to pdfx - IPB Repository

advertisement
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN
MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP
KADAR VITAMIN A SERUM KAITANNYA DENGAN
RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA WANITA USIA
PRODUKTIF
Oleh :
FIRDAUS
A54104053
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PENGARUH SUPLEMENTASI MULTIVITAMIN
MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP
KADAR VITAMIN A SERUM KAITANNYA DENGAN
RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA WANITA USIA
PRODUKTIF
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
Firdaus
A54104053
PROGRAM STUDI
GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
JUDUL
: PENGARUH
SUPLEMENTASI
MULTIVITAMIN
MINERAL DAN ASUPAN ZAT GIZI TERHADAP
KADAR
VITAMIN
A
SERUM
KAITANNYA
DENGAN RESPON LIMFOSIT DAN SEL NK PADA
WANITA USIA PRODUKTIF
Nama Mahasiswa
: Firdaus
Nomor Pokok
: A54104053
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Rimbawan
NIP. 131 629 744
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, MAgr.
NIP. 131 124 019
Tanggal lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi, tepatnya di kampung Bulak Temu pada
tanggal 08 Desember 1985 dari ayah Muhammad Namun dan Ibu Hj.
Esah. Penulis merupakan putra ke-7 dari delapan bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar pada tahun 1992, di SD
Negeri 1 Bulak Temu, lulus pada tahun 1998, kemudian dilanjutkan ke
SMP Negeri 1 Sukatani lulus pada tahun 2002. Kemudian penulis
melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi di SMU Negeri 1
Cikarang Utara, lulus tahun 2004.
Pada tahun yang sama, penulis
mengikuti seleksi untuk masuk IPB melalui jalur undangan seleksi masuk
IPB (USMI), dan diterima pada program studi Gizi Masyarakat dan
Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB.
Selama kuliah penulis pernah menjabat sebagai ketua seminar gizi
populer control yourself from 3 hypers “Kiat Sehat Mencegah dan
Mengendalikan Hipertensi, Hiperkolesterol, dan Hiperglikemia”, penulis
juga pernah mengikuti beberapa lomba program kreativitas mahasiswa
(PKM), peserta pelatihan HACCP Industri makanan dan jasa makanan
serta pengenalan ISO 22000-2005 tentang Standar Baru Keamanan Pangan
dan juga panitia pada pelucuran Biosketsa Prof. Muhilal dan seminar
Global Nutrition and Health Going Forward oleh Prof. Alfred Sommer.
Penulis menyusun tugas akhir dengan judul Pengaruh Suplementasi
Multivitamin Mineral dan Asupan Zat Gizi Terhadap kadar Vitamin
A Serum kaitannya dengan Respon Limfosit dan sel NK pada Wanita
Usia Subur di bawah bimbingan Dr. Rimbawan, sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian Institut Pertanan
Bogor.
PRAKATA
Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah Subhanahu wata’ala atas
limpahan rahmat, hidayah
dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir ini. Shalawat dan salam senantiasa tercurah
kepada suri tauladan kita Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalam beserta
keluarganya dan para sahabatnya.
“Tidak bersyukur kepada Allah, orang yang tidak berterima kasih kepada
manusia” (HR. Tirmidzi). Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih dan teriring doa kepada semua pihak yang dengan keikhlasan
telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan dan
penyelesaian skripsi ini. Yakni kepada :
1.
Dr. Rimbawan selaku pembimbing skripsi atas segala ilmu, arahan, masukan,
perbaikan dan motivasi yang selama ini diberikan dan juga kesabaran dalam
pembimbingan. Semoga apa yang telah dilakuakan menjadi sebuah amalan
yang lebih disisi allah subhanahu wata’ala.
2.
Kedua
orang
tua,
Ayahanda
Muhammad
Namun
(Semoga
Allah
merahmatinya) dan Ibunda Hj. Esah atas segala kasih sayang dan didikan
yang tiada henti serta jerih payah, usaha kesabaran dan pengorbanan yang tak
terbalaskan.
3.
Kakak-kakakku, Murtani, Nadih Pinardi, Dulgani, Siti Maemunah, Pidana,
Murdiono dan adikku Mardiana Febrianti serta kakak-kakak Iparku, teh
Warni, teh Lia, teh Evi dan teh Husna atas perhatian, kesabaran motivasi dan
dukungan baik materil maupun moril yang diberikan selama ini kepada
penulis.
4.
Keponakan-keponakanku,
Ismail,
Arman,
Salsabila,
Ahmad
Dai,
Nurkholifah, Hanun Hanifah, Effendi, Nurdilah Zahrotunnisa, Oktamevia
Nurhandiani Salsabila, keisya adelia Suci Nuradhamira dan Nayla atas canda
tawa dan keceriaan yang menjadi dorongan semangat bagi penulis untuk
dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
5.
Keluarga Bapak Dr. Nuraidi dan Ibu Fitrah Ernawati MSc atas segala bantuan
selama penelitian, ilmu, sumber-sumber acuan pustaka yang diberikan kepada
penulis dan masukan-masukan dalam hal metode dan pembahasan, terutama
solusi-solusi bagi penulis sehingga dapat memperlancar penyelesaian skripsi
ini serta, kesabaran dalam memberikan arahan dan juga kesediaan dalam
mewakili pembimbing pada saat seminar.
6.
PT. Bayer Indonesia yang telah memdanai penelitian ini,
7.
Dosen dan Staf tata usaha departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya
Keluarga atas segala ilmu dan bantuan serta dukungan selama 4,5 tahun masa
studi. sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
8.
Dr. Ikeu Tanzih, Ms selaku pembimbing akademik atas bimbingan, masukan
bagi penulis selama menempuh perkuliahan.
9.
Alia, Mba Ririn, bu Tri, Bu Sondang, dr. Rustam, Mba Ega, Mba Yussi, Kak
Juzmarwan atas segala bantuan selama penelitian, dorongan semangat dan
motivasi yang telah diberikan.
10. Teknisi Laboratorium Makmal Terpadu FKUI : Dra. Eva Zakiyah, Mba
Nilda, Mba Sri dan Mba Dewi atas canda tawa, motivasi dan kesabaran
selama proses penelitian.
11. Mba Wida Suherman yang dengan kesediaannya telah mempermudah penulis
dalam pencarian sumber-sumber pustaka.
12. Pemilik serta Segenap karyawan PT. Ricky Putra Globalindo TBk atas izin
penelitian di perusahaan
dan kesediaan karyawan sebagai responden
penelitian, tanpa kalian penelitian ini tidak akan dapat berjalan.
13. Mba Ine Sri Handayani atas segala bantuan dan masukan bagi penulis serta
ilmu dalam analisis statistik sehingga memperlancar penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
14. Keluarga bapak Husein dan Ibu Eni tempat penulis tinggal atas dukungan dan
motivasi yang terus diberikan, dan juga cemilan yang sering diberikan pada
saat proses penulisan.
15. Pak gatot dan Bu Gatot yang senantiasa menyediakan konsumsi untuk
responden dan penulis, sehingga proses penelitian dapat berjalan baik, juga
atas motivasi dan doa hingga tugas akhir ini selesai.
16. Teman-teman GMSK 41 yang telah banyak membantu selama perkuliahan
dan penyelesaian skripsi dan juga atas motivasi yang tak henti-hentinya
diberikan yakni Yulia, Dewi kusumah, Ima, devita, Icha, rizka, bagus, dan
teman-teman yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas
kebersamaan dan persahabatan yang terjalin selama ini.
17. Teman-teman alih jenjang terutama mas Dian Gozali atas kesediaannya
berbagi
ilmu
dan
pengalaman,
motivasi,
semangat
dan
nilai-nilai
persahabatan yang begitu erat sejak di tingkat awal perkuliahan serta
kemauan dan usahanya yang keras untuk memperoleh sesuatu yang menjadi
inspirasi bagi penulis untuk berusaha lebih baik lagi.
18. Teman-teman KKP desa Sirnajaya kecamatan Sukamakmur Kabupaten Bogor
: Raden Irsan, Prima adriyani, Tina Suhartini, Melina dan Sari Oktaviani atas
kenangan yang manis dan kebersamaan yang singkat selama 2 bulan.
19. Mas Insan Kurnia Indra Efendi, fitri Ardi, Muhammad Maulana, khadi
Kurniawan, Yogi Purno Yudho, Agung Sulistyo, Asep Sutya serta Dicka
Arrachim atas segala bantuan, teladan dan kebersamaan serta ukhuwah
islamiyah yang terjalin selama ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu, semoga Allah membalas kebaikan mereka
semua dan Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak. Amien.
Bogor, Januari 2009
Firdaus
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang.............................................................................................1
Tujuan ........................................................................................................ 3
Kegunaan................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................5
Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dengan Kesehatan ............................ 5
Vitamin A .................................................................................................. 5
Metabolisme Vitamin A dalam Tubuh...................................................... 7
Fungsi Vitamin A ...................................................................................... 8
Pangan Sumber Vitamin A ....................................................................... 10
Kecukupan Vitamin A............................................................................... 11
Vitamin A kaitannya dengan Sistem Kekebalan Tubuh ........................... 12
Sistem Imunitas Spesifik dan Nonspesifik................................................ 13
Pola Konsumsi Pangan ............................................................................. 16
METODE PENELITIAN..............................................................................18
Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 18
Subyek Penelitian ...................................................................................... 18
Pemberian Suplemen.................................................................................. 20
Desain Penelitian dan Rancangan Percobaan ............................................ 21
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ............................................................. 22
Pengolahan dan Analisis Data.................................................................... 23
Definisi Operasional................................................................................... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 26
Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 26
Karakteristik Responden ........................................................................... 29
Kategori Usia..................................................................................... 30
Status Ekonomi ................................................................................. 30
Besar Keluarga ................................................................................. 32
Tingkat Pendidikan Responden ........................................................ 33
Status Gizi Responden ..................................................................... 34
Frekuensi Konsumsi Responden ................................................................ 35
Frekuensi Konsumsi Sumber Karbohidrat ........................................ 35
Frekuensi Konsumsi Sumber Protein ................................................ 36
Frekuensi Konsumsi Sumber Buah-buahan ...................................... 38
Frekuensi Konsumsi Sayuran ............................................................ 39
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
(Retinol Serum) .......................................................................................... 40
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok
Kontrol ...................................................................................................... 41
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
Plasebo ............................................................................................... 41
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
Plasebo + TT ..................................................................................... 42
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok
Perlakuan .................................................................................................... 43
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
MVM ............................................................................................... 43
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
MVM + TT...................................................................................... 44
Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Responden.............................. 50
Gambaran Imunitas Responden ...................................................... 50
Limfosit .................................................................................... 50
Sel NK ...................................................................................... 52
Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Kadar Imunitas Responden . 53
Limfosit ....................................................................................... 53
Sel NK ......................................................................................... 55
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 58
Kesimpulan................................................................................... 58
Saran ............................................................................................. 59
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 60
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Angka Kecukupan Vitamin A untuk Orang Indonesia (µg RE/hari) .......... 11
2. Efek Defisiensi Vitamin A pada Pertahanan Tubuh ................................... 13
3. Komposisi Suplemen Multivitamin Mineral............................................... 21
4. Jenis dan Cara Pengumpulan Data Penelitian ............................................. 22
5. Kategori dan Variabel Data Responden ...................................................... 24
6. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Kategori Usia ............. 30
7. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Status Ekonomi.......... 31
8. Sebaran Responden pada Tiap Kelompok menurut Jumlah Anggota
Keluarga ..................................................................................................... 33
9. Sebaran Responden pada tiap Kelompok menurut Tingkat Pendidikan ..... 34
10. Sebaran Status Gizi Responden pada Tiap Kelompok menurut IMT
(Kg/M2) ..................................................................................................... 35
11. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat per minggu ............................................................................ 36
12. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein
Nabati per minggu ..................................................................................... 37
13. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein
Hewani per minggu ................................................................................... 37
14. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Buah-Buahan
per minggu ............................................................................................... 38
15. Sebaran Responden menurut Frekuensi Konsumsi Sayuran per minggu . 39
16. Kadar Vitamin A Serum Sebelum (Baseline) Enam Minggu (intermediate)
dan Sepuluh Minggu (Endline) Perlakuan Suplementasi.......................... 40
17. Pengaruh Suplementasi erhadap Profil Imunitas ...................................... 52
18. Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Profil Imunitas.................... 56
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Struktur Vitamin A dan Karotenoid ............................................................ 6
2. Alur Penelitian ............................................................................................ 20
3. Kadar Vitamin A Serum Kelompok Plasebo Sebelum (Baseline), Enam
Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ............................. 42
4. Kadar Vitamin A Serum Kelompok Plasebo + TT Sebelum (Baseline),
Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ................... 43
5. Kadar Vitamin A Serum Kelompok MVM Sebelum (Baseline), Enam
Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ............................. 44
6. Kadar Vitamin A Serum Kelompok MVM + TT Sebelum (Baseline),
Enam Minggu (Intermediate) dan Sepuluh Minggu (Endline) ................... 45
7. Pengaruh Suplementasi terhadap Total Limfosit pada Sebelum, Enam
Minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan Suplementasi .............................. 51
8. Pengaruh Suplementasi terhadap Jumlah Sel NK pada Sebelum, Enam
Minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan Suplementasi .............................. 53
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1.
Persetujuan Etik (Ethical Clearance) Penelitian ...................................... 66
2.
Surat Persetujuan untuk Pemeriksaan (Informed Consent)....................... 67
3.
Formulir Monitoring Intervensi Responden ............................................. 68
4.
Kuisioner Identitas Responden, Antropometri, Sosial Ekonomi,
Pemeriksaan Kesehatan Pemeriksaan Laboratorium, Pemeriksaan
Klinis dan Food Frequencies Quostionare .............................................. 69
5.
Sebaran Responden Menurut Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber
Karbohidrat ............................................................................................... 74
6.
Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan Sumber
Karbohidrat yakni : Nasi, Mie, Roti, Jagung, Biskuit dan Ubi Jalar........ 81
7.
Uji Regresi antara Vitamin A Serum pada Sebelum Suplementasi
(Baseline) dengan Pangan Sumber Karbohidrat Nasi ............................... 82
8.
Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber
Protein Nabati antara lain : Tempe, Tahu dan Oncom .............................. 83
9.
Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber
Protein Hewani antara lain : Telur, Ayam, Daging Sapi, hati sapi,
Hati Ayam, Ikan Segar, Susu Bubuk dan Keju ........................................ 84
10. Uji Regresi antara Vitamin A Serum pada Sebelum Suplementasi
(Baseline) dengan Pangan Sumber Protein Hewani yakni Daging Sapi,
Hati Sapi dan Ikan Segar........................................................................... 85
11. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber
Buah-Buahan yakni Jambu Biji, Pepaya dan Jeruk .................................. 87
12. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Pangan sumber
Sayur-Sayuran yakni Bayam, Kangkung, Daun Singkong, Kacang Panjang,
Selada Air, Sawi dan Daun Katuk ............................................................ 88
13. Uji Korelasi antara Kadar Vitamin A Serum dengan Jumlah Sel NK
pada Sebelum, Enam minggu dan Sepuluh Minggu Perlakuan . ..89
14. Uji Korelasi antara Kadar Serum Vitamin A pada Minggu Kesepuluh
dengan Respon Sel NK pada Minggu Kesepuluh ..................................... 90
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini pada dasarnya
bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan masyarakat secara
utuh dan menyeluruh. Tinggi rendahnya kualitas hidup dan kehidupan masyarakat
dapat diukur dengan berbagai indikator yang secara makro sering dikenal dengan
indikator kesejahteraan masyarakat (Syarif & Rustiawan, 1992).
Pada saat ini perkembangan Indonesia memerlukan manusia-manusia yang
siap bersaing karena pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas, yaitu sumberdaya manusia
yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat dan kesehatan yang prima
disamping penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan tujuan
meningkatkan kualitas manusia tersebut diperlukan berbagai upaya, salah satunya
dengan meningkatkan status gizi dan konsumsi pangan.
Status gizi berperan dalam menentukan sukses tidaknya upaya peningkatan
sumberdaya manusia. Konsumsi pangan merupakan faktor yang secara langsung
berpengaruh terhadap status gizi. Rendahnya konsumsi pangan atau kurang
seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, terjadinya penyakit defisiensi zat gizi dan
atau lemahnya daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit serta menurunnya
kesehatan dan aktivitas atau produktivitas kerja.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 dan 2000, BPS mengemukakan
kecenderungan perubahan proporsi kelompok umur, yakni kelompok usia
produktif dan usia 50 tahun keatas yang proporsinya terus meningkat.
Diperkirakan pada tahun 2025 proporsi usia produktif yakni usia 15-64 tahun
menjadi 68,4 persen, dengan wanita memiliki peningkatan persentasi jumlah yang
lebih besar jika dibandingkan dengan pria (Atmarita & Fallah, 2004).
Wanita usia produktif merupakan salah satu sumber tenaga kerja terbanyak
yang dimiliki negarai, sebagai TKI (tenaga kerja indonesia) mereka memberikan
sumbangan devisa bagi negara yang terus meningkat dari tahun ke tahun
(Anonim, 2008). Tingginya aktivitas kerja, pola makan yang tidak beragam dan
tidak teratur menyebabkan mereka termasuk dalam kelompok yang rawan
terhadap defisiensi zat gizi. Tingkat kesehatan dan produktivitas kerja mereka
dapat terganggu apabila terjadi penurunan status kesehatan akibat terjadinya
penyakit.
Bank dunia mengemukakan bahwa ada tiga jenis zat gizi mikro
(Micronutrients) yang menjadi fokus perhatian internasional saat ini, yaitu
Iodium, zat besi dan vitamin A. Kebutuhan manusia terhadap ketiga zat gizi mikro
tersebut hanya dalam jumlah yang sangat kecil, akan tetapi mempunyai peranan
yang sangat penting dalam proses fisiologi tubuh, oleh karena itu, kekurangan zat
gizi mikro (micro defficiency) akan mempunyai dampak yang cukup serius
terhadap kualitas sumberdaya manusia (SDM).
Semakin tingginya angka morbiditas merupakan akibat panjang dari
rendahnya imunitas yang dapat disebabkan karena kurangnya pembentukan
immunoglobulin, salah satunya yakni karena defisiensi zat gizi mikro. Defisiensi
zat gizi mikro khususnya vitamin A dapat berakibat pada kerusakan sistem imun
dan penyebab terhambatnya pertumbuhan jaringan.
Defisiensi vitamin A merupakan penyebab utama meningkatnya tingkat
kesakitan dan kematian di seluruh dunia, di negara berkembang jutaan wanita
hamil dan menyusui termasuk ke dalam kelompok yang berisiko tinggi
mengalami defisiensi vitamin A, karena sebagai salah satu mikronutrien penting,
peran vitamin A dalam fungsi imunitas mungkin memiliki karakteristik yang
paling luas, dan penelitian telah menunjukkan bahwa terdapat peran vitamn A
yang beranekaragam dalam banyak aspek dari imunitas (Semba, 2002).
Penelitian mengenai vitamin A telah banyak dilakukan, namun hampir
sebagian besar berawal dari kejadian defisiensi vitamin A yang telah terjadi di
masyarakat. Data penelitian mengenai bagaimana suplementasi vitamin A
berpengaruh terhadap sistem imunitas pada orang dengan status kesehatan yang
baik belum banyak tersedia (Wolvers et al 2006 dan Semba et al, 2002). Yakni
tentang peran vitamin A sebagai salah satunya faktor sistem kekebalan tubuh
dalam pertahanan pertama dari serangan penyakit.
Peranan vitamin A sebagai suatu zat gizi yang sangat dibutuhkan telah
dikenal umum. Vitamin A memainkan peran yang penting dalam pengaturan
fungsi imun, baik imunitas bawaan dan imuntas yang diperantarai sel (cellmediated immunity / CMI) maupun respon antibodi humoral (Wintergerst et al,
2007).
Beberapa studi menunjukkan vitamin A dosis tinggi dapat meningkatkan
respon antibodi terhadap Tetanus toxoid (Brown et al, 1990 dan Semba et al,
1992). Pada kasus defisiensi, peningkatan status vitamin A pada anak-anak yang
mengalami defisiensi dengan suplementasi vitamin A dosis tinggi secara
substansial menghasilkan penurunan tingkat morbiditas dan mortalitas pada anak
(Rahman et al, 1999).
Pertumbuhan berat badan terutama integritas beberapa jaringan sangat
dipengaruhi oleh adanya vitamin A, selain itu, vitamin A berperan pula dalam
ketahanan tubuh terhadap inveksi (Husaini, 1982). Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk meneliti lebih lanjut pengaruh suplementasi multivitamin mineral
terhadap kadar vitamin A serum kaitan dengan respon sistem kekebalan tubuh
(limfosit dan natural killer cell) pada orang dengan status kesehatan yang baik
yakni pada wanita usia produktif .
Tujuan
Tujuan Umum :
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
suplementasi multivitamin mineral dan asupan zat gizi terhadap kadarvitamin A
serum pada wanita usia produktif.
Tujuan khusus :
1. Menganalisis karakteristik demografi responden.
2. Menganalisis pengaruh suplementasi multivitamin mineral dan asupan zat
gizi terhadap peningkatan kadar vitamin A serum responden dibandingkan
dengan plasebo.
