pengelolaan sumberdaya hutan berbasis pertanian

advertisement
1
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN BERBASIS PERTANIAN
(dihimpun: smno.psdl.ppsub)
1. Arah dan Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan
Bangsa Indonesia sedang dihadapkan pada kondisi krisis yang mengkhawatirkan masa depan
bangsa dan negara ini. Proyeksi pertumbuhan ekonomi diperkirakan antara (-) 5 % sampai dengan 15%, sedangkan pada beberapa tahun terakhir rata-rata di atas 7% per tahun. Pertumbuhan yang
negatif tersebut mempunyai dampak kuat terhadap penurunan kualitas hidup rakyat, mandeknya roda
perekonomian dan membengkaknya angka pengangguran serta pengaruh lainnya yang pada akhirnya
akan berdampak pada kualitas lingkungan hidup. Selain itu, bangsa Indonesia juga dihadapkan pada
ancaman kekurangan pangan. Keadaan ini diperburuk oleh minimnya kas negara baik dalam bentuk
rupiah maupun nilai tukar mata uang asing (devisa) yang mengharuskan seluruh komponen bangsa
untuk mengerahkan segala daya upaya demi memperbaiki keadaan yang telah amat buruk ini.
Koreksi terhadap kebijaksanaan negara dan pemerintah harus dapat segera dilaksanakan
dengan mengembalikannya kepada amanat dan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam UUD
1945. Namun hendaknya reformasi ini tetap berada dalam koridor konstitusi UUD 1945, karena
dalam UUD inilah tertuang cita-cita luhur bangsa Indonesia. Dengan demikian bagaimanapun dan
apapun reformasi pembangunan yang akan dilakukan akan dapat mengantarkan bangsa Indonesia
menuju tatanan kehidupan yang lebih beradilan dan berkemakmuran.
Dalam Pasal 33 UUD 1945 disebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat. Dengan demikian jelas bahwa sumberdaya hutan sebagai salah satu kekayaan sumberdaya
alam yang mengemban fungsi produksi sekaligus fungsi perlindungan, sosial dan budaya, harus
dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Amanat
ini hendaknya dijabarkan secara cermat dan melandasi visi dan misi dalam mengelola dan
membangun sumberdaya hutan dan kehutanan di Indonesia.
Pengelolaan sumberdaya hutan selama ini masih belum dapat memberikan manfaat yang adil
dan merata pada berbagai lapisan masyarakat. Ketidak-adilan dalam pemberian akses terhadap
sumberdaya hutan telah menyebabkan terjadinya polarisasi pemilikan HPH kepada pengusahapengusaha skala besar. Selain itu, menimbulkan berbagai dampak negatif seperti antara lain
inefisiensi pengelolaan sumberdaya hutan, terjadinya private land banking dan berkembangnya
perilaku yang cenderung mengejar rente ekonomi dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan.
Dalam pada itu, lemahnya kelembagaan pengelolaan hutan, khususnya fungsi kontrol, menyebabkan
penerapan konsep pengelolaan hutan lestari nyaris tidak dapat dilakukan sebagaimana diidamidamkan. Akibatnya eksploitasi sumberdaya hutan dilakukan secara berlebihan sehingga hutan
menjadi rusak serta menurun potensi dan kualitasnya. Di sisi lain menyebabkan terjadinya
kesenjangan sosial antar daerah dan wilayah, antar sektor pembangunan, antar kawasan dan antar
golongan masyarakat.
Dapat dimaklumi bahwa dengan sumberdaya hutan yang demikian luasnya, maka fungsi
kontrol terhadap keberadaan sumberdaya hutan oleh pemerintah sangat tergantung pada kemampuan
kelembagaan. Hasil penelitian mengenai faktor-faktor penyebab kerusakan hutan di 120 negara
termasuk Indonesia menunjukkan bahwa kerusakan hutan lebih banyak disebabkan oleh lemahnya
kelembagaan yang pada dasarnya menyangkut lemahnya pengamanan terhadap kepemilikan hutan
(property right). Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia, dimana sumberdaya hutan
dikuasai oleh negara dan dikelola oleh pemerintah, akibat lemahnya kelembagaan, hutan cenderung
menjadi common property atau nobody property. Implikasinya adalah eksploitasi sumberdaya hutan
yang berlebihan, maraknya pemanenan ilegal, kebakaran hutan di banyak tempat dan tak kunjung
padam, yang pada akhirnya dikhawatirkan akan mengikuti alur cerita klasik tragedy of common.
2
Dengan demikian, agar fungsi kontrol dapat berjalan dengan baik, efektif dan efisien, maka
kelembagaan perlu dibangun dan diperkuat. Dalam kerangka ini masyarakat khususnya yang berada
di sekitar hutan harus diberi akses dan kesempatan untuk mengambil peran secara aktif dalam
pengelolaan sumber daya hutan, sehingga masyarakat tersebut akan merasa ikut memiliki dan akan
senantiasa menjaga agar manfaat dari sumberdaya hutan dapat mereka terima secara berkelanjutan.
TUJUAN PENGELOLAAN HUTAN:
Kontrol struktur tegakan yg spesifik dg pengendalian proporsi relatif : lewat masak, masak, sapihan, belukar, reproduksi & gulma
Memerlukan pengertian ttg:
DINAMIKA TEGAKAN:
yang menghasilkan struktur:
Perbedaan pertumbuhan
Jenis dan Individu
dan perilaku ekosistem
silvikultur mengontrol struktur dgn:
Perlakuan-perlakuan:
Pemungutan hasil, Persiapan tempat
tumbuh; Regenerasi; Pemilihan jenis
Penjarangan/Pemangkasan;
Pemupukan/Penyiangan
yang mengontrol kembali
Penampilan fisiologis relatif:
Produksi karbohidrat
Tata air; hasil air
Reproduksi
BERPENGARUH LANGSUNG THD:
Semua ini mengontrol
POTENSI GENETIK
LINGKUNGAN KERJA
3
Berbagai gejala yang mencerminkan belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya hutan tidak
terlepas dari strategi pembangunan nasional yang pada prinsipnya ditempuh melalui upaya-upaya
“membesarkan kue pembangunan yang kemudian dibagikan secara tidak merata”. Kenyataan
menunjukkan bahwa strategi ini telah menciptakan struktur perekonomian yang kurang kokoh dan
rentan terhadap gejolak ekonomi walaupun diperoleh angka pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi.
Ketika arus globalisasi semakin menguat di awal tahun 1990-an penyesuaian strategi dasar tidak
segera dilakukan. Sehingga hampir di semua sektor tidak mempunyai strategi penangkalan yang
mampu memperkecil resiko dari gelombang liberalisasi tersebut. Akibatnya krisis ekonomi yang
melanda bangsa ini menjadi berkepanjangan dibandingkan dengan krisis ekonomi di Thailand,
Malaysia, Korea Selatan dan lain-lain.
Paradigma pembangunan sudah saatnya harus diganti, dari pembagian kue pembangunan
yang sekedar menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi menjadi pemberdayaan masyarakat.
Tanpa masyarakat yang berdaya, sulit rasanya bagi bangsa Indonesia untuk menghadapi tantangan
gelombang globalisasi dan liberalisasi yang tidak pernah toleran terhadap yang lemah. Dengan
masyarakat yang berdaya, dapat diharapkan partisipasi interaktif dan swakarsa dari masyarakat
sehingga pembiayaan pembangunan dapat ditekan serendah mungki dan daya saing produk menjadi
kuat. Dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat ini haruslah menjadi misi yang senantiasa
melandasi setiap langkah pembangunan kehutanan di Indonesia.
Untuk mengaktualisasikan paradigma pembangunan tadi ke dalam langkah-langkah yang
mengarah pada pemerataan kemakmuran, realitas-realitas yang ada, baik internal maupun eksternal
harus dijadikan pertimbangan. Pada saat ini sedang dihadapi berbagai krisis yang amat
mengkhawatirkan masa depan bangsa dan negara. Nilai tukar rupiah yang merosot tajam, angka
pengangguran yang melonjak, cadangan devisa yang semakin tipis dan parameter-parameter lainnya,
yang kesemuanya menuntut perhatian ekstra untuk segera melakukan upaya penyelamatan dari
keadaan yang lebih parah. Dalam pada itu, secara eksternal, gelombang globalisasi dan liberalisasi
ekonomi sudah tidak dapat dibendung dan sudah menjadi bagian hidup sehari-hari. Sehingga
alternatif yang dapat diambil oleh
bangsa Indonesia menjadi semakin terbatas, yaitu
mengintegrasikan ekonomi Indonesia ke dalam sistem ekonomi dunia. Merosotnya nilai rupiah
hendaknya tidak mematikan komitmen untuk mengintegrasikan ekonominya ke dalam sistem dunia
tadi. Dengan demikian, persoalannya adalah bagaimana reformasi kebijaksanaan pembangunan
dilakukan sehingga kompatibel dengan sistem ekonomi dunia, sekaligus mencari upaya penyelamatan
yang cepat dan tepat sebagai rintisan restrukturisasi perekonomian nasional. Strategi yang dapat
diterapkan pada tahapan ini adalah "resource based economic development” yang akan mendorong
perekonomian pedesaan menjadi andalan kebangkitan perekonomian nasional. Dalam kerangka ini
sektor-sektor kehutanan, perkebunan dan pertanian akan menjadi tumpuan utama.
Visi pembangunan kehutanan adalah hutan untuk kemakmuran rakyat, sedangkan misi
yang diemban antara lain adalah pemberdayaan masyarakat.
Rambu-rambu lainnya yang harus diperhatikan adalah bahwa segala upaya harus diarahkan
untuk memperkuat daya saing di pasar global sehingga keunggulan kompetitif mutlak harus
dikembangkan dengan memanfaatkan keunggulan komparatif yang ada. Dalam konteks ekonomi
global, sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan, akan semakin besar kadar kelangkaannya
sehingga dapat dipastikan akan memiliki keunggulan tinggi di pasar global. Oleh sebab itu,
kebijaksanaan struktur ekonomi nasional patut diarahkan pada kelompok komoditi yang bertumpu
pada sumberdaya alam tersebut (resource based development).
