BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asfiksia neonatorum

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Asfiksia neonatorum dapat
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis (Rusepno H, 1995). Ada
beberapa faktor pencetus terjadinya asfiksia neonatorum yaitu faktor ibu (hipoksia,
eklampsi, toksemia, hipotensi karena perdarahan, diabetes melitus, kelainan jantung,
atau penyakit ginjal), faktor plasenta (gangguan pertukaran gas antara ibu dan janin
dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta, misalnya solusio plasenta atau plasenta
previa), faktor fetus (janin terlilit tali pusat, tali pusat menumbung, dll), dan faktor
persalinan (partus lama, kelahiran sungsang, kembar, seksio sesarea, dan proses
persalinan abnormal lainnya) (Markum AH, 2002).
Asfiksia merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas bayi baru
lahir dan akan membawa berbagai dampak pada periode neonatal baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Di negara maju angka kejadian asfiksia berkisar
antara 1-1,5% dan berhubungan dengan masa gestasi dan berat lahir. Di negara
berkembang angka kejadian bayi asfiksia lebih tinggi dibandingkan di negara maju
karena pelayanan antenatal yang masih kurang memadai. Sebagian besar bayi asfiksia
tersebut tidak memperoleh penanganan yang adekuat sehingga banyak diantaranya
meninggal (Vera MM, 2003).
1
2
Menurut WHO deperkirakan sekitar 900.000 kematian bayi baru lahir setiap
tahun diakibatkan oleh asfiksia neonatorum. Laporan dari Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan
ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah
pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur (WHO, 2005).
Menurut National Center for Health Statistics (NCHS) pada tahun 2002,
asfiksia neonatorum mengakibatkan 14 kematian per 100.000 kelahiran hidup di
Amerika Serikat (Adhie NR, 2012). Di Indonesia mempunyai 200 juta penduduk
dengan angka kelahiran 2,5% tahun sehingga diperkirakan terdapat 5 juta kelahiran
per tahun. Jika angka kejadian asfiksia 3-5% dari seluruh kelahiran, diperkirakan 250
ribu bayi asfiksia lahir pertahun. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013,
tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/
respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%)
(Kemenkes RI, 2014).
Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun 2000 didapatkan
6,3% bayi asfiksia dari seluruh kelahiran, 2,1% diantaranya lahir dengan asfiksia
berat (Vera MM , 2003). Di RS Dr Kariadi Semarang selama tahun 2007, angka
kelahiran bayi hidup mencapai 1600 jiwa setahun dengan angka kejadian bayi lahir
dengan asfiksia berjumlah 187 kelahiran (Adhie NR, 2012).
Hasil penelitian sebelumnya di RSUD dr. M. Soewandhie Surabaya periode
Januari 2010 Juni 2011 didapatkan sebanyak 73,0% dari jenis persalinan tindakan
bayi mengalami asfiksia neonatorum, sedangkan 66,9% dari jenis persalinan normal
3
bayi tidak mengalami asfiksia neonatorum. Artinya jenis persalinan tindakan
mempunyai resiko 5,471 kali lebih besar terhadap kejadian asfiksia neonatorum
dibandingkan dengan persalinan normal (Neneng YBS, 2009).
Berdasarkan survei awal yang dilakukan oleh peneliti di Puskesmas Labuhan
Batu Utara angka kejadian asfiksia mencapai 49,4 persen. Kejadian asfiksia yang
terjadi dengan rata-rata dengan jenis persalinan buatan. Berdasarkan wawancara
kepada 10 orang diperoleh bahwa sebanyak 6 (60,0%) ibu dengan persalinan buatan
dan 4 orang (40,0%) dengan persalinan spontan. Kejadian asfiksia terkait dengan
jenis persalinan.
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik ingin meneliti dengan
judul “Hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan
Batu Utara”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. TujuanUmum
Untuk melihat secara umum hubungan jenis persalinan dengan kejadian
asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara.
4
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui jenis persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara.
2. Untuk mengetahui kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara
3. Untuk mengetahui hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di
Puskesmas Labuhan Batu Utara
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Responden
Untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu tentang kejadian asfiksia.
1.4.2. Bagi Akademi Kebidanan Audi Husada Medan
Memberikan informasi terhadap hasil penelitian yang diperoleh sehingga
dapat bermanfaat bagi pembaca dan dapat digunakan sebagai bahan penelitian
selanjutnya.
1.4.3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian
selanjutnya terutama yang berhubungan dengan kejadian asfiksia.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Persalinan
2.1.1. Pengertian Persalinan
Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks dan janin turun ke
dalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin
yang terjadi pada kehamilan cukup bulan, lahir spontan dengan presentasi belakang
kepala tanpa komplikasi baik ibu maupun janin (Bandiyah, 2009). Intensitas dan
frekuensi kontraksi pada persalinan normal meningkat, tetapi tanpa peningkatan tonus
istirahat. Intensitas meningkat pada persalinan lanjut menjadi 60 mmHg dan
frekuensi menjadi 2-4 kontraksi setiap menit. Durasi kontraksi juga meningkat dari
kira-kira 20 detik pada awal persalinan menjadi 40-90 detik pada akhir kala pertama
dan kala kedua (Llewellyn, 2001).
2.1.2. Jenis Persalinan
Manuaba (2009) membagi jenis persalinan menurut cara persalinan, menjadi :
1. Partus biasa (normal atau spontan) : proses lahirnya bayi pada letak belakang
kepala (LBK) dengan tenaga ibu.
2. Partus sendiri, tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu dan bayi yang
umumnya berlangsung kurang dari 24 jam.
3. Partus luar biasa (abnormal) : persalinan pervaginam dengan bantuan alat-alat
atau melalui dinding perut dengan operasi caesar.
5
6
4. Partus anjuran : bila kekuatan yang diperlukan untuk persalinan ditimbulkan dari
luar dengan jalan rangsangan.
2.1.3. Proses Persalinan
Beberapa teori yang menyatakan kemungkinan proses persalinan menurut
Manuaba (2009).
1. Teori Estrogen-Progestero
Pada 1-2 minggu sebelum persalinan dimulai, terjadi penurunan kadar hormon
estrogen dan progesteron. Progesteron bekerja sebagai penenang otot-otot polos
rahim dan penurunan progesterone akan menyebabkan konstriksi pembuluh darah
sehingga timbul his bila kadar progesteron turun.
2. Teori Oksitosin
Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron menyebabkan oksitosin yang
dikeluarkan oleh hipofise part posterior dapat menimbulkan kontraksi dalam
bentuk Braxton Hicks.
3. Teori Distensi Rahim
Rahim yang menjadi besar dan meregang menyebabkan iskemia otot-otot rahim,
sehingga mengganggu sirkulasi utero plasenta.
