IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAWASAN MANGROVE DAN GARIS PANTAI DI PESISIR TAMAN NASIONAL KUTAI KALIMANTAN TIMUR Legowo Kamarubayana1 dan Sigit Hardwinarto2 1 2 Fakultas Pertanian Univ. 17 Agustus 1945 Samarinda. Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Fahutan Unmul, Samarinda ABSTRACT. Identification of Mangrove Area Alteration and Coastal Line in Kutai National Park East Kalimantan. Coastal line in Kutai National Park is seriously affected by mangrove’s ecosystem damage which is caused by natural factors or human activities. The coastal area is profited intensively and causing over support from environment ecosystem such as overfishing, habitat physical degradation and coastal abrasion which is affecting to the coastalline alteration. The main purpose of this research were to analyze the change of mangrove area on 2000 and 2006, and to identify the damage of mangrove area and coastal line alteration at Kutai National Park as well as the causal factors. Methods of research were spatial analysis program, overlay and groundcheck for verification. Results of this research were as follows: change of mangrove area to fishpond at Tanjung Sengata, Teluk Lombok and surrounding area was 224.243 hectares, Teluk Kaba area was estimated 43.825 hectares and Teluk Pandan was 29,273 hectares. The visual analysis about the change of coastal line was caused by coastal abrasion and sedimentation in the year 2000 and 2006 showed that abrasion of coastal area at Kutai National Park was 109.375 hectares and sedimentation was 56.469 hectares. Kata kunci: kawasan mangrove, garis pantai, abrasi, sedimentasi Kawasan mangrove di pesisir Taman Nasional Kutai rawan terhadap kerusakan, baik yang diakibatkan oleh faktor alam maupun akibat aktivitas manusia. Bentukbentuk ancaman kerusakan tersebut terutama berupa reklamasi lahan pantai untuk pemukiman, penggalian pasir untuk bahan bangunan, penebangan pohon mangrove untuk diambil kayunya sebagai kayu bakar dan bahan bangunan serta daunnya untuk pakan ternak. Dinamika alam dan aktivitas manusia tersebut berpotensi mengakibatkan kerusakan kawasan mangrove secara keseluruhan di Taman Nasional Kutai. Pengaruh atau tekanan terhadap kawasan mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal kawasan mangrove menjadi beberapa kepentingan seperti untuk areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri, pertanian dan lain-lain. Dengan makin terbukanya akses menuju Taman Nasional Kutai secara langsung maupun tidak langsung membawa pengaruh meningkatnya jumlah penduduk dan pemukiman di dalam hutan maupun sekitar hutan yang pada akhirnya dapat memberikan ancaman baik terhadap kerusakan hutan maupun kawasan mangrove. Selain itu, semakin meningkatnya permintaan terhadap produk kayu menyebabkan terjadi eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain yang 43 44 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 menyebabkan kerusakan kawasan mangrove cukup besar adalah kegiatan pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan dan perikanan. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi terbesar dalam perusakan kawasan mangrove. Dalam situasi seperti ini habitat dasar dan fungsi dari mangrove menjadi berkurang, bahkan menjadi hilang dan nilai kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan kawasan mangrove tahun 2000 dan 2006, di antaranya dengan mengidentifikasi perubahanperubahan akibat kerusakan yang terjadi di kawasan mangrove di pesisir Taman Nasional Kutai melalui Citra Landsat dan kemudian mengidentifikasi penyebab terjadinya perubahan-perubahan tersebut; untuk mengetahui perubahan garis pantai wilayah pesisir Taman Nasional Kutai tahun 2000 sampai 2006 serta mengidentifikasi penyebab terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi dan gambaran tentang perubahan kawasan mangrove yang ada di pesisir Taman Nasional Kutai tahun 2000 dan 2006 serta untuk mengetahui perubahan garis pantai wilayah pesisir Taman Nasional Kutai dari tahun 2000 sampai 2006 akibat adanya perubahan ekosistem pesisir, baik dari faktor alam maupun akibat aktivitas manusia. METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di pesisir Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur, Propinsi Kalimantan Timur, sedangkan pengolahan data dilakukan di Laboratorium Perencanaan Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Penelitian dilaksanakan pada secara keseluruhan ±4 bulan yang meliputi kegiatan pengumpulan data dan input data, survei lapangan dan pengolahan data. