KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Sebagai kelanjutan dari upaya pada tahap-tahap pembangunan sebelumnya maka pokok-pokok kebijaksanaan yang telah dilaksanakan selama periode 1983/84-1987/88 (sampai dengan Desember 1987), termasuk pelaksanaan empat tahun pertama Re pelita IV, tetap berpegang pada prinsip anggaran berimbang dan dinamis dan pencapaian keseimbangan moneter, dalam ra ngka pencapaian Trilogi Pembangunan. Dalam hubungan ini terus di giatkan langkah-langkah untuk memperbesar sumber-sumber pembiayaan pembangunan dari dalam negeri, melalui peningkatan tabungan pemerintah maupun penggalakan mobilisasi tabungan masyarakat. Dana bantuan luar negeri tetap digunakan dengan mengupayakannya agar tetap berfungsi sebagai pelengkap, se mentara itu kesinambungan pembangunan dapat diupayakan ter pelihara secara realistis. Kebijaksanaan di bidang keuangan negara dan moneter, termasuk upaya pembinaan lembaga-lembaga keuangan selama periode empat tahun pertama pelaksanaan Repelita IV telah diserasikan dengan arah, tujuan serta sasaran tahap pembangu nan terencana guna terciptanya landasan pembangunan yang kuat untuk kemudian terus dikokohkan menjelang tahap tinggal landas. Berbagai kebijaksanaan selama periode ini juga telah menyangkut rangkaian upaya untuk dapat mengatasi beberapa ujian berat melalui berbagai langkah penyesuaian terhadap perubahan-perubahan struktural yang terjadi pada perekonomian dunia. Pelaksanaan pembangunan selama telah dipengaruhi oleh perkembangan periode 1983/84-1987/88 yang serba tidak pasti 173 pada perekonomian dunia, yang meliputi masa terjadinya rese si, merosotnya harga-harga komoditi primer terutama minyak mentah di pasaran dunia serta perubahan-perubahan yang cukup besar sejak akhir tahun 1985 dalam nilai-tukar antara beberapa mata-uang utama dunia. Dibandingkan dengan perkembangan di banyak negara lain, maka berbagai gejolak tersebut telah da pat kita atasi secara memadai berkat serangkaian langkah yang telah ditempuh sejak bulan Juni 1983 di bidang moneter dan sejak Januari 1984 di bidang penerimaan keuangan negara, di samping serangkaian paket kebijaksanaan penyesuaian lainnya. Sesuai dengan perkembangan di atas, maka di bidang keuangan negara, realisasi penerimaan dalam negeri telah dapat ditingkatkan dari Rp 12.418,3 milyar pada tahun 1982/83 men jadi Rp.15.905,5 milyar dan Rp.19.252,8 milyar pada masing masing tahun 1984/85 dan 1985/86. Peningkatan ini terutama berhasil dicapai oleh upaya yang lebih besar dalam mobilisasi penerimaan dalam negeri dari sektor nonmigas. Pada tahun 1986/87, ketika penerimaan dalam negeri menurun menjadi Rp.16.140,6 milyar, maka penerimaan di luar migas tetap dapat ditingkatkan menjadi Rp.9.803,0 milyar dibandingkan dengan realisasi penerimaannya yang masih sebesar Rp.4.247,9 milyar dan Rp.5.475,6 milyar, masing-masing pada tahun 1982/83 dan 1984/85. Pada tahun 1987/88, jumlah penerimaan dalam negeri yang direncanakan di dalam APBN adalah sebesar Rp.17.236,1 milyar, dan realisasinya dalam semester I telah mencapai jumlah sebesar Rp.9.023,2 milyar karena membaiknya harga ekspor minyak mentah menjadi sekitar US$ 17,40/barrel dari tingkat US$ 15,00/barrel yang diperkirakan di dalam APBN. Dana pembangunan yang terdiri dari tabungan pemerintah dan dana bantuan luar negeri, dalam tahun 1982/83 berjumlah Rp.7.362,0 milyar sedangkan pada tahun 1985/86 jumlahnya telah mencapai Rp.10.873,9 milyar karena adanya penyempurnaan yang terus menerus diadakan di bidang penerimaan dalam negeri nonmigas, upaya penghematan yang lebih ketat serta prioritas yang lebih dipertajam lagi di bidang pengeluaran rutin. Pada realisasi tahun 1986/87 serta APBN tahun 1987/88 dana pem bangunan menurun menjadi masing-masing Rp.8.333,5 milyar dan Rp.7.756,6 milyar. Hal ini terutama disebabkan oleh jatuh temponya sejumlah hutang-hutang luar negeri bersamaan dengan perubahan nilai tukar yang telah memperbesar jumlah penge luaran rutin pada pos pembayaran kembali pinjaman. Sebagai akibatnya pengeluaran rutin menjadi sebesar Rp.13.559,3 mil yar dan Rp.15.026,5 milyar pada masing-masing dua tahun ter- 174 akhir tersebut. Perkembangan ini selanjutnya mengakibatkan menurunnya jumlah tabungan pemerintah dalam komponen dana pembangunan menjadi Rp.2.581,3 milyar pada realisasi tahun 1986/87 dan Rp.2.209,6 milyar pada APBN 1987/88 dibandingkan dengan realisasinya sebesar Rp.5.422,0 milyar pada tahun 1982/83 dan Rp.7.301,3 milyar pada tahun kedua pelaksanaan Repelita IV. Di lain pihak, dengan tetap mempertahankan prinsip anggaran berimbang dan dinamis, telah dapat diupayakan peningkatan realisasi pengeluaran pembangunan sehingga mencapai Rp.10.873,1 milyar pada tahun 1985/86 dibandingkan dengan jumlahnya sebesar Rp.7.359,6 milyar pada tahun 1982/83. Pada tahun 1966/87 dan 1987/88 telah diupayakan jumlah pengeluaran pembangunan yang menurunnya tidak terlalu berarti dengan lebih mempertajam prioritas pembangunan. Ringkasan realisasi anggaran pendapatan dan belanja ne gara selama periode 1983/84 - 1987/88 termasuk keadaan pada tahun 1982/83, dapat diikuti pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Di bidang moneter, telah diadakan langkah-langkah deregulasi sejak bulan Juni 1983 dalam rangka upaya untuk lebih menggalakkan mobilisasi tabungan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan perbankan menyalurkan dana yang terhimpun secara efektif. Sejak itu kebijaksanaan moneter menekankan pada pengurangan campur tangan secara langsung, yang tercer min pada langkah-langkah penghapusan pagu kredit, pemberian kebebasan dalam penentuan tingkat suku bunga dan pembatasan kredit likuiditas Bank Indonesia pada kredit berprioritas tinggi. Pengendalian moneter lebih mengandalkan pada cara yang tidak langsung seperti kebijaksanaan pasar terbuka dengan menggunakan instrumen seperti SBI (Sertifikat Bank Indonesia) dan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). Selanjutnya, mengingat akan perlunya mempertahankan kelangsungan sistem lalu-lintas devisa yang bebas, juga telah ditempuh langkah langkah untuk memelihara tingkat suku bunga yang menjamin keseimbangan moneter di dalam negeri dengan memperhatikan perkembangan moneter di luar negeri. Melalui berbagai langkah di atas maka jumlah uang beredar dapat dikendalikan sehingga kestabilan moneter dapat dipertahankan. Hal ini tercermin dari perkembangan selama ini, yang menunjukkan bahwa jumlah uang beredar dalam tahun 1982/83, 1984/85, 1985/86 dan 1986/87 telah meningkat sebesar masing-masing 8,9%, 11,6%, 16,5%, dan 9,8%, sedangkan laju kenaikan harga-harga dalam waktu yang sama adalah sebesar 175 TABEL IV – 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) 1982/83 Penerimaan Dalam Negeri 14.432,7 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 *) 15.905,5 19.252,8 16.140,6 9.023,2 Pengeluaran Rutin 6.996,3 8.411,8 9.429,0 11.951,5 13.559,3 7.179,6 Tabungan Pemerintah 5.422,0 6.020,9 6.476,5 7.301,3 2.581,3 1.843,6 3.478,0 3.572,6 5.752,2 2.510,2 ( ( Dana Bantuan Luar Negeri 1.940, 0 (Bantuan Program) ( (Bantuan Proyek) (1.924,9) (3.867,5) (3.408,7) (3.503,4) (3.794,7) (2.457,9) Dana Pembangunan 7.362,0 9.903,3 9.954,5 10.873,9 8.333,5 4.353,8 Pengeluaran Pembangunan 7.359,6 9.899,2 9.951,9 10.873,1 8.332,0 4.352,0 Surplus (+)/Defisit (-) *) Realisasi Semester I 176 12.418,3 1983/84 15,1) + 2,4 3.882,4 ( 14,9) + 4,1 69,3) + 2,6 69,2) + 0,8 (1.957,5) + 1,5 ( 52,3) + 1,8 GRAFIK IV – 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA 1982/83 – 1987/88 177 masing-masing 8,4%, 3,6%, 5,7%, dan 8,8%. Hal ini selanjutnya tercermin pada perkembangan jumlah dana perbankan yang pada tahun 1986/87 telah mencapai Rp.24.060,0 milyar dibanding dengan jumlahnya sebesar Rp.10.190,7 milyar pada tahun 1982/83 dan sebesar Rp.16.687,8 milyar pada tahun pertama pelaksanaan Repelita IV. Dalam tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987), pertumbuhan jumlah uang beredar, dana per bankan serta laju inflasi adalah masing-masing sebesar 6,5%, 20,6% dan 7,4%. B. KEUANGAN NEGARA 1. Penerimaan Dalam Negeri Perkembangan di bidang keuangan negara sejak tahun 1984/85 menunjukkan semakin membaiknya struktur penerimaan dalam negeri, dengan semakin besarnya peranan penerimaan di luar migas dibandingkan dengan penerimaan dari sumber minyak bumi dan gas alam. Telah disadari sejak akhir Repelita III bahwa peranan penerimaan dari sumber migas akan menjadi semakin menurun. Atas dasar itu, suatu sasaran penting Repelita IV di bidang penerimaan dalam negeri adalah perbaikan strukturnya, di samping peningkatan jumlahnya. Sejalan dengan itu , sejak 1 Januari 1984 melalui Undang-undang Nomor 6, 7 dan 8 tahun 1983, telah diberlakukan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-undang tentang Pajak Penghasilan serta Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Selanjutnya, sejak 1 Januari 1986 telah diberlakukan Undang undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan serta Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai. Pembaharuan dalam sistem perpajakan ini menyangkut penyederhanaan peraturan prosedur dan tarif pajak, peningkatan jaminan hukum serta peningkatan keterampilan dan keahlian aparatur perpajakan termasuk komputerisasi administrasinya. Dengan pembaharuan ini, peningkatan keikutsertaan masyarakat s ecara sadar dapat semakin memperluas dasar pajak sehingga pada akhirnya memperbesar penerimaan di luar migas secara efektif dan berkesinambungan. Sebagaimana dapat diikuti pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2, realisasi penerimaan dalam negeri pada tahun 1982/83 mencapai Rp.12.418,3 milyar dan penerimaan di luar migas mencapai Rp.4.247,9 milyar, yang merupakan 34,2% dari jumlah 178 TABEL IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1982/83 - 1987/88 (dalam milyar rupiah) Jenis Penerimaan 1983/84 1984/85 1985/86 Penerimaan minyak bumi dan gas a]am 8.170,4 9.520,2 10.429,9 11.144,4 6.337,6 4.647,7 Penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam 4.247,9 4.912,5 5.475,6 8.108,4 9.803,0 4.375,5 12.418,3 14.432,7 15.905,5 19.252,8 16.140,6 9.023,2 Jumlah : * ) Realisasi Semester I 179 1986/87 1987/88 * ) 1982/83 GRAFIK IV – 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI 1982/83 – 1987/88 180 penerimaan dalam negeri. Terutama ditunjang oleh penerimaan dari sumber migas di samping penerimaan di luar migas, maka realisasi penerimaan dalam negeri sampai dengan tahun 1985/86 terus meningkat sehingga, mencapai Rp.19.252,8 milyar. Pada tahun 1986/87, untuk pertama kali terjadi penurunan pada realisasi penerimaan dalam negeri menjadi Rp.16.140,6 milyar yang disebabkan oleh penurunan besar penerimaan migas dari Rp. 11.144,4 milyar pada tahun. 1985/86 menjadi Rp.6.337,6 milyar pada tahun 1986/87. Penurunan penerimaan dari sumber migas ini disebabkan oleh merosotnya harga ekspor minyak men tah di pasar dunia, khususnya ketika sekitar bulan Agustus 1986 harga minyak mentah dunia jatuh sampai mencapai US$ 9/ barrel dibanding dengan tingkat tertingginya sebesar US$ 35/ barrel pada tahun 1981. Di lain pihak, berkat langkah -langkah mendasar di bidang perpajakan sejak masa enjelang awal Repelita IV, maka realisasi penerimaan dari sumber di luar migas telah dapat terus ditingkatkan. Peranan penerimaan di luar migas yang pada tahun 1982/83 masih sebesar 34,2 %, pada ta hun 1985/86 meningkat menjadi 42,1% dan pada tahun 1986/87 naik menjadi 60,7%. Apabila pada tahun 1982/83 baru dapat dihimpun penerimaan di luar migas sebesar Rp.4.247,9 milyar maka pada tahun terakhir Repelita III, jumlahnya meningkat menjadi Rp. 4.912,5 milyar. Selama pelaksanaan Repelita IV sampai dengan tahun 1986/87 penerimaan dari sumber di lua r minyak bumi dan gas alam mengalami peningkatan yang cukup besar, dari Rp. 5.475,6 milyar pada tahun 1984/85 menjadi Rp. 8.108,4 milyar dan Rp.9.803,0 milyar pada masing-masing tahun 1985/86 dan tahun 1986/87. Selama periode 1983/841986/87, langkah-langkah pembaharuan perpajakan di bidang non migas telah mencapai hasil-hasil yang menggembirakan seperti ditunjukkan oleh meningkatnya penerimaan di luar migas se besar Rp. 4.890,5 milyar, yang telah dapat mengimbangi penu runan sebesar Rp. 3.182,6 milyar pada penerimaan dari sumber minyak bumi dan gas alam selama periode yang sama. Sementara itu, realisasi semester I tahun anggaran 1987/88 telah meng hasilkan penerimaan di luar migas sebesar Rp. 4.375,5 milyar. Perkembangan penerimaan dalam negeri juga dapat diikuti pada Tabel IV-3, Grafik IV-3, dan Tabel IV-4, Grafik IV-4. Diberlakukannya Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983 untuk menggantikan Undang-undang Pajak Pendapatan 1944, Undang-undang Pajak Perseroan 1925, Undang-undang PBDR 1970 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1967 tentang MPO/MPS, dimak sudkan untuk lebih meningkatkan penerimaan negara dalam rang- 181 TABEL IV – 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1982/83 – 1987/88 (MILYAR RUPIAH) *) Realisasi Semester I 182 GRAFIK IV – 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1982/83 – 1987/88 183 TABEL IV - 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) Jenis Penerimaan 1. Pajak Penghasilan 2. Pajak Pertambahan Nilai 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88*) 1.706,5 1.932,3 2.121,0 2.313,0 2.270,5 1.192,0 701,6 830,6 878,0 2.326,7 2.900,1 1.565,0 3. Bea Masuk 521,9 557,0 530,1 607,3 960,1 473,9 4. Cukai 620,1 773,2 872,6 943,7 1.055,8 518,2 5. Pajak Ekspor 82,5 104,0 91,0 50,5 78,8 78,8 6. Pajak Lainnya 68,5 64,0 138,4 105,2 132,4 157,2 190,4 190,0 108,9 7. Pajak Bumi dan Bangunan 208,2 167,5 8. Penerimaan Bukan Pajak 435,6 519,0 687,3 1.491,5 2.157,3 376,1 4.247,9 4.912,5 5.475,6 8.108,4 9.803,0 4.375,4 Jumlah : *) Realisasi Semester I 184 1982/83 62,5 GRAFIK IV – 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM 1982/83 – 1987/88 185 ka upaya untuk lebih memperkokoh kemampuan untuk membiayai pembangunan nasional secara mandiri. Hal ini dimungkinkan karena sistem pajak penghasilan yang baru ini didasarkan pada prinsip kesederhanaan, kepastian dan pemerataan. Di samping itu, dalam sistem pajak penghasilan yang baru ini, dasar pe ngenaan pajak juga lebih luas yaitu dengan dimasukkannya se mua jenis penghasilan sebagai obyek pajaknya. Beberapa fasilitas dan pembebasan yang tadinya diperkenankan di dalam sis tem perpajakan yang lama, di dalam sistem pajak penghasilan yang baru tidak diperkenankan lagi. Untuk lebih memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan serta memudahkan bagi wajib pajak maupun pemungut pajak dalam pembayaran pajak perseorangan, di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983 antara lain ditetapkan lapisan kena pajak dan penggolongan tarif yang lebih sederhana. Lapisan kena pajak yang semula terdiri dari sepuluh lapisan telah disederhanakan menjadi tiga lapis an tarif saja, yaitu 15% untuk penghasilan sampai dengan Rp. 10 juta, 25% untuk penghasilan di atas Rp. 10 juta sam pai dengan Rp. 50 juta, dan 35% untuk penghasilan di atas Rp. 50 juta. Dalam pada itu batas pendapatan bebas pajak (BPBP) yang sebelumnya untuk satu keluarga suami, isteri serta tiga orang anak adalah sebesar Rp. 1.050.000,- kini dalam bentuk penghasilan tidak kena pajak (PTKP) ditingkatkan menjadi Rp. 2.880.000,-. Dari PTKP itu besarnya PTKP untuk diri wajib pajak adalah sebesar Rp. 960.000,-, tambahan untuk wajib pajak yang kawin sebesar Rp. 480.000,- per tahun, dan untuk setiap orang keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus serta anak angkat adalah sebesar Rp. 480.000,- per tahun, yaitu untuk setiap keluarga yang terdiri dari paling banyak 3 (tiga) orang anak. Dalam pada itu untuk isteri yang memper oleh penghasilan dari usaha atau dari pekerjaan yang tidak ada hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga yang lain akan mendapat tambahan PTKP sebesar Rp. 960.000,-. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Tahun 1983, tiga lapisan tarif pajak tersebut berlaku pula untuk subyek pajak yang berbentuk badan (Pajak Penghasilan Badan). Dalam sistem perpajakan yang berlaku sebelumnya, tarif pajak perseroan yang tertinggi adalah sebesar 45% sedangkan dalam Undangundang Pajak Penghasilan yang baru tarif tertinggi adalah se besar 35%. Meskipun struktur tarif dalam sistem perpajakan lama yang berlaku sebelumnya kelihatannya cukup progresif akan tetapi dalam pelaksanaannya dirasakan kurang memenuhi sasaran yang diharapkan. Tingginya tarif yang berlaku telah menyebabkan rangsangan bagi wajib pajak untuk menghindari 186 pajak melalui berbagai cara yang dimungkinkan karena rumitnya sistem perpajakan yang ada. Sebaliknya sistem yang baru akan menghasilkan progresivitas yang lebih besar mengingat lebih banyaknya jumlah wajib pajak berpenghasilan tinggi akan memenuhi kewajibannya, walaupun tarif maksimal akan lebih ren dah. Dalam pada itu berbagai fasilitas keringanan pajak yang selama ini diberikan akan dihapuskan sedangkan sebagai gantinya fasilitas tersebut ditampung menjadi satu dan disederha nakan dalam bentuk tarif yang lebih ringan serta dipercepat nya masa penyusutan. Sementara itu, di bidang pajak atas bunga, dividen dan royalty, telah diambil kebijaksanaan untuk membebaskan pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya, sedangkan pengaturannya lebih lanjut akan dikaitkan dengan perkembangan moneter dan perekonomian di dalam negeri. