PELANGGARAN HAM BERAT DAN HUKUMANNY A MENURUT STATUTA ROMA Oleh : Sylvester K:tn~~~, SS., M.Pd. Bandnng, .Juni 2005 Tulisan ini dibuat sebagai scbuah kajian pustaka / penclitian pribadi mengenai Konvensi Internasional mengenai pcrlindungan Ham dalam Statuta Roma. PELANGGARAN HAM BERAT DAN MENURUT STATUTA HUKUMANNI..¥~ ..... , \~A$JI~ ROMA<I'~\.\ Oleh : Sylvester Kanisius Laku, SS., M.Pd. "f i .. >'1' _:,!;-.'i$ 1. PENDAHULlJAN 1.1. Latar Belakang Sudah tidak asing Jagi bagi kita mendengar berita tentang kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), entah ringan entah beraL Perhatian manusia terhadap realitas penegakan kemanusiaan secara gJobal semakin gencar justru ketika hak-hak kemanusiaan secara sengaja diabaikan atall bahkan disisihkan dengan aJasan politik, sosial, mallplln ekonomi. Bahkan di negara-negara, seperti Asia pada umumnya, yang menoJak konsep Hak Asasi Munusiu kurcnu diunggup scbugui produk Bamt dan bahwa konscp HAM hanya rasional berlaku secara reJatif sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan lokal mulai menaruh perhatiannya yang amat besar terhadap realitas hak asasi manusia ini (Geom·ey Robertson QC, 2000 • xvi) Harus kita akui bahwa pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun. Hal ini terutama karena hak-hak asasi tersebut merupakan hak dasar manusia yang dibawanya sejak lahir dan bahkan secara teologis ditafsirkan bahwa hak-hak asasi tersebut secara kodrati merupakan anugcrah Tlihan (F. Magnis Suseno, 2000 14-21). Maka dapat dikatakan bahwa, hormat terhadap bak-hak asasi manusla, yang menentukan martabat seseorang sebagai manusia, berarti juga hormat terbadap Allah sang pencipta-Nya. Dengan dell1ikian dari sudut pandang teoJogi, pelanggaran terhadap kemanllsiaan berarti juga peJanggaran terhadap niJai hormat dan taat pada TlIhan sebagai sang Pencipta hidllp manusia. Dewasa ini telah banyak refleksi tentang kell1anusaian dituangkan secara konseptual dalam beragam teori, baik t1losotls maupun teologis, dan dirumuskan dalam bcrbagai kesepakatan dan kovcnan internasional Il1cngcnai perlindungan tcrhadap hak azasi ll1anllsia sebagai sesuatu yang sangat pcrll! dan ll1endesak. Tapi sayangnya, sebagaimana terekam daJall1 tulisan Geoffrcy Robertson (2000 xix), bahwa ll1asih banyak ncgara yang belull1 melakllkan ratifikasi terhadap konvensi internasional tentang kemanusiaan tersebllt dan bahkan ada yang ll1enoJak untuk ikllt Il1cndandatanganinya seperti Amerika serikat, Cina, maupun Lybia Pelanggaran HAM berat tentu akan dikategorikan sebagai kejahatan dan sebuah tindakan yang biadab bagi mereka yang punya hati nurani karena tindakan-tindakan tersebut meniadakan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat dalam diri manusia sehingga ia layak disebut manusia dan mengabaikan harkat dan martabat manusia yang ada secara kodrati dalam diri manusai sejak ia lahir. Pelanggaran HAM bera! tentu tidak dapat ditoleransi olch siapapunjuga dan bangsa manapun juga. Konsep HAM tidak dapat lagi dilihat secara relatif partikular, tetapi mempakan sebuah horizon yang diperluas yang dapat mencakup aspekaspek kemanusaian secara fundamental dan universal. Kefundamentalannya itulah yang menjadikan manusia sebagai menusia perlu dilindungi secara legal-formal, baik melalui hukum maupun Undang-Undang, nasional maupun Internasional. Kejahatan terhadap kemanusiaan selalu mengundang kutuk dan amarah bagi mcreka yang merasa bahwa nilai-nilai kemanusaiaan hams dihormati dan dilindungi, tetapi tidak sedikit mereka yang mengutuk dan marah itu justm menjadi biang dari segala perlakuan keji terhadap kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa secara teoretis-konseptual semua manusia mengakui bahwa hak-hak dasar kemanusiaan hams dilindungi dan dijaga, tetapi secara praksis-kontekstual kerap kali rnanusia lebih dibimbing oleh ego dan keserakahannya sehingga membutakan tidak saja mata lahir, tetapi juga mat a hati, yang sehumsnya menjadi penuntun dan panduan segal a tindakan dan prilaku manusia. Sejak pengadilan Nuremberg' pelanggaran terhadap HAM disebut kejahatan terhadap Kemanusiaan Tulisan ini hendak mengangkat dan mengkaji persoalan pelanggaran HAM berat yang dilakukan temtama oleh para pejabat, baik sipil maupun militer, terhadap warga sipil dalam sebuah negara atau terhadap sebuah ncgara oleh negara lain sebagaimana yang dimaksudkan dalam Statuta Roma sebagai sebuah konvensi internasional mcngenai pembentukan Mahkamah Pidana internasional yang berwcnang mengadili para pclaku kejahatan pelanggaran HAM, sebagai sebuah upaya global perlindungan terhadap kemanusiaan dalam segala aspek hidupnya yang paling dasariah. ini menunjukkan sliatu I JcJTrey Robertson QC dalmn bukunya Kcjahatan Tcrhadap Kcmanllsiaaan, 2000, him. Xiv menjeiaskan bahwll Pcngadilan Nuremberg adalah scbuah pcngadilan intcmasional y<l1lg dibcntuk sccara kondisional untuk mcngadili dan mcnjatuhkan hukuman bagi para tokok Nazi atas kebiadaban mcrcka tcrhadap bangsa Yahudi. Untuk pcrt<lm<l kalinya cia lam pcngadilan Nuremberg terscbut pelanggaran tcrhadap kcmanusiaan dikatcgorikan scbagai bcntnk kcjahalan tcrhadap kcmanusiaan (crims against humani~"Y'). Tuduhan kejahatan tcrhadap kcmanusian eli sini bcrbcda dcng<)fl kcjahatan pcrang yang di1akukan olch ncgara-ncgara poros non-sckutu dan para tawanan pen-mg. Logjka dan k~jahatan tcrhadap kcmanusian yang clidcfinisikan dalam pasal 6 (c) Piagam Nuremberg adalah alat negara yang mengesahkan siksaan atau pembuI1uhan massal (genocide) alas rak~:al mereka sendiri, yang hams dipcrt~lI1ggungjawabkan secara krimjnal dalam hukum intcrnasional dan clapa{ clikcnakan hukuman olch pcngadilan manapun y:mg clapat menangkap mercka. 