunga dan pembatasan
kredit likuiditas Bank Indonesia pada kredit berprioritas
tinggi. Pengendalian moneter lebih mengandalkan pada cara
yang tidak langsung seperti kebijaksanaan pasar terbuka dengan menggunakan instrumen seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). Selanjutnya,
mengingat akan perlunya mempertahankan kelangsungan sistem
lalu-lintas devisa yang bebas, juga telah ditempuh langkah langkah untuk memelihara tingkat suku bunga yang menjamin
keseimbangan moneter di dalam negeri dengan memperhatikan
perkembangan moneter di luar negeri.
Melalui berbagai langkah di atas maka jumlah uang beredar dapat dikendalikan sehingga kestabilan moneter dapat dipertahankan. Hal ini tercermin dari perkembangan selama
ini, yang menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dalam tahun
1982/83, 1984/85, 1985/86 dan 1986/87 telah meningkat sebesar
masing-masing 8,9%, 11,6%, 16,5%, dan 9,8%, sedangkan laju
kenaikan harga-harga dalam waktu yang sama adalah sebesar
175
TABEL IV – 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
1982/83
Penerimaan Dalam Negeri
14.432,7
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88 *)
15.905,5
19.252,8
16.140,6
9.023,2
Pengeluaran Rutin
6.996,3
8.411,8
9.429,0
11.951,5
13.559,3
7.179,6
Tabungan Pemerintah
5.422,0
6.020,9
6.476,5
7.301,3
2.581,3
1.843,6
3.478,0
3.572,6
5.752,2
2.510,2
(
(
Dana Bantuan Luar Negeri
1.940, 0
(Bantuan Program)
(
(Bantuan Proyek)
(1.924,9)
(3.867,5)
(3.408,7)
(3.503,4)
(3.794,7)
(2.457,9)
Dana Pembangunan
7.362,0
9.903,3
9.954,5
10.873,9
8.333,5
4.353,8
Pengeluaran Pembangunan
7.359,6
9.899,2
9.951,9
10.873,1
8.332,0
4.352,0
Surplus (+)/Defisit (-)
*) Realisasi Semester I
176
12.418,3
1983/84
15,1)
+ 2,4
3.882,4
(
14,9)
+ 4,1
69,3)
+ 2,6
69,2)
+ 0,8
(1.957,5)
+ 1,5
( 52,3)
+ 1,8
GRAFIK IV – 1
RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
1982/83 – 1987/88
177
masing-masing 8,4%, 3,6%, 5,7%, dan 8,8%. Hal ini selanjutnya
tercermin pada perkembangan jumlah dana perbankan yang pada
tahun 1986/87 telah mencapai Rp.24.060,0 milyar dibanding dengan
jumlahnya
sebesar
Rp.10.190,7
milyar
pada
tahun
1982/83 dan sebesar Rp.16.687,8 milyar pada tahun pertama
pelaksanaan Repelita IV. Dalam tahun 1987/88 (sampai dengan
Desember 1987), pertumbuhan jumlah uang beredar, dana per bankan serta laju inflasi adalah masing-masing sebesar 6,5%,
20,6% dan 7,4%.
B. KEUANGAN NEGARA
1. Penerimaan Dalam Negeri
Perkembangan di bidang keuangan negara sejak tahun
1984/85 menunjukkan semakin membaiknya struktur penerimaan
dalam negeri, dengan semakin besarnya peranan penerimaan di
luar migas dibandingkan dengan penerimaan dari sumber minyak
bumi dan gas alam. Telah disadari sejak akhir Repelita III
bahwa peranan penerimaan dari sumber migas akan menjadi semakin menurun. Atas dasar itu, suatu sasaran penting Repelita
IV di bidang penerimaan dalam negeri adalah perbaikan strukturnya, di samping peningkatan jumlahnya. Sejalan dengan itu ,
sejak 1 Januari 1984 melalui Undang-undang Nomor 6, 7 dan 8
tahun 1983, telah diberlakukan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang tentang Pajak
Penghasilan serta Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Selanjutnya, sejak 1 Januari 1986 telah diberlakukan Undang undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
serta Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai.
Pembaharuan dalam sistem perpajakan ini menyangkut penyederhanaan peraturan prosedur dan tarif pajak, peningkatan jaminan hukum serta peningkatan keterampilan dan keahlian aparatur
perpajakan termasuk komputerisasi administrasinya. Dengan
pembaharuan ini, peningkatan keikutsertaan masyarakat s ecara
sadar dapat semakin memperluas dasar pajak sehingga pada
akhirnya memperbesar penerimaan di luar migas secara efektif
dan berkesinambungan.
Sebagaimana dapat diikuti pada Tabel IV-2 dan Grafik
IV-2, realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 1982/83
mencapai Rp.12.418,3 milyar dan penerimaan di luar migas
mencapai Rp.4.247,9 milyar, yang merupakan 34,2% dari jumlah
178
TABEL IV - 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI,
1982/83 - 1987/88
(dalam milyar rupiah)
Jenis Penerimaan
1983/84
1984/85
1985/86
Penerimaan minyak bumi
dan gas a]am
8.170,4
9.520,2
10.429,9
11.144,4
6.337,6
4.647,7
Penerimaan di luar minyak
bumi dan gas alam
4.247,9
4.912,5
5.475,6
8.108,4
9.803,0
4.375,5
12.418,3
14.432,7
15.905,5
19.252,8
16.140,6
9.023,2
Jumlah :
* ) Realisasi Semester I
179
1986/87
1987/88 * )
1982/83
GRAFIK IV – 2
PENERIMAAN DALAM NEGERI
1982/83 – 1987/88
180
penerimaan dalam negeri. Terutama ditunjang oleh penerimaan
dari sumber migas di samping penerimaan di luar migas, maka
realisasi penerimaan dalam negeri sampai dengan tahun 1985/86
terus meningkat sehingga, mencapai Rp.19.252,8 milyar. Pada
tahun 1986/87, untuk pertama kali terjadi penurunan pada
realisasi penerimaan dalam negeri menjadi Rp.16.140,6 milyar
yang disebabkan oleh penurunan besar penerimaan migas dari
Rp. 11.144,4 milyar pada tahun. 1985/86 menjadi Rp.6.337,6
milyar pada tahun 1986/87. Penurunan penerimaan dari sumber
migas ini disebabkan oleh merosotnya harga ekspor minyak men tah di pasar dunia, khususnya ketika sekitar bulan Agustus
1986 harga minyak mentah dunia jatuh sampai mencapai US$ 9/
barrel dibanding dengan tingkat tertingginya sebesar US$ 35/
barrel pada tahun 1981. Di lain pihak, berkat langkah -langkah
mendasar di bidang perpajakan sejak masa enjelang awal Repelita IV, maka realisasi penerimaan dari sumber di luar migas
telah dapat terus ditingkatkan. Peranan penerimaan di luar
migas yang pada tahun 1982/83 masih sebesar 34,2 %, pada ta hun 1985/86 meningkat menjadi 42,1% dan pada tahun 1986/87
naik menjadi 60,7%. Apabila pada tahun 1982/83 baru dapat
dihimpun penerimaan di luar migas sebesar Rp.4.247,9 milyar
maka pada tahun terakhir Repelita III, jumlahnya meningkat
menjadi Rp. 4.912,5 milyar. Selama pelaksanaan Repelita IV
sampai dengan tahun 1986/87 penerimaan dari sumber di lua r
minyak bumi dan gas alam mengalami peningkatan yang cukup besar, dari Rp. 5.475,6 milyar pada tahun 1984/85 menjadi
Rp. 8.108,4 milyar dan Rp.9.803,0 milyar pada masing-masing
tahun 1985/86 dan tahun 1986/87. Selama periode 1983/841986/87, langkah-langkah pembaharuan perpajakan di bidang non
migas telah mencapai hasil-hasil yang menggembirakan seperti
ditunjukkan oleh meningkatnya penerimaan di luar migas se besar Rp. 4.890,5 milyar, yang telah dapat mengimbangi penu runan sebesar Rp. 3.182,6 milyar pada penerimaan dari sumber
minyak bumi dan gas alam selama periode yang sama. Sementara
itu, realisasi semester I tahun anggaran 1987/88 telah meng hasilkan penerimaan di luar migas sebesar Rp. 4.375,5 milyar. Perkembangan penerimaan dalam negeri juga dapat diikuti
pada Tabel IV-3, Grafik IV-3, dan Tabel IV-4, Grafik IV-4.
Diberlakukannya Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun
1983 untuk menggantikan Undang-undang Pajak Pendapatan 1944,
Undang-undang Pajak Perseroan 1925, Undang-undang PBDR 1970
dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang MPO/MPS, dimak sudkan untuk lebih meningkatkan penerimaan negara dalam rang-
181
TABEL IV – 3
PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1982/83 – 1987/88
(MILYAR RUPIAH)
*) Realisasi Semester I
182
GRAFIK IV – 3
PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1982/83 – 1987/88
183
TABEL IV - 4
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
Jenis Penerimaan
1. Pajak Penghasilan
2. Pajak Pertambahan Nilai
1983/84
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88*)
1.706,5
1.932,3
2.121,0
2.313,0
2.270,5
1.192,0
701,6
830,6
878,0
2.326,7
2.900,1
1.565,0
3. Bea Masuk
521,9
557,0
530,1
607,3
960,1
473,9
4. Cukai
620,1
773,2
872,6
943,7
1.055,8
518,2
5. Pajak Ekspor
82,5
104,0
91,0
50,5
78,8
78,8
6. Pajak Lainnya
68,5
64,0
138,4
105,2
132,4
157,2
190,4
190,0
108,9
7. Pajak Bumi dan Bangunan
208,2
167,5
8. Penerimaan Bukan Pajak
435,6
519,0
687,3
1.491,5
2.157,3
376,1
4.247,9
4.912,5
5.475,6
8.108,4
9.803,0
4.375,4
Jumlah :
*) Realisasi Semester I
184
1982/83
62,5
GRAFIK IV – 4
PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM
1982/83 – 1987/88
185
ka upaya untuk lebih memperkokoh kemampuan untuk membiayai
pembangunan nasional secara mandiri. Hal ini dimungkinkan
karena sistem pajak penghasilan yang baru ini didasarkan pada
prinsip kesederhanaan, kepastian dan pemerataan. Di samping
itu, dalam sistem pajak penghasilan yang baru ini, dasar pe ngenaan pajak juga lebih luas yaitu dengan dimasukkannya se mua jenis penghasilan sebagai obyek pajaknya. Beberapa fasilitas dan pembebasan yang tadinya diperkenankan di dalam sis tem perpajakan yang lama, di dalam sistem pajak penghasilan
yang baru tidak diperkenankan lagi. Untuk lebih memberikan
kepastian hukum dan rasa keadilan serta memudahkan bagi wajib
pajak maupun pemungut pajak dalam pembayaran pajak perseorangan, di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983 antara lain ditetapkan lapisan kena pajak dan penggolongan tarif
yang lebih sederhana. Lapisan kena pajak yang semula terdiri
dari sepuluh lapisan telah disederhanakan menjadi tiga lapis an tarif saja, yaitu 15% untuk penghasilan sampai dengan
Rp. 10 juta, 25% untuk penghasilan di atas Rp. 10 juta sam pai dengan Rp. 50 juta, dan 35% untuk penghasilan di atas Rp.
50 juta. Dalam pada itu batas pendapatan bebas pajak (BPBP)
yang sebelumnya untuk satu keluarga suami, isteri serta tiga
orang anak adalah sebesar Rp. 1.050.000,- kini dalam bentuk
penghasilan tidak kena pajak (PTKP) ditingkatkan menjadi
Rp. 2.880.000,-. Dari PTKP itu besarnya PTKP untuk diri wajib
pajak adalah sebesar Rp. 960.000,-, tambahan untuk wajib pajak yang kawin sebesar Rp. 480.000,- per tahun, dan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus
serta anak angkat adalah sebesar Rp. 480.000,- per tahun,
yaitu untuk setiap keluarga yang terdiri dari paling banyak 3
(tiga) orang anak. Dalam pada itu untuk isteri yang memper oleh penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak
ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga yang
lain akan mendapat tambahan PTKP sebesar Rp. 960.000,-.
Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983, tiga
lapisan tarif pajak tersebut berlaku pula untuk subyek pajak
yang berbentuk badan (Pajak Penghasilan Badan). Dalam sistem
perpajakan yang berlaku sebelumnya, tarif pajak perseroan
yang tertinggi adalah sebesar 45% sedangkan dalam Undangundang Pajak Penghasilan yang baru tarif tertinggi adalah se besar 35%. Meskipun struktur tarif dalam sistem perpajakan
lama yang berlaku sebelumnya kelihatannya cukup progresif
akan tetapi dalam pelaksanaannya dirasakan kurang memenuhi
sasaran yang diharapkan. Tingginya tarif yang berlaku telah
menyebabkan rangsangan bagi wajib pajak untuk menghindari
186
pajak melalui berbagai cara yang dimungkinkan karena rumitnya
sistem perpajakan yang ada. Sebaliknya sistem yang baru akan
menghasilkan progresivitas yang lebih besar mengingat lebih
banyaknya jumlah wajib pajak berpenghasilan tinggi akan memenuhi kewajibannya, walaupun tarif maksimal akan lebih ren dah. Dalam pada itu berbagai fasilitas keringanan pajak yang
selama ini diberikan akan dihapuskan sedangkan sebagai gantinya fasilitas tersebut ditampung menjadi satu dan disederha nakan dalam bentuk tarif yang lebih ringan serta dipercepat nya masa penyusutan.
Sementara itu, di bidang pajak atas bunga, dividen dan
royalty, telah diambil kebijaksanaan untuk membebaskan pajak
atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya, sedangkan
pengaturannya lebih lanjut akan dikaitkan dengan perkembangan
moneter dan perekonomian di dalam negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat menghimpun sebesar-besarnya dana dari
masyarakat guna ikut membiayai pembangunan nasional yang se dang dilaksanakan. Dengan langkah pembaharuan tersebut realisasi penerimaan pajak penghasilan cukup mengalami kemajuan.
Apabila dalam tahun 1982/83 penerimaan pajak pendapatan,
pajak perseroan, MPO/MPS, dan PBDR baru mencapai Rp. 1.706,5
milyar, maka dalam tahun 1984/85 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan telah meningkat menjadi Rp. 2.121,0 milyar, atau suatu peningkatan
sebesar 24,3% dalam masa dua tahun. Sedangkan untuk tahun
1986/87 besarnya pajak penghasilan tersebut telah meningkat
lagi menjadi Rp. 2.270,5 milyar, dan dalam semester 1 tahun
1987/88 diperkirakan mencapai sebesar Rp. 1.192,0 milyar.
Diberlakukannya Undang-undang tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
untuk menggantikan Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951,
dimaksudkan untuk dapat lebih meningkatkan jenis penerimaan
ini. Hal ini disebabkan karena dalam sistem perpajakan yang
baru ini antara lain lebih ditekankan unsur kesederhanaan dan
kepastian di dalam pengenaan pajaknya, sehingga diharapkan
lebih mendorong kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewaji ban pajaknya. Dalam sistem baru ini tarif yang diterapkan
hanya terdiri dari dua jenis tarif yaitu 0% dan 10%, sedang kan bagi barang mewah dikenakan tambahan tarif pajak khusus
sebesar 10% dan 20%. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, kebu tuhan dana untuk pembangunan serta pengendalian poly konsumsi
mewah, terdapat keluwesan untuk mengubah tarif pajak pertam bahan nilai tersebut menjadi serendah-rendahnya 5% dan se-
187
tinggi-tingginya 15% dan untuk mengubah tarif pajak penjualan
atas barang mewah menjadi setinggi-tingginya 35%. Dalam undang-undang yang baru ini tarif pajak atas barang-barang
ekspor adalah 0%. Dalam sistem yang lama, tarif pajak penjua lan bervariasi antara delapan jenis tarif yaitu 0%, 1%, 2,5%,
5%, 7,5%, 10%, dan 20%, sedangkan tarif tertinggi adalah
sebesar 40%, misalnya tarif pajak penjualan yang dikenakan
atas kendaraan bermotor berbahan baker solar seperti kenda raan bermotor jenis sedan/station wagon dan serba guna
(jeep) pada tahun 1985/86. Kesederhanaan tarip yang diterapkan sangat membantu pelaksanaan sistem perpajakan baru karena
lebih mudah dipahami baik oleh pemungut pajak maupun pembayar
pajak.
Dalam sistem yang baru juga diatur secara lebih tegas
dan lebih jelas mengenai ketentuan pembayaran kembali daripa da pajak yang kelebihan dibayar. Hal ini pada gilirannya memberikan rasa aman bagi wajib pajak terutama mereka yang mera sa membayar lebih daripada yang seharusnya, sehingga diha rapkan hal ini akan mendorong kepatuhan untuk membayar pajak.
Dalam ketentuan undang-undang pajak pertambahan nilai, juga
dikenal sistem kredit, yaitu beban pajak yang telah ada pada
bahan baku yang dipakai suatu perusahaan, dapat diperhitungkan/dikurangkan dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang
terhitung atas hasil produksi perusahaan itu. Ketentuan
tersebut dapat menghilangkan efek pajak berganda yang pada
masa sebelumnya terjadi dalam sistem pajak penjualan yang
lama. Dengan demikian di samping mendorong wajib pajak untuk
mematuhi membayar pajak, hilangnya pajak berganda tersebut
juga menghilangkan berbagai usaha untuk melakukan integrasi
vertikal antara dua perusahaan atau lebih yang semata-mata
demi menghindari pajak dan bukan atas pertimbangan efisiensi.
Dalam perdagangan luar negeri, sistem baru ini mengin tegrasikan tarif pajak pertambahan nilai yang dikenakan atas
barang-barang impor dan yang dikenakan atas barang -barang
produksi dalam negeri, sehingga hal ini menghindari adanya
diskriminasi terhadap barang-barang tertentu. Demikian juga
pajak pertambahan nilai yang telah dipungut atas bahan baku
yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor secara
berkala dapat dikembalikan. Di samping itu dalam sistem yang
baru juga terdapat batasan yang jelas daripada perusahaan perusahaan kecil sehingga menunjang upaya penyeragaman beban
pajak antara berbagai perusahaan yang berbeda ukurannya. Perlakuan ini akan menghilangkan diskriminasi terhadap perusaha -
188
an-perusahaan kecil tertentu dan dengan demikian menciptakan
iklim usaha yang lebih menarik bagi golongan ekonomi lemah.
Dengan berbagai langkah yang dilaksanakan di bidang pajak pertambahan nilai tersebut, nampak berbagai kemajuan
yang cukup menonjol. Kalau dalam tahun 1984/85 besarnya pene rimaan pajak penjualan dan pajak penjualan impor, baru mencapai jumlah sebesar Rp. 878,0 milyar, maka sejak mulai diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 pada tahun
1985/86, jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 2.326,7
milyar, yang berarti terdapat peningkatan sebesar 165%. Jenis
penerimaan ini untuk masa berikutnya terus berkembang,
sehingga menjadi Rp 2.900,1 milyar pada tahun 1986/87, dan
dalam semester I 1987/88 dari yang dianggarkan dalam APBN
sebesar Rp 3.546 milyar diperkirakan telah dapat direalisir
sebesar Rp 1.565,0 milyar. Untuk tahun-tahun mendatang penerimaan pajak pertambahan nilai ini diperkirakan dapat terus
meningkat sejalan dengan semakin mantapnya perekonomian nasional.
Bea masuk sebagai suatu sarana fiskal selama periode
tahun 1982/83-1987/88, berkembang sesuai dengan peranannya
sebagai sumber penerimaan negara maupun sebagai pengatur arus
serta komposisi impor pada tahap pembangunan yang sedang berjalan ini. Dalam hubungan ini, berbagai paket kebijaksanaan
penyesuaian di bidang impor yang ditempuh selama periode tersebut telah mempengaruhi pertumbuhan jenis penerimaan ini.
Beberapa langkah penting tersebut adalah kebijaksanaan melan carkan arus barang impor dan ekspor untuk mengatasi ekonomi
biaya tinggi yang tertuang di dalam Inpres Nomor 4 Tahun
1985, langkah untuk menghapuskan subsidi ekspor dalam bentuk
sertifikat ekspor mulai 1 April 1986 serta mengembalikannya
kepada sistem "drawback" murni, paket kebijaksanaan 6 Mei
1986 yang dimaksudkan untuk lebih menunjang sektor swasta
terutama dalam kegiatan penanaman modal, kebijaksanaan deva luasi 12 September 1986 yang telah meningkatkan nilai rupiah
impor yang terkena bea masuk, serta langkah kebijaksanaan 25
Oktober 1986 dan 15 Januari 1987 yang menyangkut penurunan
tarif bea masuk untuk menunjang penciptaan iklim berusaha
yang lebih menarik. Agar dapat memberikan perlindungan yang
lebih efisien terhadap produksi dalam negeri yang memberikan
nilai tambah yang tinggi dan banyak menyerap tenaga kerja,
maka sarana perlindungan yang berbentuk non-tarif telah diganti dengan sarana tarif bea masuk. Selain itu, juga telah
diupayakan
untuk
terus menurunkan serta
menyederhanakan
189
struktur tarif bea masuk. Atas dasar perkembangan tersebut,
maka realisasi penerimaan bea masuk pada tahun pertama sampai
dengan tahun ketiga pelaksanaan Repelita IV berjumlah masing masing Rp.530,1 milyar, Rp.607,3 milyar dan Rp.960,I milyar.
Pada tahun 1987/88, realisasi semester I, telah dicapai jum lah sebesar Rp.473,9 milyar atau 71,6% dari jumlah APBNnya.
Kebijaksanaan yang dilaksanakan di bidang cukai pada
prinsipnya masih tetap melanjutkan kebijaksanaan dalam Repelita III, yakni tidak saja diarahkan agar dapat senantiasa
memberikan sumbangan kepada penerimaan negara, namun diarah kan pula agar mampu mendorong berkembangnya industri dalam
negeri yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini,
untuk cukai tembakau yang selama ini merupakan bagian terbesar dari penerimaan cukai, selalu diupayakan agar kebijaksa naan pengaturannya tetap memperhatikan terjaganya sifat padat
karya, terutama bagi perusahaan rokok sigaret keretek (SKT).
Untuk itu senantiasa dilakukan penyesuaian tarif cukainya,
selaras dengan perkembangan perekonomian pada umumnya.
Kebijaksanaan di bidang cukai gula, bir, dan alkohol su ling, dalam Repelita IV terus mendapatkan penanganan dengan
hasil yang cukup menggembirakan. Apabila dalam tahun 1982/83
besarnya penerimaan cukai, baru mencapai jumlah sebesar
Rp.620,1 milyar, maka tiga tahun kemudian, yakni 1985/86 pe nerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp.943,7 milyar.
