BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan meningkatnya angka kasus penyakit degeneratif, masyarakat menjadi
lebih memperhatikan aspek kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
datangnya penyakit yang dapat menurunkan kualitas hidup. Banyak faktor yang
dianggap penting dalam mempengaruhi kesehatan manusia. Salah satu faktor yang
berperan dalam munculnya penyakit degeneratif adalah radikal bebas (Bray,
2000).
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena
mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan. Untuk mengembalikan
keseimbangannya, radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari molekul lain
atau melepas elektron tidak berpasangan tersebut (Dalimartha dan Soedibyo,
1999). Berdasarkan sumbernya, radikal bebas di dalam tubuh dibagi menjadi dua,
yaitu sumber endogen seperti proses metabolisme dan proses penuaan serta
sumber eksogen seperti polusi (Elsayed, 2001; Lachance et al., 2001).
Umumnya tubuh manusia sudah mempunyai mekanisme tersendiri untuk
menangkal pengaruh dari radikal bebas. Asupan buah dan sayur yang mengandung
antioksidan sangat bermanfaat untuk mencegah dan menghambat aktivitas radikal
bebas. Namun kerusakan dalam tubuh tetap terjadi akibat akumulasi radikal bebas
1
sehingga terdapat ketidakseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas dalam
tubuh (Matés et al., 1999).
Antioksidan adalah substansi kimia yang dapat menyumbangkan sebuah
elektron atau lebih kepada radikal bebas sehingga radikal bebas tersebut dapat
diredam (Suhartono, 2002). Berdasarkan sumber perolehannya, ada dua macam
antioksidan, yaitu antioksidan alami dan antioksidan buatan (sintetik) (Dalimartha
dan Soedibyo, 1999). Tubuh manusia memerlukan asupan antioksidan dari luar
karena tidak memiliki jumlah yang cukup untuk menangkal radikal bebas. Namun
ada kekhawatiran munculnya efek samping oleh antioksidan sintetik (buatan)
sehingga kebutuhan antioksidan alami semakin meningkat (Rohdiana, 2001;
Sunarni, 2005). Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus hidroksi pada
struktur molekulnya (Sunarni, 2005).
Salah satu senyawa yang mempunyai gugus hidroksi pada strukturnya adalah
senyawa fenolik. Senyawa fenolik dapat ditemukan di tanaman. Senyawa fenolik
memiliki berbagai macam efek biologis seperti sebagai penangkap radikal bebas
(Goli et al., 2005), antimutagen (de González et al., 1999) dan antikarsinogenik
(Soleas et al., 2002). Penelitian menunjukkan bahwa makanan yang mengandung
senyawa turunan polifenol dari tanaman lebih efektif sebagai antioksidan in-vitro
dibandingkan vitamin C atau E sehingga dapat diasumsikan dapat memberikan
efek signifikan secara in-vivo (Rice-Evans et al., 1997).
Manggis (Garcinia mangostana Linn.) merupakan tanaman tropis yang
tersebar di negara-negara Asia. Buah manggis diyakini sebagai salah satu buah
tropis terbaik yang dijuluki “Queen of Fruits” karena rasanya yang sangat enak.
Kulit buah manggis yang umumnya terbuang dan tidak dikonsumsi dapat
digunakan sebagai obat tradisional karena mengandung senyawa-senyawa tertentu.
Kulit buah manggis mengandung senyawa fenolik, seperti tannin, flavonoid dan
xanthone (Lily dan Judith, 1980; Nonaka et al., 1983; Tapiero et al., 2002; Yu et
al., 2007). Penelitian-penelitian mengenai aktivitas antioksidan kulit buah manggis
sudah cukup banyak dilakukan, hasilnya dirangkum pada Tabel 1 berikut.
Peneliti (tahun)
Ringkasan penelitian
Aktivitas antioksidan dan neuroprotektif ekstrak
kulit buah manggis. Ekstrak air memiliki nilai IC50
sebesar 34,98±2,24 µg/ml; ekstrak etanol 50%
Weecharangsan et al. (2006) sebesar 30,76±1,66 µg/ml; ekstrak etanol 95%
sebesar 58,46±0,98 µg/ml dan ekstrak etil asetat
sebesar 77,84±0,57 µg/ml dengan metode
penangkapan radikal DPPH.
Aktivitas antioksidan dan antibakteri dari bagianbagian tanaman manggis. Ekstrak etanol 50% kulit
Palakawong et al. (2010)
buah manggis setelah dihilangkan tanninnya
memiliki nilai IC50 sebesar 5,94±0,14 µg/ml dengan
metode penangkapan radikal DPPH.
Aktivitas antioksidan dan sitotoksisitas dari
beberapa tanaman di Malaysia dengan beberapa
Ling et al. (2010)
metode, salah satunya adalah penangkapan radikal
DPPH. Ekstrak etanol kulit buah manggis memiliki
nilai 1/IC50 sebesar 9,19±0,02 mg/ml dan ekstrak
air sebesar 0,6±2,36 mg/ml.
