Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 PENDIDIKAN EMPATI PADA ANAK SEKOLAH DASAR DI JEPANG Elvi Wahyuni, Diah Madubrangti Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia E-mail: [email protected] Abstrak Dalam menjalani kehidupan di masyarakat, sikap memahami perasaan orang lain atau empati sangat diperlukan untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan nyaman. Hal ini dipengaruhi hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang akan selalu bergantung pada orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Anak-anak di Jepang sejak usia dini sudah dikenalkan mengenai hakekat manusia sebagai makhluk sosial, maka dari itu pendidikan empati pada anak-anak di Jepang juga dimulai sejak dini. Empati atau yang dalam bahasa Jepang disebut omoiyari adalah sikap yang wajib dimiliki setiap individu dan wajib untuk dipelajari selayaknya budaya. Pendidikan empati terjadi disegala lingkup sosial yang dimulai dari keluarga lalu mengarah ke lingkup yang lebih besar seperti sekolah, komunitas dan masyarakat. Pada masa sekarang ini, dalam upaya mendidik empati pada anak-anak usia sekolah dasar di Jepang, orang tua di rumah memiliki cara tersendiri untuk mendidik anaknya berempati. Selain di rumah, anak-anak sekolah dasar di Jepang juga mendapatkan pendidikan empati di sekolah. Dengan diberikannya pendidikan empati sejak dini, diharapkan anak-anak mampu berempati dalam kehidupan bermasyarakat dan turut serta dalam upaya menciptakan masyarakat yang harmonis. Empathy Education in Elementary School Children in Japan Abstract Living in society, the attitude of understanding other people's feelings or empathy is needed to create a comfortable and harmonious society. It is influenced by the nature of human as a social being who will always be dependent on others and can not live alone. Children in Japan from an early age has been introduced concerning the nature of human as a social being, and therefore empathy education on children in Japan also started early. Empathy or which in Japanese is called omoiyari is an attitude that must be possessed by each individual and mandatory for culture that should be studied. Empathy education occurs in all social sphere that starts from the family and leads to a larger scope such as schools, community and society. At the present time, in an effort to educate empathy in children of primary school age in Japan, the parents in the house has its own way to educate their children empathy. In addition to the home, elementary school children in Japan also gain empathy education in schools. With empathy education given since childhood, children are expected to be able to empathize in society and participate in the efforts to create a harmonious society. Keywords: Empathy Education; Elementary School Children; Family; Japan; School A. Pendahuluan Jepang merupakan negara yang menjunjung tinggi rasa empati. Empati yang dalam bahasa Jepang disebut dengan omoiyari ( 思 い や り ), dianggap sebagai sebuah sikap yang Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 wajib dimiliki oleh setiap individu. Dalam usaha untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan nyaman, maka empati merupakan salah satu hal yang mendukung. Bibit empati atau omoiyari secara alami ada di dalam diri setiap manusia, namun hal itu belum cukup untuk membuat seseorang mampu berempati dalam kehidupan bermasyarakat sehingga empati atau omoiyari harus diajarkan sebagaimana mengajarkan budaya. Pendidikan empati dimulai dari lingkungan keluarga, lalu lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘empati’ berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain atau kelompok lain. Sedangkan menurut Kamus Bahasa Jepang online1 ‘Omoiyari’ (思いやり)memiliki arti to be considerate; to sympathize with; to sympathise with. Seorang Sosiolog Jepang, Takie Sugiyama Lebra, menulis dalam bukunya yang berjudul “Japanese Patterns of Behavior” “for the japanese, empathy (omoiyari) ranks high among the virtues considered indispensable for one to be really human. morally mature, and deserving or respect. i am even tempted to call japanese culture an ‘omoiyari culture’.”2 Artinya: “Bagi orang Jepang, peringkat