9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Disabilitas Bahu Dan Lengan Akibat

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Disabilitas Bahu Dan Lengan Akibat Subacromial Impingement Syndrome
Subacromial Impingement Syndrome didefinisikan sebagai kompresi dan
abrasi mekanik dari rotator cuff, bursa subacromial dan tendon biceps saat
melewati bawah lengkung acromial dan ligamen coracoacromial terutama pada
saat gerak elevasi lengan (Ludewig and Cook, 2000).
Subacromial impingement syndrome (atau disingkat SIS) adalah nyeri
yang disebabkan oleh penekanan dari tendon otot supraspinatus diantara akromion
dan tuberositas humerus. Nyeri pada Subacromial impingement syndrome
menyebabkan penurunan aktivitas fungsional bahu (Setyawati, et al, 2013).
Disabilitas yang disebabkan oleh Subacromial impingement syndrome
(atau disingkat SIS) pada sendi bahu (shoulder joint) yang memiliki mobilitas
tinggi dan mudah mengalami cedera, sehingga pada pasien sering dikeluhkan
kumpulan gejala rasa nyeri pada bahu seperti “Painful Shoulder Syndrome”
(rotator cuff disease, impingement syndrome, shoulder instabilities) yang dapat
menyebabkan keterbatasan gerak hingga gangguan fungsi gerak (Kisner and
Colby, 2012).
Gangguan aktivitas fungsional bahu sehari-hari seperti mandi ketika
keramas, menyisir, mengenakan pakaian, mengancing baju, mengenakan celana,
mengambil dompet disaku belakang, menulis di papan tulis, adanya gangguan
menggunakan lengan untuk menggapai sesuatu teruama letaknya agak di atas
9
10
kepala, mengangkat benda, menurunkan benda, melempar dan semua aktivitas
yang mengharuskan tangannya terangkat melebihi kepalanya.
Gangguan aktivitas bekerja seperti profesi guru, kuli panggul, pembantu
rumah tangga, olahraga (softball, swimmer, basket ball, badminton), rekreasi
(panjat tebing) hingga kualitas hidup (self care).
Gambar 2.1 Subacromial Impingement
Syndrome (Michener et al, 2003)
2.2 Anatomi
2.2.1
Shoulder Complex
1. Anatomi Tulang Bahu
a.
Scapula adalah tulang yang menghubungkan tulang lengan atas dan
tulang selangka. Scapula membentuk bagian posterior dari gelang
bahu. Berbentuk pipih dan seperti segitiga. Secara anatomis, memiliki
dua permukaan, 3 pinggir (tepian), dan 3 sudut. Pada bagian anterior,
terdapat
fossa
subscapularis,
dimana
tempat
melekatnya otot
subscapularis. Bagian permukaan posterior dibagi oleh spina scapula
menjadi fossa suprapinosus dan fossa infraspinosus. Pada ujung spina
scapula terdapat bagian acromion. Bagian khas lainnya yaitu
11
processus coracoideus yakni tonjolan yang berasal dari bagian utama
scapula
sendiri.
Ujung
dari
processus
ini
dilekati
oleh
banyak otot seperti otot coracobrachialis. Di dekat bagian bawah
processus coracoideus terdapat angulus lateralis, dan sebuah bagian
seperti cekungan yang disebut cavitas glenoidales. Di cavitas inilah
tempat melekatnya bonggol kepala dari humerus, Scapula bersendi
dengan clavicula pada acromion (Halder, et al, 2000).
b.
Clavicula adalah tulang yang membentuk bahu dan menghubungkan
lengan atas pada batang tubuh. Clavicula berbentuk kurva-ganda dan
memanjang. Pada ujung medial, clavicula bersendi pada manubrium
dari sternum (tulang dada) pada sendi sternoclavicularis. Pada bagian
ujung lateral bersendi dengan acromion dari scapula (tulang belikat)
dengan sendi acromioclavicularis. Pada wanita, clavicula lebih
pendek, tipis, kurang melengkung, dan permukaannya lebih halus
(Halder, et al, 2000).
c.
Humerus
adalah
tulang
yang
terpanjang
pada
ektremitas
superior/lengan yang terletak antara bahu dan siku. Pada sistem
rangka, terletak di antara tulang belikat dan radius-ulna. Secara
anatomis, tulang humerus dapat dibagi menjadi tiga bagian: Bagian
atas humerus, Corpus humerus (badan humerus) dan Bagian bawah
humerus. Caput humeri bersendi dengan cavitas glenoidales dari
scapula. Pada persendian ini terdapat dua bursa yaitu pada bursa
subacromialis dan bursa
subscapularis.
Bursa
subacromialis
12
membatasi otot supraspinatus dan otot deltoideus. Bursa subscapularis
memisahkan fossa subscapularis dari tendon otot subscapularis. Otot
rotator cuff membantu menstabilkan persendian ini. Sepasang tuberkel
disebelah lateral dan medial caput humeri tepat di atas sepertiga tengah
humerus disebut tuberositas major dan tuberositas minor. Terdapat
dua cekungan pada ujung bawah humerus, yaitu fossa coronoidea dan
fossa olecrani (Halder, et al, 2000).
Gambar 2.2 anatomi shoulder (Putz and Pabs.
2006)
2.2.2
Sendi Bahu
1. Glenohumeral Joint
Sendi ini merupakan ball and socket joint yang dibentuk oleh cavitas
glenoid yang berbentuk concave menghadap lateral serong ventrocranial
dengan caput humeri yang berbentuk convek. Ketika gerak glenohumeral
abduksi/fleksi
tetapi
gerak
geser
kaput
berkurang
maka
dapat
menimbulkan jepitan sehingga terjadi impingement. Gerak glenohumeral
tersebut dikontrol oleh kapsul sendi yaitu apabila bagian kapsul
13
suprahumeral memendek maka akan menimbulkan benturan kaput humeri
dengan clavicula. Factor lain dari otot subscapularis dan supraspinatus
maka gerakan geser kaput humeri akan berkurang (Kisner and Colby,
2012).