Tabel 1. Penelitian-penelitian aktivitas antioksidan kulit buah manggis dengan metode
penangkapan radikal 2,2-difenil-1-pikrilhidrazil (DPPH)
Peneliti (tahun)
Okonogi et al. (2007)
Yu et al. (2007)
Zarena et al. (2009)
Kosem et al. (2007)
Ringkasan penelitian
Aktivitas antioksidan dan sitotoksisitas kulit buah
dari beberapa tanaman di Thailand dengan metode
penangkapan radikal DPPH. Ekstrak etanolik kulit
buah manggis memiliki nilai IC50 sebesar
0,023±0,007 mg/ml.
Isolasi dan pemurnian senyawa dari ekstrak
metanol 70% kulit buah manggis berdasarkan
aktivitas penangkapan radikal DPPH. Sebanyak
tiga senyawa fenolik diperoleh yaitu P1, P2 dan P3.
P1 mempunyai aktivitas sebesar 84,1±1,3%; P2
sebesar 53,5±1,7%; P3 sebesar 70,4±0,5%;
sementara kontrol positif α-tokoferol sebesar
85,3±0,8%; trolox sebesar 14,3±1,1% dan BHA
91,0±1,4% pada konsentrasi 20 µg/ml.
Aktivitas antioksidan kulit buah manggis dengan
berbagai metode. Dengan metode penangkapan
radikal DPPH, ekstrak etil asetat memiliki nilai
IC50 sebesar 30,01 µg/ml; ekstrak aseton sebesar
33,32 µg/ml; ekstrak aseton-air (8-2) sebesar 50,45
µg/ml; ekstrak metanol sebesar 52,62 µg/ml;
ekstrak etanol sebesar 69,43 µg/ml dan ekstrak
heksana sebesar 181,21 µg/ml.
Aktivitas antioksidan dan sitoprotektif dari ekstrak
metanol kulit buah manggis. Dengan metode
penangkapan radikal DPPH memiliki nilai IC50
sebesar 20,50 µg/ml.
Tabel 1. Lanjutan
Penelitian mengenai aktivitas antioksidan kulit buah manggis dengan metode
penangkapan radikal DPPH banyak dilakukan hanya sampai pada tahap ekstrak
metanol atau etanol saja, apakah ekstrak dari beberapa jenis sampel ataupun
disertai uji lain di samping uji antioksidan. Beberapa penelitian sudah melanjutkan
hingga memperoleh ekstrak dari beberapa pelarut dengan tingkat polaritas yang
berbeda seperti yang dilakukan oleh Weecharangsan et al. (2006) dan Zarena et al.
(2009). Ada pula penelitian yang sudah mencapai tahap isolasi dan pemurnian
senyawa dengan berdasarkan aktivitas seperti yang dilakukan oleh Yu et al.
(2007). Namun, proses dalam penelitian tersebut dirasa kurang sistematis karena
pada tahap partisi hanya menggunakan pelarut n-butanol dan air sehingga kurang
mewakili tingkat polaritas suatu senyawa. Oleh karena itu, selain menambah
pengetahuan mengenai aktivitas antioksidan kulit buah manggis, penelitian ini
juga dimaksudkan untuk memberikan proses pemisahan yang lebih sistematis
berdasarkan data aktivitas yang diperoleh dengan metode penangkapan radikal
DPPH. Proses pemisahan yang akan dilakukan dengan partisi menggunakan
pelarut heksana, etil asetat dan etanol 96% sedangkan pemisahan dengan
kromatografi cair vakum menggunakan kombinasi pelarut heksana-etil asetatmetanol.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Fraksi apa dari hasil partisi kulit buah manggis yang mempunyai aktivitas
penangkapan radikal DPPH paling tinggi?
2. Fraksi apa dari hasil kromatografi cair vakum kulit buah manggis yang
mempunyai aktivitas penangkapan radikal DPPH paling tinggi?
3. Golongan senyawa apa di dalam kulit buah manggis yang bertanggungjawab
terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui fraksi hasil partisi kulit buah manggis yang mempunyai aktivitas
penangkapan radikal DPPH paling tinggi.
2. Mengetahui fraksi hasil kromatografi cair vakum kulit buah manggis yang
mempunyai aktivitas penangkapan radikal DPPH paling tinggi.
3. Mengetahui golongan senyawa di dalam kulit buah manggis yang
bertanggungjawab terhadap aktivitas penangkapan radikal DPPH.
D. Tinjauan Pustaka
1. Manggis (Garcinia mangostana Linn.)
Gambar 1. Buah manggis (Garcinia mangostana L.) (Akao et al. 2008)
Klasifikasi tanaman manggis dalam sistematika tumbuhan menurut
Cronquist (1981) adalah sebagai berikut:
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Subkelas : Dilleniidae
Ordo
: Theales
Familia
: Clusiaceae
Genus
: Garcinia
Spesies
: Garcinia mangostana L.
Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu buah favorit
masyarakat Indonesia. Manggis berasal dari hutan tropis yang teduh di wilayah
Asia Tenggara, yaitu hutan belantara Indonesia atau Malaysia. Dari Asia
Tenggara, tanaman ini menyebar ke wilayah tropis lainnya seperti Filipina,
Papua New Guinea, Kamboja, Thailand, Srilanka, Madagaskar, Honduras,
Brazil dan Australia Utara hingga Amerika Tengah. Di Indonesia, manggis
mempunyai nama lokal seperti manggu (Jawa Barat), manggus (Lampung),
manggusto (Sulawesi Utara), manggista (Sumatera Barat). Pohon manggis
dapat tumbuh di dataran rendah hingga ketinggian kurang dari 1.000 m dpl.
