MENAKAR DAMPAK PILKADA LANGSUNG: Studi Pilkada

advertisement
MENAKAR DAMPAK PILKADA LANGSUNG:
Studi Pilkada Langsung Gubernur Jawa Timur 2008
Surwandono dan Witri Elvianti
[email protected] dan
Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Abstrak
Artikel ini menjelaskan tentang relasi biaya sosial, ekonomi, politik dan budaya yang
harus ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat lokal terkait dengan proses
demokratisasi local. Diskursus ini sedemikian mengemuka untuk menakar produktivitas
demokrasi langsung di dalam arena politik local.
Studi ini menunjukan bahwa biaya politik yang ditanggung oleh pemerintah dan
masyarakat local masih sebanding dengan berkembangnya demokratisasi local. Pilkada
langsung mampu mentransformasi maupun mendekonstruksi nilai-nilai local menjadi
lebih demokratis.
Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode kualitatif dengan melakukan
interpretasi terhadap dokumen-dokumen, wawancara terhadap narasumber yang
relevan.
Key Words: Biaya Politik, Dampak Pilkada Langsung, Demokrasi Lokal
Pengantar
Sejak runtuhnya rezim otoriter orde baru, secercah harapan untuk demokrasi yang
tidak semu mulai hadir di benak masyarakat Indonesia. Segera setelah otonomi daerah
digelar, pemilihan kepala daerah langsung (Pilkada) seolah menjadi menu utama
pemerintah pusat dengan tujuan masyarakat Indonesia telah siap masuk ke dalam babak
baru era demokrasi. Ironisnya, sekali lagi, tidak hanya kabar baik yang mengiringnya,
sederet kabar buruk akan terjadinya disintegrasi, konflik etnik dan ketidakseimbangan
pertumbuhan ekonomi terus membayangi demokratisasi di Indonesia terlebih lagi pada
saat Pilkada tersebut diselenggarakan.
Sejak tahun 2005 hingga Agustus 2008, Indonesia telah mencatat prestasi yang
terang benderang. Tercatat bahwa sebanyak 360 kali Pilkada tingkat kabupaten dan 20
tingkat provinsi telah dilaksanakan di Indonesia, sebagai bukti betapa kuatnya komitmen
rezim SBY terhadap pengejawantahan nuansa demokrasi. Dari total provinsi dan
kabupaten yang melaksanakan Pilkada ini, secara umum, ada dua partai politik besar
yang masih mendominasi arena perpolitikan nasional dan lokal, yaitu PDI Perjuangan
dan Golkar. PDI Perjuangan berhasil memenangkan Pilkada di 15 Provinsi dan 166
kabupaten/kota sementara Partai Golkar berhasil menorehkan tinta emasnya di hanya 7
provinsi dan 154 kabupaten/kota.1
Barangkali Indonesia perlu berbangga hati dengan keberhasilan tersebut karena
besarnya kuantitas pemilihan kepala daerah langsung yang telah dilaksanakan. Namun,
rezim pemerintah tidak perlu melulu menjualnya sebagai bukti keberhasilan pemerintah
mengingat realita politik yang ada. Pelaksanaan Pilkada tidak semuanya berjalan dengan
mulus dan bebas hambatan. Pilkada di tingkat provinsi dan kabupaten/kota hingga saat
ini menunjukkan kecenderungan akan terjadinya demokrasi transaksional dan terjebak
dalam nuansa elektoralisme.
Seharusnya, Pilkada menjalankan perannya dalam bingkai dictum penguatan
demokrasi kerakyatan sebagai bentuk dukungan atas pelembagaan demokrasi di tingkat
lokal. Namun, yang terjadi adalah Pilkada kerap berubah menjadi media transaksi politk
dengan motif ekonomi segelintir elit politik lokal. Pilkada tidak disertakan dengan
kedewasaan berpolitik dan profesionalitas penyelenggaraan sehingga seringkali menuai
konflik horizontal antar elemen masyarakat setempat. Perlu diketahui pula, hampir 40%
dari total daerah penyelenggara Pilkada menghadapi konflik dan sejumlah kasus hukum.2
Tak jarang, ajang penguatan pelembagaan demokrasi lokal itu diwarnai dengan tindakan
anarkis berupa pengrusakan dan pembakaran fasilitas umum bahkan bentrokan fisik antar
pendukung yang mengusung masing-masing calon kepala daerah. Sementara itu,
Departemen Dalam Negeri mencatat sedikitnya 23 daerah mengalami konflik Pilkada.
Pada 23 Juli 2008, Jawa Timur melaksanakan perhelatan akbar. Pemilihan kepala
daerah langsung digelar. Sebagai catatan, banyak pengamat politik yang menggarisbawahi signifikansi pengawalan ekstra ketat terhadap persiapan dan penyelenggaraan
Nur Iman Subono dalam Dari “Civil Society” ke “Blok Demokratik”: Masalah dan Tantangannya di
Indonesia, Jakarta, Oktober 2008.
2
Dilaporkan oleh seorang wartawan surat kabar harian SuaraKarya, Yudhiarma MK, dalam Menyoal
Legitimasi dan Potensi “Kudeta” Pasca Pilkada. Dapat diakses di http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=114440 yang diakses pada 15 September 2009
1
Pilkada Jawa Timur tersebut. Hal ini dikarenakan keberagaman etnik, adanya pengaruh
tokoh agama yang kuat dengan masyarakat sehingga ada kekhawatiran gerakan
memobilisasi grass root oleh elit lokal, dan latar belakang sejarah yang pernah
melibatkan etnis tertentu dalam konflik sosial yang masif dan destruktif beberapa waktu
yang silam.
Hasil akhir dari pemilihan putaran pertama menghasilkan dua pasang
kandidat dengan suara mayoritas yaitu Syaifullah Yusuf dengan Sukarwo (KarSa) dan
Kofifah dengan Mudjiyono (KaJi). Hingga pelaksanaan pemilihan putaran kedua, Pilkada
Jawa Timur didominasi oleh konflik horizontal yang cenderung mengarah pada
disintegrasi atau pembelahan sosial. Konflik diawali dengan penemuan kecurangan yang
dilakukan baik selama persiapan Pilkada hingga tahap penyelenggaraan. Kecurangan itu
berkisar pada data fiktif DPT, proses penyusunan DPT yang tidak transparan.
Alhasil, konflik horizontal yang melanda Pilkada Jawa Timur tersebut berdampak
pada dimensi masyarakat Jawa Timur secara ekonomi dan politik, hukum dan keamanan
serta sosial dan budaya. Ibarat dua mata koin yang saling bersebelahan, dampak tersebut
bisa menjadi sesuatu yang konstruktif namun juga boomerang.
Kerangka Dasar Teoretik
Lembaga Informasi Nasional (LIN) selama 5 tahun terakhir melakukan penelitian
terhadap konflik-konflik etnis di Indonesia, baik di Papua, Poso, Ambon, Aceh, SampitDayak, maupun di Jawa Timur. Terdapat temuan yang menarik dari penelitian yang
dilakukan oleh LIN bahwa konflik etnis di daerah konflik sangat berhubungan erat
dengan proses pemilihan kepala daerah.3 Issue etnik sengaja dipilih oleh para kandidat
kepala daerah untuk meningkatkan derajat representasi di depan publik, sehingga jika
suatu kandidat dari etnik tertentu kalah dalam Pilkada, maka kemudian dimaknai sebagai
kekalahan etnik. Makna seperti inilah yang kemudian dikelola oleh para elit politik yang
kalah dalam politik untuk melakukan bargaining politik melalui penciptaan konflikkonflik horisontal.