2 kemajuan yang sangat pesat di bidang perlindungan terhadap HAM di saat dimana harapan akan masa depan manusia yang baik dan terhormat semakin diragukan. Deflnisi tentang pelanggaran berat HAM mengikuti definisi yang dikemukakan dalam Statuta Roma ini dapat dipahami bahwa kategori sebuah kejahatan dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau sebagai pelanggaran berat HAM bila tindakan kejahatan itu melibatkan sekelompok orang tertentu, yang atas perintah atasan, pimpinan, komandan, atau orang tertentu berupaya secara sistematis untuk melenyapkan sekelompok manusia lainnya terutama karena alasan politik. Karenanya, dalam tulisan ini fokus permasalahan yang akan kami kemukakan dan menjadi dasar pijakan pembahasan dan anal isis kami berkisar di seputar permasalahan pelanggaran terhadap HAM sebagaimana yang dimaksud dalam Stauta Roma, yaitu keempat masalah serius yang menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan di atas. 1.2. Statuta Roma; Mahkamah Pidana Intemasional. Tanggal 17 Juli 1998, dalam konfrensi Diplomatik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menghasilkan satu langkah penting dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu disetujuinya Statuta Roma (Jerry Fowler dalam £Isam, 2000:viii) Statuta Roma, sebuah perjanjian untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal COllrt) untuk mengadili tindak kejahatan kemanusiaan dan memutus rantai kekebalan hukum (impunity) Dari 148 negara peserta konfi'ensi; 120 mendukung, 7 menentang dan 21 Abstain. Statuta Roma sebenarnya adalah sebuah dokumen yang panjang dan rinci yang terdiri dari 128 pasa!. Statuta tersebut tidak akan berlaku efekif sampai diratifikasi oleh 60 negara (£Isam, 2000ix). Ini jelas merupakan suatu prosedur yang panjang dan mustahil dapat tercapai dalam beberapa tahun saja. Menurut catatan GefTrey Robertson (2000 : 399) hingga Maret 2000, telah terkumpul 93 tanda tangan dan baru 7 negara yang meratifikasinya. Tetapi mcnurut informasi dari sumber £Isam, hingga September 2002 telah ada negara yang meratifikasi Statuta ROll1a dan itu tidak terll1asuk Indonesia. Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah 5atu negara yang menjllnjung nilai kemanllsiaan merupakan salah satu negara bersama dengan China dan Irak- yang mcnolak disahkannya statuta roma Statuta ROll1a telah menjadi momentum penting di akhir milenium II clan mcnjadi sebuah titik pergerakan baru terhadap upaya penegakkan Hak Aasi Manusai di awal " .l milenium III yang membangkitkan kembali harapan masyarakat dunia akan pengakuan terhadap hak-hak dasar individu sebagai manusia. Menurut Get1fey RobcI1son (2000 400), sebetulnya gagasan untuk membentuk sebuah Pengadilan Pidana Intemasional sudah dimulai pada tahun 1937 oleh Liga BangsaBangsa (LBB). Ketika itu dibuat konsep rancangan statuta untuk mengadili para teroris internasionaL Setelah Konvensi Genosida tahun 1948 rancangan statuta mulai dipersiapkan oleh Komisi Hukum Intemasional, namun proyek tersebut dibekukan ketika tetjadi perang dingin dan banI digulirkan lagi ketika Gorbachev mengusulkan agar rancangan statuta tersebut dijadikan sebagai Undang-Undang anti terorisme. Pada tahun 1993 majclis Umum PBB meminta kepada Komisi Hukum Intemasional untuk meneruskan proyek tersebut dan mcnyelesaikan rancangan mengenai stat uta. Baru pad a tahun 1998 kesepakatan komunitas internasionaL yang diwakilkan oleh 148 negara yang hadir, meskipun 7 menolak dan 2 I abstain, untuk membentuk scbuah pengadilan pidana internasional telwujud dan membuka lagi keran penghormatan, pengakuan, dan penegakkan terhadap nlai-nilai kcmanusiaan secara universal dan mendasar. Dalam stat uta ini juga menjelaskan beberapa hal tentang struktur mahkamah, jenis pelanggaran, penyelidikan dan penuntutan, persidangan dan hukuman serta beberapa hal penting lainnya. Beberapa mahkamah yang telah dibentuk untuk berbagai kasus pelanggaran berat HAM: I. International Criminal Tribunal for Yugoslavia (ICTY), dibentuk pada tahun 1993 2. International Criminal Tribunal for Rwanda (lCTR), dibentuk oleh Dewan Keamanan 1994. 1.3 Daftar Negara Pe-I'atifikasi Statuta Roma (sid 05 Mei 2003) Memang sengaja kami menampilkan daftar peserta atau negara yang sudah meratifikasi Statuta Roma sebagai suatu bentuk partisipasi internasional untuk ikut terlibat secara aktif dengan mengikatkan diri dalam ketentuan yang berlaku dalam statuta. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan statuta, yang pada waktu itu dclegasi Indonesia dipimpin oleh Prof Muladi, S11, yang pad a waktu itu menjabat mentcri Kehakiman tidak termasuk dalam danar terscbut. Bahkan rencana Indonesia untuk meratilikasi Statuta Roma sampai akhir 2007 ini belum terlaksana. Itu berarti Indonesia belum menjadi negara pihak yang secara hukum wajib mcnaati ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam statuta. 4 Dalam tabel di bawah ini kami sertakan negara-negara peratifikasi Statuta Roma dan didalamnya tidak termasuk Indonesia. Tampilan ini sekedar sebagai sebuah informasi dan sekaligus gambaran bahwa dari banyak negara peserta penandatangan Statuta masih sangat scdikit yang mau mcngikatkan diri secara penuh dnegan ketentuan-ketentuan yang ada dalam statuta tersebut Ini menunjukkan bahwa negara-negara lainnya masih rnernpertirnbangkan seeal-a hati-hati segala aspek yang memungkinkan mereka menjadi negara pihak. Tabel I No. I 2 3 4 5 6 7 8 <) 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Nama Negara Senegal Trinidad and Tobago San Marino Italia Fiji Ghana Norwcgia Belize Tajikistan Iceland Venezuela Perancis Belgia Kanada Mali Lesotho New Zealand Botswana Luxembourg Sierra Leone Gabon Spanyol Afrika Selatan Kepulauan Marshall erman Austria Finlandia Argentina Dominica Andorra 'ranggal Tanda-tangan 2 Februari 1999 6 April 1999 13 Mei 1999 26 Juli 1999 29 November 1999 20 Desember 1999 16 Fcbruari 2000 5 April 2000 5 Mei 2000 25 Mei 2000 7 Juni 2000 9 Juni 2000 28 Juni 2000 7 Juli 2000 16 Agustus 2000 6 September 2000 7 September 2000 8 September 2000 8 September 2000 15 September 2000 20 September 2000 24 October 2000 27 November 2000 7 Desember 2000 11 Desember 2000 28 Desember 2000 29 Desember 2000 8 Februari 2001 12 Februari 2001 30 April 2001 5 31 32 33 34 35 36 37 38 39 fcI0 41 42 43 44 45 46 47 f:\8 f:\9 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 Paraguay Kroasia Costa Rica Antigua & Barbuda Denmark Swedia Belanda Yugoslavia Nigeria I jechtenstein Republik Afrika Tengah Inggris Swiss Peru Nauru Polandia Hungary Slovenia Benin Estonia POItugal