2. Suprahumeral Joint
Sendi Suprahumeral bukan merupakan sendi yang sebenarnya tetapi
merupakan celah antara acromion pada bagian atas dan head of humeri
bagian bawah. Terdapat bursa subdeltoidea atau subakromialis dan rotator
cuff yang terdiri atas otot subscapularis, otot supraspinatus dan otot
infraspinatus serta tendon long head biceps. Karena posisi tendon
supraspinatus berada pada cranial, berada di bawah bursa subacromialis
maka kedua jaringan tersebut paling sering terjadi cidera impingement.
Pada mekanisme gerak normal, ketika melakukan gerak abduksi bahu
tidak terjadi benturan karena terjadi irama gerak yang sinkron antara
humerus dengan scapula yaitu scapulohumeral rhythm. Ketidaknormalan
pola tersebut menyebabkan ketika gerak pada saat abduksi-elevasi terjadi
benturan antara head of humerus dengan acromion, kemudian benturan
dieliminir dengan eksternal rotasi humerus dan atau scapular abduksi.
Persarafan yang mempersarafi otot-otot dalam suprahumeral joint antara
lain otot subscapularis pada C5, C6 n. Subscapularis upper dan lower,
otot supraspinatus pada C5 n. Suprascaapularis, dan otot infraspnatus
pada C5, C6 n. Suprascapularis (Lisa, 2005).
14
3. Acromioclavicular Joint
Sendi ini memiliki jenis sendi plane joint dengan acromion yang
berbentuk conkav menghadap ke medial dan clavicula berbentuk conveks.
Gerak yang ditemukan yaitu elevasi-depresi dan protaksi-retraksi.
Kelainan dapat terjadi akibat gangguan pada struktur tulang dari
persendian bahu, seperti pembentukan bone spike pada acromion akibat
factor degenerasi (osteofit ACJ), perbedaan bentuk atau tipe dari
acromion, sehingga dapat mempengaruhi struktur lain pada bahu sehingga
terjadi impingement syndrome (Lawrence, et al, 2014).
4. Sternoclavicula Joint
Sternoclavicula joint merupakan saddle joint, clavicula berbentuk
concave kearah anteroposterior dan konveks kearah craniocaudal
(Lawrence, et al, 2014).
2.2.3
Struktur Jaringan Lunak
1.
Kapsul Sendi
Merupakan sebuah kantong kedap yang mengelilingi sendi. Di bahu,
kapsul sendi dibentuk oleh sekelompok ligament yang menghubungkan
humerus ke glenoid. Ligament ini pada bagian superior, tengah dan
inferior ligament glenohumeral. Merupakan sumber utama stabilitas untuk
bahu, membantu menahan bahu pada tempatnya dan menjaga dari
dislokasi (Kisner and Colby, 2012).
15
2.
Ligament Coracoacromialis
Ligament ini menghubngkan coracoid scapula dengan acromion. Jika
ligament ini menebal dapat menyebabkan impingement syndrome (Kisner
and Colby, 2012).
3.
Bursa Subacromialis
Berada diantara otot rotator cuff dengan sendi acromioclavicular dan
ligament coracoacromial. Peradangan dan pembengkakan pada bursa
subacromial
yang
dikenal
sebagai
bursitis
dapat
menyebabkan
subacromial impingemen dari bahu (George, 2014).
2.2.4
Otot-Otot
1.
Rotator Cuff
Tendon rotator cuff melekat pada otot rotator cuff bagian dalam.
Ada empat otot yang terlibat dalam mengangkat lengan dari samping dan
memutar bahu keberbagai arah. Mekanisme rotator cuff juga menjaga
kestabilan sendi bahu dengan menyangga caput humeri di soket glenoid.
Otot yang terlibat yaitu otot supraspinatus, otot infraspintus, otot teres
minor dan otot subscapularis (George, 2014).
a. Musculus Supraspinatus
Dimulainya dari fossa supraspinatus dan otot ini melewati
kapsula artikularis dan bersatu untuk mencapai fasies superior
tuberculum mayor. Otot ini memperkuat humerus pada lekuk sendi,
menegangkan kapsula artikularis dan abduksi lengan. Kadang-kadang
16
terdapat bursa sinovial dekat cavitas glenoidalis. Persarafan: n.
supraskapularis
(C4-C6).
Kepentingan
klinik:
tendonopati
m.
supraspinatus disebabkan regangan berlebihan atau trauma yang sering
terjadi. Tendonopati ini berhubungan dengan klasifikasi pada tendon
dekat tuberkulum mayor dan menimbulkan rasa nyeri hebat pada
abduksi setelah usia 40 tahun ruptur tendon juga sering terjadi (Kisner
and Colby, 2012).
b. Musculus Infraspinatus
Dimulai dari fossa intraspinatus, spina scapula dan fasia
infraspinatus dan berjalan menuju tuberculum major : permukaan
tengah, m infrasipantus memperkuat kapsula artikularis sendi bahu,
fungsi utamanya adalah rotasi eksterna lengan. Dekat dengan lekuk
sendi sering terdapat bursa subtendinea m. infraspinatus. Persarafan: n.
suprascapularis (C4-C6) variasi : seringkali bergabung dengan m. teres
minor (Halder, et al, 2000).
c. Musculus Subskapularis
Berasal dari fossa subskapularis dan berinsertio pada tuberculum
minor dan pada bagian proximal krista tubercoli minoris. Dekat
perlekatan antara m. subskapularis dan kapsula artikularis terdapat
bursa subtendinea m. subskapularis dan diantara bursa tendinea dan
basis processus coracoideus terletak bursa sub coracoidea. Kedua
bursa berhubungan dengan cavum articularis. Otot ini bekerja untuk
rotasi medialis lengan atas. Persarafan n. subskapularis (C5-C8).
