tinjauan asas non retroaktif (legalitas) - Repodig Untan

advertisement
TINJAUAN ASAS NON RETROAKTIF (LEGALITAS)
DALAM STATUTA ROMA 1998
Ria Wulandari
Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
No Hp : 085245421979
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menelusuri asas non retroaktif (legalitas) dalam Statuta Roma
1998. Artikel ini akan membahas bagaimana para ahli berpandangan terhadap asas ini dan
bagaimana akibat hukumnya baik dalam tataran internasional maupun nasional. Pada
akhrnya, asas non retroaktif telah menjadi asas yang tidak lagi universal terutama dalam
ranah hukum pidana internasional.
Kata kunci : Asas, Non Retroaktif, Statuta Roma 1998
Abstrac
This article aims to explore the principle of non retroactive (Legitimate) in the Roma
Statute 1998. It will explore how expert view toward this principle and how are the
reason in international law and national law. Finally, the principle of non retroactive is
not more as a universal principle, specially in international criminal law.
Key Word : Principles, Non Retroactif, Rome Statute 1998
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Setiap Negara memiliki hak untuk menegakkan ketentuan-ketentuan pidananya (jus
puniendi). Hak untuk menjatuhkan pidana mensyaratkan dipenuhinya norma-norma
tertentu, yakni norma yang mengatur keberlakuan hukum pidana yang berkaitan dengan
waktu dan tempat tindakan tersebut dilakukan. Khusus yang berkenaan dengan waktu,
sangat penting dalam pemberlakuan hukum pidana. Hakim harus menerapkan undangundang yang berlaku pada waktu delik dilakukan (tempora delicti). Bila suatu tindakan
yang memenuhi rumusan delik ternyata dilakukan sebelum berlakunya ketentuan yang
terkait, tindakan tersebut tidak hanya tidak dapat dituntut ke muka pengadilan tetapi juga
pihak yang berkaitan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Harus ada
ketentuan pidana terlebih dahulu sebagai syarat dapat tidaknya suatu perbuatan
dipidana.1Dengan kata lain hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut (Non
Retroactif).
Hampir seluruh Negara didunia menganut asas non retroaktif dalam hukum
nasionalnya. Amerika adalah Negara pertama yang menganut asas ini yakni dalam
konstitusi tahun 1783 dan sesudah itu dalam pasal 8 Declaration de Droits de l’homme et
Du Citoyen tahun 1789 yang dikumandangkan setelah revolusi Prancis berisi : “Nulne
peut etre puni qu’en vertu d’une loi etabile et promulquee anterieurement au delit et
legalement appliqué” (tidak ada seorangpun dapat dipidana berdasarkan hukum yang
disusun dan diundangkan sebelum delik tersebut ditetapkan secara legal). Asas ini
kemudian dikenal dengan asas legalitas.
Prancis memasukkan asas legalitas dalam konstitusinya pada tahun 1958 dalam
pasal 7 dan 8 yang mana asas legalitas tersebut tidak saja diatur dalam hukum pidana
1
Jan Remmelink,2003,Hukum Pidana;Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan
Padananya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,hlm 355
materiil
tapi
juga
hukum
pidana
formil.
Jerman,
Belgia,
Spanyol,
Italia,Hongaria,Republik Portugal adalah Negara yang pada hakikatnya menyatakan
bahwa suatu perbuatan merupakan pelanggaran pidana apabila diatur terlebih dahulu
berdasarkan hukum nasionalnya. Selain itu terdapat pembatasan-pembatasan antara lain
dianutnya asas tempore delicti (pada waktu delik dilakukan) oleh Belanda dalam pasal 1
ayat 2 WvS : “ Bij veradering in de wetgeving na t tijdstip waarop het feit began is,
woorden de voor den vardachte gunstigste bepalingen toegepast”.
