1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan
perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut
dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur
dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan
cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang
menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut
hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan
umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat
dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan
hukum.
Pembuat undang-undang beranjak dari pemikiran bahwa orang yang telah
mencapai usia tertentu normal dan semestinya sudah bisa menyadari tindakan dan
akibat dari tindakannya. Kepastian hukum menuntut adanya suatu patokan yang
pasti, kapan orang dianggap atau bisa dianggap telah bisa menyadari akibat dari
tindakannya. Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan zaman
kolonial dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga berlaku bermacammacam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk.
Di dalam hukum, seseorang dapat dikatakan cakap bertindak di dalam
hukum adalah apabila seseorang tersebut telah dewasa. Dalam hukum perdata
1
2
Indonesia, yaitu berdasar pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), batasan umur dewasa seseorang diatur dalam
Pasal 330 yang menentukan bahwa : “Batasan dewasa adalah mereka yang belum
mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah
menikah.” Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian menentukan
bahwa :
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Sehingga berdasarkan Pasal 330 jo 1320 KUHPerdata tersebut maka seseorang
yang dapat dikatakan dewasa menurut hukum perdata di Indonesia yaitu telah
berumur 21 tahun, dimana dewasa menurut KUHPerdata berarti cakap bertindak
dalam hukum.
Sementara itu dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) tentang
syarat
dewasa
agar
seseorang telah
dianggap
cakap
bertindak
untuk
melangsungkan perkawinan adalah apabila telah berusia 18 tahun, sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 47 dan Pasal 50, yang berturut-turut menentukan : Pasal
47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum
mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan
ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari
3
kekuasaannya”. Pasal 50
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan
bahwa : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang
tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Selanjutnya dalam hukum agraria, tentang batasan seseorang dianggap
dewasa dan cakap bertindak di dalam hukum atau melakukan perbuatan hukum
adalah sebagaimana tampak dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli
1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa,
bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk
pada BW) dan golongan penduduk Cina (mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan
Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan mengacu kepada Staatblaad 1924 :
556 dan Staatblaad 1924: 557 adalah 21 tahun. Sedangkan untuk orang-orang
yang tunduk pada hukum adat ditentukan : …apabila seorang Notaris atau PPAT
mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa maka hal itu dapat
diterima sebagai benar.1
Sementara cakap bertindak sebagai penghadap dalam pembuatan akta
notaris ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut
UUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004 dalam Lembaran Negara
1
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang
Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batsan Umur),
Nasional Legal Reform, Jakarta, hal. 19.
4
Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3 dan dalam Tambahan Lebaran
Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2014 Nomor 5491, yang menentukan
bahwa : “Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : (a) paling rendah
telah berumur 18 tahun atau telah menikah; (b) cakap melakukan perbuatan
hukum”. Cakap bertindak yang ditentukan oleh Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN
adalah 18 tahun sebagai batasan umur kecakapan penghadap dihadapan notaris.
Notaris dalam sistem hukum di Indonesia diberi wewenang dan tugas untuk
membuat akta otentik dan mencatatkan berbagai perbuatan-perbuatan
hukum
dalam bentuk perjanjian-perjanjian dibuat di bawah tangan serta mengesahkan
surat-surat/dokumen-dokumen agar mempunyai nilai dan kekuatan sebagai alat
bukti.
Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik
yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak
(bersegi dua)2, demikian pula dikatakan oleh Chainur Arrasjid bahwa perbuatan
hukum terdiri dari 2 (dua), yaitu :
1. Perbuatan hukum sepihak :
Yaitu perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh satu pihak saja dan
menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya
pembuatan surat wasiat dan pemberian suatu benda (hibah).
2. Perbuatan hukum dua pihak :
Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik).
Misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.3
2
H. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung,
2005, hal.40.
3
Chainur Arrasjid, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Edisi I, Cet. 2, Sinar
Grafika, Jakarta, hal. 112.
5
Di antara perbuatan-perbuatan hukum tersebut seperti membuat : surat wasiat,
perjanjian sewa-menyewa, pengikatan jual beli dan pemberian kuasa menjual atas
sebidang tanah hak milik, perjanjian hutang-piutang dan lainnya. Dalam hal
perbuatan hukum bersegi dua, dalam lalu lintas hukum dikenal dengan membuat
perjanjian.
Perjanjian menurut Subekti merupakan suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan
sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan
yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.4 Demikian juga dengan Sudikno
Mertokusuma mengatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan konsekuensi
yuridis.5 Berdasarkan pada pendapat diatas suatu perjanjian merupakan suatu
hubungan hukum antara dua pihak, saling berjanji dan mengikatkan dirinya untuk
melakukan atau berbuat sesuatu dalam mana salah satu pihak berhak atas prestasi
yang dilakukan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak lain berkewajiban untuk
melakukan hal tersebut dengan disertai sanksi.
Perjanjian diatur dalam buku II tentang Perikatan yang menamai dengan
persetujuan, Pasal 1313 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu persetujuan
adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
4
R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (untuk
selanjutnya disebut R. Subekti I), hal.1.
5
Sudikno Mertokusuma, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, hal. 91.
6
terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam suatu perjanjian mempunyai unsurunsur, yaitu unsur essensialia yaitu unsur yang bersifat mutlak harus ada dalam
suatu perjanjian dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin
ada. Kemudian unsur naturalia untuk perjanjian yang oleh undang-undang diatur
tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti sedangkan unsur
accidentalia merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak
sementara undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.
Keseluruhan unsur-unsur yang terkadung dalam suatu perjanjian, oleh Pasal 1320
KUHPerdata ditentukan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian.
Perjanjian dapat dibuat secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian tertulis
dapat pula dibedakan antara perjanjian yang dibuat dibawah tangan dan dibuat
secara otentik. Suatu perjanjian dibuat secara otentik yang lazimnya disebut
dengan akta otentik, merupakan suatu perjanjian tertulis yang dibuat dengan
memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Suatu
akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu, dan di tempat dimana akta itu dibuatnya”, sehingga suatu perjanjian yang
dibuat secara otentik merupakan suatu perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan
dan/atau oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, dan dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum
yang berwenang membuat akta tersebut. Sebaliknya suatu perjanjian di bawah
tangan yang lazim juga disebut akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang
7
dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum yang berwenang untuk
membuat suatu perjanjian. Kedudukan masing-masing akta tersebut berbeda satu
dengan yang lainnya. Suatu akta otentik kedudukannya sebagai alat bukti yang
mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sempurna, artinya sebagai alat bukti suatu
akta otentik tidak memerlukan alat bukti lain untuk membuktikan sesuatu
peristiwa atau perbuatan hukum. Sementara akta di bawah tangan kedudukannya
sebagai alat bukti yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, oleh
karenanya kedudukannya sangat tergantung pada alat bukti lain seperti pengakuan
dari pihak-pihak yang membuat perjanjian, yang mengakui atau menyatakan
bahwa perjanjian tersebut benar adanya.
Salah satu akta otentik adalah akta yang dibuat dihadapan dan/atau oleh
notaris sebagai pejabat umum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1868
KUHPerdata. Suatu akta notaris sebagai akta otentik, selain harus dibuat
memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas juga harus memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata.
Sebab akta notaris sebagai akta otentik pada umumnya merupakan perjanjian yang
dengan sengaja dibuat oleh para pihak agar mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna. Oleh karenanya, perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta
notaris harus memenuhi syarat yaitu : (1) para pihak telah sepakat tentang hal-hal
yang diperjanjikan dalam akta; (2) para pihak yang membuat akta adalah mereka
yang telah memenuhi kriteria cakap bertindak menurut hukum; (3) obyek yang
diperjanjikan di dalam akta sebagai obyek perjanjian merupakan sesuatu hal
8
tertentu; dan (4) perjanjian yang dibuat dan dituangkan dalam bentuk akta notaris
lahir dari suatu sebab yang halal atau obyek perjanjian dalam akta notaris bukan
merupakan obyek yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku, oleh norma agama, norma kesusila maupun norma-norma kepatutan
lainnya.
Dari keseluruhan syarat sah dibuatnya akta notaris seperti di atas, salah
satunya yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah tentang syarat para pihak
yang membuat akta notaris adalah mereka yang telah memenuhi kriteria cakap
bertindak menurut hukum atau yang dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata
disebut sebagai syarat cakap mereka yang mengikatkan dirinya. Dalam UUJN
tentang hal diatur dalam ketentuan Pasal 39
ayat 1 huruf a dan b yang
menentukan bahwa : “(a) paling rendah telah berumur 18 tahun atau telah
menikah; (b) cakap melakukan perbuatan hukum”. Dari kedua syarat yang
dimaksud dalam ketentuan tersebut, syarat huruf b yang menentukan cakap
melakukan perbuatan merupakan ketentuan yang tumpang tindih kalau tidak mau
disebut sebagai konflik norma dengan ketentuan huruf a untuk dapatnya seseorang
dikatakan memenuhi syarat sebagai penghadap atau yang dalam praktek
kenotarisan disebut dengan istilah komparan, karena para penghadap yang
bertindak sebagai pihak-pihak yang membuat akta notaris disebut dengan istilah
komparisi, sehingga dapat mengaburkan makna dari norma yang terkandung
dalam huruf a. Dikatakan demikian karena menurut hemat penulis, ketentuan
huruf a dimaksudkan sebagai ketentuan normatif yang menjelaskan dengan
9
menentukan batasan umur seseorang, yakni 18 tahun atau telah menikah untuk
dapat atau tidak dapatnya seseorang bertindak dalam akta notaris. Norma dalam
ketentuan huruf a tersebut bertujuan menjelaskan sekaligus memberi batasan
secara limitatif usia seseorang untuk dapat sebagai komparan yang secara yuridis
menjadi legitimasi kepada seseorang telah cakap bertindak di dalam hukum atau
cakap melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya ketentuan huruf b yang
mensyaratkan seseorang dapat bertindak sebagai penghadap/komparan adalah
mereka yang cakap melakukan perbuatan hukum menjadikan ketentuan Pasal 39
ayat (1) menjadi kabur, karena sekali lagi, terhadapnya memerlukan penjelasan
atau kajian tentang apa kriteria dan keadaan bagaimana seseorang agar dapat
dikatakan dan memenuhi syarat cakap melakukan perbuatan hukum tersebut.
Kecakapan bertindak merupakan kewenangan umum untuk melakukan
tindakan hukum. Setelah manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum
maka selanjutnya kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak
dan kewajibannya oleh karenanya diberikan kecakapan bertindak. Di satu sisi,
manusia adalah subyek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum
yang kemudian diejawantahkan ke dalam bentuk kewenangan hukum. Terkait
dengan hak terdapat kewenangan untuk menerima, sedangkan terkait dengan
kewajiban terdapat kewenangan untuk bertindak (disebut juga kewenangan
bertindak).6 Kewenangan hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subyek
hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
6
Ibid, hal.122.
10
misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan
lain-lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh
undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa
kecakapan bertindak berlaku bagi semua orang, setiap orang pada asasnya cakap
untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain.7 Kecakapan bertindak
(handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum, yang dipunyai oleh
persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya.8
Sehingga untuk mampu membuat suatu perjanjian, oleh karenanya dipandang
telah dewasa sehingga tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak
stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu
perjanjian. Cakap tidaknya seseorang bertindak di dalam hukum dapat pula
dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, yaitu seorang telah dewasa atau akil
balik, sehat jasmani maupun rohani, dianggap cakap menurut hukum sehingga
dapat untuk melakukan tindakan hukum atau membuat suatu perjanjian.
Selain faktor kedewasaan yang ditentukan oleh umur juga oleh faktor lain
seperti status menikah yang dapat mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang
di dalam hukum. Menurut hukumyang berlaku saat ini, setiap orang tanpa kecuali
memiliki hak-haknya, selain itu dalam hukum juga ditentukan bahwa tidak semua
7
Miftachul Machsun, 2013, Persoalan Hukum Dalam Praktek Berikut
Solusinya, Majalah Minuta Edisi I Nomor 02.002, Maret 2013, hal. 62.
8
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 2.
11
orang diperbolehkan melakukan perbuatan hukum sendiri dalam melaksanakan
hak-haknya. Sebab terdapat beberapa golongan orang yang oleh hukum
dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri sebagaimana
diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa :
Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang
telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Dari deskripsi di atas, ternyata bahwa kedewasaan dan kecakapan menjadi
penting ketika dihadapkan pada syarat sahnya subyek hukum dalam melakukan
perjanjian dalam bentuk tertulis secara otentik dalam suatu akta notaris, karena
hal tersebut berkorelasi pada kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum
sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Sedangkan dalam lalu lintas hukum
pembuktian khususnya, hal tersebut diperlukan oleh karena akta notaris sebagai
akta otentik diharapkan menjadi alat bukti kuat yang menentukan dengan jelas
hak dan kewajiban seseorang dalam suatu perjanjian yang dibuatnya. Hal tersebut
semakin menjadi kebutuhan masyarakat modern yang senantiasa menghendaki
adanya
pendokumentasian
terhadap
peristiwa/perbuatan
hukum
yang
dilakukannya.
Notaris sebagai sebuah jabatan yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk
mewujudkan tujuan hukum atau kebutuhan hukum pembuktian seperti tersebut,
memegang peranan penting sehingga segala kegiatan ekonomi seperti di bidang
perbankan, pertanahan, maupun kegiatan sosial lainnya yang membutuhkan
12
kehadiran jabatan notaris dapat berjalan sesuai dengan norma-norma atau kaedahkaedah hukum yang berlaku. Sehingga berbagai hubungan atau perbuatan hukum
yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memberi jaminan dan kepatian
hukum yang dalam sistem hukum hanya dapat dituangkan di dalam akta notaris,
menempatkan notaris sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat
yang dapat diandalkan dan segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah
benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.9
Berdasarkan uraian di atas memberikan gambaran bahwaperbedaan batasan
usia dewasa sebagai syarat agar dapat dikatagorikan cakap bertindak di dalam
hukum atau dapat dikatakan sebagai cakap dalam melakukan perbuatan hukum,
selain berimplikasi dan membawa konsekuensi yuridis terhadap sah atau tidak
sahnya seseorang berkedudukan menjadi subyek hukum sebagai pengemban hak
dan kewajiban hukum berikut sah atau tidak sahnya segala tindakan-tindakan atau
perbuatan hukum yang dilakukannya. Juga berimplikasi terhadap sah atau tidak
sahnya kedudukan seseorang sebagai pengahadap/komparan dalam suatu akta
notaris berikut berkonsekuensi yuridis terhadap kekuatan hukum daripada akta
notaris sebagai akta otentik yang dibuatnya. Implikasi hukum yang dapat timbul
dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut:
Pertama, bagaimanakah pengaturan tentang kecakapan batasan umur
bertindak seseorang dalam pembuatan akta notaris yang mengandung peralihan
hak atas tanah?
9
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku
I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 7.
13
Kedua, bagaimana keberadaan atau kedudukan kecakapan batasan umur
dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah?
Dari beberapa permasalahan di atas, penulis membatasi ruang lingkup
penelitian, yaitu hanya mengkaji tentang keberadaan atau kedudukan kecakapan
batasan umur dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah,
sementara kedua akta notaris yang syarat kecakapan bertindak yang ditentukan
dalam UUJN yaitu umur 18 tahun. Hal tersebut di atas dapat melahirkan implikasi
hukum terhadap akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang pembuatannya
berdasarkan pada akta PPJB yang dijadikan alat permohonan pendaftaran
peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten, karena dalam pendaftaran
peralihan hak atas tanah syarat kecakapan bertindak melepaskan hak atas tanah
mengacu pada ketentuan dewasa menurut KUHPerdata, yakni setelah berusia 21
tahun dan/atau telah menikah.
Dengan kata lain, perbedaan pengaturan hukum tentang kedewasaan
seseorang dalam berbagai ketentuan di atas, dapat memicu timbulnya perbedaan
persepsi yang menjadi masalah hukum terutama dalam praktek dibuatnya akta
notaris yang
pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum atau kurang
memberi perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang memperoleh hak dari
perbuatan hukum akta notaris. Padahal akta notaris sebagai akta otentik berisikan
hubungan hukum yang dilakukan dan sekaligus mengatur antara orang yang satu
dengan orang yang lain dan mungkin antara orang dengan masyarakat, atau antara
masyarakat yang satu dengan yang lain. Karena dalam suatu hubungan hukum,
14
para pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang diberikan oleh
hukum, yaitu pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak lain wajib
memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya secara timbal balik.10
Selain memicu lahirnya berbagai persepsi dengan konsekuensi yuridis yang
dapat dilahirkan sebagaimana di atas, perbedaan batasan umur dewasa sebagai
kriteria cakap bertindak di dalam hukum sebagai tidak adanya harmonisasi norma
tentang kedewasaan seseorang bertindak dalam hukum atau dalam perbuatan
hukum antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundangan
yang lain, juga melahirkan konflik norma hukum antara satu ketentuan peraturan
perundang-undangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
lainnya sebagaimana dipaparkan di atas. Hal-hal tersebut dijadikan topik
kajian/bahasan sebagai isu hukum dalam tesis ini karena urgensinya manakala
dibuatnya suatu akta notaris yang obyeknya tanah, yang dalam praktek
kenotarisan dibuat dalam bentuk akta perjanjian pengikatan jual beli (selanjutnya
disebut akta PPJB) yang dikuti dengan kuasa menjual atas tanah hak milik.
Suatu akta PPJB yang diikuti dengan akta kuasa menjual, merupakan salah
satu jenis akta notaris dalam genus perjanjian yang dibuat sebagai perjanjian
pendahuluan, sebelum dibuatnya Akta jual beli oleh dan/atau di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disebut PPAT) sebagai akta balik nama,
karena akta jual beli yang dibuat PPAT tersebut bedasarkan Peraturan Pemerintah
10
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 12.
15
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun 1997)
Pasal 37 yang menentukan bahwa :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Secara tidaklangsung akta PPJB tersebut merupakan dasar untuk dijadikan
alat bukti pendaftaran perlihan hak atas tanah di kantor pertanahan kabupaten/kota
dimana letak tanah tersebut berada. Akta PPJB seperti itu, umumnya adalah akta
yang isinya/substansinya tentang perjanjian antara dua pihak, yaitu antara penjual
dan pembeli atas sebidang tanah hak milik (dapat pula berikut segala sesuatu yang
telah ada/dibangun di atas tanah tersebut yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah) yang telah sepakat tentang perbuatan hukum jual-beli karena telah
terpenuhinya syarat pokok dari jual-beli itu sendiri, yakni telah dibayar lunas
(tunai) harga bersamaan dengan diserahkannya (terang) secara fisik tanah sebagai
obyek perjanjian jual-beli tersebut. Sehingga akta PPJB seperti tersebut harus
diikuti dengan akta kuasa menjual atas tanah dimaksud yang kedudukannya di
samping sebagai ikutan (accessoir), adalah juga sebagai alat eksekutorial dari
penyerahan
hak
atas
tanah
dari
penjual/pemilik/penyerah
hak
kepada
pembeli/penerima hak atas tanah tersebut. Artinya, kuasa menjual digunakan dan
dijadikan alat oleh pembeli/penerima hak untuk dikemudian hari dapat melakukan
tindakan sebagai penjual/penyerah hak kepada penerima hak, yang dapat kepada
pembeli sendiri maupun kepada pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh
16
pembeli. Sementara itu, di dalam praktek kenotarisan masih ada dibuatnya akta
PPJB saja sehingga tidak diikuti dengan akta kuasa menjual. Hal tersebut terjadi
karena akta PPJB tersebut dibuat dan mengandung isi/substansi tentang perjanjian
jual-beli atas sebidang tanah (berikut bangunan yang telah ada/dibangun di
atasnya) belum memenuhi syarat dibayar lunas/tunai dari harga tanah tersebut.
Atau dalam praktek kenotarisan akta PPJB tersebut dikatakan sebagai perjanjian
jual beli bertahap, artinya pembayaran terhadap harga tanah tersebut dibayar
bertahap.
Dari sisi fungsi atau kedudukan akta PPJB dan akta kuasa menjual dalam
sistem pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997
sebagaimana telah disinggung di atas, dimana kedudukan/keberadaannya sebagai
perjanjian pendahuluan guna dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama
yang dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT dan selanjutnya dijadikan
dasar/syarat/alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya, maka penerapan norma
hukum yang tepat tentang kedewasaan soseorang agar dapat dikatagorikan dewasa
serta cakap melakukan perbuatan hukum dalam dibuatnya akta PPJB berikut akta
kuasa menjual menjadi sangat penting agar akta tersebut dapat dijadikan dasar
permohonan peralihan hak atas tanahnya sehingga permohonan peralihan hak atas
tanahnya dapat dikabulkan/diberikan oleh negara melalui kantor pertanahan
setempat.
Dengan adanya perbedaan pengaturan tentang ketentuan batasan umur
dewasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan
17
implikasi hukum pada substansi atau isi akta notaris itu sendiri dalam kaitannya
dengan ketentuan pendaftaran tanah. Karena di antara dua perbuatan hukum
tersebut, yakni akta notaris yang isinya tentang peralihan hak-hak atas tanah (akta
PPJB berikut kuasa menjual) dan pendaftaran peralihan hak atas tanahnya,
mempunyai syarat dan batasan umur tentang dewasa yang berbeda. Akta notaris
mengacu pada syarat dan ketentuan dalam UUJN sementara pendaftaran tanah
mengacu dan tunduk pada norma hukum perdata yang diberlakukan dalam hukum
agraria, dimana batasan umur dewasa seseorang telah berumur 21 tahun atau telah
menikah sesuai dengan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata. Dengan demikian
perbedaan tersebut dapat melahirkan konsekuensi yuridis pada akta notaris (akta
PPJB berikut kuasa menjual) sebagai akta yang tidak dapat dijadikan dasar
permohonan peralihan hak atau peralihan hak atas tanahnya ditolak karena
pemohon dipandang belum cukup dewasa untuk hal itu, dan melahirkan
tanggungjawab hukum pada notaris akibat dari terjadinya kerugian pada kilennya,
dalam hal ini pembeli, yang berharap dengan dibuatnya akta (notaris) mereka
mendapat apa yang seharusnya diperoleh, yaitu hak atas tanah yang dibelinya.
Keadaan seperti itu menempatkan jabatan notaris dilema dengan mengingat
jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan, belum lagi produk hukumnya
merupakan akta otentik yang dalam sistem hukum pembukian merupakan alat
bukti sempurna. In after ages when people were not nice in the language, these
word tabularii, scribe, tabelliones and tabellerii were promiscuously used to
18
signify the same officer and minister of justice such as we now call a notary.11
(Terjemahan bebas : setelah usia cakap ketika orang-orang tidak dengan baik
dalam bahasa, seperti kata ini juru tulis yang digunakan untuk menandakan surat
yang dibuat dimana petugas dan menteri keadilan yang sama seperti yang
sekarang kita sebut dengan notaris). Kedudukan seperti itu dapat dilihat dalam
sejarahnya, dimana jabatan notaris untuk pertama kali dikenal di Indonesia, pada
tanggal 27 Agustus 1620 yang pada saat itu bernama Nusantara dengan
diangkatnya seorang warga negara Belanda bernama Melchior Kerchem
(Kerchem) sebagai notaris, yang sebelumnya merupakan seorang sekertaris dari
“College van Schepenen” di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17
Agustus 1945, keberadaan jabatan notaris tetap diakui berdasarkan Pasal 2 Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan : “Segala peraturan
perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Lembaga Notaris masuk ke Indonesia didasari oleh kebutuhan akan suatu
alat bukti yang otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah
ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak
yang berkempetingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat
yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat di hadapanya.
11
Appendix, 1821, Notary-Public, Alex Lawrie & Co, Edinburgh, hal. 3.
19
Dalam pasal 165 Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) (vide Pasal 1868
KUHPerdata dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)) disebutkan
bahwa :
Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak
dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang
apa yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum di
dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini
hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok
dari pada akta.12
Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat
bukti (probationis causa). Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu
perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Fungsi
akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta
sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu
perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari.
Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah
pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang
dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870
KUHPer). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran
dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta
tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain
yang dapat membuktikan sebaliknya. 13
12
13
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 11.
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit,hal. 31.