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat menghimpun sebesar-besarnya dana dari masyarakat guna ikut membiayai pembangunan nasional yang se dang dilaksanakan. Dengan langkah pembaharuan tersebut realisasi penerimaan pajak penghasilan cukup mengalami kemajuan. Apabila dalam tahun 1982/83 penerimaan pajak pendapatan, pajak perseroan, MPO/MPS, dan PBDR baru mencapai Rp. 1.706,5 milyar, maka dalam tahun 1984/85 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Undang-undang Pajak Penghasilan telah meningkat menjadi Rp. 2.121,0 milyar, atau suatu peningkatan sebesar 24,3% dalam masa dua tahun. Sedangkan untuk tahun 1986/87 besarnya pajak penghasilan tersebut telah meningkat lagi menjadi Rp. 2.270,5 milyar, dan dalam semester 1 tahun 1987/88 diperkirakan mencapai sebesar Rp. 1.192,0 milyar. Diberlakukannya Undang-undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk menggantikan Undang-undang Pajak Penjualan Tahun 1951, dimaksudkan untuk dapat lebih meningkatkan jenis penerimaan ini. Hal ini disebabkan karena dalam sistem perpajakan yang baru ini antara lain lebih ditekankan unsur kesederhanaan dan kepastian di dalam pengenaan pajaknya, sehingga diharapkan lebih mendorong kesadaran wajib pajak dalam memenuhi kewaji ban pajaknya. Dalam sistem baru ini tarif yang diterapkan hanya terdiri dari dua jenis tarif yaitu 0% dan 10%, sedang kan bagi barang mewah dikenakan tambahan tarif pajak khusus sebesar 10% dan 20%. Berdasarkan pertimbangan ekonomi, kebu tuhan dana untuk pembangunan serta pengendalian poly konsumsi mewah, terdapat keluwesan untuk mengubah tarif pajak pertam bahan nilai tersebut menjadi serendah-rendahnya 5% dan se- 187 tinggi-tingginya 15% dan untuk mengubah tarif pajak penjualan atas barang mewah menjadi setinggi-tingginya 35%. Dalam undang-undang yang baru ini tarif pajak atas barang-barang ekspor adalah 0%. Dalam sistem yang lama, tarif pajak penjua lan bervariasi antara delapan jenis tarif yaitu 0%, 1%, 2,5%, 5%, 7,5%, 10%, dan 20%, sedangkan tarif tertinggi adalah sebesar 40%, misalnya tarif pajak penjualan yang dikenakan atas kendaraan bermotor berbahan baker solar seperti kenda raan bermotor jenis sedan/station wagon dan serba guna (jeep) pada tahun 1985/86. Kesederhanaan tarip yang diterapkan sangat membantu pelaksanaan sistem perpajakan baru karena lebih mudah dipahami baik oleh pemungut pajak maupun pembayar pajak. Dalam sistem yang baru juga diatur secara lebih tegas dan lebih jelas mengenai ketentuan pembayaran kembali daripa da pajak yang kelebihan dibayar. Hal ini pada gilirannya memberikan rasa aman bagi wajib pajak terutama mereka yang mera sa membayar lebih daripada yang seharusnya, sehingga diha rapkan hal ini akan mendorong kepatuhan untuk membayar pajak. Dalam ketentuan undang-undang pajak pertambahan nilai, juga dikenal sistem kredit, yaitu beban pajak yang telah ada pada bahan baku yang dipakai suatu perusahaan, dapat diperhitungkan/dikurangkan dari pajak pertambahan nilai (PPN) yang terhitung atas hasil produksi perusahaan itu. Ketentuan tersebut dapat menghilangkan efek pajak berganda yang pada masa sebelumnya terjadi dalam sistem pajak penjualan yang lama. Dengan demikian di samping mendorong wajib pajak untuk mematuhi membayar pajak, hilangnya pajak berganda tersebut juga menghilangkan berbagai usaha untuk melakukan integrasi vertikal antara dua perusahaan atau lebih yang semata-mata demi menghindari pajak dan bukan atas pertimbangan efisiensi. Dalam perdagangan luar negeri, sistem baru ini mengin tegrasikan tarif pajak pertambahan nilai yang dikenakan atas barang-barang impor dan yang dikenakan atas barang -barang produksi dalam negeri, sehingga hal ini menghindari adanya diskriminasi terhadap barang-barang tertentu. Demikian juga pajak pertambahan nilai yang telah dipungut atas bahan baku yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor secara berkala dapat dikembalikan. Di samping itu dalam sistem yang baru juga terdapat batasan yang jelas daripada perusahaan perusahaan kecil sehingga menunjang upaya penyeragaman beban pajak antara berbagai perusahaan yang berbeda ukurannya. Perlakuan ini akan menghilangkan diskriminasi terhadap perusaha - 188 an-perusahaan kecil tertentu dan dengan demikian menciptakan iklim usaha yang lebih menarik bagi golongan ekonomi lemah. Dengan berbagai langkah yang dilaksanakan di bidang pajak pertambahan nilai tersebut, nampak berbagai kemajuan yang cukup menonjol. Kalau dalam tahun 1984/85 besarnya pene rimaan pajak penjualan dan pajak penjualan impor, baru mencapai jumlah sebesar Rp. 878,0 milyar, maka sejak mulai diberlakukannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 pada tahun 1985/86, jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp. 2.326,7 milyar, yang berarti terdapat peningkatan sebesar 165%. Jenis penerimaan ini untuk masa berikutnya terus berkembang, sehingga menjadi Rp 2.900,1 milyar pada tahun 1986/87, dan dalam semester I 1987/88 dari yang dianggarkan dalam APBN sebesar Rp 3.546 milyar diperkirakan telah dapat direalisir sebesar Rp 1.565,0 milyar. Untuk tahun-tahun mendatang penerimaan pajak pertambahan nilai ini diperkirakan dapat terus meningkat sejalan dengan semakin mantapnya perekonomian nasional. Bea masuk sebagai suatu sarana fiskal selama periode tahun 1982/83-1987/88, berkembang sesuai dengan peranannya sebagai sumber penerimaan negara maupun sebagai pengatur arus serta komposisi impor pada tahap pembangunan yang sedang berjalan ini. Dalam hubungan ini, berbagai paket kebijaksanaan penyesuaian di bidang impor yang ditempuh selama periode tersebut telah mempengaruhi pertumbuhan jenis penerimaan ini. Beberapa langkah penting tersebut adalah kebijaksanaan melan carkan arus barang impor dan ekspor untuk mengatasi ekonomi biaya tinggi yang tertuang di dalam Inpres Nomor 4 Tahun 1985, langkah untuk menghapuskan subsidi ekspor dalam bentuk sertifikat ekspor mulai 1 April 1986 serta mengembalikannya kepada sistem "drawback" murni, paket kebijaksanaan 6 Mei 1986 yang dimaksudkan untuk lebih menunjang sektor swasta terutama dalam kegiatan penanaman modal, kebijaksanaan deva luasi 12 September 1986 yang telah meningkatkan nilai rupiah impor yang terkena bea masuk, serta langkah kebijaksanaan 25 Oktober 1986 dan 15 Januari 1987 yang menyangkut penurunan tarif bea masuk untuk menunjang penciptaan iklim berusaha yang lebih menarik. Agar dapat memberikan perlindungan yang lebih efisien terhadap produksi dalam negeri yang memberikan nilai tambah yang tinggi dan banyak menyerap tenaga kerja, maka sarana perlindungan yang berbentuk non-tarif telah diganti dengan sarana tarif bea masuk. Selain itu, juga telah diupayakan untuk terus menurunkan serta menyederhanakan 189 struktur tarif bea masuk. Atas dasar perkembangan tersebut, maka realisasi penerimaan bea masuk pada tahun pertama sampai dengan tahun ketiga pelaksanaan Repelita IV berjumlah masing masing Rp.530,1 milyar, Rp.607,3 milyar dan Rp.960,I milyar. Pada tahun 1987/88, realisasi semester I, telah dicapai jum lah sebesar Rp.473,9 milyar atau 71,6% dari jumlah APBNnya. Kebijaksanaan yang dilaksanakan di bidang cukai pada prinsipnya masih tetap melanjutkan kebijaksanaan dalam Repelita III, yakni tidak saja diarahkan agar dapat senantiasa memberikan sumbangan kepada penerimaan negara, namun diarah kan pula agar mampu mendorong berkembangnya industri dalam negeri yang banyak menyerap tenaga kerja. Dalam hubungan ini, untuk cukai tembakau yang selama ini merupakan bagian terbesar dari penerimaan cukai, selalu diupayakan agar kebijaksa naan pengaturannya tetap memperhatikan terjaganya sifat padat karya, terutama bagi perusahaan rokok sigaret keretek (SKT). Untuk itu senantiasa dilakukan penyesuaian tarif cukainya, selaras dengan perkembangan perekonomian pada umumnya. Kebijaksanaan di bidang cukai gula, bir, dan alkohol su ling, dalam Repelita IV terus mendapatkan penanganan dengan hasil yang cukup menggembirakan. Apabila dalam tahun 1982/83 besarnya penerimaan cukai, baru mencapai jumlah sebesar Rp.620,1 milyar, maka tiga tahun kemudian, yakni 1985/86 pe nerimaan tersebut telah meningkat menjadi Rp.943,7 milyar. Peningkatan yang cukup besar terjadi pula pada tahun 1986/87, yaitu sebesar Rp.1.055,8 milyar, yang berarti telah meningkat sebesar 11,9% dari tahun 1985/86. Realisasi penerimaan cukai semester I 1987/88 adalah sebesar Rp.518,2 milyar. Sebagaimana masa sebelumnya, kebijaksanaan pajak ekspor senantiasa diarahkan tidak hanya untuk menghimpun dana penerimaan di bidang ekspor, namun ditujukan pula untuk memeliha ra kelestarian sumber alam. Dalam rangka meningkatkan dan melancarkan ekspor barang serta demi memperluas kesempatan ker ja, maka terhadap rotan dan hasil olahannya yang semula dikenakan tarif sebesar 20%, sejak bulan Oktober 1986 tarifnya telah ditinjau kembali dan ditetapkan menjadi 30%. Kebijaksa naan ini diharapkan akan lebih menunjang berkembangnya indus tri dalam negeri khususnya yang menggunakan bahan rotan yang pada gilirannya akan memperluas kesempatan kerja. Selanjutnya untuk lebih menunjang berkembangnya industri pengolahan kayu sekaligus pula untuk memelihara keseimbangan hutan, pada bu lan Nopember 1986 telah pula ditetapkan tarif baru terhadap 190 ekspor kayu gergajian yang besarnya 30%. Selain daripada itu, untuk lebih mendorong dan mempertahankan pasaran ekspor untuk komoditi tertentu, maka terhadap biji kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil), minyak kelapa, refined bleached deodorized stearin (RDB), tarif pajak ekspornya telah diturunkan menjadi 0%. Sementara itu terhadap minyak kelapa sawit mentah tarif pajak ekspor tambahan yang dikena kan juga telah diturunkan menjadi 0%. Pada tahun 1982/83 realisasi penerimaan pajak ekspor mencapai jumlah sebesar Rp. 82,5 milyar. Jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp.104,0 milyar pada tahun 1983/84, yang berarti telah meng alami kenaikan sebesar Rp.21,5 milyar atau 26,1%. Namun se menjak tahun 1983/84 jenis penerimaan yang berasal dari pungutan kegiatan ekspor ini menurun terus, sehingga pada tahun 1986/87 mencapai jumlah yang besarnya Rp.78,8 milyar. Tingkat penerimaan terendah terjadi pada tahun 1985/86 sehingga besarnya penerimaan pajak ekspor saat itu hanya mencapai Rp.50,5 milyar. Keadaan tersebut di samping karena pengaruh melemahnya harga dan volume ekspor nonmigas Indonesia karena terjadinya kelesuan perekonomian dunia, juga disebabkan oleh kebijaksanaan penurunan tarif pajaknya, terutama dalam rangka mendorong meningkatnya ekspor nonmigas. Penerimaan negara yang berasal dari pajak lainnya, pada masa sebelum diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan terdiri dari bea mete rai, bea lelang dan pajak kekayaan sedangkan sesudah 1 Januari 1986 pajak lainnya hanya terdiri dari bea meterai dan bea lelang karena pajak kekayaan dilebur kedalam Pajak Bumi dan Bangunan. Masih dalam rangka upaya pembaharuan sistem perpa jakan, maka pada tanggal 1 Januari 1986 juga telah mulai diberlakukan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Peraturannya menjadi lebih sederhana sebagaimana tercermin dari struktur tarifnya yang hanya terdiri dari dua tingkatan, yakni sebesar Rp.500,- dan Rp.1.000,-. Sementara itu juga terus diupayakan penyempurnaan pemungutan bea lelang terutama melalui peningkatan mutu pelaksa naan lelang. Langkah-langkah yang telah ditempuh tersebut menunjukkan hasil yang cukup memadai. Kalau dalam tahun 1982/83 penerimaan lainnya baru mencapai Rp.68,5 milyar, maka pada tahun 1985/86 penerimaan pajak lainnya telah meningkat menjadi Rp.208,2 milyar. Lonjakan ini di samping menunjukkan semakin 191 membaik administrasinya, juga disebabkan oleh karena pada tahun 1985/86 kelompok pajak lainnya juga menampung penerimaan yang berasal dari uang tebusan pengampunan pajak. Pada tahun berikutnya tidak lagi terjadi lonjakan realisasi tersebut karena telah berakhirnya masa pengampunan pajak. Pada tahun 1986/87 pajak lainnya mencapai Rp.190,4 milyar sedangkan realisasi semester I tahun 1987/88 mencapai jumlah seb esar Rp.108,9 milyar. Adanya beban berganda yang ditanggung masyarakat atas kebendaan serta kekayaan sebagai obyek pajak merupakan salah satu pertimbangan untuk melaksanakan pembaharuan peraturan perpajakan di bidang ini. Untuk itu, pada 1 Januari 1986 telah mulai diberlakukan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Beberapa kelebihan yang me lekat pada peraturan ini tercermin dari kesederhanaan penga turan tarifnya, mudah dipahami, adil, dan lebih memberikan kepastian hukum. Tarif yang dikenakan pada obyek pajak adalah 0,5%, sehingga pengenaannya menjadi mudah dan menjamin kepastian hukum. Pengenaan pajaknya juga menjamin keadilan, sebab dikenakan menurut dasar perhitungan pajak, yakni nilai jual kena pajak yang besarnya diterapkan antara 20% sampai 100% dari nilai jual obyek pajak yang secara periodik diten tukan berdasarkan perkembangan kondisi perekonomian nasional. Pelaksanaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini diharapkan di masa mendatang akan lebih mendorong perkembangan pem bangunan daerah, mengingat 90% dari hasil pungutan pajak bumi dan bangunan diserahkan penggunaannya kepada Pemerintah Daerah, terutama Pemerintah Daerah Tingkat II. Dalam masa selanjutnya akan terus diadakan kerja sama yang lebih baik antara Peme rintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, khususnya di dalam pe nyempurnaan administrasi pendataan, penetapan, dan penagihan pajaknya, sehingga untuk mass selanjutnya dapat berkembang dalam meningkatkan penerimaan dari sektor pajak. Di samping itu karena tarifnya yang rendah dan pengenaannya didasarkan kepada obyek pajaknya, maka penyelundupan pajak yang semula dapat terjadi dapat dibatasi. Mengingat masih barunya bentuk peraturan ini, maka masih diperlukan berbagai langkah untuk memasyarakatkan Pajak Bumi dan Bangunan. Berbagai bentuk penyuluhan telah dilancarkan oleh aparat perpajakan dalam rangka memberikan pengetahuan kepada masyarakat luas, khususnya pada wajib pajak Ipeda dan Pajak Kekayaan, dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan ke sadarannya di bidang pajak. Dalam hubungan ini, kepada aparat 192 perpajakan sendiri telah pula diberikan berbagai pendidikan dan pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam menjalan kan tugasnya melayani para wajib pajak. Untuk itu berbagai kursus dan latihan telah diselenggarakan, baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga berlakunya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan ini didukung oleh aparat perpajakan yang bukan saja terampil namun juga lebih menghayati tugasnya sebagai aparat perpajakan. Walaupun dalam tahun-tahun awalnya penerimaan PBB ini masih belum seperti yang diharapkan, namun di masa mendatang jenis pajak ini diharapkan mampu memberikan sumbangan dana yang memadai bagi kesinambungan pembangunan. Dalam tahun 1982/83 penerimaan pajak yang bersumber dari Ipeda mencapai jumlah sebesar Rp.105,2 milyar, sedangkan pada tahun 1985/86 yang merupakan tahun terakhir berlakunya Ipeda, besarnya telah meningkat menjadi Rp.167,5 milyar atau suatu pe ningkatan sebesar 59,2% dalam waktu tiga tahun. Selanjutnya pada tahun pertama pelaksanaan PBB yaitu tahun 1986/87, realisasi penerimaannya diperkirakan mencapai Rp.190,0 milyar. Perkiraan realisasi semester I 1987/88 adalah sebesar Rp.62,5 milyar. Penerimaan bukan pajak meliputi berbagai penerimaan de partemen dan lembaga non-departemen, seperti penerimaan pendidikan, penerimaan jasa, penerimaan penjualan, penerimaan kejaksaan dan pengadilan serta bagian Pemerintah atas laba BUMN, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Kebijaksanaan yang telah dilaksanakan di bid ang ini merupakan upaya intensifikasi pengawasan serta penyempurnaan administrasinya. Dalam tahun 1982/83 realisasi penerimaan bukan pa jak mencapai Rp.435,6 milyar sedangkan pada tahun pertama pe laksanaan Repelita IV realisasinya meningkat menjadi Rp.68 7,3 milyar. Pada tahun 1985/86 terjadi lonjakan penerimaan yang besar menjadi Rp.1.491,5 milyar terutama karena peningkatan bagian Pemerintah atas laba BUMN. Pada tahun 1986/87, peneri maan bukan pajak di luar penerimaan laba penjualan BBM menca pai Rp.1.147,3 milyar, sedangkan penerimaan yang berasal dari penjualan BBM mencapai Rp.1.010,0 milyar. Realisasi penerima an dari penjualan BBM selama semester I tahun 1987/88 tidak mencapai jumlah yang di dalam APBNnya direncanakan sebesar Rp.114,3 milyar, terutama karena meningkatnya harga impor minyak mentah sebagai bahan baku penyulingan BBM. 193 2. Pengeluaran Rutin Selama kurun waktu 1983/84 - 1987/88 kebijaksanaan pengeluaran rutin tetap melanjutkan kebijaksanaan tahap pem bangunan sebelumnya yaitu berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan yang mengutamakan pemerataan pembangunan dan hasil hasilnya, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi serta stabi litas nasional yang sehat dan dinamis. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan telah diwujudkan melalui penambahan jumlah guru -guru sekolah dasar Inpres, tenaga perawat dan tenaga medis Puskes mas di berbagai daerah yang pembiayaannya ditampung melalui subsidi daerah otonom. Demikian pula dalam rangka menunjang pengembangan dunia usaha, perluasan kesempatan kerja dan pemerataan kegiatan pembangunan di daerah-daerah, melalui kebijaksanaan yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 telah diarahkan pembelian barang dan jasa kebutuh an departemen/lembaga kepada barang-barang hasil produksi dalam negeri, yang dihasilkan oleh para pengusaha golongan eko nomi lemah dan pengusaha setempat. Untuk memungkinkan tercip tanya tabungan Pemerintah yang diperlukan bagi pembiayaan pembangunan, maka pengeluaran rutin dilaksanakan sehemat dan seefisien mungkin melalui pengendalian sistem pengadaan dan pembelian barang kebutuhan Pemerintah, serta melalui pengurangan secara bertahap pemberian berbagai macam subsidi. Na mun demikian penghematan pengeluaran rutin tersebut d ilakukan tanpa mengurangi mutu pelayanan Pemerintah kepada masyarakat serta pengamanan kekayaan negara yang merupakan hasil-hasil kegiatan pembangunan. Selain pengeluaran belanja pegawai, be lanja barang dan subsidi daerah otonom, pengeluaran rutin me nampung pula pengeluaran untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang, baik berupa hutang dalam negeri maupun hutang luar negeri, serta lain-lain pengeluaran rutin. Dengan adanya berbagai kebijaksanaan tersebut di atas, maka pengeluaran rutin dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan secara terkendali. Bila dalam tahun 1982/83 jumlah realisasinya baru mencapai Rp.6.996,3 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah berkembang menjadi sebesar Rp.8.411,8 milyar. Selanjutnya dalam tahun ketiga Repelita IV yaitu dalam tahun 1986/87 jumlah realisasinya mencapai Rp.13.559,3 milyar atau sebesar dua kali realisasi tahun 1982/83. Dalam APBN tahun 1987/88 pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp.15.026,5 milyar, sedangkan realisasi untuk semester I adalah sebesar Rp.7.179,6 milyar. Jumlah dalam APBN 1987/88 tersebut terdiri 194 dari belanja pegawai sebesar Rp.4.316,9 milyar, belanja barang sebesar Rp.1.175,1 milyar, subsidi untuk daerah otonom sebesar Rp.2.649,1 milyar, pembayaran bunga dan cicilan hutang sebesar Rp.6.805,4 milyar dan lain-lain pengeluaran rutin sebesar Rp.80,0 milyar. Perkembangan pengeluaran rutin tersebut beserta komponen-komponennya dapat dilihat pada Tabel IV - 5 dan Grafik IV - 5. Kebijaksanaan belanja pegawai senantiasa ditujukan untuk menunjang peningkatan kemampuan dan pengabdian aparatur Pemerintah dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat deng an sebaik-baiknya. Dalam rangka meningkatkan kegairahan bekerja dan kesejahteraan pegawai, secara bertahap telah diusahakan untuk memperbaiki penghasilan pegawai/ABRI dan pen siunan sesuai dengan tingkat kemampuan keuangan negara. Dalam tahun anggaran 1983/84 telah diberikan gaji bulan ketiga be las untuk golongan I sebesar 125%, golongan II dan III sebesar 100%, dan golongan IV sebesar 75% dari penghasilan. Kemu dian dalam tahun 1984/85 diberikan kenaikan gaji sebesar 15%, dan dalam tahun 1985/86 kenaikan gaji sebesar 20% yang disertai kenaikan pensiun sebesar 27% - 59%. Demikian pula besarnya tunjangan beras yang diberikan untuk pegawai negeri sipil/ABRI dan pensiunan selalu disesuaikan dengan tingginya harga beras dipasaran. Pada tahun 1982/83 perhitungan harga beras adalah sebesar Rp.308,- per kg, yang dinaikan menjadi sebesar Rp.327,- per kg dalam tahun 1983/84, Rp.366,- per kg dalam tahun 1984/85, dan Rp.377,- per kg dalam tahun 1985/86 sampai dengan tahun 1987/88. Penyesuaian tunjangan beras ter sebut mempengaruhi pula besarnya uang makan/ lauk pauk. Atas dasar langkah-langkah di atas maka belanja pegawai telah meningkat dari sebesar Rp.2.418,1 milyar dalam tahun 1982/83 menjadi sebesar Rp.4.316,9 milyar atau hampir 2 kali lipat dalam APBN 1987/88. Perkembangan terperinci daripada belanja pegawai sejak tahun 1982/83 dapat dilihat pada Tabel IV-6. Melalui pedoman pelaksanaan APBN yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984, telah diupayakan untuk menciptakan iklim yang lebih baik, bagi berkembangnya dunia usaha, serta peningkatan perluasan dan pemerataan kesempatan kerja baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dalam hubungan ini lebih diutamakan pembelian barang dan jasa hasil produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh para pengusaha 195 TABEL IV - 5 PENGELUARAN RUTIN, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) Jenis Pengeluaran 1982/83 1983/84 1. Belanja Pegawai 2.418, 1 2. Belanja Barang a. Dalam Negeri b. Luar Negeri 1.041, 2 (1.007,0) ( 33,8) 3. Subsidi Daerah Otonom a. Belanja Pegawai b. Belanja Non-Pegawai 4. Bunga dan Cicilan Hutang a. Dalam Negeri b. Luar Negeri 1.315,4 1.224,5 ( 19,8) (1.204,7) 1984/85 2.757,0 1985/86 1986/87 1987/881) 3.046,8 4.018,3 4.310,6 2.266,5 1.057,1 1.182,8 (1.007,0) (1.134,2) (50,1) (48,6) 1.367,1 (1.309,5) ( 57,6) 1.366,5 (1.293,6) (72,9) 486,4 (457,7) ( 28,7) 1.547,0 1.883,3 (1.680,1) (203,2) 2.489,0 (2.247,6) (241,0) 2.649,7 (2.410,2) (239,5) 1.381,0 (1.278,1) (102,9) 2.102,6 2.776,5 (29,8) (39,3) (2.072,8) (2.737,2) 3.323,1 (20,0) (3.303,1) 5.058,1 (-) (5.058,1) 2.823,6 (-) (2.823,6) - - - - 6. Lain-lainl) 997,12) 948,12) 539,52) 1754,02)3) 145,04) 222,12) Jumlah : 6.996,3 8.411,8 9.428,9 11.951,5 13.559,3 7.179,6 5. Pembiayaan Cadangan Pangan 1) 2) 3) 4) 196 Realisasi Semester I Termasuk subsidi BBM Termasuk restitusi pajak Tanpa subsidi BBM 29,4 - GRAFIK IV – 