Temuan yang juga menarik adalah adanya kecenderungan besar bahwa adanya
kekurangsiapan kelembagaan dan instrumen politik untuk menghadapi ledakan konflik
3
Lihat lebih jauh dalam Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi: Informasi Potensi Konflik dan
Potensi Integrasi Bangsa (Nation and Character Building), Jakarta, Deputi Bidang Pengkajian dan
Pengembangan Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional, 2004
seputar pilkada. Pengelola pilkada seperti KPUD dan pemerintah daerah seringkali
terlambat melakukan respon yang memadai sehingga ekskalasi konflik pilkada menjadi
meluas, dan akhirnya menjadi konflik horisontal yang bernuansakan etnik.
Dari beberapa konflik pilkada di Maluku Utara maupun Poso, ada kecenderungan
proses penyelesaian konflik cenderung menggunakan pendekatan security approach
dibandingkan dengan political approach. Penyelesaian konflik horisontal melalui
pendekatan keamanan sesungguhnya mengambarkan bahwa kapasitas politik dari
pemerintah daerah dan KPUD yang didukung oleh Panwaslu maupun aparat keamanan
tidak mampu mengelola Pilkada secara komprehensif.
Pada sisi yang lain, penyelesain dengan menggunakan security approach hanya
menciptakan perdamaian secara sementara, atau sering dikenal dengan konsep negative
peace. Bukan tidak mungkin, penyelesaian menggunakan pendekatan keamanan justru
membuat konflik horisontal menjadi sangat akut dan sulit terselesaikan.
Dalam studi yang dilakukan oleh Surwandono terlihat bahwa konflik Pilkada di
Ambon maupun Poso, setelah mengalami ekskalasi yang sangat serius menjadi konflik
yang bersifat primordial, telah menggubah peta konflik dari konflik lokal menjadi
nasional bahkan internasional. Kelompok Islam maupun Kristen dari luar Poso maupun
Ambon kemudian saling berkonflik secara intensif. Bahkan juga ditemukan fakta konflik
Pilkada tersebut menjadi konflik yang kemudian berhubungan erat dengan aktivitas
terorisme.4
Studi yang dilakukan oleh majalah Tempo dalam pelaksanaan Pilkada di
Indonesia juga menggambarkan bahwa ;
Di banyak tempat, pilkada diwarnai oleh konflik horizontal, yang justru lebih
sarat dengan muatan politis, daripada konflik sosial-kultural. Di beberapa tempat KPUD
menjadi langganan demo massa pendukung calon yang tidak lulus verifikasi. Di Indragiri
Hulu, demo massa mendorong KPUD untuk melakukan koordinasi dengan desk pilkada,
berkaitan dengan pencalonan salah satu kandidat. Di Jayapura, Papua, KPUD terpaksa
mengundurkan pengumuman nama calon. Di Jember, ketidakpuasan terhadap KPUD
"diekspresikan" dengan membakar kantor tersebut. Selain dengan KPUD, kelompok
pendukung calon juga bentrok dengan panitia pengawas daerah, atau kelompok
pendukung dari calon lainnya.5
4
5
Lihat lebih jauh analisis Surwandono dalam “Poso dan Fogging DPO”, Republika, Juli 2007
Majalah Mingguan TEMPO Edisi 24 Juli 2005
Studi yang dilakukan oleh Suwandi Sumartias6 menunjukkan beberapa fakta
kekerasan dan konflik horizontal. Di Padang Pariaman (Sumatra Barat) misalnya,
pilkada berbuntut perusakan kantor KPUD setempat. Aksi pendudukan, pengepungan
kantor KPUD, bentrokan dengan petugas keamanan, dan sejenisnya terjadi di tempattempat seperti Depok (Jawa Barat), Semarang dan Sukoharjo (Jawa Tengah), Mataram
(NTB), Toli-Toli (Sulawesi Tengah), Gowa (Sulsel), Gorontalo, Cilegon (Jawa Barat),
Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan), dan Kaur (Bengkulu).
Laporan yang mendalam yang dilakukan oleh Jawa Pos tentang beragam konflik
dalam Pilkada di beberapa propinsi di Jawa7 menunjukkan bahwa konflik dalam
pelaksanaan pilkada terbagi dalam 4 kelompok besar; pertama, konflik sebelum
pelaksanaan pilkada, biasanya terkait dengan persoalan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang
seringkali tidak up-date ataupun banyak nama-nama ganda. Kedua, pelaksanaan
kampanye pilkada, di mana ditandai dengan konflik antar kandidat, baik dengan
menggunakan black campaign maupun negative campaign, melalui politik pencitraan
secara sefihak. Ketiga, pelaksanaan pemungutan suara, yang ditandai dengan tidak
netralnya PPS maupun tidak adanya Tim Pemantau Independen, maupun mobilisasi
pemilih melalui money politics dari kandidat. Dan keempat, penghitungan suara dan
penetapan pemenang Pilkada oleh KPUD, yang ditandai dengan konflik seputar
keabsahan penghitungan, penggelembungan suara
Metode Penelitian
A. Pendekatan
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
kualitatif
untuk
mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang factor-faktor yang menyebabkan konflik horizontal
maupun pola-pola ekskalasi dalam pelaksanaan pilkada secara langsung. Langkah untuk
mengetahui penyebab dan pola konflik horizontal dalam pelaksanaan Pilkada langsung
sebagai berikut 1) bagaimana stakeholders dari Pilkada langsung, baik partai politik,
6
Lihat lebih jauh dalam http://www.ijrsh.wordpress.com
Jawa Pos, “Catatan Kritis Atas Pilkada di Beberapa Daerah: Depdagri Akar Konflik Pilkada, 3 Oktober
2005 dalam Kajung Maridjan, “Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik
dan Demokrasi Lokal”, makalah yang disampaikan pada , “In-House Discussion Komunikasi Dialog Partai
Politik”, yang diselenggarakan oleh Komunitas Indonesia Untuk Demokrasi (KID) Jakarta, 16 November
2007
7
kandidat kepala daerah, media massa, organisasi social dan kemasyarakat, dalam
memandang konflik horizontal dalam pilkada langsung 2) bagaimana kesiapan sistemik
dari pemerintah dan pengelola pilkada langsung baik KPUD, Panwaslu, KPU dan
Bawaslu terhadap kemungkinan terjadinya konflik horizontal dalam pilkada langsung.
B. Tekhnik pengumpulan data
Data penelitian diperoleh dari berbagai sumber, baik dalam bentuk data primer
maupun data sekunder dari para stakeholders dan pengelola pilkada langsung, baik
melalui pengumpulan dokumen-dokumen kebijakan politik terkait dengan pilkada
langsung, maupun dokumen dari media massa yang melakukan proses peliputan maupun
framing terhadap konflik yang muncul dalam pelaksanaan pilkada langsung.
Untuk memperoleh data primer terkait dengan upaya mengetahui penyebab kritikal dan
pola ekskalasi konflik dilakukan melalui deep interview dengan para narasumber yang
kompeten. Ada sekitar 15 orang narasumber yang menjadi rujukan dalam deep interview
ini, baik di tingkat nasional maupun propinsi.
1. Bawaslu, merupakan lembaga yang memiliki fungsi secara langsung dalam proses
pengawasan pelaksanaan Pemilu. Salah seorang personel Bawaslu yang telah
dilakukan wawancara adalah dengan Bambang Eka Cahya Widodo,S.IP, M.Si tentang
tata aturan Bawaslu dalam proses pengawasan dan laporan hasil pengawasan terhadap
sejumlah pelaksanaan Pemilu. Terkait dengan Pilkada di Jatim, diperoleh dari
wawancara dengan Panwas Propinsi Jawa Timur
2. DPR, dalam hal ini terkait dengan proses pembuatan UU Partai Politik, maupun
Pilkada Langsung. Yang dipetakan dari anggota DPR adalah bagaimana produk UU
tentang
Partai
Politik
dan
Pilkada
Langsung
memiliki
instrument
yang
memungkinkan bisa merespon secara cepat terhadap kemungkinan konflik yang
muncul dalam pelaksanaan Pilkada, baik konflik karena aturan penyelenggaraan,
penyelenggaran, maupun proses penetapan. Dalam hal ini dilakukan wawancara
dengan Agus Purnomo,S.IP, anggota fraksi PKS di DPR.
