1 BAB I PENDAHULUAN Lalat buah menyerang berbagai jenis tanaman buah-buahan. Salah satu jenis lalat buah yang perlu mendapat perhatian adalah Bactrocera carambolae. Bactrocera carambolae menyerang buah belimbing, jambu, dan mangga (Kalshoven 1981: 557). Buah yang terserang oleh B. carambolae dari luar tampak utuh, tetapi bagian dalam buah sebenarnya rusak karena dimakan oleh larva B. carambolae (Kuswadi dkk 1997: 1511). Buah-buahan yang rusak tidak dapat dijual di pasar internasional. Buah yang terkena lalat buah tidak dapat diekspor karena tidak memenuhi standar internasional. Negara-negara importir tidak mau mengambil resiko terjadi introduksi hama di negaranya (Borge 1997: 405). Tindakan pengendalian lalat buah perlu dilakukan untuk meningkatkan produksi buah-buahan. Cara pengendalian sederhana yang sering dilakukan oleh petani adalah pembungkusan buah, tetapi upaya tersebut masih terbatas pada buah-buahan tertentu seperti belimbing manis, jambu biji, nangka, dan cempedak. Cara pembungkusan buah sulit dilakukan untuk pohon yang tinggi dan berbuah lebat, misalnya mangga (Elzinga 1980: 294-295). Cara lain mengendalikan hama adalah dengan menggunakan insektisida, namun cara tersebut dapat menyebabkan gangguan kesehatan, bahkan kematian terutama bila terjadi kontak langsung dengan manusia 2 dalam dosis tinggi. Penggunaan insektisida untuk waktu yang lama akan semakin meningkatkan jumlah serangga resistan (Romoser & Stoffolano 1998: 481--482). Teknik serangga mandul (TSM) merupakan salah satu metode alternatif pengendalian hama tanpa merusak lingkungan. Teknik serangga mandul dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu pengendalian populasi dengan cara memandulkan serangga langsung di alam atau pemandulan serangga di laboratorium kemudian dilepas ke alam (Romoser & Stoffolano 1998: 461). Prinsip kerja metode kedua adalah melepas lalat buah mandul ke alam agar dapat bersaing dengan mengawini lalat buah normal. Hanya perkawinan antara sesama lalat normal saja yang bisa menghasilkan keturunan, sedangkan antara jantan normal dan betina mandul atau sebaliknya tidak menghasilkan keturunan, sehingga akhirnya akan terjadi pengurangan jumlah keturunan (Kuswadi 2000: 353). Teknik serangga mandul membutuhkan banyak serangga mandul, setiap 1 km2 membutuhkan ± 100.000 lalat, sehingga perlu diketahui cara yang paling efektif dan efisien untuk memperbanyak serangga mandul di laboratorium (Cook 2005: 1). Serangga dapat dimandulkan dengan menggunakan 2 cara, yaitu: kemosterilan dan radiasi. Penelitian dilakukan dengan menggunakan cara radiasi, karena cara tersebut ramah lingkungan dan tidak berbahaya bagi manusia. Radiasi yang digunakan adalah radiasi gama. Radiasi gama memiliki daya tembus sangat besar, meliputi berbagai macam benda, baik yang anorganik maupun yang organik, termasuk pada 3 kepompong (Reac/Ts 2002: 1). Penelitian terdahulu membuktikan bahwa iradiasi gama terhadap kepompong dapat menyebabkan sterilitas pada individu dewasa Plutella xylostella (Soemartaputra 1978: 37; Sugiarti 1992: 45), Chillo supressalis (Sjarief 1982: 49), dan Anastrepha ludens (Robacker & Garcia 1993: 1369). Sampai saat ini, dosis radiasi gama optimal yang harus dipajankan pada kepompong lalat buah B. carambolae sehingga lalat dewasanya menjadi steril, belum diketahui. Permasalahan yang muncul adalah berapa dosis radiasi gama yang harus dipajankan pada kepompong B. carambolae, sehingga lalat yang muncul menjadi steril. Penelitian bersifat eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap dengan lima perlakuan dan empat ulangan. Variasi dosis radiasi gama pada penelitian adalah 0, 40, 60, 80, dan 100 Gy (Gray). Variasi dosis tersebut didasarkan dari hasil prapenelitian bahwa dosis steril untuk B. carambolae adalah di bawah 100 Gy. Penelitian bertujuan untuk mengetahui dosis radiasi gama yang tepat untuk memandulkan lalat buah B. carambolae. Hipotesis penelitian adalah iradiasi gama terhadap kepompong B. carambolae dapat menyebabkan sterilitas pada B. carambolae dewasa. . 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) 1. Klasifikasi Menurut Drew dan Hancock (1994: 1), sebelum tahun 1994 B. carambolae diidentifikasi sebagai Dacus dorsalis [Sinonim: Bactrocera dorsalis]. Bactrocera dorsalis dibagi menjadi beberapa jenis pada tahun 1994 dan salah satu jenis yang baru adalah B. carambolae. Klasifikasi B. carambolae adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Insecta Bangsa : Diptera Suku : Tephritidae Marga : Bactrocera Jenis : Bactrocera carambolae Lalat anggota famili Tephritidae disebut lalat buah karena larvanya hidup di dalam daging buah. Bactrocera adalah salah satu genus terpenting dalam famili tersebut (Drew & Romig 2000: 677). Jenis Bactrocera di Indonesia terdapat lebih dari 40 jenis, namun hanya beberapa jenis yang secara ekonomis perlu diperhatikan, karena menyerang buah-buahan yang dibudidayakan (Hardy 1983: 14). 5 2. Penyebaran Penyebaran B. carambolae di Asia meliputi negara Brunei Darussalam, India (Pulau Andaman), Indonesia (Jawa, Sumatera, & Nusa Tenggara), Malaysia (Peninsular, Sabah), Singapura, dan Thailand (Bagian selatan) (Drew & Hancock 1994: 3). Bactrocera carambolae juga telah menyebar ke Amerika Selatan melalui introduksi. Suriname telah diintroduksi oleh B. carambolae sejak tahun 1960, karena banyak orang Indonesia yang datang ke Suriname membawa buah-buahan seperti belimbing yang mengandung B. carambolae. Negara lain di Amerika Selatan, selain Suriname, yang telah terintroduksi B. carambolae adalah Guyana Perancis dan Guyana (Malavasi dkk. 2000: 395). 3. Siklus hidup Siklus hidup lalat buah dari telur hingga dewasa memerlukan waktu 18--29 hari. Lalat buah betina akan meletakkan telurnya di bawah permukaan kulit buah yang ranum. Permukaan buah yang telah dimasukkan telur terlihat berbintik kecil sebesar mata jarum dan berwarna hitam. Telur akan menetas menjadi larva setelah berumur dua hari. Larva kemudian memakan isi buah untuk perkembangannya selama 12--15 hari hingga menjadi kepompong. Menjelang pembentukan kepompong, larva akan jatuh ke tanah. Kepompong yang berumur 8--10 hari selanjutnya akan ke luar sebagai lalat buah dewasa (Salleh 1989: 78--79). 6 Telur lalat buah berwarna putih, berbentuk lonjong, dan diletakkan berkelompok 1--15 butir. Larva berwarna putih keruh atau putih kekuningan dan berbentuk lonjong. Larva lalat buah terdiri atas tiga bagian yaitu: kepala, toraks (3 ruas), dan abdomen (8 ruas). Kepala berbentuk runcing dengan dua buah bintik hitam yang jelas dan mempunyai alat kait di mulut. Stadium larva terdiri dari tiga tahapan instar. Larva instar tiga berkembang maksimum dengan ukuran ± 7 mm setelah berumur sepuluh hari. Larva B. carambolae dapat dipelihara di laboratorium dengan menggunakan makanan buatan. Larva dapat tumbuh lebih cepat pada makanan buatan sehingga stadium larva menjadi lebih pendek, yaitu 7--9 hari, daripada larva yang hidup pada buah belimbing, yaitu 12--15 hari (Kuswadi dkk. 1997: 1514) (Gambar 1). Kepompong berbentuk oval, warna kecoklatan, dan panjangnya ± 5 mm setelah berumur sepuluh hari. Bentuk dewasa lalat buah rata-rata berukuran 0,7 mm x 0,3 mm terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen. Morfologi B. carambolae normal dewasa adalah panjang vertikal kepala 1,9 mm. Occiput berwarna merah cokelat dan terdapat warna kuning sepanjang tepi mata. Panjang sayap 6,3 mm, sel basal kosta dan kosta transparan (tidak berwarna). Lalat betina mempunyai ovipositor di bagian abdomen terakhir, sedangkan lalat jantan tidak mempunyai ovipositor. Ovipositor adalah alat untuk meletakkan telur (Drew & Hancock 1994: 11-12). 7 B. TEKNIK SERANGGA MANDUL. 1. Pengertian Menurut Harris (1975: 3), populasi hama dapat dikendalikan dengan melepaskan serangga jantan dan betina yang telah dimandulkan. Teknik tersebut dikenal dengan nama teknik serangga mandul (TSM). Teknik serangga mandul digunakan pertama kali di Amerika Serikat untuk mengendalikan lalat ternak Cochliomyia hominivorax pada tahun 1950. Teknik serangga mandul dikemukakan oleh Knipling tahun 1955 dalam dua metode, yaitu: sterilisasi langsung serangga di lapangan dan pelepasan serangga yang telah disterilkan (lihat Sugiarti 1992: 10). Metode sterilisasi langsung serangga di lapangan dapat dilakukan dengan menggunakan kemosterilan. Kemosterilan adalah bahan kimia yang menyebabkan serangga steril. Kemosterilan akan menyebabkan dua macam pengaruh, yaitu: sterilnya sebagian serangga di alam sebagai pengaruh langsung dan sterilnya serangga di alam sebagai pengaruh tidak langsung. Menurut Knipling tahun 1968, metode pelepasan serangga steril meliputi langkahlangkah: pembiakan massal di laboratorium, sterilisasi di laboratorium, dan pelepasan serangga steril ke alam (lihat Soemartaputra 1978: 7--8). Penggunaan metode pelepasan serangga steril memerlukan cara khusus untuk menyebarkan serangga steril ke alam sesuai dengan kondisi lingkungan di sekitarnya. Kondisi lingkungan yang berbukit-bukit dengan kontur tanah yang tidak rata dapat menggunakan helikopter. Cara tersebut 8 telah dipakai oleh Jepang selama bertahun-tahun dan hasilnya memuaskan. Kondisi lingkungan dengan kontur tanah rata dapat menggunakan pesawat terbang. Amerika, Meksiko, dan Guatemala telah memakai cara tersebut untuk melepaskan serangga steril ke lahan pertanian yang sangat luas dan hasilnya juga memuaskan (Vargas dkk. 1995: 1279). 