4. Teori Iritasi Mekanik
Di belakang serviks terletak ganglion servikal (Fleksus Frankenhauser). Bila
ganglion ini digeser dan ditekan, misalnya oleh kepala janin, akan timbul
kontraksi uterus.
7
5. Teori Prostaglandin
Konsentrasi prostaglandin yang dikeluarkan oleh desidua meningkat sejak umur
hamil 15 minggu. Prostaglandin dianggap dapat memicu persalinan, semakin tua
umur kehamilan maka konsentrasi prostaglandin makin meningkat sehingga dapat
menimbulkan kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan.
6. Teori Hipotalhamus-Pituitari dan Glandula Suprarenal
Teori ini menunjukkan bahwa pada kehamilan dengan anensefalus sering terjadi
keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk hipothalamus dan glandula
suprarenal yang merupakan pemicu terjadinya persalinan.
7. Induksi Persalinan (Induction of Labour)
Partus yang ditimbulkan dengan jalan :
a. Memecahkan ketuban ( amniotomi)
Pemecahan ketuban akan mengurangi keregangan otot rahim sehingga
kontraksi segera dapat dimulai.
b. Induksi persalinan secara hormonal/kimiawi
Dengan pemberian oksitosin drip/prostaglandin dapat mengakibatkan
kontraksi otot rahim sehingga hasil konsepsi dapat dikeluarkan.
c. Induksi persalinan dengan mekanis
Dengan menggunakan beberapa gagang laminaria yang dimasukkan dalam
kanalis servikalis dengan tujuan merangsang pleksus frankenhauser
d. Induksi persalinan dengan tindakan operasi
Dengan cara seksio caesaria.
8
2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan
Menurut Mochtar (2003), faktor yang mempengaruhi persalinan diantaranya :
1. Passage (Jalan Lahir)
Merupakan jalan lahir yang harus dilewati oleh janin terdiri dari rongga panggul,
dasar panggul, serviks dan vagina. Syarat agar janin dan plasenta dapat melalui
jalan lahir tanpa ada rintangan, maka jalan lahir tersebut harus normal.
2. Power
Power adalah kekuatan atau tenaga untuk melahirkan yang terdiri dari his atau
kontraksi uterus dan tenaga meneran dari ibu. Power merupakan tenaga primer
atau kekuatan utama yang dihasilkan oleh adanya kontraksi dan retraksi otot-otot
rahim.
Kekuatan yang mendorong janin keluar (power) terdiri dari :
a. His (kontraksi otot uterus)
His adalah kontraksi uterus karena otot-otot polos rahim bekerja dengan baik
dan sempurna. Pada waktu kontraksi otototot rahim menguncup sehingga
menjadi tebal dan lebih pendek. Kavum uteri menjadi lebih kecil serta
mendorong janin dan kantung amneon ke arah segmen bawah rahim dan
serviks.
b. Kontraksi otot-otot dinding perut
c. Kontraksi diafragma pelvis atau kekuatan mengejan
d. Ketegangan dan ligmentous action terutama ligamentum rotundum
9
3. Passanger
a. Janin
Bagian yang paling besar dan keras dari janin adalah kepala janin. Posisi dan
besar kepala dapat mempengaruhi jalan persalinan.
b. Sikap (habitus)
Menunjukkan hubungan bagian-bagian janin dengan sumbu janin, biasanya
terhadap tulang punggungnya. Janin umumnya dalam sikap fleksi, di mana
kepala, tulang punggung, dan kaki dalam keadaan fleksi, serta lengan
bersilang di dada.
c. Letak janin
Letak janin adalah bagaimana sumbu panjang janin berada terhadap sumbu
ibu, misalnya letak lintang di mana sumbu janin sejajar dengan dengan sumbu
panjang ibu; ini bisa letak kepala, atau letak sungsang.
d. Presentasi
Presentasi digunakan untuk menentukan bagian janin yang ada di bagian
bawah rahim yang dapat dijumpai pada palpasi atau pemeriksaan dalam.
Misalnya presentasi kepala, presentasi bokong, presentasi bahu, dan lain-lain.
e. Posisi
Posisi merupakan indikator untuk menetapkan arah bagian terbawah janin
apakah sebelah kanan, kiri, depan atau belakang terhadap sumbu ibu
(maternal pelvis). Misalnya pada letak belakang kepala (LBK) ubun-ubun
kecil (UUK) kiri depan, UUK kanan belakang.
10
f. Placenta
Placenta juga harus melalui jalan lahir, ia juga dianggap sebagai penumpang
atau pasenger yang menyertai janin namun placenta jarang menghambat pada
persalinan normal.
4. Psikis (psikologis)
Perasaan positif berupa kelegaan hati, seolah-olah pada saat itulah benar-benar
terjadi realitas kewanitaan sejati yaitu munculnya rasa bangga bisa melahirkan
atau memproduksi anaknya. Mereka seolah-olah mendapatkan kepastian bahwa
kehamilan yang semula dianggap sebagai suatu keadaan yang belum pasti
sekarang menjadi hal yang nyata.
5. Penolong
Peran dari penolong persalinan dalam hal ini Bidan adalah mengantisipasi dan
menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin. Proses
tergantung dari kemampuan skill dan kesiapan penolong dalam menghadapi
proses persalinan.
2.1.5. Tanda-Tanda Persalinan
Menurut Sumarah (2009) membagi tanda persalinan sudah dekat, meliputi :
1. Terjadi His persalinan
His atau kontraksi uterus yang terjadi teratur, intervalnya makin pendek dan
kekuatannya makin besar, menimbulkan ketidaknyamanan yang disertai rasa sakit
pada pinggang yang menjalar ke depan di sekitar abdomen bawah berlanjut terus
11
semakin meningkat frekuensinya, mempunyai pengaruh terhadap perubahan
serviks dan makin beraktivitas maka kekuatannya makin bertambah.
2. Pengeluaran lendir dan darah (show)
Keluaran lendir bercampur darah (show) yang lebih banyak karena robekanrobekan pada kapiler pembuluh darah serviks yang diakibatkan oleh pendataran
dan pembukaan serviks.
3. Pendataran dan pembukaan serviks
Pendataran serviks adalah pemendekan dari kanalis servikalis yang semula berupa
sebuah saluran yang panjang 1-2 cm menjadi suatu lubang dengan pinggir yang
tipis, sedangkan pembukaan serviks dalah pembesaran dari ostium externum yang
berupa lubang dengan diameter beberapa milimeter menjadi lubang yang dapat
dilalui bayi kira-kira 10 cm.
4. Pengeluaran cairan
Ketuban pecah menimbulkan pengeluaran cairan. Sebagian besar ketuban baru
pecah menjelang pembukaan lengkap, dengan pecahnya ketuban diharapkan
persalinan akan berlangsung dalam waktu 24 jam.
