Bab 2 Landasan Teori 2.1 Karakteristik Pada Manusia Menurut

advertisement
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Karakteristik Pada Manusia
Menurut Wangsadinata (2008, hal. 264), “karakter adalah budi-budi pekerti yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action)”.
Kita telah melihat sejauh ini bahwa terdapat berbagai macam gagasan tentang karakter.
Penggunaan umum dari kata karakter merujuk pada sebuah kelompok, budaya, dan
sosial, yang merupakan gambaran dari sebuah individu. Pada manusia, terdapat
bermacam-macam karakter yang menentukan sifat seseorang. Turiel (2002, hal. 94),
menyatakan:
“The less general uses of the notion of character are closely linked to morality
through identification of particular traits – such as honesty, compassion, courage,
responsibility, and loyalty.”
Terjemahan:
“Penggunaan umum pengertian tentang karakter berkaitan erat dengan moralitas
melalui identifikasi dari sifat-sifat tertentu, seperti kejujuran, kasih sayang, keberanian,
tanggung jawab, dan loyalitas.”
Selain itu, menurut Turiel (2002, hal. 94), istilah karakter juga digunakan untuk
merujuk pada sebuah individu yang hidup dalam jalan moral. Dalam arti bahwa mereka
adalah “pribadi dari karakter”. Menurut penulis, pribadi dari karakter tersebut adalah
pribadi-pribadi yang memiliki suatu karakter tertentu yang dominan pada dirinya,
sehingga karakter tersebut dapat tergambarkan secara jelas pada dirinya. Pribadi yang
memiliki suatu karakter tertentu yang tampak dengan jelas pada diri seseorang tersebut,
yang menurut penulis disebut sebagai “pribadi dari karakter”. Kemudian, karakter
9
tertentu yang dimiliki oleh seseorang tersebut akan menentukan sikap seseorang.
Seseorang yang memiliki karakter kasih sayang yang kuat pada dirinya, akan memiliki
sikap yang selalu mengasihi, menyayangi, mencintai semua makhluk hidup, serta selalu
peduli terhadap sesama. Begitu pula dengan karakter-karakter lain yang akan
menentukan sikap-sikap yang berbeda pula sesuai dengan karakter dominan yang
terdapat pada masing-masing individu.
2.2 Teori Compassion
Hoisington (2007, hal. 6) menyatakan bahwa Compassion adalah kemampuan untuk
mendengar (empati) penderitaan (diri sendiri dan orang lain), kemudian menanggapinya
dengan empati dalam berbagai cara yang bertujuan untuk mengurangi penderitaan
(kebijaksanaan). Kemudian ia juga menyatakan bahwa Compassion adalah suatu sikap
tidak mementingkan diri sendiri dalam menolong orang lain. Hal ini dapat dibuktikan
pada studi kasus yang dinyatakan oleh Hoisington (2007, hal. 7),
A young man is driving down the road and sees a car veer off and into a lake. He stops,
and sees a woman trapped inside. The car is sinking. He gets out of his car, runs, dives
into the water and rescues the woman. The research on people who show compassion,
altruism and heroism suggests that there is little or no thought of self during these acts.
The man who rescued the woman for the car did not stop to think, “Is this in my best
interest to do this?”
Terjemahan:
Seorang pria sedang mengendarai mobil menuruni sebuah jalan, dan kemudian ia
melihat sebuah mobil yang tiba-tiba berbelok dan masuk ke danau. Kemudian ia
menghentikan mobilnya, dan melihat ada seorang wanita yang terperangkap di
dalamnya. Sementara mobilnya mulai tenggelam. Lalu, ia keluar dari mobilnya, berlari,
menyelam ke dalam air, dan menyelamatkan wanita tersebut. Penelitian pada orangorang yang menunjukkan perasaan kasih sayang (compassion), sikap altuisme, dan
kepahlawanan, menunjukkan bahwa terdapat sedikit atau bahkan tidak terdapat pikiran
tentang diri sendiri saat melakukan tindakan seperti ini. Seperti laki-laki tersebut, ia
bahkan tidak berhenti untuk berpikir, “apakah saya ingin melakukan ini?”