Pertumbuhan terbaik pada ketinggian kurang dari 500-600 m dpl. Pusat
penanaman manggis di Indonesia adalah Kalimantan Timur, Kalimantan
Tengah, Jawa Barat (Jasinga, Ciamis, Wanayasa), Sumatera Barat, Sumatera
Utara, Riau, Jawa Timur dan Sulawesi Utara (Prihatman, 2000; ICUC, 2003).
Ukuran manggis secara keseluruhan memiliki diameter 2,5-7,5 cm atau
mirip dengan jeruk keprok. Kulit buah manggis memiliki ketebalan 0,6-1,0 cm
dan mengandung pigmen warna ungu. Buahnya hanya sekitar 25% dari total
bobot manggis, sisanya tidak dapat dimakan, biji maupun kulitnya yang
rasanya pahit. Kulit buah manggis yang tebal telah digunakan hingga saat ini
untuk penanganan radang selaput lendir, sistitis, diare, disentri, eksim, demam,
gangguan intestinal, pruritis dan gangguan kulit lain. Daun tanaman manggis
juga digunakan untuk kombinasi teh dan untuk diare, disentri, demam dan
sariawan. Kulit batangnya juga biasa dipakai untuk masalah genital-urinasi dan
stomatosis (Akao et al., 2008).
Buah manggis disajikan dalam bentuk segar, sebagai buah kaleng atau
berupa sirup/sari buah. Secara tradisional buah manggis digunakan untuk obat
sariawan, wasir dan luka. Kulit buah digunakan sebagai pewarna termasuk
pewarna tekstil dan air rebusannya untuk obat tradisional. Batangnya dipakai
untuk bahan bangunan, kayu bakar atau kerajinan (Prihatman, 2000).
Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang diproduksi oleh
tumbuhan dan umumnya memiliki aktivitas sebagai pelindung bagi tanaman
terhadap serangan hama dan penyakit (Widarto, 2008). Kandungan metabolit
sekunder dalam buah manggis diantaranya adalah triterpen, mangostin, tannin
dan resin. Kandungan metabolit sekunder dalam kulit buah manggis adalah
senyawa fenolik, seperti tannin, flavonoid, xanthone dan substansi bioaktif lain
yang mendukung aktivitas medisnya (Lily dan Judith, 1980; Nonaka et al.,
1983; Tapiero et al., 2002; Yu et al., 2007). Kulit buah manggis memiliki
aktivitas farmakologi diantaranya sebagai antibakteri (Sundaram et al., 1983),
antifungi (Gopalakrishnan et al., 1997), anti-inflamasi (Chairungsrilerd et al.,
1996), dan mampu mencegah proses oksidasi oleh LDL (Low Density Lipid)
melalui penangkapan radikal bebas (Williams et al., 1995).
Xanthone adalah pigmen fenolik kuning yang reaksi warnanya serta
gerakan kromatografinya serupa dengan flavonoid (Harborne, 1987). Xanthone
terdapat pada famili Gentianaceae, Guttiferae, Moraceae, Clusiaceae dan
Polygalaceae. Terkadang terdapat dalam bentuk polihidroksilasi namun
umumnya dalam bentuk mono- atau polimetil eter atau glikosida (Hostettmann
dan Miura, 1977). Xanthone diklasifikasikan menjadi 6 kelompok yaitu
xanthone
sederhana,
glikosida
xanthone,
xanthone
terprenilasi,
xanthonolignoid, bisxanthone dan xanthone dengan substituen lain (Negi et al.,
2013).
Senyawa xanthone yang telah diidentifikasi beberapa diantaranya adalah
1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3-metil-2-butenil-)9H-xanthen-9on dikenal
sebagai alfa mangostin dan 1,3,6,7-tetrahidroksi-2,8bis(3-metil-2-butenil-)9Hxanthen-9on dikenal sebagai gamma mangostin (Jinsart, 1992). Ho et al.,
(2002) meneliti senyawa xanthone yang diisolasi dari kulit buah manggis
menunjukkan aktivitas farmakologi yaitu garcinon E. Lebih lanjut Jung et al.,
(2006)
berhasil
mengidentifikasi
kandungan
xanthone
dari
ekstrak
diklorometana kulit buah manggis yaitu 2 xanthone terprenilasi teroksigenasi
dan 12 xanthone lainnya. Dua senyawa xanthone terprenilasi teroksigenasi
adalah 8-hidroksikudrakxanthone G dan mangostingon, [7-metoksi-2-(3-metil2-butenil)-8-(3-metil-2-okso-3-butenil)-1,3,6-trihidroksixanthone]. Dua belas
xanthone lainnya adalah kudraxanthone G, 8-deoksigartanin, garsimangoson
B, garsinon D, garsinon E, gartanin, 1-isomangostin, alfa-mangostin, gammamangostin, mangostinon, smeathxanthone A dan tovofilin A. Alfa-mangostin
telah diidentifikasi sebagai senyawa yang paling melimpah dan menjadi
perhatian dalam beberapa penelitian (Johnson et al., 2012).