2. Prinsip dasar Serangga steril yang dilepas akan berbaur dengan serangga di alam dan bersaing dengan serangga yang ada untuk memperoleh pasangan kawin dengan sesama jenisnya. Hanya perkawinan antara sesama serangga normal saja yang akan menghasilkan keturunan. Perkawinan antara jantan steril dan betina normal atau sebaliknya, dan perkawinan antara serangga sterill tidak akan menghasilkan keturunan (Kuswadi 2000: 354). Kesulitan dalam pemisahan antara jantan dan betina dalam TSM menimbulkan ide baru, yaitu serangga yang dilepas ke alam tidak hanya serangga jantan tetapi juga serangga betina. Berdasarkan data-data penelitian yang didapat, pelepasan serangga jantan dan betina lebih menguntungkan daripada hanya serangga jantan saja yang dilepas. Hal tersebut membuktikan bahwa peranan serangga betina sama pentingnya dengan serangga jantan dalam TSM (Szentese dkk. 1977: 1). Menurut Weidhaas dkk. tahun 1973 (lihat Kuswadi 2000: 354), jumlah keturunan yang dihasilkan oleh populasi serangga dengan adanya serangga steril di alam mengikuti rumus: F1 = P(1-S) R, dengan F1 adalah jumlah 9 keturunan yang dihasilkan oleh populasi hama, P adalah jumlah awal populasi hama di alam, R adalah angka pertumbuhan populasi setiap generasi atau rate of increase, dan S adalah sterilitas populasi di alam. Nilai S dapat diketahui dengan menggunakan rumus S = M / (M+P), dengan M adalah jumlah serangga steril yang dilepas. 3. Syarat-syarat pelaksanaan Syarat-syarat yang harus dilakukan agar TSM bekerja dengan baik menurut Suckling (2004: 23) adalah: pemeliharaan secara massal serangga yang akan dimandulkan; mengetahui dosis radiasi yang paling efektif; pelepasan serangga mandul harus mencakup seluruh area target; serangga mandul dapat bersaing dengan serangga normal yang berada di alam untuk melakukan perkawinan; waktu pelepasan serangga mandul harus sesuai dengan periode reproduktif serangga target; serangga mandul yang dilepas harus dalam jumlah yang besar agar dapat bersaing dengan serangga normal di alam; dan tidak ada migrasi serangga target dari luar zona target. Data-data penunjang perlu diketahui sebelum melaksanakan TSM, agar TSM bekerja dengan baik. Data-data penunjang yang perlu diketahui adalah: data penyebaran serangga, data migrasi serangga, data kebiasaan kawin serangga, data kepadatan serangga, dan data dosis radiasi yang paling efektif untuk memandulkan serangga (Harris 1975: 4). Kepadatan serangga hama di areal yang akan dikendalikan perlu diketahui sebelum mengendalikan suatu jenis hama dengan TSM, agar jumlah minimum 10 serangga mandul yang harus dilepaskan untuk memperoleh efektifitas pengendalian yang dikehendaki dapat diketahui (Kuswadi dkk 1999: 315). Jarak penyebaran antara serangga steril yang dipelihara di laboratorium dan serangga normal yang juga dipelihara di laboratorium tidak ada perbedaan, baik jantan maupun betinanya. Rata-rata jarak yang ditempuh oleh serangga yang dilepas ke alam setelah dua minggu adalah 180--190 m. Tidak ada serangga laboratorium yang berhasil ditangkap pada jarak lebih dari 190 m. Perbandingan jarak penyebaran serangga yang dihasilkan di laboratorium dengan serangga di alam adalah lalat yang dipelihara di laboratorium mempunyai daya jelajah yang lebih kecil bila dibandingkan dengan lalat yang berada di alam (Fletcher & Economopoulos 1976: 183). 4. Pemeliharaan massal serangga Pelaksanaan TSM membutuhkan banyak sekali serangga untuk disterilkan dan dilepas ke alam, oleh karenanya diperlukan metode pemeliharaan massal di laboratorium. Efisiensi pemeliharaan serangga di laboratorium tidak hanya tergantung dari metode, nutrisi, dan peralatan, tetapi juga tergantung pada kemampuan laboran. Fasilitas yang paling efisien untuk pemeliharaan serangga adalah fasilitas yang mempunyai sistem pengatur temperatur dan kelembaban otomatis. Pengamatan terhadap kondisi lalat buah dewasa meliputi fekunditas, umur, dan sterilitas dilakukan secara berkala (Steiner & Mitchell1968: 570). 11 Pemeliharaan serangga di laboratorium memerlukan makanan buatan untuk larva serangga yang harus mengandung berbagai macam nutrisi sebagai berikut: 10 asam amino esensial, karbohidrat, asam lemak, kolesterol, kolin, inositol, asam pantotenik, nikotinamid, tiamin, riboflavin, asam folik, piridoksin, biotin, vitamin B12, bikaroten atau vitamin A, alfa tokoferol, asam askorbat, beberapa mineral, dan air (Moreno dkk. 1997: 427). Makanan untuk larva B. carambolae dibuat dari campuran dedak gandum (22,3%), ragi instan (2,8%), gula tebu (10,1%), sodium benzoat (0,08%), NaBenzoat (0,08%), dan air (65,7%) untuk memenuhi kebutuhan nutrisi tersebut (Kuswadi dkk. 1997: 1511). 5. Keunggulan Menurut Knipling (1968: 12), TSM terbukti sangat berguna untuk digunakan dalam pengendalian hama serangga penting yang ada di seluruh dunia, karena TSM dapat: mengurangi atau mencegah ledakan hama yang sudah ada atau juga yang berasal dari introduksi secara tidak sengaja; mengurangi atau mencegah penyebaran serangga hama ke wilayah yang lebih luas; dan menjadi pelengkap pada cara pemberantasan hama dengan teknik lain. Pertama kali TSM diuji kemampuannya pada tahun 1953 di pulau Sensible Florida yang hanya berukuran 15 mil persegi. Serangga steril yang dilepas di pulau tersebut berjumlah 1.500 ekor yang dilepas selama tiga bulan setiap seminggu sekali. Penelitian tersebut membuktikan bahwa 12 setelah dua bulan 80% telur yang dikumpulkan tidak dapat menetas. Hasil yang didapat sangat mengesankan, yaitu setelah tiga bulan ternyata lalat buah musnah dari pulau tersebut. Teknik serangga mandul berhasil dilakukan di areal yang tidak luas, kemudian TSM diuji kembali di areal yang luas, yaitu di pulau Curacao Venezuela yang mempunyai luas 70 mil persegi. Hasil yang didapat juga menunjukkan bahwa TSM dapat memusnahkan lalat ternak dari pulau tersebut (Baumhover 2002: 666). Menurut Harris (1975: 3), kelebihan TSM bila dibandingkan dengan insektisida adalah: tidak menimbulkan resistensi pada serangga; ramah lingkungan; dan bersifat selektif karena hanya mengurangi populasi serangga yang dikendalikan. C. RADIASI GAMA 1. Pengertian Radiasi terdiri dari dua macam, yaitu radiasi terionisasi dan radiasi tidak terionisasi. Radiasi gama adalah termasuk salah satu jenis radiasi terionisasi yang memiliki energi tinggi. Proton, netron, sinar x, sinar alfa, dan sinar beta juga termasuk radiasi terionisasi. Radiasi tidak terionisasi tidak memiliki energi yang cukup tinggi untuk mengeluarkan elektron dari atom dan hanya dapat menembus lapisan sel yang paling atas. Contoh dari radiasi tidak terionisasi yang paling penting adalah sinar ultraviolet (Fairbanks & Andersen 1999: 137). 13 Cara untuk membuat serangga steril yang akan dilepaskan ke alam adalah dengan cara memajankan radiasi gama terhadap kepompong lalat buah. Penggunaan sinar gama disebabkan daya tembusnya sangat besar dapat menembus berbagai macam benda, baik yang anorganik maupun organik, termasuk kepompong (Reac/TS 2002: 1). 2. Kerusakan secara langsung dan tidak langsung Kerusakan akibat radiasi terhadap makhluk hidup dapat secara langsung atau tidak langsung. Kerusakan secara langsung adalah apabila radiasi langsung menyebabkan kerusakan pada bagian yang terpajan. Kerusakan tidak langsung terjadi jika radiasi tidak secara langsung menyebabkan kerusakan. Air yang terkena radiasi akan menjadi radikal bebas dan radikal bebas tersebut dapat menyebabkan kerusakan pada sel (Profio 1979: 342). Radikal bebas adalah molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan sehingga sangat reaktif. Reaksi antara radikal bebas dengan molekul lain akan menyebabkan kerusakan pada molekul tersebut. Radikal bebas sangat reaktif terhadap DNA, karena dapat merusak pasangan basanya (Fairbanks & Andersen 1999: 137). 3. Efek terhadap sel Menurut Bacq & Alexander (1966: 239--240), sel yang terkena radiasi akan mengalami hal-hal sebagai berikut. Mitosis akan terhambat ketika sel 14 terpajan radiasi, tetapi mitosis selanjutnya akan kembali normal. Sel akan tetap hidup, tetapi sudah tidak dapat lagi membelah untuk berkembang. Sel akan mati, tetapi sebelumnya telah mengalami satu atau lebih pembelahan. Radiasi yang terpajan pada saat interfase akan menyebabkan sel mati beberapa jam setelah diiradiasi dan tidak terjadi pembelahan sebelum sel mati. Sel akan langsung mati jika diberi dosis radiasi yang sangat tinggi. Kerusakan fungsi kerja sel bisa terjadi secara permanen atau sementara. Radiasi juga dapat mengakibatkan kerusakan sel somatis, mutasi genetik, dan merusak embrio jika terkena radiasi pada masa kehamilan (Hall 1984: 22). Kerusakan kromosom sebagai akibat dari radiasi gama yang dapat menembus inti sel, akan menimbulkan hubungan yang linear terhadap ukuran kromosom. Semakin besar ukuran kromosom, maka semakin besar pula radiasi yang diserap dan semakin besar pula kerusakan yang terjadi (Augenstein dkk. 1966: 259). Kromosom yang terdapat di dalam sel kelamin akan mengalami aberasi, sebagai akibat dari terpaparnya radiasi pada sel kelamin. Sel kelamin yang mengalami aberasi kromosom akan tumbuh dengan tidak sempurna, sehingga akan mengakibatkan kemandulan. Serangga mandul dapat mengendalikan populasi hama secara genetik apabila dilepas ke alam (Kuswadi 2000: 351). 15 4. Sterilitas Sterilitas adalah ketidakmampuan menghasilkan keturunan. Serangga steril dapat dihasilkan jika dipajankan pada waktu yang tepat, yaitu setelah sel somatik dewasa terbentuk, sehingga radiasi dapat mengenai alat reproduksi (Baumhover 2002: 667). Sterilitas yang terjadi pada serangga kemungkinan disebabkan oleh 5 faktor, yaitu ketidakmampuan kawin (bereproduksi), aspermia, infekunditas, inaktivasi sperma, dan mutasi dominan letal. Ketidakmampuan kawin disebabkan terjadinya kerusakan pada sel somatis, yaitu sayap. Kerusakan pada sayap menyebabkan berkurangnya kemampuan terbang, berkurangnya kemampuan terbang menyebabkan berkurangnya kemampuan kawin. Inaktivasi sperma adalah hilangnya kemampuan sperma untuk bergerak membuahi sel telur. Infekunditas adalah ketidakmampuan serangga betina menghasilkan sel telur. Aspermia adalah keadaan saat sperma matang tidak dihasilkan atau habisnya persediaan sperma. Mutasi dominan letal adalah kelainan pada inti sperma atau sel telur yang akan mengakibatkan kematian pada zigot yang dihasilkan (Lachance dkk. tahun 1967 lihat Soegiarto 1974: 42--49). Sperma pada serangga terdiri dari dua macam yaitu: eupirene dan apirene. Keduanya ditransfer ke betina selama kopulasi melewati spermatophore sampai ke spermatheca. Sperma apirene bersifat motil selama ejakulasi, sedangkan sperma eupirene bersifat pasif tidak bergerak dan berkumpul membentuk gumpalan. Sperma apirene berfungsi membantu 16 pergerakan sperma eupirene di dalam tubuh betina. Penelitian yang dilakukan pada Ephestia kuehniella (Lepidoptera: Pyralidae) menunjukkan bahwa dosis radiasi optimum untuk memandulkan adalah 175 Gy. Kadar sperma eupirene paling tinggi pada parental dan keturunan pertamanya pada dosis tersebut, sehingga menyebabkan pembuahan sulit dilakukan karena spermanya bersifat pasif (Koudelova & Cook 2001: 180). 