empati (omoiyari) tinggi di antara kebaikan-kebaikan yang dianggap sangat diperlukan bagi seseorang untuk menjadi manusia yang sesungguhnya. Secara moral dewasa, dan layak atau hormat. saya bahkan tergoda untuk menyebut budaya Jepang sebuah “budaya omoiyari”. Omiyari mengacu pada kemampuan dan kemauan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, seolah-olah rasa senang atau rasa sedih yang orang lain alami juga dialami oleh diri sendiri. Sebuah kebaikan bisa menjadi sebuah rasa empati bila penerima memiliki kepekaan perasaan. Sikap yang ideal pada omoiyari adalah untuk ego yang masuk ke dalam kokoro (心) “hati” lawan bicara, untuk menyerap semua informasi mengenai perasaan lawan bicara tanpa diberitahu secara lisan. Omoiyari memerlukan penekanan pada ego diri sendiri atau keinginan pribadi jika ingin memahami lawan bicara. Hal seperti itu diwujudkan dalam bentuk 1 http://www.tanoshiijapanese.com/dictionary 2 Takie Sugiyama Lebra, Japanese Patterns of behavior (Hawai, 1976), 38 Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 komunikasi konvensional di mana ego mencoba untuk tidak meredam hasrat dalam dirinya kecuali saat lawan bicara sependapat dengan ego kita.3 Empati terdiri dari beberapa konstruk yang mendukung4, konstruk tersebut adalah: 1. Respek (Respect) yaitu menyukai dan menghargai orang lain. Saat seseorang mencoba menilai dan memutuskan apa yang ingin dilakukan untuk orang lain yang menjadi lawan bicaranya, tentu seseorang itu memiliki rasa respek terhadap orang lain. Seseorang tersebut akan mencoba menentukan pilihan yang terbaik sesuai dengan kondisi lawan bicara karena dia menghargai lawan bicaranya. 2. Kehangatan (Warmth) yaitu sentuhan emosi dari dalam diri untuk memahami orang lain. Ini terkait dengan gerak tubuh, pancaran mata, keseriusan dalam mendengarkan dan lain sebagainya. 3. Kekonkritan (Concreteness) yaitu memperjelas apa yang ingin disampaikan untuk menghindari kesalah-pahaman dalam berhubungan dengan orang lain 4. Kesegeraan (Immediacy) yaitu berkaitan dengan masa atau waktu, atau dengan kata lain berkaitan dengan spontanitas dalam memberikan respons sehingga lawan bicara memperoleh umpan balik dengan segera. 5. Kesamaan (Congruence) yaitu menerima apa adanya lawan bicara kita, menganggap orang lain sederajat dengan diri kita yang dalam posisi kehidupan hal ini pada posisi I’m OK – You’re OK 6. Ketulusan (Genuineness and Authenticity) yaitu saling terbuka dan jujur. Komunikasi yang didasari kejujuran akan membuat lawan bicara merasa nyaman. Berdasar kenyamanan itu maka komunikasi akan berjalan dengan lancar keran informasi yang dibagi akan lebih banyak dan kita bisa mendapatkan gambaran utuh dari persoalan yang dibicarakan. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang membangun empati. Suatu sikap bisa dikatakan suatu empati bila mengandung 6 hal di atas. Penelitian ini membahas mengenai pendidikan empati pada anak usia sekolah dasar yang dilakukan oleh orang tua di rumah dan guru di sekolah pada masa sekarang ini. Mengajari anak-anak untuk memahami perasaan orang lain bukanlah tugas yang mudah, namun hal ini sangat penting. Memahami perasaan orang lain membuat seseorang lebih mudah menjalani kehidupan yang penuh kasih sayang dan menciptakan masyarakat yang 3 Ibid. 4 Materi Orientai Belajar Mahasiswa Universitas Indonesia tahun 2013 Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 harmonis. Seseorang bisa menjadi orang yang baik tanpa bersikap empati (omoiyari), tetapi jika berhubungan dengan orang lain, mau tidak mau harus memahami perasaan orang lain untuk menentukan tindakan dan sikap tanpa menyakiti orang tersebut. Anak-anak di Jepang belajar sejak dini mengenai hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan saling berhubungan dengan orang lain. Sejak usia dini anak-anak diberi pengertian bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang saling tergantung, dimulai dari keluarga dan kemudian meluas ke kelompok yang lebih besar seperti lingkungan tetangga, sekolah, komunitas, dan tempat kerja. Ketergantungan pada orang lain adalah hal yang alamiah dari kondisi manusia, selama tidak membebani orang lain. B. Pendidikan Empati Untuk Anak