Gambar 2. Struktur dasar senyawa xanthone (Johnson et al., 2012)
Gambar 3. Struktur dari 8-hidroksikudraksanton G (a), mangostingon (b),
kudraksanton G (c), 8-deoksigartanin (d), garsimangoson B (e), garsinon D (f), garsinon
E (g), gartanin (h), 1-isomangostin (i), alfa-mangostin (j), gamma-mangostin (k),
tovofillin A (l), mangostinon (m) dan smeathxanthon A (n) (Nugroho, 2007)
2. Senyawa Fenolik
Senyawa fenol meliputi senyawa-senyawa yang berasal dari tumbuhan
yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil.
Senyawa fenol cenderung larut dalam air karena umumnya senyawa fenol
sering kali berikatan dengan gula sebagai glikosida. Senyawa fenol bebas
relatif jarang terdapat dalam tumbuhan (Harborne, 1987).
Semua senyawa fenol merupakan senyawa aromatik sehingga akan
menunjukkan serapan kuat di daerah spektrum UV. Fenol menyerap di daerah
UV pendek dan dapat di deteksi pada plat silika gel yang mengandung
indikator fluoresensi gelombang 253 nm, akan terlihat sebagai bercak gelap
dengan latar belakang berfluoresensi. Selain itu, senyawa fenol secara khas
menunjukkan pergeseran batokromik pada spektrumnya bila ditambahkan
basa. Analisis dengan spektrofotometri penting, terutama untuk identifikasi
dan analisis kuantitatif senyawa fenol. Cara klasik untuk mendeteksi senyawa
fenol sederhana adalah dengan menambahkan larutan besi(III) klorida 1%
dalam air atau etanol pada larutan sampel yang akan menimbulkan warna
hijau, merah, ungu, biru atau hitam yang kuat. Namun, kebanyakan senyawa
fenol (terutama flavonoid) dapat di deteksi pada kromatogram berdasarkan
warnanya atau fluoresensinya di bawah lampu UV, warnanya diperkuat atau
berubah bila diuapi amonia. Golongan terbesar dari senyawa fenol adalah
flavonoid (Harborne, 1987).
Senyawa flavonoid dapat digambarkan sebagai rangkaian senyawa C6-C3C6. Artinya, kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzena
tersubstitusi) dihubungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995).
Flavonoid adalah suatu senyawa polifenol yang strukturnya berasal dari inti
aromatik flavan atau 2-fenilbenzopiran (Markham, 1982).
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Flavonoid
merupakan senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila di tambah basa
atau amonia sehingga menjadi mudah di deteksi pada kromatogram atau
larutan. Flavonoid mengandung sistem terkonjugasi dan oleh karena itu
menunjukkan pita spektrum pada daerah UV dan spektrum tampak. Flavonoid
umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid yang mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam
beberapa kombinasi glikosida. Karena alasan itu, maka dalam menganalisis
flavonoid biasanya lebih baik bila kita memeriksa aglikon yang terdapat dalam
ekstrak tumbuhan yang telah di hidrolisis sebelum memperhatikan kerumitan
glikosida pada ekstrak asal (Harborne, 1987).
Flavonoid memiliki sifat antioksidan yang sangat kuat. Hal ini dikarenakan
flavonoid mampu bekerja melalui berbagai macam reaksi, di antaranya
menghambat aktivitas enzim seperti ksantin oksidase, myeloperoksidase,
lipooksidase dan siklooksigenase. Di samping itu, flavonoid juga mampu
mengkhelat ion logam, mengkhelat dengan substansi antioksidan lain seperti
askorbat dan yang paling penting adalah menangkap radikal bebas (Pokorni et
al., 2001). Flavonoid terbagi menjadi beberapa kelompok yaitu flavon,
flavonol, isoflavon, flavanon, chalkon dan auron (Mabry, 1970).
Gambar 4. Struktur dasar flavonoid (Markham, 1982)
Gambar 5. Struktur kelompok flavonoid (Mabry, 1970)
Kuersetin merupakan komponen utama dari kelompok flavonol. Saat
bereaksi dengan radikal bebas, kuersetin akan mendonorkan satu proton dan
menjadi radikal, namun elektron tak berpasangannya di delokalisasi dengan
resonansi sehingga radikal kuersetin memiliki energi yang rendah untuk reaktif
(Mariani et al., 2008). Tiga gugus fungsional yang membantu stabilitas
kuersetin dan bersifat antioksidan saat bereaksi dengan radikal bebas: gugus
orto-dihidroksi pada cincin B, gugus 4-oxo yang berkonjugasi dengan 2,3alkena dan gugus 3-dan 5-hidroksi (Hollman dan Katan, 1997). Gugus-gugus
fungsional tersebut dapat mendonorkan elektron ke dalam sistem cincin yang
akan meningkatkan resonansi yang telah dibentuk oleh gugus benzena
(Mariani et al., 2008).
Gambar 6. Struktur kuersetin (Anonim, 2005)
3. Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan cara mengekstraksi
simplisia nabati maupun simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian pelarut diuapkan semua atau hampir semua dan massa atau serbuk
yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah
ditetapkan (Anonim, 2000).
Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia terlarut sehingga
terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Bila zat aktif dalam
simplisia sudah diketahui, maka pemilihan cairan penyari akan lebih mudah
(Anonim, 2000). Kriteria cairan penyari yang baik di antaranya murah dan
mudah diperoleh, stabil secara fisika maupun kimia, inert, tidak mudah
terbakar, selektif
yaitu hanya menarik zat
yang diinginkan, tidak
mempengaruhi zat aktif dan diizinkan oleh peraturan (Anonim, 2000).