5 PENGELUARAN RUTIN 1982/83 – 1987/88 (dalam milyar rupiah) 197 TABEL IV - 6 BELANJA PEGAWAI, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) 1984/85 1985/86 1986/87 289,9 346,1 407,0 402,0 406,1 180,0 2. Gaji pegawai/pensiun 1.996,0 1.996,0 2.206,6 3.072,6 3.330,0 1.782,0 3. Uang makan/lauk pauk 254,9 261,3 271,4 300,4 288,3 165,1 4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 87,6 87,6 89,7 161,1 176,6 80,3 5. Belanja pegawai luar negeri 45,7 66,0 72,1 82,2 109,6 59,1 2.478,1 2.757,0 3.046,8 4.018,3 4.310,6 2.266,5 1. Tunjangan beras Jumlah : *) Realisasi Semester I 198 1982/83 1987/88*) 1983/84 Jenis Pengeluaran golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat. Untuk lebih meningkatkan peranan pengusaha golongan ekonomi lemah dalam pelaksanaan proyek-proyek Pemerintah, maka dalam Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 1984 ditetapkan bahwa kepada para pengusaha golongan ekonomi lemah diberikan berbagai kelongga ran dan fasilitas. Antara lain ditentukan bahwa mereka yang memperoleh kontrak dapat menggunakannya sebagai dasar untuk memperoleh fasilitas pembayaran uang muka dari nilai perjan jian dan/atau fasilitas kredit dari bank Pemerintah untuk membiayai pelaksanaan kontrak tersebut. Demikian pula, apabi la dalam pemborongan/pembelian yang terpilih adalah pemborong/rekanan yang tidak termasuk dalam pengusaha golongan ekonomi lemah, maka dalam surat perjanjian kontrak harus di cantumkan antara lain bahwa pemborong/rekanan terpilih wajib bekerjasama dengan pemborong/rekanan golongan ekonomi lemah setempat, yaitu sebagai sub kontraktor atau leveransir barang, bahan dan jasa. Dengan demikian diharapkan para pengusaha ekonomi lemah dapat bekerja atas dasar kemampuan sendiri, sehingga dapat mandiri untuk seterusnya. Di samping itu dalam rangka penghematan belanja barang telah pula dilakukan pengendalian dan koordinasi pelaksanaan pemborongan/pembe lian barang dan jasa kebutuhan Departemen/Lembaga Negara, baik melalui pelelangan umum maupun penunjukan langsung, yaitu dengan dibentuknya Tim Pengendali Pengadaan Barang/Per alatan dan jasa kebutuhan Pemerintah di tingkat Departemen/ Lembaga, yang tata cara pelaksanaannya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 1984, dan kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1985. Dengan diben tuknya Tim Pengendali Pengadaan Barang dan jasa tersebut, maka kelancaran pembelian serta pengutamaan barang hasil pro duksi dalam negeri dari pengusaha golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat dapat lebih ditingkatkan lagi. Dengan adanya kebijaksanaan penghematan dalam pelaksanaan pengadaan barang/peralatan kebutuhan Pemerintah, maka belanja barang dapat dikendalikan peningkatannya. Bila dalam tahun 1982/83 belanja barang mencapai jumlah sebesar Rp.1.041,2 milyar, maka dalam tahun 1983/84 telah mencapai jumlah sebesar Rp.1.057,1 milyar. Kemudian dalam tahun 1984/85 belanja barang mencapai jumlah Rp.1.367,1 milyar dan dalam tahun 1985/86 men capai Rp.1.366,5 milyar. Selanjutnya dalam APBN 1987/88 belanja barang dianggarkan sebesar Rp.1.175,1 milyar, sedangkan realisasi semester I menca pai Rp.486,4 milyar. 199 Pengeluaran subsidi daerah otonom sebagian besar merupakan pengeluaran untuk memenuhi pembayaran gaji dan tunjangan beras para pegawai daerah otonom. Oleh karena itu sejalan dengan kenaikan belanja pegawai, subsidi daerah otonom mengalami peningkatan pula dalam setiap tahunnya. Kenaikan tersebut selain disebabkan oleh adanya penyesuaian gaji pegawai dan tunjangan beras, serta penambahan formasi pegawai daerah otonom, juga disebabkan subsidi daerah otonom menampung pula pembayaran gaji dan tunjangan beras bagi penambahan guru-guru sekolah dasar Inpres dan petugas media Puskesmas. Di samping itu subsidi daerah otonom menampung pula biaya penggantian sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) sekolah dasar yang telah dihapuskan, gaji lurah dan perangkatnya serta tunjangan pamong desa daerah minus. Bila dalam tahun 1982/83 realisasi subsidi daerah otonom baru berjumlah sebesar Rp.1.315,4 milyar, maka dalam tahun 1986/87 pengeluaran tersebut telah mencapai jumlah sebesar Rp.2.649,7 milyar atau sebesar dua kali realisasi tahun 1982/83. Selanjutnya dalam APBN 1987/88 subsidi daerah otonom dianggarkan sebesar Rp.2.649,1 milyar, dan realisasi semester I mencapai Rp.1.381,6 milyar. Sejak tahun 1982/83 kebutuhan untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang menunjukkan jumlah yang semakin membesar. Hal ini terutama disebabkan semakin banyaknya pinjaman-pinjaman luar negeri yang telah jatuh tempo, adanya devaluasi rupiah dalam tahun 1983 sebesar 27,8% dan dalam tahun 1986 sebesar 31,0%, serta adanya perubahan nilai tukar dollar Amerika Serikat terhadap mata uang negara industri utama lainnya yang terjadi sejak tahun 1985. Pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk melengkapi dana yang dapat dihimpun dari dalam negeri guna membiayai berbagai proyek-proyek pembangunan yang produktif dan diprioritaskan. Bila dalam tahun 1982/83 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri realisasinya berjumlah Rp.1.204,7 milyar, maka dalam tahun 1986/87 pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri mencapai jumlah sebesar Rp.5.058,1 milyar dan untuk tahun 1987/88 dianggarkan sebesar Rp.6.765,4 milyar. Sedangkan pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam negeri dipergunakan untuk membayar tagihan jasa umum seperti bunga atas uang muka Bank Indonesia kepada Pemerintah. Perkembangan realisasi pembayaran bunga dan cicilan hutang dalam negeri umumnya menun jukkan jumlah yang stabil. Selama pelaksanaan tahun pertama hingga tahun keempat Repelita IV, realisasi lain-lain pengeluaran rutin menunjuk- 200 kan jumlah yang semakin menurun. Hal ini disebabkan secara bertahap telah diambil langkah-langkah untuk mengurangi subsidi antara lain dengan menaikkan harga jual BBM di dalam negeri dalam tiga tahun berturut-turut yaitu dalam tahun 1982, 1983 dan 1984, sehingga kebutuhan subsidi BBM semakin menurun. Penurunan subsidi BBM tersebut berkaitan pula dengan semakin meningkatnya efisiensi di dalam pengolahan minyak dan adanya penurunan harga minyak mentah di pasaran internasio nal. Di samping itu dengan semakin meningkatn ya produksi beras di dalam negeri, maka sejak tahun 1983/84 tidak diperlu kan lagi pengeluaran untuk subsidi pangan. Dengan adanya kebijaksanaan dan perkembangan-perkembangan tersebut di atas maka realisasi lain-lain pengeluaran rutin yang pada tahun 1982/83 mencapai jumlah sebesar Rp.997,1 milyar, terus menerus dapat ditekan sehingga menjadi sebesar Rp.145,0 milyar dalam Tahun 1986/87. Dalam APBN 1987/88 lain-lain pengeluaran rutin dianggarkan sebesar Rp.80,0 milyar, sedang realisasinya dalam semester I 1987/88 adalah sebesar Rp.222,1 milyar. 3. Dana Pembangunan Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dana pembangunan yang disediakan terdiri dari tabungan Pemerintah dan dana bantuan luar negeri. Tabungan Pemerintah adalah selisih antara penerimaan dalam negeri dan pengeluaran rutin, sedangkan dana bantuan luar negeri adalah nilai lawan bantuan prog ram dan bantuan proyek. Sesuai dengan tekad untuk melaksana kan pembangunan berdasarkan pada kemampuan sendiri, maka se nantiasa diusahakan agar dana bantuan luar negeri tetap berperan sebagai pelengkap. Dalam hal memperoleh dana luar negeri, selalu diupayakan agar pinjaman luar negeri tersebut bersyarat selunak mungkin sehingga tetap sesuai dengan kemampuan untuk melunasinya di kemudian hari. Di lai n pihak juga terus diupayakan langkah-langkah untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna dana luar negeri tersebut dengan menyalurkannya untuk pembiayaan proyek-proyek pembangunan yang produktif, sehingga dari hasil-hasilnya dapat dilakukan pengembalian dari pinjaman tersebut. Dana pembangunan meningkat dari sebesar Rp.7.362,0 milyar pada tahun 1982/83 menjadi sebesar Rp.10.873,9 milyar dalam tahun 1985/86. Namun demikian dalam tahun 1986/87 dana pembangunan tersebut menurun menjadi sebesar Rp.8.333,5 mi lyar, dan dalam APBN 1987/88 dana pembangunan dianggarkan 201 sebesar Rp.7.756,6 milyar. Dari jumlah dana pembangunan ter sebut, tabungan Pemerintah meningkat dari Rp.5.422,0 milyar dalam tahun 1982/83 menjadi sebesar Rp.7.301,3 milyar dalam t a h u n 1 9 8 5 / 8 6 , k e m u d i a n m e n ur un l ag i men j ad i s eb es ar R p . 2.581,3 milyar dalam tahun 1986/87. Sedangkan dalam tahun 1987/88 dianggarkan sebesar Rp.2.209,6 milyar. Di lain pihak dana bantuan luar negeri meningkat dari sebesar Rp.1.940,0 milyar dalam tahun 1982/83, menjadi sebesar Rp.5.752,2 milyar pada tahun 1986/87, dan dianggarkan sebesar Rp.5.547,0 milyar pada tahun 1987/88. Perkembangan dana pembangunan selama pe riode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6. 4. Pengeluaran Pembangunan Melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai pelaksanaan operasional pembangunan setiap tahunnya, kebijaksanaan pengeluaran pembangunan diarahkan sesuai dengan Trilogi Pembangunan dengan penekanan pada pemerataan pendapatan dan hasil-hasil pembangunan melalui delapan jalur pemerataan. Sejalan dengan itu pengeluaran pembangunan dialokasikan pada berbagai proyek pembangunan baik sektoral maupun regio nal yang mendukung ke arah tercapainya tujuan tersebut. Dalam Repelita IV ditempuh kebijaksanaan baru dalam pengelolaan sisa anggaran pembangunan (SIAP). Sampai dengan pelaksanaan tahun anggaran 1984/85, bila dalam suatu anggaran terjadi SIAP maka sisa anggaran tersebut ditambahkan kepada APBN tahun anggaran berikutnya. Dalam sistem yang baru, SIAP untuk tahun anggaran 1985/86 tidak lagi ditambahkan pada tahun 1986/87 melainkan langsung menjadi bagian di dalam APBN 1986/87 tersebut. Sistem baru ini dimaksudkan agar pemimpin proyek lebih terdorong lagi untuk menyelesaikan proyek yang bersangkutan di dalam tahun anggaran yang telah dijadwalkan semula. Hal ini diharapkan akan dapat meningkatkan daya se rap masing-masing proyek dan secara kumulatif akan tercapai peningkatan kegiatan pembangunan. Dengan semakin luasnya jangkauan pembangunan, jumlah pe ngeluaran pembangunan yang diperlukan dari tahun ke tahun terus meningkat pula. Apabila dalam tahun 1982/83 realisasi pengeluaran pembangunan mencapai Rp.7.359,6 milyar, terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp.5.434,7 milyar dan bantuan proyek sebesar Rp.1.924,9 milyar, maka dalam tahun anggaran 1985/86 telah dicapai pengeluaran pembangunan sebesar 202 TABEL IV - 7 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) Tahun Anggaran Jumlah Dana Pembangunan Tabungan Pemerintah Dana Bantuan Luar Negeri 1982/83 7.362,0 (100%) 5.422,0 (73,6%) 1.940,0 (26,4%) 1983/84 9.903,3 (100%) 6.020,9 (60,8%) 3.882,4 (39,2%) 1984/85 9.954,5 (100%) 6.476,5 (65,1%) 3.478,0 (34,9%) 1985/86 10.873,9 (100%) 7.301,3 (67,2%) 3.572,6 (32,8%) 1986/87 8.333,5 (100%) 2.581,3 (31,0%) 5.752,2 (69,0%) 1987/88*) 4.353,8 (100%) 1.843,6 (42,3%) 2.510,2 (57,7%) *) Realisasi Semester I 203 GRAFIK IV – 6 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1982/83 – 1987/88 204 204 Rp. 10.873,1 milyar yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp.7.369,7 milyar dan bantuan proyek sebesar R p . 3.503,4 milyar. Namun demikian sesuai dengan keadaan keuangan negara yang lebih ketat akibat merosotnya harga ekspor minyak bumi yang cukup tajam di pasaran dunia, dalam tahun 1987/88 direncanakan alokasi pengeluaran pembangunan sebesar Rp.7.756,6 milyar, yang terdiri dari pembiayaan rupiah sebesar Rp.2.330,9 milyar, dan bantuan proyek sebesar Rp.5.425,7 milyar. (Tabel IV-8 dan Grafik IV-7) Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dalam bentuk pembiayaan rupiah digunakan untuk membiayai berbagai proyek pembangunan baik sektoral maupun regional. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah yang dalam tahun 1982/83 mencapai jumlah Rp.5.434,7 milyar, dalam tahun 1985/86 telah meningkat menjadi sebesar Rp.7.369,7 mil yar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 berkaitan dengan keadaan keuangan yang kurang menggembirakan, pengeluaran pembangunan dalam bentuk rupiah ini hanya dianggarkan sebesar Rp.2.330,9 milyar, dan realisasinya dalam semester I tahun 1987/88 men capai jumlah sebesar Rp.1.894,1 milyar. Pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah tersebut meliputi pembiayaan Departemen/Lembaga, pembiayaan pembangunan bagi daerah dan pembiayaan lainnya. Realisasi pembiayaan pembangunan Departemen/Lembaga yang disediakan untuk pembangunan sektoral yang dikelola Departemen/Lembaga dalam tahun 1982/83 menca pai jumlah sebesar Rp.3.260,9 milyar, dan dalam tahun 1985/86 telah meningkat menjadi sebesar Rp.4.466,5 milyar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 sesuai dengan keadaan keuangan negara, pengeluaran pembangunan Departemen/Lembaga hanya dianggarkan sebesar Rp.752,2 milyar, dengan realisasi pada semester I sebesar Rp.457,8 milyar. Adapun realisasi pembiayaan pemba ngunan bagi daerah yang dalam tahun 1982/83 mencapai sebesar Rp.1.090,4 milyar, dalam tahun 1984/85 meningkat menjadi se besar Rp.1.526,2 milyar. Dalam tahun 1987/88 pembiayaan pem bangunan bagi daerah dianggarkan sebesar Rp.1.182,8 milyar, dengan realisasi pada semester I sebesar Rp.508,5 milyar (Tabel IV-9). Pembiayaan pembangunan bagi daerah ditujukan untuk men dorong pembangunan di semua daerah sesuai dengan potensi masing-masing daerah. Bantuan Pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah yang sebagian besar dikenal dengan program Inpres (Instruksi Presiden) terdiri dari bantuan pembangunan desa, bantuan pembangunan Kabupaten, bantuan pembangunan Dati I, bantuan pembangunan sekolah dasar, bantuan penghijauan, 205 TABEL IV – 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1982/83 – 1987/88 (milyar rupiah) 206 (Lanjutan Tabel IV - 8) No. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Sektor dan Sub Sektor SEKTOR KESEHATAN, KESEJAHTERAAN SOSIAL, PERANAN WANITA, KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA Sub Sektor Kesehatan Sub Sektor Kesejahteraan Sosial dan Peranan Wanita Sub Sektor Kependudukan dan Keluarga Berencana SEKTOR PERUMAHAN RAKYAT DAN PEMUKIMAN Sub Sektor Perumahan Rakyat dan Pemukiman 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88 259,3 163,9 278,7 154,3 320,0 203,6 397,9 228,0 325,9 194,3 207,7 122,1 48,1 42,7 44,2 77,0 35,5 11,6 47,3 81,7 72,2 92,9 96,1 74,0 150,7 220 12 224,2 334,6 336,6 412,0 150,7 220,9 224,2 334,6 336,6 412,0 SEKTOR HUKUM 66,1 56,6 60,5 108,5 24,8 14,0 Sub Sektor Hukum 66,1 56,6 60,5 108,5 24,8 14,0 476,8 526,0 702,3 590,2 554,0 510,0 476,8 526,0 702,3 590,2 554,0 510,0 50,3 27,5 45,5 71,5 32,5 24,0 50,3 27,5 45,5 71,5 32,5 24,0 128,3 302,6 190,0 274,1 181,3 SEKTOR PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL Sub Sektor Pertahanan dan Keamanan Nasional SEKTOR PENERANGAN, PEAS DAN KOMUNIKASI SOSIAL Sub Sektor Penerangan, Pers dan Komunikasi Sosial SEKTOR ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN PENELITIAN Sub Sektor Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi 158 16,3 170,1 66,1 135,7 ,83,5 81,2 Sub Sektor Penelitian 112,0 132,5 123,9 138,4 97,8 77,4 SEKTOR APARATUR PEMERINTAH 242,6 316,6 164,3 277,8 1_901 45,4 Sub Sektor Aparatur Pemerintah 242,6 316,6 164,3 277,8 190,0 45,4 SEKTOR PENGEMBANGAN DUNIA USAHA 2,180 233,9 291,7 '220,5 211,4 191,0 Sub Sektor Pengembangan Dunia Usaha 280,7 233,9 291,7 220,5 211,4 191,0 SEKTOR SUMBER ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP 193,5 193,2 229,7 243,2 172,8 166,2 Sub Sektor Sumber Alam dan Lingkungan Hidup 193,5 193,2 229,7 243,2 172,8 166,2 9.899,2 9.951,9 10.873,1 8.332,0 7.756,6 Jumlah: 7.359,6 *) APBN 207 GRAFIK IV – 7 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1982/83 – 1987/88 208 TABEL IV - 9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) No. Jenis Pembiayaan 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 1987/88*) 1. Pembiayaan Departemen/Lembaga 3.260,9 3.219,6 3.474,4 4.466,5 2.003,6 457,8 2. Pembiayaan Pembangunan bagi Daerah a. Bantuan Pembangunan Desa b. Bantuan Pembangunan Kabupaten/ Kotamadya c. Bantuan Pembangunan Dati I d. Irian Jaya e. Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar f. Bantuan Pembangunan Kesehatan/ PUSKESMAS g. Bantuan Pembangunan dan Pemugaran Pasar h. Bantuan Penghijauan i. Bantuan Penunjangan jalan dan Jembatan Kabupaten J. Timor Timur k. Ipeda/Pajak Bumi dan Bangunan 1.090,4 (88,4) 1.447,5 (91,6) 1.526,2 (92,8) 1.502,6 ( 98,6) 1.466,5 ( 86,4) 508,5 (87,8) (193,9) (253,0) (267,4) (194,1) (253,0) (549,3) (194,6) (253,0) (572,0) (188,6) (287,3) (526,1) (188,1) (293,1) (495,9) (128,5) (118,5) (36,3) (80,3) (87,3) (64,6) (110,6) (107,7) (21,0) (4,5) (49,6) (10,6) (59,4) (25,5) (61,2) ( 4,4) ( 42,5) (11,5) (30,6) ( - ) (12,5) (42,4) (5,7) (105,2) (64,6) (5,2) (132,4) (101,1) (4,2) (157,2) ( 70,1) ( 6,9) (167,5) (74,9) (7,3) (171,0) (51,7) (1,5) (50,7) 3. Pembiayaan lainnya a. Subsidi Pupuk b. Penyertaan Modal Pemerintah c. Lain-lain 1.083,4 (324,2) (336,6) (326,7) 1.364,6 (324,2) (591,7) (448,7) 1.542,6 (731,6) (336,1) (474,9) 1.400,6 (477,1) (412,3) (511,2) 1.067,3 (467,2) (85,9) (514,1) 927,8 (606,5) (27,0) (294,3) 5.434,7 6.031,7 6.543.2 7.369,7 4.537,3 1.894,1 Jumlah: *) Realisasi Semester I 209 bantuan pembangunan dan pemugaran pasar serta bantuan pem bangunan penunjangan jalan dan jembatan. Selain berupa pro gram Inpres, pembangunan daerah dibiayai pula dengan dana yang berasal dari hasil pungutan iuran pembangunan daerah (Ipeda) sebelum tahun 1986 dan kemudian dengan dilaksanakan nya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sejak 1 Januari1986 dike nal dengan hasil pungutan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di samping bantuan-bantuan tersebut di atas, terdapat pula pembiayaan sektoral untuk propinsi Timor Timur. Pelaksanaan bantuan pembangunan desa yang sudah dimulai sejak awal Repelita I diberikan untuk membantu pembiayaan proyek-proyek daerah dalam rangka mendorong usaha swadaya gotong royong masyarakat dalam pembangunan. Bantuan ini di samping ditentukan oleh besarnya bantuan per desa juga diten tukan Oleh faktor kepadatan penduduk. Apabila dalam tahun 1982/83 bantuan minimum per desa adalah sebesar Rp.1.250.000 -, per desa dengan jumlah desa sebanyak 65.127 desa, dalam tahun kedua Repelita IV bantuan minimum per desa telah ditingkat kan menjadi sebesar Rp.1.350.000,- per desa, termasuk sebesar Rp.250.000,- untuk program PKK, dengan jumlah desa seba nyak 67.448 desa. Sehubungan dengan itu realisasi jumlah bantuan pembangunan desa telah meningkat dari Rp.88,4 milyar da lam tahun 1982/83 menjadi Rp.98,6 milyar dalam tahun 1985/86. Pada tahun ke empat Repelita IV anggaran bantuan pembangunan desa adalah sebesar Rp.98,9 milyar. Sementara itu bantuan pembangunan Kabupaten/Kotamadya yang diberikan sejak tahun 1970/71 ditujukan untuk meningkatkan perluasan kesempatan kerja dan partisipasi penduduk dalam pembangunan melalui berbagai proyek yang menyangkut prasarana perhubungan dan prasarana produksi serta proyek-proyek lain yang meningkatkan mutu lingkungan hidup dan serasi dengan proyek-proyek pembangunan yang ada di daerah yang bersangkutan. Jumlah bantuan kabupaten/kotamadya ini di samping diten tukan oleh jumlah penduduk juga ditentukan oleh besarnya bantuan per jiwa. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan per ka bupaten/kotamadya mencapai sebesar Rp.193,9 milyar dengan bantuan per jiwa sebesar Rp.1.150,0 dan bantuan minimum sebe sar Rp.160 juta per kabupaten. Dalam tahun pertama Repelita IV realisasinya meningkat menjadi sebesar Rp.201,9 milyar, dengan bantuan per jiwa dan bantuan minimum per kabupaten yang mama besarnya dengan tahun 1982/83. Dalam tahun 1987/88 b a n tu a n p e mb a n gu n an k a b up a te n ini dianggarkan sebesar R p . 