17 BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Kelompok Hama Bidang Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi (P3TIR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) selama 9 bulan (Maret-November) tahun 2005. B. ALAT DAN BAHAN 1. Makanan dan minuman B. carambolae dewasa Makanan B. carambolae dewasa menggunakan protein hidrolisat [BioServ] dan gula pasir untuk penambah rasa manis dengan perbandingan 4:1. Air minum B. carambolae dewasa menggunakan air tanah yang belum dimasak tanpa penambahan zat lain. 2. Perbanyakan massal B. carambolae Perbanyakan massal B. carambolae di laboratorium menggunakan alat- alat sebagai berikut: sangkar berukuran 90 x 60 x 50 cm3 dan botol plastik (T: 23 cm & D: 7,5 cm) (Gambar 2). Sangkar digunakan untuk memelihara B. carambolae secara massal yang digunakan sebagai 18 persediaan. Botol plastik yang diberi lubang-lubang kecil digunakan untuk menampung telur B. carambolae. 3. Pembuatan makanan untuk larva B. Carambolae Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat makanan untuk larva adalah gula pasir, Na-benzoat [Merck], sodium benzoat [Merck], HCl, ragi instan [Mauripan], sekam gandum untuk ternak [Cap kepala kuda, Bogasari Flour Mills]. Pembuatan makanan menggunakan alat-alat sebagai berikut: ember (D: 54 cm & T: 23 cm), timbangan [Ogawa Seiki 1gr--80 gr & Five goats 10 kg x 50 gr], gelas ukur [Pyrex] (100 ml). Ember digunakan untuk tempat mencampur gula pasir, Na-benzoat, sodium-benzoat, dan air. 4. Pemeliharaan telur sampai menjadi kepompong Pemeliharaan telur sampai menjadi kepompong menggunakan alatalat sebagai berikut: nampan plastik (35 x 27,5 x 5 cm3 & 10 x 25 x 20 cm3) dan ayakan (75 x 45 x 4 cm3, lubang: 2 x 2 mm2). Nampan digunakan sebagai tempat makanan untuk larva. Ayakan digunakan untuk memisahkan kepompong dari serbuk kayu. Bahan yang digunakan adalah serbuk kayu yang digunakan untuk menampung larva instar III yang akan menjadi kepompong. 19 5. Kepompong B. carambolae Kepompong yang digunakan dalam penelitian adalah kepompong yang berumur sepuluh hari, karena perkembangan selnya telah mendekati sempurna. Kepompong akan menetas menjadi lalat pada hari ke-11. Jumlah kepompong yang digunakan sebanyak 200 ml (± 10.800 buah) untuk 5 perlakuan dan 4 ulangan sehingga semuanya ada 20 sampel. Setiap sampel menggunakan 10 ml (540 buah) kepompong. Kepompong berasal dari lalat buah B. carambolae yang dipelihara di Laboratorium Kelompok Hama Bidang Pertanian P3TIR Batan Pasar Jumat. 6. Proses iradiasi kepompong B. carambolae Alat-alat yang digunakan ketika proses iradiasi kepompong adalah gamma chamber 4000 A dan botol plastik (D: 4 cm & T: 7 cm). Gamma chamber digunakan untuk meradiasi kepompong B. carambolae dengan sinar gama. Botol plastik digunakan untuk tempat kepompong yang akan diiradiasi. Botol plastik berjumlah 20 buah untuk 5 perlakuan dan 4 ulangan. 7. Perhitungan mutu kepompong B. carambolae Perhitungan mutu kepompong menggunakan alat-alat sebagai berikut: pipa paralon dan tepung kanji. Lubang pipa paralon sebelah bawah ditutup plastik untuk tempat menaruh kepompong. Pipa paralon mempunyai diameter (D) 9 cm, sedangkan tingginya (T) 15 cm (Gambar 2). Tepung kanji 20 digunakan untuk melicinkan dinding paralon sehingga lalat yang keluar dari pipa semuanya bisa terbang, tidak ada yang merayap keluar. 8. Perhitungan sterilitas dan fekunditas B. carambolae Perhitungan sterilitas dan fekunditas menggunakan alat-alat sebagai berikut : sangkar berukuran 30 x 30 x 30 cm3, sangkar berukuran 15 x 15 x 15 cm3 (Gambar 2), karet busa, botol film, kuas nomor 2 [Pagoda], karton hitam, kapas [Karya Bhakti], dan cawan petri. Sangkar berukuran 30 x 30 x 30 cm3 digunakan untuk pemeliharaan sementara B. carambolae yang baru menetas dari kepompong. Sangkar berukuran 15 x 15 x 15 cm3 digunakan untuk pemeliharaan 10 pasang B. carambolae jantan dan betina untuk setiap sangkar. Dibutuhkan masing-masing untuk kedua jenis sangkar tersebut adalah 20 buah sangkar untuk 5 perlakuan dan 4 ulangan. Karet busa digunakan untuk tempat minum B. carambolae dewasa yang diletakkan di atas sangkar. Botol film yang telah diberi lubang-lubang kecil di seluruh permukaannya digunakan untuk menampung telur yang dihasilkan oleh B. carambolae dalam kurungan yang berukuran 15 x 15 x 15 cm 3. Kuas digunakan untuk menghitung sterilitas dan fekunditas telur B. carambolae yang dihasilkan. Karton hitam digunakan untuk alas telur B. carambolae yang akan dihitung sterilitas dan fekunditasnya. Kapas digunakan untuk menampung air yang ditaruh di bawah karton hitam untuk menjaga agar telur tidak kering. Cawan petri digunakan untuk tempat karton hitam yang di 21 atasnya sudah ada telur dan di bawahnya sudah ada kapas. Ukuran cawan petri adalah D: 9 cm dan T: 1,5 cm yang berjumlah 20 untuk 5 perlakuan dan 4 ulangan. C. CARA KERJA 1. Pembuatan makanan larva B. Carambolae Sodium-benzoat, Na-benzoat, dan gula pasir dicampur di dalam air mentah menggunakan ember. Campuran tersebut kemudian ditambahkan HCl 75 ml dan diaduk hingga tercampur sempurna. Ragi instan (2,8%) dicampur dengan air panas dan diaduk hingga rata. Ragi instan yang sudah berada di dalam air panas kemudian dicampur dengan campuran sodiumbenzoat (0,08%), Na-benzoat (0,08%), gula tebu (10,1%), dan HCl 75 ml. Langkah terakhir yang dilakukan adalah memasukkan sekam gandum ke dalam seluruh campuran tersebut kemudian diaduk hingga merata (Kuswadi dkk. 1997: 1511). 2. Perbanyakan B. carambolae Perbanyakan B. carambolae dilakukan di Laboratorium Kelompok Hama Bidang Pertanian P3TIR Batan. Lalat dipelihara dengan menggunakan pakan buatan sampai didapatkan jumlah kepompong sebanyak minimal 200 ml (10.800 buah). 22 Lalat dewasa sebagai penghasil telur dipelihara dalam kurungan berukuran 90 x 60 x 50 cm3 di dalam ruangan ver AC dengan suhu berkisar antara 26--27o C. Setiap kurungan berisi lalat yang berasal dari 1 l kepompong yang berdasarkan perhitungan berjumlah 54.330 ± 980 ekor. Lalat harus diberi makanan yang terdiri atas campuran gula tebu dan protein hidrolisat (4:1) agar mampu menghasilkan telur. Makanan diletakkan dalam kurungan pada nampan plastik, sedangkan air diberikan dengan meletakkan busa jenuh air di atas atap kurungan yang dibuat dari kawat kasa (Kuswadi dkk 1999: 8) Telur yang akan digunakan untuk penelitian diambil dari kurungan lalat buah B. carambolae. Telur dipanen dengan alat pengumpul telur yang berfungsi sebagai buah tiruan tempat lalat meletakkan telur. Alat pengumpul telur berbentuk tabung plastik yang dindingnya berlubang-lubang dan di dalamnya terdapat potongan karet busa jenuh air. Pemasangan alat pengumpul telur dilakukan pada pagi hari dan diambil pada waktu yang sama hari berikutnya sehingga lalat dapat meletakkan telur melalui lubang-lubang ke dalam tabung. Dinding bagian dalam tabung dibasuh dengan air di atas nampan untuk mengumpulkan telur. Telur yang didapat kemudian dipelihara di dalam nampan yang berisi makanan larva. Makanan larva sebanyak 1,5 kg digunakan untuk telur sebanyak 1--1,5 ml. Telur yang diinokulasikan ke dalam makanan larva akan menetas menjadi larva setelah ±1 hari. Setelah ± 7 hari stadium larva memasuki instar 23 ketiga, nampan dipindahkan ke atas serbuk kayu. Serbuk kayu berfungsi sebagai tiruan untuk tanah. Larva yang sudah siap menjadi kepompong akan loncat ke dalam serbuk kayu dan setelah 24 jam larva sudah berubah menjadi kepompong. Lama stadium kepompong bervariasi antara 8 --10 hari. Kepompong dipisahkan dari serbuk kayu dengan cara mengayak serbuk kayu. Serbuk kayu akan jatuh dari lubang ayakan, sedangkan kepompong tidak jatuh. Jumlah kepompong yang didapat diukur dengan menggunakan gelas ukur sampai 200 ml (Gambar 3). 3. Iradiasi kepompong B. carambolae Kepompong B. carambolae sebanyak 200 ml (± 10.800 ekor) dibagi 20 yang masing-masing berisi 10 ml (± 540 ekor), lalu ditaruh dalam botol plastik untuk diiradiasi masing-masing dengan dosis 0 Gy, 40 Gy, 60 Gy, 80 Gy, dan 100 Gy sebanyak 4 ulangan dengan menggunakan alat gamma chamber 4000 A. Langkah pertama yang dilakukan pada penggunaan alat gamma chamber 4000 A, yaitu menekan tombol on untuk menaikkan sample changer. Sebelum memasukkan kepompong ke dalam sample changer, terlebih dahulu tombol off ditekan. Setelah kepompong berada di dalam sample changer, tombol on ditekan kembali, kemudian waktu iradiasi diatur sesuai dengan dosis yang diinginkan. Apabila waktu sudah diatur, tekan tombol down sehingga sample changer akan turun ke source cage. Sample changer akan naik dengan sendirinya apabila waktu yang ditentukan telah 24 habis. Pengaturan waktu disesuaikan dengan besarnya dosis radiasi yang ingin dipajankan. Dosis 40 Gy selama 104 detik, dosis 60 Gy selama 156 detik, dosis 80 Gy selama 208 detik, dan dosis 100 Gy selama 260 detik. 