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data hasil pengukuran/pengamatan langsung di lapangan yang meliputi penentuan titik koordinat, tingkat kerapatan mangrove dan mengukur garis pantai di pesisir Taman Nasional Kutai dengan cara uji petik. Uji petik kawasan mangrove dipilih terhadap titik-titik yang mewakili kondisi secara keseluruhan di lapangan untuk memudahkan proses interpretasi misalnya kawasan mangrove, tambak atau areal terbuka lainnya. Untuk uji petik perubahan garis pantai sampel yang diambil terutama adalah jarak pasang tertinggi dan surut terendah pada titik yang diambil koordinatnya, secara keseluruhan lokasi di lapangan harus mudah diakses untuk memudahkan pengambilan data dan untuk selanjutnya ditentukan koordinat titik uji petik dengan menggunakan GPS untuk digambarkan di atas peta. Data sekunder mencakup risalah daerah penelitian, literatur, laporan-laporan hasil penelitian terdahulu dan tulisan-tulisan dari pihak/instansi terkait. Interpretasi citra adalah kegiatan perkiraan suatu objek berdasarkan bentuk tone, tekstur, lokasi dan asosiasi yang tampak pada citra. Pemberian atribut (penamaan) didasarkan pada kunci penafsiran dan referensi yang sudah ada untuk penutupan lahan, biasanya dipakai 23 kelas penutupan lahan sesuai Rancangan Standar 2 Kamarubayana dan Hardwinarto (2009). Identifikasi Perubahan Kawasan Mangrove 45 Nasional Indonesia Departemen Kehutanan. Deteksi dan identifikasi didasarkan pada beberapa elemen interpretasi citra, yaitu: warna, rona, ukuran, bentuk bayangan, tekstur, pola, lokasi dan asosiasi serta kenampakan lain yang terlihat pada citra. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Deskripsi Umum Lokasi Penelitian Secara geografis kawasan Taman Nasional Kutai berada pada 0o7’54”– 0 3’53” LU dan 116o58’48”–117o35’29” BT dengan batas-batas sebagai berikut: sebelah timur dibatasi oleh Selat Makassar menuju arah daratan sepanjang kurang dari 65 km, sebelah utara dibatasi oleh Sungai Sengata, sebelah selatan Hutan Lindung Bontang dan HPH PT Surya Hutani Jaya dan sebelah barat HPH PT Kiani Lestari. o Kondisi Kawasan Mangrove dan Garis Pantai Tahun 2000–2006 Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari ±18.110 buah pulau besar dan kecil yang secara keseluruhan memiliki panjang garis pantai sekitar ±108.000 km. Sebagian daerah tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai puluhan kilometer. Masing-masing kawasan pantai dan hutan mangrove pada pulau-pulau di atas memiliki historis perkembangan yang berbeda-beda. Perubahan keadaan kawasan pantai dan hutan mangrove sangat dipengaruhi oleh faktor alam dan faktor campur tangan manusia (Anonim, 2003). Kawasan Mangrove di Taman Nasional Kutai Hutan mangrove seringkali juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Tetapi istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari salah satu jenis tumbuhan penyusun hutan mangrove yaitu jenis Rhizophora spp. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh maksimal di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya banyak mengandung lumpur, sedangkan di wilayah pesisir yang tidak terdapat muara sungai, hutan mangrove pertumbuhannya tidak maksimal. Mangrove tidak atau sulit tumbuh di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur, substrat yang diperlukan untuk pertumbuhannya. Ini terbukti dari daerah penyebaran mangrove di Indonesia yang umumnya terdapat di pantai timur Sumatera, Kalimantan, pantai utara Jawa dan Papua. 