IMPLIKASI HUKUM PENANDATANGANAN AKTA YANG TIDAK DILAKUKAN DI HADAPAN NOTARIS DALAM AKAD KREDIT DI PERBANKAN LEGAL IMPLICATION OF SIGNING A DEED WITHOUT THE PRESENCE OF A NOTARY IN BANK CREDIT AGREEMENT Alfajri, Nurfaidah Said, Oky Deviany Program Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin Alamat Korespondensi : Al fajri, SH Fakultas Hukum Program Pascasarjana (S2) Universitas Hasanuddin Makassar, 90245 HP: 085241984146 Email: [email protected] ABSTRAK Salah satu kewajiban notaris adalah menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi, namun, pada kenyataannya hal mana tidak dilakukan di hadapan notaris yang akan berakibat timbulnya akibat hukum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akibat hukum penandatanganan akta jaminan fidusia yang tidak dilakukan di hadapan notaris dan mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak. Penelitian ini menggunakan metode normatif empiris, yaitu hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan perundang-undangan dan bahan pustaka lainnya (in abstracto) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, terdapat akta di mana dalam penandatanganannya tidak dilakukan di hadapan notaris yang disebabkan oleh kesibukan dari pihak bank dan debitor serta notaris itu sendiri di mana pengikatan terjadi secara bersamaan. Kemudian akta tersebut masih dapat dikatakan sebagai akta otentik, sepanjang tidak ada pihak yang mengklaim, sehingga hal tersebut membutuhkan tundakan hukumk tertentu untuk menjustufikasi, dan untuk membuktikannya denngan cara mengambil gambar dari pelaksanaan pembuatan akta melalui foto atau rekaman video. Kedua, perlindungan hukum terhadap para pihak akibat dari perbuatan melangar hukum yang dilakukan oleh notaris yaitu notaris harus mengganti biaya ganti rugi terhadap pihak yang menderita kerugian tersebut. Kesimpulan menunjukkan bahwa Notaris mengembalikan hak dan kedudukannya berdasarkan UUJN dan Kode Etik Notaris. Kata Kunci : Perlindungan hukum, pelanggaran notaris, Fidusia ABSTRACT One of the obligations of a notary deed was signed in the presence of the parties and witnesses, however, in reality it would have done before a notary public that will result in the emergence of the legal consequences. This study aims to find out the legal implication of signing a deed of fiduciary guarantee without the presence of a notary; and the legal protection on the parties involved in the signing process. The research used empirical normative method. The objects of study are legal regulations and other library materials (in abstracto) as well as the application in legal events (in concreto). The results reveal that a deed signed without the presence of a notary (due to the tight-scheduled activities of the bank, finance institutions, and the notary) can still be considered authentic as long as there is no any claim. This requires certain legal actions to justify, and it can be proven by taking the pictures of the procces of making the deed with photos or video recordings. Furthermore, legal protection is given on the parties involved because of the unlawful acts commited by the notary. The notary must recompense the loss of the parties involved in the procces. The conclusion suggests that the notary restore the rights and position based UUJN and Notary Code of Ethics. Keywords : Protection laws, breach of notaries, Fiduciary PENDAHULUAN Dalam banyak kasus mengenai penandatanganan akta notariil salah-satu kasus yang relevan dengan penelitian ini adalah mengenai penandatanganan minuta akta yang tidak ditandatangani di mana dalam kasus tersebut terdapat notaris yang tidak menandatangani minuta aktanya sampai notaris tersebut meninggal dunia. Mekanisme penandatanganan akta notariil tidak hanya terbatas pada persoalan bahwa akta tersebut harus ditandatangani namun, penandatanganan akta tersebut juga harus di hadapan notaris sebagaimana telah diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN bahwa “membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris”. Akta sendiri adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Jadi, untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta maka surat harus ditanda tangani. Keharusan untuk ditandatanganinya surat untuk dapat disebut sebagai akta berasal dari Pasal 1869 BW. Keharusan adanya tanda tangan tidak lain bertujuan untuk membedakan akta yang satu dengan akta yang lain atau dari akta yang dibuat orang lain. Fungsi tanda tangan adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. Akta yang dibuat oleh A dan B dapat diidentifisir dari tanda tangan yang dibubuhkan pada akta-akta tersebut. Oleh karena itu nama atau tanda tangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak tampak ciri-ciri atau sifat-sifat pembuat.Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l tersebut adalah kewajiban notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) dan kata di hadapan adalah hadirnya seorang notaris secara fisik di hadapan para pihak dan saksi-saksi (penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN). Dalam hal penandatanganan tersebut di atas ditegaskan kembali dalam Pasal 44 UUJN menentukan bahwa: (1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditanda tangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dengan menyebutkan alasannya; (2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta; (3) Akta sebagaimana dimaksud pada Pasal 43 ayat (3) ditanda tangani oleh penghadap, notaris dan saksi dan penerjemah; (4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan dan penadatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta. Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian akta di mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi. Ketentuan pasal 16 ayat (1) huruf l tersebut adalah kewajiban notaris sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) dan kata di hadapan adalah hadirnya seorang notaris secara fisik di hadapan para pihak dan saksi-saksi (penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN). Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian akta (verlijden) di mana sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di depan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani, tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi. Membacakan akta sampai pada penandatanganan adalah satu kesatuan dari peresmian akta (verlijden), dalam hal ini yang menjadi fokus pembahasan adalah penandatanganan akta di mana penandatanganan tersebut juga harus dilakukan di hadapan notaris bahwa sebelum akta tersebut di tandatangani terlebih dahulu akta tersebut dibacakan di hadapan para pihak yang bersangkutan guna menyampaikan kebenaran isi akta dengan keinginan para pihak kemudian akta tersebut ditandatangani, tentunya di hadapan para pihak dan dua (2) orang saksi. Ketentuan Pasal tersebut memberikan kepastian kehadiran para pihak yang hadir di hadapan notaris adalah pihak yang juga bertandatangan dalam akta. Namun, Pada kenyataannya disinyalir bahwa penandatanganan akta tersebut tidak dilakukan di hadapan notaris oleh karena pengikatan yang terjadi secara bersamaan. Kebiasaan Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris dilandasi dengan kebiasaan praktik pengikatan akta yang dilakukan di kantor notaris. Pengikatan mana jika terjadi secara bersamaan di tempat yang berbeda, maka notaris tidak akan mungkin berada dalam 1 (satu) tempat yang berbeda pada saat yang bersamaan. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu untuk meninjau lebih jauh mengenai praktik penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris dan tanggung jawab notaris yang tidak menandatangani akta yang dilakukan di hadapannya dalam hal ini adalah Akta Jaminan Fidusia. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami tentang implikasi hukum terhadap penandatanganan Akta Jaminan Fidusia yang tidak dilakukan di hadapan notaris serta untuk mengetahui dan memahami tentang perlindungan hukum bagi para pihak. METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di kota Makassar dengan pertimbangan bahwa dengan pesatnya perkembangan ekonomi yang juga mendongkrak perkembangan dalam bidang perbankan di mana kebutuhan masyarakat dalamhal permodalan dan sebagainya membutuhkan bank sebagai peminjam modal, maka banyak timbul berbagai perjanjian kredit di perbankan yang diikuti dengan perjanijan pembebanan, yaitu dalam hal ini khusus Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris di mana dalam pembuatan akta tersebut terjadi dibeberapa bank dan Lembaga Pembiayaan secara bersamaan, sehingga memungkinkan seorang notaris tidak menandatangani akta tersebut di hadapan para pihak dan saksi-saksi. Sifat dan Tipe Penelitian Tipe penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif empiris, yaitu penelitian hukum yang objek kajiannya meliputi ketentuan-ketentuan perundang-undangan (in abstraco) serta penerapannya pada peristiwa hukum (in concreto). Sifat penelitian hukumnya adalah deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas. Bersifat deskriptif, bahwa dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang bersifat manyeluruh dan sistematis. Dikatakan analitis, karena berdasarkan gambaran-gambaran dan fakta-fakta yang diperoleh melalui studi dokumen maka selanjutnya dilakukan analisis secara cermat untuk menjawab permasalahan dalam penelitian. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah 1) Data primer, yaitu data original yang sumbernya langsung ditemukan dalam Perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan permasalahan penelitian. 2) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kajian atau telaah dari berbagai buku-buku, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Populasi dan Sampel Populasi, populasi dalam penelitian ini adalah berjumlah 15 orang Notaris yang diketahui memiliki beberapa Akta Jaminan Fidusia berdasarkan keterangan dari Kepala Seksi Kantor Pendaftaran Fidusia dengan surat Keterangan Nomor : W15-HU.03.02-81, tertanggal 24 Oktober 2012. Sampel, Sampel dalam penelitian ini adalah berjumlah 3 orang Notaris yang ditentukan secara purposive sampling yaitu penelitian ditujukan kepada Notaris di kota makassar yang diketahui oleh peneliti telah mengeluarkan beberapa Akta Jaminan Fidusia. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara studi dokumen untuk mendapatkan data sekunder melalui penelitian kepustakaan dan wawancara yaitu teknik pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara/interview secara langsung melalui kuesioner kepada responden, yaitu Notaris, MPD, Sekretaris Pendaftaran Fidusia dan Bank. Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian deskriptif analitis, maka data yang diperoleh dari penelitian lapangan diuji kebenarannya kemudian dihubungkan dan dianalisa secara kualitatif dengan data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, sehingga dapat membahas permasalahan secara menyeluruh, sistematis dan objektif. HASIL Implikasi Hukum Penandatanganan Akta Pembebanan Yang Tidak Di Hadapan Notaris Kewajiban Notaris untuk membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris diatur dalam Ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN. Ketentuan ini dipertegas kembali dalam Pasal 44 UUJN yang menyatakan bahwa segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. Ketentuan pembacaan dan penandatanganan tersebut adalah satu kesatuan dari peresmian akta (verlijden). Kemudian Kata di hadapan dalam penandatanganan akta tersebut adalah hadirnya seorang notaris dalam proses peresmian akta (verlidjen) atau face to face sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN. Dalam praktik penandatanganan akta di mana dalam penandatanganannya tidak dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi ketika pembuatan akta pembebanan tersebut terjadi secara bersamaan pada tempat yang berbeda. Hal ini di tegaskan oleh notaris Early bahwa dalam praktik notaris tidak mungkin berada dalam 2 (dua) tempat yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Hal tersebut di atas ditegaskan pula oleh notaris Syahrir Made Ali bahwa kondisi tersebut menyulitkan seorang notaris untuk tetap hadir di hadapan para pihak, namun sedapat mungkin penandatanganan tersebut harus dilakukan di hadapan para pihak dengan cara mengkondisikan waktu (mengatur schedule), hal tersebut juga kadang terjadi dikarenakan kesibukan dari para pihak, maka para pihak tidak dapat hadir dalam penandatanganan akta. Oleh karena kesibukan tersebut, maka terkadang notaris kembali ke kantor dan untuk proses selanjutnya karyawan notaries lah yang datang menghadap ke bank untuk melanjutkan proses penandatanganan akta tersebut. Hal tersebut di atas tidak sesuai dari apa yang telah ditentukan dalam Kode Etik Notaris bahwa larangan atas mengirimkan minuta akta untuk ditandatangani sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 4 huruf I Kode Etik Notaris. Menurut notaris Nugriyanti bahwa penghadap/pihak perbankan sebaiknya menolak jika yang datang bukan notarisnya atau untuk selanjutnya, penandatanganan dilakukan di kantor notaris yang bersangkutan. Berdasarkan pendapat tersebut di atas bahwa dalam kondisi tersebut bank juga harus konsisten terhadap penandatanganan akta karena akta tersebut merupakan akta miliknya yang akan memberikan perlindungan dalam menjamin kepastian hukum jika debitor wanprestasi. Kembali ditegaskan oleh Syahrir Made Ali selaku Majelis Pengawas Notaris (selanjutnya disebut MPD) dari unsur notaris bahwa terdapat kasus di mana seorang notaris maupun saksi yang belum menandatangani akta jaminan fidusia pada saat pemeriksaan. Pada saat pemeriksaan tersebut notaris langsung melengkapi kekurangan pada akta tersebut dalam hal ini tandatangan. Tindakan dari MPD mengenai pelanggaran notaris tersebut bahwa MPD memberikan teguran lisan dan jika hal tersebut masih dilanggar, maka akan ditindak lanjuti sesuai prosedur hukum yang berlaku. Seharusnya MPD dalam hal ini mempertanyakan proses peresmian akta (verlijden) yang baru akan ditandatangani pada saat pemeriksaan tersebut bahwa menurut penulis hal mana berpotensi pada penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak sebab minuata akta tersebut baru akan ditandatangani pada saat pemeriksaan. Pertanyaan tersebut terkait dengan tempat peresmian akta dan siapa yang berhadapan dengan para pihak dan saksi-saksi dan saksi-saksi. Menurut Herlien Budiono (2008) suatu Akta Notaris merupakan suatu keterangan notaris dalam kedudukannya sebagai pejabat umum yang menjamin. 