Ekuador Mauritius Macedonia, FYR Cyprus Panama Bosnia-Herzegovina Bulgaria Kamboja Republik Demokratik Kongo Irlandia Yordania Mongolia Niger Romania Slovakia Yunani Ugall(Ja Brazil Namibia Bolivia Uruguay Gambia 14 Mei 2001 21 Mei 2001 7 Juni 2001 18 Juni 2001 21 JlIni 200 I 28 Juni 200 I J7 Juli 200] 6 September 200 I 27 September 2001 2 October 2001 3 October 2001 f4 October 200 I 12 October 200 I 10 November 200 I 12 November 200 I 12 November 200 I 30 November 2001 31 Desember 200 I 22 Januari 2002 30 Janllari 2002 5 Februari 2002 5 Februari 2002 5 Maret 2002 6 Maret 2002 7 Maret 2002 2 I Maret 2002 II April 2002 II April 2002 II April 2002 I I April 2002 I I April 2002 11 April 2002 II April 2002 I I April 2002 I I April 2002 ] I April 2002 15 Mei 2002 14 JUlli 2002 20 Juni 2002 ?5 Juni 2002 27 Juni 2002 28 Juni 2002 28 Juni 2002 6 74 75 76 77 78 79 80 81 128 Juni 2002 1 Juli 2002 1 Juli 2002 5 Agustus 2002 120 Agustus 2002 ki September 2002 16 September 2002 19 September 2002 Latvia Australia Honduras Colombia fianzania Timor Leste Samoa Malawi Sumber, Eisam, 2003. III. Pelanggaran ham berat berdasarkan Statuta Roma dan Undang-Undang RI No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM 3.1 Pelanggaran HAM Berat Mellurut Statuta Roma Ada empat jenis tindak pelallggaran serius yang menjadi perhatian internasional, dengan indikasi dan ciri-cirinya masing-masing. Keempat jenis kejahatan tersebut adaJah I. Kejahatan Genosida (Genocide) 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) 3. Kejahatan Perang (War crimes) 4. Kejahatan Agresi (Aggression) Kami akan membahasnya satu-persatu di bawah i ni 3.1.1 Gellosida (Genocide). Genosida adaJah kejahatan yang paling pertama menarik pcrhatian dunia internasional, yaitu dengan dibentuknya Konvensi Genosida pada tahun 1948 sebagai implikasi dari pengadilan Nuremberg yang mengadili para pemimpin Nazi yang menyerang secara sistematis kelompok masyarakat Yahudi (Geoftfey Robertson, 2000281). Pasal I konvensi tersebut menyatakan bahwa genosida yang di lakukan pada masa damai alau perang adaJah kejahatan yang dilakukan dibawah hukum internasionaL Definisi genosida menuru( konvensi ini , lanju( Geoffrey (2000 : 281-282), adalah suall! tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional, etnis, ras, at au agama, atas salah satu clari lima tindakan berikut ini, yaitu: (a) membunuh anggota kclompok; (b) menyebabkan cacat tubuh atau mental yang serius lerhadap anggota kelompok; 7 (e) Seeara sengaja dan tereneana mengkondisikan hidup kelompok ke arah kehaneuran fisik seeara kesclurllhan atall sebagian; (d) Memaksakan langkah-langkah yang ditujllkan untuk mcncegah kelahiran di dalam kelompok tersebut (e) Dengan paksa memindahkan anak-anak kelompok tersebut ke kelompok lain Definisi ini menccrminkan pemikiran kontemporer dengan kebijakan genosida Nazi terhadap kaum Yahlldi sebagaimana terungkap dalam pengadilan Nuremberg Definisi ini menu rut Geot1i'cy (2000 282) cllkup luas untuk melingkupi pcmbersihan ctnis dan pcmbersihan massal agama, Pada pasal 6 Statuta Roma genosida didefinisikan dengan istilah yang sama yang dipakai pada Konvensi Gcnosida tahun 1948, Unsur penting yang harus dibuktikan adalah adanya 'tujuan untuk menghancurkan baik sebagian meupun seluruhnya dari suatu negara, kelompok etnis, kelompok ras atau agama, atau kelompok semacamnya (Elsam, 2000 • 5) Selain melalui pembunuhan alau penyiksaan, aksi penghancuran yang dilakukan yang dikategorikan sebagai pelanggaran berat terhadap HAM adalah upaya untuk membuat penderitaan hidup yang berakhir dcngan kematian dan 'secm'a paksa' mcmindahkan anakanak dari datu kelompom ke kelompok lainnya. Kelompok yang dimaksudkan menurut Geoffrey (2000 A I 0) tidak termasllk dalam pengelompokan sosial at au politik. Karenanya, ia mencontohkan dalam kasus lendral Videla, yang secar keji mcmerintahkan untuk menculik bayi-bayi dari ibu-ibu anggota sayap kiri di Argentinadan menyerahkan mcreka kepada anggota tcntara yang setia, tidak dapat didakwa atas genosida. Pcnckanannya terutama pada tujuan dari pcnghancuran tersebut adalah untuk meusnahkan umat manusia berdasarkan ras mereka alau perbedaan mendasar yang terdapat dalam kelompok tersebllt. 3.1.2 Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crime Againts Humanity) Istilah kejahatan terhadap kemanusian (Crime Againls HIJmaniZv) peJ1ama kali digunakan dalam Piagam Nuremberg. Piagam ini merllpakan pCljanjian multilateral antara Amerika Serikat dan sekutunya setelah Perang Dlinia II berakhir. Mereka (Amcrika Serikat dan sekutunya) menilai bahwa para pelaku (NAZI) dianggap bCJ1anggung jawab terhadap kejahatan terhadap kemanllsiaan pada rnasa tersebut. Detinisi Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam pasal 7 ayat I statuta roma berisi definisi tentang kejahatan tcrhadap kemanusiaan, Aksinya scndiri sebagaian besar adalah 8 kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, yaitu pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, penyiksaan, dan pengasingan lndikasi ataupun ciri-ciri dari kejahatan terhadap kemanusiaan ini adalab bahwa kejahatan itu dilakukan secara sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis, yang melibatkan banyak pihak, dan ditujukan kepada setiap penduduk dengan mengikuti dorongan kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu. Penekanannya adalah pad a kejahatan yang dilakukan secara sistematis dengan mengikuti kebijakan yang disusun, baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi, dan bukan pada kejahatan yang terjadi secara spontan yang merupakan sebuah kriminal biasa. Pasal 7 ayat I Statuta Roma dan pasal 9 UlJ No. 26 Pengadilan HAM th. 2000 terdapat sedikit perbedaan tetapi secara umum memuat prinsip bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas at au sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa a. Pembunuhan; b. Pemusnahan; c. Perbudakan; d. Pengusiran at au pemindahan penduduk secara paksa; e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; f g. Penyiksaan; Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang h. r