usulan penelitian hukum - Universitas Sebelas Maret

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Bangsa Indonesia telah lebih dari 50 tahun peradaban dan perilakunya
berlandaskan kemandirian budaya bangsa yang berideologi Pancasila dan
Undang- Undang Dasar 1945. Cita- cita yang ingin diwujudkan adalah
terwujudnya peri kehidupan bangsa yang adil dan makmur baik materiil dan
spirituil. Sebagai suatu negara yang dalam tahap membangun dan
berkembang, Indonesia melaksanakan pembangunan yang pada hakikatnya
merupakan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan
masyarakat
Indonesia
seluruhnya
Pembangunan
Nasional
perencanaan
yang
dengan
dilaksanakan
menentukan
secara
berlandaskan
merata
prioritas-prioritas
Pancasila.
dengan
model
utama
dalam
penyelenggaraan pembangunan di bidang politik dan keamanan serta disertai
pembangunan di bidang ekonomi untuk mencukupi hajat hidup orang banyak
ternyata menimbulkan berbagai masalah- masalah baru yang perlu
ditanggulangi.
Salah satu permasalahan yang timbul dari adanya pembangunan yaitu
mengenai tindak pidana illegal logging atau kayu illegal yang benar- benar
telah meluas. Kayu memang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi,
banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh dari kayu, seperti sebagai bahan
bangunan, kerajinan, dan alat-alat rumah tangga. Seiring dengan semakin
berkurangnya lahan hutan karena digunakan untuk perumahan dan lahan
pertanian, maka semakin berhargalah kayu tersebut dan semakin tinggi nilai
ekonomisnya. Hal inilah yang merupakan penyebab semakin meluasnya
tindak pidana illegal logging. Oleh karena itu perlu adanya penanganan dan
suatu perhatian yang khusus dari pemerintah, karena dampak yang timbul dari
perbuatan tersebut sangat komplek sangat merugikan negara dan tentunya
masyarakat.
2
Indonesia diperkirakan memiliki wilayah hutan tropika seluas 143,970
juta Ha yang tersebar di seluruh pelosok nusantara (Koesnadi Hardjasoemantri
1999:4). Jumlah tersebut lama kelamaan mengalami penurunan baik dari segi
kualitas maupun kuantitas mutu lingkungannya. Hal tersebut terjadi
disebabkan karena adanya bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung
berapi, longsor, banjir dan kebakaran. Selain itu kerusakan hutan juga
diakibatkan oleh tangan-tangan jahil manusia yang mengekploitasi hutan baik
secara langsung maupun tidak langsung seperti penebangan kayu. pencurian
kayu mengangkut secara illegal kemudian mengirim kayu tersebut tanpa Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan, pembukaan lahan, pencemaran yang dapat
menyebabkan kerusakan kawasan hutan tersebut.
Aktivitas perusakan ini diperparah dengan adanya penyelewengan
berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai menguntungkan bagi individual
tanpa memperhatikan pelestarian kawasan hutan tersebut. Seperti contoh
adanya
aktivitas
perusahaan-perusahaan
yang
memiliki
izin
usaha
pemanfaatan hutan yang kadang secara sewenang-wenang mengeruk hutan
tersebut karena merasa memiliki dan telah resmi mengantongi izin dari
pemerintah. Aktivitas semacam ini masih terus saja berlangsung meskipun
dampak kerusakannya telah terlihat secara nyata.
Salah satu bentuk dari perusakan hutan tersebut adalah kegiatan
pencurian kayu baik yang dilakukan oleh individu maupun badan-badan
hukum tertentu. Tindakan ini termasuk kedalam tindak pidana yang disebut
dengan tindak pidana illegal logging. Illegal logging disini memiliki
pengertian yaitu suatu bentuk perbuatan “mengambil” dan atau perbuatan
“mengangkut” hasil hutan tanpa izin dari pihak yang berwenang atau
menggunakan dokumen palsu dan atau menunjukan dokumen asli tapi palsu
(Alam Setia Zain , 1997:49).
Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum dengan penegakkan
hukum secara tegas adalah melalui Kekuasaan Kehakiman, dimana hakim
merupakan aparat penegak hukum yang melalui putusannya dapat menjadi
tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
3
Kekuasaan Kehakiman diatur dalam Undang- Undang Dasar 1945
BAB IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang- Undang Nomor 4
Tahun 2004. Undang- Undang Dasar 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan
Kehakiman yang bebas. Hal itu tegas dicantumkan dalam Pasal 24 terutama
dalam penjelasan Pasal 24 ayat (1) dan penjelasan pada Pasal 1 UU No. 4
Tahun 2004, yaitu :
“ Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas
dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal- hal
sebagaimana disebut dalam Undang- Undang Dasar 1945.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak
karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan
rakyat Indonesia .”
Kemudian pada Pasal 24 ayat (2) menegaskan bahwa :
“ Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. “
Menurut Andi Hamzah dalam bukunya yang berjudul “Hukum Acara
Pidana Indonesia,” hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi
ketentuan universal. Hal ini menjadi ciri suatu negara hukum. The Universal
Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 mengatakan :
“ Everyone is entitled in full equality to affair and public hearing by an
independent and impartial in the determination of his rights and obligation
and any criminal charge againts him. “ (Andi Hamzah, 1996 : 94).
Berhubungan dengan kebebasan hakim, perlu pula dipaparkan posisi
hakim yang tidak memihak (impartial judge) Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun
2004. Istilah tidak memihak di sini haruslah diartikan tidak harfiah, karena
dalam menjatuhkan putusannya hakim harus memihak pada yang benar.
Dalam hal ini hakim tidak memihak diartikan tidak berat sebelah dalam
4
pertimbangan dan penilaiannya. Lebih tepatnya perumusan UU No. 4 Tahun
2004 Pasal 5 ayat (1) : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda- bedakan orang.”
Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan
dengan tidak memihak. Hakim dalam memberikan suatu keadilan harus
menelaah terlebih dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan
kepadanya kemudian memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru
dapat menjatuhkan putusa terhadap peristiwa tersebut.
Dalam kehidupan masyarakat yang semakin komplek saat ini dituntut
adanya penegakkan hukum dan keadilan untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat. Untuk figur seorang hakim sangat menentukan melalui putusanputusannya karena pada hakekatnya hakimlah yang menjalankan kekuasaan
hukum peradilan demi terselenggaranya fungsi peradilan itu (Nanda Agung
Dewantara, 1987 : 25).
Seorang hakim dianggap tahu akan hukumnya sehingga ia tidak boleh
menolak memeriksa dan mengadili suatu peristiwa yang diajukan kepadanya.
Hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 35 Tahun 1999 jo. UU No 4
Tahun 2004 yaitu : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.” Dalam
menemukan hukumnya seorang hakim diperbolehkan untuk bercermin pada
yurisprudensi dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Menurut
pendapat Wirjono Projodikoro dalam menemukan hukum tidak berarti bahwa
seorang hakim menciptakan hukum, menurut beliau hakim hanya merumuskan
hukum (Andi Hamzah, 1996 : 103).
Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada
undang- undang yang berlaku saja tetapi juga harus berdasarkan nilai- nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2004 yaitu : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai- nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Oleh karena itu
5
dalam memberikan putusan hakim harus berdasar penafsiran hukum yang
sesuai dengan rasa keadilan yang tumbuh, hidup, dan berkembang dalam
masyarakat, juga faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor budaya, sosial,
ekonomi, politik dan lain- lain.
Dengan demikian seorang hakim dalam memberikan putusan terhadap
kasus yang sama dapat berbeda karena antara hakim yang satu dengan yang
lainnya mempunyai cara pandang serta dasar pertimbangan yang berbeda pula.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk mengetahui
sejauhmana hakim memberikan pertimbangan terhadap putusan dalam tindak
pidana Illegal Logging yang akan dituangkan dalam penulisan hukum dengan
judul :
“ DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN
SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA ILLEGAL
LOGGING DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA. “
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan diskripsi latar belakang masalah di atas, maka
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana Illegal Logging ?
2. Hambatan- hambatan apa sajakah yang dihadapi oleh hakim Pengadilan
Negeri Surakarta dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana Illegal logging ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan suatu target yang ingin dicapai dalam
suatu penelitian sebagai suatu solusi atas masalah yang dihadapi (tujuan
obyektif), maupun untuk memenuhi kebutuhan perorangan (tujuan subyektif).
Dalam penelitian ini tujuan yang akan dicapai adalah :
1. Tujuan Objektif :
6
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging di
Pengadilan Negeri Surakarta;
b. Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang dihadapi hakim dalam
menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal
logging.
2 . Tujuan Subjektif :
a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap
pelaku tindak pidana illegal logging;
b. Untuk memenuhi syarat- syarat dalam menempuh ujian akhir guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini mampu memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya, serta mengetahui
dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana
terhadap pelaku tindak pidana illegal logging;
b. Dapat bermanfaat selain sebagai sumber informasi juga sebagai
literatur atau bahan- bahan informasi ilmiah.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca
mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal logging;
b. Untuk memberikan pemikiran alternative yang diharapkan dapat
digunakan sebagai bahan informasi dalam kaitannya dengan
pertimbangan yang menyangkut masalah;
7
c. Guna memberi jawaban atas permasalahan yang diteliti.
