1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERBASIS PERTANIAN (dihimpun: smno.psdl.ppsub) 1. Arah dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi krisis yang mengkhawatirkan masa depan bangsa dan negara ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi diperkirakan antara (-) 5 % sampai dengan 15%, sedangkan pada beberapa tahun terakhir rata-rata di atas 7% per tahun. Pertumbuhan yang negatif tersebut mempunyai dampak kuat terhadap penurunan kualitas hidup rakyat, mandeknya roda perekonomian dan membengkaknya angka pengangguran serta pengaruh lainnya yang pada akhirnya akan berdampak pada kualitas lingkungan hidup. Selain itu, bangsa Indonesia juga dihadapkan pada ancaman kekurangan pangan. Keadaan ini diperburuk oleh minimnya kas negara baik dalam bentuk rupiah maupun nilai tukar mata uang asing (devisa) yang mengharuskan seluruh komponen bangsa untuk mengerahkan segala daya upaya demi memperbaiki keadaan yang telah amat buruk ini. Koreksi terhadap kebijaksanaan negara dan pemerintah harus dapat segera dilaksanakan dengan mengembalikannya kepada amanat dan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945. Namun hendaknya reformasi ini tetap berada dalam koridor konstitusi UUD 1945, karena dalam UUD inilah tertuang cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dengan demikian bagaimanapun dan apapun reformasi pembangunan yang akan dilakukan akan dapat mengantarkan bangsa Indonesia menuju tatanan kehidupan yang lebih beradilan dan berkemakmuran. Dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dengan demikian jelas bahwa sumberdaya hutan sebagai salah satu kekayaan sumberdaya alam yang mengemban fungsi produksi sekaligus fungsi perlindungan, sosial dan budaya, harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Amanat ini hendaknya dijabarkan secara cermat dan melandasi visi dan misi dalam mengelola dan membangun sumberdaya hutan dan kehutanan di Indonesia. Pengelolaan sumberdaya hutan selama ini masih belum dapat memberikan manfaat yang adil dan merata pada berbagai lapisan masyarakat. Ketidak-adilan dalam pemberian akses terhadap sumberdaya hutan telah menyebabkan terjadinya polarisasi pemilikan HPH kepada pengusahapengusaha skala besar. Selain itu, menimbulkan berbagai dampak negatif seperti antara lain inefisiensi pengelolaan sumberdaya hutan, terjadinya private land banking dan berkembangnya perilaku yang cenderung mengejar rente ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan. Dalam pada itu, lemahnya kelembagaan pengelolaan hutan, khususnya fungsi kontrol, menyebabkan penerapan konsep pengelolaan hutan lestari nyaris tidak dapat dilakukan sebagaimana diidamidamkan. Akibatnya eksploitasi sumberdaya hutan dilakukan secara berlebihan sehingga hutan menjadi rusak serta menurun potensi dan kualitasnya. Di sisi lain menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial antar daerah dan wilayah, antar sektor pembangunan, antar kawasan dan antar golongan masyarakat. Dapat dimaklumi bahwa dengan sumberdaya hutan yang demikian luasnya, maka fungsi kontrol terhadap keberadaan sumberdaya hutan oleh pemerintah sangat tergantung pada kemampuan kelembagaan. Hasil penelitian mengenai faktor-faktor penyebab kerusakan hutan di 120 negara termasuk Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan hutan lebih banyak disebabkan oleh lemahnya kelembagaan yang pada dasarnya menyangkut lemahnya pengamanan terhadap kepemilikan hutan (property right). Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, dimana sumberdaya hutan dikuasai oleh negara dan dikelola oleh pemerintah, akibat lemahnya kelembagaan, hutan cenderung menjadi common property atau nobody property. Implikasinya adalah eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan, maraknya pemanenan ilegal, kebakaran hutan di banyak tempat dan tak kunjung padam, yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mengikuti alur cerita klasik tragedy of common. 2 Dengan demikian, agar fungsi kontrol dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien, maka kelembagaan perlu dibangun dan diperkuat. Dalam kerangka ini masyarakat khususnya yang berada di sekitar hutan harus diberi akses dan kesempatan untuk mengambil peran secara aktif dalam pengelolaan sumber daya hutan, sehingga masyarakat tersebut akan merasa ikut memiliki dan akan senantiasa menjaga agar manfaat dari sumberdaya hutan dapat mereka terima secara berkelanjutan. TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN: Kontrol struktur tegakan yg spesifik dg pengendalian proporsi relatif : lewat masak, masak, sapihan, belukar, reproduksi & gulma Memerlukan pengertian ttg: DINAMIKA TEGAKAN: yang menghasilkan struktur: Perbedaan pertumbuhan Jenis dan Individu dan perilaku ekosistem silvikultur mengontrol struktur dgn: Perlakuan-perlakuan: Pemungutan hasil, Persiapan tempat tumbuh; Regenerasi; Pemilihan jenis Penjarangan/Pemangkasan; Pemupukan/Penyiangan yang mengontrol kembali Penampilan fisiologis relatif: Produksi karbohidrat Tata air; hasil air Reproduksi BERPENGARUH LANGSUNG THD: Semua ini mengontrol POTENSI GENETIK LINGKUNGAN KERJA 3 Berbagai gejala yang mencerminkan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya hutan tidak terlepas dari strategi pembangunan nasional yang pada prinsipnya ditempuh melalui upaya-upaya “membesarkan kue pembangunan yang kemudian dibagikan secara tidak merata”. Kenyataan menunjukkan bahwa strategi ini telah menciptakan struktur perekonomian yang kurang kokoh dan rentan terhadap gejolak ekonomi walaupun diperoleh angka pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi. Ketika arus globalisasi semakin menguat di awal tahun 1990-an penyesuaian strategi dasar tidak segera dilakukan. Sehingga hampir di semua sektor tidak mempunyai strategi penangkalan yang mampu memperkecil resiko dari gelombang liberalisasi tersebut. Akibatnya krisis ekonomi yang melanda bangsa ini menjadi berkepanjangan dibandingkan dengan krisis ekonomi di Thailand, Malaysia, Korea Selatan dan lain-lain. Paradigma pembangunan sudah saatnya harus diganti, dari pembagian kue pembangunan yang sekedar menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi menjadi pemberdayaan masyarakat. Tanpa masyarakat yang berdaya, sulit rasanya bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan gelombang globalisasi dan liberalisasi yang tidak pernah toleran terhadap yang lemah. Dengan masyarakat yang berdaya, dapat diharapkan partisipasi interaktif dan swakarsa dari masyarakat sehingga pembiayaan pembangunan dapat ditekan serendah mungki dan daya saing produk menjadi kuat. Dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat ini haruslah menjadi misi yang senantiasa melandasi setiap langkah pembangunan kehutanan di Indonesia. Untuk mengaktualisasikan paradigma pembangunan tadi ke dalam langkah-langkah yang mengarah pada pemerataan kemakmuran, realitas-realitas yang ada, baik internal maupun eksternal harus dijadikan pertimbangan. Pada saat ini sedang dihadapi berbagai krisis yang amat mengkhawatirkan masa depan bangsa dan negara. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam, angka pengangguran yang melonjak, cadangan devisa yang semakin tipis dan parameter-parameter lainnya, yang kesemuanya menuntut perhatian ekstra untuk segera melakukan upaya penyelamatan dari keadaan yang lebih parah. Dalam pada itu, secara eksternal, gelombang globalisasi dan liberalisasi ekonomi sudah tidak dapat dibendung dan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Sehingga alternatif yang dapat diambil oleh bangsa Indonesia menjadi semakin terbatas, yaitu mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam sistem ekonomi dunia. Merosotnya nilai rupiah hendaknya tidak mematikan komitmen untuk mengintegrasikan ekonominya ke dalam sistem dunia tadi. Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana reformasi kebijaksanaan pembangunan dilakukan sehingga kompatibel dengan sistem ekonomi dunia, sekaligus mencari upaya penyelamatan yang cepat dan tepat sebagai rintisan restrukturisasi perekonomian nasional. Strategi yang dapat diterapkan pada tahapan ini adalah "resource based economic development” yang akan mendorong perekonomian pedesaan menjadi andalan kebangkitan perekonomian nasional. Dalam kerangka ini sektor-sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian akan menjadi tumpuan utama. Visi pembangunan kehutanan adalah hutan untuk kemakmuran rakyat, sedangkan misi yang diemban antara lain adalah pemberdayaan masyarakat. Rambu-rambu lainnya yang harus diperhatikan adalah bahwa segala upaya harus diarahkan untuk memperkuat daya saing di pasar global sehingga keunggulan kompetitif mutlak harus dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang ada. Dalam konteks ekonomi global, sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan, akan semakin besar kadar kelangkaannya sehingga dapat dipastikan akan memiliki keunggulan tinggi di pasar global. Oleh sebab itu, kebijaksanaan struktur ekonomi nasional patut diarahkan pada kelompok komoditi yang bertumpu pada sumberdaya alam tersebut (resource based development). Seiring dengan meningkatnya kemampuan berkompetisi melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, maka dapat diperkirakan Indonesia akan bangkit kembali dan tumbuh dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari semula. Dengan demikian langkah-langkah untuk menghapus konsentrasi penguasaan dan memajukan pemerataan kemakmuran haruslah dipandang sebagai bagian dari , atau 4 haruslah ditempatkan dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat guna meraih keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar global. Hal pertama yang segera perlu dilakukan adalah melakukan reorientasi politik-ekonomi kehutanan ke arah ekonomi masyarakat dimana masyarakat secara proporsional diberi kesempatan dan peluang untuk melakukan alokasi sumberdaya ekonomi yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian kekuatan ekonomi terbesar berada di dalam masyarakat dan tidak terpusat di tangan pemerintah ataupun sekelompok orang. Sebaliknya sektor swasta juga diberi kesempatan, tetapi tidak dominan sehingga tidak terjadi free fight liberalism. Untuk mewujudkan ekonomi masyarakat yang demikian, pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci yang harus diupayakan realisasinya. Pada prinsipnya pemberdayaan masyarakat dilakukan mengikuti mekanisme pasar karena pada akhirnya masyarakat harus maju, ahli dan mampu secara mandiri berkompetisi dalam pasar. Namun sebelum sampai ke sana, perlu dilakukan prakondisi terhadap masyarakat sehingga kondisinya sesuai dengan mekanisme pasar. Untuk maksud tersebut gerakan pembangunan kehutanan diarahkan pada capacity building, empowering, protecting, dan sustaining. Capacity building ditempuh melalui pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan lestari. Dalam hal ini, pembangunan infrastruktur fisik yang berhasil dibangun harus sekaligus dapat dijadikan sebagai sarana untuk membangun infrastruktur sosial. Pada tingkatan ini nilai-nilai positif yang tumbuh di dalam masyarakat akan berkembang menjadi norma-norma yang melembaga dan akan menjadi acuan dalam pengelolaan hutan secara lestari. Tiga sasaran yang harus dikembangkan dalam pengembangan kelembagaan adalah (1). Pengembangan organisasi kemasyarakatan sebagai wadahnya, (2). Pengembangan sumberdaya manusia sebagai pelaku dan (3). Pengembangan pranata sosial sebagai penentu mekanisme prosedur dalam kelembagaan masyarakat. Empowering dimaksudkan untuk memperkuat potensi masyarakat sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi secara interaktif dan swakarsa serta dapat berfungsi secara sosial dan ekonomi. Dalam kerangka ini penyediaan akses yang seadil-adilnya terhadap faktorfaktor produksi seperti sumberdaya hutan, lahan, permodalan, teknologi, termasuk aspek dana dan pasar sangat diperlukan. Protecting secara selektif perlu juga dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan yang tidak seimbang serta mencegah eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya dengan hal ini, UU anti monopoli yang saat ini sedang dipersiapkan akan sangat mendukung. Kondisi masyarakat yang sudah siap tersebut harus dapat berlangsung secara berkelanjutan dan mempunyai ketahanan yang kokoh dalam menghadapi arus globalisasi. Satu hal strategis lainnya yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma pembangunan kehutanan yang bertumpu pada "timber management”, yang berorientasi pada perolehan hasil hutan berupa kayu. Perubahan ini ditujukan menjadi "forest resource management” yang memandang hutan sebagai ekosistem lengkap dengan keaneka-ragaman hayati yang dikandungnya, yang mampu berperan dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial. Selama ini komoditi-komoditi hasil hutan non-kayu belum mendapat porsi perhatian yang memadai, padahal potensinya sangat besar. Potensi tersebut antara lain bahan obat-obatan tradisional, produk-produk yang dapat diperoleh dari satwa hutan, tanaman hias, madu, gaharu, getah (jelutung, karet, pinus), rotan, buah tengkawang dan kemiri, serta jasa wana-wisata. Apabila ini semua dikembangkan, maka akan terjadi banyak pilihan bidang usaha yang akan memperkaya usaha kehutanan dan pemerataan kemakmuran. Disamping itu sebagian besar jenis komoditi tersebut dapat diusahakan dalam skala usaha yang tidak harus sekala besar dan tidak padat modal, sehingga merupakan peluang menarik bagi usaha-usaha kecil dan menengah. Teknologi komunikasi telah berkembang sangat cepat dan mendorong terjadinya globalisasi dimana nyaris tidak ada lagi sekat-sekat yang dapat membuat suatu negara mengisolir diri. Informasi 5 tentang kejadian di suatu benua, sekejap akan dapat diketahui di benua lain melalui jaringan internet. Implikasi dari gejala ini adalah berkembangnya kesadaran dan eksistensi diri sehingga semua pihak menuntut untuk dapat ikut terlibat dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, globalisasi telah mendorong berkembangnya demokratisasi. Menyikapi perkembangan ini maka untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pembangunan kehutanan perlu dikembangkan partisipasi masyarakat hutan. Partisipasi ini harus merupakan partisipasi interaktif dan swakarsa , bukan partisipasi pasif yang dipaksakan dari luar. Untuk itu pendekatan pembangunan kehutanan adalah “community based development” dengan penerapan prinsip-prinsip: (1) intended beneficieries harus jelas, (2) bersifat local specific, (3) public accountability terjamin, dan (4) transparancy. Sesuai dengan kaidah pembangunan, dimana pada prinsipnya pembangunan dilakukan melalui investasi publik (masyarakat), tugas pemerintah adalah mengatur, membina, mendorong, membantu, memonitor dan mengendalikan jalannya pembangunan yang diwujudkan dalam pembangunan infrastruktur, baik fisik maupun sosial (kelembagaan masyarakat) sebagai landasan keberlangsungan investasi publik. Ada tujuh hal yang harus dipersiapkan dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat yaitu: (1) aspek legalitas, (2) kelembagaan masyarakat (3) IPTEK yang tepat daya, (4) pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang tangguh, (5) pendanaan, (6) pengembangan industri dan (7) aspek pasar. Dalam kaitannya dengan pengembangan kelembagaan, aspek legal (legal aspect) memegang peranan penting guna menciptakan mekanisme prosedur yang adil dan tidak menimbulkan konflik. Searah dengan semangat reformasi dan sebagai implementasi dari paradigma baru pembangunan kehutanan dan perkebunan telah dilakukan penyempurnaan terhadap berbagai peraturan perundangan. Pada saat ini sedang dipersiapkan dan dirumuskan perubahan-perubahan terhadap UU No.5 Tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan. Selain itu telah diterbitkan PP No. 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, sebagai pengganti PP No 21 Tahun 1970 Jo. PP No. 18 Tahun 1975. Dalam PP No 6 tahun 1999, masyarakat lokal rnelalui koperasi diberi kesempatan untuk berperan secara nyata dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Dalam pada itu, juga telah dikeluarkan SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 yang mengatur tentang pengusahaan hutan kemasyarakatan, serta SK Menhutbun No 728/Kpts.