4. Pengamatan a. Mutu kepompong B. carambolae Kepompong diambil dari setiap kelompok dosis radiasi sebanyak seratus ekor untuk diamati mutunya. Kepompong diletakkan di dasar tabung paralon dengan bagian dalam pipa paralon dilapisi oleh tepung kanji supaya licin sehingga lalat tidak dapat keluar dari pipa kecuali terbang. Setelah 5 hari dihitung jumlah lalat yang dapat terbang, jumlah lalat yang muncul lebih dari setengah badan, jumlah lalat yang muncul kurang dari setengah badan, dan jumlah kepompong yang tidak menetas. Pengulangan dilakukan sebanyak 4 kali. b. Sterilitas dan fekunditas B. carambolae Pengamatan sterilitas dan fekunditas jantan iradiasi dilakukan dengan mengawinkan lalat jantan yang diiradiasi dengan betina tanpa perlakuan iradiasi. Perkawinan yang dilakukan adalah sebagai berikut: A1 : ♂ 40 Gy X ♀ 0 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) B1 : ♂ 60 Gy X ♀ 0 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) C1 : ♂ 80 Gy X ♀ 0 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) 25 D1 : ♂ 100 Gy X ♀ 0 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) Pengamatan sterilitas dan fekunditas betina iradiasi dilakukan dengan mengawinkan lalat betina iradiasi dengan jantan tanpa perlakuan iradiasi. Perkawinan yang dilakukan adalah sebagai berikut: A2 : ♂ 0 Gy X ♀ 40 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) B2 : ♂ 0 Gy X ♀ 60 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) C2 : ♂ 0 Gy X ♀ 80 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) D2 : ♂ 0 Gy X ♀ 100 Gy (♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) Kontrol untuk sterilitas dan fekunditas jantan maupun betina adalah sebagai berikut: ♂ 0 Gy X ♀ 0 Gy ( ♂ : 10 ekor & ♀ : 10 ekor) Lalat dipasang-pasangkan pada umur tiga hari dilakukan di dalam sangkar. Makanan lalat dewasa disediakan di dalam sangkar. Botol film yang telah diberi lubang kecil-kecil sebagai tempat telur diletakkan di dalam sangkar setiap 3 hari sekali. Botol film didiamkan selama 1 hari di dalam sangkar untuk pengambilan telur. Setelah telur didapatkan kemudian dihitung jumlah telur yang menetas, yang tidak menetas, dan jumlah total telur yang dihasilkan. Telur diletakkan di atas cawan petri yang beralaskan karton hitam untuk mempermudah pengamatan dan kapas jenuh air yang diletakkan untuk menjaga kelembaban. Perhitungan jumlah telur yang menetas dan tidak menetas dilakukan dengan mengambil seratus telur. Telur yang sudah menetas akan terlihat lebih transparan daripada telur yang belum menetas. 26 Telur yang belum menetas terlihat berwarna putih mutiara (Gambar 4). Penetasan telur dapat diamati setelah berumur 3 hari. Pengamatan telur dilakukan setiap 3 hari sekali selama 1 bulan. 5. Analisis statistik Analisis statistik pertama yang dilakukan adalah uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data terdistribusi normal atau tidak (Conover 1980: 363-365). Kemudian digunakan uji Bartlett untuk mengetahui penyebaran data homogen atau heterogen (Zar 1974: 132). Apabila data terdistribusi normal uji selanjutnya adalah menggunakan uji ANAVA satu faktor untuk mengetahui apakah dosis radiasi memberikan pengaruh terhadap sterilitas, fekunditas, dan mutu kepompong (Berdasarkan Microsoft Excel). Jika data tidak terdistribusi normal, data ditransformasi menggunakan transformasi arcsine. Apabila setelah ditransformasi, data juga tidak terdistribusi normal, data dianalisis menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk mengetahui apakah dosis radiasi memberikan pengaruh terhadap sterilitas, fekunditas, dan mutu kepompong (Zar 1974: 138--186). Data yang terdistribusi normal dilanjutkan analisis statistiknya dengan menggunakan uji Beda Nyata Jujur untuk mengetahui perbedaan sterilitas, fekunditas, dan mutu kepompong untuk setiap dosis radiasi (Sokal & Rohlf 1981: 245--247). Sedangkan data yang tidak terdistribusi normal menggunakan uji Perbandingan Nonparametrik untuk mengetahui perbedaan sterilitas, fekunditas, dan mutu kepompong untuk setiap perlakuan. Uji 27 regresi linear digunakan untuk mengetahui apakah hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas, fekunditas, dan mutu kepompong akan membentuk garis linear atau tidak. Persamaan garis linear yang didapat bisa digunakan untuk memprediksi hasil yang akan diperoleh jika digunakan perlakuan tertentu. Uji regresi linear hanya bisa digunakan apabila data terdistribusi normal (Berdasarkan Microsoft Excel). 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. STERILITAS B. Carambolae JANTAN IRADIASI Pengaruh dosis radiasi terhadap tingkat sterilitas B. carambolae jantan perlu diketahui agar didapatkan dosis optimum untuk memandulkan lalat jantan B. carambolae. Hasil pengamatan terhadap sterilitas B. carambolae jantan selama 30 hari menghasilkan rata-rata data sterilitas B. carambolae jantan tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan betina tanpa perlakuan iradiasi sebesar 12,07% (kontrol), B. carambolae jantan yang diiradiasi dengan dosis 40 Gy dan dipasangkan dengan betina tanpa perlakuan iradiasi sebesar 77,67%, dosis 60 Gy sebesar 84,57%, dosis 80 Gy sebesar 94,37%, dan dosis 100 Gy sebesar 100% (Tabel 1). Analisis data menggunakan uji Shapiro Wilk menghasilkan W hitung kurang dari W tabel, sehingga data tidak terdistribusi normal. Transformasi arcsine dilakukan terhadap data. Uji Shapiro-Wilk terhadap data yang telah ditransformasi menghasilkan W hitung lebih besar dari W tabel, sehingga data terdistribusi normal (Lampiran 1). Hasil uji Bartlett yang didapat adalah nilai x2 hitung lebih kecil dari x2 tabel, sehingga data mempunyai variansi yang homogen (Lampiran 2). Hasil uji ANAVA satu faktor menghasilkan F hitung lebih besar dari F tabel, sehingga terdapat pengaruh dosis radiasi yang dipajankan terhadap sterilitas B. carambolae jantan (Lampiran 3). Uji 29 perbandingan berganda menggunakan uji Beda Nyata Jujur menghasilkan perbedaan yang nyata pada setiap kelompok. Jadi data sterilitas yang dihasilkan memperlihatkan adanya perbedaan pengaruh dosis radiasi terhadap sterilitas pada setiap dosis (Lampiran 4). Hasil analisis regresi linear yang dilakukan menunjukkan bahwa bentuk hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas B. carambolae jantan berupa regresi linear (Lampiran 5). Persamaan garis yang didapat adalah y = 0.7003x + 24.81 (Gambar 5). Persamaan garis linear tersebut dapat digunakan untuk memprediksi berapa besarnya dosis radiasi yang dipajankan untuk menghasilkan sterilitas B. carambolae jantan 100% dan 50%. Sterilitas 100% akan dihasilkan apabila dipajankan dosis radiasi 93 Gy dan sterilitas 50% akan dihasilkan pada dosis 29 Gy. Kepompong digunakan dalam penelitian karena perkembangan alat reproduksi pada stadium kepompong sudah hampir sempurna. Pemajanan dengan sinar gama pada kepompong akan mengakibatkan kerusakan pada testes dan spermatozoa. Oleh karena itu, radiasi gama dapat mengakibatkan B. carambolae jantan dewasa steril. Kemungkinan penyebab sterilitas pada serangga jantan adalah ketidakmampuan kawin (bereproduksi), aspermia, inaktivasi sperma, dan mutasi dominan letal. Radiasi gama kemungkinan juga menyebabkan kerusakan pada sel somatis, yaitu kerusakan pada sayap. Kerusakan pada sayap mengakibatkan kemampuan terbang B. Carambolae jantan berkurang. Berkurangnya kemampuan terbang mengakibatkan 30 berkurangnya kemampuan untuk melakukan perkawinan. Radiasi gama ketika mengenai testes dapat mengakibatkan tidak dihasilkannya sperma matang, sehingga lalat buah jantan akan mengalami aspermia. Aspermia adalah ketidakmampuan serangga jantan menghasilkan sperma. Radiasi gama ketika mengenai testes dapat juga mengakibatkan berkurangnya kemampuan sperma untuk bergerak membuahi sel telur, sehingga lalat buah jantan mengalami inaktivasi sperma. Radiasi gama jika mengenai inti sel kemungkinan akan menyebabkan mutasi dominan letal pada pasangan basa DNA. Mutasi dominan letal terjadi karena radiasi gama ketika mengenai sperma mengakibatkan beberapa kromosom hilang. Kromosom yang hilang mengakibatkan mitosis terhambat, sehingga akan mengakibatkan kematian pada embrio atau letal (LaChance dkk. tahun 1967 lihat Soegiarto 1974: 42-49). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terjadinya pembuahan pada sel telur B. Carambolae (Diptera) menyebabkan telur tersebut tidak dapat menetas. Keadaan tersebut berbeda dengan yang didapat pada Hymenoptera dan Thysanoptera, walaupun tidak terjadi pembuahan, telur tetap dapat menetas dan menghasilkan individu jantan. Individu betina akan dihasilkan hanya apabila telurnya dibuahi (Romoser & Stoffolano 1998: 143). Dosis radiasi yang diberikan kepada B. Carambolae (Diptera), dosis 150--200 Gy sudah dapat mengakibatkan sterilitas 100%. Hasil tersebut berbeda dengan yang didapat Plutella xylostella (Lepidoptera), dosis radiasi 100 Gy sudah dapat mengakibatkan sterilitas yang cukup tinggi pada 31 ngengat jantan keturunan pertamanya, yaitu sebesar 66,94% (Sugiarti 1992: 45). Plutella maculipennis (Lepidotera) jika diiradiasi dengan dosis sebesar 150--200 Gy pada stadium kepompong tidak akan menyebabkan sterilitas total dan tidak menyebabkan terganggunya sifat-sifat biologi ngengat (Soemartaputra 1978: 37). Diptera lebih peka terhadap radiasi daripada Lepidoptera, karena ukuran kepompong Diptera lebih kecil, sehingga sinar gama dengan mudah dapat menembusnya. Hasil penelitian terhadap B. Carambolae menghasilkan dosis steril jantan 100% yang didapat adalah 93 Gy. Umur kepompong yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah 1 hari sebelum penetasan. Menurut Walder & Calkins (1993: 159), penelitian pada Anastrepha suspensa jantan menghasilkan dosis steril pada 15 Gy, 20 Gy, dan 25 Gy menghasilkan sterilitas 98,1%, 99,4%, dan 99,9%. Dosis steril 100% didapat pada dosis 50 Gy. Umur kepompong yang digunakan pada penelitian tersebut adalah