BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kecakapan seseorang bertindak di dalam hukum atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Kedewasaan seseorang merupakan tolak ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum yang ditentukan dengan batasan umur. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai cakap bertindak dalam melakukan segala perbuatan hukum. Pembuat undang-undang beranjak dari pemikiran bahwa orang yang telah mencapai usia tertentu normal dan semestinya sudah bisa menyadari tindakan dan akibat dari tindakannya. Kepastian hukum menuntut adanya suatu patokan yang pasti, kapan orang dianggap atau bisa dianggap telah bisa menyadari akibat dari tindakannya. Hukum perdata di Indonesia sebagai akibat dari warisan zaman kolonial dikaitkan dengan golongan penduduk sehingga berlaku bermacammacam patokan umur dewasa bagi masing-masing golongan penduduk. Di dalam hukum, seseorang dapat dikatakan cakap bertindak di dalam hukum adalah apabila seseorang tersebut telah dewasa. Dalam hukum perdata 1 2 Indonesia, yaitu berdasar pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata), batasan umur dewasa seseorang diatur dalam Pasal 330 yang menentukan bahwa : “Batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah menikah.” Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian menentukan bahwa : Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang halal. Sehingga berdasarkan Pasal 330 jo 1320 KUHPerdata tersebut maka seseorang yang dapat dikatakan dewasa menurut hukum perdata di Indonesia yaitu telah berumur 21 tahun, dimana dewasa menurut KUHPerdata berarti cakap bertindak dalam hukum. Sementara itu dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) tentang syarat dewasa agar seseorang telah dianggap cakap bertindak untuk melangsungkan perkawinan adalah apabila telah berusia 18 tahun, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 dan Pasal 50, yang berturut-turut menentukan : Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari 3 kekuasaannya”. Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Selanjutnya dalam hukum agraria, tentang batasan seseorang dianggap dewasa dan cakap bertindak di dalam hukum atau melakukan perbuatan hukum adalah sebagaimana tampak dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa, bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina (mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad 1924: 557 adalah 21 tahun. Sedangkan untuk orang-orang yang tunduk pada hukum adat ditentukan : …apabila seorang Notaris atau PPAT mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa maka hal itu dapat diterima sebagai benar.1 Sementara cakap bertindak sebagai penghadap dalam pembuatan akta notaris ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2004 dalam Lembaran Negara 1 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batsan Umur), Nasional Legal Reform, Jakarta, hal. 19. 4 Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2014 Nomor 3 dan dalam Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Tahun 2014 Nomor 5491, yang menentukan bahwa : “Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : (a) paling rendah telah berumur 18 tahun atau telah menikah; (b) cakap melakukan perbuatan hukum”. Cakap bertindak yang ditentukan oleh Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN adalah 18 tahun sebagai batasan umur kecakapan penghadap dihadapan notaris. Notaris dalam sistem hukum di Indonesia diberi wewenang dan tugas untuk membuat akta otentik dan mencatatkan berbagai perbuatan-perbuatan hukum dalam bentuk perjanjian-perjanjian dibuat di bawah tangan serta mengesahkan surat-surat/dokumen-dokumen agar mempunyai nilai dan kekuatan sebagai alat bukti. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja (bersegi satu) maupun yang dilakukan dua pihak (bersegi dua)2, demikian pula dikatakan oleh Chainur Arrasjid bahwa perbuatan hukum terdiri dari 2 (dua), yaitu : 1. Perbuatan hukum sepihak : Yaitu perbuatan hukum yang dilaksanakan oleh satu pihak saja dan menimbulkan hak dan kewajiban pada satu pihak pula. Misalnya pembuatan surat wasiat dan pemberian suatu benda (hibah). 2. Perbuatan hukum dua pihak : Yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua pihak dan menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua pihak (timbal balik). Misalnya membuat persetujuan jual beli, sewa menyewa dan lain-lain.3 2 H. Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, PT. Alumni, Bandung, 2005, hal.40. 3 Chainur Arrasjid, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Edisi I, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 112. 5 Di antara perbuatan-perbuatan hukum tersebut seperti membuat : surat wasiat, perjanjian sewa-menyewa, pengikatan jual beli dan pemberian kuasa menjual atas sebidang tanah hak milik, perjanjian hutang-piutang dan lainnya. Dalam hal perbuatan hukum bersegi dua, dalam lalu lintas hukum dikenal dengan membuat perjanjian. Perjanjian menurut Subekti merupakan suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.4 Demikian juga dengan Sudikno Mertokusuma mengatakan perjanjian merupakan hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan konsekuensi yuridis.5 Berdasarkan pada pendapat diatas suatu perjanjian merupakan suatu hubungan hukum antara dua pihak, saling berjanji dan mengikatkan dirinya untuk melakukan atau berbuat sesuatu dalam mana salah satu pihak berhak atas prestasi yang dilakukan oleh pihak lainnya, sedangkan pihak lain berkewajiban untuk melakukan hal tersebut dengan disertai sanksi. Perjanjian diatur dalam buku II tentang Perikatan yang menamai dengan persetujuan, Pasal 1313 KUHPerdata menentukan bahwa “Suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya 4 R. Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, (untuk selanjutnya disebut R. Subekti I), hal.1. 5 Sudikno Mertokusuma, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, hal. 91. 6 terhadap satu orang lain atau lebih”. Dalam suatu perjanjian mempunyai unsurunsur, yaitu unsur essensialia yaitu unsur yang bersifat mutlak harus ada dalam suatu perjanjian dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Kemudian unsur naturalia untuk perjanjian yang oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti sedangkan unsur accidentalia merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak sementara undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Keseluruhan unsur-unsur yang terkadung dalam suatu perjanjian, oleh Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Perjanjian dapat dibuat secara lisan dan secara tertulis. Perjanjian tertulis dapat pula dibedakan antara perjanjian yang dibuat dibawah tangan dan dibuat secara otentik. Suatu perjanjian dibuat secara otentik yang lazimnya disebut dengan akta otentik, merupakan suatu perjanjian tertulis yang dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata, yang menentukan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undangundang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, dan di tempat dimana akta itu dibuatnya”, sehingga suatu perjanjian yang dibuat secara otentik merupakan suatu perjanjian tertulis yang dibuat dihadapan dan/atau oleh pejabat umum yang berwenang untuk itu, dan dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dan dibuat di wilayah kewenangan pejabat umum yang berwenang membuat akta tersebut. Sebaliknya suatu perjanjian di bawah tangan yang lazim juga disebut akta di bawah tangan merupakan perjanjian yang 7 dibuat oleh para pihak tanpa bantuan pejabat umum yang berwenang untuk membuat suatu perjanjian. Kedudukan masing-masing akta tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Suatu akta otentik kedudukannya sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sempurna, artinya sebagai alat bukti suatu akta otentik tidak memerlukan alat bukti lain untuk membuktikan sesuatu peristiwa atau perbuatan hukum. Sementara akta di bawah tangan kedudukannya sebagai alat bukti yang tidak mempunyai kekuatan pembuktian sempurna, oleh karenanya kedudukannya sangat tergantung pada alat bukti lain seperti pengakuan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian, yang mengakui atau menyatakan bahwa perjanjian tersebut benar adanya. Salah satu akta otentik adalah akta yang dibuat dihadapan dan/atau oleh notaris sebagai pejabat umum sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata. Suatu akta notaris sebagai akta otentik, selain harus dibuat memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata seperti di atas juga harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagaimana ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab akta notaris sebagai akta otentik pada umumnya merupakan perjanjian yang dengan sengaja dibuat oleh para pihak agar mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Oleh karenanya, perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta notaris harus memenuhi syarat yaitu : (1) para pihak telah sepakat tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam akta; (2) para pihak yang membuat akta adalah mereka yang telah memenuhi kriteria cakap bertindak menurut hukum; (3) obyek yang diperjanjikan di dalam akta sebagai obyek perjanjian merupakan sesuatu hal 8 tertentu; dan (4) perjanjian yang dibuat dan dituangkan dalam bentuk akta notaris lahir dari suatu sebab yang halal atau obyek perjanjian dalam akta notaris bukan merupakan obyek yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh norma agama, norma kesusila maupun norma-norma kepatutan lainnya. Dari keseluruhan syarat sah dibuatnya akta notaris seperti di atas, salah satunya yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah tentang syarat para pihak yang membuat akta notaris adalah mereka yang telah memenuhi kriteria cakap bertindak menurut hukum atau yang dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata disebut sebagai syarat cakap mereka yang mengikatkan dirinya. Dalam UUJN tentang hal diatur dalam ketentuan Pasal 39 ayat 1 huruf a dan b yang menentukan bahwa : “(a) paling rendah telah berumur 18 tahun atau telah menikah; (b) cakap melakukan perbuatan hukum”. Dari kedua syarat yang dimaksud dalam ketentuan tersebut, syarat huruf b yang menentukan cakap melakukan perbuatan merupakan ketentuan yang tumpang tindih kalau tidak mau disebut sebagai konflik norma dengan ketentuan huruf a untuk dapatnya seseorang dikatakan memenuhi syarat sebagai penghadap atau yang dalam praktek kenotarisan disebut dengan istilah komparan, karena para penghadap yang bertindak sebagai pihak-pihak yang membuat akta notaris disebut dengan istilah komparisi, sehingga dapat mengaburkan makna dari norma yang terkandung dalam huruf a. Dikatakan demikian karena menurut hemat penulis, ketentuan huruf a dimaksudkan sebagai ketentuan normatif yang menjelaskan dengan 9 menentukan batasan umur seseorang, yakni 18 tahun atau telah menikah untuk dapat atau tidak dapatnya seseorang bertindak dalam akta notaris. Norma dalam ketentuan huruf a tersebut bertujuan menjelaskan sekaligus memberi batasan secara limitatif usia seseorang untuk dapat sebagai komparan yang secara yuridis menjadi legitimasi kepada seseorang telah cakap bertindak di dalam hukum atau cakap melakukan perbuatan hukum. Dengan adanya ketentuan huruf b yang mensyaratkan seseorang dapat bertindak sebagai penghadap/komparan adalah mereka yang cakap melakukan perbuatan hukum menjadikan ketentuan Pasal 39 ayat (1) menjadi kabur, karena sekali lagi, terhadapnya memerlukan penjelasan atau kajian tentang apa kriteria dan keadaan bagaimana seseorang agar dapat dikatakan dan memenuhi syarat cakap melakukan perbuatan hukum tersebut. Kecakapan bertindak merupakan kewenangan umum untuk melakukan tindakan hukum. Setelah manusia dinyatakan mempunyai kewenangan hukum maka selanjutnya kepada mereka diberikan kewenangan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya oleh karenanya diberikan kecakapan bertindak. Di satu sisi, manusia adalah subyek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum yang kemudian diejawantahkan ke dalam bentuk kewenangan hukum. Terkait dengan hak terdapat kewenangan untuk menerima, sedangkan terkait dengan kewajiban terdapat kewenangan untuk bertindak (disebut juga kewenangan bertindak).6 Kewenangan hukum dimiliki oleh semua manusia sebagai subyek hukum, sedangkan kewenangan bertindak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, 6 Ibid, hal.122. 10 misalnya faktor usia, status (menikah atau belum), status sebagai ahli waris, dan lain-lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1329 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan cakap”. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa kecakapan bertindak berlaku bagi semua orang, setiap orang pada asasnya cakap untuk bertindak, kecuali undang-undang menentukan lain.7 Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya.8 Sehingga untuk mampu membuat suatu perjanjian, oleh karenanya dipandang telah dewasa sehingga tidak dibawah pengawasan karena perilaku yang tidak stabil dan bukan orang-orang yang dalam undang-undang dilarang membuat suatu perjanjian. Cakap tidaknya seseorang bertindak di dalam hukum dapat pula dihubungkan dengan keadaan diri seseorang, yaitu seorang telah dewasa atau akil balik, sehat jasmani maupun rohani, dianggap cakap menurut hukum sehingga dapat untuk melakukan tindakan hukum atau membuat suatu perjanjian. Selain faktor kedewasaan yang ditentukan oleh umur juga oleh faktor lain seperti status menikah yang dapat mempengaruhi kecakapan bertindak seseorang di dalam hukum. Menurut hukumyang berlaku saat ini, setiap orang tanpa kecuali memiliki hak-haknya, selain itu dalam hukum juga ditentukan bahwa tidak semua 7 Miftachul Machsun, 2013, Persoalan Hukum Dalam Praktek Berikut Solusinya, Majalah Minuta Edisi I Nomor 02.002, Maret 2013, hal. 62. 8 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 2. 11 orang diperbolehkan melakukan perbuatan hukum sendiri dalam melaksanakan hak-haknya. Sebab terdapat beberapa golongan orang yang oleh hukum dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUHPerdata menyatakan bahwa : Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1. Orang yang belum dewasa; 2. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Dari deskripsi di atas, ternyata bahwa kedewasaan dan kecakapan menjadi penting ketika dihadapkan pada syarat sahnya subyek hukum dalam melakukan perjanjian dalam bentuk tertulis secara otentik dalam suatu akta notaris, karena hal tersebut berkorelasi pada kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum sebagaimana tujuan hukum pada umumnya. Sedangkan dalam lalu lintas hukum pembuktian khususnya, hal tersebut diperlukan oleh karena akta notaris sebagai akta otentik diharapkan menjadi alat bukti kuat yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang dalam suatu perjanjian yang dibuatnya. Hal tersebut semakin menjadi kebutuhan masyarakat modern yang senantiasa menghendaki adanya pendokumentasian terhadap peristiwa/perbuatan hukum yang dilakukannya. Notaris sebagai sebuah jabatan yang ditugaskan dan diberi wewenang untuk mewujudkan tujuan hukum atau kebutuhan hukum pembuktian seperti tersebut, memegang peranan penting sehingga segala kegiatan ekonomi seperti di bidang perbankan, pertanahan, maupun kegiatan sosial lainnya yang membutuhkan 12 kehadiran jabatan notaris dapat berjalan sesuai dengan norma-norma atau kaedahkaedah hukum yang berlaku. Sehingga berbagai hubungan atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap orang bertujuan untuk memberi jaminan dan kepatian hukum yang dalam sistem hukum hanya dapat dituangkan di dalam akta notaris, menempatkan notaris sebagai pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang dapat diandalkan dan segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.9 Berdasarkan uraian di atas memberikan gambaran bahwaperbedaan batasan usia dewasa sebagai syarat agar dapat dikatagorikan cakap bertindak di dalam hukum atau dapat dikatakan sebagai cakap dalam melakukan perbuatan hukum, selain berimplikasi dan membawa konsekuensi yuridis terhadap sah atau tidak sahnya seseorang berkedudukan menjadi subyek hukum sebagai pengemban hak dan kewajiban hukum berikut sah atau tidak sahnya segala tindakan-tindakan atau perbuatan hukum yang dilakukannya. Juga berimplikasi terhadap sah atau tidak sahnya kedudukan seseorang sebagai pengahadap/komparan dalam suatu akta notaris berikut berkonsekuensi yuridis terhadap kekuatan hukum daripada akta notaris sebagai akta otentik yang dibuatnya. Implikasi hukum yang dapat timbul dari konflik norma di atas adalah sebagai berikut: Pertama, bagaimanakah pengaturan tentang kecakapan batasan umur bertindak seseorang dalam pembuatan akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah? 9 Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat dan Serba-Serbi Praktek Notaris, Buku I, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, hal. 7. 13 Kedua, bagaimana keberadaan atau kedudukan kecakapan batasan umur dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah? Dari beberapa permasalahan di atas, penulis membatasi ruang lingkup penelitian, yaitu hanya mengkaji tentang keberadaan atau kedudukan kecakapan batasan umur dalam akta notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah, sementara kedua akta notaris yang syarat kecakapan bertindak yang ditentukan dalam UUJN yaitu umur 18 tahun. Hal tersebut di atas dapat melahirkan implikasi hukum terhadap akta jual beli yang dibuat oleh PPAT yang pembuatannya berdasarkan pada akta PPJB yang dijadikan alat permohonan pendaftaran peralihan hak di Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten, karena dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah syarat kecakapan bertindak melepaskan hak atas tanah mengacu pada ketentuan dewasa menurut KUHPerdata, yakni setelah berusia 21 tahun dan/atau telah menikah. Dengan kata lain, perbedaan pengaturan hukum tentang kedewasaan seseorang dalam berbagai ketentuan di atas, dapat memicu timbulnya perbedaan persepsi yang menjadi masalah hukum terutama dalam praktek dibuatnya akta notaris yang pada akhirnya melahirkan ketidakpastian hukum atau kurang memberi perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang memperoleh hak dari perbuatan hukum akta notaris. Padahal akta notaris sebagai akta otentik berisikan hubungan hukum yang dilakukan dan sekaligus mengatur antara orang yang satu dengan orang yang lain dan mungkin antara orang dengan masyarakat, atau antara masyarakat yang satu dengan yang lain. Karena dalam suatu hubungan hukum, 14 para pihak masing-masing memiliki hak dan kewajiban yang diberikan oleh hukum, yaitu pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dan pihak lain wajib memenuhi tuntutan tersebut dan hak ini berlaku sebaliknya secara timbal balik.10 Selain memicu lahirnya berbagai persepsi dengan konsekuensi yuridis yang dapat dilahirkan sebagaimana di atas, perbedaan batasan umur dewasa sebagai kriteria cakap bertindak di dalam hukum sebagai tidak adanya harmonisasi norma tentang kedewasaan seseorang bertindak dalam hukum atau dalam perbuatan hukum antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundangan yang lain, juga melahirkan konflik norma hukum antara satu ketentuan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dipaparkan di atas. Hal-hal tersebut dijadikan topik kajian/bahasan sebagai isu hukum dalam tesis ini karena urgensinya manakala dibuatnya suatu akta notaris yang obyeknya tanah, yang dalam praktek kenotarisan dibuat dalam bentuk akta perjanjian pengikatan jual beli (selanjutnya disebut akta PPJB) yang dikuti dengan kuasa menjual atas tanah hak milik. Suatu akta PPJB yang diikuti dengan akta kuasa menjual, merupakan salah satu jenis akta notaris dalam genus perjanjian yang dibuat sebagai perjanjian pendahuluan, sebelum dibuatnya Akta jual beli oleh dan/atau di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (untuk selanjutnya disebut PPAT) sebagai akta balik nama, karena akta jual beli yang dibuat PPAT tersebut bedasarkan Peraturan Pemerintah 10 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 12. 15 Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (PP Nomor 24 Tahun 1997) Pasal 37 yang menentukan bahwa : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara tidaklangsung akta PPJB tersebut merupakan dasar untuk dijadikan alat bukti pendaftaran perlihan hak atas tanah di kantor pertanahan kabupaten/kota dimana letak tanah tersebut berada. Akta PPJB seperti itu, umumnya adalah akta yang isinya/substansinya tentang perjanjian antara dua pihak, yaitu antara penjual dan pembeli atas sebidang tanah hak milik (dapat pula berikut segala sesuatu yang telah ada/dibangun di atas tanah tersebut yang merupakan satu kesatuan dengan tanah) yang telah sepakat tentang perbuatan hukum jual-beli karena telah terpenuhinya syarat pokok dari jual-beli itu sendiri, yakni telah dibayar lunas (tunai) harga bersamaan dengan diserahkannya (terang) secara fisik tanah sebagai obyek perjanjian jual-beli tersebut. Sehingga akta PPJB seperti tersebut harus diikuti dengan akta kuasa menjual atas tanah dimaksud yang kedudukannya di samping sebagai ikutan (accessoir), adalah juga sebagai alat eksekutorial dari penyerahan hak atas tanah dari penjual/pemilik/penyerah hak kepada pembeli/penerima hak atas tanah tersebut. Artinya, kuasa menjual digunakan dan dijadikan alat oleh pembeli/penerima hak untuk dikemudian hari dapat melakukan tindakan sebagai penjual/penyerah hak kepada penerima hak, yang dapat kepada pembeli sendiri maupun kepada pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh 16 pembeli. Sementara itu, di dalam praktek kenotarisan masih ada dibuatnya akta PPJB saja sehingga tidak diikuti dengan akta kuasa menjual. Hal tersebut terjadi karena akta PPJB tersebut dibuat dan mengandung isi/substansi tentang perjanjian jual-beli atas sebidang tanah (berikut bangunan yang telah ada/dibangun di atasnya) belum memenuhi syarat dibayar lunas/tunai dari harga tanah tersebut. Atau dalam praktek kenotarisan akta PPJB tersebut dikatakan sebagai perjanjian jual beli bertahap, artinya pembayaran terhadap harga tanah tersebut dibayar bertahap. Dari sisi fungsi atau kedudukan akta PPJB dan akta kuasa menjual dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia berdasarkan PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana telah disinggung di atas, dimana kedudukan/keberadaannya sebagai perjanjian pendahuluan guna dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT dan selanjutnya dijadikan dasar/syarat/alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya, maka penerapan norma hukum yang tepat tentang kedewasaan soseorang agar dapat dikatagorikan dewasa serta cakap melakukan perbuatan hukum dalam dibuatnya akta PPJB berikut akta kuasa menjual menjadi sangat penting agar akta tersebut dapat dijadikan dasar permohonan peralihan hak atas tanahnya sehingga permohonan peralihan hak atas tanahnya dapat dikabulkan/diberikan oleh negara melalui kantor pertanahan setempat. Dengan adanya perbedaan pengaturan tentang ketentuan batasan umur dewasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan 17 implikasi hukum pada substansi atau isi akta notaris itu sendiri dalam kaitannya dengan ketentuan pendaftaran tanah. Karena di antara dua perbuatan hukum tersebut, yakni akta notaris yang isinya tentang peralihan hak-hak atas tanah (akta PPJB berikut kuasa menjual) dan pendaftaran peralihan hak atas tanahnya, mempunyai syarat dan batasan umur tentang dewasa yang berbeda. Akta notaris mengacu pada syarat dan ketentuan dalam UUJN sementara pendaftaran tanah mengacu dan tunduk pada norma hukum perdata yang diberlakukan dalam hukum agraria, dimana batasan umur dewasa seseorang telah berumur 21 tahun atau telah menikah sesuai dengan ketentuan Pasal 330 KUHPerdata. Dengan demikian perbedaan tersebut dapat melahirkan konsekuensi yuridis pada akta notaris (akta PPJB berikut kuasa menjual) sebagai akta yang tidak dapat dijadikan dasar permohonan peralihan hak atau peralihan hak atas tanahnya ditolak karena pemohon dipandang belum cukup dewasa untuk hal itu, dan melahirkan tanggungjawab hukum pada notaris akibat dari terjadinya kerugian pada kilennya, dalam hal ini pembeli, yang berharap dengan dibuatnya akta (notaris) mereka mendapat apa yang seharusnya diperoleh, yaitu hak atas tanah yang dibelinya. Keadaan seperti itu menempatkan jabatan notaris dilema dengan mengingat jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan, belum lagi produk hukumnya merupakan akta otentik yang dalam sistem hukum pembukian merupakan alat bukti sempurna. In after ages when people were not nice in the language, these word tabularii, scribe, tabelliones and tabellerii were promiscuously used to 18 signify the same officer and minister of justice such as we now call a notary.11 (Terjemahan bebas : setelah usia cakap ketika orang-orang tidak dengan baik dalam bahasa, seperti kata ini juru tulis yang digunakan untuk menandakan surat yang dibuat dimana petugas dan menteri keadilan yang sama seperti yang sekarang kita sebut dengan notaris). Kedudukan seperti itu dapat dilihat dalam sejarahnya, dimana jabatan notaris untuk pertama kali dikenal di Indonesia, pada tanggal 27 Agustus 1620 yang pada saat itu bernama Nusantara dengan diangkatnya seorang warga negara Belanda bernama Melchior Kerchem (Kerchem) sebagai notaris, yang sebelumnya merupakan seorang sekertaris dari “College van Schepenen” di Jakarta. Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, keberadaan jabatan notaris tetap diakui berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan : “Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Lembaga Notaris masuk ke Indonesia didasari oleh kebutuhan akan suatu alat bukti yang otentik. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkempetingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat di hadapanya. 11 Appendix, 1821, Notary-Public, Alex Lawrie & Co, Edinburgh, hal. 3. 19 Dalam pasal 165 Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) (vide Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 285 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg)) disebutkan bahwa : Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang apa yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.12 Akta mempunyai fungsi formil (formalitas causa) dan fungsi sebagai alat bukti (probationis causa). Akta sebagai fungsi formil artinya bahwa suatu perbuatan hukum akan menjadi lebih lengkap apabila dibuat suatu akta. Fungsi akta lainnya yang juga merupakan fungsi akta yang paling penting adalah akta sebagai alat pembuktian. Dibuatnya akta oleh para pihak yang terikat dalam suatu perjanjian ditujukan untuk pembuktian di kemudian hari. Akta otentik merupakan alat pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta orang yang mendapat hak darinya tentang apa yang dimuat dalam akta tersebut (vide Pasal 165 HIR, Pasal 285 RBg, dan Pasal 1870 KUHPer). Akta otentik merupakan bukti yang mengikat yang berarti kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta tersebut harus diakui oleh hakim, yaitu akta tersebut dianggap sebagai benar selama kebenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. 13 12 13 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 11. Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit,hal. 31. 20 Kemudian kedudukan jabatan notaris sebagaimana dimaksud di atas ditegaskan kembali dalam UUJN Pasal 1 angka 1 yang menentukan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Adapun kewenang lain yang dimaksud adalah kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN, yang menentukan bahwa : Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Dari ketentuan-ketentuan di atas, maka sejatinya notaris diberi tugas dan wewenang menjalankan sebagian dari kekuasaan negara untuk membuat alat bukti tertulis dan otentik dalam bidang hukum perdata. Hal tersebut melahirkan tanggung jawab yang sangat besar dalam memberikan kepastian hukum kepada masyarakat. Sudikno Mertokusumo berpendapat dalam kaitannya dengan akta notaris mengatakan sebagai berikut : Akta Notaris merupakan salah satu jenis dari akta otentik, karena akta Notaris dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa dan Undang-undang. Dalam hal menjamin otensitas dari akta otentik itu pejabat terikat pada syarat-syarat dan ketentuan dalam Undang-undang, sehingga hal itu merupakan jaminan dipercayainya pejabat tersebut, maka akta otentik itu cukup dibuktikan oleh akta itu sendiri. Jadi akta otentik 21 dianggap dibuat sesuai dengan kenyataan seperti yang dilihat oleh pejabat itu, sampai dibuktikan sebaliknya.14 Oleh karena itu, agar supaya kedudukan dan peran serta notaris dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum sebagai implementasi konsepsi negara hukum, maka setiap akta yang dibuat oleh notaris harus mengacu dan berdasar kepada ketentuan-ketentuan, norma-norma maupun kaedah-kaedah hukum yang pasti dan bersifat unifikasi, artinya adanya satu jenis norma atau ketentuan hukum yang diberlakukan dalam dibuatnya akta notaris. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas selanjutnya penulis kaji dan menyusunnya dalam tesis yang berjudul : KECAKAPAN PARA PIHAK DALAM PEMBUATAN PEMBUATAN AKTA NOTARIS BERKAITAN DENGAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI TANAH. Dalam penelitian ini, peneliti telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang kecakapan. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini antara lain: a. Penelitian dari Ningrum Puji Lestari, S.H, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Tahun 2008, dengan judul ”Kecakapan Bertindak Dalam Melakukan Perbuatan Hukum Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 30 Tahun 2004Tentang Jabatan Notaris”. Ringkasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah : Ketidakseragaman mengenai batasan umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, baik dalam lapangan hukum perdata, hukum perkawinan 14 Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal. 147-148. 22 dan hukum kenotariatan. Setelah berlakunya Undang-Undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dalam Pasal 39 ayat (1) nya menyatakan bahwa seorang dianggap dewasa dan cakap melakukan perbuatan hukum adalah sudah berusia 18 tahun. b. Penelitian dari Harahap Nirwan, S.H, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2010, dengan judul : “Problematika Jual Beli Dan Pendaftaran Tanah Hak Milik Yang Dimiliki Bersama Anak Di Bawah Umur (Studi di Pematang Siantar)”. Ringkasan yang terdapat dalam penelitian ini adalah : Kantor Pertanahan mengharuskan dilakukan penetapan pengadilan untuk jual beli dan pendaftaran tanah hak milik yang dimiliki bersama anak dibawah umur mengacu pada ketentuan KUHPerdata, Kantor Pertanahan Kota Pematang Siantar dalam mendaftarkan jual beli tanah hak milikyang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur, problematika dan upaya yangdilakukan oleh PPAT dan penghadap untuk mengatasi kendala jual beli dan pendaftarantanah hak milik yang dimiliki bersama dengan anak di bawah umur. Dari uraian penelitian diatas, tidak ditemukan kesamaan, sehingga tingkat originalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. 23 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan pokok dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pengaturan tentang syarat dewasa untuk dapat dikatakan cakap bertindak dalam pembuatan akta Notaris yang mengandung peralihan hak atas tanah? 2. Bagaimana konsekuensi yuridis terhadap kecakapan batas umur pada Pasal 39 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris dalam pembuatan akta notaris yang mengadung peralihan hak atas tanah? 1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan tentang batasan umur kecakapan bertindak dalam pembuatan akta PPJB tanah. 1.3.2. Tujuan khusus. Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara khusus bertujuan untuk : 1. Untuk mengidentifikasi dan menganalisis adanya pengaturan hukum positif yang berbeda mengenai kedewasaan dalam kaitan kecakapan para pihak dalam pembuatan akta notaris dalam konteks perjanjian pengikatan jual beli tanah. 24 2. Untuk menganalisis dan mengevaluasi persoalan-persoalan terkait konsekuensi yuridis akta notaris yang dibuat berdasarkan syarat dewasa menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin bidang ilmu hukum Agraria, terutama mengenai permasalahan kecakapan batasan umur penghadap dalam pembuatan akta PPJB tanah dihadapan notaris. 1.4.2. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaaat praktis yaitu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam pembuatan akta PPJB tanah. 1. Bagi PPAT/Notaris untuk dapat memberikan pemahaman berkenaan dengan konsekuensi yuridis yang timbul dari akta PPJB tanah yang syarat dewasa menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004. 2. Bagi masyarakat untuk dapat memberikan sumbangan pengetahuan di bidang hukum khususnya di bidang hukum pertanahan dan kenotariatan 25 mengenai kecakapan para pihak dalam perjanjian untuk jual beli tanah dihadapan Notaris. 3. Bagi pembuat kebijakan untuk dapat dijadikan bahan evaluasi ini dibidang hukum pertanahan untuk lebih memperjelas pengaturan mengenai peralihan hak atas tanah khususnya syarat kecakapan melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. 1.5. Landasan Teoritis Landasan teoritis yang digunakan dalam penelitian ini meliputi teori-teori serta konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Teori gunanya ialah untuk menerangkan bagiamanakah hukum positif sebaiknya dijalankan. 15 Adapun teori-teori serta konsep-konsep yang digunakan, yakni: 1.5.1. Teori Penjenjangan/hierarki Norma Hukum (Stufenbau des Rechts) Hans Kelsen. Berkaitan dengan penulisan tesis ini teori penjenjangan/hierarki norma hukum (stufenbau des rechts) dengan didukung oleh teori norma dasar (grundnorm) dari Hans Kelsen digunakan untuk menganalisa permasalahan yang timbul akibat adanya ketidakharmonisan pengaturan tentang kecakapan bertindak terkait dengan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum yang diatur dalam KUHPerdata dan UUJN. KUHPerdata menentukan bahwa batas umur dewasa adalah 21 tahun, sedangkan UUJN menentukan 18 tahun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a. 15 46. Djokosoetono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 26 Perbedaan penentuan batas umur dewasa dalam melakukan perbuatan hukum khususnya dalam peralihan hak atas tanah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut diatas telah menimbulkan implikasi hukum dalam praktek pembuatan akta PPJB yang kelak akan dijadikan dasar pembuatan akta jual beli yang digunakan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah. Karena Kantor Pertanahan menolak melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah apabila akta jual beli yang dibuat berdasarkan akta PPJB yang kecakapan bertindaknya mengacu kepada UUJN yakni 18 tahun. The unity of these norms is constituted by the fact that the creation of the norm the lower one is determined by another the higher the creation of which is determined by a still higher norm that this regressus is terminated by a highest, the basic norm which, being the supreme reason of validity of the whole legal order, constitutes its unity. 16 Maksudnya bahwa kesatuan norma-norma ini ditunjukan oleh fakta bahwa pembentukan norma yang satu yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma yang lebih tinggi, yang pembentukannya ditentukan oleh norma lain yang lebih tinggi lagi, dan bahwa regressus (rangkaian proses pembentukan hukum) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi yang, karena menjadi dasar tertinggi dari validitas keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tata hukum ini.17 Menurut Hans Kelsen, norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih 16 Hans Kelsen, 2009 , General Theory of Law and State, cet III, translated by Anders Wedberg, The Lawbook Exchage Ltd, New Jersey, hal. 124. 17 Han Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Cet. pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung, hal. 179. 27 tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar)18. Norma adalah pola atau standar dari suatu aturan yang perlu diikuti atau ditaati dalam perilaku hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Norma hukum merupakan suber pokok dari peraturan perundang-undangan. Dari segi isi, norma Hans Kelsen bersifat : a. b. c. d. e. Memerintah (gebeiten); Melarang (verbeiten); Menguasakan (ermachtigen); Membolehkan (erlaoben); Menyimpang dari ketentuan (derogereen).19 Menurut Hans Kelsen, grundnorm (norma tertinggi) yang diandaikan adalah norma dasar merupakan sumber utama keabsahan dari semua norma yang berasal dari tatanan yang sama, ini merupakan alasan umum bagi keabsahan semua norma.20 Norma dasar merupakan norma tertinggi dalam suatu sistem norma tersebut tidak lagi dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi tetapi Norma Dasar itu ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat sebagai Norma Dasar yang 18 Hans Kelsen,1998, General Theory of Law and State, terjemahan Anderes Wed Berg, Russell & Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 25. 19 I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi,Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja I), hal 64. 20 Hans Kelsen,op. cit, hal. 218. 28 merupakan gantungan bagi norma-norma yang ada dibawahnya, sehingga Norma Dasar itu dikatakan presupposed. 21 Di balik itu J.H.M. Klanderman dalam desertasinya berjudul “Ratio, Watenschap En Recht: Een Onderzoek naar de opvating van ‘wetenschap’,’recht’ en de ‘Grundnorm’ in de Reinerechtslehre van Hans Kelsen mengambarkan Stufenbautheorie dari struktur norma hukum tersusun secara piramidal secara hierarkhi. Dalam hierarki itu norma yang lebih tinggi mendasari norma-norma dibawahnya. Ini berarti validitas suatu norma harus berdasarkan norma yang di atasnya begitu seterusnya sampai pada norma dasar (Grundnorm) yang merupakan norma hipotesis.22 Ajaran jenjang norma/Stufanbau Theory yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma. Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada norma yang lebih tinggi.23 Hans Kelsen mengungkapkan bahwa hukum adalah tata aturan (order) sebagai sistem aturan-aturan (rules) tentang berperilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan 21 Maria Farida Indrati, 2007, IlmuPerundang-Undangan-Jenis, Fungsi dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 41. 22 I Dewa Gede Atmadja, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis & Historis, Setara Press, Malang, (selanjutnya disebut I Dewa Gede Atmadja II), hal. 55. 23 Antonius Cahyadi dan E Fernando Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.83. 29 tunggan (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem.24 Tata hukum, khususnya sebagai personifikasi negara bukan merupakan sistem norma yang dikoordinasikan satu dengan lainnya, tetapi suatu hirarki dari norma-norma yang memiliki level berbeda. Kesatuan norma ini disusun oleh fakta bahwa pembuatan norma, yang lebih rendah, ditentukan oleh norma lain, yang lebih tinggi.25 Hirarki peraturan perundang-undangan tersebut membawa konsekuensi, peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih di bawah dibentuk, bersumber, dan berdasar pada peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, demikian seterusnya hingga pada akhirnya sampai pada peraturan perundang-undangan yang paling tinggi tingkatannya yaitu Undang-Undang Dasar.26 Teori hieraki atau jenjang tata hukum ini diilhami oleh muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Merkl, suatu norma hukum itu ke atas dia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi ke bawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya juga, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechtskracht) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pad 24 Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, 2006, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, hal.13. 25 Ibid, hal.110. 26 Muhamad Bakri, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta, hal.21. 30 norma hukum yang berlaku di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula. Dalam hal tata susunan/hierarki sistem norma, norma yang tertinggi (norma dasar itu) menjadi tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya.27 Pendapat yang sama dikatakan pula oleh Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at dengan mengutip Jelic, bahwa : Teori hirarki norma ini dipengaruhi oleh teori Adolf Merkl, atau paling tidak Merkl telah menulis teori terlebih dahulu yang disebut Jelic dengan stairwell structure of legal order. Teori Merkl ini adalah tentang tahapan hukum (die Lehre vom Stufenbau der Rechtsordnung) yaitu bahwa hukum adalah suatu sistem tata aturan hierarkis, suatu sistem norma yang mengkondisikan dan dikondisikan untuk pembuatan norma lain atau tindakan. Pembuatan hirarkis ini termanifestasi dalam bentuk regresi dari sistem tata hukum yang lebih tinggi ke sistem hukum yang lebih rendah.28 Kemudian Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, mengembangkan teori gurunya tentang teori hierarki norma hukum (stufenbau des rechts) dalam kaitannya dengan suatu negara, sebagaimana dikatakan oleh Maria Farida Indrati Soeprapto bahwa dengan teori Hans Kelsen suatu norma hukum dari negara mana pun selalu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, di mana norma yang di bawah berlaku, berdasar, dan bersumber pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, berdasar dan bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, sampai pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar.29 27 Ibid,hal. 25-26. Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, op.cit, hal. 109. 29 Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perudang Undangan DasarDasar dan Pembentukannya, Cet. Sebelas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 27. 28 31 Selanjutnya dikatakan bahwa selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjangjenjang, norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok, menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : Kelompok I Kelompok II Kelompok III Kelompok IV :Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental Negara) : Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar/Pokok Negara) : Formiele Gesetz (Undang-undang ‘formal’) : Verordnung & Autonome Satzung (Aturan pelaksana & aturan otonom).30 Pancaila memenuhi syarat menepati status sebagai Staatfundamental Norm, karena : a. Terjadinya atau lahirnya : oleh pembentuk Negara; b. Isinya : dasar Negara memuat asas kerohanian Negara, asas politik Negara, tujuan Negara.31 Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Hamid S. Atamimi mengatakan bahwa Pancasila ialah cita hukum rakyat Indonesia, dijabarklan atau dirinci oleh UUD 1945 kedalam pasal-pasalnya, kedalam ketentuan-ketentuan Batang Tubuhnya.32 Kemudian I Dewa Gede Atmadja menegaskan bahwa hukum positif yakni Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menentukan bahwa : ”Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum Negara”. Kemudian dijelaskan dalam penjelasan undang-undang tersebut bahwa penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang- 30 Ibid. I Dewa Gede Atmajda I, op. cit, hal. 52. 32 I Dewa Gede Atmajda I, loc. cit. 31 32 Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara serta sekaligus dasar filosofi bangsa dan Negara, sehiingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-Undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yangg terkandung dalam Pancasila.33 Sistem penjenjangan Norma di Indonesia diimplementasikan ke dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan yang menentukan bahwa : Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berdasarkan ketentuan di atas bahwa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia menginginkan suatu bentuk peraturan perundang-undangan yang tersusun dalam bentuk hierarkis. Artinya peraturan perundangan di Indonesia memiliki tingkatan secara vertikal dimanaa pada tingakatan paling atas yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedudukan yang tertinggi dalam sistem hukum ketatanegaraan di Indonesia.Dengan demikian maka peraturan yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia. 33 I Dewa Gede Atmajda I, op. cit, hal. 68. 33 1.5.2. Konsep Kecakapan. Kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) adalah kewenangan umum, yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Perhatikan kata “persoon pada umumnya” dan “tindakan hukum pada umumnya”.34Sehingga kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur dalam melakukan tindakan hukumnya. Dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang yang ditentukan dalam Pasal 330, yang menentukan bahwa : Orang dewasa adalah mereka-mereka yang : a. telah mencapai umur 21 tahun atau lebih; b. mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun.35 Menurut ketentuan di atas dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum, menunjukkan bahwa konsepsi dewasa menurut KUHPerdata atau paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orangorang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari konsekuensi yuridis dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. 34 35 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 4. Herlien Budiono, 2009, op. cit, hal. 101. 34 1.5.3. Konsep Akta Notaris Akta menurut A. Pilto merupakan surat yang ditandatanggani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu dibuat.36 Sementara itu, menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tandatanggan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.37 Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUJN, menentukan bahwa : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Produk hukum notaris adalah antara lain berupa akta-akta yang memiliki sifat otentik dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna.Suatu akta otentik berdasarkan ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata adalah tulisan-tulisan otentik berupa akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat dihadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di tempat dimana akta tersebut dibuat. Akta notaris/notariil sebagai suatu akta otentik terdiri dari ada 2 (dua) jenis akta, yaitu akta pejabat (ambtelijke acte) dan akta yang memuat pihak-pihak atau yang disebut sebagai akta para pihak (partij acte).38 Maka berdasarkan deskripsi di atas, suatu akta notaris/akta notariil adalah suatu akta otentik yang dibuat oleh dan/atau dihadapan Notaris menurut bentuk 36 Sjaifurrachman, op. cit, hal. 99. Sjaifurrachman, op. cit, hal. 99. 38 Sjaifurrachman, op. cit,hal. 109. 37 35 dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, yang merupakan alat bukti tertulis dengan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti sempurna. 1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis penelitian. Penelitian dalam tesis ini merupakan penelitan hukum normatif. Penelitian ini beranjak dari adanya konflik norma pada Pasal 39 ayat (1) Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dengan ketentuan yang terkandung dalam Pasal 330 Jo 1330 KUHPerdata mengenai syarat kecakapan bertindak seseorang melakukan suatu perbuatan hukum tertentu (perjanjian peralihan hak milik atas tanah). Konflik norma dalam pengaturan mengenai syarat batasan umur kecakapan bertindak sebagai syarat sahnya akta perjanjian pengikatan jual beli tanah terjadi akibat tidak adanya keseragaman pengaturan mengenai batasan umur agar dapat dikatakan cakap bertindak. Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian difokuskan terhadap bahanbahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier yang ada. Dalam rangka menjawab masalah pengaturan kecakapan batasan umur para pihak dalam pembuatan akta notaris yang berkaitan dengan perjanjian pengikatan jual beli tanah dan konsekuensi yuriridis terhadap kecakapan bertindak para pihaknya yang mengacu kepada UUJN. 36 1.6.2. Jenis pendekatan. Jenis pendekatan masalah yang digunakan dalam pembahasan terhadap permasalahan dalam tesis ini, yaitu: a. Pendekatan perundang-undang (statute approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah undangundang maupun peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan kecakapan bertindak bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum perjanjian tertentu (perjanjian tentang peralihan hak milik atas tanah). Selanjutnya pendekatan undang-undang ini digunakan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang melandasi kecakapan bertindak para pihak dalam konteks perjanjian pengikatan jual beli tanah. b. Pendekatan konseptual (conseptual approach). Pendekatan konseptual digunakan untuk mengkaji konsep-konsep yang terkandung dalam pengaturan tentangsyarat kecakapan bertindak bagi para pihak yang melakukan perbuatan hukum perjanjian dengan mendasarkan pada konsep batasan umur. Selain itu, pendekatan ini digunakan untuk mengkaji konsep kecakapan bertindak seseorang sebagai para pihak/ komparan dalam akta notaris yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak milik atas tanah dalam kaitannya kecakapan bertindak dalam KUHPerdata dan/atau UUPA. c. Pendekatan sejarah (historical approach). 37 Pendekatan sejarah ini digunakan untukmengkaji perkembangan (sejarah) pengaturan tentang syarat kecakapan dengan menggunakan batasan umur sebagai syarat cakap bertindak di dalam hukum pada umumnya dan bagi para pihak dalam perbuatan hukum perjanjian khususnya perjanjian pengikatan jual beli tanah dalam suatu akta notaris/notariil. Tujuannya adalah untuk memahami filosofi dari pengaturan syarat kecakapan bertindak bagi pihak-pihak yang akan melakukan perbuatan hukum perjanjian sekaligus dapat memahami perubahan dan perkembangan filosofis yang melandasi peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan pendekatan ini diharapkan bahwa undang-undang selalu merupakan reaksi terhadap kebutuhan sosial untuk mengatur, yang dapat dijelaskan secara historis.39 1.6.3. Sumber bahan hukum Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber bahan datanya adalah data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun bahan hukum tertier. a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum. Perwujudan asas dan kaidah hukum ini dapat berupa: peraturan dasar maupun peraturan perundang-undangan. Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : - Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); 39 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal.158. 38 - Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); - Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3019); - Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4235); - Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4279); - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432); - Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4634); - Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran 39 Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491); - Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696); - Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1998 Nomor 52 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385); - Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa buku-buku, majalah-majalah hukum, makalah-makalah hukum. Yang pada umumnya merupakan bahan pustaka yang paling umum dibidang Hukum Pertanahan yang relevan dengan permasalahan yang berkaitan dengan syarat kecakapan bertindak bagi pihak-pihak yang akan melakukan perbuatan hukum perjanjian. c. Bahan Hukum Tertier Bahan hukum tertier yang dimaksud dalam penulisan tesis ini yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini berupa kamus hukum, ensiklopedi, dan bahan- 40 bahan penunjang kelengkapan bahan-bahan hukum primer dan sekunder yang relevan dengan permasalahannya. 1.6.4. Teknik pengumpulan bahan hukum. Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui teknik studi dokumen. Bahan hukum yang berhasil diinventarisir kemudian diidentifikasi serta diklasifikasikan dengan melakukan pencatatan secara cermat dan sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian. 1.6.5. Teknik analisis bahan hukum. Analisis terhadap bahan-bahan hukum dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, evaluatif, interpretatif dan argumentatif. Deskripsi dapat berupa penggambaran bahan-bahan hukum sebagaimana adanya kemudian dilanjutkan dengan evaluasi berupa penilaian terhadap bahan-bahan hukum yang diperoleh. Bahan-bahan hukum yang diolah tersebut kemudian diinterpretasikan dengan metode interpretasi hukum. Dalam hal ini, interpretasi yang dipergunakan yakni interpretasi gramatikal, interpretasi sistematik dan interpretasi otentik yang selanjutnya dianalisis berdasarkan teori-teori yang relevan dan dikaitkan dengan permasalahan yang ada. Hasil dari analisis ini kemudian ditarik kesimpulan secara sistematis agar tidak menimbulkan kontradiksi antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lain. Terakhir diberikan pendapat-pendapat atas interpretasi dari bahan-bahan hukum tersebut. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, AKTA OTENTIK, AKTA NOTARIS DAN AKTA PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI 2.1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 2.1.1. Pengertian Perjanjian Perjanjian secara umum diatur dalam buku III KUHPerdata tentang Perikatan. Dalam KUHPerdata buku III perjanjian bersifat terbuka dalam arti perjanjian boleh dibuat tanpa mengikuti semua ketentuan dalam buku III asal tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata dalam rumusan tersebut digunakan istilah persetujuan dan bukan perjanjian, pada dasarnya mempunyai maksud yang sama, yaitu terciptanya kata sepakat dari kedua belah pihak. Para ahli hukum perdata, pada umumnya berpendapat bahwa definisi perjanjian yang terdapat di dalam rumusan Pasal 1313 KUHPerdata tidak lengkap, dan pula terlalu luas. Tidak lengkap karena rumusan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja, dimana yang mengikatkan diri dalam perjanjian hanya salah satu pihak saja. Padahal yang seringkali dijumpai adalah perjanjian dimana kedua belah pihak saling mengikatkan diri satu sama lain, sehingga mempunyai hak dan kewajiban yang bertimbal balik.40 Hal demikian dikatakan oleh R. Setiawan yang mengakatan bahwa : definisi tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan 40 Mariam Darus Badrulzaman, et. al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65. 41 42 dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Kemudian diberikan definisi sebagai berikut : 1) Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan konsekuensi yuridis; 2) Menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUHPerdata. 3) Sehingga perumusannya menjadi “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”41 Sehingga perjanjian merupakan bagian dari perikatan, maka perjanjian merupakan sumber dari perikatan dan perikatan itu mempunyai cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam buku III KUHPerdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah sama artinya dengan kontrak. Selanjutnya definisi berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata tersebut sebenarnya tidak lengkap, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum.42 Pendapat yang senada juga diungkapkan R. Wirjono Prodjodikoro, yang mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut 41 R. Setiawan, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 49. 42 R. Setiawan, loc. cit. 43 pelaksanaan janji itu.43 Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUHPerdata bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan.44 Lebih lanjut ditegaskan bahwa dalam pengertian perjanjian terdapat beberapa unsur, yaitu :45 a. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang; b. Adanya persetujuan para pihak; c. Adanya tujuan yang akan dicapai; d. Adanya prestasi yang akan dicapai. Menurut Yahya Harahap, perjanjian ialah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih yang memberikan kenikmatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan suatu prestasi.46 Sedangkan R. Subekti, menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau di mana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, yang dalam bentuknya perjanjian itu dapat dilakukan sebagai suatu rangkaian perkataan yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan maupun tertulis.47 J. Satrio juga mengatakan bahwa perjanjian yaitu peristiwa yang menimbulkan dan berisi 43 R. Wiryono Projodikoro, 1993, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hal. 9. 44 Abdul Kadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 225. 45 Ibid. 46 Yahya Harahap, 1992, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Djambatan, Jakarta, hal. 82. 47 R. Subekti I, op. cit, hal.1. 44 ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban atara dua pihak. Atau dengan perkataan lain, bahwa perjajian berisi perikatan.48 Dan menurut Sudikno Mertokusumo, perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan konsekuensi yuridis. 49 Dari semua pengertian perjanjian di atas maka perjanjian merupakan hubungan hukum atau perbuatan hukum yang lahir dari kesepakatan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dan menimbulkan konsekuensi yuridis. Sehingga sekalipun para ahli hukum seperti di atas memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan penggunaan kalimat yang berbeda-beda, atau dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa unsur yang terdapat dalam setiap perjanjian adalah : a. Ada pihak-pihak Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang ditetapkan oleh undang-undang. b. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu perundingan. c. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan Undang-undang. 48 J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 5. 49 Sudikno Mertokusumo I, op. cit, hal. 141. 45 d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal itu dimaksudkan bahwa prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian. e. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian bisa dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. f. Ada syarat tertentu yaitu syarat pokok dari perjanjian yang menjadi objek perjanjian serta syarat tambahan atau pelengkap. 2.1.2. Syarat sahnya Perjanjian Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-undang. Perjanjian yang sah diakui dan diberi konsekuensi yuridis (legally concluded contract).50 Pasal 1320 KUHPerdata merupakan instrumen pokok untuk menguji keabsahan perjanjian yang dibuat para pihak. Dalam pasal 1320 KUHPerdata terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :51 a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ( de toestemming van degenen die zich verbiden ); b. Kecakapan untuk membuat perjanjian (de bekwaanheid om ene verbintenis aan te gaan); 50 Abdul Kadir Muhammad, op. cit, hal. 228. Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta, hal. 157. 