Sekolah Dasar 1. Pendidikan Empati di Rumah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online5, keluarga adalah: 1. Ibu dan bapak beserta anak-ankanya; seisi rumah: 2. Orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih: 3. Sanak saudara; kaum kerabat: 4. Satuan kekerabatan yang sangat mendasar di masyarakat; Menurut Departemen Kesehatan RI (1988), keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga memiliki beberapa fungsi penting, seperti fungsi biologis, fungsi psikologis, fungsi sosial budaya atau sosiologi, fungsi sosial dan fungsi pendidikan. Pendidikan empati pada anak-anak oleh orang tua merupakan salah satu contoh fungsi sosial budaya atau sosiologi dan fungsi pendidikan keluarga. Keluarga Jepang saat ini merupakan keluarga yang modern dan berbeda dengan keluarga tradisional Jepang (Pra Perang Dunia II). Keluarga tradisional Jepang terdiri dari ibu, ayah, anak-anak, kakek dan nenek, bahkan ada yang satu rumah ditinggali beberapa keluarga yang biasa disebut ie (家). Pada keluarga tradisional Jepang, kakek dan nenek memiliki wewenang penuh dalam mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan hal lainnya pada cucunya karena masih berada dalam satu atap yang sama. Sedangkan Keluarga modern Jepang hanya beranggotakan ibu, ayah dan anak. Kakek dan nenek 5 http://kbbi.web.id/keluarga Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 tinggal dirumah mereka sendiri, sehingga kakek dan nenek tidak lagi memiliki wewenang penuh dalam mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan hal lainnya pada cucunya. Menurut masyarakat Jepang peran seorang ayah dalam keluarga sangat penting bagi perkembangan anak, karena masyarakat Jepang mempercayai bahwa ayah yang harus mengajarkan anak-anaknya tentang norma-norma yang ada dimasyarakat yang diperlukan dalam hubungan sosial dengan orang lain selain anggota keluarga. Sedangkan, peran seorang ibu adalah sebagai seseorang yang bertanggungjawab merawat anak. Ayah pada keluarga modern sangat jarang berada di rumah, karena ayah adalah seseorang yang setia pada pekerjaan, dimana ayah selalu menghabiskan waktunya 15 jam dalam sehari dan 6 hari dalam seminggu untuk menyelesaikan tugas serta bersosialisasi dengan semua hal yang berhubungan dengan pekerjaannya. Meskipun ibu-ibu pada zaman sekarang sudah banyak yang bekerja karena tututan ekonomi untuk membayar sewa rumah dan pendidikan anak, namun pada umumnya tetap ayah yang memenuhi kebutuhan keluarga secara keseluruhan. Peran ayah di dalam keluarga mulai memudar seiring keberadaan ayah yang lebih banyak ditempat kerja daripada di rumah. Absennya seorang ayah di rumah atau Chichioya fuzai (父親不在) ataupun kurangnya kemampuan dan kekuasaan ayah atau fusei no ketsujo ( 不 正 の 欠 如 ) akan membawa dampak buruk bagi seorang anak. Semakin kuatnya hubungan ayah dan anak dapat mencegah terjadinya masalahmasalah psikologis dan kriminal anak (Nakatani, 2006:96). Ketidakhadiran ayah di rumah mengakibatkan ibu menggantikan peran ayah di rumah. Para ibu mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan dan hal lainnya pada anaknya agar menjadi anak yang penurut dan dewasa secara mental. Ibu sangat menuntut anaknya untuk berusaha keras dalam pendidikannya yang biasa disebut kyouiku mama ( 教 育 マ マ)6, sehingga banyak anak-anak di Jepang yang belajar hanya untuk memuaskan orang tuanya atau semata-mata hanya untuk memenuhi perintah orang tuanya. Anak-anak di Jepang sangat di tuntut untuk menjadi anak yang penurut dan rajin belajar. Ibu akan sangat marah apabila anaknya tidak menuruti keinginannya yaitu belajar, karena ibu menganggap bahwa ini bukanlah keinginan pribadinya namun ini adalah keinginan masyarakat Jepang yang ingin menjadikan masyarakat Jepang menjadi masyarakat yang berpendidikan. 6 Kyouiku mama (教育ママ) adalah sebutan untuk ibu yang overprotective terhadap anaknya terutama dalam bidang pendidikan anaknya. mereka lebih mementingkan pendidikan anaknya tanpa mempedulikan kebahagiaan mereka (Holloway, 2004:42) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 Selain menuntut anaknya untuk terus belajar, orang tua di Jepang tetap mengajarkan kedisiplinan, norma, aturan, empati dan hal lainnya yang berlaku dan diterapkan di masyarakat Jepang. Para orang tua di Jepang sejak dini mengajarkan bahwa hakekat manusia adalah sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan akan selalu bergantung pada orang lain sejak manusia masih di dalam kandungan hingga dia berada di dalam liang lahat. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial merupakan sebuah dasar untuk mengajarkan pada anak-anak bahwa sesama manusia harus saling memahami dan menghormati. Memahami pikiran, kinginan dan perasaan orang lain adalah pengertian dari empati atau omoiyari (思いやり). Empati atau omoiyari wajib dimiliki setiap individu, karena selain diajarkan mengenai empati, anak-anak di Jepang juga diajarkan untuk tidak manja atau amae (甘え)7 dan tidak menyusahkan orang lain atau meiwaku (迷惑)8. Orang tua di rumah khususnya ibu adalah figur terpenting yang mengajarkan segala hal dan membimbing anaknya menjadi anak yang baik dan penurut. Ibu merupakan sosok yang bertanggung jawab dalam merawat dan mendidik anak di rumah. Ibu sangat berperan penting pada masa pertumbuhan anak, karena ayah lebih sering berada di tempat kerja daripada di rumah. Mengajarkan moral pada anak yang sesungguhnya adalah tugas seorang ayah, diambil alih oleh ibu karena ayah sibuk bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Maka dari itu, ibu lah yang mengajarkan segala hal kepada anaknya. Salah satu hal yang diajarkan oleh ibu pada anaknya adalah cara berempati. Cara ibu di Jepang dalam mengajarkan empati (omoiyari) tidak dengan cara mengajarkan teorinya melainkan dengan cara mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini beberapa cara ibu di Jepang dalam mengajarkan empati kepada anaknya yang masih usia sekolah dasar (Setiawati, 2012): 1. Sejak anak duduk di kelas 1 SD diajari tentang perilaku kecil yang sehari-hari mereka temui di lingkungannya, misalnya saat mereka sedang bermain dan secara tidak sengaja memecahkan kaca jendela rumah tetangga, maka ia harus segera meminta maaf, tidak boleh lari dari tanggung jawab. 7 Amae (甘え) pada awalnya adalah untuk menggambarkan kedekatan dan kehangatan antara ibu dan anak, hal ini lazim untuk anak-anak namun menjadi tidak lazim bila kedekatan seperti ibu dan anak yang secara berlebihan ini tetap dilakukan oleh seseorang yang sudah dewasa sehingga lebih terkesan manja, maka dari itu amae lebih mengarah pada arti manja dan bersifat negatif. 8 Meiwaku (迷惑) atau “trouble” yaitu menyusahkan atau mengganggu orang lain (Lebra, 1976:41) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 2. Saat melihat hewan yang terperangkap di dalam ruangan maka harus segera membuka pintu atau jendela rumah untuk meloloskan hewan tersebut. 3. Anak-anak diberi bahan bacaan yang sangat sederhana yang ditulis dengan huruf katakana, dilengkapi dengan gambar yang menarik dan berupa cerita dengan beberapa tokoh. Ketika membaca itu seolah-olah anak diarahkan untuk menjadi pelaku utama dalam cerita. Selain hal-hal diatas, cara orang tua mengajarkan empati pada anaknya adalah dengan mempraktekkan hal-hal yang mencerminkan empati dan menghargai atau memahami orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan anak-anak lebih mudah meniru apa yang dia lihat dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan empati di rumah, berkaitan erat dengan pendidikan empati di sekolah. Keduanya saling melengkapi dan saling bekerja sama dalam menumbuhkan rasa empati pada anak-anak sekolah dasar di Jepang. Tujuan orang tua mengajarkan empati (omoiyari) pada anaknya sejak anaknya masih sekolah dasar adalah untuk menjadikan anaknya sebagai individu yang mampu berempati yang dalam kesehariannya mereka mampu untuk memahami pikiran, perasaan dan keinginan temannya atau orang lain disekitar mereka. Pendidikan empati ini dilakukan sejak dini khususnya di usia sekolah dasar karena pada usia tersebut mereka memulai untuk berinteraksi dengan orang lain selain anggota keluarganya. Pendidikan empati ini diberikan kepada anak-anak bersamaan dengan pendidikan mengenai budaya, norma dan peraturan yang berlaku di masyarakat. 