10
Berdasarkan contoh yang disebutkan oleh Hoisington di atas, Compassion merupakan
suatu sikap menolong orang lain tanpa pamrih, tidak mementingkan diri sendiri, serta
tanpa mengharapkan imbalan.
Kemudian, menurut Dutton (2006, hal. 60), terdapat 3 asumsi dalam Compassion,
antara lain:
Menurut Wuthnow dalam Dutton (2006, hal. 60), kita menganggap bahwa kasih
sayang (Compassion) adalah sebuah ekspresi dari naluri bawaan manusia untuk
menanggapi penderitaan orang lain. Kemudian, menurut pernyataan Reich dalam Dutton
(2006, hal. 60), “penderitaan didefinisikan sebagai pengalaman rasa sakit atau
kehilangan yang membangkitkan bentuk penderitaan yang mengancam seseorang
tentang arti keberadaan pribadinya”. Lalu, Clark dalam Dutton (2006, hal. 60), membagi
Compassion menjadi 3 bagian yang meliputi, (1) menyadari atau memperhatikan
penderitaan orang lain; (2) perasaan yang mencerminkan bentuk empati, termasuk pada
saat seseorang membayangkan atau merasakan kondisi dari orang yang terluka; dan (3)
tindakan atau respon, tampilan perilaku, yang ditujukan untuk meringankan penderitaan
dalam berbagai cara. Jadi, kita mendefinisikan Compassion sebagai menyadari,
merasakan, dan menanggapi penderitaan orang lain.
Untuk bisa menjadi seseorang yang memiliki rasa kasih sayang (Compassion) yang
tinggi, dibutuhkan kepedulian yang besar terhadap makhluk hidup lain, serta sikap tidak
rasis terhadap makhluk hidup lain. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Obiezu (2008,
hal. xx),
11
Compassion is a response to the suffering of another sentient being. This occurs
through empathetic identification with the other’s pain. It creates a shared experience
and emotional bond that shatters the perception of differences. Compassion thereby
enjoins us to action and thus become authentic moral agents and political beings.
However, compassion is not circumscribed within the realm of human relationship
only. Compassion is the primordial force that binds us to one another and to the whole
of creation.
Terjemahan:
Compassion adalah tanggapan terhadap penderitaan makhluk lain. Hal ini terjadi
melalui identifikasi empati dengan rasa sakit lain. Hal tersebut menciptakan
pengalaman bersama dan ikatan emosional yang menghancurkan persepsi tentang
adanya perbedaan. Kemudian, compassion membuat kita bertindak, serta menjadi agen
moral otentik dan makhluk politik.
Namun, kasih sayang (Compassion) tidak dibatasi pada hubungan antar manusia saja.
Kasih sayang (Compassion) adalah kekuatan yang sudah ada dari zaman dulu yang
mengikat kita dengan makhluk lain dan dengan seluruh makhluk hidup.
Selain itu, menurut Obiezu (2008, hal. 1), kasih sayang (Compassion) dan cinta kasih
sangat berhubungan. Kemudian, dengan bersamaan mereka adalah sebuah harapan yang
digabungkan demi kesejahteraan semua makhluk yang mereka harapkan. Kasih sayang
(Compassion) adalah keinginan untuk memecahkan atau menghilangkan penyebab
timbulnya kesulitan dan penderitaan. Kemudian, cinta kasih adalah keinginan untuk
perdamaian dan kebahagiaan.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang telah disebutkan, dalam suatu perasaan
kasih sayang (Compassion) terdapat berbagai macam fenomena-fenomena yang
membentuk timbulnya perasaan kasih sayang (Compassion) tersebut. Menurut
Hoisington (2007, hal. 7-8), terdapat 4 macam fenomena, diantaranya adalah;
(1) perasaan yang mendalam (gut feeling), (2) kerja sama (cooperation), (3) membantu
atau memberikan (helping or giving), dan (4) altruisme (sifat yang mementingkan
kepentingan orang lain).
12
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan
yang
telah
disebutkan,
kasih
sayang
(Compassion) merupakan suatu perasaan yang mengandung sikap kepedulian terhadap
makhluk hidup lain yang sangat kuat, serta sikap turut merasakan kepedihan atau
penderitaan makhluk hidup lain. Selain itu, kasih sayang (Compassion) juga
mengandung suatu sikap menolong makhluk hidup lain tanpa pamrih, tanpa
mementingkan atau memikirkan diri sendiri, serta tanpa mengharapkan imbalan.