Untuk memperkuat pandangan para politisi dalam memandang UU tentang Pilkada
Langsung juga dilakukan wawancara dengan Takdir Ali Mukti, yang selama dua
periode telah menjadi anggota DPRD di Yogyakarta.
3. Kepolisian, dalam hal ini dilakukan deep interview dengan dua orang, yakni mantan
Kapolda Jatim (yang mengundurkan diri) dalam proses pelaksanaan Pilkada Jatim,
maupun dengan Kapolda Jatim definitif, tentang kebijakan-kebijakan yang dilakukan
Kepolisian Daerah Jawa Timur dalam proses mengantisipasi konflik pilkada Jatim
Timur. Yang ditelusur adalah kebijakan pelembagaan mengantisipasi konflik, baik
melalui pendekatan keamanan, politik, maupun social budaya.
4. KPUD Jatim, dalam hal ini dilakukan interview kepada mantan pengurus KPUD
Jatim, terkait dengan pelaksanaan Pilkada Jatim yang berlangsung di tahun 20082009, di mana sekarang ini sudah ada pergantian pengurus KPUD Jawa Timur per
Maret 2009. Data yang diperoleh dari mantan anggota KPUD Jatim adalah terkait
seputar konflik dalam pilkada Jatim, baik dalam persoalan DPT fiktif, maupun
masalah penghitungan suara ulang, dan pencobolosan ulang di beberapa kabupaten
baik Sampang, Bangkalan dan Pamekasaan. Wawancara dilakukan terhadap 2
anggota KPUD Jawa Timur yakni Arief Budiman dan Didik .
5.
Panwas Jatim, dalam hal ini dilakukan terhadap laporan dan analisis pelaksanaan
Pilkada Jatim, sebab-sebab konflik terjadi, dan factor-faktor yang menyebabkan
ketidakpuasan dalam proses Pilkada Langsung tidak memicu lahirnya konflik
horizontal. Wawancara dilakukan terhadap Sugeng Pudjiatmoko, yang selama ini
aktif menjadi pengawas Pemilu yang berasal dari unsure birokrasi. Wawancara juga
dilakukan terhadap ketua JPPR wilayah Jatim, Sukardjo, untuk memperdalam
persoalan pelanggaran selama pelaksanaan Pilkada Jatim yang berlangsung sampai 3
putaran.
6.
Organisasi Sipil. Ada dua organisasi sipil yang dipilih, yakni Muhammadiyah dan
NU. Sedari awal memang tidak terdapat kandidat dari cagub maupun cawagub yang
berasal dari anggota Muhammadiyah, namun posisi Muhammadiyah tetap penting
karena sedari awal pula PW Muhammadiyah melakukan sosialisasi secar massif
untuk mendorong pelaksanaan Pilkada langsung secara damai. Yang akan ditelusur
adalah mengapa Muhammadiyah terlibat dalam konteks kampanye politik damai
meskipun tidak ada anggota Muhammadiyah yang menjadi bakal calon. Untuk
menggali informasi ini maka dilakukan wawancara dengan Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah Jawa Timur, khususnya dengan Ketua Majlis Hikmah, Ustadz
Munthalib Sukandar.
Sedangkan NU, merupakan satu-satunya organisasi yang menyumbangkan semua
kandidat, bahkan ada seorang kandidat yang kebetulan menjadi pengurus di PWNU
Jatim, kemudian memilih mengundurkan diri guna memuluskan jalan dalam
pencalonannya. Yang ditelusur adalah bagaimana NU, yang menjadi payung
organisasi para kandidat kepala daerah, melakukan politik managemen konflik untuk
mengantisipasi kemungkinan konflik yang terjadi sesama warga NU. Dalam
penelitian ini dilakukan wawancara dengan wakil sekretaris Pimpinan Wiayah NU,
Nur Hidayat, yang menjelaskan seputar kebijakan dasar NU terkait dengan Pilkada,
maupun pembentukan Halaqah Maslahah ‘Ammah menjelang Pilkada. Wawancara
juga dilakukan terhadap sekretaris Lakspedam NU, Ahmad Faisal, seputar kebijakan
NU dalam mengantisipasi mobilisasi konflik dengan menggunakan instrumentintrumen keorganisasian NU.
7. Tim Sukses, terutama dari Karsa dan Kaji. Tim sukses merupakan mesin politik dari
pasangan calon untuk mendapatkan suara melalui proses mobilisasi massa, bahkan
terkadang melakukan politisasi issue, dari proses soft campaign, negative campaign
sampai dengan black campaign. Data yang ditelusur adalah 1) bagaimana tim sukses
suatu calon memandang dan mempersepsi calon lain, 2) bagaimana tim sukses
memandang proses kompetisi sebagai bagian dari konflik, 3) bagaimana tim sukses
merespon issue yang memojokkan ataupun memprovokasi calon yang didukung. 4)
Bagaimana tim sukses memaknai proses kalah dan menang dalam Pilkada, dan 5)
bagaimana tim sukses menaati aturan main pelaksanaan Pilkada.
Wawancara dilakukan terhadap anggota tim sukses Khofifah-Mujiono, Muh.
Mirdasy, yang juga memberikan jawaban tertulis terhadap pendalaman pertanyaan
yang disampaikan tim peneliti. Informasi tentang strategi dan pilihan politik Kaji,
juga diperoleh dari beberapa anggota pimpinan wilayah NU Jawa Timur yang
menjadi simpatisan dan pendudung pasangan ini.
Sedangkan untuk wawancara terhadap tim sukses Sukarwo-Syaifullah Yusuf,
dilakukan terhadap Martono maupun Ana Luthfie. Namun karena kesibukan yang
sangat padat, keduanya tidak bisa diwawancara secara langsung dan hanya
memberikan gambaran secara umum. Sehingga dalam upaya membangun
obyektivikasi lebih mengandalkan kepada release yang disampaikan tim sukses Karsa
dalam media massa.
8. Tokoh masyarakat di Madura, baik di Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan.
Wawancara ini untuk mengeksplorasi beberapa issue krusial seperti tradisi kekerasan
dalam menyelesaikan konflik (Carok), maupun issue mobilisasi dukungan melalui
organisasi social keagamaan dan praktek politik uang dalam Pilkada serta persoalan
pandangan masyarakat Madura terhadap pelaksanaan Pilkada yang berlangsung
sampai 3 kali putaran. Untuk mengetahui informasi ini dilakukan wawancara
terhadap KH. Junaidi dan H. Abdul Manan, merupakan tokoh masyarakat Madura di
daerah Pamekasan.
C. Teknis analisis data
Untuk mendapatkan obyektivikasi yang tinggi dalam penelitian ini, dilakukan
analisis secara bertahap. Pertama, melakukan analisis isi terhadap dokumen-dokumen
kebijakan politik dan perundangan-undangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan
pilkada langsung, untuk mengetahui pengaruh kebijakan, instrument maupun sumber
daya yang dipergunakan untuk mengelola konflik selama pilkada langsung.
Kedua, melakukan analisis framing terhadap ekspos media massa terhadap
pemilu maupun konflik horizontal yang terjadi selama pelaksanaan pilkada langsung,
untuk mengetahui posisi media dalam konflik, apakah menjalankan peran sebagai media
massa damai, atau justru menjadi media massa provocator. Hal ini terkait dengan saran
dari beberapa stakeholders pilkada Jatim yang menempatkan media massa sebagai salah
satu unsur penting dalam pemberitaan konflik Pilkada.
Ketiga, melakukan interpretasi dari berbagai temuan dokumen, , wawancara
mendalam untuk membuat benang merah hubungan antar variable yang menyebabkan
konflik sekaligus memetakan pola ekskalasi konflik. Hasil interprestasi ini digunakan
sebagai bahan dasar bagi penyusunan kebijakan early warning system dalam
mengantisipasi konflik pilkada secara langsung.