5. Engagement presenting part
Kepala janin akan mengalami engagement atau terbenam ke dalam panggul. Pada
primigravida peristiwa ini terjadi 3-4 minggu sebelum proses persalinan dimulai.
6. Pembentukan tonjolan ketuban
Pembentukan tonjolan ketuban atau cairan amnion / ketuban yang terperangkap
dalam serviks di depan presenting part, tonjolan ini terasa tegang pada saat his
12
dan dapat mengalami ruptur. Ruptura selaput amnion dapat terjadi setiap saat
dalam proses persalinan, biasanya terjadi pada akhir kala satu persalinan.
7. Mekanisme Persalinan
Menurut Prawirohardjo (2008, p.310), pada minggu- minggu terakhir kehamilan,
segmen bawah lahir meluas untuk menerima kepala janin, terutama pada
primipara. Supaya janin dapat dilahirkan, janin harus beradaptasi dengan jalan
lahir selama proses penurunan. Putaran dan penyesuaian lain yang terjadi pada
proses kelahiran disebut mekanisme persalinan, yang terdiri dari :
1. Engagement
Apabila diameter biparietal kepala melewati pintu atas panggul, kepala
dikatakan telah menancap (engaged) pada pintu atas panggul. Pada wanita
multipara hal ini terjadi sebelum persalinan aktif dimulai karena otot-otot
abdomen masih tegang, sehingga bagian presentasi terdorong ke dalam
panggul.
2. Penurunan (decent)
Penurunan adalah gerakan bagian presentasi melewati panggul. Penurunan
terjadi akibat tiga kekuatan, yaitu :
a. Tekanan dari cairan amnion
b. Tekanan langsung kontraksi fundus pada janin
c. Kontraksi diafragma dan otot-otot abdomen ibu pada tahap kedua
persalinan
13
d. Pada kehamilan pertama, penurunan berlangsung lambat, tetapi kecepatan
sama.
3. Fleksi
Segera setelah kepala yang turun tertahan oleh serviks, dinding panggul, atau
dasar panggul, dalam keadaan normal fleksi terjadi dan dagu didekatkan ke
arah dada janin. Dengan fleksi, suboksipitobregmatika yang berdiameter lebih
kecil (9,5 cm) dapat masuk ke dalam pintu bawah panggul.
4. Putaran Paksi Dalam
Putaran paksi dalam dimulai pada bidang setinggi spina iskiadika, tetapi
putaran ini belum selesai sampai bagian presentasi mencapai panggul bagian
bawah.
5. Ekstensi
Saat kepala janin mencapai perineum, kepala akan defleksi ke arah anterior
oleh perineum. Mula-mula oksiput melewati permukaan bawah simfisis pubis,
kemudian kepala muncul keluar akibat ekstensi, pertama-tama oksiput,
kemudian wajah dan akhirnya dagu.
6. Restitusi dan putaran paksi luar
Setelah kepala lahir, bayi berputar hingga mencapai posisi yang sama dengan
saat ia memasuki pintu atas, gerakan ini dikenal sebagai restitusi. Putaran 450
membuat kepala janin kembali sejajar
14
2.2. Asfiksia
2.2.1. Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan
karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Manuaba, 2007). Asfiksia neonaturum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak
dapat bernapas spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2005).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang
timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul
(Manuaba, 2007).
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa asfiksia adalah
bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas secara spontan sehingga dibutuhkan
penanganan segera setelah bayi lahir agar tidak menimbulkan akibat buruk dalam
kelangsungan hidupnya .
2.2.2. Klasifikasi Asfiksia
Menurut Mochtar (2008), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam,
yaitu sebagai berikut :
15
a. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebirubiruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung
reguler, prognosis lebih baik.
b. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot
sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis
jelek.
Berikut ini adalah tabel APGAR score untuk menentukan Asfiksia (Ghai,
2010).
Tabel 2.1 Nilai APGAR
Nilai
Nafas
Denyut jantung
Warna kulit
Gerakan/
tonus
otot
Refleks
(menangis)
0
Tidak ada
Tidak ada
Biru/ pucat
Tidak ada
Tidak ada
1
Tidak teratur
< 100 x/mnt
Tubuh dan kaki
merah jambu,
tangan biru
Sedikit fleksi
Lemah/ lambat
2
Teratur
> 100 x/mnt
Merah jambu
Fleksi
Kuat
Sumber : (Ghai, 2010)
Menurut Mochtar (2008) setiap bayi baru lahir dievaluasi dengan nilai
APGAR, tabel tersebut di atas dapat digunakan untuk menentukan tingkat atau
derajat asfiksia, apakah ringan, sedang, atau asfiksia berat dengan klasifikasi sebagai
berikut:
16
1. Asfiksia berat (nilai Apgar 0-3)
Memerlukan resusitasi segera secara aktif, dan pemberian oksigen terkendali.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung 100x/menit, tonus otot
buruk, sianosis berat, dan terkadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada.
2. Asfiksia sedang (nilai Apgar 4-6)
Memerlukan resusitasi dan pemberian oksigen sampai bayi dapat bernapas
kembali. Pada pemeriksaan fisik ditemukan frekuensi jantung lebih dari
100X/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak
ada.
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia (nilai Apgar 7-10)
Bayi dianggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa.
2.2.3. Patofisiologi
Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa
hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan
yang bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor
pusat pernapasan untuk terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian
akan berlanjut menjadi pernapasan yang teratur. Pada penderita asfiksia berat usaha
napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat ini
disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula
penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid). Pada asfiksia berat bayi
tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara
spontan. Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas/transport O2 (menurunnya
17
tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila
gangguan berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi
sehingga
terjadi
asidosis
metabolik,
selanjutnya
akan
terjadi
perubahan
kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk
terhadap sel-sel otak, dimana kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian
atau gejala sisa (squele) (Depkes RI, 2005).
2.2.4. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia
janin. Menurut Saifuddin (2002) diagnosis hipoksia dapat dibuat ketika dalam
persalinan yakni saat ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu
mendapat perhatian antara lain :
a. Denyut jantung janin
Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai 160x/menit.
Selama his frekuensi tersebut bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada
keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak
artinya, namun apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 per menit di luar his
dan terlebih jika tidak teratur, hal tersebut merupakan tanda bahaya.
b. Mekonium dalam air ketuban
Pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan harus
menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada
presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal
tersebut dapat dilakukan dengan mudah.