Seiring dengan meningkatnya kemampuan berkompetisi melalui upaya-upaya pemberdayaan
masyarakat, maka dapat diperkirakan Indonesia akan bangkit kembali dan tumbuh dengan kekuatan
yang jauh lebih besar dari semula. Dengan demikian langkah-langkah untuk menghapus konsentrasi
penguasaan dan memajukan pemerataan kemakmuran haruslah dipandang sebagai bagian dari , atau
4
haruslah ditempatkan dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat guna meraih keunggulan
komparatif dan kompetitif di pasar global.
Hal pertama yang segera perlu dilakukan adalah melakukan reorientasi politik-ekonomi
kehutanan ke arah ekonomi masyarakat dimana masyarakat secara proporsional diberi kesempatan
dan peluang untuk melakukan alokasi sumberdaya ekonomi yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan
demikian kekuatan ekonomi terbesar berada di dalam masyarakat dan tidak terpusat di tangan
pemerintah ataupun sekelompok orang. Sebaliknya sektor swasta juga diberi kesempatan, tetapi tidak
dominan sehingga tidak terjadi free fight liberalism. Untuk mewujudkan ekonomi masyarakat yang
demikian, pemberdayaan masyarakat menjadi kata kunci yang harus diupayakan realisasinya. Pada
prinsipnya pemberdayaan masyarakat dilakukan mengikuti mekanisme pasar karena pada akhirnya
masyarakat harus maju, ahli dan mampu secara mandiri berkompetisi dalam pasar. Namun sebelum
sampai ke sana, perlu dilakukan prakondisi terhadap masyarakat sehingga kondisinya sesuai dengan
mekanisme pasar. Untuk maksud tersebut gerakan pembangunan kehutanan diarahkan pada capacity
building, empowering, protecting, dan sustaining.
Capacity building ditempuh melalui pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan lestari.
Dalam hal ini, pembangunan infrastruktur fisik yang berhasil dibangun harus sekaligus dapat
dijadikan sebagai sarana untuk membangun infrastruktur sosial. Pada tingkatan ini nilai-nilai positif
yang tumbuh di dalam masyarakat akan berkembang menjadi norma-norma yang melembaga dan
akan menjadi acuan dalam pengelolaan hutan secara lestari.
Tiga sasaran yang harus dikembangkan dalam pengembangan kelembagaan adalah
(1). Pengembangan organisasi kemasyarakatan sebagai wadahnya,
(2). Pengembangan sumberdaya manusia sebagai pelaku dan
(3). Pengembangan pranata sosial sebagai penentu mekanisme prosedur dalam kelembagaan
masyarakat.
Empowering dimaksudkan untuk memperkuat potensi masyarakat sehingga
mereka
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi secara interaktif dan swakarsa serta dapat berfungsi
secara sosial dan ekonomi. Dalam kerangka ini penyediaan akses yang seadil-adilnya terhadap faktorfaktor produksi seperti sumberdaya hutan, lahan, permodalan, teknologi, termasuk aspek dana dan
pasar sangat diperlukan.
Protecting secara selektif perlu juga dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan yang
tidak seimbang serta mencegah eksploitasi yang kuat terhadap yang lemah. Dalam kaitannya dengan
hal ini, UU anti monopoli yang saat ini sedang dipersiapkan akan sangat mendukung. Kondisi
masyarakat yang sudah siap tersebut harus dapat berlangsung secara berkelanjutan dan mempunyai
ketahanan yang kokoh dalam menghadapi arus globalisasi.
Satu hal strategis lainnya yang perlu dilakukan adalah merubah paradigma pembangunan
kehutanan yang bertumpu pada "timber management”, yang berorientasi pada perolehan hasil hutan
berupa kayu. Perubahan ini ditujukan menjadi "forest resource management” yang memandang
hutan sebagai ekosistem lengkap dengan keaneka-ragaman hayati yang dikandungnya, yang mampu
berperan dari aspek ekonomi, ekologi, dan sosial.
Selama ini komoditi-komoditi hasil hutan non-kayu belum mendapat porsi perhatian yang
memadai, padahal potensinya sangat besar. Potensi tersebut antara lain bahan obat-obatan
tradisional, produk-produk yang dapat diperoleh dari satwa hutan, tanaman hias, madu, gaharu, getah
(jelutung, karet, pinus), rotan, buah tengkawang dan kemiri, serta jasa wana-wisata. Apabila ini semua
dikembangkan, maka akan terjadi banyak pilihan bidang usaha yang akan memperkaya usaha
kehutanan dan pemerataan kemakmuran. Disamping itu sebagian besar jenis komoditi tersebut dapat
diusahakan dalam skala usaha yang tidak harus sekala besar dan tidak padat modal, sehingga
merupakan peluang menarik bagi usaha-usaha kecil dan menengah.
Teknologi komunikasi telah berkembang sangat cepat dan mendorong terjadinya globalisasi
dimana nyaris tidak ada lagi sekat-sekat yang dapat membuat suatu negara mengisolir diri. Informasi
5
tentang kejadian di suatu benua, sekejap akan dapat diketahui di benua lain melalui jaringan internet.
Implikasi dari gejala ini adalah berkembangnya kesadaran dan eksistensi diri sehingga semua pihak
menuntut untuk dapat ikut terlibat dalam proses pembangunan. Dengan kata lain, globalisasi telah
mendorong berkembangnya demokratisasi. Menyikapi perkembangan ini maka untuk meningkatkan
efektifitas dan efisiensi pembangunan kehutanan perlu dikembangkan partisipasi masyarakat hutan.
Partisipasi ini harus merupakan partisipasi interaktif dan swakarsa , bukan partisipasi pasif yang
dipaksakan dari luar. Untuk itu pendekatan pembangunan kehutanan adalah “community based
development” dengan penerapan prinsip-prinsip:
(1) intended beneficieries harus jelas,
(2) bersifat local specific,
(3) public accountability terjamin, dan
(4) transparancy.
Sesuai dengan kaidah pembangunan, dimana pada prinsipnya pembangunan dilakukan
melalui investasi publik (masyarakat), tugas pemerintah adalah mengatur, membina, mendorong,
membantu, memonitor dan mengendalikan jalannya pembangunan yang diwujudkan dalam
pembangunan infrastruktur, baik fisik maupun sosial (kelembagaan masyarakat) sebagai landasan
keberlangsungan investasi publik. Ada tujuh hal yang harus dipersiapkan dalam rangka pemberdayaan
ekonomi masyarakat yaitu:
(1) aspek legalitas,
(2) kelembagaan masyarakat
(3) IPTEK yang tepat daya,
(4) pendidikan, pelatihan dan penyuluhan yang tangguh,
(5) pendanaan,
(6) pengembangan industri dan
(7) aspek pasar.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kelembagaan, aspek legal (legal aspect) memegang
peranan penting guna menciptakan mekanisme prosedur yang adil dan tidak menimbulkan konflik.
Searah dengan semangat reformasi dan sebagai implementasi dari paradigma baru pembangunan
kehutanan dan perkebunan
telah dilakukan penyempurnaan terhadap berbagai peraturan
perundangan. Pada saat ini sedang dipersiapkan dan dirumuskan perubahan-perubahan terhadap UU
No.5 Tahun 1967 tentang UU Pokok Kehutanan. Selain itu telah diterbitkan PP No. 6 Tahun 1999
tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, sebagai pengganti
PP No 21 Tahun 1970 Jo. PP No. 18 Tahun 1975.
Dalam PP No 6 tahun 1999, masyarakat lokal rnelalui koperasi diberi kesempatan untuk
berperan secara nyata dalam pengusahaan sumberdaya hutan. Dalam pada itu, juga telah dikeluarkan
SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 yang mengatur tentang pengusahaan hutan kemasyarakatan,
serta SK Menhutbun No 728/Kpts.-II/1998 tentang Penetapan Luas Maksimum Pengusahaan hutan
dan Budidaya Perkebunan.
Dalam rangka implementasi kebijaksanaan pembangunan hutan yang berdimensi kerakyatan
untuk memberdayakan ekonomi rakyat, khususnya yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan
hutan diperlukan komitmen yang kuat dari semua pihak yang terkait. Kendala dan tantangan yang
dihadapi sangat besar, namun demikian diyakini bahwa pengelolaan hutan dengan tidak
meninggalkan masyarakat lokal akan mampu mengurangi laju kerusakan hutan pada tingkat yang
dapat ditolerir. Prakondisi masyarakat dan pendampingan terhadap masyarakat merupakan kunci
keberhasilan dari upaya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
6
2.
KEBIJAKSANAAN DAN
REHABILITASI LAHAN
STANDAR
TEKNIS
REBOISASI
DAN
2.1. Pengembangan Bidang Usaha Hutan Rakyat
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Hutan rakyat merupakan suatu lapangan bertumbuhan pohon-pohon di tanah milik dengan luas
minimal 0,25 ha dan ditandai dengan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan minimal 50 %.
Pengembangan bidang usaha hutan rakyat terdiri dari kegiatan pembuatan persemaian
/pembibitan, dan pembuatan tanaman pada areal model dan dampak hutan hutan rakyat.
Sasaran lokasi hutan rakyat adalah lahan milik adat, dan lahan garapan yang tidak produktif.
Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kehendak /minat masyarakat, pertimbangan kesesuaian
agroklimat dan dikembangkan dalam luasan yang secara ekonomis dapat dipasarkan dan
menguntungkan, yang diwujudkan melalui kesepakatan kelompok. Komposisi jenis tanaman
terdiri kayu-kayuan sebesar  70% dan jenis pohon serbaguna (Multi Proposes Tree Species)
sebesar  30 %. Pembuatan tanaman dilaksanakan dalam areal model seluas 25 ha (equivalen 1
unit) yang menjadi inti untuk pembinaan kelembagaan dan areal dampak seluas 250 ha dari
pengembangan equivalen 1 (satu) unit areal model, sebagai areal pengembangan usaha dengan
jumlah tanaman pada tahun l adalah 400 batang/ha.
Penyelenggara pengembangan bidang usaha hutan rakyat adalah pelaksana proyek, sedangkan
pelaksananya adalah kelompok tani yang tumbuh dan berkembang dari para petani/peserta
kegiatan hutan rakyat dari desa/kecamatan setempat. Kelompok tani tersebut didampingi oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat setempat.
