PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK Skripsi diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat oleh Abdi Pujiasih NIM 101032121603 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA F AKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT U NIVERSITAS ISLAM N EGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2008 M PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK Skripsi diajukan dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Theologi Islam pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat oleh Abdi Pujiasih NIM 101032121603 Di bawah bimbingan Prof. Dr. Zainun Kamal MA NIP 150228520 JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA F AKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT U NIVERSITAS ISLAM N EGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H / 2009 M Pengesahan Panitia Ujian Skripsi yang berjudul Pernikahan Beda Agama Menurut Islam dan Katolik telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Februari 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Program Srata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama. Jakarta, 18 Maret 2008 Sidang Munaqasyah Ketua merangkap Anggota Sekretaris merangkap Anggota Drs. Agus Darmaji. M.Fils NIP: 150262447 Maulana. M.A. NIP: 150293221 Anggota, Dra. Ida Rosyidah. M.A, NIP: 150242267 Dr. Hamid Nasuhi. M.A. NIP: 150241817 Dr. Zainun Kamal. M.A. NIP: 150228520 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah, Tuhan alam semesta, berkat petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ini. Tidak lupa pula shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan semua manusia di dunia. Selanjutnya, adalah suatu keharusan bagi setiap mahasiswa yang ingin menyelesaikan perkuliahan dan mencapai gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta untuk menyusun sebuah skripsi. Terkait hal tersebut, penulis telah menyelesaikan penulisan sebuah skripsi dengan judul: ”PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK.” Dalam hemat penulis, tema pernikahan beda agama ini perlu diangkat mengingat ia telah menjadi permasalahan yang menghinggapi hampir seluruh agama dan keyakinan yang ada dan berkembang di dunia. Persoalan ini tak jarang menimbulkan konflik antara pemeluk agama bahkan meluas menjadi persoalan antar-agama, meski tak jarang, dari sini, kemudian lahir sebuah hubungan yang toleran, saling menghormati, dan harmonis antar-agama. Karena fakta yang terjadi kini tidak lagi memungkinkan seseorang atau institusi, termasuk juga agama, untuk abai terhadap kehadiran dan karenanya berinteraksi dengan yang lain, maka pernikahan beda agama pun sudah selayaknya menjadi persoalan yang harus secara bijak ditanggapi. Eksklusif dengan keberadaan agama dan umat lain dan ahistoris terhadap perkembangan sejarah manusia dan hubungan yang harus dibangun di antara sesamanya, adalah sebentuk kekerdilan sikap dan kepicikan dalam menjalani hidup, tidak hanya dalam beragama. Dari pemikiran dasar itulah, skripsi ini dihadirkan dan memperoleh momentumnya. Namun, penyelesaian skripsi hingga sampai pada bentuknya yang sekarang sungguh bukan sesuatu yang mudah, melainkan banyak menemui kesulitan dan hambatan yang kadang tidak begitu saja mudah diselesaikan. Kendati demikian, berkat segenap dukungan dan motivasi dari berbagai pihak skripsi ini dapat selesai. Oleh karena itu, ucapan terimakasih yang tulus penulis ucapkan kepada: Bapak Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Dr. M. Amin Nurdin, MA, Dra. Hj. Ida Rosyidah, MA dan Bapak Maulana, M.A, sebagai ketua dan sekretaris Jurusan Perbandingan Agama yang begitu tulus dan ikhlas untuk selalu membantu penulis dalam berbagai hal. Terimakasih pula untuk Bapak Prof. Zainun Kamal, M.A selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan tidak hanya dalam aspek substansi keilmuan, melainkan juga memfasilitasi waktu dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada seluruh dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, khususnya dosen Jurusan Perbandingan Agama yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Kepada yang terkasih dan tersayang suamiku Muhamad Arif Hadiwinata yang selalu memberi sentuhan kasih sayang dalam perjalanan hidup dan semangat yang membara dalam menyelesaikan tugas ini. Kepada Alvan Razky Hadiwinata, the little container driver, aku persembahkan segenap cinta dan kasih sayang yang tulus sebagai kesediaanmu mewarnai hidupku dengan penuh canda tawa. Juga yang saya cintai kedua orang tua, H. Kasdullah dan Hj. Sukarsih, dan kedua mertua, H. Hadiat Subawinata dan Hj. Dwi Sulasmimbar, karena kesabaran, doa, kasih sayang dan motivasi yang begitu besar membuat saya mampu menuntaskan tugas ini. Tak lupa anggota keluarga yang lain, Mami dan Hani, adik-adikku, ka Abas, mbak Ratna, abang Maulvi dan Chika terima kasih atas pinjaman rumah dan tamannya. Ka Syidqi dan mbak Lina terima kasih atas pinjaman buku-bukunya. Terima kasih kepada Ayesha, Nayla, Azril dan Tante Wini yang selalu setia menjadi teman anak kami. Secara khusus, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada keluarga besar pa’de Legimin di Legoso, Ciputat. Tanpa bantuan mereka, saya mungkin tidak bisa menyelesaikan skripsi ini dalam tenggat waktu yang telah ditentukan. Teruntuk teman-teman di pondok mawar, khususnya Indri, terimakasih atas kosannya. Didi yang selalu siap sedia untuk bantuan skripsinya, dan untuk teman-teman seperjuangan di Jurusan Perbandingan Agama angkatan 2001, khususnya Olies dan Awad yang masih setia menemani penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengakhiri dengan mengutip karya seorang novelis terkenal Paulo Coelho, ”jika engkau ingin mewujudkan legenda pribadimu, niscaya segenap alam semesta akan membantumu” . Dalam hal ini penulis percaya bahwa karya penulis yang ada saat ini merupakan satu lompatan besar dalam rangka mewujudkan legenda pribadi penulis. Jakarta, Januari 2008 ABDI PUJIASIH DAFTAR IS I LEMBAR PENGESAHAN i KATA PENGANTAR iii DAFTAR IS I vi BAB I. PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Masalah 1 B. Batasan dan Rumusan Masalah 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 7 D. Metodologi Penelitian 8 E. Sistematika Penulisan 8 BAB II. PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISTILAH 10 A. Pengertian Pernikahan Beda Agama 10 B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama 15 BAB III. PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT PANDANGAN ISLAM DAN KATOLIK 24 A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam 24 1. Pernikahan Beda Agama Menurut al Quran 24 2. Pernikahan Beda Agama dan Perdebatan tentang Ahl al-Kitab B. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Katolik 29 39 1. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Lama 40 2. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru 41 3. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Kanonik 43 BAB IV. ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP FENOMENA PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Fakta Pluralitas di Indonesia B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama 47 47 di Indonesia 54 C. Analisis Komparatif terhadap Fenomena Pernikahan Beda Agama di Indonesia BAB V. PENUTUP A. Kesimpulan 1. Landasan Pernikahan Beda Agama dalam Islam dan Katolik 65 73 73 73 2. Keterkaitan Pemahaman Keagamaan terhadap Fenomena Pernikahan Beda Agama dan Hubungan Antaragama di Indonesia B. Saran DAFTAR PUSTAKA 75 77 78 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang identitas penduduknya terdiri beragam agama, etnis, dan budaya. Fakta tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara yang dikenal dengan kekayaan budayanya di antara negara lain di dunia ini. Namun demikian, Indonesia juga dikenal dengan negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Mayoritas penduduk Muslim ini kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dikaji. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa dengan banyaknya penduduk yang beragama Islam, Indonesia dapat dianggap sebagai sebuah negara yang sanggup merepresentasikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan masyarakatnya sehari-hari. Asumsi tersebut memang sah, namun justru terbantahkan dengan realitas sosial yang menunjukkan bahwa Indonesia sendiri merupakan kesatuan dari multi kebudayaan.1 Dengan kata lain, identitas masyarakat indonesia tidak hanya bersandar kepada homogenitas agama Islam melainkan juga mengacu kepada heterogenitas budaya yang melingkupinya. Implikasi luas dari heterogenitas kebudayaan adalah timbulnya beragam perbedaan dalam realitas sosial. Sebagai contoh seringkali ditemukan perbedaan baik di tingkat sikap, persepsi, bahkan tindakan (yang sangat mungkin berujung konflik) di antara sesama Muslim 1 Dalam prakata buku Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta, Kapal Perempuan, 2004) hlm ii. Yanti Muchtar mengatakan bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural; dilihat dari sisi agama, suku, ras, dan kelas, dan lain-lain. Ruang interaksi lintas golongan sangat terbuka lebar. Indonesia tentang sebuah fenomena sosial keagamaan. Untuk mencontohkan betapa perbedaan seperti itu kerap terjadi di Indonesia ambil contoh peristiwa pengusiran jamaah Ahmadiyah, jamaah Salamullah pimpinan Lia Eden, hingga peristiwa pernikahan beda agama di kalangan umat Muslim. Isu pernikahan beda agama juga merupakan isu yang sensitif jika kita tempatkan kepada pemeluk agama selain Islam di Indonesia. Dalam konteks agama Katolik di Indoenesia, pernikahan beda agama merupakan sebuah hal yang sama sensitifnya dengan agama Islam. Setidaknya dua agama besar ini melihat bahwa pernikahan beda agama justru merupakan hal yang tidak mungkin dilakukan jika pasangan yang melakukan pernikahan tetap berpegang kepada prinsip agamanya masing-masing dalam melangsungkan pernikahan. Namun demikian, dalam agama Katolik pernikahan yang dilakukan tetaplah sah jika pasangan yang berbeda agama tersebut menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan pernikahan menurut agama Katolik. Peristiwa pernikahan beda agama menjadi salah satu masalah perbedaan yang cukup kompleks dalam isu pernikahan. Dalam sejarah pernikahan beda agama, pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda berdasarkan hukum agama, adat, maupun kewarganegaraan telah diatur secara khusus sejak zaman kolonial, hingga pasca kemerdekaan.2 Namun sejak diberlakukannya UU No. 1 tahun 1974, definisi pernikahan beda agama mengarah kepada orang yang menikah dengan perbedaan kewarganegaraan. Undang-undang no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 tentang pernikahan memuat asas penting bahwa, “pernikahan adalah sah apabila dilaksanakan 2 Maria Ulfa dan Martin Lukito Sinaga (ed.), Tafsir Ulang Pernikahan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 92 menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Asas ini berlaku untuk semua pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia termasuk pernikahan antar agama.3 Di sini jelas bahwa pernikahan yang dilaksanakan di luar hukum agama maka akan dianggap oleh negara sebagai pernikahan yang tidak sah. Selama ini pernikahan beda agama sudah banyak terjadi di Indonesia, tetapi dalam hal ini pemerintah kurang tegas dalam menanggapi pernikahan beda agama karena sampai detik ini pernikahan beda agama masih terus berlangsung. Dan dari sekian banyak pelaku pernikahan beda agama pun masih belum jelas tercatat dalam arsip pemerintah. Sedangkan permasalahan pernikahan beda agama dalam hukum agama Islam, senantiasa dimaknai dan dipahami secara berbeda oleh para penganutnya. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari kandungan kitab suci Al-Quran yang lebih banyak memuat gambaran umum dari satu persoalan, dan oleh karenanya selalu ada peluang untuk ditafsirkan, terlebih lagi jika dikaitkan dengan kondisi dan situasi saat ini yang jelas berbeda dengan kondisi masa lalu. Beragam penafsiran disamping mencerminkan bahwa ada pluralitas dalam agama itu sendiri, juga mencerminkan kekayaan khasanah al-Quran yang senantiasa bisa digali untuk kemudian mendapatkan hal-hal baru yang belum pernah ditemukan oleh generasi sebelumnya. Oleh karena itu, pernikahan beda agama dalam Islam menjadi sesuatu yang tak pernah selesai diperdebatkan. Sebagian sumber (nash al-Qur’an) dimaknai sebagai bentuk pelarangan terhadap pernikahan beda agama, sementara 3 H. Ichtiyanto, SA, SH, APU, Pernikahan Campuran dalam Negara Republk Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI,2003), h.81 sebagian lagi ditafsirkan oleh banyak kalangan sebagai ayat yang membolehkan pernikahan beda agama. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan dalam upaya memahami teks al-Qur’an sebagai sumber hokum, termasuk untuk pernikahan beda agama, adalah konteks pada saat ayat itu diturunkan. Dengan melihat konteks tersebut, penafsiran ayat yang membicarakan tentang pernikahan beda agama akan lebih jelas dipahami. Maka, dalam hemat penulis, ayat yang melarang pernikahan beda agama merupakan bentuk larangan untuk umat pada saat itu. Terbukti ketika konteksnya berubah, nada ayat al-Qur’an juga mengalami perubahan. Al-Qur’an kemudian secara tegas memperbolehkan terjadinya pernikahan beda agama meski, pada saat itu, terbatas hanya pernikahan antara kaum Muslim dengan Ahl al-Kitab. Konteks yang terjadi dan dapat dilihat pada masa kini, berbeda hampir 180 derajat dengan konteks baik ketika al-Qur’an melarang pernikahan beda agama maupun ketika memperbolehkannya dengan syarat tertentu. Konteks kini, manusia begitu plural, tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bergaul dan berinteraksi dengan yang lain. Hubungan dan, bahkan, pernikahan dengan umat dari agama lain pun, kini, tak terelakkan lagi. Pendapat seperti ini sudah diutarakan oleh banyak ulama dan pemikir Islam kontemporer sebagaimana akan dijelaskan pada bab III. Sedangkan bagi umat Katolik sendiri pernikahan beda agama adalah salah satu halangan yang membuat tujuan pernikahan tidak dapat diwujudkan. Apabila pernikahan beda agama ini masih tetap dilaksanakan harus terlebih dahulu meminta izin atau dispensasi kepada uskup setempat.4 Walaupun di dalam 4 Lihat Kanon 1086 pasal 2 pernikahan ini tidak ada keharusan bagi pihak yang bukan Katolik untuk ikut menjadi Katolik, tetapi ia harus menerima prinsip-prinsip, sifat dan tujuan pernikahan menurut agama Katolik. Di dalam agama Katolik terdapat ayat-ayat yang dipakai sebagai acuan pernikahan beda agama. Sebagian besar kitab Katolik melarang terjadinya pernikahan beda agama. Hal itu sebagaimana terlihat pada beberapa ayat di dalam kitab Perjanjian Lama seperti Kejadian 6:5-6 dan Ulangan 7:3-4. Pelarangan pernikahan beda agama juga terrekam dalam kitab Perjanjian Baru seperti pada Korintus 6:14 Korintus 7:1 dan 7: 12-16.5 Sementara tanda-tanda pembolehan pernikahan beda agama baru muncul pada Hukum Kanonik, hukum turunan dari Kitab Suci yang berbasis pada realitas. Meski pasangan yang akan menikah beda agama terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan tertentu, dua ayat dalam Hukum Kanonik patut disebut sebagai ayat-ayat yang memungkinkan terjadinya pernikahan beda agama dalam Katolik. Dua ayat tersebut adalah Hukum Kanon 1125 dan 1126. Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan, dan itu tidak akan menjadi suatu masalah selama kita bisa menyikapinya dengan arif dan bijaksana, salah satunya yaitu senantiasa menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai kepada sesama pemeluk agama. Dan kita tidak sepatutnya untuk memaksakan suatu agama kepada orang lain karena pada dasarnya semua agama itu mengajarkan tentang kebaikan. Demi kepentingan kajian ini, penulis akan membahas lebih jauh mengenai pernikahan beda agama dari perspektif agama Islam dan dari agama Kristen 5 Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Penerbit Kalam Hidup Pusat, 1987), h.53 Katolik. Kedua agama ini merupakan agama yang cukup menarik karena kedua agama ini cukup banyak membahas tentang pernikahan beda agama, baik itu dari perspektif yang melarang pernikahan beda agama sampai dengan perspektif yang membolehkan bersyarat dengan alasan kemajemukan agama merupakan suatu yang tak terbantahkan, sehingga pernikahan seperti ini merupakan hal yang wajar terjadi di Negara Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai macam suku dan agama . Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis kemudian merasa perlu untuk melakukan studi secara mendalam mengenai pernikahan beda agama. Tentunya studi mendalam terhadap pandangan agama Islam dan Kristen Katolik dalam melihat pernikahan beda agama. Studi ini akan ditulis dengan judul: “PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK”. Diharapkan dengan adanya studi mengenai pernikahan beda agama ini penulis bisa memberikan kontribusi penting baik bagi studi agama yang telah dilakukan maupun yang akan dilakukan. B. Batasan dan Rumusan Masalah Pernikahan beda agama adalah peristiwa sosial. Ia sangat mungkin terjadi dan dialami oleh setiap umat dari semua agama dalam konteks kehidupan kini yang plural, multietnis, multi bahasa, budaya, dan lain sebagainya. Maka, pernikahan beda agama merupakan sebuah tema yang sungguh memiliki cakupan sangat luas. Karena keluasan wilayah itu, tanpa ada kepentingan lain, kecuali kebutuhan pemokusan masalah, penulis akan membatasi persoalan yang akan diangkat dalam tulisan ini pada pernikahan beda agama dalam pandangan Islam dan Katolik. Dalam rangka memperoleh dan coba masuk pada pembahasan yang lebih sistematis dan logis, penulis perlu membuat beberapa rumusan masalah sebagai patokan dan focus bahasan pada bab-bab dan paparan-paparan selanjutnya. Untuk itu, rumusan masalah pada tulisan ini adalah: 1. Apa sesungguhnya yang menjadi landasan utama dalam agama Islam dan Katolik dalam memandang pernikahan beda agama? 2. Bagaimana pula penafsiran teks-teks keagamaan berimplikasi bagi para pelaku pernikahan beda agama dan kehidupan atau hubungan antar-umat beragama di Indonesia secara lebih luas? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan khusus dari penelitian ini adalah dalam rangka pemenuhan syaratsyarat dan tugas akhir untuk mendapatkan gelar sarjana strata satu (S1). Adapun yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan analisis tentang bagaimana sesungguhnya pernikahan beda agama yang terjadi di dalam agama Islam dan Kristen Katolik. Adapun manfaat penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan pengayaan terhadap literatur penelitian di Indonesia khususnya di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. D. Metodologi Penelitian Sebagai sebuah karya ilmiah, ulasan dan isi karya ini merujuk pada dan menggunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif. Penulis berusaha mensistematisasi berbagai penemuan dari bermacam literatur menjadi sebuah kumpulan kalimat atau paparan yang bermakna. Karena akan menganalisis kumpulan temuan literatur, maka data yang akan digunakan sekaligus penelitian ini juga bisa disebut dengan penelitian pustaka. Secara lebih tegas, penelitian pustaka dilakukan dengan membaca dan menginterpretasikan buku-buku dan dokumen yang memiliki kaitan erat, baik secara substansial maupun sekadar pelengkap data, dengan pembahasan yang tentunya disesuaikan berdasarkan pilihan tema yang menjadi konsentrasi perbabnya. Informasi yang didapatkan dari penelitian pustaka tersebut akan dianalisis dengan pendekatan komparatif antara satu informasi dengan informasi lainnya dan diskematisasikan melalui perangkat tabel. Dengan model analisis demikian diharapkan dapat tercipta proposisi kalimat yang kuat dan bertanggung jawab tidak hanya secara teks, tetapi juga konteks. Sehingga penarikan kesimpulan dan tesis yang dibuat oleh penulis memiliki kesesuaian dan ketepatan yang memadai. E. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini sendiri akan terbagi ke dalam lima bab. Secara sistematis, kelimanya akan tersusun dan secara deskriptif menjelaskan: Bab I mencakup Pendahuluan, terdiri dari latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II mencakup pengertian dari pernikahan beda agama. Bagaimana masing-masing (Islam dan Katolik) mendefinisikan pernikahan beda agama adalah uraian pada sub bab pertama. Selanjutnya bab ini juga akan membahas undang-undang dan kebijakan pemerintah yang telah ada dalam memandang pernikahan beda agama. Bab III membahas pernikahan beda agama dalam pandangan agama Islam dan Katolik berdasarkan sumber hukum yang ada pada masing-masing agama. Apa saja yang menjadi hambatan dan memungkinkan terjadinya atau bahkan sahnya pernikahan beda agama adalah poin penting yang juga dibahas pada bab ini. Bab IV berisi tentang analisis komparatif penulis setelah melihat dan mendeskripsikan pandangan kedua agama tersebut pada bab sebelumnya. Perdebatan kontemporer para tokoh agama dan celah hukum, argumentasi pelarangan dan persetujuan akan pernikahan beda agama menjadi suguhan utamanya. Adapun Bab V merupakan kesimpulan dan sikap subyektif penulis setelah melihat pandangan kedua agama (Islam dan Katolik) tentang pernikahan beda agama. Tak lupa penulis juga mengajukan saran yang secara khusus berkaitan dengan fenomena dan penafsiran teks keagamaan tentang pernikahan beda agama. BAB II PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM ISTILAH A. Pengertian Pernikahan Beda Agama Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian pernikahan beda agama, ada baiknya jika dijelaskan terlebih dahulu pengertian dari pernikahan itu sendiri. Undang-Undang (UU) perkawinan pasal 1 menyebutkan secara jelas apa yang dimaksud dengan pernikahan. Penulis menjadikan definisi itu juga untuk memaksudkan kata perkawinan atau pernikahan pada pembahasan selanjutnya. Di Undang-undang itu pernikahan didefinisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang kekal dan bahagia berdasarkan ketuhanan yang maha Esa.6 Tampak bahwa UU di atas menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang mulia. Dari situ, idealitas kehidupan sepasang laki-laki dan perempuan guna memperoleh kesejahteraan dan keutuhan hidup berada pada tempat yang utama. Undang-Undang tersebut tidak hanya melihat pernikahan dari sisi lahir, tetapi sekaligus ikatan kebatinan antara suami istri dalam membina keluarga yang bahagia sesuai dengan kehendak Tuhan yang maha Esa. Dalam Islam, salah satu tanda dari kekuasaan Allah adalah penyatuan sepasang laki-laki dan perempuan. Penyatuan tersebut didasari oleh rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) yang terjalin di antara mereka. Artinya, dalam 6 Muhammad Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co Medan, ), h. 237 Islam, pernikahan tidak hanya menjadi peristiwa sosial yang murni manusiawi, melainkan masih menyimpan unsur-unsur ketuhanan. Pernikahan bahkan dianggap sebagai manifestasi dari tanda kebesaran Tuhan. Lebih dari itu, pernikahan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah. Allah menganjurkan seorang laki-laki dan perempuan yang telah dewasa dan mapan serta siap menjalin hubungan dengan manusia yang nota bene lain, baik dari jenis kelamin maupun keturunan darah, untuk melakukan pernikahan. Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal, dan Malik bin Anas menyatakan bahwa untuk pribadi-pribadi tertentu, yang telah memenuhi kualivikasi sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumnya, menikah menjadi suatu perbuatan dan pengambilan sikap yang dihukumi wajib. Kewajiban, atau lebih tepatnya perintah, kemudian bahkan tidak hanya dikenakan pada perbuatan menikah dalam skala besar, tetapi juga pada praktek yang lebih spesifik di dalamnya, yakni dalam rangka menambah dan melanjutkan keturunan. Pada kasus ini Islam memerintahkan untuk senantiasa mengingat dan bertaqwa kepada-Nya. Karena itulah, pernikahan memiliki filosofi yang sangat mendalam. Dalam Islam, menikah kemudian bukan hanya dianggap sebagai sebuah perbuatan yang bermaksud untuk sekedar bersenang-senang dan melampiaskan nafsu (rekreasi) tetapi juga mengemban tugas mulia untuk melangsungkan keberlangsungan spesies manusia di muka bumi ini (prokreasi). Tugas suci tersebut hanya bisa diemban jika manusia memiliki cinta kasih (mawaddah wa rahmah) dalam melaksanakan pernikahan. Tanpa itu, cita-cita mulia yang sebenarnya hendak dicapai akan sulit untuk diwujudkan. Karena pernikahan adalah institusi yang dianggap sakral, maka pernikahan biasanya diatur oleh aturan-aturan agama. Mulai dari persyaratan, tata cara, dan segala tetek bengek-nya. Karena itulah, pada lazimnya, pernikahan dilakukan oleh pasangan yang memeluk agama yang sama. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan pasangan yang menikah berasal dari agama yang berbeda. Pernikahan seperti inilah yang disebut dengan pernikahan beda agama. Bisa jadi, orang Islam, baik pria maupun wanita, akan menikah dengan orang yang non-Islam seperti Katolik, Protestan, Budha, Hindu, Khonghucu, dan lain-lain. Pernikahan beda agama ini mengundang titik perdebatan yang panjang. Karena, semua agama tampak ingin melindungi para penganutnya dari pengaruh yang ditebarkan oleh agama lain. Di samping itu, pernikahan beda agama seringkali “dicurigai” sebagai upaya-upaya yang tersistematisir untuk membawa pemeluk salah satu agama menjadi pemeluk agama lain. Titik perdebatan tersebut juga merambah hingga hal yang paling mendasar yaitu persoalan penafsiran terhadap teks-teks suci, baik al-Quran dari pihak Islam maupun Injil dari pihak Katolik. Ada banyak pro dan kontra mengenai persoalan penafsiran teks suci ini. Pihak yang tidak menyetujui pernikahan beda agama biasanya menggunakan pola penafsiran tekstual dalam memahami ayat-ayat suci. Mereka menganggap bahwa teks suci diturunkan tanpa memandang realitas sosial yang terjadi di masa itu. Bagi kalangan penafsir tekstualis, kitab suci diangap sebagaimana layaknya Tuhan itu sendiri, yang berkuasa mengatur segala persoalan kehidupan. Sebaliknya, kalangan yang menerima keberadaan pernikahan beda agama cenderung menafsirkan teks suci atau teks keagamaan dengan pendekatan yang lebih bersifat kontekstual. Mereka memandang bahwa teks adalah produk budaya, yang tak lepas dari interaksi dengan kondisi sosial pada masa ayat tersebut diturunkan. Artinya, teks suci selalu berdialektika dengan kondisi sosial pada saat teks tersebut diturunkan, tak pernah tercabut dari kontekstualitas. Oleh karena itu, dalam menyarikan maksud dari teks suci, para penafsir haruslah mempertimbangkan konteks “ruang” dan “waktu” ketika ayat tersebut diturunkan. Artinya, harus ditelaah pula kondisi sosial budaya yang berlangsung pada saat ayat tersebut diturunkan, untuk diterjemahkan dalam konteks kekinian. Perlu juga untuk menerjemahkan konteks tersebut dalam bingkai “ruang”, artinya bahwa teks tersebut diturunkan di suatu tempat tertentu yang notabene memiliki kultur budaya berbeda dengan kultur budaya Indonesia. Pembahasan lain yang berkenaan dengan penikahan beda agama adalah yang berkait dengan statusnya dalam wilayah hukum Indonesia. Hingga saat ini, belum ada hukum yang mengatur mengenai pernikahan beda agama. Dalam UU Nomor 1 tahun 1974 pasal 57 memang disebutkan istilah perkawinan campur. Akan tetapi, yang dimaksud dengan perkawinan campur dalam undang-undang ini adalah perkawinan (pernikahan) antara dua orang yang tinggal di Indonesia dan tetap tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan, salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak lainnya berkewarganegaraan Indonesia.7 Jadi, pernikahan yang dimaksud bukan 7 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Serang: Percetakan Saudara, 1995), h. 35 merupakan pernikahan antara dua orang yang berbeda agama, melainkan pernikahan antara dua orang yang berbeda status kewarganegaraan. Undang-undang perkawinan pada dasarnya telah menjelaskan pernikahan yang secara substansial dilakukan oleh dua orang di Indonesia yang memiliki perbedaan spesifik seperti kewarganegaraan. Kendati perbedaan agama tidak disebutkan secara spesifik dalam undang-undang perkawinan, namun para pakar hukum perkawinan di Indonesia telah mendefinisikan pernikahan beda agama sebagai “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang masing-masing berbeda agamanya dan mempertahankan agamanya itu sebagai suami istri dengan tujuan untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.8 Pengertian pernikahan antar agama yang lebih ringkas dapat ditemukan dalam pedoman pegawai pencatat nikah. Dalam pedoman tersebut disebutkan bahwa pernikahan antar agama adalah pernikahan yang terjadi di Indonesia antara dua orang yang menganut agama yang berbeda.9 Sedangkan pernikahan beda agama menurut Romo Antunius Dwi Joko, Pr yaitu pernikahan antara seorang baptis Katolik dengan pasangan yang bukan Katolik (bisa dibaptis oleh gereja lain, atau sama sekali tidak dibaptis). Dan, menurutnya, gereja memberi kemungkinan untuk pernikahan beda agama tersebut 8 Eoh O.S., Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) cet 1, h 35 9 A. Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum perkawinan (Nikah, Talak, Cerai, Rujuk), (Bandung: Al-Bayan, 1994) cet 1, h karena membela dua hak asasi, yaitu hak untuk menikah dan hak untuk memilih pegangan hidup (agama) sesuai dengan hati nuraninya.10 Dapat disimpulkan bahwa pernikahan beda agama yaitu suatu pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda keyakinan atau agama, mereka bertekad untuk membangun keluarga bahagia tanpa harus meninggalkan keyakinan mereka masing-masing dan mereka tetap taat kepada agama yang mereka anut. B. Kebijakan Negara tentang Pernikahan Beda Agama Sebelum berlakunya UU tahun 1974, di Indonesia kita jumpai peraturan perkawinan campuran (Regeling of De Gemende Huwelykue; Staatsblad 1898 No. 158). Akan tetapi sesuai dengan ketentuan pasal 66 UU, peraturan Staatsblad 1898 No. 158 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi. Di luar fakta sejarah di atas, UU Staatsblad 1898 No. 158 sendiri menyatakan bahwa pernikahan campuran adalah pernikahan antara orang-orang yang tinggal di Indonesia namun tunduk pada hukum yang berlainan.11 Menurut UU di atas setiap pernikahan di antara orang-orang yang berada dan tunduk pada hukum yang berlainan disebut pernikahan campuran, baik disebabkan perbedaan golongan penduduk, perbedaan hukum adat, maupun perbedaan agama. Artinya, UU Staatsblad tahun 1898 No. 158 ingin mengatakan bahwa perbedaan golongan penduduk baik warga asing atau bukan warga asing, perbedaan hukum adat dan perbedaan agama bukanlah suatu penghalang bagi pasangan yang ingin 10 Romo Antunius Dwi Joko, “Kawin Campur,” artikel diakses pada 10 september 2007 dari WWW.Yesaya. Indocell. Net. 11 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan nasional, h. 238 melangsungkan pernikahan campuran. Ini jelas sangat bertolak belakang dengan UU tahun 1974 yang telah ditetapkan oleh pemerintah saat ini. UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 disusun berdasarkan Pancasila yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU ini tidak dibahas secara eksplisit mengenai pernikahan beda agama. Walaupun secara implisit dapat ditemukan landasannya pada pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Pasal inilah yang selalu menjadi rujukan soal pernikahan beda agama di Indonesia. Pasal 2 ayat 1 menyerahkan sepenuhnya soal pernikahan beda agama kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan mengenai diperbolehkan atau dilarangnya pernikahan tersebut.12 Sedikit ke belakang, menengok proses sejarah yang sebelumnya terjadi, pemberlakuan pasal itu sendiri sebelumnya melalui pro-kontra yang tidak pendek. Pengesahan UU perkawinan ini sendiri sempat mengalami penolakan baik dari internal DPR, sebagai pemutus UU, maupun dari masyarakat. Sebagai bentuk kompromi, akhirnya UU perkawinan tidak membahas secara eksplisit tentang pernikahan beda agama. Pernikahan yang diatur di dalam UU perkawinan sebatas pernikahan yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraan, bukan berbeda agama. Dalam buku terbitan Balitbang Depag RI yang ditulis oleh Ichtiyanto disebutkan bahwa kata “masing-masing” dalam UU perkawinan tertuju pada agama-agama yang dipeluk di Indonesia, bukan mengacu kepada masing-masing pengantin. Yang dimaksud di sini bahwa pernikahan itu akan sah apabila 12 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 36 pengantin dapat memeluk agama dan kepercayaan yang sama, jika yang terjadi sebaliknya, yaitu pengantin menganut agama yang berbeda, maka pernikahan tersebut tetap dianggap tidak sah. 13 Di Indonesia, pernikahan beda agama bisa dilakukan bila salah satu pasangan yang akan melaksanakan pernikahan beda agama terlebih dahulu melakukan perpindahan agama sehingga kedua pasangan memiliki kesamaan agama. Di sisi lain, pernyataan seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan prinsip yang terdapat pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sebagai konstitusi dasar, pasal 29 ayat 2 yang secara tegas menyatakan adanya kebebasan beragama bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali. Inilah contoh penyimpangan UU turunan dari UUD di antara sekian banyak contoh lainnya. Dari sejarahnya, rancangan UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR, semula memuat pasal 11 ayat 2 yang menyebutkan bahwa perbedaan kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama atau kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang pernikahan. Tetapi, karena satu dan lain hal yang tidak penulis ketahui, akhirnya ketentuan dalam rancangan UU itu tidak dimasukkan sebagai salah satu pasalnya. Alih-alih memberi keleluasaan semua pemeluk agama untuk melangsungkan pernikahan, UU perkawinan sekarang malah memperlihatkan bahwa perbedaan agama dapat menjadi penghalang dalam melangsungkan pernikahan.14 Kesan bahwa UU no 1 tahun 1974 menentang pernikahan beda agama terlihat pada pasal 2 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 yang berbunyi: “Perkawinan 13 Ichtiyanto, SA, SH, APU, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003) h. 85 14 Suparman Usman, Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, (Serang:Penerbit Saudara, 1995), h. 37 adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.15 Karena setiap agama dalam pemikiran mainstream cenderung menolak pernikahan beda agama, maka dengan demikian pasal ini secara implisit juga melarang pernikahan beda agama. Pelarangan beda agama di Indonesia pada ujungnya menimbulkan dampak sosial yang tidak ringan. Karena Undang-Undang tidak melindungi pasangan berbeda agama yang ingin melangsungkan pernikahan, maka yang sering terjadi adalah salah satu pasangan berpindah agama ke agama pasangannya. Walhasil, keberadaan Undang-Undang ini seakan memaksa seseorang untuk berpindah keyakinan. Padahal, undang-undang dasar sudah menjamin bahwa setiap warga negara berhak menjalankan keyakinan masing-masing tanpa ada paksaan. Atau, bisa juga dikatakan bahwa, pelarangan atas pernikahan beda agama sama juga dengan perngangkangan terhadap amanat Undang-Undang Dasar 1945. Pelarangan pernikahan beda agama, yang berakibat perpindahan agama yang terpaksa dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukannya, juga bisa dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Karena, memeluk agama dan kepercayaan merupakan hak manusia yang paling asasi. Setiap orang berhak memeluk agama yang dianutnya tanpa ada paksaan. Hal ini termaktub dalam piagam HAM yang sudah diratifiaksi dalam TAP MPR no XVII /MPR/1998 pasal 13 yang berbunyi : “Setiap orang bebas memeluk agamanya 15 Undang-Undang No : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara 1974/1; TLN NO. 3019 masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”16 Perpindahan agama yang dilakukan oleh pasangan beda agama seringkali dilakukan dengan kepura-puraan. Maskudnya, salah satu pasangan pura-pura berpindah agama dengan memeluk agama yang dianut oleh pasangannya, hanya untuk “mengelabui” hukum dan aturan tertulis. Hal ini merupakan konsekuensi lebih parah dari adanya pelarangan atas pernikahan beda agama. Tindakan demikian sama dengan mempermainkan hukum dan kepercayaan. Sesuatu yang sejatinya bertentangan dengan semangat penegakan hukum itu sendiri. Upaya lain yang sering dilakukan oleh pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama adalah melakukan pernikahan di luar negeri. Hal ini menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang juga sama beratnya. Selain membebani ongkos yang tidak sedikit, pernikahan di luar negeri juga menyisakan sedikit “pekerjaan rumah” bagi pasangan tersebut, yaitu mengenai status kewarganegaraan anak mereka. Karena, pernikahan mereka dilakukan tidak dengan hukum yang berlaku di Indonesia, maka mengurus status kewarganegaraan anak mereka akan lebih rumit. Bila pasangan yang ingin melakukan pernikahan beda agama ini merasa repot dengan segala aturan yang ada, sementara mereka tidak ingin berpindah agama masing-masing, terkadang mereka mengambil jalan pintas untuk “kumpul kebo” atau hidup bersama tanpa menikah. Dari segala paparan diatas, maka akan tampak bahwa setiap upaya untuk menghalangi pernikahan beda agama akan menimbulkan konsekuensi yang 16 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII /MPR/1998. sebenarnya bertentangan dengan tujuan pernikahan yang diatur dalam UU itu sendiri. Karena itu, sebaiknya pemerintah patut mempertimbangkan kembali segala macam aturan yang melarang, atau setidaknya menghalangi dan mendiskriminasi pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama selayaknya diberikan jalan yang lebih mudah, demi terciptanya tatanan sosial yang lebih baik. Pemerintah harus lebih tegas karena pernikahan beda agama akan terus terjadi di Indonesia yang masyarakatnya sangat plural ini. Untuk keselamatan masyarakat Indonesia, pemerintah sudah sepatutnya menetapkan hukum yang berlaku untuk masyarakatnya tentang pernikahan orang-orang yang berlainan agama, dengan tidak melebihkan satu agama atas agama lainnya. Pemerintah harus betul-betul kembali mempertimbangkan dan memperhatikan asas kesamaan di muka hukum untuk semua warga negara dari semua agama. Sekali lagi, terutama dalam kasus pernikahan, pemerintah harus menetapkan aturan yang egaliter dan memfasilitasi mereka yang kemungkinan menikah dengan pasangan yang memiliki perberbedaan keyakinan beragama. Hal ini penting mengingat modernitas dan perkembangan interaksi yang terjadi di Indonesia sudah tidak bisa dibatasi dengan faktor agama atau apapun. Lebih dari itu, pelaranganan terhadap pernikahan beda agama hanya akan memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang tua sah menurut hukum. Yang dari sini kemudian menimbulkan masalah baru seperti tidak terjaminnya hak atas pemeliharan dan warisan. Lebih parah lagi, anak hasil pernikahan beda agama kerap memperoleh penghinaan dalam pergaulannya dengan anak-anak lain yang kebetulan orang tuanya menikah dengan pasangan yang seagama. Hampir dapat disimpulkan kalau anak hasil pernikahan beda agama adalah anak yang tidak jelas identitas dan statusnya dalam hukum negara. Ada sejumlah tempat di mana Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mencatatkan pernikahan beda agama. Dari sumber-sumber tulisan yang menjadi rujukan, terlihat bahwa di kantor-kantor tersebut terdapat beberapa putusan yang memberi izin pernikahan beda agama yaitu: 1. Penetapan pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Pdt/P/1990, 3 april 1990 antara Bambang Djatmiko Setiabudi, pria Indonesia Islam dan Maliangkay Sharon dari perempuan Kristen, mendasarkan antara lain atas Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986 2. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 151/Pdt/P/1988 antara laki-laki Indonesia beragama Budha Cornelis Hendrik dan Siti Nuraini Isa seorang perempuan Indonesia beragama Islam. Berdasarkan pasal 66 UU tahun 1974 No. 1. Hakim telah menggunakan materi aturan dari Regeling op de Gemengde Huweijken (GHR), aturan tentang perkawinan campur zaman pendudukan Belanda, 1898 No. 158 mengingat dalam UU 1974 No. 1 tidak mengatur pernikahan beda agama secara devinitif. 3. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.36/Pdt/P/1989/P.N. Jkt. Sel. tertanggal 23 Februari 1989, tentang pengabulan pernikahan antara Togar Siborutorop, laki-laki Indonesia Kristen dan Yavinsa Merlgita seorang perempun Islam. Pernikahan beda agama tersebut tetap dilangsungkan berdasar pada materi putusan GHR (sebagaimana juga disebut pada Pasal 60 undang-undang tahun 1974 No. 1 ayat 3 dan 4): perbedaan agama bukan penghalang untuk menikah. 4. Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 456/Pdt/P/1988/PN Jkt. Bar., tanggal 29 juni 1988, antara Geri Lumempow seorang laki-laki Indonesia Kristen, dengan Gina Lasiari seorang wanita dari Islam, dengan alasan bahwa sesuai pasal 29 UUD 1945. sesungguhnya tidak ada aksaan dari warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu. Demikian pula undang-undang perkawinan tidak mengadakan paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Dan sama sekali tidak menganjurkan seseorang untuk berpindah agama. Sesuai dengan Rakernas M.A. dengan Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia tahun 1986 No. 102, menurut pasal 2 ayat 2 PP No. 9/1975, pencatatan mereka yang melangsungkan pernikahan menurut agama dan kepercayaan selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Kantor Catatan Sipil. Kalau pegawai Kantor Catatan Sipil menolak, pengadilan berwenang memerintahkan mereka untuk mencatat pernikahan tersebut.17 Keputusan-keputusan yang membolehkan pernikahan beda agama seperti yang tertera diatas tidak banyak kita dapati di Indonesia mungkin hanya sebagian kecil saja. Hanya beberapa lembaga yang memberi kemudahan bagi pasangan beda agama untuk melaksanakan pernikahan seperti Paramadina dan Wahid Institut. Yang dipertanyakan disini mengapa Departemen Agama yang merupakan alat Negara untuk memberi solusi semacam pernikahan beda agama malah tidak memberi jalan bagi pasangan beda agama. Dari situ, tak aneh kalau kemudian orang-orang yang ingin melaksanakan pernikahan beda agama malah lari ke negara-negara lain hanya untuk 17 Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:Citra Aditya Bakti,1996), h. 289 mendapatkan keabsahan pernikahan mereka. Di sini jelas bahwa negara kita tidak mampu untuk melindungi warga negaranya sendiri, malah negara lain yang sanggup memberi perlindungan bagi warga negara Indonesia, seperti Singapura dan Australia. Maraknya pernikahan di luar negeri memberi kesan bahwa Indonesia belum dapat menjamin sepenuhnya hak-hak warga negaranya. Pada titik inilah dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi masih menghantui pasangan yang melakukan pernikahan beda agama di Indonesia. Cara-cara seperti menikah di negara lain seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah lebih mempunyai kepekaan dan tanggung jawab untuk menjamin kebebasan warga negaranya sebagaimana diamanatkan oleh UUD. BAB III PERNIKAHAN BEDA AGAMA MENURUT ISLAM DAN KATOLIK A. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Islam Islam terlahir tidak pada ruang yang kosong. Ia terlahir pada sebuah konteks sosial, sekaligus merespon segala keadaan yang terjadi di seputarnya. Islam merespon dari masalah ketuhanan, politik, hukum, hubungan antar makhluk hidup, dan sebagainya. Dalam konteks ini, Islam tentunya merespon hubungan pernikahan antar sesama manusia, lebih khusus lagi pernikahan antar-manusia yang kebetulan berbeda keyakinan, berbeda agama. Paparan selanjutnya akan memfokuskan diri pada pembahasan tentang pernikahan beda agama ini. 1. Pernikahan Beda Agama menurut al Quran Respon Islam atas konteks sosial yang terjadi pada saat itu terrangkum dalam kitab suci al Quran. Al-Qur’an, meski menjadi pembeda antara Islam dengan agama-agama lainnya, memiliki pesan universal yang sama dengan agama-agama yang terlebih dahulu diturunkan ke dunia. Salah satu kesamaan yang paling kentara misalnya pesan yang mengatakan bahwa semua agama menyerukan umatnya untuk menyembah Allah yang Esa dan selalu melakukan perbuatan yang bermoral dan konstruktif. Namun demikian, pengejawantahan nilai-nilai dasar agama senantiasa bervariasi ketika sudah berhadapan dengan realitas sosial. Selalu terdapat dua dimensi das sein dan das solen, dimensi historisitas dan normativitas. Kedua dimensi tersebut tak ubahnya seperti dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Maka wilayah das solen ajaran agama Islam menyatu dengan praktek keseharian wilayah das sein sejarah kemanusiaan. 18 Pergumulan das sein dan das solen sudah dimulai sejak permulaan sejarah kemanusiaan itu sendiri. Oleh karena itu, sangatlah naif kalau hanya memokuskan diri pada wilayah das solen seraya abai terhadap wilayah das sein. Karena, sekali lagi, teks-teks al-Quran sebagai wahyu Allah sendiri tidak berbicara pada ruang hampa. Artinya jelas bahwa al Quran akan kehilangan maknanya ketika ditanggalkan dari konteksnya. Penafsiran yang dilakukan secara parsial hanya akan menghilangkan keutuhan makna al Quran dan cenderung terjebak pada aspek yang sejatinya hanya simbolis. Khusus tentang permasalahan pernikahan beda agama, ayat-ayat al-Quran yang umumnya dijadikan pegangan oleh para ulama adalah surat al-Baqarah: 221 ⌧☺ !"$% &'(")* +',-"." &/01 !2" 3'⌧." / /45 6(78$9 : ; (<=☺ $"$% >/3; !"." &/01 !2" 3@." / /45 (78$9 3BCDE9 (F$$>(% GHIJ KL MN O$$>(% GHIJ 'L-8 ,(0P☺ RSTUV <2=(3$% R6(%5 LL-X /4YCX; (F$0Z⌧[(6(% \]]^_ 18 M. Amin Abdullah, “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”, Ulumul Qur’an, No. 4, IV, (1993), h. 17 “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (al-Baqarah: 221) atau surat al-Mumtahanah:10: '`a>DC(% (<bcZN O$("5 TJ $4de5Nc! d,-"☺ f4(0h8Y$" !;i$(6"j MN $4HXk9 !`_l☺%UV FUj !;i☺n☺X($ f"$" :⌧j !;i$;o/0 GHIJ KpP5 : !;i qq /4rsf : /4;i (FtX(u !rf 4;i;5 NL" dJ⌧PS9 : ,-$o /45 [HX(k F9 !;i NTJ !;i☺6v5 !;iK$oE9 : 5 w☺; 4xy;V z0j ;X({| N(" 5}J⌧PS9 ;X({w~ N(" dJ⌧PS9 /45 T $4 $ {N $45 (u /45 ,-v(V MN +X(k ~ \^h_ “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (al-Mumtahanah/60:10) Ayat-ayat di atas diturunkan di Madinah serta membawa pesan agar orangorang muslim tidak menikahi perempuan musyrik, begitu juga sebaliknya. Istilah al-Musyrikun dan al-Musyrikah dalam ayat diatas merujuk pada masyarakat politeis, penyembah berhala, yang dibedakan oleh al-Qur’an dengan masyarakat keagamaan lainnya.19 Sedangkan Muhammad Abduh, sebagaimana dinyatakan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha, dengan tegas berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Musyrik adalah Musyrik Arab pada konteks saat itu yang sangat agitatif terhadap umat Islam.20 Ayat itu selain berbicara tentang larangan menikahi laki-laki atau perempuan musyrik juga memuat anjuran menikahi budak, karena dengan jalan menikahinya, maka si budak dan anak-anaknya akan menjadi merdeka. Pada sisi lain, surat al-Baqarah: 221 di atas turun dengan kondisi masyarakat Madinah yang cukup homogen. Umat Islam pada saat itu masih sangat sedikit, ditambah kondisi kebencian dan peperangan antara kaum Musyrik dengan umat Islam yang menyebabkan terusirnya Nabi Muhammad dan kaum Muslimin pengikutnya. Oleh karena itu, melakukan pernikahan dengan kaum Musyrik yang senantiasa memusuhi dan memerangi Islam, selain dianggap bertentangan dengan tujuan Islam juga dikhawatirkan malah hanya akan menimbulkan masalah lain. 19 Taufik Adnan Amal dan Syamsu Rizal Panggabean, Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah kerangka konseptual, (Bandung: Mizan, 1992), h. 73. 20 Dengan mengutip pendapat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha pada Tafsir al-Manar, Jilid VI, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, t.t), Nurchalish Madjid dkk. menguatkannya dengan kontekstualisasi aspek keindonesiaan di sana-sini, sebagaimana terrekam pada tulisan mereka dalam Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 160. Selain Surat al-Baqarah sebagaimana disebutkan di atas, ayat lain yang seringkali dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama adalah surat alMumtahanah: 10. Ayat ini turun beriringan dengan peristiwa perjanjian Hudaibiyah yang terjadi antara Nabi Muhammad dengan kaum musyrik Quraisy pada tahun 628 M. Salah satu butir kesepakatan yang dilahirkan pada perjanjian ini berisi bahwa apabila ada orang dari pihak Quraisy datang kepada Muhammad atau melarikan diri dari mereka tanpa izin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy. Sebaliknya, jika ada pengikut Muhammad yang datang kepada pihak Quraisy, melarikan diri dari dia, maka tidak akan dikembalikan pada Muhammad. Sejarah kemudian mencatat bahwa setelah perjanjian ini ditandatangani, Abu Jandal, anak dari Suhail bin Amr datang kepada Nabi dan mengutarakan keinginannya untuk bergabung dengan kaum Muslim. Suhail ternyata mengetahui hal ini, dia marah besar kemudian memukuli anaknya, direnggut kerah bajunya untuk dikembalikan kepada kaum Musyrik Quraisy. Saat itu, Abu Jandal berteriak dengan keras, “wahai kaum Muslim, apakah aku dikembalikan kepada orangorang Musyrik yang akan menyiksaku karena agamaku?” lantas Rasulullah berkata: “wahai Abu Jandal, bersabarlah, sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar kepadamu dan kepada orang-orang yang lemah yang bersamaan. Kami telah mengikat perjanjian dengan kaum Musyrik Quraisy, dan kita tidak boleh menghianati mereka.” Setelah peristiwa itu ada beberapa orang perempuan Mukminin datang berhijrah ke Madinah, Ummu Khultsum binti ‘Uqba bin Mu’ait keluar dari Mekkah. Saudaranya, Umara bin Walid, kemudian menuntut kepada Nabi supaya wanita itu dikembalikan kepada mereka sesuai dengan isi perjanjian. Tetapi Nabi menolak permintaannya, karena isi yang termaktub dalam perjanjian tidak mencakup kaum perempuan. Disamping itu, perempuan yang sudah masuk Islam tidak sah lagi bagi suaminya yang masih kafir Musyrik, oleh karena itu mereka harus berpisah. Maka dalam konteks inilah surat al-Mumtahanah turun.21 Dari latar belakang turunnya ayat yang telah dipaparkan di atas, jelaslah bahwa ayat tersebut hanya menegaskan keharaman perempuan-perempuan Muslim untuk menikah dengan lelaki kafir Musyrik. Sebagian penafsir mengemukakan bahwa “kafir” yang dimaksud dalam ayat ini adalah kafir Musyrik Quraisy. Artinya yang haram untuk dinikahi oleh kaum muslim (laki-laki dan perempuan) adalah kaum Musyrik Quraisy. Dari pemaparan kedua ayat beserta konteks sosial historisnya di atas, dapat disimpulkan bahwa umat Islam dilarang menikah dengan orang Musyrik. Karena berdasarkan konteksnya bagaimana mungkin akan tercipta keluarga yang mawaddah wa rahmah jika ternyata kaum Musyrik sangat membenci dan memerangi Islam. Ayat inilah yang dipahami dan disimpulkan sebagian besar umat Islam sebagai ayat yang melarang pernikahan antara orang Muslim dengan non-Muslim. 