18
c. Pemeriksaan darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan melalui servik yang dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah
tersebut diperiksa pH nya, adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila
pH turun sampai 7.2 hal tersebut dianggap sebagai tanda bahaya. Kelahiran yang
telah menunjukan tanda-tanda gawat janin dimungkinkan akan dissertai dengan
asfiksia neonatorum. Oleh karena itu perlu diadakan persiapan untuk menghadapi
keadaan tersebut jika terdapat asfiksia. Tingkatannya perlu diketahui untuk
melakukan tindakan resusitasi yang sempurna. Hal tersebut diketahui dengan
penilaian menurut APGAR. Untuk menentukan tingkat asfiksia dengan tepat
membutuhkan pengalaman dan observasi klinis serta penilaian yang tepat,
sehingga pada tahun 1953-1958 seorang bernama Virginia Apgar mengusulkan
beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan neonatus. Menurut Novita
(2011), nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit
sesudah bayi lahir. akan tetapi, penilaian bayi harus segera dimulai sesudah bayi
lahir. apabila memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut
jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus segera dilakukan. Nilai
APGAR dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Apabila nilai APGAR kurang dari 7 maka penilaian
nilai tambahan masih diperlukan yaitu 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua
kali penilaian menunjukan nilai 8 atau lebih. Penilaian untuk melakukan resusitasi
semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting yaitu pernafasan, denyut jantung,
19
dan warna kulit. Resusitasi yang efektif bertujuan memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen, dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan
oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya (Novita, 2011). Patokan klinis yang
dihitung meliputi menghitung frekuensi jantung, melihat usaha bernapas, menilai
tonus otot, menilai reflek rangsangan, memperlihatkan warna kulit. Setiap bayi
yang dilahirkan kemudian menangis biasanya hidup, sedangkan bayi lahir tidak
menangis biasanya cepat meninggal, hal tersebut dikemukakan oleh Virginia
Apgar. Oleh karenanya beliau membuat daftar penilaian dengan mengobservasi
pada menit pertama dan menit kelima setelah lahir. pada menit pertama untuk
menunjukan beratnya asfiksia dan menentukan kemungkinan hidup selanjutnya,
sedangkan menit kelima untuk menentukan gejala sisa (Ilyas, 2004).
2.2.5. Penanganan Pada Asfiksia Neonatorum
Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin.
Resusitasi dapat dilihat dariberat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara
menghitung nilai APGAR (Novita, 2011).
Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu
diingat adalah :
a.
Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran
pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu agar
oksigen dan pengeluaran CO2berjalan lancar.
b. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha
pernapasan lemah.
20
c. Melakukan koreksi terhadap asidosisyang terjadi.
d. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.
Menurut Ilyas (2004), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi
sebagai berikut :
a. Meja resusitasi dengan kemiringan kurang dari 10 derajat.
b. Guling kecil untuk menyangga/ekstensi
c. Lampu untuk memanaskan badan bayi
d. Penghisap slim
e. Oksigen
f. Spuit ukuran 2,5cc atau 10cc
g. Penlon back atau penlon masker
h.
ETT (endo trakheal tube)
i. Laringoskop
j. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%, kalsium
glukonas, dekstrose 5%, dan infus set).
Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia.
Penatalaksanaan penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk mempertahankan
kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa.
e. Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10)
Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian lingkungan suhu
yang baik pada bayi, pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa
darah, jika diperlukan memberikan rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh,
21
apabila cenderung turun untuk sementara waktu dapat dimasukan kedalam
inkubator.
f. Asfiksia sedang (skor apgar 4-6)
Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian membersihkan
jalan nafas. Melakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam 3060 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera
dimulai.Ventilasi yang aktif yang sederhana dapat dilakukan secara „frog
brething’. Cara tersebut dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal dan
O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakan
dalam posisi dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan
rangsangan pernapasan dengan menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil
juga maka pasang penlon masker kemudian di pompa 60x/menit. Bila bayi sudah
mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi natrium bikarbonat
7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2
cc/kg berat badan dan diberikan melalui umbilikalis.
g. Asfiksia berat (skor apgar 0-3)
Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas sambil
memompa jalan nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5 liter/menit. Apabila
tidak berhasil biasanya dipasang ETT (endo tracheal tube), selanjutnya bersihkan
jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi bernafas namun masih sianosis maka
berikan tindakan kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc dan
22
dektrose 40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk ICU
dan infus terlebih dahulu.
2.2.6. Faktor Risiko Penyebab Asfiksia Neonatorum
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia
bayi di dalam rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi
asfiksia bayi baru lahir (Prawiroharjo, 2005). Beberapa faktor tertentu diketahui dapat
menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya faktor Ibu,
faktor plasenta, faktor bayi, dan faktor persalinan.
1. Faktor Ibu
a. Umur Ibu
Bagian komponen dari status reproduksi adalah umur ibu dan jumlah paritas
atau jumlah persalinan. Menurut Chi, dkk (2009), pada kelompok ibu berumur
20-30 tahun angka kematian ibu lebih rendah dibanding dengan kelompok ibu
berumur kurang dari 20 tahun, dan dibanding dengan kelompok ibu berumur
35 tahun atau lebih. Umur, tinggi badan dan berat badan wanita merupakan
faktor risiko kehamilan. Wanita yang berumur 15 tahun atau lebih muda
meningkatkan risiko preeklamsi (sebuah tipe tekanan darah tinggi yang
berkembang selama kehamilan). Wanita yang berumur 35 tahun atau lebih
meningkat risikonya dalam masalah-masalah seperti tekanan darah tinggi,
gestasional diabetes (diabetes yang berkembang pada saat kehamilan) dan
komplikasi selama kehamilan (Bobak, 2005). Pada umur kurang dari 20
23
tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan sempurna, sehingga
bila terjadi kehamilan dan persalinan akan mudah mengalami komplikasi.
Selain itu, kekuatan otot-otot perineum dan otot-otot perut belum bekerja
secara optimal (Saifuddin, 2006).
b. Hipertensi pada Kehamilan
Hipertensi adalah tekanan darah lebih tinggi dari tekanan darah normal yang
berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hipertensi pada kehamilan
merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan fetus.
Klasifikasi hipertensi pada kehamilan menurut The Seven Of The Joint
National Committee on Prevention, Detection Evaluation and Treatment of
High Blood Pressure (JNC VII) dibagi atas 5 kategori yaitu:
1. Hipertensi kronik, yaitu tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan
diastolic ≤ 90 mmHg sebelum kehamilan atau sebelum 20 minggu gestasi,
menetap sampai 12 minggu atau lebih postpartum.
2. Preeklamsi tekanan darah sistolik 140/90 mmHg atau tekanan diastolic ≤
90 mmHg dengan proteniuria (300mg/ 24jam) setelah 20 minggu gestasi.
