PENGARUH PENGGUNAAN ABU TERBANG (FLY ASH) DAN BEBERAPA JENIS SAWI TERHADAP KADAR LOGAM KADMIUM (Cd) DAN PRODUKSI SAWI DI TANAH GAMBUT THE INFLUENCE OF USING FLY ASH AND KINDS OF MUSTARD FOR CD METAL CONTENT AND MUSTARD PRODUCTION IN PEATLANDS Tirta Yuliardi Syafitri1, Rita Hayati2, Ismahan Umran2 Student Faculty of Agriculture, Department of Soil Science Untan, 2 lecture Faculty of Agriculture Untan 1 ABSTRACT Peatlands has a good potential for vegetables cultivation like mustard, but it has problem with soil acidity degree. The used of fly ash calcium substantion were more efficient solved the acidity soil problem and environment polution from coal waste accumulation. Fly ash can be used as ameliorant to improve soil fertility, hight calcium used for agriculture calcium subtituion. Fly ash has micro and some macro elements with are need it for the plants. On the other side one of the heavy metal included in the fly ash is Cd. Family Brassicaceae (cabbage) classified plants are able to accumulate heavy metals, so it is often used in phytoextraction on heavy metal contaminated soil. The purpose in this research is to know the influence of fly ash and kinds of mustard production in the peatlands. The research located at Fakultas Pertanian Tanjungpura University Pontianak. It started on january 2012 until march 2012. Methods of research using completely randomized design (CRD) with Split Plot Factorial pattern consisting of two factors. As the main plot is fly ash dosage factor (a) consist of four level : a1 (300 g / fly ash polybag), a2 (600 g / fly ash polybag), a3 (900 g / fly ash polybag) and a4(1200 g / fly ash polybag). Sub plot are kinds of plant consist of four level : t 1 (pakcoy), t 2 (mustard greens), t 3 (kailan), t 4 (curly mustard). The analysis involved soil pH, the wet weight plants after harvest and the levels of heavy metals Cd in plant tissues. The results showed that used of fly ash can increase the pH of the soil which improves soil fertility soils. The mustard planted in peat were safe to comsumed without heavy metal Cd in the plant. Keywords: fly ash, heavy metals Cd, mustard, peat ABSTRAK Lahan gambut mempunyai potensi yang cukup baik untuk usaha budidaya tanaman sayuran seperti sawi, akan tetapi mempunyai masalah berkaitan dengan tingkat kemasaman tanah. Penggunaan abu terbang sebagai pengganti kapur dinilai lebih efisien selain dapat mengatasi masalah kemasaman tanah juga dapat mengatasi masalah pencemaran lingkungan akibat akumulasi limbah batubara. Abu terbang dapat digunakan sebagai amelioran untuk memperbaiki kesuburan tanah, karena mengandung kalsium yang cukup tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pengganti kapur pertanian. Abu terbang juga mengandung unsur mikro dan beberapa unsur makro yang dibutuhkan tanaman. Di sisi lain abu terbang juga mengandung logam berat salah satunya Cd. Famili Brassicaceae (kubis-kubisan) tergolong tanaman yang mampu mengakumulasi logam berat, sehingga sering digunakan dalam phytoextraction pada lahan yang tercemar logam berat. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan abu terbang (fly ash) dan beberapa jenis sawi terhadap kadar logam kadmium (Cd) dan produksi sawi di tanah gambut. Tempat penelitian di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Kota Pontianak. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2012. Metode penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola Faktorial Split Plot yang terdiri dari 2 faktor. Sebagai petak utama (main plot) adalah faktor dosis abu terbang (a), terdiri atas 4 taraf yakni: a1 (300 g/polybag abu terbang), a2 (600 g/polybag abu terbang), a3 (900 g/polybag abu terbang) dan a4 (1200 g/polybag abu terbang). Anak petak (sub plot) adalah faktor jenis tanaman sawi (t) terdiri atas 4 taraf yakni : t1 (sawi pakcoy), t2 (sawi hijau), t3 (kailan), t4 (sawi keriting). Analisis meliputi pH tanah, berat basah tanaman setelah pemanenan, serta kadar logam berat Cd pada jaringan tanaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian abu terbang pada media tanam tanah gambut dapat meningkatkan pH tanah sehingga memperbaiki kesuburan tanah gambut. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa tanaman sawi yang ditanam pada media tanah gambut yang diberi penambahan abu terbang relatif aman dikonsumsi dengan indikasi tidak adanya kandungan logam berat Cd pada jaringan tanaman. Kata kunci: abu terbang, logam berat Cd, sawi, tanah gambut 1 PENDAHULUAN Batubara adalah bahan bakar fosil, di Indonesia tersedia cadangannya dalam jumlah yang cukup melimpah dan diperkirakan mencapai 38,9 miliar ton. Dari jumlah tersebut sekitar 67% tersebar di Sumatera, 32% di Kalimantan dan sisanya tersebar di Pulau Jawa, Sulawesi dan Irian Jaya. Pembakaran batubara menghasilkan sekitar 5% polutan padat yang berupa abu (fly ash dan bottom ash), di mana sekitar 10-20% adalah bottom ash dan sekitar 80-90% abu terbang (fly ash) dari total abu yang dihasilkan (Wardani, 2008). Secara kimia abu batubara seperti abu terbang merupakan mineral aluminosilikat yang banyak mengandung unsur-unsur seperti Ca, K, dan Na, disamping juga mengandung sejumlah kecil unsur C dan N. Bahan nutrisi lainnya yang diperlukan bagi tanaman, diantaranya Boron (B), fosfor (P) dan unsur-unsur kelumit seperti : Cu, Zn, Mn, Mo dan Se. Umumnya abu ini bersifat alkalis (pH 8 – 12). Secara fisika memiliki ukuran partikel berukuran silt dan memiliki karakteristik kapasitas pengikat air dari sedang sampai tinggi (Tekmira, 2009 ). Menurut Sondari (2005), abu terbang dapat berfungsi sebagai bahan amelioran, bahkan berfungsi sebagai alternatif kapur pertanian. Pengapuran pada tanah gambut dapat memperbaiki kesuburan tanah gambut, namun efek residunya tidak berlangsung lama hanya 3 - 4 kali musim tanam, sehingga pengapuran harus dilakukan secara periodik. Untuk mencapai pH tanah 5,5 diperlukan 1 g CaCO3/100 g tanah, maka untuk 1 ha tanah gambut, dengan berat tanah gambut 1 ha (4.000.000 kg/ha) diperlukan kapur sebesar 4 ton/ha (Pablima, 2010). Pengapuran yang harus dilakukan secara periodik berdampak cukup besar bagi keberhasilan dalam bertani yang dilakukan oleh petani konvensional. Besarnya biaya yang harus disediakan dalam tahap awal pengolahan tanah gambut, menjadi salah satu alasan petani konvensional melakukan pembakaran lahan yang akan ditanami. Dengan demikian pembakaran lahan yang akan ditanami menjadi pilihan, karena abu hasil pembakaran dapat memperbaiki sifat kimia tanah yakni mempercepat proses mineralisasi dan menaikkan pH tanah. Di sisi lain hal tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan diantaranya polusi udara, menurunkan tingkat keanekaragaman hayati dan lain sebagainya. Penggunaan abu terbang sebagai pengganti kapur dinilai lebih efisien. Abu terbang dapat dimanfaatkan untuk reklamasi di daerah pertambangan dan perbaikan kondisi tanah untuk tujuan pertanian. Sebagai material reklamasi abu terbang mampu menetralkan tanah dengan kemasaman tinggi dan sulit ditanami, dapat membuat tanah menjadi gembur dan meningkatkan kemampuan tanah menyimpan air. Di New York dan California, abu terbang digunakan untuk menggantikan kapur pada lahan di peternakan sapi dan perkebunan kacang dan buah-buahan. Penggunaan abu terbang mampu menurunkan biaya produksi pertanian daerah tersebut (Prijatama, 2002). Hasil analisis yang dilaporkan oleh Sondari (2009) menunjukkan dalam abu terbang juga terkandung unsur–unsur logam berat seperti