2. Pendidikan Empati di Sekolah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia online9, sekolah adalah bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran. Melalui perngertian tersebut dapat dilihat bahwa sekolah merupakan tempat untuk seseorang belajar dan mengajar. Sistem pendidikan di Jepang bersifat egalitarian 10, yang berarti sekolah diperuntukan bagi seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang kaya atau miskin. Pendidikan egalitarian di Jepang mulai muncul pasca Perang Dunia II. 9 http://kbbi.web.id/sekolah 10 Egalitarian berasal dari bahasa perancis égal, yang berarti equal dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa Indonesia berarti sama, setara atau sederajat. Dalam doktron politik dinyatakan bahwa semua manusia harus diperlakukan sama sejak lahir. Setiap manusia memiliki hak yan “sama” untuk mendapat perlakuan yang adil. (Setiawati: 2012) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 Anak-anak di Jepang mulai masuk kelas satu di Sekolah Dasar pada bulan April setelah ulang tahun mereka yang ke-6. Dalam satu kelas Sekolah Dasar terdapat sekitar 30 hingga 40 siswa. Mata pelajaran yang mereka pelajari meliputi bahasa Jepang, matematika, sains, ilmu sosial, musik, kerajinan tangan, pendidikan jasmani, dan home economics (belajar ketrampilan memasak dan menjahit yang sederhana). Saat ini makin banyak pula Sekolah Dasar yang mulai mengajarkan bahasa Inggris pada anak didiknya. Teknologi informasi makin banyak dipakai untuk meningkatkan pendidikan, dan kebanyakan sekolah sudah mempunyai jaringan Internet. Para siswa sekolah dasar di Jepang selain belajar mengenai ilmu pengetahuan dan bahasa, mereka juga belajar berbagai seni tradisional Jepang seperti shodo (kaligrafi) dan haiku. Shodo (書道) adalah seni menulis huruf kanji (jenis huruf yang berasal dari China) dan kana (huruf fonetis yang berasal dari kanji) secara indah yang dilakukan dengan cara mencelupkan kuas ke dalam tinta. Haiku ( 俳句 ) adalah bentuk puisi yang berkembang di Jepang sekitar 400 tahun yang lalu, berupa syair pendek yang terdiri dari 17 sukukata, terbagi atas satuan lima, tujuh, dan lima suku-kata. Haiku memakai ungkapan sederhana untuk menyampaikan emosi yang mendalam kepada pembacanya.11 Sekolah dasar Jepang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan dan bahasa Jepang pada anak-anak SD, namun juga mengajarkan pelajaran tentang kehidupan seharihari atau seikatsu ( せ い か つ ) yang diberikan tiga jam pelajaran dalam seminggu dan pelajaran moral atau doutoku ( ど う と く ) yang diberikan satu jam pelajaran dalam seminggu. Pelajaran tentang kehidupan sehari-hari dan pelajaran moral dimasukkan dalam kurikulum sekolah dasar di Jepang oleh pemerintah Jepang dengan tujuan membentuk manusia Jepang yang bermoral dan mampu berempati dalam kehidupan bermasyarakat sehingga mampu membentuk masyarakat yang harmonis. Pukul 12.20 sampai pukul 13.40 adalah jadwal untuk makan siang atau kyoushoku (きゅうしょく), bersih-bersih atau souji (そうじ) dan istirahat siang atau hiruyasumi (ひるやすみ). Kelas di sekolah-sekolah dasar Jepang dibagi menjadi beberapa kelompok kecil untuk melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan bagian dari pendidikan, misalnya setiap hari para siswa yang tergabung dalam kelompokkelompok tersebut membersihkan ruang kelas, aula, dan pekarangan sekolah bersamasama dengan kelompoknya. Hal ini bertujuan untuk menjadikan anak lebih mandiri dan 11 Ibid. Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 menumbuhkan rasa bekerjasama serta saling gotong royong, sebagaimana hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang harus saling membantu dan menolong satu sama lain. Setiap hari, siswa Sekolah Dasar di Jepang bersama-sama menikmati makan siang ( き ゅ う し ょ く ) yang disiapkan oleh sekolah atau oleh “pusat pengadaan makan sekolah” setempat. Kelompok-kelompok siswa tersebut bergiliran melayani makan siang teman-teman sekelasnya. Makan siang yang disediakan oleh sekolah mencakup aneka makanan-makanan yang sehat dan bergizi, dan para siswa dengan senang menanti tibanya waktu makan siang. Hal ini menanamkan nilai yang baik pada anak yaitu mengenai pentingnya melayani orang lain. Sehingga saat anak-anak tersebut sudah dewasa dan bekerja menjadi pejabat publik atau pelayan publik, mereka mempunyai naluri untuk melayani