setara; Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu at au perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; J. Penghilangan orang secant paksa; atau 9 k. Kejahatan apartheid. Pelaku kejahatan terhadap kcmanusiaan bisa jadi aparat / instansi ncgara, atau pclaku non negara. Detinisi kejahatan terhadap kemanusiaan di Indonesia masih menimbulkan beberapa perbedaaan. Salah satunya adalah kata serangan yang meluas atau sistematik. Sampai saat ini istilah tersebut masih mcnimbulkan banyak perbedaan pandangan bahkan kekaburan. Pengertian sistematik (systematic) dan meluas (wide.lf)read) menurut M. Cherif Bassiouni dalam bukunya yang berjudul Crime AgainlS Humanity Oil International Crimillal loCTW; sistematik mensyaratkan adanya kebijakan atau tindakan negara untuk aparat negara dan kebijakan organisasi untuk pelaku diluar negara. Sedangkan istilah meluas juga merujuk pad a sistematik, hal ini untuk membedakan tindakan yang bersifat meluas tetapi korban atau targetnya acak. Karban dimana memiliki kateristik tertentu misalnya agama, ideologi, politik, ras, etnis, atau gender. Yang memisahkan kejahatan terhadap kemanusiaan, batik dalam kelicikannya atau dalam kebutuhannya akan peraturan-peraturan khusus tentang penolakan terhadapnya adalah suatu fakta yang sederhana, yaitu bahwa kcjahatn itu merupakan suatu aksi brutal yang nyata-nyata dilakukan oleh pemerintah atau setidak-tidaknya oleh orgamsasI yang melaksanakan atau mcmaksakan kekuasaan politiknya. Yang menjadikan kejahatan itu sangat mengerikan dan menempatkan kejahatan ini dalam dimensi yang berbeda dari kejaghatan biasa adalah bukan apa yang ada dalam pikiran si pelaku penyiksaan, meJainkan kenyataan bahwa individu yang melakukan tindakan kejahatan tersebut merupakan 'bagian dari aparat ncgara' (Geot1i-ey Roberson, 2000 • 416). 3.1.3 Apartheid Apartheid adalah sebuah sistem pemisahan berdasarkan ras, agama dan kepercayaan, diskriminasi etnis dan pemisahan kelas sosial, dimana kelompok mayoritas mcndominasi kelompok minoritas. Karakteristik yang muncul ada lab pemisahan secara fisik serta wilayah setiap ras, kemudian diskriminasi terhadap distribusi servis dan jasa publik. Apartheid mcmaksakan sebuah praktek yang mirip dcngan pcrbudakan dalarn bcrbagai bagian kebidupan berdasarkan karakteristik berbeda, seperti ras. Apartbeid adalab pelanggaran terbadap hak asasi manusia dan merupakan kejahatan lnternasional. 10 3.1.4 Kejahatan Perang Pasal 8 Statuta Roma mcmiliki dcfinisi yang panjang tcntang kejahatan perang, yaitu bahwa scbuah kejahatan dikatcgorikan sebagai kcjahatan perang apabila 'dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan, atau bagian dari skala besar perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut. Geoffrey Robertson (2000 • 416) membagi pasal 8 Statuta Roma ini menjadi empat kategori, yaitu 1). Kategori pertama rasal 8 (2)(a) yang melipllti semua pelanggaran berat terhadap Konvensi Gcnewa 2 1949 2). Kategori kedlla, yaitu pasal 8 (2) (b) yang meliputi pelanggaran yang berat terhadap hllkulll dalam kerangka hukum internasional. Kategori ini saat ini Illeliputi juga serangfan at as pasukan perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan di bawah naungan PBB (sub-paragraf ii), serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui bahwa serangan itu Illenimbulkan kematian atau cidera terhadap penduduk sipil, atau mengakibatkan kerusakan sangat berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan nasional yang secara tegas melampaui batas dan kaitan dengan tujuan militer manapun (subparagraf iv), serangan secara sengaja terhadap target non-mil iter seperti, tClllpat ibadah, sekolah, museum, rUlllah sakit, dan tempat-tempat bersejarah, atau yang memiliki nilai keblldayaan (sub-paragraf ix), dan penggunaan gas-gas beracun untuk memllsnahkan sekelolllpok orang (sub-paragrafxviii) Kejahatan baru yang masllk dalam kategori kejahatan perang adalah menggunakan warga sipil at au orang-orang yang dilindungi untuk Illcmbuat sualu wilayah militer at au atau pasukan Illiliter kebal dari operasi mililer (sub-paragraf xxiii) dan pelibatan anak-anak di bawah umur 15 tahun ke dalalll angkatan bersenjata atau menggunakan Illcreka untuk ikut secara aktif dalalll pertelllpuran (sub-paragraf xxvi) 3). Kategori ketiga adalah pasal 8 (2)(c) berkaitan dengan seluuh pelanggaran serius Konvcnsi Gellewa, 1949, pasal 3, yaitu yang mcliputi serangan tidak manusiawi tcrhadap Konvcnsi Gcncwa, sebagaimana dicatat olch Geoffrey Robertson, 2000, hIm. 218, diadakan pada tahun 1949 scbngai suatu llpaya UI1tuk JllcnlInusk~l11 hukulll humanitcr yang dapat bcrlaku sccara intcrnasiomll. Ada cmpat asas pCIlting yang ditctapkan dalam konvcnsi ini mcngcnai hubungan dan pcrlakulln tcrhadap individu, yaitu (1) Pcrlakuan tcrhadar orang sakit dan tcrluka akibat pcrtempuran darat (II) Pcri<lkuan Icrhadap orang sakit dan tcrluka akibat pcrtcmpuran laut, (III) PcrIakuan tcrhadap tawanan pcrang, dan (IV) Pcrlaku;m tcrhadap warga sipil yang mcnjadi tawanan perang. Konvcnsi ini mc\vajibkan scmua ncgara pcnancia tangan untuk patuh, I11cskipun Jl1usuhnya tidak atau bchlln mcnandatangi kanvensi. Jadi tidak ;:lda ncgara yang balch mclanggar konvensi karcna aJasan pcrtahanan nasjonal, misalnya. I1 warga sipil atau orang yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah (termasuk mengadili mereka secara tidak adil). 4). Kategori kecmpat adalah pasal 8 (2)(e) yang menambahkan sejumlah 12 kejahatan perang yang terdapat dalam pasal 8(2)(b) sebagai pendorong munculnya kontlik internasional. Keduabelas kejahatan tersebut mencerminkan hukum kebiasaan internasional yang telah berkembang dari konflik internal, yang secat'a spesifik didetinisikan sebagai . konflik bersenjata yang berlangsung dalam wilayah sebuah negara dimana konflik bersenjala tersebut terjadi secara berkepanjangan antara otoritas pcmerintah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir, atau antara kelompok tersebut. Kejahatan agresi belum dimmuskan secara eksplisit dalam statuta karena bclum ada kcscpakatan soal definisi mengenai kejahatan agresi tersebut. Kejahatn agresi bam akan dibicarakan lagi pada saat dilakukan peninjauan kembali terhadap statuta setelah tujuh tahun masa berlakunya (pasal 123 (l )), yaitu menjelang akhir tahun 2010. Pada saat itu l1lahkamah akan melakukan upaya amandemen terhadaop statuta, termasuk di dalal1lnya l1lendefinisikan kejahatan agresi dan menetapkan kondisi-kondisi dimana mahkamah menjalankan jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan agresi tesebut (pasal 5 ayat 2). 