E. Metode Penelitian
Beberapa hal yang menjadi bagian dari metode dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a) Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup penelitian empiris yaitu
penelitian yang dilakukan dengan menganalisis data, wawancara
dengan pihak yang terkait yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti.
b) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam rangka penulisan ini dilakukan di Pengadilan
Negeri Surakarta.
c) Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini bersifat deskriptif. Yang
dimaksud penelitian deskriptif menurut Winarno Surachman adalah: “
suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah yang ada sekarang
dengan
mengumpulkan,
menyusun,
mengklarifikasi
serta
mengintepretasikan arti dari data tersebut “.
d) Pendekatan Penelitian
Sedangkan
pendekatan
penelitian
dalam
permasalahan
ini
menggunakan pendekatan kualitatif, dimana dilakukan penulis ingin
meneliti hakekat dan makna dari data mengenai permasalahan yang
ada.
e) Jenis Data
Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini berupa data primer
yang diperoleh penulis dari hasil wawancara penulis dengan Hakim
yang memeriksa perkara tindak pidana illegal logging di Pengadilan
Negeri Surakarta,
Selain itu didukung dengan data sekunder. Yaitu data yang berasal dari
bahan pustaka antara lain : dokumen – dokumen resmi, majalah,
8
artikel, surat kabar, dan sumber – sumber tertulis lainya yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Data sekunder memiliki ciri – ciri umum sebagai berikut:
a) Pada umumnya ada dalam keadaan siap buat
b) Bentuk maupun isi data sekunder telah dibentuk dan diisi oleh
peneliti – peneliti terdahulu
c) Data sekunder dapat diperoleh tanpa terikat atau dibatasi oleh
waktu dan tempat. ( Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 1991:
28 ).
f) Sumber data
1. Sumber data primer, merupakan sumber data yang diperoleh
langsung dari lapangan dalam hal ini meliputi Pejabat Pengadilan
Negeri Surakarta.
2. Sumber data sekunder, dibedakan menjadi dua yaitu :
a)
Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang –
undangan, dokumen resmi dan data tertulis dari Pengadilan
Negeri Surakarta.
b)
Bahan hukum sekunder meliputi hasil karya ilmiah, hasil –
hasil penelitian sebelumnya.
g) Tehnik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian guna
menyusun penulisan hukum ini, penulis menggunakan tehnik
pengumpulan data sebagai berikut :
(1) Studi Kepustakaan
Merupakan cara tehnik pengumpulan data dengan membaca dan
memperoleh bahan – bahan tertulis seperti buku – buku ilmiah,
peraturan perundangan, hasil penelitian, artikel – artikel yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti oleh penulis.
(2) Studi Lapangan
Merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian
dalam rangka mengumpulkan data primer :
9

Wawancara ( interview )
Tehnik wawancara yang dilakukan yaitu dengan bertatap
muka dengan mengadakan tanya jawab langsung guna
memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini.
h) Tehnik Analisis Data dan Model Analisis
Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis
data tersebut.. Tehnik analisis data adalah suatu uraian tentang cara –
cara analisis, yaitu kegiatan mengumpulkan data kemudian diedit
dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai bahan analisis yang
sifatnya kualitatif. Analisis kualitatif ini menghasilkan data deskriptif
yang merupakan kata – kata , tulisan atau uraian dari orang lain dan
perilaku yang diamati. ( Maria W.W Sumarjono, 1989 : 16 ).
Setelah data yang diperlukan dalam penelitian terkumpul maka
langkah selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang digunakan
adalah analisis kualitatif model interaktif ( interactive model of
analysis ). Pengertian model interaktif tersebut adalah bahwa data yang
terkumpul akan dianalisis melalui tiga tahap, yaitu : mereduksi data,
menyajikan data, dan kemudian menarik kesimpulan. Selain itu,
dilakukan pula proses siklus antara tahap – tahap tersebut, sehingga
data yang terkumpulkan berhubungan satu dengan lainya secara
sistematis. ( HB. Sutopo,1991 : 13)
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam skema :
Pengumpulan Data
Reduksi Data
Penyajian Data
Penarikan Kesimpulan
( Mattew B. Milles dan A. Michael Huberman, 1992 : 20 )
10
Kegiatan kompenen itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
-
Reduksi Data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis dikepustakaan. Reduksi tersebut
berlangsung terus menerus bahkan sebelum data benar – benar
terkumpul sampai sesudah penelitian dan laporan akhir lengkap
tersusun.
-
Penyajian Data
Merupakan
sekumpulan
informasi
tersusun
yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
-
Penarikan Kesimpulan
Dari permulaan pengumpulan data seorang penganalisis mulai
mencari arti benda – benda, mencatat keteraturan, pola – pola,
penjelasan, konfigurasi – konfigurasi yang mungkin, alur sebab –
akibat dan proporsi. Kesimpulan – kesimpulan tetap akan ditangani
dengan longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah
disediakan, mula – mula belum jelas, meningkat menjadi lebih
rinci dan mengarah pada pokok. Kesimpulan – kesimpulan juga
diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi itu mungkin
sesingkat pemikiran kembali yang melintas dalam pikiran penulis
selama ia menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan – catatan, atau
mungkin menjadi seksama dan makan tenaga dengan peninjauan
kembali.( Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 1992 : 19)
Peneliti harus bergerak diantara keempat sumbu kumparan itu
selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak – balik
diantara kegiatan reduksi, penyajian, dan penarikan kesimpulan /
verifikasi selama sisa waktu penelitiannya. Aktivitas yang
dilakukan dengan proses itu komponen – komponen tersebut akan
didapat yang benar – benar mewakili dan sesuai dengan
11
permasalahan yang diteliti. Setelah analisis data selesai, maka
hasilnya akan disajikan secara deskriptif yaitu dengan jalan apa
adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dan data yang
diperoleh. Setelah semua data dikumpulkan, kemudian direduksi
yang berupa klasifikasi dan seleksi. Kemudian kita ambil
kesimpulan dan langkah tersebut tidak harus urut tetapi
berhubungan terus sehingga membuat siklus. ( H. B. Sutopo, 1991
: 13)
F. Sistematika Skripsi
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh dari penulisan
hukum yang disusun, maka penulis menyusun sistematika penulisan hukum
yang diperinci bab demi bab sebagai berikut :
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis mengemukakan tentang
pendahuluan meliputi latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian dan sistematika penulisan hukum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tentang :
A.
Tinjauan
umum
tentang
Kekuasaan
Kehakiman, pengertian hakim, pengertian
Kekusaan
Kehakiman,
penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman, tugas dan wewenang
hakim, kewajiban hakim, tanggung jawab
hakim, kedudukan hakim yang bebas dan
tidak memihak.
B.
Tinjauan
mengenai
putusan
hakim
pengadilan, pengertian, bentuk dan isi
12
putusan, syarat sahnya, dampak putusan
pengadilan,
faktor
pertimbangan
hakim
dalam menjatuhkan berat ringannya putusan
pemidanaan.
C.
Tinjauan tentang tindak pidana Illegal
Logging,
pengertian,
dasar
hukum,
ketentuan pidana.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis menjelaskan mengenai hasil
penelitian
yang
diperoleh
di
lapangan
dan
pembahasan mengenai analisis terhadap dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
pidana terhadap pelaku tindak pidana illegal
logging, pemidanaan yang dikenakan pada terdakwa
tindak pidana tersebut, dan hambatan yang dihadapi
hakim dalam menjatuhkan pidana tersebut dan
bagaimana cara mengatasinya.
BAB IV
PENUTUP
Merupakan bagian akhir dari penulisan hukum yang
berisikan
beberapa
kesimpulan
dan
saran
berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan
dalam bab sebelumnya.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
Dalam suatu penelitian ilmiah, konsep teori merupakan langkah awal
dalam usaha memecahkan suatu masalah yang dihadapi, karena disinilah akan
diperoleh informasi atau keterangan abstrak yang berkaitan dengan
permasalahan dann obyek penelitian. Dengan berpedoman konsep teori yang
informatif, seorang peneliti akan dapat mencari data yang tepat dan berdaya
guna sehingga tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik.
Dapat dikatakan bahwa kerangka teori variabel yang hendak dicapai
oleh peneliti mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesimpulan
akhir yang hendak dicapai. Oleh Karena itu kerangka pemikiran dasar suatu
naskah penelitian ilmiah haruslah disusun dan direncanakan sesuai dengan
arah dan sasaran yang diinginkan. Dengan memandang pentingnya kerangka
teori bagi kegiatan penelitian, maka pada sub bab ini akan dikemukakan
beberapa keterangan nilai yang berkaitan dengan masalah yang akan peneliti
lakukan.
Bagi hakim untuk dapat menjatuhkan suatu putusan pada suatu perkara
ada berbagai pertimbangan – pertimbangan, untuk sampai pada tahap tersebut,
harus melalui berbagai proses terlebih dahulu yaitu, dari pemeriksaan dimuka
persidangan dengan terlebih dahulu menerima berkas perkara dari kepolisian,
kemudian diserahkan kepada Jaksa Penuntut Umum yang nantinya akan
mengajukan surat dakwaan yang dilimpahkan ke Pengadilan yang berwenang
untuk memeriksa perkara tersebut. Dengan berbagai proses pemeriksaan dari
alat – alat bukti, kesaksian serta hal – hal baik yang meringankan maupun
memberatkan, maka Hakim dapat menjatuhkan putusan bagi terdakwa yang
bersangkutan.