berumur 2 hari sebelum penetasan. Menurut Robacker & Garcia (1993: 1369), penelitian untuk dosis steril jantan juga dilakukan pada Anastrepha ludens yang menghasilkan dosis steril 99,5% sebesar 70--92 Gy. Umur kepompong yang digunakan pada penelitian tersebut adalah 1 hari sebelum penetasan. Berdasarkan ketiga hasil tersebut diduga lamanya tahap kepompong pada ketiga jenis tersebut hampir sama, karena dosis steril 100% untuk 1 hari sebelum penetasan lebih besar dari 2 hari sebelum penetasan. Dosis 100% steril pada B. carambolae dan A. ludens sekitar 93 Gy, sedangkan A. suspensa 50 Gy. Perbedaan tersebut dikarenakan umur 32 kepompong yang digunakan pada Anastrepha suspensa jantan lebih muda satu hari dengan yang digunakan pada B. carambolae dan A. ludens jantan. Alat reproduksi kepompong yang lebih muda lebih sederhana bila dibandingkan dengan kepompong yang lebih tua. Alat reproduksi yang lebih sederhana akan lebih mudah dirusak, sehingga dosis radiasi untuk merusak alat reproduksi akan lebih kecil (Reac/Ts 2002: 1). Anastrepha suspensa, A. Ludens, dan B. carambolae adalah termasuk dalam famili yang sama, yaitu Tephritidae, walaupun terdapat dalam famili yang sama tidak berarti mempunyai dosis steril yang sama. Jenis anggota suku Tephritidae memiliki dosis steril radiasi yang berbedabeda, tetapi tidak melebihi dosis 100 Gy (Bakri dkk. 2005: 2--6). B. FEKUNDITAS B. carambolae BETINA TANPA PERLAKUAN IRADIASI YANG DIPASANGKAN DENGAN JANTAN IRADIASI Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh betina. Perhitungan fekunditas betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi perlu dilakukan untuk mengetahui apakah dosis radiasi yang dipajankan terhadap jantan akan mempengaruhi tingkat fekunditas betina pasangannya. Fekunditas betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan yang juga tanpa perlakuan iradiasi selama 30 hari rata-rata menghasilkan 2.608 ± 130,68 (2.380--2.983) butir telur (kontrol). Fekunditas betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi dengan dosis 40 Gy rata-rata berjumlah 2.542 ± 158,01 (2.103-- 33 2.783) butir telur, dosis 60 Gy rata-rata berjumlah 2.385 ± 88,06(2.129-2.531) butir telur, dosis 80 Gy rata-rata berjumlah 2.361 ± 121,64 (2.059-2.578) butir telur, dan dosis 100 Gy rata-rata berjumlah 2.013 ± 208,67 (1.461--2.455) butir telur (Tabel 1 & 2). Berdasarkan data tersebut terlihat bahwa fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan radiasi yang dipasangkan dengan jantan radiasi pada dosis 40 Gy, 60 Gy, 80 Gy, dan 100 Gy tidak berbeda (Gambar 6). Hasil yang didapat dari uji Shapiro-Wilk menghasilkan W hitung lebih dari W tabel, sehingga data terdistribusi normal (Lampiran 6). Uji Bartlett menghasilkan x2 hitung kurang dari x2 tabel, sehingga data memiliki variansi yang homogen (Lampiran 7). Hasil uji ANAVA satu faktor yang didapat menghasilkan nilai F hitung lebih kecil daripada F tabel, berarti H0 diterima, sehingga dosis radiasi yang dipajankan tidak mempengaruhi fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi (Lampiran 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa telur tetap dapat dikeluarkan walaupun B. carambolae jantan pasangannya mengalami kenaikan sterilitas. C. STERILITAS B. carambolae BETINA IRADIASI Sterilitas adalah ketidakmampuan menghasilkan keturunan yang dapat dihitung dengan cara menghitung jumlah telur yang tidak dapat menetas. Sterilitas B. carambolae betina radiasi diukur menggunakan satuan persentase. Hasil pengamatan selama 30 hari terhadap jumlah telur yang 34 tidak dapat menetas dapat dilihat pada Tabel 3. Data tersebut menunjukkan bahwa rata-rata sterilitas betina tidak diiradiasi (kontrol) dari 4 ulangan yang dihitung selama 30 hari adalah 5,25 ± 1,38 (8--14)%, sedangkan untuk betina iradiasi dengan dosis 40 Gy adalah 92,75 ± 1,25 (90--96)%, dosis 60 Gy adalah 99 ± 0,58 (98--100)%, dosis 80 Gy adalah 100%, dan dosis 100 Gy adalah 100% (Tabel 4). Kenaikan sterilitas B. carambolae betina akibat iradiasi dari kontrol ke dosis 40 Gy sangat besar yaitu 87,50%, sedangkan kenaikan sterilitas dari 40 Gy ke 60 Gy tidak besar, yaitu hanya 6,25%. Begitu juga dari dosis 60 Gy ke 80 Gy dan dari dosis 80 Gy ke 100 Gy tidak terjadi kenaikan yang berarti. Sterilitas 100% sudah dapat ditemukan pada dosis 60 Gy, karena pada dosis tersebut terdapat nilai sterilitas terbesar yaitu 100%. Dosis 80 Gy dan 100 Gy menghasilkan sterilitas 100% dari seluruh ulangan yang dilakukan (Gambar 7). Berarti pada dosis tersebut tidak ada satupun telur yang menetas. Sterilitas yang terjadi pada lalat buah B. carambolae betina kemungkinan disebabkan oleh 3 faktor, yaitu ketidakmampuan kawin (bereproduksi), infekunditas, dan mutasi dominan letal. Ketidakmampuan kawin kemungkinan disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada sel somatis sebagai akibat dari radiasi gama yang mengenai sel somatis. Sel somatis yang biasanya rusak adalah pada sayap. Kerusakan pada sayap mengakibatkan serangga tidak dapat terbang. Ketidakmampuan serangga terbang mengakibatkan serangga tidak mampu kawin. Infekunditas kemungkinan disebabkan oleh kerusakan yang terjadi pada ovarium. Mutasi 35 dominan letal kemungkinan disebabkan oleh radiasi gama yang mengenai pasangan basa DNA yang terdapat pada inti sel. Kerusakan pada pasangan basa mengakibatkan mitosis terhambat, sehingga akan mengakibatkan kematian pada embrio atau letal (Lachance dkk. tahun 1997 lihat Soegiarto 1974: 42--49). Ovarium yang terdapat di dalam tubuh B. carambolae betina yang diiradiasi masih dapat menghasilkan sel telur, tetapi sel telur yang dihasilkan rusak. Kerusakan pada sel telur menyebabkan tidak terjadinya fertilisasi, sehingga telur yang dihasilkan tidak ada embrionya dan tidak dapat menetas. (Fried 1971: 870). Penelitian pada B. carambolae (Tephritidae) menghasilkan dosis radiasi 80 Gy menyebabkan B. carambolae betina steril 100%. Hasil tersebut hampir sama dengan yang didapat pada lalat buah Meksiko Anastrepha ludens (Tephritidae) pada dosis radiasi 70--90 Gy dengan menggunakan sumber kobalt 60, menghasilkan 100% steril untuk A. ludens betina (Robacker & Garcia 1993: 1369). Menurut Walder & Calkins (1993: 159), dosis steril 100% untuk Anastrepha suspensa (Tephritidae) betina adalah 75 Gy. Dosis steril untuk betina pada ketiga jenis anggota famili Tephritidae yang telah disebutkan di atas berbeda-beda, tetapi seluruhnya tidak lebih dari 100 Gy (Bakri dkk. 2005: 2--6). 36 D. FEKUNDITAS B. carambolae BETINA IRADIASI Radiasi gama jika mengenai sel kelamin dapat mengakibatkan perubahan fekunditas. Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh betina. Pengamatan yang dilakukan selama 30 hari menghasilkan B. carambolae betina yang tidak diiradiasi bila dikawinkan dengan jantan yang tidak diiradiasi, dapat menghasilkan telur rata-rata sebanyak 1.994 ± 300,16 (1.378--2.715) butir (kontrol). Betina yang diiradiasi dengan dosis 40 Gy bila dikawinkan dengan jantan yang tidak diiradiasi akan menghasilkan telur ratarata sebanyak 155 ± 58,17 (46--318) butir. Betina yang diiradiasi dengan dosis 60 Gy yang dikawinkan dengan jantan tidak diiradiasi menghasilkan telur rata-rata sebanyak 10 ± 1,97 (7--15) butir, sedangkan betina 80 Gy dengan jantan tidak diiradiasi menghasilkan telur rata-rata sebanyak 6 ± 2,04 (0--9) butir, dan betina 100 Gy dengan jantan tidak diiradiasi menghasilkan telur rata-rata sebanyak 3 ± 1,19 (0--5) butir (Tabel 3 & 5). Fekunditas betina iradiasi mengalami penurunan yang cukup besar dari tanpa perlakuan iradiasi ke dosis 40 Gy, yaitu sebesar 1.839 butir telur. Penurunan fekunditas dari dosis 40 Gy ke dosis 60 Gy relatif kecil karena hanya mengalami penurunan sebesar 145 butir telur. Dosis 60 Gy memiliki nilai fekunditas yang sangat rendah, tetapi nilainya belum sampai nol. Lalat betina mulai tidak dapat menghasilkan telur sejak dosis radiasi 80 Gy, karena dosis tersebut nilai fekunditas terendahnya adalah nol. Dosis radiasi di atas 80 Gy menyebabkan tingkat fekunditas yang sangat kecil. Data 37 memperlihatkan bahwa dosis 100 Gy hanya menghasilkan fekunditas tertinggi sebesar 5 butir telur. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa fekunditas semakin berkurang sesuai dengan semakin meningkatnya dosis radiasi (Gambar 8). Faktor yang menyebabkan semakin berkurangnya fekunditas betina sesuai dengan semakin besarnya dosis radiasi yang dipajankan, kemungkinan karena meningkatnya kerusakan pada oogonia dan sel troposit yang terdapat di dalam ovarium. Kepompong yang diiradiasi sudah berumur 10 hari, sehingga perkembangan organ-organ dalam tubuh seperti ovarium sudah mendekati sempurna, karena pada hari ke-11 kepompong sudah menetas menjadi lalat (Salleh 1989: 78--79). Rusaknya oogonia dan sel troposit akibat radiasi gama dapat menyebabkan penurunan fekunditas, karena kerusakan pada kedua sel tersebut dapat menghentikan proses oogenesis. Produksi sel telur sebagian besar tergantung pada diferensiasi oogonia menjadi oosit dan berfungsinya oosit secara normal. Kerusakan pada oogonia yang sangat parah dapat mengakibatkan infekunditas permanen. Kerusakan pada sel troposit mengakibatkan tidak tersedianya makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam oogenesis. Sel troposit berfungsi memberi nutrisi kepada sel oogonia, sehingga sel oogonia dapat berkembang dengan sempurna (LaChance dkk. tahun 1967 lihat Soegiarto 1974: 44). Penelitian pada Chilo suppressalis (Lepidoptera: Pyralidoidea) menunjukkan bahwa dosis 0,04 kGy yang diberikan pada serangga betina 38 untuk stadium larva dan 0,07 kGy untuk stadium kepompong mampu mengakhiri kesuburan serangga betina (Sjarief 1982: 49). Hasil tersebut hampir sama dengan yang didapat pada B. carambolae, yaitu dosis 80 Gy sudah dapat mengurangi fekunditas hingga nol. E. MUTU KEPOMPONG B. carambolae IRADIASI Radiasi gama apabila dipajankan pada makhluk hidup akan mengakibatkan kerusakan pada sel tubuh atau sel kelamin. Hasil pengamatan terhadap kepompong yang diiradiasi gama dengan dosis tertentu apabila mengalami kerusakan pada sel tubuh akan menghasilkan berbagai macam kemungkinan lalat yang muncul, yaitu lalat yang hanya mampu ke luar dari kepompong kurang dari setengah badannya (Gambar 9), lalat yang mampu ke luar dari kepompong lebih dari setengah badannya (Gambar 10), dan lalat yang mampu ke luar dari kepompong seluruh badannya, tetapi langsung mati (Gambar 11). Jika radiasi gama memberikan efek yang parah akan menyebabkan kepompong tidak dapat menetas (Gambar 12) (Tabel 6). Kegagalan penetasan kepompong disebabkan karena adanya kerusakan pada sel somatis. Kerusakan pada sel somatis disebabkan karena adanya kerusakan pada imaginal disc yang terdapat pada kepompong. Imaginal disc adalah kumpulan sel yang belum terdiferensiasi dan sel tersebut merupakan bentuk awal dari jaringan dewasa (Romoser & Stoffolano 1998: 167--169). 