226,0 milyar dengan bantuan per jiwa sebesar Rp.1.250,0 dan bantuan minimum per kabupaten sebesar Rp.170 juta. 210 Bantuan Dati I ditujukan untuk meningkatkan keselarasan pembangunan sektoral dan regional, meratakan hasil -hasil pembangunan dan meningkatkan keserasian laju pertumbuhan antar daerah serta meningkatkan peranserta daerah dalam pembangun an. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan pembangunan Dati I mencapai jumlah sebesar Rp.253,0 milyar dengan bantuan mini mum sebesar Rp.9,0 milyar per propinsi dan bantuan maksimum sebesar Rp.11,0 milyar per propinsi, sedangkan dalam tahun 1986/87 realisasinya meningkat menjadi sebesar 4.293,1 milyar dengan bantuan minimum sebesar 4.10,0 milyar dan bantuan maksimum sebesar Rp.12,0 milyar per propinsi. Dalam tahun 1987/88 bantuan pembangunan Dati I dianggarkan sebesar Rp.280,0 milyar. Bantuan pembangunan sektoral yang diberikan untuk propinsi Timor Timur terutama dimaksudkan untuk mengejar keter tinggalan pembangunan propinsi ini dari propinsi -propinsi lainnya. Bantuan pembangunan yang diberikan sejak tahun 1977/78 ini, dalam tahun 1982/83 realisasinya mencapai Rp.5,7 milyar, sedangkan dalam tahun 1986/87 meningkat menjadi sebesar Rp.7,3 milyar. Dalam tahun 1987/88 bantuan untuk propin si Timor Timur dianggarkan sebesar Rp.5,0 milyar. Pembiayaan pembangunan dari dana Ipeda dan Pajak Bumi dan Bangunan yang berjalan sejak bulan Januari 1986, dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Apabila dalam tahun 1982/83 realisasinya baru mencapai Rp.105,2 milyar, dalam tahun 1986/87 telah meningkat menjadi sebesar Rp.171,1 milyar. Dalam tahun 1987/88 pembiayaan melalui dana PBB ini dianggarkan sebesar Rp.246,6 milyar. Dana ini berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan pajak daerah dan di pungut dengan koordinasi Pemerintah pusat dengan ketentuan 90% dari hasil penerimaan diserahkan kepada Pemerintah daerah untuk membiayai proyek-proyek pembangunan. Bantuan pembangunan sekolah dasar yang diberikan sejak tahun 1973/74 ditujukan untuk memperluas kesempatan belajar khususnya untuk anak-anak usia sekolah dasar yang berada di pedesaan, daerah terpencil, daerah transmigrasi dan pemukiman baru. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan sekolah dasar, pembangunan ruang kelas, rehabilitasi gedung sekolah dasar, pembangunan rumah kepala sekolah dan guru di daerah terpencil, penyediaan paket buku bacaan serta peralatan olah raga. Dalam tahun 1982/83 bantuan pembangunan sekolah dasar baru mencapai sebesar Rp.267,4 milyar, sedangkan dalam tahun per - 211 tama Repelita IV telah meningkat menjadi sebesar Rp.572,0 milyar. Dalam tahun 1987/88 bantuan pembangunan sekolah dasar dianggarkan sebesar Rp.100,8 milyar. Bantuan kesehatan yang diberikan sejak tahun 1973/74 ditujukan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan perbaikan gizi bagi golongan masyarakat yang berpenghasi lan rendah baik yang berada di desa maupun di kota. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan gedung Puskesmas, Puskesmas pembantu serta pembangunan rumah dokter dan paramedis. Di samping itu juga digunakan untuk pengadaan Puskesmas keliling dan obat-obatan, pengadaan air bersih di pedesaan serta rehabilitasi gedung puskesmas dan puskesmas pembantu. Dalam tahun 1982/83 bantuan pembangunan ini adalah sebesar Rp.80,3 milyar dan dalam tahun 1985/86 meningkat menjadi sebesar 4.110,6 mil yar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 untuk bantuan kesehatan ini dianggarkan sebesar 4.76,3 milyar. Guna membantu para pedagang kecil golongan ekonomi lemah yang sebagian besar berpenghasilan rendah, melalui bantuan pembangunan dan pemugaran pasar diberikan kredit dengan sya rat ringan kepada Pemerintah daerah untuk menyediakan tempat berjualan/pasar dengan sewa semurah mungkin. Apabila dalam tahun 1982/83 bantuan pembangunan dan pemugaran pasar sebesar Rp.4,5 milyar, dalam tahun pertama Repelita IV bantuan terse but telah meningkat menjadi sebesar Rp.25,5 milyar. Sedangkan dalam tahun 1987/88 untuk bantuan pembangunan dan pemugaran pasar dianggarkan sebesar Rp.3,0 milyar. Selanjutnya untuk menyelamatkan kelestarian sumber-sumber alam, tanah, hutan dan air, khususnya di daerah krit is sejak tahun 1976/77 telah diberikan bantuan penghijauan dan reboisasi. Pada tahun 1982/83 realisasi bantuan penghijauan dan reboisasi ini mencapai sebesar Rp.49,6 milyar, dan dalam tahun 1985/86 meningkat menjadi sebesar Rp.42,5 milyar. Da lam tahun 1987/88 bantuan penghijauan ini dianggarkan sebesar Rp.16,2milyar. Bantuan penunjangan jalan dan jembatan yang diberikan sejak tahun 1979/80 ditujukan untuk memperlancar pengangkutan dan arus distribusi serta menunjang proyek-proyek pembangunan di daerah. Dalam tahun 1982/83 realisasi bantuan ini menca pai jumlah sebesar Rp.42,4 milyar, kemudian meningkat menjadi sebesar Rp.101,1 milyar dalam tahun 1984/85. Dalam tahun 1987/88 bantuan penunjangan jalan dan jembatan ini dianggar kan sebesar Rp.130,0 milyar. 212 Selain pembiayaan sektoral dan regional, terdapat pula pembiayaan lainnya yang terdiri dari subsidi pupuk, Penyertaan Modal Pemerintah dan lain-lain pembiayaan. Dalam tahun 1982/83 realisasi pembiayaan lainnya mencapai sebesar Rp.1.083,4 milyar, kemudian dalam tahun 1984/85 meningkat menjadi sebesar Rp.1.542,6 milyar. Dalam tahun 1987/88 pembiayaan lainnya dianggarkan sebesar 4.395,9 milyar. Pemberian subsidi pupuk yang dilakukan sejak tahun 1973/74 dimaksudkan untuk mempertahankan harga pupuk (termasuk insektisida) yang stabil pada tingkat harga yang dapat dijangkau oleh masyarakat petani, yang pada gilirannya diha rapkan akan dapat menunjang peningkatan produksi pertanian dan memantapkan program swasembada pangan. Dalam tahun 1982/83 realisasi subsidi pupuk mencapai jumlah sebesar Rp.731,6 milyar. Dalam tahun 1987/88 subsidi pupuk ini di anggarkan sebesar Rp.203,5 milyar. Sementara itu Penyertaan Modal Pemerintah yang dalam tahun 1982/83 mencapai jumlah sebesar Rp.336,6 milyar, dalam tahun 1985/86 telah meningkat menjadi sebesar Rp.412,3 milyar. Namun demikian mengingat keadaan keuangan negara yang lebih ketat, dalam tahun 1987/88 untuk Penyertaan Modal Pemerintah ini dianggarkan sebesar Rp.83,4 milyar, yang antara lain dialokasikan pada kredit pemilikan rumah (KPR) BTN dan proyek Otorita Pengembangan Proyek Asahan. Penyertaan Modal Pemerintah dalam perusahaan-perusahaan negara yang bergerak di berbagai bidang usaha dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengembangan dunia usaha, khususnya badan usaha mink negara, melalui bantuan likuiditas untuk investasi dan modal kerja. Jumlah pengeluaran untuk Penyertaan Modal Pemerintah dalam beberapa tahun ini makin menurun berhubung dengan terbatasnya keuangan negara. Berbagai badan usaha negara tersebut diha rapkan dapat memperoleh dana investasi dan modal kerja dari sumber-sumber keuangan lainnya, antara lain dari sektor perbankan. Lain-lain pembiayaan dalam tahun 1982/83 mencapai jumlah sebesar Rp.326,7 milyar, dan dalam tahun 1986/87 jumlah ter sebut meningkat menjadi sebesar Rp.514,1 milyar. Dalam tahun 1987/88 untuk lain-lain pembiayaan lainnya ini dianggarkan sebesar Rp.109,0 milyar. Lain-lain pembiayaan ini digunakan untuk membiayai berbagai program pada bidang-bidang yang mendapat prioritas utama dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, antara lain program Keluarga Berenca - 213 na, proyek pengembangan statistik dan sensus penduduk, serta proyek perumahan rakyat, dan lain-lain. Selain dialokasikan pada sektor regional dan pembiayaan lainnya, pengeluaran pembangunan dialokasikan pula secara sektoral pada berbagai sektor pembangunan. Pengeluaran pembangunan secara sektoral ini terdiri dari pengeluaran pem bangunan di luar bantuan proyek dan pengeluaran bantuan pro yek. Pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek secara sektoral dialokasikan ke sektor-sektor sesuai dengan prioritas pembangunan. Sementara itu pengeluaran pembangunan berupa bantuan proyek yang berfungsi sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dialokasikan pula pada berbagai sektor-sektor produktif agar dapat menunjang upaya pengkokohan landasan pembangunan nasional. Dalam tahun 1987/88 tanpa mengabaikan sektor-sektor pembangunan lainnya, pengeluaran pembangunan secara sektoral diprioritaskan pada sektor perhubungan dan pariwisata sebesar Rp.1.288,1 milyar, sektor pertanian dan pengairan sebesar Rp.1.180,7 milyar, sektor pertambangan dan energi sebesar Rp.1.129,1 milyar, sektor pembangunan daerah, desa, dan kota sebesar Rp.873,7, sektor pertahanan dan kea manan nasional sebesar Rp.510,0 milyar. Hal tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel IV-8, Tabel IV-9, Tabel IV-10 dan Tabel IV-11 serta Grafik IV-8 dan Grafik IV-9. C. PERKEMBANGAN MONETER. 1. Kebijaksanaan Moneter. Sebagaimana ditetapkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, tujuan dari kebijakan moneter adalah untuk menunjang tercapainya kemantapan stabilitas ekonomi serta kegiatan pembangunan nasional guna meningkatkan taraf hidup rakyat. Pe laksanaan kebijaksanaan tersebut pada dasarnya dilakukan melalui pengendalian jumlah uang beredar agar ketiga unsur pada Trilogi Pembangunan dapat diupayakan secara serasi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka melalui kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983. telah diambil langkah yang mendasar berupa deregulasi di bidang perbank an yang menyangkut perkreditan dan pengerahan dana. Kebijaksanaan di bidang perkreditan pada dasarnya ditekankan pada pengurangan penye diaan kredit likuiditas Bank Indonesia dan penghapusan pagu perkreditan serta pemberian kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan sendiri kebijaksanaan perkreditan - 214 TABEL IV - 10 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) No. Sektor dan Sub Sektor 1982/83 1983/84 1984/85 1985/86 SEKTOR PERTANIAN DAN PENGAIRAN 830,2 Sub Sektor Pertanian 563,5 757,7 532,1 1.227,0 968,2 957,3 591,8 Sub Sektor Pengairan 266,7 225,6 258,8 SEKTOR INDUSTRI 160,6 266,8 132,6 Sub Sektor Industri 260,6 266,8 132,6 SEKTOR PERTAMBANGAN DAN ENERGI 270,8 313,1 293,7 1986/87 1987/881) 1. 2. 3. Sub Sektor Pertambangan 4. 5. 6. 7. 8. 9. 215 653,2 624,9 537,1 435,3 116,1 189,6 461,9 32,0 37,3 461,9 32,0 37,3 1684 311,1 365,5 333,6 18,7 41,2 35,7 58,9 16,9 30,9 Sub Sektor Energi 252,1 271,9 258,0 274,7 169,5 280,2 SEKTOR PERHUBUNGAN DAN PARIWISATA 543,7 638,6 827,7 796,5 402,6 453,6 Sub Sektor Prasarana Jalan 320,1 305,4 459,6 470,9 261,2 278,8 Sub Sektor Perhubungan Darat Sub Sektor Perhubungan Laut 48,6 79,6 56,4 97,0 48,0 68,8 86,0 129,5 154,4 114,9 31,0 42,5 Sub Sektor Perhubungan Udara 76,7 101,5 129,3 87,1 48,7 53,7 Sub Sektor Pos dan Telekomunikasi 6,8 6,6 10,8 16,9 6,4 1,6 Sub Sektor Pariwisata 5,5 16,0 17,2 9,7 7,3 8,2 SEKTOR PERDAGANGAN DAN KOPERASI 131,8 180,1 340,4 50,9 127,3 30,0 Sub Sektor Perdagangan 93,1 158,2 313,9 45,8 110,5 19,4 Sub Sektor Koperasi 38,7 21,9 26,5 45,1 16,8 10,6 SEKTOR TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 421 0 411,2 345,9 629,5 169,2 85,0 Sub Sektor Tenaga Kerja 46,0 57,8 56,2 83,8 26,9 22,4 Sub Sektor Transmigrasi 375,0 353,4 289,7 545,7 142,3 62,6 DAN KOTA 708,7 741,9 789,8 842,3 414,3 Sub Sektor Pembangunan Daerah, Desa dan Kota 708,7 741,9 789,8 842,3 914,3 SEKTOR AGAMA 50,8 54,0 59,8 76,6 38,7 Sub Sektor Agama 50,8 54,0 59,8 76,6 38,7 14,1 SEKTOR PENDIDIKAN, GENERASI MUDA, KEBUDAYAAN NASIONAL, DAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA 679,0 1.003,7 1.051,4 1.354,3 838,8 278,8 Sub Sektor Pendidikan Umum dan Generasi Muda 604,6 923,0 951,4 1.213,7 757,4 246,4 Sub Sektor Pendidikan Kedinasan 54,8 60,7 70,3 100,3 63,9 25,9 Sub Sektor Kebudayaan Nasional dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa 19,6 20,0 29,7 40,3 17,5 6,5 SEKTOR PEMBANGUNAN DAERAH, DESA 869,6 869,6 14,1 (Lanjutan Tabel IV – 10) 1) 2) 216 Angka APBN Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah GRAFIK IV – 8 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1982/83 – 1987/88 217 TABEL IV – 11 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR 1982/83 – 1987/88 (milyar rupiah) 218 (Lanjutan Tabel IV – 11) *) Angka APBN 219 G R AF I K I V - 9 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR. 1982/83 1997/86 220 nya, dengan tetap memperhatikan azas-azas pemberian pinjaman yang sehat. Kredit likuiditas hanya disediakan untuk pembia yaan kredit berprioritas tinggi. Untuk kredit lainnya tidak disediakan likuiditas, akan tetapi bank dalam hal ini diberi kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga kredit. Dalam menghimpun dana, perbankan diberi kebebasan untuk menentukan sendiri suku bunga deposito. Tujuan pokok paket kebijaksanaan moneter bulan Juni tahun 1983 adalah mendorong bank -bank untuk dapat secara mandiri mengerahkan dana masyarakat sehingga dapat mengurangi ketergantungan bank-bank akan dana murah dari Bank Indonesia, sekaligus menyalurkan data tersebut dalam perkreditan secara efektif dan efisien. Dengan dihapuskannya penentuan pagu kredit, pengendalian jumlah uang beredar tidak lagi dilaksanakan secara langsung, tetapi lebih mengutamakan penggunaan sarana tidak langsung, seperti operasi pasar terbuka, penetapan cadangan wajib, fa silitas diskonto dan pengarahan oleh Bank Indonesia (moral suasion). Dalam rangka penyempurnaan sarana operasi pasar terbuka, maka Bank Indonesia pada bulan Pebruari 1984 mener bitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan pada bulan Pebruari 1985 memperkenalkan penggunaan sarana Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Sementara itu, fasilitas diskonto yang diperkenalkan pada tanggal 1 Pebruari 1984 merupakan suatu sumber likuiditas dari Bank Indonesia dalam fungsi utamanya sebagai "lender of the last resort", sebagai jalan terakhir bagi bank-bank untuk mengatasi kesulitan dana yang bersifat sementara. Pelaksanaan kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 telah memberikan hasil yang sangat menggembirakan sebagaimana terlihat pada tingginya peningkatan jumlah dana yang dapat dihimpun oleh perbankan pada periode sampai dengan tahun 1987/88. Na mun kebijaksanaan yang membawa dampak berupa kenaikan suku bunga deposito tersebut pada gilirannya juga ikut meningkat kan suku bunga pinjaman. Agar suku bunga yang tinggi tidak merupakan faktor penghambat kegiatan investasi, maka salah satu sasaran kebijakan moneter setelah deregulasi perbankan adalah mengupayakan penurunan suku bunga sampai ke tingkat yang tidak mengurangi hasrat masyarakat untuk menabung dan tidak mendorong terjadinya pengaliran modal ke luar negeri. Untuk itu, usaha penurunan suku bunga pinjaman telah dilaksanakan pada tahun 1985/86 melalui penurunan tingkat diskonto SBI dan Fasilitas Diskonto Berta tingkat diskonto-ulang SBPU. Dalam tahun 1986/87 ditempuh kebijaksanaan moneter yang 221 berhati-hati dalam memantapkan dan mempertahankan tingkat suku bunga, yang pada tahun sebelumnya telah beberapa kali. diarahkan penurunannya. Kebijaksanaan ini ditempuh tidak saja untuk tetap dapat mendorong kegiatan perekonomian dan pengerahan dana, tetapi juga untuk mendukung usaha-usaha perbaikan posisi neraca pembayaran. Dalam tahun 1986 harga minyak bumi merosot sampai pada tingkat di bawah US$ 10,00 per barrel pada bulan Agustus 1986. Untuk menghindari lebih memburuknya keadaan neraca pembayaran, pada tanggal 12 September 1986 dilakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika Serikat sebesar 31%. Sementara itu, untuk lebih mendukung usaha perbaikan neraca pembayaran, sebagai upaya penyempurnaan langkah devaluasi telah ditempuh Paket Kebijakan 25 Oktober 1986 yang antara lain menghapus ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia agar dapat mendorong pemasukan dana dari luar negeri. Pada awal tahun 1987/88 kemampuan sarana moneter un tuk memelihara kestabilan telah diuji oleh peningkatan pembelian devisa dalam jumlah yang jauh melebihi kebutuhan transaksi yang produktif. Misalnya pembelian devisa dalam bulan September 1986, Nopember 1986 dan Desember 1986, masing-masing mencapai US$ 185,- juta, US$ 260,- juta dan US$ 1.809,- juta sedang pada bulan Januari 1987, Pebruari 1987, Maret 1987 dan April 1987, masing-masing mencapai US$ 481,- juta, US$ 103,juta, US$ 133,- juta dan US$ 234,- juta. Untuk mengatasi dampak negatif dari spekulasi tersebut terhadap kestabilan moneter, serta untuk memelihara iklim berusaha yang sehat dan menjaga kemantapan neraca pembayaran, maka pada tanggal 8 Mei 1987 Bank Indonesia telah mengambil langkah-langkah di bidang moneter dengan menaikkan suku bunga SBI, SBPU, dan fasilitas diskonto, yang dilanjutkan dengan menaikkan suku bunga SBI dan SBPU jangka pendek tanggal 12 Juni 1987. Pelaksanaan ke bijaksanaan suku bunga ini, nampaknya kurang efektif untuk mengatasi spekulasi di bursa. Sehubungan dengan ini, maka pada tanggal 18 Juni 1987 diambil pula tindakan berupa pemindahan dana deposito berjangka beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada perbankan untuk ditanamkan dalam SBI. Di samping itu, telah pula dilakukan penurunan pagu SBPU bankbank serta pembaharuan tata cara perdagangan SBI dan SBPU. Langkah-langkah untuk mengatasi tindakan spekulasi tersebut mengakibatkan berkurangnya likuiditas sehingga menyebabkan kenaikan dengan tajam suku bunga pinjaman antar bank, dan suku bunga deposito berjangka. Namun, kenaikan suku bunga tersebut telah menyebabkan terjadinya arus balik dollar kepada Bank Indonesia mulai minggu terakhir bulan Juni 1987, 222 sehingga menurunkan tekanan terhadap neraca pembayaran. Dalam pada itu, peningkatan penjualan devisa kepada Bank Indonesia menyebabkan bertambahnya likuiditas rupiah dalam perekonomian sehingga mendorong terjadinya penurunan suku bunga deposito berjangka yang pada gilirannya menurunkan suku bunga pinjaman . Sementara itu, dalam rangka menyempurnakan dan mendorong pe laksanaan operasi pasar terbuka, maka mulai tanggal 23 Juli 1987 transaksi SBI dan SBPU dilaksanakan dengan sistem lelang secara harian dengan penetapan tingkat bunga sesuai dengan suku bunga pasar. Perbandingan antara tingkat kenaikan harga dengan tingkat pertambahan jumlah uang beredar selama periode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV -12 dan Grafik IV-10. Langkah-langkah tersebut diatas telah dapat memperbaiki posisi cadangan devisa dari US$ 5,1 milyar bulan Maret 1987 menjadi US$. 5,4 milyar pada bulan Juni 1987 dan US$. 6,3 milyar pada bulan September 1987. 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Faktor -faktor Penyebab Perubahannya. Selama periode 1982/83-1987/88, perkembangan moneter ditandai oleh adanya pengaruh menambah dari sektor aktiva luar negeri dan dari sektor pemberian kredit perbankan. Sektor pemerintah yang dalam tahun 1982/83 dan 1983/84 memberikan pengaruh mengurang, dalam 3 tahun terakhir memberikan penga ruh menambah. Pengaruh menambah sektor pemerintah ini diimbangi oleh adanya pengaruh mengurang dari aktiva bersih lainnya. Sementara itu, uang kuasi terus menunjukkan pengaruh mengurang yang cukup besar. Jumlah uang beredar (Ml) pada akhir Desember 1987 menca pai Rp.12.242 milyar dibandingkan dengan Rp.7.380 milyar pada akhir Maret 1983. Perkembangan tiap tahun dalam lima tahun terakhir 1983/84 s/d 1987/88 (s/d Desember 1987) masing-masing adalah 9,2%, 11,6%, 16,5%, 9,8% dan 6,5%; atau rata-rata 10,7% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 28,9% per tahun pada 5 tahun sebelumnya. Perkembangan uang beredar yang relatif ketat ini mencerminkan upaya Pemerintah untuk memperbaiki dan menjaga kemantapan neraca pembayaran dengan tetap menjaga kestabilan harga yang tercermin pada rendahnya tingkat inflasi yang mencapai 12,63% pada tahun 1983/84 dan 3,64%, 5,66% dan 8,83% tiga tahun berikutnya serta mencapai 7,37% pada tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987), atau rata-rata 7,63% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 13,00% per tahun dalam periode 5 tahun sebelumnya. Perkembangan tingkat 223 TABEL IV- 12 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH ,UANG BEREDAR, 1982/83 - 1987/8 *) Angka sementara (sampai dengan Desember 1987) 224 GRAFIK IV – 10 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1982/83 – 1987/88 225 harga yang cukup mantap ini, apabila dibandingkan dengan ke naikan jumlah uang beredar, menunjukkan bahwa masyarakat ma kin cenderung untuk menggunakan likuiditasnya pada berbagai kegiatan yang produktif. Sementara itu, likuiditas perekonomian (M2) yang terdi ri dari uang beredar (M1) dan uang kuasi dalam lima tahun anggaran terakhir masing-masing naik dengan 28,7% pada tahun 1983/84; 23,4% tahun 1984/85; 24,3% tahun 1985/86; 17,9% tahun 1986/87; dan 19,6% tahun 1987/88; atau naik rata-rata 22,8% per tahun dibandingkan dengan 28,5% rata-rata per tahun pada 5 tahun sebelumnya (sampai dengan tahun 1982/83). Lebih rendahnya kenaikan likuiditas perekonomian tersebut disebab kan oleh melambatnya kenaikan uang beredar (M1), sedangkan uang kuasi menunjukkan kenaikan yang relatif tinggi, yaitu rata-rata 35,2% per tahun dibandingkan dengan rata-rata 28,5% per tahun pada periode 5 tahun sebelumnya. Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, sektor aktiva luar negeri dalam periode 5 tahun anggaran terakhir memberikan pengaruh menambah, yaitu sebe sar Rp.3.299 milyar pada tahun 1983/84; Rp.2.935 milyar pada tahun 1984/85, Rp.1.071 milyar pada tahun 1985/86, Rp.2.344 milyar pada tahun 1986/87; dan Rp.2.110 milyar pada tahun 1987/88 (s/d Desember 1987). Pengaruh menambah dari sektor luar negeri dalam 3 tahun pertama tersebut merupakan hasil dari berbagai usaha Pemerintah dalam meningkatkan penerimaan devisa dari ekspor khususnya ekspor nonmigas, yang merupakan dampak positif dari devaluasi 31 Maret 1983, serta penghema tan dan penggunaan devisa secara lebih terarah. Pengaruh menambah sektor luar negeri dalam tahun 1986/87 sebesar Rp.2.344 milyar terutama karena pengaruh penilai an kembali aktiva luar negeri bersih sebesar Rp.6.079 milyar sehubungan dengan perubahan nilai tukar rupiah karena devaluasi pada bulan September 1986. Sementara itu, pengaruh menambah dalam tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987) yang cukup besar tersebut selain karena adanya pemasukan modal dari luar, juga disebabkan oleh meningkatnya ekspor, terutama ekspor nonmi gas. Dapat dicatat bahwa tindakan menaikkan suku bunga alatalat moneter dan pemindahan dana BUMN dari perbankan ke dalam SBI dan SBPU sebagai langkah untuk mengatasi terjadinya spe kulasi valuta asing pada triwulan I 1987/88, telah menyebab kan arus balik devisa ke Bank Indonesia, yang kemudian ikut membantu terjadinya pengaruh menambah dari sektor luar negeri . Sektor Pemerintah memberikan pengaruh mengurang sebesar 226 Rp.2.335 milyar pada tahun 1983/84 dan Rp.3.004 milyar pada tahun 1984/85, terutama berkaitan dengan usaha penghematan yang dilakukan pemerintah antara lain melalui penjadwalan kembali beberapa proyek pemerintah. Dalam tahun 1985/86, sektor ini memberikan pengaruh menambah sebesar Rp.1.142 milyar karena berkaitan erat dengan penyesuaian hubungan keuangan antara berbagai badan usaha milik negara dengan perbankan. Pada tahun 1986/87 sektor pemerintah memberikan pengaruh mengurang sebesar Rp.1.475 milyar yang terutama disebabkan oleh penilaian kembali rekening pemerintah sebesar Rp.1.866 milyar karena devaluasi pada tanggal 12 September 1986. Dalam tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987), sektor pemerin tah memberikan pengaruh menambah sebesar Rp.l.878 milyar yang terutama disebabkan oleh adanya pemisahan penatausahaan pin jaman komersial luar negeri sebesar Rp.1.725 milyar pada Sep tember 1987 yang semula dicatat dalam rekening pemerintah di pindahkan ke pos aktiva lainnya. Perubahan penatausahaan tersebut tidak mempunyai dampak moneter, melainkan hanya merupa kan pergeseran dalam faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar. Dalam pada itu tagihan kepada lembaga/perusahaan dan per orangan merupakan faktor paling dominan yang menyebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dalam 5 tahun anggaran terakhir masing-masing sebesar Rp.2.636 milyar pada tahun 1983/84, Rp.3.465 milyar pada tahun 1984/85, Rp.3.834 milyar pada tahun 1985/86, Rp.5.567 milyar pada ta hun 1986/87, dan Rp.5.158 milyar pada tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987). Pengaruh menambah dari sektor tersebut terutama disebabkan terdapatnya peningkatan jumlah pemberian kredit yang cukup besar, termasuk pertambahan kredit untuk pengusaha golongan ekonomi lemah dan kredit ekspor. Kenaikan pemberian kredit tersebut selain berkaitan dengan usaha penu runan suku bunga pada tahun 1985/86 juga disebabkan oleh meningkatnya usaha perbankan dalam membiayai kebutuhan modal kerja dan investasi dunia usaha. Uang kuasi yang terus meningkat dalam 5 tahun anggaran terakhir telah memberikan pengaruh mengurang yang cukup besar terhadap uang beredar. Kenaikan uang kuasi tersebut adalah sebesar Rp.2.836 milyar pada tahun 1983/84, Rp.2.755 milyar pada tahun 1984/85, Rp. 3.234 milyar pada tahun 1985/86, Rp.3.298 milyar pada tahun 1986/87, dan Rp.3.442 milyar pada tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987). Kenaikan uang kuasi yang cukup besar ini merupakan dampak dari deregulasi 227 di bidang perbankan melalui kebijakan moneter 1 Juni 1983. Dapat dikemukakan bahwa dalam tahun 1987/88 kenaikan uang kuasi dalam triwulan II adalah sebesar Rp.2.006 milyar yang terutama disebabkan oleh meningkatnya suku bunga deposito berjangka sebagai pengaruh dari langkah-langkah untuk mengatasi kegiatan spekulasi dalam valuta asing antara lain dengan menaikkan suku bunga beberapa sarana moneter pada bulan Mei dan Juni 1987. Meningkatnya uang kuasi tersebut mencerminkan kokohnya kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah. Sementara itu, dalam 5 tahun terakhir aktiva bersih, lainnya menunjukkan pengaruh mengurang sebesar Rp.88 milyar pada tahun 1983/84, pengaruh menambah sebesar Rp.292 milyar pada tahun 1984/85, pengaruh mengurang sebesar Rp.1.326 mil yar pada tahun 1985/86 dan pengaruh mengurang sebesar Rp.2.113 milyar pada tahun 1986/87 yang terutama berhubungan dengan penilaian kembali nilai tukar rupiah sebesar Rp.l.447 milyar karena devaluasi pada tanggal 12 September 1986 serta pengaruh mengurang sebesar Rp.4.962 milyar pada tahun 1987/88 (sampai dengan Desember 1987) yang berkaitan erat dengan ter dapatnya pemisahan penatausahaan pembukuan pinjaman komersial luar negeri dari rekening pemerintah ke dalam pos aktiva lain nya. Perkembangan jumlah uang beredar serta sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar selama periode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-13, Grafik IV-11 dan Tabel IV-14. 3. Dana Perbankan a. Kebijaksanaan Dana Perbankan Kecenderungan menurunnya tabungan pemerintah terutama karena merosotnya harga ekspor minyak menyebabkan usaha pengerahan tabungan masyarakat menjadi semakin penting sejak awal Repelita IV. Dalam rangka ini maka pada bulan Juni 1983 telah dikeluarkan paket kebijaksanaan moneter yang memberikan kebebasan yang lebih besar kepada perbankan dalam kegiatannya untuk menghimpun dana masyarakat maupun dalam penyaluran dana tersebut keberbagai kegiatan yang menunjang pembangunan. Paket kebijaksanaan moneter 1 Juni 1983 tersebut antara lain meliputi langkah yang memperbolehkan perbankan untuk mener bitkan bilyet deposito berjangka atas nama dan atas unjuk yang dapat diperpanjang secara otomatis. Sebagai kelanjutan paket kebijaksanaan Juni 1983, maka sejak 1 Juli 1987 telah 228 TABEL IV - 13 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1982/83 - 1987/88 (milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan Jumlah Uang Beredar Jumlah Uang Kartal % Jumlah % Mutasi Uang Beredar 1982/83 7.380 3.001 41 4.379 59 605 8,9 1983/84 8.055 3.554 44 4.501 56 675 + 9,2 1984/85 Triwulan I 8.988 8.183 3.785 42 5.203 58 4.136 4.320 51 934 128 +11,6 49 46 54 - 222 - 2,7 4.869 57 620 + 7,8 Triwulan I I 7.961 4.047 3.641 Triwulan III Triwulan IV 8.581 3.712 1985/86 Triwulan I Uang Giral 8.988 3.785 43 42 5.203 58 407 10.475 5.044 48 5.431 52 1.487 9.428 Persentase Perubahan Tahun Triwulan Bulan + 1,6 4,7 +16,5 5.152 55 9.414 10.104 4.276 4.268 4.440 45 T r i w u l a n II Triwulan I I I 45 44 5.146 5.664 55 56 Triwulan IV 10.475 5.044 48 5.431 52 372 11.500 5.673 49 5.827 51 1.025 Triwulan I 10.355 4.834 47 5.521 - 1,2 11.192 5.173 46 6.019 53 54 - 120 Triwulan I I 837 + 8,1 Triwulan I I I Triwulan IV 11.677 5.338 46 6.339 54 485 11.500 5.673 49 5.827 51 - 177 1987/88 *) April 12.242 11.585 5.740 5.574 47 48 6.502 6.011 55 52 742 85 Mei Juni 12.354 11.588 6.181 5.624 50 49 6.173 5.964 50 51 769 - 766 Triwulan I 11.588 5.624 49 5.964 51 Juli 11.540 48 6.012 52 - 48 - 0,4 Agustus September 11.688 11.972 5.528 5.516 47 53 + 1,3 + 2.4 1986/87 - 439 + 4,9 14 690 - 0,2 + 7,3 88 5.605 47 6.172 6.367 53 148 284 11.972 5.605 47 6.367 53 384 Oktober Nopember 12.034 12.105 5.624 5.647 47 47 6.410 6.458 53 53 62 71 Desember Triwulan I I I 12.242 12.242 5.740 47 137 47 6.502 6.502 53 5.740 53 270 Triwulan I I + 3,7 + 9,8 + 4,3 - 1,5 +6,5 + 0,7 + 6,6 - 6,2 +0,8 + 3.3 + 0,5 + 0.6 + 1,1 + 2,3 *) Angka sement ara ( s a m p a i dengan Desember 1987) 229 GRAFIK IV – 11 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR 1982/83 – 1987/88 230 TABEL IV – 14 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR 1982/83 – 1987/88 1) (milyar rupiah) 1) Sampai dengan Desember 1987 2) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar Rupiah dari Rp. 702,50 menjadi Rp. 970,- per US Dollar pada 30 Maret 1983, masing-masing Sebesar Rp. 1.962,50 pada sector luar negeri Rp. 237,3 milyar pada sector Pemerintah, Rp. 294,3 milyar pada sector kegiatan perusahaan, Rp. 1.399,4 milyar pada sector lain-lain dan Rp. 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi) 3) Termasuk kenaikan saldo rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah tanggal 12 September 1986, masing-masingsebesar Rp. 6.079 milyar pada Aktiva Luar Negeri, Rp. 1.866 milyar pada Sektor Pemerintah, Rp. 1 milyar pada Tagihan kepada Lembaga/Perusahaan Pemerintah, Rp. 354 milyar pada Tagihan kepada Perusahaan Swasta dan Perorangan, Rp. 3.121 milyar pada sector Lainnya dan Rp. 1.447 milyar pada Uang Kuasi 4) Angka revisi 5) Angka Sementara 231 diberlakukan suku bunga tunggal sebesar 15% setahun untuk Tabanas yang sebelumnya ditetapkan 15% setahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp.1 juta dan 12% setahun untuk saldo tabungan di atas Rp.1 juta. Dalam bidang kelembagaan, usaha meningkatkan jumlah bank penyelenggara Tabanas dan Taska serta bank penerbit sertifikat deposito terus dilakukan. Upaya peningkatan pengerahan dana melalui tabungan jug dilakukan dengan memperkenalkan jenis tabungan baru yang dikenal seba gai Simpedes (Simpanan pedesaan) sejak tahun 1984. Hasil upaya ini nampak dari peningkatan yang cukup tinggi dalam waktu singkat dari Simpedes yang pada bulan September 1987 mencapai Rp.144,0 milyar dibanding dengan posisinya sebesar Rp.136 juta pada bulan Nopember 1984. Masih dalam rangka langkah-langkah untuk lebih menggalakkan kegiatan menghimpun tabungan masyarakat maka kebijaksanaan untuk menangguhkan pelaksanaan pemungutan PPh (Pajak Penghasilan) atas pendapatan/ suku bunga deposito berjangka tetap diberlakukan. Dalam rangka penyempurnaan pasar uang yang selanjutnya dimaksudkan untuk mengembangkan serene moneter dalam bentuk operasi pasar terbuka, maka sejak 1 Pebruari 1984 Bank Indo nesia telah menerbitkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) se dangkan sejak 1 Pebruari 1985 kepada perbankan dan LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank) juga telah diberikan kesempatan untuk memperdagangkan SBPU (Surat Berharga Pasar Uang). b. Perkembangan Dana Perbankan Pengerahan dana masyarakat melalui perbankan selama periode tahun 1982/83-1987/88 menunjukkan perkembangan yang cukup mengesankan. Posisi dana perbankan yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah mau pun valuta asing, pada tahun 1982/83 berjumlah Rp.10.190,7 milyar sedangkan pada tahun 1987/88 (akhir Desember 1987) telah mencapai 4.29.006,7 milyar suatu peningkatan sebesar rata-rata 23,3% setahun. Kenaikan tersebut terjadi pada giro yang meningkat dari Rp.5.914,4 milyar pada tahun 1982/83 men jadi Rp.8.717,2 milyar pada tahun 1987/88atau naik rata-rata 8,1% setiap tahun. Deposito, dan tabungan yang pada tahun 1982/83 berjumlah Rp.3.737,2 milyar dan Rp.539,1 milyar telah meningkat masing-masing dengan rata-rata 38,1% dan 23,2% setiap tahunnya sehingga menjadi Rp.18.759,7 milyar dan Rp.1.529,8 milyar pada tahun 1987/88 (per akhir triwulan III). Peranan giro dalam periode tersebut menunjukkan penurunan dari 58,1% pada tahun 1982/83 menjadi 30,1% pada tahun 232 1987/88. Sedangkan peranan deposito dan tabungan masing-masing adalah sebesar 36,7% dan 5,2% pada tahun 1982/83 serta 64,7% dan 5,2% pada tahun 1987/88 (Desember 1987). Perkembangan dana perbankan dari tahun 1982/83 sampai dengan tahun 1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-15. Dari jumlah giro yang dapat dihimpun perbankan selama periode 1982/83-1987/88, maka giro rupiah telah meningkat dari Rp.4.322,8 milyar pada tahun 1982/83 menjadi Rp.7.530,5 milyar pada tahun 1987/88 (sampai dengan akhir triwulan III), atau naik dengan rata-rata 11,7% setahun. Sebaliknya giro valuta asing telah menurun dari Rp.1.591,6 milyar pada tahun 1982/83 menjadi Rp.1.312,8 milyar pada akhir triwulan III tahun anggaran 1987/88, suatu penurunan rata-rata sebesar 3,8% setahun. Perkembangan ini menandakan terus membesarnya kepercayaan masyarakat kepada sistem lalu lintas perbankan di dalam negeri dan kepada mata uang rupiah pada umumnya. c. Perkembangan deposito berjangka rupiah, Tabanas dan Taska. Meningkatnya kegiatan pembangunan telah pula meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menabung yang tercermin pada terus membesarnya jumlah deposito berjangka rupiah dari Rp.2.407,6 milyar pada tahun 1982/83 menjad i Rp.15.324,2 milyar pada akhir triwulan III tahun 1987/88, suatu kenaikan ra ta-rata setahun sebesar 44,8 %. Ditinjau dari jangka waktunya, maka telah terjadi beberapa pergeseran sesuai dengan perkembangan kebutuhan masyara kat akan likwiditas yang tersedia. Deposito berjangka waktu 24 bulan yang mempunyai peranan terbesar (39,4%) pada tahun 1982/83, telah mengalami penurunan yang cukup besar hingga menjadi 5,0% pada akhir tahun 1987/88 (Desember 1987). Peran an yang semakin meningkat terutama dialami oleh deposito berjangka waktu 3 bulan serta 12 bulan. Peranannya yang masing masing pada akhir tahun 1982/83 hanya sebesar 10,6% dan 13,9%, telah meningkat menjadi 25,7% dan 37,2% pada akhir triwulan III tahun 1987/88. Perkembangan deposito berjangka rupiah ini, dapat diikuti pada Tabel IV-16 dan Grafik IV-12. Sebagai hasil dari langkah-langkah yang telah ditempuh untuk meningkatkan Tabanas dan Taska, melalui penggalakan gerakan tabungan dikalangan pemuda, pelajar dan pramuka serta melalui penambahan jumlah bank penyelenggara, maka pada akhir 233 TABEL IV - 15 PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING,1) 1982/83 - 1987/884) (milyar rupiah) Persentase Perubahan Akhir Tahun/ Triwulan/Bulan 1982/83 Giro Deposito2) Tabungan3) Jumlah Perubahan Tahun 5.914,4 3.737,2 539,2 10.190,7 +1.930,8 +23,4 +3.146,4 +30,9 +3.350,7 +25,1 Triwulan 1983/84 6.350,4 6.348,8 637,9 13.337,1 1984/85 7.187,7 8.726,0 774,1 16.687,8 Triwulan I 6.243,6 6.886,8 688,3 13.818,7 + 481,6 + 3,6 Triwulan II 6.800,6 7.266,9 638,3 14.705,8 + 887,1 + 6,4 Triwulan III 6.965,6 7.778,9 753,7 15.498,2 + 792,4 + 5,4 Triwulan IV 7.187,7 8.726,0 774,1 16.687,8 +1.189,6 7.040,7 12.590,4 1.211,8 20.842,9 +4.155,1 + 777,1 +1.211,1 + 6,9 +1.498,4 + 8,0 1985/86 + 7,7 +24,9 Triwulan I 6.644,1 9.973,9 846,9 17.464,9 Triwulan II 6.779,6 11.030,6 865,8 18.676,0 Triwulan III 7.427,5 11.726,6 1.020,3 20.174,4 Triwulan IV 7.040,7 12.590,4 1.211,8 20.842,9 7.561,8 14.911,8 1.586,4 24.060,0 Triwulan I 6.948,7 12.660,5 1.245,1 20.854,3 Triwulan II 7.906,4 14.447,2 1.216,5 23.570,1 Triwulan III 8.156,6 13.967,5 1.386,8 23.510,9 - 59,2 - 0,2 Triwulan IV 7.561,8 14.911,8 1.586,4 24.060,0 + 549,1 + 2,3 1986/87 1987/88 + + 11,4 8.717,2 18.759,7 1.529,8 29.006,7 7.854,1 15.068,2 1.640,7 24.563,0 + 503,0 M e i 7.917,1 15.351,6 1.634,8 24.903,5 + 340,5 Juni 8.100,0 15.443,1 1.565,7 25.108,8 + 205,3 Triwulan I 8.100,0 15.443,1 1.565,7 25.108,8 Juli 8.124,0 16.351,8 1.435,9 Agustus 8.102,5 17.226,0 1.376,2 September 8.213,0 17.905,0 1.419,2 8.213,0 17.905,0 1.419,2 Oktober 8.441,3 18.205,8 1.468,2 Nopember 8.494,5 18.517,1 1.494,3 8.717,2 18.759,7 1.529,8 29.006,7 8.717,2 18.759,7 1.529,8 29.006,7 Triwulan II Desember Triwulan III + 3,3 +15,4 + 0,1 +2.715,8 April 25.911,7 + 4,7 668,5 +3.217,1 + 4.946,7 +13,1 +20,6 + 1.048,8 + + 2,1 1,4 + 0,8 + 4,4 + 802,9 + 3,2 793,0 832,4 + 3,1 27.537,1 + + + 3,1 27.537,1 + 2.428,3 28.115,3 + 578,2 + * 390,6 + 1,4 + 500,8 + 1,8 26.704,7 28.505.9 + 1.469,6 1) Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan, termasuk dana milik Pemerintah Neat dan bukan penduduk 2) Termasuk sertifikat deposito 3) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya, seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH) 234 Bulan + 9,7 + 5,3 2,1 TABEL IV – 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU 1) 1982/83 – 1987/88 2) (milyar rupiah) 1) 2) 235 Termasuk dana milik Pemerintah dan bukan penduduk, serta sertifikat deposito Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu GRAFIK IV – 12 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU, 1982/83 – 1987/88 236 triwulan III tahun 1987/88 nilai Tabanas dan Taska telah men capai Rp.1.253,2 milyar dengan 18.226.002 penabung. Dengan demikian, sejak tahun 1982/83 peningkatan rata-rata dana Tabanas dan Taska adalah sebesar 20,9% setahun sedang jumlah penabungnya telah meningkat dengan rata-rata 12,3% setahun. Selama periode yang sama jumlah bank penyelenggara Tabanas dan Taska telah bertambah dengan 20 buah sehingga menjadi 70 bank pada akhir Desember 1987. Perkembangan Tabanas dan Taska sejak tahun 1982/83 dapat diikuti pada Tabel IV-17. d. Perkembangan sertifikat deposito. Sertifikat deposito merupakan salah satu bentuk surat berharga jangka pendek yang dapat digunakan bank untuk mangelola dananya secara efisien di samping kegunaannya sebagai alat penghimpun dana masyarakat. Penerbitan sertifikat depo sito yang dimulai sejak September 1971 dimaksudkan untuk me nunjang upaya pengembangan pasar uang di dalam negeri. Langkah-langkah penting yang telah mempengaruhi perkembangan selanjutnya antara lain adalah kebijaksanaan pada bulan Oktober 1984 yang telah memperluas partisipasi perbankan dari yang semula hanya bank pemerintah serta bank asing ke mengikutsertaan semua bank umum yang telah dikategorikan sebagai bank sehat dan cukup sehat. Karena itu, sampai dengan akhir tri wulan III tahun 1987/88 jumlah bank yang telah memperoleh izin untuk menerbitkan sertifikat deposito adalah 28 bank yang terdiri dari 5 bank pemerintah, 11 bank asing dan 12 bank swasta nasional. Kebijaksanaan lain yang telah mempengaruhi perkembangan sertifikat deposito adalah penentuan nilai nominal terkecilnya, yang pada bulan Oktober 1985 dirubah dari Rp.50 ribu menjadi Rp.5 juta. Pada bulan April 1987 jumlah tersebut diturunkan kembali menjadi Rp.l juta. Perkembangan penggunaan sertifikat deposito juga telah didorong oleh le bih rendahnya tingkat suku bunga yang harus ditanggung bank penerbitnya dibandingkan dengan tingkat suku bunga yang ditanggung bank untuk dana yang dihimpun melalui deposito ber jangka. Dalam pada itu, untuk menjamin agar penggunaan sertifikat deposito tetap diadakan dalam batas-batas kegiatan bank yang sehat, telah ditetapkan bahwa jumlah nilai sertifikat deposito yang diterima dari bank lain tidak boleh melebihi 7,5% jumlah nilai pinjaman yang diberikan bank yang bersang kutan kepada nasabahnya. Posisi sertifikat deposito pada akhir tahun 1982/83 adalah sebesar Rp.102,1 milyar dan pada tahun-tahun berikutnya 237 TABEL IV - 17 PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA,1) 1982/83 - 1987/88 T A S K A TABANAS J u m l a h Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan Penabung 1982/83 10.186.110 483.488 16.532 303 10.202.642 483.791 1983/84 11.474.295 575.672 17.263 357 11.491.558 576.029 1984/85 Posisi (juta rupiah) Penabung Posisi (juta rupiah) Penabung 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878 Triwulan I 11.054.840 581.050 19.301 1.296 11.074.141 582.346 Triwulan II 12.032.517 592.633 17.628 659 12.050.145 593.292 Triwulan III 12.424.913 669.598 16.362 452 12.441.275 670.050 Triwulan IV 12.984.237 699.312 16.893 566 13.001.130 699.878 1985/86 17.954 424 15.051.000 Triwulan I 13.208.339 725.458 13.540 308 13.221.879 725.766 Triwulan II 14.021.167 793.846 17.082 370 14.038.249 794.216 Triwulan III 14.711.697 935.621 18.068 357 14.729.765 Triwulan IV 15.033.046 1.059.018 17.954 424 15.051.000 1.059.442 1986/87 15.033.046 1.059.018 1.059.442 935.978 16.729.182 1.285.914 15.854 646 16.745.630 1.286.560 Triwulan I 15.361.855 1.044.949 16.212 377 15.378.067 1.045.326 Triwulan II 16.127.747 1.073.854 18.942 597 16.146.689 1.074.451 Triwulan III 16.379.878 1.217.850 15.502 449 16.395.380 1.218.299 Triwulan IV 16.729.182 1.285.914 15.854 646 16.745.630 1.286.560 1987/882) 18.213.854 1.252.131 12.148 1.075 18.226.002 1.253.206 April 16.715.574 1.289.652 14.843 555 16.730.417 1.290.207 M e i 16.844.071 1.255.092 16.086 580 16.860.157 1.255.672 J u n i 17.081.524 1.212.009 14.550 476 17.096.074 1.212.485 Triwulan I 17.081.524 1.212.009 14.550 476 17.096.074 1.212.485 J u l i 16.968.031 1.169.554 22.351 1.254 16.990.382 1.170.808 Agustus 17.406.374 1.151.600 12.574 494 17.418.948 1.152.094 September 17.272.131 1.175.120 11.520 507 17.283.651 1.175.627 Triwulan II 17.272.131 1.175.120 11.520 507 17.283.651 1.175.627 Oktober2) 17.671.117 1.201.634 11.786 1.032 8.7.682.903 1.202.666 Nopember2) 17.985.662 1.223.023 11.996 1.050 17.997.658 1.224.073 Desember2) 18.213.854 1.252.131 12.148 1.075 18.226.002 1.253.206 Triwulan III 18.213.854 1.252.131 12.148 1.075 18.226.002 1.253.206 1) Meliputi TABANAS dan TASKA pada Bank-bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA. 2) Angka sementara. 