14
1. Tinjauan Umum Tentang Kekuasaan Hakim
a)
Pengertian Hakim
Dalam Pasal 28 ayat (1) Undang- undang No. 4 Th 2004
Tentang Ketentuan – ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
berbunyi :“ Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai –
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat “.
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh
Undang – undang untuk mengadili ( vide Pasal 1 butir 8 KUHAP ).
UU No. 4 Tahun 2004 Pasal 31 Hakim Pengadilan yaitu Pejabat
yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman yang diatur dalam
undang- undang.
Hakim sebagai pejabat pengadilan diberi wewenang untuk
mengadili ( Pasal 1 butir 8 ). Mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang –
undang ( Pasal 1 butir 9 ).
Hakim sebagai salah satu unsur dalam suatu proses peradilan
dalam menjalankan fungsinya tidak bergerak di ruang yang hampa
sekalipun secara konstitusional hakim diberi kedudukan yang
mandiri
( independent ) dan terhormat, namun banyak faktor
yang mempengaruhi hakim dalam menjalankan tugasnya. Secara
garis besar faktor yang mempengaruhi hakim tersebut dapat dibagi
menjadi 2, yaitu faktor intern dan faktor ekstern, faktor intern adalah
faktor yang ada pada diri hakim itu sendiri. Yang antara lain meliputi
latar belakang sosial, budaya dari ekonomi hakim, profesionalisme
hakim dan berbagai dorongan psikologi atau moral yang membentuk
pribadi hakim. Faktor ekstern adalah faktor yang berada disekitar
hakim dalam menjalankan tugasnya yang antara lain meliputi
tuntutan masyarakat, tuntutan para pihak, pengaruh kekuasaan (
15
eksekutif ), system peradilan dan berbagai variasi khusus atau
perkiraan. Faktor – faktor tersebut pada taraf tertentu akan
membentuk sikap dan perilaku hakim dalam mengambil suatu
putusan .( Al Wibisono, 1996 : 94).
b)
Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman menurut Pasal 1 Undang- Undang No.
35 Tahun 1999 jo. Undang- Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang
Ketentuan-
ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman
adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
c)
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman
Dasar penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diatur dalam
BAB IX Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) Undang- Undang Dasar 1945
terutama Pasal 2 UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan
peradilan
umum,
lingkungan
peradilan
agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam pelaksanaan operasional Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan oleh Badan- badan Peradilan yang terdiri dari empat
lingkungan peradilan dan berpuncak pada Mahkamah Agung.
Berdasarkan Pasal 10 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004, empat
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan Peradilan Tata Usaha Negara. Masing- masing dari lingkungan
peradilan meliputi badan peradilan tingkat pertama dan tingkat
banding serta berwenang untuk memeriksa perkara- perkara tertentu.
Peradilan Umum berwenang untuk menyelenggarakan pengadilan
16
terhadap perkara- perkara pidana dan perdata bagi golongan
masyarakat umum, sedangkan Peradilan Agama, Peradilan Militer,
dan
Peradilan
Tata
Usaha
Negara
berwenang
untuk
menyelenggarakan pengadilan terhadap perkara- perkara khusus bagi
golongan tertentu sehingga merupakan peradilan yang khusus
d)
Tugas dan Wewenang Hakim
Menurut undang- undang ada tiga tugas utama yang harus
dilakukan oleh hakim yang pada pembaharuan UU No. 35 Tahun
1999 menjadi UU No. 4 Tahun 2004 sepenuhnya penyelenggaraan
dilakukan oleh Mahkamah Agung, yaitu :
a.
Sebagai tugas pokok yakni tidak boleh menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
(Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004).
b.
Sebagai
tugas
yuridis
yakni
memberi
keterangan,
pertimbangan, dan nasehat- nasehat tentang soal hukum kepada
lembaga negara lainnya apabila diminta (UU No. 4 Tahun
2004).
c.
Sebagai tugas akademis atau ilmiah dalam melaksanakan tugas
pokoknya (Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 4 Tahun
2004).
Dalam menjalankan tugasnya hakim harus selalu mentaati
dirinya dengan kode etik kehakiman. Adapun kode etik profesi
hakim terdapat dalam Kode Kehormatan Hakim dan Majelis
Kehormatan Hakim. Dalam BAB II dirumuskan sikap hakim sebagai
berikut :

Hakim harus bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bijaksana.

Jujur.
17

Berkelakuan baik.
(Bismar Siregar, 1983 : 119)
Wewenang hakim sebagai pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang- undang berdasarkan Pasal 1 butir 8
KUHAP adalah untuk mengadili. Dalam Pasal 1 butir 9 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan mengadili adalah serangkaian
tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara
pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang
pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undangundang.
e)
Kewajiban Hakim
Hakim mempunyai kewajiban yang didasarkan pada UU No.
4 Tahun 2004 diantaranya adalah sebagai berikut :
1.
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)).
2.
Hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari
tertuduh dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana
(Pasal 28 ayat (2)).
3.
Apabila ada hubungan darah sampai derajat ketiga atau
semenda dengan Hakim Ketua, Hakim Anggota, Jaksa,
Penasehat Hukum, atau Panitera, hakim wajib mengundurkan
diri dari suatu pemeriksaan perkara (Pasal 29 ayat (3)).
4.
Hakim Ketua Sidang, Hakim Anggota, dan Jaksa bahkan
Panitera yang masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah
sampai derajat ketiga atau semendadengan yang diadili, ia
wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara itu (Pasal
29 ayat (4)).
5.
Hakim diwajibkan untuk bersumpah atau berjanji menurut
agamanya sebelum memangku jabatan (Pasal 30 ayat (1)).
18
f)
Tanggung Jawab Hakim
Hakim bertanggung jawab yang utama kepada Tuhan Yang
Maha Esa, masyarakat, bangsa, negara, dan diri sendiri, hal ini dapat
dilihat dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang
berisi “ Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami
hukum, apabila ia tidak dapat menemukan hukum yang tertulis maka
ia wajib menggali nilai- nilai hukum yang tidak tertulis untuk
memutus berdasarkan hukum yang adil dan bertanggung jawab
kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, bangsa, negara, dan diri
sendiri. “
g)
Kedudukan Hakim yang Bebas dan Tidak Memihak
UUD 1945 menjamin adanya suatu Kekuasaan Kehakiman
yang bebas. Kedudukan hakim yang bebas dan tidak memihak secara
tegas tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, yang
menyatakan “ Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung
dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang- undang tentang
kedudukan para hakim.”
Hakim mempunyai kebebasan untuk menentukan berat
ringannya pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana. Hal
ini sesuai dengan Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 yang berbunyi “
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. “
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas tersebut kebebasan
hakim tersebut mempunyai arti, yaitu :
1.
Bebasnya hakim dari pengaruh dan campur tangan pihak lain.
Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 1 UU No. 4 Tahun
19
2004, bahwa Kekuasaan Kehakiman yang merdeka bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan negara yang lainnya dan bebas
dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang lain dari pihak
ekstra yudicial, kecuali dalam hal- hal yang diijinkan undangundang.
2.
Bebasnya hakim dari keterkaitan dengan pihak- pihak yang
berperkara. Dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara
harus atas dasar obyektifitas tanpa memihak kepada salah satu
pihak dan tidak boleh membeda- bedakan. Oleh karena itu
kebebasan hakim tersebut dapat berwujud :
a. Bebas dalam menggunakan keyakinan pribadinya tentang
terbukti tidaknya kesalahan terdakwa (Pasal 183 KUHAP).
Undang- undang memberi syarat- syarat yang berat untuk
dapatnya hakim memidana seseorang, yaitu :
 Karena pembuktian yang sah menurut undang- undang,
untuk
dikatakan
terbukti
dengan
sah
sekurang-
kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut
Pasal 183 KUHAP.
 Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap
bertanggung jawab.
 Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang
didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.
 Adanya keyakinan hakim.
b. Bebasnya hakim dalam menentukan hukum yang akan
diterapkan.
c. Hakim bebas dalam menentukan besarnya pidana yang
akan dijatuhkan kepada seseorang. Hakim bebas bergerak
dari minimum sampai maksimum khusus, dan bebas
memilih pidana mana yang akan dijatuhkan dalam hal
undang- undang mengancam dengan pidana pokok dan
pidana tambahan.
20
Tidak dapat dipisahkan dari kedudukan hakim yang bebas
adalah keharusan hakim untuk tidak memihak (impartial judge)
sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa hakim tidak memihak adalah hakim yang dalam
menjalankan tugas dan profesinya tidak membeda- bedakan orang,
hal ini berarti hakim harus selalu menjamin persamaan hukum dan
pemenuhan perlakuan sesuai hak- hak asasi manusia kepada setiap
orang, khususnya bagi tersangka atau terdakwa.
2. Tinjauan Tentang Putusan Hakim Pengadilan
a)
Pengertian Putusan Hakim
Dalam suatu proses persidangan jika pemeriksaan dinyatakan
ditutup, maka hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk
mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan
setelah terdakwa, saksi, penasehat hukum, penuntut umum, dan
hadirin meninggalkan ruangan sidang.
Dalam Pasal 182 ayat (6) KUHAP, bahwa musyawarah
terakhir untuk mengambil keputusan sedapat mungkin musyawarah
majelis merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika hal itu telah
diusahakan sungguh – sungguh tidak dapat dicapai, maka ditempuh
dengan suara terbanyak dan jika tetap tidak terpenuhi maka putusan
yang dipilih adalah putusan yang paling menguntungkan bagi
terdakwa.
Pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan
terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas, atau lepas dari
segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur
dalam Undang – undang.
b)
Isi Putusan Hakim
21
Dalam
setiap
putusan
hakim
mempunyai
beberapa
kemungkinan diantaranya:
1.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana atau tata tertib
Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
pidana ( Pasal 193 ayat (1)) KUHAP.
Tapi menurut perumusan Van Bemmelen bahwa
putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah
mendapat
keyakinan
bahwa terdakwa telah
melakukan
perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa
perbuatan dan terdakwa dapat pidana.
2.
Putusan Bebas
Dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari
hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan
yang didakwa kepadanya, tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan, maka terdakwa diputus bebas ( Pasal 191 ayat
(1) KUHAP ). Maksudnya bahwa terdakwa dibebaskan dari
segala tuntutan hukum dan dibebaskan dari pemidanaan karena
kesalahan terdakwa atau perbuatan yang di dakwakan
kepadanya tidak terbukti.
3.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum.

Dijatuhkan menurut KUHAP jika pengadilan berpendapat,
bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum. ( Pasal 191 (2) KUHAP ).
Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas
yang harus dipenuhi suatu putusan hakim, dan menurut ayat (2)
pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang
tersebut pada huruf g putusan batal demi hukum.
22
Ketentuan tersebut adalah :
a. Kepala
putusan
berbunyi
:
“
DEMI
KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA “.
b. Nama lengkap, tempat lahir, agama, dan pekerjaan
terdakwa.
c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.
d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta
dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari
pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa.
e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat
dakwaan.
f. Pasal peraturan perundang – undangan yang menjadi dasar
pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang –
undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai
keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim
kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal.
h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi
semua unsur dalam rumusan delik disertai dengan
kualifikasinya
dan
pemidanaan
atau
tindakan
yang
dijatuhkan.
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan
menyebutkan
jumlahnya
yang
pasti
dan
ketentuan
mengenai barang bukti.
j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau
keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat
suart autentik dianggap palsu.
k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan.
23
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, namun
hakim yang memutus, dan nama panitera.
c)
Syarat Syahnya Putusan Hakim
Putusan pangadilan dapat sah apabila memenuhi syarat –
syarat

Memuat hal – hal yang diwajibkan dan ditentukan sesuai
Pasal 197 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP.

d)
Diucapkan di sidang terbuka untuk umum.
Dampak Putusan Pengadilan
Dalam hal hakim memberikan suatu putusan, yang mendapat
pengaruh langsung dari putusan tersebut adalah terdakwa. Suatu
pidana belum dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan
baru dijatuhkan tetapi baru dapat dirasakan secara nyata apabila telah
dilaksanakan secara efektif.
Dalam hal pengaruh langsung putusan yang dijatuhkan pada
terdakwa, dapat membawa dampak negatif, yaitu apabila hakim
menjatuhkan putusan berupa putusan pemidanaan dan dapat
berdampak positif, yaitu apabila hakim menjatuhkan putusan berupa
putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Pengaruh tidak langsung suatu putusan adalah terhadap
masyarakat. Suatu putusan pengadilan oleh hakim selalu mendapat
perhatian dan dinilai oleh masyarakat, apalagi terhadap kasus- kasus
yang menarik bagi masyarakat. Apabila dalam menjatuhkan suatu
dirasa tidak adil oleh masyarakat maka masyarakat akan berpendapat
bahwa aparat penegak hukum khususnya hakim tidak dapat
dipercaya seperti halnya sekarang yang sedang terjadi dalam
masyarakat kita. Oleh sebab itu dalam menjatuhkan suatu putusan,
hakim seharusnya waspada dan sesuai dengan azas keadilan serta
perundang- undangan yang bersangkutan.
e)
Faktor pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringannya
putusan pemidanaan
24
Seperti yang telah dikemukakan di atas dalam hal hakim
diberi kebebasan dalam menentukan berat ringannya pidana yang
akan dijatuhkan, tentunya hakim juga terikat oleh alat bukti yang sah.
Hal ini sesuai dengan Psal 183 KUHAP yang menyatakan secara
tegas bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada
seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan terdakwalah yang bersalah.
Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dijelaskan bahwa
tujuan hal tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan, dan kepastian hukum. Oleh karena itu dikenal azas tiada
pidana tanpa kesalahan (geenstraf zonder sculd) dalam hukum
pidana yaitu pidana hanya dapat dijatuhkan apabila terdakwa benarbenar terbukti melakukan suatu kesalahan yang dibuktikan dalam
persidangan.azas ini juga tercantum dalam Pasal 193 ayat (1)
KUHAP yang menyatakan bahwa pengadilan menjatuhkan pidana
apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yangdidakwakan kepadanya. Kesalahan terdakwa
biasanya termaktub dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum.
Adapun yang dimaksud dengan sekurang- kurangnya dua alat
bukti yang sah adalah adanya minimal dua alat bukti dari lima alat
bukti yang sah menurut KUHAP. Pasal 184 ayat (1) KUHAP
menyebutkan alat bukti yang sah yaitu
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Menurut Hazenwinkel-Suringa, dalam kerangka kebebasan
hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman di mana ia dapat
bergerak dalam batas- batas maxima hukuman ataupun untuk
25
memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan di sini bahwa alasanalasan tersebut bisa ia jadikan landasan untuk memberatkan ataupun
meringankannya, tidak merupakan arti yang essential lagi (Oemar
Seno Adji, 1984 : 8).
Dalam maxima dan minima tersebut, hakim pidana bebas
dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara
tepat. Suatu kebebasan yang berarti kebebasan mutlak secara tidak
terbatas.
Menurut
Gunter
Warda,
seorang
hakim
harus
memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan
yang meliputi perbuatan- perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Ia
harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya,
tingkat pendidikan, apakah pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya
sebagai bangsa dan hal- hal lain (Oemar Seno Adji, 1984 : 8).
Selain alat bukti yang sah, untuk menentukan berat ringannya
pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain yang
harus diperhatikan oleh hakim, yaitu hal- hal yang meringankan dan
hal- hal yang memberatkan. Faktor yang meringankan adalah
terdakwa
berlaku
sopan
selama
persidanagan,
mengakui
perbuatannya terdakwa masih muda. Faktor yang memberatkan
adalah keterangan berbelit- belit, tidak mengakui perbuatannya,
meresahkan masyarakat, merugikan negara, dan lain- lain (Bambang
Waluyo, 2000 : 89-90). Hal ini termaktub dalam penjelasan Pasal 28
ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa sifat- sifat
baik yang jahat maupun yang baik dari tertuduh wajib diperhatikan
hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan.
Dalam rumusan Pasal 58 (Pasal 52) Rancangan KUHP diatur
juga bahwa dalam hal pemidanaan hakim mempertimbangkan
kesalahan pembuat, motif dan tujuan dilakukan tindak pidana, cara
melakukan tindak pidana, sikap batin pembuat, sikap dan tindakan
pembuat sesudah melakukan tindak pidana, pengaruh pidana
26
terhadap masa depan pembuat, pandangan masyarakat terhadap
tindak pidana yang dilakukan.
Selain itu hal- hal yang meringankan dan memberatkan diatur
dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa
surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal
peraturan perundang- undangan yang menjadi dasar hukum dari
putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan
terdakwa.
3. Tinjauan tentang Tindak Pidana Illegal Logging.
a)
Pengertian Tindak Pidana Illegal Logging
Illegal logging itu sendiri merupakan istilah yang berasal dari
bahasa asing yaitu Bahasa Inggris, yang apabila diartikan satu
persatu illegal adalah “yang merupakan pelanggaran” dan logging
adalah “penebangan kayu”. Pada dasarnya sampai saat ini rumusan
pengertian illegal logging belum memiliki batasan yang jelas.
Definisi illegal logging baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1999 Tentang Pokok-Pokok Kehutanan, Inpres Nomor 4 Tahun 2005
Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan
Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia
ataupun peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang tindak
pidana ini samar dan tidak jelas, sehingga hal ini akan menyebabkan
kebingungan aparat hukum, masyarakat dan menjadi peluang bagi
para pelaku untuk membebaskan diri. Karena ketidakjelasan
pengertian ini pula, maka ruang lingkup dari illegal logging juga
menjadi persoalan yang belum jelas.
Menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Pokok-Pokok Kehutanan Pasal 50 jo Pasal 70, Illegal Logging adalah
Perbuatan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan,
melakukan
kegiatan
yang
menimbulkan
kerusakan
hutan,
27
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan
hutan secra tidak sah, merambah kawasan hutan, membakar hutan,
menebang pohon atau memanen atau memungut, serta mengangkut
hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin pejabat
berwenang, menerima atau membeli atau menjual atau menerima
tukar atau menerima titipan/menyimpan hasil hutan yang diketahui
atau patut diduga berasal dari kawasan hutan serta melakukan
kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau ekploitasi bahan
tambang di kawasan hutan tanpa izin.
Sedangkan menurut Haryadi Kartodihardjo, aktivitas illegal
logging merupakan penebangan kayu secara tidak sah dengan
melanggar peraturan perundang-undangan, yaitu berupa pencurian
kayu di dalam kawasan hutan negara atau hutan hak (milik) dan atau
pemegang izin melakukan penebangan lebih dari jatah yang telah
ditetapkan oleh negara.