Pengelolaan kegiatan setelah proyek padat karya berakhir dilanjutkan oleh kelompok tani
dengan melaksanakan pemeliharaan tanaman sampai umur pemungutan hasil dan melakukan
pengaturan kelestarian tanaman. Pengaturan hasil pembangunan hutan rakyat diserahkan
sepenuhnya pada kelompok.
Waktu pelaksanaan penanaman disesuaikan dengan tahapan kegiatan pembangunan hutan rakyat
dan penanaman dimulai pada awal musim penghujan, pembibitan dapat dimulai pada bulan Mei
sedangkan pemeliharaan disesuaikan dengan keperluan.
2.2. Pengembangan Bidang Usaha Pemanfaatan Lahan di bawah Tegakan Hutan
1.
2.
Penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan merupakan kegiatan tanam-menanam
tumbuh-tumbuhan di bawah tegakan hutan dengan jenis tanamnan produktif tertentu (tanaman
pangan, buah-buahan, obat-obatan/rempah-rempah dan lain sebagainya) yang dapat memberikan
manfaat ekonomi terutama sumberdava makanan bagi masyarakat di sekitar maupun di dalam
hutan.
Sasaran lokasi penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan meliputi:
a. Areal model Hutan Rakyat
b. Di dalam Hutan Negara yang dikelola oleh Perum Perhutani
3. Persyaratan Teknis Lokasi, antara lain:
a. Tersedia ruang tumbuh yang memadai dibawah tanaman tegakan hutan;
b. Tanah subur atau kondisi tanah dapat kurang subur, tetapi masih memungkinkan untuk
ditanami dengan berhasil;
c. Kemiringan lahan maksimum 40 % atau masih diolah untuk penanaman tersebut dan tidak
menyebabkan erosi berat.
7
4.
5.
6.
7.
8.
Pemilihan jenis tanaman mempertimbanakan keinginan masyarakat, kesesuaian agroklimat,
tahan naungan, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perlindungan tanah dan air, serta
dalam skala usaha yang ekonomis.
Benih dan bibit tanaman untuk kegiatan penanaman tanaman bawah di bawah tegakan hutan
dipilih bibit dengan kualitas baik (bibit unggul atau unggul lokal).
Penyelenggara pengembangan bidang usaha hutan rakyat adalah pelaksana proyek, sedangkan
pelaksananya adalah para petani pemilik lahan, penggarap maupun pesanggem yang tergabung
dalam wadah kelompok tani (Kelompok Tani Hutan Rakyat maupun Kelompok Tani
Hutan/KTH).
Waktu pelaksanaan kegiatan disesuaikan dengan tahapan kegiatan dengan mempertimbangkan
jenis tanaman yang akan ditanam, jatuhnya musim hujan dan kebiasaan masyarakat setempat.
Pemanfaatan hasil panen PLBTH wajib diatur dan diperuntukkan bagi:
a. Pemililik lahan
b. Pekerja/kelompok tani
c. Modal kerja (sebagai dana bergulir).
Besarnya pembagian hasil panen ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku dan
kesepakatan bersama,
2.3. Intensifikasi Tumpangsari
1. Tumpangsari merupakan kegiatan usaha tani yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan
sebagai tanaman pokok dengan tanaman semusim. Pola tanam tumpangsari diatur sedemikian rupa
sehingga tanaman semusim tidak menyaingi tanaman pokoknya.
2. Sasaran lokasi intensifikasi tumpangsari adalah areal model dan dampak hutan rakyat serta
kegiatan HTI / Reboisasi/Rehabilitasi hutan dalam hutan produksi dengan kemiringan lahan
maksimum 25 %.
3. Tanaman semusim ditanam pada larikan antara tanaman pohon-pohonan dan  50 cm di kiri dan di
kanan larikan tanaman pohon-pohonan tidak diperbolehkan untuk tanaman semusim. Intensifikasi
tumpangsari dilaksanakan dengan penerapan usaha tani yang meliputi :
a. Penggunaan bibit tanaman yang berkualitas
b. Persiapan pengolahan dan konservasi tanah
c. Penggunaan pupuk dan diutamakan pupuk organik
d. Penggunaan insekesida dan herbisida apabila diperlukan karena adanya serangan hama atau
padang alang-alang dalam skala yang luas
e. Pemiiihan waktu penanaman dan pemupukan yang tepat
f. Pembinaan kelembagaan kelompok tani
g. Komoditi diupayakan yang seragam dalam skala yang ekonomis.
4. Jenis tanaman semusim terdiri dari padi, jagung, dan kacang-kacangan, serta jenis-jenis tanaman
lain yang bernilai ekonomis. Penetapan jenis tanaman didasarkan pada kehendak masyarakat,
pertimbangan agroklimat dan dalam luasan yang dapat dikembangkan sebagai suatu unit usaha
yang ekonomis.
5. Penyelenggara intensifikasi tumpangsari ini adalah pelaksana proyek, sedangkan pelaksananya
adalah pemilik atau penggarap tanah yang bergabung dalam kelompok tani. Kelompok tani
tersebut didampingi dan dibina oleh Lembaga Swadaya Masyarakat setempat.
6. Pemanfaatan hasil panen intensifikasi tumpangsari wajib diatur dan diperuntukkan bagi:
a. Pemilik lahan
b. Pekerja/kelompok tani
c. Modal kerja (sebagai dana bergulir).
8
Besarnya pembagian hasil panen ditetapkan sesuai ketentuan yang berlaku dan kesepakatan
bersama.
2.4. Pengembangan Bidang Usaha Persuteraan Alam
1. Pengembangan persuteraan alam merupakan rangkaian kegiatan yang meliputi penanaman
tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera dan pengolahan kokon dalam
bentuk model dan dampak yang dapat dikembangkan oleh masyarakat.
2. Sasaran lokasi dilaksanakan pada lahan milik masyarakat yang memenuhi syarat teknis maupun
sosial ekonomis.
3. Persyaratan lokasi kegiatan tersebut mempertimbangkan antara lain:
a. Kesesuaian tehnis dan agroklimat
b. Dekat dengan akses pasar/penampungan kokon
c. Konsentrasi penduduk padat/pengangguran dan rawan pangan
d. Merupakan satuan unit usaha tani persuteraan alam dalam skala usaha yang ekonomis.
4. Teknik budidaya persuteraan alam, meliputi antara lain:
a. Tanaman murbei digunakan jenis unggul/berdaun lebar.
b. Jumlah tanaman murbei minimal 10.000 pohon/ha
c. Bibit ulat sutera yang digunakan adalah jenis unggul dan yang sudah disertifikasi oleh
instansi yang berwenang.
d. Menggunakan peralatan yang sederhana dan tepat guna
e. Tanaman murbei dapat dikombinasikan dengan tanaman pangan dengan pola tumpangsari.
5. Penyelenggara pengembangan bidang usaha persuteraan alam adalah pelaksana proyek, sedangkan
peserta adalah petani pemilik lahan maupun masyarakat di sekitar lokasi yang berpartisipasi aktif,
dan tergabung dalam wadah kelompok tani.
6. HasiI kegiatan proyek padat karya pada kegiatan persuteraan alam menjadi hak milik sepenuhnya
dari pemilik lahan/peserta. Pemilik lahan diwajibkan terus menerus memelihara tanaman murbei,
bangunan ulat sutera dan pemeliharaan ulat sutera.
3. Konsep Wanatani - Agroforestry
Agroforestry merupakan salah satu bentuk multiple cropping yang telah banyak
dikembangkan, terutama di daerah-daerah up-land dan di sekitar kawasan hutan. Namun, tidak
menutup kemungkinan bentuk tersebut juga dijumpai di daerah-daerah rendah (low land) maupun di
daerah-daerah pertanian yang lain. Para ahli menyusun definisi dengan formulasi yang berbeda-beda
mengenai “agroforestry” ini, sesuai dengan bidang keahliannya masing-masing.
King dan Chandler (1978) mendefinisikan “agroforestry” sebagai
suatu “sistem
pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara
keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohonpohonan) dengan tanaman hutan dan /atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada
suatu unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan
kebudayaan penduduk setempat “.
9
Agroforestry sudah cukup lama dilaksanakan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah
berupa “teknologi usahatani” yang dilaksanakan dengan menanam pohon bersama-sama dengan
tanaman pertanian dan hewan ternak di atas sebidang lahan yang sama. Sebagai suatu sistem
penggunaan lahan, agroforestry menyiratkan pengertian bahwa pemanfaatan lahan harus dilakukan
seoptimal mungkin dengan mengusahakan pelestariannya. Tekanan pada konservasi lingkungan fisik
tersebut sesuai dengan sejarah awal mula munculnya konsep agroforestry, yang dirintis oleh tim dari
Canadian InternationaI Development Centre. Dalam survainya di beberapa negara berkembang, tim
tersebut menemukan praktek-praktek pengelolaan lahan yang salah, yang mengarah pada perusakan
lingkungan. Dalam laporannya, mereka merekomendasikan perlunya pencegahan perusakan
lingkungan secara sungguh-sungguh, dengan cara pengelolaan lahan yang dapat mengkonservasi
lingkungan fisik secara efektif, tetapi sekaligus dapat memenuhi tuntutan keperluan pangan , papan
dan sandang bagi manusia.
Menurut Kartasubrata (1991), dipandang dari segi ekologi dan ekonomi, “sistem
agroforestry” lebih kompleks daripada sistem monokultur. Produksi dari suatu sistem agroforestry
selalu beraneka ragam, yang satu dengan lainnya saling bergantung.
3.1. Produktivitas Sistem Agroforestry
Indikator “produktivitas” suatu ekosistem pertanian biasanya mampu mencerminkan berbagai
bentuk output yang dapat diukur, kuantitatif, dan bermakna penting, misalnya hasil tanaman.