-II/1998 tentang Penetapan Luas Maksimum Pengusahaan hutan dan Budidaya Perkebunan. Dalam rangka implementasi kebijaksanaan pembangunan hutan yang berdimensi kerakyatan untuk memberdayakan ekonomi rakyat, khususnya yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan hutan diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terkait. Kendala dan tantangan yang dihadapi sangat besar, namun demikian diyakini bahwa pengelolaan hutan dengan tidak meninggalkan masyarakat lokal akan mampu mengurangi laju kerusakan hutan pada tingkat yang dapat ditolerir. Prakondisi masyarakat dan pendampingan terhadap masyarakat merupakan kunci keberhasilan dari upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. 6 2. KEBIJAKSANAAN DAN REHABILITASI LAHAN STANDAR TEKNIS REBOISASI DAN 2.1. Pengembangan Bidang Usaha Hutan Rakyat 1. 2. 3. 4. 5. 6. Hutan rakyat merupakan suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di tanah milik dengan luas minimal 0,25 ha dan ditandai dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50 %. Pengembangan bidang usaha hutan rakyat terdiri dari kegiatan pembuatan persemaian /pembibitan, dan pembuatan tanaman pada areal model dan dampak hutan hutan rakyat. Sasaran lokasi hutan rakyat adalah lahan milik adat, dan lahan garapan yang tidak produktif. Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kehendak /minat masyarakat, pertimbangan kesesuaian agroklimat dan dikembangkan dalam luasan yang secara ekonomis dapat dipasarkan dan menguntungkan, yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Komposisi jenis tanaman terdiri kayu-kayuan sebesar 70% dan jenis pohon serbaguna (Multi Proposes Tree Species) sebesar 30 %. Pembuatan tanaman dilaksanakan dalam areal model seluas 25 ha (equivalen 1 unit) yang menjadi inti untuk pembinaan kelembagaan dan areal dampak seluas 250 ha dari pengembangan equivalen 1 (satu) unit areal model, sebagai areal pengembangan usaha dengan jumlah tanaman pada tahun l adalah 400 batang/ha. Penyelenggara pengembangan bidang usaha hutan rakyat adalah pelaksana proyek, sedangkan pelaksananya adalah kelompok tani yang tumbuh dan berkembang dari para petani/peserta kegiatan hutan rakyat dari desa/kecamatan setempat. Kelompok tani tersebut didampingi oleh Lembaga Swadaya Masyarakat setempat. Pengelolaan kegiatan setelah proyek padat karya berakhir dilanjutkan oleh kelompok tani dengan melaksanakan pemeliharaan tanaman sampai umur pemungutan hasil dan melakukan pengaturan kelestarian tanaman. Pengaturan hasil pembangunan hutan rakyat diserahkan sepenuhnya pada kelompok. Waktu pelaksanaan penanaman disesuaikan dengan tahapan kegiatan pembangunan hutan rakyat dan penanaman dimulai pada awal musim penghujan, pembibitan dapat dimulai pada bulan Mei sedangkan pemeliharaan disesuaikan dengan keperluan. 2.2. Pengembangan Bidang Usaha Pemanfaatan Lahan di bawah Tegakan Hutan 1. 2. Penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan merupakan kegiatan tanam-menanam tumbuh-tumbuhan di bawah tegakan hutan dengan jenis tanamnan produktif tertentu (tanaman pangan, buah-buahan, obat-obatan/rempah-rempah dan lain sebagainya) yang dapat memberikan manfaat ekonomi terutama sumberdava makanan bagi masyarakat di sekitar maupun di dalam hutan. Sasaran lokasi penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan meliputi: a. Areal model Hutan Rakyat b. Di dalam Hutan Negara yang dikelola oleh Perum Perhutani 3. Persyaratan Teknis Lokasi, antara lain: a. Tersedia ruang tumbuh yang memadai dibawah tanaman tegakan hutan; b. Tanah subur atau kondisi tanah dapat kurang subur, tetapi masih memungkinkan untuk ditanami dengan berhasil; c. Kemiringan lahan maksimum 40 % atau masih diolah untuk penanaman tersebut dan tidak menyebabkan erosi berat. 7 4. 5. 6. 7. 8. Pemilihan jenis tanaman mempertimbanakan keinginan masyarakat, kesesuaian agroklimat, tahan naungan, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perlindungan tanah dan air, serta dalam skala usaha yang ekonomis. Benih dan bibit tanaman untuk kegiatan penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan dipilih bibit dengan kualitas baik (bibit unggul atau unggul lokal). Penyelenggara pengembangan bidang usaha hutan rakyat adalah pelaksana proyek, sedangkan pelaksananya adalah para petani pemilik lahan, penggarap maupun pesanggem yang tergabung dalam wadah kelompok tani (Kelompok Tani Hutan Rakyat maupun Kelompok Tani Hutan/KTH). Waktu pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan tahapan kegiatan dengan mempertimbangkan jenis tanaman yang akan ditanam, jatuhnya musim hujan dan kebiasaan masyarakat setempat. Pemanfaatan hasil panen PLBTH wajib diatur dan diperuntukkan bagi: a. Pemililik lahan b. Pekerja/kelompok tani c. Modal kerja (sebagai dana bergulir). Besarnya pembagian hasil panen ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku dan kesepakatan bersama, 2.3. Intensifikasi Tumpangsari 1. Tumpangsari merupakan kegiatan usaha tani yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan sebagai tanaman pokok dengan tanaman semusim. Pola tanam tumpangsari diatur sedemikian rupa sehingga tanaman semusim tidak menyaingi tanaman pokoknya. 2. Sasaran lokasi intensifikasi tumpangsari adalah areal model dan dampak hutan rakyat serta kegiatan HTI / Reboisasi/Rehabilitasi hutan dalam hutan produksi dengan kemiringan lahan maksimum 25 %. 3. Tanaman semusim ditanam pada larikan antara tanaman pohon-pohonan dan 50 cm di kiri dan di kanan larikan tanaman pohon-pohonan tidak diperbolehkan untuk tanaman semusim. Intensifikasi tumpangsari dilaksanakan dengan penerapan usaha tani yang meliputi : a. Penggunaan bibit tanaman yang berkualitas b. Persiapan pengolahan dan konservasi tanah c. Penggunaan pupuk dan diutamakan pupuk organik d. Penggunaan insekesida dan herbisida apabila diperlukan karena adanya serangan hama atau padang alang-alang dalam skala yang luas e. Pemiiihan waktu penanaman dan pemupukan yang tepat f. Pembinaan kelembagaan kelompok tani g. Komoditi diupayakan yang seragam dalam skala yang ekonomis. 4. Jenis tanaman semusim terdiri dari padi, jagung, dan kacang-kacangan, serta jenis-jenis tanaman lain yang bernilai ekonomis. Penetapan jenis tanaman didasarkan pada kehendak masyarakat, pertimbangan agroklimat dan dalam luasan yang dapat dikembangkan sebagai suatu unit usaha yang ekonomis. 5. Penyelenggara intensifikasi tumpangsari ini adalah pelaksana proyek, sedangkan pelaksananya adalah pemilik atau penggarap tanah yang bergabung dalam kelompok tani. Kelompok tani tersebut didampingi dan dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat setempat. 6. Pemanfaatan hasil panen intensifikasi tumpangsari wajib diatur dan diperuntukkan bagi: a. Pemilik lahan b. Pekerja/kelompok tani c. Modal kerja (sebagai dana bergulir). 8 Besarnya pembagian hasil panen ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku dan kesepakatan bersama. 2.4. Pengembangan Bidang Usaha Persuteraan Alam 1. Pengembangan persuteraan alam merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penanaman tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera dan pengolahan kokon dalam bentuk model dan dampak yang dapat dikembangkan oleh masyarakat. 2. Sasaran lokasi dilaksanakan pada lahan milik masyarakat yang memenuhi syarat teknis maupun sosial ekonomis. 3. Persyaratan lokasi kegiatan tersebut mempertimbangkan antara lain: a. Kesesuaian tehnis dan agroklimat b. Dekat dengan akses pasar/penampungan kokon c. Konsentrasi penduduk padat/pengangguran dan rawan pangan d. Merupakan satuan unit usaha tani persuteraan alam dalam skala usaha yang ekonomis. 4. Teknik budidaya persuteraan alam, meliputi antara lain: a. Tanaman murbei digunakan jenis unggul/berdaun lebar. b. Jumlah tanaman murbei minimal 10.000 pohon/ha c. Bibit ulat sutera yang digunakan adalah jenis unggul dan yang sudah disertifikasi oleh instansi yang berwenang. d. Menggunakan peralatan yang sederhana dan tepat guna e. Tanaman murbei dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan dengan pola tumpangsari. 