Demikian pula pasal 1 ayat 2 KUHP Indonesia berbunyi : “Jika sesudah perbuatan
dilakukan ada perubahan dalam perundang-undangan,dipakai aturan yang paling ringan
bagi terdakwa.” Hal yang sama juga terdapat dalam undang-undang Jerman yang dengan
tegas menyatakan, “Bei verschiedenheit der gesetze von der zeit der bengangenen
handlung bis zuderen aburteilung ist das mildest gesetz anzuwneden.” Jika ada perbedaan
antara ketentuan pidana yang kemudian berlaku pada waktu tindak pidana yang sama
diperiksa di pengadilan, ketentuan pidana yang paling ringanlah yang harus ditetapkan. 2
Sedangkan di inggris yang system hukumnya dibangun berdasarkanhukum
kebiasaan (Common Law), mulai menuliskan semakin banyak delik kedalam perundangundangannya (Statute Law).3
Asasn non retroaktif secara universal juga diakui oleh hukum internasional public
yang terwujud dalam pelbagai perjanjian-perjanjian internasional. Dapat disebutkan
antara lain di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia yang diterima dan diumumkan oleh
Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa No 217A (III) pada tanggal 10
desember 1948 dalam pasal 11 ayat 1 dan 2, Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
dalam pas 15 ayat 1 dan 2, Konvensi Eropa mengenai Hak Asasi dan KebebasanKebebasan Mendasar (ECHR) dalam pasal 7, Konvensi Amerika tentang Hak Asasi
2
3
Eddy O.S.Hiariej,2009, Asas legalitas dan Penemuan Hukum Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Erlangga,hlm 34
Jan Remmelink, Op.Cit, hlm 357
Manusia dalam pasal 9, Piagam afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Penduduk
dan terakhir dalam Statuta Roma 1998.
Secara
umum
perjanjian-perjanjian
internasional
tersebut
selain
memberi
perlindungan terhadap kekuatan berlaku surut juga memuat ketentuan bahwa jika terjadi
perubahan peraturan, pelaku harus dijatuhi hukuman yang tidak lebih berat daripada saat
pelaku melakukan perbuatan kriminalnya.
Khusus mengenai ketentuan ICCPR pasal 15 ayat 1 nya menggunakan asas non
retroaktif yang dapat diadaptasikan jika bertentangan dengan asas-asas hukum yang
diakui oleh masyaraka bangasa-bangsa. Menurut Travaux Preparatories, ketentuan ini
dimaksudkan agar tidak ada orang yang bebas dari hukuman karena melakukan
pelanggaran terhadap hukum internasional dengan alasan bahwa tindakannya legal
menurut hukum negaranya. Acuan terhadap hukum internasional juga merupakan jaminan
tambahan bagi individu, yan melindungi individu dari tindakan seweang-wenang
meskipun tindakan itu dilakukan oleh organisasi internasional. 4
Asas non retroaktif ini kemudian mulai disimpangi akibat munculnya kejahatankejahatan
kemanusiaan
kemanusiaan
merupakan
yang
terjadi
petaka
yang
di
beberapa
Negara.
meninggalkan
duka
Kejahatan-kejahatan
mendalam
sehingga
mengharuskan digunakannya tindakan-tindakan tertentu yang berbeda dengan aturanaturan sebelumnya. Contoh mengenai hal ini adalah putusan-putusan yang dikeluarkan
hakim Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Mahkamah Militer bekas Yugoslavia
dan Rwanda serta putusan pengadilan nasional Israel atas kasus jendral Adolf Eichman
yang telah menggunakan asas retroaktif dalam putusannya. Asas retroaktif kemudian
menjadi asas yang diakui khususnya dalam bidang hukum pidana internasional. 5
4
Eddy O.S.Hiariej, Op.Cit, hlm 46
Asas retroaktif telah diadopsi dalam hukum nasional Indonesia sebagaimana tercantum dalam undang-undang
No 24 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
5
Meski asas non retroaktif telah diakui dalam hukum pidana internasional, namun
Statuta Roma sebagai dasar pembentukan Mahkamah Pidana Internasional / International
Criminal Court (ICC) yang khusus mengadili kejahatan agresi, kejahatan perang,
genosida, dan kejahatan kemanusiaan masih tetap mempertahankan asas non retroaktif
(yang sudah bukan merupakan asas universal) yang termaktub dalam pasal 24 tentang
ratione personae non retroactif. Asas non retroaktif yang dianut oleh Statuta roma 1998
memiliki unsur politis karena sebagian besar Negara memiliki pengalaman kelam akan
masa lalu dan harus memberikan pengampunan atau solusi yang serupa dalam upaya
rekonsiliasi nasional. Otto Trifterer member komentar bahwa ketentuan ini lebih pada
“change in the law; rationale and benefit of more favorable law. 6
B.Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas dalam tulisan ini akan dikaji :
1. Apakah asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 tidak mengandung asas
hukum yang saling Bertentangan?