Berbagai bentuk produk dari sistem agroforestry dikonsumsi langsung, tidak memasuki sistem
“pasar”, demikian juga beberapa bentuk hasil agroforestry bersifat “non-moneter”, dan bersifat
sebagai “jasa”.
a. Land Equivalent Ratio
Dua macam indikator produktivitas yang lazim dibunakan adalah Lend Equivalent Ratio
(LER) dan Harvest Index (HI). Konsep LER semula digunakan untuk menganalisis keragaan relatif
suatu komponen dari kombinasi pertanaman dibandingkan dengan pertanaman tunggalnya (IRRI,
1974). LER merupakan jumlah dari hasil relatif spesies-spesies yang menjadi komponen sistem,
yaitu:
m
LER =  yi / yii
I =1
dimana yi adalah hasil tanaman ke “I” dari suatu unit luasan intercropping ; yii adalah hasil dari
tanaman “I” yang ditanam secara monokultur pada area yang sama; dan yi/yii hasil relatif dari
tanaman ke “I”.
Dalam sistem agroforestry yang sederhana, menurut Rao dan Coe (1992), LER dapat
diabstraksikan sbb:
LER = Ci / Cs + Ti / Ts
dimana Ci adalah hasil tanaman sela intercropping, Cs adalah hasil tanaman (sela) yang ditanam
monokulktur, Ti adalah hasil tegakan dalam sistem intercropping, dan Ts adalah hasil tegakan pohon
yang ditanam monokultur. Kalau nilai LER = 1, berarti tidak ada tambahan manfaat produksi dari
pertanaman campuran; kalau LER < 1, berarti ada kerugian ; sedangkan kalau LER > 1, berarti ada
keuntungan tambahan dari sitem pertanaman campuran.
10
Kalau LER diukur pada kondisi kepadatan populasi yang sama dengan populasi pada sistem
monokultur dan campuran, maka LER sama dengan Relative Yield Total (RYT). Akan tetapi pada
kenyataannya dalam berbagai sistem agroforestry, populasi tanaman sela tidak sama dengan populasi
monokultur, sehingga nilai LER beragam sesuai dengan nilai kepadatan populasi ini. Konsep LER
mensyaratkan bahwa pertanaman tunggal yang digunakan dalam perhitungan ditanam pada
kepadatan optimum. Kalau keragaan tanaman sela pada suatu kepadatan populasi harus dibandingkan
dengan keragaan pada kepadatan optimumnya, maka perlu digunakan “keragaan tanaman sela” yang
diukur pada kepadatan optimumnya. Biasanya LER (RYT) kepadatan konstan digunakan kalau
tujuannya adalah untuk mengidentifikasi kombinasi tanaman yang menguntungkan (Nair, 1979).
Kesulitan lainnya dalam menerapkan LER untuk sistem agroforestry ialah bahwa LER tidak
mencerminkan keberlanjutan sistem. LER biasanya merupakan jumlah hasil-hasil relatif tanaman
komponen selama satu musim tanam, tidak mencerminkan produktivitas jangka panjang dari sistem.
Satu cara untuk mengatasi kesulitan ini adalah mengamati perubahan LER dari tahun ke tahun
selama periode waktu yang lama dan kemudian menggunakan informasi ini sebagai landasan untuk
menyusun indeks keberlanjutan. Pengukuran LER juga dianggap kurang relavan kalau tanaman sela
semusim dikombinasikan dengan tanaman tahunan pada saat masih muda. Petani produsen tidak
berminat untuk memaksimumkan dua komoditi secara simultan (memaksimumkan LER), tetapi lebih
berminat untuk memaksimumkan hasil tanaman sela dengan tidak mengganggu pertumbuhan dan
produksi tanaman tahunan secara siginifikan.
Indikator lain yang dapat digunakan untuk mengkaji produktivitas adalah Income Equivalent
Ratio (IER) dengan mempertimbangkan income masing-masing tanaman komponen sistem
agroforestry.
b. Indeks Panen (Harvest Index, HI)
HI lazimnya digunakan untuk menyatakan fraksi hasil ekonomis dari suatu tanaman terhadap
total produktivitasnya:
HI = (Produktivitas ekonomis) / (Produktivitas Biologis)
Indikator Hi ini sulit diterapkan dalam sistem agroforestry karena beberapa alasan, yaitu:
(1). Dalam perhitungan HI hanya digunakan bahan kering bagian tanaman di atas tanah, padahal
produksi bahan kering bagian tanaman di bawah tanah (perakaran tanaman) sangat penting ,
terutama dalam kaitannya dengan dinamika bahan organik tanah.
(2). Bahan kering tanaman lazimnya tidak mencerminkan nilai ekonomi produk.
(3). Perhitungan HI biasanya dilakukan atas dasar data satu musim pertumbuhan.
(4). Perhitungan HI belum mampu mencerminkan faktor sustainabilitas.
3.2. Wanatani - Agroforestry dan Pengelolaan Lahan
Agroforestry atau WANATANI atau AGROHUTANI merupakan suatu istilah kolektif
untuk beberapa praktek penggunan lahan dimana tumbuhan perennial berkayu ditanam secara sengaja
pada sebidang lahan bersama-sama dengan tanaman semusim dan/atau ternak, baik dalam bentuk
tatanan spasial dalam waktu yang bersamaan ataupun secara sekuensial. Berbagai macam kombinasi
pohon, tanaman semusim, pasture, dan ter-nak dapat tergolong dalam agroforestry.
Dalam
kebanyakan sistem agroforestry ini, pohon mempunyai peranan protektif, rejuvenatif, dan produktif,
tetapi kepentingan relatif dari peranan-peranan ini akan sangat beragam di antara sistem-sistem yang
berbeda. Oleh karena itu agroforestry tidak boleh dipandang sebagai suatu "obat mujarap" bagi
kebanyakan problem penggunaan lahan, tetapi arahan dan praktek-praktek khusus harus
dikembangkan untuk sistem-sistem agroforestry secara terpisah.
11
Apabila dapat dikelola dengan tepat, sistem agroforestry secara biofisik, ekonomis dan
budaya cocok untuk berbagai kondisi iklim, topografi, geologi, hidrologi, dan situasi tanah. Di
daerah-daerah yang sumberdaya lahannya relatif langka, tumbuhan pohon dan perennial berkayu
lainnya dapat dibudidayakan di lahan pertanian atau lahan gembalaan . Misalnya, tanaman pohon
dapat dimasukkan ke dalam sistem pertanaman semusim pada lembah dataran rendah yang subur
yang sangat cocok bagi pertanian intensif. Sistem penanaman pagar lapangan untuk menjadi pagar
hidup guna menangkal angin dan menghasilkan kayubakar atau hijauan pakan (misalnya di India).
Pohon telah ditanam dalam jalur-jalur lorong "(alley)" melintang lereng di antara padi gogo dan
jagung pada lahan-lahan curam untuk menyediakan mulsa, kompos, kayubakar, dan timber kecilkecil dan untuk mereduksi kehilangan tanah dengan jalan perkembangan terras secara bertahap dari
hasil penangkapan sedimen pada barisan pepohonan. Sistem seperti ini yelah menjadi sistem yang
sustainable di Cebu, Filipina. Teladan-teladan lain tentang kultivasi simultan pohon dan tanaman
semusim adalah berbagai tipe sistem pekarangan multistory dimana berbagai perennial dan
kadangkala sedikit tanaman semusim bersama dengan pohon. Di daerah-daerah dimana densitas
populasi penduduk masih relatif rendah dan lahan relatif banyak, maka sistem agroforestry temporer
dengan suatu rotasi pohon dan tanaman semusim dapat dilakukan. Ada dua pendekatan utama yang
sering digunakan bagi pengembangan agroforestry. Pendekatan pertama terdiri atas introduksi
pohon ke dalam sistem tanaman semusim atau sistem grazing. Tujuannya seringkali adalah untuk
menstabilkan penggunaan lahan secara umum dan untuk mengendalikan erosi terutama untuk
memelihara produksi pertanian pada lahan yang secara biofisik tidak sesuai. Pendekatan yang ke dua
terdiri atas kegiatan konversi lahan berhutan menjadi sistem agroforestry sebagai upaya untuk
meningkatkan produksi komoditi komersial atau produk-produk subsisten.
Pengadopsian sistem agroforestry sebagai suatu tipe penggunaan lahan biasanya akan
diputuskan oleh individu pemilik lahan atau pengguna lahan, berdasarkan atas kelayakan sosial dan
strategi minimisasi resiko atau perkiraan manfaat ekonomis. Dengan demikian sistem agroforestry
harus dirancang secara khusus berdasarkan kondisi daerah setempat, dengan memperhatikan praktek
penggunaan lahan yang berlaku secara lokal, kebutuhan masyarakat akan pa- ngan, kayu bakar,
timber, dan produk lainnya; serta preferensi masyarakat setempat. Di masa lalu, pemerintah jarang
yang berminat pada agroforestry, kecuali dalam sistem taungya yang dihubungkan dengan awal fase
perkembangan pekebunan-perkebunan besar.
Disamping faktor-faktor ekonomi, sosial, dan politik ini, ternyata kendala biofisik yang
berhubungan dengan kapabilitas lahan dan dampak fisik seperti perubahan rejim air, erosi,
sedimentasi, dan polusi agrokimia sangat penting bagi perencana land-use. Secara ideal, faktor
terakhir ini harus dipertimbangkan secara seksama dalam setiap sistem agroforestry. Introduksi atau
retensi pohon dalam sistem pertanian semusim tidak boleh dipandang sebagai suatu "safety net"
yang general untuk melawan degradasi sumberdaya lahan. Individu pohon atau kelompok pohon
tidak dapat diharapkan memberikan pengaruh yang sama terhadap lahan seperti ekosistem hutan yang
masih utuh, terutama pengendalian erosi (Wiersum, 1984). Kunci bagi kebaikan kualitas air dan
konservasi tanah tidak terletak pada pohon itu sendiri, melainkan pada praktek pengelolan yang
dilakukan dengan baik.