3 46 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 Hasil penelitian dari Nurhasanah (2007) menyebutkan bahwa erosi pantai disebabkan oleh hilangnya perlindungan alami, perencanaan pengelolaan yang tidak tepat, kurangnya suplai sedimen dari daerah aliran sungai, perubahan iklim, kenaikan muka air laut, ancaman gelombang dan tsunami. Tekanan yang berasal dari manusia adalah berupa dampak intervensi kegiatan manusia pada habitat mangrove. Kegiatan reklamasi di kawasan habitat mangrove berpengaruh terhadap kerusakan dan musnahnya mangrove sehingga berdampak negatif terhadap ekosistem wilayah pesisir yang memiliki ekonomi tinggi dalam jangka panjang. Menurut Anonim (2005), Taman Nasional Kutai merupakan kawasan konservasi yang memiliki hutan mangrove seluas ±5.440,70 ha, yaitu 1–2 km dari tepi pantai ke arah daratan yang didominasi oleh jenis Rhizophora dan Bruguiera. Namun luas hutan mangrove ini terus mengalami penyusutan akibat berbagai tekanan, terutama penebangan liar dan konversi hutan mangrove yang tidak terkendali menjadi areal tambak. Kondisi ini diperparah oleh desakan penduduk dalam memenuhi kebutuhan hidup, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya Berdasarkan perhitungan luas perubahan kawasan mangrove yang dilihat dari hasil digitasi dan analisis tumpangsusun terhadap citra tahun 2000 sampai dengan 2006 seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Perhitungan Perubahan Kawasan Mangrove Tahun 2000 dan 2006 di Taman Nasional Kutai Lokasi Tanjung Sengata, Teluk Lombok dan sekitarnya Teluk Kaba Teluk Pandan Bontang Lain-lain Jumlah Luas kawasan mangrove (hektar) Tahun 2000 Tahun 2006 2.558,817 2.334,574 1.010,951 967,126 983,542 954,269 372,863 150,889 1.671,533 1.382,626 6.597,706 5.789,484 Luas perubahan (hektar) 224,243 43,825 29,273 221,974 288,907 808,222 Pada Tabel 1 tampak terjadi adanya perubahan/kerusakan kawasan mangrove menjadi tambak di sekitar Tanjung Sangatta, Teluk Lombok dan daerah-daerah yang berdekatan mencapai luas 224,243 ha. Meskipun sebenarnya sebelum tahun 2000 hutan mangrove di wilayah tersebut sudah banyak yang dibuka untuk tambak, di Teluk Kaba yang relatif lebih baik kondisi mangrovenya juga mengalami kerusakan yang diperkirakan mencapai luas 43,825 ha, di sekitar Teluk Pandan kerusakan kawasan mangrovenya mencapai 29,273 ha. Di Bontang kerusakan mangrove terutama adalah karena perubahan fungsi dari kawasan mangrove menjadi daerah pemukiman dan pembukaan tambak yang berdasarkan perhitungan tumpangsusun/overlay luas kerusakan mangrove pada tahun 2000 dan 2006 mencapai 221,974 ha. 4 Kamarubayana dan Hardwinarto (2009). Identifikasi Perubahan Kawasan Mangrove 47 Angka-angka di atas meskipun masih dalam kondisi yang tidak mengkhawatirkan, namun dapat digunakan sebagai indikasi bahwa keadaan kawasan mangrove di Taman Nasional Kutai kini makin terancam keberadaannya sebagai akibat dari perilaku masyarakat sekitar dalam memanfaatkan kekayaan hutan mangrove, baik berupa pemanfaatan kayu maupun untuk tambak, sehingga upaya pengendalian yang tidak segera dilakukan akan sangat berdampak luas terhadap eskalasi kerusakan hutan mangrove. Menurut Nybakken (1988) dalam Dahuri dkk. (2004), bahwa pada dasarnya tumbuhan mangrove memiliki daya adaptasi yang khas untuk dapat terus hidup di perairan laut dangkal, di antaranya disebabkan oleh perakaran yang pendek dan melebar luas dengan akar penyangga atau tudung akar yang tumbuh dari batang dan dahan sehingga menjalin kokohnya batang; berdaun kuat dan mengandung banyak air; mempunyai jaringan internal penyimpan air dan konsentrasi garam yang tinggi. Beberapa jenis mangrove mempunyai kelenjar garam yang menolong terjaganya keseimbangan osmotik dengan mengeluarkan garam. Selanjutnya menurut Dahuri dkk. (2004), bahwa ada beberapa parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu: 1. Suplay air tawar dan salinitas. Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas) mengendalikan efisiensi metabolik dari ekosistem hutan mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada (a) frekuensi dan volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, (b) frekuensi dan volume air pertukaran pasang surut dan (c) tingkat evaporasi ke atmosfir. Walaupun spesies hutan mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap salinitas yang tinggi, namun tidak adanya suplay air tawar yang mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat mengakibatkan terjadinya modifikasi masukan air tawar, tidak hanya mengubah kadar garam yang ada, tetapi dapat mengubah aliran nutrisi dan sedimen. 