1) kehadiran (para) penghadap, 2) pada tempat tertentu, 3) pada tanggal tertentu, 4) benar (para) penghadap memberikan keterangan sebagaimana tercantum dalam akta, atau benar terjadi keadaan sebagaimana disebutkan dalam akta, 5) benar ditandatangani oleh (para) penghadap untuk akta pihak (partij acte). Menurut penulis manfaat penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan notaris adalah agar notaris menjamin bahwa pihak yang berhadapan di hadapannya adalah pihak yang juga menandatangani akta, dengan demikian pemalsuan identitas atau pemungkiran tandatangan dapat diminimalisir. Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris akan berakibat turunnya nilai pembuktian akta otentik menjadi akta di bawah tangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN. Relevan dari pernyataan di atas notaris Early juga menegaskan bahwa dengan kondisi seperti itu dapat saja terjadi penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak, terkadang juga dikarenakan kesibukan dari pihak bank dalam hal ini yang bertanda tangan hanya 1 pejabat bank yang menangani semua pengikatan yang ada di makassar yaitu pihak Legal Drafting. Praktik penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris tersebut dilatarbelakangi oleh kebiasaan praktik penandatanganan akta dilakukan di bank atau di tempat mana para pihak atau klien berada. Menurut notaris Syahrir Made Ali bahwa hal yang sama juga pernah terjadi dalam dunia praktik kenotariatan oleh karena pimpinan cabang tidak memberikan delegasi secara tertulis kepada pihak legal bank untuk bertandatangan di hadapan notaris. Pada umumnya bank negeri belum memberikan pendelegasian tersebut khusunya bank swasta sudah hampir keseluruhan telah melakukan pendelegasian tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UUPT), yang berwenang untuk mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan adalah Direksi. Direksi dalam hal ini adalah Pimpinan Cabang bank dan pihak Legal Officer dalam hal ini adalah Legal Drafting adalah karyawan Bank yang bertugas membuat perjanjian kredit. Kemudian ketentuan Pasal 103 UUPT menentukan bahwa Direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan Perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang diuraikan dalam surat kuasa. Yang dimaksud kuasa di sini adalah kuasa khusus untuk perbuatan tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat kuasa (Penjelasan Pasal 103 UUPT). Dasar hukum yang mengatur mengenai surat kuasa ini dapat kita temui dalam KUHPerdata dan harus diperhatikan bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan tindakan yang melampaui kuasa yang diberikan kepadanya (Pasal 1797 KUHPerdata). Berdasarkan hal tersebut di atas bahwa telah menunjukkan in-konsistensi pihak bank dalam mematuhi hukum sementara pendelegasian (Sharing is delegation) pimpinan cabang ke pihak Legal wajib dilakukan karena pihak yang bertandatangan lah yang menjadi pihak Kreditur, yaitu Pimpinan Cabang bukan Legal, dengan adanya pendelegasian tersebut pihak Legal bank akan berwenang dalam hal pembuatan akta sampai pada proses peresmiannya dan tentunya pendelegasian tersebut juga disebutkan dalam komparisi akta bahwa benar pihak legal berwenang dalam menjalankan proses pembuatan sampai pada peresmian akta, sebaliknya bahwa jika pihak Legal dalam proses pembuatan akta tersebut tanpa pendelegasian dari Pimpinan Cabang, maka yang berhadapan di hadapan notaris bukan pihak yang bertandatangan dalam akta dengan kata lain bahwa pihak legal tersebit bukan pihak yang ada dalam akta. Dengan demikian penandatanganan akta tersebut tidak dilakukan di hadapan para pihak. Tidak jarang kondisi persaingan tidak sehat juga terjadi di kalangan notaris, di mana seorang notaris dalam menentukan harga suatu akta sangat variatif, artinya bahwa antara notaris 1 (satu) dengan notaris yang lainnya sangat berbeda. Persaingan mana disebabkan oleh UUJN tidak mengatur ketentuan honor minimum melainkan hanya mengatur ketentuan honor maximum, maka notaris dengan bebas menentukan harga akta yang pada kenyataannya dijadikan sebagai bagian dari pelayanan. Hal mana tidak sesuai dengan Pasal 4 Huruf l Kode Etik Notaris, menentukan bahwa melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang menjurus kearah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama rekan notaris. Meskipun ketentuan honor minimum tidak diatur dalam UUJN, namun melalui keseragaman nilai nominal minimum suatu akta yang tentunya disepakati dari seluruh notaris di Indonesia sekiranya akan memberikan dampak yang positif dari praktik persaingan yang terjadi dalam dunia kenotariatan saat ini. Kedudukan notaris sebagai pejabat umum (openbaar Ambtenaar) merupakan suatu pejabat yang terhormat yang diberikan oleh Negara secara atributif melalui Undang-undang kepada seorang yang dipercayainya yang akan menjaga harkat dan martabatnya sebagai pejabat umum (openbaar Ambtenaar). Notaris menertibkan diri sesuai dengan fungsi, kewenangan dan kewajiban sebagaimana ditentukan di dalam UUJN dan Kode Etik Notaris. Seorang