3.2 I'elanggaran HAM berat menurul UU RI No. 26 tahun 2000 ten tang Pengadilan HAM. Dalam UU RI No. 26 tahun 2000 tcntang pcmbentukan pengadilan HAM di Indonesiia, yaitu pad a pasal 7, menyebutkan bahwa kejahatan terhadap HAM yang bera! ada dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Memang definisi tentang kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusian ini mengikuti definsi yang dikemukakan dalam Statuta Roma pasal 6 dan 7. Pembentukan UlJ ini menunjukkan slIatu keserillsan pemerintah untuk melakukan ratifikasi Statuta ke dalam berbagai produk, baik Undang-Undang maupun Peraturan Pcmcrintah, scbagai suatu bentuk partisipasi global dalam perlindungan dan penegakkan HAM. 3.2.1 Kejahatan Gcnosida j"j! 12 ; . '..' ; . , , {Pill., \ I i .I , , I: Ii ~; .: ) i , t i :: '·,:iL' J3 IV. Penyelesaian pelanggaran HAM berat secara konseptnal Ada tiga dokumen penting yang harus dipertimbangkan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran berat Ham, yaitu tentang pengadilan pidana internasional (International Criminal Court), pembuktian (Rules of Evidence), dan unsur-unsur kejahatan (Elements of Crime) agar tidak terdapat kekeliruan dalam penyelesaian kasus pelnggara barat HAM tersebut. 4.1 Penyelesaian Berdasarkan Statuta Roma Berdasarkan Statuta Roma dalam peradilan kasus pelanggaran HAM berlaku asas non-retroaktif. Tetapi banyak kalangan berpendapat bahwa bila tidak diberlakukan asas retroaktif, banyak pelaku kejahatan berat dimasa lalu yang tidak tersentuh oleh hukum. Untuk penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM jaksa penuntut harus membuktikan bahwa aksi kejahatan dilakukan dengan mens rea, yaitu dilakukan secara sengaja dan telah diketahui konsekuensinya (Geotlrey Robertson, 2000 420) Terdakwa akan belianggung jawab atas kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama atau dengan tujuan yang sam a , untuk tindakan membantu atau memerintahkan kejahatan, melakukan kejahatan, dan berusaha melakukan kejahatan dengan mengambil langkah-Iangkah penting untuk menyelesaikannya Statuta ini diberlakukan bagi kepala negara, wakil-wakil yang terpilih, dan mereka yang telah melakukan aksi dalam kapasitas resmi, sebagai orang memegang jabatan dalam sebuah organisasi resmi ataqu pemerintahan Prinsip ini sekaligus meruntuhkan atau menghapus implll1itas yang kerap melekat pada mereka yang punya kekuasaan. Pad a pasal 64 (2) Statuta memberikan mandat kepada pengadilan untuk agar berjalan dengan adil dan penuh penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Salah satunya menurut pasal 67(c) harusnya diadili 'tanpa penundaan'. Apabila penundaan itu tidak sab dan merugikan, selia disebabkan oleh ketudakmampuan jaksa penuntllt atau faktor-faktor lain diluar kekuasaan terdakwa, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh pengadilan untllk mel11enuhi prinsip tersebllt adalab membatalkan tuntutan dan membebaskan terdakwa. Pasal 66 Statuta mengabadikan prinsip praduga tak bersalah dan menempatkan bebannya pada jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pasal 67(i) menyarankan bahwa bukti-bukti dan bantahan tidak dapa! dibebankan kepada terdakwa. Masalah beban dan standar bukti akan menjadi faktor yang 14 sangat penting dlam persidangan di pengadilan. Pada prakteknya pada saat tuntutan telah membuktikan tanpa keraguan adanya tindakan kejahatan pelanggaran terhadap HAM yang berat, tugas yang berat yang membuat pcmbuktian yang tidak bersalah, seperti adanya paksaan atau kieadaan tidak sadar at au kesalahan, akan berpindah pada terdakwa. 4,2 Hukumall Pasal 70 Statuta memberikan kekuatan khusus kepada pengadilan untuk menghukum, dengan hukuman penjara sampai 5 tahun, para saksi dan tertuduh yang dengan sengaja bersumpah palsu at au memasukkan dokumen-dokumen dalam presentasi pembuktian. Kejahatan yang paling berat akan mendapatkan hukuman yang paling berat. Pasal 77 statuta menyatakan bahwa hllkllman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara seumur hid up. Dalam kasus lain mampunyai masa hukuman sampai 30 tahun, dan hukuman yang dibebankan secara berturut-turut lIntuk sejllmlah kejahatan tidak boleh melebihi batas maksimllm tersebut. Dalam pasal 77(2)(b) disebutkan bahwa selain huklll1lan penjara, terdakwa yang terbukti melakllkan tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan bi lamana perlu sesuai dengan keputllsan pengadilan, harus melakukan penebllsan hasil, kekayaan dan aset yang berasal lagsung atau tidak langsung dari kejahatan itu. Hal ini lebih dijeaskan lagi dalam pasal 109 dengan menegaskan bahwa negara-negara pihak harus bekerja sama dalam pembekuan dan penyitaan aset yang berada dalam Yllridiksi mereka Perkembangan paling pesat adalah bahwa dalam statuta ini sunggllh sangat dihindari dijatllhkannya hllkllman mati. Pasal-pasal dalam Statuta Roma menyediakan bllkti lebih jauh akan upaya hukum internasional untuk menghapuskan hukuman mati (Geffrey, 2000 : 440). Tetapi meskipun demikian, dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masih banyak negara yang menerapkan hllkuman mati bagi para pelaku kejahatan Ini tenlu saja tidak bertentangan secara hukum karena statuta menginjinkan setiap negara untuk memberlakukan hukuman sesuai dengan hukum yang berlaku dalam wilayah negara tersebllt. Dalam statuta terdapat juga pasal-pasal yang mengatur reparasi terhadap korban kejahatan. Pasal 75 mcnyebutkan secara tegas mengenai sliatu upaya untuk memberikan ganli rugi kepada korban, tennasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Karenanya pengadilan harus menentukan Illasnya keruasakan atau luka yang diderita dan besarnya 15 kerugian yang dialami oleh korban dan menyatakan hal apa saja yang harus dilakukan untuk rnengatasi semuanya itu. Perincian terhadap segala kerusakan dan kerugian korban bisa juga dilakukan oleh seseorang yang dihukum dan apabila sesuai maka pengadilan dapat memutuskan bahwa pemberian ganti rugi dapat dilakukan melalui trust fil/ui. Hal ini dimungkinkan apabila dana perwalian tersebut menarik minat dan perhatian para dermawan yang kaya untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada korban maupun keluarga korban. 