17
Kepentingan klinik : paralis m subskapularis mengakibatkan maksimal
rotasi lateralis (eksternalis) anggota badan atas, yang menunjukkan
bahwa otot ini adalah rotator medialis kuat lengan atas (Lewis, et al,
2005).
d. Biceps Caput Longum
Caput longum berorigo pada tuberositas supraglenoidales
di scapula dan berinsersio pada bagian posterior tuberositas radii. Otot
ini merupakan otot supinator lengan bawah, otot fleksor kuat pda sendi
siku dan fleksor lemah pada sendi bahu. Persarafan: Nervus
musculocutaneus dari plexus brachialis (Kisner and Colby, 2012).
e. Musculus Teres Minor
Dimulai dari pinggir lateral skapula superior terhadap origo m.
teres major dan berinsertio pada permukaan bawah tuberkulum mayor.
Otot ini bekerja sebagai rotasi lateral lengan.Persarafan: n. aksillaris
(C5-C6) variasi: otot ini dapat bersatu dengan m intraspinatis (Bang
and Deyle, 2000).
f. Pectoralis minor (pectoralis mayor)
Apabila memendek akan mengakibatkan tiping scapula gangguan
ini akan menyebabkan supraspinatus (Kisner and Colby, 2012).
g. Levator scapula (upper trapesius)
Apabila memendek akan menyebabkan scapula srugging. Pada
penyimpangan ini akan menyebabkan impingemen syndrome (Kisner
and Colby, 2012).
18
h. Serratus anterior
Dimana apabila otot ini lemah akan menyebabkan menurunnya
stabilitas scapula pada thorakal menyebabkan scapula wringing. Pada
penyimpangan ini akan menyebabkan impingemen syndrome (Kisner
and Colby, 2012).
2.2.5
Scapulohumeral Rhythm
Merupakan gerakan shoulder abduction – elevation dan juga
selama fleksi terjadi gerakan osteokenematik yang proporsional antara
humerus dan scapula. Gerakan abduksi 0-30° terjadi gerak humerus 30°
sementara skapula pada posisi tetap atau bahkan sedikit adduksi. Pada 30°60° terjadi gerakan yang proporsional antara abduksi humerus : scapula
sebesar 2:1. Selanjutnya pada abduksi 60°-120° pada impingement
sindrom pada range ini sering terjadi sensasi nyeri. Selain itu,juga terjadi
humerus eksternal rotasi secara bertahap sebesar 90° karena menghindari
benturan akromion dengan kaput humeri. Sementara gerak proporsional
antara humerus dengan scapula 2:1. Pada abduksi 120°-180° gerak
proporsional tersebut tetap berlanjut. Pada ring ini mulai terjadi gerakan
intervertebral dan kosta bermakna pada akhir gerakan (Rebekah, et al,
2014).
2.2.6
Scapulothorakal Kinetik
Merupakan pertemuan antara scapula dengan dinding thorax yg
dibatasi oleh subscapular m.dan serratus anterior m, dan dipertahankan
19
oleh otot-otot trapezius, rhomboideus major –minor. Gerak yang terjadi
pada scapulothoracal adalah elevation – depression sesuai dengan
translationnya, dan abduction – adduction sesuai dengan translationnya.
Saat gerak bahu rotasi eksternal terjadi gerak scapula rotasi medial,
sedangkan Saat gerak abduksi bahu terjadi gerak scapula rotasi-abduksi.
Shoulder impigement pada scapularyhoracal kinetik ada tiga
kelainan pada scapula yakni : Scapula tipping, Scapula shrugging, dan
Scapula
wringing.
Scapula
tipping
merupakan
ketegangan
atau
kontrakturnya otot pectoralis minor dan hypomobile dari acromion
clavicular joint (AC joint) yang menyebabkan angulus inferior dari
scapula terlihat menonjol. Lalu Scapula shrugging merupakan akibat dari
tightness
ataupun
pemendekan
dari
otot
levator
scapula
yang
menyebabkan angulus superior dari scapula mengalami penonjolan.
Sedangkan Scapula wringing merupakan akibat dari kelemahan dari otot
seratus anterior dan rhomboideus, yang menyebabkan margo medialis dari
scapula terlihat menonjol (Stephen, et al, 2003).
2.2.7
Painful Arc pada scapula humeral rhythm
Painful Arc adalah nyeri atau perubahan pola gerakan akibat nyeri
yang terjadi pada abduksi–elevasi 60°-120°, hal ini karena rangsangan
nyeri pada jaringan suprahumeral, termasuk tendon otot supraspinatus
yang sensitif akibat miofasial sindrom otot supraspinatus (Rebekah, et al,
2014).
20
2.3 Patologi Subacromial Impingement Syndrome
2.3.1
Insidensi
Menurut data, nyeri bahu adalah nyeri yang kedua yang paling
umum pada keluhan muskuloskeletal, dengan melaporkan prevalensi
20,9% population sebagian besar pasien dengan nyeri bahu ke dokter
diberi diagnosis impingement (Lawrence, et al, 2014).
Nyeri bahu adalah keluhan umum dengan prevalensi dari 20%
sampai 33% pada populasi dewasa. Nyeri bahu juga menduduki peringkat
ke tiga dari keluhan muskuloskeletal setelah nyeri punggung dan lutut
dengan tidak melihat faktor usia. Prevalensi terbesar pada nyeri bahu
adalah Subacromial Impingement Syndrome sekitar 44-60% keluhan yang
menyebabkan nyeri bahu (Setyawati, et al, 2013).
