1 BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia telah lebih dari 50 tahun peradaban dan perilakunya berlandaskan kemandirian budaya bangsa yang berideologi Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Cita- cita yang ingin diwujudkan adalah terwujudnya peri kehidupan bangsa yang adil dan makmur baik materiil dan spirituil. Sebagai suatu negara yang dalam tahap membangun dan berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan yang pada hakikatnya merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya Pembangunan Nasional perencanaan yang dengan dilaksanakan menentukan secara berlandaskan merata prioritas-prioritas Pancasila. dengan model utama dalam penyelenggaraan pembangunan di bidang politik dan keamanan serta disertai pembangunan di bidang ekonomi untuk mencukupi hajat hidup orang banyak ternyata menimbulkan berbagai masalah- masalah baru yang perlu ditanggulangi. Salah satu permasalahan yang timbul dari adanya pembangunan yaitu mengenai tindak pidana illegal logging atau kayu illegal yang benar- benar telah meluas. Kayu memang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi, banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari kayu, seperti sebagai bahan bangunan, kerajinan, dan alat-alat rumah tangga. Seiring dengan semakin berkurangnya lahan hutan karena digunakan untuk perumahan dan lahan pertanian, maka semakin berhargalah kayu tersebut dan semakin tinggi nilai ekonomisnya. Hal inilah yang merupakan penyebab semakin meluasnya tindak pidana illegal logging. Oleh karena itu perlu adanya penanganan dan suatu perhatian yang khusus dari pemerintah, karena dampak yang timbul dari perbuatan tersebut sangat komplek sangat merugikan negara dan tentunya masyarakat. 2 Indonesia diperkirakan memiliki wilayah hutan tropika seluas 143,970 juta Ha yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Koesnadi Hardjasoemantri 1999:4). Jumlah tersebut lama kelamaan mengalami penurunan baik dari segi kualitas maupun kuantitas mutu lingkungannya. Hal tersebut terjadi disebabkan karena adanya bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, longsor, banjir dan kebakaran. Selain itu kerusakan hutan juga diakibatkan oleh tangan-tangan jahil manusia yang mengekploitasi hutan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti penebangan kayu. pencurian kayu mengangkut secara illegal kemudian mengirim kayu tersebut tanpa Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan, pembukaan lahan, pencemaran yang dapat menyebabkan kerusakan kawasan hutan tersebut. Aktivitas perusakan ini diperparah dengan adanya penyelewengan berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai menguntungkan bagi individual tanpa memperhatikan pelestarian kawasan hutan tersebut. Seperti contoh adanya aktivitas perusahaan-perusahaan yang memiliki izin usaha pemanfaatan hutan yang kadang secara sewenang-wenang mengeruk hutan tersebut karena merasa memiliki dan telah resmi mengantongi izin dari pemerintah. Aktivitas semacam ini masih terus saja berlangsung meskipun dampak kerusakannya telah terlihat secara nyata. Salah satu bentuk dari perusakan hutan tersebut adalah kegiatan pencurian kayu baik yang dilakukan oleh individu maupun badan-badan hukum tertentu. Tindakan ini termasuk kedalam tindak pidana yang disebut dengan tindak pidana illegal logging. Illegal logging disini memiliki pengertian yaitu suatu bentuk perbuatan “mengambil” dan atau perbuatan “mengangkut” hasil hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang atau menggunakan dokumen palsu dan atau menunjukan dokumen asli tapi palsu (Alam Setia Zain , 1997:49). Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakkan hukum secara tegas adalah melalui Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum. 3 Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945 BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004. Undang- Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, yaitu : “ Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia .” Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa : “ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. “ Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara Pidana Indonesia,” hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri suatu negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 mengatakan : “ Everyone is entitled in full equality to affair and public hearing by an independent and impartial in the determination of his rights and obligation and any criminal charge againts him. “ (Andi Hamzah, 1996 : 94). Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004. Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar. Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam 4 pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 5 ayat (1) : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda- bedakan orang.” Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan putusa terhadap peristiwa tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek saat ini dituntut adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusanputusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu (Nanda Agung Dewantara, 1987 : 25). Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No 4 Tahun 2004 yaitu : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam menemukan hukumnya seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan hukum (Andi Hamzah, 1996 : 103). Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada undang- undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Oleh karena itu 5 dalam memberikan putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial, ekonomi, politik dan lain- lain. Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan terhadap kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula. Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengetahui sejauhmana hakim memberikan pertimbangan terhadap putusan dalam tindak pidana Illegal Logging yang akan dituangkan dalam penulisan hukum dengan judul : “ DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. “ B. Perumusan Masalah Berdasarkan diskripsi latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Illegal Logging ? 2. Hambatan- hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Illegal logging ? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif). Dalam penelitian ini tujuan yang akan dicapai adalah : 1. Tujuan Objektif : 6 a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging di Pengadilan Negeri Surakarta; b. Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging. 2 . Tujuan Subjektif : a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging; b. Untuk memenuhi syarat- syarat dalam menempuh ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging; b. Dapat bermanfaat selain sebagai sumber informasi juga sebagai literatur atau bahan- bahan informasi ilmiah. 2. Manfaat Praktis a. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging; b. Untuk memberikan pemikiran alternative yang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan pertimbangan yang menyangkut masalah; 7 c. Guna memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti. E. Metode Penelitian Beberapa hal yang menjadi bagian dari metode dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a) Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan menganalisis data, wawancara dengan pihak yang terkait yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. b) Lokasi Penelitian Lokasi penelitian dalam rangka penulisan ini dilakukan di Pengadilan Negeri Surakarta. c) Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini bersifat deskriptif. Yang dimaksud penelitian deskriptif menurut Winarno Surachman adalah: “ suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah yang ada sekarang dengan mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasi serta mengintepretasikan arti dari data tersebut “. d) Pendekatan Penelitian Sedangkan pendekatan penelitian dalam permasalahan ini menggunakan pendekatan kualitatif, dimana dilakukan penulis ingin meneliti hakekat dan makna dari data mengenai permasalahan yang ada. e) Jenis Data Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer yang diperoleh penulis dari hasil wawancara penulis dengan Hakim yang memeriksa perkara tindak pidana illegal logging di Pengadilan Negeri Surakarta, Selain itu didukung dengan data sekunder. Yaitu data yang berasal dari bahan pustaka antara lain : dokumen – dokumen resmi, majalah, 8 artikel, surat kabar, dan sumber – sumber tertulis lainya yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder memiliki ciri – ciri umum sebagai berikut: a) Pada umumnya ada dalam keadaan siap buat b) Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh peneliti – peneliti terdahulu c) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh waktu dan tempat. ( Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1991: 28 ). f) Sumber data 1. Sumber data primer, merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari lapangan dalam hal ini meliputi Pejabat Pengadilan Negeri Surakarta. 