Dampak Politik: Bipolarisasi Masyarakat Sipil
Pemilihan putaran kedua telah meloloskan dua pasang kandidat yaitu KarSa dan
KaJi. Meskipun saling berkompetisi demi memenangkan kontestasi politik, Syaifullah
Yusuf (calon wakil gubernur dari pasangan KarSa) dan Khafifah Indar Parawansa (calon
gubernur dari pasangan KaJi) sejatinya memiliki afiliasi ideologi yang sama. Keduanya
adalah kader utama NU. Pada saat Pilkada, keduanya masih menjabat posisi strategis di
dua lembaga otonom NU, Syaifullah sebagai ketua Gerakan Pemuda Anshor sementara
Khafifah sebagai ketua Muslimat, organisasi perempuan terbesar milik NU.
Sejak kedua tokoh muda NU tersebut memutuskan untuk bersaing dalam kancah
Pilkada, isu pecahnya suara ulama NU telah mulai terdengar. Bukan suatu hal yang biasa,
bagi warga NU mendapatkan izin politis dari para ulama adalah hal yang istimewa. Hal
ini diakibatkan karena budaya NU yang dipandang masih tradisionil. Warga NU memiliki
keterikatan dan kepatuhan yang sangat besar dengan para agamawan. Inilah, ketaatan dan
kepatuhan para santri dan warga Nahdlyin seringkali disalah-gunakan oleh segelintir
oknum yang ingin meloloskan kepentingan politisnya. Kondisi kultural seperti ini sangat
rawan dengan bias kepentingan.
Bila berkaca pada pengalaman silam, NU dan kancah politik bukan hal yang
terpisah. Secara singkat, kader NU diperbolehkan terjun dalam arena politik demi
menyebarluaskan misi dakwah NU untuk mewujudkan Islam sebagai agama yang
menyejukkan semesta alam. Aktivitas politik NU telah lama terlibat dalam dunia politik.
Pada era 1950an, dengan jelas dan lantang, NU mendukung suara politiknya dari masa ke
masa, mulai dari terbentuknya partai Masyumi untuk beberapa dekade hingga akhirnya
suara NU terakomodasikan oleh PPP. Namun, bergulirnya era reformasi di Indonesia
paska runtuhnya rezim Soeharto, kesatuan suara pun terancam dengan kehadiran banyak
partai politik yang mengaku berafiliasi dengan NU. Jadilah, kader politik NU terpecah.
Seharusnya warga NU terlebih lagi para pemimpin dan ulamanya bisa mengambil
arti pelajaran dan pengalaman yang penting dari sejarah. Alih-alih mencerahkan,
perpecahan politik hanya akan memperburuk kondisi umat. Banyak pengamat konflik
sosial berharap penyelenggaraan Pilkada Jawa Timur tidak akan memecah belah suara
NU karena ini akan berkomplikasi pada efek detrimental yang tidak diinginkan. Akan
tetapi, ekspektasi ini tidak terjadi selama Pilkada Jawa Timur, setahun yang lalu. Masing-
masing kandidat sibuk mencari restu para ulama. Bipolarisasi politik melanda warga NU.
NU terbelah menjadi dua kubu utama yakni antara pemilih pasangan SoekarwoSyaifullah Yusuf (KarSa) dan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KaJi).
Dengan mulusnya, KarSa dengan basis dukungan Partai Demokrat, PKS dan PAN
mendapatkan restu dari kiai sepuh, karena mayoritas kiai sepuh masih memandang
kepemimipinan perempuan dalam wilayah publik dan politik adalah hal yang tabu dan
tidak sesuai dengan prinsip Islami. Sementara itu, KaJi yang didukung penuh oleh PPP
dan aliansi 12 partai gurem tanpa ada embel-embel PKB, juga mengantongi dukungan
politik penuh dari organisasi yang dipimpinnya,Muslimat, dan beberapa kiai langitan
penting seperti Hasyim Muzadi. Tentu saja, banyak pihak yang mengkhawatirkan
pecahnya kekuatan NU selama Pilkada Jawa Timur diselenggarakan. Hal ini akan
mengancam peranan NU yang sebenarnya. Sejatinya, para ulama bisa memaksimalkan
peran nya sebagai social control dan moral forces hingga bisa memantau kecurangankecurangan yang mungkin saja dilakukan oleh kader NU sendiri.
Kondisi miris ini sangat bertentangan dengan semangat demokrasi yang baru
sekitar lima tahun ini menerpa perpolitikan lokal di Indonesia. Kekuatan civil society
sangat
mempengaruhi
perjalanan
pelembagaan
dan
perwujudan
substansial
demokratisasi. Menurut Larry Diamond dan Brian C Smith, esensi dari demokratisasi
pemerintah lokal adalah untuk memperluas kesempatan check and balances antara
pemerintah lokal dan pemerintah pusat.8 Karenanya, pemerintah daerah sangat
membutuhkan kemandirian dan kedewasaan politik para elit politik lokal dan civil society
organization seperti NU9, untuk melakukan kontrol sosial politik dan pendidikan politik
bagi masyarakat. Hal ini, secara jelas, sesuai dengan khitah politik warga NU. Tidak ada
yang salah jika perbedaan pandangan politik mekar di tubuh NU. Justru hal ini
menandakan awal dari kedewasaan berpolitik itu sendiri. Namun, secara ideal, para kaum
intelektual NU harus bisa memposisikan diri kapan dan dimana mereka harus
mengenakan seragam jami’yyah (institusi) atau kendaraan politik pribadi.
8
Kacung Maridjan, dalam Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan Demokrasi Lokal,
Jakarta, November 2007.
9
Beberapa akademisi beranggapan bahwa kehadiran NU dan Muhammadiyah merupakan titik sejarah awal
lahirnya gerakan civil society di Indonesia.
Apa yang terjadi di Pilkada Jawa Timur sangat berbeda dengan harapan idealita
tersebut. Dalam pandangan Direktur Eksekutif Lembaga Survei dan Kajian Nusantara
(Laksnu) Gugus Joko Waskito, kisruh pilkada Jawa Timur menjadi bukti bahwa kyai NU
lebih memilih terlena menikmati “berkah” dari komparador politik daripada mengurus
warga NU. NU secara institusi terbuai oleh pragmatisme politik sempit yang dimotori
oleh kader dan petinggi organisasi.10
Bipolarisasi konfigurasi politik NU telah memunculkan stigma baru yaitu kyai vs
santri. Kyai dipandang sebagai kekuatan penuh para “orang tua” yang tertuju pada KarSa
sementara terminologi “santri” diarahkan pada “anak muda” yang melakukan perlawanan
ideologi, yang merepresentasikan dukungan terhadap KaJi. Hal ini tentu sangat
mempengaruhi kondisi psiko-sosial kader grass root NU yang barangkali apolitis dan
acuh dengan sikap politik para kyai nya.
Stigmatisasi dan fragmentasi ini berimplikasi pada degradasi kepercayaan public
atau warga NU terhadap peran ulama dalam dimensi kehidupan yang lebih luas.