pejabat umum (openbaar Ambtenaar) diharapkan mampu melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya atas kewenangan yang telah diamanahkan kepadanya, namun dalam hal pelayanan tersebut di samping mengingat aturan Perundang-undangan, notaris juga harus mengingat aturan mengenai etika bahwa notaris dalam menjalankan tugastugasnya harus mampu membedakan apa yang sah dan apa yang tidak sah; membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. Hal ini sejalan dengan asas kepatutan di mana dalam asas tersebut menitik beratkan persoalan kesesuaian peraturan Perundang-undangan terhadap praktiknya atau dengan kata lain bahwa dalam melakukan perbuatan hukum harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal pelayanan seorang notaris diharap memberikan pelayanan yang tidak bertentangan dengan suatu Perundang-undangan mana pun bahwa penandatanganan tidak harus dilakukan di tempat kreditor dan debitor, namun pelayanan dilakukan dengan cara yang profesional, seperti mempercepat proses pembuatan akta dengan didukung oleh fasilitas yang memadai dan hal-hal lain yang dianggap perlu tanpa melanggar suatu Perundangundangan dan notaris seharusnya menitik beratkan pada persoalan kualitas dan menjadi seorang notaris yang bertanggung jawab atas segala akta yang telah dibuatnya. Dalam hal pelayanan seorang notaris bahwa Seorang notaris diwajibkan memiliki sebuah kantor untuk memfasilitasi kinerja yang mengakomodir tugas dan kewajibannya sebagai pejabat umum yang profesional sesuai dengan UUJN, hal mana termuat dalam Pasal 19 ayat (1) UUJN. Kemudian hal tersebut juga diatur dalam Pasal 3 ayat (13) Kode Etik Notaris, menentukan bahwa menjalankan jabatan notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-alasan yang sah. Sebagai pembanding dalam hal tersebut di atas, maka penulis mengutip salah satu artikel asing, yaitu sebagai berikut : “The notary has also a duty to properly preserve the original deeds in his office for future consultation or issue of certified copies. The originals cannot leave his office unless he receives a Court order. The second main function assigned to a latin notary is meant to guarantee the achievement of the desired results”. (Notaris juga memiliki kewajiban untuk melestarikan apa yang benar dari perbuatan aslinya di kantornya untuk konsultasi masa depan atau masalah salinan resmi. Sesungguhnya Notaris tidak bisa meninggalkan kantornya kecuali ia menerima perintah Pengadilan. Fungsi utama yang kedua ditugaskan untuk notaris latin dimaksudkan untuk menjamin tercapainya hasil yang diinginkan). Fokus pembahasan konteks tersebut di atas, bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban notaris di Negara-negara eropa dalam melayani masyarakatnya dilakukan di kantor notaris, hal mana secara jelas dinyatakan dalam artikel tersebut di atas bahwa “seorang notaris dilarang meninggalkan kantor kecuali ada perintah dari pengadilan”. Hal ini menegaskan bahwa di mana dalam proses pembuatan akta-akta dilakukan di kantor notaris dengan kata lain bahwa yang datang menghadap ke kantor notaris adalah klien bukan notaris di mana dalam kebiasaan praktek yang terjadi di Indonesia khususnya di kota Makassar bahwa notaris yang datang menghadap klien yaitu pihak kreditur dan tidak jarang pula notaris datang menghadap kepada debitur. Jika ditinjau dari aspek kebutuhan masyarakat akan akta otentik bahwa sekiranya masyarakatlah yang membutuhkan jasa seorang notaris di mana akta otentik sebagai alat bukti yang mengikat dan sempurna. Kebutuhan akan bukti yang mengikat dan sempurna tersebut sangat dirasakan dalam memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam perbuatan hukum seseorang maupun kelompok. Perbuatan hukum tersebut juga telah diatur dalam Undang-undang mengenai keharusan dalam pembuatannya secara otentik untuk memenuhi prosedur pendaftaran. Dalam hal mengantisipasi terhadap kondisi-kondisi tertentu dalam hal ini ketika pengikatan terjadi secara bersamaan di mana seorang notaris tidak mungkin berada dalam 2 (dua) tempat yang berbeda. Maka, menurut penulis segala kegiatan notaris harus dilakukan di kantor notaris, dengan penandatanganan akta yang dilakukan di kantor notaris, penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi akan terhindarkan di mana notaris secara kolektif menandatangani akta-akta tersebut di hadapan para pihak dan saksi-saksi terkecuali pada tahap pembacaan akta. Dengan demikian potensi terjadinya sengketa terhadap pemungkiran tandatangan dari pihak debitor yang disebabkan oleh penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris akan terhindarkan di mana notaris yang bersangkutan tidak menyaksikan penandatanganan akta tersebut. Akibat hukum terhadap akta bahwa akta tersebut akan kehilangan otentisitasnya atau terdegradasi menjadi akta di bawah tangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN. Menurut Sjaifurrachman dkk (2011) bahwa berlakunya degradasi kekuatan bukti akta notaris menjadi akta di bawah tangan pada umumnya sejak tetap (inkracht). Akta yang mempunyai kekuatan bukti di bawah tangan ini tetap sah dan mengikat kecuali adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang menyatakan batalnya akta tersebut atau tidak mengikatkan akta tersebut. UUJN dalam hal ini belum menjelaskan mengenai ketentuan terdegradasinya akta tersebut menjadi akta di bawah tangan merupakan akibat langsung atau tidak, maka terhadap degradasi kekuatan pembuktian akta otentik menjadi akta di bawah tangan tidak serta merta atau harus memlaui putusan yang inkracht. Berbicara mengenai putusan Hakim yang telah inkracht berarti telah terjadi sengketa yang diawali dengan gugatan para pihak, misalnya adanya pemungkiran tanda tangan oleh pihak debitor bahwa pihak debitor tersebut telah memungkiri tandatangan yang telah ia bubuhkan ke dalam akta tersebut. Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri bahwa tidak terdapat putusan inkracht terkait hal tersebut, maka hal mana akan menjadi antisipasif oleh karena hal tersebut sangat berpotensi terhadap pemungkiran tandatangan dan untuk lebih menguatkan proses pembuktian ketika debitor wanprestasi di mana notaris dalam hal ini menyaksikan penandataganan akta tersebut. Secara prosedural terkait dalam hal pembuktian di mana pihak penggugat yang dalam hal ini pihak yang dibebani beban pembuktian akan menghadapi kesulitan untuk membuktikan hal tersebut memang benar telah ditandatangani di hadapan notaris atau memang benar bahwa pihak yang datang menghadap (tergugat) di hadapan notaris adalah pihak yang juga bertandatangan dalam akta, namun bukan berarti bahwa pembuktian terkait perkara tersebut sama sekali tidak dapat dibuktikan. Menurut Alvi Syahrin (2001), bahwa suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya : 1) Diperkenankan oleh undangundang untuk dijadikan alat bukti; 2) Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya; 3) Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta; 4) Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan alat bukti yang diajukan. Berdasarkan konteks tersebut di atas bahwa alat-alat bukti yang akan disertakan dalam gugatan adalah alat bukti tersebut harus diatur atau disebutkan dalam undang-undang sebagai alat bukti, keabsahan dan relevansi antara alat bukti dan peristiwa yang diperkarakan, kemudian alat bukti tambahan dalam hal ini seperti foto dan rekaman video. Untuk lebih menguatkan pembuktian pihak penggugat dapat menggunakan foto dan rekaman video sebagai alat bukti, hal ini relevan dengan unsur necessity di mana sepanjang alat bukti yang diajukan perlu untuk membenarkan suatu fakta, maka pengajuan alat bukti tersebut diterima dipersidangan. Alat bukti foto dan semacamnya belum diatur dalam KUHPerdata, namun telah diatur dalam UU ITE yang menegaskan bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, menegaskan bahwa “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Kemudian Pasal 1 angka 4, menegaskan bahwa “Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Oleh sebab penandatanganan akta dilakukan di kantor notaris, maka untuk melindungi perbuatan hukum pihak bank dan juga notaris itu sendiri dalam hal penandatanganan akta yang dilakukan di hadapan notaris bahwa hal mana harus didukung dengan fasilitas yang memadai seperti, perekam suara, CCTV, dan foto. Dengan demikian hal mana juga untuk menghindari potensi terjadinya sengketa dikemudian hari. PEMBAHASAN Penelitian ini menunjukkan inkonsistensi notaris dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pejabat publik bahwa selain notaris tidak mematuhi aturan yang telah diamantakan oleh UUJN, notaris juga tidak mematuhi kode etik Notaris, di mana dari dari hasil pembahsan sebelumnya bahwa telah terjadi penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi. hal mana tidak sesuai dengan Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN. Hal mana akan menimbulkan akibat hukum. Menurut Ahmad Ali (2008) bahwa klasifikasi akibat hukum ada 3 macam, yaitu sebagai berikut: 1) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu kaidah hukum tertentu. Contohnya; Mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan hukum baru, yaitu dari tidak cakap untuk bertindak menjadi cakap untuk bertindak; Seorang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan karena gila akan melenyapkan kecakapannya untuk bertindak, setelah ditaruh di bawah kuratele; 2) Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. Contonya; sejak pembeli barang telah membayar lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan dengan tuntas barangnya, maka lenyaplah hubungan hukum jual beli di antara keduanya; 3) Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana mapun sanksi di bidang hukum keperdataan. Contohnya; Dalam hukum pidana, dikenal mecam-macam sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUHP, yaitu: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan denda, serta pidana tambahan, seperti pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, ataupun pengumuman putusan hakim. Sedangkan dibidang hukum perdata, dikenal sanksi baik terhadap perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi. Pada perbuatan melawan hukum, sanksinya adalah pemberian ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Sedangkan sanksi yang dapat dikenakan atas wanprestasi ada empat kemungkinan, yaitu: a) debitur diharuskan melaksanakan perjanjian; b) debitur diwajibkan memberi ganti rugi; c) debitur diharuskan melaksanakan perjanjian disertai dengan ganti rugi; d) dalam hal perjanjian timbal balik, perjanjian dibatalkan olehakim. Notaris yang tidak mematuhi atau tidak menjalankan kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN, dalam hal ini adalah notaris yang tidak menandatangani akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi, maka akan terimplikasi timbulnya akibat hukum , yaitu sebagai berikut : 1) Akibat hukum terhadap notaris, adalah pemberhentian sementara dari jabatannya sebagai notaris karena telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d UUJN; 2) Akibat hukum terhadap akta adalah akta tersebut akan kehilangan otentisitasnya atau terdegradasi menjadi akta di bawah tangan sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 ayat (8) UUJN, dengan demikian akta tersebut tidak dapat didaftar karena telah terdegradasi menjadi akta di bawah tangan karena pendaftaran AJF harus disertai dengan salinan Akta Notariil sebaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a PP 86/2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Biaya Pembuatan AJF dimana dalam hal pendaftaran tersebut adalah wajib dilakukan sebagaimana tertuang dalam Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUJF. Mengenai ganti rugi diatur dalam Pasal 84 UUJN di mana Ketentuan Pasal tersebut menegaskan tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris yang mengakibatkan akta tersebut terdegradasi menjadi akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan kepada para pihak yang menderita kerugian untuk penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Menurut Ahmadi Miru dkk (2008) Tanggung jawab untuk melakukan pembayaran ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kerugian tersebut baru dapat dilakukan apabila orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak ada alasan pemaaf). Secara teoritis, dikatakan bahwa tuntutan ganti kerugian berdasarkan alasan perbuatan melanggar hukum baru dapat dilakukan apabila memenuhi empat unsur di bawah, yaitu : 1) Ada perbuatan melanggar hukum; 2) Ada kerugian; 3) Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan melanggar hukum; 4) Ada kesalahan. Menurut jeremi Bentham (2006) bahwa ganti rugi merupakan suatu kebaikan yang diterima dengan memperhitungkan kerusakan yang diderita. Jika persoalannya terkait dengan suatu pelanggaran, ganti rugi adalah sesuatu yang diberikan kepada pihak yang menderita kerugian sepadan dengan memperhitungkan kerusakan yang dideritanya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kerugian yang dialami oleh para pihak akibat dari penandatanganan akta tersebut adalah termasuk kerugian harta benda yang berupa kerugian nyata terdiri atas biaya yang dikeluarkan meliputi honorarium notaris, serta biayabiaya lain yang timbul sebagai pelaksanaan dari pembuatan akta tersebut. Selanjutnya ketentuan tentang ganti kerugian dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Pasal ini merupakan pasal yang paling populer berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum, yakni ketentuan yang mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum untuk mengganti kerugian kepada pihak yang dirugikan akibat perbuatan melanggar hukum tersebut. Menurut Ridwan HR (2010) bahwa dalam hal pertanggungjawaban pejabat, Kranenburg dan Vegting mengemukakan dua teori yaitu: 1) Teori Fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah menimbulkan kerugian; 2) Teori Fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada instansi dari pejabat yang bersangkutan. Dari uraian kedua teori di atas jika dihubungkan dengan tindakan hukum Notaris yang tidak melakukan penandatanganan akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi notaris dapat diminta pertanggungjwabannya berdasarkan teori fautes personalles karena notaris bertindak dalam kapasitasnya selaku pejabat umum. Menurut penulis bahwa tindakan hukum notaris dalam pembuatan akta adalah tindakan hukum yang dijalankan dalam kapasitasnya selaku pejabat umum dalam rangka menjalankan kewenangan jabatannya. Tindakan hukum tersebut dilakukan adalah dalam hal untuk dan atas nama jabatannya, sehingga tindakan hukum tersebut dikategorikan sebagai tindakan hukum jabatan. Jadi berdasarkan