Dapat berkembang menjadi eklamsi (kejang). Sering terjadi pada wanita
nullipara, multiple gestasi, wanita dengan riwayat preeklamsi, dan wanita
dengan riwayat penyakit ginjal.
3. Hipertensi kronik dengan superimposed preeklamsi adanya protenuria
muncul setelah 20 minggu protein naik tiba- tiba 2-3 kali lipat, tekanan
darah meningkat tiba- tiba peninggian SGOT-SGPT.
24
4. Gestasional hipertensi yaitu hipertensi tanpa proteinuria timbul setelah 20
minggu gestasi.
5. Transien hipertensi diagnose retrospektif. Tekanan darah normal dalam 12
minggu postpartum, dan dapat berulang pada kehamilan.
Preeklampsi
dan
eklampsia
dapat
mengakibatkan
keterlambatan
pertumbuhan janin dalam kandungan atau Intrauterine Growth Restriction
(IUGR) dan kelahiran mati. Hal ini disebabkan karena preeklampsia dan
eklampsiapada ibu akan menyebabkan perkapuran didaerah plasenta,
sedangkan bayi memperoleh makanan dan oksigen dari plasenta, dengan
adanya perkapuran didaerah plasenta, suplai makanan dan oksigen yang
masuk ke janin berkurang (Wiknjosastro, 2005).
c. Pendarahan antepartum
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pada kehamilan di atas 22
minggu hingga menjelang persalinan yaitu sebelum bayi dilahirkan.
Komplikasi utama dari perdarahan antepartum adalah perdarahan yang
menyebabkan anemia dan syok yang menyebabkan keadaan ibu semakin
jelek. Keadaan ini yang menyebabkan gangguan ke plasenta yang
mengakibatkan anemia pada janin bahkan terjadi syok intrauterin yang
mengakibatkan kematian janin intrauterine. Bila janin dapat diselamatkan,
dapat terjadi berat badan lahir rendah, sindrom gagal napas dan komplikasi
asfiksia (Wiknjosastro, 2005).
25
1. Perdarahan pada Trimester I
Sekitar 20% wanita hamil mengalami perdarahan pada awal kehamilan
dan separohnya mengalami abortus. Abortus adalah pengeluaran hasil
pembuahan (konsepsi) dengan berat badan janin <500 gram atau
kehamilan kurang dari 20 minggu.
2. Perdarahan pada Trimester II
Pada Trimester II kehamilan perdarahan sering disebabkan partus
prematurus, solusio plasenta, mola dan inkompetensi serviks.
3. Perdarahan pada Trimester III
Pada Trimester III (perdarahan antepartum) adalah perdarahan setelah 29
minggu atau lebih. Perdarahan disini lebih berbahaya dibanding umur
kehamilan kurang dari 28 minggu, sebab faktor plasenta, dimana
perdarahan plasenta biasanya hebat sehingga mengganggu sirkulasi O2
dan CO2 serta nutrisi dari ibu kepada janin.
a. Plasenta Previa
Ini adalah plasenta yang terletak pada segmen bawah rahim, sehingga
menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum. Bila usia
kehamilan 37 minggu, perdarahan sedikit sedangkan keadaan ibu dan
anak baik, maka dapat dipertahankan sampai aterm. Bila perdarahan
banyak hendaknya segera mengahiri kehamilan misalnya dengan
persalinan perabdominal (sectio caesarea) (Farrer, 2001).
26
b. Solusio Plasenta
Terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta, pada lokalisasi yang
normal, sebelum janin lahir pada umur kehamilan 20 minggu atau
lebih. Atau terlepasnya plasenta pada fungus/korpus uteri sebelum
janin lahir. Pasien yang mengalami resiko tinggi adalah primi tua,
multiparitas, hipertensi, eklamsi, preklamsi dan perokok. Komplikasi
pada solusio plasenta biasanya adalah berhubungan dengan banyaknya
darah yang hilang, infeksi, syok neurogenik oleh karena kesakitan,
gangguan pembekuan darah dan gagal ginjal akut. Pada janin akan
terjadi asfiksi, prematur, infeksi dan berat badan lahir rendah (Farrer,
2001).
c. Demam selama persalinan infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
Penyakit-penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri dan parasit
seperti toksoplasmosism penyakit hubungan kelamin dan oleh virus
seperti HIV/AIDS dapat menyebabkan terjadinya kelainan kongenital
pada janin dan kelainan jalan lahir (Manuaba, 2007).
d. Kehamilan postdate (sesudah 42 minggu kehamilan). Kehamilan yang
melampaui usia 292 hari (42 minggu) dengan gejala kemungkinan
komplikasinya.
e. Amnionitis
Amnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil dimana korion,
amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri. Amnionitis
27
merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan janin, bahkan dapat
berlanjut
menjadi
sepsis
(Prawirohardjo,
2008).
Membran
khorioamnionitik terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan
ini dipacu oleh persalinan atau infeksi maka jaringan akan menipis dan
sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya aktivitas enzim
kolagenolitik. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering
menyebabkan amnionitis. Selain itu Bacteroides fragilis, Lactobacilli
dan Staphylococcus epidermidis adalah bakteri-bakteri yang sering
ditemukan pada cairan ketuban pada kehamilan preterm. Bakteribakteri
tersebut
dapat
melepaskan
mediator
inflamasi
yang
menyebabkan kontraksi uterus. Hal ini menyebabkan adanya
perubahan dan pembukaan serviks, dan pecahnya selaput ketuban
(Varney, 2007).
f. Anemia
Anemia merupakan suatu keadaan dimana jumlah eritrosit yang
beredar atau konsentrasi hemoglobin (Hb) menurun. Sebagai
akibatnya, ada penurunan transportasi oksigen dari paru ke jaringan
perifer. Kemampuan transportasi oksigen semakin turun sehingga
konsumsi oksigen janin tidak terpenuhi. Selama kehamilan, anemia
lazim terjadi dan biasanya disebabkan oleh defisiensi besi sekunder
terhadap kehilangan darah sebelumnya atau masukan besi yang tidak
adekuat. Seseorang dikatakan anemia bila kadar hemoglobin (Hb) <10
28
gr% disebut anemia berat, dan bila kadar Hb <6 gr% disebut anemia
gravis. Batas anemia pada ibu hamil di Indonesia adalah <11 gr%
(Manuaba, 2007).
g. Paritas
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang
mampu hidup diluar rahim (28 minggu). Sedangkan menurut Manuaba
(2007), paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.
Klasifikasi paritas antara lain:
1. Primipara
Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang
cukup besar untuk hidup di dunia luar.
2. Multipara
Multipara adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih.
3. Grandemultipara
Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang
anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan
dan persalinan.
