PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP KADAR VITAMIN A SERUM KAITANNYA DENGAN RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA WANITA USIA PRODUKTIF Oleh : FIRDAUS A54104053 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP KADAR VITAMIN A SERUM KAITANNYA DENGAN RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA WANITA USIA PRODUKTIF SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh: Firdaus A54104053 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 JUDUL : PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP KADAR VITAMIN A SERUM KAITANNYA DENGAN RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA WANITA USIA PRODUKTIF Nama Mahasiswa : Firdaus Nomor Pokok : A54104053 Disetujui, Dosen Pembimbing Dr. Rimbawan NIP. 131 629 744 Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr. NIP. 131 124 019 Tanggal lulus: RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bekasi, tepatnya di kampung Bulak Temu pada tanggal 08 Desember 1985 dari ayah Muhammad Namun dan Ibu Hj. Esah. Penulis merupakan putra ke-7 dari delapan bersaudara. Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar pada tahun 1992, di SD Negeri 1 Bulak Temu, lulus pada tahun 1998, kemudian dilanjutkan ke SMP Negeri 1 Sukatani lulus pada tahun 2002. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi di SMU Negeri 1 Cikarang Utara, lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis mengikuti seleksi untuk masuk IPB melalui jalur undangan seleksi masuk IPB (USMI), dan diterima pada program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB. Selama kuliah penulis pernah menjabat sebagai ketua seminar gizi populer control yourself from 3 hypers “Kiat Sehat Mencegah dan Mengendalikan Hipertensi, Hiperkolesterol, dan Hiperglikemia”, penulis juga pernah mengikuti beberapa lomba program kreativitas mahasiswa (PKM), peserta pelatihan HACCP Industri makanan dan jasa makanan serta pengenalan ISO 22000-2005 tentang Standar Baru Keamanan Pangan dan juga panitia pada pelucuran Biosketsa Prof. Muhilal dan seminar Global Nutrition and Health Going Forward oleh Prof. Alfred Sommer. Penulis menyusun tugas akhir dengan judul Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral dan Asupan Zat Gizi Terhadap kadar Vitamin A Serum kaitannya dengan Respon Limfosit dan sel NK pada Wanita Usia Subur di bawah bimbingan Dr. Rimbawan, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian Institut Pertanan Bogor. PRAKATA Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat, hidayah dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada suri tauladan kita Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta keluarganya dan para sahabatnya. “Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada manusia” (HR. Tirmidzi). Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan teriring doa kepada semua pihak yang dengan keikhlasan telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini. Yakni kepada : 1. Dr. Rimbawan selaku pembimbing skripsi atas segala ilmu, arahan, masukan, perbaikan dan motivasi yang selama ini diberikan dan juga kesabaran dalam pembimbingan. Semoga apa yang telah dilakuakan menjadi sebuah amalan yang lebih disisi allah subhanahu wata’ala. 2. Kedua orang tua, Ayahanda Muhammad Namun (Semoga Allah merahmatinya) dan Ibunda Hj. Esah atas segala kasih sayang dan didikan yang tiada henti serta jerih payah, usaha kesabaran dan pengorbanan yang tak terbalaskan. 3. Kakak-kakakku, Murtani, Nadih Pinardi, Dulgani, Siti Maemunah, Pidana, Murdiono dan adikku Mardiana Febrianti serta kakak-kakak Iparku, teh Warni, teh Lia, teh Evi dan teh Husna atas perhatian, kesabaran motivasi dan dukungan baik materil maupun moril yang diberikan selama ini kepada penulis. 4. Keponakan-keponakanku, Ismail, Arman, Salsabila, Ahmad Dai, Nurkholifah, Hanun Hanifah, Effendi, Nurdilah Zahrotunnisa, Oktamevia Nurhandiani Salsabila, keisya adelia Suci Nuradhamira dan Nayla atas canda tawa dan keceriaan yang menjadi dorongan semangat bagi penulis untuk dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Keluarga Bapak Dr. Nuraidi dan Ibu Fitrah Ernawati MSc atas segala bantuan selama penelitian, ilmu, sumber-sumber acuan pustaka yang diberikan kepada penulis dan masukan-masukan dalam hal metode dan pembahasan, terutama solusi-solusi bagi penulis sehingga dapat memperlancar penyelesaian skripsi ini serta, kesabaran dalam memberikan arahan dan juga kesediaan dalam mewakili pembimbing pada saat seminar. 6. PT. Bayer Indonesia yang telah memdanai penelitian ini, 7. Dosen dan Staf tata usaha departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga atas segala ilmu dan bantuan serta dukungan selama 4,5 tahun masa studi. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 8. Dr. Ikeu Tanzih, Ms selaku pembimbing akademik atas bimbingan, masukan bagi penulis selama menempuh perkuliahan. 9. Alia, Mba Ririn, bu Tri, Bu Sondang, dr. Rustam, Mba Ega, Mba Yussi, Kak Juzmarwan atas segala bantuan selama penelitian, dorongan semangat dan motivasi yang telah diberikan. 10. Teknisi Laboratorium Makmal Terpadu FKUI : Dra. Eva Zakiyah, Mba Nilda, Mba Sri dan Mba Dewi atas canda tawa, motivasi dan kesabaran selama proses penelitian. 11. Mba Wida Suherman yang dengan kesediaannya telah mempermudah penulis dalam pencarian sumber-sumber pustaka. 12. Pemilik serta Segenap karyawan PT. Ricky Putra Globalindo TBk atas izin penelitian di perusahaan dan kesediaan karyawan sebagai responden penelitian, tanpa kalian penelitian ini tidak akan dapat berjalan. 13. Mba Ine Sri Handayani atas segala bantuan dan masukan bagi penulis serta ilmu dalam analisis statistik sehingga memperlancar penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 14. Keluarga bapak Husein dan Ibu Eni tempat penulis tinggal atas dukungan dan motivasi yang terus diberikan, dan juga cemilan yang sering diberikan pada saat proses penulisan. 15. Pak gatot dan Bu Gatot yang senantiasa menyediakan konsumsi untuk responden dan penulis, sehingga proses penelitian dapat berjalan baik, juga atas motivasi dan doa hingga tugas akhir ini selesai. 16. Teman-teman GMSK 41 yang telah banyak membantu selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi dan juga atas motivasi yang tak henti-hentinya diberikan yakni Yulia, Dewi kusumah, Ima, devita, Icha, rizka, bagus, dan teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini. 17. Teman-teman alih jenjang terutama mas Dian Gozali atas kesediaannya berbagi ilmu dan pengalaman, motivasi, semangat dan nilai-nilai persahabatan yang begitu erat sejak di tingkat awal perkuliahan serta kemauan dan usahanya yang keras untuk memperoleh sesuatu yang menjadi inspirasi bagi penulis untuk berusaha lebih baik lagi. 18. Teman-teman KKP desa Sirnajaya kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor : Raden Irsan, Prima adriyani, Tina Suhartini, Melina dan Sari Oktaviani atas kenangan yang manis dan kebersamaan yang singkat selama 2 bulan. 19. Mas Insan Kurnia Indra Efendi, fitri Ardi, Muhammad Maulana, khadi Kurniawan, Yogi Purno Yudho, Agung Sulistyo, Asep Sutya serta Dicka Arrachim atas segala bantuan, teladan dan kebersamaan serta ukhuwah islamiyah yang terjalin selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, semoga Allah membalas kebaikan mereka semua dan Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amien. Bogor, Januari 2009 Firdaus DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ................................................................................................... v DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x PENDAHULUAN 1 Latar Belakang.............................................................................................1 Tujuan ........................................................................................................ 3 Kegunaan................................................................................................... 4 TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................5 Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dengan Kesehatan ............................ 5 Vitamin A .................................................................................................. 5 Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh...................................................... 7 Fungsi Vitamin A ...................................................................................... 8 Pangan Sumber Vitamin A ....................................................................... 10 Kecukupan Vitamin A............................................................................... 11 Vitamin A kaitannya dengan Sistem Kekebalan Tubuh ........................... 12 Sistem Imunitas Spesifik dan Nonspesifik................................................ 13 Pola Konsumsi Pangan ............................................................................. 16 METODE PENELITIAN..............................................................................18 Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 18 Subyek Penelitian ...................................................................................... 18 Pemberian Suplemen.................................................................................. 20 Desain Penelitian dan Rancangan Percobaan ............................................ 21 Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 22 Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 23 Definisi Operasional................................................................................... 24 HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 26 Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 26 Karakteristik Responden ........................................................................... 29 Kategori Usia..................................................................................... 30 Status Ekonomi ................................................................................. 30 Besar Keluarga ................................................................................. 32 Tingkat Pendidikan Responden ........................................................ 33 Status Gizi Responden ..................................................................... 34 Frekuensi Konsumsi Responden ................................................................ 35 Frekuensi Konsumsi Sumber Karbohidrat ........................................ 35 Frekuensi Konsumsi Sumber Protein ................................................ 36 Frekuensi Konsumsi Sumber Buah-buahan ...................................... 38 Frekuensi Konsumsi Sayuran ............................................................ 39 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum (Retinol Serum) .......................................................................................... 40 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok Kontrol ...................................................................................................... 41 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo ............................................................................................... 41 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo + TT ..................................................................................... 42 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok Perlakuan .................................................................................................... 43 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum MVM ............................................................................................... 43 Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum MVM + TT...................................................................................... 44 Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Responden.............................. 50 Gambaran Imunitas Responden ...................................................... 50 Limfosit .................................................................................... 50 Sel NK ...................................................................................... 52 Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Kadar Imunitas Responden . 53 Limfosit ....................................................................................... 53 Sel NK ......................................................................................... 55 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 58 Kesimpulan................................................................................... 58 Saran ............................................................................................. 59 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 60 DAFTAR TABEL Halaman 1. Angka Kecukupan Vitamin A untuk Orang Indonesia (µg RE/hari) .......... 11 2. Efek Defisiensi Vitamin A pada Pertahanan Tubuh ................................... 13 3. Komposisi Suplemen Multivitamin Mineral............................................... 21 4. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Penelitian ............................................. 22 5. Kategori dan Variabel Data Responden ...................................................... 24 6. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Kategori Usia ............. 30 7. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Status Ekonomi.......... 31 8. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Jumlah Anggota Keluarga ..................................................................................................... 33 9. Sebaran Responden pada tiap Kelompok menurut Tingkat Pendidikan ..... 34 10. Sebaran Status Gizi Responden pada Tiap Kelompok menurut IMT (Kg/M2) ..................................................................................................... 35 11. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat per minggu ............................................................................ 36 12. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Nabati per minggu ..................................................................................... 37 13. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani per minggu ................................................................................... 37 14. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Buah-Buahan per minggu ............................................................................................... 38 15. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Sayuran per minggu . 39 16. Kadar Vitamin A Serum Sebelum (Baseline) Enam Minggu (intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) Perlakuan Suplementasi.......................... 40 17. Pengaruh Suplementasi erhadap Profil Imunitas ...................................... 52 18. Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Profil Imunitas.................... 56 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur Vitamin A dan Karotenoid ............................................................ 6 2. Alur Penelitian ............................................................................................ 20 3. Kadar Vitamin A Serum Kelompok Plasebo Sebelum (Baseline), Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ............................. 42 4. Kadar Vitamin A Serum Kelompok Plasebo + TT Sebelum (Baseline), Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ................... 43 5. Kadar Vitamin A Serum Kelompok MVM Sebelum (Baseline), Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ............................. 44 6. Kadar Vitamin A Serum Kelompok MVM + TT Sebelum (Baseline), Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ................... 45 7. Pengaruh Suplementasi terhadap Total Limfosit pada Sebelum, Enam Minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan Suplementasi .............................. 51 8. Pengaruh Suplementasi terhadap Jumlah Sel NK pada Sebelum, Enam Minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan Suplementasi .............................. 53 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Persetujuan Etik (Ethical Clearance) Penelitian ...................................... 66 2. Surat Persetujuan untuk Pemeriksaan (Informed Consent)....................... 67 3. Formulir Monitoring Intervensi Responden ............................................. 68 4. Kuisioner Identitas Responden, Antropometri, Sosial Ekonomi, Pemeriksaan Kesehatan Pemeriksaan Laboratorium, Pemeriksaan Klinis dan Food Frequencies Quostionare .............................................. 69 5. Sebaran Responden Menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat ............................................................................................... 74 6. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan Sumber Karbohidrat yakni : Nasi, Mie, Roti, Jagung, Biskuit dan Ubi Jalar........ 81 7. Uji Regresi antara Vitamin A Serum pada Sebelum Suplementasi (Baseline) dengan Pangan Sumber Karbohidrat Nasi ............................... 82 8. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber Protein Nabati antara lain : Tempe, Tahu dan Oncom .............................. 83 9. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber Protein Hewani antara lain : Telur, Ayam, Daging Sapi, hati sapi, Hati Ayam, Ikan Segar, Susu Bubuk dan Keju ........................................ 84 10. Uji Regresi antara Vitamin A Serum pada Sebelum Suplementasi (Baseline) dengan Pangan Sumber Protein Hewani yakni Daging Sapi, Hati Sapi dan Ikan Segar........................................................................... 85 11. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber Buah-Buahan yakni Jambu Biji, Pepaya dan Jeruk .................................. 87 12. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber Sayur-Sayuran yakni Bayam, Kangkung, Daun Singkong, Kacang Panjang, Selada Air, Sawi dan Daun Katuk ............................................................ 88 13. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Jumlah Sel NK pada Sebelum, Enam minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan . ..89 14. Uji Korelasi antara Kadar Serum Vitamin A pada Minggu Kesepuluh dengan Respon Sel NK pada Minggu Kesepuluh ..................................... 90 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat secara utuh dan menyeluruh. Tinggi rendahnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat dapat diukur dengan berbagai indikator yang secara makro sering dikenal dengan indikator kesejahteraan masyarakat (Syarif & Rustiawan, 1992). Pada saat ini perkembangan Indonesia memerlukan manusia-manusia yang siap bersaing karena pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu sumberdaya manusia yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan tujuan meningkatkan kualitas manusia tersebut diperlukan berbagai upaya, salah satunya dengan meningkatkan status gizi dan konsumsi pangan. Status gizi berperan dalam menentukan sukses tidaknya upaya peningkatan sumberdaya manusia. Konsumsi pangan merupakan faktor yang secara langsung berpengaruh terhadap status gizi. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya penyakit defisiensi zat gizi dan atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya kesehatan dan aktivitas atau produktivitas kerja. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 dan 2000, BPS mengemukakan kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur, yakni kelompok usia produktif dan usia 50 tahun keatas yang proporsinya terus meningkat. Diperkirakan pada tahun 2025 proporsi usia produktif yakni usia 15-64 tahun menjadi 68,4 persen, dengan wanita memiliki peningkatan persentasi jumlah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pria (Atmarita & Fallah, 2004). Wanita usia produktif merupakan salah satu sumber tenaga kerja terbanyak yang dimiliki negarai, sebagai TKI (tenaga kerja indonesia) mereka memberikan sumbangan devisa bagi negara yang terus meningkat dari tahun ke tahun (Anonim, 2008). Tingginya aktivitas kerja, pola makan yang tidak beragam dan tidak teratur menyebabkan mereka termasuk dalam kelompok yang rawan terhadap defisiensi zat gizi. Tingkat kesehatan dan produktivitas kerja mereka dapat terganggu apabila terjadi penurunan status kesehatan akibat terjadinya penyakit. Bank dunia mengemukakan bahwa ada tiga jenis zat gizi mikro (Micronutrients) yang menjadi fokus perhatian internasional saat ini, yaitu Iodium, zat besi dan vitamin A. Kebutuhan manusia terhadap ketiga zat gizi mikro tersebut hanya dalam jumlah yang sangat kecil, akan tetapi mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses fisiologi tubuh, oleh karena itu, kekurangan zat gizi mikro (micro defficiency) akan mempunyai dampak yang cukup serius terhadap kualitas sumberdaya manusia (SDM). Semakin tingginya angka morbiditas merupakan akibat panjang dari rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya pembentukan immunoglobulin, salah satunya yakni karena defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi zat gizi mikro khususnya vitamin A dapat berakibat pada kerusakan sistem imun dan penyebab terhambatnya pertumbuhan jaringan. Defisiensi vitamin A merupakan penyebab utama meningkatnya tingkat kesakitan dan kematian di seluruh dunia, di negara berkembang jutaan wanita hamil dan menyusui termasuk ke dalam kelompok yang berisiko tinggi mengalami defisiensi vitamin A, karena sebagai salah satu mikronutrien penting, peran vitamin A dalam fungsi imunitas mungkin memiliki karakteristik yang paling luas, dan penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat peran vitamn A yang beranekaragam dalam banyak aspek dari imunitas (Semba, 2002). Penelitian mengenai vitamin A telah banyak dilakukan, namun hampir sebagian besar berawal dari kejadian defisiensi vitamin A yang telah terjadi di masyarakat. Data penelitian mengenai bagaimana suplementasi vitamin A berpengaruh terhadap sistem imunitas pada orang dengan status kesehatan yang baik belum banyak tersedia (Wolvers et al 2006 dan Semba et al, 2002). Yakni tentang peran vitamin A sebagai salah satunya faktor sistem kekebalan tubuh dalam pertahanan pertama dari serangan penyakit. Peranan vitamin A sebagai suatu zat gizi yang sangat dibutuhkan telah dikenal umum. Vitamin A memainkan peran yang penting dalam pengaturan fungsi imun, baik imunitas bawaan dan imuntas yang diperantarai sel (cellmediated immunity / CMI) maupun respon antibodi humoral (Wintergerst et al, 2007). Beberapa studi menunjukkan vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan respon antibodi terhadap Tetanus toxoid (Brown et al, 1990 dan Semba et al, 1992). Pada kasus defisiensi, peningkatan status vitamin A pada anak-anak yang mengalami defisiensi dengan suplementasi vitamin A dosis tinggi secara substansial menghasilkan penurunan tingkat morbiditas dan mortalitas pada anak (Rahman et al, 1999). Pertumbuhan berat badan terutama integritas beberapa jaringan sangat dipengaruhi oleh adanya vitamin A, selain itu, vitamin A berperan pula dalam ketahanan tubuh terhadap inveksi (Husaini, 1982). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut pengaruh suplementasi multivitamin mineral terhadap kadar vitamin A serum kaitan dengan respon sistem kekebalan tubuh (limfosit dan natural killer cell) pada orang dengan status kesehatan yang baik yakni pada wanita usia produktif . Tujuan Tujuan Umum : Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suplementasi multivitamin mineral dan asupan zat gizi terhadap kadarvitamin A serum pada wanita usia produktif. Tujuan khusus : 1. Menganalisis karakteristik demografi responden. 2. Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin mineral dan asupan zat gizi terhadap peningkatan kadar vitamin A serum responden dibandingkan dengan plasebo. 3. Menganalisis hubungan antara kadar vitamin A serum dengan respon limfosit dan natural killer cell. Kegunaan Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bukti ilmiah tentang manfaat suplemen bagi tubuh terutama terhadap respon sistem kekebalan dan sebagai informasi dan wadah pembelajaran bagi masyarakat terutama bagi wanita usia produktif mengenai pentingnya zat gizi terutama vitamin A bagi tercapainya tingkat kesehatan hidup dan produktivitas kerja yang lebih baik. TINJAUAN PUSTAKA Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dengan Kesehatan Gizi dan kesehatan mempunyai peranan yang penting dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Untuk mewujudkan derajat kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan konsumsi gizi yang memadai, istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terkait seperti ikatan kimia yang saling mempengaruhi (Widayani 2007). Di negara berkembang, defisiensi vitamin A sangat terkait dengan meningkatnya tingkat kesakitan dan tingkat kematian anak-anak akibat penyakit infeksi yang beragam, dan salah satunya hasil suplementasi vitamin A dapat mengurangi frekuensi dan gejala menderita penyakit akibat infeksi (Nimaggada et al, 1998). Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama, meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menunjukkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat luas. KVA subklinis ini hanya dapat diketahui dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium. Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena gunung es yaitu masalah xeropthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan, padahal level subklinis yang ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi penting lagi karena erat kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kesakitan yang berujung pada menurunnya sistem kekebalan tubuh. Vitamin A Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya keberadaan vitamin tidak dapat disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder, 1992). Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan penyakit defisiensi klinis, pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan hanya dengan memberikan vitamin A pada menu makanan, apabila kadarnya berlebih dalam kapasitas metabolik tubuh, kemungkinan akan memberikan tanda keracunan (toxicity) (Bender 2006). Istilah vitamin A digunakan untuk menamakan dua jenis senyawa, yaitu retinol (Vitamin A alkohol) dan dehidro retinol (Vitamin A2). Vitamin A hanya terdapat pada jaringan hewan dan tidak terdapat dalam jaringan tanaman (Andarwulan dan Koswara, 1992). Menurut Groof dan Gropper istilah vitamin A ditujukan pada senyawa retinol (vitamin A alkohol) dan retinal (bentuk aldehid), asam retinoat merupakan hasil metabolik dari retinal. Retinoid terdiri dari unit isoprenoid yang cara berikatan pada bagian kepala dan ekor struktur. Provitamin A sendiri yakni βkaroten dan karotenoid lain yang menunjukkan aktivitas biologi dari β-karoten dan α-karoten dan γ-karoten (Gambar 1). Sedangkan menurut Olson (1990), vitamin A dapat berupa ester-ester dari retinal yang disebut retinyl ester, dan bentuk aldehidnya termasuk retinal atau retinaldehyde. Vitamin A dengan gugus utama berasal dari grup karboksil disebut retinoic acid. Vitamin A yang memiliki aktivitas biologi signifikan yakni dalam bentuk 3-dehydroretinol, yang disebut juga vitamin A2. Baik vitamin A (retinol) dan berbagai macam carotenoid seperti β-caroten, α-karoten, dan Kriptosantin secara biologi aktif sebagai Vitamin A (Olson, 1987). Gambar 1 Struktur vitamin A dan karotenoid (Sumber : Groff dan Gropper,1999) Aktivitas biologis vitamin A bagi manusia dan hewan, terdapat pada senyawa alami maupun sintetik. Secara alami, aktivitas Vitamin A membutuhkan satu seri hidrokarbon C20 dan C40 tidak jenuh yang tersebar di dalam tumbuhtumbuhan dan hewan. Senyawa dengan aktivitas vitamin A yang terdapat dalam tanaman termasuk dalam kelompok karotenoid akan diubah menjadi vitamin A pada proses metabolisme tubuh setelah dikonsumsi oleh manusia atau hewan. Didalam tubuh hewan, vitamin A paling banyak disimpan dalam hati dalam bentuk alkohol atau ester (Andarwulan dan Koswara, 1992). Menurut Moeldjohardjo (1993), vitamin A1 (C20H29OH) adalah alkohol tinggi yang terdiri dari alkohol tetraenoid yang terikat pada cincin β-ionon. Vitamin A adalah cairan minyak kental yang larut dalam lemak, rentan terhadap oksidasi dan panas. Zat tersebut termasuk fraksi lemak tak-tersabunkan. Vitamin A adalah nama generik yang menunjukkan semua senyawa karotenoid yang memperlihatkan aktivitas biologi retinol. Vitamin A merupakan kristal berwarna kuning larut lemak ysng dapat tercampur secara merata didalam minyak. Tubuh akan mudah mengabsorpsi Vitamin A dengan adanya minyak. Bentuk aktif vitamin A adalah vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehid (retinal), Vitamin A asam (asam retinoat), dan Vitamin A ester (ester retinil). (Gagriansky dan Ranum, 1998). Metabolisme Vitamin A Dalam Tubuh Dalam makanan yang berasal dari hewan vitamin A ada dalam bentuk retinol ester dan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ada dalam bentuk karoten sebagai pigmen yang berwarna kuning. Retinol ester dalam lumen usus akan dihidrolisa kemudian akan diabsorpsi langsung dari lumen usus. Sedangkan karoten akan dipecah secara oksidasi dengan perantara enzim caroten dehydrogenase. Pemecahan ini memerlukan oksigen dan garam empedu yang akan menghasilkan 2 molekul retinaldehid. Pada mukosa usus akan terjadi reduksi dengan perantara enzim retinaldehid reductase, sebagian besar akan menjadi retinol dan sebagian kecil akan menjadi retinoic acid. Retinoic acid akan diabsorpsi langsung melalui porta pembuluh darah balik yang kemudian akan dimetabolisme dan dikeluarkan melalui kencing dan empedu. Retinol yang diabsorpsi kemudian diesterifikasi dengan asam lemak jenuh rantai panjang masuk kedalam pembuluh limfa (chylomicron) dan selanjutnya masuk keduktus torusikus kemudian masuk ke pembuluh darah nadi dan ke hati (Martin 1981 dalam Sulaiman 1989). Dalam hati, maka retinol ester masuk kedalam hepatosit yang kemudian akan mengalami hidrolisa dan akan bergabung dengan asam amino dan seterusnya akan keluar dari hepatosit dalam bentuk holo retinol binding protein (holo RBP). Dalam plasma holo RBP akan bergabung dengan albumin membentuk retinol RBP PA komplek (1:1:1). Kemudian akan beredar dalam sirkulasi darah untuk mencapai sel target (Googman, 1980). Vitamin A dilepaskan dari hati sebagai holo RBP. RBP dalam bentuk holo RBP dikenali oleh permukaan reseptor dari sel-sel target, retinol ditransfer melewati plasmalemma masuk kedalam sel, dan sekitar 8 persen retinol yang ditranspor ke periperal sel target disirkuasi kembali masuk kedalam hati (Olson, 1987). Fungsi Vitamin A Vitamin A mempunyai keunikan sebagai vitamin larut lemak yang pertama kali diketahui. Fungsi yang paling dikenal dari vitamin A adalah peranannya dalam penglihatan. Bentuk retinal (11-cis-retinaldehyde) dari vitamin A diperlukan oleh mata untuk transduksi cahaya menjadi sinyal-sinyal saraf yang diperlukan untuk penglihatan (Muhilal dan Sulaeman, 2004). Vitamin A essensial untuk penlihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi, dan integritas dari sistem kekebalan tubuh (Olson, 1987). Bentuk asam retinoat diperlukan untuk mempertahankan diferensiasi kornea dan membran konjungtiva, sehingga mencegah xeropthalmia, dan untuk photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina. Vitamin A juga dibutuhkan untuk integritas sel ephitel diseluruh tubuh. Asam retinoat, melalui aktivasi reseptor asam retinoat (RAR) mengikat all-trans-retinoid acid atau 9-cisretinoic acid dan reseptor retinoid X (RXR) dalam nukleus yang mengikat 9-cisretinoic acid (Bender 2006), mengatur ekspresi berbagai gen yang mengkode untuk protein struktural (seperti keratin kulit), enzim (seperti alkohol dehidrogenase), protein matriks ekstraseluler (seperti laminin), dan retinol binding protein dan reseptor. Asam retinoat juga memainkan peranan penting dalam perkembangan embrio dan terlibat dalam pembentukan tungkai dan lengan, jantung, mata, dan telinga, diferensisasi dan proliferasi di dalam respon terhadap rangsangan kekebalan. Lebih lanjut, pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi Blymphocyte memerlukan retinol. Selain itu dilaporkan bahwa vitamin A diperlukan dalam hemopoesis, pertumbuhan tulang dan untuk fertilitas pada pria dan wanita (Muhilal dan Sulaeman, 2004). Sedangkan menurut Olson (2001), masing-masing retinoid utama (retinol, retinal, asam retinoat) mempunyai fungsi biologis tersendiri. Retinol dalam kedudukan oksidasinya berfungsi sebagai hormon, retinal diperlukan sebagai prekursor pigmen penglihatan rodopsin. Asam retinoat dan metabolitnya mempengaruhi diferensiasi sel epithel dan dapat berfungsi sebagai pengemban oligosakarida pada sintesis glikoprotein. Suplementasi Vitamin A secara prinsip digunakan untuk dua situasi, yaitu untuk perawatan bagi seseorang yang mengalami xeropthalmia akut, dan bagi individu lain yang memiliki risiko tinggi dan membutuhkan asupan Vitamin A dengan segera guna meningkatkan status kesehatan dan juga untuk mencegah defisiensi Vitamin A (WHO, 1997). Fungsi vitamin A di dalam tubuh adalah: diferensiasi sel penglihatan, spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi indera perasa, pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan (Bagriansky & Ranum 1998). Menurut Olson (1996) vitamin A penting untuk penglihatan, diferensiasi seluler, perkembangan bentuk sel, dan sebagai transpor transmembran (pada bakteri). Banyak proses komplek lainnya pada mahluk hidup sebagai fungsi dari vitamin A seperti perkembangan, reproduksi, dan respon kekebalan tubuh. Vitamin A mempunyai peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas. Vitamin A mutlak diperlukan dalam memelihara sel-sel epitel dan memberikan rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan tubuh terhadap infeksi, juga menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat proses penuaan. Fungsi vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi penglihatan (Moeljohardjo, 1993). Pangan Sumber vitamin A Pangan sumber vitamin A dapat berasal dari pangan hewani ataupun pangan nabati. Pangan kaya β-karoten (buah dan sayuran) merupakan salah satu sumberdaya hayati yang mudah dijumpai di sekitar kita. Kelompok pangan ini mudah diperoleh dan harganya relatif murah, tetapi sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh. Pangan kaya β-karoten kebanyakan berasal dari berbagai jenis sayuran daun berwarna hijau gelap, ataupun buah-buahan yang berwarna kuning, jingga dan merah. Pangan ini merupakan sumber pro-vitamin A dan mineral basi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh (Oomen et al., 1984 diacu dalam Widyastuti, 2004). Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani, terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1 , sedang ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur. Secara tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawa-senyawa karotena, yang dalam saluran pencernaan bisa diubah menjadi vitamin A. (Moeljoharjo, 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya vitamin A. Termasuk ke dalam pangan hewani adalah telur, daging susu dan ikan (Khomsan 2004). Menurut Olson (1990), sumber bahan makanan yang mengandung vitamin A berasal dari berbagai produk yang berasal dari susu, seperti susu, keju, mentega, dan es krim. Telur, hati dan organ bagian dalam hewan seperti ginjal dan jantung, dan beberapa ikan seperti herring, sarden, dan tuna. Sumber yang paling kaya yakni minyak hati ikan hiu, ikan laut, seperti halibut, dan mamalia laut. Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan sayuran hijau daun, seperti bayam, secara umum mengandung karotenoid dalam jumlah yang besar. Meskipun tomat mengandung beberapa Vitamin A dengan karotenoid aktif, pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki aktivitas gizi. Buahbuahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid yang dapat diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum mengandung sangat sedikit vitamin A (Olson, 1990). Kecukupan Vitamin A Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukuan asupan vitamin A dan provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin serta keadaan fisiologis (Arisman 2002). Untuk menyatakan aktivitas vitamin A dalam karotenoid dalam diit secara umum, satu kelompok ahli gabungan FAO/WHO pada tahun 1967 memperkenalkan konsep retinol equivalent (RE) yang kemudian juga di adopsi oleh National Research Council (1989). Dalam konsep ini satu RE setara dengan 1 mikrogram retinol atau 6 mikrogram beta karoten (1 µg β karoten = 0,167 µg RE) atau 12 mikrogram β-karoten campuran (1 µg karotenoid lainnya = 0,084 µg RE) (Muhilal & Sulaeman 2004). Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang harus dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level memuaskan atau cukup. Mengingat penting dan banyaknya peranan vitamin A, maka kekurangan asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi serius (Muhilal & Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A cukup apabila dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak akan menunjukkan tanda defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A untuk sekitar 3 bulan. Angka kecukupan vitamin A untuk orang Indonesia seperti pada Tabel 2. Tabel 1. Angka kecukupan vitamin A untuk orang Indonesia (RE/hari) Golongan Umur Angka Kecukupan 4 – 6 tahun 450 7 – 9 tahun 500 Pria: 10 – 12 tahun 600 13 – 18 tahun 600 19 – 59 tahun 600 >60 tahun 600 Wanita: 10 – 12 tahun 600 13 – 18 tahun 600 19 – 59 tahun 500 >60 tahun 500 Wanita Hamil + 300 Wanita Menyusui: 0 – 6 bulan + 350 7 – 12 bulan + 350 Sumber : Muhilal et al. 2004 Vitamin A kaitannya dengan Sistem Kekebalan Tubuh Fungsi vitamin A dalam menjaga struktur dan fungsi sistem kekebalan tubuh telah dikenal sebagai istilah yang umum sejak awal tahun 1920an. Berdasarkan studi cahaya mikroskopik secara komprehensif terhadap tikus yang mengalami defisiensi vitamin A (Ross 1996). Beberapa karotenoid terutama βkaroten mempunyai kemampuan penagkapan efektif terhadap teroksil radikal dan singlet oksigen (Halliwel dan Gutyeridge, 1989 dalam Palupi et al, 2007), secara in-vivo senyawa β-karoten mampu menghambat peroksidasi lemak pada konsentrasi oksigen yang rendah. Hasil penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa β-karoten dapat menjadi pencegah kanker (Nabet, 1996). Wolback dan Howe menyimpulkan bahwa gejala defisiensi dikaitkan dengan adanya tanda-tanda perubahan morfologi jaringan epitel pada beberapa organ (contohnya trakea dan kornea). Jaringan kornea dari tikus yang mengalami defisiensi vitamin A menunjukkan adanya keratinisasi pada bagian phenotype yang mensekresikan lendir secara normal, dan ketidaknormalan lapisan (squamous metaplasia) pada bagian jaringan yang memiliki bentuk kolumnar dan kuboidal. Pada organ lympoid, penbesaran kelenjar gondok (thymic atrophy) telah diobservasi dengan defisiensi vitamin A yang lebih luas dan perubahan jaringan menandakan akumulai dari kerusakan jaringan yang terlihat jelas pada node limpa (Ross 1996). Defisiensi ringan (Mild) akan membawa pada meningkatnya kemungkinan terkena penyakit infeksi dan juga sintesis dari RBP berkurang dalam merespon inveksi, menurunkan konsentrasi sirkulasi vitamin A dalam darah dan bahkan berdampak pada sistem imun (Bender 2006). Beberapa tahun setelah ditemukan, vitamin A diduga menjadi faktor esensial untuk perkembangan sistem lympoid dan untuk menjaga permukaan mukosa lapisan saluran pencernaan, saluran pernapasan dan saluran kandung kemih (Clausen, 1934; Robertson, 1934 dalam Semba, 2002). Pada kasus defisiensi dibeberapa wilayah, tingginya tingkat kesakitan dan tingkat kematian anak-anak di Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad ke-20, sebanding dengan yang ditemukan di negara-negara berkembang saat ini, mulanya berasal dari defisiensi vitamin A, susu, krim dan mentega yang kaya akan vtamin A telah dianjurkan untuk mengurangi infeksi pada anak-anak (Bloch, 1924). Telah disadari pada saat ini bahwa vitamin A mengatur banyak aspek berbeda dari fungsi kekebalan tubuh, termasuk beberapa komponen baik sistem kekebalan nonspesifik (contohnya phagocytosis, menjaga permukaan mukosa) dan sistem kekebalan spesifik (contohnya respon antibodi secara umum) (Semba, 2002). Defisiensi vitamin A berdampak pada kekebalan bawaan yakni akibat terhambatnya regenerasi normal dari dinding mukosa sel epitel selama terjadi infeksi dan berdampak pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi patogen. Suplementasi vitamin A telah terbukti dapat meningkatkan proses regenerasi dari permukaan sel mukosa pada anak yang mendapatkan perlakuan pemulihan dari diare dibandingkan dengan anak yang menerima plasebo. Efek defisiensi vitami A terkait dengan aspek fiungsi sistem kekebalan tubuh seperti pada Tabel 2. Tabel 2 Efek defisiensi vitamin A pada pertahanan tubuh Ketidaknormalan ekspresi keratin pada saluran pernapasan, saluran pencernaan dan permukaan okular Hilangnya cilia dari epitel saluran pernapasan Hilangnya mikrovilli dari saluran usus halus Bekurangnya sel goblet dan produksi musin pada epitel mukosa Berdampak pada fungsi neutrophil Berdampak pada fungsi NK sel dan berkurangnya jumlah NK sel Berdampak pada aspek haematopoiesis Terjadi perubahan terhadap repon kekebalan T-Helper tipe 1 Menurunnya jumlah dan fungsi dari β-lymphocyte Berdampak pada respon antibodi T-cell dependent dan independent antigen Sumber : Semba, 2002. Sistem Imunitas Spesifik dan Nonspesifik Sistem imunitas seluler termasuk sistem imunitas spesifik yang memiliki kemampuan untuk mengenal mikroorganisme atau antigen yang muncul dalam tubuh. Protein asing seperti mikroorganisme atau antigen yang menginfeksi tubuh segera dikenal oleh sistem imunitas spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun tersebut. Sel-sel imunitas tersebar diseluruh tubuh dan ditemukan didalam darah, limfa, timus, kelenjar limfa, saluran nafas, saluran cerna dan saluran kemih. Apabila sel-sel imunitas spesifik berpapasan kembali dengan protein asing yang sama, maka sistem ini dapat bekerja tanpa bantuan sistem imunitas non spesifik untuk menghancurkan protein asing yang berbahaya bagi kesehatan tubuh (Baratawidjaja, 2006). Sel-sel imunitas yang ditemukan dalam jaringan dan organ disebut sistem limfoid yang terdiri dari limfosit, sel epitel dan stroma. Organ limfoid primer diperlukan untuk pematangan sel T dan B, diferensiasi dan proliferasi sehingga menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.sedangkan organ limfoid sekunder yang terdiri dari limfa, kelenjar limfa dan jaringan mukosa berfungsi melindungi tubuh dari invasi patogen dengan mengaktifkan sensor sel T (Sunaryo, 2004). Limfosit merupakan sel yang memiliki diameter 6-8µm, 20-30% dari bagian leukosit darah, inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, mengandung sedikit sekali sitoplasma, sedikit basofilik, ditemukannya tanda-tanda molekular khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut, beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12µm. Ukuran yang lebih besar ini disebabkan sitoplasmanya yang lebih banyak (Zukesti, 2003). Limfosit dikenal sebagai kunci pengontrol sistem imunitas. Terdiri atas sel B, sel T (Th, CTL/cytotoxic T lymphocyte) dan sel NK (Natural killer cell) (Baratawidjaja 2006). Kemampuan limfosit untuk mengenali antigen disebabkan adanya reseptor pada permukaan sel yang disebut TCR. Sel B mengenal antigen melalui TCR (T Cell Receptor) yang berupa immunoglobulin pada permukaan sel B. TCR sel T ditemukan pada sel T yang matang yang mampu mengenali peptida antigen yang berhubungan dengan molekul MHC (Mayor Histocompability Complex) sel tubuh kita. Dengan kemampuan mengenal, mengingat dan mengopi antigen, limfosit mampu membuat antibdi untuk menghancurkan antigen (Sunaryo, 2004).. Limfosit bersirkulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer, limfa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfosit yang secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun (Zukesti, 2003). Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imunitas spesifik humoral sel B berasal dari sel multipoten atau sel bakal. Apabila sel B dirangsang oleh protein asing, maka sel B akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler virus, bakteri dan menetralisir toksinnya (Sunarya, 2004). Menurut Zukesti (2003), Sel B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral, antibodi respon yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut dengan antibodi, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel NK dari organisme yang menyerang. Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imunutas seluler. Sel T berasal dari sel multipoten atau sel bakal yang berproliferasi dan berdiferensiasi didalam kelenjar timus beradasarkan stimulus dari timosin. Sel T terdiri dari beberapa sel subset dengan fungsi yang berbeda antara lain T helper, T supresor,T sitotoksik dan T memori. Fungsi utama sel T adalah pertahanan tubuh terhadap infeksi bakeri yang hidup intraseluler seperti virus, jamur, parasit dan peradangan Zukesti (2003). Sel NK merupakan limfosit bergranula besar yang bekerja pada sistem imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor, jumlahnya sekitar 5-15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Ciri-ciri lain sel ini memiliki banyak sekali sitoplasma dan pseudopodia, sel NK berperan pada imunitas keganasan dan sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-1 (Baratawidjaja 2006). Dalam fungsinya, sel NK menjalankan peran pembunuhan ekstraseluler. Virus tidak memiliki peralatan untuk memperbaharui diri dengan demikian virus harus menembus sel-sel host yang terinfeksi agar dapat mengambil fungsi reflikasi sel T, agar tidak berkembang, maka sel NK akan membunuh sel-sel terinfeksi virus tersebut sebelum virus mempunyai kesempatan membelah diri kembali (Roitt 2002). Sel NK bereperan pada sistem imunitas nonspesifik, tidak memerlukan paparan dan pengenalan mikroba melalui molekul MHC. Sel NK secara alamiah sudah merupakan limfosit sitotoksik yang ditemukan sejak lahir yang berfungsi pada sistem imun nonspesifik selular. Jumlah dan aktivitasnya dapat ditingkatkan oleh sistem imun spesifik antara lain atas pengaruh IL-2 dan IFN (Baratawidjaja 2006). Pola Konsumsi Pangan Pangan bagi mahluk hidup umumnya manusia khususnya merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Tetapi berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya dibutuhkan secukupnya. Baik kurang maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama apabila dialami dalam jangka waktu lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Muhilal et al. 1998). Menurut Hardinsyah & Martianto (1992), pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu. Makan merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pangan yang cukup dapat digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan kebutuhan za gizi seperti energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air (Suharjo 1989). Pemilihan jenis makanan yang baik akan menyediakan berbagai jenis zat gizi yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan jenis makanan yang tidak lengkap akan mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi sehingga fungsi metabolisme terganggu (Almatsier 2004). Berdasarkan fungsinya, bahan makanan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu sumber energi atau tenaga seperti padi-padian dan serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya; sumber pembangun yang terdiri atas protein nabati dan protein hewani; serta sumber zat pengatur seperti buahbuahan dan sayuran (Almatsier 2004). Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh individu atau kelompok orang (keluarga dan rumah tangga) pada periode tertentu. Berbagai jenis zat gizi diperlukan oleh tubuh berguna untuk melakukan aktivitas, pemeliharaan, dan pertumbuhan tubuh terutama pada bayi, anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia (Hardinsyah & Martianto 1992). Pola konsumsi pangan individu atau keluarga dapat berfungsi sebagai cerminan dari kebiasaan makan individu atau keluarga. Frekuensi makan per hari merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi makan ini bisa menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya semakin tinggi frekuensi makan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar. Makan makanan yang beraneka ragam relatif akan menjamin tercukupinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan ibu hamil (Khomsan 1993 diacu dalam Chairunita 2003). Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada penilaian secara kualitatif, data yang dikumpulkan lebih menitikberatkan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan, frekuensi menurut jenis makanan yang dikonsumsi maupun cara memperoleh makanan. Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006), pada metode penilaian secara kualitatif, penggunaan frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi dekriptif tentang pola konsumsi. METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di pabrik garmen PT. Ricky Putra Globalindo yang berlokasi di Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor, lokasi ditetapkan sebagai tempat penelitian karena memiliki jumlah karyawan wanita terbesar di Jabodetabek, kemudahan dalam mendistribusikan suplemen, kemudahan dalam mengontrol kepatuhan responden, serta homogenitas aktivitas yang dimiliki responden. Analisis kadar vitamin A serum dan total limfosit limfosit dilakukan di laboratorium biokimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan makanan Bogor (Puslitbang Gizi), sedangkan analisis jumlah sel NK dialakukan di laboratorium Makmal Terpadu UI Jakarta. Pelaksanaan penelitian lapang berlangsung dari bulan Februari – Mei 2008. Subyek Penelitian Subyek penelitian yakni wanita dewasa dengan usia 20 – 45 tahun, yang terdiri atas kelompok pekerja usia produktif. Menurut Gibson (2005), kriteria usia spesifik seharusnya selalu digunakan ketika menginterpretasikan kadar serum retinol. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok perlakuan dan alokasi responden kedalam kelompok perlakuan dilakukan secara secara acak (random assigment), yakni dua kelompok kontrol antara lain plasebo dan plasebo dengan vaksinasi tetanus toxoid (plasebo + TT), dan dua kelompok perlakuan suplementasi antara lain kelompok Multivitamin Mineral (MVM) dan kelompok Multivitamin Mineral dengan vaksinasi Tetanus Toxoid (MVM+TT). Jumlah Sampel Penelitian ini menggunakan rumus uji beda rata rata pada 2 kelompok independen dengan menggunakan rumus Lemeshow (1993) : N = jumlah sampel σ = SD titer kadar Vitamin A dari penelitian sebelumnya 18 (Stephensen, 2000 ) Zα= 5% =1,96 1-α = 95% 1-α/2 = 100%-(5%/2) = 100%-2,5% = 97,5% 1-β = power of test 90% =1,28 δ = Kenaikan titer Vitamin A yang yang diharapkan setelah mendapat intervensi = 21 dari hasil perhitungan didapat nilai n minimum = 14 sampel per kelompok. Pembedaan perlakuan dengan vaksinasi TT dan non-TT digunakan untuk mengukur parameter respon imunitas yakni kadar limfosit dan sel NK. Perlakuan suplementasi diberikan setiap hari kepada sampel selama sepuluh minggu, perlakuan vaksinasi TT diberikan pada akhir minggu keenam sampai minggu kesepuluh (empat minggu). Sebelum diberikan perlakuan suplemetasi, serum sampel diukur sebagai Darah 0 (baseline) sebanyak 50 sampel. Pada akhir minggu keenam, serum darah diukur sebagai darah 1 (Intermediate). Suplementasi dilanjutkan sampai empat minggu kemudian yakni hingga minggu kesepuluh, serum sampel diukur sebagai darah 2 (endline) sebanyak sampel yang sama pada pengukuran sebelumnya dari masing-masing kelompok, diambil 35 sampel untuk dianalisis di laboratorium yang dipilih secara acak dari rata-rata 50 sampel, pengambilan 35 sampel untuk dianalisis dianggap telah mewakili populasi dari tiap kelompok perlakuan. Kemudian berdasarkan perbedaan drop out dari tiap kelompok, pada tahap akhir diperoleh 28 sampel untuk kelompok plasebo, dan masing-masing 30 sampel untuk kelompok plasebo + TT, MVM dan MVM + TT yang kemudian ditentukan sebagai sampel yang dianalisis (Wolvers et al, 2006). Penjaringan subyek penelitian dengan melakukan screening terhadap 780 orang karyawan tetap yang keseluruhannya adalah wanita. Karyawan yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dijadikan sebagai responden penelitian yakni diperoleh 200 orang karyawan sebagai responden terpilih, screening dilakukan dari bulan Desember 2007 – Januari 2008, responden terlebih dahulu menjalani pemeriksaan profil darah. Protokol pelaksanaan penelitian ini telah mendapatkan etical clearance dari Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan (Departemen Kesehatan RI) No. LB.03.04./KE/4294/2007 (Lampiran 1). Kriteria inklusi subyek adalah : sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan diet, tidak sedang mengandung, titer antibodi tetanus positif (+). dapat berdiri tegak, tidak minum alkohol, tidak merokok, tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan sampel darah, tidak sedang hamil dan tidak sedang menyusui dan bersedia mengikuti tahap penelitian secara konsisten. Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah : sedang mengkonsumsi obat yang mempengaruhi imunitas, minum obat cacing dan pada akhir penelitian mengkonsumsi suplemen kurang dari 80 persen dari suplemen yang diberikan. Untuk lebih jelasnya alur penelitian seperti pada Gambar 2. Screening Kriteria Inklusi dan Eksklusi 780 karyawan 200 responden Random Plasebo n = 50 Plasebo n = 50 Minggu ke-0 Darah awal (Base line) MVM n = 50 MVM n = 50 Random Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT Plasebo n = 28 Plasebo + TT n = 30 MVM n = 30 MVM + TT n = 30 Minggu ke-6 Darah I (intermediate) Minggu ke-10 Pengambilan darah tahap akhir (II) (end line) Gambar 2. Alur penelitian Pemberian Suplemen Suplemen diberikan kepada responden selama sepuluh minggu oleh peneliti dan perawat di perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet, memiliki bentuk, ukuran, warna dan rasa yang sama, komposisi dari masing-masing label kapsul sejak awal tidak diketahui oleh peneliti, begitu juga responden tidak mengetahui komposisi dari masing-masing label kapsul yang dikenakan terhadap dirinya. Komposisi suplemen seperti pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Komposisi suplemen multivitamin mineral Zat Gizi Vitamin Mineral Satuan AKGa Kandungan % AKG UL Batasan BPOM 19-29 th 30-49 th E mg 45 15 15 300 1000 400 IU A µg 700 500 500 140 5000 1500 B6 mg 6.5 100 100 Asam folat µγ 400 400 400 100 1000 800 B12 µγ 9.6 2.4 2.4 685 ND 200 D µγ 10 5 5 200 50 400IU 40 30 400 200 10 30 45 30 b Zn mg 10 9.3 9.8 102 Se µγ 110 30 30 366 Cu mg 0.9 Fe mg 5 26 26 19.2 Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 Institute of Medicine (2004), Surat Keputusan kep. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004) Ket : AKG : Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, UL : Tolerable Upper Intake Levels, BPOM : Badab Pengawas Obat dan Makanan, ND : not determined Kandungan vitamin A yang terdapat dalam suplemen multivitamin mineral adalah 2333 IU atau setara dengan 700 µg retinol (RE). Kadar ini masih dalam batasan aman dari Tingkat Asupan Atas yang dapat Ditolerir atau Tolerable Upper Intake Level (UL) yang menururt Lachance (1998) UL untuk orang dewasa kemungkinan sekitar 5000 µg retinol (RE) atau setara dengan 15.000 IU perhari. IU digunakan untuk menentukan kemungkinan konsumsi berlebih dari zat gizi, jika intik harian gizi kurang dari UL, risiko pengaruh penyimpangan intik berlebih adalah kecil (Muhilal dan Sulaeman 2004). Desain Penelitian dan Rancangan Percobaan Penelitian ini menggunakan desain Pure Eksperimental Double Blind Randomized Clinical Trial (Ekperimental Murni Teracak Buta Ganda). Rancangan percobaan yang digunakan yakni rancangan Petak Terpisah (Split plot design). Rancangan percobaan ini dipilih karena adanya tingkat kepentingan dari faktor-faktor yang dilibatkan sebagai kelompok yang diteliti (Mattjik dan Sumertajaya, 2002), yakni yakni sejak awal telah ditetapkan bahwa kelompok perlakuan antara lain : plasebo, plasebo + vaksinasi TT, multivitamin muneral (MVM) dan multivitamin mineral + vaksinasi TT (MVM + TT). Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data dalam penelitian meliputi data data karakteristik responden (IMT, umur, pendidikan, pendapatan dan besar keluarga), data frekuensi konsumsi pangan, data kadar vitamin A serum responden, data imunitas dalam hal ini total limposit dan jumlah sel NK. Data karakteristik responden diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk IMT diperoleh dengan pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan. Jenis dan cara pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian Jenis data Variabel Karakteristik responden • IMT • Umur, pendidikan, besar keluarga Pola konsumsi pangan Limfosit,leukosit dan kadar vitamin A serum Metode Pengukuran dan penimbangan Wawancara Wawancara Analisis laboratorium Penilaian status gizi melalui antropometri dilakukan menggunakan indikator indeks massa tubuh (IMT). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai berikut: Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; BB = berat badan (kg); TB = tinggi badan (m) Data pola konsumsi pangan merupakan data frekuensi pangan yang dikonsumsi contoh yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan food frequency questinare (FFQ). Data kadar vitamin A serum, data limfosit dan data sel NK diperoleh melalui pemeriksaan serum darah responden secara laboratorium. Sampel darah diambil setelah responden puasa selama delapan jam, pengambilan darah contoh dilakukan oleh petugas terlatih dari Puslitbang Gizi dengan cara mengambil sebanyak 6 ml, sampel darah diambil dari pembuluh darah vena yang berada di daerah lipatan siku, darah kemudian disentrifugasi untuk diambil serumnya. Untuk analisis vitamin A serum, digunakan sampel darah contoh sebanyak 2 ml tanpa koagulan, serum kemudian dianalisis dengan menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Untuk analisis jumlah limfosit digunakan sampel darah sebanyak 0,5 ml, darah kemudian dianalisis dengan menggunakan alat Hematocytometer, sedangkan 2,5 ml darah digunakan untuk analisis jumlah sel NK dengan menggunakan alat Flowcytometer. Analsis dengan menggunakan metode HPLC merupakan metode yang paling umum digunakan untuk analisis vitamin A dan merupakan salah metode yang paling sensitif untuk mengukur vitamin A (Olson, 1990), metode ini juga digunakan untuk pemisahan dan analisis retinol serum karena metode ini memiliki ketelitian (presisi) pada konsentrasi rendah (de Pee dan Dery, 2002). Menurut WHO metode ini spesifik dan mudah digunakan (Gibson, 2005). Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data meliputi editing kuesioner, coding, entry, cleaning, dan analisis data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft Excel 2007 dan Stasistical Program for Social Science (SPSS) versi 12 for Windows. Data usia dibedakan atas usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun (Saidin et al, 2003). Data pendapatan dibagi menjadi dua kategori yaitu sejahtera dan tidak sejahtera. besar keluarga dibedakan atas keluarga kecil (anggota keluarga ≤4 orang), keluarga sedang jika (anggota keluarga 5-7 orang), dan keluarga besar (anggota keluarga >7 orang). Data pendidikan yang diukur yakni tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tidak tamat SMP, tamat SMA dan perguruan tinggi. Sedangkan (BKKBN, 1998). Data status gizi responden dikategorikan menjadi : gizi buruk (<17.0), gizi kurang (17.0-18.4), gizi baik (18.5-24.9), gizi baik (18.5-24.9), gizi lebih/overweight(25.0-27.0) dan obesitas (>27.0). Data karakteristi responden dianalisis secara deskriptif. Frekuensi konsumsi dibedakan atas konsumsi pangan responden dalam minggu, responden dengan fekuensi konsumsi minimal satu kali dalam sehari termasuk frekuensi konsumsi setiap hari apabila konsumsi pangan > 7 kali, sering apabila 3-5x /minggu, jarang apabila 1-2x /minggu, sangat jarang apabila 1-3x /bln dan tidak pernah. Data kadar serum vitramin A dikelompokkan berdasarkan kategori marginal, cukup, dan berlebihan. Data kategori dan variabel data responden seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Kategori dan variabel data responden No 1 Variabel Usia 2 Status ekonomi 3 Besar keluarga 4 Tingkat pendidikan 5 Status gizi responden (IMT) 6 Frekuensi konsumsi 9 Kadar serum vitamin A Kategori 20-29 tahun 30-39 tahun ≥40 tahun Sejahtera Tidak sejahtera keluarga kecil ( ≤4 orang) keluarga sedang (5-7 orang) keluarga besar (>7 orang) Tamat SD Tamat SMP Tidak tamat SMP Tamat SMA dan Perguruan tinggi Sumber (Saidin et al, 2003) BPS 2007 BKKBN (1998) Depkes RI (1996) Gizi buruk (< 17.0) Gizi kurang (17.0-18.4) Gizi baik (18.5-24.9) Gizi lebih (overweight) (25.027.0) Obesitas (>27.0) Setiap hari (>7 kali) Sering (3-5x /minggu) Jarang (1-2x /minggu) Sangat jarang (1-3x /bln Tidak pernah Olson (1994) Defisiensi ( <10 µg/dl) Marginal ( 10-19,9 µg/dl) Cukup (20-50,9 µg/dl) Berlebihan (51-70 µg/dl) Definisi Operasional a. Sampel adalah bahan berupa darah yang dianalisis kandungan vitamin A serum secara laboratoris. b. Contoh penelitian adalah wanita pekerja usia subur berusia 20 – 45 tahun bekerja sebagai pegawai tetap perusahaan dan bersedia secara suka rela mengikuti secara konsisten setiap tahap penelitian. c. Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang dikonsumsi responden yang bisa dilihat dari frekuensi mengkonsumsi jenis-jenis pangan pada setiap kelompok pangan yang meliputi kelompok pangan sumber karbohidrat, protein hewani, protein nabati, lemak, sayuran, buah dan susu. d. Kapsul perlakuan adalah kapsul yang berisi multivitamuin mineral yang komposisinya antara lain vitamin A 2333 IU, vitamin D 400 IU, vitamin E 45 mg, vitamin B6 6,5 mg, asam folat 400 µg, vitamin B12 9,6 µg, zat besi 5 mg, tembaga 900 µg, zink 10 mg dan selenium 110 µg. e. Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengan kapsul pelakuan dari bentuk, ukuran, warna dan rasa, tetapi hanya selulosa, pengisi dan pewarna yang diberikan. f. Profil imunitas seluler adalah parameter imunitas yang diwakili oleh jumlah sel imunitas (total limfsoit dan natural killer) yang diambil dari plasma darah responden. Pengukuran dilakukan pada seluruh responden setiap kelompok perlakuan suplementasi pada sebelum, enam minggu dan sepuluh minggu perlakuan suplementasi. g. Kadar vitamin A serum adalah kandungan serum vitamin A dalam darah responden yang merupakan pencerminan hasil asupan zat gizi, konsumsi suplemen dan penggunaan vitamin A dalam tubuh dengan pemeriksaan laboratorium biokimia. h. Status vitamin A adalah kadar vitamin A dalam serum contoh penelitian yang diukur dengan metode HPLC yang dinyatakan dengan µg/dl dan digolongkan sebagai berikut : • • • • < 10 µg/dl 10-20 µg/dl 20-50 µg/dl 50-70 µg/dl = = = = defisiensi Marginal Cukup Berlebihan (Olson, 1994). HASIL DAN PEMBAHASAN Pelaksanaan Penelitian Penjaringan (screening) terhadap karyawan perusahaan merupakan tahapan awal pelaksanaan penelitian, untuk mencari sampel yang kemudian dijadikan sebagai responden. Karyawan yang dijaring berjumlah 780 orang karyawan yang keseluruhannya adalah wanita berasal dari divisi dan lokal kerja yang berbeda, mereka yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian ditetapkan sebagai responden dalam hal ini diperoleh 200 responden. Pada tahap perencanaan dan pelaksanaan suplementasi, peneliti berusaha untuk menngkatkan validitas data, yakni dilakukan antara lain randomisasi sampel oleh petugas khusus independen yang tidak terlibat dalam penelitian, menetapkan persyaratan inklusi dan eksklusi, mengadakan pengarahan kepada responden sebelum suplementasi diberikan, memotivasi responden untuk mengkonsumsi suplemen, menyertakan izin pelaksanaan penelitian dari badan yang berwenang yakni dalam hal ini dari pihak perusahaan dan Etical Clearance (Lampiran 1) dari Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan (Departemen Kesehatan RI) dan berusaha meyakinkan responden untuk bersedia mengikuti tiap tahapan penelitian secara konsisten yang dibekali dengan pernyataan Informed consent (Lampiran 2) yang diisi secara sukarela oleh responden. Disamping itu juga, dari segi teknis, alat ukur timbangan, tinggi badan, dan alat analisis darah yang digunakan telah dikalibrasi sebelum digunakan dan analisis sampel darah dilakukan oleh tenaga ahli di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor. Titer Immunoglobuline G (IgG) merupakan salah satu kriteria yang dikenakan paling awal. Karyawan yang dapat terjaring yakni yang memiliki titer IgG positif (+), karyawan dengan titer IgG negatif (-) dinyatakan keluar dari kriteria responden. Selanjutnya karyawan melewati tahapan kriteria inklusi lainnya antara lain sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan diet, tidak sedang mengandung, dapat berdiri tegak, tidak minum alkohol, tidak merokok, tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan sampel darah, tidak sedang hamil dan tidak sedang menyusui. Kriteria eksklusi berlaku pada saat setelah pelaksanaan penelitian dilakukan, yakni responden keluar sebagai sampel penelitian apabila melakukan kriteria ini, antara lain sedang mengkonsumsi obat yang mempengaruhi imunitas, minum obat cacing pada saat pelaksanaan suplementasi dan pada akhir penelitian mengkonsumsi kurang dari 80 persen dari suplemen yang diberikan. Sebelum suplementasi diberikan, dilakukan pengambilan darah awal atau darah 0 (Baseline), responden dipuasakan selama delapan jam (sepanjang malam) kemudian darah diambil pada pagi harinya oleh petugas khusus terlatih dari Puslitbang Gizi sebanyak 6 ml dengan menggunakan winged infusion set 23Gx3/4” (Terumo) dialirkan dari pembuluh darah vena yang berada di daerah lipaatan siku, yang kemudian ditampung pada tabung reasksi, kemudian darah disimpan pada boks es dan secepatnya dimobilisasi ke laboratorium yakni laboratorium biokimia Puslibang Gizi dan laboratorium Makmal terpadu FKUI Jakarta untuk segera di analisis. Analisis sel NK, sebanyak 2,5 ml darah ditampung pada tabung yang berisi tripotasium EDTA dan bebas metal (Becton Dickinson) dengan menggunakan alat flowcytometer. Analisis kadar serum vitamin A dan total limfosit dilakukan di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi Bogor, diambil 2 ml darah yang selanjutnya disentrifugasi untuk diambil serumnya, serum kemudian dianalisis dengan menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC), sedangkan untuk total limfosit digunakan 0,5 ml darah yang kemudian dianalisis dengan menggunakan alat Hematocytometer. Obat cacing diberikan kepada semua responden pada minggu pertama sebelum suplementasi, perlakuan ini diberikan untuk menghindari faktor yang mengganggu hasil analisis serum di laboratorium karena cacing dalam tubuh dapat menyebabkan terganggunya penyerapan terhadap zat gizi yang dikonsumsi. Suplementasi dilaksanakan selama sepuluh minggu, penelitian menggunakan empat perlakuan yakni plasebo, plasebo + TT, multivitamin mineral (MVM) dan multivitamin mineral + TT (MVM + TT), pada tahap awal masing-masing perlakuan berjumlah 50 responden. Kapsul diberikan 2 butir perhari kepada tiap respoden, dan untuk memastikan bahwa suplemen telah dikonsumsi, sebagian besar responden meminum suplemen didepan petugas dengan menggunakan air yang telah disiapkan. Pengambilan darah selanjutnya dilakukan pada minggu keenam dan minggu kesepuluh suplementasi dengan cara yang sama seperti pada baseline. Vaksinasi Tetanus toxoid (TT) diberikan setelah pengambilan darah pada minggu keenam (intermediate) terhadap responden dari kelompok yang terpilih secara acak sebagai kelompok perlakuan vaksinasi. Imunisasi aktif dengan Tetanus toxoid terbukti efektif dan aman (Bleck 1991). WHO merekomendasikan bayi yang baru lahir seharusnya dilindumgi secara pasif dengan perlakuan pemberian sedikitnya dua dosis Tetanus toxoid yang diberikan kepada ibu mereka pada saat mereka masih dalam kandungan dan anak-anak tersebut selanjutnya seharusnya mendapatkan setidaknya tiga dosis vaksin diphtheria-tetanus-pertusis (DPT) (Dietz et al. 1997). Vaksinasi tetanus toxoid juga telah banyak digunakan dalam beberapa studi dibeberapa negara dan terbukti aman (Christenson et al 1991; Passeti et al. 1997; Aboud et al. 2000). Pola konsumsi makan digali dengan menggunakan metode FFQ (Lampiran 4). Metode ini merupakan metode yang umum dipakai untuk mengukur intik pangan dan gizi jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk menentukan perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam waktu lama (Spark 2007). Pengukuran status gizi antropometri dilakukan oleh petugas dan peneliti, penimbangan berat badan dilakukan dengan menggunakan timbingan digital dan pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat microtois. Identitas responden digali dengan wawancara menggunkan kuesioner yang dilakukan oleh peneliti, meliputi nama, tempat tanggal lahir, pendidikan terakhir, merokok, minum alkohol, sedang berdiit, jumlah anggota keluarga status sosial ekonomi responden dan juga data-data morbiditas.pemeriksaan kesehatan klinis dilakukan oleh petugas khusus yang dilakukan oleh seorang dokter dari Puslitbang Gizi. Pemerikasaan kesehatan meliputi pemerikasaan fisik responden (Lampiran 4). Keluhan yang di alami responden dicatat pada tiap harinya, baik karena keluhan minum kapsul, terlalu lelah karena beban kerja, maupun karena sakit ringan seperti pilek, batuk, mual, pegal-pegal dan demam. Selama penelitian tidak terdapat responden yang mengalami penyakit yang dapat membahayakan kesehatan seperti penyakit kronis. Kepatuhan terhadap konsumsi kapsul merupakan faktor penting dalam validasi data, peneliti melakukan cross chek kepada responden dengan menanyakan sehari setelahnya apakah telah meminum kapsul atau belum (Lampiran 3), responden yang menyatakan tidak meminum kapsul kemudian dicatat oleh petugas, karena apabila responden tidak mengkonsumsi lebih dari duapuluh persen, maka responden dinyatakan keluar dari kriteria responden penelitian. Pada penelitian ini drop-out terjadi karena bebrapa hal, antara lain, tidak mau mengkonsumsi kapsul, tidak di izinkan suami, tidak mau lagi diambil darah dan merasa kesehatannya menurun setelah mengkonsumsi kapsul. Angka dropout paling tinggi terjadi pada kelompok plasebo, dengan jumlah responden keluar mencapai 44%, sedangkan kelompok plasebo + TT, MVM, MVM + TT masingmasing mencapai 40%. Sesuai dengan studi suplementasi pada wanita remaja yang dilakukan tanpa supervisi tingkat drop-out bisa mencapai 40-50% (Soekarjo et al. 2004; Ahmed et al. 2001). Meskipun demikian, jumlah ini masih memenuhi persyaratan minimum sampel berdasarkan rumus uji beda rata rata pada 2 kelompok independen dengan menggunakan rumus Lemeshow. Hasil perhitungn yang merujuk dari penelitian sebelumnya (Stephensen 2000) jumlah sampel minimum yang diperlukan yakni 14 orang. Bias data berusaha diatasi peneliti dengan metode desain penelitian yang digunakan yakni dengan Double Blind sedangkan faktor lain yang dapat terjadi karena pengaruh penggunaan obat yang mempengaruhi imunitas pada penelitian ini kecil kemungkinan terjadi. Responden yang menyatakan dirinya kurang sehat melaporkan kepada peneliti atau memberikan keterangan ketika ditanya peneliti mengenai obat yang diminumya, konsumsi obat yang biasa untuk mengobati gangguan kesehatan ringan masih dapat ditolerir. Karakteristik Responden Sampel dalam penelitian ini yakni wanita dan telah menikah. Pemilihan wanita sebagai sampel berkaitan dengan status responden yang pernah mendapat vaksinasi Tetanus toxoid (TT) pada saat sebelum menikah dan akan hamil. Pemberian perlakuan vaksinasi TT dihubungkan dengan respon fungsi kekebalan pada responden. Karakteristik sampel terpilih yang kemungkinan sebagai faktor yang mempengaruhi kadar vitamin A serum meliputi usia, status ekonomi, besar keluarga, tingkat pendidikan dan juga satus gizi responden, akan tetapi karakteristik ini merupakan gambaran secara umum responden dan tidak diteliti responnya terhadap peningkatan kadar vitamin A serum setelah perlakuan suplementasi. Kategori Usia Tabel 6 menunjukkan lebih dari setengah responden dari semua kelompok perlakuan termasuk kategori usia 30-39 tahun. Responden dengan kategori usia 20-29 tahun memiliki variasi antara 16,7%-35,7%, sedangkan proporsi kategori usia terendah terdapat pada kategori usia >40 tahun dengan persentase dibawah 13,3%. Menurut Papalia dan Olds (1981) sebagian besar usia responden tersebut tergolong ke dalam dewasa muda (20-40 tahun). Menurut Atmarita dan Fallah, (2004) usia responden tersebut termasuk dalam kisaran usia produktif yakni abtara usia 15-64 tahun. Tabel 6 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut kategori usia Kelompok Plasebo Plasebo + TT MV M MVM + TT Kategori usia n % 20 - 29 Tahun 10 35,7 30 - 39 Tahun 17 > 40 Tahun 1 60,7 3,6 20 - 29 Tahun 5 16,7 30 - 39 Tahun 21 > 40 Tahun 4 70 13,3 20 - 29 Tahun 8 26,7 30 - 39 Tahun 20 > 40 Tahun 2 66,7 6,7 20 - 29 Tahun 10 16,7 30 - 39 Tahun 17 > 40 Tahun 3 70 13,3 p 0,277 Pengkategorian usia responden mengacu pada Saidin et al. (2003). Rata-rata usia responden lebih dari 30 tahun dimana usia terendah terdapat pada kelompok plasebo meskipun tidak berbeda nyata (p>0,05). Status Ekonomi Salah satu gambaran yang menentukan status ekonomi keluarga responden adalah pendapatan atau pengeluaran untuk pangan dan gizi (Suhardjo & Khumaidi 1997). Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan jenis pangan yang dibeli untuk dikonsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg 1986). Melihat kesamaan posisi pekerjaan, pembagian jam kerja dan juga dalam hal penerimaan gaji yang relatif sama disamping pendapatan lain, berdasarakan World bank, pengkategorian status ekonomi responden, lebih dari setengah responden pada kelompok plasebo dan plasebo + TT termasuk ke dalam status ekonomi miskin, begitu juga pada kelompok multivitamin dan kelompok multivitamin + TT hampir sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori miskin (Tabel 7). Berdasarkan batas kemiskinan kabupaten Bogor menurut BPS (2007) sebesar Rp. 183.067,00,-/kapita/bulan, data pendapatan responden dikategorikan menjadi sejahtera dan tidak sejahtera. Seluruh kelompok perlakuan pada penelitian ini dikategorikan status ekonomi sejahtera. Hanya 3.3% responden pada kelompok MVM tergolong kategori tidak sejahtera (Tabel 1). Tidak terdapat perbedaan yang nyata dalam pemerolehan pendapatan anta kelompok perlakuan (P>0,05). Tabel 7 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut status ekonomi Perlakuan Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT Kategori pendapatan Tidak sejahtera Sejahtera Tidak sejahtera Sejahtera Tidak sejahtera Sejahtera Tidak sejahtera Sejahtera n % 0 28 0.0 100.0 0 30 0.0 100.0 1 28 3.33 96.7 0 30 0.0 100.0 p 0.426 Total pendapatan rata-rata responden sebagian besar berasal dari gaji sebagai karyawan (sudah termasuk upah lembur) ditambah dengan pendapatan dari anggota keluarga lainnya. Apabila dikaitkan dengan standar pendapatan menurut batas kemiskinan World Bank bagi negara berkembang sebesar 2 dolar (kurs Rp. 9300,00,-/dolar), status ekonomi lebih dari setengah kelompok kontrol dan sebagian besar kelompok perlakuan suplementasi pada penelitian ini dikategorikan tidak sejahtera. Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan dan memenuhi kebutuhan pangan keluarga (Sajogyo 1983). Pendapatan seseorang sangat menentukan pemilihan pangan yang akan dikonsumsi, dengan pendapatan tinggi maka kemampuan untuk membeli bahan pangan akan semakin beragam, sebaliknya dengan pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah, maka kemampuan untuk membeli pangan yang beragam akan terbatas, sehingga keluarga tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi pangan yang akhirnya berakibat buruk terhadap status gizi (Widyastuti 2004). Besar Keluarga Besar keluarga menurut BKKBN (1998) di bagi menjadi keluarga kecil jika anggota keluarga ≤ 4 orang, keluarga sedang jika 5-6 orang, dan keluarga besar jika ≥ 7 orang. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Terdapat hubungan yang sangat nyata antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi, khususnya pada keluarga yang berpenghasilan rendah. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika jumlah anggota keluarganya sedikit. Pada taraf yang sama, keluarga miskin dengan jumlah anak yang banyak akan sulit memenuhi jika dibandingkan dengan keluarga yang memiliki jumlah anak banyak (Suhardjo 1989) Menurut Sediaoetama (1989) pengaturan pengeluaran untuk pangan seharihari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi kebutuhan. Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau berjumlah 4 orang, dengan persentase terbesar berada pada kelompok MVM. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden memiliki jumlah anak 2 orang, berkaitan dengan umur responden yang lebih dari setengah berada pada kategori dewasa muda, dan juga jika dilihat dari status pernikahan responden, hanya 5% dari total responden yang hidup tanpa kepala kelurga (janda). Tabel 8 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut Jumlah anggota keluarga Kelompok Placebo Placebo + TT MVM + TT MVM Kategori < 4 Orang 5 - 7 Orang < 4 Orang 5 - 7 Orang < 4 Orang 5 - 7 Orang < 4 Orang 5 - 7 Orang > 7 Orang n 25 3 27 3 24 6 27 2 1 % 89,3 10,7 90,0 10,0 80,0 16,7 90,0 6,7 3,3 p 0,294 Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982) menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yaitu banyaknya anggota suatu keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga terutama pengeluaran untuk makanan yang berpengaruh terhadap asupan zat gizi anggota keluarga termasuk responden. Tingkat pendidikan responden Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap asupan makanan termasuk pola konsumsi pangan dan status gizi. Orang yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik (Suhardjo 1996). Tabel 9 menunjukkan tingkat pendidikan kelompok perlakuan plasebo lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dengan proporsi terbesar tingkat pendidikan SLTA sebesar 39,3 persen, akan tetapi secara keseluruhan tingkat pendidikan responden masih rendah karena setengah dari responden pada kelompok plasebo berpendidikan SD dengan proporsi persentasi sebesar 50 persen dan lebih dari setengah responden (56,7 persen) pada kelompok MVM + TT tamat SLTP, hanya 3,3% dari seluruh kelompok yakni kelompok MVM yang berpendidikan akademi/dipoloma/PT. Tabel 9 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut tingkat pendidikan Perlakuan Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT Kategori Tk. Pendidikan Tamat SD Tamat SLTA Tamat SLTP Tidak Tamat Tidak Tamat Tamat SD Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat SD Tamat SLTA Tamat SLTP Tamat D3 Tamat SD Tamat SLTA Tamat SLTP n 4 11 12 1 1 15 5 9 % 14,29 39,29 42,86 3,57 3,33 50 16,67 30 12 6 11 1 7 6 17 40 20 36,67 3,33 23,33 20 56,67 p 0,478 Status Gizi Responden Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan antropometri. Antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. (Jellife 1966). Indeks masa tubuh merupakan salah satu ukuran antropometri yang digunakan untuk mengukur status gizi, yakni dengan membagi berat badan dengan tinggi badan, kemudian dikategorikan menjadi beberapa kriteria. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan dan tinggi badan (Supariasa et al. 2001). Berat badan digunakan dalam pengukuran karena merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka digunakan apabila dibandingkan dengan tinggi badan (Riyadi 2001). Berdasarkan Tabel 10, setengah dari kelompok plasebo dan lebih dari setengah pada kelompok perlakuan plasebo + TT, MVM dan MVM + TT memiliki status gizi baik. Akan tetapi pada kelompok plasebo + TT dan pada kedua kelompok perlakuan multivitamin dan mikromineral masih terdapat responden dengan status gizi buruk dan kurang dengan proporsi dibawah 7 %. Tabel 10 Sebaran status gizi responden pada tiap kelompok menurut IMT (Kg/M2) Kelompok Kategori IMT Gizi kurang (17.0-18.4) Gizi baik (18.5-24.9) n 1 14 % 3,57 50 Plasebo Gizi lebih (overweight) (25.027.0) 7 25 Obesitas (>27.0) Gizi kurang (17.0-18.4) Gizi baik (18.5-24.9) 6 1 20 21,43 3,33 66,67 Gizi lebih (overweight) (25.027.0) 4 13,33 Obesitas (>27.0) Gizi buruk (< 17.0) Gizi baik (18.5-24.9) 5 1 21 16,67 3,33 70 Gizi lebih (overweight) (25.027.0) 4 13,33 Obesitas (>27.0) 4 13,33 Gizi buruk (< 17.0) Gizi kurang (17.0-18.4) Gizi baik (18.5-24.9) 2 1 17 6,67 3,33 56,67 Gizi lebih (overweight) (25.027.0) 4 13,33 Obesitas (>27.0) 6 20 Plasebo + TT MVM MVM + TT p 0,887 Rata-rata status gizi responden seluruh kelompok perlakuan termasuk kedalam kategori gizi baik dengan rata-rata tertinggi IMT terdapat pada kelompok MVM meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok lainnya (p>0.05). Frekuensi konsumsi Responden Frekuensi Konsumsi Sumber Karbohidrat Seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi makanan pokok sumber karbohidrat tunggal (nasi) minimal satu kali sehari, dengan proporsi persentase sumber karbohidrat lain pada hampir seluruh perlakuan berupa mie, roti, jagung, biskuit pada kategori jarang, yakni satu sampai dua kali seminggu, sedangkan pada kelompok MVM untuk frekuensi konsumsi biskuit proporsi konsumsi berada pada kategori sering dengan persentase terbesar (40%), pada kelompok pangan ubi jalar proporsi persentase terbesar untuk semua kelompok perlakuan berada pada kategori sangat jarang (Tabel 11). Proporsi persentase secara lengkap untuk tiap kategori frekuensi konsumsi responden tertera pada Lampiran 5. Tabel 11 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber Karbohidrat per minggu Perlakuan kelompok pangan Nasi Mie Roti Jagung Biskuit Ubi Jalar frekuensi setiap hari (>7) jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (13x /bln) Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % n % n % 28 100.0 30 100.0 30 100.0 30 100.0 16 57.1 17 56.7 13 43.3 13 43.3 13 46.4 12 40.0 12 40.0 11 36.7 11 39.3 11 36.7 13 43.3 10 33.3 3 10.7 2 6.7 12 40.0 4 13.3 10 35.7 12 40.0 9 30.0 11 36.7 13 46.5 10 33.4 12 40 12 40 Karbohidrat menyumbang sekitar setengah dari total intik kalori, dan merupakan sumber energi utama pada rata-rata diet manusia (Groff & Gropper,1999). Energi yang diperoleh dari konsumsi pangan dibutuhkan untuk melakukan aktivitas sehari-hari, pemeliharaan, pertumbuhan tubuh dan juga tenaga untuk metabolisme normal zat gizi lain dalam jaringan. Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein Pentingnya protein dalam gizi dan kesehatan tidak diragukan lagi. Protein esensial secara gizi karena terdiri dari asam amino yang beberapa harus disintesa sendiri oleh tubuh untuk dapat berjalannya metabolisme normal tubuh (Groff & Gropper 1999). Asam-asam amino tersebut dapat berasal dari tumbuhan maupun hewan (Piliang & Al haj 2006). Berdasarkan Tabel 12, Konsumsi pangan sumber protein nabati cukup baik pada tiap kelompok. Tempe dan tahu memiliki proporsi terbesar dengan kategori sering, yakni mengkonsumsi tiga sampai lima kali seminggu. Pangan nabati penting karena salah satu sumber zat gizi protein yang diperlukan tubuh untuk proses regenerasi sel (Almatsier 2002). Tabel 12 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati per minggu Perlakuan Kelompok pangan Frekuensi Tempe sering (3-5x /minggu) 13 46.4 13 Tahu sering (3-5x /minggu) 13 46.4 sangat jarang (1-3x /bln 7 tidak pernah 11 Oncom Plasebo (n=28) n % Plasebo + TT (n=30) n % MVM (n=30) n % MVM + TT (n=30) n % 43.3 17 56.7 15 50.0 10 33.3 18 60.0 17 56.7 15 11 26.7 10 33.3 10 33.4 39.3 6 20.0 9 30.0 10 33.3 Bahan makanan asal hewani merupakan bahan makanan yang sangat esensial bagi manusia karena sebagai salah satu sumber protein pangan dengan nilai biologi yang lebih tinggi dari pada pangan nabati, karena protein yang berasal dari tanaman tergolong protein yang tidak lengkap yang mengandung beberapa asam amino esensial dalam jumlah rendah (Piliang & Al haj 2006). Dari Tabel 13 terlihat frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani untuk kelompok pangan telur memiliki proporsi persentase terbesar pada tiap kelompok dengan frekuensi konsumsi sering (tiga sampai lima kali seminggu) dengan kelompok MVM + TT memiliki persentase terbesar (60%). Sedangkan pada kelompok pangan hewani sumber protein lainnya seperti ayam, daging sapi, hati sapi, hati ayam, ikan segar dan susu bubuk memiliki frekuensi jarang dan sangat jarang, bahkan pada kelompok pangan keju hampir seluruh responden pada tiap kelompok tidak pernah mengkonsumsinya. Tabel 13 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani per minggu kelompok pangan frekuensi Plasebo (n=28) n % Perlakuan Plasebo + TT MVM (n=30) (n=30) n % n % MVM + TT (n=30) n % Telur sering (3-5x /minggu) 13 46.4 13 43.3 16 53.3 18 60.0 Ayam jarang (1-2x /minggu) 15 53.6 20 66.7 15 50.0 21 70.0 Daging sapi sangat jarang (1-3x /bln 10 34.8 15 50 7 23.3 14 46.7 tidak pernah 16 57.1 13 43.3 23 76.7 13 43.3 Hati sapi tidak pernah 20 71.4 22 73.3 26 86.7 20 66.7 hati ayam jarang (1-2x /minggu) 11 39.3 14 46.7 6 20.0 11 36.7 Ikan segar Susu Bubuk Keju sangat jarang (1-3x /bln 10 35.7 9 30 10 33.3 11 36.6 jarang (1-2x /minggu) 16 57.1 16 53.3 12 40.0 17 56.7 tidak pernah 22 78.6 21 70.0 23 76.7 21 70.0 tidak pernah 30 100.0 28 93.3 30 100.0 28 93.3 Frekuensi Konsumsi Buah-buahan Buah merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh (Almatsier 2002). Buah mengandung satu atau lebih provitamin dan vitamin yang beberapa vitamin berfungsi sebagai koenzim atau merupakan gugus prostetik dari enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi kimia yang esensial, vitamin juga sering disebut sebagai faktor pelengkap makanan, karena vitamin pada kenyataannya tidak mensuplai kalori dan juga tidak mempengaruhi massa tubuh secara nyata (Piliang & Al haj 2006). Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa buah jambu biji dikonsumsi dengan proporsi persentase terbesar pada kategori sering di tiap kelompok, kecuali kelompok perlakuan plasebo dengan frekuensi konsumsi terbesar pada kategori jarang (46.4%). Hampir setengah dari respoden pada tiap kelompok perlakuan memiliki tingkat konsumsi buah pepaya dan jeruk pada frekuensi jarang, hanya kelompok MVM + TT yang hampir setengahnya mengkonsumsi jeruk pada frekuensi sering. Tabel 14 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi buah-buahan per minggu kelompok pangan Jambu biji Pepaya Jeruk frekuensi sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) Plasebo (n=28) n % Perlakuan Plasebo + TT MVM (n=30) (n=30) n % n % MVM + TT (n=30) n % 5 17.9 11 36.7 6 20.0 10 33.3 13 46.4 6 20.0 6 20.0 9 30.0 14 50.0 11 36.7 11 36.7 12 40.0 11 39.3 9 30.0 7 23.3 14 46.7 12 42.9 13 43.3 15 50.0 10 33.3 Frekuensi Konsumsi Sayuran Sayuran merupakan komoditas pangan yang banyak mengandung vitamin dan mineral, dan unsur-unsur tersebut penting untuk kesehatan manusia, sayuran merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, Ca, Fe serta menyumbang sedikit kalori dan sejumlah elemen mikro. Selain itu, sayuran juga merupakan sumber serat pangan (dietary fiber) serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi 2000). Hampir setengah responden dari tiap kelompok perlakuan memiliki konsumsi sayuran yang kurang. Pada kelompok pangan sayuran bayam, kangkung, daun singkong, kacang panjang dan sawi, proporsi persentase terbesar responden memiliki frekuensi konsumsi jarang, bahkan sebagian besar responden pada tiap perlakuan tidak pernah mengkonsumsi daun katuk pada menu makanan mereka (Tabel 15). Tabel 15 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi sayuran per minggu Perlakuan kelompok pangan Bayam Kangkung Daun singkong kacang panjang Selada air Sawi Daun katuk frekuensi jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) jarang (1-2x /minggu) tidak pernah jarang (1-2x /minggu) tidak pernah Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT (n=28) (n=30) (n=30) (n=30) n % n % n % n % 18 64.3 13 43.3 15 50.0 13 43.3 13 46.4 16 53.3 14 46.7 17 56.7 11 39.3 18 60.0 11 36.7 18 60.0 10 35.7 19 63.3 16 53.3 18 60.0 22 78.6 28 93.3 24 80.0 19 63.3 12 42.9 13 43.3 16 53.3 14 46.7 19 67.9 23 76.7 22 73.3 23 76.7 Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral terhadap Kadar Vitamin A Serum (Retinol Serum) Pengukuran kadar vitamin A serum dilakukan secara biokimia dengan menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Metode ini dipakai oleh NHANES III dan juga beberapa penelitian lain untuk menganalisis kadar retinol serum, karena dengan konsentrasi yang relatif rendah, pengukuran kadar serum retinol paling baik dengan analisis menggunakan metode HPLC (de Pee dan Dary, 2002). Menurut WHO metode ini spesifik dan mudah digunakan (Gibson, 2005). Nilai rata-rata kadar vitamin A serum dan hasil uji seperti pada Tabel 16. Tabel 16 Kadar vitamin A serum sebelum (baseline) enam minggu (intermediate) dan sepuluh minggu (endline) perlakuan suplementasi Suplementsi Placebo Serum Vitamin A (µg/dl)1 Placebo + TT MVM Baseline (0) 28.65±8.9a 29.56±8.64a Intermediate (1) Selisih 0 - 1 Endline (2) Selisih 1 - 2 28.95±8.76 a 0.3±5.33a 1.1±7.18a 27.23±9.02 1.72±7.28 28.46±9.25 a a a 29.67±9.4 1.2±6.29 a a 31.88±10.91a 29.95±8.87 a 32.34±11.95 2.39±7.81 a a 29.12±8.32a 29.5±9.56 -1.93±8.81a a MVM TT 0,549 a 0,929 0.38±6.98a a 32.92±12.32 3.42±9.79 a P a 0,544 a 0,171 0,085 a Selisih 0 - 2 1.42±7.85 0.1±8.23 0.46±10.27 3.8±10.5 0,184 Keterangan: (0) Data baseline = data 0 minggu; (1) Intermediate = Data 6 minggu perlakuan; (2) Endline = Data 10 minggu perlakuan 1 x ± SD ; a Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0.05). Kadar vitamin A serum dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 1). Defisiensi (<10 µg/dl), 2). Marginal ( 10-19.9 µg/dl), 3). Cukup (20-50 µg/dl), 4). Berlebihan ( >50 µg/dl) (Olson 1994). Menurut de Pee dan Dary (2002), Kadar 70µmol/L atau setara dengan 20µg/dl telah diakui sebagai cut-off yang lebih baik untuk menentukan batasan kadar serum vitamin A. Kadar vitamin A serum merupakan indikator secara biokimia yang digunakan untuk mengetahui status vitamin A seseorang. Kadar serum vitamin A (Retinol) merupakan cerminan status vitamin A individu, terutama ketika cadangan vitamin A tubuh terbatas, karena secara homeostatis kadar serum vitamin A dikontrol dan tidak akan turun sampai cadangan vitamin A tubuh benar-benar pada taraf yang mengkhawatirkan (Olson, 1994). Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok Kontrol Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo Kelompok kontrol (plasebo), rata-rata kadar vitamin A serum pada awal intervensi sebesar 28.65 µg/dl, setelah enam minggu intervensi terjadi kenaikan rata-rata nilai kadar vitamin A serum sebesar 28.95 µg/dl, yakni terjadi peningkatan 0.3 µg/dl. Kenaikan ini masih pada taraf normal cut off point kebutuhan kadar vitamin A serum minimal sebesar 20 µg/dl (Gambar 10) dan perbedaan nilai rata-rata kadar serum vitamin A tidak signifikan (p>0.05). Berdasarkan pengkategorian kadar vitamin A (Gambar 3), pada kelompok plasebo setelah enam minggu perlakuan (intermediate) terjadi penurunan persentase responden dengan kategori marginal sebesar 7.15% atau terjadi kenaikan persentase responden dengan kadar vitamin A serum normal sebesar 3.57%, akan tetapi peningkatan kadar serum vitamin A ini juga meningkatkan persentase responden dengan kadar vitamin A serum berlebih menjadi 3.57%, hal ini dikarenakan sekitar 70 % sampai 80% retinol yang berasal dari makanan sehari-hari diserap walaupun dalam intik yang berlebih (Bender, 2003). Beberapa simpanan retinol terjadi pada sel-sel parenkima, akan tetapi sekitar 80% sampai 95% retinol disimpan dalam sel-sel kecil perisinusoidal yang disebut sel-sel stellate. Vitamin A disimpan pada sel ini bersamaan dengan droplet lemak. Ketika simpanan vitamin A dalam hati telah cukup, sel stellate akan menyimpan vitamin A yang baru dicerna sebagai retinyl ester (terutama retinyl palmitat, retinyl stearat, oleat dan linoleat) (Groff dan Groper, 1999). Pada akhir perlakuan intervensi di minggu kesepuluh, pada kelompok plasebo, terjadi penurunan nilai rata-rata kadar serum vitamin A, rata-rata kadar vitamin A serum kelompok plasebo menurun menjadi 27.23 µg/dl. Jika dibandingkan dengan data baseline terjadi penurunan sebesar 1.42 µg/dl dan jika dibandingkan dengan data pada minggu keenam (intermediate) terjadi penurunan sebesar 1.72 µg/dl. Meskipun demikian, berdasarkan pengkategorian serum vitamin A penurunan ini masih dalam batas aman kadar vitamin A serum, yakni sebagian besar responden pada kelompok plasebo memiliki kadar vitamin A serum dalam kategori cukup (20-50 µg/dl). Akan tetapi, terjadi peningkatan persentase responden yang memiliki kadar vitamin A serum dalam kategori marginal dan berlebihan, dengan peningkatan masing-masing 7.15% dan 7.14% (Gambar 3). % Kadar vitamin A serum (µg/dl) 100 82,1485,71 71,43 80 Baseline Intermediate Endline 60 40 20 17,86 17,86 10,71 10,71 3,57 0 Marginal Cukup Berlebihan Kategori Vitamin A Serum Gambar 3 Kadar vitamin A serum kelompok plasebo sebelum (Baseline (Baseline) minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline). Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo + TT Pada kelompok plasebo + TT sebelum perlakuan suplementasi, rata-rata kadar vitamin A serum sebesar 29.56 µg/dl setelah perlakuan suplementasi selama enam minggu sepeti ditunjukkan pada Tabel 16, terjadi penurunan nilai rata-rata kadar vitamin A serum menjadi 28.46 µg/dl atau terjadi penurunan sebesar 1.1 µg/dl. Penurunan nilai kadar vitamin A serum ini turut meningkatkan persentase responden dengan kategori kadar serum vitamin A marginal sebesar 6.66% dan berlebihan sebesar 10% (Gambar 4). Pada akhir perlakuan suplementasi dikelompok plasebo + TT, terjadi kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A menjadi 29.67 µg/dl g/dl, dibandingkan dengan data baseline, kenaikan sebesar 0.1 µg/dl jika dibandingkan dengan data pada minggu keenam (intermediate) kenaikan sebesar 1.2 µg/dl. kenaikan ini turut meningkatkan persentase responden dengan kategori normal, dengan peningkatan sebesar 10%, meskipun masih ada responden dengan kategori marginal dan berlebihan (Gambar 4). Penurunan dan kenaikan rata-rata kadar vitamin A serum pada kelompok kontrol di akhir intervensi dapat dianggap tidak bermakna (p>0,05). Meskipun tidak signifikan, Perlakuan vaksinasi Tetanus toxoid pada kelompok plasebo + TT cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A responden. % Kadar vitamin A serum (µg/dl) 100 90 83,33 73,33 80 Baseline Intermediate 60 Endline 40 20 6,67 13,33 10 13,33 3,33 6,67 0 Marginal Cukup Berlebihan Kategori Vitamin A Serum Gambar 4 Kadar vitamin A serum kelompok plasebo + TT sebelum (Baseline) enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline). Pengaruh Suplementasi Terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok Perlakuan Pengaruh Suplementasi terhadap terhadap Kadar Vitamin A Serum MVM Pada kelompok dengan perlakuan intervensi yakni MVM, sebelum perlakuan suplementasi, rata-rata kadar vitamin A serum sebesar 31.88 µg/dl, setelah enam minggu perlakuan terjadi penurunan nilai rata-rata kadar vitamin A serum menjadi 29.95 µg/dl atau turun sebesar 1.93 µg/dl (Tabel 16), penurunan ini menyebabkan peningkatan pada pengkategorian kadar vitamin A serum menjadi kategori normal (90%) dan menurunkan prevalensi responden dengan kadar vitamin A serum berlebihan (Gambar 5). Pada akhir perlakuan suplementasi, di minggu kesepuluh pada kelompok perlakuan MVM terjadi kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A menjadi 32.34 µg/dl. Jika dibandingkan dengan data baseline, terjadi kenaikan sebesar 0.46 µg/dl dan jika dibandingkan dengan data pada minggu keenam, terjadi kenaikan sebesar 2.39 µg/dl. berdasarkan pengkategorian kadar vitamin A pada Gambar 12, pada akhir perlakuan suplementasi, kenaikan nilai rata-rata kadar vitamin A meskipun menurunkan persentase responden dengan kadar vitamin A serum marginal sebesar 6.67%, akan tetapi menyebabkan meningkatnya prevalensi responden dengan kadar vitamin A serum berlebihan hingga 13.33%. Rata-rata kenaikan nilai kadar vitamin A serum pada kelompok MVM meskipun tidak signifikan (P>0.05), hal ini dapat bermakna bahwa bahwa suplementasi cenderung meningkatkan kadar vitamin A serum (Tabel 16). Gambar 5 Kadar vitamin A serum kelompok MVM sebelum (Baseline) enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline). Pengaruh Suplementasi dan vaksinasi terhadap Kadar Vitamin A Serum MVM + TT Berdasarkan Tabel 16, rata-rata kadar vitamin A serum sebelum perlakuan suplementasi pada kelompok MVM + TT sebesar 29.12 µg/dl, di minggu keenam perlakuan terjadi kenaikan nilai rata-rata serum vitamin A kelompok MVM + TT menjadi 29.5 µg/dl, atau naik sebesar 0.38 µg/dl. kenaikan ini menurunkan batas marginal kecukupan vitamin A responden hingga 10%, dan meningkatkan persentase kecukupan vitamin A responden 3.34% akan tetapi peningkatan ini justru berdampak pada meningkatkan meningkatkan prevalensi responden sebesar 3.33% terhadap defisiensi vitamin A dan kadar vitamin A yang berlebihan sebesar 3.33% (Gambar 13). Kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A pada kelompok perlakuan MVM + TT pada enam minggu intervensi meskipun tidak signifikan (p>0.05) turut dipengaruhi oleh asupan zat gizi, dan suplementasi. Pada akhir suplementasi pada minggu kesepuluh untuk kelompok MVM + TT rata-rata kadar vitamin A serum menjadi 32.92 µg/dl, jika dibandingkan dengan data baseline terjadi kenaikan nilai rata-rata sebesar 3.8 µg/dl dan jika dibandingkan dengan data pada minggu keenam perlakuan, terjadi kenaikan nilai rata-rata kadar vitamin A serum sebesar 3.42 µg/dl. kenaikan ini meskipun menurunkan batas persentase marginal kategori serum vitamin A responden, akan tetapi juga diikuti meningkatnya persentase kategori responden dengan tingkat kadar vitamin A serum berlebihan hingga 10%. Sedangkan prevalensi responden dengan kategori kadar vitamin A serum defisit tetap yakni 3.33% (Gambar 6). Pada minggu kesepuluh suplementasi (Tabel 16), kenaikan nilai rata-rata kadar vitamin A meskipun tidak signifikan (P>0.05) cenderung dipengaruhi oleh suplementasi dan vaksinasi. Gambar 6 Kadar vitamin A serum kelompok MVM + TT sebelum ( Baseline) enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline). Jika dikaji lebih mendalam, kadar serum vitamin A pada sebelum, enam minggu perlakuan suplementasi sampai akhir perlakuan suplementasi (minggu kesepuluh) untuk kelompok kontrol (plasebo dan plasebo + TT) dapat dilihat dari pendekatan pengaruh pola konsumsi pangan terhadap kadar serum vitamin A yang pada awalnya memang pada batas kadar serum vitamin A (20-50 µg/dl). Pelabelan TT pada salah satu kelompok kontrol da salah satu kelompok perlakuan pada enam minggu pertama belum menunjukkan perlakuan khusus vaksin, karena pemberian vaksinsasi Tetanus toxoid (TT) baru diberikan pada saat pengambilan darah I (intermediate) yakni ketika akan dilakukan perlakuan sampai empat minggu berikutnya, sehingga pengaruh “tantangan” dari luar berupa vaksin belum ada, pelabelan TT ini telah ditetapan sebagaimana rancangan percobaan sejak awal dan untuk melihat kepentingan dari masing-masing kelompok di tiap tahap perlakuan. Berdasarkann frekuensi konsumsi secara umum untuk seluruh kelompok perlakuan, pangan sumber energi terutama dari pangan sumber karbohidrat (Tabel 11), untuk frekuensi sumber pangan pokok tunggal yakni nasi, seluruh responden dari tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi dengan frekuensi setiap hari (minimal 1x/sehari), sedangkan sumber pangan lainnya seperti mie, roti, jagung, biskuit dan ubi jalar, proporsi persentase terbesar responden berada pada kategori jarang (3-5x/minggu). Pangan nasi berdasarkan uji korelasi, berhubungan nyata dengan kadar vitamin A serum pada sebelum perlakuan suplementsi (baseline) (p<0,05), sedangkan pangan sumber karbohidrat lainnya yakni mie, roti, jagung, biskuit dan ubi jalar tidak berhubungan nyata dengan kadar vitamin A serum (Lampiran 6). Dengan menggunakan uji regresi, diketahui bahwa konsumsi nasi juga berpengaruh dengan kadar vitamin A serum responden pada sebelum suplementasi (baseline) (p<0,05), sedangkan pangan sumber karbohidrat lainya tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7). Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi metabolik tubuh yang digunakan sehari-hari (Bender, 2002). Energi sangat dibutuhkan pada banyak proses metabolisme dalam tubuh guna keberlangsungan kehidupan. Kebutuhan energi bagi kehidupan antara lain untuk berjalannya sistem biosintetik (anabolik) yang dengan keberadaan energi, substansi dapat terbentuk dari prekursor sederhana (Groff & Gropper, 1999) yakni terkait pula dengan metabolisme vitamin A dalam tubuh. Menurut Groff dan Gropper (1999), vitamin A sebagai retinyl ester dalam bentuk retinyl palmitat di temukan terutama pada beberapa bahan makanan yang berasal dari hewan, terutama hati dan produk olahannya, sama dengan ikan seperti tuna dan sarden. Retinyl ester biasanya ditemukan berikatan dengan kompleks protein dalam bahan makanan, bentuk aktif vitamin A ini berada hanya pada bahan pangan hewani (Gallagher dalam Krause’s 2004). Berdasarkan data frekuensi konsumsi pangan sumber protein, untuk protein nabati (Tabel 12) hampir setengah dari seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi tempe dan tahu dalam frekuensi sering. Berdasarkan uji korelasi tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan sumber protein nabati (tempe, tahu dan oncom) dengan kadar vitamin A serum pada sebelum suplementasi (baseline) enam minggu (intermediate)dan setelah sepuluh minggu suplementasi (endline) (p>0,05) (Lampiran 8). Frekuensi sumber protein hewani (Tabel 13), hampir setengah responden di tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi telur dalam frekuensi sering, konsumsi ayam dan hati ayam pada kelompok plasebo minimal satu kali seminggu, sedangkan konsumsi ikan segar, kurang dari setengah responden mengkonsumsi dengan kategori jarang (satu sampai tiga kali sebulan). Berdasarkan uji korelasi pada Lampiran 9, terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan sumber protein hewani yang berasal dari daging sapi, hati sapi dan ikan segar pada tiap kelompok perlakuan dengan kadar vitamin A serum sebelum perlakuan (baseline) (p<0,01), sedangkan pangan sumber protein hewani lainnya seperti telur, ayam, hati ayam, susu bubuk dan keju tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan kadar vitamin A serum. Uji regresi menunjukkan bahwa hanya daging sapi dan ikan segar yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar vitamin A serum pada sebelum perlakuan suplementasi (baseline) (p<0,01). Konsumsi daging baik ayam maupun daging sapi responden terutama pada saat mereka menerima gaji, sehingga sebagian besar responden pada tiap perlakuan memiliki frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani terutama daging dan ikan segar dalam frekuensi jarang, akan tetapi meskipun demikian ternyata berdasarkan uji regresi terdapat pengaruh yang nyata antara konsumsi pangan sumber protein hewani yakni yang berasal dari daging sapi dan ikan segar terhadap kadar vitamin A serum responden (p<0,05). Sumber vitamin A yang berasal dari hewan terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1 (retinol), sedang ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2 (dehidro retinol) (Moeljoharjo, 1993). Pangan hewani adalah sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya vitamin A, terutama yang termasuk ke dalam pangan hewani adalah daging dan ikan (Khomsan 2004). Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang sangat erat kaitannya dengan vitamin A terutama pada proses pencernaan, absorpsi, metabolisme transport dan juga penyimpanan vitamin A dalam jaringan. Protein menjadi bahasan yang sangat penting dalam melihat apakah pola konsumsi berpengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A pada kelompok kontrol. Konsumsi pangan sumber provitamin A pada kelompok kontrol untuk buahbuahan, frekuensi konsumsi sumber buahan-buahan yakni jambu biji, pepaya dan jeruk untuk seluruh kelompok perlakuan masih kurang. Berdasarkan uji korelasi, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan sumber buahbuahan dengan kadar vitamin A (p>0,05). Konsumsi sayuran sumber vitamin A seperti bayam, daun singkong, kangkung, kacang panjang dan sawi memiliki frekuensi konsumsi yang tidak jauh berbeda dengan buah-buahan. Karotenoid, yakni pigmen sumber provitamin A berwarna merah, orange dan kuning yang dapat disintesa oleh berbagai jenis tanaman, berlimpah dalam jumlah sangat banyak (lebih dari 600), tetapi kurang dari 10 persen dari pigmen-pigmen ini yang memiliki aktivitas vitamin A. Pigmen dengan aktivtas vitamin A terbaik yakni β-karoten. Karotenoid terdapat secara alami pada buah-buahan dan sayuran (Groff dan gropper, 1999). Berdasarkan uji korelasi, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan sayuran dengan kadar vitamin A serum (p>0,05). Kenaikan nilai kadar vitamin A serum pada kelompok kontrol plasebo + TT di minggu akhir perlakuan yakni pada minggu kesepuluh diduga karena pemberian vaksinasi Tetanus toxoid. Peningkatan serum vitamin A berkaitan dengan adanya faktor stimulan yang berasal dari Tetanus toxoid yang dimasukan kedalam tubuh, ancaman tersebut menstimulasi penyerapan lebih banyak vitamin A dalam jaringan untuk mengembalikan tingkat kenormalan status vitamin A tubuh yang dipakai sebagai proteksi terhadap agen asing yang masuk. Perubahan kategori kadar vitamin A serum pada kelompok kontrol hingga mencapai batas kadar berlebihan baik pada enam minggu maupun setelah sepuluh minggu perlakuan kemungkinan juga disebabkan dengan istilah yang disebut placebo effect. Hal ini dapat terjadi karena penampakan fisik kapsul plsaebo yang identik berupa bentuk, warna dan rasa yang sama dengan kapsul suplementasi dan ketidaktahuan responden terhadap jenis perlakuan yang diberikan. Menurut Read (2004), efek plasebo timbul karena begitu pentingnya penekanan keyakinan dan kepercayaan diri terhadap perbaikan dan penyembuhan. Plasebo bekerja sebagai sugesti dan merupakan obat pada tingkat ide dan khayalan. Orang yang menerima perlakuan sama dengan yang lain secara ide telah yakin bahwa hal tersebut dapat mengobati. Selanjutnya perasaan tersebut membawa pada kepercayaan diri, yang secara tak sadar dapat mengontrol normalisasi aktivitas dari sistem susunan saraf simpatetik dan para simpatetik, kemudian dapat menurunkan tekanan emosi dan memulihkan fungsi-fungsi viseral. Sehingga secara sugesti mereka merasa ada perbaikan tingkat kesehatan, nafsu makan meningkat, tidak mudah lelah dan merasa lebih energik dibandingkan sebelum mengkonsumsi kapsul suplementasi. Penurunan rata-rata kadar vitamin A serum di minggu keenam pada kelompok perlakuan dengan intervensi suplementasi yakni pada kelompok MVM kemungkinan terjadi karena masih kurangnya konsumsi sumber pangan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A, meskipun ada penambahan intik vitamin A yang berasal dari kaplet suplementasi. Hal ini terlihat dari frekuensi konsumsi pangan harian. Frekuensi konsumsi dapat dipakai untuk mengukur intik pangan dan gizi jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk menentukan perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam waktu lama (Spark 2007). Frekuensi konsumsi pangan sumber protein disamping pangan lainnya sangat berpengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A, frekuensi konsumsi protein nabati (Tabel 12), untuk kelompok MVM memang telah baik, yakni lebih dari setengah responden mengkonsumsi pangan sumber protein nabati dalam frekuensi sering (tempe dan tahu), akan tetapi untuk konsumsi pangan sumber protein hewani, lebih dari setengah responden atau bahkan sebagian besar masih mengkonsumsi dalam frekuensi jarang dan sangat jarang (Tabel 13), hanya pangan telur yang memiliki frekuensi konsumsi sering, begitu juga dengan pangan sumber buah-buahan dan sayuran yang merupakan salah satu sumber provitamin A, kurang dari setengan responden mengkonsumsi sumber pangan tersebut dalam frekuensi konsumsi masing-masing pangan pada kategori jarang (1-2x /minggu) (Tabel 14 dan 15). Rata-rata konsumsi total harian responden pada kelompok MVM di minggu keenam perlakuan suplementasi, untuk protein mengalami penurunan intik (Tabel 16) begitu juga rata-rata konsumsi total harian vitamin A. Protein sangat berpengaruh terhadap status vitamin A, disamping komponen lain yang juga berpengaruh. Menurut Groff dan Gropper (1999), aktivitas enzim karotenoid dioksidase yang memecah β-karoten menurun dengan berkurangnya tingkat kecukupan protein dalam tubuh. Secara keseluruhan, metabolisme vitamin A sangat berkaitan erat dengan status protein karena transport dan penggunaan vitamin A tergantung dari beberapa sintesa vitamin A terikat protein atau retinol-binding protein (RBP) di dalam tubuh. Dalam kasus defisiensi, kekurangan energi-protein dapat menurunkan produksi apo-retinol-binding protein hati karena terbatasnya persediaan substrat protein (Russell et al, 1983 dalam Gibson 2005). Retinol-binding protein (RBP) adalah protein transport vitamin A spesifik, disebut holo-RBP ketika berikatan dengan retinol, bagian tanpa retinol disebut apo-RBP. RBP terakumulasi dalam hati sebagai apo-RBP (Gibson, 2005). Sebagai konsekuensinya, sangat berpengaruh terhadap pelepasan vitamin A oleh hati, menghasilkan kadar retinol serum yang rendah, meskipun simpanan vitamin A dalam hati dalam keadaan cukup. Selanjutnya jika kandungan retinol dalam hati telah habis, akan terjadi defisiensi vitamin A, dan kadar keduanya baik retinol dan RBP akan turun (Christian dan West, 1998). Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Responden Gambaran Imunitas responden Profil imunitas responden menggambarkan status kekebalan tubuh responden terhadap infeksi bakteri dan patogen lainnya (Sunaryo 2004). Profil imunitas yang diukur meliputi jumlah limfosit dan sel NK (natural killer) (Tabel 17). Total limfosit dihitung dengan menggunakan rumus limfosit (%) : total limfosit dikali 100 dibagi 9000 (WBC) (Gibson 2005), sedangkan dengan perhitungan yang sama diperoleh untuk jumlah NK cell (%) (%) : total NK cell dikali 100 dibagi 9000 (WBC). Limfosit Beradasarkan Tabel 24, pada enam minggu suplementasi terjadi penurunan jumlah rata-rata limfosit pada tiap kelompok, yakni plasebo 3.22%, plasebo + TT 0.61%, MVM 0.7% dan MVM + TT 0.54% meskipun demikian, penurunan ini masih dalam kisaran normal jumlah limfosit yakni 20-40%. Setelah sepuluh minggu perlakuan, dibandingkan dengan data jumlah limfosit sebelum perlakuan, terjadi penurunan pada hampir seluruh kelompok. Penurunan masing-masing sebesar 3.01% plasebo, 3.83% plasebo + TT, 0.88% MVM, sedangkan pada kelompok MVM + TT terjadi kenaikan jumlah rata-rata limfosit sebesar 2.76%. Jika dibandingkan dengan data enam minggu perlakuan, terdapat penurunan pada kelompok perlakuan plasebo + TT dan MVM masingmasing sebesar 3.22% dan 0.88%, sedangkan pada kelompok plasebo dan MVM + TT terjadi kenaikan jumlah limfosit masing-masing sebesar 0.2% dan 2.76%. pada akhir suplementasi, kisaran jumlah limfosit seluruh kelompok masih dalam kisaran normal jumlah limfosit 20-40%. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gambar % total limfosit 7. 42 41 40 39 38 37 36 35 34 33 40,64 39,54 38,93 37,63 37,43 39,27 38,57 37,69 39,49 37,27 36,73 35,71 Plasebo Baseline Plasebo + TT MVM Intermediate MVM + TT Endline Gambar 7 Pengaruh Suplementasi terhadap total limfosit pada sebelum, enam minggu dan sepuluh minggu perlakuan suplementasi. Hasil uji statistik secara umum menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna (p>0.05) jumlah limfosit pada sebelum, enam minggu perlakuan dan sepuluh minggu perlakuan pada masing-masing kelompok. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa perlakuan suplementasi dengan vaksinasi Tetanus toxoid cenderung meningkatkan jumlah limfosit responden seperti terlihat pada kelompok MVM + TT (Tabel 17). Tabel 17 Pengaruh suplementasi terhadap profil imunitas Profil Imunitas Plasebo Plasebo + TT MVM MVM + TT (n=28) (n=30) (n=30) (n=30) p Normal (%) Limfosit Baseline (0) 40,64+6.18a 39,54+5.24a 39,27+5.83a 37,27+5.84a 0,164 Intermediate(1) 37,43+7.96a 38,93+6.67a 38,57+7.20a 36,73+8.59a 0,662 a a a 0,541 Selisih 1 - 0 -3,22+8.17 Endline (2) 37,63+6.43a 35,71+9.39a 37,69+6.36a 39,49+5.24a 0,234 Selisih 2 - 0 -3,01+7.79a -3,83+7.76a -1,58+6.56a 2,22+7.10a 0,541 Selisih 2 - 1 a a a a 0,108 0,20+10.30 -0,61+7.78 -3,22+9.39 -0,7+8.51 a -0,88+9.21 -0,54+8.26 2,76+8.86 20-40 Sel NK 9,36+3,49a Baseline (0) a Intermediate(1) 7,34+3,21 Selisih 0 - 1 2,03+3.44a Endline (2) Selisih 2 - 0 8,27+3.57 b 1,10+3.16 a 7,41+2.49a 7,09+2.60a 14,63+45.31 7,22+44.99a 6,69+2.01 c -0,71+2.30 a 0,088 a 12,52+31.08 14,33+84.59a 4,15+31.38a 21,42+85.14 6,01+2.57 a 8,37+5.41a d -1,09+3.04 a 6,99+3.97 a 0,768 0,669 e 0,051 a 0,877 -1,38+3.95 5,630,9 0,94+4.20a -7,93+45.23a -15,41+84.78a -5,54+31.57a 0,677 Keterangan: (1) Data baseline = data 0 minggu; (1) Intermediate = Data 6 minggu perlakuan; (2) Endline = Data 10 minggu perlakuan 1 x ± SD ; * Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok (p<0.05). Selisih 2 - 1 Sel NK (Natural Killer Cell) Tabel 17 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah rata-rata NK cell pada hampir seluruh kelompok perlakuan, kecuali pada kelompok plasebo. Rata-rata peningkatan untuk kelompok plaseb + TT sebesar 7.22%, MVM 14.33% dan MVM + TT 4.15%, sedangkan plasebo, rata-rata jumlah NK cell turun sebesar 2.03%. berdasarkan uji statistik, pada minggu keenam perlakuan meski tidak berbeda nyata (P>0.05), dapat dikatakan bahwa suplementasi dan perlakuan vaksinasi dapat meningkatkan rata-rata jumlah NK cell responden. Setelah sepuluh minggu perlakuan terjadi penurunan ratarata-rata jumlah NK cell pada seluruh kelompok perlakuann, jika dibandingkan dengan data baseline rata-rata penurunan untuk plasebo 1.1%, plasebo + TT 0.71%, MVM 1.09% dan MVM + TT 1.38%. jika dibandingkan dengan enam minggu perlakuan, rata-rata penurunan jumlah plasebo 0.94%, plasebo + TT 7.93%, MVM 15.41% dan MVM + TT sebesar 5.54%. Penuruan ini masih dalam kisaran normal jumlah NK cell sebesar 5.6-30.9% hasil seperti pada Gambar 8. Berdasarkan hasil uji, tidak terdapat perbedaan berarti jumlah rata-rata NK cell pada tiap kelompok perlakuan. 25 21,42 % jumlah sel NK 20 14,63 15 10 12,52 9,36 7,348,27 7,41 6,69 7,09 8,37 6,01 6,99 5 0 Plasebo Plasebo + TT Baseline (0) MVM Intermediate(1) MVM + TT Endline (2) Gambar 8 Pengaruh Suplementasi terhadap jumlah sel NK pada sebelum, enam minggu dan sepuluh minggu perlakusuplementasi. Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Respon Imunitas Responden Limfosit Vitamin A yang yang bekerja dalam bentuk all-trans retinoic acid, 9-cis retionoic acid, hasil metabilisme lain dari vitamin A dan juga nuclear retinoic acid receptor memerankan peranan yang penting dalam pengaturan fungsi kekebalan tubuh, baik kekebalan bawaan dan kekebalan diperantarai sel juga respon antibodi humoral (Wintergerst et al 2007). Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 13), tidak terdapat hubungan yang nyata antara kadar vitamin A serum dengan peningkatan jumlah limfosit (p>0.05) pada tiap tahapan perlakuan pada sebelum, enam minggu perlakuan maupun setelah sepuluh minggu perlakuan suplementasi (Tabel 18). Pada responden dengan kadar vitamin A normal yakni mulai sebelum (baseline), enam minggu hingga minggu kesepuluh berada pada kisaran (20-50 µg/dl), perlakuan suplementasi multivitamin mineral dan vaksinasi tidak memperlihatkan respon yang nyata. Kondisi telah tercukupinya kebutuhan zat gizi terutama vitamin A menyebabkan perkembangan dan proliferasi sel-sel limfosit berjalan normal, tidak terjadi peningkatan yang berarti dengan perbaikan kadar vitamin A serum. Hal ini dikarenakan, sejak awal rata-rata status kadar vitamin A serum responden dalam kategori cukup (20-50 µg/dl) dan status kesehatan responden yang baik (secara klinis), berbeda dengan kondisi pada defisiensi. Vitamin A dalam bentuk retinoic acid receptor merupakan substrat yang mengaktivasi proliferasi limfosit, bahkan vitamin A menjalankan peran yang esensial dalam perkembangan dan diferensiasi Th1 (T helper) dan Th2 dari subset limfosit. Keadaan defisiensi vitamin A merangsang peningkatan terhadap respon T helper tipe 1 (Th1) limfosit (Semba, 2002). Defisiensi vitamin A berkaitan dengan meningkatnya produksi IL-12 (menginduksikan perkembangan sel T limfosit). Suplementasi pada orang dengan defisiensi vitamin A telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam perbaikan kondisi peradangan, telah terbukti bahwa suplementasi mencegah meningkatnya tahapan peradangan akibat defisiensi Bahkan keadaan defisiensi vitamin A kemungkinan meningkatkan respon jaringan terhadap peradangan secara berlebihan, (Wintergerst et al 2007). Demikian pula dengan perlakuan dengan vaksinasi, pemberian Tetanus toxoid tidak memberikan respon yang nyata terhadap peningkatan jumlah limfosit. Hal ini dikarenakan responden yang telah memperoleh vaksinasi Tetanus toxoid sebelum penelitian dilaksanankan, terkait juga dengan status responden yang telah menikah, yakni vaksinasi Tetanus diberikan pada saat akan menikah dan sebelum hamil. Telah diketahui bahwa limfosit menjalankan peran penting dalam dalam sistem kekebalan spesifik, berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang dianggap asing bagi dirinya, benda asing yang terpapar pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat kemudian dihancurkan (Baratawidjaja 2006). Menurut Roitt (2002), saat dibuat antibodi terhadap suatu antigen infektif, perdefinisi organisme harus ada dalam lingkungan kita dan kita akan bertemu lagi dengannya. Mekanisme kekebalan yang terjadi pada paparan pertama dengan antigen merekam informasi dan memberikan suatu sistem memori yang memungkinkan untuk bereaksi terhadap setiap paparan berikutnya yang lebih cepat, dengan demikian tubuh secara efektif siap menolak setiap invasi berikutnya oleh organisme spesifik dengan suatu sistem kekebalan yang telah ditanamkan. Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B berasal dari sel-sel multipoten di sumsum tulang belakang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, benda tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ini ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisir racunnya. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular, sel tersebut berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Fungsi utama sistem imun spesifik selular ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraselular, virus, jamur dan parasit (Baratawidjaja 2006). Paparan Tetanus toxoid yang kedua atau ketiga kalinya pada diri responden tidak menginduksikan proliferasi sel limfosit untuk menanggapi ancaman agen asing tersebut, karena Tetanus toxoid telah dikenali oleh antibodi limfosit dan dapat ditangani secara cepat dan efektif sehingga pada tingkat plasma tidak terjadi peningkatan jumlah limfosit. Defisiensi vitamin A berdampak pada kekebalan bawaan yakni akibat terhambatnya regenerasi normal dari dinding mukosa sel epitel selama terjadi infeksi dan berdampak pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi patogen. Suplementasi vitamin A telah terbukti dapat meningkatkan proses regenerasi dari permukaan sel mukosa pada anak yang mendapatkan perlakuan pemulihan dari diare dibandingkan dengan anak yang menerima plasebo (Wintergerst et al 2007). Tabel 18 Pengaruh kadar vitamin A serum terhadap profil imunitas Profil imunitas Kadar vitamin A serum (µg/dl) korelasi Pearson Signifikansi (2-tailed) baseline 0,114 0,220 intemediate 0,032 0,729 0,024 0,800 0,005 0,953 0,103 0,219 0,268 0,017 Limfosit endline Sel NK baseline intemediate endline Sel NK (Natural Killer Cell) Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin A serum pada sebelum dan enam minggu perlakuan suplementasi terhadap jumlah sel NK (p>0.05), sedangkan pada akhir suplementasi menunjukkan terdapat korelasi positif antara kadar vitamin A serum terhadap jumlah sel NK secara bermakna (p<0.05). Sel NK merupakan salah satu dari sistem imunitas nonspesifik yang bekerja tanpa tergantung adanya antibodi. Mekanisme fisiologinya berupa komponen normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut. Jumlahnya dapat meningkat karena adanya infeksi dan sistem ini merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respon langsung (Baratawidjaja 2006). Pada enam minggu perlakuan suplementasi terdapat kecenderungan peningkatan jumlah sel NK pada kelompok plasebo + TT, MVM dan MVM + TT. Sedangkan pada kelompok plasebo terjadi penurunan, akan tetapi penurunan pada kelompok plasebo pada enam minggu masih pada batas normal jumlah sel NK. Peningkatan di enam minggu perlakuan seperti pada Gambar 15 terjadi karena belum adanya kestabilan sistem imunitas yang dibentuk oleh tubuh sehingga sel NK sebagai sistem imunitas nonspesifik masih terus giat mempertahankan imunitas tubuh, akan tetapi pembentukan sel NK masih dalam taraf normal kebutuhan untuk pertahanan. Aktivitas sel NK tergantung tingkat kesehatan dan status gizi seseorang (Ravaglia et al 2000). Secara jelas dikemukakan bahwa vitamin A kemungkinan mempengaruhi aktivitas sel NK pada seseorang dengan keadaan defisiensi (Semba 1998). Keadaan defisiensi vitamin A dikaitkan dengan berkurangnya jumlah dan aktivitas dari sel NK (Wintergerst et al 2007). Hingga akhir minggu keenam perlakuan suplementasi kemungkinan mulai terjadi perbaikan dan kestabilan dari pembentukan sistem imun, yakni terlihat bahwa terdapat peningkatan persentase terbesar jumlah sel NK hingga mencapai 21,24% pada kelompok MVM, akan tetapi peningkatan ini tidak secara signifikan meningkatkan respon sel NK pada sisitem imun. Setelah sepuluh minggu perlakuan suplementasi, terlihat secara nyata bahwa terdapat korelasi antara kadar vitamin A dengan sel NK. Uji regresi memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kadar serum vitamin A dengan respon sel NK pada akhir perlakuan suplementasi (endline) (Lampiran 14), kadar vitamin A serum secara signifikan berpengaruh terhadap respon sel NK. Kenormalan kadar serum vitamin A responden berkaitan dengan meningkatnya respon imunitas tubuh nonspesifik lainnya seperti kulit terhadap invasi patogen sehingga proliferasi dan produksi sel NK sebagai sistem imunitas nonspesifik berikutnya hanya pada jumlah pada taraf normal untuk pertahanan tidak sampai terjadi produksi yang berlebih akibat ancaman infeksi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil penelitian, Karakteristik responden yakni lebih dari setengah responden dari semua kelompok perlakuan termasuk kategori usia 30-39, hampir seluruh kelompok perlakuan pada penelitian ini dikategorikan status ekonomi sejahtera, sebagian besar responden merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga <4 orang, secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan responden masih rendah dan setengah dari kelompok plasebo dan lebih dari setengah pada kelompok perlakuan plasebo + TT, MVM dan MVM + TT memiliki status gizi baik. 2. Seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi makanan pokok sumber karbohidrat tunggal (nasi) minimal satu kali sehari, sedangkan pangan sumber karbohidrat lainnya (mie, roti, jagung, biskuit) pada kategori jarang. Frekuensi konsumsi protein, untuk protein nabati telah baik, frekuensi protein hewani yakni telur secara umum dalam kategori cukup. Frekuensi konsumsi buah-buahan dan sayuran secara umum masih kurang. 3. Berdasarkan uji korelasi, konsumsi kelompok pangan sumber protein hewani antara lain daging sapi hati sapi dan ikan segar memiliki hubungan yang nyata dengan kadar vitamin A serum dan uji regresi menyatakan bahwa hanya daging sapi dan ikan segar yang berpengaruh terhadap kadar vitamin A serum. 4. Suplementasi multivitamin mineral cenderung meningkatkan kadar vitamin A serum, meskipun sejak awal kadar vitamin A serum responden dalam keadaan normal. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan dengan plasebo. 5. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara suplementasi multivitamin mineral dengan jumlah limfosit pada sebelum, enam minggu perlakuan dan sepuluh minggu perlakuan pada masing-masing kelompok. Akan tetapi dapat dikatakan bahwa perlakuan suplementasi dengan vaksinasi Tetanus toxoid cenderung meningkatkan jumlah limfosit responden. 6. Tidak terdapat perbedaan beermakna antara suplementasi multivitamin mineral dengan jumlah rata-rata NK cell pada tiap kelompok perlakuan. 7. Tidak terdapat korelasi yang nyata antara kadar vitamin A serum dengan peningkatan jumlah limfosit pada tiap tahapan perlakuan pada sebelum, enam minggu perlakuan maupun setelah sepuluh minggu perlakuan suplementasi. 8. Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin A serum pada sebelum dan enam minggu perlakuan suplementasi terhadap jumlah sel NK, akan tetapi pada akhir suplementasi menunjukkan terdapat korelasi positif antara kadar vitamin A serum terhadap jumlah sel NK secara bermakna. 9. Uji regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara kadar vitamin A serum dengan respon sel NK pada akhir perlakuan suplementasi secara bermakna (p<0,05). Saran 1. Data penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi penelitianpenelitian berikutnya yakni intevensi suplementasi pada orang dengan status kesehatan yang baik. 2. Konsumsi suplemen hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan. DAFTAR PUSTAKA Aboud S, Matre R, Lyamuya EF, Kristoffersen EK. 2000. Levels and avidity of antibodies to Tetanus toxoid in children Aged 1-15 Years in Dar Es Salaam and Bagamoyo, Tanzania. Ann Trop Paediatr 20(4):313-22. Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. 2001. Concomitant supplemental vitamin A enhances the respon to weekly supplemental iron folic acid in anemia teenagers in urban Bangladesh. Am J Clin Nutr 74:109-115. Almatsier. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan, Nuri. Dan Koswara, Sutrisno. 1992. Kimia Vitamin. Ed.ke-1. Cet. Ke-1. Rajawali : Jakarta. Anonim. 6 Nov 2008. Melindungi pada pahlawan devisa. Koran Tempo:A3 (Kolom 2). Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Universitas Sriwijaya. Palembang. Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat dalam Soekirman et al, editor. Widya Karya Pangan dan Gizi VII Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi; Jakarta, 17-19 Mei 2004 : LIPI, hlm 129-143. Bagriansky Jack, Ranum P. 1998. Vitamin A fortification Of P.L. 480 vegetable oil. www.sustaintech.org. Sustain : Washington DC. Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Bender DA. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism [3rd Edition]. London : Taylor & Francis. ---------. 2003. Nutritional Biochemistry of the Vitamin. 2nd ed. Cambridge University Press. U K. ---------, Mayes PA. 2006. Micronutrients : Vitamins and Minerals. dalam Harperis Illustrated Biochemistry. Twenty-Seventh Edition. Murray et al, editor. The McGrow-Hill Companies. Berg Alen. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. (Zahara, penerjemah). CV. Rajawali. Jakarta. [BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN. Bleck TP. 1991. Tetanus: Pathophysiology, management and prophylaxis. Dis Mon 37(9):565-603. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor HK.00.0523.3644. Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan Suplemen Makanan. Jakarta: BPOM. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006. Buku 2 : Kabupaten. BPS Jakarta. Brown KH, Rajan MM, Charaborty J, Aziz KMA, Phil M. 1980. Failure of a large dose of vitamin A to enhance the antibody response to Tetanus toxoid in Children. Am J Clin Nutr 33:212-217. Chairunita. 2003. Studi Tentang Gaya Hidup, Pola Konsumsi Pangan dan Status Gizi Siswa SLTPN 1 Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Christenson B, Bottiger M. 1991. Immunity and immunization of children again Tetanus in Sweden. Scand J Infect Dis 23(5):643-7. Christian P, West KP Jr. 1998. Interaction between zink and vitamin A : An update. Am J Clin Nutr 68:435S-441S. de Pee, S. Dary, O. 2002. Biochemical indicators of vitamin A deficiency: serum Retinol and Serum Retinol Binding Protein. Proceeding of the XX International Vitamin A Consultative Group Meeting. J Nutr 132: 2895S2901S. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia. Jakarta : Depkes. --------------. 1996. Pedoman Praktis Menilai Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta: Depkes. Dietz V, Galazka A, Van Loon F, Cochi S. 1997. Factors affecting the immunogenicity and potency of Tetanus toxoid: implication for the elimination of neonatal and non-neonatal Tetanus as public health problems. Bull World Health Organ 75(1):81-93. Gallagher, M.L. 2004. Vitamins dalam Krause’s Food, Nutrition & diet Therapy [11th edition]. Elsevier, USA: The Curtis Centre. Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assessment. 2nd ed. Oxford University Press. New York. Groff JL, Gropper SS. 1999. Advance Nutrition and Human Metabolism. 3rd ed. Wadsworth. USA. Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Husaini. 1982. Penggunaan Garam Fortifikasi untuk Menaggulangi Masalah KVA. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [IOM] Institut of Medicine. 2004. Dietary Reference Intakes. Aplications in Dietary Assesment. Washington DC : National Academy Press. Jellife DB. 1966. Assesment of the Nutrition Status Of The Community. WHO, Geneva. Khomsan Ali. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. PT. Grasindo : Jakarta. Anonim. 2008. Melindungi Para Pahlawan Devisa. Koran Tempo Edisi No. 2650 Tahun VIII. 6 November 2008. Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Lachance PA. 1998. Overview of key nutrition micronutrient aspects. Nutrition review 56(4);S34-S39. Lemeshow S. 1993. Adequancy of Sample Size in Health Study. Yogyakarta : Gajah Mada Press. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (A. Parakkasi, penerjemah). UI Press : Jakarta. Mattjik AA. Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab jilid 1. Ed. Ke-2. Bogor : IPB Press. Moeljoharjo DS. 1993. Biokimia Umum Bagian II. Muchtadi D. 2000. Sayuran-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan : Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor : Fakultas Teknologi Pangan, Institut Pertanian Bogor. Muhilal et al. 1998. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan (AKG). Di dalam : Winarno et al, editor. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII “Pangan dan Gizi Masa Depan Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Bangsa”. Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta : LIPI, hlm 843879. ----------. Sulaeman, A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam : Soekirman et al, editor. dalam Widya Karya Pangan dan Gizi VIII “ Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi” ; jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI, hlm 331-342. Nabet FB. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan. di dalam sistem biologis. Di dalam: Reaksi Biomolekuler Dampak Kesehatan dan Penangkalan. Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan; Jakarta, 4 April 1996. Nimmagadda A, O’Brien WA, Goetz MB. 1998. The Significance of Vitamin A and Carotenoid Status in Persons Infected by the Human Immunodeficincy Virus. Clin Infectios Diseases 26:711-8. Olson. 1987. Recommended Dietary Intake (RDI) of Vitamin A in Humans. Am J Clin Nutr 45:704-16. ---------. 1990. Hanbook of Vitamins / Edited by Lawrence J. Machlin.2nd ed, rev and expanded. Marcel Dekker Inc,hlm 10-12. ---------. 1994. Vitamin A, Retinoids, and Carotenoids. Dalam Modern Nutrition in Health and Disease. Maurice E. Shils, J.A Olson, Moshe Shiks, editor. 8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia, PA ----------, 1996. Biochemistry of Vitamin A and Carotenoids. Di dalam Sommer et al. Vitamin A Deficiency”Health, Survival, and Vision”. New York : Oxford University Press. Palupi S, Andarwulan N, Herawati D.. 2007. Manfaat Buah Merah untuk Meningkatkan kualitas Kesehatan : Studi Sifat Fungsional Terhadap Peningkatan Sistem Imun dan Penghambat Proliferasi Sel Kanker. Laporan Penelitain Hibah Bersaing XIV. Institut Pertanian Bogor. Papilia DE, Olds SW. 1981. Human Development. Edisi ke-2. New York : MC Grow Hill Book Company. Pasetti M, Eriksson P, Ferrero F, Manghi M. 1997. Serum Antibodies To Diphtheria-Tetanus-Pertussis Vaccine Components in Argentine Children. Infection 25(6):339-45. Stephensen CB, Gildengorin G. 2000. Serum retinol, the acute phase response, and the apparent misclassification of vitamin A status in the Third National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Clin Nutr 72:1170-8. Piliang WG, Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. IPB Press : Bogor. ---------. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. IPB Press : Bogor. Rahman MM. et al. 1999. Simultaneous vitamin A administration at routine immunization contact enhances antibody response to Diphtheria vaccine in infants younger than six months. J Nutr 129:2129-2195. Ravaglia G et al. 2000. Effect of micronutrient status on natural killer cell immune function in healthy free living subjects aged > 90 years. Am J Clin Nutr 71:590-8. Read Nicholas W. 2004. Plasebo and Panacea: The Healing Effect of Nutritional Supplements. Dalam Taking Sides: Clashing Views on Controversial Issues in Food and Nutrition. Marion Nestle dan L, Beth Dixon, editor. Mc Graw-Hill/Dushkin. Riyadi Hadi. 2001. Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Roit Ivan M. 2002. Imunologi. Ed. Ke-8. Alida Harahap et al, penerjemah; Jakarta : Widya Medika. Terjemahan dari : Essential Immunology. Russel RM, Iber FL, Krasinski SD, Miller P. 1983. Protein-energy malnutrition and liver dysfunction limit The usefulness of the relative dose response (RDR) test for predicting vitamin A deficiency. Human Nutrition : Clinical Nutrition 37C:361-371. Sanjur D. 1982. Social and Culture Perspektives in Nutrition. Washington DC : Prentice Hall, Inc. Saidin M, Sukati, Muherdiyantiningsih, Rustan E. 2003. Pengaruh Pemberian Tablet Besi dan Vitamin E pada Kadar Hemoglobin dan Status Besi Wanita Usia Subur yang diduga Menderita Thalasemia Karier. Penelitian Gizi dan Makanan 26:1-9. Sediaoetama. 1989. Sosio Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta : Dian Rakyat. Semba RD. 1998. The role of vitamin A and related retinoid in immune function. Nutr Rev 56:38S-48S. ----------. 2002. Vitamin A, Infection and Immne Function. Dalam Nutrition and Immnue Function. Calder, editor. CAB International. UK. Soekarjo DD, et al. 2004. Effectiveness of weekly vitamin A (10.000 IU) and iron (60 mg) supplementation for adoleccent boys and girls through schools in rural and urban East Java, Indonesia. Eur J Clin Nutr. 58:927-937. Spark Arlene J. 2007. Nutrition in Public Health. Principles, Policies, and Practices. CRC Press. Taylor & Francis Group. Bocca Raton. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. ----------. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara bekerja sama dengan Pusat Studi Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Sulaiman Zein. 1989. Perunahan Ukuran Antropometri Kaitanya dengan Status Serum Vitamin A pada Akan Pra-Sekolah. [Tesis]. Program Pascasarjana. Insitut Pertanian Bogor. Sunaryo ES. 2004. Pengaruh Pemberian L-Glutamin pada MPASI Pemulih Terhadap Mutu Protein, Profil Imunitas Seluler dan Pertumbuhan Bayi 6 Bulan yang Mengalami Berat Badan Kurang. [Diserasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Supriasa IDN, Fajar I. Bakri B. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC. Syarif H, Rustiawan J. 1992. Kajian Tindak Partisipatif dalam Sistem Pangan dan Gizi Masyarakat : Petunjuk Laboratorium. PAU. Institut Pertanian Bogor. WHO. 1997. Vitamin A Suplements. A Guide To Their Use In The Treatment And Prevention Of Vitamin A Deficiency And Xeropthalma. 2nd Ed. Widayani Sus. 2007. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan Respon Imun Anak Balita. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Insitut Pertanian Bogor. Widyaningsih LS. 2007. Kajian Pola Konsumsi Pangan Kaitannya Dengan Kadar Vitamin A Serum Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Widyastuti N. 2004. Akurasi Food Recall dan Food Record dalam Aplikasi Simplified Dietsry Assessment (SDA) pada Anak Usia Sekolah untuk Identifikasi Risiko Kurang Vitamin A. [Tesis]. Sekolah Pascsarjana. Insitut Pertanian Bogor. Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. 2007. Contribution of selected vitamins and trace elements to ummune function. Ann Nutr Metab 51:301-323. Wolvers, D, AW. Broekmans. Logman. et al. 2006. Effect of Mixture of Micronutrients, but not of Bovine Colostrum Concentrate, on Immune Funcion Parameter in Healthy Volunteers: a randomized PlaceboControlled Study. Nutrition Journal. 5:28:1475-2891. Zukesti E. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Perpustakaan Digital USU. Lampiran 1 Persetujuan etik (ethical clearance) penelitian Lampiran 2 Surat persetujuan untuk pemeriksaan (informed consent) Informed consent: SURAT PERSETUJUAN UNTUK PEMERIKSAAN Yang bertanda tangan di bawah ini adalah : Nama : Umur : Alamat 1.1.1.1 : Telah mendapat penjelasan dan mengerti tentang pemeriksaan “ PENGARUH SUPPLEMENNTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP RESPON IMUN, STATUS ANTIOXIDAN, DAN PROFIL LIPID“ dan setuju untuk ikut dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini. Mengetahui Bogor,_______________2008 Ka.Perusahaan, menyetujui, (__________________) Yang 1.1.2 Lampiran 3 Formulir monitoring intervensi responden 1.1.3 FORMULIR MONITORING INTERVENSI Kode No. Minggu ke hari I : A/B/C : Tgl Nama Responden : Petugas : Minum suplemen Ya Tidak Minggu ke hari VI II VII III VIII IV IX V X Tgl Minum suplemen Ya Tidak Lampiran 5 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat kelompok frekuensi pangan Nasi Mie Roti Jagung setiap hari (>7) setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) Perlakuan MVM + TT (n=30) n % 30 100.0 1 3.3 13 43.3 n 28 3 6 % 100.0 10.7 21.4 Plasebo + TT (n=30) n % 30 100.0 2 6,6 8 26.7 16 57.1 17 56.7 13 2 7.2 3 10 1 2 9 3.6 7.1 32.1 0 7 5 13 46.4 3 Plasebo (n=28) MVM (n=30) n 30 1 13 % 100.0 3.3 43.3 43.3 13 43.3 1 3.3 2 6.7 0 23.3 16.7 1 1 9 3.3 3.3 30.0 3 11 10.0 36.7 12 40.0 11 36.7 12 40.0 10.7 5 16.7 5 16.7 3 10.0 1 1 0 3.6 3.6 0 1 0 2 3.3 0 6.7 4 0 3 13.3 0 10.0 0 0 2 0 0 6.7 11 39.3 11 36.7 10 33.3 13 43.3 Biskuit Ubi jalar sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah 6 21.4 8 26.7 10 33.4 9 30 10 2 3 35.7 7.1 10.7 9 4 2 30.0 13.3 6.7 7 2 4 23.3 6.7 13.3 5 16.7 12 40.0 10 35.7 12 40.0 11 36.7 9 30.0 5 17.8 10 33.3 8 26.7 6 20 8 1 28.6 3.6 2 6 6.7 20.0 5 1 16.7 3.3 2 4 6.7 13.3 7 25.0 8 26.7 11 36.7 9 30.0 13 46.5 10 33.4 12 40 12 40 7 25.0 6 20.0 6 20.0 4 13.3 (Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati Perlakuan kelompo Plasebo + TT MVM + TT frekuensi Plasebo (n=28) k pangan (n=30) (n=30) n % n % n % Tempe Tahu Oncom setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah MVM (n=30) n % 8 13 5 28.6 46.4 17.9 7 13 9 23.3 43. 30.0 10 15 5 33.3 50.0 16.7 8 17 3 26.7 56.7 10.0 0 2 7 13 7 0 7.1 24 46.4 25.0 0 1 6 10 13 0 3.3 20 33.3 43.3 0 0 4 17 9 0 0 13.3 56.7 30.0 1 0 5 18 5 3.3 0 16.6 60.0 16.7 1 1 3 6 3.6 3.6 10.7 21.4 1 1 1 11 3.3 3.3 3.3 36.7 0 0 1 9 0 0 3.3 30.0 1 0 1 9 3.3 0 3.3 30.0 7 11 15 39.3 11 6 26.7 20.0 10 10 33.4 33.3 10 9 33.3 30.0 (Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani Perlakuan kelompok frekuensi Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM + TT (n=30) pangan n % n % n % setiap hari (>7) 5 17.9 6 20 5 16.7 sering (3-5x /minggu) 13 46.4 13 43.3 16 53.3 Telur jarang (1-2x /minggu) 8 28.6 11 36.7 9 30.0 sangat jarang (1-3x 2 7.2 0 0 0 0 /bln 0 0 0 0 0 0 setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) 5 17.9 7 23.3 5 16.7 jarang (1-2x /minggu) 15 53.6 20 66.7 15 50.0 Ayam sangat jarang (1-3x 7 25 10 33.3 3 10.0 /bln tidak pernah 0 0 0 0 1 3.6 sering (3-5x /minggu) 0 0 0 0 1 3.3 jarang (1-2x /minggu) 2 7.1 1 3.3 0 0 Daging sangat jarang (1-3x sapi 10 34.8 15 50 7 23.3 /bln tidak pernah 16 57.1 13 43.3 23 76.7 0 0 0 0 setiap hari (>7) 1 3.6 Hati sapi jarang (1-2x /minggu) 2 7.1 0 0 0 0 n 10 18 4 MVM (n=30) % 13.4 60.0 13.3 0 0 1 2 21 3.3 6.7 70.0 4 13.3 1 1 1 3.3 3.3 3.3 14 46.7 13 0 0 43.3 0 0 Hati ayam Ikan segar Susu bubuk Keju sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah 5 17.8 8 26.7 4 13.3 8 26.7 20 3 11 71.4 10.7 39.3 22 3 14 73.3 10.0 46.7 26 2 6 86.7 6.7 20.0 20 0 11 66.7 0 36.7 10 35.7 9 30 10 33.3 11 36.6 4 1 3 16 14.3 3.6 10.7 57.1 4 0 9 16 13.3 0 30.0 53.3 12 1 7 12 40.0 3.3 23.3 40.0 7 1 6 17 23.3 3.3 20.0 56.7 6 21.4 4 13.4 9 30 2 6.6 2 3 1 2 7.1 10.7 3.6 7.1 1 1 0 4 3.3 3.3 0 13.3 1 1 0 4 3.3 3.3 0 13.3 3 1 1 5 10.0 3.3 3.3 16.7 0 0 4 13.3 2 6.7 1 3.3 22 78.6 21 70.0 23 76.7 21 70.0 0 0 1 3.3 0 0 1 3.3 30 100.0 28 93.3 30 100.0 28 93.3 (Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber buah-buahan kelompok pangan Jambu biji Pepaya Jeruk frekuensi setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah Plasebo (n=28) n % 1 3.6 5 17.9 13 46.4 3 10.7 6 21.4 1 3.6 4 14.3 14 50.0 2 7.1 7 25.0 3 10.7 11 39.3 12 42.9 1 3.6 1 3.6 Perlakuan Plasebo + TT (n=30) MVM + TT (n=30) n % n % 1 3.3 1 3.3 11 36.7 6 20.0 6 20.0 6 20.0 4 13.3 5 16.7 8 26.7 12 40.0 0 0 0 0 4 13.3 4 13.3 11 36.7 11 36.7 9 30 7 23.4 6 20.0 8 26.7 3 10.0 3 10.0 9 30.0 7 23.3 13 43.3 15 50.0 4 13.4 4 13.3 1 3.3 1 3.3 n 1 10 9 3 6 0 6 12 6 5 2 14 10 2 1 MVM (n=30) % 3.3 33.3 30.0 10 20.0 0 20.0 40.0 30 16.7 6.7 46.7 33.3 6.7 3.3 (Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber sayuran Perlakuan kelompok frekuensi Plasebo (n=28) Plasebo + TT (n=30) MVM + TT (n=30) pangan n % n % n % setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) 5 17.9 8 26.7 5 16.7 jarang (1-2x 18 64.3 13 43.3 15 50.0 Bayam /minggu) sangat jarang (1-3x 1 3.6 5 16.7 4 23.4 /bln tidak pernah 4 14.3 4 13.3 6 20.0 setiap hari (>7) 1 3.3 sering (3-5x /minggu) 4 14.3 7 23.3 3 10.0 jarang (1-2x 13 46.4 16 53.3 14 46.7 /minggu) Kangkung sangat jarang (1-3x 2 7.1 2 6.6 8 26.7 /bln tidak pernah 9 32.1 5 16.7 4 13.3 setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) 11 39.3 5 16.7 3 10.0 jarang (1-2x 11 39.3 18 60.0 11 36.7 Daun /minggu) singkong sangat jarang (1-3x 4 14.2 6 20 11 36.7 /bln tidak pernah 2 7.1 1 3.3 5 16.7 Kacang sering (3-5x /minggu) 10 35.7 5 16.7 5 16.7 n 1 6 MVM (n=30) % 3.3 20.0 13 43.3 4 23.4 5 16.7 5 16.7 17 56.7 3 13.3 3 10.0 3 10.0 18 60.0 6 20 2 4 6.7 13.3 panjang Selada air Sawi Daun katuk jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah setiap hari (>7) sering (3-5x /minggu) jarang (1-2x /minggu) sangat jarang (1-3x /bln tidak pernah 10 35.7 19 63.3 16 53.3 18 60.0 4 14.3 2 6.7 6 20 3 10 4 1 14.3 3.6 4 13.3 3 10.0 4 13.3 1 3.6 1 3.3 5 16.7 4 14.2 5 16.7 5 16.6 22 78.6 28 93.3 24 80.0 9 32.1 6 20.0 5 16.7 19 1 7 63.3 3.3 23.3 12 42.9 13 43.3 16 53.3 14 46.7 2 7.2 4 13.3 4 13.3 4 13.4 5 17.9 7 23.3 5 16.7 3 10.0 1 3.6 1 3.3 7 25.0 1 3.3 4 13.3 3 10.0 1 3.6 6 20.0 3 10 3 10 19 67.9 23 76.7 22 73.3 23 76.7 89 Lampiran 13 Uji hubungan antara kadar vitamin A serum dengan jumlah sel NK pada sebelum, enam minggu dan sepuluh minggu perlakuan Correlations retinol retinol retinol_2 retinol_3 NK1 NK2 NK3 Pearson Correlation 1 ,690(**) ,575(**) 0,03 0,079 0,006 Sig. (2tailed) . 0 0 0,747 0,397 0,951 118 118 118 118 118 118 ,690(**) 1 ,689(**) 0,091 0,103 0,174 0 . 0 0,324 0,268 0,06 118 118 118 118 118 118 ,575(**) ,689(**) 1 0,147 ,242(**) ,219(*) 0 0 . 0,112 0,008 0,017 N 118 118 118 118 118 118 Pearson Correlation 0,03 0,091 0,147 1 0,08 ,602(**) Sig. (2tailed) 0,747 0,324 0,112 . 0,39 0 118 118 118 118 118 118 Pearson Correlation 0,079 0,103 ,242(**) 0,08 1 0,03 Sig. (2tailed) 0,397 0,268 0,008 0,39 . 0,75 118 118 118 118 118 118 Pearson Correlation 0,006 0,174 ,219(*) ,602(**) 0,03 1 Sig. (2tailed) 0,951 0,06 0,017 0 0,75 . 118 118 118 118 118 118 N retinol_2 Pearson Correlation Sig. (2tailed) N retinol_3 Pearson Correlation Sig. (2tailed) NK1 N NK2 N NK3 N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). 90 Lampiran 14 Uji korelasi antara kadar serum vitamin A pada minggu kesepuluh dengan respon sel NK pada minggu kesepuluh regression Variables Entered/Removed(b) Model 1 Variables Entered Variables Removed NK3(a) . Method Enter a All requested variables entered. b Dependent Variable: retinol_3 Model Summary Model 1 R ,219(a) R Square Std. Error of the Estimate Adjusted R Square 0,048 0,04 Change Statistics R Square Change F Change df1 df2 Sig. F Change 0,048 5,832 1 116 0,017 10,681 a Predictors: (Constant), NK3 ANOVA(b) Sum of Squares Model Regression 1 df Mean Square F 5,832 665,261 1 665,261 Residual 13232,77 116 114,076 Total 13898,04 117 Sig. ,017(a) a Predictors: (Constant), NK3 b Dependent Variable: retinol_3 Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1 B Std. Error (Constant) 25,377 2,374 NK3 0,008 0,003 a Dependent Variable: retinol_3 Standardized Coefficients t Sig. 10,691 0 2,415 0,017 Beta 0,219