Pembalakan illegal (illegal logging) adalah semua praktek
atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan,
pengolahan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum
Indonesia.
Apabila merujuk pada pengertian-pengertian diatas, maka
illegal logging secara sederhana dapat didefinisikan dalam beberapa
batasan sebagai berikut :
(a). Illegal logging adalah tindakan pencurian kayu yang
dilakukan oleh operator yang sah yang melanggar
ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya.
(b). Illegal logging adalah tindakan penebangan kayu dalam
kawasan hutan negara yang dilakukan oleh orang-orang
yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk
menebang pohon.
(c). Illegal logging adalah suatu tindakan atau kegiatan
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang
28
tidak dilengkapi bersama- sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan.
(d). Illegal logging adalah sebuah tindak pidana berlapis
karena bukan semata-mata menyangkut ditebangnya
sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum akan
tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman
dengan
munculnya
keresahan
masyarakat,tidak
dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan
hutan namun justru melakukan tindakan merusak,
termasuk menurunkan daya dukung lingkungan, rusaknya
ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat
lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu
sendiri.
b)
Dasar Hukum Tindak Pidana Illegal Logging
Dasar hukum penanggulangan dan pemberantasan tindak
pidana illegal logging dapat ditemukan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan meskipun batasan illegal logging itu sendiri
masih samar. Belum adanya peraturan yang memadai dan mencakup
keseluruhan
permasalahan
illegal
logging
kadang
menjadi
penghambat bagi pemberantasan tindak pidana ini. Selain peraturan
perundang-undangan yang merupakan hukum tertulis adapula hukum
tidak tertulis berupa hukum adat atau kebiasaan setempat yang masih
berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat.
Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindak pidana illegal logging antara lain :
(a).
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang
Dasar
1945
Amandemen
keempat
memberikan dasar hukum yang kuat bagi perlindungan
tehadap kekayaan alam Indonesia termasuk kawasan hutan di
dalamnya. Pada Pasal 33 ayat (3) dikatakan bahwa kekayaan
alam Indonesia termasuk sumber daya alam yang ada
29
didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat.
(b).
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Dalam peraturan perundang-undangan ini, dikatakan bahwa
Illegal Logging termasuk dalam kategori tindak pidana
pencurian yaitu seperti tercantum pada Pasal 362 yaitu
merupakan suatu perbuatan mengambil sesuatu yang bukan
miliknya dengan maksud untuk memiliki secara melawan
hukum.
(c).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria
Undang-undang ini mengatur bahwa bumi dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya adalah karunia Tuhan
Yang Maha Esa dan digunakan untuk kemakmuran dan
kesejahteraan manusia. Negara memiliki kewajiban dan hak
untuk menguasai dan mengatur pemanfaatan sumber daya
alam
tersebut
dan
dapat
menyerahkan
sebagian
pengelolaanya kepada orang perorangan atau badan hukum
dengan
tujuan
untuk
memanfaatkan
hasilnya
bagi
kesejahteraan rakyat. Tetapi dalam pengelolaanya tidak boleh
bertentangan atau melampaui batas yang telah ditetapkan
oleh undang-undang (Pasal 1, Pasal 4, Pasal 7, Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10). Dengan demikian undang-undang ini menganut
konsep
perlindungan
bagi
sumber
daya
alam
dan
pemanfaatannya.
(d).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum
Acara Pidana.
Undang-undang ini mengatur tentang tata cara pelaksanaan
penangkapan
pelaku
illegal
logging,
penahanan,
penggeledahan, penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh
pihak penyidik yang dalam hal ini adalah aparat kepolisian
30
sampai pada tahap pembuktian dalam persidangan di
pengadilan.
(e).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
Dalam undang-undang ini dikatakan bahwa harus diambil
suatu tindakan perlindungan terhadap sisitem penyangga
kehidupan dari berbagai unsur hayati dan non-hayati bagi
terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kehidupan
manusia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
(Pasal 6, Pasal 7). Dalam peraturan ini pula terdapat larangan
untuk mengambil atau menebang tumbuhan-tumbuhan yang
termasuk di dalamnya adalah kayu hasil hutan (Pasal 21).
Dengan
demikian
dapat
dikatakan
bahwa
terdapat
perlindungan terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang
terdapat didalamnya serta perlindungan terhadap ekosistem
yang menjadi habitatnya.
(f).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam undang-undang ini dikatakan pada Pasal 1 butir 14
bahwa perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung
terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan
lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan. Maka dari itu diperlukan
tindakan pencegahan dan pemberantasan untuk memulihkan
kembali kerusakan lingkungan yang telah terlanjur terjadi.
Semua upaya ini bertujuan demi terciptanya pelestarian
fungsi lingkungan hidup bagi masyarakat itu sendiri (Pasal
14).
(g).
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan
31
Dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi induk
peraturan tindak pidana illegal logging ini, ada beberapa
ketentuan penting yang tercantum dalam beberapa pasal yaitu
sebagai berikut :
(1). Hutan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem
berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati
yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat
dipisahkan.
(2). Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai
fungsi pokok memproduksi hasil hutan.
(3). Hasil hutan adalah benda-benda hayati, non-hayati dan
turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
(4). Bahwa dalam penguasaan hutan oleh negara, negara
mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan hutan serta mengatur perbuatanperbuatan hukum mengenai kehutanan.
(5). Pemanfaatan
hutan
bertujuan
untuk
memperoleh
manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh
masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya.
(6). Pemanfaatan hutan produksi dapat dilaksanakan dengan
upaya
pemanfaatan
kawasan,
pemanfaatan
jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan
kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan
kayu
(Pasal
28
ayat
(1)).pemanfaatan
tersebut
dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan
kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin
usaha pemanfaatan hasil hutan kayu,hasil hutan bukan
kayu,
izin
pemungutan
hasil
hutan,
dan
izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu ( Pasal 28 ayat (2)).
32
(7). Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat
diberikankepada perorangan atau badan hukum.
(8). Perlindungan hutan dan kawasan hutan adalah suatu
upaya untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan,
kawasan hutan, san hasil hutan yang disebabkan oleh
perbuatan manusia, ternak,kebakaran,.......,selain itu
untuk mempertahankan dan menjaga hak-hak negara,
masyarakat,
perorangan
atas
hutan...........serta
perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
(9). Bahwasannya demi terciptanya kelestarian hutan setiap
orang atau pemegang izin usaha dilarang untuk
melakukan tindakan perusakan hutan yang diantaranya
adalah merusak sarana dan prasarana perlindungan
hutan, merambah kawasan hutan, menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan tanpa izin dari
pejabat yang berwenang serta melakukan tindakan
eksploitasi terhadap hutan dalam bentuk lainnya.
(10). Bahwasannya
apabila
terdapat
pencemaran
atau
perusakan hutan maka instansi yang berwenang dapat
bertindak demi kepentingan masyarakat.
(h).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Undang-undang ini mengatur mengenai peranan aparat
kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana illegal
logging. Polisi bertindak sebagai penyidik sesuai dengan
tugas dan fungsinya sebagai salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Kepolisian bekerjasama
dengan pihak terkait yang dalam hal ini adalah Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang dimiliki oleh instansiinstansi terkait.
33
Selain peraturan perundang-undangan diatas, ada beberapa
peraturan lainnya yaitu :
(a).
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan
Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan
Hutan dan Peredarannya di Seluruh Indonesia.
Dalam
peraturan
ini
dinyatakan
bahwa
harus
dilakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara
illegal di kawasan hutan Indonesia melalui penindakan
terhadap setiap orang atau badan hukum yang melakukan
perbuatan
illegal
logging
atau
perbuatan
lain
yang
mendukung terjadinya tindak pidana tersebut. Dalam
pelaksanaannya melibatkan 18 instansi terkait yang secara
struktural berada di pusat dan daerah sesuai dengan ruang
lingkup serta kewenangannya masing-masing.
(b).
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang
Perlindungan Hutan
Dalam peraturan ini disebutkan bahwa perlindungan
hutan adalah suatu bagian dari pengelolaan hutan. Disebutkan
dalam Pasal 6 bahwa prinsip-prinsip perlindungan hutan
adalah mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan
dan hasil hutan yang salah satunya adalah sebagai akibat dari
perbuatan manusia serta mempertahankan dan menjaga hakhak negara dan masyarakat atas hutan dan segala isinya yang
bertujuan untuk terciptanya kawasan hutan yanag lestari.