20
Kemudian kedudukan jabatan notaris sebagaimana dimaksud di atas
ditegaskan kembali dalam UUJN Pasal 1 angka 1 yang menentukan bahwa :
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Adapun
kewenang lain yang dimaksud adalah kewenangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) UUJN, yang menentukan bahwa :
Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Dari ketentuan-ketentuan di atas, maka sejatinya notaris diberi tugas dan
wewenang menjalankan sebagian dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti
tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata. Hal tersebut melahirkan
tanggung jawab yang sangat besar dalam memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat.
Sudikno Mertokusumo berpendapat dalam kaitannya dengan akta notaris
mengatakan sebagai berikut :
Akta Notaris merupakan salah satu jenis dari akta otentik, karena akta
Notaris dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa
dan Undang-undang. Dalam hal menjamin otensitas dari akta otentik itu
pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam Undang-undang,
sehingga hal itu merupakan jaminan dipercayainya pejabat tersebut, maka
akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi akta otentik
21
dianggap dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat
itu, sampai dibuktikan sebaliknya.14
Oleh karena itu, agar supaya kedudukan dan peran serta notaris dalam rangka
memberikan perlindungan dan kepastian hukum sebagai implementasi konsepsi
negara hukum, maka setiap akta yang dibuat oleh notaris harus mengacu dan
berdasar kepada ketentuan-ketentuan, norma-norma maupun kaedah-kaedah
hukum yang pasti dan bersifat unifikasi, artinya adanya satu jenis norma atau
ketentuan hukum yang diberlakukan dalam dibuatnya akta notaris.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas selanjutnya penulis kaji dan
menyusunnya dalam tesis yang berjudul : KECAKAPAN PARA PIHAK
DALAM PEMBUATAN PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERKAITAN
DENGAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH.
Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa
penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang kecakapan. Adapun
penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain:
a.
Penelitian dari Ningrum Puji Lestari, S.H, Program Studi Magister
Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Tahun 2008,
dengan judul ”Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum
Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004Tentang Jabatan
Notaris”. Ringkasan
yang terdapat dalam penelitian ini adalah :
Ketidakseragaman mengenai batasan umur dewasa dalam melakukan
perbuatan hukum, baik dalam lapangan hukum perdata, hukum perkawinan
14
Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal. 147-148.
22
dan hukum kenotariatan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 30 tahun
2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 39 ayat (1) nya menyatakan bahwa
seorang dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum adalah
sudah berusia 18 tahun.
b.
Penelitian dari Harahap Nirwan, S.H, Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2010, dengan judul :
“Problematika Jual Beli Dan Pendaftaran Tanah Hak Milik Yang Dimiliki
Bersama Anak Di Bawah Umur (Studi di Pematang Siantar)”. Ringkasan
yang terdapat dalam penelitian ini adalah : Kantor Pertanahan mengharuskan
dilakukan penetapan pengadilan untuk jual beli dan pendaftaran tanah hak
milik yang dimiliki bersama anak dibawah umur mengacu pada ketentuan
KUHPerdata, Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar dalam mendaftarkan
jual beli tanah hak milikyang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur,
problematika dan upaya yangdilakukan oleh PPAT dan penghadap untuk
mengatasi kendala jual beli dan pendaftarantanah hak milik yang dimiliki
bersama dengan anak di bawah umur.
Dari uraian penelitian diatas, tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat
originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
23
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi
permasalahan pokok dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengaturan tentang syarat dewasa untuk dapat dikatakan
cakap bertindak dalam pembuatan akta Notaris yang mengandung peralihan
hak atas tanah?
2. Bagaimana konsekuensi yuridis terhadap kecakapan batas umur pada Pasal
39
ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan
Notaris dalam pembuatan akta notaris yang mengadung peralihan hak atas
tanah?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan umum.
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tentang
batasan umur kecakapan bertindak dalam pembuatan akta PPJB tanah.
1.3.2. Tujuan khusus.
Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara khusus
bertujuan untuk :
1.
Untuk mengidentifikasi dan menganalisis adanya pengaturan hukum positif
yang berbeda mengenai kedewasaan dalam kaitan kecakapan para pihak
dalam pembuatan akta notaris dalam konteks perjanjian pengikatan jual beli
tanah.
24
2.
Untuk
menganalisis
dan
mengevaluasi
persoalan-persoalan
terkait
konsekuensi yuridis akta notaris yang dibuat berdasarkan syarat dewasa
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan
pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria,
terutama mengenai permasalahan kecakapan batasan umur penghadap dalam
pembuatan akta PPJB tanah dihadapan notaris.
1.4.2. Manfaat praktis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu
memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pembuatan akta PPJB tanah.
1. Bagi PPAT/Notaris untuk dapat memberikan pemahaman berkenaan
dengan konsekuensi yuridis yang timbul dari akta PPJB tanah yang syarat
dewasa menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004.
2. Bagi masyarakat untuk dapat memberikan sumbangan pengetahuan di
bidang hukum khususnya di bidang hukum pertanahan dan kenotariatan
25
mengenai kecakapan para pihak dalam perjanjian untuk jual beli tanah
dihadapan Notaris.
3. Bagi pembuat kebijakan untuk dapat dijadikan bahan evaluasi ini dibidang
hukum pertanahan untuk lebih memperjelas pengaturan mengenai
peralihan hak atas tanah khususnya syarat kecakapan melakukan perbuatan
hukum peralihan hak atas tanah.
1.5. Landasan Teoritis
Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori-teori
serta
konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Teori gunanya ialah
untuk menerangkan bagiamanakah hukum positif sebaiknya dijalankan. 15 Adapun
teori-teori serta konsep-konsep yang digunakan, yakni:
1.5.1. Teori Penjenjangan/hierarki Norma Hukum (Stufenbau des Rechts) Hans
Kelsen.
Berkaitan dengan penulisan tesis ini teori penjenjangan/hierarki norma
hukum (stufenbau des rechts) dengan didukung oleh teori norma dasar
(grundnorm) dari Hans Kelsen digunakan untuk menganalisa permasalahan yang
timbul akibat adanya ketidakharmonisan pengaturan tentang kecakapan bertindak
terkait dengan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum yang diatur
dalam KUHPerdata dan UUJN. KUHPerdata menentukan bahwa batas umur
dewasa adalah 21 tahun, sedangkan UUJN menentukan 18 tahun sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a.
15
46.
Djokosoetono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.
26
Perbedaan penentuan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan
hukum khususnya dalam peralihan hak atas tanah yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut diatas telah menimbulkan implikasi hukum dalam
praktek pembuatan akta PPJB yang kelak akan dijadikan dasar pembuatan akta
jual beli yang digunakan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah. Karena Kantor
Pertanahan menolak melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah apabila akta
jual beli yang dibuat berdasarkan akta PPJB yang kecakapan bertindaknya
mengacu kepada UUJN yakni 18 tahun.
The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the
norm the lower one is determined by another the higher the creation of
which is determined by a still higher norm that this regressus is terminated
by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of
the whole legal order, constitutes its unity. 16
Maksudnya bahwa kesatuan norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa
pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh
norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang
lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini
diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang, karena menjadi dasar tertinggi dari
validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tata hukum ini.17
Menurut Hans Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu
berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana satu
norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih
16
Hans Kelsen, 2009 , General Theory of Law and State, cet III, translated by
Anders Wedberg, The Lawbook Exchage Ltd, New Jersey, hal. 124.
17
Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan
Raisul Muttaqien, Cet. pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hal. 179.
27
tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat
ditelusuri lebih lanjut yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma
dasar)18.
Norma adalah pola atau standar dari suatu aturan yang perlu diikuti atau
ditaati dalam perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Norma
hukum merupakan suber pokok dari peraturan perundang-undangan. Dari segi isi,
norma Hans Kelsen bersifat :
a.
b.
c.
d.
e.
Memerintah (gebeiten);
Melarang (verbeiten);
Menguasakan (ermachtigen);
Membolehkan (erlaoben);
Menyimpang dari ketentuan (derogereen).19
Menurut Hans Kelsen, grundnorm (norma tertinggi) yang diandaikan adalah
norma dasar merupakan sumber utama keabsahan dari semua norma yang berasal
dari tatanan yang sama, ini merupakan alasan umum bagi keabsahan semua
norma.20 Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma
tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi Norma
Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang
18
Hans Kelsen,1998, General Theory of Law and State, terjemahan Anderes
Wed Berg, Russell & Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh
Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan
pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 25.
19
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi
Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi,Setara Press, Malang,
(selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja I), hal 64.
20
Hans Kelsen,op. cit, hal. 218.
28
merupakan gantungan bagi norma-norma yang ada dibawahnya, sehingga Norma
Dasar itu dikatakan presupposed. 21
Di balik itu J.H.M. Klanderman dalam desertasinya berjudul “Ratio,
Watenschap En Recht: Een Onderzoek naar de opvating van ‘wetenschap’,’recht’
en de ‘Grundnorm’ in de Reinerechtslehre van Hans Kelsen mengambarkan
Stufenbautheorie dari struktur norma hukum tersusun secara piramidal secara
hierarkhi. Dalam hierarki itu norma yang lebih tinggi mendasari norma-norma
dibawahnya. Ini berarti validitas suatu norma harus berdasarkan norma yang di
atasnya begitu seterusnya sampai pada norma dasar (Grundnorm) yang
merupakan norma hipotesis.22
Ajaran jenjang norma/Stufanbau Theory yang dikemukakan oleh Hans
Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki
norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar)
bergantung pada norma yang lebih tinggi.23 Hans Kelsen mengungkapkan bahwa
hukum adalah tata aturan (order) sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang
berperilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan
21
Maria Farida Indrati, 2007, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41.
22
I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis & Historis,
Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II), hal. 55.
23
Antonius Cahyadi dan E Fernando Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.83.
29
tunggan (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan
sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.24
Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan
sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan lainnya, tetapi suatu hirarki dari
norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta
bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang
lebih tinggi.25 Hirarki peraturan perundang-undangan tersebut membawa
konsekuensi, peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih di bawah
dibentuk, bersumber, dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang ada
diatasnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya sampai pada peraturan
perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya yaitu Undang-Undang
Dasar.26
Teori hieraki atau jenjang tata hukum ini diilhami oleh muridnya yang
bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Merkl, suatu norma
hukum itu ke atas dia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke
bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya
juga, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht)
yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pad
24
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hal.13.
25
Ibid, hal.110.
26
Muhamad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma
Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta, hal.21.
30
norma hukum yang berlaku di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di
atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di
bawahnya tercabut atau terhapus pula. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem
norma, norma yang tertinggi (norma dasar itu) menjadi tempat bergantungnya
norma-norma di bawahnya.27 Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Jimly
Assiddiqie dan M. Ali Safa’at dengan mengutip Jelic, bahwa :
Teori hirarki norma ini dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling
tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebut Jelic dengan
stairwell structure of legal order. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan
hukum (die Lehre vom Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum
adalah suatu sistem tata aturan hierarkis, suatu sistem norma yang
mengkondisikan dan dikondisikan untuk pembuatan norma lain atau
tindakan. Pembuatan hirarkis ini termanifestasi dalam bentuk regresi dari
sistem tata hukum yang lebih tinggi ke sistem hukum yang lebih rendah.28
Kemudian
Hans
Nawiasky,
salah
seorang
murid
Hans
Kelsen,
mengembangkan teori gurunya tentang teori hierarki norma hukum (stufenbau des
rechts) dalam kaitannya dengan suatu negara, sebagaimana dikatakan oleh Maria
Farida Indrati Soeprapto bahwa dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum
dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma
yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi,
norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih
tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.29
27
Ibid,hal. 25-26.
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, op.cit, hal. 109.
29
Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perudang Undangan DasarDasar dan Pembentukannya, Cet. Sebelas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal.
27.
28
31
Selanjutnya dikatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, menjadi
empat kelompok besar yang terdiri atas :
Kelompok I
Kelompok II
Kelompok III
Kelompok IV
:Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara)
: Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara)
: Formiele Gesetz (Undang-undang ‘formal’)
: Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana &
aturan otonom).30
Pancaila memenuhi syarat menepati status sebagai Staatfundamental Norm,
karena :
a. Terjadinya atau lahirnya : oleh pembentuk Negara;
b. Isinya : dasar Negara memuat asas kerohanian Negara, asas politik
Negara, tujuan Negara.31
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Hamid S. Atamimi mengatakan
bahwa Pancasila ialah cita hukum rakyat Indonesia, dijabarklan atau dirinci oleh
UUD 1945 kedalam pasal-pasalnya, kedalam ketentuan-ketentuan Batang
Tubuhnya.32 Kemudian I Dewa Gede Atmadja menegaskan bahwa hukum positif
yakni Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, menentukan bahwa : ”Pancasila merupakan
sumber dari segala sumber hukum Negara”. Kemudian dijelaskan dalam
penjelasan undang-undang tersebut bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-
30
Ibid.
I Dewa Gede Atmajda I, op. cit, hal. 52.
32
I Dewa Gede Atmajda I, loc. cit.
31
32
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa
dan Negara, sehiingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yangg terkandung dalam Pancasila.33
Sistem penjenjangan Norma di Indonesia diimplementasikan ke dalam Pasal
7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai tata urutan peraturan
perundang-undangan yang menentukan bahwa :
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan di atas bahwa dalam sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia menginginkan suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang
tersusun dalam bentuk hierarkis. Artinya peraturan perundangan di Indonesia
memiliki tingkatan secara vertikal dimanaa pada tingakatan paling atas yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki
kedudukan
yang
tertinggi
dalam
sistem
hukum
ketatanegaraan
di
Indonesia.Dengan demikian maka peraturan yang berada dibawahnya tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia.
33
I Dewa Gede Atmajda I, op. cit, hal. 68.
33
1.5.2. Konsep Kecakapan.
Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum,
yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum
pada umumnya. Perhatikan kata “persoon pada umumnya” dan “tindakan hukum
pada umumnya”.34Sehingga kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan
hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur dalam
melakukan tindakan hukumnya.
Dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang yang ditentukan
dalam Pasal 330, yang menentukan bahwa :
Orang dewasa adalah mereka-mereka yang :
a. telah mencapai umur 21 tahun atau lebih;
b. mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun.35
Menurut ketentuan di atas dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan
dengan kecakapan bertindak dalam hukum, menunjukkan bahwa konsepsi dewasa
menurut KUHPerdata atau paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orangorang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau
lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut,
adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari konsekuensi yuridis dari
perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum.
34
35
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 4.
Herlien Budiono, 2009, op. cit, hal. 101.
34
1.5.3. Konsep Akta Notaris
Akta menurut A. Pilto merupakan surat yang ditandatanggani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan
siapa surat itu dibuat.36 Sementara itu, menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah
surat yang diberi tandatanggan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi
dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian.37
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUJN, menentukan bahwa : “Notaris adalah
pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan
lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Produk hukum
notaris adalah antara lain berupa akta-akta yang memiliki sifat otentik dan
memiliki kekuatan pembuktian sempurna.Suatu akta otentik berdasarkan
ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata adalah tulisan-tulisan otentik berupa akta
otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang,
dibuat dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di
tempat dimana akta tersebut dibuat. Akta notaris/notariil sebagai suatu akta
otentik terdiri dari ada 2 (dua) jenis akta, yaitu akta pejabat (ambtelijke acte) dan
akta yang memuat pihak-pihak atau yang disebut sebagai akta para pihak (partij
acte).38 Maka berdasarkan deskripsi di atas, suatu akta notaris/akta notariil adalah
suatu akta otentik yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris menurut bentuk
36
Sjaifurrachman, op. cit, hal. 99.
Sjaifurrachman, op. cit, hal. 99.
38
Sjaifurrachman, op. cit,hal. 109.
37
35
dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, yang merupakan alat bukti tertulis
dengan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti sempurna.
1.6. Metode Penelitian
1.6.1. Jenis penelitian.
Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitan hukum normatif. Penelitian
ini beranjak dari adanya konflik norma pada Pasal 39 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris dengan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 330 Jo
1330 KUHPerdata mengenai syarat kecakapan bertindak seseorang melakukan
suatu perbuatan hukum tertentu (perjanjian peralihan hak milik atas tanah).
Konflik norma dalam pengaturan mengenai syarat batasan umur kecakapan
bertindak sebagai syarat sahnya akta perjanjian pengikatan jual beli tanah terjadi
akibat tidak adanya keseragaman pengaturan mengenai batasan umur agar dapat
dikatakan cakap bertindak.
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian difokuskan terhadap bahanbahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier yang
ada. Dalam rangka menjawab masalah pengaturan kecakapan batasan umur para
pihak dalam pembuatan akta notaris yang berkaitan dengan perjanjian pengikatan
jual beli tanah dan konsekuensi yuriridis terhadap kecakapan bertindak para
pihaknya yang mengacu kepada UUJN.
36
1.6.2. Jenis pendekatan.
Jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam pembahasan terhadap
permasalahan dalam tesis ini, yaitu:
a. Pendekatan perundang-undang (statute approach).
Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah undangundang maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan
kecakapan bertindak bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum
perjanjian tertentu (perjanjian tentang peralihan hak milik atas tanah).
Selanjutnya pendekatan undang-undang ini digunakan untuk mendapatkan
ketentuan-ketentuan hukum yang melandasi kecakapan bertindak para pihak
dalam konteks perjanjian pengikatan jual beli tanah.
b. Pendekatan konseptual (conseptual approach).
Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsep-konsep yang
terkandung dalam pengaturan tentangsyarat kecakapan bertindak bagi para
pihak yang melakukan perbuatan hukum perjanjian dengan mendasarkan
pada konsep batasan umur. Selain itu, pendekatan ini digunakan untuk
mengkaji konsep kecakapan bertindak seseorang sebagai para pihak/
komparan dalam akta notaris yang melakukan perbuatan hukum peralihan
hak milik atas tanah dalam kaitannya kecakapan bertindak dalam
KUHPerdata dan/atau UUPA.
c. Pendekatan sejarah (historical approach).
37
Pendekatan sejarah ini digunakan untukmengkaji perkembangan (sejarah)
pengaturan tentang syarat kecakapan dengan menggunakan batasan umur
sebagai syarat cakap bertindak di dalam hukum pada umumnya dan bagi
para pihak dalam perbuatan hukum perjanjian khususnya perjanjian
pengikatan jual beli tanah dalam suatu akta notaris/notariil. Tujuannya
adalah untuk memahami filosofi dari pengaturan syarat kecakapan bertindak
bagi pihak-pihak yang akan melakukan perbuatan hukum perjanjian
sekaligus dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofis yang
melandasi peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan pendekatan ini
diharapkan bahwa undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap
kebutuhan sosial untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis.39
1.6.3. Sumber bahan hukum
Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber bahan
datanya adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, baik bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier.
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan
asas dan kaidah hukum ini dapat berupa: peraturan dasar maupun peraturan
perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain :
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);
39
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty,
Yogyakarta, 2002, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal.158.
38
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Nomor : 3019);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2002 Nomor 109,
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4235);
- Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara
Nomor : 4279);
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177,
Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432);
- Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63,
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4634);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
39
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lebaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491);
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 59 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696);
- Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1998 Nomor
52 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385);
- Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13
Juli 1977.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa
buku-buku, majalah-majalah hukum, makalah-makalah hukum. Yang pada
umumnya merupakan bahan pustaka yang paling umum dibidang Hukum
Pertanahan yang relevan dengan permasalahan yang berkaitan dengan syarat
kecakapan bertindak bagi pihak-pihak yang akan melakukan perbuatan hukum
perjanjian.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier yang dimaksud dalam penulisan tesis ini yaitu
bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier yang
digunakan dalam penelitian ini berupa kamus hukum, ensiklopedi, dan bahan-
40
bahan penunjang kelengkapan bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang
relevan dengan permasalahannya.
1.6.4. Teknik pengumpulan bahan hukum.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui teknik studi dokumen. Bahan
hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi serta diklasifikasikan
dengan melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan
dan kebutuhan penelitian.
1.6.5. Teknik analisis bahan hukum.
Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif,
analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa
penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan
dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh.
Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan
dengan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan
yakni interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang
selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan
permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara
sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu
dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas
interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, AKTA OTENTIK, AKTA
NOTARIS DAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI
2.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
2.1.1. Pengertian Perjanjian
Perjanjian secara umum diatur dalam buku III KUHPerdata tentang
Perikatan. Dalam KUHPerdata buku III perjanjian bersifat terbuka dalam arti
perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam buku III asal
tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pengertian
perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dalam rumusan tersebut
digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian, pada dasarnya mempunyai
maksud yang sama, yaitu terciptanya kata sepakat dari kedua belah pihak.
Para ahli hukum perdata, pada umumnya berpendapat bahwa definisi
perjanjian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak lengkap,
dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena rumusan itu hanya mengenai
perjanjian sepihak saja, dimana yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya
salah satu pihak saja. Padahal yang seringkali dijumpai adalah perjanjian dimana
kedua belah pihak saling mengikatkan diri satu sama lain, sehingga mempunyai
hak dan kewajiban yang bertimbal balik.40 Hal demikian dikatakan oleh R.
Setiawan yang mengakatan bahwa : definisi tersebut kurang lengkap, karena
hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan
40
Mariam Darus Badrulzaman, et. al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65.
41
42
dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan
perbuatan melawan hukum. Kemudian diberikan definisi sebagai berikut :
1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang
bertujuan untuk menimbulkan konsekuensi yuridis;
2) Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal
1313 KUHPerdata.
3) Sehingga perumusannya menjadi “Perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”41
Sehingga perjanjian merupakan bagian dari perikatan, maka perjanjian
merupakan sumber dari perikatan dan perikatan itu mempunyai cakupan yang
lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam buku
III KUHPerdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari
perjanjian dan undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah sama
artinya dengan kontrak. Selanjutnya definisi berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata
tersebut sebenarnya tidak lengkap, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan
juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga
perbuatan melawan hukum.42
Pendapat yang senada juga diungkapkan R. Wirjono Prodjodikoro, yang
mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda
antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut
41
R. Setiawan, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung,
hal. 49.
42
R. Setiawan, loc. cit.
43
pelaksanaan janji itu.43 Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi
Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal
dalam lapangan harta kekayaan.44 Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam
pengertian perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :45
a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang;
b. Adanya persetujuan para pihak;
c. Adanya tujuan yang akan dicapai;
d. Adanya prestasi yang akan dicapai.
Menurut Yahya Harahap, perjanjian ialah suatu hubungan hukum dalam
lapangan harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang
memberikan kenikmatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan
sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan suatu prestasi.46
Sedangkan R. Subekti, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu
dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji
atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.47 J. Satrio juga
mengatakan bahwa perjanjian yaitu peristiwa yang menimbulkan dan berisi
43
R. Wiryono Projodikoro, 1993, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur,
Bandung, hal. 9.
44
Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal. 225.
45
Ibid.
46
Yahya Harahap, 1992, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Djambatan, Jakarta,
hal. 82.
47
R. Subekti I, op. cit, hal.1.
44
ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban atara dua pihak. Atau dengan perkataan
lain, bahwa perjajian berisi perikatan.48 Dan menurut Sudikno Mertokusumo,
perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan konsekuensi yuridis. 49
Dari semua pengertian perjanjian di atas maka perjanjian merupakan
hubungan hukum atau perbuatan hukum yang lahir dari kesepakatan untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan menimbulkan konsekuensi yuridis.
Sehingga sekalipun para ahli hukum seperti di atas memberikan rumusan
mengenai perjanjian dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, atau dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam setiap perjanjian
adalah :
a. Ada pihak-pihak
Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana
sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai
wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh
undang-undang.
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu
perundingan.
c. Ada tujuan yang akan dicapai.
Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang.
48
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5.
49
Sudikno Mertokusumo I, op. cit, hal. 141.
45
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan.
Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian.
e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan.
Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis.
Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya
dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat
dan bukti yang kuat.
f. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek
perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap.
2.1.2. Syarat sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang
ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi
konsekuensi yuridis (legally concluded contract).50 Pasal 1320 KUHPerdata
merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat
para pihak. Dalam pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat yang harus
dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :51
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ( de toestemming van degenen
die zich verbiden );
b. Kecakapan untuk membuat perjanjian (de bekwaanheid om ene
verbintenis aan te gaan);
50
Abdul Kadir Muhammad, op. cit, hal. 228.
Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas
dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, hal. 157.
51
46
c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp);
d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak).
R. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut,
yaitu: ayat (1) mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri
adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian
yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan
(dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Kemudian
ayat (2)
mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut
hukum untuk bertindak sendiri. Ada beberapa golongan orang oleh undangundang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan
hukum. Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan
(curatele). Jika ayat (1) dan (2) tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan
dapat dibatalkan. Selanjutnya dijelaskan bahwa, ayat (3) mengenai hal tertentu
maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau
suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dan
tentang ayat (4), dijelaskan bahwa : undang-undang menghendaki untuk sahnya
perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa
berarti sebab, tetapi menurut riw ayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu
adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan
47
perjanjian itu. Jika ayat (3) dan ayat (4) tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal
demi hukum.52
2.1.3 Unsur-unsur Perjanjian
Jika suatu perjanjian diamati dan uraikan unsur-unsur yang ada di
dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai
berikut :
a. Unsur esensialia
Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur
pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian
dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai konsekuensi yuridis.
Unsur esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu
perjanjian, jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap
pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.53 Kata sepakat merupakan
unsur esensialia yang harus ada. Demikian juga, misalnya perjanjian jual
beli suatu benda tanpa menyebutkan harganya bukanlah suatu jual beli.
Harga jual beli dan kebendaan tertentu merupakan esensialia dari jual
beli.54
52
R. Subekti, 1987, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,
(selanjutnya disebut R. Subekti II), hal 135-137.
53
Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi
Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak,
Udayana University Press, Denpasar, hal. 35.
54
Herlien Budiono,2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono
II), hal. 366.
48
b. Unsur naturalia
unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan
berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.55
Unsur perjanjian yang oleh Undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak
dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang
diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend
recht). Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan
(Pasal 1476) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491) dapat disimpangi
atas kesepakatan kedua belah pihak.56
c. Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu
perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur
aksidential mengikat para pihak.57 Unsur accidentalia merupakan unsur
perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-undang sendiri
tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli,
benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.58
2.2. Tinjauan Umum Tentang Akta
2.2.1. Pengertian akta
Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu akte. Dalam mengartikan akta
ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan
pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana
55
Ibid.
J. Satrio, op. cit, hal. 67.
57
Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op. cit, hal. 36.
58
J. Satrio, op. cit, hal. 67-68.
56
49
yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain
Pitlomengartikan akta sebagai : surat yang ditandatangani, diperbuat untuk
dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa
surat itu dibuat.59
Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa, akta adalah surat sebagai alat
bukti yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu
hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda tangani.
Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang
satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain.
60
Selanjutnya
menurut pendapat Fokema Andrea dalam bukunya Kamus Istilah Hukum
Belanda-Indonesia, akte adalah :61
a. Dalam arti terluas, akte adalah perbuatan, perbuatan hukum (Recht
handelling);
b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan
hukum; tulisan ditujukan kepada pembuktian sesuatu; dapat dibedakan
antara : surat otentik (autentieke) dan di bawah tangan (onderhandse),
surat lain bisaa dan sebagainya.
59
Pitlo,1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta, hal. 52.
Sudikno Mertokusumo I, op. cit, hal 142.
61
Mr. N.E. Algra et. al, 1983, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung,
hal 25.
60
50
Sedangkan menurut pendapat Marjanne ter Mar shui zen, istilah akte
(Bahasa Belanda) disamakan dengan istilah dalam Bahasa Indonesia, yaitu:62
a. Akta;
b. Akte;
c. Surat.
Demikian juga dengan R. Subekti dan Tjitrosudibio, dengan mengatakan bahwa :
kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa
latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.63
Selain pengertian akta sebagai surat yang memang sengaja diperbuat
sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang
dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Hal tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 108 KUHPerdata yang menentukan : seorang
istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal
itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau
memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun
atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari
suaminya. Dalam kaitannya dengan itu, R. Subekti menyatakan bahwa : kata
“akta” pada Pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan
melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang
artinya adalah perbuatan.64 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian
62
Marjanne ter Mar shui zen, 1999, Kamus Hukum Belanda –
Indonesia,Djambatan, Jakarta, hal. 19.
63
R. Subekti dan Tirtosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta, hal. 9.
64
R. SubektiII, op. cit,hal. 29.
51
mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang
memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti.
Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu akta otentik dan
akta dibawah tangan. Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan akta
otentik adalah : surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi
dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal
dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau
terjadi sengketa, sebab ada surat dengan tidak dengan sengaja dibuat sejak awal
sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya.
Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan. 65
Secara dogmatis (menurut hukum positif) apa yang dimaksud dengan akta
otentik terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata jo Pasal 165 HIR, 285 Rbg) :
Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang
(welke in de wettlijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum (door of ten overstaan van openbare ambtenaren) yang berkuasa
untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat dimana akta dibuatnya.66 Pasal 285
R.bg/165 HIR menyatakan bahwa :
Akta Otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat
surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli
warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya, tentang
segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga yang tercantum dalam
surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yaang tersebut kemudian itu
65
66
Sudikno Mertokusumo I,op. cit, hal. 145.
Sudikno Mertokusumo I,loc. cit.
52
hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang
disebutkan dalam akta tersebut.67
Berdasarkan deskrisi di atas, maka akta otentik adalah akta yang dibuat oleh
pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya
oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan
seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat di
hadapannya.68 Kemudian dalam Pasal 165 HIR ditentukan bahwa :
Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak
dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang
apa yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum di
dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini
hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok
dari pada akta.
Menurut Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono Pasal 165 HIR yang
berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung unsur-unsur:
a. Tulisan yang memuat;
b. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak atau
perikatan;
c. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan;
d. Dengan maksud untuk menjadi bukti.69
67
K. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Cet ke-4, Ghalia
Indonesia, Jakarta, hal. 71.
68
Husni Thamrin, op. cit, hal. 11.
69
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, 2008, Membaca dan
Mengerti HIR, Semarang, Badan Penerbit, Universitas Diponegoro, hal. 153.
53
Adapun yang dimaksud Akta otentik yang termuat dalam Pasal 1808
KUHPerdata, yaitu :70
- Dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang.
- Dibuat oleh Pejabat Umum.
- Pejabat umum tersebut berwenang dimana akta itu dibuat.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian
sempurna dengan sendirinya dan apabila dibantah keasliannya maka pihak yang
membantah harus membuktikan kepalsuannya.71 Otentik tidaknya suatu akta tidak
cukup jika akta tersebut dibuat oleh pejabat, tetapi cara membuatnya juga harus
memenuhi kententuan yang ditetapkan undang-undang. Jadi akta otentik itu
bentuknya ditentukan oleh undang-undang bukan oleh peraturan yang lebih
rendah dari undang-undang. Kecuali itu yang namanya akta otentik itu dibuat oleh
atau dihadapan openbare ambtenaren atau “pegawai-pegawai umum”. Untuk
tidak menimbulkan kerancuan dengan pegawai negari kata openbaar ambtenaar,
diterjemahkan dengan pegawai-pegawai umum selanjutnya diterjemahkan dengan
pejabat umum oleh karena pejabat umum bukanlah pegawai negeri yang tunduk
pada peraturan kepegawaian.
Menurut Kohar, akta otentik adalah : akta yang mempunyai kepastian
tanggal dan kepastian orangnya, sedangkan Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan
bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh
Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang
70
71
R.Subekti, R.Tjitrosudibio, op.cit, hal. 59.
R.Subekti, R.Tjitrosudibio, op.cit,hal. 155.
54
berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.72 Kemudian menurut M. Nur
Rasaid dengan megatakan bahwa : akta otentik surat yang dibuat oleh atau
dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin
surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti.
73
demikian juga dengan menurut Wirjono Prodjodikoro, dengan mengatakan bahwa
akta yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti oleh atau di muka
seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu. 74
Selanjutnya untuk akta otentik berdasarkan pihak yang membuatnya dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu :75
a) Akta para pihak (partij akte).
Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan
(berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli
selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut
dalam suatu akta;
Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihakpihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang
yang menerima hak dari mereka itu. Ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata
dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian
terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah :
72
73
Kohar A, 1984, Notariat Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 86
M. Nur Rasaid, 1995, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
38.
74
Sjaifurrachman, op. cit, hal 110, dikutip dari R. Wirjono Prodjodikoro,
Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bnadung, Bandung, hal. 108.
75
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Op. cit, Hal. 154-155.
55
1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan;
2) Berisi keterangan pihak pihak.
b) Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte)
Akta pejabat (ambtelijke akte atau relaas akte) adalah akta yang memuat
keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya
memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang
membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian
terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi ambtelijke akte atau
relaas akte merupakan :
1) Inisiatif ada pada pejabat;
2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta.
2.2.2. Syarat sahnya akta otentik
Suatu akta otentik agar dapat dikatakan telah memenuhi syarat otentisitas
bilamana dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang
menentukan bahwa : “Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang
berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”. Berdasarkan pada ketentuan
tersebut, maka terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan
sebagai akta otentik yaitu :
1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang
pejabat umum.
Undang-undang memberikan sifat otensititas kepada akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat umum. Akta otentik dibagi menjadi 2 (dua)
56
yaitu pertama akta yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke akte,
procesverbaal akte) merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi
wewenang untuk itu di mana pejabat tersebut menerangkan apa yang
dilihat dan dilakukan.
Kedua akta yang dibuat oleh para pihak di
hadapan pejabat (partij akte) merupakan akta yang di buat di hadapan
pejabat
yang
diberikan
wewenang
untuk
itu,
dimana
pejabat
menerangkan tentang apa yang dilihat dan dilakukannya. 76
Pejabat yang berwenang membuat akta otentik yang dimaksud antara lain
ialah Presiden, Menteri, Notaris/PPAT, Gubernur, Bupati, panitera
pengadilan, jurusita, kantor catatan sipil (yang disetujui oleh walikota),
hakim dan sebagainya.77
2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang
(wet).
Otentik tidaknya suatu akta tidak cukup jika akta tersebut dibuat oleh
pejabat, tetapi cara membuatnya juga harus memenuhi ketentuan yang
ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang,
maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut
ditandatangani oleh para penghadap.78
76
Husni Thamrin, op. cit,hal. 16.
Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka
Cipta, Jakarta, hal. 100.
78
Husni Thamrin, op. cit, hal. 12.
77
57
3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya menyangkut : (1)
jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan tanggal pembuatan
akta; dan (3) tempat akta dibuat.
2.2.3. Fungsi akta otentik
a. Formalitas causa
Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa
untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan
hukum haruslah dibuat suatu akta. dalam fungsinya seperti itu, akta merupakan
syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum dimaksud. Misalnya suatu
perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil,
antara lain : perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1610 KUHPerdata
tentang perjanjian pemborongan, perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal
1767 KUHPerdata tentang perjanjian utang piutang dengan bunga dan perbuatan
hukum yang dimaksud dalam Pasal 1851 KUHPerdata tentang perdamaian, yang
untuk itu semuanya itu diisyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan
yang diisyaratkan dengan akta otentik antara lain ialah Pasal 1945 KUHPerdata
tentang melakukan sumpah oleh orang lain.79
b.
Probabilitas causa
Pada Kekuatan pembuktian lahir dari akta otentik berlaku asas acta publica
probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai
79
Sjarifurrachman, op. cit, hal. 114.
58
akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu
berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal
ini berarti bahwa tandatangan pejabat dianggap sebagai aslinnya sampai ada
pembuktian sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang
mempersoalkan tentang otentiknya akta tersebut. Kekuatan pembuktian lahir ini
berlaku bagi kepentingan atau keuntungan dan terhadap setiap orang dan tidak
terbatas pada para pihak saja, dan sebagai alat bukti maka akta atentik baik akta
pejabat maupun akta para pihak keistimewaannya terletak pada kekuatan
pembuktian lahir.
c.
Alat Bukti
Tentang fungsi atau kedudukan akta otentik adalah sebagai alat bukti yang
sempurna, diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menentukan : “Suatu akta
untuk memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang
yang mendapat hak ini dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang
dimuat di dalamnya”. Sebagai alat bukti, suatu akta otentik memang sejak semula
dengan sengaja dibuat untuk dijadikan alat pembuktian dikemudian hari, sifat
tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya
perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian
hari.80
Mengenai fungsi akta otentik, Kohar mengatakan bahwa : akta otentik
berfungsi bagi para pihak sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna, namun masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan.
80
Sjarifurrachman, op. cit, hal. 114.
59
Terhadap pihak ketiga, akta otentik mempunyai kekuatan bukti bebas artinya
penilaiannya diserahkan kepada hakim”.81
Akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna mempunyai tiga macam
kekuatan pembuktian yaitu :82
a) Kekuatan pembuktian luar atau kekuatan pembuatan lahir (uit wedige
bewijs kracht).
b) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht).
c) Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht).
2.3. Tinjauan Umum Akta Notaris
2.3.1. Pengertian akta notaris
Dalam UUJN Pasal 1 ayat (1) yang menentukan notaris adalah pejabat
umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya.
Adapun kewenangan lain yang dimaksud adalah wewenang sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 ayat (1) yang menentukan notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain.
81
Muhammad, 1984, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, hal.
10.
82
Soegondo Notodisoerdjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu
Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 55.
60
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dijelaskan bahwa seorang notaris
merupakan pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akat otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipanya, semua sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.83 Dengan demikian maka notaris
adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundangundangan dalam hal ini adalah UUJN untuk membuat akta otentik tentang setiap
perbuatan-perbuatan hukum maupun peristiwa-peristiwa hukum, baik yang
dikehendaki oleh para pihak maupun yang diwajibkan oleh ketentuan hukum,
tentang hal tersebut harus dibuatkan dalam suatu akta otentik. Dengan kata lain
akta otentik merupakan produk hukum dari pejabat umum yang bernama notaris
Itulah sebabnya apabila didalam suatu perundang-undangan untuk suatu perbuatan
hukum diharuskan dibuat dalam suatu akta otentik, terkecuali oleh undang-undang
dinyatakan secara tegas, bahwa selain Notaris juga pejabat umum lainnya turut
berwenang atau sebagai satu-satunya berwenang untuk itu.84
Kemudian tentang akta otentik itu sendiri, dalam UUJN diatur dalam Pasal
1 ayat (7) yang menentukan bahwa : “Akta Notaris adalah akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
83
G.H.S.Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
Jakarta, hal 40.
84
Ibid, hal. 45.
61
dalam Undang-Undang ini”. Menurut Sjaifurachman berpendapat bahwa akta
notaris yaitu akta yang pembuatannya dari awal dimulai dari tindakan menghadap
sampai pada akhir atau penandatanganan akta itu semuanya tunduk pada aturanaturan hukum dalam hal ini tunduk pada UUJN.85 Demikian juga dengan Habib
Ajie dengan mengatakan bahwa yang disebut akta notaris karena akta tersebut
sebagai akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh notaris yang memenuhi
syarat yang ditentukan dalam UUJN. Selanjutnya dikatakan pula bahwa : akta
notaris sudah pasti akta otentik, tetapi akta otentik bisa juga akta notaris, akta
PPAT, risalah lelang Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.86 Sehingga suatu akta
yang dibuat di hadapan dan/atau oleh notaris agar berkedudukan sebagai akta
otentik apabila dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta
otentik, yaitu :87
1. Dibuat dalam bentukyang ditentukan oloeh undang-undang.
2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum.
2.3.2. Syarat sahnya akta notaris sebagai akta otentik.
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris,
yaitu membuat akta otentik secara umum, dengan batasan sepanjang :88
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undangundang.
85
Sjaifurrachman, op. cit, hal. 106.
Habib Ajie, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Refika
Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Ajie I), hal. 8.
87
Philipus M. Hadjon, 2001, Formulis Pendaftaran Tanah Bukan Akta
Otentik, Surabaya Post, hal. 3.
88
Habib Ajie I, loc. cit.
86
62
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
diharuskan oleh aturan hukum atau yang dikehendaki oleh yang
bersangkutan.
3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan
siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai
dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris.
5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin
kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta.
Untuk syarat sahnya suatu akta notaris agar dapat berlaku sebagai akta
otentik, senantiasa berpedoman pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang
merupakan sumber keotentikan akta notaris serta merupakan sumber dasar
legalitas eksistensi akta notaris. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai
berikut :
a. Akta itu dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat
Umum.
Dalam pasal 1 angka 7 UUJN menetukan akta notaris adalah akta otentik
yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang
ditetapkan dalam UUJN. Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktik
notaris disebut akta relaas atau Akta Berita Acara yang berisi uraian notaris
yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar
tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam
63
bentuk akta notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris,
dalam praktik notaris disebut akta pihak atau akta partij, yang berisi uraian
atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan
di hadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya
dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.89
Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi
dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada
keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika
keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan
membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan
para pihak, notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada
aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan
dalam akta notaris, meskipun demikian hal tersebut tetap merupakan
keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris
atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan
notaris.90
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah
bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan undangundang. Ketentuan dalam Pasal 38 UUJN merupakan syarat-syarat yang
89
G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 51-52.
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Ajie II)hal.
58.
90
64
harus dipenuhi sebagai akta notaris, dimana Pasal 38 UUJN menentukan
bahwa :
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas :
a. Awal akta atau kepala akta;
b. Badan akta; dan
c. Akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat :
a. Judul akta;
b. Nomor akta;
c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan
d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris.
(3) Badan akta memuat :
a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan,
pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap
dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak
yang berkepentingan; dan
d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan,
jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi
pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat :
a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam
pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan
atau penerjemahan akta apabila ada;
c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam
pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang
dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian.
(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat
Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat
nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang
mengangkatnya.
Selain syarat yang ditentukan oleh Pasal 38 UUJN terdapat syarat
penghadap untuk membuat akta notaris yang di tetapkan berdasarkan Pasal
39 UUJN yang menentukan bahwa :
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
65
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling
sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap
melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua)
penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan
secara tegas dalam akta.
c. Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai
wewenang untuk membuat akta tersebut.
Wewenang notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik
meliputi 4 hal, yaitu :91
1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus
dibuat itu;
2. Notaris
harus
berwenang
sepanjang
mengenai
orang
untuk
kepentingan siapa akta itu dibuat;
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu
dibuat;
4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta
itu.
2.3.3. Jenis-jenis akta notaris
Berdasarkan keabsahan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :
91
Habib Adjie I, op. cit, hal. 13.
66
1. Akta pihak (partij acte).
Yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris, artinya akta yang dibuat
berdasar keterangan atau perbuatan pihak yang menghadap notaris, dan
keterangan atau perbuatan itu agar dikonstatir oleh notaris untuk dibuatkan
akta. Akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh
pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan
mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan
kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta. Partij akte ini mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan
termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari
mereka itu. Pasal 1870 KUHPerdata dianggap berlaku bagi partij akte ini.
Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur.92
2. Akta relaas atau Akta Pejabat (ambtelijke acte).
Yaitu akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum yang memuat
uraian secara otentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat,
dialami, dan disaksikan oleh notaris sendiri yang memuat keterangan resmi
dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari
satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap
mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya Berita
Acara Rapat Umum Pemegang Saham .93
Perbedaan antara akta pihak (partij akte) dengan akta pejabat (ambtelijke
acte) adalah :
92
93
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, op.cit,hal. 154.
Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, op.cit,hal. 155.
67
a. Akta partij (partij acte) atau akta pihak
Undang‐undang mengharuskan adanya penandatanganan oleh para
pihak,
dengan
mempunyai
ancaman
kekuatan
kehilanggan
pembuktian
otensitasnya
sebagai
akta
atau
hanya
di
bawah
setidak‐setidaknya notaris mencantumkan keterangan alasan tidak
ditandatanganinya akta oleh salah satu pihak pada akhir akta, contoh
salah satu pihak tangan kanannya mengalami patah tulang akibat
kecelakaan, sehingga tidak dapat menandatangani akta tersebut atau
salah satu pihak tidak dapat menulis, sebagai ganti dari tandatangannya
maka menggunakan cap jempol atau tidak dapat menandatangani dan
alasan tersebut oleh notaris harus dicantumkan dalam aktanya dengan
jelas.
b. Akta pejabat (ambtelijke acte) perbedaannya adalah :
Tidaklah menjadi soal apakah orang‐orang yang hadir menandatangani
akta atau tidak, maka akta tersebut masih sah sebagai alat pembuktian,
misalnya karena para pemegang saham telah pulang sebelum akta
ditandatangani, notaris cukup hanya menerangkannya dalam akta.
Perbedaan di atas sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian
sebaliknya terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi akta pejabat
atau akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut
palsu, sedangkan pada akta partij atau akta pihak kebenaran, isi akta partij dapat
digugat tanpa menuduh kepalsuannya dengan menyatakan bahwa keterangan dari
pihak tidak benar. Sehingga tugas yang paling pokok dalam hal ini, notaris dapat
68
juga dikatakan sebagai salah satu penegak hukum, karena notaris berwenang
membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli
hukum berpendapat, bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai
alat bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan
penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi‐saksi yang dapat membuktikan,
bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya itu tidak benar.94
2.3.4. Kekuatan pembuktian akta Notaris
Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) yang melekat pada akta otentik
diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata jo pasal 285 RBG adalah : sempurna
(volledig bewijskracht), dan mengikat (bindende bewijskracht), sehingga akta
otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti
yang lain, dengan kata lain akta otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah
memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian. Namun yang perlu diperhatikan
dengan seksama adalah nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat tersebut
bukannya tidak dapat berubah status kekuatan dan pemenuhan syarat batas
minimalnya. Akta otentik dapat saja kekuatan pembuktian dan batas minimalnya
dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan (begin van bewijs bij geschrifte)
yaitu apabila terhadapnya diajukan bukti lawan (tegenbewijs) yang setara dan
menentukan. Jadi yang perlu dipahami disini adalah bahwa bukti akta otentik
tersebut adalah alat bukti yang sempurna dan mengikat namun tidak bersifat
menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Disinilah kedudukan yang
sebenarnya dari akta otentik dalam sistem hukum pembuktian.
94
Liliana, Tedjosaputro, 1991, Mal Praktek Notaris Dalam Hukum
Pidana,CV. Agung, Semarang, hal.4.
69
Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna
apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil,
dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN
sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat
dibuktikan ketidakbenarannya. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak
memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak
memenuhi syarat otentisitas suatu akta, maka akta otentik tidak lagi disebut
sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan.
Tentang kekuatan pembuktian dari akta notaris dapat dikatakan bahwa
tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu
sebagai berikut :
1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht).
Kemampuan lahirliah akta otentik merupakan kemampuan akta itu
sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik acta publica
probant sesse ipsa jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik
serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat
maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya
artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta otentik secara lahiriah.95
Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta
itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini
menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang
95
Sjaicfurrachman, op. cit,hal. 116.
70
dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah,
yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu
dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari
tandatangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum
dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.96
Oleh karena itu, nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta
tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah
tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang
menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka
yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah
bukan akta otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris
sebagai akta otentik bukan akta otentik maka penilaian pembuktiannya
harus didasarkan pada syarat-syarat akta sebagai akta otentik, pembuktian
semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan,
penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang
menjadi objek gugatan bukan akta notaris. 97
2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht).
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan
fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan
oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta
sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta.
96
97
Habib Ajie I, op. cit, hal 18.
Sjaifurrachman, op. cit, hal 116.
71
Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari,
tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang
menghadap, paraf dan tandatangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris,
serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada
akta pejabat/berita acara) dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para
pihak/penghadap (pada akta pihak).98
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus
dibuktikan
formalitas
dari
akta,
yaitu
harus
dapat
membuktikan
ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap,
membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan
ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris.
Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau
keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan
ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada
prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak
yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian
terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu
membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima
oleh siapapun.99
3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht).
Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
98
99
Habib Ajie I, op. cit, hal. 19.
Habib Ajie I, op. cit, hal. 19.
72
yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku umum,
kecuali ada pembuktian sebaliknya tegenbewijs keterangan atau pernyataan
yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara atau
keterangan atau para pihakyang diberikan/disampaikan dihadapan notaris
akta pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian
dituangkan/dimuat dalam akta yang berlaku sebagai benar atau setiap orang
yang datang menghadap notaris yang kemudian/keterangan dituangkan dan
akta harus dinilai telah benar berkata. 100
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang
tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak
yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk
umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau
pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara),
atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan notaris
dan
para
pihak
harus
dinilai
benar.
Perkataan
yang
kemudian
dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang
yang
datang
menghadap
notaris
yang
kemudian
keterangannya
dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian.
Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak
benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. notaris terlepas
dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai
100
Sjaifurrachman, op. cit, hal. 118.