2.3.2
Etiologi
Penyebab terjadinya Subacromial Impingement Syndrome dibagi
menjadi dua faktor. Faktor intrinsik berteori bahwa penebalan tendon atau
bursa karena sobekan parsial maupun komplit yang terjadi karena proses
degeneratif dalam waktu yang lama dan berulang dalam melakukan
aktivitas yang berlebihan (over use), ketegangan otot yang juga berlebih
atau trauma yang terjadi pada tendon (Michener, et al, 2003). Seperti
kelemahan otot rotator cuff, cronic inflammation pada tendon rotator cuff
dan bursa subacromialis, nyeri tendon rotator cuff akibat proses
degeneratif, dan pemendekan posterior capsular sehingga mengakibatkan
gerak translasi antero – superior dari caput humeri.
21
Sedangkan faktor ekstrinsik menjelaskan bahwa peradangan dan
degeneratif tendon terjadi akibat dari kompresi mekanik oleh stuktur
eksternal terhadap tendon. Faktor penyebab ekstrinsik antara lain faktor
anatomi, faktor biomekanik atau kombinasi dari keduanya. Sebagai contoh
: posisi
curva atau hooked dari acromion, spurs pada acromion, dan
kelainan postur tubuh. Beberapa faktor yang dapat mengakibatkan Rotator
Cuff Tendinopathy (Michener, et al, 2003).
Pada
faktor
mekanisme
biomekanik
penyebab
Subacromial
Impingement Syndrome ekstrinsik, bahwa adanya penyempitan ruang
subacromion yang menyebabkan tendon rotator cuff mengalami kompresi
sehingga terjadi translasi dari caput humeri ke arah superior atau
terjadinya gerakan menyimpang dari scapula yang mengakibatkan
acromion bergerak kearah inferior, termasuk terjadi pemendekan dari
kapsul sendi glenohumeral kearah posterior-inferior dan kelemahan atau
disfungsi atau penurunan kinerja dari otot rotator cuff sehingga dapat
menyebabkan
perubahan
kinematika
dari
glenohumeral
dan
scapulathoracic (Page, 2011).
2.3.3
Proses Patologi
Patologi impingement dimulai dari terjadinya trauma dimana kaput
humeri menjepit jaringan suprahumeral terhadap akromion. Pada aktivitas
tersebut terjadi benturan atau penjepitan langsung sehingga jaringan
suprahumeral cidera dan terjadi inflamasi. Pada jaringan suprahumeral
apabila terjadi cidera cenderung terjadi cidera ulang akibat kegiatan
22
sehari-hari. Akibatnya, terjadi cidera ulang pada saat proses penyembuhan
jaringan, sehingga cenderung menjadi inflamasi kronik dan terjadi
adhesion yang menimbulkan nyeri pada regangan gerak (Kisner and
Colby, 2012).
Jaringan yang paling banyak dijumpai cidera adalah m. supraspinatus
pada lokasi tendo periosteal, dimana pada jaringan ini memiliki mikro
sirkulasi sedikit, maka akan menyebabkan proses penyembuhan lambat
dan menjadi kronik terlebih pada usia lanjut. Mikro trauma yang terusmenerus dengan waktu yang relative lama, secara kumulatif akan
menimbulkan reaksi inflamasi yang terus-menerus pula. Pada daerah
tersebut juga terdapat labrum glenoidalis superior yang kemungkinan ikut
cidera (Page, et al, 2010).
Trauma tersebut akan menimbulkan inflamasi pada tendon periosteal
m. supraspinatus dan bursa subakromialis. Inflamasi pada kedua daerah ini
dapat memicu timbulnya osteofit dan atau lepasnya kalsium yang
selanjutnya dapat menumpuk pada bursa. Pada inflamasi jaringan
periartikular selalu diikuti spasme otot yang dikenal sebagai guarding
spasm. Spasme otot glenohumeralis akan makin mempersempit jarak
kaput humerus terhadap akromion dan semakin menambah iritasi pada
jaringan suprahumeral. Lebih lanjut akan disusul timbulnya kontraktur
pada satu bagian dari kapsul ligament glenohumeral terutama pada kapsul
serabut oblique dan kapsul bagian atas yang mengakibatkan posisi kaput
23
humerus lebih tinggi dari normal dan ini memudahkan terjadinya
syndrome impingement bahu (Roddy, et al, 2014).
Contohnya over head smash pada pemain tennis, volley, basket.
Trauma pada wanita dan pria prosentasinya sama pada usia produktif, juga
pada orang bekerja dengan lengan atau olahraga dengan lengan.
Posisi bekerja dengan lengan mengangkat ke atas atau posisi lain di
depan computer dan lain-lain akan menimbulkan benturan antara
akromion dengan tuberositas major humeri (Kisner and Colby, 2012).
2.3.4
Patologi Fungsional
Patologi fungsional pada Subacromial Impingement Syndrome yang
terangkum dalam komponen International Classification of Functioning,
Disability, and Health (ICF) oleh WHO (2001) sebagai berikut :
1. Body function, body Structur dan Impairment
Pada subacromial impingement syndrom sering terjadi nyeri pada
impingement karena inflamasi dan jaringan subacromial yaitu bursa
subacromial, tendon subscapula dan m. supraspinatus.
Jenis nyeri pada impingemen berupa pain full arc dan nyeri akibat
provokasi atau iritasi pada jaringan yang inflamasi. Misalnya pada gerak
abduksi pada tendon supraspinatus.(ICF : b2801 Pain in Body Part, ICF :
b28014 Pain in Upper Limb, ICF : b28016 Pain in Joint).
Devisit gerak pada bahu yaitu terganggunya akibat nyeri dan
kekuatannya berkurang pada posisi tengah (mid abduksi). Hal ini di
karenakan pada posisi tersebut terjadi penjepitan jaringan suprahumeral.