2. Pernikahan Beda Agama dan Perdebatan tentang Ahl al-Kitab Membicarakan pernikahan beda agama dalam Islam tak bisa dilepaskan dari perdebatan tentang Ahl al-Kitab. Perdebatan perihal ini sendiri berpangkal pada perbedaan penafsiran ayat al-Quran yang berisi tentang kebolehan kaum 21 Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan Beda Agama, Oktober 2003, h.14 Muslim laki-laki untuk menikahi perempuan Ahl al-Kitab dan tidak sebaliknya sebagaimana terdapat dalam Surat al-Maidah: 5. Ayat tersebut berbunyi: $45 LqE9 (/[ $; d(7[Z xX(6 ;E9 (<bcZN qq /45 $"; /V5 Z qq 1!" d,-xySj /4rsf ,-"☺ 1!" d,-xySj xX(6 ;E9 (<bcZN NTJ /45 X/7c !" !;iK$oE9 !;i☺nv5 : (<=Pxw$" /0⌧+ (<=-y(; !(" F>*9 =h[6$" >Jj \!%V /0dP (% G< ;i $9E☺($ ⌧7 1!% % 1!" ,(01n \_ “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orangorang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah/5:5) Sebagian kelompok menafsirkan ayat tersebut sebagai penghalalan Islam atas pernikahan beda agama. Sementara sebagian lagi beranggapan bahwa kehalalan pernikahan beda agama pada ayat tersebut telah dihapus oleh ayat-ayat lain yang menyatakan tentang pengharamannya. Kelompok ini tetap beranggapan bahwa pernikahan antara Muslim dan non-Muslim adalah terlarang, adalah haram. Namun, sebelum ke penyimpulan itu, ada baiknya ditelusuri terlebih dahulu perdebatan lebih rinci tentang konsep Ahl al-Kitab yang berkembang di dalam dunia Islam. Para ulama salaf (ulama-ulama terdahulu) seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sepakat untuk mengharamkan pernikahan antara kaum Muslim dan kaum Musyrik. Perbedaan pendapat baru terjadi untuk pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Kelompok pertama menyatakan bahwa pernikahan yang melibatkan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl al-Kitab adalah haram. Mereka yang menyatakan demikian berargumen bahwa Ahl alKitab termasuk ke dalam kategori Musyrik. Keduanya adalah sama karena kenyataannya memang sama saja. Selain itu, kelompok pertama ini juga berargumen bahwa surat al Maidah: 5 yang membolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab telah dinasakh (dihapus) oleh surat al-Baqarah: 221.22 Yang termasuk ke dalam kelompok ini antara lain Abdullah ibn Umar dan al-Thabarsi. Abdullah ibn Umar menegaskan bahwa: ”Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari kemusyrikan orang yang menyatakan bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan.”23 Yang dimaksud dengan “seseorang yang mengaku Tuhannya adalah Isa atau salah satu dari hamba Tuhan” adalah umat Nashrani dan Yahudi. Menurut Ibn Umar, kelompok ini pada prakteknya telah mempersekutukan Tuhan dengan yang lain. Umat Kristen dianggap menuhankan Isa sedangkan umat Yahudi dianggap menuhankan Uzair. 22 Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, h. 196. 23 Lihat M. Quraisy Shihab, Wawasan al Quran, (Bandung: Mizan, 1996), h. 15. Dilihat dari konteksnya, pada saat itu memang terdapat beberapa tokoh Islam yang menikahi perempuan Yahudi dan Kristen, seperti yang dilakukan oleh Thalhah dan Hudzayfah. Sikap Umar sendiri sebenarnya lebih mencerminkan kekhawatiran jika pada suatu saat para sahabat tersebut membelot dan masuk komunitas non-Muslim. Perasaan demikian mudah dipahami mengingat Islam pada saat itu sedang membutuhkan jumlah pengikut yang banyak dan loyal. Dengan demikian, terlihat bahwa Umar sebenarnya hanya ingin memperingatkan kaum Muslim untuk berhati-hati dalam memperjuangkan Islam, tak terkecuali untuk memilih pasangan hidup. Al-Thabarsi memperkuat argumen Ibn Umar dengan mengatakan bahwa yang dimaksud perempuan Ahl al-Kitab yang halal dinikahi oleh laki-laki Muslim dalam surat al-Maidah: 5 adalah perempuan Ahl al-Kitab yang sudah masuk Islam terlebih dahulu sebelum menikah dengan laki-laki Muslim.24 Artinya, ia tetap mengharamkan terjadinya pernikahan laki-laki Muslim dan Perempuan Ahl alKitab sebelum perempuan tersebut berpindah agama menjadi Islam. Pandangan kelompok pertama inilah yang dijadikan landasan para ulama saat ini dalam menyikapi masalah pernikahan beda agama. Pandangan ini pula yang menjadi mainstream umat Islam di Indonesia, bahkan kemudian dilegalkan melalui UU Perkawinan No. I Tahun 1974 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disahkan dengan Inpres No. 1 Tahun 1991. Sebagai konsekuensinya, pernikahan beda agama di Indonesia sama sekali tidak mendapat tempat karena negara memang tidak memfasilitasinya, tidak memberikan ruang yang memungkinkan untuk pelaksanaannya. 24 Muhammad Galib. M, Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 167. Kelompok kedua adalah yang memperbolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab. Kelompok ini berpendapat bahwa surat al-Maidah: 5 telah secara tegas memperbolehkan laki-laki Muslim untuk menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab. Ayat madaniyah itu sekaligus merupakan ayat terakhir di antara ayat-ayat pernikahan dengan orang kafir, sebagaimana dinyatakan Nabi: “Surat al-Maidah adalah surat dari al-Qur’an yang terakhir turunnya. Maka halalkanlah apa yang dihalalkan dan haramkanlah apa yang diharamkan.”25 Berdasarkan pernyataan Nabi tersebut, kelompok kedua ini beranggapan bahwa tidaklah benar jika surat al-Baqarah: 221 dan surat al-Mumtahanah: 60 telah me-nasakh surat al Maidah: 5, karena dua ayat yang melarang pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab sebenarnya diturunkan terlebih dahulu. Sebagaimana ditegaskan dalam kaidah fiqih bahwa jika terdapat dua ayat yang bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, maka ambillah ayat yang lebih akhir diturunkan. Selain itu, kelompok ini membedakan secara tegas antara non-Muslim dengan Musyrik berdasarkan alasan bahwa dalam alQuran sendiri terdapat sejumlah ayat yang membedakan antara Ahl al-Kitab (termasuk Kristen dan Yahudi) dengan orang-orang Musyrik. Di antaranya adalah surat al-Baqarah:105 yang berbunyi: $0⌧P⌧ abcZN ~(% L" : hX(6 _qi9 !" (L($% F9 (<=Sj !2" /01 !2" 4d7[HX(k (6%u MN /4d7HVK 5N(, !(" R6☺(0V 25 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama Dalam Syari’at Islam (Jakarta: Khoerul Bayan, 2003), h. 65 _q⌧P ;T MN \^h_ h~d; “Orang-orang kafir dari Ahl al-Kitab dan orang-orang Musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian); dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Baqarah/2:105) dan surat al-Bayyinah:1: $0⌧P⌧ (<bcZN \!5 (% hX(6 _qi9 !" (<= ⌧P$" (<=☺ $4`jD \^_ ;'h2v(3 “Orang-orang kafir yakni Ahl al-Kitab dan orang-orang Musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata,” (al-Bayyinah/98:1) Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Quran memakai kata penghubung “dan” (waw) di tengah kata kafir Ahl al-Kitab dan kafir Musyrik. Ini menandakan bahwa kedua kata tersebut (Ahl al-Kitab dan Musyrik), mempunyai arti dan makna yang berbeda.26 Abu Ja’far ibn Jarir al-Thabari dalam Jami’ alBayan ‘an Ta’wil al-Qur’an menafsirkan Musyrik sebagai orang-orang yang bukan Ahl al-Kitab. Musyrik dalam surat al-Baqarah: 221 bukanlah Kristen dan Yahudi melainkan orang-orang Musyrik Arab yang tidak memiliki kitab suci. Ketiga kelompok di atas yakni Musyrik, Yahudi dan Kristen merupakan kelompok yang terdapat dalam masyarakat Arab dan sering disebut sebagai kelompok lain (al-Akhar).27 26 Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan AntarAgama, Oktober 2003, h. 3. 27 Dalam masyarakat Arab terdapat tiga kelompok yang sering disebut sebagai kelompok lain (al-Akhar) yakni Musyrik, Yahudi dan Kristen. Musyrik adalah mereka yang menempati Namun demikian, Para ulama yang memperbolehkan pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab pun masih berselisih paham tentang siapa sebetulnya yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab dalam ayat tersebut. Apakah terbatas hanya untuk umat Yahudi dan Nashrani atau bisa dilekatkan juga untuk umat-umat dari agama lain? Maliki, Syafi’i dan Hambali hanya memasukkan umat Kristen dan Yahudi ke dalam kategori Ahl al-Kitab. Sementara Hanafi tidak hanya Kristen dan Yahudi melainkan juga kaum Majusi dan Shabi’in. Mahmud Syaltut mengatakan bahwa pernikahan seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab diperbolehkan sebagai strategi dakwah. Laki-laki dalam posisinya sebagai suami memiliki hak untuk mendidik keluarganya: istri dan anak-anak mereka dengan akhlak Islam. Pernikahan tersebut diharapkan bisa mengeliminir kebencian dan dendam orang-orang non-Muslim terhadap Islam terutama di hati istri. Namun jika hal itu tidak bisa diwujudkan maka perkawinan itu pun terlarang.28 Dengan demikian, Mahmud Syaltut membolehkan pernikahan beda agama dengan syarat suami bisa menarik istri dan anak-anaknya untuk masuk dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Adapun mengenai pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki Ahl alKitab, meskipun tidak dinyatakan secara tegas dalam al-Quran, para ulama posisi penting dalam masyarakat yang berpusat di Mekkah. Mereka mempunyai patung yang paling besar, “Hibal” yang menghadap ke Ka’bah dan dikelilingi oleh 360 patung-patung kecil. Sedangkan Kristen merupakan kekuatan yang sangat besar di kawasan Arab. Mereka adalah sekelompok Kristen Syam yang lari dari kezaliman Romawi dan kemudian menempati puncak gunung serta bukit melalui para pedagang Afrika. Kedatangan orang-orang Kristen tersebut menyebabkan banyak diantara kabilah Arab yang memeluk Kristen, antara lain: kabilah Ghassan, Taghallub, Tanukh, Lakhm, Kharam dan lain-lain. Adapun yang dimaksud dengan Yahudi adalah mereka yang juga lari dari kediktatoran Romawi dan Persia yang berpusat di Madinah. Jumlah mereka hampir dari separuh penduduk Madinah, antara lain: keturunan Qainaqa, Nadhir dan Quraidzah. Komposisi masyarakat seperti ini menunjukkan bahwa ada distingsi yang jelas antara kaum musyrik, Kristen dan Yahudi. Uraian selengkapnya lihat, Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, h. 163. 28 Linda Hindasyah, Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku, (Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2003), h. 27. melarangnya dengan alasan bahwa perempuan dikhawatirkan akan terpengaruh oleh agama suaminya. Maulana Muhammad Ali mengatakan bahwa meskipun hal itu tidak dinyatakan dengan jelas dalam al-Quran, dalam prakteknya mayoritas umat Islam tidak memberikan persetujuan sejak dahulu. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasarkan pada ijtihad bahwa seorang perempuan Muslimah yang menikah dengan laki-laki non-Muslim akan merasa susah jika tinggal dalam keluarga non-Muslim, karena akan kehilangan hak yang seharusnya mereka nikmati sebagaimana jika berada dalam lingkungan keluarga Muslim. Seorang istri akan mengikuti tradisi suaminya dan suami akan mempengaruhi statusnya sebagai perempuan Muslim.29 Meski kritik dapat diajukan karena pandangan seperti ini sangat bias jender, selalu menganggap perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki, menempatkan perempuan sebagai manusia yang sama sekali tidak mempunyai daya dan kekuatan menentukan, dalam Islam, itu diperparah lewat hadits Nabi yang kerap dijadikan dasar pelarangan nikah beda agama yang berbunyi: Rasulullah SAW bersabda: “Kami menikahi wanita-wanita Ahl al-Kitab dan laki-laki Ahl al-Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah)”.30 Senada dengan itu, Khalifah Umar ibn al-Khattab dalam sebuah pesannya berkata: “Seorang Muslim boleh menikahi wanita Nashrani, akan tetapi laki-laki Nashrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah”. Pesan Umar tersebut 29 Maulana Muhammad Ali, Qur’an Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir (Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah, 1993), h. 2. 30 Hadits di atas menurut Shudqi Jamil al-‘Aththar tidak shahih karena mawquf, sanadnya terputus hingga Jabir, sebagaimana dijelaskan al-Imam al-Syafi’i dalam, al-Um. Lihat, Hindasyah, Pernikahan Beda Agama, h. 28. seringkali dipegang oleh kelompok ini sebagai penguat alasan dilarangnya perempuan muslim menikah dengan laki-laki non-muslim. Dari paparan di atas terlihat bahwa pandangan yang tidak memperbolehkan pernikahan beda agama pada umumnya beranjak dari suatu keinginan untuk mewujudkan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang, menurutnya, hanya bisa tercipta jika terdapat kesamaan diantara suami dan istri, termasuk kesamaan agama. Perbedaan agama merupakan hal fundamental yang diduga kuat akan mempengaruhi keutuhan dan keharmonisan sebuah keluarga. Alasan lainnya adalah bahwa dengan pernikahan beda agama dikhawatirkan akan terjadi konversi (perpindahan) agama atau “pemurtadan”, terlebih jika yang dalam kubu Islam kebetulan adalah pihak perempuan. Perempuan cenderung lebih lemah dibandingkan laki-laki. Kesimpulannya, karena diasumsikan bahwa perempuan memiliki iman yang lemah, mudah goyah sehingga mudah tergoda untuk pindah memeluk agama suaminya, seorang perempuan muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki non-muslim sekalipun Ahl al-Kitab. Berbeda dengan para ulama yang telah disebutkan di atas, Muhammad Abduh, sebagaimana diungkap oleh Muhammad Rasyid Ridha, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Ahl al-Kitab tidak terbatas pada penganut agama Yahudi, Nashrani, Majusi dan Shabiin, melainkan para penganut semua agama. Dengan demikian, menurutnya, Budha, Hindu, Konghucu, dan lain-lainnya pun termasuk ahl al-kitab. Ahl al-Kitab dalam pengertian Rasyid Ridha adalah setiap kaum yang memiliki kitab suci dan pernah didatangi seorang Nabi.31 Lebih jelas lagi, Ahl al-Kitab merupakan gambaran dari orang-orang yang tercerahkan. Orang-orang yang ketika bertindak mempunyai pemandu, berupa ajaran yang diyakini, tidak seperti orang musyrik yang jelas tidak mempunyai acuan, sehingga bermusuhan dengan siapapun.32 Selain itu, kelompok yang memperbolehkan pernikahan antara laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab ini juga berargumen bahwa pernikahan beda agama sudah dilakukan sejak sejarah permulaan Islam. Nabi Muhammad sendiri bahkan pernah menikah dengan Sofia yang beragama Yahudi dan Maria Qibtiyyah yang beragama Nashrani. Sementara di kalangan shahabat, Utsman bin Affan menikah dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah, Huzaifah menikah dengan perempuan Yahudi di Madinah dan Thalhah bin Ubaidillah menikah dengan perempuan Yahudi di Damaskus. Pada saat itu, tidak pernah dipersoalkan apakah kemudian pasangan mereka itu masuk Islam atau tidak, artinya bebas.33 Lebih jauh dari itu, kelompok kedua ini juga berpendapat bahwa konteks masyarakat yang sangat plural seperti sekarang ini, perbedaan agama tidak bisa lagi menjadi suatu penghalang untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Di samping itu, Islam datang dengan membawa semangat pembebasan, bukan belenggu. Tahapan-tahapan di dalam al-Qur’an dari mulai pelarangan menikah dengan musyrik, kemudian membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahl al-Kitab, merupakan tahapan pembebasan yang evolutif. Penganut agama lain tidak lagi 31 Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir al Manar, h. 193. 