Peningkatan yang cukup besar terjadi pula pada tahun 1986/87,
yaitu sebesar Rp.1.055,8 milyar, yang berarti telah meningkat
sebesar 11,9% dari tahun 1985/86. Realisasi penerimaan cukai
semester I 1987/88 adalah sebesar Rp.518,2 milyar.
Sebagaimana masa sebelumnya, kebijaksanaan pajak ekspor
senantiasa diarahkan tidak hanya untuk menghimpun dana penerimaan di bidang ekspor, namun ditujukan pula untuk memeliha ra kelestarian sumber alam. Dalam rangka meningkatkan dan melancarkan ekspor barang serta demi memperluas kesempatan ker ja, maka terhadap rotan dan hasil olahannya yang semula dikenakan tarif sebesar 20%, sejak bulan Oktober 1986 tarifnya
telah ditinjau kembali dan ditetapkan menjadi 30%. Kebijaksa naan ini diharapkan akan lebih menunjang berkembangnya indus tri dalam negeri khususnya yang menggunakan bahan rotan yang
pada gilirannya akan memperluas kesempatan kerja. Selanjutnya
untuk lebih menunjang berkembangnya industri pengolahan kayu
sekaligus pula untuk memelihara keseimbangan hutan, pada bu lan Nopember 1986 telah pula ditetapkan tarif baru terhadap
190
ekspor kayu gergajian yang besarnya 30%. Selain daripada itu,
untuk lebih mendorong dan mempertahankan pasaran ekspor untuk
komoditi tertentu, maka terhadap biji kelapa sawit, minyak
kelapa sawit mentah (crude palm oil), minyak kelapa, refined
bleached deodorized stearin (RDB), tarif pajak ekspornya
telah diturunkan menjadi 0%. Sementara itu terhadap minyak
kelapa sawit mentah tarif pajak ekspor tambahan yang dikena kan juga telah diturunkan menjadi 0%. Pada tahun 1982/83
realisasi penerimaan pajak ekspor mencapai jumlah sebesar
Rp. 82,5 milyar. Jumlah tersebut telah meningkat menjadi
Rp.104,0 milyar pada tahun 1983/84, yang berarti telah meng alami kenaikan sebesar Rp.21,5 milyar atau 26,1%. Namun se menjak tahun 1983/84 jenis penerimaan yang berasal dari pungutan kegiatan ekspor ini menurun terus, sehingga pada tahun
1986/87 mencapai jumlah yang besarnya Rp.78,8 milyar. Tingkat
penerimaan terendah terjadi pada tahun 1985/86 sehingga besarnya penerimaan pajak ekspor saat itu hanya mencapai
Rp.50,5 milyar. Keadaan tersebut di samping karena pengaruh
melemahnya harga dan volume ekspor nonmigas Indonesia karena
terjadinya kelesuan perekonomian dunia, juga disebabkan oleh
kebijaksanaan penurunan tarif pajaknya, terutama dalam rangka
mendorong meningkatnya ekspor nonmigas.
Penerimaan negara yang berasal dari pajak lainnya, pada
masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan terdiri dari bea mete rai, bea lelang dan pajak kekayaan sedangkan sesudah 1 Januari 1986 pajak lainnya hanya terdiri dari bea meterai dan bea
lelang karena pajak kekayaan dilebur kedalam Pajak Bumi dan
Bangunan. Masih dalam rangka upaya pembaharuan sistem perpa jakan, maka pada tanggal 1 Januari 1986 juga telah mulai
diberlakukan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Meterai. Peraturannya menjadi lebih sederhana sebagaimana tercermin dari struktur tarifnya yang hanya terdiri dari dua
tingkatan, yakni sebesar Rp.500,- dan Rp.1.000,-.
Sementara itu juga terus diupayakan penyempurnaan pemungutan bea lelang terutama melalui peningkatan mutu pelaksa naan lelang.
Langkah-langkah yang telah ditempuh tersebut menunjukkan
hasil yang cukup memadai. Kalau dalam tahun 1982/83 penerimaan lainnya baru mencapai Rp.68,5 milyar, maka pada tahun
1985/86 penerimaan pajak lainnya telah meningkat menjadi
Rp.208,2 milyar. Lonjakan ini di samping menunjukkan semakin
191
membaik administrasinya, juga disebabkan oleh karena pada
tahun 1985/86 kelompok pajak lainnya juga menampung penerimaan yang berasal dari uang tebusan pengampunan pajak. Pada tahun berikutnya tidak lagi terjadi lonjakan realisasi tersebut
karena telah berakhirnya masa pengampunan pajak. Pada tahun
1986/87 pajak lainnya mencapai Rp.190,4 milyar sedangkan
realisasi semester I tahun 1987/88 mencapai jumlah seb esar
Rp.108,9 milyar.
Adanya beban berganda yang ditanggung masyarakat atas
kebendaan serta kekayaan sebagai obyek pajak merupakan salah
satu pertimbangan untuk melaksanakan pembaharuan peraturan
perpajakan di bidang ini. Untuk itu, pada 1 Januari 1986
telah mulai diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Beberapa kelebihan yang me lekat pada peraturan ini tercermin dari kesederhanaan penga turan tarifnya, mudah dipahami, adil, dan lebih memberikan
kepastian hukum. Tarif yang dikenakan pada obyek pajak adalah 0,5%, sehingga pengenaannya menjadi mudah dan menjamin
kepastian hukum. Pengenaan pajaknya juga menjamin keadilan,
sebab dikenakan menurut dasar perhitungan pajak, yakni nilai
jual kena pajak yang besarnya diterapkan antara 20% sampai
100% dari nilai jual obyek pajak yang secara periodik diten tukan berdasarkan perkembangan kondisi perekonomian nasional.
Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini diharapkan di
masa mendatang akan lebih mendorong perkembangan pem bangunan
daerah, mengingat 90% dari hasil pungutan pajak bumi dan
bangunan diserahkan penggunaannya kepada Pemerintah Daerah,
terutama Pemerintah Daerah Tingkat II. Dalam masa selanjutnya
akan terus diadakan kerja sama yang lebih baik antara Peme rintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, khususnya di dalam pe nyempurnaan administrasi pendataan, penetapan, dan penagihan
pajaknya, sehingga untuk mass selanjutnya dapat berkembang
dalam meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Di samping
itu karena tarifnya yang rendah dan pengenaannya didasarkan
kepada obyek pajaknya, maka penyelundupan pajak yang semula
dapat terjadi dapat dibatasi.
Mengingat masih barunya bentuk peraturan ini, maka masih
diperlukan berbagai langkah untuk memasyarakatkan Pajak Bumi
dan Bangunan. Berbagai bentuk penyuluhan telah dilancarkan
oleh aparat perpajakan dalam rangka memberikan pengetahuan
kepada masyarakat luas, khususnya pada wajib pajak Ipeda dan
Pajak Kekayaan, dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ke sadarannya di bidang pajak. Dalam hubungan ini, kepada aparat
192
perpajakan sendiri telah pula diberikan berbagai pendidikan
dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalan kan tugasnya melayani para wajib pajak. Untuk itu berbagai
kursus dan latihan telah diselenggarakan, baik di dalam
maupun di luar negeri, sehingga berlakunya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan ini didukung oleh aparat perpajakan
yang bukan saja terampil namun juga lebih menghayati tugasnya
sebagai aparat perpajakan.
Walaupun dalam tahun-tahun awalnya penerimaan PBB ini
masih belum seperti yang diharapkan, namun di masa mendatang
jenis pajak ini diharapkan mampu memberikan sumbangan dana
yang memadai bagi kesinambungan pembangunan. Dalam tahun
1982/83 penerimaan pajak yang bersumber dari Ipeda mencapai jumlah sebesar Rp.105,2 milyar, sedangkan pada tahun
1985/86 yang merupakan tahun terakhir berlakunya Ipeda, besarnya telah meningkat menjadi Rp.167,5 milyar atau suatu pe ningkatan sebesar 59,2% dalam waktu tiga tahun. Selanjutnya
pada tahun pertama pelaksanaan PBB yaitu tahun 1986/87, realisasi penerimaannya diperkirakan mencapai Rp.190,0 milyar.
Perkiraan realisasi semester I 1987/88 adalah sebesar Rp.62,5
milyar.
Penerimaan bukan pajak meliputi berbagai penerimaan de partemen dan lembaga non-departemen, seperti penerimaan pendidikan, penerimaan jasa, penerimaan penjualan, penerimaan
kejaksaan dan pengadilan serta bagian Pemerintah atas laba
BUMN, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Kebijaksanaan yang telah dilaksanakan di bid ang ini merupakan
upaya intensifikasi pengawasan serta penyempurnaan administrasinya. Dalam tahun 1982/83 realisasi penerimaan bukan pa jak mencapai Rp.435,6 milyar sedangkan pada tahun pertama pe laksanaan Repelita IV realisasinya meningkat menjadi Rp.68 7,3
milyar. Pada tahun 1985/86 terjadi lonjakan penerimaan yang
besar menjadi Rp.1.491,5 milyar terutama karena peningkatan
bagian Pemerintah atas laba BUMN. Pada tahun 1986/87, peneri maan bukan pajak di luar penerimaan laba penjualan BBM menca pai Rp.1.147,3 milyar, sedangkan penerimaan yang berasal dari
penjualan BBM mencapai Rp.1.010,0 milyar. Realisasi penerima an dari penjualan BBM selama semester I tahun 1987/88 tidak
mencapai jumlah yang di dalam APBNnya direncanakan sebesar
Rp.114,3 milyar, terutama karena meningkatnya harga impor minyak mentah sebagai bahan baku penyulingan BBM.
193
2. Pengeluaran Rutin
Selama kurun waktu 1983/84 - 1987/88 kebijaksanaan pengeluaran rutin tetap melanjutkan kebijaksanaan tahap pem bangunan sebelumnya yaitu berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan yang mengutamakan pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi serta stabi litas nasional yang sehat dan dinamis. Pemerataan pembangunan
dan hasil-hasilnya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan telah diwujudkan melalui penambahan jumlah guru -guru
sekolah dasar Inpres, tenaga perawat dan tenaga medis Puskes mas di berbagai daerah yang pembiayaannya ditampung melalui
subsidi daerah otonom. Demikian pula dalam rangka menunjang
pengembangan dunia usaha, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan kegiatan pembangunan di daerah-daerah, melalui kebijaksanaan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29
Tahun 1984 telah diarahkan pembelian barang dan jasa kebutuh an departemen/lembaga kepada barang-barang hasil produksi dalam negeri, yang dihasilkan oleh para pengusaha golongan eko nomi lemah dan pengusaha setempat. Untuk memungkinkan tercip tanya tabungan Pemerintah yang diperlukan bagi pembiayaan
pembangunan, maka pengeluaran rutin dilaksanakan sehemat dan
seefisien mungkin melalui pengendalian sistem pengadaan dan
pembelian barang kebutuhan Pemerintah, serta melalui pengurangan secara bertahap pemberian berbagai macam subsidi. Na mun demikian penghematan pengeluaran rutin tersebut d ilakukan
tanpa mengurangi mutu pelayanan Pemerintah kepada masyarakat
serta pengamanan kekayaan negara yang merupakan hasil-hasil
kegiatan pembangunan. Selain pengeluaran belanja pegawai, be lanja barang dan subsidi daerah otonom, pengeluaran rutin me nampung pula pengeluaran untuk pembayaran bunga dan cicilan
hutang, baik berupa hutang dalam negeri maupun hutang luar
negeri, serta lain-lain pengeluaran rutin.
Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut di atas,
maka pengeluaran rutin dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan secara terkendali. Bila dalam tahun 1982/83 jumlah realisasinya baru mencapai Rp.6.996,3 milyar, maka dalam tahun
1983/84 telah berkembang menjadi sebesar Rp.8.411,8 milyar.
Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita IV yaitu dalam tahun
1986/87 jumlah realisasinya mencapai Rp.13.559,3 milyar atau
sebesar dua kali realisasi tahun 1982/83. Dalam APBN tahun
1987/88 pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp.15.026,5
milyar, sedangkan realisasi untuk semester I adalah sebesar
Rp.7.179,6 milyar. Jumlah dalam APBN 1987/88 tersebut terdiri
194
dari belanja pegawai sebesar Rp.4.316,9 milyar, belanja barang sebesar Rp.1.175,1 milyar, subsidi untuk daerah otonom
sebesar Rp.2.649,1 milyar, pembayaran bunga dan cicilan hutang sebesar Rp.6.805,4 milyar dan lain-lain pengeluaran
rutin sebesar Rp.80,0 milyar. Perkembangan pengeluaran rutin
tersebut beserta komponen-komponennya dapat dilihat pada
Tabel IV - 5 dan Grafik IV - 5.
Kebijaksanaan belanja pegawai senantiasa ditujukan untuk
menunjang peningkatan kemampuan dan pengabdian aparatur Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat deng an
sebaik-baiknya. Dalam rangka meningkatkan kegairahan
bekerja dan kesejahteraan pegawai, secara bertahap telah diusahakan untuk memperbaiki penghasilan pegawai/ABRI dan pen siunan sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan negara. Dalam
tahun anggaran 1983/84 telah diberikan gaji bulan ketiga be las untuk golongan I sebesar 125%, golongan II dan III sebesar 100%, dan golongan IV sebesar 75% dari penghasilan. Kemu dian dalam tahun 1984/85 diberikan kenaikan gaji sebesar
15%, dan dalam tahun 1985/86 kenaikan gaji sebesar 20% yang
disertai kenaikan pensiun sebesar 27% - 59%. Demikian pula
besarnya tunjangan beras yang diberikan untuk pegawai negeri
sipil/ABRI dan pensiunan selalu disesuaikan dengan tingginya
harga beras dipasaran. Pada tahun 1982/83 perhitungan harga
beras adalah sebesar Rp.308,- per kg, yang dinaikan menjadi
sebesar Rp.327,- per kg dalam tahun 1983/84, Rp.366,- per kg
dalam tahun 1984/85, dan Rp.377,- per kg dalam tahun 1985/86
sampai dengan tahun 1987/88. Penyesuaian tunjangan beras ter sebut mempengaruhi pula besarnya uang makan/ lauk pauk.
Atas dasar langkah-langkah di atas maka belanja pegawai
telah meningkat dari sebesar Rp.2.418,1 milyar dalam tahun
1982/83 menjadi sebesar Rp.4.316,9 milyar atau hampir 2 kali
lipat dalam APBN 1987/88. Perkembangan terperinci daripada
belanja pegawai sejak tahun 1982/83 dapat dilihat pada Tabel
IV-6.
Melalui pedoman pelaksanaan APBN yang tertuang dalam
Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984, telah diupayakan
untuk menciptakan iklim yang lebih baik, bagi berkembangnya
dunia usaha, serta peningkatan perluasan dan pemerataan kesempatan kerja baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam
hubungan ini lebih diutamakan pembelian barang dan jasa hasil
produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh para pengusaha
195
TABEL IV - 5
PENGELUARAN RUTIN,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
Jenis Pengeluaran
1982/83
1983/84
1. Belanja Pegawai
2.418, 1
2. Belanja Barang
a. Dalam Negeri
b. Luar Negeri
1.041, 2
(1.007,0)
( 33,8)
3. Subsidi Daerah Otonom
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Non-Pegawai
4. Bunga dan Cicilan Hutang
a. Dalam Negeri
b. Luar Negeri
1.315,4
1.224,5
( 19,8)
(1.204,7)
1984/85
2.757,0
1985/86
1986/87
1987/881)
3.046,8
4.018,3
4.310,6
2.266,5
1.057,1
1.182,8
(1.007,0) (1.134,2)
(50,1)
(48,6)
1.367,1
(1.309,5)
( 57,6)
1.366,5
(1.293,6)
(72,9)
486,4
(457,7)
( 28,7)
1.547,0
1.883,3
(1.680,1)
(203,2)
2.489,0
(2.247,6)
(241,0)
2.649,7
(2.410,2)
(239,5)
1.381,0
(1.278,1)
(102,9)
2.102,6
2.776,5
(29,8)
(39,3)
(2.072,8) (2.737,2)
3.323,1
(20,0)
(3.303,1)
5.058,1
(-)
(5.058,1)
2.823,6
(-)
(2.823,6)
-
-
-
-
6. Lain-lainl)
997,12)
948,12)
539,52)
1754,02)3)
145,04)
222,12)
Jumlah :
6.996,3
8.411,8 9.428,9
11.951,5
13.559,3
7.179,6
5. Pembiayaan Cadangan Pangan
1)
2)
3)
4)
196
Realisasi Semester I
Termasuk subsidi BBM
Termasuk restitusi pajak
Tanpa subsidi BBM
29,4
-
GRAFIK IV – 5
PENGELUARAN RUTIN
1982/83 – 1987/88
(dalam milyar rupiah)
197
TABEL IV - 6
BELANJA PEGAWAI,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
1984/85
1985/86
1986/87
289,9
346,1
407,0
402,0
406,1
180,0
2. Gaji pegawai/pensiun
1.996,0
1.996,0
2.206,6
3.072,6
3.330,0
1.782,0
3. Uang makan/lauk pauk
254,9
261,3
271,4
300,4
288,3
165,1
4. Lain-lain belanja
pegawai dalam negeri
87,6
87,6
89,7
161,1
176,6
80,3
5. Belanja pegawai
luar negeri
45,7
66,0
72,1
82,2
109,6
59,1
2.478,1
2.757,0
3.046,8
4.018,3
4.310,6
2.266,5
1. Tunjangan beras
Jumlah :
*) Realisasi Semester I
198
1982/83
1987/88*)
1983/84
Jenis Pengeluaran
golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat. Untuk lebih
meningkatkan peranan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam
pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah, maka dalam Keputusan
Presiden Nomor 29 Tahun 1984 ditetapkan bahwa kepada para
pengusaha golongan ekonomi lemah diberikan berbagai kelongga ran dan fasilitas. Antara lain ditentukan bahwa mereka yang
memperoleh kontrak dapat menggunakannya sebagai dasar untuk
memperoleh fasilitas pembayaran uang muka dari nilai perjan jian dan/atau fasilitas kredit dari bank Pemerintah untuk
membiayai pelaksanaan kontrak tersebut. Demikian pula, apabi la dalam pemborongan/pembelian yang terpilih adalah pemborong/rekanan yang tidak termasuk dalam pengusaha golongan
ekonomi lemah, maka dalam surat perjanjian kontrak harus di cantumkan antara lain bahwa pemborong/rekanan terpilih wajib
bekerjasama dengan pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah
setempat,
yaitu
sebagai
sub
kontraktor
atau
leveransir
barang, bahan dan jasa. Dengan demikian diharapkan para pengusaha ekonomi lemah dapat bekerja atas dasar kemampuan sendiri, sehingga dapat mandiri untuk seterusnya. Di samping itu
dalam rangka penghematan belanja barang telah pula dilakukan
pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pemborongan/pembe lian barang dan jasa kebutuhan Departemen/Lembaga Negara,
baik melalui pelelangan umum maupun penunjukan langsung,
yaitu dengan dibentuknya Tim Pengendali Pengadaan Barang/Per alatan dan jasa kebutuhan Pemerintah di tingkat Departemen/
Lembaga, yang tata cara pelaksanaannya diatur dalam Keputusan
Presiden Nomor 30 Tahun 1984, dan kemudian disempurnakan
dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1985. Dengan diben tuknya Tim Pengendali Pengadaan Barang dan jasa tersebut,
maka kelancaran pembelian serta pengutamaan barang hasil pro duksi dalam negeri dari pengusaha golongan ekonomi lemah dan
pengusaha setempat dapat lebih ditingkatkan lagi.
Dengan adanya kebijaksanaan penghematan dalam pelaksanaan pengadaan barang/peralatan kebutuhan Pemerintah, maka belanja barang dapat dikendalikan peningkatannya. Bila dalam
tahun
1982/83
belanja
barang
mencapai
jumlah
sebesar
Rp.1.041,2 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah mencapai
jumlah
sebesar
Rp.1.057,1
milyar.
Kemudian
dalam
tahun
1984/85 belanja barang mencapai jumlah Rp.1.367,1 milyar dan
dalam tahun 1985/86 men capai Rp.1.366,5 milyar. Selanjutnya
dalam
APBN
1987/88
belanja
barang
dianggarkan
sebesar
Rp.1.175,1 milyar, sedangkan realisasi semester I menca pai Rp.486,4 milyar.
199
Pengeluaran subsidi daerah otonom sebagian besar merupakan pengeluaran untuk memenuhi pembayaran gaji dan tunjangan
beras para pegawai daerah otonom. Oleh karena itu sejalan
dengan kenaikan belanja pegawai, subsidi daerah otonom mengalami peningkatan pula dalam setiap tahunnya. Kenaikan tersebut selain disebabkan oleh adanya penyesuaian gaji pegawai
dan tunjangan beras, serta penambahan formasi pegawai daerah
otonom, juga disebabkan subsidi daerah otonom menampung pula
pembayaran gaji dan tunjangan beras bagi penambahan guru-guru
sekolah dasar Inpres dan petugas media Puskesmas. Di samping
itu subsidi daerah otonom menampung pula biaya penggantian
sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sekolah dasar yang telah dihapuskan, gaji lurah dan perangkatnya serta tunjangan
pamong desa daerah minus. Bila dalam tahun 1982/83 realisasi
subsidi daerah otonom baru berjumlah sebesar Rp.1.315,4 milyar, maka dalam tahun 1986/87 pengeluaran tersebut telah
mencapai jumlah sebesar Rp.2.649,7 milyar atau sebesar dua
kali realisasi tahun 1982/83. Selanjutnya dalam APBN 1987/88
subsidi daerah otonom dianggarkan sebesar Rp.2.649,1 milyar,
dan realisasi semester I mencapai Rp.1.381,6 milyar.
Sejak tahun 1982/83 kebutuhan untuk pembayaran bunga dan
cicilan hutang menunjukkan jumlah yang semakin membesar. Hal
ini terutama disebabkan semakin banyaknya pinjaman-pinjaman
luar negeri yang telah jatuh tempo, adanya devaluasi rupiah
dalam tahun 1983 sebesar 27,8% dan dalam tahun 1986 sebesar
31,0%, serta adanya perubahan nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap mata uang negara industri utama lainnya yang
terjadi sejak tahun 1985. Pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk melengkapi dana yang dapat dihimpun
dari dalam negeri guna membiayai berbagai proyek-proyek pembangunan yang produktif dan diprioritaskan. Bila dalam tahun
1982/83 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri realisasinya berjumlah Rp.1.204,7 milyar, maka dalam tahun
1986/87 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai jumlah sebesar Rp.5.058,1 milyar dan untuk tahun
1987/88 dianggarkan sebesar Rp.6.765,4 milyar. Sedangkan
pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam negeri dipergunakan
untuk membayar tagihan jasa umum seperti bunga atas uang muka
Bank Indonesia kepada Pemerintah. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam negeri umumnya menun jukkan jumlah yang stabil.