39 Perhitungan rata-rata kepompong yang dapat menetas menjadi lalat dan bisa terbang dari hasil pengamatan dengan dosis radiasi 0 Gy (kontrol), 40 Gy, 60 Gy, 80 Gy, dan 100 Gy berturut-turut adalah 86,75 ± 1,49 (84-91)%, 81,75 ± 0,85 (80--84)%, 74,50 ± 2,40 (70--81)%, 65,25 ± 1,80 (60-68)%, dan 42,5 ± 4,77 (32--55)% (Tabel 7). Perhitungan mutu kepompong menunjukkan bahwa dosis radiasi 100 Gy sudah menghasilkan rata-rata persentase penetasan sebesar 42,50%, sehingga dosis 100 Gy sudah tidak efektif digunakan untuk memandulkan serangga, karena hasil yang didapat sudah di bawah 50% (Gambar 13). Uji normalitas Shapiro-Wilk menghasilkan nilai W hitung kurang dari W tabel, sehingga data tidak terdistribusi normal (Lampiran 9). Data ditransformasi menggunakan transformasi arcsine. Setelah data ditransformasi, data tetap terdistribusi tidak normal. Analisis data menggunakan uji Bartlett menghasilkan nilai x2 hitung kurang dari x2 tabel, sehingga data memiliki variansi yang homogen (Lampiran 10). Uji KruskalWallis menghasilkan x2 hitung lebih besar dari x2 tabel, sehingga dapat dinyatakan bahwa terdapat pengaruh dosis radiasi gama yang dipajankan terhadap penetasan kepompong B. carambolae (Lampiran 11). Uji perbandingan nonparametrik menyatakan bahwa jumlah kepompong yang dapat menetas dan bisa terbang pada dosis 80 Gy dengan 100 Gy dan dosis 60 Gy dengan dosis 40 Gy berbeda, sedangkan dosis yang lainnya sangat berbeda (Lampiran 12). 40 Radiasi gama dapat memberikan pengaruh terhadap banyaknya penetasan kepompong B. carambolae, karena radiasi gama termasuk radiasi terionisasi yang memiliki energi tinggi. Daya tembus radiasi gama terhadap benda anorganik maupun benda organik sangat besar. Penetrasi radiasi gama ke dalam kepompong menyebabkan berkurangnya kemampuan kepompong untuk menetas (Reac/TS 2002: 1). Kepompong yang terkena radiasi gama tidak semuanya menghasilkan lalat yang mengalami kerusakan pada sel somatis, tetapi ada juga lalat yang tidak mengalami kerusakan pada sel somatis. Lalat yang tidak mengalami kerusakan pada sel somatis diharapkan mengalami kerusakan pada sel kelamin. Keturunan tidak dapat dihasilkan jika lalat yang kawin mengalami kerusakan pada sel kelamin. Kerusakan yang ditimbulkan tergantung dari besarnya dosis radiasi yang dipajankan. Semakin besar dosis radiasi maka semakin besar pula kerusakannya (Reac/TS 2002: 1). Dosis radiasi yang optimal untuk TSM adalah 93 Gy, karena pada dosis tersebut B. carambolae jantan dan betina sudah steril 100%. Persentase kepompong yang menetas menjadi lalat dan bisa terbang pada dosis tersebut tidak terlalu bagus yaitu ±50%. Oleh karena itu, jumlah kepompong minimal yang harus disediakan untuk TSM adalah dua kali dari jumlah serangga mandul yang akan dilepas. 41 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian pemajanan radiasi gama dengan berbagai macam dosis terhadap kepompong B. carambolae menghasilkan kesimpulan sebagai berikut. 1. Radiasi gama memberikan pengaruh terhadap sterilitas lalat jantan dan betina iradiasi, fekunditas lalat betina iradiasi, dan mutu kepompong. 2. Radiasi gama tidak memberikan pengaruh terhadap fekunditas betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi. 3. Semakin tinggi dosis radiasi yang dipajankan, semakin tinggi sterilitas lalat jantan dan betina iradiasi, semakin rendah fekunditas lalat betina iradiasi, dan semakin rendah juga mutu kepompongnya. 4. Jantan steril 100% pada dosis 93 Gy, dan betina steril 100% pada dosis 80 Gy. 5. Dosis radiasi yang optimum untuk TSM adalah 93 Gy. B. SARAN Pengamatan terhadap sterilitas dan fekunditas betina iradiasi pada dosis 80 Gy dan 100 Gy, seluruh ulangan sudah steril 100% dan fekunditasnya sudah dibawah 10. Hasil tersebut kurang bagus, karena 42 kenaikan sterilitasnya dan penurunan fekunditasnya terlalu besar, sehingga tidak didapatkan garis regresi linear. Perhitungan sterilitas dan fekunditas betina iradiasi seharusnya menggunakan rentang dosis di bawah 60 Gy dengan interval 10 Gy dimulai dari dosis 10 Gy. Rentang dosis di bawah 60 Gy diharapkan dapat menghasilkan garis regresi linear. Persamaan garis linear dapat digunakan untuk memprediksi nilai sterilitas dan fekunditas yang akan terjadi jika dosis radiasi tertentu dipajankan. Penelitian yang dilakukan masih merupakan penelitian pendahuluan untuk aplikasi teknik serangga mandul, sehingga perlu dilaksanakan penelitian lanjutan untuk melepas B. carambolae steril ke alam. Pelepasan B. carambolae steril terlebih dahulu dilakukan di lahan yang sempit dan terisolir. Selanjutnya, apabila berhasil, dapat dilakukan di lahan yang lebih luas. 43 DAFTAR ACUAN Augenstein, L.G., R. Mason, dan M. Zelle. 1966. Advance in radiation biology. 2nd ed. Academic Press, New York: x + 371 hlm. Bacq, Z.M. & P. Alexander. 1966. Fundamentals of radiobiology. Pergamon Press, Edinburgh: xii + 362 hlm. Bakri, A., N. Heather, J. Hendrichs, & I. Ferris. 2005. Fifty years of radiation biology in entomology: lesson learned from IDIDAS. Annual Entomology Society of America. 98(1): 1--12. Baumhover, A.H. 2002. A personal account of developing the sterile insect technique to eradicate the screwworm from Curacao, Florida and The Southeastern United States. Florida entomologist. 85(4): 666--673. Borge, M.N.R. 1997. A survey on the occurrence and flight periods of fruit fly species (Diptera: Tephritidae) in a fruit growing area in Southwest Nicaragua 1994/95. Bulletin of Entomological Research. 87: 405-412. Conover, W.J. 1980. Practical nonparametric statistics. 2nd ed. John Wiley & Sons, New York: xiv + 493 hlm. Cook, B. 2005. South Australia’s fruit fly control and eradication program. 13 Oktober:2 hlm.http://www.pir.sa.gov.au/pages/agriculture/horticulture/ fruitfly /ff2sit.htm : secID=2119&tempID=11, 15 November 2005, pk. 10.41. 44 Drew, R.A.I. & D.L. Hancock. 1994. The Bactrocera dorsalis complex of fruit flies (Diptera: Tephritidae: Dacinae) in Asia. Bulletin of Entomological Research. Suplement Series. No. 2: 88. Drew, R.A.I. & M.C. Romig. 2000. Tephritid Taxonomy into 21st centuryresearch opportunities and applications. Journal Area Wide Control Of Fruit Flies and Other Insect Pests: 677--683. Elzinga, R.J.1980. Fundamentals of entomology. 3rd ed. Prentice Hall Career & Technology, New Jersey: viii + 456 hlm. Fairbanks, D.J & W.R. Andersen.1999. Genetics: The continuity of life. Brooks/Cole Publishing Company, New York: xix + 820 hlm. Fletcher, B.S & A.P. Economopoulos. 1976. Dispersal of normal and irradiated laboratory and wild strains of the olive fly Dacus oleae in an olive grove. North-Holland Publ Co. Entomological Experimental & Applied. 20: 183--194. Fried, M. 1971. Determination of sterile insect competitiveness. Journal of Economic Entomology. 64(4): 869--872. Hall, E.J. 1984. Radiation and life. 2nd ed. Pergamon Press Inc, London: xi + 255 hlm. Hardy, D.E. 1983. The fruit flies: The genus Dacus of Java, Sumatra, & Lombok, Indonesia. Treubia. 29(1): 1--40. Harris, E.J. 1975. The sterile insect technique for the control of fruit flies. Proc. A panel and research coordination meeting.IAEA/FAO, Vienna: 3--7. 45 Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia. PT. Ichtiar BaruVan Hoeve, Jakarta: xix + 701 hlm. Knipling, E.F. 1968. Introduction to insect colonization and mass production. Dalam: Smith, C.N. (ed.). 1968. Insect colonization and mass production. Academic Press, New York: 1--12. Koudelova, J. & P.A. Cook. 2001. Effect of gamma radiation and sex linked recessive lethal mutations on sperm transfer in Ephestia kuehniella (Lepidoptera: Pyralidae). Florida Entomologist. 84(2): 172--182. Kuswadi, A.N. 2000. Radiosterilisasi hama lalat buah Bactrocera carambolae (Drew & Hancock) untuk pengendalian secara genetik. Pros 2. Aplikasi biologi dalam peningkatan kesejahteraan manusia dan kualitas lingkungan. Fakultas Biologi UGM, Yogya: 351--361. Kuswadi, A.N., Darmawi, & M. Indarwatmi. 1997. Biologi lalat buah Bactrocera carambolae dalam biakan di laboratorium dengan makanan buatan. Proc. Seminar Nasional Biologi XV. PEI dan Universitas Lampung, Bandar Lampung: 1510--1514. Kuswadi, A.N., I.A. Nasution, M. Indarwatmi, dan Darmawi. 1999. Pembiakan massal lalat buah Bactrocera carambolae dengan makanan buatan. Disampaikan dalam Seminar Nasional Pengendalian Hayati 12--13 Juli. Pusat Studi Pengendalian Hayati UGM, Yogyakarta: 1--10. 46 Malavasi, A., V.S.M. Alies, M. David, K. Victorine, D. Dominique, C. Philippe, & R. Odilson. 2000. Regional programme for the eradication of the carambola fruit fly in South America. Journal of Area Wide Control Of Fruit Flies and Other Insect Pests: 395--399. Moreno, D.S.,D.A.O. Zaleta, & R.L. Mangan. 