32 Nuryamin Aini, “Fakta Empiris Nikah Beda Agama,” wawancara diakses tanggal 22 Juni 2003, dari http://www.islamlib.com. 33 Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Penafsiran Baru, h. 7. dianggap sebagai kelas dua (second class), bukan pula Ahl al-Dzimmah, melainkan sebagai warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.34 Dari uraian di atas dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pernikahan beda agama merupakan konsekuensi logis dari realitas keberagaman agama sebagaimana diakui sendiri oleh al-Qur’an. Untuk menjembatani ketegangan yang selama ini terjadi diantara umat beragama, khususnya Islam dan Kristen, maka pernikahan beda agama bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam upaya membangun sikap toleransi antarumat beragama, sesuai dengan tujuan pernikahan, yakni bukan hanya untuk membangun tali kasih sayang yang terdapat dalam ikatan keluarga, melainkan juga relasi yang seimbang antara dua keyakinan berbeda yang dilandasi oleh semangat toleransi dan saling menghargai. Oleh karena itu, di tengah rentannya hubungan antar agama dalam masyarakat modern dan plural sebagaimana terlihat dalam konteks keindonesiaan, pernikahan beda agama justru bisa dijadikan wahana tidak hanya untuk merajut kebahagiaan dua insan yang saling berbeda keyakinan, namun juga untuk membangun kesepahaman antara masing-masing pemeluk agama sekaligus dapat merajut dan memperkuat kerukunan dan kedamaian. B. Pernikahan Beda Agama dalam Pandangan Katolik Dalam Katolik pernikahan merupakan suatu hal yang kudus. Kitab kejadian menyatakan bahwa “tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja”. Namun demikian, masalah kemudian muncul ketika pernikahan itu tidak dilakukan oleh umat yang seagama, melainkan berbeda agama. Dalam pernikahan 34 Nurcholis Madjid, dkk., Fiqih Lintas Agama, h. 165. model demikian, gereja Katolik memandang bahwa pernikahan antara seseorang yang beragama Katolik dengan yang bukan Katolik bukanlah bentuk pernikahan yang ideal. Pasalnya, sekali lagi, pernikahan, dalam pandangan Katolik, dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, suci).35 Dua kitab suci yang dijadikan pegangan hukum umat Katolik, Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, tak pelak membahas permasalahan seputar pernikahan yang dilaksanakan oleh pasangan yang berbeda agama. Di samping kedua sumber pokok ini, sebagai pelengkap dari kedua sumber hukum utama, Katolik juga mempunyai sumber lain yakni Hukum Kanonik yang lebih mendasarkan putusan hukumnya pada realitas kehidupan kemasyarakatan dan lebih bersifat praktis. Berikutnya akan disajikan secara lebih lengkap mengenai ulasan atau pandangan tentang pernikahan beda agama, menurut agama Katolik, dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas. 1. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Lama Pada Kitab kejadian, kitab yang menyoroti kehidupan bapak leluhur Israel, dapat ditemukan beberapa kasus perkawinan beda agama. Beberapa bagian dalam kitab tersebut yang memberi informasi berkenaan dengan kasus pernikahan beda agama adalah: i. Kejadian 6: ayat 5-6 Perkawinan beda agama seperti yang diinformasikan oleh al-Kitab dalam kejadian 6: ayat 5-6 tersebut merupakan perkawinan yang tidak dikehendaki 35 Ahmad Baso dan Ahmad Nurcholish (Ed.), Pernikahan Beda Agama,; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM dan ICRP, 2005), h. 207. Allah. Hal ini nyata direspon oleh Tuhan ketika melihat perkembangan yang terjadi antara anak-anak manusia pada waktu itu. Tidak dikehendaki artinya pernikahan yang melibatkan kaum Katolik dengan kaum non-Katolik adalah terlarang, atau haram dalam bahasa Islam. Terlarangnya pernikahan seperti ini karena bisa mengakibatkan bertambahnya dosa dalam kehidupan manusia dan akan mendatangkan penyesalan dalam hati Tuhan.36 Ketika Tuhan melihat bahwa kejahatan manusia paling besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan, maka menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi dan hal itu sangat memilukan hatinya. Di sini dapat dikatakan bahwa betapa besar kejahatan yang dilakukan oleh manusia, kejahatan manusia itu tidak pernah berubah sampai saat ini. Salah satu bentuk kejahatan yang dimaksud yaitu pernikahan beda agama. Istilah “menyesal” dalam ayat ini menunjukkan bahwa akibat dosa umat manusia yang menyedihkan itu, sikap allah terhadap manusia berubah yaitu sikap kemurahan hati dan sabar berubah menjadi hukuman.37 ii. Ulangan 7: 3-4. Bangsa Israel dilarang kawin dengan bangsa-bangsa diluar Israel. Pelarangan pernikahan beda agama di sini berlaku untuk agama selain agamanya bangsa Israel tanpa terkecuali. Hubungan pernikahan beda agama pada akhirnya hanya akan menghancurkan hubungan manusia dan kekudusan Allah. Yang dimaksud ayat ini yaitu bahwa permasalahan seperti pernikahan beda agama dari umat Allah dengan orang yang tidak percaya hanya akan mengakibatkan umat 36 Lihat dalam kitab Kejadian 24 37 Al-Kitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Percetakan Lembaga Al-Kitab Indonesia, h.6 Allah akan berpaling dari agama, sehingga mereka akan beribadah selain kepada Allah. Allah kecewa dan menghukum orang-orang yang kawin dengan bangsa diluar Israel. 2. Pernikahan Beda Agama dalam Perjanjian Baru i. Korentus 6: 14 dan 7: 1 Ayat ini menjadi salah satu ayat yang berisi penolakan terhadap pernikahan beda agama. Ayat ini berbunyi “janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dan orang-orang yang tidak percaya”. Terlihat jelas bahwa penolakan atau larangan melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, dari ayat ini, dikarenakan perbedaan kepercayaan. Tegasnya, maksud dari perkataan tidak seimbang pada ayat di atas adalah suami istri yang tidak sama-sama Kristiani, tidak sama-sama beragama Katolik.38 Yang beragana Katolik dianggap kudus karena kelahirannya sudah melalui pembaptisan, sementara yang nonKatolik tidak kudus karena tidak terlebih dahulu dibaptis, maka bisa disebut sebagai pasangan yang tidak seimbang. ii. Korentus 7: 12-16 Suami istri (pernikahan) yang tidak seiman sudah menjadi fakta yang telah terjadi sejak gereja awal. Pernikahan beda agama sudah terjadi dan dihadapi oleh Paulus. Katolik tidak lahir sebagai agama tunggal di muka bumi. Maka sejak agama ini ada, kehidupan para penganutnya sudah senantiasa bersinggungan dengan penganut dari agama dan keyakinan yang berbeda-beda (majemuk). Dari sini, dalam hal membangun sebuah kekuarga, membangun pernikahan kemungkinan terjadinya pernikahan beda agama menjadi tak bisa dihindari lagi. 38 Yonathan A. Trisna, Berpacaran dan Memilih Teman Hidup, (Bandung:Kalam Hidup Pusat,1987) h. 53 Menyadari bahwa melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup yang berbeda agama adalah suatu hal yang tidak bijaksana, Paulus kemudian menulis: “Kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. (Kor 7: 12b-13). Pernikahan beda agama dapat terus dilangsungkan atau diperbolehkan dengan syarat pasangan tersebut dapat memenuhi beberapa persyaratan yakni mau hidup bersama. Artinya, pasangan yang bukan beragama Katolik harus menerima prinsip-prinsip moral kehidupan Kristiani tanpa menyebut syarat untuk berganti agama menjadi Kristiani. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari Tuhan melainkan dari Paulus sendiri. Namun demikian Paulus meyakini bahwa jika ikatan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama (Katolik dan nonKatolik) semacam ini tetap suci sebagaimana diungkapkan dalam kitab I Korentus 7:14 yang berbunyi: “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya”. Pernikahan beda agama (melibatkan pasangan Katolik dan non-Katolik) jika dapat memenuhi persyaratan sebagaimana dituliskan oleh Paulus tetap sah dan kudus karena salah satu pasangan yang beragama Katolik akan secara otomatis mengkuduskan pasangannya yang tidak Katolik, yang tidak pernah diberkati melalui sakramen pembaptisan. Pernikahan beda agama tetap sah asalkan memenuhi syarat tertentu. 3. Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Kanonik Dalam melengkapi hukum ilahi, sebagaimana termaktub pada kitab suci, Gereja Katolik juga mempunyai hukum kanonik yang landasan hukum dan penarikan kesimpulan hukumnya lebih berdasar kepada realitas kehidupan kemasyarakatan. Karena sifatnya yang demikian, hukum kanonik secara umum lebih detail membahas kejadian atau fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat, tak terkecuali fenomena pernikahan beda agama. Hukum kanonik mengatakan bahwa ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Sejumlah halangan tersebut antara lain: adanya ikatan nikah, dan kaul kebiaraan, tahbisan imam, hubungan kekeluargaan baik secara biologis maupun hukum, usia yang belum mencukupi, adanya tekanan atau paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial, adanya indikasi kejahatan, ketidakmampuan secara fisik maupun secara psikis untuk melakukan hubungan suami-istri, kesepakatan pranikah untuk tidak mempunyai anak, perbedaan Gereja, dan juga perbedaan agama. Jika salah satu dari beberapa pasal di atas terdapat pada pasangan yang hendak menikah maka pernikahannya akan menjadi tidak sah. Tentang perkawinan beda agama sendiri hukum kanon mengatakan: “Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu sudah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima didalamnya dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedang yang lain tidak dibaptis adalah tidak sah”. (Kanon 1086 par. 1)39 Tegasnya, jika terjadi pernikahan beda agama dan di dalamnya terdapat atau melibatkan umat Katolik kecil kemungkinan dapat dilaksanakan.40 Hukum Kanon Katolik, sebagaimana juga hukum-hukum yang terdapat pada kitab suci, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, menyatakan dengan tegas bahwa perkawinan orang yang beragama Katolik dengan orang yang beragama 39 Maria Ulfa Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Pespektif Perempuan dan Pluralisme, (Jakarta:Kapal Perempuan, 2004), h. 53. 40 David Sriyanto, Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, Thesis, 1992), h. 58. non-Katolik adalah tidak sah. Gereja, lebih jauh, melihat perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang tidak diharapkan dan dilihat sebagai perkawinan yang tidak seharusnya. Namun demikian, tidak seperti dua kitab suci Katolik yang utama, hukum Kanonik Katolik dapat merestui pernikahan beda agama yang melibatkan umat Katolik di dalamnya dengan catatan pasangan tersebut dapat memenuhi persyaratan-persyaratan yang tercantum dalam hukum Kanon. Artinya, Gereja akan memberikan dispensasi bagi pasangan beda agama yang hendak melangsungkan pernikahan dengan syarat sebagaimana terdapat pada Hukum Kanon: 1125 dan 1126 yang berbunyi: Kanon: 1125: “ijin semacam itu (untuk pernikahan beda agama yang di dalamnya melibatkan umat Katolik) dapat diberikan oleh Ordinaris wilayah, jika terdapat alasan yang wajar dan masuk akal, ijin itu jangan diberikan jika belum terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1) Pihak Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur bahwa ia akan berbuat sesuatu dengan sekuat tenaga agar semua anaknya dibaptis dalam gereja Katolik; 2) Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh pihak Katolik itu pihak yang lain hendaknya diberitahu pada waktunya, sedemikian sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan janji dari kewajiban pihak Katolik; 3) Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan secara sifat-sifat hakiki perkawinan, yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya”.41 Kanon: 1126: “menjadi kewenangan Majelis Wali gereja untuk menentukan baik cara pernyataan dan janji yang selalu dituntut itu, harus dibuat, maupun cara bagaimana hal-hal itu jelas dalam tata lahir.42 Dispensasi di atas dapat terlaksana jika adanya ijin dari uskup setempat dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah ditetapkan. Dispensasi dari uskup ini juga baru dapat diberikan jika diantara kedua pasangan perkawinan beda agama ini mempunyai kesadaran untuk membina keluarga yang baik dan utuh 41 Ichtiyanto, Perkawinan Campuran dalam Negara Republik Indonesia, ( Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130. Lihat juga Sriyanto, Perkawinan Orang yang Berbeda Agama, h. 58-59. 42 Ichtiyanto, Perkawinan Campuran, h. 130 setelah perkawinan, juga untuk kepentingan pemeriksaan untuk memastikan tidak adanya halangan perkawinan. Jika syarat-syarat yang disebutkan di atas tidak dipenuhi maka uskup belum dapat mengijinkan pelaksanaan pernikahan beda agama. Di sini Wali Gereja harus membuat perjanjian baik lisan maupun tulisan terhadap calon pasangan perkawinan beda agama di depan saksi mengenai janjijanji yang sudah dinyatakan oleh pasangan perkawinan beda agama. Syarat-syarat di atas harus benar-benar diperhatikan oleh pasangan perkawinan beda agama, karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi perkawinan yang dilaksanakan menjadi tidak sah. Dengan adanya syarat-syarat yang terdapat pada kanon 1125 ini, jelaslah bahwa agama Katolik secara ekplisit sebenarnya sudah membuka ruang kemungkinan untuk terlaksananya pernikahan beda agama yang melibatkan umatnya. Kendati demikian, persyaratan yang sebagaimana termaktub dalam Kanon 1125 dan 1126 masih mengindikasikan kecemasan akan terjadinya konversi agama. Sehingga mencegah penganutnya untuk beralih agama atau minimal mencegah akan kemungkinan terjadinya penurunan kualitas keimanan penganutnya setelah melakukan pernikahan dengan penganut agama lain. BAB IV ANALISIS KOMPARATIF TERHADAP FENOMENA PERNIKAHAN BEDA AGAMA A. Fakta Pluralitas di Indonesia Pernikahan beda agama dalam konteks Indonesia yang terdiri dari manusia-manusia, etnis, suku bangsa, bahasa, budaya dan agama beragam menjadi fenomena yang sangat mungkin terjadi, bahkan tak terelakkan. Suatu hal yang tentunya sangat alamiah jika pemeluk dari satu agama dengan pemeluk agama lain saling berinteraksi, membangun relasi, pertemanan, bahkan persaudaraan, termasuk dalam ikatan pernikahan. Fenomena yang sangat alamiah itu semestinya tidak berimplikasi terhadap apapun. Sayangnya, di Indonesia hal itu muncul lebih sebagai masalah ketimbang berkah. Maka tak bisa disangkal kalau sebenarnya ada sejenis kepentingan yang dimainkan di balik pelarangan atau minimal sulitnya melangsungkan pernikahan beda agama di negeri ini. Siapakah mereka yang berkepentingan ini? Kamala Chandrakirana, dalam pengantar buku Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme yang diterbitkan oleh Kapal Perempuan, memberi jawaban cukup tegas. Baginya, pihak yang paling tergantung terhadap pernikahan beda agama adalah pihak yang mempunyai kepentingan tertentu dengan institusi perkawinan itu sendiri.43 43 Kamala Chandrakirana, “Kata Pengantar”, dalam Maria Ulfah Anshor (ed), Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama Perspektif Perempuan dan Pluralisme (Jakarta : KAPAL Perempuan, 2004) Dari situ dapat dikatakan bahwa pelarangan atau resistensi beberapa kelompok terhadap pernikahan beda agama, bukan sesuatu yang berjalan secara alamiah. Respon demikian hadir karena memang ada pihak-pihak tertentu yang mempunyai kepentingan di belakangnya. Untuk kembali mempertegas ungkapan Chandrakirana, “orang dalam” institusi perkawinan itulah yang justru punya permainan. Tentunya, ini tidak murni kepentingan agama. Kesimpulan ini bisa ditarik karena faktanya tak ada satu agama pun yang hadir dengan eksklusifitas spesial ketimbang agama-agama lainnya. Maka semua agama sejatinya menempatkan posisi umat dari setiap agama sebagai umat yang setara. Semua agama mengakui pluralitas umat manusia, tak ada satu pun yang menganggap bahwa hanya umat dari agamanyalah yang berhak hidup dan melangsungkan keturunan di dunia. Dalam konteks itu, Indonesia sebagai negara besar, berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa dan plural dari segala aspeknya, hendaknya mengerti sekaligus memperhatikan betul kemungkinan terjadinya hubungan lintas agama di antara warga negaranya. Indonesia harus sangat sadar bahwa kemajemukan yang embodied pada tubuhnya tak selamanya berjalan dan terawat dengan rapih. Hal itu mesti ditekankan betul karena kemajemukan selain bisa menjadi sebuah kekayaan, pada dirinya sendiri, ia menyimpan benih disintegrasi dan perpecahan. Perbedaan yang dimiliki bangsa tak ubah seperti sekam dalam tumpukan jerami. Ia tidak terlihat berbahaya, tetapi sekali mengemuka bisa membakar semuanya, menghilangkan semua harmoni yang sebelumnya mendominasi permukaan. Mungkin masih lekat dalam ingatan bagaimana kasus Ambon dan Poso, di mana masyarakat saling bergolak karena tidak memahami esensi kemajemukan. Dalam meretas gagasan di tengah-tengah kemajemukan inilah, esensi pluraslisme dan dialog antaragama patut dibangun. Banyak titik awal untuk memulai dialog dan kerjasama lintas agama. Di masa Orde Baru, istilah dialog dan kerjasama tidak begitu populer. Namun demikian, berbagai upaya untuk mempererat hubungan antaragama telah dilakukan baik oleh pemerintah, melalui Departemen Agama (Depag), maupun oleh individu-individu tokoh dan lembagalembaga swadaya masyarakat (LSM). Istilah toleransi dan kerukunan umat beragama awalnya diprakarsai oleh pemerintahan Orde Baru, tepatnya oleh Depag, walaupun secara praktis masih belum banyak dilakukan. Dalam konteks ini, perlu disebut nama Prof. Dr. Mukti Ali. Ketika menjadi Menteri Agama periode 1971-1978, ia membentuk proyek kerukunan hidup antarumat beragama yang menyelenggarakan dialog antar-tokohtokoh agama. Depag juga membentuk Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang rutin menyelenggarakan pertemuan bersama. Wadah-wadah ini dibentuk bersama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali-Wali Gereja di Indonesia (KWI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (Walubi).44 Proyek kerukunan antarumat beragama atau toleransi dilakukan oleh pemerintah dalam konteks integrasi nasional, atau secara spesifik untuk menciptakan stabilitas dalam menunjang pembangunan nasional. Kendati pemerintah merupakan pihak pemrakarsa, secara resmi sering dinyatakan bahwa esensi kerukunan merupakan tanggung jawab agama. Karena 44 Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. 