masyarakat. Gambar 1 Caption: Sekelompok siswa sekolah dasar menyiapkan makan siang untuk teman-teman sekelasnya (http://www.city-okayama.ed.jp/~hirajimas/gakunen/1nen/PICT0002.JPG) Pendidikan moral khususnya empati di Jepang dipengaruhi adanya tiga agama atau sistem kepercayaan yang dominan di Jepang, yaitu Shinto, Buddha dan Konfusius yang mengajarkan mengenai keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat. Selain hal tersebut, pendidikan moral di Jepang juga dipengaruhi oleh etika moral samurai atau bushido12 yang menjadi landasan pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang 12 Bushido adalah etika moral bagi kaum samurai. Bermula pada zaman Kamakura (1185-1333), dan terus berkembang hingga zaman Edo (1603-1867). Bushido menekankan pada kesetiaan, keadilan, rasa malu, tatakrama, kemurnian, kesederhanaan, semangat berperang, kehormatan dan lain-lain. (Website Resmi Kedutaan Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 diajarkan adalah mengenai bagaimaa menakhlukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas, filosofi ini menjadi inti dari sistem nilai di Jepang (Taufik Djatna, 2013). Hakekat pendidikan dasar di Jepang tidak hanya menjadikan anak-anak pintar dan menguasai tekhnologi, melainkan membentuk budaya, moral dan budi pekerti juga. Sejak usia dini, anak-anak di Jepang diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu dan selalu jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai nilai, bukan materi atau harta. Di sekolahsekolah dasar Jepang, anak-anak dibentuk perilakunya dengan cara diajarkan dan ditanamkan mengenai sistem nilai moral yang terdiri dari empat aspek, yaitu: 1. Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self) 2. Menghargai Orang Lain (Relation to Others) 3. Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature and The Sublime) 4. Menghargai Kelompok dan Komunitas (Relation to Group and Society) Pendidikan moral di sekolah dasar Jepang bertujuan untuk memberi gambaran pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Memperhatikan orang lain, lingkungan dan kelompok sosial adalah hal yang penting. Dimanapun berada baik di kendaraan umum, jalan raya, maupun di tempat-tempat publik, harus tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Berikut ini adalah cara-cara guru di sekolah mengajarkan empati kepada siswa SD di Jepang (Cummings, 1984:141 dalam Setiawati, 2012): 1. Siswa diwajibkan mengucapkan salam selamat pagi kepada guru, sebagai tanda menghormati ibu atau bapak guru 2. Berdiri di sisi bangku kalau sedang berbicara, sejak hari pertama sekolah, para siswa diminta menjawab ketika namanya dipanggil agar antar siswa saling mengenal 3. Mendengarkan siswa lain dan guru tanpa berbicara, guru juga dengan penuh perhatian mendengarkan siswanya yang sedang berbicara 4. Ikut serta dalam kegiatan kelompok, contohnya adalah pada kegiatan gakugeikai ( 学 芸 会 ) atau ‘hari sandiwara pendek’ dimana para siswa akan mementaskan sandiwara di hadapan orang tua mereka yang diundang oleh pihak sekolah. Sandiwara ini melibatkan seluruh siswa di tiap kelas. Besar Jepang di Indonesia, http://www.id.emb-japan.go.jp/aj305_01.html) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 Gambar 2 Caption: Siswa sekolah dasar Jepang mementaskan sandiwara dalam kegiatan gakugeikai (http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/news-data/081015kounaigaku.jpg) Buku pendidikan moral atau empati yang dipakai adalah buku yang disusun oleh Monbukagakusho13 sejak 10-20 tahun yang lalu. Judul buku dibuat menarik, disesuaikan dengan isinya, judul buku yang dipakai di Sekolah Dasar di Jepang adalah: 1. Jibun no Ansin ( 自 分 の 安 心 ) artinya ‘bagaimana menjaga keselamatan pribadi’. Isi buku tersebut secara garis besar adalah bagaimana berperilaku di jalan, di dalam kendaraan umum, permainan apa saja yang aman di dalam kelas ketika hari hujan, bagaimana mereka berangkat dan pulang dengan aman, perbuatan apa yang tidak boleh dilakukan di tempat umum yang akan mengganggu orang lain. 2. Minna no Doutoku (みんなの道徳) yang isinya berupa cerita-cerita sederhana mengenai kehidupan sehari-hari seperti bagaimana cara meminta tlong kepada orang tua dengan menggunakan