73
kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara
para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika akan membuktikan aspek material dari akta, maka yang
bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa notaris tidak menerangkan
atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah
benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus
dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta
notaris.101
2.4. Tinjauan Umum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
2.4.1. Pengertian akta perjanjian pengikatan jual beli
Sebelum dipahami tentang pengertian akta PPJB, terlebih dahulu akan
dipaparkan tentang perjanjian pengikatan jual beli itu sendiri sebagai suatu
perjanjian obligatoir yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata adalah
perjanjian jual beli. Pengertian perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457
KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Jual beli adalah suatu persetujuan
dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu
kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”.
Berdasarkan
pengertian
di
atas,
persetujuan
jual
beli
sekaligus
membebankan dua kewajiban yaitu : 102
1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada
pembeli.
101
Habib Ajie I, op. cit, hal. 21.
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung,
hal. 181.
102
74
2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada
penjual.
Dalam hal perjanjian pengikatan jual beli, kewajiban penjual untuk
menyerahkan barang yang dijual demikian sebaliknya bagi pembeli membayar
harga barang yang dibeli, dimaksudkan adalah tanah hak milik yang jikalau di
atasnya terdapat bangunan yang telah didirikan, maka barang yang dimaksud
adalah tanah dan bangunan sebagai obyek perjanjian dimaksud.
Dalam hukum perdata Pasal 499 KUHPerdata menentukan bahwa :
“Kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasasi oleh hak
milik.” Benda sebagai obyek hukum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:103
1. Benda berwujud: benda yang dapat diraba dengan pancaindera (contoh:
tanah, rumah).
2. Benda yang tidak dapat diraba (contoh: hasil pikiran seseorang, hak
pengarang, hak tagihan/ piutang).
Macam-macam benda dalam Pasal 503, 504 dan Pasal 505 KUHPerdata
telah ditentukan pembagian benda. Benda dalam ketentuan tersebut dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Benda bertubuh dan tidak bertubuh;
2. Benda bergerak dan tidak bergerak.
Menurut Subekti dan Vollmar, dikenal empat macam benda, yaitu :104
1. Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan yang tidak dapat diganti
(contoh: seekor kuda);
103
104
R. Subekti II, op. cit, hal. 64.
R. Subekti II, loc. cit.
75
2. Benda yang dapat diperdagangkan (praktis semua barang dapat
diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar
perdagangan (contoh: jalan, lapangan umum);
3. Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat
dibagi (contoh: kerbau);
4. Benda bergerak dan benda tidak bergerak.
Dari keempat macam pembagian benda tersebut, yang paling penting adalah
pembagian benda dalam benda yang bergerak dan benda yang tidak bergerak. Ada
dua hal penting dari pembagian benda tersebut, yaitu :
1. Penting untuk penyerahan, penyerahan benda tidak bergerak biasanya
diperlukan pendaftaran, seperti tanah harus didaftarkan di Kantor BPN
tingkat Kabupaten/Kota. Penyerahan untuk benda bergerak biasanya
dilakukan dengan penyerahan nyata;
2. Penting untuk pembebanan atau jaminan.
Suatu perjanjian pengikatan jual beli sesungguhnya tidak ada perbedaan
dengan perjanjian pada umumnya, karena merupakan perjanjian yang lahir akibat
adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memberikan kebebasan
yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang
berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan
perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Dikatakan demikian
karena, perjanjian pengikatan jual beli adalah merupakan perjanjian yang lahir
dengan mengikuti asas-asas hukum perjanjian pada umumnya.
76
Perjanjian pengikatan jual beli lahir berdasarkan pasa asas konsensualime.
Konsensualisme berasal dari perkataan sepakat. Consensus dalam Black S Law
Dictionary diartikan sebagai “a general agreement; collective opinion”105
(Terjemahan bebas : perjanjian umum berdasarkan opini bersama). Menurut
Subekti, sepakat adalah suatu persetujuan paham dan kehendak antara kedua belah
pihak tersebut, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh
pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tapi secara timbal balik kedua
kehendak itu bertemu satu sama lain.106
Berdasarkan asas tersebut, perjanjian pengikatan jual beli lahir dan terjadi
pada detik tercapai sepakat di antara para pihak. Artinya, bahwa suatu perjanjian
lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai
dengan syarat sahnya suatu perjanjian. Sesuai dengan asas konsensualisme yang
menjiwai hukum perjanjian perdata, perjanjian jual beli itu dilahirkan pada detik
tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju
tentang harga barang-barang maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat
konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa : “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak
seketika mereka mecapai sepakat tentang harga barang-barang, maksud meskipun
barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.
Perjanjian pengikatan jual beli lahir berdasarkan pasa asas kebebasan
berkontrak. Berdasarkan asas tersebut para pihak dalam perjanjian bebas dalam
105
Henry Campbell Black, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing,
United State of America, hal. 345.
106
R. Subekti, 1982, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, (selanjutnya
disebut R. Subekti III), hal. 17.
77
menentukan hak dan kewajibannya. Artinya perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat
(1) KUHPerdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang.
Dengan deskripsi di atas, maka suatu perjanjian pengikatan jual beli adalah
perjanjian obligatoir yang lahir berdasar pada asas konsensualisme yang
mengandung konsekuensi bahwa dalam perjanjian pengikatan jual beli masingmasing pihak, yakni antara penjual dengan pembeli secara bebas dan berdasarkan
pada kesepakatannya dapat memperjanjikan hal-hal yang belum dapat
dipenuhinya guna dibuatnya suatu akta jualbeli balik nama sebagai alat
pendaftaran peralihan hak milik atas tanahnya berdasarkan pada Pasal 37
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal
tersebut sejalan dengan yang dikatakan R. Subekti, bahwa perjanjian pengikatan
jualbeli mrupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi
untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam
proses, belum terjadinya pelunasan harga.107 Demikian juga dengan Herlien
Budiono dengan mengatakan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah
perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang
bentuknya bebas.108
Di dalam praktek, perjanjian pengikatan jual beli dibuat dan dituangkan
dalam bentuk akta otentik yang dibuat notaris sehigga lazimnya disebut dengan
107
108
R. Subekti I, op.cit, hal.75.
Herlien Budiono I, op. cit, hal. 270.
78
akta PPJB. Dengan mengacu pada paparan sub bab di atas perihal akta notaris,
maka suatu akta PPJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh notaris tentang
perjanjian antara duabelah pihak, yaitu pemilik tanah selaku penjual dengan
pembeli yang telah sepakat tentang barang/benda berupa sebidang tanah (berikut
bangunan yang telah didirikan di atasnya) dan harga dari tanah dan bangunan
tersebut. Di dalamnya dapat pula tekandung janji-janji yang belum dapat dipenuhi
baik dari masing-masing pihak ataupun dari salah satu pihak dalam rangka
dibuatnya suatu akta jual-beli yang dapat digunakan sebagai alat peralihan hak
milikatas tanahnya dapa yang berwenang di Kantor Pertanahan kota/kabupaten di
mana letak tanah dan bangunan tersebut berada.
Sehingga suatu akta PPJB
essensinya adalah akta perjanjian pendahuluan yang di dalamnya mengandung
janji-janji yang harus dipenuhi guna dilangsungkan atau dilakukannya perjanjian
pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak untuk terjadinya jual beli itu
sendiri.
2.4.2. Fungsi AktaPerjanjian Pengikatan Jual Beli
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa perjanjian pengikatan jual beli
merupakan perjanjian pendahuluan, maka akta PPJB itu sendiri berfungsi sebagai
perjanjian awal yang mendahului dibuat dan selenggarakannya akta jual beli balik
nama, sehingga keberadaannya sebagai perjanjian bantuan berfungsi dan
mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur,
mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.109 Hal tersebut
109
Herlien Budiono, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak”Majalah
Renvoi, edisi tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, (selanjutnya disebut Herlien
Budiono III), hal 57.
79
menunjukkan bahwa akta PPJB berkedudukan sebagai dasar dibuatnya akta jual
beli balik nama yang dalam ranah sistem pendafran tanah di Indonesia berfungsi
dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli sebagai
penerima hak, sejalan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun
1997 menentukan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang,
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dari ketentuan tersebut, maka salah satu perbuatan hukum yang menyebabkan
terjadinya peralihan hak atas tanah dan harus didaftarkan balik namanya adalah
perbuatan hukum jual beli yang aktanya dibuat dalam bentuk akta jual beli yang
dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT yang lazimnya disebut dengan akta jual beli
balik nama dan selanjutnya digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas
tanah.
Dalam prakteknya akta jual beli balik nama seperti tersebut dibuat dengan
berdasar pada akta PPJB dengan diikuti suatu akta kuasa menjual, sehingga suatu
akta PPJB dan kuasa menjual pada dasarnya merupakan alat bukti otentik
terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian tentang harga dan barang/benda
(tanah dan/atau bangunan) sebagai obyek perjanjian jual-beli. Sebab dengan
sepakatnya para pihak tentang obyek perjanjian serta telah dibayar lunas harga
tanah dan/atau bangunan oleh pembeli dan diterima oleh penjual sebaliknya
penjual menyerahkan tanah dan/atau bangunannya kepada dan telah diterima oleh
pembeli, maka unsur-unsur jual-beli telah terpenuhi dan oleh notaris cukup
80
dijadikan alasan dibuatnya akta PPJB dan kuasa menjual. Dalam sebuah akta
PPJB dimana terhadap harga tanah berikut bangunannya telah dibayar lunas
(terjadi pelunasan) oleh pembeli kepada penjual/pemilik tanah, yang secara
yuridis berarti akta tersebut telah memenuhi syarat sebagai dasar peralihan hak
atas tanahnya, harus diikuti dengan akta kuasa menjual. Sebab dengan kuasa
menjual dari pemilik tanah selaku penjual kepada pembeli, segala kepentingan
hukumnya dapat dilaksanakan. Artinya dengan kuasa menjual pembeli
dikemudian hari dapat menjual kepada pihak lain dengan tanpa memerlukan
bantuan hukum penjual atau dalam hal ini digunakan untuk menjual kepada
dirinya pembeli sendiri guna kepentingan peralihan hak atas tanah dan bangunan
tersebut.
Dalam suatu akta kuasa menjual, seorang penerima kuasa dapat
menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kuasa, ia tidak boleh
bertindak melampaui batas yang diberikan kepadanya oleh pemberi kuasa. Oleh
karena tindakan dan pemegang kuasa itu sebenarnya mewakili, demikian untuk
dan atas nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa dapat dalam arti kata berhak
untuk menggugat secara langsung dan menuntut orang ketiga, dengan siapa
pemegang kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, agar perjanjian yang
bersangkutan dipenuhinya.
2.4.3. Isi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian
pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang
81
disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam
perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual
belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun
pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual
beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dengan akta jual beli balik
nama yang dibuat oleh dan/atau di hadapan PPAT seperti janji untuk melakukan
pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak
pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai
syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan PPAT.
Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga
dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi
apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan
akta jual beli di hadapan PPAT, baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada
halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku
setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di PPAT telah
terpenuhi.
2.4.4. Bentuk Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli
Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas
dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli
tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari
Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang
berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.110
110
Ibid, hal. 57.
BAB III
PEMBUATAN AKTA PPJB TANAH DAN SYARAT KECAKAPAN PARA
PIHAK BERDASARKAN SUDUT PANDANG PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
3.1. Konsep Batasan Umur Dan Kecakapan Bertindak Di Dalam Hukum
Kecakapan seseorang bertindak di dalam atau untuk melakukan perbuatan
hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa
menurut hukum. Serta kedewasaan seseorang seperti tersebut, merupakan tolak
ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat
dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan
seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang
menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum. Sehingga kedewasaan di
dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai
dewasa.
Dalam lapangan hukum perdata, kedewasaan seseorang diukur dari umur
atau usianya. Karena hal tersebut terkait dengan masalah kecakapan bertindak
seseorang sebagai subyek hukum yang sebagian besar memunculkan atau
melahirkan hak-hak subyektif dan kewajiban-kewajiban hukum. Yang dimaksud
dengan
tindakan
hukum,
adalah
tindakan-tindakan
yang
menimbulkan
konsekuensi yuridis dan konsekuensi yuridis itu dikehendaki atau dapat dianggap
dikehendaki. Oleh karena itu umur merupakan hal yang penting dalam menilai
terhadap tanggungjawab seseorang terhadap konsekuensi yuridis yang terjadi
82
83
sebagai suatu hal yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki sebagai akibat dari
perbuatan hukumnya.
Sesungguhnya tidak ada ketentuan dalam suatu peraturan perundangundangan yang khusus mengatur tentang kecakapan bertindak. Dengan demikian
tidak pula dapat diketahui dengan pasti unsur-unsur dan syarat-syarat dari
padanya. Untuk mengetahui kecakapan bertindak serta kedewasaan seseorang
menurut hukum dapat ditelaah dari pengaturan batasan umur seseorang utuk
dikatakan sebagai dewasa, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, antara lain
dari Pasal 307 KUHPerdata yang menentukan bahwa :
Orang yang melakukan kekuasaan orang tua terhadap seorang anak yang
masih di bawah umur, harus mengurus barang-barang kepunyaan anak
tersebut, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 237 dan alinea terakhir
Pasal 319e.
Ketentuan ini tidak berlaku terhadap barang-barang yang dihibahkan atau
diwasiatkan kepada anak-anak, baik dengan akta antar yang sama-sama
masih hidup maupun dengan surat wasiat, dengan ketentuan bahwa
pengurusan atas barang-barang itu akan dilakukan oleh seorang pengurus
atau lebih yang ditunjuk untuk itu di luar orang yang melakukan kekuasaan
orang tua.
Bila pengurusan yang diatur demikian, karena alasan apa pun juga sekiranya
hapus, maka barang-barang termaksud beralih pengelolaannya kepada orang
yang melakukan kekuasaan orang tua.
Meskipun ada pengangkatan pengurus-pengurus khusus seperti di atas,
orang yang melakukan kekuasaan orang tua mempunyai hak untuk minta
perhitungan dan pertanggungjawaban dari orang-orang tersebut selama
anaknya belum dewasa.
Pasal 308 KUHPerdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua yang
menentukan bahwa :
Orang yang berdasarkan kekuasaan orang tua wajib mengurus barangbarang anak-anaknya, harus bertanggung jawab, baik atas hak milik barangbarang itu maupun atas pendapatan dari barang-barang demikian yang tidak
boleh dinikmatinya.
Mengenai barang-barang yang hasilnya menurut undang-undang boleh
dinikmatinya, ia hanya bertanggung jawab atas hak miliknya.
84
Pasal 383 yang menentukan bahwa : “Wali harus menyelenggarakan pemeliharaan
dan pendidikan bagi anak belum dewasa menurut kemampuan harta kekayaannya
dan harus mewakili anak belum dewasa itu dalam segala tindakan perdata.” Yang
tidak cakap diatur dalam Pasal 1330 yang menentukan bahwa :
Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;
1. anak yang belum dewasa;
2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.
Pasal 1446 mengatur mengenai perikatan yang dibuat oleh orang yang tidak cakap
yang menentukan bahwa :
Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orangorang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan
atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan
batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.
Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak
yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal
demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan
mereka.
Cakap menurut R. Subekti bahwa mengerti akan sesuatu yang dilakukan
serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. 111 Sedangkan J.
Satrio berpendapat bahwa kecakapan dapat dipahami dari beberapa ketentuan
dalam pasal-pasal KUHPerdata antara lain : Pasal 307, Pasal 308, Pasal 383, Pasal
1330 dan pasal 1446 dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 47 dan 50,
kemudian dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya yang dapat melakukan
111
R. SubektiII, op. cit,hal. 18.
85
tindakan hukum secara sah dengan konsekuensi yuridis yang sempurna adalah
mereka yang telah dewasa.112
Dalam peraturan perundang-undangan lain, yaitu dalam Pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai
18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.”
Soal kedewasaan juga telah diatur dalam Pasal 50
ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menentukan : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.
Selain ditentukan oleh batasan umur, kecakapan bertindak seseorang
menurut hukum sebagai indikasi bahwa seseorang tersebut telah memenuhi syarat
kedewasaan, adalah juga dibatasi oleh faktor lain seperti status pernikahan
seseorang. Artinya seseorang telah dapat dikatakan dewasa sekalipun menurut
ketetuan peraturan perundang-undangan belum mencukupi umurnya untuk
dikatagorikan telah dewasa, namun secara nyata
seseorang tersebut telah
menikah. Karena sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio dengan mengutip pendapat
Pitlo, mengatakan bahwa oleh karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan
faktor umur, dan faktor umur ini didasarkan atas anggapan, bahwa orang di bawah
umur tertentu, belum dapat menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya, maka
dapat disimpulkan, bahwa masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum,
tidak harus sesuai dengan kenyataannya atau dengan kata lain ketidakcakapan di
112
J. Satrio, op. cit, hal. 53.
86
sini adalah ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan
(jurisische
onbekwaamheid
atau
veronderstelde
onbekwaamheid),
bukan
ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada). 113
Selanjutnya dikatakan juga
bahwa hukum membeda-bedakan hal ini karena
hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir
dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf
permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang
belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan
khusus. Karena ketidaksempurnaannya maka seorang yang belum dewasa harus
diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah
kedewasaan ini harus dibimbing.114
Pasal 904 KUHPerdata menentukan bahwa : ”Een minderjarige, ofschoon
denouderdom van achttien jaren bereikt hebbende, kan bij uitersten wil
tenvoordeele
van
zijnen
voogd
geene
beschikking
maken...”.115
Kata
”minderjarige” di dalam terjemahan KUHPerdata dimaknai dengan beberapa
istilah seperti ”belum dewasa”, ”di bawah umur”, maupun ”anak di bawah umur”.
Di samping ketentuan di atas, ada pula kondisi yang disebut sebagai pendewasaan
(handlichting), yaitu suatu lembaga hukum di mana orang yang belum dewasa
tetapi telah mencapai syarat-syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batasbatas tertentu menurut ketentuan undang-undang dapat memiliki kedudukan
113
Pitlo, 1971, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, H.D. Tjeenk
Wilink, Groningen, hal.89.
114
Ibid, hal. 90.
115
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 81.
87
hukum yang sama dengan orang dewasa. Selanjutnya, pendewasaan itu sendiri
dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :116
1. Pendewasaan Penuh
Dengan pendewasaan, seorang anak yang di bawah umur boleh dinyatakan
dewasa, atau kepadanya boleh diberikan hak-hak tertentu orang dewasa.
Pendewasaan penuh diatur dalam Pasal 421 KUHPerdata menentukan
bahwa :
Permohonan akan surat pernyataan dewasa boleh diajukan kepada
pemerintah oleh anak yang di bawah umur, bila ia telah mencapai umur
dua puluh tahun penuh. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan
akta kelahiran, atau bila itu tidak dapat diberikan, tanda bukti lain yang
sah tentang umur yang diisyaratkan itu.
Berdasarkan ketentuan Pasal 421, maka seseorang yang telah berusia 20
tahun dapat mengajukan permohonan pendewasaan secara penuh dan
permohonan tersebut diajukan kepada presiden. Dari pendewasaan penuh ini
maka konsekuensi yuridisnya adalah status hukum yang bersangkutan sama
dengan status hukum orang dewasa. Tetapi apabila ingin melangsungkan
perkawinan tetap memerlukan dari ijin orang tua.
2. Pendewasaan Terbatas
Pendewasaan terbatas diatur dalam Pasal 426 KUHPerdata yang
menentukan bahwa :
Pendewasaan, yang memberikan hak-hak tertentu sebagai orang dewasa
kepada anak yang di bawah umur, boleh diberikan oleh Pengadilan
Negeri kepada anak yang di bawah umur atas permohonannya, bila ia
telah mencapai umur delapan belas tahun penuh. Hal itu tidak diberikan
bila bertentangan dengan kemauan salah seorang orang tuanya yang
melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian.
116
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 82.
88
Berdasarkan ketentuan Pasal 426 KUHPerdata, seseorang dapat mengajukan
pendewasaan secara terbatas apabila usianya telah mencapai 18 tahun,
dengan syarat orang tua/walinya tidak keberatan, dan diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, dan dapat ditarik kembali
sewaktu-waktu.
Adapun
tujuannya agar seseorang yang dalam usianya tersebut yang
menurut hukum atau peratuan perundang-undangan belum dibolehkan atau
belum memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
tertentu, dengan upaya hukum tersebut menjadi dibolehkan atau telah
dipandang memenuhi syarat. Anak yang di bawah umur yang telah
mendapat pendewasaan demikian dianggap sebagai orang dewasa hanya
dalam hal perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang telah ditetapkan,
dan tidak boleh mengingkari keabsahannya atas dasar kebelumdewasaan.
Untuk hal-hal lainnya tidak ditetapkan maka tetap dalam kedudukan belum
dewasa. Berdasarkan putusan hakim memberitahukan hak-hak orang
dewasa yang diberikan kepada anak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 428
KUHPerdata. Hak-hak orang dewasa yang dapat diberikan kepada anak itu
hanya dalam bidang-bidang tertentu yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Menerima seluruh atau sebagian pendapatannya;
Mengeluarkan dan mempergunakan pendapatnya;
Membuat suatu perjanjian sewa-menyewa;
Menanami tanah-tanah kepunyaannya;
Melakukan usaha-usaha yang perlu untuk itu;
Melakukan suatu kerajinan tangan;
Mendirikan dan ikut dalam suatu pabrik;
89
8. Melakukan mata pencaharian dan perniagaan.117
Konsekuensi yuridis pernyataan pendewasaan secara terbatas ialah status
hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk
perbuatan-perbuatan tertentu seperti di atas.
Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum
dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui
pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada
orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas
permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak
orang tua.
Dari uraian tersebut dapat kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa
dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya
sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undangundang
menyatakan
bahwa
orang
yang
telah
dewasa
telah
dapat
memperhitungkan luasnya akibat pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan
hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. Terhadap
pendewasaan ini, apabila hakim berpendapat bila seorang yang dinyatakan dewasa
maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu.
Setelah memperoleh pernyataan itu seorang yang belum dewasa, sehubungan
dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara
perdata dengan domisilinya. Bila menyalahgunakan wewenang yang diberikan
117
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, loc.cit.
90
maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh
hakim.
Sedangkan menurut beberapa konsep hukum, batasan usia dewasa antara
undang-undang yang satu dengan yang lain berbeda dan belum ada keseragaman,
hal ini dapat kita lihat dari beberapa konsep hukum tersebut yaitu :
1. Konsep Hukum Pidana
Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut
umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan
tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya
berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut
hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin
tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur
menurut Pasal 294 dan Pasal 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai
umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun
perkawinannya putus ia tidak kembali menjadi belum cukup umur.
2. Konsep Hukum Adat
Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam
hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat
mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan
perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau
tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubunganhukum
tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara
kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu.
91
Belum cakap artinya, belum mampu memeperhitungkan dan memelihara
kepentingannya sendiri. Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan
memelihara kepentingannya sendiri.
Menurut hukum adat, ”dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi
tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi, bukan
asal sudah kawin saja. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan
berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah
cukup, misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam
pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang
tuanya yang berdiri sendiri atau yang dipisahkan dari bagian yang ditempati
orang tuanya. Jadi, tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar
pekarangan rumah orang tuanya.
Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat
mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita kawin
dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka baru 15
tahun. Sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan
anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.118
Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan
diri seseorang. Ter Haar dalam Djojodigoeno melihat kecakapan atau
Volwassen adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup terpisah dari orang
tuanya.119
118
119
Tan Thong Kie, op.cit, hal 39.
Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal 34.
92
Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan
hukum. Menurut hukum adat, cakap melakukan perbuatan hukum adalah
seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Kriteria
(ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan kriteria yang
dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum adat kriterianya adalah
bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu.120
Menurut Djojodiguno berpendapat bahwa hukum adat tidak mengenal
perbedaan yang tajam antara orang-orang yang sama sekali tidak cakap
melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum.
Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung
sedikit demi sedikit menurut keadaan.121
Ter Haar berpendapat bahwa seseorang menyatakan menjadi dewasa ialah
saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah kawin,
meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk
berumah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga berdiri
sendiri.122 Soedjono Dirjosisworo menyatakan bahwa menurut Hukum Adat,
anak di bawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda
fisik yang kongkret bahwa ia telah dewasa.123
120
Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 43.
Djojohadikusumo, 1964, Asas-Asas Hukum Adat, Gadjah Mada,
Yogyakarta, hal. 31.