2.3 Konsep Omoiyari
Unsur-unsur seperti perasaan yang mendalam (gut feeling), kerja sama (cooperation),
membantu atau memberikan (helping or giving), serta altruisme (altruism) yang terdapat
dalam kasih sayang (Compassion), terkandung dalam konsep Omoiyari yang umumnya
dimiliki oleh masyarakat Jepang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harada dalam Hara
(2006, hal. 24-25),
“Psychological aspects of omoiyari such as empathy and sympathy have been studied,
and its behavior has been studied as prosocial behavior, altruistic behavior, and
helping behavior in social psychology.”
Terjemahan:
“Aspek psikologis dari Omoiyari seperti simpati, dan empati telah dipelajari, dan sikap
Omoiyari tersebut telah dipelajari sebagai sikap prososial, sikap altruistik (sikap yang
mengandung altruisme), serta sikap membantu makhluk hidup lain dalam psikologi
sosial.”
Selain itu, Hara (2006, hal. 25) juga menyatakan bahwa gagasan tentang Omoiyari
telah diperdebatkan dari sudut pandang konsep altruisme, simpati, empati, dan sikap
prososial. Kemudian, Eisenberg dalam Hara (2006, hal. 25) menyatakan bahwa
meskipun hubungan sebab akibat diantara konsep-konsep ini adalah kontroversial, setiap
konsep itu sendiri sudah dianggap sebagai salah satu aspek dari omoiyari dalam
13
psikologi sosial Jepang dan studi komunikasi. Hal ini berarti bahwa konsep-konsep ini
dipandang sebagai unsur dalam omoiyari, dan sebaliknya pula omoiyari dapat
dikonseptualisasikan dengan kombinasi konsep-konsep ini.
Kemudian, penulis akan menjelaskan tentang konsep-konsep altruisme, simpati, dan
empati, serta konsep tentang sikap prososial yang terdapat dalam Omoiyari. Berdasarkan
pernyataan yang disebutkan oleh Kerbs dalam Hara (2006, hal. 25), Konsep Altruisme
berarti pengorbanan diri. Kemudian, Cohen dalam Hara (2006, hal. 25) juga menyatakan
bahwa suatu tindakan atau keinginan untuk menawarkan sesuatu kepada orang lain tanpa
pamrih ketika dibutuhkan. Menurut Cohen, terdapat 3 komponen dalam altruisme, (a)
memberi atau keinginan untuk melakukan sesuatu, (b) empati, dan (c) tidak adanya
motif untuk mendapatkan penghargaan dari melakukan sikap altruistik. Cohen dalam
Hara (2006, hal. 26) juga menyatakan bahwa pada dasarnya, altruisme terletak pada
motivasi untuk membantu orang lain dan membantu orang lain dalam perilaku mereka.
Seperti yang ditunjukkan pada pengertian dari konsep ini, altruisme adalah sumber yang
menghasilkan perasaan omoiyari yang lebih konkrit, beserta sikap-sikapnya.
Kemudian, penulis akan menjelaskan tentang konsep simpati dan empati yang
terdapat dalam Omoiyari. De Vito dalam Hara (2006, hal. 26), menyatakan bahwa kata
simpati mengacu pada pengertian kepedulian terhadap orang lain, serta memiliki
pertimbangan terhadap perasaan orang lain. Hal ini umumnya dipahami sebagai reaksi
terhadap konteks tertentu seperti kesedihan atau kekecewaan orang lain. Pandangan lain
tentang simpati adalah, bahwa simpati mengacu pada perasaan untuk orang lain,
sedangkan empati mengacu pada pengertian dengan sungguh-sungguh merasakan
perasaan orang lain. Bruneau dalam Hara (2006, hal. 26) menyatakan bahwa empati
14
yang terkandung dalam omoiyari memiliki makna, secara pribadi merasakan perasaan
orang lain, turut mengalami perasaan orang lain, serta mencoba untuk mencapai
kesesuaian paham dengan orang lain.