bahasa yang baik. 3. Kokoro no nooto ( 心 の ノ ー ト ) artinya ‘catatan hati’. Buku ini merupakan buku suplemen yang disiapkan oleh Monbukagakusho sejak april 2001 dengan tujuan utama sebagai pelengkap pembelajaran moral di sekolah. Pemakaian buku ini tidak bersifat wajib bagi setiap sekolah tetapi dianjurkan secara 13 Monbukagakusho adalah kementrian pendidikan, kebudayaaan, olah raga, ilmu pengetahuan dan tekhnologi Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 nasional untuk SD dan SMP. Materi yang ada dalam buku ini adalah mengenai hal-hal yang sederhana dan nyata. Misalnya pada buku kokoro no nooto (心の ノ ー ト ) untuk kelas 1 SD yang belum bisa membaca kanji, sehingga penjelasannya ditulis menggunakan hiragana dan katakana. Contoh materinya adalah: a. ゆうぐをつかうときのきまり:あんぜんだいいち、じゅんばんをまも る 、 ゆ ず り あ っ て ( Peraturan ketika memakai playground: keselamatan adalah nomor satu, secara bergilir, saling berbagi (give and take) b. こうえんのきまり:きちんとあとしまつ、よごさないように、みんな で な か よ く (Peraturan di kelas/ taman: harus merapikan kembali, tidak membuat kotor, harus baik kepada sesama teman) c. トイレのきまり:じゅんばんをまもる、きちんとあとしまつ、よごさ な い よ う に (Peraturan menggunakan toilet: harus bergilir, harus rapih dan bersih kembali, tidak mengotori) Dengan adanya buku-buku tersebut, guru-guru di sekolah merasa terbantu karena buku melalui buku-buku tersebut mereka dapat mengetahui perkembangan psikologis anak, keinginan anak, masalah anak yang merupakan informasi yang sangat penting untuk mendidik murid-murid di sekolah. Selama satu tahun belajar semua materi tersebut diajarkan tidak hanya dalam mata pelajaran moral tetapi diajarka dalam mata pelajaran yang lain dan dilaksanakan dalam aktifitas sehari-hari di sekolah. Sekolah dasar Jepang sering mengundang orang tua siswa untuk hadir dan melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar di sekolah. Hal ini dinilai baik oleh orang tua, karena para orang tua menganggap kemajuan suatu bangsa tidak bisa terlepas dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya. Kemajuan bangsa Jepang tidak hanya dilihat dari produk-produknya yang mengglobal, namun juga terlihat dalam ketangguhan masyarakat Jepang saat menghadapi bencana alam. Salah satu contohnya adalah saat terjadi gempa bumi, anak-anak SD di Jepang sudah terlatih dalam menyelamatkan diri, sehingga tidak ada korban jiwa. Hal ini mencerminkan adanya proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan secara terus menerus di masyarakat Jepang. Tujuan pendidikan moral di sekolah-sekolah Jepang pasca Perang Dunia II adalah seperti yang tertulis dalam buku yang diterbitkan oleh Monbusho (1997: 25-28) yaitu: Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 1. Menumbuhkan spirit atau jiwa hormat terhadap orang lain dan menghargai hidup 2. Menumbuhkan hati yang kaya 3. Mendidik manusia yang mampu memelihara dan mengembangkan budaya tradisionalnya 4. Mendidik manusia mengemban negara dan masyarakat yang demokratis 5. Mendidik manusia Jepang yang membuka masa depan dengan memiliki subjektifitas (bertanggung jawab terhadap keinginan dan penilaianya sendiri) 6. Menumbuhkan moralitas Dilihat dari tujuh materi tujuan pendidikan moral tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan moral pasca Perang Dunia II di Jepang lebih menitikberatkan pada pendidikan yang bersifat menumbuhkan manusia Jepang yang saling menghormati dan menghargai antar manusia. 3. Kesimpulan Empati adalah sikap memahami pikiran, perasaan dan keinginan lawan bicara. Empati merupakan salah satu sikap yang wajib dimiliki setiap individu. Hal ini berkaitan erat dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, empati merupakan hal yang penting untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. Secara lahiriah, manusia memiliki rasa empati, namun empati yang dimiliki seseorang secara lahiriah belum cukup untuk menjadikan seseorang tersebut mampu berempati dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat. Empati juga perlu untuk dipelajari selayaknya mempelajari budaya, karena empati berkaitan erat dengan norma-norma dan peraturan sosial yang berlaku dalam masyarakat tersebut yang diwariskan kepada generasi selanjutnya melalui proses belajar. Pendidikan