122
Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 45., dikutip dari Ter Haar
dalam Safiyudin Sastrawijaya, 1977, Beberapa Masalah tentang Kenakalan
Remaja, Karya Nusantara, Bandung,hal. 18.
123
Soedjono Dirjosisworo, 1983, Hukuman dalam Berkembangnya Hukum
Pidana, Tarsito, Bandung, hal. 230.
121
93
Namun demikian, agar suatu tindakan menimbulkan konsekuensi yuridis
yang sempurna maka orang yang bertindak, pada saat tindakan, harus
mempunyai pematangan berpikir, yang secara normal mampu menyadari
sepenuhnya tindakannya dan akibat dari tindakannya. Orang yang secara
moral mampu menyadari tindakan dan akibat daritindakannya dalam
hukum, untuk ringkasnya disebut dengan istilah teknis hukum, cakap
bertindak. Agar orang tidak perlu setiap kali harus menyelidiki, apakah
lawan janjinya cakap untuk bertindak maka oleh undang-undang ditetapkan
sekelompok orang-orang, yang dimasukkan dalam kelompok mereka yang
tidak cakap bertindak, yaitu para belum dewasa dan orang-orang yang
ditaruh di bawah pengampuan.
3.2
Pengaturan Tentang Syarat Batasan Umur Sebagai Syarat Kecakapan
Bertindak Menurut Hukum Di Indonesia.
Di dalam hukum Indonesia, batasan umur seseorang untuk dapat melakukan
suatu perbuatan hukum tertentu diukur dari telah atau belum dewasanya seseorang
tersebut. Artinya, sejak seseorang telah dipandang atau memenuhi usia/umur
dewasa, sesorang tersebut berhak dan dapat untuk membuat perjanjian dengan
orang lain misalnya, menjual atau membeli suatu benda (harta tetap atau
bergerak) atas namanya sendiri, menjamin atau menggadaikan atau mengagunkan
tanah, bertindak selaku pemegang saham dalam suatu Perseroan Terbatas,
Yayasan, Firma, Perkumpulan. Demikian sebaliknya, bahwa apabila seseorang
tersebut belum cukup umur untuk dikatakan dewasa maka seseorang tersebut
tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana tersebut di atas.
94
Ketidakseragaman batasan usia/umur untuk menentukan seseorang telah
atau belum dewasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagaimana dipaparkan dalam sub bab di atas, kerap menimbulkan ketidak
pastian hukum dalam menerapkan batas umur/usia yang mana yang seharusnya
digunakan. Di bawah ini beberapa pengaturan batasan umur menurut peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut :
3.3.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan
kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Berikut konsep yang
dipakai dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang
dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah
mereka-mereka yang :124
a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih;
b. Mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun
Dalam lapangan hukum perdata, unsur usia memiliki peranan yang cukup
penting, sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai
subyek hukum dalam tindakan hukumnya. Sebagian besar munculnya hak-hak
(subyektif) dan dengan kewajiban-kewajiban hukum, dikaitkan dengan atau
terjadi melalui tindakan hukum. Padahal kecakapan untuk melakukan tindakan
hukum dikaitkan dengan faktor kedewasaan, yang didasarkan antara lain atas
dasar umur. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan hukum, adalah tindakan-
124
J. Satrio, op.cit, hal. 63.
95
tindakan yang menimbulkan konsekuensi yuridis dan konsekuensi yuridis itu
dikehendaki atau dapat dianggap dikehendaki.
Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan
dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan bahwa menurut
KUHPerdata, orang-orang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah
berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum
mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari
konsekuensi yuridis dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak
dalam hukum. Menurut KUHPerdata ada faktor lain selain unsur usia untuk
mengukur kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suami isteri
yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun.
3.3.2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Hukum perkawinan tidak terlepas dari persyaratan adanya kecakapan para
pihak atau ketentuan mengenai umur para pihak yang akan melaksanakan
perkawinan. Selain itu, perkawinan juga harus dilakukan pencatatan memenuhi
ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang diundangkan pada
tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974
Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3019.
Dalam Pasal 29 KUHPerdata yang sudah tidak berlaku lagi, seseorang
pemuda yang belum mencapai umur 18 tahun begitu pula pemudi yang belum
mencapai umur 15 tahun tidak dibolehkan mengikat perkawinan. Jadi terdapat
96
perbedaan batasan umur perkawinan antara KUHPerdata dengan Undang-Undang
Perkawinan.125
Hukum perkawinan tidak terlepas dari persyaratan adanya kecakapan para
pihak atau ketentuan mengenai umur para pihak yang akan melaksanakan
perkawinan. Pasal 6
ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengenai syarat
perkawinan ditentukan bahwa : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.” Dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa
oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat
membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi
manusia, maka Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan sebaiknya dilakukan antara
orang yang benar-benar telah cakap dan mampu bertanggung jawab dan umur 21
tahun sesuai dengan ketentuan dewasa dalam KUHPerdata. Selanjutnya dalam
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa : “Perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.”
Adapun dalam soal hak dan kewajiban, maka yang menjadi tolok ukur
kedewasaan seseorang telah diatur di dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas)
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan
orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Soal kedewasaan
juga telah diatur dalam pasal 50
125
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang
H. Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar
Maju, Bandung, hal. 47.
97
menyatakan bahwa : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.126 Kedua pasal ini artinya
secara tegas telah merubah doktrin KUHPerdata yang telah berjalan sejak tahun
1847 tersebut tentang batas umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa :
1. Menurut Undang-Undang Perkawinan, umur 21 tahun merupakan syarat
kawin, sebagai ukuran kematangan seseorang untuk berumah tangga, bukan
sebagai ukuran dewasa;
2. Menurut Undang-Undang Perkawinan, batas usia dewasa adalah 18 tahun,
bukan 21 tahun.
Undang-Undang Perkawinan sebagai undang-undang yang relatif baru dan
bersifat nasional kiranya bisa kita pakai sebagai patokan dan dengan berpatokan
pada asas lex postiori derogat lex priori maka dapat kita katakan bahwa kita telah
mempunyai patokan umum untuk menetapkan usia dewasa, yaitu 18 tahun
sehingga semua ketentuan lain yang mengatur usia dewasa yang diundangkan
sebelum Undang-Undang Perkawinan tidak berlaku lagi.127 Sehubungan dengan
perihal kedewasaan, baik dalam hubungan perikatan maupun perkawinan tersebut
tidak terlepas dari ketentuan mengenai umur atau kecakapan para pihak untuk
memenuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini para pihak atau subyek hukum
126
Soedharyo Soimin, 2002, Hukum Orang Dan Keluarga Perspektif Hukum
Prdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51.
127
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op. cit, hal. 13.
98
disyaratkan untuk memenuhi syarat kedewasaan berdasarkan perbuatan hukum
yang dilakukan.
3.2.3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pengertian anak diatur dalam Konvensi Hak Anak 1989 yang diratifikasi
dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990, Pasal 1 menentukan hak anak
adalah : “Setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali
berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia
dewasa dicapai lebih awal.” Hal serupa mengenai anak ditegaskan pula di dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang
diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4235.
Di dalam Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak adalah seseorang yang
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan. Berarti yang bukan anak yaitu seseorang yang berumur di atas 18
tahun.” Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.
Atau dengan kata lain menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, konsep
dewasa seseorang sehingga dapat bertindak di dalam hukum adalah apabila
seseorang tersebut telah berusia lebih dari 18 tahun. Sehingga kedewasaan
seseorang menurut undang-undang tersebut adalah ditentukan oleh batasan umur
yakni setelah berusia 18 tahun.
3.3.4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
Batasan umur dewasa dalam bidang ketenagakerjaan untuk pertama kali
termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 tentang Tenaga Kerja.
99
Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa : “Orang dewasa ialah orang laki-laki maupun
perempuan yang berumur 18 tahun ke atas”. Kemudian umur kedewasaan tersebut
oleh Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan diturunkan
dari 18 tahun menjadi 15 tahun sebagai mana termuat dalam pasal 1 angka 20
menentukan bahwa : “Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur
kurang dari 15 (lima belas) tahun”. Kemudian dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003 dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Nomor : 4279. Batas umur dewasa tersebut dikembalikan lagi
pada umur 18 tahun, sebagaimana bunyi pasal 1 angka 20 yang menentukan
bahwa : “Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
tahun”.
Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, batasan umur 18 tahun bagi
tenaga kerja Indonesia tentu harus dimaknai sebagai dewasa dalam arti cakap
bertindak secara keperdataan karena orang berumur 18 tahun telah memiliki legal
capacity, atau dalam kaidah hukum islam disebut memiliki ahliyatul ada’ karena
hakekatnya orang yang berumur 18 tahun adalah orang yang telah akil balig.
Sehingga si berumur 18 tahun dapat dipastikkan telah cakap bertindak hukum atau
mukallaf yang oleh karena itu segala hal ikhwalnya harus ditakar dan
dipertanggungjawabkan menurut hukum.
100
3.2.5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006 dalam Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara
Nomor : 4634, memberikan beberapa pasal mengenai batasan umur yaitu :
a. Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak yang setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih
kewarganegaraannya”;
b. Pasal 9 huruf (a) menentukan bahwa : “Permohonan pewarganegaraan
dapat diajukan oleh pemohon jika telah memenuhi syarat yang salah
satunya yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah kawin”;
c. Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa :
Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik
Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan
Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan
Republik Indonesia.
Batasan umur untuk menentukan seseorang telah dipandang dewasa sebagaimana
ditentukan dalam pasal-pasal dari undang-undang di atas, pada dasarnya
dimaksudkan untuk memberikan batasan umur kepada seseorang anak yang telah
cakap bertindak yaitu 18 tahun agar dapat melakukan tindakan hukum tertentu
sesuai dengan ketentuan tersebut.
101
3.2.6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris.
Dalam kaitannya dengan batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan
hukum, dan syarat sebagai penghadap atau pihak sebuah akta notaris yang telah
diatur dalam Pasal 39
ayat (1) UUJN yang menyatakan bahwa “ Seorang
penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. Cakap melakukan perbuatan hukum.”
Penambahan syarat ”cakap melakukan perbuatan hukum” dalam UUJN dapat
ditafsirkan bahwa kecakapan yang dimaksud bukanlah kecakapan berdasarkan
batas umur, namun kecakapan yang digantungkan pada syarat lain, yaitu tidak
berada di bawah kemampuan, karena mengenai batas umur, telah diatur secara
khusus dan ditegaskan dalam syarat umur, yaitu 18 tahun.
Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut di atas, bahwa syarat
seseorang bisa menjadi penghadap dan berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum, adalah paling sedikit sudah berusia 18 tahun atau telah menikah
sebelumnya. Dengan demikian, batas umur yang digunakan sebagai tolak ukur
untuk menentukan kecakapan dalam UUJN adalah 18 tahun, bukan 21 tahun.
Dalam hal notaris atau PPAT diperkenankan menerima klien seseorang
yang berumur 18 tahun, telah diatur ketentuannya dalam Surat Departemen Dalam
Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster)
(Untuk selanjutnya disebut Surat Depdagri Dirjen Agraria No.Dpt.7/539/7-77,
tertanggal 13 Juli 1977). Surat tersebut ditujukan kepada Semua Gubernur Kepala
102
Daerah Provinsidan semua Bupati atau Walikota Kepala Daerah di Indonesia.
Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa mengenai soal dewasa dapat diadakan
pembedaan dalam:
a. Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut
Pemilu;
b. Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat
melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang
baru;
c. Dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu
menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.128
Bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa, sebagaimana
diatur dalam Pasal 330 jo Pasal 1330 BW, batas umur dewasa adalah 21 tahun
atau telah menikah. Bagi golongan penduduk Cina, di mana hampir seluruh
hukum Eropa juga berlaku bagi golongan ini, seorang Cina hanya dipandang
dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Bagi golongan
penduduk Timur Asing, selain golongan penduduk keturunan Cina, digunakan
ketentuan yang sama dengan golongan Cina. Seorang Timur Asing bukan Cina
juga hanya dipandang dewasa apabila sudah berumur 21 tahun. Adapun ketentuan
dewasa terhadap golongan penduduk pribumi, tidak ada pegangan yang tegas
mengenai batas umur supaya dipandang dewasa sehingga tidak ada keseragaman.
128
Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 93.
103
Dengan demikian, apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan batasan
umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima sebagai benar.129
Menurut UUJN batasan umur terhadap kedewasaan seorang penghadap itu
mempunyai konsekuensi yuridis yang sangat penting dalam kaitannya dengan
pembuatan akta notaris. Karena suatu akta yang dibuat dihadapan atau oleh
notaris selain berkedudukan sebagai akta otentik yang dibuat menurut bentuk dan
tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, juga berkedudukan sebagai alat bukti yang
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam kedudukannya tersebut,
suatu akta notaris sebagai akta otentik memiliki legitimasi segala perbuatanperbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang dituangkan di dalamnya
bagi pihak-pihak yang membuat berserta pihak lain yang memperoleh hak atau
manfaat dibuatnya akta notaris tersebut.
Dalam hubungannya dengan batasan unur seseorang untuk dapat
dikatagorikan dewasa sehingga cakap bertindak di dalam hukum, maka yang
dimaksudkan adalah kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) sebagai
kewenangan umum yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan
tindakan hukum pada umumnya. Perhatikan kata “persoon pada umumnya” dan
“tindakan hukum pada umumnya”.130 Sehingga kecakapan seseorang dalam
melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan
dipengaruhi oleh umur dalam melakukan tindakan hukumnya.
Dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang yang ditentukan
dalam Pasal 330, yang menentukan bahwa :
129
130
Ade Maman Suherman dan J, Satrio,loc. cit.
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 4.
104
Orang dewasa adalah mereka-mereka yang :
a. telah mencapai umur 21 tahun atau lebih;
b. mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun.131
Menurut ketentuan di atas dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan
kecakapan bertindak dalam hukum, menunjukkan bahwa konsepsi dewasa
menurut KUHPerdata atau paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orangorang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau
lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut,
adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari konsekuensi yuridis dari
perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum.
Selain KUHPerdata, ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang
juga memberi pengaturan tentang syarat cakap bertindak di dalam hukum atau
kecakapan sebagai syarat dapat bertindak untuk melakukan perbuatan hukum,
seperti :
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Beberapa pasal dari ketentuan di atas mengatur tentang batas umur
seseorang agar dapat melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu :
a. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), menentukan : bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya,
dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan
hukumnya di dalam dan di luar Pengadilan ;
131
Herlien Budiono I, op. cit, hal. 101.
105
b. Pasal 50 ayat (1) menentukan : bahwa anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya,
maka berada di bawah kekuasaan wali.
2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Dalam Pasal 39 ayat (1) huuf a undang-undang di atas menentukan
bahwa : syarat untuk menjadi penghadap dalam pembuatan akta adalah
paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan
cakap melakukan perbuatan hukum.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 1
ayat (1) undang-udang di atas menentukan bahwa :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”.
4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak.
Pasal 1 ayat (2) undang-undang di atas menentukan bahwa : “Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin”.
5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, beberapa pasalnya menentukan bahwa :
106
a. Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak yang setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih
kewarganegaraannya”;
b. Pasal
9
huruf
(a)
menentukan
bahwa
:
“Permohonan
pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika telah memenuhi
syarat yang salah satunya yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah
kawin”;
c. Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa:
Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh
Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia.
Dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas terlihat
adanya perbedaan
pengaturan batas umur/usia
seseorang dalam agar dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Sebagaimana dimaksudkan dalam
masing-masing ketentuan tersebut, serta hal tersebut mencerminkan adanya
konsepsi yang berbeda satu ketentuan dengan ketentuan lainnya.
3.3. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian Peralihan
Hak Atas Tanah.
Peralihan hak atas tanah merupakan perbuatan hukum peralihan hak atas
tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari
pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Dalam peralihan hak,
menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh
satu pihak dengan maksud agar hak atas tanahnya menjadi milik pihak lainnya
107
dan perbuatan hukum tersebut dengan sengaja dilakukan dengan maksud agar hak
milik atas tanah seseorang akan beralih menjadi milik orang lain, sehingga
peralihan hak atas tanah tersebut diketahui atau diinginkan oleh para pihak yang
melakukan perbuatan hukum tersebut.
Salah satu sifat hak atas tanah adalah dapat beralih dan dialihkan kepada
pihak lain. Adapun bentuk peralihan hak atas tanah, yaitu:
1. Beralih
Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya
kepada pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah
semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan konsekuensi yuridis
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.132 Salah satu peristiwa
hukum dalam hal ini yakni pewarisan. Pewarisan merupakan proses
berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia
kepada para ahli warisnya. Dalam proses pewarisan hal yang terpenting adalah
adanya kematian, yaitu seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan
kekayaan itu kepada ahli warisnya.133
Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat
sebagai pemegang hak (subjek) hak atas tanah. Hukum tanah memberikan
ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal
mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris.
Menurut ketentuan Pasal 61 ayat (3) P P Nomor 24 Tahun 1997, bahwa untuk
132
Soedjono Dirdjosisworo, 2010,Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, hal. 130.
133
Effendi Perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3.
108
pendaftaran pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu
enam (6) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya
pendaftaran.
2. Dialihkan
Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atas
tanah kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum
adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang
untuk menimbulkan hak dan kewajiban.134 Adapun bentuk-bentuk perbuatan
hukum yang melahirkan peralihan hak atas tanah yaitu sebagai berikut :
a. Jual Beli
Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu : jual dan beli. Kata
“jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli”
adalah adanya perbuatan membeli. Dengan demikian terjadilah peristiwa
hukum jual beli.135 Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam
mana pihak yang mempunyai tanah (penjual), berjanji dan mengikatkan diri
untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
(pembeli). Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga
yang telah disetujui.
Mengenai jual beli, pengaturannya dalam Buku III Bab ke V
KUHPerdata Pasal 1457 yang menentukan bahwa : “Jual-beli adalah suatu
persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk
134
Soedjono Dirdjosisworo, op. cit.
Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, 2007, Jual-Beli,Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 128.
135
109
menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga
yang telah dijanjikan” (koop en verkoop is een overeenkomst, waarbij de ene
partij zich verbindt om een zaak te leveren, en de andere om daarvoor de
bedongen prijs te betalen).136
Pada saat dilakukannya perbuatan hukum jual beli belum terjadi
perubahan status pemilikan pada hak atas tanah tersebut, sekalipun syaratsyarat sebagai prinsip pokok dalam perbuatan hukum jual beli telah terpenuhi,
misalnya pembeli sudah membayar penuh (lunas) harganya kepada penjual dan
tanahnya secara fisik sudah diserahkan dari pemilik tanah selakupenjual
kepada pembeli. Akan tetapi perubahan status pemilikan hak atas tanah sebagai
obyek jual beli baru beralih kepada pembeli dari pemilik tanah selaku penjual,
jika penjual sudah melakukan penyerahan hak atas tanahnya secara yuridis
kepada pembeli sebagi wujud pemenuhan kewajiban hukumnya. Menyerahkan
secara yuridis yang dimaksudkan adalah penjual sudah menyerahkan hak atas
pemilikan tanahnya. Karena pengalihan hak atas tanah merupakan suatu
perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak
lain.137
b. Hibah
Mengenai pengertian dari hibah diatur dalam ketentuan Pasal 1666
KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Penghibahan adalah suatu
persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang
136
AB Massier, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden, hal. 68.
Adrian Sutedi, 2008, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya,
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 27.
137
110
secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan
seseorang yang menerima penyerahan barang itu”. Berdasarkan ketentuan
Pasal 1666 KUHPerdata hibah merupakan suatu perjanjian dengan mana si
penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat
ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan keperluan si
penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari ketentuan tersebut, hibah
merupakan suatu perbuatan hukum, yaitu perjanjian antara seseorang yang
bermaksud untuk menyerahkan/memberikan sesuatu benda (tanah) kepada
seseorang selaku penerima hibah secara cuma-cuma. Selain hal tersebut dalam
perbuatan hukum hibah mensyaratkan bahwa pemberian tersebut dilakukan
atau dilaksanakan semasih pemberi hibah hidup dan tidak dapat ditarik kembali
oleh pemberi hibah. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain
hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup.
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata menentukan
bahwa : “Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang
sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barangbarang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barangbarang yang belum ada”, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata
penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada
pada saat penghibahan itu terjadi. Syarat hibah lainnya antara lain pemberi
hibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (bukan seorang yang
masih dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan), sedangkan
penerima hibah sudah ada (dalam hal ini lahir atau sudah di dalam kandungan)
111
pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal
1679 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Supaya dapat dikatakan sah
untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus sudah
ada di dunia atau, dengan memperhatikan aturan dalam pasal 2, sudah ada
dalam kandurgan ibunya pada saat penghibahan dilakukan”. Dengan demikian,
maka jika seseorang ingin menghibahkan sesuatu kepada anaknya, anak
tersebut minimal harus sudah lahir atau sudah berada di dalam kandungan
ibunya.138
c. Tukar-Menukar
Tentang tukar menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal
1546 KUHPerdata. Dalam Pasal 1541 menentukan bahwa : “Tukar-menukar
ialah suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu
barang lain”.
Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut di atas, perjanjian tukarmenukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti ia sudah jadi
dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang
menjadi objek perjanjiannya. Demikian pula dapat dilihat bahwa perjanjian
tukar-menukar adalah suatu perjanjian obligatoir sama seperti jual-beli, ia
belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada taraf memberikan hak dan
kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya
hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian. Yang memindahkan hak
138
59.
Irma Devita Purnamasari, 2010, Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung., hal.
112
milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hukum yang dinamakan
levering atau penyerahan hak milik secara yuridis.139 Segala apa yang dapat
dijual, dapat menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Tukar-menukar ini
adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang. Untuk dapat melakukan
perjanjian ini, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang ia janjikan
untuk diserahkan dalam tukar-menukar itu.140
d. Penyertaan Modal dalam Perusahaan (Inbreng)
Peningkatan modal selain saham yang disetor dalam bentuk uang, bisa
juga dengan inbreng atau pemasukan dalam perusahaan, yaitu memasukkan
barang sebagai modal, dinilai dengan uang dan dijadikan saham. Berdasarkan
ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas menentukan bahwa : “Penyetoran atas modal saham dapat
dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya”.
Dalam hal penyetoran modal bentuk lain sebagaimana dimaksud di atas
maka hal tersebut di dasarkan pada penilaian setoran modal saham ditentukan
berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh
ahli dengan perseroan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2)
UU PT yang menentukan bahwa : “Dalam hal penyetoran modal saham
dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian
setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai
dengan
harga
pasar
atau
oleh
ahli
yang
tidak
terafiliasi
dengan
Perseroan”. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang
139
140
R. Soebekti III, op. cit, hal. 36.
R. Soebekti III, loc. cit.
113
dan/atau dalam bentuk lainnya, yaitu baik berupa benda berwujud maupun
benda tidak berwujud, dapat dinilai dengan uang, secara nyata telah diterima
oleh perseroan, penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai
rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat
kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan rnengenai
penyetoran tersebut.
e. Lelang
Lelang yang dimaksud adalah lelang hak atas tanah, yang dalam praktik
sering disebut dengan lelang tanah. Secara yuridis, yang dilelang adalah hak
atas tanah bukan tanahnya. Tujuan lelang hak atas tanah adalah supaya pembeli
lelang dapat dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Lelang
adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga
secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk
mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang,
sedangkan lelang tanah adalah penjualan hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang terbuka untuk umum oleh Kantor Lelang setelah
diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota dengan harga yang tertinggi yang didahului oleh pengumuman
lelang.141
Dari pemaparan di atas dan dalam kaitannya dengan bahasan ini yang
hendak menkaji keberadaan suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan
suatu perbuatan hukum sebagai perjanjian sebagaimana seseorang mengikatkan
141
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hal. 382.
114
diri sebagai pembeli untuk bersepakat menjual dan membeli hak milik atas tanah,
didalamnya telah mengandung suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah.
Suatu perjanjian pengikatan jual beli yang memilki kualitas hukum seperti itu
apabila perjanjian tersebut telah dibuat dan dilangsungkan dengan memenuhi
prinsip pokok jual beli sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata maupun
didalam UUPA, yaitu adanya syarat terang dan tunai.