51 46 c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp); d. Suatu sebab yang halal atau diperbolehkan (eene geoorloofde oorzaak). R. Subekti menjelaskan maksud dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut, yaitu: ayat (1) mengenai adanya kata sepakat bagi mereka yang mengikatkan diri adalah adanya kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah. Dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog). Kemudian ayat (2) mengenai kecakapan, maksudnya adalah kedua belah pihak harus cakap menurut hukum untuk bertindak sendiri. Ada beberapa golongan orang oleh undangundang dinyatakan "tidak cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan hukum. Mereka itu, seperti orang dibawah umur, orang dibawah pengawasan (curatele). Jika ayat (1) dan (2) tidak dipenuhi maka perjanjian ini cacat dan dapat dibatalkan. Selanjutnya dijelaskan bahwa, ayat (3) mengenai hal tertentu maksudnya yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang jika terjadi perselisihan. Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Dan tentang ayat (4), dijelaskan bahwa : undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riw ayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan 47 perjanjian itu. Jika ayat (3) dan ayat (4) tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.52 2.1.3 Unsur-unsur Perjanjian Jika suatu perjanjian diamati dan uraikan unsur-unsur yang ada di dalamnya, maka unsur-unsur yang ada di sana dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a. Unsur esensialia Perjanjian dibuat berdasarkan pada unsur-unsur pokok. Salah satu unsur pokok tidak ada, maka perjanjian menjadi timpang, dan perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai konsekuensi yuridis. Unsur esensialia dari suatu perjanjian mewujudkan bentuk utuh dari suatu perjanjian, jika hal tersebut tidak dipenuhi, maka tuntutan terhadap pemenuhan perjanjian tidak dapat diterima.53 Kata sepakat merupakan unsur esensialia yang harus ada. Demikian juga, misalnya perjanjian jual beli suatu benda tanpa menyebutkan harganya bukanlah suatu jual beli. Harga jual beli dan kebendaan tertentu merupakan esensialia dari jual beli.54 52 R. Subekti, 1987, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, (selanjutnya disebut R. Subekti II), hal 135-137. 53 Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, hal. 35. 54 Herlien Budiono,2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono II), hal. 366. 48 b. Unsur naturalia unsur naturalia adalah unsur yang sudah diatur dalam undang-undang dan berlaku untuk setiap perjanjian, apabila para pihak tidak mengaturnya.55 Unsur perjanjian yang oleh Undang-undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Di sini unsur tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur/menambah (regelend/aanvullend recht). Misalnya kewajiban penjual untuk menanggung biaya penyerahan (Pasal 1476) dan untuk menjamin/vrijwaren (Pasal 1491) dapat disimpangi atas kesepakatan kedua belah pihak.56 c. Unsur accidentalia Unsur accidentalia adalah suatu peristiwa yang dituangkan dalam suatu perjanjian yang nanti ada atau tidak ada peristiwa mana menjadi unsur aksidential mengikat para pihak.57 Unsur accidentalia merupakan unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Di dalam suatu perjanjian jual-beli, benda-benda pelengkap tertentu bisa dikecualikan.58 2.2. Tinjauan Umum Tentang Akta 2.2.1. Pengertian akta Istilah akta berasal dari bahasa Belanda yaitu akte. Dalam mengartikan akta ini ada dua pendapat yaitu. Pendapat pertama mengartikan akta sebagai surat dan pendapat kedua mengartikan akta sebagai perbuatan hukum. Beberapa sarjana 55 Ibid. J. Satrio, op. cit, hal. 67. 57 Ketut Artadi & I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Op. cit, hal. 36. 58 J. Satrio, op. cit, hal. 67-68. 56 49 yang menganut pendapat pertama yang mengartikan akta sebagai surat antara lain Pitlomengartikan akta sebagai : surat yang ditandatangani, diperbuat untuk dipahami sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.59 Sudikno Mertokusumo berpendapat bahwa, akta adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tandatangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda tangani. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dari akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. 60 Selanjutnya menurut pendapat Fokema Andrea dalam bukunya Kamus Istilah Hukum Belanda-Indonesia, akte adalah :61 a. Dalam arti terluas, akte adalah perbuatan, perbuatan hukum (Recht handelling); b. Suatu tulisan yang dibuat untuk dipakai sebagai bukti suatu perbuatan hukum; tulisan ditujukan kepada pembuktian sesuatu; dapat dibedakan antara : surat otentik (autentieke) dan di bawah tangan (onderhandse), surat lain bisaa dan sebagainya. 59 Pitlo,1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta, hal. 52. Sudikno Mertokusumo I, op. cit, hal 142. 61 Mr. N.E. Algra et. al, 1983, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal 25. 60 50 Sedangkan menurut pendapat Marjanne ter Mar shui zen, istilah akte (Bahasa Belanda) disamakan dengan istilah dalam Bahasa Indonesia, yaitu:62 a. Akta; b. Akte; c. Surat. Demikian juga dengan R. Subekti dan Tjitrosudibio, dengan mengatakan bahwa : kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang merupakan bahasa latin yang mempunyai arti perbuatan-perbuatan.63 Selain pengertian akta sebagai surat yang memang sengaja diperbuat sebagai alat bukti, ada juga yang menyatakan bahwa perkataan akta yang dimaksud tersebut bukanlah “surat”, melainkan suatu perbuatan. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 108 KUHPerdata yang menentukan : seorang istri, biar ia kawin diluar persatuan harta kekayaan atau telah berpisah dalam hal itu sekalipun, namun tak bolehlah ia menghibahkan barang sesuatu atau memindahtangankannya, atau memperolehnya baik dengan cuma-cuma maupun atas beban, melainkan dengan bantuan dalam akta, atau dengan ijin tertulis dari suaminya. Dalam kaitannya dengan itu, R. Subekti menyatakan bahwa : kata “akta” pada Pasal 108 KUHPerdata tersebut bukanlah berarti surat atau tulisan melainkan “perbuatan hukum” yang berasal dari bahasa Prancis yaitu “acte” yang artinya adalah perbuatan.64 Sehubungan dengan adanya dualisme pengertian 62 Marjanne ter Mar shui zen, 1999, Kamus Hukum Belanda – Indonesia,Djambatan, Jakarta, hal. 19. 63 R. Subekti dan Tirtosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta, hal. 9. 64 R. SubektiII, op. cit,hal. 29. 51 mengenai akta ini, maka yang dimaksud disini sebagai akta adalah surat yang memang sengaja dibuat dan diperuntukkan sebagai alat bukti. Menurut bentuknya akta dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu akta otentik dan akta dibawah tangan. Menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan akta otentik adalah : surat atau akta yang sejak semula dengan sengaja secara resmi dibuat untuk pembuktian. Sejak semula dengan sengaja berarti bahwa sejak awal dibuatnya surat itu tujuannya adalah untuk pembuktian di kemudian hari kalau terjadi sengketa, sebab ada surat dengan tidak dengan sengaja dibuat sejak awal sebagai alat bukti seperti surat korespondensi biasa, surat cinta dan sebagainya. Dikatakan secara resmi karena tidak dibuat secara dibawah tangan. 65 Secara dogmatis (menurut hukum positif) apa yang dimaksud dengan akta otentik terdapat dalam Pasal 1868 KUHPerdata jo Pasal 165 HIR, 285 Rbg) : Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang (welke in de wettlijke vorm is verleden) dan dibuat oleh atau di hadapan pegawaipegawai umum (door of ten overstaan van openbare ambtenaren) yang berkuasa untuk itu (daartoe bevoegd) ditempat dimana akta dibuatnya.66 Pasal 285 R.bg/165 HIR menyatakan bahwa : Akta Otentik yaitu suatu surat yang dibuat menurut ketentuan undangundang oleh atau di hadapan pejabat umum, yang berkuasa untuk membuat surat itu, memberikan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapatkan hak dari padanya, tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu, dan juga yang tercantum dalam surat itu sebagai pemberitahuan saja; tetapi yaang tersebut kemudian itu 65 66 Sudikno Mertokusumo I,op. cit, hal. 145. Sudikno Mertokusumo I,loc. cit. 52 hanya sekedar diberitahukan itu langsung berhubung dengan pokok yang disebutkan dalam akta tersebut.67 Berdasarkan deskrisi di atas, maka akta otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan yang telah ditetapkan, baik dengan atau tanpa bantuan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Akta otentik tersebut memuat keterangan seorang pejabat yang menerangkan tentang apa yang dilakukannya atau dilihat di hadapannya.68 Kemudian dalam Pasal 165 HIR ditentukan bahwa : Akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang apa yang tercantum didalamnya dan bahkan tentang apa yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta. Menurut Mochammad Dja’is dan RMJ Koosmargono Pasal 165 HIR yang berkaitan dengan akta otentik tersebut mengandung unsur-unsur: a. Tulisan yang memuat; b. Fakta, peristiwa, atau keadaan yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan; c. Ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan; d. Dengan maksud untuk menjadi bukti.69 67 K. Wantjik Saleh, 1981, Hukum Acara Perdata RBG/HIR, Cet ke-4, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 71. 68 Husni Thamrin, op. cit, hal. 11. 69 Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Semarang, Badan Penerbit, Universitas Diponegoro, hal. 153. 53 Adapun yang dimaksud Akta otentik yang termuat dalam Pasal 1808 KUHPerdata, yaitu :70 - Dibuat dalam bentuk yang ditentukan Undang-undang. - Dibuat oleh Pejabat Umum. - Pejabat umum tersebut berwenang dimana akta itu dibuat. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang, mempunyai kekuatan pembuktian sempurna dengan sendirinya dan apabila dibantah keasliannya maka pihak yang membantah harus membuktikan kepalsuannya.71 Otentik tidaknya suatu akta tidak cukup jika akta tersebut dibuat oleh pejabat, tetapi cara membuatnya juga harus memenuhi kententuan yang ditetapkan undang-undang. Jadi akta otentik itu bentuknya ditentukan oleh undang-undang bukan oleh peraturan yang lebih rendah dari undang-undang. Kecuali itu yang namanya akta otentik itu dibuat oleh atau dihadapan openbare ambtenaren atau “pegawai-pegawai umum”. Untuk tidak menimbulkan kerancuan dengan pegawai negari kata openbaar ambtenaar, diterjemahkan dengan pegawai-pegawai umum selanjutnya diterjemahkan dengan pejabat umum oleh karena pejabat umum bukanlah pegawai negeri yang tunduk pada peraturan kepegawaian. Menurut Kohar, akta otentik adalah : akta yang mempunyai kepastian tanggal dan kepastian orangnya, sedangkan Pasal 1868 KUHPerdata menyatakan bahwa akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang 70 71 R.Subekti, R.Tjitrosudibio, op.cit, hal. 59. R.Subekti, R.Tjitrosudibio, op.cit,hal. 155. 54 berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.72 Kemudian menurut M. Nur Rasaid dengan megatakan bahwa : akta otentik surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membikin surat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat itu sebagai alat bukti. 73 demikian juga dengan menurut Wirjono Prodjodikoro, dengan mengatakan bahwa akta yang dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti oleh atau di muka seorang pejabat umum yang berkuasa untuk itu. 74 Selanjutnya untuk akta otentik berdasarkan pihak yang membuatnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :75 a) Akta para pihak (partij akte). Akta para pihak (partij akte) adalah akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta; Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihakpihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu. Ketentuan Pasal 1870 KUHPerdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur, jadi partij akte adalah : 72 73 Kohar A, 1984, Notariat Berkomunikasi, Alumni, Bandung, hal. 86 M. Nur Rasaid, 1995, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 38. 74 Sjaifurrachman, op. cit, hal 110, dikutip dari R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Di Indonesia, Sumur Bnadung, Bandung, hal. 108. 75 Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, Op. cit, Hal. 154-155. 55 1) Inisiatif ada pada pihak-pihak yang bersangkutan; 2) Berisi keterangan pihak pihak. b) Akta Pejabat (Ambtelijke Akte atau Relaas Akte) Akta pejabat (ambtelijke akte atau relaas akte) adalah akta yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya akta kelahiran. Jadi ambtelijke akte atau relaas akte merupakan : 1) Inisiatif ada pada pejabat; 2) Berisi keterangan tertulis dari pejabat (ambtenaar) pembuat akta. 2.2.2. Syarat sahnya akta otentik Suatu akta otentik agar dapat dikatakan telah memenuhi syarat otentisitas bilamana dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Suatu akta otentik adalah akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya”. Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipenuhi untuk dikategorikan sebagai akta otentik yaitu : 1. Akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum. Undang-undang memberikan sifat otensititas kepada akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Akta otentik dibagi menjadi 2 (dua) 56 yaitu pertama akta yang dibuat oleh pejabat (ambtelijke akte, procesverbaal akte) merupakan akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu di mana pejabat tersebut menerangkan apa yang dilihat dan dilakukan. Kedua akta yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat (partij akte) merupakan akta yang di buat di hadapan pejabat yang diberikan wewenang untuk itu, dimana pejabat menerangkan tentang apa yang dilihat dan dilakukannya. 76 Pejabat yang berwenang membuat akta otentik yang dimaksud antara lain ialah Presiden, Menteri, Notaris/PPAT, Gubernur, Bupati, panitera pengadilan, jurusita, kantor catatan sipil (yang disetujui oleh walikota), hakim dan sebagainya.77 2. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang (wet). Otentik tidaknya suatu akta tidak cukup jika akta tersebut dibuat oleh pejabat, tetapi cara membuatnya juga harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hal suatu akta dibuat tetapi tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka akta tersebut kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila akta tersebut ditandatangani oleh para penghadap.78 76 Husni Thamrin, op. cit,hal. 16. Moh. Taufik Makarao, 2004, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 100. 78 Husni Thamrin, op. cit, hal. 12. 77 57 3. Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Berwenang (bevoegd) dalam hal ini khususnya menyangkut : (1) jabatannya dan jenis akta yang dibuatnya; (2) hari dan tanggal pembuatan akta; dan (3) tempat akta dibuat. 2.2.3. Fungsi akta otentik a. Formalitas causa Akta dapat mempunyai fungsi formil (formalitas causa), yang berarti bahwa untuk lengkapnya atau sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum haruslah dibuat suatu akta. dalam fungsinya seperti itu, akta merupakan syarat formil untuk adanya suatu perbuatan hukum dimaksud. Misalnya suatu perbuatan hukum yang harus dituangkan dalam bentuk akta sebagai syarat formil, antara lain : perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1610 KUHPerdata tentang perjanjian pemborongan, perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1767 KUHPerdata tentang perjanjian utang piutang dengan bunga dan perbuatan hukum yang dimaksud dalam Pasal 1851 KUHPerdata tentang perdamaian, yang untuk itu semuanya itu diisyaratkan adanya akta di bawah tangan. Sedangkan yang diisyaratkan dengan akta otentik antara lain ialah Pasal 1945 KUHPerdata tentang melakukan sumpah oleh orang lain.79 b. Probabilitas causa Pada Kekuatan pembuktian lahir dari akta otentik berlaku asas acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai 79 Sjarifurrachman, op. cit, hal. 114. 58 akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. Hal ini berarti bahwa tandatangan pejabat dianggap sebagai aslinnya sampai ada pembuktian sebaliknya. Beban pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan tentang otentiknya akta tersebut. Kekuatan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja, dan sebagai alat bukti maka akta atentik baik akta pejabat maupun akta para pihak keistimewaannya terletak pada kekuatan pembuktian lahir. c. Alat Bukti Tentang fungsi atau kedudukan akta otentik adalah sebagai alat bukti yang sempurna, diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menentukan : “Suatu akta untuk memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak ini dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. Sebagai alat bukti, suatu akta otentik memang sejak semula dengan sengaja dibuat untuk dijadikan alat pembuktian dikemudian hari, sifat tertulisnya suatu perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari.80 Mengenai fungsi akta otentik, Kohar mengatakan bahwa : akta otentik berfungsi bagi para pihak sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, namun masih dapat dilumpuhkan oleh bukti lawan. 80 Sjarifurrachman, op. cit, hal. 114. 59 Terhadap pihak ketiga, akta otentik mempunyai kekuatan bukti bebas artinya penilaiannya diserahkan kepada hakim”.81 Akta otentik sebagai alat bukti yang sempurna mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian yaitu :82 a) Kekuatan pembuktian luar atau kekuatan pembuatan lahir (uit wedige bewijs kracht). b) Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht). c) Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht). 2.3. Tinjauan Umum Akta Notaris 2.3.1. Pengertian akta notaris Dalam UUJN Pasal 1 ayat (1) yang menentukan notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya. Adapun kewenangan lain yang dimaksud adalah wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (1) yang menentukan notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain. 81 Muhammad, 1984, Ilmu Pengetahuan Notariat, Sinar Baru, Bandung, hal. 10. 82 Soegondo Notodisoerdjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 55. 60 Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dijelaskan bahwa seorang notaris merupakan pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua pembuatan perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akat otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipanya, semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.83 Dengan demikian maka notaris adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundangundangan dalam hal ini adalah UUJN untuk membuat akta otentik tentang setiap perbuatan-perbuatan hukum maupun peristiwa-peristiwa hukum, baik yang dikehendaki oleh para pihak maupun yang diwajibkan oleh ketentuan hukum, tentang hal tersebut harus dibuatkan dalam suatu akta otentik. Dengan kata lain akta otentik merupakan produk hukum dari pejabat umum yang bernama notaris Itulah sebabnya apabila didalam suatu perundang-undangan untuk suatu perbuatan hukum diharuskan dibuat dalam suatu akta otentik, terkecuali oleh undang-undang dinyatakan secara tegas, bahwa selain Notaris juga pejabat umum lainnya turut berwenang atau sebagai satu-satunya berwenang untuk itu.84 Kemudian tentang akta otentik itu sendiri, dalam UUJN diatur dalam Pasal 1 ayat (7) yang menentukan bahwa : “Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan 83 G.H.S.Lumban Tobing, 1983, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal 40. 84 Ibid, hal. 45. 61 dalam Undang-Undang ini”. Menurut Sjaifurachman berpendapat bahwa akta notaris yaitu akta yang pembuatannya dari awal dimulai dari tindakan menghadap sampai pada akhir atau penandatanganan akta itu semuanya tunduk pada aturanaturan hukum dalam hal ini tunduk pada UUJN.85 Demikian juga dengan Habib Ajie dengan mengatakan bahwa yang disebut akta notaris karena akta tersebut sebagai akta otentik yang dibuat di hadapan atau oleh notaris yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam UUJN. Selanjutnya dikatakan pula bahwa : akta notaris sudah pasti akta otentik, tetapi akta otentik bisa juga akta notaris, akta PPAT, risalah lelang Pejabat Lelang dan Akta Catatan Sipil.86 Sehingga suatu akta yang dibuat di hadapan dan/atau oleh notaris agar berkedudukan sebagai akta otentik apabila dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa syarat akta otentik, yaitu :87 1. Dibuat dalam bentukyang ditentukan oloeh undang-undang. 2. Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum. 2.3.2. Syarat sahnya akta notaris sebagai akta otentik. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan notaris, yaitu membuat akta otentik secara umum, dengan batasan sepanjang :88 1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undangundang. 85 Sjaifurrachman, op. cit, hal. 106. Habib Ajie, 2011, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Ajie I), hal. 8. 87 Philipus M. Hadjon, 2001, Formulis Pendaftaran Tanah Bukan Akta Otentik, Surabaya Post, hal. 3. 88 Habib Ajie I, loc. cit. 86 62 2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau yang dikehendaki oleh yang bersangkutan. 3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. 4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris. 5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Untuk syarat sahnya suatu akta notaris agar dapat berlaku sebagai akta otentik, senantiasa berpedoman pada ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata yang merupakan sumber keotentikan akta notaris serta merupakan sumber dasar legalitas eksistensi akta notaris. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai berikut : a. Akta itu dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang Pejabat Umum. Dalam pasal 1 angka 7 UUJN menetukan akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN. Akta yang dibuat oleh (door) notaris dalam praktik notaris disebut akta relaas atau Akta Berita Acara yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yang dilakukan dituangkan kedalam 63 bentuk akta notaris. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, dalam praktik notaris disebut akta pihak atau akta partij, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau yang diceritakan di hadapan notaris. Para pihak berkeinginan agar uraian atau keterangannya dituangkan ke dalam bentuk akta notaris.89 Pembuatan akta notaris baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak, jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Ketika saran notaris diikuti oleh para pihak dan dituangkan dalam akta notaris, meskipun demikian hal tersebut tetap merupakan keinginan dan permintaan para pihak, bukan saran atau pendapat notaris atau isi akta merupakan perbuatan para pihak bukan perbuatan atau tindakan notaris.90 b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Maksud dari bentuk yang ditentukan undang-undang dalam hal ini adalah bahwa akta tersebut pembuatannya harus memenuhi ketentuan undangundang. Ketentuan dalam Pasal 38 UUJN merupakan syarat-syarat yang 89 G.H.S. Lumban Tobing, op.cit, hal. 51-52. Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Ajie II)hal. 58. 90 64 harus dipenuhi sebagai akta notaris, dimana Pasal 38 UUJN menentukan bahwa : (1) Setiap akta Notaris terdiri atas : a. Awal akta atau kepala akta; b. Badan akta; dan c. Akhir atau penutup akta. (2) Awal akta atau kepala akta memuat : a. Judul akta; b. Nomor akta; c. Jam, hari, tanggal, bulan dan tahun; dan d. Nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. (3) Badan akta memuat : a. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili; b. Keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap; c. Isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan d. Nama lengkap, tempat tinggal dan tanggal alhir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal. (4) Akhir atau penutup akta memuat : a. Uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7); b. Uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada; c. Nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembutaan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan atau penggantian. (5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. Selain syarat yang ditentukan oleh Pasal 38 UUJN terdapat syarat penghadap untuk membuat akta notaris yang di tetapkan berdasarkan Pasal 39 UUJN yang menentukan bahwa : (1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut: 65 a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. cakap melakukan perbuatan hukum. (2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya. (3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta. c. Pejabat umum oleh-atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut. Wewenang notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta otentik meliputi 4 hal, yaitu :91 1. Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang harus dibuat itu; 2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat; 3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat; 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu. 2.3.3. Jenis-jenis akta notaris Berdasarkan keabsahan akta yang dibuat oleh atau di hadapan notaris dapat dibedakan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu : 91 Habib Adjie I, op. cit, hal. 13. 66 1. Akta pihak (partij acte). Yaitu akta yang dibuat di hadapan notaris, artinya akta yang dibuat berdasar keterangan atau perbuatan pihak yang menghadap notaris, dan keterangan atau perbuatan itu agar dikonstatir oleh notaris untuk dibuatkan akta. Akta yang memuat keterangan (berisi) apa yang dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Misalnya pihak-pihak yang bersangkutan mengatakan menjual/membeli selanjutnya pihak notaris merumuskan kehendak para pihak tersebut dalam suatu akta. Partij akte ini mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi pihak-pihak yang bersangkutan termasuk para ahli warisnya dan orang-orang yang menerima hak dari mereka itu. Pasal 1870 KUHPerdata dianggap berlaku bagi partij akte ini. Mengenai kekuatan pembuktian terhadap pihak ketiga tidak diatur.92 2. Akta relaas atau Akta Pejabat (ambtelijke acte). Yaitu akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat umum yang memuat uraian secara otentik tentang semua peristiwa atau kejadian yang dilihat, dialami, dan disaksikan oleh notaris sendiri yang memuat keterangan resmi dari pejabat yang berwenang. Jadi akta ini hanya memuat keterangan dari satu pihak saja, yakni pihak pejabat yang membuatnya. Akta ini dianggap mempunyai kekuatan pembuktian terhadap semua orang, misalnya Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham .93 Perbedaan antara akta pihak (partij akte) dengan akta pejabat (ambtelijke acte) adalah : 92 93 Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, op.cit,hal. 154. Mochammad Dja’is dan RMJ. Koosmargono, op.cit,hal. 155. 67 a. Akta partij (partij acte) atau akta pihak Undang‐undang mengharuskan adanya penandatanganan oleh para pihak, dengan mempunyai ancaman kekuatan kehilanggan pembuktian otensitasnya sebagai akta atau hanya di bawah setidak‐setidaknya notaris mencantumkan keterangan alasan tidak ditandatanganinya akta oleh salah satu pihak pada akhir akta, contoh salah satu pihak tangan kanannya mengalami patah tulang akibat kecelakaan, sehingga tidak dapat menandatangani akta tersebut atau salah satu pihak tidak dapat menulis, sebagai ganti dari tandatangannya maka menggunakan cap jempol atau tidak dapat menandatangani dan alasan tersebut oleh notaris harus dicantumkan dalam aktanya dengan jelas. b. Akta pejabat (ambtelijke acte) perbedaannya adalah : Tidaklah menjadi soal apakah orang‐orang yang hadir menandatangani akta atau tidak, maka akta tersebut masih sah sebagai alat pembuktian, misalnya karena para pemegang saham telah pulang sebelum akta ditandatangani, notaris cukup hanya menerangkannya dalam akta. Perbedaan di atas sangat penting dalam kaitannya dengan pembuktian sebaliknya terhadap isi akta, dengan demikian terhadap kebenaran isi akta pejabat atau akta relaas tidak dapat digugat, kecuali dengan menuduh bahwa akta tersebut palsu, sedangkan pada akta partij atau akta pihak kebenaran, isi akta partij dapat digugat tanpa menuduh kepalsuannya dengan menyatakan bahwa keterangan dari pihak tidak benar. Sehingga tugas yang paling pokok dalam hal ini, notaris dapat 68 juga dikatakan sebagai salah satu penegak hukum, karena notaris berwenang membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat, bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi‐saksi yang dapat membuktikan, bahwa apa yang diterangkan oleh notaris dalam aktanya itu tidak benar.94 2.3.4. Kekuatan pembuktian akta Notaris Nilai kekuatan pembuktian (bewijskracht) yang melekat pada akta otentik diatur dalam pasal 1870 KUHPerdata jo pasal 285 RBG adalah : sempurna (volledig bewijskracht), dan mengikat (bindende bewijskracht), sehingga akta otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain, dengan kata lain akta otentik yang berdiri sendiri menurut hukum telah memenuhi ketentuan batas minimal pembuktian. Namun yang perlu diperhatikan dengan seksama adalah nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat tersebut bukannya tidak dapat berubah status kekuatan dan pemenuhan syarat batas minimalnya. Akta otentik dapat saja kekuatan pembuktian dan batas minimalnya dapat berubah menjadi bukti permulaan tulisan (begin van bewijs bij geschrifte) yaitu apabila terhadapnya diajukan bukti lawan (tegenbewijs) yang setara dan menentukan. Jadi yang perlu dipahami disini adalah bahwa bukti akta otentik tersebut adalah alat bukti yang sempurna dan mengikat namun tidak bersifat menentukan (beslissend) atau memaksa (dwingend). Disinilah kedudukan yang sebenarnya dari akta otentik dalam sistem hukum pembuktian. 