3.3. Seleksi dan pengembangan lokasi
Mengingat keanekaan sifat dari berbagai sistem agroforestry, maka hanya dimungkinkan
untuk melakukan genera lisasi secara umum tentang kesesuaian lahannya. Kalau sistem agroforestry
dikembangkan dengan jalan introduksi ternak, tanaman semusim, atau tanaman pohon ke dalam
daerah yang berhutan, maka arahan untuk "Pembukaan Hutan dan Tebang Pilih"
harus
dipertimbangkan untuk mengidentifikasikan daerah yang harus dikonversi dan yang tidak boleh
dikonversi. Arahan untuk konversi lahan hutan menjadi lahan grazing, menjadi tanaman pohon, dan
menjadi pertanian semusim harus diperhatikan secara seksama untuk mengetahui relevansinya bagi
setiap sistem agroforestry yang spesifik. Akan tetapi secara umum perkembangan agroforestry akan
12
dimulai bukan dengan mengkonversi lahan hutan, tetapi dengan introduksi pohon ke dalam sistem
pertanian semusim, atau dengan introduksi pohon naungan dalam sistem pertanian pohon (misalnya
kopi dan kakao).
Secara umum, sistem agroforestry tidak boleh dipraktek kan pada lahan yang
kemiringannya lebih dari 60%. Pada lahan yang kemiringannya 60-85%, agroforestry umumnya
dapat dipraktekkan dan hanya sustainable dalam hubungannya dengan rekayasa engineering
konservasi tanah, dan hal ini bisa tidak layak teknis bagi infrastruktur lokal dan juga tidak layak
ekonomis. Proporsi tanaman semusim dalam sistem yang memerlukan pengolahan tanah secara
teratur akan sangat mempengaruhi erosi tanah. Kalau tanah-tanah bera berada di bawah atau di antara
pohon-pohonan, maka terras diperlukan pada lahan dengan kemiringan kurang dari 60%. Pepohonan
dapat membantu perkembangan terras-terras ini kalau ditanam dan dikelola secara tepat sepanjang
garis kontur.
Agar supaya produksi pohon dalam sistem agroforestry harus berhasil secara ekonomis
maka diperlukan kedalaman tanah dan kualitas tanah yang memadai. Kelompok kerja internasional
mempertimbangkan bahwa kedalaman tanah yang diperlukan paling tidak 75-100 cm. Walaupun
sistem agroforestrydapat diimplementasikan pada loaksi yang telah mengalami degradasi sehingga
solum tanahnya dangkal, manfaat terutama akan berasal dari pelestarian konservasi tanah dan
perbaikan produksi tanaman semusim dan bukannya produktivitas yang tinggi dari tanaman pohon,
terutama manfaat dalam jangka pendek.
3.4. Pemilihan dan penataan pohon dan tanaman semusim
Salah satu faktor yang sangat penting dalam disain sistem agroforestry adalah pemilihan
spesies pohon dan tanaman semusim. Wiersum (1981) mengemukakan lima faktor utama yang harus
diperhatikan dalam disain sistem agroforestry, dan Mercer (1985) mengemukakan 23 kriteria yang
harus diperhatikan dalam pemilihan spesies pohon. Preferensi tanaman pangan lokal dan kondisi
agroklimat umumnya akan menentukan jenis tanaman pangan yang ditanam, sedang kan pemilihan
jenis tanaman pohon lebih banyak ditentukan oleh permintaan pasar. Dalam semua kasus ternyata
kompatibilitas antara tanaman pohon dan jenis tanaman lainnya juga sangat penting.
Tatanan spasial komponen-komponen dari sistem agroforestry merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi produktivitas, sustainabilitas, efektivitas konser vasi tanah, dan daya
menejerial. Arahan khusus akan meliputi hal-hal berikut ini:
(1). Gunakan sistem jalur atau barisan secara bergantian sepanjang kontur untuk maksimisasi
stabilisasi tanah
(2). Gunakan jenis yang memfiksasi nitrogen, untuk memperbaiki kesuburan tanah dan menyediakan
pupuk hijau
(3). Gunakan jenis pohon yang tumbuhnya cepat untuk mendapatkan manfaat dari konservasi tanah
dan produksi
(4). Kalau produksi kayu tidak diutamakan dari tanaman pohon, maka disarankan jarak 20 cm di
dalam barisan dan 1 meter di antara barisan rangkap pohon, dan 4 meter atau lebih di antara
pagar untuk tanaman semusim. Kalau barisan pohon digunakan sebagai "jangkar" bagi seresah
sisa pangkasan cabang dan ranting, maka pola seperti ini akan menghasilkan perkembangan
terras- terras dalam periode tiga tahun karena penjebakan material yang tererosi dari lahan di
sebelah atasnya. Jarak yang berbeda diperlukan untuk daerah semiarid dan arid, dan laju
perkembangan terras akan lebih lambat di daerah iklim kering.
(5). Untuk produksi kayu bakar dari barisan-pagar, diperlu kan jarak tanam pohon yang lebih lebar
baik dalam barisan maupun di antara barisan. Pengujian lokal mungkin diperlukan untuk
menentukan jarak tanam optimal, terutama di daerah kering. Jarak tanam sepanjang barisan
sebesar 50 cm hingga 2 meter mungkin akan sesuai, tergantung pada apakah kayubakar
merupakan produk yang diutamakan.
13
(6). Jarak tanam yang lebih lebar, hingga 4m x 4m atau 5m x 5m, dapat digunakan kalau jenis-jenis
timber atau legume ditanam secara langsung untuk pangan merupakan spesies pohon yang
utama. Bahkan di daerah kering jarak tanam perlu lebih lebar lagi.
3.5. Pengelolaan sistem Wanatani-Agroforestry
Arahan penting bagi sustainabilitas dan minimisasi dampak biofisik yang bersifat negatif
meliputi:
(1). Tanaman penutup tanah yang berupa tanaman hidup atau mulsa harus dipertahankan sepanjang
tahun di area tanaman semusim di antara pohon pohon atau barisan pohon untuk melindungi
permukaan tanah daripukulan air hujan, pemadatan, limpasan permukaan, dan erosi. Tanaman
pohon sendiri tidak akan menyediakan perlindungan ini secara otomatis; pada kenyataannya
bahkan mereka dapat meningkatkan efek erosi percik pada tanah yang kosong di bawah tajuk
pohon.
(2). Bahan organik topsoil harus dipertahankan dengan memasukkan pupuk hijau dan mulsa untuk
menjaga ketersediaan unsur hara dan air serta memperbaiki laju infiltrasi tanah
(3). Pemanenan bahan organik dan hara pada saat panen harus dibatasi pada produk-produk yang
dapat dijual saja. Residu tanaman dan pemangkasan harus digunakan sebagai mulsa atau pupuk
hijau.
(4). Perakaran yang rapat dalam topsoil harus dipacu untuk mencegah kehilangan unsur hara melalui
drainase dan untuk memelihara da memperbaiki struktur tanah. Misalkan, hindarilah
pengrusakan akar pohon pada saat kultivasi tanaman semusim dan minimalkan pemadatan
topsoil akibat lalulintas manusia dan ternak. Penggunaan pupuk hijau, pupuk kandang dan mulsa
akan memperbaiki kandungan hara dan air pada topsoil, dan memacu perkembangan akar.
(5). Pembakaran harus dihindarkan atau diminimumkan untuk mereduksi kehilangan hara.
(6). Praktek pengendalian hama secara terpadu harus dilakukan, dan penggunaan pestisida harus
diminimumkan untuk menghindari kepunahan musuh-musuh alami yang bermanfaat.
Penggunaan bahan agrokimia dan pengelolaan bahan-bahan limbah secara hati-hati.
(7). Kalau ternak gembalaan dimasukkan dalam sistem agroforestry, maka ketersediaan hijauan
pakan di musim kemarau harus menjadi pertimbangan utama dalam memilih jenis ternak dan
stocking-rate, kecuali kalau tersedia sumber pakan alternatif. Overgrazing dan pemadatan tanah
yang berlebihan harus dihindarkan.
(8). Gangguan ternak terhadap tanaman pohon yang baru tumbuh harus dihindarkan , terutama
tanaman timber.
(9). Pola lalulintas ternak harus dimanipulasi dengan meng gunakan barier vegetatif atau penghalang
lainnya supaya jalan ternak yang padat tidak langsung menuruni lereng cukup panjang atau
langsung ke saluran air.
3.6. Pemilihan Spesies dan Disain Sistem
Beberapa hal pokok yang harus diperhatikan dalam menentukan pilihan spesies pohon
adalah (Wiersum, 1981):
(1). Daya adaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat
(2). Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat lokal. Faktor yang dipertimbangkan
adalah:
i. Tanaman yang dihasilkan (pagan, cash,kayu,hijauan
ii. Waktu tenggang antara saat tanam dan panen
iii. Umur dan keteraturan produksi manfaat
iv. Periode produksi dalam hubungannya dengan kesesuaian terhadap distribusi tenagakerja
v. Popularitas lokal dengan spesies
vi. Ketersediaan pasar produk.
(3). Kesesuaian spesies dalam campuran tanaman
14
(4). Fungsi perlindungan lingkungan hidup (misalnya pe- ngendali erosi tanah, siklus hara)
(5). Karakteristik menejemen (penanaman, panen, pengolahan dan penyimpanan produk).