UUPA yang diundangkan untuk mengakhiri dualisme hak atas tanah
dilakukan konversi terhadap tanah-tanah barat menjadi tanah-tanah menurut
ketentuan UUPA, misalnya hak eigendom kepunyaan orang asing dikonversi
menjadi hak guna bangunan, hak eigendom kepunyaan warga negara Indonesia
dikonversi menjadi hak milik, hak milik adat kepunyaan orang asing dikonversi
menjadi hak guna bangunan atau hak guna usaha. Selain itu, UUPA juga
menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan terhadap
tanah oleh orang atau subyek hukum lain.
Dalam hal konversi dari hak-hak bekas hak barat yang tunduk dan diatur
berdasarkan hukum barat telah berakhir semenjak tanggal 24 September 1960,
sehingga seluruh tanah-tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.
Konversi atas tanah-tanah tersebut telah diselesaikan berdasaarkan ketentuan
Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam
Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat berikut
peraturan pelaksanaannya. Sedangkan dalam hal menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan tanah diatur dalam
Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa :
115
(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi
wewenang untuk :
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.
Sehingga hubungan-hubungan hukum berupa perbuatan-perbuatan hukum atas
tanah dalam hal ini adalah jual-beli merupakan ranah UUPA termasuk di
dalamnya pengaturan terhadap jual beli tanah yang diselenggarakan dalam bentuk
perjanjian pengikatan jual beli tanah yang berisi peralihan hak atas tanah.
UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual
beli tanah termasuk di dalamnya perjanjian pengikatan jual beli. Namun demikian,
dengan mengingat hukum agraria atau UUPA menggunakan dan menganut
sistem dan asas-asas hukum adat, maka jual beli tanah harus diartikan sebagai
perbuatan hukum yang berupa peralihan
hak milik (penyerahan tanah untuk
selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga
menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.142
Dalam kaitannya dengan hal itu, Effendi Perangin-angin mengatakan bahwa : jual
beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada
pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang
menerima penyerahan).143 Selaras dengan itu, Subekti yang menyatakan bahwa :
jual beli adalah suatu perjanjian dan dengan perjanjian itu pihak yang satu
142
Ibid. hal. 138.
Effendi Perangin-angin, 1986, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah
Dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1.
143
116
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak
lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.144 Dengan demikian, maka
terhadap jual beli sebagai suatu suatu perjanjian terdapat unsur-unsur yaitu :
1. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang
2. Adanya persetujuan pihak-pihak
3. Penyerahan hak milik atas suatu barang dan
4. Pembayaran harga yang diperjanjikan.
Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa, peralihan hak atas tanah
dapat dilakukan selain dengan cara dibuat dalam suatu akta jual beli balik nama
juga dapat diselenggarakan atau dibuat dalam bentuk perjanjian pengikatan jual
beli. Dalam hal peralihan hak atas tanah dibuat dalam suatu akta jual beli balik
nama, maka akta tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu, yaitu di hadapan PPAT. Hal tersebut sejalan dengan
perintah Pasal 37 PPNomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa :
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang,
hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan di atas, peralihan hak atas tanah hanya dapat
dilakukan hanya dengan atau melalui alat pendaftaran berupa akta yang dibuat
oleh PPAT, yaitu akta jual beli balik nama. Adapun peralihan hak yang dimaksud
dalam ketentuan di atas, adalah peralihan hak yang dianut oleh sistem UUPA
berupa asas publisitas, artinya peralihan hak dalam bentuk pencoretan dengan
144
R. Subekti III, op.cit. hal. 79.
117
penggantian nama pemegang hak dari pemilik kepada penjual tujuannya agar
supaya kepada pihak dapat diketahui telah terjadi peralihan dari atas nama penjual
ke atas nama pembeli, selain itu maksudnya adalah pelaksanaan daripada hak
menguasai tanah oleh negara berupa hak yang dimilki oleh negara mengatur dan
menetukan setiap hubungan-hubungan hukum warga negara dengan tanah. Karena
dengan erjadinya pencoretan nama pmegang hak awal yang kemudian diganti ke
dan atas nama pembeli negara telah melaksanaka kewenangan sebagaimana
dimaksud dengan hak menguasai tanah oleh negara.
Sedangkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan dan dibuat dengan
cara dibuatnya dengan perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu peralihan
hak (yuridische levering) yang belum diikuti dengan pencoretan hak. Dikatankan
demikian, oleh karena secara substansial ketika dibuatnya perjanjian pengikatan
jual beli yang telah memenuhi unsur terang dan tunai/penyerahan harga dan
barang (feitelijke levering) sejatinya telah terjadi peralihan hak dari penjual
kepada pembeli. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam mana suatu PPJB yang
didalamnya mengandung unsur pembayaran lunas oleh pembeli senangtiasa
diikuti oleh kuasa menjual, yang digunakan oleh penjual untuk dikemudian hari
melakukan jual beli dalam arti peralihan hak baik kepada dirinya sendiri maupun
kepada pihak lain yang dikehendaki oleh penjual. Secara yuridis kedaan tersebut
telah mensiratkan adanya
peralihan hak dari penjual kepada pembeli sebab
apabila belum terjadinya peralihan hak tidaklah mungkin pembeli dapat
mengunakan kuasa dan karenanya kuasa tidak memiliki eksekutorial dalam
rangka digunakan sebagai alat peralihan hak dikemudian hari.
118
Suatu akta PPJB tanah merupakan akta yang dibuat oleh notaris, lahir dari
kewenanganya membuat akta otentik yang diberikan oleh UUJN Pasal 1 ayat (1)
jo Pasal 15. Pasal 1 ayat (1) yang menentukan : Notaris adalah pejabat umum
yang berwenang untuk membuat akta. Sedangkan Pasal 15 UUJN, menentukan
bahwa:
1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan
atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan
oleh undang-undang.
2. Notaris berwenang pula :
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di
bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam
buku khusus;
c. Membuat kopi dari salinan asli surat-surat di bawah tangan berupa
salinan yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan
dalam surat yang bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. Membuat akta risalah lelang.
Berdasarkan ketentuan di atas, khususnya Pasal 15
ayat (2) huruf f yang
mengatur mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta yang berkaitan
dengan pertanahan maka notaris diberikan kewenangan oleh UUJN untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang
berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan
dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam
akta otentik.
119
Akta perjanjian pengikatan jual beli berikut kuasa menjual yang dibuat oleh
dan dihadapan notaris, adalah dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang
dibuat PPAT, sehingga merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai
perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Hal ini dapat diartikan bahwa
pengikatan jual beli merupakan permulan atau perjanjian obligatoir atau
pelengkap. Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian
pokoknya ada, hal ini tidak sebagaimana perjanjian obligatoir lazimnya seperti
perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah
didahului dengan perjanjian utang piutang terlebih dahulu.
Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian
pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari
para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk
jual beli yang sebenarnya terpenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1460
KUHPerdata yang menentukan :
Beralihnya hak milik atas benda yang dijual hanya terjadi jika telah
dilakukan penyerahan (levering). Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu
pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan
kepunyaan (bezit) pembeli. Jika benda yang dijual itu berupa suatu barang
tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang ini sejak
saat pembelian itu terjadi merupakan tanggungan pembeli, walaupun
penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat (berhak untuk)
menuntut harganya.
Pada umumnya, alasan-alasan yang menjadi penyebab dibuatnya akta PPJB
di antara penjual dengan pembeli yaitu :
1. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjual-belikan belum
dilakukan secara lunas oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran
120
dilakukan secara bertahap berdasarkan kesepakatan pihak penjual dan
pembeli;
2. Obyek tanah yang diperjual-belikan belum memiliki sertipikat yang
merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam
prakteknya tanah yang dijual tersebut masih berstatuskan tanah yasan
yang diwarisi secara turun temurun dan belum pernah didaftarakan
menurut ketentuan yang berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti
atas tanah tersebut masih berupa girik yang tercatat dalam buku C tanah
di kelurahan;
3. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat
tanah masih berlangsung di kantor pertanahan;
4. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka
waktunya dan sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di
kantor pertanahan;
5. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak
Penghasilan atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat
dalam suatu akta PPAT;
6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang
diperlukan untuk pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen
mana dalam proses pengurusan.145
145
Hasil wawancara dengan Notaris Dr. Ida Bagus Agung Putra Santika, S.H,
M.Kn. tanggal 18 Desember 2013.
121
Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk membuat
akta PPJB yaitu :
1. Pihak penjual dan pembeli hadir dihadapan notaris dan menandatangani
perjanjian pengikatan jual beli tanah;
2. Para pihak menyerahkan:
- Sertipikat tanah apabila telah memiliki sertipikat
- Surat keterangan tanah bagi yang belum bersertipikat
- Foto copy KTP penjual dan pembeli
- SPPT Tanah
- Surat keterangan tanah tidak dalam sengketa
- Bukti Pembayaran Pajak Bumi Bangunan
- Surat keterangan waris dan kematian yang dikeluarkan oleh kelurahan
apabila terdapat ahli waris
- Surat kuasa dan KTP penerima kuasa apabila dikuasakan.
Sedangkan isi dari akta PPJB pada umumnya berisikan diuraikan sebagai
berikut:
1.
Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya untuk menjual kepada
pihak pembeli yang berjanji dan mengikat dirinya untuk membeli dari
pihak penjual sebidang tanah tertentu;
2.
Pihak penjual mengakui bahwa uang harga penjualan tanah dan
bangunan yang akan dijual oleh pihak penjual kepada pihak pembeli
tersebut senilai yang telah disepakati dan telah dibayar oleh pembeli
kepada pihak penjual pada saat penandatanganan akta dan akta
122
pengikatan jual beli berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau
kwitansinya yang sah, tanpa mengurangi dikeluarkannya kwitansi
tersendiri/khusus.
3.
Manakala pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam
jangka waktu yang telah ditentukan, kelalaian mana telah terjadi dan
terbukti dengan lewatnya waktu saja, maka pihak pembeli dikenakan
denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah yang harus dibayar
pembeli kepada penjual, untuk tiap-tiap hari keterlambatan.Denda
tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus.
4.
Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut setelah
lewatnya waktu tersebut di atas, pihak pembeli tidak dapat memenuhi
kewajibannya, maka perjanjian ini berakhir dan sepanjang perlu kedua
belah pihak melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266
dan Pasal 1267 KUHPerdata, dan pihak penjual wajib untuk
mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh pihak pembeli setelah
dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan bangunan tersebut
sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak penjual
ditambah denda yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak
penjual. Pengembalian uang oleh pihak penjual kepada pihak pembeli
dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah
disepakati, misalnya 7 (tujuh) hari setelah tanah dan bangunan tersebut
terjual kepada pihak lain.
123
5.
Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh
pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut menjadi milik pihak
pembeli, dan segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala
kerugian yang diderita dengannya mulai hari tersebut menjadi milik
atau dipikul oleh pihak pembeli.
6.
Pihak penjual menjamin bahwa tanah dan bangunan tersebut milik
pihak penjual, tidak dijaminkan secara bagaimanapun juga kepada
pihak lain, tidak diberati dengan beban-beban apapun juga dan pula
bebas dari sita, sehingga pihak pembeli tidak akan mendapat gangguan
dan atau rintangan dari pihak lain rnengenai hal itu.
7.
Selanjutnya jual beli yang akan dilaksanakan tersebut dilakukan dengan
syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang lazim untuk sesuatu jual
beli tanah, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tersebut telah
diketahui oleh pihak-pihak.
8.
Pihak penjual memberikan kuasa kepada pihak pembeli dan baik
bersama-sama maupun masingmasing untuk dan atas nama pihak
penjual melaksanakan penjualan tanah dan bangunan tersebut di atas
kepada pihak pembeli dengan harga dan perjanjian-perjanjian
sebagaimana tersebut di atas dan berhubung dengan itu yang diberi
kuasa dikuasakan menghadap dihadapan PPAT, membuat menyuruh
membuat dan menandatangani akta jual beli yang bersangkutan dan
surat-surat lainnya yang diperlukan, menyerahkan segala sesuatu yang
dijual tersebut kepada pihak kedua dan selanjutnya melakukan apa saja
124
yang baik dan berguna untuk mencapai maksud tersebut tidak ada
tindakan yang dikecualikan.
9.
Pihak penjual selanjutnya dengan ini memberi kuasa kepada pihak
pembeli untuk selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan
atas nama pihak pembeli melakukan dan menjalankan segala hak,
kepentingan dan kekuasaan pihak penjual mengenai tanah dan
bangunan tersebut dan untuk keperluan itu melakukan segala tindakan
hukum baik tindakan pengurusan maupun tindakan pemilikan
10. Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya selama penjualan tersebut
di atas belum dilaksanakan tidak akan menggadaikan ataupun
menjaminkan secara bagaimanapun juga, menjual atau dengan cara lain
melepaskan tanah dan bangunan tersebut kepada pihak lain.
11. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam akta ini tidak dapat ditarik kembali
dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini,
yang tanpa kuasa-kuasa tersebut tidak akan dibuat dan kuasa-kuasa
itupun diberikan dengan melepaskan semua peraturan yang ditetapkan
dalam Undang-Undang yang mengatur segala sebab dan dasar yang
mengakhirkan suatu kuasa. Kuasa-kuasa tersebut di atas baru
sepenuhnya berlaku apabila pihak pembeli telah memenuhi seluruh
kewajibannya kepada pihak penjual.
12. Perjanjian pengikatan jual beli tanah tidak akan berakhir karena salah
satu pihak meninggal dunia, akan tetapi bersifat turun temurun, dan
harus dipenuhi oleh ahli waris atau penerirna hak masing-masing.
125
13. Segala pajak yang berhubungan dengan tanah dan bangunan tersebut
sampai hari penjualan dipikul oleh pihak penjual dan mulai hari
tersebut dipikul oleh pihak pembeli.
14. Ongkos-ongkos yang berhubungan dengan pemindahan nama tanah dan
bangunan tersebut kepada pihak pembeli dipikul oleh pihak pembeli.
15. Klasula domisili, yaitu pihak-pihak memilih tempat tinggal tetap dan
umum mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Panitera
Pengadilan Negeri tertentu.146
3.4. Batasan Umur Sebagai Syarat Cakap Bertindak Dalam Akta Notaris
Tentang Peralihan Hak Atas Tanah.
Pembahasan terhadap batasan umur sebagai syarat cakap bertindak dalam
akta notaris yang didalamnya mengandung peralihan hak atas tanah dimaksudkan
untuk dapat menjawab masalah pertama dalam penelitian ini yaitu batasan umur
yang diacu oleh notaris dalam rangka dibuatnya akta yang substansinya
mengandung peralihan hak atas tanah. Sebab sebagaimana telah dipaparkan di sub
bab diatas beragamnya batasan umur dewasa untuk mengukur kecakapan
bertindak seseorang menimbulkan implikasi hukum pada kekuatan pembuktian
daripada akta itu sendiri terutamnya terkait dengan kegunaan dari akta notaris
tersebut sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama untuk dapat dijadikan
alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya.
Hal tersebut menjadi sangat penting dengan mengingat bahwa, dalam akta
notaris yang substansinya mengandung peralihan hak atas tanah, batasan umur
146
Ibid.
126
sebagai ukuran agar seseorang dapat dikatakan cakap bertindak tidaklah sematamata berdasar pada syarat normatif sebagaimana ditentukan Pasal 39 ayat (1)
huruf a UUJN akan tetapi berdasar pula pada ketentuan batas umur dewasa yang
berlaku dalam hukum pendaftaran tanah yang bersumber pada UUPA. Dengan
mengingat bahwa, akta notaris tersebut (PPJB) yang kewenangan untuk membuat
akta pertanahan ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f menentukan bahwa :
“Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Akta PPJB tersebut kelak
akan digunakan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama (selanjutnya
disebut AJB balik nama) yang dibuat dihadapan PPAT dan pada akhirnya
dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah dikantor Pertanahan
Kota/Kabupaten.
Sehingga batasan umur sebagai syarat cakap bertindak seseorang dalam
pembuatan akta yang bertujuan agar terjadinya peralihan hak atas tanah haruslah
diselaraskan dengan norma hukum lain, yang secara normatif memberikan batasan
tentang batas umur seseorang untuk dapat menerima peralihan hak sekaligus
dibenarkan menurut hukum melakukan peralihan hak atas tanah. Maksudnya
apabila akta PPJB dijadikan dasar dibuatnya AJB balik nama dan akta tersebut
kemudian digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya,
penghadapnya belum genap berusia 21 tahun sebagai syarat yang berlaku dalam
pendaftaran tanah di Indonesia, maka permohonan pendaftaran peralihan haknya
ditolak sehingga secara tidak langsung berarti pula AJB balik nama tersebut tidak
dapat berfungsi sebagai alat pendaftarannya.
127
Dalam hukum pendaftaran tanah di Indonesia batasan umur/usia seseorang
dianggap dewasa dan cakap bertindak di dalam hukum atau melakukan perbuatan
hukum, yaitu untuk dapat melakukan pendaftaran permohonan peralihan hak atas
tanah adalah sebagaimana dimaksud dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal
13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam ketentuan
tersebut ditentukan bahwa, bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum
Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina (mestinya
Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan
mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad 1924 : 557 adalah 21
tahun. Selanjutnya menurut Ade Maman Suherman mengatakan bahwa : untuk
orang-orang yang tunduk pada hukum adat ditentukan : …apabila seorang Notaris
atau PPAT mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa maka hal
itu dapat diterima sebagai benar.147 Dalam menjalankan tugasnya PPAT
membantu sebagian dari kegiatan Pendaftaran Tanah yang merupakan kegiatan
Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga PPAT dapat dikatakan sebagai
Pejabat Tata Usaha Negara.
Tugas pokok dan kewenangan PPAT adalah melaksanakan sebagian
kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data
147
Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit. hal. 19.
128
pendaftaran yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, demikian pengaturan
dalam Pasal 2 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 menentukan bahwa :
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran
tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu;
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebagai
beriku :
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. hibah;
d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian harta bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Sebagaimana
telah
diuraikan
sebelumnya
bahwa
sesungguhnya
keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri
yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian
antara jabatan PPAT dan jabatan notaris adalah dua jabatan yang sejak semula
sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua
jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang
notaris juga adalah PPAT. Maka dapat disimpulkan bahwa jabatan PPAT tetap
terpisah dengan Jabatan Notaris, sehingga seseorang yang diangkat menjadi
Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat
jabatan PPAT.
Selain hal-hal di atas, kegunaan atau fungsi akta notaris yang tidak dapat
menjadikan dirinya berfungsi sebagai alat yang membuktikan di dalamnya telah
129
terjadi perlihan hak atas tanah adalah berkaitan dengan kecakapan bertindak di
dalam hukum. Di dalam hukum dikenal subyek hukum yang oleh undang-undang
dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka
yang ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya
tidak bisa menimbulkan konsekuensi yuridis yang sempurna (anak-anak belum
dewasa pada umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam
arti harus didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat
perjanjian kawin, untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada
yang mempunyai kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa).
Kewenangan hukum merupakan kemampuan bertindak yang diberikan oleh
hukum dalam melakukan perbuatan hukum bagi subyek hukum, yaitu seseorang
dalam kedudukannya sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum.
Yang menjadi subyek hukum, adalah semua manusia dan bukan manusia, yaitu
badan hukum yang juga sebagai pendukung hak dan kewajiban. Apabila semua
manusia dan badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban, maka
belum berarti bahwa semua subyek hukum bisa dengan leluasa secara mandiri
melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-tindakan hukum.
Agar supaya subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam
hukum mempunyai kewenangan hukum, maka harus ada kecakapan bertindak,
yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum pada umumnya.
Suatu kecakapan bertindak merupakan kewenangan bertindak pada umumnya dari
subyek hukum, dan untuk tindakan-tindakan hukum pada umumnya tersebut,
kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak khusus, yang
130
hanya tertuju pada orang-orang tertentu untuk tindakan-tindakan hukum tertentu
saja.
Dalam kaitannya dengan dalam KUHPerdata dengan jelas menentukan
bahwa hanya orang yang sudah berumur 21 tahunlah yang dapat dikatakan
dewasa serta cakap dalam melakukan setiap perbuatan hukumnya sendiri, tanpa
bantuan dan perantara orang tua maupun orang lain sebagai wali untuk
mewakilinya. Batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, dan syarat
sebagai penghadap atau pihak dalam sebuah akta, UUJN telah memperjelas
dengan Pasal 39 ayat (1), yang menentukan bahwa syarat untuk menjadi pihak
atau penghadap adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah
menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Sehingga dari ketentuan pasal
tersebut bahwa umur 18 tahun sudah dinyatakan cakap dan dewasa untuk
melakukan perbuatan hukumnya tanpa bantuan orang tua. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa sejak diundangkannya UUJN, maka setiap orang yang sudah
berumur 18 tahun atau sudah menikah, dianggap sudah dewasa dan berhak untuk
bertindak selaku subyek hukum.
Perbedaan
batas
kedewasaan
antara
syarat
membuat
perjanjian
sebagaiamana diatur dalam Pasal 330Jo Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata yaitu
berumur 21 tahun dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN yang menentukan bahwa
seorang penghadap harus telah berumur 18 tahun. Dari dua ketentuan tentang
batas kedewasaan tersebut jelas dalam praktiknya menimbulkan suatu
kesimpangsiuran dan keragu-raguan dikalangan para notaris/PPAT, karena jika
mengikuti Pasal 39 ayat (1) UUJN maka usia 18 tahun untuk menjadi penghadap
131
dihadapan notaris berarti juga telah berhak untuk menjadi pihak dalam sebuah
perjanjian.
Perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah, selalu harus diikuti dengan
pembuatan akta-akta mengenai hal tersebut. Akta-akta mana dibuat oleh pejabat
yang berwenang untuk itu dalam hal ini adalah PPAT, di mana dalam hal-hal
tertentu dibuat aktanya oleh notaris.148 Dalam hal pembuatan akta-akta yang
berhubungan dengan tanah yang dibuat oleh PPAT dengan mengacu ketentuan
Pasal 39 ayat (1) UUJN tidak berlaku karena pada saat akan didaftarkan di BPN
ternyata ditolak oleh BPN dengan alasan bahwa BPN tidak tunduk pada UUJN,
karena BPN tetap berpedoman pada ketentuan batas kedewasaan menurut Pasal
330 KUHPerdata yaitu 21 (dua puluh satu) tahun.
Konflik yang terjadi didalam praktek menyangkut batas kedewasaan kerap
terjadi ketika dalam suatu peristiwa hukum mengandung titik singgung dari
beberapa aturan, baik karena melibatkan dua institusi hukum yang berbeda
maupun karena ruang lingkup dari beberapa aturan hukum yang mengaturnya.
Sistem hukum nasional seharusnya memiliki batas kedewasaan yang sama,
minimal ada keseragaman dalam satu wilayah hukum tertentu, agar tidak terjadi
kesimpangsiuran dan keragu-raguan bagi para pelaksana dilapangan. Para
pembentuk undang-undang juga seyogyanya melakukan research and assessment
terlebih dahulu sebelum menentukan batas kedewasaan dalam suatu peraturan
perundang-undangan.
148
R. Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan,
Edisi pertama, CV Rajawali, Jakarta, hal 44.
132
Dari deskripsi di atas dengan menggunakan teori Stufanbou des Rechts
kendala-kendala yang lahir akibat ketidak sesuaian aturan hukum yang satu
dengan aturan lain yang mengatur batasan umur sebagai indikator dewasa dan
cakap bertindak dalam hukum, terutama terkait dengan dibuatnya akta notaris
yang didalamnya mengandung peralihan hak atas tanah. Sebab menurut teori
Stufanbou des Rechts yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa norma-norma
(termasuk norma hukum) itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki
tata susunan, di mana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku,
bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya
sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang bersifat
hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).149
Sistem penjenjangan norma di Indonesia diimplementasikan kedalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pasal 7
ayat (1) mengatur mengenai tata urutan
peraturan perundang-undangan. Di dalam tata urutan peraturan perundangundangan KUHPer sejajar (horisontal) dengan UUJN dimana KUHPerdata
mengatur mengenai batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun, sedangkan UUJN mengatur mengenai syarat
untuk menjadi pihak atau penghadap adalah paling sedikit berumur 18 (delapan
belas) tahun. Sedangkan UUPA merupakan dasar kebijakan yamg mengatur
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dimana
149
Hans Kelsen, op. cit, hal.124.
133
UUPA tidak mengatur secara implisit ketentuan batasan umur untuk dapat
melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah.