Selama pelaksanaan tahun pertama hingga tahun keempat
Repelita IV, realisasi lain-lain pengeluaran rutin menunjuk-
200
kan jumlah yang semakin menurun. Hal ini disebabkan secara
bertahap telah diambil langkah-langkah untuk mengurangi subsidi antara lain dengan menaikkan harga jual BBM di dalam
negeri dalam tiga tahun berturut-turut yaitu dalam tahun
1982, 1983 dan 1984, sehingga kebutuhan subsidi BBM semakin
menurun. Penurunan subsidi BBM tersebut berkaitan pula dengan
semakin meningkatnya efisiensi di dalam pengolahan minyak dan
adanya penurunan harga minyak mentah di pasaran internasio nal. Di samping itu dengan semakin meningkatn ya produksi beras di dalam negeri, maka sejak tahun 1983/84 tidak diperlu kan lagi pengeluaran untuk subsidi pangan.
Dengan adanya kebijaksanaan dan perkembangan-perkembangan tersebut di atas maka realisasi lain-lain pengeluaran
rutin yang pada tahun 1982/83 mencapai jumlah sebesar
Rp.997,1 milyar, terus menerus dapat ditekan sehingga menjadi
sebesar Rp.145,0 milyar dalam Tahun 1986/87. Dalam APBN
1987/88
lain-lain
pengeluaran rutin
dianggarkan sebesar
Rp.80,0 milyar, sedang realisasinya dalam semester I 1987/88
adalah sebesar Rp.222,1 milyar.
3. Dana Pembangunan
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dana pembangunan yang disediakan terdiri dari tabungan Pemerintah dan
dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah adalah selisih
antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, sedangkan dana bantuan luar negeri adalah nilai lawan bantuan prog ram dan bantuan proyek. Sesuai dengan tekad untuk melaksana kan pembangunan berdasarkan pada kemampuan sendiri, maka se nantiasa diusahakan agar dana bantuan luar negeri tetap berperan sebagai pelengkap. Dalam hal memperoleh dana luar negeri, selalu diupayakan agar pinjaman luar negeri tersebut bersyarat selunak mungkin sehingga tetap sesuai dengan kemampuan
untuk melunasinya di kemudian hari. Di lai n pihak juga terus
diupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan dayaguna dan
hasil guna dana luar negeri tersebut dengan menyalurkannya
untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang produktif,
sehingga dari hasil-hasilnya dapat dilakukan pengembalian
dari pinjaman tersebut.
Dana pembangunan meningkat dari sebesar Rp.7.362,0 milyar pada tahun 1982/83 menjadi sebesar Rp.10.873,9 milyar dalam tahun 1985/86. Namun demikian dalam tahun 1986/87 dana
pembangunan tersebut menurun menjadi sebesar Rp.8.333,5 mi lyar, dan dalam APBN 1987/88 dana pembangunan dianggarkan
201
sebesar Rp.7.756,6 milyar. Dari jumlah dana pembangunan ter sebut, tabungan Pemerintah meningkat dari Rp.5.422,0 milyar
dalam tahun 1982/83 menjadi sebesar Rp.7.301,3 milyar dalam
t a h u n 1 9 8 5 / 8 6 , k e m u d i a n m e n ur un l ag i men j ad i s eb es ar
R p . 2.581,3 milyar dalam tahun 1986/87. Sedangkan dalam tahun
1987/88 dianggarkan sebesar Rp.2.209,6 milyar. Di lain pihak
dana bantuan luar negeri meningkat dari sebesar Rp.1.940,0
milyar dalam tahun 1982/83, menjadi sebesar Rp.5.752,2 milyar
pada tahun 1986/87, dan dianggarkan sebesar Rp.5.547,0 milyar
pada tahun 1987/88. Perkembangan dana pembangunan selama pe riode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6.
4. Pengeluaran Pembangunan
Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai
pelaksanaan operasional pembangunan setiap tahunnya, kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan sesuai dengan Trilogi Pembangunan dengan penekanan pada pemerataan pendapatan
dan hasil-hasil pembangunan melalui delapan jalur pemerataan. Sejalan dengan itu pengeluaran pembangunan dialokasikan
pada berbagai proyek pembangunan baik sektoral maupun regio nal yang mendukung ke arah tercapainya tujuan tersebut.
Dalam Repelita IV ditempuh kebijaksanaan baru dalam pengelolaan sisa anggaran pembangunan (SIAP). Sampai dengan
pelaksanaan tahun anggaran 1984/85, bila dalam suatu anggaran
terjadi SIAP maka sisa anggaran tersebut ditambahkan kepada
APBN tahun anggaran berikutnya. Dalam sistem yang baru, SIAP
untuk tahun anggaran 1985/86 tidak lagi ditambahkan pada
tahun 1986/87 melainkan langsung menjadi bagian di dalam APBN
1986/87 tersebut. Sistem baru ini dimaksudkan agar pemimpin
proyek lebih terdorong lagi untuk menyelesaikan proyek yang
bersangkutan di dalam tahun anggaran yang telah dijadwalkan
semula. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan daya se rap masing-masing proyek dan secara kumulatif akan tercapai
peningkatan kegiatan pembangunan.
Dengan semakin luasnya jangkauan pembangunan, jumlah pe ngeluaran pembangunan yang diperlukan dari tahun ke tahun
terus meningkat pula. Apabila dalam tahun 1982/83 realisasi
pengeluaran pembangunan mencapai Rp.7.359,6 milyar, terdiri
dari pembiayaan rupiah sebesar Rp.5.434,7 milyar dan bantuan
proyek sebesar Rp.1.924,9 milyar, maka dalam tahun anggaran
1985/86
telah
dicapai
pengeluaran
pembangunan
sebesar
202
TABEL IV - 7
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
Tahun
Anggaran
Jumlah Dana
Pembangunan
Tabungan
Pemerintah
Dana Bantuan
Luar Negeri
1982/83
7.362,0 (100%)
5.422,0 (73,6%)
1.940,0 (26,4%)
1983/84
9.903,3 (100%)
6.020,9 (60,8%)
3.882,4 (39,2%)
1984/85
9.954,5 (100%)
6.476,5 (65,1%)
3.478,0 (34,9%)
1985/86
10.873,9 (100%)
7.301,3 (67,2%)
3.572,6 (32,8%)
1986/87
8.333,5 (100%)
2.581,3 (31,0%)
5.752,2 (69,0%)
1987/88*)
4.353,8 (100%)
1.843,6 (42,3%)
2.510,2 (57,7%)
*) Realisasi Semester I
203
GRAFIK IV – 6
PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH
DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI
1982/83 – 1987/88
204
204
Rp. 10.873,1 milyar yang terdiri dari pembiayaan rupiah
sebesar Rp.7.369,7 milyar dan bantuan proyek sebesar
R p . 3.503,4 milyar. Namun demikian sesuai dengan keadaan
keuangan negara yang lebih ketat akibat merosotnya harga
ekspor minyak bumi yang cukup tajam di pasaran dunia, dalam
tahun 1987/88 direncanakan alokasi pengeluaran pembangunan
sebesar Rp.7.756,6 milyar, yang terdiri dari pembiayaan
rupiah sebesar Rp.2.330,9 milyar, dan bantuan proyek sebesar
Rp.5.425,7 milyar. (Tabel IV-8 dan Grafik IV-7)
Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dalam
bentuk pembiayaan rupiah digunakan untuk membiayai berbagai
proyek pembangunan baik sektoral maupun regional. Realisasi
pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah yang
dalam tahun 1982/83 mencapai jumlah Rp.5.434,7 milyar, dalam
tahun 1985/86 telah meningkat menjadi sebesar Rp.7.369,7 mil yar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 berkaitan dengan keadaan
keuangan yang kurang menggembirakan, pengeluaran pembangunan
dalam bentuk rupiah ini hanya dianggarkan sebesar Rp.2.330,9
milyar, dan realisasinya dalam semester I tahun 1987/88 men capai jumlah sebesar Rp.1.894,1 milyar. Pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah tersebut meliputi pembiayaan Departemen/Lembaga, pembiayaan pembangunan bagi daerah
dan pembiayaan lainnya. Realisasi pembiayaan pembangunan Departemen/Lembaga yang disediakan untuk pembangunan sektoral
yang dikelola Departemen/Lembaga dalam tahun 1982/83 menca pai jumlah sebesar Rp.3.260,9 milyar, dan dalam tahun 1985/86
telah meningkat menjadi sebesar Rp.4.466,5 milyar. Sedangkan
dalam tahun 1987/88 sesuai dengan keadaan keuangan negara,
pengeluaran pembangunan Departemen/Lembaga hanya dianggarkan
sebesar Rp.752,2 milyar, dengan realisasi pada semester I
sebesar Rp.457,8 milyar. Adapun realisasi pembiayaan pemba ngunan bagi daerah yang dalam tahun 1982/83 mencapai sebesar
Rp.1.090,4 milyar, dalam tahun 1984/85 meningkat menjadi se besar Rp.1.526,2 milyar. Dalam tahun 1987/88 pembiayaan pem bangunan bagi daerah dianggarkan sebesar Rp.1.182,8 milyar,
dengan realisasi pada semester I sebesar Rp.508,5 milyar
(Tabel IV-9).
Pembiayaan pembangunan bagi daerah ditujukan untuk men dorong pembangunan di semua daerah sesuai dengan potensi
masing-masing daerah. Bantuan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah yang sebagian besar dikenal dengan program
Inpres (Instruksi Presiden) terdiri dari bantuan pembangunan
desa, bantuan pembangunan Kabupaten, bantuan pembangunan Dati
I, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan penghijauan,
205
TABEL IV – 8
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1982/83 – 1987/88
(milyar rupiah)
206
(Lanjutan Tabel IV - 8)
No.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
Sektor dan Sub Sektor
SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN
SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA
Sub Sektor Kesehatan
Sub Sektor Kesejahteraan Sosial
dan Peranan Wanita
Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana
SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN PEMUKIMAN
Sub Sektor Perumahan Rakyat dan
Pemukiman
1982/83
1983/84 1984/85
1985/86
1986/87
1987/88
259,3
163,9
278,7
154,3
320,0
203,6
397,9
228,0
325,9
194,3
207,7
122,1
48,1
42,7
44,2
77,0
35,5
11,6
47,3
81,7
72,2
92,9
96,1
74,0
150,7
220 12
224,2
334,6
336,6
412,0
150,7
220,9
224,2
334,6
336,6
412,0
SEKTOR HUKUM
66,1
56,6
60,5
108,5
24,8
14,0
Sub Sektor Hukum
66,1
56,6
60,5
108,5
24,8
14,0
476,8
526,0
702,3
590,2
554,0
510,0
476,8
526,0
702,3
590,2
554,0
510,0
50,3
27,5
45,5
71,5
32,5
24,0
50,3
27,5
45,5
71,5
32,5
24,0
128,3
302,6
190,0
274,1
181,3
SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN
NASIONAL
Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan
Nasional
SEKTOR PENERANGAN, PEAS DAN KOMUNIKASI SOSIAL
Sub Sektor Penerangan, Pers dan
Komunikasi Sosial
SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI
DAN PENELITIAN
Sub Sektor Pengembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi
158
16,3
170,1
66,1
135,7
,83,5
81,2
Sub Sektor Penelitian
112,0
132,5
123,9
138,4
97,8
77,4
SEKTOR APARATUR PEMERINTAH
242,6
316,6
164,3
277,8
1_901
45,4
Sub Sektor Aparatur Pemerintah
242,6
316,6
164,3
277,8
190,0
45,4
SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA
2,180
233,9
291,7
'220,5
211,4
191,0
Sub Sektor Pengembangan Dunia
Usaha
280,7
233,9
291,7
220,5
211,4
191,0
SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN
HIDUP
193,5
193,2
229,7
243,2
172,8
166,2
Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup
193,5
193,2
229,7
243,2
172,8
166,2
9.899,2 9.951,9
10.873,1
8.332,0
7.756,6
Jumlah:
7.359,6
*) APBN
207
GRAFIK IV – 7
PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1982/83 – 1987/88
208
TABEL IV - 9
PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
No.
Jenis Pembiayaan
1982/83
1983/84
1984/85
1985/86
1986/87
1987/88*)
1. Pembiayaan Departemen/Lembaga
3.260,9
3.219,6
3.474,4
4.466,5
2.003,6
457,8
2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah
a. Bantuan Pembangunan Desa
b. Bantuan Pembangunan Kabupaten/
Kotamadya
c. Bantuan Pembangunan Dati I
d. Irian Jaya
e. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar
f. Bantuan Pembangunan Kesehatan/
PUSKESMAS
g. Bantuan Pembangunan dan
Pemugaran Pasar
h. Bantuan Penghijauan
i. Bantuan Penunjangan jalan dan
Jembatan Kabupaten
J. Timor Timur
k. Ipeda/Pajak Bumi dan Bangunan
1.090,4
(88,4)
1.447,5
(91,6)
1.526,2
(92,8)
1.502,6
( 98,6)
1.466,5
( 86,4)
508,5
(87,8)
(193,9)
(253,0)
(267,4)
(194,1)
(253,0)
(549,3)
(194,6)
(253,0)
(572,0)
(188,6)
(287,3)
(526,1)
(188,1)
(293,1)
(495,9)
(128,5)
(118,5)
(36,3)
(80,3)
(87,3)
(64,6)
(110,6)
(107,7)
(21,0)
(4,5)
(49,6)
(10,6)
(59,4)
(25,5)
(61,2)
( 4,4)
( 42,5)
(11,5)
(30,6)
( - )
(12,5)
(42,4)
(5,7)
(105,2)
(64,6)
(5,2)
(132,4)
(101,1)
(4,2)
(157,2)
( 70,1)
( 6,9)
(167,5)
(74,9)
(7,3)
(171,0)
(51,7)
(1,5)
(50,7)
3. Pembiayaan lainnya
a. Subsidi Pupuk
b. Penyertaan Modal Pemerintah
c. Lain-lain
1.083,4
(324,2)
(336,6)
(326,7)
1.364,6
(324,2)
(591,7)
(448,7)
1.542,6
(731,6)
(336,1)
(474,9)
1.400,6
(477,1)
(412,3)
(511,2)
1.067,3
(467,2)
(85,9)
(514,1)
927,8
(606,5)
(27,0)
(294,3)
5.434,7
6.031,7
6.543.2
7.369,7
4.537,3
1.894,1
Jumlah:
*) Realisasi Semester I
209
bantuan pembangunan dan pemugaran pasar serta bantuan pem bangunan penunjangan jalan dan jembatan. Selain berupa pro gram Inpres, pembangunan daerah dibiayai pula dengan dana
yang berasal dari hasil pungutan iuran pembangunan daerah
(Ipeda) sebelum tahun 1986 dan kemudian dengan dilaksanakan nya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari1986 dike nal dengan hasil pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di
samping bantuan-bantuan tersebut di atas, terdapat pula pembiayaan sektoral untuk propinsi Timor Timur.
Pelaksanaan bantuan pembangunan desa yang sudah dimulai
sejak awal Repelita I diberikan untuk membantu pembiayaan
proyek-proyek daerah dalam rangka mendorong usaha swadaya
gotong royong masyarakat dalam pembangunan. Bantuan ini di
samping ditentukan oleh besarnya bantuan per desa juga diten tukan Oleh faktor kepadatan penduduk. Apabila dalam tahun
1982/83 bantuan minimum per desa adalah sebesar Rp.1.250.000 -,
per desa dengan jumlah desa sebanyak 65.127 desa, dalam tahun
kedua Repelita IV bantuan minimum per desa telah ditingkat kan menjadi sebesar Rp.1.350.000,- per desa, termasuk sebesar Rp.250.000,- untuk program PKK, dengan jumlah desa seba nyak 67.448 desa. Sehubungan dengan itu realisasi jumlah bantuan pembangunan desa telah meningkat dari Rp.88,4 milyar da lam tahun 1982/83 menjadi Rp.98,6 milyar dalam tahun 1985/86.
Pada tahun ke empat Repelita IV anggaran bantuan pembangunan
desa adalah sebesar Rp.98,9 milyar.
Sementara itu bantuan pembangunan Kabupaten/Kotamadya
yang diberikan sejak tahun 1970/71 ditujukan untuk meningkatkan perluasan kesempatan kerja dan partisipasi penduduk dalam
pembangunan melalui berbagai proyek yang menyangkut prasarana
perhubungan dan prasarana produksi serta proyek-proyek lain
yang meningkatkan mutu lingkungan hidup dan serasi dengan
proyek-proyek pembangunan yang ada di daerah yang bersangkutan. Jumlah bantuan kabupaten/kotamadya ini di samping diten tukan oleh jumlah penduduk juga ditentukan oleh besarnya bantuan per jiwa. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan per ka bupaten/kotamadya mencapai sebesar Rp.193,9 milyar dengan
bantuan per jiwa sebesar Rp.1.150,0 dan bantuan minimum sebe sar Rp.160 juta per kabupaten. Dalam tahun pertama Repelita
IV realisasinya meningkat menjadi sebesar Rp.201,9 milyar,
dengan bantuan per jiwa dan bantuan minimum per kabupaten
yang mama besarnya dengan tahun 1982/83. Dalam tahun 1987/88
b a n tu a n p e mb a n gu n an k a b up a te n ini dianggarkan sebesar
R p . 226,0 milyar dengan bantuan per jiwa sebesar Rp.1.250,0
dan bantuan minimum per kabupaten sebesar Rp.170 juta.
210
Bantuan Dati I ditujukan untuk meningkatkan keselarasan
pembangunan sektoral dan regional, meratakan hasil -hasil pembangunan dan meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar
daerah serta meningkatkan peranserta daerah dalam pembangun an. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan pembangunan Dati I
mencapai jumlah sebesar Rp.253,0 milyar dengan bantuan mini mum sebesar Rp.9,0 milyar per propinsi dan bantuan maksimum
sebesar Rp.11,0 milyar per propinsi, sedangkan dalam tahun
1986/87 realisasinya meningkat menjadi sebesar 4.293,1 milyar
dengan bantuan minimum sebesar 4.10,0 milyar dan bantuan
maksimum sebesar Rp.12,0 milyar per propinsi. Dalam tahun
1987/88 bantuan pembangunan Dati I dianggarkan sebesar
Rp.280,0 milyar.
Bantuan pembangunan sektoral yang diberikan untuk propinsi Timor Timur terutama dimaksudkan untuk mengejar keter tinggalan pembangunan propinsi ini dari propinsi -propinsi
lainnya. Bantuan pembangunan yang diberikan sejak tahun
1977/78 ini, dalam tahun 1982/83 realisasinya mencapai Rp.5,7
milyar, sedangkan dalam tahun 1986/87 meningkat menjadi sebesar Rp.7,3 milyar. Dalam tahun 1987/88 bantuan untuk propin si Timor Timur dianggarkan sebesar Rp.5,0 milyar.
Pembiayaan pembangunan dari dana Ipeda dan Pajak Bumi
dan Bangunan yang berjalan sejak bulan Januari 1986, dari
tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun
1982/83 realisasinya baru mencapai Rp.105,2 milyar, dalam
tahun 1986/87 telah meningkat menjadi sebesar Rp.171,1 milyar. Dalam tahun 1987/88 pembiayaan melalui dana PBB ini
dianggarkan sebesar Rp.246,6 milyar. Dana ini berasal dari
Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan pajak daerah dan di pungut dengan koordinasi Pemerintah pusat dengan ketentuan
90% dari hasil penerimaan diserahkan kepada Pemerintah daerah
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan.
Bantuan pembangunan sekolah dasar yang diberikan sejak
tahun 1973/74 ditujukan untuk memperluas kesempatan belajar
khususnya untuk anak-anak usia sekolah dasar yang berada di
pedesaan, daerah terpencil, daerah transmigrasi dan pemukiman
baru. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan sekolah dasar,
pembangunan ruang kelas, rehabilitasi gedung sekolah dasar,
pembangunan rumah kepala sekolah dan guru di daerah terpencil, penyediaan paket buku bacaan serta peralatan olah raga.
Dalam tahun 1982/83 bantuan pembangunan sekolah dasar baru
mencapai sebesar Rp.267,4 milyar, sedangkan dalam tahun per -
211
tama Repelita IV telah meningkat menjadi sebesar Rp.572,0 milyar. Dalam tahun 1987/88 bantuan pembangunan sekolah dasar
dianggarkan sebesar Rp.100,8 milyar.
Bantuan kesehatan yang diberikan sejak tahun 1973/74
ditujukan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan perbaikan
gizi bagi golongan masyarakat yang berpenghasi lan rendah baik
yang berada di desa maupun di kota. Bantuan ini digunakan
untuk pembangunan gedung Puskesmas, Puskesmas pembantu serta
pembangunan rumah dokter dan paramedis. Di samping itu juga
digunakan untuk pengadaan Puskesmas keliling dan obat-obatan, pengadaan air bersih di pedesaan serta rehabilitasi gedung puskesmas dan puskesmas pembantu. Dalam tahun 1982/83
bantuan pembangunan ini adalah sebesar Rp.80,3 milyar dan
dalam tahun 1985/86 meningkat menjadi sebesar 4.110,6 mil yar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 untuk bantuan kesehatan
ini dianggarkan sebesar 4.76,3 milyar.
Guna membantu para pedagang kecil golongan ekonomi lemah
yang sebagian besar berpenghasilan rendah, melalui bantuan
pembangunan dan pemugaran pasar diberikan kredit dengan sya rat ringan kepada Pemerintah daerah untuk menyediakan tempat
berjualan/pasar dengan sewa semurah mungkin. Apabila dalam
tahun 1982/83 bantuan pembangunan dan pemugaran pasar sebesar
Rp.4,5 milyar, dalam tahun pertama Repelita IV bantuan terse but telah meningkat menjadi sebesar Rp.25,5 milyar. Sedangkan
dalam tahun 1987/88 untuk bantuan pembangunan dan pemugaran
pasar dianggarkan sebesar Rp.3,0 milyar.
Selanjutnya untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah, hutan dan air, khususnya di daerah krit is
sejak tahun 1976/77 telah diberikan bantuan penghijauan dan
reboisasi. Pada tahun 1982/83 realisasi bantuan penghijauan
dan reboisasi ini mencapai sebesar Rp.49,6 milyar, dan dalam
tahun 1985/86 meningkat menjadi sebesar Rp.42,5 milyar. Da lam tahun 1987/88 bantuan penghijauan ini dianggarkan sebesar Rp.16,2milyar.