5. Penyelenggara pengembangan bidang usaha persuteraan alam adalah pelaksana proyek, sedangkan peserta adalah petani pemilik lahan maupun masyarakat di sekitar lokasi yang berpartisipasi aktif, dan tergabung dalam wadah kelompok tani. 6. HasiI kegiatan proyek padat karya pada kegiatan persuteraan alam menjadi hak milik sepenuhnya dari pemilik lahan/peserta. Pemilik lahan diwajibkan terus menerus memelihara tanaman murbei, bangunan ulat sutera dan pemeliharaan ulat sutera. 3. Konsep Wanatani - Agroforestry Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-daerah rendah (low land) maupun di daerah-daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun definisi dengan formulasi yang berbeda-beda mengenai “agroforestry” ini, sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing. King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai suatu “sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohonpohonan) dengan tanaman hutan dan /atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat “. 9 Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah berupa “teknologi usahatani” yang dilaksanakan dengan menanam pohon bersama-sama dengan tanaman pertanian dan hewan ternak di atas sebidang lahan yang sama. Sebagai suatu sistem penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan pengertian bahwa pemanfaatan lahan harus dilakukan seoptimal mungkin dengan mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry, yang dirintis oleh tim dari Canadian InternationaI Development Centre. Dalam survainya di beberapa negara berkembang, tim tersebut menemukan praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah, yang mengarah pada perusakan lingkungan. Dalam laporannya, mereka merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan lingkungan secara sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan , papan dan sandang bagi manusia. Menurut Kartasubrata (1991), dipandang dari segi ekologi dan ekonomi, “sistem agroforestry” lebih kompleks daripada sistem monokultur. Produksi dari suatu sistem agroforestry selalu beraneka ragam, yang satu dengan lainnya saling bergantung. 3.1. Produktivitas Sistem Agroforestry Indikator “produktivitas” suatu ekosistem pertanian biasanya mampu mencerminkan berbagai bentuk output yang dapat diukur, kuantitatif, dan bermakna penting, misalnya hasil tanaman. Berbagai bentuk produk dari sistem agroforestry dikonsumsi langsung, tidak memasuki sistem “pasar”, demikian juga beberapa bentuk hasil agroforestry bersifat “non-moneter”, dan bersifat sebagai “jasa”. a. Land Equivalent Ratio Dua macam indikator produktivitas yang lazim dibunakan adalah Lend Equivalent Ratio (LER) dan Harvest Index (HI). Konsep LER semula digunakan untuk menganalisis keragaan relatif suatu komponen dari kombinasi pertanaman dibandingkan dengan pertanaman tunggalnya (IRRI, 1974). LER merupakan jumlah dari hasil relatif spesies-spesies yang menjadi komponen sistem, yaitu: m LER = yi / yii I =1 dimana yi adalah hasil tanaman ke “I” dari suatu unit luasan intercropping ; yii adalah hasil dari tanaman “I” yang ditanam secara monokultur pada area yang sama; dan yi/yii hasil relatif dari tanaman ke “I”. Dalam sistem agroforestry yang sederhana, menurut Rao dan Coe (1992), LER dapat diabstraksikan sbb: LER = Ci / Cs + Ti / Ts dimana Ci adalah hasil tanaman sela intercropping, Cs adalah hasil tanaman (sela) yang ditanam monokulktur, Ti adalah hasil tegakan dalam sistem intercropping, dan Ts adalah hasil tegakan pohon yang ditanam monokultur. Kalau nilai LER = 1, berarti tidak ada tambahan manfaat produksi dari pertanaman campuran; kalau LER < 1, berarti ada kerugian ; sedangkan kalau LER > 1, berarti ada keuntungan tambahan dari sitem pertanaman campuran. 10 Kalau LER diukur pada kondisi kepadatan populasi yang sama dengan populasi pada sistem monokultur dan campuran, maka LER sama dengan Relative Yield Total (RYT). Akan tetapi pada kenyataannya dalam berbagai sistem agroforestry, populasi tanaman sela tidak sama dengan populasi monokultur, sehingga nilai LER beragam sesuai dengan nilai kepadatan populasi ini. Konsep LER mensyaratkan bahwa pertanaman tunggal yang digunakan dalam perhitungan ditanam pada kepadatan optimum. Kalau keragaan tanaman sela pada suatu kepadatan populasi harus dibandingkan dengan keragaan pada kepadatan optimumnya, maka perlu digunakan “keragaan tanaman sela” yang diukur pada kepadatan optimumnya. Biasanya LER (RYT) kepadatan konstan digunakan kalau tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kombinasi tanaman yang menguntungkan (Nair, 1979). Kesulitan lainnya dalam menerapkan LER untuk sistem agroforestry ialah bahwa LER tidak mencerminkan keberlanjutan sistem. LER biasanya merupakan jumlah hasil-hasil relatif tanaman komponen selama satu musim tanam, tidak mencerminkan produktivitas jangka panjang dari sistem. Satu cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah mengamati perubahan LER dari tahun ke tahun selama periode waktu yang lama dan kemudian menggunakan informasi ini sebagai landasan untuk menyusun indeks keberlanjutan. Pengukuran LER juga dianggap kurang relavan kalau tanaman sela semusim dikombinasikan dengan tanaman tahunan pada saat masih muda. Petani produsen tidak berminat untuk memaksimumkan dua komoditi secara simultan (memaksimumkan LER), tetapi lebih berminat untuk memaksimumkan hasil tanaman sela dengan tidak mengganggu pertumbuhan dan produksi tanaman tahunan secara siginifikan. Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji produktivitas adalah Income Equivalent Ratio (IER) dengan mempertimbangkan income masing-masing tanaman komponen sistem agroforestry. b. Indeks Panen (Harvest Index, HI) HI lazimnya digunakan untuk menyatakan fraksi hasil ekonomis dari suatu tanaman terhadap total produktivitasnya: HI = (Produktivitas ekonomis) / (Produktivitas Biologis) Indikator Hi ini sulit diterapkan dalam sistem agroforestry karena beberapa alasan, yaitu: (1). Dalam perhitungan HI hanya digunakan bahan kering bagian tanaman di atas tanah, padahal produksi bahan kering bagian tanaman di bawah tanah (perakaran tanaman) sangat penting , terutama dalam kaitannya dengan dinamika bahan organik tanah. (2). Bahan kering tanaman lazimnya tidak mencerminkan nilai ekonomi produk. (3). Perhitungan HI biasanya dilakukan atas dasar data satu musim pertumbuhan. (4). Perhitungan HI belum mampu mencerminkan faktor sustainabilitas. 3.2. Wanatani - Agroforestry dan Pengelolaan Lahan Agroforestry atau WANATANI atau AGROHUTANI merupakan suatu istilah kolektif untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam bentuk tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi pohon, tanaman semusim, pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforestry. Dalam kebanyakan sistem agroforestry ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan produktif, tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara sistem-sistem yang berbeda. Oleh karena itu agroforestry tidak boleh dipandang sebagai suatu "obat mujarap" bagi kebanyakan problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek-praktek khusus harus dikembangkan untuk sistem-sistem agroforestry secara terpisah. 11 Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforestry secara biofisik, ekonomis dan budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di daerah-daerah yang sumberdaya lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu lainnya dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang subur yang sangat cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan (misalnya di India). Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang lereng di antara padi gogo dan jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecilkecil dan untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan perkembangan terras secara bertahap dari hasil penangkapan sedimen pada barisan pepohonan. Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang sustainable di Cebu, Filipina. Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman semusim adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana densitas populasi penduduk masih relatif rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforestry temporer dengan suatu rotasi pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan. Ada dua pendekatan utama yang sering digunakan bagi pengembangan agroforestry. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi pohon ke dalam sistem tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama untuk memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai. Pendekatan yang ke dua terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem agroforestry sebagai upaya untuk meningkatkan produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten. Pengadopsian sistem agroforestry sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya akan diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial dan strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem agroforestry harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan memperhatikan praktek penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar, timber, dan produk lainnya; serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah jarang yang berminat pada agroforestry, kecuali dalam sistem taungya yang dihubungkan dengan awal fase perkembangan pekebunan-perkebunan besar. Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala biofisik yang berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rejim air, erosi, sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor terakhir ini harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforestry. Introduksi atau retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai suatu "safety net" yang general untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti ekosistem hutan yang masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984). Kunci bagi kebaikan kualitas air dan konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri, melainkan pada praktek pengelolan yang dilakukan dengan baik. 3.3. Seleksi dan pengembangan lokasi Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya dimungkinkan untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang kesesuaian lahannya. Kalau sistem agroforestry dikembangkan dengan jalan introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam daerah yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih" harus dipertimbangkan untuk mengidentifikasikan daerah yang harus dikonversi dan yang tidak boleh dikonversi. Arahan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan menjadi pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui relevansinya bagi setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara umum perkembangan agroforestry akan 12 dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya kopi dan kakao). Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry umumnya dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan rekayasa engineering konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat sepanjang garis kontur. Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus berhasil secara ekonomis maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami degradasi sehingga solum tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman pohon, terutama manfaat dalam jangka pendek. 3.4. Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah pemilihan spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang harus diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23 kriteria yang harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi tanaman pangan lokal dan kondisi agroklimat umumnya akan menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan jenis tanaman pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus ternyata kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya juga sangat penting. Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konser vasi tanah, dan daya menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini: (1). Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk maksimisasi stabilisasi tanah (2). Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menyediakan pupuk hijau (3). Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari konservasi tanah dan produksi (4). Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak 20 cm di dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter atau lebih di antara pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah sisa pangkasan cabang dan ranting, maka pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan terras- terras dalam periode tiga tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering. (5). Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang lebih lebar baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin diperlukan untuk menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering. Jarak tanam sepanjang barisan sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin akan sesuai, tergantung pada apakah kayubakar merupakan produk yang diutamakan. 13 (6). Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau jenis-jenis timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan spesies pohon yang utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar lagi. 3.5. Pengelolaan sistem Wanatani-Agroforestry Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang bersifat negatif meliputi: (1). Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus dipertahankan sepanjang tahun di area tanaman semusim di antara pohon pohon atau barisan pohon untuk melindungi permukaan tanah daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi. Tanaman pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini secara otomatis; pada kenyataannya bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik pada tanah yang kosong di bawah tajuk pohon. (2). Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau dan mulsa untuk menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju infiltrasi tanah (3). Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk-produk yang dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa atau pupuk hijau. (4). Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan unsur hara melalui drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur tanah. Misalkan, hindarilah pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan pemadatan topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang dan mulsa akan memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu perkembangan akar. (5). Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi kehilangan hara. (6). Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan pestisida harus diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh alami yang bermanfaat. Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan-bahan limbah secara hati-hati. (7). Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka ketersediaan hijauan pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak dan stocking-rate, kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan pemadatan tanah yang berlebihan harus dihindarkan. (8). Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan , terutama tanaman timber. (9). Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier vegetatif atau penghalang lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung menuruni lereng cukup panjang atau langsung ke saluran air. 3.6. Pemilihan Spesies dan Disain Sistem Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies pohon adalah (Wiersum, 1981): (1). Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat (2). Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang dipertimbangkan adalah: i. Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan ii. Waktu tenggang antara saat tanam dan panen iii. Umur dan keteraturan produksi manfaat iv. Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi tenagakerja v. Popularitas lokal dengan spesies vi. Ketersediaan pasar produk. (3). Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman 14 (4). Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah, siklus hara) (5). Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan produk). Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry meliputi: (1). Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar lebih banyak, (2). Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara, (3). Bersifat multiguna, (4). Produk pohon ada pasarnya, (5). Ketersediaan bahan bibit yang memadai, (6). Mempunyai sifat self-pruning, (7). Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus relatif kecil dibandingkan dengan diameter), (8). Toleran terhadap naungan dari sisi, (9). Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah, (10) Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama dalam hubungannya dengan semi dan gugur daun), (11) Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi, (12) Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah yang berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya, (13) Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi alelopati dan interaksi positif) Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan untuk persyaratan tambahan, yaitu (1) Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder dengan batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya bagus, (2) pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya mudah dengan anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut, (3) Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh paku dan kawat, (4) Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus digunakan kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan gizi, (5) Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat, memfiksasi nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat 4. KRITERIA EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN HUTAN 4.1. Umum Sebagaimana telah DIDEFINISIKAN BAHWA, "area lahan tertentu" dapat disebut sebagai 'Satuan Pemetaan Lahan' atau 'Satuan Peta Lahan'. Area ini merupakan area lahan yang dipetakan dengan karakteristik atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya. Tipe pemanfaatan lahan (Land Utilization Type, LUT) merupakan spesifikasi lebih lanjut dari Tipe Utama Penggunaan Lahan. LUT ini ditandai oleh seperangkat spesifikasi teknis, dalam suatu tatanan fisik, ekonomi, dan sosial yang ada. Atribut kelengkapan dari LUT meliputi data atau asumsiasumsi tentang tujuan dan produk, persyaratan fisik dan ukuran pemilikan lahan, persyaratan infrastruktur, kapital dan tenagakerja, teknologi dan sumber enerji yang digunakan, taraf pengelolaan dan penguasaan lahan. 15 4.2. Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan Beberapa atribut penting bagi LUT untuk hutan adalah produk, slope, tenagakerja, kapital, taraf teknologi dan pengelolaan. Beberapa definisi penting disajikan berikut ini: (1). Tingkat Produksi Rendah : 0 - 5.0 m3/ha/tahun Moderat : 5.1 - 10.0 Medium : 10.1 - 15.0 Tinggi : 15.1 - 25.0 Sangat Tinggi : > 25.0 (2). Slope 0 - 3.0 % 15.1 - 30.0 % 3.1 - 5.0 % 30.1 - 50.0 % 5.1 - 8.0 % 50.1 - 70.0 % 8.1 - 15.0 % 70.1 - 100 % > 100 % (3). Input tenagakerja per hektar per tahun: Rendah : 0.00 - 0.25 TOK/ha/tahun Medium : 0.26 - 1.00 Tinggi : 1.10 - 3.00 Sangat tinggi : > 3.00 (4). Input tenagakerja total Rendah : 0.00 - 5.00 Moderat : 6.00 - 25.00 Medium : 26.00 - 100.00 Tinggi : 101.00 - 500.00 Sangat tinggi : > 500.00 (5). Investasi kapital, Rp/ha/th Rendah : 0.00 - 2 500.00 Moderat : 2 501.00 - 25 000.00 Medium : 25 001.00 - 250 000.00 Tinggi : 250 001.00 - 2 500 000.00 Sangat tinggi : > 2 500 000.00 (6). Investasi kapital total, Rp x 1000 Rendah : 0 - 500 Moderat : 501 - 5 000 Medium : 5 001 - 50 000 Tinggi : 50 001 - 500 001 Sangat tinggi : > 500 001 (7). Teknologi A. Tradisional : manusia dengan per-alatan yang dioperasikan secara 'tangan' (handtools), tenagakerja ternak. B. Semi-tradisional : Tenagakerja manusia dengan motor, traktor pertanian, sedikit tenagakerja manusia dengan handtools . 16 C. Semi-maju : Mesin-mesin yag dirancang secara khusus, hampir tidak ada tenagakerja manusia. D. Teknologi Maju: Mesin-mesin multi-fungsi yang dirancang untuk menggantikan semua tenagakerja manusia. (8). Tingkat pengelolaan A. Rendah : Satu tingkat dalam organisasi lokal, belajar pengetahuan melalui proses pewarisan dan coba-coba, tidak ada sistem perencanaan untuk produktivitas dan pengembangannya, kendali anggaran dilakukan secara harian dengan uang tunai atau barang, pengalaman operasional hanya dengan teknologi tradisional. B. Medium : Dua tingkat dalam organisasi lokal, latihan kerja, sasaran jangka panjang diketahui, rencana kerja tahunan, sistem pemantauan yang ekstensif terhadap produktivitas dan pengembangan, anggaran tunai tahunan, pengalaman operasional dengan teknologi tradisional dan semi-tradisional. C. Tinggi : Tiga tingkat dalam organisasi lokal, ada beberapa jasa pelengkap, tenagakerja terlatih dan semi-terlatih, ada rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan, proses pelaporan, kendali anggaran tahunan, sistem pemantauan untuk produktivitas dan pengembangan, pengalaman operasional dengan teknologi semi-maju. D. Sangat tinggi: Tiga tingkat atau lebih dalam organisasi lokal, jasa pelengkap sangat banyak, tenagakerja terlatih dan sering mengikuti latihan kerja, rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan jelas, sistem pelaporan dan pemantauan dengan komputer, sistem kendali anggaran permanen, pengalaman operasional dengan teknologi semi-maju dan maju. 4.3. Tipe-tipe LUT Hutan Ada banyak tipe LUT Hutan yang dapat dideskripsikan, beberapa di antaranya adalah: Hutan lindung tetap, Hutan konservasi air alamiah, Hutan konservasi tanah alamiah, Hutan produksi alamiah: pengelolaan ekstensif, Hutan produksi alamiah: pengelolaan intensif, Hutan tanaman kaju komersial (timber), Hutan tanaman kayu pulp, Hutan tanaman kayu bakar, Hutan tanaman bambu, Hutan rakyat, Agro-hutani (agroforestry), Hutan tanaman konservasi tanah, Hutan wisata. 4.4. Tujuan Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan Berbagai tipe pemanfaatan lahan untuk hutan mempunyai spesifikasi yang jelas mengenai tujuan pengelolaannya. Beberapa hal pokok dijelaskan dalam Tabel 6.1. 17 Tabel 1. Tujuan dari tipe-tipe pemanfaatan lahan untuk hutan No. Tipe Pemanfaatan 1. Hutan lindung tetap pendidikan 2. Hutan konservasi air alamiah 3. Hutan konservasi tanah alamiah Tujuan Konservasi hutan alam pegunungan sebagai sumber plasma nutfah dan untuk kepentingan penelitian dan Pengamanan kesinambungan suplai air, untuk pertanian dan domestik. 4. Hutan produksi alamiah dengan pengelolaan ekstensif Konservasi tanah terhadap erosi dalam rangka un-tuk mencegah kerusakan mekanik dan sedimentasi pada sistem penampung dan penyaluran air, sangat penting ada lereng yang curam dan mudah longsor. Produksi kayu gergajian dan hasil kayu tambahandi hutan alam pegunungan dengan tingkat produksi rendah 5. Hutan produksi alamiah yang intensif Produksi kayu gergajian dan kayu lain dengan produktivitas medium, dengan preservasi fisiognomihutan. 6. Hutan tanaman kayu timber 7. Hutan tanaman kayu pulp 8. Hutan tanaman kayu bakar 9. Hutan bambu Produksi kayu gergajian untuk kebutuhan lokal dan ekspor. Produksi kayu pulp sangat fleksibel dengan biaya murah. Produksi kayu bakar dengan biaya murah 10. Hutan rakyat 11. Agro-hutani Produksi kayu campuran di sekitar wilayah desa Sistem hutan tanaman dengan ternak dan budidayatanaman pertanian menggunakan sistem rotasi yangterkendali 12. Hutan tanaman konservasi Vegetasi penutup tanah di daerah yang sangat peka erosi dalam rangka untuk mengamankan daerah di bawahnya- 13. Hutan wisata Menciptakan fasilitas wisata di kawasan hutan. Produksi material multiguna &sekaligus untukkonservasi tanah 4.5. Persyaratan Tipe-tipe Pemanfaatan Lahan Hutan Beberapa persyaratan pokok bagi setiap tipe pemanfaatan lahan hutan disajikan dalam Tabel 2. 