Pemilihan metode ekstraksi perlu mempertimbangkan beberapa faktor
seperti sifat simplisia, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi
dan kepentingan dalam mendapatkan ekstrak sempurna atau mendekati
sempurna (Ansel, 1989). Di samping faktor kelarutan, kandungan dan
stabilitas zat aktif juga mempengaruhi pemilihan metode ekstraksi (Voight,
1994).
Metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri atas dua jenis, yaitu
ekstraksi dengan pelarut panas dan ekstraksi dengan pelarut dingin. Salah satu
metode ekstraksi dingin adalah maserasi. Maserasi adalah proses ekstraksi
simlpisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur ruang (kamar). Secara teknologi termasuk
ekstraksi dengan prinsip pencapaian konsentrasi pada keseimbangan. Maserasi
kinetik berarti maserasi dengan pengadukan secara kontinyu (terus-menerus).
Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah
dilakukan penyaringan maserat yang pertama, dan seterusnya (Anonim, 2000).
Metode ekstraksi dengan pelarut dingin yang lain adalah perkolasi, yaitu
ekstraksi dengan penggunaan pelarut yang selalu baru sampai sempurna
(ekstraksi sampai habis) yang umumnya dilakukan pada temperatur ruang
(kamar). Sedangkan metode ekstraksi dengan pelarut panas adalah refluks,
soxhlet, digesti, infus dan dekok (Anonim, 2000).
Banyaknya senyawa kimia dalam ekstrak tanaman yang berupa zat aktif
dan zat ballast, maka perlu dilakukan fraksinasi. Fraksinasi bertujuan untuk
memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki semaksimal mungkin tanpa
berpengaruh pada kandungan senyawa aktif (Anonim, 2000).
4. Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas bersifat sangat reaktif karena
kehilangan satu elektron atau lebih yang bermuatan listrik. Untuk
mengembalikan keseimbangannya, radikal bebas berusaha mendapatkan
elektron dari molekul lain atau melepas elektron tunggal tersebut (Dalimartha
dan Soedibyo, 1999). Radikal bebas dapat mengubah suatu molekul menjadi
suatu radikal sehingga bila bereaksi dengan molekul lain akan membentuk
radikal yang baru dan menimbulkan reaksi rantai (chain reaction). Reaksi
berantai ini bila terjadi di dalam tubuh akan menimbulkan kerusakankerusakan yang serius. Reaksi radikal dapat dijabarkan dalam tiga tahap:
1. Tahap inisiasi
Cl-Cl + 58 kk  2 Cl٠
2. Tahap propagasi
CH3-H + Cl ٠ CH3٠ + HCl
Cl-Cl + CH3٠  CH3Cl + Cl٠
3. Tahap terminasi
Cl٠ + CH3 ٠  CH3Cl
CH3٠ + CH3  CH3CH3
(Fessenden dan Fessenden, 1986)
Radikal bebas dapat memicu perubahan kimiawi dan merusak berbagai
komponen sel hidup seperti protein, gugus tiol non-protein, lipid, karbohidrat
dan nukleotida. Radikal bebas dapat menyebabkan fragmentasi dan crosslinking pada protein sehingga mempercepat terjadinya reaksi proteolisis.
Pengaruh radikal bebas terhadap gugus tiol enzim dapat mengubah aktivitas
enzim tersebut. Struktur DNA dan RNA dapat diubah oleh radikal bebas yang
menyebabkan terjadinya mutasi atau sitotoksisitas. Terhadap lipid, radikal
bebas dapat menyebabkan reaksi peroksidasi, menginisiasi proses otokatalitik
dan akan menjalar sampai jauh dari tempat reaksi awal yang pada akhirnya
akan menyebabkan proses penuaan (Gitawati, 1995).
Sumber radikal bebas yang utama diantaranya berasal dari pembakaran
bahan bakar minyak, radiasi, asap rokok, makanan yang terlalu matang dan
hasil proses normal tubuh (Fessenden dan Fessenden, 1986). Dalam kondisi
normal, tubuh memiliki mekanisme pertahanan terhadap radikal bebas.
Kondisi daya tahan tubuh yang menurun memberikan kesempatan radikal
bebas untuk merusak sel (Gitawati, 1995).
5. Antioksidan
Senyawa-senyawa yang dapat menghilangkan, menangkap, menahan
pembentukan maupun meniadakan efek spesies oksigen reaktif disebut
antioksidan. Antioksidan memiliki mekanisme menghentikan pembentukan
radikal bebas, menetralisir dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi
akibat radikal bebas (Lestariana, 2003). Antioksidan melindungi sebuah bahan
dari proses oksidasi yang merusak. Nama yang tepat adalah inhibitor oksidasi,
namun dikenal secara umum sebagai antioksidan (Pokorni et al., 2001).
Ketika tubuh kita terserang radikal bebas maka antioksidan endogen akan
menetralisirnya sehingga tidak merusak tubuh. Antioksidan endogen ini
dikemukakan oleh ilmuwan Amerika pada tahun 1968 oleh J.M. Mc Cord dan
I. Fridovich menemukan enzim antioksidan alami dalam tubuh manusia yaitu
superoksid dismutase (SOD). Selanjutnya ditemukan enzim-enzim antioksidan
alami seperti glutation peroksidase dan katalase sehingga jumlah radikal bebas
dalam tubuh terjaga. Sedangkan antioksidan eksogen dikonsumsi melalui
makanan atau food supplement untuk membantu tubuh melawan kelebihan
radikal bebas (Sumampouw, 2003).