Intervensi politik Hasyim Muzadi dengan segala maneuver politik nya dianggap sudah
melampaui batas sehingga berpotensi memicu terjadinya keretakan sosial dan
melemahnya ukhuwwah islamiyah di kalangan NU. Sebagai catatan penting, di
Bojonegoro, telah ditemukan adanya indikasi melemahnya kepercayaan public terhadap
peran ulama di Bojonegoro (baik selama Pilkada Bojonegoro maupun Pilkada Jawa
Timur kemarin). Hal ini terjadi karena masyarakat sudah jenuh dengan drama politk yang
dipertontonkan oleh beberapa kyai. Masyarakat memandang, kadang-kadang, tidak ada
kesesuaian antara apa yang disampaikan dengan apa yang diperlakukan oleh banyak kiai
NU.11 Lagipula, Kacung Maridjan membenarkan hal itu. Menurutnya, penurunan secara
drastis atas dukungan atau bahkan kepatuhan santri dan warga NU terhadap keputusan
10
R Ferdian Andi R, Jatim Terbentur, NU Babak Belur, inilah.com Jakarta, dapat diakses di
http://www.inilah.com/berita/pemilu-2009/2008/12/02/65748/jatim-terbentur-nu-babak-belur/ yang diakses
pada 10 Oktober 2009
11
Pada Juni-Juli 2007, sebuah penelitan Komunitas Tabayun oleh Prof Dr Nur Syam dilakukan di beberapa
pesantren besar di Jawa Timur. Salah satu hasil pentingnya, para santri mengatakan bahwa mereka masih
menjadikan kiai sebagai rujukan dalam masalah agama tapi tidak untuk masalah politik. Bagi para santri,
kiai tidak lagi merepresentasikan suara politik ideal sehingga bukanlah sebuah dosa jika santri tidak patuh
dengan pilihan politik kiai. Dirujuk oleh Akhmad Zaini dalam Nu dan Pilkada Bojonegoro, Dipublikasikan
di Jawa pos, 12 Desember 2007.
politik para kiai dalam Pilkada dikarenakan polarisasi dukungan politik sejumlah kiai ke
beberapa partai politik yang diawali pada Pemilu 2004 lalu.12
Jika kemudian di Jawa Timur telah terjadi bipolarisasi konfigurasi politik NU
maka setidaknya realita ini juga memiliki tendensi atas pelemahan politik secara nasional.
Jawa Timur seringkali dijadikan barometer politik nasional. Temperatur politik yang kian
memanas di Jawa Timur selama penyelenggaraan Pilkada menjadi ancaman tersendiri
bagi kader NU secara nasional mengingat Jawa Timur adalah basis utama dan terbesar
massa NU di Indonesia.
Delegitimasi Pilkada Sebagai Pelembagaan Demokratisasi
Selain berimplikasi pada bipolarisasi konfigurasi politik lokal seperti yang terjadi
di Jawa Timur, konflik horizontal juga berpotensi atas delegitimasi Pilkada sebagai
sarana pelembagaan demokrasi lokal. Merujuk pada bangunan teori kelembagaan baru
(new institutionalism) bahwa pilihan disain kelembagaan yang dianut oleh suatu Negara
memiliki pengaruh terhadap wajah demokrasi yang dimiliki. Oleh Kacung Maridjan,
dituliskan bahwa pada awalnya, disain kelembagaan yang ditempuh untuk menumbuhkan
demokrasi adalah melalui pembukaan system multi partai dan adanya pemilu yang bebas
dan adil. Hal ini juga menurun pada level daerah. Menurut Brian C Smith, ada korelasi
positif antara penguatan demokrasi lokal dengan perbaikan demokrasi pada tingkat
nasional.
Oleh karena itu, demi terwujudnya perbaikan kehidupan demokrasi di Indonesia,
pemerintah memberlakukan pemilihan kepala daerah sebagai media alternatif yang
efektif untuk penguatan pelembagaan demokratisasi di tingkat daerah. Namun, fakta di
lapangan berbicara lain. Pemerintah lupa, atau mungkin belum siap, melakukan langkah
antisipatif atas kecurangan-kecurangan, penyalahgunaan wewenang dan fenomena raja
kecil daerah yang meracuni kesaktian Pilkada itu sendiri. Data kecurangan pilkada yang
kemudian memicu konflik antar masa dan tim sukses calon kepala daerah banyak
ditemukan di lapangan. Pelanggaran dan ketidak-jelasan data daftar pemilih tetap oleh
KPU disinyalir sebagai akibat tingginya angka golput pada pelaksanaan pemilihan
gubernur di daerah. Di Sumatra Utara angka golput mencapai 41,83% dan di Jawa
12
Ibid,.
Tengah melebihi angka tersebut dan mencapai hampir 50% masyarakat Jawa Tengah
tidak menyuarakan pilihan politik mereka.
Tidak berbeda dengan kasus konflik Pilkada di daerah yang lain, Pilkada Jawa
Timur juga mengalami hal yang sama. Pelanggaran dan ketidakjelasan data DPT adalah
hal utama yang menyebabkan gesekan politik kerap terjadi di antara tim sukses
khususnya antara KaJi dan KarSa. Berulang kali, tim sukses dan masa pendukung KaJi
melakukan unjuk rasa dan aksi masa, walau cenderung damai, menentang keputusan
KPU provinsi yang dipandang memihak ke salah satu calon. Pernah, pada saat KPU
Provinsi sedang mengumumkan hasil rekapitulasi suara pada pemilihan putaran ke dua,
masa tim KaJi mengepung kantor KPU guna menekan KPU agar tidak mengumumkan
KarSa sebagai kandidat terpilih dikarenakan kecurangan yang terjadi secara masif.
Eksekutif Indo Barometer, Mohamad Qodari menyatakan bahwa perlu adanya
kedawasaan berpolitik dari pasangan calon jika tidak maka konflik horizontal Pilkada
Jawa Timur bisa berubah menjadi malapetaka yang lebih destruktif dari apa yang terjadi
di Maluku Utara. Sesuai dengan perhitungan KPUD Jawa Timur, pasangan KarSa
berhasil memenangkan perolehan akhir suara dengan jumlah suara 7.729.944 suara atau
sekitar 50,20% sementara itu KaJi meraih 7.669.721 suara atau 49.80%. Angka
partisipasi masyarakat dalam Pilkada Jawa Timur putaran kedua yang berlangsung 4
November 2008 lalu ternyata masih sangat rendah. Angka golput pada Pilkada Jawa
Timur putaran ke dua mencapai 13.880.805 suara atau 47%. 13
Konflik memanas dan memuncak pada saat pasangan calon KaJi memaksa KPU
pusat untuk segera membentuk dewan kehormatan KPU untuk menghakimi anggota
KPUD Jawa Timur yang diduga melakukan kecurangan data fiktif. Praktik curang pada
Pilkada Jawa Timur merupakan kecurangan yang tersistematis. Beberapa pihak menduga
adanya pemanfaatan pola intervensi dan manipulasi data pemilih hingga ratusan ribu
suara pemilih yang digandakan. Modus yang digunakan adalah “Nomor Induk
Kependudukan” (NIK) digandakan untuk beberapa pemilih serta pemilik dengan NIK
dan nama yang sama tetapi alamat tinggal berbeda.
13
Chusnun Hadi, Sikapi Pilkada Jatim Secara Dewasa, www.sinarharapan.co.id/berita/0811/12/sh01.html
yang diakses pada 5 September 2009
Praktik manipulasi daftar suara pemilih merupakan pelanggaran serius dalam
proses pemilu dan akhirnya mengancam demokrasi di tingkat lokal hingga nasional.
Pemenang sebuah Pilkada yang curang tidak akan memiliki wibawa dan legitimasi yang
kuat untuk memimpin sebuah daerah.14 Apalagi pada level daerah, masyarakat memiliki
kedekatan hubungan emosional dan personal dengan calon kepala daerah mereka. Situasi
ini membuat derajat ketampakan konflik horizontal semakin dekat dengan masyarakat.
Dengan kenyataan ini, maka legitimasi rendah pemenang Pilkada Jawa Timur dan
banyaknya kecurangan yang ditemukan di lapangan pada saat pelaksanaan Pilkada akan
menjadi sumber delegitimasi dan instabilitas kepala daerah dan pemerintah daerah
terpilih selama lima tahun masa jabatan.15
Di Jawa Timur, konflik Pilkada telah meluas hingga menyentuh tatanan relasi
sosial antar agamawan. Sebagaimana yang dilaporkan oleh the Wahid Institute, Pilkada
di Kabupaten Sampang yang diperparah dengan pemilihan ulang telah merusak hubungan
kultural antara kiai dengan santri. Juga, terjadi pengotakan pesantren yang ada di Madura.