Menurut Mercer (1985), kriteria penting memilih jenis pohon untuk agroforestry meliputi:
(1). Pertumbuhan cepat, yang memungkinkan panen lebih awal dan hasil per hektar lebih
banyak,
(2). Kemampuan memfiksasi nitrogen dari udara,
(3). Bersifat multiguna,
(4). Produk pohon ada pasarnya,
(5). Ketersediaan bahan bibit yang memadai,
(6). Mempunyai sifat self-pruning,
(7). Rasio antara diameter tajuk dengan diameter bole rendah (yaitu lebar tajuk harus relatif
kecil dibandingkan dengan diameter),
(8). Toleran terhadap naungan dari sisi,
(9). Filotaksisnya harus memungkinkan penetrasi cahaya matahari ke permukaan tanah,
(10) Fenologinya harus menguntungkan bagi periode pertanaman semusim (terutama dalam
hubungannya dengan semi dan gugur daun),
(11) Gugurnya seresah cukup banyak dan mudah terdekomposisi,
(12) Sistem perakarannya dan karakteristik akar yang mengeksploitir lapisan tanah yang
berbeda dengan tanaman pertanian yang mendampinginya,
(13) Kompatibilitas di antara spesies annual dan perennial (misalnya interaksi alelopati dan
interaksi positif)
Dalam hubungannya dengan produk akhir maka karakteristik berikut ini diperlukan untuk
persyaratan tambahan, yaitu
(1) Pohon untuk produksi timber harus tinggi, cepat tumbuhnya, spesies sekunder dengan
batang lurus, kuat, kayu berbutir halus, dan karakteristik mesinnya bagus,
(2) pohon untuk kayubakar harus mempunyai berat jenis tinggi, regenerasinya mudah
dengan anakan atau bibit kecambah, cepat mengering, mudah dipanen dan diangkut,
(3) Spesies pagar harus mudah ditanam dan tumbuh , tahan terhadap korosi oleh paku dan
kawat,
(4) Pohon untuk buah dan sayur harus beradaptasi secara ekologis, dan harus digunakan
kombinasi pohon yang mampu menyediakan berbagai kebutuhan gizi,
(5) Pohon untuk produksi hijauan dan pupuk hijau harus mampu tumbuh cepat, memfiksasi
nitrogen, dan mempunyai kemampuan belukar yang hebat
4. KRITERIA EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN HUTAN
4.1. Umum
Sebagaimana telah DIDEFINISIKAN BAHWA, "area lahan tertentu" dapat disebut sebagai
'Satuan Pemetaan Lahan' atau 'Satuan Peta Lahan'. Area ini merupakan area lahan yang dipetakan
dengan karakteristik atau kriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tipe pemanfaatan lahan (Land Utilization Type, LUT) merupakan spesifikasi lebih lanjut dari
Tipe Utama Penggunaan Lahan. LUT ini ditandai oleh seperangkat spesifikasi teknis, dalam suatu
tatanan fisik, ekonomi, dan sosial yang ada. Atribut kelengkapan dari LUT meliputi data atau asumsiasumsi tentang tujuan dan produk, persyaratan fisik dan ukuran pemilikan lahan, persyaratan
infrastruktur, kapital dan tenagakerja, teknologi dan sumber enerji yang digunakan, taraf pengelolaan
dan penguasaan lahan.
15
4.2. Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan
Beberapa atribut penting bagi LUT untuk hutan adalah produk, slope, tenagakerja, kapital,
taraf teknologi dan pengelolaan. Beberapa definisi penting disajikan berikut ini:
(1). Tingkat Produksi
Rendah
: 0 - 5.0 m3/ha/tahun
Moderat
: 5.1 - 10.0
Medium
: 10.1 - 15.0
Tinggi
: 15.1 - 25.0
Sangat Tinggi
:
> 25.0
(2). Slope
0 - 3.0 %
15.1 - 30.0 %
3.1 - 5.0 %
30.1 - 50.0 %
5.1 - 8.0 %
50.1 - 70.0 %
8.1 - 15.0 %
70.1 - 100 % > 100 %
(3). Input tenagakerja per hektar per tahun:
Rendah
: 0.00 - 0.25 TOK/ha/tahun
Medium
: 0.26 - 1.00
Tinggi
: 1.10 - 3.00
Sangat tinggi
:
> 3.00
(4). Input tenagakerja total
Rendah
: 0.00 - 5.00
Moderat
: 6.00 - 25.00
Medium
: 26.00 - 100.00
Tinggi
: 101.00 - 500.00
Sangat tinggi
:
> 500.00
(5). Investasi kapital, Rp/ha/th
Rendah
:
0.00 - 2 500.00
Moderat
: 2 501.00 - 25 000.00
Medium
: 25 001.00 - 250 000.00
Tinggi
: 250 001.00 - 2 500 000.00
Sangat tinggi
:
> 2 500 000.00
(6). Investasi kapital total, Rp x 1000
Rendah
:
0 - 500
Moderat
: 501 - 5 000
Medium
: 5 001 - 50 000
Tinggi
: 50 001 - 500 001
Sangat tinggi
:
> 500 001
(7). Teknologi
A. Tradisional : manusia dengan per-alatan yang dioperasikan secara 'tangan' (handtools),
tenagakerja ternak.
B. Semi-tradisional : Tenagakerja manusia dengan motor, traktor pertanian, sedikit
tenagakerja manusia dengan handtools .
16
C.
Semi-maju : Mesin-mesin yag dirancang secara khusus, hampir tidak ada tenagakerja
manusia.
D. Teknologi Maju: Mesin-mesin multi-fungsi yang dirancang untuk menggantikan semua
tenagakerja manusia.
(8). Tingkat pengelolaan
A. Rendah : Satu tingkat dalam organisasi lokal, belajar pengetahuan melalui proses
pewarisan dan coba-coba, tidak ada sistem perencanaan untuk produktivitas dan
pengembangannya, kendali anggaran dilakukan secara harian dengan uang tunai atau
barang, pengalaman operasional hanya dengan teknologi tradisional.
B. Medium : Dua tingkat dalam organisasi lokal, latihan kerja, sasaran jangka panjang
diketahui, rencana kerja tahunan, sistem pemantauan yang ekstensif terhadap produktivitas
dan pengembangan, anggaran tunai tahunan, pengalaman operasional dengan teknologi
tradisional dan semi-tradisional.
C. Tinggi : Tiga tingkat dalam organisasi lokal, ada beberapa jasa pelengkap, tenagakerja
terlatih dan semi-terlatih, ada rencana jangka panjang dan rencana kerja tahunan, proses
pelaporan, kendali anggaran tahunan, sistem pemantauan untuk produktivitas dan
pengembangan, pengalaman operasional dengan teknologi semi-maju.
D. Sangat tinggi: Tiga tingkat atau lebih dalam organisasi lokal, jasa pelengkap sangat
banyak, tenagakerja terlatih dan sering mengikuti latihan kerja, rencana jangka panjang
dan rencana kerja tahunan jelas, sistem pelaporan dan pemantauan dengan komputer,
sistem kendali anggaran permanen, pengalaman operasional dengan teknologi semi-maju
dan maju.
4.3. Tipe-tipe LUT Hutan
Ada banyak tipe LUT Hutan yang dapat dideskripsikan, beberapa di antaranya adalah: Hutan
lindung tetap, Hutan konservasi air alamiah, Hutan konservasi tanah alamiah, Hutan produksi
alamiah: pengelolaan ekstensif, Hutan produksi alamiah: pengelolaan intensif, Hutan tanaman kaju
komersial (timber), Hutan tanaman kayu pulp, Hutan tanaman kayu bakar, Hutan tanaman bambu,
Hutan rakyat, Agro-hutani (agroforestry), Hutan tanaman konservasi tanah, Hutan wisata.
4.4. Tujuan Tipe Pemanfaatan Lahan untuk Hutan
Berbagai tipe pemanfaatan lahan untuk hutan mempunyai spesifikasi yang jelas mengenai
tujuan pengelolaannya. Beberapa hal pokok dijelaskan dalam Tabel 6.1.
17
Tabel 1. Tujuan dari tipe-tipe pemanfaatan lahan untuk hutan
No. Tipe Pemanfaatan
1. Hutan lindung
tetap pendidikan
2. Hutan konservasi air
alamiah
3. Hutan konservasi tanah
alamiah
Tujuan
Konservasi hutan alam pegunungan sebagai sumber
plasma nutfah dan untuk kepentingan penelitian dan
Pengamanan kesinambungan suplai air, untuk pertanian dan domestik.
4. Hutan produksi alamiah
dengan pengelolaan ekstensif
Konservasi tanah terhadap erosi dalam rangka un-tuk mencegah
kerusakan mekanik dan sedimentasi pada sistem penampung dan
penyaluran air, sangat penting ada lereng yang curam dan mudah
longsor.
Produksi kayu gergajian dan hasil kayu tambahandi hutan alam
pegunungan dengan tingkat produksi rendah
5. Hutan produksi alamiah
yang intensif
Produksi kayu gergajian dan kayu lain dengan produktivitas medium,
dengan preservasi fisiognomihutan.
6. Hutan tanaman
kayu timber
7. Hutan tanaman
kayu pulp
8. Hutan tanaman
kayu bakar
9. Hutan bambu
Produksi kayu gergajian untuk kebutuhan lokal
dan ekspor.
Produksi kayu pulp sangat fleksibel dengan biaya
murah.
Produksi kayu bakar dengan biaya murah
10. Hutan rakyat
11. Agro-hutani
Produksi kayu campuran di sekitar wilayah desa
Sistem hutan tanaman dengan ternak dan budidayatanaman pertanian
menggunakan sistem rotasi yangterkendali
12. Hutan tanaman
konservasi
Vegetasi penutup tanah di daerah yang sangat peka erosi dalam rangka
untuk mengamankan daerah di bawahnya-
13. Hutan wisata
Menciptakan fasilitas wisata di kawasan hutan.
Produksi material multiguna &sekaligus untukkonservasi tanah
4.5. Persyaratan Tipe-tipe Pemanfaatan Lahan Hutan
Beberapa persyaratan pokok bagi setiap tipe pemanfaatan lahan hutan disajikan dalam Tabel
2.
18
Tabel 2. Persyaratan pokok bagi setiap tipe pemanfaatan lahan hutan
No. Tipe
Pemanfaatan Lahan
Persyaratan
1.Hutan
tetap
lindung Fisik : Tipe-tipe vegetasi alamiah yang relatif tidak terganggu, luas minimum
setiap tipe vegetasi 50-100 ha, lokasi dan deskripsi tipe-tipe vegetasi Non-fisik :
input tenagakerja rendah, investasi kapital rendah, teknologi tradisional; taraf
pengelolaan medium, perlindungan terhadap gangguan, petak observasi
permanen, pemantauan perkembangan vegetasi, latihan dan pendidikan.
2.Hutan konservasi
Fisik: Distribusi hutan seimbang per Sub DAS, air alamiah , luas total minimum
7000 ha; data setiap sub-DAS tentang kekurangan/kelebihan air dan debit air di
batas hutan. Non fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat;
teknologi semi-tradisional, semi-maju atau maju; taraf pengelolaan medium,
pengalaman dalam konservasi air dan pemantauan perkembangan hutan,
konservasi tajuk dan perakaran, perlindungan terhadap gangguan, pemantauan
curah hujan dan debit air di batas hutan.