2. Bagaimanakah akibat hukum asas non retroaktif dalam Satuta Roma baik dalam
tataran internasional maupun nasional (Indonesia) ?
II. PEMBAHASAN
A. Tinjauan Asas Non Retroaktif (Legalitas)
1.
Pengertian Asas
Didalam hukum nasional maupun hukum internasional terdapat beberapa asas yang
berlaku secara universal salah-satunya adalah asas non retroaktif. Sebelum menguraikan
lebih lanjut tentang asas non retroaktif, akan diuraikan terlebih dahulu pengertian asas
dan arti pentingnya asas dalam hukum.
6
Eddy O.S Hiariej, Op.Cit hlm 54
Menurut Mochtar kusumaatmadja, asas hukum umum ialah asas yang mendasari
sistem hukum modern.7 Sementara menurut J.H.P Bellefroid, asas-asas hukum adalah
aturan-aturan pokok.8 Lebih lanjut, aturan-aturan pokok ini dapat digunakan untuk
menguji peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan
mendasari adanya sesuatu norma hukum. Berdasarkan pendapat Paton yang demikian
dapat dikatakan bahwa adanya norma hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga
setiap norma hukum harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada diungkapkan
leh Van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap sebagai normanorma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau
petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu
berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Pendapat lain tentang asas hukum
sebagaimana dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai yang
melandasi kaidah hukum. 9
Asas non retroaktif sejak awal abad 19 telah menjadi asas yang bersifat umum
karena berlaku pada seluruh bidang hukum (asas ini tidak hanya dalam bidang hukum
pidana tapi juga mencakup hukum perdata, tata Negara dan ekonomi baik pada tataran
nasional maupun internasional). Asas non retroaktif juga berlaku secara universal karena
dapat diberlakukan kapan saja dan dimana saja tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat.
2. Asal Mula Munculnya Asas Non Retroaktif dan Pandangan Para Ahli
Pada zaman Romawi kuno dikenal adanya Crimine Extra Ordinaria, yaitu
kejahatan-kejahatan yang tidak disebutkan dalam undang-undang. Diantara Crimine Extra
Ordinaria ini terdapat Crimen Stellionatus yang secara Letterlijk artinya perbuatan jahat
7
Mochtar Kusumaatmadja,2003, Pengantar hukum Internasional, Bandung: PT Alumni, hlm 148
Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum,Edisi Revisi: Kencana Prenada Media Group, hlm 116
9
Harry Purwanto, “Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus Dalam Perjanjian Internasional”, Opini Juris,
Volume 13, Bulan Mei-Agustus, 2013, hlm 59
8
atau durjana.10 Sewaktu hukum Romawi Kuno itu diterima (di receptie) di Eropa Barat
pada abad pertengahan, sama halnya dengan Indonesia yang pada masa penjajahan
meresepsi hukum belanda, maka pengertian tentang Crimen Extra Ordinaria ini diterima
pla oleh raja-raja yang berkuasa. Dengan tidak disebutkannya perbuatan-erbuatan yang
dikategorikan jahat atau durjana maka hukum pidana saat itu dapat digunakan secara
sewenang-wenang menurut kehendak dan kepentingan raja sendiri.
Pada zaman itu (zaman pertengahan), sebagian besar hukum pidana tidak tertulis,
bahkan terdapat suatu konsepsi dari Marsilius yang menyatakan bahwa hukum merupakan
perintah paksa yang merupakan produk kehendak, bukan nalar/akal dan yang berhak
membuat undang-undang hanya Caesar karena hanya dia saja yang berkuasa (prinsip
Legibus Solutus Est). 11 Sehingga dengan kekuasaannya yang absolute, raja dapat
menyelenggarakan penadilan dengan sewenang-wenang. Penduduk tidak mengetahui
secara pasti mana perbuatan yang dilarang mana pebuatan yang tidak dilarang. Proses
peradilan berjalan tidak adil karena hukum ditetapkan menurut perasaan hukum dari
hakim yang mengadili. 12Pada saat yang bersamaan para ahli piker seperti Montesquieu
(bernama lengkap Charles De Secondat De La Brede Et De Montesquieu) dan Jean
Jacques Rousseau (J.J Rousseau) menuntut agar kekuasaan raja dibatasi dengan undangundang tertulis.