94 Liliana, Tedjosaputro, 1991, Mal Praktek Notaris Dalam Hukum Pidana,CV. Agung, Semarang, hal.4. 69 Suatu akta notaris dikatakan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna apabila akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian lahir, formil dan materil, dan memenuhi syarat otentisitas sebagaimana dipersyaratkan dalam UUJN sehingga akta yang telah memenuhi semua persyaratan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan harus dinilai benar, sebelum dapat dibuktikan ketidakbenarannya. Apabila suatu akta otentik ternyata tidak memenuhi kekuatan pembuktian lahir, formil maupun materil dan tidak memenuhi syarat otentisitas suatu akta, maka akta otentik tidak lagi disebut sebagai akta otentik melainkan hanya akta di bawah tangan. Tentang kekuatan pembuktian dari akta notaris dapat dikatakan bahwa tiap-tiap akta notaris mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu sebagai berikut : 1. Kekuatan pembuktian yang luar (uitvendige bewijskracht). Kemampuan lahirliah akta otentik merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik acta publica probant sesse ipsa jika dilihat dari luar atau lahirnya sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum yang sudah ditentukan mengenai syarat maka akta tersebut berlaku sebagai akta otentik sampai terbukti sebaliknya artinya sampai ada yang membuktikan bahwa akta otentik secara lahiriah.95 Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Kemampuan ini menurut Pasal 1875 KUHPerdata tidak dapat diberikan kepada akta yang 95 Sjaicfurrachman, op. cit,hal. 116. 70 dibuat di bawah tangan. Akta yang dibuat di bawah tangan baru berlaku sah, yakni sebagai yang benar-benar berasal dari orang, terhadap siapa akta itu dipergunakan, apabila yang menandatanganinya mengakui kebenaran dari tandatangannya itu atau apabila itu dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan.96 Oleh karena itu, nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan dilihat ada apa. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik bukan akta otentik maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan pada syarat-syarat akta sebagai akta otentik, pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke Pengadilan, penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi objek gugatan bukan akta notaris. 97 2. Kekuatan pembuktian formal (formale bewijskracht). Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. 96 97 Habib Ajie I, op. cit, hal 18. Sjaifurrachman, op. cit, hal 116. 71 Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap dan para pihak yang menghadap, paraf dan tandatangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara) dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak).98 Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran mereka yang menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan dan didengar oleh notaris. Selain itu juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun.99 3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht). Merupakan kepastian tentang materi suatu akta, karena apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak 98 99 Habib Ajie I, op. cit, hal. 19. Habib Ajie I, op. cit, hal. 19. 72 yang membuat akta atau mereka yang mendapatkan hak dan berlaku umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya tegenbewijs keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat atau akta berita acara atau keterangan atau para pihakyang diberikan/disampaikan dihadapan notaris akta pihak dan para pihak harus dinilai benar berkata yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta yang berlaku sebagai benar atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang kemudian/keterangan dituangkan dan akta harus dinilai telah benar berkata. 100 Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/ disampaikan di hadapan notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang yang datang menghadap notaris yang kemudian keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai 100 Sjaifurrachman, op. cit, hal. 118. 73 kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek material dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta, atau para pihak yang telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar berkata dan harus dilakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek materil dari akta notaris.101 2.4. Tinjauan Umum Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli 2.4.1. Pengertian akta perjanjian pengikatan jual beli Sebelum dipahami tentang pengertian akta PPJB, terlebih dahulu akan dipaparkan tentang perjanjian pengikatan jual beli itu sendiri sebagai suatu perjanjian obligatoir yang diatur secara khusus dalam KUHPerdata adalah perjanjian jual beli. Pengertian perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”. Berdasarkan pengertian di atas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu : 102 1. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. 101 Habib Ajie I, op. cit, hal. 21. M. Yahya Harahap, 1986, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 181. 102 74 2. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. Dalam hal perjanjian pengikatan jual beli, kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual demikian sebaliknya bagi pembeli membayar harga barang yang dibeli, dimaksudkan adalah tanah hak milik yang jikalau di atasnya terdapat bangunan yang telah didirikan, maka barang yang dimaksud adalah tanah dan bangunan sebagai obyek perjanjian dimaksud. Dalam hukum perdata Pasal 499 KUHPerdata menentukan bahwa : “Kebendaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasasi oleh hak milik.” Benda sebagai obyek hukum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu:103 1. Benda berwujud: benda yang dapat diraba dengan pancaindera (contoh: tanah, rumah). 2. Benda yang tidak dapat diraba (contoh: hasil pikiran seseorang, hak pengarang, hak tagihan/ piutang). Macam-macam benda dalam Pasal 503, 504 dan Pasal 505 KUHPerdata telah ditentukan pembagian benda. Benda dalam ketentuan tersebut dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Benda bertubuh dan tidak bertubuh; 2. Benda bergerak dan tidak bergerak. Menurut Subekti dan Vollmar, dikenal empat macam benda, yaitu :104 1. Benda yang dapat diganti (contoh: uang) dan yang tidak dapat diganti (contoh: seekor kuda); 103 104 R. Subekti II, op. cit, hal. 64. R. Subekti II, loc. cit. 75 2. Benda yang dapat diperdagangkan (praktis semua barang dapat diperdagangkan) dan yang tidak dapat diperdagangkan atau di luar perdagangan (contoh: jalan, lapangan umum); 3. Benda yang dapat dibagi (contoh: beras) dan benda yang tidak dapat dibagi (contoh: kerbau); 4. Benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dari keempat macam pembagian benda tersebut, yang paling penting adalah pembagian benda dalam benda yang bergerak dan benda yang tidak bergerak. Ada dua hal penting dari pembagian benda tersebut, yaitu : 1. Penting untuk penyerahan, penyerahan benda tidak bergerak biasanya diperlukan pendaftaran, seperti tanah harus didaftarkan di Kantor BPN tingkat Kabupaten/Kota. Penyerahan untuk benda bergerak biasanya dilakukan dengan penyerahan nyata; 2. Penting untuk pembebanan atau jaminan. Suatu perjanjian pengikatan jual beli sesungguhnya tidak ada perbedaan dengan perjanjian pada umumnya, karena merupakan perjanjian yang lahir akibat adanya sifat terbuka dari Buku III KUHPerdata, yang memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada subyek hukum untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja dan dalam bentuk apa saja, asalkan tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan kesusilaan. Dikatakan demikian karena, perjanjian pengikatan jual beli adalah merupakan perjanjian yang lahir dengan mengikuti asas-asas hukum perjanjian pada umumnya. 76 Perjanjian pengikatan jual beli lahir berdasarkan pasa asas konsensualime. Konsensualisme berasal dari perkataan sepakat. Consensus dalam Black S Law Dictionary diartikan sebagai “a general agreement; collective opinion”105 (Terjemahan bebas : perjanjian umum berdasarkan opini bersama). Menurut Subekti, sepakat adalah suatu persetujuan paham dan kehendak antara kedua belah pihak tersebut, apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak sejurusan tapi secara timbal balik kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.106 Berdasarkan asas tersebut, perjanjian pengikatan jual beli lahir dan terjadi pada detik tercapai sepakat di antara para pihak. Artinya, bahwa suatu perjanjian lahir sejak detik tercapainya kesepakatan antara kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan syarat sahnya suatu perjanjian. Sesuai dengan asas konsensualisme yang menjiwai hukum perjanjian perdata, perjanjian jual beli itu dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan harga begitu kedua belah pihak setuju tentang harga barang-barang maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “Jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika mereka mecapai sepakat tentang harga barang-barang, maksud meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. Perjanjian pengikatan jual beli lahir berdasarkan pasa asas kebebasan berkontrak. Berdasarkan asas tersebut para pihak dalam perjanjian bebas dalam 105 Henry Campbell Black, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing, United State of America, hal. 345. 106 R. Subekti, 1982, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut R. Subekti III), hal. 17. 77 menentukan hak dan kewajibannya. Artinya perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata). Asas kebebasan berkontrak ini tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan undang-undang. Dengan deskripsi di atas, maka suatu perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian obligatoir yang lahir berdasar pada asas konsensualisme yang mengandung konsekuensi bahwa dalam perjanjian pengikatan jual beli masingmasing pihak, yakni antara penjual dengan pembeli secara bebas dan berdasarkan pada kesepakatannya dapat memperjanjikan hal-hal yang belum dapat dipenuhinya guna dibuatnya suatu akta jualbeli balik nama sebagai alat pendaftaran peralihan hak milik atas tanahnya berdasarkan pada Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut sejalan dengan yang dikatakan R. Subekti, bahwa perjanjian pengikatan jualbeli mrupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat belum ada karena masih dalam proses, belum terjadinya pelunasan harga.107 Demikian juga dengan Herlien Budiono dengan mengatakan bahwa perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.108 Di dalam praktek, perjanjian pengikatan jual beli dibuat dan dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat notaris sehigga lazimnya disebut dengan 107 108 R. Subekti I, op.cit, hal.75. Herlien Budiono I, op. cit, hal. 270. 78 akta PPJB. Dengan mengacu pada paparan sub bab di atas perihal akta notaris, maka suatu akta PPJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh notaris tentang perjanjian antara duabelah pihak, yaitu pemilik tanah selaku penjual dengan pembeli yang telah sepakat tentang barang/benda berupa sebidang tanah (berikut bangunan yang telah didirikan di atasnya) dan harga dari tanah dan bangunan tersebut. Di dalamnya dapat pula tekandung janji-janji yang belum dapat dipenuhi baik dari masing-masing pihak ataupun dari salah satu pihak dalam rangka dibuatnya suatu akta jual-beli yang dapat digunakan sebagai alat peralihan hak milikatas tanahnya dapa yang berwenang di Kantor Pertanahan kota/kabupaten di mana letak tanah dan bangunan tersebut berada. Sehingga suatu akta PPJB essensinya adalah akta perjanjian pendahuluan yang di dalamnya mengandung janji-janji yang harus dipenuhi guna dilangsungkan atau dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak untuk terjadinya jual beli itu sendiri. 2.4.2. Fungsi AktaPerjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka akta PPJB itu sendiri berfungsi sebagai perjanjian awal yang mendahului dibuat dan selenggarakannya akta jual beli balik nama, sehingga keberadaannya sebagai perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.109 Hal tersebut 109 Herlien Budiono, artikel “Pengikat Jual Beli Dan Kuasa Mutlak”Majalah Renvoi, edisi tahun I, No 10, Bulan Maret 2004, (selanjutnya disebut Herlien Budiono III), hal 57. 79 menunjukkan bahwa akta PPJB berkedudukan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dalam ranah sistem pendafran tanah di Indonesia berfungsi dalam memberi kepastian dan perlindungan hukum bagi pembeli sebagai penerima hak, sejalan dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa: Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan tersebut, maka salah satu perbuatan hukum yang menyebabkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan harus didaftarkan balik namanya adalah perbuatan hukum jual beli yang aktanya dibuat dalam bentuk akta jual beli yang dibuat oleh dan/atau dihadapan PPAT yang lazimnya disebut dengan akta jual beli balik nama dan selanjutnya digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah. Dalam prakteknya akta jual beli balik nama seperti tersebut dibuat dengan berdasar pada akta PPJB dengan diikuti suatu akta kuasa menjual, sehingga suatu akta PPJB dan kuasa menjual pada dasarnya merupakan alat bukti otentik terikatnya para pihak dalam suatu perjanjian tentang harga dan barang/benda (tanah dan/atau bangunan) sebagai obyek perjanjian jual-beli. Sebab dengan sepakatnya para pihak tentang obyek perjanjian serta telah dibayar lunas harga tanah dan/atau bangunan oleh pembeli dan diterima oleh penjual sebaliknya penjual menyerahkan tanah dan/atau bangunannya kepada dan telah diterima oleh pembeli, maka unsur-unsur jual-beli telah terpenuhi dan oleh notaris cukup 80 dijadikan alasan dibuatnya akta PPJB dan kuasa menjual. Dalam sebuah akta PPJB dimana terhadap harga tanah berikut bangunannya telah dibayar lunas (terjadi pelunasan) oleh pembeli kepada penjual/pemilik tanah, yang secara yuridis berarti akta tersebut telah memenuhi syarat sebagai dasar peralihan hak atas tanahnya, harus diikuti dengan akta kuasa menjual. Sebab dengan kuasa menjual dari pemilik tanah selaku penjual kepada pembeli, segala kepentingan hukumnya dapat dilaksanakan. Artinya dengan kuasa menjual pembeli dikemudian hari dapat menjual kepada pihak lain dengan tanpa memerlukan bantuan hukum penjual atau dalam hal ini digunakan untuk menjual kepada dirinya pembeli sendiri guna kepentingan peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut. Dalam suatu akta kuasa menjual, seorang penerima kuasa dapat menjalankan kekuasaan yang diberikan oleh pemberi kuasa, ia tidak boleh bertindak melampaui batas yang diberikan kepadanya oleh pemberi kuasa. Oleh karena tindakan dan pemegang kuasa itu sebenarnya mewakili, demikian untuk dan atas nama pemberi kuasa, maka pemberi kuasa dapat dalam arti kata berhak untuk menggugat secara langsung dan menuntut orang ketiga, dengan siapa pemegang kuasa telah bertindak dalam kedudukannya, agar perjanjian yang bersangkutan dipenuhinya. 2.4.3. Isi Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Isi dari perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan perjanjian pendahuluan untuk lahirnya perjanjian pokok/utama biasanya adalah berupa janjijanji dari para pihak yang mengandung ketentuan tentang syarat-syarat yang 81 disepakati untuk sahnya melakukan perjanjian utamanya. Misalnya dalam perjanjian pengikatan jual beli hak atas tanah, dalam perjanjian pengikatan jual belinya biasanya berisi janji-janji baik dari pihak penjual hak atas tanah maupun pihak pembelinya tentang pemenuhan terhadap syarat-syarat dalam perjanjian jual beli agar perjanjian utamanya yaitu perjanjian jual beli dengan akta jual beli balik nama yang dibuat oleh dan/atau di hadapan PPAT seperti janji untuk melakukan pengurusan sertifikat tanah sebelum jual beli dilakukan sebagiman diminta pihak pembeli, atau janji untuk segera melakukan pembayaran oleh pembeli sebagai syarat dari penjual sehingga akta jual beli dapat di tandatangani di hadapan PPAT. Selain janji-janji biasanya dalam perjanjian pengikatan jual beli juga dicantumkan tentang hak memberikan kuasa kepada pihak pembeli. Hal ini terjadi apabila pihak penjual berhalangan untuk hadir dalam melakukan penadatanganan akta jual beli di hadapan PPAT, baik karena lokasi yang jauh, atau karena ada halangan dan sebagainya. Dan pemberian kuasa tersebut biasanya baru berlaku setelah semua syarat untuk melakukan jual beli hak atas tanah di PPAT telah terpenuhi. 2.4.4. Bentuk Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai perjanjian yang lahir karena kebutuhan dan tidak diatur secara tegas dalam bentuk peraturan perundang-undangan maka perjanjian pengikatan jual beli tidak mempunyai bentuk tertentu. Hal ini sesuai juga dengan pendapat dari Herlien Budiono, perjanjian pengikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan yang bentuknya bebas.110 110 Ibid, hal. 57. BAB III PEMBUATAN AKTA PPJB TANAH DAN SYARAT KECAKAPAN PARA PIHAK BERDASARKAN SUDUT PANDANG PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 3.1. Konsep Batasan Umur Dan Kecakapan Bertindak Di Dalam Hukum Kecakapan seseorang bertindak di dalam atau untuk melakukan perbuatan hukum ditentukan dari telah atau belumnya seseorang tersebut dikatakan dewasa menurut hukum. Serta kedewasaan seseorang seperti tersebut, merupakan tolak ukur dalam menentukan apakah seseorang tersebut dapat atau belum dapat dikatakan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Kedewasaan seseorang menunjuk pada suatu keadaan sudah atau belum dewasanya seseorang menurut hukum untuk dapat bertindak di dalam hukum. Sehingga kedewasaan di dalam hukum menjadi syarat agar seseorang dapat dan boleh dinyatakan sebagai dewasa. Dalam lapangan hukum perdata, kedewasaan seseorang diukur dari umur atau usianya. Karena hal tersebut terkait dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai subyek hukum yang sebagian besar memunculkan atau melahirkan hak-hak subyektif dan kewajiban-kewajiban hukum. Yang dimaksud dengan tindakan hukum, adalah tindakan-tindakan yang menimbulkan konsekuensi yuridis dan konsekuensi yuridis itu dikehendaki atau dapat dianggap dikehendaki. Oleh karena itu umur merupakan hal yang penting dalam menilai terhadap tanggungjawab seseorang terhadap konsekuensi yuridis yang terjadi 82 83 sebagai suatu hal yang dikehendaki atau dianggap dikehendaki sebagai akibat dari perbuatan hukumnya. Sesungguhnya tidak ada ketentuan dalam suatu peraturan perundangundangan yang khusus mengatur tentang kecakapan bertindak. Dengan demikian tidak pula dapat diketahui dengan pasti unsur-unsur dan syarat-syarat dari padanya. Untuk mengetahui kecakapan bertindak serta kedewasaan seseorang menurut hukum dapat ditelaah dari pengaturan batasan umur seseorang utuk dikatakan sebagai dewasa, sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, antara lain dari Pasal 307 KUHPerdata yang menentukan bahwa : Orang yang melakukan kekuasaan orang tua terhadap seorang anak yang masih di bawah umur, harus mengurus barang-barang kepunyaan anak tersebut, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 237 dan alinea terakhir Pasal 319e. Ketentuan ini tidak berlaku terhadap barang-barang yang dihibahkan atau diwasiatkan kepada anak-anak, baik dengan akta antar yang sama-sama masih hidup maupun dengan surat wasiat, dengan ketentuan bahwa pengurusan atas barang-barang itu akan dilakukan oleh seorang pengurus atau lebih yang ditunjuk untuk itu di luar orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Bila pengurusan yang diatur demikian, karena alasan apa pun juga sekiranya hapus, maka barang-barang termaksud beralih pengelolaannya kepada orang yang melakukan kekuasaan orang tua. Meskipun ada pengangkatan pengurus-pengurus khusus seperti di atas, orang yang melakukan kekuasaan orang tua mempunyai hak untuk minta perhitungan dan pertanggungjawaban dari orang-orang tersebut selama anaknya belum dewasa. Pasal 308 KUHPerdata mengatur mengenai kekuasaan orang tua yang menentukan bahwa : Orang yang berdasarkan kekuasaan orang tua wajib mengurus barangbarang anak-anaknya, harus bertanggung jawab, baik atas hak milik barangbarang itu maupun atas pendapatan dari barang-barang demikian yang tidak boleh dinikmatinya. Mengenai barang-barang yang hasilnya menurut undang-undang boleh dinikmatinya, ia hanya bertanggung jawab atas hak miliknya. 84 Pasal 383 yang menentukan bahwa : “Wali harus menyelenggarakan pemeliharaan dan pendidikan bagi anak belum dewasa menurut kemampuan harta kekayaannya dan harus mewakili anak belum dewasa itu dalam segala tindakan perdata.” Yang tidak cakap diatur dalam Pasal 1330 yang menentukan bahwa : Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah; 1. anak yang belum dewasa; 2. orang yang ditaruh di bawah pengampuan; 3. perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undangundang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Pasal 1446 mengatur mengenai perikatan yang dibuat oleh orang yang tidak cakap yang menentukan bahwa : Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau orangorang yang berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal, semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya. Perikatan yang dibuat oleh perempuan yang bersuami dan oleh anak-anak yang belum dewasa yang telah disamakan dengan orang dewasa, tidak batal demi hukum, sejauh perikatan tersebut tidak melampaui batas kekuasaan mereka. Cakap menurut R. Subekti bahwa mengerti akan sesuatu yang dilakukan serta mengetahui dampak dari perbuatan yang dilakukannya. 111 Sedangkan J. Satrio berpendapat bahwa kecakapan dapat dipahami dari beberapa ketentuan dalam pasal-pasal KUHPerdata antara lain : Pasal 307, Pasal 308, Pasal 383, Pasal 1330 dan pasal 1446 dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 47 dan 50, kemudian dapat disimpulkan, bahwa pada asasnya yang dapat melakukan 111 R. SubektiII, op. cit,hal. 18. 85 tindakan hukum secara sah dengan konsekuensi yuridis yang sempurna adalah mereka yang telah dewasa.112 Dalam peraturan perundang-undangan lain, yaitu dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Soal kedewasaan juga telah diatur dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”. Selain ditentukan oleh batasan umur, kecakapan bertindak seseorang menurut hukum sebagai indikasi bahwa seseorang tersebut telah memenuhi syarat kedewasaan, adalah juga dibatasi oleh faktor lain seperti status pernikahan seseorang. Artinya seseorang telah dapat dikatakan dewasa sekalipun menurut ketetuan peraturan perundang-undangan belum mencukupi umurnya untuk dikatagorikan telah dewasa, namun secara nyata seseorang tersebut telah menikah. Karena sebagaimana dikatakan oleh J. Satrio dengan mengutip pendapat Pitlo, mengatakan bahwa oleh karena kecakapan bertindak dikaitkan dengan faktor umur, dan faktor umur ini didasarkan atas anggapan, bahwa orang di bawah umur tertentu, belum dapat menyadari sepenuhnya akibat dari perbuatannya, maka dapat disimpulkan, bahwa masalah ketidakcakapan bertindak di dalam hukum, tidak harus sesuai dengan kenyataannya atau dengan kata lain ketidakcakapan di 112 J. Satrio, op. cit, hal. 53. 86 sini adalah ketidakcakapan yuridis atau ketidakcakapan yang dipersangkakan (jurisische onbekwaamheid atau veronderstelde onbekwaamheid), bukan ketidakcakapan yang senyatanya (sesuai dengan kenyataan yang ada). 113 Selanjutnya dikatakan juga bahwa hukum membeda-bedakan hal ini karena hukum menganggap dalam lintas masyarakat menghendaki kematangan berfikir dan keseimbangan psikis yang pada orang belum dewasa masih dalam taraf permulaan sedangkan sisi lain dari pada anggapan itu ialah bahwa seorang yang belum dewasa dalam perkembangan fisik dan psikisnya memerlukan bimbingan khusus. Karena ketidaksempurnaannya maka seorang yang belum dewasa harus diwakili oleh orang yang telah dewasa sedangkan perkembangan orang kearah kedewasaan ini harus dibimbing.114 Pasal 904 KUHPerdata menentukan bahwa : ”Een minderjarige, ofschoon denouderdom van achttien jaren bereikt hebbende, kan bij uitersten wil tenvoordeele van zijnen voogd geene beschikking maken...”.115 Kata ”minderjarige” di dalam terjemahan KUHPerdata dimaknai dengan beberapa istilah seperti ”belum dewasa”, ”di bawah umur”, maupun ”anak di bawah umur”. Di samping ketentuan di atas, ada pula kondisi yang disebut sebagai pendewasaan (handlichting), yaitu suatu lembaga hukum di mana orang yang belum dewasa tetapi telah mencapai syarat-syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batasbatas tertentu menurut ketentuan undang-undang dapat memiliki kedudukan 113 Pitlo, 1971, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen, hal.89. 114 Ibid, hal. 90. 115 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 81. 87 hukum yang sama dengan orang dewasa. Selanjutnya, pendewasaan itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua) macam, yaitu :116 1. Pendewasaan Penuh Dengan pendewasaan, seorang anak yang di bawah umur boleh dinyatakan dewasa, atau kepadanya boleh diberikan hak-hak tertentu orang dewasa. Pendewasaan penuh diatur dalam Pasal 421 KUHPerdata menentukan bahwa : Permohonan akan surat pernyataan dewasa boleh diajukan kepada pemerintah oleh anak yang di bawah umur, bila ia telah mencapai umur dua puluh tahun penuh. Pada surat permohonan itu harus dilampirkan akta kelahiran, atau bila itu tidak dapat diberikan, tanda bukti lain yang sah tentang umur yang diisyaratkan itu. Berdasarkan ketentuan Pasal 421, maka seseorang yang telah berusia 20 tahun dapat mengajukan permohonan pendewasaan secara penuh dan permohonan tersebut diajukan kepada presiden. Dari pendewasaan penuh ini maka konsekuensi yuridisnya adalah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa. Tetapi apabila ingin melangsungkan perkawinan tetap memerlukan dari ijin orang tua. 2. Pendewasaan Terbatas Pendewasaan terbatas diatur dalam Pasal 426 KUHPerdata yang menentukan bahwa : Pendewasaan, yang memberikan hak-hak tertentu sebagai orang dewasa kepada anak yang di bawah umur, boleh diberikan oleh Pengadilan Negeri kepada anak yang di bawah umur atas permohonannya, bila ia telah mencapai umur delapan belas tahun penuh. Hal itu tidak diberikan bila bertentangan dengan kemauan salah seorang orang tuanya yang melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian. 116 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 82. 88 Berdasarkan ketentuan Pasal 426 KUHPerdata, seseorang dapat mengajukan pendewasaan secara terbatas apabila usianya telah mencapai 18 tahun, dengan syarat orang tua/walinya tidak keberatan, dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang, dan dapat ditarik kembali sewaktu-waktu. Adapun tujuannya agar seseorang yang dalam usianya tersebut yang menurut hukum atau peratuan perundang-undangan belum dibolehkan atau belum memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, dengan upaya hukum tersebut menjadi dibolehkan atau telah dipandang memenuhi syarat. Anak yang di bawah umur yang telah mendapat pendewasaan demikian dianggap sebagai orang dewasa hanya dalam hal perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan yang telah ditetapkan, dan tidak boleh mengingkari keabsahannya atas dasar kebelumdewasaan. Untuk hal-hal lainnya tidak ditetapkan maka tetap dalam kedudukan belum dewasa. Berdasarkan putusan hakim memberitahukan hak-hak orang dewasa yang diberikan kepada anak itu sesuai dengan ketentuan Pasal 428 KUHPerdata. Hak-hak orang dewasa yang dapat diberikan kepada anak itu hanya dalam bidang-bidang tertentu yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Menerima seluruh atau sebagian pendapatannya; Mengeluarkan dan mempergunakan pendapatnya; Membuat suatu perjanjian sewa-menyewa; Menanami tanah-tanah kepunyaannya; Melakukan usaha-usaha yang perlu untuk itu; Melakukan suatu kerajinan tangan; Mendirikan dan ikut dalam suatu pabrik; 89 8. Melakukan mata pencaharian dan perniagaan.117 Konsekuensi yuridis pernyataan pendewasaan secara terbatas ialah status hukum yang bersangkutan sama dengan status hukum orang dewasa untuk perbuatan-perbuatan tertentu seperti di atas. Hukum perdata memberikan pengecualian-pengecualian tentang usia belum dewasa yaitu, sejak berumur 18 tahun seorang yang belum dewasa, melalui pernyataan dewasa, dapat diberikan wewenang tertentu yang hanya melekat pada orang dewasa. Seorang yang belum dewasa dan telah berumur 18 tahun kini atas permohonan, dapat dinyatakan dewasa harus tidak bertentangan dengan kehendak orang tua. Dari uraian tersebut dapat kita lihat bahwa seorang yang telah dewasa dianggap mampu berbuat karena memiliki daya yuridis atas kehendaknya sehingga dapat pula menentukan keadaan hukum bagi dirinya sendiri. Undangundang menyatakan bahwa orang yang telah dewasa telah dapat memperhitungkan luasnya akibat pernyataan kehendaknya dalam suatu perbuatan hukum, misalnya membuat perjanjian, membuat surat wasiat. Terhadap pendewasaan ini, apabila hakim berpendapat bila seorang yang dinyatakan dewasa maka ia harus menentukan secara tegas wewenang apa saja yang diberikan itu. Setelah memperoleh pernyataan itu seorang yang belum dewasa, sehubungan dengan wewenang yang diberikan, dapat bertindak sebagai pihak dalam acara perdata dengan domisilinya. Bila menyalahgunakan wewenang yang diberikan 117 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, loc.cit. 90 maka atas permintaan orang tua atau wali, pernyataan dewasa itu dicabut oleh hakim. Sedangkan menurut beberapa konsep hukum, batasan usia dewasa antara undang-undang yang satu dengan yang lain berbeda dan belum ada keseragaman, hal ini dapat kita lihat dari beberapa konsep hukum tersebut yaitu : 1. Konsep Hukum Pidana Hukum pidana juga mengenal usia belum dewasa dan dewasa. Yang disebut umur dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau belum 21 tahun, akan tetapi sudah atau sudah pernah menikah. Hukum pidana anak dan acaranya berlaku hanya untuk mereka yang belum berumur 18 tahun, yang menurut hukum perdata belum dewasa. Yang berumur 17 tahun dan telah kawin tidak lagi termasuk hukum pidana anak, sedangkan belum cukup umur menurut Pasal 294 dan Pasal 295 KUHP adalah ia yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum kawin sebelumnya. Bila sebelum umur 21 tahun perkawinannya putus ia tidak kembali menjadi belum cukup umur. 2. Konsep Hukum Adat Hukum adat tidak mengenal batas umur belum dewasa dan dewasa. Dalam hukum adat tidak dikenal fiksi seperti dalam hukum perdata. Hukum adat mengenal secara insidental saja apakah seseorang itu, berhubung umur dan perkembangan jiwanya patut dianggap cakap atau tidak cakap, mampu atau tidak mampu melakukan perbuatan hukum tertentu dalam hubunganhukum tertentu pula. Artinya apakah ia dapat memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri dalam perbuatan hukum yang dihadapinya itu. 91 Belum cakap artinya, belum mampu memeperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Cakap artinya, mampu memperhitungkan dan memelihara kepentingannya sendiri. Menurut hukum adat, ”dewasa” ini baru mulai setelah tidak menjadi tanggungan orang tua dan tidak serumah lagi dengan orang tua. Jadi, bukan asal sudah kawin saja. Perlu dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan berumah sendiri dan tidak lagi menjadi satu dengan orang tua itu adalah cukup, misalnya dengan mendirikan serta menempati rumah sendiri dalam pekarangan rumah orang tuanya, menempati bagian gedung rumah orang tuanya yang berdiri sendiri atau yang dipisahkan dari bagian yang ditempati orang tuanya. Jadi, tidak harus menempati rumah yang letaknya di luar pekarangan rumah orang tuanya. Apabila kedewasaan itu dihubungkan dengan perbuatan kawin, hukum adat mengakui kenyataan bahwa apabila seorang pria dan seorang wanita kawin dan dapat anak, mereka dinyatakan dewasa, walaupun umur mereka baru 15 tahun. Sebaliknya apabila mereka dikawinkan tidak dapat menghasilkan anak karena belum mampu berseksual, mereka dikatakan belum dewasa.118 Cakap (bekwaam) adalah kriteria umum yang dihubungkan dengan keadaan diri seseorang. Ter Haar dalam Djojodigoeno melihat kecakapan atau Volwassen adalah suatu kondisi sudah kawin dan hidup terpisah dari orang tuanya.119 118 119 Tan Thong Kie, op.cit, hal 39. Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal 34. 92 Lain halnya dengan cakap hukum atau cakap untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut hukum adat, cakap melakukan perbuatan hukum adalah seorang-orang (baik pria maupun wanita) yang sudah dewasa. Kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat adalah berlainan dengan kriteria yang dipakai dalam hukum perdata Barat. Dalam hukum adat kriterianya adalah bukan umur, tetapi kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu.120 Menurut Djojodiguno berpendapat bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang-orang yang sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan hukum dan yang cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.121 Ter Haar berpendapat bahwa seseorang menyatakan menjadi dewasa ialah saat ia (lelaki atau perempuan) sebagai orang yang sudah kawin, meninggalkan rumah ibu bapaknya atau ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-bini muda yang merupakan keluarga berdiri sendiri.122 Soedjono Dirjosisworo menyatakan bahwa menurut Hukum Adat, anak di bawah umur adalah mereka yang belum menentukan tanda-tanda fisik yang kongkret bahwa ia telah dewasa.123 120 Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 43. Djojohadikusumo, 1964, Asas-Asas Hukum Adat, Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 31. 122 Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 45., dikutip dari Ter Haar dalam Safiyudin Sastrawijaya, 1977, Beberapa Masalah tentang Kenakalan Remaja, Karya Nusantara, Bandung,hal. 18. 123 Soedjono Dirjosisworo, 1983, Hukuman dalam Berkembangnya Hukum Pidana, Tarsito, Bandung, hal. 230. 121 93 Namun demikian, agar suatu tindakan menimbulkan konsekuensi yuridis yang sempurna maka orang yang bertindak, pada saat tindakan, harus mempunyai pematangan berpikir, yang secara normal mampu menyadari sepenuhnya tindakannya dan akibat dari tindakannya. Orang yang secara moral mampu menyadari tindakan dan akibat daritindakannya dalam hukum, untuk ringkasnya disebut dengan istilah teknis hukum, cakap bertindak. Agar orang tidak perlu setiap kali harus menyelidiki, apakah lawan janjinya cakap untuk bertindak maka oleh undang-undang ditetapkan sekelompok orang-orang, yang dimasukkan dalam kelompok mereka yang tidak cakap bertindak, yaitu para belum dewasa dan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan. 3.2 Pengaturan Tentang Syarat Batasan Umur Sebagai Syarat Kecakapan Bertindak Menurut Hukum Di Indonesia. Di dalam hukum Indonesia, batasan umur seseorang untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum tertentu diukur dari telah atau belum dewasanya seseorang tersebut. Artinya, sejak seseorang telah dipandang atau memenuhi usia/umur dewasa, sesorang tersebut berhak dan dapat untuk membuat perjanjian dengan orang lain misalnya, menjual atau membeli suatu benda (harta tetap atau bergerak) atas namanya sendiri, menjamin atau menggadaikan atau mengagunkan tanah, bertindak selaku pemegang saham dalam suatu Perseroan Terbatas, Yayasan, Firma, Perkumpulan. Demikian sebaliknya, bahwa apabila seseorang tersebut belum cukup umur untuk dikatakan dewasa maka seseorang tersebut tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sebagaimana tersebut di atas. 94 Ketidakseragaman batasan usia/umur untuk menentukan seseorang telah atau belum dewasa dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagaimana dipaparkan dalam sub bab di atas, kerap menimbulkan ketidak pastian hukum dalam menerapkan batas umur/usia yang mana yang seharusnya digunakan. Di bawah ini beberapa pengaturan batasan umur menurut peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, yaitu sebagai berikut : 3.3.1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur. Berikut konsep yang dipakai dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang, yang dinyatakan dalam ketentuan Pasal 330 KUHPerdata, orang dewasa adalah mereka-mereka yang :124 a. Telah mencapai umur 21 tahun atau lebih; b. Mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun Dalam lapangan hukum perdata, unsur usia memiliki peranan yang cukup penting, sebab dikaitkan dengan masalah kecakapan bertindak seseorang sebagai subyek hukum dalam tindakan hukumnya. Sebagian besar munculnya hak-hak (subyektif) dan dengan kewajiban-kewajiban hukum, dikaitkan dengan atau terjadi melalui tindakan hukum. Padahal kecakapan untuk melakukan tindakan hukum dikaitkan dengan faktor kedewasaan, yang didasarkan antara lain atas dasar umur. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan hukum, adalah tindakan- 124 J. Satrio, op.cit, hal. 63. 95 tindakan yang menimbulkan konsekuensi yuridis dan konsekuensi yuridis itu dikehendaki atau dapat dianggap dikehendaki. Berdasarkan ketentuan tersebut, dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum, dapat disimpulkan bahwa menurut KUHPerdata, orang-orang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari konsekuensi yuridis dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. Menurut KUHPerdata ada faktor lain selain unsur usia untuk mengukur kedewasaan yaitu status telah menikah, termasuk kalau suami isteri yang bersangkutan belum mencapai usia 21 tahun. 3.3.2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Hukum perkawinan tidak terlepas dari persyaratan adanya kecakapan para pihak atau ketentuan mengenai umur para pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Selain itu, perkawinan juga harus dilakukan pencatatan memenuhi ketentuan yang berlaku dalam hal ini ketentuan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3019. Dalam Pasal 29 KUHPerdata yang sudah tidak berlaku lagi, seseorang pemuda yang belum mencapai umur 18 tahun begitu pula pemudi yang belum mencapai umur 15 tahun tidak dibolehkan mengikat perkawinan. Jadi terdapat 96 perbedaan batasan umur perkawinan antara KUHPerdata dengan Undang-Undang Perkawinan.125 Hukum perkawinan tidak terlepas dari persyaratan adanya kecakapan para pihak atau ketentuan mengenai umur para pihak yang akan melaksanakan perkawinan. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengenai syarat perkawinan ditentukan bahwa : “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.” Dalam penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia, maka Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan sebaiknya dilakukan antara orang yang benar-benar telah cakap dan mampu bertanggung jawab dan umur 21 tahun sesuai dengan ketentuan dewasa dalam KUHPerdata. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan ditentukan bahwa : “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.” Adapun dalam soal hak dan kewajiban, maka yang menjadi tolok ukur kedewasaan seseorang telah diatur di dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa : “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.” Soal kedewasaan juga telah diatur dalam pasal 50 125 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang H. Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 47. 97 menyatakan bahwa : “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali”.126 Kedua pasal ini artinya secara tegas telah merubah doktrin KUHPerdata yang telah berjalan sejak tahun 1847 tersebut tentang batas umur dewasa dari 21 tahun menjadi 18 tahun. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : 1. Menurut Undang-Undang Perkawinan, umur 21 tahun merupakan syarat kawin, sebagai ukuran kematangan seseorang untuk berumah tangga, bukan sebagai ukuran dewasa; 2. Menurut Undang-Undang Perkawinan, batas usia dewasa adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Undang-Undang Perkawinan sebagai undang-undang yang relatif baru dan bersifat nasional kiranya bisa kita pakai sebagai patokan dan dengan berpatokan pada asas lex postiori derogat lex priori maka dapat kita katakan bahwa kita telah mempunyai patokan umum untuk menetapkan usia dewasa, yaitu 18 tahun sehingga semua ketentuan lain yang mengatur usia dewasa yang diundangkan sebelum Undang-Undang Perkawinan tidak berlaku lagi.127 Sehubungan dengan perihal kedewasaan, baik dalam hubungan perikatan maupun perkawinan tersebut tidak terlepas dari ketentuan mengenai umur atau kecakapan para pihak untuk memenuhi ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini para pihak atau subyek hukum 126 Soedharyo Soimin, 2002, Hukum Orang Dan Keluarga Perspektif Hukum Prdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 51. 127 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op. cit, hal. 13. 98 disyaratkan untuk memenuhi syarat kedewasaan berdasarkan perbuatan hukum yang dilakukan. 3.2.3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Pengertian anak diatur dalam Konvensi Hak Anak 1989 yang diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1990, Pasal 1 menentukan hak anak adalah : “Setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak ditentukan bahwa usia dewasa dicapai lebih awal.” Hal serupa mengenai anak ditegaskan pula di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diundangkan pada tanggal 22 Oktober 2002 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4235. Di dalam Pasal 1 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Berarti yang bukan anak yaitu seseorang yang berumur di atas 18 tahun.” Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas. Atau dengan kata lain menurut Undang-Undang Perlindungan Anak, konsep dewasa seseorang sehingga dapat bertindak di dalam hukum adalah apabila seseorang tersebut telah berusia lebih dari 18 tahun. Sehingga kedewasaan seseorang menurut undang-undang tersebut adalah ditentukan oleh batasan umur yakni setelah berusia 18 tahun. 3.3.4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Batasan umur dewasa dalam bidang ketenagakerjaan untuk pertama kali termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 1948 tentang Tenaga Kerja. 99 Pasal 1 angka 2 menentukan bahwa : “Orang dewasa ialah orang laki-laki maupun perempuan yang berumur 18 tahun ke atas”. Kemudian umur kedewasaan tersebut oleh Undang-Undang Nomor 25 tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan diturunkan dari 18 tahun menjadi 15 tahun sebagai mana termuat dalam pasal 1 angka 20 menentukan bahwa : “Anak adalah orang laki-laki atau wanita yang berumur kurang dari 15 (lima belas) tahun”. Kemudian dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4279. Batas umur dewasa tersebut dikembalikan lagi pada umur 18 tahun, sebagaimana bunyi pasal 1 angka 20 yang menentukan bahwa : “Anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun”. Berdasarkan pada ketentuan-ketentuan di atas, batasan umur 18 tahun bagi tenaga kerja Indonesia tentu harus dimaknai sebagai dewasa dalam arti cakap bertindak secara keperdataan karena orang berumur 18 tahun telah memiliki legal capacity, atau dalam kaidah hukum islam disebut memiliki ahliyatul ada’ karena hakekatnya orang yang berumur 18 tahun adalah orang yang telah akil balig. Sehingga si berumur 18 tahun dapat dipastikkan telah cakap bertindak hukum atau mukallaf yang oleh karena itu segala hal ikhwalnya harus ditakar dan dipertanggungjawabkan menurut hukum. 100 3.2.5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang diundangkan pada tanggal 1 Agustus 2006 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4634, memberikan beberapa pasal mengenai batasan umur yaitu : a. Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak yang setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya”; b. Pasal 9 huruf (a) menentukan bahwa : “Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika telah memenuhi syarat yang salah satunya yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah kawin”; c. Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa : Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia. Batasan umur untuk menentukan seseorang telah dipandang dewasa sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal dari undang-undang di atas, pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan batasan umur kepada seseorang anak yang telah cakap bertindak yaitu 18 tahun agar dapat melakukan tindakan hukum tertentu sesuai dengan ketentuan tersebut. 101 3.2.6. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dalam kaitannya dengan batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, dan syarat sebagai penghadap atau pihak sebuah akta notaris yang telah diatur dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yang menyatakan bahwa “ Seorang penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan b. Cakap melakukan perbuatan hukum.” Penambahan syarat ”cakap melakukan perbuatan hukum” dalam UUJN dapat ditafsirkan bahwa kecakapan yang dimaksud bukanlah kecakapan berdasarkan batas umur, namun kecakapan yang digantungkan pada syarat lain, yaitu tidak berada di bawah kemampuan, karena mengenai batas umur, telah diatur secara khusus dan ditegaskan dalam syarat umur, yaitu 18 tahun. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat 1 UUJN tersebut di atas, bahwa syarat seseorang bisa menjadi penghadap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum, adalah paling sedikit sudah berusia 18 tahun atau telah menikah sebelumnya. Dengan demikian, batas umur yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan kecakapan dalam UUJN adalah 18 tahun, bukan 21 tahun. Dalam hal notaris atau PPAT diperkenankan menerima klien seseorang yang berumur 18 tahun, telah diatur ketentuannya dalam Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Direktorat Pendaftaran Tanah (Kadaster) (Untuk selanjutnya disebut Surat Depdagri Dirjen Agraria No.Dpt.7/539/7-77, tertanggal 13 Juli 1977). Surat tersebut ditujukan kepada Semua Gubernur Kepala 102 Daerah Provinsidan semua Bupati atau Walikota Kepala Daerah di Indonesia. Dalam surat tersebut dinyatakan bahwa mengenai soal dewasa dapat diadakan pembedaan dalam: a. Dewasa politik, misalnya adalah batas umur 17 tahun untuk dapat ikut Pemilu; b. Dewasa seksuil, misalnya adalah batas umur 18 tahun untuk dapat melangsungkan pernikahan menurut Undang-Undang Perkawinan yang baru; c. Dewasa hukum. Dewasa hukum dimaksudkan adalah batas umur tertentu menurut hukum yang dapat dianggap cakap bertindak dalam hukum.128 Bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa, sebagaimana diatur dalam Pasal 330 jo Pasal 1330 BW, batas umur dewasa adalah 21 tahun atau telah menikah. Bagi golongan penduduk Cina, di mana hampir seluruh hukum Eropa juga berlaku bagi golongan ini, seorang Cina hanya dipandang dewasa apabila telah berumur 21 tahun atau telah menikah. Bagi golongan penduduk Timur Asing, selain golongan penduduk keturunan Cina, digunakan ketentuan yang sama dengan golongan Cina. Seorang Timur Asing bukan Cina juga hanya dipandang dewasa apabila sudah berumur 21 tahun. Adapun ketentuan dewasa terhadap golongan penduduk pribumi, tidak ada pegangan yang tegas mengenai batas umur supaya dipandang dewasa sehingga tidak ada keseragaman. 128 Ade Maman Suherman dan J, Satrio, op. cit, hal. 93. 103 Dengan demikian, apabila seorang notaris atau PPAT mempergunakan batasan umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa, hal ini dapat diterima sebagai benar.129 Menurut UUJN batasan umur terhadap kedewasaan seorang penghadap itu mempunyai konsekuensi yuridis yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembuatan akta notaris. Karena suatu akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris selain berkedudukan sebagai akta otentik yang dibuat menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN, juga berkedudukan sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Dalam kedudukannya tersebut, suatu akta notaris sebagai akta otentik memiliki legitimasi segala perbuatanperbuatan hukum atau peristiwa-peristiwa hukum yang dituangkan di dalamnya bagi pihak-pihak yang membuat berserta pihak lain yang memperoleh hak atau manfaat dibuatnya akta notaris tersebut. Dalam hubungannya dengan batasan unur seseorang untuk dapat dikatagorikan dewasa sehingga cakap bertindak di dalam hukum, maka yang dimaksudkan adalah kecakapan bertindak (handelingsbekwaamheid) sebagai kewenangan umum yang dipunyai oleh persoon pada umumnya, untuk melakukan tindakan hukum pada umumnya. Perhatikan kata “persoon pada umumnya” dan “tindakan hukum pada umumnya”.130 Sehingga kecakapan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, memerlukan kedewasaan, dan kedewasaan dipengaruhi oleh umur dalam melakukan tindakan hukumnya. Dalam KUHPerdata tentang ukuran kedewasaan seseorang yang ditentukan dalam Pasal 330, yang menentukan bahwa : 129 130 Ade Maman Suherman dan J, Satrio,loc. cit. Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit, hal. 4. 104 Orang dewasa adalah mereka-mereka yang : a. telah mencapai umur 21 tahun atau lebih; b. mereka yang telah menikah, sekalipun belum berusia 21 tahun.131 Menurut ketentuan di atas dan dari maksud dikaitkannya kedewasaan dengan kecakapan bertindak dalam hukum, menunjukkan bahwa konsepsi dewasa menurut KUHPerdata atau paling tidak menurut anggapan KUHPerdata, orangorang yang disebutkan di atas yaitu orang-orang yang telah berusia 21 tahun atau lebih dan mereka-mereka yang sudah menikah sebelum mencapai umur tersebut, adalah orang-orang yang sudah bisa menyadari konsekuensi yuridis dari perbuatannya dan karenanya cakap untuk bertindak dalam hukum. Selain KUHPerdata, ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang juga memberi pengaturan tentang syarat cakap bertindak di dalam hukum atau kecakapan sebagai syarat dapat bertindak untuk melakukan perbuatan hukum, seperti : 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Beberapa pasal dari ketentuan di atas mengatur tentang batas umur seseorang agar dapat melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu : a. Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2), menentukan : bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukumnya di dalam dan di luar Pengadilan ; 131 Herlien Budiono I, op. cit, hal. 101. 105 b. Pasal 50 ayat (1) menentukan : bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya, maka berada di bawah kekuasaan wali. 2. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Dalam Pasal 39 ayat (1) huuf a undang-undang di atas menentukan bahwa : syarat untuk menjadi penghadap dalam pembuatan akta adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Pasal 1 ayat (1) undang-udang di atas menentukan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. 4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. Pasal 1 ayat (2) undang-undang di atas menentukan bahwa : “Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin”. 5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, beberapa pasalnya menentukan bahwa : 106 a. Pasal 6 ayat (1) menentukan bahwa : “Anak yang setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus memilih kewarganegaraannya”; b. Pasal 9 huruf (a) menentukan bahwa : “Permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika telah memenuhi syarat yang salah satunya yaitu telah berusia 18 tahun atau sudah kawin”; c. Pasal 18 ayat (1) menentukan bahwa: Anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia. Dari beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas terlihat adanya perbedaan pengaturan batas umur/usia seseorang dalam agar dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum. Sebagaimana dimaksudkan dalam masing-masing ketentuan tersebut, serta hal tersebut mencerminkan adanya konsepsi yang berbeda satu ketentuan dengan ketentuan lainnya. 3.3. Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli Sebagai Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah. Peralihan hak atas tanah merupakan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Dalam peralihan hak, menunjukkan adanya suatu perbuatan hukum yang dengan sengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud agar hak atas tanahnya menjadi milik pihak lainnya 107 dan perbuatan hukum tersebut dengan sengaja dilakukan dengan maksud agar hak milik atas tanah seseorang akan beralih menjadi milik orang lain, sehingga peralihan hak atas tanah tersebut diketahui atau diinginkan oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum tersebut. Salah satu sifat hak atas tanah adalah dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Adapun bentuk peralihan hak atas tanah, yaitu: 1. Beralih Beralih artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang haknya kepada pihak lain karena suatu peristiwa hukum. Peristiwa hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan konsekuensi yuridis antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum.132 Salah satu peristiwa hukum dalam hal ini yakni pewarisan. Pewarisan merupakan proses berpindahnya hak dan kewajiban dari seseorang yang sudah meninggal dunia kepada para ahli warisnya. Dalam proses pewarisan hal yang terpenting adalah adanya kematian, yaitu seorang yang meninggal dunia dan meninggalkan kekayaan itu kepada ahli warisnya.133 Dalam beralih ini, pihak yang memperoleh hak harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak (subjek) hak atas tanah. Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat (3) P P Nomor 24 Tahun 1997, bahwa untuk 132 Soedjono Dirdjosisworo, 2010,Pengantar Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 130. 133 Effendi Perangin, 2010, Hukum Waris, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 3. 108 pendaftaran pengalihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu enam (6) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran. 2. Dialihkan Dialihkan artinya berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak atas tanah kepada pihak lain karena suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah segala perbuatan manusia yang secara sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menimbulkan hak dan kewajiban.134 Adapun bentuk-bentuk perbuatan hukum yang melahirkan peralihan hak atas tanah yaitu sebagai berikut : a. Jual Beli Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu : jual dan beli. Kata “jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah adanya perbuatan membeli. Dengan demikian terjadilah peristiwa hukum jual beli.135 Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah (penjual), berjanji dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain (pembeli). Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah disetujui. Mengenai jual beli, pengaturannya dalam Buku III Bab ke V KUHPerdata Pasal 1457 yang menentukan bahwa : “Jual-beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk 134 Soedjono Dirdjosisworo, op. cit. Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, 2007, Jual-Beli,Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 128. 135 109 menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan” (koop en verkoop is een overeenkomst, waarbij de ene partij zich verbindt om een zaak te leveren, en de andere om daarvoor de bedongen prijs te betalen).136 Pada saat dilakukannya perbuatan hukum jual beli belum terjadi perubahan status pemilikan pada hak atas tanah tersebut, sekalipun syaratsyarat sebagai prinsip pokok dalam perbuatan hukum jual beli telah terpenuhi, misalnya pembeli sudah membayar penuh (lunas) harganya kepada penjual dan tanahnya secara fisik sudah diserahkan dari pemilik tanah selakupenjual kepada pembeli. Akan tetapi perubahan status pemilikan hak atas tanah sebagai obyek jual beli baru beralih kepada pembeli dari pemilik tanah selaku penjual, jika penjual sudah melakukan penyerahan hak atas tanahnya secara yuridis kepada pembeli sebagi wujud pemenuhan kewajiban hukumnya. Menyerahkan secara yuridis yang dimaksudkan adalah penjual sudah menyerahkan hak atas pemilikan tanahnya. Karena pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain.137 b. Hibah Mengenai pengertian dari hibah diatur dalam ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Penghibahan adalah suatu persetujuan, dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang 136 AB Massier, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden, hal. 68. Adrian Sutedi, 2008, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 27. 137 110 secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu”. Berdasarkan ketentuan Pasal 1666 KUHPerdata hibah merupakan suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Dari ketentuan tersebut, hibah merupakan suatu perbuatan hukum, yaitu perjanjian antara seseorang yang bermaksud untuk menyerahkan/memberikan sesuatu benda (tanah) kepada seseorang selaku penerima hibah secara cuma-cuma. Selain hal tersebut dalam perbuatan hukum hibah mensyaratkan bahwa pemberian tersebut dilakukan atau dilaksanakan semasih pemberi hibah hidup dan tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi hibah. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah di antara orang-orang yang masih hidup. Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata menentukan bahwa : “Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barangbarang yang belum ada, maka penghibahan batal sekedar mengenai barangbarang yang belum ada”, maka berdasarkan ketentuan Pasal 1667 KUHPerdata penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Syarat hibah lainnya antara lain pemberi hibah adalah orang yang cakap bertindak menurut hukum (bukan seorang yang masih dibawah umur atau tidak sedang dalam pengampuan), sedangkan penerima hibah sudah ada (dalam hal ini lahir atau sudah di dalam kandungan) 111 pada saat pemberian hibah tersebut dilakukan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1679 KUHPerdata yang menentukan bahwa : “Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus sudah ada di dunia atau, dengan memperhatikan aturan dalam pasal 2, sudah ada dalam kandurgan ibunya pada saat penghibahan dilakukan”. Dengan demikian, maka jika seseorang ingin menghibahkan sesuatu kepada anaknya, anak tersebut minimal harus sudah lahir atau sudah berada di dalam kandungan ibunya.138 c. Tukar-Menukar Tentang tukar menukar diatur dalam Pasal 1541 sampai dengan Pasal 1546 KUHPerdata. Dalam Pasal 1541 menentukan bahwa : “Tukar-menukar ialah suatu persetujuan, dengan mana kedua belah pihak mengikatkan diri untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai ganti suatu barang lain”. Sebagaimana dapat dilihat dari rumusan tersebut di atas, perjanjian tukarmenukar ini adalah juga suatu perjanjian konsensual, dalam arti ia sudah jadi dan mengikat pada detik tercapainya sepakat mengenai barang-barang yang menjadi objek perjanjiannya. Demikian pula dapat dilihat bahwa perjanjian tukar-menukar adalah suatu perjanjian obligatoir sama seperti jual-beli, ia belum memindahkan hak milik, tetapi baru pada taraf memberikan hak dan kewajiban. Masing-masing pihak mendapat hak untuk menuntut diserahkannya hak milik atas barang yang menjadi objek perjanjian. Yang memindahkan hak 138 59. Irma Devita Purnamasari, 2010, Hukum Pertanahan, Kaifa, Bandung., hal. 112 milik atas masing-masing barang adalah perbuatan hukum yang dinamakan levering atau penyerahan hak milik secara yuridis.139 Segala apa yang dapat dijual, dapat menjadi obyek perjanjian tukar-menukar. Tukar-menukar ini adalah suatu transaksi mengenai barang lawan barang. Untuk dapat melakukan perjanjian ini, masing-masing pihak harus pemilik dari barang yang ia janjikan untuk diserahkan dalam tukar-menukar itu.140 d. Penyertaan Modal dalam Perusahaan (Inbreng) Peningkatan modal selain saham yang disetor dalam bentuk uang, bisa juga dengan inbreng atau pemasukan dalam perusahaan, yaitu memasukkan barang sebagai modal, dinilai dengan uang dan dijadikan saham. Berdasarkan ketentuan Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menentukan bahwa : “Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang dan/atau dalam bentuk lainnya”. Dalam hal penyetoran modal bentuk lain sebagaimana dimaksud di atas maka hal tersebut di dasarkan pada penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli dengan perseroan. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 34 ayat (2) UU PT yang menentukan bahwa : “Dalam hal penyetoran modal saham dilakukan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penilaian setoran modal saham ditentukan berdasarkan nilai wajar yang ditetapkan sesuai dengan harga pasar atau oleh ahli yang tidak terafiliasi dengan Perseroan”. Penyetoran atas modal saham dapat dilakukan dalam bentuk uang 139 140 R. Soebekti III, op. cit, hal. 36. R. Soebekti III, loc. cit. 113 dan/atau dalam bentuk lainnya, yaitu baik berupa benda berwujud maupun benda tidak berwujud, dapat dinilai dengan uang, secara nyata telah diterima oleh perseroan, penyetoran saham dalam bentuk lain selain uang harus disertai rincian yang menerangkan nilai atau harga, jenis atau macam, status, tempat kedudukan, dan lain-lain yang dianggap perlu demi kejelasan rnengenai penyetoran tersebut. e. Lelang Lelang yang dimaksud adalah lelang hak atas tanah, yang dalam praktik sering disebut dengan lelang tanah. Secara yuridis, yang dilelang adalah hak atas tanah bukan tanahnya. Tujuan lelang hak atas tanah adalah supaya pembeli lelang dapat dapat secara sah menguasai dan menggunakan tanah. Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang, sedangkan lelang tanah adalah penjualan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terbuka untuk umum oleh Kantor Lelang setelah diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan harga yang tertinggi yang didahului oleh pengumuman lelang.141 Dari pemaparan di atas dan dalam kaitannya dengan bahasan ini yang hendak menkaji keberadaan suatu perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu perbuatan hukum sebagai perjanjian sebagaimana seseorang mengikatkan 141 Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 382. 114 diri sebagai pembeli untuk bersepakat menjual dan membeli hak milik atas tanah, didalamnya telah mengandung suatu perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Suatu perjanjian pengikatan jual beli yang memilki kualitas hukum seperti itu apabila perjanjian tersebut telah dibuat dan dilangsungkan dengan memenuhi prinsip pokok jual beli sebagaimana yang dimaksud dalam KUHPerdata maupun didalam UUPA, yaitu adanya syarat terang dan tunai. UUPA yang diundangkan untuk mengakhiri dualisme hak atas tanah dilakukan konversi terhadap tanah-tanah barat menjadi tanah-tanah menurut ketentuan UUPA, misalnya hak eigendom kepunyaan orang asing dikonversi menjadi hak guna bangunan, hak eigendom kepunyaan warga negara Indonesia dikonversi menjadi hak milik, hak milik adat kepunyaan orang asing dikonversi menjadi hak guna bangunan atau hak guna usaha. Selain itu, UUPA juga menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan terhadap tanah oleh orang atau subyek hukum lain. Dalam hal konversi dari hak-hak bekas hak barat yang tunduk dan diatur berdasarkan hukum barat telah berakhir semenjak tanggal 24 September 1960, sehingga seluruh tanah-tanah tersebut menjadi tanah yang dikuasai oleh negara. Konversi atas tanah-tanah tersebut telah diselesaikan berdasaarkan ketentuan Keppres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat berikut peraturan pelaksanaannya. Sedangkan dalam hal menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara subyek hukum dengan tanah diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA yang menentukan bahwa : 115 (2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Sehingga hubungan-hubungan hukum berupa perbuatan-perbuatan hukum atas tanah dalam hal ini adalah jual-beli merupakan ranah UUPA termasuk di dalamnya pengaturan terhadap jual beli tanah yang diselenggarakan dalam bentuk perjanjian pengikatan jual beli tanah yang berisi peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberi penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan jual beli tanah termasuk di dalamnya perjanjian pengikatan jual beli. Namun demikian, dengan mengingat hukum agraria atau UUPA menggunakan dan menganut sistem dan asas-asas hukum adat, maka jual beli tanah harus diartikan sebagai perbuatan hukum yang berupa peralihan hak milik (penyerahan tanah untuk selama-lamanya) oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga menyerahkan harganya kepada penjual, yaitu menurut pengertian hukum adat.142 Dalam kaitannya dengan hal itu, Effendi Perangin-angin mengatakan bahwa : jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan).143 Selaras dengan itu, Subekti yang menyatakan bahwa : jual beli adalah suatu perjanjian dan dengan perjanjian itu pihak yang satu 142 Ibid. hal. 138. Effendi Perangin-angin, 1986, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktisi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 1. 143 116 mengikatkan dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.144 Dengan demikian, maka terhadap jual beli sebagai suatu suatu perjanjian terdapat unsur-unsur yaitu : 1. Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang 2. Adanya persetujuan pihak-pihak 3. Penyerahan hak milik atas suatu barang dan 4. Pembayaran harga yang diperjanjikan. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan selain dengan cara dibuat dalam suatu akta jual beli balik nama juga dapat diselenggarakan atau dibuat dalam bentuk perjanjian pengikatan jual beli. Dalam hal peralihan hak atas tanah dibuat dalam suatu akta jual beli balik nama, maka akta tersebut harus dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu, yaitu di hadapan PPAT. Hal tersebut sejalan dengan perintah Pasal 37 PPNomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa : Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan di atas, peralihan hak atas tanah hanya dapat dilakukan hanya dengan atau melalui alat pendaftaran berupa akta yang dibuat oleh PPAT, yaitu akta jual beli balik nama. Adapun peralihan hak yang dimaksud dalam ketentuan di atas, adalah peralihan hak yang dianut oleh sistem UUPA berupa asas publisitas, artinya peralihan hak dalam bentuk pencoretan dengan 144 R. Subekti III, op.cit. hal. 79. 117 penggantian nama pemegang hak dari pemilik kepada penjual tujuannya agar supaya kepada pihak dapat diketahui telah terjadi peralihan dari atas nama penjual ke atas nama pembeli, selain itu maksudnya adalah pelaksanaan daripada hak menguasai tanah oleh negara berupa hak yang dimilki oleh negara mengatur dan menetukan setiap hubungan-hubungan hukum warga negara dengan tanah. Karena dengan erjadinya pencoretan nama pmegang hak awal yang kemudian diganti ke dan atas nama pembeli negara telah melaksanaka kewenangan sebagaimana dimaksud dengan hak menguasai tanah oleh negara. Sedangkan peralihan hak atas tanah yang dilakukan dan dibuat dengan cara dibuatnya dengan perjanjian pengikatan jual beli merupakan suatu peralihan hak (yuridische levering) yang belum diikuti dengan pencoretan hak. Dikatankan demikian, oleh karena secara substansial ketika dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli yang telah memenuhi unsur terang dan tunai/penyerahan harga dan barang (feitelijke levering) sejatinya telah terjadi peralihan hak dari penjual kepada pembeli. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam mana suatu PPJB yang didalamnya mengandung unsur pembayaran lunas oleh pembeli senangtiasa diikuti oleh kuasa menjual, yang digunakan oleh penjual untuk dikemudian hari melakukan jual beli dalam arti peralihan hak baik kepada dirinya sendiri maupun kepada pihak lain yang dikehendaki oleh penjual. Secara yuridis kedaan tersebut telah mensiratkan adanya peralihan hak dari penjual kepada pembeli sebab apabila belum terjadinya peralihan hak tidaklah mungkin pembeli dapat mengunakan kuasa dan karenanya kuasa tidak memiliki eksekutorial dalam rangka digunakan sebagai alat peralihan hak dikemudian hari. 118 Suatu akta PPJB tanah merupakan akta yang dibuat oleh notaris, lahir dari kewenanganya membuat akta otentik yang diberikan oleh UUJN Pasal 1 ayat (1) jo Pasal 15. Pasal 1 ayat (1) yang menentukan : Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta. Sedangkan Pasal 15 UUJN, menentukan bahwa: 1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grose, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Notaris berwenang pula : a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c. Membuat kopi dari salinan asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang membuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. Membuat akta risalah lelang. Berdasarkan ketentuan di atas, khususnya Pasal 15 ayat (2) huruf f yang mengatur mengenai kewenangan notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan maka notaris diberikan kewenangan oleh UUJN untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang berkaitan dengan pertanahan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik. 119 Akta perjanjian pengikatan jual beli berikut kuasa menjual yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, adalah dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat PPAT, sehingga merupakan perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Hal ini dapat diartikan bahwa pengikatan jual beli merupakan permulan atau perjanjian obligatoir atau pelengkap. Namun perjanjian obligatoir lebih dahulu lahir sebelum perjanjian pokoknya ada, hal ini tidak sebagaimana perjanjian obligatoir lazimnya seperti perjanjian pembebanan hak tanggungan, gadai atau fidusia yang lahir setelah didahului dengan perjanjian utang piutang terlebih dahulu. Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli yang sebenarnya terpenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1460 KUHPerdata yang menentukan : Beralihnya hak milik atas benda yang dijual hanya terjadi jika telah dilakukan penyerahan (levering). Penyerahan dalam jual beli itu ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan (macht) dan kepunyaan (bezit) pembeli. Jika benda yang dijual itu berupa suatu barang tertentu, apabila para pihak tidak menentukan lain, maka barang ini sejak saat pembelian itu terjadi merupakan tanggungan pembeli, walaupun penyerahannya belum dilakukan, dan penjual dapat (berhak untuk) menuntut harganya. Pada umumnya, alasan-alasan yang menjadi penyebab dibuatnya akta PPJB di antara penjual dengan pembeli yaitu : 1. Pembayaran terhadap obyek tanah yang diperjual-belikan belum dilakukan secara lunas oleh pihak pembeli. Dalam hal ini pembayaran 120 dilakukan secara bertahap berdasarkan kesepakatan pihak penjual dan pembeli; 2. Obyek tanah yang diperjual-belikan belum memiliki sertipikat yang merupakan tanda bukti kepemilikan atas tanah yang sah. Dalam prakteknya tanah yang dijual tersebut masih berstatuskan tanah yasan yang diwarisi secara turun temurun dan belum pernah didaftarakan menurut ketentuan yang berlaku tentang pendaftaran tanah. Alat bukti atas tanah tersebut masih berupa girik yang tercatat dalam buku C tanah di kelurahan; 3. Tanah yang akan dijual telah didaftarkan dan proses pembuatan sertipikat tanah masih berlangsung di kantor pertanahan; 4. Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan dijual hampir habis jangka waktunya dan sedang dilakukan proses permohonan perpanjangan hak di kantor pertanahan; 5. Pihak Penjual atau pembeli belum memiliki uang untuk membayar Pajak Penghasilan atau Bea Perolehan Hak Atas Tanah, apabila jual beli dibuat dalam suatu akta PPAT; 6. Dan atau masih terdapat kekurangan-kekurangan dokumen yang diperlukan untuk pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, dokumen mana dalam proses pengurusan.145 145 Hasil wawancara dengan Notaris Dr. Ida Bagus Agung Putra Santika, S.H, M.Kn. tanggal 18 Desember 2013. 121 Adapun persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak untuk membuat akta PPJB yaitu : 1. Pihak penjual dan pembeli hadir dihadapan notaris dan menandatangani perjanjian pengikatan jual beli tanah; 2. Para pihak menyerahkan: - Sertipikat tanah apabila telah memiliki sertipikat - Surat keterangan tanah bagi yang belum bersertipikat - Foto copy KTP penjual dan pembeli - SPPT Tanah - Surat keterangan tanah tidak dalam sengketa - Bukti Pembayaran Pajak Bumi Bangunan - Surat keterangan waris dan kematian yang dikeluarkan oleh kelurahan apabila terdapat ahli waris - Surat kuasa dan KTP penerima kuasa apabila dikuasakan. Sedangkan isi dari akta PPJB pada umumnya berisikan diuraikan sebagai berikut: 1. Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya untuk menjual kepada pihak pembeli yang berjanji dan mengikat dirinya untuk membeli dari pihak penjual sebidang tanah tertentu; 2. Pihak penjual mengakui bahwa uang harga penjualan tanah dan bangunan yang akan dijual oleh pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut senilai yang telah disepakati dan telah dibayar oleh pembeli kepada pihak penjual pada saat penandatanganan akta dan akta 122 pengikatan jual beli berlaku pula sebagai tanda penerimaan atau kwitansinya yang sah, tanpa mengurangi dikeluarkannya kwitansi tersendiri/khusus. 3. Manakala pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kelalaian mana telah terjadi dan terbukti dengan lewatnya waktu saja, maka pihak pembeli dikenakan denda yang besarnya telah disepakati dari jumlah yang harus dibayar pembeli kepada penjual, untuk tiap-tiap hari keterlambatan.Denda tersebut harus dibayar dengan seketika dan sekaligus. 4. Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut setelah lewatnya waktu tersebut di atas, pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya, maka perjanjian ini berakhir dan sepanjang perlu kedua belah pihak melepaskan diri dari apa yang ditetapkan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata, dan pihak penjual wajib untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh pihak pembeli setelah dipotong beberapa persen dari harga jual tanah dan bangunan tersebut sebagai pengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak penjual ditambah denda yang harus dibayar oleh pihak pembeli kepada pihak penjual. Pengembalian uang oleh pihak penjual kepada pihak pembeli dilakukan selambat-lambatnya dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati, misalnya 7 (tujuh) hari setelah tanah dan bangunan tersebut terjual kepada pihak lain. 123 5. Segala sesuatu yang akan dijual tersebut mulai hari penjualan oleh pihak penjual kepada pihak pembeli tersebut menjadi milik pihak pembeli, dan segala keuntungan yang diperoleh dari dan segala kerugian yang diderita dengannya mulai hari tersebut menjadi milik atau dipikul oleh pihak pembeli. 6. Pihak penjual menjamin bahwa tanah dan bangunan tersebut milik pihak penjual, tidak dijaminkan secara bagaimanapun juga kepada pihak lain, tidak diberati dengan beban-beban apapun juga dan pula bebas dari sita, sehingga pihak pembeli tidak akan mendapat gangguan dan atau rintangan dari pihak lain rnengenai hal itu. 7. Selanjutnya jual beli yang akan dilaksanakan tersebut dilakukan dengan syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang lazim untuk sesuatu jual beli tanah, syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian tersebut telah diketahui oleh pihak-pihak. 8. Pihak penjual memberikan kuasa kepada pihak pembeli dan baik bersama-sama maupun masingmasing untuk dan atas nama pihak penjual melaksanakan penjualan tanah dan bangunan tersebut di atas kepada pihak pembeli dengan harga dan perjanjian-perjanjian sebagaimana tersebut di atas dan berhubung dengan itu yang diberi kuasa dikuasakan menghadap dihadapan PPAT, membuat menyuruh membuat dan menandatangani akta jual beli yang bersangkutan dan surat-surat lainnya yang diperlukan, menyerahkan segala sesuatu yang dijual tersebut kepada pihak kedua dan selanjutnya melakukan apa saja 124 yang baik dan berguna untuk mencapai maksud tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan. 9. Pihak penjual selanjutnya dengan ini memberi kuasa kepada pihak pembeli untuk selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan atas nama pihak pembeli melakukan dan menjalankan segala hak, kepentingan dan kekuasaan pihak penjual mengenai tanah dan bangunan tersebut dan untuk keperluan itu melakukan segala tindakan hukum baik tindakan pengurusan maupun tindakan pemilikan 10. Pihak penjual berjanji dan mengikat dirinya selama penjualan tersebut di atas belum dilaksanakan tidak akan menggadaikan ataupun menjaminkan secara bagaimanapun juga, menjual atau dengan cara lain melepaskan tanah dan bangunan tersebut kepada pihak lain. 11. Kuasa-kuasa yang tersebut dalam akta ini tidak dapat ditarik kembali dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian ini, yang tanpa kuasa-kuasa tersebut tidak akan dibuat dan kuasa-kuasa itupun diberikan dengan melepaskan semua peraturan yang ditetapkan dalam Undang-Undang yang mengatur segala sebab dan dasar yang mengakhirkan suatu kuasa. Kuasa-kuasa tersebut di atas baru sepenuhnya berlaku apabila pihak pembeli telah memenuhi seluruh kewajibannya kepada pihak penjual. 12. Perjanjian pengikatan jual beli tanah tidak akan berakhir karena salah satu pihak meninggal dunia, akan tetapi bersifat turun temurun, dan harus dipenuhi oleh ahli waris atau penerirna hak masing-masing. 125 13. Segala pajak yang berhubungan dengan tanah dan bangunan tersebut sampai hari penjualan dipikul oleh pihak penjual dan mulai hari tersebut dipikul oleh pihak pembeli. 14. Ongkos-ongkos yang berhubungan dengan pemindahan nama tanah dan bangunan tersebut kepada pihak pembeli dipikul oleh pihak pembeli. 15. Klasula domisili, yaitu pihak-pihak memilih tempat tinggal tetap dan umum mengenai perjanjian ini dan segala akibatnya di Kantor Panitera Pengadilan Negeri tertentu.146 3.4. Batasan Umur Sebagai Syarat Cakap Bertindak Dalam Akta Notaris Tentang Peralihan Hak Atas Tanah. Pembahasan terhadap batasan umur sebagai syarat cakap bertindak dalam akta notaris yang didalamnya mengandung peralihan hak atas tanah dimaksudkan untuk dapat menjawab masalah pertama dalam penelitian ini yaitu batasan umur yang diacu oleh notaris dalam rangka dibuatnya akta yang substansinya mengandung peralihan hak atas tanah. Sebab sebagaimana telah dipaparkan di sub bab diatas beragamnya batasan umur dewasa untuk mengukur kecakapan bertindak seseorang menimbulkan implikasi hukum pada kekuatan pembuktian daripada akta itu sendiri terutamnya terkait dengan kegunaan dari akta notaris tersebut sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama untuk dapat dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya. Hal tersebut menjadi sangat penting dengan mengingat bahwa, dalam akta notaris yang substansinya mengandung peralihan hak atas tanah, batasan umur 146 Ibid. 126 sebagai ukuran agar seseorang dapat dikatakan cakap bertindak tidaklah sematamata berdasar pada syarat normatif sebagaimana ditentukan Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN akan tetapi berdasar pula pada ketentuan batas umur dewasa yang berlaku dalam hukum pendaftaran tanah yang bersumber pada UUPA. Dengan mengingat bahwa, akta notaris tersebut (PPJB) yang kewenangan untuk membuat akta pertanahan ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f menentukan bahwa : “Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Akta PPJB tersebut kelak akan digunakan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama (selanjutnya disebut AJB balik nama) yang dibuat dihadapan PPAT dan pada akhirnya dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah dikantor Pertanahan Kota/Kabupaten. Sehingga batasan umur sebagai syarat cakap bertindak seseorang dalam pembuatan akta yang bertujuan agar terjadinya peralihan hak atas tanah haruslah diselaraskan dengan norma hukum lain, yang secara normatif memberikan batasan tentang batas umur seseorang untuk dapat menerima peralihan hak sekaligus dibenarkan menurut hukum melakukan peralihan hak atas tanah. Maksudnya apabila akta PPJB dijadikan dasar dibuatnya AJB balik nama dan akta tersebut kemudian digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya, penghadapnya belum genap berusia 21 tahun sebagai syarat yang berlaku dalam pendaftaran tanah di Indonesia, maka permohonan pendaftaran peralihan haknya ditolak sehingga secara tidak langsung berarti pula AJB balik nama tersebut tidak dapat berfungsi sebagai alat pendaftarannya. 127 Dalam hukum pendaftaran tanah di Indonesia batasan umur/usia seseorang dianggap dewasa dan cakap bertindak di dalam hukum atau melakukan perbuatan hukum, yaitu untuk dapat melakukan pendaftaran permohonan peralihan hak atas tanah adalah sebagaimana dimaksud dari Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Dalam ketentuan tersebut ditentukan bahwa, bagi golongan penduduk yang tunduk pada hukum Eropa (mestinya: yang tunduk pada BW) dan golongan penduduk Cina (mestinya Timur Asing Tionghoa ) dan Timur asing bukan Cina, umur dewasa dengan mengacu kepada Staatblaad 1924 : 556 dan Staatblaad 1924 : 557 adalah 21 tahun. Selanjutnya menurut Ade Maman Suherman mengatakan bahwa : untuk orang-orang yang tunduk pada hukum adat ditentukan : …apabila seorang Notaris atau PPAT mempergunakan batas umur 19 atau 20 tahun untuk dewasa maka hal itu dapat diterima sebagai benar.147 Dalam menjalankan tugasnya PPAT membantu sebagian dari kegiatan Pendaftaran Tanah yang merupakan kegiatan Tata Usaha Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sehingga PPAT dapat dikatakan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Tugas pokok dan kewenangan PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan Pendaftaran Tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data 147 Ade Maman Suherman dan J. Satrio, op.cit. hal. 19. 128 pendaftaran yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu, demikian pengaturan dalam Pasal 2 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 menentukan bahwa : (1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu; (2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sebagai beriku : a. jual beli; b. tukar-menukar; c. hibah; d. pemasukan dalam perusahaan (inbreng); e. pembagian harta bersama; f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik; g. pemberian Hak Tanggungan; h. pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa sesungguhnya keberadaan Jabatan PPAT sudah tegas dan jelas sebagai suatu jabatan tersendiri yang terpisah dengan jabatan lainnya dengan kewenangan yang sudah jelas pula sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian antara jabatan PPAT dan jabatan notaris adalah dua jabatan yang sejak semula sudah berbeda dan memiliki kewenangan yang berbeda pula, walaupun dua jabatan itu dapat disandang oleh seorang penjabat karena pada umumnya seorang notaris juga adalah PPAT. Maka dapat disimpulkan bahwa jabatan PPAT tetap terpisah dengan Jabatan Notaris, sehingga seseorang yang diangkat menjadi Notaris tidak akan otomatis merangkap jabatan PPAT atau tidak otomatis melekat jabatan PPAT. Selain hal-hal di atas, kegunaan atau fungsi akta notaris yang tidak dapat menjadikan dirinya berfungsi sebagai alat yang membuktikan di dalamnya telah 129 terjadi perlihan hak atas tanah adalah berkaitan dengan kecakapan bertindak di dalam hukum. Di dalam hukum dikenal subyek hukum yang oleh undang-undang dinyatakan sama sekali tidak cakap untuk melakukan tindakan hukum (mereka yang ditaruh di bawah pengampuan karena sakit ingatan), ada yang tindakannya tidak bisa menimbulkan konsekuensi yuridis yang sempurna (anak-anak belum dewasa pada umumnya), ada yang mempunyai kewenangan yang terbatas, dalam arti harus didampingi atau mendapat persetujuan dari orang lain (membuat perjanjian kawin, untuk anak-anak yang telah mencapai usia menikah) dan ada yang mempunyai kewenangan penuh (mereka yang sudah dewasa). Kewenangan hukum merupakan kemampuan bertindak yang diberikan oleh hukum dalam melakukan perbuatan hukum bagi subyek hukum, yaitu seseorang dalam kedudukannya sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum. Yang menjadi subyek hukum, adalah semua manusia dan bukan manusia, yaitu badan hukum yang juga sebagai pendukung hak dan kewajiban. Apabila semua manusia dan badan hukum bisa menjadi pendukung hak dan kewajiban, maka belum berarti bahwa semua subyek hukum bisa dengan leluasa secara mandiri melaksanakan hak-haknya melalui tindakan-tindakan hukum. Agar supaya subyek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban di dalam hukum mempunyai kewenangan hukum, maka harus ada kecakapan bertindak, yaitu kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum pada umumnya. Suatu kecakapan bertindak merupakan kewenangan bertindak pada umumnya dari subyek hukum, dan untuk tindakan-tindakan hukum pada umumnya tersebut, kewenangan bertindak adalah mengenai kewenangan bertindak khusus, yang 130 hanya tertuju pada orang-orang tertentu untuk tindakan-tindakan hukum tertentu saja. Dalam kaitannya dengan dalam KUHPerdata dengan jelas menentukan bahwa hanya orang yang sudah berumur 21 tahunlah yang dapat dikatakan dewasa serta cakap dalam melakukan setiap perbuatan hukumnya sendiri, tanpa bantuan dan perantara orang tua maupun orang lain sebagai wali untuk mewakilinya. Batas usia dewasa dalam melakukan perbuatan hukum, dan syarat sebagai penghadap atau pihak dalam sebuah akta, UUJN telah memperjelas dengan Pasal 39 ayat (1), yang menentukan bahwa syarat untuk menjadi pihak atau penghadap adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. Sehingga dari ketentuan pasal tersebut bahwa umur 18 tahun sudah dinyatakan cakap dan dewasa untuk melakukan perbuatan hukumnya tanpa bantuan orang tua. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sejak diundangkannya UUJN, maka setiap orang yang sudah berumur 18 tahun atau sudah menikah, dianggap sudah dewasa dan berhak untuk bertindak selaku subyek hukum. Perbedaan batas kedewasaan antara syarat membuat perjanjian sebagaiamana diatur dalam Pasal 330Jo Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata yaitu berumur 21 tahun dengan Pasal 39 ayat (1) UUJN yang menentukan bahwa seorang penghadap harus telah berumur 18 tahun. Dari dua ketentuan tentang batas kedewasaan tersebut jelas dalam praktiknya menimbulkan suatu kesimpangsiuran dan keragu-raguan dikalangan para notaris/PPAT, karena jika mengikuti Pasal 39 ayat (1) UUJN maka usia 18 tahun untuk menjadi penghadap 131 dihadapan notaris berarti juga telah berhak untuk menjadi pihak dalam sebuah perjanjian. Perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah, selalu harus diikuti dengan pembuatan akta-akta mengenai hal tersebut. Akta-akta mana dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu dalam hal ini adalah PPAT, di mana dalam hal-hal tertentu dibuat aktanya oleh notaris.148 Dalam hal pembuatan akta-akta yang berhubungan dengan tanah yang dibuat oleh PPAT dengan mengacu ketentuan Pasal 39 ayat (1) UUJN tidak berlaku karena pada saat akan didaftarkan di BPN ternyata ditolak oleh BPN dengan alasan bahwa BPN tidak tunduk pada UUJN, karena BPN tetap berpedoman pada ketentuan batas kedewasaan menurut Pasal 330 KUHPerdata yaitu 21 (dua puluh satu) tahun. Konflik yang terjadi didalam praktek menyangkut batas kedewasaan kerap terjadi ketika dalam suatu peristiwa hukum mengandung titik singgung dari beberapa aturan, baik karena melibatkan dua institusi hukum yang berbeda maupun karena ruang lingkup dari beberapa aturan hukum yang mengaturnya. Sistem hukum nasional seharusnya memiliki batas kedewasaan yang sama, minimal ada keseragaman dalam satu wilayah hukum tertentu, agar tidak terjadi kesimpangsiuran dan keragu-raguan bagi para pelaksana dilapangan. Para pembentuk undang-undang juga seyogyanya melakukan research and assessment terlebih dahulu sebelum menentukan batas kedewasaan dalam suatu peraturan perundang-undangan. 148 R. Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia Suatu Penjelasan, Edisi pertama, CV Rajawali, Jakarta, hal 44. 132 Dari deskripsi di atas dengan menggunakan teori Stufanbou des Rechts kendala-kendala yang lahir akibat ketidak sesuaian aturan hukum yang satu dengan aturan lain yang mengatur batasan umur sebagai indikator dewasa dan cakap bertindak dalam hukum, terutama terkait dengan dibuatnya akta notaris yang didalamnya mengandung peralihan hak atas tanah. Sebab menurut teori Stufanbou des Rechts yang dikemukakan oleh Hans Kelsen bahwa norma-norma (termasuk norma hukum) itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana satu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi belaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut yang bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu grundnorm (norma dasar).149 Sistem penjenjangan norma di Indonesia diimplementasikan kedalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan. Di dalam tata urutan peraturan perundangundangan KUHPer sejajar (horisontal) dengan UUJN dimana KUHPerdata mengatur mengenai batasan dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, sedangkan UUJN mengatur mengenai syarat untuk menjadi pihak atau penghadap adalah paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan UUPA merupakan dasar kebijakan yamg mengatur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya alam, dimana 149 Hans Kelsen, op. cit, hal.124. 