Para ulama dan pesantren kini telah mengarah pada golongan-golongan. Akibatnya,
hubungan antar ulama dan pesantre menjadi renggan dan rapuh.16
Lebih berbahaya lagi, situasi ini akan menjadikan suasana semakin keruh.
Tuntutan dari sejumlah pihak untuk mempertanyakan efektifitas Pilkada sebagai
jembatan menuju demokratisasi lokal muncul kembali. Dalam masalah ini, NU yang
“terkorbankan” dalam Pilkada Jawa Timur setahun lalu, menyatakan hal demikian. Bagi
NU, selama ini Pilkada tidak banyak memberikan bukti akan perbaikan politik dan
bidang kehidupan lainnya. Justru, konflik semakin meluas. PB NU menarik konklusi
bahwa penyelenggaraan Pilkada telah memancing berbagai kenaifan dan ironi yang
berseberangan dengan tujuan awal dari Pilkada. Pilkada hanya memperluas friksi sosial
politik.17 Konflik horizontal Pilkada akan memperkeruh suasana politik dan berimbas
pada delegitimasi pemerintahan yang terpilih. Jika demikian, maka potensi “kudeta”
14
Syamsuddin Haris, peneliti utama Pusat Penelitian Politik LIPI, dalam Mengelola Potensi Konflik
Pilkada, dimuat di surat kabar harian Kompas, Jumat 26 September 2008.
15
Ryas Raasyid dalam Suara Karya ,06 Juli 2005.
16
www.thewahidinstiture.org yang diakses pada 27 September 2009
17
Berita online, Pilkada Langsung Harus Segera Dihentikan., dapat diakses di
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_vie&news_id=14797
yang diakses pada 10
November 2009
politik lokal yang ditandai dengan aksi boikot politik oleh masa akan merajalela dan
mencederai proses demokratisasi.
Dampak Sosial Budaya: Rekonstruksi Diskursus Sosial Budaya
Seringkali, beredar sebuah hipotesa bahwa keragaman suku di Jawa Timur
menjadi polemic tersendiri bagi terlaksananya pemilihan kepala daerah langsung guna
mewujudkan akselerasi demokratisasi di daerah tersebut. Dalam banyak literatur
antropologi Indonesia, masyarakat Jawa Timur dikenal dengan keragaman suku dan
kekentalan nuansa etnisitas (ethnicity). Nuansa etnisitas ditandai dengan kedekatan
emosional antar kerabat dan rasa eksklusif satu kelompok suku dengan kelompok suku
yang lain. Keragaman suku Jawa Timur dibalut dengan kebanggaan atas symbol-simbol
kebudayaan yang dieratkan dengan garis keturunan (keturunan ulama atau tidak).
Meskipun masyarakat Jawa Timur masuk dalam kategori suku Jawa, tapi ada beberapa
pengecualian dan excuses di sini.
Misalnya, suku Madura tidak ingin dikatakan sama secara budaya dengan suku
Jawa. Orang Jember tentu berbeda secara kultural dengan orang Surabaya. Sehingga,
orang Jember tidak ingin disebut sebagai orang Surabaya, demikian pula sebaliknya.
Belum lagi dengan orang Madura yang lebih menonjolkan kepemilikan sebagai orang
Madura daripada orang Jawa Timur. Oleh karena itu perbedaan-perbedaan kultural ini
keduanya disebut sebagai sebuah kelompok etnik yang berbeda walaupun keduanya
sama-sama suku Jawa di Jawa Timur.18 Situasi kemajemukan sosial dan budaya seperti
ini sering menyeret Jawa Timur dalam kasus konflik etnik yang dituding sebagai aksi
politisasi. Semisal; konflik Banyuwangi karna kasus pocong yang dipelintir sebagai
politisasi dari kelompok elit politik tertentu di Jakarta.
Dalam konteks pelaksanaan Pilkada di Jawa Timur, isu primordialisme sudah
menjadi senjata lama bagi para kandidat untuk saling menjatuhkan kompetitor politiknya.
Pada saat pelaksanaan Pilkada di Tuban misalnya. Sebelum Pilkada, Tuban dikenal
18
Kusnadi dalam Dinamika Kelompok Etnik, Etnisitas & Pembangunan Daerah (Konflik Sosial dalam
Perebutan Sumberdaya), makalah yang dipresentasikan dalam seminar rutin CERIC Universitas Jember,
Lemlit
UNEJ,
Sabtu
02
Juli
2005.
Dapat
diakses
di
http://share.ciputra.ac.id/Student/GSB/IAD/Dinamika%20Kelompok%20Etnik,%20Etni...rah%20%28Konf
lik%20Sosial%20dalam.pdf yang diakses pada 15 November 2009
sebagai kota yang tenang dan aman dari ancaman konflik etnik. Namun, Sabtu 29 April
2006, kerusuhan melanda Tuban. Sekitar 5000 orang mengamuk dan membakar kantor
Komisi Pemilihan Umum Kabupaten setempat, pendapa kabupaten, hotel, rumah pribadi,
dan stasiun pengisian bahan bakar untuk umum. Meskipun konflik etnik tidak pernah
melanda Tuban, namun konflik Pilkada telah mengubah situasi tenang tersebut.
Walaupun banyak pihak menyatakan konflik hanya bersifat sementara, tapi konflik
pilkada yang terjadi di Tuban tetap telah melukai perjalanan demokratisasi di Indonesia.
Jika dilihat dari sisi pembangunan dan transformasi ekonomi, Tuban mengalami
percepatan yang cukup pesat.
Namun di saat Pilkada Tuban berlangsung, bupati incumbent, Haeny, diduga
melakukan banyak kecurangan dan rekayasa sehingga memantik aksi anarkis masa. Isu
SARA juga merebak di Tuban, yaitu ‘anti China’ atau orang ‘China tidak boleh jadi
bupati’. Isu ini sengaja dihembuskan untuk mencekal salah satu calon wakil bupati yang
berasal dari etnis China, Go Tjong Ping. Terlepas dari kondisi sosial ekonomi yang tidak
terlalu terbelakang, ternyata masyarakat Tuban masih terlalu mudah disulut api
provokasi.
Dari fakta kasus Tuban tersebut kita bisa menarik hipotesis sementara bahwa
beberapa lapisan masyarakat Jawa Timur memiliki kerentanan yang relative tinggi
terhadap potensi konflik Pilkada. sehingga diskursus ini menimbulkan kekhawatiran oleh
beberapa pihak jika pasangan kandidat membawa isu primordialisme dalam Pilkada Jawa
Timur seperti yang terjadi di Pilkada beberapa Kabupaten di Jawa Timur sebelumnya.
Harus diakui bahwa selama masa kampanye pemilihan gubernur Jawa Timur,
kelima pasang calon sering membawa isu etnik sebagai bumbu politiknya. Di banyak
baliho, pamflet dan atribut kampanye lainnya mengandung kalimat yang mengandung
sentiment agama yang cukup kuat. Tentu, ini bisa memancing sensitivitas masyarakat
Jawa Timur. Selain itu, sebelum penyelenggaraan pemunguan suara putaran pertama,
beberapa pengasuh pondok pesantren di Jember mengakui bahwa masyarakat Jawa Timur
masih mengedepankan garis keturunan dan latar belakang agama dibandingkan dengan
target pembangunan dan program politik lainnya. Hal ini dimanfaatkan oleh pasangan
KarSa yang menjual jargon ‘masyarakat santri’ dalam strategi kampanyenya.