4.3 Penyelesaian berdasal'kan UU RI No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa perangkat hukum sebagai ratifikasi terhadap Statuta Roma. Ini dimulai dengan dibentuknya UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, PP No. 2 tahun 2002 tentang tata cara perlindungan terhadap korban dan saksi dalam pelanggaran HAM yang berat, dan PP No. 3 tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi terhadap korban pelanggaran HAM yang berat. Hal ini menunjukkan ada upaya serius dari pemerintah untuk menegakkan dan menjamin HAM di Indonesia secara khusus dan dunia secara global. Pada pasal 36 UU No 26 Tahun 2004 tcntang Pengadilan HAM discbutkan bahwa Pasal-pasal selanjutnya menyebutkan mengenai hukuman yang diberikan kepada pelanggaran khusus seperti pasal 38 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan perbuatan kejahatan perbudakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 5 (lima) lahun . ., Trust fund adalah dana pcnvalian yang dibuat olch ncganl-llcgara pih;:lk ulltuk tujuan I1lcmbcrikan ganti mgi atau kompcnsasi kcpada korban apabila si kriminal tidak sanggup mcmbcrikan gallti mgi dalam jumlah yang cukup bcsar. Jni scsnai dcngan isi pasal 79 Statut:l Roma. 16 Pasal 39 menvebutkan bahlVa Setiap orang yang me1akukan perbuatan pCl1lii<s;"ll1 sebagailllana dilllaksud dalam Pasal 9(f), dipidana dengan pi dana penjara paling lama 15 (lima belas) tabun dan paling singkat 5 (lima) tahun .. Pasal 40 mengatuf bahwa setiap orang yang melakllkan perbuatan sebagaimana dimakslId dalam Pasal 9(g, 11, at au i), yaitu ,"«li1. pt.'rh\!~!;-d";'il1 st'ksu;d !'leLkUr;il! ~~,'(·:H:' pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun. Pasal 41 meneg{lsknn bahw{l Percobaal1, permufakatan jahat, atnu pemhantU(l1l untuk lllelakukan pelanggaran terhadap kejahatan genosida maupun kejahatan terhadap kemanusiaanm akan dihukum dengan pi dana penjara minimal 5 tahun atau maksimum 30 'tahun dan bisa dikenai pi dana penjara seumur hidup sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Pasal 42 mengatur proses peradilan yang harus dilakukan kepafda komandan militer yang terlibat atau yang menjadi pelakui kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanuisaan. Ketentuan-ketentuannya adalah sebagai beriku1: (I) Komandan militer atau scseorang yang secara efektifbertindak sebagai komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada di dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang cfcktif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pi dana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaltu • a), komandan militcr atau scscorang tcrscbut lllcngctahui atau at as dasar keadaan saat itu seharusnya mcngetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b) komandan militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kckuasaannya untuk mencegah atau menghcntikan perbuatan tersebut alau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan pcnuntutan. 17 (2) Seorang atasan, baik polisi maupun sipil lainnya, bertanggung jawab secara pi dana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada eli bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang cfcktif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni a). atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat; dan b). atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (3) Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (l) dan ayat (2) diancam dengan pidana yang sam a sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Dalam UU No. 26 ini mengatur juga tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi terhaclap korban pelanggran HAM berat terseilut Pasal y; menyeblltKan 11,1111\<1 Ii I ('! I;) i·'" . 18 4.4 Pellyelesaiall Mellllrnt UU No 27 tahull 2004 telltang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi UU No 27 tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disetujui DPR untuk menjadi undang-undang, walaupun terdapat beberapa kekurangan, namun ada hal positifnya. Di dalamnya masib terkandung rnaksud untuk mengungkapkan kebenaran di masa lalu. Hal ini akan menerangkan hal-hal yang kabur dan bahkan gelap dalam pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Beberapa kasus yang dapat ditangani dengan pembentukan Komisi Kebenaran di antaranya kasus 1965, termasuk pulau Buru, kasus Papua sejak 1967, kasus Aceh mulai daerah operasi militer (DOM), Talangsari, Haur Koneng Bandung, Kedung Ombo, dan kasus 27 Juli. Pengungkapan kebenaran dalam peristiwa tersebut belum pernah dilakukan oleh pernerintah. Pembentukan komisi ini mernberikan titik tekan yang berbeda dengan kinerja mekanisme hukum yang terbatas. Titik tekannya ada pada korban. Penjelasan korban akan menjadi dasar penyusunan laporan pelanggaran HAM di masa lalu. Hal ini berbeda dengan mekanisme yang dijalankan Pengadilan ad hoc HAM yang beljalan selama ini. Komisi Kebenaran yang akan terbentuk ilu terbagi menjadi tiga sub komisi, yaitu Komisi Penyelidikan dan Klarifikasi, Komisi Rehabilitasi dan Komisi Amnesti. Kornisi ini mempunyai kewenangan penyelidikan dari tahun 1945 sampai 2000. Panjangnya batas waktu akan membuat kerumitan penelusuran dokumen, saksi serta korban. Pengaturan mcngenai amnesti juga banyak rnenirnbulkan perdebatan. Dalarn UU tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa kompensasi dan rehabilitasi dapat diberikan setelah dikabulkannya amnesti. Ada tidaknya arnnesti, masyarakat yang menjadi korban tetap menderita. Oleh karen a itu, seharusnya mereka tetap mendapat kompensasi dan rehabilitasi. Namun, sebaliknya korban yang telah mendapat kornpensasi dari pengadilan, mereka tidak boleh