24
2. Activity Limitation dan Participation Restriction
Pada kasus subacromial impingemen sindrom seseorang akan
mengalami gangguan self care, ketidakmampuan pada gerakan posisi
tengah umumnya dikeluhkan pada posisi mandi (ICF: d5100 Washing
Body Parts, ICF: d5101 Washing whole body), menggunakan pakaian
(ICF: d5400 Putting on clothes), melepas pakaian (ICF: d5401 Taking off
clothes), mengenakan kaos kaki dan alas kaki (ICF: d5402 Putting on
footwear), melepaskan kaos kaki dan alas kaki (ICF: d5403 Taking off
footwear). Quality of Life, berhubungan dengan kualitas hidup, ketika
melakukan kegiatan mandiri dapat terjadi kesulitan, seperti ketika
berpakaian, mandi, makan, menjangkau tempat lebih tinggi, sehingga
dapat berpengaruh terhadap percaya diri karena setiap aktifitas mandiri
membutuhkan keberadaan orang lain untuk membantu. Mengangkat objek
untuk dipindahkan dari posisi rendah ke posisi tingkat yang lebih tinggi,
seperti mengangkat gelas dari lantai dan memindahkan ke atas meja (ICF:
d4300 Lifting), seperti pada saat menurunkan wadah berisi air ke
permukaan tanah (ICF: d4305 Putting down objects), ketika mencapai
meja untuk menjangkau buku (ICF: d4452 Reaching), ketika melempar
bola (ICF : d4454 Throwing), merangkak (ICF : d44550 Crawling),
memanjat (ICF : d4551 Climbing), berenang (ICF: d4554 Swimming).
Demikian pula pada saat bekerja berhubungan dengan keterbatasan
aktifitas yang ikut menyertai. Pada pekerja dapat menurunkan kualitas
pada pekerjaan, seperti pada guru yang masih menggunakan papan tulis
25
untuk berpresentasi, tukang cat, tukang kebun, teknisi listrik dan profesi
lain yang menggunakan ekstemitas atas. Sport, pada atlit dapat
mempengaruhi prestasi karena mengganggu pada fase sebelum, sesaat dan
sesudah pertandingan, seperti pada perenang, pemain bulu tangkis, pemain
basket, dan cabang olahraga lain yang membutuhkan aktifitas pada
ekstremitas atas. Recreation, pada kegiatan bermain mempengaruhi faktor
kesenangan, ketika terjadi gangguan maka fungsi bermain menjadi
terganggu dan dapat mempengaruhi faktor psikologis dan sosial.
3. Factor internal dan eksternal
Impingemen banyak di jumpai pada olahraga perenang sehingga
olahraga tersebut dapat memperburuk keadaan dari impingemen itu
sendiri. Faktor internal berhubungan dengan penyebab langsung dari
patologi bahu, seperti imbalance muscle, peradangan pada tendon, bursa,
pemendekan capsul non capsulair, labral lesion, acromion type, sehingga
pada akhirnya dapat mempengaruhi secara langsung terhadap anatomic
impairment dan function limitation.
Faktor eksternal berhubungan dengan penyebab tidak langsung
dari patologi bahu, seperti akibat kesalahan gerak, over use dari otot-otot
rotator cuff saat melakukan lemparan mendadak oleh atlit, over stretch
otot dan capsuloligament seperti pada atlit gulat, over load pada ibu
rumah tangga ketika mengangkat barang belanjaan, dan dapat juga berupa
proses cidera mekanis, seperti akibat tangan menumpu saat terjadi
26
kecelakaan. Hal tersebut akhirnya dapat mempengaruhi internal factor dan
anatomic impairment.
2.4 Traksi Humerus Ke Inferior
2.4.1
Pengertian
Traksi Humerus Ke Inferior merupakan salah satu teknik dari manual
terapi, dimana teknik terapinya menggunakan tangan dengan teknik yang
khusus. Traksi adalah gerak tarikan terhadap satu permukaan sendi secara
tegak lurus terhadap permukaan sendi pasangannya ke arah menjauh
(Kisner and Colby, 2012).
Pada saat traksi dapat meregang atau mengulur kapsul ligament
tanpa adanya nyeri terjadi melalui pelepasan abnormal crosslink antara
serabut-serabut kolagen sehingga terjadi perbaikan lingkup gerak sendi
(LGS) dan terjadi pengurangan viskositas cairan sendi glenohumeral.
Gerakan aktif pada lingkup gerak sendi (LGS) mempunyai efek untuk
memelihara elastisitas dan kontraksi otot, meningkatkan sirkulasi darah
dan
melepaskan
perlengketan
intraseluler
kapsuloligamen
sendi
glenohumeral (Kachingwgwe, et al, 2007).
2.4.2
Landasan Teori Dan Teknik Traksi Humerus Ke Inferior
1. Landasan Teori
a. Traksi Humerus Ke Inferior maka terjadi peregangan kapsul sendi
bagian suprahumeral, hingga terasa sensasi elastic endfeel sampai
dengan firm endfeel. Sehingga diperoleh gerak kapsul pada paraphysio
27
space. Hasil yang diperoleh yaitu peningkatan jarak acromion dan
caput humeri. Jenis traksi static (Kisner and Colby, 2012).
b. Traksi
Humerus
Ke
Inferior
terjadi
peregangan
tendon
m.
supraspinatus dan tendon biceps caput longum. Traksi diberikan
hingga terasa springy endfeel. Hasil yang diperoleh yaitu peregangan
tendon yang membatasi jarak acromion dan caput humeri. Jenis traksi
static – eksentrik (Kisner and Colby, 2012).
c. Traksi Humerus Ke Inferior dilakukan gerakan rotasi internal dan
eksternal, sehingga peregangan jaringan kapsul suprahumeral lebih ke
depan dan ke belakang bila dilakukan gerak eksternal – internal maka
pada gerak ini juga diperoleh peregangan kapsul tendon supra spinatus
dan biceps caput longum lebih optimal.
d. Traksi Humerus Ke Inferior yang dilakukan dengan osilasi akan
diperoleh peningkatan sirkulasi dan periartikuler. Teknik traksi ini juga
efektif untuk memperoleh efek sedatif, yaitu menurunkan nyeri.