Berdasarkan perannya, terdapat tiga kelompok sistem antioksidan di dalam
tubuh, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer
adalah antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas untuk menghasilkan
produk yang memiliki kestabilan termodinamis lebih baik. Superoxyde
dismutase (SOD), glutation peroxydase (GPx), dan metal binding protein
termasuk dalam antioksidan yang memiliki mekanisme ini. Antioksidan
sekunder juga dikenal dengan antioksidan pencegah (preventive antioxydant)
yang dapat memperlambat reaksi inisiasi dengan cara memutus rantai (chain
breaking) hidroperoksida. Contoh dari antioksidan ini yaitu vitamin E, vitamin
C, beta-karoten, asam urat, bilirubin dan albumin. Sedangkan antioksidan
tersier adalah enzim-enzim yang digunakan untuk memperbaiki DNA, yaitu
enzim metionin sulfoksida redukase (Wijaya, 1996).
Antioksidan dapat diperoleh secara alami maupun sintetik. Antioksidan
sintetik yang diizinkan penggunaannya adalah ter-butil hidroksi anisol (BHA),
ter-butil hidroksi toluene (BHT), propil galat (PG), ter-butil hidroksi quinon
(TBHQ) dan tokoferol. Tokoferol merupakan antioksidan alami namun telah
diproduksi untuk tujuan komersial. Antioksidan sintetik yang umum
digunakan dalam makanan (BHT, BHA, PG dan TBHQ) diduga memberikan
dampak negatif terhadap kesehatan (Barlow, 1990). Butil hidroksi toluene
(BHT) dan ter-butil hidroksi quinon (TBHQ) dapat menyebabkan keracunan
tertentu serta bertanggungjawab pada kerusakan pada liver dan karsinogenesis
(Amarowicz et al., 2000). Oleh karena itu, Osawa dan Namiki (1981)
menyatakan antioksidan alami lebih aman daripada antioksidan sintetik.
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik
atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat,
kumarin, vitamin C, vitamin E, beta-karoten, tokoferol dan asam-asam organik
polifungsional (Pratt dan Hudson, 1992; Aji, 2009). Senyawa antioksidan
alami polifenolik ini adalah multifungsional dan dapat sebagai pereduksi,
penangkal radikal bebas, pengkelat logam serta peredam terbentuknya singlet
oksigen (Pratt dan Hudson, 1992).
6. Uji Penangkapan Radikal Bebas
Ada beberapa metode pengujian aktivitas antioksidan yaitu: pengujian
aktivitas antioksidan dengan system linoleat, pengujian dengan tes TBA (thio
barbituric acid), pengujian dengan sistem β-karoten-linoleat, pengujian
dengan bilangan peroksida, pengujian aktivitas antiradikal (penangkapan
radikal) menggunakan DPPH atau α, α-diphenyl picrylhydrazil (Pokorni et al.,
2001).
Pengujian aktivitas penangkapan radikal bebas dilakukan dengan cara
mengukur penangkapan radikal sintetik dalam pelarut organik polar seperti
metanol atau etanol pada suhu ruang. Radikal sintetik yang umum digunakan
adalah
2,2-difenil-1-pikrilhidrazil
(DPPH)
dan
2,2’-azinobis-3-etil-
benztiazolin-asam sulfonat (ABTS) (Pokorni et al., 2001). Metode
penangkapan radikal DPPH merupakan metode analisis yang cepat, murah,
sederhana dan hanya membutuhkan spektrofotometer UV-Vis untuk
penerapannya sehingga banyak digunakan dalam penentuan aktivitas
antioksidan (Fagliano, 1999).
Senyawa DPPH merupakan senyawa radikal bebas yang stabil oleh
mekanisme delokalisasi elektron sehingga senyawa tidak mengalami
dimerisasi. Dimerisasi biasa terjadi pada senyawa radikal bebas lain.
Delokalisasi elektron juga memberikan warna ungu gelap, dicirikan dengan
nilai absorbsi maksimum dalam pelarut etanol pada panjang gelombang 520
nm (Molyneux, 2004).
Pada saat larutan DPPH dicampur dengan senyawa yang dapat
mendonorkan atom hidrogen, larutan DPPH akan berubah menjadi bentuk
tereduksi dengan kehilangan warna ungu gelap. Warna kuning yang dihasilkan
setelah reaksi diperkirakan merupakan residu dari gugus pikril pada senyawa
DPPH. Semakin banyak jumlah senyawa DPPH yang dinetralkan maka
semakin terjadi proses dekolorisasi warna ungu gelap (Molyneux, 2004).
(a)
(b)
Gambar 7. DPPH radikal (a) dan DPPH non-radikal (b) (Molyneux, 2004)
7. Kromatografi
Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia
Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam
tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang
berisi kalsium karbonat (CaCO3). Saat ini kromatografi merupakan teknik
pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang
kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis
kuantitatif, kualitatif atau preventif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri
dan sebagainya. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang
menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase)
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Kata kromatografi mempunyai makna warna yang merujuk pada senyawa
pertama yang dipisahkan dengan cara ini, yaitu pigmen hijau tumbuhan.