238 Posisi (juta rupiah) mengalami kenaikan maupun penurunan sehingga pada akhir tri wulan III tahun 1987/88 mencapai jumlah sebesar Rp.219,5 milyar. Perkembangan sertifikat deposito selama periode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-18. 4. Perkreditan a. Kebijaksanaan Perkreditan Kebijaksanaan pemberian pinjaman perbankan dalam 5 tahun terakhir didasarkan kepada kebijakan moneter 1 Juni 1983 yang lebih mengutamakan pemberian pinjaman yang berasal dari dana masyarakat melalui pemberian kebebasan yang lebih besar lagi kepada bank-bank dalam menetapkan suku bunga pinjaman dan persyaratan lainnya. Dalam kebijaksanaan tersebut pinjaman dikelompokkan ke dalam pinjaman yang berprioritas tinggi dan pinjaman yang tidak berprioritas tinggi. Penyediaan fasilitas pinjaman berprioritas tinggi dimaksudkan antara lain untuk menunjang tercapainya sasaran pemerataan pendapatan dan peningkatan pendapatan dari sektor bukan migas. Bagi pinjam an yang berprioritas tinggi, Bank Indonesia masih menyediakan fasilitas kredit likuiditas dan menetapkan persyaratan pinjaman bank yang bersangkutan kepada nasabahnya. Persyaratan kredit dan suku bunga pinjaman yang tidak berprioritas tinggi ditentukan sendiri oleh masing-masing bank dan seluruh dananya berasal dari hasil upaya mobilisasi bank yang bersangkutan. Dalam usaha mendorong pengembangan kegiatan bagi kontraktor nasional, sejak akhir tahun 1983 bank umum pemerintah dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dapat memberikan kredit modal kerja dengan persyaratan yang cukup ringan kepada kontraktor nasional yang memenangkan tender internasio nal. Kredit tersebut dapat digunakan untuk membiayai pro yek-proyek, baik yang dilaksanakan di dalam maupun di luar negeri. Jumlah maksimum pinjaman adalah 30% dari nilai kontrak proyek dengan suku bunga 9% setahun. Untuk pinjaman tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas sebesar 70%-80% dengan jangka waktu satu tahun. Selanjutnya fasilitas pinjaman kepada kontraktor nasional yang semula hanya disediakan bagi yang bergerak di bidang industri jasa konstruksi, sejak Mei 1985 disediakan pula bagi kontraktor nasional yang bergerak di bidang usaha pekerjaan supervise/konsultan dan penyediaan barang, baik dalam kedudukannya selaku produ sen, instalator maupun produsen instalator. 239 TABEL IV – 18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK *) 1982/83 – 1987/88 2) (milyar rupiah) *) Termasuk sertifikat deposito antar-bank 240 Selanjutnya untuk membantu bank-bank dalam mengatasi kesulitan likuiditas, sejak bulan Pebruari 1984 Ban k Indonesia menyediakan fasilitas diskonto I yang dapat digunakan untuk mengatasi kesulitan dalam pengaturan dana sehari -hari, dan fasilitas diskonto II untuk menanggulangi kesulitan pendanaan karena rencana penarikan dana tidak sesuai dengan rencana pe narikan pinjaman jangka menengah/panjang. Di samping itu, dalam rangka mengembangkan dan mening katkan usaha di pedesaan, fasilitas Kredit Mini dan Midi yang digolongkan dalam kredit berprioritas tinggi, sejak 1984 te lah disempurnakan menjadi Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Jumlah maksimum pinjaman Kupedes adalah Rp.1 juta per nasabah dan dapat digunakan untuk investasi maupun modal kerja. Ada pun suku bunga Kupedes investasi dan modal kerja masing -masing adalah 12% dan 18% per tahun dengan jangka waktu 3 d an 2 tahun. Dalam rangka lebih meningkatkan hasil ekspor mata dagangan bukan migas, sejak September 1985 Bank Indonesia telah memberlakukan serangkaian ketentuan yang memperluas pemberian fasilitas kredit ekspor. Kredit ekspor dengan suku bunga rendah yang sebelumnya hanya diberikan kepada perusahaan na sional, sejak saat itu dapat pula diberikan kepada perusahaan dalam rangka PMA. Ketentuan kredit ekspor bagi perusahaan tersebut adalah sama dengan pembiayaan sendiri yang ditetap kan sebesar 30% dari jumlah kebutuhan pembiayaan. Sedangkan pembiayaan sendiri bagi perusahaan nasional tidak mengalami perubahan, yakni sebesar 15% dari jumlah kebutuhan pembiaya an. Di samping itu, guna lebih memperluas penyediaan fasili tas kredit ekspor yang semula hanya dapat diberikan oleh bank umum pemerintah, Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan bank umum swasta nasional devisa, sejak bulan tersebut dapat diberikan oleh bank asing. Untuk kredit ekspor tersebut Bank Indonesia menyediakan kredit likuiditas sebesar 70% dengan suku bunga 3,0% per tahun. Di samping itu, dalam rangka membantu eksportir yang memperdagangkan barang-barang ekspor yang dijual melalui bursa komoditi disediakan pula fasilitas kre dit ekspor. Selanjutnya dalam upaya mendorong ekspor nonmigas, sejak Oktober 1986 ketentuan pembiayaan sendiri kredit ekspor bagi perusahaan PMA diturunkan dari 30% menjadi 15% dari ke seluruhan kebutuhan pembiayaan. Pada bulan April 1987 Pemerintah mengubah persyaratan kredit ekspor yang dikaitkan de ngan jenis komoditi primer dan bukan primer. Adapun ketentuan 241 lama tentang suku bunga dan besarnya kredit likuiditas Bank Indonesia bagi komoditi primer masih tetap dilanjutkan se dangkan bagi komoditi ekspor bukan primer tetap disediakan fasilitas kredit ekspor dengan persyaratan yang masih cukup ringan. Dalam usaha mendukung peningkatan produksi tanaman perkebunan, peningkatan pendapatan petani, serta keberhasilan program transmigrasi, sejak Juni 1986 di samping mengembang kan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR), telah ditetapkan ketentuan tentang kredit investasi untuk mengembangkan perkebunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR Trans). Kredit investasi disediakan oleh bank-bank umum nasional dengan ketentuan pemenuhan pembiayaan sendiri nasabah ditetapkan sebesar 35% dari biaya proyek. Suku bunga pinjaman kepada perusahaan perkebun an ditetapkan sebesar 16% setahun. Suku bunga pinjaman petani akan diturunkan sesuai dengan ketentuan suku bunga kredit kepada golongan ekonomi lemah. Jangka waktu kredit kebun inti ditetapkan antara 13-20 tahun termasuk masa tenggang selama 4-7 tahun dan jangka waktu kredit bagi petani peserta ditetapkan antara 9 - 13 tahun tanpa masa tenggang. Kredit likuiditas Bank Indonesia disediakan sebesar 55% dari kebutuhan kredit dengan suku bunga 6,5% setahun. Selain itu, sejak Ja nuari 1987 pemberian kredit untuk perkebunan besar swasta nasional diperluas tidak hanya untuk membiayai lahan tanaman yang telah ada tetapi juga untuk usaha perluasan areal kebun di lokasi-lokasi sekitarnya. Kegiatan yang dibiayai dengan kredit perkebunan swasta nasional (PSN) meliputi penyediaan kredit modal kerja dan kredit investasi. Kredit investasi disediakan untuk usaha-usaha intensifikasi, rehabilitasi, peremajaan dan perluasan perkebunan dalam rangka mencapai luas dengan skala ekonomi minimum baik di areal hak guna usaha (HGU) lama dan di atas HGU baru. Di samping itu, kredit in vestasi dapat digunakan pula untuk pembangunan unit pengolahan karet, kelapa, kelapa sawit, teh, kopi dan coklat. Khusus bagi usaha baru, atau perluasan di lokasi kebun lama yang sudah mencapai skala ekonomi minimum, atau perusahaan yang pernah menerima kredit PSN, penyediaan dana sendiri nasabah ditetapkan 30% dari biaya proyek. Dalam rangka meningkatkan minat penanaman modal dan untuk lebih mendorong pemilikan saham nasional pada perusahaan PMA, sejak Juni 1986 bank-bank umum pemerintah dan Bank Pembangunan Indonesia menyediakan kredit modal kerja kepada 242 perusahaan PMA. Perusahaan PMA yang dapat memperoleh pinjaman tersebut yakni perusahaan yang minimum 75% dari sahamnya di miliki negara dan/atau swasta nasional, atau minimum 51% dari sahamnya dijual melalui pasar modal, atau minimum 50% saham nya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan sudah menawarkan minimal 20% dari sahamnya untuk dijual melalui pa sar modal. Di samping itu dalam rangka meningkatkan kemampuan bankbank untuk mengelola dananya serta membantu nasabah bank yang dinilai bonafide dan memerlukan bantuan likuiditas yang mendesak, pada bulan Maret 1987 Bank Indonesia memperlonggar ketentuan fasilitas cerukan yang berlaku mulai awal bulan April 1987. Fasilitas cerukan bagi nasabah pinjaman dinaikan dari 5% menjadi 15% dari maksimum pinjaman dan bagi nasabah giro dari 10% menjadi 15% dari saldo efektif pada saat cerukan timbul. Jangka waktu cerukan yang semula ditetapkan 7 hari diperpanjang menjadi 15 hari dan penetapan suku bunganya di serahkan kepada masing-masing bank. Dalam rangka memberikan kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah, di samping berbagai fasi litas kredit prioritas yang disediakan sejak 1 Juni 1983 antara lain seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Mo dal Kerja Permanen (KMKP), Kredit Koperasi, sejak tahun 1984 telah disediakan pula jenis-jenis pinjaman lainnya. Jenis-jenis pinjaman tersebut adalah kredit dalam rangka Keppres No. 29/1984, kredit sampai dengan Rp.75 juta untuk keperluan mo dal kerja dan investasi, dan kredit kepada peternak ayam di luar kredit program Keppres No. 50/1981. Sejalan dengan usaha untuk meningkatkan produksi pangan dan peranan Koperasi Unit Desa (KUD) di bidang perkreditan, telah pula dikeluarkan ke tentuan jenis kredit baru, yakni Kredit Usaha Tani melalui KUD untuk intensifikasi padi/palawija, yang merupakan fasilitas kredit modal kerja kepada para petani sehubungan dengan dihentikannya kredit Bimas. Terhadap kredit-kredit tersebut dikenakan suku bunga yang rendah, jangka waktu yang cukup lama dan bagian pembiayaan sendiri yang ringan. Dalam usaha mendorong pengembangan usaha golongan ekonomi lemah khususnya di daerah-daerah, sarana Proyek Pengembangan Usaha Kecil (PPUK) yang dibentuk sejak tahun 1978, secara terus menerus dimanfaatkan. PPUK melakukan identifikasi bidang-bidang usaha atau mata dagangan serta calon-calon pengusaha yang potensial untuk dikembangkan di daerah yang bersangkutan. 243 b. Perkembangan perkreditan. Perkembangan jumlah kredit perbankan menurut kelompok bank maupun menurut sektor ekonomi dalam periode 1982/83 1987/88 dapat diikuti masing-masing pada Tabel IV-19 dan Tabel IV-20 dan Grafik IV-13. Dalam pada itu, kredit langsung Bank Indonesia yang dalam tahun 1982/83 sebesar Rp.2.388 milyar, pada tahun 1984/85 menurun menjadi Rp.938 milyar. Penurunan pembe rian kredit ini berkaitan erat dengan adanya pengalihan pinjaman Bulog dan Pertamina yang sebelumnya diberikan langsung oleh Bank Indo nesia. Pada tahun 1986/87 jumlah pinjaman langsung Bank In donesia telah meningkat menjadi Rp.1.173 milyar dan meningkat lagi menjadi Rp.1.347 milyar pada akhir Desember 1987. Pe ningkatan pinjaman langsung Bank Indonesia ini terutama digu nakan untuk mendorong pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dalam rangka menunjang pembangunan rumah murah. Apabila dilihat dari kelompok bank, maka Bank Umum Pemerintah mempunyai peranan pemberian pinjaman yang terbesar di bandingkan dengan kelompok bank lainnya. Dalam tahun 1982/83 peranan pinjaman bank umum pemerintah mencapai 64,6% dari seluruh pinjaman perbankan dengan jumlah pinjaman sebesar Rp.8.854 milyar. Pada akhir Desember 1987 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp.22.047 milyar. Demikian pula peranan bank-bank umum swasta nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Peranannya yang dalam tahun 1982/83 sebesar 12,6% telah meningkat menjadi 24,6% pada akhir tahun 1987. Dalam hal ini terus menerus diupayakan untuk mendorong perluasan partisipasi bank swasta nasional dalam kegiatan mereka membiayai program-program pembangunan. Dalam pada itu peranan bank asing selama 5 tahun tidak mengalami perubahan yaitu menyalurkan sekitar 5% dari keselu ruhan kredit perbankan. Jumlah kredit bank asing yang pada tahun 1982/83 sebesar Rp.737 milyar, pada akhir tahun Desem ber 1987 telah mencapai Rp.1.462 milyar. Selanjutnya apabila pinjaman perbankan dilihat dari sektor ekonomi, maka baik pada sektor produksi, perdagangan maupun sektor lainnya selalu meningkat. Apabila jumlah kredit pada sektor produksi pada tahun 1982/83 berjumlah Rp.5.832 244 TABEL IV – 19 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1982/83 – 1987/1988 2) (milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 6) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk Kredit antar bank serta kredit kepada Pem erintah Pusat, bukan penduduk dan dalam ra ngka bantuan Proyek Tahun 1987/88 sampai dengan Desem ber 1987 Kredit kepada Bul og serta Pertamina yang semula disalurkan langsung oleh Bank Indonesia, sejak tahun 1984 dialihkan masing -masing secara keseluruhan dan sebagian menjadi pinjaman Bank Umum Pem er intah Tidak termasuk BTN (Bank Tabungan Negara) Termasuk revalua si valuta asing Angka sementara 245 TABEL IV – 20 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1982/83 – 1987/1988 2) (milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) 5) 6) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, ter masuk kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk Kredit antar bank serta kredit kepada Pem erintah Pusat, bukan penduduk dan dalam rangka bantuan Proyek Tahun 1987/88 sampai dengan Desem ber 1987 Termasuk sekt or pertanian, pertambangan dan perindustrian Termasuk sekt or jasa -jasa dan lain -lain Termasuk revalua si valuta asing Angka sementara 246 GRAFIK IV – 13 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING, MENURUT SEKTOR EKONOMI 1982/83 – 1987/88 247 milyar, maka pada akhir Desember 1987 meningkat menjadi Rp.14.114 milyar. Peningkatan pemberian pinjaman yang cepat pada sektor produksi terjadi pada periode 1986/87 sampai dengan Desember 1987, dari Rp.12.099 milyar pada akhir Maret 1987 menjadi Rp.14.114 milyar pada akhir Desember 1987, suatu kenaikan sebesar 16,7%, yang terutama tersalur untuk industri kimia dan plastik, industri tekstil, industri kertas serta industri kayu dan hasil-hasilnya. Dalam pada itu pemberian pinjaman untuk sektor perdagangan juga mengalami kenaikan. Jumlah kredit pada sektor ini pada tahun 1982/83 adalah sebesar Rp.4.135 milyar yang meningkat menjadi Rp.8.504 milyar pada tahun 1986/87 dan naik cukup pesat menjadi Rp.10.376 milyar pada akhir Desember 1987, suatu peningkatan sebesar 22,0%. Realisasi jumlah yang meningkat tersebut terutama digunakan untuk pembiayaan pengolahan dan perdagangan barang-barang ekspor, pengumpulan dan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, untuk perdagangan eceran dan pembelian serta pengumpulan barang-barang dagangan dalam negeri. Kredit untuk ekspor lainnya juga mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Jumlah kredit sektor ini pada 1982/83 sebesar Rp.2.599 milyar telah meningkat menjadi Rp.7.249 milyar pada 1986/87 dan meningkat lagi menjadi Rp.8.494 milyar pada akhir Desember 1987. Adapun kredit yang termasuk pada sektor ekonomi lainnya adalah kredit untuk membiayai usaha-usaha di bidang jasa-jasa seperti jasa-jasa dunia usaha, sosial masyarakat, pengangkutan, perhubungan dan perhotelan. c. Kredit Investasi, KIK/KMKP, Kredit MINI/MIDI, Kredit Candak Kulak, Kredit Umum Pedesaan dan Kredit Perumahan Rakyat. . Realisasi kredit investasi senantiasa meningkat sejalan dengan perkembangan pembangunan. Dalam hubungan ini, berbagai ketentuan-ketentuan kredit investasi senantiasa disempu rnakan dalam rangka usaha memperluas pemberian kredit investasi. Kebijaksanaan kredit investasi diarahkan agar semakin banyak dimanfaatkan bagi golongan ekonomi lemah dalam kegiatan produktif yang banyak menyerap tenaga kerja. Hal ini terwujud dalam penyediaan fasilitas kredit investasi atas dasar kelayakan untuk jumlah sampai dengan Rp. 75 juta, dan kredit investasi untuk proyek APBN (Keppres 14A). Penyempurnaan 248 kredit investasi dilakukan dengan meningkatkan jumlah maksi mumnya, dari Rp.1.500 juta, menjadi Rp.2.500 juta. Dengan demikian penggolongan kredit investasi adalah : golongan I sam pai dengan Rp. 75 juta, golongan II di atas Rp.75 juta sampai dengan Rp. 300 juta, golongan III di atas Rp.300 juta sampai dengan Rp. 500 juta, dan golongan IV di at as Rp. 500 juta sampai dengan Rp. 2.500 juta, dan untuk di atas Rp. 2.500 juta hanya dapat diberikan oleh Bapindo. Dalam rangka perluasan peranan kredit investasi maka pa da tahun 1984/85 kredit investasi juga disalurkan untuk industri perkayuan yang berintikan kayu lapis. Di samping itu kepada bank-bank swasta nasional dan bank asing yang memenuhi persyaratan, telah diberi kesempatan pula untuk memberikan kredit investasi dengan jumlah maksimum masing-masing sebesar 20% dan 35% dari baki debet pinjaman, terutama dipergunakan untuk pembiayaan proyek-proyek yang menggunakan hasil produksi dalam negeri. Jumlah maksimum kredit investasi untuk setiap nasabah bank umum swasta nasional adalah 10% dari modal sendiri. Bagi bank-bank asing diberikan kesempatan pula untuk melakukan penyertaan modal dalam perusahaan-perusahaan yang potensial dengan jangka waktu empat tahun. Dalam rangka menunjang upaya peningkatan produksi dalam negeri dan program transmigrasi pada bulan Juni 1986 telah diberikan kredit investasi bagi pengembangan Perkebunan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan transmigrasi (PIR -Trans) dan kredit untuk Peremajaan, Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor (PRPTE). Dananya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia sebesar 55% dari kredit yang diberikan, dengan suku bunga kredit likuiditas 6,5% dan disalurkan melalui bank-bank umum pemerintah dan swasta nasional. Untuk memperbesar pemberian kredit bagi pengembangan perkebunan, maka maksimum kre dit untuk proyek inti ditetapkan 65% dari biaya proyek, sedang untuk kebun plasma (pembangunan kebun untuk petani sekitarnya) disediakan dari dana pinjaman. Suku bunga PIR 16% se tahun, sedang untuk kebun plasma disesuaikan dengan ketentuan suku bunga bagi golongan ekonomi lemah setelah kredit dialihkan kepada petani peserta. Perusahaan yang dapat mengajukan kredit investasi adalah perusahaan-perusahaan nasional dan PMA yang telah memiliki unit pengolahan yang dibiayai sendi ri. Guna mendorong minat penanaman modal melalui pemilikan saham pada bulan Juni 1986 telah diambil pelbagai kebijaksanaan yang berupa pemberian kredit bagi perusahaan dalam rangka PMA yang memenuhi persyaratan tertentu, yaitu perusahaan 249 dalam rangka PMA yang sahamnya minimal 51% dimiliki oleh ne gara dan/atau swasta nasional ditetapkan minimal 20% sahamnya harus dijual di pasar modal, sedang untuk perusahaan da lam rangka PMA lainnya jumlah saham yang harus dijual ke pa sar modal sedikitnya 51%. Perkembangan kredit investasi dapat diikuti pada Tabel IV-21 dan Grafik IV-14. Sementara itu untuk mendorong peranan usaha golongan ekonomi lemah dalam meningkatkan produksi dalam negeri, maka dalam kebijaksanaan 1 Juni 1983 untuk jenis kredit yang diprioritaskan tinggi tetap diberikan fasilitas kredit likui ditas Bank Indonesia. Jenis kredit yang termasuk golongan ini meliputi : Kredit Investasi Kecil, Kredit Modal Kerja Perma nen, Kredit Mini/Midi, Kredit Umum Pedesaan, Kredit Koperasi, Kredit Bimas, Kredit Investasi sampai jumlah Rp. 75 juta, Kredit Perumahan Rakyat dan Kredit Candak Kulak. Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) yang dilaksanakan sejak akhir tahun 1973 telah mengalami beberapa penyempurnaan mengenai besarnya volume kredit, bagian pembiayaan pinjaman, suku bunga serta jangka waktu peminjamannya. Bila pada permulaan dilaksanakannya jumlah maksimum KIK adalah sebesar Rp. 5 juta, suku bunga 12% per tahun, jangka waktu maksimum 5 tahun, maka pada bulan September 1980 telah berubah menjadi Rp. 10 juta, suku bunga 10,5% per tahun, jangka waktu maksimum 10 tahun. Pada 1 Juni 1983 jumlah maksimum dinaikkan lagi menjadi Rp. 15 juta tanpa tambahan plafon dengan suku bunga 12% per tahun. Dalam tahun 1984, telah pula dilakukan perubahan terhadap jumlah kredit likuiditas Bank Indonesia yang semula ditetapkan 80% , diturunkan menjadi 55%, sedang 25% dibiayai dengan dana yang be rasal dari Bank Dunia, dan dana bank pelaksana tetap 20%. Selanjutnya ditentukan bahwa jangka waktu maksimum 8 tahun, masa tenggang 4 tahun dan plafon kredit yang dapat disesuaikan dengan kemampuan pelunasan pinjaman oleh nasabah. Keadaan yang sama telah terjadi pula pada KMKP yang pada awal dilaku kannya program ini adalah sebesar Rp.5 juta, suku bunga 15%, jangka waktu maksimal 3 tahun, kemudian dirubah pada Septem ber 1980 menjadi Rp.10 juta, tambahan plafon Rp. 5 juta (sehingga jumlah maksimal Rp.15 juta), jangka waktu 8 tahun yang setiap swat dapat diperpanjang dan suku bunga 12% setahun. Pada 1 Juni 1983 ketentuan tersebut berubah menjadi jumlah maksimal Rp. 15 juta tanpa tambahan plafon dengan suku bunga 12% setahun. Ketentuan ini mengalami perubahan dalam bulan Juli 1984 di mama jangka waktu KMKP 5 tahun, masa tenggang 250 TABEL IV – 21 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1982/83 – 1987/1988 2) (milyar rupiah) 1) 2) 251 Tidak termasuk KIK, KI kepada Pemerintah Pusat, dan nilai lawan valuta asing pinjaman investa si dalam rangka bantuan Proyek Angka diperbaiki GRAFIK IV – 14 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI MENURUT SEKTOR INVESTASI 1982/83 – 1987/88 252 waktu 1 tahun, dan plafon kredit disesuaikan dengan kemampuan pelunasan pinjaman oleh nasabah. Dalam rangka memperbesar penyediaan kredit bagi golongan ekonomi lemah, maka mulai April 1986 suku bunga kredit likui ditas KMKP bagi nasabah yang akad kreditnya ditandatangan i sebelum 1 Juni 1983 ditetapkan menjadi 3% dibandingkan sebe sar 4% setahun pada masa sebelumnya. Selain itu pada bulan Mei 1985 telah pula diizinkan bagi bank-bank Pemerintah maupun bank-bank Swasta nasional untuk memberikan KIK dan KMKP secara massal kepada seluruh pengusaha atau kelompok usaha yang berada pada suatu wilayah tertentu untuk bidang yang se jenis. Agar sasaran pemberian kredit bagi pengusaha golongan ekonomi lemah dapat dicapai diberikan KIK dan KMKP, dengan pertanggungan asuransinya oleh PT. Askrindo. Perkembangan pemberian KIK dan KMKP dapat diikuti pada Tabel IV-22 dan Grafik IV-15. Realisasi KIK yang pada tahun 1982/83 berjumlah Rp. 414 milyar mengalami penurunan sehingga menjadi Rp.300 milyar pada akhir Desember 1987. Namun demikian perkembangan jumlah nasabahnya meningkat dari 220 ribu orang menjadi 294 ribu orang. Sebaliknya posisi KMKP selama periode yang sama mengalami peningkatan dari Rp. 815 milyar menjadi Rp.924 milyar dengan jumlah nasabah naik dari 1.526 ribu orang menjadi 2.228 ribu orang, pada akhir Desember 1987. Program Kredit Mini diselenggarakan sejak tahun 1974, yang sumber dananya berasal dari APBN. Kredit Mini tersebut dimaksudkan untuk membantu usaha rakyat secara kecil -kecilan di daerah pedesaan, yang tidak terjangkau oleh KIK dan KMKP. Jumlah Kredit Mini maksimal ditetapkan Rp. 200 ribu per nasabah dengan bunga 12% setahun, baik untuk investasi maupun modal kerja. Dalam tahun 1978 telah pula diselenggarakan Kredit Midi yang sumber dananya dari kredit likuiditas Ba nk Indonesia dan bank pelaksana. Adapun persyaratan Kredit Midi adalah : jumlah kredit maksimal Rp.500 ribu per nasabah, suku bunga kredit Midi 10,5% setahun untuk investasi, dan 12% se tahun untuk modal kerja. Jangka waktu pengembalian kredit untuk Kredit Mini adalah 1 tahun untuk modal kerja dan 3 tahun untuk investasi, sedangkan jangka waktu Kredit Midi ada lah 3 tahun untuk kredit modal kerja dan 5 tahun untuk investasi. Posisi Kredit Mini pals tahun 1982/83 sebesar Rp. 62,9 milyar dengan 766,2 ribu nasabah, dibanding dengan Rp.0,8 milyar dan 7,8 ribu nasabah pada akhir Oktober 1987. Sedangkan pemberian Kredit Midi pada tahun 1982/83 sebesar Rp. 41,8 milyar dengan 145,5 ribu jumlah nasabah menurun 253 TABEL IV - 22 PERKEMBANGAN KREDIT INVENTA8I KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1982/83 - 1987/88 Kredit Modal Kerja Permanen Kredit Investasi Kecil Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan Nila1 permohonan yang disetujui (milyar (rupiah) Posisi Kredit (milyar rupiah) Jumlah permohonan yang disetujui (dalam ribuan) Nilai permohonan yang disetujui (milyar rupiah) Posisi Kredit (milyar rupiah 1982/83 220 737 414 1.526 1.629 1983/84 241 847 387 1.685 2.007 867 1984/85 256 946 356 1.871 2.448 931 Triwulan I 244 873 380 1.726 2.116 865 Triwulan II 247 892 380 1.779 2.212 893 Triwulan III 250 921 366 1.809 2.309 928 Triwulan IV 256 946 356 1.871 2.448 931 889 1985/86 326 2.053 2.869 259 972 352 1.915 2.575 936 Triwulan II 265 993 342 1.962 2.674 915 Triwulan III 266 1.015 328 1.996 2.768 885 Triwulan IV 272 1.054 326 2.053 2.869 889 290 1.176 311 2.214 3.431 879 Triwulan I Triwulan II 275 280 1.074 1.106 322 319 2.086 2.120 3.019 3.122 900 903 Triwulan III 283 1.135 305 2.147 3.241 879 Triwulan IV 290 1.176 311 2.214 3.431 879 1987/88*) April 272 294 1.054 815 Triwulan I 1986/87 1.265 1.187 300 298 2.228 2.222 3.720 3.488 924 1.199 297 2.206 3.530 896 896 M e i 291 293 J u n i 294 1.208 301 2.206 3.564 900 Triwulan I 294 1.208 301 2.206 3.564 900 J u l i 296 1.218 301 2.206 3.607 902 Agustus 289 291 1.221 300 2.215 3.628 917 1.238 294 2.225 3.642 915 291 1.238 294 2.225 3.642 915 September Triwulan II Oktober 292 1.247 296 2.226 3.668 918 Nopember 293 298 2.227 3.694 921 Desember 294 1.256 1.265 300 2.228 3.720 924 294 1.265 300 2.228 3.720 924 Triwulan III *) Angka sementara 254 Jumlah permohonan yang disetujui (dalam ribuan) GRAFIK IV – 15 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA PERMANEN DAN KREDIT MINI & MIDI 1982/83 – 1987/88 255 menjadi Rp.3,0 milyar dan 12,1 ribu nasabah pada akhir September 1987. Perkembangan Kredit Mini dan Kredit Midi selama periode 1982/83 - 1987/88 dapat dilihat pada Tabel IV-23 dan Tabel IV-24. Di dalam perkembangannya Kredit Mini dan Kredit Midi ini telah diganti dengan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). Kupedes sumber dananya berasal dari kredit likuiditas Bank Indonesia, dana masyarakat dan dari APBN. Dengan dikeluarkannya Kupedes tersebut fasilitas Kredit Mini dan Kredit Midi yang sedang berjalan masih diteruskan sampai dengan masa jatuh tempo kredit masing-masing, sedangkan permintaan kredit baru dialihkan ke Kupedes. Jumlah kredit yang diberikan kepada nasabah Kupedes minimum sebesar Rp. 25 ribu dan maksimum Rp.1 juta. Kre dit ini dapat digunakan untuk investasi dengan bunga 12% per tahun dan jangka waktu maksimal 3 tahun. Untuk Kupedes yang digunakan untuk modal kerja dikenakan suku bunga 18% setahun, dan jangka waktu maksimum 2 tahun. Bagi nasabah yang menung gak pengembaliannya, suku bunga dinaikkan masing-masing menjadi 18% setahun untuk kredit investasi dan 24,0% setahun untuk kredit modal kerja. Perkembangan Kredit Umum Pedesaan (Kupedes), dapat diikuti dalam Tabel IV - 25. Apabila pada tahun 1982/83 pemberian Kupedes hanya berjumlah Rp.30,7 mil yar, maka pada akhir Agustus 1987 meningkat dengan cepat sehingga menjadi Rp.412,2 milyar, atau mengalami kenaikan 68,1% setiap tahun. Di samping KIK, KMKP, Kredit Mini, Midi dan Kupedes, pada tahun 1976 telah diselenggarakan program Kredit Candak Kulak (KCK) dengan tujuan untuk membantu pedagang kecil di pedesaan, dengan syarat lunak, yaitu tanpa jaminan serta prosedurnya sangat sederhana. Jumlah kredit semula ditentukan maksimum Rp.15 ribu kemudian dinaikkan menjadi Rp.50 ribu per nasabah, bunga kredit 12% setahun, jangka waktu kredit antara 5 hari - 3 bulan. Adapun sumber dana KCK berasal dari APBN dan disalurkan melalui BUUD/KUD. Selama periode 1982/83 sampai akhir Desember 1987 penyediaan KCK oleh koperasi dan KUD senantiasa meningkat. Pada tahun 1983 sebanyak 4.286 ko perasi dan KUD turut mengambil bagian dalam pelaksanaan KCK dengan kredit yang disalurkan sebesar Rp. 145,7 milyar. Dalam tahun 1987 jumlah KUD yang menyalurkan KCK bertambah menjadi 5.981 dengan keseluruhan kredit KCK sebanyak Rp. 230,4 milyar. Dalam pada itu baki debet KCK hingga akhir Juli 1987 tercatat Rp.14 milyar dengan jumlah nasabah 16,7 juta orang. Guna membantu masyarakat yang berpenghasilan rendah akan 256 TABEL IV - 23 PERKEMBANGAN KREDIT MINI,*) 1982/83 - 1987/88 Akhir Tahun/Triwulan/ Bulan Posisi Kredit (milyar rupiah) Investasi Eksploitasi Nasabah (ribu) Jumlah Investasi Eksploitasi Jumlah 690,1 766,2 1982/83 6,2 56,7 62,9 76,1 1983/84 4,1 32,4 36,5 55,5 435,6 491,1 1984/85 1,9 9,5 29,3 109,9 139,2 47,0 39,6 306,9 195,4 353,9 Triwulan I 3,2 7,6 19,8 Triwulan I I 2,6 11,8 23,0 14,4 Triwulan I I I 2,1 8,3 10,4 32,0 122,8 235,0 154,8 Triwulan IV 1,9 7,6 9,5 29,3 109,9 139,2 Triwulan I 1,6 1,9 5,8 7,0 7,4 8,9 20,9 27,3 81,0 102,2 101,9 129,5 Triwulan I I 1,7 6,6 8,3 23,3 6,1 7,7 21,5 94,5 85,0 117,8 1,6 1,6 5,8 7,4 20,9 81,0 101,9 1986/87 Triwulan I 0,9 1,5 3,9 5,6 4,8 12,2 19,8 54,1 66,3 98,7 Triwulan I I 1,5 1,4 0,9 6,9 6,5 19,2 Triwulan I I I Triwulan IV 5,4 5,1 78,9 76,2 3,9 4,8 15,3 12,2 65,7 54,1 1985/86 Triwulan I I I Triwulan IV 7,1 106,5 95,4 81,0 66,3 1987/88 April 0,9 3,7 4,6 11,4 51,4 62,8 Mei 0,7 3,3 4,0 9,1 44,4 53,5 Juni Triwulan I 0,6 0,6 3,1 3,7 7,6 40,9 48,5 3,1 3,7 7,6 40,9 48,5 Juli 0,6 2,9 3,5 7,7 40,7 48,4 Agustus 0,7 2,8 3,5 38,2 45,6 September 0,5 2,7 3,2 7,4 6,8 43,4 Triwulan I I 0,5 2,7 3,2 6,8 36,6 36,6 Oktober Nopember Desember Triwulan I I I 0,3 0,5 0,8 2,3 5,5 7,8 43,4 * ) Kredit Mini diadakan sejak tahun 1974/751 perkembangan jumlahnya yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis pinjaman ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). 257 TABEL IV – 24 PERKEMBANGAN KREDIT MIDI *) 1982/83 – 1987/88 *) Kredit Midi diadakan sejak Juli 1980; perkembangan jumlah yang Mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan Kebutuhan akan jenis kredit ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) 258 TABEL IV - 25 KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES),1) 1983/84 - 1987/88 (milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan/ Bu Ian Investasi Eksploitasi Jumlah 1983/84 0,6 30,1 30,7 1984/85 7,2 135,4 142,6 Triwulan 1,7 66,4 68,1 Triwulan II 4,0 84,6 88,6 Triwulan III 6,2 104,5 110,7 Triwulan IV 7,2 135,4 142,6 10,4 249,7 260,1 Triwulan I 8,8 171,3 180,1 Triwulan II 9,2 191,2 200,4 Triwulan III 9,8 219,2 229,0 10,4 249,7 260,1 1985/86 Triwulan IV 1986/87 13,2 360,6 373,8 Triwulan I 10,8 274,3 285,1 Triwulan II 11,0 291,5 302,5 Triwulan III 12,1 322,3 334,4 Triwulan IV 13,2 360,6 373,8 April 13,6 375,7 389,3 M e i 14,3 391,9 406,2 J u n i 14,5 388,7 403,2 Triwulan I 14,5 388,7 403,2 J u 1 i 15,1 395,0 410,1 Agustus 15,5 2) 396,7 2) 412,2 2) 2) 2) 2) 1987/88 September Triwulan II 1) Kredit Umum Pedesaan diadakan sejak Januari 1984; perkembangannya yang semakin meningkat juga sejalan dengan pengalihan peranan Kredit Mini dan Midi ke Kupedes. 2) Data belum tersedia 259 kebutuhan perumahan, telah disediakan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang penyelenggaraannya dilakukan oleh Bank Tabungan Negara (BTN). Dalam tahun 1985/86 telah ditempuh pelbagai kebijaksanaan yang menyangkut masalah pengerahan dana, suku bunga, uang muka dan tabungan uang muka (TUM) KPR. Persyaratan KPR adalah suku bunga kredit antara 5% - 9% per tahun, dengan jangka waktu pengambilan kredit antara 5 tahun - 20 tahun. Sumber dana pada mulanya berasal dari Penyertaan Modal Peme rintah (PMP), untuk rumah yang dibangun oleh Perum Perumnas, dan kredit likuiditas Bank Indonesia dan BTN untuk rumah yang dibangun oleh pengembang/developer/swasta. Sejak September 1985 hal ini tidak dibedakan lagi sehingga semua sumber dana KPR berasal dari penyertaan modal Pemerintah, kredit likuiditas Bank Indonesia, pinjaman Bank Dunia dan dana masyarakat yang dilakukan oleh BTN. Perlu dijelaskan bahwa TUM KPR ini dapat dicicil 6 sampai 12 bulan dengan bunga 12% per tahun. Sedangkan untuk mempermudah prosedur pelunasannya, maka angsuran KPR BTN dapat dibayarkan melalui kantor-kantor pos yang berada di wilayah BTN. Posisi KPR BTN yang pada tahun 1982/83 sebesar Rp. 400 milyar dengan 148 ribu nasabah selama lima tahun telah berkembang menjadi Rp.382 milyar dengan 1.446 ribu nasabah pada akhir Juli 1987. Sedangkan jumlah KPR PT. Papan Sejahtera, untuk KPR golongan berpenghasilan menengah ke atas dalam pe riode yang sama telah berkembang dari Rp.7 milyar dengan 680 nasabah menjadi Rp.86 milyar dengan 6,47 ribu nasabah. Pemberian KPR secara kumulatif yang meliputi KPR Perumnas dan non-Perumnas sampai akhir Agustus 1987 mencapai Rp.1.625,9 milyar. 5. Suku Bunga Sebagaimana telah dikemukakan bahwa sejak 1 Juni 1983 kepada bank-bank telah diberikan kebebasan untuk menetapkan sendiri suku bunga deposito berjangka dan suku bunga pinjam an, kecuali untuk kredit prioritas tinggi. Sebagai dampak dari kebijakan tersebut maka sejak 1 Juni 1983 telah terjadi kenaikan suku bunga karena meningkatnya persaingan kegiatan perbankan dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Agar perkembangan suku bunga tidak merupakan penghambat dalam kegiatan pembangunan, maka kebijaksanaan yang ditem puh diarahkan pada tercapainya tingkat suku bunga yang tetap dapat mendorong hasrat masyarakat untuk menabung tanpa menyebabkan terjadinya pengaliran modal ke luar negeri. Upaya 260 tersebut dilakukan melalui penurunan suku bunga SBI, SBPU dan fasilitas diskonto dalam tahun 1985/86. Secara bertahap Bank Indonesia menurunkan tingkat suku bunga diskonto ulang SBPU dari 20,5% menjadi 17,0%, tingkat diskonto dari fasilitas diskonto Bank Indonesia menurun dari 21,0% menjadi 18,5% dan tingkat bunga SBI menurun dari 16,0% menjadi 14,0%. Usah ausaha tersebut telah dapat mendorong terjadinya penurunan su ku bunga deposito berjangka. Pada akhir tahun 1986/87 suku bunga deposito pada bank pemerintah untuk jangka waktu 1 bu lan sampai dengan 24 bulan berkisar antara 13,0% sampai dengan 15,0% per tahun. Adapun suku bunga yang berlaku bagi kelompok bank swasta nasional berkisar antara 14,0% sampai de ngan 18,0% per tahun. Untuk kelompok bank asing yang hanya menghimpun deposito berjangka waktu sampai dengan 12 bulan, suku bunganya berkisar antara 9,5% sampai dengan 18,0% per tahun. Sementara itu, untuk mengatasi timbulnya gejala spekulasi dalam valuta asing yang terjadi pada bulan April dan Mei 1987, dalam tahun 1987/88 Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga SBI, diskonto ulang SBPU dan fasilitas diskonto. Selain itu, pemerintah telah melakukan pemindahan dana beberapa BUMN pada bank-bank pemerintah untuk ditanamkan dalam SBI dan SBPU. Kebijaksanaan tersebut ternyata berhasil mengatasi ke giatan spekulasi valuta asing, namun dipihak lain keadaan ini menyebabkan berkurangnya likuiditas perbankan yang pada gili rannya menyebabkan naiknya suku bunga dana antar bank sampai mencapai 46,5% per tahun pada bulan Juli 1987. Pada waktu yang sama suku bunga deposito berjangka waktu 1 bulan pada bank-bank pemerintah dan bank-bank swasta nasional masing-masing berkisar antara 16,5% sampai dengan 23,0% dan 15,0% sam pai dengan 24,0% per tahun. Untuk kelompok bank asing, suku bunga deposito yang dihimpunnya berkisar antara 11,0% sampai dengan 23,0% per tahun. Tingginya suku bunga tersebut mendorong masyarakat untuk menyimpan dananya baik yang berasal da ri dana rupiah maupun dari penjualan valuta asing. Dalam hu bungan ini, meningkatnya penjualan valuta asing tersebut menyebabkan bertambahnya likuiditas rupiah, sehingga kemudian dapat menurunkan kembali suku bunga dana antar bank dari 46,0% menjadi 12,7% per tahun dan deposito berjangka waktu 1 bulan pada bank-bank pemerintah dari 23,0% menjadi 15,5% per tahun. Demikian pula terjadi penurunan kembali suku bunga deposito pada bank-bank swasta nasional, dari 24,0% menjadi 17,0% per tahun, sedangkan deposito pada bank asing dari 23,0% menjadi 17,5% per tahun. 261 Dalam pada itu, suku bunga Tabanas yang sejak Juni 1983 ditetapkan sebesar 15,0% per tahun untuk saldo tabungan sampai dengan Rp.1 juta dan 12,0% untuk saldo tabungan di atas Rp.1 juta, sejak 1 Juli 1987 telah dirubah menjadi 15,0% per tahun untuk seluruh saldo tabungan. Dalam hal suku bunga Taska besarnya masih tetap 9,0% per tahun untuk Taska yang diangsur penuh selama 1 tahun, namun apabila ditarik sebelum jatuh waktu suku bunganya hanya 6,0% per tahun. Dalam hal suku bunga kredit dapat dikemukakan sebagai berikut. Pada akhir Agustus 1987, tingkat suku bunga pinjaman rata-rata non prioritas pada bank-bank umum untuk kredit modal kerja turun menjadi sekitar 21,0% setahun dari se kitar 23,0% pada akhir Desember 1984, sedangkan untuk kredit investasi sekitar 18,0% setahun. Pada periode yang sama suku bunga kredit modal kerja pada bank swasta nasional devisa turun dengan cukup berarti yakni dari sekitar 26,0% menjadi se kitar 23,0%. Sementara itu suku bunga kredit investasi pada bank-bank umum pemerintah masih sekitar rata-rata 18,5% setahun sedangkan suku bunga kredit modal kerja mengalami penurunan dari rata-rata 20,0% setahun menjadi sekitar 19,0% setahun pada akhir Agustus 1987. Penurunan tingkat suku bunga tersebut berkaitan erat dengan usaha penurunan suku bunga beberapa sarana moneter yang dilakukan pada tahun 1985/86. 6. Perkembangan harga. Pelaksanaan pembangunan dapat berlangsung secara berke sinambungan, terutama berkat terciptanya stabilitas nasional, yang telah diupayakan melalui berbagai kebijaksanaan yang di tempuh secara terpadu. Sehubungan dengan itu, guna memantap kan stabilitas ekonomi, telah diupayakan untuk senantiasa dapat mengendalikan harga-harga pada tingkat yang wajar melalui berbagai kebijaksanaan fiskal dan moneter yang ditunjang oleh penyediaan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dalam jumlah yang cukup. Selama periode 1983/84 sampai dengan 1987/88 stabilitas tingkat harga pada umumnya memperlihatkan perkembangan yang tetap mantap yang mencapai rata-rata 8,5% per tahun. Selama periode tersebut, kenaikan tertinggi terjadi pada tahun 1983/84, yaitu sebesar 12,63%. Relatif tingginya laju inflasi pada tahun 1983/84 erat kaitannya dengan tindakan devaluasi rupiah pada tanggal 30 Maret 1983 dan dinaikkannya harga 262 BBM pada tanggal 12 Januari 1984. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk meningkatkan ekspor serta mengurangi beban pengeluaran rutin Pemerintah. Dalam tahun 1984/85, telah ditempuh serangkaian tindakan penyesuaian mendasar di berbagai bidang ekonomi, khususnya di bidang fiskal dan moneter, yang telah menghasilkan kestabilan harga yang cukup mantap. Kestabilan harga yang dapat dicapai dalam tahun 1984/85 tercermin pada rendahnya laju inflasi yang merupakan tingkat terendah selama 13 tahun terakhir; yaitu hanya mencapai 3,64%. Rendahnya tingkat inflasi pada tahun 1984/85 tersebut juga ditunjang oleh cukup tersedianya barang-barang kebutuhan pokok bagi masyarakat, terutama beras yang dalam tahun tersebut produksinya naik dengan 8,0%. Dalam tahun 1984/85, produksi beras mencapai 25,8 juta ton, sehingga sasaran swasembada beras yang diupayakan sejak beberapa tahun sebelumnya dapat tercapai. Keadaan yang menggembi rakan tersebut, terutama disebabkan oleh berhasilnya pendaya gunaan lahan yang ditunjang oleh iklim yang menguntungkan. Dalam tahun 1985/86; laju inflasi masih relatif rendah, walaupun lebih tinggi dari tahun sebelumnya, yaitu 5,66% dibandingkan dengan 3,64%, berkat berbagai kebijakan yang ditempuh Pemerintah, antara lain upaya menciptakan keadaan moneter yang cukup mantap, mendorong penurunan tingkat suku bunga, serta menekan unsur-unsur biaya tinggi dalam perekonomian Indonesia. Selain itu, stabilnya tingkat harga-harga dalam tahun 1985/86, juga ditunjang oleh cukup tersedianya barang-barang kebutuhan pokok. Produksi beras dalam tahun 1985 meningkat sebesar 2,3% menjadi 26,5 juta ton, sementara kebutuhan beras pada tahun yang bersangkutan diperkirakan se besar 26,0 juta ton sehingga swasembada beras yang dicapai pada tahun 1984/85 dapat dipertahankan. Sementara itu, produksi tanaman pangan lainnya juga meningkat cukup berarti, terutama kacang kedele yang naik dengan 12,5%. Perkembangan harga-harga dalam tahun 1986/87 masih dapat dikendalikan pada tingkat yang wajar yaitu sebesar 8,83%, walaupun Pemerintah telah mengambil tindakan devaluasi rupiah serta kenaikan harga dasar pembelian gabah dan tarif angkutan. Masih dapat dikendalikannya tingkat harga dalam tahun 1986/87 merupakan hasil kebijaksanaan di bidang moneter yang berhati-hati dan kebijaksanaan fiskal yang lebih terarah serta ditunjang oleh penyediaan barang-barang konsumsi dalam jumlah yang cukup dan tingkat harga yang wajar. Produksi be ras dalam tahun 1986 mencapai 26,8 juta ton sehingga masih 263 dapat memenuhi konsumsi beras dalam negeri yang diperkirakan sebesar 26,6 juta ton. Dalam pada itu, tanaman pangan lainnya juga meningkat dengan mengesankan, terutama kacang kedele dan jagung, yang masing-masing naik dengan 37,5% dan 37,0%. Laju inflasi dalam 9 bulan pertama tahun 1987/88 (April sampai Desember 1987) tercatat sebesar 7,37%. Pengaruh terbe sar terhadap inflasi selama periode tersebut terutama berkaitan dengan suasana menjelang Hari Raya Lebaran dan ke naikan harga dasar pembelian gabah serta pengaruh musim kemarau panjang terhadap produksi dan harga bahan-bahan pangan. Dalam 3 bulan terakhir tahun 1987/88, harga-harga diperkirakan masih mengalami kenaikan, namun tidak jauh berbeda dengan 3 bulan terakhir tahun fiskal sebelumnya. Dengan demikian, secara keseluruhan laju inflasi selama tahun 1987/88 diperki rakan tidak jauh berbeda dengan tahun 1986/87. Perkembangan harga dalam periode 1982/83-1987/88 dapat diikuti pada Tabel IV-26, Grafik IV-16, Tabel IV-27, Grafik IV-17, Tabel IV-28 dan Tabel IV-29. D. PERKEMBANGAN LAINNYA LEMBAGA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN Upaya pengembangan serta pembinaan perbankan dan lemba ga keuangan telah diarahkan kepada penciptaan suatu sistem keuangan yang semakin efisien dan berhasilguna dalam kegiatan pengerahan maupun pemanfaatan dana masyarakat dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan. Lembaga perbankan (dan lembaga keuangan lainnya, termasuk pasar modal) mempunyai peranan penting dalam pengerahan dana dalam negeri terutama da lam keadaan penerimaan negara cenderung menurun. Dalam hubungan ini beberapa langkah pembinaan yang telah ditempuh tertuju pada peningkatan efisiensi dan profesionalisme di bidang perbankan agar bank dapat lebih mandiri dan lebih kreatif dalam menghimpun dan menanamkan dananya, serta pada pemantapan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Serangkaian usaha usaha yang telah dilaksanakan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain berbentuk pembelian bantuan teknis kepada bank bank pembangunan daerah dan perluasan penyelenggaraan kliring lokal. Agar kepercayaan masyarakat terhadap lembaga perbankan tetap tinggi, maka Bank Indonesia terus mengupayakan langkah - 264 TABEL IV – 26 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1982 – 1987/88 Tahun Takwim Kenaikan ( % ) Tahun Anggaran Kenaikan ( % ) 1982 1983 9,7 11,5 1982/85 1983/84 8,4 12,6 1984 8,8 1984/85 3,6 1985 1985/86 5,7 1986 4,3 8,8 1986/87 8,8 1987 8,9 1987/88 7,4*) *) Perkiraan GRAFIK IV - 16 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1982 – 1987/88 265 TABEL IV - 27 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA,1) MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA 1982/83 - 1987/88 Akhir Tahun/Triwulan/ Makanan Perumahan Bulan Aneka Sandang Barang dan Jasa Perubahan Indeks Umum (%)2) INDEKS UMUM Tahun 1982/83 189,70 228,76 204,60 210,57 205,99 8,4 1983/84 220,54 263,88 215,14 229,77 233,42 12,6 1984/85 224,34 273,47 221,08 248,07 242,07 3,6 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan I II III IV 1985/86 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan I II III IV 1986/87 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 232,52 228,07 226,35 224,34 287,11 288,07 269,99 273,47 225,74 227,46 220,58 221,08 255,49 258,40 246,54 248,07 238,69 238,98 241,63 242,07 238,23 291,15 228,68 260,58 256,07 232,52 228,07 230,89 238,23 287,11 288,07 289,36 291,15 225,74 227,32 228,03 228,68 225,49 258,40 259,67 260,58 251,23 250,38 252,20 256,07 261,84 308,16 256,06 289,44 279,49 245,47 252,03 263,94 261,84 292,69 299,81 302,85 308,16 232,34 243,43 250,38 256,06 262,06 268,69 274,98 289,44 260,20 267,44 275,27 279,49 296,14 321,45 270,35 297,91 300,75 April Mei Juni 261,85 270,84 271,83 308,35 309,24 318,43 Triwulan I 271,83 316,43 257,11 267,35 266,11 266,11 289,87 297,16 291,65 291,65 279,75 284,92 285,79 285,79 272,85 275,52 279,51 311,02 311,73 312,72 266,43 267,42 268,39 293,73 294,52 295,13 Triwulan II 279,51 312,72 268,39 295,13 286,99 288,45 290,49 290,49 Oktober Nopember Desember 285,95 294,43 296,14 314,61 320,26 321,45 296,14 321,45 299,47 269,08 270,35 270,35 297,55 297,77 297,91 297,91 294,47 299,63 300,75 300,75 1987/88 Juli Agustus September Triwulan III 1) Merupakan Gabungan dari 17 Ibukota Dati I dan digunakan sejak Maret 1979 dengan 1977/78 = 100. 2) Angka pembulatan. 266 Triwulan Bulan 0,1 2,2 1,1 0,2 5,7 3,8 -0,3 0,7 1,5 8,8 1,6 2,8 2,9 1,5 7,4 2,3 O,1 1,9 0,3 1,6 0,4 0,5 0,7 1,4 1,7 0,4 3,5 GRAFIK IV — 17 INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI) 1982/83 — 1987/88 267 TABEL IV – 28 PERKEMBANGAN INDEKS (UMUM) HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA 1982/83 – 1987/88 *) Kenaikan dalam setahun merupakan jumlah kenaikan bulanan 268 TABEL IV – 29 PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBUKOTA DATI I 1) 1982/83 – 1987/88 1) 2) 269 April 1977 – Maret 1978 = 100 Merupakan persentase perubahan dalam setahun yang dihitung atas dasar Penjumlahan daripada persentase perubahan bulanan tahun yang bersangkutan langkah agar kegiatan perbankan tetap dilaksanakan dalam ba tas-batas sistem keuangan yang sehat. Dalam hubungan ini, pa da tahun 1986/87 telah disempurnakan ketentuan tentang persyaratan modal sendiri bank yang dikaitkan dengan perimbangan posisi jenis-jenis pinjaman serta aktiva lainnya dari bank yang bersangkutan. Kalau sebelumnya semua pinjaman ditetapkan mempunyai batas resiko antara 2,5% sampai dengan 100%, maka sejak penyempurnaan tersebut pinjaman bank digolongkan dalam tiga jenis dengan batas resiko yang berbeda serta syarat be saran modal yang berbeda pula. Dengan demikian, bank-bank tidak hanya dihindarkan dari pengelolaan dananya dengan risi ko terlalu tinggi tetapi juga telah memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada bank-bank untuk mengadakan diversifikasi aktivanya secara lebih efisien dan lebih berhasilguna. Selanjutnya untuk menampung kebutuhan nasabah bank akan tersedianya jasa rekening-gabungan, maka sejak April 1986 bank diperkenankan menatausahakan rekening-gabungan (joint-account) atas nama beberapa badan, beberapa orang dan atau campuran antara kedua macam tersebut. Dalam rangka peningkatan lebih lanjut dari sistem lalulintas giral maka sistem kliring yang telah ada di Jakarta terus disempurnakan sedangkan jangkauannya diseluruh Indonesia terus diperluas. Upaya penyempurnaan kliring lokal Jakar ta antara lain ditempuh melalui penerapan sistem yang dioto matisasikan di samping langkah penyempurnaan pengolahan war kat kliring yang jumlahnya telah semakin meningkat. Perluasan jangkauan sistem kliring lokal di seluruh Indonesia dilakukan melalui penambahan tempat-tempat penyelenggaraan kliring lokal di kota-kota di mana belum terdapat kantor Bank Indone sia. Penyelenggaraan kliring lokal yang dalam tahun 1985 masih meliputi 25 tempat, pada akhir tahun 1987 telah berkem bang menjadi 30 tempat. Perkembangan jumlah bank yang meliputi bank umum (Pemerintah, swasta dan asing), Bank Tabungan Negara, bank pemba ngunan (Bank Pembangunan Daerah dan Bank Pembangu nan Indonesia) selama periode tahun 1982/83 hingga tahun 1987/88, meng alami penurunan yaitu dari 120 bank menjadi 113 bank (angka akhir Desember 1987). Jumlah bank yang berangsur-angsur turun dikarenakan adanya penggabungan usaha oleh bank swasta na sional. Jumlah kantor bank, terdiri dari kantor cabang dan kantor cabang pembantu, yang dalam tahun 1982/83 meliputi 1.172 kantor telah meningkat menjadi 1.600 kantor pada akhir 270 Desember 1987. Bank perkreditan rakyat yang terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai yang berjumlah 5.810 dalam tahun 1982/83, telah mengalami penurun an sehingga menjadi 5.789 pada akhir tahun 1987. Kegiatan lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang terdiri dari 9 buah jenis lembaga investasi dan 3 buah jenis lembaga keuangan pembangunan, ditinjau dari jumlah aktiva, penghimpunan dan penanaman dananya tampak tetap menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Posisi ketiga komponen tersebut pada Maret 1983 masing-masing sebesar Rp.928,3 milyar, Rp.890,2 milyar dan Rp.793,0 milyar. Adapun perkembangan komponen-komponen tersebut selama periode tahun 1982/83 hingga tahun 1987/88 meningkat cukup pesat, dimana sampai dengan No pember 1987 jumlah aktivanya tercatat naik 112,6% (menjadi Rp.1.973,9 milyar), penghimpunan dananya naik 110,5% (Rp.1.873,7 milyar) dan penanaman dananya naik 134,6% (menjadi Rp.1.860,8 milyar). Sementara itu, jumlah dana yang dapat dihimpun oleh PT. Papan Sejahtera dalam pembiayaan pe milikan perumahan bagi masyarakat telah berkembang cukup pe sat pula, dari Rp.14,3 milyar pada tahun 1982/83 diperkira kan menjadi Rp.134,2 milyar pada tahun 1987/88. Dalam rangka upaya pencapaian sasaran di bidang penyempurnaan organisasi lembaga-lembaga keuangan, pada bulan Pebruari 1986 telah dikeluarkan ketentuan yang menyangkut pembinaan lembaga Bank Umum Koperasi. Antara lain ditentukan bahwa pimpinan Bank Umum Koperasi harus mempunyai pengetahuan yang luas tentang perkoperasian serta mempunyai keahlian dan keterampilan yang diperlukan di bidang perbankan. Kebijaksanaan di bidang perasuransian selama periode 1982/83 - 1987/88 ditujukan untuk lebih meningkatkan mutu pe layanan perusahaan asuransi melalui peningkatan efisiensi dan profesionalismenya, di samping menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perasuransian pada umumnya. Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan profesionalisme tersebut telah dilakukan usaha-usaha untuk mendorong peningkatan modal setor pada perusahaan asuransi dan reasuransi. Atas dasar ketentuan yang berlaku, maka bagi perusahaan asuransi diharuskan memiliki modal setor sekurang-kurangnya Rp.500 juta untuk perusahaan lama dan Rp.1.500 juta untuk perusahaan asuransi jiwa dan kerugian yang baru berdiri. Selanjutnya bagi modal setor perusahaan reasuransi profesional sekurang-kurangnya Rp.20 milyar, sedangkan perusahaan broker asuransi Rp.100 juta. Selain 271 persyaratan modal tersebut di atas, perusahaan asuransi di minta memiliki tenaga ahli asuransi, dan untuk menjamin ke amanan setiap perusahaan asuransi dan reasuransi diminta untuk menjaga batas tingkat likuiditas (solvency margin) yang memadai. Di samping itu dalam rangka pengawasan, perusahaan asuransi diwajibkan menyampaikan laporan berkala, dan kemung kinan ditingkatkan pada pengawasan langsung melalui pemerik saan perusahaan setempat. Berdasarkan berbagai kebijaksanaan yang telah ditempuh itu, maka dalam kurun waktu lima tahun dari tahun 1983 - 1987, jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi setiap tahun meng alami kenaikan, yaitu dari 99 menjadi 149 perusahaan pada tahun 1987, meliputi perusahaan asuransi jiwa, asuransi sosial , asuransi kerugian dan reasuransi serta perusahaan broker asuransi. Adapun jumlah asset dan dana investasi dari keseluruhan perusahaan asuransi pada tahun 1982 sebesar Rp.998.840 juta kemudian naik menjadi Rp.2.649.581 juta tahun 1986, sedangkan jumlah investasi dana adalah Rp.806.441 juta naik menjadi Rp.2.133.210 juta. Perkembangan usaha asuransi jiwa menunjukkan tingkat kesadaran berasuransi yang lamban. Dalam tahun 1983 persentase jumlah pemegang polis asuransi jiwa terhadap jumlah penduduk adalah 1,82%, mengalami penurunan menjadi 1,68% dan 1,77% masing-masing tahun 1985 dan 1986. Penyebab utamanya adalah jumlah polis yang jatuh tempo lebih banyak dari pada penambahan jumlah polis baru. Khusus pada asuransi sosial, kebijaksanaan baru dalam bidang ini ialah pemberian kenaikan tunjangan hari tua dan tunjangan kematian sebesar 25,0% bagi para peserta Taspen yang pensiun pada atau sesudah akhir bulan April 1985. Perkembangan jumlah nilai premi yang dapat dihimpun oleh asuransi jiwa hingga tahun 1986 mencapai Rp.181.219 juta, dimana jumlah premi tersebut di atas perolehannya tahun 1985 (Rp.157.708 juta) dan tahun 1982 (Rp.93.575 juta). Perkembangan premi di bidang asuransi sosial juga memperlihatkan kenaikan, jika jumlah premi yang dihimpun pada tahun 1982 se besar Rp.132.596 juta, maka pada tahun 1985 dan tahun 1986 bergerak naik menjadi Rp.250.716 juta dan Rp.280.178 juta. Sementara itu, Perkembangan penanaman dana yang dikelola oleh asuransi jiwa pada tahun 1982 dan tahun 1986 tercatat sebesar 272 Rp.111.182 juta dan Rp.413.054 juta. Demikian pula halnya yang dikelola oleh asuransi sosial selama 5 tahun dapat menanamkan dana sebesar Rp.411.853 juta (tahun 1983) dan Rp.1.207.979 milyar (tahun 1986). Kegiatan perusahaan leasing ditujukan kepada penyediaan barang-barang modal yang diperlukan oleh suatu ba dan usaha untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pem bayaran berkala. Dalam usaha untuk mengembangkan industri dalam negeri, barang yang disewakan oleh perusahaan leasing diutamakan berasal dari produksi dalam negeri. Perkembangan usaha leasing dalam pembiayaan pembangunan semakin meningkat. Hal ini tercermin pada jumlah perusahaan leasing dan nilai kontrak yang ditutup. Sampai dengan akhir tahun 1987, jumlah perusahaan leasing mencapai 83 perusahaan yang merupakan kenaikan yang cukup menggembirakan bila dibandingkan keadaannya pada akhir tahun 1982 (17 perusahaan) atau pada akhir tahun 1986 (79 perusahaan). Nilai kontrak yang ditutup pada semester I tahun 1987 mencapai Rp.472,9 milyar, bahkan pada tahun 1986 mencapai Rp.645,5 milyar, sedangkan pada tahun 1982 se besar Rp.135,6 milyar. Pada umumnya, penggunaan kontrak tersebut selama 5 tahun ditujukan untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi utama seperti pengangkutan (37,1%), industri (29,2%), perkantoran (16,9%) dan konstruksi (10,7%). Dalam hal ini, penerimaan simpanan dalam bentuk giro, deposito, tabungan ataupun pemberian pinjaman uang, sebagai pihak yang mengeluarkan jaminan, serta sebagai pelaku usaha perbankan lainnya merupakan hal-hal yang dilarang dilakukan oleh perusahaan leasing. Perkembangan kegiatan pasar modal, sebagai sarana penyedia dana pembiayaan jangka panjang, juga telah memperlihatkan kemajuan yang mantap. Selama periode tahun 1982/83 hingga tahun 1987/88, jumlah perusahaan yang memasarkan saham dan obligasi melalui pasar modal mencapai 24 perusahaan dengan jumlah saham yang diterbitkan sebanyak 57,5 juta lembar yang bernilai Rp.131,1 milyar. Dalam periode yang sama j uga telah dilakukan penjualan obligasi sebanyak 295,3 ribu lembar sehingga dana masyarakat yang dapat dihimpun melalui sarana pasar modal ini, sampai dengan Desember 1987 telah mencapai Rp.504,7 milyar. Selain itu, jumlah perusahaan yang telah memperoleh izin usaha di bidang perantara perdagangan efek, sampai dengan Desember 1987, telah mencapai 34 perusahaan diantaranya 11 perusahaan sebagai perantara murni dan 10 lembaga keuangan bukan 273 bank. Di samping itu, jumlah pedagang efek telah mencapai 18 perusahaan (diantaranya dilakukan oleh 3 bank), dan jumlah bank yang mendapatkan izin sebagai trustee di bidang emisi obligasi dan yang mendapatkan izin sebagai guarantor masing masing telah meliputi 4 bank. Dalam rangka penyempurnaan lebih lanjut pening katan peranan pasar modal, maka pada tanggal 24 Desember 1987 telah dikeluarkan serangkaian kebijaksanaan yang menyangkut penye derhanaan prosedur yang harus ditempuh perusahaan yang akan memanfaatkan dana masyarakat melalui emisi efek di bursa sa ham. Kalau sebelumnya pelaksanaan emisi efek memerlukan 8 dokumen, setelah dikeluarkannya peraturan baru hanya diperlukan 3 dokumen, yaitu rancangan prospektus, laporan keuangan dan anggaran dasar perusahaan. Selain ini, pemberian izin emisi tidak lagi memerlukan biaya dan apabila dalam waktu 30 hari izin belum juga keluar maka pemberian izin berlaku otomatis. Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987 ini, juga menyangkut ketentuan diperkenankannya pembentukan bursa paralel. Maksud daripada pembentukan bursa paralel ini adalah untuk menyediakan lembaga bursa saham alternatif yang mempunyai persyaratan yang lebih longgar daripada yang berlaku pada bursa saham yang telah berjalan selama ini. Diharapkan bahwa langkah ini akan mempermudah perusahaan-perusahaan sedang dan menengah untuk dapat memanfaatkan sistem "go public" dalam penggunaan dana masyarakat untuk keperluan kegiatan investasinya. Suatu kemudahan yang berlaku di bursa paralel adalah syarat untuk melaksanakan emisi yang cukup dengan kemampuan dari perusahaan yang bersangkutan untuk menunjukkan prospek usahanya yang baik, dibandingkan dengan persyaratan yang berlaku di bursa saham yang telah berjalan, di mina dipersyaratkan adanya laba selama dua tahun berturut-turut. Paket kebijaksanaan 24 Desember 1987 merupakan satu langkah maju lagi dari serangkaian paket kebijaksanaan yang telah dilaksanakan selama periode tahun 1982/83-1987/88 yang ditujukan untuk melaksanakan amanat Garis-garis Besar Haluan Negara, bahwa: pengerahan dana-dana tabungan masyarakat melalui lembaga-lembaga keuangan, termasuk lembaga perbankan, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal perlu makin di tingkatkan dalam bentuk deposito, penerbitan surat berharga dan jenis tabungan lainnya sehingga peranannya sebagai sumber dana pembangunan makin meningkat. 274