2. Sumber data sekunder, dibedakan menjadi dua yaitu : a) Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang – undangan, dokumen resmi dan data tertulis dari Pengadilan Negeri Surakarta. b) Bahan hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah, hasil – hasil penelitian sebelumnya. g) Tehnik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian guna menyusun penulisan hukum ini, penulis menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut : (1) Studi Kepustakaan Merupakan cara tehnik pengumpulan data dengan membaca dan memperoleh bahan – bahan tertulis seperti buku – buku ilmiah, peraturan perundangan, hasil penelitian, artikel – artikel yang berhubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis. (2) Studi Lapangan Merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian dalam rangka mengumpulkan data primer : 9 Wawancara ( interview ) Tehnik wawancara yang dilakukan yaitu dengan bertatap muka dengan mengadakan tanya jawab langsung guna memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini. h) Tehnik Analisis Data dan Model Analisis Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut.. Tehnik analisis data adalah suatu uraian tentang cara – cara analisis, yaitu kegiatan mengumpulkan data kemudian diedit dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang sifatnya kualitatif. Analisis kualitatif ini menghasilkan data deskriptif yang merupakan kata – kata , tulisan atau uraian dari orang lain dan perilaku yang diamati. ( Maria W.W Sumarjono, 1989 : 16 ). Setelah data yang diperlukan dalam penelitian terkumpul maka langkah selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif model interaktif ( interactive model of analysis ). Pengertian model interaktif tersebut adalah bahwa data yang terkumpul akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu : mereduksi data, menyajikan data, dan kemudian menarik kesimpulan. Selain itu, dilakukan pula proses siklus antara tahap – tahap tersebut, sehingga data yang terkumpulkan berhubungan satu dengan lainya secara sistematis. ( HB. Sutopo,1991 : 13) Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema : Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan ( Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, 1992 : 20 ) 10 Kegiatan kompenen itu dapat dijelaskan sebagai berikut : - Reduksi Data Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan tertulis dikepustakaan. Reduksi tersebut berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar – benar terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap tersusun. - Penyajian Data Merupakan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. - Penarikan Kesimpulan Dari permulaan pengumpulan data seorang penganalisis mulai mencari arti benda – benda, mencatat keteraturan, pola – pola, penjelasan, konfigurasi – konfigurasi yang mungkin, alur sebab – akibat dan proporsi. Kesimpulan – kesimpulan tetap akan ditangani dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah disediakan, mula – mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan – kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan – catatan, atau mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan kembali.( Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992 : 19) Peneliti harus bergerak diantara keempat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak – balik diantara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan / verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. Aktivitas yang dilakukan dengan proses itu komponen – komponen tersebut akan didapat yang benar – benar mewakili dan sesuai dengan 11 permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian direduksi yang berupa klasifikasi dan seleksi. Kemudian kita ambil kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut tetapi berhubungan terus sehingga membuat siklus. ( H. B. Sutopo, 1991 : 13) F. Sistematika Skripsi Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari penulisan hukum yang disusun, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum yang diperinci bab demi bab sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis mengemukakan tentang pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan hukum. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Berisi tentang : A. Tinjauan umum tentang Kekuasaan Kehakiman, pengertian hakim, pengertian Kekusaan Kehakiman, penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, tugas dan wewenang hakim, kewajiban hakim, tanggung jawab hakim, kedudukan hakim yang bebas dan tidak memihak. B. Tinjauan mengenai putusan hakim pengadilan, pengertian, bentuk dan isi 12 putusan, syarat sahnya, dampak putusan pengadilan, faktor pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya putusan pemidanaan. C. Tinjauan tentang tindak pidana Illegal Logging, pengertian, dasar hukum, ketentuan pidana. BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai hasil penelitian yang diperoleh di lapangan dan pembahasan mengenai analisis terhadap dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging, pemidanaan yang dikenakan pada terdakwa tindak pidana tersebut, dan hambatan yang dihadapi hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut dan bagaimana cara mengatasinya. BAB IV PENUTUP Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang berisikan beberapa kesimpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori Dalam suatu penelitian ilmiah, konsep teori merupakan langkah awal dalam usaha memecahkan suatu masalah yang dihadapi, karena disinilah akan diperoleh informasi atau keterangan abstrak yang berkaitan dengan permasalahan dann obyek penelitian. Dengan berpedoman konsep teori yang informatif, seorang peneliti akan dapat mencari data yang tepat dan berdaya guna sehingga tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik. Dapat dikatakan bahwa kerangka teori variabel yang hendak dicapai oleh peneliti mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesimpulan akhir yang hendak dicapai. Oleh Karena itu kerangka pemikiran dasar suatu naskah penelitian ilmiah haruslah disusun dan direncanakan sesuai dengan arah dan sasaran yang diinginkan. Dengan memandang pentingnya kerangka teori bagi kegiatan penelitian, maka pada sub bab ini akan dikemukakan beberapa keterangan nilai yang berkaitan dengan masalah yang akan peneliti lakukan. Bagi hakim untuk dapat menjatuhkan suatu putusan pada suatu perkara ada berbagai pertimbangan – pertimbangan, untuk sampai pada tahap tersebut, harus melalui berbagai proses terlebih dahulu yaitu, dari pemeriksaan dimuka persidangan dengan terlebih dahulu menerima berkas perkara dari kepolisian, kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum yang nantinya akan mengajukan surat dakwaan yang dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang untuk memeriksa perkara tersebut. Dengan berbagai proses pemeriksaan dari alat – alat bukti, kesaksian serta hal – hal baik yang meringankan maupun memberatkan, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan bagi terdakwa yang bersangkutan. 14 1. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Hakim a) Pengertian Hakim Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang- undang No. 4 Th 2004 Tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, berbunyi :“ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai – nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang – undang untuk mengadili ( vide Pasal 1 butir 8 KUHAP ). UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 31 Hakim Pengadilan yaitu Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang- undang. Hakim sebagai pejabat pengadilan diberi wewenang untuk mengadili ( Pasal 1 butir 8 ). Mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang – undang ( Pasal 1 butir 9 ). Hakim sebagai salah satu unsur dalam suatu proses peradilan dalam menjalankan fungsinya tidak bergerak di ruang yang hampa sekalipun secara konstitusional hakim diberi kedudukan yang mandiri ( independent ) dan terhormat, namun banyak faktor yang mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya. Secara garis besar faktor yang mempengaruhi hakim tersebut dapat dibagi menjadi 2, yaitu faktor intern dan faktor ekstern, faktor intern adalah faktor yang ada pada diri hakim itu sendiri. Yang antara lain meliputi latar belakang sosial, budaya dari ekonomi hakim, profesionalisme hakim dan berbagai dorongan psikologi atau moral yang membentuk pribadi hakim. Faktor ekstern adalah faktor yang berada disekitar hakim dalam menjalankan tugasnya yang antara lain meliputi tuntutan masyarakat, tuntutan para pihak, pengaruh kekuasaan ( 15 eksekutif ), system peradilan dan berbagai variasi khusus atau perkiraan. Faktor – faktor tersebut pada taraf tertentu akan membentuk sikap dan perilaku hakim dalam mengambil suatu putusan .( Al Wibisono, 1996 : 94). b) Pengertian Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan Kehakiman menurut Pasal 1 Undang- Undang No. 35 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. c) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Dasar penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam BAB IX Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945 terutama Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Dalam pelaksanaan operasional Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh Badan- badan Peradilan yang terdiri dari empat lingkungan peradilan dan berpuncak pada Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004, empat lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing- masing dari lingkungan peradilan meliputi badan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding serta berwenang untuk memeriksa perkara- perkara tertentu. Peradilan Umum berwenang untuk menyelenggarakan pengadilan 16 terhadap perkara- perkara pidana dan perdata bagi golongan masyarakat umum, sedangkan Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara berwenang untuk menyelenggarakan pengadilan terhadap perkara- perkara khusus bagi golongan tertentu sehingga merupakan peradilan yang khusus d) Tugas dan Wewenang Hakim Menurut undang- undang ada tiga tugas utama yang harus dilakukan oleh hakim yang pada pembaharuan UU No. 35 Tahun 1999 menjadi UU No. 4 Tahun 2004 sepenuhnya penyelenggaraan dilakukan oleh Mahkamah Agung, yaitu : a. Sebagai tugas pokok yakni tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004). b. Sebagai tugas yuridis yakni memberi keterangan, pertimbangan, dan nasehat- nasehat tentang soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta (UU No. 4 Tahun 2004). c. Sebagai tugas akademis atau ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya (Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004). Dalam menjalankan tugasnya hakim harus selalu mentaati dirinya dengan kode etik kehakiman. Adapun kode etik profesi hakim terdapat dalam Kode Kehormatan Hakim dan Majelis Kehormatan Hakim. Dalam BAB II dirumuskan sikap hakim sebagai berikut : Hakim harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bijaksana. Jujur. 17 Berkelakuan baik. (Bismar Siregar, 1983 : 119) Wewenang hakim sebagai pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang- undang berdasarkan Pasal 1 butir 8 KUHAP adalah untuk mengadili. Dalam Pasal 1 butir 9 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang. e) Kewajiban Hakim Hakim mempunyai kewajiban yang didasarkan pada UU No. 4 Tahun 2004 diantaranya adalah sebagai berikut : 1. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)). 2. Hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari tertuduh dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana (Pasal 28 ayat (2)). 3. Apabila ada hubungan darah sampai derajat ketiga atau semenda dengan Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa, Penasehat Hukum, atau Panitera, hakim wajib mengundurkan diri dari suatu pemeriksaan perkara (Pasal 29 ayat (3)). 4. Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota, dan Jaksa bahkan Panitera yang masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat ketiga atau semendadengan yang diadili, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu (Pasal 29 ayat (4)). 5. Hakim diwajibkan untuk bersumpah atau berjanji menurut agamanya sebelum memangku jabatan (Pasal 30 ayat (1)). 18 f) Tanggung Jawab Hakim Hakim bertanggung jawab yang utama kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, negara, dan diri sendiri, hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang berisi “ Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum, apabila ia tidak dapat menemukan hukum yang tertulis maka ia wajib menggali nilai- nilai hukum yang tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum yang adil dan bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, negara, dan diri sendiri. “ g) Kedudukan Hakim yang Bebas dan Tidak Memihak UUD 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman yang bebas. Kedudukan hakim yang bebas dan tidak memihak secara tegas tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan “ Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang- undang tentang kedudukan para hakim.” Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. “ Berdasarkan ketentuan tersebut di atas tersebut kebebasan hakim tersebut mempunyai arti, yaitu : 1. Bebasnya hakim dari pengaruh dan campur tangan pihak lain. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 19 2004, bahwa Kekuasaan Kehakiman yang merdeka bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara yang lainnya dan bebas dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang lain dari pihak ekstra yudicial, kecuali dalam hal- hal yang diijinkan undangundang. 2. Bebasnya hakim dari keterkaitan dengan pihak- pihak yang berperkara. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara harus atas dasar obyektifitas tanpa memihak kepada salah satu pihak dan tidak boleh membeda- bedakan. Oleh karena itu kebebasan hakim tersebut dapat berwujud : a. Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang terbukti tidaknya kesalahan terdakwa (Pasal 183 KUHAP). Undang- undang memberi syarat- syarat yang berat untuk dapatnya hakim memidana seseorang, yaitu : Karena pembuktian yang sah menurut undang- undang, untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang- kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP. Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung jawab. Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut. Adanya keyakinan hakim. b. Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan diterapkan. c. Hakim bebas dalam menentukan besarnya pidana yang akan dijatuhkan kepada seseorang. Hakim bebas bergerak dari minimum sampai maksimum khusus, dan bebas memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam hal undang- undang mengancam dengan pidana pokok dan pidana tambahan. 20 Tidak dapat dipisahkan dari kedudukan hakim yang bebas adalah keharusan hakim untuk tidak memihak (impartial judge) sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hakim tidak memihak adalah hakim yang dalam menjalankan tugas dan profesinya tidak membeda- bedakan orang, hal ini berarti hakim harus selalu menjamin persamaan hukum dan pemenuhan perlakuan sesuai hak- hak asasi manusia kepada setiap orang, khususnya bagi tersangka atau terdakwa. 2. Tinjauan Tentang Putusan Hakim Pengadilan a) Pengertian Putusan Hakim Dalam suatu proses persidangan jika pemeriksaan dinyatakan ditutup, maka hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruangan sidang. Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, bahwa musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan sedapat mungkin musyawarah majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah diusahakan sungguh – sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh dengan suara terbanyak dan jika tetap tidak terpenuhi maka putusan yang dipilih adalah putusan yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang – undang. b) Isi Putusan Hakim 21 Dalam setiap putusan hakim mempunyai beberapa kemungkinan diantaranya: 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana atau tata tertib Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana ( Pasal 193 ayat (1)) KUHAP. Tapi menurut perumusan Van Bemmelen bahwa putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat pidana. 