Dikatakan pula bahwa setiap kegiatan mengambil atau
mengangkut hasil hutan harus disertai dengan dokumen yang
sah yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dengan
tujuan menghindari praktek pemanfaatan hutan secara tidak
sah atau berlebihan (Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14).
c)
Ketentuan Pidana Illegal logging
34
Perbuatan- perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana
ilegal logging serta ketentuan sanksi pidana mengenai illegal logging
dalam UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan diatur dalam
BAB V Pasal 50 dan BAB XIV Pasal 78, yang berbunyi :
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan
hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan,
izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
a.
mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki
kawasan hutan secara tidak sah;
b.
merambah kawasan hutan;
c.
melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan
dengan radius atau jarak :
 500 meter dari tepi waduk atau danau;
 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di
daerah rawa;
 100 meter dari kiri kanan tepi sungai;
 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
 2 kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
 130 kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari
tepi pantai.
d.
membakar hutan;
e.
menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan
di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat
yang berwenang;
35
f.
menerima, membeli atau menjual, menerima tukar,
menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan
hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
g.
melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan,
tanpa izin Menteri;
h.
mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang
tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan
sahnya hasil hutan;
i.
menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang
tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh
pejabat yang berwenang;
j.
membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang
lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut
hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang;
k.
membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang,
memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan
tanpa izin pejabat yang berwenang;
l.
membuang
benda-benda
yang
dapat
menyebabkan
kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan
atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;
dan
m.
mengeluarkan,
membawa,
dan
mengangkut
tumbuh-
tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari
pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan
tentang
mengeluarkan,
membawa,
dan
atau
mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
36
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) atau Pasal 50 ayat (2), diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(2) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, huruf b, atau huruf c,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(3) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(4) Barang
siapa
karena
kelalaiannya
melanggar
ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d, diancam
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta
rupiah).
(5) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf e atau huruf f, diancam
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g,
diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).
(7) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan
37
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
(8) Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 50 ayat (3) huruf i, diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan dan denda paling banyak Rp.
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
(9) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j, diancam dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
(10)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf k, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(11)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf l, diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(12)Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m, diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(13)Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (9), ayat (10),
dan ayat (11) adalah kejahatan, dan tindak pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (8) dan ayat (12) adalah pelanggaran.
(14)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama
badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya
dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana
38
masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang
dijatuhkan.
(15)Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau
alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk
melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini dirampas untuk Negara.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka Pemikiran, merupakan kerangka yang menggambarkan
hubungan antara konsep – konsep khusus, yang ingin diteliti. Suatu konsep
bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta,
sedangkan konsep merupakan uraian mengenai hubungan – hubungan dalam
fakta tersebut.
Konsep atau kerangka pemikiran pada hakekatnya merupakan suatu
pengarah, atau pedoman yang lebih kongkrit daripada kerangka teoritis yang
seringkali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka pemikiran
belaka, kadang – kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan
definisi – definisi operasional yang dapat menjadi pegangan kongkrit didalam
proses penelitian. Dengan demikian, maka kecuali terdiri dari konsep – konsep
suatu kerangka pemikiran dapat pula mencakup definisi – definisi operasionil.
Di sini penulis ingin mengetahui sejauhmana pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana ilegal
logging, hal – hal yang menjadi pertimbangan dalam penjatuhan pidana baik
yang memberatkan maupun yang meringankan terdakwa. Di sini Hakim
menjalankan kewenangannya dengan berdasarkan atas keadilan sehingga tidak
terjadi kesewenang – wenangan. Dengan begitu diharapkan pula agar pelaku
tindak kejahatan dapat dikenai hukuman yang sesuai dengan peraturan
perundang – undangan yang berlaku.
39
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
Pada dasarnya yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam hal
menjatuhkan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana ilegal
logging adalah apabila pelaku melakukan perbuatan sesuai dengan apa
yang telah disebutkan sebagai tindak pidana illegal logging dalam UU No.
41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
Seseorang dapat dikatakan melakukan tindak pidana apabila telah
memenuhi unsur- unsur yang dilarang undang- undang. Apabila unsurunsur yang terdapat dalam pasal yang bersangkutan tidak terpenuhi, maka
hakim akan memberikan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi
terdakwa.
Seorang hakim harus mempertimbangkan faktor- faktor yang ada
dalam diri terdakwa, yaitu apakah terdakwa benar- benar melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya, apakah terdakwa mengetahui
bahwa perbuatannya tersebut melanggar hukum dilakukan dengan
perasaan takut dan bersalah, apakah terdakwa pada waktu melakukan
perbuatan dianggap mampu bertanggung jawab atau tidak. Kemudian
diperhatikan pula kepentingan masyarakat. Selain hal tersebut, hakim
harus memberikan keputusan yang sesuai dengan undang- undang yang
berlaku serta harus berdasarkan nilai- nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
Oleh karena itu untuk memperjelas dan memperkuat serta
mendukung uaraian dari bab- bab sebelumnya, maka dalam bab ini penulis
40
menyajikan data hasil penelitian yang selanjutnya dianalisa untuk
memperoleh kesimpulan.
Adapun data hasil penelitian adalah sebagai berikut :
1. Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN.
Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B /
2005 / PN. Ska
a. Identitas Para Terdakwa
Terdakwa I
Nama
: NUR HADI WARTONO
Tempat lahir
: Karanganyar
Umur / tanggal lahir : 42 tahun / 14 Februari 1962
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Mendungsari RT. 004 RW. 003, Kal.
Bulurejo, Kec. Gondangrejo, Karanganyar
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Sopir
Pendidikan
: S L T A.
Terdakwa II
Nama
: WARNO
Tempat lahir
: Boyolali
Umur / tanggal lahir : 32 tahun / 07 Mei 1972
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Kewarganegaraan
: Indonesia
Alamat
: Kp. Gemen RT. 002 RW. 001, Kal. Jeron,
Nogosari, Boyolali.
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Pendidikan
: S L T P.
b. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
41
Bahwa terdakwa NUR HADI WARTONO bersama- sama
WARNO (dalam perkara tersendiri), pada hari Jumat, tanggal 27
Agustus 2004 sekitar pukul 13.00 WIB atau setidak- tidaknya pada
suatu waktu lain dalam bulan Agustus 2004, bertempat di Jalan
Kapten Mulyadi Kel. Gandekan, Kec. Jebres, Surakarta atau
setidak- tidaknya disuatu tempat yang masih termasuk dalam
daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, terdakwa telah
Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak
Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH), perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara
sebagai berikut :
Bahwa ia terdakwa mengangkut kayu jati tersebut setelah dicarter
oleh Sdr. Warno, lalu terdakwa mengangkut kayu jati tersebut,
diangkut dari Kalijambe dari UD Lumintu, lalu diangkut
kepenggergajian di Bulurejo, kemudian terdakwa angkut dengan
tujuan Gading, Surakarta melalui Jl. Kapt. Mulyadi, Kel.
Gandekan, Kec. Jebres, Surakarta, dan tidak lama
kemudian
diberhentikan oleh petugas sehingga ketika dinyatakan surat- surat
kelengkapan kayu yang terdakwa angkut tidak dilengkapi SKSHH
atau pas. kemudian mobil yang bermuatan kayu tersebut
diamankan ke Kantor Polisi untuk pengusutan lebih lanjut
Sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal 50 ayat (3) huruf
(h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan.
c. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan yang pada
pokoknya menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Surakarta yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :
TUNTUTAN
1. Menyatakan Terdakwa, NUR HADI WARTONO bersalah
melakukan tindak pidana : Mengangkut, Menguasai, atau
Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama
42
Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),
melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No.
41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan sebagaimana terurai dalam
dakwaan kami ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama : 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1
(satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.100.000,- (seratus
ribu rupiah) dengan subsidair kurungan selama 2 (dua) bulan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil
Mitsubishi AD-1858-HF dikembalikan kepada pemiliknya
bernama Nur Hadi Wartono, 70 (tujuh puluh) lembar papan
kayu jati panjang +/-2 meter dikembalikan kepada saksi
Warno;
4. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1000,- (seribu rupiah).
TUNTUTAN
1. Menyatakan Terdakwa, WARNO bersalah melakukan tindak
pidana : Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan
Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), melanggar Pasal 50
ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999,
Tentang Kehutanan sebagaimana terurai dalam dakwaan kami ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama : 6 (enam) bulan dengan masa percobaan 1
(satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp.100.000,- (seratus
ribu rupiah) dengan subsidair kurungan selama 2 (dua) bulan ;
3. Menyatakan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil
Mitsubishi AD-1858-HF, 70 (tujuh puluh) lembar papan kayu
jati panjang +/-2 meter surat 1 (satu) Lembar nota pembelian
dari UD Lumintu dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum
untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
43
4. Menghukum terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 1000,- (seribu rupiah).
d. Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta.
Mengingat akan ketentuan Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78
ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan dan pasalpasal
lainnya
dari
peraturan
perundang-
undangan
yang
bersangkutan
MENGADILI :
1. Menyatakan terdakwa : NUR HADI WARTONO, telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana : ”Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan
Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama : 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10
(sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp.50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) ;
3. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil
Mitsubishi AD-1858-HF dikembalikan kepada pemiliknya
bernama Nur Hadi Wartono, 70 (tujuh puluh) lembar papan
kayu jati panjang +/-2 meter dikembalikan kepada saksi
Warno;
4. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan ;
5. membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).
MENGADILI :
1. Menyatakan terdakwa : WARNO, telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : ”Mengangkut,
Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi
44
Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan
(SKSHH)” ;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa tersebut dengan pidana
penjara selama : 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10
(sepuluh) bulan dan pidana denda sebesar Rp.50.000,- (lima
puluh ribu rupiah) ;
3. Menetapkan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama : 2 (dua) bulan ;
4. Menetapkan barang bukti berupa : 1 (satu) unit mobil
Mitsubishi AD-1858-HF dan 70 (tujuh puluh) lembar papan
kayu jati panjang +/-2 meter surat 1 (satu) Lembar nota
pembelian dari UD Lumintu dikembalikan kepada Jaksa
Penuntut Umum untuk dipergunakan dalam perkara lain ;
5. membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah).