3. Menganalisis hubungan antara kadar vitamin A serum dengan respon limfosit
dan natural killer cell.
Kegunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bukti ilmiah tentang
manfaat suplemen bagi tubuh terutama terhadap respon sistem kekebalan dan
sebagai informasi dan wadah pembelajaran bagi masyarakat terutama bagi wanita
usia produktif mengenai pentingnya zat gizi terutama vitamin A bagi tercapainya
tingkat kesehatan hidup dan produktivitas kerja yang lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah Kurang Vitamin A (KVA) dengan Kesehatan
Gizi
dan
kesehatan
mempunyai
peranan
yang
penting
dalam
pengembangan kualitas sumberdaya manusia (SDM). Untuk mewujudkan derajat
kesehatan dan status gizi yang optimal diperlukan pelayanan kesehatan dan
konsumsi gizi yang memadai, istilah gizi dan kesehatan bagaikan satu keping
uang logam yang tidak dapat dipisahkan, saling terkait seperti ikatan kimia yang
saling mempengaruhi (Widayani 2007).
Di negara berkembang, defisiensi vitamin A sangat terkait dengan meningkatnya
tingkat kesakitan dan tingkat kematian anak-anak akibat penyakit infeksi yang
beragam, dan salah satunya hasil suplementasi vitamin A dapat mengurangi
frekuensi dan gejala menderita penyakit akibat infeksi (Nimaggada et al, 1998).
Kurang vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi
utama, meskipun KVA tingkat berat (xeropthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi
KVA tingkat subklinis, yaitu tingkat yang belum menunjukkan gejala nyata,
masih menimpa masyarakat luas. KVA subklinis ini hanya dapat diketahui dengan
memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium.
Masalah KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena gunung es yaitu masalah
xeropthalmia yang hanya sedikit tampak dipermukaan, padahal level subklinis
yang ditandai dengan rendahnya kadar vitamin A dalam darah masih merupakan
masalah besar yang perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi penting lagi karena
erat kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kesakitan yang
berujung pada menurunnya sistem kekebalan tubuh.
Vitamin A
Vitamin A adalah sekelompok senyawa organik komplek yang dibutuhkan
oleh tubuh dalam jumlah yang relatif kecil tetapi sangat penting untuk
pertumbuhan dan menjaga kesehatan. Pada umumnya keberadaan vitamin tidak
dapat disintesis dari dalam tubuh. Oleh karena itu, untuk mendapatkan jumlah
vitamin yang cukup harus diperoleh dari asupan makanan (Linder, 1992).
Defisiensi vitamin A dapat menyebabkan penyakit defisiensi klinis, pencegahan
dan pengobatan dapat dilakukan hanya dengan memberikan vitamin A pada menu
makanan, apabila kadarnya berlebih dalam kapasitas metabolik tubuh,
kemungkinan akan memberikan tanda keracunan (toxicity) (Bender 2006).
Istilah vitamin A digunakan untuk menamakan dua jenis senyawa, yaitu retinol
(Vitamin A alkohol) dan dehidro retinol (Vitamin A2). Vitamin A hanya terdapat
pada jaringan hewan dan tidak terdapat dalam jaringan tanaman (Andarwulan dan
Koswara, 1992).
Menurut Groof dan Gropper istilah vitamin A ditujukan pada senyawa
retinol (vitamin A alkohol) dan retinal (bentuk aldehid), asam retinoat merupakan
hasil metabolik dari retinal. Retinoid terdiri dari
unit isoprenoid yang cara
berikatan pada bagian kepala dan ekor struktur. Provitamin A sendiri yakni βkaroten dan karotenoid lain yang menunjukkan aktivitas biologi dari β-karoten
dan α-karoten dan γ-karoten (Gambar 1).
Sedangkan menurut Olson (1990), vitamin A dapat berupa ester-ester dari
retinal yang disebut retinyl ester, dan bentuk aldehidnya termasuk retinal atau
retinaldehyde. Vitamin A dengan gugus utama berasal dari grup karboksil disebut
retinoic acid. Vitamin A yang memiliki aktivitas biologi signifikan yakni dalam
bentuk 3-dehydroretinol, yang disebut juga vitamin A2. Baik vitamin A (retinol)
dan berbagai macam carotenoid seperti β-caroten, α-karoten, dan Kriptosantin
secara biologi aktif sebagai Vitamin A (Olson, 1987).
Gambar 1 Struktur vitamin A dan karotenoid (Sumber : Groff dan Gropper,1999)
Aktivitas biologis vitamin A bagi manusia dan hewan, terdapat pada
senyawa alami maupun sintetik. Secara alami, aktivitas Vitamin A membutuhkan
satu seri hidrokarbon C20 dan C40 tidak jenuh yang tersebar di dalam tumbuhtumbuhan dan hewan. Senyawa dengan aktivitas vitamin A yang terdapat dalam
tanaman termasuk dalam kelompok karotenoid akan diubah menjadi vitamin A
pada proses metabolisme tubuh setelah dikonsumsi oleh manusia atau hewan.
Didalam tubuh hewan, vitamin A paling banyak disimpan dalam hati dalam
bentuk alkohol atau ester (Andarwulan dan Koswara, 1992).
Menurut Moeldjohardjo (1993), vitamin A1 (C20H29OH) adalah alkohol
tinggi yang terdiri dari alkohol tetraenoid yang terikat pada cincin β-ionon.
Vitamin A adalah cairan minyak kental yang larut dalam lemak, rentan terhadap
oksidasi dan panas. Zat tersebut termasuk fraksi lemak tak-tersabunkan.
Vitamin A adalah nama generik yang menunjukkan semua senyawa
karotenoid yang memperlihatkan aktivitas biologi retinol. Vitamin A merupakan
kristal berwarna kuning larut lemak ysng dapat tercampur secara merata didalam
minyak. Tubuh akan mudah mengabsorpsi Vitamin A dengan adanya minyak.
Bentuk aktif vitamin A adalah vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehid
(retinal), Vitamin A asam (asam retinoat), dan Vitamin A ester (ester retinil).
(Gagriansky dan Ranum, 1998).
Metabolisme Vitamin A Dalam Tubuh
Dalam makanan yang berasal dari hewan vitamin A ada dalam bentuk
retinol ester dan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan ada dalam bentuk karoten
sebagai pigmen yang berwarna kuning. Retinol ester dalam lumen usus akan
dihidrolisa kemudian akan diabsorpsi langsung dari lumen usus. Sedangkan
karoten akan dipecah secara oksidasi dengan perantara enzim caroten
dehydrogenase. Pemecahan ini memerlukan oksigen dan garam empedu yang
akan menghasilkan 2 molekul retinaldehid. Pada mukosa usus akan terjadi reduksi
dengan perantara enzim retinaldehid reductase, sebagian besar akan menjadi
retinol dan sebagian kecil akan menjadi retinoic acid. Retinoic acid akan
diabsorpsi langsung melalui porta pembuluh darah balik yang kemudian akan
dimetabolisme dan dikeluarkan melalui kencing dan empedu. Retinol yang
diabsorpsi kemudian diesterifikasi dengan asam lemak jenuh rantai panjang
masuk kedalam pembuluh limfa (chylomicron) dan selanjutnya masuk keduktus
torusikus kemudian masuk ke pembuluh darah nadi dan ke hati (Martin 1981
dalam Sulaiman 1989).
Dalam hati, maka retinol ester masuk kedalam hepatosit yang kemudian
akan mengalami hidrolisa dan akan bergabung dengan asam amino dan seterusnya
akan keluar dari hepatosit dalam bentuk holo retinol binding protein (holo RBP).
Dalam plasma holo RBP akan bergabung dengan albumin membentuk retinol
RBP PA komplek (1:1:1). Kemudian akan beredar dalam sirkulasi darah untuk
mencapai sel target (Googman, 1980).
Vitamin A dilepaskan dari hati sebagai holo RBP. RBP dalam bentuk holo
RBP dikenali oleh permukaan reseptor dari sel-sel target, retinol ditransfer
melewati plasmalemma masuk kedalam sel, dan sekitar 8 persen retinol yang
ditranspor ke periperal sel target disirkuasi kembali masuk kedalam hati (Olson,
1987).
Fungsi Vitamin A
Vitamin A mempunyai keunikan sebagai vitamin larut lemak yang pertama
kali diketahui. Fungsi yang paling dikenal dari vitamin A adalah peranannya
dalam penglihatan. Bentuk retinal (11-cis-retinaldehyde) dari vitamin A
diperlukan oleh mata untuk transduksi cahaya menjadi sinyal-sinyal saraf yang
diperlukan untuk penglihatan (Muhilal dan Sulaeman, 2004). Vitamin A essensial
untuk penlihatan, pertumbuhan, diferensiasi sel, reproduksi, dan integritas dari
sistem kekebalan tubuh (Olson, 1987).
Bentuk asam retinoat diperlukan untuk mempertahankan diferensiasi kornea
dan membran konjungtiva, sehingga mencegah xeropthalmia, dan untuk
photoreseptor sel rod (batang) dan cone (kerucut) dari retina. Vitamin A juga
dibutuhkan untuk integritas sel ephitel diseluruh tubuh. Asam retinoat, melalui
aktivasi reseptor asam retinoat (RAR) mengikat all-trans-retinoid acid atau 9-cisretinoic acid dan reseptor retinoid X (RXR) dalam nukleus yang mengikat 9-cisretinoic acid (Bender 2006), mengatur ekspresi berbagai gen yang mengkode
untuk protein struktural (seperti keratin kulit), enzim (seperti alkohol
dehidrogenase), protein matriks ekstraseluler (seperti laminin), dan retinol binding
protein dan reseptor. Asam retinoat juga memainkan peranan penting dalam
perkembangan embrio dan terlibat dalam pembentukan tungkai dan lengan,
jantung, mata, dan telinga, diferensisasi dan proliferasi di dalam respon terhadap
rangsangan kekebalan. Lebih lanjut, pertumbuhan, diferensiasi, dan aktivasi Blymphocyte memerlukan retinol. Selain itu dilaporkan bahwa vitamin A
diperlukan dalam hemopoesis, pertumbuhan tulang dan untuk fertilitas pada pria
dan wanita (Muhilal dan Sulaeman, 2004).
Sedangkan menurut Olson (2001), masing-masing retinoid utama (retinol,
retinal, asam retinoat) mempunyai fungsi biologis tersendiri. Retinol dalam
kedudukan oksidasinya berfungsi sebagai hormon, retinal diperlukan sebagai
prekursor pigmen penglihatan rodopsin. Asam retinoat dan metabolitnya
mempengaruhi diferensiasi sel epithel dan dapat berfungsi sebagai pengemban
oligosakarida pada sintesis glikoprotein.
Suplementasi Vitamin A secara prinsip digunakan untuk dua situasi, yaitu
untuk perawatan bagi seseorang yang mengalami xeropthalmia akut, dan bagi
individu lain yang memiliki risiko tinggi dan membutuhkan asupan Vitamin A
dengan segera guna meningkatkan status kesehatan dan juga untuk mencegah
defisiensi Vitamin A (WHO, 1997).
Fungsi vitamin A di dalam tubuh adalah: diferensiasi sel penglihatan,
spermatogenesis, perkembangan embrio, imunitas, mempengaruhi indera perasa,
pendengaran, nafsu makan serta pertumbuhan (Bagriansky & Ranum 1998).
Menurut Olson (1996) vitamin A penting untuk penglihatan, diferensiasi seluler,
perkembangan bentuk sel, dan sebagai transpor transmembran (pada bakteri).
Banyak proses komplek lainnya pada mahluk hidup sebagai fungsi dari vitamin A
seperti perkembangan, reproduksi, dan respon kekebalan tubuh.
Vitamin A mempunyai peran atau fungsi umum dan fungsi yang khas.
Vitamin A mutlak diperlukan dalam memelihara sel-sel epitel dan memberikan
rangsangan bagi pertumbuhan sel-sel baru. Vitamin A juga memelihara ketahanan
tubuh terhadap infeksi, juga menyebabkan sel hidup lebih lama dan menghambat
proses penuaan. Fungsi vitamin A yang paling banyak diketahui ialah pada fungsi
penglihatan (Moeljohardjo, 1993).
Pangan Sumber vitamin A
Pangan sumber vitamin A dapat berasal dari pangan hewani ataupun pangan
nabati. Pangan
kaya β-karoten (buah dan sayuran) merupakan salah satu
sumberdaya hayati yang mudah dijumpai di sekitar kita. Kelompok pangan ini
mudah diperoleh dan harganya relatif murah, tetapi sangat bermanfaat bagi
kesehatan tubuh. Pangan kaya β-karoten kebanyakan berasal dari berbagai jenis
sayuran daun berwarna hijau gelap, ataupun buah-buahan yang berwarna kuning,
jingga dan merah. Pangan ini merupakan sumber pro-vitamin A dan mineral basi
yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, untuk pertumbuhan dan pemeliharaan
jaringan tubuh (Oomen et al., 1984 diacu dalam Widyastuti, 2004).
Sumber vitamin A adalah bahan makanan yang berasal dari hewani,
terutama minyak ikan laut yang berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia
menghasilkan vitamin A1 , sedang ikan air tawar mengandung terutama vitamin
A2. Sumber vitamin A yang lazim dikonsumsi ialah susu segar dan telur. Secara
tidak langsung vitamin A berasal dari pigmen tumbuhan berupa senyawa-senyawa
karotena, yang dalam saluran pencernaan bisa diubah menjadi vitamin A.
(Moeljoharjo, 1993). Pangan hewani asal ternak adalah sumber gizi yang dapat
diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya vitamin A.
Termasuk ke dalam pangan hewani adalah telur, daging susu dan ikan (Khomsan
2004).
Menurut Olson (1990), sumber bahan makanan yang mengandung vitamin
A berasal dari berbagai produk yang berasal dari susu, seperti susu, keju, mentega,
dan es krim. Telur, hati dan organ bagian dalam hewan seperti ginjal dan jantung,
dan beberapa ikan seperti herring, sarden, dan tuna. Sumber yang paling kaya
yakni minyak hati ikan hiu, ikan laut, seperti halibut, dan mamalia laut.
Berkenaan dengan karotenoid, wortel dan sayuran hijau daun, seperti
bayam, secara umum mengandung karotenoid dalam jumlah yang besar.
Meskipun tomat mengandung beberapa Vitamin A dengan karotenoid aktif,
pigmen yang dikandung yakni lycopene, yang tidak memiliki aktivitas gizi. Buahbuahan seperti pepaya dan jeruk mengandung karotenoid yang dapat
diperhitungkan. Sedangkan sereal seperti gandum secara umum mengandung
sangat sedikit vitamin A (Olson, 1990).
Kecukupan Vitamin A
Banyak sekali keadaan yang mempengaruhi keadaan status vitamin A
seseorang. Salah satu faktor yang terpenting ialah kecukuan asupan vitamin A dan
provitamin A. Asupan yang dianjurkan bergantung pada usia, jenis kelamin serta
keadaan fisiologis (Arisman 2002).
Untuk menyatakan aktivitas vitamin A dalam karotenoid dalam diit secara
umum,
satu
kelompok
ahli
gabungan
FAO/WHO
pada
tahun
1967
memperkenalkan konsep retinol equivalent (RE) yang kemudian juga di adopsi
oleh National Research Council (1989). Dalam konsep ini satu RE setara dengan
1 mikrogram retinol atau 6 mikrogram beta karoten (1 µg β karoten = 0,167 µg
RE) atau 12 mikrogram β-karoten campuran (1 µg karotenoid lainnya = 0,084 µg
RE) (Muhilal & Sulaeman 2004).
Angka kecukupan vitamin A adalah jumlah vitamin A yang harus
dikonsumsi per hari untuk mempertahankan status vitamin A pada level
memuaskan atau cukup. Mengingat penting dan banyaknya peranan vitamin A,
maka kekurangan asupan vitamin A dapat menyebabkan beberapa konsekuensi
serius (Muhilal & Sulaeman 2004). Seseorang dikatakan memiliki level vitamin A
cukup apabila dalam hatinya mengandung >20 µg/g berat basah, dan tidak akan
menunjukkan tanda defisiensi walaupun tanpa asupan vitamin A untuk sekitar 3
bulan. Angka kecukupan vitamin A untuk orang Indonesia seperti pada Tabel 2.
Tabel 1. Angka kecukupan vitamin A untuk orang Indonesia (RE/hari)
Golongan Umur
Angka Kecukupan
4 – 6 tahun
450
7 – 9 tahun
500
Pria:
10 – 12 tahun
600
13 – 18 tahun
600
19 – 59 tahun
600
>60 tahun
600
Wanita:
10 – 12 tahun
600
13 – 18 tahun
600
19 – 59 tahun
500
>60 tahun
500
Wanita Hamil
+ 300
Wanita Menyusui:
0 – 6 bulan
+ 350
7 – 12 bulan
+ 350
Sumber : Muhilal et al. 2004
Vitamin A kaitannya dengan Sistem Kekebalan Tubuh
Fungsi vitamin A dalam menjaga struktur dan fungsi sistem kekebalan
tubuh telah dikenal sebagai istilah yang umum sejak awal tahun 1920an.
Berdasarkan studi cahaya mikroskopik secara komprehensif terhadap tikus yang
mengalami defisiensi vitamin A (Ross 1996). Beberapa karotenoid terutama βkaroten mempunyai kemampuan penagkapan efektif terhadap teroksil radikal dan
singlet oksigen (Halliwel dan Gutyeridge, 1989 dalam Palupi et al, 2007), secara
in-vivo senyawa β-karoten mampu menghambat peroksidasi lemak pada
konsentrasi oksigen yang rendah. Hasil penelitian epidemiologi menunjukkan
bahwa β-karoten dapat menjadi pencegah kanker (Nabet, 1996).
Wolback dan Howe menyimpulkan bahwa gejala defisiensi dikaitkan
dengan adanya tanda-tanda perubahan morfologi jaringan epitel pada beberapa
organ (contohnya trakea dan kornea). Jaringan kornea dari tikus yang mengalami
defisiensi vitamin A menunjukkan adanya keratinisasi pada bagian phenotype
yang mensekresikan lendir secara normal, dan ketidaknormalan lapisan
(squamous metaplasia) pada bagian jaringan yang memiliki bentuk kolumnar dan
kuboidal. Pada organ lympoid, penbesaran kelenjar gondok (thymic atrophy) telah
diobservasi dengan defisiensi vitamin A yang lebih luas dan perubahan jaringan
menandakan akumulai dari kerusakan jaringan yang terlihat jelas pada node limpa
(Ross 1996). Defisiensi ringan (Mild) akan membawa pada meningkatnya
kemungkinan terkena penyakit infeksi dan juga sintesis dari RBP berkurang
dalam merespon inveksi, menurunkan konsentrasi sirkulasi vitamin A dalam
darah dan bahkan berdampak pada sistem imun (Bender 2006).
Beberapa tahun setelah ditemukan, vitamin A diduga menjadi faktor
esensial untuk perkembangan sistem lympoid dan untuk menjaga permukaan
mukosa lapisan saluran pencernaan, saluran pernapasan dan saluran kandung
kemih (Clausen, 1934; Robertson, 1934 dalam Semba, 2002).
Pada kasus defisiensi dibeberapa wilayah, tingginya tingkat kesakitan dan
tingkat kematian anak-anak di Eropa dan Amerika Serikat pada awal abad ke-20,
sebanding dengan yang ditemukan di negara-negara berkembang saat ini, mulanya
berasal dari defisiensi vitamin A, susu, krim dan mentega yang kaya akan vtamin
A telah dianjurkan untuk mengurangi infeksi pada anak-anak (Bloch, 1924).
Telah disadari pada saat ini bahwa vitamin A mengatur banyak aspek berbeda dari
fungsi kekebalan tubuh, termasuk beberapa komponen baik sistem kekebalan nonspesifik (contohnya phagocytosis, menjaga permukaan mukosa) dan sistem
kekebalan spesifik (contohnya respon antibodi secara umum) (Semba, 2002).
Defisiensi vitamin A berdampak pada kekebalan bawaan yakni akibat
terhambatnya regenerasi normal dari dinding mukosa sel epitel selama terjadi
infeksi dan berdampak pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi patogen.
Suplementasi vitamin A telah terbukti dapat meningkatkan proses regenerasi dari
permukaan sel mukosa pada anak yang mendapatkan perlakuan pemulihan dari
diare dibandingkan dengan anak yang menerima plasebo. Efek defisiensi vitami A
terkait dengan aspek fiungsi sistem kekebalan tubuh seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Efek defisiensi vitamin A pada pertahanan tubuh
Ketidaknormalan ekspresi keratin pada saluran pernapasan, saluran pencernaan
dan permukaan okular
Hilangnya cilia dari epitel saluran pernapasan
Hilangnya mikrovilli dari saluran usus halus
Bekurangnya sel goblet dan produksi musin pada epitel mukosa
Berdampak pada fungsi neutrophil
Berdampak pada fungsi NK sel dan berkurangnya jumlah NK sel
Berdampak pada aspek haematopoiesis
Terjadi perubahan terhadap repon kekebalan T-Helper tipe 1
Menurunnya jumlah dan fungsi dari β-lymphocyte
Berdampak pada respon antibodi T-cell dependent dan independent antigen
Sumber : Semba, 2002.