Akan tetapi, situasi yang terjadi di Tuban, Banyuwangi, dan Madura serta
pernyataan dan anggapan miring tentang pilihan politik masyarakat Jawa Timur tidak
semuanya terjadi selama pemilihan gubernur Jawa Timur. Hal ini terlihat dari imunitas
politik masyarakat Jawa Timur paska Pilkada putaran pertama, putaran kedua dan
penghitungan ulang di tiga kabupaten di Madura. Meskipun banyak pelanggaran dan
kecurangan yang terjadi dalam Pilkada Jawa Timur, secara umum dapat dikatakan tidak
ada social disorder yang masif. Pengerahan masa oleh tim sukses yang dianggap belum
siap kalah tidak mampu memaksa publik melakukan tindakan anarkis.
Kondisi ini adalah antithesis dari apa yang pernah diduga sebelumnya.
Masyarakat Jawa Timur memang kental dengan nilai agama. Tapi tidak berarti agama
selamanya bisa dipelintir oleh kepentingan politik. Beberapa kasus konflik etnis dan
konflik Pilkada kabupaten memang pernah menerpa Jawa Timur tetapi tidak untuk
pemilihan gubernur. Masyarakat Jawa Timur sekarang cenderung memilih untuk bersikap
secara rasional. Bagi mereka, ketampakan figure yang maju dalam Pilkada tidak terlalu
besar seperti kedekatan emosional dalam Pilkada kabupaten. Tipekal masyarakat
Surabaya yang metropolitan dan cosmopolitan menjadikan masyarakat lebih pragmatis
dalam berpolitik. Paska konflik Pilkada Jawa Timur ini, sekarang kita bisa melihat bahwa
Jawa Timur berhasil membuktikan bahwa kisruh sengketa pilkada hanya terjadi antara
tim sukses saja. Peliknya DPT, KPU yang tidak jelas atau bahkan sikap pragmatis para
kiai tidak serta merta menyeret masyarakat Jawa Timur masuk ke dalam ring of fire.
Mereka justru bisa diantisipasi lebih cepat dan cenderung kooperatif.
Kondisi ini adalah cikal bakal rekonstruksi sosial budaya Jawa Timur. Konflik
pilkada tidak selamanya berujung pada konflik yang anarkis. Tapi juga bisa mengerucut
pada proses pendewasaan manusia yang sebenarnya. Ini adalah intangible positive impact
(dampak positive yang tak terlihat) dari konflik pilkada Jawa Timur.
Dampak yang kedua adalah mulai diakuinya keberadaan perempuan dalam dunia
perpolitikan oleh masyarakat Jawa Timur. Masyarakat Jawa Timur nota bene nya adalah
masyarakat dengan tingkat homegenitas ideologi yang cukup tinggi. Di tengah arus
modernisasi yang melanda masyarakat di wilayah periperi di Jawa Timur, masih ada
pemikiran konservatif yang mendiskreditkan peran perempuan dalam wilayah
kemajemukan sosial. Para ulama tradisionil memandang tabu bila perempuan menjadi
pemimpin skala kewilayahan provinsi. Bagi mereka, membiarkan perempuan memimpin
sebuah negeri adalah sebuah penghianatan agama.
Khafifah Indar Parawansa telah akan menjadi gubernur perempuan pertama di
Indonesia jika ia berhasil melaju dan menyingkirkan rival politiknya pada Pilkada Jawa
Timur yang lalu. Khafifah merepresentasikan perempuan NU yang cakap dalam
berpolitik dan kepemimpinan nasional. Khafifah dinilai oleh banyak pengamat politik
lokal sebagai figure calon pemimpin yang mengetahui akar permasalahan di Jawa Timur.
Meskipun masifnya usaha beberapa oknum yang meminimalisir pengaruhnya dalam
Pilkada, namun masyarakat Jawa Timur dengan kekentalan ketaatan pada pemuka agama
telah membukakan hati bagi sosok perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam wilayah
sosial dan politik masyarakat Jawa Timur. Hal ini menandakan adanya perubahan
paradigmatik masyarakat Jawa Timur dalam memandang dan memposisikan perempuan
pada tempat dan dengan kesempatan yang sama dengan kaum adam dalam kontes politik.
Konflik Pilkada Jawa Timur telah memaksa tim KaJi untuk berjuang dengan
maksimal. Perilaku politik para tim sukses KaJi seolah menguatkan proses pencitraan
peran perempuan dalam pelembagaan demokratisasi di Jawa Timur. Meskipun Khafifah
awalnya hanya dianggap calon yang underdog, tapi Khafifah justru berhasil melenggang
ke putaran kedua pemilihan kepala daerah Jawa Timur.
Dampak Ekonomi
Demokrasi itu memang mahal. Barangkali ini adalah kalimat pertama yang
seringkali masyarakat lontarkan jika mereka harus berbicara tentang demokrasi. Robert A
Dahl mungkin akan membenarkan hal itu karena memang demokrasi menimbulkan efek
detrimental yang tidak hanya populis bagi kaum elit. Menurut pandangannya, selain
untuk menghindari tirani politik, demokrasi juga dimaksudkan untuk menciptakan
tujuang-tujuan yang lain. Di antaranya adalah terwujudnya hak-hak esensial individu,
terdapatnya kesamaan politik, munculnya moral otonomi, terdapatnya kesempatan untuk
menentukan posisi diri individu, dan adanya kesejahteraan.19 Paling tidak, selama ini
19
Kacung Maridjan dalam Pilkada Langsung: Resiko Politik, Biaya Ekonomi, Akuntabilitas Politik, dan
Demokrasi Lokal, Jakarta 16 November 2007, hal 13.
terdapat pandangan bahwa demokrasi hanya akan berjalan dengan baik di Negara yang
telah memiliki tingkat kesejahteraan tinggi.
Sejalan dengan teorisasi demokrasi oleh Dahl, pemerintah Indonesia berniat untuk
memasifkan arus demokrasi melalui pemekaran wilayah. Pemekaran wilayah akhirnya
menjadi rutinitas pemerintah SBY sejak lima tahun silam. Ditambah dengan pelaksanaan
Pilkada, pemekaran memakan biaya pemerintah daerah dalam jumlah yang sangat tidak
minimalis.
Pemekaran daerah telah menjebak pemerintah pada pengeluaran yang sangat
tinggi. Berdasarkan catatan empiris, anggaran biaya penyelenggaraan satu putaran
Pilkada provinsi rata-rata mencapai sekitar Rp 500 miliar. Sementara untuk satu putaran
Pilkada kabupaten/kota menghabiskan dana sebesar Rp 25 miliar. Dengan demikian,
jumlah kebutuhan anggaran biaya yang harus disediakan pemerintah untuk kepentingan
Pilkada adalah sebesar Rp 28 triliun. Bayangkan juga, pemerintah paling tidak harus
membiayai terselenggaranya Pilkada di sebanyak 33 provinsi dan 465 kabupaten/kota. 20
Pilkada Jawa Timur dan sengketa politik yang mewarnainya telah memecah rekor
nasional sebagai Pilkada termahal. Putaran pertama Pilkada Jawa Timur mampu
mencapai biaya sebesar Rp 500 miliar. Disusul dengan putaran kedua yang berhasil
menelan APBD sebesar Rp 200 miliar. Dana ini belum termasuk biaya yang harus
dikeluarkan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang dan penghitungan ulang di
tiga kabupaten di Madura. Total biaya yang hampir mencapai Rp 800 miliar ini tidak
disertakan dengan tingkat partisipasi politik masyarakat yang memuaskan dengan angka
golput hampir mencapai 50%.
Kondisi ini tampak berbanding terbalik dengan situasi yang sedang dihadapi oleh
korban lumpur lapindo. Ironis memang, biaya ekonomi yang tinggi tidak disertai dengan
empati sosial politik pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dampak Hukum dan Keamanan
20
Sudaryadi
dalam
Mengendalikan
Pemekaran
Wilayah,
http://www.isei.or.id/page.php?id=5jan094 yang diakses pada 15 AGustus 2009
dapat
dilihat
di
Secara umum Pilkada Jawa Timur (pemilihan gubernur) tidak berdampak pada
terancamnya system keamanan. Tetapi, jika kita melihat pada pelaksanaan Pilkada di 16
kabupaten, maka terdapat konsekuensi kerawanan keamanan yang cukup tinggi.