Tidak mustahil terjadi konflik antara kepentingan peraturan perundangundangan, antara undang-undang dengan kebiasaan, antara undang-undang
dengan putusan pengadilan. Apabila terjadi konflik misalnya antara dua undangundang, akan berlaku secara konsiten asas-asas prefensi yaitu : lex specialis
derogat legi generalis, lex posteriori derogat legi priori,
atau lex superior
derogat legi inferiori. 150
a.
Lex specialis derogat legi generalis
undangan
yang
bersifat
khusus
artinya peraturan perundang(special)
mengenyampingkan
berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum
(general)
b.
Lex posteriori derogat legi priori artinya peraturan perundangundangan yang baru mengenyampingkan
berlakunya peraturan
perundang-undangan yang lama.
c.
Lex superior derogat legi inferiori artinya peraturan perundangundangan
yang
berlakunya
lebih
peraturan
tinggi
tingkatannya
perundang-undangan
mengenyampingkan
yang
lebih
rendah
tingkatannya.
Dalam hal terjadinya konflik norma antara UUPA dengan UUJN mengenai
batasan umur tersebut di atas, apabila dikaji berdasarkan atas asas lex specialis
derogat legi generali sebagai pisau analisanya maka peraturan perundang-
150
Zainudin Ali, 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 118.
134
undangan yang mengatur tentang batas usia sebagai syarat dewasa dalam
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang digunakan oleh baik Badan
Pertanahan Nasional yang dalam hal ini adalah bagian pendaftaran pada masingmasing Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota maupun UUPA, yang secara implisit
mengunakan
norma
batasan
umur
21
tahun
sebagai
syarat
dewasa
mengesampingkan berlakunya norma batasan umur 18 tahun yang berlaku dalam
UUJN. Atau dengan kata lain UUPA sebagai peraturan dasar mengenai hak atas
tanah, yang pembentukannya berfungsi menghapus dualisme hukum tanah, yakni
menghapus berlakunya hukum kolonial peninggalan penjajah Belanda berupa
Agrarische Wet dan hukum adat dengan mengganti dan memberlakukan hukum
nasional (UUPA). Dalam keberadaanya seperti tersebut, UUPA menciptakan
unifikasi serta kodifikasi hukum agraria nasional yang didasarkan pada hukum
adat. Selain itu, mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi,
air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai
hipotik. Sehingga sekalipun UUPA maupun peraturan perundang-
undangan yang dikeluarkan oleh BPN sebagaimana dipaparkan di atas tidak
secara tegas menentukan batasan umur sebagai syarat dewasa agar dapat bertindak
didalam khususnya dalam hal peralihan hak atas tanah. Maka dengan hanya
dihapusnya Buku II KUHPerdata, maka berdasarkan adagium hukum umum,
yakni berdasar pada Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menentukan bahwa : “Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”,
maka UUPA dapat dikatakan mengacu atau mengadopsi kepada hukum
135
kebiasaaan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan. Diakui atau tidak, namun
hukum adat juga mempunyai peran dalam sistem hukum nasional di Indonesia.
Dikatakan demikian karena berdasar pada arti kata adopsi sebagaimana dimaksud
dalam Black’s Law Dictionary disebut dengan reception yang diartikan sebagai
“the adoption in whole or in part of law of one jurisdiction by another
jurisdiction”151 (Terjemahan bebas : adopsi secara keseluruhan atau sebagian dari
hukum satu yurisdiksi dengan yuridiksi lain) dengan demikian UUPA
mengadopsi/me-reception ketentuan batasan umur 21 tahun yang menjadi hukum
kebiasaan sebagai norma dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum
peralihan hak atas tanah.
151
Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co,
United State of America, hal. 1297.
BAB IV
KONSEKUENSI YURIDIS AKTA PPJB TANAH DALAM HAL NOTARIS
MENERAPKAN SYARAT DEWASA BERDASARKAN UNDANGUNDANG TENTANG JABATAN NOTARIS
4.1. Kekuatan Hukum Akta PPJB Notaris Sebagai Dasar Dibuatnya Akta
Jual Beli.
Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, suatu akta PPJB
merupakan akta otentik yang dibuat oleh/dihadapan notaris sehingga lazimnya
disebut dengan akta notariil, isinya tentang perikatan dua belah pihak antara
pemilik tanah (bangunan) selaku penjual dengan pembeli, yang saling sepakat
untuk menjual dan membeli karenanya menyerahkan uang sebagai pembayaran
harga tanah sebaliknya menyerahkan tanah (bangunan) sebagai pemenuhan
kewajiban dari pihak penjual. Suatu akta PPJB dibuat dalam kedudukannya
sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dibuatnyaakta jual beli balik nama, lahir
karena syarat untuk dibuatnya akta jual beli balik nama belum terpenuhi, disatu
sisi misal sertifikatnya belum selesai atau harga tanah belum dibayar lunas oleh
pembeli dan disisi lain lahir karena memang dikehendaki oleh para pihak antara
penjual dan pembeli bahwa perikatan jual belinya hanya dituangkan dalam akta
PPJB. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Subekti bahwa akta PPJB
merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum
dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya causa-causa yang harus dipenuhi
untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat hak atas tanah belum terdaftar
136
137
atas nama penjual dan masih dalam proses baliknamanya, dan belum terjadinya
pelunasan harga obyek jual beli atau sertifikat masih diroya.152
Dari deskripsi diatas maka akta PPJB dapat dibedakan antara perjanjian
pengikatan jual beli yang dibuat karena belum dipenuhi syarat pokok terjadinya
jual beli yang melahirkan peralihan hak dan akta PPJB yang telah memenuhi
syarat tersebut namun memang dikehendaki dibuat dalam bentuk perjanjian
pengikatan jual beli. Terhadap akta PPJB dalam bentuk yang pertama, selain
karena belum terpenuhinya syarat dibayar lunas atau penjual belum memiliki
bukti tanah berupa sertipikat dapat pula terjadi karena suatu kondisi yuridis
tertentu seperti tanah sebgai objek akta PPJB sedang disewakan kepada pihak
ketiga dalam hal demikian perjanjian pengikatan jual beli diselenggarakan dengan
menggunakan syarat pelunasan dari pembeli kepada penjual ketika masa sewa
menyewa telah berakhir, kecuali pihak yang menyewa telah menyetujui baik
secara lisan maupun tertulis bahwa tanah yang disewanya tersebut dijual oleh
pemilik tanah dengan memperoleh kompensasi ganti rugi misalnya. Sedangkan
dalam bentuk yang kedua akta PPJB dibuat selain karena dikehendaki oleh para
pihak sekalipun syarat-syarat pokok jual beli telah terpenuhi, juga dapat
disebabkan karena belum terpenuhinya syarat-syarat pendaftaran tanah yang
berlaku saat ini misalnya terhadap tanah belum dilakukan zonasi, belum memiliki
nomor identifikasi boidang (NIB), dan terhadap perbuatan hukum peralihan
haknya belum dibayarkan lunas pajak penjualannya (Pph) dan belum dibayarkan
pajak pembeli (PPHTB).
152
R. Subekti III, op. cit, hal. 138.
138
Terhadap hal hal-hal yang dimaksud dalam bentuk akta yang kedua,
sebagaimana diatur dalam perkab badan tentang zona dengan telah terpenuhi
syarat-syarat dibuatnya akta jual beli selain karena memang dikehendaki oleh para
pihak sementara syarat pokok jual beli telah terpenuhi akta PPJB dibuat dengan
pembayaran lunas, tetapi oleh karena kehendak dan keiginan penjual dan pembeli
selain karena syarat pelengkap (komplementer) dari dibuatnya sebuah akta jual
beli balik mana PPAT belum terpenuhi, misal PPH/PBHTB, zona berdasar Perka
BPN dll (dalam praktek). Setelah suatu akta PPJB sebagaimana di paparkan di
atas terpenuhi, agar supaya dapat dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik
nama, maka akta PPJB tersebut harus diikuti dengan akta kuasa menjual. Dari sisi
fungsi dan kedudukannya, kuasa menjual terkait akta PPJB merupakan accesoir
atau pelengkap dari suatu akta PPJB. Karena tanpa adanya kuasa menjual segala
hal yang secara yuridis dimaksudkan dalam akta PPJB tidak dapat dilaksanakan,
sehingga kuasa menjual mempunyai fungsi untuk mengeksekuturial hak-hak yang
diperoleh pembeli terhadap tanah yang dibelinya. Dengan demikian suatu akta
PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah yang di dalamnya
terlah memenuhi syarat jual-beli serta diikuti dengan kuasa menjual selain telah
pula terpenuhi syarat komplementernya.
Dalam kaitannya dengan bahasan pada sub bab ini, maka akta PPJB yang
dimaksudkan adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan notaris untuk digunakan
sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat oleh/dihadapan
PPAT. Akta PPJB yang di dalam proses pembuatannya telah memenuhi prinsipprinsip dasar yaitu harga tanah (banguan) sebagai obyeknya telah dibayar lunas
139
oleh pembeli kepada penjual, sehingga di dalamnya sekaligus terlah terjadi,
karena telah diperjanjikan perihal penyerahan nyata (feitelijke lavering)
penyerahan yuridis (yuridische lavering) dari tanah (bangunan) dan hak atas
tanahnya.
Kekuatan hukum akta PPJB sebagai akta notaris, otensitasnya berdasar pada
Pasal 1
ayat (1) UUJN, yaitu akta sebagai produk hukum
notaris dalam
kedudukannya sebagai pejabat umum. Sehingga akta PPJB tersebut memperoleh
sifat akta otentik bukan hanya oleh karena undang-undang menetapkan demikian,
tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan notaris selaku pejabat umum.
Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian bantuan yang
bentuknya bebas dan merupakan akta pendahuluan dari suatu akta pokok/akta jual
beli balik nama yang nantinya akan dibuat dihadapan PPAT yang berwenang.
Perjanjian pokok adalah perjanjian yang mempunyai alasan sendiri untuk adanya
perjanjian tersebut, sedangkan perjanjian bantuan adalah merupakan perjanjian
yang alasan dilakukannya bergantung pada adanya perjanjian lain.153 Sedangkan
perjanjian bantuan dapat berupa pendahuluan (pactum de contrahendo), yaitu
suatu perjanjian, dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya
suatu perjanjian utama atau perjanjian pokok yang merupakan tujuan dari para
pihak.154 Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian
pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari
para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat jual beli
dihadapan PPAT telah terpenuhi.
153
154
Herlien Budiono I, op. cit, hal.53
Herlien Budiono I, loc. cit.
140
Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan akta otentik yang
yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, sehingga berkedudukan sebagai akta
otentik, secara yuridis mempunyai kekuatan hukum dalam memberikan
perlindungan hukum dan menciptakan kepastian hukum bagi para pihak,
karenaakta PPJB sebagai akta notaris merupakan alat bukti yang terkuat dan
sempurna. Kekuatan pembuktian akta PPJB memberikan nilai pembuktian yang
sempurna dan mengikat sebagai akta otentik, apabila akta PPJB memenuhi
kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formal dan materil. Kekuatan nilai
pembuktian akta notaris termasuk akta PPJBadalah :155
1. Kekuatan pembuktian Lahiriah (uitwendige bewihsjracht)
Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat
apa adanya, bukan ada apanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan
dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta
notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib
membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik.
Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai
akta otentik, atau bukan akta otenti, maka penilaian pembuktiannya harus
didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik.
Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke
pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta
yang menjadi obyek gugatan bukan akta notaris.
2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht)
155
Habib Adji I, op. cit, hal. 18.
141
Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta-akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan
oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dengan akta
sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta.
Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari,
tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang
menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris,
serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada
akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para
pihak/penghadap (pada akta pihak).
Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan
dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran
hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap; membuktikan
ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris, juga
harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para
pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran
tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan
akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan
akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek
formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran
tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.
Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan
atas aspek formal akta notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas
142
akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Pengingkaran atau
penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan
umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa aspek formal yang
dilanggar atau tidak sesuai dengan akta yang bersangkutan. Misalnya,
bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap notaris pada
hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) yang tersebut dalam awal akta,
atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan
dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebut untuk
mengugat notaris, dan pengugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran
aspek formal tersebut.156
3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht)
Kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta
merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta
atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada
pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang
dituangkan/dimuat dalam akta pejabat/berita acara, atau keterangan atau
para pihak yang diberikan/disampikan dihadapan notaris (akta pihak) dan
para pihak harus dinilai benar berkata demikian yang kemudian
dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang
datang menghadap notaris kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat
dalam akta harus dinilai telah bena berkata demikian. Jika ternyata
pernnyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar
156
GHS. Lumbang Tobing, op. cit, hal. 61.
143
berkata demikian, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri.
Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris
mempunyai kepastian sebagai sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di
antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan
harus dapat membuktikan, bahwa notaris tidak menerangkan atau
menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak
telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar secara meteriil
dari akta notaris.
Ketiga aspek tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu aspek dengan yang
lainnya, tapi harus dilihat secara keseluruhan sebagai bentuk penilaian
pembuktian atas keotentikan akta notaris. Tidak terpenuhinya salah satu dari
aspek diatas tidak mengakibatkan akta PPJB menjadi batal atau tidak sah,
melainkan akta bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai
akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya
sebagai akta yang mampunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah
tangan.
Akta PPJB dalam kedudukannya memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi para pihak yang membuat, dikarenakan kedudukan notaris tidak
berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif. Dengan bantuan
notaris para pihak yang membuat perjanjian pengikatan jual beli akan
mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.
Dengan demikian kekuatan hukum dari akta PPJB dalam pelaksanaan pembuatan
144
akta jual beli balik nama mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta
memiliki kekuatan hukum sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya,
dimana pembuatan akta PPJB yang dibuat dihadapan atau oleh notaris
berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam UUJN berdasar Pasal 38, serta telah memenuhi ketentuan syarat sahnya
perjanjian dan sebagai akta otentik berdasar pada Pasal 1320 dan Pasal 1868
KUHPerdata.
4.2. Konsekuensi yuridis Akta PPJB Sebagai Dasar Dibuatnya Akta Jual
Beli.
4.2.1. Konsekuensi yuridis bagi kedudukan akta PPJB sebagai dasar dibuatnya
akta jual beli balik nama.
Suatu akta PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama dapat
melahirkan konsekuensi sehingga akta PPJB berkedudukan sebagai akta
pendahuluan, yaitu sebagai akta yang dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli
balik nama. Dalam kedudukannya tersebut menunjukan adanya suatu konsekuensi
yuridis yang dapat lahir atau terjadi berupa konsekuensi yuridis yang menjadikan
suatu akta jual beli balik nama sah menurut hukum dalam artinya akta jual beli
balik nama dalam proses dibuatnya telah memenuhi syarat-srata pokok dibuatnya
suatu akta peralihan hak. Suatu akta peralihan hak semisal akta jual beli balik
nama sah dibuat apabila telah mengandung syarat terang dan tunai, yaitu harga
tanah telah dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual dan tanah telah diserahkan
(sekalipun baru sebatas penyerahan nyata/faitelijke levering).
145
Dengan demikian, maka konsekuensi yuridis dari suatu akta PPJB yang
dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah sebagai sesuatu yang
mengakibatkan terjadinya suatu konsekuensi yuridis yang memang dikehendaki
terjadinya oleh para pihak, yaitu terjadinya peralihan hak atas tanah dari penjual
kepada pembeli. Sementara itu, dalam sistem hukum pendaftaran tanah, peralihan
hak atas tanah diartikan terjadinya pencoretan nama dalam bukti hak atas tanah
(sertipikat) dari pemilik asal selaku penjual menjadi ke atas nama pembeli,
sebagai bentuk pelaksanaan dari adanya asas publisitas dalam proses pendaftaran
tanah. Oleh karenanya konsekuensi yuridis yang lahir dari digunakannya akta
PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah terjadinya
pencoretan nama dalam sertipikat dari pemilik asal menjadi ke atas nama pembeli,
setelah terpenuhinya persyarat yang ditentukan dalam hukum pendaftaran tanah
sehingga dapat dijadikan alat permohonan pendaftaran peralihan haknya.
Selain berdasarkan akta jual beli balik nama yang melahirkan konsekuensi
yuridis terjadinya peralihan hak atas tanah, dalam hukum pendaftaran tanah juga
dikenal berdasarkan akta-akta seperti hibah, tukar menukar, pembagian harta
bersama, pemasukan dalam perseroan dan lelang. Akta hibah adalah akta yang
dibuat oleh/dihadapan PPAT sebagai dasar terjadinya peralihan hak atas tanah
dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Dalam akta tersebut tidak terdapat
syarat prinsip sebagaimana yang terdapat dalam akta jual beli balik nama, yaitu
tidak adanya harga yang harus dibayar/diserahkan kepada pemberi hibah oleh
penerima hibah. Artinya adalah, dalam akta hibah penyerahan hak atas tanah dari
146
pemberi kepada penerima obyek hibah (tanah atau tanah dan bangunan) secara
cuma-cuma.
Keberadaan akta-akta seperti dipaparkan di atas sebagai alat pendaftaran
tanah yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah adalah berdasar
pada : Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta
Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai
hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Kemudian berdasarkan
pula pada ketentuan Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa
: “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual
beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat
didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT”.
Dalam praktek dibuatnya akta jual beli balik nama tentang terjadinya jual
beli tanah dihadapan PPAT diperlukan berbagai syarat, antara lain kewajiban
melunasi harga jual beli serta persyaratan terkait dengan pendaftaran peralihan
hak atas tanah di Kantor Pertanahan, yaitu seperti kewajiban mencantumkan
Nomor Identifikasi Bidang (NIB) hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam akta jual beli,
sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 yang menetukan bahwa PPAT tidak
diperbolehkan membuat akta jual beli tanah, jual beli, tukar menukar, hibah,
147
pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian
Hak Guna Bagunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan,
Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, atas sebidang tanah yang
sudah terdaftar atau tanah hak milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan
dan diberikan NIB. Apabila persyaratan tersebut telah dapat dipenuhi oleh para
pihak maka akta jual beli dapat dibuat dihadapan PPAT, namun apabila dalam
proses jual beli tersebut terhambat dikarenakan oleh persyaratan yang timbul dari
undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas, maka akta jual beli tidak
dapat dibuat dihadapan PPAT.
Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan
kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak
diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu
pegangan atau pedoman. Untuk memberikan kepastian dan menjaga agar
kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa
di urus maka pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan kesepakatan awal
tersebut dalam bentuk perjanjian.
Akta PPJB lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa
persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli
hak atas tanah belum terpenuhi yang akhirnya agak menghambat penyelesaian
transaksi dalam jual beli hak atas tanah.
Sehingga akta PPJB sebagaimana
dikatakan oleh Herlien Budiono yang mengatakan : perjanjian bantuan berfungsi
dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat,
148
mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum. 157 Dengan
demikian akibat terhambatnya peralihan hak atas tanah dihadapan PPAT maka
akta PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian pendahuluan yang
fungsi kedudukannya sebagai dasar untuk memperkuat dan menegaskan
perjanjian pokoknya yaitu akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan
mempunyai tujuan menyelesaikan hubungan hukum terhadap hal-hal yang telah
disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli.
4.2.2 Konsekuensi yuridis akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya
berdasarkan pada Pasal 39 ayat (1)UUJN sebagai dasar dibuatnya akta jual
beli balik nama.
Yang dimaksud dengan konsekuensi yuridis akta PPJB yang syarat dewasa
penghadapnya berdasarkan UUJN sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik
nama dimaksudkan sebagai konsekuensi yuridis yang dapat lahir dan terjadi
dalam proses kegunaan akta jual beli balik nama yang dibuat berdasarkan akta
PPJB yang syarat dewasa penghadapnya mengacu dan berdasar pada norma yang
terkandung dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yaitu berumur 18 tahun. Pembahasan
ini terkait dengan masalah kedua dari isu hukum dalam tesis ini,sehingga
konsekuensi yuridis yang dimaksudkan adalah implikasi hukum yang dapat lahir
baik terhadap akta PPJB maupun akta jual beli balik nama ketika dijadikan alat
pendaftaran peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek akta-akta tersebut,
ternyata keberadaanya tidak diterima dalam hukum pendaftaran tanah yang
berlaku.
157
Herlien Budiono III, op. cit, hal. 68.
149
Akta PPJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh notaris secara teoritis
berarti memang sejak semula dengan sengaja buat untuk dijadikan alat
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam hukum pembuktian. Secara dogmatis,
keberadaannya sebagai akta otentik diatur berdasarkan pada Pasal 1868
KUHPerdata, yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan
dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta
tersebut dibuatnya.158 Sehingga ketentuan tersebut merupakan sumber untuk
otentisitas dan merupakan dasar legalitas serta eksistensi akta PPJB. Karena
dalam Pasal 1868 KHUPerdata menentapkan unsur-unsur pokok dari akta otentik
yakni :
1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk
menurut hukum;
2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum;
3. Bahwa akta tersebut di buat oleh atau di hadapan pejabat yang
berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta
itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya.
Dalam kaitannya dengan itu, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa,
otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta tersebut dibuat oleh atau di
hadapan notaris. Namun cara membuat akta otentik tersebut haruslah menurut
ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh
seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk
membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta
158
Abdul Ghofur, op. cit, hal. 18.
150
otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.159
Menyusun sebuah akta notaris harus mempunyai alur sistematika yang
mengalir, untuk itu mempunyai anatomi tersendiri, artinya mempunyai bagianbagian dan nama tersendiri yang tidak terlepas dari bagian yang lainnya
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Anatomi dari akta notaris antara
lain :
1. Judul akta
Judul sebuah akta harus mencerminkan dari substansi akta tidak multitafsir.
Hindarkan untuk memberi judul multitasir (ditafsirkan lebih dari satu atau
ditafsirkan tidak sesuai dengan keinginan para pihak). Dalam hal ini perlu
diperhatikan istilah yang bersifat terminologi yang mempungai dua
artikulasi dan terminologi yang mempunyai satu artikulasi. Untuk
menghindari multitafsir tersebut, istilah-istilah dalam Kontrak harus
didefinisikan pada bagian Kontrak, ditempatkan pada awal isi Kontrak,
mengenai ketentuan umum.160
2. Komparisi
Komparisi
merupakan
tindakan/kedudukan
para pihak dalam/untuk
membuat/menandatangani akta. Dalam membuat komparisi maka syarat
subjektif yaitu : (a) adanya kesepakatan, dan (b) kecakapan untuk
melakukan perbuatan hukum yang tersebut dalam Pasal 1320 KUHPer harus
159
160
Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal. 142-143.
Habib Ajie I, op. cit, hal. 42.
151
dipenuhi, karena jika syarat ini jika tida dipenuhi dan atas permintaan pihak
tertentu, maka perjanjian dapat dibatalkan. Komparisi terdiri dari :161
1. Identitas para pihak yang membuat akta.
2. Kedudukan para pihak dalam melakukan tindakan.
3. Dasar kedudukan tersebut.
4. Cakap (rechtbekwaamheid) dan berwenang (rechtsbevoegheid) untuk
melakukan
tindakan
hukum
(rechtshandelingen)
yang
akan
disebutkan/dicantumkan dalam akta.
5. Para pihak memiliki hak untuk melakukan suatu tindakan yang akan
dicantumkan dalam perjanjian.
Selain terpenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 38 UUJN
agar menjadi akta otentik,
akta notaris juga harus dibuat dengan memenuhi
ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab, secara substantif akta notaris isinya
adalah perjanjian sehingga haruslah dibuat dengan memenuhi empat syarat yaitu :
(1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap mereka untuk membuat
suatu perikatan, (3) adanya suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut kemudian digolongkan menjadi dua unsur sahnya
perjanjian yaitu unsur subyektif dan unsur objektif. Termasuk ke dalam syarat
subyektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk
membuat suatu perikatan, sedangkan syarat obyektif adalah adanya suatu hal
tertentu dan adanya suatu sebab yang halal.
161
Habib Ajie, op. cit, hal. 43.
152
Disisi lain sejak berlakunya UUPA, bangsa Indonesia telah mempunyai
hukum agaria yang bersifat nasional. Pasal 5 menentukan bahwa :
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
negara, yang berdasrkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala
sesuatu dan sengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan hukum
agama.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, hukum agaria yang baru (UUPA) disusun
dan lahir didasarkan atas hukum adat sehingga menganut sistem hukum dan asas
hukum yang terdapat dalam hukum adat. Konsekuensi yuridis dari hal-hal
sebagaimana dipaparkan di atas, adalah segala peristiwa-peristiwa hukum maupun
perbuatan-perbuatan hukum yang bertalian dengan tanah atau hak-hak atas tanah
sebagai obyeknya, termasuk di dalamnya jual beli atau perjanjian perikatakan
jual-beli harus tunduk pada noma hukum adat yang diberlakukan dalam UUPA
seperti asas/prinsip hukum adat terang dan tunai.