Ajaran Montesquieu dituangkan dalam bukunya L’Esprit des Lois, 1748. Tidak
disebutkan dengan tegas mengenai asas legalitas namun dapat diketemukan pemikiran
mengenai asas legalitas dalam gagasannya tentang pemisahan kekuasaan Negara. Gagasan
pemisahan kekuasaan Negara terwujud dalam konsep Trias Politica dimana kekuasaan
perundang-undangan (legislatif), kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif) dan
10
Eddi O.S Hiariej, Op.Cit, hlm 8
Bernard.L.Tnya, 2006, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan generasi,Surabaya: CV
KITA, hlm 52
12
Eddi.O.S.Hiariej, Loc.Cit
11
kekuasaan kehakiman (yudikatif) dilaksanakan oleh suatu badan yang
berdiri
sendiri.13jadi bukan hakim yang menetapkan tindakan yang diancam pidana, pembuat
undang-undanglah (legislatif) yang menciptakan hukum agar putusan pengadilan tidak
sewenang-wenang.14 Ajaran Montesquieu semata-mata bertujuan untuk member kapastian
bahwa kemerdekaan individu tidak dicederai tindakan sewenang-wenang pemerintah
Negara.
Sama halnya dengan Montesquieu, ajaran rousseau juga tidak secara tegas menyebut
tentang asas legaliras, namun pemikiran mengenai asas legalitas dapat diketemukan
dalam ajaran Volunte Generale yang mensyaratkan agar perlu adanya badan legislasi yang
merupakan representasi rakyat. 15 Badan legislasi harus membuat aturan yang benar-benar
mencerminkan kemauan bersama dari rakyat sehingga rakyat mau tunduk dan menaati
uhukum yang membawa manusia pada keadilan
Konsep Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada
pidana tanpa peraturan terlebih dahulu) secara tegas diungkapkan oleh Paul Johan Anslem
Von Feurbach, seorang sarjana hukum Jerman dalam bukunya Lerbuch Des Penlichen
Recht tahun 1801. Von Feurbach yang secara tegas merumuskan konsep asas legalitas
dianggap sebagai ahli hukum yang menciptakan asas ini.
Asas legalitas mengandung tiga pengertian yaitu :
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu
terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan aturan undang-undang.
2. Untuk menemukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
(kiyas).
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. 16
13
Bernard.L.Tanya, Op.Cit, hlm 70
Jan remmelink, Op.Cit, hlm 356
15
Bernard.L.Tanya, Op.Cit,hlm 72
16
C.S.T.Kansil, 2001, Latihan Ujian Hukum Pdana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 75
14
Ajaran hukum pidana baik dari Von Feurbach, Montesquieu maupun Rousseu yang
lahir pada awal abad 19 harus dipandang sebagai produk ajaran klasik. Ajaran klasik
menghendaki hukum pidana yang tersusun sistematis dan bertitik berat pada kepastian
hukum yang tujuannya saat itu hanyalah untuk melindungi kepentingan individu dari
kesewenang-wenangan penguasa.
Tahun 1945 adalah tahun dimana asas non retroaktif (legalitas) mulai disimpangi
yakni dengan putusan-putusan yang dikeluarkan oleh hakim Mahkamah Militer
Nuremberg dan Tokyo. Kecaman muncul saat mahkamah didirikan dan hukumnya
ditetapkan (kecuali hukum kejahatan perang) justru belakangan daripada terjadinya
peristiwa. Peristiwa terjadi antara tahun 1935-5 Agustus 1945, sedangkan mahkamah dan
hukum yang diterapkannya dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1945. Mahkamah dipandang
menerapkan hukum secara ex post facto. Secara singkat, baik pembentukan mahkamah
maupun penerapan hukumnya dipandang melanggar asas non retroaktif. 17
Atas kritik tersebut, mahkamah dalam putusannya menangkisnya
dengan
argumentasi sebagai berikut : perbuatan yang dilakukan oleh tertuduh merupakan
perbuatan yang diluar batas-batas perikemanusiaan yang sangat bertentangan dengan hati
sanubari setiap umat manusia dimanapun dan kapanpun juga, siapapun yang mengaku
dirinya sebagai umat manusia beradab, akan memandang perbuatan atau kejahatan yang
dilakukan para terdakwa yang dituduhkan kepadanya sebagai suatu kejahatan. Semua ini
terlepas dari telah atau belum ditetapkannya pebuatan-perbuatan tersebut sebagai