1997. Development of artificial larval diets for west indian fruit fly (Diptera: Tephritidae). Journal of Economic Entomology. 90(2): 427--434. Profio, A.E. 1979. Radiation shielding and dosimetry. John Wiley and Sons, Inc, Canada: x + 547 hlm. Reac/TS. 2002. Characteristics of gamma radiation and x rays. 21 Februari: 1 hlm. http//www.orau.gov/reacts/gamma.htm, 15 Juli 2005, pk. 11.02. Robacker, D.C. & J.A. Garcia. 1993. Effects of age, time of day, history, and gamma irradiation on attraction of mexican fruit flies (Diptera: Tephritidae), to bacterial odor in laboratory experiments. Journal of Environmental Entomology. 22(6): 1367--1374. Romoser, W.S. & J.G. Stoffolano, Jr. 1998. The science of entomology. 4th ed. McGraw-Hill Book Co, Singapore: xiv + 605 hlm. Salleh, M. 1989. Serangga dan manusia. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur: x + 204 hlm. Sjarief, S.H. 1982. Fekunditas dan fertilitas serangga Chilo supressalis yang diradiasi, radiasi larva dan kepompong. Majalah batan 15(2): 42--56. 47 Soemartaputra, M.H. 1978. Pengaruh radiasi sinar gamma terhadap kemandulan ngengat kubis Plutella maculipennis Curtis (Lepidoptera – Plutellidae). Skripsi Sarjana Sains Universitas Indonesia, Depok: vii + 37 hlm. Sokal, R.R. & F.J. Rohlf. 1981. Biometry. 2nd ed. W.H.Freeman and Company, New York: xviii + 857 hlm. Steiner, L.F. & S. Mitchell. 1968. Tephritid fruit flies. Dalam: Smith, C.N. (ed.). 1968. Insect colonization and mass production. Academic Press, New York: 555--583. Suckling, D.M. 2004. Applying the sterile insect technique for biosecurity: benefits and constraints. New Zealand Plant Protection Society: 21--26. Sugiarti. 1992. Pengaruh radiasi sinar gamma pada kemandulan ngengat F1 radiasi hama kubis Plutella xylostella. Skripsi Sarjana Sains Universitas Indonesia, Depok: xiii + 107 hlm. Szentese, A., McLaughlin., & J.A. Coffelt. 1977. Alterations in premating behavior and pheromone biology of gamma irradiated Trichopulsia (Lepidoptera: Noctuidae). Journal of Entomology Experimental and Applied. 22: 1--12. Vargas, R.I., L. Whitehand, W.A. Walsh, J.P. Spencer, & C.L. Hsu. 1995. Aerial releases of sterile mediterranean fruit fly (Diptera : Tephritidae) by helicopter: dispersal, recovery, and population suppression. Journal of Economic Entomology. 88(5): 1279--1287. 48 Walder, J.M.M. & C.O. Calkins. 1993. Effect of gamma radiation on the sterility and behavioral quality of the Caribbean fruit fly, Anastrepha suspensa (Loew) (Diptera: Tephritidae). Journal of Science. Agriculture. 50(2): 157--165. Zar, J.H. 1974. Biostatistical analysis. Prentice-Hall, Inc, New Jersey: xiv + 620 hlm. 49 GAMBAR 50 Gambar 1. Siklus hidup B. carambolae di laboratorium Gambar 2. Alat-alat yang digunakan pada penelitian 51 Gambar 3. Skema cara kerja untuk mendapatkan kepompong B. carambolae Gambar 4. Telur B. carambolae yang menetas dan tidak menetas 52 TELUR YANG TIDAK MENETAS (Transformasi arcsine) 90 80 70 60 50 y = 0.7003x + 24.81 40 30 20 10 0 0 40 60 DOSIS RADIASI (Gy) 80 JUMLAH TELUR YANG DIHASILKAN Gambar 5. Grafik sterilitas B. carambolae jantan yang diiradiasi gama pada kepompongnya 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 0 Gy 40 Gy 60 Gy 80 Gy 100 Gy DOSIS RADIASI (Gy) Gambar 6. Grafik fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0 40 60 80 100 DOSIS RADIASI (Gy) Gambar 7. Grafik sterilitas B. carambolae betina yang diiradiasi gama pada kepompongnya 2600 JUMLAH TELUR YANG DIHASILKAN STERILITAS (%) 53 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 0 Gy 40 Gy 60 Gy 80 Gy DOSIS RADIASI (Gy) Gambar 8. Grafik fekunditas B. carambolae betina yang diiradiasi gama pada kepompongnya 100 Gy 54 Gambar 9. Lalat B. carambolae yang hanya mampu keluar dari kepompong kurang dari setengah badan Gambar 10. Lalat B. carambolae yang mampu keluar dari kepompong lebih dari setengah badan 55 Gambar 11. Lalat B. carambolae yang mampu keluar dari kepompong seluruh badan tetapi mati Gambar 12. Kepompong B. carambolae yang tidak menetas 56 Gambar 13. Grafik mutu kepompong B. carambolae yang diiradiasi gama 57 TABEL 58 59 Tabel 2 Nilai fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan yang dipasangkan dengan jantan yang diiradiasi gama pada kepompongnya 0 Gy Rata-rata 2.608 Standar 130,68 kesalahan Standar 261,36 deviasi Variasi 68.308,67 sampel Minimum 2.380 Maksimum 2.983 Jumlah telur 40 Gy Rata-rata 2.542,50 Standar 158,01 kesalahan Standar 316,02 deviasi Variasi 99.867 sampel Minimum 2.103 Maksimum 2.783 Jumlah telur 80 Gy 100 Gy Rata-rata 2361 Rata-rata 2013,5 Standar 121,64 Standar 208,67 kesalahan kesalahan Standar 243,28 Standar 417,35 deviasi deviasi Variasi 59.183,33 Variasi 174.179, sampel sampel 70 Minimum 2.059 Minimum 1.461 Maksimum 2.578 Maksimum 2.455 60 Gy Rata-rata 2.385,25 Standar 88,06 kesalahan Standar 176,12 deviasi Variasi 31.017,5 sampel 8 Minimum 2.129 Maksimum 2.531 60 61 Tabel 4 Nilai persentase sterilitas B. carambolae betina yang diiradiasi gama pada kepompongnya 0 Gy Rata-rata Standar kesalahan Standar deviasi Variasi sampel Minimum Maksimum 10,25 1,65 3,30 10,92 7 14 40 Gy Rata-rata Standar kesalahan Standar deviasi Variasi sampel Minimum Maksimum 92,75 1,25 2,5 6,25 90 96 60 Gy Rata-rata Standar kesalahan Standar deviasi Variasi sampel Minimum Maksimum 99 0,58 1,15 1,33 98 100 Tabel 5 Nilai fekunditas B. carambolae betina yang diiradiasi gama pada kepompongnya 0 Gy Rata-rata Standar kesalahan Standar deviasi Variasi sampel Minimum Maksimum 1.994,25 300,15 600,32 36.0374,3 1.378 2.715 80 Gy Rata-rata 6 Standar 2,04 kesalahan Standar 4,08 deviasi Variasi 16,67 sampel Minimum 0 Maksimum 9 Jumlah telur 40 Gy Rata-rata 155,5 Standar 58,17 kesalahan Standar 116,33 deviasi Variasi 13.533,67 sampel Minimum 46 Maksimum 318 100 Gy Rata-rata 3.5 Standar 1,19 kesalahan Standar 2,38 deviasi Variasi 5,67 sampel Minimum 0 Maksimum 5 60 Gy Rata-rata 10,25 Standar 1,97 kesalahan Standar 3,95 deviasi Variasi 15,58 sampel Minimum 7 Maksimum 15 62 Tabel 6 Jumlah lalat yang muncul dari 100 kepompong B. carambolae yang diiradiasi gama. Dosis (Gy) 0 40 60 80 100 Ulangan I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV Tidak menetas (%) Terbang (%) 7 4 8 9 13 15 12 10 18 21 19 26 22 29 30 20 32 34 30 36 84 91 86 86 82 80 81 84 81 75 72 63 68 66 60 67 40 43 55 32 x Terbang (%) 86,75 81,75 72,75 65,25 42,5 Menetas Tidak >1/2 badan terbang (%) (%) 4 3 3 2 3 1 3 0 0 4 4 7 6 5 8 8 6 1 5 1 1 0 0 0 0 1 3 3 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 <1/2 badan (%) 4 2 3 3 2 3 1 3 0 0 4 4 4 0 2 5 2 2 0 2 63 Tabel 7 Nilai persentase mutu kepompong B. carambolae yang diiradiasi gama Kepompong Tdk menetas 0 Gy 40 Gy 60 Gy 80 Gy 100Gy Rata-rata 7 12,5 21 25,25 33,5 Std kesalahan 1 1 2 2.49 1,71 Std Deviasi 2,16 2,08 3,56 4,99 3,41 Variasi sampel 4,67 4,33 12,67 24,92 11,67 Minimum 4 10 18 20 30 Maksimum 9 15 26 30 38 Menetas Rata-rata 86,75 81,75 74,5 65,25 42,5 terbang Std kesalahan 1,49 0,85 2,40 1,80 4,77 Std deviasi 2,99 1,71 4,79 3,59 9,54 Variasi sampel 8,92 2,92 23 12,92 91 Minimum 84 80 70 60 32 Maksimum 91 84 81 68 55 Menetas tdk Rata-rata 3 1,75 3,75 6,75 3,25 terbang Std kesalahan 0,41 0,75 1,44 0,75 1,31 Std deviasi 0,82 1,5 2,87 1,5 2,63 Variasi sampel 0,67 2,25 8,25 2,25 6,92 Minimum 2 0 0 5 1 Maksimum 4 3 7 8 6 Menetas >1/2 Rata-rata 0,25 1,75 0,5 0 0,25 badan Std kesalahan 0,25 0,75 0,30 0 0,25 Std deviasi 0,5 1,5 0,57 0 0,5 Variasi sampel 0,25 2,25 0,3 0 0,25 Minimum 0 0 0 0 0 Maksimum 1 3 1 0 1 Menetas <1/2 Rata-rata 3 2,25 2 2,75 1,5 badan Std kesalahan 0,41 0,48 1,51 1,11 0,5 Std deviasi 0,82 0,96 2,31 2,22 1 Variasi sampel 0,67 0,92 5,33 4,92 1 Minimum 2 1 0 0 0 Maksimum 4 3 4 5 2 64 LAMPIRAN 65 Lampiran 1 Uji Shapiro-Wilk terhadap persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi hasil transformasi {Y = Sin-1 X } Tujuan : Untuk mengetahui sebaran data persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 = Data persentase sterilitas B. carambolae jantan terdistribusi normal. HA = Data persentase sterilitas B. carambolae jantan tidak terdistribusi normal. Statistika pengujian : K N I 1 X I a i X i 1 Whitung = 2 N __ X i X 2 = 10.081,565 = 1,367 7.376,404 ai = Koefisien, didapat dari tabel Shapiro-Wilk. W0,05,16 = 0,887 Jadi W hitung > W 0,05,16 , maka H0 diterima Kesimpulan : Data persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi terdistribusi normal. 66 Lampiran 2 Uji Bartlett terhadap persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi hasil transformasi {Y = Sin-1 X } Tujuan : Untuk mengetahui homogenitas variansi data persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 : σ1 = σ2 = σ3 = σ4 = σ5 HA : Variansi sampel heterogen (tidak ada yang sama) Statistika pengujian : Sp2 = Ssi Vi = 22,638 = 1,886 12 B = 2,30259 [(log Sp2)( Vi ) C=1+ B0 = 1 1 ( Vi 3( K 1) log Sp2 = 0,276 Vi log Si 2 ] = 4,863 1 ) = 1,137 Vi B = 4,277 C X2hitung = 4,277 X20,05,3 = 7,815 Jadi X2hitung < X20,05,3 , maka H0 diterima Kesimpulan : Variansi data sterilitas B. carambolae jantan homogen 67 Lampiran 3 Uji Analisis Variansi satu faktor terhadap persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi hasil transformasi {Y = Sin-1 X } Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi terhadap sterilitas B. carambolae jantan. Hipotesis : H0 = Tidak ada pengaruh dosis radiasi terhadap sterilitas B. carambolae jantan. HA = Ada pengaruh dosis radiasi terhadap sterilitas B. carambolae jantan. Hasil pengujian : Grup 0 40 60 80 Ulangan 4 4 4 4 Jumlah 81,165 247,329 267,528 305,16 Rata-rata 20,29125 61,83225 66,882 76,29 Variansi 2,771866 3.277364 0.623985 0.386615 ANAVA Sumber variasi Antara grup Dalam grup Total SS 7.355,25 21,17949 7.376,429 Df 3 12 15 MS 2.451,75 1,764957 F 1389.127 Nilai P 1,64E-15 Fkrit 3,4903 68 Fhitung = 1389,127 F0,05 (3,12) = 3,49 Jadi Fhitung > F0,05(3,12) , maka H0 ditolak Kesimpulan : Ada pengaruh dosis radiasi terhadap sterilitas B. carambolae jantan. 