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan pada
hari : RABU, tanggal : 26 Januari 2005, oleh kami : SUROSO, SH
Sebagai Hakim Ketua Majelis, BAMBANG KRISNAWAN, SH,
dan AMIN ISMANTO, SH.,MH, masing- masing sebagai hakimhakim Anggota, putusan mana telah diucapkan di muka
persidangan yang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
Hakim Ketua Majelis dengan didampingi para Hakim Anggota,
dan dibantu oleh : HENDRA BAYU BROTO KUNTJORO, SH
Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri surakarta dan dihadiri
pula oleh : PRASETYO T.B, SH Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Surakarta serta dihadiri dan didengar pula oleh
Terdakwa.
2. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005
/ PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B /
2005 / PN. Ska.
45
Dari Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005
/ PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B /
2005 / PN. Ska tersebut dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam
menjatuhkan keputusan berdasarkan pertimbangan yang dilihat dari segi
hukum dan juga faktor- faktor yang memberatkan dan meringankan.
Berdasarkan segi hukum, Majelis Hakim menjatuhkan putusan
karena adanya fakta- fakta yang ditemukan di persidangan, yaitu setelah
menghubungkan keterangan para saksi yang menguatkan (dari dua
anggota Polri wilayah Surakarta, dan saksi teman terdakwa) maupun
saksi ahli (Pegawai Perhutani) yang diajukan di depan persidangan,
keterangan kedua terdakwa dan barang bukti berupa 1 (satu) mobil
Mitsubishi No. Pol. AD-1858-HF, warna coklat berikut kunci kontak dan
STNK atas nama Nur Hadi Wartono, kayu jati gergajian berbentuk
papan panjang 2 meter tebal 1,7 cm, sebanyak 70 lembar, 1 (satu) lembar
nota pembelian dari UD Lumintu tertanggal 27 Agustus 2004, 1 (satu)
lembar nota pembelian tidak ada alamat dan nama dari toko yang
mengeluarkan tertanggal 28 Agustus 2004, dapat diketahui bahwa
terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 50
ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang
Kehutanan.
Adapun unsur- unsur yang terkandung dalam Pasal 50 ayat (3) huruf
(h) jo. 78 ayat (7) UU RI No. 41 Tahun 1999, Tentang Kehutanan :
a. Barang Siapa
Unsur barang siapa di sini lebih dititikberatkan pada subyek
hukum, yaitu manusianya sebagai pendukung hak dan kewajiban,
atau dengan kata lain bahwa perbuatan pidana yang dilakukan yang
dilakukan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.
Berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan dengan
memperhatikan keterangan para saksi maupun keterangan terdakwa
sendiri, maka terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno adalah orang
atau pelaku dari tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh Jaksa
46
Penuntut Umum serta yang bersangkutan sehat jasmani dan
rohaninya dan dengan demikian yang bersangkutan yaitu terdakwa
Nur Hadi Wartono dan Warno dapat dipertanggungjawabkan dalam
melakukan perbuatannya.
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka majelis
berpendapat bahwa unsur ”Barang Siapa” telah terbukti adanya.
b. Mengangkut, Menguasai atau Memiliki Hasil Hutan.
Berdasarkan fakta- fakta yang terungkap dipersidangan ternyata
bahwa terdakwa bersama saksi Warno telah membeli kayu jati
berbentuk gelondongan sebanyak 0,6 m3 dengan harga Rp. 790.000,di UD Lumintu Sragen, hal inilah yang menjadi unsur ”menguasai
memiliki hasil hutan” dan kemudian unsur ”mengangkut” bisa kita
lihat dari obyek kayu gelondongan yang dibawa oleh terdakwa
dengan suatu sarana pengangkutan ke penggergajian kayu untuk
dibuat dalam bentuk papan, setelah itu kayu jati tersebut oleh
terdakwa bersama saksi Warno diangkut ke wilayah Surakarta
dengan mengendarai sebuah kendaraan pick up AD-1858-HF.
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas, maka majelis
berpendapat bahwa unsur ” Mengangkut, Menguasai atau Memiliki
Hasil Hutan” telah terbukti adanya.
c. Yang Tidak Dilengkapi Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH).
Bahwa dari fakta- fakta yang terungkap dipersidangan ternyata
bahwa pada hari Jumat tanggal 27 Agustus 2004 sekitar jam 14.00
WIB bertempat di Jalan Kapten Mulyadi, Gandekan, Jebres,
Surakarta terdakwa telah diberhentikan oleh petugas kepolisian di
mana pada saat itu terdakwa sedang membawa kayu jati yang
merupakan salah satu hasil hutan dari KPH setempat dalam sebuah
kendaraan pick up No. Pol AD-1858-HF, dan ketika diperiksa oleh
petugas ternyata terdakwa tidak bisa memperlihatkan Pas/ Surat
Keterangan Hasil Hutan.
47
Bahwa dari uraian pertimbangan di atas, maka majelis
berpendapat bahwa unsur ”Yang Tidak Dilengkapi Dengan Surat
Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)” telah terbukti adanya.
Penulis berpendapat bahwa sanksi pidana maupun denda yang telah
dijatuhkan kurang berat apabila kita mencermati ketentuan pidana yang
diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h yaitu mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan
surat keterangan sahnya hasil hutan dan sanksi pidana yang dimuat
dalam Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan yang menyatakan barang siapa dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h,
diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah). Maksud
dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap
orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat
menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan
(penjelasan umum paragraf ke-18 UU No 41 Tahun 1999). Efek jera
yang dimaksud bukan hanya pelaku yang melakukan tindak pidana
kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan
dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan
melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.
Dalam kasus yang diputus berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri
Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska pada tanggal 26
Januari 2005 tersebut para Terdakwa hanya dijatuhi pidana penjara
selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10 (sepuluh) bulan dan
denda sebesar Rp.50.000; (dua puluh lima ribu rupiah) subsidair 2 (dua)
bulan kurungan, menurut penulis sanksi tersebut sangat ringan jika
dibandingkan dengan tindak pidana yang dilakukan oleh para terdakwa
dan ancaman pidana maksimal dari Undang- undang khusus yang
bersangkutan.
48
Hal tersebut merupakan suatu kewajaran, putusan hakim terkadang
bisa sangat jauh berbeda dibandingkan dengan pidana yang diancamkan
kepada terdakwa, karena seorang hakim berpatokan pada ancaman
pidana minimal umum dan maksimal khusus sesuai dengan undangundang yang bersangkutan dan ada beberapa pertimbangan dari majelis
hakim seperti faktor yang meringankan yang dilihat dari diri terdakwa
dan melihat kepentingan masyarakat, antara lain terdakwa belum pernah
dihukum sehingga dapat memperbaiki tingkah lakunya dikemudian hari,
baru kali itu terdakwa melakukannya, terdakwa menyesali perbuatannya
dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya, terdakwa berlaku
sopan di persidangan, karena adanya kebutuhan mendesak dari terdakwa
yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga, terdakwa sebenarnya
mempunyai tetapi karena terburu- buru terdakwa tidak membawa surat
tersebut, beberapa fakta tersebut melatar belakangi pemberian masa
percobaan selama 10 (sepuluh) bulan apakah terdakwa akan mengulang
perbuatannya atau tidak, maka majelis hakim merasa Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan
Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska sudah
cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang
para terdakwa lakukan atau sudah tercapai tujuan pemidanaan.
B. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi Hakim Dalam Menjatuhkan
Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging
Dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana Illegal
Logging Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta melakukan sebuah
musyawarah untuk membuat keputusan yang seadil- adilnya, merupakan hasil
pemufakatan yang bulat kecuali jika hal tersebut terdapat suatu kejanggalan
atau hambatan di mana terjadi perbedaan pendapat diantara majelis hakim
kemudian diusahakan sungguh- sungguh tetap tidak dapat dicapai kata
mufakat, maka berlaku putusan diambil dengan suara terbanyak, jika belum
49
tercapai juga maka dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
terdakwa.
Pada kasus dengan terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno majelis
hakim sangat mempertimbangkan fakta- fakta yang ada secara cermat dilihat
dari diri terdakwa itu sendiri dan kepentingan masyarakat. Dimulai dari
pemeriksaan saksi- saksi, mereka memberikan keterangan dengan sebenarbenarnya tidak berbelit- belit kemudian pengakuan terdakwa yang menyesali
perbuatannya, pengajuan barang bukti yang sah, majelis hakim dengan mudah
menyimpulkan atau membuat keputusan dengan seksama tanpa hambatan
yang berarti dan tidak terjadi perbedaan pendapat diantara majelis hakim yang
mengadili kasus ini.
Dengan melihat data primer yang diperoleh penulis tidak terdapat
hambatan, sehingga penulis merasa perlu untuk melihat data sekunder yang
diperoleh dari sumber pustaka yang secara umum relevan dengan pembahasan
kasus yang diangkat oleh penulis.
Secara umum kasus Illegal Logging dewasa ini sangat luas cakupan
pembahasannya atau kompleks sehingga muncul hambatan- hambatan dalam
penegakkan khususnya proses peradilan dan penjatuhan sanksi pidana
terhadap pelakunya oleh aparat penegak hukum terutama hakim. Hambatanhambatan tersebut antara lain :
 Banyak sekali terjadi kolusi dan korupsi di kalangan pemerintah,
terutama berkaitan dengan penerbitan dokumen kayu, sehingga
sangat sulit penegakkan apabila telah menyangkut suatu instansi
pemerintah.