Sistem Imunitas Spesifik dan Nonspesifik
Sistem imunitas seluler termasuk sistem imunitas spesifik yang memiliki
kemampuan untuk mengenal mikroorganisme atau antigen yang muncul dalam
tubuh. Protein asing seperti mikroorganisme atau antigen yang menginfeksi tubuh
segera dikenal oleh sistem imunitas spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel imun
tersebut. Sel-sel imunitas tersebar diseluruh tubuh dan ditemukan didalam darah,
limfa, timus, kelenjar limfa, saluran nafas, saluran cerna dan saluran kemih.
Apabila sel-sel imunitas spesifik berpapasan kembali dengan protein asing yang
sama, maka sistem ini dapat bekerja tanpa bantuan sistem imunitas non spesifik
untuk menghancurkan protein asing yang berbahaya bagi kesehatan tubuh
(Baratawidjaja, 2006).
Sel-sel imunitas yang ditemukan dalam jaringan dan organ disebut sistem
limfoid yang terdiri dari limfosit, sel epitel dan stroma. Organ limfoid primer
diperlukan untuk pematangan sel T dan B, diferensiasi dan proliferasi sehingga
menjadi limfosit yang dapat mengenal antigen.sedangkan organ limfoid sekunder
yang terdiri dari limfa, kelenjar limfa dan jaringan mukosa berfungsi melindungi
tubuh dari invasi patogen dengan mengaktifkan sensor sel T (Sunaryo, 2004).
Limfosit merupakan sel yang memiliki diameter 6-8µm, 20-30% dari bagian
leukosit darah, inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin
inti padat, mengandung sedikit sekali sitoplasma, sedikit basofilik, ditemukannya
tanda-tanda molekular khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut,
beberapa diantaranya membawa reseptor seperti imunoglobulin yang mengikat
antigen spesifik pada membrannya. Limfosit dalam sirkulasi darah normal dapat
berukuran 10-12µm. Ukuran yang lebih besar ini disebabkan sitoplasmanya yang
lebih banyak (Zukesti, 2003).
Limfosit dikenal sebagai kunci pengontrol sistem imunitas. Terdiri atas sel
B, sel T (Th, CTL/cytotoxic T lymphocyte) dan sel NK (Natural killer cell)
(Baratawidjaja 2006). Kemampuan limfosit untuk mengenali antigen disebabkan
adanya reseptor pada permukaan sel yang disebut TCR. Sel B mengenal antigen
melalui TCR (T Cell Receptor) yang berupa immunoglobulin pada permukaan sel
B. TCR sel T ditemukan pada sel T yang matang yang mampu mengenali peptida
antigen yang berhubungan dengan molekul MHC (Mayor Histocompability
Complex) sel tubuh kita. Dengan kemampuan mengenal, mengingat dan mengopi
antigen, limfosit mampu membuat antibdi untuk menghancurkan antigen
(Sunaryo, 2004)..
Limfosit bersirkulasi terutama berasal dari timus dan organ limfoid perifer,
limfa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel
pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfosit yang
secara relatif tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu
memperbanyak diri, disini sel limfosit memperoleh sifat limfosit T, kemudian
dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali kedalam sum-sum tulang atau
ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau tahun (Zukesti,
2003).
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imunitas spesifik humoral sel
B berasal dari sel multipoten atau sel bakal. Apabila sel B dirangsang oleh protein
asing, maka sel B akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang
dapat membentuk antibodi. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap
infeksi ekstraseluler virus, bakteri dan menetralisir toksinnya (Sunarya, 2004).
Menurut Zukesti (2003), Sel B bertugas untuk memproduksi antibodi humoral,
antibodi respon yang beredar dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus
dengan antigen asing yang menyebabkan antigen asing tersalut dengan antibodi,
kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel NK dari organisme yang
menyerang.
Limfosit T atau sel T berperan dalam sistem imunutas seluler. Sel T berasal
dari sel multipoten atau sel bakal yang berproliferasi dan berdiferensiasi didalam
kelenjar timus beradasarkan stimulus dari timosin. Sel T terdiri dari beberapa sel
subset dengan fungsi yang berbeda antara lain T helper, T supresor,T sitotoksik
dan T memori. Fungsi utama sel T adalah pertahanan tubuh terhadap infeksi
bakeri yang hidup intraseluler seperti virus, jamur, parasit dan peradangan Zukesti
(2003).
Sel NK merupakan limfosit bergranula besar yang bekerja pada sistem
imunitas nonspesifik terhadap virus dan sel tumor, jumlahnya sekitar 5-15% dari
limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Ciri-ciri lain sel ini
memiliki banyak sekali sitoplasma dan pseudopodia, sel NK berperan pada
imunitas keganasan dan sel terinfeksi yang tidak mengekspresikan MHC-1
(Baratawidjaja 2006).
Dalam fungsinya, sel NK menjalankan peran pembunuhan ekstraseluler.
Virus tidak memiliki peralatan untuk memperbaharui diri dengan demikian virus
harus menembus sel-sel host yang terinfeksi agar dapat mengambil fungsi
reflikasi sel T, agar tidak berkembang, maka sel NK akan membunuh sel-sel
terinfeksi virus tersebut sebelum virus mempunyai kesempatan membelah diri
kembali (Roitt 2002).
Sel NK bereperan pada sistem imunitas nonspesifik, tidak memerlukan
paparan dan pengenalan mikroba melalui molekul MHC. Sel NK secara alamiah
sudah merupakan limfosit sitotoksik yang ditemukan sejak lahir yang berfungsi
pada sistem imun nonspesifik selular. Jumlah dan aktivitasnya dapat ditingkatkan
oleh sistem imun spesifik antara lain atas pengaruh IL-2 dan IFN (Baratawidjaja
2006).
Pola Konsumsi Pangan
Pangan bagi mahluk hidup umumnya manusia khususnya merupakan
kebutuhan pokok yang harus dipenuhi untuk dapat mempertahankan hidup serta
melaksanakan kewajiban-kewajiban hidup. Tetapi berbeda dengan kebutuhan
hidup yang lain, kebutuhan pangan hanya dibutuhkan secukupnya. Baik kurang
maupun lebih dari kecukupan yang diperlukan, terutama apabila dialami dalam
jangka waktu lama, akan berdampak buruk pada kesehatan (Muhilal et al. 1998).
Menurut Hardinsyah & Martianto (1992), pola konsumsi pangan merupakan
susunan jenis pangan yang dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu. Makan
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pangan yang cukup dapat
digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akan kebutuhan za gizi
seperti energi, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral dan air (Suharjo
1989). Pemilihan jenis makanan yang baik akan menyediakan berbagai jenis zat
gizi yang diperlukan oleh tubuh, sedangkan jenis makanan yang tidak lengkap
akan mengakibatkan tubuh kekurangan zat-zat gizi sehingga fungsi metabolisme
terganggu (Almatsier 2004). Berdasarkan fungsinya, bahan makanan dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu sumber energi atau tenaga seperti padi-padian
dan serealia, umbi-umbian dan hasil olahannya; sumber pembangun yang terdiri
atas protein nabati dan protein hewani; serta sumber zat pengatur seperti buahbuahan dan sayuran (Almatsier 2004).
Konsumsi pangan adalah informasi tentang jenis dan jumlah makanan yang
dikonsumsi oleh individu atau kelompok orang (keluarga dan rumah tangga) pada
periode tertentu. Berbagai jenis zat gizi diperlukan oleh tubuh berguna untuk
melakukan aktivitas, pemeliharaan, dan pertumbuhan tubuh terutama pada bayi,
anak-anak, remaja, orang dewasa, dan lanjut usia (Hardinsyah & Martianto 1992).
Pola konsumsi pangan individu atau keluarga dapat berfungsi sebagai
cerminan dari kebiasaan makan individu atau keluarga. Frekuensi makan per hari
merupakan salah satu aspek dalam kebiasaan makan. Frekuensi makan ini bisa
menjadi penduga tingkat kecukupan konsumsi gizi, artinya semakin tinggi
frekuensi makan, maka peluang terpenuhinya kecukupan gizi semakin besar.
Makan makanan yang beraneka ragam relatif akan menjamin tercukupinya
kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur bagi kebutuhan
ibu hamil (Khomsan 1993 diacu dalam Chairunita 2003).
Penilaian konsumsi pangan dapat dilakukan secara kualitatif maupun
kuantitatif. Pada penilaian secara kualitatif, data yang dikumpulkan lebih
menitikberatkan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan kebiasaan makan,
frekuensi menurut jenis makanan yang dikonsumsi maupun cara memperoleh
makanan. Menurut Kusharto dan Sa’diyyah (2006), pada metode penilaian secara
kualitatif, penggunaan frekuensi pangan bertujuan untuk memperoleh data
konsumsi pangan secara kualitatif dan informasi dekriptif tentang pola konsumsi.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di pabrik garmen PT. Ricky Putra Globalindo
yang berlokasi di Kecamatan Citeureup Kabupaten Bogor, lokasi ditetapkan
sebagai tempat penelitian karena memiliki jumlah karyawan wanita terbesar di
Jabodetabek, kemudahan dalam mendistribusikan suplemen, kemudahan dalam
mengontrol kepatuhan responden, serta homogenitas aktivitas yang dimiliki
responden.
Analisis kadar vitamin A serum dan total limfosit
limfosit dilakukan di laboratorium
biokimia Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan makanan Bogor
(Puslitbang Gizi), sedangkan analisis jumlah sel NK dialakukan di laboratorium
Makmal Terpadu UI Jakarta. Pelaksanaan penelitian lapang berlangsung dari
bulan Februari – Mei 2008.
Subyek Penelitian
Subyek penelitian yakni wanita dewasa dengan usia 20 – 45 tahun, yang
terdiri atas kelompok pekerja usia produktif. Menurut Gibson (2005), kriteria usia
spesifik seharusnya selalu digunakan ketika menginterpretasikan kadar serum
retinol. Penelitian ini terdiri dari empat kelompok perlakuan dan alokasi
responden kedalam kelompok perlakuan dilakukan secara
secara acak (random
assigment), yakni dua kelompok kontrol antara lain plasebo dan plasebo dengan
vaksinasi tetanus toxoid (plasebo + TT), dan dua kelompok perlakuan
suplementasi antara lain kelompok Multivitamin Mineral (MVM) dan kelompok
Multivitamin Mineral dengan vaksinasi Tetanus Toxoid (MVM+TT).
Jumlah Sampel Penelitian ini menggunakan rumus uji beda rata rata pada 2
kelompok independen dengan menggunakan rumus Lemeshow (1993) :
N
= jumlah sampel
σ
= SD titer kadar Vitamin A dari penelitian sebelumnya 18 (Stephensen, 2000 )
Zα= 5% =1,96
1-α
= 95%
1-α/2 = 100%-(5%/2) = 100%-2,5%
= 97,5%
1-β
= power of test 90%
=1,28
δ
= Kenaikan titer Vitamin A yang
yang diharapkan setelah mendapat intervensi = 21
dari hasil perhitungan didapat nilai n minimum = 14 sampel per kelompok.
Pembedaan perlakuan dengan vaksinasi TT dan non-TT digunakan untuk
mengukur parameter respon imunitas yakni kadar limfosit dan sel NK. Perlakuan
suplementasi diberikan setiap hari kepada sampel selama sepuluh minggu,
perlakuan vaksinasi TT diberikan pada akhir minggu keenam sampai minggu
kesepuluh (empat minggu). Sebelum diberikan perlakuan suplemetasi, serum
sampel diukur sebagai Darah 0 (baseline) sebanyak 50 sampel. Pada akhir minggu
keenam, serum darah diukur sebagai darah 1 (Intermediate). Suplementasi
dilanjutkan sampai empat minggu kemudian yakni hingga minggu kesepuluh,
serum sampel diukur sebagai darah 2 (endline) sebanyak sampel yang sama pada
pengukuran sebelumnya dari masing-masing kelompok, diambil 35 sampel untuk
dianalisis di laboratorium yang dipilih secara acak dari rata-rata 50 sampel,
pengambilan 35 sampel untuk dianalisis dianggap telah mewakili populasi dari
tiap kelompok perlakuan. Kemudian berdasarkan perbedaan drop out dari tiap
kelompok, pada tahap akhir diperoleh 28 sampel untuk kelompok plasebo, dan
masing-masing 30 sampel untuk kelompok plasebo + TT, MVM dan MVM + TT
yang kemudian ditentukan sebagai sampel yang dianalisis (Wolvers et al, 2006).
Penjaringan subyek penelitian dengan melakukan screening terhadap 780
orang karyawan tetap yang keseluruhannya adalah wanita. Karyawan yang
memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dijadikan
sebagai responden penelitian yakni diperoleh 200 orang karyawan sebagai
responden terpilih, screening dilakukan dari bulan Desember 2007 – Januari 2008,
responden terlebih dahulu menjalani pemeriksaan profil darah. Protokol
pelaksanaan penelitian ini telah mendapatkan etical clearance dari Badan Peneliti
dan
Pengembangan
Kesehatan
(Departemen
Kesehatan
RI)
No.
LB.03.04./KE/4294/2007 (Lampiran 1).
Kriteria inklusi subyek adalah : sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak
sedang melakukan diet, tidak sedang mengandung, titer antibodi tetanus positif
(+). dapat berdiri tegak, tidak
minum alkohol, tidak merokok, tidak sedang
menstruasi pada saat pengambilan sampel darah, tidak sedang hamil dan tidak
sedang menyusui dan bersedia mengikuti tahap penelitian secara konsisten.
Sedangkan kriteria eksklusi penelitian ini adalah : sedang mengkonsumsi obat
yang mempengaruhi imunitas, minum obat cacing dan pada akhir penelitian
mengkonsumsi suplemen kurang dari 80 persen dari suplemen yang diberikan.
Untuk lebih jelasnya alur penelitian seperti pada Gambar 2.
Screening
Kriteria Inklusi dan
Eksklusi
780 karyawan
200 responden
Random
Plasebo
n = 50
Plasebo
n = 50
Minggu ke-0
Darah awal
(Base line)
MVM
n = 50
MVM
n = 50
Random
Plasebo
Plasebo + TT
MVM
MVM + TT
Plasebo
n = 28
Plasebo + TT
n = 30
MVM
n = 30
MVM + TT
n = 30
Minggu ke-6
Darah I
(intermediate)
Minggu ke-10
Pengambilan darah tahap akhir (II)
(end line)
Gambar 2. Alur penelitian
Pemberian Suplemen
Suplemen diberikan kepada responden selama sepuluh minggu oleh peneliti
dan perawat di perusahaan. Suplemen yang diberikan berbentuk tablet, memiliki
bentuk, ukuran, warna dan rasa yang sama, komposisi dari masing-masing label
kapsul sejak awal tidak diketahui oleh peneliti, begitu juga responden tidak
mengetahui komposisi dari masing-masing label kapsul yang dikenakan terhadap
dirinya. Komposisi suplemen seperti pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Komposisi suplemen multivitamin mineral
Zat Gizi
Vitamin
Mineral
Satuan
AKGa
Kandungan
% AKG
UL
Batasan
BPOM
19-29 th
30-49 th
E
mg
45
15
15
300
1000
400 IU
A
µg
700
500
500
140
5000
1500
B6
mg
6.5
100
100
Asam folat
µγ
400
400
400
100
1000
800
B12
µγ
9.6
2.4
2.4
685
ND
200
D
µγ
10
5
5
200
50
400IU
40
30
400
200
10
30
45
30
b
Zn
mg
10
9.3
9.8
102
Se
µγ
110
30
30
366
Cu
mg
0.9
Fe
mg
5
26
26
19.2
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Tahun 2004 Institute of Medicine
(2004), Surat Keputusan kep. Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (2004)
Ket : AKG : Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan, UL : Tolerable Upper Intake
Levels, BPOM : Badab Pengawas Obat dan Makanan, ND : not determined
Kandungan vitamin A yang terdapat dalam suplemen multivitamin mineral
adalah 2333 IU atau setara dengan 700 µg retinol (RE). Kadar ini masih dalam
batasan aman dari Tingkat Asupan Atas yang dapat Ditolerir atau Tolerable
Upper Intake Level (UL) yang menururt Lachance (1998) UL untuk orang dewasa
kemungkinan sekitar 5000 µg retinol (RE) atau setara dengan 15.000 IU perhari.
IU digunakan untuk menentukan kemungkinan konsumsi berlebih dari zat gizi,
jika intik harian gizi kurang dari UL, risiko pengaruh penyimpangan intik berlebih
adalah kecil (Muhilal dan Sulaeman 2004).
Desain Penelitian dan Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan desain Pure Eksperimental Double Blind
Randomized Clinical Trial (Ekperimental Murni Teracak Buta Ganda).
Rancangan percobaan yang digunakan yakni rancangan Petak Terpisah (Split plot
design). Rancangan percobaan ini dipilih karena adanya tingkat kepentingan dari
faktor-faktor yang dilibatkan sebagai kelompok yang diteliti (Mattjik dan
Sumertajaya, 2002), yakni
yakni sejak awal telah ditetapkan bahwa kelompok perlakuan
antara lain : plasebo, plasebo + vaksinasi TT, multivitamin muneral (MVM) dan
multivitamin mineral + vaksinasi TT (MVM + TT).
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian meliputi data
data karakteristik responden (IMT,
umur, pendidikan, pendapatan dan besar keluarga), data frekuensi konsumsi
pangan, data kadar vitamin A serum responden, data imunitas dalam hal ini total
limposit dan jumlah sel NK. Data karakteristik responden diperoleh melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner, untuk IMT diperoleh dengan
pengukuran tinggi badan dan penimbangan berat badan. Jenis dan cara
pengumpulan data penelitian disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data penelitian
Jenis data
Variabel
Karakteristik responden
• IMT
• Umur, pendidikan, besar keluarga
Pola konsumsi pangan
Limfosit,leukosit dan kadar vitamin A serum
Metode
Pengukuran dan
penimbangan
Wawancara
Wawancara
Analisis laboratorium
Penilaian status gizi melalui antropometri dilakukan menggunakan
indikator indeks massa tubuh (IMT). Nilai IMT dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
Keterangan: IMT = indeks massa tubuh; BB = berat badan (kg); TB = tinggi badan (m)
Data pola konsumsi pangan merupakan data frekuensi pangan yang
dikonsumsi contoh yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan food
frequency questinare (FFQ). Data kadar vitamin A serum, data limfosit dan data
sel NK diperoleh melalui pemeriksaan serum darah responden secara
laboratorium. Sampel darah diambil setelah responden puasa selama delapan jam,
pengambilan darah contoh dilakukan oleh petugas terlatih dari Puslitbang Gizi
dengan cara mengambil sebanyak 6 ml, sampel darah diambil dari pembuluh
darah vena yang berada di daerah lipatan siku, darah kemudian disentrifugasi
untuk diambil serumnya. Untuk analisis vitamin A serum, digunakan sampel
darah contoh sebanyak 2 ml tanpa koagulan, serum kemudian dianalisis dengan
menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Untuk
analisis jumlah limfosit digunakan sampel darah sebanyak 0,5 ml, darah kemudian
dianalisis dengan menggunakan alat Hematocytometer, sedangkan 2,5 ml darah
digunakan
untuk
analisis
jumlah
sel
NK
dengan
menggunakan
alat
Flowcytometer.
Analsis dengan menggunakan metode HPLC merupakan metode yang
paling umum digunakan untuk analisis vitamin A dan merupakan salah metode
yang paling sensitif untuk mengukur vitamin A (Olson, 1990), metode ini juga
digunakan untuk pemisahan dan analisis retinol serum karena metode ini memiliki
ketelitian (presisi) pada konsentrasi rendah (de Pee dan Dery, 2002). Menurut
WHO metode ini spesifik dan mudah digunakan (Gibson, 2005).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data meliputi editing kuesioner, coding, entry, cleaning, dan
analisis data yang dilakukan dengan menggunakan program komputer Microsoft
Excel 2007 dan Stasistical Program for Social Science (SPSS) versi 12 for
Windows.
Data usia dibedakan atas usia 20-29 tahun, 30-39 tahun, dan ≥40 tahun
(Saidin et al, 2003). Data pendapatan dibagi menjadi dua kategori yaitu sejahtera
dan tidak sejahtera. besar keluarga dibedakan atas keluarga kecil (anggota
keluarga ≤4 orang), keluarga sedang jika (anggota keluarga 5-7 orang), dan
keluarga besar (anggota keluarga >7 orang). Data pendidikan yang diukur yakni
tidak tamat SD, tamat SD, tamat SMP, tidak tamat SMP, tamat SMA dan
perguruan tinggi. Sedangkan (BKKBN, 1998). Data status gizi responden
dikategorikan menjadi : gizi buruk (<17.0), gizi kurang (17.0-18.4), gizi baik
(18.5-24.9), gizi baik (18.5-24.9), gizi lebih/overweight(25.0-27.0) dan obesitas
(>27.0). Data karakteristi responden dianalisis secara deskriptif.