Kerawanan itu berupa keamana yang menjadi lahan bisnis oleh aparat penegak
keamanan. Jika kemudian, pilkada tidak dapat dikelola dengan baik maka
penyalahgunaan wewenang berupa bisnis keamanan oleh oknum tertentu dalam
mengatasi konflik pilkada akan semakin sering terjadi. Jika penyalahgunaan ini terus
terjadi maka pihak yang menjadi korban adalah masyarakat dan pemerintah daerah
setempat. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh seorang pengamat politik
FISIP Universitas Airlangga Surabaya, Haryadi;
“Eksploitasi kerawanan Pilkada yang berlebihan bisa melahirkan praktik bisnis
keamana. Dan, yang dirugikan adalah masyarakat dan pemerintah daerah
setempat, karena alokasi anggaran untuk keamanan menjadi berlipat ganda”21
Haryadi juga menambahkan, berdasarkan informasi yang dia dapat dari
penemuannya diketahui bahwa ada pematokan anggaran biaya yang dilakukan oleh
oknum tertentu. Pihak polres tertentu (setingkat kabupaten/kota) mematok biaya sekitar
Rp 3 miliar untuk pengamanan pilkada di salahsatu kabupaten di Jawa Timur. Baginya,
anggaran biaya ini dianggap terlalu besar dan mengalami eksploitasi besar-besaran.
Sementara itu, dampak hukum dari konflik Pilkada Jawa Timur menuntut
profesionalitas dan independensi dari para penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan
Agung. Dalam kasus pelanggaran Pilkada Jawa Timur telah mengakibatkan mantan
pejabat polda Jawa Timur mengundurkan diri karena kecewa dengan proses penyidikan
kasus data DPT fiktif. Selain itu, dengan melebarnya penyelesaian kasus sengketa
Pilkada Jawa Timur berdampak pada system perundang-udangan yang masih belum
akomodatif atas terselenggaranya Pilkada yang lebih professional. Diduga, konflik ini
juga dipicu oleh intervensi patronase politik para tim sukses yang sejatinya duduk di
lembaga legislative. Kekecewaan tim sukses atau bahkan rekan separtai atas kekalahan
kandidat yang diusung oleh partai politiknya menghasilkan lobi politik yang curang dan
tidak mewakili semangat demokratis itu sendiri.
21
Pilkada Rawan Timbulkan Bisnis Keamanan, www.suaramerdeka.com/harian/0502/26/nas09.htm yang
diakses pada 10 Oktober 2009
Tambahan pula, dengan konflik horizontal Pilkada Jawa Timur, maka ada
kecenderungan ketidakpercayaan pada independensi para penegak hukum dalam
menindaklanjuti pihak-pihak yang diduga melakukan penyelewengan wewenang. Masih
berkaitan dengan DPT, Kafifah menduga ada keterlibatan anggota KPU, Wahyudi
Purnomo dan Arif Budiman. Meskipun calon gubernur terpilih telah dilantik, namun
kasus pelanggaran hukum tetap harus diusut tuntas jika tidak maka konflik horizontal
Pilkada Jawa Timur akan meluas dan melebar hingga paska konflik pilkada.
Daftar Pustaka
Agustino, Leo, Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009
Anam, Chairul, Pilkada Jawa Timur paling kotor: Ada Kecurangan dibiarkan.artikel.
Amirudin dan A. Zainal Bisri, Pilkada Langsung: Problem dan Prospek: Sketsa Singkat
Perjalanan Pilkada 2005, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 2006
Cahyono, Heru, 2005, Konflik dan Pelanggaran pada Pilkada Langsung 2005: Elite
Politik Hendak Kemana, dalam Year Book 2005 Politik BBM, Jakarta, Pusat
Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Chang, William, Dimensi etnis konflik sosial, Kompas 2 Februari 2001
Chester A. Crocker, and Fen Osler Hampson. 1996. Managing global chaos: Sources of
and responses to international conflict. Washington, DC: U.S. Institute for Peace
Dinamika Konflik dalam Transisi Demokrasi: Informasi Potensi Konflik dan Potensi
Integrasi Bangsa (Nation and Character Building), Jakarta, Deputi Bidang
Pengkajian dan Pengembangan Sistem Informasi Lembaga Informasi Nasional,
2004
Doug, J. Craig Bond, Jenkins, Charles Taylor, and Kurt Schock. 1997. “Mapping mass
political conflict and civil society”. Journal of Conflict Resolution 4:553-79.
Faishal, Nur, Berpegang pada pedoman politik NU, artikel tertanggal 2 Juni 2008
Gurr, Ted Robert, and Barbara Harff. 1996. Early warning of communal conflict and
genocide. Tokyo: United Nations University Press
Gurr, Ted Robert, and Mark Lichbach. 1986. Forecasting internal conflict: A competitive
evaluation of empirical theories. Comparative Political Studies
-------------, 1998, Early warning of ethnopolitical rebellion: In Preventive measures,
Lanham, MD: Rowman & Littlefield
-------------, 1998, Minorities at risk. Washington, DC: U.S. Institute for Peace
Harris,Peter, dan Reilly, Ben, (ed.), 2000, Demokrasi dan Konflik yang Mengakar:
Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, Jakarta, International IDEA.
James A. Thurber, Campaigns and Elections American Style. NY Westview Press; 2nd
edition, 2004.
J. Craig Jenkins, 2001, “Conflict-Carrying Capacity, Political Crisis, and Reconstruction:
A Framework for the Early Warning of Political System Vulnerability, Journal of
Conflict Resolution Vol. 45 No. 1
John Davis, and Ted Robert Gurr. 1998. Preventive measures: Building risk assessment
and crisis early warning systems. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.
Karim Elha H, Sofwan, Muhammadiyah dalam Pilkada, Artikel. Koran Tempo, 21
Oktober 2008.
Kompas, Polda Jatim antisipasi kecurangan, KPU jangan sampai diintervensi. 16
November 2008
Mau, Yoyarib, Kisruh DPT Pilkada Jatim. www. kannutuan.com
Malik, Ichsan, Manual Pelatihan Pembangunan Perdamaian dan Pencegahan Konflik,
Jakarta, SERAP, 2006
Maliki, Zainuddin, 2006, Peta dan Ancaman Konflik di Jawa Timur, ...Makalah
disampaikan dalam Diskusi ...Pengelolaan dan Antisipasi Ancaman Konflik di
Jawa Timur, yang diselenggarakan Dewan Pakar Propinsi Jawa Timur, tanggal 14
Juni 2006 di Balitbang Propinsi Jawa Timur.
Majalah Matan: Pilkada Jawa Timur, edisi 11 Mei 2008.
Marijan, Kacung, Pilkada langsung: resiko politik, beaya ekonomi, akuntabilitas politik
dan demokrtasi lokal. Artikel disampaikan dalam "in house disscusion"
komunikasi partai politik yang diselenggarakan oleh Komunitas Indonesia untuk
demokrasi ( KID ) 17 November 2007.
Maya, Ridha, Orientasi politik warga Muhammadiyah ( Studi deskriptif tentang orientasi
politik warga Muhammadiyah Surabaya menjelang Pilgub Jatim 2008,
Universitas Airlangga, Skripsi tidak diterbitkan
Muchith Muzadi, Abdul, Mengenal Nahdlatul Ulama, Khalista Surabaya 2006
Mujiran, Paulus, 2006, Konflik Pilkada Ujian Demokrasi Lokal, http://www..suarakaryaonline.com
Najib, Mohammad, 2005, Agama dan Resolusi Konflik dalam Pilkada, dalam Jurnal
Ilmu-Ilmu Sosial, Unisia No. 58/XXVIII/IV/2005, Yogyakarta, UII.
Download