2. Pasokan nutrisi. Pasokan nutrisi bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses yang terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan organik serta pendaur ulangan nutrisi secara internal. Konsentrasi relatif dan nisbah (rasio) optimal dari nutrisi yang diperlukan untuk pemeliharaan produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh (a) frekuensi, jumlah dan lamanya penggenangan oleh air asin atau air tawar, (b) dinamika sirkulasi. 3. Stabilitas substrat. Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur oleh velositas air tawar, muatan sedimen, hempasan air pasang surut dan gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan sedimentasi dalam ambang batas kritis meliputi: (a) penggumpalan sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove (b) nutrisi, bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrisi dan menyaring bahan beracun (waste toxic). 5 48 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 Berdasarkan pengolahan citra Taman Nasional Kutai tahun 2000 dan 2006 secara garis besar bahwa kerusakan kawasan mangrove yang terjadi di wilayah selatan Taman Nasional Kutai adalah diakibatkan oleh pengalihfungsian kawasan mangrove menjadi lahan tambak, pertanian, pemukiman, reklamasi pantai untuk kawasan wisata dan kerusakan secara alami akibat gempuran ombak dan abrasi, sedangkan di wilayah utara, ekosistem mangrove relatif terjaga secara alami karena aksesibilitas yang sulit dijangkau untuk menuju ke kawasan mangrove, kerusakan ekosistem mangrove yang terjadi di wilayah utara secara umum diakibatkan oleh pembukaan tambak dan sedikit diakibatkan oleh kerusakan akibat gempuran ombak dan abrasi. Hasil dari diskusi dan wawancara dengan penduduk yang bermukim di Teluk Lombok ternyata masyarakat di Dusun Teluk Lombok telah memiliki persepsi bahwa pelestarian kawasan mangrove sangat bermanfaat bagi kehidupan mereka terutama dalam menunjang mata pencarian mereka yang sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional. Selain itu, mereka berpendapat bahwa dengan adanya upaya pelestarian kawasan mangrove menjadikan kondisi lingkungan sekitar mereka menjadi lebih baik. Masyarakat Teluk Lombok pada umumnya menganggap bahwa hutan mangrove merupakan kekayaan alam yang harus dijaga kelestariannya terutama sebagai pencegah abrasi/erosi pantai, sebagai sumber mencari ikan dan sumber mencari bibit mangrove. Menurut masyarakat Dusun Teluk Lombok perlu dilakukan rehabilitasi pada kawasan mangrove yang telah rusak, yang mana hal ini menunjukkan terdapatnya kesadaran yang baik dari masyarakat Dusun Teluk Lombok terhadap fungsi hutan mangrove. Menurut hasil penelitian Gunawan dkk. (2005), beberapa faktor yang yang mendorong timbul dan tumbuhnya kesadaran tentang pelestarian mangrove ini di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Adanya kegiatan pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) setempat. Kegiatan pendampingan yang dilakukan oleh LSM, yaitu LSM Bina Kelola Lingkungan (BIKAL), Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan Balai Taman Nasional Kutai terhadap masyarakat Dusun Teluk Lombok telah menumbuhkan kesadaran masyarakat setempat terhadap pentingnya melestarikan ekosistem hutan mangrove yang terdapat di sekitar mereka. 2. Merasakan manfaat nyata. Masyarakat Dusun Teluk Lombok telah merasakan manfaat nyata dari kegiatan melestarikan hutan mangrove seperti abrasi yang menyebabkan pindahnya pemukiman masyarakat. Masyarakat Dusun Teluk Lombok pada awalnya bermukim di pinggir pantai Teluk Lombok, namun lama kelamaan pantai di Teluk Lombok mengalami abrasi karena sedikitnya vegetasi yang terdapat di pantai tersebut. Pada akhirnya masyarakat memindahkan pemukimannya ke bagian yang lebih jauh dari pantai karena proses abrasi terus menerus terjadi. Dari sinilah menjadi pelajaran bagi masyarakat Teluk Lombok bahwa vegetasi yang terdapat di sekitar mereka sangat penting bagi kehidupan mereka. 