2. Teknik Traksi
a. Traksi Humerus Ke Inferior, tarikan berpatokan sampai terasa elastic
endfeel hingga endfeel firm, kemudian dipertahankan hingga hitungan
7 detik.
b. Apabila traksi terasa springi endfeel pada posisi tersebut dilakukan
contraksi abduksi dipertahankan hingga 7 detik kemudian relaks dan
ulangi kembali hingga terasa elastic endfeel.
28
c. Traksi diteruskan pada posisi slack, hingga terasa endfeel selanjutnya
dilakukan gerakan rotasi internal dan eksternal.
d. Abduksi humerus ke arah inferior pada posisi fleksi hingga terasa
endfeel kemudian lakukan rotasi internal dan eksternal.
2.4.3
Mekanisme Penurunan Disabilitas Bahu Dan Lengan Pada Penerapan
Traksi Humerus Ke Inferior
Penerapan Traksi humerus ke inferior terjadi pelepasan abnormal
crosslink pada capsul sendi, dan terjadi perbaikan visikositas cairan sendi
glenohumeral melalui proses difusi cairan extracapsulair menuju
intracapsulair
sehingga
keseimbangan
viskositas
kembali
normal,
sekaligus memberi efek regang bagi tendon supraspinatus, biceps caput
longum dan terjadi perbaikan cairan bursa sehingga kekenyalan dan fungsi
fisiologis bursa kembali normal. Kemudian memilahkan jaringan yang
terpatologi dari profokasi benturan sehingga terjadi penurunan nyeri
(Kisner and Colby, 2012).
Pemberian
mekanoreseptor
traksi
untuk
pada
sendi
menginhibisi
bahu
stimulus
dapat
merangsang
nosiseptor
sehingga
vaskularisasi meningkat. Dengan peningkatan vaskularisasi tersebut akan
menimbulkan kontraksi jaringan sehingga akan menurunkan hiperaktivitas
dari saraf simpatis sehingga secara perlahan akan menurunkan nyeri.
Gerak ritmit dan continue pada traksi osilasi inferior akan meningkatkan
vaskularisasi pada jaringan lunak dari bahu sehingga akan memacu
29
penyerapan kembali cairan venosis dan cairan limfe sehingga sirkulasi
local menjadi lancar.
Mobilisasi traksi osilasi inferior dilakukan dengan melakukan
tarikan dan osilasi pada sendi glenohumeral sehingga permukaan sendi
saling menjauh, dengan begitu jarak sendi yang menyempit bisa diperlebar
sehingga nyeri di sekitar bisa berkurang. Juga terjadi efek regangan baik
pada otot dan kapsul ligament, bertujuan untuk melepaskan perlengketan
akibat fibrosis yang menghasilkan abnormal crosslinks yaitu dengan
pembuatan cidera baru pada jaringan dan terjadi proses inflamasi yang
diharapkan dapat meleburkan ikatan-ikatan kolagen.
Traksi osilasi inferior diawali dimana posisi sendi bahu dalam
keadaan kendor maksimal sehingga dalam posisi tersebut semua jaringan
ikat sendi dalam keadaan kendor dan akan diperoleh dua hal, yaitu
peningkatan pemberian zat-zat gizi pada jaringan intra artikuler maupun
peri artikuler sehingga akan meningkatkan kelenturan jaringan dan
memudahkan dilakukan peregangan. Selain itu akan diperoleh efek sedatif
yang berakibat terjadinya penurunan nyeri sehingga spasme otot akan
menurun, akibatnya peregangan pada system tendomuskuler lebih mudah.
2.4.4
Prosedur Pelaksanaan Traksi Humerus Ke Inferior
1.
Lakukan pemanasan atau preeliminery dengan osilasi terlebih dahulu
selama 30 detik.
2.
Pasien tidur terlentang dan dalam keadaan rileks.
30
3.
Daerah bahu bebas dari pakaian.
4.
Lakukan traksi static terlebih dahulu selama 7 detik, Posisi Fisioterapis
berada pada sisi samping pasien atau di sebelah bahu pasien, terapis
memegang lengan atas pasien dengan kedua tangannya, dengan posisi
kedua tangan pada proksimal humerus atau dekat dengan ketiak
pasien, kemudian traksi dilakukan dengan menarik lengan ke inferior
secara lembut menggunakan berat badan sampai terasa end feel sendi
bahu
sehingga
terjadi
peningkatan
ruang
subacromialis
dan
mengurangi profokasi pada area tersebut.
5.
Lakukan dengan memberikan traksi selama 7 detik sebanyak 3 repitisi
sebanyak 3 set.
6.
Dilakukan dengan frekuensi sebanyak 3x per minggu.
7.
Perhatikan end feel dan nyeri yang timbul.
2.5 Latihan Stabilisasi Bahu
2.5.1
Pengertian
Latihan stabilisasi adalah suatu bentuk latihan kontraksi otot dinamik
yang dilakukan dengan mengembangkan control area proksimal tubuh
yang stabil yang ditandai dengan respon bebas dan dapat diberikan beban
tahanan yang digunakan berasal dari external force yang dapat berubahubah. Saat melakukan stabilisasi, biasanya dengan kontraksi otot static
(isometrik). Karena ia berperan untuk menahan segmen tubuh tidak
bergerak. Oleh karena itu pemendekan otot sangat sedikit.
31
Tujuan dari latihan stabilisasi adalah untuk meningkatkan kekuatan
otot subscapularis dan otot infraspinatus agar lebih baik sehingga bahu
bisa dipertahankan agar tidak terjadi benturan antara acromion dan caput
humeri sehingga membentuk stabilitas yang baik pada bahu. Terjadinya
peningkatan stabilitas pada bahu maka secara langsung akan terjadi
penurunan nyeri yang disebabkan oleh penjepitan dan mencegah kembali
terjadinya cidera berulang, dengan adanya penurunan nyeri maka akan
terjadi peningkatan pada aktifitas fungsional.(Kisner and Colby, 2012).
2.5.2
Landasan Teori Dan Teknik Aplikasi
1.