Aspek psikologis dari altruisme, empati, dan simpati ini tercermin dalam perilaku
prososial. Eisenberg dalam Hara (2006, hal. 26) menyatakan bahwa perilaku prososial
umumnya mengacu pada "tindakan sukarela yang ditujukan untuk membantu atau
bermanfaat bagi individu lain atau kelompok lain". Eisenberg juga menyatakan bahwa
perilaku prososial mengacu pada perilaku yang dapat digambarkan sebagai simpatik,
altruistik, tindakan amal, dan sebagainya. Kemudian, pernyataan ini didukung oleh
pernyataan Bar-Tal dalam Hara (2006, hal. 26), yang menyatakan bahwa perilaku
prososial memberikan manfaat pada orang lain tanpa mengharapkan penghargaan
eksternal, dan hal tersebut dilakukan dibawah kondisi bahwa hal itu dilakukan baik
untuk akhirnya sendiri, atau sebagai tindakan restitusi. Kemudian, Bar-Tal juga
menyatakan bahwa perilaku prososial seharusnya tidak dilakukan sebagai akibat dari
ancaman eksternal, keterpaksaan, atau kewajiban, tetapi seharusnya dilakukan
berdasarkan kebebasan individu yang memutuskan untuk melakukan suatu tindakan atau
tidak.
Berdasarkan pernyataan dari konsep-konsep yang terkandung dalam Omoiyari yang
telah disebutkan di atas, Omoiyari memiliki makna turut merasakan perasaan orang lain,
serta memberikan bantuan dengan sikap tanpa mementingkan diri sendiri, juga dengan
sikap tanpa mengharapkan imbalan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Hara (2006,
hal. 27),
15
“Omoi in omoiyari means considerate caring for others, while yari is the noun form of
the verb yaru, which means sending something to others. Therefore, “omoiyari”
literally means sending one’s altruistic feelings to others.”
Terjemahan:
“Omoi dalam omoiyari memiliki arti, peduli terhadap orang lain, sementara yari
merupakan kata benda dari kata kerja yaru, yang memiliki arti, mengirim sesuatu
kepada orang lain. Karena itu, secara harafiah "omoiyari" berarti mengirim perasaan
altruistik seseorang kepada orang lain.”
Selain itu, ia juga menyatakan bahwa perhatian terhadap orang lain tidak selalu
diterima, dan omoiyari adalah suatu sikap yang tidak mengharapkan imbalan apapun.
Jika terdapat keinginan untuk mengharapkan imbalan, itu bukan sikap omoiyari tetapi
merupakan sikap membantu karena urusan bisnis.
Kemudian, sikap omoiyari juga memerlukan rasa sosialitas yang tinggi, seperti sebuah
sikap yang menganggap penderitaan yang dialami oleh orang lain sebagai penderitaan
yang dialami oleh diri sendiri. Hal ini sesuai dengan pernyataan seorang sejarah
antropologi, Akanuma dalam Hara (2006, hal. 27) menyatakan bahwa omoiyari adalah
suatu sikap untuk menebak perasaan orang lain, serta benar-benar memperhatikan
perasaan mereka, kemudian menerima apa yang telah terjadi (atau yang akan terjadi)
pada orang lain sebagai apa yang telah terjadi (atau yang akan terjadi) pada diriku
sendiri. Pernyataan Akanuma tersebut juga didukung oleh pernyataan psikolog sosial
Ninomiya dalam Hara (2006, hal. 27) bahwa Omoiyari merupakan suatu tindakan
sukarela demi kepentingan orang lain. Asumsi umum yang mendasari semua definisi ini
adalah bahwa omoiyari bersifat sukarela, dan bahwa orang-orang menaruh nilai yang
tinggi dalam berbagi perasaan dengan orang lain.