mendapat kompensasi lagi. Ada tiga kcmungkinan yang terjadi sekaitan kata "saling memaatkan": Pertama, dalam hal pelaku dan korban saling memaafkan, rekomendasi pemberian amnesti wajib diberikan sub Komisi (amnesti), yaitu Pasal 29 ayat I. Kedua, dalam hal pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan penyesalan atas perbuatannya dan bersedia meminta maar kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, tetapi korban at au keluarga korban yang 19 mernpakan ahli wansnya tidak bersedia memaafkan maka komisi me mutus pemberian rekomendasi amnesti harns mandiri dan objektif (Pasal 29 ayat 2) Ketiga, dalam hal pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahannya sena tidak bersedia menyesali perbuatannya maka pelaku pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut kehilangan hak mengajukan amnesti dan diajukan kepengadilan HAM ad hoc. Pasal 29 ayat 1 dan 2 terang-terangan "memaksakan" rekonsiliasi yang berujung pemberian amnesti atau pengampunan kepada pelaku dan bukannya mengungkapkan kebenaran. Dalam konteks ini terjadi tubrnkan logika yang sara!. Atas nama persatuan nasional dan masa depan bangsa, rckonsiliasi dijadikan kata kunei. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 hurnf b, "Tujuan pembentukan Komisi adalah meneiptakan persatuan dan rekonsiliasi nasional dalam jiwa saling pengertian". Padahal, sine qua /lone dari proses rekonsiliasi suatu bangsa bermula dari meneari, menemukan, dan menyingkap kebenaran. Dari sana keadilan akan menyingsing di tengah kabut misteri peristiwa yang melibatkan pelaku dan korban. Adanya keadilan akan l11enghasilkan kOl11pensasi, rehabilitasi, restitusi pada korban. Pelaku juga akan dianugerahi amncsti berdasarkan fakta-fakta objektif; perlimbangan yang proporsional (tidak memihak) sena selektif Kita tidak ingin amnesti membuka kotak pandora bagi para pelaku untuk lari dari tanggungjawab. Dalam Undang-Undang ini al11nesti berarti pengal11punan yang dibcrikan oleh presiden kepada pelaku peianggaran hak asasi manusia yang berat dengan memperhatikan penimbangan Dewan Pcrwakilan Rakyat Celakanya, rekonsiliasi dalam skenario Undang-Undang ini dinisbahkan untuk "mengganti" proses peradilan atas sebuah kasus pelanggaran HAM bera!. Seluruh kasus pelanggaran HAM berat bisa dimajukan kc komisi tanpa menel11puh jalur peradilan. Kasuskasus seperti pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Atcuh, Aceh atau kasus Tanjung Priok yang sudah diputus, tidak dapat diajukan ke komisi. Demikian pula, kasus yang diajukan ke kOl11isi tidak dapat dibawa kc Pcngadilan I-lAM ad hoc jika sudah tereapai kesepakatan antara peJaku dan korban. Katanya, ini sebagai penegasan berlakunya asas Ne Bis 117 Idem--·sebuah cara berkclit untuk l11cnutup pcluang adanya upaya pcnuntutan. Kalau presiden menolak l11cmberikan amnesti, tentu saja tidak terjadi rekonsiliasi dan kasllsnya telap bisa dibawa kc pengadilan HAM. 20 Bagaimana jika seorang pelaku langsung mengakui perbuatannya, tapi "kebenaran" peristiwa yang membuat dia dituding sebagai pelaku tidak diungkap? Bukankah ini menyederhanakan persoalan, sementara duduk perkara kasus tersebut tidak disingkap? Alihalih bangsa ini belajar dari kesalahan yang terjadi di masa lalu, kita tak akan memiliki rujukan untuk memulai langkah baru tanpa meniru masa lalu yang gelap-gulita itu. Adalah fakta objektit; kalau kata kebenaran tetap melekat dalam Undang-Undang ini. Akan tetapi waktu tempuh UU KKR membuat hasil jerih payah OPR dan pemerintah ini jadi kurang greget. KKR akan dibentuk ketika negeri ini berada di persimpangan sejarahnya; kekuatan demokratis mendapatkan tentangan kuat dari kubu konservatif yang ingin mengembalikan negeri ini ke fase otoritarianisme kembali. KKR jadinya diragukan bisa mengambil peran besar untuk mengantar negeri ini keluar dari transisi demokrasi. Oua kemungkinan yang bakal terjadi menyaksikan penolakan beberapa pihak Pertama, Komisi Kebenaran Rekonsiliasi yang bakal dilahirkan Undang-Undang ini diboikot publik. Eksistensi KKR barangkali akan disahkan oleh presiden, tapi publik~khususnya korban--mengacuhkannya. Benih-benih sikap boikot ini mulai terlihat dari serangkaian statement korban di berbagai media massa. Bila tidak mcmboikot pihak-pihak illi akall menempuhjudicial review ke Mahkamah Konstitusi. Kedua, publik akan menerima keberadaan KKR, dcngan syarat ada semacam lampu hijau dari anggota OPR yang baru untuk menyegerakan revisi terhadap UU KKR. Sejauh mana peluang yang terakhir ini tergantung besamya lobi politik dari kelompok-kelompok kepentingan (ornop, pers, organisasi korban HAM, dJl) serta masyarakat warga (civil society). Misalkan kondisi kedua mengedepan, KKR tetap menghadapi soal yang problematis terkait kasus pelanggaran HAM berat yang mesti diprioritaskan. Undang-Undang ini tidak memberi mandat jelas mengenai batasan waktu sebuah kasus pelanggaran HAM dapat diusut KKR. Yang ada, itu pun implisit, KKR diminta mengurus kasus pelanggaran HAM sejak 1945 sampai lllasa sebeilim terbilnya UU No 26 Tahun 2000 Tcntang Pengadilan HAM. Lalu, alas dasar apa KKR mcndahulukan sebuah kasus dan "mengemudiankan" kasus pelanggaran HAM yang lain? Apakah sebab korbannya yang bersifat massal seperti peristiwa 1965 dan DOM Aceh (1989-1998) at au kasus-kasus terdekat yang 1l1asih dalam jangkauan ingatan publik se1l1acam kasus Trisakti, Semanggi Ill!, kasus 27 Juli 1966, peristiwa Talangsari Lampung alau serangkaian pe1l1bantaian di Aceh pasca DOM? 21 V. Kesimpulan dan rekomendasi 5.1 Kesimpulan ; Ratifikasi Statuta Roma Stat uta Roma adalah sebuah statuta badan internasional untuk membentuk sebuah Mahkamah Pidana Internasional (lCC/international Criminal Court). Mahkamah ini bersifat permanen dan berwenang mengadili para pclaku pclanggaran berat hak asasi manusia, seperti pemusnahan ctnik (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity), dan kejahatan perang (war crime). Dcngan memperhatikan prinsip yang terkandung dalam Statuta Roma, sistem pengadilan di Indonesia akan lebih mampu menangani kasus pelanggaran HAM. Dengan demikian, berbagai tindak kejahatan pelanggaran I-lAM