Pb (timbal), Kadmium (Cd), Tembaga (Cu), dan lain–lain. Kadmium merupakan logam berat non essensial yang bersifat mobil sehingga mudah diserap oleh tanaman dan bersifat toksik. Asupan harian Cd dalam tubuh manusia dari makanan diperkirakan 35-90 µg, apabila mencapai batas kritis sekitar 250-300 µg/hari, gejala keracunan akan timbul (Landis dan Ho, 2005). Standard dari WHO/FAO menurut Alloway (1997) adalah 70 µg/hari atau 400-500 µg/minggu. Sebagian besar Cd yang diabsorbsi tubuh akan mengumpul di dalam ginjal, hati dan sebagian lagi akan dibuang keluar melalui saluran pencernaan. Keracunan Cd dapat mempengaruhi otot polos 2 pembuluh darah, akibatnya tekanan darah menjadi tinggi yang kemudian bisa menyebabkan terjadinya gagal jantung, ginjalpun dapat rusak karena keracunan Cd. Diantara berbagai jenis tanaman, sawi dari famili Brassicaceae (kubis-kubisan) tergolong tanaman yang mempunyai kemampuan mengakumulasi logam berat, sehingga sering digunakan dalam phytoextraction pada lahan yang tercemar logam berat (Kumar, 2006). Tanaman ini dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004). Tanaman sawi memiliki banyak manfaat karena mengandung berbagai macam vitamin yang dibutuhkan tubuh. Tanaman sawi dapat tumbuh pada tanah dengan pH tanah 6–7, gembur, mengandung bahan organik, dan berdrainase baik (Tafajani, 2010). Kalbar dengan luas wilayah sekitar 146.807 km2 terdapat ± 3 juta ha lahan gambut, dimana tanah ini memiliki sifat fisik gembur dan mudah diolah dengan demikian daerah ini memenuhi beberapa syarat untuk keberhasilan budidaya tanaman sawi. Keberhasilan pemanfaatan gambut untuk usaha budidaya tanaman sawi masih jauh dari yang diharapkan. Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh pemberian abu terbang (fly ash) terhadap produksi dan akumulasi logam Cd pada tanaman sawi di tanah gambut. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Untan Jalan A. Yani, Kecamatan Pontianak Tenggara, Kota Pontianak. Penelitian berlangsung dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2012. Bahan yang digunakan terdiri dari: benih sawi pakcoy, sawi hijau, kailan dan sawi keriting; tanah gambut dengan tingkat kematangan hemik; abu terbang dengan daya netralisasi 35% diperoleh dari PLTU Suralaya, Jawa Barat; Pupuk Urea; larutan HNO3 pekat dan HCLO4 pekat; polybag berwarna hitam berukuran 50 x 40 cm; Insektisida Decis 25 EC. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan pola faktorial Split Plot yang terdiri dari 2 faktor. Sebagai petak utama (main plot) adalah faktor dosis abu terbang (a), terdiri atas 4 taraf yakni: a1 (300 g/polybag abu terbang), a2 (600 g/polybag abu terbang), a3 (900 g/polybag abu terbang) dan a4 (1200 g/polybag abu terbang). Anak petak (sub plot) adalah faktor jenis tanaman sawi (t) terdiri atas 4 taraf yakni : t1 (sawi pakcoy), t2 (sawi hijau), t3 (kailan), t4 (sawi keriting), sehingga diperoleh 16 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 1 tanaman, sehingga total ada 48 tanaman. Variabel penelitian adalah: tingkat kemasaman (pH tanah) diukur pada sampel tanah awal, setelah inkubasi dan setelah panen menggunakan pH-meter. Berat basah tajuk, bagian atas tanaman yang telah dipanen dan dibersihkan, ditimbang dengan timbangan elektrik. Analisis kadar logam berat Cd pada jaringan tanaman dengan menggunakan metode ekstraksi larutan HNO3 pekat dan HCLO4 pekat. Analisis Varian (ANOVA) pada pH dan berat basah tanaman menggunakan program SPSS 18 For Windows, tingkat signifikansi ditentukan pada α ≤ 0.05. Uji beda menggunakan Honestly Significant Difference (Tukey HSD. Persiapan media tanam 3 Tanah gambut diambil pada kedalaman olah 20 cm, kemudian tanah dibersihkan dari sisa-sisa akar dan jaringan tanaman yang