6 Kamarubayana dan Hardwinarto (2009). Identifikasi Perubahan Kawasan Mangrove 49 Hutan dan masyarakat di sekitar memiliki hubungan yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Kondisi demikian terjadi pula pada masyarakat Dusun Teluk Lombok yang mendiami daerah sekitar hutan mangrove yang merupakan bagian dari kawasan Taman Nasional Kutai. Masyarakat banyak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada pada ekosistem mangrove untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kegiatan pemanfaatan yang dilakukan di antaranya adalah: nelayan, mencari kerang dan kepiting baik untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual; pemanfaatan daun nipah sebagai bahan atap dan bungkus ketupat; pemanfaatan nira nipah menjadi gula/arak, pemanfaatan buah nipah sebagai bahan campuran minuman segar; pemanfaatan kayu bakau sebagai bahan kayu bakar, jembatan, tiang; konversi tambak dan lain-lain. Menurut hasil penelitian dan informasi dari petugas dari Balai Taman Nasional Kutai, bahwa ekosistem mangrove di Teluk Lombok mempunyai struktur pertumbuhan vegetasi yang lengkap pada tingkat semai, pancang dan pohon, sehingga proses regenerasi dapat berlangsung dan terwujudnya kelestarian bila tingkat ancaman/gangguan kerusakan terhadap ekosistem rendah. Namun demikian, ekosistem mangrove Teluk Lombok memiliki keanekaragaman jenis yang tergolong rendah pada semua tingkat pertumbuhan vegetasi dan didominasi oleh Bruguiera gymnorhiza, Rhizophora apiculata dan R. mucronata. Namun demikian, berdasarkan laporan survei potensi mangrove di Taman Nasional Kutai yang dilakukan pada tahun 2004, dijumpai pula jenis Avicennia alba, A. marina, Ceriops tagal, Casuarina equisetifolia, Soneratia caseolaris dan Lumnitzera racemosa. Menurut Soetrisno (2007), secara alamiah vegetasi hutan mangrove hidup berkelompok yang menyesuaikan diri dengan faktor tempat tumbuhnya dan pada kawasan-kawasan tertentu hadir jenis vegetasi mangrove tertentu dengan sangat dominan bahkan sampai membentuk tegakan murni. Penyebaran permudaan vegetasi mangrove sangat berbeda dengan permudaan di hutan daratan, penyebaran bijinya mengelompok dalam sejenis saja atau membentuk zonasi vegetasi sejak pertumbuhan semai. Proses perkecambahan anakan mangrove diawali dengan tumbuhnya akar pertama (hipokotil) yang menembus kulit buah dan tumbuh ke bawah. Keping biji (kotiledon) tetap tinggal di dalam buah, panjang akar dapat mencapai 45 cm. Bila tumbuh sepenuhnya, semai jatuh dengan memisahkan diri dari kulit buahnya. Dalam hasil penelitian lainnya mengenai penyebaran semai R. conjugata pada hutan mangrove di kawasan Teluk Kaba Taman Nasional Kutai, bahwa kehadiran semai pada suatu kawasan juga dipengaruhi oleh jarak pohon induk dari tepi pantai. Jumlah semai R. conjugata terbanyak terdapat pada pohon induk yang berjarak 51–75 m dari pantai, namun ketika pohon induk itu berada lebih jauh yaitu 76–100 m dari tepi pantai, jumlah semai yang ditemukan justru lebih sedikit dibandingkan jarak 0–25 m dan 26–50 m. Hal ini disebabkan pada jarak pohon induk sejauh 51–70 m dari tepi pantai memiliki tingkat kesuburan tanah dan inundasi lumpur berada pada taraf yang optimal dibandingkan dengan jarak lainnya. Selain itu pengaruh arus dan ombak pada jarak tersebut juga relatif kecil sehingga 7 50 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 memungkinkan semai R. conjugata dapat bertahan hidup dan tumbuh secara maksimal. Analisis Mengenai Perubahan Garis Pantai di Wilayah Pesisir Taman Nasional Kutai Dahuri dkk. (2004) menyatakan, bahwa secara sederhana pengertian wilayah pesisir (coastal zone) dapat dipahami sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, sebagai wilayah yang merupakan interface antara kawasan laut dan darat yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi satu sama lainnya, baik secara biogeofisik maupun sosial ekonomi. Wilayah pesisir mempunyai karakteristik yang khusus sebagai akibat interaksi