198. itu, apabila terjadi perselisihan baik intern suatu agama maupun antarumat beragama, seyogyanya harus diselesaikan oleh umat beragama itu sendiri. Dengan kata lain, ungakapan di atas mengandung pesan bahwa di Indonesia agama tidak berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dan pengaruh pemerintah. Hubungan agama dan negara merupakan hubungan yang konsultatif dan partnership (kemitraan), bukan hubungan dominatif. Sebab, Indonesia memang tidak di desain sebagai negara agama. Persentuhan agama dengan ide-ide demokrasi yang telah ramai disuarakan sejak awal 1990-an, yakni pasca runtuhnya Komunisme yang diklaim sebagai kemenangan demokrasi liberal, membuat forum-forum keagamaan menjadi lebih terbuka terhadap segala ide yang berkembang. Dalam konteks Indonesia, misalnya, sudah cukup sering dilakukan seminar-seminar ilmiah berskala lokal, nasional, bahkan internasional yang mengambil tema-tema dialog antaragama, peradaban dan globalisasi, Islam dan Barat, dan sebagainya. Semua itu tak lain merupakan bukti bahwa agama kini tidak bisa mengisolasi diri, apalagi menghindar, dari pergaulan global dan globalisasi. Ide keterbukaan (glasnot) yang digulirkan oleh Mikhail Gorbachev semasa menjadi presiden Uni Soviet yang kemudian memacu gelombang demokratisasi di seluruh Eropa Timur, bukan hanya menjadi gejala yang khas berkembang di negeri-negeri bekas Komunis. Hal tersebut merupakan fenomena global, termasuk gejala agama-agama. Dialog antaragama adalah sebentuk aktivitas yang coba menyerap ide keterbukaan itu. Dialog tidak mungkin dilakukan tanpa adanya sikap terbuka antara dua belah pihak. Karenanya, dialog antaragama memiliki arti yang amat penting untuk menyingkap ketertutupan dalam hubungan antaragama yang selama ini membeku. Hubungan antar agama yang selama ini terjadi, tanpa bermaksud membuang fakta harmoni antaragama dalam forum dan organisasi-organisasi tertentu, masih cenderung diliputi rasa saling curiga, menganggapnya sebagai indoktrinasi, kristenisasi dalam anggapan umat Islam dan Islamisasi dalam anggapan umat Kristiani, dan lain sebagainya. Sebuah hubungan yang tidak dilandasi rasa saling percaya dan saling menghormati. Tanpa bermaksud melakukan simplifikasi, dialog yang dikembangkan masih kerap dilakukan sebatas dalam forum-forum seminar di kampus-kampus dan di tempat-tempat yang eksklusif, tidak dapat diakses oleh semua umat beragama. Parahnya lagi, aplikasi dari dialog masih hanya mengejawantah dalam bentuk jargon. Belum beranjak ke arah tindakan yang praksis. Itupun hanya dilakukan oleh segelintir orang dari masing-masing agama. Beberapa kemajuan sebagai implikasi dari forum dialog antaragama memang cukup membanggakan, mulai terbangun rasa saling percaya dan menghormati pada kelompok atau komunitas agama tertentu. Sayangnya ini, lagi-lagi, tidak menjadi mainstream, bahkan cenderung dicurigai dan dinilai negatif oleh internal masing-masing agama komunitas tersebut. Di atas segalanya, dialog antaragama sejatinya perlu terus dikembangkan, selain mengingat kondisi pluralitas bangsa Indonesia, juga karena persoalan globalisasi. Dua faktor besar tersebut menjadikan hubungan antarmanusia, kini, tidak bisa disekat oleh norma budaya dan agama tertentu, melainkan menerobos batas-batas itu dan mengatasi segalanya. Di luar faktor agama, dalam konteks budaya bangsa, keragaman yang dimiliki bangsa ini, sekali lagi, dapat menjadi kekayaan dan penambah keindahan, tetapi juga sekaligus dapat menjadi bahaya dan seumber kerusakan. Masih belum kering dalam ingatan beberapa kasus di tanah air yang terjadi atas dasar perselisihan Suku, Agama, Ras dan Antar-golongan (SARA). Kasus Ambon, Poso, Luwu, dan lain sebagainya seakan semakin menahbiskan betapa berbahayanya keragaman bangsa ini jika tidak didialogkan. Selain itu, muncul juga sedikit pertanyaan, jika dialog agama telah lama dilakukan dan hingga kini masih terjadi berbagai kasus berdarah yang berlatar perbedaan agama, bukankah berarti bahwa pola dialog antaragama yang selama ini dilakukan kurang memberikan manfaat. Berangkat dari pertanyaan ini, sudah saatnya pula digagas pola dialog antaragama dalam bentuk lain. Pola dialog antaragama yang tidak hanya selesai di seminar-seminar atau buku-buku saja. Bukan sekedar dialog dan toleransi yang melangit dan mewacana, tidak membumi dalam tindakan praktis. Sudah saatnya sekarang merekontruksi pola hubungan antaragama yang secara kongkrit bisa dipraktekkan untuk mengikat pluralitas bangsa Indonesia. Salah satu cara yang mungkin bisa dilakukan adalah dengan tidak melarang atau menghalang-halangi pasangan yang akan melakukan pernikahan beda agama. Sudah tidak dapat ditolerir lagi sikap curiga buta atau ketakutan atas agama lain, karena pluralitas sendiri memang tidak bisa dibatasi termasuk oleh pernikahan. Di samping itu, pelarangan pernikahan beda agama jelas merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena pernikahan adalah hak yang asasi bagi setiap manusia. Setiap orang boleh menikah dengan siapa saja yang dia anggap bisa membahagiakan dirinya dan melangsungkan keturunannya. Lagipula, segala konseksuensi yang ditimbulkan oleh pernikahan akan di tanggung oleh orang yang menjalaninya. Baik atau buruk, duka atau bahagia hanya akan ditanggung oleh para pelaku yang menjalaninya. Karena itulah, seharusnya tidak boleh ada larangan untuk melakukan pernikahan campur. Setiap orang boleh saja menikah dengan pasangan yang berbeda agama asalkan ia meyakini bahwa pasangannya tersebut bisa membahagiakan dirinya. Sama sekali tidak ada urusannya dengan intitusi agama atau bahkan negara. Dilihat dari pertimbangan agama sendiri, pelarangan terhadap pernikahan beda agama merupakan tindakan yang sama sekali tidak bijak, baik berdasarkan ajaran agama Islam mupun Katolik (pembahasan utama tulisan ini). Setiap ajaran agama mengajarkan tentang nilai-nilai dasar kemanusiaan dan cinta kasih. Tentunya, prinsip tersebut sejalan dengan cita-cita pihak yang ingin melakukan pernikahan beda agama, yang memang mendasarkan hubungan atas dasar cinta kasih sesama manusia, tanpa memandang “baju” dan keyakinan apa yang mereka kenakan dan miliki. Dalam Islam, dikenal konsep bahwa Islam adalah agama rahmatan li al-‘alamiin, agama yang memberi rahmat, cinta kasih bagi seluruh alam semesta. Konsep demikian membawa implikasi bahwa setiap mahluk di seluruh dunia, baik yang beragama Islam maupun non-Islam, selayaknya mendapatkan atsar yang baik dari keberadaan agama Islam. Konsep serupa juga dimiliki oleh Katolik. Katolik mendefinisikan dirinya juga sebagai agama penebar cinta kasih. Yesus sebagai pembawa ajaran Kristiani hadir dengan membawa pesan utama cinta kasih terhadap semua manusia. Pesan utama Yesus tersebut tentunya relevan untuk diterapkan dalam pernikahan beda agama. Karena cinta kasih tidak memandang kaya miskin, suku-bangsa, bahasa, budaya, negara dan agama. B. Perdebatan Kontemporer Pernikahan Beda Agama di Indonesia Hampir semua fenomena, pada dirinya sendiri, menyimpan pro dan kontra. Tanpa terkecuali fenomena pernikahan beda agama. Pro-kontra yang meliputi pernikahan beda agama itu sendiri mungkin sudah setua kehadiran berbagai agama, bahkan sejak adanya perbedaan dalam umat manusia. Dalam konteks Islam dan Katolik, kontroversi perihal pernikahan beda agama lebih diwarnai oleh pendapat yang dimiliki oleh kelompok konservatif dan kelompok moderat dalam memahami teks dan penafsiran agama. Pihak pertama adalah golongan yang cenderung menolak terjadinya pernikahan beda agama, sementara pihak kedua menjadi golongan yang menerima. Golongan pertama memandang agama sebagai sesuatu yang “saklek” dan paten, tidak bisa diubah lagi. Beragama adalah menjalani aturan-aturan yang telah tertulis tanpa banyak pertanyaan, dan menganggap bahwa segala ijtihad untuk menyarikan kebenaran secara lebih mendalam dianggap sebagai bid’ah dan menyesatkan. Dalam konteks Islam, perdebatan tentang pernikahan beda agama hingga kini tetap diwarnai dengan penafsiran atas kata Musyriq dan Ahl al-Kitab yang terdapat dalam teks al-Quran. Pihak yang menolak pernikahan beda agama dari kalangan Islam, misalnya, beranggapan bahwa Islam adalah agama yang sempurna, dengan mengutip beberapa ayat al-Quran, seperti an-Nahl: 89.45 Bagi kalangan ini, aturan-aturan pernikahan yang ada dalam al-Quran sudah merupakan aturan yang final dan tidak dapat diubah lagi. Golongan ini berkeyakinan bahwa al-Quran, sebagai kitab suci, sudah mengatur segala aspek pernikahan secara 45 Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama Dalam Syari’at Islam (Jakarta: PT. Kairul Bayan, 2003), h. 14. komprehensif.46 Pemahaman yang dikemukakan cenderung tekstualis tanpa mempertimbangkan konteks perkembangan sejarah. Sebaliknya, pihak yang menerima pernikahan beda agama memiliki pemahaman agama lebih kontekstual. Pihak ini cenderung menganggap bahwa teks agama tidaklah berdiri sendiri tanpa intervensi ruang dan waktu. Sebuah teks agama merupakan hasil kerjasama yang sinergis antara “maksud Tuhan” dengan setting sosial pada waktu teks tersebut diturunkan. Karena itu, untuk bisa menyarikan kebenaran yang sejati dari sebuah teks agama, perlu dilakukan pemaknaan atas konteks saat teks tersebut diturunkan, lalu dihubungkan dengan konteks kekinian. Memaknai kata Musyriq dan Ahl al-Kitab harus juga memperhatikan setting sosial saat teks tersebut diturunkan. Tidak bisa hanya sekedar dimaknai sesuai dengan arti dari kamus atau kitab terjemahan saja. Dari situ, sangat bisa dimaklumi kalau pihak yang menolak pernikahan beda agama memaksudkan Ahl al-Kitab terbatas pada agama-agama Ibrahim (Abrahamic Religions), yaitu Kristen dan Yahudi. Mereka menganggap bahwa hanya agama-agama tersebutlah yang memiliki kitab suci asli dari “langit”. Mereka menganggap bahwa agama-agama selain yang disebutkan di atas bukan berasal dari wahyu Tuhan, melainkan ciptaan manusia. Bahkan, bagi mereka, kaum Kristen dan Yahudi sekarang ini tidak bisa dianggap sebagai Ahl al-Kitab lagi karena terlalu banyak penyimpangan yang dilakukan atas kitab sucinya. Walhasil, kemungkinan untuk melakukan pernikahan beda agama menurut golongan ini sudah benar-benar tidak mungkin. 46 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 14. Pihak yang menolak pernikahan beda agama juga melakukan generalisasi bahwa orang yang menikah beda agama tidak akan berbahagia. Pernikahan tersebut tidak akan bertahan lama. Selain itu, mereka juga mempertanyakan tentang nasib anak-anak yang lahir dari keluarga yang melakukan pernikahan beda agama tersebut47. Di luar perdebatan pemaknaan teks-teks agama, pihak yang menolak pernikahan beda agama kerap menyela pemikiran pihak yang menerima. Mereka beranggapan bahwa pendapat kalangan yang menerima pernikahan beda agama adalah nyleneh dan tidak berdasar.48 Bahkan tak jarang “mengkafirkan” para tokoh yang memperbolehkan pernikahan beda agama. Sedangkan pihak yang menerima pernikahan beda agama menganggap bahwa yang disebut Ahl al-Kitab bukan hanya agama Kristen dan Yahudi saja, tetapi semua agama yang mengakui adanya Tuhan yang Esa, yang memiliki kitab suci sebagai panduan hidup mereka. Dalam kategori ini, maka agama Budha dan Konghucu masuk dalam hitungan. 49 Selain itu, mereka memiliki tafsir tersendiri atas pemaknaan Kafir (atau Musyriq) dan Ahl al-Kitab. Sebutan untuk golongan Kafir selalu merujuk kepada kaum Kafir Quraiys di Mekkah yang selalu menindas kaum Muslim. Juga adakalanya merujuk kepada bangsa yang melakukan invasi kepada Islam seperti bangsa Persia dan Romawi. Perlu dicatat, bahwa bangsa Romawi dan Persia juga beragama Kristen dan Yahudi. Sedangkan istilah Ahl alKitab merujuk kepada kaum non-Muslim yang tidak melakukan invasi atau upaya-upaya yang mengancam keberlangsungan Islam, baik yang beragama Kristen, Yahudi (Abrahamic Religion) maupun lainnya. Bahkan, tercatat 47 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26-27. 48 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 114. 49 Nurcholis Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Fondation, 2003), h. 48. Rasulullah SAW sendiri pernah menikahi wanita non-Muslim yang bernama Mariatul Qibtiyah. Wanita ini beragama Kristen Koptik, atau Kristen dari Syiria. Tipikal kalangan penolak pernikahan beda agama dapat dilihat sebagaimana dicontohkan oleh pandangan-pandangan Budi Handrianto. Budi menyebutkan bahwa pernikahan beda agama adalah haram. Kebahagiaan hakiki berada dalam institusi rumah tangga50. Karena itu, dalam rumah tangga harus dibangun sinergitas antara suami dan isteri. Hal tersebut belum terlaksana bila pasangan suami isteri berbeda agama. Budi juga mempertanyakan pendidikan anak hasil pernikahan campur.51 Budi mengkhawatirkan anak-anak dari masyarakat Muslim akan beralih agama ke non-Muslim karena pernikahan campur. Budi juga mengritik perilaku dari artis-artis yang gemar melakukan pernikahan campur52. Pendapat yang melarang pernikahan beda agama juga diperkuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang telah menerbitkan fatwa mengenai keharaman melakukan pernikahan beda agama. Dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor : 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang pernikahan beda agama, MUI memutuskan bahwa : 1. Pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram hukumnya. 2. Seorang laki-laki Muslim diharamkan mengawini wanita bukan Muslim. 50 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 20. 51 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 26. 52 Handrianto, Pernikahan Beda Agama, h. 30. Tentang pernikahan antara laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kitab sendiri masih terdapat perbedaan pendapat. Namun, dengan mempertimbangkan bahwa mafsadah-nya akan lebih besar daripada maslahatnya, MUI kemudian memfatwakan pernikahan tersebut juga hukumnya haram.53 Fatwa-fatwa yang dikeluarkan baik oleh MUI maupun para ulama Nahdlatul Ulama (NU) dari 1960-an hingga 1990-an tentang pernikahan beda agama ternyata tidak mengalami perubahan dan fleksibilitas yang signifikan. Hampir semua fatwanya berisi penolakan terhadap pernikahan beda agama. Ulama-ulama NU, pada tahun 1962, mengeluarkan larangan pernikahan beda agama, disusul kemudian oleh fatwa yang sama pada 1968 dan 1969. MUI Jakarta mengeluarkan fatwa senada pada 1975, diikuti fatwa MUI pusat pada 1980. Kemudian MUI Jakarta kembali mengeluarkan surat publik yang menegaskan larangan pernikahan beda agama dalam situasi apapun pada tahun 1986.54 Pertanyaan yang muncul adalah mengapa fatwa-fatwa tersebut tidak berubah? Komentar Mohammad Atho Mudzhar menanggapi hal ini menarik untuk disimak: “Dikeluarkannya fatwa oleh MUI yang melarang kaum Muslimin pria dan wanita untuk kawin dengan orang yang bukan Islam bahkan juga dengan orang-orang ahl al-kitab, rupanya didorong oleh keinsyafan akan adanya persaingan keagamaan kendatipun ada kenyataan khusus al-Qur’an yang memberi izin kepada kaum pria Islam untuk mengawini wanita Ahl al-Kitab. Hal ini boleh jadi berarti bahwa persaingan itu sudah dianggap para ulama telah mencapai titik rawan bagi kepentingan dan pertumbuhan masyarakat Muslim, sehingga pintu bagi kemungkinan dilangsungkannya pernikahan antaragama harus ditutup sama sekali.”55 53 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Inddonesia Mesjid Istiqlal, 1995), h. 91. 54 Muhammad Ali, “Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia,” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies 9, no. 3 ( 2002): h. 1. 