18 Tabel 2. Persyaratan pokok bagi setiap tipe pemanfaatan lahan hutan No. Tipe Pemanfaatan Lahan Persyaratan 1.Hutan tetap lindung Fisik : Tipe-tipe vegetasi alamiah yang relatif tidak terganggu, luas minimum setiap tipe vegetasi 50-100 ha, lokasi dan deskripsi tipe-tipe vegetasi Non-fisik : input tenagakerja rendah, investasi kapital rendah, teknologi tradisional; taraf pengelolaan medium, perlindungan terhadap gangguan, petak observasi permanen, pemantauan perkembangan vegetasi, latihan dan pendidikan. 2.Hutan konservasi Fisik: Distribusi hutan seimbang per Sub DAS, air alamiah , luas total minimum 7000 ha; data setiap sub-DAS tentang kekurangan/kelebihan air dan debit air di batas hutan. Non fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat; teknologi semi-tradisional, semi-maju atau maju; taraf pengelolaan medium, pengalaman dalam konservasi air dan pemantauan perkembangan hutan, konservasi tajuk dan perakaran, perlindungan terhadap gangguan, pemantauan curah hujan dan debit air di batas hutan. 3. Hutan alam untuk Fisik : komposisi vegetasi; klasifikasi erodibilitas DAS konservasi tanah Non-Fisik: Input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat; teknologi semitradisional atau semi-maju; taraf pengelolaan medium, pemantauan curah hujan, sedimentasi dan perkembangan vegetasi, stimulasi tajuk, topsoil yang strukturnya bagus dan perakaran yang dalam , perlindungan terhadap gangguan, ada perencanaan jalan dan metode pemanenan. 4. Hutan produksi Fisik : data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih; alamiah satuan-satuan hutan > 5 ha pada kemiringan > 100%, data tentangdata tentang yangekstensif kelas lereng, akses dari desa terdekat. Non-fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital rendah hingga moderat; teknologi semi-tradisional; taraf pengelolaan rendah hingga medium, pemantauan perkembangan hutan, perencanaan, perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan metode panen dan konservasi, pelatihan personil. Lanjutan. 5. Hutan produksi Fisik : data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih; alamiah yang satuan-satuan hutan-> 25 ha pada lereng <70%, data tentang kelas ke miringan, intensif sistem jalan yang terencana dengan aksesibilitas potensial yang bagus. Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital medium hingga tinggi; teknologi semi-maju; taraf pengelolaan tinggi, perencanaan perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan tentang metode pembangunan jalan dan pemanenan, pelatihan personil. 6. Hutan tanaman kayu timber Fisik : data komposisi spesies, potensial dan dimensi silvikultur, syarat tumbuh spesies tentang iklim, tanah dan hidrologi; tergantung pada teknologi yang digunakan pada kemiringan hingga 50% atau 70%, sebaiknya pada permukaan lahan yang tidak kasar dan aksesibilitasnya baik. Non-fisik: input tenagakerja rendah; rataan tingkat biaya medium; teknologi tradisional, semi-tradisional atau semi-maju; taraf pengelolaan medium atau tinggi, perencanaan yang intensif terhadap perlakuan silvikultur dan operasi panen, supervisi yang bagus dan intensif, fsilitas transpor yang baik, pelatihan personil. 19 7. Hutan tanaman kayu pulp 8. Hutan tanam an kayu bakar 9. Hutan tanam an bambu 10.Hutan rakyat 11. Agro-hutani 12. Hutan tana-man konserva si tanah 13.Hutan wisata Fisik : data komposisi dan dimensi spesies; pada slope > 50% tidak peka terhadap erosi, potensi produktivitasnya baik, asesibilitasnya baik dan permukaan tanah tidak kasar; unit-unit minimum > 5 ha, skala usaha > 500 ha.Non-fisik : input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat, rataan tingkat biaya medium; teknologi semi tradisional atau semi- maju; taraf pengelolaan medium hingga tinggi, perencanaan yang baik dan intensif terhadap perlakuan silvikultur dan operasi pemanenan, fasilitas transportasi yang baik, pelatihan personil. Fisik: data tentang komposisi spesies dan potensial hasil; pada slope< 50% pada wilayah di dekat desa. Non-fisik : input tenagakerja medium; investasi kapital rendah, rataan tingkat biaya medium hingga tinggi; teknologi tradisional; tingkat pengelolaan rendah atau medium, pada areal yang dapat tererosi operasi pemanenan lebih ekstensif. Fisik : data komposisi spesies dan potensial hasil; sebaiknya padatanah-tanah yang subur. Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital rendah; teknologi tradisional; taraf pengelolaan rendah hingga medium, penelitian tentang sistem pengelolaan dan potensial hasil. Fisik: data tentang komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur; pada slope hingga 50%; DI sekitar wilayah desa. Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital rendah; teknologi tradisional atau semi-tradisional; taraf pengelolaan medium, perencanaan dan implementasinya di bawah supervisi lembaga kehutanan. Fisik: data tentang kompoisi spesies, potensial, dimensi dan hasil tanaman hutan dan tanaman pertanian, pengetahuan tentang kompetisi antara spesies pohon dan tanaman pertanian; pada tanah-tanah yang tingkat kesuburannya moderat dan peka erosi; pada slope < 30%; aksesibilitas internal dan eksternalnya baik. Non-fisik: input tenagakerja medium; investasi kapital rendah hingga medium; teknologi tradisional atau semi-tradisional; taraf pengelolaan medium atau tinggi, perencanaan yang baik dan intensif terhadap penggunaan lahan ini, termasuk sistem penelitian dan pengelolaannya. Fisik: data komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur,data penutupan tajuk dan penutupan permukaan tanah; pada areal yang sangat peka erosi, dengan slope > 70%. Non-fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital rendah; teknologi tradisional; taraf pengelolaan medium, pengetahuan tentang perlakuan silvikultur dan konservasi tanah. Fisik: komposisi vegetasi yang sesuai, berselang- seling dengan tempat terbuka; kondisi iklim yang nyaman, lokasi kamping atau slope <15%, aksesibilitas eksternal dan internal yang bagus, fasilitas rekreasi yang memadai. Non-fisik: input tenagakerja medium hingga tinggi; investasi kapital medium hingga tinggi; teknologi tradisional atau semi- tradisional; taraf pengelolaan medium hingga tinggi, pengetahuan tentang pemanfaatan kawa san hutan untuk wisata. 20 4.6. Kriteria Evaluasi Tingkat Kesesuaian Lahan (1). Kriteria Kualitas Lahan Tiga macam kualitas lahan yang pokok adalah (i) aksesibilitas eksternal, (ii) vegetasi, dan (iii) kelas kemiringan lahan. Kriteria yang berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam prosedur 'matching' disajikan dalam Tabel 3, 4, dan 5. Tabel 3. Evaluasi tingkat kesesuaian kualitas lahan "aksesibilitas eksternal" untuk setiap Pemanfaatan Lahan (LUT); S = umumnya sesuai; NS = tidak sesuai; n.r. = tidak relevan) No. LUT Deskripsi 1. 2. 3. 4. Hutan lindung tetap Hutan alam konservasi air Hutan alam konservasi tanah Hutan produksi alamiah ekstensif: Tradisional Semi tradisional Maju 5. Hutan produksi alamiah intensif Tradisional Semi tradisional Semi maju Maju 6. Hutan tanaman Timber Tradisional Semi tradisional Semi maju 7. Hutan tanaman kayu pulp Semi tradisional Semi maju 8. Hutan tanaman kayu bakar 9. Hutan tanaman bambu 10. Hutan rakyat 11. Agro-hutani 12. Hutan tanaman konservasi tanah 13. Hutan wisata Sangat mudah NS n.r n.r Mudah Sulit Sangat sulit NS n.r n.r S n.r n.r. S n.r n.r S S S S S S S S NS NS NS NS S S S S S S S S NS S S S NS NS S NS NS NS NS NS S S S S S S NS NS NS NS NS NS S S S S S S S S S S S S NS S NS S NS S NS NS NS NS NS NS S S NS NS Keterangan: Tradisional dan semi tradisional : hanya akses dengan jalan kaki Maju dan semi maju : akses kendaraan. 21 Tabel 4. Evaluasi tingkat kesesuaian kualitas lahan "vegetasi" untuk setiap LUT. No LUT A B C Fase degradasi hutan alam: D E F G Hutan tanaman 1 S1 S2 S3 NS NS NS NS NS 2 S1 S1 S2 S2 NS S3 S3 NS 3 S S S S S S S NS 4 S S S S NS S S NS 5 S S S NS NS S S NS 6 7 | 8 | 9 | 10 |---- n.r 11 | 12 13 S S S S NS S S S Keterangan: S = umumnya sesuai; S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = hampir sesuai; n.r = tdk relevan. 