antara proses-proses yang terjadi di daratan dan di lautan. Ke arah darat, wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Definisi wilayah pesisir di atas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Hasil analisis perubahan garis pantai yang didasari proses abrasi dan sedimentasi yang terjadi di pesisir Taman Nasional Kutai selama masa tahun 2000 sampai dengan 2006 melalui analisis foto citra satelit didapat besarnya abrasi/erosi pantai mencapai luas 109,375 ha dan sedimentasi sebesar 56,469 ha. Abrasi cenderung lebih besar terjadi di sepanjang pesisir pantai yang menghadap langsung ke laut, sedangkan sedimentasi terjadi umumnya pada alur-alur sungai yang menjorok ke arah darat. Secara teori dinyatakan, bahwa ombak merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pembentukan pantai. Ombak yang terjadi di laut dalam umumnya tidak berpengaruh terhadap dasar laut dan sedimen yang terdapat di dasarnya. Sebaliknya ombak yang terdapat di dekat pantai terutama di daerah pecahan ombak mempunyai energi besar dan sangat berperan dalam pembentukan morfologi pantai, misalnya menyeret sedimen (umumnya pasir dan kerikil) yang ada di dasar laut untuk ditumpuk dalam bentuk gosong pasir (sand bar), hal ini terlihat di sepanjang Teluk Lombok yang banyak terjadi sedimentasi. Selain itu ombak berperan sangat dominan dalam merombak bentuk pantai, hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain keterjalan garis pantai, kekerasan batuan, rekahan pada batuan, kedalaman laut di depan pantai, bentuk pantai, terdapat tidaknya penghalang (barrier) di muka pantai dan sebagainya. Di pesisir Taman Nasional yang relatif masih banyak memiliki hutan mangrove, proses abrasi kejadiannya tidak begitu 8 Kamarubayana dan Hardwinarto (2009). Identifikasi Perubahan Kawasan Mangrove 51 signifikan mengingat selama rentang waktu dari tahun 2000 sampai 2006 hanya terjadi seluas 109,375 ha dan sedimentasinya mencapai 56,469 ha. Arus laut yang mengalir di sepanjang pantai (longshore current) atau arus litoral juga merupakan penyebab utama lainnya dalam proses membentuk morfologi pantai. Arus laut terbentuk oleh angin yang bertiup dalam selang waktu yang lama, dapat pula terjadi karena ombak yang membentur pantai secara miring. Arus laut mampu membawa sedimen yang mengapung maupun yang terdapat di dasar laut. Pergerakan sedimen searah dengan pergerakan arus yang umumnya menyebar sepanjang garis pantai. Menurut Dahuri dkk. (2004), bentuk morfologi spits, tombolo, beach ridges atau akumulasi sedimen di sekitar jetty dan tanggul pantai menunjukkan hasil kerja arus laut. Dalam hal tertentu arus laut dapat pula berfungsi sebagai penyebab terjadinya abrasi pantai. Selanjutnya juga dinyatakan, bahwa pengaruh pasang surut laut terhadap pembentukan morfologi pantai tidak terlalu besar dibandingkan dengan pengaruh ombak dan arus laut. Meskipun demikian, pasang surut laut mempengaruhi dinamika air di sekitar pantai. Pergerakan air akibat pasang surut dapat diamati di dalam estuaria atau muara sungai yang lebar. Arus pasang surut yang terjadi umumnya tidak terlalu kuat untuk mengangkat sedimen berbutir kasar kecuali sedimen berbutir halus (lempung). Untuk daerah pantai rata seperti rawa pantai, lagoon atau dataran pasang surut (tidal plain), perubahan morfologi tersebut tidak berkembang secara cepat, kecuali suplai sedimen dari sungai di sekitarnya cukup besar. Vegetasi yang tumbuh dengan baik di sepanjang pantai (hutan mangrove) dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen (sediment trap) di daerah pantai sehingga pertumbuhan pantai dapat terjadi. Abrasi dan Sedimentasi Abrasi adalah proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak yang biasa disebut dengan erosi pantai. Kerusakan garis pantai akibat abrasi dipacu oleh terganggunya keseimbangan alam daerah pantai tersebut. Perubahan keseimbangan alam seiring dengan tuntutan kebutuhan manusia karena sebenarnya abrasi ini pada kondisi alami masih dikatakan terkendali. Proses pengikisian pantai oleh tenaga gelombang dan arus laut yang bersifat merusak tersebut disebabkan oleh