55 Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988) (Jakarta: INIS, 1993), h. 103. Lebih lanjut dia menilai bahwa fatwa-fatwa tersebut sangat radikal karena selain berlawanan dengan apa yang secara jelas dinyatakan oleh al-Quran juga bertentangan dengan kitab-kitab fiqh klasik yang biasanya dirujuk oleh MUI sendiri untuk membuat fatwa-fatwa. Paparan di atas menerbitkan suatu pemahaman bahwa ternyata fatwafatwa pelarangan pernikahan beda agama muncul dalam konteks ketegangan antara umat Islam dengan umat Kristen yang sudah terjadi berabad-abad. Hal lain dapat juga diutarakan bahwa kemunculan fatwa semacam itu tidak hanya menggambarkan wacana mengenai hukum Islam tapi lebih mencerminkan sikap dan persepsi para pemuka Islam terhadap penganut agama lain. Ini tercermin dari komentar beberapa tokoh Islam ketika mengomentari maraknya pernikahan beda agama dewasa ini. Amidhan, Ketua MUI, berpendapat bahwa pernikahan beda agama harus dihindari karena selain bertentangan dengan Undang-undang Pernikahan Nomor I Tahun 1974, juga dikhawatirkan menimbulkan pergeseran makna pernikahan menurut Islam. Dalam ajaran Islam, pernikahan memiliki makna sakral. Dengan menikah diharapkan terwujud sebuah keluarga yang sakinah. Berdasarkan tujuan pernikahan tersebut maka pada prakteknya akan sulit membangun kelurga sakinah melalui fondasi perbedaan agama dalam satu atap. Al-Quran memang memperbolehkan laki-laki Muslim menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, meski para ulama masih bersilang pendapat. Terlepas dari silang pendapat tersebut yang perlu digarisbawahi adalah motif dari pernikahan beda agama itu sendiri. Kalau motifnya untuk mengagamakan salah satu pasangan ke agama yang lain, maka hal itu jelas bertentangan dengan tujuan suci pernikahan oleh agama.56 Husein Umar, Sekjen Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) berpendapat senada dengan Amidhan. Menurutnya pernikahan beda agama tidak dapat diterima karena bertentangan dengan aqidah Islam dan undang-undang yang ada (UU No. I Tahun 1974 tentang Perkawinan). Islam tidak boleh menganggap sepele masalah pernikahan beda agama. Ada sinyalemen bahwa maraknya pernikahan beda agama di beberapa daerah merupakan bagian dari strategi pemurtadan. Baginya, pernikahan beda agama tidak ada kaitannya dengan toleransi antarumat beragama. Senada dengan itu, Muslimat NU mengemukakan bahwa sebaiknya pernikahan beda agama dilarang secara tegas, tujuannya untuk mencegah pemurtadan dan kehancuran pernikahan.57 Dari komentar tokoh-tokoh Islam yang telah dipaparkan di atas, tak heran apabila orang-orang yang melakukan pernikahan beda agama dianggap telah melanggar cita-cita agama dalam hal memelihara aqidah dan menjaga identitas serta integritas komunitas (dalam hal ini Islam). Quraisy Syihab termasuk salah seorang ulama tafsir yang memaknai Ahl al-Kitab terbatas pada umat Yahudi dan Kristen, baik yang ada sebelum Islam maupun setelah datangnya Islam. Menurutnya, laki-laki Muslim diperbolehkan menikah dengan perempuan Ahl al-Kitab, yakni Yahudi dan Kristen, kalau mereka memang senantiasa menjaga kesucian dan kehormatannya sebagaimana 56 “Ada Motif di Balik Pelaminan,” Tabloid Republika Dialog Jum’at, 15 Agustus 2003, h. 4. 57 “Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda Agama di Kalangan Ulama,” Tabloid Jum’at, 12 September 2003, h. 5. diungkapkan dalam surat al Maidah di atas, (wal muhshshanatu minal ladzina utul kitab). Nada yang berbeda dikemukakan oleh Musdah Mulia. Menurutnya, kekhawatiran sebagian umat Islam akan terjadinya konversi agama dari pihak Muslim jika menikah dengan non-Muslim, berangkat dari sindrom psikologis, yakni umat Islam seringkali dihinggapi rasa tidak percaya diri dan rasa takut yang berlebihan, yang tidak beralasan. Meskipun mayoritas, umat Islam Indonesia cenderung bersikap atau bermental minoritas. Lebih dari itu, kalaupun pernikahan beda agama diperbolehkan, maka umat Islam selalu menginginkan pihak Muslim mampu mempengaruhi pasangannya agar melakukan konversi agama, dan jika terjadi sebaliknya, umat Islam pun menjadi murka dan mengutuknya. Hal ini disebabkan yang pertama identik dengan kemenangan dan yang kedua identik dengan kekalahan, dan umat Islam hanya ingin menang. Lebih parah lagi, sikap dan pikiran yang sangat tidak sehat ini ternyata tidak hanya didapati di kalangan Muslim, tetapi juga di kelompok agama yang lain.58 Budhy Munawar-Rahman menilai bahwa kondisi masyarakat kini yang sangat plural mengakibatkan terjadinya interaksi yang tidak mungkin lagi dikendalikan, ia menjadi tidak terbatas. Maka, menurutnya, negara telah berlaku ekslusif saat menetapkan Undang-undang Pernikahan yang tidak memberi ruang bagi pernikahan beda agama.59 Senada dengan itu, Ulil Abshar Abdala, Koordinator Jaringan Islam Liberal, mengungkapkan bahwa dalam Islam pernikahan beda agama itu tidak ada masalah. Islam, menurutnya, adalah agama 58 Zainun Kamal dan Musdah Mulia, Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan AntarAgama, Oktober 2003, h. 11. 59 “Pernikahan Campuran: Ibu Dominan, Anak Bingung,” Tabloid Republika Dialog Jum’at, 15 Agustus 2003, h. 3. revolusioner. Hal itu terbukti dengan diperbolehkannya pernikahan antaragama meski pada saat itu masih sebatas untuk laki-laki Muslim yang menikahi Ahl alKitab. Revolusi seperti itu harus diteruskan sehingga pernikahan beda agama tidak dilarang. Kesulitan pernikahan beda agama sebetulnya lebih kepada kesulitan birokrasi, bukan kesulitan secara agama. Islam sendiri justru percaya bahwa semua agama itu benar.60 Sedangkan menurut Zainun Kamal, secara eksplisit al-Quran sebenarnya mengizinkan seorang laki-laki Muslim untuk menikah dengan wanita nonMuslim. Hal tersebut disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 5. Zainun mengatakan bahwa dalam ayat tersebut dinyatakan alladzîna ûtu al-kitab, orangorang-orang yang mempunyai kitab suci.61 Zainun berpendapat bahwa al-Quran mengkategorisasikan kaum nonMuslim menjadi golongan Musyriq, Mukmin dan Ahl al-Kitab. Orang Musyriq bisa didefinisikan sebagai mereka yang percaya pada adanya Tuhan tetapi juga mempersekutukan dengan lainnya, serta tidak percaya pada kitab suci dan atau tidak percaya pada salah seorang nabi. Kaum musyrik yang disebut disini adalah kaum musyrik Mekkah dan secara hukum Islam tidak boleh sama sekali dinikahi. Sedangkan Ahl al-Kitab adalah mereka yang percaya pada salah seorang Nabi dan salah satu kitab suci. Teks yang tertera dalam al-Quran surat al-Mâ’idah adalah orang-orang yang diberikan kitab atau Ahl al-Kitab. Golongan ini mempercayai kebenaran kitab suci mereka dan yang diutus kepada mereka adalah seorang Nabi. Maka, 60 61 “Pernikahan Mei Menuai Kontroversi,” Gatra, 21 Juni 2003, h. 19. Petikan wawancara dengan Zainun Kamal, dalam www.islamlib.com. Tanggal akses 29 desember 2007. menurut Zainun, menikahi golongan ini diperbolehkan. Misalnya, orang Budha menganggap mereka punya kitab suci dan Budha Gautama adalah seorang Nabi. Konghuchu, dianggap Nabi dan mempunyai kitab suci. Demikian juga dengan Sintho. Jadi, pemeluk agama-agama tersebut dianggap sebagai Ahl al-Kitab. Begitu juga dengan pemeluk agama Yahudi, yang memiliki kitab taurat dan percaya kepada rasul yang diutus kepada mereka, yakni Nabi Musa. Juga umat Nasrani yang memiliki kitab suci yang rasul. Mengenai persoalan hanya Muslim laki-laki yang boleh menikahi wanita non-Muslim, Zainun mengatakan bahwa hal tersebut perlu untuk ditinjau ulang. Karena pada akhirnya, tanggungjawab untuk mendidik anak ada pada kaum perempuan. Sehingga, dalam pernikahan beda agama, posisi seorang perempuan justru lebih potensial untuk mempengaruhi anak-anak mereka agar masuk agama tertentu. Lebih lanjut, Zainun juga berpendapat bahwa semua agama sebenarnya membawa pesan moral yang sama. Selain Zainun Kamal, tokoh lain yang menerima pernikahan beda agama adalah Drs. Nuryamin Aini., M.A. Ia adalah pengajar pada Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah dan peneliti Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia (PPSDM) UIN Jakarta pada Kamis. Nuryamin menulis tesis untuk meraih gelar MA di Flinders university dengan mengambil tema pernikahan beda agama. Nuryamin melakukan penelitian di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai sasaran penelitian. Alasannya, karena DIY merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya. Dari data tersebut ditemukan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus yang menikah beda agama dari 1000 kasus pernikahan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan justru trend-nya menurun menjadi 12 kasus saja pada tahun 2000. Trend penurunan ini dalam bahasa statistiknya disebut U terbalik. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000. Dari kalangan Katolik, tokoh yang menerima keberadaan pernikahan beda agama adalah Antonius Dwi Joko. Antonius berpendapat memang sebaiknya masyarakat pemeluk agama Katolik tidak melakukan kawin campur. Akan tetapi, mengingat kompleksitas dan pluralitas situasi masyarakat, di mana orang-orang Katolik hidup berdampingan dengan non-Katolik. Selain itu, semangat ekumenis Gereja Katolik untuk merangkul dan bekerjasama dengan pihak-pihak Kristen lainnya, serta kesadaran akan kebebasan beragama, telah mendorong pada pemahaman akan realitas terjadinya pernikahan campur.62 Namun, satu hal yang menjadi amatan penulis dari perdebatan soal pernikahan beda agama, meski tidak akan dijabarkan lebih jauh, adalah kurangnya perhatian terhadap perspektif jender. Ini tak aneh, mengingat pembahasan pernikahan memang kerap bias jender. Dari paparan di atas, tampak bahwa pernikahan beda agama atau pernikahan secara umum cenderung lelaki sentris. Makanya penghalalan pernikahan beda agama oleh beberapa kalangan pun belum dapat melepaskan diri dari pengarus-utamaan laki-laki. Faktanya, kehalalan pernikahan antara lelaki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kitab lebih dilatari oleh alasan bahwa lelaki lebih bisa mendidik dan mengarahkan istri dan anakanaknya, tidak sebaliknya. Di dunia sekarang, hal sebaliknya justru banyak terlihat. Kini, tidak sedikit perempuan (istri) yang lebih mempengaruhi keluarga 62 Antonius Dwi Joko, Pr, “Kawin Campur”, http://yesaya.indocell.net/id1066.htm, diakses pada tanggal 29 Desember 2007. ketimbang suami. Kalau sudah demikian, maka tidak hanya suami tetapi pendidikan anak pun sebenarnya dapat ditentukan atau lebih didominasi oleh peran istri (perempuan). C. Analisis Komparatif terhadap Pernikahan Beda Agama di Indonesia Pernikahan beda agama, sedari awal sudah dinyatakan, menjadi fenomena yang kontroversial baik dalam Islam maupun Katolik. Meski dalam banyak hal, keduanya memiliki perbedaan yang amat jelas, persamaan juga muncul tak kalah banyak. Persamaan ini, secara umum, terlihat minimal pada adanya sumber teks kitab suci yang secara eksplisit melarang pernikahan beda agama dan kemudian ada pula teks kitab suci yang memperbolehkannya dengan spesifikasi persyaratan yang berbeda-beda. Dari sini, persamaan antara Islam dan Katolik, pada saat yang sama juga menyimpan perbedaan. Dua hal ini pada paragraf-paragraf berikutnya akan dieksplorasi lebih detil. Untuk lebih mensistematisasi perbandingan pandangan mengenai pernikahan beda agama antara Islam dan Katolik, berikut disajikan tabel persamaan dan perbedaan sumber dan pandangan kedua belah pihak: Tabel Perbandingan pandangan Pernikahan Beda Agama (PBA) Menurut Islam dan Katolik Aspek Perbandingan Larangan terhadap PBA (Teks Primer Kitab Suci) Pembolehan PBA (Teks Primer Kitab Suci) Islam al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10 al-Maidah ayat 5 Katolik Keterangan Perjanjian Lama: Kejadian 6: 5-6 dan Ulangan 7: 3-4 Perjanjian Baru: Korentus 6: 14, 7:1, dan 7: 12-16 Baik Islam maupun Katolik mempunyai sumber primer Kitab Suci yang menyatakan tidak bolehnya melakukan PBA Islam membolehkan PBA antara laki-laki Muslim dan Perempuan Ahl alKitab dan tidak sebaliknya. Sementara Teks Sekunder Penafsiran Kontemporer tidak ada teks primer Kitab Suci Katolik yang menyatakan bolehnya melakukan PBA Katolik baru menyatakan boleh melakukan PBA Hukum Kanon 1125 pada hukum pendukung Hadits Nabi dan 1126 Kitab Suci dengan persyaratan yang sangat ketat Pandangan kontemporer yang berkembang dalam Islam maupun Katolik tentang PBA bervariasi. Tidak sedikit yang tetap menyatakan tidak boleh, sementara juga bermunculan penafsiran dan pendapat yang menyatakan bolehnya melakukan PBA, bahkan tidak dibatasi oleh jenis kelamin dan syarat-syarat yang memberatkan bagi pasangan pelaku PBA Dari tabel di atas, tampak bahwa baik Islam maupun Katolik sama-sama memiliki teks primer kitab suci yang menyatakan tidak diperbolehkannya melakukan pernikahan beda agama. Namun demikian, Islam secara eksplisit memiliki satu sumber teks pada kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama, meski hanya untuk pernikahan antara laki-laki Muslim dan perempuan Ahl al-Kitab. Di atas segala perdebatan yang muncul tentang pemaknaan kata Ahl alKitab itu, satu hal yang menjadi nilai lebih pada Islam adalah adanya teks kitab suci yang memperbolehkan pernikahan beda agama bagi umatnya. Lebih dari itu terdapat juga salah satu hadits Nabi yang memperbolehkan pernikahan beda agama. Pada titik ini, baik sumber hukum primer (al-Quran) maupun sumber hukum sekunder, pendukung (hadits Nabi) menyatakan bolehnya melakukan pernikahan beda agama. Persoalan tentang pernikahan beda agama dalam Islam ternyata tidak berhenti sampai di situ. Dalam penafsiran baik pada jaman ulama salaf (ulama jaman dahulu) maupun jaman sekarang masih terdapat kekhawatiran akan pernikahan beda agama. Lebih dari itu, kekhawatiran itu kini menjadi lebih tegas dengan munculnya pelarangan pernikahan beda agama. Larangan tersebut datang dengan latar argumen bahwa sudah tidak ada lagi umat yang bisa dikatakan Ahl al-Kitab dan kekhawatiran terjadinya mutasi keimanan dan agama bagi umat Islam yang melakukan pernikahan beda agama. Parahnya, hal itu diperkuat oleh Undang-Undang (UU) perkawinan yang dimiliki oleh Indonesia. UU perkawinan Indonesia terlihat masih membatasi, tidak memfasilitasi, bahkan dapat dikatakan melarang terjadinya pernikahan beda agama. Kalaupun boleh, persyaratan yang musti dipenuhinya begitu berat, hampir-hampir tidak memungkinkan melangsungkan pernikahan beda agama. Untuk yang terakhir ini, tentunya, tidak hanya dialami oleh umat Islam, melainkan juga umat Katolik dan umat agamaagama lain yang ada di Indonesia. Sedangkan dari pemikiran agama Katolik, gereja Katolik menganggap bahwa pernikahan beda agama bukanlah pernikahan yang ideal. Pasalnya, pernikahan dalam agama Katolik dianggap sebagai sebuah sakramen (kudus). Karena itu, Katolik tampak lebih memberikan persyratan yang terlampau ketat bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama. Persoalan Pernikahan beda agama seperti yang diinformasikan kitab Kejadian 6: 5-6 dianggap sebagai pernikahan yang tidak dikehendaki Allah. Ada semacam keyakinan bahwa pernikahan beda agama hanya akan mengakibatkan pada makin bertambahnya dosa dalam kehidupan manusia, bahkan mendatangkan penyesalan dalam hati Tuhan.63 Kitab Ulangan 7: 3-4. menyebutkan bahwa bangsa Israel dilarang kawin dengan bangsa-bangsa di luar Israel. Israel dalam konteks itu artinya umat Kristen 63 Lihat dalam kitab Kejadian: 24. (Katolik) juga tidak boileh menikah dengan bangsa atau umat lain. Namun dalam Hukum Kanonik, sikap gereja Katolik tampak lebih melunak. Meski kemungkinan melakukan pernikahan beda agama disertai dengan berbagai persyaratan yang sama sekali tidak mudah. 