Suatu akta jual beli balik nama atas tanah yang dibuat oleh/dihadapan PPAT
sebagai pejabat umum yang diberi wewenang membuat akta di
bidang
pertanahan, yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/Menteri
Agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 PP Nomor 24 tahun 1997,
menempatkan akta tersebut sebagai akta otentik. Dalam keberadaannya seperti itu
suatu akta jual beli balik nama harus memeuhi norma-norma yang berlaku bagi
keotentikan sebuah akta serta norma-norma yang mengatur tentang tanah sebagai
objek dari akta tersebut.
153
Sebagai suatu akta otentik, tentang keotentiktasnya secara mutatis mutandis
dapat diberlakukan norma yang ditentukan Pasal 1868 KUHperdata, karena suatu
akta akta jual beli balik nama dibuat dengan memenuhi ketentuan, bahwa : (1)
dibuat oleh/dihadapan PPAT berdasarkan ketentuan Pasal PP nomor 24 tahun
1997, (2) bentuknya dibuat berdasarkan pada Peratura Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 23 Tahun 2009dan (3) dibuat diwilayah kewenangan/wilayan
kerja PPAT tersebut. Selain itu, akta jual beli balik nama secara substanstif harus
pula memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPeradata, karena di satu sisi sebagai
sebuah akta yang isinya adalah perjanjian berobyekan tanah atau hak-hak atas
tanah, akta jual beli balik nama harus dibuat dengan mengikuti dan memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian. Dan di sisi lain dalam keberadaannya sebagai akta
otentik, akta jual beli balik nama yang harus mempunyai kekuatan hukum
pembuktian materiil, yaitu akta jual beli balik nama tersebut mampu
membuktikan tentang kebenaran apa yang diterangkan di dalamnya.
Dalam proses atau tata cara dibuatnya akta jual beli balik nama
oleh/dihadapan PPAT, para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah
harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual-beli
tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan
diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang
dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak
tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan
pihak lain, dan sebagainya.
154
Disamping itu jual-beli telah dibayar secara lunas dan semua pajak yang
berkaitan dengan jual-beli seperti pajak penjual (SSP) dan pajak pembeli yaitu
(Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan/BPHTB) juga telah dilunasi oleh
pihak yang akan melakukan jual-beli. Setelah semua hal tersebut dilengkapi atau
terpenuhi, barulah para pihak yang akan melakukan jual-beli tanah dapat
melakukan jual-beli hak atas tanah dan pembuatan akta jual-beli tanah di hadapan
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta selanjutnya melakukan pendaftaran
tanah untuk pemindahan haknya.
Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum dipenuhi maka
pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli balik nama belum dapat
diselenggarakan dan PPAT yang bersangkutan harus menolaknya, yang dengan
sendirinya jual-beli hak atas tanah belum bisa dilakukan. Keadaan tersebut
tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan bisa merugikan terhadap para
pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah. Karena dengan keadaan tersebut
pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan tanahnya, agar semua
persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang dengan sendirinya juga tertunda
keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan hak atas tanahnya tersebut.
Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan tersebut
pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan hak atas tanah yang
akan dibelinya.
Berkaitan dengan syarat formal maupun materiilnya untuk terjadinya
perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dengan akta jual beli balik nama
bersifat final, maka harus terpenuhinya persyaratan kelengkapan surat-surat
155
(sertifikat, dan lainnya) yang menjadi bukti hak atas tanah sebagai syarat
formilnya dan harus lunasnya harga jual beli tanahnya sebagai terpenuhinya syarat
materiil. Dalam hal suatu akta jual beli balik nama dibuat berdasarkan pada akta
PPJB, maka kedua persyaratan tersebut terdapat dalam akta PPJB agar dapat
digunakan sebagai perjanjian pendahuluan sementara menunggu dipenuhinya
syarat pelengkap dalam rangka akta jual beli balik nama digunakan untuk
pendaftaran peralihan hak atas tanahnya di kantor Pertanahan kabupaten/kota
ditempat tanah berada.
Berdasarkan pada deskripsi di atas dan sejalan dengan tujuan penelitian ini,
maka dalam hal sebuah akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya berdasar
pada norma dewasa menurut UUJN dan belum/tidak sejalan dengan norma
dewasa menurut hukum pendaftaran tanah yang mengacu pada norma dewasa
dalam kententuan Pasal 330 KUHPerdata, misalnya penghadap sebagai pembeli
adalah berumur 19 tahun, kemudian dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik
nama, yang akhirnya setelah terpenuhi syarat lainnya dijadikan alat untuk
permohonan peralihan hak atas tanahnya. Oleh karena penghadap selaku pembeli
dalam akta PPJB berumur 19 tahun, maka dalam akta jual beli balik nama umur
pemohon adalah 19 tahun. hal tersebut melahirkan konsekuensi pada keberadaan
akta jual beli balik nama tidak memenuhi syarat sebagai alat permohonan
pendaftaram, konsekuensi yuridisnya baik akta PPJB maupun akta jual beli balik
nama sama-sama tidak dapat dan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan alat
permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau dengan kata lain akta-akta
tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah.
156
Maksudnya adalah, baik akta PPJB maupun akta jual beli balik nama sebagai
suatu akta otentik yang sama-sama tidak dapat dijadikan alat pendaftaran
melahirkan konsekuensi yuridis yang masing-masing berbeda.
Bagi akta PPJB oleh karena mwrupakan akta notaris yang tunduk pada
norma dewas menurut UUJN, seorang penghadap yang telah berumur 19 tahun
telah dikatakan dewasa karenanya cakap bertindak dan memiliki kewenangan
hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sekalipun objeknya adalah
tanah atau hak-hak atas tanah. Sedangkan terhadap akta balik nama yang
menggunakan akta PPJB sebagai dasarnya melahirkan konsekuensi yuridis bahwa
akta tersebut jikalau mengacu pada Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli
1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang memilki norma
dewasa adalah 19 tahun dan 20 tahun, maka akta jual beli tersebut adalah sah
sebagai suatu akta otentik. Berbeda halnya dengan jikalau akta jual beli balik
nama di ukur dari norma dewasa yang berlaku pada Pasal 330 KUHPerdata yang
diadopsi oleh UUPA dan diimplementasikan kedalam hukum pendaftaran tanah
dimana syarat dewasa adalah 21 tahun, maka akta jual beli balik nama tersebut
menjadi batal.
Di dalam hukum, kebatalan dapat dibedakan menjadi batal demi hukum,
dapat dibatalkan, dan non existent. Konsekuensi yuridis dari suatu kebatalan pada
prinsipnya sama antara batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yaitu
ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau
157
perbuatan hukum tersebut tidak memiliki akibat hukumnya. Titik perbedaannya
pada waktu berlakunya kebatalan tersebut, yaitu :162
a. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki
akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau berdaya surut (ex
tunc), dalam praktik batal demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum tetap;
b. Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki
akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalan atau
pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang
menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya
dapat dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belum ada putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta
tersebut;
c. Non Existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non
existent, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensialia dari suatu
perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam suatu
perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak
diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktik tetap diperlukan putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dam implikasinya sama
dengan batal demi hukum.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan diatur dalam Buku III bagian
kedelapan Bab IV Pasal 1446-1456 KUHPer. Bagian ini hanya mengatur sebagian
162
Herlien Budiono I, op. cit,hal. 364.
158
dari kebatalan, khususnya perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak
cakap, yaitu mereka yang dibawah umur, ditaruh di bawah curatele, serta cacat
dalam kehendak. Istilah kebatalan tersebut tidak ada istilah yang pasti
penerapannya. Menurut Herlien Budiono :
Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum,
maka dinyatakan dengan istilah yang sederhana ‘batal’, tetapi adakalanya
menggunakan istilah ‘batal dan berhargalah’ (Pasal 879 KUHPer) atau
‘tidak mempunyai kekuatan’ (Pasal 1335 KUHPer). Penggunaan istilahistilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama
hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk ‘batal demi hukum’
atau ‘dapat dibatalkan’. Pada Pasal 1446 KUHPer dan seterusnya untuk
menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah-istilah
‘batal demi hukum’, ‘membatalkan’ (Pasal 1446 KUHPer), ‘menuntut
pembatalan’ (Pasal 1450 KUHPer), ‘pernyataan batal’ (Pasal 1451-1452
KUHPer), ‘gugur’ (Pasal 1545 KUHPer), dan ‘gugur demi hukum’ (Pasal
1553 KUHPer). 163
Kebatalan diatur secara tidak lengkap dalam Pasal 1444 - 1456 BW dan
dilengkapi dengan Yurisprudensi dan Doktrin sebagai sumber hukum lainnya,
dimana kebatalan dapat disebabkan oleh :
a)
b)
c)
d)
e)
f)
Ketidakcakapan bertindak.
Ketidakwenangan bertindak.
Cacat kehendak.
Bentuk perjanjian.
Bertentangan dengan Undang-Undang.
Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik.164
Istilah batal demi hukum (neitig) merupakan istilah yang biasa
dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif,
yaitu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een
geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak
memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de
163
164
Herlien Budiono I, op. cit,hal. 364.
Habib Ajie I, op. cit, hal. 64-65.
159
toetsemming van degenen die zich verbiden) dan kecakapan untuk membuat suatu
perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan). 165
Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan
(vernietigbaar) sempajang ada permintaan ole orang-orang tertentu atau yang
berkepentingan. Syarat subjektif ini senangtiasa dibayangi ancaman untuk
dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau
pengampu. Agar acaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan
penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap
berlaku dan mengikat para pihak. Kebatalan seperti ini disebut kebatalan nisbi
atau relatif (relatief neigtigheid). Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka
perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak,
dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa
pun. 166
Berkaitan dengan kebatalan dan pembatalan akta notaris, Pasal 84 UUJN
telah mengatur tersendiri, yaitu jika notaris melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i,k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 49, Pasal
50, Pasal 51, Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. 167 Akta notaris
batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta
dibawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang sudah
165
Habib Ajie I, op. cit, hal. 65.
Habib Ajie I, loc. cit.
167
Habib Ajie I, op. cit, hal. 66.
166
160
ditentukan menurut hukum. Berdasarkan uraian dia atas kebatalan notaris meliputi
:168
1. Dapat dibatalkan
Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka
membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus
terpenuhi. Pasal 1320 KUHPer yang mengatur tentang syarat sahnya
perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek
yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat
dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum.
Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan bebas dari para
pihak yang berjanji, atau tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana
pun, tapi semata-mata keinginan para pihak yang berjanji.
Unsur subjektif yang kedua berupa adanya kecakapn untuk melakukan
tindakan dari para pihak yang berjanji. Kecakapan melakukan suatu
tindakan hukum oleh para pihak dalam akta yang akan menimbulkan
akibat hukum tertentu jika tidak memenuhi syarat yang sudah ditentukan.
Dalam kaitan ini berkaitan dengan subjek hukum yang akan bertindak
dalam akta tersebut.subjek dari suatu akta adalah pihak yang bertindak
dan bertanggungjawab atas akta yang bersangkutan.
2. Batal demi hukum
Akta notaris batal demi hukum unsur objektif yang pertama berupa objek
yang tertentu (clear and definite) yang diperjanjikan. Prestasi merupakan
168
Habib Ajie I, op. cit, hal. 67.
161
pokok/objek perjanjian. Unsur objektif yang kedua yaitu substansi
perjanjian adalah sesuatu yang diperbolehkan, baik menurut undangundang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang
berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan.
3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Pasal 1869 KUHPer menentukan batasan akta notaris yang mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika
tidak memenuhi ketentuan karena :
1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau
2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau
3. Cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta di bawah tangan
mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika
akta tersebut ditandatangani oleh para pihak.
Ketentuan-ketentuan tersebut secara tegas ditentukan dalam UUJN yang
menyebutkan jika dilanggar oleh notaris, sehingga akta notaris mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yaitu :169
1. Melanggar kententuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan
akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua)
orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadapa, saksi,
dan notaris.
2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu jika notaris
pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap
169
Habib Ajie I, op. cit, hal. 81.
162
menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca
sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta.
3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan merjuk kepada Pasal 39 dan Pasal
40, yaitu tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan :
a. Pasal 39 bahwa :
1). Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah
dan cakap melakukan perbuatan hukum.
2). Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan
kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur
paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan
perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh (dua) penghadap
lainnya.
b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh notaris
dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit
berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan
hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat
membubuhkan tandatangan dan paraf serta tidak mempunyai
hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa
derajat pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan
derajat ketiga dengan notaris atau para pihak.
4. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri,
istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan
dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam
163
garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat,
serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi
pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan
perantara kuasa.
Pembatalan akta notaris meliputi akta notaris dibatalkan oleh para pihak
sendiri dan menilai akta notaris dengan asas praduga sah, yaitu :170
1.
Akta notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri.
Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap
notaris tanpa adanya keinginan seperti itu, akta notaris tidak akan
pernah dibuat, kewajiban notaris membingkainya sesuai aturan hukum
yang berlaku, sehingga akta tersebut dikualifikasikan sebagai akta
otentik. Dalam tataran hukum kenotariatan yang benar mengenai akta
notaris dan notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para
pihak, maka para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat
pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang
dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak dan para pihak
menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
2.
Menilai akta notaris dengan asas praduga sah.
Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan tertentu
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UUJN. Dengan kewenangan
yang ada pada notaris, mana kala akta notaris mengikat atau siapa saja
yang berkepentingan dengan akta tersebut.
170
Habib Ajie I, op. cit, hal. 68.
164
Akta notaris sebagai produk dari pejabat umum, maka penilaian
terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah
(vermoeden van rechtmatigheid) atau presumption lustae causa. Asas
ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris
harus dianggap sah sampai para pihak yang menyatakan akta tersebut
tidak sah.
Berdasarkan deskripsi di atas sebagai hasil bahasan terhadap permasalahan
ke dua dari tesis ini, yaitu tidak dapat digunakannya AJB balik nama sebagai alat
pendaftaran peralihan hak atas tanah karena dibuat berdasar pada akta PPJB yang
penghadap/komparannya selaku pembeli berusia 18 tahun atau menggunakan
norma usia dewasa menurut UUJN. Keberadaan akta AJB balik nama tersebut
dapat dikatagorikan invalid karena tidak memenuhi syarat obyektifnya, yaitu
syarat suatu sebab yang halal dari syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320
KHPerdata. Dikatakan demikian karena berdasar pada arti kata invalid
sebagaimana dimaksud dalam Black’s Law Dictionary disebut dengan “not
legally binding”171 (Terjemahan bebas : tidak mengikat secara hukum). Dengan
demikian maka, konsekuensi yuridis terhadap akta PPJB keberadaanya tetap sah
sebagai akta otentik, sedangkan bagi AJB balik nama menjadi invalid/tidak dapat
digunakan. Sebab, suatu AJB balik nama apabila penghadap (pembeli) secara
langsung adalah juga sebagai pemohon peralihan hak atas tanah berumur 18 tahun
tetap dibuatkan aktanya, sebagai suatu akta otentik dalam proses dibuatnya AJB
baliknama tersebut tidak melanggar norma yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat
171
Bryan A. Garner, op. cit, hal. 843
165
(1) UUJN, akan tetapi menjadi tidak berlaku karena ditolak sebagai dasar
peralihan hak. Bahwa sebagaimana telah dipaparkan dalam bab-bab di atas, tidak
ada suatu ketentuan yang memberi batasan tentang usia sesorang sebagai
komparan di dalam akta jual beli balik nama, baik dalam hukum pendaftaran
tanah maupun UUPA. Tentang batas usia 21 tahun sebagai syarat seseorang boleh
pengajukan permohonan peralihan hak atas tanah yang dibeli dan dibuktikan
dengan akta jual beli balik nama selama ini didasarkan atau berdasar pada norma
KUHPerdata yang dimana dalam ketentuan UUPA tidak mengatur secara khusus
tentang batasan umur demikian pula dalam pendaftaran tanah. Akan tetapi jika
mengacu dan mendasarkan pada keberadaan AJB balik nama merupakan akta
yang dibuat oleh PPAT serta di dalamnya (secara meteriil) mengatur tentang hakhak atas tanah, yang merupakan lingkup atau ranah hukum agraria, oleh
karenanya berlaku norma hukum UUPA, maka AJB balik nama tersebut
seharusnya tidak dapat dibuat/diselenggarakan.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas
adalah :
1. Pengaturan hukum terhadap syarat dewasa agar dapat dikatakan cakap
bertindak untuk dibuatnya akta notaris adalah berdasarkan UUJN Pasal 39
ayat (1) huruf a, yakni 18 tahun. Akan tetapi dalam hal akta PPJB yang
mengandung peralihan hak atas tanah yang akan digunakan sebagai dasar
dibuatnya akta jual beli balik nama kemudian dijadikan alat pendaftaran
peralihan hak atas tanahnya melahirkan konflik norma, sebab syarat
pemohon dalam permohonan peralihan hak atas tanah dikantor Pertanahan
mengacu pada batas umur 21 tahun sesuai dengan norma hukum yang
berlaku dalam UUPA yang mendasarkan pada hukum kebiasaan yang
berlaku sekarang ini. Khusus untuk kecakapan batasan umur UUPA
sebagai lex specialis tidak mengatur tentang syarat umur tersebut sehingga
yang berlaku adalah UUJN karena sebagai legi generalis.
Namun,
masalahnya adalah di dalam praktek PPJB yang mengacu kepada UUJN
tidak dapat diterima, karena sebagai kebiasaan yang berlaku sampai saat ini
penafsiran dari PPAT maupun Badan Pertanahan mengacu pada syarat 21
tahun.
166
167
2.
Konsekuensi yuridis dari batas umur sebagai syarat kecakapan bertindak
terhadap akta PPJB tanah yang syarat dewasa penghadapnya berdasar
pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN bahwa akta PPJB tanah
tersebut tetap sah dan mengikat sebagai suatu akta otentik. Akan tetapi
terhadap akta jual beli balik nama yang sebagai lanjutan akta peralihan
hak, melahirkan konsekuensi bahwa akta tersebut menjadi invalid (tidak
mengikat secara hukum), yaitu tidak dapat digunakan sebagai alat
pendaftaran
peralihan
hak
atas
tanah
pada
kantor
Pertanahan
kabupaten/kota letak tanah tersebut berada.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas adalah
sebagai berikut :
1. Kepada pemerintah selaku eksekutif dan DPR selaku legisatif sebagai
pembentuk undang-undang agar dalam menyempurnakan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris khususnya Pasal 39 ayat (1) huruf a
dengan menambahkan klausul dalam hal akta-akta pertanahan yang
dibuatkan oleh notaris syarat dewasa bagi penghadapnya berumur 21 tahun
agar tidak terjadi konflik norma antara UUPA maupun KUHPerdata.
2. Kepada Badan Pertanahan Nasional agar membuat peraturan yang tertulis
mengenai syarat dewasa batasan umur bagi penghadap yang akan
melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah.
168
DAFTAR PUSTAKA
Buku - Buku
Adjie, Habib, 2009, Menoropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia
(Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
_______, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU
No.30.Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Cet.II, Rafika Aditama,
Bandung.
_______, 2009, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung.
_______, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama,
Bandung.
Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis), Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta.
Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia; Prespektif
Hukum dan Etika, Cet.II, UII Press, Yogyakarta.
Appendix, 1821, Notary-Public, Alex Lawrie & Co, Edinburgh.
Arrasjid, Chainur, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, edisi I, Cet. 2, Sinar Grafika,
Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia, Universitas Sriwijaya,
Palembang, hal.2-3.
_______, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Yogyakarta.
_______, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. II, Sinar
Grafika, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Han Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet.
Pertama, Jakarta.
Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis & Historis, Setara
Press, Malang.
169
_______, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Setara Press, Malang.
Badrulzaman, Mariam Darus et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Bakri, Muhamad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru
Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta.
Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang
Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapanya di Bidang
Kenotariatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku
Kedua, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Burhan, Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Cahyadi, Antonius dan E Fernando M.Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Dja’is, Mochammad dan Koosmargono, RMJ., 2008, Membaca dan Mengerti
HIR, Semarang, Badan Penerbit, Universitas Diponegoro.
Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa
Dan Bagaimana Filsafat Hukum Di Indonesia), Cet.VI, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Djokosoetono, 1982, Hukum Tata Negara, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Fadjar, A. Mukthie, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, Malang.
Harahap, Yahya, 1992, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Hariyono, et al, 2013, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara
Press, Malang.
Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Cet.XII, Djambatan, Jakarta.
Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam
Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta.
170
Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.I,
Bayumedia.
Kelsen, Hans,1998,General Theori of Law and State, terjemahan Anderes Wed
Berg, Russell & Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh
Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan
pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta.
_______, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul
Muttaqien dari Han Kelsen, General Theory of Law and State, Cet.
pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung.
_______, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,
terjemahan Raisul Muttaqien, dari Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Cet.
kedua, Nusa Media & Nuansa, Bandung.
_______, 2009 , General Theori of Law and State, cet III, translated by Anders
Wedberg, The Lawbook Exchage Ltd, New Jersey.
Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet.I,
Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta.
Majda, El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta.
Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cet.III ,Kencana Prenada
Media Group, Jakarta.
Massier, AB, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden.
Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi VI Cet.I,
Liberty Yogyakarta.
Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
_______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mustofa, 2010, Tuntunan Oembuatan Akta-Akta PPAT, KaryaMedia, Yogyakarta.
Parlindungan, A.P., 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung.
171
Perangin-Angin, Effendi, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Cet.II, Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Pitlo, 1971, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, H.D. Tjeenk
Wilink, Groningen.
_______,1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta.
Rasjidi H, Lili. dan Rasjidi Thania Ira, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori
Hukum, Cet. IX, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah Dan Pengalihan Hak Atas Tanah, Cet.II,
Prenada Media Group, Jakarta.Yudi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan
Teori Praktik, Cet.I, Bayumedia Publishing, Malang
Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra
Aditya Bakti, Bandung
Subekti, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXXII, Jakarta.
_______, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
_______, 1995, Aneka Perjanjian, Cet.X, Citra Aditya Bakti, Bandung.
_______, 2005, Hukum Pembuktian, Cet.XV, Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, R. dan R.Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Sjaifurrahman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan
Akta, Cet.I, Mandar Maju, Bandung.
Soemadiningrat, H.R. Otje Salman, 2010, Filsafat Hukum Perkembangan dan
Dinamika Masalah, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2006, Ilmu Perudang Undangan Dasar-Dasar
dan Pembentukannya, Cet. Sebelas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Soerodjo, Irawan, 2002, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di
Indonesia, Cet.I, Arkola Surabaya, Surabaya.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
172
Suherman, Ade Maman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan
Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batsan Umur),
Nasional Legal Reform, Jakarta.
Sumardjono, Maria S.W., 2009, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan
Implikasi, Cet. VI, Kompas Media Nusantara, Jakarta.
Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Cet.III, Sinar
Grafika, Jakarta.
_______, 2008, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cet.X, Bandung.
Wijayanti, Asri, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Cet.I, Lubuk Agung,
Bandung.
Kamus
Garner, A. Bryan , 2004, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United
State of America.
Black, Henry Campbell, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing, United
State of America.
M.Echols, John dan Hassan Shadily, 2005, Kamus Inggris Indonesia,
PT.Gramedia, Jakarta.
Marjanne ter Mar shui zen, 1999, Kamus Hukum Belanda – Indonesia,
Djambatan, Jakarta.
Mr. N.E. Algra et. al, 1983, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal 25.
R. Subekti dan Tjirtosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW), 1995, Terjemahan R. Subekti dan
R. Tjitrosudibyo, Pradnya Paramita, Jakarta.
173
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2043).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara
Nomor : 3019).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran
Negara Nomor : 4235).
Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang Nomor
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor :
4279).
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177, Tambahan Lebaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432);
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63,
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4634).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 5234).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lebaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
(Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 59 Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696).
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1998 Nomor 52
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385).
174
Majalah
Miftachul Machsun, 2013, Persoalan Hukum Dalam Praktek Berikut Solusinya,
Majalah Minuta Edisi I Nomor 02.002, Maret 2013.
Senat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1966, Seminar Indonesia Negara
Hukum & Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta.
Internet
http://magisterhukum.narotama.ac.id/index.php/detilberita/65
tanggal 15 April 2013
diakses
pada
Download