Frekuensi konsumsi dibedakan atas konsumsi pangan responden dalam
minggu, responden dengan fekuensi konsumsi minimal satu kali dalam sehari
termasuk frekuensi konsumsi setiap hari apabila konsumsi pangan > 7 kali, sering
apabila 3-5x /minggu, jarang apabila 1-2x /minggu, sangat jarang apabila 1-3x
/bln dan tidak pernah. Data kadar serum vitramin A dikelompokkan berdasarkan
kategori marginal, cukup, dan berlebihan. Data kategori dan variabel data
responden seperti pada Tabel 5.
Tabel 5 Kategori dan variabel data responden
No
1
Variabel
Usia
2
Status ekonomi
3
Besar keluarga
4
Tingkat pendidikan
5
Status gizi responden
(IMT)
6
Frekuensi konsumsi
9
Kadar serum vitamin A
Kategori
20-29 tahun
30-39 tahun
≥40 tahun
Sejahtera
Tidak sejahtera
keluarga kecil ( ≤4 orang)
keluarga sedang (5-7 orang)
keluarga besar (>7 orang)
Tamat SD
Tamat SMP
Tidak tamat SMP
Tamat SMA dan
Perguruan tinggi
Sumber
(Saidin et al, 2003)
BPS 2007
BKKBN (1998)
Depkes RI (1996)
Gizi buruk (< 17.0)
Gizi kurang (17.0-18.4)
Gizi baik (18.5-24.9)
Gizi lebih (overweight) (25.027.0)
Obesitas (>27.0)
Setiap hari (>7 kali)
Sering (3-5x /minggu)
Jarang (1-2x /minggu)
Sangat jarang (1-3x /bln
Tidak pernah
Olson (1994)
Defisiensi ( <10 µg/dl)
Marginal ( 10-19,9 µg/dl)
Cukup (20-50,9 µg/dl)
Berlebihan (51-70 µg/dl)
Definisi Operasional
a.
Sampel adalah bahan berupa darah yang dianalisis kandungan vitamin A
serum secara laboratoris.
b.
Contoh penelitian adalah wanita pekerja usia subur berusia 20 – 45 tahun
bekerja sebagai pegawai tetap perusahaan dan bersedia secara suka rela
mengikuti secara konsisten setiap tahap penelitian.
c.
Pola konsumsi pangan adalah susunan beragam pangan yang dikonsumsi
responden yang bisa dilihat dari frekuensi mengkonsumsi jenis-jenis pangan
pada setiap kelompok pangan yang meliputi kelompok pangan sumber
karbohidrat, protein hewani, protein nabati, lemak, sayuran, buah dan susu.
d.
Kapsul perlakuan adalah kapsul yang berisi multivitamuin mineral yang
komposisinya antara lain vitamin A 2333 IU, vitamin D 400 IU, vitamin E
45 mg, vitamin B6 6,5 mg, asam folat 400 µg, vitamin B12 9,6 µg, zat besi 5
mg, tembaga 900 µg, zink 10 mg dan selenium 110 µg.
e.
Kapsul plasebo adalah kapsul yang secara fisik sama dengan kapsul
pelakuan dari bentuk, ukuran, warna dan rasa, tetapi hanya selulosa, pengisi
dan pewarna yang diberikan.
f.
Profil imunitas seluler adalah parameter imunitas yang diwakili oleh
jumlah sel imunitas (total limfsoit dan natural killer) yang diambil dari
plasma darah responden. Pengukuran dilakukan pada seluruh responden
setiap kelompok perlakuan suplementasi pada sebelum, enam minggu dan
sepuluh minggu perlakuan suplementasi.
g.
Kadar vitamin A serum adalah kandungan serum vitamin A dalam darah
responden yang merupakan pencerminan hasil asupan zat gizi, konsumsi
suplemen dan penggunaan vitamin A dalam tubuh dengan pemeriksaan
laboratorium biokimia.
h.
Status vitamin A adalah kadar vitamin A dalam serum contoh penelitian
yang diukur dengan metode HPLC yang dinyatakan dengan µg/dl dan
digolongkan sebagai berikut :
•
•
•
•
< 10 µg/dl
10-20 µg/dl
20-50 µg/dl
50-70 µg/dl
=
=
=
=
defisiensi
Marginal
Cukup
Berlebihan (Olson, 1994).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Penelitian
Penjaringan (screening) terhadap karyawan perusahaan merupakan tahapan
awal pelaksanaan penelitian, untuk mencari sampel yang kemudian dijadikan
sebagai responden. Karyawan yang dijaring berjumlah 780 orang karyawan yang
keseluruhannya adalah wanita berasal dari divisi dan lokal kerja yang berbeda,
mereka yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi kemudian ditetapkan sebagai
responden dalam hal ini diperoleh 200 responden.
Pada tahap perencanaan dan pelaksanaan suplementasi, peneliti berusaha
untuk menngkatkan validitas data, yakni dilakukan antara lain randomisasi sampel
oleh petugas khusus independen yang tidak terlibat dalam penelitian, menetapkan
persyaratan inklusi dan eksklusi, mengadakan pengarahan kepada responden
sebelum suplementasi diberikan, memotivasi responden untuk mengkonsumsi
suplemen, menyertakan izin pelaksanaan penelitian dari badan yang berwenang
yakni dalam hal ini dari pihak perusahaan dan Etical Clearance (Lampiran 1) dari
Badan Peneliti dan Pengembangan Kesehatan (Departemen Kesehatan RI) dan
berusaha meyakinkan responden untuk bersedia mengikuti tiap tahapan penelitian
secara konsisten yang dibekali dengan pernyataan Informed consent (Lampiran 2)
yang diisi secara sukarela oleh responden. Disamping itu juga, dari segi teknis,
alat ukur timbangan, tinggi badan, dan alat analisis darah yang digunakan telah
dikalibrasi sebelum digunakan dan analisis sampel darah dilakukan oleh tenaga
ahli di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi dan Makanan Depkes Bogor.
Titer Immunoglobuline G (IgG) merupakan salah satu kriteria yang
dikenakan paling awal. Karyawan yang dapat terjaring yakni yang memiliki titer
IgG positif (+), karyawan dengan titer IgG negatif (-) dinyatakan keluar dari
kriteria responden. Selanjutnya karyawan melewati tahapan kriteria inklusi
lainnya antara lain sehat, tidak menderita penyakit kronis, tidak sedang melakukan
diet, tidak sedang mengandung, dapat berdiri tegak, tidak minum alkohol, tidak
merokok, tidak sedang menstruasi pada saat pengambilan sampel darah, tidak
sedang hamil dan tidak sedang menyusui.
Kriteria eksklusi berlaku pada saat setelah pelaksanaan penelitian dilakukan,
yakni responden keluar sebagai sampel penelitian apabila melakukan kriteria ini,
antara lain sedang mengkonsumsi obat yang mempengaruhi imunitas, minum obat
cacing pada saat pelaksanaan suplementasi dan pada akhir penelitian
mengkonsumsi kurang dari 80 persen dari suplemen yang diberikan.
Sebelum suplementasi diberikan, dilakukan pengambilan darah awal atau
darah 0 (Baseline), responden dipuasakan selama delapan jam (sepanjang malam)
kemudian darah diambil pada pagi harinya oleh petugas khusus terlatih dari
Puslitbang Gizi sebanyak 6 ml dengan menggunakan winged infusion set 23Gx3/4”
(Terumo) dialirkan dari pembuluh darah vena yang berada di daerah lipaatan siku,
yang kemudian ditampung pada tabung reasksi, kemudian darah disimpan pada
boks es dan secepatnya dimobilisasi ke laboratorium yakni laboratorium biokimia
Puslibang Gizi dan laboratorium Makmal terpadu FKUI Jakarta untuk segera di
analisis. Analisis sel NK, sebanyak 2,5 ml darah ditampung pada tabung yang
berisi tripotasium EDTA dan bebas metal (Becton Dickinson) dengan
menggunakan alat flowcytometer. Analisis kadar serum vitamin A dan total
limfosit dilakukan di laboratorium Biokimia Puslitbang Gizi Bogor, diambil 2 ml
darah yang selanjutnya disentrifugasi untuk diambil serumnya, serum kemudian
dianalisis dengan menggunakan alat High Performance Liquid Chromatography
(HPLC), sedangkan untuk total limfosit digunakan 0,5 ml darah yang kemudian
dianalisis dengan menggunakan alat Hematocytometer.
Obat cacing diberikan kepada semua responden pada minggu pertama
sebelum suplementasi, perlakuan ini diberikan untuk menghindari faktor yang
mengganggu hasil analisis serum di laboratorium karena cacing dalam tubuh
dapat menyebabkan terganggunya penyerapan terhadap zat gizi yang dikonsumsi.
Suplementasi
dilaksanakan
selama
sepuluh
minggu,
penelitian
menggunakan empat perlakuan yakni plasebo, plasebo + TT, multivitamin
mineral (MVM) dan multivitamin mineral + TT (MVM + TT), pada tahap awal
masing-masing perlakuan berjumlah 50 responden. Kapsul diberikan 2 butir
perhari kepada tiap respoden, dan untuk memastikan bahwa suplemen telah
dikonsumsi, sebagian besar responden meminum suplemen didepan petugas
dengan menggunakan air yang telah disiapkan.
Pengambilan darah selanjutnya dilakukan pada minggu keenam dan minggu
kesepuluh suplementasi dengan cara yang sama seperti pada baseline. Vaksinasi
Tetanus toxoid (TT) diberikan setelah pengambilan darah pada minggu keenam
(intermediate) terhadap responden dari kelompok yang terpilih secara acak
sebagai kelompok perlakuan vaksinasi. Imunisasi aktif dengan Tetanus toxoid
terbukti efektif dan aman (Bleck 1991).
WHO merekomendasikan bayi yang baru lahir seharusnya dilindumgi
secara pasif dengan perlakuan pemberian sedikitnya dua dosis Tetanus toxoid
yang diberikan kepada ibu mereka pada saat mereka masih dalam kandungan dan
anak-anak tersebut selanjutnya seharusnya mendapatkan setidaknya tiga dosis
vaksin diphtheria-tetanus-pertusis (DPT) (Dietz et al. 1997). Vaksinasi tetanus
toxoid juga telah banyak digunakan dalam beberapa studi dibeberapa negara dan
terbukti aman (Christenson et al 1991; Passeti et al. 1997; Aboud et al. 2000).
Pola konsumsi makan digali dengan menggunakan metode FFQ (Lampiran
4). Metode ini merupakan metode yang umum dipakai untuk mengukur intik
pangan dan gizi jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk
menentukan perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam
waktu lama (Spark 2007). Pengukuran status gizi antropometri dilakukan oleh
petugas dan peneliti, penimbangan berat badan dilakukan dengan menggunakan
timbingan digital dan pengukuran tinggi badan dilakukan dengan menggunakan
alat microtois. Identitas responden digali dengan wawancara menggunkan
kuesioner yang dilakukan oleh peneliti, meliputi nama, tempat tanggal lahir,
pendidikan terakhir, merokok, minum alkohol, sedang berdiit, jumlah anggota
keluarga
status
sosial
ekonomi
responden
dan
juga
data-data
morbiditas.pemeriksaan kesehatan klinis dilakukan oleh petugas khusus yang
dilakukan oleh seorang dokter dari Puslitbang Gizi. Pemerikasaan kesehatan
meliputi pemerikasaan fisik responden (Lampiran 4).
Keluhan yang di alami responden dicatat pada tiap harinya, baik karena
keluhan minum kapsul, terlalu lelah karena beban kerja, maupun karena sakit
ringan seperti pilek, batuk, mual, pegal-pegal dan demam. Selama penelitian tidak
terdapat responden yang mengalami penyakit yang dapat membahayakan
kesehatan seperti penyakit kronis.
Kepatuhan terhadap konsumsi kapsul merupakan faktor penting dalam
validasi data, peneliti melakukan cross chek kepada responden dengan
menanyakan sehari setelahnya apakah telah meminum kapsul atau belum
(Lampiran 3), responden yang menyatakan tidak meminum kapsul kemudian
dicatat oleh petugas, karena apabila responden tidak mengkonsumsi lebih dari
duapuluh persen, maka responden dinyatakan keluar dari kriteria responden
penelitian.
Pada penelitian ini drop-out terjadi karena bebrapa hal, antara lain, tidak
mau mengkonsumsi kapsul, tidak di izinkan suami, tidak mau lagi diambil darah
dan merasa kesehatannya menurun setelah mengkonsumsi kapsul. Angka dropout paling tinggi terjadi pada kelompok plasebo, dengan jumlah responden keluar
mencapai 44%, sedangkan kelompok plasebo + TT, MVM, MVM + TT masingmasing mencapai 40%. Sesuai dengan studi suplementasi pada wanita remaja
yang dilakukan tanpa supervisi tingkat drop-out bisa mencapai 40-50% (Soekarjo
et al. 2004; Ahmed et al. 2001). Meskipun demikian, jumlah ini masih memenuhi
persyaratan minimum sampel berdasarkan rumus uji beda rata rata pada 2
kelompok independen dengan menggunakan rumus Lemeshow. Hasil perhitungn
yang merujuk dari penelitian sebelumnya (Stephensen 2000)
jumlah sampel
minimum yang diperlukan yakni 14 orang.
Bias data berusaha diatasi peneliti dengan metode desain penelitian yang
digunakan yakni dengan Double Blind sedangkan faktor lain yang dapat terjadi
karena pengaruh penggunaan obat yang mempengaruhi imunitas pada penelitian
ini kecil kemungkinan terjadi. Responden yang menyatakan dirinya kurang sehat
melaporkan kepada peneliti atau memberikan keterangan ketika ditanya peneliti
mengenai obat yang diminumya, konsumsi obat yang biasa untuk mengobati
gangguan kesehatan ringan masih dapat ditolerir.
Karakteristik Responden
Sampel dalam penelitian ini yakni wanita dan telah menikah. Pemilihan
wanita sebagai sampel berkaitan dengan status responden yang pernah mendapat
vaksinasi Tetanus toxoid (TT)
pada saat sebelum menikah dan akan hamil.
Pemberian perlakuan vaksinasi TT dihubungkan dengan respon fungsi kekebalan
pada responden. Karakteristik sampel terpilih yang kemungkinan sebagai faktor
yang mempengaruhi kadar vitamin A serum meliputi usia, status ekonomi, besar
keluarga, tingkat pendidikan dan juga satus gizi responden, akan tetapi
karakteristik ini merupakan gambaran secara umum responden dan tidak diteliti
responnya terhadap peningkatan kadar vitamin A serum setelah perlakuan
suplementasi.
Kategori Usia
Tabel 6 menunjukkan lebih dari setengah responden dari semua kelompok
perlakuan termasuk kategori usia 30-39 tahun. Responden dengan kategori usia
20-29 tahun memiliki variasi antara 16,7%-35,7%, sedangkan proporsi kategori
usia terendah terdapat pada kategori usia >40 tahun dengan persentase dibawah
13,3%. Menurut Papalia dan Olds (1981) sebagian besar usia responden tersebut
tergolong ke dalam dewasa muda (20-40 tahun). Menurut Atmarita dan Fallah,
(2004) usia responden tersebut termasuk dalam kisaran usia produktif yakni abtara
usia 15-64 tahun.
Tabel 6 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut kategori usia
Kelompok
Plasebo
Plasebo +
TT
MV M
MVM +
TT
Kategori usia
n
%
20 - 29 Tahun
10
35,7
30 - 39 Tahun
17
> 40 Tahun
1
60,7
3,6
20 - 29 Tahun
5
16,7
30 - 39 Tahun
21
> 40 Tahun
4
70
13,3
20 - 29 Tahun
8
26,7
30 - 39 Tahun
20
> 40 Tahun
2
66,7
6,7
20 - 29 Tahun
10
16,7
30 - 39 Tahun
17
> 40 Tahun
3
70
13,3
p
0,277
Pengkategorian usia responden mengacu pada Saidin et al. (2003). Rata-rata
usia responden lebih dari 30 tahun dimana usia terendah terdapat pada kelompok
plasebo meskipun tidak berbeda nyata (p>0,05).
Status Ekonomi
Salah satu gambaran yang menentukan status ekonomi keluarga responden
adalah pendapatan atau pengeluaran untuk pangan dan gizi (Suhardjo & Khumaidi
1997). Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan
kuantitas makanan. Kurangnya pendapatan akan berakibat buruk pada jumlah dan
jenis pangan yang dibeli untuk dikonsumsi pangan keluarga yang pada akhirnya
akan berpengaruh terhadap konsumsi pangan dan status gizi (Berg 1986).
Melihat kesamaan posisi pekerjaan, pembagian jam kerja dan juga dalam
hal penerimaan gaji yang relatif sama disamping pendapatan lain, berdasarakan
World bank, pengkategorian status ekonomi responden, lebih dari setengah
responden pada kelompok plasebo dan plasebo + TT termasuk ke dalam status
ekonomi miskin, begitu juga pada kelompok multivitamin dan kelompok
multivitamin + TT hampir sebagian besar responden termasuk ke dalam kategori
miskin (Tabel 7).
Berdasarkan batas kemiskinan kabupaten Bogor menurut BPS (2007)
sebesar Rp. 183.067,00,-/kapita/bulan, data pendapatan responden dikategorikan
menjadi sejahtera dan tidak sejahtera. Seluruh kelompok perlakuan pada
penelitian ini dikategorikan status ekonomi sejahtera. Hanya 3.3% responden pada
kelompok MVM tergolong kategori tidak sejahtera (Tabel 1). Tidak terdapat
perbedaan yang nyata dalam pemerolehan pendapatan anta kelompok perlakuan
(P>0,05).
Tabel 7 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut status ekonomi
Perlakuan
Plasebo
Plasebo +
TT
MVM
MVM +
TT
Kategori
pendapatan
Tidak
sejahtera
Sejahtera
Tidak
sejahtera
Sejahtera
Tidak
sejahtera
Sejahtera
Tidak
sejahtera
Sejahtera
n
%
0
28
0.0
100.0
0
30
0.0
100.0
1
28
3.33
96.7
0
30
0.0
100.0
p
0.426
Total pendapatan rata-rata responden sebagian besar berasal dari gaji
sebagai karyawan (sudah termasuk upah lembur) ditambah dengan pendapatan
dari anggota keluarga lainnya. Apabila dikaitkan dengan standar pendapatan
menurut batas kemiskinan World Bank bagi negara berkembang sebesar 2 dolar
(kurs Rp. 9300,00,-/dolar), status ekonomi lebih dari setengah kelompok kontrol
dan sebagian besar kelompok perlakuan suplementasi pada penelitian ini
dikategorikan tidak sejahtera.
Pendapatan keluarga akan mempengaruhi daya beli keluarga untuk pangan
dan memenuhi kebutuhan pangan keluarga (Sajogyo 1983). Pendapatan seseorang
sangat menentukan pemilihan pangan yang akan dikonsumsi, dengan pendapatan
tinggi maka kemampuan untuk membeli bahan pangan akan semakin beragam,
sebaliknya dengan pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah,
maka kemampuan untuk membeli pangan yang beragam akan terbatas, sehingga
keluarga tidak mampu memenuhi kecukupan konsumsi pangan yang akhirnya
berakibat buruk terhadap status gizi (Widyastuti 2004).
Besar Keluarga
Besar keluarga menurut BKKBN (1998) di bagi menjadi keluarga kecil jika
anggota keluarga ≤ 4 orang, keluarga sedang jika 5-6 orang, dan keluarga besar
jika ≥ 7 orang.
Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis
makanan yang tersedia dalam keluarga. Terdapat hubungan yang sangat nyata
antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi, khususnya pada keluarga yang
berpenghasilan rendah. Pemenuhan makanan akan lebih mudah jika jumlah
anggota keluarganya sedikit. Pada taraf yang sama, keluarga miskin dengan
jumlah anak yang banyak akan sulit memenuhi jika dibandingkan dengan
keluarga yang memiliki jumlah anak banyak (Suhardjo 1989)
Menurut Sediaoetama (1989) pengaturan pengeluaran untuk pangan seharihari akan lebih sulit jika jumlah anggota keluarga banyak. Hal ini menyebabkan
kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi anggota keluarga tidak mencukupi
kebutuhan.
Berdasarkan Tabel 8, diketahui bahwa sebagian besar responden merupakan
keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga kurang dari atau berjumlah 4
orang, dengan persentase terbesar berada pada kelompok MVM. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga responden memiliki jumlah anak 2
orang, berkaitan dengan umur responden yang lebih dari setengah berada pada
kategori dewasa muda, dan juga jika dilihat dari status pernikahan responden,
hanya 5% dari total responden yang hidup tanpa kepala kelurga (janda).
Tabel 8 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut Jumlah anggota keluarga
Kelompok
Placebo
Placebo +
TT
MVM +
TT
MVM
Kategori
< 4 Orang
5 - 7 Orang
< 4 Orang
5 - 7 Orang
< 4 Orang
5 - 7 Orang
< 4 Orang
5 - 7 Orang
> 7 Orang
n
25
3
27
3
24
6
27
2
1
%
89,3
10,7
90,0
10,0
80,0
16,7
90,0
6,7
3,3
p
0,294
Dalam hubungannya dengan pengeluaran rumah tangga, Sanjur (1982)
menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga yaitu banyaknya anggota suatu
keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga terutama pengeluaran
untuk makanan yang berpengaruh terhadap asupan zat gizi anggota keluarga
termasuk responden.