2. Putusan Bebas Dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwa kepadanya, tidak terbukti secara sah dan menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas ( Pasal 191 ayat (1) KUHAP ). Maksudnya bahwa terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dibebaskan dari pemidanaan karena kesalahan terdakwa atau perbuatan yang di dakwakan kepadanya tidak terbukti. 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Dijatuhkan menurut KUHAP jika pengadilan berpendapat, bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. ( Pasal 191 (2) KUHAP ). Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g putusan batal demi hukum. 22 Ketentuan tersebut adalah : a. Kepala putusan berbunyi : “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “. b. Nama lengkap, tempat lahir, agama, dan pekerjaan terdakwa. c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. f. Pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa. g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat suart autentik dianggap palsu. k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. 23 l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, namun hakim yang memutus, dan nama panitera. c) Syarat Syahnya Putusan Hakim Putusan pangadilan dapat sah apabila memenuhi syarat – syarat Memuat hal – hal yang diwajibkan dan ditentukan sesuai Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. d) Diucapkan di sidang terbuka untuk umum. Dampak Putusan Pengadilan Dalam hal hakim memberikan suatu putusan, yang mendapat pengaruh langsung dari putusan tersebut adalah terdakwa. Suatu pidana belum dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan baru dijatuhkan tetapi baru dapat dirasakan secara nyata apabila telah dilaksanakan secara efektif. Dalam hal pengaruh langsung putusan yang dijatuhkan pada terdakwa, dapat membawa dampak negatif, yaitu apabila hakim menjatuhkan putusan berupa putusan pemidanaan dan dapat berdampak positif, yaitu apabila hakim menjatuhkan putusan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Pengaruh tidak langsung suatu putusan adalah terhadap masyarakat. Suatu putusan pengadilan oleh hakim selalu mendapat perhatian dan dinilai oleh masyarakat, apalagi terhadap kasus- kasus yang menarik bagi masyarakat. Apabila dalam menjatuhkan suatu dirasa tidak adil oleh masyarakat maka masyarakat akan berpendapat bahwa aparat penegak hukum khususnya hakim tidak dapat dipercaya seperti halnya sekarang yang sedang terjadi dalam masyarakat kita. Oleh sebab itu dalam menjatuhkan suatu putusan, hakim seharusnya waspada dan sesuai dengan azas keadilan serta perundang- undangan yang bersangkutan. e) Faktor pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya putusan pemidanaan 24 Seperti yang telah dikemukakan di atas dalam hal hakim diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah. Hal ini sesuai dengan Psal 183 KUHAP yang menyatakan secara tegas bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan terdakwalah yang bersalah. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa tujuan hal tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Oleh karena itu dikenal azas tiada pidana tanpa kesalahan (geenstraf zonder sculd) dalam hukum pidana yaitu pidana hanya dapat dijatuhkan apabila terdakwa benarbenar terbukti melakukan suatu kesalahan yang dibuktikan dalam persidangan.azas ini juga tercantum dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yangdidakwakan kepadanya. Kesalahan terdakwa biasanya termaktub dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum. Adapun yang dimaksud dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah adalah adanya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan alat bukti yang sah yaitu a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa Menurut Hazenwinkel-Suringa, dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman di mana ia dapat bergerak dalam batas- batas maxima hukuman ataupun untuk 25 memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan di sini bahwa alasanalasan tersebut bisa ia jadikan landasan untuk memberatkan ataupun meringankannya, tidak merupakan arti yang essential lagi (Oemar Seno Adji, 1984 : 8). Dalam maxima dan minima tersebut, hakim pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Suatu kebebasan yang berarti kebebasan mutlak secara tidak terbatas. Menurut Gunter Warda, seorang hakim harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan- perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya, tingkat pendidikan, apakah pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal- hal lain (Oemar Seno Adji, 1984 : 8). Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal- hal yang meringankan dan hal- hal yang memberatkan. Faktor yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan selama persidanagan, mengakui perbuatannya terdakwa masih muda. Faktor yang memberatkan adalah keterangan berbelit- belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan negara, dan lain- lain (Bambang Waluyo, 2000 : 89-90). Hal ini termaktub dalam penjelasan Pasal 28 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sifat- sifat baik yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan. Dalam rumusan Pasal 58 (Pasal 52) Rancangan KUHP diatur juga bahwa dalam hal pemidanaan hakim mempertimbangkan kesalahan pembuat, motif dan tujuan dilakukan tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana 26 terhadap masa depan pembuat, pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Selain itu hal- hal yang meringankan dan memberatkan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Illegal Logging. a) Pengertian Tindak Pidana Illegal Logging Illegal logging itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari bahasa asing yaitu Bahasa Inggris, yang apabila diartikan satu persatu illegal adalah “yang merupakan pelanggaran” dan logging adalah “penebangan kayu”. Pada dasarnya sampai saat ini rumusan pengertian illegal logging belum memiliki batasan yang jelas. Definisi illegal logging baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan, Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia ataupun peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang tindak pidana ini samar dan tidak jelas, sehingga hal ini akan menyebabkan kebingungan aparat hukum, masyarakat dan menjadi peluang bagi para pelaku untuk membebaskan diri. Karena ketidakjelasan pengertian ini pula, maka ruang lingkup dari illegal logging juga menjadi persoalan yang belum jelas. Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan Pasal 50 jo Pasal 70, Illegal Logging adalah Perbuatan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan, 27 mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secra tidak sah, merambah kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut, serta mengangkut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat berwenang, menerima atau membeli atau menjual atau menerima tukar atau menerima titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan serta melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan tambang di kawasan hutan tanpa izin. Sedangkan menurut Haryadi Kartodihardjo, aktivitas illegal logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dengan melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang izin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan oleh negara. Pembalakan illegal (illegal logging) adalah semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Apabila merujuk pada pengertian-pengertian diatas, maka illegal logging secara sederhana dapat didefinisikan dalam beberapa batasan sebagai berikut : (a). Illegal logging adalah tindakan pencurian kayu yang dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. (b). Illegal logging adalah tindakan penebangan kayu dalam kawasan hutan negara yang dilakukan oleh orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon. (c). Illegal logging adalah suatu tindakan atau kegiatan mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang 28 tidak dilengkapi bersama- sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. (d). Illegal logging adalah sebuah tindak pidana berlapis karena bukan semata-mata menyangkut ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum akan tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya keresahan masyarakat,tidak dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan hutan namun justru melakukan tindakan merusak, termasuk menurunkan daya dukung lingkungan, rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri. b) Dasar Hukum Tindak Pidana Illegal Logging Dasar hukum penanggulangan dan pemberantasan tindak pidana illegal logging dapat ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan meskipun batasan illegal logging itu sendiri masih samar. Belum adanya peraturan yang memadai dan mencakup keseluruhan permasalahan illegal logging kadang menjadi penghambat bagi pemberantasan tindak pidana ini. Selain peraturan perundang-undangan yang merupakan hukum tertulis adapula hukum tidak tertulis berupa hukum adat atau kebiasaan setempat yang masih berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana illegal logging antara lain : (a). Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen keempat memberikan dasar hukum yang kuat bagi perlindungan tehadap kekayaan alam Indonesia termasuk kawasan hutan di dalamnya. Pada Pasal 33 ayat (3) dikatakan bahwa kekayaan alam Indonesia termasuk sumber daya alam yang ada 29 didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat. (b). Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dalam peraturan perundang-undangan ini, dikatakan bahwa Illegal Logging termasuk dalam kategori tindak pidana pencurian yaitu seperti tercantum pada Pasal 362 yaitu merupakan suatu perbuatan mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum. (c). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria Undang-undang ini mengatur bahwa bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa dan digunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Negara memiliki kewajiban dan hak untuk menguasai dan mengatur pemanfaatan sumber daya alam tersebut dan dapat menyerahkan sebagian pengelolaanya kepada orang perorangan atau badan hukum dengan tujuan untuk memanfaatkan hasilnya bagi kesejahteraan rakyat. Tetapi dalam pengelolaanya tidak boleh bertentangan atau melampaui batas yang telah ditetapkan oleh undang-undang (Pasal 1, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10). Dengan demikian undang-undang ini menganut konsep perlindungan bagi sumber daya alam dan pemanfaatannya. (d). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan penangkapan pelaku illegal logging, penahanan, penggeledahan, penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh pihak penyidik yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian 30 sampai pada tahap pembuktian dalam persidangan di pengadilan. (e). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya. Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa harus diambil suatu tindakan perlindungan terhadap sisitem penyangga kehidupan dari berbagai unsur hayati dan non-hayati bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kehidupan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Pasal 6, Pasal 7). Dalam peraturan ini pula terdapat larangan untuk mengambil atau menebang tumbuhan-tumbuhan yang termasuk di dalamnya adalah kayu hasil hutan (Pasal 21). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perlindungan terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terdapat didalamnya serta perlindungan terhadap ekosistem yang menjadi habitatnya. (f). Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam undang-undang ini dikatakan pada Pasal 1 butir 14 bahwa perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu diperlukan tindakan pencegahan dan pemberantasan untuk memulihkan kembali kerusakan lingkungan yang telah terlanjur terjadi. Semua upaya ini bertujuan demi terciptanya pelestarian fungsi lingkungan hidup bagi masyarakat itu sendiri (Pasal 14). (g). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan 31 Dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi induk peraturan tindak pidana illegal logging ini, ada beberapa ketentuan penting yang tercantum dalam beberapa pasal yaitu sebagai berikut : (1). Hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (2). Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. (3). Hasil hutan adalah benda-benda hayati, non-hayati dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan. (4). Bahwa dalam penguasaan hutan oleh negara, negara mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan. (5). Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. (6). Pemanfaatan hutan produksi dapat dilaksanakan dengan upaya pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu (Pasal 28 ayat (1)).pemanfaatan tersebut dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu ( Pasal 28 ayat (2)). 32 (7). Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikankepada perorangan atau badan hukum. (8). Perlindungan hutan dan kawasan hutan adalah suatu upaya untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, san hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak,kebakaran,.......,selain itu untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, perorangan atas hutan...........serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. (9). Bahwasannya demi terciptanya kelestarian hutan setiap orang atau pemegang izin usaha dilarang untuk melakukan tindakan perusakan hutan yang diantaranya adalah merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan, merambah kawasan hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang serta melakukan tindakan eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk lainnya. (10). Bahwasannya apabila terdapat pencemaran atau perusakan hutan maka instansi yang berwenang dapat bertindak demi kepentingan masyarakat. (h). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Undang-undang ini mengatur mengenai peranan aparat kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana illegal logging. Polisi bertindak sebagai penyidik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian bekerjasama dengan pihak terkait yang dalam hal ini adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dimiliki oleh instansiinstansi terkait. 33 Selain peraturan perundang-undangan diatas, ada beberapa peraturan lainnya yaitu : (a). Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia. Dalam peraturan ini dinyatakan bahwa harus dilakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan Indonesia melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan hukum yang melakukan perbuatan illegal logging atau perbuatan lain yang mendukung terjadinya tindak pidana tersebut. Dalam pelaksanaannya melibatkan 18 instansi terkait yang secara struktural berada di pusat dan daerah sesuai dengan ruang lingkup serta kewenangannya masing-masing. (b). Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan Dalam peraturan ini disebutkan bahwa perlindungan hutan adalah suatu bagian dari pengelolaan hutan. Disebutkan dalam Pasal 6 bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan adalah mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan dan hasil hutan yang salah satunya adalah sebagai akibat dari perbuatan manusia serta mempertahankan dan menjaga hakhak negara dan masyarakat atas hutan dan segala isinya yang bertujuan untuk terciptanya kawasan hutan yanag lestari. Dikatakan pula bahwa setiap kegiatan mengambil atau mengangkut hasil hutan harus disertai dengan dokumen yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan menghindari praktek pemanfaatan hutan secara tidak sah atau berlebihan (Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14). c) Ketentuan Pidana Illegal logging 34 Perbuatan- perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana ilegal logging serta ketentuan sanksi pidana mengenai illegal logging dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan diatur dalam BAB V Pasal 50 dan BAB XIV Pasal 78, yang berbunyi : Pasal 50 (1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan. (2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan. (3) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; b. merambah kawasan hutan; c. melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak : 500 meter dari tepi waduk atau danau; 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 100 meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang; 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai. d. membakar hutan; e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang; 35 f. menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah; g. melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; h. mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; j. membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; k. membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan m. mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh- tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang. (4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 36 KETENTUAN PIDANA Pasal 78 (1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (4) Barang siapa karena kelalaiannya melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). (5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan 37 pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). (8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah). (9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). (10)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (11)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (12)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (13)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10), dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran. (14)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana 38 masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan. (15)Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara. B. Kerangka Pemikiran Kerangka Pemikiran, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep – konsep khusus, yang ingin diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan – hubungan dalam fakta tersebut. Konsep atau kerangka pemikiran pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit daripada kerangka teoritis yang seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka pemikiran belaka, kadang – kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi – definisi operasional yang dapat menjadi pegangan kongkrit didalam proses penelitian. Dengan demikian, maka kecuali terdiri dari konsep – konsep suatu kerangka pemikiran dapat pula mencakup definisi – definisi operasionil. Di sini penulis ingin mengetahui sejauhmana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana ilegal logging, hal – hal yang menjadi pertimbangan dalam penjatuhan pidana baik yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Di sini Hakim menjalankan kewenangannya dengan berdasarkan atas keadilan sehingga tidak terjadi kesewenang – wenangan. Dengan begitu diharapkan pula agar pelaku tindak kejahatan dapat dikenai hukuman yang sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku. 39 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging 1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Pada dasarnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam hal menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana ilegal logging adalah apabila pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah disebutkan sebagai tindak pidana illegal logging dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila telah memenuhi unsur- unsur yang dilarang undang- undang. Apabila unsurunsur yang terdapat dalam pasal yang bersangkutan tidak terpenuhi, maka hakim akan memberikan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi terdakwa. Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor- faktor yang ada dalam diri terdakwa, yaitu apakah terdakwa benar- benar melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, apakah terdakwa mengetahui bahwa perbuatannya tersebut melanggar hukum dilakukan dengan perasaan takut dan bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan perbuatan dianggap mampu bertanggung jawab atau tidak. Kemudian diperhatikan pula kepentingan masyarakat. Selain hal tersebut, hakim harus memberikan keputusan yang sesuai dengan undang- undang yang berlaku serta harus berdasarkan nilai- nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu untuk memperjelas dan memperkuat serta mendukung uaraian dari bab- bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis 40 menyajikan data hasil penelitian yang selanjutnya dianalisa untuk memperoleh kesimpulan. Adapun data hasil penelitian adalah sebagai berikut : 1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska a. Identitas Para Terdakwa Terdakwa I Nama : NUR HADI WARTONO Tempat lahir : Karanganyar Umur / tanggal lahir : 42 tahun / 14 Februari 1962 Jenis Kelamin : Laki-laki Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Mendungsari RT. 004 RW. 003, Kal. Bulurejo, Kec. Gondangrejo, Karanganyar Agama : Islam Pekerjaan : Sopir Pendidikan : S L T A. Terdakwa II Nama : WARNO Tempat lahir : Boyolali Umur / tanggal lahir : 32 tahun / 07 Mei 1972 Jenis Kelamin : Laki-laki Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Kp. Gemen RT. 002 RW. 001, Kal. Jeron, Nogosari, Boyolali. Agama : Islam Pekerjaan : Swasta Pendidikan : S L T P. b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. 41 Bahwa terdakwa NUR HADI WARTONO bersama- sama WARNO (dalam perkara tersendiri), pada hari Jumat, tanggal 27 Agustus 2004 sekitar pukul 13.00 WIB atau setidak- tidaknya pada suatu waktu lain dalam bulan Agustus 2004, bertempat di Jalan Kapten Mulyadi Kel. Gandekan, Kec. Jebres, Surakarta atau setidak- tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, terdakwa telah Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara sebagai berikut : Bahwa ia terdakwa mengangkut kayu jati tersebut setelah dicarter oleh Sdr. Warno, lalu terdakwa mengangkut kayu jati tersebut, diangkut dari Kalijambe dari UD Lumintu, lalu diangkut kepenggergajian di Bulurejo, kemudian terdakwa angkut dengan tujuan Gading, Surakarta melalui Jl. Kapt. Mulyadi, Kel. Gandekan, Kec. Jebres, Surakarta, dan tidak lama kemudian diberhentikan oleh petugas sehingga ketika dinyatakan surat- surat kelengkapan kayu yang terdakwa angkut tidak dilengkapi SKSHH atau pas. kemudian mobil yang bermuatan kayu tersebut diamankan ke Kantor Polisi untuk pengusutan lebih lanjut Sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan. c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan yang pada pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : TUNTUTAN 1. Menyatakan Terdakwa, NUR HADI WARTONO bersalah melakukan tindak pidana : Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama 42 Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan sebagaimana terurai dalam dakwaan kami ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dengan subsidair kurungan selama 2 (dua) bulan ; 3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Mitsubishi AD-1858-HF dikembalikan kepada pemiliknya bernama Nur Hadi Wartono, 70 (tujuh puluh) lembar papan kayu jati panjang +/-2 meter dikembalikan kepada saksi Warno; 4. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). TUNTUTAN 1. Menyatakan Terdakwa, WARNO bersalah melakukan tindak pidana : Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan sebagaimana terurai dalam dakwaan kami ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) dengan subsidair kurungan selama 2 (dua) bulan ; 3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Mitsubishi AD-1858-HF, 70 (tujuh puluh) lembar papan kayu jati panjang +/-2 meter surat 1 (satu) Lembar nota pembelian dari UD Lumintu dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain ; 43 4. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). d. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. Mengingat akan ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan dan pasalpasal lainnya dari peraturan perundang- undangan yang bersangkutan MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa : NUR HADI WARTONO, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : ”Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) ; 3. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Mitsubishi AD-1858-HF dikembalikan kepada pemiliknya bernama Nur Hadi Wartono, 70 (tujuh puluh) lembar papan kayu jati panjang +/-2 meter dikembalikan kepada saksi Warno; 4. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan ; 5. membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa : WARNO, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : ”Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi 44 Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” ; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama : 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) ; 3. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan ; 4. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil Mitsubishi AD-1858-HF dan 70 (tujuh puluh) lembar papan kayu jati panjang +/-2 meter surat 1 (satu) Lembar nota pembelian dari UD Lumintu dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain ; 5. membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada hari : RABU, tanggal : 26 Januari 2005, oleh kami : SUROSO, SH Sebagai Hakim Ketua Majelis, BAMBANG KRISNAWAN, SH, dan AMIN ISMANTO, SH.,MH, masing- masing sebagai hakimhakim Anggota, putusan mana telah diucapkan di muka persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Hakim Ketua Majelis dengan didampingi para Hakim Anggota, dan dibantu oleh : HENDRA BAYU BROTO KUNTJORO, SH Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri surakarta dan dihadiri pula oleh : PRASETYO T.B, SH Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Surakarta serta dihadiri dan didengar pula oleh Terdakwa. 2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska. 45 Dari Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska tersebut dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam menjatuhkan keputusan berdasarkan pertimbangan yang dilihat dari segi hukum dan juga faktor- faktor yang memberatkan dan meringankan. Berdasarkan segi hukum, Majelis Hakim menjatuhkan putusan karena adanya fakta- fakta yang ditemukan di persidangan, yaitu setelah menghubungkan keterangan para saksi yang menguatkan (dari dua anggota Polri wilayah Surakarta, dan saksi teman terdakwa) maupun saksi ahli (Pegawai Perhutani) yang diajukan di depan persidangan, keterangan kedua terdakwa dan barang bukti berupa 1 (satu) mobil Mitsubishi No. Pol. AD-1858-HF, warna coklat berikut kunci kontak dan STNK atas nama Nur Hadi Wartono, kayu jati gergajian berbentuk papan panjang 2 meter tebal 1,7 cm, sebanyak 70 lembar, 1 (satu) lembar nota pembelian dari UD Lumintu tertanggal 27 Agustus 2004, 1 (satu) lembar nota pembelian tidak ada alamat dan nama dari toko yang mengeluarkan tertanggal 28 Agustus 2004, dapat diketahui bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan. Adapun unsur- unsur yang terkandung dalam Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan : a. Barang Siapa Unsur barang siapa di sini lebih dititikberatkan pada subyek hukum, yaitu manusianya sebagai pendukung hak dan kewajiban, atau dengan kata lain bahwa perbuatan pidana yang dilakukan yang dilakukan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dengan memperhatikan keterangan para saksi maupun keterangan terdakwa sendiri, maka terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno adalah orang atau pelaku dari tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa 46 Penuntut Umum serta yang bersangkutan sehat jasmani dan rohaninya dan dengan demikian yang bersangkutan yaitu terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno dapat dipertanggungjawabkan dalam melakukan perbuatannya. Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa unsur ”Barang Siapa” telah terbukti adanya. b. Mengangkut, Menguasai atau Memiliki Hasil Hutan. Berdasarkan fakta- fakta yang terungkap dipersidangan ternyata bahwa terdakwa bersama saksi Warno telah membeli kayu jati berbentuk gelondongan sebanyak 0,6 m3 dengan harga Rp. 790.000,di UD Lumintu Sragen, hal inilah yang menjadi unsur ”menguasai memiliki hasil hutan” dan kemudian unsur ”mengangkut” bisa kita lihat dari obyek kayu gelondongan yang dibawa oleh terdakwa dengan suatu sarana pengangkutan ke penggergajian kayu untuk dibuat dalam bentuk papan, setelah itu kayu jati tersebut oleh terdakwa bersama saksi Warno diangkut ke wilayah Surakarta dengan mengendarai sebuah kendaraan pick up AD-1858-HF. Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa unsur ” Mengangkut, Menguasai atau Memiliki Hasil Hutan” telah terbukti adanya. c. Yang Tidak Dilengkapi Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Bahwa dari fakta- fakta yang terungkap dipersidangan ternyata bahwa pada hari Jumat tanggal 27 Agustus 2004 sekitar jam 14.00 WIB bertempat di Jalan Kapten Mulyadi, Gandekan, Jebres, Surakarta terdakwa telah diberhentikan oleh petugas kepolisian di mana pada saat itu terdakwa sedang membawa kayu jati yang merupakan salah satu hasil hutan dari KPH setempat dalam sebuah kendaraan pick up No. Pol AD-1858-HF, dan ketika diperiksa oleh petugas ternyata terdakwa tidak bisa memperlihatkan Pas/ Surat Keterangan Hasil Hutan. 47 Bahwa dari uraian pertimbangan di atas, maka majelis berpendapat bahwa unsur ”Yang Tidak Dilengkapi Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” telah terbukti adanya. Penulis berpendapat bahwa sanksi pidana maupun denda yang telah dijatuhkan kurang berat apabila kita mencermati ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h yaitu mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan dan sanksi pidana yang dimuat dalam Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang menyatakan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum paragraf ke-18 UU No 41 Tahun 1999). Efek jera yang dimaksud bukan hanya pelaku yang melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat. Dalam kasus yang diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska pada tanggal 26 Januari 2005 tersebut para Terdakwa hanya dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp.50.000; (dua puluh lima ribu rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan, menurut penulis sanksi tersebut sangat ringan jika dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa dan ancaman pidana maksimal dari Undang- undang khusus yang bersangkutan. 48 Hal tersebut merupakan suatu kewajaran, putusan hakim terkadang bisa sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pidana yang diancamkan kepada terdakwa, karena seorang hakim berpatokan pada ancaman pidana minimal umum dan maksimal khusus sesuai dengan undangundang yang bersangkutan dan ada beberapa pertimbangan dari majelis hakim seperti faktor yang meringankan yang dilihat dari diri terdakwa dan melihat kepentingan masyarakat, antara lain terdakwa belum pernah dihukum sehingga dapat memperbaiki tingkah lakunya dikemudian hari, baru kali itu terdakwa melakukannya, terdakwa menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, terdakwa berlaku sopan di persidangan, karena adanya kebutuhan mendesak dari terdakwa yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terdakwa sebenarnya mempunyai tetapi karena terburu- buru terdakwa tidak membawa surat tersebut, beberapa fakta tersebut melatar belakangi pemberian masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan apakah terdakwa akan mengulang perbuatannya atau tidak, maka majelis hakim merasa Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska sudah cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang para terdakwa lakukan atau sudah tercapai tujuan pemidanaan. B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana Illegal Logging Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta melakukan sebuah musyawarah untuk membuat keputusan yang seadil- adilnya, merupakan hasil pemufakatan yang bulat kecuali jika hal tersebut terdapat suatu kejanggalan atau hambatan di mana terjadi perbedaan pendapat diantara majelis hakim kemudian diusahakan sungguh- sungguh tetap tidak dapat dicapai kata mufakat, maka berlaku putusan diambil dengan suara terbanyak, jika belum 49 tercapai juga maka dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan terdakwa. Pada kasus dengan terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno majelis hakim sangat mempertimbangkan fakta- fakta yang ada secara cermat dilihat dari diri terdakwa itu sendiri dan kepentingan masyarakat. Dimulai dari pemeriksaan saksi- saksi, mereka memberikan keterangan dengan sebenarbenarnya tidak berbelit- belit kemudian pengakuan terdakwa yang menyesali perbuatannya, pengajuan barang bukti yang sah, majelis hakim dengan mudah menyimpulkan atau membuat keputusan dengan seksama tanpa hambatan yang berarti dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara majelis hakim yang mengadili kasus ini. Dengan melihat data primer yang diperoleh penulis tidak terdapat hambatan, sehingga penulis merasa perlu untuk melihat data sekunder yang diperoleh dari sumber pustaka yang secara umum relevan dengan pembahasan kasus yang diangkat oleh penulis. Secara umum kasus Illegal Logging dewasa ini sangat luas cakupan pembahasannya