 Saling lempar kewenangan dan tanggung jawab antara instansi teknis
kehutanan, kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu
terjadi pelimpahan tanggung jawab untuk menangani illegal logging,
sehingga proses peradilan tidak efisien, tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
 Banyaknya kasus Illegal Logging yang penjatuhan pidananya
terdapat keganjilan cenderung pelaku kebal hukum, hal ini
50
menjadikan pelaku lebih leluasa dan berdampak pada psikologis
aparat penegak hukum yang berusaha sungguh- sungguh untuk
memberantas tindak pidana ini.
Upaya- upaya untuk mengatasi masalah- masalah di atas yaitu apabila
menyangkut sebuah instansi pemerintah, hendaknya pemerintah memberikan
kemudahan bagi aparat penegak hukum sehingga lebih leluasa dalam hal
proses peradilannya, ditentukan kewenangan instansi dalam menangani kasus
tersebut sesuai dengan kapasitas dan kompetensinya, kemudian yang terakhir
yang paling inti adalah sanksi harus tegas dan moral penegak hukum itu
sendiri yang harus benar- benar diperbaiki.
51
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang secara rinci
telah penulis sampaikan pada Bab III, maka sebagai penutup dapat ditarik
kesimpulan-kesimpulan yang dapat memberikan gambaran secara ringkas
mengenai :
1. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Sanksi Pidana
Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Di Pengadilan Negeri
Surakarta
Dalam perkara pidana dengan Putusan Pengadilan Negeri Surakarta
Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan Pengadilan Negeri
Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dapat dilihat bahwa
majelis hakim Pengadilan Negeri Surakarta dalam menjatuhkan putusan
dengan pertimbangan secara yuridis yaitu menggunakan Pasal 50 ayat
(3) huruf (h) jo. Pasal 78 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan serta faktor- faktor non yuridis berupa hal yang
meringankan dan memberatkan. Dari putusan tersebut para terdakwa
dalam perkara yang terpisah telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana : ”Mengangkut, Menguasai, atau
Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak Dilengkapi Bersama- sama Dengan
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH),” dengan hukuman
pidana penjara selama 4 (empat) bulan dengan masa percobaan 10
(sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp.50.000; (dua puluh lima ribu
rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan. Putusan tersebut dirasa sudah
cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang
para terdakwa lakukan karena terdapat hal- hal yang meringankan pada
diri para terdakwa diantaranya :
 Para terdakwa belum pernah dihukum.
 Baru kali itu atau pertama kali terdakwa melakukannya.
52
 Para terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulangi lagi perbuatannya.
 Karena adanya kebutuhan mendesak dari terdakwa yaitu untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
 Para terdakwa bersikap sopan dipersidangan.
 Terdakwa sebenarnya mempunyai surat tersebut tetapi karena
terburu- buru supaya barang tersebut segera dikirim maka terdakwa
lupa membawa surat tersebut.
Beberapa fakta tersebut melatar belakangi pemberian masa percobaan
selama 10 (sepuluh) bulan apakah terdakwa akan mengulang
perbuatannya atau tidak, maka majelis hakim merasa Putusan Pengadilan
Negeri Surakarta Nomor : 10 / Pid.B / 2005 / PN. Ska dan Putusan
Pengadilan Negeri Surakarta Nomor : 12 / Pid.B / 2005 / PN. Ska sudah
cukup memenuhi rasa keadilan atau setimpal dengan perbuatan yang
para terdakwa lakukan atau sudah tercapai tujuan pemidanaan.
2. Hambatan-hambatan yang dihadapi hakim dalam Menjatuhkan Sanksi
Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Illegal Logging Di Pengadilan
Negeri Surakarta.
Dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak pidana Illegal
Logging Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta melakukan sebuah
musyawarah untuk membuat keputusan yang seadil- adilnya, merupakan
hasil pemufakatan yang bulat.
Pada kasus dengan terdakwa Nur Hadi Wartono dan Warno majelis
hakim sangat mempertimbangkan fakta- fakta yang ada secara cermat
dilihat dari diri terdakwa itu sendiri dan kepentingan masyarakat. Majelis
hakim dengan mudah menyimpulkan atau membuat keputusan dengan
seksama tanpa hambatan yang berarti dan tidak terjadi perbedaan
pendapat diantara majelis hakim yang mengadili kasus ini.
Dengan melihat data primer yang diperoleh penulis tidak terdapat
hambatan, sehingga penulis merasa perlu untuk melihat data sekunder
53
yang diperoleh dari sumber pustaka yang secara umum relevan dengan
pembahasan kasus yang diangkat oleh penulis.
Hambatan- hambatan dalam penegakkan khususnya proses peradilan
dan penjatuhan sanksi pidana terhadap pelakunya oleh aparat penegak
hukum terutama hakim. Hambatan- hambatan tersebut antara lain :
 Banyak sekali terjadi kolusi dan korupsi di kalangan pemerintah,
terutama berkaitan dengan penerbitan dokumen kayu, sehingga
sangat sulit penegakkan apabila telah menyangkut suatu instansi
pemerintah.
 Saling lempar kewenangan dan tanggung jawab antara instansi teknis
kehutanan, kepolisian dan kejaksaan, antara pusat dan daerah, selalu
terjadi pelimpahan tanggung jawab untuk menangani illegal logging,
sehingga proses peradilan tidak efisien, tidak berjalan sebagaimana
mestinya.
 Banyaknya kasus Illegal Logging yang penjatuhan pidananya
terdapat keganjilan cenderung pelaku kebal hukum, hal ini
menjadikan pelaku lebih leluasa dan berdampak pada psikologis
aparat penegak hukum yang berusaha sungguh- sungguh untuk
memberantas tindak pidana ini.
Upaya- upaya untuk mengatasi masalah- masalah di atas yaitu
apabila menyangkut sebuah instansi pemerintah, hendaknya pemerintah
memberikan kemudahan bagi aparat penegak hukum sehingga lebih
leluasa dalam hal proses peradilannya, ditentukan kewenangan instansi
dalam menangani kasus tersebut sesuai dengan kapasitas dan
kompetensinya, kemudian yang terakhir yang paling inti adalah sanksi
harus tegas dan moral penegak hukum itu sendiri yang harus benarbenar diperbaiki.
B.
Saran
1. Dengan adanya pemberlakuan UU RI Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan khususnya Pasal 50 ayat (3) huruf (h) jo. 78 ayat (7)
54
“Mengangkut, Menguasai, atau Memiliki Hasil Hutan Yang Tidak
Dilengkapi Bersama- sama Dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil
Hutan (SKSHH),” diharapkan hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap
terdakwa sesuai dengan tindak pidana yang telah dilakukan sehingga
dapat membuat jera para pihak untuk melakukan tindak pidana Illegal
Logging beserta serangkaian perbuatan yang menjurus dalam bidang
kehutanan.
2. Dalam memberikan putusan sebaiknya hakim lebih mempertimbangkan
lagi latar belakang pendidikan, sosial, kultural, dan ekonomi terdakwa.
3. Sebaiknya masyarakat diberi kewenangan terhadap akses informasi
dalam proses penegakan hukum. Selama ini masyarakat hanya
diposisikan sebagai pelapor, sedangkan pada proses pengawasan,
masyarakat ditinggalkan. Penting untuk mengikutsertakan masyarakat,
untuk memperkecil ruang kolusi dan korupsi di dalam sebuah badan,
terutama pada kasus Illegal Logging yang kompleks sekali rangkaian
tindak pidana yang berhubungan langsung dengan tindak pidana Illegal
Logging.
55
DAFTAR PUSTAKA
Adam Chazawi
2001. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT RajaGrafindo
Persada
Andi Hamzah .1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika
Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika
Martiman Prodjohamidjojo. 1996. Memahami Dasar – dasar Hukum Pidana
Indonesia. Jakarta : PT Pradnaya Paramita
Moeljatno. 2001. Kitab Undang – undang Hukum Pidana. Jakarta : PT Bumi
Aksara
Oemar Seno Adji. 1984 . Hukum – Hakim Pidana . Jakarta : Erlangga
Soerjono, Soekamto. 1986 . Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas
Indonesia Press
Winarno Surachman. 1995. Pengantar Peneltian Ilmiah. Bandung : Tarsito
P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung :
Citra Aditya Bakti
. 2002.Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana .
Surabaya : Karya Anda
Alam Setia Zain. 1997. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan. Jakarta: PT
Rineka Cipta
Koesnadi Hardjasoemantri. 1991. Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi
Sumber
Daya
Alam
Hayati
Dan
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ekosistemnya.
56
Bismar Siregar. 1983. Berbagai Segi Hukum dan Perkembangan Dalam
Masyarakat. Bandung. Alumni
Nanda Agung Dewantara. 1987. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani
Suatu Perkara Pidana. Jakarta. Aksara Persada Indonesia
Peraturan Perundang-Undangan :
UUD Tahun 1945
UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
Peraturan Lainnya:
Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Percepatan Pemberantasan
Penebangan Kayu Secara Illegal di Kawasan Hutan dan
Peredarannya di Seluruh Indonesia.
Internet :
Hukumonline.com
Republika online
Sinar Indonesia Baru online
www.menlh.go.id
57
58
59
60
Download