Tingkat pendidikan responden
Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap asupan makanan termasuk pola konsumsi pangan dan status gizi. Orang
yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang murah tetapi
kandungan gizinya tinggi, sesuai dengan jenis pangan yang tersedia dan kebiasaan
makan sejak kecil sehingga kebutuhan zat gizi dapat terpenuhi dengan baik
(Suhardjo 1996).
Tabel 9 menunjukkan tingkat pendidikan kelompok perlakuan plasebo
lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok lainnya dengan proporsi terbesar
tingkat pendidikan SLTA sebesar 39,3 persen, akan tetapi secara keseluruhan
tingkat pendidikan responden masih rendah karena setengah dari responden pada
kelompok plasebo berpendidikan SD dengan proporsi persentasi sebesar 50 persen
dan lebih dari setengah responden (56,7 persen) pada kelompok MVM + TT tamat
SLTP, hanya 3,3% dari seluruh kelompok yakni kelompok MVM yang
berpendidikan akademi/dipoloma/PT.
Tabel 9 Sebaran responden pada tiap kelompok menurut tingkat pendidikan
Perlakuan
Plasebo
Plasebo + TT
MVM
MVM + TT
Kategori Tk. Pendidikan
Tamat SD
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tidak Tamat
Tidak Tamat
Tamat SD
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat SD
Tamat SLTA
Tamat SLTP
Tamat D3
Tamat SD
Tamat SLTA
Tamat SLTP
n
4
11
12
1
1
15
5
9
%
14,29
39,29
42,86
3,57
3,33
50
16,67
30
12
6
11
1
7
6
17
40
20
36,67
3,33
23,33
20
56,67
p
0,478
Status Gizi Responden
Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok
orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi
makanan yang dapat dinilai dengan berbagai cara, salah satunya dengan
antropometri.
Antropometri
gizi
berhubungan
dengan
berbagai
macam
pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi. (Jellife 1966).
Indeks masa tubuh merupakan salah satu ukuran antropometri yang
digunakan untuk mengukur status gizi, yakni dengan membagi berat badan
dengan tinggi badan, kemudian dikategorikan menjadi beberapa kriteria.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan dan tinggi badan
(Supariasa et al. 2001). Berat badan digunakan dalam pengukuran karena
merupakan satu-satunya ukuran tunggal yang ekonomis dan paling peka
digunakan apabila dibandingkan dengan tinggi badan (Riyadi 2001).
Berdasarkan Tabel 10, setengah dari kelompok plasebo dan lebih dari
setengah pada kelompok perlakuan plasebo + TT, MVM dan MVM + TT
memiliki status gizi baik. Akan tetapi pada kelompok plasebo + TT dan pada
kedua kelompok perlakuan multivitamin dan mikromineral masih terdapat
responden dengan status gizi buruk dan kurang dengan proporsi dibawah 7 %.
Tabel 10 Sebaran status gizi responden pada tiap kelompok menurut IMT
(Kg/M2)
Kelompok
Kategori IMT
Gizi kurang (17.0-18.4)
Gizi baik (18.5-24.9)
n
1
14
%
3,57
50
Plasebo
Gizi lebih (overweight) (25.027.0)
7
25
Obesitas (>27.0)
Gizi kurang (17.0-18.4)
Gizi baik (18.5-24.9)
6
1
20
21,43
3,33
66,67
Gizi lebih (overweight) (25.027.0)
4
13,33
Obesitas (>27.0)
Gizi buruk (< 17.0)
Gizi baik (18.5-24.9)
5
1
21
16,67
3,33
70
Gizi lebih (overweight) (25.027.0)
4
13,33
Obesitas (>27.0)
4
13,33
Gizi buruk (< 17.0)
Gizi kurang (17.0-18.4)
Gizi baik (18.5-24.9)
2
1
17
6,67
3,33
56,67
Gizi lebih (overweight) (25.027.0)
4
13,33
Obesitas (>27.0)
6
20
Plasebo +
TT
MVM
MVM +
TT
p
0,887
Rata-rata status gizi responden seluruh kelompok perlakuan termasuk
kedalam kategori gizi baik dengan rata-rata tertinggi IMT terdapat pada kelompok
MVM meskipun tidak berbeda nyata dengan kelompok lainnya (p>0.05).
Frekuensi konsumsi Responden
Frekuensi Konsumsi Sumber Karbohidrat
Seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi makanan
pokok sumber karbohidrat tunggal (nasi) minimal satu kali sehari, dengan
proporsi persentase sumber karbohidrat lain pada hampir seluruh perlakuan
berupa mie, roti, jagung, biskuit pada kategori jarang, yakni satu sampai dua kali
seminggu, sedangkan pada kelompok MVM untuk frekuensi konsumsi biskuit
proporsi konsumsi berada pada kategori sering dengan persentase terbesar (40%),
pada kelompok pangan ubi jalar proporsi persentase terbesar untuk semua
kelompok perlakuan berada pada kategori sangat jarang (Tabel 11). Proporsi
persentase secara lengkap untuk tiap kategori frekuensi konsumsi responden
tertera pada Lampiran 5.
Tabel 11 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber
Karbohidrat per minggu
Perlakuan
kelompok
pangan
Nasi
Mie
Roti
Jagung
Biskuit
Ubi Jalar
frekuensi
setiap hari (>7)
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sering (3-5x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (13x /bln)
Plasebo (n=28)
Plasebo + TT (n=30)
MVM (n=30)
MVM + TT
(n=30)
n
%
n
%
n
%
n
%
28
100.0
30
100.0
30
100.0
30
100.0
16
57.1
17
56.7
13
43.3
13
43.3
13
46.4
12
40.0
12
40.0
11
36.7
11
39.3
11
36.7
13
43.3
10
33.3
3
10.7
2
6.7
12
40.0
4
13.3
10
35.7
12
40.0
9
30.0
11
36.7
13
46.5
10
33.4
12
40
12
40
Karbohidrat menyumbang sekitar setengah dari total intik kalori, dan
merupakan sumber energi utama pada rata-rata diet manusia (Groff &
Gropper,1999). Energi yang diperoleh dari konsumsi pangan dibutuhkan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari, pemeliharaan, pertumbuhan tubuh dan juga
tenaga untuk metabolisme normal zat gizi lain dalam jaringan.
Frekuensi Konsumsi Pangan Sumber Protein
Pentingnya protein dalam gizi dan kesehatan tidak diragukan lagi. Protein
esensial secara gizi karena terdiri dari asam amino yang beberapa harus disintesa
sendiri oleh tubuh untuk dapat berjalannya metabolisme normal tubuh (Groff &
Gropper 1999). Asam-asam amino tersebut dapat berasal dari tumbuhan maupun
hewan (Piliang & Al haj 2006).
Berdasarkan Tabel 12, Konsumsi pangan sumber protein nabati cukup baik
pada tiap kelompok. Tempe dan tahu memiliki proporsi terbesar dengan kategori
sering, yakni mengkonsumsi tiga sampai lima kali seminggu. Pangan nabati
penting karena salah satu sumber zat gizi protein yang diperlukan tubuh untuk
proses regenerasi sel (Almatsier 2002).
Tabel 12 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein
nabati per minggu
Perlakuan
Kelompok
pangan
Frekuensi
Tempe
sering (3-5x /minggu)
13
46.4
13
Tahu
sering (3-5x /minggu)
13
46.4
sangat jarang (1-3x /bln
7
tidak pernah
11
Oncom
Plasebo
(n=28)
n
%
Plasebo + TT
(n=30)
n
%
MVM
(n=30)
n
%
MVM + TT
(n=30)
n
%
43.3
17
56.7
15
50.0
10
33.3
18
60.0
17
56.7
15
11
26.7
10
33.3
10
33.4
39.3
6
20.0
9
30.0
10
33.3
Bahan makanan asal hewani merupakan bahan makanan yang sangat
esensial bagi manusia karena sebagai salah satu sumber protein pangan dengan
nilai biologi yang lebih tinggi dari pada pangan nabati, karena protein yang
berasal dari tanaman tergolong protein yang tidak lengkap yang mengandung
beberapa asam amino esensial dalam jumlah rendah (Piliang & Al haj 2006).
Dari Tabel 13 terlihat frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani
untuk kelompok pangan telur memiliki proporsi persentase terbesar pada tiap
kelompok dengan frekuensi konsumsi sering (tiga sampai lima kali seminggu)
dengan kelompok MVM + TT memiliki persentase terbesar (60%). Sedangkan
pada kelompok pangan hewani sumber protein lainnya seperti ayam, daging sapi,
hati sapi, hati ayam, ikan segar dan susu bubuk memiliki frekuensi jarang dan
sangat jarang, bahkan pada kelompok pangan keju hampir seluruh responden pada
tiap kelompok tidak pernah mengkonsumsinya.
Tabel 13 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein
hewani per minggu
kelompok
pangan
frekuensi
Plasebo
(n=28)
n
%
Perlakuan
Plasebo + TT
MVM (n=30)
(n=30)
n
%
n
%
MVM + TT
(n=30)
n
%
Telur
sering (3-5x /minggu)
13
46.4
13
43.3
16
53.3
18
60.0
Ayam
jarang (1-2x /minggu)
15
53.6
20
66.7
15
50.0
21
70.0
Daging
sapi
sangat jarang (1-3x /bln
10
34.8
15
50
7
23.3
14
46.7
tidak pernah
16
57.1
13
43.3
23
76.7
13
43.3
Hati sapi
tidak pernah
20
71.4
22
73.3
26
86.7
20
66.7
hati ayam
jarang (1-2x /minggu)
11
39.3
14
46.7
6
20.0
11
36.7
Ikan segar
Susu
Bubuk
Keju
sangat jarang (1-3x /bln
10
35.7
9
30
10
33.3
11
36.6
jarang (1-2x /minggu)
16
57.1
16
53.3
12
40.0
17
56.7
tidak pernah
22
78.6
21
70.0
23
76.7
21
70.0
tidak pernah
30
100.0
28
93.3
30
100.0
28
93.3
Frekuensi Konsumsi Buah-buahan
Buah merupakan sumber vitamin dan mineral yang baik bagi tubuh
(Almatsier 2002). Buah mengandung satu atau lebih provitamin dan vitamin yang
beberapa vitamin berfungsi sebagai koenzim atau merupakan gugus prostetik dari
enzim yang bertanggung jawab terhadap reaksi-reaksi kimia yang esensial,
vitamin juga sering disebut sebagai faktor pelengkap makanan, karena vitamin
pada kenyataannya tidak mensuplai kalori dan juga tidak mempengaruhi massa
tubuh secara nyata (Piliang & Al haj 2006).
Berdasarkan Tabel 14, dapat diketahui bahwa buah jambu biji dikonsumsi
dengan proporsi persentase terbesar pada kategori sering di tiap kelompok, kecuali
kelompok perlakuan plasebo dengan frekuensi konsumsi terbesar pada kategori
jarang (46.4%). Hampir setengah dari respoden pada tiap kelompok perlakuan
memiliki tingkat konsumsi buah pepaya dan jeruk pada frekuensi jarang, hanya
kelompok MVM + TT yang hampir setengahnya mengkonsumsi jeruk pada
frekuensi sering.
Tabel 14 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi buah-buahan
per minggu
kelompok
pangan
Jambu
biji
Pepaya
Jeruk
frekuensi
sering (3-5x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sering (3-5x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
Plasebo
(n=28)
n
%
Perlakuan
Plasebo + TT
MVM (n=30)
(n=30)
n
%
n
%
MVM +
TT (n=30)
n
%
5
17.9
11
36.7
6
20.0
10
33.3
13
46.4
6
20.0
6
20.0
9
30.0
14
50.0
11
36.7
11
36.7
12
40.0
11
39.3
9
30.0
7
23.3
14
46.7
12
42.9
13
43.3
15
50.0
10
33.3
Frekuensi Konsumsi Sayuran
Sayuran merupakan komoditas pangan yang banyak mengandung vitamin
dan mineral, dan unsur-unsur tersebut penting untuk kesehatan manusia, sayuran
merupakan salah satu sumber provitamin A, vitamin C, Ca, Fe serta menyumbang
sedikit kalori dan sejumlah elemen mikro. Selain itu, sayuran juga merupakan
sumber serat pangan (dietary fiber) serta sejumlah antioksidan yang telah terbukti
mempunyai peranan penting untuk menjaga kesehatan tubuh (Muchtadi 2000).
Hampir setengah
responden dari tiap kelompok perlakuan memiliki
konsumsi sayuran yang kurang. Pada kelompok pangan sayuran bayam,
kangkung, daun singkong, kacang panjang dan sawi, proporsi persentase terbesar
responden memiliki frekuensi konsumsi jarang, bahkan sebagian besar responden
pada tiap perlakuan tidak pernah mengkonsumsi daun katuk pada menu makanan
mereka (Tabel 15).
Tabel 15 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi sayuran per
minggu
Perlakuan
kelompok
pangan
Bayam
Kangkung
Daun
singkong
kacang
panjang
Selada air
Sawi
Daun katuk
frekuensi
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
tidak pernah
jarang (1-2x
/minggu)
tidak pernah
Plasebo
Plasebo + TT
MVM
MVM + TT
(n=28)
(n=30)
(n=30)
(n=30)
n
%
n
%
n
%
n
%
18
64.3
13
43.3
15
50.0
13
43.3
13
46.4
16
53.3
14
46.7
17
56.7
11
39.3
18
60.0
11
36.7
18
60.0
10
35.7
19
63.3
16
53.3
18
60.0
22
78.6
28
93.3
24
80.0
19
63.3
12
42.9
13
43.3
16
53.3
14
46.7
19
67.9
23
76.7
22
73.3
23
76.7
Pengaruh Suplementasi Multivitamin Mineral terhadap Kadar Vitamin A
Serum (Retinol Serum)
Pengukuran kadar vitamin A serum dilakukan secara biokimia dengan
menggunakan metode High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Metode ini dipakai oleh NHANES III dan juga beberapa penelitian lain untuk
menganalisis kadar retinol serum, karena dengan konsentrasi yang relatif rendah,
pengukuran kadar serum retinol paling baik dengan analisis menggunakan metode
HPLC (de Pee dan Dary, 2002). Menurut WHO metode ini spesifik dan mudah
digunakan (Gibson, 2005). Nilai rata-rata kadar vitamin A serum dan hasil uji
seperti pada Tabel 16.
Tabel 16 Kadar vitamin A serum sebelum (baseline) enam minggu (intermediate)
dan sepuluh minggu (endline) perlakuan suplementasi
Suplementsi
Placebo
Serum Vitamin A (µg/dl)1
Placebo + TT MVM
Baseline (0)
28.65±8.9a
29.56±8.64a
Intermediate (1)
Selisih 0 - 1
Endline (2)
Selisih 1 - 2
28.95±8.76
a
0.3±5.33a
1.1±7.18a
27.23±9.02
1.72±7.28
28.46±9.25
a
a
a
29.67±9.4
1.2±6.29
a
a
31.88±10.91a
29.95±8.87
a
32.34±11.95
2.39±7.81
a
a
29.12±8.32a
29.5±9.56
-1.93±8.81a
a
MVM TT
0,549
a
0,929
0.38±6.98a
a
32.92±12.32
3.42±9.79
a
P
a
0,544
a
0,171
0,085
a
Selisih 0 - 2
1.42±7.85
0.1±8.23
0.46±10.27
3.8±10.5
0,184
Keterangan:
(0) Data baseline = data 0 minggu; (1) Intermediate = Data 6 minggu perlakuan; (2) Endline =
Data 10 minggu perlakuan
1
x ± SD ;
a
Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat
perbedaan yang
nyata antar kelompok (p<0.05).
Kadar vitamin A serum dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu 1). Defisiensi
(<10 µg/dl), 2). Marginal ( 10-19.9 µg/dl), 3). Cukup (20-50 µg/dl), 4).
Berlebihan ( >50 µg/dl) (Olson 1994). Menurut de Pee dan Dary (2002), Kadar
70µmol/L atau setara dengan 20µg/dl telah diakui sebagai cut-off yang lebih baik
untuk menentukan batasan kadar serum vitamin A.
Kadar vitamin A serum merupakan indikator secara biokimia yang
digunakan untuk mengetahui status vitamin A seseorang. Kadar serum vitamin A
(Retinol) merupakan cerminan status vitamin A individu, terutama ketika
cadangan vitamin A tubuh terbatas, karena secara homeostatis kadar serum
vitamin A dikontrol dan tidak akan turun sampai cadangan vitamin A tubuh
benar-benar pada taraf yang mengkhawatirkan (Olson, 1994).
Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok Kontrol
Pengaruh Perlakuan Terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo
Kelompok kontrol (plasebo), rata-rata kadar vitamin A serum pada awal
intervensi sebesar 28.65 µg/dl, setelah enam minggu intervensi terjadi kenaikan
rata-rata nilai kadar vitamin A serum sebesar 28.95 µg/dl, yakni terjadi
peningkatan 0.3 µg/dl. Kenaikan ini masih pada taraf normal cut off point
kebutuhan kadar vitamin A serum minimal sebesar 20 µg/dl (Gambar 10) dan
perbedaan nilai rata-rata kadar serum vitamin A tidak signifikan (p>0.05).
Berdasarkan pengkategorian kadar vitamin A (Gambar 3), pada kelompok
plasebo setelah enam minggu perlakuan (intermediate) terjadi penurunan
persentase responden dengan kategori marginal sebesar 7.15% atau terjadi
kenaikan persentase responden dengan kadar vitamin A serum normal sebesar
3.57%, akan tetapi peningkatan kadar serum vitamin A ini juga meningkatkan
persentase responden dengan kadar vitamin A serum berlebih menjadi 3.57%, hal
ini dikarenakan sekitar 70 % sampai 80% retinol yang berasal dari makanan
sehari-hari diserap walaupun dalam intik yang berlebih (Bender, 2003).
Beberapa simpanan retinol terjadi pada sel-sel parenkima, akan tetapi sekitar
80% sampai 95% retinol disimpan dalam sel-sel kecil perisinusoidal yang disebut
sel-sel stellate. Vitamin A disimpan pada sel ini bersamaan dengan droplet lemak.
Ketika simpanan vitamin A dalam hati telah cukup, sel stellate akan menyimpan
vitamin A yang baru dicerna sebagai retinyl ester (terutama retinyl palmitat,
retinyl stearat, oleat dan linoleat) (Groff dan Groper, 1999).
Pada akhir perlakuan intervensi di minggu kesepuluh, pada kelompok
plasebo, terjadi penurunan nilai rata-rata kadar serum vitamin A, rata-rata kadar
vitamin A serum kelompok plasebo menurun menjadi 27.23 µg/dl. Jika
dibandingkan dengan data baseline terjadi penurunan sebesar 1.42 µg/dl dan jika
dibandingkan dengan data pada minggu keenam (intermediate) terjadi penurunan
sebesar 1.72 µg/dl. Meskipun demikian, berdasarkan pengkategorian serum
vitamin A penurunan ini masih dalam batas aman kadar vitamin A serum, yakni
sebagian besar responden pada kelompok plasebo memiliki kadar vitamin A
serum dalam kategori cukup (20-50 µg/dl). Akan tetapi, terjadi peningkatan
persentase responden yang memiliki kadar vitamin A serum dalam kategori
marginal dan berlebihan, dengan peningkatan masing-masing 7.15% dan 7.14%
(Gambar 3).
% Kadar vitamin A serum
(µg/dl)
100
82,1485,71
71,43
80
Baseline
Intermediate
Endline
60
40
20
17,86 17,86
10,71
10,71
3,57
0
Marginal
Cukup
Berlebihan
Kategori Vitamin A Serum
Gambar 3 Kadar vitamin A serum kelompok plasebo sebelum (Baseline
(Baseline) minggu
(Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline).
Pengaruh Suplementasi terhadap Kadar Vitamin A Serum Plasebo + TT
Pada kelompok plasebo + TT sebelum perlakuan suplementasi, rata-rata
kadar vitamin A serum sebesar 29.56 µg/dl setelah perlakuan suplementasi selama
enam minggu sepeti ditunjukkan pada Tabel 16, terjadi penurunan nilai rata-rata
kadar vitamin A serum menjadi 28.46 µg/dl atau terjadi penurunan sebesar 1.1
µg/dl. Penurunan nilai kadar vitamin A serum ini turut meningkatkan persentase
responden dengan kategori kadar serum vitamin A marginal sebesar 6.66% dan
berlebihan sebesar 10% (Gambar 4).
Pada akhir perlakuan suplementasi dikelompok plasebo + TT, terjadi
kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A menjadi 29.67 µg/dl
g/dl, dibandingkan
dengan data baseline, kenaikan sebesar 0.1 µg/dl jika dibandingkan dengan data
pada minggu keenam (intermediate) kenaikan sebesar 1.2 µg/dl. kenaikan ini turut
meningkatkan persentase responden dengan kategori normal, dengan peningkatan
sebesar 10%, meskipun masih ada responden dengan kategori marginal dan
berlebihan (Gambar 4). Penurunan dan kenaikan rata-rata kadar vitamin A serum
pada kelompok kontrol di
akhir intervensi dapat dianggap tidak bermakna
(p>0,05). Meskipun tidak signifikan, Perlakuan vaksinasi Tetanus toxoid pada
kelompok plasebo + TT cenderung memberikan pengaruh terhadap peningkatan
kadar serum vitamin A responden.