69 Lampiran 4 Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) terhadap sterilitas B. carambolae jantan iradiasi hasil transformasi {Y = Sin-1 X } Tujuan : Untuk mengetahui beda nyata terhadap sterilitas B. carambolae jantan antara dua perlakuan iradiasi. Hipotesis ; 1. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 40 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 40 Gy berbeda. 2. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 60 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 60 Gy berbeda. 3. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0Gy dan 80 Gy berbeda. 4. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 100 Gy berbeda. 5. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 60 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 60 Gy berbeda. 6. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 80 Gy berbeda. 7. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 100 Gy berbeda. 70 8. H0 = Perlakuan 60 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 60 Gy dan 80 Gy berbeda. 9. H0 = Perlakuan 60 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 60 Gy dan 100 Gy berbeda. 10. H0 = Perlakuan 80 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 80 Gy dan 100 Gy berbeda. Statistika pengujian : BNJ = Qα(k,db) x S _ _ X KTE r S __ = X KTE = Rata-rata jumlah kuadrat sisa dari tabel ANAVA 1,765 = 0,353 4 S __ = X BNJ = Q0,05 (5,12) X S _ _ = 4,508 X 0,664 = 2,993 X Q0,01 (5,12) x S _ _ = 5,836 X 0,664 = 3,875 X BNJ 0,05 = 2,993 BNJ 0,01 = 3,875 Y0 Y40 = 41,541 Y40 Y60 = 5,05 Y60 Y100 = 23,118 Y0 Y60 = 46,591 Y40 Y80 = 14,458 Y80 Y100 = 13,71 Y0 Y80 = 55,999 Y40 Y100 = 28,168 Y0 Y100 = 69,709 Y60 Y80 = 9,408 71 Dari perhitungan di atas , karena 1. Y0 Y40 > 3,875 , maka H0(1) ditolak dan berbeda sangat nyata 2. Y0 Y60 > 3,875 , maka H0(2) ditolak dan berbeda sangat nyata 3. Y0 Y80 > 3,875 , maka H0(3) ditolak dan berbeda sangat nyata 4. Y0 Y100 > 3,875 , maka H0(4) ditolak dan berbeda sangat nyata 5. Y40 Y60 > 3,875 , maka H0(5) ditolak dan berbeda sangat nyata 6. Y40 Y80 > 3,875 , maka H0(6) ditolak dan berbeda sangat nyata 7. Y40 Y100 > 3,875 , maka H0(7) ditolak dan berbeda sangat nyata 8. Y60 Y80 > 3,875 , maka H0(8) ditolak dan berbeda sangat nyata 9. Y60 Y100 > 3,875 , maka H0(9) ditolak dan berbeda sangat nyata 10. Y80 Y100 > 3,875 , maka H0(10) ditolak dan berbeda sangat nyata Kesimpulan : 0 Gy - 40 Gy ** - 60 Gy ** ** - 80 Gy ** ** ** - 100 Gy ** ** ** ** - 0 Gy 40 Gy 60 Gy 80 Gy 100 Gy Keterangan : * ** = Berbeda nyata = Berbeda sangat nyata 72 Lampiran 5 Uji regresi linear terhadap persentase sterilitas B. carambolae jantan iradiasi hasil transformasi {Y = Sin-1 X } Tujuan : Untuk mengetahui bentuk hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas B. carambolae jantan. Hipotesis : H0 = Bentuk hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas B. carambolae jantan berupa regresi linear. HA = Bentuk hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas B. carambolae jantan berupa regresi tidak linear. Hasil pengujian : Statistik Regresi R Kelipatan 0.985191 R Kuadrat 0.9706 R Kuadrat Penyesuaian -3 Standar Kesalahan 1.779248 Observasi 1 73 Db JK RJK F Regresi 3 104,5133 34,83776 33,01402 Sisa 1 3,165724 3,165724 Total 4 107,679 Keterangan : db = derajat bebas; JK = Jumlah Kuadrat; RJK = Rata-rata Jumlah Kuadrat Koefisien Standar Kesalahan Stat t Nilai P Bawah 95% Atas 95% Perpot Bawah 95.0% -3,9E-91 Atas 95.0% -3,9E91 -49,702 49,701 98 96,350 13 1,1607 36 ongan 0 40 46,64813 3,911649 11,92544 0,053259 -3,05388 96,35013 -3,05388 60 0,361444 0,062906 5,745783 0,109699 -0,43785 1,160736 -0,43785 80 F0,05 (3,1) = 216 Fhitung = 33,01402 Jadi Fhitung < F0,05 (3,1) , maka H0 diterima Kesimpulan : Bentuk hubungan antara dosis radiasi dengan sterilitas B. carambolae jantan berupa regresi linear. 74 Lampiran 6 Uji Shapiro-Wilk terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui distribusi data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 = Data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi terdistribusi normal. HA = Data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi tidak terdistribusi normal. Statistika pengujian : K N I 1 X I a i X i 1 Whitung = N __ 2 X i X 2 = 10.081,565 = 0,495 7.376,404 a i = Koefisien, didapat dari tabel Shapiro-Wilk. 75 W0,05,20 = 0,905 Jadi W hitung < W 0,05,16 , maka H0 ditolak Kesimpulan : Data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi terdistribusi tidak normal. 76 Lampiran 7 Uji Bartlett terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui homogenitas variansi data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 : σ1 = σ2 = σ3 = σ4 = σ5 HA : Variansi sampel heterogen (tidak ada yang sama) Statistika pengujian : Sp2 = Ssi Vi = 22,638 = 138.039,25 12 B = 2,30259 [(log Sp2)( Vi ) C=1+ B0 = 1 1 ( Vi 3( K 1) B = 7,231 C Vi log Si 1 ) = 1,132 Vi log Sp2 = 5,14 2 ] = 8,186 77 X2hitung = 7,231 X20,05,4 = 9,488 Jadi X2hitung < X20,05,4 , maka H0 diterima Kesimpulan : Variansi data fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi homogen 78 Lampiran 8 Uji Kruskal-Wallis terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi yang dipasangkan dengan jantan iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi. Hipotesis : H0 = Tidak ada pengaruh dosis radiasi terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi. HA = Ada pengaruh dosis radiasi terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi. Statistika pengujian : H= 12 N N 1 T t C = 1 HC = 3 i 2 R1 3N 1 = 6 r 1 n i ti = 0 T N3 N H =6 C K =1 79 X2hitung = 6 X20,05,4 = 9,488 Jadi X2hitung < X20,05,4 , maka H0 diterima Kesimpulan : Tidak ada pengaruh dosis radiasi terhadap fekunditas B. carambolae betina tanpa perlakuan iradiasi pasangan jantan iradiasi. 80 Lampiran 9 Uji Shapiro-Wilk terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui distribusi data mutu kepompong B. carambolae iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 = Data mutu kepompong B. carambolae iradiasi terdistribusi normal. HA = Data mutu kepompong B. carambolae iradiasi tidak terdistribusi normal. Statistika pengujian : K N I 1 X I a i X i 1 Whitung = N __ 2 X i X 2 = 10.081,565 = 0,802 7.376,404 a i = Koefisien, didapat dari tabel Shapiro-Wilk. W0,05,20 = 0,905 Jadi W hitung < W 0,05,16 , maka H0 ditolak Kesimpulan : Data mutu kepompong B. carambolae iradiasi terdistribusi tidak normal. 81 Lampiran 10 Uji Bartlett terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui homogenitas variansi data mutu kepompong B. carambolae iradiasi dan sebagai prasyarat uji ANAVA. Hipotesis : H0 : σ1 = σ2 = σ3 = σ4 = σ5 HA : Variansi sampel heterogen (tidak ada yang sama) Statistika pengujian : Sp2 = Ssi Vi = 22,638 = 27,75 12 B = 2,30259 [(log Sp2)( Vi ) C=1+ B0 = 1 1 ( Vi 3( K 1) log Sp2 = 1,443 Vi log Si 2 ] = 9,452 1 ) = 1,132 Vi B = 8,350 C X2hitung = 7,231 X20,05,4 = 9,488 Jadi X2hitung < X20,05,4 , maka H0 diterima Kesimpulan : Variansi data mutu kepompong B. carambolae betina iradiasi homogen 82 Lampiran 11 Uji Kruskal-Wallis terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh dosis radiasi terhadap mutu kepompong B. carambolae. Hipotesis : H0 = Tidak ada pengaruh dosis radiasi terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi. HA = Ada pengaruh dosis radiasi terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi. Statistika pengujian : 12 H= N N 1 T t C = 1 HC = 3 i K 2 R1 3N 1 = 17,853 r 1 n i t i = 18 T N3 N = 0,998 H = 17,889 C 83 X2hitung = 17,889 X20,05,4 = 9,488 Jadi X2hitung > X20,05,4 , maka H0 ditolak Kesimpulan : Ada pengaruh dosis radiasi terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi. 84 Lampiran 12 Uji perbandingan nonparametrik terhadap mutu kepompong B. carambolae iradiasi Tujuan : Untuk mengetahui perbedaan mutu kepompong B. carambolae antara dua perlakuan iradiasi. Hipotesis : 1. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 40 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 40 Gy berbeda. 2. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 60 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 60 Gy berbeda. 3. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0Gy dan 80 Gy berbeda. 4. H0 = Perlakuan 0 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 0 Gy dan 100 Gy berbeda. 5. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 60 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 60 Gy berbeda. 6. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 80 Gy berbeda. 7. H0 = Perlakuan 40 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 40 Gy dan 100 Gy berbeda. 85 8. H0 = Perlakuan 60 Gy dan 80 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 60 Gy dan 80 Gy berbeda. 9. H0 = Perlakuan 60 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 60 Gy dan 100 Gy berbeda. 10. H0 = Perlakuan 80 Gy dan 100 Gy tidak berbeda. HA = Perlakuan 80 Gy dan 100 Gy berbeda. Statistika pengujian : P = 5 , SE = nnp np 1 = 11,83 12 P = 3 , SE = nnp np 1 = 7,21 12 P = 4 , SE = nnp np 1 = 9,52 12 P = 2 , SE = nnp np 1 = 4,9 12 Ranks of rank sums (i) 1 2 3 4 5 Rank sums (RI) 10 26 43,5 57 73,5 Perbandingan perbedaan (B Vs A) (RB-RA) SE Q P Q0,05~,P Q0,01~,P Kesimpulan 5 Vs 1 63,5 11,83 5,37 5 3,858 4,603 Sangat berbeda 5 Vs 2 47,5 9,52 4,98 4 3,633 4,403 Sangat berbeda 5 Vs 3 30 7,21 4,161 3 3,314 4,120 Sangat berbeda 5 Vs 4 16,5 4,9 3,37 2 2,772 3,643 Berbeda 4 Vs 1 47 9,52 4,94 4 3,633 4,403 Sangat berbeda 4 Vs 2 31 7,21 4,3 3 3,314 4,120 Sangat berbeda 4 Vs 3 13,5 4,9 3,37 2 2,772 3,643 Sangat berbeda 3 Vs 1 30,5 7,21 4,23 3 3,314 4,120 Sangat berbeda 3 Vs 2 17,5 4,9 3,57 2 2,772 3,643 Berbeda 2 Vs 1 19 4,9 3,88 2 2,772 3,643 Sangat berbeda