Bantuan penunjangan jalan dan jembatan yang diberikan
sejak tahun 1979/80 ditujukan untuk memperlancar pengangkutan
dan arus distribusi serta menunjang proyek-proyek pembangunan
di daerah. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan ini menca pai jumlah sebesar Rp.42,4 milyar, kemudian meningkat menjadi
sebesar Rp.101,1 milyar dalam tahun 1984/85. Dalam tahun
1987/88 bantuan penunjangan jalan dan jembatan ini dianggar kan sebesar Rp.130,0 milyar.
212
Selain pembiayaan sektoral dan regional, terdapat pula
pembiayaan lainnya yang terdiri dari subsidi pupuk, Penyertaan Modal Pemerintah dan lain-lain pembiayaan. Dalam tahun
1982/83
realisasi
pembiayaan
lainnya
mencapai
sebesar
Rp.1.083,4 milyar, kemudian dalam tahun 1984/85 meningkat
menjadi
sebesar
Rp.1.542,6 milyar.
Dalam
tahun
1987/88
pembiayaan lainnya dianggarkan sebesar 4.395,9 milyar.
Pemberian subsidi pupuk yang dilakukan sejak tahun
1973/74 dimaksudkan untuk mempertahankan harga pupuk (termasuk insektisida) yang stabil pada tingkat harga yang dapat
dijangkau oleh masyarakat petani, yang pada gilirannya diha rapkan akan dapat menunjang peningkatan produksi pertanian
dan
memantapkan
program swasembada
pangan.
Dalam
tahun
1982/83 realisasi subsidi pupuk mencapai jumlah sebesar
Rp.731,6 milyar. Dalam tahun 1987/88 subsidi pupuk ini di anggarkan sebesar Rp.203,5 milyar.
Sementara itu Penyertaan Modal Pemerintah yang dalam
tahun 1982/83 mencapai jumlah sebesar Rp.336,6 milyar, dalam
tahun 1985/86 telah meningkat menjadi sebesar Rp.412,3 milyar. Namun demikian mengingat keadaan keuangan negara yang
lebih ketat, dalam tahun 1987/88 untuk Penyertaan Modal Pemerintah ini dianggarkan sebesar Rp.83,4 milyar, yang antara
lain dialokasikan pada kredit pemilikan rumah (KPR) BTN dan
proyek Otorita Pengembangan Proyek Asahan. Penyertaan Modal
Pemerintah dalam perusahaan-perusahaan negara yang bergerak
di berbagai bidang usaha dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
pengembangan dunia usaha, khususnya badan usaha mink negara,
melalui bantuan likuiditas untuk investasi dan modal kerja.
Jumlah pengeluaran untuk Penyertaan Modal Pemerintah dalam
beberapa tahun ini makin menurun berhubung dengan terbatasnya
keuangan negara. Berbagai badan usaha negara tersebut diha rapkan dapat memperoleh dana investasi dan modal kerja dari
sumber-sumber keuangan lainnya, antara lain dari sektor perbankan.
Lain-lain pembiayaan dalam tahun 1982/83 mencapai jumlah
sebesar Rp.326,7 milyar, dan dalam tahun 1986/87 jumlah ter sebut meningkat menjadi sebesar Rp.514,1 milyar. Dalam tahun
1987/88 untuk lain-lain pembiayaan lainnya ini dianggarkan
sebesar Rp.109,0 milyar. Lain-lain pembiayaan ini digunakan
untuk membiayai berbagai program pada bidang-bidang yang mendapat prioritas utama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, antara lain program Keluarga Berenca -
213
na, proyek pengembangan statistik dan sensus penduduk, serta
proyek perumahan rakyat, dan lain-lain.
Selain dialokasikan pada sektor regional dan pembiayaan
lainnya, pengeluaran pembangunan dialokasikan pula secara
sektoral pada berbagai sektor pembangunan. Pengeluaran pembangunan secara sektoral ini terdiri dari pengeluaran pem bangunan di luar bantuan proyek dan pengeluaran bantuan pro yek. Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek secara
sektoral dialokasikan ke sektor-sektor sesuai dengan prioritas pembangunan. Sementara itu pengeluaran pembangunan berupa
bantuan proyek yang berfungsi sebagai pelengkap pembiayaan
pembangunan dialokasikan pula pada berbagai sektor-sektor
produktif agar dapat menunjang upaya pengkokohan landasan
pembangunan nasional. Dalam tahun 1987/88 tanpa mengabaikan
sektor-sektor pembangunan lainnya, pengeluaran pembangunan
secara sektoral diprioritaskan pada sektor perhubungan dan
pariwisata sebesar Rp.1.288,1 milyar, sektor pertanian dan
pengairan sebesar Rp.1.180,7 milyar, sektor pertambangan dan
energi sebesar Rp.1.129,1 milyar, sektor pembangunan daerah,
desa, dan kota sebesar Rp.873,7, sektor pertahanan dan kea manan nasional sebesar Rp.510,0 milyar. Hal tersebut di atas
dapat dilihat pada Tabel IV-8, Tabel IV-9, Tabel IV-10 dan
Tabel IV-11 serta Grafik IV-8 dan Grafik IV-9.
C.
PERKEMBANGAN MONETER.
1. Kebijaksanaan Moneter.
Sebagaimana ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara, tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk menunjang
tercapainya kemantapan stabilitas ekonomi serta kegiatan pembangunan nasional guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Pe laksanaan kebijaksanaan tersebut pada dasarnya dilakukan melalui pengendalian jumlah uang beredar agar ketiga unsur pada
Trilogi Pembangunan dapat diupayakan secara serasi.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka melalui kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983. telah diambil langkah yang
mendasar berupa deregulasi di bidang perbank an yang menyangkut perkreditan dan pengerahan dana. Kebijaksanaan di bidang
perkreditan pada dasarnya ditekankan pada pengurangan penye diaan kredit likuiditas Bank Indonesia dan penghapusan pagu
perkreditan serta pemberian kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan sendiri kebijaksanaan perkreditan -
214
TABEL IV - 10
REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
No.
Sektor dan Sub Sektor
1982/83
1983/84
1984/85
1985/86
SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN
830,2
Sub Sektor Pertanian
563,5
757,7
532,1
1.227,0
968,2
957,3
591,8
Sub Sektor Pengairan
266,7
225,6
258,8
SEKTOR INDUSTRI
160,6
266,8
132,6
Sub Sektor Industri
260,6
266,8
132,6
SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI
270,8
313,1
293,7
1986/87
1987/881)
1.
2.
3.
Sub Sektor Pertambangan
4.
5.
6.
7.
8.
9.
215
653,2
624,9
537,1
435,3
116,1
189,6
461,9
32,0
37,3
461,9
32,0
37,3
1684
311,1
365,5
333,6
18,7
41,2
35,7
58,9
16,9
30,9
Sub Sektor Energi
252,1
271,9
258,0
274,7
169,5
280,2
SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA
543,7
638,6
827,7
796,5
402,6
453,6
Sub Sektor Prasarana Jalan
320,1
305,4
459,6
470,9
261,2
278,8
Sub Sektor Perhubungan Darat
Sub Sektor Perhubungan Laut
48,6
79,6
56,4
97,0
48,0
68,8
86,0
129,5
154,4
114,9
31,0
42,5
Sub Sektor Perhubungan Udara
76,7
101,5
129,3
87,1
48,7
53,7
Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi
6,8
6,6
10,8
16,9
6,4
1,6
Sub Sektor Pariwisata
5,5
16,0
17,2
9,7
7,3
8,2
SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI
131,8
180,1
340,4
50,9
127,3
30,0
Sub Sektor Perdagangan
93,1
158,2
313,9
45,8
110,5
19,4
Sub Sektor Koperasi
38,7
21,9
26,5
45,1
16,8
10,6
SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
421 0
411,2
345,9
629,5
169,2
85,0
Sub Sektor Tenaga Kerja
46,0
57,8
56,2
83,8
26,9
22,4
Sub Sektor Transmigrasi
375,0
353,4
289,7
545,7
142,3
62,6
DAN KOTA
708,7
741,9
789,8
842,3
414,3
Sub Sektor Pembangunan Daerah,
Desa dan Kota
708,7
741,9
789,8
842,3
914,3
SEKTOR AGAMA
50,8
54,0
59,8
76,6
38,7
Sub Sektor Agama
50,8
54,0
59,8
76,6
38,7
14,1
SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA,
KEBUDAYAAN NASIONAL, DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA
679,0
1.003,7
1.051,4
1.354,3
838,8
278,8
Sub Sektor Pendidikan Umum dan
Generasi Muda
604,6
923,0
951,4
1.213,7
757,4
246,4
Sub Sektor Pendidikan Kedinasan
54,8
60,7
70,3
100,3
63,9
25,9
Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa
19,6
20,0
29,7
40,3
17,5
6,5
SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH, DESA
869,6
869,6
14,1
(Lanjutan Tabel IV – 10)
1)
2)
216
Angka APBN
Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah
GRAFIK IV – 8
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1982/83 – 1987/88
217
TABEL IV – 11
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR
1982/83 – 1987/88
(milyar rupiah)
218
(Lanjutan Tabel IV – 11)
*) Angka APBN
219
G R AF I K I V - 9
REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR.
1982/83 1997/86
220
nya, dengan tetap memperhatikan azas-azas pemberian pinjaman
yang sehat. Kredit likuiditas hanya disediakan untuk pembia yaan kredit berprioritas tinggi. Untuk kredit lainnya tidak
disediakan likuiditas, akan tetapi bank dalam hal ini diberi
kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga kredit. Dalam
menghimpun dana, perbankan diberi kebebasan untuk menentukan
sendiri suku bunga deposito. Tujuan pokok paket kebijaksanaan
moneter bulan Juni tahun 1983 adalah mendorong bank -bank untuk dapat secara mandiri mengerahkan dana masyarakat sehingga
dapat mengurangi ketergantungan bank-bank akan dana murah
dari Bank Indonesia, sekaligus menyalurkan data tersebut dalam perkreditan secara efektif dan efisien.
Dengan dihapuskannya penentuan pagu kredit, pengendalian
jumlah uang beredar tidak lagi dilaksanakan secara langsung,
tetapi lebih mengutamakan penggunaan sarana tidak langsung,
seperti operasi pasar terbuka, penetapan cadangan wajib, fa silitas diskonto dan pengarahan oleh Bank Indonesia (moral
suasion). Dalam rangka penyempurnaan sarana operasi pasar
terbuka, maka Bank Indonesia pada bulan Pebruari 1984 mener bitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan pada bulan Pebruari 1985 memperkenalkan penggunaan sarana Surat Berharga
Pasar Uang (SBPU). Sementara itu, fasilitas diskonto yang diperkenalkan pada tanggal 1 Pebruari 1984 merupakan suatu sumber likuiditas dari Bank Indonesia dalam fungsi utamanya
sebagai "lender of the last resort", sebagai jalan terakhir
bagi bank-bank untuk mengatasi kesulitan dana yang bersifat
sementara.
Pelaksanaan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 telah memberikan hasil yang sangat menggembirakan sebagaimana terlihat
pada tingginya peningkatan jumlah dana yang dapat dihimpun
oleh perbankan pada periode sampai dengan tahun 1987/88. Na mun kebijaksanaan yang membawa dampak berupa kenaikan suku
bunga deposito tersebut pada gilirannya juga ikut meningkat kan suku bunga pinjaman. Agar suku bunga yang tinggi tidak
merupakan faktor penghambat kegiatan investasi, maka salah
satu sasaran kebijakan moneter setelah deregulasi perbankan
adalah mengupayakan penurunan suku bunga sampai ke tingkat
yang tidak mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan
tidak mendorong terjadinya pengaliran modal ke luar negeri.
Untuk itu, usaha penurunan suku bunga pinjaman telah dilaksanakan pada tahun 1985/86 melalui penurunan tingkat diskonto
SBI dan Fasilitas Diskonto Berta tingkat diskonto-ulang SBPU.
Dalam tahun 1986/87 ditempuh kebijaksanaan moneter yang
221
berhati-hati dalam memantapkan dan mempertahankan tingkat
suku bunga, yang pada tahun sebelumnya telah beberapa kali.
diarahkan penurunannya. Kebijaksanaan ini ditempuh tidak saja
untuk tetap dapat mendorong kegiatan perekonomian dan pengerahan dana, tetapi juga untuk mendukung usaha-usaha perbaikan
posisi neraca pembayaran. Dalam tahun 1986 harga minyak bumi
merosot sampai pada tingkat di bawah US$ 10,00 per barrel
pada bulan Agustus 1986. Untuk menghindari lebih memburuknya
keadaan neraca pembayaran, pada tanggal 12 September 1986 dilakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sebesar 31%. Sementara itu, untuk lebih mendukung usaha
perbaikan neraca pembayaran, sebagai upaya penyempurnaan
langkah devaluasi telah ditempuh Paket Kebijakan 25 Oktober
1986 yang antara lain menghapus ketentuan pagu swap ke Bank
Indonesia agar dapat mendorong pemasukan dana dari luar negeri.
Pada awal tahun 1987/88 kemampuan sarana moneter un tuk
memelihara kestabilan telah diuji oleh peningkatan pembelian
devisa dalam jumlah yang jauh melebihi kebutuhan transaksi
yang produktif. Misalnya pembelian devisa dalam bulan September 1986, Nopember 1986 dan Desember 1986, masing-masing mencapai US$ 185,- juta, US$ 260,- juta dan US$ 1.809,- juta
sedang pada bulan Januari 1987, Pebruari 1987, Maret 1987 dan
April 1987, masing-masing mencapai US$ 481,- juta, US$ 103,juta, US$ 133,- juta dan US$ 234,- juta. Untuk mengatasi dampak negatif dari spekulasi tersebut terhadap kestabilan moneter, serta untuk memelihara iklim berusaha yang sehat dan
menjaga kemantapan neraca pembayaran, maka pada tanggal 8 Mei
1987 Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah di bidang
moneter dengan menaikkan suku bunga SBI, SBPU, dan fasilitas
diskonto, yang dilanjutkan dengan menaikkan suku bunga SBI
dan SBPU jangka pendek tanggal 12 Juni 1987. Pelaksanaan ke bijaksanaan suku bunga ini, nampaknya kurang efektif untuk
mengatasi spekulasi di bursa. Sehubungan dengan ini, maka
pada tanggal 18 Juni 1987 diambil pula tindakan berupa pemindahan dana deposito berjangka beberapa Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) pada perbankan untuk ditanamkan dalam SBI. Di
samping itu, telah pula dilakukan penurunan pagu SBPU bankbank serta pembaharuan tata cara perdagangan SBI dan SBPU.
Langkah-langkah untuk mengatasi tindakan spekulasi tersebut
mengakibatkan berkurangnya likuiditas sehingga menyebabkan
kenaikan dengan tajam suku bunga pinjaman antar bank, dan
suku bunga deposito berjangka. Namun, kenaikan suku bunga
tersebut telah menyebabkan terjadinya arus balik dollar
kepada Bank Indonesia mulai minggu terakhir bulan Juni 1987,
222
sehingga menurunkan tekanan terhadap neraca pembayaran. Dalam
pada itu, peningkatan penjualan devisa kepada Bank Indonesia
menyebabkan bertambahnya likuiditas rupiah dalam perekonomian
sehingga mendorong terjadinya penurunan suku bunga deposito
berjangka yang pada gilirannya menurunkan suku bunga pinjaman .
Sementara itu, dalam rangka menyempurnakan dan mendorong pe laksanaan operasi pasar terbuka, maka mulai tanggal 23 Juli
1987 transaksi SBI dan SBPU dilaksanakan dengan sistem lelang
secara harian dengan penetapan tingkat bunga sesuai dengan
suku bunga pasar. Perbandingan antara tingkat kenaikan harga
dengan tingkat pertambahan jumlah uang beredar selama periode
1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV -12 dan Grafik
IV-10.
Langkah-langkah tersebut diatas telah dapat memperbaiki
posisi cadangan devisa dari US$ 5,1 milyar bulan Maret 1987
menjadi US$. 5,4 milyar pada bulan Juni 1987 dan US$. 6,3
milyar pada bulan September 1987.
2.
Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Faktor -faktor
Penyebab Perubahannya.
Selama periode 1982/83-1987/88, perkembangan moneter ditandai oleh adanya pengaruh menambah dari sektor aktiva luar
negeri dan dari sektor pemberian kredit perbankan. Sektor pemerintah yang dalam tahun 1982/83 dan 1983/84 memberikan
pengaruh mengurang, dalam 3 tahun terakhir memberikan penga ruh menambah. Pengaruh menambah sektor pemerintah ini diimbangi oleh adanya pengaruh mengurang dari aktiva bersih lainnya. Sementara itu, uang kuasi terus menunjukkan pengaruh
mengurang yang cukup besar.
Jumlah uang beredar (Ml) pada akhir Desember 1987 menca pai Rp.12.242 milyar dibandingkan dengan Rp.7.380 milyar pada
akhir Maret 1983. Perkembangan tiap tahun dalam lima tahun
terakhir 1983/84 s/d 1987/88 (s/d Desember 1987) masing-masing adalah 9,2%, 11,6%, 16,5%, 9,8% dan 6,5%; atau rata-rata
10,7% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 28,9% per tahun
pada 5 tahun sebelumnya. Perkembangan uang beredar yang relatif ketat ini mencerminkan upaya Pemerintah untuk memperbaiki
dan menjaga kemantapan neraca pembayaran dengan tetap menjaga
kestabilan harga yang tercermin pada rendahnya tingkat inflasi yang mencapai 12,63% pada tahun 1983/84 dan 3,64%, 5,66%
dan 8,83% tiga tahun berikutnya serta mencapai 7,37% pada
tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987), atau rata-rata
7,63% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 13,00% per tahun dalam periode 5 tahun sebelumnya. Perkembangan tingkat
223
TABEL IV- 12
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN
TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH ,UANG BEREDAR,
1982/83 - 1987/8
*) Angka sementara (sampai dengan Desember 1987)
224
GRAFIK IV – 10
PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN
TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR
1982/83 – 1987/88
225
harga yang cukup mantap ini, apabila dibandingkan dengan ke naikan jumlah uang beredar, menunjukkan bahwa masyarakat ma kin cenderung untuk menggunakan likuiditasnya pada berbagai
kegiatan yang produktif.
Sementara itu, likuiditas perekonomian (M2) yang terdi ri dari uang beredar (M1) dan uang kuasi dalam lima tahun
anggaran terakhir masing-masing naik dengan 28,7% pada tahun
1983/84; 23,4% tahun 1984/85; 24,3% tahun 1985/86; 17,9%
tahun 1986/87; dan 19,6% tahun 1987/88; atau naik rata-rata
22,8% per tahun dibandingkan dengan 28,5% rata-rata per tahun
pada 5 tahun sebelumnya (sampai dengan tahun 1982/83). Lebih
rendahnya kenaikan likuiditas perekonomian tersebut disebab kan oleh melambatnya kenaikan uang beredar (M1), sedangkan
uang kuasi menunjukkan kenaikan yang relatif tinggi, yaitu
rata-rata 35,2% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 28,5%
per tahun pada periode 5 tahun sebelumnya.
Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang
beredar, sektor aktiva luar negeri dalam periode 5 tahun anggaran terakhir memberikan pengaruh menambah, yaitu sebe sar Rp.3.299 milyar pada tahun 1983/84; Rp.2.935 milyar pada
tahun 1984/85, Rp.1.071 milyar pada tahun 1985/86, Rp.2.344
milyar pada tahun 1986/87; dan Rp.2.110 milyar pada tahun
1987/88 (s/d Desember 1987). Pengaruh menambah dari sektor
luar negeri dalam 3 tahun pertama tersebut merupakan hasil
dari berbagai usaha Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan
devisa dari ekspor khususnya ekspor nonmigas, yang merupakan
dampak positif dari devaluasi 31 Maret 1983, serta penghema tan dan penggunaan devisa secara lebih terarah. Pengaruh
menambah sektor luar negeri dalam tahun 1986/87 sebesar
Rp.2.344 milyar terutama karena pengaruh penilai an kembali
aktiva luar negeri bersih sebesar Rp.6.079 milyar sehubungan
dengan perubahan nilai tukar rupiah karena devaluasi pada
bulan September 1986. Sementara itu, pengaruh menambah dalam
tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987) yang cukup besar
tersebut selain karena adanya pemasukan modal dari luar, juga
disebabkan oleh meningkatnya ekspor, terutama ekspor nonmi gas. Dapat dicatat bahwa tindakan menaikkan suku bunga alatalat moneter dan pemindahan dana BUMN dari perbankan ke dalam
SBI dan SBPU sebagai langkah untuk mengatasi terjadinya spe kulasi valuta asing pada triwulan I 1987/88, telah menyebab kan arus balik devisa ke Bank Indonesia, yang kemudian ikut
membantu terjadinya pengaruh menambah dari sektor luar negeri .
Sektor Pemerintah memberikan pengaruh mengurang sebesar
226
Rp.2.335 milyar pada tahun 1983/84 dan Rp.3.004 milyar pada
tahun 1984/85, terutama berkaitan dengan usaha penghematan
yang dilakukan pemerintah antara lain melalui penjadwalan
kembali beberapa proyek pemerintah. Dalam tahun 1985/86, sektor ini memberikan pengaruh menambah sebesar Rp.1.142 milyar
karena berkaitan erat dengan penyesuaian hubungan keuangan
antara berbagai badan usaha milik negara dengan perbankan.
Pada tahun 1986/87 sektor pemerintah memberikan pengaruh
mengurang sebesar Rp.1.475 milyar yang terutama disebabkan
oleh penilaian kembali rekening pemerintah sebesar Rp.1.866
milyar karena devaluasi pada tanggal 12 September 1986. Dalam
tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987), sektor pemerin tah memberikan pengaruh menambah sebesar Rp.l.878 milyar yang
terutama disebabkan oleh adanya pemisahan penatausahaan pin jaman komersial luar negeri sebesar Rp.1.725 milyar pada Sep tember 1987 yang semula dicatat dalam rekening pemerintah di pindahkan ke pos aktiva lainnya. Perubahan penatausahaan tersebut tidak mempunyai dampak moneter, melainkan hanya merupa kan pergeseran dalam faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah
uang beredar.