Berbagai metode kromatografi menghasilkan cara pemisahan paling kuat.
Dasarnya sederhana untuk dipahami, caranya beragam, mulai dari cara
sederhana hingga rumit dan metode ini dapat dipakai untuk setiap jenis
senyawa. Metode kromatografi juga dipakai secara luas untuk pemisahan
analitik dan preparatif (Gritter et al., 1991).
Pemisahan secara kromatografi dilakukan dengan berdasarkan sifat fisika
umum dari molekul. Sifat utama yang terlibat adalah: (1) kecenderungan
molekul untuk melarut dalam pelarut (kelarutan), (2) kecenderungan molekul
untuk melekat pada pemukaan serbuk halus (adsorpsi, penjerapan) dan (3)
kecenderungan molekul untuk berubah ke keadaan uap (menguap, keatsirian)
(Gritter et al., 1991). Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan
terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat teknik
kromatografi: kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT),
kromatografi gas cair (KGC) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)
(Harborne, 1987).
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia. Lapisan yang
memisahkan terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam) yang ditempatkan
pada penyangga berupa pelat gelas, logam atau lapisan lain yang cocok.
Campuran yang akan dipisahkan, berupa larutan, ditotolkan berupa bercak atau
pita. Setelah pelat atau lapisan diletakkan di dalam bejana tertutup rapat berisi
larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama proses
elusi/perambatan/pengembangan (Stahl, 1985).
Deteksi senyawa yang telah terpisah dapat dilakukan dengan mengamati
bercak atau pita di bawah sinar UV λ 254 nm dan λ 366 nm. Jika dengan kedua
cara tersebut tidak terdeteksi, dilanjutkan dengan reaksi kimia menggunakan
pereaksi semprot. Identifikasi senyawa-senyawa pada KLT dapat dikerjakan
dengan reaksi kimia, tetapi lazimnya menggunakan nilai Rf (Retardation
factor). Nilai Rf dihitung dengan membandingkan jarak perambatan bercak
dari titik awal dengan jarak perambatan pengembang dari titik awal. Nilai Rf
berkisar antara 0,00-1,00 dan hanya dapat ditentukan dua desimal. Jarak
pengembangan juga dapat dinyatakan sebagai hRf, yaitu angka Rf dikalikan
faktor 100 (h), menghasilkan nilai berjangka 0 sampai 100 (Stahl, 1985).
Dengan teknik KLT, pemisahan senyawa yang sangat berbeda seperti
senyawa organik alam dan senyawa organik sintetik, kompleks anorganikorganik dan bahkan ion anorganik dapat dilakukan dalam hitungan menit
dengan biaya yang relatif tidak terlalu mahal. Kelebihan KLT yang lain adalah
pemakaian pelarut dan cuplikan yang jumlahnya sedikit, kemungkinan
penotolan cuplikan berganda (saling membandingkan langsung cuplikan
praktis) dan tersedianya berbagai metode [seperti KCP (fase diam berupa
bahan jerap), KCC (fase diam berupa film zat cair)] dan kromatografi eksklusi
(Gritter et al., 1991).
Kromatografi kolom klasik merupakan teknik tertua dari keseluruhan
teknik kromatografi. Fase diam, baik bahan yang jerap (pada kromatografi
cair-padat) atau film zat cair (pada kromatografi cair-cair) pada penyangga di
tempatkan di dalam tabung kaca berbentuk silinder dengan panjang sekurangkurangnya 10 kali diameter dalam. Pada bagian bawah dilengkapi katup atau
keran jenis tertentu untuk mengatur aliran pelarut. Pelarut (fase gerak)
dibiarkan mengalir ke bawah yang disebabkan oleh gaya berat atau di dorong
dengan tekanan. Cuplikan bergerak melalui kolom dengan kecepatan yang
berbeda, memisah dan dikumpulkan sebagai fraksi. (Gritter et al., 1991).
8. Spektrofotometri UV-Vis
Interaksi antara senyawa yang memiliki gugus kromofor dengan radiasi
elektromagnetik pada daerah UV (λ 200-400 nm) dan visibel (λ 400-800 nm)
akan
menghasilkan
transisi
elektromagnetik
dan
spektra
serapan
elektromagnetik. Transisi yang diperbolehkan (allowed transition) untuk suatu
molekul dengan struktur kimia yang berbeda adalah tidak sama sehingga
spektra absorbsinya juga berbeda. Dengan demikian, spektra yang diperoleh
dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis kualitatif. Jumlah radiasi
elektromagnetik yang diabsorbsi sebanding dengan jumlah molekul yang
menyerap sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Penyerapan (absorpsi) sinar UV dan sinar tampak pada umumnya
dihasilkan oleh eksitasi elektron-elektron ikatan sehingga panjang gelombang
pita yang mengabsorpsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang ada dalam
molekul. Bila suatu senyawa organik mengabsorbsi sinar UV atau tampak,
maka di dalam molekul tersebut terjadi transisi elektron dari berbagai macam
tingkat energi orbital molekul tersebut. Transisi yang dapat terjadi adalah:
1. Transisi σ  σ*
Transisi jenis ini terjadi pada orbital ikatan sigma. Energi yang dibutuhkan
untuk transisi ini sangat besar karena mempunyai frekuensi pada daerah
UV vakum (<180 nm) sehingga kurang begitu bermanfaat pada analisis
dengan spektrofotometer UV-Vis.