empati dapat terjadi di lingkup sosial manapun, dimulai dari lingkup sosial terkecil yaitu keluarga dan mengarah ke lingkup sosial yang lebih besar seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan masyarakat. Pendidikan empati dimulai sejak anak masih berusia dini oleh orang tua dirumah, dan pada saat anak memasuki usia sekolah dasar, selain keluarga, kehidupan di sekolah dasar Jepang turut serta dalam mengajarkan empati. Empati dikenalkan sejak dini pada anak-anak, agar mereka bersikap dewasa atau tidak manja (amae) dan tidak menyusahkan orang lain (meiwaku). Pendidikan empati di rumah dan di sekolah memang memiliki perbedaan, namun memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk menumbuhkan Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 empati pada anak agar bisa memahami pikiran, perasaan dan keinginan orang lain di sekitarnya dan mereka ikut serta menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. 4. Saran Mengajarkan empati kepada anak-anak sejak usia dini merupakan salah satu hal yang baik untuk menciptakan masyarakat yang harmonis dan damai. Semua orang berkewajiban mengajarkan empati kepada anak-anak, baik orang tua anak itu sendiri, guru di sekolah maupun orang-orang di lingkungan sekitar anak tersebut. Peran orang tua di rumah sangat penting dalam pembentukan jati diri anak, sehingga orang tua wajib mengajarkan dengan cara mencontohkan sikap berempati serta norma dan peraturan yang ada di masyarakat agar anak mampu bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Selain itu, sekolah juga sangat berpengaruh dalam pembentukan jati diri anak, karena sekolah adalah tempat anak-anak bersosialisasi secara aktif dengan orang lain yang bukan anggota keluarganya. Sekolah tidak hanya menanamkan ilmu pengetahuan dan teknologi semata pada siswanya, melainkan juga menanamkan moral yang baik sehingga anak-anak memiliki bekal moral yang cukup untuk berempati dalam kehidupan bermasyarakat kelak. Mata pelajaran mengenai kehidupan sehari-hari atau seikatsu ( せ い か つ ) dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dasar, sehingga anak-anak bisa bersikap sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat dan ikut serta dalam membentuk masyarakat yang harmonis dan damai. Daftar Referensi Lebra, Takie Sugiyama. (1976). Japanese Patterns of Behavior. Hawai: University of Hawai’i Press. Prasetyawati, Wuri, dkk. (2013). Belajar di Perguruan Tinggi. Depok: Direktorat Pendidikan Universitas Indonesia. Djatna, Taufik. “Sekolah di Jepang Vs Sekolah di Indonesia.” http://taufikdjatna.staff.ipb.ac.id/2013/05/04/sekolah-di-jepang-vs-sekolah-di-indonesia/ (1 juli 2013) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013 ドン・キホーテの独り言, 「今の小学一年生の時間割」. http://don-quijote.airnifty.com/donquijote_business/2010/05/post-96a9.html (12 juli 2013) E-smartschool.co.id. “Pendidikan Moral di Jepang.” http://e-smartschool.co.id/index.php? option=com_content&task=view&id=991&Itemid=55 rewrite. http://www.geocities.com/moernier/tulisanku/moraled.html (1 juli 2013). Herdiawan, Junanto. “Moral di SD Jepang.” http://edukasi.kompasiana.com/2011/07/03/moral-di-sd-jepang-377536.html (1 juli 2013) Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. http://kbbi.web.id/keluarga (27 juni 2013). http://kbbi.web.id/sekolah (27 juni 2013) Kamus Bahasa Jepang Online. http://www.tanoshiijapanese.com/dictionary (27 juni 2013) Kedutaan Besar Jepang di Indonesia, 在インドネシア日本国大使館. “Sekolah”. http://www.id.emb-japan.go.jp/expljp_04.html (27 juni 2013). http://www.id.embjapan.go.jp/expljp_04a.html (27 juni 2013). http://www.id.embjapan.go.jp/aj305_01.html (12 juli 2013) Kementrian pendidikan, budaya, olahraga, ilmu pengetahuan dan tekhnologi Jepang. http://www.mext.go.jp/a_menu/koutou/ryugaku/boshu/1319066.htm (1 juli 2013) Setiawati, Ai Sumirah. “Pendidikan Jepang yang Egalitarian.” http://www.pendidikanbahasajepang-unnes.com/2012/06/pendidikan-jepang-yangegalitarian.html (1 juli 2013) Sumber Gambar http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/news-data/081015kounaigaku.jpg (18 juli 2013) http://www.oklab.ed.jp/hatanasi/hotnews/hotnews-2008-2.htm (18 juli 2013) Pendidikan empati ..., Elvi Wahyuni, FIB UI, 2013