16
Tidak hanya itu, suatu sikap Omoiyari merupakan sikap yang paling penting yang
harus dimiliki oleh orang Jepang. Hal ini sesuai dengan pernyataan Otsuka (1991, hal. 2),
bahwa di dalam hati seseorang, hal yang paling penting adalah Omoiyari. Kemudian, ia
juga menjelaskan asal mula kata Omoiyari, antara lain:
わが国は、昔から、外国文化を取り入れてそれをかみくだき、独特の日本
文化を作り上げてきたが、それを可能にした人々の心の中核に 位置する
ものが、この「なさけ」である。(Otsuka, 1991, hal. 4)
Terjemahan:
Negara kami, dari dulu mengambil masuk budaya negara lain, lalu merubahnya, dan
membuatnya menjadi budaya bangsa Jepang yang istimewa, lalu membuat
kemungkinan dari memposisikan suatu hal yang mencerminkan inti hati orang-orang,
yang disebut dengan (belas kasih).
Kemudian, menurut Otsuka (1991, hal. 10), untuk memahami omoiyari, kita harus
memahami kata 「なさけ」. Menurut Iwanami Kogojikyoku dalam Otsuka (1991, hal.
10),
「なさけ」という言葉の原義は他人に見えるように心づかいをするかたち、
または、他人から見える思いやりある様子の意味である。
Terjemahan:
Arti sebenarnya dari nasake adalah suatu bentuk kepedulian agar dilihat orang lain,
lalu dari orang lain tersebut akan terlihat suatu keadaan yang mengandung omoiyari.
Selain itu, penulis juga akan menyebutkan makna Omoiyari berdasarkan Nihon
Kokugotai Jikyoku dalam Otsuka (1991, hal. 28), yang akan dijelaskan secara terpisah
makna dari kata benda Omoiyari dan makna dari kata kerja Omoiyaru.
「思いやり」の項では、(1)推察。想像。思慮分別。(2)人の身の上や
心情についての察し。同情すること。また、その気持ち、としている。
17
「思いやる」の項では、(一)気を晴らす。憂いを紛らす。(二)眼前に
ない人や物に思いをはせる。(1)はるかに思う想像 する。推察する。
(2)(人の身の上、心情などに)思い巡らす。気を配る。おしはかって
同情する、と説明している。
Terjemahan:
Omoiyari memiliki arti, (1) Simpati. Imajinasi. Kebijaksanaan. (2) pengertian tentang
kesejahteraan dan perasaan hati manusia. Suatu perasaan simpati. Lalu melakukan
perasaan tersebut.
Makna dari kata omoiyaru antara lain, (ー) menjernihkan pikiran, meredam kesedihan.
(二) menjadi sangat cemas karena tidak melihat orang maupun sesuatu di depan mata.
(1) benar-benar dipikirkan. Bersimpati. (2) merenungkan kehidupan dan perasaan
seseorang. Memberikan perhatian. Bersimpati.
Kemudian, dengan menggabungkan pengertian nasake dan omoiyari, kata omoiyari
menjadi memiliki arti,
単なる推察・推量・思量・分別の意味から次第に人の身の上・心情について
の同情という意味を持つものとなった。
Terjemahan:
Hanya dugaan. Pertimbangan. Kebijaksanaan. Dari penggolongan arti tersebut, ditarik
kesimpulan dari keadaan pada kehidupan manusia, maka omoiyari menjadi memiliki
arti bersimpati pada perasaan yang terdapat dalam hati.
Berdasarkan pernyataan yang telah disebutkan di atas, orang yang memiliki sikap
omoiyari, juga memiliki hati yang hangat. Dengan memiliki hati yang hangat, juga akan
mewujudkan perasaan omoiyari. Berdasarkan pernyataan Hirai (2008, hal. 16),
温かい心とは、相手の立場に立って考え、相手の気持ちを汲む心、つまり
「思いやり」といえましょう。
Terjemahan:
Yang disebut dengan hati yang hangat yaitu, mencoba untuk berada di posisi orang
lain dan memikirkan posisi orang lain tersebut, hati yang bersimpati dengan perasaan
teman tersebut, mari kita sebut dengan (Omoiyari).