Latihan stabilisasi di butuhkan untuk mempermudah pada suatu sendi
atau anggota tubuh atau tubuh secara luas.
2.
Menurut Kisner dan Collby (2012) stabilisasi aktif atau dinamik
dibentuk oleh kontraksi otot menyeluruh pada sendi, dengan posisi:
a. Loose pack position adalah stabilisasi sendi kerja otot, kapsul, dan
ligament dalam keadaan kendur.
b. Maximally lose pack position adalah posisi dimana kekenduran
capsulo ligamentairnya maksimal, yaitu fexion, abduction ± 30°
dan sedikit internal rotation.
c. Close pack position adalah: posisi sendi dimana terjadi penguncian
permukaan sendi atau koaptasi maksimal yaitu posisi abduction
flexion penuh.
32
d. Close chain : memanfaatkan beban tubuh untuk merangsang reaksi
kontraksi otot.
e. Dilakukan dalam posisi berkontraksi dimana tidak terjadi benturan
pada supra humeral.
2.5.3
Mekanisme Penurunan Disabilitas Bahu Dan Lengan Pada Penerapan
Latihan Stabilisasi Bahu
Gerak bahu normal melibatkan irama terkoordinasi antara gerakan
scapula pada dinding dada dan gerakan caput humeri pada fossa glenoid di
bahu. Ini dinamakan dengan scapulohumeral rhythm. Karena socket pada
bahu (fossa glenoid) merupakan bagian dari scapula, banyak kondisi
masalah di sendi bahu penyebabnya melibatkan masalah sekunder yang
berkaitan dengan gerak dan posisi scapula. Masalah sekunder ini, pada
gilirannya dapat memperburuk kondisi primer (bahu).
Penyimpangan dari posisi normal dan pola gerakan scapula yang
ideal secara lebih dikenal dengan sebutan scapula dyskinesis. Kondisi ini
diperkirakan berkontribusi pada peningkatan berbagai nyeri pada bahu,
termasuk didalamnya subacromial impingement syndrome. (Lewis, 2011).
Setiap kelainan posisi scapula menyebabkan efek sekunder pada
fungsi gerak bahu. Misalnya, jika scapula miring ke anterior dan lateral,
jarak ruang yang tersedia untuk rotator cuff bisa jadi menyempit, sehingga
terjadi abrasi dan cidera pada tendon.
33
Stabilisasi scapula mengacu pada satu set latihan yang memperkuat
otot shoulder girdle untuk mengembalikan gerak scapular kembali normal
dan memperbaiki dyskinesia.
Dua otot yang paling penting yang terlibat dalam stabilisasi
scapula adalah otot trapezius dan serratus anterior, karena otot-otot ini
memiliki pengaruh paling besar terhadap posisi dan pergerakan scapula.
Otot penting lain diantaranya : rhomboid mayor dan minor, levator
scapula, dan latissimus dorsi. Latihan yang memperkuat otot-otot ini harus
dikombinasikan dengan latihan untuk memperkuat otot rotator cuff yang
dapat menyebabkan scapular dyskinesia sekunder.
Nyeri dan disfungsi bahu adalah masalah umum yang dapat
intervensi dengan baik. Latihan stabilisasi scapula adalah cara yang bagus
untuk mendapatkan kembali control normal dan penggunaan lengan
setelah cidera bahu atau operasi. Latihan-latihan ini dapat dilakukan
beberapa kali per minggu untuk mempertahankan kekuatan yang tepat dan
control postural bahu untuk membantui mencegah masalah di masa depan.
2.6 Latihan Fungsional Bahu
2.6.1
Pengertian
Latihan Fungsional Bahu meliputi latihan pendulum dan latihan
dengan tekhnik Mulligan. Dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya
perlengketan pada bahu sehingga mencegah terjadinya keterbatasan gerak
sendi dan penurunan aktivitas fungsional dengan ayunan ritmis pada bahu
34
akan merangsang produksi cairan synovial yang berfungsi sebagai
lubrikasi dan juga memperlancar metabolisme untuk mengangkut zat-zat
pemicu timbulnya nyeri (Kisner and Colby, 2012).
Latihan pendulum dilakukan pada stadium akut dengan tujuan untuk
mencegah terjadinya perlengketan pada sendi bahu dengan melakukan
gerakan pasif sedini mungkin yang dilakukan pasien secara aktif. Gerakan
pasif dilakukan untuk mempertahankan pergerakan pada sendi dan
mencegah perlengketan permukaan sendi. Sedangkan pencegahan gerakan
aktif adalah untuk mencegah terjadinya kontraksi otot-otot rotator cuff dan
abductor bahu.
2.6.2
Landasan Teori Dan Teknik Aplikasi
Latihan Pendulum dilaksanakan pada posisi berdiri. Lumbal di
flexikan 900 dan gunakan tangan yang sehat sebagai tumpuan pada kursi
atau meja. Lengan yang mengalami Subacromial Impingement Syndrome
menggantung,
otot-otot
regio
scapulothoracalis
dan
regio
sendi
glenohumeralis dalam keadaan relaks. Gerakan harus lancar dan dilakukan
selama 20 detik dalam satu arah. Ulangi selama 20 detik dengan arah
sebaliknya. Pada permulaannya gerakan dilakukan dengan membuat
lingkaran kecil, dan secara bertahap tingkatkan ke lingkaran yang lebih
besar (Ellsworth, et al, 2006).
35
2.6.3
Mekanisme Penurunan Disabilitas Bahu Dan Lengan Pada Penerapan
Latihan Fungsional Bahu dengan Pendulum
Prinsip pemberian latihan pendulum dilakukan tanpa adanya
kontraksi otot dan tanpa melawan gravitasi. Gerakan ini untuk mencegah
keadaan yang lebih parah terhadap terjadinya perlengketan sendi bahu.