kejahatan dalam bentuk hukum tertulis. Penetapannya dalam bentuk hukum tertulis
hanyalah masalah teknis pentransformasiannya sajadari bentuknya yang semula sebagai
hukum tidak tertulis menjadi hukum tertulis. Meskipun tidak atau belum ditetapkan
17
I Wayan Prthiana, 2006, Hukum Pidana Internasional, Bandung: CV Yrama Widya, hlm187
sebagai hukumtertulis, tidaklah berarti bahwa perbuatan tersebut bukan sebagai kejahatan
dan pelakunya tidak dapat diadili dan atau dihukum. 18
Penyimpangan asas non retroaktif ini juga disusul oleh Mahkamah Militer dalam
kasus bekas Yugoslavia 1993 dan Rwanda 1994 dengan kecaman dan sangkalan yang
hamper sama dengan Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo. Tidak hanya pengadilan
internasional yang telah menerapkan asas retroaktif, pengadilan nasional Israel dalam
putusannya terhadap Jendral Adolf Eichman yang pada Perang Dunia II bertanggung
jawab pada pembunuhan orang Yahudi di Jerman. Hakim Israel pada waktu itu
menerapkan pasal 6 Piagam Nuremberg yang belum dibuat saat Adolf Eichman
melakukan kejahatan perang. Dalih yang dikemukakan oleh hakim yaitu tindak pidana
yang dilakukan oleh
Adolf Eichman jelas melanggar hak-hak asasi manusia yang
mempunyai sifat universal yang menyangkut hak-hak masyarakat bangsa-bangsa.19
Statuta Roma 1998 sebagai landasan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional
/ International Criminal Court (ICC) kembali menggunakan asas non retroaktif (legalitas)
dalam pasal 24, padahal yurisdiksi criminal ICC yang tercantum dalam pasal 5 meliputi
kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan
agresi. Ke empat kejahatan tersebut
merupakan dalil yang digunakan untuk
memberlakukan surut suatu aturan pada Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo,
Yugoslavia dan Rwanda bahkan pengadilan nasional Israel karena perbuatan tersebut
dipandang sebagai perbuatan diluar batas-batas perikemanusiaan. Siapapun yang
mengaku dirinya beradab akan memandang ke empat perbuatan tersebut sebagai
kejahatan.
Berkaitan dengan aturan tidak tertulis yang diakui oleh seluruh bangsa didunia, kita
teringat dengan ajaran hukum alam baik yang bersumber pada tuhan maupun yang
18
19
Ibid, hlm 88
Abdussalam, 2006, Hukum Pidana Internasional, Jakarta, Restu Agung, hlm 291
bersumber pada alam. Pendukung ajaran ini, Thomas Aquinas dan Hugo de Groot samasama menyatakan bahwa hukum itu tidak perlu dibuat tetapi dicari karena hukum itu
sudah ada. Hukum yang dimaksud disini adalah aturan-aturan yang menjunjung
ketertiban, keadilan, persamaan derajat, persamaan hak dan lain-lain yang sifatnya baik
yang diakui oleh seluruh bangsa-bangsa didunia (jus cogen).
Aplikasi dari ajaran hukum alam khususnya untuk kejahatan-kejahatan luarbiasa
yaitu meskipun belum ada aturan tertulis yang mengaturnya tetapi pelaku tetap tidak
dapat lepas dari hukuman karena telah ada aturan tentang hal tersebut walapun tidak
tertulis. Disini tampak bahwa Mahkamah Militer Nuremberg dan Tokyo, Yugoslavia dan
Rwanda serta pengadilan nasional Israel mendasarkan putusannya pada ajaran hukum
alam yang telah muncul sejak tahun 400 M. Keputusan Mahkamah Militer Nuremberg
dan Tokyo tentang digunakannya asas retroaktif yang kemudian diikuti oleh Mahkamah
Militer bekas Yugoslavia dan Rwanda serta pengadilan nasional Israel telah menjadikan
asas retroaktif ini diakui berdasarkan kebiasaan internasional khususnya di bidang hukum
pidana internasional.
Asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 juga dipandang tidak sesuai untuk
kejahatan luarbiasa yang merupakan yurisdiksi kriminal dari Statuta karena jika dilihat
dari tujuan ajaran klasik yang melahirkan asas non retroaktik (legalitas) yaitu untuk
melindungi kepentingan individu dari kesewenang-wenangan penguasa sedangkan yang
dilindungi dalam statuta bukan lagi kepentingan individu
tetapi kepentingan umat
manusia.