18
Dengan memiliki hati yang bersimpati dengan perasaan teman, maka seseorang akan
menjadi orang peduli dengan lingkungan disekitarnya. Selain memiliki hati yang
bersimpati dengan perasaan teman, seseorang juga harus menyadari betapa berharganya
belas kasih seseorang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh
Takatani (2001, hal. 75),
思いやりとは、その人の言葉や、行いが周りの人々の気持ちを気遣い、
気配り、気働きができるという事です。人様の世話になって、人の情けの
尊さを知ります。すると他へ情をかけることができるようになります。
Terjemahan:
Arti omoiyari yaitu, suatu hal dimana bahasa dan tingkah laku seseorang yang
mengkhawatirkan perasaan orang-orang di sekitarnya. Menjadi pertolongan bagi orang
lain, dan mengetahui berharganya belas kasih seseorang. Dengan seperti itu, akan bisa
menjadi seseorang yang peduli dengan sekitarnya.
Kemudian dengan menjadi seseorang yang peduli dengan orang-orang disekitar kita,
orang-orang tersebut juga akan menjadi seseorang yang peduli terhadap kita. Maka, hal
tersebut juga akan menimbulkan suatu perasaan omoiyari dalam diri orang lain tersebut.
Shimomura (2007, hal. 271) menyatakan bahwa omoiyari juga memiliki arti,
membayangkan tentang bagaimana cerminan diri sendiri di mata teman. Hal ini juga
didukung oleh pernyataan Shinmura dalam Hara (2006, hal. 24),
When Japanese people feel another’s kindness toward them and see someone’s warmhearted feelings, thoughts, and behaviors, they appreciate that person’s omoiyari. The
primary meaning of omoiyari is “an individual’s sensitivity to imagine another’s
feelings and personal affairs, including his or her circumstances”
Terjemahan:
Ketika orang Jepang merasakan kebaikan orang lain terhadap mereka dan melihat
hangatnya perasaan seseorang, pikiran, dan perilaku, mereka menghargai perasaan
omoiyari orang tersebut. Makna utama dari omoiyari adalah "kepekaan sebuah
19
individu untuk membayangkan perasaan orang lain dan urusan pribadinya, termasuk
keadaannya"
Karena mengandung rasa empati yang kuat di dalamnya, secara garis besar omoiyari
juga dapat diartikan sebagai empati. Hidetada (2001, hal. xvi) menyatakan bahwa
omoiyari, kira-kira dapat diterjemahkan sebagai empati, tetapi dengan implikasi dari
kepekaan terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain. Berikut contoh kasus dari
seseorang yang memiliki perasaan omoiyari menurut Kondo dalam Hidetada (2001, hal.
xvii),
The driver of a car should visit a minimally injured pedestrian in the hospital even
when it is clear to all concerned that the driver was not responsible for the accident.
Culpability in these cases is beside the point; the focus is on the emotional upset an
event has caused and the central actor’s responsibility for restoring harmony by
demonstrating sincere concern for the feelings of others. This principle reflects
omoiyari and related concepts such as “magokoro, a sincere heart, or sunao na
kokoro, a naive, receptive sensitive heart.
Terjemahan:
Pengemudi mobil harus mengunjungi pejalan kaki yang terluka di rumah sakit, bahkan
ketika telah terbukti secara jelas bagi semua pihak bahwa pengemudi mobil tidak
bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Kesalahan dalam kasus ini tidak penting; fokusnya adalah pada gangguan emosional
yang disebabkan oleh suatu kejadian, dan tanggung jawab dari pemeran utama untuk
memulihkan keharmonisan dengan menunjukkan perhatian yang tulus terhadap
perasaan orang lain. Prinsip ini mencerminkan konsep omoiyari, dan konsep-konsep
lainnya memiliki kaitan, seperti “magokoro”, hati yang tulus, atau sunao na kokoro,
hati yang naïf, dan sensitif.
Selain itu, perasaan Omoiyari tersebut, tidak hanya merupakan hubungan antara
manusia, tetapi juga ditujukan pada semua makhluk hidup. Hal tersebut terbukti pada
pernyataan Aomiya (2010), dalam penelitiannya yang berjudul Ikimono no tayousei to
wakamono e no kitai. yaitu,
20
他の生き物の生命をもらって生きているヒトは他の生き物への「思いやり」
と「感謝」の念を忘れないようにすれば、生き物の多様性を保全し絶滅危惧
種を減らす事ができると信じている。
Terjemahan:
Orang yang terus hidup dengan menerima nyawa makhluk hidup lain, lebih baik tidak
lupa untuk memiliki perasaan berterima kasih dan omoiyari kepada makhluk hidup
lain, dengan memelihara keragaman jenis makhluk hidup, saya percaya akan bisa
mengurangi bahaya kepunahan pada binatang .