2. Faktor plasenta
Plasenta merupakan akar janin untuk menghisap nutrisi dari ibu dalam bentuk O2,
asam amino, vitamin, mineral dan zat lain dan membuang sisa metabolisme janin
dan O2. Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas kondisi
plasenta. Gangguan pertukaran gas di plasenta yang akan menyebabkan asfiksia
29
janin. Fungsi plasenta akan berkurang sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan O2 dan memberikan nutrisi pada metabolisme janin. Asfiksia janin
terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta. Kemampuan untuk
transportasi O2 dan membuang CO2 tidak cukup sehingga metabolisme janin
berubah menjadi anaerob dan akhirnya asidosis dan PH darah turun (Mochtar,
2008). Dapat terjadi pada situasi :
a. Lilitan tali pusat.
b. Tali pusat pendek.
c. Simpul tali pusat.
d. Prolapsus tali pusat.
3. Faktor Bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan).
Prematuritas adalah kelahiran hidup bayi dengan berat < 2500 gram (Cone,
2005). Kriteria ini dipakai terus secara luas, sampai tampak bahwa ada
perbedaan antara usia hamil dan berat lahir yang disebabkan adanya hambatan
pertumbuhan janin. WHO (2001) menambahkan bahwa usia hamil sebagai
kriteria untuk bayi prematur adalah yang lahir sebelum 37 minggu dengan
berat lahir dibawah 2500 gram. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan
alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup diluar
rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang
sempurna, prognosis juga semakin buruk. Karena masih belum berfungsinya
30
organ-organ tubuh secara sempurna seperti sistem pernafasan maka terjadilah
asfiksia.
b. Berat Bayi Lahir (BBL)
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang baru lahir yang berat
badannya saat lahir kurang dari 2500 gram. Berkaitan dengan penanganan dan
harapan hidupnya. Menurut Prawirohardjo (2005), bayi berat lahir rendah
dibedakan dalam:
1. Bayi dengan berat badan lahir rendah, berat lahir 1500-2500 gram.
2. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah, berat lahir 1000-1500 gram.
3. Bayi dengan berat badan lahir ekstra rendah, berat lahir <1000 gram.
Sejak tahun 1961 WHO telah mengganti istilah Premature Baby dengan Low
Birth Weight Baby (bayi dengan berat badan lahir rendah), dan kemudian
WHO merubah ketentuan tersebut pada tahun 1977 yang semula kriteria
BBLR adalah ≤ 2500 gram menjadi hanya < 2500 gram tanpa melihat usia
kehamilan.
c. Kelainan bawaan (kongenital), misalnya hernia diafragmatika, atresia/
stenosis pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan). Janin yang mengalami
hipoksia atau gangguan suplai oksigen dapat menyebabkan meningkatnya
gerakan usus sehingga mekonium (tinja janin) akan dikeluarkan dari dalam
usus kedalam cairan ketuban yang mengelilingi bayi didalam rahim.
31
Mekonium ini kemudian bercampur dengan air ketuban dan membuat ketuban
berwarna hijau dan kekentalan yang bervariasi.
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu:
a. Pemakaian obat analgesi/ anastesi yang berlebihan sehingga ibu secara
langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin. Analgesia dan
anastesi obstetrik maternal diberikan untuk menghilangkan nyeri akibat
kontraksi uterus dan pelahiran pervaginam atau perabdominam. Idealnya
analgesia dan anastesia obstetrik tidak boleh memperburuk kontraksi uterus,
usaha meneran ibu atau mengganggu kesejahteraan ibu dan janin (Saifuddin,
2006).
b. Trauma persalinan, misalnya perdarahan intrakranial.
5. Faktor Persalinan
Persalinan adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari
uterus melalui vagina ke dunia luar. Letak sungsang merupakan keadaan dimana
janin terletak memanjang/ membujur dengan kepala di fundus uteri sedangkan
bokong dibagian bawah kavum uteri (Mochtar, 2008).
a. Klasifikasi
1. Presentasi bokong (Frank breech) (50-70%).
Pada presentasi bokong akibat ekstensi kedua sendi lutut, kedua kaki
terangkat ke atas sehingga ujungnya terdapat setinggi bahu atau kepala
32
janin.Dengan demikian pada pemeriksaan dalam hanya dapat diraba
bokong.
2. Presentasi bokong kaki sempurna (Complete breech) ( 5-10%).
Pada presentasi bokong kaki sempurna disamping bokong dapat diraba
kaki.
3. Presentasi bokong kaki tidak sempurna dan presentasi kaki (Incomplete or
footling) (10-30%).
Pada presentasi bokong kaki tidak sempurna hanya terdapat satu kaki di
samping bokong, sedangkan kaki yang lain terangkat ke atas. Pada
presentasi kaki bagian paling rendah adalah satu atau dua kaki.
b. Diagnosis
1. Palpasi : kepala teraba di fundus, bagian bawah bokong dan punggung di
kiri atau kanan.
2. Auskultasi: Denyut Jantung Janin (DJJ) paling jelas terdengar pada tempat
yang lebih tinggi dari pusat.
3. Pemeriksaan dalam: dapat diraba os sakrum, tuber ischii, dan anus,
kadang-kadang kaki.
4. Pemeriksaan abdomen : perasat Leopold I-IV
5. USG: USG idealnya digunakan untuk memastikan perkiraan klinis
presentasi bokong dan, bila mungkin, untuk mendeteksi anomali janin.
6. Foto sinar-X (rontgen) : bayangan kepala di fundus (Manuaba, 2007).
33
2.3. Kerangka Konsep
Variabel Independent
Jenis Persalinan
Variabel Dependent
Kejadian Asfiksia
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
2.4. Hipotesis Penelitian
1.
Ada hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan
Batu Utara.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. JenisPenelitian
Jenis penelitian yang digunakan didalam penelitian ini adalah penelitian
survey yang bersifat analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu bertujuan untuk
menganalisis hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di Puskesmas
Labuhan Batu Utara.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Labuhan Batu Utara.
1.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei 2015
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin yang ada di
Puskesmas Labuhan Batu Utara sebanyak 85 orang.
3.3.2. Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan menjadi
sampel (total sampling) yaitu 85 orang.
34
35
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
a. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data-data
demografi dari dokumen atau catatan yang diperoleh dari Puskesmas Labuhan Batu
Utara.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Independent
1. Jenis persalinan adalah cara pengeluaran janin dri rahim ibu ke luar kandungan.
Kategori Jenis Persalinan : 0. Spontan
1. Buatan
2. Asfiksia adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas spontan dan
teratur dalam satu menit setelah lahir
Kategori Asfiksia : 0. Tidak Asfiksia
1. Asfiksia
3.6. Metode Pengukuran
Tabel 3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur
Variabel
Jenis Persalinan
Asfiksia
Cara dan
Skala
Hasil Ukur
Alat Ukur
Ukur
Wawancara Ordinal 0. Spontan
(kuesioner)
1. Buatan
Wawancara Ordinal 0. Tidak Asfiksia
(kuesioner)
1. Asfiksia
36
3.7. Metode Analisis Data
3.7.1. Analisis Univariat
Analisis data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
variabel independen jenis persalinan sedangkan variabel dependen yaitu asfiksia.