Dalam pada itu tagihan kepada lembaga/perusahaan dan per
orangan merupakan faktor paling dominan yang menyebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dalam 5
tahun anggaran terakhir masing-masing sebesar Rp.2.636 milyar
pada tahun 1983/84, Rp.3.465 milyar pada tahun 1984/85,
Rp.3.834 milyar pada tahun 1985/86, Rp.5.567 milyar pada ta hun 1986/87, dan Rp.5.158 milyar pada tahun 1987/88 (sampai
dengan Desember 1987). Pengaruh menambah dari sektor tersebut
terutama disebabkan terdapatnya peningkatan jumlah pemberian
kredit yang cukup besar, termasuk pertambahan kredit untuk
pengusaha golongan ekonomi lemah dan kredit ekspor. Kenaikan
pemberian kredit tersebut selain berkaitan dengan usaha penu runan suku bunga pada tahun 1985/86 juga disebabkan oleh
meningkatnya usaha perbankan dalam membiayai kebutuhan modal
kerja dan investasi dunia usaha.
Uang kuasi yang terus meningkat dalam 5 tahun anggaran
terakhir telah memberikan pengaruh mengurang yang cukup besar
terhadap uang beredar. Kenaikan uang kuasi tersebut adalah
sebesar Rp.2.836 milyar pada tahun 1983/84, Rp.2.755 milyar
pada tahun 1984/85, Rp. 3.234 milyar pada tahun 1985/86,
Rp.3.298 milyar pada tahun 1986/87, dan Rp.3.442 milyar pada
tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987). Kenaikan uang
kuasi yang cukup besar ini merupakan dampak dari deregulasi
227
di bidang perbankan melalui kebijakan moneter 1 Juni 1983.
Dapat dikemukakan bahwa dalam tahun 1987/88 kenaikan uang
kuasi dalam triwulan II adalah sebesar Rp.2.006 milyar yang
terutama disebabkan oleh meningkatnya suku bunga deposito
berjangka sebagai pengaruh dari langkah-langkah untuk mengatasi kegiatan spekulasi dalam valuta asing antara lain dengan
menaikkan suku bunga beberapa sarana moneter pada bulan Mei
dan Juni 1987. Meningkatnya uang kuasi tersebut mencerminkan
kokohnya kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah.
Sementara itu, dalam 5 tahun terakhir aktiva bersih,
lainnya menunjukkan pengaruh mengurang sebesar Rp.88 milyar
pada tahun 1983/84, pengaruh menambah sebesar Rp.292 milyar
pada tahun 1984/85, pengaruh mengurang sebesar Rp.1.326 mil yar
pada
tahun
1985/86
dan
pengaruh
mengurang
sebesar
Rp.2.113 milyar pada tahun 1986/87 yang terutama berhubungan
dengan penilaian kembali nilai tukar rupiah sebesar Rp.l.447
milyar karena devaluasi pada tanggal 12 September 1986 serta
pengaruh mengurang sebesar Rp.4.962 milyar pada tahun 1987/88
(sampai dengan Desember 1987) yang berkaitan erat dengan ter dapatnya pemisahan penatausahaan pembukuan pinjaman komersial
luar negeri dari rekening pemerintah ke dalam pos aktiva lain nya.
Perkembangan jumlah uang beredar serta sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar selama periode 1982/83-1987/88 dapat
diikuti pada Tabel IV-13, Grafik IV-11 dan Tabel IV-14.
3. Dana Perbankan
a. Kebijaksanaan Dana Perbankan
Kecenderungan menurunnya tabungan pemerintah terutama
karena merosotnya harga ekspor minyak menyebabkan usaha pengerahan tabungan masyarakat menjadi semakin penting sejak
awal Repelita IV. Dalam rangka ini maka pada bulan Juni 1983
telah dikeluarkan paket kebijaksanaan moneter yang memberikan
kebebasan yang lebih besar kepada perbankan dalam kegiatannya
untuk menghimpun dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana
tersebut keberbagai kegiatan yang menunjang pembangunan. Paket kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 tersebut antara lain
meliputi langkah yang memperbolehkan perbankan untuk mener bitkan bilyet deposito berjangka atas nama dan atas unjuk
yang dapat diperpanjang secara otomatis. Sebagai kelanjutan
paket kebijaksanaan Juni 1983, maka sejak 1 Juli 1987 telah
228
TABEL IV - 13
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR,
1982/83 - 1987/88
(milyar rupiah)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
Jumlah
Uang
Beredar
Jumlah
Uang Kartal
%
Jumlah
%
Mutasi
Uang
Beredar
1982/83
7.380
3.001
41
4.379
59
605
8,9
1983/84
8.055
3.554
44
4.501
56
675
+ 9,2
1984/85
Triwulan I
8.988
8.183
3.785
42
5.203
58
4.136
4.320
51
934
128
+11,6
49
46
54
- 222
- 2,7
4.869
57
620
+ 7,8
Triwulan I I
7.961
4.047
3.641
Triwulan III
Triwulan IV
8.581
3.712
1985/86
Triwulan I
Uang Giral
8.988
3.785
43
42
5.203
58
407
10.475
5.044
48
5.431
52
1.487
9.428
Persentase Perubahan
Tahun
Triwulan
Bulan
+ 1,6
4,7
+16,5
5.152
55
9.414
10.104
4.276
4.268
4.440
45
T r i w u l a n II
Triwulan I I I
45
44
5.146
5.664
55
56
Triwulan IV
10.475
5.044
48
5.431
52
372
11.500
5.673
49
5.827
51
1.025
Triwulan I
10.355
4.834
47
5.521
- 1,2
11.192
5.173
46
6.019
53
54
- 120
Triwulan I I
837
+ 8,1
Triwulan I I I
Triwulan IV
11.677
5.338
46
6.339
54
485
11.500
5.673
49
5.827
51
- 177
1987/88 *)
April
12.242
11.585
5.740
5.574
47
48
6.502
6.011
55
52
742
85
Mei
Juni
12.354
11.588
6.181
5.624
50
49
6.173
5.964
50
51
769
- 766
Triwulan I
11.588
5.624
49
5.964
51
Juli
11.540
48
6.012
52
- 48
- 0,4
Agustus
September
11.688
11.972
5.528
5.516
47
53
+ 1,3
+ 2.4
1986/87
-
439
+ 4,9
14
690
- 0,2
+ 7,3
88
5.605
47
6.172
6.367
53
148
284
11.972
5.605
47
6.367
53
384
Oktober
Nopember
12.034
12.105
5.624
5.647
47
47
6.410
6.458
53
53
62
71
Desember
Triwulan I I I
12.242
12.242
5.740
47
137
47
6.502
6.502
53
5.740
53
270
Triwulan I I
+ 3,7
+
9,8
+ 4,3
- 1,5
+6,5
+ 0,7
+ 6,6
- 6,2
+0,8
+ 3.3
+ 0,5
+ 0.6
+ 1,1
+ 2,3
*) Angka sement ara ( s a m p a i dengan Desember 1987)
229
GRAFIK IV – 11
PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR
1982/83 – 1987/88
230
TABEL IV – 14
SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR
1982/83 – 1987/88 1)
(milyar rupiah)
1) Sampai dengan Desember 1987
2) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar
Rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Maret 1983, masing-masing
Sebesar Rp. 1.962,50 pada sector luar negeri Rp. 237,3 milyar pada sector Pemerintah,
Rp. 294,3 milyar pada sector kegiatan perusahaan, Rp. 1.399,4 milyar pada sector lain-lain dan
Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi)
3) Termasuk kenaikan saldo rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah tanggal
12 September 1986, masing-masingsebesar Rp. 6.079 milyar pada Aktiva Luar Negeri, Rp. 1.866 milyar
pada Sektor Pemerintah, Rp. 1 milyar pada Tagihan kepada Lembaga/Perusahaan Pemerintah, Rp. 354 milyar
pada Tagihan kepada Perusahaan Swasta dan Perorangan, Rp. 3.121 milyar pada sector Lainnya dan
Rp. 1.447 milyar pada Uang Kuasi
4) Angka revisi
5) Angka Sementara
231
diberlakukan suku bunga tunggal sebesar 15% setahun untuk Tabanas yang sebelumnya ditetapkan 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp.1 juta dan 12% setahun untuk saldo
tabungan di atas Rp.1 juta. Dalam bidang kelembagaan, usaha
meningkatkan jumlah bank penyelenggara Tabanas dan Taska serta bank penerbit sertifikat deposito terus dilakukan. Upaya
peningkatan pengerahan dana melalui tabungan jug dilakukan
dengan memperkenalkan jenis tabungan baru yang dikenal seba gai Simpedes (Simpanan pedesaan) sejak tahun 1984. Hasil
upaya ini nampak dari peningkatan yang cukup tinggi dalam
waktu singkat dari Simpedes yang pada bulan September 1987
mencapai Rp.144,0 milyar dibanding dengan posisinya sebesar
Rp.136 juta pada bulan Nopember 1984. Masih dalam rangka
langkah-langkah untuk lebih menggalakkan kegiatan menghimpun
tabungan masyarakat maka kebijaksanaan untuk menangguhkan pelaksanaan pemungutan PPh (Pajak Penghasilan) atas pendapatan/
suku bunga deposito berjangka tetap diberlakukan.
Dalam rangka penyempurnaan pasar uang yang selanjutnya
dimaksudkan untuk mengembangkan serene moneter dalam bentuk
operasi pasar terbuka, maka sejak 1 Pebruari 1984 Bank Indo nesia telah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) se dangkan sejak 1 Pebruari 1985 kepada perbankan dan LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank) juga telah diberikan kesempatan untuk memperdagangkan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang).
b. Perkembangan Dana Perbankan
Pengerahan dana masyarakat melalui perbankan selama
periode tahun 1982/83-1987/88 menunjukkan perkembangan yang
cukup mengesankan. Posisi dana perbankan yang terdiri atas
giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah mau pun valuta asing, pada tahun 1982/83 berjumlah Rp.10.190,7
milyar sedangkan pada tahun 1987/88 (akhir Desember 1987)
telah mencapai 4.29.006,7 milyar suatu peningkatan sebesar
rata-rata 23,3% setahun. Kenaikan tersebut terjadi pada giro
yang meningkat dari Rp.5.914,4 milyar pada tahun 1982/83 men jadi Rp.8.717,2 milyar pada tahun 1987/88atau naik rata-rata
8,1% setiap tahun. Deposito, dan tabungan yang pada tahun
1982/83 berjumlah Rp.3.737,2 milyar dan Rp.539,1 milyar telah
meningkat masing-masing dengan rata-rata 38,1% dan 23,2% setiap
tahunnya
sehingga
menjadi
Rp.18.759,7
milyar
dan
Rp.1.529,8 milyar pada tahun 1987/88 (per akhir triwulan
III). Peranan giro dalam periode tersebut menunjukkan penurunan dari 58,1% pada tahun 1982/83 menjadi 30,1% pada tahun
232
1987/88. Sedangkan peranan deposito dan tabungan masing-masing adalah sebesar 36,7% dan 5,2% pada tahun 1982/83 serta
64,7% dan 5,2% pada tahun 1987/88 (Desember 1987). Perkembangan dana perbankan dari tahun 1982/83 sampai dengan tahun
1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-15.
Dari jumlah giro yang dapat dihimpun perbankan selama
periode 1982/83-1987/88, maka giro rupiah telah meningkat
dari Rp.4.322,8 milyar pada tahun 1982/83 menjadi Rp.7.530,5
milyar pada tahun 1987/88 (sampai dengan akhir triwulan III),
atau naik dengan rata-rata 11,7% setahun. Sebaliknya giro
valuta asing telah menurun dari Rp.1.591,6 milyar pada tahun
1982/83 menjadi Rp.1.312,8 milyar pada akhir triwulan III
tahun anggaran 1987/88, suatu penurunan rata-rata sebesar
3,8% setahun. Perkembangan ini menandakan terus membesarnya
kepercayaan masyarakat kepada sistem lalu lintas perbankan di
dalam negeri dan kepada mata uang rupiah pada umumnya.
c.
Perkembangan deposito berjangka rupiah, Tabanas dan
Taska.
Meningkatnya kegiatan pembangunan telah pula meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menabung yang tercermin pada
terus membesarnya jumlah deposito berjangka rupiah dari
Rp.2.407,6 milyar pada tahun 1982/83 menjad i Rp.15.324,2 milyar pada akhir triwulan III tahun 1987/88, suatu kenaikan ra ta-rata setahun sebesar 44,8 %.
Ditinjau dari jangka waktunya, maka telah terjadi beberapa pergeseran sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyara kat akan likwiditas yang tersedia. Deposito berjangka waktu
24 bulan yang mempunyai peranan terbesar (39,4%) pada tahun
1982/83, telah mengalami penurunan yang cukup besar hingga
menjadi 5,0% pada akhir tahun 1987/88 (Desember 1987). Peran an yang semakin meningkat terutama dialami oleh deposito berjangka waktu 3 bulan serta 12 bulan. Peranannya yang masing masing pada akhir tahun 1982/83 hanya sebesar 10,6% dan
13,9%, telah meningkat menjadi 25,7% dan 37,2% pada akhir
triwulan III tahun 1987/88. Perkembangan deposito berjangka
rupiah ini, dapat diikuti pada Tabel IV-16 dan Grafik IV-12.
Sebagai hasil dari langkah-langkah yang telah ditempuh
untuk meningkatkan Tabanas dan Taska, melalui penggalakan
gerakan tabungan dikalangan pemuda, pelajar dan pramuka serta
melalui penambahan jumlah bank penyelenggara, maka pada akhir
233
TABEL IV - 15
PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING,1)
1982/83 - 1987/884)
(milyar rupiah)
Persentase
Perubahan
Akhir Tahun/
Triwulan/Bulan
1982/83
Giro
Deposito2)
Tabungan3)
Jumlah
Perubahan
Tahun
5.914,4
3.737,2
539,2
10.190,7
+1.930,8
+23,4
+3.146,4
+30,9
+3.350,7
+25,1
Triwulan
1983/84
6.350,4
6.348,8
637,9
13.337,1
1984/85
7.187,7
8.726,0
774,1
16.687,8
Triwulan I
6.243,6
6.886,8
688,3
13.818,7
+
481,6
+ 3,6
Triwulan II
6.800,6
7.266,9
638,3
14.705,8
+
887,1
+ 6,4
Triwulan III
6.965,6
7.778,9
753,7
15.498,2
+
792,4
+ 5,4
Triwulan IV
7.187,7
8.726,0
774,1
16.687,8
+1.189,6
7.040,7
12.590,4
1.211,8
20.842,9
+4.155,1
+ 777,1
+1.211,1
+ 6,9
+1.498,4
+ 8,0
1985/86
+ 7,7
+24,9
Triwulan I
6.644,1
9.973,9
846,9
17.464,9
Triwulan II
6.779,6
11.030,6
865,8
18.676,0
Triwulan III
7.427,5
11.726,6
1.020,3
20.174,4
Triwulan IV
7.040,7
12.590,4
1.211,8
20.842,9
7.561,8
14.911,8
1.586,4
24.060,0
Triwulan I
6.948,7
12.660,5
1.245,1
20.854,3
Triwulan II
7.906,4
14.447,2
1.216,5
23.570,1
Triwulan III
8.156,6
13.967,5
1.386,8
23.510,9
-
59,2
- 0,2
Triwulan IV
7.561,8
14.911,8
1.586,4
24.060,0
+
549,1
+ 2,3
1986/87
1987/88
+
+
11,4
8.717,2
18.759,7
1.529,8
29.006,7
7.854,1
15.068,2
1.640,7
24.563,0
+
503,0
M e i
7.917,1
15.351,6
1.634,8
24.903,5
+
340,5
Juni
8.100,0
15.443,1
1.565,7
25.108,8
+
205,3
Triwulan I
8.100,0
15.443,1
1.565,7
25.108,8
Juli
8.124,0
16.351,8
1.435,9
Agustus
8.102,5
17.226,0
1.376,2
September
8.213,0
17.905,0
1.419,2
8.213,0
17.905,0
1.419,2
Oktober
8.441,3
18.205,8
1.468,2
Nopember
8.494,5
18.517,1
1.494,3
8.717,2
18.759,7
1.529,8
29.006,7
8.717,2
18.759,7
1.529,8
29.006,7
Triwulan II
Desember
Triwulan III
+ 3,3
+15,4
+ 0,1
+2.715,8
April
25.911,7
+ 4,7
668,5
+3.217,1
+ 4.946,7
+13,1
+20,6
+ 1.048,8
+
+
2,1
1,4
+
0,8
+ 4,4
+
802,9
+
3,2
793,0
832,4
+
3,1
27.537,1
+
+
+
3,1
27.537,1
+ 2.428,3
28.115,3
+
578,2
+
*
390,6
+
1,4
+
500,8
+
1,8
26.704,7
28.505.9
+ 1.469,6
1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan, termasuk
dana milik Pemerintah Neat dan bukan penduduk
2) Termasuk sertifikat deposito
3) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya, seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH)
234
Bulan
+ 9,7
+ 5,3
2,1
TABEL IV – 16
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN
MENURUT JANGKA WAKTU 1)
1982/83 – 1987/88 2)
(milyar rupiah)
1)
2)
235
Termasuk dana milik Pemerintah dan bukan penduduk, serta sertifikat deposito
Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
GRAFIK IV – 12
PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN,
MENURUT JANGKA WAKTU,
1982/83 – 1987/88
236
triwulan III tahun 1987/88 nilai Tabanas dan Taska telah men capai Rp.1.253,2 milyar dengan 18.226.002 penabung. Dengan
demikian, sejak tahun 1982/83 peningkatan rata-rata dana Tabanas dan Taska adalah sebesar 20,9% setahun sedang jumlah
penabungnya telah meningkat dengan rata-rata 12,3% setahun.
Selama periode yang sama jumlah bank penyelenggara Tabanas
dan Taska telah bertambah dengan 20 buah sehingga menjadi 70
bank pada akhir Desember 1987. Perkembangan Tabanas dan Taska
sejak tahun 1982/83 dapat diikuti pada Tabel IV-17.
d. Perkembangan sertifikat deposito.
Sertifikat deposito merupakan salah satu bentuk surat
berharga jangka pendek yang dapat digunakan bank untuk mangelola dananya secara efisien di samping kegunaannya sebagai
alat penghimpun dana masyarakat. Penerbitan sertifikat depo sito yang dimulai sejak September 1971 dimaksudkan untuk me nunjang upaya pengembangan pasar uang di dalam negeri. Langkah-langkah penting yang telah mempengaruhi perkembangan selanjutnya antara lain adalah kebijaksanaan pada bulan Oktober
1984 yang telah memperluas partisipasi perbankan dari yang
semula hanya bank pemerintah serta bank asing ke mengikutsertaan semua bank umum yang telah dikategorikan sebagai bank
sehat dan cukup sehat. Karena itu, sampai dengan akhir tri wulan III tahun 1987/88 jumlah bank yang telah memperoleh
izin untuk menerbitkan sertifikat deposito adalah 28 bank
yang terdiri dari 5 bank pemerintah, 11 bank asing dan 12
bank swasta nasional. Kebijaksanaan lain yang telah mempengaruhi perkembangan sertifikat deposito adalah penentuan nilai
nominal terkecilnya, yang pada bulan Oktober 1985 dirubah dari Rp.50 ribu menjadi Rp.5 juta. Pada bulan April 1987 jumlah
tersebut diturunkan kembali menjadi Rp.l juta. Perkembangan
penggunaan sertifikat deposito juga telah didorong oleh le bih rendahnya tingkat suku bunga yang harus ditanggung bank
penerbitnya dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang ditanggung bank untuk dana yang dihimpun melalui deposito ber jangka. Dalam pada itu, untuk menjamin agar penggunaan sertifikat deposito tetap diadakan dalam batas-batas kegiatan bank
yang sehat, telah ditetapkan bahwa jumlah nilai sertifikat
deposito yang diterima dari bank lain tidak boleh melebihi
7,5% jumlah nilai pinjaman yang diberikan bank yang bersang kutan kepada nasabahnya.
Posisi sertifikat deposito pada akhir tahun 1982/83 adalah sebesar Rp.102,1 milyar dan pada tahun-tahun berikutnya
237
TABEL IV - 17
PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1)
1982/83 - 1987/88
T A S K A
TABANAS
J u m l a h
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
Penabung
1982/83
10.186.110
483.488
16.532
303
10.202.642
483.791
1983/84
11.474.295
575.672
17.263
357
11.491.558
576.029
1984/85
Posisi
(juta
rupiah)
Penabung
Posisi
(juta
rupiah)
Penabung
12.984.237
699.312
16.893
566
13.001.130
699.878
Triwulan I
11.054.840
581.050
19.301
1.296
11.074.141
582.346
Triwulan II
12.032.517
592.633
17.628
659
12.050.145
593.292
Triwulan III
12.424.913
669.598
16.362
452
12.441.275
670.050
Triwulan IV
12.984.237
699.312
16.893
566
13.001.130
699.878
1985/86
17.954
424
15.051.000
Triwulan I
13.208.339
725.458
13.540
308
13.221.879
725.766
Triwulan II
14.021.167
793.846
17.082
370
14.038.249
794.216
Triwulan III
14.711.697
935.621
18.068
357
14.729.765
Triwulan IV
15.033.046
1.059.018
17.954
424
15.051.000
1.059.442
1986/87
15.033.046
1.059.018
1.059.442
935.978
16.729.182
1.285.914
15.854
646
16.745.630
1.286.560
Triwulan I
15.361.855
1.044.949
16.212
377
15.378.067
1.045.326
Triwulan II
16.127.747
1.073.854
18.942
597
16.146.689
1.074.451
Triwulan III
16.379.878
1.217.850
15.502
449
16.395.380
1.218.299
Triwulan IV
16.729.182
1.285.914
15.854
646
16.745.630
1.286.560
1987/882)
18.213.854
1.252.131
12.148
1.075
18.226.002
1.253.206
April
16.715.574
1.289.652
14.843
555
16.730.417
1.290.207
M e i
16.844.071
1.255.092
16.086
580
16.860.157
1.255.672
J u n i
17.081.524
1.212.009
14.550
476
17.096.074
1.212.485
Triwulan I
17.081.524
1.212.009
14.550
476
17.096.074
1.212.485
J u l i
16.968.031
1.169.554
22.351
1.254
16.990.382
1.170.808
Agustus
17.406.374
1.151.600
12.574
494
17.418.948
1.152.094
September
17.272.131
1.175.120
11.520
507
17.283.651
1.175.627
Triwulan II
17.272.131
1.175.120
11.520
507
17.283.651
1.175.627
Oktober2)
17.671.117
1.201.634
11.786
1.032
8.7.682.903
1.202.666
Nopember2)
17.985.662
1.223.023
11.996
1.050
17.997.658
1.224.073
Desember2)
18.213.854
1.252.131
12.148
1.075
18.226.002
1.253.206
Triwulan III
18.213.854
1.252.131
12.148
1.075
18.226.002
1.253.206
1) Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan
dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA.