Selain itu, Omoiyari juga merupakan suatu budaya Jepang yang wajib dimiliki oleh
setiap masyarakat Jepang. Tidak hanya itu, konsep Omoiyari sudah terdapat pada anakanak Jepang, dengan harapan bahwa ketika dewasa nanti, mereka akan menjadi
seseorang yang memiliki sikap omoiyari dalam dirinya. Menurut Shirakawa (2003, hal.
62),
In Japanese early childhood education, Omoiyari is very important. The New
Kindergarten Education Guideline (1998) stress the area of ‘Human Relations’. In this
area, two elements are related to Omoiyari: content (4) having good relations with
peers, emphatizing with peers’ joy and sorrow: and (9) gaving deep friendship and
Omoiyari.
Terjemahan:
Dalam pendidikan anak usia dini di Jepang, Omoiyari sangat penting. Pedoman baru
pada pendidikan taman kanak-kanak di Jepang. Pedoman baru pada pendidikan taman
kanak-kanak (1998) di Jepang, memusingkan area tentang ‘Hubungan Manusia’.
Dalam bagian ini, terdapat dua elemen yang memiliki hubungan dengan Omoiyari:
antara lain (4) memiliki hubungan yang baik dengan teman, turut merasakan
kebahagiaan dan kesedihan teman: dan (9) memberikan persahabatan yang mendalam
dan Omoiyari.
Berdasarkan pernyataan Shirakawa, terlihat jelas bahwa konsep omoiyari merupakan
suatu budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Jepang. Selain itu, pada omoiyari
juga terdapat aspek-aspek psikologis yang mencerminkan perasaan omoiyari tersebut.
21
Kikuchi dalam Hara (2006, hal. 28) menyatakan bahwa Omoiyari telah dianggap sebagai
suatu perasaan altruistik atau partisipasi emosional terhadap pikiran orang lain, dan
terdapat tiga karakteristik yang terkadang menyebabkan timbulnya perilaku prososial
yang sebenarnya. Akanuma dalam Hara menyatakan bahwa yang pertama adalah bahwa
Omoiyari tidak mengandung konsep “perbedaan”. “Hal ini berarti bahwa omoiyari
memiliki makna, memahami perasaan orang lain, tanpa membawa konsep diri sendiri”.
(Otsuka dalam Hara, 2006, hal. 28)
Kemudian, Otsuka dalam Hara (2006, hal. 28) menyatakan bahwa aspek yang kedua
adalah omoiyari tidak didasarkan pada rasa kasihan dari atasan, maupun pada hubungan
mekanis ‘memberi dan menerima’. Menurut Kikuchi dalam Hara (2006, hal. 28),
motivasi yang terdapat dalam omoiyari bersifat sukarela, dan tidak mengharapkan rasa
syukur dari orang lain. Lalu, aspek yang ketiga adalah nilai dari Omoiyari dinilai
berdasarkan ketulusan memperhatikan orang lain.
Selain aspek-aspek psikologis, pada Omoiyari juga terdapat aspek-aspek perilaku
yang mencerminkannya. Hara (2006, hal. 28), menyatakan bahwa sikap Omoiyari telah
dipelajari sebagai suatu sikap prososial dalam psikologis sosial. Menurut Kikuchi dalam
Hara (2006, hal. 28-29), terdapat empat karakteristik umum dari omoiyari, antara lain:
1. The first is that omoiyari as prosocial behavior includes the idea of an action
which is helpful for others.
2. The second is that omoiyari as true prosocial behavior is not done with the
expectation of a reward from others. This is not a matter of whether a person
receives or rejects a reward, but rather the premise that the person had no desire
to receive a reward in the first place.
3. The third is that omoiyari-based prosocial behavior is accompanied by a kind of
cost or risk of self-sacrifice.
22
4. The final condition is that omoiyari as prosocial behavior should be voluntary.
This means that a person is not bound by any sense of duty to others, but is willing
to behave prosocially as a choice.