Karena immobilisasi maka terjadi gangguan sirkulasi pada jaringan
periarticular yang dapat menyebabkan perlengketan proteoglican atau
abnormal crosslink. Apabila dilakukan gerakan ini maka efek gravitasi
yang terjadi dapat melepaskan perlengketan jaringan ikat, terjadi
peregangan kapsul dan ligament serta rileksasi otot dan pengurangan
nyeri.
Pada impingement terjadi penyempitan pada suprahumeral dimana
mengakibatkan
penekanan
suprahumeral.
Latihan
menggunakan
gaya
dan
pendulum
gravitasi
iritasi
pada
adalah
untuk
jaringan-jaringan
bentuk
latihan
yang
memperluas
rongga
pada
suprahumeral. Dengan demikian bila dilakukan gerakan pendulum akan
terjadi perluasan rongga suprahumeral
yang berakibat pelepasan
penekanan pada jaringan dan berdampak pada pengurangan nyeri
(Ellsworth, et al, 2006).
36
2.6.4
Prosedur Pelaksanaan Latihan Fungsional Bahu dengan Pendulum
1.
Pasien diposisikan berdiri dengan semi-fleksi trunk dan sendi hip 900
dengan lengan tergantung bebas ke bawah dan tangan satunya
memegang benda misalnya meja.
2.
Pasien diminta menggerakkan tubuhnya melalui tungkai sehingga
terjadi ayunan fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi dan ayunan memutar
lengan tanpa kerja dari otot-otot sendi bahu.
3.
Dosis yang ditetapkan :
a. Intensitas : terasa regangan kapsul dan otot tanpa menimbulkan
nyeri.
b. Waktu : 20 kali gerakan, 2 kali pengulangan, 2 set.
c. Frekuensi : tiga kali seminggu.
4.
Pemantauan :
a. Timbulnya nyeri pada akhir ROM karena dapat berasal dari trauma
impingement yang harus dihindari pada saat latihan.
b. Timbulnya spasme otot harus dihindari dengan mulai ayunan pada
amplitude ayunan kecil.
c. Adanya sensasi parestesia lengan mengindikasikan adanya
regangan pada pleksus brachialis atau arteria/vena brachialis.
d. Gerakan bukan oleh ayunan tetapi oleh kerja otot.
37
2.6.5
Latihan Fungsional Bahu dengan Konsep Mulligan
Latihan Fungsional dengan Konsep Mulligan adalah teknik terapi
manual yang banyak digunakan dalam pengelolaan nyeri muskuloskeletal.
Tehnik Ini melibatkan aplikasi manual berkelanjutan oleh terapis untuk
gerakan bersamaan sendi aktif dilakukan oleh pasien. meningkatkan
jangkauan bersama gerakan (ROM), yang pada dasarnya berhubungan
dengan pengulangan gerakan dan latihan aktif yang diaplikasikan oleh
praktisi dengan menerapkan pergerakan fisiologis aktif dan teknik
pengarahan gerak aksesori secara pasif. Pengarahan secara pasif pada
akhir gerakan dengan tekanan berlebih diterapkan dengan prinsip tanpa
timbulnya nyeri yang dapat menjadi sebuah penghalang (Kisner and
Colby, 2012).
2.6.6
Landasan Teori Dan Teknik Aplikasi
Pada teknik ini untuk bertujuan untuk meningkatkan stabilisai pada
shoulder joint dan meningkatkan kekuatan dari otot-otot yang menarik
caput humeris kearah inferior, otot-otot tersebut yakni subscapularis, teres
mayor dan minor, serta latisimus dorsi.
Teknik ini sangat efektif dan efisien serta mudah dilakukan, kerana
penderita melakukan dengan secara mandiri dan didampingi oleh terapis.
pertama-tama penderita berdiri berdiri disamping meja, dengan posisi
telapak tangan menempel dipermukaan meja dan mempertahjankan posisi
elbow extension, lalu menggerakkan badannya kearah, anterior, posterior,
dan kesisi lateral, dan mempertahankan posisi tangan seperti semula.
38
2.6.7
Mekanisme Penurunan Disabilitas Bahu Dan Lengan Pada Penerapan
Latihan Fungsional Bahu dengan Konsep Mulligan
Shoulder impingement merupakan suatu kondisi dimana terjadinya
penjepitan jaringan suprahumeral akibat adanya kelemahan otot rotator
cuff, inflamasi kronik pada tendon rotator cuff dan bursa subacromialis,
nyeri tendon rotator cuff akibat proses degeneratif, dan pemendekan
posterior capsuler sehingga mengakibatkan abnormal gerak translasi
antero-superior dari caput humeri dan posisi kurva atau hooked dari
acromion, spurs pada acromion, atau mungkin juga kelainan postur tubuh.
Pemberian teknik Mulligan dengan prinsip tanpa nyeri saat
diaplikasikan, sehingga memberikan suatu bentuk latihan aktif dengan
perbaikan keseimbangan otot dan memberikan peregangan kapsul sendi
sekaligus memberikan kesetabilan gerak persendian dan mengurangi
resiko terjadinya cidera berulang pada jaringan suprahumeral.
2.6.8
Prosedur Pelaksanaan Latihan Fungsional Bahu dengan Konsep
Mulligan
1. Terapis menjelaskan tujuan tenkik latihan ini kepada sample, serta
memberikan contoh terlebih dahulu.
2. Sample berdiri dengan nyaman disamping meja yang tingginya sejajar
dengan tinggi trochantor mayor.
3. Sampel menaruh telapak tangannya diatas permukaan meja tersebut,
dengan posisi lengan lurus (elbow extension).
39
4. Terapis meminta sampel untuk menggerakan badanya kearah lateral,
anterior, dan juga posterior, dengan mempertahankan posisi lengan
dalam posisi lurus (elbow extension).
5. Terapis menghitung tiap gerakan tersebut sebanyak 7 detik, 3 kali
pengulangan, sebanyak 3 set, tiga kali per minggu.
Download