3. Hutan alam untuk
Fisik : komposisi vegetasi; klasifikasi erodibilitas DAS
konservasi tanah
Non-Fisik: Input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat; teknologi semitradisional atau semi-maju; taraf pengelolaan medium, pemantauan curah hujan,
sedimentasi dan perkembangan vegetasi, stimulasi tajuk, topsoil yang strukturnya
bagus dan perakaran yang dalam , perlindungan terhadap gangguan, ada
perencanaan jalan dan metode pemanenan.
4. Hutan produksi
Fisik : data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih;
alamiah
satuan-satuan hutan > 5 ha pada kemiringan > 100%, data tentangdata tentang
yangekstensif
kelas lereng, akses dari desa terdekat.
Non-fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital rendah hingga moderat;
teknologi semi-tradisional; taraf pengelolaan
rendah hingga medium,
pemantauan perkembangan hutan, perencanaan, perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan metode panen dan konservasi,
pelatihan personil. Lanjutan.
5. Hutan produksi
Fisik : data tentang komposisi dan dimensi vegetasi, estimasi tebang pilih;
alamiah yang
satuan-satuan hutan-> 25 ha pada lereng <70%, data tentang kelas ke miringan,
intensif
sistem jalan yang terencana dengan aksesibilitas potensial yang bagus.
Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital medium
hingga tinggi; teknologi semi-maju; taraf pengelolaan tinggi, perencanaan
perlakuan silvikultur, perlindungan terhadap gangguan, pengetahuan tentang
metode pembangunan jalan dan pemanenan, pelatihan personil.
6. Hutan tanaman
kayu timber
Fisik : data komposisi spesies, potensial dan dimensi silvikultur, syarat tumbuh
spesies tentang iklim, tanah dan hidrologi; tergantung pada teknologi yang
digunakan pada kemiringan hingga 50% atau 70%, sebaiknya pada permukaan
lahan yang tidak kasar dan aksesibilitasnya baik.
Non-fisik: input tenagakerja rendah; rataan tingkat biaya medium; teknologi
tradisional, semi-tradisional atau semi-maju; taraf pengelolaan medium atau
tinggi, perencanaan yang intensif terhadap perlakuan silvikultur dan operasi
panen, supervisi yang bagus dan intensif, fsilitas transpor yang baik, pelatihan
personil.
19
7. Hutan tanaman
kayu pulp
8. Hutan tanam an
kayu bakar
9. Hutan tanam an
bambu
10.Hutan rakyat
11. Agro-hutani
12. Hutan tana-man
konserva si tanah
13.Hutan wisata
Fisik : data komposisi dan dimensi spesies; pada slope > 50% tidak peka
terhadap erosi, potensi produktivitasnya baik, asesibilitasnya baik dan permukaan
tanah tidak kasar; unit-unit minimum > 5 ha, skala usaha > 500 ha.Non-fisik : input tenagakerja rendah; investasi kapital moderat, rataan tingkat
biaya medium; teknologi semi tradisional atau semi- maju; taraf pengelolaan
medium hingga tinggi, perencanaan yang baik dan intensif terhadap perlakuan
silvikultur dan operasi pemanenan, fasilitas transportasi yang baik, pelatihan
personil.
Fisik: data tentang komposisi spesies dan potensial hasil; pada slope< 50% pada
wilayah di dekat desa.
Non-fisik : input tenagakerja medium; investasi kapital rendah, rataan tingkat
biaya medium hingga tinggi; teknologi tradisional; tingkat pengelolaan rendah
atau medium, pada areal yang dapat tererosi operasi pemanenan lebih ekstensif.
Fisik : data komposisi spesies dan potensial hasil; sebaiknya padatanah-tanah
yang subur.
Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital rendah;
teknologi tradisional; taraf pengelolaan rendah hingga medium, penelitian tentang
sistem pengelolaan dan potensial hasil.
Fisik: data tentang komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur; pada slope
hingga 50%; DI sekitar wilayah desa.
Non-fisik: input tenagakerja rendah hingga medium; investasi kapital rendah;
teknologi tradisional atau
semi-tradisional; taraf pengelolaan medium,
perencanaan dan implementasinya di bawah supervisi lembaga kehutanan.
Fisik: data tentang kompoisi spesies, potensial, dimensi dan hasil tanaman hutan
dan tanaman pertanian, pengetahuan tentang kompetisi antara spesies pohon
dan tanaman pertanian; pada tanah-tanah yang tingkat kesuburannya moderat
dan peka erosi; pada slope < 30%; aksesibilitas internal dan eksternalnya baik.
Non-fisik: input tenagakerja medium; investasi kapital rendah hingga medium;
teknologi tradisional atau semi-tradisional; taraf pengelolaan medium atau tinggi,
perencanaan yang baik dan intensif terhadap penggunaan lahan ini, termasuk
sistem penelitian dan pengelolaannya.
Fisik: data komposisi spesies, potensi dan dimensi silvikultur,data penutupan
tajuk dan penutupan permukaan tanah; pada areal yang sangat peka erosi,
dengan slope > 70%.
Non-fisik: input tenagakerja rendah; investasi kapital rendah; teknologi tradisional;
taraf pengelolaan medium, pengetahuan tentang perlakuan silvikultur dan
konservasi tanah.
Fisik: komposisi vegetasi yang sesuai, berselang- seling dengan tempat terbuka;
kondisi iklim yang nyaman, lokasi kamping atau slope <15%, aksesibilitas
eksternal dan internal yang bagus, fasilitas rekreasi yang memadai.
Non-fisik: input tenagakerja medium hingga tinggi; investasi kapital medium
hingga tinggi; teknologi tradisional atau semi- tradisional; taraf pengelolaan
medium hingga tinggi, pengetahuan tentang pemanfaatan kawa san hutan untuk
wisata.
20
4.6. Kriteria Evaluasi Tingkat Kesesuaian Lahan
(1). Kriteria Kualitas Lahan
Tiga macam kualitas lahan yang pokok adalah (i) aksesibilitas eksternal, (ii) vegetasi, dan (iii)
kelas kemiringan lahan.
Kriteria yang berhubungan dengan kualitas lahan yang digunakan dalam prosedur 'matching'
disajikan dalam Tabel 3, 4, dan 5.
Tabel 3.
Evaluasi tingkat kesesuaian kualitas lahan "aksesibilitas eksternal" untuk setiap Pemanfaatan
Lahan (LUT); S = umumnya sesuai; NS = tidak sesuai; n.r. = tidak relevan)
No. LUT Deskripsi
1.
2.
3.
4.
Hutan lindung tetap
Hutan alam konservasi air
Hutan alam konservasi tanah
Hutan produksi alamiah ekstensif:
Tradisional
Semi tradisional
Maju
5. Hutan produksi alamiah intensif
Tradisional
Semi tradisional
Semi maju
Maju
6. Hutan tanaman Timber
Tradisional
Semi tradisional
Semi maju
7. Hutan tanaman kayu pulp
Semi tradisional
Semi maju
8. Hutan tanaman kayu bakar
9. Hutan tanaman bambu
10. Hutan rakyat
11. Agro-hutani
12. Hutan tanaman
konservasi tanah
13. Hutan wisata
Sangat
mudah
NS
n.r
n.r
Mudah
Sulit
Sangat sulit
NS
n.r
n.r
S
n.r
n.r.
S
n.r
n.r
S
S
S
S
S
S
S
S
NS
NS
NS
NS
S
S
S
S
S
S
S
S
NS
S
S
S
NS
NS
S
NS
NS
NS
NS
NS
S
S
S
S
S
S
NS
NS
NS
NS
NS
NS
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
S
NS
S
NS
S
NS
S
NS
NS
NS
NS
NS
NS
S
S
NS
NS
Keterangan: Tradisional dan semi tradisional : hanya akses dengan jalan kaki
Maju dan semi maju
: akses kendaraan.
21
Tabel 4. Evaluasi tingkat kesesuaian kualitas lahan "vegetasi" untuk setiap LUT.
No LUT
A
B
C
Fase degradasi hutan alam:
D
E
F
G
Hutan tanaman
1
S1
S2
S3
NS
NS
NS
NS
NS
2
S1
S1
S2
S2
NS
S3
S3
NS
3
S
S
S
S
S
S
S
NS
4
S
S
S
S
NS
S
S
NS
5
S
S
S
NS
NS
S
S
NS
6

7
|
8
|
9
|
10
|---- n.r
11
|
12

13
S
S
S
S
NS
S
S
S
Keterangan: S = umumnya sesuai; S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 = hampir sesuai; n.r = tdk
relevan.
22
Tabel 5. Evaluasi kesesuaian karakteristik lahan "slope" untuk setiap LUT
No LUT Teknologi
<30%
1
2
3
4
Kelas Slope:
30-50
50-70
70-100
>100
n.r
n.r
NS
S3
S2
S2
S1
S1
S2
S3
S1
S2
S3
NS
S1
NS
NS
Ns
5
S1
S1
S2
S3
S1
S2
S3
NS
S1
S2
NS
NS
S1
NS
NS
NS
6
S1
S1
S2
S3
S1
S2
S3
NS
S1
S2
NS
NS
7
S1
S2
S3
NS
S1
S2
NS
NS
8
S1
S1
S2
S3
9
S1
S1
S2
S3
10
S1
S1
S2
S3
11
S1
S2
S3
NS
12
S3
S3
S2
S2
13
S1
S2
S2
S3
Keterangan: n.r. = tidak relevan; NS = tidak sesuai; S1 = sangat sesuai; S2 = sesuai; S3 =
sesuai.
Tradisional
Semi-tradisional
Maju
Tradisional
Semi tradisional
Semi maju
Maju
Tradisional
Semi tradisional
Semi maju
Semi tradisional
Semi maju
S1
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
NS
S1
NS
hampir
23
4.7. Evaluasi Lahan Untuk Penggunaan Non Pertanian
(Sumber: Sarwono, 1980, USDA, 1971, FAO, 1978).
1. Evaluasi Lahan untuk Daerah Wisata/Rekreasi
1.1. Lapangan tempat bermain (play ground)
Tempat bermain dalam hal ini adalah tanah lapang yang dapat digunakan untuk bermain
sepakbola, bola voli, badminton, baseball, dan olah raga permainan lainnya.