2) Angka sementara.
238
Posisi
(juta
rupiah)
mengalami kenaikan maupun penurunan sehingga pada akhir tri wulan III tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp.219,5 milyar.
Perkembangan
sertifikat
deposito
selama
periode
1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-18.
4. Perkreditan
a. Kebijaksanaan Perkreditan
Kebijaksanaan pemberian pinjaman perbankan dalam 5 tahun terakhir didasarkan kepada kebijakan moneter 1 Juni 1983
yang lebih mengutamakan pemberian pinjaman yang berasal dari
dana masyarakat melalui pemberian kebebasan yang lebih besar
lagi kepada bank-bank dalam menetapkan suku bunga pinjaman
dan persyaratan lainnya. Dalam kebijaksanaan tersebut pinjaman dikelompokkan ke dalam pinjaman yang berprioritas tinggi
dan pinjaman yang tidak berprioritas tinggi. Penyediaan fasilitas pinjaman berprioritas tinggi dimaksudkan antara lain
untuk menunjang tercapainya sasaran pemerataan pendapatan dan
peningkatan pendapatan dari sektor bukan migas. Bagi pinjam an yang berprioritas tinggi, Bank Indonesia masih menyediakan
fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan pinjaman bank yang bersangkutan kepada nasabahnya. Persyaratan
kredit dan suku bunga pinjaman yang tidak berprioritas tinggi
ditentukan sendiri oleh masing-masing bank dan seluruh dananya berasal dari hasil upaya mobilisasi bank yang bersangkutan.
Dalam usaha mendorong pengembangan kegiatan bagi kontraktor nasional, sejak akhir tahun 1983 bank umum pemerintah
dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dapat memberikan
kredit modal kerja dengan persyaratan yang cukup ringan kepada kontraktor nasional yang memenangkan tender internasio nal. Kredit tersebut dapat digunakan untuk membiayai pro yek-proyek, baik yang dilaksanakan di dalam maupun di luar
negeri. Jumlah maksimum pinjaman adalah 30% dari nilai kontrak proyek dengan suku bunga 9% setahun. Untuk pinjaman
tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas sebesar
70%-80% dengan jangka waktu satu tahun. Selanjutnya fasilitas
pinjaman kepada kontraktor nasional yang semula hanya disediakan bagi yang bergerak di bidang industri jasa konstruksi, sejak Mei 1985 disediakan pula bagi kontraktor nasional
yang bergerak di bidang usaha pekerjaan supervise/konsultan
dan penyediaan barang, baik dalam kedudukannya selaku produ sen, instalator maupun produsen instalator.
239
TABEL IV – 18
PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK *)
1982/83 – 1987/88 2)
(milyar rupiah)
*) Termasuk sertifikat deposito antar-bank
240
Selanjutnya untuk membantu bank-bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sejak bulan Pebruari 1984 Ban k Indonesia
menyediakan fasilitas diskonto I yang dapat digunakan untuk
mengatasi kesulitan dalam pengaturan dana sehari -hari, dan
fasilitas diskonto II untuk menanggulangi kesulitan pendanaan
karena rencana penarikan dana tidak sesuai dengan rencana pe narikan pinjaman jangka menengah/panjang.
Di samping itu, dalam rangka mengembangkan dan mening katkan usaha di pedesaan, fasilitas Kredit Mini dan Midi yang
digolongkan dalam kredit berprioritas tinggi, sejak 1984 te lah disempurnakan menjadi Kredit Umum Pedesaan (Kupedes).
Jumlah maksimum pinjaman Kupedes adalah Rp.1 juta per nasabah
dan dapat digunakan untuk investasi maupun modal kerja. Ada pun suku bunga Kupedes investasi dan modal kerja masing -masing adalah 12% dan 18% per tahun dengan jangka waktu 3 d an 2
tahun.
Dalam rangka lebih meningkatkan hasil ekspor mata dagangan bukan migas, sejak September 1985 Bank Indonesia telah
memberlakukan serangkaian ketentuan yang memperluas pemberian fasilitas kredit ekspor. Kredit ekspor dengan suku bunga
rendah yang sebelumnya hanya diberikan kepada perusahaan na sional, sejak saat itu dapat pula diberikan kepada perusahaan
dalam rangka PMA. Ketentuan kredit ekspor bagi perusahaan
tersebut adalah sama dengan pembiayaan sendiri yang ditetap kan sebesar 30% dari jumlah kebutuhan pembiayaan. Sedangkan
pembiayaan sendiri bagi perusahaan nasional tidak mengalami
perubahan, yakni sebesar 15% dari jumlah kebutuhan pembiaya an. Di samping itu, guna lebih memperluas penyediaan fasili tas kredit ekspor yang semula hanya dapat diberikan oleh bank
umum pemerintah, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan
bank umum swasta nasional devisa, sejak bulan tersebut dapat
diberikan oleh bank asing. Untuk kredit ekspor tersebut Bank
Indonesia menyediakan kredit likuiditas sebesar 70% dengan suku bunga 3,0% per tahun. Di samping itu, dalam rangka membantu eksportir yang memperdagangkan barang-barang ekspor yang
dijual melalui bursa komoditi disediakan pula fasilitas kre dit ekspor.
Selanjutnya dalam upaya mendorong ekspor nonmigas, sejak Oktober 1986 ketentuan pembiayaan sendiri kredit ekspor
bagi perusahaan PMA diturunkan dari 30% menjadi 15% dari ke seluruhan kebutuhan pembiayaan. Pada bulan April 1987 Pemerintah mengubah persyaratan kredit ekspor yang dikaitkan de ngan jenis komoditi primer dan bukan primer. Adapun ketentuan
241
lama tentang suku bunga dan besarnya kredit likuiditas Bank
Indonesia bagi komoditi primer masih tetap dilanjutkan se dangkan bagi komoditi ekspor bukan primer tetap disediakan
fasilitas kredit ekspor dengan persyaratan yang masih cukup
ringan.
Dalam usaha mendukung peningkatan produksi tanaman perkebunan, peningkatan pendapatan petani, serta keberhasilan
program transmigrasi, sejak Juni 1986 di samping mengembang kan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), telah ditetapkan ketentuan tentang kredit investasi untuk mengembangkan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan
dengan program transmigrasi (PIR Trans). Kredit investasi disediakan oleh bank-bank umum nasional dengan ketentuan pemenuhan pembiayaan sendiri nasabah ditetapkan sebesar 35% dari
biaya proyek. Suku bunga pinjaman kepada perusahaan perkebun an ditetapkan sebesar 16% setahun. Suku bunga pinjaman petani
akan diturunkan sesuai dengan ketentuan suku bunga kredit kepada golongan ekonomi lemah. Jangka waktu kredit kebun inti
ditetapkan antara 13-20 tahun termasuk masa tenggang selama
4-7 tahun dan jangka waktu kredit bagi petani peserta ditetapkan antara 9 - 13 tahun tanpa masa tenggang. Kredit likuiditas Bank Indonesia disediakan sebesar 55% dari kebutuhan
kredit dengan suku bunga 6,5% setahun. Selain itu, sejak Ja nuari 1987 pemberian kredit untuk perkebunan besar swasta nasional diperluas tidak hanya untuk membiayai lahan tanaman
yang telah ada tetapi juga untuk usaha perluasan areal kebun
di lokasi-lokasi sekitarnya. Kegiatan yang dibiayai dengan
kredit perkebunan swasta nasional (PSN) meliputi penyediaan
kredit modal kerja dan kredit investasi. Kredit investasi disediakan untuk usaha-usaha intensifikasi, rehabilitasi, peremajaan dan perluasan perkebunan dalam rangka mencapai luas
dengan skala ekonomi minimum baik di areal hak guna usaha
(HGU) lama dan di atas HGU baru. Di samping itu, kredit in vestasi dapat digunakan pula untuk pembangunan unit pengolahan karet, kelapa, kelapa sawit, teh, kopi dan coklat. Khusus
bagi usaha baru, atau perluasan di lokasi kebun lama yang
sudah mencapai skala ekonomi minimum, atau perusahaan yang
pernah menerima kredit PSN, penyediaan dana sendiri nasabah
ditetapkan 30% dari biaya proyek.
Dalam rangka meningkatkan minat penanaman modal dan
untuk lebih mendorong pemilikan saham nasional pada perusahaan PMA, sejak Juni 1986 bank-bank umum pemerintah dan Bank
Pembangunan Indonesia menyediakan kredit modal kerja kepada
242
perusahaan PMA. Perusahaan PMA yang dapat memperoleh pinjaman
tersebut yakni perusahaan yang minimum 75% dari sahamnya di miliki negara dan/atau swasta nasional, atau minimum 51% dari
sahamnya dijual melalui pasar modal, atau minimum 50% saham nya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan sudah
menawarkan minimal 20% dari sahamnya untuk dijual melalui pa sar modal.
Di samping itu dalam rangka meningkatkan kemampuan bankbank untuk mengelola dananya serta membantu nasabah bank yang
dinilai bonafide dan memerlukan bantuan likuiditas yang mendesak, pada bulan Maret 1987 Bank Indonesia memperlonggar ketentuan fasilitas cerukan yang berlaku mulai awal bulan April
1987. Fasilitas cerukan bagi nasabah pinjaman dinaikan dari
5% menjadi 15% dari maksimum pinjaman dan bagi nasabah giro
dari 10% menjadi 15% dari saldo efektif pada saat cerukan
timbul. Jangka waktu cerukan yang semula ditetapkan 7 hari
diperpanjang menjadi 15 hari dan penetapan suku bunganya di serahkan kepada masing-masing bank.
Dalam rangka memberikan kesempatan berusaha yang lebih
luas kepada golongan ekonomi lemah, di samping berbagai fasi litas kredit prioritas yang disediakan sejak 1 Juni 1983
antara lain seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Mo dal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Koperasi, sejak tahun 1984
telah disediakan pula jenis-jenis pinjaman lainnya. Jenis-jenis pinjaman tersebut adalah kredit dalam rangka Keppres No.
29/1984, kredit sampai dengan Rp.75 juta untuk keperluan mo dal kerja dan investasi, dan kredit kepada peternak ayam di
luar kredit program Keppres No. 50/1981. Sejalan dengan usaha
untuk meningkatkan produksi pangan dan peranan Koperasi Unit
Desa (KUD) di bidang perkreditan, telah pula dikeluarkan ke tentuan jenis kredit baru, yakni Kredit Usaha Tani melalui
KUD untuk intensifikasi padi/palawija, yang merupakan fasilitas kredit modal kerja kepada para petani sehubungan dengan
dihentikannya kredit Bimas. Terhadap kredit-kredit tersebut
dikenakan suku bunga yang rendah, jangka waktu yang cukup lama dan bagian pembiayaan sendiri yang ringan.
Dalam usaha mendorong pengembangan usaha golongan ekonomi lemah khususnya di daerah-daerah, sarana Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) yang dibentuk sejak tahun 1978, secara terus menerus dimanfaatkan. PPUK melakukan identifikasi
bidang-bidang usaha atau mata dagangan serta calon-calon pengusaha yang potensial untuk dikembangkan di daerah yang bersangkutan.
243
b. Perkembangan perkreditan.
Perkembangan jumlah kredit perbankan menurut kelompok
bank maupun menurut sektor ekonomi dalam periode 1982/83 1987/88 dapat diikuti masing-masing pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20 dan Grafik IV-13.
Dalam pada itu, kredit langsung Bank Indonesia yang dalam tahun 1982/83 sebesar Rp.2.388 milyar, pada tahun 1984/85
menurun menjadi Rp.938 milyar. Penurunan pembe rian kredit ini
berkaitan erat dengan adanya pengalihan pinjaman Bulog dan
Pertamina yang sebelumnya diberikan langsung oleh Bank Indo nesia. Pada tahun 1986/87 jumlah pinjaman langsung Bank In donesia telah meningkat menjadi Rp.1.173 milyar dan meningkat
lagi menjadi Rp.1.347 milyar pada akhir Desember 1987. Pe ningkatan pinjaman langsung Bank Indonesia ini terutama digu nakan untuk mendorong pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR)
dalam rangka menunjang pembangunan rumah murah.
Apabila dilihat dari kelompok bank, maka Bank Umum Pemerintah mempunyai peranan pemberian pinjaman yang terbesar di bandingkan dengan kelompok bank lainnya. Dalam tahun 1982/83
peranan pinjaman bank umum pemerintah mencapai 64,6% dari seluruh pinjaman perbankan dengan jumlah pinjaman sebesar
Rp.8.854 milyar. Pada akhir Desember 1987 jumlah tersebut
telah meningkat menjadi Rp.22.047 milyar.
Demikian pula peranan bank-bank umum swasta nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Peranannya
yang dalam tahun 1982/83 sebesar 12,6% telah meningkat menjadi 24,6% pada akhir tahun 1987. Dalam hal ini terus menerus
diupayakan untuk mendorong perluasan partisipasi bank swasta
nasional dalam kegiatan mereka membiayai program-program pembangunan.
Dalam pada itu peranan bank asing selama 5 tahun tidak
mengalami perubahan yaitu menyalurkan sekitar 5% dari keselu ruhan kredit perbankan. Jumlah kredit bank asing yang pada
tahun 1982/83 sebesar Rp.737 milyar, pada akhir tahun Desem ber 1987 telah mencapai Rp.1.462 milyar.
Selanjutnya apabila pinjaman perbankan dilihat dari
sektor ekonomi, maka baik pada sektor produksi, perdagangan
maupun sektor lainnya selalu meningkat. Apabila jumlah kredit
pada sektor produksi pada tahun 1982/83 berjumlah Rp.5.832
244
TABEL IV – 19
PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN,
1982/83 – 1987/1988 2)
(milyar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk
Kredit antar bank serta kredit kepada Pem erintah Pusat, bukan penduduk dan dalam ra ngka bantuan
Proyek
Tahun 1987/88 sampai dengan Desem ber 1987
Kredit kepada Bul og serta Pertamina yang semula disalurkan langsung oleh Bank Indonesia, sejak tahun
1984 dialihkan masing -masing secara keseluruhan dan sebagian menjadi pinjaman Bank Umum Pem er intah
Tidak termasuk BTN (Bank Tabungan Negara)
Termasuk revalua si valuta asing
Angka sementara
245
TABEL IV – 20
PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1982/83 – 1987/1988 2)
(milyar rupiah)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, ter masuk kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk
Kredit antar bank serta kredit kepada Pem erintah Pusat, bukan penduduk dan dalam rangka bantuan
Proyek
Tahun 1987/88 sampai dengan Desem ber 1987
Termasuk sekt or pertanian, pertambangan dan perindustrian
Termasuk sekt or jasa -jasa dan lain -lain
Termasuk revalua si valuta asing
Angka sementara
246
GRAFIK IV – 13
PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING,
MENURUT SEKTOR EKONOMI
1982/83 – 1987/88
247
milyar, maka pada akhir Desember 1987 meningkat menjadi
Rp.14.114 milyar. Peningkatan pemberian pinjaman yang cepat
pada sektor produksi terjadi pada periode 1986/87 sampai
dengan Desember 1987, dari Rp.12.099 milyar pada akhir
Maret 1987 menjadi Rp.14.114 milyar pada akhir Desember 1987,
suatu kenaikan sebesar 16,7%, yang terutama tersalur untuk
industri kimia dan plastik, industri tekstil, industri kertas
serta industri kayu dan hasil-hasilnya.
Dalam pada itu pemberian pinjaman untuk sektor perdagangan juga mengalami kenaikan. Jumlah kredit pada sektor
ini pada tahun 1982/83 adalah sebesar Rp.4.135 milyar yang
meningkat menjadi Rp.8.504 milyar pada tahun 1986/87 dan naik
cukup pesat menjadi Rp.10.376 milyar pada akhir Desember
1987, suatu peningkatan sebesar 22,0%. Realisasi jumlah yang
meningkat tersebut terutama digunakan untuk pembiayaan pengolahan dan perdagangan barang-barang ekspor, pengumpulan dan
distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, untuk perdagangan
eceran dan pembelian serta pengumpulan barang-barang dagangan
dalam negeri.
Kredit untuk ekspor lainnya juga mengalami kenaikan dari
tahun ke tahun. Jumlah kredit sektor ini pada 1982/83 sebesar
Rp.2.599 milyar telah meningkat menjadi Rp.7.249 milyar pada
1986/87 dan meningkat lagi menjadi Rp.8.494 milyar pada akhir
Desember 1987. Adapun kredit yang termasuk pada sektor ekonomi lainnya adalah kredit untuk membiayai usaha-usaha di bidang jasa-jasa seperti jasa-jasa dunia usaha, sosial masyarakat, pengangkutan, perhubungan dan perhotelan.
c.
Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit MINI/MIDI, Kredit
Candak Kulak, Kredit Umum Pedesaan dan Kredit Perumahan Rakyat. .
Realisasi kredit investasi senantiasa meningkat sejalan
dengan perkembangan pembangunan. Dalam hubungan ini, berbagai
ketentuan-ketentuan kredit investasi senantiasa disempu rnakan dalam rangka usaha memperluas pemberian kredit investasi.
Kebijaksanaan kredit investasi diarahkan agar semakin banyak
dimanfaatkan bagi golongan ekonomi lemah dalam kegiatan produktif yang banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini terwujud
dalam penyediaan fasilitas kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah sampai dengan Rp. 75 juta, dan kredit
investasi untuk proyek APBN (Keppres 14A). Penyempurnaan
248
kredit investasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah maksi mumnya, dari Rp.1.500 juta, menjadi Rp.2.500 juta. Dengan demikian penggolongan kredit investasi adalah : golongan I sam pai dengan Rp. 75 juta, golongan II di atas Rp.75 juta sampai
dengan Rp. 300 juta, golongan III di atas Rp.300 juta sampai
dengan Rp. 500 juta, dan golongan IV di at as Rp. 500 juta
sampai dengan Rp. 2.500 juta, dan untuk di atas Rp. 2.500 juta
hanya dapat diberikan oleh Bapindo.
Dalam rangka perluasan peranan kredit investasi maka pa da tahun 1984/85 kredit investasi juga disalurkan untuk industri perkayuan yang berintikan kayu lapis. Di samping itu
kepada bank-bank swasta nasional dan bank asing yang memenuhi persyaratan, telah diberi kesempatan pula untuk memberikan
kredit investasi dengan jumlah maksimum masing-masing sebesar
20% dan 35% dari baki debet pinjaman, terutama dipergunakan
untuk pembiayaan proyek-proyek yang menggunakan hasil produksi dalam negeri. Jumlah maksimum kredit investasi untuk setiap nasabah bank umum swasta nasional adalah 10% dari modal
sendiri. Bagi bank-bank asing diberikan kesempatan pula
untuk melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan
yang potensial dengan jangka waktu empat tahun.
Dalam rangka menunjang upaya peningkatan produksi dalam
negeri dan program transmigrasi pada bulan Juni 1986 telah
diberikan kredit investasi bagi pengembangan Perkebunan Inti
Rakyat yang dikaitkan dengan transmigrasi (PIR -Trans) dan
kredit untuk Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman
Ekspor (PRPTE). Dananya berasal dari kredit likuiditas Bank
Indonesia sebesar 55% dari kredit yang diberikan, dengan suku
bunga kredit likuiditas 6,5% dan disalurkan melalui bank-bank
umum pemerintah dan swasta nasional. Untuk memperbesar pemberian kredit bagi pengembangan perkebunan, maka maksimum kre dit untuk proyek inti ditetapkan 65% dari biaya proyek, sedang untuk kebun plasma (pembangunan kebun untuk petani sekitarnya) disediakan dari dana pinjaman. Suku bunga PIR 16% se tahun, sedang untuk kebun plasma disesuaikan dengan ketentuan
suku bunga bagi golongan ekonomi lemah setelah kredit dialihkan kepada petani peserta. Perusahaan yang dapat mengajukan
kredit investasi adalah perusahaan-perusahaan nasional dan
PMA yang telah memiliki unit pengolahan yang dibiayai sendi ri. Guna mendorong minat penanaman modal melalui pemilikan
saham pada bulan Juni 1986 telah diambil pelbagai kebijaksanaan yang berupa pemberian kredit bagi perusahaan dalam rangka PMA yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu perusahaan
249
dalam rangka PMA yang sahamnya minimal 51% dimiliki oleh ne gara dan/atau swasta nasional ditetapkan minimal 20% sahamnya harus dijual di pasar modal, sedang untuk perusahaan da lam rangka PMA lainnya jumlah saham yang harus dijual ke pa sar modal sedikitnya 51%. Perkembangan kredit investasi dapat
diikuti pada Tabel IV-21 dan Grafik IV-14.
Sementara itu untuk mendorong peranan usaha golongan
ekonomi lemah dalam meningkatkan produksi dalam negeri, maka
dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 untuk jenis kredit yang diprioritaskan tinggi tetap diberikan fasilitas kredit likui ditas Bank Indonesia. Jenis kredit yang termasuk golongan ini
meliputi : Kredit Investasi Kecil, Kredit Modal Kerja Perma nen, Kredit Mini/Midi, Kredit Umum Pedesaan, Kredit Koperasi,
Kredit Bimas, Kredit Investasi sampai jumlah Rp. 75 juta,
Kredit Perumahan Rakyat dan Kredit Candak Kulak.
Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang dilaksanakan sejak akhir tahun 1973 telah
mengalami beberapa penyempurnaan mengenai besarnya volume
kredit, bagian pembiayaan pinjaman, suku bunga serta jangka
waktu peminjamannya. Bila pada permulaan dilaksanakannya
jumlah maksimum KIK adalah sebesar Rp. 5 juta, suku bunga
12% per tahun, jangka waktu maksimum 5 tahun, maka pada bulan
September 1980 telah berubah menjadi Rp. 10 juta, suku bunga
10,5% per tahun, jangka waktu maksimum 10 tahun. Pada 1 Juni
1983 jumlah maksimum dinaikkan lagi menjadi Rp. 15 juta tanpa
tambahan plafon dengan suku bunga 12% per tahun. Dalam tahun
1984, telah pula dilakukan perubahan terhadap jumlah kredit
likuiditas Bank Indonesia yang semula ditetapkan 80% , diturunkan menjadi 55%, sedang 25% dibiayai dengan dana yang be rasal dari Bank Dunia, dan dana bank pelaksana tetap 20%. Selanjutnya ditentukan bahwa jangka waktu maksimum 8 tahun, masa tenggang 4 tahun dan plafon kredit yang dapat disesuaikan
dengan kemampuan pelunasan pinjaman oleh nasabah. Keadaan
yang sama telah terjadi pula pada KMKP yang pada awal dilaku kannya program ini adalah sebesar Rp.5 juta, suku bunga 15%,
jangka waktu maksimal 3 tahun, kemudian dirubah pada Septem ber 1980 menjadi Rp.10 juta, tambahan plafon Rp. 5 juta (sehingga jumlah maksimal Rp.15 juta), jangka waktu 8 tahun yang
setiap swat dapat diperpanjang dan suku bunga 12% setahun.