juga dapat dilakukan di Indonesia dan tidak peflu diambil alih oleh Mahkamah Pidana Internasional. Selain itu, Statuta Roma, akan semakin memperkaya penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, apalagi setelah pemerintah sendiri telah melakukan ratifiksai Statuta Roma dalam bentuk Undang-Undang dan beberapa Peraturan Pemerintah. Memang rumusan tentang kejahatan masih sangat global, sehingga menyulitkan jaksa untuk membuktikan suatu perkara. Scmentara, di Statuta Roma, rumusan kejahatan sudah didefinisikan dengan ukuran-ukuran yang jclas dan tidak tcrlalu bcrsifat kualitatifsebagaimana dalam Undang-Undang HAM. Saat ini tclah ada lebih dari 70 negara meratifikasi Statuta Roma itu berarti mulai diberlakukannya Statuta tersebut dinegara-negara pihak dan ratifikasi tersebut harus diikurti dengan pcmbentukan Undang-Undang HAM atau Peraturan Pemerintah di setiap negara penanda tangan. Mcngingat pcntingnya Statuta Roma ini dalam pcncgakan hukum di Indoncsia, kita berharap statuta ini dapat berlaku secara efektif di Indonesia. 5.2 Rekomendasi; Posisi UU No 26/2000 ten tang Pcngadilan HAM. Bergesernya komunitas internasional tampaknya sejalan dengan pcmikiran bahwa scbuah pelanggaran berat terhadap kemanusiaan, merupakan permasalahan dunia sccara global. Pelanggaran khusus ini membuat tidak saja semua ncgara mcmpunyai hak untuk menuntut dan menghukum pelaku kejahatan ini, tetapi sekaligus diwajibkan un/uk menuntu/ dan menghukum mcrcka-mcrcka yang tclah melakukan kejahatan scrius tadi. Lantas bagaimana posisi Indonesia dalam menanggapi trcnd intcrnasionalisasi konflik internal ini? Indonesia, pad a dasarnya, meletakkan pelanggaran serius dalam konflik internal ini, pada kebijaksanaan serta aturan yang terdapat dalam hukum domestik. Niat Indonesia untuk 22 "mengatur" sendiri permasalahan konflik bersenjata internal ini, dapat dilihat dari tidak dimasukkannya "war crimes" dalam Undang-Undang No. 26 talmn 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 1'adahal UU ini dilihat dari bentuk tekstual legalnya dapat dikatakan sebagai bentuk "ratifikasi" dari Statuta Roma. Bedanya 00 domestik kita ini hanya mcngadopsi 2 dari 4 kejahatan internasional yang diatur dalam Statuta Roma. Kedua kejahatan tersebut adalah Kejahatan terhadap Kemanusiaan dan Genosida serta minus war crimes dan aggression Meskipun UU ini secara eksplisit menghormati kaidah hukum internasional dalam pengklasifikasian tindak pidananya atas kemcrdekaan alau kebebasan fisik seseorang (1'asal 9 (e)), peniadaan klausul war crimes menjadi problem tersendiri bagi UU ini. Terutama, dalam hubungannya dengan kejahatan serius yang mungkin ditemukan dalam sebuah konflik internal bersenjata. Padahal "roh" internasionalisasi kejahalan serius terhadap kemanusiaan dalam bentuk kriminalisasi konflik internal bersenjata melalui Statuta Roma hanya bisa diwujudkan dengan instrumen klausul yang terdapat dalam provisi war crimesnya. Untuk itu, penerapan operasi militer di Aceh yang sedikit banyak bersinggungan dengan korban-korban sipil ataupun combatant yang telah menyerah, jelas tidak masuk dalam kategori pelanggaran serius menurut undang-undang domestik kita. Kekhawatiran aktivis pro HAM dalam negeri ten tang tidak diadopsinya war crimes dalam UU domestik kita sebelum penerapan operasi militer di Aceh tampaknya mulai teljawab kini. Mayoritas, untuk tidak mengatakan semua, kejahatan dalam konflik di Aceh pasca-operasi militer tidak dikatagorikan sebagai pelanggaran berat terhadap kemanllsiaan. Yang konsekuensinya "bebas" dari jerat UU No. 26 tahun 2000. Sebenarnya, berbicara dalam tataran semangat terhadap penanganan kejahatan terhadap kcmanusiaan, 011 terhadap kejahatan kcmanusiaan yang dimiliki repuhlik ini boleh dikatakan maju selangkah, minimal bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Australia, misalnya, sampai saat ini masih belum memiliki special Bill ()f RighI. Bahkan Uni Eropa, sebagai ncgara yang dikenal cukup gigih dalam memperjllangkan HAM, membutuhkan waktu 38 tahun sebelum akhirnya berhasil membentuk pcngadilan HAM secara kolektif pad a tahun 19981. Bahkan, at as nama penghormatan terhadap kemanusiaan, Undang-undang domestik kita secara tegas mengabaikan asas NU//lIm lJelicllIm dalam kOllscp penuntlltan tindak pidananya Artinya, UU No. 26/2000 dapat dipakai dalam penuntutan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan yang teljadi sebclum UU tersebllt dikeluarkan. ?~ --) Sayangnya, semangat pro HAM dalam ULJ No. 26/2000 kurang mewarisi spirit asal penghormatan terhadap kaum sipil noncombatant, scbagaimana yang tercantum dalam Statuta Roma. Untuk itu, pcmberlakuan asas retroaktif atas UU No. 26/2000 tampak lebih pada euphoria politis akan hak asasi manusia daripada aplikasi legalnya Akhirnya, beranjak dari trend global serta kondisi disefisiensi hukum domcstik kita terhadap kejahatan serius pad a kemanusiaan khususnya pada kontlik bersenjata internal ada baiknya keinginan mengamandemen instrumen hukum domestik dapat menjadi euphoria yang lain bagi para legislator. Adapun mengenai trend internasionalisasi serta kriminalisasi konflik internal bersenjata, sebenarnya clap at kita sikapi dengan tetap menjaga kedaulatan negara. Untuk itu, pengusungan ide meratifikasi Konvensi Geneva dan Statuta Roma disertai reservasi pad a beberapa ketentuannya, bisa menjadi salah satu alternatifuntuk dilakukan 24 DAFTAR REFERENSI Kasim, lfdhal, 2000, Sialuia Roma; Mahkamah Pidana JnlerbnClsional, Jakarta, Lembaga Studi clan Aclvokasi Masyarakat (Eisam) Robertson, Geffrey, 2000, Kejahalan Terhadap Kemanllsiaan, jakarta, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Magnis Suseno, Frans, 2000, Kliasa dan Moral, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama. Bertens, K, 200 I, Per,lpekl!( Etika; Emi-esai lentang Masalah Aklllal. Yogyakarta, Kanisius. Hup://www.google.co!T!, 2004, PP No 2 lahun 2002 lenlang Perlindllngan lerhadap saksi dan korban da/am pelanggaran HAM berel/, J:ittpl,iyvww.googlecQt1J, 2004, PI' No.3 lahlll1 2003 len lang Kompensasi, Reslilllsi, dan Rehabililasi lerhadap Korban Pelanggaran HAM bera!. 25