Tabel 6. Kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk tempat bermain
Sifat Tanah
Drainase tanah
Bahaya banjir
Permeabilitas
Kemiringan
Tekstur tanah
permukaan*)
Dalamnya batuan
Kelas kesesuaian dan faktor penghambat
Sedang
Buruk
Agak baik dan
Agak jelek,
agak jelek,
jelek, sangat jelekdan agak baik
Air tanah lebih dari 75cm
Air tanah lebih dari 50cm
Air tanah kurang 50cm
Baik
Cepat, agak
cepat, baik
Tidak pernah
Sekali dalam
dua tahun
Lebih satu
kali dalam dua tahun.
Sngat cepat, sdg
0-2%
lp,lph,lpsh
l, ld
> 100 cm
Agk lambat, lmbt
2-6%
lli,llip,
llid, pl
50-100
Sangat lambat> 6%
lip, lid,
li,p,pl,tnh org.
< 50 cm
Kerikil dan kerakal (0.2-25cm)
0%
< 20%
> 20%
Batu ( > 25 cm)
0
0.01-3%
> 3%
Batuan
0
0.01-0.1%
> 0.1%
Keterangan: *) lp = lempung berpasir; lph = lempung berpasir halus; lpsh = lempung berpasir sangat halus; l = lempung; ld =
lempung berdebu; lli = lempung liat; llip = lempung liat berpasir; llid = lempung liat berdebu; pl = pasir berlempung; lip = liat
berpasir; lid = liat berdebu; li = liat; p = pasir; pl = pasir berlempung.
Dengan demikian permukaan lahan akan terus diinjak-injak oleh para pemain dan penonton.
Oleh karena itu dierlukan daerah yang datar, drainasenya baik, mempunyai tekstur dan konsistensi
yang mampu mendukung permukaan tanah menjadi teguh, juga tanah tidak berbatu-batu. Kriteria
evaluasi disajikan dalam Tabel 6.
1.2. Lahan tempat berkemah (camping ground)
Tempat berkemah adalah tempat untuk menginap dengan menggunakan tenda, beserta
kendaraan kemah dan segenap aktivitas di luar perkemahan "(outdoor living)". Dalam kondisi seperti
ini tanah harus dapat dilewati berulang-kali oleh manusia atau secara terbatas oleh kendaraan.
Kriteria evaluasinya disajikan dalam Tabel 7.
24
Tabel 7. Kriteria evaluasi untuk tempat berkemah
Sifat tanah
Drainase*)
Banjir
Permeabilitas
Kemiringan
Tekstur tanah
permukaan
Kerikil dan
kerakal
Batu
Batuan
Kesesuaian lahan
Baik
c, ac,b,ab
Sedang
ab, aj.
Buruk
aj, j, sj.
Air tanah lebih dari 75cm
Tanpa
musim kemah
Sangat cepat,
sedang
0-8%
lp,lph,lpsh
l, ld
(bukan pasir
lepas)
0-20%
Air tanah lebih dari 50cm
Tanpa dalam
musim kemah
Agak lambat,
lambat
8-15%
lli,llip,
llid, pl, p
(mudah terbang,organik
20-50%
Air tanah ku
rang 50cm
Banjir dalam
0-0.1%
0.01
0.1 - 3%
0.01-0.1
> 3%
> 0.1%
Sangat lambat
> 15%
lip,lid,
pasir lepas
> 50%
*) c = cepat; ac = agak cepat; b = baik; ab = agak baik; aj = agak jelek; j = jelek; sj = sangat jelek.
1.3. Daerah untuk piknik
Daerah untuk piknik adalah daerah semacam taman yang secara intensif digunakan untuk
berpiknik. Kendaraan yang melewati jalan- jalan dalam taman tersebut dibatasi inten-sitasnya.
Kriteria untuk evaluasi kesesuaian lahannya disajikan dalam Tabel 8.
1.4. Jalan setapak (paths dan trails)
Jalan setapak yang dimaksud adalah jalan setapak yang sering digunakan untuk lintas alam
(cross country). Daerah ini akan digunakan sebagai jalan setapak seperti dalam keadaan aslinya dan
tidak ada pemindahan material tanah, baik dengan penggalian maupun penimbunan. Kriteria evaluasi
kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel 9.
25
Tabel 8. Kriteria evaluasi lahan untuk daerah piknik
Sifat tanah
Drainase
Banjir
Baik
c, ac, b, ab.
Muka air tanah
Kesesuaian lahan:
Sedang
ab, aj. Muka
air tanah ku
Buruk
j, sj. Muka
air tanah ku-
> 50 cm
rang 50 cm
Tanpa
rang 50 cm hingga
permukaan
Banjir lebih
2 kali selama piknik
> 15%
lip,lid,li,
Kemiringan
Tekstur tanah
0-8%
lp,lph,lpsh,
Banjir 1-2 kali selama musim
piknik
8-15%
lli,llip, llid,pl,
permukaan
Kerikil/kerakal
l, ld
0-20%
p, (tidak lepas)
20-50%
p(lepas), organik
> 50%
Batu
Batuan
0-3%
0-0.1%
3 -15
0.1-3%
> 15%
> 3%
Tabel 9. Kesesuaian lahan untuk jalan setapak
Sifat tanah
Drainase
Banjir
Kemiringan
Tekstur tanah
permukaan
Kerikil/kerakal
Batu dan
Batuan
Baik
c,sc,b,ab.
Muka air tanah lebih
dari 50cm
Sekali setahun
Kesesuaian Lahan:
Sedang
aj. Muka air
tanah < 50
0-15%
lp,lph,lpsh,
l, ld
0-20%
2-3 kali atau kurang
setahun
15-25%
llid,llip,
lli ,pl
20-50%
0-0.1%
0.1-3%
Buruk
j,sj. Muka
air tanah<50cm, sering
dekat dengan permukanLebih 3 kalisetahun
>25%
lip,lid,li,
p, organik
> 50%
> 3%
2. Kesesuaian Lahan untuk Gedung Tempat Tinggal
Bangunan gedung tempat tinggal yang dimaksud di sini adalah bangunan gedung yang
bebannya tidak lebih dari tiga lantai. Penentuan kesesuaian lahannya didasarkan pada kemampuan
tanah sebagai penopang pondasi bangunan. Sifat lahan yang berpengaruh adalah daya dukung tanah,
dan sifat-sifat tanah yang berkaitan dengan biaya penggalian dan konstruksi. Daya dukung tanah
ditentukan oleh kerapatan (density), tata air tanah (wetness), bahaya banjir, plastisitas dan tekstur,
potensi mengembang dan mengkerut. Sedangkan biaya penggalian tanah untuk pondasi ditentukan
oleh tata air tanah, kemiringan, kedalaman tanah hingga ke hamparan batuan, dan keadaan batu di
permukaan (USDA, 1971).
26
Tabel 10. Kriteria kesesuaian untuk tempat tinggal
Sifat tanah
Kesesuaian lahan:
Sedang
Buruk
Bangunan dengan ruang bawah tanah:
Baik hingga sangat baik
Sedang
Agak buruk- terhambat
Baik
Drainase
Sedang hingga Sngt
cepat
Air tanah musiman
( > 1 bulan )
Banjir
Lereng
Potensi
mengembang dan
mengkerut
Tanpa ruang bawah tanah:
Buruk hingga Agak buruk
Terhambat
Dengan ruang bawah tanah:
> 150 cm
> 57 cm
Tanpa
0 - 8%
Rendah
Besar butir*)
GW,GP,SP,GM
Batu kecil
Tanpa-sedikit
Batu besar
Dalamnya hampar
Tanpa
an batuan
> 150 cm
> 75
Tanpa ruang bawah tanah:
> 50
Tanpa
8 - 15%
Sedang
< 75
ML, CL, CH,MG,OL,OH
dengan PI<15
GC,SM,SC,CL dengan
PI>= 15
Sedang
Sedikit
Tanpa ruang bawah tanah:
< 50
Jarang-sering
> 15%
Tinggi
Agak banyaksangat banyak
Sedang-sgt banyak
100-150
<100 cm
Dengan ruang bawah tanah:
> 100 cm
50-100
< 50 cm
*) LL = liquid limit; PI = indeks plastisitas; GW = gravel GP = gravel, SP = pasir; SM = pasir berlempung; CL = liat; ML =
lempung; CH = liat berdebu; MG= lempung berdebu. (Sumber: USDA, 1971).
3. Kesesuaian Lahan Untuk Pembuatan Jalan
Dalam bab ini yang dimaksud dengan Jalan adalah jalan yang terdiri atas (i) tanah setempat
yang telah diratakan (tebal penggalian atau pengurugan tanah kurang dari 6 meter) dan disebut
"subgrade"; (ii) lapisan dasar (base) yang terdiri atas kerikil, batu pecahan, penstabil tanah dari
kapur atau semen; (iii) lapisan permukaan yang fleksibel (aspal) atau keras (beton), atau kerikil yang
direkatkan seperti di pedesaan. Jalan ini dilengkapi dengan saluran drainase di kedua sisinya.
Sifat-sifat tanah yang dipertimbangkan dalam perencanaan dan pembuatan jalan adalah
kekuatan tanah, stabilitas tanah dan jumlah tanah galian-urugan yang tersedia (USDA, 1971).
Kriteria evaluasi kesesuaian lahan disajikan dalam Tabel 11.
27
Tabel 11. Kriteria evaluasi untuk pembangunan jalan
Sifat tanah
Drainase
Banjir
Baik
c, ac,b,ab
Tanpa
Lereng
Dalamnya hampar-
0-8%
>100 cm
an batuan
Subgrade:
Indeks AASHO
Unified
Potensi mengem-
0-4
GW,GP,SW,SP, CL
dengan PI
Rendah
bang-mengkerut
Batu
0-3%
Batuan besar
0-0.01%
(Sumber: USDA, 1971).
Kesesuaian lahan
Sedang
aj
kung dari se
kali dlm 5 th
8-15%
50-100
Buruk
j, sj
Lebih dari
sekali
>15%
<50
5-8
GM,GC,SM,SC <
15 , CL dgn PI
Sedang
>8
>= 15,CH,MH
OH,OL,Pt
Tinggi
3-15%
0.01-0.1%
> 15%
> 0.1%
…………….bersambung!!!.......
Download