Pada 1 Juni 1983 ketentuan tersebut berubah menjadi jumlah
maksimal Rp. 15 juta tanpa tambahan plafon dengan suku bunga
12% setahun. Ketentuan ini mengalami perubahan dalam bulan
Juli 1984 di mama jangka waktu KMKP 5 tahun, masa tenggang
250
TABEL IV – 21
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI,
1982/83 – 1987/1988 2)
(milyar rupiah)
1)
2)
251
Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat, dan nilai lawan valuta asing pinjaman investa si dalam rangka bantuan Proyek
Angka diperbaiki
GRAFIK IV – 14
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR INVESTASI
1982/83 – 1987/88
252
waktu 1 tahun, dan plafon kredit disesuaikan dengan kemampuan
pelunasan pinjaman oleh nasabah.
Dalam rangka memperbesar penyediaan kredit bagi golongan
ekonomi lemah, maka mulai April 1986 suku bunga kredit likui ditas KMKP bagi nasabah yang akad kreditnya ditandatangan i
sebelum 1 Juni 1983 ditetapkan menjadi 3% dibandingkan sebe sar 4% setahun pada masa sebelumnya. Selain itu pada bulan
Mei 1985 telah pula diizinkan bagi bank-bank Pemerintah maupun bank-bank Swasta nasional untuk memberikan KIK dan KMKP
secara massal kepada seluruh pengusaha atau kelompok usaha
yang berada pada suatu wilayah tertentu untuk bidang yang se jenis. Agar sasaran pemberian kredit bagi pengusaha golongan
ekonomi lemah dapat dicapai diberikan KIK dan KMKP, dengan
pertanggungan asuransinya oleh PT. Askrindo. Perkembangan
pemberian KIK dan KMKP dapat diikuti pada Tabel IV-22 dan Grafik IV-15. Realisasi KIK yang pada tahun 1982/83 berjumlah
Rp. 414 milyar mengalami penurunan sehingga menjadi Rp.300
milyar pada akhir Desember 1987. Namun demikian perkembangan
jumlah nasabahnya meningkat dari 220 ribu orang menjadi 294
ribu orang. Sebaliknya posisi KMKP selama periode yang sama
mengalami peningkatan dari Rp. 815 milyar menjadi Rp.924 milyar dengan jumlah nasabah naik dari 1.526 ribu orang menjadi
2.228 ribu orang, pada akhir Desember 1987.
Program Kredit Mini diselenggarakan sejak tahun 1974,
yang sumber dananya berasal dari APBN. Kredit Mini tersebut
dimaksudkan untuk membantu usaha rakyat secara kecil -kecilan
di daerah pedesaan, yang tidak terjangkau oleh KIK dan KMKP.
Jumlah Kredit Mini maksimal ditetapkan Rp. 200 ribu per nasabah dengan bunga 12% setahun, baik untuk investasi maupun
modal kerja. Dalam tahun 1978 telah pula diselenggarakan
Kredit Midi yang sumber dananya dari kredit likuiditas Ba nk
Indonesia dan bank pelaksana. Adapun persyaratan Kredit Midi
adalah : jumlah kredit maksimal Rp.500 ribu per nasabah, suku
bunga kredit Midi 10,5% setahun untuk investasi, dan 12% se tahun untuk modal kerja. Jangka waktu pengembalian kredit
untuk Kredit Mini adalah 1 tahun untuk modal kerja dan 3 tahun untuk investasi, sedangkan jangka waktu Kredit Midi ada lah 3 tahun untuk kredit modal kerja dan 5 tahun untuk investasi. Posisi Kredit Mini pals tahun 1982/83 sebesar Rp. 62,9
milyar dengan 766,2 ribu nasabah, dibanding dengan Rp.0,8
milyar dan 7,8 ribu nasabah pada akhir Oktober 1987. Sedangkan pemberian Kredit Midi pada tahun 1982/83 sebesar
Rp. 41,8 milyar dengan 145,5 ribu jumlah nasabah menurun
253
TABEL IV - 22
PERKEMBANGAN KREDIT INVENTA8I KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN,
1982/83 - 1987/88
Kredit Modal Kerja Permanen
Kredit Investasi Kecil
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
Nila1
permohonan
yang
disetujui
(milyar
(rupiah)
Posisi
Kredit
(milyar
rupiah)
Jumlah
permohonan
yang
disetujui
(dalam
ribuan)
Nilai
permohonan
yang
disetujui
(milyar
rupiah)
Posisi
Kredit
(milyar
rupiah
1982/83
220
737
414
1.526
1.629
1983/84
241
847
387
1.685
2.007
867
1984/85
256
946
356
1.871
2.448
931
Triwulan I
244
873
380
1.726
2.116
865
Triwulan II
247
892
380
1.779
2.212
893
Triwulan III
250
921
366
1.809
2.309
928
Triwulan IV
256
946
356
1.871
2.448
931
889
1985/86
326
2.053
2.869
259
972
352
1.915
2.575
936
Triwulan II
265
993
342
1.962
2.674
915
Triwulan III
266
1.015
328
1.996
2.768
885
Triwulan IV
272
1.054
326
2.053
2.869
889
290
1.176
311
2.214
3.431
879
Triwulan I
Triwulan II
275
280
1.074
1.106
322
319
2.086
2.120
3.019
3.122
900
903
Triwulan III
283
1.135
305
2.147
3.241
879
Triwulan IV
290
1.176
311
2.214
3.431
879
1987/88*)
April
272
294
1.054
815
Triwulan I
1986/87
1.265
1.187
300
298
2.228
2.222
3.720
3.488
924
1.199
297
2.206
3.530
896
896
M e i
291
293
J u n i
294
1.208
301
2.206
3.564
900
Triwulan I
294
1.208
301
2.206
3.564
900
J u l i
296
1.218
301
2.206
3.607
902
Agustus
289
291
1.221
300
2.215
3.628
917
1.238
294
2.225
3.642
915
291
1.238
294
2.225
3.642
915
September
Triwulan II
Oktober
292
1.247
296
2.226
3.668
918
Nopember
293
298
2.227
3.694
921
Desember
294
1.256
1.265
300
2.228
3.720
924
294
1.265
300
2.228
3.720
924
Triwulan III
*) Angka sementara
254
Jumlah
permohonan
yang
disetujui
(dalam
ribuan)
GRAFIK IV – 15
PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA PERMANEN
DAN KREDIT MINI & MIDI
1982/83 – 1987/88
255
menjadi Rp.3,0 milyar dan 12,1 ribu nasabah pada akhir September 1987. Perkembangan Kredit Mini dan Kredit Midi selama
periode 1982/83 - 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-23 dan
Tabel IV-24.
Di dalam perkembangannya Kredit Mini dan Kredit Midi ini
telah diganti dengan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Kupedes
sumber dananya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia,
dana masyarakat dan dari APBN. Dengan dikeluarkannya Kupedes
tersebut fasilitas Kredit Mini dan Kredit Midi yang sedang
berjalan masih diteruskan sampai dengan masa jatuh tempo kredit masing-masing, sedangkan permintaan kredit baru dialihkan
ke Kupedes. Jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah Kupedes minimum sebesar Rp. 25 ribu dan maksimum Rp.1 juta. Kre dit ini dapat digunakan untuk investasi dengan bunga 12% per
tahun dan jangka waktu maksimal 3 tahun. Untuk Kupedes yang
digunakan untuk modal kerja dikenakan suku bunga 18% setahun,
dan jangka waktu maksimum 2 tahun. Bagi nasabah yang menung gak pengembaliannya, suku bunga dinaikkan masing-masing menjadi 18% setahun untuk kredit investasi dan 24,0% setahun
untuk kredit modal kerja. Perkembangan Kredit Umum Pedesaan
(Kupedes), dapat diikuti dalam Tabel IV - 25. Apabila pada
tahun 1982/83 pemberian Kupedes hanya berjumlah Rp.30,7 mil yar, maka pada akhir Agustus 1987 meningkat dengan cepat sehingga menjadi Rp.412,2 milyar, atau mengalami kenaikan 68,1%
setiap tahun.
Di samping KIK, KMKP, Kredit Mini, Midi dan Kupedes, pada tahun 1976 telah diselenggarakan program Kredit Candak Kulak (KCK) dengan tujuan untuk membantu pedagang kecil di pedesaan, dengan syarat lunak, yaitu tanpa jaminan serta prosedurnya sangat sederhana. Jumlah kredit semula ditentukan
maksimum Rp.15 ribu kemudian dinaikkan menjadi Rp.50 ribu
per nasabah, bunga kredit 12% setahun, jangka waktu kredit
antara 5 hari - 3 bulan. Adapun sumber dana KCK berasal dari
APBN dan disalurkan melalui BUUD/KUD. Selama periode 1982/83
sampai akhir Desember 1987 penyediaan KCK oleh koperasi dan
KUD senantiasa meningkat. Pada tahun 1983 sebanyak 4.286 ko perasi dan KUD turut mengambil bagian dalam pelaksanaan KCK
dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp. 145,7 milyar. Dalam
tahun 1987 jumlah KUD yang menyalurkan KCK bertambah menjadi
5.981 dengan keseluruhan kredit KCK sebanyak Rp. 230,4 milyar. Dalam pada itu baki debet KCK hingga akhir Juli 1987
tercatat Rp.14 milyar dengan jumlah nasabah 16,7 juta orang.
Guna membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah akan
256
TABEL IV - 23
PERKEMBANGAN KREDIT MINI,*)
1982/83 - 1987/88
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bulan
Posisi Kredit
(milyar rupiah)
Investasi
Eksploitasi
Nasabah
(ribu)
Jumlah
Investasi
Eksploitasi
Jumlah
690,1
766,2
1982/83
6,2
56,7
62,9
76,1
1983/84
4,1
32,4
36,5
55,5
435,6
491,1
1984/85
1,9
9,5
29,3
109,9
139,2
47,0
39,6
306,9
195,4
353,9
Triwulan I
3,2
7,6
19,8
Triwulan I I
2,6
11,8
23,0
14,4
Triwulan I I I
2,1
8,3
10,4
32,0
122,8
235,0
154,8
Triwulan IV
1,9
7,6
9,5
29,3
109,9
139,2
Triwulan I
1,6
1,9
5,8
7,0
7,4
8,9
20,9
27,3
81,0
102,2
101,9
129,5
Triwulan I I
1,7
6,6
8,3
23,3
6,1
7,7
21,5
94,5
85,0
117,8
1,6
1,6
5,8
7,4
20,9
81,0
101,9
1986/87
Triwulan I
0,9
1,5
3,9
5,6
4,8
12,2
19,8
54,1
66,3
98,7
Triwulan I I
1,5
1,4
0,9
6,9
6,5
19,2
Triwulan I I I
Triwulan IV
5,4
5,1
78,9
76,2
3,9
4,8
15,3
12,2
65,7
54,1
1985/86
Triwulan I I I
Triwulan IV
7,1
106,5
95,4
81,0
66,3
1987/88
April
0,9
3,7
4,6
11,4
51,4
62,8
Mei
0,7
3,3
4,0
9,1
44,4
53,5
Juni
Triwulan I
0,6
0,6
3,1
3,7
7,6
40,9
48,5
3,1
3,7
7,6
40,9
48,5
Juli
0,6
2,9
3,5
7,7
40,7
48,4
Agustus
0,7
2,8
3,5
38,2
45,6
September
0,5
2,7
3,2
7,4
6,8
43,4
Triwulan I I
0,5
2,7
3,2
6,8
36,6
36,6
Oktober
Nopember
Desember
Triwulan I I I
0,3
0,5
0,8
2,3
5,5
7,8
43,4
* ) Kredit Mini diadakan sejak tahun 1974/751 perkembangan jumlahnya
yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis pinjaman ini kepada Kredit Umum
Pedesaan (Kupedes).
257
TABEL IV – 24
PERKEMBANGAN KREDIT MIDI *)
1982/83 – 1987/88
*) Kredit Midi diadakan sejak Juli 1980; perkembangan jumlah yang
Mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan
Kebutuhan akan jenis kredit ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes)
258
TABEL IV - 25
KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES),1)
1983/84 - 1987/88
(milyar rupiah)
Akhir
Tahun/Triwulan/
Bu Ian
Investasi
Eksploitasi
Jumlah
1983/84
0,6
30,1
30,7
1984/85
7,2
135,4
142,6
Triwulan
1,7
66,4
68,1
Triwulan II
4,0
84,6
88,6
Triwulan III
6,2
104,5
110,7
Triwulan IV
7,2
135,4
142,6
10,4
249,7
260,1
Triwulan I
8,8
171,3
180,1
Triwulan II
9,2
191,2
200,4
Triwulan III
9,8
219,2
229,0
10,4
249,7
260,1
1985/86
Triwulan IV
1986/87
13,2
360,6
373,8
Triwulan I
10,8
274,3
285,1
Triwulan II
11,0
291,5
302,5
Triwulan III
12,1
322,3
334,4
Triwulan IV
13,2
360,6
373,8
April
13,6
375,7
389,3
M e i
14,3
391,9
406,2
J u n i
14,5
388,7
403,2
Triwulan I
14,5
388,7
403,2
J u 1 i
15,1
395,0
410,1
Agustus
15,5
2)
396,7
2)
412,2
2)
2)
2)
2)
1987/88
September
Triwulan II
1) Kredit Umum Pedesaan diadakan sejak Januari 1984;
perkembangannya yang semakin meningkat juga sejalan dengan
pengalihan peranan Kredit Mini dan Midi ke Kupedes.
2) Data belum tersedia
259
kebutuhan perumahan, telah disediakan Kredit Perumahan Rakyat
(KPR) yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Bank Tabungan
Negara (BTN). Dalam tahun 1985/86 telah ditempuh pelbagai kebijaksanaan yang menyangkut masalah pengerahan dana, suku bunga, uang muka dan tabungan uang muka (TUM) KPR. Persyaratan
KPR adalah suku bunga kredit antara 5% - 9% per tahun, dengan
jangka waktu pengambilan kredit antara 5 tahun - 20 tahun.
Sumber dana pada mulanya berasal dari Penyertaan Modal Peme rintah (PMP), untuk rumah yang dibangun oleh Perum Perumnas,
dan kredit likuiditas Bank Indonesia dan BTN untuk rumah yang
dibangun oleh pengembang/developer/swasta. Sejak September
1985 hal ini tidak dibedakan lagi sehingga semua sumber dana
KPR berasal dari penyertaan modal Pemerintah, kredit likuiditas Bank Indonesia, pinjaman Bank Dunia dan dana masyarakat
yang dilakukan oleh BTN. Perlu dijelaskan bahwa TUM KPR ini
dapat dicicil 6 sampai 12 bulan dengan bunga 12% per tahun.
Sedangkan untuk mempermudah prosedur pelunasannya, maka angsuran KPR BTN dapat dibayarkan melalui kantor-kantor pos yang
berada di wilayah BTN.
Posisi KPR BTN yang pada tahun 1982/83 sebesar Rp. 400
milyar dengan 148 ribu nasabah selama lima tahun telah berkembang menjadi Rp.382 milyar dengan 1.446 ribu nasabah pada
akhir Juli 1987. Sedangkan jumlah KPR PT. Papan Sejahtera,
untuk KPR golongan berpenghasilan menengah ke atas dalam pe riode yang sama telah berkembang dari Rp.7 milyar dengan 680
nasabah menjadi Rp.86 milyar dengan 6,47 ribu nasabah. Pemberian KPR secara kumulatif yang meliputi KPR Perumnas dan
non-Perumnas sampai akhir Agustus 1987 mencapai Rp.1.625,9
milyar.
5. Suku Bunga
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sejak 1 Juni 1983
kepada bank-bank telah diberikan kebebasan untuk menetapkan
sendiri suku bunga deposito berjangka dan suku bunga pinjam an, kecuali untuk kredit prioritas tinggi. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka sejak 1 Juni 1983 telah terjadi
kenaikan suku bunga karena meningkatnya persaingan kegiatan
perbankan dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
Agar perkembangan suku bunga tidak merupakan penghambat
dalam kegiatan pembangunan, maka kebijaksanaan yang ditem puh diarahkan pada tercapainya tingkat suku bunga yang tetap
dapat mendorong hasrat masyarakat untuk menabung tanpa menyebabkan terjadinya pengaliran modal ke luar negeri. Upaya
260
tersebut dilakukan melalui penurunan suku bunga SBI, SBPU dan
fasilitas diskonto dalam tahun 1985/86. Secara bertahap Bank
Indonesia menurunkan tingkat suku bunga diskonto ulang SBPU
dari 20,5% menjadi 17,0%, tingkat diskonto dari fasilitas
diskonto Bank Indonesia menurun dari 21,0% menjadi 18,5% dan
tingkat bunga SBI menurun dari 16,0% menjadi 14,0%. Usah ausaha tersebut telah dapat mendorong terjadinya penurunan su ku bunga deposito berjangka. Pada akhir tahun 1986/87 suku
bunga deposito pada bank pemerintah untuk jangka waktu 1 bu lan sampai dengan 24 bulan berkisar antara 13,0% sampai dengan 15,0% per tahun. Adapun suku bunga yang berlaku bagi kelompok bank swasta nasional berkisar antara 14,0% sampai de ngan 18,0% per tahun. Untuk kelompok bank asing yang hanya
menghimpun deposito berjangka waktu sampai dengan 12 bulan,
suku bunganya berkisar antara 9,5% sampai dengan 18,0% per
tahun.
Sementara itu, untuk mengatasi timbulnya gejala spekulasi dalam valuta asing yang terjadi pada bulan April dan Mei
1987, dalam tahun 1987/88 Bank Indonesia telah menaikkan suku
bunga SBI, diskonto ulang SBPU dan fasilitas diskonto. Selain itu, pemerintah telah melakukan pemindahan dana beberapa
BUMN pada bank-bank pemerintah untuk ditanamkan dalam SBI dan
SBPU. Kebijaksanaan tersebut ternyata berhasil mengatasi ke giatan spekulasi valuta asing, namun dipihak lain keadaan ini
menyebabkan berkurangnya likuiditas perbankan yang pada gili rannya menyebabkan naiknya suku bunga dana antar bank sampai
mencapai 46,5% per tahun pada bulan Juli 1987. Pada waktu
yang sama suku bunga deposito berjangka waktu 1 bulan pada
bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta nasional masing-masing berkisar antara 16,5% sampai dengan 23,0% dan 15,0% sam pai dengan 24,0% per tahun. Untuk kelompok bank asing, suku
bunga deposito yang dihimpunnya berkisar antara 11,0% sampai
dengan 23,0% per tahun. Tingginya suku bunga tersebut mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya baik yang berasal da ri dana rupiah maupun dari penjualan valuta asing. Dalam hu bungan ini, meningkatnya penjualan valuta asing tersebut menyebabkan bertambahnya likuiditas rupiah, sehingga kemudian
dapat menurunkan kembali suku bunga dana antar bank dari
46,0% menjadi 12,7% per tahun dan deposito berjangka waktu 1
bulan pada bank-bank pemerintah dari 23,0% menjadi 15,5% per
tahun. Demikian pula terjadi penurunan kembali suku bunga
deposito pada bank-bank swasta nasional, dari 24,0% menjadi
17,0% per tahun, sedangkan deposito pada bank asing dari
23,0% menjadi 17,5% per tahun.
261
Dalam pada itu, suku bunga Tabanas yang sejak Juni 1983
ditetapkan sebesar 15,0% per tahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp.1 juta dan 12,0% untuk saldo tabungan di atas
Rp.1 juta, sejak 1 Juli 1987 telah dirubah menjadi 15,0% per
tahun untuk seluruh saldo tabungan. Dalam hal suku bunga
Taska besarnya masih tetap 9,0% per tahun untuk Taska yang
diangsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum
jatuh waktu suku bunganya hanya 6,0% per tahun.
Dalam hal suku bunga kredit dapat dikemukakan sebagai
berikut. Pada akhir Agustus 1987, tingkat suku bunga pinjaman rata-rata non prioritas pada bank-bank umum untuk kredit modal kerja turun menjadi sekitar 21,0% setahun dari se kitar 23,0% pada akhir Desember 1984, sedangkan untuk kredit
investasi sekitar 18,0% setahun. Pada periode yang sama suku
bunga kredit modal kerja pada bank swasta nasional devisa turun dengan cukup berarti yakni dari sekitar 26,0% menjadi se kitar 23,0%.
Sementara itu suku bunga kredit investasi pada bank-bank
umum pemerintah masih sekitar rata-rata 18,5% setahun sedangkan suku bunga kredit modal kerja mengalami penurunan dari
rata-rata 20,0% setahun menjadi sekitar 19,0% setahun pada
akhir Agustus 1987. Penurunan tingkat suku bunga tersebut
berkaitan erat dengan usaha penurunan suku bunga beberapa sarana moneter yang dilakukan pada tahun 1985/86.
6. Perkembangan harga.
Pelaksanaan pembangunan dapat berlangsung secara berke sinambungan, terutama berkat terciptanya stabilitas nasional,
yang telah diupayakan melalui berbagai kebijaksanaan yang di tempuh secara terpadu. Sehubungan dengan itu, guna memantap kan stabilitas ekonomi, telah diupayakan untuk senantiasa dapat mengendalikan harga-harga pada tingkat yang wajar melalui
berbagai kebijaksanaan fiskal dan moneter yang ditunjang oleh
penyediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dalam
jumlah yang cukup.
Selama periode 1983/84 sampai dengan 1987/88 stabilitas
tingkat harga pada umumnya memperlihatkan perkembangan yang
tetap mantap yang mencapai rata-rata 8,5% per tahun. Selama
periode tersebut, kenaikan tertinggi terjadi pada tahun
1983/84, yaitu sebesar 12,63%. Relatif tingginya laju inflasi pada tahun 1983/84 erat kaitannya dengan tindakan devaluasi rupiah pada tanggal 30 Maret 1983 dan dinaikkannya harga
262
BBM pada tanggal 12 Januari 1984. Kebijaksanaan-kebijaksanaan
tersebut ditujukan untuk meningkatkan ekspor serta mengurangi
beban pengeluaran rutin Pemerintah.