% Kadar vitamin A serum (µg/dl)
100
90
83,33
73,33
80
Baseline
Intermediate
60
Endline
40
20
6,67
13,33 10
13,33
3,33
6,67
0
Marginal
Cukup
Berlebihan
Kategori Vitamin A Serum
Gambar 4 Kadar vitamin A serum kelompok plasebo + TT sebelum (Baseline)
enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline).
Pengaruh Suplementasi Terhadap Kadar Vitamin A Serum Kelompok
Perlakuan
Pengaruh Suplementasi terhadap
terhadap Kadar Vitamin A Serum MVM
Pada kelompok dengan perlakuan intervensi yakni MVM, sebelum
perlakuan suplementasi, rata-rata kadar vitamin A serum sebesar 31.88 µg/dl,
setelah enam minggu perlakuan terjadi penurunan nilai rata-rata kadar vitamin A
serum menjadi 29.95 µg/dl atau turun sebesar 1.93 µg/dl (Tabel 16), penurunan ini
menyebabkan peningkatan pada pengkategorian kadar vitamin A serum menjadi
kategori normal (90%) dan menurunkan prevalensi responden dengan kadar
vitamin A serum berlebihan (Gambar 5).
Pada akhir perlakuan suplementasi, di minggu kesepuluh pada kelompok
perlakuan MVM terjadi kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A menjadi
32.34 µg/dl. Jika dibandingkan dengan data baseline, terjadi kenaikan sebesar
0.46 µg/dl dan jika dibandingkan dengan data pada minggu keenam, terjadi
kenaikan sebesar 2.39 µg/dl. berdasarkan pengkategorian kadar vitamin A pada
Gambar 12, pada akhir perlakuan suplementasi, kenaikan nilai rata-rata kadar
vitamin A meskipun menurunkan persentase responden dengan kadar vitamin A
serum marginal sebesar 6.67%, akan tetapi menyebabkan meningkatnya
prevalensi responden dengan kadar vitamin A serum berlebihan hingga 13.33%.
Rata-rata kenaikan nilai kadar vitamin A serum pada kelompok MVM meskipun
tidak signifikan (P>0.05), hal ini dapat bermakna bahwa
bahwa suplementasi cenderung
meningkatkan kadar vitamin A serum (Tabel 16).
Gambar 5 Kadar vitamin A serum kelompok MVM sebelum (Baseline)
enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu (Endline).
Pengaruh Suplementasi dan vaksinasi terhadap Kadar Vitamin A Serum
MVM + TT
Berdasarkan Tabel 16, rata-rata kadar vitamin A serum sebelum perlakuan
suplementasi pada kelompok MVM + TT sebesar 29.12 µg/dl, di minggu keenam
perlakuan terjadi kenaikan nilai rata-rata serum vitamin A kelompok MVM + TT
menjadi 29.5 µg/dl, atau naik sebesar 0.38 µg/dl. kenaikan ini menurunkan batas
marginal kecukupan vitamin A responden hingga 10%, dan meningkatkan
persentase kecukupan vitamin A responden 3.34% akan tetapi peningkatan ini
justru berdampak pada meningkatkan
meningkatkan prevalensi responden sebesar 3.33%
terhadap defisiensi vitamin A dan kadar vitamin A yang berlebihan sebesar 3.33%
(Gambar 13). Kenaikan nilai rata-rata kadar serum vitamin A pada kelompok
perlakuan MVM + TT pada enam minggu intervensi meskipun tidak signifikan
(p>0.05) turut dipengaruhi oleh asupan zat gizi, dan suplementasi.
Pada akhir suplementasi pada minggu kesepuluh untuk kelompok MVM +
TT rata-rata kadar vitamin A serum menjadi 32.92 µg/dl, jika dibandingkan
dengan data baseline terjadi kenaikan nilai rata-rata sebesar 3.8 µg/dl dan jika
dibandingkan dengan data pada minggu keenam perlakuan, terjadi kenaikan nilai
rata-rata kadar vitamin A serum sebesar 3.42 µg/dl. kenaikan ini meskipun
menurunkan batas persentase marginal kategori serum vitamin A responden, akan
tetapi juga diikuti meningkatnya persentase kategori responden dengan tingkat
kadar vitamin A serum berlebihan hingga 10%. Sedangkan prevalensi responden
dengan kategori kadar vitamin A serum defisit tetap yakni 3.33% (Gambar 6).
Pada minggu kesepuluh suplementasi (Tabel 16), kenaikan nilai rata-rata kadar
vitamin A meskipun tidak signifikan (P>0.05) cenderung dipengaruhi oleh
suplementasi dan vaksinasi.
Gambar 6 Kadar vitamin A serum kelompok MVM + TT sebelum (
Baseline) enam minggu (Intermediate) dan sepuluh minggu
(Endline).
Jika dikaji lebih mendalam, kadar serum vitamin A pada sebelum, enam
minggu perlakuan suplementasi sampai akhir perlakuan suplementasi (minggu
kesepuluh) untuk kelompok kontrol (plasebo dan plasebo + TT) dapat dilihat dari
pendekatan pengaruh pola konsumsi pangan terhadap kadar serum vitamin A yang
pada awalnya memang pada batas kadar serum vitamin A (20-50 µg/dl).
Pelabelan TT pada salah satu kelompok kontrol da salah satu kelompok
perlakuan pada enam minggu pertama belum menunjukkan perlakuan khusus
vaksin, karena pemberian vaksinsasi Tetanus toxoid (TT) baru diberikan pada saat
pengambilan darah I (intermediate) yakni ketika akan dilakukan perlakuan sampai
empat minggu berikutnya, sehingga pengaruh “tantangan” dari luar berupa vaksin
belum ada, pelabelan TT ini telah ditetapan sebagaimana rancangan percobaan
sejak awal dan untuk melihat kepentingan dari masing-masing kelompok di tiap
tahap perlakuan.
Berdasarkann frekuensi konsumsi secara umum untuk seluruh kelompok
perlakuan, pangan sumber energi terutama dari pangan sumber karbohidrat (Tabel
11), untuk frekuensi sumber pangan pokok tunggal yakni nasi, seluruh responden
dari tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi dengan frekuensi setiap hari
(minimal 1x/sehari), sedangkan sumber pangan lainnya seperti mie, roti, jagung,
biskuit dan ubi jalar, proporsi persentase terbesar responden berada pada kategori
jarang (3-5x/minggu).
Pangan nasi berdasarkan uji korelasi, berhubungan nyata dengan kadar
vitamin A serum pada sebelum perlakuan suplementsi (baseline) (p<0,05),
sedangkan pangan sumber karbohidrat lainnya yakni mie, roti, jagung, biskuit dan
ubi jalar tidak berhubungan nyata dengan kadar vitamin A serum (Lampiran 6).
Dengan menggunakan uji regresi, diketahui bahwa konsumsi nasi juga
berpengaruh dengan kadar vitamin A serum responden pada sebelum
suplementasi (baseline) (p<0,05), sedangkan pangan sumber karbohidrat lainya
tidak berpengaruh nyata (Lampiran 7).
Karbohidrat merupakan salah satu sumber energi metabolik tubuh yang
digunakan sehari-hari (Bender, 2002). Energi sangat dibutuhkan pada banyak
proses metabolisme dalam tubuh guna keberlangsungan kehidupan. Kebutuhan
energi bagi kehidupan antara lain untuk berjalannya sistem biosintetik (anabolik)
yang dengan keberadaan energi, substansi dapat terbentuk dari prekursor
sederhana (Groff & Gropper, 1999) yakni terkait pula dengan metabolisme
vitamin A dalam tubuh.
Menurut Groff dan Gropper (1999), vitamin A sebagai retinyl ester dalam
bentuk retinyl palmitat di temukan terutama pada beberapa bahan makanan yang
berasal dari hewan, terutama hati dan produk olahannya, sama dengan ikan seperti
tuna dan sarden. Retinyl ester biasanya ditemukan berikatan dengan kompleks
protein dalam bahan makanan, bentuk aktif vitamin A ini berada hanya pada
bahan pangan hewani (Gallagher dalam Krause’s 2004).
Berdasarkan data frekuensi konsumsi pangan sumber protein, untuk protein
nabati (Tabel 12) hampir setengah dari seluruh responden pada tiap kelompok
perlakuan mengkonsumsi tempe dan tahu dalam frekuensi sering. Berdasarkan uji
korelasi tidak terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan sumber
protein nabati (tempe, tahu dan oncom) dengan kadar vitamin A serum pada
sebelum suplementasi (baseline) enam minggu (intermediate)dan setelah sepuluh
minggu suplementasi (endline) (p>0,05) (Lampiran 8).
Frekuensi sumber protein hewani (Tabel 13), hampir setengah responden di
tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi telur dalam frekuensi sering, konsumsi
ayam dan hati ayam pada kelompok plasebo minimal satu kali seminggu,
sedangkan konsumsi ikan segar, kurang dari setengah responden mengkonsumsi
dengan kategori jarang (satu sampai tiga kali sebulan). Berdasarkan uji korelasi
pada Lampiran 9, terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi pangan sumber
protein hewani yang berasal dari daging sapi, hati sapi dan ikan segar pada tiap
kelompok perlakuan dengan kadar vitamin A serum sebelum perlakuan (baseline)
(p<0,01), sedangkan pangan sumber protein hewani lainnya seperti telur, ayam,
hati ayam, susu bubuk dan keju tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan
kadar vitamin A serum. Uji regresi menunjukkan bahwa hanya daging sapi dan
ikan segar yang berpengaruh terhadap peningkatan kadar vitamin A serum pada
sebelum perlakuan suplementasi (baseline) (p<0,01).
Konsumsi daging baik ayam maupun daging sapi responden terutama pada
saat mereka menerima gaji, sehingga sebagian besar responden pada tiap
perlakuan memiliki frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani terutama
daging dan ikan segar dalam frekuensi jarang, akan tetapi meskipun demikian
ternyata berdasarkan uji regresi terdapat pengaruh yang nyata antara konsumsi
pangan sumber protein hewani yakni yang berasal dari daging sapi dan ikan segar
terhadap kadar vitamin A serum responden (p<0,05).
Sumber vitamin A yang berasal dari hewan terutama minyak ikan laut yang
berasal dari hati ikan. Ikan laut dan mamalia menghasilkan vitamin A1 (retinol),
sedang ikan air tawar mengandung terutama vitamin A2 (dehidro retinol)
(Moeljoharjo, 1993). Pangan hewani adalah sumber gizi yang dapat diandalkan
untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat yang kaya vitamin A, terutama yang
termasuk ke dalam pangan hewani adalah daging dan ikan (Khomsan 2004).
Protein merupakan salah satu zat gizi makro yang sangat erat kaitannya
dengan vitamin A terutama pada proses pencernaan, absorpsi, metabolisme
transport dan juga penyimpanan vitamin A dalam jaringan. Protein menjadi
bahasan yang sangat penting dalam melihat apakah pola konsumsi berpengaruh
terhadap peningkatan kadar serum vitamin A pada kelompok kontrol.
Konsumsi pangan sumber provitamin A pada kelompok kontrol untuk buahbuahan, frekuensi konsumsi sumber buahan-buahan yakni jambu biji, pepaya dan
jeruk untuk seluruh kelompok perlakuan masih kurang. Berdasarkan uji korelasi,
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan sumber buahbuahan dengan kadar vitamin A (p>0,05).
Konsumsi sayuran sumber vitamin A seperti bayam, daun singkong,
kangkung, kacang panjang dan sawi memiliki frekuensi konsumsi yang tidak jauh
berbeda dengan buah-buahan. Karotenoid, yakni pigmen sumber provitamin A
berwarna merah, orange dan kuning yang dapat disintesa oleh berbagai jenis
tanaman, berlimpah dalam jumlah sangat banyak (lebih dari 600), tetapi kurang
dari 10 persen dari pigmen-pigmen ini yang memiliki aktivitas vitamin A. Pigmen
dengan aktivtas vitamin A terbaik yakni β-karoten. Karotenoid terdapat secara
alami pada buah-buahan dan sayuran (Groff dan gropper, 1999). Berdasarkan uji
korelasi, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi pangan sayuran
dengan kadar vitamin A serum (p>0,05).
Kenaikan nilai kadar vitamin A serum pada kelompok kontrol plasebo + TT
di minggu akhir perlakuan yakni pada minggu kesepuluh diduga karena
pemberian vaksinasi Tetanus toxoid. Peningkatan serum vitamin A berkaitan
dengan adanya faktor stimulan yang berasal dari Tetanus toxoid yang dimasukan
kedalam tubuh, ancaman tersebut menstimulasi penyerapan lebih banyak vitamin
A dalam jaringan untuk mengembalikan tingkat kenormalan status vitamin A
tubuh yang dipakai sebagai proteksi terhadap agen asing yang masuk.
Perubahan kategori kadar vitamin A serum pada kelompok kontrol hingga
mencapai batas kadar berlebihan baik pada enam minggu maupun setelah sepuluh
minggu perlakuan kemungkinan juga disebabkan dengan istilah yang disebut
placebo effect. Hal ini dapat terjadi karena penampakan fisik kapsul plsaebo yang
identik berupa bentuk, warna dan rasa yang sama dengan kapsul suplementasi dan
ketidaktahuan responden terhadap jenis perlakuan yang diberikan.
Menurut Read (2004), efek plasebo timbul karena begitu pentingnya
penekanan keyakinan dan kepercayaan diri terhadap perbaikan dan penyembuhan.
Plasebo bekerja sebagai sugesti dan merupakan obat pada tingkat ide dan
khayalan. Orang yang menerima perlakuan sama dengan yang lain secara ide telah
yakin bahwa hal tersebut dapat mengobati. Selanjutnya perasaan tersebut
membawa pada kepercayaan diri, yang secara tak sadar dapat mengontrol
normalisasi aktivitas dari sistem susunan saraf simpatetik dan para simpatetik,
kemudian dapat menurunkan tekanan emosi dan memulihkan fungsi-fungsi
viseral. Sehingga secara sugesti mereka merasa ada perbaikan tingkat kesehatan,
nafsu makan meningkat, tidak mudah lelah dan merasa lebih energik
dibandingkan sebelum mengkonsumsi kapsul suplementasi.
Penurunan rata-rata kadar vitamin A serum di minggu keenam pada
kelompok perlakuan dengan intervensi suplementasi yakni pada kelompok MVM
kemungkinan terjadi karena masih kurangnya konsumsi sumber pangan yang
dapat berpengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A, meskipun ada
penambahan intik vitamin A yang berasal dari kaplet suplementasi. Hal ini terlihat
dari frekuensi konsumsi pangan harian.
Frekuensi konsumsi dapat dipakai untuk mengukur intik pangan dan gizi
jangka panjang dan merupakan alat yang biasa digunakan untuk menentukan
perkiraan konsumsi pangan individu termasuk kelompok dalam waktu lama
(Spark 2007). Frekuensi konsumsi pangan sumber protein disamping pangan
lainnya sangat berpengaruh terhadap peningkatan kadar serum vitamin A,
frekuensi konsumsi protein nabati (Tabel 12), untuk kelompok MVM memang
telah baik, yakni lebih dari setengah responden mengkonsumsi pangan sumber
protein nabati dalam frekuensi sering (tempe dan tahu), akan tetapi untuk
konsumsi pangan sumber protein hewani, lebih dari setengah responden atau
bahkan sebagian besar masih mengkonsumsi dalam frekuensi jarang dan sangat
jarang (Tabel 13), hanya pangan telur yang memiliki frekuensi konsumsi sering,
begitu juga dengan pangan sumber buah-buahan dan sayuran yang merupakan
salah satu sumber provitamin A, kurang dari setengan responden mengkonsumsi
sumber pangan tersebut dalam frekuensi konsumsi masing-masing pangan pada
kategori jarang (1-2x /minggu) (Tabel 14 dan 15).
Rata-rata konsumsi total harian responden pada kelompok MVM di minggu
keenam perlakuan suplementasi, untuk protein mengalami penurunan intik (Tabel
16) begitu juga rata-rata konsumsi total harian vitamin A. Protein sangat
berpengaruh terhadap status vitamin A, disamping komponen lain yang juga
berpengaruh.
Menurut Groff dan Gropper (1999), aktivitas enzim karotenoid dioksidase
yang memecah β-karoten menurun dengan berkurangnya tingkat kecukupan
protein dalam tubuh. Secara keseluruhan, metabolisme vitamin A sangat berkaitan
erat dengan status protein karena transport dan penggunaan vitamin A tergantung
dari beberapa sintesa vitamin A terikat protein atau retinol-binding protein (RBP)
di dalam tubuh.
Dalam kasus defisiensi, kekurangan energi-protein dapat menurunkan
produksi apo-retinol-binding protein hati karena terbatasnya persediaan substrat
protein (Russell et al, 1983 dalam Gibson 2005). Retinol-binding protein (RBP)
adalah protein transport vitamin A spesifik, disebut holo-RBP ketika berikatan
dengan retinol, bagian tanpa retinol disebut apo-RBP. RBP terakumulasi dalam
hati sebagai apo-RBP (Gibson, 2005).
Sebagai konsekuensinya, sangat berpengaruh terhadap pelepasan vitamin A
oleh hati, menghasilkan kadar retinol serum yang rendah, meskipun simpanan
vitamin A dalam hati dalam keadaan cukup. Selanjutnya jika kandungan retinol
dalam hati telah habis, akan terjadi defisiensi vitamin A, dan kadar keduanya baik
retinol dan RBP akan turun (Christian dan West, 1998).
Pengaruh Suplementasi terhadap Imunitas Responden
Gambaran Imunitas responden
Profil imunitas responden menggambarkan status kekebalan tubuh
responden terhadap infeksi bakteri dan patogen lainnya (Sunaryo 2004). Profil
imunitas yang diukur meliputi jumlah limfosit dan sel NK (natural killer) (Tabel
17). Total limfosit dihitung dengan menggunakan rumus limfosit (%) : total
limfosit dikali 100 dibagi 9000 (WBC) (Gibson 2005), sedangkan dengan
perhitungan yang sama diperoleh untuk jumlah NK cell (%)
(%) : total NK cell dikali
100 dibagi 9000 (WBC).
Limfosit
Beradasarkan Tabel 24, pada enam minggu suplementasi terjadi penurunan
jumlah rata-rata limfosit pada tiap kelompok, yakni plasebo 3.22%, plasebo + TT
0.61%, MVM 0.7% dan MVM + TT 0.54% meskipun demikian, penurunan ini
masih dalam kisaran normal jumlah limfosit yakni 20-40%.
Setelah sepuluh minggu perlakuan, dibandingkan dengan data jumlah
limfosit sebelum perlakuan, terjadi penurunan pada hampir seluruh kelompok.
Penurunan masing-masing sebesar 3.01% plasebo, 3.83% plasebo + TT, 0.88%
MVM, sedangkan pada kelompok MVM + TT terjadi kenaikan jumlah rata-rata
limfosit sebesar 2.76%. Jika dibandingkan dengan data enam minggu perlakuan,
terdapat penurunan pada kelompok perlakuan plasebo + TT dan MVM masingmasing sebesar 3.22% dan 0.88%, sedangkan pada kelompok plasebo dan MVM
+ TT terjadi kenaikan jumlah limfosit masing-masing sebesar 0.2% dan 2.76%.
pada akhir suplementasi, kisaran jumlah limfosit seluruh kelompok masih dalam
kisaran normal jumlah limfosit 20-40%. Untuk lebih jelasnya seperti pada Gambar
% total limfosit
7.
42
41
40
39
38
37
36
35
34
33
40,64
39,54
38,93
37,63
37,43
39,27
38,57
37,69
39,49
37,27
36,73
35,71
Plasebo
Baseline
Plasebo + TT
MVM
Intermediate
MVM + TT
Endline
Gambar 7 Pengaruh Suplementasi terhadap total limfosit pada sebelum,
enam minggu dan sepuluh minggu perlakuan suplementasi.
Hasil uji statistik secara umum menunjukkan tidak terdapat perbedaan
bermakna (p>0.05) jumlah limfosit pada sebelum, enam minggu perlakuan dan
sepuluh minggu perlakuan pada masing-masing kelompok. Akan tetapi dapat
dikatakan bahwa perlakuan suplementasi dengan vaksinasi Tetanus toxoid
cenderung meningkatkan jumlah limfosit responden seperti terlihat pada
kelompok MVM + TT (Tabel 17).