B. Asas Non Retroaktif Dalam Statuta Roma 1998 dan Pengaruhnya Dalam Tataran
Internasional dan Nasional
Pemberlakuan asas non retroaktif serta merta akan memiliki akibat hukum tidak saja
dalam tataran internasional tetapi juga dalam tataran nasional. Dalam tataran
internasional, putusan-putusan pengadilan yang menerapkan asas retroaktif (Mahkamah
Militer Nuremberg dan Tokya, bekas Yugoslavia dan Rwanda) dapat dibatalkan.
Argumentasi ini diberikan dengan melihat contoh yang telah terjadi pada kasus tabrakan
antara kapal berbenderaPrancis dan berbenderaTurki di laut lepas pada tahun 1926. Kasus
tersebut di adili oleh pengadilan nasional Turki dan dibenarkan oleh Mahkamah
Internasional saat itu. Selanjutnya putusan pengadilan nasional Turki dianggap tidak sah
oleh United Nation Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) karena bertentangan
dengan prinsip kebebasan di laut lepas yang diatur didalam UNCLOS 1982.
Dalam tataran nasional khususnya di Indonesia, apabila Indonesia meratifikasi
Statuta Roma 1998, maka akan berakibat dihapuskannya asas retroaktif dalam undangundang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Hal ini akan menjadi
langkah mundur dalam upaya menyeret pelaku kejahatan hak asasi manusia di masa lalu
yang sedang dilakukan ole pegiat hak asasi manusia di Indonesia. Artinya, para pelaku
penjahat hak asasi manusia di masa lalu akan terbebas dari jerat hukum.
III. PENUTUP
Penerapan asas non retroaktif dalam Statuta Roma 1998 apabila dikaitkan dengan
asal mula kemunculan asas non retroaktif (legalitas) yang berasal dari ajaran klasik Von
Feurbach dipandang tidak sesuai untuk kejahatan luarbiasa karena ajaran Von Feurbach
tentang asas legalitas semata-mata untuk kepentingan individu dari kesewenangwenangan pemerintah Negara (hubungan antara rakyat dan pemerintah/penguasa),
sementara Statuta Roma dengan yurisdiksi kriminalnya sebenarnya telah memiliki
kewajiban untuk melindungi kepentingan umat manusia.
Digunakannya asas non retroaktif dalam statuta Roma 1998 juga tidak sesuai
dengan ajaran hukum alam dan kebiasaan internasional yang sudah dilakukan oleh
pengadilan internasional terdahulu.
Dalam tataran internasional diterapkannya asas non retroaktif dalam statuta akan
berakibat tidak diakuinya putusan Mahkmah Militer terdahulu yang menerapkan asas
retroaktif. Sementara dalam tataran nasional, apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma
1998 maka asas retroaktif harus dihapus dari undang-undang nasional misalnya undangundang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia hal ini tentu akan
menjadi kemunduran bagi penegakan hukum untuk mengadili pelaku kejahatan
kemanusiaan di masa lalu.
DAFTAR PUSTAKA
A. Daftar Buku
1. Abdussalam, 2006, Hukum Pidana Internasional Jilid 2, Jakarta, Restu Agung
2. Hiariej,O.S Eddy, 2009, Asas Legalitas Dalam Penemuan Hukum Pidana, Jakarta,
Erlangga
3. Kansil, C.S.T, 2001, Latihan Ujian Hukum Pidana Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta,
Sinar Grafika
4. Kusumaatmadja,Mochtar,
Alumni
2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung, PT
5. Marzuki, Peter Mahmud, 2013, Penelitian Hukum Edisi Revisi, Jakarta, Kencana
Prenada Media Grup
6. Parthiana, I Wayan, 2006, Hukum Pidana Internasional, Bandung, Yrama Widya
7. Remmelink,Jan, 2003, Hukum Pidana;Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Jakarta, PT Gramedia
Pustaka Utama
8. Tanya,Bernard,L, 2006, Teori Hukum;Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan
Generasi, Surabaya, CV KITA
B. Jurnal
1. Purwanto, Harry, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus, 2013, Opinio Juris, volume
13, Kemenlu RI
Download