133 UUPA tidak mengatur secara implisit ketentuan batasan umur untuk dapat melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. Tidak mustahil terjadi konflik antara kepentingan peraturan perundangundangan, antara undang-undang dengan kebiasaan, antara undang-undang dengan putusan pengadilan. Apabila terjadi konflik misalnya antara dua undangundang, akan berlaku secara konsiten asas-asas prefensi yaitu : lex specialis derogat legi generalis, lex posteriori derogat legi priori, atau lex superior derogat legi inferiori. 150 a. Lex specialis derogat legi generalis undangan yang bersifat khusus artinya peraturan perundang(special) mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general) b. Lex posteriori derogat legi priori artinya peraturan perundangundangan yang baru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lama. c. Lex superior derogat legi inferiori artinya peraturan perundangundangan yang berlakunya lebih peraturan tinggi tingkatannya perundang-undangan mengenyampingkan yang lebih rendah tingkatannya. Dalam hal terjadinya konflik norma antara UUPA dengan UUJN mengenai batasan umur tersebut di atas, apabila dikaji berdasarkan atas asas lex specialis derogat legi generali sebagai pisau analisanya maka peraturan perundang- 150 Zainudin Ali, 2006, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 118. 134 undangan yang mengatur tentang batas usia sebagai syarat dewasa dalam perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang digunakan oleh baik Badan Pertanahan Nasional yang dalam hal ini adalah bagian pendaftaran pada masingmasing Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota maupun UUPA, yang secara implisit mengunakan norma batasan umur 21 tahun sebagai syarat dewasa mengesampingkan berlakunya norma batasan umur 18 tahun yang berlaku dalam UUJN. Atau dengan kata lain UUPA sebagai peraturan dasar mengenai hak atas tanah, yang pembentukannya berfungsi menghapus dualisme hukum tanah, yakni menghapus berlakunya hukum kolonial peninggalan penjajah Belanda berupa Agrarische Wet dan hukum adat dengan mengganti dan memberlakukan hukum nasional (UUPA). Dalam keberadaanya seperti tersebut, UUPA menciptakan unifikasi serta kodifikasi hukum agraria nasional yang didasarkan pada hukum adat. Selain itu, mencabut Buku II KUHPerdata sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik. Sehingga sekalipun UUPA maupun peraturan perundang- undangan yang dikeluarkan oleh BPN sebagaimana dipaparkan di atas tidak secara tegas menentukan batasan umur sebagai syarat dewasa agar dapat bertindak didalam khususnya dalam hal peralihan hak atas tanah. Maka dengan hanya dihapusnya Buku II KUHPerdata, maka berdasarkan adagium hukum umum, yakni berdasar pada Pasal 1 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa : “Segala peraturan perundang-undangan yang masih ada tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”, maka UUPA dapat dikatakan mengacu atau mengadopsi kepada hukum 135 kebiasaaan yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan. Diakui atau tidak, namun hukum adat juga mempunyai peran dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Dikatakan demikian karena berdasar pada arti kata adopsi sebagaimana dimaksud dalam Black’s Law Dictionary disebut dengan reception yang diartikan sebagai “the adoption in whole or in part of law of one jurisdiction by another jurisdiction”151 (Terjemahan bebas : adopsi secara keseluruhan atau sebagian dari hukum satu yurisdiksi dengan yuridiksi lain) dengan demikian UUPA mengadopsi/me-reception ketentuan batasan umur 21 tahun yang menjadi hukum kebiasaan sebagai norma dewasa seseorang dalam melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. 151 Bryan A. Garner, 2004, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United State of America, hal. 1297. BAB IV KONSEKUENSI YURIDIS AKTA PPJB TANAH DALAM HAL NOTARIS MENERAPKAN SYARAT DEWASA BERDASARKAN UNDANGUNDANG TENTANG JABATAN NOTARIS 4.1. Kekuatan Hukum Akta PPJB Notaris Sebagai Dasar Dibuatnya Akta Jual Beli. Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, suatu akta PPJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh/dihadapan notaris sehingga lazimnya disebut dengan akta notariil, isinya tentang perikatan dua belah pihak antara pemilik tanah (bangunan) selaku penjual dengan pembeli, yang saling sepakat untuk menjual dan membeli karenanya menyerahkan uang sebagai pembayaran harga tanah sebaliknya menyerahkan tanah (bangunan) sebagai pemenuhan kewajiban dari pihak penjual. Suatu akta PPJB dibuat dalam kedudukannya sebagai perjanjian pendahuluan sebelum dibuatnyaakta jual beli balik nama, lahir karena syarat untuk dibuatnya akta jual beli balik nama belum terpenuhi, disatu sisi misal sertifikatnya belum selesai atau harga tanah belum dibayar lunas oleh pembeli dan disisi lain lahir karena memang dikehendaki oleh para pihak antara penjual dan pembeli bahwa perikatan jual belinya hanya dituangkan dalam akta PPJB. Hal tersebut sebagaimana dikatakan oleh Subekti bahwa akta PPJB merupakan perjanjian antar pihak penjual dan pihak pembeli sebelum dilaksanakannya jual beli dikarenakan adanya causa-causa yang harus dipenuhi untuk jual beli tersebut antara lain adalah sertifikat hak atas tanah belum terdaftar 136 137 atas nama penjual dan masih dalam proses baliknamanya, dan belum terjadinya pelunasan harga obyek jual beli atau sertifikat masih diroya.152 Dari deskripsi diatas maka akta PPJB dapat dibedakan antara perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat karena belum dipenuhi syarat pokok terjadinya jual beli yang melahirkan peralihan hak dan akta PPJB yang telah memenuhi syarat tersebut namun memang dikehendaki dibuat dalam bentuk perjanjian pengikatan jual beli. Terhadap akta PPJB dalam bentuk yang pertama, selain karena belum terpenuhinya syarat dibayar lunas atau penjual belum memiliki bukti tanah berupa sertipikat dapat pula terjadi karena suatu kondisi yuridis tertentu seperti tanah sebgai objek akta PPJB sedang disewakan kepada pihak ketiga dalam hal demikian perjanjian pengikatan jual beli diselenggarakan dengan menggunakan syarat pelunasan dari pembeli kepada penjual ketika masa sewa menyewa telah berakhir, kecuali pihak yang menyewa telah menyetujui baik secara lisan maupun tertulis bahwa tanah yang disewanya tersebut dijual oleh pemilik tanah dengan memperoleh kompensasi ganti rugi misalnya. Sedangkan dalam bentuk yang kedua akta PPJB dibuat selain karena dikehendaki oleh para pihak sekalipun syarat-syarat pokok jual beli telah terpenuhi, juga dapat disebabkan karena belum terpenuhinya syarat-syarat pendaftaran tanah yang berlaku saat ini misalnya terhadap tanah belum dilakukan zonasi, belum memiliki nomor identifikasi boidang (NIB), dan terhadap perbuatan hukum peralihan haknya belum dibayarkan lunas pajak penjualannya (Pph) dan belum dibayarkan pajak pembeli (PPHTB). 152 R. Subekti III, op. cit, hal. 138. 138 Terhadap hal hal-hal yang dimaksud dalam bentuk akta yang kedua, sebagaimana diatur dalam perkab badan tentang zona dengan telah terpenuhi syarat-syarat dibuatnya akta jual beli selain karena memang dikehendaki oleh para pihak sementara syarat pokok jual beli telah terpenuhi akta PPJB dibuat dengan pembayaran lunas, tetapi oleh karena kehendak dan keiginan penjual dan pembeli selain karena syarat pelengkap (komplementer) dari dibuatnya sebuah akta jual beli balik mana PPAT belum terpenuhi, misal PPH/PBHTB, zona berdasar Perka BPN dll (dalam praktek). Setelah suatu akta PPJB sebagaimana di paparkan di atas terpenuhi, agar supaya dapat dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama, maka akta PPJB tersebut harus diikuti dengan akta kuasa menjual. Dari sisi fungsi dan kedudukannya, kuasa menjual terkait akta PPJB merupakan accesoir atau pelengkap dari suatu akta PPJB. Karena tanpa adanya kuasa menjual segala hal yang secara yuridis dimaksudkan dalam akta PPJB tidak dapat dilaksanakan, sehingga kuasa menjual mempunyai fungsi untuk mengeksekuturial hak-hak yang diperoleh pembeli terhadap tanah yang dibelinya. Dengan demikian suatu akta PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah yang di dalamnya terlah memenuhi syarat jual-beli serta diikuti dengan kuasa menjual selain telah pula terpenuhi syarat komplementernya. Dalam kaitannya dengan bahasan pada sub bab ini, maka akta PPJB yang dimaksudkan adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan notaris untuk digunakan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama yang dibuat oleh/dihadapan PPAT. Akta PPJB yang di dalam proses pembuatannya telah memenuhi prinsipprinsip dasar yaitu harga tanah (banguan) sebagai obyeknya telah dibayar lunas 139 oleh pembeli kepada penjual, sehingga di dalamnya sekaligus terlah terjadi, karena telah diperjanjikan perihal penyerahan nyata (feitelijke lavering) penyerahan yuridis (yuridische lavering) dari tanah (bangunan) dan hak atas tanahnya. Kekuatan hukum akta PPJB sebagai akta notaris, otensitasnya berdasar pada Pasal 1 ayat (1) UUJN, yaitu akta sebagai produk hukum notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum. Sehingga akta PPJB tersebut memperoleh sifat akta otentik bukan hanya oleh karena undang-undang menetapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan notaris selaku pejabat umum. Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian bantuan yang bentuknya bebas dan merupakan akta pendahuluan dari suatu akta pokok/akta jual beli balik nama yang nantinya akan dibuat dihadapan PPAT yang berwenang. Perjanjian pokok adalah perjanjian yang mempunyai alasan sendiri untuk adanya perjanjian tersebut, sedangkan perjanjian bantuan adalah merupakan perjanjian yang alasan dilakukannya bergantung pada adanya perjanjian lain.153 Sedangkan perjanjian bantuan dapat berupa pendahuluan (pactum de contrahendo), yaitu suatu perjanjian, dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian utama atau perjanjian pokok yang merupakan tujuan dari para pihak.154 Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya di dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat jual beli dihadapan PPAT telah terpenuhi. 153 154 Herlien Budiono I, op. cit, hal.53 Herlien Budiono I, loc. cit. 140 Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan akta otentik yang yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, sehingga berkedudukan sebagai akta otentik, secara yuridis mempunyai kekuatan hukum dalam memberikan perlindungan hukum dan menciptakan kepastian hukum bagi para pihak, karenaakta PPJB sebagai akta notaris merupakan alat bukti yang terkuat dan sempurna. Kekuatan pembuktian akta PPJB memberikan nilai pembuktian yang sempurna dan mengikat sebagai akta otentik, apabila akta PPJB memenuhi kekuatan nilai pembuktian lahiriah, formal dan materil. Kekuatan nilai pembuktian akta notaris termasuk akta PPJBadalah :155 1. Kekuatan pembuktian Lahiriah (uitwendige bewihsjracht) Nilai pembuktian akta notaris dari aspek lahiriah, akta tersebut harus dilihat apa adanya, bukan ada apanya. Secara lahiriah tidak perlu dipertentangkan dengan alat bukti yang lainnya. Jika ada yang menilai bahwa suatu akta notaris tidak memenuhi syarat sebagai akta, maka yang bersangkutan wajib membuktikan bahwa akta tersebut secara lahiriah bukan akta otentik. Penyangkalan atau pengingkaran bahwa secara lahiriah akta notaris sebagai akta otentik, atau bukan akta otenti, maka penilaian pembuktiannya harus didasarkan kepada syarat-syarat akta notaris sebagai akta otentik. Pembuktian semacam ini harus dilakukan melalui upaya gugatan ke pengadilan. Penggugat harus dapat membuktikan bahwa secara lahiriah akta yang menjadi obyek gugatan bukan akta notaris. 2. Kekuatan pembuktian formal (formele bewijskracht) 155 Habib Adji I, op. cit, hal. 18. 141 Akta notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta-akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dengan akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan para pihak/penghadap, saksi dan notaris, serta membuktikan apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris (pada akta pejabat/berita acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan oleh para pihak, maka harus dibuktikan dari formalitas dari akta, yaitu harus dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap; membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat, disaksikan, didengar oleh notaris, juga harus dapat membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di hadapan notaris, dan ketidakbenaran tandatangan para pihak, saksi dan notaris ataupun ada prosedur pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain pihak yang mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik untuk menyangkal aspek formal dari akta notaris. Jika tidak mampu membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus diterima oleh siapapun. Tidak dilarang siapapun untuk melakukan pengingkaran atau penyangkalan atas aspek formal akta notaris, jika yang bersangkutan merasa dirugikan atas 142 akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris. Pengingkaran atau penyangkalan tersebut harus dilakukan dengan suatu gugatan ke pengadilan umum, dan penggugat harus dapat membuktikan bahwa aspek formal yang dilanggar atau tidak sesuai dengan akta yang bersangkutan. Misalnya, bahwa yang bersangkutan tidak pernah merasa menghadap notaris pada hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu) yang tersebut dalam awal akta, atau merasa tanda tangan yang tersebut dalam akta bukan tanda tangan dirinya. Jika hal ini terjadi bersangkutan atau penghadap tersebut untuk mengugat notaris, dan pengugat harus dapat membuktikan ketidakbenaran aspek formal tersebut.156 3. Kekuatan pembuktian materiil (materiele bewijskracht) Kepastian tentang materi suatu akta, bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Keterangan atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat/berita acara, atau keterangan atau para pihak yang diberikan/disampikan dihadapan notaris (akta pihak) dan para pihak harus dinilai benar berkata demikian yang kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar atau setiap orang datang menghadap notaris kemudian/keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah bena berkata demikian. Jika ternyata pernnyataan/keterangan para penghadap tersebut menjadi tidak benar 156 GHS. Lumbang Tobing, op. cit, hal. 61. 143 berkata demikian, maka hal tersebut tanggung jawab para pihak sendiri. Notaris terlepas dari hal semacam itu. Dengan demikian isi akta notaris mempunyai kepastian sebagai sebenarnya, menjadi bukti yang sah untuk/di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka. Jika akan membuktikan aspek materiil dari akta, maka yang bersangkutan harus dapat membuktikan, bahwa notaris tidak menerangkan atau menyatakan yang sebenarnya dalam akta (akta pejabat), atau para pihak telah benar berkata (di hadapan notaris) menjadi tidak benar secara meteriil dari akta notaris. Ketiga aspek tersebut diatas tidak dapat dipisahkan satu aspek dengan yang lainnya, tapi harus dilihat secara keseluruhan sebagai bentuk penilaian pembuktian atas keotentikan akta notaris. Tidak terpenuhinya salah satu dari aspek diatas tidak mengakibatkan akta PPJB menjadi batal atau tidak sah, melainkan akta bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta tersebut didegradasikan kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mampunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Akta PPJB dalam kedudukannya memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuat, dikarenakan kedudukan notaris tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif. Dengan bantuan notaris para pihak yang membuat perjanjian pengikatan jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan. Dengan demikian kekuatan hukum dari akta PPJB dalam pelaksanaan pembuatan 144 akta jual beli balik nama mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna serta memiliki kekuatan hukum sah dan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, dimana pembuatan akta PPJB yang dibuat dihadapan atau oleh notaris berkedudukan sebagai akta otentik menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam UUJN berdasar Pasal 38, serta telah memenuhi ketentuan syarat sahnya perjanjian dan sebagai akta otentik berdasar pada Pasal 1320 dan Pasal 1868 KUHPerdata. 4.2. Konsekuensi yuridis Akta PPJB Sebagai Dasar Dibuatnya Akta Jual Beli. 4.2.1. Konsekuensi yuridis bagi kedudukan akta PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama. Suatu akta PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama dapat melahirkan konsekuensi sehingga akta PPJB berkedudukan sebagai akta pendahuluan, yaitu sebagai akta yang dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama. Dalam kedudukannya tersebut menunjukan adanya suatu konsekuensi yuridis yang dapat lahir atau terjadi berupa konsekuensi yuridis yang menjadikan suatu akta jual beli balik nama sah menurut hukum dalam artinya akta jual beli balik nama dalam proses dibuatnya telah memenuhi syarat-srata pokok dibuatnya suatu akta peralihan hak. Suatu akta peralihan hak semisal akta jual beli balik nama sah dibuat apabila telah mengandung syarat terang dan tunai, yaitu harga tanah telah dibayar lunas oleh pembeli kepada penjual dan tanah telah diserahkan (sekalipun baru sebatas penyerahan nyata/faitelijke levering). 145 Dengan demikian, maka konsekuensi yuridis dari suatu akta PPJB yang dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah sebagai sesuatu yang mengakibatkan terjadinya suatu konsekuensi yuridis yang memang dikehendaki terjadinya oleh para pihak, yaitu terjadinya peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli. Sementara itu, dalam sistem hukum pendaftaran tanah, peralihan hak atas tanah diartikan terjadinya pencoretan nama dalam bukti hak atas tanah (sertipikat) dari pemilik asal selaku penjual menjadi ke atas nama pembeli, sebagai bentuk pelaksanaan dari adanya asas publisitas dalam proses pendaftaran tanah. Oleh karenanya konsekuensi yuridis yang lahir dari digunakannya akta PPJB sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama adalah terjadinya pencoretan nama dalam sertipikat dari pemilik asal menjadi ke atas nama pembeli, setelah terpenuhinya persyarat yang ditentukan dalam hukum pendaftaran tanah sehingga dapat dijadikan alat permohonan pendaftaran peralihan haknya. Selain berdasarkan akta jual beli balik nama yang melahirkan konsekuensi yuridis terjadinya peralihan hak atas tanah, dalam hukum pendaftaran tanah juga dikenal berdasarkan akta-akta seperti hibah, tukar menukar, pembagian harta bersama, pemasukan dalam perseroan dan lelang. Akta hibah adalah akta yang dibuat oleh/dihadapan PPAT sebagai dasar terjadinya peralihan hak atas tanah dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Dalam akta tersebut tidak terdapat syarat prinsip sebagaimana yang terdapat dalam akta jual beli balik nama, yaitu tidak adanya harga yang harus dibayar/diserahkan kepada pemberi hibah oleh penerima hibah. Artinya adalah, dalam akta hibah penyerahan hak atas tanah dari 146 pemberi kepada penerima obyek hibah (tanah atau tanah dan bangunan) secara cuma-cuma. Keberadaan akta-akta seperti dipaparkan di atas sebagai alat pendaftaran tanah yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah adalah berdasar pada : Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yang menentukan bahwa : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Kemudian berdasarkan pula pada ketentuan Pasal 37 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT”. Dalam praktek dibuatnya akta jual beli balik nama tentang terjadinya jual beli tanah dihadapan PPAT diperlukan berbagai syarat, antara lain kewajiban melunasi harga jual beli serta persyaratan terkait dengan pendaftaran peralihan hak atas tanah di Kantor Pertanahan, yaitu seperti kewajiban mencantumkan Nomor Identifikasi Bidang (NIB) hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam akta jual beli, sebagaimana diatur dalam Pasal 54 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 yang menetukan bahwa PPAT tidak diperbolehkan membuat akta jual beli tanah, jual beli, tukar menukar, hibah, 147 pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bagunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan, atas sebidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah hak milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan NIB. Apabila persyaratan tersebut telah dapat dipenuhi oleh para pihak maka akta jual beli dapat dibuat dihadapan PPAT, namun apabila dalam proses jual beli tersebut terhambat dikarenakan oleh persyaratan yang timbul dari undang-undang misalnya jual beli harus telah lunas, maka akta jual beli tidak dapat dibuat dihadapan PPAT. Dengan adanya beberapa sebab tersebut, maka untuk mengamankan kepentingan penjual dan pembeli dan kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan misalnya terjadi ingkar janji dari para pihak, diperlukan adanya suatu pegangan atau pedoman. Untuk memberikan kepastian dan menjaga agar kesepakatan itu terlaksana dengan baik sementara persyaratan yang diminta bisa di urus maka pihak yang akan melakukan jual-beli menuangkan kesepakatan awal tersebut dalam bentuk perjanjian. Akta PPJB lahir sebagai akibat terhambatnya atau terdapatnya beberapa persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang yang berkaitan dengan jual beli hak atas tanah belum terpenuhi yang akhirnya agak menghambat penyelesaian transaksi dalam jual beli hak atas tanah. Sehingga akta PPJB sebagaimana dikatakan oleh Herlien Budiono yang mengatakan : perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, 148 mengatur, mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum. 157 Dengan demikian akibat terhambatnya peralihan hak atas tanah dihadapan PPAT maka akta PPJB yang dibuat dihadapan notaris merupakan perjanjian pendahuluan yang fungsi kedudukannya sebagai dasar untuk memperkuat dan menegaskan perjanjian pokoknya yaitu akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT dan mempunyai tujuan menyelesaikan hubungan hukum terhadap hal-hal yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli. 4.2.2 Konsekuensi yuridis akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya berdasarkan pada Pasal 39 ayat (1)UUJN sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama. Yang dimaksud dengan konsekuensi yuridis akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya berdasarkan UUJN sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama dimaksudkan sebagai konsekuensi yuridis yang dapat lahir dan terjadi dalam proses kegunaan akta jual beli balik nama yang dibuat berdasarkan akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya mengacu dan berdasar pada norma yang terkandung dalam Pasal 39 ayat (1) UUJN yaitu berumur 18 tahun. Pembahasan ini terkait dengan masalah kedua dari isu hukum dalam tesis ini,sehingga konsekuensi yuridis yang dimaksudkan adalah implikasi hukum yang dapat lahir baik terhadap akta PPJB maupun akta jual beli balik nama ketika dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanah yang menjadi obyek akta-akta tersebut, ternyata keberadaanya tidak diterima dalam hukum pendaftaran tanah yang berlaku. 157 Herlien Budiono III, op. cit, hal. 68. 149 Akta PPJB merupakan akta otentik yang dibuat oleh notaris secara teoritis berarti memang sejak semula dengan sengaja buat untuk dijadikan alat pembuktian sebagaimana dimaksud dalam hukum pembuktian. Secara dogmatis, keberadaannya sebagai akta otentik diatur berdasarkan pada Pasal 1868 KUHPerdata, yaitu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang dan dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta tersebut dibuatnya.158 Sehingga ketentuan tersebut merupakan sumber untuk otentisitas dan merupakan dasar legalitas serta eksistensi akta PPJB. Karena dalam Pasal 1868 KHUPerdata menentapkan unsur-unsur pokok dari akta otentik yakni : 1. Bahwa akta tersebut dibuat dan diresmikan (verleden) dalam bentuk menurut hukum; 2. Bahwa akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum; 3. Bahwa akta tersebut di buat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat akta tersebut dibuat, jadi akta itu harus ditempat wewenang pejabat yang membuatnya. Dalam kaitannya dengan itu, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa, otentik tidaknya suatu akta tidaklah cukup apabila akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan notaris. Namun cara membuat akta otentik tersebut haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang. Suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa ada wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta 158 Abdul Ghofur, op. cit, hal. 18. 150 otentik, tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan.159 Menyusun sebuah akta notaris harus mempunyai alur sistematika yang mengalir, untuk itu mempunyai anatomi tersendiri, artinya mempunyai bagianbagian dan nama tersendiri yang tidak terlepas dari bagian yang lainnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Anatomi dari akta notaris antara lain : 1. Judul akta Judul sebuah akta harus mencerminkan dari substansi akta tidak multitafsir. Hindarkan untuk memberi judul multitasir (ditafsirkan lebih dari satu atau ditafsirkan tidak sesuai dengan keinginan para pihak). Dalam hal ini perlu diperhatikan istilah yang bersifat terminologi yang mempungai dua artikulasi dan terminologi yang mempunyai satu artikulasi. Untuk menghindari multitafsir tersebut, istilah-istilah dalam Kontrak harus didefinisikan pada bagian Kontrak, ditempatkan pada awal isi Kontrak, mengenai ketentuan umum.160 2. Komparisi Komparisi merupakan tindakan/kedudukan para pihak dalam/untuk membuat/menandatangani akta. Dalam membuat komparisi maka syarat subjektif yaitu : (a) adanya kesepakatan, dan (b) kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum yang tersebut dalam Pasal 1320 KUHPer harus 159 160 Sudikno Mertokusumo, op. cit, hal. 142-143. Habib Ajie I, op. cit, hal. 42. 151 dipenuhi, karena jika syarat ini jika tida dipenuhi dan atas permintaan pihak tertentu, maka perjanjian dapat dibatalkan. Komparisi terdiri dari :161 1. Identitas para pihak yang membuat akta. 2. Kedudukan para pihak dalam melakukan tindakan. 3. Dasar kedudukan tersebut. 4. Cakap (rechtbekwaamheid) dan berwenang (rechtsbevoegheid) untuk melakukan tindakan hukum (rechtshandelingen) yang akan disebutkan/dicantumkan dalam akta. 5. Para pihak memiliki hak untuk melakukan suatu tindakan yang akan dicantumkan dalam perjanjian. Selain terpenuhi ketentuan Pasal 1868 KUHPerdata dan Pasal 38 UUJN agar menjadi akta otentik, akta notaris juga harus dibuat dengan memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Sebab, secara substantif akta notaris isinya adalah perjanjian sehingga haruslah dibuat dengan memenuhi empat syarat yaitu : (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) cakap mereka untuk membuat suatu perikatan, (3) adanya suatu hal tertentu, dan (4) suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut kemudian digolongkan menjadi dua unsur sahnya perjanjian yaitu unsur subyektif dan unsur objektif. Termasuk ke dalam syarat subyektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan, sedangkan syarat obyektif adalah adanya suatu hal tertentu dan adanya suatu sebab yang halal. 161 Habib Ajie, op. cit, hal. 43. 152 Disisi lain sejak berlakunya UUPA, bangsa Indonesia telah mempunyai hukum agaria yang bersifat nasional. Pasal 5 menentukan bahwa : Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasrkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undangundang ini dan dengan peraturan-peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dan sengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan hukum agama. Berdasarkan pasal tersebut di atas, hukum agaria yang baru (UUPA) disusun dan lahir didasarkan atas hukum adat sehingga menganut sistem hukum dan asas hukum yang terdapat dalam hukum adat. Konsekuensi yuridis dari hal-hal sebagaimana dipaparkan di atas, adalah segala peristiwa-peristiwa hukum maupun perbuatan-perbuatan hukum yang bertalian dengan tanah atau hak-hak atas tanah sebagai obyeknya, termasuk di dalamnya jual beli atau perjanjian perikatakan jual-beli harus tunduk pada noma hukum adat yang diberlakukan dalam UUPA seperti asas/prinsip hukum adat terang dan tunai. Suatu akta jual beli balik nama atas tanah yang dibuat oleh/dihadapan PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang membuat akta di bidang pertanahan, yang diangkat oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional/Menteri Agraria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 PP Nomor 24 tahun 1997, menempatkan akta tersebut sebagai akta otentik. Dalam keberadaannya seperti itu suatu akta jual beli balik nama harus memeuhi norma-norma yang berlaku bagi keotentikan sebuah akta serta norma-norma yang mengatur tentang tanah sebagai objek dari akta tersebut. 