2. Transisi n  σ*
Transisi jenis ini terjadi pada senyawa organik jenuh dan mengandung
atom-atom dengan elektron bebas. Energi yang diperlukan untuk transisi
ini lebih kecil dibandingkan dengan σ  σ* sehingga memiliki panjang
gelombang yang lebih panjang, yaitu sekitar 150-250 nm. Kebanyakan
transisi ini terjadi pada panjang gelombang di bawah 200 nm.
3. Transisi n  π* dan π  π*
Transisi jenis ini memerlukan molekul organik yang mempunyai gugus
fungsional tidak jenuh sehingga ikatan dalam gugus tersebut memberikan
orbital ikatan π yang diperlukan. Jenis transisi ini paling sesuai karena
memiliki absorbansi pada λ 200-700 nm dan panjang gelombang teknisnya
dapat diterapkan pada spektrofotometer (Sastrohamidjojo, 1991).
Peristiwa konjugasi memiliki pengaruh besar terhadap puncak serapan.
Konjugasi adalah adanya rangkaian ikatan rangkap-ikatan tunggal berselangseling pada suatu molekul organik. Dalam orbital molekul, elektron π
mengalami delokalisasi lebih lanjut dengan adanya ikatan konjugasi. Efek
delokalisasi ini menurunkan tingkat energi π* dan memberikan pengurangan
sifat anti-ikatan. Sebagai akibatnya, panjang gelombang molekul yang
mempunyai ikatan konjugasi akan mengalami pergeseran batokromik.
Absorbansi maksimum suatu senyawa juga dipengaruhi oleh gugus
auksokrom. Auksokrom merupakan gugus fungsional jenuh, memiliki elektron
bebas dan tidak menyerap sinar di atas λ 200 nm. Jika gugus tersebut terikat
pada kromofor maka akan menyebabkan pergeseran batokromik (Gandjar dan
Rohman, 2007).
E. Landasan Teori
Radikal bebas bersifat sangat reaktif karena kehilangan satu elektron atau
lebih. Untuk mengembalikan keseimbangannya, radikal bebas berusaha
mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektronnya (Dalimartha
dan Soedibyo, 1999). Radikal bebas dapat memicu perubahan kimiawi dan
merusak berbagai komponen sel hidup (Gitawati, 1995). Tubuh manusia sudah
memiliki mekanisme alami untuk menangkal radikal bebas dengan adanya
antioksidan endogen, namun seiring waktu terjadi akumulasi radikal bebas
yang tidak dapat lagi di tangkal oleh antioksidan endogen.
Radikal bebas dapat diredam oleh senyawa yang dapat menyumbangkan
satu atau lebih elektronnya (Suhartono, 2002). Senyawa tersebut umumnya
disebut sebagai antioksidan. Antioksidan alami umumnya mempunyai gugus
hidroksi pada struktur molekulnya (Sunarni, 2005). Senyawa yang mempunyai
gugus hidroksi adalah senyawa fenolik yang tersebar luas pada tumbuhan,
salah satunya terdapat pada kulit buah manggis. Kulit buah manggis
mengandung senyawa fenolik kompleks seperti tannin, flavonoid dan xanthone
(Lily dan Judith, 1980; Nonaka et al., 1983; Tapiero et al., 2002; Yu et al.,
2007).
Proses ekstraksi senyawa dengan suatu pelarut berjalan berdasarkan hukum
like dissolves like. Suatu senyawa akan terlarut ke dalam pelarut yang
mempunyai tingkat polaritas yang sama (Harborne, 1987). Pada proses
ekstraksi digunakan pelarut etanol 96%. Selanjutnya, dilakukan proses partisi
dengan pelarut heksana mewakili pelarut nonpolar, etil asetat mewakili pelarut
semipolar dan etanol 96% mewakili pelarut polar. Kemudian, dilakukan proses
pemisahan dengan kromatografi cair vakum menggunakan kombinasi fase
gerak heksana-etil asetat-metanol. Suatu senyawa dengan gugus hidroksi (OH) akan terlarut ke dalam pelarut yang juga mempunyai gugus hidroksi (-
OH). Oleh karena itu, fraksi hasil partisi yang paling aktif diperkirakan antara
fraksi etil asetat dan fraksi etanol 96%. Namun, karena umumnya aktivitas
aglikon lebih baik dari glikosida, sedangkan pelarut etanol 96% dapat menarik
glikosida, maka fraksi etil asetat merupakan fraksi yang paling aktif.
Selanjutnya, dengan alasan serupa, maka fraksi hasil kromatografi cair vakum
yang paling aktif diperkirakan fraksi etil asetat.
F. Hipotesis
1. Fraksi etil asetat hasil partisi memiliki aktivitas penangkapan radikal DPPH
paling tinggi.
2. Fraksi etil asetat hasil kromatografi cair vakum memiliki aktivitas penangkapan
radikal DPPH paling tinggi.
3. Golongan senyawa yang bertanggungjawab terhadap aktivitas antioksidan
adalah golongan senyawa fenolik.
Download