3.7.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan jenis
persalinan dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara dengan
menggunakan statistik uji chi-square kemudian hasilnya dinarasikan.
37
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Labuhan Batu Utara terletak di Kabupaten Labuhan Batu Utara.
Secara geografis Puskesmas Labuhan Batu Utara mempunyai luas wilayah 234 km2 .
4.2. Analisis Univariat
Analisis univariat yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: jenis persalinan
dan kejadian asfiksia.
4.2.1. Jenis Persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara
Untuk melihat jenis persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara dapat
dilihat pada Tabel 4.1 :
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Jenis Persalinan di Puskesmas Labuhan Batu
Utara
No Jenis Persalinan
1 Spontan
2 Buatan
Jumlah
f
50
35
85
%
58,8
41,2
100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa jenis persalinan di Puskesmas
Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan persalinan spontan sebanyak 50 orang
(58,8%) dan lebih sedikit dengan persalinan buatan sebanyak 35 orang (41,2%).
37
38
4.2.2. Kejadian Asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara
Untuk melihat kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara dapat
dilihat pada Tabel 4.2 :
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Kejadian Asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu
Utara
No Kejadian Asfiksia
1 Tidak Asfiksia
2 Asfiksia
Jumlah
f
49
36
85
%
57,6
42,4
100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa kejadian asfiksia di
Puskesmas Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan tidak asfiksia sebanyak 49
orang (57,6%) dan lebih sedikit dengan asfiksia sebanyak 36 orang (42,4%).
4.3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan jenis persalinan
dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara dengan menggunakan
statistik uji chi-square kemudian hasilnya dinarasikan.
Berdasarkan hasil analisis bivariat antara variabel hubungan jenis persalinan
dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara tahun 2015 dapat dilihat
dibawah ini :
4.3.1. Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Asfiksia di Puskesmas
Labuhan Batu Utara Tahun 2015
Untuk melihat hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di
Puskesmas Labuhan Batu Utara tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.3 :
39
Tabel 4.3. Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Asfiksia di Puskesmas
Labuhan Batu Utara Tahun 2015
No
1
2
Jenis Persalinan
Spontan
Buatan
Kejadian Asfiksia
Tidak Asfiksia
Asfiksia
n
%
n
%
37
74,0
13
26,0
12
34,3
23
65,7
Total
n
%
50 100
35 100
P
value
0,001
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa hubungan jenis persalinan
dengan kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara diperoleh bahwa dari 50
orang dengan jenis persalinan spontan terdapat tidak asfiksia sebanyak 37 orang
(74,0%) dan kejadian asfiksia sebanyak 13 orang (26,0%). Sedangkan diantara jenis
persalinan buatan terdapat tidak asfiksia sebanyak 12 orang (34,3%) dan kejadian
asfiksia sebanyak 23 orang (65,7%). Hasil uji statistik chi square menunjukkan
bahwa nilai p < 0,001 maka dapat disimpulkan ada hubungan jenis persalinan dengan
kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara tahun 2015.
40
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Jenis Persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara
Jenis persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan
persalinan spontan sebanyak 50 orang (58,8%) dan lebih sedikit dengan persalinan
buatan sebanyak 35 orang (41,2%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat
dijelaskan bahwa jenis persalinan buatan cukup tinggi. Keadaan ini perlu menjadi
perhatian karena tingginya persalinan buatan yang dapat berakibat buruk terhadap
bayi.
5.2. Kejadian Asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan
Batu Utara kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan
tidak asfiksia sebanyak 49 orang (57,6%) dan lebih sedikit dengan asfiksia sebanyak
36 orang (42,4%). Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa
kejadian asfiksia cukup tinggi. Keadaan ini perlu menjadi perhatian karena tingginya
kejadian asfiksia yang dapat berakibat buruk terhadap bayi. Untuk itu perlu
penanganan yang tanggang terhadap bayi untuk mencegah hal-hal yang buruk terjadi.
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas
spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan
karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
40
41
(Manuaba, 2007). Asfiksia neonaturum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak
dapat bernapas spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer, 2005).
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh
hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang
timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat
asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara
sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan
kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul
(Manuaba, 2007).
Penanganan asfiksia neonatorum biasanya merupakan kelanjutan dari
anoksia/hipoksia janin. Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi
yang perlu diingat adalah memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan
mengusahakan saluran pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya
pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO2 berjalan lancar, memberikan
bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan
lemah, melakukan koreksi terhadap asidosisyang terjadi dan menjaga agar sirkulasi
darah tetap baik.
42
5.3. Hubungan Jenis Persalinan dengan Kejadian Asfiksia di Puskesmas
Labuhan Batu Utara Tahun 2015
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis persalinan dengan kejadian asfiksia
di Puskesmas Labuhan Batu Utara diperoleh bahwa dari 50 orang dengan jenis
persalinan spontan terdapat tidak asfiksia sebanyak 37 orang (74,0%) dan kejadian
asfiksia sebanyak 13 orang (26,0%). Sedangkan diantara jenis persalinan buatan
terdapat tidak asfiksia sebanyak 12 orang (34,3%) dan kejadian asfiksia sebanyak 23
orang (65,7%). Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p < 0,001
maka dapat disimpulkan ada hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di
Puskesmas Labuhan Batu Utara tahun 2015.
Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya di Rumah Sakit Dr. Hasan
Sadikin, Bandung dimana dari 62 anak yang memenuhi kriteria penelitian jenis
kelamin laki-laki (56%) lebih banyak dibandingkan dengan perempuan (44%).
Asfiksia neonatorum lebih banyak terjadi pada bayi laki-laki diduga terkait dengan
perbedaan steroid gonad in utero sehingga kemampuan fetus laki-laki menghadapi
stres lebih rendah (Indra JM, 2011).
Penelitian ini lain yaitu menurut penelitian Zulkarnain (2013) bahwa hasil uji
chi-square didapatkan adanya hubungan bermakna dari hubungan jenis persalinan
dengan asfiksia noenatorum (P=0,00). Hasil penelitian sebelumnya di RSUD Dr.
Soetomo Surabaya pada periode Agustus-September 2009 juga meneliti hal yang
sama dan menemukan bayi baru lahir dengan persalinan seksio sesarea yang
43
mengalami asfiksia sebanyak 8,03% sedangkan bayi baru lahir dengan persalinan
spontan yang mengalami asfiksia sebanyak 2,47%.