153 Sebagai suatu akta otentik, tentang keotentiktasnya secara mutatis mutandis dapat diberlakukan norma yang ditentukan Pasal 1868 KUHperdata, karena suatu akta akta jual beli balik nama dibuat dengan memenuhi ketentuan, bahwa : (1) dibuat oleh/dihadapan PPAT berdasarkan ketentuan Pasal PP nomor 24 tahun 1997, (2) bentuknya dibuat berdasarkan pada Peratura Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 23 Tahun 2009dan (3) dibuat diwilayah kewenangan/wilayan kerja PPAT tersebut. Selain itu, akta jual beli balik nama secara substanstif harus pula memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPeradata, karena di satu sisi sebagai sebuah akta yang isinya adalah perjanjian berobyekan tanah atau hak-hak atas tanah, akta jual beli balik nama harus dibuat dengan mengikuti dan memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian. Dan di sisi lain dalam keberadaannya sebagai akta otentik, akta jual beli balik nama yang harus mempunyai kekuatan hukum pembuktian materiil, yaitu akta jual beli balik nama tersebut mampu membuktikan tentang kebenaran apa yang diterangkan di dalamnya. Dalam proses atau tata cara dibuatnya akta jual beli balik nama oleh/dihadapan PPAT, para pihak yang akan melakukan jual-beli hak atas tanah harus memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam pelaksanaan jual-beli tanah. Persyaratan tentang objek jual belinya, misalnya hak atas tanah yang akan diperjualbelikan merupakan hak atas tanah yang sah dimiliki oleh penjual yang dibuktikan dengan adanya sertifikat tanah atau tanda bukti sah lainnya tentang hak tersebut, dan tanah yang diperjualbelikan tidak berada dalam sengketa dengan pihak lain, dan sebagainya. 154 Disamping itu jual-beli telah dibayar secara lunas dan semua pajak yang berkaitan dengan jual-beli seperti pajak penjual (SSP) dan pajak pembeli yaitu (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan/BPHTB) juga telah dilunasi oleh pihak yang akan melakukan jual-beli. Setelah semua hal tersebut dilengkapi atau terpenuhi, barulah para pihak yang akan melakukan jual-beli tanah dapat melakukan jual-beli hak atas tanah dan pembuatan akta jual-beli tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta selanjutnya melakukan pendaftaran tanah untuk pemindahan haknya. Namun apabila persyaratan-persyaratan tersebut belum dipenuhi maka pembuatan dan penandatanganan terhadap akta jual beli balik nama belum dapat diselenggarakan dan PPAT yang bersangkutan harus menolaknya, yang dengan sendirinya jual-beli hak atas tanah belum bisa dilakukan. Keadaan tersebut tentunya sangat tidak menguntungkan atau bahkan bisa merugikan terhadap para pihak yang melakukan jual beli hak atas tanah. Karena dengan keadaan tersebut pihak penjual di satu sisi harus menunda dulu penjualan tanahnya, agar semua persyaratan tersebut dapat terpenuhi, yang dengan sendirinya juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan uang dari penjualan hak atas tanahnya tersebut. Hal yang sama juga berlaku terhadap pihak pembeli, dengan keadaan tersebut pihak pembeli juga tertunda keinginannya untuk mendapatkan hak atas tanah yang akan dibelinya. Berkaitan dengan syarat formal maupun materiilnya untuk terjadinya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dengan akta jual beli balik nama bersifat final, maka harus terpenuhinya persyaratan kelengkapan surat-surat 155 (sertifikat, dan lainnya) yang menjadi bukti hak atas tanah sebagai syarat formilnya dan harus lunasnya harga jual beli tanahnya sebagai terpenuhinya syarat materiil. Dalam hal suatu akta jual beli balik nama dibuat berdasarkan pada akta PPJB, maka kedua persyaratan tersebut terdapat dalam akta PPJB agar dapat digunakan sebagai perjanjian pendahuluan sementara menunggu dipenuhinya syarat pelengkap dalam rangka akta jual beli balik nama digunakan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanahnya di kantor Pertanahan kabupaten/kota ditempat tanah berada. Berdasarkan pada deskripsi di atas dan sejalan dengan tujuan penelitian ini, maka dalam hal sebuah akta PPJB yang syarat dewasa penghadapnya berdasar pada norma dewasa menurut UUJN dan belum/tidak sejalan dengan norma dewasa menurut hukum pendaftaran tanah yang mengacu pada norma dewasa dalam kententuan Pasal 330 KUHPerdata, misalnya penghadap sebagai pembeli adalah berumur 19 tahun, kemudian dijadikan dasar dibuatnya akta jual beli balik nama, yang akhirnya setelah terpenuhi syarat lainnya dijadikan alat untuk permohonan peralihan hak atas tanahnya. Oleh karena penghadap selaku pembeli dalam akta PPJB berumur 19 tahun, maka dalam akta jual beli balik nama umur pemohon adalah 19 tahun. hal tersebut melahirkan konsekuensi pada keberadaan akta jual beli balik nama tidak memenuhi syarat sebagai alat permohonan pendaftaram, konsekuensi yuridisnya baik akta PPJB maupun akta jual beli balik nama sama-sama tidak dapat dan tidak memenuhi syarat untuk dijadikan alat permohonan pendaftaran peralihan hak atas tanah atau dengan kata lain akta-akta tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah. 156 Maksudnya adalah, baik akta PPJB maupun akta jual beli balik nama sebagai suatu akta otentik yang sama-sama tidak dapat dijadikan alat pendaftaran melahirkan konsekuensi yuridis yang masing-masing berbeda. Bagi akta PPJB oleh karena mwrupakan akta notaris yang tunduk pada norma dewas menurut UUJN, seorang penghadap yang telah berumur 19 tahun telah dikatakan dewasa karenanya cakap bertindak dan memiliki kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum sekalipun objeknya adalah tanah atau hak-hak atas tanah. Sedangkan terhadap akta balik nama yang menggunakan akta PPJB sebagai dasarnya melahirkan konsekuensi yuridis bahwa akta tersebut jikalau mengacu pada Surat Nomor Dpt.7/539/7.77 tertanggal 13 Juli 1977 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional yang memilki norma dewasa adalah 19 tahun dan 20 tahun, maka akta jual beli tersebut adalah sah sebagai suatu akta otentik. Berbeda halnya dengan jikalau akta jual beli balik nama di ukur dari norma dewasa yang berlaku pada Pasal 330 KUHPerdata yang diadopsi oleh UUPA dan diimplementasikan kedalam hukum pendaftaran tanah dimana syarat dewasa adalah 21 tahun, maka akta jual beli balik nama tersebut menjadi batal. Di dalam hukum, kebatalan dapat dibedakan menjadi batal demi hukum, dapat dibatalkan, dan non existent. Konsekuensi yuridis dari suatu kebatalan pada prinsipnya sama antara batal demi hukum, dapat dibatalkan atau non existent yaitu ketiganya mengakibatkan perbuatan hukum tersebut menjadi tidak berlaku atau 157 perbuatan hukum tersebut tidak memiliki akibat hukumnya. Titik perbedaannya pada waktu berlakunya kebatalan tersebut, yaitu :162 a. Batal demi hukum, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya perbuatan hukum tersebut atau berdaya surut (ex tunc), dalam praktik batal demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap; b. Dapat dibatalkan, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak memiliki akibat hukum sejak terjadinya pembatalan dan dimana pembatalan atau pengesahan perbuatan hukum tersebut tergantung pada pihak tertentu, yang menyebabkan perbuatan hukum tersebut dapat dibatalkan. Akta yang sanksinya dapat dibatalkan, tetap berlaku dan mengikat selama belum ada putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap yang membatalkan akta tersebut; c. Non Existent, akibatnya perbuatan hukum yang dilakukan tidak ada atau non existent, yang disebabkan karena tidak dipenuhinya essensialia dari suatu perjanjian atau tidak memenuhi salah satu unsur atau semua unsur dalam suatu perbuatan hukum tertentu. Sanksi non existent secara dogmatis tidak diperlukan putusan pengadilan, namun dalam praktik tetap diperlukan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dam implikasinya sama dengan batal demi hukum. Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan diatur dalam Buku III bagian kedelapan Bab IV Pasal 1446-1456 KUHPer. Bagian ini hanya mengatur sebagian 162 Herlien Budiono I, op. cit,hal. 364. 158 dari kebatalan, khususnya perjanjian yang dilakukan oleh mereka yang tidak cakap, yaitu mereka yang dibawah umur, ditaruh di bawah curatele, serta cacat dalam kehendak. Istilah kebatalan tersebut tidak ada istilah yang pasti penerapannya. Menurut Herlien Budiono : Manakala undang-undang hendak menyatakan tidak adanya akibat hukum, maka dinyatakan dengan istilah yang sederhana ‘batal’, tetapi adakalanya menggunakan istilah ‘batal dan berhargalah’ (Pasal 879 KUHPer) atau ‘tidak mempunyai kekuatan’ (Pasal 1335 KUHPer). Penggunaan istilahistilah tersebut cukup membingungkan karena adakalanya istilah yang sama hendak digunakan untuk pengertian yang berbeda untuk ‘batal demi hukum’ atau ‘dapat dibatalkan’. Pada Pasal 1446 KUHPer dan seterusnya untuk menyatakan batalnya suatu perbuatan hukum, kita temukan istilah-istilah ‘batal demi hukum’, ‘membatalkan’ (Pasal 1446 KUHPer), ‘menuntut pembatalan’ (Pasal 1450 KUHPer), ‘pernyataan batal’ (Pasal 1451-1452 KUHPer), ‘gugur’ (Pasal 1545 KUHPer), dan ‘gugur demi hukum’ (Pasal 1553 KUHPer). 163 Kebatalan diatur secara tidak lengkap dalam Pasal 1444 - 1456 BW dan dilengkapi dengan Yurisprudensi dan Doktrin sebagai sumber hukum lainnya, dimana kebatalan dapat disebabkan oleh : a) b) c) d) e) f) Ketidakcakapan bertindak. Ketidakwenangan bertindak. Cacat kehendak. Bentuk perjanjian. Bertentangan dengan Undang-Undang. Bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik.164 Istilah batal demi hukum (neitig) merupakan istilah yang biasa dipergunakan untuk menilai suatu perjanjian jika tidak memenuhi syarat objektif, yaitu hal tertentu (een bepaald onderwerp) dan sebab yang tidak dilarang (een geoorloofde oorzaak), dan istilah dapat dibatalkan jika suatu perjanjian tidak memenuhi syarat subjektif, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (de 163 164 Herlien Budiono I, op. cit,hal. 364. Habib Ajie I, op. cit, hal. 64-65. 159 toetsemming van degenen die zich verbiden) dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid om eene verbindtenis aan te gaan). 165 Jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar) sempajang ada permintaan ole orang-orang tertentu atau yang berkepentingan. Syarat subjektif ini senangtiasa dibayangi ancaman untuk dibatalkan oleh para pihak yang berkepentingan dari orang tua, wali atau pengampu. Agar acaman seperti itu tidak terjadi, maka dapat dimintakan penegasan dari mereka yang berkepentingan, bahwa perjanjian tersebut akan tetap berlaku dan mengikat para pihak. Kebatalan seperti ini disebut kebatalan nisbi atau relatif (relatief neigtigheid). Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum (nietig), tanpa perlu ada permintaan dari para pihak, dengan demikian perjanjian dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat siapa pun. 166 Berkaitan dengan kebatalan dan pembatalan akta notaris, Pasal 84 UUJN telah mengatur tersendiri, yaitu jika notaris melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i,k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum. 167 Akta notaris batal atau batal demi hukum atau mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan terjadi karena tidak dipenuhinya syarat-syarat yang sudah 165 Habib Ajie I, op. cit, hal. 65. Habib Ajie I, loc. cit. 167 Habib Ajie I, op. cit, hal. 66. 166 160 ditentukan menurut hukum. Berdasarkan uraian dia atas kebatalan notaris meliputi :168 1. Dapat dibatalkan Akta notaris merupakan perjanjian para pihak yang mengikat mereka membuatnya, oleh karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian harus terpenuhi. Pasal 1320 KUHPer yang mengatur tentang syarat sahnya perjanjian, ada syarat subjektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang mengadakan atau membuat perjanjian, yang terdiri dari kata sepakat dan cakap bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Unsur subjektif yang pertama berupa adanya kesepakatan bebas dari para pihak yang berjanji, atau tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana pun, tapi semata-mata keinginan para pihak yang berjanji. Unsur subjektif yang kedua berupa adanya kecakapn untuk melakukan tindakan dari para pihak yang berjanji. Kecakapan melakukan suatu tindakan hukum oleh para pihak dalam akta yang akan menimbulkan akibat hukum tertentu jika tidak memenuhi syarat yang sudah ditentukan. Dalam kaitan ini berkaitan dengan subjek hukum yang akan bertindak dalam akta tersebut.subjek dari suatu akta adalah pihak yang bertindak dan bertanggungjawab atas akta yang bersangkutan. 2. Batal demi hukum Akta notaris batal demi hukum unsur objektif yang pertama berupa objek yang tertentu (clear and definite) yang diperjanjikan. Prestasi merupakan 168 Habib Ajie I, op. cit, hal. 67. 161 pokok/objek perjanjian. Unsur objektif yang kedua yaitu substansi perjanjian adalah sesuatu yang diperbolehkan, baik menurut undangundang, kebiasaan, kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum yang berlaku pada saat perjanjian dibuat dan ketika akan dilaksanakan. 3. Mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Pasal 1869 KUHPer menentukan batasan akta notaris yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dapat terjadi jika tidak memenuhi ketentuan karena : 1. Tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau 2. Tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan, atau 3. Cacat dalam bentuknya, meskipun demikian akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan jika akta tersebut ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan-ketentuan tersebut secara tegas ditentukan dalam UUJN yang menyebutkan jika dilanggar oleh notaris, sehingga akta notaris mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan, yaitu :169 1. Melanggar kententuan Pasal 16 ayat (1) huruf i, yaitu tidak membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadapa, saksi, dan notaris. 2. Melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (7) dan ayat (8), yaitu jika notaris pada akhir akta tidak mencantumkan kalimat bahwa para penghadap 169 Habib Ajie I, op. cit, hal. 81. 162 menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isi akta. 3. Melanggar ketentuan Pasal 41 dengan merjuk kepada Pasal 39 dan Pasal 40, yaitu tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan : a. Pasal 39 bahwa : 1). Penghadap paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum. 2). Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh (dua) penghadap lainnya. b. Pasal 40 menjelaskan bahwa setiap akta dibacakan oleh notaris dengan dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi paling sedikit berumur 18 tahun atau telah menikah, cakap melakukan perbuatan hukum, mengerti bahasa yang digunakan dalam akta dan dapat membubuhkan tandatangan dan paraf serta tidak mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa derajat pembatasan derajat dan garis kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak. 4. Melanggar ketentuan Pasal 52, yaitu membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris, baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam 163 garis keturunan lurus kebawah dan/atau keatas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantara kuasa. Pembatalan akta notaris meliputi akta notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri dan menilai akta notaris dengan asas praduga sah, yaitu :170 1. Akta notaris dibatalkan oleh para pihak sendiri. Akta notaris merupakan keinginan para pihak yang datang menghadap notaris tanpa adanya keinginan seperti itu, akta notaris tidak akan pernah dibuat, kewajiban notaris membingkainya sesuai aturan hukum yang berlaku, sehingga akta tersebut dikualifikasikan sebagai akta otentik. Dalam tataran hukum kenotariatan yang benar mengenai akta notaris dan notaris, jika suatu akta notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka para pihak datang kembali ke notaris untuk membuat pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut. 2. Menilai akta notaris dengan asas praduga sah. Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UUJN. Dengan kewenangan yang ada pada notaris, mana kala akta notaris mengikat atau siapa saja yang berkepentingan dengan akta tersebut. 170 Habib Ajie I, op. cit, hal. 68. 164 Akta notaris sebagai produk dari pejabat umum, maka penilaian terhadap akta notaris harus dilakukan dengan asas praduga sah (vermoeden van rechtmatigheid) atau presumption lustae causa. Asas ini dapat dipergunakan untuk menilai akta notaris, yaitu akta notaris harus dianggap sah sampai para pihak yang menyatakan akta tersebut tidak sah. Berdasarkan deskripsi di atas sebagai hasil bahasan terhadap permasalahan ke dua dari tesis ini, yaitu tidak dapat digunakannya AJB balik nama sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah karena dibuat berdasar pada akta PPJB yang penghadap/komparannya selaku pembeli berusia 18 tahun atau menggunakan norma usia dewasa menurut UUJN. Keberadaan akta AJB balik nama tersebut dapat dikatagorikan invalid karena tidak memenuhi syarat obyektifnya, yaitu syarat suatu sebab yang halal dari syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KHPerdata. Dikatakan demikian karena berdasar pada arti kata invalid sebagaimana dimaksud dalam Black’s Law Dictionary disebut dengan “not legally binding”171 (Terjemahan bebas : tidak mengikat secara hukum). Dengan demikian maka, konsekuensi yuridis terhadap akta PPJB keberadaanya tetap sah sebagai akta otentik, sedangkan bagi AJB balik nama menjadi invalid/tidak dapat digunakan. Sebab, suatu AJB balik nama apabila penghadap (pembeli) secara langsung adalah juga sebagai pemohon peralihan hak atas tanah berumur 18 tahun tetap dibuatkan aktanya, sebagai suatu akta otentik dalam proses dibuatnya AJB baliknama tersebut tidak melanggar norma yang ditentukan dalam Pasal 39 Ayat 171 Bryan A. Garner, op. cit, hal. 843 165 (1) UUJN, akan tetapi menjadi tidak berlaku karena ditolak sebagai dasar peralihan hak. Bahwa sebagaimana telah dipaparkan dalam bab-bab di atas, tidak ada suatu ketentuan yang memberi batasan tentang usia sesorang sebagai komparan di dalam akta jual beli balik nama, baik dalam hukum pendaftaran tanah maupun UUPA. Tentang batas usia 21 tahun sebagai syarat seseorang boleh pengajukan permohonan peralihan hak atas tanah yang dibeli dan dibuktikan dengan akta jual beli balik nama selama ini didasarkan atau berdasar pada norma KUHPerdata yang dimana dalam ketentuan UUPA tidak mengatur secara khusus tentang batasan umur demikian pula dalam pendaftaran tanah. Akan tetapi jika mengacu dan mendasarkan pada keberadaan AJB balik nama merupakan akta yang dibuat oleh PPAT serta di dalamnya (secara meteriil) mengatur tentang hakhak atas tanah, yang merupakan lingkup atau ranah hukum agraria, oleh karenanya berlaku norma hukum UUPA, maka AJB balik nama tersebut seharusnya tidak dapat dibuat/diselenggarakan. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas adalah : 1. Pengaturan hukum terhadap syarat dewasa agar dapat dikatakan cakap bertindak untuk dibuatnya akta notaris adalah berdasarkan UUJN Pasal 39 ayat (1) huruf a, yakni 18 tahun. Akan tetapi dalam hal akta PPJB yang mengandung peralihan hak atas tanah yang akan digunakan sebagai dasar dibuatnya akta jual beli balik nama kemudian dijadikan alat pendaftaran peralihan hak atas tanahnya melahirkan konflik norma, sebab syarat pemohon dalam permohonan peralihan hak atas tanah dikantor Pertanahan mengacu pada batas umur 21 tahun sesuai dengan norma hukum yang berlaku dalam UUPA yang mendasarkan pada hukum kebiasaan yang berlaku sekarang ini. Khusus untuk kecakapan batasan umur UUPA sebagai lex specialis tidak mengatur tentang syarat umur tersebut sehingga yang berlaku adalah UUJN karena sebagai legi generalis. Namun, masalahnya adalah di dalam praktek PPJB yang mengacu kepada UUJN tidak dapat diterima, karena sebagai kebiasaan yang berlaku sampai saat ini penafsiran dari PPAT maupun Badan Pertanahan mengacu pada syarat 21 tahun. 166 167 2. Konsekuensi yuridis dari batas umur sebagai syarat kecakapan bertindak terhadap akta PPJB tanah yang syarat dewasa penghadapnya berdasar pada ketentuan Pasal 39 ayat (1) huruf a UUJN bahwa akta PPJB tanah tersebut tetap sah dan mengikat sebagai suatu akta otentik. Akan tetapi terhadap akta jual beli balik nama yang sebagai lanjutan akta peralihan hak, melahirkan konsekuensi bahwa akta tersebut menjadi invalid (tidak mengikat secara hukum), yaitu tidak dapat digunakan sebagai alat pendaftaran peralihan hak atas tanah pada kantor Pertanahan kabupaten/kota letak tanah tersebut berada. 5.2. Saran Adapun saran yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas adalah sebagai berikut : 1. Kepada pemerintah selaku eksekutif dan DPR selaku legisatif sebagai pembentuk undang-undang agar dalam menyempurnakan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris khususnya Pasal 39 ayat (1) huruf a dengan menambahkan klausul dalam hal akta-akta pertanahan yang dibuatkan oleh notaris syarat dewasa bagi penghadapnya berumur 21 tahun agar tidak terjadi konflik norma antara UUPA maupun KUHPerdata. 2. Kepada Badan Pertanahan Nasional agar membuat peraturan yang tertulis mengenai syarat dewasa batasan umur bagi penghadap yang akan melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah. 168 DAFTAR PUSTAKA Buku - Buku Adjie, Habib, 2009, Menoropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan tentang Notaris dan PPAT), Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30.Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. _______, 2009, Sanksi Perdata & Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. _______, 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung. Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta. Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia; Prespektif Hukum dan Etika, Cet.II, UII Press, Yogyakarta. Appendix, 1821, Notary-Public, Alex Lawrie & Co, Edinburgh. Arrasjid, Chainur, 2001, Dasar-dasar Ilmu Hukum, edisi I, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly, 2004, Cita Negara Hukum Indonesia, Universitas Sriwijaya, Palembang, hal.2-3. _______, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Yogyakarta. _______, 2011, Hukum Tata Negara Dan Pilar-Pilar Demokrasi, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta. Asshiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, 2006, Teori Han Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Cet. Pertama, Jakarta. Atmadja, I Dewa Gede, 2013, Filsafat Hukum Dimensi Tematis & Historis, Setara Press, Malang. 169 _______, 2010, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945, Edisi Revisi, Setara Press, Malang. Badrulzaman, Mariam Darus et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Bakri, Muhamad, 2007, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara (Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria), Citra Media, Jakarta. Budiono, Herlien, 2008, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan, Cet.II, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapanya di Bidang Kenotariatan, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2010, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata Di Bidang Kenotariatan Buku Kedua, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Burhan, Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta. Cahyadi, Antonius dan E Fernando M.Maullang, 2007, Pengantar Ke Filsafat Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Dja’is, Mochammad dan Koosmargono, RMJ., 2008, Membaca dan Mengerti HIR, Semarang, Badan Penerbit, Universitas Diponegoro. Darmodihardjo, Darji dan Shidarta, 2006, Pokok-Pokok Filsafat Hukum (Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Di Indonesia), Cet.VI, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Djokosoetono, 1982, Hukum Tata Negara, Cet. I, Ghalia Indonesia, Jakarta. Fadjar, A. Mukthie, 2004, Tipe Negara Hukum, Bayumedia, Malang. Harahap, Yahya, 1992, Hukum Perjanjian Di Indonesia, Djambatan, Jakarta. Hariyono, et al, 2013, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang. Harsono, Boedi, 2008, Hukum Agraria Indonesia, Cet.XII, Djambatan, Jakarta. Hernoko, Agus Yudha, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersil, Kencana, Jakarta. 170 Ibrahim, Johnny, 2006, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet.I, Bayumedia. Kelsen, Hans,1998,General Theori of Law and State, terjemahan Anderes Wed Berg, Russell & Russell, New York, 1973, h.123. kemudian dikutip oleh Maria Farida Indrati Suprapto, Ilmu Perundang-undangan dasar-dasar dan pemberlakuannya, Kanisius, Yogyakarta. _______, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien dari Han Kelsen, General Theory of Law and State, Cet. pertama, Nusamedia & Nuansa, Bandung. _______, 2007, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, terjemahan Raisul Muttaqien, dari Hans Kelsen, Pure Theory of Law, Cet. kedua, Nusa Media & Nuansa, Bandung. _______, 2009 , General Theori of Law and State, cet III, translated by Anders Wedberg, The Lawbook Exchage Ltd, New Jersey. Kie, Tan Thong, 2007, Studi Notariat & Serba-Serbi Praktek Notaris, Cet.I, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Majda, El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Rajawali Pers, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Cet.III ,Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Massier, AB, 2000, Handelsrecht, KITLV Uitgeverij, Leiden. Mertokusumo, Sudikno, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi VI Cet.I, Liberty Yogyakarta. Muhammad, Abdulkadir, 2000, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, Citra Aditya Bakti, Bandung. Mustofa, 2010, Tuntunan Oembuatan Akta-Akta PPAT, KaryaMedia, Yogyakarta. Parlindungan, A.P., 1984, Serba Serbi Hukum Agraria, Alumni, Bandung. 171 Perangin-Angin, Effendi, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Cet.II, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Pitlo, 1971, A Het Systeem van het Nederlandse Privaatrecht, H.D. Tjeenk Wilink, Groningen. _______,1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Internusa, Jakarta. Rasjidi H, Lili. dan Rasjidi Thania Ira, 2004, Dasar-Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Cet. IX, Citra Aditya Bakti, Bandung. Santoso, Urip, 2011, Pendaftaran Tanah Dan Pengalihan Hak Atas Tanah, Cet.II, Prenada Media Group, Jakarta.Yudi Setiawan, 2010, Hukum Pertanahan Teori Praktik, Cet.I, Bayumedia Publishing, Malang Satrio, J., 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung Subekti, R, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Cet. XXXII, Jakarta. _______, 1994, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta. _______, 1995, Aneka Perjanjian, Cet.X, Citra Aditya Bakti, Bandung. _______, 2005, Hukum Pembuktian, Cet.XV, Pradnya Paramita, Jakarta. Subekti, R. dan R.Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sjaifurrahman, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta, Cet.I, Mandar Maju, Bandung. Soemadiningrat, H.R. Otje Salman, 2010, Filsafat Hukum Perkembangan dan Dinamika Masalah, Cet.II, Rafika Aditama, Bandung. Soeprapto, Maria Farida Indrati, 2006, Ilmu Perudang Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Cet. Sebelas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Soerodjo, Irawan, 2002, Kepastian Hukum Pendaftaran Hak Atas Tanah di Indonesia, Cet.I, Arkola Surabaya, Surabaya. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajagrafindo Persada, Jakarta. 172 Suherman, Ade Maman dan J. Satrio, 2010, Penjelasan Hukum Tentang Batasan Umur (Kecakapan dan Kewenangan Bertindak Berdasar Batsan Umur), Nasional Legal Reform, Jakarta. Sumardjono, Maria S.W., 2009, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implikasi, Cet. VI, Kompas Media Nusantara, Jakarta. Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Cet.III, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2008, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Cet.X, Bandung. Wijayanti, Asri, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Cet.I, Lubuk Agung, Bandung. Kamus Garner, A. Bryan , 2004, Black’s Law Dictionary, West Publishing Co, United State of America. Black, Henry Campbell, 2009, Black’s Law Dictionary, West Publishing, United State of America. M.Echols, John dan Hassan Shadily, 2005, Kamus Inggris Indonesia, PT.Gramedia, Jakarta. Marjanne ter Mar shui zen, 1999, Kamus Hukum Belanda – Indonesia, Djambatan, Jakarta. Mr. N.E. Algra et. al, 1983, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Bandung, hal 25. R. Subekti dan Tjirtosudibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya, Jakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata (BW), 1995, Terjemahan R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Pradnya Paramita, Jakarta. 173 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3019). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4235). Undang-Undang Ketenagakerjaan yang terakhir, yakni Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4279). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 177, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4432); Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Nomor : 4634). Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 5234). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5491). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1997 Nomor 59 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia 1998 Nomor 52 Tambahan Lembaran Negara Nomor 4385). 174 Majalah Miftachul Machsun, 2013, Persoalan Hukum Dalam Praktek Berikut Solusinya, Majalah Minuta Edisi I Nomor 02.002, Maret 2013. Senat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1966, Seminar Indonesia Negara Hukum & Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta. Internet http://magisterhukum.narotama.ac.id/index.php/detilberita/65 tanggal 15 April 2013 diakses pada