Dalam tahun 1984/85, telah ditempuh serangkaian tindakan
penyesuaian mendasar di berbagai bidang ekonomi, khususnya di
bidang fiskal dan moneter, yang telah menghasilkan kestabilan
harga yang cukup mantap. Kestabilan harga yang dapat dicapai
dalam tahun 1984/85 tercermin pada rendahnya laju inflasi
yang merupakan tingkat terendah selama 13 tahun terakhir;
yaitu hanya mencapai 3,64%. Rendahnya tingkat inflasi pada
tahun 1984/85 tersebut juga ditunjang oleh cukup tersedianya
barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat, terutama beras
yang dalam tahun tersebut produksinya naik dengan 8,0%. Dalam tahun 1984/85, produksi beras mencapai 25,8 juta ton, sehingga sasaran swasembada beras yang diupayakan sejak beberapa tahun sebelumnya dapat tercapai. Keadaan yang menggembi rakan tersebut, terutama disebabkan oleh berhasilnya pendaya gunaan lahan yang ditunjang oleh iklim yang menguntungkan.
Dalam tahun 1985/86; laju inflasi masih relatif rendah,
walaupun lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 5,66%
dibandingkan dengan 3,64%, berkat berbagai kebijakan yang
ditempuh Pemerintah, antara lain upaya menciptakan keadaan
moneter yang cukup mantap, mendorong penurunan tingkat suku
bunga, serta menekan unsur-unsur biaya tinggi dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, stabilnya tingkat harga-harga
dalam tahun 1985/86, juga ditunjang oleh cukup tersedianya
barang-barang kebutuhan pokok. Produksi beras dalam tahun
1985 meningkat sebesar 2,3% menjadi 26,5 juta ton, sementara
kebutuhan beras pada tahun yang bersangkutan diperkirakan se besar 26,0 juta ton sehingga swasembada beras yang dicapai
pada tahun 1984/85 dapat dipertahankan. Sementara itu, produksi tanaman pangan lainnya juga meningkat cukup berarti,
terutama kacang kedele yang naik dengan 12,5%.
Perkembangan harga-harga dalam tahun 1986/87 masih dapat
dikendalikan pada tingkat yang wajar yaitu sebesar 8,83%, walaupun Pemerintah telah mengambil tindakan devaluasi rupiah
serta kenaikan harga dasar pembelian gabah dan tarif angkutan. Masih dapat dikendalikannya tingkat harga dalam tahun
1986/87 merupakan hasil kebijaksanaan di bidang moneter yang
berhati-hati dan kebijaksanaan fiskal yang lebih terarah serta ditunjang oleh penyediaan barang-barang konsumsi dalam
jumlah yang cukup dan tingkat harga yang wajar. Produksi be ras dalam tahun 1986 mencapai 26,8 juta ton sehingga masih
263
dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri yang diperkirakan
sebesar 26,6 juta ton. Dalam pada itu, tanaman pangan lainnya juga meningkat dengan mengesankan, terutama kacang kedele
dan jagung, yang masing-masing naik dengan 37,5% dan 37,0%.
Laju inflasi dalam 9 bulan pertama tahun 1987/88 (April
sampai Desember 1987) tercatat sebesar 7,37%. Pengaruh terbe sar terhadap inflasi selama periode tersebut terutama berkaitan dengan suasana menjelang Hari Raya Lebaran dan ke naikan harga dasar pembelian gabah serta pengaruh musim kemarau panjang terhadap produksi dan harga bahan-bahan pangan.
Dalam 3 bulan terakhir tahun 1987/88, harga-harga diperkirakan masih mengalami kenaikan, namun tidak jauh berbeda dengan
3 bulan terakhir tahun fiskal sebelumnya. Dengan demikian,
secara keseluruhan laju inflasi selama tahun 1987/88 diperki rakan tidak jauh berbeda dengan tahun 1986/87.
Perkembangan harga dalam periode 1982/83-1987/88 dapat
diikuti pada Tabel IV-26, Grafik IV-16, Tabel IV-27, Grafik
IV-17, Tabel IV-28 dan Tabel IV-29.
D.
PERKEMBANGAN
LAINNYA
LEMBAGA
PERBANKAN
DAN
LEMBAGA
KEUANGAN
Upaya pengembangan serta pembinaan perbankan dan lemba ga keuangan telah diarahkan kepada penciptaan suatu sistem
keuangan yang semakin efisien dan berhasilguna dalam kegiatan pengerahan maupun pemanfaatan dana masyarakat dalam
rangka menunjang kegiatan pembangunan. Lembaga perbankan (dan
lembaga keuangan lainnya, termasuk pasar modal) mempunyai peranan penting dalam pengerahan dana dalam negeri terutama da lam keadaan penerimaan negara cenderung menurun. Dalam hubungan ini beberapa langkah pembinaan yang telah ditempuh tertuju
pada peningkatan efisiensi dan profesionalisme di bidang perbankan agar bank dapat lebih mandiri dan lebih kreatif dalam
menghimpun dan menanamkan dananya, serta pada pemantapan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Serangkaian usaha usaha yang telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut
antara lain berbentuk pembelian bantuan teknis kepada bank bank pembangunan daerah dan perluasan penyelenggaraan kliring
lokal.
Agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan
tetap tinggi, maka Bank Indonesia terus mengupayakan langkah -
264
TABEL IV – 26
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA,
1982 – 1987/88
Tahun
Takwim
Kenaikan
( % )
Tahun
Anggaran
Kenaikan
( % )
1982
1983
9,7
11,5
1982/85
1983/84
8,4
12,6
1984
8,8
1984/85
3,6
1985
1985/86
5,7
1986
4,3
8,8
1986/87
8,8
1987
8,9
1987/88
7,4*)
*) Perkiraan
GRAFIK IV - 16
PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA,
1982 – 1987/88
265
TABEL IV - 27
PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA,1)
MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA
1982/83 - 1987/88
Akhir
Tahun/Triwulan/ Makanan Perumahan
Bulan
Aneka
Sandang Barang
dan Jasa
Perubahan Indeks Umum (%)2)
INDEKS
UMUM
Tahun
1982/83
189,70
228,76
204,60
210,57
205,99
8,4
1983/84
220,54
263,88
215,14
229,77
233,42
12,6
1984/85
224,34
273,47
221,08
248,07
242,07
3,6
Triwulan
Triwulan
Triwulan
Triwulan
I
II
III
IV
1985/86
Triwulan
Triwulan
Triwulan
Triwulan
I
II
III
IV
1986/87
Triwulan I
Triwulan II
Triwulan III
Triwulan IV
232,52
228,07
226,35
224,34
287,11
288,07
269,99
273,47
225,74
227,46
220,58
221,08
255,49
258,40
246,54
248,07
238,69
238,98
241,63
242,07
238,23
291,15
228,68
260,58
256,07
232,52
228,07
230,89
238,23
287,11
288,07
289,36
291,15
225,74
227,32
228,03
228,68
225,49
258,40
259,67
260,58
251,23
250,38
252,20
256,07
261,84
308,16
256,06
289,44
279,49
245,47
252,03
263,94
261,84
292,69
299,81
302,85
308,16
232,34
243,43
250,38
256,06
262,06
268,69
274,98
289,44
260,20
267,44
275,27
279,49
296,14
321,45
270,35
297,91
300,75
April
Mei
Juni
261,85
270,84
271,83
308,35
309,24
318,43
Triwulan I
271,83
316,43
257,11
267,35
266,11
266,11
289,87
297,16
291,65
291,65
279,75
284,92
285,79
285,79
272,85
275,52
279,51
311,02
311,73
312,72
266,43
267,42
268,39
293,73
294,52
295,13
Triwulan II
279,51
312,72
268,39
295,13
286,99
288,45
290,49
290,49
Oktober
Nopember
Desember
285,95
294,43
296,14
314,61
320,26
321,45
296,14
321,45
299,47
269,08
270,35
270,35
297,55
297,77
297,91
297,91
294,47
299,63
300,75
300,75
1987/88
Juli
Agustus
September
Triwulan III
1) Merupakan Gabungan dari 17 Ibukota Dati I dan digunakan
sejak Maret 1979 dengan 1977/78 = 100.
2) Angka pembulatan.
266
Triwulan
Bulan
0,1
2,2
1,1
0,2
5,7
3,8
-0,3
0,7
1,5
8,8
1,6
2,8
2,9
1,5
7,4
2,3
O,1
1,9
0,3
1,6
0,4
0,5
0,7
1,4
1,7
0,4
3,5
GRAFIK IV — 17
INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI)
1982/83 — 1987/88
267
TABEL IV – 28
PERKEMBANGAN INDEKS (UMUM) HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA
1982/83 – 1987/88
*) Kenaikan dalam setahun merupakan jumlah kenaikan bulanan
268
TABEL IV – 29
PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA DATI I 1)
1982/83 – 1987/88
1)
2)
269
April 1977 – Maret 1978 = 100
Merupakan persentase perubahan dalam setahun yang dihitung atas dasar
Penjumlahan daripada persentase perubahan bulanan tahun yang bersangkutan
langkah agar kegiatan perbankan tetap dilaksanakan dalam ba tas-batas sistem keuangan yang sehat. Dalam hubungan ini, pa da tahun 1986/87 telah disempurnakan ketentuan tentang persyaratan modal sendiri bank yang dikaitkan dengan perimbangan
posisi jenis-jenis pinjaman serta aktiva lainnya dari bank
yang bersangkutan. Kalau sebelumnya semua pinjaman ditetapkan
mempunyai batas resiko antara 2,5% sampai dengan 100%, maka
sejak penyempurnaan tersebut pinjaman bank digolongkan dalam
tiga jenis dengan batas resiko yang berbeda serta syarat be saran modal yang berbeda pula. Dengan demikian, bank-bank
tidak hanya dihindarkan dari pengelolaan dananya dengan risi ko terlalu tinggi tetapi juga telah memberikan kelonggaran
yang lebih besar kepada bank-bank untuk mengadakan diversifikasi aktivanya secara lebih efisien dan lebih berhasilguna.
Selanjutnya untuk menampung kebutuhan nasabah bank
akan tersedianya jasa rekening-gabungan, maka sejak April
1986
bank
diperkenankan
menatausahakan
rekening-gabungan
(joint-account) atas nama beberapa badan, beberapa orang dan
atau campuran antara kedua macam tersebut.
Dalam rangka peningkatan lebih lanjut dari sistem lalulintas giral maka sistem kliring yang telah ada di Jakarta
terus disempurnakan sedangkan jangkauannya diseluruh Indonesia terus diperluas. Upaya penyempurnaan kliring lokal Jakar ta antara lain ditempuh melalui penerapan sistem yang dioto matisasikan di samping langkah penyempurnaan pengolahan war kat kliring yang jumlahnya telah semakin meningkat. Perluasan
jangkauan sistem kliring lokal di seluruh Indonesia dilakukan
melalui penambahan tempat-tempat penyelenggaraan kliring lokal di kota-kota di mana belum terdapat kantor Bank Indone sia. Penyelenggaraan kliring lokal yang dalam tahun 1985 masih meliputi 25 tempat, pada akhir tahun 1987 telah berkem bang menjadi 30 tempat.
Perkembangan jumlah bank yang meliputi bank umum (Pemerintah, swasta dan asing), Bank Tabungan Negara, bank pemba ngunan (Bank Pembangunan Daerah dan Bank Pembangu nan Indonesia) selama periode tahun 1982/83 hingga tahun 1987/88, meng alami penurunan yaitu dari 120 bank menjadi 113 bank (angka
akhir Desember 1987). Jumlah bank yang berangsur-angsur turun
dikarenakan adanya penggabungan usaha oleh bank swasta na sional. Jumlah kantor bank, terdiri dari kantor cabang dan
kantor cabang pembantu, yang dalam tahun 1982/83 meliputi
1.172 kantor telah meningkat menjadi 1.600 kantor pada akhir
270
Desember 1987. Bank perkreditan rakyat yang terdiri dari bank
desa, lumbung desa,
bank pasar
dan bank pegawai yang
berjumlah 5.810 dalam tahun 1982/83, telah mengalami penurun an sehingga menjadi 5.789 pada akhir tahun 1987.
Kegiatan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang terdiri dari 9 buah jenis lembaga investasi dan 3 buah jenis
lembaga keuangan pembangunan, ditinjau dari jumlah aktiva,
penghimpunan dan penanaman dananya tampak tetap menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan. Posisi ketiga komponen tersebut pada Maret 1983 masing-masing sebesar Rp.928,3 milyar,
Rp.890,2 milyar dan Rp.793,0 milyar. Adapun perkembangan komponen-komponen tersebut selama periode tahun 1982/83 hingga
tahun 1987/88 meningkat cukup pesat, dimana sampai dengan No pember 1987 jumlah aktivanya tercatat naik 112,6% (menjadi
Rp.1.973,9
milyar),
penghimpunan
dananya
naik
110,5%
(Rp.1.873,7
milyar)
dan
penanaman
dananya
naik
134,6%
(menjadi Rp.1.860,8 milyar). Sementara itu, jumlah dana yang
dapat dihimpun oleh PT. Papan Sejahtera dalam pembiayaan pe milikan perumahan bagi masyarakat telah berkembang cukup pe sat pula, dari Rp.14,3 milyar pada tahun 1982/83 diperkira kan menjadi Rp.134,2 milyar pada tahun 1987/88.
Dalam rangka upaya pencapaian sasaran di bidang penyempurnaan organisasi lembaga-lembaga keuangan, pada bulan Pebruari 1986 telah dikeluarkan ketentuan yang menyangkut pembinaan lembaga Bank Umum Koperasi. Antara lain ditentukan
bahwa pimpinan Bank Umum Koperasi harus mempunyai pengetahuan
yang luas tentang perkoperasian serta mempunyai keahlian dan
keterampilan yang diperlukan di bidang perbankan.
Kebijaksanaan di bidang perasuransian selama periode
1982/83 - 1987/88 ditujukan untuk lebih meningkatkan mutu pe layanan perusahaan asuransi melalui peningkatan efisiensi dan
profesionalismenya, di samping menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perasuransian pada umumnya. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan profesionalisme tersebut telah dilakukan
usaha-usaha untuk mendorong peningkatan modal setor pada perusahaan asuransi dan reasuransi. Atas dasar ketentuan yang
berlaku, maka bagi perusahaan asuransi diharuskan memiliki
modal setor sekurang-kurangnya Rp.500 juta untuk perusahaan
lama dan Rp.1.500 juta untuk perusahaan asuransi jiwa dan kerugian yang baru berdiri. Selanjutnya bagi modal setor perusahaan reasuransi profesional sekurang-kurangnya Rp.20 milyar, sedangkan perusahaan broker asuransi Rp.100 juta. Selain
271
persyaratan modal tersebut di atas, perusahaan asuransi di minta memiliki tenaga ahli asuransi, dan untuk menjamin ke amanan setiap perusahaan asuransi dan reasuransi diminta
untuk menjaga batas tingkat likuiditas (solvency margin) yang
memadai. Di samping itu dalam rangka pengawasan, perusahaan
asuransi diwajibkan menyampaikan laporan berkala, dan kemung kinan ditingkatkan pada pengawasan langsung melalui pemerik saan perusahaan setempat.
Berdasarkan berbagai kebijaksanaan yang telah ditempuh
itu, maka dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 1983 - 1987,
jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi setiap tahun meng alami kenaikan, yaitu dari 99 menjadi 149 perusahaan pada tahun 1987, meliputi perusahaan asuransi jiwa, asuransi sosial ,
asuransi kerugian dan reasuransi serta perusahaan broker asuransi. Adapun jumlah asset dan dana investasi dari keseluruhan perusahaan asuransi pada tahun 1982 sebesar Rp.998.840
juta kemudian naik menjadi Rp.2.649.581 juta tahun 1986, sedangkan jumlah investasi dana adalah Rp.806.441 juta naik
menjadi Rp.2.133.210 juta.
Perkembangan usaha asuransi jiwa menunjukkan tingkat kesadaran berasuransi yang lamban. Dalam tahun 1983 persentase
jumlah pemegang polis asuransi jiwa terhadap jumlah penduduk
adalah 1,82%, mengalami penurunan menjadi 1,68% dan 1,77% masing-masing tahun 1985 dan 1986. Penyebab utamanya adalah
jumlah polis yang jatuh tempo lebih banyak dari pada penambahan jumlah polis baru.
Khusus pada asuransi sosial, kebijaksanaan baru dalam
bidang ini ialah pemberian kenaikan tunjangan hari tua dan
tunjangan kematian sebesar 25,0% bagi para peserta Taspen
yang pensiun pada atau sesudah akhir bulan April 1985.
Perkembangan jumlah nilai premi yang dapat dihimpun oleh
asuransi jiwa hingga tahun 1986 mencapai Rp.181.219 juta,
dimana jumlah premi tersebut di atas perolehannya tahun 1985
(Rp.157.708 juta) dan tahun 1982 (Rp.93.575 juta). Perkembangan premi di bidang asuransi sosial juga memperlihatkan kenaikan, jika jumlah premi yang dihimpun pada tahun 1982 se besar Rp.132.596 juta, maka pada tahun 1985 dan tahun 1986
bergerak naik menjadi Rp.250.716 juta dan Rp.280.178 juta.
Sementara itu, Perkembangan penanaman dana yang dikelola oleh
asuransi jiwa pada tahun 1982 dan tahun 1986 tercatat sebesar
272
Rp.111.182 juta dan Rp.413.054 juta. Demikian pula halnya yang
dikelola oleh asuransi sosial selama 5 tahun dapat menanamkan
dana sebesar Rp.411.853 juta (tahun 1983) dan Rp.1.207.979
milyar (tahun 1986).
Kegiatan perusahaan leasing ditujukan kepada penyediaan barang-barang modal yang diperlukan oleh suatu ba dan usaha untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pem bayaran berkala. Dalam usaha untuk mengembangkan industri dalam negeri, barang yang disewakan oleh perusahaan leasing diutamakan berasal dari produksi dalam negeri. Perkembangan
usaha leasing dalam pembiayaan pembangunan semakin meningkat.
Hal ini tercermin pada jumlah perusahaan leasing dan nilai
kontrak yang ditutup. Sampai dengan akhir tahun 1987, jumlah
perusahaan leasing mencapai 83 perusahaan yang merupakan kenaikan yang cukup menggembirakan bila dibandingkan keadaannya
pada akhir tahun 1982 (17 perusahaan) atau pada akhir tahun
1986 (79 perusahaan). Nilai kontrak yang ditutup pada semester I tahun 1987 mencapai Rp.472,9 milyar, bahkan pada tahun
1986 mencapai Rp.645,5 milyar, sedangkan pada tahun 1982 se besar Rp.135,6 milyar. Pada umumnya, penggunaan kontrak tersebut selama 5 tahun ditujukan untuk pembiayaan sektor-sektor
ekonomi utama seperti pengangkutan (37,1%), industri (29,2%),
perkantoran (16,9%) dan konstruksi (10,7%). Dalam hal ini,
penerimaan simpanan dalam bentuk giro, deposito, tabungan
ataupun pemberian pinjaman uang, sebagai pihak yang mengeluarkan jaminan, serta sebagai pelaku usaha perbankan lainnya
merupakan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh perusahaan
leasing.
Perkembangan kegiatan pasar modal, sebagai sarana penyedia dana pembiayaan jangka panjang, juga telah memperlihatkan
kemajuan yang mantap. Selama periode tahun 1982/83 hingga tahun 1987/88, jumlah perusahaan yang memasarkan saham dan
obligasi melalui pasar modal mencapai 24 perusahaan dengan
jumlah saham yang diterbitkan sebanyak 57,5 juta lembar
yang bernilai Rp.131,1 milyar. Dalam periode yang sama j uga
telah dilakukan penjualan obligasi sebanyak 295,3 ribu lembar
sehingga dana masyarakat yang dapat dihimpun melalui sarana
pasar modal ini, sampai dengan Desember 1987 telah mencapai
Rp.504,7 milyar.
Selain itu, jumlah perusahaan yang telah memperoleh izin
usaha di bidang perantara perdagangan efek, sampai dengan Desember 1987, telah mencapai 34 perusahaan diantaranya 11 perusahaan sebagai perantara murni dan 10 lembaga keuangan bukan
273
bank. Di samping itu, jumlah pedagang efek telah mencapai 18
perusahaan (diantaranya dilakukan oleh 3 bank), dan jumlah
bank yang mendapatkan izin sebagai trustee di bidang emisi
obligasi dan yang mendapatkan izin sebagai guarantor masing masing telah meliputi 4 bank.
Dalam rangka penyempurnaan lebih lanjut pening katan peranan pasar modal, maka pada tanggal 24 Desember 1987 telah
dikeluarkan serangkaian kebijaksanaan yang menyangkut penye derhanaan prosedur yang harus ditempuh perusahaan yang akan
memanfaatkan dana masyarakat melalui emisi efek di bursa sa ham. Kalau sebelumnya pelaksanaan emisi efek memerlukan 8 dokumen, setelah dikeluarkannya peraturan baru hanya diperlukan
3 dokumen, yaitu rancangan prospektus, laporan keuangan dan
anggaran dasar perusahaan. Selain ini, pemberian izin emisi
tidak lagi memerlukan biaya dan apabila dalam waktu 30 hari
izin belum juga keluar maka pemberian izin berlaku otomatis.
Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987 ini, juga menyangkut ketentuan diperkenankannya pembentukan bursa paralel. Maksud
daripada pembentukan bursa paralel ini adalah untuk menyediakan lembaga bursa saham alternatif yang mempunyai persyaratan
yang lebih longgar daripada yang berlaku pada bursa saham
yang telah berjalan selama ini. Diharapkan bahwa langkah ini
akan mempermudah perusahaan-perusahaan sedang dan menengah
untuk dapat memanfaatkan sistem "go public" dalam penggunaan
dana masyarakat untuk keperluan kegiatan investasinya. Suatu
kemudahan yang berlaku di bursa paralel adalah syarat untuk
melaksanakan emisi yang cukup dengan kemampuan dari perusahaan yang bersangkutan untuk menunjukkan prospek usahanya yang
baik, dibandingkan dengan persyaratan yang berlaku di bursa
saham yang telah berjalan, di mina dipersyaratkan adanya laba
selama dua tahun berturut-turut.
Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987 merupakan satu
langkah maju lagi dari serangkaian paket kebijaksanaan yang
telah dilaksanakan selama periode tahun 1982/83-1987/88 yang
ditujukan untuk melaksanakan amanat Garis-garis Besar Haluan
Negara, bahwa: pengerahan dana-dana tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan, termasuk lembaga perbankan,
lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal perlu makin di tingkatkan dalam bentuk deposito, penerbitan surat berharga
dan jenis tabungan lainnya sehingga peranannya sebagai sumber
dana pembangunan makin meningkat.
274
Download