Penelitian lainnya juga dilakukan di Rumah Sakit Umum Haji Adam Malik,
Medan dari tahun 2007 hingga 2010, berdasarkan cara lahir, proporsi terbesar adalah
dengan seksio sesarea yaitu 53.7% dan yang paling sedikit ialah yang lahir secara
normal yaitu 19.5%. Hal ini disebabkan seksio sesarea yang diputuskan mendadak
(CITO), tanpa perawatan pre-operatif yang memadai, dan tanpa direncanakan
sebelumnya. Artinya seksio sesarea dilakukan apabila ibu maupun janin dalam
keadaan darurat misalnya gawat janin, kelainan letak janin, eklamsia dan
preeklamsia, partus lama, panggul sempit. ketuban pecah dini, oligohidramnion,
makrosomia, dan cephalopelvic disproportion. Sedangkan ekstraksi forseps terendah
di akibatkan jenis persalinan ini sangat berisiko terjadinya komplikasi seperti fraktur
pada tulang kepala janin, luka pada kulit kepala janin, trauma jalan lahir, dan infeksi
pasca persalinan sehingga sudah jarang digunakan (Maleeny P, 2012).
44
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1.
Jenis persalinan di Puskesmas Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan
persalinan spontan sebanyak 50 orang (58,8%) dan lebih sedikit dengan
persalinan buatan sebanyak 35 orang (41,2%).
2.
Kejadian asfiksia di Puskesmas Labuhan Batu Utara kejadian asfiksia di
Puskesmas Labuhan Batu Utara lebih banyak dengan tidak asfiksia sebanyak 49
orang (57,6%) dan lebih sedikit dengan asfiksia sebanyak 36 orang (42,4%).
3.
Terdapat hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di Puskesmas
Labuhan Batu Utara tahun 2015
6.2. Saran
1. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat terutama pada ibu hamil tentang
asfiksia neonatorum agar dapat mencegah terjadinya asfiksia neonatorum.
2. Tersedianya sarana resusitasi dan peningkatan tenaga kesahatan yang terampil
agar untuk meminimalkan mortalitas dan morbiditas.
44
45
DAFTAR PUSTAKA
Rusepno H, Husein A. Asfiksia neonatorum. Buku kuliah IKA 3.Bagian IKA FKUI
1985. h1072.
Markum AH, Sofyan I, Husein A, Arwin A, Agus F, Sudigdo S. Asfiksia bayi baru
lahir. Buku ajar IKA jilid 1.Bagian IKA FKUI Jakarta, 2002.h261-262.
Vera MM, Idham A. Gangguan fungsi multi organ pada bayi asfiksia berat. Sari
Pediatri. 2003;5;(2):72-78.
Angka kejadian asfiksia neonatorum menurut WHO, diunduh di : http://www.who.int
/bulletin /volumes/86/4/07-049924/en/
Lawn JE, Cousens S, Zupan J: Lancet Neonatal Survival Steering Team. 4 million
neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet 2005; 365 (9462):891 –900.
London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still major
killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April), doi:10.1136 /bmj .330
.7494.748-g.
Adhie NR, MS Kosim, Heru M. Asfiksia neonatorum sebagai faktor risiko gagal
ginjal akut. Sari Pediatri. 2012;13(5):305-10.
Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan
Dasar 2007. Jakarta: Departemen Kesehatan RI; 2008.h. 323
Neneng YBS. Hubungan jenis persalinan dengan kejadian asfiksia di RSUD dr.M
Soewandhie Surabaya. Diunduh di :http://alumni.unair. ac.id/kumpulanfile
/59123815491_abs.pdf.
Indra JM, Dadang HS, Sjarif HE. Kesesuaian Skor New Ballard terhadap Hari
Pertama Haid Terakhir Ibu pada Bayi Cukup Bulan yang Lahir Asfiksia dan
Tidak Asfiksia. J Indon Med Assoc, Volum: 61, Nomor: 10, Oktober 2011.
Hendrick B. Premature births decline in US [Internet] 2010 ; diunduh 3 Februari
2011. Diakses dari: http://www.medscape.com/viewarticle/721675.
45
46
Dwi CF. Hubungan antara jenis persalinan seksio sesarea terhadap kejadian asfiksia
pada bayi baru lahir. Diunduh di :http://alumni.unair.ac.id/ kumpulanfile/
44538815718_abs.pdf
Maleeny P. Gambaran Asfiksia Neonatorum pada Bayi Baru Lahir di RSU Haji
Adam Malik, Medan. Diunduh di : http://repository.usu.ac.id/ bitstream/
123456789 /31055/7/Cover.pdf
47
Lampiran 1
DAFTAR CHEKLIST
HUBUNGAN JENIS PERSALINAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA
DI PUSKESMAS LABUHAN BATU UTARA
A. Indentitas Responden
1. Nomor
: …………….
2. Nama
: …………….
B. Jenis Persalinan
1. Jenis persalinan :
a. Spontan
b. Buatan
C. Kejadian Asfiksia
a. Asfiksia
b. Tidak Asfiksia
47
48
Frequencies
Jenis Persalinan
Valid Spontan
Buatan
Total
Frequency
50
35
85
Percent
58.8
41.2
100.0
Valid Percent
58.8
41.2
100.0
Cumulative
Percent
58.8
100.0
Kejadian Asfiksia
Valid Tidak Asfiksia
Asfiksia
Total
Frequency
49
36
85
Percent
57.6
42.4
100.0
Valid
Percent
57.6
42.4
100.0
Cumulative
Percent
57.6
100.0
49
Crosstabs
Jenis Persalinan * Kejadian Asfiksia
Kejadian Asfiksia
Tidak Asfiksia
Asfiksia
Jenis
Spontan
Count
7
3
Persalinan
Expected Count
5.4
7.6
% within Jenis
70.0%
30.0%
Persalinan
Buatan
Count
4
31
Expected Count
8.6
26.4
% within Jenis
11.4%
88.6%
Persalinan
Total
Count
11
34
Expected Count
11.0
34.0
% within Jenis
24.4%
75.6%
Persalinan
Chi-Square Tests
Asymp. Sig.
Value
df
(2-sided)
a
14.447
1
.000
11.450
1
.001
Pearson Chi-Square
Continuity
Correctionb
Likelihood Ratio
12.959
1
.000
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
14.126
1
.000
Association
N of Valid Cases
45
a. 0 cells (0.0%) have expected count less than 5.
b. Computed only for a 2x2 table
Exact Sig.
(2-sided)
.001
Total
10
10.0
100.0%
35
35.0
100.0%
45
45.0
100.0%
Exact Sig.
(1-sided)
.001
Download