berukuran besar, dikering anginkan dan ayak. Tanah ditimbang sebanyak 8 kg, diberi abu terbang sesuai dosis perlakuan dan dimasukkan ke polybag, kemudian diinkubasi selama 2 minggu. Penanaman bibit Setelah inkubasi selesai, bibit sawi yang berumur 2 minggu ditanam di dalam polybag, dilakukan penyiraman secukupnya, kemudian polybag ditempatkan di rumah penelitian yang beratap plastik transparan. Pemeliharaan tanaman Penyiraman dilakukan dengan memperhatikan kondisi media tanam, apabila kering maka dilakukan penyiraman dengan volume air yang sama untuk semua perlakuan. Pemupukan diberikan saat tanaman berumur 14 hari setelah tanam yaitu sebanyak 3 g/tanaman (Sunarjono, 2008).Pengendalian hama dan penyakit dilakukan terhadap tanaman yang terserang ulat daun. Pemanenan tanaman Pemanenan tanaman dapat dilakukan saat tanaman berumur 30 hari setelah tanam. Tanaman dicabut kemudian dilakukan pemisahan bagian akar dengan bagian tajuk. HASIL DAN PEMBAHASAN pH tanah setelah inkubasi dan setelah panen Analisis keragaman menunjukkan bahwa pemberian abu terbang berpengaruh nyata terhadap perubahan kemasaman tanah (pH). Tabel 1 menunjukkan pH setelah inkubasi mengalami peningkatan (berkisar dari 4,34 – 5,18) dibandingkan dengan pH tanah awal (3,11). Peningkatan pH setelah pemberian abu terbang pada tanah gambut disebabkan abu terbang bersifat alkalin di alam dengan kisaran pH 4,5 – 12 (Haynes, 2009). Penyebab lainnya dikarenakan abu terbang mengandung Ca yang dapat berfungsi sebagai bahan kapur sehingga mampu meningkatkan pH tanah. Sebagaimana dinyatakan oleh Inthasan et al., (2002), abu terbang mengandung Ca dan Mg dalam jumlah yang tinggi, dan bersifat alkalin (pH 11). Pemberian abu terbang dengan dosis semakin tinggi diikuti oleh peningkatan pH, hal ini disebabkan reaksi dari abu terbang berlangsung dengan baik. Asam-asam organik yang merupakan sumber kemasaman tanah gambut dapat dinetralisasi dengan abu terbang yang mengandung Ca dan Mg. Adapun reaksi netralisasi dari senyawa asam oranik dengan senyawa yang terkandung dalam abu terbang dapat dijelaskan sebagai berikut: COOH + CaO Ca(COO)2 + H2O COOH + MgO Mg(COO)2 + H2O Ion Ca dan Mg bereaksi dengan ion H+ akibatnya Ca2+ menjadi terabsopsi pada koloid tanah mengakibatkan ion H+ yang terlarut dalam tanah menjadi berkurang, sehingga pH tanah meningkat. pH tanah setelah panen meningkat dibandingkan pH tanah setelah inkubasi. pH akhir (setelah panen) terendah (5,04) berada pada perlakuan a1 sedangkan yang tertinggi (5,42) dari semua perlakuan berada pada perlakuan a4. Terjadinya peningkatan pH tanah pada akhir penelitian dimungkinkan adanya senyawa Fe2O3 yang berasal dari abu terbang yang berperan sebagai panyangga. Fe2O3 akan mengikat ion Ca dan kemudian 4 melepaskannya secara perlahan. Oleh karena itu tidak semua ion Ca dapat diserap oleh tanaman selama masa pertumbuhan, sehingga pH tanah tetap mengalami peningkatan walaupun telah melewati masa inkubasi. Tabel 1. pH Tanah Setelah Inkubasi dan Setelah Panen pada Berbagai Tingkat Dosis Abu Terbang pH setelah inkubasi pH setelah panen a1 (15) 4.34 5.04 a2 (30) 4.70 5.20 a3 (45) 4.97 5.41 a4 (60) 5.18 5.42 Dosis abu terbang (ton/ha) pH tanah awal 3.11 Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah Fakultas Pertanaian Untan, 2011. Berat basah tajuk Analisis keragaman menunjukkan perbedaan jenis sawi memberikan pengaruh nyata terhadap berat basah tajuk (α < 0.0001), sedangkan interaksi pemberian abu terbang dengan jenis tanaman sawi memberikan pengaruh yang nyata (α = 0.015). Pengaruh interaksi pemberian abu terbang dengan jenis sawi terhadap berat basah tajuk disajikan pada Tabel 2. Dari Tabel 2 dapat diketahui berat basah tajuk t1, t2, dan t4 tidak berbeda nyata pada