64 Kendati begitu, tampak bahwa gereja lebih memiliki keasadaran untuk tidak melarang pernikahan beda agama. Melarang seseorang untuk memilih pasangan hidup merupakan hal yang tidak bijaksana. Dengan kejadian ini Paulus kemudian menulis, “Kalau ada seorang saudara beristrikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah seorang itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang istri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu.” Kembali membincangkan persyaratan yang harus dipenuhi bagi pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama dalam Katolik, hal itu tetap memberatkan. Contohnya, pasangan yang bukan beragama Kristen harus menerima prinsip-prinsip moralitas hidup Kristen yang dijalankan oleh pasangannya, meski tanpa menyebut syarat untuk berganti agama menjadi Kristen. Pernyataan ini sendiri sebenarnya bukan datang dari Tuhan tetapi dari Paulus. Paulus meyakini bahwa ikatan pernikahan semacam ini tetap suci sebagaimana dikatakan Korentus 7:14, “karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh istrinya dan istri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya.” Dispensasi seperti yang disebutkan di atas pun baru bisa dilakukan jika ada izin dari uskup setempat dengan mengikuti pesyaratan-persyaratan yang sudah 64 Ichtiyanto, Pernikahan Campuran dalam Negara Republik Indonesia (Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003), h. 130. ditetapkan. Dispensasi dari uskup ini juga baru dapat diberikan jika di antara kedua pasangan pernikahan beda agama ini mempunyai kesadaran untuk membina keluarga yang baik dan utuh setelah pernikahan, juga untuk kepentingan pemeriksaan guna memastikan tidak adanya halangan pernikahan. Tanpa adanya syarat-syarat tersebut, maka uskup belum bisa memberi izin untuk melakukan pernikahan beda agama. Pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama harus membuat perjanjian lisan maupun tulisan di depan saksi mengenai janji-janji yang sudah dinyatakan. Perjanjian tersebut kewenangannya di pegang oleh wali Gereja. Syarat-syarat diatas harus benar-benar diperhatikan oleh pasangan pernikahan beda agama, karena jika syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka pernikahan itu tidak sah. Di atas segalanya, syarat-syarat yang sedemikian rumit sebenarnya dilakukan sebagai upaya untuk mencegah perpindahan agama dari Katolik ke agama lain. Atau minimal mencegah menurunnya keimanan penganutnya setelah kawin dengan penganut agama lain. Akan tetapi, dikalangan pendeta Katolik, kini, sudah cukup banyak yang berpikiran moderat yang beranggapan bahwa pernikahan beda agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Perbuatan menghalangi cinta kasih dua insan atas nama agama sungguh tidak benar dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena Yesus sendiri datang dengan membawa ajaran mengenai cinta kasih dan perdamaian. Bukan malah membawa umatnya ke dalam kejumudan dalam pergaulannya. Umat Katolik, seyogyanya menyebarkan gagasan-gagasan cinta kasih Yesus kepada pemeluk lain dengan berbagai cara, termasuk jika terjadi hubungan pernikahan dengan umat agama lain. Sedangkan perbedaan antara pandangan Islam dan Katolik pada sumber yang memperbolehkan pernikahan beda agama pada kedua agama tersebut adalah dalam hal jenis kelamin. Dalam Islam, teks al-Quran menyebutkan bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku bagi laki-laki. Sedangkan perempuan tidak diperkenankan melakukannya. Asumsi dari aturan ini adalah, bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang otoritasnya dianut oleh keluarga. Sehingga, upaya untuk membawa anak-anak mereka ke dalam agama Islam akan lebih mudah dilakukan oleh seorang laki-laki daripada perempuan. Meski demikian Islam kemudian menunjukkan perkembangan bahwa pendapat dan tafsir atas hal ini perlu dikaji ulang dengan melihat pada konteks ayat tersebut. Ayat tersebut mungkin relevan jika dikorelasikan dengan konteks turunnya ayat di jaziran Arab pada abad ke enam (6) Masehi. Pada masa itu, dominasi jenis kelamin laki-laki sangatlah kuat. Sedangkan kaum perempuan tidak memiliki daya apapun jika berhadapan dengan laki-laki. Akan tetapi, sekarang ini, asumsi tersebut tidak lagi bisa dijadikan patokan. Seorang ibu, kini, justru lebih dekat dengan anak-anak mereka. Maka peluang untuk menanamkan pengaruh dalam keagamaan menjadi lebih potensial dimilikinya ketimbang sang ayah. Karena itulah kemudian muncul sebuah wacana untuk membebaskan jenis kelamin pihak yang melakukan pernikahan beda agama tersebut. Sementara Katolik tidak mengenal pembedaan jenis kelamin dalam melakukan pernikahan beda agama. Setiap jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, boleh melakukan pernikahan beda agama, asal memenuhi segala persyaratan sebagaimana ditentukan oleh Hukum Kanon. Dalam hal ini, Katolik terlihat lebih egaliter ketimbang Islam yang masih kental patriarkhis. Perbedaan kedua adalah mengenai syarat-syarat untuk melakukan pernikahan beda agama. Dalam pandangan Islam, pernikahan beda agama tidak menuntut persyaratan yang rumit, semua berlaku seperti pernikahan biasa. Akan tetapi, dalam pandangan Katolik, persyaratan yang harus dipenuhi oleh pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama cukup rumit. Harus ada perjanjian lisan maupun tertulis dari pihak yang beragama Katolik untuk tidak berpindah agama. Begitu pula dengan pengasuhan anak-anak mereka. Pandangan Katolik menuntut otoritas mendidik agama anak-anak hasil pernikahan beda agama dalam didikan gereja. Namun kedua agama ini juga memiliki titik kesamaan bahwa pernikahan akan lebih baik dilakukan dengan pasangan yang seiman. Dalam pandangan Islam, disebutkan (al-Baqarah: 221) bahwa wanita budak yang beriman lebih baik dibandingkan dengan wanita Kafir yang merdeka. Disebutkan pula dalam hadis bahwa dalam memilih pasangan ada empat hal yang harus dipertimbangkan; dari aspek, kecantikan, keturunan, kekayaan, dan agama. Dan aspek agama inilah yang paling penting untuk dipertimbangkan. Senada dengan pandangan Islam, pandangan Katolik pun menganggap bahwa pernikahan akan lebih sempurna bila penganut Katolik menikah dengan orang yang seiman. Lebih jauh lagi, dalam menyikapi fenomena keberagaman Indonesia, terutama konteks agama, baik dari kalangan Islam maupun Katolik sama-sama sudah memunculkan pihak yang cukup bijak dengan menganggap pernikahan beda agama sebagai sebuah konsekuensi yang tidak bisa dihindari lagi. Dimensi pluralitas bangsa ini menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi bangsa jika tidak disikapi dengan bijak. Melarang pernikahan antaragama, sama dengan menghilangkan kemungkinan terjadinya akulturasi dan peleburan simpul-simpul sosial bangsa. Tampak bahwa penafsiran paling kontemporer pada kedua agama memiliki kesamaan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang tidak terlarang, bahkan tanpa pembedaan jenis kelamin dan ketatnya persyaratan yang terlebih dahulu harus dipenuhi oleh para pelaku pernikahan beda agama. Sebuah kondisi yang menggembirakan. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari pemaparan pada bab-bab sebelumnya, sebagaimana rumusan masalah yang penulis ajukan di awal tulisan, penulis akan menyimpulkan seluruh isi tulisan ini ke dalam dua pokok permasalahan. 1. Landasan Pernikahan Beda Agama dalam Islam dan Katolik Landasan hukum untuk memutuskan persoalan pernikahan beda agama baik dalam Islam maupun Katolik bersumber pada kitab suci masing-masing. Meski terdapat perbedaan pendapat dalam penafsiran dan sebagainya, baik kitab suci Islam maupun Katolik memiliki kesamaan sikap dalam menjawab persoalan pernikahan beda agama. Islam maupun Katolik beranggapan bahwa pernikahan beda agama adalah sesuatu yang terlarang secara agama. Namun demikian masing-masing menyisakan celah untuk kemungkinan dilangsungkannya pernikahan beda agama. Dalam hal ini, kitab suci Islam, alQuran, menurut penulis, sebagaimana juga diakui Ulil Abshar Abdalla, lebih revolusioner menyikapi fenomena pernikahan beda agama. Meski berjalan secara evolutif, al-Quran kemudian secara eksplisit menyatakan bahwa pernikahan beda agama dalam Islam diperbolehkan. Dalam teksnya, al-Quran menyatakan dengan tegas bahwa lelaki muslim boleh menikahi perempuan Ahl al-Kitab (nonMuslim). Meski masih menyisakan perdebatan hingga sekarang, mengenai siapa saja yang bisa disebut Ahl al-Kitab, banyak pendapat dalam Islam yang menyatakan bahwa Ahl al-Kitab dapat dilekatkan kepada setiap agama, yang mempunyai kitab suci, yang mempunyai tuntunan jelas untuk kehidupan umatnya, tidak hanya untuk Yahudi dan Nashrani, atau lebih sempit lagi hanya untuk Ahl al-Kitab pada jaman Nabi. Teks kitab suci Katolik tidak ada yang menyatakan secara eksplisit mengenai bolehnya pernikahan beda agama yang melibatkan umat katolik. Kemungkinan untuk itu baru ada ketika membaca hukum kanon gereja, itupun pasangan yang hendak melakukan pernikahan beda agama terlebih dahulu diharuskan memenuhi persyaratan yang tidak ringan sebagaimana tercantum dalam kanon 1125 dan 1126. Persyaratan-persyaratan tersebut, menurut penulis, pertanda bahwa Katolik masih memperlihatkan keengganan untuk mengabsahkan pernikahan beda agama. Dengan persyaratan tersebut, Katolik sebenarnya secara tidak langsung mencegah terjadinya pernikahan beda agama atau minimal mencegah menurunnya tingkat keimanan generasi penerusnya. Lebih jauh, dengan disyaratkannya pernikahan beda agama, Katolik mengharapkan agar tidak kehilangan penganut. Hal itu terbukti dengan adanya persyaratan bagi pasangan Katolik untuk menjamin pendidikan anaknya berjalan sesuai dengan iman Kristiani. Untuk kasus ini, Islam sebenarnya memiliki ketakutan yang tidak jauh berbeda. Karena pada faktanya pernikahan beda agama masih sangat sulit untuk dilangsungkan, ditambah sikap gereja dan Kantor Urusan Agama (dalam Islam) yang masih berbeda-beda dalam menyikapi pernikahan beda agama, maka pernikahan beda agama bisa dilaksanakan di Kantor Catatan Sipil. Dalam Katolik, pemberkatan dapat dilangsungkan oleh gereja sesuai dengan peraturan yang berlaku dalam gereja yang bersangkutan. Dalam Islam upacara akad nikah, tidak harus terlebih dahulu dibacakan dua kalimat syahadat, sebagaimana umumnya pada pernikahan sesama muslim. Sayangnya, masih banyak pejabat gereja maupun pejabat KUA yang masih awam dengan penafsiran tokoh-tokoh agama yang secara substantif tidak mensyaratkan kesamaan agama sepasang laki-laki dan perempuan yang hendak melangsungkan pernikahan. Maka pernikahan beda agama, di Indonesia hingga sekarang, masih menjadi sesuatu yang amat sulit untuk dilakukan. Tak heran kalau kemudian banyak pasangan beda agama yang hendak melanjutkan ke jenjang pernikahan menjadi gagal, dan kalaupun tetap kukuh dengan keinginannya untuk menikah melakukan pernikahannya di luar negeri. 2. Keterkaitan Pemahaman Keagamaan terhadap Fenomena Pernikahan Beda Agama dan Hubungan Anta-agama di Indonesia Penafsiran belakangan yang banyak bermunculan, baik di Islam maupun Katolik, menerbitkan secercah harapan untuk pasangan berbeda agama agar dapat membangun hubungan keluarga dalam ikatan pernikahan. Penafsiran demikian tak lain merupakan refleksi berkepanjangan atas fakta pluralitas kehidupan masyarakat Indonesia yang multi agama, bangsa, budaya, bahasa, dan sebagainya. Fakta inilah yang menjadikan pernikahan beda agama tak mungkin lagi untuk dihindari. Lebih dari itu, kini, banyak kasus pasangan yang menikah meski masingmasing pasangan memiliki atau menganut agama yang berbeda dapat membangun sebuah keluarga yang sejahtera, atau dalam bahasa Islam sakinah, mawaddah, warahmah. Keluarga dari pasangan pernikahan beda agama menjadi keluarga yang memiliki kadar toleransi sangat besar. Sikap demikian yang sebenarnya sangat konstrukstif untuk memelihara fakta pluralitas yang ada di Indonesia. Pluralitas tidak bisa disikapi dengan eksklusifitas, melainkan saling menghormati dan toleransi. Akan sia-sia upaya memajukan dialog antar agama kalau umat masing-masing agama tetap merasa eksklusif dengan umat dari agama lainnya. Dari fakta-fakta di atas, ditambah dengan keyakinan penulis bahwa perbedaan agama, bangsa dan keturunan tidak bisa menjadi penghalang terhadap perkawinan, maka, menurut penulis, pernikahan beda agama sudah tidak bisa lagi dilarang. Pernikahan beda agama seharusnya disikapi secara lebih bijak oleh masing-masing tokoh agama. Agama adalah keyakinan dalam hati dan tidak mungkin dapat digoyahkan begitu saja, seperti oleh cinta atau ikatan pernikahan. Tidak boleh ada lagi ketakutan konversi agama dan sebagainya yang semakin mengarah pada sikap eksklusif dalam menyikapi dan memahami agama. Pemahaman agama yang demikian akan berkontribusi positif tidak hanya untuk pernikahan beda agama melainkan untuk hubungan antar-agama secara lebih luas. Agama adalah jalan masing-masing individu untuk memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Sedangkan pernikahan adalah usaha pasangan laki-laki dan perempuan untuk membina sebuah rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Kebahagian rumah tangga, tidak ditentukan secara absolut oleh kesamaan iman atau agama, melainkan komitmen masing-masing pasangan untuk membangun keberlangsungan, keutuhan, dan keharmonisan rumah tangga. B. Saran Dalam tulisan ini penulis menyarankan: 1. Tulisan ini tidak begitu sempurna sebagai kajian pernikahan beda agama, karenanya, bagi yang mau mendalami fenomena ini, disarankan untuk mengakses sumber-sumber lain yang qualified baik dari Islam maupun Katolik, bahkan dari agama-agama lain, terlebih karena tulisan ini hanya berpretensi untuk membahas pendapat Islam dan Katolik. 2. Pembacaan teks-teks keagamaan harus dilakukan secara berimbang, agar tidak terjadi sikap apriori terhadap salah satu agama. 3. Perlunya diciptakan budaya penafsiran teks-teks keagamaan yang konstruktif, berbudaya pluralis dan kontekstual, sehingga tidak sempit dalam memahami agama, tidak ada lagi eksklusivitas suatu agama terhadap agama lain.. 4. Perlu adanya payung hukum yang definitif tentang pernikahan beda agama. Sehingga yang hendak melakukannya tetap bisa merasa tenang dan tidak terkucilkan sebagai warga Negara. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad, dan Rasyid Ridha. Tafsir al-Manar. Beirut: Dar al-Ma’rifah. Tt. Abdullah, M. Amin. “Etika dan Dialog Antar Agama: Perspektif Islam”. Ulumul Qur’an. No. 4. IV. 1993. Aini, Nuryamin. “Fakta Empiris Nikah Beda Agama.” wawancara diakses tanggal 22 Juni 2003, dari http://www.islamlib.com. Ali, Maulana Muhammad. Qur’an Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir. Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyah. 1993. Ali, Muhammad Daud, Perkawinan Campuran Antara Orang-Orang Berbeda Agama Ditinjau dari Sudut Agama dan Perundang-undangan Perkawinan Indonesia, Jakarta: Mimbar Hukum, 1993. Ali, Muhammad. “Fatwas on Inter-faith Marriage in Indonesia.” Studia Islamika: vol 9. no. 3. 2002. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Departemen Agama Republik Imdomesia (Depag RI), 2004. Amal, Taufik Adnan. Tafsir Kontekstual al-Qur’an: Sebuah kerangka konseptual. Bandung: Mizan. 1992. Antonius Dwi Joko, Pr, “Kawin Campur” http://yesaya.indocell.net/id1066.htm tanggal akses 29 Desember 2007. Baso, Ahmad, dan Ahmad Nurchaliolish (Ed.). Pernikahan Beda Agama,; Kesaksian, Argumen Keagamaan dan Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM dan ICRP. 2005. Eoh, Sh, MS., O.S. Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1996. Galib, Muhammad. M. Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya. Jakarta: Paramadina. 1998. Gatra. “Pernikahan Mei Menuai Kontroversi”. 21 Juni 2003. Gautama, Sudargo. Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran. Bandung:Citra Aditya Bakti. 1996. Handrianto, Budi. Perkawinan Beda Agama Dalam Syari’at Islam. Jakarta: Khairul Bayan. 2003. Harahap, Muhammad Yahya. Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. I Tahun 1974 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: CV. Zahir Trading Co Medan). Hindasyah, Linda. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Pelaku. Jakarta: PPIM UIN Jakarta, 2003. Ichtiyanto. Perkawinan Campuran dalam Negara Republk Indonesia, Jakarta: Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2003. Jabari, Al, Abdul Mutaal M. Perkawinan Campuran Menurut Pandangan Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1988. Kamal, Zainun, dan Musdah Mulia. Makalah: Penafsiran Baru Islam Atas Pernikahan Beda Agama. Oktober 2003. Kamal, Zainun. “Fakta Empiris Nikah Beda Agama”. www.islamlib.com. Tanggal akses 29 desember 2007. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII /MPR/1998. Kitab Kejadian. Kitab Kanon Madjid, Nurcholis, dkk. Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat InklusifPluralis. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Bekerjasama dengan The Asia Fondation. 2003. Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: Sekretariat Majelis Ulama Indonesia. 1995. Mudzhar, Mohammad Atho. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia, Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia, 1979-1988. Jakarta: INIS. 1993. Muhdlor, A. Zuhdi. Memahami Hukum perkawinan, Nikah, Talak, Cerai, Rujuk. Bandung: Al-Bayan. 1994. Sriyanto, David. Perkawinan Orang yang Berbeda Agama. Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Thesis. 1992. Suryabroto, Sumardi, Metodologi Penelitian, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Shihab, M. Quraisy. Wawasan al Quran. Bandung: Mizan. 1996. Tabloid Dialog Jum’at Republika. “Ada Motif di Balik Pelaminan”. 15 Agustus 2003. Tabloid Dialog Jum’at Republika. “Galeri Pendapat: Pro-Kontra Nikah Beda Agama di Kalangan Ulama”. 12 September 2003. Tafsir Kitab Kejadian 5: 1 – 12-3. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1987. Thabari, al, Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir. Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil alQur’an. Beirut: Dar al-Fikr. 2001. Trisna, Yonathan A. Berpacaran dan Memilih Teman Hidup. Bandung: Kalam Hidup Pusat. 1987. Ulfa, Maria, dan Martin Lukito Sinaga (ed.) Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama, Perspektif Perempuan dan Pluralisme, Jakarta: Kapal Perempuan, 2004. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Lembaran Negara 1974/1. TLN NO. 3019. Usman, Suparman. Perkawinan Antar Agama dan Problematika Hukum Perkawinan di Indonesia, Serang: Percetakan Saudara, 1995.