Tabel 17 Pengaruh suplementasi terhadap profil imunitas
Profil Imunitas
Plasebo
Plasebo +
TT
MVM
MVM + TT
(n=28)
(n=30)
(n=30)
(n=30)
p
Normal
(%)
Limfosit
Baseline (0)
40,64+6.18a
39,54+5.24a
39,27+5.83a
37,27+5.84a
0,164
Intermediate(1)
37,43+7.96a
38,93+6.67a
38,57+7.20a
36,73+8.59a
0,662
a
a
a
0,541
Selisih 1 - 0
-3,22+8.17
Endline (2)
37,63+6.43a
35,71+9.39a
37,69+6.36a
39,49+5.24a
0,234
Selisih 2 - 0
-3,01+7.79a
-3,83+7.76a
-1,58+6.56a
2,22+7.10a
0,541
Selisih 2 - 1
a
a
a
a
0,108
0,20+10.30
-0,61+7.78
-3,22+9.39
-0,7+8.51
a
-0,88+9.21
-0,54+8.26
2,76+8.86
20-40
Sel NK
9,36+3,49a
Baseline (0)
a
Intermediate(1)
7,34+3,21
Selisih 0 - 1
2,03+3.44a
Endline (2)
Selisih 2 - 0
8,27+3.57
b
1,10+3.16
a
7,41+2.49a
7,09+2.60a
14,63+45.31
7,22+44.99a
6,69+2.01
c
-0,71+2.30
a
0,088
a
12,52+31.08
14,33+84.59a
4,15+31.38a
21,42+85.14
6,01+2.57
a
8,37+5.41a
d
-1,09+3.04
a
6,99+3.97
a
0,768
0,669
e
0,051
a
0,877
-1,38+3.95
5,630,9
0,94+4.20a
-7,93+45.23a
-15,41+84.78a
-5,54+31.57a
0,677
Keterangan:
(1) Data baseline = data 0 minggu; (1) Intermediate = Data 6 minggu perlakuan; (2) Endline =
Data 10 minggu perlakuan
1
x ± SD ;
*
Pada baris yang sama, angka dengan huruf tidak sama menunjukkan terdapat
perbedaan yang
nyata antar kelompok (p<0.05).
Selisih 2 - 1
Sel NK (Natural Killer Cell)
Tabel 17 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah rata-rata NK cell pada
hampir seluruh kelompok perlakuan, kecuali pada kelompok plasebo. Rata-rata
peningkatan untuk kelompok plaseb + TT sebesar 7.22%, MVM 14.33% dan
MVM + TT 4.15%, sedangkan plasebo, rata-rata jumlah NK cell turun sebesar
2.03%. berdasarkan uji statistik, pada minggu keenam perlakuan meski tidak
berbeda nyata (P>0.05), dapat dikatakan bahwa suplementasi dan perlakuan
vaksinasi dapat meningkatkan rata-rata jumlah NK cell responden.
Setelah sepuluh minggu perlakuan terjadi penurunan ratarata-rata jumlah NK
cell pada seluruh kelompok perlakuann, jika dibandingkan dengan data baseline
rata-rata penurunan untuk plasebo 1.1%, plasebo + TT 0.71%, MVM 1.09% dan
MVM + TT 1.38%. jika dibandingkan dengan enam minggu perlakuan, rata-rata
penurunan jumlah plasebo 0.94%, plasebo + TT 7.93%, MVM 15.41% dan MVM
+ TT sebesar 5.54%. Penuruan ini masih dalam kisaran normal jumlah NK cell
sebesar 5.6-30.9% hasil seperti pada Gambar 8. Berdasarkan hasil uji, tidak
terdapat perbedaan berarti jumlah rata-rata NK cell pada tiap kelompok perlakuan.
25
21,42
% jumlah sel NK
20
14,63
15
10
12,52
9,36
7,348,27
7,41
6,69
7,09
8,37
6,01
6,99
5
0
Plasebo
Plasebo + TT
Baseline (0)
MVM
Intermediate(1)
MVM + TT
Endline (2)
Gambar 8 Pengaruh Suplementasi terhadap jumlah sel NK pada sebelum,
enam minggu dan sepuluh minggu perlakusuplementasi.
Pengaruh Kadar Vitamin A Serum terhadap Respon Imunitas
Responden
Limfosit
Vitamin A yang yang bekerja dalam bentuk all-trans retinoic acid, 9-cis
retionoic acid, hasil metabilisme lain dari vitamin A dan juga nuclear retinoic
acid receptor memerankan peranan yang penting dalam pengaturan fungsi
kekebalan tubuh, baik kekebalan bawaan dan kekebalan diperantarai sel juga
respon antibodi humoral (Wintergerst et al 2007).
Berdasarkan uji korelasi (Lampiran 13), tidak terdapat hubungan yang nyata
antara kadar vitamin A serum dengan peningkatan jumlah limfosit (p>0.05) pada
tiap tahapan perlakuan pada sebelum, enam minggu perlakuan maupun setelah
sepuluh minggu perlakuan suplementasi (Tabel 18).
Pada responden dengan kadar vitamin A normal yakni mulai sebelum
(baseline), enam minggu hingga minggu kesepuluh berada pada kisaran (20-50
µg/dl), perlakuan suplementasi multivitamin mineral dan vaksinasi tidak
memperlihatkan respon yang nyata. Kondisi telah tercukupinya kebutuhan zat gizi
terutama vitamin A menyebabkan perkembangan dan proliferasi sel-sel limfosit
berjalan normal, tidak terjadi peningkatan yang berarti dengan perbaikan kadar
vitamin A serum. Hal ini dikarenakan, sejak awal rata-rata status kadar vitamin A
serum responden dalam kategori cukup (20-50 µg/dl) dan status kesehatan
responden yang baik (secara klinis), berbeda dengan kondisi pada defisiensi.
Vitamin A dalam bentuk retinoic acid receptor merupakan substrat yang
mengaktivasi proliferasi limfosit, bahkan vitamin A menjalankan peran yang
esensial dalam perkembangan dan diferensiasi Th1 (T helper) dan Th2 dari subset
limfosit. Keadaan defisiensi vitamin A merangsang peningkatan terhadap respon
T helper tipe 1 (Th1) limfosit (Semba, 2002). Defisiensi vitamin A berkaitan
dengan meningkatnya produksi IL-12 (menginduksikan perkembangan sel T
limfosit). Suplementasi pada orang dengan defisiensi vitamin A telah
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam perbaikan kondisi peradangan, telah
terbukti bahwa suplementasi mencegah meningkatnya tahapan peradangan akibat
defisiensi
Bahkan keadaan defisiensi vitamin A kemungkinan meningkatkan
respon jaringan terhadap peradangan secara berlebihan, (Wintergerst et al 2007).
Demikian pula dengan perlakuan dengan vaksinasi, pemberian Tetanus
toxoid tidak memberikan respon yang nyata terhadap peningkatan jumlah limfosit.
Hal ini dikarenakan responden yang telah memperoleh vaksinasi Tetanus toxoid
sebelum penelitian dilaksanankan, terkait juga dengan status responden yang telah
menikah, yakni vaksinasi Tetanus diberikan pada saat akan menikah dan sebelum
hamil.
Telah diketahui bahwa limfosit menjalankan peran penting dalam dalam
sistem kekebalan spesifik, berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun
spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang dianggap asing
bagi dirinya, benda asing yang terpapar pertama kali muncul dalam tubuh akan
segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem
imun tersebut. Benda asing yang sama bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat
kemudian dihancurkan (Baratawidjaja 2006).
Menurut Roitt (2002), saat dibuat antibodi terhadap suatu antigen infektif,
perdefinisi organisme harus ada dalam lingkungan kita dan kita akan bertemu lagi
dengannya. Mekanisme kekebalan yang terjadi pada paparan pertama dengan
antigen merekam informasi dan memberikan suatu sistem memori yang
memungkinkan untuk bereaksi terhadap setiap paparan berikutnya yang lebih
cepat, dengan demikian tubuh secara efektif siap menolak setiap invasi berikutnya
oleh organisme spesifik dengan suatu sistem kekebalan yang telah ditanamkan.
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau
sel B. Sel B berasal dari sel-sel multipoten di sumsum tulang belakang. Bila sel B
dirangsang oleh benda asing, benda tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi
dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama
antibodi ini ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta
menetralisir racunnya. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik
selular, sel tersebut berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Fungsi utama
sistem imun spesifik selular ialah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup
intraselular, virus, jamur dan parasit (Baratawidjaja 2006).
Paparan Tetanus toxoid yang kedua atau ketiga kalinya pada diri responden
tidak menginduksikan proliferasi sel limfosit untuk menanggapi ancaman agen
asing tersebut, karena Tetanus toxoid telah dikenali oleh antibodi limfosit dan
dapat ditangani secara cepat dan efektif sehingga pada tingkat plasma tidak terjadi
peningkatan jumlah limfosit.
Defisiensi vitamin A berdampak pada kekebalan bawaan yakni akibat
terhambatnya regenerasi normal dari dinding mukosa sel epitel selama terjadi
infeksi dan berdampak pada berkurangnya resistensi terhadap infeksi patogen.
Suplementasi vitamin A telah terbukti dapat meningkatkan proses regenerasi dari
permukaan sel mukosa pada anak yang mendapatkan perlakuan pemulihan dari
diare dibandingkan dengan anak yang menerima plasebo (Wintergerst et al 2007).
Tabel 18 Pengaruh kadar vitamin A serum terhadap profil imunitas
Profil imunitas
Kadar vitamin A serum (µg/dl)
korelasi Pearson
Signifikansi (2-tailed)
baseline
0,114
0,220
intemediate
0,032
0,729
0,024
0,800
0,005
0,953
0,103
0,219
0,268
0,017
Limfosit
endline
Sel NK
baseline
intemediate
endline
Sel NK (Natural Killer Cell)
Berdasarkan hasil penelitian, tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin A
serum pada sebelum dan enam minggu perlakuan suplementasi terhadap jumlah
sel NK (p>0.05), sedangkan pada akhir suplementasi menunjukkan terdapat
korelasi positif antara kadar vitamin A serum terhadap jumlah sel NK secara
bermakna (p<0.05).
Sel NK merupakan salah satu dari sistem imunitas nonspesifik yang bekerja
tanpa tergantung adanya antibodi. Mekanisme fisiologinya berupa komponen
normal tubuh yang selalu ditemukan pada individu sehat dan siap mencegah
mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkan mikroba tersebut.
Jumlahnya dapat meningkat karena adanya infeksi dan sistem ini merupakan
pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat
memberikan respon langsung (Baratawidjaja 2006).
Pada enam minggu perlakuan suplementasi terdapat kecenderungan
peningkatan jumlah sel NK pada kelompok plasebo + TT, MVM dan MVM + TT.
Sedangkan pada kelompok plasebo terjadi penurunan, akan tetapi penurunan pada
kelompok plasebo pada enam minggu masih pada batas normal jumlah sel NK.
Peningkatan di enam minggu perlakuan seperti pada Gambar 15 terjadi karena
belum adanya kestabilan sistem imunitas yang dibentuk oleh tubuh sehingga sel
NK sebagai sistem imunitas nonspesifik masih terus giat mempertahankan
imunitas tubuh, akan tetapi pembentukan sel NK masih dalam taraf normal
kebutuhan untuk pertahanan.
Aktivitas sel NK tergantung tingkat kesehatan dan status gizi seseorang
(Ravaglia et al 2000). Secara jelas dikemukakan bahwa vitamin A kemungkinan
mempengaruhi aktivitas sel NK pada seseorang dengan keadaan defisiensi (Semba
1998). Keadaan defisiensi vitamin A dikaitkan dengan berkurangnya jumlah dan
aktivitas dari sel NK (Wintergerst et al 2007). Hingga akhir minggu keenam
perlakuan suplementasi kemungkinan mulai terjadi perbaikan dan kestabilan dari
pembentukan sistem imun, yakni terlihat bahwa terdapat peningkatan persentase
terbesar jumlah sel NK hingga mencapai 21,24% pada kelompok MVM, akan
tetapi peningkatan ini tidak secara signifikan meningkatkan respon sel NK pada
sisitem imun.
Setelah sepuluh minggu perlakuan suplementasi, terlihat secara nyata bahwa
terdapat korelasi antara kadar vitamin A dengan sel NK. Uji regresi
memperlihatkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kadar serum vitamin
A dengan respon sel NK pada akhir perlakuan suplementasi (endline) (Lampiran
14), kadar vitamin A serum secara signifikan berpengaruh terhadap respon sel
NK. Kenormalan kadar serum vitamin A responden berkaitan dengan
meningkatnya respon imunitas tubuh nonspesifik lainnya seperti kulit terhadap
invasi patogen sehingga proliferasi dan produksi sel NK sebagai sistem imunitas
nonspesifik berikutnya hanya pada jumlah pada taraf normal untuk pertahanan
tidak sampai terjadi produksi yang berlebih akibat ancaman infeksi.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1.
Berdasarkan hasil penelitian, Karakteristik responden yakni lebih dari
setengah responden dari semua kelompok perlakuan termasuk kategori usia
30-39, hampir seluruh kelompok perlakuan pada penelitian ini dikategorikan
status ekonomi sejahtera, sebagian besar responden merupakan keluarga kecil
dengan jumlah anggota keluarga <4 orang, secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa tingkat pendidikan responden masih rendah dan setengah
dari kelompok plasebo dan lebih dari setengah pada kelompok perlakuan
plasebo + TT, MVM dan MVM + TT memiliki status gizi baik.
2.
Seluruh responden pada tiap kelompok perlakuan mengkonsumsi makanan
pokok sumber karbohidrat tunggal (nasi) minimal satu kali sehari, sedangkan
pangan sumber karbohidrat lainnya (mie, roti, jagung, biskuit) pada kategori
jarang. Frekuensi konsumsi protein, untuk protein nabati telah baik, frekuensi
protein hewani yakni telur secara umum dalam kategori cukup. Frekuensi
konsumsi buah-buahan dan sayuran secara umum masih kurang.
3.
Berdasarkan uji korelasi, konsumsi kelompok pangan sumber protein hewani
antara lain daging sapi hati sapi dan ikan segar memiliki hubungan yang
nyata dengan kadar vitamin A serum dan uji regresi menyatakan bahwa hanya
daging sapi dan ikan segar yang berpengaruh terhadap kadar vitamin A
serum.
4.
Suplementasi multivitamin mineral cenderung meningkatkan kadar vitamin A
serum, meskipun sejak awal kadar vitamin A serum responden dalam keadaan
normal. Tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelompok perlakuan
dengan plasebo.
5.
Tidak terdapat perbedaan bermakna antara suplementasi multivitamin mineral
dengan jumlah limfosit pada sebelum, enam minggu perlakuan dan sepuluh
minggu perlakuan pada masing-masing kelompok. Akan tetapi dapat
dikatakan bahwa perlakuan suplementasi dengan vaksinasi Tetanus toxoid
cenderung meningkatkan jumlah limfosit responden.
6.
Tidak terdapat perbedaan beermakna antara suplementasi multivitamin
mineral dengan jumlah rata-rata NK cell pada tiap kelompok perlakuan.
7.
Tidak terdapat korelasi yang nyata antara kadar vitamin A serum dengan
peningkatan jumlah limfosit pada tiap tahapan perlakuan pada sebelum, enam
minggu perlakuan maupun setelah sepuluh minggu perlakuan suplementasi.
8.
Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin A serum pada sebelum dan enam
minggu perlakuan suplementasi terhadap jumlah sel NK, akan tetapi pada
akhir suplementasi menunjukkan terdapat korelasi positif antara kadar
vitamin A serum terhadap jumlah sel NK secara bermakna.
9.
Uji regresi menunjukkan bahwa terdapat pengaruh antara kadar vitamin A
serum dengan respon sel NK pada akhir perlakuan suplementasi secara
bermakna (p<0,05).
Saran
1.
Data penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi penelitianpenelitian berikutnya yakni intevensi suplementasi pada orang dengan status
kesehatan yang baik.
2.
Konsumsi suplemen hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Aboud S, Matre R, Lyamuya EF, Kristoffersen EK. 2000. Levels and avidity of
antibodies to Tetanus toxoid in children Aged 1-15 Years in Dar Es
Salaam and Bagamoyo, Tanzania. Ann Trop Paediatr 20(4):313-22.
Ahmed F, Khan MR, Jackson AA. 2001. Concomitant supplemental vitamin A
enhances the respon to weekly supplemental iron folic acid in anemia
teenagers in urban Bangladesh. Am J Clin Nutr 74:109-115.
Almatsier. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Andarwulan, Nuri. Dan Koswara, Sutrisno. 1992. Kimia Vitamin. Ed.ke-1. Cet.
Ke-1. Rajawali : Jakarta.
Anonim. 6 Nov 2008. Melindungi pada pahlawan devisa. Koran Tempo:A3
(Kolom 2).
Arisman. 2002. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Ajar Ilmu Gizi. Universitas
Sriwijaya. Palembang.
Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat dalam
Soekirman et al, editor. Widya Karya Pangan dan Gizi VII Ketahanan
Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi; Jakarta, 17-19
Mei 2004 : LIPI, hlm 129-143.
Bagriansky Jack, Ranum P. 1998. Vitamin A fortification Of P.L. 480 vegetable
oil. www.sustaintech.org. Sustain : Washington DC.
Baratawidjaja KG. 2006. Imunologi Dasar. Ed ke-8. Jakarta : Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI.
Bender DA. 2002. Introduction to Nutrition and Metabolism [3rd Edition].
London : Taylor & Francis.
---------. 2003. Nutritional Biochemistry of the Vitamin. 2nd ed. Cambridge
University Press. U K.
---------, Mayes PA. 2006. Micronutrients : Vitamins and Minerals. dalam
Harperis Illustrated Biochemistry. Twenty-Seventh Edition. Murray et al,
editor. The McGrow-Hill Companies.
Berg Alen. 1986. Peranan Gizi Dalam Pembangunan Nasional. (Zahara,
penerjemah). CV. Rajawali. Jakarta.
[BKKBN] Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. 1998. Gerakan
Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Jakarta: BKKBN.
Bleck TP. 1991. Tetanus: Pathophysiology, management and prophylaxis. Dis
Mon 37(9):565-603.
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2004. Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia nomor
HK.00.0523.3644. Tahun 2004 Tentang Ketentuan Pokok Pengawasan
Suplemen Makanan. Jakarta: BPOM.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan 2005-2006.
Buku 2 : Kabupaten. BPS Jakarta.
Brown KH, Rajan MM, Charaborty J, Aziz KMA, Phil M. 1980. Failure of a large
dose of vitamin A to enhance the antibody response to Tetanus toxoid in
Children. Am J Clin Nutr 33:212-217.
Chairunita. 2003. Studi Tentang Gaya Hidup, Pola Konsumsi Pangan dan Status
Gizi Siswa SLTPN 1 Bogor [Skripsi]. Bogor : Fakultas Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Christenson B, Bottiger M. 1991. Immunity and immunization of children again
Tetanus in Sweden. Scand J Infect Dis 23(5):643-7.
Christian P, West KP Jr. 1998. Interaction between zink and vitamin A : An
update. Am J Clin Nutr 68:435S-441S.
de Pee, S. Dary, O. 2002. Biochemical indicators of vitamin A deficiency: serum
Retinol and Serum Retinol Binding Protein. Proceeding of the XX
International Vitamin A Consultative Group Meeting. J Nutr 132: 2895S2901S.
[Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1990. Komposisi Zat
Gizi Pangan Indonesia. Jakarta : Depkes.
--------------. 1996. Pedoman Praktis Menilai Status Gizi Orang Dewasa. Jakarta:
Depkes.
Dietz V, Galazka A, Van Loon F, Cochi S. 1997. Factors affecting the
immunogenicity and potency of Tetanus toxoid: implication for the
elimination of neonatal and non-neonatal Tetanus as public health
problems. Bull World Health Organ 75(1):81-93.
Gallagher, M.L. 2004. Vitamins dalam Krause’s Food, Nutrition & diet Therapy
[11th edition]. Elsevier, USA: The Curtis Centre.
Gibson RS. 2005. Principles of Nutrition Assessment. 2nd ed. Oxford University
Press. New York.
Groff JL, Gropper SS. 1999. Advance Nutrition and Human Metabolism. 3rd ed.
Wadsworth. USA.
Hardinsyah, Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Husaini. 1982. Penggunaan Garam Fortifikasi untuk Menaggulangi Masalah
KVA. [Disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
[IOM] Institut of Medicine. 2004. Dietary Reference Intakes. Aplications in
Dietary Assesment. Washington DC : National Academy Press.
Jellife DB. 1966. Assesment of the Nutrition Status Of The Community. WHO,
Geneva.
Khomsan Ali. 2004. Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. PT.
Grasindo : Jakarta.
Anonim. 2008. Melindungi Para Pahlawan Devisa. Koran Tempo Edisi No. 2650
Tahun VIII. 6 November 2008.
Kusharto CM, Sa’diyyah NY. 2006. Diktat Penilaian Konsumsi Pangan.
Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut
Pertanian Bogor.
Lachance PA. 1998. Overview of key nutrition micronutrient aspects. Nutrition
review 56(4);S34-S39.
Lemeshow S. 1993. Adequancy of Sample Size in Health Study. Yogyakarta :
Gajah Mada Press.
Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme (A. Parakkasi, penerjemah).
UI Press : Jakarta.
Mattjik AA. Sumertajaya, M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi
SAS dan Minitab jilid 1. Ed. Ke-2. Bogor : IPB Press.
Moeljoharjo DS. 1993. Biokimia Umum Bagian II.