perlakuan a2, a3, dan a4, tetapi berbeda nyata pada perlakuan a1. Hal ini berkaitan dengan nilai pH tanah diakhir penelitian yang tidak berbeda nyata pada perlakuan dosis a2, a3 dan a4, tetapi berbeda nyata dengan a1. Berat basah tajuk untuk t3 baru mengalami peningkatan pada perlakuan a3 dan a4. Dengan demikian perlakuan a2 (600 g/polybag) merupakan perlakuan yang optimum untuk jenis tanaman sawi pakcoy, sawi hijau, dan sawi keriting. Sedangkan untuk t3 perlakuan yang optimum adalah perlakuan a3 (900 g/polybag). Perbedaan dosis optimum pada kailan dibandingkan tiga sawi lainnya dimungkinkan terjadi karena perbedaan jumlah nutrisi yang dibutuhkan tanaman selama proses pertumbuhan. Diduga tanaman kailan memerlukan nutrisi yang lebih banyak sehingga kebutuhan akan hara baru terpenuhi pada perlakuan a3. Sebagaimana yang terlah dilaporkan dari penelitian terdahulu bahwa abu terbang mengandung sejumlah unsur hara yang diperlukan tumbuhan dalam masa pertumbuhannya. Dengan semakin tinggi dosis abu terbang yang diberikan makan suplai hara untuk tanaman akan semakin banyak. Selain itu penyebab lainnya diduga berkaitan dengan tingkat toleransi tanaman tersebut terhadap tingkat kemasaman tanah. Pemberian abu terbang dengan dosis optimum dapat menaikkan pH tanah sehingga unsur hara yang diperlukan tanaman untuk pertumbuhan menjadi tersedia. Sebagaimana dijelaskan oleh Hart et al. (2003), pemberian abu terbang dapat menaikkan pH tanah juga dapat memperbaiki sifat tanah dengan meningkatkan ketersediaan unsur-unsur makro dan mikro tanah seperti P, K, Ca, Mg, Zn, Cu dan Co. Dilihat dari berat basah tanaman keempat jenis sawi, produksi tanaman kailan adalah yang paling rendah. Dari Tabel 2, dapat diketahui jenis sawi yang memiliki berat basah terendah dari semua perlakuan dosis abu terbang adalah kailan. Hal ini disebabkan secara genetis kailan memiliki morfologi daun yang lebih kecil sehingga menghasilkan biomassa yang lebih kecil daripada ketiga jenis sawi lainnya. 5 Tabel 2. Uji HSD Pengaruh interaksi pemberian abu terbang dengan jenis sawi terhadap berat basah tajuk Petak Utama Dosis Abu Terbang (ton/ha) Anak Petak Jenis Sawi Berat Basah Tajuk (g/tanaman) a1 (15) t1 (pakcoy) t2 (sawi hijau) t3 (kailan) t4 (sawi keriting) 20.85 39.29 9.66 52.57 ab abcd a bcde a2 (30) t1 (pakcoy) t2 (sawi hijau) t3 (kailan) t4 (sawi keriting) 74.62 64.42 20.62 64.26 def cdef ab ef a3 (45) t1 (pakcoy) t2 (sawi hijau) t3 (kailan) t4 (sawi keriting) 72.43 63.54 25.38 81.69 def cdef abc ef a4 (60) t1 (pakcoy) t2 (sawi hijau) t3 (kailan) t4 (sawi keriting) 93.66 64.26 33.60 78.53 f cdef abc ef Keterangan: Data diperoleh dari 3 ulangan Data yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata \ (a) (b) 6 (c) (d) Gambar 3. (a) Sawi pakcoy, (b) sawi hijau, (c) kailan dan (d) sawi keriting saat berumur 30 hari Analisis kadar logam berat kadmium (Cd) pada tajuk tanaman Tanaman sawi dapat mengakumulasi lebih dari 10 ppm Hg, 100 ppm Cd, 1000 ppm Co, Cr, Cu, dan Pb, 10.000 ppm Ni dan Zn (Aiyen, 2004). Dari hasil analisis laboratorium terhadap seluruh tanaman yang ditaman di lokasi penelitian, diketahui tidak ada kontaminasi logam berat Cd dalam jaringan tanaman sawi (Tabel 3), dengan kata lain tanaman sawi tidak mengandung logam berat Cd. Hal ini diduga disebabkan pengaruh dari media tanamnya yakni tanah gambut. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Brown et al (2004) serapan logam berat oleh tanaman dapat diturunkan dengan menambahkan bahan organik yang akan mengkhelat logam.Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Tan (1998) yang menyatakan bahwa dengan memberikan humus pada tanah masam akan menyebabkan fraksi-fraksi logam berat mengalami pengkelatan logam oleh bahan organik, sehingga ketersediaan logam akan menurun. Bahan organik dalam tanah selain menyumbangkan sebagian KTK juga menyerap logam berat dalam bentuk kompleks (Alloway, 1995). Fraksi organik tanah gambut di Indonesia lebih dari 95%, kurang dari 5% sisanya adalah fraksi anorganik, dengan demikian tanah gambut memiliki kemampuan untuk mengkhelat logam (Tan, 1993). Bahan organik selain sebagai unsur hara bagi tanaman, juga mengandung senyawa berbagai gugus fungsi yang apabila berada dalam bentuk terhidrogenasi dapat meningkatkan kemampuan tanah untuk mengikat logam berat (Parfitt, 1995). Kandungan senyawa-senyawa humat dalam fraksi organik tanah berkisar sekitar 10 hingga 20% (Tan, 1993). Asam humat merupakan bahan makromolekul polielektrolit yang memiliki gugus fungsional seperti -COOH, -OH fenolat maupun –OH alkoholat sehingga asam humat memiliki peluang untuk membentuk kompleks dengan ion logam karena gugus ini dapat mengalami deprotonasi pada pH yang relatif tinggi. Keberadaan senyawa-senyawa organik seperti asam humat dan asam fulvat dari bahan organik mampu membentuk senyawa kompleks dengan ion logam, sehingga dapat mengurangi serapan ion logam oleh tanaman (Tan, 1991). Selain tingginya kandungan bahan organik diduga penyebab lain tidak diserapnya logam berat oleh tanaman adalah kondisi pH tanah. Kemasaman tanah merupakan faktor yang sangat penting terhadap ketersediaan Cd, karena mempengaruhi mekanisme adsorpsi dan spesifikasi logam tersebut dalm larutan tanah (Alloway, 1997). Tujuan utama dari penggunaan abu terbang sebagai amelioran dalam penelitian ini adalah untuk meningkatkan pH tanah. Peningkatan pH oleh pengapuran menurunkan ketersediaan logam berat (Alloway, 1995). Dijelaskan oleh Lindsay (1979), dengan naiknya pH, bentuk kation logam berubah menjadi bentuk-bentuk hidroksida atau oksida. Hal ini terjadi karena naiknya pH tanah dan meningkatnya muatan negatif permukan mineral liat yang bermuatan tidak tetap. Kenaikan pH tersebut mengubah ion-ion logam menjadi senyawa yang mengendap. Tabel 3. Kandungan logam berat Cd pada tanaman sawi 7 Perlakuan Dosis abu terbang (ton/ha) Cd pada jaringan tanaman (ppm) a1 (15) < 0.001 a2 (30) < 0.001 a3 (45) < 0.001 a4 (60) < 0.001 Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Terpadu IPB, 2012 SIMPULAN Pemberian abu terbang berpengaruh nyata terhadap pH tanah dan berat basah tanaman sawi. Perlakuan a2 (600 g/polybag) merupakan perlakuan yang optimum untuk jenis tanaman sawi pakcoy, sawi hijau, dan sawi keriting, sedangkan perlakuan dosis optimum untuk tanaman t3 adalah a3(900 g/polybag). Abu terbang yang bersifat alkalis dapat digunakan sebagai alternatif pengganti kapur. Penggunaan abu terbang untuk memperbaiki sifat tanah sampai mencapai dosis tertinggi (a4 = 1200 g/polybag) dalam penelitian ini sawi masih aman untuk dikonsumsi karena tidak mengandung Cd dalam jaringan tanaman. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Rita Hayati, M. Si. yang telah mengizinkan menggunakan data untuk menyelesaikan skripsi ini. Tulisan ini adalah sebagian dari hasil yang didanai oleh Dirjen DIKTI melalui Grant Research Program IMhere 2011 Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura. DAFTAR PUSTAKA Aiyen. 2004. Importance of Root Growth Parameters to Cd and Zn Acquisition by Nonhyperaccumulator and Hyperaccumulator Plants. Dissertation University of Hohenhein, Institutebof Plants Nutrition, Verlag Graner- Meuren-Stutgard. Alloway BJ. 1995. Heavy Metals in Soils. Blackie Academic & Profesional. London, Glasgow, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. -----------------. 1997. Heavy Metal in Soils. John Willey and Sons Inc., New York. BPS Kal-Bar. 2008. Kalimantan Barat dalam Angka 2008. Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimanatan Barat Pontianak. Brown S, Chaney R, Hallfrisch J, Ryan JA, and Berti WA. 2004. In Situ Treatments to Reduse Phyto-And Bioavailability of Lead, Zinc, and Kadmium. J Environ Qual 33:522-531. Hart BR, Hayden DB dan Powell M. 2003. Evaluation of Pulverized Fuel Ash Miixedwith Organic Matter to Act as a Manufactured Growth Medium. International Ash Utilization Symposium, Center for Applied Energy Research, University of Kentucy, Lexington, Kentuky, 2003. Paper #119. Haynes, RJ. 2009. Reclamation and revegetation of fly ash disposal sites-challeges needs (reviews). Journal Environmental Management 90:43-53. 8 Inthasan JN, Hirunburanan L, Herman and K Stahr. 2002. Effect of Fly Ash on Soil Properties, Nutrient Status and Environment in Northern Thailand. Soil Science International Congress, Bangkok, Thailand. Landis, WG, and Ho You-Ming. 2005. Introduction to Environmental Toxicology, Impact of Chemicals upon Ecological System. Lewish Publisher, London-New York, Washington D.C. Lingga L. 2010. Cerdas Memilih Sayuran. PT Agromedia Pustaka : Jakarta. Lindsay WL. 1979. Chemical Equilibria in Soil. John Wiley and Sons. New York. Pablima, V. 2010. Uji Efektifitas Pemebrian Bokasi Tandan Sawit Dan Pupuk Bakteri Pelarut Fosfat Terhadap Beberapa Sifat Kimia Tanah Dan Hasil Tanaman Kedelai Pada Tanah Gambut Ombrogen Di Kelurahan Siantan Hul. Skripsi (tidak dipublikasikan), Fakultas Pertanaian Universitas Tanjungpura: Pontianak. Parfitt RL, DJ Giltrap, dan JS Whitton. 1995. Contribution of organic Matter and Clay Minerals to the Cation Exchange Capacity of soil. Commun, Soil Sci.-Plant Annual 26. Prijatama, H. 2002. Karakteristik dan Diversifikasi Pemanfaatan Fly Ash di Indonesia. Workshop : Peluang dan Tantangan Pemanfaatan Fly Ash di Indonesia. Jakarta. Diselenggarakan oleh BBPT. 9 September 2002. Badan Standrisasi Nasional No 7387. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Badan standarisasi nasional, pphp.deptan.go.id. Diakses tanggal 25 Agustus 2011. Sondari N. 2005. Beberapa Sifat Fisika dan kimia tanah, Konsentrasi hara makro dan mikro tanaman, serta hasil hermada ( Sorghum bicolor L. Moench) Akibat pemberian Abu sisa bakaran batubara dan pupuk Hijau pada Typic Kanhapludults. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran : Bandung. -------------. 2009. Pertumbuhan, Kadar Logam Berat Pb, Dan Hasil Padi Gogo (Oryza Sativa L.) Akibat Pemberian Kombinasi Limbah Batubara Bottom Ash Dan Bokashi Bottom Ash, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan, Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 9 No. 2 (2009) p: 88-94. Sunarjono, H. 2008 Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebit Swadaya : Jakarta. Tafajani DS. 2010. Panduan Komplit Bertanam Sayur Dan Buah-Buahan. Cahaya Atma : Yogyakarta. Tan KH.1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. terjemahan oleh Didiek Hadjar Goenadi, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta. ------------. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp. -----------. 1998. Dasar-dasar Kimia Tanah. Gadjah Mada University press : Yogyakarta. 295 hal. Tekmira (Teknologi Mineral dan Batubara). 2009. Pemanfaatan Abu Batubara Sebagai Bahan Pembenah Tanah Atau Soil Conditioner Di Daerah Penimbunan Tailling Pengolahan Emas. http://www.tekmira.esdm.go.id. Diakses pada tanggal 16 Maret 2009. Wardani SPR. 2008. Pemanfaatan Limbah Batubara (Fly Ash) Untuk Stabilisasi Tanah Maupun Keperluan Teknik Sipil Lainnya Dalam Mengurangi Pencemaran Lingkungan.Disampaikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. http: //eprints.undip.ac.id/7029/ 1/Sri_Prabandiyani_Retno Wardani.pdf. Diakses pada tanggal 22 Juni 2011. 9 10