berbagai faktor dan tidak sama untuk daerah yang berbeda. Perubahan keseimbangan lokal yang dominan memacu tingkat pengikisan pantai, salah satunya adalah semakin terbukanya alur sepanjang pinggir pantai dengan hilangnya pemecah gelombang (breaker) sehingga energi dari gelombang dan arus laut menerjang pinggiran pantai secara penuh. Secara historis penyebaran dan peningkatan jumlah penduduk yang menguasai kawasan pantai di Indonesia dimulai oleh para pedagang/nelayan atau para penyiar agama yang sering berlayar baik dari negara lain maupun yang berpindah-pindah dari pulau yang satu ke pulau yang lain. Secara berangsur-angsur sebagian dari mereka menetap dan menguasai lahan pada kawasan pantai yang di antaranya berupa hutan mangrove. 9 52 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 Berbagai bentuk bentang alam kawasan pantai, termasuk tipe hutan mangrove yang tumbuh di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi pasang surut perpaduan air sungai dan air laut yang mengandung garam. Pada dasarnya kawasan pantai merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis kawasan ini didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masing-masing dipengaruhi oleh pasang surut air laut, dengan lebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang bercampur kerikil. Perubahan tinggi muka air laut merupakan suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik, perubahan dapat terjadi sebagai akibat kejadian sesaat seperti terjadinya tsunami tengah laut. Efek rumah kaca akibat penggunaan bahan bakar alami secara berlebihan telah dinyatakan sebagai penyebab naiknya iklim dunia atau global warming yang saat ini telah menjadi masalah nasional, regional maupun internasional. Peningkatan muka air laut merupakan salah satu akibat yang ditimbulkan dan akibat lanjutan yang diamati para ahli, antara lain perubahan kondisi ekosistem pantai, meningkatnya erosi pantai, makin cepatnya kerusakan bangunan dan terganggunya kegiatan penduduk seperti pemukiman, perindustrian, pertanian dan kegiatan lainnya. Kondisi ini cenderung memburuk dengan meningkatnya pemanfaatan kawasan pantai yang berlebihan dan berbagai hasil penelitian menunjukan bahwa permukaan air laut cenderung meningkat dari tahun ke tahun seiring dengan meningkatnya temperatur udara secara global. Pantai merupakan daerah datar, atau biasa bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Garis pantai dicirikan oleh suatu garis batas pertemuan antara daratan dengan air laut, oleh karena itu posisi garis pantai bersifat tidak tetap dan dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan abrasi pantai atau endapan lumpur. Secara umum dapat dimengerti, bahwa bentuk/tipe kawasan pantai, jenis vegetasi, luas dan penyebaran hutan mangrove tergantung pada karakteristik biogeografi dan hidrodinamika setempat. Berbagai kawasan pantai di Indonesia memiliki persamaan dan perbedaan atas faktor-faktor iklim, temperatur air, tingkat sedimentasi, tingkat pasang surut air, relief, pelindung dari pengikisan ombak dan angin, salinitas air dan sejarah geologis. Sebagai wilayah peralihan, ekosistem pesisir memiliki struktur komunitas dan tipologi yang berbeda dengan ekosistem lainnya. Dalam ekosistem perairan (tawar, pesisir dan lautan) berbagai jasad hidup (biotik) dan lingkungan fisik (abiotik) merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait. Dua komponen tersebut saling berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, sehingga terjadi pertukaran zat (energi) di antara keduanya. Komponen abiotik merupakan faktor pendukung bagi kelangsungan hidup organisme. Dalam ekosistem pesisir komponen abiotik tersebut terdiri dari unsur senyawa anorganik, senyawa organik dan iklim. Faktor iklim yang memegang peranan penting dalam perairan adalah suhu. Ekosistem pesisir memiliki struktur 10 Kamarubayana dan Hardwinarto (2009). Identifikasi Perubahan Kawasan Mangrove 53 yang khas, hal ini disebabkan ekosistem tersebut merupakan daerah peralihan antara ekosistem daratan dan ekosistem lautan. Secara umum diketahui, bahwa komponen penyusun struktur ekosistem perairan pesisir terdiri dari produser, konsumer dan pengurai. Penentuan garis pantai secara cepat dan praktis dapat dilakukan dengan cara interpretasi visual pada citra sekaligus melakukan on screen digitizing pada citra tersebut. Cara ini cukup mudah dan hasil digitasi dapat disimpan dalam format vektor. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil analisis tumpang susun (overlay) dari citra tahun 2000 dan 2006 terjadi adanya perubahan/kerusakan kawasan mangrove menjadi tambak di Tanjung Sangatta, Teluk Lombok dan daerah-daerah yang berdekatan mencapai luas 224,243 ha. Sebelum tahun 2000 hutan mangrove di wilayah tersebut sudah banyak yang dibuka untuk tambak, di Teluk Kaba yang relatif lebih baik kondisi kawasan mangrovenya juga mengalami kerusakan yang diperkirakan mencapai luas 43,825 ha. Perubahan garis pantai yang didasari proses abrasi dan sedimentasi yang terjadi di pesisir Taman Nasional Kutai tahun 2000 sampai 2006 melalui analisis foto citra satelit, besarnya abrasi/erosi pantai mencapai luas 109,375 ha dan sedimentasi sebesar 56,469 ha. Abrasi cenderung lebih besar terjadi di sepanjang pesisir pantai yang menghadap langsung ke laut, sedangkan sedimentasi terjadi umumnya pada alur-alur sungai yang menjorok ke arah darat. Angka-angka perubahan luas tersebut di atas dapat menjadi indikasi bahwa hutan mangrove di Taman Nasional Kutai kini makin terancam keberadaannya sebagai akibat dari perilaku masyarakat sekitar dalam memanfaatkan hutan mangrove. Kerusakan hutan mangrove di wilayah selatan terutama yang berlokasi di Bontang Kuala Taman Nasional Kutai diakibatkan oleh pengalihfungsian menjadi tambak, pertanian, pemukiman, reklamasi pantai, untuk kawasan wisata dan sedikit kerusakan secara alami akibat gempuran ombak dan abrasi, sedangkan di pesisir wilayah sebelah utara dari Teluk Lombok, Teluk Kaba sampai di Teluk Pandan, hutan mangrove relatif terjaga secara alami karena aksesibilitas yang sulit dijangkau untuk menuju ke kawasan tersebut. Saran Hutan mangrove di Taman Nasional Kutai kini makin terancam keberadaannya sehingga upaya pengendalian harus segera dilakukan sehingga tidak berdampak luas terhadap eskalasi kerusakan hutan mangrove. Pantai harus direstorasi sehingga dapat berfungsi sebagai pemecah ombak (breaker). Karena ombak merupakan salah satu faktor yang berperan dalam 11 54 JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 2 (1), APRIL 2009 perubahan garis pantai. Ombak yang terdapat di dekat pantai mempunyai energi besar dan sangat berperan dalam pembentukan morfologi pantai sehingga vegetasi yang tumbuh dengan baik di sepanjang pantai, selain sebagai pemecah ombak, mangrove juga dapat berfungsi sebagai penangkap sedimen (sediment trap), restorasi yang dimaksud misalnya dengan menata kembali wilayah-wilayah yang akan dialihfungsikan menjadi tambak, meningkatkan kegiatan penanaman mangrove di wilayah-wilayah yang kondisi mangrovenya mulai rusak atau bahkan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku pengrusakan kawasan mangrove. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Kebijakan Pemerintah Tentang Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Makalah yang disampaikan dalam rangka "Seminar Nasional Penataan Wialayah Pesisir Dalam Perspektif Teknik Sipil dan Arsitektur" yang diselenggarakan pada tanggal 27 Agustus 2003 di Pontianak Kalimantan Barat. Anonim. 2005. Data Dasar Taman Nasional Kutai. Dari sumber dana Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Balai TN Kutai Tahun 2005. Dahuri, R.; J. Rais; S.P. Ginting dan M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta Gunawan W.; W.C. Adinugroho dan N. Cahyati. 2005. Model Pelestarian Ekosistem Mangrove di Kawasan Taman Nasional Kutai oleh Masyarakat Teluk Lombok. Loka Litbang Satwa Primata Balitbanghut, Dephut. Nurhasanah, A. 2007. Melindungi Pantai dari Erosi. Radar Lampung online. Soetrisno, K. 2007. Hutan Mangrove Kalimantan Timur: Fungsi, Manfaat dan Kondisinya Saat Ini. Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Silvikultur. Fakultas Kehutanan Univ. Mulawarman, Samarinda. 12 13