Muchtadi D. 2000. Sayuran-sayuran Sumber Serat dan Antioksidan : Mencegah
Penyakit Degeneratif. Bogor : Fakultas Teknologi Pangan, Institut
Pertanian Bogor.
Muhilal et al. 1998. Angka Kecukupan Gizi Rata-rata yang Dianjurkan (AKG). Di
dalam : Winarno et al, editor. Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII
“Pangan dan Gizi Masa Depan Meningkatkan Produktivitas dan Daya
Saing Bangsa”. Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta : LIPI, hlm 843879.
----------. Sulaeman, A. 2004. Angka Kecukupan Vitamin Larut Lemak. Di dalam
: Soekirman et al, editor. dalam Widya Karya Pangan dan Gizi VIII “
Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi” ;
jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta : LIPI, hlm 331-342.
Nabet FB. 1996. Zat gizi antioksidan penangkal senyawa radikal pangan. di dalam
sistem biologis. Di dalam: Reaksi Biomolekuler Dampak Kesehatan dan
Penangkalan. Prosiding Seminar Senyawa Radikal dan Sistem Pangan;
Jakarta, 4 April 1996.
Nimmagadda A, O’Brien WA, Goetz MB. 1998. The Significance of Vitamin A
and Carotenoid Status in Persons Infected by the Human Immunodeficincy
Virus. Clin Infectios Diseases 26:711-8.
Olson. 1987. Recommended Dietary Intake (RDI) of Vitamin A in Humans. Am J
Clin Nutr 45:704-16.
---------. 1990. Hanbook of Vitamins / Edited by Lawrence J. Machlin.2nd ed, rev
and expanded. Marcel Dekker Inc,hlm 10-12.
---------. 1994. Vitamin A, Retinoids, and Carotenoids. Dalam Modern Nutrition
in Health and Disease. Maurice E. Shils, J.A Olson, Moshe Shiks, editor.
8th ed. Lea & Febiger. Philadelphia, PA
----------, 1996. Biochemistry of Vitamin A and Carotenoids. Di dalam Sommer et
al. Vitamin A Deficiency”Health, Survival, and Vision”. New York :
Oxford University Press.
Palupi S, Andarwulan N, Herawati D.. 2007. Manfaat Buah Merah untuk
Meningkatkan kualitas Kesehatan : Studi Sifat Fungsional Terhadap
Peningkatan Sistem Imun dan Penghambat Proliferasi Sel Kanker.
Laporan Penelitain Hibah Bersaing XIV. Institut Pertanian Bogor.
Papilia DE, Olds SW. 1981. Human Development. Edisi ke-2. New York : MC
Grow Hill Book Company.
Pasetti M, Eriksson P, Ferrero F, Manghi M. 1997. Serum Antibodies To
Diphtheria-Tetanus-Pertussis Vaccine Components in Argentine Children.
Infection 25(6):339-45.
Stephensen CB, Gildengorin G. 2000. Serum retinol, the acute phase response,
and the apparent misclassification of vitamin A status in the Third
National Health and Nutrition Examination Survey. Am J Clin Nutr
72:1170-8.
Piliang WG, Al Haj SD. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume I. IPB Press : Bogor.
---------. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. IPB Press : Bogor.
Rahman MM. et al. 1999. Simultaneous vitamin A administration at routine
immunization contact enhances antibody response to Diphtheria vaccine in
infants younger than six months. J Nutr 129:2129-2195.
Ravaglia G et al. 2000. Effect of micronutrient status on natural killer cell
immune function in healthy free living subjects aged > 90 years. Am J Clin
Nutr 71:590-8.
Read Nicholas W. 2004. Plasebo and Panacea: The Healing Effect of Nutritional
Supplements. Dalam Taking Sides: Clashing Views on Controversial
Issues in Food and Nutrition. Marion Nestle dan L, Beth Dixon, editor.
Mc Graw-Hill/Dushkin.
Riyadi Hadi. 2001. Buku Ajar Metode Penilaian Status Gizi Secara Antropometri.
Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Roit Ivan M. 2002. Imunologi. Ed. Ke-8. Alida Harahap et al, penerjemah; Jakarta
: Widya Medika. Terjemahan dari : Essential Immunology.
Russel RM, Iber FL, Krasinski SD, Miller P. 1983. Protein-energy malnutrition
and liver dysfunction limit The usefulness of the relative dose response
(RDR) test for predicting vitamin A deficiency. Human Nutrition :
Clinical Nutrition 37C:361-371.
Sanjur D. 1982. Social and Culture Perspektives in Nutrition. Washington DC :
Prentice Hall, Inc.
Saidin M, Sukati, Muherdiyantiningsih, Rustan E. 2003. Pengaruh Pemberian
Tablet Besi dan Vitamin E pada Kadar Hemoglobin dan Status Besi
Wanita Usia Subur yang diduga Menderita Thalasemia Karier. Penelitian
Gizi dan Makanan 26:1-9.
Sediaoetama. 1989. Sosio Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II. Jakarta
: Dian Rakyat.
Semba RD. 1998. The role of vitamin A and related retinoid in immune function.
Nutr Rev 56:38S-48S.
----------. 2002. Vitamin A, Infection and Immne Function. Dalam Nutrition and
Immnue Function. Calder, editor. CAB International. UK.
Soekarjo DD, et al. 2004. Effectiveness of weekly vitamin A (10.000 IU) and iron
(60 mg) supplementation for adoleccent boys and girls through schools in
rural and urban East Java, Indonesia. Eur J Clin Nutr. 58:927-937.
Spark Arlene J. 2007. Nutrition in Public Health. Principles, Policies, and
Practices. CRC Press. Taylor & Francis Group. Bocca Raton.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Institut Pertanian Bogor.
----------. 1996. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. Jakarta : Bumi Aksara bekerja
sama dengan Pusat Studi Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut
Pertanian Bogor.
Sulaiman Zein. 1989. Perunahan Ukuran Antropometri Kaitanya dengan Status
Serum Vitamin A pada Akan Pra-Sekolah. [Tesis]. Program Pascasarjana.
Insitut Pertanian Bogor.
Sunaryo ES. 2004. Pengaruh Pemberian L-Glutamin pada MPASI Pemulih
Terhadap Mutu Protein, Profil Imunitas Seluler dan Pertumbuhan Bayi 6
Bulan yang Mengalami Berat Badan Kurang. [Diserasi]. Sekolah
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Supriasa IDN, Fajar I. Bakri B. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Syarif H, Rustiawan J. 1992. Kajian Tindak Partisipatif dalam Sistem Pangan dan
Gizi Masyarakat : Petunjuk Laboratorium. PAU. Institut Pertanian Bogor.
WHO. 1997. Vitamin A Suplements. A Guide To Their Use In The Treatment And
Prevention Of Vitamin A Deficiency And Xeropthalma. 2nd Ed.
Widayani Sus. 2007. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A
dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi, dan
Respon Imun Anak Balita. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Insitut
Pertanian Bogor.
Widyaningsih LS. 2007. Kajian Pola Konsumsi Pangan Kaitannya Dengan Kadar
Vitamin A Serum Pada Ibu Hamil Di Kecamatan Ciampea Kabupaten
Bogor. [Skripsi]. Program Studi Gizi Masyarakat Dan Sumberdaya
Keluarga. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Widyastuti N. 2004. Akurasi Food Recall dan Food Record dalam Aplikasi
Simplified Dietsry Assessment (SDA) pada Anak Usia Sekolah untuk
Identifikasi Risiko Kurang Vitamin A. [Tesis]. Sekolah Pascsarjana.
Insitut Pertanian Bogor.
Wintergerst ES, Maggini S, Hornig DH. 2007. Contribution of selected vitamins
and trace elements to ummune function. Ann Nutr Metab 51:301-323.
Wolvers, D, AW. Broekmans. Logman. et al. 2006. Effect of Mixture of
Micronutrients, but not of Bovine Colostrum Concentrate, on Immune
Funcion Parameter in Healthy Volunteers: a randomized PlaceboControlled Study. Nutrition Journal. 5:28:1475-2891.
Zukesti E. 2003. Peranan Leukosit Sebagai Anti Inflamasi Alergik dalam Tubuh.
Bagian Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Perpustakaan Digital USU.
Lampiran 1 Persetujuan etik (ethical clearance) penelitian
Lampiran 2 Surat persetujuan untuk pemeriksaan (informed consent)
Informed consent:
SURAT PERSETUJUAN UNTUK PEMERIKSAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini adalah :
Nama
:
Umur
:
Alamat
1.1.1.1
:
Telah mendapat penjelasan dan mengerti tentang pemeriksaan “ PENGARUH
SUPPLEMENNTASI MULTIVITAMIN MINERAL TERHADAP RESPON
IMUN, STATUS ANTIOXIDAN, DAN PROFIL LIPID“ dan setuju untuk ikut
dalam penelitian ini, dengan catatan bahwa bila suatu waktu merasa dirugikan
dalam bentuk apapun kami berhak untuk membatalkan persetujuan ini.
Mengetahui
Bogor,_______________2008
Ka.Perusahaan,
menyetujui,
(__________________)
Yang
1.1.2
Lampiran 3 Formulir monitoring intervensi responden
1.1.3
FORMULIR MONITORING INTERVENSI
Kode
No.
Minggu
ke
hari
I
: A/B/C
:
Tgl
Nama Responden :
Petugas
:
Minum suplemen
Ya
Tidak
Minggu
ke
hari
VI
II
VII
III
VIII
IV
IX
V
X
Tgl
Minum suplemen
Ya
Tidak
Lampiran 5 Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber karbohidrat
kelompok
frekuensi
pangan
Nasi
Mie
Roti
Jagung
setiap hari (>7)
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
Perlakuan
MVM + TT
(n=30)
n
%
30
100.0
1
3.3
13
43.3
n
28
3
6
%
100.0
10.7
21.4
Plasebo + TT
(n=30)
n
%
30
100.0
2
6,6
8
26.7
16
57.1
17
56.7
13
2
7.2
3
10
1
2
9
3.6
7.1
32.1
0
7
5
13
46.4
3
Plasebo (n=28)
MVM (n=30)
n
30
1
13
%
100.0
3.3
43.3
43.3
13
43.3
1
3.3
2
6.7
0
23.3
16.7
1
1
9
3.3
3.3
30.0
3
11
10.0
36.7
12
40.0
11
36.7
12
40.0
10.7
5
16.7
5
16.7
3
10.0
1
1
0
3.6
3.6
0
1
0
2
3.3
0
6.7
4
0
3
13.3
0
10.0
0
0
2
0
0
6.7
11
39.3
11
36.7
10
33.3
13
43.3
Biskuit
Ubi jalar
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
6
21.4
8
26.7
10
33.4
9
30
10
2
3
35.7
7.1
10.7
9
4
2
30.0
13.3
6.7
7
2
4
23.3
6.7
13.3
5
16.7
12
40.0
10
35.7
12
40.0
11
36.7
9
30.0
5
17.8
10
33.3
8
26.7
6
20
8
1
28.6
3.6
2
6
6.7
20.0
5
1
16.7
3.3
2
4
6.7
13.3
7
25.0
8
26.7
11
36.7
9
30.0
13
46.5
10
33.4
12
40
12
40
7
25.0
6
20.0
6
20.0
4
13.3
(Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein nabati
Perlakuan
kelompo
Plasebo + TT
MVM + TT
frekuensi
Plasebo (n=28)
k pangan
(n=30)
(n=30)
n
%
n
%
n
%
Tempe
Tahu
Oncom
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
MVM (n=30)
n
%
8
13
5
28.6
46.4
17.9
7
13
9
23.3
43.
30.0
10
15
5
33.3
50.0
16.7
8
17
3
26.7
56.7
10.0
0
2
7
13
7
0
7.1
24
46.4
25.0
0
1
6
10
13
0
3.3
20
33.3
43.3
0
0
4
17
9
0
0
13.3
56.7
30.0
1
0
5
18
5
3.3
0
16.6
60.0
16.7
1
1
3
6
3.6
3.6
10.7
21.4
1
1
1
11
3.3
3.3
3.3
36.7
0
0
1
9
0
0
3.3
30.0
1
0
1
9
3.3
0
3.3
30.0
7
11
15
39.3
11
6
26.7
20.0
10
10
33.4
33.3
10
9
33.3
30.0
(Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber protein hewani
Perlakuan
kelompok
frekuensi
Plasebo (n=28)
Plasebo + TT (n=30)
MVM + TT (n=30)
pangan
n
%
n
%
n
%
setiap hari (>7)
5
17.9
6
20
5
16.7
sering (3-5x /minggu)
13
46.4
13
43.3
16
53.3
Telur
jarang (1-2x /minggu)
8
28.6
11
36.7
9
30.0
sangat jarang (1-3x
2
7.2
0
0
0
0
/bln
0
0
0
0
0
0
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
5
17.9
7
23.3
5
16.7
jarang (1-2x /minggu)
15
53.6
20
66.7
15
50.0
Ayam
sangat jarang (1-3x
7
25
10
33.3
3
10.0
/bln
tidak pernah
0
0
0
0
1
3.6
sering (3-5x /minggu)
0
0
0
0
1
3.3
jarang (1-2x /minggu)
2
7.1
1
3.3
0
0
Daging
sangat jarang (1-3x
sapi
10
34.8
15
50
7
23.3
/bln
tidak pernah
16
57.1
13
43.3
23
76.7
0
0
0
0
setiap hari (>7)
1
3.6
Hati sapi
jarang (1-2x /minggu)
2
7.1
0
0
0
0
n
10
18
4
MVM (n=30)
%
13.4
60.0
13.3
0
0
1
2
21
3.3
6.7
70.0
4
13.3
1
1
1
3.3
3.3
3.3
14
46.7
13
0
0
43.3
0
0
Hati
ayam
Ikan
segar
Susu
bubuk
Keju
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
5
17.8
8
26.7
4
13.3
8
26.7
20
3
11
71.4
10.7
39.3
22
3
14
73.3
10.0
46.7
26
2
6
86.7
6.7
20.0
20
0
11
66.7
0
36.7
10
35.7
9
30
10
33.3
11
36.6
4
1
3
16
14.3
3.6
10.7
57.1
4
0
9
16
13.3
0
30.0
53.3
12
1
7
12
40.0
3.3
23.3
40.0
7
1
6
17
23.3
3.3
20.0
56.7
6
21.4
4
13.4
9
30
2
6.6
2
3
1
2
7.1
10.7
3.6
7.1
1
1
0
4
3.3
3.3
0
13.3
1
1
0
4
3.3
3.3
0
13.3
3
1
1
5
10.0
3.3
3.3
16.7
0
0
4
13.3
2
6.7
1
3.3
22
78.6
21
70.0
23
76.7
21
70.0
0
0
1
3.3
0
0
1
3.3
30
100.0
28
93.3
30
100.0
28
93.3
(Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber buah-buahan
kelompok
pangan
Jambu
biji
Pepaya
Jeruk
frekuensi
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x /bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x /bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x /minggu)
sangat jarang (1-3x /bln
tidak pernah
Plasebo (n=28)
n
%
1
3.6
5
17.9
13
46.4
3
10.7
6
21.4
1
3.6
4
14.3
14
50.0
2
7.1
7
25.0
3
10.7
11
39.3
12
42.9
1
3.6
1
3.6
Perlakuan
Plasebo + TT (n=30)
MVM + TT (n=30)
n
%
n
%
1
3.3
1
3.3
11
36.7
6
20.0
6
20.0
6
20.0
4
13.3
5
16.7
8
26.7
12
40.0
0
0
0
0
4
13.3
4
13.3
11
36.7
11
36.7
9
30
7
23.4
6
20.0
8
26.7
3
10.0
3
10.0
9
30.0
7
23.3
13
43.3
15
50.0
4
13.4
4
13.3
1
3.3
1
3.3
n
1
10
9
3
6
0
6
12
6
5
2
14
10
2
1
MVM (n=30)
%
3.3
33.3
30.0
10
20.0
0
20.0
40.0
30
16.7
6.7
46.7
33.3
6.7
3.3
(Lanjutan) Sebaran responden menurut frekuensi konsumsi pangan sumber sayuran
Perlakuan
kelompok
frekuensi
Plasebo (n=28)
Plasebo + TT (n=30) MVM + TT (n=30)
pangan
n
%
n
%
n
%
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
5
17.9
8
26.7
5
16.7
jarang (1-2x
18
64.3
13
43.3
15
50.0
Bayam
/minggu)
sangat jarang (1-3x
1
3.6
5
16.7
4
23.4
/bln
tidak pernah
4
14.3
4
13.3
6
20.0
setiap hari (>7)
1
3.3
sering (3-5x /minggu)
4
14.3
7
23.3
3
10.0
jarang (1-2x
13
46.4
16
53.3
14
46.7
/minggu)
Kangkung
sangat jarang (1-3x
2
7.1
2
6.6
8
26.7
/bln
tidak pernah
9
32.1
5
16.7
4
13.3
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
11
39.3
5
16.7
3
10.0
jarang (1-2x
11
39.3
18
60.0
11
36.7
Daun
/minggu)
singkong
sangat jarang (1-3x
4
14.2
6
20
11
36.7
/bln
tidak pernah
2
7.1
1
3.3
5
16.7
Kacang
sering (3-5x /minggu)
10
35.7
5
16.7
5
16.7
n
1
6
MVM (n=30)
%
3.3
20.0
13
43.3
4
23.4
5
16.7
5
16.7
17
56.7
3
13.3
3
10.0
3
10.0
18
60.0
6
20
2
4
6.7
13.3
panjang
Selada air
Sawi
Daun katuk
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
setiap hari (>7)
sering (3-5x /minggu)
jarang (1-2x
/minggu)
sangat jarang (1-3x
/bln
tidak pernah
10
35.7
19
63.3
16
53.3
18
60.0
4
14.3
2
6.7
6
20
3
10
4
1
14.3
3.6
4
13.3
3
10.0
4
13.3
1
3.6
1
3.3
5
16.7
4
14.2
5
16.7
5
16.6
22
78.6
28
93.3
24
80.0
9
32.1
6
20.0
5
16.7
19
1
7
63.3
3.3
23.3
12
42.9
13
43.3
16
53.3
14
46.7
2
7.2
4
13.3
4
13.3
4
13.4
5
17.9
7
23.3
5
16.7
3
10.0
1
3.6
1
3.3
7
25.0
1
3.3
4
13.3
3
10.0
1
3.6
6
20.0
3
10
3
10
19
67.9
23
76.7
22
73.3
23
76.7
89
Lampiran 13 Uji hubungan antara kadar vitamin A serum dengan jumlah sel NK
pada sebelum, enam minggu dan sepuluh minggu perlakuan
Correlations
retinol
retinol
retinol_2
retinol_3
NK1
NK2
NK3
Pearson
Correlation
1
,690(**)
,575(**)
0,03
0,079
0,006
Sig. (2tailed)
.
0
0
0,747
0,397
0,951
118
118
118
118
118
118
,690(**)
1
,689(**)
0,091
0,103
0,174
0
.
0
0,324
0,268
0,06
118
118
118
118
118
118
,575(**)
,689(**)
1
0,147
,242(**)
,219(*)
0
0
.
0,112
0,008
0,017
N
118
118
118
118
118
118
Pearson
Correlation
0,03
0,091
0,147
1
0,08
,602(**)
Sig. (2tailed)
0,747
0,324
0,112
.
0,39
0
118
118
118
118
118
118
Pearson
Correlation
0,079
0,103
,242(**)
0,08
1
0,03
Sig. (2tailed)
0,397
0,268
0,008
0,39
.
0,75
118
118
118
118
118
118
Pearson
Correlation
0,006
0,174
,219(*)
,602(**)
0,03
1
Sig. (2tailed)
0,951
0,06
0,017
0
0,75
.
118
118
118
118
118
118
N
retinol_2
Pearson
Correlation
Sig. (2tailed)
N
retinol_3
Pearson
Correlation
Sig. (2tailed)
NK1
N
NK2
N
NK3
N
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
90
Lampiran 14 Uji korelasi antara kadar serum vitamin A pada minggu kesepuluh
dengan respon sel NK pada minggu kesepuluh
regression
Variables Entered/Removed(b)
Model
1
Variables
Entered
Variables
Removed
NK3(a)
.
Method
Enter
a All requested variables entered.
b Dependent Variable: retinol_3
Model Summary
Model
1
R
,219(a)
R
Square
Std.
Error of
the
Estimate
Adjusted
R
Square
0,048
0,04
Change Statistics
R
Square
Change
F
Change
df1
df2
Sig. F
Change
0,048
5,832
1
116
0,017
10,681
a Predictors: (Constant), NK3
ANOVA(b)
Sum of
Squares
Model
Regression
1
df
Mean
Square
F
5,832
665,261
1
665,261
Residual
13232,77
116
114,076
Total
13898,04
117
Sig.
,017(a)
a Predictors: (Constant), NK3
b Dependent Variable: retinol_3
Coefficients(a)
Unstandardized
Coefficients
Model
1
B
Std. Error
(Constant)
25,377
2,374
NK3
0,008
0,003
a Dependent Variable: retinol_3
Standardized
Coefficients
t
Sig.
10,691
0
2,415
0,017
Beta
0,219
Download