Terjemahan:
1. Yang pertama adalah bahwa omoiyari sebagai perilaku prososial mencakup
gagasan dari suatu tindakan yang sangat membantu bagi orang lain.
2. Yang kedua adalah bahwa omoiyari sebagai perilaku prososial tidak dilakukan
dengan mengharapkan penghargaan dari orang lain. Ini bukan tentang persoalan
apakah seseorang tersebut menerima atau menolak hadiah, melainkan dasar
pemikiran bahwa orang tersebut tidak memiliki keinginan untuk menerima
penghargaan dari awal.
3. Yang ketiga adalah bahwa sikap omoiyari berbasis perilaku prososial disertai
dengan suatu biaya atau resiko pengorbanan diri.
4. Yang terakhir adalah bahwa omoiyari sebagai perilaku prososial harus dilakukan
dengan sukarela. Ini berarti bahwa seseorang tersebut tidak terikat oleh rasa
tanggung jawab kepada orang lain, tetapi bersedia untuk melakukan tindakan
prososial sebagai pilihannya sendiri.
Selain itu, Hara (2006, hal. 24), membagi omoiyari ke dalam empat bidang utama
semantik, antara lain:
1.
2.
3.
4.
Prayer
Encouragement
Help
Support
Terjemahan:
1.
2.
3.
4.
Doa
Semangat
Bantuan
Dukungan
Pada skripsi penulis ini, penulis hanya membahas tiga bidang, antara lain, semangat
(encouragement), bantuan (help), dan dukungan (support).
23
2.4 Teori Penokohan
Dalam karya fiksi terdapat berbagai macam istilah. Salah satu istilah yang sering
digunakan adalah penokohan. Menurut pengertian pada umumnya, penokohan
menyangkut bagaimana seorang tokoh bersikap, dan bertindak. Namun, pengertian
penokohan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Beberapa ahli dalam Nurgiyantoro
dalam Thalia (2010) mengemukakan beberapa teori-teori mengenai penokohan. Namun,
sebelum masuk ke dalam pembahasan mengenai penokohan, ada baiknya penulis
membahas sedikit perbedaan mengenai tokoh dan penokohan.
Masyarakat pada umumnya sulit membedakan antara istilah tokoh dan penokohan.
Menurut Nurgiyantoro dalam Thalia (2010, hal. 19), istilah tokoh menunjuk pada orang
atau pelaku cerita, sedangkan watak; perwatakan; karakter menunjuk pada sifat dan
sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi
seorang tokoh. Istilah penokohan dan karakterisasi-karakterisasi sering disamakan
dengan istilah karakter dan perwatakan. Lebih lanjut, istilah penokohan dijabarkan oleh
Jones dalam Thalia (2010, hal. 19), sebagai pelukisan gambaran yang jelas tentang
seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
Abrams dalam Thalia (2010, hal. 19), mendeskripsikan istilah tokoh cerita
(character) secara lebih spesifik. Menurut beliau, tokoh cerita (character) berarti orangorang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Ahli lainnya
Stanton, dalam Thalia (2010, hal. 19) mengungkapkan; penggunaan istilah “karakter”
24
(character) dalam berbagai literatur bahasa inggris menyaran pada dua istilah berbeda
yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan,
keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh tersebut, sehingga character
dapat berarti “pelaku cerita” dan dapat pula berarti “perwatakan”.
Dalam suatu karya fiksi pembedaan suatu tokoh dengan tokoh lainnya dapat lebih
ditentukan melalui kualitas pribadinya daripada dilihat secara fisik saja. Untuk kasus
penilaian tentang kepribadian seorang tokoh, pemaknaan dilakukan berdasarkan katakata (verbal) dan tingkah laku (nonverbal). Dengan demikian, istilah “penokohan”
memiliki arti yang lebih luas daripada “tokoh”, maupun “perwatakan”, sebab penokohan
sekaligus mencakup masalah siapa karakternya, bagaimana perwatakannya dalam
sebuah film, dan bagaimana penempatan serta pelukisannya dalam sebuah cerita
sehingga sanggup memberikan gambaran yang lebih jelas kepada pembaca (Nurgiyanto
dalam Thalia 2010, hal. 20)
25
Download