22 Tabel 5. Evaluasi kesesuaian karakteristik lahan "slope" untuk setiap LUT No LUT Teknologi <30% 1 2 3 4 Kelas Slope: 30-50 50-70 70-100 >100 n.r n.r NS S3 S2 S2 S1 S1 S2 S3 S1 S2 S3 NS S1 NS NS Ns 5 S1 S1 S2 S3 S1 S2 S3 NS S1 S2 NS NS S1 NS NS NS 6 S1 S1 S2 S3 S1 S2 S3 NS S1 S2 NS NS 7 S1 S2 S3 NS S1 S2 NS NS 8 S1 S1 S2 S3 9 S1 S1 S2 S3 10 S1 S1 S2 S3 11 S1 S2 S3 NS 12 S3 S3 S2 S2 13 S1 S2 S2 S3 Keterangan: n.r. = tidak relevan; NS = tidak sesuai; S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = sesuai. Tradisional Semi-tradisional Maju Tradisional Semi tradisional Semi maju Maju Tradisional Semi tradisional Semi maju Semi tradisional Semi maju S1 NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS NS S1 NS hampir 23 4.7. Evaluasi Lahan Untuk Penggunaan Non Pertanian (Sumber: Sarwono, 1980, USDA, 1971, FAO, 1978). 1. Evaluasi Lahan untuk Daerah Wisata/Rekreasi 1.1. Lapangan tempat bermain (play ground) Tempat bermain dalam hal ini adalah tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain sepakbola, bola voli, badminton, baseball, dan olah raga permainan lainnya. Tabel 6. Kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk tempat bermain Sifat Tanah Drainase tanah Bahaya banjir Permeabilitas Kemiringan Tekstur tanah permukaan*) Dalamnya batuan Kelas kesesuaian dan faktor penghambat Sedang Buruk Agak baik dan Agak jelek, agak jelek, jelek, sangat jelekdan agak baik Air tanah lebih dari 75cm Air tanah lebih dari 50cm Air tanah kurang 50cm Baik Cepat, agak cepat, baik Tidak pernah Sekali dalam dua tahun Lebih satu kali dalam dua tahun. Sngat cepat, sdg 0-2% lp,lph,lpsh l, ld > 100 cm Agk lambat, lmbt 2-6% lli,llip, llid, pl 50-100 Sangat lambat> 6% lip, lid, li,p,pl,tnh org. < 50 cm Kerikil dan kerakal (0.2-25cm) 0% < 20% > 20% Batu ( > 25 cm) 0 0.01-3% > 3% Batuan 0 0.01-0.1% > 0.1% Keterangan: *) lp = lempung berpasir; lph = lempung berpasir halus; lpsh = lempung berpasir sangat halus; l = lempung; ld = lempung berdebu; lli = lempung liat; llip = lempung liat berpasir; llid = lempung liat berdebu; pl = pasir berlempung; lip = liat berpasir; lid = liat berdebu; li = liat; p = pasir; pl = pasir berlempung. Dengan demikian permukaan lahan akan terus diinjak-injak oleh para pemain dan penonton. Oleh karena itu dierlukan daerah yang datar, drainasenya baik, mempunyai tekstur dan konsistensi yang mampu mendukung permukaan tanah menjadi teguh, juga tanah tidak berbatu-batu. Kriteria evaluasi disajikan dalam Tabel 6. 1.2. Lahan tempat berkemah (camping ground) Tempat berkemah adalah tempat untuk menginap dengan menggunakan tenda, beserta kendaraan kemah dan segenap aktivitas di luar perkemahan "(outdoor living)". Dalam kondisi seperti ini tanah harus dapat dilewati berulang-kali oleh manusia atau secara terbatas oleh kendaraan. Kriteria evaluasinya disajikan dalam Tabel 7. 24 Tabel 7. Kriteria evaluasi untuk tempat berkemah Sifat tanah Drainase*) Banjir Permeabilitas Kemiringan Tekstur tanah permukaan Kerikil dan kerakal Batu Batuan Kesesuaian lahan Baik c, ac,b,ab Sedang ab, aj. Buruk aj, j, sj. Air tanah lebih dari 75cm Tanpa musim kemah Sangat cepat, sedang 0-8% lp,lph,lpsh l, ld (bukan pasir lepas) 0-20% Air tanah lebih dari 50cm Tanpa dalam musim kemah Agak lambat, lambat 8-15% lli,llip, llid, pl, p (mudah terbang,organik 20-50% Air tanah ku rang 50cm Banjir dalam 0-0.1% 0.01 0.1 - 3% 0.01-0.1 > 3% > 0.1% Sangat lambat > 15% lip,lid, pasir lepas > 50% *) c = cepat; ac = agak cepat; b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek. 1.3. Daerah untuk piknik Daerah untuk piknik adalah daerah semacam taman yang secara intensif digunakan untuk berpiknik. Kendaraan yang melewati jalan- jalan dalam taman tersebut dibatasi inten-sitasnya. Kriteria untuk evaluasi kesesuaian lahannya disajikan dalam Tabel 8. 1.4. Jalan setapak (paths dan trails) Jalan setapak yang dimaksud adalah jalan setapak yang sering digunakan untuk lintas alam (cross country). Daerah ini akan digunakan sebagai jalan setapak seperti dalam keadaan aslinya dan tidak ada pemindahan material tanah, baik dengan penggalian maupun penimbunan. Kriteria evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel 9. 25 Tabel 8. Kriteria evaluasi lahan untuk daerah piknik Sifat tanah Drainase Banjir Baik c, ac, b, ab. Muka air tanah Kesesuaian lahan: Sedang ab, aj. Muka air tanah ku Buruk j, sj. Muka air tanah ku- > 50 cm rang 50 cm Tanpa rang 50 cm hingga permukaan Banjir lebih 2 kali selama piknik > 15% lip,lid,li, Kemiringan Tekstur tanah 0-8% lp,lph,lpsh, Banjir 1-2 kali selama musim piknik 8-15% lli,llip, llid,pl, permukaan Kerikil/kerakal l, ld 0-20% p, (tidak lepas) 20-50% p(lepas), organik > 50% Batu Batuan 0-3% 0-0.1% 3 -15 0.1-3% > 15% > 3% Tabel 9. Kesesuaian lahan untuk jalan setapak Sifat tanah Drainase Banjir Kemiringan Tekstur tanah permukaan Kerikil/kerakal Batu dan Batuan Baik c,sc,b,ab. Muka air tanah lebih dari 50cm Sekali setahun Kesesuaian Lahan: Sedang aj. Muka air tanah < 50 0-15% lp,lph,lpsh, l, ld 0-20% 2-3 kali atau kurang setahun 15-25% llid,llip, lli ,pl 20-50% 0-0.1% 0.1-3% Buruk j,sj. Muka air tanah<50cm, sering dekat dengan permukanLebih 3 kalisetahun >25% lip,lid,li, p, organik > 50% > 3% 2. Kesesuaian Lahan untuk Gedung Tempat Tinggal Bangunan gedung tempat tinggal yang dimaksud di sini adalah bangunan gedung yang bebannya tidak lebih dari tiga lantai. Penentuan kesesuaian lahannya didasarkan pada kemampuan tanah sebagai penopang pondasi bangunan. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah, dan sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan biaya penggalian dan konstruksi. Daya dukung tanah ditentukan oleh kerapatan (density), tata air tanah (wetness), bahaya banjir, plastisitas dan tekstur, potensi mengembang dan mengkerut. Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi ditentukan oleh tata air tanah, kemiringan, kedalaman tanah hingga ke hamparan batuan, dan keadaan batu di permukaan (USDA, 1971). 26 Tabel 10. Kriteria kesesuaian untuk tempat tinggal Sifat tanah Kesesuaian lahan: Sedang Buruk Bangunan dengan ruang bawah tanah: Baik hingga sangat baik Sedang Agak buruk- terhambat Baik Drainase Sedang hingga Sngt cepat Air tanah musiman ( > 1 bulan ) Banjir Lereng Potensi mengembang dan mengkerut Tanpa ruang bawah tanah: Buruk hingga Agak buruk Terhambat Dengan ruang bawah tanah: > 150 cm > 57 cm Tanpa 0 - 8% Rendah Besar butir*) GW,GP,SP,GM Batu kecil Tanpa-sedikit Batu besar Dalamnya hampar Tanpa an batuan > 150 cm > 75 Tanpa ruang bawah tanah: > 50 Tanpa 8 - 15% Sedang < 75 ML, CL, CH,MG,OL,OH dengan PI<15 GC,SM,SC,CL dengan PI>= 15 Sedang Sedikit Tanpa ruang bawah tanah: < 50 Jarang-sering > 15% Tinggi Agak banyaksangat banyak Sedang-sgt banyak 100-150 <100 cm Dengan ruang bawah tanah: > 100 cm 50-100 < 50 cm *) LL = liquid limit; PI = indeks plastisitas; GW = gravel GP = gravel, SP = pasir; SM = pasir berlempung; CL = liat; ML = lempung; CH = liat berdebu; MG= lempung berdebu. (Sumber: USDA, 1971). 3. Kesesuaian Lahan Untuk Pembuatan Jalan Dalam bab ini yang dimaksud dengan Jalan adalah jalan yang terdiri atas (i) tanah setempat yang telah diratakan (tebal penggalian atau pengurugan tanah kurang dari 6 meter) dan disebut "subgrade"; (ii) lapisan dasar (base) yang terdiri atas kerikil, batu pecahan, penstabil tanah dari kapur atau semen; (iii) lapisan permukaan yang fleksibel (aspal) atau keras (beton), atau kerikil yang direkatkan seperti di pedesaan. Jalan ini dilengkapi dengan saluran drainase di kedua sisinya. Sifat-sifat tanah yang dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembuatan jalan adalah kekuatan tanah, stabilitas tanah dan jumlah tanah galian-urugan yang tersedia (USDA, 1971). Kriteria evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel 11. 27 Tabel 11. Kriteria evaluasi untuk pembangunan jalan Sifat tanah Drainase Banjir Baik c, ac,b,ab Tanpa Lereng Dalamnya hampar- 0-8% >100 cm an batuan Subgrade: Indeks AASHO Unified Potensi mengem- 0-4 GW,GP,SW,SP, CL dengan PI Rendah bang-mengkerut Batu 0-3% Batuan besar 0-0.01% (Sumber: USDA, 1971). Kesesuaian lahan Sedang aj kung dari se kali dlm 5 th 8-15% 50-100 Buruk j, sj Lebih dari sekali >15% <50 5-8 GM,GC,SM,SC < 15 , CL dgn PI Sedang >8 >= 15,CH,MH OH,OL,Pt Tinggi 3-15% 0.01-0.1% > 15% > 0.1% …………….bersambung!!!.......