atau kompleks sehingga muncul hambatan- hambatan dalam penegakkan khususnya proses peradilan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelakunya oleh aparat penegak hukum terutama hakim. Hambatanhambatan tersebut antara lain : Banyak sekali terjadi kolusi dan korupsi di kalangan pemerintah, terutama berkaitan dengan penerbitan dokumen kayu, sehingga sangat sulit penegakkan apabila telah menyangkut suatu instansi pemerintah. Saling lempar kewenangan dan tanggung jawab antara instansi teknis kehutanan, kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu terjadi pelimpahan tanggung jawab untuk menangani illegal logging, sehingga proses peradilan tidak efisien, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyaknya kasus Illegal Logging yang penjatuhan pidananya terdapat keganjilan cenderung pelaku kebal hukum, hal ini 50 menjadikan pelaku lebih leluasa dan berdampak pada psikologis aparat penegak hukum yang berusaha sungguh- sungguh untuk memberantas tindak pidana ini. Upaya- upaya untuk mengatasi masalah- masalah di atas yaitu apabila menyangkut sebuah instansi pemerintah, hendaknya pemerintah memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum sehingga lebih leluasa dalam hal proses peradilannya, ditentukan kewenangan instansi dalam menangani kasus tersebut sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya, kemudian yang terakhir yang paling inti adalah sanksi harus tegas dan moral penegak hukum itu sendiri yang harus benar- benar diperbaiki. 51 BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang secara rinci telah penulis sampaikan pada Bab III, maka sebagai penutup dapat ditarik kesimpulan-kesimpulan yang dapat memberikan gambaran secara ringkas mengenai : 1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Di Pengadilan Negeri Surakarta Dalam perkara pidana dengan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dapat dilihat bahwa majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan putusan dengan pertimbangan secara yuridis yaitu menggunakan Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. Pasal 78 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan serta faktor- faktor non yuridis berupa hal yang meringankan dan memberatkan. Dari putusan tersebut para terdakwa dalam perkara yang terpisah telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : ”Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),” dengan hukuman pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp.50.000; (dua puluh lima ribu rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan. Putusan tersebut dirasa sudah cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang para terdakwa lakukan karena terdapat hal- hal yang meringankan pada diri para terdakwa diantaranya : Para terdakwa belum pernah dihukum. Baru kali itu atau pertama kali terdakwa melakukannya. 52 Para terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Karena adanya kebutuhan mendesak dari terdakwa yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Para terdakwa bersikap sopan dipersidangan. Terdakwa sebenarnya mempunyai surat tersebut tetapi karena terburu- buru supaya barang tersebut segera dikirim maka terdakwa lupa membawa surat tersebut. Beberapa fakta tersebut melatar belakangi pemberian masa percobaan selama 10 (sepuluh) bulan apakah terdakwa akan mengulang perbuatannya atau tidak, maka majelis hakim merasa Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska sudah cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang para terdakwa lakukan atau sudah tercapai tujuan pemidanaan. 2. Hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Di Pengadilan Negeri Surakarta. Dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana Illegal Logging Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta melakukan sebuah musyawarah untuk membuat keputusan yang seadil- adilnya, merupakan hasil pemufakatan yang bulat. Pada kasus dengan terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno majelis hakim sangat mempertimbangkan fakta- fakta yang ada secara cermat dilihat dari diri terdakwa itu sendiri dan kepentingan masyarakat. Majelis hakim dengan mudah menyimpulkan atau membuat keputusan dengan seksama tanpa hambatan yang berarti dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara majelis hakim yang mengadili kasus ini. Dengan melihat data primer yang diperoleh penulis tidak terdapat hambatan, sehingga penulis merasa perlu untuk melihat data sekunder 53 yang diperoleh dari sumber pustaka yang secara umum relevan dengan pembahasan kasus yang diangkat oleh penulis. Hambatan- hambatan dalam penegakkan khususnya proses peradilan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelakunya oleh aparat penegak hukum terutama hakim. Hambatan- hambatan tersebut antara lain : Banyak sekali terjadi kolusi dan korupsi di kalangan pemerintah, terutama berkaitan dengan penerbitan dokumen kayu, sehingga sangat sulit penegakkan apabila telah menyangkut suatu instansi pemerintah. Saling lempar kewenangan dan tanggung jawab antara instansi teknis kehutanan, kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu terjadi pelimpahan tanggung jawab untuk menangani illegal logging, sehingga proses peradilan tidak efisien, tidak berjalan sebagaimana mestinya. Banyaknya kasus Illegal Logging yang penjatuhan pidananya terdapat keganjilan cenderung pelaku kebal hukum, hal ini menjadikan pelaku lebih leluasa dan berdampak pada psikologis aparat penegak hukum yang berusaha sungguh- sungguh untuk memberantas tindak pidana ini. Upaya- upaya untuk mengatasi masalah- masalah di atas yaitu apabila menyangkut sebuah instansi pemerintah, hendaknya pemerintah memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum sehingga lebih leluasa dalam hal proses peradilannya, ditentukan kewenangan instansi dalam menangani kasus tersebut sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya, kemudian yang terakhir yang paling inti adalah sanksi harus tegas dan moral penegak hukum itu sendiri yang harus benarbenar diperbaiki. B. Saran 1. Dengan adanya pemberlakuan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) 54 “Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),” diharapkan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan sehingga dapat membuat jera para pihak untuk melakukan tindak pidana Illegal Logging beserta serangkaian perbuatan yang menjurus dalam bidang kehutanan. 2. Dalam memberikan putusan sebaiknya hakim lebih mempertimbangkan lagi latar belakang pendidikan, sosial, kultural, dan ekonomi terdakwa. 3. Sebaiknya masyarakat diberi kewenangan terhadap akses informasi dalam proses penegakan hukum. Selama ini masyarakat hanya diposisikan sebagai pelapor, sedangkan pada proses pengawasan, masyarakat ditinggalkan. Penting untuk mengikutsertakan masyarakat, untuk memperkecil ruang kolusi dan korupsi di dalam sebuah badan, terutama pada kasus Illegal Logging yang kompleks sekali rangkaian tindak pidana yang berhubungan langsung dengan tindak pidana Illegal Logging. 55 DAFTAR PUSTAKA Adam Chazawi 2001. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Andi Hamzah .1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika Martiman Prodjohamidjojo. 1996. Memahami Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta : PT Pradnaya Paramita Moeljatno. 2001. Kitab Undang – undang Hukum Pidana. Jakarta : PT Bumi Aksara Oemar Seno Adji. 1984 . Hukum – Hakim Pidana . Jakarta : Erlangga Soerjono, Soekamto. 1986 . Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia Press Winarno Surachman. 1995. Pengantar Peneltian Ilmiah. Bandung : Tarsito P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti . 2002.Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana . Surabaya : Karya Anda Alam Setia Zain. 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan. Jakarta: PT Rineka Cipta Koesnadi Hardjasoemantri. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ekosistemnya. 56 Bismar Siregar. 1983. Berbagai Segi Hukum dan Perkembangan Dalam Masyarakat. Bandung. Alumni Nanda Agung Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Perkara Pidana. Jakarta. Aksara Persada Indonesia Peraturan Perundang-Undangan : UUD Tahun 1945 UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan Peraturan Lainnya: Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia. Internet : Hukumonline.com Republika online Sinar Indonesia Baru online www.menlh.go.id 57 58 59 60