teori tersebut, maka yang bertanggungjawab atas kerugian yang diderita oleh para pihak adalah notaris yang melakukan kelalaian. Menurut Munir Fuady (2010) bahwa dalam ilmu hukum kesalahan dianggap ada apabila memenuhi salah satu diantara 3 (tiga) syarat sebagai berikut: 1) Ada unsur kesengajaan; atau 2) Ada unsur kelalaian (negligence, culpa); dan 3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras dan lain-lain. Dari penjelasan di atas, maka unsur kesengajaan terjadi karena adanya niat dari si pelaku untuk berbuat sesuatu yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain (korban). Sedangkan dalam unsur kelalaian, pelaku dalam berbuat sesuatu yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi korban adalah dilakukan tanpa didahului oleh adanya niat. Jika ditinjau berdasarkan alasan mengapa notaris tidak melakukan penandatanganan akta di hadapan para pihak dan saksi-saksi sebagaimana yang telah dinyatakan oleh notaris tersebut sebelumnya adalah terjadi karena akibat adanya pengikatan yang terjadi secara bersamaan dan kesibukan dari para pihak. Dengan begitu, menurut penulis pada dasarnya notaris tidak memiliki niat untuk tidak menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksisaksi, maka kesalahan seperti ini digolongkan sebagai kesalahan yang diakibatkan karena kelalaian dari notaris. KESIMPULAN DAN SARAN Penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan notaris disebabkan oleh kebiasaan penandatanganan akta yang dilakukan di bank dan di tempat para pihak di mana jika pengikatan terjadi secara bersamaan, maka notaris tidak dapat menghadiri ke 2 (dua) pengikatan tersebut di tempat yang berbeda. Hal lain bahwa terkadang pihak bank tidak dapat menghadiri pengikatan oleh sebab pihak bank dalam hal ini adalah pimpinan cabang tidak berada di tempat di mana pimpinan cabang tidak memberikan pendelegasian terhadap stafnya yaitu legal drafting. Agar terhindar dari masalah penandatanganan akta yang tidak dilakukan di hadapan para pihak dan saksi-saksi, maka langkah yang harus ditempuh, adalah menertibkan kebiasaan penandatanganan akta yang dilakukan di tempat para pihak, yaitu kreditor dan debitor dengan kata lain bahwa pelaksanaan penandatanganan akta tersebut dilakukan di kantor notaris . Penertiban tersebut terkait dengan notaris sebagai pejabat publik untuk mengembalikan fungsi seorang notaris yang seharusnya dalam menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang pejabat umum yang profesional di mana dalam menjalankan segala kegiatan dilakukan di kantornya. Yang terpenting adalah meskipun pengikatan tersebut dilakukan di bank dan di tempat debitor, notaris harus tetap menaati peraturan Perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini bahwa notaris mengembalikan hak dan kedudukannya berdasarkan UUJN. Agar pengikatan yang terjadi sesuai dengan apa yang dijelaskan dalam akta, maka sebaiknya ada keseragaman dalam menggunakan kata berhadapan yang tertuang dalam kepala akta di mana notaris dapat membuat akta di mana saja, asal masih dalam wilayah jabatannya. Hal lain adalah pengawasan yang dilakukan oleh pihak Majelis Pengawas Notaris sebaiknya dilakukan secara berkala dengan mendukung fasilitas yang mendukung untuk pelaksanaan tugas MPD. Jadi, penertiban tersebut di atas diharap mampu menjawab kondisi pengikatan yang terjadi secara bersamaan dan mampu mengembangkan mengenai pengawasan yang baik, sehingga setiap penandatanganan akta selalu dilakukan di hadapan notaris dan otentisitas akta tetap terjaga dengan begitu para pihak akan mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana mestinya. DAFTAR PUSTAKA Ghofur, Abdul Anshori, (2009). Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. Yogyakarta;UII. Ali, Achmad. (2008). Menguak Tabir Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, hal 68. Miru, Ahmadi & sakka Pati. (2008). Hukum Perikatan. Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai 1456. Jakarta: Raja Grafindo Adjie, Habib. (2008). Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik.Bandung : PT. Refika Aditama. Bodiono, Herlien. (2008). Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Bentham, Jeremi. (2006). Teori Perundang-Udangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan HukumPidana. Bandung. Nusamedia & Nuansa. HR, Ridwan, (2010), Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Jakarta: Rajawali Pers. Satrio. J (2005). Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia. Pt. Citra Aditya Bakti : Bandung. Fuady, Munir, (2010). Perbuatan Melawan Hukum. Bandung, Citra Aditya Bhakti. Syahrin Alvi. (2001). Ketentuan pidana dalam undang-undang no. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Llingkungan Hidup. PT. soft Media. Sjaifurrachman, (2011). Aspek Pertanggung Jawaban Notaris dalam Pembuatan Akta. CV. Mandar Maju : Bandung. INTERNET http://www.asnnotary.org/?form=employeenotaryissues